TINJAUAN PUSTAKA P e r k e m b a n g a n O v a r i u m d a n S t a d i a Oosit Ikan kelompok Teleostei m e m ~ u n y a iovarium yang merupakan sepasang organ memanjang dan kompak, terdiri dari oogonia, jaringan penunjang atau stroma (Nagahama, 1983). Masa yang mengisi ovarium adalah oosit, terdiri dari berbagai stadia atau homogen bergantung kepada tipe reproduksi. Berdasarkan stadia kematangan oosit, Marza ahlam Harder (1975) mengklasifikasikan reproduksi ikan dalam berbagai tipe, yaitu a) tipe sinkronisasi total dengan perkembangan oosit terdiri dari satu stadia,
dijumpai pada spesies yang memijah hanya sekali dalarn
periode pernijahan; b) tipe sinkronisasi group dengan dua stadia oosit yaitu matang d a n besar, serta oosit sangat kecil tanpa kuning telur (oosit muda), dan c) asinkronisasi dengan ovari terdiri dari berbagai tingkat perkembangan oosit. Berdasarkan morfologi ovarium serta distribusi ukuran oosit, Dadzie dan Wangila (1980) mengklasifikasikan tingkat kematangan ovarium ikan nila sebagai berikut:
- tingkat I : ovarium kecil, transparan, gonia dan oosit muda hanya terlihat dengan menggunakan mikroskop.
- tingkat I1 :
ovarium berwarna kuning terang, oosit dapat terlihat dengan mata. Pengamatan secara histologi memperlihatkan ovarium terdiri dari oogonia, oosit muda, oosit berisi protoplasma, namun belum ada
-
tingkat 111
: ovarium besar,
berwarna kuning gelap, dan ada oosit yang mulai
mengandung kuning telur.
- tingkat IV
:
ovarium besar, benvarna coklat, banyak
oosit berukuran maksimal
dan mudah dipisahkan (oosit siap diovulasikan).
-
tingkat V
:
ovarium benvarna kuning terang, ukurannya berkurang disebabkan telah dilepaskannya telur matang. Ovarium berisi
oogonia, oosit
b e r p r o t ~ p l a s m dan ~ sedikit oosit rnengandung kuning telur, banyak dijumpai folikel yang pecah. Ukuran tingkat perkembangan ovarium dapat diiyatakan juga dalam satuan indeks dari prosentase bobot gonad per bobot tubuh dan dinyatakan sebagai satuan indeks gonad
somatik (IGS), walaupun demikian nilai I G S saja tidak cukup rnemberikan
informasi karakteristik aktivitas reproduksi. Pengamatan secara histologi terhadap oosit d a n distribusi ukuran oosit dapat memberikan informasi lebih jelas tingkatan aktivitas reproduksi (Tyler, Sumpter dan Campbell, 1991). Perkembangan sel telur (oosit) diawali dari "germ sel" yang terdapat dalam lamela d a n mernbentuk oogonia. c o g o n i a yang tersebar dalam ovarium menjalarlkan suksesi pembelahan mitosis dan ditahan pada "diploten" dari profase miosis pertama. Pada stadia ini oogonia dinyatakan sebagai oosit primer (Harder,1975).
Oosit primer kernudian
menjalankan masa tumbuh yang meIiputi dua fase, pertama adalah fase "previtelogenesis" di mana ukuran oosit membesar akibat meningkatnya volume sitoplasma (endogenous vitelogenesis);
namun belum terjadi akumulasi kuning telur.
Kedua adalah fase
"vitelogenesis" di mana terjadi akumulasi material kuning telur yang disintesis oleh hati,
8
kemudian dibebaskan ke darah dan dibawa ke dalam oosit secara mikropinositosis (Zohar, 1991; Jalabert dan Zohar, 1982).
Peningkatan ukuran indeks gonad somatik atau
perkembangan ovarium disebabkan oleh perkembangan stadia oosit. Pada saat perkembangan oosit terjadi perubahan morfologi yang mencirikan dari stadianya. Menurut Nagahama (1983)
stadium oosit dapat dicirikan berdasarkan volume sitoplasrna,
penarnpilan nukleus dan nukleolus, serta butiran kuning telur. Berdasarkan kriteria ini, oosit dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelas. Yamamoto daiam Nagahama (1983) membaginya dalam 8 kelas yaitu stadia kromatin-nukleolus, perinukleolus (terdiri
awal dan akhir nukleolus), stadium "oil drop" stadium "yolk" primer, sekunder, tertier d a n stadium matang. Sedangkan Harder (1975), Chinabut, Limsuwan dan Kitsawat (1991) membagi oosit dalam 6 keIas di mana stadia nukIeolus dan perinukleolus dikatagorikan sebagai stadium pertama, dan setiap stadium dicirikan sebagai berikut:
- stadium
1 :
Oogonia dikelilingi satu lapis sel
epitel dengan
hematoksilin-eosin plasma berwarna merah jambu,
pewarnaan
dengan inti yang
besar di tengah.
- stadium
2 :
Oosit berkembang ukurannya, sitoplasma bertambah besar, inti biru terang dengan pewarnaan, dan terletak masih di tengah sel. Oosit dilapisi oleh satu lapis epitel.
- stadium 3 :
Pada stadium ini berkembang sel folikel dan oosit membesar,
provitlin
nukleoli mengelilingi inti.
- stadium 4 :
Euvitlin inti telah berkembang dan berada sekitar selaput inti. Stadium ini merupakan awal "vitelogenesis" ditandai adanya butiran kuning telur, pada sitoplasma
Pada stadium ini oosit dikelilingi oleh dua lapis
9
sel, lapisan dalam adalah sel bentuk kubis (granulosa) dan lapisan luar memanjang dan datar.
- stadium 5 :
Butiran kuning telur bertambah besar dan memenuhi sitoplasma .
- stadium
Inti mengeciI dan selaput inti tidak terlihat, inti terletak di tepi.
6:
KIasifikasi stadium oosit ini telah dimodifikasi oleh beberapa peneliti dengan rnenggabungkan beberapa stadium bergantung kepada tujuan evaluasi. Kou, Nash, dan Shehadeh daIam Hardjamulia, Suhenda dan Wahyudi (1 995) mengklasifikasikan oosit dalam 5 kelas dengan menggabung stadium satu dan dua seperti yang dikemukakan oleh Chinabut et ul. (1991) rnenjadi satu stadium. Balsare, Treasure, Holliday, Al-Daham dan Batti dalam Chinabut et al. (1991) membagi perkembangan oosit berdasarkan kematangan yaitu: stadium awal, sedang proses matang d m matang. mengklasifikasikan
oosit
berdasarkan
proses
tumbuh
yaitu
Zohar (1991)
tumbuh
lambat,
previtelogenesis, dan tumbuh c e p d vitelogenesis. Pada oosit previtelogenesis terlihat pembentukan dua sel yang mengelilingi oosit membentuk folikel. Sel lapisan dalam berbentuk kubik disebut granulosa dan sel luar memanjang datar disebut teka. Kedua sel, granulosa dan teka berperanan dalam proses sintesis hormon steroid reproduksi. Setelah pembentukan sel-sel tersebut baru dimulai akumulasi material telur. Stimulasi awal akumulasi material kuning telur pada oosit bergantung pula kepada sel-sel yang berperanan dalam menseleksi material telur (Tyler el a l , 1991). Percobaan Tyler el al
,(1991) mengenai hubungan ukuran oosit dengan awal akumulasi material mencatat
bahwa oosit ikan trout (Oncorhynchusmykiss) akan mulai mengakumulasikan material kuning telur pada ukuran 0.6 mm. Diduga pada fase ini oosit telah memiliki reseptor yang berperanan dalam akumulasi material kuning telur
Pada tahap awal diduga reseptor
10
tersebut belum a d a atau belum aktif.
Walace &lam Singh dan Singh (1990) yang
mengamati amphibia Xenopus sp. mengemukakan bahwa mulainya oosit mengakumuIasikan material berhubungm dengan berkembangnya saluran interselular di antara set-sel folikel. Meusy dan Payeun (1988) yang mengamati perkembangan ovarium udang menjumpai pula sejumlah jaringan tubular dalam sel-sel yang menyelaputi folikel yang diduga berperanan dalam menyalurkan material ke oosit.
Metabolisme Vitamin C
Gejala defisiensi vitamin C pada ikan dikenal pertama oleh Kitamura pada tahun 1965 dari hasil pengamatannya terhadap gangguan perkembangan tulang belakang (Scoliosis dan lordosis) ikan trout yang dipelihara di kolam dan diberi pakan tambahan, walaupun sebelumnya tahun 1934 Mc Cay dan Torison menjumpai gangguan yang serupa pada spesies yang sama namun beIum dikaitkan dengan defisiensi suatu vitamin (Sandnes, 1991). Defisiensi vitamin C pada ikan dapat disebabkan kurang tersedianya senyawa ini dalam ransum yang diberikan,
sedangkan ikan tidak mampu mensintesis vitamin C,
walaupun sel-selnya membutuhkan vitamin C (Faster dalam Sandnes, 1991).
Ketidak
mampuan ikan mensintesis vitamin C disebabkan oleh tidak adanya enzim L-gulunolakton oksidase yang berperanan dalam konversi L-gulunolakton
ke bentuk 2-keto-L
gulunnlakton, sebagai tahapan akhir dalam sintesis vitamin C (Chaterje &lam Soliman el
a l . , 1986). Pendapat ini tidak berlaku untuk semua spesies, menurut Ikeda dan S a t o
(1964),
dan Yamamoto, Sato dan Ikeda (1978)
ikan mas
(C'prit~trs carpio Linn)
sanggup mengkonversi D-glukosa ("C) dan D-glokoronolakton ("C) ke-asam askorbat
11
dan dijumpai aktivitas gulunolakton oksidase di hati, namun enzim ini tidak
(14C),
ditemui pada ikan trout, kelompok Tilapia sp. (Soliman rf al., 1986). pada ikan lele (Ichtalurus sp.) (El-Naggar dan Lovell, 1991). Pengamatan Yarnamoto, st al. (1978)
memperlihatkan hahwa kecepatan biosintesis L-gulunolakton k e bentuk L-asam askorbat pada hepatopankreas ikan mas hanya sepertiga kecepatan yang dijumpai pada hati tikus.
Hasil penelitian Dabrowski. Hinterleitner, Sturmbaeur dan Wiser (1988) dengan menggunakan contoh ikan mas pada berbagai fase perkembangan menyimpulkan bahwa vitamin C mutlak diperlukan dalam stadia larva.
Selama ernbrio berkembang kandungan vitamin
C telur cepat menurun (Sato, Yoshinaka, Kuroshima, Marimoto dan Ikeda, 1987). Ketersediaan vitamin C pada stadium awal ini sangat bergantung kepada ransum yang diterima oleh induk. Kebutuhan vitamin C bagi ikan sangat berkaitan dengan status kandungannya dalam jaringan dan aktivitas fisiologis. Pemberian vitamin C berlebihan akan meningk a t k a n sekresi vitamin C melalui urine, namun dapat juga meningkatkan kadar d a l m
jaringan,
ditimbun ddarn bagian sel yang dapat dilalui air, dan tidak dapat menyusup ke
selaput lemak (Goodman, 1994).
Masuknya vitamin C ke dalam sel melalui sistem
transport aktif senyawa yang larut air (Tucker dan Halver, 1984).
Dengan teknik radio
isotop Tillotson dan Mc G o w a &lam Horning, Glathaar dan Mosser (1984) menemui hanya 10-20% asam askorbat yang tidak dimetabolisme oleh kera,
dan disekresikan
meIalui air seni, jika asam askorbat diberikan pada kadar rendah, dengan pemberian 10 mg/kg bobot hadan, sekresi asam askorbat yang tidak di metabolisme rneningkat mencapai
.
75%
Percobaan Halver (1972) pada ikan trout ukuran 300-500 g yang menerima pakan
dengan suplerner~tasiasam askorbat (vttamin 14C) 50 mg/kg ransum. lnencatat adanya
12
asam askorbat (%) pada air seni dan tinja masing-masing dengan kadar 3% dan 0.5% selama masa koleksi 72 jam. Percobaan lain dengan menggunakan ikan trout ukuran 250 g y a n g dipelihara selama 3 bulan dan suplementasi asam askorbat ransum ditingkatkan
menjadi 100 mg/kg,
Tucker dan Halver (1984) telah mencatat bahwa kadar asam
askorbat "C pada air seni dan tinja meningkat menjadi 10% dari dosis yang diberikan. Dengan demikian absorbsi vitamin C akan dibatasi jika diberikan berlebihan.
Dabrowski
d a n K o c k (1989) mencatat bahwa absorbsi vitamin C pada ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) dilakukan pada bagian lambung (20.7 %), pyloric caeca (23.4 %), usus halus tengah (2 1.9 O h ) dan usus halus posterior (20.1 %). Pengamatan
dengan teknik radio isotop menggunakan "labelling"
'"
pada
vitamin C yang diujikan pada ikan trout ukuran 300-500 g diketahui bahwa asam askorbat cepat diakumulasikan pada jaringan di mana kolagen terbentuk dan sel-sel yang sedang melaIcukan regenerasi. Akumulasi juga tejadi pada organ-organ yang banyak melakukan aktivitas metabolisme seperti hati, otak, ginjal dan adrenal'(Lovel1, 1984). Pengamatan oleh Agrawal dan Mahajan (1980) terhadap kadar vitamin C jaringan dari spesies ikan karper India (Labeo rohita, h b e o calbasrt, Cirrhina mrigala dan
C l a f l a catla),
memperlihatkan bahwa kandungan vitamin C tertinggi pada jaringan limpa mencapai 450-580 ug/g, kemudian diikuti andrenal 230-287 ug/g, ovarium 206-286 ug/g, 147-272 ug/g dan otak 25-102 ug/g.
hati
Namun dikemukakan lebih lanjut bahwa kadar ini
sangat bervariasi pada setiap organ bergantung kepada ukuran ikan, jenis kelamin, aktivitas fisiologis dan musim. Sandnes (1991) mengemukakan
bahwa vitamin C dapat diakunlulasi dalam
jaringan dan digunakan saat dibutuhkan. Percobaan Tucker dan Halver ( I 984). dengan
13
teknik radio isotop,
mencatat bahwa waktu paruh biologik vitamin C dalam jaringan hati,
ginjal dan kulit ikan trout sangat dipengaruhi oleh kadar vitamin C yang disuplementasikan dalam ransum. mencapai 3 bulan, 4 0 hari .
Jika kadar vitamin C ransum rendah,
waktu paruh biologik dapat
dan jika kadar vitamin C ransum mencukupi waktu paruh mencapai
Menurut Dabrowski (1 9 9 I ) berkurangnya asam askorbat jaringan sangat
bergantung kepada katabolisme.
Kecepatan katabolisme asarn askorbat ikan trout yang
s e d a n g tumbuh adalah 4.68% dari pool asam askorbat, dan kandungan asam askorbat tubuh menurun bertahap jika ikan menerima pakan defisien vitamin C. Asam askorbat cepat dioksidasi ke hidro asam askorbat. Pengamatan Dabrowski (1991) pada jaringan ikan trout telah memperlihatkan adanya bentuk dehidro askorbat pada plasma darah, hati, ginjal dan usus halus. Rasio bentuk reduksi asam askorbat terhadap asam askorbat setiap jaringan tersebut tertinggi pada usus halus yaitu 35.976, kemudian hati 28.2%, ginjal 24. I%,
plasma 13.4% dan lambung 13.5%.
Terbentuknya dihidro askorbat dalam
jaringan menunjukkan adanya penggunaan vitamin C dalam sel, mengingat vitamin C sebagai ko-faktor dalam berbagai reaksi hidroksilasi pada sel (Sandnes,l991).
Rasio
reduksi L-asam askorbat k e bentuk dehidro askorbat dikontrol oleh proses biosintesis sel (Halver, 1985). Dalam jaringan ikan salmon, asam askorbat mudah dikonversi k e askorbat-2-sulfat, suatu bentuk askorbat stabil dari jaringan ikan (Halver, I985:Tucker dan Halver, 1984). Shiau dan Shen (1995) juga mencatat bahwa, asam askorbat dalam jaringan daging ikan nila
(Oreochromis nilotiqrs)
askorbat-2-sulfat,
sebagian
besar
diakumulasikan
sedangkan pada hati dalarn bentuk askorbat.
daIam
bentuk
Benitez dan.Halver
LI'Lr/m?? HaJver (1985) mengemukakan bahwa asam askorbat dari ransum dapat dikonversi
14
ke bentuk askorbat-2-sulfat, dan suatu sistem enzim askorbat-2-suIfohidroIase yang ada pada jaringan ikan salmon dapat mengkonversi kembali askorbat-2-sulfat ke bentuk L-asam askorbat untuk reaksi oksidasi-reduksi dalam jaringan, namun askorbat sulfohidrolase dapat dihambat oleh L-asam askorbat, sehingga kadar asam askorbat dalam jaringan akan dapat dikontrol. Askorbat-2-sulfat tersedia memelihara konsentrasi asam askorbat dalam sirkulasi dan sistem interaksi jaringan (Haiver, 1985).
Percobaan Tucker
d a n Halver (1984) terhadap distribusi vitamin C dalam jaringan mencatat bahwa, pool asam askorbat-2-sulfat dalam jaringan ikan trout menurun setelah jumlah pakan yang mengandung vitamin C diturunkan. Bentuk kimia stabil hasil oksidasi pertama asam askorbat adalah dehidro-asam askorbat yang ada dalam jumlah kecil pada jaringan. Oksidasi lanjut dari dehidro asam askorbat menghasilkan oksalat, asam threonik dan karbondioksida,
dan semua senyawa
ini dapat disekresikan melalui air seni (Horning et a]., 1984).
Akumulasi Vitamin C pada Ovarium Saat Siklus Reproduksi
~ a A a skadar i vitamin C ovarium pada saat siklus reproduksi dari beragam spesies ikan telah dicatat oleh beberapa peneliti, sehingga menimbulkan spekulasi kemungkinan pentingnya senyawa ini saat ovarium berkembang.
Kadar vitamin C ikan karper cmsian
(Carnssius carassius) saat siklus reproduksi berkisar 92-203 ug/g (Saeymour, 198 1 a), ikan cod Atlantik (CkEbr~srnorrh~a) berkisar 80-203 ug/g (Sandnes dan Braekkan, 198 1 ), dan karper India berkisar antara 225-286 up/g (Agrawal dan Mahajan, 1980).
Hilton,
15
Cho, Brown dan Slinger (1979) mendapatkan bahwa kadar vitamin C ovarium ikan trout
(C1ncorhyncht1.s mykiss) mencapai maksimum, yaitu 45 1 ug/g bobot basah pada saat akan ovulasi
Dengan memperhatikan indeks gonad somatik (IGS) Sandnes dan Braekkan
(1 9 8 1) mencatat bahwa akumulasi vitamin C tertinggi menjelang I G S
mencapai
maksimum, kemudian menurun saat terjadi ovulasi. Pengamatan pada ikan cod Atlantik memperlihatkan bahwa kandungan vitamin C pada stadia awal ovarium tumbuh, yaitu 150 ug/g dan tertinggi mencapai 500 ug/g (Sandnes, 1984).
Menurut Ishibashi, Kato
dan I k e d a (1994) pembahan vitamin C ovarium selama periode pematangan ovarium berkaitan dengan meningkatnya ukuran oosit karena akumulasi material kuning telur. Agrawal dan Mahajan (1 980) mencatat bahwa kandungan vitamin C darah ikan karper India yang ditangkap di a l m mencapai titik terendah saat musim pemijahan yaitu mencapai 17.95- 19.65 ug/ml,
dan saat pertumbuhan ovarium kadar vitamin C mencapai kisaran
20.39-25.95 ug/ml. Disimpulkan pula bahwa ada mobisasi vitamin C yang diperoleh dari pakan alami k e ovarium saat siUus reproduksi. Cardinal dan Underfiiend d a l u r t t Soliman et al. ( 1986) rnenyatakm bahwa tingginya kandungan vitamin C saat ovarium berkembang berkaitan dengan kngsinya sebagai kofaktor enzim prolil dan lisin hidroksilase yang mengkatalis hidroksilasi dari prolin dan lisin, dan esensial untuk perkembangan normal jaringan kolagen yang banyak terdapat dalam ovarium. Kolagen merupakan penyusun utama dinding dalam kantung ovarium (Sandnes,
Ulgenes,
Braekkan dan Utne, 1984).
Hatver e l al. dalarn Waagbo,
Thorson, dan Sandnes (1989) telah rnengamati adanya akumulasi vitamin C di jaringan kolagen yang mengitari sel telur,
sehingga disimpuikan bahwa pada saat gonad
berkembang vitamin C digunakan untuk sintesis kolagen
Pendapat latn dikernukakan
16
oleh Sandnes (1984) bahwa meningkatnya kadar vitamin C dalam siklus reproduksi berhubungan dengan proses "vitelogenesis".
Proses ini dikontrol oleh hormon estrogen
yang mampu menstimulasi hati untuk mensintesis protein spesifik,
yang kemudian
diakumulasikan pada oosit bersama senyawa lipida. Vitamin C pada ovarium berperanan dalam reaksi bidrokilasi sintesis hormon steroid reproduksi.
Ini didukung dari hasil
pengamatan Halver &lam Waagbo el aC. (1989) yang mencatat adanya akumulasi vitamin C pada jaringan folikel yang mengitari sel telur. Penelitian Saeymour (1 9 8 1 b) mencatat adanya penurunan vitamin C yang cepat pada ovarium ikan karper (Carassius carassius) setelah penyuntikan ekstrak hifofisa. Akiyama, Shimishi. Yamamoto dan Hirose (1 990) melaporkan adanya penurunan vitamin C ovarium setelah induk ikan sardin (Sardinops
saxmelanostic) disuntik dengan LHRH.
Ahmad,
Nashim,
Mahmood, dm Javaid
(1990) juga mencatat hubungan tertentu antara dosis vitamin C dan estrogen pada ovarium ikan nila.
Penelitian Waagbo et al. (1989) mencatat bahwa a d a perbedaan yang sangat
nyata kadar estradiol induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 2000 mg/kg pakan dan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C pada rnasa vitelogenesis.
Pengaruh Vitamin C terhadap Perkembangan Ovarium dan Kualitas Telur
Penelitian Alava, Kanazawa, dan Teshima (1993 a ) memperlihatkan bahwa, pemberian askorbil-2-fosfat magnesium suatu bentuk turunan vitamin C dalam ransum dapat menstimulasi perkembangan gonad induk udang f'ertaztr.~,juporricr,s betina.
17
Percobaannya dengan menggunakan pakan yang disuplementasi askorbil-monofosfat magnesium masing-masing 500, 1000, 1500 mg/kg, setelah pemeliharaan 170 hari nilai
IGS induk betina mencapai 2.40,2.5 1 dan 1.8 1% sedangkan nilai IGS induk jantan adalah 0.76, 0.87 dan 0.9 1%. sedangkan untuk kontrol tidak diperoleh data, karena induk mati sebelum berakhirnya percobaan.
Penelitian Ishibasi el a/. (1 994) terhadap ikan 'Yapanese
parrot" (Oplegnathusfasciatus) memperlihatkan bahwa ada peningkatan indeks gonad
somatik dengan peningkatan dosis vitamin C yang diberikan. Ikan yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 0, 300, 1000, 3000 mg/kg memperlihatkan nilai IGS masing-masing 0.5, 0.9, 1.4, 2.2 % untuk induk betina, dan 0.4, 0.6, 0.5, dan 0.8 % untuk induk jantan.
Pengamatan secara mikrokospis terhadap ovarium juga memperli-
hatkan prosentase induk yang mencapai aktivitas "vitelogenesis" meningkat dengan peningkatan dosis vitamin C, induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C tidak menunjukkan adanya oosit pada fase "vitelogenesis", suplementasi vitamin C 300,
sedangkan dengan perlakuan
1000. dan 3000 mg/kg pakan jumlah induk yang ovarinya
mencapai stadium "viteIogenesis" hingga matang adalah 20, 40, 80%.
Solirnan eta/.,
(1 986) yang mengamati pengaruh asam askorbat terhadap penampilan reproduksi ikan
O r e o c h r o m i s mossambicus melaporkan bahwa ikan yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C biasa 1250 mglkg memperlihatkan gejala kesiapan memijah lebih cepat dua minggu dibandingkan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C.
Percobaan Priyono,
Sugama, Azwar, dan Setiadharma (1996) mencatat bahwa
ikan bandeng (Chams chutros Forskal) yang menerima pakan dengan suplementasi askorbil-2-fosfat magnesium 1500 rng/kg pakan menunjukkan frekuensi bertelur lebih tinggi
18
dibandingkan induk yang menerima pakan dengan suplementasi 1000 mg/kg pakan, dan tidak ditemui induk yang memijah pada kontrol. Vitamin C ovarium induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C lebih tinggi dibandingkan dengan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C, namun kadar vitamin C ovarium dapat mencapai kadar tertentu (Ishibashi el al. 1994).
Percobaannya memperlihatkan bahwa, kandungan vitamin C ovarium induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C masing-masing 0, 300, 1000 dan 3000 m g k g pakan mencapai 70.6, 657.1, 898.4 dan 866.2 ug/g bobot basah.
Pengamatan
Waagbo el a!. (1989) terhadap ikan rainbouw trout memperlihatkan bahwa kandungan vitamin C ovariurn induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 2000 mgflcgmencapai 238 ugfg bobot basah,
sedangkan induk yang tidak
menerima
suplementasi vitamin C mencapai 25 ug/g setelah pemeliharaan selama 4 bulan dan kemudian turun menjadi 8 ug/g setelah pemeliharaan 5 bulan. Alava ei al. (1993 a) yang mengamati pengaruh askorbil-2- fosfat magnesium terhadap perkembangan ovarium induk udang Penaetrsjapnic~rrsmemperlihatkan adanya peningkatan kadar vitamin C ovarium dengan rneningkatnya dosis yang diberikan. Kadar vitamin C ovarium induk udang yang menerima pakan dengan suplementasi askorbil fosfat magnesium masing-masing 500, 1000, 1500 mg/kg pakan adalah 436.8, 1176.1, 1417.8 ug/g. Percobaan Soliman ef al. ( 1986) terhadap ikan Oreochromis mossambic7is mencatat kandungan vitamin C ovarium
induk yang menerima suplementasi vitamin C 1250 mg/kg pakan adalah sebesar 429.39 uglg dan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C mencapai 46.77 ug/g. Soliman et a / . (1986) mengemukakan bahwa vitamin C dalam ransum yang diterinia oleh induk dapat ditransfer ke telur. dan disiapkan untuk perkembangan embrio.
19
Pengamatannya pada telur ikan Oreochromrs mosrzmhicus dari induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 1250 mg/kg pakan mengandung vitamin C 201.83 ug/g dan daya tetas telur mencapai 89.33%,
sedangkan kandungan vitamin
C telur dari induk yang menerima pakan tanpa vitamin C tidak terdeteksi dan mempunyai daya tetas 56.9096, dan 85% pascalawa yang dihasilkan mengalami gangguan pertumbuhan tulang belakang.
Sandnes
(1984)
telah mengamati
kandungan vitamin C telur dari 2 pernbenihan ikan salmon di Norwegia, pertama dari kelompok pembenihan yang memiliki derajat penetasan telur yang tinggi, dan kedua
dari kelompok yang selalu rnenghasilkan derajat penetasan telur yang rendah, dan diketahui bahwa kadar vitamin C telur dari kelompok pertama adalah 6 5 ug/g dan dari kelompok kedua adalah 5 ug/g. Percobaan lanjutannya dengan menggunakan induk rainbouw trout dan diberi pakan dengan suplementasi vitamin C 1000 mg/kg pakan mencatat bahwa kadar vitamin C telur mencapiti 3 1 ug/g, derajat penetasan mencapai 87%, sedangkan telur dari induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C berkadar 15 ug/g dan derajat penetasan 6 2 %. Sandnes (1984) mencatat pula bahwa telur-telur ikan rainbouw trout yang diperoleh dari alam mengandung vitamin C 50-100 ug/g,
dan mernpunyai daya tetas yang Iebih baik.
Peneliti lainnya
Dabrowski dan Blom (1994) melaporkan bahwa telur dari induk ikan rainbouw trout (Oncorhynch~smykiss) yang menerima pakan dengan suplementasi askorbil-2-fosfat magnesium 850 m g k g pakan mengandung vitamin C 3 16 ug/g dan mempunyai daya tetas 25.3-46.7% sedangkan tanpa suplementasi mencapai 8 2 ug/g dengan daya tetas telur berkisar 9.4-22.6%.
Percobaan
Akiyama er ~ r 1 ( .1 990) pada ikan sardin
20
( S a r d i n o p sagarmelanosficfa) mencatat bahwa tidak ditemui telur yang menetas dari induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 80 mg/kg pakan, dan kemudian disuntik dengan LHRH, sedangkan induk yang rnenerima pakan dengan suplementasi vitamin C lebih tinggi yaitu 3200 mglkg pakan menghasilkan daya tetas telur lebih baik. Vitamin C yang ditransfer dari induk ke material telur berperanan daiam mendukung perkembangan embrio (Sandnes, 1991). Menurut Sandnes el a l . (1984) kandungan vitamin telur 20 ug/g merupakan batas terendah untuk perkembangan normal embrio ikan trout.
Pengaruh Vitamin C Terhadap Indeks Hepar Somatik dan Lipida Ovarium
Rasio bobot hati terhadap tubuh (indeks hepar somatik) akan menunjukkan perubahan
selama siklus reproduksi, indeks paling tinggi pada musim sebelum
memijah dan paling rendah setelah memijah (Delahunty dan D e Vlaming, 1980). l n d e k s hepar somatik (IHS) akan meningkat hingga batas tertentu
dengan
meningkatnya suplementasi vitamin C (Ishibashi el al., 1994: Alava ef ui., 1993 a). Ishibashi el al. (1994) mencatat bahwa nilai indeks hepar sornatik ikan Oplegnafhris fasciafzcs
adalah 1.7, 2.1, 2.2 d m 2.2% untuk ikan yang diberi pakan dengan
suplementasi vitamin C 0, 300, 1000 dan 3000 mg/kg pakan. Alava er al. (1993 a ) mencatat pula bahwa pada induk udang (Penaerrs japottic7ts) yang menerima pakan dengan suplementasi askorbil fosfat magnesium kadar 500, 1000 dan 3000 mg/kg
21
pakan selama 72 hari, indeks hepar somatik masing-masing adaIah 2.92, 3.07 dan 2.25%. Hal yang sama ditemui oleh Waagbo eta!. (1989) pada induk ikan rainbouw
trout (Oncorhynchus mykiss) bahwa induk yang diberi pakan dengan suplernentasi vitamin C 2000 mg/kg indeks hepar somatik mencapai 1.80% dan induk dengan perlakuan kontrol 1.43%. Menurut Jensen (1979) peningkatan bobot hati menjelang perkembangan ovarium
disebabkan peningkatan fraksi Iipida. Fraksi lipida akan ditransfer dari
cadangan lipida tubuh dan lipida hati k e ovarium selama
proses pertumbuhan
ovarium. Tejadinya mobilisasi lipida k e ovarium dapat diperlihatkan dari fluktuasi kandungan lipida plasma selama siklus reproduksi. Lipida plasma meningkat pada awal perkembangan ovarium, kemudian menurun menjelang ovulasi (Halver, 1989). Singh dan Singh
(1990) yang mengamati hubungan Iipida plasma
dengan
kematangan ovarium ikan lele India (Heteropneustes fo.~.viIis)mencatat bahwa pada fase persiapan tumbuh ovarium t e j a d i aktivitas lipogenik pada hati, dan kemudian selama fase perkembangan awal terjadi lipolisis trigliserida yang ditandai dengan naiknya asam lernak bebas ddam plasma.
Menurut Kosutarak, Kanazawa, Teshima
dan Koshio (1994) vitamin C dapat menginduksi lipolisis yang menurunkan lipida jaringan
dengan menstabilisasi norepineprin, juga berhngsi sebagai donor elektron
untuk desaturasi asarn lemak. Percobaan Kosutarak e t al. ( 1995 a, 1995 b) terhadap anak ikan Papn~s mayor dan Paralicthys olivacerrs menunjukkan bahwa kadar lipida hati dan tubuh ikan yang menerima ransum dengan suplementasi askorbil fosfat magnesium lebih tinggi dibandingkan ikan yang menerima ransum tanpa suplementasi.
22
Dengan suplementasi masing-masing 0, 50, 500 mg/kg pakan, kandungan lipida hati dan daging ikan Pagums mayor masing-masing mencapai 24.5, 43.3, 42. 1% bobot basah daging dan 5.8, 8.1, 8.0% bobot basah hati. Waagbo el al. (1989) mencatat pula bahwa suplementasi vitamin C dalam ransum dapat meningkatkan kandungan lipida.
Lipida ovarium induk ikan rainbouw trout yang menerima pakan dengan
suplementasi vitamin C mencapai 14.3 g/100 g,
sedangkan yang menerima pakan
tanpa suplementasi vitamin C hanya 12.6 g/100 g. Percobaan oleh Kosutarak el a/. (1995 a) terhadap benih ikan Pagurus mayor mencatat bahwa pengurangan askorbil fosfat megnesium menghasilkan rendahnya kandungan lipida trigliserida pada hati dan daging.
Ishibashi ef a/.(1994) mengemukakan bahwa suplementasi vitamin C dalam
.ransum pakan induk mempengaruhi kadar trigliserida darah pada saat siklus reproduksi. Dengan suplementasi vitamin C masing-masing 0, 30, 1000 dan 3000 mg/kg pakan tercatat rata-rata trigliserida plasma darah masing-masing 122, 125, 186 d a n 240 mg/dl. Kandungan lipida saat perkembangan ovarium dan teIur sangat bervariasi bergantung kepada jenis ransum, strategi reproduksi spesies dan Iamanya nutrisi endogen, keadaan fisiologis induk, stadia perkembangan ovarium (Balon dalam Heming dan Budington, 1989).
Henderson dan Almatar (1989) yang mengamati
ikan CIupen harengus mencatat bahwa kandungan lipida ovarium tertinggi terjadi pada tingkat kernatangan gonad 111, dan terendah setelah memijah.
Pola peningkatan
lipida ini berkaitan dengan kebutuhan energi selama proses perkembangan gonad dan persiapan lipida telur
Teshima, Kanazawa, Koshio,
Hironauchi
(1988) yang
23
mengamati perkembangan ovarium udang Penaeusjaponictrs mencatat bahwa lipida utama yang diakumulasikan adalah trigliserida dan fosfotidilkholin. Hal yang serupa dikemukakan pula oleh Gehring ahlam Teshima ef a l . (1988) bahwa peningkatan lipida pada ovariurn udang Penaeus Jtrorarum pada tingkat kematangan gonad hingga 111 terutama adaiah peningkatan bentuk lipida netral yang meliputi trigliserida, bentuk sterol bebas, dan lipida polar (fosfolipid). Pengamatan Wiegand (1984) terhadap ikan Siganus gajairdneri mencatat bahwa vitelogenin yang diakumulasikan pada sel telur s a t vitelogenesis mempakan senyawa lipid-protein yang mengandung 280 ug lipida polar dan 6 0 ug trigliserida per mg protein.
Singh dan Singh (1 990)
yang mengamati ikan lele India (Heferopneusfes fossilis) mencatat bahwa bentuk lipida trigliserida pada ovarium meningkat cepat dari fase persiapan (TKG I) ke fase sebelum pemijahan (TKG IV) dan mencapai puncak pada stadia ini,
kemudian
menurun setelah memijah. Kadar trigliserida hati mengikuti pola yang sama dengan trigliserida ovarium. Meningkatnya kadar lipida plasma selama perkembangan ovarium distimuli oleh
hormon
esterogen
(Halver, 1989).
Menurut Singh dan Singh (1990)
peningkatan kadar gonadotropin dan hormon steroid pada ikan lele (Heferopneusfes fossilis) pada fase persiapan tumbuh gonad meningkatkan kecepatan lipogenesis. Hasil yang serupa juga diperlihatkan dari percobaan D e VIeming dalanz Singh dan crr,.assizrs, bahwa estradiol dapat rnenstimulasi Singh ( 1990) terhadap ikan C,'aras.~itts
aktivitas lipogenik seIama fase awal tumbuh gonad dan selanjutnya pemberian gonadotropin telah menstimulasi sintesis trigliserida-fosfolipid. Percobaan
De
24
Vlarning, Singh, Paquette dan Vuchs (1977) pada ikan Cararsiius carassirrs mencatat bahwa pada musim pemijahan terjadi peningkatan protein-fosfolipid (vitelogenin) pasma, namun dengan penyuntikan estradiol ada peningkatan senyawa ini bukan pada masa reproduksi. Fraksi lipoprotein yang sama dapat diinduksi dengan pemberian estradiol pada jenis jantan
(Vanston dan H o ahlam D e Vlarning el al., 1977).
Akand e l al. dalam Kosutarak et al. (1995 b) mengemukakan bahwa asam askorbat dapat mempengaruhi komposisi asarn lernak dan penggunaan asam lernak n-3 dari ikan trout.
Percobaan Akand, Sastom, Yoshinaka dan Ikeda (1992) mencatat
adanya perbedaan kandungan asam lemak daging dan jeroan antara ikan trout yang menerima pakan dengan suplementasi dan yang tidak menerima suplementasi vitamin C setelah mengalami masa pelaparan 2 minggu. Pada ikan trout yang diberi pakan dengan suplementasi vitamin C 20-200 mgllOO g pakan, kandungan asam lemak tidak jenuh
(20:5n3 dan 22:6n3) lebih tinggi setelah mengalami masa pelaparan.
Disimpulkannya bahwa suplementasi vitamin C dalam ransum akan meningkatkan retensi asam Iemak tidak jenuh pada tubuh ikan.
Percobaan Miyasaki,
Sato,
Yoshinaka dan Sakaguchi (1 995) mencatat bahwa kandungan lipida daging dan jeroan ikan rainbow trout yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C bentuk askorbil-2-fosfat magnesium selama 6 0 hari berbeda sangat nyata dengan keadaan lipida awal setelah mengalami masa pelaparan 60 hari, sedangkan ikan tanpa suplementasi tidak rnemperlihatkan perbedaan. Disimpulkannya bahwa vitamin C dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lipida selama masa pelaparan. Kesimpulan ini didukung dari pengamatannya terhadap kadar asil karnitin hati, setelah mengalami
25
masa pelaparan 60 hari. Asil karnitin hati dari induk yang menerima pakan dengan suplementasi askorbil-2-fosfat magnesium nyata lebih tinggi dibandingkan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi. Penurunan kadar vitamin C hati sebelum dan sesudah pelaparan dari induk yang menerima pakan dengan suplementasi sangat tinggi dibandingkan tanpa suplementasi, yang menunjukkan bahwa vitamin C mempunyai peranan dalam metabolisme lipida.
Menurut Horning el al. (1984) vitamin C
berperanan dalam sintesis senyawa karnitin yang berperanan dalam metabolisme lipida. Sterol bebas adalah satu senyawa dari kelas lipida yang terkandung dalam ovarium, dan pada udang penaeid kadarnya berkisar 6.4 1988).
- 22%
(Teshirna ef al.,
Di antara sterol, kolesterol ditemui yang paling dominan (Midelditch,
Msler, Hines. Ward, Lawrence, 1980). Wiegand dan Peter (1980 b) mengernukakan bahwa ada kaitan antara kolesterol serum dan hati dengan meningkatnya aktivitas ovarium. Gonido ei al. (1990) mencatat bahwa kolesterol serum ikan Scyliorhinus c a n i c u l a mencapai puncak sesaat sebelum "vitelogenesis". Kemudian Singh dan Singh (1990) yang mengamati induk ikan lele India (Heterop~iastes fossilis) mencatat bahwa kolesterol bebas pada hati akan maksimal pada fase sebelum rnemijah (TKG 111), dan menurun saat memijah,
perkembangan ovarium.
kemudian meningkat kembali pada awal
Kolesterol bebas dan kolesterol teresterifikasi di hati
meningkat sangat nyata pada saat fase persiapan dibandingkan pada fase istirahat, dan menunjukkan adanya hidrolisis kolesterol teresterfikasi ke bentuk kolesterol bebas, kernudian dibebaskan ke darah dan ditransfer ke ovariurn untuk streoideyenesis.
26
Wiegand dan Peter (1980 a) rnencatat adanya peningkatan kolesterol bebas dan rendahnya kolesterol teresterifikasi pada hati dan plasma darah ikan Carassius carassius bersamaan turunnya kolesterol bebas dan teresterifikasi ovarium yang menunjukkan adanya potensi yang tinggi dari hormon gonadotropin yang menyebabkan terjadinya hidrolisis kolesterol teresterifikasi k e bentuk kolesterol bebas. Mukherjee dan Bhattacharya (1982) juga telah mencatat bahwa dengan penyuntikan ekstrak kelenjar
hipofisa terjadi penurunan yang tinggi kolesterol total dan
teresterifikasi ovarium pada ikan (Channapunctatus). Wiegand dan Peter (1980 a) telah mencatat pula adanya penurunan kolesterol plasma setelah penyuntikan gonadotropin pada ikan Carassius carassius, yang diduga t erjadinya pengambilan kolesterol oleh ovarium untuk sintesis hormon steroid reproduksi. Kanazawa, Chim dan Laubier (1988) yang mengamati akumulasi kolesterol pada organ udang Penaid mencatat bahwa pada saat aktivitas perkembangan gonad,
kandungan kolesterol
ovarium mencapai 6-40 kali lebih tinggi dibandingkan organ jeroan,
daging dan
hepatopankreas. Singh dan Singh ( 1990) yang mengarnati ikan Heleropneustes fossilis mencatat bahwa kandungan kolesterol bebas dan teresterifikasi pada ovarium
akan meningkat sejak fase persiapan dan minimal pada fase sebelum pemijahan, kernudian meningkat kembali selama pemijahan.
Menurut Kanazawa e t al. (1988)
akumulasi kolesterol pada ovarium tidak saja berperanan dalam menyiapkan bahan untuk sintesis hormon steroid, narnun juga dipersiapkan untuk telur, yang kemudian dipakai larva selarna fase tumbuh Hubungan vitamin C terhadap akumulasi koIesterol pada ikan telah dicatat pula oleh Kosutarak e / al. (1995 a dan b ). namun terhadap
27
juvenil i kan sebelah (Paralichthys o l i ~ ~ a c e idan ~ s ) ikan "red sea bream " ( P a g ~ r u s mayor), ditemui bahwa pada jaringan hati dan daging ikan yang menerima pakan
dengan suplementasi askorbil-2-fosfat magnesium mengandung kadar kolesterol yang lebih rendah dari ikan yang menerima pakan tanpa suplementasi askorbil-2-fosfat magnesium. Hasil percobaan Ishibasi el al. (1 994) mengenai pengaruh vitamin C terhadap induk ikan O p i e p ~ a f h r r s j a s c i a f ~ mencatat ~s bahwa ada korelasi antara kandungan kolesterol plasma dengan kadar suplementasi vitamin C dalarn ransum. Kandungan kolesterol plasma adalah 18 1, 183, 195, 150 mg/dl pada induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C masing-masing 0, 300, 1000 dan 3000 mg/kg pakan d a n indeks gonad somatik induk masing-masing adalah 0.5, 0.9, 1.4 dan 0.8%. Waagbo et al. (1989) yang mengamati peranan vitamin C terhadap induk ikan trout mencatat bahwa pada saat vitelogenesis,
kandungan kolesterol serum induk yang
menerima pakan dengan suplementasi asam askorbat 2000 mg/kg pakan pada periode awal lebih rendah dibandingkan dengan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi asam askorbat, namun menjelang kolesterol meningkat mendekati sama.
musim
reproduksi kandungan