II.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam konsep ekomuseum terdapat tiga unsur yang terpenting, yakni museum; pelestarian lingkungan; dan komuniti (Ohara, 1998). 2.1.
Museum Menurut International Council of Museums (ICOMOS) yang dimaksud dengan
museum adalah lembaga permanen yang bersifat nir-laba, yang ditujukan untuk melayani masyarakat dan perkembangannya, yang terbuka untuk umum, dengan cara mengumpulkan, mengonservasi, meneliti, mengomunikasikan dan memamerkan koleksi warisan peradaban manusia dan lingkungannya, baik yang bersifat bendawi maupun tak bendawi untuk tujuan edukasi, kajian dan kesenangan (ICOM Statues, 2007). 1 Museum juga harus mempunyai seorang kurator yang memiliki kompetensi keahlian untuk bertanggung jawab dalam pengelolaan koleksi museum. Museum menerima pendapatan dari berbagai sumber. Kebanyakan pendukung pertamanya datang dari pihak pemerintah, dengan tidak menutup kemungkinan dari pihak lain. Adapun pendapatan tambahan boleh datang dari karcis masuk, toko cinderamata, donasi, atau jasa layanan makanan. Kebanyakan, kadang, khususnya museum pemerintah, tidak mengizinkan untuk mendapatkan pendapatan dari tempat lain. Berkenaan dengan hal tersebut, ada kegiatan yang dapat dilakukan oleh museum, misalnya untuk kemandirian pendanaan museum (self finance). Peluang self finance didapatkan melalui tiket museum; toko cinderamata; rumah makan/cafe;
Universitas Sumatera Utara
pemasaran; jasa wisata dan fasilitas; sumbangan sukarela; sponsor perorangan dan pengusahaan; penggabungan dan konsolidasi; terbitan; dan pembayaran untuk perjalanan dari pameran (Haryonagoro, 2010) Thomas Haryonagoro, Ketua Badan Musayawarah Museum Daerah Istimewa Yogyakarta (Barahmusda DIY), menyampaikan bila museum dapat menjalankan fungsinya dengan baik, maka museum akan berarti dan bermanfaat bagi masyarakat luas, sebab fungsi keberadaan museum adalah untuk memberi manfaat bagi orang banyak/masyarakat. Agar museum berhasil dari semua aspek operasional, maka museum perlu mencerminkan komitmen dan kewajiban dalam pelayanan untuk masyarakat. Museum sebagai bagian pranata sosial dan sebagai suatu lembaga yang bertanggungjawab mencerdaskan bangsa, menggalang persatuan dan kesatuan dan wawasan nusantara serta memberikan layanan kepada masyarakat. Museum dituntut untuk melestarikan asset bangsa sebagai sumber penguatan pemahaman, apresiasi dan keperdulian identitas bangsa. Di dalam peningkatan peran museum kepada masyarakat, bagaimanapun museum dalam waktu yang bersamaan perlu memelihara sistem prosedur operasional (Haryonagoro, 2010).
2.2.
Pelestarian Lingkungan Untuk membatasi pengerusakan hutan dan lingkungan yang sifatnya jangka
panjang, maka pada tahun 1987 World Comission on Environment and Development (WCED) atau dikenal dengan Brundtland Commision memberikan enam sudut pandang bagi masalah lingkungan dan pembangunan, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a.
Keterkaitan (interdependency); masalah polusi, penggunaan bahan-bahan kimia, kerusakan sumber plasma nuftah, peledakan tumbuhan kota dan konservasi sumber alam tidak lagi terbatas dalam batas-batas negara;
b.
Berkelanjutan
(sustainability);
berbagai
pengembangan
sektoral
seperti
pertanian, kehutanan, industri, energi, perikanan, investasi, perdagangan, bantuan ekonomi, memerlukan sumberdaya alam yang harus dilestarikan kemampuannya untuk menunjang proses pembangunan secara berkelanjutan; c.
Pemerataan (equity); desakan kemiskinan mengakibatkan eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, sehingga perlu diikhtiarkan kesempatan merata untuk memperolah sumberdaya alam bagi pemenuhan kebutuhan pokok, seperti sumber air, tanah dan yang lain;
d.
Sekuriti dan Resiko Lingkungan; perlombaan persenjataan memperbesar potensi kerusakan
lingkungan.
memperhitungkan
Begitu
dampak-dampak
pula
cara-cara
negatif
pembangunan
kepada
lingkungan
tanpa turut
memperbesar resiko lingkungan; e.
Pendidikan dan komunikasi; pendidikan dan komunikasi berwawasan lingkungan dibutuhkan untuk ditingkatkan di berbagai tingkat pendidikan dan lapisan masyarakat;
f.
Kerjasama international; pola kerja sama internasional dipengaruhi oleh pendekatan pengembangan sektoral, sedangkan pertimbangan lingkungan kurang diperhitungkan (Hardjasoemantri, 1988 : 14).
Universitas Sumatera Utara
WCED membuat suatu definisi tentang pembangunan berkelanjutan, dan menjabarkan bahwa pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Diberikan prioritas dan usaha untuk memenuhi kebutuhan esensial atas kemiskinan dan menyadari keterbatasan teknologi dan ilmu pengetahuan dalam memenuhi kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang (Hardjasoemantri, 1988 : 15). Konsep tentang pembangunan berkelanjutan diperjelas dengan adanya Agenda 21 yang merupakan rencana kerja global yang pertama kali disusun secara menyeluruh mengenai pembangunan berkelanjutan. Rencana kerja global itu meliputi isu ekonomi, sosial dan lingkungan yang berbeda. Tujuan setiap kegiatan Agenda 21 adalah mengentaskan kemiskinan, kelaparan, pemberantasan penyakit, pemberantasan buta huruf di seluruh dunia, dan menghentikan kerusakan ekosistem penting bagi kehidupan manusia (Hardjasoemantri, 1988 : 23). Diketahui bahwa belakangan ini kawasan Padanglawas yang dahulu termasuk dalam kawasan hutan (remaining forest) sudah tidak lagi lestari, dan peninggalan budaya yang ada serta sumberdaya alam yang bersifat non-renewable dikuatirkan akan mengalami kepunahan. Dikuatirkan pula masyarakat, di sekitar Kawasan Padanglawas khususnya, tidak dapat lagi menikmatinya, dan hal ini sangat bertentangan dengan Deklarasi Rio Prinsip 1, yang menyebutkan bahwa manusia merupakan perhatian utama dari pembangunan berkelanjutan, mereka berhak mendapatkan suatu kehidupan yang baik dan produktif yang harmonis dengan alam. 2
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu semua pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara diharapkan ikut berikhtiar bagi pelestarian lingkungan di Kawasan Padanglawas. Dalam
Agenda 21 pasal 28
dikaitkan bahwa berhubung banyak masalah beserta penyelesaiannya berakar pada kegiatan lokal, keikutsertaan pemerintah daerah akan merupakan faktor yang sangat menentukan (Anonim, 1999). Kerjasama dan keikutsertaan pemerintah daerah di dalam mengelola sumberdaya budaya dan sumberdaya alam yang ada di Kawasan Padanglawas sangat ditentukan oleh adanya international of law of ecodevelopment yang mengemukakan tiga kewajiban negara, yakni : (1) mengintergrasikan manajemen lingkungan ke dalam kebijakan pembangunan; (2) meningkatkan sumberdaya alam; dan (3) mengevaluasi pembangunan dengan memperhatikan kemampuan lingkungan (Anonim, 1999). Ke tiga kewajiban tersebut di atas berhubungan dengan pengelolaan Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) yang mempunyai konteks wawasan baru. Ke semuanya diharapkan
mengarah
pada
terwujudnya
tahapan
pengelolaan
berkelanjutan (sustainable tourism management) yang mengisyaratkan
pariwisata prinsip-
prinsip berikut. 1. Prinsip pengelolaan berpijak pada dimensi pelestarian dan berorientasi ke depan (jangka panjang); 2. Penekanan pada nilai manfaat yang besar bagi masyarakat lokal; 3. Prinsip pengelolaan aset/sumber daya yang tidak merusak;
Universitas Sumatera Utara
4. Kesesuaian antara kegiatan pengelolaan pariwisata dengan skala, kondisi dan karakter suatu area yang dikembangkan; 5. Keselarasan dan sinergi antara kebutuhan wisatawan lingkungan hidup dan masyarakat lokal; 6. Antisipasi dan monitoring terhadap proses perubahan yang terjadi akibat pengelolaan pariwisata; 7. Pengelolaan harus didasari perencanaan dan difokuskan untuk memperkuat potensi lokal; dan 8. Pengelolaan pariwisata harus mampu mengembangkan apresiasi yang lebih peka dari masyarakat terhadap warisan budaya dan lingkungan hidup (Kusworo, 2005).
Di dalam pengelolaan ODTW diharapkan ada perhatian terhadap pengelolaan cagar budaya. Ada beberapa prinsip pelestarian yang mencakup (1) pemeliharaan (preservation, conservation); (2) perlindungan; (3) pendokumentasian (foto, film dan gambar); dan (4) daya dukung (carrying capacity) (Mundardjito, 2002).
2.2.1. Pemeliharaan Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab I Pasal 1 Butir 27 disebutkan bahwa pemeliharaan adalah upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik Cagar Budaya tetap lestari. Juga dalam pasal 76 disebutkan bahwa (1) pemeliharaan dilakukan dengan cara merawat Cagar Budaya untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan akibat pengaruh alam dan/atau
Universitas Sumatera Utara
perbuatan manusia; (2) pemeliharan Cagar Budaya dapat dilakukan di lokasi asli atau di tempat lain, setelah lebih dahulu didokumentasikan secara lengkap; (3) perawatan dilakukan dengan pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tata letak, gaya, bahan, dan/atau teknologi Cagar Budaya, (4) perawatan Cagar Budaya yang berasal dari air harus dilakukan sejak proses pengangkatan sampai ke tempat penyimpanannya dengan tata cara khusus; (5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat mengangkat atau menempatkan juru pelihara untuk melakukan perawatan Cagar Budaya. Pemeliharaan terhadap benda cagar budaya dilakukan dengan cara perawatan sehari-hari atau pengawetan untuk mencegah benda tersebut dari kerusakan dan atau pelapukan. Perawatan sehari-hari dapat dilakukan secara manual, dapat pula secara kimiawi. Di dalam kegiatan pemeliharaan biara yang pada umumnya terbuat dari bahan bata atau batu andesit, pemeliharaannya dapat dilakukan melalui dua cara yaitu, secara manual atau dengan menggunakan bahan kimia. Secara manual, linkungan situs/biara cukup dibersihkan dengan sapu lidi, dan tanaman yang tumbuh dicabut, sedangkan secara kimiawi hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan kimia seperti AC 322 (Setianingsih, 2003). Pemeliharaan terhadap bangunan yang terbuat dari bata umumnya dilakukan untuk menghambat proses pelapukan dan kerusakan. Metode konservasi yang dilakukan harus memperhatikan faktor-faktor penyebab pelapukan, sehingga proses pelapukan dapat dihambat melalui pengendalian faktor-faktor tersebut. Pengendalian faktor penyebab pelapukan dilakukan dengan terencana dan memperhatikan dampak-
Universitas Sumatera Utara
dampak yang timbul. Salah satu faktor pelapukan utama pada bangunan yang terbuat dari bata adalah penggaraman. Ada usaha yang dapat meminimalkan terjadinya penggaraman, yaitu dengan pemilihan bata pengganti yang berkualitas, atau dengan meminimalisasi aktivitas air dalam material. Serta memperhatikan penggunaan bahan-bahan kimia (Setianingsih, 2003). Jika bahan tinggalan budaya tersebut terbuat dari kayu, pengawetannya dapat dilakukan dengan cara yang tradisional yaitu, dengan menggunakan air rendaman tembakau atau juga dapat menggunakan air rendaman bunga cengkih. Bahan ini lebih ramah lingkungan, dan lebih dianjurkan, karena dapat membuatnya tetap tahan lama (sustainable) (Setianingsih, 2003). Hal tersebut di atas sesuai dengan uangkapan yang terdapat dalam kode Etik Pariwisata Dunia (Global Code of Ethics for Tourism) yang menyebutkan bahwa ”..........pemeliharaan secara khusus harus diberikan guna pelestarian dan peningkatan monumen........... (Anonim: 22). Pelestarian pada hakekatnya adalah berbagai upaya untuk mempertahankan suatu benda dari proses kerusakan dan kemusnahan, sehingga tetap terjaga kelestariannya baik secara fisik maupun nilai yang terkandung di dalamnya. Dalam menjaga kelestarian diharuskan mengacu kepada 4 (empat) prinsip keaslian (authenticity) yaitu, -
Keaslian bahan (authenticity in material);
-
Keaslian bentuk (authenticity in design);
-
Keaslian teknologi pengerjaan (authenticity in workmanship); dan
-
Keaslian tata letak (authenticity in setting) (Mundardjito, 2002)
Universitas Sumatera Utara
Bangunan historis dan arkeologis yang mengalami kerusakan dapat disebabkan karena 3 faktor, yaitu : 1. Mekanik, yaitu faktor yang berasal dari atau ditimbulkan oleh kegiatankegiatan alam seperti banjir, gunung meletus, gempa bumi; 2. Kimia, yaitu kerusakan yang ditimbulkan oleh proses kimia, misalnya pengaruh oksidasi; dan 3. Biologi, yaitu kerusakan yang disebabkan oleh perlakuan benda-benda hidup seperti tanaman, binatang dan manusia (Mundardjito, 2002). Oleh karena itu diupayakan adanya pelestarian, yang berdasarkan tingkat penanganannya dapat dikategorikan dalam : - Pelestarian secara menyeluruh (total preserved), yaitu melestarikan benda dalam keadaan utuh dalam arti bentuk, wujud maupun tata letaknya sesuai dengan keberadaannya (existing condition) masih tetap dipertahankan; - Pelestarian sebagian (partial preserved), yaitu melestarikan pada sebagian saja yang masih dapat dipertahankan; dan - Pelestarian dengan cara pendokumentasian (preserved by record), yaitu perlakuan bila keberadaan benda sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Biasanya pelestarian dengan cara pendokumentasian diberlakukan pada kasus dimana kepentingan pembangunan yang berdampak pada kelestarian benda dirasa lebih penting daripada dipertahankan, yang berdasarkan atas potensi dan kondisi ketahanannya (survival condition) sudah tidak mungkin dipertahankan lagi (Mundardjito, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Perlindungan Program pelestarian mencakup tigal hal yang amat penting dan saling berkaitan yaitu perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Pada hakekatnya pelindungan adalah upaya
mencegah
dan
menanggulangi
kerusakan,
kehancuran,
atau
kemusnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya (Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, Pasal 1 butir 23). Perlindungan pada prinsipnya mengandung dua aspek, yakni perlindungan hukum dan perlindungan fisik. Perlindungan hukum dilakukan melalui peraturanperaturan sesuai perundang-undangan yang berlaku, dan dimaksud untuk memberikan legalitas hukum tinggalan arkeologis dan historis, sehingga eksistensinya terjaga. Langkah perlindungan hukum dapat direalisasikan melalui program zonasi atau pemintakatan, yakni penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan. Perlindungan fisik dilakukan karena adanya ancaman proses alam, dan dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan (preservation); konservasi (conservation); dan pemugaran (restoration) (Keputusan Menteri Republik Indonesia nomor 063/U/1995 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya). Pemeliharaan merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk menjaga kondisi keterawatan benda, situs dan kawasan dari pengaruh alam, unsur kimiawi, dan jasad renik; dan kegiatan ini harus dilakukan secara terus menerus. Sedangkan konservasi merupakan kegiatan perawatan dengan cara pengawetan yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
terhadap
peninggalan - peninggalan budaya yang mengalami kerusakan atau
pelapukan, baik secara mekanis, khemis, maupun biotis. Tekanan tindakan lebih bersifat kuratif atau pengobatan dan penanggulangan terhadap kerusakan. Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan Bab I butir 3 menyebutkan bahwa perlindungan
adalah
upaya
pencegahan
dan
penanggulangan
yang
dapat
menimbulkan kerusakan, kerugian, dan kepunahan kebudayaan berupa gagasan, karya budaya termasuk harkat dan martabat serta hak budaya yang dapat diakibatkan oleh perbuatan manusia ataupun karena proses alam. Bab III, Pasal 9 juga menyebutkan bahwa perlindungan dapat dilakukan melalui usaha (a) mencatat, menghimpun, mengolah, dan menata informasi kebudayaan; (b) registrasi; (c) pendaftaran atas hak kekayaan intelektual; (d) legalitas aspek budaya; (e) penelitian; dan (f) penegakan peraturan perundang-undangan (Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, 1999).
2.2.3. Pengembangan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, Pasal 78 menyebutkan bahwa (1) Pengembangan Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-nilai yang melekat padanya; (2) Setiap orang dapat melakukan Pengembangan Cagar Budaya setelah memperoleh: (a) izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
Universitas Sumatera Utara
(b) izin pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya. (3) Pengembangan Cagar Budaya dapat diarahkan untuk memacu pengembangan ekonomi yang hasilnya digunakan untuk Pemeliharaan Cagar Budaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat; (4) setiap kegiatan pengembangan Cagar Budaya harus disertai dengan pendokumentasian. Dalam
implementasinya
pengembangan
kawasan
diwujudkan
melalui
pengaturan peringkat peruntukan lahan dengan batas-batas yang dikenal sebagai sistem zonasi. Dalam sistem zonasi diperlukan pendekatan yang berbeda di setiap kawasan/situs sesuai dengan karakter yang dimiliki, misalnya kawasan urban tentu berlainan penanganannya kawasan di daerah pinggiran/kawasan/situs perbukitan atau pegunungan. Sistem zonasi terdiri atas (a) zona inti, area perlindungan utama untuk menjaga bagian terpenting Cagar Budaya; (b) zona penyangga, area yang melindungi zona inti; (c) zona pengembamgan, area yang diperuntukan bagi pengembangan potensi cagar budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah konservasi alam, lanskap budaya, dan kepariwisataan; dan (d)zona penunjang, area yang diperuntukan bagi sarana dan prasarana penunjang untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum.
2.2.4. Pemanfaatan Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Pasal 85 dikatakan bahwa (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial,
Universitas Sumatera Utara
pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata, (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya yang dilakukan oleh setiap orang, (3) Fasilitasi berupa izin pemanfaatan, dukungan Tenaga Ahli Pelestarian, dukungan dana, dan/atau pelatihan, (4) Promosi dilakukan untuk memperkuat identitas budaya serta meningkatkan kualitas hidup dan pendapatan masyarakat. Demikian pula dalam Keputusan Menteri
Republik Indonesia Nomor
062/U/1995 Bab VII Pasal 10, dikatakan bahwa pemanfaatan benda cagar budaya diberikan
untuk
pengetahuan,
dan
kepentingan kebudayaan;
agama, dan
sosial,
pariwisata,
penggandaan
pendidikan,
dilakukan
dengan
ilmu tetap
memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian benda cagar budaya. 4 Berkenaan dengan pemanfaatan cagar budaya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan yang selanjutnya merupakan dasar hukum dalam skala nasional untuk pedoman pengembangan dan pengelolaan pariwisata di Indonesia, menyatakan bahwa keadaan alam, flora dan fauna, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, serta seni dan budaya dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal yang besar. Penyelenggaraan kepariwisataan selanjutnya tetap memelihara kelestarian dan mendorong upaya peningkatan mutu lingkungan hidup serta obyek dan daya tarik wisata (Hardjasoemantri, 1997). Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Pasal 87 dikatakan bahwa Cagar Budaya yang pada saat ditemukan sudah tidak berfungsi seperti semula dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Pemanfaatan Cagar Budaya dilakukan dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan peringkat Cagar Budaya dan/atau masyarakat hukum adat yang memiliki dan/atau menguasainya. Pemahaman cagar budaya yang pada saat ditemukan ditemukan sudah tidak berfungsi
seperti
semula
dapat
dimanfaatkan
untuk
kepentingan
tertentu.
Pemanfaatan dapat digunakan untuk kepentingan kepariwisataan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan, sejarah, dan kebudayaan. Pehamaman bahwa Cagar Budaya mengandung beberapa aspek nilai penting adalah sebagai berikut, pertama aspek kesejarahan, yakni sejauhmana Cagar Budaya dilatarbelakangi peristiwa sejarah yang dianggap penting serta berkaitan secara simbolis dengan peristiwa terdahulu. Kedua adalah aspek ilmu pengetahuan, yakni deposit mutu serta keluasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada Cagar Budaya. Kemudian ketiga adalah aspek kebudayaan, yakni peran penting Cagar Budaya pada suatu masyarakat, terutama berkaitan dengan tradisi, kesenian, maupun kepercayaan setempat. Adapun yang keempat, adalah aspek sosial ekonomi, berkenaan dengan peran penting Cagar Budaya bagi aspek nilai dan kehidupan masyarakat, seperti pendidikan, jatidiri, dan citra kawasan. Sumberdaya
budaya
masih
sangat
terbatas
pemberdayaannya,
dan
penggaliannya belum dilakukan secara optimal. Oleh karena itu obyek-obyek yang ada, perlu terus digali agar dapat meningkatkan kualitas kepariwisataan, karena sumberdaya budaya adalah produk, -
Ciptaan manusia;
Universitas Sumatera Utara
-
Pola hidup masyarakat (tata hidup masyarakat);
-
Senibudaya; dan
-
Sejarah bangsa, ditekankan pada budaya (Brahmana, 2002).
Pemanfaatan dan pengembangan cagar budaya juga
harus memperhatikan
prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Anonim, 1997) yaitu, -
Konservasi (conservation);
-
Peningkatan (amelioration);
-
Kehati-hatian dan pencegahan (precaution and prevention); dan
-
Perlindungan (protection)
-
Pencemar pembayar (the polluter pays).
2.2.5. Pendokumentasian Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan Bab I Butir 12 menyebutkan bahwa pendokumentasian adalah upaya menghimpun, mengolah, menata informasi kebudayaan dalam bentuk rekaman berupa tulisan, gambar, foto, film, suara, atau gabungan unsur-unsur tersebut (multimedia) (Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, 1999). Bila suatu tinggalan budaya tidak dapat dikonsevasi atau dipugar, maka perlu diadakan pendokumentasian lewat foto, gambar atau video. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi jika suatu saat bangunan atau tinggalan tersebut punah/tidak ada lagi, dokumentasinya masih ada.
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu pengambilan data harus dilakukan sedetail mungkin, diambil pada setiap sisi, sudut atau hal-hal yang dianggap menjadi ciri khasnya.
2.3. Komuniti Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk melibatkan komuniti (masyarakat lokal) dalam pariwisata. Penerapan strategi-strategi itu atas berbagai lapisan masyarakat memungkinkan. 1. Menjadikan masyarakat sumber tenaga kerja utama di sektor pariwisata; 2. Menjadikan kelompok masyarakat sebagai pemasok barang dan jasa pariwisata; 3. Mendorong masyarakat untuk menjual barang dan jasa wisata secara langsung kepada wisatawan; 4. Mendorong masyarakat menjadi pemilik dan pelaku usaha jasa pariwisata; 5. Terbentuknya
infrastruktur
pariwisata
yang
memungkinkan
masyarakat
memperoleh keuntungan; 6. Memperkerjakan masyarakat dalam perusahaan penyedia jasa wisata dengan cara memberikan pelatihan; 7. Mendorong munculnya entitas kelembagaan baru yang mewadahi kepentingan masyarakat lokal; dan 8. Mengoptimalkan potensi-potensi lokal untuk mengganti kegiatan karitas dalam pembangunan pariwisata (Damanik, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Sebuah organisasi pemerhati pariwisata (REST - Responsible Ecological Sosial Tours) mengarisbawahi bahwa pariwisata berbasis masyarakat is managed by the community, with the purpose of enabling visitors to increase their awareness and learn about the community and local -ways of life (Damanik, 2002). Ini sesuai dengan isi Deklarasi Yogyakarta 1992 (The Yogyakarta Declaration on National Cultures and Universal Tourism 1992) yang menyatakan bahwa pengembangan pariwisata harus diatur dalam perencanaan yang melibatkan partisipasi masyarakat luas dengan menjamin keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial dan kebudayaan. Deklarasi Yogyakarta 1992 secara tegas memberi gambaran bahwa dalam pengembangan pariwisata ada empat aspek yang harus diperhatikan, yaitu (1) kelestarian lingkungan; (2) keselarasan hubungan antara wisatawan, lokasi, dan masyarakat setempat; (3) keseimbangan aspek ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan keberadaan manusia; (4) peran serta pemerintah, masyarakat, dan swasta (Nuryanti, 1997). Senada dengan itu, Nuryanti (1997) juga berpendapat bahwa
pembangunan
pariwisata yang mengikutsertakan pengembangan masyarakat lokal didasarkan pada lima kriteria berikut, a.
Memajukan tingkat hidup masyarakat sekaligus melestarikan identitas budaya dan tradisi lokal;
b.
Meningkatkan tingkat pendapatan secara ekonomi sekaligus mendistribusikan secara merata pada penduduk lokal;
c.
Brorientasi pada pengembangan wirausaha berskala kecil dan menengah dengan
Universitas Sumatera Utara
daya serap tenaga kerja besar dan berorientasi pada teknologi tepat guna; d.
Mengembangkan semangat kompetisi sekaligus kooperatif; dan
e.
Memanfaatkan pariwisata seoptimal mungkin sebagai agen perubahan sosial, budaya,
dan
lingkungan
ke
arah
perubahan
yang
positip
dengan
meminimalisasikan dampak negatip seminimal mungkin (Nuryanti, 1999). Pengembangan pariwisata dengan pendekatan partisipasi didasarkan pada pertimbangan bahwa karakter masyarakat lokal secara fisik dan sosial budaya merupakan sumber daya utama. Masyarakat lokal sebagai sumber daya yang berkembang dinamis harus dapat berperan sebagai subyek dan bukan hanya sebagai obyek. Nasikun (1997) menuturkan bahwa pengembangan pariwisata yang melibatkan partisipasi masyarakat setempat dapat dilakukan melalui penerapan pendekatan manajemen global. Prinsip dalam pendekatan manajemen global ini adalah pendekatan manajemen terpadu yang membantu menyalurkan energi masyarakat ke dalam proses kemandirian yang maju. Dengan demikian masyarakat diberi kesempatan untuk memberdayakan segenap potensi yang dimilikinya sehingga mampu untuk menganalisis keadaan mereka sendiri, menghasilkan jalan keluar bagi masalah, merencanakan pembangunan daerah mereka sendiri, dan menilai hasilhasilnya. Masyarakat selain diberdayakan juga diharapkan ikut serta dalam pelestarian kebudayaan, seperti yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pedoman
Universitas Sumatera Utara
Pelestarian Kebudayaan Bab IV, Pasal 16, dalam butir (2) yang menyatakan peran serta masyarakat yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui perorangan, organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan dan/atau forum komunikasi kebudayaan di propinsi, kabupaten/kota, dan desa. Begitupun ayat (3) yang menyebutkan bahwa peran serta masyarakat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi (a) berperan aktif dalam menanam pemahaman kebhinekaan, memperkokoh jati diri bangsa, menumbuhkan kebanggaan nasional, dan mempererat persatuan bangsa; (b) berperan aktif dalam mengembangkan kebudayaan melalui dialog, temu budaya, sarasehan, dan lain sebagainya; serta (3) memberikan masukan dan membantu kepala daerah dalam pelestarian kebudayaan (Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, 2009). Konsep
ekomuseum
mencakup
museum;
pelestarian
lingkungan
dan
masyarakat. Menurut Corsane, prinsip dasar ekomuseum adalah (1) revalonzation; (2) transmisi/penyebaran; (3) komunikasi; (4) pelestarian sebagai saksi dari masa lalu untuk sekarang; (5) sebuah wilayah dengan mempunyai hak istimewa; (6) lanskap alam yang unik; (7) warisan budaya; dan (8) seorang museumlog yang berkewajiban mengelolanya (Corsane, 2008). Adapun indikator ekomuseum menurut Davis adalah, 1. Ekomuseum dikelola dan diberdayakan oleh masyarakat setempat; 2. Ekomuseum dapat dijadikan sebagai sebuah sarana partisipasi masyarakat secara demokrasi; 3. Apakah di kawasan ekomuseum dikelola secara bersama-sama antara masyarakat
Universitas Sumatera Utara
dan pemerintah; 4. Apakah ekomusuem memberikan tekanan di dalam prosesnya daripada produknya; 5. Apakah ekomuseum sudah melibatkan pengrajin, seniman, penulis dan pemusik 6. Ekomuseum sudah dependen secara sukarela; 7. Ekomuseum mempunyai identitas lokal dan tempat yang berguna; 8. Ekomuseum mencakup kawasan teritori secara geografi yang mempunyai karateristik tertentu; 9. Ekomuseum berhubungan pada masa lalu, sekarang dan masa akan datang; 10. Ekomuseum berhubungan dengan bangunan dan situs; 11. Ekomuseum mempromosikan pelestarian, pemeliharaan dan perlindungan kawasan secara in situ; 12. Ada perhatian terhadap warisan sumberdaya intangble; 13. Ekomuseum memperhatikan pengembangan berkelanjutan di dalam penggunaan sumberdaya alam dan budaya; 14. Kawasan dapat berubah dan berkembang bagi masa depan, baik bagi situs maupun masyarakat setempat; dan 15. Ekomuseum memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal, seperti rasa bangga, regenerasi dan menambah ekonomi (Davis, 1999).
Kawasan Padanglawas untuk sekarang ini belum termasuk dalam kriteria sebuah ekomuseum, karena masih adanya beberapa indikator yang menyatakan sebuah area/situs bukan sebuah ekomuseum, yakni :
Universitas Sumatera Utara
1.
Situs tersebut masih dikelola sendiri oleh pemilik (dalam hal ini pemerintah) dan tidak melibatkan masyarakat;
2.
Merupakan sebuah penempatan kembali dari sumberdaya warisan budaya sebagai sebuah museum terbuka (open-air museum); dan
3.
Di sekitar lokasi tersebut masyarakat belum mendapatkan pemasukan yang memadai (Davis, 1999). Harmin dan Hulander menyebutkan adanya 18 karakteristik ekomuseum,
masing-masing adalah, 1. Mencakup area yang luas; 2. Lanskap harus insitu; 3. Melibatkan kegiatan bagi wisatawan; 4. Mempromosikan pariwisata budaya; 5. Berkerjasama dengan penguasa daerah/lokal; 6. Ada perkumpulannya atau persatuannya; 7. Ada organisasinya; 8. Ada perusahaannya; 9. Ada lembaganya; 10. Mendorong sukarelawan untuk aktif; 11. Membantu penduduk lokal untuk mencerminkan identitas budayanya; 12. Membantu memberikan pendidikan bagi penduduk lokal; 13. Ada lembaga yang dinamik dan mempunyai program kerja jangka panjang; 14. Bekerjasama sama dengan para seniman, pengrajin, penulis dan musisi;
Universitas Sumatera Utara
15. Bekerjasama dengan lembaga untuk penelitian; 16. Membantu untuk menjelaskan hubungan antara teknologi dan individu; 17. Membantu untuk menjelaskan hubungan antara alam dan budaya; dan 18. Membantu menjelaskan hubungan masa lalu dan masa sekarang (Corsane, 1995). Tetapi lain dengan pendapat Davis, yang mengikuti pendapat Rivie’re, ada beberapa indikator atau ciri ekomuseum yang dapat diterapkan di dalam menjalankan ekomuseum, yaitu : 1. Ekomuseum harus dikonsep dan dirancang oleh lembaga yang bertanggungjawab bersama-sama dengan penduduk setempat untuk memelihara warisan budaya dan menjadi alat untuk memenuhi minat bersama; 2. Baik pengunjung maupun penduduk setempat akan dapat berkaca tentang hubungan penduduk setempat dengan lingkungannya; 3. Menunjukkan hubungan alami antara manusia dengan alam; 4. Mampu mencerminkan masa sejarah yang panjang, dari sejak masa prasejarah hingga kini; 5. Menawarkan tempat khusus istimewa untuk mereka yang ingin berkunjung sejenak maupun beberapa lama; 6. Menjadi laboratorium sebagai tempat penelitian yang dapat menyumbangkan pengetahuan tentang lingkungan masa kini dan masa lampau 7. Menjadi pusat perlindungan sumberdaya alam dan pelestarian jatidiri budaya atau kemanusiaan, maupun warisan alam; dan
Universitas Sumatera Utara
8. Menjadi sekolah, tempat penelitian lebih lanjut, upaya pelestarian, dan mampu mendorong penduduk setempat untuk menentukan nasib masa depan mereka sendiri (Davis, 1999). Sedangkan Boylan mengatakan bahwa ada lima kunci konsep bagi ekomuseum, yakni : -
teritori/wilayah/kawasan;
-
koleksi ecomuseum alam dan budaya;
-
pendekatan interdisiplin untuk menginterpretasikan/mengartikan;
-
konsumen dari ecomuseum alam;
-
demokrasi lokal; dan
-
pemberdayaan masyarakat (Donghai, 2008).
Kawasan Padanglawas jika dimanfaatkan menjadi suatu kawasan ekomuseum diharapkan melakukan zonasi atau pemintakatan. Zonasi menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab VII Pasal 72 Ayat (1) bahwa Pelindungan Cagar Budaya dilakukan dengan menetapkan batasbatas keluasannya dan pemanfaatan ruang melalui sistem Zonasi berdasarkan hasil kajian, Ayat (2) Pemanfaatan zona pada Cagar Budaya dapat dilakukan untuk tujuan rekreatif, edukatif, apresiatif, dan/atau religi. Pasal 73 juga menyebutkan bahwa (1) sistem zonasi mengatur fungsi ruang pada Cagar Budaya, baik vertikal maupun horizontal; (2) pengaturan zonasi secara vertikal dapat dilakukan terhadap lingkungan alam di atas Cagar Budaya di darat dan/atau di air;l (3) sistem zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas (a) zona inti; (b) zona penyangga; (c) zona
Universitas Sumatera Utara
pengembangan; dan/atau; (d) zona penunjang; (4) penetapan luas, tata letak, dan fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang peningkatan kesejahteraan rakyat.
2.4. Kawasan Padanglawas Kawasan Padanglawas terletak di daerah terbuka dan dikelilingi oleh pegunungan Bukit Barisan, sehingga daerah tersebut seolah-olah merupakan danau kering yang tepiannya adalah rangkaian perbukitan. Di dataran rendah yang panas dan kering ini mengalir tiga sungai besar, yaitu Sungai Barumun, Batang Pane dan Sungai Sirumambe. Di daerah dataran rendah Padanglawas angin berhembus dengan kecepatan tinggi, merupakan angin fohn (angin panas jatuh), dan terjadi pada waktu tekanan atmospher di sebelah timur Bukit Barisan rendah, sedangkan di sebelah barat Bukit Barisan tekanannya tinggi. Akibatnya terjadi aliran udara dengan kecepatan yang tinggi dari barat menuju ke timur Bukit Barisan (Anwar, 1984). Daerah yang dipengaruhi angin fohn dekat Padanglawas dulunya mungkin ditumbuhi oleh hutan kerangas (kata kerangas dari bahasa Iban di Serawak Kalimantan) yang miskin jenis vegetasi dan fauna. Hutan kerangas adalah lahan yang telah dihutankan, dan bila dibuka hutan ini tidak dapat ditanami padi. Hutan kerangas biasanya tumbuh di atas tanah yang berasal dari bahan-bahan silika yang jarang, miskin akan basa, mempunyai struktur yang kasar dan mudah kering. Padang-padang
Universitas Sumatera Utara
yang terbuka permukaan tanah ditutupi lapisan pasir putih setebal 0,5 - 5 cm dan di bagian bawahnya berwarna gelap (Anwar, 1984). Hutan kerangas juga merupakan suatu tipe hutan dengan pohon-pohon yang berukuran "pole" (pancang) yang tumbuh di atas pasir putih. Jenis-jenis pohon yang terdapat pada tipe hutan ini antara lain: Dacrrydium, Eugenia, Lithocarpus conocarpus, Castanopsis, Hopea, Schima, don Don Malaleuca. Lantai hutan tertutup lumut dan jarang dijumpai pohon-pohon yang berukuran besar. Pada umumnya keliling batang pohon tidak lebih dari 2 meter dan tajuk tidak lebih dari 20 meter. Pasir pantai yang terdapat di daerah hutan kerangas dekat Padanglawas memberikan indikasi mengenai perubahan garis pantai pesisir di bagian timur Sumatera, yang mungkin terjadi pada kurun geologi, bukan kurun sejarah. Pada muara Sungai Besitang, Barumun, Rokan, Siak, Kampar, Indragiri, dan juga di daerah aliran Sungai Musi dan Sungai Banyuasin, terjadi perubahan garis pantai karena pengendapan lumpur, yang merupakan ciri khas dari perluasan pantai (Anwar, 1984). Dari hasil penelitian Vita diketahui bahwa Kawasan Padanglawas merupakan daerah yang kering dan hanya ditumbuhi oleh tumbuhan alang-alang.
Alang-alang
(Imperata cylindrica) merupakan jenis tumbuhan rumput-rumputan yang tidak memerlukan persyaratan tumbuh tinggi. Saat ini itu di daerah tersebut
ditanami
kelapa sawit (Elais guineensis), kopi (Coffea arabica), karet (Ficus elastica) dan jati (Tectona grandis). Serta di sepanjang aliran Batang Pane didominasi oleh tumbuhan bambu seperti Gigantochloa apus, Dendrocalamus asper dan Bambusa Spinosa (Vita, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Di samping itu tumbuhan galoga (Sacarum spontaneum) juga mendominasi tumbuhan sepanjang aliran Batang Pane. Ada pula tumbuhan semak belukar seperti Lantana camara, Pandanus tectorius, Ageratum, Eupathorium, Urena lobata, Hyptis capitata, Piper aduncum. Jenis pohon lainnya adalah pisang (Musa paradisiaca), seri (Muntinga calabubura), jengkol (Pithecelobium jiringa), pinang (Areca catecu), durian belanda (Annona muricata), dan sukun (Artocarpus communis). Jenis tumbuhan khas di Kawasan Padanglawas adalah kelompok kembang bangkai (Amorphopallus sp.) dan pohon balaka (Phyllanthus emblica). Jenis pohon balaka ini tampaknya mendominasi hampir di semua bangunan biara atau situs. Juga ada pohon buah-buahan seperti mangga (Mangifera indica), lontar (Borassus flabelifer), dan kelapa (Cocos nurifera) (Vita, 2010). Berkenaan dari hasil survei ke lapangan dijumpai berbagai fauna, seperti kerbau dan sapi yang merupakan ternak dan hampir setiap keluarga memilikinya dan kehidupan binatang liar tampak lebih menonjol di kawasan yang berupa dataran berbukit yaitu babi hutan (Sus scrofa) yang dalam pandangan penduduk adalah hama tanaman. Juga ada kancil (Tragulus javanicus), rusa (Cervus equunus), monyet, lutung (Pythecus pyrrahus), kalong (Pterocarpus edulis), beruang, dan berjenis biawak (Varanus). Secara umum dapat dikatakan bahwa populasi hewan-hewan liar itu cenderung menurun akibat aktivitas manusia, terutama berkenaan dengan eksplotasi lahan yang sebelumnya merupakan habitat fauna tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.5.
Model Ada empat kategori model, yaitu : 1. Cognitive Models (Human Concepts); 2. Normative Models (Purpose Oriented); 3. Descriptive Models (Behavior Oriented); dan 4. Functional Models (Action and Control Oriented) Cognitive Models merupakan model-model konseptual yang mendasari
pembuatan keputusan, perencanaan, juga bermakna sebagai usaha manusia untuk memahami dan mengontrol segala seluk-beluk yang berkaitan dengan dunianya. Normative Models merupakan penggambaran mengenai fungsi-fungsi spesifik atau yang diinginkan, tujuan, dan sasaran sebuah sistem atau proses. Model normatif biasanya dipakai dalam kerangka desain rekayasa dan regulasi pemerintahan. Sementara itu, Descriptive Models dan Functional Models umumnya digunakan untuk tujuan-tujuan saintifik dan teknologi (Ramly, 2007). Berdasarkan model kategori tersebut, model yang dikembangkan dalam disertasi ini mengacu pada model konseptual yakni, yang merancang model pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Padanglawas yang dapat menguraikan pola kebijakan dalam pengelolaan.
2.6.
Nilai Potensi Kawasan Cagar Budaya Padanglawas dapat diketahui dari beberapa
kriteria dari nilai seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Kriteria Nilai Nilai
Mengapa
• bukti tingkat peradaban daerah yang belum dikenal • tingkat pelestarian yang tinggi • bantuan dari pendanaan Kelangkaan • urutan biara atau situs yang diketahui dari periodesasi daerah yang relatif kecil • peninggalan khusus bagi kesenian Lansekap • tata guna lahan adalah ciri khusus • pertanian terus menerus yang digunakan sebagai lansekap Ilmu Peng. • tingkat dan kualitas dari informasi biara atau situs Kebudayaan • sejarah awal tradisi yang merupakan kelanjutan, mencakup suatu kehidupan, pembuatan gerabah dan keranjang Pendidikan • keuntungan di dalam pembelajaran pengalaman • interaksi dengan para arkeolog, dalam proses arkeologi • hubungan dengan sekolah lokal dan nasional • tingkat perkembangan profesi dan pelatihan Masyarakat • mempunyai arti dalam hubungan lokal pada mitos lokal, dahulu dan sekarang • identifikasi lokal dan kebanggaan biara dan situs Ekonomi • menciptakan lapangan kerja melalui penggalian biara/situs • manfaat penggalian bagi masyarakat lokal • meningkatkan kepariwisataan biara, situs dan kawasan • barang-barang dagangan • memasukan investasi ke daerah sebagai hak dari nilai sebuah biara atau situs Kepariwisataan • atraksi wisata • perkembangan wisata berhubungan dengan pelayanan • memikat wisatawan dengan produk-produk daerah • menambah nilai-nilai dan mengenalkan situs sejarah yang lain dan situs arkeologi di daerah Politik • biara dan situs sebagai daerah tujuan untuk meningkatkan profil tingkat kunjungan • asosiasi politik dengan biara dan situs • penggunaan situs sebagai simbol nasional Simbolik • inspirasi bagi para artis, penulis dan designer Arkeologi dan Sejarah
Spiritual
• makna biara atau situs bagi kepercayaan masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Setelah mengetahui nilai Kawasan Cagar Budaya Padanglawas,
diperlukan
langkah-langkah dalam mengelolanya, seperti diuraikan di bagan bawah ini.
1.1
1. Identifikasi dan deskripsi Pengumpulan data/informasi 1.2 Pemangku 1.3 Dokumentasian dan kepentingan deskripsi
Tujuan
Apa yang menjadi tujuan dan harapan perencanaan?
2.1.Nilai/signifikan kebudayaan Mengapa biara/situs itu penting atau mempunyai nilai dan oleh siapa dianggap mempunyai nilai?
3.1.
3.2.
3.3. 3.4.
Siapa yang terlibat dalam perencanaan?
Apa yang dikenal dari biara/situs dan apa yang perlu diketahui?
2. Penafsiran dan Analisis Mengadakan pemeriksaan 2.2 . Kondisi 2.3. Hubungan fisik Pengelolaan Bagaimana kondisi biara/situs atau strukturnya dan apa yang menjadi ancaman?
Apa yang menjadi ketidakleluasaan/paksaan akhir-akhir ini dan apa keuntungan yang didapat dari pelestarian dan pengelolaan biara dan situs?
3. Tanggapan Membuat Keputusan Menetapkan tujuan dan kebijaksanaan Untuk apa biara/situs tersebut dilestarikan dan dikelola ? Bagaimana nilai biara/situs jika dilestarikan? Kumpulkan sasaran Apa yang dilakukan untuk mewujudkan kebijaksanaan menuju suatu tindakan/aksi Strategi pengembangan Bagaimana sasaran/tujuan dapat diajukan dalam praktik? Mempersatukan dan menyiapkan rencana
Peninjauan ulang berkala dan perbaikan Gambar 2.1. Langkah-langkah Pengelolaan
Universitas Sumatera Utara
Peninjauan ulang berkala (periodic review) dan perbaikan merupakan suatu tindakan bagi evaluasi Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW), yang
harus
dilakukan secara berkala, dan perlu sekali adanya perbaikan-perbaikan sehingga di dalam mengelola membuahkan hasil yang maksimal. Revisi yang diharapkan, hendaknya tidak lepas memperhatikan adanya prinsip pengelolaan sejarah dan budaya yang berpijak pada pelestarian dan mencakup (1) pemeliharaan (preservation, consevation); (2) perlindungan; (3) pendokumentasian (foto, film, gambar); dan (4) daya dukung (carring capasity) (Setyastuti, 2005).
Catatan : 1.
2.
3.
A museum as not-profit making, permanent institution in the service of society and of its development, and open to the public, which acquires, conserves, researches, communicates and exhibits, the tangible intangible heritage of humanity and its environments for the purposes of education, study and enjoyment. ICOM Statues, adopted by the 22nd General Assembly, Vienna, Austria, 24 Agugust 2007 Principle 1. Human beings are at the centre of concerns for sustainable development. They are entitled to a healthy and productive life in harmony with nature (Hardjasoemantri, 2005 : 585). Dalam Pedoman Zonasi Situs dan Kawasan Cagar Budaya, yang dimaksud dengan zonasi adalah salah satu upaya pelindungan Situs dan Kawasan Cagar Budaya. Dalam zonasi dilakukan penentuan batas wilayah atau daerah tertentu untuk tujuan melindungi aspek-aspek yang memiliki nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Dengan adanya zonasi, diharapkan ada rambu-rambu yang jelas dalam pengembangan dan pemanfaatan Situs dan Kawasan Cagar Budaya, sehingga dapat meminimalisasi ancaman kerusakan Situs dan Kawasan Cagar Budaya. Zonasi situs yang selama ini dilaksanakan ternyata lebih memungkinkan diterapkan pada situs yang memiliki areal yang luas sehingga dapat dibagi ke dalam zona inti, penyangga, pengembang, dan penunjang. Kendala muncul pada situs-situs yang berada dalam pemukiman yang padat atau situs yang telah terlanjur dalam pengembangan tanpa mempertimbangkan pelestarian situs. Penerapan zonasi situs terhadap situs-situs semacam itu tentunya akan berbeda
Universitas Sumatera Utara
4.
dengan lazimnya. Dengan demikian pedoman zonasi yang diperlukan adalah pedoman yang dapat mengakomodir berbagai kondisi situs. Dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yang dimaksud dengan pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.
Universitas Sumatera Utara