TIPOLOGI WAJAH BANGUNAN RUMAH TINGGAL KOLONIAL DI NGAMARTO - LAWANG Hany Perwitasari, Galih Widjil Pangarsa, Antariksa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145 Telp. 0341-567486 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kawasan Lawang memiliki potensi untuk menjadi sebuah kota pariwisata yang indah dan menarik. Daerah Lawang, merupakan daerah yang paling banyak memiliki bangunan kolonial di Malang Raya sampai saat ini. Bangunan kolonial masih banyak ditemukan di Lawang, terutama di daerah belakang Stasiun Kereta Api Lawang, yaitu di daerah Ngamarto, yang ditengarai berkembang pada pertengahan abad ke-19. Wajah bangunan atau muka bangunan merupakan hal yang pertama kali akan dilihat pada saat seseorang melihat atau mengamati suatu bangunan. Wajah bangunan rumah tinggal kolonial merupakan bagian yang paling penting, karena memiliki ciri-ciri spesifik yang dapat menjadi petunjuk tentang kebudayaan dan status sosial pemiliknya, kejayaan arsitektur kolonial, dan perkembangannya, yang turut memperkaya arsitektur nusantara. Tujuan dari penelitian dengan metode deskriptif dan eksploratif yang menggunakan metode purpossive sampling, untuk dilanjutkan dengan analisa dengan metode deskriptif-kualitatif terhadap wajah bangunan rumah tinggal kolonial yang ada di Kawasan Ngamarto - Lawang ini, adalah untuk mengidentifikasikan dan menganalisis tipologi wajah bangunan pada bangunan rumah tinggal kolonial di Kawasan Ngamarto - Lawang. Kata Kunci: tipologi, wajah, rumah tinggal, kolonial
ABSTRACT Lawang District, have a potention to be a beautiful and interesting city tourism. Untill now, Lawang District still have a big number of colonial building for Malang’s scope. Colonial building in Lawang can be found, especially at area behind The Train Station of Lawang, that called as Ngamarto, which is predicted was expanded in the middle of 19th century. Facade of the building, it’s the first thing that will be seen, when someone looking at or seeing a building. facade of colonial house building become an important part of the building, because it has a specific characteristic, that can be a clue of the culture and the social status of the owner, about the golden age of colonial’s architecture, and about it’s growth, that enriches the national’s architecture. The purpossive of reseach that use descriptive and eksplorative methods which use purpossive sampling method, that continued with analyzing by descriptive-kualitative method to the facade of colonial houses building at Ngamarto, Lawang, are to identifying and analyzing the tipology of Netherland’s Colonial House’s facade that has been found at Ngamarto, Lawang. Keywords: tipology, facade, Hous, Colonial
Pendahuluan Lawang merupakan salah satu kawasan yang sempat dikuasai oleh Belanda pada saat penjajahan berlangsung. Bangunan kolonial masih banyak ditemukan di Lawang, terutama di daerah belakang Stasiun Kereta Api Lawang, yaitu di daerah Ngamarto. Bangunan dengan Gaya Kolonial Belanda yang sangat kental mulai banyak dibangun di daerah Ngamarto, pada sekitar abad ke-19, dan sampai saat ini, bangunan-bangunan tersebut masih dapat ditemukan. Kondisi dari sebagian bangunan-bangunan tersebut saat ini kurang terpelihara dengan baik. Fungsi bangunan yang ada di daerah Ngamarto yang paling banyak adalah fungsi rumah tinggal.
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2009
51
Bangunan Kolonial Belanda merupakan sumbangan yang besar terhadap kekayaan arsitektur nusantara. Saat ini, masyarakat Indonesia kurang memperdulikan keberadaan bangunan kolonial, dan cenderung melakukan pengrusakan terhadap bangunanbangunan kolonial yang ada. Untuk mengatasi masalah seperti ini, maka diperlukan adanya pemahaman yang baik tentang keberadaan bangunan kolonial. Proses pemahaman didahului oleh proses pengenalan, dan proses pengenalan dapat dimulai dengan pengenalan terhadap wajah, atau muka bangunan. Wajah bangunan merupakan bagian yang paling penting, karena dari muka bangunan ini, identitas dari sebuah bangunan dapat diketahui dan dipelajari. Bentuk wajah bangunan juga dapat mewakili dan mengekspresikan bangunan. Bentuk wajah bangunan rumah kolonial memiliki ciri-ciri spesifik yang dapat menjadi petunjuk tentang kejayaan arsitektur kolonial, dan perkembangannya, yang turut memperkaya arsitektur nusantara. Studi ini dilakukan, untuk dapat menggali lebih dalam tentang karakteristik wajah bangunan rumah tinggal kolonial di Ngamarto - Lawang. Pemilihan topik dan juga objek dalam pembuatan stud ini memiliki beberapa alasan, antara lain, karena objek memiliki beberapa permasalahan yang menarik untuk dilakukan studi. Hasil dari studi ini, diharapkan dapat digunakan sebagai alat untuk menjawab permasalahan tentang ‘Bagaimana tipologi wajah bangunan pada bangunan rumah tinggal kolonial di Kawasan Ngamarto - Lawang?’ Kemudian tujuan dari studi ini, adalah untuk mengidentifikasikan dan menganalisis tipologi wajah bangunan pada bangunan rumah tinggal kolonial di Kawasan Ngamarto - Lawang, dalam upaya untuk menggali data historis tentang Lawang, dalam upaya pelestarian bangunan bersejarah yang ada di Lawang.
Metode Penelitian Dalam studi ini, digunakan metode deskriptif dan eksploratif, dan pemilihan sampelnya digunakan metode purpossive sampling, untuk kemudian dilanjutkan dengan analisis dengan metode deskriptif-kualitatif, yang dibantu dengan metode kuantitatif. Variabel yang dijadikan bahan antara lain adalah era pembangunan, elemen wajah bangunan, dan gaya bangunan. Data didapatkan melalui survey data primer, dan kegiatan observasi langsung ke lapangan, serta interview dengan beberapa pihak yang dianggap dapat memeberikan informasi yang bermanfaat bagi studi dan survey data sekunder, melalui literatur-literatur, dan melalui survey ke beberapa instansi, seperti kecamatan, kelurahan, dan lain sebagainya. Proses pemilihan sampel bangunan menggunakan purpossive sampling, sesuai dengan kriteria yang ditentukan, dan dari 22 sampel bangunan, dengan 18 sampel rumah tinggal kolonial, akhirnya didapatkan 11 bangunan sebagai kasus studi. Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. Metode pendekatan rasionalistikkualitatif dan deskriptif-eksploratif memiliki sasaran studi mengenai bagaimana elemenelemen yang digunakan pada bagian wajah bangunan rumah tinggal kolonial rakyat di kawasan studi. Analisis data dan penarikan kesimpulan berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah. Parameter yang dijadikan acuan penilaian adalah kesesuaian antara teori dengan objek yang ada di lapangan. Langkah awal adalah dengan mengumpulkan data di lapangan, lalu menyesuaikan dengan teori yang berkaitan dengan bentuk wajah bangunan. Langkah kedua, yaitu mencari tahu detail dari setiap elemen yang terdapat pada wajah bangunan. Hasil dari kedua langkah tersebut kemudian dijadikan acuan untuk membuat kesimpulan tentang tipologi wajah bangunan rumah tinggal kolonial.
52
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2009
Hasil dan Pembahasan Hasil studi menunjukkan bahwa pada Kawasan Ngamarto, bangunan rumah tinggal kolonial dapat ditentukan tipologinya berdasarkan beberapa ciri, sifat, dan kesamaan dasar, seperti era pembangunan, struktur konstruksi bangunan yang meliputi bagian kepala, badan, dan kaki bangunan, serta berdasarkan gaya/langgam yang mempengaruhi tampilan wajah bangunan rumah tinggal kolonial tersebut. Menurut era pembangunannya, bangunan rumah tinggal kolonial, ditipologikan menjadi 3 era, yaitu era 1851-1880, era 1881-1910, dan era 1911-1942. Pengelompokan ini didasarkan pada perkembangan Kawasan Ngamarto - Lawang, selama masa kolonialisasi berlangsung. Satu periode memiliki kurun waktu selama 30 tahun, sesuai dengan perkembangan gaya kolonial yang dijadikan acuan dalam menentukan gaya bangunan. Berdasarkan teori yang ada mengenai wajah bangunan, sebenarnya pada wajah bangunan, terdapat tiga bagian dasar, antara lain adalah sebagai berikut, 1. Bagian Kepala/Atap Bangunan; 2. Bagian Badan/Dinding Bangunan; dan 3. Bagian Kaki/Lantai Bangunan Tipologi kasus bangunan berdasarkan elemen kepala bangunan. Jenis atap ada bermacam-macam. Jenis yang sering ditemukan saat ini adalah atap datar yang terbuat dari beton cor dan atap miring berbentuk perisai ataupun pelana. Secara umum, atap adalah ruang yang tidak jelas, yang paling sering dikorbankan untuk tujuan eksploitasi volume bangunan. Atap merupakan mahkota bagi bangunan yang disangga oleh kaki dan tubuh bangunan, bukti dan fungsinya sebagai perwujudan kebanggaan dan martabat dari bangunan itu sendiri. (Gambar 1) PR 3
GPRPL 1
PR M 1
GPL 1
Gambar 1. Tipologi atap pada wajah bangunan rumah tinggal kolonial di Ngamarto, Lawang.
Atap bangunan rumah tinggal kolonial era 1851-1880. Bangunan rumah tinggal kolonial yang dibangun pada era 1851-1880 sebagian besar merupakan bangunan dengan atap yang berbentuk perisai. Atap perisai ini, ada yang merupakan perisai tunggal, dan ada pula yang penggunaannya dipadukan dengan atap gable/gevel, seperti contoh kasus bangunan GPR 1 milik Bapak Oswald (Gambar
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2009
53
2.). Atap bentuk perisai memang sangat mendominasi pada era 1850-1880, akan tetapi dari kasus bangunan rumah tinggal kolonial di Ngamarto, ada satu kasus rumah, yaitu PL 1 milik Bapak Dian, yang menggunakan atap bentuk pelana sederhana (Gambar 3).
Gambar 2. Bangunan GPR 1 milik Pak Oswald.
Gambar 3. Bangunan PL 1 milik Pak Dian
Bahan penutup atap yang digunakan pada sebagian besar bangunan rumah tinggal kolonial di Ngamarto pada era 1851-1880 adalah bahan genteng tanah liat. Bahan penutup atap berupa genteng tanah liat ini, biasanya dipadukan dengan penggunaan bahan beton sebagai bahan gable/gevel (Gambar 4), ataupun dipadukan dengan bahan seng bergelombang sebagai teritisan. Bahan penutup atap kasus bangunan PR 3 tidak sama seperti kasus bangunan lainnya. Bangunan PR 3 menggunakan bahan seng bergelombang sebagai penutup atapnya.(Gambar 5) Lisplank atap pada kasus bangunan rumah tinggal kolonial di Ngamarto yang dibangun pada era 1851-1880 merupakan lisplank polos tanpa ada unsur ornamen atau dekoratif samasekali.
54
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2009
GPL 2
GPL 1
GPRPL 2
GPRPL 1
Gambar 4. Elemen gable/gavel pada bagian kepala bangunan.
Gambar 5. Bangunan PR 3 milik Pak Oetomo.
Atap bangunan rumah tinggal kolonial era 1881-1910. Bangunan rumah tinggal kolonial yang dibangun pada era 1881-1910 memiliki bentuk atap yang lebih bervariasi dari era sebelumnya. Atap bangunan rumah tinggal kolonial era 1881-1910 kesemuanya merupakan perpaduan dari dua jenis atap, seperti perpaduan atap gable/gevel dengan perisai, ataupun perpaduan antara atap gable/gevel dengan pelana. Selain dua jenis perpaduan tersebut, juga terdapat bangunan kolonial yang menggunakan perpaduan atap perisai dengan atap limasan, seperti bangunan rumah tinggal milik Bapak Masrani (PRLM 1). Bahan penutup atap yang digunakan merupakan bahan genteng tanah liat. Pemakaian bahan genteng tanah liat ini dipadukan dengan pemakaian bahan beton cor, sebagai bahan gable/gevel, seperti pada kasus bangunan GPRPL 1 dan GPL 2, sedangkan GPL 1 menggunakan bahan seng bergelombang yang difinishing dengan cat bewarna putih.
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2009
55
Lisplank yang digunakan pada bangunan rumah tinggal kolonial pada era 1881-1910 merupakan lisplank polos, tanpa ada unsur dekoratif apapun. Lisplank dengan unsur dekoratif, hanya ditemukan pada luifel (teritisan) bangunan GPL 1 milik Ibu Darno, yaitu dengan penggunaan lisplank dari bahan kayu yang pada permukaannya terdapat ukiran bermotif sulur-suluran. Atap bangunan rumah tinggal kolonial era 1911-1942. Bentuk atap perisai masih menjadi bentukan atap yang paling dominan pada bangunan-bangunan rumah tinggal kolonial yang dibangun pada era 1911-1942. Atap pada bangunan rumah tinggal kolonial pada era ini, sudah mulai dipadukan dengan bentukan atap lokal. Bentukan atap lokal pada bangunan kolonial, merupakan salah satu wujud akulturasi kebudayaan kolonial dengan kebudayaan lokal. Bentukan atap lokal pada kasus bangunan rumah tinggal kolonial, dapat ditemukan pada rumah milik Bapak Nugroho. Bangunan rumah PRM 1 ini dibangun pada tahun 1917, dengan Gaya 1915-an, yang terlihat pada bagian wajah bangunan yang sudah mengadopsi bentukan atap lokal. (Gambar 6)
Gambar 6. Bangunan PRM 1 milik Pak Nugroho.
Gaya ini memang menjadi trend pada sekitar tahun 1915-an, akan tetapi bangunan Yasprint (GPRPL 2), masih menggunakan atap bentuk perisai, yang digabungkan dengan atap gable/gevel dan pelana pada bagian wajah bangunannya. Ini merupakan salah satu bukti bahwa sebenarnya, gaya atau langgam arsitektur merupakan sesuatu yang sifatnya historical layer. Bahan penutup atap yang digunakan pada era 1911-1942 masih tetap menggunakan bahan lokal berupa genteng tanah liat, sama seperti bahan penutup atap pada era-era sebelumnya. Bahan genteng tanah liat ini, digabungkan dengan bahan beton cor sebagai bahan gable/gevel pada bangunan GPRPL 2, sedangkan pada bangunan PRLM 1, bahan genteng tanah liat ini penggunaannya dipadukan dengan kayu, yang berfungsi sebagai jalusi pada bagian bawah atap, mengikuti bentukan atap di atasnya. Lisplank pada bangunan rumah tinggal era 1911-1942 yang dijadikan studi kasus, merupakan lisplank polos dari bahan kayu yang difinishing dengan cat kayu bewarna gelap, seperti warna coklat tua.
56
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2009
Tipologi kasus berdasarkan elemen badan bangunan. Elemen-elemen wajah bangunan, yang termasuk ke dalam elemen badan bangunan, antara lain adalah dinding, luifel (teritisan), pintu, jendela, bouvenlicht, lubang angin, serambi, dan pagar serambi (Gambar 7). PRLM 1
GPRPL 1 GPRPL 1
GPR 1
Gambar 7. Tipologi dinding pada wajah bangunan rumah tinggal kolonial di Ngamarto, Lawang.
Badan bangunan rumah tinggal kolonial era 1851-1880. Dinding wajah bangunan rumah tinggal kolonial era 1851-1880 sebagian besar kasus bangunan menggunakan bahan batu bata, dengan konstruksi satu batu bata, seperti bangunan PL 1, GPR 1, PR 2, dan PR3. Bahan penutup yang digunakan pada bangunan rumah tinggal kolonial era 18511880 sebagian besar merupakan bahan cat dinding atau kapur bewarna putih. Pada bangunan PR 2 milik Ibu Arik, penggunaan bahan cat sebagai penutup dinding dipadukan dengan penggunaan batu kali pada dinding bagian bawah. Ornamen pada bagian dinding bangunan rumah tinggal kolonial era 1851-1880 cukup beragam, akan tetapi bentukan ornamen yang digunakan sebagian besar bangunan adalah bentukan geometri, dan pemakaian unsur garis, baik berupa garis horisontal yang cukup kuat pada bagian dinding wajah bangunan. Luifel (teritisan) pada bangunan rumah tinggal kolonial era 1851-1880 masih jarang dijumpai pada bagian wajah bangunan. Hal ini menjelaskan bahwa pada masa itu, bangunan-bangunan yang dibangun masih belum menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, terutama iklim di Indonesia. Beberapa bangunan yang menggunakan luifel (teritisan) pada wajahnya, antara lain adalah PR 1, PR2, dan PR 3. Bangunan PR 1 dan PR 2 merupakan bangunan kolonial rakyat milik pribumi. Luifel (teritisan) pada bangunan era 1851-1880 dapat ditipologikan berdasarkan bahan yang digunakan dan keberadaannya pada wajah bangunan. Bangunan PR 1 menggunakan bahan seng bergelombang sebagai luifel (teritisan), yang dipasang tepat di bawah atap secara menerus di sepanjang wajah bangunan. Pada bangunan PR 2, luifel
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2009
57
(teritisan) menggunakan bahan penutup dari bahan genteng tanah liat, yang dipasang secara menerus, tepat di bawah atap utama di sepanjang wajah bangunan.(Gambar 8) GPL 1
GPRPL 1
PRM 3
GPL 2
Gambar 8. Tipologi teritisan pada wajah bangunan rumah tinggal kolonial di Ngamarto - Lawang.
Pintu utama yang digunakan pada bangunan rumah tinggal era ini, adalah pintu ganda, baik berupa ganda tunggal, maupun berupa ganda rangkap. Pintu ganda tunggal digunakan pada bangunan PL 1 dan PR 2, sedangkan bangunan lainnya seperti bangunan GPR 1, PR1, dan PR 3 menggunakan jenis pintu ganda rangkap, yang bagian luarnya terbuat dari bahan kayu masif, sedangkan bagian dalamnya menggunakan bahan kayu dan dominasi kaca. Jenis kaca yang digunakan adalah kaca bening dan kaca es. Pintu utama pada bangunan kolonial era 1851-1880 sebagian besar menggunakan ornamen berupa bentukan-bentukan geometri persegi, dan juga permainan list horisontal, yang membagi pintu menjadi beberapa ruas. Jenis jendela yang banyak digunakan pada era ini, adalah jenis jendela ganda dan jendela rangkap ganda. Kasus bangunan PL 1 menggunakan jenis jendela ganda, sedangkan bangunan lainnya sebagian besar menggunakan jenis jendela, rangkap ganda, kecuali bangunan GPR 1. Bangunan GPR 1 tidak memiliki jendela samasekali, bukaan yang ada hanya berupa pintu rangkap ganda yang jumlahnya cukup banyak. Jendela yang terdapat pada bangunan rumah tinggal kolonial era 1851-1880, kesemuanya merupakan jenis jendela yang diputar secara horisontal, baik ke arah dalam, maupun ke arah luar bangunan, dengan poros yang terletak pada bagian samping luar. Ornamen pada bagian jendela, sama dengan ornamen yang terdapat pada bagian pintu. Jendela bangunan era ini didominasi dengan penggunaan ornamen berbentuk geometris persegi, dan juga list horisontal dan juga vertikal yang digunakan sebagai pemanis ataupun untuk membagi ruas jendela. Bahan yang digunakan untuk jendela pada era ini, adalah bahan kayu yang dipadukan penggunaannya dengan kaca. Kaca yang digunakan, jenisnya beragam. Dalam satu kasus bangunan, satu jendela dapat menggunakan beberapa jenis kaca, seperti kasus bangunan PR 1, yang jendelanya menggunakan bahan kaca bening, kaca es, dan kaca patri warna-warni dalam satu jenis jendela. Bouvenlicht pada era 1851-1880 belum begitu mendominasi keberadaannya. Masih ada beberapa bangunan yang tidak menggunakan bouvenlicht, melainkan lubang angin biasa, seperti kasus bangunan PL 1 dan PR 2. kasus bangunan yang menggunakan
58
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2009
bouvenlicht, lebih memilih untuk menggunakan bentukan-bentukan persegi sebagai bentuk bouvenlicht, seperti pada kasus bangunan PR 1, GPR 1, dan PR 3. Bahan yang digunakan sebagai bouvenlicht beragam, tapi untuk bingkainya, semua kasus bangunan era 1851-1880 menggunakan bahan kayu, sedangkan untuk penutup dan hiasan pada bagian tengahnya, digunakan bahan besi dengan motif sulur-suluran, seperti kasus bangunan GPR 1 dan PR 3, ataupun bahan kayu dengan bentuk geometri balok panjang, seperti kasus bangunan PR 1. Badan bangunan rumah tinggal kolonial era 1881-1910. Kasus bangunan era ini, yang ditemukan di Kawasan Ngamarto - Lawang, menggunakan dinding dari bahan batu bata dengan konstruksi satu batu bata, sama dengan bahan dan jenis dinding bangunan kolonial pada era sebelumnya. Finishing dinding wajah bangunan masih menggunakan bahan spesi yang ditutupi dengan cat dinding warna putih. Pada kasus bangunan PRLM 1, dinding wajah bangunan juga menggunakan bahan batu kali dengan finishing cat hitam pada bagian batu, dan cat putih pada bagian spesi. Bahan penutup dari batu pada bangunan PRLM 1 ini mendominasi dinding pada wajah bangunan. (Gambar 9)
Gambar 9. Bangunan PRLM 1 milik Pak Masrani .
Ornamen dinding yang ditemukan pada era ini, antara lain adalah ornamen berbentuk geometri persegi, dan juga permainan list pada permukaan dinding, baik berupa list vertikal, maupun list horisontal. Gaya Romantiek terlihat jelas pada bangunan GPRPL 1 milik Bapak Su’ud, yang pada dinding wajah bangunannya dipenuhi dengan ornamen dari bentukan dasar persegi dan juga list-list vertikal dan horisontal. Selain bangunan yang penuh dengan ornamen pada bagian dinding wajahnya, terdapat juga bangunan yang samasekali tidak memiliki ornamen pada bagian dinding wajahnya, seperti bangunan GPL 1 milik Ibu Soedarno. Jenis pintu yang banyak digunakan pada bangunan era ini, ada dua jenis, yaitu pintu ganda dan pintu rangkap ganda, dengan jumlah pintu ganda yang lebih mendominasi. Bangunan yang menggunakan jenis pintu ganda antara lain adalah bangunan GPRPL 1, PRLM 1, dan GPL 2, sedangkan bangunan yang menggunakan jenis pintu rangkap ganda, hanya bangunan GPL 1 milik Ibu Soedarno. Bahan yang digunakan untuk pintu masih tidak jauh dari bahan-bahan dari era sebelumnya, seperti bahan kayu yang dipadukan dengan kaca dengan jenis yang beragam, seperti kaca patri, kaca es, dan juga kaca bening. Pada kasus bangunan GPRPL 1 misalnya, menggunakan bahan kayu yang dipadukan dengan kaca es, patri,
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2009
59
dan juga kaca bening. Kaca es atau patri yang digunakan biasanya merupakan kaca warna, dengan warna alam seperti merah, biru, kuning, dan hijau. Ornamen yang digunakan pada pintu utama bangunan pada era ini, masih tidak berbeda jauh dengan ornamen pada era sebelumnya. Bentukan-bentukan geometri seperti persegi masih banyak digunakan pada pintu dari sebagian besar kasus bangunan era 1881-1910. Selain bentukan geometri persegi, bentukan geometri lainnya yang digunakan adalah bentuk trapesium dan lingkaran. Bentuk geometri trapesium, dapat ditemukan pada bagian atas pintu utama kasus bangunan GPRPL 1, milik Bapak M. Su’ud. Selain bentukan-bentukan geometri, bangunan rumah tinggal era ini. Sebagian besar menggunakan list dari bahan kayu baik berupa list horisontal, maupun list vertikal pada bagian pintu, yang digunakan sebagai penambah unsur estetika, ataupun untuk membagi daun pintu menjadi beberapa ruas. Ornamen lainnya yang digunakan adalah teralis, seperti pada kasus bangunan PRLM 1, yang menggunakan teralis berbentuk bulat-bulat dari bahan besi. Jenis jendela bangunan rumah tinggal kolonial pada era ini, masih sama dengan jenis jendela pada era sebelumnya, yaitu jendela rangkap ganda dan jendela ganda. Jendela ganda terdapat pada bangunan PRLM 1 dan GPL 1, sedangkan jendela rangkap ganda terdapat pada bangunan GPRPL 1 dan GPL 2. pada bangunan GPRPL 1 juga terdapat jendela dengan tiga ruas, yang bagian pinggir merupakan jendela mati, sedangkan bagian tengahnya merupakan jendela buka. Pada kasus bangunan GPL 2 juga terdapat jendela tunggal pada bagian wajah ruang tamu. Jendela yang digunakan pada bangunan kolonial era ini, sebagian besar merupakan jendela putar dengan tipe putar horisontal, dan jendela dengan tipe putar vertikal, seperti jendela pada kasus bangunan GPL 1 dan GPL 2. Tipe putar ini tentu saja membuat jendela-jendela ini memiliki dua poros, jendela dengan tipe putar horisontal tipe porosnya merupakan poros samping, sedangkan jendela putar vertikal pada kasus bangunan menggunakan poros atas. Ornamen pada bagian jendela, sama dengan ornamen yang terdapat pada bagian pintu. Jendela bangunan era ini didominasi dengan penggunaan ornamen berbentuk geometris persegi, dan juga list horisontal dan juga vertikal yang digunakan sebagai pemanis ataupun untuk membagi ruas jendela. Bahan yang digunakan untuk jendela pada era ini, masih sama dengan bahan yang digunakan dengan era sebelumnya, dan disesuaikan dengan bahan pintu. Bangunan GPRPL 1 menggunakan bahan kayu yang dipadukan dengan penggunaan kaca es dan patri bewarna, dengan teralis besi di antara jendela luar dan jendela dalam. Bangunan lainnya, pada era ini juga menggunakan bahan kayu sebagai kusen, bingkai, dan list jendela, yang penggunaannya dipadukan dengan penggunaan kaca bening. Pada kasus bangunan GPL 1 milik Ibu Soedarno, penggunaan kaca bening, dipadukan dengan penggunaan kaca patri bewarna. Bouvenlicht pada era ini dapat ditemukan pada kasus bangunan GPRPL 1, PRLM 1, dan GPL 2, sedangkan kasus bangunan GPL 1 tidak memiliki bouvenlicht pada wajah bangunannya. Bouvenlicht yang digunakan bentuknya beragam, tentu saja masih dengan bentukan-bentukan geometri. Bangunan GPRPL 1 menggunakan beberapa bentukan geometri, yaitu bentukan persegi dan segitiga. Pada bagian gable/gevel, dan pada bagian atas bukaan, bouvenlicht merupakan perpaduan dari bentukan persegi dan segitiga, yang menghasilkan bentukan trapesium. Pada kasus bangunan lainnya pada era ini, bentukan yang digunakan sebagai bentukan bouvenlicht adalah bentukan persegi, seperti pada kasus bangunan PRLM 1 dan GPL 2. Bahan bovenlicht yang digunakan beragam, tentu saja masih dengan bahan kayu yang dipadukan dengan beberapa jenis kaca, seperti kaca es dan kaca patri. Ornamen atau nilai estetika dari bouvenlicht didapatkan dari perpaduan bentukan geometri dan juga warna dan jenis kaca yang digunakan. Motif sulur-suluran sudah tidak ditemukan lagi pada bouvenlicht rumah tinggal kolonial era 1881-1910.
60
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2009
Badan bangunan rumah tinggal kolonial era 1911-1942. Bangunan-bangunan pada era ketiga ini merupakan bangunan kolonial yang dibangun pada era akhir Kependudukan Belanda di Indonesia. Terdapat dua kasus bangunan rumah tinggal kolonial di Kawasan Ngamarto, yang dibangun pada era ini. Bangunan tersebut, adalah bangunan PRM 1 milik Bapak Nugroho, dan bangunan GPRPL 2 yang sekarang menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Alkitab Yasprint. Dinding kedua bangunan merupakan dinding dari bahan batu bata dengan menggunakan konstruksi satu batu bata. Pada permukaan dinding bangunan terdapat ornamen. Bangunan PRM 1 menggunakan ornamen berupa list horosontal pada bagian tengan dinding bangunan, yang dibuat di sepanjang dinding, sedangkan bangunan GPRPL 2 menggunakan bentukan geometri persegi, dan bentuk lengkung pada bagian gable/gevel tower bangunan. Dinding bangunan era ini difinishing dengan menggunakan bahan cat dinding. Bagian permukaan dinding kasus bangunan PRM 1 di-spesi halus, sehingga tidak terdapat tekstur, sedangkan pada kasus bangunan GPRPL 2, sebagian dinding dibuat teknik caprutan, sehingga bagian permukaannya memiliki tekstur yang kasar. Pada bangunan GPRPL 2, dinding spesi, dan dinding caprutan diberi warna cat yang berbeda, sehingga dapat memunculkan nilai estetika bangunan. (Gambar 10)
Gambar 10. Bangunan GPRPL 2 milik Yasprint.
Pintu utama pada bangunan era ini, ada dua jenis, yaitu pintu ganda, seperti pada bangunan PRM 1, dan jenis pintu dengan tiga daun pintu seperti pada bangunan GPRPL 2. Pintu utama pada era ini sudah tidak menggunakan jenis pintu rangkap, seperti pada era-era sebelumnya. Hal ini membuktikan, bahwa bangunan yang dibangun pada era akhir kolonial ini, sudah tanggap terhadap lingkungan dan iklim sekitar. Bahan dari pintu masih sama, yaitu bahan kayu. Pada kasus bangunan PRM 1, bahan kayu tidak dipadukan dengan kaca, tapi dibuat model jalusi, sedangkan pada kasus GPRPL 2, pintu terbuat dari bahan kayu yang dipadukan dengan kaca bening, dengan bukaan yang cukup lebar. Ornamen yang digunakan pada pintu utama kasus PRM 1, berupa bentukan geometri persegi, pada bagian bawah pintu, yang dipadukan dengan list-list horisontal membentuk jalusi pada bagian atasnya, sedangkan pada kasus bangunan GPRPL 2, tidak ditemukan ornamen pada bagian pintu utamanya. Jenis jendela pada kasus bangunan era ini, sudah mulai bervariasi. Dalam satu kasus wajah bangunan, dapat ditemukan beberapa jenis jendela. Pada kasus bangunan PRM 1, ada tiga jenis jendela yang digunakan, yaitu jendela jenis tunggal, ganda, dan rangkap ganda. Pada bangunan GPRPL 2 dapat ditemukan jenis jendela tunggal dan jendela dengan tiga ruas daun jendela. Jendela pada kasus bangunan PRM 1, kesemuanya merupakan jendela dengan tipe putar horisontal, dengan poros pada bagian samping luar, sedangkan jendela pada
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2009
61
bangunan GPRPL 2, juga tipe putar horisontal, dengan poros samping ke arah luar, maupun putar vertikal dengan poros atas. Ornamen jendela pada kasus bangunan rumah tinggal kolonial era ini, sama dengan ornamen pada bagian pintu utama bangunan. Pada kasus bangunan PRM 1, ornamen yang digunakan berupa bentukan geometri persegi yang dipadukan dengan jalusi pada bagian atasnya. Pada bangunan PRM 1, juga terdapat jendela dengan bahan kaca grafir yang bermotif sulur-suluran, dengan warna alam seperti merah, hijau, dan biru. Pada bangunan GPRPL 2, tidak ada ornamen pada jendela. Bahan jendela, sama dengan bahan pintu, yaitu bahan kayu, yang dipadukan dengan bahan kaca. Kasus PRM 1 menggunakan jenis jendela rangkap, yang bagian luarnya berupa bahan kayu masif, dan dalamnya menggunakan bahan kayu yang dipadukan dengan kaca. Jendela lainnya pada kasus PRM 1 menggunakan bahan kaca grafir. Pada kasus bangunan GPRPL 2, bahan jendela didominasi dengan penggunaan bahan kaca bening yang dibingkai dengan bahan kayu. Bangunan pada era ini, tidak menggunakan bouvenlicht samasekali, dan fungsinya digantikan dengan lubang angin dengan bentukan geometri persegi, yang ditambahkan dengan ornamen berbentuk balok persegi yang dibuat menonjol ke permukaan, membentuk tanda silang. Tipologi kasus bangunan berdasarkan elemen kaki bangunan. Yang termasuk ke dalam bagian dari kaki bangunan adalah lantai dan juga pondasi bangunan. (Gambar 11) PRLM 1
PR 2
PR 3
PR 1
Gambar 11. Tipologi lantai wajah bangunan rumah tinggal kolonial di Ngamarto, Lawang.
Kaki bangunan rumah tinggal kolonial era 1851-1880. Bahan lantai yang digunakan pada bangunan rumah tinggal kolonial era 1851-1880 juga beragam. Kasus bangunan PL 1 menggunakan bahan plesteran, bangunan PR 1 dulunya merupakan lantai tanah, dan bangunan lainnya pada era ini menggunakan bahan teraso, baik bermotif maupun teraso polos, sebagai bahan penutup lantai bangunan. Pondasi yang digunakan pada era ini. Rata-rata menggunakan bahan batu kali, dan ada beberapa bangunan seperti kasus PL 1 dan PR 3 yang menggunakan pondasi rolak (batu bata). Elemen lainnya adalah keberadaan serambi dan pagar pada bagian depan bangunan, seperti yang terdapat pada bangunan PL 1 (yang sekarang beralih fungsi sebagai ruang tamu), GPR 1, PR 2, dan PR 3. Kaki bangunan rumah tinggal kolonial era 1881-1910. Bahan penutup lantai yang digunakan pada bangunan era 1881-1910, kesemua kasus bangunan menggunakan jenis lantai teraso polos ataupun bermotif, seperti lantai kasus bangunan PRLM 1.
62
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2009
Pondasi yang digunakan merupakan pondasi batu bata dengan ukuran yang telah ditentukan, sesuai dengan standar konstruksi yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum pada masa kolonialisasi. Elemen lainnya dari bangunan era 1881-1910 ini adalah lubang angin, serambi, dan pagar serambi. Semua kasus bangunan untuk era ini, memiliki lubang angin pada wajah bangunannya, tentu saja merupakan lubang angin sederhana dengan bentukan geometris persegi. Serambi bangunan pada era ini, sudah mulai menghilang, dan digantikan dengan ruangan yang menonjol sampai ke depan. Bangunan yang masih menggunakan serambi, hanya bangunan milik Bapak Ih-Wei (GPL 2), yaitu pada bagian kiri dan kanan bangunan, sedangkan pada bagian tengahnya sudah berupa dinding hasil penonjolan denah ruang tamunya. Kaki bangunan rumah tinggal kolonial era 1911-1942. Bahan yang digunakan sebagai penutup lantai adalah bahan teraso polos abu-abu, untuk kedua bangunan. Kasus bangunan era 1910-1942 memiliki serambi dengan pagar serambi yang terbuat dari bahan beton dan dinding batu bata. Pada bangunan PRM 1, pagar serambi merupakan pagar menerus, yang difinishing dengan teknik caprutan, sedangkan pada bangunan GPRPL 2, pagarnya terdiri dari pilar-pilar kecil. Pondasi yang digunakan merupakan pondasi batu bata dengan ukuran yang telah ditentukan, sesuai dengan standar konstruksi yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum pada masa kolonialisasi. Pondasi bangunan pada bangunan kasus di Ngamarto, sebagian besar menggunakan pondasi dari bahan batu kali, dan sebagian menggunakan pondasi dari bahan batu bata (rolak). Sebagian besar pondasi sengaja dimunculkan ke permukaan tanah bagian atasnya, sehingga menjadi unsur dekoratif wajah bangunan. Tipologi Berdasarkan Gaya Bangunan. Gaya bangunan kolonial, dapat mewakili bangunan untuk menyampaikan kebudayaan dan juga suatu jaman, pada saat bangunan tersebut dibangun. Gaya bangunan ini, ternyata merupakan sesuatu yang bersifat ‘historical layer’. Gaya bangunan rumah tinggal kolonial era 1851-1880. Era 1851-1880 merupakan era bangunan kolonial Gaya Indisch Empire dan juga Gaya Voor 1900. Gaya-gaya ini memiliki ciri-ciri antara lain, bangunan memiliki halaman yang luas, atap bentuk perisai, terkesan monumental, cat dinding dari kapur putih, dan terus berkembang manjadi bangunan yang lebih tanggap terhadap iklim tropis dengan kehadiran luifel (teritisan) dari bahan seng bergelombang dan juga pemakaian bahan baru, yaitu besi. Gaya bangunan rumah tinggal kolonial era 1881-1910. Era 1881-1910 merupakan era bangunan Gaya NA 1900 yang sangat dipengaruhi Aliran Romantisme Eropa dan bangunan dengan Gaya Romantiek yang kaya dengan penggunaan ornamen, baik pada ruangan, maupun pada wajah bangunan. Kasus bangunan rumah tinggal kolonial era 1881-1910 menggunakan beberapa gaya, diantaranya adalah Gaya Voor 1900, seperti bangunan PRLM 1, Gaya NA 1900, seperti bangunan GPL1 dan GPL 2, dan juga Gaya Romantiek, seperti bangunan GPRPL 1, yang kaya dengan elemen dekoratif pada bagian wajah bangunannya. Gaya bangunan rumah tinggal kolonial era 1911-1942. Gaya bangunan yang berkembang pada era ini, adalah Gaya 1915-an, akan tetapi pada kenyataannya, masih banyak sekali elemen dari bangunan-bangunan era sebelumnya, yang digunakan sebagai elemen wajah bangunan dari era ini, seperti penggunaan gable/gevel, jenis, bahan, maupun ornamen dari era sebelumnya. Kemudian
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2009
63
yang terlihat menonjol pada era ini adalah bentukan atap tradisional, yang menunjukkan adanya akulturasi kebudayaan kolonian dengan budaya lokal.
Kesimpulan Berdasarkan eranya, bangunan kolonial dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipologi. Tipologi yang ditentukan pada studi ini, didasarkan pada elemen pada wajah bangunan, yang terdiri dari bagian kepala, badan, dan kaki bangunan. Setelah dikelompokkan secara parsial, berdasarkan elemen penyusun wajah bangunan, bangunan yang dijadikan kasus studi, ditipologikan berdasarkan pada gaya bangunannya. Berdasarkan elemen penyusun kepala bangunan, tipologi dapat ditentukan berdasarkan bentuk, bahan, dan ornamen pada atap. Selain itu, juga ada tipologi berdasarkan jenis lisplank. Berdasarkan elemen penyusun badan bangunan, tipologi dapat didasarkan pada: 1. Bahan, ornamen, dan bahan penutup dinding. 2. Bahan dan keberadaan luifel (teritisan). 3. Jenis, bahan, dan ornamen pintu 4. Jenis, tipe putar, ornamen, dan bahan jendela. 5. Bentuk, bahan, dan ornamen bouvenlicht. 6. Keberadaan dan bahan pagar serambi. Berdasarkan elemen kaki bangunan, tipologi dapat ditentukan berdasarkan bahan penutup lantai, yaitu bahan teraso, keramik, atau plesteran. Selain itu, tipologi pada bagian kaki bangunan dapat ditentukan berdasarkan jenis pondasi. Tipologi pondasi didasarkan pada bahannya, yaitu pondasi batu kali dan pondasi rolak. Tipologi pondasi juga dapat ditentukan berdasarkan keberadaan pondasi pada wajah bangunan, yaitu sebagian muncul ke permukaan tanah, atau berada di dalam tanah. Berdasarkan tahun pembangunan dan gaya bangunannya, bangunan rumah tinggal kolonial dapat ditipologikan menjadi bangunan Voor 1900, NA 1900, Romantiek dan bangunan 1915-an. Pada era 1851, bangunan yang banya ditemukan adalah bangunan dengan Gaya Indisch Empire dan Voor 1900. pada era selanjutnya yang banyak ditemukan adalah bangunan dengan Gaya NA 1900 dan Romantiek yang masih dipengaruhi oleh gaya sebelumnya. Pada era terakhir, bangunan yang banyak ditemukan adalah bangunan dengan Gaya 1915-an, dan bangunan-bangunan yang masih terpengaruh dengan gaya-gaya sebelumnya.
Daftar Pustaka Pamungkas, S. T. & Tjahjono, Rusdi. 2002. Tipologi-tipologi-Morfologi Arsitektur Kolonial Bealanda di Komples PG. Kebon Agung Malang. Tidak dipublikasikan. Malang: Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Pamungkas, S. T., Damayanti,& Kusdiwanggo, S. 2000. Tipologi-tipologi-Morfologi Arsitektur Kolonial Bealanda di Komples PG. Djatiro, Jatiroto, Lumajang. Tidak dipublikasikan. Malang: Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Karizstia, A. D. 2008. Tipologi Wajah Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Kayu Tangan, Malang. Skripsi. Tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Tutuko, P. 2003. Ciri Khas Arsitektur Rumah Tinggal Belanda (Studi Kasus: Rumah Tinggal di Pasuruan), Jurnal Arsitektur Mintakat. 2 (1): .
Copyright © 2009 by Antariksa
64
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 1, Maret 2009