PROCEEDINGS JOINT CONVENTION BALI 2007 The 32nd HAGI, The 36th IAGI, and The 29th IATMI Annual Conference and Exhibition
THE UTILIZATION OF RESISTIVITY AND GPS METHODS IN LANDSLIDE MONITORING: CASE STUDY AT PANAWANGAN AREA – CIAMIS, INDONESIA R. Sule1, Syamsuddin2, F. Sitorus1, D. A. Sarsito3 and I. A. Sadisun4 1
Geophysical Science and Engineering Research Division – ITB, Basic Science Center B Building, Jl. Ganeca 10, Bandung 40135, Indonesia. 2 Department of Physics - Hasanuddin University 3 Geodesy Research Division – ITB 4 Applied Geology Research Division – ITB
ABSTRACT The combination of resistivity and GPS (Global Positioning System) methods in landslide monitoring was carried out in Panawangan area, Ciamis, Indonesia. The resistivity method is a powerful method in determining resistivity distribution below subsurface. The resistivity of Halang (dominated by claystone) and Cijulang (dominated by breccia) formations can be clearly distinguished from the inversion results of resistivity data. The interfaces between both formations could act as sliding planes. The low resistivity spots in some sections show the possibility of surface water incharge, which penetrate from the surface to the subsurface. Some low resistivity spots are situated below ponds, which are commonly found on the study area. These spots could act as trigger for landslide occurrence, since water incharge from surface into subsurface could be caused by rainfall that infiltrate through fractures and water leakage inside ponds. The GPS surveys are carried out in three separate times, namely on October 2005, May 2006 and February 2007. The results show significant movement/displacement of the ground in the study area, with a maximum horizontal displacement of 175 mm and a maximum vertical displacement of 6 mm. Thus, the quantitative results obtained from those methods are combined to judge the potency of landslide in the study area in a better way. Keywords: resistivity, GPR, GPS methods, landslide potency.
PENDAHULUAN Indonesia terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, lempeng HindiaAustralia, dan lempeng Pasifik. Pada daerah di sekitar batas lempeng inilah pada umumnya aktifitas tektonik utama berlangsung, seperti misalnya subduksi, tumbukan (collision), pemekaran punggung tengah samudra, dan sesar transform. Akibat adanya aktifitas-aktifitas tektonik tersebut, biasanya gempa bumi dan letusan gunung api akan terjadi tidak jauh dari batas-batas lempeng tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila jumlah bencana alam yang terjadi di Indonesia sangat banyak dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Akibat aktifitas tektonik di batas-batas lempeng tersebut, ditambah dengan akibat bencana alam geologi lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan batas-batas lempeng (misalnya tanah
longsor, banjir, dan sebagainya), jumlah jiwa dan harta benda tidak sedikit yang terkorbankan, apabila bencana tersebut terjadi. Selain itu, perlu pula kita sadari, bahwa aktifitas tektonik di batas lempeng dapat menjadi pemicu terjadinya beberapa jenis bencana alam geologi sekunder, seperti yang sering terjadi pada kejadian tanah longsor di beberapa daerah di tanah air. Hampir semua bencana alam geologi sebenarnya dapat diprediksi kejadiannya, meskipun pada umumnya manusia hanya bisa memprediksikannya dalam rentang waktu yang cukup lama (bukan dalam skala hari atau jam). Usaha-usaha yang berkaitan dengan mencegah dan/atau menghindari terjadinya bencana alam geologi disebut dengan mitigasi. Mitigasi atau penanggulangan dapat dilakukan dengan melakukan studi ilmiah yang berkaitan dengan potensi terjadinya bencana alam geologi.
PROCEEDINGS JOINT CONVENTION BALI 2007 The 32nd HAGI, The 36th IAGI, and The 29th IATMI Annual Conference and Exhibition
Salah satu bencana alam geologi di Indonesia yang banyak menelan korban jiwa dan harta benda adalah tanah longsor. Beberapa contoh kasus yang baru-baru saja terjadi di wilayah Indonesia ialah yang terjadi di Sumatra Barat sekitar bulan September 2005 yang lalu, serta di Sumatra Utara pada bulan Desember 2006. Longsoran yang terjadi di daerah-daerah tersebut menelan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit. Puluhan keluarga kehilangan tempat tinggal karena tertimpa longsoran yang cukup besar dari bukit yang terjal. Longsoran diduga akibat tanah lapuk yang tidak terkonsolidasi dan tidak terkompaksi akibat tidak adanya vegetasi pepohonan yang memperkuat struktur tanah di daerah tersebut. Aplikasi metode geofisika untuk memonitor potensi bencana longsor merupakan topik utama dari riset yang telah dilakukan ini. Jawa Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki potensi bencana tanah longsor yang tertinggi. Gambar 1 memperlihatkan peta rawan longsor di Jawa Barat. Salah satu lokasi yang telah dikenal sebagai titik rawan longsor di Jawa Barat adalah daerah Panawangan di Kabupaten Ciamis, sehingga daerah ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena mempunyai kerentanan terhadap bahaya tanah longsor. Kerentanan ini disebabkan oleh topografi di daerah tersebut yang cukup terjal. Hal lainnya adalah bahwa daerah tersebut tersusun atas lapisan tanah yang belum terkompaksi, sehingga rentan tanah longsor. Selain itu, masyarakat dan Pemda setempat harus menghadapi suatu kenyataan, bahwa di bawah lereng yang akan diteliti ini, terdapat prasarana sipil berupa jalan raya lintas propinsi yang cukup padat. Monitoring kawasan yang rawan akan bencana longsor sangatlah penting untuk dilakukan, mengingat kerugian yang timbul dapat menggoyahkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat. METODOLOGI Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penelitian yang dilakukan melibatkan aplikasi beberapa metode geofisika, yaitu metode geolistrik tahanan jenis dan GPS. Metode geolistrik tahanan jenis digunakan pada penelitian ini karena kemampuannya dalam mendeteksi harga tahanan jenis material bumi (tanah dan batuan). Pada
umumnya, kehadiran air di bawah permukaan bumi akan menyebabkan berkurangnya harga tahanan jenis yang terukur, karena air adalah material yang mudah menghantarkan arus listrik. Apabila harga resistivitas di bawah permukaan bumi menjadi rendah, maka hal ini dapat dikaitkan dengan bertambahnya volume air di bawah permukaan bumi, sehingga beban material yang akan dilongsorkan menjadi bertambah. Hal inilah yang dijadikan dasar penggunaan metode resistivitas tahanan jenis untuk memonitor potensi bahaya tanah longsor. Awalnya, metode ini akan dijadikan sebagai metode utama untuk memonitor potensi bahaya tanah longsor, berdasarkan penurunan harga resistivitas yang terukur di lokasi penelitian dari waktu ke waktu. Namun, sayangnya di lokasi penelitian terjadi musim kemarau yang berkepanjangan setelah survey yang pertama dilakukan pada bulan Mei 2006 (musim kemarau baru berakhir pada akhir bulan November 2006), sehingga dikhawatirkan perubahan harga resistivitas yang cenderung menurun tidak terjadi. Sebagai gantinya, potensi bahaya tanah longsor dapat dimonitor dari pengukuran GPS berkala. Di dalam penelitian ini, tiga set data GPS digunakan, yaitu dari satu set data dari survey yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2005 (dilakukan oleh Pusat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), serta dua set data berikutnya dilakukan pada bulan Mei 2006 dan Februari 2007 (didanai oleh Riset ITB 2006). DATA DAN ANALISIS DATA Pengambilan data geofisika terpadu (geolistrik tahanan jenis dan pengukuran kedua GPS) dilaksanakan pada tanggal 9 s.d. 14 Mei 2006. Lokasi penelitian terletak di daerah Kampung Kondang dan Cirikip, Desa Cinyasag, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (±158 km dari Bandung atau ±38 km dari Kota Ciamis). Secara geografis, daerah pemantauan terletak pada koordinat 108°22’15” BT dan 07°5’55” LS. Secara Geomorfologi, daerah Cinyasag secara umum berada pada kaki lereng Gunung Cijulang sebelah tenggara (±1393 m dari muka air laut), yang membentuk perbukitan melandai ke arah sungai Sungai Cigede dan bermuara ke Sungai
PROCEEDINGS JOINT CONVENTION BALI 2007 The 32nd HAGI, The 36th IAGI, and The 29th IATMI Annual Conference and Exhibition
Cijulang dengan pola aliran sungai “sub dendritik”. Sedangkan ketinggian daerah penelitian berkisar antara 600 s.d. 755 m di atas permukaan laut. Puncak-puncak bukit yang dapat dikenali antara lain Pasir Heulang (±731 m), Pasir Simpur (±550 m) dan Gunung Datar (±735 m). Hasil pengamatan curah hujan di sekitar daerah penelitian antara tahun 2000 s.d. 2005 (data diambil dari stasiun penakar hujan di Kecamatan Panawangan yang berjarak lebih kurang 1 km dari lokasi penelitian) menunjukkan bahwa curah hujan terendah terjadi pada bulan April sampai September yaitu sekitar 142,00 – 201,00 mm/bln. Sementara intensitas curah hujan bulanan tertinggi ialah di antara bulan Oktober s.d. Maret, yaitu sebesar 279,00 mm/bln sampai 578,50 mm/bln. Geologi regional daerah penelitian tersusun oleh dua formasi utama, yaitu Formasi Halang dan Formasi Cijulang. Formasi Halang (Tmph) merupakan batuan sedimen yang terdiri atas perselingan batu pasir, batu lempung dan batu lanau dengan sisipan breksi dan batupasir gampingan yang memiliki ketebalan melebihi 400 m. Pada Formasi Halang, tersingkap Anggota Gununghurip (Tmhg) yang tersusun oleh breksi gunungapi, batu pasar, serpih, dan konglomerat dengan tebal sekitar 200 – 400 m. Sementara itu, Formasi Cijulang (Tmhg) terdiri atas breksi gunungapi, aliran lava, dan retas bersusun andesit, tufa, dan batu pasir tufaan dengan ketebalan paling besar 1000 m. Breksi gunungapi tersebut tersingkap di daerah Cirikip yang menumpang di atas batulempung dan batulanau secara tidak selaras. Hasil Pengukuran Metode Resistivitas Tahanan Jenis Lokasi pengambilan data geolistrik tahanan jenis dapat dilihat pada Gambar 3. Jumlah lintasan total di kedua blok tersebut ialah 7 buah, di mana di setiap lintasan dilakukan pengambilan data 2D dengan konfigurasi wenner alpha dan wenner betha. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari masing-masing konfigurasi. Seperti diketahui dari beberapa publikasi, konfigurasi wenner alpha mempunyai sensitifitas yang baik ke arah vertikal, sedangkan konfigurasi wenner betha ke arah horizontal. Dua buah hasil pengolahan data geolistrik tahanan
jenis (setelah dilakukan koreksi ditunjukkan pada Gambar 4 dan 5.
topografi)
Satu hal yang menarik untuk diamati di kedua hasil pengolahan data yang ditampilkan di Gambar 4 dan 5, bahwa batas antara formasi Halang dan Cinyasag dapat digambarkan dengan jelas dari hasil pengukuran metode ini. Bidang longsor berkemungkinan terletak di batas antara kedua formasi ini. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai keadaan bawah permukaan di kedua blok ini, model resistivitas dapat ditampilkan dalam bentuk 3-dimensi, seperti terlihat pada Gambar 6. Model 3D ini dihasilkan dari interpolasi beberapa penampang 2D yang memotong satu sama lain dan terletak berdekatan. Dari model 3D ini keadaan bawah permukaan bumi dapat diketahui dengan lebih jelas. Dari hasil-hasil yang telah dicapai, terlihat dengan jelas, bahwa metode ini sangat baik dan berhasil guna dalam mendeskripsi bawah permukaan bumi ke dalam parameter-parameter resistivitas batuan. Secara umum, resistivitas batuan di formasi Halang dan Cijulang dapat dibedakan secara jelas dengan metode ini. Jalur atau spot resistivitas rendah di kawasan formasi Cijulang (lihat Gambar 4, 5 dan 6) berkorelasi dengan baik saluran irigasi yang ditemui di lapangan. Sementara spot resistivitas rendah yang dijumpai di kawasan formasi Halang dapat diidentifikasikan dengan bagian batuan lempung yang saturasi airnya tinggi. Dari hasil-hasil yang dicapai ini, daerahdaerah yang memiliki harga resistivitas yang rencah dan batas antara kedua formasi ini harus mendapat perhatian yang lebih banyak, mengingat daerah-daerah inilah yang berpotensi untuk menjadi trigger bahaya tanah longsor. Hasil Pengukuran Metode Global Positioning System (GPS) Pemantauan gerakan tanah dilakukan di Desa Cinyasag, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Jumlah pengamatan ialah 3 kala, (Tabel 1) Strategi Pengamatan adalah dengan menggunakan metode pantau radial, yaitu mengikatkan seluruh titik pantau pada satu titik ikat (GD). Dengan demikian, dalam pengolahan data, mode perataan
PROCEEDINGS JOINT CONVENTION BALI 2007 The 32nd HAGI, The 36th IAGI, and The 29th IATMI Annual Conference and Exhibition
jaring tidak dilakukan antar baseline. Akusisi menggunakan receiver GPS tipe Leica SR 520 (Dual Frequency), dengan rata-rata pengamatan kurang lebih selama 1 jam. Titik pemantauan berjumlah 10 titik dengan kriteria 9 titik pantau dan 1 titik ikat yang tersebar dari mulai lereng Bukit Cijolang sampai dengan areal persawahan. Pemilihan titik didasarkan oleh prediksi areal longsoran tanah di Desa Cinyasang. Dalam proses pelaksanaan perhitungan untuk penentuan vektor pergeseran GPS meliputi dua tahapan hitungan, yaitu pengolahan data GPS dan penentuan vektor pergeseran. Sedangkan, teknik pengambilan data adalah Relative Static Positioning. Secara skematis tahapan-tahapan pelaksanaan hitungan data GPS dengan metode radial dapat dijelaskan seperti tertera pada Gambar 7. Pengolahan data GPS dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SKI PRO 2.1. Karekterisasi dan strategi pengolahan data pada saat pengolahan data GPS untuk analisis vektor pergeseran GPS di Kampung Kondang, Desa Cinyasag, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat adalah Gambar 7. Hasil akhir dari pengolahan data survai GPS adalah berupa titik-titik yang diperoleh dari vektor baseline antar titik pengamatan. Karena perhitungan dilakukan dengan metode radial, maka vektor baseline yang diperoleh tidak perlu dilakukan perataan jaring. Titik tetap (lokal) yang digunakan adalah titik GD yang berada di bukit Cijulang dan dianggap sebagai titik yang tidak mengalami pergerakan. Koordinat dari titik GD dalam sistem WGS’84 (World Geodetic System 1984). (Tabel 3). Hasil akhir dari survey GPS ini adalah diketahuinya koordinat toposentrik untuk semua titik pantau, baik untuk kala-1, 2 maupun 3. Koordinat-koordinat toposentrik tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan koordinatkoordinat toposentrik tersebut, pergeseran horizontal (horizontal displacement) dari kali-1 ke kala-2 maupun dari kala-2 ke kala-3 dapat ditentukan. Gambar 8 memperlihatkan vektor pergeseran horizontal tersebut. Selain itu pula,
pergeseran vertikan (vertikal displacement) dari kala-1 ke kala-2 maupun dari kala-2 ke kala-3 dapat ditentukan, di mana diagram bar pergeseran vertikal tersebut dapat dilihap pada Gambar 9. Gambar 10 memperlihatkan kartun kondisi bentang alam di daerah penelitian, berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Seperti terlihat pada Gambar tersebut, dapat terlihat dengan jelas, bahwa berdasarkan pergeseranpergeseran di titik-titik pantau, dapat diindikasikan bahwa gejala longsoran yang terjadi di daerah penelitian adalah tipe nendatan. KESIMPULAN Kombinasi penelitian geofisika yang melibatkan metode-metode resistivitas tahanan jenis dan GPS di daerah Panawangan, Ciamis telah berhasil dalam mengidentifikasi bawah permukaan bumi yang menunjukkan potensi bahaya tanah longsor dengan gambaran kuantitatif yang lebih baik. Bagian dari subsurface yang menunjukkan nilai resistivitas yang rendah menunjukkan kandungan air di bawah permukaan bumi yang tinggi, yang dapat menjadi trigger terjadinya longsor di daerah tersebut di masa yang datang. Sedangkan metode GPS dapat menunjukkan pergerakan tanah secara kuantitatif dari masa ke masa. ACKNOWLEDGEMENT Penelitian ini dibiayai oleh Riset ITB No. 0004/K01.03.2/PL2.1.5/I/2006 DAFTAR PUSTAKA Baker, R., and Moore, J., 1998, The application of time-lapse electrical tomography in groundwater studies, The Leading Edge, 17, 1454-1458. Johansson, S., and Dahlin, T., 1996, Seepage monitoring in an earth embankment dam by repeated resistivity measurements. European Journal of Engineering and Geophysics, 1, 229247. Loke, M. H., and Baker, R. D., 1995, Least-square deconvolution of apparent resistivity pseudosections, Geophysics, 1682-1690.
PROCEEDINGS JOINT CONVENTION BALI 2007 The 32nd HAGI, The 36th IAGI, and The 29th IATMI Annual Conference and Exhibition
TABEL 1. 3 kala pengamatan
Parameter Sudut elevasi Interval data pengamatan Informasi orbit Gelombang yang digunakan Metode pemecahan ambiguitas Penanganan bias troposfir
SKI PRO 2.1 15° 30 detik Precise Ephemeris L1 dan L2 Fast Ambiguity Resolution Approach (FARA) Model Hopfield
TABEL 2. Karekterisasi dan strategi pengolahan data untuk analisis vektor pergeseran GPS
TABEL 3. Koordinat dari titik GD dalam sistem WGS’84
PROCEEDINGS JOINT CONVENTION BALI 2007 The 32nd HAGI, The 36th IAGI, and The 29th IATMI Annual Conference and Exhibition
TABEL 4. Koordinat Toposentrik kala-1 (atas), kala-2 (tengah) dan kala-3 (bawah). Sd adalah standard deviasi. Pada kala-3, titik pantau M2 sudah menghilang.
PROCEEDINGS JOINT CONVENTION BALI 2007 The 32nd HAGI, The 36th IAGI, and The 29th IATMI Annual Conference and Exhibition
GAMBAR 1. Peta potensi tanah longsor di Jawa Barat dan Banten (PVMBG, 2005)
(a)
(b)
(c)
GAMBAR 2. Keadaan bentang alam di daerah penelitian; (a) Morfologi perbukitan dengan berbagai macam tumbuhan, (b) tanaguna lahan sebagai persawahan, (c) kolam atau tambak air tawar sebagai salah satu kegunaan lahan
PROCEEDINGS JOINT CONVENTION BALI 2007 The 32nd HAGI, The 36th IAGI, and The 29th IATMI Annual Conference and Exhibition
GAMBAR 3. Dua buah blok penelitian geolistrik tahanan jenis yang dipilih.
GAMBAR 4. Profil 2D hasil inverse data geolistrik di lintasan 2, yang diambil di kampung kondang, Cinyasag, kecamatan Panawangan, Ciamis.
PROCEEDINGS JOINT CONVENTION BALI 2007 The 32nd HAGI, The 36th IAGI, and The 29th IATMI Annual Conference and Exhibition
GAMBAR 5. Profil 2D hasil inverse data geolistrik di lintasan 4, yang diambil di kampung kondang, Cinyasag, kecamatan Panawangan, Ciamis.
GAMBAR 6. Beberapa irisan penampang berarah Barat-Timur yang dipotong dari model 3D di blok I (dibangun dari model resistivitas lintasan 1 – 4 di kampong Kondang dengan konfigurasi Wenner Alpha)
PROCEEDINGS JOINT CONVENTION BALI 2007 The 32nd HAGI, The 36th IAGI, and The 29th IATMI Annual Conference and Exhibition
GAMBAR 7. Tahapan-Tahapan Pelaksanaan Hitungan
GAMBAR 8. Vektor pergeseran horizontal di setiap stasion pengamatan GPS, baik dari kala-1 ke kala-2 (kiri) maupun dari kala-2 ke kala-3 (kanan).
PROCEEDINGS JOINT CONVENTION BALI 2007 The 32nd HAGI, The 36th IAGI, and The 29th IATMI Annual Conference and Exhibition
GAMBAR 9. Vektor pergeseran vertikal di setiap stasion pengamatan GPS, baik dari kala-1 ke kala-2 (kiri) maupun dari kala-2 ke kala-3 (kanan).
GAMBAR 10. Interpretasi potensi longsor berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di daerah penelitian. Kemungkinan tipe longsoran yang terjadi di daerah penelitian adalah tipe nendatan.