to my father… Dzannuri Acham
Hal paling berbahaya di dunia ini adalah mengira bahwa engkau memahami sesuatu —Lao Tzu
EKSTRAKSI Q MENGGUNAKAN TRANSFORMASI S
TUGAS AKHIR Disusun untuk memenuhi syarat kurikuler Program Sarjana Geofisika
Oleh AHMAD ZAIN AMIRUDDIN NIM: 12403018
PROGRAM STUDI GEOFISIKA FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2008
LEMBAR PENGESAHAN
EKSTRAKSI Q MENGGUNAKAN TRANSFORMASI S
oleh Ahmad Zain Amiruddin NIM: 12403018
Bandung, Juni 2008 Menyetujui Dosen Pembimbing,
Sonny Winardhie, Ph.D NIP: 131 679 362
1
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang telah memberikan kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini. Penulis menyadari bahwa melaksanakan tugas akhir bukanlah hal yang mudah. Namun berkat bantuan dan arahan dari pembimbing, sahabat, dan semua pihak yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penulis, akhirnya tugas akhir ini dapat diselesaikan. Singkat kata, tugas akhir ini tmenjelaskan dua hal. Pertama, pemodelan ke depan trace seismik sintetik teratenuasi. Kedua, ekstraksi atenuasi dari trace tersebut menggunakan transformasi S dan spectral ratio pada kasus lapisan tebal dan tipis. Dengan segala kerendahan hati, semoga karya kecil ini bermanfaat bagi pembaca.
Bandung, Juni 2008 Penulis
2
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................................................1 KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2 DAFTAR ISI ..................................................................................................................................3 ABSTRAK .....................................................................................................................................4 ABSTRACT ...................................................................................................................................5 BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................6 1.1
Latar Belakang ...............................................................................................................6
1.2
Tujuan............................................................................................................................6
1.3
Batasan Masalah.............................................................................................................6
1.4
Sistematika Pembahasan .................................................................................................7
BAB II TEORI................................................................................................................................7 2.1
Model Konvolusi Elastik.................................................................................................7
2.2
Getaran Harmonik Teredam ............................................................................................8
2.3
Atenuasi Intrinsik .........................................................................................................10
2.4
Penjalaran Gelombang Teratenuasi................................................................................11
2.5
Model Konvolusi Anelastik...........................................................................................12
2.6
Transformasi S .............................................................................................................13
2.7
Spectral Ratio...............................................................................................................14
BAB III PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA ........................................................................15 3.1
Model Konvolusi Anelastik...........................................................................................15
3.1.1
Model Impuls Respon Q ...........................................................................................16
3.1.2
Model Konvolusi Anelastik Lapisan Tebal ................................................................18
3.1.3
Model Konvolusi Anelastik Lapisan Tipis .................................................................18
3.2
Spectral Ratio...............................................................................................................18
BAB IV KESIMPULAN ...............................................................................................................22 BAB V SARAN............................................................................................................................22 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................23 LAMPIRAN .................................................................................................................................24
3
ABSTRAK EKSTRAKSI Q MENGGUNAKAN TRANSFORMASI S Oleh: Ahmad Zain Amiruddin 12403018 Pembimbing: Sonny Winardhie, Ph.D.
Transformasi S merupakan representasi waktu-frekuensi dari suatu sinyal. Transformasi ini digunakan untuk mendapatkan frekuensi sekaligus waktu dari wavelet event. Salah satu keuntungan transformasi ini adalah kemampuannya untuk meningkatkan resolusi di domain waktu dengan memilih lebar gaussian window yang tepat. Dengan membandingkan antara frekuensi wavelet hasil transformasi S pada event kedua dan pertama diperoleh perkiraan nilai Q interval. Metoda seperti ini disebut spectral ratio. Studi ini bertujuan mengonfirmasi ekstraksi nilai Q interval. Sehingga, trace seismik sintetik yang mengandung nilai Q interval perlu dibangun terlebih dahulu. Untuk membangunnya digunakan operator atenuasi yang disebut impuls respon Q. Selanjutnya, dengan menggunakan metoda spectral ratio nilai Q intreval diekstrak. Hasil ini akan dibandingkan dengan model awal Q interval. Untuk kasus lapisan tebal diperoleh nilai Q interval yang mendekati nilai model dan cukup stabil. Sedangkan untuk kasus lapisan tipis, Q interval masih dapat diestimasi dan bergantung pada lebar gaussian window. Kata kunci: Transformasi S, gaussian window, spectral ratio, Q interval, dan impuls respon Q.
4
ABSTRACT Q EXTRACTION USING S-TRANSFORM
By: Ahmad Zain Amiruddin 12403018 Supervisor: Sonny Winardhie, Ph.D.
S-transform provides time-frequency representation from signal. The advantage of this transformation is the ability to increase resolution in time domain by choose appropriate gaussian window. The estimation of interval Q get by comparing ratio frequency amplitude of wavelet on second and first event. This method called spectral ratio. The objective of this study is confirmation of extraction Q interval. So, at first, seismic traces synthetic that has interval Q value is needed. To build those traces is used attenuation operator that called Q impulse response. By using spectral ratio method Q value can extraction. Then, these results compared to input interval Q model. For thick layer case Q interval are stabile. For thin layer case Q interval can be still estimated and depended on width of gaussian window. Keywords: S-transform, gaussian window, spectral ratio, interval Q, and Q impulse response
5
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat menjalar di lapisan batuan dan dipantulkan oleh batas lapisan batuan tersebut, gelombang akan membawa informasi waktu tempuh dan amplitudo yang mencerminkan kondisi lapisan batuan yang dilaluinya. Waktu tempuh menunjukkan informasi kedalaman serta kecepatan jalar gelombang pada lapisan batuan tersebut, sedangkan amplitudo membawa banyak informasi lainnya. Salah satu dari informasi tersebut adalah atenuasi. Atenuasi merupakan fenomena berkurangnya amplitudo dan kandungan frekuensi gelombang seiring dengan waktu penjalarannya. Salah satu sebab atenuasi adalah efek spherical divergence (pengaruh jarak). Selain karena faktor jarak, atenuasi terjadi karena kondisi batuan yang memang mampu menyerap energi gelombang. Atenuasi ini disebut atenuasi intrinsik. Mekanisme fisis tentang fenomena atenuasi ini cukup kompleks dan bergantung pada struktur atom dan molekul kristal dari mineral batuan, keberadaan craks dan fracture, termasuk juga keberadaan fluid dalam batuan (Udias, 2003). Studi lain menunjukkan atenuasi intrinsik terutama disebabkan peredaman viskos dari gerakan fluida pengisi pori batuan, dan friksi batas grain yang terjadi karena efek pergeseran batas grain saat gelombang melewati batuan solid elastik tersaturasi fluida (Berryman, 1988; Winkler dan Murphy, 1995). Karena itu, atenuasi intrinsik sangat dipengaruhi oleh permeabilitas batuan. Meningkatnya permeabilitas akan diikuti dengan meningkatnya atenuasi (Biot, 1956). Beberapa studi teoritis (O’Connel dan Budiansky, 1977 dan Peacock et al., 1994) juga menunjukkan bahwa membesarnya porositas juga akan meningkatkan atenuasi
parameter penting dalam eksplorasi hidrokarbon. Alasan inilah yang memicu penulis untuk melakukan penelitian tentang atenuasi. Pada tugas akhir ini, metoda yang digunakan untuk menghitung atenuasi adalah spectral ratio. Perkiraan nilai atenuasi dilakukan dengan membandingkan antara spektrum wavelet pada event-event refleksi dengan event refleksi acuan. Seperti telah disinggung sebelumnya, metoda spectral ratio memerlukan informasi spektral dari wavelet. Metoda yang digunakan untuk mendapatkan spektral wavelet pada setiap waktu adalah metoda Transformasi S. Metoda ini merepresentasikan waktu dan frekuensi dari suatu sinyal. Transformasi ini akan digunakan untuk mendapatkan frekuensi sekaligus waktu dari wavelet event. Salah satu keuntungan transformasi ini adalah kemampuannya untuk meningkatkan resolusi di domain waktu. Dengan menggunakan metoda ini atenuasi pada lapisan tipis dapat diperkirakan. 1.2 Tujuan a. Memodelkan trace seismik sintetik teratenuasi (anelastik). b. Menghitung atenuasi dari data sintetik seismik teratenuasi menggunakan Transformasi S. 1.3 Batasan Masalah a. Data sintetik bebas noise b. Atenuasi yang diperhitungkan hanyalah atenuasi intrinsik. Sedangkan atenuasi karena spherical divergence, tidak diperhitungkan. Sehingga, bila dibandingkan dengan data riil, data seismik tersebut adalah data post-stack. Di asumsikan spherical divergence telah dikompensasi pada tahap processing data seismik.
Seperti telah disebutkan, atenuasi akan berkaitan dengan keberadaan fluida, permeabilitas, dan porositas. Semua hal tersebut merupakan 6
Asumsi pertama digunakan untuk menghindari struktur geologi yang kompleks dan area dengan perubahan fasies secara lateral.
1.4 Sistematika Pembahasan 1. Bab I Pendahuluan. Bab ini menjelaskan latar belakang, tujuan, batasan masalah, serta sistematika pembahasan dari tugas akhir.
Asumsi kedua secara tidak langsung menyatakan sumber gelombang dan penerima terletak pada posisi yang sama (zero offset).
2. Bab II Teori Bab ini menjelaskan teori- teori yang berkaitan dengan: x x x x
Model Konvolusi Elastik Gerakan Harmonik Teredam Atenuasi Intrinsik Penjalaran Gelombang Teratenuasi x Model Konvolusi Anelastik x Transformasi S x Spectral Ratio 3. Bab III Implementasi Teori Bab ini memberikan penjelasan dan analisa tentang penerapan teori-teori yang dijelaskan sebelumnya. Bab ini terdiri dari:
4. 5. 6. 7.
x Model Konvolusi Anelastik x Spectral Ratio Kesimpulan Saran Daftar Pustaka Lampiran
Dengan kedua asumsi ini, koefisien refleksi (r) merupakan fungsi dari massa jenis ȡ dan kecepatan v dua lapisan batuan yang berdekatan: (2.1) Selain itu, kombinasi kedua asumsi ini menghasilkan trace yang berdimensi satu, yaitu waktu (Ł kedalaman). Atenuasi dan dispersi menyebabkan bentuk gelombang berubah seiring penjalarannya di dalam Bumi (nonstasioner). Untuk model konvolusi tanpa atenuasi dan dispersi digunakan asumsi ketiga: Asumsi 3. Wavelet sumber tidak berubah selama menjalar di dalam Bumi (stasioner). Dari tiga asumsi di atas model konvolusi elastik trace s(t) dinyatakan sebagai
(2.2)
BAB II TEORI 2.1 Model Konvolusi Elastik Asumsi-asumsi perlu digunakan untuk membuat model trace seismik. Pembahasan asumsiasumsi ini berdasar pada Yilmaz (1987).
dengan w(t) adalah wavelet sumber dan n(t) adalah noise. Sehingga, terdapat satu persamaan dengan tiga variabel yang tidak diketahui, yaitu wavelet, koefisien refleksi, dan noise. Untuk selanjutnya diasumsikan: Asumsi 4.
Sehingga persamaan (2.2) menjadi
Asumsi 1. Medium penjalaran gelombang berupa lapisan yang mendatar dan homogen.
(2.3) Tanda
Asumsi 2. Sumber gelombang gelombang P dan normal incidence.
adalah
Model konvolusi bebas noise
adalah representasi kovolusi. Maksud-
nya, saat wavelet dengan lebar tertentu menjalar, bagian awal dari wavelet w(0) akan mencapai batas refleksi dan dipantulkan kembali ke permukaan pada t0. Tapi, untuk w(IJ>0) belum 7
sempat mencapai batas refleksi tersebut pada r(t0). Sehingga konvolusi antara w(t) dan r(t) adalah total kontribusi w(IJ)r(t0-IJ) (gambar 2.1) (2.4)
merupakan bentuk dasar trace yang mirip dengan bentuk frekuensi wavelet
Asumsi 6. Wavelet sumber berfasa minimum (gambar 2.3). Maksudnya, w(t) = 0 untuk t < 0 dan w(t) 0 untuk t 0 (causality).
Asumsi 5. Wavelet sumber w(t) diketahui Untuk data seismik laut, wavelet yang dihasilkan air-gun dapat diestimasi dengan pengukuran di dekat sumber, sedangkan untuk peledak tidak diketahui. Ziolkowski (2001), menyarankan w(t) diestimasi dari pengukuran source signature. Namun langkah yang umum untuk mendapatkan w(t) adalah menghitungnya di domain frekuensi dan mengganti asumsi kelima dengan: Asumsi 5. Reflektivitas memiliki white spectrum. Maksudnya, pada domain frekuensi, amplitudo frekuensi reflektivitas ada di seluruh rentang frekuensi. Hal ini dipenuhi dengan sampling yang acak dari distribusi gaussian. Asumsi kelima dapat dibenarkan amplitudo frekuensi trace berosilasi cepat namun bentuk dasarnya mirip frekuensi wavelet (gambar 2.2). Osilasi disebabkan oleh koefisien refleksi.
karena dengan dengan tersebut
2.2 Getaran Harmonik Teredam Penjelasan sederhana tentang atenuasi dapat dikembangkan dari osilasi pegas dengan massa m dan konstanta pegas k yang berada di suatu permukaan dengan gaya gesek f (gambar 2.4). Penjelasan ini dikutip dari Lay dan Wallace (1995) serta Udias (2003). Misalkan permukaan antara massa dengan permukaan di bawahnya licin, tidak ada gesekan (f = 0) Saat massa m ditarik sejauh x, dan dilepaskan maka persamaan gerak untuk sistem ini berhubungan dengan gaya balik dari pegas dan gaya akibat percepatan gerak massa:
(2.5)
Gambar 2.1. Kartun konvolusi antara koefisien refleksi dan wavelet, sama dengan trace seismik Gambar 2.3. Kanan: wavelet. Kiri: fasa. Atas: minimum phase. Tengah: maximum phase. Bawah: zero phase (Sheriff, 2002)
Gambar 2.2. Frekuensi trace dan wavelet. Kanan: frekuensi trace seismik. Kiri: frekuensi wavelet. Garis merah pada frekuensi trace
x disebut juga perpindahan (displacement) massa (Ł regangan). Kondisi ini disebut elastik, ditandai dengan total gaya (tekanan) pada sistem ini proporsional dengan regangan saja (kx).
8
Solusi yang umum untuk persamaan di atas adalah osilasi yang harmonik
Solusi harmonik untuk persamaan di atas adalah
(2.10)
(2.6)
dapat dinyatakan dalam bentuk faktor kualitas Q (2.11) Sehingga, persamaan (2.10) menjadi (2.12) Gambar 2.4. Ilustrasi gerakan harmonik teredam dari sistem pegas. m adalah massa balok, k adalah konstanta pegas, f adalah gaya gesek lantai, dan x adalah perpindahan (Lay dan Wallace, 1995).
Persamaan (2.12) merepresentasikan gerakan harmonik teredam. Pada gerakan ini amplitudo berkurang secara eksponensial terhadap waktu (gambar 2.5). Untuk dua waktu yang terpisah satu perioda dan
(2.7)
rasio
amplitudonya
Begitu diberi gaya (ditarik), sistem ini akan terus berosilasi pada frekuensi natural ǚ0. (2.13) Sistem di atas, yang mengandaikan lantai licin, kurang realistis karena pada kenyataannya sulit dicapai kondisi lantai yang benar-benar licin. Selanjutnya, dimisalkan ada gaya redam pada sistem ini, yaitu gesekan antara massa yang bergerak dengan permukaan di bawahnya. Sehingga, kondisi ini tidak elastik yang ditandai dengan adanya gaya gesek yang proporsional dengan kecepatan massa. Maka, persamaan gerak untuk sistem ini
Logaritma nilai ini disebut penurunan logaritmik (logarithmic decrement) į, (2.14)
Jika memerhatikan penurunan amplitudo selama satu perioda ¨A (gambar 2.6), (2.15)
(2.8) atau , dengan
dan
f disebut koefisien gesek.
(2.9)
maka untuk nilai Q yang besar, sesuai dengan persamaan (2.14), dengan mengubah fungsi eksponensial pada persamaan (2.15) menjadi deret Taylor diperoleh:
. İ dan (2.16)
9
Ekspresi ini mendefinisikan koefisien Q dari sudut pandang gerakan harmonik yang teredam. Faktor 1/Q menunjukkan rasio antara penurunan amplitudo selama satu perioda dan amplitudo awal. Definisi ini valid untuk nilai Q yang cukup besar (persamaan 2.14)
Harmonic Damped motion 0
1
2
3
Karena energi proporsional dengan kuadrat amplitudo, energi yang hilang selama satu perioda adalah
t (s)
4
5
(2.17)
6
7
8
9
10 -100
Dengan cara yang sama untuk mendapatkan persamaan (2.16) didapatkan
Q1=200 Q2=20 =10
=100 -50
(2.18) 0 Amplitude
50
100
Gambar 2.5. Penurunan amplitudo terha-dap waktu gerakan harmonik teredam. Semakin kecil Q gerakan semakin cepat teredam.
E adalah energi rata-rata yang tersimpan (joules/second), ¨E adalah energi yang hilang selama satu putaran deformasi sinusoidal. Persamaan ini menyatakan bahwa perbandingan antara penurunan energi dan energi awal adalah konstan. 2.3 Atenuasi Intrinsik Atenuasi dapat disebabkan oleh kondisi fisis medium. Maksudnya, medium memiliki kemampuan untuk menyerap sebagian energi gelombang. Atenuasi ini disebut atenuasi intrinsik. Atenuasi juga dapat terjadi karena efek spherical divergence. Dalam studi ini, efek ini tidak diperhitungkan. Sehingga, atenuasi gelombang hanya karena atenuasi intrinsik.
Gambar 2.6. Penurunan amplitudo getaran harmonik teredam selama satu perioda.
Kuantifikasi yang umum dipakai untuk atenuasi adalah faktor kualitas Q yang berbanding terbalik dengan atenuasi. Nilai Q batuan berkisar dari 50 sampai 300. Reservoir hidrokarbon memiliki nilai Q antara 20 dan 40 sehingga lebih atenuatif dibandingkan batuan sekeliingnya. Atenuasi intrinsik terutama disebabkan peredaman viskos dari gerakan fluida pengisi 10
pori batuan, dan friksi batas grain yang terjadi karena efek pergeseran batas grain tersebut saat gelombang melewati batuan solid elastik tersaturasi fluida (Berryman, 1988; Winkler dan Murphy, 1995). Karena itu, atenuasi intrinsik sangat dipengaruhi permeabilitas. Meningkatnya permeabilitas akan diikuti dengan meningkatnya atenuasi (Biot, 1956). Ini berarti saat melewati batuan dengan permeabilitas yang tinggi, gelombang akan teredam energinya sehingga terjadi penurunan amplitudo dan frekuensi serta perubahan fasa. Atenuasi intrinsik juga akan meningkat dengan meningkatnya porositas atau dengan bertambahnya kepadatan (density) crack. Studi teoritis (O’Connel dan Budiansky, 1977) dan empiris (Peacock et al., 1994) menunjukkan hubungan yang linier antara 1/Q dengan kepadatan crack . Q meningkat sedikit terhadap kedalaman seiring meningkatnya confining pressure. Dengan kata lain, terjadi penurunan atenuasi yang kecil (Tompkins dan Christensen, 1999). Akan tetapi, peningkatan tekanan pori memiliki efek yang besar terhadap meningkatnya atenuasi, Q bisa berkurang sekitar 50% pada tekanan efektif yang sangat rendah (Winkler dan Murphy, 1995). Mekanisme atenuasi karena pergerakan fluida, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, juga dipengaruh oleh viskositas, atenuasi meningkat dengan meningkatnya viskositas (Winkler dan Murphy, 1995). 2.4 Penjalaran Gelombang Teratenuasi Penjalaran gelombang menyatakan variasi gerakan di ruang dan waktu. Karenanya, atenuasi gerakan gelombang dapat terjadi di domain waktu ataupun ruang. Untuk lokasi yang tetap, gelombang akan teratenuasi terhadap waktu, sedangkan untuk waktu yang tetap akan teratenuasi terhadap jarak. Penjalaran gelombang bidang 1-D merupakan fungsi dari amplitudo dan fasa
(2.19) dengan A0 adalah amplitudo referensi pada t=0, x=0, Ȧ adalah frekuensi sudut, dan k adalah bilangan gelombang. Atenuasi dihitung dengan mengubah bilangan gelombang atau frekuensi sudut pada persamaan (2.19) menjadi kompleks (Aki dan Richard, 1980): (2.20) (2.21) Seperti telah disebutkan, untuk waktu yang tetap gelombang teratenuasi terhadap lokasi (spasial) sehingga dengan memasukkan persamaan (2.20) ke persamaan (2.19) diperoleh: (2.22)
sedangkan untuk lokasi yang tetap, gelombang teratenuasi terhadap waktu sehingga dengan memasukkan persamaaan (2.21) ke persamaan (2.19) diperoleh: (2.23)
dengan Į adalah koefisien absorbsi dan ȕ adalah faktor redaman (damping factor) (Sherif, 1989). k’ dan Ȧ’ masing-masing adalah bagian riil dari bilangan gelombang dan frekuensi sudut kompleks. Dari dua persamaan di atas terlihat bahwa amplitudo berkurang secara eksponensial. Tanpa
memperhitungkan
fasa
(suku
eksponensial yang kedua), dari persamaan (2.22 dan 2.23) diperoleh
(2.24)
(2.25) 11
Selama satu perioda T, gelombang menjalar sejauh panjang gelombang Ȝ sehingga dari persamaan (2.23 dan 2.24) diperoleh hubungan (2.26) dan dari persamaan (2.25 dan 2.26) diperoleh
(2.27)
Asumsi 3. Wavelet sumber berubah selama menjalar di dalam Bumi (nonstasioner). dari asumsi baru ini diperlukan operator yang mengubah wavelet (yang merepresentasikan atenuasi). Untuk operator atenuasi ini digunakan faktor kualitas Q, dengan atenuasi berbanding terbalik dengan Q. Operator ini disebut impuls respon Q. Kjartansson (1979) juga menunjukkan bahwa transformasi fourier impuls respon Q adalah
(2.28) Dengan menggabungkan persamaan (2.14) dengan persamaan (2.28 dan 2.29) diperoleh (2.29) 2.5 Model Konvolusi Anelastik Pada media yang anelastik, kecepatan v dan Q adalah fungsi dari frekuensi. Kebergantungan v dan Q terhadap frekuensi menyebabkan dispersi yang cenderung menghasilkan bentuk gelombang semakin lebar saat menjalar di medium. Studi menunjukkan bahwa kebergantungan Q terhadap frekuensi sangat lemah pada rentang frekuensi seismik (0-70 Hz) dibandingkan kebergantungan kecepatan terhadap frekuensi. Observasi ini ditindaklanjuti oleh Kjartansson (1979) dengan membuat model Q yang konstan. Dia mengembangkan model ini berdasar pada kondisi Q adalah fungsi dari fasa antara regangan dan tekanan. Pada model ini Q tidak bergantung terhadap frekuensi (pada rentang frekuensi seismik) namun bergantung pada medium. Model ini berdasar pada asumsi causality (energi sama dengan nol untuk t <0) dan linearity (masukan berbanding lurus dengan keluaran). Kedua asumsi ini valid untuk deformasi yang terjadi di media yang hampir elastik saat penjalaran gelombang. Karena memperhitungkan atenuasi, wavelet menjadi berubah terhadap waktu (nonstasioner). Sehingga, asumsi ketiga model konvolusi (wavelet stasioner) menjadi tidak berlaku, dan diganti dengan
(2.30)
dengan v(Ȧ) adalah kecepatan pada frekuensi sudut tertentu. v(Ȧ) adalah kecepatan pada frekuensi sudut yang tinggi. adalah dua kali lebar medium (karena refleksi, diperoleh 2 kali waktu tempuh).
sehingga
Sehingga, persamaan model konvolusi elastik (persamaan 2.3) dimodifikasi menjadi: (2.31) dengan Qimpulse adalah impuls respon Q. Margrave (1999) membuat algoritma impuls respon Q yang konstan dengan merujuk kepada Kjartansson (1979) (gambar 2.7). Kembali ke persamaan (2.20), bilangan gelombang riil k’ merupakan fungsi dari frekuensi yang didefinisikan: (2.32) dengan v(Ȧ) adalah kecepatan yang bergantung pada frekuensi (dispersi). Margrave (1999) menggunakan persamaan pada (2.32) dan (2.22) untuk menghitung fasa persamaan (2.30):
12
Wavelet Transform (CWT) (Stockwell et al., 1996 ): (2.33)
Tanda minus di depan i untuk memberikan nilai positif pada hasil lag. t adalah dua kali waktu tempuh. Suku yang dikurung siku adalah keterlambatan (lag), yaitu selisih antara dua kali waktu tempuh dan waktu akibat kecepatan dispersi. Aki dan Richard (1980) menggunakan observasi batuan atenuatif di laboratorium (Lomnitz, 1956, 1957) serta hubungan tekanan dan regangan untuk menurunkan persamaan kecepatan dispersi. Pada persamaan tersebut, Q hampir konstan. Mereka menunjukkan bahwa (2.34) dengan v(b) adalah kecepatan fasa di frekuensi tertentu b. Q adalah faktor kualitas pada Ȧ, Ȗ adalah konstanta Euler (didekati 0.0557), v(a) adalah kecepatan fasa di frekuensi yang tinggi a. Untuk frekuensi tertentu Ȧ1 dan Ȧ2 (Ȧ1<Ȧ2), dan diasumsikan ʌQ cukup besar, persamaan di atas menjadi
(2.35) Persamaan inilah yang digunakan menghitung kecepatan dispersi
untuk pada
(2.36) dengan C(IJ,d) adalah CWT fungsi h(t) dengan wavelet induk w(t,f): (2.37)
(2.38) Sehingga transformasi S dapat dinyatakan sebagai:
(2.39) Persamaan di atas menunjukkan bahwa transformasi S dapat dikatakan sebagai transformasi Fourier dari sinyal h(t) yang telah dicuplik menggunakan gaussian window. Lebar gaussian window akan proporsional dengan frekuensi f. Semakin besar nilai f semakin sempit gaussian window. Misalkan suatu sinyal h(t) memiliki kandungan frekuensi yang tinggi, maksudnya osilasi sinyal yang tinggi di domain waktu. Maka, diperlukan lebar window yang sempit agar dapat mencuplik sinyal dengan osilasi yang tinggi tersebut. Dan sebaliknya untuk frekuensi rendah (gambar 2.8). Untuk perhitungan transformasi S dilakukan di domain frekuensi dengan persamaan
persamaan (2.30) dan (2.33). Dengan menggabungkan amplitudo dan fasa dalam bentuk kompleks, dan selanjutnya ditransformasi Fourier balik diperoleh impuls respon Q dalam domain waktu. 2.6 Transformasi S Analisa waktu-frekuensi yang digunakan untuk studi ini adalah transformasi S. Transformasi ini merupakan koreksi fasa dari metode Continuous
Suku yang dikurung adalah gaussian window. Pada persamaan ini muncul variabel baru yaitu faktor k. Untuk frekuensi tertentu f, semakin besar faktor k , gaussian window dalam domain frekuensi akan semakin sempit. Sehingga resolusi S dalam sumbu frekuensi semkin tinggi. 13
Namun hal ini membawa konsekuensi pada lebar gaussian window di domain waktu. Seperti terlihat pada gambar (2.9), saat gaussian window di domain frekuensi sempit, maka di domain waktu lebar. Sehingga, hal ini akan mengurangi resolusi transformasi S di sumbu waktu. Begitu juga sebaliknya untuk faktor yang kecil (gambar 2.10). Dari sini dapat disimpulkan bahwa dengan mengecilkan faktor k akan diperoleh resolusi transformasi S yang tinggi di domain waktu. Hal inilah yang dimanfaatkan untuk memisahkan lapisan tipis.
2.7 Spectral Ratio Kembali ke persamaan (2.3), model konvolusi trace seismik. Jika diperhitungkan pengurangan amplitudo karena spherical divergence, persamaan (2.3) menjadi (2.41) yang di domain frekuensi persamaan di atas menjadi Gambar 2.7. Diagram alir penghitungan impuls respon Q berdasar pada kode progarm matlab “einar” (CREWES) buatan Margrave (1999).
(2.42) Bila medium penjalaran gelombang atenuatif dengan Q yang konstan, maka frekuensi S(Ȧ) akan berkurang menurut persamaan: (2.43) Representasi waktu-frekuensi trace yang teratenuasi terlihat pada gambar (2.11). Tampak pada gambar tersebut semakin ke bawah amplitudo frekuensi semakin berkurang (teratenuasi).
Gambar 2.8. Transformasi S sinyal chirp. Atas: Sinyal dengan frekuensi yang semakin meningkat terhadap waktu. Sinyal dengan frekuensi rendah akan dicuplik dengan gaussian window yang lebar, dan sebaliknya. Bawah: transformasi S dari sinyal di atas.
Misalkan ada dua refleksi R1 di t1 serta R2 di t2, dengan membandingkan frekuensi tersebut (karena inilah disebut spectral ratio) dan mengambil logaritmanya diperoleh
14
(2.45) domain frekuensi
Dari persamaan di atas X merupakan intercept pada grafik log rasio amplitudo frekuensi (gambar 2.12 bawah) Gradien/ʌ dari persamaan (2.45) adalah atenuasi kumulatif. Bale, et al. (2002) menggunakan persamaan (2.46)
domain waktu
Gambar 2.9. Gaussian window. k = 1, frekuensi=20 Hz, banyak data=100. Atas: domain frekuensi. Bawah: domain waktu.
domain frekuensi
atenuasi kumulatif yang identik dengan nilai gradien/ʌ hasil dari spectral ratio. Sehingga nilai Q interval dapat dihitung dengan persamaan (2.47) dengan grd adalah gradien/ʌ, Qint adalah Q interval, dan T adalah waktu. Perhitungan ini diilustrasikan pada gambar (2.13). BAB III PENGOLAHAN ANALISA
domain waktu
Gambar 2.10. Gaussian window. k = 0.1, frekuensi=20 Hz, banyak data=100. Atas: domain frekuensi. Bawah: domain waktu.
Karena spherical divergence dan koefisien refleksi tidak bergantung pada frekuensi, suku pertama dan kedua di sisi kanan akan konstan X sehingga perbandingan frekuensi tersebut hanya bergantung pada frekuensi, dan berbentuk persamaan linier:
adalah
untuk menghitung Q interval.
DATA
DAN
Data yang digunakan pada tugas akhir ini adalah data sintetik trace seismik yang teratenuasi. Sebagai masukan untuk membentuk data tersebut digunakan informasi kecepatan, densitas, tebal, dan nilai Q untuk setiap lapisan. Setelah itu, trace sintetik tersebut diolah untuk mendapatkan kembali nilai Q dengan metoda spectral ratio. Analisa langsung disertakan per masing-masing subbab. 3.1 Model Konvolusi Anelastik Sebelum membangun model konvolusi anelastik dilakukan pemodelan impuls respon Q. Impuls respon Q berperan sebagai operator atenuasi dalam model konvolusi anelastik.
15
Gambar 2.11. Kiri: biru adalah trace teratenuasi. Hitam putus-putus adalah trace yang tidak teratenuasi. Kanan: transformasi S dari trace teratenuasi.
Gambar 2.13. Atas. Kiri: transformasi S trace teratenuasil dan nilai Q interval. Kanan: Atenuasi kumulatif. Nilai ini diperoleh dari gradien/ʌ dari regresi log (Ai/A1) (gambar 2.12, bawah). Bawah: Penghitungan Q interval.
Gambar 2.12. Atas. A1, kandungan frekuensi pada refleksi pertama dari trace teratenuasi pada gambar (2.11). Tengah. Kiri: A2, kandungan frekuensi pada refleksi kedua. Kanan: A3, kandungan frekuensi pada refleksi ketiga. Bawah. Kiri: log (A2/A1) dan regresinya (garis merah). Kanan: log (A3/A1) dan regresinya (garis merah).
3.1.1 Model Impuls Respon Q Masukan model impuls respon Q: Q1 =20 Q2 =200 =1600 m/s Kecepatan tingggi (cnot) t maksimum (tmax) =0.125 s Sampling rate (dt) =0.002 s Hasil impuls respons Q dari masukan di atas terlihat seperti pada gambar (3.1). Terlihat pada kotak amplitude spectrum, impuls respon Q 16
berperan sebagai low pass filter. Gambar ini merupakan representasi dari amplitudo A pada persamaan (2.30) (suku eksponensial pertama). Tidak seperti bentuk low pass filter ideal, bentuk Q filter dikontrol oleh nilai Q, yang menurun ekponensial terhadap frekuensi. Saat Q rendah, frekuensi tinggi terpotong. Medium dengan Q yang rendah akan mengatenuasi frekuensi tinggi dari wavelet.
Sedangkan pada kotak dispersion velocity vs frequency, tampak bahwa tiap frekuensi wavelet menjalar dengan kecepatan yang berbeda. Pada frekuensi tinggi wavelet menjalar lebih cepat. Untuk Q yang rendah, perbedaan antara kecepatan di f=0 dan f=nyquist cukup besar. Sedangkan saat medium mendekati elastik (Q>>) kecepatan menjadi tidak terlalu sensitif terhadap frekuensi.
Gambar pada kotak real phase vs frequency adalah nilai riil hasil dari persamaan (2.33) yang tidak lain nilai kosinusnya. Saat Q rendah, terlihat ada perbedaan fasa untuk tiap frekuensi. Sedangkan pada Q tinggi, perubahan fasa sangat kecil untuk tiap frekuensi. Gambar pada kotak real complex spectrum adalah nilai riil dari persamaan (2.31) yang tidak lain gabungan amplitudo dan fasa. Tampak pada gambar tersebut kurva mengikuti bentuk kurva amplitudo. Dua gambar paling bawah adalah impuls respon Q yang tidak lain transformasi Fourier balik dari persamaan (2.21). Gambar kanan adalah impuls respon Q yang proporsional terhadap lebar waktu masukan (tmax). Impuls respon untuk nilai Q yang berbeda-beda ditunjukkan pada gambar (3.2). Saat nilai Q semakin besar impuls responnya akan mendekati satu sehingga wavelet tidak akan berubah banyak (mendekati elastik). Dan sebaliknya untuk nilai Q yang rendah. Selanjutnya, setelah impuls respon Q dibentuk, model konvolusi anelastik dibangun. Q impulses 0.16 0.14 Q=1000
0.12
Q=500 Q=200
amplitude
0.1
Q=100 0.08
Q=50 Q=20
0.06 0.04 0.02
0.01
Gambar 3.1. Tahapan penghitungan impuls respon Q (berdasar pada diagram alir impuls respon Q gambar (2.7))
0.02
0.03
0.04 t (s)
0.05
0.06
0.07
0.08
Gambar 3.2. Impuls respon Q. Q yang tinggi, impuls responnya akan semakin spike dan nilai maksimumnya mendekati satu. Sebaliknya untuk nilai Q yang rendah, amplitudonya akan rendah dan bergelombang.
17
3.1.2 Model Konvolusi Anelastik Lapisan Tebal Masukan model konvolusi anelastik lapisan tebal: Lapisan dz (m) v (m/ s) ȡ (g/ cc) 150 1600 1978 1 100 2000 2010 2 70 1500 1970 3 120 2000 1994 4 200 2100 2048 5
Tabel 3.1. Masukan model anealstik 1 (lapisan tebal)
Q 110 140 30 60 200
Wavelet
: minimum phase; lebar=0.1s; frekuensi dominan=50Hz Sampling rate : 0.002s Pada lapisan ketiga, panjang gelombang Ȝ:
konvolusi
: minimum phase; lebar=0.1 s; frekuennsi dominan=50 Hz Sampling rate : 0.002s
Lapisan tipis didefinisikan dengan tebal kurang dari atau sama dengan Ȝ/4. Sehingga untuk Ȝ sama dengan 30 m lapisan tipisnya sama dengan 7.5 m.
Hasilnya terlihat seperti gambar (3.3). Impuls respon Q untuk masing-masing lapisan disusun sesuai dengan posisi koefiesien refleksi. Selanjutnya, wavelet dikonvolusikan dengan koefisien refleksi, dikonvolusikan lagi dengan impuls respon Q. Sehingga, terbentuk trace anelastik
Trace anelastik untuk lapisan tipis terlihat pada gambar (3.7). Terlihat pada gambar tersebut koefisien refleksi untuk top dan base lapisan ketiga berdekatan. Sehingga, selain terjadi interferensi wavelet, juga interferensi frekuensi wavelet (gambar 3.8)
Perbandingan antara trace elastik dan anelastik terlihat pada gambar (3.4). Pada gambar tersebut amplitudo trace anelastik (biru) tampak berkurang dibandingan trace elastik (hitam putus-putus). Sedangkan perbandingan frekuensinya terlihat pada gambar (3.5) dan (3.6). Terlihat pada kedua gambar tersebut, kandungan frekuensi wavelet teratenuasi (hijau) berkurang atau frekuensi tinggi wavelet teratenuasi dibandingkan dengan frekuensi wavelet tidak teratenuasi (biru).
Transformasi S memiliki kelebihan untuk memisahkan frekuensi lapisan tipis, yaitu dengan memperkecil nilai faktor k. Dengan memperkecil nilai k, gaussian window di domain waktu akan menjadi lebih sempit sehingga memberikan resolusi tinggi di domain waktu (gambar 3.9). Namun, gaussian window di domain frekuensi, dengan faktor yang kecil, menjadi lebar. Sehingga, resolusi resolusi di domain frekuensi berkurang. Tampak pada gambar (3.9) bahwa sebaran amplitudo frekuensi merata pada hampir seluruh frekuensi.
Wavelet
3.1.3 Model Konvolusi Anelastik Lapisan Tipis Masukan model konvolusi anelastik lapisan tipis: Lapisan dz (m) v (m/ s) ȡ (g/ cc) 150 1600 1978 1 100 2000 2010 2 7.5 1500 1970 3 120 2000 1994 4 200 2100 2048 5
Tabel 3.2. Masukan model anelastik 2 (lapisan tipis)
Q 110 140 30 60 200
3.2 Spectral Ratio Penghitungan Q interval menggunakan spectral ratio diilustrasikan pada gambar (3.10). Dari masukan nilai Q dihitung impuls responnya. Selanjutnya, dibentuk trace anelastik. Lalu, trace tersebut ditransformasi S. Setelah itu dipilih rentang waktu yang mengandung event-event
konvolusi
18
minphase wavelet 0 0
RC
Q respon 0
conv(w,Q respon,RC) 0
Frequency content at t=0.19s 8 without Q with Q
7
0.2
0.1
0.1
0.2
6
0.1
0.2
amplitude
0.1
0.2
5 4 3 2
0.3
0.3
0.3
1
time (s)
0.3
0 0.4
0.4
0.4
0.4
0.5
0.5
0.5
0.5
0
50
100
150
200
250
f (Hz)
Frequency content at t=0.292s 8 without Q with Q
7 6 0.6
0.6
0.6
amplitude
0.6
-200 0 200 Amplitude
-0.1 0 0.1 Amplitude
0
0.5 Amplitude
-20 0 20 Amplitude
5 4 3 2 1
Gambar 3.3. Trace anelastik. Kolom pertama: wavelet berfasa minimum. Kedua: koefisien refleksi. Ketiga: impuls respon Q. Keempat: trace anelastik.
0
0
50
100
150
200
250
f (H )
Gambar 3.5. Kandungan frekuensi trace elastik (biru) dan anelastik (hijau). Atas: pada event pertama (0.19 s). Bawah: pada event kedua (0.29 s).
saja. Log rasio frekuensi adalah proses selanjutnya. Dari sini dilakukan regresi linier log rasio sehingga diperoleh gradiennya. Gradien dibagi dengan ʌ sehingga diperoleh atenuasi kumulatif dan dipilih tiga titik yang posisinya bersesuaian dengan posisi event. Q interval dihitung menggunakan persamaan (2.47).
Gambar 3.4. Perbandingan antara trace elastik dan anelastik. Kiri: trace elastik (hitam putus-putus) dan trace anelastik (biru).Tengah: transformasi S trace elastik. Kanan: transformasi S trace anelastik.
Kurva log rasio amplitudo frekuensi tidak sepenuhnya linier. Efek-efek ujung biasanya memberikan nilai yang tidak stabil. Karena hal ini, beberapa log rasio perlu dicuplik dengan rentang frekuensi tertentu yang menunjukkan garis lurus. Pemilihan rentang frekuensi ini benar-benar di dasarkan pada penglihatan, yaitu frekuensi saat log rasio mulai menurun secara linier. Hasil ekstraksi Q untuk model lapisan tebal dapat dilihat pada tabel (3.3)
19
Frequency content at t=0.384s 8 without Q with Q
7
amplitude
6 5 4 3 2 1 0
0
50
100
150
200
250
f (Hz)
Frequency content at t=0.504s 8 without Q with Q
7
amplitude
6 5 4 3 2 1 0
0
50
100
150
200
250
f (H )
Gambar 3.6. Kandungan frekuensi trace elastik (biru) dan anelastik (hijau). Atas: pada refleksi ketiga (0.384 s). Bawah: pada refleksi kedua (0.504 s). RC
Q impulse respon conv(w,Qimpulse,RC 0 0
0
0.1
0.1
0.2
0.2
0.2
0.2
0.3
0.3
time
0.1
time (s)
0.1
time (s)
time (s)
minphase wavelet 0
Gambar 3.8. Transformasi S trace lapisan tipis, faktor = 1. Kiri. Biru :trace anelastik, hitam putus-putus: trace elastik. Tengah: transformasi S trace elastik. Kanan: transformasi S trace anelastik.
0.3
0.3
0.4
0.4
0.4
0.4
0.5
0.5
0.5
0.5
0.6 0.6 -40 -20 0 20 40 -0.1 0 0.1 Amplitude Amplitude
0.6 0
0.5 Amplitude
0.6 -4 -2 0 2 Amplitude
4
Gambar 3.7. Trace anelastik lapisan tipis. Kolom pertama: wavelet berfasa minimum. Kedua: koefisien refleksi. Ketiga: impuls respon Q. Keempat: trace anelastik.
Gambar 3.9. Transformasi S trace dengan lapisan tipis, faktor = 0.5. Kiri: Biru adalah trace anelastik, hitam putus-putus adalah trace elastik. Tengah: transformasi S trace elastik. Kanan: transformasi S trace anelastik.
20
Lapisan 3 4
Model 30 60
Q 0-250 (Hz) 40-202 (Hz) 50-171 (Hz) 35.637 42.267 41.442 52.687 87.571 83.928
Tabel 3.3. Hasil estimasi Q untuk lapisan tebal.
Dari tabel (3.3) tampak estimasi Q tidak terlalu jauh berbeda dengan masukan awal. Sehingga, bisa disimpulkan estimasi Q ini cukup stabil. Kesalahan untuk lapisan keempat lebih besar dibandingkan lapisan ketiga. Hal ini karena penghitungan Q interval dilakukan secara rekursif sehingga kesalahan pun terakumulasi ke bawah. Gambar hasil estimasi Q untuk lapisan tebal ada pada lampiran, gambar 1. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, log rasio amplitudo frekuensi tidak sepenuhnya linier sehingga perlu dipilih pada rentang frekuensi berapa log rasio amplitudo frekuensi menurun secara linier. Pada model lapisan tebal rentang fekuensi yang dipilih adalah 40-202 Hz dan 50171 Hz (gambar 3, 4, dan 5 di lampiran). Hasil ekstraksi Q untuk model lapisan tipis (7.5m) untuk semua frekuensi dengan faktor k transformasi S yang berbeda-beda tertera pada tabel (3.4)
Lapisan 3 4
Model 30 60
Q (all frequency) k=0.1 k=0.15 53.757 21.946 106.96 117.07
k=0.2 15.296 128.56
Tabel 3.4. Hasil estimasi Q untuk lapisan tipis menggunakan semua frekuensi dengan k yang bervariasi.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kesalahan pada lapisan kedua akan bertambah besar karena kesalahan akumulatif dari lapisan di atasnya. Lalu, bagaimana dengan pemilihan rentang frekuensi yang menunjukkan log rasio amplitudo frekuensi linier? Tabel (3.5) adalah hasil estimasi Q interval lapisan tipis untuk rentang frekuensi 50-200 Hz. Q Lapisan 3 4
Model 30 60
k=0.1 10.65 -1155.9
k=0.15 7.2287 -201.21
k=0.2 6.2431 -150.42
Tabel 3.5. Hasil estimasi Q untuk lapisan tipis dari rentang frekuensi 50-200 Hz dengan k yang bervariasi
Gambar 9 sampai 20 pada lampiran menunjukkan hasil regresi pada rentang frekuensi 50-200 Hz untuk lapisan tipis. Rentang ini dipilih berdasar pada penglihatan saja yaitu rentang frekuensi yang menunjukkan penurunan secara linier pada ketiga log rasio amplitudo frekuensi event. Terlihat dari tabel (3.5), hasil ekstraksi cukup jauh dari model bahkan negatif. Q pada interval pada lapisan ketiga cukup jauh dari Q masukan Sedangkan untuk lapisan keempat esktraksi Q memberikan nilai negatif. Ini merupakan akibat dari penghitungan rumus Q interval yang rekursif (persamaan (2.47)). Saat pemilihan atenuasi kumulatif di bottom suatu lapisan lebih rendah dari top-nya maka Q interval pada lapisan tersebut negatif.
Hasil ekstraksi Q untuk lapisan tipis dengan k yang berbeda-beda sperti pada pada tabel (3.4) menunjukkan bahwa Q interval pada lapisan tipis (ketiga) cukup mendekati model lapisan tipis.
21
Gambar 3.10
Ilustrasi penghitungan Q interval
BAB IV KESIMPULAN 1. Operator anelastik, dalam hal ini operator atenuasi (impuls respon Q), diperlukan untuk membentuk model trace anelastik. Operator ini akan membuat wavelet menjadi nonstasioner 2. Atenuasi, dalam hal ini dicerminkan dengan nilai Q, untuk kasus lapisan yang tebal dapat dihitung menggunakan metoda spectral ratio dengan hasil: x
x
Untuk lapisan tebal ekstraksi Q mendekati model dan cukup stabil. Untuk lapisan tipis ekstraksi Q akan bergantung pada pemilihan nilai faktor k transformasi S. Nilai faktor yang digunakan lebih kecil dari satu.
BAB V SARAN 1. Pada kasus lapisan tipis pemilihan nilai k akan berpengaruh pada estimasi nilai Q. Sehingga, sebagai saran, diperlukan optimasi nilai faktor k. 2. Pada kasus data riil, perlu dilakukan pemodelan ke depan trace dengan nilai Q hasil estimasi. Kemudian, dibandingkan dengan data riil hingga diperoleh error yang minimum. Hal ini untuk mendapatkan nilai Q yang mendekati nilai sebenarnya. 3. Penambahan noise pada trace sintetik seismik anelastik perlu diujikan untuk melihat robustness dari metoda ini 4. Penerapan lag akibat kecepatan dispersi pada trace sintetik anelastik.
22
DAFTAR PUSTAKA Aki, K. and Richards, P. G., 1980, Quantitative seismology: Theory and methods. W. H. Freeman & Co. Bale, R. A., and R. R. Stewart, 2002, The impact of attenuation on the resolution of multicomponent seismic data: CREWES Research Report, 14. Biot, M. A., 1956, Theory of Propagation of elastic waves in fluid-saturated porous solid, I, Low frequency range, J. Acoust. Soc. Am., 28, 168-178. Kjartansson, E., 1979, Constant Q wave propagation and attenuation: J. Geophysics. Res., 84, 4737-4748. Lay, T. and Terry C. W., 1995, Modern Global Seismology. Academis Press. Lomnitz, C., 1956, Creep measurements in igneous rocks: J. Geology,64,473-479.
Sheriff, R. E., 2002, Encyclopedic Dictionary of Applied Geophysics 4th edition, Society of Exploration Geophysicists Tompkins, M. J., and N. I. Christensen, 1999, Effect of pore pressure on compressional wave attenuation in young oceanic basalt, Geophys. Res. Lett., 26, 1321-1324. Udias, Agustin, 2003, Principles of Seismology. Cambridge University Press. Winkler, K. W., and W. F. M. Murphy III, 1995, Acoustic velocity and attenuation in porous rock, in A Handbook of Physical Constants: Rock Physics and Phase Relations, Ref. Shelf Ser., vol. 3, edited by T. J. Ahrens, pp. 20-34, AGU, Washington, D. C.. Yilmaz, O., 1987, Seismic Data Processing: Society of Exploration Geophysicists. Investigation in Geophysics No. 2. Ziolkowski, Anton, 2001, Seismic wavelet estimation without the invalid whiteness assumption. CSEG Recorder, pages 18–28, June.
Lomnitz, C., 1957, Linear dissipation in solids: J. Applied Physics, 28, 201-205. Margrave, G. F. and Lamoureux M. P., 2002, Gabor deconvolution: 2002 CSEG Annual Convention, Calgary, AB. Margrave, G. F., 1999, Einar. CREWES Educational Software and Data Release (MATLAB) O’Connell, R. J., and B. Budiansky, 1977, Viscoelastic properties of fluid-saturation cracked solids, J. Geophys. Res., 82, 5719-5735. Peacock, S., C. McCann, J. Sothcott, and T. R. Astin, 1944, Experimental measurement of seismic attenuation in microfractured sedimentary rock, Geophysics, 59, 1342-1351. Sheriff, R. E.,1989, Geophysical methods. Prentice Hall Inc.
23
LAMPIRAN
24
Gambar 1. Perbandingan antara Q model dengan hasil estimasi
Gambar 2. Perbandingan antara Q model dengan hasil estimasi pada lapisan tipis. Kiri: hasil estimasi dari semua frekuensi. Kanan: hasil estimasi dari rentang frekuensi 50.9 -200.6 Hz
Gambar 3. Ekstraksi Q interval lapisan tebal. Faktor S-T=1, semua frekuensi.
Gambar 4. Kandungan frekuensi dari setiap event dari pada gambar 3. Atas: kandungan frekuensi event pertama (reference). Tengah: kandungan frekuensi event kedua, ketiga, dan kempat (dari kiri). Bawah: log rasio amplitudo frekuensi tiap event terhadap event pertama dan regresinya (merah) untuk semua frekuensi.
Gambar 5. Ekstraksi Q interval lapisan tebal. Faktor S-T=1, rentang frekuensi: 40.4-202.3 Hz.
Gambar 6. Kandungan frekuensi dari setiap event dari pada gambar 5. Atas: kandungan frekuensi event pertama (reference). Tengah: kandungan frekuensi event kedua, ketiga, dan kempat (dari kiri). Bawah: log rasio amplitudo frekuensi tiap event terhadap event pertama dan regresinya (merah) untuk rentang frekuensi: 40.4-202.3 Hz.
Gambar 7. Ekstraksi Q interval lapisan tebal. Faktor S-T=1, rentang frekuensi: 50.5-151.7 Hz.
Gambar 8. Kandungan frekuensi dari tiap event pada gambar 7. Atas: kandungan frekuensi event pertama (reference). Tengah: kandungan frekuensi event kedua, ketiga, dan kempat (dari kiri). Bawah: log rasio amplitudo frekuensi tiap event terhadap event pertama dan regresinya (merah) untuk rentang frekuensi: 40.4-202.3 Hz.
Gambar 9. Ekstraksi Q interval lapisan tipis. Faktor S-T=0.1, semua frekuensi.
Gambar 10. Kandungan frekuensi dari setiap event pada gambar 9. Atas: kandungan frekuensi event pertama (reference). Tengah: kandungan frekuensi event kedua, ketiga, dan kempat (dari kiri). Bawah: log rasio amplitudo frekuensi tiap event terhadap event pertama dan regresinya (merah) untuk semua frekuensi.
Gambar 11. Ekstraksi Q interval lapisan tipis. Faktor S-T=0.15, semua frekuensi.
Gambar 12. Kandungan frekuensi dari setiap event pada gambar 11. Atas: kandungan frekuensi event pertama (reference). Tengah: kandungan frekuensi event kedua, ketiga, dan kempat (dari kiri). Bawah: log rasio amplitudo frekuensi tiap event terhadap event pertama dan regresinya (merah) untuk semua frekuensi.
Gambar 13. Ekstraksi Q interval lapisan tipis. Faktor S-T=0.2, semua frekuensi.
Gambar 14. Kandungan frekuensi dari setiap event pada gambar 13. Atas: kandungan frekuensi event pertama (reference). Tengah: kandungan frekuensi event kedua, ketiga, dan kempat (dari kiri). Bawah: log rasio amplitudo frekuensi tiap event terhadap event pertama dan regresinya (merah) untuk semua frekuensi.
Gambar 15. Ekstraksi Q interval lapisan tipis. Faktor S-T=0.1, rentang frekuensi: 50.9-200.6 Hz.
Gambar 16. Kandungan frekuensi dari setiap event pada gambar 15. Atas: kandungan frekuensi event pertama (reference). Tengah: kandungan frekuensi event kedua, ketiga, dan kempat (dari kiri). Bawah: log rasio amplitudo frekuensi tiap event terhadap event pertama dan regresinya (merah) untuk rentang frekuensi: 50.9-200.6 Hz.
Gambar 17. Ekstraksi Q interval lapisan tipis. Faktor S-T=0.15, rentang frekuensi: 50.9-200.6 Hz.
Gambar 18. Kandungan frekuensi dari setiap event pada gambar 17. Atas: kandungan frekuensi event pertama (reference). Tengah: kandungan frekuensi event kedua, ketiga, dan kempat (dari kiri). Bawah: log rasio amplitudo frekuensi tiap event terhadap event pertama dan regresinya (merah) untuk rentang frekuensi: 50.9-200.6 Hz.
Gambar 19. Ekstraksi Q interval lapisan tipis. Faktor S-T=0.2, rentang frekuensi: 50.9-200.6 Hz.
Gambar 20. Kandungan frekuensi dari setiap event pada gambar 19. Atas: kandungan frekuensi event pertama (reference). Tengah: kandungan frekuensi event kedua, ketiga, dan kempat (dari kiri). Bawah: log rasio amplitudo frekuensi tiap event terhadap event pertama dan regresinya (merah) untuk rentang frekuensi: 50.9-200.6 Hz.
Catatan Akhir Tugas Akhir Selasa Siang, 1 Juli 2008 Inilah saat seorang penulis TA bisa bebas dari formalitas, untuk menuliskan segala hal yang lebih sentimentil… Segala puji hamba haturkan kepada Tuhan atas segala kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya yang sangat banyak doas ini…Salawat untuk Rasul dan keluarganya yang suci… Kurang lebih satu tahun, waktu yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan ini...Sekali ganti topik…Jadi, efektif mungkin Maret sampai akhir Juni… coding, menelusuri pustaka, diskusi, evaluasi, revisi, dan pulang malam sudah ritual. Sahabat lain bahkan sampai menginap (Gema, Alan, Dilla”mon cheri”, Mba Ninin )... Saya berterimakasih kepada Bapak Sonny atas bimbingan dan diskusi intelektual & nonintelektualnya. Bapak Gunawan Ibrahim selaku dosen wali. Bapak Wahyu Triyoso, Bapak Afnimar Ph.D, Bapak Dr. Awali Priyono, Bapak Sri Widiyantoro Ph.D, Bapak Dr. Hendra Grandis, Bapak Tedi Yudistira M.Si , Bapak Dr. Nanang T Puspito, Bapak Untoro, M.Si, Bapak Drs. Muhammad Ahmad, terima kasih atas segala ilmu yang diajarkan, semoga dapat penulis amalkan dengan baik Tentu saja terima kasih banyak kepada keluarga: Bapak, Ibu, Mas Hamid, Mba Aan, Mba Likah, Mas Latief, Mba Elok, dan Mas Ipul…atas dukungannya…doanya… Terima kasih juga untuk x
CREWES dan Garry F. Margrave yang telah membuat coding Matlab “einar”…(siapa tahu dia baca TA ini -)
x
Farid dan Gema atas bantuannya menjelaskan S-Transform..
x
Alan, Dika, Felik, Dita, Desmon, Trevi, Ulan, Haikal, dan Dila atas kesediannnya berbagi informasi tentang TA-nya…
x
TU GM & TG atas pelayanannya….
x
Kawan-kawan angkatan 2003, HMGM, dan senior2 di lab seismik
x
Dan seluruh sahabat-sahabat lain…yang belum saya sebut…
Spesial terima kasih untuk Dila “ma cheri” atas dukungannya mengerjakan TA. Kemeja, dasi, mengetik, makan siang, mobil “gimung”-nya, waktu yang diluangkan, kebaikan, pengertian, dan kesabaran… Terima kasih untuk segalanya..terima kasih… Menyambung perkataan Lao Tzu di awal TA ini…semakin aku berusaha mengetahui sesuatu, semakin aku tahu bahwa banyak hal yang aku belum tahu…….