UNIVERSITAS INDONESIA
PERGERAKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK NON SUBSIDI RON 92: TEORI ASYMMETRIC PRICE TRANSMISSION MENGGUNAKAN METODE ERROR CORRECTION MODEL
TESIS
FEBBY KRISTANTRI 1006741225
FAKULTAS EKONOMI PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK JAKARTA NOVEMBER 2012
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
PERGERAKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK NON SUBSIDI RON 92: TEORI ASYMMETRIC PRICE TRANSMISSION MENGGUNAKAN METODE ERROR CORRECTION MODEL
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ekonomi
FEBBY KRISTANTRI 1006741225
FAKULTAS EKONOMI PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK KEKHUSUSAN EKONOMI PERSAINGAN USAHA JAKARTA NOVEMBER 2012
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.
Jakarta,
(
November 2012
Febby Kristantri
)
ii Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
:
Febby Kristantri
NPM
:
1006741225
Tanda Tangan
:
Tanggal
:
November 2012
iii Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh
:
Nama
: Febby Kristantri
NPM
: 1006741255
Program Studi
: Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Judul Tesis
: Pergerakan Harga Bahan Bakar Minyak Non Subsidi RON 92: Teori Asymmetric Price Transmission menggunakan Metode Error Correction Model
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Ekonomi pada Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing
: DR. Andi Fahmi Lubis, SE., ME.
(
)
Penguji
: Sri Mulyono, SE., M.Sc.
(
)
Penguji
: Titissari, MT., M.Sc.
(
)
Ditetapkan di
: Jakarta
Tanggal
:
November 2012
iv Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Kekhususan Program Studi Fakultas Jenis Karya
: : : : : :
Febby Kristantri 1006741255 Ekonomi Persaingan Usaha Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Ekonomi Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Pergerakan Harga Bahan Bakar Minyak Non Subsidi RON 92: Teori Asymmetric Price Transmission menggunakan Metode Error Correction Model beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Noneksklusif
ini
Universitas
Dengan Hak Bebas Royalti
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Jakarta
Pada tanggal
:
November 2012
Yang menyatakan
( Febby Kristantri )
v Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Ekonomi di Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: (1)
Bapak DR. Andi Fahmi Lubis, SE. ME., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini;
(2)
Bapak Nurkholis, SE. M.Se, selaku dosen Ekonometrika yang dengan sabar membantu saya dalam pengolahan data untuk penyusunan tesis ini;
(3)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU), yang telah memberikan beasiswa bagi saya untuk menempuh studi S-2 di Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia;
(4)
Orang tua dan keluarga saya yang senantiasa memberikan dukungan material dan moral serta menjadi penyemangat dalam penulisan tesis ini;
(5)
Esti Wulandari dan Ulfah Purba Agung N, sahabat yang telah memberikan ide dan banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini;
(6)
Diana Yoseva, Ita Damayanti, Firdaussy Yustiningsih, Liasari, dan Wiwit Widodo, rekan-rekan KPPU yang telah berjuang bersama selama masa perkuliahan dan penyelesaian tesis;
(7)
Te Chan yang telah banyak membantu dalam perolehan data;
(8)
Rekan-rekan Angkatan XXIII Sore MPKP FEUI yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah menjadi teman dan sahabat selama ini. vi Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Jakarta,
November 2012
Penulis
vii Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
ABSTRAK Nama
: Febby Kristantri
Program Studi
: Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Judul
: Pergerakan Harga Bahan Bakar Minyak Non Subsidi RON 92: Teori Asymmetric Price Transmission menggunakan Metode Error Correction Model
Sejak diberlakukannya liberalisasi di sektor hilir Industri Bahan Bakar Minyak (BBM), jumlah operator atau pelaku usaha yang aktif melaksanakan bisnis hanya 4 (empat) yaitu Pertamina, Petronas, Shell, dan Total. Terlihat bahwa harga jual bahan bakar minyak non subsidi khususnya RON 92 dari SPBU pelaku usaha tersebut di atas ketika harga input crude oil mengalami kenaikan segera direspon namun ketika terjadi kondisi sebaliknya dimana harga input crude oil mengalami penurunan direspon lambat. Tujuan tesis ini adalah untuk melakukan analisis pergerakan harga jual BBM non subsidi RON 92 di SPBU berdasarkan teori asymmetric price transmission dengan cara membandingkan harga jual di SPBU terhadap harga input crude oil serta menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU. Berdasarkan pengujian dan analisis data, didapatkan bahwa terdapat fenomena asymmetric price transmission pada industri BBM RON 92. Harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU lebih terkorelasi dalam jangka panjang dengan harga input crude oil ICP dibandingkan dengan harga input crude oil MOPS. Faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena asymmetic price transmission-selain harga input crude oil ICP yang berpengaruh sekitar 68.79% terhadap harga Pertamax-adalah komponen lain dalam harga impor yang membentuk total biaya aktual (landed cost) yaitu iuran-iuran pasar, ongkos pengangkutan, asuransi, aditif, kehilangan di laut, bea dan cukai, serta biaya surveyor. Kondisi ini setidaknya dapat dijelaskan oleh beberapa kondisi seperti pembelian bahan bakar minyak RON 92 pada periode sebelumnya (kontrak harga, nilai tukar, dan biaya distribusi), penetapan harga pesaing, serta struktur pasar industri bahan bakar minyak RON 92. Kata Kunci: Asymmetric Price Transmission, Crude Oil, Harga Jual BBM RON 92
viii Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
ABSTRACT
Name
: Febby Kristantri
Studi Program
: Master of Planning and Public Policy
Title
: Movement of Non-Subsidies RON 92 Fuel Price: Theory of Asymmetric Price Transmission with Error Correction Model Method
Since liberalization takes place in downstream fuel industries, the number of operators or business actors that actively conduct business are only 4 (four). There are Pertamina, Petronas, Shell, and Total. It appears that the selling price of non-subsidized fuel prices of RON 92 at petrol stations business actors mentioned above is when the crude oil input prices rose, the business actors quickly responded, but when it happens the opposite where the price of crude oil inputs decreased the business actors response are slow. The purpose of this thesis is to analyze the movement of non-subsidized price of RON 92 fuel at the petrol stations based on the theory of asymmetric price transmission by comparing the sales price at the petrol stations to the price of crude oil input and explain the factors that influence the retail price of nonsubsidized fuel RON 92 at the petrol stations. Based on the testing and analysis of the data, it was found that there is a phenomenon of asymmetric price transmission on RON 92 fuel industry. Retail price of non-subsidized RON 92 fuel at the petrol stations over the long term correlated with the price of crude oil inputs ICP compared to the price of crude oil inputs MOPS. Factors that led to the phenomenon of asymmetric price transmission-other than the price of crude oil inputs ICP that affect approximately 68.79% to the price of Pertamax-are another component in the price of imports that make up the total actual cost (landed cost). There are the market dues, freight, insurance, additive, lost at sea, customs and excise, and surveyors fees. This condition can at least be explained by a number of conditions such as purchasing fuel RON 92 in the previous period (the contract price, exchange rate, and distribution costs), competitor pricing, and industry market structure of fuel RON 92. Key words: Asymmetric Price Transmission, Crude Oil, Selling Price of fuel RON 92
ix Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL…………………………………………………………. i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME………………………… ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………….. iii HALAMAN PENGESAHAN……………………………………...………… iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS…………………………… v KATA PENGANTAR………...……………………………………………… vi ABSTRAK………………………………………………………………….... viii ABSTRACT………………………………………………………………...... ix DAFTAR ISI…………………………………………………………...…….. x DAFTAR DIAGRAM……………………………………………………...… xii DAFTAR GRAFIK...………………………………………………………… xiii DAFTAR TABEL……………………………………………………………. xiv DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. xv 1.
PENDAHULUAN……………………………………………………... 1.1 Latar Belakang…………………………………………………… 1.2 Rumusan Masalah………………………………………………... 1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………… 1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………….. 1.5 Hipotesis Penelitian……………………………………………… 1.6 Metodologi Penelitian……………………………………………. 1.6.1 Metode Penelitian………………………………………… 1.6.2 Teknik Pengumpulan Data……………………………….. 1.6.3 Tahapan Penelitian……………………………………….. 1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian ……………………………….. 1.6.5 Kerangka Pemikiran ……………………………………... 1.7 Sistematika Penulisan…………………………………………….
1 1 8 8 9 9 9 9 12 12 13 13 14
2.
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………. 2.1 Pengertian………………………………………………………... 2.2 Tipe Asymmetric Price Transmission……………………………….. 2.3 Penyebab Asymmetric Price Transmission…………………………. 2.4 Lag dalam Proses Produksi dan Manajemen Persediaan………… 2.5 Market Power dan Local Price……………………………………….. 2.6 Kondisi Industri Bahan Bakar Minyak…………………………... 2.6.1 Pelaku Usaha……………………………………………...
16 16 21 25 31 32 33 34
x Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
2.6.2 Distribusi Bahan Bakar Minyak………………………….. 2.6.3 Regulasi……………………………………………………
39 40
3.
METODE PENELITIAN…………………………………………….. 3.1 Cakupan Penelitian………………………………………………. 3.2 Metode Analisis………………………………………………….. 3.3 Tahapan Pengujian……………………………………………….. 3.3.1 Tes Stasioner……………………………………………... 3.3.2 Tes Kointegrasi…………………………………………... 3.3.3 Metode Error Correction Model……………………………. 3.3.4 Tes Simetrik…………………………………………...…. 3.3.5 Tes Asimetrik…………………………………………….. 3.4 Data Setting……………………………………………………………...
48 48 50 51 52 54 55 56 57 59
4.
ANALISA DAN PEMBAHASAN……………………………………. 4.1 Analisa Data Deskriptif…………………………………………... 4.2 Analisa Time Series……………………………………………………. 4.2.1 Tes Stasioner……………………………………………... 4.2.2 Tes Kointegrasi…………………………………………... 4.3 Pengolahan Data Model Error Correction Model (ECM)……….. 4.3.1 Tes Simetrik……………………………………………… 4.3.2 Tes Asimetrik…………………………………………….. 4.3.3 Wald Test………………………………………………… 4.4 Analisa Penyebab Asymmetric Price Transmission antara Harga Input Crude Oil MOPS dengan Harga Jual Eceran Pertamax di SPBU ……………………………..……………………………… 4.5 Analisa Penyebab Asymmetric Price Transmission antara Harga Input Crude Oil ICP dengan Harga Jual Eceran Pertamax di SPBU………………………………………………………………… 4.5.1 Persediaan………………………………………………… 4.5.2 Penetapan Harga………………………………………….. 4.5.3 Kekuatan Pasar (Market Power)...………………………..
60 60 62 63 65 67 67 73 75 76
KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………….. 5.1 Kesimpulan………………………………………………………. 5.2 Saran……………………………………………………………...
89 89 90
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
92
5.
77
77 81 85
xi Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 1.a
Asymmetric Price Transmission (magnitude)
22
Diagram 1.b
Asymmetric Price Transmission (speed)
22
Diagram 1.c
Asymmetric Price Transmission (speed and magnitude)
22
Diagram 2.a
Positive Asymmetric Price Transmission
24
Diagram 2.b
Negative Asymmetric Price Transmission
24
Diagram 3
Types of Error Correction
25
xii Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1
Perbandingan Jumlah Impor RON 95 dan RON 92
3
Grafik 1.2
Perbandingan Harga Tahun 2011
7
Grafik 2.1
Pola Distribusi Bahan Bakar Minyak
39
Grafik 3.1
Tahapan Analisis Data
58
Grafik 4.1
Pergerakan Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92
60
Grafik 4.2
Pergerakan Harga Input Crude Oil (MOPS dan ICP)
62
Grafik 4.3
Hasil Tes Granger Causality Data Harga Jual BBM Non Subsidi RON 92 dengan Harga Input Crude Oil (MOPS dan ICP)
67
Grafik 4.4
Hasil Tes Granger Causality Data Keseluruhan Harga Jual BBM Non Subsidi RON 92 dengan Harga Input Crude Oil (MOPS dan ICP)
68
Grafik 4.5
Impor Crude Petroleum Oil Indonesia Tahun 2005-2011
78
xiii Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1
Kerangka Pemikiran
14
Tabel 4.1
Jumlah Produksi, Impor, dan Konsumsi
61
Tabel 4.2
Besar Pengaruh Biaya
81
Tabel 4.3
Struktur Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92 Pertamina
82
Tabel 4.4
Struktur Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92 Petronas
84
Tabel 4.5
Perubahan Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92
85
Tabel 4.6
Jumlah SPBU di Indonesia
87
xiv Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Hasil Program E-Views
92
Lampiran 2
Hasil ANOVA
Lampiran 3
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 120
118
2001 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri Lampiran 4
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 124 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri
Lampiran 5
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan 135 Gas Bumi
xv Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Bahan bakar minyak (BBM) merupakan komoditas utama yang memiliki
dampak pengganda strategis bagi perekonomian nasional (Noor: 2011). BBM juga merupakan komoditas strategis yang digunakan di hampir seluruh proses produksi dan bukanlah variabel tunggal yang bersifat steril yang tidak mempengaruhi harga barang lain. Jika harga BBM naik, terjadi pula kenaikan harga bahan baku dan barang antara, dan end user-lah yang akan menanggungnya (Lestari: 2012). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, Indonesia memberlakukan liberalisasi bisnis di sektor hilir. Pemahaman mendasar mengenai hal ini adalah dibukanya industri hilir migas dimana PT Pertamina (Persero) bukan lagi menjadi pemain tunggal. Hingga saat ini, jumlah badan usaha atau operator yang secara aktif melaksanakan bisnis dalam BBM hanya ada 4 (empat) pelaku usaha yaitu PT Pertamina (Persero) selanjutnya akan dipersingkat dengan Pertamina, Petronas Indonesia (Petronas), PT. Shell Indonesia (Shell), dan Total Indonesie (Total). Dalam rangka menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Pasal 44 butir c mengatur bahwa dalam melaksanakan kegiatan usaha niaga, Badan Usaha wajib menjamin harga jual BBM, bahan bakar gas, bahan bakar lain dan/atau hasil olahan pada tingkat yang wajar. Sejak liberalisasi, Pemerintah memberlakukan 2 (dua) penetapan harga pada BBM yaitu berdasarkan harga yang di regulasi dan yang tidak di 1 Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
2
regulasi atau berdasarkan mekanisme pasar. Penetapan harga yang diregulasi dilakukan agar harga jual eceran BBM dalam negeri dapat dijangkau oleh masyarakat kurang mampu sebagai bentuk program peningkatan kesejahteraan melalui subsidi. Penetapan harga BBM bersubsidi diregulasi sejak lama di bawah harga pasar dengan gap (kesenjangan) dijembatani melalui subsidi oleh pemerintah dan ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri mengatur harga jual eceran Bensin Premium dan Minyak Solar (Gas Oil) untuk Usaha Kecil, Transportasi, dan Pelayanan Umum di titik serah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk setiap liter. Akses terhadap capped prices (harga tertinggi) dibuat sama rata untuk masyarakat berpenghasilan tinggi dan rendah. BBM yang disubsidi oleh Pemerintah adalah hanya untuk jenis BBM bensin premium dengan Randon Otcane Number (RON) 88 sedangkan untuk BBM jenis lain yang ada di pasaran tidak di subsidi. Jenis BBM Bensin merupakan nama umum bagi beberapa jenis BBM yang diperuntukkan untuk mesin dengan pembakaran dengan pengapian. Di Indonesia terdapat beberapa jenis bahan bakar jenis bensin yang memiliki nilai mutu pembakaran berbeda. Nilai mutu jenis BBM bensin ini dihitung berdasarkan nilai RON. Berdasarkan RON tersebut maka BBM bensin dibedakan menjadi 3 jenis yaitu (www.bpmigas.com): a.
Premium (RON 88): Premium adalah bahan bakar minyak jenis distilat berwarna kekuningan yang jernih. Warna kuning tersebut akibat adanya zat pewarna tambahan (dye). Penggunaan premium pada umumnya adalah untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin bensin, seperti: mobil, sepeda motor, motor tempel, dan lain-lain. Bahan bakar ini sering juga disebut motor gasoline atau petrol.
b.
Pertamax (RON 92): ditujukan untuk kendaraan yang mempersyaratkan penggunaan bahan bakar beroktan tinggi dan tanpa timbal (unleaded). Pertamax juga direkomendasikan untuk kendaraan yang diproduksi di atas tahun 1990 terutama yang telah menggunakan teknologi setara dengan electronic fuel injection dan catalytic converters.
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
3
c.
Pertamax Plus (RON 95):
Jenis BBM ini telah memenuhi standar
performance International World Wide Fuel Charter (WWFC). Ditujukan untuk kendaraan yang berteknologi mutakhir yang mempersyaratkan penggunaan bahan bakar beroktan tinggi dan ramah lingkungan. Pertamax Plus sangat direkomendasikan untuk kendaraan yang memiliki kompresi ratio > 10,5 dan juga yang menggunakan teknologi Electronic Fuel Injection (EFI), Variable Valve Timing Intelligent (VVTI), Valve Timing Intelligent (VTI), Turbochargers dan Catalytic Converters.
Penelitian ini dikhususkan pada RON 92 dikarenakan penetapan harga BBM bensin RON 88 merupakan harga yang disubsidi dan ditetapkan oleh pemerintah sehingga tidak terdapat persaingan yang berarti. Bila dibandingkan dengan RON 95, pengguna RON 92 lebih besar yang dibuktikan dengan jumlah impor yang memiliki kecenderungan makin meningkat sebagaimana terlihat pada grafik di bawah ini. Per Ribu Kilo Liter 450 400 350 300 250
IMPOR RON 95
200
IMPOR RON 92
150 100 50 0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: Ditjen Migas, PT. Pertamina (Persero), diolah Pusdatin KESDM
Grafik 1.1 Perbandingan Jumlah Impor RON 95 dan RON 92
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
4
Penetapan harga BBM non subsidi pada kegiatan usaha minyak dan gas bumi terutama hilir diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan. Dalam pasal 28 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 menyatakan bahwa harga dan bahan bakar minyak diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Sebelum adanya kebijakan liberalisasi migas di Indonesia, masyarakat hanya mengenal produk dari Pertamina, tetapi sekarang telah banyak produk-produk dari perusahaan minyak dunia masuk ke Indonesia seperti Petronas, Shell, dan Total yang turut mendorong makin ketatnya persaingan penjualan BBM non subsidi. Harga jual eceran Pertamina, Petronas, Shell, dan Total yang ditetapkan memiliki trend atau pola yang hampir sama. Hal ini mengindikasikan bahwa industri BBM non subsidi semakin ketat. Karakter konsumen Indonesia yang sensitif pada harga, membuat para operator atau pelaku usaha BBM non subsidi bersaing dalam pricing strategy. Akibatnya, perang harga BBM non subsidi pun makin sengit. Menurut Vice President Komunikasi Pertamina, Mochamad Harun, mengatakan pricing strategy merupakan salah satu cara Pertamina untuk bersaing di pasar BBM non subsidi. Bahkan, Pertamina akan menempuh cara yang cukup ekstrem, yakni mempercepat frekuensi penyesuaian harga1. Persaingan makin diperuncing dengan akan diberlakukannya kebijakan Pemerintah mengenai pembatasan BBM bersubsidi (premium). Dengan pembatasan BBM bersubsidi, yang dirancang berlaku di seluruh Indonesia, operator asing memiliki peluang cukup besar dan merata. Hal ini dikarenakan ketika BBM bersubsidi dibatasi, otomatis konsumsi BBM non subsidi akan meningkat.
Pada saat itulah,
konsumen bebas memilih BBM non subsidi yang dijual di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) mana saja yang lebih menguntungkan, termasuk SPBU asing. Karenanya, sangat wajar jika kebijakan pembatasan BBM bersubsidi akan banyak menguntungkan SPBU asing2. Hal ini didukung pernyataan Bayu Wicaksono, Regional Sales Manajer Total, Total saat ini baru menguasai 1% dari market share penjualan BBM di Indonesia. Setelah ada rencana pencabutan BBM bersubsidi, diperkirakan market share Total dapat naik hingga 5-6%. Sehingga 1 2
JPNN. (3 Juni 2011). BBM Non Subsidi Perang Harga. http://fajar.co.id. Bersaing Ketat Karena Minyak. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
5
pembatasan BBM bersubsidi membuat perusahaan asing kian berhasrat merebut pangsa pasar3. Selama ini penjualan non-Premium (BBN non subsidi) dari Shell, Total, dan Petronas hanya sekitar 3% persen dari seluruh pangsa pasar. Sedangkan Pertamina bisa menjual Pertamax sekitar 2.500 kiloliter per hari. Jika penghematan Premium di Jakarta sekitar 5.000 kiloliter, terjadi lonjakan konsumsi bahan bakar non-Premium sekitar 2.500 kiloliter per hari. Hal inilah yang diperebutkan Pertamina dan kompetitor4. Rujukan penetapan harga BBM non subsidi keempat operator SPBU tersebut ditetapkan bukan berdasarkan transaksi jual beli minyak di bursa ICE Futures London ataupun bursa New York Mercantile Exchange (Nymex). Rujukan operator tersebut adalah MOPS yaitu standar harga minyak (crude oil) di bursa Singapura. MOPS adalah acuan harga untuk transaksi minyak di kawasan Asia sedangkan bursa ICE hanya sebagai patokan transaksi minyak dunia untuk jenis brent sementara bursa Nymex adalah acuan transaksi minyak jenis ringan atau light sweet. MOPS merupakan singkatan dari Mean of Platts Singapore yang merupakan penilaian produk untuk trading minyak di kawasan Asia yang dibuat oleh Platts yaitu anak perusahaan McGraw Hill. Istilah MOPS selama ini lebih dikenal di Indonesia dengan Mid Oil Platts Singapore yang dijadikan patokan harga BBM di Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2001 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri pasal 5 yang menyatakan bahwa harga pasar adalah harga yang ditetapkan setiap bulan berdasarkan Mid Oil Platts Singapore (MOPS) rata-rata dari bulan sebelumnya ditambah 5% (lima persen) dan diperjelas dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 20055 . Harga MOPS juga digunakan untuk perhitungan subsidi BBM sebagai pengeluaran negara. Perhitungan didasarkan pada selisih harga patokan per liter jenis BBM tertentu yang didasarkan pada MOPS ditambah alpha (margin dan fee distribusi) yang nilainya sebesar 14,1% dikurangi dengan harga jual eceran per
3
Reyno. (11 Februari 2011). BBM Subsidi Dipangkas, SPBU Asing Siap Rebut Pasar. http://www.medantalk.com. 4 Bensin Bersubsidi di Batasi, Siapa Diuntungkan?. (15 Desember 2010). http://tempointeraktif.com. 5 Bersaing Ketat Karena Minyak. (12 Maret 2011). http://bungapadangilalang.com. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
6
liter jenis BBM tertentu di Indonesia yang akan menjadi besar patokan subsidi untuk tiap liter jenis BBM tertentu. Dengan telah ditetapkan ketentuan mengenai MOPS sebagai dasar harga patokan, harga patokan BBM Indonesia sangat tergantung pada harga yang muncul pada transaksi jual beli minyak di Singapura6. Melonjaknya harga MOPS secara faktual akan mempengaruhi harga BBM non subsidi di Indonesia. Melambungnya harga MOPS pada bulan April tahun 2011 dari US$ 119 per barel menjadi US$ 256 per barel menjadi penyebab harga BBM non subsidi untuk Pertamina naik dari Rp 7.675,- per liter menjadi Rp 8.000,- per liter. Harga di Petronas meningkat dari Rp 7.650,- per liter menjadi Rp 7.950,- per liter, harga Shell berubah dari Rp 7.775,- per liter menjadi Rp 7.975,- per liter dan harga Performance berubah dari Rp 7.700,- per liter menjadi Rp 7.950,- per liter. Hal ini dapat dijelaskan karena sebesar 67.57% dari harga jual eceran operator berasal dari harga MOPS sebagai biaya input menurut Kurtubi. Akan tetapi, berdasarkan data yang didapat dari Pertamina, Kurtubi juga mempertanyakan margin Pertamax yang cukup besar yaitu sekitar 37.8% (dengan harga eceran Pertamax sebesar Rp 6.000,00 per liter dan harga MOPS sebesar US$ 54/bbls)7. Mengingat harga MOPS mempengaruhi harga jual eceran sebesar 67.57% maka ketika terjadi penurunan harga MOPS seharusnya harga BBM non subsidi juga mengalami penurunan. Akan tetapi, hal ini tidak terjadi. Ketika terjadi penurunan harga di pasar input (MOPS) harga BBM non subsidi pada pasar domestik diindikasikan tidak meresponnya secara proporsional. Sebagai contoh adalah menurunnya harga MOPS pada bulan Juni ke bulan Juli tahun 2011 dari US$ 569 per barel menjadi US$ 247 per barel yang seharusnya menyebabkan harga jual eceran BBM non subsidi mengalami penurunan. Akan tetapi pada kenyataanya, harga jual eceran BBM non subsidi tidak mengalami penurunan. Harga jual eceran BBM non subsidi Pertamina justru meningkat dari Rp 8.650,per liter menjadi Rp 9.150,- per liter. Harga pada Petronas naik dari harga Rp 8.600,- per liter menjadi Rp 8.875,- per liter, harga Shell mengalami kenaikan dari 6
Analisis Hukum atas Harga Patokan yang Berpengaruh pada Subsidi Bahan Bakar Minyak Jenis Tertentu. http://www.jdih.bpk.go.id. 7 Kurtubi. (2009). Harga MOPS dan Struktur Harga Keekonomian dan Margin BBM Non Subsidi. Jakarta. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
7
Rp 8.550.- per liter menjadi Rp 9.050,- per liter. Sedangkan harga Total naik dari Rp 8.600,- per liter menjadi Rp 9.025,- per liter. Pelaku usaha dalam industri BBM non subsidi dengan RON 92 selalu merevisi harga BBM non subsidi setiap 2 (dua) minggu sekali dalam sebulan mengikuti harga input (MOPS). Akan tetapi berdasarkan data tersebut di atas, dapat dilihat bahwa harga jual eceran BBM non subsidi tetap meningkat walaupun terjadi penurunan harga yang signifikan pada harga input crude oil yang menjadi rujukan yaitu MOPS. Akan tetapi apabila harga MOPS meningkat, harga jual eceran akan mengikuti peningkatan tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat perbandingan harga pada grafik di bawah ini.
35000 30000 25000 PERTAMAX
20000
SUPER
15000
PRIMAX
10000
PERFORM MOPS
5000 0
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Grafik 1.2 Perbandingan Harga Tahun 2011
Selain hal tersebut di atas, penetapan harga yang cenderung sama akibat pricing strategy mengindikasikan adanya price leadership dan price taker dalam industri.
Hal ini perlu ditinjau untuk melihat apakah strategi harga yang
ditetapkan setiap operator tersebut menguntungkan semua pihak dalam jangka Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
8
pendek dan jangka panjang. Apakah akibat penetapan harga tersebut mengakibatkan industri dapat bersaing secara sehat dan ketat. Berdasarkan uraian dan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui mekanisme pergerakan harga pada industri BBM non subsidi terutama pengaruh harga input crude oil (MOPS) terhadap harga output di tingkat konsumen (harga jual eceran di SPBU) untuk kandungan oktan (RON) 92. Dan apakah ada faktor input lain yang berpengaruh terhadap harga jual eceran RON 92 di SPBU dari 4 (empat) pelaku usaha di industri BBM.
1.2
Rumusan Masalah Penelitian ini bertujuan untuk melakukan peninjauan terhadap mekanisme
dan mengeksplorasi price transmisssion yang terjadi dalam industri BBM non subsidi RON 92 yaitu untuk membuktikan apakah pergerakan harga output di tingkat konsumen (harga jual eceran di SPBU) tidak mengikuti pergerakan harga input (crude oil MOPS).
Penelitian akan didukung dengan perhitungan
asymmetric price transmission secara empirik melalui metode error correction model (ECM).
Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi kemungkinan
terjadinya respon asymmetric harga hulu (harga input) dan hilir (harga jual di SPBU) serta alasan utama yang dapat menjelaskan fenomena asymmetric price transmission.
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk
meninjau mekanisme dan melakukan ekspolasi perhitungan asymmetric price transmission secara empirik melalui metode error correction model (ECM). Masalah yang ingin digali dalam penelitian ini adalah sejauh mana pergerakan harga BBM Non Subsidi di Indonesia dalam pasar oligopoli. Secara khusus, penelitian bertujuan untuk mengkaji pengaruh harga input (crude oil MOPS) terhadap harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU. Tujuan analisis pergerakan harga input (crude oil MOPS) terhadap harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dilakukan dengan cara:
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
9
a.
Membandingkan pergerakan harga input (crude oil MOPS) terhadap harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU;
b.
Mengidentifikasi faktor input lain yang berpengaruh terhadap harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dan dikaitkan dengan kondisi pasar dalam industri BBM di Indonesia.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-
pihak terkait, yaitu: 1.
Sebagai masukan dalam perumusan regulasi dan kebijakan pemerintah dalam industri BBM non subsidi RON 92 sehingga memberikan jaminan kepastian persaingan yang sehat dalam industri;
2.
Memberikan sumbangan pemikiran dalam dunia akademis untuk melanjutkan penelitian lebih lanjut dan mendalam mengenai persoalan-persoalan dalam industri BBM non subsidi RON 92;
3.
Memberikan masukan bagi dunia usaha dalam mengambil kebijakan yang berhubungan dengan industri BBM non subsidi RON 92.
1.5
Hipotesis Penelitian Yaitu hipotesis yang relevan untuk diuji dalam penelitian ini dan terkait
dengan tujuan penelitian. Hipotesis pada dasarnya merupakan suatu kesimpulan yang bersifat sementara tentang perilaku variabel-variabel dalam model yang digunakan, yang akan dibuktikan kebenarannya melalui suatu uji statistik. Berkenaan dengan data tersebut maka hipotesis awal yang dirumuskan untuk penelitian ini adalah: a.
Diduga pergerakan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU bersifat asimetrik dengan pergerakan harga input (crude oil MOPS);
b.
Diduga ada faktor input lain yang berpengaruh terhadap harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dan dikaitkan dengan kondisi pasar dalam industri BBM di Indonesia.
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
10
1.6
Metodologi Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.6.1
Metode Penelitian Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini akan menggunakan
analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif adalah alat analisis atau pengujian untuk membuktikan bahwa terjadi pergerakan harga yang asimetrik (assymetric price transmission). Pengujian mengenai assymetric price transmission merupakan metode yang sangat penting dalam ilmu ekonomi terapan. Penelitian ini hanya akan menggunakan model koreksi kesalahan (Error Correction Model (ECM)) untuk mewakili backward looking approach. Adapun alasan dalam memilih model adalah model koreksi kesalahan memiliki keunggulan baik dari segi nilainya dalam menghasilkan persamaan yang diestimasi dengan properti statistik yang diinginkan maupun dari segi kemudahan persamaan tersebut untuk diinterpretasikan. Pendekatan asimetrik ECM menyatakan bahwa ada elemen kointegrasi dalam persamaan ECM. Pada pendekatan model koreksi kesalahan, pelaku ekonomi cenderung menunggu kejadian-kejadian di pasar terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Model empriris di atas akan dianalisis dengan metode estimasi OLS (ordinary least squares). Metode ECM dipakai untuk menghindari terjadinya spurious regression terutama saat diestimasi menggunakan metode linier biasa (OLS). Hal ini terjadi karena data-data yang dipakai bersifat non-stasioner. Secara umum pendekatan ECM ini diperpanjang dengan menambahkan komponen
asymmetric
adjustment
term.
Prosedurnya
adalah
dengan
mengestimasi hubungan antar harga dengan metode OLS dan menguji keberadaan spurious regression. Jika kedua harga yang diestimasi tersebut ternyata terkointegrasi maka koefisien persamaan OLS tersebut adalah koefisien persamaan kointegrasi. Langkah berikutnya adalah mengestimasi model ECM8. Dalam model tersebut terdapat komponen yang dikenal dengan Error Correction 8
Insukindro. (1991). Regresi Linier Lancung dalam Analisis Ekonomi Suatu Tinjauan dengan Satu Studi Kasus di Indonesia. JEBI No. 1 Thn VI. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
11
Term (ECT) yang dapat mengukur deviasi dari keseimbangan jangka panjang antara dua harga tersebut. Dimasukkannya ECT ini memungkinkan harga yang telah diestimasi merespon perubahan harga dan juga dapat memperbaiki deviasi dari keseimbangan jangka panjang tersebut. Dengan memisahkan komponen ECT positif dan negatif maka assymetric price transmission dapat diestimasi. Model dasar yang akan digunakan dalam penelitian dengan mengasumsikan symmetric dan linear price transmission menggunakan persamaan sebagai berikut adalah: Harga Hilir (Harga Jual Eceran) = f (Harga Hulu (Harga MOPS))
Dengan berdasar pada model dasar di atas, alat analisis yang dipakai dalam penelitian ini dengan mempergunakan Error Correction Model (ECM) atau Model Koreksi Kesalahan dapat dinyatakan dalam bentuk:
(1.1) Dimana Pin dan Pout merupakan dua harga yang secara vertikal berkaitan misalnya level hulu dan level hilir (ritel). Δ merupakan indikator difference atau pengurang Pt – Pt-1. βj dan γ adalah koefisien estimasi dan
dan
merupakan deviasi positif dan negatif dari keseimbangan jangka panjang. Analisis kuantitatif mengacu pada fenomena harga yang terjadi ketika harga output bereaksi terhadap perubahan harga input tergantung pada karakteristik dari harga input atau perubahan dalam harga tersebut. Ketika harga input meningkat maka harga output juga meningkat akan tetapi ketika harga input turun diperlukan waktu yang cukup lama bagi harga output untuk mengikuti perubahan harga tersebut. Harga input (upstream) didefinisikan sebagai pasar wholesale dan harga output atau harga produk akhir (downstream) sebagai pasar ritel.
Kondisi
assymetric price transmission terjadi ketika kenaikan harga input segera direspon dengan melakukan penyesuaian oleh harga output namun ketika harga input turun tidak segera direspon oleh harga output. Kondisi ini dapat mengidentifikasikan bahwa pasar downstream menjadi tidak efisien sehingga sangat penting untuk mengetahui faktor penyebab hal tersebut. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
12
Analisis kualitatif dalam penelitian ini dilakukan terhadap hasil wawancara dengan operator atau pelaku usaha, BPH Migas, dan pihak-pihak lain yang terkait untuk mengetahui gambaran luas dalam industri BBM non subsidi RON 92.
1.6.2
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam tulisan ini adalah dengan menggunakan
data-data resmi dari Biro Pusat Statistik, pelaku usaha (Pertamina, Petronas, Shell, dan Total), BPH Migas, instansi lain yang terkait, dan publikasi di media cetak dan elektronik. Data yang diproses dalam penelitian ini dikumpulkan dengan melakukan studi pustaka dan studi deskriptif.
Dimana Studi Kepustakaan
dimaksudkan untuk mengkaji berbagai literatur yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
Substansinya menyangkut teori, alat analisa, maupun data terkait
lainnya dalam industri BBM non subsidi RON 92. Sedangkan studi deskriptif dilakukan dengan tujuan untuk menyajikan deskripsi data. Bentuknya berupa tabulasi data atau penyajian data dalam bentuk grafik. Data yang akan digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dari operator atau pelaku usaha aktif dan data harga input (crude oil MOPS). Penelitian ini memanfaatkan semaksimal mungkin data-data sekunder yang sudah ada, baik yang sudah terpublikasikan melalui instansi resmi ataupun data-data hasil publikasi cetakan maupun data pada situs-situs lembaga serta berbagai instansi yang berhubungan dengan industri BBM non subsidi RON 92, serta media terkait lainnya seperti pengunduhan (downloading) dari situs internet.
1.6.3
Tahapan Penelitian Untuk menjamin terciptanya kerangka pemikiran yang logis dalam
penelitian ini, maka penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut: i.
Identifikasi fakta-fakta yang relevan sebagai latar belakang dalam menentukan topik penelitian dan masalah penelitian yang penting dan menarik untuk dikaji;
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
13
ii.
Pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait dan datadata pendukung lainnya;
iii.
Pengolahan data dengan menggunakan pendekatan error correction model. Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi kemungkinan terjadinya respon asymmetric price transmission dan alasan utama atau faktor input lain yang dapat menjelaskan imperfect price transmission dan asymmetries;
iv.
Analisa dan interpretasi terhadap hasil pengolahan data yang dapat menunjukkan pengaruh harga input (crude oil MOPS) terhadap harga jual eceran BBM non Subsidi RON 92 di SPBU;
v.
Penarikan kesimpulan dari analisa dan interpretasi hasil pengolahan data;
vi.
Penyusunan saran mengenai regulasi yang berkaitan dengan kegiatan industri BBM non subsidi RON 92.
1.6.4
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dibatasi hanya terhadap asymmetric price transmission untuk
mengukur kinerja industri BBM non subsidi RON 92 dengan metode Error Correction Model (ECM) dengan data pergerakan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 terhadap harga input (crude oil MOPS) dari tahun 2005 hingga tahun 2011, dimana variabel lainnya dianggap konstan. Data di mulai dari runtun waktu tahun 2005 disebabkan industri BBM Indonesia baru diliberalisasi (menggunakan mekanisme pasar) pada tahun tersebut sehingga dianggap mewakili kondisi fluktuasi harga input yang direspon oleh harga output. Data harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 yang digunakan adalah data nasional yang tercantum di situs resmi pelaku aktif dalam industri yaitu Pertamina, Petronas, Shell, dan Total. Data di tingkat daerah tidak dijadikan sebagai acuan sehingga analisa tidak mencerminkan perbedaan harga di berbagai daerah di Indonesia.
1.6.5
Kerangka Pemikiran Berdasarkan
uraian
dari
Metodologi
Penelitian,
maka
untuk
mempermudah pemahaman perlu disampaikan ilustrasi kerangka pemikiran yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
14
Tabel 1.1 Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian: Pengujian Kondisi Asymmetric Price Transmission harga input (crude oil MOPS) terhadap harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU Harga BBM Non Subsidi Ron 92 Karakteristik Industri BBM non subsidi RON 92 di Indonesia Hipotesa Awal: Harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU bersifat asymmetric dengan pergerakan harga input (crude oil MOPS)
Analisa Pergerakan Harga dengan menggunakan Error Correction Model Dengan data: 1. Data Harga Input (crude oil MOPS) 2. Data Harga Jual Eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU
Ya, Terjadi Asymmetric Price Transmission
Tidak, Tidak terjadi Asymmetric Price Transmission
Analisa Penyebab Asimetrik/Simetrik Industri BBM non subsidi RON 92 dan keterkaitannya dengan struktur serta perilaku pelaku usaha
Kesimpulan dan Saran
1.7
Sistematika Penulisan Penelitian ini akan menggunakan sistematika penulisan yang dirumuskan
sebagai berikut: BAB 1
: Pendahuluan Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang permasalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis penelitian, metodologi penelitian (metode penelitian, teknik pengumpulan data, tahapan penelitian, ruang lingkup penelitian, Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
15
dan kerangka pemikiran), serta sistematika penulisan dari hasil penelitian. BAB 2
: Tinjauan Pustaka Dalam bab ini akan diuraikan teori-teori yang menjadi dasar analisa yang diterapkan dalam penelitian yaitu teori asymmetric price transmission dan analisa faktor input lain yang mungkin mempengaruhi penetapan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU.
BAB 3
: Metode Penelitian Dalam bab ini akan diuraikan mengenai metodologi yang digunakan dalam pendekatan asymmetric price transmission dengan menggunakan model error correction model dalam penelitian, cakupan data yang digunakan, dan tahapan pengolahan data tersebut.
BAB 4
: Analisa dan Pembahasan Bab ini akan mencoba menguraikan hasil pengolahan data berdasarkan teori-teori yang menjadi dasar analisa pergerakan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dan faktor input lain yang mempengaruhi dalam penelitian. Dalam bab ini juga akan dianalisa kinerja industri BBM non subsidi RON 92.
BAB 5
: Kesimpulan dan Saran Kesimpulan dari penelitian akan disajikan dalam bab ini yaitu berupa hasil analisa dan pembahasan terhadap data-data dan informasi serta memperhatikan hipotesa yang disampaikan pada bab sebelumnya. Kemudian dari kesimpulan tersebut disampaikan saran-saran yang dapat dijadikan acuan untuk perbaikan ataupun sebagai referensi akademis dalam industri BBM non subsidi RON 92 maupun bagi para pengambil kebijakan.
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengertian Teori harga memainkan peran penting dalam ekonomi neo-klasik. Dalam
paradigma ini, harga yang fleksibel menjadi faktor penyebab alokasi sumber daya secara efisien dan transimisi harga dalam pasar yang terintegrasi secara vertikal dan horizontal (Meyer dan Von Cramon-Taubadel, 2004). Salah satu indikator dampak persaingan dari adanya suatu tindakan persaingan usaha tidak sehat adalah dari harga dan marjin keuntungan. Agar persaingan dapat berlangsung, maka kebijakan ekonomi nasional di negara-negara berkembang harus menyediakan sejumlah prasyarat:
yang pertama-tama diperlukan adalah
mewujudkan pasar yang berfungsi dan mekanisme harga.
Dalam konteks
tersebut, tujuan utama adalah penyediaan akses pasar sebebas mungkin dan pada saat yang sama menyediakan insentif untuk meningkatkan jumlah dari pengusaha nasional. Tingkat integritas sejumlah pasar setempat dan regional juga harus ditingkatkan melalui peningkatan infrastruktur negara (misalnya jaringan komunikasi dan transportasi). berorientasi
stabilitas
Akhirnya, suatu kebijakan moneter yang
merupakan
prasyarat
bagi
berfungsinya
ekonomi
persaingan. Hanya dengan cara ini distorsi-distorsi persaingan yang berpotensi melumpuhkan mekanisme harga dapat dihindari9. Penetapan harga merupakan variabel pemasaran
campuran yang
mempunyai dampak langsung terhadap pendapatan. Penetapan harga di tingkat hilir termasuk ke dalam pengembangan pricing policy yaitu mengarahkan penetapan harga yang akan diambil oleh perusahaan hilir (ritel). Setiap keputusan mengenai harga harus diintegrasikan dan disinergikan dengan seluruh rencana dan variabel perusahaan hilir (ritel). Perusahaan hilir (ritel) harus mengembangkan strategi harga dalam perilaku sistematik dimulai dari mengidentifikasikan tujuan keseluruhan penetapan harga. Tujuan dibutuhkan untuk mencapai price points atau price levels yang efektif. Price points adalah perbedaan level serangkaian harga untuk barang dan jasa. Dalam harga, tujuan harus mengikuti peraturan yang 9
Andi Fahmi Lubis. (Oktober 2009). Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks. Jakarta. Halaman 3.
16 Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
17
sama dengan bagian lain yaitu harus dapat dihitung dan realistik. Kategori dari tujuan penentuan harga adalah sebagai berikut10: a.
Product quality objectives Tujuan penetapan harga adalah untuk mengganti biaya yang berhubungan dengan penelitian dan pengembangan yang telah dilakukan.
Sebagai
tambahan, tujuan ini bersama dengan taktik yang lain menciptakan persepsi kualitas tinggi dan kualitas perusahaan ritel yang tinggi dalam benak konsumen. Tujuan ini biasanya digunakan bersama dengan skimming objective pada perusahaan ritel akhir. b.
Skimming objectives (strategies) Perusahaan ritel menetapkan harga yang relatif tinggi untuk sebuah produk baru dan kemudian setelah pesaing masuk ke dalam pasar, harga disesuaikan untuk turun. Tujuan ini biasanya digunakan untuk mengganti biaya yang terjadi ketika menjual produk baru atau biaya yang berhubungan dengan penelitian, pengembangan, dan pemasaran.
c.
Market penetration objectives Merupakan kebalikan dari skimming objectives.
Harga ditetapkan pada
tingkat yang rendah untuk menarik konsumen dalam jumlah besar. Sangat efektif dilakukan apabila konsumen sangat sensitif terhadap harga. Kunci utama dari strategi ini adalah meningkatkan volume penjualan untuk menutupi harga produk yang rendah. Pada titik tertentu, biaya ritel tidak akan meningkat cukup banyak ketika volume penjualan meningkat. Tujuan ini memiliki manfaat tambahan dari mengijinkan perusahaan ritel untuk mengecilkan (discourage) persaingan dari pasar bersangkutan karena harga rendah yang telah dibangun. Tujuan ini juga membantu membangun produk baru sebagai alternatif pilihan bagi konsumen dan menciptakan tekanan sosial terhadap produk sebagai keuntungan ekonomi. d.
Market share objectives Tujuan ini membuat perusahaan ritel untuk menyesuaikan tingkat harga berdasarkan perubahan harga pesaing sehingga dapat mengambil atau
10
James R. Ogden dan Denise T. Ogden. (2005). Retailing: Integrated Retail Management. Amerika Serikat: Houghton Mifflin Company. Halaman 339. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
18
mengurangi market share pesaing. Hal ini dapat dilakukan untuk seluruh kegiatan perusahaan ritel. e.
Survival objectives Tujuan ini memungkinkan perusahaan ritel mencapai biaya penjualan. Tujuan ini biasanya digunakan untuk menyamai volume penjualan untuk seluruh biaya perusahaan.
f.
Return on investment (ROI) objectives Tipe penetapan harga dimana perusahaan ritel mencoba untuk mencapai atau melampui angka investasi. Harga ditetapkan untuk mencapai target tingkat pengembalian investasi.
g.
Profit objectives Tujuan penetapan harga dimana perusahaan ritel mencoba untuk mencapai atau melampaui tingkat keuntungan tertentu.
h.
Status quo objectives Tipe
penetapan
harga
dimana
perusahaan
mempertahankan situasi pasar saat ini.
ritel
mencoba
untuk
Perusahaan ritel yang ingin
menstabilkan tingkat penjualan biasanya akan menggunakan tujuan ini. i.
Cash flow objectives Tujuan ini memungkinkan perusahaan ritel untuk menghasilkan uang secara cepat. Tujuan ini didesign untuk meningkatkan tambahan volume penjualan. Biasanya merupakan tujuan jangka pendek.
Market share dan kualitas produk memiliki dampak besar pada keuntungan perusahaan ritel dan seringkali digunakan sebagai alat bantu dalam menetapkan harga.
Tambahan faktor lain yang menjadi pertimbangan ketika
membentuk atau menetapkan harga adalah customer traffic (online dan toko), pergerakan penjualan produk yang lambat, mencoba untuk mengurangi tingkat sensitifitas harga konsumen, menciptakan atau meningkatkan kesan perusahaan ritel, menghindari permasalahan hukum dan etik yang berhubungan dengan harga, dan mencoba membuat pesaing menjadi pasif dalam mengurangi harga. Perubahan dalam lingkungan perusahaan ritel terikat pada perubahan nilai produk di mata konsumen. Perubahan nilai produk dapat meningkatkan atau menurunkan Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
19
nilai dari produk perusahaan. Untuk merespon perubahan ini, perusahaan ritel membuat 2 (dua) tipe penyesuaian produk yaitu dengan tambahan markups dan markdowns.
Tambahan ini disebabkan adanya perubahan biaya, perubahan
musim, penambahan permintaan, dan lain-lain. Sebagai contoh adalah ketika terjadi kenaikan harga bensin dari supplier, perusahaan ritel tidak mampu lagi menghasilkan persentasi markup sehingga harus menambahkan tambahan markup untuk
menutupi
tambahan
biaya
yang
berhubungan
dengan
produk11.
Penyesuaian shock harga sepanjang rantai dari produser ke wholesale dan tingkat retail atau sebaliknya, merupakan karakteristik penting dalam melihat mekanisme atau kerja pasar12. Dalam industri yang multi-tahap akan selalu ada marjin harga yang timbul dari aktivitas ekonomi pada tiap-tiap tahap.
Penelitian Aguilar dan Santana
(2002) menyampaikan bahwa sebagian besar penelitian memperkirakan elastisitas price transmission mempertahankan asumsi symmetric price transmission yang berarti harga ritel akan merespon perilaku yang sama untuk penurunan dan kenaikan harga hulu. Padahal, ada literatur lain yang memberikan bukti indikasi asymmetric price transmission adalah hal yang umum13.
Sebagai ilustrasi,
Peltzman (2000) menemukan bukti bahwa asymmetric price transmission diantara dua per tiga ratusan barang produsen dan konsumen di Amerika Serikat. Kinnucan dan Forker (1987), Hahn (1990) dan Bernard dan Willett (1996) menemukan bahwa harga ritel lebih sensitif terhadap kenaikan harga daripada terhadap penurunan harga. Ward (1982) dan Punyawadee, Boyd, dan Faminow (1991) dilain pihak, menemukan bahwa harga ritel lebih sensitif terhadap penurunan harga dibandingkan terhadap kenaikan harga.
Di luar pertanian,
Borenstein, Cameron, dan Gilbert (1997) menemukan bahwa harga bahan bakar minyak lebih sensitif terhadap kenaikan harga minyak daripada penurunan harga minyak. Kehadiran asymmetric price transmission seringkali dipertimbangkan
11
Halaman 346. Vavra dan Goodwin. (2005). Analysis of Price Transmission Along the Food Chain. OECD Publishing. Halaman 3. 13 Capps dan Sherwell. (Mei 2005). Spatial Asymmetry in Farm-Retail Price Transmission Associated with Fluid Milk Products. Texas: College Station. Universitas Indonesia 12
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
20
sebagai bukti adanya kegagalan pasar atau penyalahgunaan kekuatan pasar (von Cramon-Taubadel dan Meyer, 2000). Perubahan harga pada industri hulu meskipun tidak secara serta merta, akan direfleksikan pada perubahan harga di sektor hilir. Pada sektor pertanian misalnya, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Vavra dan Goodwin (2005) ditemukan adanya pergerakan data yang asimetris dari harga di tingkat grosir dan di tingkat pengecer. Hubungan antara tingkat hulu dan hilir memberikan pengetahuan mendalam mengenai efisiensi dan kesejahteraan konsumen dan produsen.
Pergerakan harga yang tidak simetris ini telah
menimbulkan adanya dugaan penyalahgunaan market power dan perilaku oligopolistik. Ketika terjadi kenaikan harga pada tingkat hulu secara serta merta direfleksikan dengan terjadinya kenaikan harga pada tingkat hilir, namun tidak diikuti dengan pola yang sama ketika terjadi penurunan harga. Semakin terintegrasinya lini-lini produksi menjadi hal yang semakin banyak dilakukan. Secara langsung maupun tidak, terbaginya proses supply chain menjadi beberapa lini produksi akan berpengaruh terhadap pembentukan harga output di satu lini tertentu yang kemudian menjadi input bagi lini selanjutnya. Pengaruh lebih lanjutnya adalah terhadap pembentukan harga di tingkat konsumen akhir (enduser). Fenomena pergerakan harga di pasar input terkadang tidak diikuti secara simetris terhadap pembentukan harga di tingkat output. Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah asymmetric price transmission atau sering juga disebut sebagai fenomena rocket and feathers. Secara umum pengertian dari asymmetric price transmission merupakan pembentukan harga di lini upstream tidak direfleksikan secara simetris terhadap pergerakan harga di tingkat downstream. Akibat dari adanya asymmetric price transmission ini penurunan harga pada tingkat hulu yang seharusnya direfleksikan pada penurunan harga di tingkat hilir atau ritel tidak terjadi. Fenomena ini yang menyebabkan harga yang seharusnya lebih murah menjadi lebih tinggi. Asymmetric price transmission dianggap penting karena 1.
Menunjukkan kesenjangan dalam teori ekonomi.
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
21
2.
Dikarenakan asymmetric price transmission dapat memiliki kesejahteraan yang penting dan implikasi kebijakan.
Asymmetric price transmission
menyatakan secara tidak langsung bahwa beberapa kelompok tidak mendapatkan keuntungan dari pengurangan harga (pembeli) atau kenaikan harga (penjual) yang mungkin, di bawah kondisi tertentu dari symmetry, mengambil tempat lebih cepat atau magnitude yang lebih besar daripada data yang di observasi.
Asymmetric price transmission dapat memperlihatkan
perbedaan distribusi kesejahteraan yang mungkin terjadi di bawah symmetry karena ukuran kesejahteraan berubah sesuai dengan perubahan harga. 3.
Asymmetric price transmission seringkali dihipotesiskan sebagai manifestasi dari kegagalan pasar (market failure) dan sebagai signal tambahan redistribusi yang berhubungan dengan pengurangan kesejahteraan.
Baik
redistribusi maupun pengurangan kesejahteraan merupakan faktor utama intervensi kebijakan. Asymmetric price transmission penting bukan hanya karena menunjukkan kesenjangan dalam ilmu ekonomi tetapi juga menjadi pertimbangan tujuan kebijakan sebagai bukti adanya kekuatan pasar.
2.2
Tipe Asymmetric Price Transmission Asymmetry dalam konteks price transmission dapat diklasifikasikan
berdasarkan 3 (tiga) kriteria, yaitu 1.
Kriteria pertama merujuk kepada kecepatan (speed) atau derajat (magnitude) dari transmisi harga yang asimetrik. Perbedaan dari keduanya dapat dijelaskan pada gambar di bawah ini dimana sebuah harga produk (Pout) diasumsikan bergantung pada harga lain (Pin) yang dapat naik atau turun dalam periode waktu tertentu.
Pada diagram 1.a, derajat respon atas
perubahan pada Pin tergantung arah dari perubahannya. Sedangkan pada diagram 1.b menggambarkan kecepatan perubahannya. Kombinasi dari keduanya kemudian akan dapat digambarkan pada diagram 1.c dimana pergerakan transmisi harga akan dapat diukur dari derajatnya dan kecepatannya sekaligus karena peningkatan pada Pin membutuhkan waktu dua periode (t1 dan t2) untuk dapat ditransmisikan secara penuh sebagai Pout, Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
22
sementara penurunan dalam Pin membutuhkan waktu tiga periode (t1, t2, dan t3) dan tidak ditransmisikan secara sepenuhnya sebagai Pout.
Diagram 1.a Asymmetric Price Transmission (magnitude)
Diagram 1.b Asymmetric Price Transmission (speed)
Diagram 1.c Asymmetric Price Transmission (Speed and Magnitude)
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
23
Dampak kesejahteraan (welfare effect) dari 2 (dua) tipe asymmetric price transmission tersebut juga dapat digambarkan secara skematik dalam area berarsir (shaded) pada gambar di atas. Interpretasi gambar di atas akan dipermudah dengan menerapkan asumsi volume transaksi yang tidak berubah (konstan) sepanjang waktu (over time). Keadaan asimetri jika dilihat dari kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) dapat membawa pada transfer secara temporer atas kesejahteraan (temporary transfer of welfare) pada tingkat penjual kepada pembeli. Ukurannya bergantung kepada panjangnya interval waktu (time interval) antara t1 dan t1+n sebagaimana perubahan harga dan volume transaksi. Sedangkan asimetri jika dilihat dari sudut pandang magnitude dapat disimpulkan terjadi transfer permanen atas kesejahteraan (permanent transfer of welfare). Ukurannya bergantung kepada harga dan jumlah transaksi yang terjadi. Pada diagram 1.c ditunjukkan kombinasi keadaan asimetri baik dilihat dari kecepatan penyesuaiannya dan derajatnya yang mengindikasikan transfer temporer dan permanen dari kesejahteraan. 2.
Kriteria kedua adalah klasifikasi asymmetric price transmission dapat dilihat dari positif dan negatif.
Jika Pout lebih cepat atau lebih penuh bereaksi
terhadap Pin ketika harga naik dibandingkan dengan ketika harga turun maka asymmetric price transmission dapat dikatakan sebagai positif. Namun jika sebaliknya yang bereaksi lebih cepat adalah ketika harga turun dibandingkan dengan harga naik maka asymmetric price transmission disebut negatif. Namun demikian penggunaan terminologi positif dan negatif perlu diperlakukan secara hati-hati mengingat ketika yang dimaksud dengan Pin adalah pada tingkat hulu dan Pout adalah pada tingkat ritel (hilir), keberadaan asimetrik negatif akan memberikan dampak positif pada konsumen. Sedangkan terminologi positif, “buruk” dalam artian berasosiasi dengan berkurangnya kesejahteraan. Oleh karena itu terminologi positif dan negatif yang dimaksud adalah arah pergerakan harga.
Terminologi ini menjadi
sangat penting sebagai pembeda antara asimetri positif dan negatif dikarenakan berguna sebagai penentu arah transfer kesejahteraan yang diakibatkan oleh asymmetric price transmission.
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
24
Diagram 2.a Positive Asymmetric Price Transmission
Diagram 2.b Negative Asymmetric Price Transmission
Perlu diperhatikan bahwa arus asymmetric price transmission tidak selalu harus berasal dari harga hulu ke hilir. Dapat dimungkinkan perubahan pada harga output seperti pergeseran permintaan dapat menyebabkan perubahan pada harga input. Oleh karena itu klasifikasi ini juga masih dapat dikombinasikan dengan klasifikasi sebelumnya. 3.
Kriteria ketiga adalah klasifikasi asymmetric price transmission apakah berdampak secara vertikal atau spasial. Sebagai contoh, asymmetric price transmission vertikal petani dan konsumen lebih sering mengeluh atau melakukan komplain bahwa peningkatan harga di ladang (farm level/hulu) lebih cepat dan penuh ditransmisikan kepada harga tingkat ritel (retail level/hilir) daripada penurunan di tingkat lading (hulu). Definisi ini sudah banyak dibahas di tema asymmetric price transmission pada umumnya. Sedangkan definisi spasial dapat dicontohkan kenaikan harga ekspor CPO Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
25
Indonesia lebih cepat ditransmisikan menjadi kenaikan harga CPO Malaysia dibandingkan dengan penurunannya. Asymmetric price transmission spasial ini seperti halnya vertikal juga dapat diklasifikasikan lagi menurut kecepatan dan besarannya, juga menurut positif atau negatifnya14.
Asymmetric / linear
Asymmetric / thresholds
quadratic
Diagram 3 Types of Error Correction Gambar di atas membandingkan asymmetric thresholds Error Correction Model dengan asymmetric linear Error Correction Model. mengilustrasikan thresholds negatif dan positif ( waktu ke waktu (
dan
Gambar tersebut
), perubahan harga dari
), dan dua bentuk error correction term (
dan
) sebagai variabel yang menggambarkan deviasi positif dan negatif dalam ekuilibrium jangka panjang. Apabila error correction term (ECT) berada pada garis interval (
2.3
dan
) maka tidak diperlukan perbaikan pada error.
Penyebab Asymmetric Price Transmission Penjelasan mengapa asymmetric price transmission terjadi telah dilakukan
dalam beberapa literatur. Dalam jurnalnya, Meyer dan Von Cramon-Taubadel (2004) menjelaskan penyebab terjadinya asymmetric price transmission yang 14
Vavra dan Goodwin. (2005). Analysis of Price Transmission Along the Food Chain. OECD Publishing. Halaman 3-4. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
26
telah disebutkan dalam beberapa literatur. Fokusnya adalah pada asymmetric price transmission vertikal antar lini yang berbeda pada rantai pemasaran. Dua penyebab utama dari adanya asymmetric price transmission adalah pasar yang tidak kompetitif dan biaya penyesuaian. Penyebab lain seperti intervensi politik, informasi yang asimetrik (asymmetric information) dan manajemen persediaan juga disebutkan dalam literatur yang termasuk pada penyebab lain-lain. Penyebab asymmetric price transmission tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Kekuatan pasar (market power) Banyak publikasi yang menyebutkan asymmetric price transmission merujuk kepada perilaku struktur pasar yang tidak kompetitif sebagai alasan terjadinya asimetri, terutama terjadi pada produk pertanian dimana petani pada tingkat hulu dan konsumen akhir pada tingkat hilir sering menjumpai persaingan tidak sempurna dalam processing dan retailing yang menyebabkan lini (pihak) perantara memiliki kekuatan pasar untuk disalahgunakan (abuse). Dapat diperkirakan ketika market power pelaku usaha tinggi maka akan menyebabkan asymmetric price transmission.
Margin-squeezing akan
meningkatkan harga input (hulu) atau menurunkan harga output (hilir) akan direspon lebih cepat dan atau lebih lengkap daripada perubahan harga margin-stretching. Meyer & Von Cramon-Taubadel juga mengutip beberapa penelitian seperti Ward (1982) dan Bailey dan Bronsen (1989). Keduanya berargumen bahwa terdapat perilaku oligopolis dimana pelaku usaha tidak ingin kehilangan pangsa pasarnya dengan cara meningkatkan harga output atau akhir. Hal ini terjadi karena dalam kinked demand curve yang dihadapi oleh oligopolis apabila pelaku usaha beranggapan bahwa jika tidak ada kompetitor akan menyesuaikan harga naik namun justru menyesuaikan harga turun sehingga akan terjadi asimetri negatif. Oleh karena itu pelaku usaha cenderung melakukan tindakan penyalahgunaan (abuse) atas struktur pasar oligopolistik.
Borenstein (1997) mempelajari transmisi harga secara vertikal dari harga minyak mentah hingga bahan bakar minyak dan menyimpulkan bahwa downward stickiness dari harga ritel (hilir) untuk bahan bakar minyak dalam Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
27
oligopoli akan mengarah pada asimetrik positif. Dalam kondisi informasi kurang sempurna, harga output lama menawarkan titik atau point alami yang diikuti oleh perubahan dalam harga input. Sementara kenaikan harga minyak mentah mengarah pada perubahan kenaikan harga bahan bakar minyak secara langsung, karena margin squeezing. Penurunan biaya tidak mengarah pada penurunan
biaya
output
secara
langsung
karena
perusahaan
akan
mempertahankan harga di atas level kompetitif selama tingkat penjualan tinggi.
Beberapa penelitian yang menganalisa dampak market power
mempertimbangkan asymmetric price transmission di dorong bukan oleh perubahan harga tetapi berdasarkan perubahan pada permintaan output. Beberapa
penelitian
lain
tentang
asymmetric
price
transmission
menyimpulkan bahwa market power dapat menyebabkan asymmetric price transmission lebih khusus lagi penelitian tersebut memprediksi terjadi asymmetric price transmission positif. Dalam struktur monopoli sempurna hal ini bisa diterima, namun dalam struktur pasar oligopolis asymmetric price transmission positif maupun negatif dapat terjadi tergantung struktur pasar dan perilakunya (conduct). 2.
Biaya Penyesuaian dan Menu (Adjustment and Menu Cost) Penjelasan lain dari terjadinya asymmetric price transmission adalah adanya biaya penyesuaian yang timbul akibat pelaku usaha merubah kuantitas dan/atau harga input dan/atau output. Jika biaya ini asimetrik terhadap kuantitas atau harga, maka asymmetric price transmission dapat terjadi. Bailey dan Brorsen, Peltzman (2000) dalam kasus asymmetric price transmission positif berargumen bahwa akan lebih mudah bagi perusahaan untuk mengurangi input dalam kasus pengurangan output daripada mencari input baru untuk meningkatkan output. Hal ini dikarenakan input baru akan mengarah pada pencarian biaya dan harga pada tahap kenaikan. Menu cost dalam terminologi ekonomi merupakan biaya yang diperlukan untuk memperbaharui menu, daftar harga, brosur, atau material lain ketika terjadi perubahan harga. Hein (1980) mengatakan bahwa ada kemungkinan harga nominal menyebabkan biaya (sebagai contoh mencetak kembali daftar harga atau katalog dan biaya untuk mencari informasi). Ball dan Mankiw (1994) Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
28
mengembangkan model berdasarkan menu cost yang dikombinasikan dengan inflasi mengarah pada asimetri. Harga input nominal yang positif mengarah pada penyesuaian harga output dibandingkan dengan shock harga negatif. Hal ini dikarenakan dengan adanya inflasi, beberapa penyesuaian dibutuhkan akibat pengurangan harga input secara otomatis tertutup oleh inflasi. Hal ini mengakibatkan pengurangan nilai asli dari margin. Market power dan biaya penyesuaian dapat mengakibatkan asimetrik dalam kecepatan transmisi harga akan tetapi perbedaan mendasar antara keduanya adalah bahwa market power dapat lebih mampu mengarah pada asimetrik magnitude dalam jangka panjang. Perbedaan penting lainnya adalah adalah pada apabila biaya penyesuaian nyata terjadi, apapun jenis asymmetric price transmission yang ditimbulkan tidak akan mengarah pada transfer kesejahteraan yang mungkin akan mengakibatkan pembenaran adanya campur tangan kebijakan oleh regulator atau pengambil keputusan. Penyebab asymmetric price transmission selain hal tersebut di atas menurut McCorriston (2001) adalah harga berubah menjadi lebih besar atau lebih kecil daripada perbandingan harga di tingkat kompetitif tergantung pada interaksi antara market power dan returns to scale.
Jika fungsi biaya dikateristikkan
sebagai increasing return to scale, maka pengaruh market power dapat tergantikan oleh efek biaya dari peningkatan skala dan tingkat transmisi harga justru dapat lebih mendekati tingkat kompetitif.
Weldegebriel (2004) juga
berpendapat bahwa kehadiran kekuatan oligopoli dan oligopsoni tidak selalu berarti akan terjadi transmisi harga yang tidak sempurna. Bentuk fungsi dari permintaan ritel dan persediaan input hulu merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat transmisi harga. Azzam (1999) dengan menggunakan model 2 (dua) periode dari spatial kompetitif ritel menunjukkan bahwa asimetrik dapat terjadi bahkan pada lingkungan kompetitif akibat tingkah laku pemaksimalan atau maksimalisasi antar waktu sehingga harga ritel akan merespon secara relatif lebih cepat apabila dibandingkan dengan ketika terjadi penurunan harga input. Hubungan harga secara vertikal biasanya dikarakteristikkan oleh magnitude, speed, and nature dari perubahan melalui rantai supply kepada market shocks yang disebabkan perbedaan level dari proses pemasaran. Kecepatan pasar Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
29
dalam menyesuaikan shock tergantung atau ditentukan oleh aksi yang dilakukan agen yang terlibat dalam transaksi seperti wholesalers, distributor, processors, perusahaan ritel, dan lain-lain.
Jika penyesuaian membutuhkan biaya atau
memiliki kendala maka signal harga yang diturunkan dari agen ke agen akan memakan waktu sehingga lags mungkin signifikan.
Yaitu kenaikan atau
penurunan dalam salah satu rantai tidak dihasilkan secara instan akan tetapi didistribusikan dalam waktu. Beberapa penelitian mengenali aspek yang lebih kompleks dalam hubungan price transmission dan memperluas kemungkinan bahwa price adjustment mungkin asymmetric. Biasanya penelitian ini dibedakan antara positif dan negatif shock harga.
Harus menjadi perhatian bahwa
asymmetric dapat terjadi dalam aspek manapun dalam proses penyesuaian15. Manajemen persediaan merupakan salah satu elemen penting bagi penyesuaian perusahaan pada shock exogenous dan kadang kala merupakan salah satu penyebab asymmetric price transmission. Sebagai contoh, Balke (1998) membuktikan dengan metode akunting seperti FIFO (first in first out) dapat mengarah pada asymmetric price transmission. Blinder (1982) mengembangkan model
dimana
persediaan
non-negatif
secara
terus
menerus
(konstan)
menimbulkan asimetrik positif. Reagan dan Weitzman (1982) berpendapat bahwa dalam periode permintaan rendah, perusahaan akan melakukan penyesuaian jumlah output dan meningkatkan persediaan daripada melakukan pengurangan harga output. Di lain pihak, ketika terjadi kenaikan permintaan, perusahaan akan meningkatkan harga output. Kombinasi antara asimetrik yang diterima akibat biaya rendah dan tingginya stok persediaan mengakibatkan asymmetric price transmission positif. Terutama dalam pertanian, bantuan dalam harga yang seringkali dalam bentuk floor price, dapat pula mengarah pada asymmetric price transmission. Kinnucan dan Forker (1987) berpendapat bahwa campur tangan politik dapat mengarah pada asymmetric price transmission jika kebijakan mengakibatkan wholesalers atau retailers percaya bahwa pengurangan harga hulu hanya akan sementara dan kenaikan harga hulu bersifat tetap atau permanen. Penetapan harga
15
Halaman 5. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
30
psikologi menurut Blinder (1998) juga dapat mengakibatkan pengaruh analog terhadap asymmetric price transmission. Beberapa penelitian mencoba untuk menjelaskan mengenai asymmetries dan imperfect pass-through of prices.
Banyak pendapat yang berhubungan
dengan masalah penyesuaian pada tingkat ritel yang disebut sticky prices. Sebagai contoh adalah harga pada tingkat ritel mungkin tidak sesuai dengan menu costs dimana harga diasosiasikan dengan perubahan dalam iklan dan labelling begitu juga terhadap reputasi ritel apabila harga berubah secara rutin. Ketidakpastian shock harga apakah permanen atau sementara membuat perusahaan enggan merespon signal harga. Menurut Goodwin dan Vavra (2005) merupakan hal biasa yang menyangkut pengambilan keputusan bahwa dikarenakan transmisi harga yang tidak sempurna (diperkirakan diakibatkan oleh market power dan perilaku oligopolistik) bahwa pengurangan harga pada tingkat hulu, lambat atau tidak ditransmisi sama sekali melalui rantai persediaan. Kebalikannya, harga yang meningkat pada tingkat hulu akan direspon dengan cepat pada tingkat konsumer akhir. Penelitian Ball dan Mankiw (1994) mencatat bahwa kehadiran inflasi dan input harga nominal mengarah pada hambatan dalam menurunkan harga. Bailey dan Brorsen (1989) menunjukkan bahwa asymmetries dalam perubahan harga dapat disebabkan oleh asymmetries dalam biaya untuk melakukan perubahan16. Gardner (1975) menekankan pada kebijakan Pemerintah untuk mendukung harga produsen yang menyebabkan asymmetries price.
Serra dan Goodwin (2003)
mempelajari price transmission dalam sektor susu di Spanyol, berpendapat bahwa kelangkaan susu pada tingkat tertentu yang disebabkan oleh sistem kuota mengarah pada situasi dimana persaingan processor meningkatkan akses pada kuota susu dan market share ritel, akan tetapi mungkin tidak menyebabkan kenaikan harga pada tingkat ritel. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa secara teori dan empirik, kehadiran tingkah laku non kompetitif dalam pasar yang diidentifikasi sebagai pelaku asymmetric price transmission. Akan tetapi, terdapat dugaan bahwa agen dalam industri yang terkonsentrasi menetapkan harga dengan tujuan untuk 16
Halaman 7. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
31
mengambil kesejahteraan dan keuntungan untuk diri sendiri dibandingkan dengan tingkah laku yang kompetitif dan memberikan peluang signal harga naik dan turun dalam siklus rantai. Asymmetric price transmission merupakan hasil dari eksploitasi konsentrasi agen yang memiliki market power.
Dalam penelitian
Zachariasse dan Bunte (2003) mencatat bahwa market power dapat menjelaskan mengapa harga tidak dapat seluruhnya di transfer sementara ketergantungan oligopoli dan oligopsoni dapat meningkatkan lags dalam penyesuaian harga17. Hubungan antara pergerakan harga pada tingkat hulu dan pada tingkat hilir (ritel) dapat menggambarkan kondisi efisien atau tidak efisien sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan, baik dari sisi produsen ataupun sisi konsumen. Dalam hal spatial asymmetric price transmission yang terjadi ketika dan
mengacu pada harga bukan berdasarkan perbedaan tingkat dalam rantai
pemasaran (marketing chain) akan tetapi mengarah pada harga barang output yang sama di beberapa tempat. Bailey dan Brorsen (1989) mengatakan bahwa spatial price transmission dapat menjadi asymmetric diakibatkan oleh 4 (empat) alasan yaitu asymmetric adjustment cost, asymmetric information, market power, dan asymmetric price reporting.
Dalam konteks spatial, biaya penyesuaian
termasuk dalam transportasi barang. Spatial asymmetric price transmission dapat timbul apabila biaya transportasi bervariasi dalam hal perdagangan.
Sebagai
contoh, infrastruktur transportasi dan fasilitas handling dapat mengakibatkan perdagangan mengarah pada satu tempat tertentu berdasarkan alasan sejarah menurut Goodwin dan Piggott (2001). Kecepatan dan biaya transportasi dapat mengarah pada asimetrik akibat kondisi alam (sebagai contoh, biaya transportasi akan lebih tinggi apabila memindahkan barang ke atas gunung atau sungai daripada ke tempat lain. Pada negara berkembang, penyebab spatial asymmetric price transmission seringkali ditimbulkan akibat arus informasi yang asimetrik antara pasar pusat (hub) dan daerah sekeliling atau sekitarnya (spoke) menurut Abdulai (2000). Harga pada pasar pusat, sebagai akibat ukuran dan pusat informasi mengakibatkan
17
Halaman 8. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
32
cepatnya respon terhadap perubahan harga dibandingkan dengan daerah sekitarnya.
2.4
Lag dalam Proses Produksi dan Manajemen Persediaan Keterbatasan persediaan dalam industri bahan bakar minyak adalah salah
satu faktor penyebab respon harga asimetrik terhadap pasar bahan bakar minyak. Ketika harga input (crude oil) pada jangka panjang naik (misalkan karena berkurangnya sumber, atau pembatasan persediaan maupun shock kenaikan harga yang tiba-tiba), maka refinery dapat naik dengan menyesuaikan nilai persediaan. Kondisi ini menyebabkan efek negatif terhadap permintaan dan positif terhadap nilai persediaan. Ketika harga input (crude oil) turun pada jangka panjang, maka perusahaan yang memiliki persediaan tidak akan menurunkan harga dengan cepat dikarenakan keterbatasan persediaan. Apabila perusahaan memiliki persediaan yang tidak terbatas, maka penjualan akan dengan cepat naik pada harga yang rendah (Borenstein, Cameron, dan Gilbert: 1997). Biaya untuk menurunkan persediaan pada jangka pendek akan berbeda dengan biaya menaikkan persediaan. Pendapat ini berdasarkan pada fakta bahwa pengurangan persediaan dapat menjadi lebih mahal apabila tidak cukup tersedia persediaan untuk refinery. Refinery dapat mengakibatkan terjadinya penyesuaian biaya produksi yang tinggi akibat perubahan keberadaan input (crude oil). Hal ini berdasarkan beberapa faktor seperti ketika persediaan crude oil menjadi langka, maka refinery dipaksa menurunkan kuota produksinya yang akan mengakibatkan terjadinya peningkatan harga ex-refinery. Akan tetapi ketika persediaan crude oil kembali normal, refinery melakukan penyesuaian kenaikan kuota produksi secara perlahan dengan maksud untuk menutup kerugian akibat terjadinya perubahan harga input.
Dengan cara ini, refinery margin tercapai yang mengakibatkan
penurunan perlahan dari harga bahan bakar.
2.5
Market Power dan Local Price Market power sebagai salah satu sumber asymmetric price transmission
memberikan dimensi berbeda dalam konteks spatial. Perusahaan yang memiliki market power lokal dalam artian tidak ada pesaing berarti dalam beberapa radius Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
33
sebagai akibat dari biaya pencarian, akan membuat pesaing tidak bereaksi pada perubahan harga sampai tingkat tertentu.
Perusahaan yang memiliki market
power lokal tersebut dapat menjamin bahwa perubahan harga lebih cepat pada margin squeeze daripada margin stretch. Berdasarkan penelitian Green (1983), Green dan Porter (1984), dan disempurnakan oleh Tirole (2000) dijelaskan bahwa terdapat perilaku grup perusahaan dominan yang menjaga perjanjian dan kolusi antar perusahaan dan melaksanakan tacit collusion agar memperoleh profit margin yang tinggi. Apabila perusahaan mempertimbangkan tacit agreement dan mempunyai pengetahuan yang tidak sempurna mengenai harga input pesaing maka masingmasing perusahaan akan mempunyai loss function dengan kemungkinan rendah untuk menurunkan marginnya. Ketika harga input naik, refinery akan segera menaikkan harga untuk menjaga marginnya.
Ketika harga input turun,
perusahaan akan menurunkan harganya hanya apabila dipaksa melakukannya dengan adanya penurunan permintaan atau terdapat bukti bahwa pesaingnya menurunkan harga. Atau dapat pula terjadi koordinasi yang bersifat oligopolistik (Borenstein, Cameron, dan Gilbert: 1997). Walaupun demikian, penelitian lain Peltzman (2000) menyatakan bahwa kecil kemungkinan adanya bukti yang mendukung hubungan antara struktur pasar dengan respon asimetrik antar harga. Keberadaan searching cost yang dilakukan oleh konsumen untuk menemukan harga yang lebih murah dapat memberi monopolistic power pada perusahaan yang memiliki pengaruh di pasar lokal. Hal ini menyebabkan adanya respon asimetrik terhadap penyesuaian margin ritel terhadap perubahan dalam harga wholesale (Borenstein, Cameron, dan Gilbert: 1997). Secara umum, ketika terjadi kenaikan harga di pasar wholesale, SPBU akan segera menaikkan harga namun ketika terjadi penurunan harga, SPBU lokal yang mempunyai market power akan menjaga penurunan harga untuk memperoleh keuntungan dengan cara tidak merespon secara otomatis penurunan harga. Ketika searching cost oleh konsumen lebih rendah daripada keuntungan menurunkan harga, SPBU akan dipaksa untuk menurunkan harga pada tingkat kompetitif.
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
34
2.6
Kondisi Industri Bahan Bakar Minyak Industri bahan bakar minyak merupakan industri yang membutuhkan
investasi yang sangat besar. Oleh karena itu, tidak terdapat banyak operator atau pelaku usaha dalam industri bahan bakar minyak. Otoritas bisnis industri ini berada di tangan ESDM dan Dirjen Migas. Sampai saat ini sejak diliberalisasi, baru terdapat 4 (empat) pelaku usaha yang aktif dalam industri yaitu Pertamina, Petronas, Shell, dan Total.
2.6.1
Pelaku Usaha Industri hilir migas telah mengalami perubahan sejak diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, dimana telah terjadi restrukturisasi di industri migas Indonesia dengan unbundling sektor hulu dan hilir.
Hal ini
membuka peluang adanya investasi asing masuk dalam industri hilir migas termasuk dalam lini distribusi BBM non subsidi, baik BBM industri maupun BBM non subsidi untuk transportasi umum.
Pasar BBM non subsidi hanya
mencakup 2,5% atau paling tinggi 5% dari total keseluruhan pasar penggunaan BBM. Sedangkan sisanya lebih dari 95% merupakan pasar BBM subsidi (Public Service Obligation) yang hingga hari ini masih dipegang oleh Pertamina. PT Pertamina, menguasai 68,4% pasar BBM non subsidi di Indonesia pada kuartal II 2012, menurut data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Pertamina menjual sekitar 5,24 juta kiloliter BBM non-subsidi, dari total penjualan secara nasional 7,66 juta kiloliter sepanjang kuartal kedua 2012. Angka penjualan BBM non-subsidi Pertamina pada kuartal II 2012 tersebut meningkat 21,3% dari 4,32 juta kiloliter pada kuartal II 2011. Kenaikan penjualan BBM non-subsidi Pertamina itu disebabkan meningkatnya jumlah kendaraan mewah dan adanya program pembatasan BBM bersubsidi oleh pemerintah18. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) melansir pangsa pasar (market share) PT Petronas Niaga Indonesia selaku operator SPBU Petronas dalam penjualan bahan bakar minyak (BBM) non subsidi pada triwulan II-2012 hanya 0,54 persen. Data BPH Migas menunjukkan total penjualan BBM 18
http://www.indonesiafinancetoday.com /read/35643/Pertamina-Kuasai-684-Pasar-BBM-NonSubsidi. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
35
non subsidi seluruh badan usaha pada Kuartal II sebesar 7,66 juta liter.Di peringkat kedua terdapat PT AKR Corporindo Tbk dengan market share sebesar 6,9 persen atau 528 ribu liter. Sedangkan di peringkat ketiga terdapat PT Shell Indonesia selaku operator SPBU Shell dengan market share 5,4 persen atau 413 ribu liter. PT Petronas Niaga Indonesia selaku operator SPBU Petronas berada di peringkat 10 dengan market share 0,5 persen atau berhasil menjual 38.300 liter. Kesemua data di atas termasuk penjualan untuk BBM non subsidi ke industri dan transportasi. Pada saat pengumuman dibukanya industri retail BBM, sekitar lima perusahaan migas raksasa langsung menyatakan kesiapannya membangun sistem pengisian BBM untuk Umum (SPBU) yakni Petronas, Shell, British Petroleum, ExxonMobil, dan Chevron. Namun yang baru beroperasi adalah Pertamina, Petronas, Shell Indonesia dan Total. Bentuk kerjasama yang dilakukan pelaku usaha tersebut adalah berupa pembangunan stasiun bahan bakar minyak dengan BBM non subsidi sebagai produk yang dijual. Adapun skema yang dilakukan adalah Company Own Dealer Operated (CODO), dimana perusahaan-perusahaan tersebut akan bekerjasama dengan pihak individu swasta dengan pemanfaatan lahan milik perusahaan ataupun individu untuk di bangun SPBU berdasarkan hasil verifikasi. Selain itu, standar dan spesifikasi alat-alat serta penjualan produk yang terkait dengan bensin seperti oli, diatur oleh perusahaan investor. Sarana dan Prasarana Standar yang Wajib dimiliki Oleh Setiap SPBU diatur oleh investor, baik sarana pemadam kebakaran, sarana perlindungan lingkungan, keamanan, pencahayaan, peralatan dan kelengkapan filling BBM, generator dan lainnya. Pelaksanaan operasional SPBU harus sesuai dengan SOP (Standard Operating Procedure) investor. Perekrutan dan pengadaan karyawan adalah tanggung jawab individu swasta, dan para pekerja diwajibkan bekerja sesuai dengan etika kerja standar investor. Calon mitra/individu swasta akan dikenakan biaya verifikasi dan joining fee. Besaran marjin penjualan premium subsidi berkisar Rp 180 hingga Rp 200 per liter dan Rp 325 untuk setiap liter Pertamax. Kebijakan penetapan harga dilakukan oleh masing-masing pelaku usaha dan bukan oleh pemilik SPBU. Adapun profil pelaku usaha penyedia BBM Non Subsidi (khusus transportasi umum) adalah sebagai berikut: Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
36
1.
PT. Pertamina Pertamina berdiri pada 10 Desember 1957 sebagai Badan Usaha Milik
Negara, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971. Kegiatan usaha Pertamina meliputi eksplorasi dan produksi (hulu), pemrosesan, pengiriman atau pengapalan serta pemasaran dan penjualan (hilir). Hingga saat ini saham Pertamina 100% dimiliki oleh Pemerintah Indonesia.
Dengan diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi pada 23 November 2001, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dibatalkan. Terkait dengan penerapan UU No. 22 Tahun 2001 tersebut, Pertamina berubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dengan nama PT. Pertamina (Persero) melalui Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2003. Seluruh peraturan Pertamina yang berlaku termasuk struktur organisasi, pedoman, prosedur kerja dan aspek lain terkait pelaksanaan tugas dan kewajiban Pertamina selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang di atas tetap berlaku hingga terbitnya peraturan baru. Total SPBU Pertamina yang ada di seluruh wilayah Indonesia adalah 4680 SPBU, dimana 3664 diantaranya adalah SPBU Pertamina Pasti Pas dan 74 adalah SPBU COCO (company owns company operates) yang pengelolaannya langsung oleh Pertamina melalui anak perusahaannya Pertamina Retail yang beroperasi sejak Maret 2006. Latar Belakang PT. Pertamina Retail adalah:
Sebelumnya
bernama
PT.Pertajaya
Lubrindo
dengan
bidang
usaha
Pelumas,berdiri sejak 17 Juni 1997.
Sejak 1 September 2005 berganti nama menjadi PT. Pertamina Retail dengan bidang usaha SPBU.
PT.Pertamina Retail mengelola atau mengoperasikan SPBU terhitung mulai bulan 1 Maret 2006.
2.
PT. Shell Indonesia Shell Companies di Indonesia saat ini bergerak di bidang industri hilir
minyak. PT. Kridapetra Graha (KPG), perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
37
Shell company, menangani kegiatan usaha di sektor hilir migas termasuk pemasaran dan niaga pelumas baik secara langsung maupun melalui agennya. Shell Indonesia telah menorehkan sejarah dengan membuka SPBU non Pertamina pertama di Karawaci, Tangerang, dalam waktu 40 tahun ini. Dalam bisnis transportasi Shell memproduksi pelumas termasuk merk Rimula. Shell juga menawarkan jasa konsultasi dan teknologi untuk industri petrokimia dan pemrosesan minyak melalui Shell Global Solutions. Dalam bidang usaha niaga, Shell secara teratur membeli produk dari kilang Pertamina seperti LSWR, Naptha dan Baseoils atas dasar SPA (Shell Purchase Agreement) De-bottlenecking Project, dan seringkali menjual produk kepada Pertamina melalui proses tender. Pada tahun 2004, Shell mendapat lisensi niaga umum dan pada tahun 2005 mendapat izin permanen. Izin tersebut diperoleh setelah Shell melengkapi persyaratan yang diminta seperti: mempunyai sumber pasokan, mempunyai storage, mempunyai pengangkutan dan mempunyai SPBU. Selain BBM, Shell juga memproduksi pelumas dengan merk sendiri dan tidak lagi menggunakan merk Pertamina. SPBU Shell saat ini diusahakan dengan mekanisme Company Own Distributor Operate. Shell mulai mengoperasikan SPBU di Indonesia sejak 1 November 2005. SPBU pertamanya terletak di Lippo Karawaci, Tangerang. Pada 1 Maret 2006, Shell membuka SPBU di Jakarta yang terletak di Jalan S. Parman.Saat initotal jumlah SPBU Shell mencapai 57 gerai dengan rincian 50 di Jakarta dan tujuh di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur.
Produk Produk yang ditawarkan oleh Shell SPBU adalah:
Shell Super Extra , Bahan bakar dengan octane 95
Shell Super , Bahan bakar dengan octane 92
Shell Diesel , Shell Diesel direkomendasikan untuk semua jenis kendaraan diesel.
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
38
3.
Petronas Petronas kependekan dari Petroliam Nasional Berhad, adalah perusahaan
minyak dan gas milik negara Malaysia, didirikan pada tanggal 17 Agustus1974 sebagai perusahaan minyak nasional Malaysia, yang berhak atas seluruh kepemilikan dan control sumber daya minyak bumi di dalam negeri Malaysia. Sejak itu berkembang dari yang hanya sebagai manajemen dan regulator sektor hulu Malaysia, menjadi bentuk integrasi dari perusahaan minyak dan perusahaan gas.
Petronas memiliki 103 anak perusahaan, dan memiliki sebagian 19
perusahaan dan berhubungan dengan 55 perusahaan. Kegiatan usaha Petronas meliputi (i) eksplorasi, pengembangan dan produksi minyak mentah dan as alam di Malaysia dan luar negeri; (ii) likuifaksi, penjualan dan transportasi LNG, (iii) pengolahan dan transmisi gas alam dan penjualan produk gas alam, (iv) penyulingan dan pemasaran produk-produk minyak bumi, (v) pembuatan dan penjualan produk petrokimia, (vi) perdagangan minyak mentah dan produk minyak bumi, dan (vii) pengiriman dan logistic yang berkaitan dengan LNG, minyak mentah dan produk minyak bumi. Petronas mengolah minyak mentah yang diproduksi dengan eksplorasi dan operasi produksi melalui bisnis minyak terintegrasi yang mencakup operasi penyulingan, pemasaran, perdagangan dan ritel. Minyak mentah diperdagangkan dan dipasarkan secara internasional serta diolah menjadi produk minyak di kilang Petronas
untuk
pasar
domestik
dan
ekspor.
Petronas
memiliki
dan
mengoperasikan empat kilang dengan kapasitas penyulingan total lebih dari 448.000 barel per hari. Produk minyak bumi dari kilang tersebut dipasarkan melalui jaringan stasiun Petronas layanan di beberapa negara yaitu Malaysia, Afrika Selatan, Sudan, Thailand, termasuk Indonesia. Di Indonesia, Petronas memiliki 19 SPBU, kebanyakan di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Selain itu SPBU Petronas juga terdapat di kota Bandung dan kota Medan. Namun, beberapa SPBU milik Petronas terpaksa tutup karena kalah bersaing dan terus merugi sehingga jumlah SPBU hanya tinggal 4 buah.
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
39
4.
PT. Total Total
adalah
perusahaan
distribusi
BBM
milik
Prancis.
Total
memanfaatkan aturan internasional tentang liberalisasi perdagangan energi sebagai pintu masuk ke Indonesia. Total E&P Indonesia didirikan di Jakarta, 14 Agustus 1968, dengan lapangan awal saat itu di seputar delta mahakam. Selain TOTAL E&P Indonesie, TOTAL SA sebagai perusahaan induk dari TEPI, TOTAL, SA juga memiliki affiliasi downstream di Indonesia, yaitu PT TOTAL Oil Indonesia (TOI). Total mengoperasikan jaringan global dari 16,425 SPBU di seluruh dunia, yang 11.134 stasiun di Eropa dimana Grup juga memiliki jaringan 500 AS24 stasiun khusus dalam pemasaran bahan bakar untuk transporter profesional. Sejak tahun 2005, total telah diluncurkan di beberapa negara Eropa dan Turki EXCELLIUM TOTAL. Jumlah ini juga mendistribusikan BBM dalam negeri untuk pemanas, produksi air panas dan motorisasi profesionnal, serta bahan bakar berat untuk pelanggan industri. Di Indonesia, SPBU total beroperasi sejak 2007.
2.6.2
Distribusi Bahan Bakar Minyak Distribusi bahan bakar minyak dilakukan mulai dari perolehan bahan
bakar melalui kilang dalam negeri atau impor yang direfineri oleh pelaku usaha di depot masing-masing untuk kemudian disalurkan kepada konsumen melalui instalasi penyimpanan.
Grafik 2.1 Pola Distribusi Bahan Bakar Minyak Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
40
Keterangan: 1.
Terminal transit/instalasi/depot adalah tempat penimbunan BBM yang dimiliki atau dikuasai oleh pelaku usaha;
2.
Stasiun pengisian BBM untuk umum adalah setiap tempat untuk melayani pembelian BBM yang terdiri dari stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU), Premium Solar Packed Dealer (PSPD), Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bunker (SPBB), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Industri (SPBI), Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk TNI dan Kepolisian Negara RI (SPBT/P), dan bunker service PT Pertamina (Persero) 19.
2.6.3
Regulasi Berdasarkan ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Cabang-
cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai
hajat
hidup
orang
banyak
dikuasai
oleh
Negara.
Penyelenggaraan minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional yang meningkat dan berkelanjutan kegiatan usaha minyak dan gas diselenggarakan melalui peraturan perundangundangan sebagai berikut:
A.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001Tentang Minyak dan Gas Bumi Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi memiliki tujuan
untuk menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian usaha pengolahan, pengangkutan penyimpanan, dan niaga secara akuntabel yang diselenggarakan 19
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2005 tanggal 28 Februari 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
41
melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan untuk menjamin tersediaan minyak bumi dan gas bumi.
Kegiatan usaha Minyak dan
Gas Bumi terdiri atas: 1. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup : a. Eksplorasi; b. Eksploitasi. 2. Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup : a. Pengolahan; b. Pengangkutan; c. Penyimpanan; d. Niaga.
Mengingat vital dan pentingnya bahan bakar minyak yang merupakan komoditas yang memiliki nilai strategis serta menguasai hajat hidup orang banyak di Indonesia, Pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin ketersediaan serta kelancaraan pendistribusian bahan bakar minyak. Pelaksanaan kegiatan distribusi bahan bakar minyak dilaksanakan oleh badan usaha yang melaksanakan kegiatan usaha hilir. Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga. Mekanisme pelaksanaan kegiatan usaha hilir dilaksanakan melalui izin usaha yang penyelenggaraannya dilakukan melalui persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan. Berdasarkan pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 200 Tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU No. 22/2001) Kegiatan Usaha hulu dan kegiatan usaha hilir dapat dilaksanakan oleh: a.
Badan usaha milik Negara;
b.
Badan usaha milik daerah;
c.
Koperasi, usaha kecil;
d.
Badan usaha swasta; Bentuk usaha tetap dibatasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas, dimana
bentuk usaha tetap hanya dapat melaksanakan kegiatan usaha hulu 20. UU No. 20
Pasal 1 angka 18 UU No.22/2001 Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
42
22/2001 mengatur mengenai larangan bagi badan usaha tetap yang melakukan kegiatan usaha hulu untuk melakukan kegiatan usaha hilir.
Hal sebaliknya
berlaku bagi badan usaha yang melakukan kegiatan hilir tidak dapat melakukan kegiatan usaha hulu21. Kegiatan usaha hulu dilaksanakan oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap berdasarkan kontrak kerjasama yang hanya diberikan 1 (satu) wilayah kerja dengan jangka waktu paling lama 30 tahun yang dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) tahun. Kegiatan usaha hilir dapat dilaksanakan oleh badan usaha setelah mendapatkan izin usaha dari pemerintah. Izin Usaha adalah izin yang diberikan kepada
Badan
Usaha
untuk
melaksanakan
Pengolahan,
Pengangkutan,
Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba22. Izin usaha dalam kegiatan usaha hilir terdiri atas: a.
Izin usaha pengolahan
b.
Izin usaha pengangkutan
c.
Izin usaha penyimpanan
d.
Izin usaha niaga.
Izin usaha kegiatan usaha hilir kepada setiap badan usaha dapat diberikan lebih dari 1 (satu) izin usaha sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terhadap bahan bakar minyak serta olahan tertentu dari minyak bumi yang dipasarkan didalam negeri dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat wajib memenuhi standard dan mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
B.
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2004 tentang kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh Badan Usaha yang telah memiliki
Izin Usaha yang dikeluarkan oleh Menteri dan diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.
Pemerintah
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia 21 Pasal 10 UU No.22/2001 22 Pasal 1 angka 20 UU No. 22/2001 Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
43
melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan atas penyelenggaraan Kegiatan Usaha Hilir. Pengaturan dan pembinaan dilakukan oleh Menteri yang meliputi: a.
Izin Usaha yang diberikan kepada Badan Usaha;
b.
Jenis, standar dan mutu Bahan Bakar Minyak, Gas Bumi, Bahan Bakar Gas, dan Bahan Bakar Lain serta Hasil Olahan;
c.
Jaminan ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Bahan Bakar Minyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d.
Pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri;
e.
Cadangan Strategis Minyak Bumi guna mendukung penyediaan Bahan Bakar Minyak dalam negeri;
f.
Kebijakan Cadangan Bahan Bakar Minyak Nasional;
g.
Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasiona
h.
Teknis keselamatan dan kesehatan kerja, dan pengelolaan lingkungan hidup serta pengembangan masyarakat setempat;
i.
Mekanisme dan/atau formulasi harga Bahan Bakar Gas dan jenis Bahan Bakar Minyak tertentu pada masa sebelum harga dapat diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang wajar dan sehat;
j.
Ketersediaan dan distribusi jenis Bahan Bakar Minyak tertentu;
k.
Peningkatan potensi kemampuan nasional;
l.
Pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri.
Berdasarkan Pasal 12 PP No. 36 Tahun2004, kegiatan usaha hilir meliputi: a.
Kegiatan
usaha
Pengolahan
yang
meliputi
kegiatan
memurnikan,
memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah Minyak dan Gas Bumi yang menghasilkan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Hasil Olahan, LPG dan/atau LNG tetapi tidak termasuk Pengolahan Lapangan; b.
Kegiatan usaha Pengangkutan yang meliputi kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan/atau Hasil
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
44
Olahan baik melalui darat, air, dan/atau udara termasuk Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dari suatu tempat ke tempat lain untuk tujuan komersial; c.
Kegiatan usaha Penyimpanan yang meliputi kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan dan pengeluaran Minyak Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan/atau Hasil Olahan pada lokasi di atas dan/atau di bawah permukaan tanah dan/atau permukaan air untuk tujuan komersial;
d.
Kegiatan usaha Niaga yang meliputi kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas dan/atau Hasil Olahan, termasuk Gas Bumi melalui pipa.
Dalam hal Pengajuan dan pemberian Izin Usaha untuk kegiatan usaha hilir ditetapkan sebagai berikut: a.
Kegiatan usaha Pengolahan yang menghasilkan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas dan/atau Hasil Olahan diajukan kepada dan diberikan oleh Menteri;
b.
Kegiatan usaha Pengangkutan Minyak Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas dan/atau Hasil Olahan termasuk pengangkutan Gas Bumi melalui pipa diajukan kepada dan diberikan oleh Menteri;
c.
Kegiatan usaha Penyimpanan Minyak Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas dan/atau Hasil Olahan diajukan kepada dan diberikan oleh Menteri;
d.
Kegiatan usaha Niaga Minyak Bumi, Gas Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas dan/atau Hasil Olahan diajukan kepada dan diberikan oleh Menteri.
Bagi Badan Usaha yang akan melaksanakan kegiatan usaha Niaga Minyak Bumi, Gas Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan/atau Hasil Olahan wajib memiliki Izin Usaha Niaga dari Menteri. Dalam melaksanakan kegiatan usaha Niaga, Badan Usaha wajib:
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
45
a.
Menjamin ketersediaan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan/atau Hasil Olahan secara berkesinambungan pada jaringan distribusi Niaganya;
b.
Menjamin ketersediaan Gas Bumi melalui pipa secara berkesinambungan pada jaringan distribusi Niaganya;
c.
Menjamin harga jual Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar, Lain dan/atau Hasil Olahan pada tingkat yang wajar;
d.
Menjamin penyediaan fasilitas Niaga yang memadai;
e.
Menjamin standar dan mutu Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan/atau HasilOlahan yang ditetapkan oleh Menteri;
f.
Menjamin dan bertanggung jawab atas keakuratan dan sistem alat ukur yang digunakan;
g.
Menjamin penggunaan peralatan yang memenuhi standar yang berlaku.
Terhadap Badan Usaha yang melaksanakan Kegiatan Usaha Niaga Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan /atau Hasil Olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dapat diberikan Izin Usaha Niaga Umum (Wholesale) atau Izin Usaha Niaga Terbatas (Trading). Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Umum (Wholesale) dapat melakukan kegiatan niaga untuk melayani konsumen tertentu (besar). Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Umum (Wholesale) wajib memiliki dan/atau menguasai fasilitas dan sarana penyimpanan serta jaminan suplai dari sumber di dalam negeri dan/atau luar negeri.
Menteri menetapkan kapasitas fasilitas penyimpanan minimum yang
harus direalisasikan Badan Usaha. Badan Pengatur memberikan pertimbangan kepada Menteri berkaitan dengan penetapan kapasitas fasilitas penyimpanan minimum.
Badan Usaha dapat memulai kegiatan usaha Niaganya selelah
memenuhi kewajiban kapasitas fasilitas penyimpanan minimum. Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Umum (Wholesale) Bahan Bakar Minyak dapat melakukan kegiatan penyaluran secara langsung kepada pengguna transportasi melalui fasilitas dan sarana yang dikelola dan/atau dimilikinya. Kegiatan penyaluran secara langsung pada fasilitas dan sarana milik Badan Usaha sebagaimana hanya dapat dilaksanakan paling banyak 20% (dua puluh Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
46
persen) dari jumlah seluruh sarana dan fasilitas kegiatan penyaluran yang dikelola dan/atau dimiliki oleh Badan Usaha. Kegiatan penyaluran pada sarana dan fasilitas yang dikelola dan/atau dimiliki Badan Usaha yang tidak dilakukan secara langsung, pengoperasiannya hanya dapat dilaksanakan oleh koperasi, usaha kecil dan/atau badan usaha nasional.
Koperasi, usaha kecil dan/atau badan usaha
nasional dapat memiliki dan mengoperasikan fasilitas dan sarana milik sendiri melalui kerjasama dengan Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Umum (Wholesale). Menteri ESDM menetapkan jenis, standar dan mutu Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan/atau Hasil Olahan yang berupa produk akhir (finished product) yang akan dipasarkan di dalam negeri. Standar dan mutu Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan/atau Hasil Olahan yang dipasarkan di dalam negeri wajib memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan Menteri. Menteri dalam menetapkan standar dan mutu standar dan mutu Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan/atau Hasil Olahan yang berupa produk akhir (finished product) yang akan dipasarkan di dalam negeri.wajib memperhatikan perkembangan teknologi, kemampuan produsen, kemampuan dan kebutuhan konsumen, keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup.
C.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak Dan Gas Bumi Berdasarkan
ketentuan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara
002/PUU-1/2003 tentang Permohonan Uji Formil dan Materiil terhadap Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga perlu mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Perubahan peraturan pemerintah no. 36 tahun 2004 tentang kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi adalah ketentuan pasal 72 yang semula mengatur Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
47
bumi, kecuali Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan diubah menjadi harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diatur dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah.
D.
Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri Seiring dengan kenaikan harga minyak dunia, menyebabkan kenaikan
harga bahan bakar minyak khususnya bahan bakar minyak bersubsidi yang membebankan keuangan Negara dalam penyediaan dan pengadaan bahan bakar minyak dalam negeri, sehingga pemerintah menetapkan kebijakan untuk pengurangan subsidi terhadap bahan bakar minyak dalam negeri. Dalam pengaturan Perpres ini, Pemerintah menetapkan kebijakan terhadap harga bahan bakar subsidi sebagai berikut: Pasal 2 ayat (2) Harga jual eceran Bensin Premium dan minyak solar (gas oil) untuk usaha kecil, transportasi dan pelayanan umum di titik serah termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) untuk setiap liter ditetapkan sebagai berikut: a.
Bensin premium : Rp. 4500 (empat ribu lima ratus rupiah);
b.
Minyak solar (gas oil) : Rp. 4300 (empat ribu tiga ratus rupiah).
E.
Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan gas Bumi Nomor 3674 K/DJM/2006 tentang standar mutu (spesifikasi) bahan bakar minyak jenis bensin yang dipasarkan di dalam negeri. Dalam peraturan ini standar dan mutu (spesifikasi) bahan bakar minyak
(BBM) jenis bensin terdiri dari bensin 88, bensin 91 dan bensin 95. Bensin 88 adalah jenis bensin dengan riset octane (RON) 88 tanpa timbale atau bensin dengan RON 88 bertimbal.
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
BAB 3 METODE PENELITIAN Pada bab ini, akan diuraikan mengenai metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian serta data-data yang diperlukan dalam penelitian. 3.1
Cakupan Penelitian Dalam penelitian ini, akan dianalisa struktur, perilaku, dan kinerja industri
BBM non subsidi RON 92.
Untuk pengukuran kinerja, digunakan analisa
pergerakan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU terhadap pergerakan harga input crude oil. Adapun metode analisis yang digunakan adalah asymmetric price transmission dengan model error correction model. Model ini mengacu pada jurnal Bachmeier dan Griffin (2003) dengan judul New Evidence on Asymmetric Gasoline Price Response yang menganalisa asimetrik pergerakan harga bensin dengan harga crude oil. Error correction model merupakan model yang digunakan untuk mengoreksi persamaan regresi di antara variabel-variabel yang secara individual tidak stasioner agar kembali ke nilai equilibriumnya di jangka panjang, dengan syarat utama berupa keberadaan hubungan kointegrasi di antara variabel-variabel penyusunnya.
Hubungan kointegrasi dapat diartikan
sebagai suatu hubungan jangka panjang (long term relationship/equilibrium) antara variabel-variabel yang tidak stasioner23. Dasar dari pengujian Bachmeier dan Griffin (2003), mengacu pada jurnal sebelumnya yaitu: Borenstein, Cameron, dan Gilbert (1997) yang menyatakan bahwa kenaikan harga bahan bakar mengikuti kenaikan harga crude oil, namun turun secara perlahan ketika terjadi penurunan harga crude oil dengan menggunakan pergerakan harga mingguan dari harga crude oil dan harga bahan bakar. Secara spesifik, Bachmeier dan Griffin (2003), menguji sensitifitas model Borenstein, Cameron, dan Gilbert dengan frekwensi data dan spesifikasi model yang berbeda. Pengujian oleh Borenstein, Cameron, dan Gilbert dilakukan secara bertahap, dimana dalam pengujian tersebut ingin diketahui transmisi harga dalam beberapa tahapan distribusi. 23
Ajija dan Setianto. Halaman 133.
Dalam penelitiannya, Borenstein, Cameron, dan
Cara Cerdas Menguasai Eviews.
Jakarta:
Penerbit Salemba Empat.
48 Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
49
Gilbert menggunakan model two stage least square.
Dalam penelitiannya
digunakan jenis data mingguan dari harga crude oil maupun harga di wholesale, dan ritel bahan bakar dalam periode Maret 1986-1992. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa terdapat pergerakan harga asimetrik dari harga spot untuk bahan bakar terhadap perubahan crude oil akibat adanya penyesuaian dari sisi inventori atau persediaan dan pergerakan yang asimetrik dari harga ritel terhadap harga wholesale yang diduga akibat adanya market power antar ritel dalam jangka pendek. Sedangkan penelitian oleh Bachmeier dan Griffin, lebih difokuskan pada pengujian transmisi harga input (crude oil) pada harga output (ritel) dengan frekwensi data yang lebih pendek yaitu data harian harga crude oil dan eceran bahan bakar dari periode tahun 1985-1998. Untuk pengujian ini digunakan model Engle-Granger error correction model yang menawarkan pendekatan model yang lebih cocok untuk membedakan harga yang asimetris. Pada hasil pengujian oleh Bachmeier dan Griffin, ditemukan bahwa dengan menggunakan data harian serta metodologi Engle-Granger error correction model justru tidak ditemukan bukti adanya asymmetric price transmission dari harga crude oil pada harga ritel bahan bakar. Berdasarkan penjelasan yang ada, faktor penyesuaian harga harian berpengaruh terhadap perilaku harga ritel bahan bakar. Dengan kata lain, karena pergerakan harga harian yang diamati, maka penyesuaikan harga ritel semakin bersifat simetrik. Penelitian ini difokuskan pada pengujian transmisi harga antara harga input (crude oil) terhadap pergerakan harga output (ritel) dengan menggunakan Engle-Granger error correction model sebagaimana digunakan Bachmeier dan Griffin dalam menguji asimetrik harga. Pemilihan sampel data harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 didasarkan pada data harga dua mingguan dari empat pelaku usaha aktif di Indonesia dari bulan Januari tahun 2005 sampai dengan bulan Desember tahun 2011. Data time series crude oil tersebut didasarkan pada data Plats dengan jangka waktu yang sama yaitu dari bulan Januari tahun 2005 sampai dengan bulan Desember tahun 2011. Data harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 yang digunakan adalah data nasional yang tercantum di situs resmi pelaku aktif dalam industri yaitu Pertamina, Petronas, Shell, dan Total. Data di tingkat daerah tidak Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
50
dijadikan sebagai acuan sehingga analisa tidak mencerminkan perbedaan harga di berbagai daerah di Indonesia. Kedua jenis data tersebut dikonversi dalam bentuk Rupiah. Lebih lanjut, data kualitatif dalam penelitian ini meliputi data mengenai struktur industri BBM non subsidi RON 92 yang diperoleh dari empat pelaku usaha aktif.
3.2
Metode Analisis Pendekatan statistik yang biasa digunakan pada asymmetric price
transmission mengacu pada fenomena harga yang terjadi ketika harga downstream bereaksi terhadap perubahan harga upstream tergantung pada karakteristik dari harga upstream atau perubahan dalam harga tersebut. Dalam bentuk harga upstream dan downstream yang terkait (pasar internasional dan domestik), terdapat keberadaan external shocks yang menimbulkan penyesuaian jangka pendek dan jangka panjang melalui ekuilibrium jangka panjang. Apabila terjadi kondisi asymmetric price transmission, kenaikan pada harga input segera disesuaikan oleh pasar output, namun ketika harga input turun tidak segera direspon oleh pasar output. Model pengujian menggunakan error correction model.
Error correction model merupakan teknik untuk mengoreksi
ketidakseimbangan jangka pendek menuju pada keseimbangan jangka panjang24. Dalam spesifikasinya, terdapat tiga jenis spesifikasi tes atau Augmented Dickey-Fuller (ADF), yaitu spesifikasi tanpa intersep (drift) dan trend, spesifikasi dengan intersep dan spesifikasi dengan intersep dan trend. Hal ini dikarenakan proses stokastik yang terjadi pada sebuah seri waktu dapat mempunyai bentuk yang berbeda-beda.
Secara umum, spesifiksi yang paling banyak digunakan
adalah dengan spesifikasi memasukkan intersep dan trend.
Tes ini akan
menggunakan prosedur Dickey-Fuller (DF) atau Augmented Dickey-Fuller (ADF) dengan asumsi bahwa terdapat korelasi dari error. Tes tersebut menggunakan estimasi persamaan sebagai berikut:
(3.1) 24
Nachrowi dan Usman. (2006). Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi. Halaman 371. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
51
Dimana penggunaan
sebagai error murni. Dilakukan first difference dari yt dan
diintegrasikan terhadap yt-1 untuk melihat apakah estimasi slope coefficient ( ) adalah nol. Apabila
= 0 maka yt adalah non stasioner (terdapat unit root). Jika
menolak hipotesis nol maka dapat disimpulkan bahwa seri waktu tersebut adalah stasioner.
3.3
Tahapan Pengujian Dalam tahapan pengujian dibutuhkan beberapa faktor agar dapat
menghasilkan model persamaan yang dapat diandalkan. Faktor tersebut adalah stasioneritas, tes kointegrasi, dan tes error correction model asimetrik. Sebelum melakukan tes di atas, dilakukan pula tes Granger Causality yang berguna untuk memperlihatkan seberapa pengaruh dari variabel-variabel yang diamati yaitu harga input crude oil (MOPS dan ICP) dan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU. Selain tes Granger Causality, dilakukan pula tes ANOVA untuk menguji penerimaan (acceptability) model dari perspektif statistik dalam bentuk analisis sumber keragaman dengan tabel ANOVA (Analysis of Variance) atau disebut juga dengan analisis ragam. Tujuan ANOVA adalah untuk menguji lebih dari dua rata-rata populasi, apakah mempunyai rata-rata yang sama atau berbeda.
Dalam menentukan signifikan atau tidak signifikan, dengan
membandingkan antara F hitung dan F tabel serta probalitias (significance) dengan alpha25.
Hipotesis yang digunakan adalah: H0: µ1 = µ2 … = µk (mean dari semua kelompok sama) Ha: µi <> µj (terdapat mean dari dua atau lebih kelompok tidak sama) Dari tabel ANOVA tersebut diungkapkan bahwa keragaman data aktual variabel terikat (dependent) bersumber dari model regresi dan dari residual. Dalam pengertian sederhana adalah variasi (turun-naiknya atau besar kecilnya) 25
Danang Sunyoto. (2012). Prosedur Uji Hipotesis untuk Riset Ekonomi. Bandung: Penerbit Alfabeta. Halaman 91. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
52
harga jual eceran BBM Non Subsidi RON 92 di SPBU disebabkan oleh variasi dari harga input MOPS dan ICP (model regresi) serta dari faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi harga jual eceran BBM Non Subsidi RON 92 di SPBU yang tidak dimasukkan dalam model regresi (residual). Degree of Freedom (df) atau derajat bebas dari total adalah n-1, dimana n adalah banyaknya observasi. Nilai F ini yang dikenal dengan F hitung dalam pengujian hipotesa dibandingkan dengan nilai F tabel. Jika F hitung > F tabel, maka dapat dinyatakan bahwa secara simultan (bersama-sama) harga input MOPS dan ICP berpengaruh signifikan terhadap harga jual eceran BBM Non Subsidi RON 92 di SPBU. Selain itu, dapat pula membandingkan antara taraf nyata dengan p-value. Jika taraf nyata > dari pvalue maka kesimpulannya sama dengan di atas.
3.3.1
Tes Stasioner Penelitian ini melakukan analisis berdasarkan pengujian data time series,
maka perlu dilakukan pengujian karakteristik data yang digunakan yaitu tes stasioneritas.
Proses stokastik atau random merupakan kumpulan variabel-
variabel yang random (acak) pada waktu tertentu. Suatu proses stokastik dapat dikatakan stasioner jika nilai rataan (mean) dan variansnya konstan sepanjang waktu dan nilai kovarians antara dua periode hanya bergantung pada jarak atau celah (gap) atau lampau (lag) antara dua periode waktu dan tidak pada periode actual, dimana kovarian dihitung. Stasioneritas terkait erat dengan konsistensi pergerakan data time series. Sebaliknya suatu proses stokastik dikatakan tidak stasioner jika memiliki nilai rataan atau varians yang bervariasi sepanjang waktu atau memiliki nilai rataan dan varians yang beragam. Suatu data disebut stasioner apabila nilai rata-rata dan variansnya konstan sepanjang waktu, yang diikuti dengan nilai covarians antar dua periode waktu yang hanya bergantung kepada jarak atau selang di antara keduanya. Data yang tidak stasioner memiliki rata-rata dan varian yang tidak konstan sepanjang waktu. Dengan kata lain, secara ekstrim data stasioner adalah data yang tidak mengalami kenaikan dan penurunan. Selanjutnya regresi yang menggunakan data tidak stasioner biasanya mengarah kepada regresi lancung atau spurious regression.
Permasalahan ini muncul
diakibatkan oleh variabel dependen dan independen runtun waktu terdapat tren Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
53
yang kuat dengan pergerakan menurun ataupun meningkat. Adanya tren yang menghasilkan koefisien determinasi (R2) yang tinggi akan tetapi keterkaitan antar variabel rendah. Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran ringkas yang menginformasikan seberapa baik sebuah garis regresi sampel sesuai dengan datanya.
Keseluruhan koefisien determinasi memberitahukan bahwa proporsi
variasi dari variabel dependen atau regresan dijelaskan oleh variabel penjelasnya atau regresor. Koefisien R2 berada antara angka 0 dan 1. Semakin mendekati 1, semakin baik ketepatannya26. Tes stasioner atau non-stasioneritas yang sangat popular digunakan adalah uji akar-akar unit (unit root test). Stasioneritas dapat diperiksa dengan mencari apakah data runtun waktu mengandung akar unit (unit root).
Pengujian yang
dihasilkan dari persamaan yang mengandung unsur unit root adalah bias. Uji akar unit digunakan untuk menguji adanya anggapan bahwa sebuah data time series tidak stasioner. Perlu diketahui bahwa data yang dikatakan stasioner adalah data yang bersifat flat, tidak mengandung komponen trend, dengan keragaman yang konstan, serta tidak terdapat fluktuasi periodik. Beberapa metode yang dapat dilakukan untuk menguji akar unit diantaranya adalah Dickey-Fuller, Augmented Dicky-Fuller, Dickey-Fuller DLS (ERS), Philips-Peron, KwiakowskiPhilips-Schmidt-Shin, Elliot-Rothenberg-Stock Point-Optimal, dan Ng-perron. Penelitian ini akan menggunakan uji Augmented Dicky-Fuller untuk menentukan apakah suatu data runtun waktu mengandung akar unit atau bersifat non-stasioner. Jika variabel Yt sebagai variabel dependen, maka akan diubah menjadi Yt = ρ Yt-1 + Ut
(3.2)
Jika koefisien Yt-1 (ρ) adalah = 1 dalam arti hipotesis diterima, maka variabel mengandung unit root dan bersifat non-stasioner. Untuk mengubah trend yang bersifat non-stasioner menjadi stasioner dilakukan uji orde pertama (first difference). ΔYt = (ρ-1) (Yt – Yt-1) 26
(3.3)
Gujarati dan Porter. (2012). Dasar-Dasar Ekonometrika. Penerbit Salemba Empat. Halaman
94. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
54
Koefisien ρ akan bernilai 0, dan hipotesis akan ditolak sehingga model menjadi stasioner. Hipotesis yang digunakan pada pengujian augmented dickey fuller adalah: H0 : ρ = 0 (Terdapat unit roots, variabel Y tidak stasioner) H1 : ρ ≠ 0 (Tidak terdapat unit roots, variabel Y stasioner)
Kesimpulan hasil root test diperoleh dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel pada tabel Dickey-Fuller27. Yaitu sebagai berikut: Jika nilai probabilitas lebih kecil daripada α = 1%, α = 5%, atau α = 10%,
a.
maka tidak terjadi unit root. Sebaliknya, jika nilai probabilitas lebih besar dari α = 1%, α = 5%, atau α = 10%, maka terjadi unit root. b.
Jika terjadi unit root, maka dilakukan tes yang kedua (tes derajat integrasi): 1st Difference – Trend and Intercept.
3.3.2
Tes Kointegrasi Selanjutnya, dilakukan pengujian kecenderungan pergerakan data yang
sama antara dua variabel atau lebih yang bergerak secara bersama-sama dalam jangka panjang dengan menggunakan uji kointegrasi.
Secara ekonomi, dua
variabel akan terkointegrasi jika memiliki hubungan jangka panjang (ekuilibrium) hubungan di antara keduanya. Uji ini terkait dengan model yang dilakukan dimana dengan menggunakan model VECM (vector error correction model) maka dapat digunakan data series yang non-stasioner asalkan data tersebut terkointegrasi atau memiliki hubungan jangka panjang sehingga terjadi ekuilibrium. Prasyarat uji kointegrasi adalah melakukan verifikasi bahwa suatu serial harga bersifat non-stasioner dan menetapkan urutan atau order integrasi peubah. Tes data kointegrasi melakukan tes data stasioner pada nilai residual yang dihasilkan dari persamaan yang menggunakan data tidak stasioner. Pengujian kointegrasi pada penelitian ini menunjukkan adanya kombinasi linier dari variabel-variabel yang non-stasioner. Pada penelitian ini akan digunakan model pengujian kointegrasi bivariat berbasis pada 2 (dua) model utama yaitu Johansen (1988) dan Johansen dan 27
http://ariyoso.wordpress.com/2009/12/10/uji-akar-unit-2/ Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
55
Juselius (1990) atau JJ maximum likelihood. Pada model JJ maximum likelihood akan diketahui apakah antara variabel-variabel yang diteliti mempunyai hubungan jangka panjang atau tidak. Yaitu dilakukan dengan membandingkan antara trace statistic (TS) dengan maximal eigenvalue (ME) pada suatu nilai kritis tertentu. Jika TS dan ME melebihi nilai t statistik berarti menolak hipotesis nol. Penolakan hipotesis nol yang menunjukkan adanya hubungan jangka panjang antara variabel-variabel yang diteliti. Atau dengan kata lain, jika nilai t statistik lebih kecil daripada nilai critical Dickey-Fuller maka H0 diterima, tidak ada kointegrasi. Jika terjadi kebalikannya nilai t statistic lebih besar dari nilai critical DickeyFuller maka H0 ditolak atau ada kointegrasi. 3.3.3
Metode Error Correction Model Error correction model (ECM) adalah model dinamis pergerakan variabel
dalam beberapa periode yang terkait dengan jangka periode sebelumnya terhadap keseimbangan jangka panjang.
Apabila data terkointegrasi, artinya, terdapat
hubungan jangka panjang atau ekuilibrium di antara keduanya. Tentunya hal ini berarti bahwa dalam jangka pendek kedua variabel tersebut mungkin tidak ekuilibrium. Teori representatif Granger menyebutkan bahwa jika dua variabel Y dan X terkointegrasi, maka hubungan di antara keduanya dapat diekspresikan dalam ECM.
Model ECM pertama kali diperkenalkan oleh Sargan dan
dikembangkan oleh Hendry dan akhirnya dipopulerkan oleh Engle-Granger. Menurut Engle-Granger (1987), jika diantara sejumlah peubah terdapat kointegrasi maka diperoleh kondisi yang disebut sebagai error correction representation yang mengindikasikan bahwa perubahan yang terjadi terhadap peubah bebas (dependent variable) tidak hanya dipengaruhi oleh peubah tidak bebas (explanatory variables) tetapi juga dipengaruhi oleh ketidakseimbangan dari hubungan kointegrasi. Ketidakseimbangan dari hubungan kointegrasi ini ditunjukkan oleh nilai error correction term. Menurut McKay (1998) dan Angelo dan Zapata (2000) dalam error correction model, ketidakseimbangan jangka pendek diwakili oleh error correction term yang merupakan bentuk lag dari nilai residual pada regresi awal. Regresi awal adalah regresi dengan menggunakan data yang tidak stasioner dimana nilai galat ini sudah stasioner seperti yang Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
56
disyaratkan oleh metode Engle dan Granger (1987). Dengan demikian, model error correction model akan memperoleh peubah bebas yang memberikan pengaruh jangka panjang dan jangka pendek. Dalam penelitian ini, basis hubungan antara harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dan harga input crude oil dapat berupa persamaan sebagai berikut: (3.4)
Dimana harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 (PG) adalah autoregressive yang tergantung pada lag distribusi atau (β(L)), dari harga input crude oil (PC) sebelumnya dan saat ini.
3.3.4
Tes Simetrik Prinsip dasar tes simetris ini adalah memperlihatkan seberapa pengaruh
dari variabel-variabel yang diamati terhadap harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 pada periode yang diamati. Jika series harga PG dan PC terkointegrasi, dan tidak terdapat trend waktu dalam harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 maka basic error correction model (simetris) yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
(3.5) Dimana βci merupakan ukuran dampak jangka pendek dari harga input crude oil. Βqt merupakan dampak jangka pendek dari lag harga jual eceran BBM non subsidi RON 92.
merupakan parameter penyesuaian keseimbangan jangka
panjang dan (zt-1 = PGt-1 =
0
–
t
. PCt-1) adalah hubungan kesimbangan jangka
panjang antara harga input crude oil dan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92. Parameter
0
dan
t
dapat diestimasi dari regresi OLS harga jual eceran BBM
non subsidi RON 92 pada harga input crude oil sebelumnya.
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
57
Tes Asimetrik
3.3.5
Secara
umum,
error
correction
model
menggambarkan
kondisi
keseimbangan dimana terdapat efek jangka panjang dari perubahan permanen harga input crude oil. Meskipun demikian, hubungan kointegrasi jangka panjang antara harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dan harga input crude oil harus diidentifikasi ketika harga naik atau turun. Pada penelitian ini, dengan mengacu pada jurnal Bachmeier Griffin (2003), model error correction model yang dipakai untuk melihat kondisi yang diidentifikasi ketika harga naik maupun turun (asimetrik) adalah:
(3.6)
Dimana: PG
= Harga Jual Eceran BBM non subsidi RON 92
PC
= Harga input crude oil
βct
= Mengukur efek jangka pendek dari lag harga jual eceran BBM non subsidi RON 92
βgi
= Mengukur efek jangka pendek dari harga input crude oil
θ
= Paremeter penyesuai dari keseimbangan jangka panjang
Zt-1 = PGt-1 -
mempresentasikan keseimbangan jangka panjang
antara harga input crude oil dan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92
Dalam keadaan
terjadi ketika
> 0 dan sama untuk dimana
> 0 dan
dan
> 0 dan
terjadi ketika
. Koefisien
terkait dengan situasi
terkait dengan situasi dimana
< 0. Persamaan ini
lebih menggambarkan fleksibilitas respon harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 terhadap kenaikan dan penurunan harga input crude oil. Selanjutnya digunakan wald test untuk menguji signifikasi secara statistik dari masing-masing koefisien (explanatory variable) dalam model. Analisa yang dilakukan dalam penelitian ini terbagi atas dua hal yaitu analisa data dan analisa faktor penyebab Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
58
dari kondisi yang ada dikaitkan dengan struktur dan perilaku pelaku usaha dalam industri. Tahapan analisis yang dilakukan akan dijelaskan pada gambar di bawah ini: Data time series dari harga input crude oil dan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92
Konversi dalam Rupiah
Tes Stasioner dengan Augmented Dickey-Fuller
Tes Kointegrasi dengan Model Johansen
Uji Model Simetrik
Uji Error Correction Model
Data dengan Growth Positif
Data dengan Growth Negatif
Wald Test
Intepretasi Hasil Tolak/Terima Simetrik Grafik 3.1 Tahapan Analisis Data
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
59
3.4
Data Setting Terdapat beberapa tahapan analisis yang dilakukan dalam penelitian.
Tahapan tersebut antara lain meliputi klasifikasi data, pengujian asimetris, dan wald test. Tahapan detil atas analisa tersebut dinyatakan sebagai berikut: 1. Terdapat dua jenis data yaitu harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dan harga input crude oil dimana data tersebut akan dibagi ke dalam dua growth. Yaitu growth negatif (penurunan) dan data dengan growth yang positif (kenaikan). 2. Pada data dengan growth positif maka titik seri waktu yang ber-growth negatif dianggap nol dan begitu juga sebaliknya. Hal ini dilakukan untuk melihat keasimetrisan dari harga jual eceran BBM non subsidi RON 92. 3. Kemudian dibuat model simetris dan asimetris dari harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dan harga input crude oil. 4. Tahap terakhir adalah melakukan wald test pada model asimetris untuk memeriksa keberadaan kesimetrisan.
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1
Analisa Data Deskriptif Penelitian menggunakan data harga jual eceran bahan bakar minyak
(BBM) non subsidi RON 92 di SPBU berdasarkan harga yang dipublikasikan oleh ESDM dan operator atau pelaku usaha (Pertamina, Petronas, Shell, dan Total) dari tahun 2005 hingga tahun 2011.
Selain harga input MOPS, Indonesia juga
mengenal Indonesian Crude Price (ICP) yang dikeluarkan setiap bulan oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Manusia. ICP merupakan harga minyak rata-rata tertimbang dari 50 jenis minyak yang dihasilkan di seluruh Indonesia. Rata-rata ini juga mengacu pada MOPS dan harga di Jepang (RIM Intelligence Co.). Data crude oil berdasarkan pada data harga input MOPS dan ICP dalam jangka waktu yang sama yaitu dari tahun 2005 hingga tahun 2011. Pergerakan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dapat dilihat pada grafik di bawah ini seperti terlihat pada grafik di bawah ini: 11,000 10,000 9,000 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2005
2006
2007
2008
PERTAMAX PRIMAX
2009
2010
2011
SUPER PERFORM
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Grafik 4.1 Pergerakan Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92
60 Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
61
Berdasarkan data di atas terlihat bahwa harga Pertamax mengalami kecenderungan naik. Kenaikan paling tinggi untuk harga Pertamax terjadi di tahun 2007 pada bulan April sebesar 13% atau naik dari Rp 4.900,00 per liter menjadi Rp 5.600,00 per liter dan bulan September sebesar 17% atau naik dari Rp 6.250,00 menjadi Rp 7.500,00. Harga Pertamax mulai turun sejak bulan Agustus tahun 2008 dari Rp 10.450,00 menjadi Rp 9.375,00 mengikuti turunnya harga crude oil. Harga Super mengalami kenaikan paling tinggi di tahun 2007 pada bulan April sebesar 14% atau naik dari Rp 4.900,00 per liter menjadi Rp 5.700,00 per liter dan bulan November sebesar 10% atau naik dari Rp 6.250,00 menjadi Rp 6.950,00 per liter. Harga Super mengalami penurunan tertinggi pada bulan September tahun 2008 sebesar 19% atau turun dari harga Rp 10.550,00 menjadi Rp 8.850,00 per liter. Harga Primax mengalami kenaikan paling tinggi pada bulan Juli tahun 2007 sebesar 14% yaitu dari harga Rp 5.500,00 menjadi Rp 6.400,00 per liter dan bulan Desember sebesar 17% dengan perubahan harga dari Rp 6.250,00 menjadi Rp 7.500,00 per liter. Harga Primax turun sebesar 20% pada bulan September tahun 2008 dengan perubahan harga dari Rp 10.450,00 menjadi harga Rp 8.675,00 per liter.
Harga Performance tidak mengalami kenaikan atau
penurunan drastis akibat krisis moneter dikarenakan baru mulai beroperasi di Indonesia pada tahun 2009. Pergerakan harga input crude oil (MOPS dan ICP) tidaklah jauh berbeda, akan tetapi harga MOPS cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan harga ICP. Berdasarkan grafik di bawah, terlihat bahwa pergerakan harga input MOPS juga memiliki kecenderungan naik, pada saat krisis moneter harga mulai mengalami kenaikan terhitung sejak bulan Mei tahun 2008 sebesar Rp 8.012,00 menjadi Rp 9.269,00 per liter dan turun pada bulan Oktober di tahun yang sama sebesar 32% yaitu dari harga Rp 6.987,00 menjadi Rp 5.308,00 per liter. Kenaikan paling drastis justru terjadi pada tahun 2011 dengan prosentase sebesar 46% pada bulan April dari harga Rp 7.175,00 menjadi Rp 13.272,00 per liter dan bulan Juni dengan kenaikan sebesar 57% dari harga Rp 12.522,00 menjadi Rp 29.164,00 per liter. Penurunan harga input MOPS terjadi pada bulan Juli tahun 2011 sebesar 120% dengan perubahan harga dari Rp 29.164,00 menjadi Rp 13.251,00 per liter. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
62
Pergerakan harga input ICP juga memiliki kecenderungan naik, pada saat krisis moneter harga mulai mengalami kenaikan terhitung sejak bulan November tahun 2007 sebesar 12% yaitu dari harga Rp 4.729,00 menjadi Rp 5.367,00 per liter dan mulai turun pada bulan Agustus di tahun 2008 sebesar 17% yaitu dari harga Rp 7.779,00 menjadi Rp 6.650,00 per liter. Kenaikan paling tinggi terjadi pada bulan Mei tahun 2008 dengan prosentase sebesar 13% yaitu dari harga Rp 6.331,00 menjadi Rp 7.285,00 per liter. Penurunan harga terjadi pada bulan Desember tahun 2008 sebesar 33% dengan perubahan harga dari Rp 3.633,00 menjadi Rp 2.739,00 per liter. Pergerakan harga input crude oil (MOPS dan ICP) mulai tahun 2005 hingga tahun 2011 adalah sebagai berikut: 30,000
25,000
20,000
15,000
10,000
5,000
0 2005
2006
2007
2008 MOPS
2009
2010
2011
ICP
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Grafik 4.2 Pergerakan Harga Input Crude Oil (MOPS dan ICP)
4.2
Analisa Time Series Tahapan analisa time series yang dilakukan dalam penelitian adalah
sebagaimana berikut:
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
63
4.2.1. Tes Stasioner Untuk menganalisa pergerakan data time series dan melihat hubungan antar variabel, perlu dilakukan pengujian stasioner pada data series.
Hal ini
dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya spurious regression yaitu suatu kondisi dimana sebuah regresi terhadap satu variabel dan variabel lainnya menghasilkan nilai R2 yang tinggi namun sebenarnya tidak ada hubungan yang berarti secara teori ekonomi. Hal ini sering terjadi karena kedua seri waktu tersebut menunjukkan karakteristik tren yang kuat.
Untuk mengetahui pada
kondisi manakah data dapat menjadi stasioner, maka dilakukan pengujian terhadap dalam beberapa kondisi. Apabila data series bersifat stasioner tanpa melakukan differencing, maka dikatakan sebagai kondisi I(0)/level. Apabila data series bersifat stasioner pada turunan pertama I(1), maka dikatakan sebagai kondisi (first differences) atau integrasi pada order 1. Pengujian ini dilakukan melalui tes Augmented Dickey Fuller (ADF) pada kondisi level, dengan spesifikasi trend dan intercept.
Hipotesis persamaan untuk unit root adalah sebagai berikut: H0: Terdapat unit root atau data tidak stasioner H1: Data stasioner Tolak H0 jika ADF > dari test critical value.
Tes tersebut dilakukan dengan program E-Views terhadap harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dari seluruh operator atau pelaku usaha yang aktif dalam industri. Hasil tes menunjukkan: a.
Hasil persamaan Pertamax menunjukkan bahwa data tidak stasioner (terdapat unit root), maka hasil persamaan menunjukkan fakta tidak menolak akan adanya unit root. Ini menunjukkan pada tingkat level, variabel Pertamax adalah tidak stasioner. Lebih lanjut kemudian diuji dengan menggunakan level first difference spesifikasi trend dan intercept pada test Augmented Dickey Fuller, dengan hasil menunjukkan bahwa menolak hipotesis nol adanya unit root. Ini menunjukkan bahwa pada tingkat first difference, data series waktu harga Pertamax bersifat stasioner. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
64
b.
Hasil tes terhadap data series Primax adalah bahwa hasil persamaan menunjukkan bahwa data tidak stasioner (terdapat unit root), maka hasil persamaan menunjukkan fakta tidak menolak akan adanya unit root. Ini menunjukkan pada tingkat level, variabel Primax adalah tidak stasioner. Lebih lanjut kemudian diuji dengan menggunakan level first difference spesifikasi trend dan intercept pada test Augmented Dickey Fuller, dengan hasil sebagai berikut menunjukkan bahwa menolak hipotesis nol adanya unit root. Ini menunjukkan bahwa pada tingkat first difference, data series waktu harga Primax bersifat stasioner.
c.
Hasil tes terhadap data series Super adalah hasil persamaan menunjukkan bahwa data tidak stasioner (terdapat unit root), maka hasil persamaan menunjukkan fakta tidak menolak akan adanya unit root. Ini menunjukkan pada tingkat level, variabel Super adalah tidak stasioner.
Lebih lanjut
kemudian diuji dengan menggunakan level first difference spesifikasi trend dan intercept pada test Augmented Dickey Fuller, dengan hasil menunjukkan bahwa menolak hipotesis nol adanya unit root. Ini menunjukkan bahwa pada tingkat first difference, data series waktu harga Super bersifat stasioner. d.
Hasil tes terhadap data series Performance adalah hasil persamaan menunjukkan bahwa data tidak stasioner (terdapat unit root), maka hasil persamaan menunjukkan fakta tidak menolak akan adanya unit root. Ini menunjukkan pada tingkat level, variabel Performance adalah tidak stasioner. Lebih lanjut kemudian diuji dengan menggunakan level first difference spesifikasi trend dan intercept pada test Augmented Dickey Fuller, dengan hasil menunjukkan bahwa menolak hipotesis nol adanya unit root.
Ini
menunjukkan bahwa pada tingkat first difference, data series waktu harga Performance bersifat stasioner. e.
Hasil tes terhadap data series harga input crude oil MOPS dan ICP adalah sebagai berikut: Hasilnya adalah tidak menolak akan adanya unit root yang menunjukkan bahwa pada tingkat level, variabel crude oil MOPS adalah tidak stasioner. Pada tingkat first difference data series crude oil MOPS bersifat stasioner yang menunjukkan tidak menolak hipotesis nol adanya unit root. Untuk harga input ICP, hasilnya adalah tidak menolak akan adanya unit Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
65
root yang menunjukkan bahwa pada tingkat level, variabel crude oil ICP adalah tidak stasioner. Pada tingkat first difference data series crude oil ICP bersifat stasioner, hasil menunjukkan bahwa tidak menolak hipotesis nol adanya unit root.
Dengan melakukan tes tersebut, stasionaritas ditemukan pada saat kondisi first difference I (I) untuk variabel harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 (Pertamax, Primax, Super, dan Performance) serta harga input crude oil (MOPS dan ICP).
4.2.2. Tes Kointegrasi Setelah mengetahui bahwa variabel yang digunakan dalam penelitian stasioner pada kondisi first difference, maka pada analisa berikutnya dilakukan uji kointegrasi untuk mengetahui apakah terdapat hubungan jangka panjang antara kedua variabel yang diteliti. Uji kointegrasi perlu dilakukan antara variabel harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dengan harga input crude oil (MOPS dan ICP). Berikut hasil tes kointegrasi dari data harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 seluruh SPBU operator (pelaku usaha) aktif dengan data harga input crude oil MOPS adalah sebagai berikut: a.
Hasil Pertamax memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test memiliki hasil yang sama dimana tidak terdapat kointegrasi pada data Pertamax dan crude oil MOPS.
b.
Hasil tes kointegrasi untuk data series Primax memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test memiliki hasil yang sama dimana tidak terdapat kointegrasi pada data Primax dan crude oil MOPS.
c.
Hasil tes kointegrasi untuk data series Super memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test memiliki hasil yang sama dimana terdapat kointegrasi pada data Super dan crude oil MOPS.
d.
Hasil tes kointegrasi untuk data series Performance memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test memiliki hasil yang sama dimana tidak terdapat kointegrasi pada data Performance dan crude oil MOPS. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
66
Berdasarkan hasil tes kointegrasi dapat diketahui bahwa dalam jangka panjang, hanya harga Super yang terkointegrasi dengan harga input crude oil MOPS. Hasil tes kointegrasi untuk data series harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dengan harga input crude oil ICP adalah sebagai berikut a.
Hasil Pertamax memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test memiliki hasil yang sama dimana terdapat kointegrasi pada data Pertamax dan crude oil ICP.
b.
Hasil Primax memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test memiliki hasil yang sama dimana terdapat kointegrasi pada data Primax dan crude oil ICP.
c.
Hasil Super memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test memiliki hasil yang sama dimana terdapat kointegrasi pada data Super dan crude oil ICP.
d.
Hasil Performance memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test memiliki hasil yang sama dimana terdapat kointegrasi pada data Performance dan crude oil ICP.
Berdasarkan hasil tes kointegrasi dapat diketahui bahwa dalam jangka panjang, harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dari Pertamax, Primax, Super, dan Performance terkointegrasi dengan harga input crude oil ICP. Pengujian persamaan tes kointegrasi antara harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dan harga input MOPS memberikan hasil bahwa tidak terdapat hubungan jangka panjang antara pergerakan harga harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dan harga input MOPS sehingga untuk pergerakan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dan harga input MOPS tidak dapat dilakukan uji asymmetric price transmission dengan pendekatan error correction model. Persamaan kointegrasi dalam kerangka asymmetric price transmission hanya dapat dilakukan pada variabel yang memiliki kointegrasi, dengan demikian selanjutnya akan lebih dikhususkan kepada perbandingan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dengan harga input crude oil ICP. Hal ini mungkin terjadi dikarenakan harga input crude oil ICP lebih mudah untuk dikontrol dan Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
67
jumlah volume-nya langsung dapat diketahui mengingat berasal dari sumur domestik Indonesia. Harga input crude oil ICP digunakan Pemerintah sebagai asumsi makro APBN. Asumsi makro APBN ini digunakan untuk menghindari hedging perusahaan minyak negara (Pertamina) dalam rangka memutuskan kapan waktu memperbesar kapasitas storage kilang minyak.
4.3 Pengolahan Data Model Error Correction Model (ECM) Pengolahan data model ECM Simetris dan Asimetris pada Industri BBM non subsidi RON 92 yaitu membandingkan harga Pertamax, Primax, Super, dan Performance dengan harga input crude oil ICP akan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
4.3.1. Tes Simetrik Tes ini berguna untuk memperlihatkan seberapa pengaruh dari variabelvariabel yang diamati yaitu harga input crude oil (MOPS dan ICP) dan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU. Berdasarkan tes Granger Causality dari harga input crude oil (MOPS dan ICP) dan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 (Pertamax, Primax, Super, dan Performance) maka diketahui bahwa sifat hubungan atau pola pengaruh antar harga sebagai berikut:
Pertamax Primax
Super
Performance e
MOPS ICP
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Grafik 4.3 Hasil Tes Granger Causality Data Harga Jual BBM Non Subsidi RON 92 dengan Harga Input Crude Oil (MOPS dan ICP) Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
68
Berdasarkan tes Granger Causality dari harga input crude oil (MOPS dan ICP) dan keseluruhan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 (Pertamax, Primax, Super, dan Performance) maka diketahui bahwa sifat hubungan atau pola pengaruh antar harga sebagai berikut: Harga Jual Eceran SPBU
MOPS
ICP
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Grafik 4.4 Hasil Tes Granger Causality Data Keseluruhan Harga Jual BBM Non Subsidi RON 92 Pelaku Usaha dengan Harga Input Crude Oil (MOPS dan ICP)
Berdasarkan hasil tes Granger Causality atau grafik di atas terlihat bahwa harga Pertamax mempengaruhi harga Super dan Primax serta harga Performance mempengaruhi
penetapan
harga
Primax.
Terdapat
hubungan
saling
mempengaruhi antara MOPS dan ICP, dan bersama-sama (MOPS dan ICP) mempengaruhi harga jual eceran Pertamax di SPBU. Akan tetapi berdasarkan hasil tes kointegrasi jangka panjang didapat bahwa harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 tidak terkointegrasi terhadap harga input MOPS melainkan dengan harga input ICP. Hasil intepretasi grafik tersebut adalah 1.
Harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU pelaku usaha asing (Petronas, Shell, dan Total) selain dipengaruhi oleh harga input crude oil ICP dan MOPS juga dipengaruhi oleh harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU Pertamina. Hal ini dapat dilihat dari penetapan harga pelaku usaha asing tersebut yang dilakukan sehari atau dua hari setelah Pertamina menetapkan harganya;
2.
Harga input crude oil MOPS dan ICP memiliki hubungan saling mempengaruhi yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
69
a.
Harga input crude oil MOPS yang ditetapkan oleh Singapura mempertimbangkan harga input crude oil ICP dikarenakan berdasarkan fakta yang ada, impor minyak baik yang dibeli dari pasar SPOT atau kontrak
jangka panjang, sebenarnya tidak dibeli langsung oleh
Pertamina melainkan melalui para broker.
Para broker ini dalam
menentukan harga mengacu pada harga input crude oil ICP. b. Harga input crude oil ICP mempertimbangkan harga input crude oil MOPS dikarenakan MOPS merupakan pembentuk harga untuk impor persediaan BBM sedangkan ICP lebih digunakan sebagai pembentuk harga domestik untuk BBM non subsidi RON 92. Dikarenakan impor tergantung pada banyaknya hasil produksi domestik, maka harga input crude oil MOPS dan ICP ini terdapat hubungan saling mempengaruhi. c.
Harga input crude oil ICP yang dikeluarkan oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga mempertimbangkan penentuan harga atau harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dikarenakan setiap bulan, ESDM membuat siaran pers mengenai harga jual eceran BBM tertentu.
Harga jual tersebut merupakan hasil
monitoring dan evaluasi perkembangan harga minyak mentah dan harga produk BBM di pasar dunia. Pemerintah juga memperhatikan kondisi sektor riil dan perekonomian global maupun nasional28.
Selain
memperhatikan hal tersebut, Pemerintah juga mempertimbangkan kebijakan energi nasional dan kondisi keuangan negara yang selanjutnya dapat disesuaikan berupa kenaikan atau penurunan harga29. Perhatian Pemerintah juga terkait pada volume penjualan BBM subsidi Premium dikarenakan subtitusi terdekat (close substitute) dari Premium RON 88 adalah BBM non subsidi RON 92. Kenaikan harga dari RON 92 akan mempengaruhi volume penjualan RON 88 yang pada akhirnya akan mempengaruhi APBN. Perpindahan pengguna ini akan menambah jumlah pengguna BBM yang disubsidi pemerintah.
Naiknya harga
Pertamax ini membuat jarak harga antara Pertamax dan Premium yang 28 29
www.esdm.go.id www.bisnis.com. Harga BBM: BPH Migas Mengingatkan Peluang Aksi Penimbunan. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
70
tidak jadi naik dan tetap Rp 4.500 per liter semakin jauh. Pengamat perminyakan Kurtubi menilai kondisi ini tentu saja akan memicu peralihan pengguna Pertamax ke Premium. Pemilik kendaraan bermotor akan berpikir rasional dan hal ini pun dinilai wajar karena memang tidak ada larangan tegas bagi pemilik kendaraan bermotor mewah untuk menggunakan Premium. Hanya saja, kata dia, hal ini akan semakin menambah jumlah konsumsi BBM bersubsidi karena pengguna Pertamax yang tidak disubsidi beralih ke Premiun yang disubsidi30.
Anggota
Komite BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi), Ibrahim Hasyim, mengakui kenaikan harga Pertamax akan berpengaruh besar terhadap perbandingan konsumsi BBM subsidi dan non subsidi31. Hal ini dipertegas oleh Gubernur BI, Darmin Nasution, yang mengumumkan bahwa rencana pemerintah untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi pada April 2012 akan menyumbang inflasi sekitar 0,720,94 persen karena adanya perpindahan penggunaan BBM dari Premium ke Pertamax32.
Untuk menguji penerimaan (acceptability) model dari perspektif statistik dalam bentuk analisis sumber keragaman dengan tabel ANOVA (Analysis of Variance) atau disebut juga dengan analisis ragam. Hipotesis yang digunakan adalah: H0: µ1 = µ2 … = µk (mean dari semua kelompok sama) Ha: µi <> µj (terdapat mean dari dua atau lebih kelompok tidak sama) Hasil tes ANOVA sebagaimana tercantum dalam lampiran 2, dapat diintepretasikan bahwa antara MOPS dan ICP, terima H0, bahwa mean dari semua kelompok sama sehingga terdapat pergerakan yang sama antara harga input 30
http://dennyja-world.com/Pertamax Kian Mahal. (2 April 2012). Pengguna Premium Bakal Bertambah. 31 http://www.tempo.co/read/news/2012/09/03/090427057/Harga-Pertamax-Naik-BPH-MigasWaspada. (03 September 2012). Harga Pertamax Naik, BPH Migas Waspada. 32 http://kaltim.tribunnews.com/2012/01/14/waspadai-inflasi-putaran-akibat-pembatasan-premium. (14 Januari 2012). Waspadai Inflasi Putaran Akibat Pembatasan Premium. Tribun Kaltim. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
71
MOPS dan ICP. Hubungan antara harga input MOPS dan harga jual eceran Pertamax adalah tolak H0 yang berarti terdapat mean dari dua atau lebih kelompok tidak sama sehingga terdapat perbedaan pergerakan antara harga input MOPS dan harga jual eceran Pertamax di SPBU. Sedangkan hubungan antara harga input ICP dan harga jual eceran Pertamax adalah terima H0 yang berarti mean dari semua kelompok sama sehingga pergerakan yang sama antara harga input ICP dan harga jual eceran Pertamax di SPBU. Dalam menentukan signifikan atau tidak signifikan, dengan membandingkan antara F hitung dan F tabel maka nilai F dari harga input ICP (96,41) lebih besar bila dibandingkan dengan harga input MOPS (2,24) terhadap harga jual eceran Pertamax di SPBU. Untuk melihat kesimetrisan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dengan harga input crude oil ICP, perlu degenerate antara pergerakan harga positif dan negative terhadap variabel independen pada persamaan simetrik error correction model. Hasil permodelan persamaan error correction model simetrik adalah sebagai berikut
DPertamax c DICP DPertamax(-1) DICP(-1) RESCOINT
(4.1)
Dikarenakan harga Pertamax mempengaruhi penetapan harga dari pesaing lain dan harga input crude oil MOPS tidak terkointegrasi maka uji simetrik hanya akan dilakukan terhadap pergerakan harga Pertamax dan crude oil ICP. Hasil pengujian uji simetrik pada periode yang diamati dengan menggunakan program E-Views adalah bahwa 1.
Harga crude oil ICP pada periode observasi dan sebelumnya (t-1) secara signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga Pertamax pada periode observasi (t). Harga crude oil ICP pada periode observasi berpengaruh positif terhadap harga Pertamax periode observasi (t), dimana setiap kenaikan 1 satuan harga crude oil ICP pada periode observasi (t) akan mengakibatkan kenaikan 447.57 satuan dari harga Pertamax periode observasi (t). Harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) berpengaruh positif terhadap harga Pertamax periode observasi (t), dimana setiap kenaikan 1 satuan harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan kenaikan Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
72
615.87 satuan dari harga Pertamax periode observasi (t). Harga Pertamax pada periode sebelumnya (t-1) tidak signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga Pertamax pada periode observasi (t).
Berdasarkan nilai
adjusted R-squared, maka model ini dapat menjelaskan 41,41% variasi dari variabel dependen. 2.
Harga crude oil
ICP pada periode sebelumnya (t-1) secara signifikan
berpengaruh terhadap fluktuasi harga Super pada periode observasi (t). Harga crude oil
ICP pada periode sebelumnya (t-1) berpengaruh positif
terhadap harga Super periode observasi (t), dimana setiap kenaikan 1 satuan harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan kenaikan 0.463 satuan dari harga Super periode observasi (t). Harga crude oil ICP pada periode observasi (t) dan harga Super pada periode sebelumnya (t-1) tidak signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga Super pada periode observasi (t). Berdasarkan nilai adjusted R-squared, maka model ini dapat menjelaskan 4,33% variasi dari variabel dependen. 3.
Harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) secara signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga Primax pada periode observasi (t). Harga crude oil
ICP pada periode sebelumnya (t-1) berpengaruh positif
terhadap harga Primax periode observasi (t), dimana setiap kenaikan 1 satuan harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan kenaikan 0.490 satuan dari harga Primax periode observasi (t). Harga crude oil ICP pada periode observasi (t) dan harga Primax pada periode sebelumnya (t-1) tidak signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga Primax pada periode observasi (t). Berdasarkan nilai adjusted R-squared, maka model ini dapat menjelaskan 6,87% variasi dari variabel dependen. 4.
Harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) dan harga Performance sebelumnya (t-1) secara signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga Performance pada periode observasi (t). Harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) berpengaruh positif terhadap harga Performance periode observasi (t), dimana setiap kenaikan 1 satuan harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan kenaikan 0.115 satuan dari harga Performance periode observasi (t). Harga Performance pada periode Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
73
sebelumnya (t-1) berpengaruh positif terhadap harga Performance periode observasi (t), dimana setiap kenaikan 1 satuan harga Performance pada periode sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan kenaikan 0.275 satuan dari harga Performance periode observasi (t). Harga crude oil ICP pada periode observasi (t) tidak signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga Performance pada periode observasi (t).
Berdasarkan nilai adjusted R-
squared, maka model ini dapat menjelaskan 17,69% variasi dari variabel dependen. Berdasarkan hasil regresi simetrik antara harga input crude oil ICP dan harga jual eceran Pertamax di SPBU, dapat disimpulkan bahwa perubahan harga Pertamax dikoreksi positif sebesar 0.24 dan sisanya sebesar 99.76 berasal dari variabel-variabel lain yang tidak dapat dijelaskan.
4.3.2. Tes Asimetrik Tes asimetik hanya dapat dilakukan terhadap harga jual eceran Pertamax di SPBU dan harga crude oil ICP dikarenakan tidak dapat dilakukan proses tes asimetrik terhadap harga jual eceran Super, Primax, dan Performance karena insufficient number of observations.
Tes selanjutnya pun juga hanya akan
dilakukan terhadap harga jual eceran Pertamax di SPBU dan harga crude oil ICP. Tes asimetrik digunakan untuk mengetahui pengaruh perubahan kenaikan (P) terhadap penurunan harga (M) crude oil ICP di periode observasi (t) terhadap harga Pertamax di periode observasi (t), serta perubahan kenaikan (P) terhadap penurunan harga (M) crude oil ICP di periode sebelumnya (t-1) terhadap harga Pertamax pada periode observasi (t). Pada saat yang bersamaan, pengujian juga dilakukan terhadap pengaruh kenaikan nilai error terhadap penurunan nilai error tersebut pada harga Pertamax periode observasi (t). Apabila pengaruh kenaikan berbeda dengan pengaruh ketika terjadi penurunan, maka dikatakan terjadi asimetrik harga. Pembentukan variabel positif dan negatif untuk seluruh variabel independen
termasuk
RESCOINTP
dan
RESCOINTM
adalah
dengan
menghilangkan pergerakan harga negatif untuk memperoleh variabel pergerakan harga positif dan sebaliknya menghilangkan harga positif untuk memperoleh variabel pergerakan harga negatif. Spesifikasi model error correction model baik Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
74
yang simetrik maupun asimetrik merupakan model yang valid dilihat dari nilai error correction term yaitu variabel RESCOINT pada persamaan simetrik dan RESCOINTP dan RESCOINTM pada persamaan asimetrik. Hasil permodelan dengan menggunakan persamaan asimetrik yang diturunkan dari persamaan simetrik di atas adalah
DPertamax DICPP DICPN DICPP(-1) DICPN(-1) DPertamaxP(-1) DPertamaxN(-1) RESCOINTP RESCOINTM
(4.2)
Dengan menggunakan program E-Views, maka didapatkan hasil bahwa dampak kenaikan harga crude oil ICP tidak berpengaruh secara signifikan terhadap harga Pertamax akan tetapi berpengaruh secara signifikan terhadap harga Pertamax ketika terjadi penurunan harga. Kenaikan harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) tidak berpengaruh signifikan terhadap harga Pertamax akan tetapi berpengaruh secara signifikan terhadap harga Pertamax ketika terjadi penurunan harga. Kenaikan dan penurunan harga Pertamax periode sebelumnya (t-1) berpengaruh secara signifikan terhadap harga Pertamax periode observasi (t). Penurunan harga crude oil ICP berpengaruh positif terhadap kenaikan harga Pertamax saat ini, dimana setiap terjadi penurunan 1 (satu) satuan harga crude oil ICP periode observasi (t) akan mengakibatkan penurunan 0.337 satuan dari harga Pertamax pada saat observasi (t). Selain itu, setiap penurunan 1 satuan harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1), mengakibatkan kenaikan 0.402 satuan harga Pertamax saat observasi berlangsung (t). Kenaikan harga Pertamax periode sebelumnya (t-1) berpengaruh negatif terhadap kenaikan harga Pertamax saat ini, dimana setiap terjadi kenaikan 1 satuan harga Pertamax periode sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan kenaikan 0.533 satuan dari harga Pertamax pada saat observasi (t). Penurunan harga Pertamax periode sebelumnya (t-1) berpengaruh negative terhadap kenaikan harga Pertamax saat ini, dimana setiap penurunan
1
satuan
harga
Pertamax
periode
sebelumnya
(t-1)
akan
mengakibatkan penurunan 0.664 satuan harga dari harga Pertamax pada saat observasi (t).
Berdasarkan nilai adjusted R-squared, maka model ini dapat
menjelaskan 54.87% variasi dari variabel dependen. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
75
4.3.3. Wald Test Adalah pengujian signifikasi secara statistik untuk melihat perbedaan pengaruh ketika harga naik dan turun pada variabel crude oil ICP periode sebelumnya (t-1) dan observasi (t), serta harga Pertamax periode sebelumnya (t-1) dan observasi (t).
Hipotesa nol (H0) yang digunakan adalah simetrik atau
perbedaan pengaruh kenaikan harga dengan penurunan harga dari variabel yang diuji adalah sama dengan permodelan sebagai berikut
C(1)=C(2), C(3)=C(4), C(5)=C(6), C(7)=C(8)
(4.3)
Berdasarkan hasil tes program E-Views dapat diketahui bahwa dengan tingkat significance level sebesar 5% maka Ho tidak dapat diterima atau asimetrik. Hal tersebut berarti bahwa pengaruh ketika terjadi kenaikan maupun penurunan harga crude oil ICP pada periode observasi (t) adalah tidak sama sehingga bersifat asimetrik terhadap harga Pertamax. Hasil pengujian menjelaskan bahwa harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 lebih terkorelasi dalam jangka panjang dengan harga input crude oil ICP dibandingkan dengan harga input crude oil MOPS. Dapat dijelaskan bahwa fenomena asymmetic price transmission di Indonesia adalah pengaruh harga input crude oil ICP terhadap harga Pertamax signifikan hanya apabila terjadi penurunan harga di periode sebelumnya (t-1) dan observasi (t). Kenaikan harga crude oil ICP tidak signifikan terhadap harga Pertamax di periode sebelumnya (t-1) dan observasi (t). Dengan kata lain, tidak terjadi transmisi harga input (crude oil ICP) terhadap harga Pertamax apabila terjadi kenaikan harga.
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa, pengaruh
asimetrik lebih dipengaruhi dari harga Pertamax periode sebelumnya (t-1) dan periode observasi (t). Oleh sebab itu, analisa membuktikan bahwa pergerakan harga jual eceran BBM non subsidi Ron 92 di SPBU bersifat asimetrik dengan pergerakan harga input (crude oil MOPS) dan terdapat faktor input lain yang mempengaruhi pergerakan harga jual eceran BBM non subsidi Ron 92 di SPBU yaitu harga input ICP. Hasil penelitian mengintepretasikan bahwa pelaku usaha dalam menetapkan Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
76
harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU, tidak berdasarkan sepenuhnya kepada harga input crude oil ICP sebagai input dalam memproduksi bahan bakar minyak. Penetapan harga juga lebih didasarkan kepada harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU pada periode sebelumnya dan observasi (saat ini).
4.4
Analisa Penyebab Asymmetric Price Transmission antara Harga Input Crude Oil MOPS dengan Harga Jual Eceran Pertamax di SPBU Penyebab asymmetric price transmission antara harga input crude oil
MOPS dan harga jual eceran Pertamax di SPBU adalah dikarenakan harga input crude oil MOPS digunakan sebagai acuan harga untuk impor sedangkan komposisi impor bahan bakar minyak Indonesia masih dalam kisaran angka yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah produksi dalam negeri. Dapat dilihat pada tabel tersebut di bawah, bahwa komposisi jumlah produksi lokal sebesar 64.63% masih lebih besar dibandingkan dengan impor yang berjumlah hanya sebesar 39.96%. Dengan perbandingan jumlah impor yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah produksi lokal maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam penetapan harga, harga input crude oil MOPS tidak signifikan terhadap harga jual eceran Pertamax di SPBU. Di bawah ini adalah tabel jumlah produksi, impor, dan konsumsi dari bahan bakar minyak Indonesia sejak tahun 2005 hingga tahun 2011 berdasarkan data dari ESDM. Tabel 4.1 Jumlah Produksi, Impor dan Konsumsi
Tahun Produksi 2005 268.529 2006 257.821 2007 244.396 2008 251.531 2009 246.289 2010 241.156 2011 238.957 JUMLAH 1.748.679 Sumber: www.esdm.go.id
Dalam ribu barel Impor Konsumsi 166.690 397.802 133.241 374.691 151.154 383.453 154.821 388.107 139.361 379.142 163.639 388.241 172.124 394.052 1.081.030 2.705.488
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
77
Hal ini dipertegas dengan pernyataan Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, yang mengatakan bahwa untuk minyak mentah, komposisi pasokan ke Pertamina sekitar 900.000 barel per hari adalah berasal dari domestik sebesar 67%, kemudian 13% melalui pembelian langsung ke produsen dan 20% impor melalui anak perusahaan Pertamina Energy Trading Limited (Petral)33.
4.5
Analisa Penyebab Asymmetric Price Transmission antara Harga Input Crude Oil ICP dengan Harga Jual Eceran Pertamax di SPBU Respon asimetrik terjadi ketika penurunan harga input crude oil ICP di
periode sebelumnya (t-1) dan observasi secara cepat di respon harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU saat ini. Namun ketika terjadi kenaikan harga input crude oil ICP di periode sebelumnya (t-1) dan observasi hal tersebut tidak direspon secepat penurunan harga. Selain harga input crude oil ICP yang berpengaruh sekitar 68.79% terhadap harga Pertamax, komponen lain dalam harga impor yang membentuk total biaya aktual (landed cost) adalah iuran-iuran pasar, ongkos pengangkutan, asuransi, aditif, kehilangan di laut, bea dan cukai, serta biaya surveyor. Kondisi ini setidaknya dapat dijelaskan oleh beberapa kondisi seperti pembelian bahan bakar minyak RON 92 pada periode sebelumnya (kontrak harga, nilai tukar, dan biaya distribusi), penetapan harga pesaing, serta struktur pasar industri bahan bakar minyak RON 92.
4.5.1
Persediaan Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam fenomena asimetrik ini
adalah kondisi pembelian bahan bakar minyak yang sangat tergantung pada persediaan atau inventori dari kilang Pertamina. Apabila terjadi short of supply karena terjadi kenaikan jumlah demand di luar perkiraan atau perlunya stok cadangan, maka Pertamina akan mengimpor bahan bakar minyak.
Kondisi
persediaan menjadi sangat tergantung pada sisi impor mengingat kilang Pertamina
33
Annisa Humaira. (18 Mei 2012). Impor Minyak Langsung Menghapus Peran Mafia. Hyesoossong.blogspot.com/2012/05/impor-minyak-langsung-menghapus-peran.html. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
78
tidak mampu menyediakan pasokan.
Pada grafik di bawah ini dapat dilihat
realisasi impor bahan bakar minyak:
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Grafik 4.5 Impor Crude Petroleum Oil Indonesia Tahun 2005-2011
Berdasarkan grafik tersebut, dapat dilihat bahwa impor dilakukan karena untuk produksi dan kapasitas kilang dalam negeri sebagian besar hasil minyak mentah produksi Indonesia lebih ekonomis apabila dijual di pasar internasional (kebijakan pemerintah) dan sebagian desain kilang Indonesia hanya dapat mengolah minyak mentah tertentu (impor) contohnya adalah Cilacap. Selain itu, produksi dan kapasitas kilang tidak mencukupi kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri. Menurut Dirut Pertamina, Ari Hernanto Soemarto, pembelian minyak mentah Indonesia dilakukan langsung dengan perusahaan minyak internasional karena hanya sedikit negara yang melayani pembelian minyak mentah langsung pada umumnya. Negara-negara menjual minyak mentahnya melalui perusahaan nasionalnya atau perusahaan-perusahaan independen yang ada di negara tersebut. Pembelian minyak mentah selalu dilakukan pemerintah untuk mempertahankan cadangan strategis minyak mentah dalam negeri34. Transaksi Kontrak di pasar minyak memiliki peran pada sebagian besar perpindahtanganan minyak. Minyak 34
Alexander Susanto. (22 Juli 2008). www.tekmira.esdm.go.id
Tidak Ada Mafia Minyak.
Harian Investor Daily. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
79
dijual dengan transaksi spot, artinya dilakukan pembelian "on the spot" untuk pengiriman tunggal segera pada harga pasar saat ini.
Minyak juga
diperdagangkan di pasar berjangka. Kontrak berjangka adalah kontrak standar untuk membeli atau menjual komoditi tertentu dengan kualitas standar pada tanggal tertentu di masa yang akan datang. Jika produsen minyak ingin menjual minyak di masa yang akan datang, produsen dapat memastikan kemampuan untuk melakukannya, dan memastikan harga yang akan didapatkan, dengan menjual kontrak berjangka hari ini. Atau, jika konsumen minyak perlu membeli minyak di masa
yang
akan
datang,
konsumen
dapat
memastikan
untuk
dapat
melaksanakannya, dan akan yakin mengenai harga yang akan dibayar, dengan membeli kontrak berjangka hari ini. Selain produsen dan konsumen, kontrak berjangka juga dibeli dan dijual oleh pelaku pasar yang tidak memproduksi minyak atau mengkonsumsi minyak. Spekulan membeli dan menjual kontrak berjangka untuk mengantisipasi perubahan harga, berharap untuk mendapatkan keuntungan dari perubahan harga tersebut35. Berdasarkan bahan tertulis Pertamina saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR tertanggal 25 Juni 2008, tercatat bahwa pembelian melalaui impor hanya tercatat 35% yang terdiri dari kontrak jangka panjang (hedge) sebesar 68% dan SPOT sebesar 32%36. Apabila pembelian bahan bakar minyak melalui spot market dimana harga yang berlaku adalah harga yang ada di tangan pedagang wholesale, maka harga pembelian menjadi lebih mahal dari cara pembelian yang berupa kontrak jangka panjang. Hal ini turut mempengaruhi harga bahan bakar minyak RON 92 yang diperoleh Pertamina dan diteruskan dalam bentuk harga yang diberlakukan oleh pelaku usaha lain. Padahal menurut Tempo, Pertamina cenderung membeli minyak mentah dan hasil minyak di pasar SPOT ketimbang kontrak jangka panjang37. Tren impor minyak mentah SPOT juga tidak berkurang karena posisi tahun 2008 memperlihatkan kecenderungan yang kembali meningkat dalam proporsi impor minyak mentah SPOT tersebut
35
(Juli 2012). Harga Minyak dan Faktor Yang Mempengaruhinya. http://www.indoenergi.com/2012/07/harga-minyak-dan-faktor-yang.html. 36 AA Ari Wibowo. (22 Juli 2008). Soal Hak Angket BBM, Saudi Aramco Akan Dipanggil. www.antaranews.com. 37 Budi Riza. (23 April 2007). Rp 279 Triliun Untuk Minyak Pasar SPOT. www.tempo.com Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
80
dibandingkan dengan posisi tahun 2007. Mekanisme impor melalui SPOT ini juga sangat rawan akan praktek-praktek yang berpotensi merugikan negara, sebab dalam mekanisme ini selain harganya yang secara umum lebih mahal dari harga term kntrak, proses pemilihannya pun sangat bersifat penunjukkan langsung. Selain dengan penunjukkan langsung, pada mekanisme SPOT juga dapat dilakukan dengan tender namun harga rata-rata yang terjadi juga tetap lebih mahal ketimbang harga dengan mekanisme impor term kontrak secara rata-rata38. Fakta yang ada, impor minyak baik yang dibeli dari pasar SPOT atau kontrak jangka panjang, sebenarnya tidak dibeli langsung oleh Pertamina.
Pertamina
membelinya melalui para broker. Pertamina menenderkan pembelian minyak pada pasar SPOT kepada para broker jual beli minyak tersebut. Sedangkan untuk kontrak jangka panjang, dilakukan oleh Petral, anak perusahaan Pertamina yang berada di Singapura, dan Pacific Petroleum Trading (PPT), trader minyak yang 50%
sahamnya
dikuasai
oleh
Pertamina.
Pengadaan
impor
minyak
mentah Pertamina sejak Juni 2009 dilakukan oleh Pertamina Energy Service Ltd (Petral) sebagai anak perusahaan Pertamina.
Penunjukan ini sesuai dengan
keputusan direksi Pertamina, mengacu pada Peraturan Menteri BUMN No. 5 tahun 2009 yang isinya BUMN dapat melakukan penunjukan langsung untuk pengadaan barang dan jasa kepada anak perusahaan yang sahamnya dimiliki lebih dari 90%39. Pelibatan broker berarti memungkinkan terjadinya mark-up harga. Karena itu, pengamat pertambangan dan Energi, Pri Agung Rakhmanto memperhitungkan, harga minyak mentah yang dibeli Pertamina 0,68 sampai 4 dollar AS per barel lebih mahal dari harga riil. Selain itu, nilai alfa (yaitu margin pengangkutan dan fee) yang diambil Pertamina menjadi sangat besar karena harus dibagi dengan trader atau broker40. Pembelian impor ini juga dipengaruhi oleh faktor nilai tukar uang. Apalagi hal ini terkait dengan biaya operasional ketika melakukan impor bahan bakar minyak.
Ketika terjadi kenaikan nilai tukar uang saat membeli bahan bakar
38
Achmad Deni Danuri. (2 November 2010). Negara Rugi Ratusan Triliun Akibat Impor Minyak SPOT. http://denidaruriekonom.blogspot.com/2010/11/negara-rugi-ratusan-triliun-akibat.html. 39 (30 Maret 2010). Pertamina Beli Crude dengan Term Contract. http://www.bumn.go.id/pertamina/publikasi/berita/pertamina-beli-crude-dengan-term-contract/ 40 http://respository.unhas.ac.id. Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
81
minyak, maka hal tersebut juga berpengaruh terhadap biaya angkut bahan bakar minyak impor (shipping cost). Biaya distribusi dalam harga bahan bakar minyak RON 92 merupakan biaya-biaya yang terkait dengan pemindahan bahan bakar minyak dari kilang ke tempat tujuan, yang meliputi antara lain shipping cost, storage cost, dan overhead cost. Besar pengaruh shipping cost, storage cost, dan overhead cost adalah sebagai berikut
Tabel 4.2 Besar Pengaruh Biaya Jenis Biaya Shipping Cost Biaya Tanker, Cost Insurance and Freight Angkutan Darat Rp 75/Liter/Radius 40 km Storage and Handling Overhead Cost PPN 10% dan PPBBM 5%
Prosentase (%) 4.37 2.67 1.7 1.25
15
Apabila di lihat dari komposisi penetapan harga bahan bakar minyak RON 92 yang didasarkan pada MOPS + α (margin dan fee distribusi), maka faktor distribusi yang mempengaruhi nilai α menjadi sangat penting. Semakin jauh tempat tujuan, maka biaya distribusi akan semakin tinggi. Kondisi Indonesia yang tersebar luas dan terdiri dari banyak pulau serta keterbatasan transportasi turut mempengaruhi ketersediaan bahan bakar minyak RON 92 yang pada akhirnya mempengaruhi penetapan harga jual bahan bakar minyak RON 92 di SPBU di wilayah tertentu.
4.5.2
Penetapan Harga Penetapan harga pasar bahan bakar minyak setiap bulan ditentukan
berdasarkan Mid Oil Platts Singapore (MOPS) rata-rata setiap bulan sebelumnya ditambah lima persen.
Dikarenakan harga minyak sangat bergejolak karena
diperdagangkan secara harian di dunia maka pengkajian harga crude oil MOPS dilakukan setiap 2 (dua) minggu sekali pada pertengahan bulan dan akhir bulan. ICP (Indonesian Crude Price) atau harga minyak mentah Indonesia merupakan Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
82
basis harga minyak mentah yang digunakan dalam APBN ditetapkan setiap bulan dan dievaluasi setiap semester. Hal ini mengakibatkan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 lebih terkointegrasi dengan harga input ICP dibandingkan harga input MOPS yang memiliki lag sebanyak 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan dikarenakan harga input ICP merupakan harga agregat dari 50 harga minyak Indonesia setiap bulan yang menyebabkan harganya lebih rendah daripada harga input MOPS. Penetapan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 juga dipengaruhi oleh harga pesaing. Dalam hal penetapan harga, Pertamina mengatakan bahwa harga pasar bahan bakar minyak dalam negeri saat ini sekitar 50% di bawah harga MOPS sementara di negara tetangga, harga yang berlaku sekitar 130% di atas harga MOPS. Selain harga input crude oil MOPS dan ICP, agar tetap dapat berkompetisi dan memastikan volume penjualan dipertahankan pada tingkat yang ditargetkan, pelaku usaha perlu mempertimbangkan tingkat persaingan produk serupa di pasar. Pada tahap tertentu, pelaku usaha akan rutin melakukan pemeriksaan harga pompa dari BBM subsidi RON 88 yang disubsidi dan juga harga BBM non subsidi RON 92. Pemeriksaan harga ini dapat dilakukan secara umum di pasar secara teratur dan melalui media digital (situs internet).
Tabel di bawah ini
memperlihatkan struktur harga bahan bakar minyak atau mekanisme pembentukan harga bahan bakar minyak RON 92 Pertamina sebagai berikut: Tabel 4.3 Struktur Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92 Pertamina Struktur Harga Pertamina Harga MOPS Biaya Tanker, Cost Insurance and Freight Storage and Handling Angkutan Darat Rp 75/Liter/Radius 40 km Margin SPBU Cost of Money Pertamina PPN 10% dan PPBBM 5%
Prosentase (%) 74.74 2.67 1.25 1.7 4.14 0.5 15
Bagi Pertamina, penetapan harga juga dipengaruhi oleh ada tidaknya pesaing dalam jarak tertentu yang berdekatan dengan SPBU.
Perhitungan
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
83
pendirian SPBU itu sendiri mempertimbangkan jumlah kendaraan lokal, tren lalu lintas, pembangunan infrastruktur, kegiatan ekonomi di daerah perdagangan, lokasi pesaing yang ada, kebutuhan dan perilaku serta kemudahan untuk dilihat dan dicapai.
Faktor-faktor tersebut digunakan untuk membantu membuat
perkiraan volume penjualan dan arus kas sepanjang waktu investasi yang biasanya antara 15-25 tahun. Pertamina memiliki kecenderungan untuk menetapkan harga yang bersaing apabila terdapat pesaing dalam jarak yang berdekatan. Akan tetapi apabila tidak ada pesaing dalam jarak yang berdekatan, maka biasanya menggunakan harga yang dikeluarkan oleh Pertamina melalui internet (press release). Hal ini dikarenakan adanya sistem kepemilikan SPBU Pertamina yaitu sebagai berikut: 1.
COCO (Corporate Owner Corporate Operate) yaitu kepemilikan dan pengoperasiannya dimiliki oleh PT Pertamina Retail.
2.
CODO (Corporate Owner Dealer Operate) yaitu kepemilikan dan pengoperasiannya atas kerjasama Pertamina dan Swasta.
3.
DODO
(Dealer
Owner
Dealer
Operate)
yaitu
kepemilikan
dan
pengoperasiannya dimiliki oleh Swasta.
Selain kepemilikan, perbedaan harga sesama SPBU Pertamina juga disebabkan karena perbedaan pelayanan antara SPBU Biasa atau Ways dan Pasti Pas. Dimana margin SPBU Biasa atau Ways antara Rp 180,00-190,00 per liter dan Pasti Pas sebesar Rp 205,00. Berdasarkan data harga dari keempat operator atau pelaku usaha, terlihat bahwa pola harga mempunyai kemiripan dengan disparitas harga yang tidak terlalu signifikan. Hal ini dapat menunjukkan terdapatnya persaingan yang ketat sehingga pelaku usaha tidak mampu menetapkan harga jauh di atas biayanya. Tabel di bawah, menunjukkan struktur harga atau biaya dari harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 milik Petronas. Pada tabel tersebut terlihat bahwa Petronas mengalami net profit loss karena ketatnya persaingan tersebut. Menurut Petronas kondisi tersebut dapat ditolerir dalam jangka pendek sebagai suatu strategi bisnis dalam menarik konsumen. Bagi pelaku usaha asing lainnya,
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
84
struktur harga atau biaya ini tidaklah jauh berbeda. Mekanisme pembentukan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 Petronas adalah sebagai berikut: Tabel 4.4 Struktur Harga Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92 Petronas Struktur Harga Petronas Pump Price Dealer SPBU Price (Harga Tebus) Dealer Margin: Dealer Margin (%) Proposed Subsidi Margin (%) Proposed Subsidi Margin (IDR) Total Shared Margin
IDR/Ltr 8.450,00 8.117,07
3,3%
278,9 0,64% 54,08 332.93
Taxes: VAT (10%) PBBKT (5%) Total Taxes Sales Revenue Current MAP BPH Migas Fee (%) Gross Margin S & D Cost Storage Cost Dover (Fixed & Variable) Other Cost of Sales Transportation Charges Advertising & Promotion Gross Operating Profit (Loss) Direct Cost (GOE) EBITDA (Not Included Allocated Cost) Allocated Cost EBITDA Depreciation Expenses Net Operating Profit (Loss)
704,52 367,39 1.071,91 7.045,16 5.993,42 25,35 1.026,39
0,3%
IDR 203,43 IDR 44,61 IDR
3,33
IDR 121,05 IDR 214,98 IDR 485,00
203,43 44,61 150,00 3,33 625,01 121,05 503,96 214,98 288,98 485,00 (196,02)
Dalam hal penetapan harga, operator atau pelaku usaha asing (Total, Petronas, dan Shell) memiliki kecenderungan untuk mengikuti harga Pertamina. Kebijakan harga Pertamina sebagai pemimpin pasar selalu dijadikan patokan bagi pesaingnya untuk menaikkan harga atau tidak (price leadership). Hal ini dapat Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
85
dilihat melalui perubahan harga yang baru ditetapkan berselang 1 (satu) hingga 2 (dua) hari setelah Pertamina menetapkan harganya seperti terlihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.5 Perubahan Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92
Perusahaan/Produk Pertamina/Pertamax
1-14 Jan 7.450
Shell/Super Total/Performance Petronas/Primax
7.450 7.450 7.450
Perkembangan Harga Awal 2011 15-31 1-14 15-31 Keterangan Jan Feb Feb 7.850 7.950 7.950 Perubahan harga pada tanggal 1 dan 15 setiap bulan 7.850 7.950 7.950 Perubahan harga 7.850 7.950 7.950 pada tanggal 2 dan 7.850 7.950 7.950 16 setiap bulan
Tabel di atas, menunjukkan perubahan harga bahan bakar minyak RON 92 pada SPBU Pertamina terjadi secara periodik pada tanggal 1 dan 15 setiap bulannya. Pada satu hari setelahnya yaitu di tanggal 2 dan 16 setiap bulannya, SPBU dari Total, Shell, dan Petronas ikut merubah harganya. Contohnya adalah ketika harga minyak dunia melambung akibat krisis politik di Mesir sepanjang bulan Januari 2011 lalu. Pertamina, Shell, Petronas, dan Total bereaksi dengan menaikkan beberapa jenis produk bahan bakar minyaknya di awal bulan Februari 2011. Harga Pertamax di Jakarta dan sekitarnya naik Rp 200,00 pada tanggal 1 Februari 2011 dari sebelumnya Rp 7.850,00 per liter menjadi Rp 8.050,00. Satu hari setelahnya, pada tanggal 2 Februari 2011, harga Shell Super ikut naik.
4.5.3
Kekuatan Pasar (Market Power) Struktur pasar industri BBM non subsidi RON 92 adalah oligopoli.
Pertamina bukanlah satu-satunya pelaku usaha dalam jasa pelayanan bahan bakar minyak RON 92. Masih terdapat 3 (tiga) pelaku usaha lain seperti Petronas, Total, dan Shell sehingga konsumen masih memiliki pilihan dan informasi mengenai penyesuaian harga.
Seharusnya mulai tahun 2012 ini, sudah
dilaksanakan kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi (premium dengan oktan number 88) sehingga volume BBM bersubsidi akan berkurang Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
86
banyak. Salah satu penyebab pembatasan tersebut dikarenakan program subsidi BBM akan semakin memberatkan keuangan negara karena menggunakan 8,7 persen dari APBN. Upaya pengendalian BBM bersubsidi akan diterapkan tahun 2012 secara bertahap mulai dari wilayah Jawa-Bali dikarenakan wilayah ini menguasai 59% konsumsi premium nasional.
Vice President Corporate
Communication Pertamina, M. Harun, mengatakan jika rencana kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi jadi direalisasikan, untuk wilayah Jabodetabek saja akan ada potensi permintaan tambahan BBM non subsidi sebesar 2.500 kiloliter per hari. Melonjaknya harga minyak dunia dan rencana pembatasan konsumsi BBM bersubsidi akan turut mendorong makin ketatnya persaingan penjualan BBM non subsidi. Operator atau pelaku usaha berlomba menambah SPBU untuk memperluas jaringan distribusi. Era persaingan sempurna di bisnis penjualan BBM memasuki babak baru. Operator atau pelaku usaha SPBU asing bakal mendulang untung setelah ada pembatasan BBM subsidi.
Pertamina, Shell,
Petronas, dan Total terus melakukan peningkatan produk dan layanannya, terutama untuk bahan bakar non-subsidi.
Pelaku usaha tersebut sama-sama
berusaha mengedepankan kenyamanan dan kepuasan pengguna kendaraan bermotor. Hal ini antara lain dilakukan dengan memperbanyak jaringan SPBU, memperluas
areal
SPBU,
meningkatkan
fasilitas
pendukung
SPBU,
mengedepankan kebersihan, kerapian, serta keramahan personelnya di SPBU. Dalam hal penetapan harga, salah satu keistimewaan Pertamina dibandingkan dengan pelaku usaha lain adalah dapat melakukan subsidi silang dari keuntungan BBM RON 88 yang di subsidi terhadap harga jual eceran BBM non subsidi RON 92. Pertamina dapat menetapkan harga bahan bakar minyak RON 92 dengan margin keuntungan yang relatif kecil dibandingkan dengan pelaku usaha lain. Pelaku usaha lain memiliki kecenderungan untuk mengikuti harga Pertamina sehingga margin menjadi semakin kecil. Sebagian besar SPBU asing yang ada di Indonesia merugi atau hanya impas jika hanya mengandalkan penjualan bahan bakar minyak. Hal ini ditambah pula dengan disparitas harga bahan bakar minyak non subsidi dengan subsidi yang semakin melebar sehingga persaingan menjadi ketat sementara pasarnya terus berkurang.
Kondisi ini
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
87
menyebabkan pelaku usaha asing sulit untuk bersaing. Pada tahun 2011-2012 saja, sebanyak 4 (empat) SPBU milik Petronas yang ditutup dengan alasan renovasi yaitu SPBU Pondok Cabe, Ciputat, Bintaro, dan Lenteng Agung dan 5 (lima) SPBU milik Shell dengan alasan karena permasalahan izin. Terhitung sejak bulan Agustus 2012, SPBU Petronas yang berada di Medan dan Bandung ditutup. Dari jumlah 19 (Sembilan belas) SPBU Petronas di Indonesia yang tersebar di Jabodetabek dan Medan, sudah 78,94 persen tutup, yaitu sebanyak 15 SPBU41. Dari keempat pelaku usaha tersebut, Pertamina menguasai sekitar 70% pangsa industri bahan bakar minyak. Hal ini wajar apabila melihat jumlah SPBU yang dimiliki oleh Pertamina. Di Indonesia, Pertamina memiliki Jumlah dan sebaran SPBU paling banyak dibandingkan dengan operator atau pelaku usaha asing lainnya. Pada tabel di bawah ini, dapat terlihat jumlah dan sebaran SPBU milik operator atau pelaku usaha aktif di industri BBM.
Tabel 4.6 Jumlah SPBU di Indonesia Merk
Produsen
Sebaran SPBU
Pertamax
Pertamina
4.680 di seluruh Indonesia
Primax
Petronas
4 di Jabodetabek
Super
Shell
57 (50 di Jakarta dan 7 di Jawa Timur)
Performance
Total
13 di Jakarta, Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Bekasi, dan Bogor
Secara umum, elastisitas permintaan BBM non subsidi dengan RON 92 sangat elastic. Hal ini bermakna bahwa jika harga dinaikkan akan menyebabkan berkurangnya permintaan.
Atau dengan kata lain, konsumen akan mencari
alternatif pengganti atau subtitusi jika harga BBM non subsidi naik. Produk yang dipilih menjadi subtitusi tersebut adalah produk dengan harga yang lebih murah. Jika BBM bersubsidi masih dapat diperoleh konsumen secara mudah maka
41
Bernadette Christina. (23 Oktober 2012). ESDM akui SPBU Petronas Tak Mampu Bersaing. http://id.berita.yahoo.com/esdm-akui-spbu-petronas-tak-mampu-bersaing-043017743-finance.html Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
88
kenaikan harga BBM non subsidi bisa jadi akan menyebabkan beralihnya konsumsi dari BBM non subsidi ke BBM bersubsidi. Karena di pasar konsumen masih dapat dengan relatif mudah memperoleh BBM bersubsidi yang dapat dianggap sebagai subtitusi dekat (close substitute) pada kondisi-kondisi tertentu, upaya pembentukan market power melalui kolusi atau kerjasama sulit untuk dilakukan. Harga pelaku usaha asing yang lebih rendah (predatory pricing) lebih ditujukan kepada promosi untuk menarik konsumen dan akan memberikan keuntungan bagi konsumen.
Predatory pricing semacam ini tidak dianggap
sebagai sesuatu yang membahayakan persaingan.
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Berdasarkan analisa yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut: 1.
Berdasarkan hasil pengujian, harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU lebih terkorelasi dalam jangka panjang dengan harga input crude oil ICP dibandingkan dengan harga input crude oil MOPS.
Hasil tesis
memperlihatkan bahwa harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 tidak mengikuti Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2001 Pasal 5 mengenai penetapan harga jual eceran BBM ditetapkan berdasarkan harga input Mid Oil Platts Singapore (MOPS). 2.
Dapat dijelaskan bahwa fenomena asymmetic price transmission di Indonesia adalah pengaruh harga input crude oil ICP terhadap harga Pertamax signifikan hanya apabila terjadi penurunan harga di periode sebelumnya (t-1) dan observasi (t). Kenaikan harga crude oil ICP tidak signifikan terhadap harga Pertamax di periode sebelumnya (t-1) dan observasi (t). Dengan kata lain, tidak terjadi transmisi harga input (crude oil ICP) terhadap harga Pertamax apabila terjadi kenaikan harga.
Hasil pengolahan data
menunjukkan bahwa, pengaruh asimetrik lebih dipengaruhi dari harga Pertamax periode sebelumnya (t-1) dan periode observasi (t). 3.
Faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena asymmetic price transmission selain harga input crude oil ICP yang berpengaruh sekitar 68.79% terhadap harga Pertamax, adalah komponen lain dalam harga impor yang membentuk total biaya aktual (landed cost) yaitu iuran-iuran pasar, ongkos pengangkutan, asuransi, aditif, kehilangan di laut, bea dan cukai, serta biaya surveyor. Kondisi ini setidaknya dapat dijelaskan oleh beberapa kondisi seperti pembelian bahan bakar minyak RON 92 pada periode sebelumnya (kontrak harga, nilai tukar, dan biaya distribusi), penetapan harga pesaing, serta struktur pasar industri bahan bakar minyak RON 92.
4.
Harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU lebih terkointegrasi dengan harga input crude oil ICP dibandingkan dengan harga input crude oil 89 Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
90
MOPS yang memiliki lag sebanyak 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan dikarenakan harga input ICP merupakan harga agregat dari 50 harga minyak Indonesia setiap bulan yang menyebabkan harganya lebih rendah daripada harga MOPS. 5.
Dalam hal penetapan harga, operator atau pelaku usaha asing (Total, Petronas, dan Shell) memiliki kecenderungan untuk mengikuti harga Pertamina yang menguasai sekitar 70% dari pangsa pasar industri bahan bakar minyak. Kebijakan harga Pertamina sebagai pemimpin pasar selalu dijadikan patokan atau acuan bagi pesaingnya untuk menaikkan harga atau tidak (price leadership). Hal ini dapat dilihat melalui perubahan harga yang baru ditetapkan berselang 1 (satu) hingga 2 (dua) hari setelah Pertamina menetapkan harganya.
6.
Penetapan harga Pertamina selain dipengaruhi oleh harga input juga dipengaruhi oleh ada tidaknya pesaing dalam jarak tertentu yang berdekatan dengan SPBU. Pertamina memiliki kecenderungan untuk menetapkan harga yang bersaing apabila terdapat pesaing dalam jarak yang berdekatan. Akan tetapi apabila tidak ada pesaing dalam jarak yang berdekatan, maka biasanya menggunakan harga yang dikeluarkan oleh Pertamina melalui internet (press release).
Selain itu, Pertamina dapat melakukan subsidi silang dari
keuntungan BBM RON 88 yang di subsidi terhadap harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU.
5.2
Saran Saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan tersebut di atas adalah
sebagai berikut: 1.
Berdasarkan hasil analisis data, harga jual eceran BBM Non Subsidi RON 92 di SPBU lebih dipengaruhi oleh harga input crude oil ICP sehingga dalam menentukan harga, Pertamina disarankan untuk mengacu pada harga input ICP daripada harga input MOPS yang selama ini menjadi acuan. Hal ini dikarenakan harga input ICP lebih stabil dan lebih mudah dikontrol oleh Pemerintah dibandingkan dengan harga input MOPS.
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
91
2.
Patokan harga dan penetapan biaya alpha harus diperjelas dalam menentukan harga jual eceran BBM non subsidi di SPBU perlu diperjelas sehingga operator atau pelaku usaha dapat bersaing secara sehat dan kesejahteraan masyarakat meningkat.
3.
Pertamina sebagai price leader harus melakukan transparansi publik mengenai akses terhadap data harga input crude oil dan mempublikasikan metode perhitungan sehingga pengawasan dapat dilakukan oleh masyarakat dan para pengambil keputusan.
4.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan bukan hanya sekedar mencari ada tidaknya asymmetric price transmission akan tetapi juga mencoba mengintepretasikan hasil yang secara signifikan berpengaruh pada ekonomi seperti estimasi kepemilikan saham (thresholds, kemungkinan penyebab, hubungan antara struktur dan institusional pada pasar, dll).
5.
Agar dapat melihat pergerakan data yang lebih baik maka data yang digunakan dalam analisa juga harus diperbanyak dari segi tahun. Keterbatasan data harga input crude oil MOPS yang dirahasiakan oleh operator atau pelaku
usaha menyebabkan analisa tidak dapat dilakukan
hingga tahun 2012. Hal ini sangat penting mengingat analisa dapat lebih menggambarkan kondisi industri BBM non subsidi.
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Ajija dan Setianto. Cara Cerdas Menguasai Eviews. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Capps dan Sherwell. (Mei 2005). Spatial Asymmetry in Farm-Retail Price Transmission Associated with Fluid Milk Products. Texas: College Station. Gujarati dan Porter. Salemba Empat.
(2012).
Dasar-Dasar Ekonometrika.
Jakarta: Penerbit
Insukindro. (1991). Regresi Linier Lancung dalam Analisis Ekonomi Suatu Tinjauan dengan Satu Studi Kasus di Indonesia. JEBI No. 1 Thn VI. Lubis, Andi Fahmi. (Oktober 2009). Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks. Jakarta. Meyer dan Von Cramon-Taubadel. (2004). Asymmetric Price Transmission: A Survey. Jerman: Departemen Ekonomi Agrikultural. Nachrowi dan Usman. (2006) Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Ogden, James R. dan Ogden, Denise T. (2005). Retailing: Integrated Retail Management. Amerika Serikat: Houghton Mifflin Company. Sunyoto, Danang. (2012). Prosedur Uji Hipotesis untuk Riset Ekonomi. Bandung: Penerbit Alfabeta. Vavra dan Goodwin. (2005). Analysis of Price Transmission Along the Food Chain. OECD Publishing. -------------. (2005). Analysis of Price Transmission Along the Food Chain. OECD Publishing.
MAKALAH, KONFERENSI, DAN SEJENISNYA Kurtubi. (2009). Harga MOPS dan Struktur Harga Keekonomian dan Margin BBM Non Subsidi. Jakarta.
92 Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
93
PERATURAN Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001. Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2001. Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2005. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005.
PUBLIKASI ELEKTRONIK Analisis Hukum atas Harga Patokan yang Berpengaruh pada Subsidi Bahan Bakar Minyak Jenis Tertentu.
. Bensin Bersubsidi di Batasi, Siapa Diuntungkan?. 15 Desember 2010. . Bersaing Ketat Karena Minyak. .
12
Maret
2011.
Christina, Bernadette. ESDM akui SPBU Petronas Tak Mampu Bersaing. 23 Oktober 2012. . Danuri, Achmad Deni. Negara Rugi Ratusan Triliun Akibat Impor Minyak SPOT. . Harga Minyak dan Faktor Yang Mempengaruhinya. Juli 2012. . Harga Pertamax Naik, BPH Migas Waspada. 3 September .
2012.
Humaira, Annisa. Impor Minyak Langsung Menghapus Peran Mafia. 18 Mei 2012. JPNN. BBM Non Subsidi Perang Harga. 3 Juni 2011. . Reyno. BBM Subsidi Dipangkas, SPBU Asing Siap Rebut Pasar. 11 Februari 2011. . Riza, Budi. Rp 279 Triliun Untuk Minyak Pasar SPOT. <www.tempo.com>.
23 April 2007.
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
94
Susanto, Alexander. Tidak Ada Mafia Minyak. 22 Juli 2008. Harian Investor Daily. <www.tekmira.esdm.go.id> Lestari, Esta. Dampak Pengurangan Subsidi BBM Terhadap Perekonomian Makro. Noor, Ryan Alfian. Prognosa BBM Indonesia di Tahun . Pengguna Premium Bakal Bertambah. world.com/Pertamax Kian Mahal>.
2 April 2012.
2011.
Pertamina Beli Crude dengan Term Contract. 30 Maret 2010. . Wibowo, AA Ari. Soal Hak Angket BBM, Saudi Aramco Akan Dipanggil. 22 Juli 2008. <www.antaranews.com>. . <www.esdm.go.id>. <www.bisnis.com>. <www.bpmigas.com>. <www.indonesiafinancetoday.com>. .
Universitas Indonesia
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Lampiran 1
HASIL PROGRAM E-VIEWS
Uji Stasioner Data Harga Pertamax pada Kondisi Level
Null Hypothesis: PERTAMAX has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.070085 -3.512290 -2.897223 -2.585861
0.2572
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PERTAMAX) Method: Least Squares Date: 07/05/12 Time: 10:41 Sample (adjusted): 2005M03 2011M12 Included observations: 82 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
PERTAMAX(-1) -0.070057 D(PERTAMAX(-1)) 0.246544 C 498.1524
0.033843 -2.070085 0.108901 2.263936 226.4959 2.199389
R-squared 0.094442 Adjusted R-squared 0.071517 S.E. of regression 443.5947 Sum squared resid 15545326 Log likelihood -614.6076 F-statistic 4.119526 Prob(F-statistic) 0.019870
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.0417 0.0263 0.0308 53.04878 460.3619 15.06360 15.15165 15.09895 2.064528
.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
(Lanjutan) Uji Stasioner Data Harga Pertamax pada First Difference
Null Hypothesis: D(PERTAMAX) has a unit root
Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.144339 -3.512290 -2.897223 -2.585861
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PERTAMAX,2) Method: Least Squares Date: 07/05/12 Time: 10:47 Sample (adjusted): 2005M03 2011M12 Included observations: 82 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
D(PERTAMAX(-1)) -0.785684 C 40.56880
0.109973 -7.144339 50.39113 0.805078
R-squared 0.389507 Adjusted R-squared 0.381876 S.E. of regression 452.6113 Sum squared resid 16388561 Log likelihood -616.7733 F-statistic 51.04158 Prob(F-statistic) 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.0000 0.4232 -5.182927 575.6884 15.09203 15.15073 15.11560 2.024263
Uji Stasioner Data Harga Primax pada Kondisi Level
Null Hypothesis: PRIMAX has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.941441 -3.548208 -2.912631 -2.594027
0.3115
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PRIMAX) Method: Least Squares Date: 07/05/12 Time: 10:44 Sample (adjusted): 2007M03 2011M12 Included observations: 58 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
PRIMAX(-1) D(PRIMAX(-1)) C
-0.088416 0.342528 664.0094
0.045541 -1.941441 0.127381 2.689002 330.0499 2.011845
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.145251 0.114169 438.2184 10561947 -433.5559 4.673177 0.013353
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.0573 0.0095 0.0491 48.70690 465.6024 15.05365 15.16023 15.09516 2.147172
Uji Stasioner Data Harga Primax pada First Difference
Null Hypothesis: D(PRIMAX) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.501762 -3.548208 -2.912631 -2.594027
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Dependent Variable: D(PRIMAX,2) Method: Least Squares Date: 07/05/12 Time: 10:50 Sample (adjusted): 2007M03 2011M12 Included observations: 58 after adjustments Variable
Coefficient
D(PRIMAX(-1)) C
-0.704717 33.17908
R-squared 0.350871 Adjusted R-squared 0.339279 S.E. of regression 448.9226 Sum squared resid 11285766 Log likelihood -435.4781 F-statistic 30.26939 Prob(F-statistic) 0.000001
Std. Error
t-Statistic
Prob.
0.128089 -5.501762 59.33002 0.559229 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.0000 0.5782 -3.879310 552.2840 15.08545 15.15650 15.11313 2.073118
Uji Stasioner Data Harga Super pada Kondisi Level
Null Hypothesis: SUPER has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.777334 -3.525618 -2.902953 -2.588902
0.0667
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SUPER) Method: Least Squares Date: 07/05/12 Time: 10:45 Sample (adjusted): 2006M02 2011M12 Included observations: 71 after adjustments Variable
Coefficient
SUPER(-1) D(SUPER(-1)) D(SUPER(-2))
-0.095051 0.336175 0.258405
Std. Error
t-Statistic
0.034224 -2.777334 0.113480 2.962427 0.117666 2.196082
Prob. 0.0071 0.0042 0.0316
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
C
665.5606
R-squared 0.258040 Adjusted R-squared 0.224818 S.E. of regression 373.9722 Sum squared resid 9370300. Log likelihood -519.3030 F-statistic 7.767125 Prob(F-statistic) 0.000159
234.8425
2.834072
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.0061 46.47887 424.7540 14.74093 14.86840 14.79162 1.890331
Uji Stasioner Data Harga Super pada First Difference
Null Hypothesis: D(SUPER) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.526789 -3.524233 -2.902358 -2.588587
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SUPER,2) Method: Least Squares Date: 07/05/12 Time: 10:52 Sample (adjusted): 2006M01 2011M12 Included observations: 72 after adjustments Variable
Coefficient
D(SUPER(-1)) C
-0.609837 23.17398
R-squared 0.303797 Adjusted R-squared 0.293851 S.E. of regression 395.7831 Sum squared resid 10965100 Log likelihood -531.7718 F-statistic 30.54540 Prob(F-statistic) 0.000001
Std. Error
t-Statistic
0.110342 -5.526789 46.85474 0.494592 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.0000 0.6224 -1.388889 470.9873 14.82699 14.89024 14.85217 2.124688
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Uji Stasioner Data Harga Performance pada Kondisi Level
Null Hypothesis: PERFORM has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.171523 -3.653730 -2.957110 -2.617434
0.9324
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PERFORM) Method: Least Squares Date: 07/05/12 Time: 10:45 Sample (adjusted): 2009M05 2011M12 Included observations: 32 after adjustments Variable
Coefficient
PERFORM(-1) C
-0.007890 145.9951
R-squared 0.000980 Adjusted R-squared -0.032321 S.E. of regression 271.6067 Sum squared resid 2213105. Log likelihood -223.7128 F-statistic 0.029420 Prob(F-statistic) 0.864965
Std. Error
t-Statistic
0.046001 -0.171523 326.3663 0.447335 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.8650 0.6578 90.62500 267.3210 14.10705 14.19866 14.13741 1.483293
Uji Stasioner Data Harga Performance pada First Difference
Null Hypothesis: D(PERFORM) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.228501 -3.661661 -2.960411 -2.619160
0.0024
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PERFORM,2) Method: Least Squares Date: 07/05/12 Time: 10:52 Sample (adjusted): 2009M06 2011M12 Included observations: 31 after adjustments Variable
Coefficient
D(PERFORM(-1)) -0.756169 C 73.96419 R-squared 0.381402 Adjusted R-squared 0.360071 S.E. of regression 265.6523 Sum squared resid 2046563. Log likelihood -216.0012 F-statistic 17.88022 Prob(F-statistic) 0.000214
Std. Error
t-Statistic
0.178827 -4.228501 50.56032 1.462890 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.0002 0.1543 3.225806 332.0839 14.06459 14.15711 14.09475 1.965317
Uji Stasioner Data Crude Oil MOPS pada kondisi level
Null Hypothesis: MOPS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.958742 -3.512290 -2.897223 -2.585861
0.3044
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(MOPS) Method: Least Squares Date: 07/05/12 Time: 10:46 Sample (adjusted): 2005M03 2011M12 Included observations: 82 after adjustments Variable
Coefficient
MOPS(-1)
-0.155494
Std. Error
t-Statistic
0.079385 -1.958742
Prob. 0.0537
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
D(MOPS(-1)) C
-0.326047 1071.735
R-squared 0.206412 Adjusted R-squared 0.186321 S.E. of regression 2439.018 Sum squared resid 4.70E+08 Log likelihood -754.3716 F-statistic 10.27392 Prob(F-statistic) 0.000108
0.109003 -2.991180 531.7917 2.015328 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.0037 0.0473 121.4268 2703.886 18.47248 18.56053 18.50783 2.002105
Uji Stasioner Data Harga Crude Oil MOPS pada First Difference
Null Hypothesis: D(MOPS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-13.81943 -3.512290 -2.897223 -2.585861
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(MOPS,2) Method: Least Squares Date: 07/05/12 Time: 10:53 Sample (adjusted): 2005M03 2011M12 Included observations: 82 after adjustments Variable
Coefficient
D(MOPS(-1)) C
-1.409843 173.9317
R-squared 0.704772 Adjusted R-squared 0.701081 S.E. of regression 2481.883 Sum squared resid 4.93E+08 Log likelihood -756.3159 F-statistic 190.9768 Prob(F-statistic) 0.000000
Std. Error
t-Statistic
0.102019 -13.81943 274.3896 0.633886 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.0000 0.5280 -6.682927 4539.467 18.49551 18.55421 18.51908 2.055493
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Uji Stasioner Data Crude Oil ICP pada kondisi level
Null Hypothesis: ICP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.836316 -3.511262 -2.896779 -2.585626
0.3607
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ICP) Method: Least Squares Date: 07/05/12 Time: 10:46 Sample (adjusted): 2005M02 2011M12 Included observations: 83 after adjustments Variable
Coefficient
ICP(-1) C
-0.076503 388.4728
R-squared 0.039967 Adjusted R-squared 0.028114 S.E. of regression 452.8057 Sum squared resid 16607675 Log likelihood -624.3431 F-statistic 3.372057 Prob(F-statistic) 0.069980
Std. Error
t-Statistic
0.041661 -1.836316 192.6541 2.016427 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.0700 0.0471 46.67470 459.3083 15.09260 15.15089 15.11602 1.631126
Uji Stasioner Data Harga Crude Oil ICP pada First Difference
Null Hypothesis: D(ICP) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level
t-Statistic
Prob.*
-7.636374 -3.512290
0.0000
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
5% level 10% level
-2.897223 -2.585861
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ICP,2) Method: Least Squares Date: 07/05/12 Time: 10:54 Sample (adjusted): 2005M03 2011M12 Included observations: 82 after adjustments Variable
Coefficient
D(ICP(-1)) C
-0.848288 37.56667
R-squared 0.421607 Adjusted R-squared 0.414377 S.E. of regression 459.5482 Sum squared resid 16894765 Log likelihood -618.0206 F-statistic 58.31421 Prob(F-statistic) 0.000000
Std. Error
t-Statistic
0.111085 -7.636374 51.07492 0.735521 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.0000 0.4642 -6.451220 600.5124 15.12245 15.18115 15.14602 2.024058
Hasil Tes Kointegrasi Data Pertamax dengan Crude Oil MOPS
Date: 07/05/12 Time: 11:00 Sample (adjusted): 2005M04 2011M12 Included observations: 81 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PERTAMAX MOPS Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue None At most 1 *
0.124297 0.047039
Trace Statistic 14.65367 3.902649
0.05 Critical Value Prob.** 15.49471 3.841466
0.0667 0.0482
Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue None At most 1 *
0.124297 0.047039
Max-Eigen 0.05 Statistic Critical Value Prob.** 10.75102 3.902649
14.26460 3.841466
0.1671 0.0482
Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): PERTAMAX -0.001001 0.000258
MOPS 0.000392 0.000220
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(PERTAM AX) D(MOPS) 1 Cointegrating Equation(s):
106.6139 -626.8110
-71.23844 -332.4918 Log likelihood
-1347.313
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) PERTAMAX MOPS 1.000000 -0.391567 (0.09508) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(PERTAM AX) -0.106726 (0.05011) D(MOPS) 0.627468 (0.26151) Hasil Tes Kointegrasi Data Primax dengan Crude Oil MOPS
Date: 07/05/12 Time: 11:05 Sample (adjusted): 2007M04 2011M12 Included observations: 57 after adjustments
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PRIMAX MOPS Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue None At most 1
0.149634 0.062861
Trace Statistic
0.05 Critical Value Prob.**
12.93970 3.700676
15.49471 3.841466
0.1170 0.0544
Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue None At most 1
0.149634 0.062861
Max-Eigen 0.05 Statistic Critical Value Prob.** 9.239026 3.700676
14.26460 3.841466
0.2668 0.0544
Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): PRIMAX -0.001190 0.000142
MOPS 0.000337 0.000250
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(PRIMAX) D(MOPS) 1 Cointegrating Equation(s):
118.2346 -561.1117
-72.99175 -620.6069 Log likelihood
-954.0035
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) PRIMAX MOPS 1.000000 -0.283524 (0.08090)
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(PRIMAX) -0.140744 (0.06754) D(MOPS) 0.667934 (0.46899)
Hasil Tes Kointegrasi Data Super dengan Crude Oil MOPS
Date: 07/05/12 Time: 11:07 Sample (adjusted): 2006M02 2011M12 Included observations: 71 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: SUPER MOPS Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue None * At most 1 *
0.155795 0.066092
Trace Statistic
0.05 Critical Value Prob.**
16.87932 4.854759
15.49471 3.841466
0.0308 0.0276
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue None At most 1 *
0.155795 0.066092
Max-Eigen 0.05 Statistic Critical Value Prob.** 12.02456 4.854759
14.26460 3.841466
0.1097 0.0276
Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): SUPER -0.001113 5.47E-05
MOPS 0.000329 0.000287
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
D(SUPER) D(MOPS)
128.5098 -573.5918
1 Cointegrating Equation(s):
-52.14592 -513.5593 Log likelihood
-1172.374
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) SUPER MOPS 1.000000 -0.295543 (0.07847) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(SUPER) -0.143015 (0.04989) D(MOPS) 0.638335 (0.33167)
Hasil Tes Kointegrasi Data Performance dengan Crude Oil MOPS
Date: 07/05/12 Time: 11:09 Sample (adjusted): 2009M07 2011M12 Included observations: 30 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PERFORM MOPS Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue None At most 1
0.282094 0.014694
Trace Statistic 10.38660 0.444087
0.05 Critical Value Prob.** 15.49471 3.841466
0.2522 0.5052
Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue None At most 1
0.282094 0.014694
Max-Eigen 0.05 Statistic Critical Value Prob.** 9.942509 0.444087
14.26460 3.841466
0.2157 0.5052
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): PERFORM -0.002541 0.001113
MOPS 0.000618 -1.77E-05
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(PERFORM ) -7.038020 D(MOPS) -1552.292
-30.79629 160.4069
1 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
-486.3993
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) PERFORM MOPS 1.000000 -0.243042 (0.02968) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(PERFORM ) 0.017887 (0.13192) D(MOPS) 3.945047 (1.45656)
Hasil Tes Kointegrasi Data Pertamax dengan Crude Oil ICP
Date: 07/05/12 Time: 11:04 Sample (adjusted): 2005M04 2011M12 Included observations: 81 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PERTAMAX ICP Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value Prob.**
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
None * At most 1 *
0.180853 0.060938
21.25159 5.092809
15.49471 3.841466
0.0061 0.0240
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue None * At most 1 *
0.180853 0.060938
Max-Eigen 0.05 Statistic Critical Value Prob.** 16.15878 5.092809
14.26460 3.841466
0.0248 0.0240
Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): PERTAMAX -0.002061 0.000991
ICP 0.002899 -0.000364
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(PERTAM AX) D(ICP)
80.38227 -125.2042
1 Cointegrating Equation(s):
-75.82913 -82.68821 Log likelihood
-1189.179
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) PERTAMAX ICP 1.000000 -1.406572 (0.11068) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(PERTAM AX) -0.165676 (0.08368) D(ICP) 0.258059 (0.10187)
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Hasil Tes Kointegrasi Data Primax dengan Crude Oil ICP
Date: 07/05/12 Time: 11:06 Sample (adjusted): 2007M04 2011M12 Included observations: 57 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PRIMAX ICP Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue None * At most 1 *
0.288752 0.110078
Trace Statistic
0.05 Critical Value Prob.**
26.06924 6.647393
15.49471 3.841466
0.0009 0.0099
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue None * At most 1 *
0.288752 0.110078
Max-Eigen 0.05 Statistic Critical Value Prob.** 19.42184 6.647393
14.26460 3.841466
0.0070 0.0099
Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): PRIMAX -0.001649 0.001524
ICP 0.002505 -0.000888
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(PRIMAX) D(ICP)
108.4254 -138.8934
-111.0447 -139.5876
1 Cointegrating Equation(s): Log likelihood -838.9988
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) PRIMAX ICP 1.000000 -1.519330 (0.13968) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(PRIMAX) -0.178757 (0.08668) D(ICP) 0.228988 (0.10939) Hasil Tes Kointegrasi Data Super dengan Crude Oil ICP
Date: 07/05/12 Time: 11:08 Sample (adjusted): 2006M02 2011M12 Included observations: 71 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: ICP SUPER Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue None * At most 1 *
0.243196 0.089471
Trace Statistic 26.43896 6.654776
0.05 Critical Value Prob.** 15.49471 3.841466
0.0008 0.0099
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue None * At most 1 *
0.243196 0.089471
Max-Eigen 0.05 Statistic Critical Value Prob.** 19.78419 6.654776
14.26460 3.841466
0.0061 0.0099
Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
ICP -0.003526 -0.001407
SUPER 0.002436 0.001828
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(ICP) D(SUPER)
183.2087 -37.26843
1 Cointegrating Equation(s):
-76.81078 -84.88543 Log likelihood
-1024.765
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) ICP SUPER 1.000000 -0.690704 (0.04936) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(ICP) -0.646026 (0.18054) D(SUPER) 0.131415 (0.12741)
Hasil Tes Kointegrasi Data Performance dengan Crude Oil ICP
Date: 07/05/12 Time: 11:10 Sample (adjusted): 2009M07 2011M12 Included observations: 30 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PERFORM ICP Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue None * At most 1
0.502546 0.028883
Trace Statistic 21.82684 0.879250
0.05 Critical Value Prob.** 15.49471 3.841466
0.0049 0.3484
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue None * At most 1
0.502546 0.028883
Max-Eigen 0.05 Statistic Critical Value Prob.** 20.94759 0.879250
14.26460 3.841466
0.0038 0.3484
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): PERFORM -0.006885 0.000963
ICP 0.009344 9.08E-05
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(PERFORM ) 29.60375 D(ICP) -239.9086
-33.99008 -35.62815
1 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
-411.9899
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) PERFORM ICP 1.000000 -1.357162 (0.04084) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(PERFORM ) -0.203821 (0.28411) D(ICP) 1.651767 (0.44647)
Tes Pengaruh Harga crude oil ICP atas Harga Pertamax (Simetrik)
Dependent Variable: D(PERTAMAX) Method: Least Squares Date: 07/06/12 Time: 13:13
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Sample (adjusted): 2005M03 2011M12 Included observations: 82 after adjustments Variable
Coefficient
D(ICP) D(PERTAMAX(-1)) D(ICP(-1)) RESCOINT
447.5729 -0.018156 615.8709 0.245063
R-squared 0.435834 Adjusted R-squared 0.414135 S.E. of regression 352.3692 Sum squared resid 9684796. Log likelihood -595.2062 Durbin-Watson stat 1.997829
Std. Error
t-Statistic
108.8300 4.112589 0.091429 -0.198578 95.05321 6.479222 0.081956 2.990185 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
Prob. 0.0001 0.8431 0.0000 0.0037 53.04878 460.3619 14.61479 14.73219 14.66192
Tes Pengaruh Harga crude oil ICP atas Harga Super (Simetrik)
Dependent Variable: DSUPER Method: Least Squares Date: 11/01/12 Time: 09:12 Sample (adjusted): 2005M03 2011M12 Included observations: 82 after adjustments Variable C DICP DSUPER(-1) DICP(-1) RESCOINT
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
62.13959 0.184195 0.026036 0.463132 0.056126
82.11802 0.189571 0.110733 0.186352 0.054629
0.756711 0.971644 0.235122 2.485250 1.027401
0.4515 0.3343 0.8147 0.0151 0.3074
R-squared 0.090575 Adjusted R-squared 0.043332 S.E. of regression 726.7760 Sum squared resid 40671653 Log likelihood -654.0402 F-statistic 1.917219 Prob(F-statistic) 0.116010
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
101.2195 743.0532 16.07415 16.22090 16.13307 2.006396
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Tes Pengaruh Harga crude oil ICP atas Harga Primax (Simetrik) Dependent Variable: DPRIMAX Method: Least Squares Date: 11/01/12 Time: 09:21 Sample (adjusted): 2005M03 2011M12 Included observations: 82 after adjustments Variable
Coefficient
C DICP DPRIMAX(-1) DICP(-1) RESCOINT
68.64080 0.206179 -0.000805 0.490146 0.046434
R-squared 0.114732 Adjusted R-squared 0.068745 S.E. of regression 716.5592 Sum squared resid 39536190 Log likelihood -652.8793 F-statistic 2.494839 Prob(F-statistic) 0.049676
Std. Error
t-Statistic
80.54554 0.852199 0.181137 1.138254 0.110139 -0.007310 0.179381 2.732430 0.035158 1.320727 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.3967 0.2585 0.9942 0.0078 0.1905 104.5732 742.5362 16.04584 16.19259 16.10475 1.953114
Tes Pengaruh Harga crude oil ICP atas Harga Perform (Simetrik) Dependent Variable: DPERFORM Method: Least Squares Date: 11/01/12 Time: 09:22 Sample (adjusted): 2005M03 2011M12 Included observations: 82 after adjustments Variable
Coefficient
C DICP DPERFORM(-1) DICP(-1) RESCOINT
21.22261 -0.036276 0.275406 0.114791 0.009254
R-squared 0.217631 Adjusted R-squared 0.176988 S.E. of regression 155.3589 Sum squared resid 1858503. Log likelihood -527.5240 F-statistic 5.354756 Prob(F-statistic) 0.000739
Std. Error
t-Statistic
17.70619 1.198599 0.037918 -0.956700 0.104553 2.634128 0.038044 3.017353 0.005452 1.697462 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.2344 0.3417 0.0102 0.0035 0.0936 35.37805 171.2511 12.98839 13.13514 13.04731 1.984311
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Tes Pengaruh Harga Crude Oil dalam Kondisi Harga Naik Maupun Turun Terhadap Pertamax (Asimetrik)
Dependent Variable: DPERTAMAX Method: Least Squares Date: 07/06/12 Time: 13:30 Sample (adjusted): 2006M01 2011M12 Included observations: 72 after adjustments Variable
Coefficient
DICPP DICPM DICPP(-1) DICPM(-1) DPERTAMAXP(-1) DPERTAMAXM(1) RESCOINTP RESCOINTM
0.264874 0.337290 0.289496 0.402741 -0.533588
0.141886 1.866809 0.148824 2.266360 0.156586 1.848797 0.191257 2.105756 0.085549 -6.237247
0.0665 0.0268 0.0691 0.0392 0.0000
-0.664379 0.037080 -0.022494
0.100762 -6.593527 0.047301 0.783911 0.018948 -1.187175
0.0000 0.4360 0.2395
R-squared 0.593255 Adjusted R-squared 0.548768 S.E. of regression 301.4292 Sum squared resid 5815011. Log likelihood -508.9379 Durbin-Watson stat 1.773477
Std. Error
t-Statistic
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
Prob.
40.97222 448.7301 14.35939 14.61235 14.46009
Tes Asimetri Harga Crude Oil ICP Terhadap Harga Pertamax Wald Test: Equation: EQASIMETRIK Test Statistic F-statistic Chi-square
Value 3.380592 13.52237
df
Probability
(4, 64) 4
0.0143 0.0090
Value
Std. Err.
Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) C(1) - C(2) C(3) - C(4)
-0.072416 0.244694 -0.113246 0.269233
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
C(5) - C(6) C(7) - C(8)
0.130791 0.098953 0.059574 0.063447
Restrictions are linear in coefficients.
Granger Causality Tests Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/05/12 Time: 11:16 Sample: 2005M01 2011M12 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs F-Statistic
Prob.
SUPER does not Granger Cause PERTAMAX PERTAMAX does not Granger Cause SUPER
72
2.71679 4.04191
0.0734 0.0220
PRIMAX does not Granger Cause PERTAMAX PERTAMAX does not Granger Cause PRIMAX
58
0.65785 5.43029
0.5221 0.0072
PERFORM does not Granger Cause PERTAMAX PERTAMAX does not Granger Cause PERFORM
31
1.09956 0.47708
0.3480 0.6259
MOPS does not Granger Cause PERTAMAX PERTAMAX does not Granger Cause MOPS
82
1.10533 5.96020
0.3363 0.0039
ICP does not Granger Cause PERTAMAX PERTAMAX does not Granger Cause ICP
82
21.6668 2.29099
3.E-08 0.1080
PRIMAX does not Granger Cause SUPER SUPER does not Granger Cause PRIMAX
58
0.88128 6.14622
0.4202 0.0040
PERFORM does not Granger Cause SUPER SUPER does not Granger Cause PERFORM
31
0.57130 1.12454
0.5717 0.3401
MOPS does not Granger Cause SUPER SUPER does not Granger Cause MOPS
72
0.88314 6.43769
0.4182 0.0028
ICP does not Granger Cause SUPER SUPER does not Granger Cause ICP
72
24.2162 6.66271
1.E-08 0.0023
PERFORM does not Granger Cause PRIMAX PRIMAX does not Granger Cause PERFORM
31
8.38869 1.61257
0.0015 0.2187
MOPS does not Granger Cause PRIMAX PRIMAX does not Granger Cause MOPS
58
2.19137 1.94159
0.1218 0.1535
ICP does not Granger Cause PRIMAX PRIMAX does not Granger Cause ICP
58
11.6443 3.70242
6.E-05 0.0313
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
MOPS does not Granger Cause PERFORM PERFORM does not Granger Cause MOPS
31
0.54139 9.70830
0.5884 0.0007
ICP does not Granger Cause PERFORM PERFORM does not Granger Cause ICP
31
7.94960 8.36556
0.0020 0.0016
ICP does not Granger Cause MOPS MOPS does not Granger Cause ICP
82
3.36128 2.24531
0.0399 0.1128
Pairwise Granger Causality Tests Date: 12/03/12 Time: 11:31 Sample: 2005M01 2011M12 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs F-Statistic
Prob.
MOPS does not Granger Cause ICP ICP does not Granger Cause MOPS
82
2.24531 3.36128
0.1128 0.0399
SPBU does not Granger Cause ICP ICP does not Granger Cause SPBU
82
4.33962 10.5351
0.0164 9.E-05
SPBU does not Granger Cause MOPS MOPS does not Granger Cause SPBU
82
5.46911 0.35521
0.0060 0.7022
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Lampiran 2
HASIL ANOVA
HASIL ANOVA MOPS DAN ICP
SUMMARY Groups
Count
Sum
Average
Variance
MOPS
84
494585,6249
5887,924106
14134319,95
ICP
84
377153,5052
4489,922681
1464434,384
df
MS
F
P-value
F crit
10,52457569
0,001424448
3,89808843
ANOVA Source of Variation
SS
Between Groups
82085135,38
1
82085135,38
Within Groups
1294696610
166
7799377,168
Total
1376781745
167
HASIL ANOVA MOPS DAN PERTAMAX
SUMMARY Groups
Count
Sum
Average
Variance
MOPS
84
494585,6249
5887,924106
14134319,95
PERTAMAX
84
550137,5
6549,255952
2230641,382
MS
F
P-value
F crit
2,244931922
0,135952016
3,89808843
ANOVA Source of Variation
SS
df
Between Groups
18369112,05
1
18369112,05
Within Groups
1358291791
166
8182480,667
Total
1376660903
167
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
(Lanjutan)
HASIL ANOVA ICP DAN PERTAMAX
SUMMARY Groups ICP PERTAMAX
ANOVA Source of Variation Between Groups
Count 84 84
SS
Sum 377153,5052 550137,5
Average 4489,922681 6549,255952
Variance 1464434,384 2230641,382
df
MS
F
178115848
1
178115848
Within Groups
306691288,6
166
1847537,883
Total
484807136,6
167
96,4071425
P-value
F crit
3,15002E-18
3,89808843
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012