12
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pasien yang dirawat di rumah sakit sangat rentan terhadap infeksi di rumah sakit yang dapat terjadi karena tindakan perawatan selama pasien dirawat di rumah sakit, kondisi lingkungan di sekitar rumah sakit, dan daya tahan tubuh pasien itu sendiri. Penularan dapat terjadi dari pasien ke petugas kesehatan, dari pasien ke pasien yang lain, dari pasien ke pengunjung atau keluarga pasien maupun dari petugas kesehatan kepada pasien. Infeksi ini dikenal dengan infeksi nosokomial dimana dapat memperpanjang lama rawat, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta menambah biaya rumah sakit (Damadi, 2008). Infeksi nosokomial dikenal sebagai Hospital Acquired Infection (HAI), infeksi ini didapat sebagai konsekuensi dari pengasuhan tenaga kerja medis dalam menjalankan tugasnya. HAI ini sering dikaitkan dengan lingkungan rumah sakit dan tenaga yang memberi asuhan medis (Frost & Sullivan, 2010). Infeksi nosokomial juga didefinisikan sebagai infeksi yang terkena pada pasien semasa di rumah sakit maupun di fasilitas kesehatan lainnya (WHO, 2002). Penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian di dunia adalah penyakit infeksi nosokomial. Sebesar 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh dunia disebabkan oleh penyakit infeksi.
Presentase infeksi nosokomial di rumah sakit dunia
mencapai 9% (variasi 3 –21%) atau lebih 1,4 juta pasien rawat inap di rumah sakit seluruh dunia mendapatkan infeksi nosokomial. Suatu penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik menunjukkan adanya infeksi nosokomial dan untuk Asia Tenggara sebanyak 10,0% (WHO, 2002). Kejadian infeksi nosokomial pada jenis/ tipe rumah sakit di Indonesia sangat beragam. Pada Tahun 2004 Depkes RI melakukan Penelitian diperoleh data proporsi kejadian infeksi nosokomial dari jumlah pasien 1.527 orang yang beresiko 160.417 (55,1%) terjadi di rumah sakit pemerintah, sedangkan dari jumlah pasien 991 orang yang beresiko 130.047 (35,7%) terjadi di rumah sakit
13
swasta dan dari jumlah pasien 254 pasien yang beresiko 1.672 (9,1) terjadi di rumah sakit ABRI (Depkes RI, 2004). Salah satu strategi pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit adalah dengan penerapan kewaspadaan standar untuk memutus rantai penularan. Tahap kewaspadaan standar yang paling efektif dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial adalah dengan melakukan hand hygiene (Damadi, 2008; Gould et al., 2007; Gould et al., 2008). Pada pertengahan tahun 1800-an Ignas Semmelweis di Wina, Austria dan Oliver Wendell Holmes di Boston, Amerika Serikat melakukan sebuah penelitan yang menunjukkan bahwa penyakit yang di dapat dari rumah sakit ditularkan oleh petugas kesehatan (WHO, 2009). Semmelweis mengamati bahwa tingkat kematian ibu sebagian besar disebabkan demam nifas, secara substansial lebih tinggi dalam satu klinik dibandingkan dengan yang lain (16% dan 7%). Ia juga mencatat bahwa dokter dan mahasiswa kedokteran sering pergi langsung ke tempat pengiriman setelah melakukan autopsi dan memiliki bau yang tidak menyenangkan di tangan mereka meskipun telah mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum memasuki klinik. Ia berhipotesis bahwa itu adalah "partikel pucat" yang ditularkan melalui tangan dokter dan mahasiswa dari ruang otopsi ke tempat pengiriman dan menyebabkan demam nifas. Sebagai konsekuensinya, Semmelweis merekomendasikan bahwa tangan digosok dalam larutan kapur terklorinasi sebelum setiap kontak dengan pasien, terutama setelah meninggalkan ruang otopsi. Setelah pelaksanaan ukuran ini, angka kematian turun drastis menjadi 3% di klinik yang paling terpengaruh dan tetap rendah setelahnya. Penelitian ini merupakan bukti pertama bahwa membersihkan tangan yang terkontaminasi dengan menggunakan agen antiseptik dapat mengurangi penularan infeksi nosokomial dan lebih efektif daripada mencuci tangan dengan sabun dan air, pendekatan ini mencakup semua elemen penting untuk intervensi pengendalian infeksi yang sukses: "mengenali-menjelaskan-bertindak " (WHO, 2009). Penelitian mengenai praktek pengendalian infeksi nosokomial juga telah dilakukan di salah satu provinsi di Afrika Selatan (Mehtar et al., 2007). Penelitian
14
ini menunjukkan 25% alat-alat kedokteran gigi terkontaminasi dan 37% permukaan dan daerah sekitar dental unit terkontaminasi. Data menunjukkan bahwa 86,6% responden mengakui bahwa pentingnya mencuci tangan sebelum dan sesudah bersentuhan dengan pasien, dan 30% responden mengakui pentingnya mencuci tangan setelah melepas sarung tangan. Secara klinis 21,7% responden melakukan cuci tangan sebelum setiap prosedur tindakan gigi dan 34,8% responden memiliki kuku panjang yang dicat, menggunakan perhiasan, dan cincin pada jari-jari mereka. Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun telah ada ketentuan tentang praktek dokter gigi yang aman yang tersedia di klinik dokter gigi namun masih kurang implementasi di lapangan. Kegagalan melakukan hand hygiene yang baik dan benar dianggap sebagai penyebab
utama
infeksi rumah
sakit
dan
penyebaran
mikroorganisme
multiresisten di fasilitas pelayanan kesehatan dan telah diakui sebagai kontributor yang penting terhadap timbulnya wabah (Boyce dan Pittet, 2002). Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial tentu saja melibatkan semua unsur, mulai dari unsur pimpinan sampai kepada staf. Peran pimpinan yang diharapkan adalah menyiapkan sistem, sarana, dan prasarana penunjang lainnya, sedangkan peran petugas kesehatan adalah sebagai pelaksana langsung dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Hand hygiene dianggap sebagai suatu keterampilan utama yang memiliki dampak yang besar terhadap morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan infeksi nosokomial yang didapat di rumah sakit (Cole, 2008). Tahun 1980-an merupakan tahun evolusi konsep kebersihan tangan dalam perawatan kesehatan. Pedoman kebersihan tangan nasional pertama kali diterbitkan pada 1980-an , yang diikuti oleh negara lain dalam dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 1995 dan 1996, CDC/ HICPAC (Healthcare Infection Control Practices Advisory Committee) di Amerika Serikat merekomendasikan penggunaan sabun antimikroba atau agen antiseptik tanpa air untuk membersihkan tangan setelah meninggalkan kamar pasien dengan multidrug-resistant patogen. Tahun 2002 HICPAC menerbitkan pedoman kebersihan tangan handrubbing yang didefinisikan sebagai cuci tangan berbahan dasar alkohol sebagai suatu standar
15
perawatan untuk praktek kebersihan tangan di lingkungan perawatan kesehatan, sedangkan mencuci tangan disediakan untuk situasi tertentu saja (WHO, 2009). Aliansi dunia untuk keselamatan pasien adalah sebuah program yang terus berkembang dari WHO, yang didirikan untuk meningkatkan keselamatan pasien dalam agenda kesehatan global (Pittet et al., 2008). WHO mencanangkan program Global Patient Safety Challenge “Clean Care is Safer Care” sejak tahun 2005 sebagai sebuah komitmen global dalam upaya menurunkan angka HAI (Health Care Associated Infection) (Whitby et al., 2007). Pada tahun 2009 WHO Patient Safety kembali mencanangkan Save Lives: Clean Your Hands sebagai program lanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan fokus pelaksanaan hand hygiene pada pelayanan kesehatan di seluruh dunia (Sax et al., 2009) Pemerintah telah menyusun kebijakan nasional dengan menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes RI) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain dan Kepmenkes 382 tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di rumah sakit sebagai pijakan hukum untuk menerapkan standardisasi pencegahan dan pengendalian di rumah sakit. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sebagai rumah sakit pusat rujukan nasional yang senantiasa memberikan pelayanan kesehatan berkualitas dan terjangkau mempunyai kebijakan strategi program keselamatan pasien. Kebijakan strategi program keselamatan pasien di RSCM mengacu pada standar International Patient Safety Goals dari Joint Commission International. Kebijakan tersebut meliputi: (1) Identifikasi pasien secara benar; (2) Komunikasi yang efektif; (3) Keamanan penggunaan obat-obat yang perlu kewaspadaan tinggi (high alert medication); (4) Menjamin sisi operasi yang tepat, prosedur dan pasien yang benar; (5) Mengurangi risiko infeksi nosokomial; (6) Mengurangi risiko pasien cedera akibat jatuh. Kebijakan RSCM dalam menurunkan risiko infeksi nosokomial di rumah sakit meliputi: (1) Mengimplementasikan program kebersihan tangan yang efektif berdasarkan panduan terbaru; (2) Mengimplementasikan program kebersihan diri
16
yang efektif; (3) Menggunakan alat pelindung diri; (4) Mengimplementasikan etika batuk dan bersin di rumah sakit. Secara keseluruhan program keselamatan pasien di RSCM sudah berjalan dengan baik, tetapi pelaksanaannya belum maksimal khususnya pada saat melakukan cuci tangan untuk mengurangi infeksi nosokomial. Data penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangkusumo (2002) menunjukkan sebesar 85,7% petugas tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan yang merupakan penyebab dari terjadinya infeksi nosokomial. Hal yang masih perlu diperhatikan adalah penerapan program di lapangan merujuk pada konsep keselamatan pasien. Sosialisasi dan pelatihan sudah dilaksanakan tetapi masih ada kejadian sentinel yang terjadi di RSCM dan kejadian infeksi nosokomial yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa program keselamatan pasien belum dijalankan dengan baik meskipun sosialisasi dan pelatihan telah dilakukan. Dokter gigi dalam menjalankan profesinya tidak terlepas dari kemungkinan untuk berkontak secara langsung ataupun tidak langsung dengan mikroorganisme dalam saliva dan darah penderita. Penyebaran infeksi dapat terjadi secara inhalasi yaitu melalui proses pernafasan atau melalui transmisi mikroorganisme dari serum dan berbagai substansi lain yang telah terinfeksi. Bukti menunjukkan bahwa tingkat risiko dokter gigi berkaitan langsung dengan kontaknya terhadap darah dan saliva penderita. Hal ini disebabkan tindakan dalam praktek dokter gigi berisiko tinggi terutama terhadap penyakit menular berbahaya yang disebabkan oleh bakteri dan virus (Pedersen, 1998). Peningkatan insiden infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan virus hepatitis B (HBV) menyebabkan peningkatan kewaspadaan terhadap infeksi silang semakin meningkat. Tingkat disiplin pada pengendalian infeksi telah meningkat selama 10 tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan insidensi AIDS daripada peningkatan insidensi hepatitis B yang lebih berisiko mengenai tenaga medis kedokteran gigi (Bagieh, 2006). Banyak pasien dan tenaga medis di kedokteran gigi yang berisiko untuk tertular mikroorganisme pathogen termasuk cytomegalovirus (CMV), HBV, hepatitis C virus (HCV), herpes simplex virus tipe 1 dan 2, HIV, Mycobacterium
17
tuberculosis, staphylococci, streptococci, serta berbagai macam virus, bakteri yang berkolonisasi serta menginfeksi rongga mulut dan saluran pernafasan. Penyebaran infeksi membutuhkan sumber infeksi antara lain berupa darah, saliva atau jaringan yang merupakan perjalanan dari sumber infeksi tersebut (Georgesu, 2002). Proteksi dokter gigi untuk mencegah terjadinya infeksi silang merupakan salah satu faktor pemutus mata rantai penyebaran infeksi. Kebersihan dokter gigi merupakan tanggung jawab setiap individu, sehingga pasien akan selalu merasa aman setiap kali memeriksakan diri ke dokter gigi. Dalam setiap pekerjaan yang dilakukan dokter gigi, tidak lepas hubungannya dengan mikroorganisme yang ada pada penderita. Berbagai macam cara dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi silang antara lain dengan pemakaian proteksi diri yaitu masker, kacamata pelindung, sarung tangan, baju praktek, penutup rambut maupun kebersihan lingkungan tempat kerja yang meliputi cuci tangan, cara pembersihan alat dan lingkungan (Wibowo et al., 2009). Hasil analisis terhadap beberapa penelitian oleh Cantrell et.al pada tahun 2009 adalah tingkat kepatuhan dokter terhadap pedoman pengendalian infeksi hanya 20% sampai dengan 50%. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan terhadap kebersihan tangan dari dokter lebih rendah dari petugas kesehatan lainnya (Kampf, 2004). Dokter sebagai salah satu petugas kesehatan yang dijadikan panutan bagi petugas kesehatan lainnya dan dapat mempengaruhi perilaku orang lain, maka tingkat kepatuhannya mendapat perhatian khusus. Hasil penelitian yang dilakukan selama 24 jam pada dua bangsal di rumah sakit menunjukkan tingkat kepatuhan petugas kesehatan terhadap penerapan cuci tangan sebesar 47% untuk dokter, 75% untuk perawat, 78% untuk profesi kesehatan, dan 59% untuk staf lain (Randle et al., 2010). Penelitian ini juga menunjukkan adanya tingkat kepatuhan yang bervariasi dalam penerapan cuci tangan sesuai dengan lima kesempatan yaitu kepatuhan sebelum tindakan aseptik 100%, setelah terpapar cairan tubuh 93%, setelah kontak dengan pasien 80%,
18
sebelum kontak dengan pasien 68%, dan setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien 50%. Penelitian yang dilakukan selama tiga bulan pada dua rumah sakit dan delapan klinik di daerah pedesaan di Indonesia menunjukkan kepatuhan dalam penerapan cuci tangan yang buruk yaitu sebesar 20%. Penelitian ini juga menunjukkan tingkat kepatuhan yang bervariasi sesuai dengan kesempatan saat dilakukan yaitu 34% setelah kontak dengan pasien, 5% sebelum kontak dengan pasien, dan 49% setelah kontak dengan pasien. Hal ini disebabkan adanya kelangkaan air, toleransi masyarakat terhadap kotor, dan budaya kesehatan yang buruk (Marjadi dan McLaws, 2010). Hasil penelitian yang dilakukan pada 32 responden yang ada di seluruh Puskesmas di Surabaya menunjukkan 75% dokter gigi mencuci tangan sebelum memeriksa pasien dan 87,5% dokter gigi mencuci tangan setelah memeriksa pasien (Wibowo et al., 2009). Hal ini menunjukkan bahwa mencuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa pasien merupakan kebiasaan yang sering dilakukan oleh dokter gigi yang ada di puskesmas. Adanya kejadian infeksi nosokomial menunjukkan masih kurangnya kepatuhan dalam penerapan cuci tangan baik olek petugas kesehatan maupun keluarga pasien. Menurut WHO (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan petugas klinis dalam penerapan cuci tangan yaitu: beban kerja yang tinggi, kurangnya waktu untuk pelaksanaan cuci tangan, letak bahan cuci tangan yang sulit di akses, adanya iritasi kulit, jenis kelamin, persepsi, dan profesi petugas kesehatan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan dalam penerapan cuci tangan yang lain seperti usia dan pengetahuan tentang pentingnya cuci tangan. Kepatuhan dalam penerapan cuci tangan dapat dinilai dengan menggunakan tiga metode yaitu observasi, kuesioner dan pengukuran secara tidak langsung terhadap pemakaian produk (Haas dan Larson, 2007). Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan petugas kesehatan dalam penerapan cuci tangan yang meliputi faktor individu (pengetahuan, persepsi, dan profesi), ketersediaan fasilitas cuci tangan, dan beban cuci tangan. Dengan harapan dapat mengetahui
19
faktor yang paling dominan yang mempengaruhi kepatuhan petugas kesehatan dalam penerapan cuci tangan sehingga bisa diperbaiki dan dilakukan dengan lebih baik, dan pada akhirmya dapat mengurangi infeksi nosokomial di rumah sakit.
B. Perumusan Masalah Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat atau timbul pada saat pasien dirawat di rumah sakit. Infeksi nosokomial sangat dipengaruhi oleh kebersihan tangan petugas kesehatan. Ketidakpatuhan petugas kesehatan dalam penerapan cuci tangan bisa meningkatkan angka infeksi nosokomial. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi kepatuhan petugas kesehatan dalam penerapan cuci tangan seperti persepsi, profesi, beban kerja yang tinggi, kurangnya waktu untuk pelaksanaan cuci tangan, letak bahan cuci tangan yang sulit di akses, adanya iritasi kulit, kelompok kerja petugas kesehatan, dan pengetahuan tentang pentingnya cuci tangan. Maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut: Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kepatuhan petugas kesehatan dalam penerapan cuci tangan di poli gigi?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan petugas kesehatan dalam penerapan cuci tangan di poli gigi. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis faktor individu (pengetahuan, persepsi, dan profesi) yang berhubungan dengan kepatuhan petugas kesehatan dalam penerapan cuci tangan di poli gigi. 2. Menganalisis hubungan antara ketersediaan fasilitas cuci tangan dengan kepatuhan petugas kesehatan dalam penerapan cuci tangan di poli gigi. 3. Menganalisis hubungan antara beban cuci tangan dengan kepatuhan petugas kesehatan dalam penerapan cuci tangan di poli gigi.
20
4. Menganalisis faktor yang paling kuat diantara faktor individual, ketersediaan fasilitas cuci tangan dan beban cuci tangan, yang berhubungan dengan kepatuhan petugas kesehatan dalam penerapan cuci tangan di poli gigi.
D. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu : 1. Dengan adanya penelitian ini dapat mengetahui faktor-faktor yang paling kuat yang dapat mempengaruhi kepatuhan petugas kesehatan dalam penerapan cuci tangan di poli gigi sehingga bisa dilakukan perbaikan dan pada akhirnya dapat menurunkan angka infeksi nosokomial di poli gigi. 2. Manfaat bagi RSCM adalah hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan perbaikan guna meningkatkan kepatuhan petugas kesehatan dalam penerapan cuci tangan di poli gigi RSCM sehingga pada akhirnya bisa menurunkan angka infeksi nosokomial di poli gigi RSCM.
E. Keaslian Penelitian Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan petugas kesehatan dalam penerapan cuci tangan di poli gigi RSCM. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang terkait dengan kepatuhan cuci tangan antara lain: 1.
Boyce (2008) yang berjudul Hand Hygiene Compliance Monitoring : Current Perspectives From The USA. Aspek-aspek yang telah diteliti pada penelitian ini antara lain: metode pemantauan kepatuhan cuci tangan dengan melakukan pengamatan langsung yang masih dianggap sebagai standar emas dan survei pengamatan secara langsung menghasilkan perbandingan tingkat kepatuhan di antara petugas kesehatan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah pada penelitian ini akan menggunakan kuesioner terstruktur dan observasi untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan petugas kesehatan dalam penerapan cuci tangan.
2.
Allegranzi dan Pittet (2009) yang berjudul Role Of Hand Hygiene In Healthcare-associated Infection Prevention. Aspek-aspek yang telah diteliti
21
pada penelitian ini antara lain: faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan cuci tangan, dampak dari promosi kebersihan tangan pada kesehatan terkait dengan tingkat transmisi silang dan infeksi patogen, dan isu-isu yang menantang berkaitan dengan penerapan umum berbasis penggunaan alkohol sebagai perubahan untuk promosi kebersihan tangan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah pada penelitian ini akan menganalisis faktor yang paling dominan diantara faktor individual, ketersediaan fasilitas cuci tangan dan beban cuci tangan, yang berasosiasi dengan kepatuhan petugas kesehatan dalam penerapan cuci tangan di poli gigi. 3. Mehtar et. al. (2007) yang berjudul Infection Control Practices in Public Dental Care Services: findings from one South Africa Province. Aspek-aspek yang telah diteliti pada penelitian ini antara lain: hubungan antara pengetahuan dan pelaksanaan pencegahan infeksi nosokomial, pengetahuan tentang cuci tangan, fasilitas cuci tangan, praktek cuci tangan, pengetahuan tentang cara membersihkan alat-alat, fasilitas untuk membersihkan alat-alat, praktek membersihkan alat-alat, pengetahuan tentang cara membuang sampah, fasilitas pembuangan sampah dan cara membuang sampah. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah pada penelitian ini akan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan cuci tangan yang meliputi faktor individual, ketersediaan fasilitas cuci tangan dan beban cuci tangan. 4. Wibowo et. al. (2009) yang berjudul Proteksi Dokter Gigi Sebagai Pemutus Rantai Infeksi Silang. Aspek-aspek yang telah diteliti pada penelitian ini adalah kepatuhan dokter gigi dalam melakukan cuci tangan di Puskesmas yang ada di seluruh Surabaya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah pada penelitian ini dilakukan di rumah sakit dan akan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan cuci tangan yang meliputi faktor individual, ketersediaan fasilitas cuci tangan dan beban cuci tangan.