UNIVERSITAS INDONESIA
KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN IBU, KARAKTERISTIK BALITA, SUMBER PENCEMAR DALAM RUANG DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DTP CIBEBER KABUPATEN LEBAK PROPINSI BANTEN TAHUN 2011
SKRIPSI
YUYU SRI RAHAYU 0906618122
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT DEPOK JUNI 2011
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
UNIVERSITAS INDONESIA
KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN IBU, KARAKTERISTIK BALITA, SUMBER PENCEMAR DALAM RUANG DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DTP CIBEBER KABUPATEN LEBAK PROPINSI BANTEN TAHUN 2011
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
YUYU SRI RAHAYU 0906618122
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KEBIDANAN KOMUNITAS DEPOK JUNI 2011
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: YUYU SRI RAHAYU
NPM
: 0906618122
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 24 Juni 2011
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Yuyu Sri Rahayu
Tempat tanggal lahir : Lebak, 03 Mei 1979 Alamat
: Kamp. Cikotok RT 02/ 03 Desa Cikotok Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten 43294
Riwayat Pendidikan 1984 – 1986
: TK Pelita ANTAM Unit Pertambangan Emas Cikotok
1986 – 1992
: SD ANTAM Unit Pertambangan Emas Cikotok
1992 – 1995
: SMP Negeri 1 Cibeber
1995 – 1998
: Sekolah Menengah Umum Kornita IPB Bogor
1998 – 2001
: D III Kebidanan Depkes RI Rangkasbitung
2007– 2008
: D IV Kebidanan STIKIM Lenteng Agung Jakarta
2009 – Sekarang
: S1 Peminatan Kebidanan Komunitas FKM-UI Depok
Riwayat Pekerjaan 2001–2002 : Rumah Sakit Islam Bogor 2002–2009 : Bidan Pelaksana Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten.
i Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kejadian ISPA pada Balita Ditinjau Dari Pengetahuan Ibu, Karakteristik Balita, Sumber Pencemar Dalam Ruang Di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2011” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kesehatan masyarakat. Proses penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak yang tak ternilai harganya. Untuk itulah dengan ketulusan hati penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu drg. Sri Tjahyani Budi Utami, M.Kes selaku pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Ibu Laila Fitria, SKM, MKM dan Ibu Rina F. Bahar, SKM. M.Kes, selaku penguji pada sidang skripsi yang telah memberi banyak masukan dan saran dalam proses skripsi ini. 3. Bapak dr. Erwan Susanto selaku Kepala Puskesmas DTP Cibeber yang telah memberikan izin kepada saya untuk melaksanakan penelitian di wilayah kerjanya. 4. Mama dan keluargaku tercinta yang telah memberi dukungan baik moril maupun materil untuk menyelesaikan pendidikan ini. 5. Teman-teman kelas D Peminatan Kebidanan Komunitas FKM UI angkatan II yang telah membantu dan memberikan dorongan dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Semoga segala bantuan dan amal ibadah mereka mendapatkan pahala dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang sifatnya membangun penulis terima dengan senang hati. Akhirnya semoga skripsi ini dapat diterima dan bermanfaat bagi kita semua.
Depok,
Juni 2011
Penulis
ii Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama NPM Program Studi Peminatan Fakultas Jenis Karya
: YUYU SRI RAHAYU : 0906618122 : S1 Ekstensi : Kebidanan Komunitas : Kesehatan Masyarakat : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusif RoyaltiFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Kejadian ISPA Pada Balita Ditinjau Dari Pengetahuan Ibu, Karakteristik Balita, Sumber Pencemar Dalam Ruang Dan Lingkungan Fisik Rumah Di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Provinsi Banten Tahun 2011” Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 24 Juni 2011 Yang Menyatakan
Yuyu Sri Rahayu
iii Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: YUYU SRI RAHAYU : Kesehatan Masyarakat : Kejadian ISPA Pada Balita Ditinjau Dari Pengetahuan Ibu, Karakteristik Balita, Sumber Pencemar Dalam Ruang Dan Lingkungan Fisik Rumah Di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2011
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Diperkirakan, sebanyak 150.000 bayi / balita meninggal tiap tahun. Di wilayah Puskesmas DTP Cibeber dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 778 (24,3%), 231 (7,21%) dan 873 (27,3%) kasus ISPA pada balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber pencemar udara dalam ruang, dan lingkungan fisik rumah dengan desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten dengan jumlah sampel 106 responden. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara langsung terhadap responden dengan menggunakan kuesioner. Variabel penelitian ini adalah pengetahuan ibu, BBL balita, status ASI, status imunisasi, ventilasi, kepadatan hunian, adanya perokok dan bahan bakar memasak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita yang menderita sakit ISPA 80,2%. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu {OR= 4,333(95% CI : 1,596-11,768)}, BBL, status ASI, ventilasi {OR= 9,726, (95 CI : 2,132- 44,373)}, kepadatan hunian dan adanya perokok dalam rumah{ OR= 40,500 (95% CI: 10,466- 156,715)} terhadap kejadian ISPA pada balita. Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar diupayakan peningkatan pengetahuan ibu mengenai penyakit ISPA, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, pemeriksaan rutin kehamilan untuk mencegah bayi lahir rendah, bagi anggota keluarga perokok untuk tidak merokok dalam rumah atau dekat dengan balita, dan mengupayakan ventilasi dan penghuni rumah yang memenuhi syarat kesehatan.
Kata Kunci
: ISPA, Balita, Pengetahuan Ibu, sumber pencemar dalam ruang, dan lingkungan fisik rumah. Daftar Bacaan : 53 (1997 – 2010)
iv
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
ABSTRACT
Name : YUYU SRI RAHAYU Study Programe : Public Health Tittle : Incident Of ARI Considered From Mother Knowledge, Child Under Five Characteristic, Air Pollution Source Of Inside Room And Home Physical Environment In Working Area Of Cibeber Community Health Centers To Care at Regency Of Lebak Banten Province 2011
In Indonesia, Acute Respiratory Infections (ISPA) always place first rank cause of infant and child death. It is estimated as much as 150,000 infants/children under five (Balita) die for each year. Number of cases of ISPA to balita in working area of Cibeber Community Health Centers to Care from 2008 up to 2010 is 778 (24.3%), 231 (7.21%), and 873 (27.3%). This study aims to find out mother knowledge, balita characteristic, air pollution source of inside room, and home physical environment using cross sectional design. Study population are all of mothers who have child under five in there of samples are 106 respondents. Data were collected by direct interview to respondents using questionnaire. Variables in this study are mother knowledge, BBL of balita, ASI and immunization status, ventilation, population density, presence of smoker, and cooking fuel. Study result shows that proportion of balita suffered from ISPA is 80.2%. There are meaning relationship between mother knowledge {OR= 4,333(95% CI : 1,596-11,768)}, Birth weigth, born, brestfeeding status, ventilation {OR= 9,726, (95% CI : 2,132- 44,373)} , population density, and presence of smoker inside house { OR= 40,500, 95% CI: 10,466- 156,715)} to incident of ISPA to child under five. Based on study result, it is suggested to do an efforts to increase mother knowledge regarding to ISPA disease, giving an exclusive ASI for 6 months, routine checking up of gestation to prevent low birth weight for infant, not smoke near balita or inside house for family member who is smoker, make a good ventilation and occupants which meet health requirements.
Key Words: ISPA, Balita, Mother Knowledge, Air Pollution Source, and Home Physical Environment References : 53 (1997-2010)
v
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN ORISINALITAS PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT LEMBAR PENGESAHAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP -----------------------------------------------------KATA PENGANTAR ---------------------------------------------------------------PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ------------------------------- ABSTRAK ------------------------------------------------------------------------- --ABSTRACT --------------------------------------------------------------------------DAFTAR ISI --------------------------------------------------------------------------DAFTAR TABEL -------------------------------------------------------------------DAFTAR GAMBAR -----------------------------------------------------------------
i ii iii iv v vi viii ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang-----------------------------------------------------------1.2 Rumusan Masalah ------------------------------------------------------1.3 Pertanyaan Penelitian --------------------------------------------------1.4 Tujuan Penelitian -------------------------------------------------------1.5 Manfaat Penelitian ------------------------------------------------------1.6 Ruang Lingkup Penelitian ----------------------------------------------
1 3 3 4 5 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut -------------------------------------7 2.1.1 Pengertian ----------------------------------------------------------7 2.1.2 Etiologi ISPA -----------------------------------------------------8 2.1.3 Patofisiologi ISPA ------------------------------------------------8 2.1.4 Tanda dan Gejala Penyakit ISPA -------------------------------10 2.1.5 Klasifikasi ISPA ---------------------------------------------------11 2.1.6 Faktor Risiko ISPA -----------------------------------------------13 2.1.7 Penularan ISPA ---------------------------------------------------14 2.1.8 Pencegahan Penyakit ISPA -------------------------------------15 2.1.9 Cara Mengatasi Bahaya ISPA ----------------------------------16 2.1.10 Program Penanggulangan ISPA -------------------------------16 2.1.11 Permasalahan ISPA di Indonesia ----------------------------17 2.1.12 Penatalaksanaan ISPA ------------------------------------------18 2.1.13 Konsep Determinan Kelangsungan Hidup Anak -----------20 2.2 Rumah Sehat ------------------------------------------------------------22 2.3 Partikel -------------------------------------------------------------------24 2.4 Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah dengan Gangguan Saluran Pernapasan ---------------------------------------------------------------25 2.5 Faktor-faktor risiko yang Mempengaruhi Kejadian ISPA pada Balita 25 2.5.1 Pengetahuan Ibu --------------------------------------------------27 2.5.2 Berat Bayi Lahir --------------------------------------------------30 vi
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
2.5.3 Status ASI ----------------------------------------------------------2.5.4 Status Imunisasi -------------------------------------------------- 2.5.5 Ventilasi ----------------------------------------------------------- -2.5.6 Kepadatan Hunian ----------------------------------------------- 2.5.7 Adanya Perokok dalam Rumah ---------------------------------2.5.8 Bahan Bakar Memasak --------------------------------------------
31 32 33 34 35 37
BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Teori ----------------------------------------------------------38 3.2 Kerangka Konsep -------------------------------------------------------39 3.3 Hipotesis -----------------------------------------------------------------40 3.4 Definisi Operasional ---------------------------------------------------41 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian -------------------------------------------------------4.2 Tempat dan Waktu Penelitian -----------------------------------------4.3 Populasi dan Sampel ---------------------------------------------------4.4 Cara Pengambilan Sampel --------------------------------------------4.5 Pengumpulan Data -----------------------------------------------------4.6 Pengolahan dan Tehnik Analisa Data ---------------------------------
43 43 43 44 45 45
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber -----5.2 Distribusi Frekuensi Variabel Independen dan Variabel Dependen 5.3 Hubungan Variabel Independen dengan Variabel Dependen ------
43 46 49
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian ------------------------------------------------6.2 Hubungan Pengetahuan Ibu dan Pencemar Udara Ruang dengan Kejadian ISPA pada Balita ---------------------------------------------6.2.1 Kejadian ISPA pada Balita --------------------------------------6.2.2 Pengetahuan Ibu dengan Kejadian ISPA ----------------------6.2.3 Berat Badan Lahir dengan Kejadian ISPA --------------------6.2.4 Status ASI dengan Kejadian ISPA -----------------------------6.2.5 Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA ----------------------6.2.6 Ventilasi dengan Kejadian Balita ------------------------------6.2.7 Kepadatan Hunian dengan Kejadian Balita -------------------6.2.8 Adanya perokok dalam rumah dengan Kejadian ISPA -----6.2.9 Bahan Bakar Memasak dengan Kejadian ISPA ---------------BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan -----------------------------------------------------------------------7.2 Saran -------------------------------------------------------------------------------DAFTAR PUSTAKA Lampiran vii
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
55 56 56 56 57 58 58 59 60 60 61
62 62
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1.4 Distribusi Kepegawaian Puskesmas DTP Cibeber -----------------
45
Tabel 5.1.5 Pola 10 Besar Penyakit Di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber Tahun 2010 ----------------------------------------------------
46
Tabel 5.2.1 Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA ---------------------------------
46
Tabel 5.2.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu -------------------------------
46
Tabel 5.2.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Balita ----------------------- ----
47
Tabel 5.2.4 Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah ---------------------
48
Tabel 5.2.5 Distribusi Frekuensi Sumber Pencemar Udara Dalam Ruang ----
49
Tabel 5.3.1 Distribusi Responden Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian ISPA--
50
Tabel 5.3.2 Distribusi Responden Karakteristik Balita Dengan Kejadian ISPA 52 Tabel 5.3.3 Distribusi Responden Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian ISPA-----------------------------------------------------------
53
Tabel 5.3.4 Distribusi Responden Sumber Pencemar Dalam Ruang Dengan Kejadian ISPA-----------------------------------------------------------
54
viii
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Kerangka Teori -------------------------------------------------------
36
Gambar 3.2 Kerangka konsep -----------------------------------------------------
37
Gambar 5.1.2 Jumlah Penduduk ----------------------------------------------------
44
Gambar 5.1.3 Pendidikan Terakhir Penduduk ------------------------------------
44
ix
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dikenal sebagai salah satu penyebab kematian utama pada bayi dan balita, diperkirakan 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun. Sebagian besar penelitian di Negara berkembang menunjukkan bahwa diberbagai negara setiap tahunnya 20-30% kematian bayi dan balita disebabkan karena menderita infeksi saluran nafas akut (ISPA). Diperkirakan 2-5 juta bayi dan balita diberbagai negara setiap tahunnya. Duapertiga dari kematian ini terjadi pada kelompok bayi, terutama bayi usia 2 bulan pertama sejak kelahiran. Kejadian infeksi pernapasan akut terutama bagian atas, di Negara berkembang dilaporkan antara 4-7 kali per anak per tahun, ini hampir sama terjadi di Amerika, Afrika dan Asia (WHO, 2008). Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Kematian akibat ISPA terutama pneumonia di Indonesia pada akhir tahun 2000 sekitar 450.000 balita. Diperkirakan, sebanyak 150.000 bayi / balita meninggal tiap tahun atau 12.500 korban per bulan atau 416 kasus sehari atau 17 anak per jam atau seorang bayi / balita tiap lima menit (www.profilmedis.com, 2004). Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita. Menurut hasil Riskesdas 2007 kejadian ISPA pada satu bulan terakhir adalah 25,5% dengan prevalensi tertinggi terjadi pada usia balita yaitu 35%. Dan menurut SDKI 2007 prevalensi ISPA tertinggi pada anak umur 24-35 bulan yaitu sebanyak 14%. Berdasar hasil survey, di Propinsi Banten terdapat 28,4% kasus ISPA balita, dan untuk kabupaten Lebak terdapat sebanyak 35,0% kasus dengan gejala ISPA
1
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
2
pada balita (Riskesdas Banten, 2007). Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berada diurutan pertama dalam daftar 10 penyakit terbanyak di Wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak, dengan jumlah kasus ISPA balita pada tahun 2009 yaitu terdapat 31.280 (24,40%) kasus dan pada tahun 2010 sebanyak 57.051 (44,52%) kasus (Profil P2M Lebak, 2010). Untuk dapat menanggulangi penyebaran ISPA tentu diperlukan pengetahuan mengenai faktor-faktor risiko ISPA. Beberapa penelitian sudah banyak dilakukan untuk mengetahui faktor pemicu maupun pencegah ISPA. Di Negara berkembang, sekitar 24% infeksi saluran nafas kebanyakan disebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan seperti polusi udara dalam ruang maupun di luar ruangan, asap rokok (Etzel, 1997). Faktorfaktor yang berhubungan dengan ISPA antara lain umur, jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir, status ASI, status imunisasi, kepadatan hunian, penggunaan anti nyamuk bakar, bahan bakar untuk memasak dan keberadaan perokok. Selain itu juga konsumsi vitamin A memiliki pengaruh terhadap timbulnya ISPA pada balita ( Anandari, 2007). Sedangkan hasil dari analisis data Riskesdas 2007 diperoleh faktor-faktor yang berhubungan signifikan dengan kejadian ISPA pada balita yaitu umur, status gizi, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, bahan bakar masak, perokok dalam rumah, jenis lantai dan outdoor pollution. Puskesmas DTP Cibeber
adalah salah satu puskesmas yang berada di
bagian tenggara wilayah kabupaten Lebak Propinsi Banten. Jarak dari puskesmas kecamatan ke kabupaten dan dinas kesehatan kabupaten sejauh ± 165 km dengan akses yang kurang baik. Menurut data puskesmas, ISPA merupakan urutan pertama dalam daftar 10 besar penyakit. Dan jumlah kesakitan balita dengan kasus ISPA dari tahun 2008 terdapat 778 (24,3%) kasus, kemudian pada tahun 2009 mengalami penurunan drastis yaitu 231 (7,21%) kasus, pada tahun 2010 melonjak naik menjadi 873 (27,3%) kasus dan pada tahun 2011 sampai dengan bulan Mei terdapat 482 (20%) kasus ISPA balita (laporan Puskesmas, 2011).
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
3
Berdasarkan data di atas, masih tingginya kasus ISPA pada balita, penulis merasa tertarik
memilih Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak
untuk
mengetahui pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber pencemar udara dalam ruang dan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita. I.2
Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah adakah hubungannya antara pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber pencemar udara dalam ruang dan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP CibeberKabupaten Lebak Propinsi Banten. 1.3
Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi Banten? 2. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang ISPA di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten? 3. Bagaimana gambaran karakteristik balita (berat bayi lahir, status imunisasi, dan status ASI) di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi Banten? 4. Bagaimana gambaran lingkungan fisik rumah (ventilasi dan kepadatan penghuni) di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi Banten? 5. Bagaimana gambaran pencemar udara dalam ruang ( adanya perokok dan bahan bakar memasak) di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi Banten? 6. Adakah hubungan antara pengetahuan ibu, karakteristik balita, lingkungan fisik rumah dan pencemar udara dalam ruang dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten?
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
4
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan umum Ingin mengetahui kejadian ISPA pada balita dengan faktor pengetahuan ibu,
karakteristik balita, sumber pencemar udara dalam ruang dan lingkungan fisik rumah di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi Banten tahun 2011. 1.4.2
Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini antara lain:
1. Diketahuinya gambaran kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten . 2. Diketahuinya pengetahuan ibu balita tentang ISPA di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten. 3. Diketahuinya karakteristik balita (berat bayi lahir, status imunisasi, status ASI) di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi Banten. 4. Diketahuinya pencemaran udara dalam ruang ( bahan bakar memasak dan keberadan perokok) di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi Banten. 5. Diketahuinya lingkungan fisik rumah (ventilasi dan kepadatan penghuni) di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi Banten. 6. Diketahuinya hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten. 7. Diketahuinya hubungan antara karakteristik balita (umur, berat bayi lahir, status imunisasi, dan status ASI) dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten 8. Diketahuinya hubungan antara sumber pencemar udara dalam ruang dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten.
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
5
9. Diketahuinya hubungan antara lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi Banten. 1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat bagi peneliti lain Penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan awal bagi penelitian selanjutnya, terutama untuk penelitian sejenis yang terkait dengan kejadian ISPA. 1.5.2 Manfaat bagi puskesmas Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi petugas kesehatan khususnya pengelola program KIA, program P2 ISPA dan bagian promosi kesehatan dalam memberikan informasi guna merencanakan program pencegahan dan penanganan terhadap kejadian ISPA. 1.5.3 Manfaat bagi masyarakat Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk masyarakat sebagai informasi dalam mengurangi kejadian ISPA pada balita di wilayahnya. 1.5.4 Manfaat bagi peneliti Penelitian ini dapat memberi informasi dan menambah wawasan mengenai faktor pengetahuan ibu dan pencemaran udara dalam rumah yang mempengaruhi
kejadian ISPA pada balita di wilayah Puskesmas DTP
Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengukur keadaan kondisi fisik rumah, sumber pencemar dalam ruang, pengetahuan ibu dan karakteristik balita dengan kejadian ISPA pada balita. Penelitian ini dilakukan di wilayah Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak pada bulan Mei- Juni 2011.
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
6
Desain studi yang digunakan adalah Cross Sectional yaitu rancangan studi penelitian yang bertujuan untuk mempelajari dinamika hubungan antara pengetahuan ibu terhadap pencemaran udara dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita dengan cara melakukan pengumpulan data secara bersamaan (point time approach), menggunakan teknik wawancara dan pengamatan dengan menggunakan kuesioner, Populasi dari penelitian ini adalah seluruh ibu balita yang berada di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber, dan sebagai sampelnya sebanyak 106 ibu yang memiliki balita yang telah memiliki kriteria inklusi. Adapun cara pengumpulan data diperoleh dari data sekunder, dan data primer didapat dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan saat melakukan penelitian baik terhadap KMS balita dan kondisi
fisik rumah dan
sumber
pencemar udara dalam ruang. Yang kemudian diolah menggunakan sistem komputerisasi dan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel, selanjutnya menganalisis ada tidaknya hubungan antara pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber pencemar udara dalam ruang dan lingkungan fisik rumah terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Banten.
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut 2.1.1 Pengertian ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernapasan akut dan mulai diperkenalkan pada tahun 1984, dengan istilah Acute Respiratory infectious (ARI). Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mengandung tiga unsur, yaitu infeksi, saluran pernapasan dan akut. Yang dimaksud dengan infeksi adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan adalah organ yang dimulai dari hidung sampai alveoli beserta organ adneksanya, seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari (Depkes, 2006) ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung, hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya. Infeksi saluran pernapasan meliputi infeksi saluran pernapasan bagian atas, seperti nasopharyngitis, pharyngo, dan epiglotitis, dan infeksi saluran pernapasan bagian bawah, seperti laryngitis, tracheobronchitis dan bronchitis pneumonia (Depkes, 2006). Infeksi saluran napas bagian atas adalah infeksi yang disebabkan mikroorganisme di struktur saluran napas yang tidak berfungsi saat pertukaran gas, termasuk rongga hidung, faring, dan laring yang dikenal dengan ISPA antara lain pilek, faringitis atau radang tenggorok, laryngitis, dan influenza tanpa komplikasi. Saluran pernapasan bagian atas terdiri dari hidung, faring, laring, dan epiglotis, yang berfungsi menyaring, menghangatkan, dan melembabkan udara yang dihirup.
7
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
8
2.1.2 Etiologi ISPA Etiologi ISPA terdiri
lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan ricketsia.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptokokus, stapilokokus, pneumokokus, hemofilus, bordetela dan korinebakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan mikrovirus, adenovirus, koronavirus, pikornavirus, mikoplasma, herpesvirus, dan lain-lain (Depkes, 2006). Menurut Catsel, et.al. (1991), virus yang terdapat dalam saluran pernapasan dibagi atas beberapa macam yaitu: 1. Virus respiratory syncytial, menyebabkan bronchiolitis 2. Virus parainfluenza, khususnya tipe 1 menyebabkan sebagian kasus croup, bisa menimbulkan infeksi saluran pernapasan atas dan bronchitis. 3. Virus influenza A dan B menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas selama epidemic. 4. Adenovirus, menyebabkan penyakit saluran pernapasan simptomatik ringan atau konjungtivitis, bisa menyebabkan pneumonia fatal. 5. Rhinovirus, menyebabkan infeksi koriza, infeksi virus Coxsackie terbatas pada saluran
pernapasan
atas.
Tipe
A
menyebabkan
herpangina
dan
tonsilopharingitis. Virus Coe (A21) menyebabkan infeksi saluran pernapasan.
2.1.3 Patofisiologi ISPA Sebagian besar ISPA disebabkan oleh virus, meskipun bakteri juga dapat terlibat sejak awal atau yang bersifat sekunder terhadap infeksi virus. Semua yang infeksi mengakibatkan respon imun dan inflamasi sehingga terjadi pembengkakan dan edema jaringan yang terinfeksi. Reaksi inflamasi menyebabkan peningkatan produksi mukus yang berperan menimbulkan ISPA, yaitu kongesti atau hidung tersumbat, sputum berlebih, dan rabas hidung (pilek). Sakit kepala, demam ringan juga dapat terjadi akibat reaksi inflamasi. Meskipun saluran napas atas secara langsung terpajan dengan lingkungan, infeksi relative jarang meluas menjadi infeksi saluran napas bawah yang mengenai bronchus atau alveolus. Terdapat banyak mekanismae perlindungan di sepanjang saluran napas untuk mencegah infeksi.
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
9
Range dari mikroba pathogen yang menginfeksi bervariasi sangat luas seperti bakteri, mycobacterium, myoplasma, chlamidia, jamur dan virus. Padahal karakteristik biologis, gambaran perilaku dan lingkungan dari organismeorganisme ini berbeda satu sama lainnya dalam menimbulkan penyakit pernapasan (Gwaltney, et.al., 2001 dalam Ariyanto, 2008). Agen infeksius memasuki saluran pernapasan dapat dengan cara: penyebaran secara homogen, atau dengan inhalasi, ataupun dengan aspirasi ke dalam saluran tracheobronchial. Diperkirakan hanya 10-15% anak-anak dengan pneumonia yang penyebarluasan penyakit pneumonia balita adalah melalui mekanisme nonhematogen. Saluran pernapasan memiliki kemampuan untuk menyaring dan menangkap kuman pathogen yang masuk dengan cara Refleks batuk, yaitu dengan mengeluarkan benda asing dan mikroorganisme, serta mengeluarkan mukus yang terakumulasi dan mukosyliaris. Lapisan mukosiliaris yaitu lapisan yang terdiri dari sel-sel yang beralokasi dari bronkus ke atas dan mempunyai produksi mukus, serta sel-sel silia yang melapisi sel-sel penghasil mukus. Sel penghasil mukus menangkap partikel benda asing, dan silia bergerak secara ritmik untuk mendorong mukus dan semua partikel yang terperangkap, ke atas cabang pernapasan ke nasofaring tempat mukus tersebut dapat dikeluarkan sebagai sputum, dikeluarkan melalui hidung atau ditelan. Proses kompleks ini kadang disebut sebagai system escalator mukosiliaris. Silia adalah struktur lembut yang mudah rusak atau cedera oleh berbagai stimulus berbahaya, termasuk asap rokok. Apabila mikroorganisme dapat lolos dari mekanisme pertahanan tersebut dan membuat koloni di saluran pernapasan atas, bagian penting pertahanan ketiga system imun, akan bekerja untuk mencegah mikroorganisme tersebut sampai ke saluran napas bawah. Respon ini diperantarai oleh limfosit, tetapi melibatkan sel darah putih lainnya (Corwin, 2009). Seperti Kanra, et.al (1997) dalam Ariyanto (2008) mengatakan, makrophag alveolar akan mengeliminasi organisme yang mencapai alveoli. Eliminasi
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
10
organisme infeksius diperkuat oleh imununoglobulin G dan A serta faktor lainnya, sebagai pelengkap seperti antiprotease, lysoszyme, dan fibronectin. Kondisi yang mendukung keadaan yang menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh, antara lain: infeksi virus yang menyebabkan menurunnya daya tahan pada saluran pernapasan, dilakukannya tindakan endotracheal dan traechostomy, obat-obat yang berdampak pada reflek batuk, menghambat pergerakan mucosiliaris (Kanra, et.al., 1997 dalam Ariyanto, 2008). 2.1.4 Tanda dan Gejala Penyakit ISPA Penyakit infeksi saluran pernapasan meliputi infeksi pada telinga, tenggorokan (pharynx) trachea, bronchioli, dan paru. Tanda dan gejala penyakit infeksi saluran pernapasan: batuk, sakit tenggorokan, pilek, demam, kesulitan bernapas dan sakit telinga. Berdasarkan tingkat keparahannya, infeksi saluran pernapasan akut di bagi menjadi tiga kelompok yaitu: 1. ISPA ringan Gejalanya antara lain adalah: a. Batuk b. Serak
yaitu anak bersuara bersuara parau ketika mengeluarkan suara
(misalnya pada saat berbicara atau menangis) c. Pilek yakni anak mengeluarkan lender/ingus dari hidung d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak diraba dengan punggung tangan terasa panas. 2. ISPA sedang Anak dinyatakan menderita ISPA sedang, bila dijumpai gejal-gejala ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut: a. Pernapasan lebih dari 50 kali permenit pada anak berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali permanit pada anak yang berumur satu tahun atau lebih. b. Suhu lebih dari 390C c. Tenggorokan berwarna merah d. Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
11
e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga f. Pernapasan berbunyi seperti mendengkur g. Pernapasan berbunyi menciut-ciut 3. ISPA berat Anak dinyatakan ISPA berat, jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan dan sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut: a. Bibir atau kulit membiru b. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada saat bernapas c. Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun d. Pernapasan berbunyi seperti mengorok, menciut dan anak tampak gelisah e. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernapas f. Nadi cepat lebih dari 60 kali permanit atau tak teraba g. Tenggorokan berwarna merah Pada tahun 1998 World Health Organization telah mempublikasikan pola baru tatalaksana penderita ISPA. Kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah: balita, dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas. Pola tatalaksana penderita ini terdiri dari 4 bagian yaitu: a) Pemeriksaan b) Penentuan ada tidaknya tanda bahaya c) Penentuan klasifikasi penyakit d) Pengobatan dan tindakan
2.1.5 Klasifikasi ISPA Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua golongan umur yaitu gologan umur 2 bulan sampai dengan < 5 tahun dan golongan umur < 2 bulan (Depkes, 2006). 1. Golongan umur 2 bulan sampai dengan < 5 tahun klasifikasi dibagi atas: a. Pneumonia berat Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas ( pada saat diperiksa anak harus dalam keadaa tenang, tidak menangis atau meronta).
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
12
b. Pneumonia Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat adalah: 1) Untuk usia 2 bulan -12 bulan = 50 kali per menit atau lebih 2) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih c. Bukan pneumonia Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat. “Tanda Bahaya” untuk golongan umur 2 bulan – 5 tahun yaitu: 1) Tidak bisa minum 2) Kejang 3) Kesadaran menurun 4) Stidor 5) Gizi buruk (Depkes, 1996) 2. Untuk kelompok umur < 2 bulan klasifikasi dibagi atas: a. Pneumonia berat Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih. b. Bukan pneumonia Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas cepat. “Tanda Bahaya” untuk golongan umur kurang dari 2 bulan, yaitu: 1) Kurang bisa minum ( kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari ½ volume yang biasa diminum). 2) Kejang 3) Kesadaran menurun 4) Stridor 5) Wheezing 6) Demam/dingin
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
13
2.1.6 Faktor Risiko ISPA Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai Negara termasuk Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor risiko baik yang meningkatkan insiden (morbiditas) maupun kematian (mortalitas) akibat ISPA terutama pneumonia: 1. Faktor risiko yang meningkatkan insiden ISPA (Depkes, 2006) a. Umur < 2 bulan b. Laki-laki c. Gizi kurang d. Berat badan lahir rendah e. Tidak mendapat ASI memadai f. Polusi udara g. Kepadatan tempat tinggal h. Imunisasi yang tidak memadai i. Membedong anak j. Defisiensi vitamin A k. Pemberian makanan tambahan terlalu dini 2. Faktor risiko yang meningkatkan angka kematian ISPA (Depkes, 2006) a. Umur < 2 bulan b. Tingkat sosial ekonomi rendah c. Kurang gizi d. Berat badan lahir e. Tingkat pendidikan ibu yang rendah f. Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah g. Kepadatan tempat tinggal h. Imunisasi yang tidak memadai i. Menderita penyakit kronis j. Aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah.
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
14
Faktor risiko yang berhubungan dengan individu dan lingkungan pada kejadian pneumonia di klinik anak pada Negara berkembang (Buletin WHO, 2008) : 1. Faktor risiko terbatas a. Kekurangan gizi (berat menurut umur z score < –2 ) b. Berat lahir rendah (< 2500 g) c. Tidak ASI eksklusif (selama 4 bulan pertama) d. Tidak imunisasi campak (selama usia 12 bulan pertama) e. Pencemaran udara dalam rumah f. Kepadatan hunian 2. Faktor risiko mungkin a. Keluarga yang merokok b. Kekurangan seng c. Pengalaman ibu dalam pemberian pengobatan d. Penyakit penyerta (misalnya. diare, penyakit jantung, asma) 3. Faktor risiko kemungkinan a. Pendidikan ibu b. Pengasuh anak c. Curah hujan (kelembaban) d. Dataran tinggi (udara dingin) e. Defisiensi Vitamin A f. Jumlah paritas g. Pencemaran udara luar
2.1.7 Penularan ISPA Adanya ketertarikan bahwa ada penularan lewat udara yang dapat menimbulkan penyakit pernapasan terjadi pada abad ke-19 menurut Williams Wells. Konsep ini memperkenalkan adanya droplet nuclei, suatu partikel infeksius yang amat kecil berukuran < 10μ, yang terdapat di udara. Modus transmisi ini
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
15
menjadi hal yang penting dalam epidemiologis perkembangan riwayat pada penyakit pernapasan. Karena beberapa hal menunjukkan bahwa tidak semua respiratory pathogen bertransmisi dengan cara yang sama (Gwaltney, et.al., 2001). Kuman penyakit ISPA ditularkan dari penderita ke orang lain melalui udara pernapasan atau percikan ludah penderita. Pada prinsipnya kuman ISPA yang ada di udara terhisap oleh pejamu baru dan masuk ke seluruh saluran pernapasan. Dari saluran pernapasan kuman menyebar ke seluruh tubuh apabila orang yang terinfeksi ini rentan, maka ia akan terkena ISPA (Depkes RI, 1999). Menurut Amin (1989) dalam Mudehir (2002) proses penyebaran Infeksi Saluran Pernafasan akut dikenal dengan 3 cara, yaitu: 1. Melalui Aerosol lembut, seperti batuk 2. Melalui Aerosol keras, seperti batuk dan bersih 3. Melalui aerosol lebih keras, seperti batuk dan bersin melalui kontak langsung/ tidak langsung dengan benda-benda yang telah terkontaminasi (hand to hand transmission).
2.1.8 Pencegahan Penyakit ISPA Pencegahan dilakukan agar anak bisa bebas dari serangan ISPA atau terjadinya ISPA pada anak balita dapat berkurang. Sesuai dengan cara terjadinya ISPA, maka cara pencegahan menurut dr. Runizar Roesin dan dr. Indriyono (1985) dalam Ariyanto perlu dilakukan terhadap : 1. Menghindarkan anak dari kuman a. Menghindarkan anak berdekatan dengan penderita ISPA, karena kuman penyebab ISPA sangat mudah menular dari satu orang ke orang lain. b. Jika seorang ibu menderita ISPA sedangkan ia butuh mengasuh anak atau menyusui bayinya, ibu tersebut harus menutup hidung dan mulutnya dengan sapu tangan. 2. Meningkatkan daya tahan tubuh anak Meningkatkan daya tahan dapat dilakukan dengan jalan berikut ini :
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
16
a. Menjaga gizi anak tetap baik dengan memberikan makanan yang cukup bergizi (cukup protein, kalori, lemak, vitamin dan mineral). Bayi-bayi sedapat mungkin mendapat air susu ibu sampai usia 2 tahun. b. Kebersihan anak harus dijaga agar tidak mudah terserang penyakit menular. c.
Memberikan kekebalan kepada anak dengan memberikan imunisasi.
3. Memperbaiki lingkungan Untuk mencegah ISPA, lingkungan harus diperbaiki khususnya lingkungan perumahan. a. Rumah harus berjendela agar aliran dan pertukaran udara cukup baik. b. Asap dapur dan asap rokok tidak boleh berkumpul dalam rumah. Orang dewasa tidak boleh merokok dekat anak atau bayi. c. Rumah harus kering tidak boleh lembab. 4. Sinar matahari pagi harus diusahakan agar dapat masuk ke rumah. 5. Rumah tidak boleh terlalu padat dengan penghuni. 6. Kebersihan di dalam dan di luar rumah harus dijaga, rumah harus mempunyai jamban yang sehat, dan sumber air bersih. 7. Air buangan dan pembuangan sampah harus diatur dengan baik, agar nyamuk, lalat dan tikus tidak berkeliaran di dalam dan di sekitar rumah. 2.1.9 Cara Mengatasi Bahaya ISPA Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah bahaya ISPA pada balita antara lain: 1. Segera membawa balita ke tempat pelayanan kesehatan terdekat ( Puskesmas atau Rumah Sakit)
atau menghubungi kader kesehatan terdekat bila
ditemukan disertai adanya kesulitan bernafas. 2. Semua bayi umur di bawah 2 bulan yang menderita batuk pilek segera di bawa ke tempat pelayanan kesehatan terdekat.
2.1.10 Program Penanggulngan ISPA Pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia dimulai pada tahun1984, bersamaan dengan dilancarkannya Pemberantasan penyakit ISPA ditingkat global Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
17
oleh WHO. Dalam tatalaksana ISPA tahun1984, dengan klsifikasi penyakit ISPA: ISPA ringan, sedang dan berat. Pada tahun 1988, WHO mempublikasikan cara diagnosis yang sederhana, praktis, dan tepat guna, dipisahkan antara tatalaksana klasifikasi penyakit pneumonia dan penyakit infeksi akut telinga dan tenggorokan. Pada lokakarya Nasional ke-3 tahun1990 disepakati pola tatalaksana yang diadaptasisesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Sejak tahun 1990 ini pemberantasan
ISPA
dititikberatkan dan difokuskan pada pengendalian
pneumonia balita (Depkes, 2006). Kebijakan pemerintah yang mendukung program ISPA antara lain Keputusan Presiden No.36 tahun 1990 tentang KonvensiHak-Hak Anak dan UNdang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembanguna Nasional 2000-2004. Salah satu sasaran yang akan dicapai adalah menurunkan angka kesakitan balita akibat pneumonia pada balita menjadi 3 per 1000 kelahiran hidup. Target dalam menurunkan angka kesakitan balita akibat pneumonia adalah dari 10-20% pada tahun 2000 menjadi 8- 16% pada tahun 2005 (Depkes, 2005).
2.1.11 Permasalahan ISPA di Indonesia Sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam program pengendalian penyakit (P2) ISPA meliputi kader, petugas kesehatan yang memberikan tatalaksana ISPA disarana pelayanan kesehatan (polindes, pustu, puskesmas, Rumah Sakit, poliklinik), pengelola program ISPA di puskesmas, kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Upaya peningkatan kualitas SDM P2 ISPA dilaksanakan diberbagai jenjang melalui kegiatan diantaranya; pelatihan ISPA bagi kader, pelatihan tatalaksana penderita (diintegrasikan dalam pelatihan MTBS), pelatihan autopsy verbal, pelatihan audit kasus, pelatihan audit manajemen, pelatihan promosi P2 ISPA dan pelatihan tatalaksana kasus ISPA balita di sarana pelayanan kesehatan. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan baik di tingkat pusat, provinsi, dan kab/kota. Meskipun demikian hingga saat ini kuantitas dan kualitas SDM petugas P2 ISPA dirasakan masih kurang (Depkes, 2006).
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
18
2.12 Penatalaksanaan ISPA Di Indonesia, ISPA khususnya pneumonia merupakan penyebab kematian utama. Dari sekitar 450.000 kematian balita yang terjadi setiap tahun diperkirakan ada 150.000kematian balita yang disebabkan oleh ISPA. Ini berarti ada 410 kematian balita oleh penyakit ISPA(pneumonia) (Depkes, 2006). 1. Program Pengendalian ISPA Program pengendalian ISPA yang dilakukan oleh pemerintah mempunyai tujuan utama yaitu : a. Menekankan/ mengurangi kematian oleh pneumonia pada balita. b. Mengurangi penggunaan antibiotika dan obat yang kurang tepat pada pengobatan penyakit ISPA. c. Menurunkan kesakitan pneumonia pada kelompok balita. Strategi utama untuk menurunkan kematian akibat pneumonia adalah dengan cara penemuan dini dan pengobatan secara tepat. Prinsip pengobatan bagi penderita ISPA (Depkes, 2006). a. Penderita batuk pilek biasa (batuk yang tidak disertai napas cepat/ sesak napas) tidak perlu diberi antibiotic. Mereka memerlukan paracetamol bila demam dan obat untuk meringankan batuk. b. Penderita batuk yang disertai napas cepat (pneumonia) harus mendapatka antibiotic selama 5 hari. Antibiotik jenis kotrimoksazol, amoksicillin, ampicillin atau penicillin. c. Penderita batuk yang disertai napas sesak (pneumonia berat) perlu dirujuk ke Rumah Sakit atau puskesmas dengan fasilitas rawat inap. Strategi WHO dalam penanggulangan ISPA antara lain: a. Meningkatkan cakupan imunisasi b. Case manajemen ISPA c. Imbauan agar para ibu mencari pengobatan pada petugas kesehatan yang terlatih sedini mungkin. Kurangnya
informasi
yang
berkaitan
dengan
pengetahuan
dalam
menghadapi ISPA, cara pengobatan di rumah, dan pencarian pengobatan di luar rumah. Program penanggulangan ISPA yang dilaksanakan secara nasional akan lebih efisien bila banyak dilakukan pada peningkatan cara ibu mengenali ISPA
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
19
dan cara pencarian pengobatan yang efektif dan efisien, supaya mortalitas dan morbiditas bayi dan balita menurun secara bermakna, jika dibandingkan dengan hanya mengandalkan petugas kesehatan saja. Maka dengan bertumpu pada keberhasilan peningkatan pengetahuan ibu akan menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi dan balita khususnya dalam program penanggulangan ISPA di Indonesia. 2.
Penanggulangan ISPA Menurut (Biddulp et.al, 1999 dalam Ariyanto,2008) cara penanggulangan
penyakit ISPA dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : a. Pendidikan Kesehatan Pendidikan kesehatan terutama diarahkan kepada pencegahan penyakit ISPA yaitu: a) Primordial Prevention : yang bertujuan menghindari faktor risiko bila faktor tersebut belum ditemukan dalam masyarakat, misalnya penderita batuk, asap rokok, yang menyebabkan risiko tinggi terhadap terjadinya ISPA perlu dihindari dengan cepat. b) Primary Prevention yang bertujuan untuk mengurangi atau merubah faktor risiko yang telah ada baik pada individu maupun masyarakat, misalnya bagaimana mengurangi kepadatan penghuni, memperbaiki ventilasi rumah,membuat system dapur sedemikian rupa sehingga dapat membatasi penghisapan asap dari kompor. Pencegahan penyakit ISPA khususnya pada anak-anak, maka pendidikan kesehatan diarahkan terutama pada ibu-ibu. b. Pengendalian Infeksi ISPA Pengendalian ISPA yang dimaksud adalah pengobatan ISPA, baik ISPA bagian atas maupun ISPA bagian bawah. Pengendalian diupayakan supaya, ISPA bagian atas tidak menimbulkan komplikasi dan bagaimana supaya ISPA bagian bawah tidak terlalu parah. c. Imunisasi Program imunisasi yang bertujuan untuk mencegah penyakit tertentu seperti difteri, campak dan pertusis dapat mengurangi terjadinya
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
20
pneumonia karena penyakit-penyakit tersebut dapat berkomplikasi dengan ISPA bagian bawah.
2.13 Konsep Determinan Kelangsungan Hidup Anak Variabel-variabel yang diidentifikasi berhubungan atau berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap risiko kesakitan dan kematian anak, dalam ilmu kesehatan masyarakat dan kedokteran biasanya hanya mencakup faktor-faktor yang berkaitan dengan kesakitan (morbiditas) anak dan kematian (mortalitas) anak. Sedangkan dalam ilmu sosial termasuk dalam ilmu demografi, mencakup variabel-variabel secara tidak langsung. Faktor penyebab langsung (proximate determinants) yaitu faktor ibu, faktor nutrisi, faktor lingkungan dan faktor prilaku. Determinan tidak langsung adalah sosial ekonomi budaya, yang mempengaruhi risiko kesakitan dan kematian anak melalui faktor-faktor langsung. (Monsley, et.al, 1984 dalam Ariyanto, 2008). 1. Faktor Determinan Langsung a. Faktor Lingkungan Pencemaran lingkungan dapat terjadi di udara, air, makanan, tempat cuci, kulit dan vector. Pencemaran tersebut dapat dideteksi dengan pemeriksaan di laboratorium. Di dalam studi kesehatan masyarakat da indikator tertentu yang dijadikan standar pemeriksaan, misalnya indikator fisik yang diperkirakan munculnya penyakit infeksi seperti kepadatan anggota rumah, luas rumah, luas lantai, jenis atap, dinding dan sebagainya. b. Faktor Nutrisi Nutrisi berperan penting terhadap risiko kematian bayi, dari pola makanan dapat menggambarkan masukan bahan bergizi ke dalam tubuh balita dan akibat dari kekurangan gizi mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit infeksi pada tubuh. c. Faktor perilaku Faktor perilaku dapat dilihat dari anak atau pengasuhnya (ibu) dalam upaya pencegahan penyakit (imunisasi, prophylaxis atau pemeriksaan prenatal bagi ibu). Dari segi kuratif misalnyapencarian pengibatan waktu sakit, termasuk pengobatan tradisional. Kebiasaan hiduop anak sangat penting diperhatikan
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
21
(kebiasaan mandi memakai sabun, frekuensi ganti makanan, kebiasaan memakai alas kaki). 2.
Faktor Determinan Sosial Ekonomi Faktor ini dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu :
a.
Faktor- faktor pada tingkat individu a) Produktivitas
individu,
dipengaruhi
oleh
keterampilan
(tingkat
pendidikan), kesehatan dan waktu. b) Faktor bapak/ ibu, sangat ditentukan dengan tingkat pendidikan yang berkaitan dengan macam pekerjaan dan kekayaan. Tingkat pendidikan bapak/ ibu mempengaruhi sikap dalam kehidupan keluarga terhadap tindakan/ perilaku yang dapat memperkecil risiko terhadap kematian anak. c) Faktor ibu, hubungan biologis yang erat antara ibu dan anak selama hamil dan menyusui, maka kesehatan ibu dan status gizi ibu serta pola reproduksi ibu sangat mempengaruhi kesehatan dan ketahanan anak untuk tetap hidup. Tingkat pendidikan ibu sangat menentukan tindakan atau pilihan-pilihan untuk menyelamatkan anak dan peningkatan ketahanan anak. b.
Faktor- faktor pada tingkat keluarga Faktor ini berhubungan dengan bentuk benda, jasa dan kekayaan dalam rumah tangga yang mempengaruhi ketahanan anak untuk hidup. a) Keteraturan mendapatkan makanan untuk memenuhi kebutuhan dari bahan bergizi, kebersihan makanan sangat penting dalam mencegah penyakit. b) Kuantitas dan kualitas air untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi rumah tangga dan kehidupan rumah tangga. c) Pakaian dengan jumlah yang cukup dan bersih bagi anak dan ibu sangat berpengaruh terhadap risiko terkena penyakit infeksi pada balita. d) Luas dan kualitas rumah tinggal sangat penting, terutama lubang-lubang ventilasi dan lubang-lubang untuk sinar matahari berpengaruh terhadap risiko terkena penyakit. Pembagian ruang dalam rumah, khususnya untuk tidur dll.
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
22
e) Informasi tentang hidup sehat dan tempat-tempat mendapatkan perawatan preventif atau kuratif. Informasi dan penerangan gizi sangat penting terhadap ketahanan bayi/ balita. c.
Faktor- faktor pada tingkat masyarakat a) Keadaan ekologi, sangat berpengaruh terhadap risiko kesakitan dan kematian balita, misalnya suhu, musim, curah hujan, kelembaban udara dan sebagainya. b) Lembaga-lembaga masyarakat Lembaga ini menentukan sekali dalam menghadapi permasalahan kesehatan misalnya ada dana sehat, kelompok sukarelawan dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit, dana sosial dan sebagainya. c) Sistem kesehatan Sistem ini meliputi tindakan-tindakan pemerintah untuk pencegahan seperti imunisasi, pengendalian penyakit menular, sistem rujukan, sistem pelayanan masyarakat serta infrastruktur kesehatan.
2.2 Rumah Sehat Seperti tertera dalam keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/Menkes/ SK/ VII/ 1999, tertanggal 20 juli 1999 bahwa rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, serta tempat pengembangan kehidupan keluarga. Sedangakn kesehatan rumah itu sendiri berarti adalah kondisi fisik, kimia dan biologis di dalam rumah, lingkungan rumah dan perumahan, sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal. 2.2.1 Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah 1. Bahan Bangunan Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan antara lain: a. Debu total tidak lebih dari 150 μg/m3 b. Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4 jam. c. Timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg. Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
23
d. Tidak terbuat bahan yang menjadi tumbuh dan berkembang biaknya mikroorganisme pathogen. 2. Komponen dan penataan Ruang Rumah Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis sebagai berikut: a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan. b. Dinding : a) Di ruang tidur, ruang keluarga dilengkapi dengan sarana ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara. b) Di kamar mandi dan kamar cuci harus kedap air dan mudah dibersihkan. c. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan. d. Bumbungan rumah memiliki tinggi 10 meter atau lebih harus dilengkapi dengan penangkal petir. e. Ruang di dalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur, ruang mandi, ruang bermain anak. f. Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan asap. 3. Pencahayaan Pencahayaan alam dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan. 4. Kualitas Udara Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai berikut: a. Suhu udara nyaman berkisar sampai 180 sampai 300 celcius. b. Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%. c. Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam. d. Pertukaran udara (air exchange rate) = 5 kaki kubik per menit per penghuni. e. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam. f. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam.
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
24
5. Ventilasi Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai. 6. Kepadatan hunian Luas ruang tidur minimal 8 meter, atau tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah 5 tahun.
2.3 Partikel Parameter yang diukur dalam menentukan kualitas udara salah satunya adalah partikulat, baik di dalam maupun di luar ruangan. Partikel dapat berupa debu padat atau titik-titik cair. Dalam pengendalian polusi udara, maka pajanan partikulat terhadap gangguan saluran pernapasan terutama dari dalam rumah (indoor particles). Indoor particles ini berasal dari hasil pembakaran mikroorganisme yang bersal dari tubuh manusia, hewan, atau tanaman dan allergen dari debu rumah, binatang atau serangga (Sunu, 2001). Partikulat total yang terdiri dari partikel-partikel berukuran > 10μm disebut sebagai respiable particulate. Fraksi proporsi respirable particulat juga dapat terdiri dari berbagai campuran komposisi partikulat, tetapi memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk dapat masuk ke dalam saluran napas bagian bawah karena diameter partikel yang lebih kecil (< 10μm ) secara potensial dapat melewati mekanisme pertahanan saluran napas atas ( Koren, 2002). Partikel yang berdiameter lebih dari 5 mikron akan terhenti dan berkumpul terutama pada hidung dan tenggorokan. Meskipun partikel tersebut sebagian dapat masuk paru-paru tetapi tidak pernah lebih jauh dari kantung-kantung udara atau bronchi, bahkan segera dapat dikeluarkan oleh gerakan silia. Partikel dengan diameter 0,5-5,0 mikron dapat berkumpul di paru-paru sampai bronchioli, dan hanya sebagian kecil sampai alveoli. Partikel yang berdiameter kurang dari 0,5 mikron dapat mencapai dan tinggal dalam alveoli ( Fardiaz, 1992).
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
25
2.4 Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah Dengan Gangguan Saluran Pernapasan Salah satu gangguan yang mungkin disebabkan oleh pencemaran udara dalam ruangan (indoor) adalah infeksi saluran pernapasan akut. ISPA dapat meliputi bagian atas saja dan atau bahkan bagian bawah seperti laryngitis, tracheobronchitis, bronchitis dan pnemonia (Depkes RI, 1993). Secara garis besarnya, kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap dalam ruangan yang bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu / arang /minyak tanah dan penggunaan obat nyamuk bakar. Disamping itu ditentukan oleh ventilasi, tata ruangan dan kepadatan penghuninya. Manusia sebagai makhluk hidup sangat bergantung pada udara untuk kelangsungan hidupnya. Kualitas udara yang buruk akan meningkatkan terjadinya penyakit saluran pernapasan diantaranya ; (Kusnoputranto, 2000) 1. ISPA karena ventilasi tidak adekuat dan kepadatan hunian sehingga infeksi silang meningkat 2. Asma dan penyakit alergi lainnya terutama pada balita yang disebabkan oleh asap rokok 3. Bronchitis kronis 4. Meningkatnya risiko kanker paru yang disebabkan asap rokok, dan polutan dari luar rumah 5. Penyakit TBC.
2.5 Faktor- Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian ISPA Pada Balita Kejadian ISPA terkait erat dengan pengetahuan tentang ISPA yang dimiliki oleh masyarakat khususnya ibu, karena ibu sebagai penanggung jawab utama dalam pemeliharaan kesejahteraan keluarga. Mereka mengurus rumah tangga, menyiapkan keperluan rumah tangga, merawat keluarga yang sakit, dan lain sebagainya. Pada masa balita dimana balita masih sangat tergantung kepada ibunya, sangatlah jelas peranan ibu dalam menentukan kualitas kesejahteraan anaknya” (Nadesul, 2002).
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
26
Kondisi udara dalam rumah yang tercemar (mengalami polusi) ini perlu dicegah dalam rangka menurunkan kejadian ISPA pada balita. Hal ini diperkuat hasil kajian yang dilakukan oleh UNICEF dan WHO yang menyatakan bahwa salah satu cara mencegah kejadian ISPA pada balita adalah mengurangi pencemaran udara dalam rumah (reducing indoor air pollution). Salah satu faktor yang mempengaruhi ISPA adalah merokok. Satu batang rokok dibakar maka akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia seperti nikotin, gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen cianida, amonia, acrolein, acetilen, benzoldehide, urethane, methanol, conmarin, 4-ethyl cathecol, ortcresor peryline dan lainnya. Berdasarkan hasil penelitian Surjadi, ISPA yang terjadi pada ibu dan anak berhubungan dengan penggunaan bahan bakar untuk memasak dan kepadatan hunian rumah, demikian pula terdapat pengaruh pencemaran di dalam rumah terhadap ISPA pada anak dan orang dewasa. Pembakaran pada kegiatan rumah tangga dapat menghasilkan bahan pencemar antara lain asap, debu, grid (pasir halus) dan gas (CO dan NO). Demikian pula pembakaran obat nyamuk, membakar kayu di dapur mempunyai efek terhadap kesehatan manusia terutama Balita baik yang bersifat akut maupun kronis. Gangguan akut misalnya iritasi saluran pernafasan dan iritasi mata. Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam penularan ISPA,
dimana
ventilasi
dapat
memelihara
kondisi
atmosphere
yang
menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Suatu studi melaporkan bahwa upaya penurunan angka kesakitan ISPA berat dan sedang dapat dilakukan di antaranya dengan membuat ventilasi yang cukup untuk mengurangi polusi asap dapur dan mengurangi polusi udara lainnya termasuk asap rokok. Anak yang tinggal di rumah yang padat (<10m2/orang) akan mendapatkan risiko ISPA sebesar 1,75 kali dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak padat (Achmadi, 1993).
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
27
2.5.1 Pengetahuan Ibu Menurut Notoatmodjo (2010) pengetahuan adalah merupakan suatu hasil dari tahu, sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indera penglihatan dan indera pendengaran. Apabila suatu tindakan didasari oleh pengetahuan maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng, sebaliknya apabila tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan, yaitu: 1. Tahu (know) Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah, yang diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya dengan cara menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya. 2. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan dengan benar pula. 3. Aplikasi (aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. 4. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5. Sintesis (synthesis) Sistesis
menunjukkan
suatu
kemampuan
untuk
meletakkan
atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru (menyusun formulasi baru dari formulasi yang sudah ada). 6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek berdasarkan kriteria sendiri atau menggunakan kriteria yang sudah ada.
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
28
Menurut pendeketan konstruktivitas, pengetahuan bukanlah fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. Beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu : 1. Pendidikan Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti
mutlak
berpengetahuan rendah pula. Peningkatan
pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari objek yang diketahui, akan menumbuhkan sikap makin positif terhadap objek tersebut. 2.
Mass media/ informasi Informasi yang diperolah baik dari pendidikan formal maupun non formal
dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti, televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
29
pengaruh besar terhadap pembentukkan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut. 3.
Sosial budaya dan ekonomi Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran
apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang. 4.
Lingkungan Lingkungan merupakan segala sesuatu yang berada di sekitar individu, baik
lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik maupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu. 5.
Pengalaman Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh
kebenaran
pengetahuan
dengan
cara
mengulang
kembali
pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan professional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya. 6.
Usia Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin
bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya, individu akan berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
30
banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua, selain itu orang usia madya akan lebih banyak menggunakan waktu untuk membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Dua sikap tradisional mengenai jalannya perkembangan selama hidup : 1. Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya. 2. Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang sudah tua karena mengalami kemunduran baik fisik maupun mental. Beberapa teori berpendapat bahwa IQ sesorang akan menurun cepat sejalan dengan bertambahnya usia. Suatu studi intervensi berdasarkan pendekatan budaya lokal menunjukkan adanya peningkatan skor rerata pengetahuan tentang pneumonia pada ibu balita yang mendapatkan pendidikan kesehatan dari kader terlatih lebih tinggi bermakna 4 kali jika di bandingkan dengan peningkatan skor rerata pengetahuan tentang pneumonia pada ibu balita yang tidak mendapat pendidikan kesehatan (Kresno dalam Ariyanto, 2006). Hasil penelitian Ariyanto (2006), menunjukkan bahwa ibu balita yang pengetahuannya kurang tentang ISPA mempunyai risiko terhadap balitanya untuk menderita ISPA 3,67 kali lebih besar dibandingkan dengan pengetahuan ibu yang baik tentang ISPA. 2.5.2 Berat Bayi Lahir Berat badan lahir ditetapkan dengan berat lahir kurang dari 2500 gram. Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) akan meningkatkan resiko kesakitan dan kematian karena bayi rentan terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran pernapasan bagian bawah. Ibu yang sedang hamil harus mendapatkan asupan makanan yang cukup dengan gizi seimbang, kekurangan asupan gizi pada saat hamil dapat menyebabkan bayi yang dilahirkan berat badannya rendah. Penyakit anemia defisiensi zat besi pada ibu yang tengah hamil juga dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah atau bayi lahir prematur. Jika ibu hamil menderita Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
31
anemia berat, risiko morbiditas maupun mortalitas bagi ibu dan bayinya meninggi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan premature lebih besar (Pudjiadi, 2000). Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dapat menimbulkan
berbagai
masalah
kesehatan
seperti
gangguan
gizi
dan
kecenderungan untuk mudah menderita penyakit menular seperti ISPA, diare, dsb. Dari hasil penelitian, didapatkan adanya hubungan bermakna antara berat lahir rendah dengan kejadian ISPA pada balita (Ariyanto, 2006). 2.5.3 Status ASI ASI merupakan makanan paling baik untuk bayi. Komponen ASI sudah cukup menjaga pertumbuhan dari lahirnya bayi sampai umur 6 bulan. Bayi harus diberikan ASI secara penuh sampai mereka berumur 4-6 bulan (Depkes, 2002). Lebih dari 6 bulan pemberian ASI maka kebutuhan bayi harus diteruskan atau ditambahkan dengan pemberian makanan pendamping selain ASI (proses menyapih). Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif berarti hanya memberikan ASI saja, tanpa tambahan makanan atau minuman apapun (seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih), dan tanpa makanan tambahan (seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim). Anak sampai usia enam bulan pertama hanya membutuhkan ASI saja. ASI menyediakan segala-galanya yang dibutuhkan anak usia ini (BKKBN, 2001).Sedangkan menurut Rusli (2004) ASI Ekslusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa memberikan makanan/cairan lain. ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibody dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap berbagai penyakit khususnya penyakit infeksi (Depkes, 2002). ASI kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus. Terutama selama minggu pertama (4 sampai 6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal yang mengandung zat kekebalan
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
32
(imunoglobin, komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Bayi yang mendapat ASI Ekslusif lebih tahan terhadap ISPA (lebih jarang terserang ISPA), karena dalam air susu ibu terdapat zat anti terhadap kuman penyebab ISPA (Anonim, 2004). Sementara itu, sel limfosit B di lamina propria payudara memproduksi IgA1 yang disekresi, berupa sIgA1. SIgA ASI mengandung antibodi terhadap virus polio, rotavirus, influenza, Haemophilus influenzae, virus respiratory sinsisial (RSV), streptococcus pneumoniae, shigela, salmonella dan E.coli. Oleh kaena itu, ASI mampu mengurangi morbiditas Infeksi saluran pencernaan dan pernapasan bagian atas. SIgA ASI meningkat pada mukosa traktus respiratorius di empat hari pertama kehidupan, sehingga dapat mengurangi penyakit otitis media dan pneumonia. Fakta tersebut lebih nyata pada enam bulan pertama, namun bisa tampak hingga tahun kedua. Svanborg dan timnya telah melakukan penyelidikan yang luas dalam kemampuan ASI untuk melindungi lapisan usus dari bakteri pneumokokus invasif seperti yang menyebabkan peningkatan tingkat infeksi saluran pernapasan atas dan otitis media pada anak-anak tidak disusui . Studi meyakinkan juga menunjukkan perlindungan yang signifikan terhadap diare, infeksi saluran pernapasan, otitis media (infeksi telinga), atau infeksi saluran kemih, tim Silfverdal juga menyarankan bahwa peningkatan sistem kekebalan tubuh bisa bertahan selama tahunan, di luar periode menyusui itu sendiri (The Pediatric Infectious Disease Journal, 2002). Penelitian Gani (2004), menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA 5,3 kali tidak mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA.
2.5.4 Status Imunisasi Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang dapat di terima semua kalangan dan sangat efektif dalam upaya menurunkan kematian bayi dan balita. Tujuan pemberian imunisasi adalah memberika kekebalan pada anak balita terhadap penyakit tertentu. Imunisasi dasar bagi balita meliputi imunisasi BCG, DPT, Polio, dan campak sebelum balita berumur 1 tahun. Balita yang tidak Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
33
mendapatkan imunisasi dasar lengkap, maka akan mudah terserang penyakit. Imunisasi dasar yang tidak lengkap, maksimum hanya dapat memberikan perlindungan 25%-40%, sedangkan anak yang sama sekali tidak diimunisasi, tentu tingkat kekebalannya lebih rendah lagi (Ibrahim dalam Arianto, 2006). Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah salah satu jenis penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri, batuk rejan dan campak. Disisi lain penyakit ISPA pada saat ini tidak dapat dicegah secara langsung melalui imunisasi, karena belum tersedianya vaksin yang khusus untuk mencegah penyakit ISPA (Arthag, 1992). Penelitian di Indramayu (Sutrisna, 1993) mengidentifikasi adanya hubungan antara status imunisasi campak dan timbulnya kematian akibat ISPA, anak-anak yang belum pernah menderita campak dan belum mendapatkan imunisasi campak mempunyai resiko meninggal lebih besar. 2.5.5 Ventilasi Ventilasi mempunyai fungsi sebagai sarana sirkulasi udara segar masuk ke dalam rumah dan udara kotor keluar rumah. Rumah yang tidak dilengkapi sarana ventilasi akan menyebabkan suplai udara segar dalam rumah menjadi sangat minimal. Kecukupan udara segar dalam rumah ini sangat dibutuhkan untuk kehidupan bagi penghuninya, karena ketidakcukupan suplai udara akan berpengaruh pada fungsi fisiologis alat pernafasan bagi penghuninya, terutama bagi bayi dan balita. Rumah yang tidak memiliki ventilasi yang memadai akan menyebabkan gangguan kesehatan, karena : - Kadar O2 menurun - Kadar CO2 naik - Kelembaban naik - Ruangan jadi berbau - Mikroorganisme berkembang biak Luas lubang ventilasi yang permanen minimal 5% dari luas lantai, apabila ditambah dengan lubang ventilasi incidental seperti jendela dan pintu sebesar 5% Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
34
maka luas ventilasi minimal adalah 10% dari luas lantai. Kelembaban ruang/kamar tidur akan terasa nyaman, apabila ventilasinya memenuhi syarat, sehingga dapat menghasilkan udara yang nyaman dengan suhu 20-250C, dengan kelembaban udara berkisar 60% (Gunawan dalam Irianto, 2006). Udara yang masuk ke dalam ruangan sebaiknya udara bersih yang tidak mengandung debu atau berbau, agar terjadi sirkulasi udara segar sehingga penghuni tidak menghirup udara berdebu dan berbau. Sedangkan ventilasi yang kurang dari 10% dari luas lantai akan menyebabkan terjadinya kepengapan, menyebabkan bronchitis, asma kambuh, serta terjadinya penularan penyakit ISPA. Beberapa hasil penelitian menyatakan diantaranya oleh Wattimena (2004) menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara ventilasi kamar dengan kejadian ISPA pada balita. Irianto (2006), bahwa balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi ruang keluarga yang tidak memenuhi syarat memiliki resiko 2,298 kali untuk menderita penyakit ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal pada rumah dengan ventilasi ruang keluarga memenuhi syarat. 2.5.6 Kepadatan Hunian Kepadatan hunian yang dimaksud adalah kepadatan hunian dalam rumah yaitu jumlah penghuni yang tinggal bersama dengan balita. Menurut keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 8m2. Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas (Depkes, 2001). Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3m2/ orang dan untuk mencegah penularan penyakit pernapasan jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lain minimum 90 cm. Sebaiknya jangan digunakan tempat tidur bertingkat, karena tempat tidur semacam ini juga mempermudah penularan penyakit pernapasan (droplet infection). Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun yang biasanya masih sangat memerlukan kehadiran orang tua. Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
35
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat bermakna antara kepadatan hunian dengan terjadinya penyakit ISPA seperti penelitian Wattimena (2004) dan Irianto (2006) menunjukkan bahwa kepadatan hunian berpengaruh pada besarnya kejadian ISPA, yaitu besarnya anak terkena ISPA adalah 2,45 kali lipat dan 2,27 kalinya dari rumah yang padat penghuninya dibandingkan dengan rumah yang tidak padat penghuninya. Hasil penelitian Tupasi (1995), juga mengemukakan bahwa kepadatan hunian yang banyak berperan pada kejadian ISPA ialah kepadatan hunian kamar tidur (sleeping density) yang umumnya sangat rawan di Negara yang sedang berkembang. Jika kepadatan hunian di kamar tidur melebihi 3 orang dalam satu kamar maka besarnya risiko anak terkena ISPA 1,2 kalinya. 2.5.7 Adanya Perokok Dalam Rumah Merokok diketahui mengganggu efektivitas sebagian mekanisme pertahan respirasi. Produk asap rokok diketahui merangsang produksi mukus dan menurunkan pergerakan silia. Sehingga terjadi stimulasi stimulasi mukus yang kental dan terperangkapnya partikel atau mikroorganisme di jalan napas, yang dapat menurunkan pergerakan udara dan meningkatkan risiko pertumbuhan mikroorganisme. Bayi dan balita yang terpajan asap rokok sebelum dan sesudah kelahiran memperlihatkan peningkatan angka ISPA, dibandingkan dengan bayi dan balita dari orang tua yang bukan perokok. Haluaran urin yang mengandung metabolit nikotin meningkat drastis pada anak-anak dari orang tua perokok dibandingkan dengan anak-anak dari orang tua yang bukan perokok. Beberapa metabolit nikotin bersifat karsinogen dan mengiritasi paru. Kesehatan yang kian mengkhawatirkan di Indonesia adalah semakin banyaknya jumlah perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Perokok pasif akan mengalami risiko lebih besar daripada perokok sesungguhnya (Dachroni, 2003).
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
36
Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream sedangkan asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream. Polusi udara yang diakibatkan oleh asap sidestream dan asap mainstream yang sudah terekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau asap tembakau lingkungan. Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok pasif atau perokok terpaksa (Adningsih, 2003). Setyo Budiantoro dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengatakan, sebanyak 25 persen zat berbahaya yang terkandung dalam rokok masuk ke tubuh perokok, sedangkan 75 persennya beredar di udara bebas yang berisiko masuk ke tubuh orang di sekelilingnya (Noorastuti, 2010). Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya (Dachroni, 2002). Hasil studi di Italy, menyimpulkan bahwa 21% infeksi saluran pernafasan akut pada usia 2 bulan pertama kehidupan dipengaruhi oleh adanya orang tua perokok dalam rumah (Forastiere et al., 2002) Menurut Kusnoputranto dalam Ariyanto (2006), bahwa asap rokok dari orang tua maupaun dari orang lain yang tinggal dalam rumah, tidak saja merupakan bahan pencemaran dalam ruang yang serius tapi juga akan menambah risiko kesakitan dari bahan toksik yang lain, bahwa anak-anak terpapar asap rokok dapat menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya Infeksi Saluran Pernapasan Akut dan gangguan paru-paru pada waktu dewasa nanti. Asap rokok dan asap dapur dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga mudah menderita ISPA (Sutrisna, 1993).
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
37
Hasil penelitian Ariyanto (2006) menyatakan balita yang tinggal di rumh dengan adanya perokok mempunyai kemungkinan mendapatkan gangguan pernapasan sebanyak 1,986 kali di banding dengan balita yang tinggal serumah dengan tidak adanya perokok dalam rumah. 2.5.8 Bahan Bakar Memasak Bahan bakar yang biasa dipakai masyarakat untuk kegiatan memasak seharihari adalah minyak tanah, kayu, gas dan listrik. Pada daerah pedesaan masih sering dijumpai rumah tangga yang menggunakan kayu bakar karena lebih aman dan mudah didapat. Namun demikian sumber energi kayu bakar dan minyak tanah sangat mencemari udara dan mengganggu kesehatan manusia, karena hasil pembakarannya mengandung particulate (PM10, PM2,5), sulfur oksida, nitrogen oksida, karbonmonoksida, fluoride, aldehida dan senyawa hydrocarbon (Kusnoputranto, dalam Irianto (2006). Apabila sarana ventilasi pada rumah tidak baik dan dapurnya tidak dilengkapi dengan cerobong asap, maka asap dari dapur akan memenuhi ruangan dan menyebabkan sirkulasi udara dalam ruang kurang baik, sehingga kandungan partikulat dan kandungan bahan kimia dari asap tersebut tidak dapat keluar, hal ini maka akan mempermudah balita terserang penyakit pernapasan. Rumah dengan bahan bakar minyak tanah memberikan kesempatan 3,8 kali lebih besar untuk mendapatkan ISPA pada balita dibandingakan dengan bahan bakar gas (Soesanto, dkk, 2000). Hasil penelitian Kendall dan Leeder (1985) dalam Soesanto, dkk (2000), menyatakan bahwa pencemaran udara akibat penggunaan bahan bakar di dapur mungkin berperan walaupun tidak begitu nyata apabila keadaan sosial ekonomi penghuninya baik. Begitupula dengan hasil penelitian Handayani (1997), bahwa terdapat hubungan yang paling kuat antara jenis bahan bakar yang digunakan dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Rumah dengan bahan bakar minyak tanah memberikan kesempatan 3,8 kali lebih besar untuk mendapatkan ISPA pada anak balita dibandingkan dengan bahan bakar gas.
Universitas Indonesia Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Teori Hendrick L.Blum mengemukakan konsep tentang faktor-faktor apa yang mempengaruhi derajat kesehatan. Terdapat empat faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat yaitu genetika (keturunan), pelayanan kesehatan, perilaku masyarakat, lingkungan. Keempat faktor tersebut saling berinteraksi yang mempengaruhi kesehatan perorangan dan derajat kesehatan masyarakat. Berdasarkan studi kepustakaan, maka dapat disusun kerangka teori terjadinya ISPA pada balita sebagaimana terlihat pada gambar berikut: Gambar 3.1 Kerangka teori terjadinya ISPA pada balita Karakteristik ibu
Sumber pencemar udara dalam ruang
Bahan bakar masak
Adanya perokok
Pemakaian Obat nyamuk bakar
Mikroorganisma
ISPA balita
Virus, bakteri, ricketsia
Lingkungan fisik rumah
Pendidikan Pekerjaan Pengetahuan Status ekonomi
Karakteritik balita
Ventilasi Jenis lantai Jenis dinding Pencahayaan Suhu Kelembaban Kepadatan hunian
Umur Jenis Kelamin Berat badan lahir Status ASI Status imunisasi Pemberian Vit A Status gizi Pemberian MP-ASI
Sumber : modifikasi dari : Purawidjaja (2000), Mudehir (2002), Depkes RI (2004) dalam Irianto (2006).
38
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
39
3.2 Kerangka Konsep Berdasarkan pertimbangan studi kepustakaan yang seperti termasuk dalam konsep teori pada gambar di atas, maka disusun kerangka konseptual yang menjadi dasar pengukuran variabel, baik variabel dependen maupun variabel independen. Gambar 3.2 Kerangka konseptual ISPA pada balita
Variabel Independen
Variabel Dependen
Pengetahuan ibu Karakteristik balita :
BBL
Status ASI
Status imunisasi
Sumber pencemar udara ruang :
Ada perokok dalam rumah
Bahan bakar memasak
ISPA pada balita
Lingkungan fisik rumah :
Ventilasi
Kepadatan hunian
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
40
3.3 Hipotesis 1. Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten. 2. Ada hubungan antara karakteristik balita ( BBL, status ASI, status imunisasi ) dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten. 3. Ada hubungan antara pencemaran udara dalam ruang (adanya perokok, bahan bakar memasak ) dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten. 4. Ada hubungan antara lingkungan fisik rumah (ventilasi, kepadatan penghuni) dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
41
3.3 Definisi Operasional
Tabel 3.3 Definisi Opersional Variabel Dependen Dan Variabel Independen NO
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
1
Kejadian ISPA pada balita
Suatu penyakit Infeksi yang menyerang saluran pernafasan mulai dari hidung sampai paru- paru dan bersifat akut dengan tanda-tanda batuk pilek, dalam kurun waktu 4 minggu terakhir, pada usia 2- 51 bulan.
Wawancara
Kuesioner
0. Sakit 1. Tidak sakit
Ordinal
2.
Pengetahuan ibu
Wawancara
Kuesioner
0. Kurang (< mean) 1. Baik ( ≥ mean)
Ordinal
4.
Berat Bayi Lahir
Pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA ( gejala, penyebab, bahaya). Dengan nilai skor 1-2 dari setiap pertanyaan, jumlah skor terbesar 20, dan nilai mean = 32,41. Riwayat berat badan balita saat dilahirkan.
Wawancara
Kuesioner KMS
0. BBLR (< 2500 gr) 1. Normal (≥ 2500 gr)
Ordinal
5.
Status ASI
Riwayat balita mendapatkan ASI eksklusif (0-6 bulan).
Wawancara
Kuesioner
0. Tidak eksklusif 1. ASI eksklusif
Ordinal
6.
Status Imunisasi
Keadaan kelengkapan imunisasi balita sesuai umur saat dilakukan wawancara.
Wawancara
Kuesioner KMS
0. Tidak lengkap 1. Lengkap
Ordinal
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
42
No
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
7.
Ventilasi kamar
Sarana sirkulasi udara alamiah dari/ke dalam kamar balita berupa jendela yang dapat dibuka tutup Tidak memenuhi syarat bila luasnya < 10% dari luas lantai dan memenuhi syarat bila luasnya >= 10% dari luas lantai.
Wawancara Pengamatan
Kuesioner meteran
0. Tidak memenuhi syarat 1.Memenuhi syarat
Ordinal
8.
Kepadatan penghuni
Jumlah orang yang tinggal dengan balita dalam satu rumah maupun saat tidur. Tidak memenuhi syarat bila 1 orang mendapat ruang , 8 m2 dan memenuhi syarat bila 1 orang mendapat ruang >= 8 m2.
Wawancara Pengamatan
Kuesioner
0. Tidak memenuhi syarat 1.Memenuhi syarat
Ordinal
9.
Keberadaan perokok di rumah
Adanya salah satu penghuni rumah yang mempunyai kebiasaan merokok di dalam rumah
Wawancara
Kuesioner
0. Ada 1. Tidak ada
Ordinal
10.
Bahan bakar memasak
Jenis bahan bakar yang biasa di pakai saat memasak dalam rumah.
Wawancara
Kuesioner
0. Kayu bakar, minyak tanah 1. Gas, listrik
Ordinal
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
38
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kuantitatif dengan
menggunakan rancangan penelitian potong lintang (cross sectional). Penelitian dengan desain cross sectional merupakan sebuah penelitian yang dilakukan dengan cara mengamati status paparan dan penyakit secara serentak dan pada saat atau periode yang sama. Dimana dalam penelitian ini data dikumpulkan secara bersamaan antara paparan/ faktor pengetahuan ibu, karakteristik balita ( BBL, status ASI, status Imunisasi), lingkungan fisik rumah (ventilasi , kepadatan hunian), dan sumber pencemar udara dalam ruang ( adanya perokok, bahan bakar masak), serta penyakit yaitu ada tidaknya kasus kejadian penyakit ISPA pada balita. 4.2
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber
Kabupaten Lebak Provinsi Banten yang terdiri dari 6 desa yang telah terpilih yaitu Cibeber, Cikotok,
Neglasari, Warungbanten,
Cihambali,
Citorek
Kidul.
Sedangkan waktu penelitiannya dilaksanakan pada bulan Mei 2011. 4.3
Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi Populasi dari penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki balita yang berada di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber. 4.3.2 Sampel Sampel dari penelitian ini merupakan bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Adapun kriteria inklusi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah: 1. Bayi/ balita laki-laki dan perempuan yang berusia 0 sampai 59 bulan. 2. Ibu bayi bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini.
43
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
44
Adapun kriteria eksklusi yaitu kriteria yang menghilangkan kemungkinan populasi untuk menjadi sampel penelitian meliputi: 1. Bayi/ balita laki-laki dan perempuan yang berusia 0 sampai 59 bulan namun tidak berdomosili di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber. 2. Ibu bayi tidak bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini. 4.3.3 Besar Sampel Sampel yang diambil dalam penelitian ini dari populasi menggunakan rumus penghitungan besar sampel sebagai berikut (Lemeshow, Hosmer, dan Klar, 1997): n=
Z21-α/2.p(1-p) d2
diketahui: Z21-α/2
: 1,96 (CI= 95%, α = 0,05)
P
: Proporsi kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak = 0.5
q
: 1-0.5 = 0.5
d
: presisi 10% = 0.1
sesuai rumus diatas, maka jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah: n = (1,96)2 x 0,5 x 0,5 = 96 (0,1)2 Untuk memperhitungkan adanya kesalahan dan sebagainya, maka pengambilan sampel diperbesar sebanyak 10%, sehingga diperoleh sampel yang dibutuhkan adalah sebanyak 96 + 10 = 106 sampel. 4.4
Cara Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan secara acak bertahap (Multistage Random
Sampling). Setiap unsur di dalam populasi memiliki kesempatan (peluang) yang sama untuk dipilih, dengan mengambil serangkaian sampel acak sederhana secara bertahap. Dalam sebuah sampel acak multistage, area besar, dibagi dulu menjadi daerah yang lebih kecil, dan sampel acak dari daerah ini dikumpulkan. Cara ini
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
45
digunakan karena, populasinya cukup homogen, jumlah populasi besar, populasi menempati wilayah yang luas, dan biaya penelitian kecil. Dari 12 desa yang ada di wilayah kerja Puskesmas Cibeber terpilih 6 desa yang dianggap mewakili dengan cara pengundian. Kemudian dari keenam desa tersebut diundi lagi berdasarkan posyandu yang berada di desa terpilih yang memiliki sejumlah balita yang diacak kembali sehingga didapatkan jumlah sampel yang diharapkan (empat desa terpilih (Cikotok, Cibeber, Warungbanten, Neglasari)
mempunyai jatah sampel 18 responden dan dua desa lainnya
(Cihambali, Citorek Kidul) 17 responden). 4.5
Pengumpulan Data
4.5.1 Cara dan Alat Pengumpulan Data Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data baik data primer maupun data sekunder. Data sekunder didapatkan dari dinas kesehatan kabupaten, berupa laporan tahunan, dan profil kesehatan dari Puskesmas. Sedangkan data primer dikumpulkan dengan cara wawancara terhadap responden yaitu ibu balita dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). 4.5.2 Petugas Pengumpul Data Pada penelitian ini, peneliti dibantu oleh 4 orang petugas kesehatan Puskesmas DTP Cibeber dan kader, dimana dari keempat enumerator tersebut telah mendapatkan penjelasan terlebih dahulu tentang metode dan teknik pengumpulan data yang sesuai dengan tujuan penelitian agar mereka memiliki persepsi yang sama. 4.6
Pengolahan dan Teknik Analisa Data
4.6.1 Pengolahan Data Pengolahan data adalah suatu proses untuk memperoleh data dan atau ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah untuk menghasilkan informasi yang diperlukan (Setiadi, 2007). Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dalam penolahan data diantaranya:
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
46
1. Pemeriksaan data (Editing) Editing data adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diisi sesuai dengan jawaban responden. Pemeriksaan daftar pertanyaan yang telah selesai diisi ini diantaranya: a. Kelengkapan jawaban, apakah tiap pertanyaan sudah ada jawabannya, meskipun jawaban hanya berupa tidak tahu atau tidak mau menjawab. b. Keterbacaan tulisan, tulisan yang tidak terbaca akan mempersulit pengolahan data sehingga dapat mengakibatkan bias terhadap jawaban responden. c. Relevansi jawaban, bila ada jawaban yang kurang atau tidak relevan maka editor harus menolaknya. 2. Pengkodean (Coding) Coding adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari responden ke dalam kategori yang telah ditetapkan. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara memberikan tanda/kode berbentuk angka pada masing-masing jawaban. Tanda/kode ini dapat disesuaikan dengan pengertian yang lebih menguntungkan peneliti, jadi tanda-tanda tersebut dapat dibuat sendiri oleh peneliti. Tujuan dari coding ini adalah untuk mempermudah pada saat entry data dan analisa data. 3. Scoring Skoring dilakukan terhadap jawaban responden tentang pengetahuan. Jawaban yang benar atas pertanyaan tentang pengetahuan mendapatkan skor 1 setiap pernyataan benar, dan untuk jawaban yang menggunakan alasan mendapatkan skor 2 jika jawaban dan alasannya tepat. 4. Memasukkan data ke program komputer (Entry data) Jawaban-jawaban
yang
sudah
diberikan
kode
kategori
kemudian
dimasukkan ke dalam tabel untuk menghitung frekuensi data. Entry data dapat dilakukan dengan bantuan komputer, serta menggunakan program statistik tertentu. 5. Membersihkan data (Cleaning data) Cleaning data/pembersihan data merupakan kegiatan memeriksa kembali apakan ada data yang sudah dimasukkan tersebut ada yang tidak sesuai dengan
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
47
ketentuan. Kesalahan dapat terjadi pada saat entry data maupun pada saat coding. Cleaning data dapat dilakukan dengan cara melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan menilai kelogisannya. 4.6.2 Teknik Analisis Data Teknik analisis data merupakan langkah selanjutnya dari data mentah untuk memperoleh makna yang bermanfaat bagi pemecahan masalah penelitian. Dalam tahap ini data diolah dan dianalisis dengan teknik-teknik tertentu. Dalam pengolahan ini mencakup tabulasi data dan perhitungan-perhitungan statistik, bila diperlukan uji statistik. Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Analisis univariat Analisis yang dilakukan terhadap setiap variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel. Analisis univariat dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber pencemar dalam ruang dan lingkungan fisik rumah di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak. 2. Analisis Bivariat Untuk mengetahui hubungan dari masing-masing variabel, maka dilakukan analisis bivariat. Analisis bivariat yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji Chi Square (X²). Uji Chi Square (X²) dilakukan untuk mengetahui besarnya hubungan antara pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber pencemar dalam ruang dan lingkungan fisik rumah terhadap kejadian ISPA pada balita. Untuk mengetahui hasil kemaknaan perhitungan statistik, dalam penelitian ini digunakan tingkat kepercayaan 95% sehingga α=5%.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber 5.1.1. Keadaan Geografis Puskesmas DTP Cibeber berada di wilayah Kecamatan Cibeber. Secara Geografis Kecamatan Cibeber terletak di Sebelah Tenggara ibu kota Kabupaten Lebak yaitu Rangkasbitung dengan jarak tempuh sekitar 165 km. Adapun batasbatas wilayah Kecamatan Cibeber sebagai berikut : 1. Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Muncang 2. Sebelah Timur : berbatasan dengan Wilayah Puskesmas Cisungsang 3. Sebelah Barat
: berbatasan dengan Kecamatan Panggarangan
4. Sebelah Selatan: berbatasan dengan Kecamatan Cilograng dan Kecamatan Bayah Kondisi alam Kecamatan Cibeber secara umum adalah berbukit-bukit dan pemukiman penduduknya menyebar. Keadaan geografis yang demikian menyebabkan sebagian wilayah yang merupakan wilayah binaan Puskesmas Cibeber sulit dijangkau dalam keadaan
darurat terutama pada saat musim
penghujan. Luas wilayah kecamatan Cibeber adalah 36.967,24 Ha. Wilayah kerja Puskesmas Cibeber meliputi 12 desa yaitu Cibeber, Cikotok, Ciherang, Warungbanten, Neglasari, Hegarmanah, Cihambali, Sukamulya, Citorek Timur, Citorek Barat, Citorek Tengah, Citorek Kidul. 5.1.2 Keadaan Demografi Jumlah penduduk yang termasuk wilayah Puskesmas DTP Cibeber pada tahun 2010 seluruhnya
berjumlah 34.556 jiwa dengan jumlah penduduk
perempuan sebanyak 16.892 jiwa dan penduduk laki-laki sebanyak 17.664 jiwa.
48
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
49
Gambar 5.1.2 Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak tahun 2010
Sumber : Profil Kecamatan Cibeber, 2010
5.1.3 Data Penduduk berdasarkan Pendidikan Terakhir Sebagian besar penduduk di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber berpendidikan tamat SD (6. 703 orang), ada 3.632 orang lulusan SMP, dan yang menamatkan pendidikan di tingkat menengah atas sebanyak 2.298 orang sedangkan yang lulusan dari diploma/ sarjana dan pascasarjana hanya ada 495 orang. Gambar 5.1.3 Data Penduduk berdasarkan Pendidikan Terakhir di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber tahun 2010
Sumber : Profil Kecamatan Cibeber, 2010
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
50
5.1.4 Data Kepegawaian
Hingga saat ini jumlah pegawai yang ada di Puskesmas Cibeber sebanyak 47 orang dengan berbagai latar belakang pendidikan diantaranya dokter, keperawatan, kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, kesehatan gigi, bidan, SMA, SMEA, dan SMP. Adapun distribusi pegawai dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.1.4 Distribusi Kepegawaian Puskesmas DTP Cibeber tahun 2010 No
Jenis ketenagaan
Jumlah (orang)
1.
Kesehatan Masyarakat
1
2.
Dokter/ Dokter Gigi
3
3.
Perawat
25
4
Sanitasi
1
5.
Bidan
13
6.
Administrasi
2
7.
Perawat Gigi
1
8
Penatalaksana RT
1
Jumlah
47
Sumber : profil Puskesmas DTP Cibeber, 2010
5.1.5 Data 10 Penyakit Terbanyak Berdasarkan laporan 10 besar penyakit dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2010 , ISPA menempati peringkat teratas yaitu sebanyak 4.546 kasus kemudian Dermatitis sebanyak 3.751 kasus , dan terendah yaitu Faringitis sebanyak 123 Secara lengkap dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
51
Tabel. 5.1.5 Pola 10 Besar Penyakit di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Tahun 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis Penyakit ISPA Dermatitis Arthritis Gastritis Hypertensi Diare Konjungtivitis Diabetes Melitus OMSK Faringitis/Tonsilitis Lain-lain Jumlah Sumber: profil puskesmas Cibeber 2011
5.2
Jumlah 4546 3751 2923 1777 1167 978 756 181 172 123 1236 17610
Distribusi Responden Variabel Independen Dan Variabel Dependen Kejadian ISPA Pada Balita Ditinjau dari Pengetahuan Ibu, Karakteristik Balita, Sumber Pencemar Dalam Ruang Dan Lingkungan Fisik Rumah .
5.2.1. Gambaran kejadian ISPA Distribusi kasus ISPA pada balita dapat dilihat pada tabel 5.2. Hasil penelitian bahwa balita yang terkena ISPA pada 2- 4 minggu terakhir sebanyak 85 (80,2%) dan 21 balita (19,8%) tidak ISPA. Hal ini berarti kasus ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Cibeber Kabupaten Lebak masih tinggi. Tabel 5.2.1 Disribusi Responden berdasarkan Kejadian ISPA Balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Variabel
Frekuensi
Persentase
Kejadian ISPA
Sakit
85
80,2
Tidak sakit
21
19,8
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
52
5.2.2 Gambaran Pengetahuan Ibu Dari hasil penelitian pada semua responden (106 ibu balita), pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan kurang tentang ISPA sebanyak 74 (69,8%), sedangkan 32 (30,2%) ibu lainnya berpengetahuan baik tentang penyakit ISPA. Artinya ibu-ibu balita di wilayah kerja Puskesmas Cibeber masih kurang terpapar dengan informasi mengenai penyakit ISPA. Tabel 5.2.2 Distribusi Responden berdasarkan Pengetahuan Ibu di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Variabel
Frekuensi
Persentase
74 32
69,8 30,2
Pengetahuan Ibu Kurang Baik
5.2.3 Gambaran Karakteristik Balita Hasil penelitian dari 106 responden ibu, terdapat 29 balita (27,4%) yang lahir dengan berat badan lahir rendah, dan 77 balita (72,6%) lainnya lahir dengan berat badan normal. Ada 31 balita (29,2%) yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif sedangkan 75 balita (70,8%) mendapat ASI eksklusif. Dan proporsi balita yang tidak mendapat imunisasi lengkap sebanyak 25 (23,6%) sedangkan balita yang telah imunisasi lengkap adalah 81 (76,4%). Tabel 5.2.3 Distribusi Responden berdasarkan Karakteristik Balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Variabel 1. BBL BBLR (< 2500 gr) Normal (>=2500 gr) 2. Status ASI Tidak Eksklusif ASI eksklusif 3. Status Imunisasi Tidak lengkap Lengkap
Frekuensi
Persentase
29 77
27,4 72,6
31 75
29,2 70,8
25 81
23,6 76,4
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
53
5.2.4 Gambaran Lingkungan Fisik Rumah Dari 106 responden ibu yang diteliti, pada tabel 5.5 menunjukkan bahwa 45 (42,5%) diantaranya memiliki rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan, sedangkan 61 (57,5%) ibu lainnya memiliki rumah dengan ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan. Dari hasil penelitian dan pengamatan diketahui bahwa 45 balita (42,5%) tinggal dengan kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat kesehatan, sedangkan 61 (57,5%) balita lainnya tinggal dengan kepadatan penghuni yang telah memenuhi syarat kesehatan. Tabel 5.2.4 Distribusi Responden berdasarkan Lingkungan Fisik Rumah di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Variabel 1.Ventilasi Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat 2. Kepadatan Hunian Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat
Frekuensi
Persentase
45 61
42,5 57,5
45 61
42,5 57,5
5.2.5 Gambaran Sumber Pencemar dalam Ruang Hasil penelitian diketahui terdapat 88 balita (83%) yang tinggal serumah dengan perokok, dan hanya 18 (17%) balita lainnya tinggal di rumah tidak terdapat perokok. Hasil penelitian dan pengamatan tentang jenis bahan bakar yang digunakan saat memasak didapatkan ibu balita yang menggunakan bahan bakar kayu/ minyak tanah sebanyak 57 (53,8%) sedangkan 49 (46,2%) ibu balita yang lain menggunakan gas/ listrik sebagai bahan bakar untuk memasak.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
54
Tabel 5.2.5 Distribusi Responden berdasarkan Sumber Pencemar Udara dalam Ruang di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Variabel
Frekuensi
Persentase
88 18
83,0 17,0
57 49
53,8 46,2
1. Adanya perokok Ya Tidak 2. Bahan bakar memasak Kayu bakar/ minyak tanah Gas/ listrik
5.3
Hubungan Variabel Independen Dengan Variabel Dependen Kejadian
ISPA
Karakteristik
Pada
Balita,
Balita Sumber
Ditinjau
dari
Pencemar
Pengetahuan
Dalam
Ruang
Ibu, Dan
Lingkungan Fisik Rumah Uji statistik menggunakan uji beda proporsi chi square, untuk menjelaska hubungan antara variabel dependen dan independen dengan batas kemaknaan pvalue 0,005, yang artinya bila p-value ≥ 0,05 maka hubungan antara variabel dependen dan independen tidak bermakna, tetapi jika p-value < 0,05 bermakna. Selain menguji tingkat kemaknaan dapat dilihat pula nilai OR (odds ratio), jika OR < 1 berarti sifatnya protektif OR=1 berarti tidak mempunyai resiko sedangkan OR> 1 berarti mempunyai resiko. . 5.3.1 Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Hasil penelitian tentang variabel pengetahuan didapatkan bahwa dari 21 ibu yang balitanya tidak sakit ISPA, terdapat 9 (42,9%) ibu yang memiliki pengetahuan tentang ISPA kurang, dan 12 (57,1%)
ibu balita lainnya
berpengetahuan baik. Sedangkan dari 85 ibu yang balitanya sakit ISPA, ada 65 ibu balita (76,5%) mempunyai pengetahuan yang kurang tentang ISPA. Dari hasil tersebut secara persentase anak balita yang sakit ISPA dan pengetahuan ibunya kurang lebih banyak dibandingkan dengan anak balita yang sakit ISPA yang ibunya memiliki pengetahuan baik tentang ISPA.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
55
Hasil uji statistik didapat p= 0,006 berarti (< 0,05) dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara ibu balita yang mempunyai pengetahuan kurang dengan kejadian ISPA. Dengan nilai OR= 4.333 (95% CI : 1,596-11,768) ini berarti pada ibu yang berpengetahuan kurang, anak balitanya mempunyai risiko 4,33 kali lebih besar untuk terkena ISPA daripada ibu yang mempunyai pengetahuan yang baik. Tabel 5.3.1 Distribusi Responden berdasarkan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Variabel
ISPA
Tidak ISPA
Total
65 (76,5%)
9 (42,9%)
74
20 (23,5%)
12 (57,15)
32
p-value
OR (95%CI)
0,006*
4,333 (1,596-11,768)
Pengetahuan ibu
Kurang
Baik
5.3.2 Hubungan Berat Badan Lahir dengan kejadian ISPA Hasil penelitian variabel berat badan lahir pada tabel 5.3.2, menunjukkan bahwa dari 21 ibu yang balitanya tidak terkena ISPA, keseluruhannya lahir dengan berat badan yang normal (≥ 2500 gram). Sedangkan 29 (34,1%) balita yang ISPA lahir dengan berat badan rendah (< 2500 gr) Pada hasil uji statistik didapatkan p-value sebesar 0,004 (< 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada balita. 5.3.3 Hubungan Status ASI dengan kejadian ISPA Hasil penelitian mengenai variabel status ASI, diperoleh data bahwa dari 21 ibu yang balitanya tidak terkena ISPA, keseluruhannya mendapat ASI eksklusif, sedangakan 31 (36,5%) balita yang sakit ISPA tidak mendapatkan ASI secara eksklusif selama 6 bulan pertama setelah lahir.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
56
Hasil uji statistik chi square didapatkan p-value sebesar 0,003 (<0,05) yang artinya secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara status ASI dengan kejadian ISPA pada balita. 5.3.4 Hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA Hasil penelitian mengenai variabel status imunisasi, diperoleh data dari 85 ibu yang balitanya terkena ISPA, sebanyak 22 balita (25,9%) tidak mendapat imunisasi secara lengkap, sedangkan 21 ibu yang balitanya tidak sakit ISPA, 18 (85,7%) balita mendapat imunisasi lengkap. Hasil uji statistik chi square didapatkan p-value sebesar 0,391 (>0,05) dan OR= 2,095 (95% CI : 0,562-7,805), yang artinya secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara kelengkapan imunisasi dengan sakit ISPA. Tabel 5.3.2 Distribusi Responden berdasarkan Karakteristik Balita Dengan Kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Variabel
ISPA
Tidak ISPA
Total
29 (34,1%) 56 (65,9%)
0 (0%) 21 (100%)
29
31 (36,5%) 54 (63,5%)
0 (0 %) 21 (100%)
31
22 (25,9%) 63 (74,1%)
3 (14,3 %) 18 (85,7%)
25
p-value
OR (95%CI)
0,004*
-
0,003*
-
0,391
2,095 (0,562-7,805)
1. BBL
BBLR
Normal
71
2. Status ASI
Tidak Eksklusif Eksklusif
75
3. Status Imunisasi
Tidak Lengkap Lengkap
81
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
57
5.3.5 Hubungan ventilasi kamar balita dengan kejadian ISPA balita Hasil penelitian mengenai variabel ventilasi kamar balita, diperoleh data bahwa pada kelompok ibu yang balitanya tidak terkena ISPA, 19 (90,5%) diantaranya telah memiliki ventilasi kamar yang memenuhi syarat kesehatan, dan kelompok ibu yang balitanya sakit ISPA terdapat 43 (50,6%) yang tidak memiliki ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan (< 10 % luas lantai). Dan hasil uji statistik menunjukkan p-value sebesar 0,002 (<0,05) dan OR= 9,726 ( 95% CI : 2,132- 44,373) , yang artinya terdapat hubungan yang bermakna antara ventilasi kamar balita dengan kejadian ISPA pada balita, dan pada kelompok ibu balita yang tidak memiliki ventilasi kamar yang memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko balitanya terkena ISPA 9-10 kali daripada kelompok ibu yang memiliki ventilasi kamar balita yang memenuhi syarat kesehatan. 5.3.6 Hubungan kepadatan penghuni dengan kejadian ISPA Hasil penelitian mengenai variabel kepadatan hunian rumah balita, diperoleh data bahwa dari kelompok ibu yang balitanya tidak terkena ISPA, kesemuanya tinggal dalam rumah dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat (8m2/ per orang), sedangkan pada kelompok ibu yang balitanya sakit terdapat 45 (52,9%)balita yang sakit ISPA. Berdasar hasil uji statistik chi square p-value sebesar 0,001 (<0,05) dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
58
Tabel 5.3.3 Distribusi Responden berdasarkan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Variabel
ISPA
Tidak ISPA
Total
p-value
OR (95%CI)
43 (50,6%)
2 (14,3 %)
45
0,002*
9,726 (2,132-44,373)
42 (49,4%)
19 (90,5%)
61
45 (52,9%)
0 (0%)
45
40 (47,1%)
21 (100%)
61
1. Ventilasi
Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat 2. Kepadatan penghuni
Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat
0.000*
-
5.3.7 Hubungan adanya perokok dalam rumah dengan kejadian ISPA Hasil penelitian mengenai variabel ada perokok dalam rumah balita, diperoleh data bahwa pada kelompok balita yang terkena ISPA, sebanyak 81 (3,5%) balita tinggal dengan perokok, dan pada kelompok balita yang sehat 14 (44,7%) balita tidak tinggal dengan perokok. Hasil uji statistik didapatkan p-value= 0,000 (<0,05) dan OR= 40, 500 (95% CI : 10,466-156,715), sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara keberadaan perokok dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita, dan balita yang tinggal dengan perokok mempunyai risiko 40-41 kali untuk menderita penyakit ISPA dibandingkan balita yang tinggal tanpa perokok dalam rumah. 5.3.8 Hubungan Bahan bakar masak dengan kejadian ISPA pada balita Hasil penelitian mengenai variabel bahan bakar memasak, diperoleh data bahwa pada kelompok balita yang terkena ISPA sebanyak 50 (58,8%) ibu balita memasak dengan kayu bakar/ minyak tanah, dan pada balita yang tidak sakit terdapat 14 (66,7%) ibu balita yang memasak dengan menggunakan bahan bakar gas/ listrik.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
59
Pada uji statistik chi square didapatkan p-value= 0,064 (>0,05) dan OR= 2,857 (95% CI : 1,046-7,804), artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara bahan bakar masak dengan sakit ISPA pada balita. Tabel 5.3.4 Distribusi Responden berdasarkan sumber Pencemar Udara Dalam Ruang Dengan Kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Tidak ISPA
Total
7 (33,3 %)
88
4 (4,7%)
14 (66,7%)
18
50 (58,8%)
7 (33,3%)
35 (41,2%)
14 (66,7%)
ISPA
Variabel
p-value
OR (95%CI)
0,000*
40,5 (10,466156,715)
0,064
2,857 (1,046-7,804)
1. Adanya perokok
Ada
81 (95,3%)
Tidak bakar
2. Bahan memasak
Kayu bakar/minyak tanah Gas/listrik
57
49
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
BAB VI PEMBAHASAN
6.1
Keterbatasan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini bersifat cross sectional
(potong lintang), dimana rancangan ini mempunyai kelemahan yaitu kesulitan dalam membedakan variabel yang menjadi penyebab dan variabel yang menjadi akibat, karena kedua variabel ini diukur pada saat yang bersamaan. Hubungan yang bisa digambarkan melalui rancangan ini hanya menunjukkan keterkaitan saja, bukan menunjukkan hubungan kausalitas atau hubungan sebab akibat. Kelemahan dalam pemilihan sampel penelitian (responden) terjadi manakala responden yang sudah ditetapkan tidak ditemukan di lapangan karena sedang bepergian, sehingga diambil responden pengganti yang alamatnya masih sama dengan responden terpilih. Ini dilakukan karena waktu penelitian yang terbatas dan keadaan geografis lapangan (tempat responden cukup jauh dari tempat satu dan lainnya) serta musim penghujan yang tidak memungkinkan untuk datang dua kali pada satu tempat yang sama. Instrument yang dipakai dalam penelitian ini berupa kuesioner dan alat ukur meteran. Kelemahan kuesioner, karena sudah disediakan alternatif jawabannya (bersifat tertutup), sehingga jawaban yang didapat dari responden terpaku pada jawaban yang sudah ada dan tidak bisa mengembangkan jawaban yang lebih luas, lengkap dan mendalam. Pertanyaan dalam kuesioner juga masih kurang dapat menggali jawaban responden. Sehingga jawaban yang diberikan responden yang sangat terbatas ini dirasa masih kurang menggambarkan keadaan responden yang sebenarnya. Pengukuran ventilasi yang menggunakan alat ukur meteran masih banyak mengandung kelemahan, diantaranya ketelitian dalam pembacaan sangat mempengaruhi hasil ukur apalagi saat dibandingkan dengan luas lantai rumah
60
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
61
dimana kami tidak melakukan pengukuran langsung namun hanya berdasar keterangan dari responden saja. Bias informasi yang terjadi saat pengukuran adalah berupa recall bias, dimana responden tidak dapat menjawab dengan tepat pertanyaan-pertanyaan yang terjadi di masa yang lampau. Bias dari responden juga terjadi pada saat wawancara dimana responden tidak memberikan jawaban sebenarnya, atau responden kurang memahami pertanyaan yang disampaikan pewawancara. 6.2
Hubungan Pengetahuan Ibu, Karakteristik Balita, Sumber Pencemar Udara Dalam Ruang Dan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
6.2.1 Kejadian ISPA pada Balita Kejadian penyakit ISPA pada balita dalam penelitian ini berdasarkan gejala penyakit balita yang diderita 2 – 4 minggu terakhir, apabila ada gejala batuk dan pilek disertai atau tidak dengan gejala lain maka dikategorikan sakit ISPA, sedangkan tidak sakit ISPA apabila tidak ada gejala batuk atau pilek dan disertai atau tidak dengan gejala lainnya. Tingginya balita yang terserang ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cibeber yaitu sebesar 80,2%, angka kesakitan ISPA ini berkaitan dengan kurangnya, pengetahuan ibu tentang faktor- faktor risiko pada ISPA, sanitasi perumahan penduduk ditandai dengan masih banyaknya keadaan perumahan penduduk yang fasilitas sanitasinya tidak memenuhi syarat, hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan penduduk yang sebagian besar hanya tamat SD. Salah satu cara untuk menanggulanginya dengan memberikan banyak informasi khususnya mengenai kesehatan sehingga pengetahuan masyarakat meningkat. 6.2.2 Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian ISPA pada Balita Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita berpengetahuan kurang dan hanya sebagian kecil ibu balita yang memiliki pengetahuan baik tentang ISPA. Hal ini disebabkan karena masih banyak ibu-ibu
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
62
balita yang pendidikannya rendah dan kurangnya mendapatkan informasi mengenai ISPA. Hasil analisis bivariat dengan menggunakan Chi Square menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita. Untuk ibu yang berpengetahuan kurang, balitanya mempunyai risiko terhadap penyakit ISPA 4,33 kali dibandingkan dengan yang mempunyai pengetahuan baik. Hasil ini membuktikan hipotesis bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita. Menurut Sutrisna, B (1993), ditemukan adanya hubungan antara pengetahuan ibu tentang mengatasi dalam kejadian balita sakit ISPA. Tingkat pengetahuan sangat penting dimiliki oleh seseorang, Karena tingkat pengetahuan merupakan suatu wawasan yang akan menyebabkan perubahan seseorang dalam bersikap dan bertindak dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ariyanto, Y (2008) bahwa dampak pengetahuan terhadap kejadian ISPA pada balita cukup besar, yang berarti jika pengetahuan ibu tentang faktor risiko ISPA ditingkatkan maka kejadian ISPA pada balita akan berkurang. Begitupula dengan hasil penelitian Nurjazuli, dkk,(2009), menyimpulkan adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA-pneumonia pada balita. 6.2.3 Hubungan Berat Badan Lahir Balita dengan Kejadian ISPA Hasil penelitian menunjukkan bahwa 27,4% balita yang sakit ISPA memiliki riwayat berat badan lahir rendah (< 2500 gr). Kemungkinan besar itu terjadi karena saat hamil, ibu balita tersebut menderita anemia, kurang gizi, atau sedang menderita suatu penyakit. Berdasarkan hasil analisis bivariat, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara berat badan saat lahir dengan kejadian ISPA, khususnya bagi balita dengan riwayat BBLR memiliki peluang lebih besar untuk terkena ISPA.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
63
Hasil ini sejalan dengan penelitian Abdullah (2003), bahwa bayi umur 0-4 bulan yang dilahirkan dengan BBLR memiliki risiko terserang ISPA. Begitu juga dengan penelitian Kumar di India yang dipublikasikan oleh WHO (1996), yang menemukan adanya hubungan antara berat lahir dengan ISPA. Hal ini didukung pula dengan penelitian Ariyanto (2008) yang membuktikan adanya hubungan berat lahir dengan kejadian ISPA pada balita. 6.2.4 Hubungan Status ASI Balita dengan Kejadian ISPA Pada hasil penelitian didapatkan, dari keseluruhan balita yang tidak sakit ISPA mendapatkan ASI eksklusif pada masa 6 bulan awal kehidupannya. Dan 36% balita yang sakit ISPA telah diberikan MP-ASI sebelum usia 6 bulan setelah lahir. Hal ini terjadi karena kandungan gizi yang terdapat dalam ASI mengandung antibodi yang dapat memperkecil risiko terkena penyakit infeksi. Dari hasil uji analisis bivariat dengan menggunakan chi square, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara status ASI dengan kejadian ISPA pada balita, dan balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif mempunyai risiko lebih besar terserang ISPA daripada balita dengan ASI eksklusif. Hasil ini sejalan dengan penelitian Abdullah (2003) yang menyatakan ada pengaruh pemberian ASI terhadap kasus ISPA. Demikian juga dengan penelitian Naim (2001), juga membuktikan adanya hubungan bermakna antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA-pneumonia. 6.2.5 Hubungan Status Imunisasi Balita dengan Kejadian ISPA Status imunisasi balita diukur berdasarkan jenis imunisasi yang telah didapatkan oleh balita sesuai umurnya. Termasuk status imunisasi tidak lengkap apabila balita tidak mendapat imunisasi lengkap sesuai umurnya, dan termasuk imunisasi lengkap apabila balita telah mendapatkan imunisasi lengkap sesuai umurnya. Bayi yang mendapatkan imunisasi lengkap seharusnya mempunyai kekebalan terhadap beberapa penyakit sesuai dengan jenis imunisasi yang diberikan. Semakin lengkap imunisasi, semakin tinggi daya tahan tubuhnya terhadap penyakit.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
64
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar balita yang tidak sakit ISPA telah mendapatkan imunisasi lengkap, namun balita yang ISPA dengan mendapatkan imunisasi lengkap masih cukup tinggi. Menurut hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status Imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Semua mempunyai peluang yang sama untuk terkena ISPA. Balita yang status imunisasi lengkap maupun tidak sama-sama mempunyai kemungkinan terkena ISPA. Kemungkinan hal ini terjadi karena rantai dingin vaksin kurang baik saat dibawa ke posyandu yang jaraknya cukup jauh dari puskesmas, yang mengakibatkan keefektifan vaksin menurun. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi, dkk., di kabupaten Klaten (1993), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kelengkapan status Imunisasi dengan kejadian ISPA-pneumonia pada balita. 6.2.6 Hubungan Ventilasi Kamar Balita dengan Kejadian ISPA Hasil penelitian didapatkan, balita yang tidak sakit ISPA yaitu sebagian besar tinggal di rumah yang memiliki ventilasi yang memenuhi syarat, dan hanya sebagian balita yang terkena ISPA tinggal di rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat. Berdasarkan hasil analisis bivariat, bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepemilikan ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita, dan balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat mempunyai peluang yang lebih besar untuk terjadi ISPA. Ventilasi merupakan tempat keluar masuknya udara dari dan keluar ruangan/ rumah, sehingga kualitas udara dalam rumah tetap stabil. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Muhedir (2002), yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita. Begitu juga penelitian Nurjazuli dan Widyaningtyas (2009), menyatakan balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko menderita ISPA-pneumonia 23,889 kali lebih besar
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
65
dibanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi yang memenuhi syarat. 6.2.7 Hubungan Kepadatan Penghuni Balita dengan Kejadian ISPA Pada hasil penelitian, didapatkan bahwa proporsi balita tidak sakit keseluruhannya tinggal di rumah yang tidak padat penghuni atau memenuhi syarat tinggal, sedangkan balita lainnya yang menderita ISPA tinggal di rumah yang kepadatan huniannya tidak memenuhi syarat. Dan pada uji analisis bivariat didapatkan hasil adanya hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita. Artinya balita yang tinggal di tempat dimana kepadatan huniannya tidak memenuhi syarat mempunyai risiko lebih besar terkena ISPA dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Pada hunian rumah yang padat akan memudahkan penularan penyakit khususnya penyakit saluran napas. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Irianto, B (2006), ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah balita dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.. Kemudian didukung penelitian oleh Nurjazuli dkk (2009), yang menyatakan balita yang tinggal dengan kepadatan hunian yang kurang baik mempunyai risiko menderita ISPA-pneumonia 45,156 kali lebih besar disbanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan hunian yang baik. 6.2.8 Hubungan Adanya Perokok dengan Kejadian ISPA pada Balita Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan proporsi balita yang tidak ISPA dan tidak serumah dengan perokok sebanyak 66,7%, sedangkan pada balita yang ISPA yaitu hampir seluruhnya tinggal serumah dengan perokok. Hasil penelitian yang dilakukan berdasar analisis bivariat dengan chi square menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara keberadaan perokok dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Dan balita yang tinggal serumah dengan perokok mempunyai peluang lebih besar terkena ISPA daripada tinggal di rumah yang tidak ada anggota keluarga yang perokok.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
66
Ribuan bahan kimia yang terdapat dalam asap rokok, dapat merusak jaringan mukosa dalam hidung, sehingga mikroorganisme akan mudah masuk dan berkembangbiak. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Mudehir (2002) dan Irianto, B (2006) yang sama-sama menyatakan ada hubungan yang bermakna antara asap rokok di dalam rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita. 6.2.9 Hubungan Bahar Bakar Memasak dengan Kejadian ISPA pada Balita Hasil penelitian menggambarkan bahwa
proporsi ibu yang memasak
dengan menggunakan bahan bakar gas/ listrik 66,7% balitanya tidak sakit ISPA, sedangkan ibu yang memasak menggunakan bahan bakar kayu/ minyak tanah, 58,8% menderita sakit ISPA. Pada hasil uji analisis bivariat didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara bahan bakar yang digunakan ibu saat memasak dengan kejadian ISPA pada balita. Hal ini terjadi karena hampir semua rumah penduduk memiliki dapur yang terpisah dari ruang keluarga. Asap sisa pembakaran memasak dengan kayu bakar/ minyak tanah yang berupa partikulat dapat mencemari udara dalam rumah hal ini akan mempermudah terserang penyakit saluran pernapasan, akan tetapi jika letak dapur dikondisikan/ terpisah dari ruangan rumah maka akan mengurangi risiko terkena penyakit saluran pernapasan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mudehir (2002) dan Irianto, B (2006), yang sama-sama menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Masih tingginya angka kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Cibeber Kabupaten Lebak. 2. Pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA masih rendah. Masih banyak ibu balita yang tidak mengetahui faktor-faktor risiko dan bahaya dari penyakit ISPA, kebanyakan ibu menyatakan ISPA merupakan suatu penyakit biasa yang bisa sembuh dengan sendirinya. 3. Balita yang mendapatkan ASI eksklusif memiliki risiko lebih kecil untuk terserang ISPA, sedangkan pada balita dengan riwayat berat lahir rendah mempunyai risiko yang lebih besar untuk terserang ISPA. Meskipun cakupan imunisasi sudah cukup baik namun angka kejadian ISPA pada balita yang mendapat imunisasi lengkap masih tinggi. 4. Keberadaan perokok dalam rumah terbukti sangat mempengaruhi kesehatan balita, terutama untuk terserang penyakit ISPA (OR= 40,5), begitupula dengan kepemilikan ventilasi dalam rumah
dan kepadatan
hunian yang tidak memenuhi syarat mempunyai andil terhadap balita untuk terkena ISPA. 7.2
Saran
7.2.1 Saran bagi Masyarakat 1. Kepada anggota keluarga yang merokok khususnya para bapak, untuk tidak
merokok
dalam
rumah,
atau
sedapat
mungkin
berhenti
mengkonsumsi rokok yang terbukti bahwa asap rokok dapat menyebabkan penyakit pada saluran pernapasan terutama ISPA.
67
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
68
2. Perlu diupayakan peningkatan pengetahuan bagi Kepala Keluarga atau bapak tentang pentingnya menciptakan lingkungan sehat dalam keluarga. Seperti dengan menjadi anggota KBPPKS (Kelompok Bapak Pemerhati Dan Peduli Keluarga Sehat) baik di tingkat kecamatan maupun desa. 3. Bagi ibu hamil dianjurkan menjaga kesehatannya dengan memeriksakan kehamilannya secara rutin ke petugas kesehatan agar dapat melahirkan bayi yang sehat dengan berat badan normal. 4. Kepada masyarakat agar selalu mendukung ibu menyusui untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya sampai dengan usia 6 bulan pertama. 5. Masyarakat diharapkan selalu memperhatikan dan berusaha agar lingkungan rumahnya memenuhi syarat kesehatan salah satunya kepemilikan ventilasi kamar (>10% luas lantai), kepadatan hunian (8m2/ per orang), jendela harus dibuka setiap hari (terutama pagi hari). 7.2.2 Saran bagi Petugas Kesehatan 1.
Memprioritaskan upaya preventif seperti membentuk wadah untuk sarana penyuluhan khususnya untuk para bapak. Seperti KBPPKS (Kelompok Bapak Pemerhati Dan Peduli Keluarga Sehat), dimana pada saat pertemuannya petugas dapat memberikan penyuluhan kepada bapak-bapak mengenai kesehatan lingkungan rumah, keluarga maupun untuk dirinya sendiri. Dengan harapan apa yang disampaikan dalam pertemuan dapat diterapkan di lingkungannya masing-masing, berdasar pertimbangan bahwa bapak adalah pemegang keputusan dalam rumah tangga.
2. Perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat khususnya ibu tentang gejala dan tanda bahaya, penyebab, penularan, cara mencegah dan mengatasi balita yang sakit ISPA. 3. Menjalin kerjasama dengan sektor lain dan para tokoh di masyarakat khususnya pendekatan mengenai diadakannya KBPPKS.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
69
7.2.3 Saran Penelitian Lanjut Hasil penelitian ini masih banyak kelemahannya, walaupun demikian harapannya hasil yang didapatkan bisa dipakai sebagai bahan bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang penyakit ISPA dengan desain berbeda dan variabel-variabel lain yang tidak diteliti.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar, F. (2010). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Badan Pusat Statistik, BKKBN, Depkes RI. (2008). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007, Calverton, Maryland, USA : BPS dan Macro International. Bruce, Nigel et.al. (2007). Bulletin of the WHO: Respiratory Infection in Guatemala. The International Journal Of Public Health, WHO. Burroughs, H.E, CIAQP (et.al). (2008). Managing Indoor Air Quality, Fourth Edition. The Fairmont Press, inc.USA. Chandra, Budiman, Dr. (2006). Pengantar Kesehatan Lingkungan. EGC, Jakarta. Chin, James, MD, MPH. (2006). Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Infomedika, Jakarta. Corwin, Elizabeth, J. (2009). Buku saku patofisiologi, edisi revisi 3. EGC, Jakarta. CR, Simpson et.al. (2000). Health Bulletin vol 58 no.6 issued by Chief Medical Officer. Scottish Executive. Depkes RI. (2004). Kajian riset operasional intensifikasi pemberantasan penyakit menular. Dirjen P2M Balitbangkes, Jakarta. Depkes RI. (2009). Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Vol. XIX. Depkes RI Balitbangkes, Jakarta. Depkes RI. (2009). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Riskesdas Provinsi Banten Tahun 2007, Depkes RI, Jakarta. Depkes RI. (2009). Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Depkes RI Dirjen P2PL, Jakarta. Depkes RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Balitbangkes Kementrian Kesehatan RI Tahun 2010, Jakarta. Djaja, Sarimawar. (1999). Buletin, Penelitian Kesehatan. Depkes RI Balitbangkes, Jakarta. Djojodibroto, Darmanto, R, Dr, Sp.P, FCCP. (2009). Respiratologi (Respiratory Medicine). EGC, Jakarta.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Erfandi.
(2009). Pengetahuan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. http://forbetterhealth.wordpress.com/2009/04/19/pengetahuan-danfaktor-faktor-yang-mempengaruhi/ . Pro-Health. Kamis 2 juni 2011.
Evenhouse, Eirik dan Reilly Siobhan. (2005). Peningkatan Perkiraan Manfaat Menyusui Menggunakan Perbandingan saudara untuk Mengurangi Bias Seleksi. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1361236/ 26062011/10.30 wib Hastono, Sutanto Priyo. (2007). Analisis Data Kesehatan. FKM UI, Depok. Hendarwan, Harimat. (2005). Artikel, Media Litbang Kesehatan Vol XV No 3. Puslitbangkes, Jakarta. Hidayat, Alimul Aziz, A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Salemba Medika, Jakarta. http://www.askep-askeb.cz.cc/2010/05/pengetahuan-tentang-ispa-pada-ibuyang.html/ 25-2-2011. http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/statistika_probilitas/bab1teknik_penarikan_sampel.pdf/ kamis,9/6/2011/9.52 wib. Irianto, Bambang. (2006). Hubungan Faktor Lingkungan Rumah Dan Karakteristik Balita Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Di Wilayah Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon. Program Pascasarjana IKM UI. Johanes. (2006). Particulate Matter (PM10) Dalam Rumah Sebagai Faktor Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Balita Di Kecamatan Payakumbuh Kabupaten Lima Puluh Kota. Program Pascasarjana IKM UI. Kasjono, Heru Subaris dan Yasril. (2009). Teknik Sampling untuk Penelitian Kesehatan. Graha Ilmu, Yogyakarta. Klein, Susan et.al. (2004). A book for Midwives, care for pregnancy, birth, and women’s health. The Hesperian Foundation Berkeley, California, USA. Kresno, Sudarti. (2000). Makara Jurnal Penelitian Universitas Indonesia, No. 4, Seri A. Jakarta. Lindawaty. (2010). Particulat (Pm10) Udara Rumah Tinggal Yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita (Penelitian Di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan Tahun 2009-2010). Program Pacsasarjana IKM UI.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Lemesyow, S et al. ( 1997). Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Mudehir, Muridi. (2002). Hubungan Faktor-faktor Lingkungan Rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada anak balita di kecamatan Jambi Selatan. Program Pasca Sarjana IKM UI. Maryunani, Anik. (2010). Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Trans Info Media, Jakarta. Murphy, Elaine M. (2004). Health Bulletin: Promoting Healthy Behavior. Population Reference Bureau. Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan system Pernapasan. Salemba Medika, Jakarta. Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit, edisi 2. EGC, Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo, Prof. Dr. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta Nurmiati dan Besral. (2008). Makara : Seri Kesehatan, Vol. 12, No. 2.Universitas Indonesia, Depok. Nursalam, DR, M.Nurs (Hons) et.al. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk Perawat dan Bidan). Salemba Medika, Jakarta. Nurjazuli dan Retno Widyaningtyas. (2009). Jurnal Respirologi Indonesia, Majalah resmi perhimpunan dokter paru Indonesia, Vol. 29, No. 2. Pratiknya, Ahmad Watik, Dr. (2007). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Rajawali Pers, Jakarta. Price, Sylvia, A (et.al). (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. EGC, Jakarta. Profil Kecamatan Cibeber. (2010). Cibeber, Banten. Profil Puskesmas DTP Cibeber. (2010). Cibeber, Banten. Purawidjaja, Sudirman. (2000). Hubungan Praktek Penanganan ISPA Oleh Ibu Ditingkat Keluarga Dengan Kejadian Pneumonia Balita Di Puskesmas Kabupaten Bandung.Program Pasca Sarjana, IKM UI Putro, Gurendro dan Priyo Santoso. (2006). Artikel, Medika Jurnal Kedokteran Indonesia, vol XXXII, No. 9. Jakarta.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Robertson, Susan E. (2004). Bulletin of the WHO, The International Journal of Public Health. WHO, USA. Sugiyono, Prof, Dr. (2009). Metode Penelitian Kuntitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta, Bandung. Soesanto, Sri Soewasti dkk. (2000). Artikel, Media Litbang Kesehatan Vol X No 2. Balitbangkes, Jakarta. The World Health Report. (2002). Reducing Risks, Promoting Healthy Life. WHO. Ustun, A. Pruss and C. Corvalan. (2006). Preventing Disease Through Healthy Environments : Toward an estimate of the environmental burden of disease. WHO. Utomo, Budi. (2007). Tantangan Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Bidang Kesehatan di Indonesia. Lokakarya pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia, Depok . Weber, W. Martin, et.al.(1998). Respiratory syncytial virus infection in tropical and developing countries. Tropical Medicine and International Health, vol. 3 no. 4 PP 268-280.WHO. Geneva, Switzerland. Widagdo dkk. (2007). Univers a Medicina, Vol. 26, No.4. Jakarta. Widyaastuti, Harwina, Ns, S.Kep. (2010). Asuhan Keperawatan Anak Dengan Gangguan System Pernapasan. Trans Info Media, Jakarta.
Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
PANDUAN KUESIONER PENELITIAN PENGETAHUAN IBU DAN PENCEMAR UDARA DALAM RUANG DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS CIBEBER KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN TAHUN 2011
Hari/tanggal : Nama Pewawancara : No responden :
I. Karakteristik Ibu Balita 1. Nama ibu :……………………… 2. Alamat
:………………………
3. Umur
:………………………
(Lingkari jawaban yang disebutkan responden) 4. Pendidikan : 1. Tidak sekolah
4. Tamat SLTP
2. Tidak tamat
5. Tamat SMU/ Diploma
3. Tamat SD
6. Tamat D3/ PT
5. Pekerjaan ibu (yang menghasilkan uang) : 1. Ibu Rumah Tangga
4. Karyawan/ buruh
2. PNS/ ABRI
5. Wiraswasta
3. Pegawai swasta
6. Pedagang
II. Karakteristik balita 1. Nama Anak
: …………
2. Umur
: ………..bulan
3. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki
2. Perempuan
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
4. Berat badan saat lahir : 1. < 2500 gr 2. ≥ 2500 gr 5. Apakah balita Ibu mempunyai KMS/ Buku KIA? 1. Ya
2. Tidak
6. Apakah berat badan balita ibu pernah berada di bawah garis merah? 1. Ya
2. Tidak
7. Berapakah berat badan balita ibu saat ini?...........Kg 8. Apakah balita ibu pernah diimunisasi DPT? 1. Ya
2. Tidak
9. Bila ya, berapa kali?............ 10. Apakah balita ibu pernah diimunisasi campak? 1. Ya
2. Tidak
11. Kapan diberikan tanggal/ bulan/ tahun : ……./……/…… 12. Apakah sejak lahir balita ibu diberi ASI? 1. Ya
2. Tidak
13. Pada usia berapa ibu memberikan MP-ASI? 1. < 6 bulan
2. ≥ 6 bulan
14. Apakah ibu membawa balita datang ke puskesmas untuk berobat? 1. Ya
2. Tidak
15. Kapan terakhir balita ibu menderita penyakit panas, batuk, pilek? 1. Sebulan yang lalu 2. 2 minggu yang lalu 3. Saat ini 4. Lainnya, sebutkan……………..
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
III. Pengetahuan Ibu tentang ISPA 16. Apakah ibu pernah mendengar penyakit ISPA (batuk, pilek, napas sesak/ cepat)? 1. Pernah
2. Tidak
17. Menurut ibu, apa saja tanda-tanda (gejala) penyakit ISPA? (jawaban bisa lebih dari satu) 1. Batuk 2. Sesak napas 3. Napas cepat 4. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam 5. Lain-lain, sebutkan :……. 6. Tidak tahu 18. Menurut ibu penyakit ini disebabkan oleh apa? (jawaban bisa lebih dari satu) 1. Bakteri 2. Virus 3. Kuman 4. Cuaca buruk 5. Debu 6. Takdir 7. Tidak tahu 8. Lain-lain, sebutkan…… 19. Menurut ibu, apakah penyakit ISPA termasuk penyakit yang berbahaya? 1. Ya
2. Tidak
20. Bila ya, sebutkan alasannya………… Bila tidak, sebutkan alasannya………
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
21. Apa saja yang menyebabkan balita mudah terkena ISPA? (jawaban bisa lebih dari satu) 1. Tertular oleh penderita batuk 2. Imunisasi yang tidak lengkap 3. Kurang gizi serta pemberian ASI yang tidak memadai 4. Menghirup asap atau debu secara berulang-ulang 5. Tinggal di lingkungan yang tidak sehat 22. Bagaimana cara ibu untuk mencegah agar balita tidak terkena penyakit ISPA? (jawaban bisa lebih dari satu) 1. Menjauhkan balita dari penderita batuk 2. Imunisasi lengkap 3. Memberikan ASI pada bayi/balita dari usia 0-2 tahun 4. Lingkungan dan ruangan yang bebas dari pencemaran udara 5. Menjauhkan bayi dari asap ( rokok, kendaraan, dll) dan debu 23. Apa yang ibu lakukan, apabila anak balita mengalami batuk dan sesak? 1. Diobati sendiri lebih dulu 2. Di bawah ke dokter/ perawat/ bidan/ Rumah Sakit 3. Dibiarkan 4. Lain-lain, sebutkan : …….. IV. Kondisi Lingkungan Rumah 24. Berapa jumlah yang tinggal dalam rumah?...............orang 25. Berapa luas bangunan rumah?........x……cm 26. Berapa luas kamar tidur balita?.......x…….cm 27. Berapa jumlah kamar tidur di rumah ibu? (lingkari satu jawaban) 1. 1 buah
3. 3 buah
2. 2 buah
4. 4 buah
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
28. Berapa banyak jumlah orang yang tidur satu kamar dengan balita? (lingkari satu jawaban) 1. 1 orang 2. 2 orang 3. 3 orang 4. 4 orang 29. Apakah kamar balita ibu memiliki jendela? 1. Ya
2. Tidak
30. Apakah jendela di rumah ibu selalu dibuka tiap hari? 1. Ya
2. Tidak
31. Apakah ibu memiliki dapur? 1. Ya
2. Tidak
32. Apa jenis bahan bakar yang paling sering digunakan untuk memasak di rumah : 1. Gas 2. Listrik 3. Minyak tanah 4. Kayu bakar 33. Apakah dalam keluarga Ibu ada yang merokok di dalam rumah : 1. Ya
2. Tidak
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
LAMPIRAN Skor Pengetahuan Ibu Statistics peng_ibu N
Valid Missing
Mean Median Mode Std. Deviation Variance Minimum Maximum
106 0 32.4151 32.0000 32.00 4.07751 16.626 20.00 43.00
peng_ibu
Valid
20.00 26.00 27.00 28.00 29.00 30.00 31.00 32.00 33.00 34.00 35.00 36.00 37.00 38.00 40.00 41.00 42.00 43.00 Total
Frequency 1 2 7 2 7 9 15 31 5 6 3 1 5 1 2 4 3 2 106
Percent .9 1.9 6.6 1.9 6.6 8.5 14.2 29.2 4.7 5.7 2.8 .9 4.7 .9 1.9 3.8 2.8 1.9 100.0
Valid Percent .9 1.9 6.6 1.9 6.6 8.5 14.2 29.2 4.7 5.7 2.8 .9 4.7 .9 1.9 3.8 2.8 1.9 100.0
Cumulative Percent .9 2.8 9.4 11.3 17.9 26.4 40.6 69.8 74.5 80.2 83.0 84.0 88.7 89.6 91.5 95.3 98.1 100.0
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Output Analisis Univariat ISPA
Valid
Frequency 85 21 106
sakit tidak sakit Total
Percent 80,2 19,8 100,0
Valid Percent 80,2 19,8 100,0
Cumulative Percent 80,2 100,0
PENGETAHUAN_IBU
Valid
Kurang Baik Total
Frequency 74 32 106
Percent 69.8 30.2 100.0
Valid Percent 69.8 30.2 100.0
Cumulative Percent 69.8 100.0
Beratbadan_Lahir
Valid
BBLR Normal Total
Frequency 29 77 106
Percent 27.4 72.6 100.0
Valid Percent 27.4 72.6 100.0
Cumulative Percent 27.4 100.0
Status_ASI
Valid
tidak eksklusif eksklusif Total
Frequency 31 75 106
Percent 29.2 70.8 100.0
Valid Percent 29.2 70.8 100.0
Cumulative Percent 29.2 100.0
ST_imun
Valid
tidak lengkap lengkap Total
Frequency 25 81 106
Percent 23,6 76,4 100,0
Valid Percent 23,6 76,4 100,0
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Cumulative Percent 23,6 100,0
ventilasi Frequency Percent Valid Percent Valid tidak memenuhi syarat 45 42,5 42,5 memenuhi syarat 61 57,5 57,5 Total 106 100,0 100,0
Cumulative Percent 42,5 100,0
kepadtn_penghuni Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid tdk memenuhi syarat 45 42.5 42.5 42.5 memenuhi syarat 61 57.5 57.5 100.0 Total 106 100.0 100.0
perokok
Valid
Frequency ya 88 tidak ada 18 Total 106
Cumulative Percent Percent Valid Percent 83,0 83,0 83,0 17,0 17,0 100,0 100,0 100,0
bahanbakar_masak Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid kayubakar/minyak tanah 57 53.8 53.8 53.8 gas/listrik 49 46.2 46.2 100.0 Total 106 100.0 100.0
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Output Analisis Bivariat 1. Pengetahuan → signifikan PENGETAHUAN_IBU * ISPA Crosstabulation
PENGETAHUAN_IBU Kurang
Baik
Total
Count % within PENGETAHUAN_IBU % within ISPA Count % within PENGETAHUAN_IBU % within ISPA Count % within PENGETAHUAN_IBU % within ISPA
ISPA sakit tidak sakit 65 9
Total 74
87.8%
12.2%
100.0%
76.5% 20
42.9% 12
69.8% 32
62.5%
37.5%
100.0%
23.5% 85
57.1% 21
30.2% 106
80.2%
19.8%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 9.028b 7.503 8.407
8.943
df 1 1 1
1
Asymp. Sig. (2-sided) .003 .006 .004
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.006
.004
.003
106
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6. 34.
Risk Estimate
Value Odds Ratio for PENGETAHUAN_IBU (.00 / 1.00) For cohort ISPA = sakit For cohort ISPA = tidak sakit N of Valid Cases
95% Confidence Interval Lower Upper
4.333
1.596
11.768
1.405
1.061
1.862
.324
.152
.692
106
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
2. BBL → signifikan Beratbadan_Lahir * ISPA Crosstabulation
sakit Beratbadan_Lahir
BBLR
Normal
Total
Count % within Beratbadan_Lahir % within ISPA Count % within Beratbadan_Lahir % within ISPA Count % within Beratbadan_Lahir % within ISPA
ISPA tidak sakit 29 0
Total 29
100.0%
.0%
100.0%
34.1% 56
.0% 21
27.4% 77
72.7%
27.3%
100.0%
65.9% 85
100.0% 21
72.6% 106
80.2%
19.8%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 9.863b 8.221 15.292
9.770
df 1 1 1
1
Asymp. Sig. (2-sided) .002 .004 .000
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.001
.001
.002
106
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5. 75.
Risk Estimate
For cohort ISPA = sakit N of Valid Cases
Value 1.375 106
95% Confidence Interval Lower Upper 1.199 1.577
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
3. Status ASI → signifikan Status_ASI * ISPA Crosstabulation ISPA tidak sakit 31 0 100.0% .0% 36.5% .0% 54 21 72.0% 28.0% 63.5% 100.0% 85 21 80.2% 19.8% 100.0% 100.0% sakit
Status_ASI
tidak eksklusif
eksklusif
Total
Count % within Status_ASI % within ISPA Count % within Status_ASI % within ISPA Count % within Status_ASI % within ISPA
Total 31 100.0% 29.2% 75 100.0% 70.8% 106 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square a Continuity Correction Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 10,824b 9,134 16,585
df
10,722
1 1 1
1
Asymp. Sig. (2-sided) ,001 ,003 ,000
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
,000
,000
,001
106
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,14.
Risk Estimate
For cohort ISPA = sakit N of Valid Cases
Value 1,389 106
95% Confidence Interval Lower Upper 1,206 1,599
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
4. Status Imunisasi ST_imun * ISPA Crosstabulation ISPA sakit ST_imun
tidak lengkap
lengkap
Total
Count % within ST_imun % within ISPA Count % within ST_imun % within ISPA Count % within ST_imun % within ISPA
22 88,0% 25,9% 63 77,8% 74,1% 85 80,2% 100,0%
tidak sakit 3 12,0% 14,3% 18 22,2% 85,7% 21 19,8% 100,0%
Total
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
25 100,0% 23,6% 81 100,0% 76,4% 106 100,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
a
Value 1,257b ,695 1,370
df 1 1 1
Asymp. Sig. (2-sided) ,262 ,404 ,242
,391 1,245
1
,265
106
a. Computed only for a 2x2 table b. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,95.
Risk Estimate
Value Odds Ratio for ST_imun (tidak lengkap / lengkap) For cohort ISPA = sakit For cohort ISPA = tidak sakit N of Valid Cases
95% Confidence Interval Lower Upper
2,095
,562
7,805
1,131
,940
1,362
,540
,173
1,683
106
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
,205
5. Ventilasi → signifikan ventilasi * ISPA Crosstabulation
ventilasi
tidak memenuhi syarat
Count % within ventilasi % within ISPA Count % within ventilasi % within ISPA Count % within ventilasi % within ISPA
memenuhi syarat
Total
ISPA sakit tidak sakit 43 2 95,6% 4,4% 50,6% 9,5% 42 19 68,9% 31,1% 49,4% 90,5% 85 21 80,2% 19,8% 100,0% 100,0%
Total 45 100,0% 42,5% 61 100,0% 57,5% 106 100,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
a
Value 11,623b 10,003 13,491
df 1 1 1
Asymp. Sig. (2-sided) ,001 ,002 ,000
Exact Sig. (2-sided)
,000 11,514
1
,001
106
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,92.
Risk Estimate
Value Odds Ratio for ventilasi (tidak memenuhi syarat / memenuhi syarat) For cohort ISPA = sakit For cohort ISPA = tidak sakit N of Valid Cases
95% Confidence Interval Lower Upper
9,726
2,132
44,373
1,388
1,159
1,662
,143
,035
,582
106
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Exact Sig. (1-sided)
,000
6. kepadatan hunian→ signifikan kepadtn_penghuni * ISPA Crosstabulation
kepadtn_ penghuni
Total
tdk memenuhi syarat Count % within kepadtn_ penghuni % within ISPA memenuhi syarat Count % within kepadtn_ penghuni % within ISPA Count % within kepadtn_ penghuni % within ISPA
ISPA sakit tidak sakit 45 0
Total 45
100.0%
.0%
100.0%
52.9% 40
.0% 21
42.5% 61
65.6%
34.4%
100.0%
47.1% 85
100.0% 21
57.5% 106
80.2%
19.8%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.000
.000
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 19.319b 17.213 26.982
df
19.137
1 1 1
1
Asymp. Sig. (2-sided) .000 .000 .000
.000
106
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8. 92.
Risk Estimate
For cohort ISPA = sakit N of Valid Cases
Value 1.525 106
95% Confidence Interval Lower Upper 1.271 1.829
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
7. Perokok → signifikan perokok * ISPA Crosstabulation
perokok
ya
tidak ada
Total
Count % within perokok % within ISPA Count % within perokok % within ISPA Count % within perokok % within ISPA
ISPA sakit tidak sakit 81 7 92,0% 8,0% 95,3% 33,3% 4 14 22,2% 77,8% 4,7% 66,7% 85 21 80,2% 19,8% 100,0% 100,0%
Total 88 100,0% 83,0% 18 100,0% 17,0% 106 100,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
a
Value 45,859b 41,569 37,591
df 1 1 1
Asymp. Sig. (2-sided) ,000 ,000 ,000
Exact Sig. (2-sided)
,000 45,426
1
,000
106
a. Computed only for a 2x2 table b. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,57.
Risk Estimate
Value Odds Ratio for perokok (ya / tidak ada) For cohort ISPA = sakit For cohort ISPA = tidak sakit N of Valid Cases
95% Confidence Interval Lower Upper
40,500
10,466
156,715
4,142
1,742
9,852
,102
,048
,217
106
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Exact Sig. (1-sided)
,000
8. bahan bakar masak
bahanbakar_masak * ISPA Crosstabulation
bahanbakar_masakkayubakar/minyak tanah Count % within bahanbakar_masak % within ISPA gas/listrik Count % within bahanbakar_masak % within ISPA Total Count % within bahanbakar_masak % within ISPA
ISPA sakit tidak sakit 50 7
Total 57
87.7%
12.3%
100.0%
58.8% 35
33.3% 14
53.8% 49
71.4%
28.6%
100.0%
41.2% 85
66.7% 21
46.2% 106
80.2%
19.8%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
a
Value 4.402b 3.436 4.435
df 1 1 1
Asymp. Sig. (2-sided) .036 .064 .035
Exact Sig. (2-sided)
.050 4.360
1
.037
106
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9. 71. Risk Estimate
Value Odds Ratio for bahanbakar_masak (kayubakar/minyak tanah / gas/listrik) For cohort ISPA = sakit For cohort ISPA = tidak sakit N of Valid Cases
95% Confidence Interval Lower Upper
2.857
1.046
7.804
1.228
1.003
1.503
.430
.189
.979
106
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Exact Sig. (1-sided)
.032