TERJEMAHAN AL-QURAN DEPARTEMEN AGAMA EDISI REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM : ANALISIS WACANA
Oleh :
Alhafiz Kurniawan NIM: 104024000828
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 19 Juni 2009
Alhafiz Kurniawan
TERJEMAHAN AL-QURAN DEPARTEMEN AGAMA EDISI REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM : ANALISIS WACANA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Sastra Oleh Alhafiz Kurniawan NIM. 104024000828
Di bawah bimbingan,
DR. Sukron Kamil MA NIP. 1502828400
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA EDISI REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM: ANALISIS WACANA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 22 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.s) pada Program Studi Tarjamah.
Jakarta, 22 Juni 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap anggota,
Sekretaris Merangkap
Anggota,
Drs. Ikhwan Azizi, M.A.
Ahmad Syaekhuddin, M.Ag.
NIP: 150 262 446
NIP: 150 303 001
Anggota,
Ahmad Syaekhuddin, M.Ag NIP: 150 303 001
TERJEMAHAN AL-QURAN DEPARTEMEN AGAMA EDISI REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM : ANALISIS WACANA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Sastra Oleh Alhafiz Kurniawan NIM. 104024000828
Di bawah bimbingan,
DR. Sukron Kamil MA NIP. 1502828400
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
ABSTRAK Eksklusifitas Islam merupakan fenomena pemahaman keagamaan yang mengajarkan bahwa hanya Islam (sekte dari Islam versi resmi) saja yang diridhai Allah. Hal ini dengan sendirinya mengeksklusi agama, aliran kepercayaan lain, atau sekte lain dalam agamanya. Keberadaan mereka ditandai oleh perasaan adanya privilese (superioritas) di ranah publik sementara Inklusifitas Islam menawarkan satu keyakinan bahwa agama, aliran kepercayaan, atau sekte lain dalam agamanya menjadi bagian dari dirinya. Pada ranah publik, mereka tidak memandang Yang Lain sebagai pihak subordinat atau inferior. Kedua pandangan dunia ini ternyata menginfiltrasi ke dalam aspek kehidupan, bahasa tak terkecuali. Hal ini bisa dilihat dari organ terkecil bahasa, seperti pemilihan diksi, hingga menjadi satuan makna utuh dalam kalimat tersebut. Kecuali interaksi sosial, bahasa merupakan fenomena yang tak bisa diabaikan begitu saja dalam manifestasi suatu ideologi tertentu. Sekalipun subtil sifatnya, bahasa merupakan ruang / medium yang tidak netral sekaligus menjadi sasaran suatu ideologi. Tidak sampai di situ, bahasa juga menjadi ‘aparat ideologis’ dalam melanggengkan otoritas atau sebagai pasukan ideologis yang membendung satu ideologi yang dianggap sebagai lawan. Sampai di sini, terjadilah apa yang disebut antagonisme sosial dimana satu wacana saling bertabrakan, melakukan perjumpaan, bersinggungan, bertumbukkan satu sama lain. Untuk itulah analisis wacana menelusuri atau melacak ideologi sebelum terwacanakan dan juga melacak efek dari wacana. Manifestasi ideologi dalam suatu wacana menghasilkan panopticon. Panopticon merupakan sebuah mekanisme yang di dalamnya terdapat relasi orang yang mengawasi / yang diawasi, yang menimbulkan kesadaran dikontrol secara terus menerus untuk memperlihatkan berfungsinya sebuah otoritas. Penelusuran (genealogi) ideologi yang terwacanakan ini menjadi penting yaitu dengan mempelajari dan kesinambungan serta ketaksinambungan historis sebuah wacana pada saat ia dimainkan dalam kondisi-kondisi historis yang spesifik dan tak tereduksi. Artinya ada rintisan-rintisan sejarah yang panjang dan terus menerus terbangun (dikonstruksi dan terus direkonstruksi dan direproduksi) dalam sebuah ideologi. Menimba inspirasi dari Foucault di mana pengetahuan sangat erat kaitannya dengan kekuasaan (otoritas keagamaan). Baginya, pengetahuan menjadi intrumen sebuah otoritas (keagamaan dalam konteks ini) atau dalam kosakata Louis Althusser disebut sebagai aparat ideologis). Sebaliknya, sebuah kekuasaan cenderung memproduksi pengetahuan. Pengetahuan versi resmi inilah yang terus dimapankan. Sehingga kebenaran dengan sendirinya ter(di)bentuk dan direproduksi secara kontinu. Kebenaran versi resmi inilah yang disebut kebenaran superior yang dengan sendirinya mengeksklusi kemungkinan-kemungkinan kebenaran di luar versi lain melalui mekanisme kategorisasi dan upaya normalisasi secara otomatis dalam alam bawah sadar / benak masyarakat. Oleh karenanya, analisis wacana merupakan sebuah kritik bahasa sekaligus penelanjangan kepentingan sepihak yang mengintervensi dalam bahasa. Selain itu analisis wacana membekali kita untuk meng-counter pengaruh interest atau sistem nalar suatu kebudayaan yang terwujud dalam bahasa (terjemahan). Apalagi bahasa Arab yang kita tahu adalah hanya bahasa sekunder dari kalam
Ilahi sehingga sistem nalar yang terbawa dalam bahasa sekunder menjadi sesuatu yang terelakkan.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada Penulis, sehingga skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini dapat Penulis selesaikan. Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw.,
keluarganya, dan para sahabatnya. Semoga kita semua mendapatkan
syafa‘atnya di Hari Akhir. Amin! Dalam kata pengantar ini, Penulis akan mengucapkan terima kasih kepada Dr. H. Abd. Chair, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah dan Ahmad Saehuddin, M.Ag., Sekretaris Jurusan Tarjamah. Terima kasih banyak juga
Penulis ucapkan kepada pembimbing Dr.
Sukron Kamil MA., yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya serta kesabarannya dalam bimbingan; terima kasih kedua kalinya juga kepada beliau selaku pembimbing akademik yang telah mengarahkan, mengajarkan, dan mendidik Penulis selama menjadi santri di Fakultas Adab dan Humaniora. Ucapan terima kasih kepada seluruh dosen Jurusan Tarjamah yang telah mendidik dan mengajarkan Penulis berbagai ilmu pengetahuan bahasa, budaya, dan terjemahan yang telah mengajarkan seluk beluk dunia terjemah. Tak juga Penulis lewatkan terima kasih kepada Zubair M.Ag., Moch Syarif Hidayatullah M.Hum, Irfan Abu Bakar MA, Karlina Helmanita MA, Prof. DR. Ahmad Satori, Prof. DR. Thojib IM, Prof. DR. Rofi‘i, Drs. H.D Sirojuddin AR, M.Ag.
Mahyuddin Syah M.Ag. DR. Ismakun Ilyas MA., Darsita M.Hum, Ahmad Syatibi M.Ag, Dra. Faozah sebagai dosen Penulis. Semoga amal mereka diterima Allah Swt. Amin! Ucapan
terima
kasih setulus-tulusnya kepada
kedua
orang tua,
Djamalluddin dan Triyani yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan moral dan finansial Penulis, sehingga penyusunan skripsi ini terasa lebih ringan. Bapak juga yang pertama kali menanamkan sebuah minat baca, bukan sekedar membaca tetapi juga membaca kehidupan manusia secara filosofis. Begitu juga, kepada kakek dan nenek Penulis, KH. Hasbullah yang telah memperkenalkan Penulis dengan khazanah Arab klasik dan khazanah Arab-Melayu kuno, dan Hj. Munaroh. Kepada Mbah Sukarto juga penulis mengucapkan terima kasih. Kedua kakek penulis inilah yang mengajarkan penulis bagaimana budaya lokal meresistensi dari intervensi budaya luar, tidak terkecuali Arab.
Kepada paman-
paman khususnya bpk. Mufreni yang berapi-api menganjurkan Penulis untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi, adik-adik, Alfaiz Irsyad dan Zainal Irfan, sepupu-sepupu juga yang telah menghibur Penulis di kala kejenuhan menyergap. Penulis juga berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada Umi Ruchaniyah beserta keluarga yang menjadi oase ketika mesin di kepala Penulis kepanasan melakukan mekanismenya. Kepada teman-teman Jurusan Tarjamah Semester VIII, Abdur Rahman, Amir, Anis, Anna, Erwan, Fina, Luki, Muna, Munay, Nurikhwan, Nunung, Silvi, dan Puput juga teman-teman terjemah yang lain, Penulis berterima kasih atas segala dukungan dan bantuan mereka. Heri juga teman dialog hermeneutika yang baik. Tatam juga teman diskusi linguistik yang cukup mumpuni. Zaki sebagai
mitra Penulis membincangkan seni dan budaya. Penulis juga berterima kasih kepada teman-teman di Jurusan Tafsir Hadis, Iskandar dan juga Syafa‘at yang telah meminjamkan bahan skripsi kepada Penulis, khususnya kepada Mahsun sebagai teman diskusi yang cukup bersemangat. Kepada keluarga besar forum kajian sosial dan keagamaan Piramida Circle Jakarta, Noorrahman (Maman), Abdullah Alawi (Abah), Almawardi (Saprol), Ujang Makmun, Rauf, Mukhlisin (Lisin), Ulum, Nafi, Faiq (ICAS), Ali (Romo), dan Dedik, Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada mereka semua sebagai mitra diskusi yang cukup dinamis. Pada forum inilah Penulis bersentuhan dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies, NU Studies, sosial dan kebudayaan (cultural studies) terutama yang tidak kami dapatkan di bangku kuliah. Di sinilah penulis membentuk diri sekaligus dibentuk dalam atmosfer yang menjadi ciri khasnya tersendiri. Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang kenal Penulis dalam perjumpaan di dunia ini, termasuk teman-teman KKN dari Fakultas Ekonomi, namun tidak disebutkan satu persatu karena memang Penulis menyadari bahwa setiap representasi pasti ada misrepresentasi. Semoga skripsi yang sederhana ini bermanfaat bagi peminat penerjemahan khususnya penerjemahan Alquran. Semoga masukan dan saran-saran dari semua pihak dapat melengkapi skripsi ini. Amin!
Jakarta, 19 Juni 2009
DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL ........................................................................................ LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ LEMBAR PENGESAHAN........................................................................... ABSTRAK ................................................................................................... KATA PENGANTAR .................................................................................. DAFTAR ISI ................................................................................................ DAFTAR ISTILAH ......................................................................................
i ii iii iv v vi ix x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ A. Latar Belakang Masalah ............................................................... B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................ C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................... D. Tinjauan Pustaka .......................................................................... E. Metodologi Penelitian ................................................................... F. Sistematika Penulisan ...................................................................
1 1 11 11 12 13 13
BAB II PIJAKAN TEORI .......................................................................... A. Kritik Definisi Penerjemahan........................................................ B. Metode-Metode Penerjemahan...................................................... C. Sekilas Wacana dan Ideologi ........................................................
16 16 26 29
BAB III EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM.................... A.Turbulensi Perebutan Makna, Eksklusivitas dan Inklusivitas ......... B. ‘Menulis Keimanan’ di Tengah Social Disorder ...........................
38 38 44
BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM.................................................... 54 A. Tektualisasi (Terjemahan) Ayat-Ayat Eksklusivitas dan Inklusivitas Islam ........................................................................................... 54 B. Kontestasi Pemahaman ’Wahyu Progresif’ dan ’Wahyu Regresif’ 69 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... A. Kesimpulan .................................................................................. B. Saran ............................................................................................
83 83 86
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
89
DAFTAR ISTILAH Anakronik
: Ketidakcocokan dengan zaman tertentu.
Absolutisme
: Sesuatu yang mutlak, tak terbatas, dan tidak dapat diragukan lagi.
Agama paripurna
: Agama yang menyajikan segala macam kebutuhan manusia, mulai dari aspek akidah, syari‘at, etika, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain.
Ahistoris
: Berlawanan dengan sejarah.
Aku
: Manusia sebagai individu dibentuk yang dibentuk secara sosial lewat bahasa, pengetahuan, dan ideologi yang telah ada.
Alienasi
: Terasing dan terisoalasi.
Ambigu
: Bermakna lebih dari satu sehingga kadang-kadang menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan.
Ambivalensi
: Bercabang dua yang masing-masing bergerak menuju ke arah yang berlawanan di waktu yang bersamaan.
Anomali
: Ketidaknormalan, penyimpangan dari normal dan kelainan.
Anomi
:
Gejala
melahirkan
ketidakseimbangan perilaku
psikologis
menyimpang
yang
dalam
dapat
berbagai
manifestasi. Antagonisme sosial
: Pertentangan antara dua atau lebih paham masyarakat yang berlawanan.
Antroposentris
: Berpusat kepada manusia.
Aposisi
: Ungkapan yang berfungsi menambah atau menjelaskan ungkapan sebelumnya dalam kalimat yang bersangkutan.
Apriori
:
berpraanggapan
sebelum
mengetahui
(melihat,
menyelidiki dsb.) keadaan yang sebenarnya. Artikulasi
: kesatuan sementara beberapa elemen diskursif yang tidak harus selalu terikat bersama. Sebuah artikulasi adalah bentuk koneksi yang bisa menyatukan dua elemen yang berbeda dalam kondisi tertentu. Artikulasi mengandung arti ekspresi/representasi dan penyatuan. Misalnya persoalan gender bisa terkait dengan persoalan ras secara konteks spesifik dan kontingen.
Ber-Tuhan Menurut Standar Resmi :
Memegang
teguh
keyakinan
yang
distandarkan oleh mainstream (termasuk negara). Biner
: Terjadi dari atau ditandai oleh dua benda atau dua bagian; serba dua.
Budaya Populer
: Teks-teks publik yang umum dan tersebar luas. Makna dan praktik-praktik yang dihasilkan oleh khalayak populer. Sebagai kategori sebuah kategori politik, budaya populer adalah situs kekuasaan dan perebutan makna. Budaya populer melintasi batas-batas kekuasaan kultural dan menelanjangi karakter arbitrer klasifikasi kultural dengan cara menantang konsep tinggi / rendah.
Cultural Studies
: Bidang penyelidikan interdisipliner atau pascadisipliner yang mempelajari produksi dan penanaman peta-peta makna.
Deifikasi
: Pendewaan.
Dekonstruksi
: Membongkar dengan tujuan mencari dan mengungkap asumsi-asumsi, strategi-strategi retorika, dan titik-titik buta teks. Peluruhan hierarki oposisi biner seperti realitas / penampakan, alam / budaya, akal / kegilaan, untuk menunjukan: (a) bahwa salah satu bagian dari sebuah biner dinilai rendah sebagai inferior; (b) bahwa biner-iner tersebut berfungsi untuk menjamin kebenaran; (c) bahwa masing-masing bagian dari sebuah biner saling terimplikasi dalam yang satunya.
Determinasi
: Hal yang bersifat menentukan.
Diakronis
: Suatu pendekatan berkaitan dengan perubahan historis di sepanjang waktu.
Disfemisme
: Pengasaran bahasa.
Disruptif
: Pencabutan hingga ke akar-akarnya.
Distorsi
: Perubahan bentuk yang menjadi bias.
Dominasi
: Penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah dalam segala macam aspeknya.
Ego
: Mekanisme psikis yang berfungsi mengatur pembentukan realitas
Eklektis
: Sebuah kecenderungan dalam sastra, seni, desain, dan arsitektur, berupa penggabungan sebuah gaya atau kode dengan gaya atau kode-kode lain yang berlainan sama sekali karakternya.
Eksklusi
: Mengeluarkan pihak lain.
Elaborasi
: Penggarapan secara tekun dan cermat.
Eliminasi
: Penyingkiran, pengasingan, dan pengeluaran.
Eufemisme
: Penghalusan bahasa.
Fast Food
: Sesuatu yang mengacu pada segala bentuknya yang siap saji (siap pakai).
Feminisme
:
Gerakan
wanita
yang
menuntut
persamaan
hak
sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Feodalisme Teks
: Sistem pembacaan yang memberikan kekuasaan yang besar pada teks.
Fundamentalisme
: Penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran asli seperti tersurat dalam kitab suci.
Genealogi
: Berkaitan keturunan dan garis asal usul. Penggunaan Foucauldian konsep ini dalam kajian budaya berarti mempelajari dan kesinambungan serta ketaksinambungan historis sebuah wacana pada saat ia dimainkan dalam kondisi-kondisi historis yang spesifik dan tak tereduksi.
Gerakan Tarbiyah
: Gerakan keagamaan yang menimba spirit dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Globalisasi
: Meningkatnya hubungan-hubungan global multiarah di bidang ekonomi, sosial, kultural, dan politik di seluruh dunia serta kesadaran kita tentang hal ini. Produksi global hal-hal lokal dan pelokalan hal-hal global. Terkait dengan institusi-institusi modernitas dan pemampatan ruang-waktu (time-space compression) atau dunia yang menciut.
Glokalisasi
: Sebuah istilah yang digunakan untuk mengekspresikan produksi global dari hal-hal lokal dan pelokalan hal-hal global. Tentang bagaimana yang global sudah ada dalam yang lokal. Produksi hal-hal lokal, yaitu apa yang bisa dianggap sebagai lokal dalam wacana global.
Hedonisme
: Aliran filsafat yang beranggapan bahwa yang baik dalam hidup adalah kesenangan dan kenikmatan material.
Hegemoni
: Suatu penetapan makna yang bersifat sementara yang menyokong
kelompok
penguasa.
Proses
penciptaan,
pemeliharaan, dan reproduksi perangkat makna pengatur dalam suatu kebudayaan. Bagi Gramsci, hegemoni berarti suatu situasi dimana sebuah “blok histories” faksi-faksi kelas
penguasa
kepemimpinan
menggunakan pada
kelas-kelas
otoritas
sosial
subordinat
dan
melalui
kombinasi paksaan dan, ini yang lebih penting, persetujuan sadar (konsens). Heretic
: Bidah yang menentang ajaran resmi gereja (termasuk agama lainnya).
Identifikasi Kultural : Potret makna-makna yang mengungkapkan sesuatu, terkait dengan nominasi diri atau dengan penilaian / persepsi orang lain. Identitas kultural terkait dengan titiktitik simpul makna kultural, terutama kelas, gender, ras, etnisitas, bangsa, dan usia. Identitas
: Stabilisasi makna yang temporer, lebih merupakan suatu proses menjadi ketimbang entitas yang tetap. Terajutnya menjadi satu “sisi luar” diskursif dengan proses-proses “internal” subjektifitas. Titik-titik kelekatan temporer pada posisi subjek yang dikonstruksi bagi kita oleh praktikpraktik diskursif.
Ideologi
: Upaya untuk menetapkan makna dan pandangan dunia yang mendukung penguasa. Peta-peta makna yang, mesti tampak seperti kebenaran universal, sebenarnya merupakan pemahaman-pemahaman yang secara historis bersifat spesifik,
yang
menyelubungi
dan
melanggengkan
kekuasaan kelompok-kelompok sosial (dalam hal kelas, gender, ras, dan lain-lain). Immanent
: Sesuatu yang menjiwai alam dan gerak sejarah.
Inferior
: Bermutu rendah.
Inherent
: Berkaitan erat dan tak dapat diceraiberaikan.
Inivisible
: Tak terlihat.
Inklusifitas Agama
: Ajaran yang memasukkan kelompok lain sebagai bagian dari kelompoknya.
Interpelasi
: Suatu pemanggilan oleh satu pihak kepada pihak lain.
Intertekstual
: Akumulasi dan penciptaan makna lintas teks, dimana semua makna saling tergantung pada makna yang lain. Pengutipan sadar suatu teks pada teks lain sebagai ekspresi dari kesadaran diri kultural yang makin besar.
Islamic Studies
: Ilmu yang mempelajari kajian-kajian keislaman.
Islamisasi
: Pengislaman ke segala aspek kehidupan, seperti politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, dan seterusnya.
Kajian Tematik
: Suatu pendekatan yang mengkaji satu tema utama yang dikelilingi tema-tema yang terkait dengan tema utama.
Kategorisasi
: Penggolongan berdasarkan kategori tertentu.
Kebenaran-kebenaran : Narasi-narasi kecil yang menyusun makna-makna tersendiri di luar kebenaran universal dan absolut (grand narrative). Kebenaran Tunggal / absolut : Secara awam, dan menurut epistemologi realis, kebenaran adalah apa yang berkorespondensi atau dapat menangkap
gambaran
realitas
secara
objektif.
Konstruksionisme, yang salah satu manifestasinya adalah kajian budaya, melihat kebenaran sebagai ciptaan sosial. Kajian budaya bicara tentang “rezim-rezim kebenaran”, suatu istilah Foucauldian yang berarti bahwa sesuatu dianggap sebagai kebenaran lewat bekerjanya kekuasaan. Menurut pragmatisme Rortian, kebenaran adalah suatu
kesepakatan sosial, kesepakatan yang tidak bisa lepas dari nilai. Kelas
:
Klaisifikasi
orang
menjadi
kelompok-kelompok
berdasarkan kondisi-kondisi sosial ekonomi yang sama. Kelas
adalah
sekumpulan
ketimpangan-ketimpangan
relasional dalam dimensi ekonomi, sosial, potilik, dan ideologi. Marxisme mendefinisikan kelas sebagai hubungan sarana-sarana produksi. Para pemikir Pasca Marxis melihat kelas sebagai posisi subjek kolektif yang terbentuk secara diskursif. Kodifikasi / Tadwîn
: Istilah yang bagi al-Jabiri, mengacu pada masa pembukuan besar-besaran tradisi Arab secara masif yang terhitung puncaknya di zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Komunalisme
: Ajaran yang mementingkan kelompok atau kebersamaan di dalam kelompok.
Konservatif
: Kolot; bersikap mempertahankan keadan, kebiasaan, dan tradisi yang berlaku.
Konsumerisme
: Manipulasi tingkah laku para konsumen melalui berbagai aspek komunikasi pemasaran.
Kontestasi Pemahaman
: Persaingan pemahaman dalam merekrut makna
dan legitimasi. Kuasa Bahasa
: Jaringan-jaringan kuasa yang terjalin rumit yang termanifestasi dalam bahasa, dalam rangka memproduksi atau mereproduksi suatu kekuasaan.
Labeling
: Proses penandaan dan pemaknaan pada benda-benda
material. Legal Formalistik
: Pemberlakuan syari‘at ke dalam undang-undang positif.
Linguistics Oriented : Bahasa itu sendiri yang menjadi tujuan berbahasa. Mainstream
: Arus utama pandangan dunia.
Marxisme
: Suatu pemikiran yang berasal dari karya-karya Karl Marx yang menekankan pada peran determinative kondisikondisi eksistensi material dan
kekhususan
sejarah
manusia. Marxisme, yang terfokus pada perkembangan dan dinamika kapitalisme, mengaku sebagai sebuah filsafat kesetaraan yang emansipatoris. Mazhab Frankfurt
: Institusi social yang berdiri 1923 berhaluan NeoMarxisme. Lembaga ini independen dari kepentingan partai-partai komunis internasional. Lembaga inilah yang menelurkan Teori Kritis dalam rangka menelanjangi kebobrokan kapitalisme dan konsumerisme.
Menulis Keimanan
: Membakukan sebuah akidah guna menetapkan identitas.
Misrepresentasi
: Sesuatu yang tak terwakilkan.
Mitis
: Suatu yang mengandung daya tarik tersendiri karena dianggap suci.
Mitos
: Kisah atau fabel yang berperan sebagai panduan atau peta makna simbolis. Setalah terbitnya karya-karya Barthes, mitos berarti pengalamiahan level konotatif makna.
Modernisme
: (a) pengalaman cultural modernitas yang dicirikan oleh adanya
perubahan,
ambiguitas,
keraguan,
risiko,
ketidakpastian, dan keterpecahan; (b) gaya artistik yang ditandai oleh suatu kesadaran diri estetis, montase, dan penolakan atas realisme; (c) posisi filosofis yang berusaha mengejar beberapa bentuk pengetahuan yang juga direvisi secara kronis dan terus-menerus. Muhâsabah al-Nafs
: Upaya kaum sufi dalam rangka mendisiplinkan diri dari konsumsi, tingkah laku, hasrat, dan pikiran yang dapat menurunkan maqâmat-nya.
Nalar
: Aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis; jangkauan pikir; kekuatan pikir.
Narsisisme
: Keadaan mencintai diri sendiri secara berlebihan.
Normalisasi
:
Proses
pengaktifan
kuasa
bahasa
dalam
rangka
menormalkan nilai-nilai yang dimaui pemegang otoritas. NU Studies
: Kajian yang mempelajari organisasi Nahdatul Ulama baik dari
segi
pendidikan,
peran
politik,
sosial
dan
kebudayaannya. Occidentalisme
: Ilmu yang menjadikan Barat sebagai objeknya.
Official Closed Corpus
: Korpus resmi tertutup versi penguasa (Khalifah
Usman). Orientalisme
: Ilmu yang menjadikan Timur sebagai objeknya.
Ortodoksi
: Ketaatan kepada peraturan dan ajaran resmi.
Otentisitas
: Suatu kategori merupakan kategori yang asli, natural, benar, dan murni. Misalnya, bahwa budaya suatu tempat otentik karena tidak terkontaminasi oleh turisme atau bahwa budaya orang muda adalah murni dan tidak terkorupsi oleh kapitalisme.
Other
: Identifikasi material yang ada di luar Aku; (objek).
Pakem
: Regulasi resmi yang kuat serta menggurita.
Pandangan Hitam-putih Panopticon
: Proses pembacaan secara biner.
: Sebuah mekanisme yang di dalamnya terdapat relasi orang yang mengawasi / yang diawasi, yang menimbulkan kesadaran
dikontrol
secara
terus
menerus
untuk
memperlihatkan berfungsinya sebuah otoritas. Paranoid
: Penyakit jiwa yang membuat penderita berfantasi yang aneh-aneh, seperti merasa diri besar atau terkenal dan sebagainya.
Pembacaan Tunggal : Proses pemahaman bahwa teks memiliki satu makna. Pemikiran Keagamaan
: Produk kreatifitas dari pembacaan atas teks-teks
keagamaan Pendisiplinan
: Proses taktis dalam menundukkan Yang Lain lewat normalisasi sehingga Yang Lain menunduk secara sadar.
Pengadministrasian (pendidikan) Agama
: Pelembagaan agama ke dalam
institus pemerintah sehingga perkembangan agama berada dalam kontrol negara.
Pengetahuan Absolut : Mengacu pada Hegel, pengetahuan yang telah melewati proses
dialektika
sejarah
yang
panjang
sehingga
pengetahuan mencapai pada titik kesempurnaannya yang tidak terbantahkan lagi. Pengetahuan Mapan : Pengetahuan yang ‘benar’ versi pemegang otoritas. Peradaban Teks
: Bagi Abu Zaid, masyarakat Arab selalu mencari dasar epistemologisnya dari dan untuk teks.
Posisionalitas
: Menunjuk pada pengertian bahwa pengetahuan dan “suara” selalu mengambil tempat dalam ruang, waktu, dan kekuasaan sosial. Posisionalitas adalah tentang di mana, kapan, mengapa, dan siapa yang berbicara, melakukan penilaian, dan pemahaman.
Positivisme
: Suatu filsafat pengetahuan yang menganggap bahwa satusatunya bentuk pengetahuan positif adalah deskripsi fenomena yang berhubungan dengan panca indera (sensori)
Post Colonial Studies : Disiplin yang menjadikan tanah bekas koloni berikut jalinan rumit dan kepanjangan kuasa dan resistensi anak jajahan sebagai objek kajian. Posmodernisme
: Gerakan kebudayaan pada umumnya, yang dicirikan oleh penentangan terhadap totalitarianisme dan universalisme, serta kecenderungannya ke arah keanekaragaman, kea rah melimpah ruah dan tumpang tindihnya berbagai citraan dan gaya, sehingga menimbulkan fragmentasi, kontradiksi, dan pendangkalan makna kebudayaan.
Posstrukturalisme
: Gerakan filsafat yang merupakan reaksi terhadap strukturalisme, yang membongkar setiap klaim akan oposisi pasangan, hierarki, dan validitas kebenaran universal, sebaliknya menjunjung tinggi permainan bebas tanda serta ketidakstabilan makna dan kategorisasi intelektual.
Postradisonalisme
: Ideologi yang menawarkan alternatif atas kebuntuankebuntuan tradisionalisme tanpa adanya keterputusan epistemologis dengan tradisionalisme.
Pribumisasi
: Upaya melokalisir yang global.
Produksi Pengetahuan : Upaya pemaknaan benda-benda material dan praktik sosial. Protagonis
: Tokoh utama dalam cerita rekaan; penganjur suatu paham.
Psikoanalisis
: Pemikiran dan praktik pentyembuhan yang dikembangkan dari karya-karya Freud yang menyatakan subjek manusia terbagi menjadi, Ego, Super Ego, dan ketidaksadaran. Psikoanalisis dalam kajian budaya digunakan untuk mengeksplorasi konstruksi dan pembentukan subjektifitas yang terkelaminkan (sexed subjectivity).
Puritan
: Kelompok yang menuntut pemurnian agama dan mengidealisasikan sejarah masa lalu.
Reduksionis-Kanonis : Penyederhanaan hingga titik terkecil. Reifikasi
: Hubungan manusia seperti hubungan antar benda-benda.
Representasi
: Praktik-praktik pemaknaan tampaknya bisa mewakili atau menggambarkan suatu objek atau praktik lain di dunia
“nyata”. Hal ini lebih baik diistilahkan sebagai “efek representasional”, karena tanda tidaklah mewakili atau merefleksikan
objek
Representasi
secara
membentuk
langsung
kebudayaan,
seperti makna,
kaca. dan
pengetahuan. Revivalis
: Kelompok yang menginginkan masa kini kembali ke masa kejayaan di masa lalu.
Ruang Publik
: Sebuah ruang perdebatan dan adu argumen demokratis yang memediasi masyarakat sipil dan Negara. Ruang dimana publik mengorganisasi diri dan ruang dimana “opini publik” terbentuk.
Sensasional
: Bersifat keinderaan; menarik dan seksi.
Sinkroni
: Pendekatan dalam mengkaji satu fenomena pada suatu penggalan
waktu
yang
ditentukan,
ketimbang
perkembangan historisnya. Skripturalis
: Berdasarkan pada teks.
Stereotipe
: Representasi gamblang namun sederhana yang mereduksi orang menjadi seperangkat ciri sifat yang dilebih-lebihkan dan
biasanya
negatif.
Sebentuk
representasi
yang
mengesensikan orang lain lewat operasi kekuasaan. Strukturalisme
: Gerakan intelektual yang berkaitan dengan penyingkapan struktur berbagai pemikiran dan tingkah laku manusia, yang prinsipnya adalah satu totalitas yang kompleks hanya dapat
dipahami sebagai satu perangkat unsure-unsur yang berkaitan. Subaltern
: Kelompok subordinat yang tidak terkooptasi oleh budaya populer.
Subjektifitas
: Kondisi dan proses menjadi seseorang atau diri. Bagi kajian budaya, subjektifitas sering dipahami, mengikuti Foucault, sebagai “efek” dari wacana karena subjektifitas tersusun oleh posisi-posisi subjek yang ditawarkan pada kita oleh wacana. Karakteristik agensi dan identitas yang dimungkinkan bagi seorang subjek pembicara (the speaking subject) oleh posisi-posisi subjek diskursif.
Subordinat
: Kelompok inferior.
Subtil
: Halus.
Subversif
: Perlawanan.
Superior
: Kelompok yang berada di atas angin.
Teks Sekunder
: Wahyu atau kalam Ilahi yang tertekstualisasi.
Teks-teks Keagamaan : Alquran dan Hadits. Tekstualisasi
: Proses penuangan makna dalam wadah teks.
Teori Kritis
: Teori kritik masyarakat modern yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt.
Teosentris
: Tuhan sebagai pusat kehidupan.
Turbulensi
: Gerakan yang menyebabkan keresahan dan gangguan yang ditandai dengan keributan dan huru-hara.
Wacana
: Bahasa dan praktik, cara-cara berbicara yang teregulasi, yang mendefinisikan, mengonstruksi, dan menghasilkan objek-objek pengetahuan.
Yang Lain
: Objek yang merupakan hasil dari pemberian makna sebagai langkah taktis dari Aku.
BAB l PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sederhana saja sebenarnya. Penulis dalam hal ini masih melanjutkan perdebatan klasik antara teori dan praksis, yaitu antara Plato dan Aristoteles. Perdebatan itu berisi apakah teori untuk teori atau teori berkaitan dengan kepentingan manusia dan bersifat emansipatoris. Perdebatan seru ini berlanjut di era modern hingga Teori Kritis, Mazhab Frankfurt dan Neo-Positivisme di tahun 60-an dan hingga saat ini.1 Sehubungan dengan itu penulis mencermati derasnya arus gelombang ‘skripsi teori murni’ (entitasnya sebagai kewajiban akhir akademik semata) yang marak belakangan ini, khususnya terkait dengan Jurusan Tarjamah. Hal ini bisa kita temukan pada skripsi-skripsi di perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora tentunya. Skripsi yang mengaitkan bahasa dengan praksis, kehidupan nyata memang agak sedikit sekali. Pada umumnya skripsi yang telah ada hanya membahas atau menganalisis karya terjemahan dengan menitikberatkan pada struktur gramatikal (linguistics oriented) belaka, berbeda dengan Syahrur misalnya, yang menggunakan studi linguistik dalam membangun argumennya melalui pendekatan ilmiah-historis. Hal ini seolah mengatakan bahwa bahasa – termasuk terjemahan– ada di luar jangkauan kehidupan manusia sehari-hari. Penulis dalam skripsi ini mencoba menginternalisir dan mengilhami teman-teman lain (wa bi al-khusus yang belum menulis skripsi) bahwa bahasa (terjemahan) itu sedemikian dekatnya dengan kehidupan manusia bahkan bersifat immanent dan inherent. Bahkan, bukan hanya dekat, tetapi produksi pemaknaan oleh bahasa juga 1
Untuk lebih jelas dan uraian yang lebih komprehensif bisa lihat buku F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Menyingkap Kepentingan dan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas. (Yogyakarta: Kanisius, 1990; reprint: Buku Baik, 2003)
mempengaruhi (sekaligus mengintervensi) pola pikir dan praktik-praktik sosial masyarakat sebagai konsumennya. Apa yang Penulis lakukan sebenarnya tidak terlalu jauh (apalagi keluar dari pakem akademik), tetapi Penulis hanya ingin merangkul (membangkitkan) aspek-aspek nalar humaniora yang selama ini mengendap dan diendapkan dalam benak mahasiswa (juga pihak terkait, dosen misalnya) di tengah kegalauan dan kegamangan menjadi ‘sarjana fast food’ (meminjam istilah disiplin Budaya Populer) guna merespon laju cepat globalisasi (meskipun juga mengalami krisis). Penulis meyakini bahwa skripsi yang terlalu menitikberatkan pada susunan gramatikal cenderung menegasikan, mengeringkan, dan memarjinalkan aspekaspek makna yang terkandung dalam teks. Mengapa demikian? Jawabnya bahwa bahasa bukan sebuah medium netral tempat dibentuknya makna dan pengetahuan tentang suatu dunia objektif independen di luar bahasa. Dalam istilah Michel Foucault, “Kritik mempertanyakan bahasa seolah-olah bahasa adalah sebuah fungsi yang murni, totalitas mekanisme, dan permainan tanda-tanda yang luar biasa otonom.”2 Bahasa justru terlibat dalam pembentukan makna dan pengetahuan tersebut. Bahasa memberi makna pada objek-objek material dan praktik-praktik sosial yang dibuat menjadi tampak oleh bahasa dan menjadi bisa kita pahami lewat istilah-istilah yang digariskan oleh bahasa.3
2 Michel Foucault. Order of Thing, Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Penerjemah B. Priambodo dan Pradana Boy (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 91 3 Chris Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktik. Penerjemah Tim KUNCI Cultural Studies Center (Yogyakarta: Bentang, 2005) h. 10. Buku tersebut hampir memasukkan seluruh tema-tema yang majemuk, berisi berbagai perspektif yang saling bersaing –melalui produksi teori– yang berusaha mengintervensi politik kebudayaan. Kajian budaya dan bahasa sengaja mempelajari kebudayaan sebagai praktik-praktik pemakanaan dalam konteks kekuasaan sosial. Kajian tersebut banyak mengambil dari banyak teori, termasuk marxisme, strukturalisme, post strukturalisme, dan feminisme. Dengan metode yang eklektis, kajian budaya dan bahasa menegaskan posisionalitas semua bentuk pengetahuan, termasuk dirinya sendiri, yang berputar di sekitar ide-ide kunci seperti budaya, praktik pemaknaan, representasi, wacana, kekuasaan, artikulasi, teks, pembaca, dan
Selain itu, skripsi-skripsi tersebut –disadari atau tidak– mengadiluhungkan dan menunjukkan kemegahan pengetahuan linguistik ilmiah ala modernisme, yakni dengan bermain (menghakimi) di seputar ‘bahasa formal (ilmiah) dan nonformal’.
Padahal
pengetahuan
ilmiah
–menurut
Lyotard
(orang
yang
memproklamirkan Posmodernisme sebagai ‘takbir’ atas matinya arogansi Modernisme)– selalu melegitimasi dirinya sendiri dan dengan cara semacam itu, ia menjadi sarana utama untuk melegitimasi ‘Occident’(tidak modern) dan ‘hakhaknya untuk memutuskan apa yang benar’.4 Pengetahuan ilmiah inilah yang mengategorikan ‘khâriq al-‘âdah (linguistics)’ sebagai mentalitas yang berbeda, mentalitas ‘liar, primitif, anomali, non-ilmiah, dan seterusnya’. Mekanisme pengetahuan ilmiah –kekerasan epistemologis dalam istilah Richard Rorty– semacam itu yang disebut sebagai ‘Othering’ yakni ‘Lain yang memiliki ke’Lain’an’. Dengan tesis tersebut, Penulis mencoba menelusuri serta melacak bagaimana arogansi otoritas teks-teks keagaamaan –dalam bahasa Abu Zaid yang mengacu pada Alquran dan hadits– yang maknanya sudah direduksi dan dikeringkan oleh sejumlah pihak dan metodologi yang mengklaim telah menemukan makna tersebut. Mereka mengedit teks-teks keagamaan ini dalam rangka mencari pembenaran (legitimasi) bagi proyek-proyek mereka. Terkait konteks keindonesiaan, kita akan melihat banyak kasus bagaimana othering yang diakibatkan oleh salah satunya ulah arogansi pemikiran keagamaan
konsumsi. Kajian budaya dan bahasa adalah bidang penyelidikan interdisipliner yang mempelajari produksi dan penanaman peta-peta makna. Ringkasnya kajian budaya dan bahasa menjadi mikroskop yang membantu kita melihat derasnya arus lalu lintas pemaknaan bersilang-siur yang hampir tak terlihat. 4 Bill Ashcroft, dkk., Menelanjangi Kuasa Bahasa, Teori dan Praktek Sastra Poskolonial. Penerjemah Fati Soewandi dan Agus Mokamat (Yogyakarta: Qalam, 2003) h. 255
yang cenderung reduksionis-kanonis atas teks-teks keagamaan. Sangat ironis memang, pada saat jumlah mereka (aktivis pengusung eksklusivisme) minoritas di satu ruang publik terkecil hingga yang terbesar (negara misalnya), mereka melakukan perlawanan mulai dari perlawanan pasif hingga ekspansif militeristik seperti gerilya, pembajakan, pengeboman, penyanderaan dan seterusnya (terutama pihak-pihak yang dianggap sebagai inferior dan others atau lokasi-lokasi yang men(di)jadi(kan) kantong strategis untuk ditundukkan. Namun, mereka –di saat menjadi mayoritas– merasa superior sehingga membentuk pola interaksi publik secara legal formalistik dengan menghegemoni segala macam kebijakankebijakan yang bersifat publik seperti hukum, poltik, sosial, budaya, bahkan yang bersifat privat sekalipun. Hal ini sekarang dapat kita lihat seperti berlakunya Perda-Perda
syariah
yang
jelas-jelas
diskriminatif,
marjinalitatif,
juga
penyempitan ruang privat yang sangat meresahkan. Mengapa demikian, karena hal ini jelas berbenturan dengan nilai-nilai kebersamaan yang menjadi nafas kebangsaan dan sangat mengganggu laju rekonsiliasi antaragama, keyakinan, kelas, ras, adat, dan suku di Indonesia. Hal ini –dalam konteks keindonesiaan– semakin jelas terhitung mulai tahun 1980-an (sebenarnya terbilang sejak 100 tahun pra kemerdekaan), Orde Baru hingga saat ini, Pasca Orde Baru (Reformasi) perkembangan Islam di Indonesia ditandai dengan ke(di)hadir(k)an munculnya fenomena menguatnya religiusitas umat Islam. Upaya melakukan Islamisasi ke seluruh aspek denyut kehidupan sosial digalakkan seperti menjamurnya majelis-majelis taklim dan majelis-majelis zikir. Di sisi lain Islamisasi memasuki dunia ‘kampus’ dengan ramainya penelitian dan kajian-kajian ala akademisi terhadap Islam dengan
menguniversalisasikannya. Bisa kita perhatikan misalnya Islamisasi memasuki ruang ekonomi yang dimanifestasikan dengan adanya lembaga perekonomian Islam (bank Syariah), dalam bidang hukum seperti formalisasi Syariat Islam dalam UU seperti PERDA Syariah yang sudah berjalan di beberapa wilayah di Indonesia, dalam pendidikan misalnya diharuskan mengenakan pakaian muslim pada hari Jum’at, dalam bidang seni musik dimanifestasikan dengan maraknya produk-produk album religi, dalam hal politik misalnya ditandai dengan bermunculannya partai-partai yang mengenakan platform Islam. Selain itu semua, muncul ormas-ormas yang berbasis Islam, seperti gerakan Tarbiyah (yang kemudian membidani lahirnya, sekaligus mesin rekruitmen massa Partai Keadilan Sejahtera), Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Laskar Jihad, dan seterusnya, yang merepresentasikan Islam dengan wajah lama di era baru. Mengapa saya katakan wajah lama karena mereka mengklaim bahwa hanya mereka inilah yang orisinil merepresentasikan Islam masa Rasulullah Saw. dan para sahabat (era salaf). Gerakan mereka berada di luar kerangka mainstream pandangan politik maupun wacana keagamaan gerakan Islam dominan seperti NU, Muhamadiyah, Persis, dan seterusnya (Pernyataan tersebut bukan berarti mengatakan bahwa NU, Muhamadiyah, Persis dan seterusnya tidak berhaluan eksklusif). Gerakan ormas-ormas baru ini mempunyai basis ideologi, pemikiran dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam yang ada sebelumnya. Mereka diindikasikan berhaluan puritan, militan, radikal, skripturalis (literal), konservatif, dan eksklusif. Di sinilah letak permasalahannya, Penulis mengambil karakteristik khas mereka yaitu sikap eksklusif sebagai objek analisis (dan juga
inklusivisme yang menjadi wacana tandingan eksklusivitas yang selanjutnya akan diterangkan di bawah) dengan kajian wacana sebagai pisau analisis. Mengapa tema ini yang diangkat? Tentunya, respon terhadap fenomena sosial di dunia (Indonesia khususnya) menuntut (memaksa) Penulis untuk melacak salah satu akar jalinan rumit yang berangkat dari pemahaman teks-teks keagamaan (penerjemahan salah satunya). Coba kita perhatikan misalnya, konflik sosial yang berisu keyakinan agama kerap kali terjadi. Belakangan ini, terlebih lagi pasca Orde Baru, kekerasan bernuansa agama dan suku semakin meningkat, terutama angka kekerasan atas nama agama. Kekerasan bernuansa suku dan agama ter(di)jadi(kan) di berbagai wilayah di Tanah Air seperti kerusuhan Ambon, Poso, Sampit, Aceh, Irian Jaya, peledakan bom di Bali, pengejaran serta perusakan rumah ibadah Jamaat Ahmadiyah di Parung, Indramayu, Bogor dan lain-lain. Kekerasan semacam ini tidak hanya menumpahkan darah di daerah yang tersebar di Indonesia tetapi juga di Ibu Kota Jakarta seperti perusakan kantor sebuah majalah yang dianggap mengumbar syahwat, peledakan bom di Kuningan, penyerangan AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) di Monas dan tragedi berdarah lainnya. Peristiwa-peristiwa kekerasan dan teror semacam ditengarai oleh ormas-ormas yang berhaluan puritan militan, radikal, skripturalis (literal), konservatif, dan eksklusif. Penulis tidak melakukan tuduhan-tuduhan tanpa bukti karena beberapa aktor-aktor kekerasan ini sudah ditangkap dan masuk persidangan, bahkan ada yang sudah divonis mati oleh hakim (kasus Amrozi misalnya).
Kedua term inilah (eksklusif dan inklusif) yang mempengaruhi sikap dan pola pikir terhadap ruang-ruang praktis kehidupan. Orang eksklusif (the ego) – seperti pernyataan Ali Harb– memandang orang lainnya (the other) melalui identitas keagamaannya, melalui bahasa nasionalnya, melalui peradaban kulturalnya, atau melalui yang lainnya. Dia (the ego) menghakiminya (the other) atas dasar ini. Sekiranya orang itu cocok dengan keyakinan, mazhab, ras, kultur, atau pola peradabannya maka ia (the other) akan diterima dan diidentikkan dengan dirinya (the ego), namun jika tidak maka ia (the other) akan dicampakkan sembari dipersamakan antara bid’ah dan pemikiran, karya dan pengkhianatan, keterlambatan dan keterbelakangan, keasingan dan keprimitifan, atau nama lain apa pun yang menunjukkan perbedaan penuh atau perbedaan primitif. Oleh karena itu, orang yang eksklusif terhadap diri dan keyakinannya akan menafikan orang lain (the other) dan tidak mengakui haknya untuk berbeda dengannya. Menurutnya, perbedaan bertentangan dengan identitas dan sekaligus menjadi lawan yang mengancamnya, sehingga harus ditundukkan atau disingkirkan, dibungkam dan kalau perlu ‘dikempiskan’. Dengan demikian, “yang lain” (the other) tidak lagi memiliki hak sebagai manusia, karena ia dipandang dan dilihat melalui kategori-kategori sempit, penanaman-penanaman instan dan keyakinan-keyakinan absolut. Pemilik nalar eksklusif menyembunyikan semua perbedaan atau kelainan di dalam identitas puritannya, padahal perbedaan eksternal merupakan sisi lain dari identitas puritan yang
buta,
bahkan
merupakan
penjustifikasi
wujudnya
dan
alasan
keterlekatannya.5 5
Ali Harb, Benar Kritik Kebenaran. Penerjemah Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKiS, 2004) h.113-114. Buku tersebut mencoba memaparkan atau singkatnya menelanjangi ideologi-
Bukan hanya sikap dan pola pikir, dalam penggunaan bahasa pun orang yang eksklusif cenderung terpengaruh oleh kerangka pikiran yang eksklusif. Aposisi-aposisi berikut keabsenannya pun menjadi indikasi yang semestinya tidak boleh diluputkan dari perhatian. Hal ini dapat termanifestasikan dalam empat poin: Pertama, penghalusan makna (eufemisme). Penghalusan makna (eufemisme) wajar-wajar saja bila digunakan untuk merepresentasikan sebuah hal yang masih dianggap tabu di sebuah komunitas. Yang menjadi masalah adalah ketika penghalusan makna (eufemisme) ini digunakan untuk menandai dan menamai sebuah realitas. Masalah terjadi ketika realitas itu adalah realitas yang buruk, yang memalukan,
seperti
kemiskinan,
pembunuhan,
korupsi,
dan
kelaparan
(penyerangan, perusakan, pengejaran, teror, dan seterusnya [dari Penulis]). Dengan pemakaian kata-kata itu, realitas yang secara kasar buruk tadi bisa berubah menjadi halus, dan akibatnya khalayak melihat kenyataan yang sebenarnya. Eufemisme banyak dipakai untuk menyebut kelompok dominan (superior, mayoritas, kelompok yang ‘benderanya sedang tertiup angin’) kepada masyarakat bawah (subordinat, subaltern, minoritas, marjinal), sehingga dalam banyak hal bisa menipu, terutama rakyat bawah. Kedua, pemakaian bahasa pengasaran (disfemisme). Kalau eufemisme dapat mengakibatkan realitas menjadi halus, disfemisme sebaliknya dapat mengakibatkan realitas menjadi kasar (buruk). Kalau eufemisme banyak dipakai untuk menyebut tindakan yang dilakukan
ideologi yang selama ini dianggap “benar”. Ali Harb ingin mengatakan bahwa kebenaran itu tidak tunggal dan absolute. Selubung dan permainan-permainan kebenaran yang dipraktikkan oleh wacana kebenaran dalam teks coba diungkap. Bagi Ali Harb, teks tidak pernah merepresentasikan makna yang dikehendakinya secara utuh, teks hanya bagian dari praktik mekanisme-mekanisme yang berbeda dalam menutupi, menipu, mengubah, menyembunyikan, menyingkirkan, memarjinalkan, dan seterusnya. Oleh karena itu, menurutnya, tidak ada sebuah kebenaran yang bersifat tunggal dan melampaui yang lainnya. Kebenaran tetap merupakan sebuah realitas yang plural, terbatas, dan dapat saling bertukar. Singkatnya, tidak ada kebenaran tetapi yang ada itu adalah kebenaran-kebenaran.
kelompok dominan (mayoritas, superior), disfemisme umumnya banyak dipakai untuk menyebut tindakan yang dilakukan oleh masyarakat bawah (minoritas, subordinat,
inferior,
subaltern)
seperti,
(pemberontakan,
penyimpangan, pengkhianatan, bid‘ah, heretic,
murtad,
perlawanan,
kafir, subversif,
perusakan, melawan pakem-pakem). Ketiga, labelisasi. Labeling merupakan perangkat bahasa yang digunakan oleh mereka yang berada di kelas atas untuk menundukkan lawan-lawan. Pemakaian labeling ini bukan hanya membuat posisi kelompok atau kegiatan menjadi buruk, tetapi juga mempunyai kesempatan (melegitimasi) bagi mereka yang memproduksinya untuk melakukan tindakan tertentu. Seperti, (karena ‘mereka’ itu “aliran sesat” maka wajar dan seharusnya jika ‘mereka’ dimusuhi). Keempat, stereotipe. Stereotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif (tetapi umumnya negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan. Di sini, stereotipe adalah praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi negatif dan bersifat subjektif. Banyak sekali praktik stereotipe ini. (‘mereka’
yang
khâriq
al-ijmâ’
[di luar
konsensus
ulama]
misalnya
distereotipekan sebagai orang atau kelompok yang sesat, ingkar sunah, murtad, bahkan kafir).6 Adapun orang yang inklusif memandang identitas-identitas lainnya (the other)
secara lain. Ia menerima dan memandangnya sebagai pelengkap dan
teladan, terkadang ia mengidentikkan diri dengannya atau bahkan bersatu dengannya. Hal itu dilakukan tanpa memandang perbedaan-perbedaan bahasa, ras, agama, budaya, atau afiliasi-afiliasi apa pun. Menurut pandangan inklusif ini, 6
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, Cet. V 2006) h.125-127.
“yang lain” (the other) tidaklah terhalangi oleh identitas tertentu, eksistensinya tidak terhabiskan oleh sifat tertentu, dan hakikatnya tidak menggunakan satu nama atau satu simbol. Dia memiliki identitas yang luas dan tersusun, dengan sisi-sisi yang berbeda-beda dan dimensi-dimensi yang plural. Ia adalah esensi wujud tunggal, namun memiliki relativitas-relativitas dan atribut-atribut yang tak terhitung.7 Hal ini tentunya tidak lepas dari penerjemahan Alquran Depag di bawah ini yang memiliki semangat eksklusivisme,
ََِِْ$وَ َْ َْ َِ َ َْ اَِْمِ دًِْ ََْ ََُْ ُِْ وَهَُ ِ" ا! َِةِ َِ اﻝ Artinya, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-sekali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S. Ali Imran,[3]; 85).
ُ/َُءَ ه1 َ ِ)ْ2َ& ِْ ﺏ4ِب إ َ َ ِ6َِْْ أُوْﺕُا اﻝ9&َْ *ِْ)َ ا(ِ اَِْمُ وََ ا ْ ََ'َ اﻝ+)ّإِن& اﻝ َِب:ِ;ْْ@ُْ ﺏِ?َتِ ا(ِ َ=ِن& ا(َ َِْ<ُ اﻝ6َ ََْْ و/ُAَْ َْ ً ﺏBَُ ﺏ/ِْ2ْاﻝ Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisabnya. (Q.S. Ali Imran,[3]; 19). Lalu timbul pertanyaan yang cukup menyesakkan hati, manakah yang benar antara eksklusivisme atau inklusivisme? Penulis tidak ingin memilih salah satunya. Karena dengan memilih salah satunya kita akan terjebak dalam jerat
7
Harb, Benar Kritik Kebenaran, h. 114.
eksklusivisme. Kedua-duanya benar. Eksklusivisme akan menjaga keutuhan dan keberlangsungan identitas, tapi menjadi sebuah kekeliruan apabila identitas itu dipahami secara dangkal sehingga dengan arogan mencoba menegasikan entitasentitas identitas “yang lain” (the other). Selain itu, eksklusivisme akan mengancam integritas sebuah bangsa. Inklusivisme diperlukan guna menjaga keharmonisan dan kerukunan entitas-entitas yang plural, namun kalau terlalu mendeifikasi pluralitas cenderung akan memecahkan dan meleburkan bukan saja identitasnya, bahkan juga identitas-identitas yang lain (the other).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Penulis membatasi pembahasan masalah ini hanya kepada masalah penerjemahan wacana serta aspek-aspek dan pengaruhnya. Penulis merumuskan masalah ini dengan bentuk pertanyaan. Bentuk pertanyaannya sebagai berikut : 1. Apakah ayat-ayat yang cenderung eksklusif dalam Terjemahan Alquran Depag Edisi Revisi 1989 diterjemahkan dalam kerangka eksklusif atau tidak? 2. Wacana apa yang terwujud dalam terjemahan tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Mengetahui cara pembentukan sebuah gagasan pada ayat-ayat eksklusif dan inklusif dengan memperhatikan unsur-unsur wacana 2. Mengetahui wacana yang terwujud lewat penerjemahan ayat-ayat eksklusif dan inklusif serta implikasinya
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain: Pertama, penelitian ini tentunya dapat dijadikan sebagai rujukan; kedua, penelitian dapat menjadi standar dalam analisis wacana yang direpresentasikan lewat penerjemahan ArabIndonesia.
D. Tinjauan Pustaka Setiap penulisan apapun semestinya tidak lepas dari tinjauan pustaka guna tidak terjadinya repetisi pengetahuan dan sebagai penanda bahwa tulisan baru itu bukan merupakan hasil plagiasi dari tulisan-tulisan lama. Sebelum memulai penulisan skripsi ini, Penulis telah melakukan tinjauan pustaka. Untuk sementara ini, Penulis merujuk pada skripsi-skripsi yang terkait dengan penerjemahan dan bahasa. Penulis membatasi diri pada skripsi-skripsi yang terdapat di perpustakaan Fakultas tempat Penulis menimba ilmu. Selama ini Penulis hanya mendapati satu skripsi menggunakan metodologi yang hampir sama dengan metode Penulis, yaitu skripsi yang ditulis oleh Makyun Subuki. Skripsinya berbicara tentang korelasi penerjemahan Al-Quran Depag dengan penerapan Perda Syariah yang marak belakangan pasca Orde Baru. Penuntutan Perda Syariah bahkan transformasi Pancasila sistem negara yang katanya sekuler menjadi khilafah oleh sejumlah ormas Islam urban seperti Hizbut Tahrir, dan Islam garis keras yang lain. Skripsi yang ditulis oleh Makyun Subuki menganalisa ayat-ayat terjemahan dengan menggunakan pendekatan semantik, sementara Penulis mengangkat analisis wacana sebagai pendekatan dalam pengamatannya. Di sinilah letak perbedaannya, Penulis berkesimpulan bahwa pendekatan skripsi ini sama sekali belum pernah ada yang melakukannya apalagi menyamainya. Jadi apa yang
dieksplor oleh Penulis sama sekali baru, sehingga ada dinamisasi pengetahuan, dan tentunya bisa dilanjutkan oleh mereka yang datang selanjutnya.
E. Metodologi Penelitian Penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara mengumpulkan data yang terkait dengan masalah yang akan diteliti. Setelah itu, penulis mendeskripsikan masalah tersebut dengan data yang ada dalam kerangka teori wacana sehingga maksud dan tujuan penelitian tercapai. Kerangka teori wacana yang membingkai penelitian penulis ini didasarkan pada literatur-literatur yang terpercaya. Sedangkan dalam pencarian data, Penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penelitian seperti terjemahan AlQuran Departemen Agama. Secara teknis, penulisan ini didasarkan pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F.
Sistematika Penulisan
Agar penelitian dapat terarah dan sistematis, langkah yang Penulis lakukan sebagai berikut : Bab I adalah pendahuluan. Dalam bab ini Penulis membahas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan metode yang digunakan, serta sistematika penulisan. Penulis dalam
bab pendahuluan ini memaparkan latar belakang masalah yaitu pengalamanpengalaman mengerikan yang dilalui bangsa Indonesia dengan segala macam pluralitasnya mulai dari yang ekstrim kanan hingga ekstrim kirinya. Penulis sengaja menempatkan uraian ini pada Bab I dengan alasan bahwa uraian ini dijadikan sebagai introduction bagi pembaca. Latar belakang masalah ini tentunya dibahas secara singkat dan kemudian akan diuraikan lebih luas lagi pada bab III dan IV. Bab II merupakan pembahasan sekitar teori wacana dan ragam model penerjemahan. Penulis pada bab ini mencoba menguraikan teori dan ragam model penerjemahan yang telah dipelajari di dalam kelas. Penulis juga menggambarkan teori wacana melalui pendekatan budaya dan filsafat bahasa yang telah dipelajari di kelas maupun diskusi-diskusi lepas di luar kampus. Selain memaparkan teori terjemahan dan teori wacana, Penulis juga melacak akar kata terjemah itu sendiri yang dipahami pengguna bahasa dalam hal ini adalah bahasa Arab. penelusuran kata terjemah melalui proses yang cukup panjang, melelahkan, sekaligus memuaskan dan menghasilkan temuan-temuan yang menurut Penulis anggap merupakan suatu kebaruan. Bab III merupakan pembahasan mengenai wacana aktual di Indonesia terkait dengan eksklusivisme dan inklusivisme Islam. Tidak lupa pula, Penulis mengutip pandangan beberapa tokoh terkait dengan wacana tersebut terutama tokoh-tokoh Timur Tengah. Pada bab III ini, Penulis sedikit reduksionis mengatakan bahwa ketegangan kedua wacana tersebut didasarkan pada perebutan makna teks-teks keagamaan dengan ego masing-masing. Satu pihak mendapatkan
makna teks pada teks itu sendiri sementara pihak lain menemukan makna teks berada di balik teks. Bab IV berbicara tentang studi kasus penerjemahan wacana ke dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini, Penulis mengambil Terjemahan Al-Quran Departemen Agama sebagai objek kajian. Di sini Penulis mencoba menganalisis terjemahan tersebut dengan teori wacana sebagai pisau analisisnya dibantu dengan disiplin hermeneutik sebagai pendamping pemahaman sebuah teks. Kerja memamahi ternyata tidak sesederhana yang dikira. Pembacaan sekilas tanpa memahami konteks (apalagi tidak mendiplomasikan konteks sejarah dengan konteks masa kini sekaligus tidak membuat ancang-ancang bagi pemahaman masa depan) berujung pada distorsi, melunturkan makna, keterjajahan (pada saat yang bersamaan) dan penyembahan terhadap teks. Hal ini bisa juga dibilang bahwa suatu pembacaan sekilas sama saja dengan hegemoni teks atas makna, sejarah, realitas, dan subjek itu sendiri. Penerjemahan teks keagamaan ini (karena memiliki nilai mitis) ternyata mempunyai implikasi sosiologis yang signifikan. Karenanya, penerjemahan harus bersifat konstruktif bagi perkembangan masyarakat. Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan dan saran ini merupakan ruang dialog terbuka Penulis dengan pembaca. Dengan ruang tersebut, kita harapkan karya tulis ini menjadi dinamis dengan segala pernakpernik kelebihan dan kekurangannya.
BAB II PIJAKAN TEORI A. Kritik Definisi Penerjemahan Sudah menjadi kelaziman sebuah penulisan (apalagi penulisan akademis yang sarat dengan belenggu dan pelbagai macam “pedoman”) Penulis terlebih dahulu mengemukakan definisi dari sebuah term yang akan diulas lebih jauh dalam penulisan tersebut. Definisi seperti yang sama-sama kita ketahui adalah mendeskripsikan sebuah realitas tetapi lagi-lagi yang namanya definisi tetaplah “definisi”. Hal ini disinyalir oleh Imam Ghazali dengan mengatakan,
اﺏ * آ1 );ن اﻝ6 4 و.;وراتDال " اﻝF * اﺏ1 آ9 Dأن اﻝ;) إﻥ 8
.K2 ﺏ * ﺏ,الF
Artinya, ‘Sebuah definisi hanya mampu menjawab satu pertanyaan dalam dialog. Sebuah definisi tidak dapat menjawab berbagai pertanyaan, bahkan beberapa pertanyaan.’ Definisi bisa dikatakan mereduksi (juga mendeterminasi) sebuah realitas yang dideskripsikannya. Fatalnya sebuah definisi mendistorsi realitas dengan mengambil karakteristik secara parsial (karena produksi definisi tentu saja melibatkan subejktifitas subjek). Inisiatif ini –menjelaskan term yang akan dibahas sebelum melakukan diskusi lebih lanjut– sejalan dengan yang dilakukan oleh Al-Asymâwi, “Sesungguhnya, sebuah ‘kata’ –kata apa pun– tidak selamanya mudah dimaknai, dipahami, dijalankan, dan atau mudah dijangkau oleh akal. Sebuah ‘kata’ bukanlah dunia yang dapat berbicara dengan sendirinya, yang menunjukkan
8
Imâm Ghazâli, al-Mustasfâ Min ‘Ilm al-Usûl Vol 1 (Beirut: al-Muassasah al-Risâlah, 1997) h 48.
makna dan maksudnya. Ia adalah susunan objek yang maknanya diambil dari definisi sosial.”9 Sementara sosial dalam mendefinisikan sesuatu tentu saja berketergantungan dengan sebuah paradigma dan capaian-capaian peradaban yang dimilikinya. Selanjutnya Al-Asymawi menegaskan, “Definisi suatu istilah (kata) dan penentuan maknanya merupakan perkara yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum kita melakukan suatu pembahasan, karena makna terkadang menjadi tidak jelas, rancu dengan yang lain dan atau tidak jelas dalam pemahaman orang lain. Atau bisa juga ia jelas dan tidak rancu tetapi berubah menjadi makna lain. Kadang suatu kata itu dikira telah jelas, tidak rancu, dan ambigu, tetapi suatu kata itu selalu –sebagaimana yang tampak dalam kajian-kajian bahasa– tetap membutuhkan pada batasan yang disepakati sebelum dikaji dan didiskusikan secara produktif. Jika tidak, maka konsep-konsep akan tenggelam dalam kerancuan, dan kehilangan arti jatuh ke dalam kekacauan.”10 Pada kesempatan ini, Penulis akan memaparkan sebuah terobosan baru sebagai sebuah pembacaan kritis yang berakar dalam khazanah klasik dengan sentuhan-sentuhan metode pembacaan kontemporer (al-qirâ’ah al-mu’âshirah) terhadap penerjemahan. Pemaparan-pemaparan dalam skripsi ini –khususnya bab ini– dilakukan sebagai animo Penulis untuk mengupayakan saluran alternatif atas sumbatan-sumbatan, kemacetan, atau kebuntuan-kebuntuan yang selama ini “baik-baik saja” didefinisikan baik oleh kamus, buku-buku, maupun skripsiskripsi yang berbicara tentang penerjemahan. Coba kita simak penerjemahan yang dikatakan 9
oleh
A.Widyamartaya
dalam
Seni
Menerjemahkan
1989
Muhammad Said al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah. Penerjemah Luthfi Thomafi (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. 3 10 Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari‘ah h. 4-5.
“Menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima (sasaran) dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya”.11 Juga kita perhatikan misalnya apa yang dipaparkan J.C.Catford dalam A Linguistic Theory of Translation, “Translation is an operation performed on languages: a process of substituting a text in one language for a text in another.”12 Lebih jauh Salihen Moentaha, MA, Ph.D mengatakan, “Terjemahan adalah proses penggantian teks dalam BP (bahasa pemberi) dengan teks dalam BS (bahasa sasaran) tanpa mengubah tingkat isi teks BP (bahasa pemberi).”13 Rochayah Machali dalam bukunya yang populer mengatakan, “Melalui kegiatan penerjemahan, seorang penerjemah menyampaikan kembali isi sebuah teks dalam bahasa lain. Penyampaian ini bukan sekedar kegiatan penggantian, karena penerjemah dalam hal ini melakukan kegiatan komunikasi baru melalui hasil kegiatan komunikasi yang sudah ada (yakni dalam bentuk teks), tetapi dengan memperhatikan aspek-aspek sosial ketika teks baru itu akan dibaca atau dikomunikasikan. Dalam kegiatan komunikasi baru tersebut, penerjemah melakukan upaya membangun ‘jembatan makna’ antara produsen teks sumber (TSu) dan pembaca teks sasaran (TSa).”14 Dapat pula kita saksikan sebuah definisi penerjemahan yang menurut hemat Penulis sangat reduksionis seperti yang dipaparkan oleh Drs. Fahrurrozi, “Translation atau penerjemahan, pada hakikatnya, adalah mengalihbahasakan
11 12
A.Widyamartaya Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989) h. 11. J.C.Catford A Linguistic Theory of Translation (London: Oxford Of University Press,
1974) h.1. 13
Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan (Bekasi Timur: Kesaint Blanc, 2006) h. 11. Catatan: keterangan dalam kurung pada kutipan merupakan tambahan dari Penulis. 14 Rochayah Machali. Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Gramedia, 2000) h.5-6.
makna atau pesan dari bahasa sumber (source language) ke bahasa sasaran (target language).15 Ibnu Burdah mengemukakan, “Banyak sekali definisi tentang terjemah yang dikemukakan oleh para ahli. Dalam pandangan saya, apapun definisi yang digunakan,
sebaiknya
dipertimbangkan
prinsip
akomodatif-operasional.
Akomodatif dalam arti, mempertimbangkan definisi-definisi tentang terjemah yang pernah dikemukakan oleh para pengkaji pendahulu. Ini dimaksudkan sebagai sikap apresiatif (ta’zîm, menghargai) terhadap hal-hal yang dihasilkan oleh pengkaji-pengkaji sebelumnya. Sedangkan prinsip operasional memiliki maksud, bahwa definisi yang digunakan –sekalipun akomodatif terhadap hasil-hasil sebelumnya– harus tetap berpijak pada pertimbangan: apakah definisi tersebut dapat dioperasionalkan pada tahapan yang lebih praktis atau tidak. Berlandaskan pada dua prinsip tersebut, dalam tulisan ini Penulis mengambil definisi tentang terjemah sebagai, ‘Usaha memindahkan pesan dari teks berbahasa Arab (teks sumber) dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran).’”16 Tapi yang pasti adalah “suatu terjemahan tidak dapat mengganti teks asli.”17 Sejalan dengan definisi-definisi tersebut, Muhammad ibn Yakub alFairuzabadi dalam karya yang cukup populer di kalangan peminat sastra klasik, Al-Qâmûs Al-Muhît memaparkan,
و,ن: ﻝ:@D اﻝ: نA@ان وز*@ان ور2 آ, نD1 ] ت ر ج م [ اﻝ . اﻝ ءSﻝT )ل *" أ2@ واﻝ,* ~ و,D1) ﺕQ 15
Fahrurrozi. Teknik Praktis Terjemah (Yogyakarta: Teknomedia, 2003) h. 1. Ibnu Burdah. Menjadi Penerjemah, Wawasan dan Metode Menerjemah Teks Arab (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004) h. 9-10. 17 Kees Bertens. Filsafat Barat Kontemporer, Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002) Cet. Keempat h. 161 16
Ta ra jim mim, turjumân seperti lafal ‘unfuwân, za’farân, dan raihuqân. Turjumân bermakna menjelaskan dengan bahasa lain, contoh kalimat wa qad tarjamahu atau tarjama ‘anhu yang bermakna seseorang itu menjelaskan dengan bahasa lain. Verba tarjama menunjukkan verba dasar (tidak berderivasi dari ra ja ma).18 Louis Ma’louf – termasuk dalam barisan pertama – dengan karya yang juga populis di kalangan santri modern maupun mahasiswa, yaitu kamus AlMunjid fi al-lughah wa Al-A’lâm, menyatakan,
وSD1ن ج ﺕاD1ن و ﺕD1 ﺕA U ن: ﺏV: : م6 اﻝ/1ﺕ Y أوﺽ: * ~ و."ن اﻝ آ:" اي ﻥ اﻝ" اﻝS ﺏﻝ آD1 ول "ﺕ./1ﺕا :@ اﻝ: /1 ج ﺕاSD1 اﻝ.Vا ‘Orang itu menerjemahkan ucapan’ bermakna ‘Orang itu menjelaskan dengan bahasa lain.’ Dia menjadi juru bicara. Bentuk plural tarjumân dan turjumân ialah tarâjimah dan tarâjimu. ‘Dia menerjemah ke bahasa Turki,’ berarti ‘Dia mengganti bahasanya menjadi bahasa Turki.’ ‘Tarjama ‘anhu’ bermakna ‘dia menjelaskan hal itu.’ Tarâjimu merupakan bentuk plural tarjamah yang bermakna menjelaskan.
[ اﻝ: م6 اﻝ/1ﺕ ‘Dia menerjemah ucapannya,’ bermakna ‘Dia mencampuradukkan (mengaburkan/menidakjelaskan) ucapannya.’
18
Muhammad Ibn Ya‘qûb al-Fairuzâbâdi, al-Qâmûs al-Muhît (Libanon: Dâr al-Fikr, 1426 H/2005) h. 976.
]$^ ذآ ة: /1 ج ﺕاSD1 اﻝ. ذآ ﺕ: 1 اﻝ/1ﺕ . ; ﺕ: ب6 اﻝSD1 ﺕ.: وﻥQ وأ ‘Dia menerjemahkan orang lain,’ bermakna ‘Dia mengartikulasikan biografi orang lain.’ Tarâjimu merupakan bentuk plural tarjamah. ‘Dia mengartikulasikan biografi, etika, dan asal-usul genetika orang lain.’ Tarjamah Al-kitâb bermakna pendahuluan sebuah buku.19 DR.Ibrahim Anis Dkk. pun melakukan hal yang sama,
" إﻝSB ﻥ ﻝ: * و,V و~ آم.; ﺏ ووﺽ: م6( اﻝ/1)ﺕ . D1 ذآ ﺕ: و~ ﻝ@ن.ا ي ‘Orang itu menerjemahkan ucapan’ bermakna ‘Orang itu menjelaskan dan menerangkannya.’ ‘Dia menerjemahkan ucapan orang lain,’ bermakna ‘Dia menjelaskan dengan bahasa lain.’
.SD1 وﺕا/1 ج ﺕا/1 D اﻝ: (نD1 )اﻝ Turjumân juga bermakna penerjemah. Tarâjimu dan tarâjimah merupakan bentuk plural turjumân.
./1 ﺕ وﺡ ﺕ ج ﺕا: نSD1 ﺕ: (SD1 )اﻝ (Tarjamah) ‘Tarjamah Fulân’ bermakna perjalanan hidup dan biografi seseorang. Tarâjimu merupakan bentuk plural tarjamah.20 Senada dengan komentar-komentar di atas, Hans Wehr mengemukakan uraian yang sama,
19
Louis Ma’louf, al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-A’lâm (Beirut : Dar Al-Masyriq, 1986)
20
Ibrahim Anis dkk. al-Mu’jam Al-Wasît (Kairo: 1972) h. 83
h.60.
/1ﺕ
to translate
* from one language "إﻝ
to another) ; to interpret; to
treat /1 ﺕby way explanation, expound; to write a biography.
SD1 ﺕPl. /1 ﺕاTranslation; interpretation; biography (also اﻝ; ةSD1ﺕ ) introduction, preface foreword (of a book) S ذاﺕ
SD1 ﺕautobiography.
نD1 ﺕPl. SD1 ﺕا, / 1 ﺕاTranslator, interpreter. /1 Translator, interpreter, biographer. /1 Translated.21 Dari sekian definisi yang telah dikemukakan di atas, Penulis mencoba mengomparasikannya dengan menelusuri ke akar kata penerjemahan berikut derivasinya pada kamus-kamus yang lain. Kemungkinan besar apa yang akan Penulis paparkan selanjutnya ini akan sangat kontras (bahkan akan mewujudkan biner-biner yang selama ini invisible atau sengaja ‘tak mau dilihat’) dengan definisi-definisi yang telah ada. Untuk memulainya, mari kita perhatikan apa yang ditulis Muhammad ibn Abu Bakar ibn Abdulkadir Ar-Razi dalam Mukhtâr Alsîhâh,
اﻝ/1ر Rajmun bermakna membunuh
رةb; اﻝ" ﺏﻝTأ Asal makna rajam ialah melempari sesuatu dengan batu
.ِdْ َBً ﺏِﻝDْ1َﻝ" ر2ل أ( ﺕQ ,c ﺏﻝ1 اﻝ/6 ان/1اﻝ 21
Hans Wehr. A Dictionary Of Modern Written Arabic (Arabic-English) (Weisbaden, Otto Harrascowit) h. 112
Rajam bermakna seseorang yang berbicara dengan menduga-duga, perkiraan, dan keraguan. Allah Swt. berfirman, “Sebagai terkaan terhadap yang ghaib,” (al-Kahfi ayat 22).
U ن: ﺏV: آ اذا/1ﺕ Bila menjelaskan dengan bahasa lain, seseorang dapat dikatakan telah menerjemahkan ucapannya.22 Tidak pula kami tinggalkan Lisân al-‘Arâb kamus klasik yang sering dijadikan referensi dalam penulisan-penulisan baik ilmiah maupun non-ilmiah,
ان اﻝ;)سbA اﻝc اﻝ/ f اﻝd:د اﻝg اﻝ2 اﻝ اﻝ/1اﻝ Rajam bermakna membunuh (bukan hanya secara fisik tetapi juga membunuh
karakter
dan
identitas–dari
Penulis),
melaknat,
mengusir
(mengucilkan–dari Penulis), menghina, mencaci-maki, terkaan, perpindahan, intuisi (dugaan– dari Penulis).
َj&&َُiََ أي ﻝj&َDُ1َْرiَْ ﺕَْ َِ ﻝ/َِْ ﻝhَﻝ" ﻝ2ل ﺕQ Allah Swt. menceritakan ayah Nabi Ibrahim AS. dalam surah Maryam ayat 46, ayahnya mengancam, “Jika kamu tidak berhenti (berdakwah mengajak aku), aku akan merajam kamu”, maksudnya rajam adalah mencaci maki dan mengucilkan.
واﻝ;)سc اﻝل ﺏﻝ/1اﻝ Rajam juga bermakna ucapan yang diartikulasikan dengan menduga-duga dan berdasarkan intuisi. Abu Bakar Ra. berwasiat kepada anak-anaknya,
22
Al-Râzi. Mukhtâr al-Sihâh (Libanon: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1994) cet. 1 h.14-15.
h آV)* ﺕﻝا4 ي أيQ )* ﺕﺡا4 V2 يQ اD1ﺕ4 “Janganlah kalian merajam di kuburku”, artinya “Janganlah kalian meratap di kuburku”, Maksudnya adalah “Janganlah kalian melontarkan ucapan-ucapan buruk di kuburku.”
* : /1 آم Ucapan yang diterjemahkan adalah ungkapan yang diartikulasikan tidak berdasarkan keyakinan.
* ز*@ان و زk /1 ﺕا2D1 SD1ﺕ Tarâjimu merupakan bentuk plural dari tarjamah, hal ini serupa dengan za’farân dengan za’âfiru.23 Dari beberapa uraian di atas, Penulis menemukan sederetan kata dan variasi makna yang berasal dari kata rajama dan tarjamah dimana penemuan makna-makna tersebut tidak ‘sebaik’ apa yang pernah ditekstualisasikan oleh sejumlah penulis. Sisi gelap (dark side) yang bisa Penulis katakan bahwa penerjemahan merupakan suatu bentuk artikulasi konsep yang dapat membunuh atau mematikan karakter domain lokal (other) sehingga identitas dari kearifan lokal (local wisdom) ditelan oleh konsep yang digulirkan penerjemahan. Dari sini terjadi komunikasi yang tidak sehat dan seimbang antara ide yang diterjemahkan dan ide lokal. Selain itu dalam kata ‘penerjemahan’ sendiri bermasalah (terjadi konflik dalam dirinya). Jadi memang secara substansial penerjemahan itu membawa awan-awan gelap yang selama ini ‘tak (mau) dilihat’. Berbeda sekali misalnya dengan pengantar buku A.Widyamartaya yang mengatakan bahwa 23
Jamâluddin Muhammad Ibn Mahrâm Ibn Manzûr, Lisân al-Arab (Beirut: Dâr al-Fikr) Vol. 12, h. 229.
penerjemahan akan membantu mencerdaskan bangsa. Pembacaan tunggal terhadap penerjemahan semacam ini, membutakan mata akan bayang-bayang hitam penerjemahan seperti yang sudah disinggung Penulis. Apalagi definisi yang disebutkan Ibnu Burdah dan paparannya –yang agak sedikit apolgetik– setelah itu, definisi tersebut menurut Penulis secara jelas sangat menutup rapat celah yang dapat dimasuki untuk melakukan kritik penerjemahan. Selain itu, uraian Ibnu Burdah yang diiringi dengan catatan hariannya dalam Menjadi Penerjemah pada hal. 23-24 tentang kekeliruan penerjemahan secara linguistik dan semantik, seakan melegitimasi kekeliruan-kekeliruan penerjemahan. Dari uraian di atas, secara sederhana penerjemahan merupakan sebuah mekanisme dan praktik yang beroperasi secara ambivalen. Penerjemahan harus digarisbawahi dan dicoret pada saat yang bersamaan (dalam kosakata Derrida, ‘penerjemahan merupakan sebuah kata yang diawetkan dan dihapus sekaligus). Mengapa Penulis katakan ambivalen? Di satu sisi, penerjemahan memperkenalkan sebuah konsep atau gagasan dari luar tetapi di sisi lain wacana-wacana yang dibawanya mencoba menggeser atau bahkan mengeksklusi serta mengeliminasi wacana-wacana lokal.24
24
Belum lagi misalnya sikap kritis seorang penerjemah amat dibutuhkan dalam rangka mewaspadai dan mencurigai ideologi atau kultur dalam teks yang sedang dihadapinya. Dalam hal ini, bahasa Arab tentunya yang sarat dengan diskriminatif terhadap perempuan, misalnya. Mengapa demikian? Seperti sudah pernah disinggung bahwa bahasa merupakan refleksi dari struktur berpikir masyarakat tersebut. Hal ini bisa diambil contoh pada Syarh al-Kafrâwi – buku nahwu yang pernah menjadi materi pelajaran bahasa oleh Muhammad Abduh dan hingga saat ini masih dipelajari – h. 64-65, “Mereka (ahli Nahwu) memberi dammah untuk mutakallim l ﺽﺏ. Dammah lebih kuat daripada yang sesudahnya (fathah dan kasrah). Dammah diperuntukkan mutakallim (subjek) guna penyesuaian (karena posisi mutakallim sebagai superrior yang sesuai dengan dammah yang dianggap kuat). Mereka memberi fathah untuk mukhâtab mudzakkar (audiens maskulin). Fathah lebih lemah daripada dammah. Karenanya, fathah diberikan kepada mukhâtab mudzakkar (audiens maskulin) yang posisinya jelas lebih lemah daripada mutakallim. Mereka memberikan kasrah untuk mukhâtab mu’annats (audiens feminin) dengan ter(di)paksa karena (di)hilang(kan)nya kekuatan perempuan. Kecurigaan yang disertai dengan kawaspadaan penerjemah adalah upaya meminimalisir sekecil-kecilnya agar produk terjemahan tidak bercampur
B. Metode-metode Penerjemahan. Pada sub bab kedua ini Penulis akan memaparkan metode-metode yang kita kenal dan pratikkan selama ini. Memang banyak sekali metode-metode penerjemahan yang ada namun Penulis di sini akan sepenuhnya mengutip pembagian metode penerjemahan oleh Newmark yang dilansir Rochayah Machali dalam bukunya, Pedoman Bagi Penerjemah. Newmark membagi metode penerjemahan menjadi dua. Untuk lebih jelasnya Penulis mengutip apa yang dituliskan Rochayah Machali sebagai berikut, “Nerwmark (1988) mengajukan dua kelompok metode penerjemahan, yaitu (1) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sumber (Bsu); (2) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran. Dalam metode jenis yang pertama, penerjemah berupaya mewujudkan kembali dengan setepat-tepatnya makna kontekstual Tsu, meskipun dijumpai hambatan sintaksis dan semantis pada Tsa (yakni hambatan dalam bentuk dan makna). Dalam metode kedua, penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif sama dengan yang diharapkan penulis asli terhadap pembaca versi Bsu.25 Berikut ini merupakan metode penerjemahan yang berorientasi sekaligus menekankan bahasa sumber, namun Penulis sengaja tidak mencantumkan contohcontohnya. Untuk mengetahui lebih lanjut, Penulis merujuk langsung pada buku Rochayah Machali, 1. Penerjemahan kata-demi-kata Dalam metode penerjemahan jenis ini biasanya kata-kata Tsa langsung diletakkan di bawah versi Tsu. Kata-kata dalam Tsu diterjemahkan di luar dengan paradigma berpikir teks sumber. Sementara teks sumber sendiri (Al-Quran dalam hal ini) juga teks sekunder dari kalâm Ilahi. 25 Machali. Pedoman Bagi Penerjemah h.49
konteks, dan kata-kata yang bersifat kultural (misalnya kata ‘tempe’) dipindahkan apa adanya. 2. Penerjemahan harfiah Konstruksi gramatikal BSu dicarikan padanannya yang terdekat dalam Tsa, tetapi penerjemahan leksikal atau kata-katanya dilakukan terpisah dari konteks. Penerjemahan yang lepas konteks semacam ini selain menghasilkan versi Tsa yang tak bermakna, juga menghasilkan versi Tsa yang tidak lazim. 3. Penerjemahan setia Penerjemahan setia mencoba mereproduksi makna kontekstual Tsu dengan masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Di sini kata-kata yang bermuatan budaya dialihbahasakan, tetapi penyimpangan dari segi tata bahasa dan pilihan kata masih tetap dibiarkan. Penerjemahan ini berpegang teguh pada maksud dan tujuan Tsu, sehingga hasil terjemahan kadang-kadang terasa kaku dan seringkali asing. 4. Penerjemahan semantis Apabila dibandingkan dengan metode penerjemahan setia, penerjemahan semantis lebih luwes, sedangkan penerjemahan setia lebih kaku dan tidak berkompromi dengan kaidah Tsa. Berbeda dengan penerjemahan setia, penerjemahan semantis harus pula mempertimbangkan unsur estetika teks BSu dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran. Selain itu, kata yang hanya sedikit bermuatan budaya dapat diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah yang fungsional. Bila dibandingkan dengan penerjemahan
setia, penerjemahan semantis lebih fleksibel, sedangkan penerjemahan setia lebih terikat oleh BSu.26 Sedangkan berikut ini adalah metode penerjemahan yang lebih menitikberatkan pada bahasa sasaran. Dalam metode penerjemahan ini, penerjemah tidak hanya dituntut mengalihbahasakan sebuah teks semata, tetapi juga dituntut untuk melihat konteks kewacanaan, 1. Adaptasi (termasuk saduran) Adaptasi merupakan metode penerjemahan yang paling bebas dan paling dekat dengan BSa. Istilah ‘saduran’ dapat dimasukkan di sini asalkan penyadurannya tidak mengorbankan hal-hal penting dalam TSu, misalnya tema, karakter, atau alur. Biasanya metode ini dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi, yaitu yang mempertahankan tema, karakter, dan alur. Tetapi dalam penerjemahan, terjadi peralihan budaya BSu ke budaya BSa, dan teks asli ditulis kembali serta diadaptasikan ke dalam TSa. 2. Penerjemhan bebas Metode ini merupakan penerjemahan yang mengutamakan isi dan mengorbankan bentuk teks BSu. Biasanya, meode ini berbentuk sebuah parafrase yang dapat lebih panjang atau lebih pendek dari aslinya. Metode ini lebih sering dipakai di kalangan media massa (namun tidak menutup kemungkinan digunakan oleh yang lain). 3. Penerjemahan idiomatik
26
Machali. Pedoman Bagi Penerjemah h. 50-52.
Metode ini bertujuan mereproduksi pesan dalam teks BSu, tetapi sering dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada versi aslinya. Dengan demikian, banyak terjadi distorsi makna. 4. Penerjemahan komunikatif Metode ini mengupayakan reproduksi makna kontekstual yang demikian rupa, sehingga baik aspek kebahasaan maupun aspek isi langsung dapat dimengerti oleh pembaca. Oleh karena itu, versi TSa-nya pun langsung berterima. Sesuai dengan namanya, metode ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, yaitu khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan. Melalui metode ini, sebuah versi TSu dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi TSa sesuai dengan prinsipprinsip di atas.27 Meskipun semuanya bermanfaat, namun dari delapan metode di atas – menurut Rochayah Machali– hanya metode semantis dan komunikatif yang memenuhi harapan-harapan utama penerjemahan, yaitu demi ketepatan dan efisiensi sebuah teks.
C. Sekilas Wacana dan Ideologi Kita sudah sering mendengar kata wacana dan pelbagai macam penggunaannya di segala bidang. Namun, banyak di antara kita mengabaikan apa itu wacana dan bagaimana ‘makhluk’ ini beroperasi dalam kaitannya sebagai unsur bahasa serta implikasinya dalam kesadaran dan sikap kita sehari-hari. Seperti biasanya, Penulis terlebih dahulu akan menerangkan asal kata wacana dan hal-hal yang terkait dengannya.
27
Machali. Pedoman Bagi Penerjemah h. 53-55.
Istilah ‘wacana’ berasal dari bahasa Sanskerta wac/wak/vak, artinya ‘berkata’, ‘berucap’ (Douglas, 1976:266). Bila dilihat dari jenisnya, kata wac dalam lingkup morfologi bahasa Sanskerta, termasuk kata kerja golongan III parasmaepada(m) yang bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujar’. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul di belakang adalah sufiks (akhiran), yang bermakna membendakan (nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’.28 Merujuk ke akar kata wacana, secara perlahan kita telah menemukan titik terang apa arti wacana. Menelusuri akar katanya, wacana sudah dikenal oleh nenek moyang kita. Namun, analisis wacana baru mulai mendapat perhatian dan elaborasi lebih lanjut sekitar pada tahun 1970-an. Sebagai sebuah pengantar mengenai asal-usul kata ‘wacana’, keterangan di atas sudah cukup memadai guna melangkah ke anak tangga berikutnya. Meskipun belum sejelas dan bukan sepenuhnya apa yang ingin dimaksud dalam penulisan ini, setidaknya uraian tersebut sebagai pengantar ke pembahasan lebih lanjut. Wacana adalah kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Sebagai kesatuan makna, wacana dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu. Di samping itu, wacana juga terikat pada konteks.29 Definisi pada uraian di atas merupakan perspektif para linguis.
28 Mulyana. Kajian Wacana, Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana (Yogyakarta: Tiara Wacana 2005) h. 3. 29 Kushartanti dkk. Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik. (Jakarta: Gramedia 2005) h. 92.
Berbeda lagi misalnya wacana dalam perspektif kebudayaan.30 Wacana di sini tidaklah lagi difahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi mengikuti Michel Foucault adalah sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.31 Wacana menurut Foucault adalah sebuah artikulasi dalam menciptakan ‘kebenaran’ yang mempunyai otoritas untuk melanggengkan kekuasaan. Foucault melihat bahwa ada benang merah antara kekuasaan dan pengetahuan.32 Kekuasaan tidak lagi dimaknai sebagai sebuah paksaan yang bersifat represif tetapi kekuasaan beroperasi dengan cara memproduksi kebenaran-kebenaran yang disosialisasikan lewat sekolah, rumah sakit, rumah ibadah, penjara, dan institusiinstitusi lain.33 Jadi kekuasaan itu adalah sebuah proses pendisiplinan, menundukkan, atau mengendalikan the others (yang lain) dengan jalan ideologi (kebenaran-kebenaran) sebagai kontrol mental yang (di)masuk(kan) ke dalam kesadaran konsumen teks. 30
Kebudayaan yang dimaksud di sini bukanlah sesuatu keunikan ‘yang berada di luar sana’ serta menunggu digambarkan oleh para ahli yang selalu gagal. Kebudayaan di sini adalah praktik pengalaman kehidupan masyarakat sehari-hari. Untuk lebih jelasnya lihat Cultural Studies h. 48. 31 Eriyanto. Analisis Wacana h. 65. 32 Artikulasi dalam istilah Lacau dan Mouffe sebagai praktik apapun yang berusaha menetapkan hubungan antara unsure-unsur sedemikian rupa sehingga unsung-unsur tersebut dimodifikasi. Marianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips, Analisis Wacana, Teori dan Metode (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 53. 33 Ideologi di sini tidak bisa dilihat semata-mata sebagai alat dominasi, tapi harus dipahami sebagai wacana-wacana dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap relasi-relasi otoritas di setiap level hubungan sosial, juga termasuk praktik legitimasi dan penguatan kelompok dominan. Lebih jauh Franz Magnis Suseno dalam Filsafat Sebagai Ilmu Kritis h. 230, menguraikan salah satu makna ideologi. Ideologi menurut salah satu maknanya adalah sebuah kesadaran palsu. Ideologi memiliki konotasi negatif, sebagai claim yang tidak wajar, atau sebagai teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Ideologi minimal dianggap sebagai sistem berpikir yang sudah terkena distorsi, entah dengan disadari, entah tidak.
Di dalam strategi baru ini, bukan lagi tubuh fisik yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran kesadaran, dan kehendak individu yang mampu menangkap tanda-tanda yang tersebar di dalam tubuh masyarakat.34 Michel Foucault menggambarkan disiplin ini sebagai perpanjangan dari disiplin militer dan dari disiplin kalangan agamawan dalam monastri (ingat disiplin atau muhâsabah an-nafs-nya kaum sufi). Pada disiplin militer, yang ditekankan adalah ketundukan fisik, sementara pada disiplin agamawan adalah pengekangan fisik untuk membebaskan kemurnian jiwa dari penjara kotoran tubuh. Maka pada disiplin sebagai mekanisme power yang diperhitungkan adalah relasi ketundukan dan kebermanfaatan (relation of docility-utility) relasi seperti ini amatlah menentukan dalam soal bagaimana seseorang bisa menguasai tubuh orang lain bukan hanya untuk menuruti apa yang diinginkannya, melainkan juga supaya mereka berperilaku sebagaimana yang dikehendaki sesuai dengan teknik-teknik, ukuran-ukuran kecepatan dan efisiensi yang sudah ditentukan sebelumnya. Yang muncul kemudian adalah tubuh-tubuh yang –di satu sisi– kekuatannya ditingkatkan, dalam arti dimanfaatkan dan didayagunakan secara ekonomis, namun juga –pada sisi yang lain– dikurangi atau diperlemah, dalam arti ditundukkan secara politis. 35 Singkatnya, seperti halnya dalam disiplin militer, disiplin dalam lingkungan civil society melahirkan manusia-manusia mirip robot yang berperilaku dan bertindak secara mekanis sesuai dengan pakem yang sudah ditentukan. Dan pakem ini mencakup bukan hanya mekanisme-mekanisme berperilaku dan kontrol diri tapi juga metode-metode dan strategi-strategi (the 34
Eriyanto, Analisis Wacana h.69. Ahmad Baso, NU Studies, Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006) h. 103-104. 35
blueprint of general method) yang merasuk ke dalam dunia pikiran, yang berproses mulai dari sekolah, rumah sakit, hingga ke penjara.36 Tapi lantas mengapa wacana mampu mendisiplinkan komunikan? “Louis Althusser,
seorang marxis
strukturalis,
secara
erat
mengaitkan subjek
(komunikan) dengan ideologi: individu menjadi subjek ideologis melalui proses interpelasi. Ideologi menurutnya sebagai sistem representasi yang menyamarkan hubungan-hubungan kita yang sesungguhnya satu sama lain dalam masyarakat dengan cara mengonstruk hubungan-hubungan imajiner antara orang-orang dan antara mereka sendiri dan formasi sosial.”37 Tapi ada juga baiknya kalau langsung merujuk pengertian ideologi dari Althusser, “ideologi adalah sistem gagasan dan pelbagai representasi yang mendominasi benak manusia atau kelompok sosial.”38 Adapun Interpelasi menggambarkan proses bahasa yang dialami dalam mengonstruk suatu posisi sosial individu atau seseorang dan dengan demikian membuatnya menjadi subjek ideologis: (I)deologi ‘bertindak’ atau ‘berfungsi’ sedemikian rupa sehingga dia ‘merekrut’ subjek di antara individu-individu (ideologi merekrut mereka semua) atau ‘mentransformasikan’ individu-individu itu ke dalam subjek-subjek (mentranformasikan mereka semua) menggunakan operasi yang sangat tepat, yang saya sebut dengan interpelasi atau pemanggilan (hailing) dan yang bisa dibayangkan berada di sepanjang garis pemanggilan polisi (atau lainnya) seharihari yang lazim dilakukan, ‘Hai, kau yang di sana!’ Dengan mengasumsikan bahwa kancah teoritis yang telah saya bayangkan itu terjadi di jalan raya, individu 36
Baso, NU Studies. H. 104. Marianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips, Analisis Wacana, Teori dan Metode. Penerjemah Imam Suyitno dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 28. 38 Louis Althusser, Tentang Ideologi, Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Penerjemah Olsy Vinoli Arnof (Yogyakarta: Jalasutra, 2008) h. 35 37
yang dipanggil akan berbalik – (...) dia menjadi subjek.” (Althusser 1971: 175).39 Tegasnya, yang kita sebut ideologi sebenarnya adalah pengaburan antara realitas linguistik dengan realitas natural, antara referensi dengan fenomenalisme.40 Bagi Althusser, kekuatan ideologi lahir dari kesanggupannya untuk melibatkan kelas subordinat dalam praktik, hingga dapat menuntun mereka pada identitas konstruk sosial, ataupun subjektivitas tertentu yang melibatkan diri mereka pada ideologi tersebut, yang jelas-jelas berlawanan dengan kepentingan sosial politis mereka sendiri.41 Dengan kata lain, artikulasi yang bersifat ideologis dihadapkan pada sebuah ‘PR’ fundamental guna merekrut simpati konsumen teks yang mereka tawarkan. ‘PR’ ini tentunya harus diselesaikan dengan ber’darahdarah’ (berjuang keras).42 Artikulasi dapat pula berisi kategorisasi. Kategorisasi merupakan pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian kata-kata yang tertentu pula yang menandakan bagaimana fakta atau realitas dipahami. Kategori merupakan alat bagaimana realitas dipahami dan hadir dalam benak khalayak. Kategorisasi itu merupakan kekuatan yang besar dalam mempengaruhi pikiran dan kesadaran publik. Dalam mempengaruhi kesadaran publik, kategorisasi lebih halus dibandingkan dengan propaganda. Meskipun terlihat halus dan tidak langsung, pemakaian kategori tertentu atas suatu peristiwa bisa jadi mempunyai imbas yang lebih tinggi dibandingkan dengan propaganda. Karena, kategorisasi lebih menyentuh, lebih subtil, dan lebih mengena alam bawah sadar. Khalayak tidak
39
Jorgensen Analisis Wacana h. 29. Stephen Morton, Gayatri Spivak, Etika, Subaltern, dan Kritik Penalaran Poskolonial. Penerjemah Wiwin Indiarti (Yogyakarta: Pararaton, 2008) h. 114 41 Althusser. Tentang Ideologi h. xi 42 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LKiS, 2005) h.119 40
sadar bahwa alam pikirannya dan kesadarannya telah didikte dalam sudut pandang atau perspektif tertentu, pola pikir tertentu sehingga tidak berpikir pada dimensi lain.43 John Fiske pun menguraikan mekanisme ideologisasi sejak dari penandaan hingga sampai praktik sosial, “Pengguna tanda menjaga tanda agar tetap bernilai dengan menggunakannya, dan menjaga mitos dan nilai-nilai konotasi budaya hanya dengan memberi respons terhadap penggunaan tanda-tanda itu dalam komunikasi. Relasi antara tanda dan mitos serta konotasinya, pada satu sisi, dan penggunanya, pada sisi yang lain, bersifat ideologis. Tanda-tanda memberi mitos dan nilai bentuk yang kongkret dan dengan cara demikian keduanya mengabsahkan tanda dan membuat tanda menjadi bersifat publik. Tatkala tanda membuat mitos dan nilai menjadi publik, maka tanda memungkinkan mitos dan nilai menjalankan fungsi identifikasi kulturalnya: yakni, memungkinkan para anggota dari suatu kebudayaan untuk mengidentifikasi keanggotaannya atas kebudayaan tersebut melalui penerimaan mereka pada mitos dan nilai-nilai bersama.”44 Dari penjelasan Fiske di atas, Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa sebuah wacana mengandung sisi-sisi mitos dan nilai. Roland Barthes mendefinisikan, “Mitos sebagai sistem komunikasi, yakni sebuah pesan. Mitos adalah cara pemaknaan.”45 Barthes membuat suatu perumpamaan, “Pohon adalah pohon. Ya, tentu saja. Namun pohon yang diungkapkan oleh Minou Drouet bukan lagi pohon sungguhan, pohon tersebut adalah pohon yang dihias, yang disesuaikan 43
Eriyanto, Analisis Framing h.156-157 John Fiske, Cultural and Communication Studies. Penerjemah Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) h. 236 45 Roland Barthes, Mitologi. Penerjemah Nurhadi dan A. Sihabul Millah (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004) h. 151-152 44
pada tipe konsumsi tertentu, yang penuh dengan pesta pora sastra, pemberontakan, imajinasi, pendek kata, penuh dengan tipe pemakaian sosial yang ditambahkan kepada aslinya.”46 Sebagai penutup bab ini, Penulis ingin mengatakan dengan kutipan yang cukup panjang, “Wacana ‘menyatukan’ bahasa dengan praktik. Istilah wacana mengacu pada produksi pengetahuan melalui bahasa yang memberi makna pada benda-benda material dan praktik sosial. Meski berada di luar bahasa, dunia material dan praktik-praktik sosial diberi makna atau ‘ditampakkan pada kita’ oleh bahasa. Dengan begitu, dunia benda material dan praktik-praktik sosial itu dibentuk secara
diskursif.
Wacana
mengonstruksi,
mendefinisikan,
dan
memproduksi objek-objek pengetahuan dengan cara yang dapat diterima nalar sekaligus menyingkirkan bentuk-bentuk bernalar yang lain.47 Lebih gamblang lagi, Foucault menambahkan bahwa wacana meregulasi, pada suatu kondisi sosial dan kultural determinatif tertentu, bukan hanya apa yang bisa diucapkan, tapi juga siapa yang boleh mengucapkan, kapan dan di mana. Konsekuensinya jelas menimbulkan normalisasi. Istilah ‘normalisasi’ berarti suatu sistem kategori dan interval yang terukur dan bertingkat di mana subjek-subjek individual bisa ditempatkan pada sebuah distribusi norma.”48 Namun masalahnya apakah dalam sebuah realitas hanya ada satu wacana? Tentu jawabannya banyaknya wacana yang selalu bersaing dan berkontestasi dalam satu ring sosial. Titik awal teori wacana adalah bahwa tidak ada wacana yang sepenuhnya mapan, wacana selalu bertentangan dengan wacana-wacana lain yang mendefinisikan realitas secara berbeda dan menetapkan pedoman-pedoman 46
Barthes, Mitologi h. 152 Barker, Cultural Studies h. 105-106 48 Barker, Cultural Studies h. 107 47
lain bagi tindakan sosial. Pada momen-momen kesejarahan tertentu, wacanawacana tertentu tampak alami dan relatif tak tertandingi. Fenomena inilah yang diacu
oleh
konsep
objektifitas.
Namun
wacana-wacana
yang
telah
dinaturalisasikan itu tidak pernah mapan dan momen-momennya sekali lagi bisa menjadi unsur-unsur dan juga objek-objek bagi artikulasi-artikulasi baru.49 Persaingan wacana inilah yang disebut antagonisme sosial. Antagonisme sosial terjadi bila identitas-identitas yang berbeda saling meniadakan satu sama lain. Meski suatu subjek mempunyai identitas-identitas yang berbeda, identitasidentitas tersebut tidak harus berhubungan secara antagonistik satu sama lain. Sehingga antagonisme dapat ditemukan di tempat bertumbukannya wacanawacana.50
49 50
Jorgensen Analisis Wacana h. 90 Jorgensen Analisis Wacana h. 90-91.
BAB III EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM A. Turbulensi Perebutan Makna, Eksklusivitas dan Inklusivitas Islam Kedua kata ini (eksklusivitas dan inklusivitas) semakin sering terdengar terutama seketika Islamic Studies ‘laku di pasar’. Eksklusivitas Islam merupakan sebuah pemahaman keagamaan yang memandang Islam sebagai agama paripurna, kâffah, finis, penunggalan makna, dan seterusnya. Mereka yang berpandangan seperti ini diidentikkan dengan otentisitas (al-asâlah), tekstualis, ideologis, revivalis (dalam arti cenderung mengidealisasi sejarah), syari’ah (dengan ‘s’ kecil, guna merujuk pada ajaran yang diklaim telah murni dan Benar), diskriminatif, fundamentalis, dan seterusnya. Mereka memiliki struktur nalar serta tindakan yang berorientasi pengisian masa kini (al-wâqi’) dengan Islam periode Madinah yang sarat dengan ketatnya pengamalan Islam dan cendrung bersifat parsial. Dalam bayangan kelompok ini, Islam pada periode Madinah (maksudnya pemerintahan yang berpusat Madinah) –meminjam istilah Mahmud Muhammad Thaha atau Khalil Abdul Karim– merupakan representasi dari cara dan pola hidup beragama yang sangat-sangat ideal dan sempurna tanpa ‘aib’ sedikitpun. Singkatnya, (kejayaan) Islam periode Madinah merupakan alternatif satu-satunya dari keterpurukan dan kebuntuan yang saat ini dihadapi umat Islam (katanya). Abû al-Fadl menggambarkan beberapa kriteria umum kelompok Islam eksklusif, “Mereka yang saya sebut puritan sudah dideskripsikan oleh beragam penulis dengan istilah fundamentalis, militan, ekstrimis, radikal, fanatik, jahidis, dan bahkan cukup dengan istilah Islamis. Saya lebih suka menggunakan istilah puritan karena ciri menonjol kelompok ini dalam hal keyakinannya menganut
paham absolutisme dan tak kenal kompromi. Dalam banyak hal, orientasi kelompok ini cenderung menjadi puris, dalam arti ia tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang realitas pluralis sebagai bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.”51 Fenomena yang (di)tampak(kan) ini tentu mengundang pertanyaan, apakah akar dari semua ini? Mun’im A. Sirry mencoba menjawab pertanyaan ini dengan memberikan judul pada bab 1 bukunya, Fundamentalisme Sebagai Produk Modernitas. Dia –dengan mengutip komentar beberapa pakar dalam disiplinnya masing-masing– memaparkan, “Gellner melihat kebangkitan agama di negaranegara berkembang sebagai proses modernisasi yang sedang berlangsung (on going process). Sementara Talcott Parsons mengatakan, bahwa masyarakat modern tidak otomatis menjadi sekular, tetapi malah semakin menyerap nilai-nilai agama. Kendati bentuk-bentuk keagamaannya mungkin tidak tampak, tapi moralitas
keagamaan secara
mendasar
membentuk masyarakat.
Samuel
Huntington telah meradikalkan pendekatan ini, dengan teorinya mengenai ‘benturan peradaban’ (The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, 1996). Bagi Huntington, tatanan dunia mendatang akan muncul berdasarkan peradaban yang lahir dari ekspresi-ekspresi nilai-nilai tertinggi tradisi agama. Retorika fundamentalisme, bagi Huntington, merupakan letupan tak terhindarkan dari peradaban berbasis agama.”52 “Namun demikian, berbagai respon terhadap fenomena kebangkitan global fundamentalisme agama, tampak tidak menjawab pertanyaan mengapa gerakan-
51
Khalîd Abû al-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi, 2005) h.
29 52
Mun‘im A. Sirry, Membendung Militansi Agama, Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern (Jakarta: Erlangga, 2003) h. 2-3
gerakan itu muncul saat ini (dan bukan dahulu), dan apa signifikansinya. Barangkali benar kesimpulan Oliver Roy, bahwa fundamentalisme agama bukan sekedar reaksi terhadap modernisasi, melainkan produk dari modernisme (The Failure of Political Islam, 1996).53 (Ke)cenderung(an) (kaum eksklusivisme) tidak mau berkompromi terhadap persoalan-persoalan minoritas nonmuslim. Maududi, misalnya, secara terang-terangan menetang prinsip ‘kesetaraan di depan hukum’, yang dianggapnya sebagai suatu kepura-puraan dan mempertahankan ketentuan pemberian status dzimmi buat mereka.54 Kecendrungan
umum
kelompok-kelompok
fundamental
ini
yang
mengarah ke ortodoksi, dogmatisme, pandangan yang serba hitam-putih, sikap yang eksklusif, merasa paling benar, kiranya akan berlawanan secara diametral dengan sifat-sifat dan kultur umat Islam pada periode kebangkitan yang sebenarnya atau periode keemasannya yang bersifat budaya metropolis, Islam yang pluralitas, inovatif, penuh toleransi, terbuka terhadap sumber-sumber pengetahuan asing: termasuk pemikiran ‘non-Islam’, baik yang berasal dari Yunani dan Romawi maupun yang lainnya, dan menghargai sikap yang rasional.55 Gejala semacam dislokasi kejiwaan, porak-porandanya nilai-nilai lama yang mengakibatkan orang kehilangan pegangan atau sandaran, anomi, dan perasaan teralienasi dari berbagai bidang kehidupan yang mulai berubah, yang merupakan efek negatif modernitas, tak pelak lagi telah turut serta mendorong khalayak untuk melakukan pelarian (escapisme) kepada alternatif yang dapat
53
Sirry, Membendung Militansi Agama h. 3 M. Zaki Mubarak. Genealogi Islam Radikal di Indonesia, Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2008) h. 18 55 Mubarak. Genealogi Islam Radikal di Indonesia h. 21 54
dianggap dapat melindungi dari perasaaan kehampaan, kebingungan, dan serba ketidakpastian. Ketika perasaan penuh ketertekanan dan ketidakpastian, maka eskapisme ini umumnya menemukan muaranya dalam bentuk sebuah doktrin yang menawarkan totalitas kebenaran dan kepastian. Dalam kungkungan doktrin yang menawarkan kebenaran mutlak tanpa cacat, para pengikut bersedia melakukan pengorbanan diri dan melakukan tindakan apa pun atas nama keabadian dan kebenaran. 56 Dengan memeluk sesuatu yang (di)benar(kan) ini, otoritas kebenaran ini kemudian melahirkan anak haram, ‘syariah’ sebagai harga mati dan satusatunya oase di tengah kehausan kekecewaan umat Islam, ditambah dengan dehumanisasi, dan demoralisasi zaman saat ini. Mereka yang tinggal di negara mayoritas Islam, mengajukan tuntutan penerapan ‘syari’ah’ dalam hukum positif (kegagapan dan kegugupannya dalam menghadapi realitas akan diuraikan di bawah ini). Sedangkan mereka yang tinggal di negara sekuler, senantiasa melakukan perlawanan mulai pada titik terendah (pasif) hingga secara frontal (aktif, ekspansif, dan produktif) sekalipun. Terkait dengan penerapan syari’ah, Pusat Kajian Keagamaan dan Kebudayaan UIN Jakarta, angkat bicara bahwa ‘pintu masuk formalisasi (penerapan) syariah ini pada umumnya bermula dari pandangan bahwa Islam adalah agama yang sempurna (kâffah) dan mencakup segala hidup yang total. Pandangan yang khas kaum Islamis ini diajukan untuk menjadikan Islam sebagai solusi (Islam is the solution). Visi Islam sebagai solusi mengandaikan Islam
56
Mubarak. Genealogi Islam Radikal di Indonesia h. 27-28
sebagai totalitas yang mengatur tidak hanya persoalan ibadah tetapi juga sistem ekonomi, sosial, dan tata pemerintahan.’57 Faktor lain yang banyak mendorong gagasan penerapan syariah Islam adalah adanya perlawanan masyarakat terhadap dampak negatif dari arus globalisasi dan modernisasi. Di satu sisi, globalisasi dan modernisasi membawa dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin memudahkan akses informasi, komunikasi, dan pengetahuan. Namun, di sisi lain, terjadi perubahan sosial yang lebih mengagungkan gaya hidup konsumerisme, hedonisme, dan permisifisme terhadap beragam budaya dan pola hidup yang tidak asli Islam. Di samping itu, persaingan yang semakin ketat dalam pasar lapangan kerja semakin memarjinalkan mereka yang tidak memiliki kapasitas dan akses ekonomi dan politik. Faktor ini diperburuk oleh gagalnya negara dalam melindungi rakyatnya dari kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang terusmenerus menghantui masyarakat.58 Tekanan berbagai faktor dan kondisi ketidakberdayaan masyarakat ini kemudian menjelma menjadi ketidakpuasan dan frustasi yang diartikulasikan dalam keinginan menonjolkan kembali identitas keislaman mereka melalui upaya penegakan syariah Islam.59 Kenapa harus penegakan syari’ah? Inilah yang menjadi pertanyaan besar. Mereka melihat bagaimana kemunculan syari’ah pasca masa jahiliyah. Syari’ah datang sebagai hero dengan wajah protagonis yang melawan era jahiliyah sebagai era antagonis. Hal ini pun juga membuat gerah pakar sejarah, Khalil Abdul Karim misalnya.
57 Syukron Kamil dkk. Syariah dan HAM, Dampak Perda Syariah terhadap Kebabasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: CSRC, 2007) h. xxiii 58 Kamil dkk. Syariah dan HAM h. xxiv 59 Kamil dkk. Syariah dan HAM h xxiv
Dia mengatakan, “Kami menyebut model kajian pertama (mereka yang mengidealisasi sejarah) sebagai kajian yang kurang ajar karena ia secara lancang menyemati fase sebelum Islam sebagai fase Jahiliah, bahkan berusaha menjustifikasi hal tersebut dengan hanya memfokuskan kajian mereka pada tematema minor yang sensasional, seperti blow up besar-besaran atas tradisi nikah maqt (seorang anak menikahi janda mendiang ayahnya), penguburan anak perempuan hidup-hidup, fenomena perempuan-perempuan pengibar bendera di Mekkah (pelacur-pelacur), thawaf keliling Ka’bah sambil telanjang (tanpa busana sehelai pun), meminum arak, transaksi riba di kalangan konglomerat Quraisy (sebagai perbuatan keji yang dipraktikkan oleh kaum elit dalam segala dimensi waktu dan tempat), nikah istibdâ‘ (menikahi budak), tradisi menggantungkan posisi istri (meninggalkan istri tanpa proses cerai), dan tradisi-tradisi minor lainnya.”60 “Model kajian seperti ini sesungguhnya kering dari metodologi ilmiah, sehingga sulit dikatakan sebagai sebuah kajian. Akan tetapi, ia malah lebih dekat dengan orasi naratif yang dituangkan di atas kertas dengan maksud mengadukaduk emosi dan perasaan pembaca dengan propaganda bahwa Islam muncul di tengah-tengah masyarakat yang penuh dengan kekelaman, kebodohan, dan kesesatan, tanpa dijumpai setitik penerang pun. Pembentukan propaganda ini jelas mengacu pada sebuah pepatah yang mengatakan: ‘Dengan tampil sebaliknya, menjadi istimewa.’”61 Dalam beberapa karyanya, Khalîl ingin
sesuatu
meyakinkan pada kita bahwa mereka yang ngotot dan memaksakan tegaknya syariah selalu menampilkan sisi kelam dan kebiadaban era jahiliyah, padahal itu 60
Khalîl Abdul Karîm, Syari’ah, Sejarah Perkelahan Pemaknaan. Penerjemah Kamran As‘ad (Yogyakarta: LKiS, 2003) h. 148 61 Karîm, Syari’ah h. 149
hanya bagian kecil dari belantara khazanah era jahiliyah. Menurut Khalil, mereka tidak pernah menampilkan luasnya padang khazanah positif era jahiliyah yang lain, ketinggian sastra mereka, misalnya. Khalîl mengindikasikan bahwa adanya ketidakadilan dan ketidakseimbangan pada presentasi mereka tentang era jahiliyah antara sisi hitam dan putihnya. Padahal menurut Khalîl banyak sekali pranata yang diwarisi dan diadopsi oleh Islam, seperti aspek sosial, ekonomi, kemasyarakatan, hukum (perundang-undangan), politik, dan bahasa. Semuanya merupakan indikasi ketinggian peradaban masyarakat Arab pra-Islam. Bahkan, Islam juga ternyata juga mengadopsi sebagian dan memodifikasi masalah religi atau ritual peribadatan dari masyarakat Arab Jahiliah.
B. ‘Menulis Keimanan’ di Tengah Social Disorder Memang dalam mencari suatu jalan lengang sebagai respon atas perbedaan baik secara ekonomi, politik, budaya, maupun nilai-nilai lainnya, umat Islam dan negara-negara bekas jajahan mengambil dua pendekatan yang berbeda, Pertama, penegakan syari’ah seperti disinggung di atas dan kedua, pendekatan HAM. Kedua pendekatan ini bukan hanya berbeda tetapi dua kutub biner yang saling bertolak belakang sekaligus berhadapan dan kemudian berbenturan juga bertabrakan. Dewasa ini pendekatan HAM dibangun atas pondasi nilai-nilai universal yang memungkinkan kerja sama antara berbagai komunitas dunia yang plural. Sementara ciri dominan agama (syariah) adalah eksklusif, di mana para penganutnya cenderung menegasikan tradisi agama (syariah) lain, dengan menganggap tradisi agamanya lebih superior. Pengalaman sejarah menunjukkan
bahwa eksklusivitas iman cenderung melemahkan kemungkinan kerja sama damai antara berbagai komunitas iman.62 Problem eksklusivisme ini harus diatasi, meskipun bisa saja tidak seliberal yang dianut oleh kaum pluralis Barat. Di antaranya dengan mengembangkan prinsip timbal balik (reciprocity). Caranya, menurut Abdullâh Ahmad al-Na‘îm, dengan memperlakukan non-muslim berdasarkan ideal-ideal civil right yang sama. Atau dalam bahasa M. Dawam Rahardjo, agama seharusnya dilihat sebagai kebenaran yang tidak terbantahkan, tetapi hal itu bagi mereka yang meyakininya saja.63 Belum lagi kontekstualisasi pemahaman keagamaan yang rancu. Hal ini bisa kita temukan misalnya, term-term semacam riddah, dzimmi, kufur, dan lainlain. Riddah (atau sering kita istilahkan dengan murtad– penerj.), bukanlah keluar dari agama atau pindah dari satu kepercayaan ke kepercayaan lain –sebagaimana sering dipahami– tetapi lebih merupakan sebuah pemberontakan atau aksi seperatisme, baik atas negara Islam maupun negara non-Islam. Jadi, riddah merupakan wacana politik daripada sebuah persoalan agama, yang harus ditumpas dengan segala cara dan sarana.64 Sementara, Islam adalah agama yang memayungi beraneka ragam aliran dan kecenderungan, selama aliran-aliran tersebut ber-platform komunalisme (jamâ’iyyah), yaitu mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan kelompok kelas (oleh karenanya, segala tindakan ‘riddah’, pemberontakan yang mengganggu stabilitas umum demi memaksakan kehendak golongan harus
62
Kamil dkk. Syariah dan HAM h. 30-31 Kamil dkk. Syariah dan HAM h. 149 64 Muhammad Salmân Ghânim, Kritik Ortodoksi, Tafsir Ayat Ibadah, Politik, dan Feminisme. Penerjemah Kamran As‘ad Irsyadi (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. xvii 63
ditumpas–Penulis). Islam bukanlah agama Muhammad saja, tetapi ia meliputi seluruh risalah nabi, dari Nabi Adam, Nuh hingga Muhammad. Allah berfirman, (Ikutilah) agama orang tuamu, Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu(QS. Al-Hajj [22]: 78). Dan sesungguhnya orang-orang yang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benarbenar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati (QS. Al-Baqarah [2]: 62).
Jadi, Islam
menurut konsep Al-Quran tidak hanya meliputi risalah-risalah langit saja, tetapi juga memayungi ajaran (kredo) orang-orang saleh dan ahli hikmah, seperti Budha, Zarathustra, Konfusious, dan lain-lain (kepercayaan-kepercayaan adat–Penulis).65 Ada sementara kelompok-kelompok Islam Ortodoks yang melemparkan konsep kufur dan Islam sebagai alat dikotomi sosial dalam masyarakat. Bagi penulis (Salmân Ghânim) kata kufr tidak berarti najis, kotor, zindik, atau ibâhy serta cap-cap etics-minded lainnya yang banyak digunakan kaum agamawan. Orang kafir adalah manusia biasa dan statusnya sama dengan kita, hanya saja ia berbeda dalam masalah hubungan dengan Tuhan. Ini adalah urusan orang tersebut dengan Tuhan di akhirat. Kita tidak mempunyai hak untuk mengadilinya selama ia tetap menjadi warga yang baik dalam komunitas sosialnya. Allah berfirman, Barang siapa yang kafir, maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya; dan barang siapa yang beramal saleh, maka untuk dirinya sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan) (QS. ar-Rum [30]:
65
Ghânim, Kritik Ortodoksi h. xviii
44) Dan barang siapa ynag bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Mahakaya Lagi Maha Terpuji (QS. Lukman [31]: 12). Pengadilan atas orang kafir ditangguhkan hingga hari kiamat, di hadapan Tuhannya langsung dan bukan di dunia di depan pengadilan manusia. Kita bisa melihat kasus Ibrahim ketika ia berdoa kepada Allah untuk memberi nafkah kesejahteraan bagi orang-orang mukmin saja, tetapi Allah menjawab bahwa Dia akan memberi rezeki kepada orang-orang kafir juga. Tidak ada perbedaan kuota rezeki antara kafir dan mukmin. Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman dan sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruknya tempat kembali (QS. Al-Baqaraah [2]: 126). Di samping itu, orang-orang mukmin juga tidak terlepas begitu saja dari kekufuran dan syirik. Allah berfirman, Dan sebagian dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain) (QS, Yusuf [12]: 106).66 Kufur adalah menutup-nutupi kebenaran dan mengingkari anugerah Allah atas manusia, yaitu anugerah sosial (jama’ah). Atau dengan bahasa lain kufur millah, yaitu mengingkari nikmat dan anugerah yang diberikan kepadanya dalam kehidupan sosial. Maka kufur dengan Allah sebanding dengan kufur dan mengingkari jama’ah, dengan tidak menjaga kepentingan sosial dalam kerja,
66
Ghânim, Kritik Ortodoksi h. xviii-xix
produksi, dan upah (donasi). Dan inilah yang menjadi standar akhlak terpuji. Keimanan kepada Allah pun selalu paralel dengan keimanan dan dedikasi personal pada komunitas sosial di mana ia tinggal. Bekerja untuk kepentingan umum dan menjaga (mendahulukan) kepentingan umum adalah standar iman. Adapun jika ia kafir atau musyrik, maka itu adalah urusan Tuhannya. 67 Adapun uraian berikut ini merupakan kritik al-Na‘im terhadap syariah terkait dengan hak-hak sipil (dalam qabûl al-âkhar –meminjam istilah Dr.Millad Hanna, intelektual Kristen Koptik dan pejuang toleransi dan HAM di Mesir, sebagai judul bukunya yang dalam versi Indonesia berjudul ‘menyongsong yang lain, membela pluralisme’ diterbitkan Jaringan Islam Liberal–, “Tentang status nonmuslim, kaum absolutis berpendapat bahwa dalam negara syari’ah, muslim adalah warga inti, sedangkan nonmuslim tidak memiliki hak politik.68 (Selain itu) syari’ah tidak memberi tempat tinggal yang tetap bagi nonmuslim di dalam negara Islam, kecuali jika ada izin tinggal sementara (aman) yang terbatas masa dan syarat kehadiran mereka; atau jika mereka dijamin dalam status dzimmah. Orangorang nonmuslim tak memliki hak sipil dan politik apa pun, meskipun mereka lahir dan dibesarkan di wilayah negara Islam. Akibatnya warga nonmuslim, meskipun dijaga keamanan jiwa dan harta bendanya dengan aman, namun tak berhak berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat secara luas. Mereka tidak memiliki otonomi komunal dalam urusan pribadi mereka kecuali jika mereka berstatus dzimmah.)69
67
Ghânim, Kritik Ortodoksi h. xix Abdullâhi Ahmed al-Na‘îm, Dekonstruksi Syariah. Penerjemah Ahmad Suaedy dan Amirudin al-Rany (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. 83 69 Al-Na‘îm, Dekonstruksi Syariah h. 148 68
Pada mulanya, status dzimmah ditawarkan untuk warga negara (Islam) yang diidentifikasi sebagai orang yang beriman dan taat pada salah satu kitab wahyu (ahli kitâb). Karena kritereia identifikasi ahli kitâb secara gradual diperlunak oleh para ahli hukum Islam, maka status dzimmah diterapkan kepada orang non-Islam yang diizinkan tinggal di dalam wilayah negara Islam selama setahun atau lebih. Siapa saja yang diberi status dzimmah oleh syari’ah berhak memperoleh perlindungan jiwa dan harta bendanya, serta melaksanakan agamanya secara pribadi, dengan kompensasi membayar pajak (jizyah).70 Suatu masyarakat dzimmi yang menikmati kebersamaan dzimmah dengan umat Islam, diberi hak oleh syari’ah untuk mengatur dirinya dalam masalah pribadi, namun tetap harus tunduk pada perundang-undangan negara Islam dalam uruasan-urusan publik. Syari’ah menentukan bahwa yurisdiksi semua urusan publik harus tetap menjadi wilayah eksklusif umat Islam. Karena itu, kaum dzimmi memiliki kebebasan berpendapat atau berkepercayaan, berekspresi, dan berserikat di dalam komunitas mereka sendiri. Artinya, ‘kebebasan’ itu hanya berkaitan dengan praktik keagamaan dan pelaksanaan urusan-urusan pribadi mereka di dalam kerangka komunitas eksklusif kelompok dzimmi.71 Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dan melanggar hak-hak sipil setiap individu yang menjadi maqâsid syarîa‘h itu sendiri. Untuk lebih jelasnya bisa lihat al-Syatibi, AlMuwâfaqat fî Al-Usûl Al-Syarîa‘h pembahasan mengenai tujuan syariah, pada bab, kitâb al-maqâsid. (Berbeda dengan yang diuraikan sebelumnya), toleransi dan berpegang pada yang terbaik dan termudah serta menghindari sikap ekstrim, berlebihan dan 70 71
Al-Na‘îm, Dekonstruksi Syariah h. 149 Al-Na‘îm, Dekonstruksi Syariah h. 150
fanatik, semua ini memberikan kandungan yang positif dan konstruktif bagi hak untuk berbeda sehingga ia dapat memelihara masyarakat dari fitnah dan pertempuran serta menumbuhkan keragaman yang damai sebagai sumber bagi produktifitas dan kreasi. 72 (Terkait hal ini), Al-Quran (sendiri) mengakui kebebasan beragama dan menganggapnya sebagai hak asasi manusia. Hal ini karena Allah menciptakan manusia dan membekalinya dengan akal dan kemampuan membedakan, serta membentangkan kepadanya berbagai jalan untuk kemudian membiarkannya memilih salah satu jalan itu dengan bebas.73 Alquran menetapkan perbedan sebagai hakikat eksistensi, dan sebagai salah satu unsur tabiat manusia. Perbedaan warna kulit, bahasa, seks, dan kecenderungan hingga perbedaan suku dan bangsa, semua itu merupakan sesuatu yang dikehendaki Allah, persis seperti Dia menghendaki akan adanya perbedaan di antara unsur-unsur alam semesta untuk dijadikan sebagai tanda-tanda bagi eksistensi-Nya.74 (Oleh karenanya) dalam pembahasan ini, perbedaan antara agama dan pemikiran agama menjadi (penting) jelas (serta harus dibedakan dan diseleksi benar agar tidak terjebak pada sakralisasi pemikiran keagamaan yang bermuara pada distorsi dan mengatasi kesakralan agama itu sendiri). Asal makna ‘agama’ (ad-dîn) adalah apa yang datang dari Nabi Muhammad Saw., baik berupa Alquran, ucapan, atau tindakan yang berhubungan dengan agama atau penerapannya. Bahwa Alquran dan hadist merupakan teks (nass) keagamaan.
72 Muhammad Ầbid Al-Jâbiri, Syûrâ, Tradisi Partikularitas Universalitas. Penerjemah Mujiburrahman (Yogyakarta: LKiS, 2003) h. 157 73 Al-Jâbiri, Syûrâ h. 157 74 Al-Jâbiri, Syûrâ h. 160
Teks –yang memuat selain kehidupan Nabi Muhammad Saw.– tidak dapat berbicara sendiri, tidak bisa menjelaskan maknanya dan tidak dapat menetapkan apa-apa yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, Alquran telah ditafsirkan dengan hadits, dan keduanya ditafsirkan dari segenap sisi yang perlu dan siap ditafsirkan. Dari beberapa hadits –yang sebagian diutamakan– dan interpretasi para ahli tafsir, termasuk di dalamnya perbedaan mazhab, pendapat dan budaya serta perbedaan pandangan ahli fiqh dalam masalah-masalah yang dipikirkan; dari semua itu lahirlah pemikiran keagamaan. Pemikiran keagamaan ini bukan merupakan agama. Pemikiran ini –secara jelas– tidak mungkin melulu agama (agama an sich) selama dasar yang melingkupinya adalah perbedaan lingkungan, pertikaian mazhab, ijtihad-ijtihad tafsir, kepercayaan-kepercayaan umum, dan dongengdongeng rakyat. Dari sisi lain, adalah mustahil pemikiran ini menjadi benar dan suci selamanya. Ia mungkin membawa kebenaran dan kesalahan sebagaimana ia tercampuri oleh tujuan-tujuan, sebagaimana pendapat seorang manusia.75 Dalam suatu ungkapan, mungkin bisa dibedakan antara agama (ad-dîn) dan pemikiran keagamaan (al-fikr ad-dînî), bahwa agama adalah kumpulan dasardasar yang dibawa oleh nabi atau rasul, sedangkan pemikiran keagamaan adalah metode-metode historis untuk memahami dasar-dasar ini dan penerapannya. Setiap pemahaman atas teks-teks keagamaan dan setiap interpretasi atasnya – setelah Nabi wafat– merupakan pemikiran keagamaan. Oleh karena itu, pemahaman atau interpretasi ini terkadang cocok dengan inti keagamaan dan terkadang tidak.76
75 76
Al-Asymâwi, Nalar Kritis Syari‘ah h. 43 Al-Asymâwi, Nalar Kritis Syari‘ah h. 43-44.
Batasan perbedaan antara agama dan pemikiran keagamaan ini tidaklah jelas bagi publik, oleh karena itu antara keduanya telah dan senantiasa terjadi campur aduk. Termasuk dalam bentuk campur aduk ini adalah bahwa seruan penerapan syari’at tidak dimaksudkan dengan makna syari’at dalam Alquran, tetapi dikembalikan pada makna kata dalam ranah pemikiran-pemikiran keagamaaan, dengan empat unsurnya: Alquran, hadîts, ijmâ’, dan qiyâs, dan mungkin juga makna kesejarahan. Bahkan pengertian meluas hingga yang dimaksudkan dengan ‘syari’at’ adalah hukum-hukum syari’at (al-ahkâm asysyar’iyyah), yakni pernyataan Allah SWT. yang berhubungan dengan perbuatanperbuatan manusia yang mukallaf, baik itu bersifat pilihan maupun wajib. Apa (iya) yang disebut dengan hukum Allah SWT. adalah empat unsur tadi: Al-Quran, hadits, ijma’, dan qiyas(?).77 Singkatnya, “Pertentangan dalam wacana agama yang terjadi sekarang ini bukanlah sekedar pertentangan di seputar teks-teks agama atau pun interpretasi terhadapnya, melainkan pertentangan menyeluruh yang meliputi semua aspek kesejarahan; sosial, politik, ekonomi; pertentangan yang melibatkan kekuatan-kekuatan takhayul dan mitos atas nama agama dan juga pemahaman secara letterlijk terhadap teks-teks agama,” kutipan berasal dari sinopsis Kritik Wacana Agama-nya Abu Zaid. Sebagai akhir bab ini, saya ingin mengutip makalah M. Jadul Maula yang pernah dimuat dalam Majalah Desantara, “Jadi, apa yang kemudian dirumuskan sebagai syariat Islam dan persaingan-persaingan di dalam perumusannya penting dipahami sebagai persaingan kompleks untuk perebutan legitimasi sebagai ‘pimpinan’ masyarakat melalui konstruksi simbolik (ideologi keimanan) tertentu.
77
Al-Asymâwi, Nalar Kritis Syari‘ah h. 44
Oleh karena itu, kita mesti mulai membuka kemungkinan mengkaji kembali pengertian-pengertian bid‘ah, zindîq, ilhâd, kâfir, dan musyrik, tidak dalam kerangka teologi ‘yang mematikan’ melainkan dalam kerangka kultural sebagai upaya-upaya individu atau kelompok untuk mempertahankan dan kehidupannya sendiri secara wajar dan bermartabat. Sehingga kita bisa merasakan kembali ‘dosa kemanusiaan’ di dalam sejarah kita sendiri, di abad XX, ketika ribuan orang (kebanyakan kaum miskin dan marjinal) harus mati ‘hanya’ karena sebutan ‘tidak bertuhan’ menurut standar resmi, tanpa proses pengadilan.”78 Mengutip sinopsis buku Nalar Kritis Syarî‘ah-nya al-Asymâwi, dikatakan bahwa syariat bukanlah kaidah-kaidah, aturan-aturan dan hukuman-hukuman, melainkan spirit yang menembus inti segala sesuatu. Sebuah spirit yang berkelanjutan dalam menciptakan
aturan-aturan
baru,
melakukan
pembaruan-pembaruan
dan
interpretasi-interpretasi modern. Ia adalah sebuah gerak langkah dinamis yang selalu membawa manusia pada tujuan-tujuan yang benar dan orientasi-orientasi yang mulia supaya mereka tidak terjebak ke dalam teks, terkoyak dalam lafal, dan tenggelam dalam ungkapan.
78
M. Jadul Maula, “Syariat (Kebudayaan) Islam: Lokalitas dan Universalitas” dalam Majalah Kebudayaan Desantara, Dialog Agama dan Kebudayaan, (Depok: Desantara, 2002) Edisi 03/Tahun II/2002. h. 47. Penulis, alumni IAIN Yogyakarta, ketua Yayasan LKiS, Yogyakarta. Makalah ini ditulis ulang dengan beberapa revisi dan penyempurnaan untuk keperluan Seminar Nasional bertema “Syariat Islam, Pluralisme dan Demokrasi di Indonesia”, Desantara, Jakarta, 24 Oktober 2001, dari makalah yang pernah dipresentasikan dalam diskusi buku “Wacana Islam Liberal”-nya Charles Kurzman, 2001, Jakarta: Paramadina, yang diselenggarakan oleh Teater Utan Kayu Jakarta tanggal 27 September 2001.
BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM A. Tekstualisasi (Terjemahan) Ayat-Ayat Eksklusivitas dan Inklusivitas Islam Sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut, penulis telah menyinggung di awalawal skripsi bahwa pembahasan pada bab IV akan menguraikan terjemahan ayatayat yang terkait dengan isu-isu eksklusif dan inklusif Islam dengan kerangka teori wacana sebagai teropong analisis. Tidakkah kita tercengang misalnya menyaksikan dua wajah –eklsklusif dan inklusif Islam– saling menatap tajam yang penuh dengan kecurigaan satu sama lain? Pada saat itu, kita seakan berada di tepi muara melihat arus besar dua sungai yang deras saling menghantam pada satu titik guna menuju laut lepas sebagai tempat perhentian terakhir. Kalau dilacak secara genealogis dalam arti konvensional, mereka berasal dari satu sumber mata air yang sama. Keduanya sama-sama beranjak dari teks. Apakah yang menyebabkan fenomena ini terjadi? Bagaimana proses produksi kedua wacana tersebut bisa terbentuk? Di sini –melalui wacana– penulis akan melacak penyebab-penyebab serta implikasinya. Untuk itu, kita lihat terlebih dahulu ayat di bawah ini yang diterjemahkan Departemen Agama RI edisi revisi 1989 sekaligus menjadi sumber konflik,
ُ/َُءَ ه1 َ ِ)ْ2َ& ِْ ﺏ4ِب إ َ َ ِ6َِْْ أُوْﺕُا اﻝ9&َْ *ِْ)َ ا(ِ اَِْمُ وََ ا ْ ََ'َ اﻝ+)ّإِن& اﻝ َِب:ِ;ْْ@ُْ ﺏِ?َتِ ا(ِ َ=ِن& ا(َ َِْ<ُ اﻝ6َ ََْْ و/ُAَْ َْ ً ﺏBَُ ﺏ/ِْ2ْاﻝ Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisabnya. (Q.S. Ali Imran,[3]; 19). Dalam terjemahan di atas kita telah menemukan tema utama bahwa agama ‘diridai’ di sisi Allah hanyalah Islam. Persoalannya kemudian apakah kita telah ‘mengetahui secara absolut’ (dalam kosakata Hegel) makna ayat tersebut –yang sudah tak perlu lagi dipertanyakan– melalui kalimat terjemahan di atas. Kalimat terjemahan itu sama sekali tidak memberikan keterangan apa pun sehingga kalimat tersebut seakan sudah jelas atau bahkan masih menyisakan banyak pertanyaan (jika melihat realitas bahwa Islam saat ini ditengarai menjadi biang kerok di tengah pergaulan global). Di sinilah pangkal persoalannya? Pertanyaan demi pertanyaan datang menghujani kepala ini yaitu apa yang dimaksud dengan ‘Islam’. Kalimat terjemahan di atas seakan ingin mengatakan bahwa Islam jangan lagi dipersoalkan karena maksudnya sudah jelas. Ke(tidak)jelasan inilah yang membentuk para pembacanya menjadi eksklusif. Kata Islâm dalam ayat ini kemudian lebih sering dipahami oleh kebanyakan orang sebagai segala teori dan praktik yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. kepada para sahabatnya kala itu. Pemahaman ini jelas menjadi ahistoris dan anakronik ketika proses pemahaman ini lepas dari konteks. Untuk menghindari ahistoris, Depag semestinya menambahkan imbuhan-imbuhan singkat yang dapat memberi keterangan secara jelas demi tuntutan-tuntutan keadaan yang berasas kemaslahatan umum sebagaimana yang dilakukannya pada terjemahan ayat yang lain. Penerjemahan itu sepintas kita lihat memang netral. Namun jika dilihat lebih jauh kenetralan itu menjadi hilang karena makna sebuah teks tidak berdiri
secara otonom tetapi ada elemen lain pembentuk makna, salah satunya ialah konsumen teks itu sendiri. Dengan memperhatikan konsumen teks terjemahan tersebut yang tidak lain ialah orang Indonesia yang memiliki pengalaman historis dan aspek psikologis tersendiri. Selain itu dengan latar belakang mazhab yang dianut sang konsumen, Depag seakan ingin mengatakan bahwa yang ‘benar’ hanya ajaran Nabi Muhammad Saw. dan dari aliran ideologi yang ada hanya Islam mayoritas dan versi resmi saja yang ‘benar’. Karena selain apa yang terungkap dalam teks (said), ada yang tidak terkatakan (not-said) dan apa saja yang dikatakan namun tidak pernah terungkap (never said)–meminjam istilah Mohammed
Arkoun.
Depag
terlihat
setengah
hati
menerjemahkan
(mempribumisasikan) teks keagamaan ini. ‘ْ+)’اﻝditerjemahkan menjadi agama. ‘ ’اََِْمdibiarkan (diadopsi) begitu saja tanpa mencarikan padanan yang tepat dalam bahasa sasaran, konsumen teks yang tidak lain adalah masyarakat Indonesia. Orientasi penerjemahan ini kontan menuntun konsumen teks merujuk pada kognitifnya yang dihegemoni aliran ultra-teosentris. Depag belum ‘ada’ kesungguhan untuk mempribumisasikan teks sumber. Dalam kasus ini jelas sekali terlihat hegemoni kelompok eksklusif dalam tubuh Depag dimana kelompok mayoritas memproduksi pengetahuan guna melanggengkan kekuasaannya seperti telah disinggung pada bab-bab sebelumnya. Yakni, pelembagaan agama oleh Negara merupakan alat kontrol Negara terhadap keyakinan masyarakat yang dikuatirkan pada akhirnya disinyalir potensial mendelegitimasi otoritas Negara. Hal ini pernah terjadi pada tahun 1888 di mana pemberontakan kelompok tarekat terhadap pemerintah kolonial. Oleh karenanya, pemerintah kolonial membentuk semacam divisi yang khusus menangani agama
dan kepercayaan untuk mengadministrasikan ajaran yang dapat mengancam keberadaan kolonial. Adapun lembaga-lembaga keagamaan yang sekarang ini, seperti Depag dan MUI, merupakan kepanjangan tangan atau sebuah pelestarian control Negara atas masyarakat. Terang saja pengetahuan yang diproduksi terlibat secara aktif dalam membangun sekaligus melanggengkan otoritas. Karena dengan mengusik pengetahuan yang (di)mapan(kan), proyek tersebut akan mengancam bahkan mendeligitimasi yang kemudian meruntuhkan kekuasaan yang selama ini berhasil merebut makna. Hal ini tentu saja menjadi sangat ironis ketika negara mengadakan satu departemen yang konsentrasi dalam keagamaan (juga diharapkan netral dan mengakomodir segala macam bentuk keyakinan, kepercayaan, dan seterusnya) justru sangat terlihat jelas keberpihakannya (engagement) terhadap mayoritas. Mayoritas yang dimaksud dalam terjemahan ini adalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.,. Dalam hal ini kembali lagi bahwa dengan tidak memberikan imbuhan pada ayat ini sementara pada ayat yang lain diberikan imbuhan, Depag jelas sudah mem(di)bentuk makna ayat di atas (cara berpikir [juga bersikap] masyarakat). Dalam arti Depag telah menyapa konsumen terjemahan dengan pertanyaan yang jawabannya sudah ditentukan sebelumnya. Pada saat yang bersamaan makna tersebut telah membentuk Depag dengan pengaruh epistem dan mindset abad pertengahan yang sangat kental dengan teosentris (cenderung ahistoris dan literalis). Hal ini tentu saja bermuara pada apa yang diistilahkan dengan ‘feodalisme teks’. Dalam kalimat tersebut pun terlihat jelas arogansi ego (ke’aku’an) mayoritas terhadap minoritas sehingga timbul pembacaan Jaquest Lacan, psikoanalisis Perancis bahwa fenomena ini merupakan tindakan paranoid sang ego
saat bercermin melihat kebesaran dirinya. Narsisime semacam ini disebabkan “karena adanya jarak antara diri sang ego dengan dirinya ‘yang lain’ dalam cermin itu. Sang ego membayangkan dirinya utuh, solid, merangkum dan menyatu. Padahal justru sebaliknya pantulan dalam kaca, dalam tataran imajiner, penuh citra, dan permainan imajinasi, serta penuh tipuan dan godaan.”79 Untuk dapat menerjemahkan seperti ini, Depag tidak lepas dari sistem nalar berbahasa yang sangat eksklusif.80 Dalam bahasa Arab,
امmerupakan
(إن اﻝ) *) ا
pola jumlah ismiyyah. Jumlah ismiyyah merupakan pola
kalimat yang sama sekali tak terikat oleh waktu. Dengan asumsi tidak terikat waktu, Depag mengonstruk ‘kebenaran’ merujuk Islâm kepada teori dan praktik yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. saat itu dan tidak akan berubah sampai kapan pun, ‘periode madinah menjadi standar model ideal yang wajib diteladani dan sudah final’. Namun, apa daya Depag terkubur dalam liang yang digalinya sendiri, karena dengan tidak terikat oleh waktu, justru ‘Islam menjadi fleksibel di segala masa’. Di sinilah saya pikir perlunya melacak sekaligus mengritik sejarah ‘kebenaran’, 79
“kapankah
sebuah
kebenaran
menjadi
‘kebenaran’,
bukan
Baso, NU Studies, h. 51 Bahasa Arab sangat eksklusif, Al-Jabiri menelusuri gejala ini dengan melihat bahwa “sebuah sistem bahasa (bukan hanya kosa kata, tapi juga sistem gramatika dan semantiknya) punya pengaruh yang cukup signifikan dalam cara pandang penuturnya terhadap dunia, termasuk cara menafsirkan dan menguraikannya, yang pada gilirannya juga mempengaruhi cara dan metode berpikir mereka.” Pembakuan sistem bahasa ini terjadi pada masa tadwîn dengan upaya kodifikasi setelah menyebarnya beberapa penyimpangan dialek yang kemudian dikuatirkan mengancam entitas bahasa Arab itu sendiri sebagai upaya konservasi dalam rangka membendung pengaruh dari luar. Penyebaran semacam ini menuntut upaya khusus pemerintah untuk mencari ‘bahasa Arab yang murni’ dari orang Arab yang semakin menipis jumlahnya di kota-kota besar wilayah Islam yang metropolis, “maka wajar bila kemudian berkembang fenomena penggalian bahasa ‘asli dan murni’ di lingkungan perkampungan Arab Badui, yang terpencil. Dari sinilah kita mencermati karakter unik bahasa Arab yang bersifat a-historis dan inderawi (sensual), karena ‘dunia’ tempat dia tumbuh dan berkembang adalah dunia inderawi yang tak punya sejarah, dunia nomaden kaum Badui. Kehidupan yang menghayati waktu membentang bagaikan gurun pasir. Sebuah waktu yang bersifat siklis dan tertutup.” lihat artikel Karakteristik Hubungan Bahasa dan Pemikiran dalam Tradisi Islam dalam Muhammad Ầbid al-Jâbiri , Post Tradisionalisme Islam. Penerjemah Ahmad Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000) h.61-62 80
kebohongan, mitos, ilusi, atau kegilaan, yang kemudian memperoleh nilai seperti yang kita kenal saat ini, yang lalu menjerat kita ke tali genggamannya, seakanakan kita tak bisa hidup, tak bisa berpikir, dan tak bisa bertindak, tanpa kebenaran. Dari sini sejumlah pertanyaan bersusulan. Umpamanya, sejak kapan ‘kegilaan’ menjadi bukan hanya keblingeran, kekeliruan, anomali, tetapi juga kejahiliyahan dan bahkan kejahatan yang perlu dinetralisir dan malah kalau perlu dibungkam dan diberangus? Sejak kapan kebenaran memperoleh status nilainya seperti sekarang ini yang dengan mudahnya bisa membungkam hal-hal yang berada di luar dari kerangkeng otoritasnya alias ‘tidak benar’?”81 Bandingkan dengan sajian berikut ini. Ayat di atas memiliki suara yang berbeda seketika sampai di tangan Prof. Dr. Nurcholish Madjid yang disapa akrab dengan sebutan ‘Cak Nur’. Cak Nur mengartikannya, “Sesungguhnya ikatan (aldin) di sisi Allah adalah sikap pasrah (al-islam),” demikian firman Tuhan.82 Dalam melakukan pembacaan terhadap ayat di atas, Cak Nur yang seringkali dalam tulisannya mencantumkan Ibnu Taymiyah sebagai tokoh yang dikaguminya bahwa konsep esensial dalam agama ialah al-islâm yaitu sebentuk kepasrahan sebulat hati kepada Tuhan Yang Maha Esa, meskipun setiap agama menempuh syari’at yang beragam. Kepasrahan inilah yang kemudian membuahkan “Kesadaran Ketuhanan”, God Consciousness –meminjam
istilah Muhammad
Asad. Kesadaran Ketuhanan ini tidak lain adalah kesadaran bahwa Tuhan Maha Hadir (omnipresent) dalam setiap detik putaran waktu. Bentuk kesadaran ini juga yang pada akhirnya melahirkan ketakwaan sepenuhnya kepada Yang Esa, yaitu sikap pasrah kehadirat Tuhan. Hal ini didasarkan pada kata al-islâm yang 81 82
Baso, NU Studies, h. 105-106 Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001) h. 17
bermakna al-dîn (tunduk-patuh). Oleh karenanya, bukan hanya muslim pengikut Agama Muhammad saja yang pasrah kehadirat-Nya, tetapi juga universal yang mencakup kesatuan agama samawi, yang mewarisi Abrahamistic Religion, yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam. Sebagai perluasan, kita dapat mencermati terjemahan surat Ali Imran ayat 85 di bawah ini,
ََِِْ$وَ َْ َْ َِ َ َْ اَِْمِ دًِْ ََْ ََُْ ُِْ وَهَُ ِ" ا! َِةِ َِ اﻝ Depag menerjemahkannya, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-sekali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Sementara Prof. DR. Quraish Shihab mengartikannya, “Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-sekali tidaklah akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”83 Lain lagi Cak Nur yang mengartikannya dengan, “Barang siapa menuntut agama selain al-islam (sikap pasrah), maka darinya tidak akan diterima, dan di akhirat kelak akan termasuk mereka yang merugi.”84 Kita akan cermati perbedaan pada kedua terjemahan ini. Mencermati terjemahan Depag terhadap ayat tersebut, kita dapat merasakan jelas sekali eksklusivitas yang dibangun dalam terjemahannya. Depag mengatakan, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekalisekali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya.” Letak eksklusivitasnya pada, “selain agama Islam.” Dengan memanifestasikan ayat tersebut dalam bentuk penerjemahan seperti ini, Depag menutup celah bagi wacana lain untuk masuk ke dalam kata “al-islâm” karena Depag telah membakukannya menjadi 83
Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran (Tangerang: Lentera Hati, 2006) Cet. 5 Vol. 2 h. 142 84 Sukidi. Teologi Inklusif Cak Nur h. 17-18
“agama Islâm”. Hal ini tentunya tidak lepas daripada posisi Depag sebagai corong pemerintah. Karenanya “agama Islâm” yang dimaksud tidak lain adalah agama islam yang diakui pemerintah. Agama Islam yang diakui pemerintah pun mengerucut dan tereduksi pada Mazhab Sunni. Ini pun bukan sekedar a-priori penulis, tapi bisa dilihat bagaimana agama Islam ini mengukuhkan dirinya pada sebuah lembaga pemerintah yang lain, MUI (Majelis Ulama Indonesia). Terhitung dari sejak berdirinya lembaga ini hingga sekarang, kita melihat sendiri MUI sebagai lembaga pemerintah yang dalam kebijakan-kebijakannya cenderung eksklusif dan diskrimintif. Kita bisa perhatikan misalnya, “Sikap ormas-ormas islâm yang tergabung dalam Majlis Ulama Indonesia (MUI), sebagaimana difatwakan dalam fatwa Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang Larangan Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama. Fatwa ini antara lain menyatakan bahwa pluralisme merupakan paham yang tidak kompatibel dengan ajaran Islam.”85 “Yang
dimaksud
pluralisme
adalah
paham
yang
memandang
kemajemukan sebagai suatu kenyataan, bernilai positif dan sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia yang diakui QS. al-Baqarah: 251. Paham pluralisme ini bukan saja bersifat ke dalam tetapi juga ke luar, dengan pandangan yang lebih positif pada agama lain sebagai agama yang juga mengandung keselamatan dan juga diakui QS. Ali ‘Imran : 113. Bagian terakhir inilah yang ditolak oleh para ulama yang tergabung dalam MUI dan masyarakat di daerah perda Syariah. Bagi mereka, meskipun Islam mengajarkan penghormatan terhadap pemeluk agama lain dan memberikan kebebasan agamanya, QS.Ali ‘Imran: 19
85
Kamil dkk. Syari‘ah dan HAM h. 147-148
dan 85, mengajarkan bahwa keselamatan hanya pada Islam. Di Indonesia termasuk di daerah-daerah yang menerapkan syariah Islam—hubungan dan interaksi antar umat beragama secara umum cukup baik. Namun sejauh menyangkut urusan akidah, masih terdapat klaim kebenaran secara eksklusif dari sementara kalangan umat beragama. Ini dapat menyebabkan kebebasan beragama yang sesungguhya sulit terwujud, karena pembenaran terhadap prilaku yang bertentangan dengan hak-hak sipil mudah terjadi.”86 “Sebagaimana larangan terhadap pemikiran pluralis di atas, larangan mengajarkan paham keagamaan yang dianggap menyeleweng seperti Ahmadiyah, tampaknya juga tidak saja terjadi di daerah perda syariah Islam tetapi juga di daerah non perda Islam. Meskipun catatannya adalah bahwa di daerah non syariah masih berbentuk hukum sosial saja. Alasannya, karena larangan sosial yang dipantik oleh perda syariah itu hanyalah kepanjangan dari fatwa MUI Nomor: 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 yang menyebut Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan, berada di luar Islam, dan penganutnya adalah murtad.”87 Dalam konteks ini kita merasakan sekali dimana “komunikator (dalam hal ini Depag dan MUI) justru sangat sentral dalam kegiatan wacana serta hubunganhubungan sosialnya. Dalam hal ini, komunikator memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana, termasuk maksud yang tidak transparan dan memerlukan interpretasi. Bahasa dan wacana diatur dan dihidupkan oleh pengucapan-pengucapan yang bertujuan, setiap pernyataan adalah tindakan penciptaan makna.”88
86
Kamil dkk. Syari‘ah dan HAM h. 148 Kamil dkk. Syari‘ah dan HAM h. 148 88 Kasiyanto, Analisis Wacana dan Teoritis Penafsiran Teks, dalam Burhan Bungin (Ed.), Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005) h. 176 87
Sementara Prof. DR. Quraish Shihab mengartikan ayat di atas, “Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-sekali tidaklah akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Pada terjemahan ini kita bisa menyimpulkan sementara bahwa Prof. DR. Quraish Shihab telah membuka ruang interpretasi bagi pembacanya karena dia membiarkan “al-Islâm” tanpa dibuhuhi aposisi-aposisi –dalam bahasa Mohammed Arkoun. Hal ini tentunya memungkinkan adanya sebentuk suara lain dalam pemahaman bagi pembaca. Tetapi jika merujuk kepada tafsirnya, Prof. DR. Quraish Shihab tidak seinklusif kita harapkan. Dia mengatakan, “Ketaatan kepada Allah mencakup ketaatan kepada syariat yang ditetapkan-Nya yang intinya adalah keimanan akan keesaan-Nya, mempercayai para rasul, mengikuti dan mendukung mereka.”89 Melihat penafsirannya, kita dapat mengatakan bahwa ayat tersebut bagi Prof. DR. Quraish Shihab menjadi eksklusif. Hal ini diisyaratkannya pada uraian berikutnya mengenai kedudukan orang yang murtad, “Seorang yang murtad kemudian mati dalam kemurtadannya, maka semua amalnya terhapus, sedang mereka yang murtad kemudian menginsyafi kesalahannya dan kembali memeluk Islam, maka amalnya yang lalu tidak terhapus.”90 Berbeda halnya dengan Cak Nur yang menerjemahkan dengan, “Barang siapa menuntut agama selain al-islam (sikap pasrah), maka darinya tidak akan diterima, dan di akhirat kelak akan termasuk mereka yang merugi.” Pada terjemahan ini, Cak Nur telah menambahkan aposisi-aposisi (al-islâm [sikap pasrah]) yang secara otomatis telah meruntuhkan bangunan eksklusivitas terjemahan Depag. Cak Nur membuat sebuah lompatan guna melakukan 89 90
Sihâb Tafsîr al-Misbâh Vol. 2 h. 142 Sihâb Tafsîr al-Misbâh Vol. 2 h. 143
pembebasan dari pemahaman primordial keagamaan. Artinya Cak Nur memahami ayat-ayat secara rasional dan sangat antroposentris di mana kemaslahatan manusia didahulukan daripada pemahaman taken for granted terhadap ayat-ayat meskipun muhkamât. Hal ini sejalan dengan “Najmuddin al-Tufi (657-716 H) dan Ibnu Rusyd (1127-1198 [fuqaha yang juga filosof]) yang berpendapat bahwa ayat-ayat yang sulit dipahami secara rasional atau ayat-ayat yang bertentangan dengan kemaslahatan, meskipun muhkamat, maka ayat-ayat itu harus di-ta’wil dengan mendahulukan kemaslahatan manusia atau temuan akal. Yang dimaksud kemaslahatan, sebagaimana pendapat Tyan yang dikutip Muhamad Khalid Mas’ud, adalah kepentingan umum atau kemanfaatan manusia secara umum (sosial). Demikian juga yang dimaksud dengan temuan akal, bukan temuan akal yang relative, tetapi temuan akal yang perennial seperti keadilan dan lain-lain.”91 Cak Nur juga tidak mempermasalahkan perbedaan nama Tuhan. Baginya substansi Tuhan itulah yang lebih mendasar. Artinya, “Hal ini menunjukan persoalan nama Tuhan bukan hal yang prinsip atau asasi, namun yang lebih asasi adalah makna esensi dari nama tersebut. Titik persamaan tersebut diperintahkan Allah kepada Nabi saw, agar menyeru untuk menyampaikan tentang titik persamaan pada Tuhan yang maha Esa. (Terjemahan) Firman Allah demikian,
ِِِْكَ ﺏfَُ ﻥ4ََ ا(َ و4ُِْ)َ إ2َ ﻥ4 َ َْ أ/ُ6َْ ٍَ ََاءٍ ﺏَ ََْ وَﺏSَDََِﻝَْا إِﻝَ" آ2َِ َبِ ﺕ6ُْ َ?أَهَْ اﻝQ ََﻥiَِ)ُوْا ﺏAْ^ن ﺕََﻝَْا َُْﻝُا ا ْ ِ=َ ِ(ً أَرْﺏَﺏً ِْ دُوْنِ اKْ2ََُ ﺏKْ2ََ ﺏ9ِ$َ ََ4ًَ وhْ َ^ َُْنDِْ:ُ
91
Sukron Kamil. Teori Kritik Sastra Arab, Klasik dan Modern (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) h. 237
Artinya, ‘Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’ (QS, Ali Imran/3:64).”92 “Demikianlah seperti penjelasan awal titik persamaan dari jalan kebenaran adalah ‘Ketauhidan’ yaitu kepasrahan kepada Yang Maha Segala-galanya. Firman Allah:
َِ أَﻥَ َ*ُْ)ُوْن4َِ إَِﻝَ إ4 ََُ ﻥُْﺡِ"ْ إِﻝَ ِْ أَﻥ4َِ ِْ رَُْلٍ إjَِْQ ِْ َوََ أَرََْْك ‘Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan kamu wahyukan kepadanya, ‘Bahwanya tidak ada Tuhan yang Haq melainkan aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan aku.’’ (QS, Al Anbiya:25) Ayat ini tentunya menitikberatkan pada ‘Ketauhidan’ atau sikap pasrah pada Tuhan YME. Islam adalah agama kepasrahan, ini artinya apapun agama Formalnya, jika mengajarkan Ketauhidan atau kepasrahan pada Tuhan YME maka Ia adalah Islam. Karena agama-agama dibawa oleh Rasul, sedangkan Rasul utusan Allah SWT yang mengajarkan kepasrahan. Dengan demikian konsep kesatuan ajaran membawa kepada konsep kesatuan kenabian dan kerasulan. Kemudian dalam urutannya membawa kepada konsep kesatuan umat yang beriman.”93 Hal ini
berbeda dengan proses terbentuknya eksklusivitas merupakan
proses yang bergerak simultan antara produsen teks (makna) dengan 92 93
Nurcholish Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000) h. 18 Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban h. 18
konsumennya. Sang produsen membangun jalan legitimasi seperti sakralisasi teks duplikat (terjemahan),94 peraturan pemerintah menuntut kepatuhan masyarakat yang bersifat mengikat; sementara konsumen pun mencari sandaran tempat teduh dari tekanan-tekanan hidup yang menghimpit. Jadi terjemahan Alquran yang transendental menjadi eskapisme dari realita yang dihadapi. Pengonsumsian masyarakat tanpa mendialogkan ulang terhadap produk terjemahan Alquran versi Depag ditangkap dengan bebebrapa alasan pendukung; pertama, terjemahan Alquran
Depag
merupakan
versi
resmi
yang
(katanya)
‘bisa
dipertanggungjawabkan’. Kedua, ‘peraturan’ negara menuntut kepatuhan, dan kontrol terhadap apa yang ada di luar yang ‘resmi’. Ketiga, produk terjemahan ikut menjadi sakral karena teks yang diterjemahkannya merupakan sebuah ‘kebenaran mutlak’. Inilah yang kemudian mengakibatkan terjemahan Alquran menjadi bernilai mitis dan sakral. “Gagasan mitis mengenai eksistensi azali dan qadîm dari teks Alquran berbahasa Arab di lauh mahfûz, senantiasa hidup dalam budaya kita. Hal itu karena wacana keagamaan mereproduksi terus-menerus melalui media informasi, baik di masjid atau koran-koran keagamaan, siaran radio dan televisi, simposium-simposium dan seminar-seminar, program-program dan paket-paket pendidikan di sekolah-sekolah, di samping institusi keagamaan dan universitas–(Al-Azhar). Di samping pula melimpahnya buku-buku dan karya-
94
Oleh karenanya, ada semacam ungkapan yang cukup provokatif ditulis Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata, penerjemah Tirani Islam, Genealogi Masyarakat dan Negaranya M. Syahrur, ‘Jika ada seorang melukis wajah melalui cermin – dengan demikian ia menggambar secara terbalik– lalu menyuguhkan hasil lukisan tersebut kepada orang lain, maka tak ada yang menduga bahwa lukisan itu terbalik.’
karya terbitan dan peran propaganda umum dan khusus, dalam setiap momenmomen keagamaan ataupun lainnya.”95 “Gagasan mitis yang pada esensinya mengabaikan dialektika ketuhanan dan kemanusiaan, sakral dan profan di dalam struktur teks, ini membuka lebar kemungkinan penyelewengan penakwilan teks dengan melompati sebagian konteks atau keseluruhannya. Dengan begitu teks semata-mata menjadi suaka (payung pelindung) untuk memproduksi ideologi apa pun namanya. Karena dalam setiap situasi, teks keagamaan menjadi ‘objek’ (maf‘ûl bih) dan ideologi menjadi ‘subjek’ (fâ‘il). Artinya, pembentukan ideologi terjadi melalui bahasa teks sehingga menyandang watak agama. Semua itu berarti bahwa metode penakwilan ini tidak saja mengabaikan watak teks dan melalaikan berbagai konteksnya, tetapi juga cenderung memoles wajah ideologis-politisnya dengan kedok agama itu sendiri.”96 “Lebih dari itu wacana agama juga menyamakan secara mekanik antara teks-teks (agama) tersebut dengan pembacaan dan pemahamannya terhadap teks. Dengan penyamaan ini wacana agama tidak saja mengabaikan jarak epistemologis antara ‘subjek’ dan ‘objek’, lebih dari secara implisit mengklaim mampu melampaui segala kondisi dan hambatan eksistensial dan epistemologis serta mampu mencapai intensi Ilahiah yang terkandung di dalam tek-teks tersebut. Di dalam klaim yang membahayakan ini wacana agama kontemporer tidak menyadari bahwa ia sedang memasuki kawasan berduri, yaitu kawasan ‘berbicara atas nama Allah’. Anehnya, wacana kontemporer mencela sikap ini dan menjelek-
95
Nasr Hamid Abu Zaid, Teks, Otoritas, Kebenaran. Penerjemah Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKiS, 2003) h. 139 96 Abu Zaid, Teks, Otoritas, Kebenaran h. 139-140
jelekkannya ketika membicarakan sikap gereja terhadap ilmu pengetahuan dan para ilmuwan pada abad pertengahan.”97 “‘Mekanisme mengabaikan dimensi sejarah’, merupakan bagian dari struktur mekanisme ‘menyatukan pemikiran dengan agama’. Hal itu lantaran menyatukan ‘pemahaman’ dengan ‘teks’, teks dipahami pada waktu kini, sementara teks terkait dengan masa lalu (paling tidak dalam bahasanya), pasti didasarkan pada dimensi sejarah. Wacana agama kontemporer di dalam semua ini tampak seolah-olah muncul dari premis-premis yang tidak dapat didiskusikan atau diperdebatkan. Semuanya berbicara tentang ‘Islam’ (dengan huruf besar) tanpa sedikit pun merasa ragu dan tanpa menyadari bahwa sebenarnya ia melontarkan pemahaman dirinya terhadap Islam dan teks-teksnya.”98 Hal ini kemudian melahirkan asumsi kebenaran tunggal dan mutlak pada pemikiran keagamaan. “Pembicaraan tentang satu Islam dengan makna tunggal, yang hanya dapat digapai oleh ulama, merupakan bagian dari struktur mekanisme yang lebih luas dalam wacana agama. Mekanisme ini tidak sesederhana seperti yang tampak pada emosi dan perasaan keagamaan yang alami. Dalam wacana agama, mekanisme ini memiliki dimensi-dimensi berbahaya yang dapat mengancam masyarakat, dan nyaris dapat melumpuhkan efektivitas ‘akal’ dalam urusan kehidupan nyata. Dalam memfungsikan mekanisme ini, wacana keagamaan mengandalkan emosi keagamaan awam. Wacana keagamaan ini memfungsikan mekanisme ini atas dasar bahwa mekanisme ini merupakan salah satu prinsip akidah yang tidak dapat didiskusikan. Sebenarnya, penafsiran seperti itu berarti menempatkan ‘Allah’ dalam realitas konkret secara langsung dan 97
Nashr Hamid Abu Zaid, Kritik Wacana Agama. Penerjemah Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2003) h. 25-26 98 Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 26
mengembalikan segala sesuatu yang terjadi dalam realitas kepada-Nya. Tindakan menempatkan tersebut, secara otomatis menafikan manusia, di samping itu juga menggugurkan ‘hukum-hukum’ alam dan sosial, serta merampas pengetahuan apa pun yang tidak didasarkan pada wacana agama atau pada otoritas ulama (resmi).99 “Dalam wacana ini, akibat dari mekanisme ini, bagian-bagian dunia tampak berserakan, dan alam tampak cerai-berai, semua bagian dunia atau alam hanya terkait dengan sang pencipta dan pencipta pertama. Konsep semacam ini tidak akan mungkin memproduksi pengetahuan apa pun yang ‘ilmiah’ mengenai dunia atau alam, apalagi dunia sosial atau manusia.”100
B. Kontestasi Pemahaman ‘Wahyu Progresif’ dan ‘Wahyu Regresif’ Lalu bagaimana dengan teori penerjemahan yang telah dijajakan selama ini mulai dari model penerjemahan harfiah hingga yang bebas sekalipun? Selama ini banyak sekali ditemukan model-model penerjemahan dipantau dari berbagai macam segi. Namun begitu, ternyata terjemahan Alquran Depag tetap mengalami krisis hingga mempengaruhi cara berpikir dan bersikap konsumen yang kemudian menjadi eklsklusif, diskriminatif bahkan ekstrimnya intimidatif dan ekspansif. Model-model penerjemahan mulai dari huruf ke huruf hingga penerjemahan semantik pun (menurut teori di atas) mengalami kebuntuan. Akar masalahnya ialah sebebas apapun model penerjemahan yang ditawarkan para teoritisi, produk terjemahan tetap tidak beranjak dari teks. Teks menjadi otoritas tunggal tanpa perlu ada keterangan kontekstual. Penekanan pada teks kemudian mengabaikan dimensi-dimensi historis yang tidak hanya sekedar asbâb al-nuzûl. Di sini lah 99
Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 29 Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 29-30
100
letak watak eksklusifnya. Untuk lebih jelasnya lihat “Analisa Nasr Hamid Abû Zaid yang menyebut teori al-Syafi’i (penulis yang mewakili cara berpikir abad pertengahan) ini (tentang qiyâs yang tak beranjak dari teks, karena meskipun qiyâs menggunakan pikiran tetapi tetap saja ada rukun-rukun qiyâs yang harus dipatuhi) sebagai dukungan terhadap kaum ‘literalis’ (ahl al-hadîts) untuk mempersempit ruang gerak kaum ‘rasionalis’ (ahl al-ra’y), yang kemudian dari sana
memperpanjang
gurita
sakralisasi
agama
terhadap
urusan-urusan
duniawi.”101 Pada akhirnya kita menghambakan (sekaligus memberhalakan) diri pada teks. Teks memiliki daya supremasi yang sangat tinggi. Teks menjadi Official Closed Corpus (Korpus Resmi Tertutup ‘Finis’). Pada titik ini, teks yang diharapkan sebagai ‘wahyu progresif’ beralih menjadi ‘wahyu regresif’, sebuah konsep yang berasumsi bahwa wahyu telah berakhir dengan turunnya Alquran. Sementara, “dalam pemahaman ‘wahyu progresif’, maka konsep tentang wahyu tidak pernah berakhir pada periode sejarah tertentu. Tuhan terus berkarya dalam setiap ruang dan waktu.”102 Di sinilah perlunya mengilmiahkan teks keagamaan yang bersifat ideologis dan propagandis. Coba bandingkan misalnya, “di dalam teks-teks ilmiah murni sistem bahasa dikorbankan sama sekali dengan cara menggantikannya dengan sistem simbol yang lain. sementara teks-teks propaganda (keagamaan) mengandalkan bagaimana eksploitasi semua atau sebagian besar aspek pengetahuan positif dari sistem bahasa. Sebabnya adalah, dalam (teks) ilmu penekanannya pada kejernihan pesan dan kejernihan makna, sementara penekanan
101
Baso, NU Studies, h. 140-141 Sumanto Al-Qurtuby, “Anak Muda NU dan Tradisi Pemikiran Ultra-Liberal” dalam Zuhairi Misrawi, ed. Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU (Jakarta: Kompas, 2003) h. 259 102
pada teks-teks propagandis adalah membungkam pihak penerima dari segala bentuk kritisisme. Dan, di antara kedua tipe teks yang berlawanan ini terdapat teks-teks kebahasaan dan komunikatif yang sebenarnya, di mana sistem kebahasaan berfungsi sebagai saluran komunikasi yang mencerminkan aspek epistemologi, sementara aspek ideologinya muncul melalui sistem teks.”103 “Perbedaan antara ‘sistem bahasa’ dengan ‘sistem teks’ inilah yang menentukan pesan. Perbedaan ini pada dasarnya muncul dari ideologi pengirim. Dari pihak penerima sistem bahasa ini mencerminkan apa yang dapat disebut sebagai kerangka penafsiran dari pesan, sementara sistem teks –maksudnya makna dari sistem ini– mencerminkan apa yang disebut ‘fokus penilaian’ karena di sini ideologi penerima turut terlibat untuk menilai dan memutuskan.”104 Sebuah pesan teks merupakan perpaduan dan hasil negosiasi kedua pihak, pengirim dan penerima. Sementara hasil pesannya ditentukan oleh kualitas hubungan komunikasi keduanya, yakni tergantung apakah komunikasi berlangsung dengan sehat atau tidak, dialog yang seimbang atau tidak. “Pertanyaannya sekarang: mungkinkah memahami teks agama, dan Alquran pada khususnya, di luar kerangka konteks budaya dan pengetahuan dari kesadaran bangsa Arab pada abad VII M. Bahasa yang merupakan medium pesan dalam teks keagamaan adalah jawaban dari pertanyaan. Ini, asalkan disadari bahwa ia wadah kosong semata-mata alat komunikasi yang netral. Akan tetapi, setiap teks memiliki bahasanya sendiri, atau medium sekundernya, di dalam sistem bahasa yang umum. Melalui bahasa sekunder inilah teks-teks agama melontarkan akidah (ideologi) baru, akidah yang dipakai teks agama untuk 103 104
Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 121 Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 121
merekonstruksi kesadaran pembacanya. Namun, meskipun akidah tersebut baru, namun tidak baru sama sekali, sebab bagaimanapun juga teks pada akhirnya cenderung pada ideologi yang memiliki akarnya atau cenderung memberikan harapan-harapan awalnya bagi perkembangan kebudayaan.”105 “Singkatnya, konstruksi tentang teks, adalah konstruksi tentang hibriditas, sesuatu yang ambivalen, tidak pernah jadi koheren dan esensial. Di satu sisi, ia menegaskan orisinalitas, otoritas, dan kejelasan kepengarangan. Tapi ia juga proses dislokasi, repetisi, distorsi, displacement (permainan tempat dan posisi), dan missreading. Teks selalu merupakan keterpecahan antara keberadaannya sebagai sesuatu yang menunjukkan dirinya orisinil dan otoritatif, dan artikulasinya yang memungkinkan lahirnya pengulangan-pengulangan, repetisi, dan pembedapembeda. Ia merupakan arena permainan pembeda atau difference yang menghasilkan bentuk-bentuk otoritas yang antagonistik. Maka, resistensi terhadap tafsir dan teks resmi bukanlah upaya sadar yang bertindak oposisional; ia adalah efek ambivalensi yang dihasilkan dalam aturan-aturan formal dan lembaga resmi yang mengukuhkan keberbedaan dan keistimewaan para penafsir melalui hierarki, normalisasi, marjinalisasi, dan sebagainya.”106 Lalu bagaimanakah nasib teks terjemahan sebagai duplikasi dari teks sumber. “Pada esensinya, terjemahan merupakan suatu pembacaan dan penakwilan teks yang tidak bebas, ghair al-barî’ah (dari pengaruh berbagai faktor). Karena itu kita tidak perlu berlebihan dengan menganggap bahwa penerjemahan merupakan pengkhianatan besar terhadap teks. Dalam wilayah teksteks keagamaan khususnya, level-level pembacaan yang beragam dan kompleks 105 106
h. 92-93
Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 121-122 Ahmad Baso, Plesetan Lokalitas, Politik Pribumisasi Islam, (Depok: Desantara, 2002)
ini menjadi wilayah subur dan mendorong untuk mengkaji sejumlah ilmu yang melahirkan prosedur-prosedur pembacaannya.”107 Karenanya penting sekali untuk melihat teks secara kritis dan komprehensif mulai dari asal-usul, definisi, proses jalinan rumit pembentuk teks, cara pembacaan, menyikapinya, dan seterusnya. Inilah yang kemudian memunculkan pandangan bahwa, “sesungguhnya teks (apapun bentuknya) adalah cermin manakala
pengalaman manusia dan pengetahuannya bertambah,
wawasannya luas dan tajam pengamatannya, maka dia menemukan makna-makna baru dalam teks dan memberinya pemahaman baru. Karena
itulah suatu
pembacaan teks tidak sepadan dengan lainnya, bahkan oleh seorang pembaca sekalipun, karena setiap pembacaan membawa pengaruh subjektif, dan yang benar adalah subjek. Sesungguhnya yang dimaksud dengan penakwil sejati harus memahami jarak teks yang merupakan objek perenungan atau penakwilan yang memungkinkan menelitinya dan berdialog dengannya.108 Dalam konteks pembacaan Alquran, “Nalar Arab menggunakan metode takwil (hermeneutika) pada tataran utama, dan ketika takwil sebagai pengangkatan dan pengeluaran makna dan sebagai penggalian serta penyelaman aspek batin, maka sejajar dengan potensi nalar yang tidak pernah habis. Metodemetode takwil dan tafsir merupakan capaian-capaian pemikiran yang luar biasa. Jika tidak bagaimana kita bisa menafsirkan petualangan nalar yang besar yang dihimpun oleh perdaban Arab dan ilmu pengetahuan yang dialami oleh bahasa Arab? Teks, karya, dan berita tidak lain adalah langkah-langkah awal bagi nalar dan inspirasi-inspirasi bagi pemikiran dan amat penting bagi pemahaman. 107
Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 137 Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran. Penerjemah Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKiS, 2003) h. 8 108
Seandainya tidak ada inspirasi tersebut, niscaya sebagian ilmu tidak dapat lahir dan sebagian lainnya saja yang berkembang.”109 Jika nalar Arab terbelenggu dengan teks, maka nalar kembali pada teks, menelitinya, merenungkan ucapan-ucapannya, mengangan-angan maknanya, dan membolak-balik
signifikansinya,
kemudian
berijtihad
sesuai
dengan
kemampuannya dan menakwilkan apa yang dikehendakinya. Pertentangan ijtihad dan perbedaan penakwilan merupakan bukti keragaman signifikansi dan kekayaan makna, tanda dinamika kultur dan perkembangannya. Takwil mengharuskan pluralitas makna dan munucul dari pertentangan serta perbedaan.110 Perintah ilahi, meski mengungguli nalar, terjelma dalam bentuk kalâm dan teks. Meskipun tetap, teks menghimpun sejumlah turunan-turunan (dalîl). Tidak mungkin dalîl-dalîl agama dikutip tanpa pemikiran atau penakwilan, karena tidak ada ‘naql murni’. Setiap pengutipan dan penyimakan mengandung suatu bentuk penggambaran dan pemahaman. Menerima manqûl tidak cukup mengambil sisi manqûl-nya saja. Karena itu, seseorang tidak dapat menghindari untuk memahami teks sekecil apa pun. Orang yang bernalar tidak dapat berlindung pada penakwilan agama sebagai suatu takwil.111 Jika ditlik lebih jauh, kita akan melihat bagaimana konstruk berpikir Arab tidak berangkat dari nalar murni, tetapi berangkat dari nalar ideologis. “Tidak diragukan lagi bahwa ‘nalar ideologis’ sebagai metode dan sistem, sebagai kecenderungan untuk menjustifikasi dan mempertahankan,
dan
sebagai
kecenderungan membatasi makna dan menyatukan signifikansi, merupakan sarana untuk mengumpulkan kalimat, menyatukan kelompok, menetapkan identitas 109
Harb, Hermeneutika Kebenaran h. 10 Harb, Hermeneutika Kebenaran h. 11 111 Harb, Hermeneutika Kebenaran h. 141 110
sebagaimana pula sebagai wahana bagi kesatuan otoritas dan berdirinya negara (dan segala macam bentuk otoritas institusi).”112 Lalu bagaimana mengatasi kecenderungan nalar ideolgis Arab sebagai langkah kreatif menanggulangi kelesuan dalam pembacaan yang sama sekali sudah terdistorsi dalam jerat sturktur-struktur yang rumit dan tersistematisasi yang kelihatannya saja rasional. Hal ini persis dengan apa yang diyakini oleh Foucault dan Gadamer bahwa “asumsi-asumsi kita yang terdasar (misalnya tentang hakikat pengetahuan, hubungan antara bahasa dan dunia, tentang akal sehat dan kegilaan) selalu merupakan lapisan yang secara struktural tak terlihat dan pada masa itu sendiri tak bisa dieksplisitkan. Gadamer menyebutnya ‘praduga’, Foucault menyebutnya episteme, atau struktur kognitif fundamental.”113 Di sinilah pentingnya kita menyadari bahwa “Suatu penafsiran tidak bersifat reproduktif belaka (menghadirkan nalar Arab wa bil khusûs abad VII M.), melainkan juga produktif. Maksudnya, makna teks bukanlah makna bagi pengarangnya, melainkan makna bagi kita yang hidup di zaman ini, maka menafsirkan adalah proses kreatif.”114 “Pemahaman yang kita capai di masa kini, di masa depan pada gilirannya akan menjadi pra-paham baru pada tahap yang lebih tinggi karena ada proses pengayaan kognitif dalam spiral pemahaman itu. spiral pemahaman itu tampak jelas dalam proses tanya jawab.”115 “Karena pengetahuan kita terjadi melalui oposisi subjek-objek, pemahaman kita tidak bisa tidak diperantarai. Pengantara pemahaman kita adalah lingkungan sosio-kultural
112
Harb, Hermeneutika Kebenaran h. 173 I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996) h. 92 114 F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 44 115 Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas h. 47 113
dan sejarah. Oleh karena itu, tidak ada pemahaman yang netral dan ahistoris. Pemahaman senantiasa diperantarai oleh konteks sejarah dan sosial tertentu sebagai cakrawalanya.”116 Ia (Gadamer) melihat (bahwa) menafsirkan teks sebagai tugas produktif atau tugas kreatif; kita justru membiarkan diri mengalami perbenturan antara cakrawala kita dan cakrawala pengarang, dan dengan cara ini pemahaman kita diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga (unthinkable dalam kosakata Arkoun). Dengan kata lain, perbenturan antara cakrawala kita dan cakrawala pengarang bila kita hadapi secara produktif, kreatif dan terbuka, justru akan memberi kita pengetahuan yang mengejutkan. Dengan demikian, jarak waktu tidak menghambat atau mempermiskin pemahaman kita, justru memperkaya pengetahuan kita, asalkan tugas menafsirkan teks bukan dihadapi sebagai tugas reproduktif, melainkan tugas produktif. Suatu teks perlu dipahami dalam cakrawala masa lampau, dan masa depan, demi manfaatnya untuk masa kini.117 Singkatnya, cara yang tepat adalah menafsirkan teks atau objek sosio-kultural itu dalam keterbukaannya terhadap masa kini dan masa depan, maka tugas penafsiran tak kunjung selesai dan bersifat kreatif. 118 Untuk dapat memahami teks, kita harus membuang jauh-jauh segala bentuk prakonsepsi dengan maksud supaya kita menjadi terbuka terhadap apa yang dikatakan oleh sebuah teks. Sebaliknya, kita mengantisipasi dan menginterpretasi menurut apa yang kita miliki (vorhabe), apa yang kita lihat (vorsicht), serta apa yang akan kita peroleh kemudian (vorgriff). Jadi, bukan dengan pertimbangan yang sudah kita miliki sebelumnya, yang oleh Gadamer 116
Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas h. 48 Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas h. 48-49 118 Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas h. 64 117
dinilai negatif atau rendah. Ia sendiri mengakui bahwa pertimbangn semacam itu tidak salah, sebab ada beberapa pertimbangan yang dianggap berlaku, yaitu yang menentukan realitas historis keberadaan seseorang.119 Adanya antisipasi terhadap makna, yaitu yang berasal dari pertimbangan sebelumnya atas keseluruhan pemahaman melalui bagian-bagiannya, memang diharapkan. Gadamer menyebut hal itu sebagai makna atau arti yang akan datang (fore-meaning) dan pemahaman yang akan datang (fore-understanding), yang juga merupakan persyaratan hermeneutik sehingga membuat pemahaman itu menjadi suatu ‘hubungan yang historis dan efektif’. Pemahaman hanya akan terjadi dalam konteks atau cakrawala sejarah yang terus-menerus berubah. Inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa interpretasi tidak pernah bersifat monolitik atau mempunyai aspek tunggal, kaku, dan statis. Jika cakrawala sejarah terus-menerus berubah, pemahaman akan mengikuti konturnya (garis bentuk) dan juga bentuknya. Akhirnya, pemahaman itu sendiri adalah fusi dari berbagai macam cakrawala, hubungan timbal balik antara beberapa konteks sejarah. Gadamer menegaskan bahwa sebuah teks, baik itu peraturan perundang-undangan atau Injil (begitu pula Alquran dan segala macam bentuk teks lainnya), harus dipahami setia saat, dalam setiap situasi khusus, dalam cara yang baru dan berbeda dengan yang lama, jika kedua hal tersebut ingin kita pahami sebagaimana mestinya.120 Untuk melengkapi sebuah pembacaan terhadap teks tertentu ada baiknya juga kita simak pandangan-pandangan (kritik) masyarakat teks itu sendiri dimana “Abu Zaid mengatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks. Secara 119
E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999) h.
120
Sumaryono, Hermeneutik h. 83
83
ringkas dikatakan bahwa supremasi teks atau lafaz adalah kaidah dasar dalam ajaran Islam. Kenapa teks menempati supremasi yang begitu tinggi dalam agama kita? Jelas ini berkaitan dengan suatu wawasan teologis yang tidak remeh dan untuk membongkarnya diperlukan keberanian yang besar; suatu wawasan teologis yang menganggap bahwa Tuhan berbicara langsung kepada manusia via Nabi; bahwa sabda Tuhan adalah superior terhadap sabda manusia; bahwa Sabda Tuhan, sejauh tidak ada alasan-alasan yang kuat dan kokoh, harus dimengerti dalam pengertiannya yang harfiah. Wawasan teologis yang melandasi skripturalisme ini juga tegak atas suatu asumsi yang agak lucu: semakin harfiah kita memahami Sabda Tuhan, semakin dekat kita dengan kehendak-Nya; semakin kita asyik dan sembrono dalam takwil atau penafsiran non-literal, maka semakin jauh kita dari kehendak-Nya yang benar. Teks adalah semacam aksis atau ‘poros’ tempat seluruh tindakan orang beriman berkisar. Semakin dekat kepada titik pusat poros itu, maka makin besar kemungkinannya kita untuk mendekati esensi agama; makin jauh kita dari poros itu, makin jauhlah kita dari esensi agama. Kedekatan dan kejauhan, dalam hal ini, semata-mata diukur melalui ‘lafaz’ atau teks. Wawasan teologis yang bersifat ‘ultra-teosentris’ semacam inilah yang menerangkan kenapa teks begitu ditempatkan dalam kedudukan yang sentral, sementara pengalaman manusia yang riil dan kontekstual diletakkan dalam kedudukan yang inferior, rendah, sekunder, atau bahkan tidak berarti sama sekali.”121 Dari uraian tersebut, kita akan lebih lihat upaya konkret apa yang dilakukan secara produktif dan kreatif terhadap penerjemahan ayat di atas yang 121
Ulil Abshar-Abdalla, “Menghindari ‘Bibliolatri’ Tentang Pentingnya Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” dalam Zuhairi Misrawi, ed. Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU (Jakarta: Kompas, 2003) h. 65-66
diikuti dengan kebutuhan masa kini sekaligus tidak tercerabut dari kondisi-kondisi masa lalu. Hal ini jelas terlihat misalnya dalam terjemahan Abdullah Yusuf Ali,
ُ/َُءَ ه1 َ ِ)ْ2َ& ِْ ﺏ4ِب إ َ َ ِ6َِْْ أُوْﺕُا اﻝ9&َْ *ِْ)َ ا(ِ اَِْمُ وََ ا ْ ََ'َ اﻝ+)ّإِن& اﻝ َِب:ِ;ْْ@ُْ ﺏِ?َتِ ا(ِ َ=ِن& ا(َ َِْ<ُ اﻝ6َ ََْْ و/ُAَْ َْ ً ﺏBَُ ﺏ/ِْ2ْاﻝ Artinya, The Religion before God is Islam (submission to His Will): nor did the People of the Book dissent therefrom except through envy of each other, after knowledge had come to them. But if any deny the Signs God, God is swift in calling to account.122 Dalam terjemahan di atas, Abdullah Yusuf Ali memberikan keterangan tentang Islam. Abdullah mengatakan bahwa Islam adalah Submission to His Will, kepasrahan terhadap
kehendak-Nya.
Di sini Abdullah mencoba untuk
meng’historis’kan apa yang diistilahkan, ‘Islam’. Dengan keterangan demikian, makna Islam menjadi inklusif dan membuka segala macam penafsiran bahkan cenderung mendekonstruksi makna ‘Islam’ eksklusif yang tidak ditambahkan keterangan apa pun seperti terjemahan Depag. Submission to His Will yang menjadi makna ‘Islam’ merupakan praktek penafsiran yang mempertimbangkan kebutuhan masa kini. Submission to His Will, kepasrahan terhadap kehendak-Nya bisa dikatakan merujuk kepada wacana-wacana humanisme sebagai alternatif krisis-krisis sosial, seperti pertikaian agama, pertentangan kelas, diskriminasi ras, bias gender, kekuasaan tirani dan seterusnya. Setidaknya kehenda-Nya menginginkan
122
kemaslahatan
bagi
umat-Nya.
Kehendak-Nya
merupakan
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran, Original Arabic Text with English Translation and Selection Commentaries, (Kuala Lumpur: Saba Islamic Media, 2004) h.75
representasi dari kebutuhan masa kini yang berorientasi pada kemaslahatan masa depan. Oleh karena itu, historisasi teks menjadi kerja yang rumit dan penting. “Karena sejarah sebagai sebuah peristiwa tidak mungkin terulang lagi, dan teks sejarah adalah dokumentasi yang berisi penafsiran dan rekonstruksi atas sebuah peristiwa yang ditulis oleh pengarangnya, maka antara masa lalu dan masa kini mesti mendapat tabir (seperti sudah disinggung di atas). Yang menghubungkan sejarah dan kehidupan kita sekarang adalah makna yang dikandungnya. Sejarah, tulis Gadamer, memiliki makna hanya ketika dipertemukan dengan keprihatinan masa kini untuk membangun harapan di masa depan.”123 Hal inilah yang menurut penulis telah dilakukan oleh Abdullah Yusuf Ali dalam konteks Inna Ad-dîna ‘inda Allah Al-Islâm. Pada ayat ini Abdullah telah melakukan kegiatan interpretasi. “Kegiatan interpretasi adalah proses ‘triadik’ (mempunyai tiga segi yang saling berhubungan). Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, lalu ia harus meresapi isi teks sehingga yang pada mulanya ‘yang lain’ kini menjadi ‘Aku’ penafsir itu sendiri. Oleh karena itulah, dapat kita pahami bahwa mengerti sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar (correct). Sesuatu tidak akan kita kenal jika tidak kita rekonstruksi.”124 “Pengakuan Alquran atas pluralisme agama tampak jelas tidak hanya dari sisi penerimaan kaum lain sebagai komunitas sosio-religius yang sah, tetapi juga 123
Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996) h. 155 124 Sumaryono, Hermeneutik h. 31
dari penerimaan dari kehidupan spiritualitas mereka dan keselamatan melalui jalan yang berbeda itu. Pemeliharaan kesucian tempat-tempat ibadah, karena itu tidak semata-mata dimaksudkan demi menjaga integritas masyarakat multi agama, sebagaimana halnya negara-negara kontemporer barangkali ingin melindungi tempat-tempat ibadah disebabkan oleh peran yang dimainkannya dalam kebudayaan sekelompok masyarakat. Alih-alih karena Tuhan –yang merupakan Zat Yang Tertinggi bagi agama-agama ini, dan dipandang berada di atas perbedaan ungkapan lahiriahnya– disembah di dalam tempat-tempat tersebut. Adanya orang-orang dalam keyakinan yang lain dengan tulus mengakui dan melayani Allah, ditampilkan secara lebih eksplisit dalam QS Ali ‘Imran (3):113114 :
.َُ)ُوْنbْ:َ ْ/َُتِ ا(ِ ءَاﻥَءَ اﻝَ ِْ وَهU ٌَ َ ُْْنSَDَِﺉQ ٌSَُِ َبِ أ6ُْْا ََاءً ِْ أَهِْ اﻝ:ْ َﻝ ََرِ*ُْن:ََُِ و6ُْDَْْنَ *َِ اﻝAََُْْوْفِ و2َDَُُْوْنَ ﺏِﻝiََ ِِ وsُِْْنَ ﺏِ(ِ وَ اﻝْ َْمِ اFُ َْ ِ;َِﻝtَ َِ اﻝjِhََ َْاتِ وَأُوﻝ$ِْ"ْ اﻝ Artinya,‘Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah ada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud. Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan; mereka menyuruh kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar, dan bersegera (mengerjakan) pelbagai; mereka itu termasuk orangorang yang saleh.’ Jika Alquran adalah kata-kata dari Tuhan yang adil, sebagaimana yang diyakini kaum muslimin dengan tulus, maka tidak ada alternatif terhadap pengakuan akan ketulusan dan amal kebajikan kaum lain, dan balasan bagi mereka pada hari pembalasan. Selanjutnya, Alquran mengatakan,
َ4 َِِِ َْ ﻝ2ِ^َ ْ/ِAْ َِلَ إِﻝuْْ وََ? أُﻥ/ُ6ْ َِلَ إِﻝuُِْْ ﺏِ(ِ وََ? أُﻥFُ َْDَِ َبِ ﻝ6ْوَإِنَ ِْ أَهِْ اﻝ َِب:ِ;ْْ إِنَ ا(َ َِْ<ُ اﻝ/ِAِْ *ِْ)َ رَﺏ/ُُْه1َْ أ/ُAََ ﻝjِhََِ ًْ أُوﻝQ ًَDَْ َُوْنَ ﺏِ?َتِ ا(ِ ﺙfَ Artinya,‘Dan sesungguhnya di antara ahli kitâb ada orang-orang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka, mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh balasan di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungannya,’ (QS Ali Imran [3]: 198).”125 Untuk melengkapi tema di atas, perlu kiranya kita memperhatikan surah al-Baqarah ayat 62 di bawah ini,
ِِ sََ ﺏِ(ِ وَاﻝْ َْمِ اU َْ َْ ِhَِﺏtَرَي وَاﻝtََِْ هَدُوْا وَاﻝ9ََُْا وَاﻝU َِْ9َإِنَ اﻝ ََﻥُْنuْ;َ ْ/َُه4َْ و/ِAْ ََ* ٌَ َْف4َْ و/ِAِْ *ِْ)َ َرﺏ/ُُْه1َْ أ/ُAََ ً;َِﻝT َِDَ*َو Artinya, ‘Sungguh, orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Sabiin- siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan beramal saleh maka akan mendapat ganjaran di sisi Tuhan mereka, tiada takut bagi mereka, dan mereka tidak bersedih hati.’
125
Farid Essack. Membebaskan Yang Tertindas, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme. Penerjemah Watung A. Budiman(Bandung: Mizan, 2000) h.207
BAB V A. Kesimpulan Menurut perspektif para linguis, wacana adalah kesatuan makna antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Sebagai kesatuan makna, wacana dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu. Di samping itu, wacana juga terkait pada konteks. Sementara dalam kacamata politik kebudayaan, wacana bukan lagi sebagai rangkaian kalimat yang koheren, tetapi wacana adalah sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam konteks tertentu sehingga mempengaruhi dan bertindak tertentu. Oleh karena itu, kritik atas suatu wacana menjadi penting. Penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu proses produksi yang harus juga diamati. Di sini juga harus dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. Kritik atas wacana tidak bisa mengeksklusi seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah bagian kecil dari struktur besar masyarakat.126 Dalam menganalisis masyarakat (societal analysis), wacana adalah bagian dari wacana yang berkembang dalam masyarakat, sehingga untuk meneliti teks perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi. Titik penting dari analisis ini adalah untuk menunjukan bagaimana makna yang dihayati bersama, kekuasaan sosial
126
Eriyanto, Analisis Wacana. h. 222
diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi. Dalam hal ini ada dua poin penting yang menjadi pilar tegaknya sebuah wacana, kekuasaan (power) dan akses (acces). Kekuasaan tersebut sebagai kepemilikan yang dimiliki oleh suatu kelompok (atau anggotanya), satu kelompok untuk mengontrol kelompok (atau kelompok) dari anggota kelompok lain. Kekuasaan ini umumnya didasarkan pada kepemilikan atas sumber-sumber yang bernilai, seperti uang, status, dan pengetahuan. Analisis semacam ini pun memberikan peluang besar pada apa yang disebut sebagai dominasi. Dominasi direproduksi oleh pemberian akses yang khusus pada satu kelompok dibandingkan kelompok lain (diskriminasi). Analisis ini pun membantu kita untuk mencermati bagaimana proses produksi lewat legitimasi melalui bentuk kontrol pikiran. Sederhananya, analisis (kritis) wacana ini mempersenjatai kita guna melihat proses produksi itu secara umum dipakai untuk membentuk kesadaran dan konsensus. Terkait dengan akses, kelompok elit yang berkuasa memiliki akses yang lebih besar dibandingkan kelompok yang tidak berkuasa. Mereka yang lebih berkuasa mempunyai kesempatan lebih besar untuk memiliki akses pada media dan kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi kesadaran khalayak. Kecuali memberi kesempatan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar, akses yang lebih besar ini juga menentukan topik apa dan isi wacana apa yang dapat disebarkan dan didiskusikan kepada khalayak. Sehubungan dengan ini, ada berbagai upaya positif dalam penyuguhan terjemahan Alquran agar dipahami secara komprehensif; 1. Pengklasifikasian ayat-ayat berdasarkan satuan tema tertentu (kajian tematik).
2. Pemberian keterangan tambahan bagi ayat-ayat yang pemahamannya membutuhkan konteks tertentu, seperti penambahan footnote, aposisi-aposisi atau dalam kurung. 3. Terkait dengan keterangan surah, penjelasan bisa penyajian-penyajian arti surah, nama lain surah berikut keterkaitan dengan surah sebelum dan sesudahnya. Inilah yang disebut munâsabah al-âyât. Safwah al-Tafâsir-nya M. Ali al-Sabuni juga memberikan contoh yang cukup baik dalam hal ini. 4. Penyajian terjemahan yang akomodatif. Artinya, terjemahan semestinya mengandaikan bahwa konsumen teksnya bukan hanya yang mengerti bahasa Arab tetapi juga ada yang tidak mengerti bahasa Arab. Secara umum, kekurangan yang ada pada terjemahan Alquran Depag edisi revisi 1989 ialah; 1. Kelemahan yang bersumber dari kelalaian berbahasa mengakibatkan kejanggalan-kejanggalan atau percernaan makna terjemahan yang membutuhkan waktu. Singkatnya, terjemahan Alquran Depag belum lepas dari struktur bahasa Arab. 2. Kemiskinan metode penerjemahan yang dimiliki sehingga mempengaruhi makna yang dipresentasikan dalam terjemahan. Pemilihan diksi pun terkesan eksklusif sehingga mengarahkan pembaca pada penyempitan makna. 3. Penerjemahan Alquran secara berurutan menurut urutan mushaf. Hal ini tentunya tidak sederhana akibatnya, yaitu pemahaman yang terpisah-pisah karena urutan ayat tidak melulu adanya kesatuan tema. Artinya, pemahaman konsumen terjemahan berdasarkan urutan surah menjadi belum sempurna.
Terkait dengan inklusivisme dan eksklusivisme Islam yakni surah Ali Imran ayat 19 dan 85, kita mempunyai beberapa catatan untuk penerjemahan Alquran Depag RI edisi 1989; 1. Secara tekstual penerjemahan tersebut menampilkan penunggalan makna sehingga membungkam kemungkinan pembacaan lain. 2. Dari segi kontekstual, penerjemahan pada kedua ayat ini potensial mempersenjatai
terhadap
suatu
sekte
Islam
yang
berkuasa
untuk
mendiskriminasikan agama dan aliran kepercayaan atau ajaran sempalan Islam itu sendiri. 3. Terjemahan Alquran Depag cenderung eklsklusif. Hal ini seperti terlihat dalam analisis pada Bab IV. Wacana yang timbul adalah juga wacana eksklusivitas.
B. Saran Mencermati kekurangan-kekurangan tersebut, penulis ingin memberikan beberapa catatan sebagai saran untuk mengarahkan kita pada cita-cita diterbitkannya Alquran dan terjemahannya; 1. Menerjemahkan ulang Alquran dengan metode yang lebih mengedepankan aspek makna, dengan metode semantik misalnya. Metode penerjemahan setia (literal) lebih mempertahankan struktur-struktur bahasa sumber sehingga aspek makna menjadi terabaikan. 2. Merevisi penggunaan bahasa Indonesia yang berlaku baik dari segi struktur maupun pilihan diksi. Kecuali struktur penerjemahan yang benar, diksi harus diperhatikan karena diksi merupakan bagian terkecil semantis yang menentukan makna keseluruhan.
3. Menerjemahkan dengan model kajian tematis juga perlu dilakukan Depag demi tercapainya target pemahaman yang utuh terhadap kandungan Alquran bagi masyarakat. Delang alasan bahwa kajian tematis mengumpulkan semua ayat yang berkaitan dengan tema tertentu, termasuk ayat-ayat yang saling mendukung maupun saling kontradiktif. 4. Perlu diadakannya penjelasan-penjelasan atau catatan-catatan yang dapat memastikan keterangan agar tidak terjadi kerancuan-kerancuan, misalnya katakata yang dimaksud dalam Alquran dengan kata-kata yang memang sudah dipahami secara berbeda oleh konsumen teks. 5. Penerjemah tidak cukup sekedar mengerti bahasa sumber dan bahasa sasaran. Penerjemah harus memainkan peran sebagai subjek sosiologis, antropologis, etis, yuridis, politis (politic of culture) dan seterusnya. Artinya penerjemah harus kritis, ‘melek budaya’, ‘melek hukum’, ‘melek lingkungan’ dan seterusnya. Singkatnya penerjemah harus menjadi manusia Indonesia seutuhnya. 6. Islam sejauh bisa dipahami dari pengalaman Nabi, adalah sebuah gerakan yang membuka dan memberi harapan (antropologi wahyu) kepada semua kelompok sosial baik agama, kelas, etnik, dan gender, yang hidup di dalam wilayah sosiokultural tertentu, untuk meneguhkan identifikasi diri mereka kepada lokalitasnya secara
kritis,
mengelola
perbedaan-perbedaan
yang
muncul
sebagai
konsekuensinya (the politics of recognition), dan mengarahkan berbagai kelompok yang berbeda tersebut untuk selalu melihat cita-cita yang lebih jauh untuk pemenuhan ketinggian harkat kemanusiaan mereka sendiri. Terkait dengan penerjemahan,
saran
penulis
adalah
bagaimana
penerjemahan
Alquran
berkontribusi dalam membekali masyarakat untuk mewujudkan keluhuran
insaniyah yang plural, di Indonesia terutama yang penuh dengan keragaman etnis, kepercayaan, dan agama. Akhir kata, penulis membuka ruang dialog dan mohon maaf atas kesalahan agar diperbaiki di masa-masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Karîm, Khalîl Syari‘ah, Sejarah Perkelahan Pemaknaan (Yogyakarta: LKiS, 2003) Abû al-Fadl, Khâlid Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi, 2005) Abû Zaid, Nashr Hâmid, Teks, Otoritas, Kebenaran, (Yogyakarta: LKiS, 2003) Abû Zaid, Nashr Hâmid, Kritik Wacana Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2003) Ahmed An-Na‘îm, Abdullahi, Dekonstruksi Syariah (Yogyakarta: LKiS, 2004) Anîs, Ibrahîm dkk. Al-Mu’jam al-Wasît (Kairo : 1972) Ashcroft, Bill, dkk. Menelanjangi Kuasa Bahasa, Teori dan Praktek
Sastra
Poskolonial (Yogyakarta: Qalam, 2003) A. Sirry, Mun‘im Membendung Militansi Agama, Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern (Jakarta: Erlangga, 2003) al-Asymawi, Muhammad Said, Nalar Kritis Syari’ah (Yogyakarta : LKiS, 2004) Barker, Chris, Cultural Studies Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Bentang, 2005) Barthes, Roland, Mitologi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004) Baso, Ahmad, NU Studies, Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006) Baso, Ahmad Plesetan Lokalitas, Politik Pribumisasi Islam, (Depok: Desantara, 2002) Bertens, Kees. Filsafat Barat Kontemporer, Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002) Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah, Wawasan dan Metode Menerjemah Teks Arab (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004)
Catford, J.C. A Linguistic Theory of Translation (London: Oxford Of University Press, 1974) Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LKiS, 2005) Eriyanto, Analisis Wacana pengantar analisis teks media, (Yogyakarta : LKiS, Cet. V 2006) Fahrurrozi. Teknik Praktis Terjemah (Yogyakarta: Teknomedia, 2003) al-Fairûzâbâdi, Muhammad ibn Ya‘qûb, al-Qâmûs al-Muhît (Libanon: Dâr alFikr, 1426 H/2005) Fiske, John, Cultural and Communication Studies (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) Foucault,
Michel.
Order of
Thing,
Arkeologi Ilmu-ilmu
Kemanusiaan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) al-Ghazali, Imam, Al-Mustasfâ Min Ilm al-Usûl (Beirut : Muassasah Al-Risâlah, 1997) Vol 1 Harb, Ali, Benar Kritik Kebenaran, (Yogyakarta : LKiS, 2004) Harb, Ali, Hermeneutika Kebenaran, (Yogyakarta: LKiS, 2003) Hardiman, F. Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003) Hidayat, Komarudin, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996) al-Jâbirî, Muhammad Abid, Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2000)
al-Jâbirî,
Muhammad
Abid, Syûrâ,
Tradisi Partikularitas Universalitas
(Yogyakarta: LKiS, 2003) Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Phillips, Analisis Wacana, Teori dan Metode (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) Kamil, Syukron Dkk. Syariah dan HAM, Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: CSRC, 2007) Kushartanti dkk. Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik. (Jakarta: Gramedia 2005) Louis, Althusser, Tentang Ideologi, Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies (Yogyakarta: Jalasutra, 2008) Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Gramedia, 2000) Majalah Kebudayaan Desantara, Dialog Agama dan Kebudayaan, (Depok: Desantara, 2002) Edisi 03/Tahun II/2002. Ma’loûf, Louis, Al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-A‘lâm (Beirut : Dâr al-Masyriq, 1986) Misrawi, Zuhairi dkk. Ed., Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU (Jakarta: Kompas, 2003) Moentaha, Salihen, Bahasa dan Terjemahan (Bekasi Timur: Kesaint Blanc, 2006) Morton, Stephen, Gayatri Spivak, Etika, Subaltern, dan Kritik Penalaran Poskolonial (Yogyakarta: Pararaton, 2008) Mubarak, M. Zaki. Genealogi Islam Radikal di Indonesia, Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2008)
Muhammad Ibn Mahram Ibn Manzhur, Jamaluddin, Lisân al-Arab (Beirut: Dâr al-Fikr) Mulyana. Kajian Wacana, Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana. (Yogyakarta: Tiara Wacana 2005) al-Râzi. Mukhtâr al-Sihâh (Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994) Salman Ghanim, Muhammad, Kritik Ortodoksi, Tafsîr Âyât Ibadah, Politik, dan Feminisme (Yogyakarta: LKiS, 2004) Shihab, Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran (Tangerang: Lentera Hati, 2006) Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996) Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001) Sumaryono, E., Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999) Syahrûr, M., Tirani Islam, Genealogi Masyarakat dan Negara, (Yogyakarta: LKiS, 2003) Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic (Arabic-English) (Wiesbaden, Otto Harrascowit) Widyamartaya, A. Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989) Yusuf Ali, Abdullah The Holy Quran, Original Arabic Text with English Translation and Selection Commentaries, (Kuala Lumpur: Saba Islamic Media, 2004)