TINJAUAN PUSTAKA
Revitalisasi Merujuk pada Hornby (1995), Harun (1996), dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1991), revitalisasi secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya untuk menyegarkan, menghidupkan, dan/atau membangun sesuatu agar dapat menjadi berfungsi efektif kembali. Sasaran yang hendak direvitalisasi agar sebuah lembaga atau organisasi misalnya dapat berfungsi dengan efektif kembali sangat ditentukan oleh jenis dan kondisi lembaga yang bersangkutan. Dalam bidang penyuluhan pertanian misalnya, Harun (1996) berpendapat bahwa revitalisasi ditujukan pada 3 (tiga) komponen utama, yaitu; 1) pengembangan sumberdaya manusia; 2) alih teknologi, dan 3) pengembangan kelembagaan. Di samping ketiga komponen ini, Slamet (1999) mengemukakan bahwa dalam pengembangan produksi pertanian perlu memperhatikan masalah pokok yang dihadapi oleh masyarakat pertanian. Dengan demikian, revitalisasi dalam bidang penyuluhan pertanian ditujukan pada; pengembangan sumberdaya manusia, alih teknologi, pengembangan kelembagaan, serta memperhatikan masalah atau kebutuhan para petani. Dalam bidang pemerintahan, Osborne dan Plastrik (Rosyid Abdul dan Ramelan, 2000)
mengemukakan
bahwa sistem pemerintahan tak obahnya seperti sebuah
organisme yang dibentuk oleh deoxyribonucleic acid (DNA), yang menentukan siapa dan apa pemerintahan itu.
Dengan mengubah atau memperbaiki DNA suatu
pemerintah, maka kemampuan dan perilaku baru pemerintah itu akan segera muncul. Adapun bagian yang paling mendasar dari DNA sektor pemerintah yang perlu dibangun menurut Osborne dan Plastrik adalah; tujuan, insentif, pertanggung-jawaban, struktur kekuasaan, dan budaya. Dari kelima DNA ini kemudian melahirkan 5 (lima) strategi, yang dinamakan oleh Osborne dan Plastrik dengan; 1) strategi inti, 2) strategi konsekuensi, 3) strategi pelanggan, 4) strategi pengendalian (kontrol), dan 5) strategi
12
budaya. Strategi inti adalah untuk memperjelas tujuan organisasi, strategi konsekuensi untuk menerapkan konsekuensi atas kinerja organisasi, strategi pelanggan adalah untuk menciptakan pertanggungjawaban (akuntabilitas) organisasi terhadap pelanggan, strategi pengendalian untuk memberdayakan organisasi dan sumberdaya manusia agar mampu berinovasi, sedangkan strategi budaya adalah untuk mengubah perilaku, perasaan serta cara berfikir aparat pemerintahan. Untuk membangun Pemerintahan Desa, Ndraha (1990) mengusulkan bahwa ada 3 (tiga) dimensi yang perlu dibangun. Ketiga dimensi dimaksud adalah; 1) dimensi anatomik, 2) dimensi fisiologik,
dan 3) dimensi behavioristik. Dimensi anatomik
menyangkut struktur dan restrukturasi Pemerintahan Desa, yang antara lain meliputi; a) upaya merumuskan kembali tugas pokok pemerintahan desa sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan dan keserasian antara tugas melayani atasan dengan tugas melayani masyarakat, b) memperkuat unsur pelaksana Pemerintahan Desa agar terdapat keseimbangan antara unsur tersebut dengan unsur staf, c) mengusahakan struktur desa dan struktur Pemerintahan Desa yang efektif, d) menata kembali dan mengefektifkan hubungan antara desa dan antar desa dengan lingkungan, dan e) merumuskan kembali tata kerja Pemerintahan Desa.
Dimensi fisiologik menyangkut aspek penghidupan
Pemerintahan Desa atau disebut juga aspek manajemen Pemerintahan Desa. Sedangkan dimensi behavioristik menyangkut aspek perilaku, baik perilaku individu, kelompok maupun organisasi. Berdasarkan uraian di atas, revitalisasi dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai upaya untuk membangun atau menyegarkan kembali agar Pemerintahan Nagari dapat berfungsi lebih efektif. Pemerintahan yang efektif adalah pemerintahan yang dapat memberikan pelayanan sesuai dan/atau melebihi kebutuhan masyarakat pelanggannya. Adapun upaya yang dapat dilakukan antara lain dapat berupa; pengembangan sumberdaya manusia aparat pemerintahan, pengembangan kelembagaan, alih teknologi, merancang kegiatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, membangun atau mengubah DNA Pemerintahan Nagari yang bersangkutan.
13
Pembangunan Masyarakat Istilah pembangunan masyarakat atau Community Development (selanjutnya disingkat dengan CD) sebenarnya bukanlah istilah yang baru. Menurut Depositario (1990), CD telah diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1930-an dengan penekanannya pada partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Munculnya CD ini dipengaruhi oleh pengalaman dalam program kesejahteraan sosial, pelayanan masyarakat, dan pendidikan orang dewasa di Amerika Serikat dan Inggris, yang banyak dimulai di tahun-tahun tersebut. Di Indonesia, sebgaimana ditulis Karim (tanpa tahun),
bahwa CD telah
dilaksanakan sesudah tahun 1950, yaitu setelah pulihnya kedaulatan RI. Pemerintah Presiden Soekarno ketika itu menaruh perhatian pada CD dengan membentuk satu direktorat khusus yang disebut dengan Direktorat Pembangunan Masyarakat Desa. Akan tetapi, karena situasi ketika itu lebih didominasi oleh segi-segi politik, penggunaan dan pelaksanaan CD menghadapi banyak hambatan. Bentuk CD ini kemudian ditandai antara lain dengan dibentuknya wadah kegiatan masyarakat yang dikenal dengan Lembaga Sosial Desa (LSD) dan kemudian berganti nama dengan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Lembaga ini sengaja dibentuk oleh pemerintah sebagai milik masyarakat sebagai agen inovasi dan juga pelaksanaan pembangunan masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat berbagai rumusan tentang pengertian CD. Biddle dan Biddle (1965) misalnya lebih menekankan CD sebagai proses sosial, di mana manusia menjadi lebih mampu untuk hidup dan menghadapi berbagai perubahan. Christenson dan Robinson Jr (1989) melihat CD sebagai inisiatif masyarakat lokal untuk melakukan suatu perubahan. Sedang The United Nation (PBB) menekankan CD sebagai proses perubahan yang diawali dari inisiatif masyarakat dan bersama pemerintah untuk memperbaiki keadaan kehidupan. Ketiga rumusan ini dapat dilihat pada sajian berikut: Community development is a social process by which human beings can become more competent to live with and again some control over local aspects of a frustrating and changing world (Biddle and Biddle, 1965:78).
14
Community development as a group of people in a locality initiating a social action process (i.e. planned intervention) to change their economic, social, cultural, and/or environmental situation (Christenson and Robinson Jr., 1989:14). Community development is the process by which the efforts of the people themseves are united with those of govermental authorities to improve the economic, social, and cultural conditions of communities, to integrated these communities into the life of the nation, and to enable them to contribute fully to national progress (The United Nation, dalam Christenson dan Robinson Jr., 1989:13-14; Dahama and Bhatnagar, 1980:547; Ndraha, 1990:72). Rumusan lain mengenai CD lebih menekankan sebagai proses pendidikan. Darby dan Morris ( Christenson dan Robinson, Jr. 1989) misalnya, memandang CD sebagai pendekatan pendidikan yang akan meningkatkan kesadaran masyarakat lokal, rasa percaya diri, dan kemampuan mengidentifikasi dan memecahkan masalah mereka sendiri. Demikian pula Long ( Christenson dan Robinson, Jr. 1989) memandang bahwa CD sebagai proses pendidikan yang di desain untuk membantu orang dewasa dalam memecahkan masalah melalui keputusan dan kegiatan kelompok. Kedua rumusan CD ini dapat dilihat pada sajian berikut: Darby and Morris: "an educational approach which would raise levels of local awareness and increase the confidence and ability of community groups to identify and tackle their own problems." Long: "and educational process designed to help adults in a community solve their problems by group decision making and group action. Most community development models include broad citizen involmement and training problems solving." (Christenson and Robinson Jr., 1989: 11-12). Dari berbagai rumusan di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pembangunan masyarakat adalah pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pembangunan ini ditandai dengan; 1) kegiatan yang dilakukan disadari dan direncanakan, 2) dilakukan oleh sekelompok orang atau komunitas, 3) dengan melalui proses pendidikan, 4) adanya partisipasi atau inisiatif dari orang-orang atau komunitas tersebut dalam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan mereka, mengorganisasikan diri sendiri, menentukan kegiatan, melakukan kegiatan, dan
15
bertanggung jawab dengan apa yang telah dilakukan,
dan 5) pada
akhirnya
pembangunan itu dapat memperbaiki kehidupan dan meningkatkan harkat dan martabat mereka sendiri. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dalam laporannya mengemukakan 10 prinsip dalam pembangunan masyarakat (Sanders, 1958; Dahama and Bhatnagar, 1980). Prinsip-prinsip dimaksud adalah; 1) kegiatan-kegiatan yang dilakukan hendaklah sesuai dengan kebutuhan dasar dari komunitas, rancangan pertama harus diprakarsai berdasarkan respon yang menyatakan kebutuhan masyarakat, 2) perbaikan lokal dapat dicapai melalui upaya-upaya yang berbeda pada setiap wilayah, akan tetapi CD yang lengkap dan seimbang memerlukan kegiatan yang searah dan program dengan banyak tujuan, 3) perubahan sikap orang-orang sama pentingnya dengan material pencapaian proyek komunitas selama tahapan pembangunan, 4) CD bertujuan meningkatkan dan memperbaiki partisipasi orang-orang dalam komunitas, revitalisasi pemerintahan lokal dan transisi ke arah administrasi lokal yang efektif di mana hal itu belum berfungsi, 5) identifikasi, dorongan, dan pelatihan kepemimpinan lokal seharusnya menjadi tujuan dasar dalam setiap program, 6) kepercayaan yang lebih besar terhadap partisipasi wanita dan pemuda dalam proyek-proyek CD memperkuat program-program pembangunan, melaksanakannya pada dasar yang lebih luas dan pengembangan jangka panjang, 7) untuk menjadi lebih efektif, proyek-proyek self-help komunitas memerlukan bantuan yang intensif dan ekstensif dari pemerintah, 8) implementasi dari suatu program CD pada skala nasional memerlukan; adopsi kebijakan yang konsisten, rencana administrasi yang khusus, rekruitmen dan pelatihan personil, mobilisasi sumber daya lokal dan nasional dan organisasi riset, eksperimen dan evaluasi,
16
9) sumberdaya lembaga swadaya (NGO) harus dimanfaatkan secara penuh dalam program CD, baik tingkat lokal, nasional, maupun internasional, dan 10) kemajuan sosial ekonomi pada tingkat lokal memerlukan pembangunan yang paralel pada suatu skala nasional yang lebih luas. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa merevitalisasi Pemerintahan Nagari sebagai pemerintahan terendah di Provinsi Sumatera Barat merupakan bagian dari pembangunan masyarakat di provinsi itu secara keseluruhan. Melalui peran dan fungsi lembaga Pemerintahan Nagari sebagai lembaga yang lebih dekat dan lebih banyak mengenal masyarakat diharapkan dapat membantu masyarakatnya itu dalam memenuhi pelbagai kebutuhannya, sehingga pada akhirnya dapat memperbaiki tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Perubahan Sosial Membicarakan masalah perubahan sosial (social change) pada suatu masyarakat lebih merupakan masalah tingkat perubahan ketimbang masalah ada atau tidaknya perubahan. Perubahan sosial merupakan fenomena yang selalu dan akan hadir pada setiap masyarakat, baik pada masyarakat maju maupun pada masyarakat yang bersahaja. Kecepatan perubahan ini dapat pula berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Ada perubahan yang berlangsung dengan lambat (evolusioner) dan ada pula perubahan yang berlangsung dengan cepat (revolusioner). Moore (Lauer, 1993) mengemukakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan dari struktur sosial. Struktur sosial merupakan pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Moore juga memasukkan dalam definisi ini berbagai ekspresi mengenai struktur, seperti; norma, nilai dan fenomena kultural. Soekanto (1985) mengemukakan bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga -lembaga kemasyarakatan (social institution) di dalam masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Lembaga kemasyarakatan di sini menunjuk
17
pada suatu bentuk dan sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak mengenai adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri dari lembaga tersebut. Sills, seperti dikutip Sastramihardja (1987) menyebutkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang signifikan dari struktur sosial, termasuk dalam hal ini polapola tindakan sosial dan interaksi sebagai akibat dan manifestasi dari struktur yang berisikan norma-norma, nilai-nilai, hasil-hasil kebudayaan dan berbagai simbol. Sedangkan Rogers dan Shomaker (1981), sebagaimana disarikan oleh Hanafi, mengemukakan bahwa perubahan sosial adalah proses di mana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Dari beberapa pengertian di atas, dapat diartikan bahwa perubahan sosial adalah perubahan pada struktur sosial ataupun lembaga sosial (social institution) di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial masyarakat yang bersangkutan, termasuk di dalamnya aspek kebudayaan. Berubahnya status Pemeritahan Desa ke Pemerintahan Nagari merupakan salah satu contoh dari perubahan sosial. Penggunaan istilah perubahan sosial seringkali tidak begitu dibedakan dengan perubahan kebudayaan (cultural change) meskipun secara konsepsional kedua konsep perubahan ini dapat saja dibedakan. Perubahan sosial dapat diartikan sebagai perubahan yang menyangkut struktur
ataupun lembaga-lembaga sosial berserta
fungsinya, sedangkan perubahan kebudayaan adalah perubahan pada wujud kebudayaan yang dapat berupa nilai-nilai, cara atau kebiasaan hidup, dan juga berupa benda-benda (kebudayaan materiil). Namun di dalam realitanya, kedua bentuk perubahan itu sukar untuk dipisahkan dan keduanya seakan-akan saling menyatu. Berubahnya keluarga besar menjadi keluarga kecil misalnya, kenyataan ini sangat berkaitan dengan perubahan pandangan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (Faisal, 1981; Rahardjo, 1999). Perubahan sosial di dalam suatu masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya atau secara alamiah (unplanned change) dan dapat pula terjadi dengan disengaja atau
18
direncanakan (planned change). Perubahan yang direncanakan atau perubahan berencana sering diidentikkan dengan konsep pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan sesungguhnya dimaksudkan untuk menimbulkan perubahan-perubahan kearah yang diinginkan, yang pada akhirnya bermanfaat bagi sasaran pembangunan itu sendiri. Menurut Lippitt (1958), ada 7 (tujuh) fase dalam perubahan berencana. Ketujuh fase dimaksud adalah; a) munumbuhkan kebutuhan masyarakat untuk berubah, yakni mulai dari mengidentifikasi kesulitan hingga munculnya keinginan masyarakat yang bersangkutan untuk mencari bantuan, b) membangun hubungan untuk perubahan, c) mendiagnosa masalah yang dihadapi oleh sasaran perubahan dan dirumuskan menjadi masalah bersama, d) masalah tersebut kemudian dijelaskan kepada sasaran, dicari alternatif pemecahannnya, dan ditumbuhkan tekat untuk pemecahan masalah tersebut, e) tekat kemudian diubah menjadi usaha nyata untuk mencapai tujuan, f) memperluas skala perubahan dan pemantapan atau pelembagaan perubahanperubahan yang telah terjadi, dan g) memutuskan hubungan antara sasaran perubahan (client) dan penyuluh sebagai agen perubahan (agent of change), sehingga tidak terjadi ketergantungan antara sasaran perubahan dengan agen perubahan. Penyebab terjadinya perubahan sosial dapat bersumber dari dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat itu sendiri. Soekanto (1982) mengemukakan bahwa penyebab yang bersumber dari dalam dapat berupa; bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk, adanya penemuan-penemuan baru, terjadinya konflik di dalam masyarakat, dan terjadinya pemberontakan atau revolusi. Sedangkan yang bersumber dari luar masyarakat dapat berupa; terjadinya bencana alam, peperangan, dan karena pengaruh kebudayaan lain.
19
Pada bagian lain, Soekanto (1982) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mendorong terjadinya proses perubahan adalah; adanya kontak dengan kebudayaan lain, majunya sistem pendidikan formal, adanya sikap menghargai hasil karya orang lain disertai dengan adanya keinginan untuk maju, toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang yang bukan merupakan delik, sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat (open stratification), penduduk yang heterogen, terjadinya rasa ketidakpuasan terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, adanya orientasi ke masa depan, dan masyarakat memiliki nilai-nilai bahwa manusia senantiasa harus berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya. Sebaliknya, faktor-faktor yang dapat menghalangi terjadinya perubahan (resistance to change) antara lain dapat berupa; kurang memiliki hubungan dengan masyarakat lain atau kehidupan yang terasing, perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat, adanya sikap tradisional dengan anggapan bahwa tradisi secara mutlak tidak bisa dirubah, adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat sekali atau vested interests yang kalau berubah akan merugikan orang-orang tertentu, adanya rasa takut akan terjadi kegoncangan pada integrasi kebudayaan, masyarakat memiliki sikap tertutup dan mempunyai prasangka terhadap hal-hal yang baru, adanya ideologi tertentu yang bertentangan dengan perubahan, adanya adat atau kebiasaan tertentu yang menghalangi perubahan, dan adanya nilai-nilai yang dianut bahwa hidup pada hakekatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki. Sikap menghargai hasil karya orang lain, adanya keinginan untuk maju, dan orientasi ke masa depan di atas merupakan bagian dari sistem nilai budaya. Koentjaraningrat (1977), dalam bukunya mengemukakan bahwa sistem nilai budaya merupakan suatu rangkaian dari konsep luas dan abstrak yang hidup dalam alam pikiran warga suatu masyarakat mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga dalam hidup. Sistem nilai budaya ini menurut kerangka Kluckhohn mengandung lima masalah pokok, yaitu; masalah mengenai hakekat hidup manusia, hakekat dari karya, hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu, hakekat dari hubungan manusia dengan
20
alam sekitarnya, dan hekakat dari hubungan manusia dengan sesamanya. Kerangka Kluckhohn ini secara lebih rinci disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kerangka Kluckhohn Mengenai Lima Masalah Dasar Dalam Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Masalah dasar dalam hidup
Orientasi Nilai Budaya
Hakekat Hidup
Hidup di anggap buruk
Hidup dianggap baik
Hidup dianggap buruk, tetapi manusia wajib memperbaikinya
Hakekat karya
Karya itu untuk hidup
Karya itu untuk kedudukan
Karya itu untuk menambah potensi berkarya
Hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu
Masa lalu
Masa kini
Masa depan
Hakekat hubungan manusia dengan alam
Manusia sebaiknya tunduk terhadap alam
Manusia sebaiknya mencari keselarasan dengan alam
Manusia harus dapat menguasai alam
Hakekat hubungan manusia dengan manusia
Manusia harus mengambil contoh dari orang-orang yang lebih tua dan berpangkat
Manusia mempunyai rasa ketergantungan kepada sesamanya
Manusia harus bangga untuk tidak tergantung kepada orang lain (berjiwa individualis)
Sumber: Selo Soemardjan dan Koentjaraningrat (Redaksi: Koentjaraningrat, 1977:250). Dengan demikian, dilihat dari sudut pandang perubahan sosial, faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan status Pemerintahan Desa ke Pemerintahan Nagari diduga karena majunya tingkat pendidikan masyarakat, adanya keinginan untuk maju atau berubah, keterbukaan masyarakat untuk menerima suatu perubahan, keragaman penduduk, adanya rasa ketidak puasan dengan sesuatu yang sudah ada (tidak puas misalnya dengan Pemerintahan Desa), adanya anggapan bahwa dengan perubahan (kembali ke Pemerintahan Nagari) akan membawa ke masa depan yang
21
lebih baik, dan masyarakat memiliki sistem nilai yang mengarah untuk memperbaiki hidupnya.
Lauer (1993) mengemukakan bahwa di samping sebagai faktor perintang atau faktor penghalang terjadinya perubahan, pemerintahan dapat pula merupakan faktor pendorong terjadinya perubahan. Oleh karena itu, Pemerintahan Nagari yang sudah menjadi ketetapan dan pilihan bagi masyarakat di Sumatera Barat sebagai pengganti Pemerintahan Desa tentunya senantiasa perlu dipantau, dikaji, disegarkan, dan dikembangkan, sehingga pemerintahan tersebut dapat dijadikan sebagai agen perubahan atau sarana bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Otonomi Daerah Otonomi daerah di dalam pasal 1 poin h UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dirumuskan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (lihat juga pasal 1 poin 5 UU No.32 Tahun 2004). Dilaksanakannya otonomi daerah sudah merupakan konsekuensi dari pasal 18 UUD 1945. Di dalam pasal 18 UUD 1945 ini antara lain dijelaskan bahwa: Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat autonoom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat autonoom akan diadakan badan Perwakilan Daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dalam UU No.22 Tahun 1999 dijelaskan bahwa otonomi daerah secara utuh ditempatkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Pemberian otonomi kepada
22
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan pada azaz desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Otonomi luas dimaksudkan adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang
tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan
berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
pertanggung-jawaban
sebagai
konsekuensi
pemberian
hak
dan
kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desentralisasi sebagai azaz pemberian otonomi pada dasarnya adalah penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintah (pusat) kepada daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Melalui pelimpahan ini, daerah atau pemerintah tingkat bawah diharapkan dapat mengembangkan dan mencari solusi yang terbaik sesuai dengan masalah yang dihadapinya sehari-hari. Di dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dirumuskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terdapat sejumlah alasan mengapa pemerintah (pusat) perlu melaksanakan desentralisasi kekuasaan kepada pemerintah daerah. Kaho (dalam Yudoyono, 2001) mengemukakan bahwa alasan dilaksanakannya desentralisasi adalah:
23
1) untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang akhirnya akan dapat menimbulkan tirani; 2) penyelenggaraan desentralisasi merupakan tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut-serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hakhak demokrasi; 3) untuk mencapai pemerintahan yang efisien; 4) dari sudut kultural, perhatian dapat difokuskan pada kekhususan suatu daerah, seperti geografi, penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan dan latar belakang sejarahnya; dan 5) dari sudut pembangunan ekonomi, pemerintah daerah akan dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut. Hampir serupa dengan itu dikemukakan oleh Contino (Osborne dan Gaebler, 1999), bahwa keunggulan lembaga yang terdesentralisasi adalah: 1) lembaga tersebut jauh lebih fleksibel daripada yang tersentralisasi dan lembaga yang bersangkutan cepat memberi respon terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah; 2) lembaga terdesentralisasi jauh lebih efektif daripada yang tersentralisasi; 3) lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif daripada yang tersentralisasi; dan 4) lembaga yang terdesentralisasi akan menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen, dan lebih besar produktivitasnya. Desa sebagai pemerintahan terendah dalam pelaksanaan otonomi daerah juga mendapatkan perhatian khusus dalam UU Nomor 22 Tahun 1999. Misalnya dijelaskan bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Sumber pendapatan yang telah dimiliki dan dikelola oleh desa tidak dibenarkan diambil alih oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Dalam tugas pembantuan sebagai salah satu kewenangan desa, disebutkan bahwa pemerintah desa berhak menolak pelaksanaan tugas pembantuan tersebut bila tidak disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia.
Dengan demikian,
24
kelihatan bahwa intervensi dari pemerintah (pusat) atau pemerintah daerah akan lebih berkurang agar desa bisa lebih otonom. Yudoyono (2001) mengemukakan bahwa ketika ditetapkanya kebijakan otonomi daerah secara luas di kabupaten dan kota dalam UU No. 22 Tahun 1999, beberapa daerah malah meragukan kemampuannya untuk melaksanakan otonomi tersebut. Hal ini menurut Yudoyono disebabkan karena tingkat kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan kemampuan keuangan dari pendapatan asli daerah yang dirasa sangat kurang. Dari kedua faktor ini, kualitas sumberdaya manusia merupakan faktor paling dominan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Betapapun bersarnya sumberdaya alam (SDA) dan pendapatan asli daerah (PAD) yang dimiliki, tanpa SDM yang berkualitas akan sulit daerah untuk berkembang dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hal senada dikemukakan oleh Padmowihardjo (1999), bahwa untuk mendukung terselenggaranya otonomi daerah, kunci utamanya adalah mutu SDM yang ada di daerah tersebut, baik SDM masyarakat maupun SDM aparat. Aparat yang kompeten, bersih dan jujur, serta mandiri yang mampu memberikan pelayanan prima (service excellent) diharapkan dapat diwujudkan masyarakat yang mandiri. Dikatakan juga oleh Padmowihardjo bahwa aparat yang mandiri adalah aparat yang tidak selalu menunggu petunjuk dari atas tetapi bersandar pada kemampuannya untuk mengambil keputusan sendiri, penuh inisiatif, kreatif dan memiliki motivasi untuk selalu meningkatkan kualitas kerjanya dalam lingkung kewenangan yang dimilikinya. Selain itu, diperlukan pula kemampuan untuk mengambil keputusan, melihat kesempatan, dan berusaha meraih kesempatan dengan segala kemampuan yang telah dimilikinya dan perlu dimilikinya. Pada bagian lain, Yudoyono (2001) mengemukakan bahwa pemerintah daerah adalah implementator kebijakan publik yang mengemban tugas dan fungsi-fungsi pelayanan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat. Di masa datang, ia juga mengemban
fungsi
managemen
pemerintahan,
sejak
dari
perencanaan,
25
pengorganisasian, pelaksanaan hingga evaluasi. Dengan tugas dan fungsi-fungsi itu, masyarakat bisa berharap semakin luasnya rasa keadilan dan ketentraman, makin tingginya tingkat kemandirian mereka dalam mengembangkan diri dan menyelesaikan berbagai masalah, dan makin membaiknya tingkat kesejahteraan mereka. Harapan masyarakat ini harus dibaca sebagai kewajiban bagi pemerintah daerah untuk memaksimalkan pencapaiannya. Dan hal ini sangat ditentukan pada aparaturnya yang dedikatif, kreatif, inovatif, responsif, dan akuntabel.
Kembali ke Pemerintahan Nagari Kurang lebih 16 tahun diberlakukannya UU No.5 Tahun 1979 dengan ditetapkannya jorong atau kampung menjadi desa sebagai unit pemerintahan terendah di Sumatera Barat dan sejalan dengan momentum reformasi, UU No.5 Tahun 1979 kemudian digantikan oleh UU No.22 Tahun 1999 (perubahannya UU No. 32 Tahun 2004) yang memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada desa. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa dalam UU No.22 Tahun 1999 ini bukan lagi keseragaman sebagaimana terdapat dalam UU No.5 Tahun 1979, tetapi adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat. Dalam pasal 1 point o UU No.22 Tahun 1999 disebutkan bahwa desa atau yang disebut nama lain (cetak miring oleh penulis), selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintah Nasional dan berada di Daerah Kabupaten (lihat juga pasal 1 poin 12 UU No.32 Tahun 2004). Dalam pasal 93 ayat (1) dirumuskan bahwa desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD (lihat juga pasal 200 poin 2, UU No.32 Tahun 2004).
26
Sebagai tindak lanjut dari UU No.22 Tahun 1999 tersebut, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan 3 (tiga) keputusan mengenai desa dan kelurahan sebagai pedoman bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRD dalam penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Ketiga keputusan dimaksud adalah: SK Menteri Dalam Negeri No.63 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Penyesuaian Peristilahan Dalam Penyelengaraan Pemerintahan Desa dan Kelurahan; SK Menteri Dalam Negeri No.64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa; dan SK Menteri Dalam Negeri No.65 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Pembentukan Kelurahan. Dalam SK Menteri No.63 Tahun 1999, Bab III mengenai Penyesuaian Peristilahan, dikemukakan bahwa sebutan untuk desa, Kepala Desa, Badan Perwakilan Desa dan Perangkat Desa dapat disesuaikan dengan kondisi sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat. Perangkat Desa dapat terdiri dari unsur Staf, unsur Pelaksana dan unsur Wilayah yang penyebutannya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat. Penyesuaian peristilahan dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Bupati setelah mendapat pertimbangan Pimpinan DPRD. Di samping aspek legalitas di atas, baik berupa Undang-Undang maupun SK Menteri Dalam Negeri, faktor lain yang mendukung dikembalikan Nagari sebagai unit pemerintahan terendah adalah karena sistem Pemerintahan Desa yang menetapkan jorong atau kampung sebagai unit pemerintahan terendah mengandung banyak kelemahan. Sebagaimana disinyalir oleh Biro Pemerintahan Desa, Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Barat (1999/2000) misalnya, sumber pendapatan asli desa sangat terbatas sehingga masyarakat hanya mengharapkan bantuan dari pemerintah, sulit menggerakkan potensi desa karena sumber daya manusia terbatas, masyarakat yang terdidik kurang berminat menjadi aparatur Pemerintah Desa, kurangnya dukungan perantau, renggangnya ikatan sosial masyarakat sehingga sering terjadi sengketa harta pusaka, dan sistem Pemerintahan Desa yang menetapkan jorong sebagai unit pemerintahan terendah tidak berakar dalam sistem sosial masyarakat.
27
Berdasarkan aspek legalitas dan aspek empirik di atas serta dengan melalui berbagai pertimbangan lainnya, yang didapat melalui seminar, lokakarya, dan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat akhirnya mencanangkan untuk kembali ke nagari (cetak miring oleh penulis), yang ditandai dengan dikeluarkannya Perda No.9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Dalam pasal 1 mengenai Ketentuan Umum dari Perda No.9 Tahun 2000 tersebut, antara lain dirumuskan bahwa nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam daerah Provinsi Sumatera Barat, yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah yang tertentu batas-batasnya, mempunyai harta kekayaan sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya, dan memilih pimpinan pemerintahannya. Kampung atau dengan nama lain yang setingkat dan terdapat dalam nagari adalah bagian dari wilayah nagari. Dalam penjelasan Perda No.9 tersebut, disebutkan bahwa nagari dimaksud adalah suatu kesatuan geneologis dan teritorial yang menjadi dasar terbentuknya berbagai sistem dalam kehidupan bermasyarakat, meliputi sistim pemerintahan, ekonomi, dan sosial budaya. Nagari tidak lagi merupakan unit pemerintahan terendah langsung di bawah Camat. Mengenai kepengurusan Nagari dijelaskan pada pasal 4, 5, dan pasal 6. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di nagari, dibentuk Pemerintah Nagari (PN), Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN), dan Badan Musyawarah Adat dan Syarak Nagari (BMASN). PN adalah satuan Pemerintah Otonom berdasarkan asal usul di nagari dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat yang berada dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Nagari menjalankan fungsi eksekutif nagari. BPAN atau nama lain adalah badan
Legislatif
Nagari.
BMASN
atau
nama
lain
adalah
Lembaga
Permusyawaratan/Permufakatan Adat dan Syarak yang berfungsi memberikan pertimbangan kepada Pemerintahan Nagari supaya
tetap konsisten menjaga dan
memelihara penerapan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah di nagari.
28
Dalam pasal 5 disebutkan Pemerintah Nagari dipimpin oleh Wali Nagari yang dipilih langsung oleh warga masyarakat nagari, termasuk para perantau yang sedang berada di nagari; dibantu oleh Sekretaris Nagari dan Perangkat Nagari lainnya. BPAN terdiri dari anggota-anggota yang dipilih oleh warga masyarakat nagari. Sedangkan BMASN terdiri dari utusan Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai, Bundo Kanduang dan komponen masyarakat lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam nagari. Selain dari ketiga lembaga tersebut (PN, BPAN, dan BMASN) diintrodusir pula sebuah lembaga yang dinamakan Lembaga Adat Nagari (LAN). Dalam pasal 1 tentang Ketentuan Umum disebutkan bahwa LAN atau disebut dengan nama lain adalah lembaga kerapatan dari Ninik Mamak yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat dan berfungsi memelihara kelestarian adat serta menyelesaikan perselisihan Sako dan Pusako dalam nagari. Pada pasal 19 disebutkan bahwa penyelesaian perselisihan ini dalam bentuk Putusan Perdamaian. Bila tidak tercapai Putusan Perdamaian, maka pihak-pihak yang bersangkutan dapat meneruskan perkaranya ke Pengadilan Negeri. Upaya penyelesaian perselisihan atau sengketa dimaksud dalam penjelasan Perda No.9 Tahun 2000 adalah dilaksanakan secara berjenjang naik bertangga turun, yang dimulai dari tingkat kaum, suku, dan terakhir pada tingkat LAN. Sedangkan dalam pasal 6 dirumuskan bahwa susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Nagari, BPAN, dan BMASN diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten. Dalam penjelasan pasal 6 ini, disebutkan bahwa pengaturan tentang susunan organisasi
dan tata kerja Pemerintahan Nagari ditetapkan berdasarkan
Keputusan Menteri Dalam Negeri No.64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa dan sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat, sedangkan BMASN diatur menurut kondisi sosial budaya setempat. Dengan demikian, Perda No.9 Tahun 2000 dan SK Menteri Dalam Negeri No.64 Tahun 1999 selanjutnya menjadi pedoman dan acuan bagi Pemerintah Kabupaten dalam merumuskan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten tentang Pemerintahan Nagari di masing-masing Kabupaten.
29
Sesuai dengan sumber dan acuannya itu, isi rumusan Perda pada setiap Kabupaten tentang Pemerintahan Nagari pada dasarnya adalah relatif sama, kecuali adanya perbedaan istilah atau sebutan untuk badan-badan tertentu. Misalnya, untuk badan legislatif nagari, di Kabupaten Pesisir Selatan dinamakan Dewan Perwakilan Nagari (DPN), di Kabupaten Agam disebut Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN), sedangkan di Kabupaten Pasaman dinamakan Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN). Demikian pula bagian dari wilayah nagari, ada yang menggunakan sebutan jorong dan adapula yang menggunakan dengan sebutan kampung. Sekedar gambaran, berikut ini akan dikutip beberapa konsep tentang nagari dan Pemerintahan Nagari, yang diperoleh dari beberapa Perda Kabupaten: •
Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Kabupaten Pasaman yang terdiri dari himpunan beberapa suku, yang mempunyai wilayah dan batas-batas tertentu, mempunyai harta kekayaan sendiri, serta berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendir (Perda Kabupaten Pasaman No.16 Tahun 2001).
•
Pemerintahan Nagari adalah satuan pemerintah otonom berdasarkan asal usul nagari dalam Kabupaten Pasaman yang berada dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diselenggarakan oleh Pemerintah Nagari bersama dengan BPAN.
•
BMASN adalah Lembaga Permusyawaratan/pemufakatan Adat dan Syarak yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan kepada Pemerintahan Nagari supaya tetap konsisten menjaga dan memelihara penerapan Adat bansandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah. (Perda Kabupaten Pasaman No.16 Tahun 2001).
•
Pemerintah Nagari adalah Wali Nagari dan Perangkat Nagari.
•
Perangkat Nagari terdiri dari; Sekretariat Nagari, dan Kepala/Wali Jorong
•
Sekretariat Nagari terdiri dari: Sekretaris Nagari dan Kepala-Kepala Urusan.
•
Unsur staf
yaitu Sekretariat Nagari yang membawahi minimal 3 urusan dan
maksimal 5 urusan, yaitu; 1) urusan pemerintahan, 2) urusan pembangunan, 3) urusan umum, 4) urusan perekonomian, dan 5) urusan kesejahteraan rakyat.
30
•
Kewenangan Nagari adalah; 1) menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan hak dan asal usul nagari, 2) membuat peraturan nagari, 3) tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah propinsi, dan pemerintah daerah, dan 4) memelihara dan menjaga keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat nagari.
•
Tugas dan kewajiban Wali Nagari adalah; 1) memimpin penyelenggaraan pemerintahan nagari, 2) membina kehidupan masyarakat nagari, 3) membina perekonomian nagari, 4) memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat nagari, 5) mendamaikan perselisihan masyarakat di nagari, 6) mewakili nagarinya di dalam dan di luar pengadilan, dan 7) menumbuh-kembangkan dan melestarikan adat dan syarak yang hidup di nagari. (Perda Kabupaten Pasaman No.16 Tahun 2001 dan Perda Kabupaten Agam No.31 tahun 2001).
•
Di samping itu, Wali Nagari juga mempunyai tugas; 1) melaksanakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Nagari dan Tugas Pembantuan baik dari pemerintah, Pemerintah Provinsi dan atau Pemerintah daerah. (Perda Kabupaten Agam No.31 tahun 2001).
•
Tugas dan wewenang BPAN adalah; 1) menetapkan peraturan nagari bersamasama dengan pemerintah nagari, 2) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, 3) mengawasi pelaksanaan peraturan nagari, pembangunan nagari serta keputusan Wali Nagari, 4) mendukung kelestarian adat istiadat yang tumbuh dan berkembang dalam nagari, 5) menetapkan calon Wali Nagari, 6) menetapkan dan mengusulkan pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian Wali Nagari, dan 7) bersama pemerintah nagari menetapkan Anggaran Pendapatan dan Pengeluaran Nagari (APPN). (Perda Kabupaten Pasaman No.16 Tahun 2001)
•
Susunan Organisasi Pemerintahan Nagari dapat dilihat Gambar 1 dan Gambar 2. (Perda Kabupaten Tanah Datar No. 17 Tahun 2001):
31
Wali Nagari
BPRN
Sekretaris Nagari
Urusan Pemerintahan
Urusan Pembangunan
Urusan Umum
Urusan Perekonomian
Urusan Kesra
Wali Jorong
Keterangan: = Garis koodinasi = Garis komando Gambar 1. Struktur Organisasi Pemerintahan Nagari
Ketua
Wakil Ketua
Sekretariat
32
Mutu Produk Organisasi Sebagai sebuah sistem, organisasi menghasilkan produk. Produk merupakan istilah yang mempunyai pengertian dan cakupan yang amat luas. Juran (1995) misalnya, mengemukakan bahwa produk adalah keluaran dari suatu proses. Produk dalam artian ini dapat berupa; barang, jasa (pelayanan), dan piranti lunak.
Barang adalah benda
fisik seperti pensil dan kertas. Jasa adalah pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain. Sedangkan piranti lunak dapat berupa laporan, program, perintah, dan lain sebagainya. Tjiptono (1997:22) menyebutkan bahwa produk adalah segala sesuatu yang ditawarkan produsen untuk diperhatikan, diminta, dicari, dibeli, disewa, digunakan, atau dikonsumsi pasar sebagai pemenuhan kebutuhan atau keinginan pasar yang bersangkutan. Produk dalam artian ini dapat berupa barang fisik (misalnya televisi), jasa (misalnya sekolah), orang atau pribadi (misalnya artis, penyanyi),
bintang sepak bola dan
tempat (misalnya danau), organisasi (misalnya pramuka), dan ide atau
gagasan (misalnya Keluarga Berencana). Dengan demikian, mutu produk organisasi atau lembaga dapat berupa mutu kerja, mutu pelayanan, mutu informasi, mutu proses, mutu aparat, dan mutu sistem. Ishikawa (1992) mengemukakan bahwa mutu tidak hanya diartikan sebagai mutu
33
produksi, tetapi lebih luas dapat berarti mutu kerja, mutu pelayanan, mutu informasi, mutu proses, mutu orang (misalnya karyawan), mutu sistem dan sebagainya. Jasa berbeda pula dengan barang. Tjiptono (1996) mengemukakan bahwa bila barang merupakan suatu obyek, alat, atau benda, maka jasa hanya dapat dikonsumsi tetapi tidak dapat dimiliki. Meskipun sebagian besar jasa dapat berkaitan dan didukung oleh produk fisik, seperti dalam jasa transportasi misalnya, akan tetapi esensinya apa yang dibeli pelanggan adalah performance yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya. Sukar memang membedakan antara barang dan jasa, karena pembelian barang tertentu misalnya seringkali disertai dengan jasa tertentu pula. Sebaliknya, pembelian suatu jasa seringkali pula diikuti dengan barang-barang yang menyertainya. Namun demikian, Kotler et al. (Tjiptono, 1997:23-24) mendefinisikan bahwa jasa adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya bersifat tidak berwujud fisik (intangible) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Sementara, produksi jasa bisa berhubungan dengan produk fisik maupun tidak. Mutu selalu diharapkan dan didambakan oleh setiap orang. Suatu barang atau jasa dikatakan bermutu apabila sifat-sifat barang atau jasa tersebut dapat menyamai atau melebihi kebutuhan dan/atau harapan pelanggan (Slamet dkk., 1999; Slamet, 2001). Menurut Juran (1995), mutu terdiri dari dua jenis, yaitu; keistimewaan produk dan bebas defisiensi. Semakin baik keistimewaan produk di mata para pelanggan akan semakin baik mutunya, atau semakin sedikit defisiensi semakin baik mutunya. Demikian pula Parasuraman et. al. (Tjiptono, 1996), kualitas jasa menurutnya dipengaruhi oleh expected service dan perceived service. Bila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Sementara, bila jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang amat ideal. Dengan demikian, mutu pada akhirnya ditentukan oeh pelanggan.
34
Martin (1993) mengemukakan bahwa belum ada definisi tentang mutu yang dapat berlaku secara universal, sehingga orang lebih setuju membedakan mutu dari segi dimensinya. Beberapa dimensi mutu atau sifat-sifat pokok mutu jasa yang berlaku umum adalah; reliability, assurance, responsiveness, empathy, dan tangibles (Martin, 1993; Tjiptono, 1996; Slamet, 2000). Hal-hal yang melekat pada setiap sifat pokok mutu ini disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Sifat-Sifat Pokok Mutu Jasa Reliability (Keterpercayaan)
Assurance (Keterjaminan)
Tangibility (Penampilan)
Empathy (Pemerhatian)
Responsiveness (Ketanggapan)
• • • •
• •
• • •
•
•
Jujur Aman Tepat waktu Tersedia
• •
Kompeten Percayaan diri Meyakinkan Obyektif
• • •
Bersih Sehat Perbuatan baik Teratur dan rapi Berpakaian rapi dan harmonis Cantik
• • • •
Penuh perhatian terhadap pelanggan Melayanai dengan ramah dan menarik Memahami keinginan pelanggan Berkomunikasi dengan baik dan benar Bersikap penuh simpati
•
•
Tanggap terhadap kebutuhan pelanggan Cepat memberi respon terhadap permintaan pelanggan Cepat memperhati kan dan mengatasi keluhan pelanggan
Hampir serupa dengan dimensi atau sifat-sifat pokok mutu jasa di atas, Gronroos sebagaimana dikutip Edvardsson (Tjiptono, 1996) mengemukakan bahwa ada tiga kriteria pokok yang dipergunakan pelanggan dalam menilai kualitas jasa, yaitu; outcome-related, process-related, dan image-related criteria. Dari ketiga kriteria ini dibagi lagi menjadi enam unsur, yaitu; a) professionalism and skill yang merupakan
35
outcome-related criteria, di mana pelanggan menyadari bahwa penyedia jasa, karyawan, sistem operasional, dan sumberdaya fisik, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah pelanggan secara profesional; b) attitudes and behavior yang merupakan process-related criteria, di mana pelanggan merasa bahwa penyedia jasa menaruh perhatian terhadap mereka dan berusaha membantu memecahkan masalah secara spontan dan senang hati; c) accessibility and flexibility yang merupakan process-related criteria, di mana pelanggan merasa bahwa penyedia jasa, lokasi, jam kerja, karyawan, dan sistem operasionalnya dirancang dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pelanggan dapat mengakses dengan mudah dan juga fleksibel; d) reliability and trustworthiness yang termasuk process-related criteria, di mana pelanggan yakin bahwa apapun yang terjadi, kesemuanya dapat diserahkan kepada penyedia jasa dan sistemnya, e) recovery yang termasuk dalam process-related criteria, di mana pelanggan yakin bahwa bila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan maka penyedia jasa akan segera mengambil tindakan dan mencari tindakan yang tepat; dan f) reputation and credibility yang termasuk image-related criteria, di mana pelanggan yakin bahwa operasi dari penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan sesuai dengan pengorbanannya. Kotler (Tiptono dan Diana, 1998) menyebutkan bahwa untuk mengukur kepuasan pelanggan dapat dilakukan dengan bermacam-macam metode, yaitu; dengan sistem keluhan dan saran, ghost shopping , lost customer analysis, dan survai kepuasan pelanggan. Dijelaskan, bahwa dengan sistem keluhan dan saran, pihak perusahaan atau lembaga misalnya dapat menyediakan kotak saran atau kartu komentar. Melalui kotak saran ini, pelanggan diberi kesempatan untuk menyampaikan saran dan keluhannya. Ghost shopping merupakan suatu cara untuk melihat tingkat kepuasan pelanggan dengan menggunakan beberapa orang untuk berperan sebagai pembeli dan kemudian melaporkan kelemahan produk perusahaan dan pesaing sesuai dengan pengalaman mereka. Lost customer analysis dimaksudkan untuk memahami
36
mengapa pelanggan berpindah kepada pemasok lain dengan cara menghubungi para pelanggan yang telah berhenti atau berpindah kepada pemasok lain. Dengan alasan bahwa meningkatnya customer loss rate menandakan kegagalan perusahan dan lembaga dalam memuaskan pelanggan.
Sedangkan survai merupakan metode yang
umum digunakan untuk mengetahui kepuasan pelanggan. Data yang diperoleh dari survai dapat melaui kuesioner, telepon, pos, dan menggunakan pedoman wawancara. Pengukuran mutu atau kualitas suatu jasa atau produk sebuah lembaga pada hakekatnya hampir sama dengan pengukuran kepuasan pelanggan, yaitu ditentukan oleh variabel harapan dan kinerja yang dirasakan (perceived performance) (Tjiptono dan Diana, 1998). Namun penilaian kualitas jasa jauh lebih kompleks dan sulit daripada penilaian barang. Ketika membeli barang, pelanggan/konsumen dapat menggunakan banyak tangible cues untuk menilai kualitas seperti, warna, model, label, kemasan dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam pembelian jasa, tangible cues relatif terbatas,
bahkan sering hanya berupa fasilitas fisik, peralatan, dan personil penyedia jasa. Namun demikian, mengukur mutu atau kualitas jasa antara lain dapat dilakukan dengan model pengukuran yang pernah dikembangkan oleh Parasuraman dkk. Alat yang dikembangkannya dimaksudkan untuk mengukur harapan dan persepsi pelanggan dan kesenjangan yang ada di model kualitas jasa.
Sementara pengukuran dapat
dilakukan dengan skala Likert maupun Semantik differensial, di mana responden tinggal memilih derajat kesetujuan/ketidak-setujuannya atas pernyataan mengenai kualitas jasa (Tjiptono, 1996). Mengukur kepuasan publik atau pelanggan merupakan salah satu pendekatan dalam menilai kinerja lembaga pemerintahan. Yudoyono (2001) misalnya, mengemukakan bahwa beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk menilai kinerja pemerintahan adalah; 1) pendekatan berdasarkan visi, misi, dan tujugan organisasi, 2) pendekatan public management and policy, 3) pendekatan moral/etika, 4) pendekatan community economic development (CED), 5) pendekatan kepuasan masyarakat, dan 6) pendekatan kemampuan organisasi.
37
Sesuai dengan fokus penelitian ini, pendekatan yang digunakan dalam mengukur mutu pelayanan pemerintahan adalah pendekatan kepuasan masyarakat. Yudoyono (2001) mengemukakan bahwa pendekatan kepuasan adalah wujud dari kepuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan. Kualitas pelayanan ini dapat dilihat dari; kecepatan, ketepatan, kemudahan atau keterjangkauan, kemurahan, keadilan, dan transparansi.
Unsur-Unsur yang Berpengaruh Terhadap Produk Organisasi Sebagai sebuah sistem, organisasi terdiri dari beberapa unsur atau komponen. Komponen-komponen ini akan menentukan kualitas atau mutu produk organisasi yang bersangkutan, baik berupa barang maupun jasa. Makin baik komponen-komponen oraganiasi akan makin baik pula produk yang akan dihasilkannya. Gilley and Eggland (1989) mengemukakan bahwa dalam sebuah organisasi terdapat 3 (tiga) sumber atau komponen, yaitu; 1) fisik, 2) finansial, dan 3) manusia. Sumber fisik dapat berupa; mesin, material, fasilitas, dan perlengkapan lainnya. Sumber finansial menunjuk pada harta yang mudah diuangkan (liquid assets) dari sebuah organisasi, yang dapat berupa; uang, surat-surat berharga, saham, investasi, dan modal operasi lainnya. Sedangkan sumberdaya manusia (human resources) menunjuk pada orang-orang yang dipekerjakan oleh organisasi. Hicks (Sutarto, 1998) berpendapat bahwa unsur (element) organisasi dibedakan atas unsur inti (core element) dan unsur kerja (working element). Yang termasuk unsur inti adalah orang-orang yang membentuk organisasi, sedang yang termasuk unsur kerja adalah yang menentukan berjalannya organisasi itu. Unsur kerja meliputi; a) daya manusia, yang terdiri kemampuan untuk bekerja, kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, dan kemampuan melaksanakan azaz-azaz organisasi; dan b) daya bukan manusia, yang meliputi alam, iklim, udara, cuaca, air, dan lain-lain. Berbeda dengan Gilley dan Eggland serta Hicks di atas, Indik (dalam Soedijanto, 1980) mengemukakan bahwa organisasi terdiri dari empat komponen,
38
yaitu; 1) sistem organisasi, 2) struktur organisasi; 3) proses organisasi, dan 4) individu dalam organisasi. Masing-masing komponen ini dirinci lagi menjadi beberapa subkomponen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat uraian berikut : 1. Sistem atau anatomi organisasi, yang terdiri dari; a. Tujuan organisasi Mengacu kepada pendapat Slamet (1978), Scott (1981), dan Steers (1980), dapat dikatakan bahwa tujuan organisasi adalah keadaan atau segala sesuatu yang ingin dicapai oleh organisasi. Sells (Padmowihardjo, 1980) mengemukakan bahwa beberapa sifat yang perlu diperhatikan dalam menganalisis tujuan organisasi adalah; 1) konsistensi tujuan organisasi dengan tujuan para anggota, 2) formalitas tujuan, 3) sifat mandatary dan voluntarily, 4) remoteness (mudah-tidaknya tujuan organisasi dibayangkan anggota), 5) polarisasi tujuan, 6) jumlah tujuan, dan 7) kaitan tujuan organisasi dengan organisasi lainnya (sistemic linkage). b. Filosofi dan tata nilai Filosofi dan tata nilai suatu organisasi berarti dasar atau pedoman yang dianut oleh organisasi yang bersangkutan, yang dapat menjadi sumber dari peraturan dan norma-norma dan sekaligus berfungsi mengontrol dan mengarahkan perilaku orangorang yang ada dalam organisasi itu. Dengan demikian, para anggota organisasi harus menghayati filosofi dan tata nilai yang dianut oleh organisasinya serta bertindak sesuai dengan filosofi dan tata nilai itu. c. Komposisi anggota Komposisi anggota adalah keragaman perilaku yang ditunjukkan oleh orangorang yang ada dalam sebuah organisasi. Komposisi anggota ini dapat berupa; 1) pendidikan, 2) kemampuan intelektual, 3) ciri-ciri pribadi (keuletan, kerajinan, kelincahan, semangat, kejujuran), 4) pola hubungan anggota (kerjasama, persaingan, konflik), 5) motivasi anggota, dan 6) jenjang atau status. d. Struktur organisasi
39
Struktur organisasi adalah cara bagaimana organisasi mengatur dirinya dalam usaha mencapai tujuan organisasi (Slamet, 1978; Gibson at.al, 1984). Untuk keperluan analisis, struktur ini dapat dilihat dari; 1) size (jumlah anggota organisasi dan fasilitas yang dimiliki), 2) differensiasi tingkatan, 3) span of control, 4) ketatnya pengendalian, dan 5) struktur peranan (apakah peranan atau pembagian tugas telah terbagi habis dan berfungsi sesuai dengan semestinya). e. Teknologi Teknologi adalah segala cara atau alat yang digunakan, baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak yang diarahkan kepada pencapaian tujuan (Korman, 1978; Steers, 1980). Faktor yang perlu dianalisis adalah: 1) kemampuan memiliki teknologi dan keadaannya, 2) kemampuan menggunakan, 3) kekomplekannya (keanekaragamannya), dan 4) kelengkapannya. f. Lingkungan fisik organisasi Lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang terdapat di lingkungan organisasi yang bersifat fisik. Lingkungan ini dapat dilihat dari; 1) lokasi (terisolir-tidaknya organisasi), 2) komunikasi (lancar-tidaknya kontak sosial), dan 3) mobilitas anggota (kemudahan mengunjungi organisasi). g. Lingkungan sosial budaya Lingkungan sosial budaya suatu organisasi adalah segala sesuatu yang terdapat di luar organisasi itu yang bersifat sosial budaya, seprti; adat-istiadat, agama, kebiasaankebiasaan dan sebagainya yang dapat berpengaruh pada organisasi dalam mencapai tujuannya (Siagian, 1983; Koontz, 1986; Scott, 1981). Faktor yang perlu diperhatikan dari lingkungan sosial budaya ini meliputi; 1) apakah lingkungan sosial vakum atau tidak, 2) apakah terdapat pertentangan antara nilai-nilai yang dianut oleh organisasi dengan nilai-nilai dipunyai oleh masyarakat lingkungan, dan 3) apakah terdapat pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai organisasi dengan tujuan masyarakat lingkungannya. h. Ciri-ciri waktu (sifat-sifat temporal)
40
Sifat-sifat temporal adalah jumlah waktu yang diperlukan oleh para anggota organisasi untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam usaha pencapaian tujuan (Padmowihardjo, 1980; Jaques, 1984). Analisis dapat berupa; 1) lamanya anggota berpartisipasi dalam organisasi, dan 2) jangka waktu yang diperlukan bagi pencapaian tujuan. 2. Struktur organisasi, yang terdiri dari; a. Size (ukuran) organisasi Ukuran organisasi menunjuk pada jumlah anggota, kegiatan dan tugas, serta tingkat pertumbuhan dari suatu organisasi (Scott, 1981; Steers, 1980). Faktor yang perlu dianalisis adalah; 1) jumlah anggota organisasi, 2) jumlah fasilitas yang dimiliki, dan 3) luas cakupan tugas. b. Rentang kendali Rentang kendali adalah jumlah orang (bawahan) yang dapat diawasi oleh seorang pimpinan dalam organisasi. Dengan kata lain, berapa banyak jumlah bawahan yang dapat diawasi oleh pemimpin secara efektif (Ibrahim, 1983; Gibson, 1984; Terry, 1960). Faktor yang perlu dianalisis adalah; 1) fungsi yang diawasi, 2) lokasi kegiatan yang diawasi, 3) tingkat kekomplekan fungsi yang diawasi, dan 4) kualitas pengawasan. c. Tingkat hirarki Tingkatan hirarki adalah tingkatan dalam suatu organisasi yang menunjukkan adanya perbedaan status, kekuasaan dan kewenangan dari setiap tingkatan itu. Makin banyak jenjang akan semakin komplek organisasi dan akan semakin banyak pula masalah yang mungkin akan timbul (Padmowihardjo, 1980). d. Struktur kewenangan Struktur kewenangan adalah pola pengaturan wewenang di dalam suatu organisasi sesuai dengan status dan kedudukan seseorang dalam organisasi itu. Faktor yang perlu diperhatikan adalah; 1) apakah pembagian kewenangan didasarkan atas kemampuan atau tidak?, 2) apakah kewenangan yang telah diberikan dapat dilaksanakan atau tidak?
41
e. Struktur komunikasi Struktur komunikasi adalah jaringan atau bentuk penyebaran informasi antar individu dalam suatu organisasi (Padmowihardjo, 1980; Steers, 1980). Untuk keperluan analisis dapat diperhatikan; sarana atau fasilitas yang tersedia untuk berkomunikasi, seperti; papan pengumuman, majalah, rapat dan pertemuan-pertemuan dan sebagainya. f. Struktur tugas Struktur tugas adalah pengaturan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepada individu-individu dalam organisasi yang diarahkan untuk pencapaian tujuan organisasi (Steers, 1980; Indrawijaya, 1983). Faktor yang perlu diperhatikan adalah; apakah dalam organisasi terdapat struktur tugas yang jelas atau bagian-bagian yang dikerjakan jelas, apakah tahapan-tahapan yang hendak dikerjakan jelas, dan apakah tujuan pekerjaan jelas. g. Struktur status dan prestise Struktur status dan prestise mengacu pada bagaimana organisasi mengatur kedua jenjang (status dan prestise) dalam organisasi (Toha, 1983). Pengaturan kedua jenjang ini dalam organisasi hendaklah seimbang dan memungkinkan bagi setiap individu untuk mencapainya. h. Jarak psikologis Jarak psikologis adalah bagaimana kondisi hubungan psikologis antara pimpinan dengan bawahan (Padmowihardjo, 1980; Steers, 1980). Apakah jarak tersebut dekat atau jauh? 3. Proses organisasi Proses dalam organisasi diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup organisasi. Dengan kata lain, sehat-tidaknya suatu organisasi ditentukan oleh prosesproses yang berfungsi dalam organisasi itu. Proses organisasi ini terdiri dari: a. Hubungan antar peranan Hubungan antar peranan adalah hubungan antar individu dalam organisasi dengan peranannya yang berbeda-beda dan didasari oleh pengetahuan/pemahaman
42
peranan diri sendiri serta peranan orang lain yang saling berhubungan sehingga terjadi tata hubungan yang serasi, sinkron dan efektif dalam pencapaian tujuan organisasi (Slamet, 1978; Ibrahim, 1983). Faktor yang perlu dianalisis adalah; 1) pemahaman peranan diri sendiri, 2) pemahaman peranan orang lain, dan 3) pemahaman hubungan timbal-balik antar peranannya sendiri dengan peranan orang lain. b. Komunikasi Komunikasi adalah penyampaian pesan-pesan, gagasan, harapan dan perasaan dari seseorang kepada orang lain yang berkepentingan dalam organisasi (Slamet, 1978). Yang perlu dipertimbangkan dalam proses komunikasi adalah; 1) seberapa jauh komunikasi itu berjalan secara akurat, 2) apakah isi pesan komunikasi tepat atau tidak, 3) apakah tersedia sarana komunikasi atau tidak, dan 4) apakah sarana komunikasi telah dimanfaatkan dengan baik atau belum. c. Pengendalian/pengawasan Pengendalian /pengawasan berkaitan dengan bagaimana perilaku orang-orang dalam organisasi dapat dikendalikan dan seberapa jauh dapat dikendalikan. Faktor yang perlu dilihat dalam pengendalian ini adalah; 1) apakah ada kegiatan pengendalian dalam organisasi itu, 2) siapa yang melakukan pengendalian itu dan seberapa jauh dapat dikendalikan, dan 3) bagaimana kegiatan atau perilaku itu dikendalikan dan bagaimana bentuk sanksi yang diberikan. d. Koordinasi Koordinasi dimaksudkan agar segala kegiatan bermuara kepada tujuan organisasi. Tujuan dari koordinasi adalah untuk mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dalam mencapai tujuan. Hal yang perlu diperhatikan dalam koordinasi adalah; 1) apakah ada pedoman yang jelas dalam rangka pencapaian tujuan yang sama, dan 2) apakah ada konflik atau kesalahan pemahaman dalam pelaksanaan koordinasi itu. e. Sosialisasi Sosialisasi dapat diartikan sebagai proses belajar, di mana seseorang anggota baru diperkenalkan segala sesuatu yang terdapat di lingkungannya yang baru (seperti
43
peraturan-peraturan, norma-norma, dan sebagainya) agar ia dapat menyesuaikan diri dengan sebaik-baiknya dengan lingkungannya yang baru tersebut. Dalam proses sosialisasi ini, yang perlu diperhatikan adalah; 1) bagaimana bentuk proses sosialisasi yang dilakukan (formal atau non formal), dan 2) bagaimana realisasi atau pelaksanaan proses sosialisasi tersebut. f. Supervisi Supervisi adalah usaha pimpinan dalam membina anggota guna meningkatkan kemampuan para anggota itu dalam melaksanakan tugas dan perannya dalam organisasi (Slamet, 1978; Stoner, 1980). Yang perlu diperhatikan adalah apakah organisasi memiliki sistem pembinaan anggota atau tidak. 4. Individu dalam organisasi, meliputi; a. Motivasi Motivasi adalah proses pembentukan motif atau dorongan untuk mencapai tujuan. Timbulnya motivasi dapat bersumber dari dalam diri (intrinsik) atau dari luar diri (ekstrinsik) individu yang bersangkutan (Padmowihardjo, 1980). Motivasi seseorang memasuki suatu organisasi tidaklah selalu sejalan dengan tujuan organisasi tersebut. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan adalah; 1) apakah motivasi individu dalam organisasi relevan dengan tujuan organisasi, dan 2) usaha apakah yang dilakukan pemimpin untuk menyelaraskan motivasi individu anggota dengan tujuan organisasi. b. Sikap mental (attitude) Sikap mental individu dalam organisasi adalah kecenderungan para anggota organisasi terhadap tugas dan peranan yang diberikan serta terhadap organisasi secara keseluruhan yang dinyatakan oleh para anggota itu dalam bentuk penerimaan (senang) atau penolakan (tidak senang) (Ibrahim, 1983; Padmowihardjo, 1980). Yang perlu diperhatikan adalah: Apakah individu merasa bangga atau tidak dengan pekerjaannya. Apakah ia merasakan bahwa pekerjaannya itu penting atau tidak dalam keseluruhan kegiatan organisasi.
44
c. Kapasitas kerja (aptitude) Kapasitas kerja adalah kemampuan potensial (bersifat bawaan) dari anggotaanggota dalam suatu organisasi untuk bekerja, berbuat dan bertindak (Padmowihardjo, 1980; Chaplin, 1979). Suatu organisasi dapat dikatakan baik bila individu-individu yang ada dalam organisasi memiliki kapasitas kerja yang tinggi. d. Tempramen Tempramen adalah kondisi psikis seseorang yang erat kaitannya dengan emosional bila ia berhadapan dengan sesuatu, misalnya; mudah marah, selalu bergairah, murung dan sebagainya (Padmowihardjo, 1980). Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah kesesuaian tempramen masing-masing anggota dengan pekerjaan atau peranannya. e. Persepsi terhadap tugas Persepsi terhadap tugas adalah bagaimana pengertian individu-individu dalam organisasi terhadap tugas dan pernan yang diberikan kepadanya. Apakah ia memandang pekerjaannya sebagai suatu yang penting atau tidak. Individu dalam organisasi diharapkan mengerti akan tugas dan peranan yang diembannya. Moenir (1995) dalam tulisannya mengemukakan bahwa pelayanan (public service) akan dapat terlaksana dengan baik dan memuaskan pelanggan apabila didukung oleh sejumlah faktor. Faktor-faktor dimaksud adalah: 1) Kesadaran para pejabat atau petugas yang melaksanakan pelayanan. Kesadaran petugas ini sangat penting artinya. Dengan adanya kesadaran ini, diharapkan mereka dapat melaksanakan tugas pelayanan dengan penuh keikhlasan, kesungguhan, dan berdisiplin. 2) Aturan-aturan yang yang menjadi landasan kerja pelayanan. Aturan merupakan perangkat penting pula dalam segala tindakan dan perbuatan orang. Aturan ini mutlak keberadaannya agar organisasi dan pekerjaan dapat berjalan dengan teratur dan terarah.
Oleh karena itu, aturan-aturan yang ada dalam organisasi perlu
45
dipahami oleh orang-orang yang bertugas memberikan layanan dan disertai dengan disiplin yang tinggi. 3) Faktor organisasi. Organisasi merupakan sebuah sistem sebagai alat yang efektif dalam usaha mencapai tujuan. Agar organisasi dapat berfungsi dengan baik maka perlu adanya pembagian, baik dalam organnya, tugas pekerjaannya, hingga jenis ogran/pekerjaan yang paling kecil. Tugas atau pekerjaan-pekerjaan yang ada dalam organisasi diuraikan secara lengkap agar setiap orang yang diserahi tugas itu dapat memahami dan melakukannya dengan penuh tanggung jawab. 4) Faktor pendapatan pelayan. Faktor pendapatan ini merupakan faktor pendukung lain dalam pemberian layanan kepada pelanggan. Bila pendapatan yang diterima oleh pemberi jasa jauh dari mencukupi kebutuhan minimum misalnya, maka ia tidak akan sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya, yang pada akhirnya mutu jasa yang dihasilkan rendah. 5) Kemampuan dan keterampilan pelayan. Rendahnya mutu jasa yang dihasilkan dapat pula disebabkan oleh faktor kemampuan atau keterampilan pemberi jasa. Keterampilan yang rendah akan menghasilkan mutu jasa yang rendah pula. 6) Faktor sarana. Sarana ini dapat dibedakan atas dua macam, yaitu; a) sarana kerja, yang meliputi peralatan, perlengkapan, dan alat bantu; dan b) fasilitas, yang meliputi seperti gedung dengan segala kelengkapannya, fasilitas komunikasi dan kemudahankemudahan lainnya. Hampir senada dengan apa yang dikatakan Moenir di atas, Tjiptono (1996) melihat bahwa beberapa faktor penyebab kualitas suatu jasa menjadi buruk disebabkan karena; a) jasa diproduksi dan dikonsumsi secara simultan (pada saat yang bersamaan) sehingga kekurangan yang mungkin ada pada pemberi jasa berpengaruh terhadap persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa, seperti tidak terampil dalam melayani pelanggan, tampak kurang rapi, kurang ramah dan sebagainya; b) upah rendah dan pelatihan yang kurang memadai; c) kurangnya dukungan terhadap pemberi jasa yang dapat berupa peralatan (perkakas, material, pakaian seragam), pelatihan keterampilan,
46
maupun informasi (misalnya prosedur operasi); d) kesenjangan komunikasi dengan pelanggan; e) memperlakukan semua pelanggan dengan cara yang sama; f) perluasan atau pengembangan jasa secara berlebihan atau terlalu banyak menawarkan jasa baru, sementara tambahan terhadap jasa yang sudah ada; dan g) visi jangka pendek (seperti orientasi pada pencapaian target penjualan dan laba tahunan, penghematan biaya, peningkatan produktivitas tahunan dan lain-lain) bisa merusak kualitas jasa yang sedang dibentuk untuk jangka panjang. Selain itu, Snell dan Wexley (dalam Timpe, 1992) mengemukakan bahwa kinerja (performance) seseorang ditentukan oleh 3 (tiga) faktor. Ketiga faktor itu adalah; keterampilan, upaya, dan kondisi eksternal. Keterampilan merupakan "bahan mentah" yang dibawa seseorang ke tempat kerja, seperti; pengetahuan, kemampuan, kecakapan-kecakapan interpersonal dan kecakapan-kecakapan teknis. Upaya dalam faktor ini digambarkan sebagai motivasi yang ditunjukkan oleh seorang karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan. Sedangkan kondisi eksternal adalah keadaan lingkungan, yang dapat berupa; keadaan ekonomi, mesin, sarana dan prasarana lainnya. Bila salah satu di antara ketiga faktor ini tidak cukup atau tidak mendukung maka kinerja akan menjadi terganggu. . Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur atau peubah-peubah dalam organisasi yang dapat mempengaruhi mutu produk organisasi yang bersangkutan dapat berupa; faktor individu dalam organisasi, tujuan, visi atau orientasi organisasi, struktur, proses-proses yang terjadi dalam organisasi, serta teknologi atau sarana yang terdapat dalam organisasi itu.
Manajemen Mutu Terpadu (MMT) Mengacu pada Mossard (Martin, 1993), Feigenbaum (Ishikawa, 1992), dan Sallis (1993), secara sederhana dapat dikatakan bahwa Manajemen Mutu Terpadu (MMT) atau Total Quality Management (TQM) adalah suatu pendekatan yang sistematis dalam menyelenggarakan organisasi dengan melibatkan seluruh anggota dan
47
komponen yang terkait dengan organisasi itu serta mengutamakan kebutuhan atau kepentingan pelanggan. Pelanggan dalam menjalankan sebuah organisasi dengan pendekatan MMT memang mendapatkan perhatian yang lebih besar. Tjiptono dan Diana (1995) mengemukakan bahwa dalam pendekatan MMT kualitas ditentukan oleh pelanggan. Hanya dengan memahami proses dan pelanggan maka organisasi dapat menyadari dan menghargai makna kualitas. Semua usaha manajemen dalam MMT diarahkan pada satu tujuan utama, yaitu terciptanya kepuasan pelanggan. Sementara Couper (dalam Osborne dan Gaebler, 1999) dalam tulisannya menyebutkan bahwa sistem yang berorientasi pada pelanggan akan dapat; 1) memaksa pemberi jasa untuk bertanggung jawab kepada pelanggannya, 2) mengurangi keputusan terhadap pilihan pemberi jasa, 3) dapat merangsang lebih banyak inovasi, 4) memberi kesempatan kepada orang untuk memilih di antara berbagai macam pelayanan, 5) mengurangi pemborosan karena pasokan disesuaikan dengan permintaan, 6) dapat mendorong pelanggan untuk membuat pilihan serta mendorong untuk menjadi pelanggan yang berkomitmen, dan 7) dapat menciptakan peluang lebih besar bagi keadilan. Goetsch dan Davis ( Tjiptono dan Diana, 1995) mengemukakan bahwa terdapat 10 komponen utama yang merupakan karakteristik atau ciri dari MMT. Kesepuluh komponen tersebut adalah: 1) Fokus pada pelanggan; 2) Obsesi terhadap kualitas; 3) Pendekatan ilmiah; 4) Komitmen jangka panjang; 5) Kerjasama tim (teamwork); 6) Perbaikan sistem secara berkesinambungan; 7) Pendidikan dan pelatihan; 8) Kebebasan yang terkendali; 9) Kesatuan tujuan; dan
48
10) Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan. Dijelaskan lebih lanjut oleh Goetsch dan Davis (dalam Tjiptono dan Diana, 1995) bahwa pelanggan eksternal menentukan kualitas produk atau jasa, sedang pelanggan internal berperan dalam menentukan kualitas manusia, proses, dan lingkungan yang berhubungan dengan produk dan jasa. Organisasi harus terobsesi untuk memenuhi atau melebihi kualitas yang telah ditetapkan. Pendekatan ilmiah diperlukan dalam mendesain pekerjaan dan dalam proses pengambilan keputusan serta pemecahan masalah-masalah yang dihadapi. Komitmen jangka panjang sangat diperlukan terutama untuk mengadakan perubahan budaya organisasi sehingga penerapan MMT dapat berjalan dengan baik. Kerjasama tim dan kemitraan perlu dijalin dan dibina, baik antar pelanggan internal maupun dengan pelanggan eksternal. Sistem yang dianut oleh organisasi perlu diperbaiki secara berkesinambungan agar kualitas yang dihasilkan terus meningkat. Pendidikan dan pelatihan karyawan sebagai pelanggan internal perlu terus dilakukan dan didorong untuk meningkatkan keterampilan dan profesionalnya. Keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah merupakan unsur penting dalam MMT, namun kebebasan yang timbul karena keterlibatan dan pemberdayaan ini haruslah merupakah hasil dari pengendalian yang terencana dengan baik. Kesatuan tujuan dalam MMT dimaksudkan agar segala usaha yang dilakukan organisasi mengarah kepada tujuan yang sama. Sementara keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dimaksudkan agar dapat dihasilkan keputusan yang baik serta meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab atas keputusan yang telah diambil. Dalam penerapan MMT, Tenner dan DeToro (1992) dalam tulisannya mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) prinsip yang perlu dianut oleh organisasi. Ketiga prinsip dimaksud adalah; a) berfokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal, b) perbaikan yang berkesinambungan, dan c) keterlibatan yang menyeluruh. Fokus pada pelanggan mengandung arti bahwa kebutuhan dan harapan pelanggan harus dipenuhi. Perbaikan yang berkesinambungan atau terus menerus dibangun atas
49
anggapan bahwa kerja merupakan hasil dari suatu rangkaian langkah dan kegiatan yang saling berkaitan yang akan menghasilkan suatu keluaran (output).
Sedangkan
keterlibatan yang menyeluruh mengandung arti bahwa pekerja pada semua tingkatan atau semua lini diberdayakan untuk memperbaiki kinerja, yang hasilnya akan memuaskan pelanggan. Hal senada dikemukakan oleh Hensler dan Brunell sebagaimana dikutip oleh Scheuing dan Christopher (dalam Tjiptono dan Diana, 1995), bahwa ada 4 (empat) prinsip utama dalam penerapan MMT. Keempat prinsip dimaksud adalah; a) kepuasan pelanggan, b) respek terhadap setiap orang, c) manajemen berdasarkan fakta, dan d) perbaikan berkesinambungan.
Kualitas tidak hanya berupa kesesuaian dengan
spesifikasi-spesifikasi tertentu, tatapi kualitas ditentukan oleh pelanggan. Kebutuhan pelanggan diupayakan untuk dipuaskan dalam semua aspek, baik dalam harga, keamanan, maupun dalam ketepatan waktu. Respek terhadap setiap orang berarti bahwa setiap orang dalam organisasi memiliki bakat dan kereativitas yang unik. Oleh karena itu, mereka harus diperlakukan dan diberi kesempatan untuk terlibat dan berpartisipasi sesuai dengan keunikannya itu. Berdasarkan fakta berarti bahwa setiap keputusan yang diambil dalam organisasi harus selalu didasarkan pada data, bukan sekedar pada perasaan (feeling).
Sedangkan perbaikan yang berkesinambungan
dimaksudkan bahwa agar suksesnya sebuah organisasi perlu melakukan proses secara sistematis dalam melaksanakan perbaikan yang berkesinambungan. Dalam kegiatan ini dapat digunakan konsep yang dikenal dengan siklus PDCA (Plan-Do-Check-Act). Agar prinsip-prinsip yang dianut oleh organisasi dapat diterapkan dengan baik dan berhasil perlu pula didukung oleh unsur-unsur lainnya. Menurut Tenner dan DeToro (1992), unsur-unsur pendukung itu adalah; a) kepemimpinan yang dapat mengarahkan untuk mencapai peningkatan mutu, b) pendidikan dan latihan bagi semua pekerja untuk peningkatan keahlian, c) dukungan terhadap manajer senior, baik dari konsultan maupun dari
staf
dalam
melakukan
perubahan-perubahan
yang
berarti
untuk
mengimplementasikan suatu strategi mutu, d) komunikasi yang terbuka kepada semua
50
pekerja dalam rangka komitmen perubahan, dan e) adanya pengakuan dan ganjaran bagi individu maupun kelompok yang berhasil melakukan proses mutu serta pengukuran terhadap kepuasan pelanggan. Selain dari pelanggan dan unsur-unsur pendukung lainnya itu, untuk mencapai hasil yang maksimal dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, budaya kerja yang mantap harus terbina dan berkembang pula dengan baik dalam setiap diri individu karyawan yang terlibat dalam sebuah lembaga pemberi jasa. Motivasi, sikap, kemauan dan dedikasi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan merupakan bagian terpenting dari budaya kerja itu.
Sementara, upaya untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan tidak mungkin terlaksana dalam waktu singkat, tetapi dapat dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan (Hanafiah dkk., 1994).
Kebutuhan Berdasarkan tulisan Chaplin (1975), Tosi and Stephen (1976), dan Monette (dalam Boyle, 1981), istilah kebutuhan (needs) menunjuk adanya suatu kekurangan pada diri seseorang, yang menggerakkan atau memotivasi orang tersebut untuk berusaha mencapai kekurangan itu. Juran (1995) mengemukakan bahwa kebutuhan pelanggan adalah segala sesuatu yang diinginkan oleh pelanggan yang dapat dipenuhi oleh keistimewaan produk suatu barang atau jasa. Kebutuhan dan motivasi merupakan dua hal yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Menurut Timpe (1992), teori-teori motivasi pada umumnya dapat digolongkan menjadi salah satu dari kategori; 1) teori kebutuhan, 2) teori dorongan, dan 3) teori harapan. Dijelaskan Timpe bahwa teori kebutuhan menunjukkan bahwa para individu mempunyai kebutuhan fisik dan psikologis tertentu yang diupayakan untuk dipenuhi. Motivasi seseorang muncul melalui keinginan individu untuk memenuhi kebutuhan. Teori dorongan menunjukkan bahwa perilaku dipengaruhi oleh insentif perilaku. Bila manajemen menghargai perilaku-perilaku tertentu maka perilaku itu mungkin akan meningkat. Teori dorongan ini hampir serupa dengan teori harapan. Bila
51
teori dorongan tertuju kepada hubungan objektif antara kinerja dan penghargaan, maka teori harapan menekankan hubungan yang dipandang: Apa yang diharapkan orang? Teori harapan ini melihat pengambilan keputusan individu dari tiga konsep umum, yaitu; valensi (nilai penghargaan), instrumentalitas (kepercayaan bahwa kinerja akan dihargai, dan harapan (hubungan yang dipandang antara upaya dan kemampuan untuk bekerja dengan baik). Teori kebutuhan yang paling populer adalah teori hirarki kebutuhan Maslow. Maslow (Iman, 1984; Timpe, 1992; Boyle, 1981) membagi kebutuhan atas tingkatantingkatan (hirarki), di mana kebutuhan yang lebih rendah tingkatannya harus terlebih dahulu dipuaskan sebelum orang merasa timbulnya kebutuhan yang lebih tinggi dan mendorongnya untuk berusaha ke arah yang lain.
Kebutuhan dimaksud menurut
hirarkinya adalah: a) Kebutuhan fisik (seperti lapar, haus, dan istirahat); b) Kebutuhan akan rasa aman (seperti adanya pekerjaan tetap, asuransi, rumah, pensiun, tabungan); c) Kebutuhan sosial (persahabatan dan kekerabatan); d) Kebutuhan akan penghargaan (baik dari diri sendiri, maupun dari orang lain); dan e) Kebutuhan untuk mewujudkan diri (mengembangkan dan mengungkapkan potensi misalnya keinginan menjadi guru yang baik, menjadi orang tua yang baik, dan menjadi seorang atletik yang berhasil). Monette (Boyle, 1981) mengelompokkan kebutuhan kedalam 4 (empat) kategori, yaitu; a) kebutuhan dasar manusia yang menggerakkan motif, b) kebutuhan yang dirasakan atau yang diekspresikan, c) kebutuhan normatif, yang tidak sesuai dengan standar tertentu, dan d) kebutuhan komparatif, yaitu dengan membandingkan kebutuhan seseorang dengan kebutuhan orang lain. Di sisi lain, Radwan dan Alfthan (Pitomo, 1982) menyebutkan bahwa keperluan atau kebutuhan minimum dari seorang individu atau rumah tangga meliputi; 1) makan, 2) pakaian, 3) perumahan, 4) kesehatan, 5) pendidikan, 6) air dan sanitasi, 7) transportasi, dan 8) partisipasi. Berbeda dengan Maslow, Monette maupun Radwan dan Alfthan di atas, Juran (1995) mengklasifikasikan kebutuhan pelanggan atas; a) kebutuhan yang dinyatakan, b)
52
kebutuhan yang sesungguhnya, c) kebutuhan yang dirasakan, d) kebutuhan cultural, dan e) kebutuhan yang dapat dilacak ke pengguna yang tidak direncanakan. Dijelaskan oleh Juran, bahwa kebutuhan yang dinyatakan adalah kebutuhan seseorang dalam bentuk barang. Kebutuhan yang sesungguhnya adalah kebutuhan dalam bentuk jasa yang dapat diperoleh dari barang tersebut. Kebutuhan yang dirasakan adalah kebutuhan pelanggan yang didasarkan atas persepsinya. Persepsi pelanggan dimungkinkan berbeda dengan persepsi pemasok terhadap suatu produk. Kebutuhan kultural adalah kebutuhan pelanggan yang didasarkan atas pola kulturalnya. Sedang kebutuhan yang dapat dilacak ke pengguna yang tidak direncanakan adalah kebutuhan pelanggan yang tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh pemasok. Pada bagian lain, Juran (1995) mengemukakan bahwa mengetahui dan menentukan kebutuhan pelanggan merupakan salah satu dalam perencanaan kualitas pengembangan produk dan proses. Adapun prosedur yang ditempuh dalam menentukan kebutuhan pelanggan adalah; 1) masukan yang berupa daftar pelanggan, 2) proses, yaitu menentukan kebutuhan pelanggan, dan 3) keluaran yang berupa daftar kebutuhan pelanggan. Kebutuhan orang akan terus berkembang mengikuti pertumbuhan dan perkembangan masyarakat (Juran, 1995). Masyarakat yang berlainan akan memiliki kebutuhan yang berlainan pula dan dari waktu ke waktu, suatu masyarakat akan memiliki kebutuhan yang berbeda (Surjadi, 1995). Ini menunjukkan bahwa kebutuhan adalah spesifik individu dan spesifik lokasi. Dalam pengembangan produk, baik berupa barang maupun jasa, sebuah lembaga atau organisasi seyogyanya mengikuti perkembangan kebutuhan itu agar produk atau jasa yang dihasilkan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan harapan masyarakat pelanggannya.
Kontribusi Penyuluhan Pembangunan dalam Otonomi Daerah Shukla dalam tulisannya mengemukakan bahwa penyuluhan adalah merupakan sistem pendidikan luar sekolah atau pendidikan non-formal, di mana orang dewasa dan
53
pemuda belajar sambil bekerja (Dahama and Bhatnagar, 1980). Istilah pendidikan nonformal menurut Coombs dan Ahmed (1984) digunakan untuk kegiatan pendidikan berorganisasi dan sistematis yang berlangsung di luar kerangka sistem pendidikan formal, yang menyediakan aneka pelajaran tertentu kepada kelompok-kelompok penduduk tertentu pula, baik dari golongan dewasa maupun remaja. Kegiatan pendidikan ini ditujukan untuk meningkatkan traraf hidup kelompok sasaran pendidikan tersebut. Di Indonesia, Ilmu Penyuluhan Pembangunan merupakan pengembangan dari Ilmu Penyuluhan Pertanian. Slamet (2000), dalam makalahnya mengemukakan bahwa Program Studi Penyuluhan Pembangunan (PPN) dimulai dengan fokus pada Penyuluhan Pertanian, yang kemudian atas permintaan penggguna berkembang menjadi Penyuluhan Pembangunan. Adapun bidang-bidang yang memerlukan adalah: KB, Agama, Kesehatan, Pendidikan Luar Sekolah, Pendidikan Tinggi, Kesejahteraan Sosial, Pajak, Koperasi, Perekonomian, Perbankan, Penerangan, Pemerintahan Daerah, LSM, dll. Ilmu Penyuluhan Pembangunan menurut Slamet (Hubeis dkk, 1992) adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia pembangunan terbentuk serta bagaimana perilaku itu dapat berubah atau diubah sehingga manusia yang bersangkutan mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantikannya dengan perilaku baru yang dapat mengakibatkan kualitas kehidupannya dapat menjadi lebih baik. Pada bagian lain dari tulisannya, Slamet (2000) mengemukakan bahwa Penyuluhan Pembangunan bertujuan mengembangkan sasaran menjadi sumberdaya manusia yang mampu meningkatkan kualitas hidupnya secara mandiri, tidak tergantung pada “belas kasih” pihak lain. Program-program penyuluhan dapat menyediakan segala macam informasi, teknologi, kesempatan berlatih dan berorganisasi/bekerjasama sebagai alternatif yang dapat diakses secara realtif mudah oleh masyarakat. Sementara itu, dengan Penyuluhan Pembangunan masyarakat sasaran mendapatkan alternatif dan mampu serta memiliki kebebasan untuk memilih alternatif yang terbaik bagi dirinya.
54
Penyuluhan Pembangunan dikatakan juga sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat interdisiplin. Dalam proses perkembangannya, ilmu ini meminjam dan menggunakan konsep-konsep ilmiah dari berbagai disiplin ilmu lain yang relevan, seperti: Ilmu Pendidikan, Psikologi, Antropologi, Sosiologi, Psikologi Sosial, dan Manajemen. Oleh karena itu, dalam praktek Penyuluhan Pembangunan di lapangan selalu dituntut pula pendekatan yang interdisiplin. Sebagai suatu disiplin ilmu, dalam kegiatannya, peyuluhan didasari oleh filosofi tertentu. Berdasarkan tulisan Slamet dan Asngari (1969) dan Samsudin (1982), filosofi penyuluhan itu terdiri dari; a) penyuluhan adalah proses pendidikan, b) penyuluhan merupakan proses demokrasi, dan c) penyuluhan merupakan proses yang terus menerus. Sebagai proses pendidikan, penyuluhan merupakan proses belajar-mengajar. Dalam proses belajar-mengajar ini, sipelajar merupakan individu yang dinamis dan ia mempunyai potensi dan keinginan untuk menemukan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, si pengajar atau penyuluh perlu menyediakan kondisi sedemikian rupa agar sipelajar dapat berkembang sesuai dengan potensi yang ada padanya. Sebagai proses demokrasi, penyuluhan dilaksanakan bersama atau menempatkan sipelajar sebagai penyuluh sendiri. Penyuluh tidak menggurui, tetapi berguru kepada orang yang disuluh. Dalam hal ini, orang yang di suluh mempunyai kebebasan untuk menerima atau menolak segala sesuatu sesuai dengan kondisi mereka. Sedangkan sebagai proses yang berkelanjutan, kegiatan penyuluhan tidak akan pernah berakhir selama terdapat perubahan dan sampai ditemukannnya teknik dan cara yang terbaik sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Senada dengan itu, Dahama dan Bathnagar (1980) mengemukakan terdapat sejumlah filosofi penyuluhan. Filosofi dimaksud adalah; a) self-help, b) masyarakat merupakan sumber yang lebih utama, c) penyuluhan adalah usaha kooperatif, d) penyuluhan berdasarkan demokrasi, e) penyuluhan disesuaikan dengan pengetahuan dan pengalaman orang yang disuluh, f) penyuluhan didasarkan pada minat yang disuluh, g) bersifat sukarela, partisipasi yang kooperatif dalam program, h) persuasi dan pendidikan
55
dari masyarakat, i) program didasarkan pada sikap dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, dan j) penyuluhan merupakan proses yang tidak pernah berakhir. Sesuai dengan perkembangannya, penggunaan Ilmu Penyuluhan telah berkembang dalam berbagai bidang. Istilah lain dari Ilmu Penyuluhan dikenal pula dengan nama Komunikasi Pembangunan (Development Communication) dan Pendidikan Penyuluhan (Extension Education). Dahama dan Bhatnagar (1980) mengemukakan bahwa yang dilakukan oleh Pendidikan Penyuluhan pada umumnya adalah: a) Mengembangkan dan membangun kelompok (groups), institusi dan orang-orangnya dalam mencapai tujuan mereka; b) Mengembangkan kepemimpinan (leadership) lokal dan situasi profesional; c) Memperkenalkan kepada perencana, administrator dan pembuat kebijakan dengan kondisi lokal dan teknologi yang cocok dengan kondisi lokal itu; d) Menyediakan data yang memadai untuk mengembangkan rencana serta untuk koordinasi berbagai kegiatan; dan e) Pendidikan penyuluhan memberikan petunjuk serta "program" pendidikan untuk adopsi dan difusi serta menyediakan suatu media komunikasi yang memadai untuk inovasi dan evaluasi. Di sisi lain, Hubeis, Aida V.S (1992) mengemukakan bahwa ada empat peran penyuluh pembangunan dalam tiap subsistem sosial. Keempat peran penyuluh itu adalah; sebagai katalis, penemu solusi, pendamping, dan sebagai perantara. Sebagai katalis, penyuluh pembangunan selaku agen perubahan sangat diperlukan untuk mengatasi kebekuan. Masyarakat nagari yang tidak ingin mengalami suatu perubahan misalnya, sementara pihak luar melihat perlu berdasarkan kondisi objektif mereka, maka dalam hal ini penyuluh dapat mendorong timbulnya rasa ketidak puasan dengan kondisi yang ada pada mereka. Sebagai penemu solusi, peran penyuluh pembangunan adalah menginformasikan dan menyebarluaskan gagasan kepada masyarakat yang sudah ingin melakukan perubahan dengan segala dampak positif dan negatifnya sehingga
56
masyarakat dapat menemukan solusi yang terbaik. Sebagai pendamping, penyuluh melakukan pendampingan dalam mensolusi masalah yang tengah dihadapi masyarakat dengan cara mengenal dan mendefinisikan kebutuhan mereka, mendiagnosa dan menetapkan tujuan yang hendak dicapai, memberitahukan cara-cara memperoleh sumber-sumber informasi, sarana dan prasarana yang diperlukan, membantu khalayak sasaran tentang cara-cara memilih, mengkreasi dan memodifikasi suatu solusi permasalahan, dan membantu mengevaluasi manfaat suatu solusi serta mengantisipasi permasalahan yang mungkin akan muncul di masa datang. Sedangkan peran penyuluh sebagai perantara adalah mempersatukan kepentingan antara pembuat kebijakan dengan khalayak sasaran, misalnya antara pemerintahan supra nagari dengan masyarakat nagari, dengan membuat keputusan terbaik dalam menggunakan sumberdaya yang tersedia, baik berupa modal, pengetahuan dan keterampilan dalam mendiagnosa masalah, pengetahuan cara menyelesaikan konflik, waktu, energi, dan juga motivasi. Berdasarkan batasan ilmu penyuluhan, kegiatan dan peran penyuluh pembangunan tersebut di atas, kontribusi penyuluhan pembangunan dalam mendukung terlaksananya otonomi daerah tampaknya cukup signifikan. Dengan keahlian yang dimilikinya, penyuluh pembangunan misalnya dapat membantu mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, mengembangkan kualitas kelompok atau lembaga yang mampu melayani anggota dan pelanggannya, mengembangkan kepemimpinan, menyediakan data untuk membantu perencana membuat perencanaan daerah, dan menyediakan program pendidikan untuk difusi inovasi. Hampir senada dengan itu, Anwar (2000) dalam makalahnya mengemukakan bahwa paling tidak ada tiga sisi penting kontribusi penyuluhan pembangunan dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Ketiga kontribusi penyuluhan pembangunan itu adalah; 1) peningkatan mutu sumberdaya manusia dalam rangka pemberdayaan masyarakat, 2) pengembangan partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek pembangunan, dan 3) proses perencanaan program pembangunan daerah. Peningkatan
57
mutu sumberdaya manusia misalnya dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan keperluan masyarakat. Masyarakat juga perlu diikutsertakan dan berpartisipasi dalam setiap aspek pembangunan. Partisipasi ini tidak hanya dalam bentuk menyumbangkan tenaga, pikiran, dan materi, tetapi juga dalam memelihara dan menikmati hasil pembangunan
serta peduli terhadap objek-objek
pembangunan. Sementara, dalam proses perencanaan pembangunan, ahli-ahli penyuluhan dapat membantu mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan masyarakat suatu
kawasan/wilayah
yang sangat diperlukan dalam penyusunan rencana
pembangunan wilayah tersebut. Khusus persoalan sumberdaya manusia yang terdidik dan berkualitas memang sudah merupakan salah satu faktor yang mengemuka sejak dicanangkannya otonomi daerah. Sikap pesimis sebagian orang terhadap kualitas sumberdaya manusia itu mungkin tidaklah berkelebihan, karena ia merupakan faktor dominan atau merupakan faktor kunci dalam keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Betapapun besarnya sumberdaya alam dan pendapatan asli daerah yang dimiliki misalnya, tanpa sumberdaya manusia yang berkualitas akan sulit daerah untuk berkembang dan mepertahankan kelangsungan hidupnya. Anwar (2000), pada makalahnya menyebutkan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, tantangan yang sangat berat bagi daerah adalah bagaimana meningkatkan mutu sumberdaya manusia, agar dapat ditingkatkan dan diubah menjadi sumberdaya yang dapat bertindak melaksanakan fungsinya secara optimal. Oleh karena itu, sesuai dengan disiplin ilmu penyuluhan, dari sekian banyak peran yang dapat dilakukan penyuluh pembangunan dalam menunjang terlaksananya otonomi daerah, tampak bahwa pengembangan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia tampak lebih ditonjolkan dibandingkan dengan peran yang lainnya.
Struktur Sosial Masyarakat Minangkabau
58
Masyarakat suku bangsa Minangkabau yang mendiami sebagian besar wilayah Provinsi Sumatera Barat adalah masyarakat yang menganut sistem matrilineal. Berdasarkan tulisan Radjab (1969), Anwar (1967), Alisyahbana (1983), Naim (1984), Kato (1989), dan Manan (1995), terdapat sejumlah ciri yang melekat pada sitem matrilineal tersebut. Ciri dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Keturunan dihitung menurut garis ibu; 2. Suku terbentuk menurut garis ibu; 3. Tingkat pengelompokkan keturunan yang tertinggi adalah suku, kemudian sapayung atau sakaum, saparuik, dan sapariuak (samande) atau saparinduan. Samande adalah tingkat pengelompokkan yang terendah, yaitu kumpulan dari ibu dan anakanaknya, baik yang sudah kawin maupun yang belum kawin. Ciri kelompok luas pertama ditandai oleh tidak terpisahnya pariuak anak-anak perempuan yang sudah kawin dengan pariuak ibunya. Oleh karena itu, dalam keluarga Minangkabau tradisional konsep keluarga inti (nuclear family) tidak fungsional dalam keluarga luas (extended family). 4. Tanah, rumah dan harta pusaka yang tidak bergerak lainnya adalah milik komunal dari kelompok keturunannya; 5. Seorang laki-laki yang telah kawin mempunyai dua macam fungsi yang berjalan secara paralel, yakni sebagai mamak (paman) terhadap keponakan di rumah ibunya dan sebagai sumando di rumah istri dan anak-anaknya; 6. Perkawinan bersifat matrilokal, di mana suami mengunjungi rumah istrinya; 7. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang di luar sukunya; 8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada keponakannya, dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan; 9. Kekuasaan mengatur dan melindungi di rumah ibu terletak ditangan mamak. Struktur sosial masyarakat Minangkabau di susun dan di tata menurut ciri sistem matrilineal. Orang hidup dalam suatu sistem kekerabatan yang dihitung menurut garis Ibu. Seorang Ibu mendapatkan kedudukan yang istimewa dan sangat penting. Harta
59
pusaka dan waris seperti tanah, sawah, ladang dan lainnya diturunkan menurut garis Ibu. Dalam ungkapan adat, seorang Ibu disebut juga dengan limpapeh rumah nan gadang, yang artinya tonggak tua dari sebuah rumah (rumah adat) yang dihuni oleh keluarga luas menurut sistem matrilineal. Istilah lain yang juga dijuluki kepada seorang Ibu adalah amban puruak, yang artinya penyimpan harta pusaka atau pemegang kunci biliak (kamar tidur serta tempat menyimpan barang-barang berharga lainnya). Sebuah rumah gadang dihuni oleh beberapa keluarga inti (nuclear family) dan ditambah lagi dengan nenek dan perempuan-perempuan yang belum kawin. Di siang hari adakalanya ditambah dengan mamak-mamak yang merupakan saudara laki-laki dari perempuan atau ibu.
Kehidupan di rumah ini tak obahnya seperti sebuah
masyarakat kecil yang dilengkapi dengan tata tertib dan aturan-aturan tertentu, seperti ungkapan adat berikut: Kamanakan saparentah mamak (keponakan menurut perintah paman) Mamak saparentah penghulu (paman menurut perintah penghulu) Penghulu saparentah mufakat (penghulu menurut perintah mufakat) Mufakat saparentah nan bana (mufakat menurut perintah yang benar) Nan bana berdiri sendiri (yang benar berdiri sendiri) Suku di Minangkabau mengandung pengertian genealogis-matrilineal. Masyarakatnya terdiri dari beberapa suku. Menurut historisnya, jumlah suku terdiri dari empat, yaitu; Bodi, Caniago, Koto, dan Piliang. Ketika suku-suku menyebar keberbagai tempat, maka terjadi pengelompokkan-pengelompokkan keturunan yang kecil, yang disebut kampuang (kampung). Sebuah kampung terdiri pula dari beberapa kaum. Pecahan kaum ini disebut dengan istilah paruik, di bawah paruik disebut jurai, dan pecahan atau di bawah jurai disebut dengan istilah samande, yaitu Ibu dan anakanaknya. Setiap kelompok dalam sistem matrilineal ini dipimpin atau dikepalai oleh seorang penghulu. Suku dipimpin oleh penghulu suku, kampung dipimpin oleh penghulu kampung (penghulu andiko), dan dalam sebuah rumah gadang lazim berkuasa seorang laki-laki yang disebut mamak rumah atau tungganai, yaitu saudara kandung atau saudara laki-laki tertua menurut garis ibu.
60
Manan (1995) mengemukakan bahwa pemimpin-pemimpin dalam kelompok matrilineal di atas sebagai wakil mereka dalam forum-forum yang lebih luas. Mereka juga merupakan anggota dari Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang dalam nagari tradisional merupakan kekuasaan tertinggi dalam nagari. KAN ini merupakan badan eksekutif, yudikatif, dan legislatif nagari. Oleh karenanya, pemilihan pemimpin-pemimpin ini dilakukan melalui suatu proses identifikasi kekuatan dan kelemahan (dituahi dan dicilakoi) dari calon-calon yang ada. Mereka yang dipilih idealnya adalah mereka yang terbaik yang mampu dan dapat meningkatkan kesejahteraan kaum dan masyarakat nagari.
Dengan demikian, pemilihan pemimpin di Minangkabau di samping unsur
bawaan (hereditary) yang diperhatikan, juga bersifat rasional dan demokratis. Pada bagian lain, Manan (1995) mengemukakan bahwa semangat yang menjiwai kepemimpinan di masyarakat Minangkabau adalah semangat musyawarah dan mufakat. Pemimpin dalam konsepsi adat bukanlah kekuasaan yang mutlak. Ia hanya dipilih, ditanam maka tumbuh, dan ia dipupuk maka subur. Pemimpin adalah orang yang hanya didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Oleh karena itu, seorang pemimpin senantiasa harus selalu ingat dan memperhatikan rakyatnya. Perkawinan dalam masyarakat Minangkabau merupakan urusan kaum kerabat kedua belah pihak, yaitu kaum kerabat perempuan dan kaum kerabat laki-laki. Prinsip perkawinan menetapkan bahwa laki-lakilah yang mengunjungi rumah istrinya. Ia hanya sebagai seorang tamu terhormat di rumah istrinya, yang disebut dengan orang sumenda (urang sumando). Ia tetap menjadi anggota kaum ibunya--bukan kaum kerabat istrinya. Ia juga tidak memiliki kewajiban ekonomi yang besar terhadap anak dan istrinya karena istri telah mendapatkan sawah atau tanah sewaktu akan menikah. Anakanak yang lahir dari hasil perkawinan kemudian otomatis menjadi anggota kaum si istri.