UNIVERSITAS INDONESIA
PERUSAHAAN JOINT VENTURE DALAM PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum
MAULANA HASANUDIN 0706175325
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER HUKUM KEKHUSUSAN HUKUM EKONOMI JAKARTA JUNI 2010
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Maulana Hasanudin
NPM
: 0706 175 325
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 28 Juni 2010
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh, Nama
:
Maulana Hasanudin
NPM
:
0706175325
Program Studi
:
Hukum Ekonomi
Judul Tesis
:
Perusahaan Joint Venture dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing
:
Prof. Erman Rajagukguk, SH., LL.M., Ph. D. (........................)
Penguji
:
........................................................
(........................)
Penguji
:
........................................................
(........................)
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal
: 28 Juni 2010
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim,
Qola
Muhammadun
huwabnu
Maliki:
ahmadu rabby Allah khairalmaliki, musholliyan alanNabiyyilmusthafa wa alihilmustakmilinas-syarafa. Tesis ini membahas tentang entitas hukum perusahaan joint venture yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing. Ada tiga hal yang Peneliti kaji dalam tesis ini, pertama alasan pendirian perusahaan joint venture, kedua struktur perjanjian joint venture, dan ketiga penyelesaian sengketa dalam perusahaan joint venture. Untuk sampai kepada kesimpulan atas tiga pengkajian tersebut, Peneliti lebih mengedepankan pengkajian aspek dogmatik hukum yang berkaitan dengan joint venture di Indonesia. Penulisan tesis ini sendiri adalah hasil dari pembelajaran yang telah peneliti peroleh dari Program Magister Hukum Universitas Indonesia, yang secara formil terhitung sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2010. Hasil pembelajaran ini tidak mungkin Peneliti dapatkan tanpa keikhlasan para Pengajar yang telah membimbing peneliti hingga saat ini. Oleh karenanya, atas jasa mereka, Peneliti mengucapkan terima kasih, dan tanpa mengurangi rasa hormat Peneliti kepada semua Pengajar Program Magister Hukum Universitas Indonesa, perkenankan Peneliti secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D, selaku pembimbing tesis, yang tanpa lelah telah memberikan ilmunya yang luas kepada Peneliti sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Selanjutnya, Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh jajaran Manajemen Program Magister Hukum Universitas Indonesia. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, membalas jasa-jasa yang telah mereka darmakan dengan karunia yang tak terhingga. Wallahu a’lam bisshawab. Depok, 19 Juni 2010,
Maulana Hasanudin Hidayat
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Maulana Hasanudin
NPM
: 0706175325
Program Studi
: Hukum Ekonomi
Fakultas
: Hukum
Jenis Karya
: Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exlusive Royaltry Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul Perusahaan Joint Venture dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, 113 halaman + ix beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Jakarta
Pada tanggal : 28 Juni 2010 Yang menyatakan,
(Maulana Hasanudin)
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………………. i LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ………………………...... ii LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………... iii KATA PENGANTAR …………………………………………………... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ……………………………… v ABSTRAK ………………………………………………………………. vi DAFTAR ISI …………………………………………………………….. vii
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang …………………………………………………. 1 1.2. Perumusan Masalah…………………………………………….. 7 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………….. 7 1.4. Kerangka Teori dan Konsep …………………………………….. 7 1.5. Metode Penelitian ………………………………………………. 11 1.6. Sistematika Penulisan …………………………………………... 12
2. SEBAB-SEBAB BERDIRINYA PERUSAHAAN JOINT VENTURE DALAM PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA 2.1. Joint Venture dalam Penanaman Modal Asing …………………. 14 2.2. Pendirian Perusahaan Joint Venture Karena Undang-Undang …. 29 2.3. Pendirian Perusahaan Joint Venture Karena Pertimbangan Politik, Ekonomi dan Sosial ……………………………………. 39
3. PERJANJIAN JOINT VENTURE SEBAGAI DASAR PENDIRIAN PERUSAHAAN JOINT VENTURE 3.1. Struktur Perjanjian Joint Venture ………………………………. 47 3.2. Pilihan Hukum dalam Perjanjian Joint Venture …………………… 57 3.3. Penyelesaian Sengketa Perjanjian Joint Venture ………………….. 64
4. PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERUSAHAAN JOINT VENTURE
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
4.1. Sengketa Antara Pemegang Saham Perusahaan Joint Venture .... 77 4.2. Sengketa Antara Anggota Direksi Perusahaan Joint Venture ....... 85 4.3. Sengketa Antara Pemegang Saham dengan Anggota Direksi …... Perusahaan Joint Venture .............................................................. 88 4.4. Sengketa Antara Investor Asing dengan Pemerintah dalam …….. Joint Venture ……………..……………………………………... 92
5. PENUTUP 5.1. Kesimpulan ……………………………………………………… 103 5.2. Saran …………………………………………………………….. 106 BIBLIOGRAFI …………………………………………………………... 108
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Maulana Hasanudin : Magister Hukum, Hukum Ekonomi : Perusahaan Joint Venture dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia.
Penanaman modal asing secara langsung di Indonesia harus dilakukan dalam bentuk pendirian perusahaan joint venture antara investor asing dengan investor nasional, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Selain berdasarkan adanya ketentuan Undang-undang, pendirian perusahaan joint venture juga dilakukan berdasarkan pertimbangan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang berkaitan dengan kepentingan para pihak terutama insvestor asing dalam melakukan investasi di Indonesia. Perusahaan joint venture ini didirikan dalam bentuk Perseroan Terbatas, yang tunduk kepada Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sebelum membentuk Perusahaan Joint Venture para pihak terlebih dahulu membuat perjanjian joint venture yang menjadi dasar pendirian perusahaan joint venture. Dalam merumuskan perjanjian joint venture para pihak terikat dengan kaidah-kaidah yang terdapat dalam hukum perjanjian baik yang bersifat nasional maupun internasional seperti pacta sunt servanda, consensus, dan kebebasan berkontrak, karena para pihak berasal dari Negara yang berbeda. Dalam perjanjian joint venture ditetapkan tujuan dan kebijakan dari perusahaan joint venture yang dapat dipergunakan untuk menafsirkan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh perusahaan dengan para partner. Oleh karenanya dipandang perlu untuk mengkoordinasikan perjanjian joint venture dengan Anggaran Dasar Perusahaan Joint Venture yang tunduk kepada Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Struktur perjanjian joint venture itu sendiri sekurang-kurangnya meliputi: objek usaha patungan, modal dan proporsi masingmasing pemegang saham, kepemilikan saham dan kemungkinan pengalihan saham pada pihak lain, penambahan modal dan pengeluaran saham baru, pengurusan perusahaan, kontrol atau pengendalian perusahaan, alih teknologi dan pengetahuan, lisensi paten dan merek dagang, klausul wanprestasi, keadaan darurat, klausul pilihan hukum dan klausul penyelesaian sengketa, pengakhiran perjanjian, dan pengaturan tentang amandemen atau perubahan perjanjian. Dalam hal adanya sengketa pada perusahaan joint venture, apabila sengketa tersebut terjadi antara pemegang saham, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui arbitrase atau melalui pengadilan tergantung kepada choice of jurisdiction yang menjadi kesepakatan kedua belah pihak. Apabila sengketa tersebut terjadi antara direksi, atau antara pemegang saham dengan direksi perusahaan joint venture (kasus gugatan derivatif), maka penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan Negeri menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Apabila sengketa yang terjadi antara investor asing dengan Pemerintah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui arbitrase internasional, seperti ICSID, atau lembaga penyelesaian sengketa lainnya yang disepakati oleh kedua belah pihak. Kata Kunci
: Penanaman Modal Asing, Joint Venture. UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
ABSTRACT Name Study Program Title
: Maulana Hasanudin : Magister of Law, Law of Economic : Joint Venture Company in Making Foreign Investment In Indonesia
Foreign direct investment in Indonesia shall be realized in form of joint venture company established by domestic and foreign investor, which is stipulated by law number 25 of 2007 concerning Investment. Beside according to the provisions of the law, the carrying out of establishment of joint venture company also based on politic, economic, and socio-culture considerations related to all parties interests, especially foreign investors in making investment in Indonesia. The joint venture company was established in the form of Limited Liability Company, which is subject to Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Company. Before establishing joint venture company, all parties make a joint venture agreement that will be the groundwork of establishing that company. To formulate the joint venture agreement, the all parties was bound by norms contained in law of contract both nationally and internationally, such as pacta sunt servanda, consensus, and freedom of contract, because they come from different nations. The policy and purpose of joint venture company was stipulated by Joint venture agreement that can be used as a tool or guidance of contracts interpretation made by company with partners. Because of that, it is necessary to coordinate joint venture agreement with article of association of joint venture company pursuant to law number 40 of 2007 concerning Limited Liability Company. The structure of the joint venture agreement itself include at least : the object of joint venture, initial capital and capital contribution, equity ownership and and the possibility of transfer of shares on the other party, capital increase and issuance of new shares, the management of company, control of the company, transfer of technology and know-how, patent and trademark licenses, profit sharing, breach of contract clause, force majeur clause, choice of law clause, and dispute settlement clause, termination of contract, and rules concerning the amendment of contract. In the event any dispute arises in connection with joint venture company, if the dispute arises between shareholders of the company, the settlement may be carried out through arbitration or through the Court depending on choice of jurisdiction agreed by the parties. If the dispute arises between directors of the company, or between shareholder and directors of the company (derivative suit case), the settlement must be carried out through the Court, pursuant to law number 40 of 2007. If the dispute arises between foreign investor and Government, the settlement may be carried out through the international arbitration, such as ICSID, or other dispute settlement body agreed by the parties. Key words
: Foreign investment, joint venture. UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Globalisasi adalah realita yang tidak dapat dihindari, seluruh aspek kehidupan akan terpengaruh oleh wujud tatanan dunia baru yang akan datang dan secara apriori tentu saja tidak sama dengan yang sudah kita jalani selama ini. Dalam dunia bisnis, politik, dan bermacam-macam aspek lainnya akan dituntut untuk menuju kepada tranparansi, efisiensi, certainty (kepastian), sebagai tuntutan dari kegiatan yang dijalankan di seluruh dunia yang akan tanpa batas-batas dalam pengertian jangkauan sistem informasi global, ideologi dan perekonomian.1 Dalam tata pergaulan dunia khususnya yang berkaitan dengan sistem hukum2, yang dapat menunjang pembangunan ekonomi, hukum sudah menjadi
1
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Pertanahan, (Jakarta: LPHI, 2005), hal. 99. 2
Dalam tatanan teoritis, institusi hukum menurut Freidman harus tertata dalam sebuah sistem hukum yang di dalamnya terdiri dari tiga aspek, yaitu substansi (substance), struktur (structure) dan budaya hukum (Legal Culture). Substansi hukum difahami sebagai aturan, norma, dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan-keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law in books. Struktur adalah kerangka atau rangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Lihat L. M. Friedman, American Law an Introduction, W.W., (New York: Norton and Company, 1998), hal. 18. Pemikiran dan pendapat manusia sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum. Dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa kultur hukum, maka sistem hukum itu sendiri tidak berdaya, lihat Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, penyebab dan solusianya, (Jakarta: Ghalia, 2001), hal. 9. Masing-masing sub sistem di atas, harus dikondisikan kepada suatu keadaan yang dapat beradaptasi kepada arus globalisasi. Sifat adaptif ini berdasarkan kepada penggalian dan perumusan substansi hukum yang mendukung proses pembangunan ekonomi dalam era globalisasi, penerapan prinsip-prinsip perekonomian internasional harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam substansi hukum. Terhadap struktur hukum, unsur penegakan hukum menjadi sangat penting mengingat pada aspek inilah akan terlihat rasa kepastian hukum dalam tatanan praktis. Penegakan hukum (law enforcement) melalui institusi yang mempunyai kredibilitas menjadi syarat mutlak. Jalinan yang tertata dengan baik sejak lembaga penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan hingga pada aspek advokasi harus dilengkapi dengan integritas moral para pelakunya. Hal lain yang relatif sulit dan membutuhkan proses adalah sub sistem legal Culture dalam sistem hukum. Lihat Komisi Hukum Nasional, Kebijakan Reformasi Hukum, Suatu Rekomendasi, (Jakarta: KHN, 2003), hal. 161-167.
1
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
sarana yang dinilai dapat dijadikan pedoman terselenggaranya pembangunan ekonomi pada masing-masing negara. Berbagai studi tentang hubungan hukum dengan pembangunan ekonomi menunjukan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembaruan hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa memperkuat institusi-institusi hukum adalah “precondition for economic change, crusial to the viability of new political system and an agent of social change”.3 Salah satu aspek penting agar hukum dapat berperan dalam pembangunan ekonomi adalah adanya hukum yang mampu menciptakan kondisi stability, predictability, dan fairness.4 Adanya kondisi tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian hukum (legal certainty) bagi keterlibatan para pelaku ekonomi dan masyarakat pada umunya dalam pembangunan ekonomi baik secara nasional maupun global. Keberadaan hukum investasi, diharapkan dapat menjadi salah satu arahan dan sekaligus faktor pendukung pembangunan ekonomi yang dapat menciptakan kondisi-kondisi seperti diatas, sehingga dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak, tak terkecuali para pelaku ekonomi yang secara langsung terlibat dalam dinamika pembangunan ekonomi. Salah satu isue pentingnya kepastian hukum dalam pembangunan ekonomi, khususnya melalui sarana hukum investasi di Indonesia, antara lain untuk menjamin arus modal (capital flow) ke indonesia5. Pandangan ini mengindikasikan bahwa jika ingin investor datang untuk menanamkan modalnya di Indonesia, yang harus disiapkan adalah perangkat hukum yang jelas baik di tingkat pemerintah pusat maupun pada tingkat pemerintah daerah. Lebih jauh perangkat hukum ini diharapkan dapat menciptakan iklim yang kondusif dan kompetitif bagi investasi.
3
Erman Rajagukguk, Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, (Makalah disampaikan dalam rangka Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia 1950-2000, Kampus UI Depok, 5 Februari 2000), hal. 1. 4
Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, (Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997), hal. 10. 5
Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, dalam Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), hal. 26.
2
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Dalam salah satu konsideran filosofis Undang-undang investasi disebutkan bahwa undang-undang tersebut dibutuhkan untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia yang dilakukan dengan menggunakan modal yang berasal baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Realitas ini adalah kebutuhan pragmatis yang diharapkan menjadi katalisator terselenggaranya kesejahteraan rakyat.6 Investasi menjadi bagian yang penting dalam pelaksanaan pembangunan perekonomian mengingat keterbatasan modal yang dimiliki negara. Pranata hukum investasi diharapkan dapat menjadi jembatan perbedaan kepentingan antara investor dengan negara sebagai penerima modal. Dalam perspektif investor, adanya keterbukaan pasar di era globalisasi membuka peluang untuk berinvestasi di berbagai negara dengan tujuan mencari keuntungan, sedangkan negara penerima modal berharap ada partisipasi investor dalam pembangunan nasionalnya.7 Bentuk keterlibatan negara dalam bidang perekonomian8 seperti ini,
6
Lihat diktum menimbang Indonesia, Undang-Undang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2007 Tentang, LN. No. 67 Tahun 2007, TLN. No. 4724. 7
Sentosa Sembiring, op. cit., hal. 60
8
Keterlibatan negara dalam bidang perekonomian sebagaimana dijelaskan oleh Freddy Harris dengan mengutip pendapat Gianfranco Poggi, dimulai dengan tampilnya perusahaan gabungan dan korporasi sebagai pendukung utama gerakan perkembangan ekonomi industri yang tidak memiliki legitimasi yang kuat dalam ideologi liberal di awal abad kesembilanbelas. Adanya kendali ekonomi industri yang dipegang oleh perusahaan gabungan dan korporasi tersebut memungkinkan mereka untuk mempengaruhi negara agar tidak mencampuri urusan mereka atau bahkan membuat peraturan yang menguntungkan mereka. Atas dasar pengalaman di atas dan untuk mengarahkan kebijakannya menjamin kesejahteraan lapisan sosial yang paling rendah dalam perkembangan kapitalisme yang semakin besar, negara berkomitmen untuk mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya dalam bidang industri. Komitmen ini mengharuskan negara mengadakan basis industri yang memadai. Lebih jauh setelah berakhirnya politik kekuasaan era perang dingin, negara tidak lagi mengejar tujuan-tujuan perluasan pengaruh dan kekuasaan terhadap negara lain, tetapi lebih memusatkan perhatian pada kemakmuran dalam negeri sebagai justifikasi keberadaan negara. Isue ”pembangunan industri”, ”pertumbuhan ekonomi”, ”kemakmuran” menjadi dasar legitimasi negara dalam melaksanakan kegiatan di bidang pembangunan perekonomian. Keterlibatan ini mengaburkan batas-batas tradisional antara ranah publik dengan privat. Lihat Freddy Harris, “Kedudukan Negara sebagai Penyerta Modal dalam PT. Persero, Pengubahan Ketentuan-Ketentuan Yang Tidak Sesuai dengan Prinsip-Prinsip Hukum Perusahaan”, (Ringkasan Disertasi Doktor Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007), hal. 16-19. Menurut Faisal Basri, keterlibatan negara dalam pembangunan perekonomian pada dasarnya terjadi pada semua sistem ideologi ekonomi negara. Hanya kadarnya saja yang berbeda. oleh karenanya apapun ideologi yang dianut oleh sebuah negara yang diperlukan adalah sebuah otonomi negara/pemerintah (strong autonomy of state) dalam keterlibatannya di bidang perekonomian. Lihat dalam Faisal Basri, “Peran Negara di dalam Perekonomian”,
, 11 Januari 2010.
3
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
dengan menyediakan pengaturan yang baik dalam pranata hukum investasi, menurut peneliti adalah bentuk ideal yang sesuai dengan fungsi utama negara sebagai pengatur (wetgeving, regelling9) dengan tanpa menafikan fungsi yang lainnya. Pentingnya keberadaan investasi dalam penyelenggaraan pemerintahan jika dihubungkan dengan teori multiplier effect yang dikemukakan oleh John Maynard Keynes (1883–1946) adalah pertama, bahwa investasi mampu menciptakan pendapatan dan kedua investasi dapat memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stock modal. Terjadinya multiplier effect akan menyebabkan terjadinya perubahan ekonomi ke arah yang lebih dinamis, yaitu terciptanya lapangan pekerjaan yang disebabkan oleh tingginya pendapatan masyarakat. Hal tersebut memberi pengaruh pada peningkatan kebutuhan masyarakat dan dibutuhkannya sumber-sumber produksi untuk memuaskan kebutuhan tersebut. Secara otomatis dibutuhkan pula sumber daya manusia untuk mengolahnya. 10 Pemberlakuan undang-undang penanaman modal yang ada, diharapkan menjadi pemicu (trigger) adanya multiplier effect bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan limpahan modal yang cukup baik dari dalam negeri maupun asing, yang tentu saja harus dilakukan dengan mempertimbangkan realitas peraturan perundang-undangan yang lain secara menyeluruh baik pada lingkup nasional maupun daerah. Dalam tatanan pembangunan ekonomi yang paling dasar,
keberadaan
peraturan
perundang-undangan
ini
diharapkan
dapat
mengundang modal asing masuk ke Indonesia.
9
Van Vollenhoven mengedepankan ajaran catur praja dalam teori bewindvoeren, yaitu: bestuur, politie, rechtpraak, dan regelling/wetgeving. Lihat pada SF. Marbun dkk, DimensiDimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal. 50-51. 10
Irham Fahmi, Analisis Investasi, dalam Perspektif Ekonomi dan Politik, (Jakarta: PT. Rafika Aditama, 2006), hal. 13. Teori multiplier effect itu sendiri membahas tentang pengaruh anggaran pemerintah (government budget) terhadap pertumbuhan ekonomi, bahwa untuk memengaruhi jalannya perekonomian, pemerintah dapat memperbesar anggaran pengeluaran saat perekonomian mengalami kelesuan (recession) sehingga lapangan pekerjaan meningkat dan akhirnya pendapatan riil masyarakat juga akan mengalami peningkatan. Perubahan yang diakibatkan oleh pengeluaran pemerintah akan berpengaruh pada besarnya pendapatan nasional yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan pada golongan pengeluaran tertentu dan pada akhirnya pendapatan nasional akan bertambah, yang disebut sebagai proses multiplier.
4
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Alasan suatu negara mengundang modal asing, antara lain yang utama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth), yang berarti memperluas lapangan kerja. Kemudian dengan masuknya modal asing, tujuan lainnya diharapkan dapat dicapai, seperti mengembangkan industri substitusi impor untuk menghemat devisa, mendorong ekspor non migas untuk menghasilkan devisa, alih teknologi, membangun prasarana, serta untuk megembangkan daerah tertinggal.11 Berdasarkan undang-undang penanaman modal, penanaman modal asing dapat dilakukan dengan cara: pertama, oleh pihak asing yang seratus persen menggunakan modal asing; atau kedua, dengan menggabungkan modal asing itu dengan modal nasional.12 Secara yuridis hal yang pertama tidak menimbulkan persoalan yang terlalu rumit, oleh karena sudah jelas bahwa bukan hanya modal tetapi kekuasaan maupun pengambilan keputusan (decision making) dilakukan oleh pihak asing, sepanjang segala sesuatu itu memperoleh persetujuan dari pemerintah, atau selama pengaturannya tidak melanggar hukum serta ketertiban umum yang berlaku di Indonesia. Yang sulit adalah dengan pilihan yang kedua, karena adanya ketentuan yang mengharuskan dilakukan dalam bentuk kerjasama (join venture), mengingat adanya keharusan baru bagi kedua belah pihak untuk merumuskan terlebih dahulu perjanjian joint venture sebelum nantinya ditindaklanjuti dengan pendirian perusahaan joint venture. Beberapa hal yang harus diperhatikan karena adanya potensi konflik pada cara investasi yang kedua, antara lain meliputi anatomi perjanjian joint venture, struktur permodalan perusahaan, kekuasaan pengelolaan (manajemen) perusahaan, aspek makro dan mikro ekonomi, serta sosio kultul tempat berinvestasi. Termasuk di dalamnya aspek teknis operasional yang meliputi perbedaan bahasa, sistem hukum, maupun bargaining position di antara keduanya.13
11
Erman Rajagukguk, Hukum Investasi di Indonesia, Pokok Bahasan, (Jakarta: FHUI, 2006), hal. 19. 12
Indonesia, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, LN. No. 67 Tahun 2007, TLN. No. 4724. ps.1. 13
Lihat Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 49-50.
5
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Dalam undang-undang penanaman modal ditentukan bahwa investasi asing baru dapat dilakukan di Indonesia dengan terlebih dahulu mendirikan perusahan dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) di bawah hukum Indonesia baik untuk perusahaan joint venture yang didirikan melalui kerjasama usaha dengan pemodal nasional, maupun perusahaan dengan modal asing sepenuhnya.14 Ketentuan penanaman modal asing sebagaimana di atas tentu saja berkaitan erat dengan bidang-bidang usaha yang diperkenankan atau terbuka yang terdapat dalam Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Daftar Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau biasa disebut dengan Daftar Negatif Investasi.15 Adapun bidang usaha yang sama sekali tidak memperkenankan adanya modal asing yaitu produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang. Serta bidang usaha lainnya yang dinyatakan tertutup secara eksplisit oleh undang-undang.16 Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa pembentukan suatu perusahaan joint venture meniscayakan para pihak yang terlibat membuat perjanjian yang disebut dengan perjanjian joint venture yang sifatnya internasional karena para pihak dalam perjanjian ini datang dari negara yang berlainan.17 Perjanjian Joint venture itu sendiri secara definitif dapat dijelaskan sebagai suatu kerjasama antara penanam modal asing dengan penanam modal nasional berdasarkan suatu perjanjian, atau suatu kontrak antara dua perusahaan atau lebih untuk membentuk suatu perusahaan baru yang kemudian disebut sebagai perusahaan join venture.18
14
Lihat Indonesia, Undang-undang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2007, LN. 67 Tahun 2007, TLN. 4724, ps.1 jo. ps. 5. Sebagai perbandingan lihat juga dalam Indonesia, UndangUndang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing, LN. 1 Tahun 1967, TLN. 2818, ps. 1, ps. 23. 15
Indonesia, Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Daftar Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. 16
Indonesia, Undang-undang Penanaman Modal, op. cit., ps. 12 (2).
17
Lihat Erman Rajagukguk, op. cit., hal. 117., Salim HS, op. cit., hal. 206.
18
Salim HS, ibid., hal. 207 dengan mengutip pendapat Erman Rajagukguk dan Peter
Mahmud.
6
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
1.2. Perumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1.
Apakah sebab-sebab berdirinya perusahaan joint venture?
2.
Bagaimanakah struktur perjanjian joint venture yang menjadi dasar pendirian perusahaan joint venture?
3.
Bagaimanakah penyelesaian sengketa dalam perusahaan joint venture?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1.
Mengetahui sebab-sebab berdirinya perusahaan joint venture dalam penanaman modal asing di Indonesia.
2.
Mengetahui struktur perjanjian joint venture yang menjadi dasar pendirian perusahaan joint venture.
3.
Mengetahui penyelesaian sengketa dalam perusahaan joint venture. Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah untuk memberikan gambaran
tentang: (1) sebab-sebab berdirinya perusahaan joint venture dalam penanaman modal asing di Indonesia, (2) struktur perjanjian joint venture yang menjadi dasar pendirian perusahaan joint venture dalam penanaman modal asing di Indonesia, dan (3) penyelesaian sengketa dalam perusahaan joint venture. Selanjutnya secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran hukum bagi masyarakat umum, para akademisi dan praktisi hukum.
1.4. Kerangka Teori dan Konsep Dalam pengertian yang luas, perjanjian patungan (joint venture) adalah bentuk persekutuan yang menekankan kerjasama lebih daripada untuk suatu yang sementara sifatnya. Perusahaan patungan terbentuk ketika dua pihak atau lebih, baik secara pribadi maupun perusahaan bermaksud menjadi partner satu sama lainnya untuk suatu kegiatan dan mengatur secara bersama suatu perusahaan baru yang saham-sahamnya dimiliki secara bersama pula.19
19
Erman Rajagukguk, Indonesianisasi Saham, cet. II, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal.
12.
7
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Menurut Ian Hewitt Joint Venture dapat mencakup tiga hal, yaitu: Pertama, contractual joint venture: merupakan kerjasama dua atau lebih para pihak dalam rangka melaksanakan suatu bisnis atau proyek tertentu. Kedua, Partnership: merupakan bentuk kerjasama yang sederhana dengan tidak mendirikan sebuah perusahaan. Ketiga, corporate joint venture: merupakan kerjasama yang dilakukan dengan mendirikan sebuah perusahaan dengan menggabungkan berbagai potensi dan permodalan yang dimiliki.20 Menurut pedoman Perundingan Pembentukan Joint Venture yang dikeluarkan United Nation Industrial Organization (UNIDO), terdapat dua bentuk usaha patungan (Joint Venture), yakni: contractual joint venture dan equity joint venture. Dalam contractual joint venture, kerjasama dilakukan atas dasar perjanjian antara pihak asing dengan dengan pemerintah negara penerima modal dalam hal penyediaan modal, peralatan, hak milik industrian, bantuan teknik, dan ketrampilan. Pemilikan perusahaan di tangan pemerintah. Pihak asing memperoleh imbalan royalty yang harus dibayar berdasarkan hasil produksi, penjualan, dan keuntungan perusahaan. Adapun equity joint venture merupakan bentuk usaha patungan yang umum terjadi dalam rangka penanaman modal asing di negara-negara berkembang. Dalam usaha patungan semacam ini, para pihak memiliki usaha secara bersama-sama melalui penggabungan modal berdasarkan perbandingan modal yang ditanam atau diinvesatsikan. Kerjasama atas penggabungan modal ini dapat dilakukan melalui usaha perusahaan yang sudah ada, tetapi pada umumnya para mitra cenderung untuk mendirikan perusahaan baru melalui pembentukan joint venture campany.21 Di Indonesia, perusahaan patungan (joint venture campany) menjadi lebih dikenal semenjak diundangkannya Undang-undang Penanaman Modal Asing No.1 Tahun 1967. Sebagian besar dari perusahaan-perusahaan patungan mulai dengan perjanjian patungan (joint venture agreement). Perjanjian ini yang
20
Lihat dalam Ian Hewitt, Joint Ventures, Second edition, (Sweet and Maxwell A Thompson Company, 2001), hal. 59. 21
Lihat Manual on the Establishment on Industrial Joint Venture Agreement in Developing Countries, (UN: 1991) dalam Ridwan Khairandy, Kompetensi Absolut Dalam Penyelesaian Sengketa di Perusahaan Joint Venture, Jurnal Hukum Vol. 26 No. 24, 2007, hal. 43.
8
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
dibuat antara para pemegang saham menjelang berdirinya perusahaan patungan itu sendiri menggambarkan kekuasaan yang nyata dalam perusahaan nantinya. Tidak seperti perusahaan-perusahaan lainnya di Indonesia, perusahaan patungan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh pihak asing meletakan dasar pengaturan di dalam perjanjian patungan tersebut.22 Di Indonesia, perjanjian patungan mengenai penanaman modal asing tidak saja tunduk kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) khususnya Buku III, Bab 2 tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan, tetapi juga ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan pemerintah sehubungan dengan penanaman modal. Terdapat 4 persyaratan utama yang harus dipenuhi agar suatu kontrak atau perjanjian mengikat para pihak: (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) Perikatan harus mengenai sesuatu hal tertentu; (4) Perikatan harus mengenai sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum.23 Perikatan yang memenuhi persyaratan tersebut di atas secara hukum mengikat para pihak. Ia tidak akan berakhir atau diakhiri tanpa persetujuan para pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk membatalkan persetujuan tersebut. Selanjutnya perikatan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat umpamanya, menurut keputusan-keputusan Pengadilan, aspek yang penting dari perjanjian
joint
venture
adalah
bahwa
ketentuan-ketentuan
kontraktual
sebagaimana yang diterapkan kepada kontrak-kontrak yang sederhana berlaku juga terhadap kontrak joint venture. Dengan demikian hubungan-hubungan antara para partner dalam joint venture tergantung kepada kehendak yang sebenarnya dari mereka, yang akan ditetapkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan sebenarnya mengenai penafsiran suatu kontrak.24 Perjanjian joint venture sebagaimana di atas nantinya sebagai dasar pendirian perusahaan joint venture. Perusahaan joint venture itu sendiri harus
22
Erman Rajagukguk, op. cit., hal. 13.
23
Ibid.
24
Ibid., hal. 13-15.
9
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
berbentuk
Perseroan Terbatas sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, bahwa penanaman modal asing harus dalam bentuk Perseroran Terbatas berdasarkan hukum Indonesia di dalam wilayah Republik Indonesia.25 Dengan demikian dasar pengaturan perusahaan joint venture dalam penanaman modal asing di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas yang didirikan oleh para pihak. Sehubungan dengan kaitan penelitian perusahaan joint venture dalam rangka penanaman modal asing, untuk menghindari kesalah-pahaman perlu dilakukan penjelasan atas konsep penanaman modal asing yang dimaksud dalam penelitian ini. Penanaman modal asing dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dijelaskan sebagai kegiatan menaman modal di Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Yang membedakannya dengan penanaman modal dalam negeri adalah bahwa dalam penanaman modal asing terdapat sumber permodalan yang dimiliki oleh Negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. Dalam penjelasan Pasal 2 Undang-undang tersebut, penanaman modal yang dilakukan adalah penanaman modal langsung (direct investement).26 Dengan kata lain penanaman modal asing di sini merupakan suatu penanaman modal yang dilakukan di Indonesia yang di dalamnya ada unsur modal asing, dan dilakukan secara langsung atau foreign direct investment. Dalam foreign direct investement, pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari penanaman modal tersebut dan pemilik modal secara langsung menjalankan perusahaan yang bersangkutan di Indonesia. Ini membedakannya dengan fortopolio investment, yaitu investasi atau penanaman
25
Indonesia, Undang-undang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2007 Tentang, op. cit., ps. 5 Ayat (2). 26
Ibid., ps. 1, ps 2 dan Penjelasannya.
10
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
modal yang dilakukan melalui pasar modal, dengan melakukan pembelian saham. Setiap waktu investor dapat melepaskan saham tersebut dan menarik investasinya. Pemilikan saham melalui pasar modal tidak dengan sendirinya menjalankan perusahaan tersebut.27 Dalam perspektif yang sempit Munir Fuady menjelaskan penanaman modal asing langsung sebagai model penanaman modal yang dilakukan dimana pihak asing atau perusahaan asing membeli langsung (tanpa melalui pasar modal) saham perusahaan nasional ataupun mendirikan perusahaan baru di Indonesia.28
1.5. Metode Penelitian Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang berkaitan dengan substansi hukum yang bersifat normatif. Penelitian itu sendiri pada prinsipnya merupakan suatu metode yang harus dilaksanakan oleh peneliti untuk menemukan jawaban yang dianggap benar (true bukan right atau just).29 Dalam penelitian normatif, konstruksi-konstruksi pemikiran yang berkaitan dengan tataran filsafat hukum, bersifat abstrak dan umum. Sedangkan konstruksi-konstruksi pemikiran yang berkaitan dengan tataran dogmatik hukum, bersifat kongkrit dan khusus. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha memadukan dua konstruksi pemikiran tersebut. Sehubungan dengan data yang diperoleh dalam tataran penelitian normatif dalam bentuk bahan pustaka, maka penelitian normatif ini dapat disebut juga sebagai penelitian kepustakaan.30
27
Erman Rajagukguk, Hukum Investasi, Pokok Bahasan, op. cit., hal. 61.
28
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis di Era Global, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 67. 29
Valerine, J.K.L., Metode Penelitian Hukum, Kumpulan Tulisan, (Jakarta: FHUI, 2005), hal. 155. 30
Lihat dalam Eddy Pranjoto, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan Nasional, (Bandung: CV. Utomo, 2006), hal. 40.
11
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Kepustakaan hukum diklasifikasi atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tertier.31 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undangundang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Pilihan Penyelesaian Sengketa, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal, Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, dan Peraturan Kepala BKPM No. 1/P/2008 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing, dan beberapa putusan Pengadilan. Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum berupa buku, laporan penelitian, artikel ilmiah, jurnal ilmiah, makalah, penelusuran internet, tesis maupun disertasi sejauh yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti dalam tesis ini. Metode analisa data digunakan dengan pendekatan kualitatif. Selanjutnya hasil data yang telah diolah akan dipaparkan secara deskriftif.
1.6. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini dibagi menjadi lima bab, yaitu sebagai berikut:
31
Dalam penelitian pada umunya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh secara langsung dari masyarakat disebut data primer sedangkan yang diperoleh dari bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder. Lihat dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 12-13.
12
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Bab I, Pendahuluan. Bab ini menguraikan
latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori dan konsep, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II, membahas ”Sebab-sebab Berdirinya Perusahaan Joint Venture di Indonesia”, yang meliputi pembahasan joint venture dalam penanaman modal asing, pendirian perusahaan joint venture karena undang-undang, dan pendirian perusahaan karena pertimbangan politik, ekonomi dan sosial budaya. Bab III, membahas ”Perjanjian Joint Venture Sebagai Dasar Pendirian Perusahaan Joint Venture”, yang membahas tentang struktur perjanjian joint venture, pilihan hukum dalam perjanjian joint venture, dan penyelesaian sengketa perjanjian joint venture. Bab IV, membahas ”Penyelsaian Sengketa dalam Perusahaan Joint Venture”, yang meliputi pembahasan sengketa antara pemegang saham perusahaan joint venture, sengketa antara anggota direksi perusahaan
joint
venture, sengketa antara pemegang saham dengan anggota direksi perusahaan joint venture, dan sengketa antara investor asing dengan Pemerintah dalam joint venture. Bab V, Sebagai penutup, memuat kesimpulan atas jawaban pokok permasalahan dan saran.
13
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
BAB II SEBAB-SEBAB BERDIRINYA PERUSAHAAN JOINT VENTURE DALAM PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA
2.1. Joint Venture Dalam Penanaman Modal Asing Menurut Sunaryati Hartono bahwa sebenarnya istilah joint venture oleh para ahli yang berbahasa Inggris dipergunakan sebagai istilah verzamelnaam untuk berbagai bentuk kerjasama antara penanaman modal nasional dengan penanaman modal asing. Dengan pandangan ini, menurutnya apa yang dikemukakan oleh Ismail Sunny dengan istilah joint enterprise juga merupakan salah satu bentuk joint venture. 32 Menurut Peter Muchlinski istilah joint venture tidak mempunyai makna yang seragam, hanya saja istilah tersebut biasanya merujuk kepada adanya perjanjian atau kesepakatan antara dua perusahaan yang independen. Dalam persepktif yang khusus dalam tataran praktek, joint venture melibatkan dua atau lebih perusahaan induk untuk memperoleh keuntungan atau mencapai tujuan komersial, keuangan dan teknis oprasional secara bersama-sama. Kesepakatan ini biasanya dituangkan dalam bentuk perjanjian joint venture (joint venture agreement) yang mengatur mengenai pengendalian (control), proporsi modal antara perusahaan.33 Friedman membedakan dua macam joint venture, pertama hanya sebatas know how tanpa adanya penggabungan modal, sehingga kerjasama tersebut hanya dalam know how saja, yang sesungguhnya joint venture. Kedua, equity joint venture, penggabungan know how pada kerjasama berdasarkan penggabungan modal.34
32
Ismail Sunny, Tinjauan dan Pembahasan Undang-undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri (Jakarta: Pradnya Paramita, 1967), hal 108, Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah Tradisional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1970), hal. 127. Lihat juga Aminuddin Ilmar, op. cit., hal. 60-61. Dalam Dhaniswara, op. cit., hal. 156157. 33
Peter Muchlinski, Multinational Enterprises and the Law, (Oxford: Blackwell, 1997),
hal. 72. 34
Aminuddin Ilmar, op. cit., hal. 58-59.
14
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Menurut Aminuddin Ilmar, pengertian yang diberikan oleh Friedman tersebut dalam prakteknya tidak sesuai, dimana dalam penggunaannya istilah joint venture diartikan sebagai suatu kerjasama yang dilakukan secara bersama-sama dan merupakan suatu perusahaan baru yang didirikan secara bersama-sama oleh dua atau lebih pihak dengan menggabungkan potensi usaha termasuk know how dan modal, dalam perbandingan yang telah ditetapkan menurut perjanjian yang telah disepakati. Di dalam istilah yang sering digunakan secara akademik, istilah joint venture sering dinyatakan dengan istilah lain seperti foreign collaboration, Internasional Enterprise dan sebagainya.35 Aminuddin Ilmar menyimpulkan beberapa ciri dari suatu usaha kejasama (joint venture) dalam rangka penanaman modal asing, sebagai berikut: pertama, suatu perusahaan baru atau badan hukum baru yang didirikan baik oleh perorangan maupun badan hukum swasta asing dengan pihak modal nasional. Kedua, modal perusahaan joint venture dapat terdiri dari know how dan modal saham yang disediakan oleh para pihak, dengan kekuasaan baik manajemen maupun pengambilan keputusan sesuai dengan banyaknya saham yang ditanam. Ketiga, para pihak yang mendirikan perusahaan tersebut tetap memiliki eksistensi dan kemerdekaan masing-masing. Keempat, khusus untuk Indonesia seperti yang dikenal sekarang ini merupakan kerjasama antara modal asing dengan modal nasional.36 Sebagaimana telah diungkapkan diatas, dalam melihat joint venture, menjadi niscaya untuk membedakan antara joint venture agreement dengan peusahaan patungan (joint venture company). Joint venture agreement atau yang biasa disebut sebagai perjanjian kerjasama patungan, adalah kontrak yang mengawali kerjasama joint venture. Kontrak ini menjadi dasar bagi pembentukan atau pendirian joint venture company, yang merupakan perusahaan patungan dimana pemegang sahamnya adalah para pihak yang mengadakan perjanjian kerjasama usaha patungan. Adapun joint venture yang dimaksud oleh Undangundang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah equity joint venture.
35
Ibid.
36
Ibid., hal. 59.
15
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Hal ini dengan dasar bahwa ketika investor asing akan menanamkan modalnya di Indonesia wajib membentuk Perseroan Terbatas berdasarkan hukum Indonesia.37 PT itu sendiri dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas secara otentik didefinisikan sebagai badan hukum yang merupakan persekutuan modal, yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar, yang seluruhya terbagi dalam saham-saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.38 Menurut Erman Rajagukguk ada beberapa alasan penanaman modal asing harus dalam bentuk PT, antara lain, bahwa modal PT terdiri dari sahamsaham, dan pendirian PT bertujuan untuk akumulasi modal, kalau PT ingin menambah modal, maka ia mengeluarkan saham baru. Selanjutnya, bahwa hak suara dalam PT tergantung kepada besarnya saham yang dimiliki. Biasanya satu saham adalah satu suara, sehingga jika investor asing, umpamanya memiliki mayoritas dari saham, maka ia yang mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan dan ia pula yang memegang posisi-posisi kunci dalam perusahaan.39 Sentosa Sembiring berpendapat alasan penanaman modal asing harus dalam bentuk badan hukum Indonesia yaitu PT, antara lain, hal tersebut berkaitan dengan eksistensi PT sebagai subjek hukum yang mandiri dalam artian bahwa PT dapat menggugat dan digugat di pengadilan, dan jika dibandingkan dengan bentuk badan usaha lainnya, PT mempunyai kekayaan tersendiri yang terlepas dari
37
Lihat Ridwan Khirandy, Kompetensi Absolut Dalam Penyelesaian Sengketa di Perusahaan Joint Venture, Jurnal Hukum Vol. 26 No. 24, 2007, hal. 43. 38
Indonesia, Undang-undang Perseroan Terbatas, UU No 40 Tahun 2007, op. cit., ps.1. Menurut Adang Abdullah, ketentuan ini adalah salah satu bentuk pengaruh nyata ratifikasi WTO, yakni bahwa warga negara asing dapat menanamkan modalnya di Indonesia tanpa dibedakan dengan warga negara Indonesia dalam hal hak dan kewajibannya. Jika dengan UUPMA dan UUPMDN lama, dikenal adanya Perusahaan PMA, Perusahaan MDN ditambah Non PMA dan PMDN, maka sekarang hanya ada Perusahaan Nasional yang bermodalkan dalam negeri, seluruhnya asing, atau bermodalkan campuran joint venture. Ketiga jenis perusahaan tersebut diperlakukan sama dalam hak dan kewajibannya. Hanya bidang usaha yang membedakannya. Lihat Adang Abdullah, Tinjauan Hukum Atas Undang-undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007: Sebuah Catatan, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 26 No. 4 Tahun 2007, hal. 12. 39
Erman Rajagukguk, op. cit., hal. 62-63.
16
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
pemiliknya (pemegang saham).40 Dalam Perspektif yang berbeda, menurut Aminuddin Ilmar keharusan menggunakan badan hukum Indonesia (PT), agar dapat memberikan kepastian hukum dengan menerapkan ketentuan hukum Indonesia dan memudahkan yurisdiksi bilamana timbul atau terjadi sengketa dalam (pengelolaan perusahaan joint venture). Dengan menggunakan badan hukum (PT), ia dapat menjadi pengemban hak dan kewajiban (rechtpersoon) yang memiliki harta kekayaan tersendiri, baik dalam bentuk modal alat-alat maupun lainnya yang dapat dijadikan jaminan terhadap kelalaian dalam pemenuhan kewajiban.41 Ismail Sunny, begitu juga Gaw Giok Siong, berdasarkan pada Pasal 16 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB), bahwa pengaturan penanaman modal asing harus dalam bentuk badan hukum Indonesia (PT), berkaitan dengan doktrin status personil dalam hukum perdata internasional, yaitu bahwa orang asing yang berada di wilayah Indonesia berhak menuntut diberlakukan hukum nasionalnya mengenai segala tindakan perdata yang mereka lakukan. Dengan ditentukannya bahwa pihak asing harus memilih badan hukum indonesia, yaitu PT, setidaknya dapat dikurangi kemungkinan berlakunya hukum asing itu di Indonesia, sehingga atas perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama badan hukum tersebut sematamata berlaku hukum Indonesia.42 Lebih jauh dalam perspektif teoritis lainnya yang lebih mendasar, pilihan terhadap PT, dapat dilihat dengan beberapa paradigma yang berkaitan dengan PT, Yaitu: pertama, bahwa PT merupakan badan hukum (persona moralis, legal person, legal entity, rechtpersoon) sama halnya dengan manusia (natuurlijk persoon) yang independen ataupun mandiri dari pendiri, anggota atau penanam modal dalam badan hukum tersebut, badan hukum ini dapat melakukan kegiatan
40
Sentosa Sembiring, op. cit., hal. 201.
41
Aminuddin Ilmar, op. cit., hal. 127-128.
42
Salim HS, op. cit., hal. 170-172. Dalam sejarah perkembangan hukum perdata internasional di eropa barat, selalu berkisar diantara prinsip personil (personaliteitsprincipe) dan prinsip territorial (teritorialiteitsprincipe), atau pada zaman modern setelah revolusi Perancis, antara prinsip domisili dan prinsip kewarganegaraan. Untuk menentukan hukum yang berlaku bagi seseorang dalam kaitan dengan hukum perdata internasional, antara lain dengan kualifikasi menurut lex fori, lex causae. Lihat dalam Sunaryati Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, (Bandung: Binacipta, 1989), hal. 1, 69-86.
17
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
bisnis atas nama dirinya sendiri seperti manusia, yang bertindak melalui organnya sebagai alat bagi badan hukum tersebut untuk menjalin hubungan hukum dengan pihak ketiga.43 Selanjutnya, PT sebagai badan hukum mempunyai ciri subtantif yang melekat, yaitu (1) Terbatasnya tanggungjawab pemegang saham. (2) Pengalihan saham tidak menimbulkan masalah kelangsungan perseroan yang bersangkutan. (3) Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari pemegang saham. (4) Memiliki kewenangan kontraktual, serta dapat menuntut dan dituntut atas nama dirinya sendiri.44 Kedua, PT merupakan persekutuan modal, hal ini merupakan penegasan bahwa PT tidak mementingkan sifat kepribadian para pemegang saham yang ada di dalamnya. Namun dalam kenyataannya, tidak semua PT bertujuan untuk menghimpun dana semata (persekutuan atau asosiasi modal) dan mengabaikan sifat kepribadian atau hubungan pribadi
pemegang saham. PT dapat
diklasifikasikan menjadi dua macam PT, yakni PT Tertutup dan PT Terbuka atau PT Publik. Di dalam PT Tertutup hubungan pribadi para pemegang saham masih diutamakan. Mereka saling mengenal secara dekat dan tidak banyak jumlahnya. Pemegang saham PT semacam ini seringkali berasal dari anggota keluarga atau sahabat karib sendiri sehingga sering pula PT semacam ini disebut PT keluarga. Ini berlainan kondisinya dengan PT Terbuka atau PT Publik, yang diutamakan untuk menghimpun modal sebanyak mungkin dan mengabaikan hubungan pribadi para pemegang saham. Mereka dapat saja saling tidak mengenal satu dengan yang lain. Bagi PT yang melakukan penawaran umum di pasar modal, jumlah para pemegang saham ratusan orang baik orang pribadi maupun badan hukum, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.45 Ketiga, PT sebagai badan hukum didirikan berdasarkan perjanjian, ketentuan ini berimplikasi bahwa pendirian PT harus memenuhi ketentuanketentuan yang diatur dalam hukum perjanjian. Dengan kata lain dalam pendirian PT, selain tunduk kepada Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
43
Lihat Ridwan Khiarandy, op. cit., hal. 5.
44
Ibid., hal. 11-12.
45
Ibid., hal. 23-24.
18
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Terbatas, tunduk pula pada hukum perjanjian. Ada empat syarat sahnya perjanjian, yakni: (1) adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya, (2) kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, (3) harus suatu hal tertentu, dan (4) harus ada suatu sebab (causa) yang halal.46 Persyaratan yang pertama dan kedua berkenaan dengn subjek perjanjian. Sedangkan persyaratan yang ketiga dan keempat berkenaan dengan objek perjanjian. Pembedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan dengan masalah batal demi hukum (nieteg, null and void, void ab initito) dan dapat dibatalkannya suatu perjanjian (vernietigbaar, voidable). Perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian yang sejak semula sudah batal. Hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Perjanjian yang dapat dibatalkan adalah sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku.47 Keempat, PT melakukan kegiatan usaha, mengingat PT adalah persekutuan modal, maka tujuan PT adalah untuk mendapatkan keuntungan atau keuntungan untuk dirinya sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut PT harus melakukan usaha. Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, perusahaan didefinisikan sebagai bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba baik yang diselenggarakan oleh orang perseorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum.48 Dengan kata lain perusahaan mempunyai unsur-unsur: (1) bentuk usaha, baik dijalankan oleh perorangan maupun badan hukum, (2) melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus, dan (3) tujuannya adalah untuk mencari keuntungan. Dalam Undangundang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, PT diharuskan memiliki maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang dicantumkan dalam anggaran dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan.49
46
Subekti, KUHPerdata, ps. 1313 jo. Ps 1320.
47
Ridwan Khairandy, op. cit., hal. 26-27.
48
Indonesia, Undang-undang Dokumen Perusahaan, UU No. 8 Tahun 1997, LN. Tahun 1997, TLN. Tahun 1997. ps. 1 butir 2. 49
Ridwan Khairandy, op. cit., hal. 42-43. Lihat juga dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, ps. 18.
19
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Kelima, modal dasar PT seluruhnya terbagi dalam saham. Agar badan hukum dapat berinteraksi dalam pergaulan hukum seperti membuat perjanjian, melakukan kegiatan usaha tertentu diperlukan modal. Modal awal badan hukum PT berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan. Modal awal itu menjadi menjadi kekayaan badan hukum, terlepas dari kekayaan pendiri. Oleh karena itu, salah satu ciri utama PT adalah adanya kekayaan yang terpisah itu, yaitu terpisahnya kekayaan pribadi pendiri badan hukum itu.50 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa modal perseroan terdiri dari seluruh nilai nominal saham. Modal dasar (maatschappelijk kapitaal atau authorized capital atau nominal capital) merupakan keseluruhan nilai nominal saham yang ada dalam perseroan. Dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, modal dasar perseroan paling sedikit sejumlah Rp. 50.000.000,00 (limapuluh juta). Selanjutnya untuk bidang usaha tertentu berdasarkan udang-undang atau peraturan pelaksanaan usaha tertentu tersebut. Besarnya Jumlah modal dasar perseroan tidaklah menggambarkan kekuatan riil perseroan, tetapi hanya menentukan jumlah maksimum modal dan saham yang dapat diterbitkan perseroan. Jika perseroan akan menambah modal yang melebihi jumlah modal tersebut, perseroan harus mengubah Anggaran Dasar. Yang harus ditempuh melalui RUPS.51 Sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa Joint venture yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah equity joint venture dalam bentuk Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan joint venture agreement yang diatur sesuai dengan hukum perjanjian. Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah berkaitan dengan kedudukan para investor sebagai pemegang saham yang melakukan joint venture. Kedudukan para investor ini terlihat dalam perjanjian tersebut, ditentukan dengan jumlah modal ataupun saham yang mereka ambil.
50
Ibid., hal 43-44. Lihat juga Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, op. cit., ps. 31 jo. ps 32. 51
Ibid.
20
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Sehubungan dengan hal di atas, dapat dikemukakan karakteristik lainnya yang biasanya terdapat dalam Equity joint venture: Pertama, masing-masing pihak menjadi pemegang saham dari suatu perusahaan yang didirikan untuk suatu aktivitas ekonomi tertentu, sesuai dengan proporsi yang disepakati. Biasanya investor asing menjadi pemegang saham mayoritas. Kedudukan sebagai pemegang saham mayoritas dan minoritas, selain menentukan besarnya deviden yang diterima, juga mempengaruhi formasi yang ditempati dalam dewan komisaris dan direksi. Pemegang saham mayoritas tentu menduduki tempat posisi yang lebih banyak dan signifikan daripada pemegang saham minoritas. Kedua, bahwa pemegang saham mayoritas yang biasanya berbentuk perusahaan asing, biasanya dapat menjadi perusahaan induk (parent company, holding company, controlling company52) dari perusahaan joint venture yang didirikan tersebut. Yang terakhir ini disebut anak perusahaan (subsidiary). Ketiga, adanya alih teknologi, dengan adanya alih tehnologi tersebut, kedua belah pihak harus menjaga rahasia dagang atau trade secret dalam rangka alih tehnologi.53 Di negara-negara berkembang pengusaha lokal biasanya menjadi pemegang saham minoritas dalam perusahaan joint venture. Akibatnya sebagian besar posisi dalam dewan komisaris dan direksi diduduki oleh pemegang saham
52
Sehubungan dengan kemungkinan kedudukan perusahaan asing menjadi perusahaan induk karena sebagai pemegang saham mayoritas, dalam literatur hukum, holding company dapat bermakna “a company that usually confines its activities to owning stock in, and supervising management of other companies. A holding company usually own a controlling interest in the companies whose stocks it hold. Dapat juga diartikan, A term “holding company” is used most frequently to refer to a corporation created specifically to acquire and hold shares in other corporations for investment purposes, with or wthout control. However the term sometimes is used interchangeably with parent company when the corporation has sufficient equity interest in, or power or control over, another corporations to elect its directors and influnence its management. Dalam terjemahan secara bebas, yakni bahwa istilah Holding Company sering untuk sebuah perusahaan yang didirikan secara khusus untuk memperoleh atau mendapatkan saham-saham pada perusahaan-perusahaan lain dalam rangka investasi, baik dengan mempunyai kendali terhadap perusahaan-perusahaan lain tersebut maupun tidak. Istilah Holding Company sering digunakan secara bergantian dengan Parent Company ketika perusahaan tersebut mempunyai kepentingan ekuitas, kekuasaan atau kendali untuk memilih atau menentukan direksi, sehingga dapat mempengaruhi manajemen perusahaan-perusahaan lain tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perusahaan induk (parent company, holding company, controlling company) adalah suatu perusahaan yang memiliki saham dalam satu atau beberapa perusahaan lain yang mempunyai kewenangan untuk mengendalikan atau mengatur satu atau beberapa perusahaan lain tersebut. Lihat dalam Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St. Paul: West Publishing, 1991), hal. 504, juga dalam Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 84. 53
Erman Rajagukguk, Hukum Investasi, Pokok Bahasan, op. cit., hal. 118-120.
21
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
mayoritas yaitu investor asing. Misalnya di Indonesia, dalam hal komisaris terdiri dari tiga orang, pada umumnya presiden komisaris ditempati oleh investor asing, dan satu dari dua komisaris juga untuk investor asing. Sedangkan pihak lokal biasanya hanya mendapat satu kursi komisaris. Selanjutnya, dalam mekanisme pangambilan keputusan
rapat
dalam dewan
komisaris dimulai dengan
musyawarah, tetapi jika tidak terdapat kata sepakat, maka diambil dengan cara pemungutan suara terbanyak. Putusan dilahirkan dengan mayoritas sederhana (simple majority), artinya dua dari tiga komisaris harus menyetujui keputusan yang diambil. Dengan kata lain partner lokal akan selalu mengikuti keinginan investor asing.54 Selanjutnya dalam komposisi anggota direksi, investor asing sebagai pemegang saham mayoritas menduduki posisi-posisi kunci dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan partner lokal sebagai pemegang saham minoritas. Misalnya, dalam direksi yang terdiri dari lima posisi, posisi presiden direktur pada umumnya ditempati oleh investor asing, begitu juga direktur keuangan, direktur produksi dan direktur pemasaran. Sedangkan partner lokal hanya menempatkan direktur umum dan personalia.55 Berkaitan dengan kehendak pemegang saham mayoritas, biasanya investor asing atau pihak asing, dalam menetapkan cara pengelolaan perusahaan dan struktur manajemen perusahaan joint venture yang berkaitan dengan direksi, dirumuskan beberapa ketentuan yang dituangkan dalam Anggaran Dasar antara lain berkaitan dengan: pengaturan hak suara, struktur dan manajemen, independent director pada perusahaan publik (go public), tugas-tugas direktur, mekanisme pengangkatan dan pemberhentian direktur, penentuan quorum atau voting dalam pengambilan keputusan, tempat rapat direksi, tim manajemen, kemungkinan adanya
management agreement
yang terpisah, kekuasaan
manajemen, persetujuan tindakan yang dilakukan direksi, anggaran dan rencana
54
Ibid., hal. 156-157.
55
Ibid., hal. 157.
22
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
perusahaan, manajemen pelaporan dan informasi, adanya dead lock dalam memperoleh keputusan manajemen, serta fiduary duty56 direktur.57 Pada dasarnya dalam pengelolaan perusahaan joint venture yang didirikan dalam bentuk Perseroan Terbatas, benang merah hubungan investor nasional dengan investor asing baik sebagai pemegang saham minoritas maupun sebagai pemegang saham mayoritas, terletak pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang tunduk pada Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Karena pada dasarnya pemegang saham di dalam perseroan tidak memiliki kekuasaan apapun, mereka tidak boleh mencampuri pengelolaan
56
Fiduciary duty oleh Black's Law Dictionary diartikan sebagai a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interests of the other person (such as the duty that one partner owes to another). Lihat dalam Henry Campbell Black, op. cit., hal. 432. Dalam Pasal 97 UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT, disebutkan bahwa setiap anggota direksi wajib dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Biasanya fiduciary duty direksi dibagi menjadi dua komponen utama yaitu duty of care dan duty of loyalty. Duty of care pada dasarnya merupakan kewajiban direksi untuk tidak bertindak lalai, menerapkan ketelitian tingkat tinggi dalam mengumpulkan informasi yang digunakan untuk membuat keputusan bisnis, dan menjalankan manajemen bisnisnya dengan kepedulian dan kehati-hatian yang masuk akal. Duty of loyalty mencakup kewajiban direksi untuk tidak menempatkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan perusahaan dalam melakukan transaksi di mana transaksi tersebut dapat menguntungkan direksi dengan menggunakan biaya-biaya yang ditanggung oleh perusahaan atau corporate opportunity. 57
Erman Rajagukguk, op. cit.,hal. 119, 154-155. Ada dua elemen penting kedudukan perusahaan asing karena memegang saham mayoritas, yakni hak untuk mengendalikan perusahaan dan hak untuk menentukan besarnya dividen yang diterima. Hak untuk mengendalikan perusahaan biasanya dalam bentuk mempengaruhi formasi dewan komisaris dan direksi. Lebih khusus, dalam investor owned firms, hak untuk berpartisipasi dalam pengendalian perusahaan secara umum dapat mencakup hak voting dalam pemilihan direksi, hak voting untuk menyetujui transaksi yang penting, dan hak untuk menerima penghasilan residual perusahaan, atau keuntungan, sesuai dengan proporsi jumlah modal yang dimasukan investor ke perusahaan. Lihat dalam Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, op. cit, hal. 18-19. Berkaitan dengan hal di atas, dalam buku Indonesianisasi Saham, dijelaskan secara historis pada saat adanya kebijakan indonesianisasi saham sekitar tahun 1974 yang berkaitan dengan bertambahnya secara perlahan-lahan partisipasi nasional dalam pemilikan perusahaan-perusahaan penanaman modal asing, pembatasan dan larangan atas aktivitas perusahaan asing di sektor tertentu sebagai hasil dari perasaan nasionalisme di bidang perekonomian, yang dipandang sebagai “creeping” nasionalisasi: erosi pemilikan dan kontrol terhadap manajemen dari perusahaan penanaman modal asing. Pandangan ini dapat dianggap wajar, karena menjalankan kontrol atas perusahaan joint venture merupakan bagian yang penting bagi investor asing. Masalah tidak akan timbul, jika pihak asing memiliki mayoritas saham-saham dalam perusahaan tersebut. Namun ketika pihak asing menjadi pemegang saham minoritas, ia akan menempuh berbagai cara untuk melindungi kepentingan-kepentingannya, antara lain melalui pengaturan quorum RUPS, voting agreement, manajemen kontrak, maupun dengan pengalihan saham kepada berbagai pihak nasional yang berada di bawah kontrol pihak asing. Lihat dalam Erman Rajagukguk, Indonesianisasi Saham, op. cit., hal. 79-82.
23
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
perseroan. Pemegang saham itu baru memiliki kekuasaan tertentu terhadap perseroan jika mereka bertemu dalam satu forum yang disebut RUPS.58 Forum RUPS merupakan metode terbaik untuk mengambil keputusan. Tujuan diadakannya RUPS baik berdasar undang-undang maupun Anggaran dasar adalah untuk memungkinkan pemegang saham mengetahui dan mengevaluasi kegiatan dan manajemen perseroan pada waktu yang tepat tanpa campur tangan terhadap perseroan manakala perseroan melakukan kegiatan bisnis.59 RUPS itu sendiri dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, merupakan organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undangundang dan/atau anggaran dasar perusahaan.60 Walaupun tidak ada ketentuan yang tegas dalam undang-undang mengenai batas-batas dan ruang lingkup kewenangan yang dapat dilakukan oleh RUPS dalam suatu perseroan terbatas, tetapi dapat ditarik beberapa pedoman sebagai berikut: pertama, RUPS tidak dapat mengambil keputusan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku. Kedua, tidak boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan Anggaran Dasar perseroan. Namun demikian, anggaran dasar dapat diubah oleh RUPS asal memenuhi syarat untuk itu. Ketiga, RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang betentangan dengan kepentingan yang dilindungi oleh hukum yaitu kepentingan stakeholders, seperti pemegang saham minoritas, karyawan, kreditor, mesyarakat sekitar, dan sebagainya. Keempat, RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang merupakan kewenangan dari direksi dan dewan komisaris, sejauh kedua organ perusahaan tersebut tidak menyalahgunakan kewenangannya, sebagai konsekuensi logis prinsip kewenangan residual RUPS.61 Dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
58
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, op. cit., hal. 178.
59
Ibid., hal. 180.
60
Indonesia, Undang-undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, op. cit., ps.
1 angka 4. 61
Ridwan Khairandi, op. cit., hal. 180-181.
24
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
RUPS mempunyai kewenangan yang bersifat eksklusif yang berkaitan dengan: Pertama, penetapan perubahan anggaran dasar. Kedua, pembelian kembali saham oleh perseroan atau pengalihannya. Ketiga, penambahan modal perseroan. Keempat, pengurangan modal perseroan. Kelima, persetujuan rencana kerja tahunan. Keenam, pengesahan neraca dan laporan keuangan perseroan. Ketujuh, persetujuan laporan tahunan termasuk pengesahan laporan keuangan serta laporan pengawasan
dewan
komisaris.
Kedelapan,
penetapan
penggunaan
laba.
Kesembilan, pengangkatan dan pemberhentian direksi dan komisaris. Kesepuluh, penetapan mengenai penggabungan, peleburan dan pengambilalihan, dan kesebelas, penetapan pembubaran perseroan.62 Meskipun Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak mendefinisikan secara pasti mengenai pengertian Pemegang Saham Mayoritas dan Minoritas, namun secara implisit pada dasarnya definisi Pemegang Saham minoritas adalah satu pemegang saham atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10 bagian dari jumlah seluruh pemegang saham dengan hak suara yang sah dalam Perseroan atau suatu jumlah yang lebih kecil sebagaimana diterangkan dalam anggaran dasar Perseroan yang tidak dominan dalam rangka mengambil keputusan pada saat RUPS dilaksanakan.63 Berkaitan dengan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sekurangkurangnya mengatur adanya: (a) Hak Perseorangan (Personal Right), dalam UUPT disebutkan bahwa, setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan melalui Pengadilan Negeri di daerah hukumnya. Gugatan ini diajukan apabila yang bersangkutan merasa dirugikan karena tindakan perseroan yang tidak adil dan tanpa alasan yang wajar.64 (b) Hak Penilaian (Appraisal Right), adalah hak Pemegang Saham Minoritas untuk membela kepentingannya
62
Ibid.,lihat juga dalam Undang-undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, op. cit., ps. 19 (1) , ps. 38 (1), ps. 41 (1), ps 44, ps. 64 (2), ps. 68, ps. 69 (1), ps 71, ps. 94, ps. 105, ps. 111, ps. 105, ps. 123. 63
Lihat Indoneia, Undang-undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, op. cit.,
ps. 97 (6). 64
Ibid., ps. 61.
25
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
dalam rangka menilai harga saham.65 (c) Hak utama (Pre-Emptive Right), adalah hak untuk meminta didahulukan atau hak untuk memiliki lebih dulu atas saham yang ditawarkan.66 (d) Derivative Right, adalah kewenangan Pemegang Saham Minoritas untuk menggugat Direksi dan Komisaris yang mengatasnamakan Perseroan.67 (e) Hak Angket/Pemeriksaan (Enquete Recht), hak untuk melakukan pemeriksaan. Berdasar Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pemegang Saham Minoritas dapat mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap perseroan melalui pengadilan, mengadakan pemeriksaan jika terdapat dugaan adanya kecurangan-kecurangan atau hal-hal yang disembunyikan oleh Direksi, Komisaris atau Pemegang Saham Mayoritas.68 Serta (f) Hak atas keterbukaan informasi (disclosure) perusahaan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 yang berkaitan dengan disclosure tersebut adalah dengan pengumuman dalam Tambahan Berita Negara, untuk kegiatankegiatan antara lain: pendirian perseroan; pengurangan modal (perubahan anggaran dasarnya); perubahan anggaran dasar; penggabungan, peleburan atau pengambilalihan; dan hasil akhir likuidasi. Berkaitan
dengan
pertanggungjawaban
pemegang
saham,
maka
peraturan perundang-udangan maupun doktrin hukum yang mengatur tentang pertanggungjawaban terbatas pemegang saham diterapkan pemegang saham baik mayoritas maupun minoritas dalam perusahaan joint venture, yaitu bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas jumlah modal yang mereka investasikan, atau sebatas saham yang mereka miliki. Dalam perkembangannya, sifat terbatasnya tanggung jawab pemegang saham tersebut dikesampingkan dengan doktrin piercing corporate veil, sehingga pengadilan demi hukum dapat membebankan pertanggungjawaban yang tidak terbatas kepada pemegang saham
65
Ibid., ps. 62.
66
Ibid., ps. 58.
67
Ibid., ps. 97 (6).
68
Ibid., ps. 138 (3).
26
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
atas tindakan perusahaan jika tindakan tersebut disebabkan oleh pemegang saham.69 Walaupun kedudukan pemegang saham sangat menentukan pengelolaan ataupun cara pengurusan sebuah perusahaan joint venture, karena badan hukum perusahaan joint venture berbentuk Perseroan Terbatas, maka ketentuan umum pengurusan atau pengelolaan perusahaan joint venture pada dasarnya tunduk pada aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-undang Perseroan Terbatas. Jika RUPS adalah forum yang mempertemukan antara investor asing sebagai pemegang saham mayoritas dengan investor nasional sebagai pemegang saham minoritas, maka hasil dari forum tersebut dalam pengelolaan perusahaan diimplementasikan oleh dewan komisaris selaku pengawas dan direksi selaku pelaksana.70 Dalam perspektif ilmu manajemen, setidak-tidaknya ada empat model manajemen untuk perusahaan joint venture: (1) Model transplant, dimana perusahaan induk (parent company) mencangkokkan rumus-rumus bisnis mereka dan praktek-praktek manajemen mereka kepada perusahaan joint venture tersebut. (2) Model dominant parent, dimana gaya manajemen yang dominan berasal dari pemegang saham mayoritas dan bagian-bagian yang lebih rendah diberikan kepada pemagang saham minoritas. (3) Model independent role, dimana masingmasing pemegang saham mempunyai penyertaan yang sama dalam manajemen, dan sebagai akibatnya terdapat tanggungjawab yang terpisah untuk fungsi-fungsi manajemen tertentu. (4) Model shared management, dimana manajemen pada
69
Lihat dalam Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil),Kapita Selekta Hukum Perseroan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 1-10. Lihat Ridwan Kahirandi, op. cit., 259. Apabila dikaitkan dengan perusahaan asing sebagai perusahaan induk dalam perusahaan joint venture, berdasarkan Doktrin enterprise liability menyebutkan bahwa ketika dua perusahaan atau lebih melakukan bisnis sebagai kesatuan usaha, maka pihak penggugat dapat membuat gugatan di luar kekayaan yang dimiliki perusahaan. Doktrin lainnya yaitu: doktrin Fraud, yakni berkaitan dengan penipuan. Doktrin Alter Ego, apabila tidak ada pemisahan kekayaan perseroan dengan pemegang saham. Doktrin agency, apabila pemegang saham menggunakan perusahaan sebagai agensinya. Lihat Ridwan Khairandy, Ibid., hal. 269-271. 70
Sebagaimana ditentukan bahwa PT harus memiliki tiga organ, yaitu RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris, Lihat Indonesia, Undang-undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, op. cit., ps. 1 angka 2.
27
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
tingkat puncak merupakan tugas-tugas bersama dengan tanggungjawab bersama terhadap perusahaan induknya masing-masing.71 Menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.72 Direksi merupakan dewan direktur (board of directors) yang dapat terdiri atas satu atau beberapa orang direktur. Apabila direksi lebih dari satu orang direktur, maka salah satunya menjadi Direktur Utama atau Presiden Direktur dan yang lainnya menjadi direktur atau wakil direktur.73 Selanjutnya bahwa direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dan direksi berwenang menjalankan pengurusan tersebut sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undangundang dan/atau anggaran dasar.74 Dari ketentuan-ketentuan tersebut
dapat
disimpulkan bahwa direksi di dalam perseroan memiliki dua fungsi, yakni fungsi pengurusan (manajemen) dan fungsi perwakilan (representasi).75 Adapun komisaris menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberikan nasihat kepada direksi. Ketentuan ini dilanjutkan bahwa dewan komisaris
melakukan
pengawasan
atas
kebijakan
pengurusan,
jalannya
pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan,
71
Erman Rajagukguk, Hukum Investasi, Pokok Bahasan, op. cit., hal. 153.
72
Indonesia, Undang-undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, op. cit., ps.
1 butir 5. 73
Ibid., ps. 92 (3).
74
Ibid., ps. 92 (1) dan (2).
75
Ridwan Khairandy, op. cit., hal. 204.
28
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
dan memberi nasihat kepada direksi, yang dilakukan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.76 Dalam tataran praktis pendirian Perusahaan Joint Venture dalam bentuk Perseroan Terbatas, didahului dengn Perjanjian Joint Venture antara investor asing dengan investor nasional. Perjanjian joint venture akan dibahas pada bab III.
2.2. Pendirian Perusahaan Joint Venture Karena Undang-Undang Dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, penanaman modal asing yang akan dilakukan di Indonesia dapat dilakukan dengan menggunakan modal asing seluruhnya maupun berpatungan dengan penanam modal dalam negeri atau joint venture. Adapun cara yang dilakukan dalam hal penanaman modal asing dalam bentuk patungan dapat berupa mengambil bagian saham dalam pendirian perseroan terbatas, membeli saham, atau cara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.77 Ketentuan ini selanjutnya menjadi dasar bagi pendirian perusahaan joint venture dalam penanaman modal asing di Indonesia. Pada waktu yang lalu, dalam perspektif historis, pengaturan penanaman modal asing terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing terdahulu, hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investement), artinya pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari investasi tersebut dan pemilik modal secara langsung menjalankan perusahaan yang bersangkutan di indonesia.78 Selanjutnya dalam pengaturan penanaman modal asing yang terdapat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing di atas, diarahkan adanya kerjasama modal asing dengan modal nasional dalam bidangbidang usaha yang terbuka bagi modal asing, yang bersifat tidak wajib, karena ketentuan yang ada hanya menyebut kata “dapat”. Dengan kata lain tidak ada
76
Indonesia, op. cit., ps. 1 butir 6 Jo. ps. 108 (1) dan (2).
77
Indonesia, Undang-undang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2007, op. cit., ps. 1
jo. ps 5. 78
Lihat Erman Rajagukguk, Hukum Investasi, Pokok Bahasan, op. cit., hal. 61.
29
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
kebijakan pengaturan yang mengikat yang mengharuskan penanaman modal asing harus dilakukan dalam bentuk kerjasama dengan penanam modal nasional. Bahkan lebih jauh undang-undang hanya mengharuskan perusahaan yang seluruh sahamnya adalah modal asing untuk memberikan partisipasi bagi modal nasional secara effektif setelah jangka waktu tertentu. Jikalau partisipasi dilakukan dengan penjualan saham-saham yang telah ada, maka hasil penjualan tersebut dapat ditransfer dalam valuta asing dari modal asing yang bersangkutan.79 Pengaturan pemerintah dalam menetapkan bentuk usaha kerjasama (joint venture) antara penanam modal asing dengan modal nasional dalam penjabarannya dilaksanakan pertama kali melalui Instruksi Presidium Kabinet Nomor 36/U/IN/6/1967, yang menetapkan bahwa bentuk usaha kerjasama joint enterprise (perusahaan campuran) juga merupakan salah satu bentuk usaha joint venture.80 Selanjutnya, pengaturan peningkatan upaya kerjasama penanaman modal antara investor asing dengan investor nasional dilakukan berdasarkan kebijakan Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional yang bersidang pada tanggal 22 Januari 1974 yang merumuskan kebijaksanaan kerjasama penanaman modal asing dengan modal nasional tersebut. Adapun kebijakan tersebut menyangkut 2 (dua) hal, yaitu: pertama, meningkatkan peranan perimbangan partisipasi dalam pengelolaan modal antara modal asing dengan modal nasional. Kedua, menyusun daftar skala prioritas penanaman modal. Lebih lanjut peraturan tersebut dijabarkan secara terperinci, dimana usaha-usaha peningkatan peranan dan partisipasi kerjasama dengan pihak asing dalam hal penanaman modal, khususnya usaha kerjasama dengan pihak asing dalam hal penanaman modal asing di Indonesia ditetapkan beberapa syarat sebagai berikut: (1) Penanaman modal asing harus dalam bentuk joint venture. (2) Penyertaan modal nasional baik dalam investasi lama maupu baru harus menjadi 51% di dalam jangka waktu 10 tahun. (3) Partner asing harus memenuhi ketentuan pengalihan tenaga kerja kepada karyawan-karyawan
79
Ibid., hal. 76- 77.
80
Aminuddin Ilmar, op.cit., hal 48.
30
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Indonesia. (4) Partisipasi pengusaha pribumi Indonesia baik dalam penanaman modal asing maupun dalam negeri harus bertambah besar.81 Kebijakan di atas mengubah secara diam-diam sebagian ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang lalu. Banyak pihak berpendapat bahwa perubahan tersebut seharusnya dilakukan dalam bentuk amandemen terhadap undang-undang tersebut, sehingga peraturan yang lebih rendah tingkatannya tidak bertentangan dengan suatu undang-undang sehubungan dengan kebijakan baru tersebut.82 Dengan kebijakan baru tersebut, penanaman modal asing di Indonesia yang akan melaksanakan usahanya diharuskan untuk melakukan usaha kerjasama (joint venture) dengan modal nasional meskipun kebijakan pengaturan tersebut sedikit bertentangan dengan semangat yang ada dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang pada prinsipnya memperkenankan adanya penanaman modal asing secara langsung atau penuh (100%) meskipun bukan dalam bentuk usaha kerjasama (joint venture) dengan modal nasional.83 Selanjutnya kebijakan deregulasi atau reregulasi yang berkaitan dengan keharusan kerjasama usaha penanaman modal antara modal asing dengan modal nasional dikedepankan oleh pemerintah. Pada tanggal 11 oktober 1974, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengeluarkan Surat Edaran No. B1195/A/BKPM/X1974 tentang perincian kebijakan tersebut, yang antara lain mengatur jangka waktu kenaikan saham nasional menjadi 51 % dalam waktu 10 tahun yang ditentukan berdasarkan waktu pelaksanaan proyek dan dikeluarkannya persetujuan sementara proyek oleh Pemerintah. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1981 BKPM mengeluarkan pedoman intern tentang peningkatan saham nasional yang dihubungkan dengan pengembangan pasar modal dan koperasi. Dalam pedoman tersebut diatur pengertian penyertaan nasional yang menyangkut penyertaan modal saham dalam perusahaan modal asing yang berasal dari perorangan nasional, perusahaan nasional, koperasi, Lembaga Keuangan non
81
Lihat Erman Rajagukguk, op. cit., hal 77, dan Aminuddin Ilmar, ibid., hal. 48-49
82
Ibid., hal. 78
83
Lihat Aminuddin Ilmar, op. cit., hal 49-52
31
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Bank, Bapindo, dan perorangan atau perusahaan nasional melalui pasar modal (go public).84 Pada tahun 1987 Pemerintah mengeluarkan Keputusan Ketua BKPM No. 5/SK/1987 tertanggal 23 Desember 1987 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional dalam Perusahaan Modal Asing, yang antara lain mengatur keharusan perusahaan PMA dalam bentuk joint venture dengan penyertaan modal nasional sekurang-kurangnya 20% dari nilai saham perusahaan pada waktu pendirian perusahaan, dan harus meningkat menjadi sekurang-kurangnya 51 % dalam waktu lima belas tahun sejak dimulainya produksi komersial. Selanjutnya perusahaan PMA yang berlokasi di kawasan berikat dan mengekspor 100% hasil produksinya dapat didirikan dengan penyertaan modal nasional 5% atau lebih tanpa keharusan peningkatan saham nasional.85 Kebijakan di atas kemudian dirubah pada tahun 1989 dengan Keputusan Ketua BKPM No. 08/SK/1989 tertanggal 5 Mei 1989, bahwa perusahaan PMA yang menjual sahamnya minimal 20% melalui pasar modal sebagai saham atas nama sehingga minimal 45% sahamnya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional diberi perlakuan yang sama seperti perusahaan PMDN sehingga tidak diwajibkan meningkatkan saham nasionalnya menjadi sekurang-kurangnya 51%. Dengan pembentukan kawasan berikat di Pulau Batam, pada tahun 1989, berdasarkan keputusan Ketua BKPM ditetapkan bahwa perusahaan PMA dapat didirikan dengan penyertaan saham seluruhnya 100% dimilki oleh asing, dengan syarat berlokasi di Pulau Batam, 100% hasil produksinya diekspor, dalam dalam waktu lima tahun sesudah produksi komersil paling sedikit 5% sahamnya dijual kepada mitra usaha Indonesia, tanpa harus peningkatan saham nasional.86 Hukum di beberapa negara tidak membolehkan kehadiran suatu perusahaan asing yang dikuasai seluruh kepemilikannya atau melalui bentuk penanaman modal langsung lainnya. Dalam hal ini salah satu cara untuk dapat melakukan usahanya adalah melalui pembentukan usaha patungan (joint venture)
84
Lihat Erman Rajagukguk, op. cit., hal. 78-84
85
Ibid. hal. 85-89.
86
Ibid.
32
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
dengan perusahaan lokal. Cukup banyak negara-negara berkembang yang mengenakan syarat-syarat pembatasan ini agar dapat mengontrol kegiatan perusahaan-perusahaan asing dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan usaha di wilyahnya. Kontrol tersebut antara lain pengenaan syarat pemilikan saham dalam jumlah tertentu dari perusahaan tersebut. Cara ini juga dipandang sebagai salah satu cara untuk mengalihkan teknologi.87 Sornarajah mengemukakan gambaran realitas tentang kontrol dan dampak positif dari pengenaan syarat berbentuk Joint Venture oleh negara berkembang dengan pendapat: “in the developing world, joint ventures are seen as the best instrument for meeting the company intersests of national control over foreign investment and the preventing of the dominations of the economy of the host country by foreign investment. It enables the businessman in the developing state to participate more actively in the control of business activity and influence decisions that accord more closely with cultural patterns and political goals of the host state. 88 Perkembangan kebijakan pengaturan penanaman modal di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan pengaturan joint venture antara investor asing dengan investor nasional hingga saat ini dapat dilihat dengan mengacu kepada Undang-undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 dan beberapa peraturan pelaksanaannya, antara lain: Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, dan Peraturan Kepala BKPM No. 1/P/2008 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing.
87
Sornarajah dalam Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 123. 88
Ibid., hal. 124.
33
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Sebagaimana telah diungkapkan bahwa penanaman modal asing berkaitan erat dengan bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal asing yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal asing tersebut serta batasan maksimal kepemilikan modal asing berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Negatif Iinvestasi, sebagai berikut: Pada sektor pertanian89, batasan kepemilikan modal asing, sebagai berikut: Pertama, sampai dengan 49% di bidang usaha: (a) pemanfaatan sumber daya genetik pertanian, (b) pemanfaatan produk GMO (rekayasa genetika), (c) budidaya tanaman pangan pokok (jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, padi, ubi kayu, ubi jalar), dengan luas lebih dari 25 ha, (d) usaha perbenihan/pembibitan tanaman pangan pokok (jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, padi, ubi kayu, ubi jalar). Kedua, sampai dengan 95% di bidang usaha: (a) usaha perbenihan/pembibitan tanaman pangan lainnya, budidaya tanaman pangan lainnya dengan luas lebih dari 25 Ha, (b) usaha perkebunan dengan luas 25 Ha atau lebih, sampai luasan tertentu90 tanpa unit pengolahan: (c) perkebunan jarak pagar perkebunan tanaman pemanis lainnya dan tebu, (d) usaha industri perbenihan perkebunan dengan luas 25 Ha atau lebih: perkebunan jarak pagar, perkebunan tebu dan tanaman pemanis lainnya, perkebunan tembakau, perkebunan tanaman bahan baku tekstil, perkebunan kapas, perkebunan tanaman lainnya yang tidak diklasifikasikan di tempat lain, perkebunan jambu mete (e) usaha industri pengolahan hasil perkebunan (dengan kapasitas sama atau melebihi kapasitas tertentu91, (f) usaha perkebunan dengan luas 25 Ha atau lebih yang terintegrasi dengan unit pengolahan dengan kapasitas sama atau melebihi kapasitas tertentu92.
89
Sebagain dari bidang usaha ini harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri Pertanian cq. Direktur Jenderal Perkebunan. 90
Peraturan Pelaksanaan terdapat dalam Peraturan Mentri Pertanian Nomor 26 Tahun
2007. 91
Ibid.
92
Ibid.
34
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Pada sektor kehutanan, batasan kepemilikan modal asing, sebagai berikut: Pertama, sampai dengan 49% di bidang usaha: (a) pengusahaan perburuan di taman buru dan blok buru, (b) penangkaran satwa liar dan tumbuhan, (c) penangkaran/budidaya koral. Kedua, sampai dengan 51% di bidang usaha: pengusahaan pariwisata alam berupa pengusahaan sarana, kegiatan dan jasa ekowisata di dalam kawasan hutan: wisata tirta, wisata petualangan alam, wisata gua, wisata minat usaha lainnya. Pada sektor energi dan sumber daya mineral, batasan kepemilikan modal asing, sebagai berikut: Pertama, sampai dengan 90% di bidang usaha: jasa pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas panas bumi. Kedua, sampai dengan 95% di bidang usaha: (a) jasa pengeboran panas bumi, (b) pembangkit listrik tenaga panas bumi, (c) jasa pengeboran minyak dan gas bumi di lepas pantai di luar kawasan indonesia bagian timur, (d) jasa pengeboran minyak dan gas bumi di darat, (e) jasa pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas migas (operating dan maintenance service), (f) jasa pemeliharaan dan pengoperasian instalasi tenaga listrik, (g) pembangkitan tenaga listrik (>10MW), (h) pembangkitan listrik tenaga nuklir, (i) transmisi tenaga listrik, (j) distribusi tenaga listrik, (k) jasa pembangunan dan pemasangan instalasi tenaga listrik, (l) jasa engineering procurement construction (EPC), (m) jasa konsultansi ketenagalistrikan, (n) pengembangan teknologi peralatan penyediaan tenaga listrik. Pada sektor perindustrian, batasan kepemilikan modal asing, sebagai berikut: Pertama, sampai dengan 49% di bidang usaha: pemeliharaan dan reparasi mobil. Kedua, sampai dengan 95% di bidang usaha: industri gula pasir (gula kristal putih, gula kristal rafinasi dan gula kristal mentah).93 Pada sektor pertahanan, batasan kepemilikan modal asing sampai dengan 49% di bidang usaha: (a) industri bahan baku untuk bahan peledak (amonium nitrat), (b) industri bahan peledak dan komponennya untuk keperluan industri.94
93
Dengan ketentuan: (1) Pendirian pabrik gula pasir baru maupun perluasan wajib membangun terlebih dahulu perkebunan tebu milik sendiri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Pembangunan pabrik gula baru dengan kapasitas di atas 8.000 ton cane per day diharuskan memproduksi gula Kristal mentah. 94
Harus memperoleh rekomendasi dari Menteri Pertahanan.
35
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Pada sektor pekerjaan umum, batasan kepemilikan modal asing, sebagai berikut: Pertama, sampai dengan 95% di bidang usaha: pengusahaan air minum dan pengusahaan jalan tol. Kedua, sampai dengan 67% di bidang usaha: jasa kontruksi (jasa pelaksana kontruksi) yang menggunakan teknologi tinggi dan/atau risiko tinggi dan/atau nilai pekerjaan lebih dari Rp. 1.000.000.000. Ketiga, sampai dengan 55% di bidang usaha: jasa bisnis/jasa konsultansi konstruksi, jasa arsitektur pertamanan. Pada sektor perdagangan, batasan kepemilikan modal asing sampai dengan 95% di bidang usaha: Penjualan langsung melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan mitra usaha (direct selling). Pada sektor kebudayaan dan pariwisata95, batasan kepemilikan modal asing, sebagai berikut: Pertama, sampai dengan 67% di bidang usaha: galeri seni, gedung pertunjukan seni. Kedua, sampai dengan 49% di bidang usaha: jasa teknik film: studio pengambilan gambar film, laboratorium pengolahan film, sarana pengisian suara film,
sarana pencetakan dan/atau penggandaan film, jasa
akomodasi lainnya (motel dan lodging service)96, restoran/rumah makan non talam97 biro perjalanan wisata98, usaha jasa impresariat99, usaha rekreasi dan hiburan100. Ketiga, sampai dengan 51% di bidang usaha: hotel bintang dua, hotel bintang satu, hotel melati, restoran/rumah makan talam: talam kencana, talam selaka, talam gangsa, jasa boga/catering, jasa konvensi, pameran dan perjalanan insentif, pengusahaan obyek wisata budaya: museum swasta dan peninggalan sejarah yang dikelola swasta, SPA (Sante Par Aqua), pengusahaan obyek wisata
95
Tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah.
96
Kepemilikan modal asing sampai dengan 51% apabila bermitra dengan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK). Kepemilikan modal asing sampai dengan 51% untuk Negara anggota ASEAN khusus untuk wilayah Indonesia bagian timur (Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua). 97
Kepemilikan modal asing sampai dengan 51% apabila bermitra dengan UMKMK.
98
Ibid.
99
Ibid.
100
Ibid, 100% untuk Negara anggota ASEAN apabila usaha dilakukan di lokasi Indonesia bagian timur, yakni Kalimanatan, Sulawesi, NTT, Jambi dan 51% non Indonesia timur.
36
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
alam di luar kawasan konservasi. keempat, sampai dengan 67 % di bidang usaha ketangkasan. Pada sektor perhubungan, batasan kepemilikan modal asing sampai dengan 49% di bidang usaha: (a) angkutan barang peti kemas (b) angkutan barang umum (c) angkutan barang berbahaya, (c) angkutan barang khusus, (d) angkutan barang alat berat. (e) angkutan laut: dalam negeri dan luar negeri101 (f) angkutan penyeberangan: angkutan penyeberangan umum antar propinsi, antar dan dalam kabupaten/kota angkutan penyeberangan perintis antar propinsi, antar dan dalam kabupaten/kota, (g) angkutan sungai dan danau kapal (h) penyediaan fasilitas pelabuhan (dermaga, gedung, penundaan kapal terminal peti kemas, terminal curah cair, terminal curah kering dan terminal ro-ro), (h) penyediaan fasilitas pelabuhan berupa penampungan limbah (reception facilities), (i) jasa salvage dan/atau pekerjaan bawah air (PBA), (j) usaha penunjang pada terminal, (k) jasa kebandarudaraan, (l) jasa penunjang angkutan udara (sistem reservasi melalui komputer, pelayanan di darat untuk penumpang dan argo/ground handling, dan penyewaan pesawat udara/aircraft leasing), (m) angkutan udara bukan niaga (n) pelayanan jasa terkait bandar udara, (o) bongkar muat barang (maritime cargo handling services)102 (p) jasa pengurusan transportasi, (q) jasa ekspedisi muatan pesawat udara, (r) agen penjualan umum (GSA) perusahan angkutan udara asing, (s) angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri dan luar negeri.103 Pada sektor komunikasi dan informatika, batasan kepemilikan modal asing, sebagai berikut: Pertama, sampai dengan 49% di bidang usaha: (a) penyelenggaraan jaringan telekomunikasi: penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis kabel, dengan teknologi circuit switched atau packet switched, berbasis radio, dengan teknologi circuit switched atau packet switched, (b) jasa internet teleponi untuk keperluan public dan jasa multimedia, (c) penyelenggaraan pos. Kedua, sampai dengan 65% di bidang usaha: (a) penyelenggaraan jaringan tetap
101
Kepemilikan modal asing sampai dengan 60% untuk Negara anggota ASEAN.
102
Ibid.
103
Pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemilik modal asing (single majority).
37
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
tertutup: penyelenggaraan jaringan bergerak seluler dan satelit (b) jasa interkoneksi internet (nap). ketiga, sampai dengan 95% di bidang usaha: (a) jasa sistem komunikasi data (b) pembentukan lembaga pengujian perangkat telekomunikasi (tes laboratorium). Pada sektor usaha keuangan, batasan kepemilikan modal asing, sebagai berikut: Pertama, sampai dengan 85% di bidang usaha: sewa guna usaha (leasing) dan pembiayaan non leasing. Kedua, sampai dengan 80% di bidang usaha: modal ventura, perusahaan asuransi kerugian, perusahaan asuransi jiwa, perusahaan reasuransi, perusahaan penilai kerugian asuransi, perusahaan agen asuransi, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, perusahaan konsultan aktuaria. Pada sektor tenaga kerja dan trasmigrasi, batasan kepemilikan modal asing sampai dengan 49% di bidang usaha: jasa penempatan tenaga kerja indonesia di dalam negeri, penyediaan jasa pekerja/buruh, pelatihan kerja. Pada sektor pendidikan, batasan kepemilikan modal asing sampai dengan 49% di bidang usaha: pendidikan nonformal, jasa pendidikan komputer swasta, jasa pendidikan bahasa swasta, jasa pendidikan kecantikan dan kepribadian swasta, jasa pendidikan ketrampilan swasta lainnya. Pada sektor kesehatan, batasan kepemilikan modal asing, sebagai berikut: Pertama, sampai dengan 75% di bidang usaha: industri farmasi bahan baku obat, dan industri obat jadi. Kedua, sampai dengan 67% di bidang usaha: jasa konsultansi bisnis dan manajemen (jasa manajemen rumah sakit), jasa pelayanan penunjang kesehatan kesehatan
dan
evakuasi
(jasa asistensi dalam evakuasi pertolongan
pasien
dalam
keadaan
darurat),
hospital
services/pelayanan rumah sakit spesialistik/subspesialistik (200 tempat tidur), jasa rumah sakit lainnya (klinik rehabilitasi mental), klinik kedokteran spesialis (clinic specialised medical services), klinik kedokteran gigi (clinic specialised dental services), jasa pelayanan penunjang kesehatan: laboratorium klinik, clinic medical check up. Ketiga, sampai dengan 49% di bidang usaha: jasa pengetesan pengujian kalibrasi, pemeliharaan dan perbaikan peralatan kesehatan, jasa pelayanan
38
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
akupunktur, jasa pelayanan penunjang kesehatan (penyewaan peralatan medik), dan jasa keperawatan104. Pada sektor keamanan, batasan kepemilikan modal asing sampai dengan 49% di bidang usaha: jasa konsultasi keamanan, jasa penyediaan tenaga keamanan, jasa kawal angkut uang dan barang berharga, jasa penerapan peralatan keamanan, jasa pendidikan dan latihan keamanan, jasa penyediaan satwa pengaman.105
2.3. Pendirian Perusahaan Joint Venture Karena Pertimbangan Politik, Ekonomi, dan Sosial. Selanjutnya dalam tataran praktis, disamping karena peraturan perundang-undangan mengharuskan joint venture dalam bidang usaha tertentu sebagaimana yang ditetapkan dalam Daftar Negatif Investasi, pada bidang usaha yang tidak diwajibkan adanya joint venture para pengusaha asing juga memilih joint venture dalam penanaman modal asing di suatu negara karena alasan-alasan politik, ekonomi, dan sosial.106 Dalam persepktif politis, partisipasi nasional dalam perusahaan penanaman modal asing, sebagaimana terlihat dalam perkembangan kebijakan pengaturan di atas, telah menjadi kecenderungan yang umum baik di negaranegara yang sedang berkembang maupun di negara-negara maju. Hal tersebut dianggap sebagai pencerminan nasionalisme di bidang ekonomi dan keinginan untuk menghindarkan ketergantungan pada dan kontrol asing terhadap perekonomian nasional mereka. Negara-negara penerima modal, dalam skala yang lebih luas bukan hanya Indonesia, telah melakukan penekanan terhadap joint
104
Kepemilikan modal asing sampai dengan 51% untuk Negara anggota ASEAN apabila usaha dilaksanakan di Medan dan Surabaya. 105
Harus mendapatkan izin operasional dari Mabes Polri.
106
Erman Rajagukguk, op. cit., hal. 117-118
39
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
venture internasional agar mayoritas penyertaan berada pada pihak nasional melalui berbagai sistem.107 Erman Rajagukguk mengemukakan beberapa alasan mengapa para pihak, terutama pihak asing, mendirikan perusahaan joint venture dalam melakukan investasi. Antara lain, pertama, pihak asing memilih joint venture dengan pengusaha lokal, karena pengusaha lokal telah berpengalaman dan menguasai pasar dalam negeri. Sebagai contoh investor asing bekerja sama dengan pengusaha tekstil lokal, karena pengusaha lokal tersebut telah mempunyai jaringan distribusi atau penjualan dan menguasai pasar lokal. Dengan demikian mereka tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk membangun jaringan pemasaran.108 Kedua, bahwa pengusaha lokal telah memiliki sumber bahan baku, misalnya, investor di bidang plywood mengajak pengusaha lokal yang mempunyai Hak Penguasaan Hutan (HPH), sehingga pasokan kayu untuk bahan baku plywood telah tersedia. Pengusaha asing juga mengajak pengusaha lokal untuk mendirikan joint venture, antara lain untuk menekan perasaan nasionalisme masyarakat lokal. Dengan memberikan kesempatan pengusaha lokal menjadi pemegang saham 10% misalnya, masyarakat lokal secara politis menganggap bahwa partisipasi nasional sudah ada, sehingga ekonomi tidak seluruhnya dikuasai asing.109 Ketiga, untuk memudahkan hubungan dengan pemerintah dan masyarakat lokal, karena partner lokal lebih mengenal sosial budaya masyarakat
107
Ibid., hal. 83. Lihat juga alasan pihak asing melakukan joint venture di Negara berkembang dalam Erman Rajagukguk, Indonesianisasi Saham, op. cit., hal. 66-68. Dengan alasan politik nasionalisme, pada Tahun 1972 Malaysia mewajibkan penyertaan modal nasional dalam perusahaan joint venture sebesar 70%, begitu juga halnya dengan di Philipina. Di Amerika Selatan, undang-undang menentukan bahwa setelah 10 tahun, Pemerintah harus membeli sedikitnya 2/3 saham perusahaan asing. Negara-negara maju juga acapkali menggunakan alasan politis untuk melindungi perusahaan dalam negerinya dari produk impor asing. Salah satu contoh kongkrit adalah kerjasama patungan antara perusahaan otomotif raksasa Jepang Honda dan British Leyland pada tahun 1981. Pada akhir tahun 1970-an terhadap kekhawatiran yang cukup luas di Inggris dan dataran Eropa mengenai ancaman produk otomotif Jepang. Cara Jepang dengan menggandeng British Leyland ditempuh Jepang dengan tujuan untuk meningkatkan keikutsertaannya di pasar Inggris dan daratan Eropa. Lihat dalam Hualla Adolf, op. cit., hal. 124. 108
Ibid.
109
Ibid.
40
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
setempat. Begitu juga akan lebih mudah berhubungan dengan pemerintah setempat bila yang datang adalah pengusaha nasional.110 Ketiga alasan di atas dapat dikatakan sebagai upaya menciptakan sinergi, atau dengan kata lain bahwa pendirian perusahaan joint venture dilakukan dengan alasan kebutuhan terhadap sinergitas potensi lokal dengan asing. Joint venture memungkinkan dua perusahaan menggabungkan keahlian masing-masing dalam membangun atau mengembangkan suatu sektor usaha tertentu. Sebagaimana dikemukakan di atas, dalam hal patungan dengan perusahaan lokal biasanya perusahaan joint venture memiliki pengetahuan pemasaran di dalam negerinya serta memahami budaya konsumennya. Di samping itu biasanya mitra lokal memliki sistem distribusi produknya sendiri sehingga mitra asing memperoleh keahlian yang sangat bermanfaat.111 Dengan perspektif yang sama seperti di atas, Raymakers mengemukakan enam manfaat joint venture, yakni: pertama, pembatasan resiko, dengan mendirikan perusahaan joint venture, resiko dapat tersebar kepada pihak lain, tidak hanya pada satu pihak.
112
Kadangkala suatu perusahaan merencanakan
untuk melakukan suatu proyek atau melakukan penelitian dan pengembangan suatu produk baru. Namun karena dalam proyek tersebut menyangkut investasi yang cukup besar, perusahaan tersebut menjadi enggan untuk melakukannya sendiri. Resiko yang ditanggungnya terlalu berat untuk ditanggung sendiri. Dalam keadaan demikian, tersedianya suatu rekanan untuk membagi investasi dan resiko dapat memungkinkan suatu proyek berjalan. Faktor utama dalam melakukan proyek-proyek dengan investasi besar adalah biaya awal yang cukup besar, khususnya dalam proyek-proyek pengembangan sumber daya alam. Dana besar dan proyek besar bukan saja rentan terhadap terhadap resiko kerugian, tetapi juga juga resiko gugatan dari pihak ketiga.113 Kedua, aspek pembiayaan, usaha
110
Ibid.
111
Hualla Adolf, op. cit., hal. 124-125.
112
Salim HS dan Budi Sutrisno, op.cit., 207. Lihat juga beberapa alas an atau manfaat dilakukannya joint venture dalam Sumantoro, Bunga Rampai Permasalahan Penanaman Modal dan Pasar Modal, (Bandung: Binacipta, 1984) hal.96. 113
Lihat Huala Adolf, op. cit., hal. 124.
41
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
mendayagunakan modal dapat dilakukan dengan sederhana dengan menyatukan modal yang dibutuhkan dalam satu perusahaan. Ketiga, menghemat tenaga, jika dilihat dari kekuatan tenaga kerja yang dibutuhkan, penanganan yang disatukan dalam satu perusahaan joint venture akan mengurangi personalia yang dibutuhkan dibandingkan dengan kegiatan yang dilakukan sendiri oleh setiap perusahaan. Keempat, rentabilitas, dengan mendirikan perusahaan joint venture, rentabilitas (hal menguntungkan dan merugikan) dari investasi-investasi yang ada dari para pihak dapat diperbaiki. Kelima, kemungkinan optimasi know how, dengan mendirikan perusahaan joint venture, diharapkan dapat menyatukan potensipotensi dari para pihak (partner) yang berlatar belakang bidang usaha yang berbeda-beda baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kerjasama perusahaanperusahaan yang berbeda tersebut diharapkan dapat memunculkan diversifikasi usaha.
Keenam,
ketergantungan).
kemungkinan
pembatasan
kongkurensi
(saling
114
Alasan pendirian perusahaan joint venture tidak dapat dilepaskan dengan alasan penanaman modal asing secara umum di Indonesia, bahkan dapat dikatakan bahwa pendirian perusahaan joint venture terlebih dahulu dilandasi alasan penanaman modal asing, antara lain: Pertama, upah buruh murah. Untuk menekan biaya produksi, perusahaan
negara-negara
maju
melakukan
investasi
di
negara-negara
berkembang dengan tujuan untuk mendapatkan upah buruh yang murah. Kebanyakan Negara berkembang memiliki tenaga kerja yang melimpah, dengan tingkat upah yang jauh lebih murah dibandingkan upah buruh untuk pekerjaan yang sama di Negara-negara maju. Dengan menanamkan modal di Negara berkembang yang memiliki tenaga kerja yang melimpah, para investor dapat mengembangkan modalnya atau usahanya dengan ongkos atau biaya yang murah.115Dalam kaitannya mencari upah buruh yang murah, paling tidak ada lima pertimbangan lain yang digunakan para investor sebelum menanamkan modalnya,
114
Salim HS dan Budi Sutrisno, op.cit. hal. 208.
115
Erman Rajagukguk, Hukum Investasi di Indonesia, Anatomi Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2007) cet. 1, hal. 1.
42
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
yaitu: (1) Cultural factors (worker motivation, capital movements, preparation, etc). (2) Labour regulations. (3) Responsiveness of the surrounding economy in providing supporting good and services. (4) Credibility of public, sector commitments about texes, infrastructure and other regulatory issues. (5) Institusional base of commercial law.116 Kedua, dekat dengan sumber bahan mentah. Bahan mentah merupakan faktor yang sangat penting dalam proses produksi. Kebanyakan negara-negara maju memiliki bahan mentah yang sangat terbatas, sedangkan negara-negara berkembang memiliki bahan mentah yang belum dieksploitasi. Untuk itulah, negara-negara maju melakukan penanaman modal memindahkan industrinya ke negara-negara berkembang dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari dekatnya bahan mentah, dalam arti tidak perlu mengimpor bahan mentah yang memakan waktu dan biaya.117 Akibat dari eksploitasi bahan mentah oleh negara-negara maju dapat menimbulkan pembangunan yang tergantung. Ketergantungan yang klasik didasarkan pada eksploitasi bahan mentah, tetapi dengan berkembangnya teknologi, produksi bisa dilakukan dimana saja. Proses semacam ini, menurut Evans, pada mulanya modal asing masuk ke negara-negara pinggiran hanya bertujuan menguras bahan mentah dan menjual barang industri. Kemudian perkembangan teknologi memungkinkan proses produksi dipisah-pisahkan. Produksi barang modal dipusatkan di negara-negara pusat sedangkan produksi barang konsumsi dapat dilakukan dimana saja. Dengan demikian munculah aliansi ”tripel”, yakni kerjasama antara (1) modal asing, (2) pemerintah di negara pinggiran yang bersangkutan dan, (3) kapitalis lokal. Modal asing melalui perusahaan-perusahaan multinasional raksasa, melakukan investasi di negara pinggiran. Kerjasama antara pemerintah lokal dan modal asing bersifat kerjasama ekonomi.118
116
Ibid.
117
Ibid., hal. 3.
118
Ibid., hal. 4.
43
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Potensi sumber daya alam lain, yang dimiliki Indonesia adalah keragaman dan kekayaan ekosistem. Sebagian besar kekayaan itu berada di hutan konservasi dan hutan lindung seluas 54 juta hektar atau 30 persen dari total daratan Indonesia. Pada saat ini tercatat Indonesia memiliki sekitar 27.500 spesies tumbuhan berbunga (10 persen dari seluruh tumbuhan dunia), 1.539 spesies burung (17 persen dari jumlah burung di dunia), 515 spesies satwa mamalia (12 persen dari seluruh sepesies reptilia di dunia), dan 270 spesies amfibia (16 persen dari seluruh amfibia di dunia).119 Secara keseluruhan, Indonesia memiliki hutan seluas 120,343 juta hektar yang terbagi atas hutan konservasi seluas 20,5 juta hektar, hutan lindung seluas 33,519 juta hektar dan hutan produksi seluas 33,519 juta hektar dan hutan produksinya 66.324 hektar. Provinsi Papua mempunyai potensi sumber daya alam khususnya bidang kehutanan. Untuk itulah banyak negara asing yang mengajak dan mendorong para pengusahanya untuk berinvestasi di Papua.120 Ketiga, menemukan pasar yang baru/pasar yang luas. Negara-negara maju berusaha menanamkan modal di negara lain dengan tujuan untuk menjaga pasar hasil produksinya. Paling tidak ada tiga alasan mengapa investor datang ke suatu negara
seperti: (1) Mengamankan komoditi ekspor dan mengambil
keuntungan dari rendahnya upah buruh dalam menghasilkan produk-produk teknologi yang rendah (2) Memperoleh akses terhadap pasar konsumen yang lebih besar. (3) Mengambil keuntungan dari struktur sosial, politik, dan ekonomi yang unik yang mudah ditiru oleh negara lain.121 Negara-negara berkembang merupakan pasar yang sangat efektif untuk memasarkan hasil produksi dari negara-negara maju. Dengan adanya pasar baru akan membawa keuntungan tersendiri bagi negara penanam modal asing.122
119
Ibid., hal. 5
120
Ibid.
121
Ibid.
122
Ibid., hal. 6.
44
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Keempat, royalti dari ahli teknologi penanaman modal asing, seringkali akan diikuti dengan alih teknologi, negara Investor akan mendapatkan keuntungan dari proses transfer teknologi melalui penjualan hak merek, paten, rahasia dagang, desain industri. Transfer teknologi meliputi: (1) product; (2) production process. (3) machinery, In the present context, technology is categorized to include hardware technology machinery and complete palants, and so fort and softwere technology, training, management and marketing.123 Sebagai negara yang memiliki keunggulan di bidang teknologi, negara maju akan mendapatkan kompensasi dari penggunaan teknologi tersebut. Teknologi pada awalnya dikuasai negara-negara maju dan pada perkembangan berikutnya dimanfaatkan oleh negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang. Pada proses pemanfaatan inilah terjadi transfer of technology. Negara-negara maju melakukan transformasi teknologi dalam rangka melakukan sosialisasi budaya teknologi dan sekaligus untuk meningkatkan keuntungan finansial. Sedangkan negara berkembang berkenan menerima transformasi teknologi dalam rangka mempercepat pembangunan.124 Keempat, penjualan bahan baku dan suku cadang. Insvestor asing juga dapat memperoleh keuntungan dari penjualan bahan baku. Hal ini terkait dengan ciri negara berkembang yaitu belum dapat memperoduksi bahan baku yang memadai yang dapat dijadikan barang jadi. Kelima, insentif. Faktor lain yang menarik insvestor asing adalah adanya insentif-insentif lain, misalnya tax holiday.125 Keenam, status khusus negara-negara tertentu dalam perdagangan internasional (status dagang). Tujuan lain dari penanaman modal di luar negeri adalah karena status khusus negara-negara tertentu dalam perdagangan internasional. Misalnya, insvestor asing lebih tertarik membuka usaha di negaranegara berkembang yang masih mendapatkan status GSP (General System of Preferences) dari negara maju. Dengan demikian eksport dari negara-negara yang
123
Ibid., hal. 7.
124
Ibid.
125
Ibid., hal. 9.
45
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
mempunyai status GSP tersebut tebih menguntungkan daripada eksport dari negara yang tidak memiliki lagi status GSP.126
126
Ibid., hal. 11.
46
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
BAB III PERJANJIAN JOINT VENTURE SEBAGAI DASAR PENDIRIAN PERUSAHAAN JOINT VENTURE
3.1. Struktur Perjanian Joint Venture Sebagaimana telah diungkapkan dalam bab terdahulu, bahwa Joint venture agreement adalah kontrak yang mengawali kerjasama joint venture. Kontrak ini menjadi dasar bagi pembentukan atau pendirian joint venture company, yang merupakan perusahaan patungan dimana pemegang sahamnya adalah para pihak yang mengadakan perjanjian kerjasama usaha patungan, yang diatur sesuai dengan hukum perjanjian. Huala Adolf mengedepankan beberapa klausul yang harus ada dalam perjanjian joint venture, antara lain: klausul mengenai objek usaha patungan, jangka waktu usaha patungan, pembiayaan usaha patungan, kontrol atau pengendalian perusahaan, pembagian keuntungan, alokasi resiko, pengurusan kegiatan perusahaan sehari-hari, penggantian dan penghentian para pihak dalam perusahaan usaha patungan, klausul pilihan hukum, dan klausul penyelesaian sengketa.127 Mengingat bahwa perjanjian joint venture dalam rangka penanaman modal asing di Indonesia bersifat internasional, maka hukum yang berlaku tunduk pada hukum para pihak dan hukum nasional setempat. Hukum para pihak adalah kebebasan yang dituangkan kedalam kesapakatan para pihak (party autonomy). Kesepakatan tersebut mencakup isi atau objek kerjasama. Adapun peran hukum nasional lebih banyak berkaitan dengan persyaratan hukum mengenai pendirian perusahaan joint ventrure, yang di Indonesia diatur dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Karena bentuk kerjasama ini melibatkan modal asing, hukum nasional yang juga terkait adalah hukum
127
Huala Adolf, op. cit., hal. 126, dengan mengutip dari Shaul Ezer, International Exporting Agreement, (Matthew Bender, 1989) ha. 15, serta dari M. Sornarajah, The Law of Interantional Joint Venture, (Singapore: Longman, 1992), hal. 94-120, yang juga mengintodusir klausul stabilisasi, renegosiasi, dan klausul mata uang.
47
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
penanaman modal dari negara bersangkutan, yang di Indonesia diatur dengan Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.128 Jika para pihak memilih hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku, unsur-unsur utama dalam perjanjian itu sendiri, yang merupakan syarat sahnya perjanjian, dalam perspektif hukum perjanjian BW meliputi: unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif berkaitan dengan para pihak yang membuat perjanjian dan adanya kesepakatan para pihak, sedangkan unsur objektif berkaitan dengan suatu hal tertentu dan adanya kausa yang halal. Mengenai unsur subjektif, berkaitan dengan para pihak yang membuat perjanjian, maka yang dikedepankan adalah kecakapan untuk membuat perjanjian. Adapun adanya kesepakatan atau kata sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dipandang memberikan persetujuan atau kesepakatan jika ia memang menghendaki apa yang disepakati, atau bertemunya penawaran (offerte) dan penerimaan (acceptatie). Mengenai unsur objektif, berkaitan dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai objek prestasi perjanjian, atau prestasi tertsebut harus tertentu, atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Selanjutnya berkaitan dengan adanya kausa yang halal, suatu kausa dikatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 129 Kausa yang halal dalam common law system dikenal dengan istilah legality yang dikaitkan dengan public policy. Suatu kontrak atau perjanjian menjadi tidak sah jika bertentangan dengan public policy, yang sekurang-kurang
128
Ibid., hal. 122.
129
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2001), hal. 17, lihat dalam J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 2, 41. Juga dalam Mariam Darus Badruzzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 24-26. Secara umum setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali dinyatakan lain oleh undang-undang, seperti orang yang belum dewasa, dan mereka yang berada di bawah pengampuan, dan perempuan dalam hal tertentu. Dewasa menurut ps. 330 berumur 21 tahun atau belum 21 tetapi sudah menikah. Dalam ps. 47 dan ps. 50 UU No. 1 Tahun 1974, diatas 18 tahun, ps 39 UU No. 20 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, 18 atau telah menikah. Lihat juga dalam Ridwan Khairandi, op. cit, hal. 27-38. Sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata ps. 1320 jo. ps. 1329 jo. ps.1330 jo. ps. 1335 jo. Ps 1337.
48
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
apabila perjanjian tersebut berdampak negatif bagi masyarakat atau mengganggu keamanan dan kesejahteraan masyarakat (public’s safety and welfare).130 Pada umumnya lingkup suatu kontrak joint venture dari sudut struktur perjanjiannya dapat dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama, sekurangkurangnya meliputi: 1) Adanya judul yang menunjukan nama dari perjanjian tersebut, misalnya: Joint Venture Agreement. Biasanya disebutkan pula nama para pihaknya, misalnya: Joint Venture Agreement between John Corp. and. PT Indoraya.131 2) Tanggal penandantanganan, yang diletakkan pada permulaan sekali di bawah judul. Tanggal ini berguna untuk menunjukan kapan perjanjian itu mulai berlaku. Dengan kata lain tanggal ini menentukan kapan perjanjian berlaku dan tanggal berakhirnya, terutama untuk perjanjian yang mempunyai jangka waktu.132 3) Para pihak. Para pihak ini bukan sekedar nama, tetapi yang lebih penting apakah para pihak yang namanya tercantum tersebut mempunyai kapasitas untuk menandatangani perjanjian dimaksud. Dalam hal para pihak yang tercantum namanya mewakili kepentingan perusahaan, maka ketentuan yang menunjuk kapasitas pihak tersebut mengacu kepada undang-undang perusahaan yang berlaku bagi perusahaan tersebut dan Aggaran Dasar perusahaan yang bersangkutan.133 Dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pihak yang mempunyai wewenang mewakili perusahaan adalah Direksi.134
130
Lihat dalam Ridwan Kahirandy, Ibid., hal 39.
131
Erman Rajagukguk, Hukum Investasi, Pokok Bahasan, op.cit, hal. 121.
132
Ibid.
133
Ibid., hal. 122. bagi PT di Indonesia ketentuan yang berlaku adalah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta Anggaran Dasarnya. 134
Indonesia, Undang-undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, op.cit., ps.
1 angka 5.
49
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
4) Adanya kata sepakat, seperti dicerminkan dengan kata-kata: "hereby agree" ... atau "Now, therefore, (Seller and Distributor) agree as follows:" atau "Now it is hereby agrees as follows:-". 5) Mengenai suatu hal, klausula yang berkaitan dengan tujuan perjanjian itu dibuat, ada perjanjian yang bertujuan spesifik, misalnya: untuk membentuk Joint Venture Company yang akan memproduksi sesuatu barang tertentu, atau untuk keuntungan bersama dalam berbagai bidang usaha.135 6) Tidak melanggar hukum (causa yang halal), perjanjian tersebut tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang ada. Secara tertulis unsurunsur tersebut dapat kita lihat misalnya dalam suatu joint venture agreement disebutkan kata-kata: "...whose objectives are not contrary to law..." atau ... is permited by and consistent with Indonesian law applicable regulations...".136 7) Pengertian istilah-istilah tertentu untuk menghindarkan perbedaan penafsiran, seperti yang dimaksud dengan Assets, adalah “the interests of the Partnership in the Lease, any drilling contract, and any other assets of the Partnership from time to time including (without limitation) any residual value in the Rig, retained earnings if any and sums to the credit of the Partnership in any bank account”.137 Bagian Kedua, yaitu rumusan Anggaran Dasar perusahaan joint venture (PT Joint Venture). Perjanjian joint venture adalah semacam konstitusi dari PT. Joint venture. Anggaran Dasar PT. joint venture tersebut mengatur halhal yang lebih teknis. Tidak semua substansi dari perjanjian joint venture ada di dalam Anggaran Dasar PT, misalnya mengenai keadaan darurat. Perumusan Anggaran Dasar ini sekurang-kurangnya berkaitan dengan pengaturan tentang: 1) Modal dan proporsi masing-masing pemegang saham (initial capital and capital contribution), Dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, modal terdiri dari modal dasar (authorized capital), modal
135
Erman Rajagukguk, op. cit., hal. 124.
136
Ibid., hal. 125.
137
Ibid.
50
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
yang ditempatkan (issued capital) dan modal yang disetor (paid up capital)138. Modal dasar PT sekurang kurangnya 50 juta, atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi bidang usaha tertentu. Baik dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 maupun Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, modal dapat berarti dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis.139 2) Kepemilikan saham dan kemungkinan pengalihan saham pada pihak lain (equity ownership and transfer of shares). Dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Anggaran Dasar dapat mengatur pemindahan hak atas saham dengan ketentuan adanya keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham tertentu atau pemegang saham lainnya, serta harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari organ perseroan, dan atau instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.140 3) Penambahan modal dan pengeluaran saham baru (others increases of authorized capital). Menurut Undang-undang No. 40 Tahun 2007, dalam hal Anggaran Dasar tidak menentukan lain, seluruh saham yang dikeluarkan dalam penambahan modal harus terlebih dahulu ditawarkan kepada setiap pemegang saham seimbang dengan kepemilikan saham untuk klasifikasi saham yang sama.141 4) Mengenai kepengurusan perusahaan (management): yang berkaitan dengan direksi dan dewan komisaris. Dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas organ perseroan terdiri dari RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris. Direksi berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud
138
Indonesia, Undang-undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, op. cit., ps.
9. 139
Ibid., ps. 34 jo. Undang-undang Penanaman Modal, UU No.25 Tahun 2007, op.cit.,
ps. 1 butir 7. 140
Ibid., ps. 57.
141
Ibid., ps. 41, ps. 42, ps. 43.
51
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
dan tujuan perseroan, serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sedangkan Dewan Komisaris bertugas melakukan pengawasan baik secara khusus maupun umum, serta memberi nasehat kepada direksi.142 Ketentuan jumlah atau komposisi anggota direksi atau dewan komisaris berdasarkan kesepakatan yang dituangkan oleh para pihak dalam Anggaran Dasar perusahaan. 5) Alih teknologi dan pengetahuan (technical assisten and know how), klausula pengaturan
tentang
hak
untuk
menggunakan
paten
tersebut
dalam
memproduksi barang, mendistribusikannya dan menjualnya. Di samping mendapatkan lisensi paten perusahaan joint venture juga mendapatkan bantuan tehnik dan pengetahuan dari perusahaan induk biasanya dalam bentuk pelatihan. Hal ini merupakan salah satu tujuan penanaman modal asing oleh negara maju di negara berkembang adalah pengalihan tehnologi dan pengetahuan.143 6) Lisensi paten dan merek dagang, klausula yang mengatur pemanfaatan penemuan yang diperoleh oleh perusahaan joint venture nya di Indonesia atau oleh pekerja-pekerjanya atau rekan-rekannya selama berlakunya perjanjian. Biasanya dalam perjanjian joint venture, memperbolehkan perusahaan induknya untuk memakai paten tersebut di luar Indonesia tanpa pembayaran royalty apapun juga kepada perusahaan joint venture nya.144 7) Kerahasiaan (confidentiality), klausula yang mengatur kerahasiaan informasi dan pengetahuan lainnya yang berkaitan dengan alih teknologi dan pengetahuan kepada perusahaan joint venture.145 8) Tidak bersaing (non competition), klausula ini mengatur bahwa para pihak tidak boleh bekerja sama dengan pihak lain untuk membuka perusahaan joint venture yang lain yang memproduksi barang-barang yang sama atau yang bersaing di Indonesia dalam bentuk apapun, dengan tujuan agar dapat
142
Ibid., ps. 1 butir 2, 5 dan 6.
143
Erman Rajagukguk, op.cit., 135-137
144
Ibid., 137.
145
Ibid.,
52
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
memusatkan perhatiannya pada perusahaan joint venture yang mereka dirikan.146 9) Penggantian para pihak (assignability), klausula yang mengatur kemungkinan terjadi pergantian para pihak dalam perjanjian, namun tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.147 Bagian Ketiga, terdiri dari klausula-klausula yang mengatur ketentuanketentuan agar perjanjian dapat dilaksnakan dengan baik, antara lain tentang: 1) Wanprestasi (fraud), klausula ini mencantumkan pengaturan tentang pelanggaran yang mungkin dilakukan oleh para pihak karena yang bersangkutan tidak rnemenuhi kewajiban yang disyaratkan di dalam kontrak.148 2) Peringatan (notice), klausula ini berisi peringatan bagi pihak yang melakukan wanprestasi untuk memenuhi isi perjanjian yang telah disepakati. Peringatan tersebut biasanya sampai 3 kali dengan memperhatikan jangka waktu tertentu. Bila sampai peringatan ketiga, pihak yang terkena peringatan tersebut tidak memenuhi kewajibannya, maka biasanya pihak yang dirugikan dapat memutuskan kontrak secara sepihak dengan mengenyampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata.149 3) Ganti kerugian (compensation), klausula ini berisikan ketentuan mengenai ganti kerugian bagi pihak yang merasa dirugikan karena pihak lain tidak dapat memenuhi kewajibannva karena kesalahannya sendiri. Walaupun perjanjian telah diputuskan, pihak yang dirugikan tetap bisa menuntut kerugian yang dialaminya. Ganti rugi dapat juga berupa denda dalam jumlah tertentu atau dalam persentase tertentu, karena pihak lain tidak dapat memenuhi perjanjian pada waktu yang disepakati semula.150
146
Ibid.,138.
147
Ibid., 139.
148
Ibid., 140-141.
149
Ibid., 141-143, hal ini masih dapat diperdebatkan, walaupun ada jurisprudensi berdasarkan Abdul Karim v. Haji Abdul Madjid No. 14 K/Sip/1953 (30 November 1955). 150
Ibid., 143.
53
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
4) Keadaan darurat (force majeur), klausula yang memberikan jaminan bagi pihak yang tidak dapat memenuhi kewajibannya karena mengalami keadaan darurat tidak dapat dituntut ganti rugi. Keadaan darurat adalah suatu keadaan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya pada waktu perjarijian tersebut ditanda tangani atau suatu akibat yang tidak tertanggungkan karena suatu peristiwa yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya akan terjadi.151 5) Hukum yang berlaku (applicable law), atau pilihan hukum (choice of law), (dibahas pada sub bab selanjutnya). 6) Penyelesaian sengketa (settlement dispute), (dibahas pada sub bab selanjutnya). 7) Bahasa (language), klausula ini menjadi penting dalam perjanjian transaksi internasional karena para pihak memiliki bahasa yang berbeda. Pada umumnya perjanjian transaksi internasional menggunakan bahasa Inggris dengan bahasa lain sebagai terjemahan. Tidak jarang, dikatakan bahwa walaupun ada terjemahan, apabila terjadi sengketa maka yang digunakan adalah pejanjian yang memakai teks bahasa Inggris.152 8) Jangka waktu perjanjian (duration), klausula ini menyebutkan untuk berapa lama perjanjian tersebut diadakan, hal mana tergantung kepada macamnya perjanjian. Jangka waktu tersebut dihitung biasanya sejak tanggal perjanjian tersebut ditandatangani.153 9) Pengakhiran perjanjian (termination), klausula ini menyebutkan bagaimana, perjanjian yang bersangkutan diakhiri atau dapat diperpanjang. Suatu perjanjian dapat berakhir karena diputuskan oleh salah satu pihak karena pihak lain-tidak dapat melaksanakannya, atau karena masa berlakunya perjanjian tersebut sudah berakhir. Biasanya perpanjangan suatu perjanjian dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu sebelum perjanjian itu berakhir, tentu
151
Ibid., 145.
152
Ibid., 149.
153
Ibid., 149-151.
54
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
dengan persetujuan tertulis pihak lainnya. Jika persetujuan itu tidak diperoleh maka perjanjian tersebut berakhir dengan sendirinya.154 10) Amandemen
atau
perubahan
perjanjian
(amendments),
klausula
ini
dirumuskan sebagai antisipasi perubahan yang dikehendaki oleh para pihak, dalam melaksanakan perjanjian, misalnya karena inflasi, tidak tersedianya barang, naiknya harga-harga.155 11) Keseluruhan perjanjian (the entire agreement), klausul ini berguna untuk menghapuskan keragu-raguan, manakala para pihak menandatangani lebih dari satu perjanjian yang berbeda substansinya. Misalnya, suatu perjanjian didahului oleh Memorandum of Understanding (MOU) atau suatu perjanjian diubah oleh perjanjian berikutnya. Untuk menghapuskan keragu-raguan tersebut, maka bunyi Pasal ini adalah: “Dengan ditandatanganinya perjanjian ini maka perjanjian-perjanjian sebelumnya tidak berlaku”.156 Struktur perjanjian joint venture sebagaimana di atas pada dasarnya menetapkan tujuan dan kebijaksanaan dari perusahaan joint venture. Perjanjian joint venture tersebut nantinya dapat digunakan untuk menafsirkan perjanjianperjanjian yang dibuat oleh perusahaan joint venture dengan para partner. Di Indonesia bagaimanapun isinya, dipandang perlu untuk mengkoordinasikan perjanjian joint venture dengan Anggaran Dasar perusahaan joint venture yang berbentuk Perseroan Terbatas, sebagai satu-satunya bentuk perusahaan yang memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.157 Anggaran Dasar Perseroan Terbatas itu sendiri menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, mengatur tentang: (a) nama dan tempat kedudukan perseroan, (b) maksud dan tujuan serta kegiatan usaha
154
Ibid., 150.
155
Ibid., 151.
156
Ibid., 152.
157
Erman Rajagukguk, Indonesianisasi Saham, op. cit., hal. 28. Peneliti menyesuaikan undang-undang yang dirujuk dari sebelumnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menjadi Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
55
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
perseroan, (c) jangka waktu berdirinya perseroan, (d) besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan dan modal disetor, (e) jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal yang melekat pada setiap saham, (f) nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris, (g) penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS, (h) tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris, (i) tata cara penggunaan laba dan pembagian deviden. Selain ketentuan-ketentuan tersebut, Anggaran Dasar juga dapat memuat ketentuan lain yang tidak bertentangan dengan Undang-undang No. 40 Tahun 2007.158 Adapun hal-hal yang tidak boleh dimasukan dalam Anggaran Dasar adalah: (a) ketentuan tentang penerimaan bunga tetap atas saham, dan (b) ketentuan tentang pemberian manfaat pribadi kepada pendiri atau pihak lain.159 Sebagaimana telah disebutkan bahwa perjanjian Joint venture adalah semacam konstitusi dari perusahaan joint venture. Anggaran Dasar perusahaan joint venture tersebut mengatur hal-hal yang lebih teknis. Dengan ketentuan substansi Anggaran Dasar PT sebagaimana di atas, maka tidak semua ketentuanketentuan yang terdapat dalam perjanjian joint venture dapat dimasukan ke dalam Anggaran Dasar perusahaan joint venture. Beberapa ketentuan tersebut, antara lain: tentang pengertian istilah (definition), alih teknologi (technical assisten and know
how),
kerahasiaan
(confidentiality),
klausul
tidak
bersaing
(non
competition), penggantian para pihak, wanprestasi (fraud), pilihan hukum (applicable law), penyelesaian sengketa (settlement dispute), force majeur, termination, language, notice, serta entire agreement.160
158
Indonesia, Undang-undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, op. cit., ps. 15 (1) dan (2). 159
Ibid. ps. 15 (3).
160
Lihat Erman Rajagukguk, Hukum Investasi, Pokok Bahasan, op. cit., hal. 127.
56
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
3.2. Pilihan Hukum dalam Perjanjian Joint Venture Pilihan hukum ('choice of law' atau 'the law applicable to the contract') adalah klausul dalam kontrak di mana para pihak menyatakan pilihan suatu sistem hukum yang mengatur kontrak. Menurut Erman Rajagukguk pilihan hukum disebut juga dengan istilah proper law of a contract dimana seluruh kontrak atau usur-unsurnya tunduk pada hukum tersebut. Dalam perjanjian internasional proper law amat menentukan karena para pihak datang dari sistem hukum yang berbeda.161 Schmitthoff mendefinisikan klausul ini sebagai berikut:"...a clause by which the parties submit the contract or other relationships of autonomous character to the law of a particular country".162 Black's Law Dictionary memberi batasan sebagai berikut: "In conflicts of law, the question presented in determining what law should govern….”163 Seringkali pengertian pilihan hukum ini dicampur-adukan dengan pilihan forum (choice of forum). Sudargo Gaotama, dengan tegas menarik garis batas yang jelas antara pilihan hukum dan pilihan forum ini.164 Namun perlu diingat bahwa tidak semua sistem hukum negara berpandangan demikian. Ada negara-negara tertentu yang pengadilannya berpendapat bahwa apabila para pihak memilih suatu badan hukum tertentu, maka hal ini berarti bahwa hukumnya yang berlaku adalah hukum nasional di mana pengadilan tersebut (forum) tersebut berada. Artinya, pengadilan berpendapat bahwa choice of law otomatis berarti pula choice of forum. Pandangan seperti di atas misalnya dianut oleh pengadilan di Inggris dan pengadilan di singapura. Dalam sengketa antara PT Garuda Indonesia v. Birgen Air Singapore, Court of Appeal: (2002) 1 SLR 393, pengadilan Singapura dalam putusannya antara lain bahwa karena tempat berlangsungnya arbitrase adalah
161
Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2000) cet. 1, hal. 97. 162
Huala Adolf, op. cit.,137-138.
163
Black’s Law, op. cit., hal. 219.
164
Sudargo Gaotama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III (Bandung: Alumni, 2002), hal. 2.
57
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Indonesia, maka hukum Indonesia-lah yang berlaku untuk persidangan arbitrasenya.165 Sebenarnya, sifat pilihan hukum ini tidak merupakan prasyarat untuk berlakunya atau sahnya suatu kontrak, ketiadaan klausul ini tidak berpengaruh terhadap keabsahan suatu kontrak. Meskipun sifatnya sepintas tidak penting, namun demikian, para sarjana menganjurkan agar klausul ini sebaiknya ada di dalam kontrak. Schmitthoff mengemukakan sebagai berikut: "... In the present state of affairs, I would consider a normal international commercial contract as defectively drafted if it did not contain a choice of law clause and also a jurisdiction or arbitration clause."166 Pilihan hukum dalam UNCITRAL berfungsi mencegah ketidakpastian di kemudian hari mengenai hukum yang berlaku terhadap kontrak.167 Lebih jauh fungsi pilihan hukum antara lain: Pertama, untuk menentukan hukum apa yang akan digunakan untuk menentukan atau menerangkan syarat-syarat kontrak atau hukum yang akan menentukan dan mengatur kontrak. Kedua, Menghindari ketidakpastian hukum yang berlaku terhadap kontrak selama pelaksanaan kewajiban-kewajiban kontraktual para pihak. Ketiga, pilihan hukum berfungsi pula sebagai 'sumber hukum' manakala kontrak tidak mengatur sesuatu hal.168 Doktrin hukum kontrak internasional mengidentifikasikan 3 (tiga) prinsip utama mengenai pilihan hukum dalam hukum kontrak internasional. Ketiga prinsip tersebut adalah: (1) Prinsip kebebasan para pihak, yakni kesepakatan para pihak yang didasarkan pada kebebasan atau kesepakatan para pihak (party autonomy) untuk menerapkan hukum yang akan berlaku terhadap suatu kontrak ini.169 (2) Prinsip bonafide, yakni bahwa pilihan hukum tersebut didasarkan pada
165
Huala Adolf, op. cit., hal. 138.
166
Ibid., hal, 139, lihat juga Dhaniswara Hardjono, op. cit., hal. 160.
167
Ibid., lihat juga dalam United Nations Commission of International Trade Law (UNCITRAL), Arbitration Rules, Aritcle 33 http://www.uncitral.org/pdf/english/texts/arbitration /arb-rules/arb-rules.pdf 168
Ibid., hal. 140.
169
Ibid.,
58
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
itikad baik. Tidak ada standar yang dapat digunakan untuk mengukur kapan suatu tindakan pilihan hukum itu beritikad baik atau buruk.170 (3) Prinsip real connection, yakni bahwa pilihan hukum tersebut yang telah disepakati oleh para pihak harus memiliki hubungan atau kaitan dengan para pihak atau kontrak, a reasonable relation.171 Dari bentuknya, pilihan hukum dapat berupa pilihan: (1) Secara tegas dinyatakan oleh para pihak dalam suatu klausul kontrak; para pihak secara tegas memasukkan klausul pilihan hukum dalam kontrak dan di dalamnya menegaskan suatu sistem hukum tertentu yang mereka pilih. Contoh yang lazim misalnya para pihak sepakat untuk memilih hukum Indonesia sebagai pilihan hukum dalam kontrak. (2) Pilihan secara diam-diam atau tersirat; para pihak tidak secara spesifik membuat klausul pilihan hukum dalam kontrak. Namun di dalam substansi kontrak itu sendiri dapat terlihat adanya penundukan diri terhadap suatu sistem hukum tertentu. Misalnya dalam kontrak internasional terdapat kesepakatan para pihak berbunyi sebagai berikut: "Para pihak sepakat bahwa dalam pelaksanaan kontrak ini akan mematuhi aturan-aturan hukum Indonesia yang berlaku". (3) Kesepakatan para pihak untuk menyerahkan pilihan hukum kepada pengadilan; alternatif ini dapat ditempuh manakala para pihak gagal atau kesulitan dalam mencapai sepakat mengenai hukum yang akan dipilih. (4) Ketetapan para pihak untuk tidak memilih atau membuat klausul pilihan hukum; dalam hal tidak adanya pilihan hukum ini apabila ternyata di kemudian hari suatu sengketa lahir, maka pengadilan atau badan arbitrase akan memutus sengketanya berdasarkan prinsip-prinsip hukum perdata internasional yang berlaku, khususnya hukum yang menentukan hukum yang berlaku dalam hal para pihak tidak memilih hukumnya sendiri. Dalam hal ini, pengadilan pertama-tama akan melihat apakah ada kehendak dari para pihak atau 'presumed intention of the parties.'172 Terhadap kondisi yang keempat, dapat dikedepankan beberapa teori, The Proper Law Theory, pengadilan akan melakukan analisis daripada ketentuan-
170
Ibid., hal. 142.
171
Ibid.
172
Ibid., hal. 145-146.
59
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
ketentuan dan fakta-fakta sekitar kontrak bersangkutan, untuk menetapkan hukum yang sebenarnya telah 'dipikirkan' oleh para pihak, hukum yang "the parties had in mind ". Teori ini dipraktikkan di Inggris.173 Teori Lex Loci Contractus, suatu kontrak ditentukan oleh hukum di mana tempat kontrak itu dibuat, di mana ia "diciptakan, dilahirkan. Teori Lex Fori, hukum yang berlaku terhadap suatu kontrak adalah hukum dari pihak pengadilan (hakim). Selanjutnya Teori The Most Charateristic Connection, pengadilan akan menentukan pilihan hukum didasarkan pada hukum dari salah satu pihak yang 'melakukan prestasi yang paling karakteristik' (center of gravity) dalam suatu transaksi.174 Dalam praktek dapat terjadi bahwa para pihak dalam suatu kontrak menundukkan ketentuan kontraknya kepada beberapa sistem hukum. Dipilihnya beberapa pilihan hukum dalam kontrak dikenal pula dengan metoda yang disebut dengan 'depecage' atau 'split proper law.' Metoda ini telah cukup banyak diakui oleh para sarjana antara lain Maniruzzaman, Peter Nygh, dan Bernard Hanotiau, bahkan oleh lembaga internasional seperti misalnya the Institute of International Law.175 Dalam resolusi yang dikeluarkan di kota Basel, 1991 yang berjudul "The Autonomy of the Parties in International Contracts Between Private Persons or Entities", Institute of International Law (ILA) menegaskan 14 prinsip mengenai pilihan hukum: (1) Para pihak bebas memilih hukum yang berlaku terhadap kontrak mereka. Kebebasan memilih tidak terbatas pada pilihan Negara mana pun yang mereka sepakati untuk dipilih.Termasuk dalam pengertian Negara di sini adalah satu kesatuan wilayah (territorial unit) dengan catatan bahwa satu kesatuan unit tersebut memiliki hukumnya sendiri, misalnya dalam hal ini adalah Hong Kong. (2) Kebebasan memilih suatu hukum nasional tertentu ini termasuk juga, apabila para pihak dengan tegas menyatakannya, kebebasan untuk tidak terikat oleh aturan-aturan pilihan hukum (choice of law rules) dari hukum nasional yang
173
Sudargo Gaotama, op. cit., 8.
174
Ibid., op. cit., hal. 43-47.
175
Yansen Dermanto Latip, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum (Jakarta: Universitas Indonesia FHUI, 2002) hal. 26.
60
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
bersangkutan. (3) Pilihan hukum yang berlaku harus berasal dari adanya suatu perjanjian dari para pihak. (4) Apabila tidak adanya perjanjian yang tegas, maka pilihan tersebut harus disimpulkan dari maksud dari para pihak (the intention of the parties). (5) Apabila suatu kontrak tidak sah menurut hukum yang dipilih oleh para pihak, maka pilihan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum apapun. (6) Keabsahan dari suatu perjanjian atau kontrak ditentukan oleh hukum yang berlaku yang dipilih oleh para pihak. (7) Suatu pihak yang tidak memberi jawaban apakah ia menerima atau menolak atas suatu penawaran, maka dampak dari tidak adanya jawaban tersebut ditentukan menurut hukum nasional di mana pihak tersebut bertempat tinggal sehari-hari (the law of the State of his habitual residence). (8) Hukum yang berlaku dapat pula ditentukan oleh kondisi-konsidi umum dari kontrak yang para pihak sepakati (artikel 5 ayat 1). (9) Kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam artikel 5 ayat 1 di atas harus dinyatakan secara tertulis atau menurut cara-cara yang sesuai dengan praktek kebiasaan yang biasa dilakukan oleh para pihak atau berdasarkan kebiasaan dagang yang para pihak telah kenal. (10) Para pihak dapat memilih pilihan hukum setelah kontrak dibuat atau mengubah pilihan hukum yang telah disepakati sebelumnya. (11) Para pihak dapat pula memberlakukan hukumnya secara retroaktif (berlaku mundur) yang telah diubahnya, dengan syarat bahwa pihak hak ketiga yang terkena dampaknya tidak dirugikan. (12) Para pihak dapat memilih hukum yang berlaku terhadap semua kontrak atau satu atau beberapa bagian daripada kontrak. (13) Hukum yang dipilih oleh kesepakatan para pihak maka hukum tersebut harus diterapkan sebagai aturan-aturan substantif yang diterapkan ke dalam kontrak, dan apabila hukum yang dipilih tersebut mengalami perubahan oleh adanya aturan-aturan yang memaksa, maka perubahan status hukum substantif turut berlaku. (14) Hukum yang dipilih tunduk pada aturan-aturan hukum memaksa dari hukum di mana pengadilan berlangsung.176 Prinsip kebebasan dalam menentukan hukum yang akan mereka pilih tidaklah mutlak. Kebebasan tersebut hanya berlaku dalam batas-batas tertentu.
176
The Institute of International Law (ILA), The Autonomy of the Parties in International Contracts Between Private Persons or Entities, Session of Bassel, 1991, lihat pada http://www.idi-iil.org/idiE/resolutionsE/1991_bal_02_en.PDF. Lihat juga dalam Huala Adolf, op. cit., hal. 144-145.
61
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Pembatasan yang pada umumnya diakui dan dikenal tersebut, antara lain: tidak melanggar ketertiban umum, hanya di bidang hukum kontrak, harus ada kaitan dengan kontrak bersangkutan, tidak untuk menyelundupkan hukum, tidak untuk transaksi tanah atau hak-hak atas benda tak bergerak, tidak boleh mengenai ketentuan hukum perdata dengan sifat publik, tidak boleh melanggar itikad baik, pilihan hukum tidak dapat digunakan untuk menghindari tanggung jawab pidana, tidak untuk menghindari adanya aturan-aturan hukum yang sifatnya memaksa (fundamental or mandatory rule of law), hukum Substantif yang dipilih mengatur objek kontrak. 177 Berkaitan dengan proses arbitrase, adanya klausul pilihan hukum pada dasarnya harus dihormati oleh semua pihak sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan batasan-batasan sebagaimana di atas. Dalam Pasal 33 ayat (1) UNCITRAL Arbitration Rules 1975 menyatakan sebagai berikut: “The arbitral tribunal shall apply the law designated by the parties as applicable to the substance of the dispute. Failing such designation by the parties, the arbitral tribunal shall apply the law determined by the conflict-of-law rules which it considers applicable.”178 Ketentuan yang sama terdapat dalam Pasal 42: 1 ICSID Convention: 'The Tribunal shall decide a dispute in accordance with such rules of law as may be agreed by the parties. In the absence of such agreement, the Tribunal shall apply the law of the Contracting party to the dispute (including its rules on the conflict of laws) and such rules of international law as may be applicable".179 Model Arbitration Law 1985 juga menghormati kebebasan para pihak untuk memilih hukum yang akan berlaku. Pasal 28 Model Law menggariskan sebagai berikut: (1) The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law as are chosen by the parties as applicable to the substance
177
Huala Adolf, Ibid., hal. 153-159. Lihat juga dalam Aminuddin Ilmar, op. cit., hal.
162. 178
UNCITRAL, Arbitration Rules 1975, op cit., Lihat juga dalam Huala Adolf, Ibid.,
hal. 158. 179
ICSID, Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States. Lihat pada http://icsid.worldbank.org/ICSID/StaticFiles/basicdoc /CRR_English-final.pdf, Lihat juga dalam Huala Adolf, Ibid.
62
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
of the dispute. Any designation of the law or legal system of a given State shall be construed, unless otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that State and not to its conflict of laws rules. (2) Failing any designation by the parties, the arbitral tribunal shall apply the law determined by the conflict of laws rules which it considers applicable. (3) The arbitral tribunal shall decide ex aequo et bono or amiable cornpositeur only if the parties expressly authorized to do so. (4) In all cases, the arbitral tribunal shall decide in accordance with the terms of the contract and shall take into account the usages of the trade applicable to the transaction."180 Terdapat beberapa perbedaan antara ketentuan di atas dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 30 Tahun 1999. Pertama, UU ini hanya menekankan bahwa arbiter atau badan arbitrase harus menyandarkan pada hukum untuk mengambil putusan tetapi tidak menentukan atau mensyaratkan bahwa hukum yang akan diterapkan tersebut haruslah pilihan hukum para pihak. Kedua, adanya rumusan yang tidak tegas siapa yang memberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan ex aequo et bono (Pasal 56 ayat 1). Ketiga, apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum, maka arbitrator atau badan arbitrase harus menerapkan hukum tempat arbitrase dilakukan. Sedangkan Model Law menyatakan bahwa apabila para pihak tidak memilih hukum, maka badan arbitrase atau arbitrator harus mengacu kepada hukum yang ditentukan berdasarkan aturan-aturan hukum perdata internasional (conflict of laws rules) yang oleh arbitrator atau badan arbitrase dianggap berlaku.181 Berkaitan dengan sikap pengadilan di Indonesia, dapat dikatakan belum adanya keseragaman menilai terhadap klausul pilihan hukum dan juga pilihan forum, setidaknya dapat dilihat dari dua putusan pengadilan yang berbeda, pertama dalam putusan sengketa Marubeni Lawan PT. lndokarya Nissan Motor (1983). Dalam sengketa ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa ia tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Pengadilan berpendapat bahwa
180
UNCITRAL, Model Law of International Commercial Arbitration, lihat pada http://www.uncitral.org/pdf/english/texts/arbitration/ml-arb/06-54671_Ebook.pdf, Lihat juga Huala Adolf, Ibid. 181
Hualla Adolf, Ibid., hal. 158-159.
63
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
sebab para pihak telah melakukan 'choice of law' hukum Jepang baik formal maupun hukum materil, sehingga satu-satunya forum peradilan yang berwenang mengadili perkara ini adalah Pengadilan Tokyo (Jepang). Pendirian pengadilan ini, menurut Sudargo Gautama adalah kurang tepat. Menurut beliau jika memang hukum Jepang yang para pihak telah sepakati untuk dipilih, maka pendirian demikian tidak serta merta berarti bahwa forum pengadilan yang berwenang mengadili perkara ini adalah Pengadilan Tokyo.182 Kedua, putusan sengketa the Bank of Nova Scotia lawan PT. Data Nishiko Utama Cs. (Nomor 325/Pdt.G.V/1988/PN.Jkt.Pst-8 Februari 1990). Dalam perjanjian pinjaman telah disepakati bahwa hukum yang berlaku adalah UndangUndang negara bagian New York serta para pihak menundukkan diri pada pengadilan negara bagian atau pengadilan federal yang berada di New York. Dalam perjanjian disebutkan pula bahwa penggugat berhak pula untuk membawa sengketanya kepada pengadilan Indonesia. Dalam putusannya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ternyata mengenyampingkan pilihan hukum yang dipilih para pihak. Pengadilan berpendapat adanya pilihan hukum (choice of law) tidaklah otomatis berarti sengketa ini harus dan hanya bisa diajukan ke pengadilan di kota New York. Menurut Latip terhadap putusan ini, pengadilan menyamakan antara pilihan hukum dan pilihan pengadilan. Suatu pandangan yang tampaknya tidak tepat.183
3.3. Penyelesaian Sengketa Perjanjian Joint Venture Sehubungan dengan penyelesaian sengketa184 yang dapat ditempuh oleh para pihak karena adanya faktor asing (foreign) dalam perjanjian, baik untuk kepentingan yang bersifat umum yakni dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak maupun dalam kaitannya dengan penciptaan
182
Lihat Yansen Darmanto Latip, op. cit., hal. 161, 193, 344-345, juga dalam Sudargo Gaotama, Himpunan Jurisprudensi Indonesia Yang Penting Untuk Prkatek Sehari-hari (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 220. Juga dalam Huala Adolf, Ibid., hal. 160-161. 183
Huala Adolf, Ibid.
184
Sengketa adalah beda pendapat, perselisihan atau konflik yang terjadi karena adanya hak salah satu pihak atau beberapa pihak yang dilanggar oleh pihak lain. Padanannya dalam bahasa inggris adalah dispute, Black’s law memberikan definisi dispute sebagai a conflict or controversy; a conflict of claims or rights; an assertion of a right, claim or demand on one side, met by contrary claims or allegations on other. Henry Campbell Black, op. cit., hal. 327.
64
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
iklim investasi yang kondusif, Indonesia menandatangai dua konvensi, yaitu konvensi New York tahun 1958, diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 tentang Pengakuan dan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Luar Negeri, dan konvensi Washington atau ICSID, diratifikasi dengan UU No.5 Tahun 1968, khususnya untuk penyelesaian sengketa antara Pemerintah dengan Investor Asing di bidang penanaman modal.185 Pada dasarnya pola penyelesaian sengketa dalam perjanjian joint venture berkaitan erat dengan pengaturan klausul Choice of Forum atau Choice of Jurisdiction atau Choice of Court dalam perjanjian yang mereka sepakati, yakni klausul yang menentukan forum mana yang akan mengadili sengketa kontrak berdasarkan kesepakatan para pihak. Kesepakatan para pihak inilah yang memberikan dan melahirkan kewenangan atau jurisdiksi kepada forum yang dipilih dan yang akan menangani sengketa para pihak. Klausul ini lebih jauh akan memberikan kepastian dan mengarahkan para pihak forum apa yang harus mereka gunakan untuk menyelesaikan sengketa kontraknya.186 Seperti tersebut di atas, fungsi utama dari adanya klausul pilihan forum dalam kontrak internasional adalah untuk kepastian hukum. Artinya, kepastian mengenai lembaga atau pengadilan mana yang berwenang mengadili atau menyelesaikan sengketa para pihak.187 Mengacu kepada asas hukum perjanjian Indonesia, terdapat tiga syarat dalam pilihan forum: (1) para pihak harus menyatakan pilihannya dengan tegas; (2) pilihan forum harus dinyatakan sebelum sengketa lahir; dan (3) para pihak tidak dapat menentukan pilihan forum apabila perkara telah terjadi.188 Pengakuan prinsip pilihan forum oleh hukum internasional antara lain dalam Konvensi Den Haag tahun 1965 mengenai pilihan forum (Convention on
185
Lihat Erman Rajagukguk, Hukum Investasi, Pokok Bahasan, op. cit., hal. 192 , Lihat juga dalam Sentosa Sembiring, hal. 242-245. 186
Lihat dalam Huala Adolf, op.cit.,163.
187
Ibid., hal. 164.
188
Sudargo Gaotama, op. cit., hal. 235, dengan mengambil intisari dari ps.24
KUHPerdata.
65
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
the Choice of Court 1965). Konvensi ini antara lain menyatakan pengakuan terhadap kebebasan para pihak untuk memilih forumnya. Konvensi juga memberi batasan terhadap kebebasan tersebut seperti halnya dalam klausul pilihan hukum.189 Prinsip yang diterima umum adalah bahwa pilihan forum (choice of forum atau choice of jurisdiction) dan pilihan hukum (choice of Law) merupakan dua bidang yang berbeda. Artinya, apabila dalam choice of law para pihak menentukan hukum Indonesia, tidak serta merta pengadilan yang akan menangani sengketa adalah pengadilan Indonesia (choice of forum). Sebaliknya, apabila choice of forumnya adalah pengadilan Indonesia, tidak serta merta berarti bahwa pilihan hukumnya pun adalah hukum Indonesia. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa para pihak dapat dan bebas untuk menentukan choice of forum-nya adalah pengadilan Indonesia dan choice of law-nya adalah hukum Indonesia. Prinsip tersebut juga tidak selalu benar. Ada beberapa sistem hukum yang menyatakan bahwa pilihan forum serta merta berarti pilihan hukum. Dengan demikian, apabila forum pengadilan yang berada di negaranya yang dipilih oleh para pihak dalam suatu kontrak internasional, berarti pula bahwa para pihak diduga atau diindikasikan telah memilih hukum dari forum pengadilan dari negara tersebut.190 Telah pula diterima khususnya di tanah air, bahwa pilihan domisili suatu pengadilan (negeri) tertentu, bukan berarti para pihak telah memilih forum pengadilan tersebut untuk memeriksa sengketanya. Choice of domicile bukan choice of forum. Hal ini telah ditegaskan dalam jurisprudensi di tanah air. Seperti halnya klausul choice of law, klausul choice of forum juga bukan merupakan suatu keharusan yang harus ada dalam suatu kontrak. Namun demikian, umumnya berbagai literatur (doktrin) menyarankan agar klausul ini sebaiknya ada dalam kontrak-kontrak internasional. 191
189
Hauge Conference of Private International Law (HCCH), Convention on the Choice of Court 1965, lihat pada http://hcch.e-vision.nl/index_en.php?act=conventions.text&cid=77, juga dalam Huala Adolf, op. cit., hal. 165. 190
Huala Adolf, Ibid., hal 165-166
191
Ibid..
66
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Hal sentral dalam Choice of forum adalah lembaga peradilan apa yang menurut para pihak dapat menyelesaikan sengketanya secara efektif dan dapat diprediksi. Efektif berarti badan peradilan tersebut diharapkan dapat secara efektif memutus perkara dan memberi putusan yang efektif dapat dilaksanakan. Prediktabilitas artinya antara lain bahwa badan peradilan tersebut menghormati kesepakatan para pihak mengenai pilihan hukum. Dalam praktek, umumnya forum yang banyak dipilih para pihak terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, forum yang sifatnya damai, yaitu negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Kedua, forum yang sifatnya tidak damai, yaitu pengadilan (litigasi).192 Apabila mengacu kepada ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan altertnatif penyelesaian sengketa193, pilihan penyelesaian sengketa selain melalui arbitrase dan pengadilan dapat dilakukan dengan cara konsultasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Berkaitan dengan putusan yang dapat diperoleh, pemetaan dari metode penyelesaian sengketa sebagaimana di atas, lebih tepat jika dijelaskan dalam dua pola: pertama, the binding adjudicative procedure, yakni suatu prosedur di dalam penyelesaian sengketa dimana putusan hakim terhadap suatu perkara mengikat para pihak, yang dapat dilakukan melalui litigasi, arbitrase, dan hakim partikelir. Kedua, the non binding adjudicative procedure, yakni suatu prosedur di dalam penyelesaian sengketa dimana putusan hakim atau orang yang ditunjuk terhadap suatu perkara tidak mengikat para pihak, kecuali adanya komitmen atau itikad baik para pihak untuk menghormati putusan tersebut. Dapat dilakukan melalui, negosiasi, konsiliasi, dan mediasi.194 Dengan tidak menafikan pola yang kedua, pola yang pertama lebih banyak dipilih, namun lebih condong kepada arbitrase. Menurut Erman Rajagukguk, penyelesaian di pengadilan dapat dilakukan di pengadilan tempat partner lokal berada, atau di pengadilan tempat investor asing berasal. Yang
192
Ibid., hal. 172.
193
Indonesia, Undang-undang Arbitrase dan ALternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 30 Tahun 1999, ps. 1 (10). 194
Lihat Salim HS dan Budi Sutrisno, op. cit., hal. 352, cetak miring dari Peneliti.
67
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
menjadi persoalan adalah, apakah suatu negara akan tunduk pada putusan pengadilan negara lain. Dengan alasan kedaulatan, Indonesia adalah salah satu negara yang tidak dapat melaksanakan putusan pengadilan luar negeri.195 Oleh karenanya pilihan penyelesaian sengketa melalui pengadilan banyak ditinggalkan. Namun demikian, ada alasan bagi mereka yang memilih pengadilan menjadi sarana penyelesaian sengketa di Indonesia, antara lain: pertama, pengadilan mempunyai otoritas untuk menafsirkan hukum. Kedua, mencari dan menemukan hukum. Ketiga, menciptakan hukum baru dalam hal kekosongan hukum. Keempat, melakukan contra legem dalam hal perundang-undangan bertentangan dengan kepentingan umum, dan kelima, memiliki otonomi dalam mengikuti jurisprudensi.196 Alasan lainnya yang dijadikan dasar untuk tidak menggunakan pengadilan, antara lain: inkompetensi, berlarut-larut jika dihubungkan dengan sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewidjze), biaya yang besar, putusannya yang tidak dapat langsung dieksekusi. Oleh karena itu dalam banyak hal, sengketa antara para pihak dalam perjanjian joint venture diselesaikan melalui arbitrase. Pemilihan arbitrase ini bisa dilakukan dengan menunjuk badan arbitrase yang sudah ada (institusional arbitration) atu membentuk arbitrase ad hoc, yaitu dewan arbitrase yang didirikan setelah terjadinya sengketa. 197 Tempat arbitrase juga mempunyai dua kemungkinan, yaitu di dalam negeri atau luar negeri. Pelaksanaan arbitrase luar negeri itu masuk dalam ruang lingkup Konvensi New York 1958. Secara geografis, forum arbitrase dapat digolongkan ke dalam badan arbitrase nasional dan internasional. Badan arbitrase dalam lingkup nasional misalnya adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Dalam lingkup internasional, misalnya adalah London Court of International Arbitration (LCIA)
195
Erman Rajagukguk, op. cit., hal. 192.
196
Ridwan Khirandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Studi Mengenai Putusan-Putusan Pengadilan di Indonesia, Disertasi Doktor (Jakarta: FHUI, 2003) hal. 42. 197
Erman Rajagukguk, op. cit., hal. 192-193. Lihat juga Dhaniswara K. Hardjono, op. cit., hal. 265-267, dan Huala Adolf, op. cit., hal. 174.
68
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
berkedudukan di London, badan arbitrase International Chamber of Commerce (ICC) berkedudukan di Paris atau badan arbitrase International centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID) berkedudukan di Washington.198 Para pihak dalam joint venture di Indonesia sebagian besar memilih arbitrase luar negeri sebagai tempat penyelesaian sengketa. Keuntungan dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini antara lain, adalah: Pertama, netralitas dari dewan arbitrase yang dipilih oleh para pihak, artinya tidak mempunyai national character. Kedua, pelaksanaan putusan arbitrase mungkin lebih bernilai bagi pihak yang dimenangkan daripada putusan pengadilan, karena cenderung siap untuk dilaksanakan berdasarkan konvensi New York. Ketiga, penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah rahasia dan tidak terbuaka untuk umum, seperti litigasi dalam pengadilan. Keempat, para pihak bebas memilih prosedur penyelesaian sengketa, tidak fomil seperti hokum acara pengadilan. Kelima, para pihak bebas memilih anggota arbitrator, berjumlah ganjil, ahli, mempunyai integritas. Keenam, keluwesan dalam prosedur arbitrase, dapat mempercepat penyelesaian dan hemat biaya. Ketujuh, putusan arbitrase dapat disepakati sebagai putusan akhir dan mengikat. Kedelapan, para pihak leluasa untuk memilih tempat dimana proses arbitrase dilaksanakan, pemilihan tempat ini penting, kerena tempat dimana putusan arbitrase diambil berbeda dengan tempat dimana putusan arbitrase dilaksanakan.199 Namun demikian, disamping keuntungan-keuntungan tersebut di atas, terdapat beberapa kekurangan dalam penyelesaian arbitrase, khususnya bila dikaitkan dengan pihak ketiga. Di beberapa negara, arbitrator mempunyai kekuasaan yang terbatas dibandingkan dengan hakim di pengadilan, seperti, arbitrator tidak dapat menarik pihak ketiga yang secara kontraktual bukan pihak dalam arbitrase, sehingga penyelesaiannya akan mengalami kesulitan. Selain itu putusan arbitrase tidak dapat mengikat pihak ketiga yang tidak terlibat dalam
198
Lihat Huala Adolf, op. cit., hal. 177, Dhaniswara K Hardjono, op. cit., hal. 269
199
Ibid., hal. 193-194. Lihat juga dalam Aminuddin Ilmar, op. cit., hal. 152. Lihat juga dalam Huala Adolf, Ibid., hal. 175-177, dan Dhaniswara K. Harjono, op. cit., hal. 267-268.
69
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut.200 Meskipun pilihan forum arbitrase dalam penyelesaian sengketa perjanjian internasional adalah hak para pihak, pelaksanaan putusan arbitrase internasional dapat ditolak oleh pemerintah setempat apabila ditemukan buktibukti sebagaimana diatur dalam Pasal V Ayat 1 konvensi New York, yakni: (a) Para pihak tidak berwenang membuat perjanjian arbitrase. (b) Adanya pemberitahuan yang tidak wajar tentang akan atau sedang berlangsungnya proses arbitrase kepada pihak yang berkepentingan. (c) Arbiter telah melampaui batas kewenangannya. (d) Komposisi dari arbitrator atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjian. (e) Putusan arbitrase belum mengikat. Selanjutnya dalam Ayat 2 dinyatakan bahwa putusan arbitrase juga dapat ditolak apabila badan yang berwenang dari Negara tempat pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dimohon menemukan: (a) Pokok persengketaan tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase berdasarkan hukum Negara itu. (b) Pengakuan atau pelaksanaan putusan akan bertentangan dengan kepentingan umum negara itu.201 Sehubungan dengan penolakan putusan arbitrse karena bertentangan dengan kepentingan umum, sebagai pengaturan yang bersifat melengkapi Kepres No. 34 Tahun 1981 yang meratifikasi Konvensi New York 1958, Mahkamah Agung menetapkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1990 yang mengatur pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing. Secara garis besar PERMA ini mengatur tentang: (a) Asas-asas eksekuatur putusan arbitrase asing yang mencakup asas final dan binding, asas resiprositas, sebatas pada hukum perdagangan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum. (b) Pendeponiran putusan arbitrase asing yang tunduk pada asas jus sanguinis yang tunduk pada Pasal 634 dan 635 Rv oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (c) Tatalaksana eksekuatur. Dalam Pasal 3 Ayat 3 dan Pasal 4 Ayat 2 peraturan tersebut disebutkan bahwa pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri di Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, atau nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh system hokum dan
200
Ibid., hal. 195.
201
Ibid., hal. 195-196.
70
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
masyarakat di Indonesia.202 Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, putusan arbitrase asing yang dapat pengakuan dan dapat dilaksanakan di Indonesia, harus memenuhi syarat sebagai berikut: (a) Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara indonesia terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrasi internasional. (b) Putusan arbitrase internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. (c) Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. (d) Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (e) Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut negara republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.203 Adapun kompetensi absolut arbitrase untuk menyelesaikan suatu sengketa perjanjian joint venture, bergantung pada adanya klausula perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak. Ada dua bentuk perjanjian arbitrase, yakni factum de compromitendo dan akta kompromis. Di dalam factum de compromitendo, perjanjian penyelesaian sengketa melalui arbitrase telah disepakati sejak semula sebelum perselisihan terjadi. Sedangkan di dalam akta compromis, perjanjian penyelesaian perselisihan melalui arbitrase baru diikat dan disepakati setelah terjadi perselisihan. Kompetensi absolut arbitrase juga dapat dipahami dengan dimensi asas kebebasan berkontrak. Akta compromis, juga digunakan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang melibatkan pihak
202
Ibid., hal. 209. Lihat juga dalam Dhaniswara K. Hardjono, op. cit., hal. 273-274.
203
Indonesia, UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,, op. cit., ps. 65. Dan
ps. 66.
71
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
pemerintah (host country) dengan pihak asing dalam penanam modal, dengan mekanisme yang ditetapkan ICSID. Meskipun negara-negara yang meratifikasi ICSID telah terikat dengan aturan ICSID, tapi dalam aturannya, pihak-pihak yang ingin menggunakan ICSID harus terlebih dahulu membuat kesepakatan secara tertulis mengajukan sengketanya kepada ICSID, Pasal 36 (1).204 Berkaitan dengan hal di atas, menurut Erman Rajagukguk perlu adanya klausula arbitrase yang komprehensif mengingat klausula arbitrase tidak hanya basis bagi arbitrase, tetapi juga amat menentukan terwujudnya arbitrase. Oleh karenanya klausula arbitrase harus disusun dengan hati-hati dan jelas katakatanya.205 Menurut Stephen R. Bond, setidaknya ada sembilan unsur yang harus disepakati oleh para pihak dalam klausula arbitrase, yakni:206 1. Para pihak harus jelas menetapkan apakah penyelesaian sengketa yang mungkin timbul diserahkan kepada majelis arbitrase yang akan dibentuk setelah sengketa timbul (ad hock arbitration) atau menyerahkannya kepada suatu Badan Arbitrase yang telah ada (institutional arbitration).207 2. Bila para pihak memilih institutional arbitration, maka harus digunakan standar klausul arbitrase yang mereka pakai, seperti: model klausul arbitrase BANI berbunyi sebagai berikut: “Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan administrasi dan peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa sebagai keputusan dalam.tingkat pertama dan terakhir”. Model klausula arbitrasr ICC: "All disputes arising in connection with the present contract shall be finally settled under the Rules of Conciliation and
204
Ridwan Kahirandy, Kompetensi Absolut dalam Penyelesaian Sengketa di Perusahaan Joint Venture, Hukum Bisnis, Vol. 26 No. 24 Tahun 2007, hal. 44, dengan mengutip dari Yahya Harahap, Arbitrase, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 65. Lihat juga dalam Erman Rajagukguk, op.cit., hal. 226-227. 205
Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, op. cit., hal. 89.
206
Ibid., hal. 92-102.
207
Ibid., hal. 92.
72
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Arbitration of the International Chamber of Commerce by one or more arbitrators appointed in accordance with the said Rules”. 208 Model klausul LCIA: "Any dispute arising out of or in connection with this contract, including any question regarding its existence, validity or termination, shall be referred to and finally resolved by arbitration under the Rules of the LCIA, which Rules are deemed to be incorporated by reference into this clause”. 3. Tempat diadakannya arbitrase, Pentingnya tempat arbitrase tidak dapat dianggap remeh dan lebih lagi tidak ada hubungannya dengan lokasi pariwisata yang menarik. Tempat Arbitrase turut menentukan mengenai terlibatnya Pengadilan nasional dalam proses arbitrase baik dalam membantu lancarnya proses arbitrase tersebut maupun intervensi Pengadilan, manakala terjadi hal-hal yang bertentangan dengan Undang-undang atau pelaksanaan putusan arbitrase nantinya. Pasal 31 (3) Undang-undang No. 30 tahun 1999 antara lain menyatakan para pihak harus ada kesepakatan mengenai tempat diselenggarakannya arbitrase dan apabila tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbiter yang akan menentukan. Dalam perdagangan internasional sering terjadi, para pihak menetapkan hukum suatu negara yang akan diterapkan dalam perjanjian berbeda dengan hukum yang akan diterapkan dalam proses arbitrase. Dalam hal ini tempat dimana sengketa akan diselesaikan atau badan arbitrase mana yang akan menyelesaikan sengketa itu menjadi penting.209 4. Pilihan hukum, Pilihan hokum yang akan diterapkan oleh para arbiter untuk menentukan masalah yang substantive bukan unsur yang menentukan bagi sahnya perjanjian arbitrase. Namun demikian hukum mana yang berlaku dalam proses arbitrase, tentulah dapat diserahkan kepada para pihak sendiri. Tidak adanya unsur ini dalam klausula arbitrase akan menjadi faktor yang berarti dalam penambahan waktu dan biaya arbitrase. Disamping itu pilihan hukum yang dilakukan yang diputuskan oleh arbitrator sendiri (karena tidak disebut dalam perjanjian arbitrase) mungkin tidak bisa menyenangkan salah
208
Ibid., hal. 95.
209
Ibid., hal. 96.
73
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
satu pihak. Selanjutnya, bila hukum yang akan diterapkan sudah dicantumkan dalam perjanjian arbitrase, pemilihan arbiter yang menguasai hukum yang dipilih tersebut lebih mudah dilakukan. Pasal 42 (1) dari ICSID Convention memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan hukum yang akan diterapkan, hukum nasional atau hukum internasional. Pilihan hukum nasional biasanya ditujukan kepada hukum negara penerima modal. Internasionalisasi klausula ditunjukan kepada norma-norma dari prinsipprinsip umum hukum dari bangsa-bangsa beradab dan/atau yang diterapkan oleh badan internasional. Kategori ketiga, klausula yang menentukan berlakunya hukum nasional maupun internasional, seperti berikut ini: “Any international arbitration tribunal constituted pursuant to this Agreement shall apply the law of (Host State) on the one hand and Publik International Law and General Customary Law on the other hand, but in the event of a conflict between such two systems shall apply only Public International Law and General Customary Law” Formulasi tersebut diatas cukup jelas untuk menghindarkan masalah penafsiran, yang kadang-kadang dihasilkan dari penyusunan rancangan yang tidak hati-hati.210 5. Komposisi arbitrer, Unsur selanjutnya juga perlu mendapat perhatian penuh adalah mengenai komposisi dari majels arbiter. Berapa orang arbiter yang diinginkan, apakah mereka harus mempunyai kualifikasi tertentu? Arbiter tunggal bisa saja diperjanjikan oleh para pihak, tetapi hal ini amat tergantung kepada kepercayaan mereka terhadap arbiter tunggal. Banyak pihak yang lebih menyukai majelis arbitrase yang terdiri dari tiga arbiter. Masing-masing pihak mengangkat seorang arbiter yang mewakilinya dan kedua arbiter ini kemudian yang akan mengangkat arbiter ketiga sebagai ketua majelis abitrase.211 6. Bahasa dalam proses arbitrase, Banyak pihak yang salah mengerti dan menduga bahwa bahasa dari kontrak otomatis menjadi bahasa yang dipergunakan dalam proses arbitrase. Berdasarkan peraturan ICC hal itu adalah benar, dimana pasal 15 (3) ICC Rules mengatakan:”...that arbitrator
210
Ibid., hal. 97-98.
211
Ibid., hal. 98.
74
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
shall give due regard...in particular to the language of the contract” in determining the language of arbitration”. Penentuan bahasa ini menjadi penting mengingat penterjemahan segala hal dalam proses arbitrase, bila dilakukan dalam lebih dari satu bahasa, akan memperpanjang waktu dan menambah biaya. Pasal 28 Undang-undang No.30 tahun 1999 menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah Bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan.212 7. Putusan akhir dan mengikat, Manfaat dari arbitrase, pada prinsipnya bebas dari campur tangan Pengadilan selama proses arbitrase berlangsung dan putusan arbitrase adalah merupakan putusan akhir yang tidak dapat disbanding ke Pengadilan, dalam arti substansi putusan arbitrase tidak dapat diperiksa lagi oleh pengadilan.213 8. Pelaksanaan putusan arbitrase, di Amerika Serikat, dalam klausula arbitrase hampir selalu dicantumkan kalimat:
214
”...Judgment may be enterd upon the
award and any court of competent jurisdiction.” Klausula ini berasal dari American Arbitration Association (AAA) dan dikatakan adalah lebih baik mencantumkannya dimana salah satu pihak berasal dari Amerika Serikat atau pelaksanaan putusan arbitrase tersebut mungkin dilakukan di Amerika Serikat. Contoh klausula yang sama adalah: ”This agreement shall be anforceable and judgement upon any award rendered by arbitrator may be entered in any court of any country having jurisdiction”. 9. Biaya arbitrase, biaya arbitrase terdiri dari 3 kategori: biaya dari regim arbitrase, biaya dari majelis, dan biaya yang dikeluarkan para pihak. Biaya dari regim arbitrase termasuk “administrative fee of thr regime’s centeral authory”. Biaya sewa ruangan untuk pertemuan dan pengeluaran lainnya yang terkait. Biaya majelis termasuk fee dan pengeluaran arbiter. Biaya para pihak termasuk fee untuk penasehat hukum dan ahli, pengeluaran persiapan kasus,
212
Ibid., hal. 99.
213
Ibid., hal. 100.
214
Ibid., hal. 101.
75
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
pengeluaran untuk staff. Pembebanan biaya arbitrase ini ada beberapa kemungkinan. Pertama, majelis arbiter yang akan menentukan. Kedua, kemungkinan akan dibebankan kepada pihak yang kalah. Ketiga, mungkin para pihak telah sepakat sebelumnya dalam klusula arbitrase bahwa biaya ditanggung berdua dalam jumlah sama.215 10. Unsur-unsur lain yang mungkin perlu ditambahkan dalam klusula arbitrase untuk menghemat waktu dan biaya, atau berkenaan dengan atrbitrase tertentu, antara lain: The applicable procedural law, Power of the arbitrator to adapt the contract, Extent of discovery and cross-examination, Waiver of sovereign immunity, Accomodation for multiparty disputes, Mandatory conciliation, Partial awards either forbidden or require. Beberapa unsur yang dapat dimasukan dalam klausula arbitrase terdapat pula dalam Undang-undang No. 30 tahun 1999 dan unsur tersebut dapat dicantumkan sepanjang proses arbitrase didasarkan kepada hukum Indonesia.216
215
Ibid.
216
Ibid., hal. 102 .
76
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERUSAHAAN JOINT VENTURE
4.1. Sengketa Antara Pemegang Saham Perusahaan Joint Venture Kasus yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelesaian antara pemegang saham perusahaan joint venture dapat dilihat dalam perkara Sutomo melalui PT. Balapan Jaya (penggugat), melawan Ahyu Foresty Company (tergugat) sebuah perusahaan yang berkedudukan di Dohwa Dong Korea. Kedua perusahaan tersebut (PT. Balapan Jaya dan Ahyu Foresty Company) mendirikan sebuah Perusahaan Joint Venture dalam rangka investasi asing di Indonesia, yakni PT. Ahyu Balapan Timber. Dalam perusahaan joint venture tersebut Penggugat menduduki jabatan Direktur sedangkan Tergugat sebagai Presiden Direktur. Penggugat mengajukan gugatan karena adanya perlakuan yang tidak wajar yang dilakukan oleh partnernya, dalam hal ini penggugat sebagai pemegang saham sekaligus Direktur pada PT. Ahyu Balapan Timber, tidak pernah dilibatkan dalam pengelolaan keuangan perusahaan tersebut, sehingga penggugat menyatakan tidak bertanggung jawab atas laporan keuangan tersebut. 217 Intisari duduk perkara sengketa para pihak di atas berdasarkan gugatan Penggugat dan eksepsi Tergugat dapat diuraikan sebagai berikut: Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 16 Juli 1980 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 21 Juli 1980 di bawah No. 1131980 G, antara lain mendalilkan:218 1.
Bahwa berdasarkan SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN No. 673 KPTS/UM/11/1977 pada tanggal 7 Nopember 1977, telah menetapkan PT. BALAPAN JAYA sebagai pemegang HAK PENGUSAHAAN HUTAN (HPH) untuk jangka waktu 20 tahun atas areal hutan seluas 115.000 Ha yang terletak di wilayah Propinsi Kalimantan Barat;
217
Lihat dalam Erman Rajagukguk, Hukum Investasi, Pokok Bahasan, op. cit., hal. 222. Lihat Juga analisis kasus ini dalam Erman Rajagukguk, Indonesianisasi Saham, op. cit., hal. 4648. 218
Lihat dalam Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, op. cit.,
hal.156-165.
77
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
2.
Bahwa dalam rangka Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, antara Penggugat dengan Tergugat bersama-sama mendirikan suatu Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing (PMA) yang bernama PT. AHJU BALAPAN TIMBER, dengan maksud dan tujuan perusahaan adalah berusaha di bidang perkayuan, penggerajian, industri pengolahan kayu dan memperdagangkan hasil-hasil usaha tersebut, baik di dalam maupun di luar negeri;
3.
Bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah diadakan sejumlah Basic Agreement For Joint Venture;
4.
Adapun titik pangkal antara Penggugat sebagai partner Indonesia dengan Tergugat sebagai partner Korea (asing), sebagai berikut: Bahwa telah terjadi perlakuan yang tidak wajar terhadap karyawan Indonesia oleh pihak asing (partner Korea). Pada tanggal 30 Juli 1979, tuan SUTOMO, Wakil Presiden Direktur, Penggugat, telah membuat surat kepada tuan CHOI MYEONG HAENG, Presiden Direktur, tentang hal tersebut;
5.
Bahwa salah satu perlakuan tidak wajar sebagaimana di atas yang dilakukan oleh partner Korea adalah tidak adanya keterbukaan dalam pengelolaan keuangan sebagaimana yang disampaikan oleh Kantor Akuntan (Publik) Drs. TANOK, yang telah membuat surat kepada PT. AHJU BALAPAN TIMBER, yang menjelaskan bahwa Akuntan hanya melihat buku-buku perusahaan yang dijamin oleh Presiden Direktur tuan CHOI MYEONG HAENG, bahwa angka-angka yang terdapat dalam pembukuan perusahaan harus dianggap betul yang tanpa disertai tanda tangan Wakil Presiden Direktur (tuan SUTOMO);
6.
Bahwa berdasarkan perlakuan tidak wajar sebagaimana di atas, Penggugat menyatakan diri tidak bertanggungjawab atas laporan keuangan PT. AHJU BALAPAN TIMBER, selanjutnya Penggugat berusaha menyelesaiakannya dengan dengan cara memohon bantuan kepada Direktur Jenderal Kehutanan agar melakukan pembinaan terhadap Partner Korea tersebut atas pengelolaan perusahaan yang tidak wajar;
7.
Bahwa terhadap upaya Penggugat, pada tanggal 26 Januari 1980 Direktur Jenderal Kehutanan membuat surat kepada Direksi PT. AHJU BALAPAN
78
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
TIMBER,
anjuran
agar
selayaknya
diperhatikan
dan
diindahkan
kebijaksanaan dalam mengelola perusahaan hutan harus dilandasi itikad baik dari kedua belah pihak dan agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka manajemen pengusahaan hutan harus terbuka misalnya semua
surat,
dokumen
Bank,
Cheque
dan
pembayaran
lainnya
ditandatangani oleh pihak Indonesia dan pihak Korea; 8.
Bahwa karena tidak adanya itikad baik dalam pengelolaan perusahaan oleh partner Korea, pada tanggal 1 Februari 1980 PT. BALAPAN JAYA membuat surat kepada tuan SUTOMO sebagai Wakil Presiden Direktur PT. AHJU BALAPAN TIMBER, agar bersiap-siap menghadapi akan bubarnya joint company dalam mematuhi surat Direktur Jenderal Kehutanan RI tanggal 26 Januari 1980;
9.
Bahwa pada tanggal 6 Desember 1979, PT BALAPAN JAYA (partner Indonesia) telah membuat surat kepada Direksi Bank Dagang Negara di Jakarta, yang meminta agar setiap penarikan cheque dan dokumen perbankan lainnya harus dicounter oleh pihak Indonesia dari setiap penarikan cheque PT AHJU BALAPAN TIMBER;
10.
Bahwa karena ketiadaan itikad baik dari Tergugat yang diperlihatkan terus menerus, Penggugat memohon kepada Bank Dagang Negara untuk membekukan rekening-rekening perusahaan PT. AHJU BALAPAN TIMBER;
11.
Bahwa pada tangga 17 Januari 1980, Bank Dagang Negara membuat surat kepada PT. BALAPAN JAYA, yang pada pokoknya mengutarakan rekening-rekening perusahaan PT. AHJU BALAPAN TIMBER telah dibekukan;
12.
Bahwa pada tanggal 19 Mei 1980, PT. BALAPAN JAYA membuat surat kepada Ketua Badan Penanaman Modal (BKPM) di Jakarta, yang pada pokoknya mengutarakan sikap yang tidak wajar dari pihak Korea dalam perusahaan PT. AHJU BALAPAN TIMBER yang pada akhirnya PT. BALAPAN JAYA mohon agar dapat dilakukan pencabutan izin usaha dari PT. AHJU BALAPAN TIMBER dalam waktu yang singkat;
79
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
13.
Bahwa selanjutnya Drs. TANOK (Akuntan) membuat surat kepada PT. AHJU BALAPAN TIMBER, tentang Financial Report for the period 1979 dari pada joint company tersebut dan surat ni diketahui oleh PT. BALAPAN JAYA (pemegang saham dari PT. AHJU BALAPAN TIMBER) bersifat ”No Opinion” karena tidak memperoleh data-data lengkap akibat perbuatan pihak Tergugat (partner Korea), tidak memberikan informasi secara terbuka tentang keuangan perusahaan. Berdasarkan dalil-dalil di atas kemudian Penggugat mohon kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar: 1.
Memutuskan perjanjian joint venture antara Pengugat dengan Tergugat, karena Tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum dengan tidak mengindahkan kepentingan-kepentingan pemegang saham mayoritas;
2.
Menyatakan semua saham Tergugat menjadi saham Penggugat selama kerjasama tersebut berlangsung sebagai akibat dari perbuatan melanggar hukum dari Tergugat selama kerjasama tersebut berlangsung yang merugikan Penggugat. Sebelumnya dalam tuntutan provisi Penggugat memohon Pengadilan
memutuskan: 1.
Menyatakan, supaya Management (Pengurusan) dari PT. AHJU BALAPAN TIMBER untuk seluruhnya, ditangani/dipegang oleh Penggugat dan untuk waktu yang tidak ditentukan sampai ada penyelesaian perkara ini baik diluar persidangan maupun didalam persidangan antara Penggugat dengan Tergugat;
2.
Mencairkan dana PT. AHJU BALAPAN TIMBER yang dibekukan oleh Bank Dagang Negara Jakarta, Jalan Thamrin, pencairan mana sangat diperlukan untuk biaya-biaya lainnya demi lancarnya perusahaan tersebut; Atas gugatan di atas, pihak Tergugat mengajukan eksepsi tentang
Pengadilan yang keliru, yang berkaitan dengan kompetensi absolut penyelesaian sengketa berdasarkan Pasal 115 basic agreement for joint venture tertanggal 20 Maret 1974, bahwa apabila terjadi sengketa diselesaikan melalui arbitrase, keberatan tuntutan provisi yang merupakan tuntutan dalam pokok perkara, dan keberatan atas tuntutan pengalihan semua saham dari AHJU FORESTRY
80
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
COMPANY LTD. kepada Penggugat. Adapun dalil eksepsi yang dikemukan oleh Tergugat, antara lain sebagai berikut:219 1.
Bahwa Penggugat mendasarkan seluruh gugatannya atas perjanjian kerjasama mengenai perusahaan hutan antara Penggugat dan AHJU FORESTRY LTD. Menurut Basic Agreement for Joint Venture tertanggal 20 Maret 1974 tersebut, pasal 15, maka semua sengketa antara pihak berdasarkan perjanjian tersebut harus diselesaikan melalui Arbitrase yang teridir dari dua Arbitrator dan seorang Umpire. Pihak Penggugat dan AHJU FORESTRY COMPANY LTD., masing-masing mengangkat seorang Umpire. Apabila para Arbitrator yang telah diangkat oleh para pihak tersebut tidak dapat mencapai persetujuan tentang Umpire ini dalam 30 hari setelah pengangkatan dari pada Arbitrator kedua maka Umpire ini akan ditunjuk oleh Ketua dari pada International Chamber of Commerce di Paris;
2.
Bahwa Dewan Arbitrase inilah yang akan menentukan kaidah-kaidah dan prosedur (pengacaraan dan tempat daripada Arbitrase ini). Keputusan dari pada Dewan Arbitrase ini akan diambil dengan suara terbanyak dan putusan Arbitrase ini adalah mengikat dan merupakan terakhir (final and binding) atas para pihak;
3.
Karena adanya Arbitration clause yang telah disetujui kedua belah pihak dan karenanya mengikat mereka sebagai undang-undang (pasal 1338 BW), maka sudah teranglah sengketa ini tidak dapat diperiksa oleh Pengadilan tetapi harus diselesaikan oleh Dewan Arbitrase yang telah dimufakati dalam perjanjian para pihak itu;
4.
Atas dasar ini pula Pengadilan Negeri Jakarta Utara harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa perkara ini dan tuntutan Penggugat sekarang harus dinyatakan tidak dapat diterima; Pengadilan Negeri Jakarta Utara menolak eksepsi tergugat dan
menyatakan dirinya berwenang memeriksa dan mengadili perkara. Pengadilan berdasarkan putusan No. 113,1980 G. Tanggal 18 Desember 1980 mengabulkan
219
Ibid., hal. 167-172.
81
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
sebagian gugatan Pengugat, yaitu Penggugat berhak melakukan pengurusan PT. Ahyu Balapan Timber secara keseluruhan dan pencairan dana-dana perusahaan. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta No. 57/1981/PT. tertanggal 7 Mei 1981. Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung berdasarkan putusan No. 2924 K/Sip/1981 membenarkan keberatan Tergugat dan membatalkan putusan sebelumnya dan menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak berwenang mengadili. Sebagian alasan atau dalil dalam memori kasasi Ahyu Forestry Company yang dibenarkan secara hukum oleh Mahkamah Agung, antara lain, ketentuan mengenai Dewan Arbitrase, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 115 Basic Agreement for Joint Venture, telah mengikat para pihak sebagai undang-undang sesuai 1338 BW, oleh karenanya putusan judex factie telah bertentangan dengan pasal 615 dan seterusnya dari RV dan dengan demikian juga melanggar kompetensi absolut. Dengan kata lain Mahkamah Agung RI dalam putusannya berpendirian, bahwa bila para pihak telah sepakat dalam perjanjian joint venture memilih arbitrase sebagai badan penyelesaian sengketa yang mungkin timbul, maka Pengadilan tidak mempunyai yuridiksi untuk memeriksa dan mengadili sengketa tersebut. Oleh karenanya penyelesaian sengketa ini sangat tergantung kepada choice of jurisdiction yang disepakati para pemegang saham.220 Dalam perspektif hukum perjanjian, dengan lahirnya kata sepakat atau konsensus para pihak, maka kesepakatan tersebut menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda). Ini bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati, sebagaimana dapat disimpulkan dari Pasal 1338 BW: “Semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan ini tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang, persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.
220
Erman Rajagukguk, Hukum Investasi, Pokok Bahasan, op. cit., hal. 222.
82
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Kemutlakan keterikatan kepada perjanjian arbitrase dengan sendirinya mewujudkan kewenangan absolut badan arbitrase untuk menyelesaikan atau memutus sengketa yang timbul dari perjanjian. Gugurnya kewenangan mutlak arbitrase, hanya dapat dibenarkan apabila para pihak sepakat dan setuju untuk menarik kembali secara tegas perjanjian arbitrase. Jadi semenjak para pihak mengikatkan diri dalam perjanjian arbitrase, sejak itu pula dengan sendirinya telah lahir kompetensi absolut arbitrase untuk menyelesaikan persengketaan yang timbul dari perjanjian.221 Dengan demikian, setiap perjanjian yang mengandung klausul arbitrase dengan
sendirinya
terkait
kompetensi
absolut
badan
arbitrase
untuk
menyelesaikan perselisihan yang timbul dari perjanjian yang bersangkutan. Dengan asas pacta sunt servanda ini, maka klausul arbitrase merupakan undangundang bagi mereka yang membuatnya dan harus mereka taati sepenuhnya.222 Berdasarkan eksepsi yang dikemukan oleh pihak Tergugat, dapat dikatakan bahwa klausula penyelesaian sengketa yang dituangkan dalam Basic Agreement For Joint Venture antara PT. BALAPAN JAYA dengan Ahyu Foresty Company, masuk dalam kategori factum de compromitendo, yakni para pihak telah membuat kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul melalui forum arbitrase yaitu International Chamber of Commerce
di Paris.
Dalam kasus di atas, para pihak tidak pernah membatalkan klausul arbitrase tersebut. Dalam factum de compromitendo sebagaimana di atas, pada saat mereka mengikatkan diri dan menyetujui klausula arbitrase sama sekali belum terjadi sengketa atau perselisihan. Klausul arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul pada yang akan datang. Jadi, sebelum terjadi perselisihan para pihak telah bersepakat dan mengikatkan diri untuk
221
M. Yahya Harahap, Arbitrase, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), op.cit, hal. 89 dalam Ridwan Khairandi. Analisis terhadap Kesalahan Pengadilan dalam Penafsiran Perjanjian dan Penentuan Kompetensi Absolut Arbitrase terhadap Putusan Mahkamah Agung No: Reg. No. 1851/Pdt./1984 dalam perkara PT Pulau Intan Cemerlang dan PT Gunung Berlian melawan Syafei Juremi, dkk. 222
Ibid.
83
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
menyelesaikan perselisihan yang akan terjadi oleh arbitrase.223 Apabila ditinjau melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Berdasarkan undang-undang ini arbitrase memiliki kedudukan dan kewenangan yang jelas dan kuat. Berdasarkan undang-undang ini Pengadilan Negeri tidak berhak untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Kemudian ditentukan bahwa adanya suatu perjanjian tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Oleh karenanya, Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal yang ditetapkan dalam undang-undang ini.224 Dengan demikian, pengadilan tidak berwenang untuk mencampuri suatu sengketa bilamana dicantumkan sebuah klausula arbitrase dalam suatu kontrak.225 Tujuan arbitrase sebagai alternatif bagi penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan menjadi sia-sia manakala pengadilan masih bersedia memeriksa sengketa yang sejak semula disepakati diselesaikan melalui arbitrase.226 Bilamana salah satu pihak sudah terlanjur menyerahkan sengketanya ke pengadilan, maka Pengadilan Negeri berdasarkan permohonan pihak lain harus menolaknya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tersebut di atas. Penyelesaian sengketa sendiri dapat dimulai setiap saat. Mulai dari saat sengketa itu timbul sampai pada saat sebelum arbiter memberikan keputusannya.227 Dengan adanya ketentuan pasal tersebut, maka kompetensi absolut arbitrase lahir ketika para pihak membuat perjanjian dengan tegas bahwa mereka
223
Ibid.
224
Indonesia, Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 30 Tahun 1999, op. cit., Ps.3 jo. Ps. 11. 225
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Fikahati Aneska - Badan Arbitrase Nasional Indonesia, 2002), hal. 79. 226
Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, op. cit., hal. 13-14.
227
Priyatna Abdurrasjid, op.cit, hal. 63.
84
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
akan menyelesaikan perselisihan mereka melalui forum arbitrase. Sehingga, pengadilan tidak memiliki wewenang untuk mengadili sengketa tersebut. Kecuali, jika para pihak sepakat untuk menyelesaikan melalui jalan pengadilan. Larangan campur tangan pengadilan itu hanya untuk menegaskan bahwa arbitrase adalah sebuah lembaga yang independen. Sehingga, pengadilan wajib untuk menghormati lembaga arbitrase. Meskipun arbitrase merupakan suatu lembaga independen yang terpisah dari pengadilan, tidak berarti bahwa tidak ada kaitan erat di antara keduanya. Lembaga arbitrase membutuhkan dan tergantung pada pengadilan, misalnya, dalam pelaksanaan putusan arbitrase.228
4.2. Sengketa Antara Anggota Direksi Perusahaan Joint Venture Sengketa antara anggota direksi pada perusahaan joint venture dapat dilihat dalam perkara antara J. Santo melawan R. A. Kreling cs pada PT. ICI Paints Indonesia.229 Perkara ini bermula dari gugatan J. Santo, Direktur PT. ICI Paints Idonesia terhadap R. A. Kreling, selaku Presiden Direktur PT tersebut dan lima Direktur lainnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Penggugat terpilih sebagai salah seorang direktur pada RUPS tertanggal 26 Maret 1980. Dalam pembagian
228
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 71. Ridwan Khairandi mempunyai pandangan yang berbeda dalam melihat penyelsaian kasus Sutomo melawan Ahyu Foresty Company, menurutnya baik pada putusan judex factie maupun judex juris salah memberikan pertimbangan hukum, karena tidak membedakan antara perjanjian joint venture dengan perusahaan joint venture. Padahal kedua hal tersebut memberi makna dan konsekuensi hukum yang berbeda. Kasus di atas terjadi pada periode atau fase setelah terbentuknya perusahaan joint venture, yakni berdirinya PT. Ahyu Balapan Timber. Menurutnya sengketa yang terjadi adalah sengketa antara para pemegang saham dalam perseroan terbatas. Sengketa ini berkaitan dengan perselisihan pengelolaan atau manajemen perusahaan joint venture, bukan sengketa perjanjian joint venture, khususnya yang berakitan dengan pengelolaan personal dan keuangan. Oleh karenanya dengan telah terbentuknya perusahaan joint venture, maka seharusnya perjanjian joint venture telah berakhir. Oleh karenanya maka penyelesaian sengketa di antara pemegang saham perusahaan joint venture yakni PT. Ahya Balapan Timber, harus mengacu pada ketentuan-ketentuan yang mengatur Perseroan Terbatas (saat kasus ini terjadi pengaturan perseroan terbatas terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang atau KUHD) dan Anggaran Dasar PT. Ahyu Balapan Timber. Jika kasus yang sama terjadi sekarang, maka didasarkan pada Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan kewenangan penyelesaiannya terletak pada Pengadilan Negeri. Lihat dalam Ridwan Khairandi, Kompetensi Absolut Penyelesaian Sengketa di Perusahaan Joint Venture, op. cit., hal. 42-48. 229
Erman Rajagukguk, Hukum Investasi, Pokok Bahasan, op.cit., hal. 164-165. Lihat juga dalam Erman Rajagukguk, Indonesianisasi Saham, op. cit., hal. 49-50.
85
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
kerja (job description) antara para direktur, menugaskan penggugat sebagai direktur sebagaimana yang tercantum dalam anggaran dasar perusahaan, yakni: 1.
menentukan kebijaksanaan dalam bidang personalia, khususnya dan terutama dalam hal pemilihan calon-calon tenaga kerja bangsa asing yang menduduki jabatan-jabatan kunci;
2.
menyusun pembagian kerja masing-masing jabatan dalam organisasi perusahaan;
3.
menyusun anggaran dasar perusahaan yang menyangkut tenaga kerja bangsa asing.230 Terhadap ugas-tugas sebagaimana di atas, para Tergugat tidak
memperkanankan Penggugat untuk melakukannya. Hal mana akan merugikan perusahaan. Oleh karenanya Penggugat meminta kepada Pengadilan untuk mengabulkan gugatan Penggugat, yang antara lain menghukum para Tergugat untuk mengikutsertakan atau memperkenankan Penggugat dalam hal-hal sebagai berikut: a.
menentukan kebijaksanaan dalam bidang personalia khususnya dan terutama dalam pemilihan calon-calon tenaga bangsa asing yang menduduki jabatanjabatan kunci;
b.
menyusun “job description” dari masing-masing dan setiap jabatan dalam organisasi perusahaan;
c.
menyusun anggraan perusahaan dengan segala hasil jadinya;
d.
memeriksa atau meneliti berkas perusahaan yang menyangkut tenaga kerja bangsa asing maupun Indonesia. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dalam putusannya pada tanggal 7
Oktober 1982, mengabulkan gugatan tersebut di atas. Pengadilan berpendapat walaupun Anggaran Dasar PT. ICI Paints Indonesia tidak menyebut secara terperinci wewenang para direktur, namun majelis hakim berpendapat, demi memberikan perlindungan dan jaminan hukum bagi Direktur yang berbangsa Indonesia yang duduk dalam pengurusan perusahaan joint venture dengan perusahaan asing tersebut, tegasnya perlindungan dan jaminan hukum kepada
230
Ibid., hal. 164.
86
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
penggugat yang dalam kedudukannya sebagai Direktur PT. ICI Paints Indonesia.231 Dalam kasus di atas Penggugat mendalilkan bahwa tugas-tugas (job description) yang menjadi kewenangannya telah ditetapkan dalam Anggaran Dasar Perseroan. Anggaran Dasar Perseroan (article of association) itu sendiri secara yuridis adalah sebagai hukum dasar, antara lain: mengatur hubunganhubungan hukum antara organ perseroan yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris, wewenang atau tugas-tugas Direksi dan Dewan Komisaris, serta tata kelola perseroan. Sebagai hukum dasar yang berlaku bagi perseroan, dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 pengesahan Anggaran Dasar menjadi satu kesatuan dengan pengesahan perseroan sebagai badan hukum, dimana Anggaran Dasar tersebut terdapat dalam Akta Pendirian Perseroan (memorandum of association). Pengesahan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM ini dapat dikatakan sebagai manifestasi pemberian kewenangan dan hak oleh Negara kepada perseroan untuk melakukan perbuatan hukum.232 Dengan paradigma di atas, para pihak yang berada dalam internal perseroan, tunduk dan terikat dengan segala ketentuan yang terdapat dalam Anggaran Dasar perseroan dalam menjalankan perseroan. Pada kasus di atas, apabila para pihak tidak berkenan dengan tugas-tugas masing-masing direktur, ada mekanisme yang dapat ditempuh, yakni dengan melakukan perubahan substansi Anggaran Dasar tersebut yang ditetapkan melalui RUPS, dengan ketentuan bahwa terhadap perubahan tersebut dilakukan pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan HAM. Kecuali perubahan yang berkaitan dengan: (a) nama perseroan dan/atau tempat kedudukan perseroan, (b) maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan, (c) jangka waktu berdirinya perseroan, (d) besarnya modal dasar pengurangan modal ditempatkan atau disetor, (e) status perseroan
231
Ibid. hal. 164-165
232
Lihat Indonesia, Undang-undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, op. cit., Ps. 7 (4) jo. Ps. 8.
87
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
menjadi tertutup atau terbuka, harus mendapatkan persetujuan Menteri.233
4.3. Sengketa Antara Pemegang Saham dengan Anggota Direksi Perusahaan Joint Venture Sengketa pengelolaan perusahaan joint venture antara pemegang saham melawan direktur dapat dilihat dalam kasus derivative action atau gugatan derivatif, yakni dalam perkara No. 59/Pdt.G./2002/ PN. Jak-Sel, yakni PT Dwi Satrya Utama, pemegang saham 45%, PT. ICI Paints Indonesia, sebagai Pengugat, melawan, Raymond Richard Sparks (Tergugat I) dan Inderadi Kosim (Tergugat II), direktur PT. ICI Paints Indonesia tersebut, sebagai tergugat.234 Penggugat mendalilkan bahwa para tergugat telah merugikan perseroan, antara lain karena: 1.
Tergugat I dan Tergugat II baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama telah dengan sewenang-wenang melakukan penunjukan konsultan hukum Freshfields dan Makarim & Taira oleh ICI Omricron BV untuk kepentingan PPG Industries, Inc yang berkeinginan melakukan pembelian pabrik di Cimanggis tanpa persetujuan dua direktur wakil PT Dwi Satrya Utama. (Berdasarkan The Master Sale and Purchase Agreement).
2.
Dengan selesainya tugas dari konsultan hukum tersebut, maka Tergugat I dan Tergugat II telah menyetujui pembayaran legal fee kepada masing-masing konsultan tersebut S$ 16.970,13 (enambelas ribu sembilan ratus tujuh puluh koma tiga belas Dolar Sinagpura) kepada Freshfields dan sebesar US$ 106.850, 12 (seratus enam ribu delapam ratus lima puluh koma dua belas Dolar Amerika) kepada Makarim dan Taira, padahal jasa konsultan hukum itu untuk kepentingan pihak lain bukan untuk kepentingan PT. ICI Paints Indonesia.
3.
Tergugat I dan Tergugat II telah sewenang-wenang menetapkan renumerasi General Manager yang sangat berlebihan tanpa melalui persetujuan seluruh
233
Ibid., Ps. 19 sampai dengan Ps. 28.
234
Lihat kasus ini dalam Erman Radjagukguk,, Pengelolaan Perusahaan Yang Baik: Tanggung Jawab Pemegang Saham, Komisaris dan Direksi, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 26 No. 3 Tahun 2007., hal. 28-29. Lihat juga dalam Ridwan Kharandy, op. cit., hal. 238-240.
88
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Direksi PT. ICI Paints Indonesia sehingga melanggar Pasal 2 Ayat (3) dari Shareholders Agreement yang berbunyi: The day to day of the company shall be entrusted to a general manager. The appointment of the general manager will be made wits the approval of all the directors of the company but no director shall unreasonably withhold approval. 4.
Tergugat I dan Tergugat II baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama telah lalai melakukan tindakan pengelolaan perusahaan dalam hal ini melarang General Manager untuk mentransfer dana sebanyak US$ 4.500.000 (empat juta lima ratus ribu Dolar Amerika) dari Bank di Indonesia ke Bank Luar Negeri. Padahal saat itu Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang mengkhawatirkan, dan telah dihimbau kepada semua warga Negara Indonesia serta instansi untuk tidak melakukan transfer dana ke luar negeri.
5.
Dengan demikian, Tergugat I dan Tergugat II bersalah atau lalai dalam menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha PT. ICI Paints Indonesia, sehingga kerugian yang diderita PT. ICI Paints Indonesia adalah merupakan tanggungjawab pribadi dari Tergugat I dan Tergugat II secara bersama-sama.
6.
Berdasarkan alasan-alasan sebagaimana disebutkan di atas terbukti bahwa Tergugat I dan Tergugat II disamping telah melanggar ketentuan Pasal 2 Ayat (3) Shareholders Agreement, juga melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, sehingga Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan PT. ICI Paints Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
7.
Kerugian yang diderita oleh PT. ICI Paints Indonesia sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II adalah sebesar S$16.970,13 (enambelas ribu sembilan ratus tujuh puluh koma tiga belas Dolar Sinagpura) dan sebesar US$ 106.850, 12 (seratus enam ribu delapam ratus lima puluh koma dua belas Dolar Amerika).
8.
Kerugian PT. ICI Paints Indonesia sebesar S$16.970,13 (enambelas ribu sembilan ratus tujuh puluh koma tiga belas Dolar Sinagpura) dan sebesar US$ 106.850, 12 (seratus enam ribu delapam ratus lima puluh koma dua belas Dolar Amerika) itu terjadi sejak pembayaran kepasa konsultan hukum sehingga mengurangi kemampuan cash flow PT. ICI Paints Indonesia dan
89
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
nayata-nyata menghilangkan kesempatan untuk memperoleh bunga. Para tergugat dalam bantahannya mengenai bukan pokok perkara (eksepsi) maupun dalam jawaban pokok perkara, membantah semua dalil-dalil Penggugat tersebut di atas. Para tergugat memohon pengadilan untuk memutuskan agar penggugat meminta maaf di Harian Kompas dan The Jakarta Post selama tiga hari berturut-turut karena perbuatan hukum yang dilakukannya mencemarkan nama baik para Tergugat. Setelah mendengarkan saksi-saksi dan bukti-bukti, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam pertimbangan hukumnya menyatakan tidak terbukti penunjukan Konsultan Hukum Freshfields dan Makarim & Taira oleh PT. ICI Paints Indonesia sebagai suatu kerugian akibat perbuatan melawan hukum. Tidak terbukti pula gugatan Penggugat, bahwa para Tergugat yang tidak melarang transfer uang sebanyak US$ 4.500.000,- pada Deutsche Bank Singapore menimbulkan kerugian bagi PT.ICI Paints Indonesia. Oleh karena itu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan menolak gugatan Penggugat seluruhnya. Menyatakan Penggugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum penggugat meminta maaf kepada para tergugat di Harian Kompas dan The Jakarta Post selama tiga hari berturutturut dengan redaksi yang disetujui terlebih dahulu oleh para tergugat. Sengketa antara pemegang saham dengan anggota direksi perusahaan joint venture sebagaimana di atas, dapat terjadi dalam hal pemegang saham merasa dirugikan akibat kesalahan manajemen yang dilakukan. Sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, apabila kesalahan atau kelalaian anggota direksi dapat mengkibatkan perseroan menderita kerugian, pemegang saham memiliki hak untuk mengajukan gugatan derivatif (derivative action atau derivative suit). Sehubungan dengan hal ini, atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili 1/10 (satu persepuluh) bagian dan jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan ke pengadilan negeri.235
235
Indonesia, Undang-undang Perseroan Terbatas, UU. No. 40 Tahun 2007, op. cit.,
ps. 97 (6).
90
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Gugatan derivatif itu sendiri adalah suatu gugatan berdasarkan hak utama (primary right) dari perseroan, tetapi hak tersebut dilaksanakan oleh pemegang saham atas nama perseroan. Gugatan tersebut dilakukan karena adanya kegagalan dalam perseroan. Dengan perkataan lain, gugatan derivatif merupakan suatu gugatan yarig dilakukan oleh pemegang saham untuk dan atas nama perseroan. Dikatakan derivatif (turunan) karena gugatan tersebut diajukan oleh pemegang saham untuk dan atas nama perseroan, gugatan mana sebenarnya berasal (diturunkan) dari (derived from) gugatan yang seharusnya dilakukan oleh perseroan.236 Dari pengertian gugatan derivatif di atas, dapat ditarik ada beberapa unsur yang terkandung di dalam gugatan derivatif, yaitu: (1) Adanya gugatan, (2) Gugatan itu diajukan ke pengadilan, (3) Gugatan tersebut diajukan oleh pemegang saham perseroan yang bersangkutan, (4) Pemegang saham mengajukan gugatan untuk dan atas nama perseroan, (5) Pihak yang digugat selain pihak perseroan, biasanya direksi atau komisaris perseroan, (6) Penyebab dilakukannya gugatan karena adanya kegagalan dalam perseroan atau kejadian yang merugikan perseroan yang bersangkutan, dan (7) Karena diajukan untuk dan atas nama perseroan, maka segala hasil gugatan menjadi milik perseroan walaupun pihak yang mengajukan gugatan adalah pemegang saham.237 Karena pemegang saham sebagai penggugat tidak mewakili dirinya sendiri, tetapi untuk dan atas nama perseroan dalam mengajukan gugatan, maka ada beberapa karakteristik khusus suatu gugatan derivatif, yaitu: pertama, sebelum dilakukan gugatan, sejauh mungkin dimintakan (demand) yang berwenang (direksi) untuk melakukan gugatan untuk dan atas nama perseroan sesuai ketentuan dalam anggaran dasarnva. Kedua, pihak pemegang saham yang lain sejauh mungkin dimintakan juga partisipasinya dalam gugatan derivatif, mengingat gugatan tersebut juga untuk kepentingannya. Ketiga, harus diperhatikan juga kepentingan stake holder yang lain, seperti pemegang saham
236
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, op. cit., hal. 235-236. Lihat juga dalam Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 75. 237
Ibid.
91
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
yang lain, pihak pekerja, dan kreditor. Keempat, tindakan penolakan gugatan derivatif berdasarkan alasan ne bis in idem tidak boleh merugikan kepentingan pihak stake holder yang lain. Kelima, harus dibatasi bahkan dilarang penerimaan manfaat oleh pemegang saham yang ikut terlibat dalam tindakan merugikan perseroan terhadap mana gugatan derivatif diajukan, yakni manfaat dari ganti rugi yang diberikan terhadap gugatan derivatif tersebut. Keenam, seluruh manfaat yang diperoleh dan gugatan derivatif menjadi milik perseroan. Ketujuh, sebagai konsekuensinya, maka seluruh biaya yang diperlukan dalam gugatan derivatif mesti ditanggung oleh pihak perseroan.238
4.4. Sengketa Antara Investor Asing dengan Pemerintah dalam Joint Venture Sengketa antara investor asing dengan Pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan joint venture dalam penanaman modal asing di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa kasus, antara lain kasus Amco Asia Corporation melawan Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia melawan Cemex Asia Holding Ltd., Pemerintah Republik Indonesia (Pemerintah Daerah Kalimantan Timur) melawan PT. Kaltim Prima Coal. Tiga kasus ini diselesaikan melalui lembaga arbitrase internasional International Center for Settlement of Investement Dispute (ICSID). Kasus Karaha Bodas Company melawan Pertamina (sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan, mewakili Pemerintah, UU No. 8/1971), Kasus Pemerintah Republik Indonesia melawan PT. Newmont Nusa Tenggara. Dua kasus ini diselesaikan melalui United Nation Commision on International Trade Law (UNCITRAL). Intisari kasus-kasus di atas diuraikan di bawah ini. Kasus sengketa Amco Asia Corporation melawan Pemerintah Republik Indonesia bermula dari perselisihan antara Amco Asia, sebuah perusahaan AS dan PT. Wisma yang sebelumnya mengadakan Lease and Management Agreement pada tahun 1968. Amco Asia Corporation mendirikan anak perusahaannya PT. Amco
berdasarkan
hukum
Indonesia
(joint
venture
company).
Dalam
permohonannya berisi klausula arbitrase ICSID sehubungan dengan perselisihan
238
Ibid., hal. 236-237.
92
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
yang mungkin timbul antara Pemerintah RI dan PT. Amco. Selanjutnya PT. Amco mengadakan ”Sub-Lease Agreement” dengan Aeropasific untuk membiayai, membangun dan mengurus hotel. Setelah kesulitan-kesulitan timbul berkenan dengan ”Sub-Lease Agreement” untuk manajemen hotel Kartika Plaza. Sengketa timbul antara PT. Amco dan PT. Wisma, khususnya mengenai jumlah bagian masing-masing pihak berdasarkan ”Profit Sharing Agreement” tersebut. Pada tanggal 31 Maret s/d 1 April 1980, Hotel tersebut diduduki oleh tentara dan manajemen hotel diambil alih oleh PT. Wisma. BKPM mencabut izin penanaman modal PT. Amco pada tanggal 9 Juli 1980. Pengadilan Tinggi Jakarta berdasarkan gugatan PT. Wisma terhadap PT. Amco pada November 1983 membatalkan ”Management and Lease Agreement” 1968 dan ”Profit Sharing Agreement” 1978.239 Pada tanggal 15 Januari 1981, Amco mengajukan permintaan putusan arbitrase ICSID (ICSID Case No. ARB/81/1), mempersoalkan hak Pemerintah RI untuk membekukan investasi dan izinnya, serta meminta ganti rugi sebesar US$ 12,393,000 termasuk bunga dan ongkos.240 Dewan Arbitrase memutuskan bahwa para pihak tidak menyatakan adanya persetujuan tentang aturan yang dipakai untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka. Dewan Arbitrase menerapkan hukum Indonesia, yaitu hukum yang berlaku bagi kontrak yang dibuat para pihak, dan hukum internasional yang menurut Dewan dapat diterapkan dengan melihat masalah yang dipersengketakan. Setelah mempertimbangkan berbagai hal. Pada November 1984, Dewan Arbitrase memutuskan mengabulkan sebagian klaim Amco sebesar US$ 3,200,000 ditambah bunga 6% setahun sejak tgl. 15 Januari 1981 sampai tanggal pembayaran efektif.241 Pada tanggal 18 Maret 1985, Pemerintah Indonesia mengajukan permohonan pembatalan putusan tersebut, dimana Komite Ad Hock membatalkan sebagian dari putusan tersebut. Namun Dewan tetap berpendirian bahwa tindakan
239
Erman Rajagukguk, Hukum Investasi, Pokok Bahasan, op. cit, hal. 228.
240
Ibid.
241
Ibid., hal. 229.
93
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
aparat polisi dan militer Indonesia adalah melanggar hukum dan Amco berhak atas kerugian yang dideritanya.242 Akhirnya, pada putusan terakhir Dewan Arbitrase ICSID pada tanggal 6 Agustus 1990, memutuskan Pemerintah Indonesia harus membayar ganti rugi US$ 2,677,126.20 ditambah bunga 6% sejak tanggal putusan sampai dengan tanggal pembayaran yang efektif.243 Pada kasus sengketa antara Pemerintah Republik Indonesia melawan Cemex Asia Holding Ltd., adalah berkaitan dengan persoalan yang melibatkan PT. Semen Gresik (joint venture company). Pemerintah memiliki 51% saham perusahaan semen ini sementara Cemex 25,40% dan public 24,60%. PT. Semen Gresik memiliki 99% saham PT. Semen Padang dan 99% saham PT. Semen Tonasa. Perselisihan yang menyangkut PT. Semen Gresik ini pertama, berkaitan dengan keinginan PT. Semen Padang dan PT. Semen Tonasa untuk memisahkan diri PT. Semen Gresik (spin-off); kedua hak opsi Cemex untuk membeli saham milik Pemerintah Indonesia pada PT. Semen Gresik sesuai dengan Perjanjian jual beli (Sale Purchase Agreement).244 Pertama, Semen Padang dan Semen Tonasa ingin melepaskan diri dari PT. Semen Gresik, dengan alasan akan dapat lebih berkembang. PT. Semen Gresik keberatan dengan rencana pemisahan ini, karena pemisahan tersebut menyangkut pemilikan saham kedua perusahaan tersebut oleh PT. Semen Gresik, dimana 25,40% sahamnya dipegang oleh Cemex. ”Spin off” akan menurunkan harga saham PT. Semen Gresik di Pasar Modal setidak-tidaknya karena akan menurunkannya produksi PT. Semen Gresik secara keseluruhan bersama-sama dengan Semen Padang dan Semen Tonasa. Dengan demikian menurunkan pendapatan PT. Semen Gresik akan menurun di pasar modal, sebab asetnya berkurang. Seandainya ”spin-off” disetujui, persoalan dana untuk mengambil alih saham tersebut oleh Pemerintah Daerah, umpamanya, bukan soal yang mudah. Selain itu untuk Semen Padang, masalah lain adalah berkenaan dengan ”corporate
242
Ibid.
243
Ibid.
244
Ibid.
94
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
guarantee” dikeluarkan PT. Semen Gresik atau utang PT. Semen Padang kepada Kreditornya. Paling tidak rencana “spin-off” tersebut perlu berkonsultasi dengan Kreditor Semen Padang. Hal lainnya yang tidak mudah pula, bagaimana mendapatkan persetujuan pemegang saham minoritas PT. Semen Gresik di Pasar Modal, yang tentu keberatan dengan ”spin-off” tersebut karena dapat menurunkan nilai saham PT. Semen Gresik. Persoalan ”spin-off” ini kemudian mereda.245 Kedua, masalah lainnya yang kemudian menjadi sengketa antara Pemerintah Indonesia dan Cemex, adalah gugatan Cemex untuk membeli sebagian saham Pemerintah dalam PT. Semen Gresik, yang menurut Cemex, berdasarkan hak opsi dalam ”Perjanjian Jual Beli Saham” (Sale Purchase Agreement) tahun 1998. Cemex mengajukan perselisihan ini ke Arbitrase ICSID pada 10 Desember 2003 (ICSID Case No. ARB/04/3). Pemerintah Indonesia sebagai pemegang saham mayoritas (51%), tampaknya enggan menjual sahamnya lagi kepada Cemex dan berusaha menyelesaikan sengketa ini dengan usulanusulan baru. Pemerintah, dikatakan, tidak akan menjual Pabrik Tuban I, II dan II dan sekaligus ingin mempertahankan 51% sahamnya di PT. Semen Gresik. Direktur Utama PT. Semen Gresik mengatakan didepan Komisi VI DPR-RI, apabila tiga pabrik semen di Tuban milik PT. Semen Gresik tersebut dialihkan pengelolaannya kepada Cemex Asia Holdings, laba PT Semen Gresik akan turun secara drastis. Delapan puluh persent (80%) laba PT. Semen Gresik berasal dari 3 pabrik tersebut. DPR menolak pengalihan ketiga pabrik di Tuban tersebut.246 Berdasarkan hal di atas Pemerintah mengusulkan agar dilakukan pembangunan pabrik semen baru dimana Cemex akan menjadi salah satu pemegang sahamnya disamping PT. Semen Gresik (joint venture company). Ini adalah solusi yang diajukan Pemerintah untuk menyelesaikan sengketanya dengan Cemex mengenai hak opsi (put option) Cemex membeli saham Pemerintah pada PT. Semen Gresik.247
245
Ibid., hal. 230.
246
Ibid.
247
Ibid., hal. 231.
95
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Pada kasus sengketa Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur melawan Kaltim Prima Coal (KPC) melalui ICSID (ICSID Case No. ARB/07/3), berkaitan dengan upaya divestasi saham PT. Kaltim Prima Coal. Gubernur Kalimantan Timur Suwarna A.F menyatakan, pihaknya bersedia membeli 51% saham KPC. Tetapi, dalam perjalanannya, proses pembelian saham ini terkatung-katung. Kedua pihak tidak sepakat soal harga. Pemprov Kalimantan Timur menawar US$ 297 juta. KPC menolak. Lantaran berlarut-larut, Pemprov Kalimantan Timur menggugat KPC ke Pengadilan pada 2001. Upaya itu kandas, karena pemerintah pusat meminta Kalimantan Timur mencabut gugatannya. Pada sisi lain, KPC, melalui PT. Bumi Resources Indonesia, menjual sahamnya kepada PT. Sitrade Nusa Globus. Bagi pemerintah pusat, persoalan ini dianggap selesai. Sebab, sesuai peraturan, saham dialihkan ke perusahaan nasional.248 Sebaliknya, Pemprov Kalimantan Timur menganggap kepentingan daerah diabaikan. Mereka tetap menuntut bagian saham KPC. Dasarnya adalah kesepakatan catatan rapat (minutes of meeting) kabinet terbatas pada 30 Juli 2002 dan rapat koordinasi menteri pada 31 Oktober 2002. Rapat itu dihadiri Gubernur Suwarna AE, DPRD Kalimantan Timur, serta Bupati dan DPRD Kutai Timur. Wakil pemerintah pusat adalah Menteri Dalam Negeri, Menteri ESDM, dan Menko Perekonomian. Dalam rapat itu, disepakati bahwa pemerintah daerah diberi kesempatan membeli saham KPC. Atas dasar itulah, Pemprov Kalimantan Timur melayangkan gugatan arbitrase ke ICSID. Adapun dasar gugatan arbitrase berdasarkan Pasal 23.1 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) antara KPC dengan PN Batubara yang diwakili Menteri Pertambangan, sangat jelas dan tegas disebutkan bahwa ICSID adalah lembaga arbitrase yang berwenang untuk menyelesaikan setiap sengketa yang timbul sehubungan dengan PKP2B, kecuali masalah perpajakan.
248
Lihat analisa kasus ini dalam Majalah GATRA, 20 Februari 2007. Juga dalam Eksepsi KPC: Seharusnya Gugatan Pemda Kaltim Diajukan ke ICSID, pada http://www. google.co.id/search?q=putusan+icsid+tentang+kaltim+prima+coal&hl=id&client=firefox-a&rls= org.mozilla:en-US: official&ei=kW4pTOrrEpOHcaqYnN8C&start=40&sa=N. Dalam Sengketa Divestasi Kaltim Prima Coal Berakhir, pada http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010 /01/13/17340751/ Sengketa.Divestasi.KPC.Berakhir..
96
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Sengketa divestasi saham PT. Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur antara pemerintah setempat dan pemilik perusahaan pertambangan batu bara itu berakhir. ICSID membatalkan permohonan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur untuk menjadi pihak penggugat bersama Pemerintah Provinsi Kaltim, karena tidak adanya dukungan dari Pemerintah Pusat. Pada kasus sengketa antara Karaha Bodas Company dengan Pertamina (Badan Usaha Milik Negara, sebagai wakil Pemerintah Republik Indonesia) berkaitan dengan pelaksanaan kontrak operasi bersama (Joint Operation Contract) pengembangan proyek panas bumi berkapasitas 400 MW, yang meliputi wilayah Karaha dan Telaga Bodas Provinsi Jawa Barat.249 Salah satu hal yang menarik dari kasus ini antara lain, bahwa dalam penyelesaian sengketa kasus ini ada aspek hukum yang berkaitan dengan penyebab sengketa dari kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia, yang sebenarnya bukan merupakan pihak dalam perjanjian, tetapi dampak kebijakan tersebut mempengaruhi kemampuan pemenuhan isi kontrak, serta adanya perlawanan dari pihak yang dikalahkan oleh lembaga arbitrase. Solusi yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa dalam kasus ini sampai kepada Putusan Mahkamah Agung Nomor 444/PK/Pdt/2007 tentang Putusan Peninjauan Kembali Perkara antara Pertamina melawan Karaha Bodas Company L.L.C. dan PT. PLN (Persero). Sebagaimana diungkapkan di atas bahwa antara Pertamina dengan Karaha Bodas Company (KBC) melakukan perjanjian Joint Operation Contract (JOC) yang ditandatanganinya pada tanggal 28 November 1994. Pada tanggal yang sama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di satu pihak dan Pertamina serta
249
Ikhtisar kasus ini diperoleh dari: Erman Rajagukguk, Hukum Investasi, Pokok Bahasan, op. cit., hal. 224-225. Syarif Hidayat, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Indonesia, Studi Kasus Pertamina Melawan Karaha Bodas Company,Tesis, FHUI, 2005, dan beberapa Artikel, antara lain: Todung Mulya Lubis, Karaha Bodas, Sampai Kapan? http://www.lsmlaw.co.id/article_detail.php?id=14 , diunduh pada tanggal 8 Mei 2010, Sampe Purba, Penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase internasional, Studi kasus Pertamina vs Karaha Bodas Company, 2007, Sulistiono Kertawacana, Pertamina VS Karaha Bodas, Mengadili Persepsi Hukum di Indonesia?, http://sulistionokertawacana.blogspot.com /2009/01/pertamina-vskaraha-bodas-mengadili.html, diunduh pada tanggal 8 Mei 2010, Sulistiono Kertawacana, Memetik Hikmah Kasus Karaha Bodas, Sinar Harapan 8 Mei 2007.
97
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
KBC pada pihak lain menandatangani perjanjian Energy Supply Contract (ESC). Perjanjian kersasama ini bertujuan untuk memasok kebutuhan listrik PLN dengan memanfaatkan tenaga panas bumi yang ada di Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat. Dalam perjalanannya, proyek ini ditangguhkan oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1997 tertanggal 20 September 1997 tentang Penangguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, Dan Swasta Yang Berkaitan Dengan Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara. Keputusan
Presiden
sebagaimana
di
atas
dikeluarkan
dengan
pertimbangan sosio-filosofis untuk mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan nasional pada umumnya, yang dipandang perlu untuk mengambil langkah-langkah dalam menanggulangi gejolak moneter dan akibatnya yang mulai dirasakan pengaruhnya pada tahun 1997. Pada tanggal 1 Nopember 1997 dengan Keputusan Presiden No. 47 Tahun 1997 proyek tersebut dilanjutkan kembali. Namun dengan adanya krisis ekonomi, keluar Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 yang menunda lagi pembangunan proyek tersebut. Sengketa muncul, ketika KBC mengajukan masalah tersebut dengan memasukkan gugatan ganti rugi ke badan arbitrase di Jenewa pada tanggal 30 April 1998 sesuai dengan tempat penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak dalam JOC. Pada tanggal 18 Desember 2000 Arbitrase Jenewa membuat putusan menyatakan Pertamina dan PLN melanggar Energy Sales Contract (ESC) dan JOC. Keduanya secara bersama dan masing-masing dihukum membayar ganti rugi KBC, kurang lebih sebesar US$ 266,166,654. (US$ 111,100,000 untuk biaya yang diderita KBC dan US$150 juta untuk laba yang seharusnya diperoleh KBC ), termasuk bunga 4% per tahun, terhitung sejak 1 Januari 2001. Terhadap putusan Arbitrase Jenewa tersebut, Pertamina tidak bersedia secara sukarela melaksanakannya. Selanjutnya sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan di Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini tidak dilanjutkan (dismiss) karena tidak dibayarnya uang deposit sebagaimana dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court. Selanjutnya untuk menjaga kepentingannya, KBC telah melakukan upaya hukum berupa permohonan untuk pelaksanaan Putusan Arbitrase Jenewa di pengadilan beberapa negara di mana asset dan barang Pertamina berada, kecuali
98
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
di Indonesia. Pada tanggal 21 Pebruari 2001, KBC mengajukan permohonan pada US District Court for the Southern District of Texas untuk melaksanakan Putusan Arbitrase Jenewa. Selanjutnya KBC mengajukan permohonan yang sama pada pengadilan Singapura dan Hong Kong. Dalam menyikapi upaya hukum KBC, Pertamina melakukan upaya hukum berupa penolakan pelaksanaan di pengadilanpengadilan yang diminta oleh KBC untuk melakukan eksekusi. Pada tanggal 14 Maret 2002 Pertamina secara resmi mengajukan gugatan pembatalan Putusan Arbitrase Jenewa kepada PN Jakarta Pusat. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh Pertamina, antara lain: bahwa putusan arbitrase luar negeri a quo melanggar ketentuan-ketentuan Konvensi New York yang telah diratifikasi oleh Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 maupun ketentuan Undang-undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999, serta klausula arbitrase yang menjadi wewenang tim arbitrase yang bersangkutan. Selain itu Pertamina mendalilkan bahwa dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1998 merupakan peristiwa force majeure yang dapat membebaskan Pertamina untuk memenuhi kewajibannya dalam kontrak berdasarkan Pasal 1245 KUHPerdata dan alasan ketertiban umum yang ditentukan dalam Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. Pertamina juga mendalilkan pasal 1337 sebagai dasar gugatan bahwa suatu kausa adalah terlarang apabila dtentukan oleh undang-undang dan bertentangan dengan ketertiban umum. Dalam putusannya nomor 86/PN/Jkt.Pst/2002 tanggal 9 September 2002, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Pertamina dengan membatalkan putusan arbitrase internasional, UNCITRAL, di Jenewa, Swiss. Terhadap putusan ini Hikmahanto berpendapatan bahwa yang memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan Arbitrase ini adalah Pengdilan di Swiss. Pengaturan hal tersebut terdapat dalam Pasal VI jo. Pasal V Ayat (1) huruf e Konvensi New York, bahwa yang berwenang untuk membatalkan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan di mana putusan itu dibuat. Terhadap putusan di atas, Karaha Bodas Company mengajukan banding pada tanggal 9 September 2002. Selanjutnya berdasarkan permohonan banding tersebut, Mahkamah Agung dengan putusan nomor 01/BANDING/WASIT. Int./2004 tanggal 8 Maret 2004 mengabulkan permohonan banding Karaha Bodas
99
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Company dan
membatalkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
sebagaimana di atas. Dalam provisi dan pokok perkara dinyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara arbitrase dimaksud. Pertamina selanjutnya mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan permohonan pembatalan putusan dengan alasan adanya kesalahan prosedural dalam pembatalan putusan oleh Pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 70 jo. 71 dan 72 UU No. 30 Tahun 1999 dan kekeliruan atau khilaf menerapkan hokum yang berkaitan dengan Pasal V Konvensi New York. Pada tanggal 8 September 2008, Mahkamah Agung menolak permohonan Pertamina. Pada kasus sengketa antara Pemerintah Republik Indonesia melawan PT. Newmont Nusa Tenggara terkaitan dengan kewajiban divestasi yang harus dilaksanakan sesuai dengan Kontrak Karya yang ditandatangani PT Newmont Nusa Tenggara dengan Pemerintah Indonesia. Atas dasar ketentuan kontrak, dalam jangka waktu 10 tahun sejak kegiatan eksploitasi maka PT Newnmont Nusa Tenggara harus melakukan divestasi. Proses divestasi tersebut harus diselesaikan dalam jangka waktu satu (1) tahun. Persoalan timbul karena jangka waktu yang ditetapkan akan segera berakhir, namun belum dicapai kesepakatan antara PT Newmont Nusa Tenggara dengan 3 (tiga) calon investornya yaitu Pemprov NTB, Pemkab Sumbawa Barat dan Pemkab Sumbawa. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat untuk memfasilitasi negosiasi tidak tercapai. PT. Newmont Nusa Tenggara mengklaim bahwa tenggat waktu penawaran saham sudah berakhir, bahkan PT. Newmont ditengarai hendak mengajukan mitra strategis yaitu PT. Trakindo sebagai calon investornya. Berdasarkan Contract of Work Between The Government of The Republic of Indonesia and PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) tanggal 2 Desember 1986 (“Kontrak Karya”) antara Pemerintah RI dengan PT NNT, menurut Pemerintah Indonesia, PT NNT dinilai telah melakukan kelalaian dalam memenuhi kewajibannya untuk melakukan divestasi sahamnya kepada Pemerintah
100
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
RI sebagaimana diwajibkan dalam ketentuan pasal 24 ayat (3) dan ayat (4) Kontrak Karya. 250 Pemerintah menetapkan pihak PT Newmont Nusa Tenggara dalam keadaan lalai (default ) dan memberi waktu selama 180 hari untuk segera menyelesaikan penjualan sahamnya. PT. Newmont Nusa Tenggara menyikapi penetapan Pemerintah tersebut dengan meminta Pemerintah mencabut kembali status lalai (default) tersebut dan tetap memberi waktu yang layak bagi PT Newmont untuk menuntaskan proses divestasi. Upaya melalui konsiliasi sudah dilakukan namun tidak terdapat kesepakatan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Atas dasar hal tersebut, Kemudian Pemerintah Indonesia berupaya melakukan pengakhiran Kontrak Karya berdasarkan ketentuan pasal 22 ayat (5) Kontrak Karya tersebut, namun pengakhiran Kontrak Karya tersebut harus didahului dengan adanya pernyataan lalai dengan suatu Putusan Arbitase. Pemerintah melalui Kementerian ESDM mengajukan gugatan ke arbitrase internasional UNCITRAL. Gugatan didaftarkan oleh Pemerintah RI pada tanggal 29 Juli 2008 yang intinya bahwa pemegang saham mayoritas PT. NNT telah melakukan wanprestasi terhadap Kontrak Karya (Contract of Work) yang mewajibkan divestasi saham kepada Pemerintah RI dilakukan secara bertahap (3% pada tahun 2006, 7% pada tahun 2007 dan 7% pada tahun 2008), karena sampai saat gugatan didaftarkan kewajiban kontraktual tersebut masih belum dilaksanakan. Sesuai dengan ketentuan pasal 1267 KUH Perdata, Pemerintah RI menuntut agar Kontrak Karya tersebut diakhiri sehingga pengoperasian tambang sepenuhnya dikuasai kembali oleh Pemerintah Republik Indonesia. Majelis Arbiter UNCITRAL memutus gugatan (Arbitral Award) pada tanggal 31 Maret 2009 dengan amar putusan pada pokoknya sebagai berikut: (1) Menyatakan PT. NNT telah bersalah (default) karena tidak melaksanakan
250
Penyelesaian Sengketa Divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara: Prospek Dan Implikasinya, lihat pada http://202.134.5.138:2121/pls/PORTAL30/indoreg.irp_casestudy. viewcasestudy?casestudy=1161. Penyelesaian Kasus Newmont di Luar Pengadilan Memungkinkan, pada: http://www.antaranews.com/view/?i=1204792558&c=EKB&s=, serta data pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
101
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
kewajibannya sebagai yang tercantum dalam Pasal 24.3 Kontrak Karya (Contract of Work); (2) Memerintahkan kepada PT. NNT sebagai berikut: Pertama, PT. NNT diwajibkan untuk menjamin bahwa semua saham yang harus ditransfer kepada Pemerintah RI berdasarkan Pasal 24.3 Kontrak Karya ditawarkan dalam keadaan tanpa gadai, atau setidaknya, tanpa kewajiban untuk menggadai ulang kepada Senior Lenders sesudah penyerahan saham termaksud. Kedua, PT. NNT wajib menyerahkan: 3% saham divestasi tahun 2006 dan 7% saham divestasi tahun 2007 Kepada Pemda NTB, Kabupaten Sumbawa Barat, dan Kabupaten Sumbawa atau perusahaan yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah. Pengaturan sumber dana yang dilakukan oleh Pemda tersebut dan/atau perusahaan yang ditunjuknya bukan merupakan urusan PT. NNT. Ketiga, mengenai 7% saham divestasi tahun 2008, PT. NNT wajib untuk menyerahkan saham tersebut kepada Pemerintah, yaitu Pemerintah RI atau Pemerintah Daerah atau perusahaan yang ditunjuk oleh Pemerintah RI atau Pemda jika, sesudah persetujuan mengenai harga penyerahan saham, Pemerintah melaksanakan haknya berdasarkan ketentuan Pasal 24.3 Kontrak karya. Keempat, PT. NNT diberi jangka waktu 180 hari sesudah pemberitahuan keputusan ini kepada Pemerintah RI untuk melaksanakan perintah sebagai yang dinyatakan di dalam bagian pertama samapi ketiga. Kelima, PT. NNT diperintahkan untuk membayar kepada Pemerintah RI dalam waktu 30 hari sesudah pemberitahuan Keputusan ini uang sejumlah US$ 190,306.25 untuk biaya Arbitrase, ditambah bunga 6% per tahun terhitung sejak 12 November 2008. Keenam, PT. NNT diperintahkan untuk membayar kepada Pemerintah RI dalam waktu 30 hari sesudah pemberitahuan Keputusan ini uang sejumlah USD 1,658,243 untuk biaya perwakilan dan bantuan hukum. Keputusan
Majelis
Arbitrase
UNCITRAL
telah
didaftarkan
di
Kepanitraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada hari Senin tanggal 20 April tahun 2009.
102
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan 1. Sebab-sebab pendirian Perusahaan joint venture dalam penanaman modal asing di Indonesia: Pertama karena adanya undang-undang atau kebijakan pengaturan (regulasi) yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 Angka 3 Jo. Pasal 5 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, tentunya dengan memperhatikan Daftar Negatif Investasi yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010, serta
peraturan-perundang-undangan
penanaman modal asing.
lainnya
yang
berkaitan
dengan
Secara historis, pada waktu yang lalu dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dasar pengaturan joint venture terdapat dalam Pasal 23 dengan melihat kepada bidang-bidang usaha yang terbuka bagi modal asing. Namun ketentuan yang terdapat dalam Pasal 23 bersifat tidak wajib, karena Pasal ini hanya menyebut kata “dapat” sehingga tidak mengikat. Adapun dasar pengaturan yang mengharuskan pendirian Joint venture dalam penanaman modal asing dirumuskan melalui Instruksi Presidium Kabinet Nomor 36/U/IN/6/1967 yang dilanjutkan dengan program peningkatan upaya kerjasama patungan (joint venture) dalam penanaman modal asing berdasarkan kebijakan Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional yang bersidang pada tanggal 22 Januari 1974. Kedua, pendirian perusahaan joint venture dilakukan dengan alasan faktor politik, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat setempat. Secara politis, adanya kebijakan joint venture dalam penanaman modal asing dianggap sebagai pencerminan nasionalisme di bidang ekonomi dan keinginan untuk menghindarkan ketergantungan pada kontrol asing terhadap perekonomian nasional. Pengusaha asing juga mengajak pengusaha lokal untuk mendirikan joint venture, antara lain untuk menekan perasaan nasionalisme masyarakat lokal. Adapun secara ekonomi, sosial dan budaya, antara lain: karena pengusaha lokal telah berpengalaman dan menguasai pasar dalam negeri,
103
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
pengusaha lokal telah memiliki sumber bahan baku, dan untuk memudahkan hubungan dengan pemerintah dan masyarakat lokal.
2. Struktur perjanjian joint venture yang dapat dijadikan dasar pendirian perusahaan joint venture selain harus memenuhi unsur subjektif dan unsur objektif suatu perjanjian (sebagaimana yang diatur dalam BW dalam hal para pihak memilih hukum Indonesia), juga harus mengacu kepada ketentuanketentuan yang berkaitan dengan penanaman modal dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Perjanjian joint venture nantinya menjadi konstitusi dari PT. Joint venture, yang sebagian dituangkan dalam Anggaran Dasar PT. joint venture. Dengan kata lain tidak semua substansi dari perjanjian joint venture ada di dalam Anggaran Dasar PT. joint venture tersebut, mengingat Anggaran Dasar PT mengatur hal-hal yang lebih teknis. Perjanjian joint venture ini nantinya dapat dipergunakan untuk menafsirkan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh PT. Joint venture dengan para partner. Di Indonesia bagaimanapun isinya, dipandang perlu untuk mengkoordinasikan perjanjian joint venture dengan Anggaran Dasar PT. joint venture.
Perjanjian joint venture sebagai konstitusi PT. joint venture ini
sekurang-kurangnya meliputi kesepakatan tentang: Pendirian perusahaan joint venture (incorporation of the company), maksud dan tujuan (Purposes and Objectives) joint venture, modal dan proporsi masing-masing pemegang saham (initial capital and capital contribution), kepemilikan saham dan kemungkinan pengalihan saham pada pihak lain (equity ownership and transfer of shares), penambahan modal dan pengeluaran saham baru (others increases of authorized capital), pengurusan perusahaan (management, board of directors and commissioners), (kontrol atau pengendalian perusahaan, Rapat Umum Pemegang Saham (General Meetings Of Shareholders), klausula non competition and confendentiallity, termination and default, alih teknologi dan pengetahuan (technical assisten and know how), lisensi patent dan merk dagang (patent licensing and trademark), pengaturan keadaan darurat (force majeur), pilihan
hukum (applicable law), dan penyelesaian sengketa
(settlement dispute) serta pengaturan tentang amandemen atau perubahan
104
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
perjanjian (amendments). Beberapa kesepakatan dari perjanjian joint venture tersebut nantinya masuk dalam Anggaran Dasar PT. Joint Venture, antara lain: maksud dan tujuan (Purposes and Objectives) perusahaan joint venture, modal dan proporsi masing-masing pemegang saham (initial capital and capital contribution), kepemilikan saham dan kemungkinan pengalihan saham pada pihak lain (equity ownership and transfer of shares), penambahan modal dan pengeluaran saham baru (others increases of authorized capital), pengurusan perusahaan (management, board of directors and commissioners), Rapat Umum Pemegang Saham (General Meetings Of Shareholders). Khusus yang berkaitan dengan pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak dalam perjanjian joint venture, harus memperhatikan prinsip-prinsip, yang meliputi; prinsip kebebasan para pihak, prinsip bonafide, dan prinsip real connection. Adapun batasan-batasanya, meliputi: tidak melanggar ketertiban umum, hanya di bidang hukum kontrak, harus ada kaitan dengan kontrak bersangkutan, tidak untuk menyelundupkan hukum, tidak untuk transaksi tanah atau hak-hak atas benda tak bergerak, tidak boleh mengenai ketentuan hukum perdata dengan sifat publik, tidak boleh melanggar itikad baik, pilihan hukum tidak dapat digunakan untuk menghindari tanggung jawab pidana, tidak untuk menghindari
adanya
aturan-aturan
hukum
yang
sifatnya
memaksa
(fundamental or mandatory rule of law), dan hukum Substantif yang dipilih mengatur objek kontrak. Klausul pilihan hukum sebaiknya diatur secara tegas pada pembentukan perjanjian. Berkaitan dengan penyelesaian sengketa perjanjian joint venture dengan pengaturan klausul Choice of Forum, atau Choice of Jurisdiction atau Choice of Court dalam perjanjian yang mereka sepakati, ada dua cara yang dapat ditempuh dalam penyelesaian sengketa perjanjian joint venture, yaitu: penyelesaian sengketa yang bersifat litigasi melalui pengadilan atau penyelesaian sengketa melalui yang bersifat non litigasi seperti arbitrase. Selain arbitrase, para pihak juga dapat memilih alternatif penyelesaian sengketa, antara lain mediasi dan konsiliasi, yang memungkinkan ditempuh selama proses arbitrase berlangsung. Klausul Choice of Jurisdiction harus ditulis secara jelas dalam perjanjian joint venture.
105
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
3. Dalam hal terjadi sengketa dalam Perusahaan Joint Venture, apabila sengketa yang terjadi antara pemegang saham perusahaan joint venture, maka penyelesaiannya dilakukan dengan merujuk kepada kesepakatan yang tertuang dalam klausul penyelesaian sengketa (settlement dispute clause) yang mengatur forum penyelesaian sengketa yang dipilih (choice of forum) dalam perjanjian. Dengan kata lain sengketa antara pemegang saham tergantung kepada choice of forum, atau choice of jurisdiction atau choice of court yang disepakati. Oleh karenanya penyelesaian sengketa antara pemegang saham dapat diselesaikan baik melalui pengadilan ataupun arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
Selanjutnya apabila sengketa yang terjadi dalam
perusahaan joint venture antara sesama anggota direksi perusahaan joint venture, penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan Negeri menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Penyelesaian melalui Pengadilan Negeri juga dilakukan dalam hal terjadi sengketa antara pemegang saham dengan anggota direksi perusahaan joint venture dalam kasus gugatan derivatif. Dalam hal sengketa penanaman modal terjadi antara investor asing dengan Pemerintah Republik Indonesia, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase internasional, seperti ICSID, atau lembaga penyelesaian sengketa lainnya berdasarkan kesepakatan para pihak.
5.2. Saran 1. Entitas Perusahaan joint venture dalam penanaman modal asing, perlu diberikan ruang yang lebih luas terutama yang berkaitan dengan bidang usaha yang diperbolehkan bagi investasi asing. 2. Kebijakan pengaturan penanaman modal sudah saatnya bersinergi dengan pelayanan prima dari pemerintah tentang potensi investasi di Indonesia, apalagi jika dikaitkan dengan adanya realitas pembagian kewenangan dalam sistem pemerintahan daerah. 3. Realitas global yang tanpa sekat atau batas harus dimanfaatkan secara maksimal
oleh
pemerintah
dengan
merumuskan
kebijakan-kebijakan
pengaturan yang mampu menciptakan kondisi stability, predictability, dan
106
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
fairness yang dapat menjamin adanya kepastian hukum dalam berinvestasi di Indonesia.
107
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
BIBLIOGRAFI Agustina, Rosa, Perbuatan Melawan Hukum, Cet. 1, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003 Abadurrahman, Himpunan Yurisprudensi Hukum Agraria, Seri Hukum Agraria VI, Alumni, Bandung, 1980. Ali, Ahmad, Keterpurukan Hukum di Indonesia, penyebab dan solusianya Ghalia, Jakarta: 2001 Black, Henry, Campbell, Adolf, Hualla, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2008. Ali, Chidir, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1991. Abdullah, Adang, Tinjauan Hukum Atas Undang-undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007: Sebuah Catatan, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 26 No. 4 Tahun 2007. Aveldoren, Van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001. Black, Campbell, Henry, Black's Law Dictionary, St. Paul Minnesota, USA: West Publishing Co. 1968 Basri, Faisal, “Peran Negara di dalam Perekonomian”,
, diunduh pada tanggal 11 Januari 2010 Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil),Kapita Selekta Hukum Perseroan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000. Badruzzaman, Mariam, Darus, “Harmonisasi Hukum Bisnis di Lingkungan Negara-negara ASEAN”, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 22, 2003. ------------, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 1994. Djirdjosisworo, Soedjono, Kontrak Bisnis Menurut Sistim Civil Law, Common Law Dan Praktek Dagang Internasional, Bandung: Mandar Maju, 2003. Ernawaty AF Elly dan J.S Badudu, Kamus Hukum ekonomi Indonesia Inggris, Jakarta: ELIPS, 1996. Friedman L. M, American Law an Introduction, W.W., Norton and Company, New York: 1998
108
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Freeman, M.D.A., Introduction to Jurisprudence, Sweet & Maxwell, London: 2001 Friedman, W., Legal Teheory, Third Edition, London: Stevens & Sons Limited, 1953. -------------, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, Terjemahan, Jakarta: Rajawali Pers, 1990. Fahmi, Irham, Analisis Investasi, dalam Perspektif Ekonomi dan Politik, Jakarta: PT. Rafika Aditama, 2006. Fuady, Munir, Doktrin-doktrin modern dalam corporate law: eksistensinya dalam hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002 ----------, Hukum Kontrak, Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: Cita Adiya Bakti, 2001. Fuady, Munir, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. Gaotama. Sudargo, Himpunan Jurisprudensi Indonesia Yang Penting Untuk Prkatek Sehari-hari, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. -------------, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bandung: Alumni, 2002. HS, Salim dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2008. Harris, Freddy, Ringkasan Disertasi Kedudukan Negara Sebagai Penyerta Modal Dalam PT. Persero: Pengubahan Ketentuan Yang Tidak Sesuai Dengan Prinsip-Prinsip Hukum Perusahaan, Program Pscasarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta: 2007 Harjono, K, Dhaniswara, Hukum Penanaman Modal, Tinjauan Terhadap Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2007 Himawan, Charles, Hukum Sebagai Panglima, Buku Kompas, Jakarta: 2003. Cet. 1. Hutagalung, Arie, S., Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Pertanahan, Jakarta: LPHI, 2005 Hadjon, Philipus M., Pengkajian Ilmu Hukum, Lokakarya Metode Pendidikan Hukum, Fakultas Hukum universitas Merdeka malang, Malang: 2000
109
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Hartono, Sunaryati, Beberapa Masalah Tradisional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1970. -----------, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, Bandung: Binacipta, 1989. Hardwicke, John W. and Robert W Emerson, Bussines Law, Second Edition, New York: Barons Education Serries Inc.. 1992. Hardjono, Dhaniswara K. Hukum Penanaman Modal, Tinjauan Terhadap Pemberlakuan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Ilmar, Amiruddin, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Kencana, Jakarta: 2007 J.K.L.,Valerine, Metode Penelitian Hukum, Kumpulan Tulisan, Jakarta: FHUI, 2005. Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. Berita Republik Indonesia Tahun 1946, Tahun II No. 7. ---------,
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook), diterjemahkan oleh Subekti dan R, Tjitrosudibio, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001.
---------, Kitab Undang-undang Hukum Dagang, diterjemahkan oleh Subekti dan R, Tjitrosudibio, Jakarta: Pradnya Paramita, 2002. ---------, Undang-undang Penanaman Modal Asing, UU No. 1 Tahun 1967. LN. 1 Tahun 1967, TLN. 2818. ---------,Undang-Undang Penanaman Modal, UU. Nomor 25 Tahun 2007 tentang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4724). ---------, Undang-undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN. 106 Tahun 2007, TLN. 4756. ---------, Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Nomor 38 Tahun 2007 (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737). ---------, Peraturan Presiden Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Daftar Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. Perpres No. 36 Tahun 2010.
110
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
---------, Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Nomor 2122/PUU-V/2007. ---------, Undang-undang Arbitrase dan Pilihan Penyelesaian Sengketa, UU No. 30 Tahun 1999, LN. 138 Tahun 1999, TLN 3872. ---------, Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara Dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal, UU No. 5 Tahun 1968, LN. 32 Tahun 1968, TLN. 2852. ----------, Undang-undang Dokumen Perusahaan, UU No. 8 Tahun 1997, LN. Tahun 1997, TLN. Tahun 1997. ---------, Peraturan Pemerintah Pemiilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing, PP No. 20 Tahun 1994, LN. 28 Tahun 1994, TLN. 3552. ---------, Peraturan Kepala BKPM tentang Pedoman Dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing Dan Penanamn Modal Dalam Negeri, Nomor 57/SK/2004 sebagaimana telah diubah dua kali dengan Peratuan Kepala BKPM Nomor 70/P/2004 dan Peratuan Kepala BKPM Nomor 1/P/2008. ---------, Instruksi Presiden Tentang Paket Kebijakan Iklim Investasi, Nomor 3 Tahun 2006. Komisi Hukum Nasional, Kebijakan Rekomendasi Hukum, Suatu Rekomendasi, Komisi Hukum Nasional, Jakarta: 2003. Marbun, SF (ed) dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, cet. 1, Yogyakarta: UII Press, 2001. Mahfudh, Moh., MD, Politik Hukum Di Indonesia, cet. 1 Jakarta: LP3ES, 1998 Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1986. ----------, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. 1, Yogyakarta: Liberty, 1993. -----------, dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993. Muchlinski, Peter, Multinational Enterprises And the Law, Oxford: Blackwell, 1997.
111
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
Pranjoto, Eddy, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan Nasional, Bandung: CV. Utomo, 2006. Prabowo, Riyanto, Prinsip Kemandirian Perseroan Terbatas dikaitkan dengan Peranan dan Kedudukan Holding Company, Tesis, Jakarta: FHUI, 2005. Prodjodikoro, Wirjono, Perbuatan Melanggar Hukum, Dipandang dari Sudut Pandang Hukum Perdata, Bandung: Mandar Maju, 2002. Pennington, Robert R., Company Law, Calverdon: Butterworths, 2001. Rasyidi, Lilik, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu, cet. 6, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1993. Rajagukguk, Erman, Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, disampaikan dalam rangka Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia (1950-2000), Kampus UI Depok, 5 Februari 2000. -------------, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997. -------------, Hukum Investasi di Indonesia, Jakarta: FHUI, 2006. --------------, “Pengelolaan Perusahaan Yang Baik, Tanggug jawab Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26-No.3 Tahun 2007. -------------, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta: Chandra Pratama, 2000. -------------, Indonesianisasi Saham, Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Khairandy, Ridwan, Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan PerundangUndangan dan Yrisprudensi, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2009. -----------, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Studi Mengenai PutusanPutusan Pengadilan di Indonesia, Disertasi Doktor, Jakarta: FHUI, 2003. ------------, Kompetensi Absolut Dalam Penyelesaian Sengketa di Perusahaan Joint Venture, Jurnal Hukum Vol. 26 No. 24, 2007.
112
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >
------------, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Jogyakarta: FH UII Press, 2007. Latip, Yansen Dermanto, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum (Jakarta: Universitas Indonesia FHUI, 2002. Suharnoko, Hukum Perjanian, Teori dan Analisa Kasus, cet. 1, Jakarta: Kencana, 2004. Soejono
Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Pembangunan Indonesia, Ui Press, Jakarta: 1974, Cet. 4.
Kerangka
-------------- dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2003 Soebekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2001. Sembiring, Sentosa, Hukum Investasi, Nuansa Aulia, Bandung: 2007 Sunny, Isamil dan Rudioro Rahmat, Tinjauan dan Pembahasan Undang-undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita, 1967. Satrio, J., Hukum Perikatanm Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995. Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani, Transformasi Bangsa Menuju Masyarakat Madani, Jakarta: 1999 Yani, Ahmad dan Gunawan Wijaya, Perseroan Terbatas, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003. Wignyosoebroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: ELSAM & HUMA, 2002. Weissburg, Adam B, Reviewing the law on Joint Venture with and Eye Toward the Future. Southten California Law Review 63, Januari 1990.
113
UNIVERSITAS INDONESIA
Perusahaan joint..., Maulana Hasanudin, FH UI, 2010. >