TIONGHOA DIASPORA DI HONGKONG. Benny G.Setiono.
Bersamaan dengan berlangsungnya Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 18-24 April 1955, berhasil juga ditandatangani Perjanjian Dwikewarganegaraan antara pemerintah Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok yang masingmasing diwakili Menteri Luar Negeri Sunario dan Menteri Luar Negeri Zhou Enlai.Isi perjanjian tersebut mengharuskan orang Tionghoa di Indonesia untuk memilih menjadi WNI atau menjadi warganegara asing atau RRT, sehingga tidak ada lagi kewarganegaraan ganda. Sebelumnya Siauw Giok Tjhan berjuang mati-matian untuk menggagalkan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan tersebut, karena ia sadar bahwa isi perjanjian itu sangat merugikan kepentingan orang-orang Tionghoa di Indonesia. Jelas sekali tujuan pemerintah Indonesia dengan menjadikan stelsel aktif dalam perjanjian tersebut untuk menjadikan sebanyak mungkin penduduk Tionghoa di Indonesia menjadi warga negara asing/RRT. Berbeda dengan perjuangan Siauw Giok Tjhan yang menghendaki sebanyak mungkin orang Tionghoa menjadi WNI, mayoritas orang-orang totok melalui induk organisasinya Chiao Chung sebaliknya mendesak Duta Besar RRT Huang Chen agar melindungi posisi penduduk Tionghoa di Indonesia dengan menjadikannya sebanyak mungkin menjadi warga negara Tiongkok. Sikap ini didasari pertimbangan “picik” bahwa apabila mereka menjadi WN Tiongkok apabila pemerintah RI melakukan penekanan kepada mereka maka mereka akan mendapatkan perlindungan dari pemerintah Tiongkok. Tetapi ternyata bahwa pilihan mereka keliru, kelak di kemudian hari pada masa pemerintahan Orde Baru yang sangat reperesif dan rasis mereka beramai-ramai berusaha menanggalkan kewarganegaraan Tiongkok untuk menjadi warga negara Indonesia. Mendengar reaksi Siauw Giok Tjhan mengenai Perjanjian Dwikewarganegaran tersebut, Zhou Enlai sangat terkejut. Ia kemudian memerintahkan Dubes Huang Chen agar mengundang Siauw Giok Tjhan untuk membicarakan butir-butir isi perjanjian yang ditentang Siauw itu. Pertemuan yang juga disetujui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo tersebut berlangsung di Kedubes RRT di Jl.Gajah Mada, Jakarta dan berlangsung dari pukul 11.00 malam sampai jam 4.00 pagi.
1
Setelah pertemuan tersebut Zhou Enlai sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan dan menyesal telah menandatangai Perjanjian Dwi Kewarganegaraan itu. Siauw berhasil meyakinkan Zhou bahwa stafnya dan Menteri Luar Negeri Sunario telah memberikan informasi yang salah kepadanya. Perjanjian tersebut menurut Siauw akan merugikan ratusan ribu orang Tionghoa yang menetap di Indonesia, karena mereka akan kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Ini akan menyulitkan mereka dalam melakukan perdagangan, mendapatkan pendidikan dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Siauw Giok Tjhan juga menyampaikan latar belakang politik dan tujuan kelompok yang dipimpin Sunario dan Iskaq dalam mempersiapkan naskah perjanjian yang sudah ditandatanganinya itu, yaitu ingin mengganti pedagang-pedagang Tionghoa yang dianggap mendominasi dan mengendalikan perekonomian Indonesia dengan para pedagang “asli” atau “pribumi” tanpa memperdulikan dampak terhadap kelancaran dan kemajuan ekonomi nasional Indonesia. Ia juga berhasil meyakinkan Zhou Enlai bahwa untuk kepentingan jangka panjang penduduk Tionghoa di Indonesia sebaiknya menjadi WNI, karena mereka dilahirkan, dibesarkan dan akan meninggal di bumi Indonesia. Zhou Enlai ternyata menerima seluruh argumentasi Siauw Giok Tjhan dan memarahi Huang Chen dan stafnya yang selama ini terlibat dalam berbagai pembicaraan dengan pemerintah Indonesia. Setelah terjadi berbagai perubahan atau exchange of note, akhirnya pada 1 Juli 1958 disahkan Undang Undang Kewarganegaran Republik Indonesia N0.2/1958. Pertukaran surat-surat pengesahan/ratifikasi Perjanjian Dwi Kewarganegaraan tersebut berlangsung di Beijing pada 20 Januari 1960, sehingga sejak saat itu perjanjian tersebut telah berlaku, tinggal pelaksanaannya saja yang berlangsung hingga 1962. Perjanjian Sunario-Zhou sifatnya stelsel aktif, menggantikan stelsel pasif yang berlaku sejak UU Kewarganegaraan tahun1946 dan UU Kewarganegaraan RIS yang dihasilkan KMB dan diteruskan di masa pemerintahan demokrasi parlementer sampai lahirnya UU Kewarganegaraan No.2/1958. Ini merupakan kemenangan Mr.Sunario yang sejak 1946 berjuang mati-matian agar stelsel aktif yang berlaku dalam undang-undang kewarganegaraan RI, khususnya untuk menyelesaikan masalah dwi kewarganegaraan Indonesia-Tiongkok.. Karena Perjanjian Sunario-Zhou ini sifatnya stelsel aktif, maka orang Tionghoa yang ingin memilih menjadi WNI harus pergi ke pengadilan negeri untuk 2
menyatakan melepaskan atau menolak kewarganegaraan RRT. Sudah tentu hal ini sangat merepotkan dan menyulitkan bagi mereka yang ingin memilih menjadi WNI, karena untuk bisa mendaftar ke Pengadilan Negeri diperlukan banyak dokumen antara lain akte kelahiran yang bersangkutan dan orang tua, akte kawin orang tua, KTP dllnya. Padahal banyak orang Tionghoa pada masa itu yang tidak memiliki akte kelahiran atau akte kawin, sebab pada umumnya mereka hanya melakukan perkawinan adat saja karena kantor Catatan Sipil (Burgelijk Stand) bagi peranakan Tionghoa baru ada di Jawa pada 1919 dan di luar Jawa pada 1926. Juga banyak yang tidak mampu terutama di desa-desa di pedalaman atau pinggiran kota seperti di sekitar Jabotabek, Kepulauan Bangka-Belitung dan Kalimantan Barat. Akibatnya banyak orang Tionghoa yang terpaksa menjadi asing atau stateless yang warisannya sampai sekarang terkenal dengan sebutan Cina Benteng atau Cinbeng. Undang Undang Kewarganegaraan ini juga yang mengharuskan setiap WNI mempunyai Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) yang membuat repot etnis Tionghoa. PP-10. Pada November 1959 Presiden Soekarno dengan tiba-tiba menandatangani Peraturan Pemerintah N0.10 atau yang lebih terkenal dengan sebutan PP-10. Peraturan ini berisi larangan bagi orang asing terutama ditujukan kepada orangorang Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman ,yaitu di luar ibukota daerah swatantra tingkat 1 dan tingkat 2 dan berlaku sejak 1 Januari 1960. Sudah tentu peraturan yang sangat rasialis ini menggoncangkan sendi-sendi kehidupan orang-orang Tionghoa di Indonesia,karena pada masa itu UU Kewarganegaraan tahun 1958 belum dilaksanakan,sehingga terjadi kesimpangsiuran dalam menentukan yang mana asing dan yang mana WNI.Penguasa militer di daerah-daaerah dengan seenaknya mengusir bukan saja orang-orang Tionghoa asing tetapi orang-orang Tionghoa peranakan yang berdasarkan UU kewarganegaraan 1946 telah menjadi WNI. Sebenarnya PP-10 ini kelanjutan dari Peraturan Menteri Perdagangan Kabinet Djuanda, Rachmat Moeljomiseno seorang tokoh NU yang pernah aktif di KENSI. Peraturan tersebut dikeluarkan pada Mei 1959, berisi larangan bagi orang asing untuk berdiam dan berdagang di daerah pedalaman. Ketika peraturan ini diterbitkan, Siauw Giok Tjhan segera menentangnya di DPR. Ia menyatakan bahwa peraturan semacam ini tidak bisa dikeluarkan oleh seorang menteri tetapi harus merupakan undang-undang yang disahkan DPR. Ia
3
menyatakan bahwa orang Tionghoa yang sudah turun menurun berdagang atau berusaha di pedalaman secara legal dan membantu kelancaran ekonomi nasional secara otomatis mendapatkan perlindungan hukum internasional yang harus dipatuhi pemerintah Indonesia. Ia juga mengingatkan kalau sampai orang-orang Tionghoa diusir dan menutup usaha di kediamannya di daerah pedalaman,maka akan menimbulkan kemunduran ekonomi Indonesia. Keahlian dan pengalaman yang dimiliki para pedagang atau pengusaha Tionghoa yang sudah beberapa generasi lamanya akan merusak dan melumpuhkan jaringan distribusi di pedalaman. Rupanya peraturan ini sengaja dikeluarkan pada saat Presiden Soekarno sedang berada di luar negeri. Ketika ia kembali ke tanah air dan mengatahui adanya peraturan tersebut, Presiden Soekarno sangat marah kepada Rachmat Moeljomiseno sehingga ketika ia membentuk kabinet baru setelah 5 Juli 1959 Rachmat tidak diikut sertakan lagi. Apa yang sesungguhnya menjadi alasan Presiden Soekarno sehingga akhirnya dia menandatangani PP-10 tersebut sampai saat ini masih menjadi tanda tanya dan kontroversi. Ada yang berpendapat bahwa Presiden Soekarno mendapatkan tekanan dari pihak militer dan partai-partai Islam. Para pedagang Islam yang baru bermunculan dan pada umumnya berkiblat ke NU dan Masjumi rupanya merasa dirugikan dengan keberadaan para pedagang Tionghoa yang secara tradisional turun menurun mendominasi perekonomian di daerah pedalaman. Dengan adanya PP-10 mereka merasa diuntungkan yang kenyataannya membuat macet perekonomian di pedalaman setelah ditinggalkan para pedagang Tionghoa. Dengan diberlakukannya PP-10 puluhan ribu orang Tionghoa terpaksa meninggalkan tempat usaha dan kediamannya di daerah pedalaman. Peraturan yang sebenarnya hanya melarang berdagang eceran tetapi prakteknya juga melarang bertempat tinggal. Orang-orang Tionghoa tanpa pandang bulu dianggap semuanya berstatus dwi kewarganegaraan atau asing dan oleh pihak militer dipaksa meninggalkan tempat kediamannya. Tidak saja para pedagang tetapi yang tidak berdagangpun diusir. Tindakan paling buruk dilakukan pihak militer Jawa Barat di bawah pimpinan Kolonel Kosasih. Berbagai insiden menyedihkan terjadi, seperti peristiwa di Cimahi pada Juli 1960 dimana seorang perempuan Tionghoa yang bersama keluarganya berusaha bertahan dan tidak mau meninggalkan tempat kediamannya mati tertembak. Presiden Soekarno yang mendengar insiden ini kemudian mengeluarkan instruksi kepada para penguasa militer agar tidak lagi memaksa
4
orang-orang Tionghoa meninggalkan tempat tinggalnya. Mereka yang terusir menimbulkan masalah tempat penampungan di kota-kota besar karena kebanyakan mereka tidak mempunyai famili yang bisa menampungnya. Pelaksanaan PP-10 menimbulkan ketegangan hubungan diplomatic RI-_RRT. Melalui Dubes Huang Chen dan Radio Peking, pemerintah RRT menyampaikan protes-protes kerasnya dan menyatakan kesediaannya untuk menampung korban PP-10 dengan mengirimkan beberapa kapal dan mengangkut mereka untuk ditempatkan di berbagai desa di daratan Tiongkok. Pada awalnya bukan hanya mereka yang menjadi korban PP-10, tetapi banyak juga para pemuda dan pelajar Tionghoa yang menyambut dengan gembira dan penuh semangat untuk menempuh hidup baru di daratan Tiongkok. Terjadi demam repatriasi, dengan berbekal keranjang-keranjang rotan dan peti-peti jati yang besar-besar berisi berbagai keperluan mereka berbondong-bondong berangkat ke tanah harapan. Pada masa itu lebih dari 136.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia untuk bermukim kembali di Tiongkok. Melihat situasi yang tidak menguntungkan tersebut ada juga orang-orang Tionghoa yang berpendidikan Belanda/Barat yang ikut meninggalkan Indonesia untuk tinggal di Singapore, Serawak, Eropa khususnya Belanda, Amerika, Canada, Brasilia dllnya walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak. Tetapi kondisi dan sistim masyarakat di tempat baru serta kebiasaan di tempat lama di Indonesia, ditambah lagi kendala bahasa ternyata tidak seperti harapan dan bayangan mereka yang kembali ke daratan Tiongkok dan menimbulkan banyak kesengsaraan bagi orang-orang tersebut. Mereka yang sudah turun- menurun hidup di pedesaan Indonesia dan sudah tidak mampu lagi berbahasa Tionghoa merasa tidak betah dan tidak tahan lagi menanggung kesengsaraan ini. Akhirnya mereka berusaha keluar dari daratan Tiongkok untuk dapat bermukim di Hongkong, Macao dan sebagainya. Inilah awal diaspora dan cikal bakal orang-orang Tionghoa yang berasal dari Indonesia di Hongkong. Mereka pada umumnya bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik yang memang saat itu sedang berkembang dan membiasakan diri tinggal di apartemen-apartemen yang sempit. Mereka berusaha beradaptasi dengan kehidupan barunya tetapi banyak juga yang tidak tahan dan berusaha dengan segala cara untuk kembali ke Indonesia, tanah kelahiran dan tempatnya dibesarkan. G30S.
5
Pada tanggal 1Oktober 1965 subuh terjadi sebuah aksi yang dilakukan oleh sejumlah tentara AD yang menamakan diri Gerakan 30 September atau G30S di bawah pimpinan Letkol Untung Samsuri dari Resimen Tjakrabirawa. Enam orang jenderal dan seorang perwira AD diculik dan dibunuh. Gerakan yang hanya berusia sehari saja karena berhasil ditumpas oleh Panglima Kostrad Mayjen Soeharto di samping menuduh PKI sebagai dalangnya juga menuduh RRT ikut mendukung gerakan tersebut dengan mengatakan menemukan beberapa pucuk senapan Chung buatan RRT yang berhasil disita dari para sukarelawan Dwikora Pemuda Rakyat di Lobang Buaya yang katanya berasal dari persenjataan bantuan RRT untuk Angkatan ke-5 yang digagas PKI. Sejak tanggal 2 Oktober mulai dilakukan pembersihan dengan memburu dan menangkap pimpinan,aktivis dan anggota PKI beserta seluruh ormas-ormas yang berada di bawah naungannya. Dalam perkembangannya bukan hanya orang-orang yang dituduh PKI saja yang mereka buru dan tangkapi tetapi juga orang-orang yang mereka tuduh menjadi simpatisan PKI dan ormas-ormasnya ikut menjadi korban. Baperki satu-satunya organisasi yang menyuarakan aspirasi etnis Tionghoa di Indonesia turut menjadi sasaran. Pada 15 Oktober 1965 kampus Universitas Res Publica yang didirikan Jajasan Pendidikan Baperki untuk menampung anak-anak Tionghoa baik WNI maupun WNA yang tidak dapat memasuki perguruanperguruan tinggi negeri diserbu, dijarah dan dibakar gerombolan liar yang didukung militer. Para aktivis mahasiswanya ikut dikejar dan ditangkapi, demikian juga seluruh pimpinan dan pengurus Universitas Res Publica dan Baperki mengalami nasib yang sama. Para korban persekusi dengan tuduhan PKI tersebut bukan hanya ditangkap saja tetapi juga banyak yang dibunuh yang jumlahnya mencapai ratusan ribu ribu orang termasuk orang-orang Tionghoa. Dalam perkembangannya bukan hanya tokoh/pimpinan Baperki yang ditahan, tetapi banyak juga para tokoh Tionghoa WNA yang menjadi pimpinan Chung Hua Chung Hui dan Chung Hua Chiao Toan Chung Hui (Chiao Chung) yang turut ditahan atau mengalami pemerasan. Ternyata semua manuver Soeharto ini bertujuan untuk merebut kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno. Dibentuk berbagai kesatuan-kesatuan aksi yang ditujukan untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Aksi-aksi tersebut mencapai puncaknya pada tanggal 11 Maret 1966 dengan mengepung istana presiden dan Presiden Soekarno dipaksa menandatangani Surat Perintah kepada Mayjen Soeharto agar memulihkan keamanan yang terkenal dengan sebutan SP 11 Maret.
6
Alih-alih memulihkan keamanan, tindakan Soeharto yang pertama adalah melarang dan membubarkan PKI dengan seluruh ormasnya. Kemudian menangkapi para menteri yang dianggap kiri dan menjadi simpatisan PKI dan pendukung Presiden Soekarno. Tindakan selanjutnya membubarkan kabinet Dwikora dan membentuk kabinet baru dengan sistim presidium dan kemudian mengganti anggota-anggota DPR/MPR dengan para pendukungnya dan mengimpeach Presiden Soekarno dan mengangkat dirinya menjadi pejabat presiden yang tahap berikutnya dikembangkan menjadi presiden RI definitf. Setelah itu seluruh pendukung Presiden Soekarno baik sipil maupun militer ikut ditangkap dan mengusir Bung Karno dan keluarga dari istana Merdeka untuk dijadikan tahanan rumah di Batu Tulis, Bogor dan kemudian dipindahkan ke Wisma Yoso di Jl.Gatot Subroto, Jakarta sampai meninggal dunia karena sakit tanggal 20 Juni 1970. Dimulailah era yang mereka sebut Orde Baru/Orba menggantikan apa yang mereka sebut Orde Lama/Orla. Selaras dengan terjadinya G30S dimulai kampanye Sinophobia atau anti Tionghoa yang luas disponsori oleh kekuatan asing terutama Inggris dan Amerika Serikat. Saat itu Perang Vietnam sebagai manifestasi Perang Dingin antara kubu negaranegara kapitalis Barat di bawah pimpinan AS dan Inggris dengan negara-negara sosialis dan negara-negara Eropa Timur dibawah pimpinan Uni Soviet dan RRT tengah mencapai puncaknya. Terjadi tarik-menarik kedua kekuatan tersebut di hamper seluruh belahan dunia,mulai dari negara-negara Amerika Latin, Eropa, Afrika, Timur Tengah, Asia Timur sampai ke Asia Tenggara, Tidak ada satu negarapun yang terhindar dari pengaruh Perang Dingin termasuk Indonesia.Dinasdinas rahasia dari kedua belah pihak antara lain CIA dari AS, MI-6 dari Inggri, KGB dan GRU dri Uni Soviet sibuk mengintervensi kebijaksanaan politik setiap negara terutama negara Asia,Afrika dan Amerika Latin. Sementara itu di daratan Tiongkok sedang terjadi perpecahan politik dengan mulai dikobarkannya Revolusi Kebudayaan oleh Mao Tse Tung yang selama ini telah disisihkan dari panggung politik. Dengan dibantu The Gang of Four dan Marsekal Lin Piao, ia membentuk Pengawal Merah untuk melikiduasi lawan-lawan politiknya.Dengan alasan memurnikan ajaran-ajaran Marx, Lenin dan pikiran Mao Tse Tung, seluruh tatanan dan nila-nilai yang dianggap feodal dan borjuis dihancurkan. Jadi tidak heran kalau hal ini tercermin juga dalam politik luar negerinya yang radikal yang dilaksanakan oleh Duta Besar untuk Indonesia Yao Chung Ming yang juga bersikap sangat radikal dan kekiri-kirian. Sejak awal meletusnya G30S dengan didasari semangat Solidaritasme Proletar Internasional pemerintah Tiongkok melalui Radio Peking dan kantor berita
7
Hsinhua secara aktif mengutuk dan memprotes aksi-aksi pengganyangan terhadap PKI. Setelah munculnya SP-11 Maret dan tergulingnya Presiden Soekarno dari tampul kekuasan dan diambil alih Soeharto aksi-aksi dan demo-demo diarahkan ke pemerintah Tiongkok antara lain dengan menyerbu, merusak dan menduduki gedung-gedung perwakilan pemerintah Tiongkok di seluruh Indonesia. Gedung kantor Hsinhua di Tanah Abang, Gedung Perwakilan Dagang di jl. Cilosari, bungalow/guest house milik Kedubes di Puncak, kantor Konsulat di Makassar dan Medan diserbu dan diduduki, malahan gedung Konsulat Jendral di jl.Salemba diduduki dan dijadikan markas Laskar Ampera Arief Rachman Hakim. Sejak Maret 1966 aksi-aksi yang didukung LPKB dan militer di seluruh Indonesia yang dimulai dari Jawa Barat juga ditujukan untuk menduduki dan mengambil gedung-gedung sekolah Tionghoa. Pada 19 Mei1966, Wakil Perdana Menteri Roeslan Abdulgani mengumumkan keputusan kabinet bahwa seluruh sekolah asing di di Indonesia dilarang yang disusul Surat Keputusan Menteri PDK tanggal 6 Juli yang mengatur pelaksanaannnya. Seluruh sekolah Tionghoa di Indonesia yang berjumlah 629 buah dengan jumlah murid 272.782 orang dan jumlah guru 6.478 orang ditutup dan diambil alih. Menteri PDK juga menyatakan bahwa bekas murid-murid sekolah Tionghoa tersebut tidak akan ditampung di sekolah-sekolah nasional swasta melainkan bagi yang memenuhi syarat akan dibagi-bagi dalam berbagai sekolah untuk menghindari pengelompokan dan tidak boleh lebih 5 % dari jumlah seluruh murid di sekolah tersebut. Aksi-aksi kemudian dilanjutkan dengan menduduki dan disusul penyitaan oleh penguasa militer atas gedung-gedung kantor milik perkumpulan-perkumpulan Tionghoa termasuk gedung Chiao Chung yang terletak di jalan Mangga Besar. Dengan ditutup dan dilarangnya sekolah-sekolah Tionghoa ratusan ribu anak-anak Tionghoa WNA tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Kemudian aksi-aksi anti Tionghoa yang didukung penguasa setempat terutama militer semakin merebak di seluruh Indonesia, terjadi perusakan dan penganiayaan terhadap milik dan keselamatan orang-orang Tionghoa tanpa membedakan WNA atau WNI. Sebaliknya entah dikoordinir oleh pihak Kedubes atau tidak merebak aksi-aksi perlawanan orang-orang Tionghoa diberbagai kota di Jatim dan Sumatera Utara terutama di kota Medan dengan membawa gambar Mao Tse Tung. Mungkin hal ini terjadi karena pengaruh Revolusi Kebudayaan di daratan Tiongkok yang tengah berkobar dengan sengitnya. Ribuan orang Tionghoa menjadi korban
8
sehingga pemerintah Tiongkok mengirim beberapa kapal untuk membawa mereka kembali ke daratan Tiongkok. Puncaknya pada 20 April 1966 terjadi aksi puluhan ribu ( ada yang memperkirakan 100.000 ) orang Tionghoa baik WNA maupun WNI di Jakarta turun ke jalan mengantarkan jenasah Lin Siang Yu sampai ke tempat pemakamannya. Prosesi pemakaman yang panjangnya sampai beberapa kilometer ini berlangsung hingga 6 jam lamanya, mulai dari tempat pemberangkatan sampai ke tempat pemakamannya. Lin Siang Yu adalah mantan anggota pengurus Chiao Chung dan Ketua Perkumpulan orang Shantung yang ditangkap polisi dengan tuduhan menjadi mata-mata RRT. Tujuan polisi sebenarnya adalah untuk memeras uang dari dia dan keluarganya tetapi Lin ternyata orang yang keras dan menolak pemerasan tersebut yang akhirnya meninggal karena tidak bisa menahan siksaan yang dideritanya. Prosesi pemakaman ini berubah menjadi semacam demonstrasi protes atas perlakuan penguasa kepada etnis Tionghoa dengan meneriakan yel-yel dan mengacung-acungkan kepalan. Terjadi berbagai insiden dengan para pemuda di sepanjang jalan Gajah Mada. Barisan sepeda motor yang dikendarai para pemuda Tionghoa yang mencapai 1.000 buah banyaknya,menabrak sebuah pos penjagaan militer dan sebagian lagi melemparkan batu-batu dan botol minuman ke markas kesatuan aksi pelajar dan mahasiswa.
Situasi yang semakin membingungkan dan tidak menentu ini menimbulkan kekuatiran yang besar terutama di kalangan komunitas totok. Hal ini membangkitkan semangat repatriasi di antara mereka terutama dari kalangan pemudanya. Terjadi gelombang kedua eksodus kembali ke daratan Tiongkok secara besar-besaran. Puluhan ribu pemuda,pelajar dan mahasiswa dengan penuh semangat berangkat ke Tiongkok untuk meneruskan studinya. Tetapi ternyata repatriasi ini kembali menimbulkan kekecewaan kepada mereka. Mereka tiba pada saat yang salah, karena di daratan Tiongkok pada saat itu sedang berlangsung Revolusi Kebudayaan.Seluruh sekolah dan perguruan tinggi di Tiongkok ditutup dan para murid, mahasiswa,guru dan para dosen digiring ke pedesaan untuk menjadi petani. Karena tidak tahan menghadapi penderitaan yang dihadapinya, mereka beramai-ramai berusaha keluar dari daratan Tiongkok menuju ke Hongkong, Macao dan tempat-tempat lainnya. Inilah diaspora kedua orangorang Tionghoa dari Indonesia yang bermukim di Hongkong dan Macao.
9
Di samping mereka yang kembali ke Tiongkok untuk melanjutkan studinya,juga terdapat sejumlah orang Indonesia baik Tionghoa maupun non Tionghoa yang saat terjadinya G30S berada di Tiongkok dalam rangka studi di berbagai universitas karena mendapat beasiswa dari pemerintah Tiongkok maupun menjadi anggota delegasi untuk menghadiri perayaan hari Nasional RRT tanggal 1 Oktober 1965. Mereka tidak dapat kembali ke Indonesia karena paspor mereka dicabut. Mereka pada awalnya di tampung oleh pemerintah Tiongkok dan ditempatkan di suatu tempat, tetapi dilarang melakukan kegiatan politik apapun. Mereka berangsurangsur meninggalkan daratan Tiongkok, terutama setelah pemerintah Tiongkok berusaha memulihkan hubungan diplomatiknya dengan pemerintah Indonesia. Ada yang ke Macao, Hongkong dan sebagian besar menuju ke Eropa Barat dan mendapatkan asylum dari pemerintah Perancis, Jerman, Belanda, Swedia dllnya. Demikianlah mereka hidup sebagai eksil di negara-negara sampai sekarang. Dalam sidang darurat 9 Oktober 1967, presidium kabinet akhirnya memutuskan bahwa hubungan diplomatik dengan RRT harus segera dibekukan. Pada saat bersamaan departemen luar negeri mengirimkan nota pemberitahuan kepada pemerintah RRT bahwa sebuah pesawat penumpang RRT diijinkan mendarat di Jakarta untuk mengangkut seluruh diplomat RRT meninggalkan Indonesia, dengan syarat ijin diberikan apabila seluruh diplomat Indonesia dan keluarganya telah meninggalkan daratan Tiongkok. Sebelum 31 Oktober 1967 seluruh diplomat Indonesia dan RRT telah kembali ke negaranya masing-masing. Seluruh kepentingan kedutaan dan pemerintah RRT di Indonesia diwakili oleh Kedutaan Rumania. Dengan demikian berakhirlah hubungan diolomatik antara pemerintah RI dan pemerintah RRT yang telah dimulai sejak 1950. Hubungan kedua negara yang telah beberapa kali mengalami pasang surut dan mencapai puncak persahabatannya pada masa sebelum G30S, ternyata harus berakhir dengan sangat tragis. Runtuhnya Rejim Orde Baru. Demikianlah sejak rejim Soeharto dengan Orbanya berhasil menumpas PKI dan menggulingkan Presiden Soekarno,dia menjalankan pemerintahan dengan sangat otoriter. Untuk menunjukkan bahwa dia seolah-oleh seorang “demokratis” dia menggunakan UUD 1945 dan Golkar untuk menguasai DPR dan MPR. Untuk memudahkan kontrol atas kekuasaan politiknya, partai-partai politik dipaksa melakukan fusi sehingga hanya ada 3 partai politik penggembira dan Golkar yang selalu mendominasi lembaga-lembaga legislatif dari pusat sampai ke daerahdaerah untuk mendukung setiap kebijaksanaan dan kekuasaan rejim Soeharto.
10
Berbagai peraturan yang sangat rasis dan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa diterbitkan antara lain mengganti sebutan Tionghoa dan Tiongkok dengan pejorative Cina. Kemudian dikeluarkan peraturan yang melarang orang-orang Tionghoa merayakan ritual adat,tradisi,kebudayaan dan kepercayaannya di tempat terbuka. Agama Khonghucu tidak diakui sebagai agama yang sah dan resmi di Indonesia. Orang-orang Tionghoa dianjurkan dengan setengah paksa agar mengganti namanya dengan nama-nama yang bernuansa Indonesia atau Barat. Penggunaan bahasa Tionghoa baik lisan maupun tulisan dilarang.Demikian juga barang-barang cetakan yang menggunakan aksara Tionghoa dilarang. Orang-orang Tionghoa yang berwarga negara RRT diberi paspor stateless apabila ingin berpergian keluar negeri sehingga mereka kesulitan mendapatkan visa di negara yang ingin dikunjunginya. BAKIN sebagai badan intilejen resmi pemerintah membentuk BKMC atau Badan Koordinasi Masalah Cina untuk mengawasi kegiatan dan pergerakan orang-orang Tionghoa di Indonesia. Orang-orang Tionghoa ditabukan untuk terjun ke dunia politik praktis. Mereka hanya diperbolehkan bergerak dalam dunia bisnis saja. Malahan sekelompok kecil orang Tionghoa dijadikan kroni presiden dan keluarganya serta para pejabat dari pusat sampai ke daerah-daerah untuk melakukan korupsi dan mengumpulkan kekayaan mereka. Sudah tentu hal ini membuat etnis Tionghoa sangat negatif dimata rakyat Indonesia. Sepanjang pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun selalu terjadi kerusuhankerusuhan anti Tionghoa di berbagai kota di Indonesia yang menjarah dan merusak harta milik orang-orang Tionghoa. Puncaknya terjadi pada 13-15 Mei 1998 dimana massa liar merusak,menjarah dan membakar ribuan rumah,tempat usaha dan kendaraan milik orang-orang Tionghoa di Jakarta dan sekitarnya. Juga terjadi perkosaan terhadap perempuan-perempuan Tionghoa yang menjadi korban keganasan nafsu binatang mereka. Tampak dengan kasat mata terjadinya pembiaran atas aksi-aksi anarkhis tersebut oleh para penguasa keamanan Indonesia. Pada saat peristiwa tersebut terjadi Soeharto sedang berada di Kairo untuk menghadiri Sidang KTT-G15. Akibat kejadian tersebut puluhan ribu warga Tionghoa yang panik dan ketakutan berbondong-bondong pergi keluar Indonesia menuju Singapore dan berbagai negara lainnya.
Pada akhir 1989 dan awal 1990 pemerintah RRT demi kepentingan nasionalnya melakukan pendekatan kepada pemerintah Indonesia untuk memulihkan hubungan diplomatiknya yang selama ini beku. Pendekatan ini mendapat sambutan dari
11
pemerintah Indonesia yang melihat bahwa kemajuan ekonomi RRT yang spektakuler telah merubah situasi internasional. Setelah dilakukan serangkaian perundingan akhirnya pada 8 Agustus 1990 hubungan diplomatik kedua negara berhasil dipulihkan kembali.
Pada 2 Juli 1997, Thailand mengalami krisis moneter yang kemudian merambat ke negara tetangganya Malaysia dan Korea Selatan. Pada 21 juli 1997 krisis moneter ini akhirnya menimpa Indonesia. Nilai tukar rupiah rupiah terhadap US dollar dari RP 2.500.- terus merosot sampai mencapai puncaknya menjadi Rp.16.500.- GDP rata-rata anjok dari US$ 1.000.- menjadi US$ 300.- Demikian juga dengan index bursa saham gabungan melorot sampai ketitik terendah. Krisis moneter ini berkembang menjadi krisis ekonomi yang membuat pemerintahan rejim Soeharto tak berdaya walaupun sudah meminta bantuan IMF yang ternyata membuat kerugian yang besar dengan paket BLBI yang akibatnya masih kita tanggung sampai sekarang. Muncul berbagai demonstrasi yang dipelopori para mahasiswa menuntut Soeharto agar segera lengser. Setelah terjadi Tragedi Mei dan pengkhianatan dari para pengikut dan kroninya, akhirnya pada 21 Mei 1998 Soeharto lengser dari kekuasaannya dan digantikan oleh B.J.Habibie. Rupanya Tragedi Mei yang mengorbankan demikian banyak kerugian kepada etnis Tionghoa menjadi tumbal runtuhnya Rejim Orde Baru yang selama 32 tahun memerintah Indonesia secara otoriter. Era Reformasi. Setelah runtuhnya Rejim Orde Baru dimulailah era reformasi yang membawa berbagai perubahan yang mendasar bagi rakyat Indonesia. Kini seluruh rakyat Indonesia menikmati kebebasan yang selama ini menekan mereka. Tidak ketinggalan etnis Tionghoa juga mengalami banyak perubahan. Seluruh peraturan rasis yang selama 32 tahun mendiskriminasi etnis Tionghoa satu demi satu berhasil dilikuidasi. UU Kewarganegaran yang baru menyatakan bahwa di Indonesia hanya ada WNI atau WNA dan tidak diperlukan lagi SBKRI dan pasal 6 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia orang Indonesia asli telah diamandemen sehingga setiap warga negara Indonesia termasuk etnis Tionghoa bisa menjadi presiden RI. Demikian juga telah berhasil diterbitkan Undang Undang
12
Anti Diskriminasi Ras dan Etnis, sehingga kehidupan semakin nyaman bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Tidak heran apabila saat ini mulai banyak orang-orang Tionghoa terutama kalangan mudanya yang tertarik untuk terjun ke dalam politik praktis. Banyak orang Tionghoa yang telah terpilih menjadi anggota legislatif baik menjadi anggota DPR maupun DPRD. Ada yang berhasil terpilih menjadi walikota,bupati,wakil gubernur dan gubernur seperti Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok yang sangat kontroversial. Ada yang juga mencalonkan diri menjadi wakil presiden walaupun tidak berhasil terpilih. Demikian juga ada beberapa orang Tionghoa yang terpilih menjadi menteri di berbagai kabinet di era reformasi. Tionghoa Diaspora di Hongkong. Reformasi yang terjadi ternyata berimbas juga kepada orang-orang Tionghoa dari Indonesia yang selama lebih 50 tahun bermukim di Hongkong sebagai diaspora. Mereka pada umumnya telah berusia senja dan beranak pinak sehingga jumlahnya menjadi ratusan ribu orang. Walaupun telah berpuluh tahun hidup di perantauan bahkan jauh lebih lama dibandingkan dengan masa kehidupannya di Indonesia, tetapi kecintaannya terhadap Indonesia tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan tidak menjadi surut. Mereka selalu mengikuti apa yang terjadi Indonesia, karena mereka pada umumnya masih mempunyai sanak keluarga di negara tempat kelahirannya ini. Demikian juga dengan reformasi yang terjadi setelah tragedi Mei 1998 yang sangat menghentak tersebut. Menyaksikan perubahan situasi yang terjadi di Indonesia mereka tidak mau ketinggalan untuk berusaha berpartisipasi untuk kepentingan bangsa Indonesia. Adanya ratusan ribu tenaga kerja Indonesia yang mencari nafkah di Hongkong juga merubah suasana kehidupan disana,sehingga mereka semakin akrab kembali dengan suasana di Indonesia. Sekelompok orang Tionghoa tersebut kemudian mendirikan sebuah organisasi yang bernama Hongkong Scociety for Indonesian Studies (HKIS) yang dipimpin oleh Chan Chun Tat dan Yang Ping. Berbagai kegiatan untuk sosialisasi keadaan di Indonesia mereka lakukan. Juga mereka membina hubungan yang erat dengan Konsulat Indonesia di Hongkong dan membuka dialog dengan berbagai tokoh dan organisasi di Indonesia.HKSIS aktif berpartisipasi dalam kegiatan untuk mempererat persahabatan Tiongkok-Indonesia. Mereka juga menerbitkan majalah Focus Indonesia dan maling list HKSIS yang aktif menyuarakan dan sosialisasi aspirasi mereka dan kejadian penting di 13
Indonesia. Majalah yang sangat informatif tersebut bukan hanya diedarkan di Hongkong saja tetapi juga di Indonesia dan berbagai negara lainnya. HKSIS juga kerap mengadakan berbagai diskusi dan seminar serta mengadakan dialog dengan para tokoh Indonesia yang kebetulan berkunjung ke Hongkong. Tanpa terasa HKSIS tahun ini telah berusia 15 tahun,tidak mudah memimpin sebuah organsisasi yang dapat eksis sampai demikian lamanya. Dalam perjalanannya tentu mengalami banyak kendala dan suka dukanya. Semoga HKSIS dapat bertahan dan memberikan sumbangsih yang berarti bukan saja bagi komunitas Tionghoa diaspora di Hongkong tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Seperti juga yang banyak dihadapi oleh berbagai organisasi pada umumnya, masalah pimpinan dan kepengurusan adalah masalah krusial yang harus bisa diselesaikan dengan baik. Agar HKSIS dapat terus eksis dan berkesinambungan, maka regenerasi pimpinan dan pengurus mutlak harus dilakukan secara periodik tanpa menimbulkan perpecahan. Dirgahayu HKSIS ! Jakarta, 21Desember 2015
14
15