Timbangan Syariah dalam Teror Bom Sarinah Miftahul Ihsan, Lc. Redaktur kiblat.net
Kamis 14 Januari 2016, bom dan letusan pistol membahana di Kawasan Sarinah, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Banyak analisa mengemuka terkait motif dari serangan tersebut. Ada yang menganalisis bahwa serangan tersebut adalah upaya untuk pengalihan isu dari waktu batas akhir Freeport menawarkan divestasi. Ada juga yang mempertanyakan kenapa Kedubes Amerika sudah memperingatkan warganya beberapa jam sebelum penyerangan terjadi. Sementara polisi langsung menunjuk ISIS sebagai dalang di balik serangan. Semua menjadi yakin ISIS di balik serangan itu setelah sebuah sumber akun twiter—yang tidak
1
jelas siapa di belakang layarnya—mengakui menerima kabar bahwa ISIS di balik peristiwa tersebut. Di tengah simpang siur siapa sesungguhnya pelaku dan apa motifnya, ada sebagian kelompok yang menganggap bahwa penyerangan Sarinah adalah sebuah amal jihad—sebagaimana yang disebutkan oleh kantor berita ISIS. Pertanyaan menarik, benarkah penyerangan Sarinah itu bisa dianggap sebagai aksi jihad? Jihad merupakan amalan yang mulia di dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Induk dari segala perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncak amalan tertingginya adalah jihad fi sabilillah.” (HR Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Jihad; Amal Mulia Tak Boleh Serampangan Banyak keutaman jihad yang disebutkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Ini menunjukkan, nilai urgen jihad dalam ajaran Islam. Begitu urgennya pula jihad, Islam juga memberikan rambu-rambu ketat dalam berjihad. Tidak jarang nabi Muhammad SAW mengingkari apa yang dilakukan sahabatnya di dalam berjihad.
2
Sebagaimana Rasulullah SAW pernah menegur Usamah bin Zaid saat membunuh orang kafir yang telah terpojok. Sebelumnya “si kafir” sempat mengucapkan dua kalimat syahadat. Rasulullah SAW juga selalu mewasiatkan adabadab dan rambu-rambu jihad kepada para komandan pasukan yang diutusnya. Hal ini menunjukkan walaupun jihad amalan yang mulai akan tetapi pelaksanaannya harus dikawal dengan rambu-rambu syariat yang ketat. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita bahas apa itu jihad. Kata jihad memiliki dimensi arti yang cukup luas. Karena secara bahasa, jihad berarti bersungguh-sungguh. Tetapi jihad yang dimaksud di sini adalah jihad yang didefenisikan oleh Ibnu Hajar Al-Atsqalani di dalam kitab Fathul Bari. Beliau berkata, “Jihad adalah mengerahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang kafir’,” (Fathul Bari 6/3). Dari pengertian yang disampaikan oleh Ibnu hajar Al-Atsqalani tersebut, dapat dipahami bahwa jihad adalah sebuah amalan yang memerlukan objek. Di atas disebutkan bahwa obyek jihad adalah orang-orang kafir. Maka, dalam menentukan sebuah amalan itu jihad atau bukan, harus ada kejelasan siapa musuh (wudhuhul aduww).
3
Patut kita tanyakan kepada pihak yang menganggap aksi Sarinah adalah jihad, ”Teror Sarinah itu jihad melawan siapa?” Kalau dijawab, aksi melawan orang-orang kafir, maka pertanyaan berikutnya adalah siapa kafir yang Anda maksud? Mungkin mereka akan menjawab bahwa yang menjadi target adalah para Ansharut Thaghut (pembantu thaghut) berupa para polisi-polisi (yang dianggap) kafir. Jawaban seperti ini mungkin saja muncul, mengingat yang dijadikan target oleh mereka adalah pos polisi dan beberapa polisi lainnya.
Mengurai Hukum Ansharut Taghut Untuk mengurai silang-sengkarut dalam masalah ini, yuk kita kaji risalah yang disusun oleh Abu Turab Al-Janubi yang berjudul “Hukmul Junud wa Syurathid Duwal” (Hukum tentara dan polisi negara-negara). Risalah ini adalah kumpulan dari perkataan maupun tulisan Syaikh Athiyyatullah Al-Libi rahimahullah terkait hukum polisi dan tentara yang berdinas di negeri yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Syaikh Athiyatullah memandang perlu mendudukkan masalah ini, mengingat ada pemahaman yang mengatakan bahwa setiap
4
personil polisi ataupun tentara yang bekerja untuk negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka langsung jatuh vonis kafir kepada mereka secara ta’yin (langsung orangnya). Di dalam Mukaddimah buku tersebut Abu Turab Al-Janubi menyebutkan bahwa yang menjadi penyebab munculnya pemahaman di atas adalah buku syaikh Abdul Qadir bin Abdul Azis yang berjudul Al-Jami’ Fi Thalabil Ilmi AsySyarif. Syaikh Abdul Qadir berkesimpulan bahwa ansharut thaghut hukumnya kafir secara ta’yin dan ini merupakan ijma’ (disepakati para ulama, tidak lagi ada pro-kontra di dalamnya). Sementara Syaikh Athiyyatullah Al-Libi saat ditanya hukum para tentara Muammar Ghadafi beliau menjawab, “Mereka yang kita sebut ansharut thaghut, kita harus melihat dulu kondisi mereka. Kita harus melihat detail dan penjabaran masalah ini. Karena permasalahan ini adalah permasalahan ijtihadiyah nadzariyah (teoritis).” Dengan jawaban ini beliau ingin meruntuhkan tembok yang banyak diyakini oleh sebagian aktivis bahwa hukum kekafiran ansharut thaghut secara ta’yin adalah sudah ijma’, dengan menyebut permasalahan ini adalah permasalahan ijtihadiyah nazhariyah.
5
Di dalam risalah di atas, halaman 5 beliau menyebutkan bahwa memang secara umum mereka bisa disebut Thaifah Murtaddah (golongan murtad). Hal ini karena mereka bergabung ke dalam institusi yang melanggengkan praktik berhukum dengan selain hukum Allah, bahkan mereka termasuk penjaganya di barisan terdepan. Akan tetapi mereka tidak boleh dikafirkan secara ta’yin, kecuali memang sudah dikaji dari dari sisi syarat-syarat dan mawani’ (penghalang) kekafiran. Beliau berkata, “Adapun hukum setiap personal (polisi) maka kami tidak mengkafirkan mereka secara ta’yin kecuali mereka yang telah kami dapati pada diri mereka syarat-syarat takfir dan tidak adanya penghalang, sebagaimana kaidah yang berlaku dalam bab ini (bab Takfir).” (Hukmul Junud wa Syurathid Duwal, hal 5) Masih di dalam risalah yang sama, Syaikh Athiyyatullah menjelaskan alasan kehati-hatian beliau dalam menjatuhkan vonis kafir kepada para polisi. “Dalam masalah memvonis kafir (kepada setiap personil polisi dan tentara) kami sangat berhati-hati. Hal ini karena tersebarnya kebodohan di tengah manusia dan rusaknya ilmu dan pemahaman dan redupnya cahaya ilmu dalam masalah ini.
6
Ditambah banyaknya talbis yang dilakukan oleh para ulama materi, ulama penguasa dan sesat yang mana manusia senantiasa berhusnudzon terhadap mereka”. (Hukmul Junud wa Syurathid Duwal, hal 6) Beliau juga menjelaskan bahwa para tentara dan polisi tersebut melakukan kekufuran yang berupa berhukum dengan selain hukum Allah, menganut paham sekuler, nasionalisme dan paham-paham kufur lainnya serta loyal terhadap orang kafir. Namun meski mereka melakukan sekian banyak pembatal keislaman di atas akan tetapi mereka masih merasa bahwa mereka muslim. Hal ini karena tersebarnya kebodohan dan talbis tadi. Di Halaman 7 beliau menjelaskan bahwa untuk menghukumi seorang tentara maka kita bisa melihat 2 kondisi. Pertama adalah kondisi saat aman (tidak terjadi perang). Di dalam kondisi aman maka alasanalasan mereka dengan mengatakan bahwa kami tidak loyal kepada orang kafir dan alasan-alasan lainnya bisa diterima. Kedua, saat kondisi perang dan jelasnya barisan haq dan bathil maka alasan-alasan mereka tidak bisa diterima. Berdasarkan dari penjelasan di atas, maka tidak setiap polisi bisa dihukumi kafir secara takyin, walaupun mereka melakukan pembatal-
7
pembatal keislaman disebutkan di atas.
seperti
yang
telah
Ada berbagai faktor, di antaranya belum tersebarnya ilmu yang benar di tengah-tengah masyarakat dan faktor-faktor lain yang membuat kita tidak bisa secara serampangan memvonis kafir semua polisi. Korban Muslim, apakah dibenarkan? Terlepas dari ejekan orang-orang awam, sulit menghindari penilaian bahwa teror Sarinah kemarin adalah aksi serampangan. Selain tidak adanya kejelasan target yang mereka sasar, serangan itu juga mengakibatkan korban dari kalangan Muslim, baik yang luka maupun yang meninggal. Padahal dalam Islam darah seorang muslim itu amat sangat berharga. Allah SWT berfirman :
َو َمن َي ْق ُت ْل ُمؤ ِْم ًنا ُّم َت َع ِّمدًا ف ََج َزا ُؤ ُه َج َه َّن ُم خَ الِدًا ِف َيها ِ َوغ : َض َب اللَّ ُه َع َل ْي ِه َولَ َع َن ُه َو�َأ َع َّد لَ ُه َع َذا ًبا َع ِظي ًما )93 : (النساء Artinya : “Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah jahannam. Dia kekal di dalamnya. Allah murka padanya, melaknatnya dan Allah mempersiapkan baginya azab yang besar,” (QS An-Nisa’: 93).
8
Rasulullah SAW bersabda, “Kalau seandainya penduduk langit dan bumi berserikat dalam menumpahkan darah seorang mukmin maka Allah akan sungkurkan mereka semua ke dalam neraka,” (HR At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani). Di dalam hadits lain beliau bersabda, “Seorang mukmin masih memiliki kelonggaran di dalam agamanya selama dia tidak menumpahkan darah yang haram untuk ditumpahkan,” (HR Bukhari). Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang menjelaskan mahalnya darah seorang muslim, sehingga tidak boleh ditumpahkan secara sembarangan. Memang, di dalam fikih ada kondisi di mana seorang mujahid diperbolehkan menumpahkan darah seorang muslim dalam kondisi yang tak bisa dihindari. Pembahasan tersebut dinamakan tatarrus, di mana orang-orang muslim dijadikan tameng oleh musuh, sehingga seorang mujahid tidak bisa menyerang musuh kecuali dengan melukai atau membunuh muslim yang dijadikan tameng tadi. Tetapi tatarrus ini tidak bisa diterapkan di setiap kondisi, melainkan hanya pada kondisi-kondisi genting saja. Yaitu kondisi jika kaum muslimin tidak menyerang maka musuh akan berhasil
9
mengalahkan kaum muslimin. Sementara dalam Sarinah, musuh mana yang menjadikan umat Islam sebagai tameng sehingga mereka harus dibunuh? Inilah yang semakin menguatkan bahwa teror Sarinah keluar dari koridor syar’i karena telah menyebabkan tertumpahnya darah seorang muslim tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat.
Bom 14 Januari, Syahidkah? Amaliyah Istisyhadiyah yang sering diterjemahkan dengan aksi bom syahid merupakan sebuah teknik baru dalam berjihad. Beberapa dekade belakangan ini aksi bom syahid sering menjadi alternatif sebuah aksi jihad. Sehingga pro kontra-pun muncul. Pertanyaan tentang hukum melakukan bom syahid pun ditanyakan kepada para ulama. Syaikh Hamud Uqola Asy-Syu’aibi, Syaikh Sulaiman bin Nashir Al Alwan, Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini, Syaikh Albani dan Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-JIbrin termasuk ulamaulama yang memperbolehkan aksi bom syahid dan aksi tersebut merupakan amalan Jihad.
10
Pembahasan tentang dalil-dalil kebolehan amaliyah istisyhadiyah bisa dilihat di sini (baca artikel kiblat.net: Bom Syahid dalam Pandangan Imam Ghazali sampai Al-Albani). Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah, fatwa-fatwa tentanng kebolehan aksi bom syahid adalah fatwa yang menghukumi aksi bom syahid di medan jihad seperti di Palestina dan Chechnya ataupun bom syahid yang memberikan pukulan telak bagi musuh-musuh Islam. Maknanya harus ada maslahat yang didapat, atau setidaknya harus ada perhitungan maslahat yang matang dalam sebuah aksi amaliyah istisyhadiyah. Di antara dalil yang dijadikan dasar dalam membolehkan amaliyah istisyhadiyah adalah fenomena Ghulam dalam kisah Ashabul Ukhdud. Sebagaimana yang diceritakan di dalam Shahih Muslim, hadits no 3005, bahwa Ghulam memberi tahu kepada si raja cara membunuh dirinya setelah berkali-kali gagal. Yaitu, sang raja harus mengucapkan kalimat syahadat. Mengetahui rajanya bersyahadat, rakyatnya pun mengikuti bersyahadat. Di sini, tindakan Ghulam bisa dikategorikan sebagi “bunuh diri.” Tetapi kematian Ghulam tidak sia-sia karena melalui kematiannya,
11
penduduk negeri tersebut beriman kepada Allah. Di antara dalil lainnya yang menyatakan akan kebolehan aksi “bunuh diri” adalah apa yang dilakukan oleh sahabat Barra’ bin Malik. Dikisahkan di dalam Sunan Al Baihaqi 9/44, bahwa suatu ketika kaum muslimin kesulitan memasuki benteng musuh. Pada saat itu Barra’ bin Malik menawarkan diri untuk dilempar ke dalam benteng musuh guna membuka pintu benteng. Resiko yang dihadapi Barra’ bin Malik adalah kematian. Bagaimana tidak, ia seorang diri menghadapi musuh di kandang mereka. Akhirnya Barra’ bin Malik berhasil membukakan pintu dan menjadi sebab kemenangan bagi kaum muslimin. Dari dua kisah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa aksi bom bunuh diri harusnya memberikan kemaslahatan bagi kaum muslimin. Sementara pada kasus teror Sarinah, kemaslahatan apa yang didapat? Sebagaimana diberitakan oleh situs-situs berita online bahwa korban meninggal dari penyerangan Sarinah berjumlah 8 orang, 5 di antaranya adalah pelaku. Kira-kira apa maslahat yang dapat diraih dari penyerangan tersebut?
12
Sebuah Nasehat untuk Pemimpin Al-Qaidah Di dalam buku Letter From Abbotabad Syaikh Athiyyatullah Al-Libi mengirim surat kepada Syaikh Usamah bin Ladin yang berisi evaluasi terhadap aksi jihad yang yang dilancarkan di negeri-negeri muslim non perang. Di dalam surat tersebut Syaikh Athiyyatullah mengusulkan beberapa poin evaluasi kepada syaikh Usamah bin Ladin. Di antaranya : “Kami tidak merekomendasikan operasi jihad di negeri-negeri Islam secara umum, walaupun operasi tersebut menyasar kepentingan si kepala ular (Amerika). Karena terdapat banyak mafsadat yang besar terhadap umat Islam dan bahaya yang tinggi terhadap seluruh lahanlahan dakwah dan sosial. Operasi di negeri kaum muslimin juga memberikan kesempatan bagi si kepala ular untuk menyemburkan racunnya secara lebih massif,” (Letter From Abbotabad, hal 137). Di halaman 138 dari Letter From Abbotabad, Syaikh Athiyyatullah menyebutkan, “Yang demikian ini (menahan diri untuk tidak beroperasi di negeri-negeri Islam) adalah pilihan yang selamat dan lebih mampu menjaga darahdarah yang terjaga dan jiwa-jiwa mukmin, hal ini dikarenakan tercampurnya barisan,” (Letter From Abbotabad hal 138).
13
Masih di dalam risalah yang sama, beliau menyebutkan beberapa madharat yang terjadi dari aksi jihad yang dilakukan di negeri-negeri kaum muslimin. Di antaranya : 1. Kerugian umat karena banyak para komandan dan kader-kader jihad yang terbunuh dan ditangkap karena operasi tersebut. 2. Ditangkapnya para pemuda mujahidin dalam jumlah besar dan orang-orang yang simpati kepada mereka, bahkan mereka akan mendapatkan ujian yang bisa saja menjadi titik balik mereka untuk berubah haluan. 3. Dilarangnya pembicaraan, khutbah dan kajian yang bertemakan jihad. 4. Masyarakat menjadi antipati terhadap kata jihad, ditambah musuh juga memperburuk citra jihad. 5. Ditutupnya berbagai macam LSM yang membantu negeri-negeri kaum muslimin. 6. Membahyakan dakwah dan amar makruf nahi munkar dan seluruh lahan amal Islami. Ini mungkin beberapa poin madhorot yang disampaikan Syaikh Athiyyatullah Al-Libi kepada Syaikh Usamah, sebenarnya masih banyak lain
14
poin-poin madharat yang ditimbul oleh aksi jihad di negeri kaum muslimin. Agaknya poin-poin madharat yang disampaikan oleh Syaikh Athiyyatullah di atas mulai kita rasakan beberapa hari pasca kejadian. Kita bisa saksikan bagaimana pasca aksi tersebut polisi menangkap beberapa orang yang sedang latihan panah di Jogjakarta. Begitu juga dengan revisi UU Terorisme oleh pemerintah dan DPR, bisa dipastikan akan semakin mempersempit gerak aktivis-aktivis Islam dalam mendakwahkan syariat Islam dan upaya penegekan syariat di negeri ini l
15