TINJAUAN PUSTAKA Mastitis Mastitis berasal dari bahasa Yunani yaitu “mastos” yang berarti kelenjar ambing (mammary gland) dan “itis” yang berarti peradangan. Mastitis secara umum di defenisikan sebagai peradangan jaringan internal kelenjar susu atau ambing yang disertai perubahan fisik, kimia, mikrobiologi, ditemukannya kuman patogen dan adanya peningkatan jumlah sel somatis terutama leukosit dalam susu dan dapat disertai perubahan patologi pada jaringan ambing (Sudarwanto 1999). Dalam beberapa literatur hampir semua kasus mastitis disebabkan oleh mikroorganisme dalam kelenjar ambing. Mikroorganisme itu dapat berupa bakteri, cendawan, mikoplasma, dan virus. Jenis bakteri yang banyak berperan sebagai penyebab mastitis yaitu Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberis, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Escherichia coli, Escherichia feundii, Aerobacter aerugenes dan Klebsiella pneumoniae (Poeloengan 2009). Selain itu, hasil penelitian Hamidjojo juga
menemukan
kebaradaan
Streptococcus
agalactiae
sebesar
84,1%,
staphylococcus aereus 9,7% serta E. coli sebesar 0,9 % pada kasus mastitis (Winaningrum 1999). Ada dua macam mastitis yaitu mastitis klinis dan mastitis subklinis. Mastitis klinis yaitu mastitis yang ditandai dengan gejala klinis yang jelas seperti gejala panca radang, sedangkan mastitis subklinis yaitu peradangan jaringan interna ambing tanpa gelaja klinis seperti bengkak merah dan rasa sakit. Mastitis ini ditandai dengan peningkatan jumlah sel radang lebih dari 400.000 sel tiap ml susu yang berasal dari ambing laktasi normal (Sudarwanto 1997). Mastitis sering disebut penyakit mahal oleh peternakan sapi perah karena kerugian yang ditimbulkan penyakit ini tidak hanya pada turunnya produksi akan tetapi juga terhadap kualitas hasil olahan susu (Lukman et al. 2009). Kebanyakan mastitis disebabkan masuknya mikroorganisme ke dalam puting susu dan berkembang dalam jaringan ambing menghasilkan produk biologis dan metabolit. Bahan-bahan ini akan mengiritasi jaringan dan menimbulkan reaksi radang. Adanya reaksi radang ini mengakibatkan fungsi-
5 fungsi alveol terganggu sehingga produksi dan kualitas susu turun (Lukman et al. 2009) Pada penelitian eksperimental mastitis subklinis menggunakan mencit, susunan histologi kelenjar mamae berubah. Sebagian besar kelenjar mengalami atropi (mengecil) karena sel epitel alveol mengalami degenerasi dan nekrosa, lumen menyempit bahkan ada alveol yang menghilang. Sel radang berupa PMN (polymorphonuclear), makrofag, dan limfosit menginfiltrasi fokus peradangan, fibrosis juga terjadi dan pergantian jaringan nekrotik oleh jaringan lemak. Jika jaringan lemak terbentuk dalam waktu yang cepat akan mengakibatkan involusi dini kelenjar mamae sehingga tidak mampu memproduksi susu. Sel epitel alveol mengalami degenerasi dan nekrosis yang ditunjukkan dengan perubahan intensitas warna sitoplasma sel yang berwarna lebih merah dengan inti mengecil berwarna lebih gelap dengan HE. Inti sel kadang-kadang menghilang (Estuningsih 2002). Selain itu, pada mastitis subklinis juga terjadi peningkatan jumlah sel somatik. Peningkatan jumlah sel somatik ini memberikan efek negatif terhadap kualitas produk melalui aktifitas enzimatis (protease dan lipase). Aktivitas enzimatis berakibat pada menurunnya produk keju dan daya tahan susu pasteurisasi, perubahan produksi asam pada produk-produk susu fermentasi, produk mentega mudah menjadi tegik dan adanya perubahan rasa pada sebagian produk olahan. Peningkatan jumlah sel somatik juga mempengaruhi produksi susu sehingga menimbulkan banyak kerugian (Lukman et al. 2009). Berikut tabel hubungan antara jumlah sel somatik dengan penurunan produksi susu dan perkiraan kerugian. Tabel 1 Hubungan antara jumlah sel somatik dengan penurunan produksi susu Jumlah sel somatik/ml
Penurunan produksi susu (%)
500.000-1.000.000
10%
1.000.000-5.000.000
24.6%
>5.000.000
37.5%
Sumber: Lukman et al. (2009)
6 Tabel 2 Hubungan antara jumlah sel somatik dengan perkiraan kerugian Jumlah sel somatik/ml
Kehilangan susu/tahun/sapi
250.000-500.000
180 liter
500.000-750.000
340 liter
750.000-1.000.000
770 liter
>1.000.000
900 liter
Sumber: Lukman et al. (2009) Vaksinasi/Imunisasi Imunisasi adalah suatu proses membangkitkan kekebalan protektif dengan menggunakan antigen yang relatif tidak berbahaya (VMES 2004). Imunisasi memberi kekebalan yang efektif dengan membentuk antibodi yang cukup banyak dan menambah populasi sel-sel limfosit yang dapat berkembang dengan cepat bila terjadi kontak dengan antigen (Roitt 1985). Ada dua macam imunisasi yaitu imunisasi pasif dan imunisasi aktif. Imunisasi pasif menghasilkan kekebalan tubuh dengan cara memindahkan antibodi dari hewan yang resisten kepada hewan yang rentan. Sayangnya resistensi yang dihasilkan hanya bersifat sementara, memberi perlindungan yang cepat namun cepat pula dikatabolisme, sehingga resipien menjadi rentan kembali terhadap infeksi ulang. Tidak ada sel memory yang akan melindungi ternak apabila antibodi dalam imunisasi pasif telah habis (Virella 2001). Namun beberapa tahun terakhir imunisasi pasif mengalami perkembangan. Imunisasi pasif sekarang tidak hanya memindahkan antibodi tapi juga sel T. Pemindahan sel T berfungsi sebagai imunoterapi terhadap pengobatan sel-sel kanker (Ibrahim dan Wahid 2010). Imunitas aktif yaitu pemberian antigen pada hewan sehingga hewan dapat menanggapi antingen dengan meningkatkan tanggap kebal protektif berperantara sel T dan sel B. Ada dua jenis vaksin yang digunakan dalam imunisasi aktif yaitu vaksin hidup dan vaksin mati. Masing- masing vaksin ini mempunyai kelebihan dan kekurangan (Tizard 1987).
7 Tabel 3 Perbandingan kelebihan dan kekurangan vaksin hidup dan vaksin mati Vaksin hidup
Vaksin mati
Dapat menyebabkan penyakit karena Tak mungkin menyebabkan penyakit virulensi residual karena virulensi residual atau kembali ke sifat semula Diperlukan beberapa dosis ulangan
Tidak memerlukan dosis banyak
Imunitas kuat dan selama hidup
Imunitas lemah
Tidak perlu adjuvan Kurang resiko hipersensitivitas Vaksin dapat merangsang produksi interferon Sumber: Tizard (1987) Menurut Tizard (1987) vaksinasi yang baik sebagai pengendali penyakit harus mempunyai kriteria sebagai berikut : 1. Identifikasi mutlak organisme penyebab dengan tepat 2. Mampu melindungi hewan terhadap penyakit 3. Resiko vaksinasi tidak melebihi resiko kemungkinan mengidap penyakit tersebut. Suatu vaksin dapat berasal dari toxoid, virus, patogen protein, DNA, dan bakteri atau yang disebut sebagai vaksin bakteri. Vaksin bakteri yaitu vaksin yang barasal dari suatu bakteri yang telah dilemahkan faktor virulensinya (Kindt 2007). Salah satu contoh bakteri yang digunakan sebagai vaksin adalah Streptococcus agalactiae. Streptococcus agalactiae mempunyai faktor virulensi berupa kapsul polisakarida dan hemaglutinin. Kapsul polisakarida ini tersusun atas asam sialat dan senyawa karbohidrat lainnya yang membentuk struktur oligosakarida yang berperan dalam mencegah fagositosis, menentukan ketahanan hidup dan mencegah proses pembunuhan bakteri (Wibawan dan Laemmler 1990). Secara umum ada tiga cara pembuatan vaksin yaitu metode fisika seperti pemanasan, metode biologi seperti modifikasi genetik, dan metode kimia seperti penggunaan suatu senyawa spesifik. Dewasa ini pembuatan vaksin semakin maju hingga sampai pada suatu teknik dengan menggunakan radiasi radioaktif atau nuklir. Penelitian vaksin yang diradiasi ini sebenarnya sudah lama dimulai. Pada
8 tahun 1967 Nussenzweig et al. melakukan penelitian vaksin yang telah diradiasi terhadap penyakit malaria pada mencit. Hasilnya membuktikan bahwa vaksinasi mencit dengan sporozoit Plosmodium berghei yang diatenuasi dengan radiasi mampu memproteksi tantangan sporozoit infektif (Syaifudin et al. 2008). Setelah itu, penelitian tentang vaksin yang radiasi semakin berkembang. Pada tahun 1992, Badan Teknologi Nuklir Nasional meluncurkan sebuah vaksin terhadap penyakit koksidiosis yang pembuatannya menggunakan radiasi. Dalam pembuatan suatu bahan vaksin, jenis radiasi yang biasa digunakan adalah sinar gamma yang memiliki daya tembus tinggi dan panjang gelombang pendek (Hall 1994). Radiasi sinar gamma ini dapat menghasilkan suatu imunogen yang potensial untuk vaksin dan memicu pembentukan antibodi yang optimal dalam menahan infeksi berikutnya (Hook et al. 2003). Radiasi dengan dosis optimum akan menyebabkan kerusakan pada DNA sehingga mikroorganisme tidak mampu melakukan replikasi dan tidak menimbulkan infeksi (Syaifudin et al. 2008). Penggunaan suatu vaksin dapat melalui beberapa rute namun yang paling umum dilaksanakan melalui intarmuskular dan subkutan karena caranya yang relatif mudah. Tehnik ini biasanya digunakan pada hewan yang jumlahnya relatif sedikit. Pada hewan yang jumlahnya banyak seperti ayam, pemberian vaksin dapat dilakukan melalui spray (aerosol), dicampurkan pada makan dan minumannya, diteteskan pada mata, dan lain-lain (Tizard 1987). Pada mencit pemberian vaksin lebih banyak dilakukan melalui intramuscular dan subkutan. Vaksin akan mempengaruhi tanggap kebal. Antigen yang ada pada vaksin akan berikatan dengan reseptor yang ada pada limfosit. Ikatan ini akan merangsang limfosit untuk berkembang-biak dan berdiferensiasi menjadi sel B yang akhirnya menghasilkan antibodi dan sel T yang menimbulkan kekebalan berperantara sel (Tizard 1987). Berkembang biaknya limfosit ini akan mengakibatkan populasinya di darah perifer juga akan meningkat. Pada limpa masuknya antigen atau vaksin akan meningkatkan jumlah folikel dan merangsang folikel primer yang sebagian besar terdiri atas sel B membentuk germinal center dan berubah menjadi folikel sekunder. Sel penghasil
9 antibodi yang ada pada folikel ini akan berpindah menuju ke pulpa merah dan zona pembatas. Di sini sebagian besar antibodi diproduksi (Tizard 1987). Selain itu, dengan adanya vaksinasi juga akan merangsang proses hemopoietik pada sumsum tulang (Stockham dan Scott 2002).
Mencit Mencit (Mus musculus) merupakan salah satu hewan rodensia yang cepat perkembangbiakannya, memiliki potensi reproduksi tinggi, masa kebuntingan yang singkat, berukuran kecil, dan fisiologis terkarakterisasi dengan baik. Selain itu mencit juga mempunyai harga yang relatif murah dan mudah dipelihara dalam jumlah banyak (Sirois 2005). Alasan inilah mencit banyak digunakan dalam penelitian
biomedis
untuk
mempelajari teratologi,
genetik,
gerontologi,
toksikologi, dan karsinogenesitas. Sistem taksonomi mencit sebagai berikut (Arrington 1972): Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Rodensia
Genus
: Mus
Spesies
: Mus musculus
Selain itu, untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam suatu penelitian, kita harus mengetahui data fisiologis serta perilaku-perilaku hewan tersebut. Berikut data fisiologis mencit yaitu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988): Lama hidup
: 1-2 tahun
Lama kebuntingan
: 19-21 hari
Umur dewasa
: 35 hari
Umur dikawinkan
: 8 minggu (jantan atau betina)
10 Siklus estrus
: 4-5 hari
Siklus kelamin
: poliestrus
Lama estrus
: 12-14 jam
Berat dewasa
: 20-41 gram jantan, 18-35 gram betina
Jumlah anak
: rata-rata 6, bisa sampai 15
Volume darah
: 75-80 ml/kg
Sel darah putih
: 6.0-12.6 x 103/mm3
Neutrofil
: 12-30%
Eosinofil
: 0.2-4.0%
Monosit
: 1-12%
Limfosit
: 55-85%
Penggunaan mencit dalam penelitian juga telah sampai pada percobaan pembuatan vaksin. Beberapa contoh vaksin yang percobaannya menggunakan mencit adalah vaksin streptococcus grub B, vaksin polisakarida multivalen S. Pneumoniae (Anonim 2010), vaksin DNA, vaksin pemblokir kokain, vaksin malaria (Johnson dan Roehrig 1998), dan lain sebagainya. Vaksin-vaksin ini dicoba pada mencit terlebih dahulu untuk melihat keefektifan dan keamanan dari vaksin sebelum digunakan oleh penggunanya. Leukosit Ada dua tempat pembentukan leukosit yaitu sumsum tulang dan organ limfoid. Pada sumsum tulang terjadi pembentukan sel granulosit, monosit dan beberapa limfosit sedangkan pada organ limfoid terjadi pembentukan limfosit dan plasma sel. Leukosit yang telah matang akan bersirkulasi di darah dan akan pergi ke tempat dimana mereka dibutuhkan. Suatu proses infeksi atau inflamasi ditandai dengan infiltrasi sel-sel leukosit ini karena leukosit merupakan respon awal tubuh terhadap serangan agen infeksius (Guyton dan Hall 2006). Leukosit terbagi atas dua golongan besar yaitu granuler (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan agranuler
11 (monosit dan limfosit). Pembagian ini didasarkan ada atau tidaknya butiran dalam sitoplasma (Frandson 1996). 1. Neutrofil Morfologi neutrofil normal secara umum sama pada setiap spesies mamalia domestik. Kromatin dari nukleusnya mengalami pemadatan dan bersegmen-segmen. Neutrofil dikatakan matang apabila dia mempunyai minimal dua lobus. Sitoplasmanya umumnya tampak polos atau merah muda dan sedikit basofilik (Harvey 2001).
Gambar 2 Neutrofil mencit (perbesaran 100x) (Sumber: Theml et al. 2004) Neutrofil diproduksi dalam sumsum tulang bersama-sama sel granulosit lainnya. Jumlah neutrofil terbanyak kedua setelah sel limfosit dalam peredaran darah perifer mencit yaitu sebesar 20-30% dari total leukosit (Weiss dan Wardrop 2010). Neutrofil dapat bertahan 4-8 jam dalam sirkulasi dan 4-5 hari dalam jaringan. Ada tiga cara
neutrofil masuk ke dalam jaringan yaitu
diapedesis (melalui endotel pembuluh darah), ameboid motion, chemotaxis (melalui rangsangan zat kimia)(Guyton dan Hall 2006) . Netrofil merupakan baris pertahanan pertama jika seekor hewan atau manusia terinfeksi bakteri, virus, dan sel asing. Neutrofil berusaha menyerang dan merusak agen tersebut melalui proses yang dinamakan fagositosis (Guyton dan Hall 2006). Proses ini dilakukan dengan cara mengurung bakteri mikroorganisme asing di dalam sitoplasmanya yang mengandung enzim proteolitik. Enzim ini mampu mencerna dinding sel dan setelah melakukan
12 fagositosis neutrofil menjadi inaktif dan mati bersama dengan mikroorganisme asing yang menghasilkan nanah yang nantinya akan diserap kembali oleh tubuh (Tizard 1987). Peningkatan jumlah neutrofil dalam peredaran darah terjadi akibat adanya infeksi akut, sedangkan penurunan jumlah neutrofil disebabkan infeksi yang berjalan kronis (Wick 1997). Penurunan jumlah neurofil disebabkan karena tidak mampunya neutrofil melawan agen infeksi sehingga merangsang peningkatan makrofag dan monosit di dalam tubuh (Tizard 1987). 2 Eosinofil Eosinofil mempunyai granul yang besar dan bersifat asidofilik karena menyerap warna dari eosin. Nukleus dari eosinofil hampir sama dengan neutrofil tapi cenderung mempunyai lobulasi sedikit. Sitoplasmanya biasanya sedikit berwarna biru (Harvey 2001). Jumlah eosinofil yang bersirkulasi di dalam tubuh sekitar 0-7% (Weiss dan Wardrop 2010). Eosinofil diproduksi dalam jumlah banyak jika seekor hewan atau manusia terinfeksi oleh parasit. Meskipun sebagian besar parasit terlalu besar untuk difagositosis oleh eosinofil namun eosinofil dapat melakukan ini dengan cara menempel pada parasit. Setelah itu melepaskan beberapa substrat yaitu enzim hidrolitik dari granulnya, melepaskan bentuk oksigen yang sangat reaktif yang dapat mematikan parasit, atau melepaskan polypeptida yang larvasida dari granulnya (Guyton dan Hall 2006).
Gambar 3 Eosinofil mencit (perbesaran 100x) (Sumber: Theml et al. 2004) Selain itu eosinofil juga memiliki kecenderungan untuk mengumpul pada jaringan dimana reaksi alergi terjadi. Hal ini terjadi karena ternyata sel
13 eosinofil dan basofil ikut berpartisipasi dalam reaksi alergi dan shock anafilaksis (Swenson et al. 1993). Basofil melepaskan chemotaxis eosinofil yang menyebabkan eosinofil bermigrasi ke radang jaringan akibat alergi. Eosinofil diyakini dapat mendetoksifikasi beberapa zat yang merangsang dilepaskan sel mast dan menghancurkan kompleks alergen-antibodi (Guyton dan Hall 2006). 3. Basofil Basofil adalah granulosit yang bersifat polimormonuklear-basofilik. Pada umumnya basofil mempunyai sitoplasma berwarna biru pucat dan inti basofil kurang tersegmentasi daripada inti neutrofil. Granul basofil bersifat asam, berwarna biru tua sampai dengan ungu yang sering menutupi inti yang berwarna agak cerah (Harvey 2001). Basofil merupakan leukosit yang paling jarang, jumlahnya sangat rendah yaitu sekitar <1% dari leukosit dalam sirkulasi (Theml et al. 2004).
Gambar 4 Basofil mencit (perbesaran 100x) (Sumber: Theml et al. 2004) Basofil dan sel mast merupakan dua komponen yang sangat mirip secara fungsi. Sel mast dan basofil ini memainkan peranan yang sangat penting dalam sebuah reaksi alergi yang disebabkan oleh antibodi seperti Imunoglobulin E (IgE). IgE memiliki kecenderungan khusus untuk melekat pada sel mast dan basofil, kemudian apabila antigen spesifik untuk IgE beraksi dengan antibodinya, maka akan menyebabkan sel mast dan basofil akan pecah dan melepaskan histamin, bradikidin, serotonin, heparin, slow-reacting substance dari anafilaksis, dan sejumlah enzim lisosom. Ini menyebabkan peradangan pada pembuluh darah lokal dan reaksi alergi (Guyton dan Hall 2006).
14 4. Monosit Monosit merupakan leukosit mononuklear dan biasanya lebih besar dari pada limfosit. Monosit mempunyai inti seperti huruf “U” atau tapal kuda berbentuk ginjal, band-shaped, atau berbelit-belit (ameboid) dengan kromatin yang menyebar atau sedikit mengelompok. Sitoplasmanya biasanya berwarna biru-abu-abu dan sering terdapat vakuola (Harvey 2001). Jumlah monosit di dalam sirkulasi sekitar 2-8% dari leukosit yang beredar. Fungsi utama dari monosit adalah sebagai alat pertahanan terhadap infeksi bakteri, jamur, virus, dan benda asing (Theml et al. 2004).
Gambar 5 Monosit mencit (perbesaran 100x) (Sumber: Weiss dan 2010) Monosit
berkembang
menjadi
makrofag
apabila
Wardrop
mereka
telah
meninggalkan pembuluh darah dan masuk ke jaringan (Harvey 2001). Namun ada sebagian monosit yang terikat pada jaringan dan tetap melekat selama berbulan-bulan atau bahkan tahun sampai mereka dipanggil melalui chemotaxis apabila ada rangsangan atau inflamasi. Monosit dan makrofag membunuh mikroorganisme melalui proses fagositosis sehingga dikenal juga sebagai sistem fagositik mononuklear (Guyton dan Hall 2006). Selain itu makrofag juga berfungsi dalam proses dan regulasi respon imun terhadap adanya
antigen dan mensekresikan sitokin (misalnya IL-10,
IL-12,
Transforming growth factor (TGF)-β), memodulasi respon inflamasi melalui sekresi faktor pertumbuhan hematopoietik (misalnya granulosit, koloni monosit), menginisiasi inflamasi (IL-1,IL-6, TNF-α, menghambat inflamasi
15 (IL-10, TGF-β), regulasi metabolisme besi, menghapus jaringan yang mati dan rusak (Weiss dan Wardrop 2010). Pada penyakit yang berlangsung kronis monosit lebih banyak ditemukan daripada neutrofil namun apabila penyakit bersifat akut neutrofil lebih banyak ditemukan daripada monosit atau makrofag (Ganong 1995). 5. Limfosit Limfosit merupakan sel leukosit agranulosit yang memiliki sitoplasma dengan warna biru muda sedangkan intinya berwarna ungu tua. Limfosit mempunyai ukuran yang sangat bervariasi (Theml et al. 2004) dan jumlahnya dalam sirkulasi sekitar 70-80% dari total leukosit (Weiss dan Wardrop 2010). Ada dua jenis limfosit yatu limfosit kecil dan besar. Perbedaan kedua bisa di lihat dari besar sitoplasma yang terlihat. Biasanya limfosit besar intinya hampir menutupi semua sitoplasma sedangkan limfosit kecil sitoplasmanya jelas terlihat.
Gambar 6 Limfosit mencit (perbesaran 100x) (Sumber: Theml et al. 2004) Limfosit merupakan unsur kunci dalam sistem kekebalan. Pada mamalia, sistem ini mampu menghasilkan antibodi melawan beberapa juta agen asing berbeda yang bisa menginvasi badan. Limfosit berdiferensiasi menjadi sel T dan sel B. Sel T berperan dalam imunitas seluler yang bertanggung jawab bagi reaksi alergi tertunda dan penolakan transplan jaringan asing. Ada empat jenis sel T yang telah dikenali yaitu sel T pembantu/penginduksi, sel T supressor, sel T cytotoxic dan sel T memory. Dua jenis pertama terlibat dalam regulasi
16 produksi antibodi oleh turunan sel B, sedangkan sel T sitotoksik merusak sel yang ditransplantasi dan sel asing lainya. Sel B berperan dalam imunitas humoral yaitu imunitas yang terbentuk karena antibodi bersirkulasi di dalam fraksi γ globulin protein plasma. Sel B dapat berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memory (Ganong 1995). Sel B dan sel T kelihatan identik dan tidak bisa dibedakan secara morfologi. Karena itu untuk membedakan perlu mengenal beberapa ciri-ciri fungsionalnya. Salah satu cara untu membedakan sel T dan sel B adalah mengenal ciri khas antigen-permukaan sel. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat antisera khusus terhadap subpopulasi limfosit. Jadi, sel timus diinokulasi
ke
hewan
yang
berbeda
spesies
yang
kemudian akan
menanggapinya dengan membuat antibodi anti-sel T khusus. Antibodi ini secara kimiawi dapat disenyawakan dengan zat warna flouresen. Bila limfosit direndam dalam antibodi flouresen ini maka antibodi akan mengikat sel T dan akan bersinar di dalam kegelapan jika di sinari ultraviolet. Teknik ini juga bisa digunakan untuk sel B dengan menggunakan serum anti-imunoglobulin permukaan sel yang akan mengikat sel B (Tizard 1987). Selain itu, dewasa ini juga banyak dibuat antibodi monoklonal terhadap subpopulasi limfosit yang digunakan dengan tehnik imunohistokimia untum mencari sel-sel tersebut di jaringan tubuh. Limpa Limpa berfungsi sebagai organ yang menyaring darah dan membuang partikel antigen serta sel darah yang sudah tua. Limpa memiliki kapsul yang kaya otot polos dan serat elastis. Bagian parenkimnya dibagi menjadi dua bagian yaitu pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa merah merupakan bagian untuk menyimpan eritrosit, penjeratan antigen dan eritropoiesis, sedangkan pulpa putih tempat terjadinya proses tanggap kebal (Bacha dan Bacha 2000). Pada daerah pulpa putih terdapat folikel primer yang berisi sel limfosit B. Apabila terjadi respon terhadap antigen maka akan terbentuk germinal center pada pulpa putih yang disebut dengan folikel sekunder. Setiap folikel sekunder yang terbentuk dikelilingi oleh selapis sel T yang disebut dengan marginal zone. Pulpa putih secara keseluruhan
17 terpisah dari pulpa merah oleh sinus pembatas yaitu suatu selubung retikulum dan zona pembatas yang terdiri atas sel (Tizard 1987).
a b c d Gambar 7 Limpa mencit (perbesaran 4x). Pulpa putih (a); Pulpa merah (b); Marginal zone atau zona pembatas (c); Kapsula (d). (Sumber: Bacha dan Bacha 2000) Pembuluh darah memasuki hilus limpa dan bercabang masuk ke trabekula. Ketika memasuki parenkim limpa dan mengelilingi pulpa putih, terdapat daerah yang disebut dengan arteri pusat. Adanya akumulasi limfosit pada daerah ini akan membentuk periarterial lymphatic sheaths (PALS). Setelah meninggalkan pulpa putih, arteri akan bercabang menjadi beberapa arteriol dan kembali bercabang menjadi kapiler. Umumnya percabangan ini disebut penicillus karena secara kolektif mereka seperti bulu sikat. Kapiler dari penicillus dikelilingi oleh lapisan konsentris dari makrofag. (Bacha dan Bacha 2000). Antigen yang masuk ke dalam limpa akan dijerat oleh makrofag baik yang terdapat pada zona pembatas (marginal zone) maupun zona yang membatasi sinusoid pulpa merah. Sel ini membawa antigen ke folikel primer dalam pulpa putih. Setelah beberapa hari, sel plasma bermigrasi. Sel plasma menempati zona pembatas dan pulpa merah. Disinilah partama kali terbentuk antibodi terhadap antigen tersebut. Pembentukan pusat germinal juga terbentuk dalam folikel primer. Selain itu apabila antigen memasuki limpa maka dimulailah penjeratan limfosit yaitu limfosit yang biasanya melewati secara bebas organ ini, terjerat sehingga tidak dapat lepas. Sifat proses penjeratan ini belum jelas, namun mungkin terjadi sebagai akibat interaksi antara antigen dengan makrofag sehingga
18 menyebabkan keluarnya monokin yang mempengaruhi pergerakan limfosit. Penjeratan ini berfungsi untuk mengumpulkan sel peka-antigen di tempat yang dekat dengan tempat antigen terkumpul yang secara tidak langsung menambah efisiensi tanggap kebal (Tizard 1987). Setelah kurang lebih 24 jam, limpa mulai melepaskan sel yang terjebak dan memperlihatkan adanya pertambahan jumlah sel selama kurang lebih tujuh hari. Pada akhir dari semua periode ini, banyak sel yang dilepaskan ke perifer menjadi penghasil antibodi dan sel memori (Tizard 1987). Sumsum Tulang Sumsum
tulang
merupakan
organ
hematopoiesis
yang
berfungsi
memproduksi sel darah dan trombosit. Struktur sumsum tulang mempunyai dua bagian yaitu bagian hematopoietik dan sinusoid vaskuler. Kedua bagian ini dikelilingi oleh cortical bone (tulang keras) dan terletak bersebelahan seperti potongan sebuah kue (Tizard 1987). Sinusoid vaskuler akan menyatu di bagian tengah tulang dan membentuk vena sentral (Gambar 8) sedangkan bagian hematopoietik merupakan tempat terjadinya perkembangan sel darah sehingga pada daerah ini terdapat berbagai macam bentuk perkembangan sel darah (Gambar 9) (Weiss dan Wardrop 2010).
19
Gambar 8
Potongan melintang tulang panjang. (Sumber Weiss dan Wardrop 2010)
Gambar 9 Sumsum Tulang (perbesaran 312x). Debris azurofilik (1); Erythroblast Basofilik (2); Myelosit Basofilik (3); sel band Eosinofilik (4); Myelosit Eosinofilik (5); Erythrosit (6); Sel Erythroid (7); Sel Granulositik (8); Megakaryosit (9); Mitotik (10); Sel band neutrofilik (11); Erythroblast Orthochromatofilik (12); Osteoblast (13); Osteoclast (14); Sel plasma (15). (Sumber: Bacha dan Bacha 2000)
20 Sel darah awalnya berasal dari sel omnipotent yang berkembang menjadi sel limfoid pluripotent dan sel myeloid pluripotent. Sel limfoid menghasilkan keturunan limfosit sedangkan sel myeloid menghasilkan keturunan eritrosit, megakariosit, basofil, eosinofil, neutrofil dan makrofag (Weiss dan Wardrop 2010). Perkembangan sel-sel limfoid dan myeloid bervariasi melalui beberapa tahap seperti pada gambar 9.
Gambar 10 Tahap perkembangan sel darah (Sumber: Theml et al. 2004) Neutrofil, eosinofil, dan basofil berkembang dari sel myeloblast. Sel ini akan membelah menjadi sel promyelocyte. Sel promyelocyte ini mempunyai inti yang relatif besar dengan nukleus dan kromatin yang mulai menyatu. Sitoplasmanya
mengandung
nonspecific
azurophilic
granul.
Promyelosit
membelah menjadi myelocyte. Myelosit memiliki bentuk lebih kecil dengan nukleus dan kromatin yang memadat. Perbedaan granulosit akan memungkinkan sel tersebut berubah menjadi neutrofil, eosinofil, atau basofil. Setelah itu sel tersebut mangalami metamyelocyte yang membuat inti memanjang dan
21 membentuk kacang sebelum akhirnya membentuk segmentasi pada saat pematangan (Weiss dan Wardrop 2010). Pada gambar 10 juga menjelaskan bahwa sel limfoid berkembang menjadi NK Cell, T-limphoblast, dan B- T-limphoblast yang akan menghasilkan NK Cell, limfosit T, dan limfosit B. Sel limfoid yang belum matang dan makrofag terletak di dekat endosteum dan arteriol sedangkan limfosit yang sudah matang terletak di parenkim sumsum tulang (Weiss dan Wardrop 2010) dan akan bermigrasi ke organ limfoid sekunder seperti limpa dan limfonodus untuk mengalami pendewasaan (Tizard 1987). Semua sel darah yang sudah matang masuk dalam sinusoid dan terus ikut dalam aliran darah sedangkan sel yang belum matang akan tetap tinggal dalam sumsum tulang. Pada mencit 70-90% dari ruang sumsum tulang merupakan tempat terjadinya hematopoietis. Adanya perubahan morfologi sel, perubahan jumlah relatif dalam populasi sel, perubahan urutan perkembangan dan tidak adanya salah satu sel darah merupakan indikasi adanya gangguan hematopoiesis pada hewan tersebut (Barthold et al. 2007).
1
Gambar 11 Os Femur mencit (Perbesaran 4x). Sumsum tulang (1). (Li et al. 2010)