Suplemen Majalah SAINS Indonesia
Edisi Mei 2016
Suplemen Agrotek
ROYALTI:
MAGNET UNTUK BERINOVASI Menyoal royalti, diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 72/2015 tentang imbalan yang berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) royalti paten kepada inventor, seolah menjadi angin segar bagi dunia penelitian. Belum lagi dengan adanya peraturan teranyar yang rilis di tahun ini, yaitu PMK No 6/2016 tentang pedoman pemberian imbalan yang berasal dari royalti hak Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) kepada pemulia tanaman. Terasa komplit sudah. Peneliti dapat royalti, pemulia pun tak dilupakan.
Prof (Riset. Dr Ir Sri Widowati MAppSc.
Edisi Mei 2016
Suplemen Majalah SAINS Indonesia
Menengok Perjalanan Royalti Perjuangan untuk mendapatkan royalti bagi inventor dimulai sejak tahun 2005. Kemudian, perjuangan itu mulai menunjukkan titik terang di tahun 2012, ketika Kementerian Perekonomian mengambil alih koordinasi. Sebagai hasilnya Kementerian Keuangan pun menyetujui imbalan bagi inventor paten. Hingga akhirnya, penantian selama hampir 10 tahun terbayar dengan terbitnya PMK No 72/2015. Lalu, bagaimana dengan pemulia? Varietas yang sudah dilindungi dengan hak PVT dan sudah dilisensikan, juga menghasilkan royalti. Kabar gembira pun datang di tahun ini, yaitu dengan terbitnya PMK No. 6/2016. Seorang pemulia dari Balai Besar Penelitian Padi di Sukamandi, Satoto, mengungkapkan rasa syukur atas disahkannya royalti hak PVT. “Ya Alhamdulillah, itu adalah bentuk apresiasi, bahwa kita sudah diperhatikan,” tuturnya. “Terbitnya PMK tersebut tentu akan memacu semangat bekerja untuk terus berinovasi dalam suasana yang kondusif,” lanjutnya.
Suplemen Agrotek
Royalti untuk Penelitidi Balitbangtan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) tercatat sudah mengimplementasikan PMK No 72. Dilaporkan, hingga tahun 2015 sudah ditandatangani 140 perjanjian lisensi dengan mitra swasta, 64 di antaranya merupakan paten. Tahun lalu, Balitbangtan juga telah membagikan royalti paten kepada 7 inventornya dengan besaran bervariasi, antara Rp 1.100.000 hingga Rp 30.700.000. Mereka adalah inventor Pupuk Mikroba Rhizo plus, Formula Pupuk Hayati untuk Tanaman Padi, Feromon Exi, Penurunan Indeks Glikemik Beras, Indo Jarwo Transplanter, Indo Combine Harvester, dan Alat Perekam Data Stasiun Cuaca Otomatis (AWS). Dalam sebuah kesempatan menyerahkan royalti kepada beberapa peneliti/perekayasa beberapa waktu lalu, Kepala Balitbangtan berpesan agar sistem royalti yang sudah berlaku dapat semakin merangsang minat peneliti untuk menghasilkan paten lebih banyak lagi, walaupun tujuan utama penelitian bukan sematamata untuk royalti. Namun royalti merupakan cerminan bahwa suatu teknologi telah berhasil dipasarkan dan digunakan oleh masyarakat luas. Setali tiga uang, salah satu penerima royalti paten, Sri Widowati, peneliti dari Balai Besar Litbang Pascapanen menuturkan, “Ini bukan semata-mata tentang imbalan, lebih dari itu, perolehan royalti menunjukkan bahwa perjuangan menghasilkan inovasi telah sampai pada
tahap hilirisasi, dimana hasil penelitian saya berguna bagi masyarakat, rakyat Indonesia”. Kebanggaan itu terlihat jelas menghiasi raut wajahnya. “Mendapatkan royalti paten atas penurunan indeks glikemik beras ini membuat saya menjadi trend-setter bagi penelitian sejenis di masa mendatang,” ujarnya merefleksikan kebanggaan itu. Kebanggaan juga diungkapkan oleh manajemen Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian yang diwakili Agung Prabowo atas perolehan royalti paten oleh tim perekayasanya. Bahkan nominal yang diterima tergolong paling besar di antara penerima lainnya. “Tentu saja royalti itu menjadi motivasi bagi perekayasa lainnya untuk menghasilkan inovasi baru sekaligus menunjukkan kompetensi mereka di bidang perekayasa,” ujarnya mengakhiri perbincangan. Memang, pencapaian royalti membawa multiplier effects bagi lingkungan penerimanya. Terbitnya dua peraturan tersebut hendaknya menjadi magnet bagi insan dunia riset untuk meningkatkan etos kerja, gairah dan semangat menghasilkan inovasi yang membawa maslahat bagi rakyat Indonesia, bahkan mungkin juga bagi umat di dunia. Salam inovasi! (VWH/IST/ MOR/RB) Kepala Balitbangtan menyerahkan royalti kepada Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian.
Suplemen Majalah SAINS Indonesia
Edisi Mei 2016
Suplemen Agrotek
Vaksin VTEC,
Tanggulangi Kematian Anak Sapi Kasus kematian pedet (anak sapi) menjadi salah satu momok yang dihadapi peternak. Salah satunya kematian akibat diare yang disebabkan bakteri Eschericia coli. Namun, sekarang peternak sapi sudah tidak perlu risau lagi, karena Balai Besar Penelitian Veteriner, Balitbangtan, telah berhasil memformulasikan vaksin yang efektif menanggulangi kasus tersebut. Yaitu isolat lokal polivalen inaktif untuk sapi atau lebih dikenal dengan “vaksin VTEC”.
F
aktanya, ketergantungan kita terhadap vaksin impor masih tinggi sehingga tidak heran berdampak pada mahalnya biaya yang harus ditanggung peternak, khususnya peternak rakyat. Sehingga pengembangan penelitian formulasi vaksin untuk ternak menjadi tumpuan bagi pemerintah untuk mensubstitusi vaksin-vaksin impor tersebut. Vaksin VTEC merupakan salah satu vaksin yang dikembangkan Balai Besar Penelitian Veteriner yang berkantor di kota Bogor. Vaksin ini dikembangkan oleh Prof Dr Drs Supar MS dalam bentuk inaktif dari bakteri enterotoksigenik E coli dan verotoksigenik E coli yang telah terbukti ampuh untuk pengendalian kolibasilosis pada anak sapi. Bicara keunggulan, formulasi vaksin ini sudah tidak diragukan lagi. Selain terbuat dari bakteri isolat lokal, juga mengandung semua jenis antigen imunoprotektif yang terdapat di lapangan. Yang tidak kalah penting adalah tidak toksik
Edisi Mei 2016
Suplemen Majalah SAINS Indonesia
istimewa
Suplemen Agrotek
Sapi disuntik vaksin VTEC untuk menghindari kematian dini pedet.
dan tidak menimbulkan aborsi maupun efek samping lainnya. Bahkan vaksin ini mampu mencegah gejala diare dan menekan tingkat kematian anak sapi. Aplikasinya pun relatif mudah, yaitu vaksinasi dilakukan pada induk sapi sebanyak lima ml secara subkutan pada leher di belakang telinga, saat kebuntingan tujuh bulan dan dua minggu sebelum beranak. Dapat menurunkan angka kematian anak sapi (pedet) dari 13% menjadi 0,7%. Sebagai ilustrasi, 50 ekor induk sapi diperkirakan akan beranak sebanyak 50 ekor anak sapi, maka kerugian yang berpotensi diderita akibat ancaman kematian anak sapi adalah sebanyak 6 ekor. Namun dengan aplikasi Vaksin VTEC sebanyak 2 dosis per ekor induk sapi dengan biaya sebesar Rp 2.000 per dosis, maka peternak cukup mengeluarkan biaya Rp 200.000 untuk kebutuhan 50 ekor induk sapi yang divaksinasi. Dengan asumsi angka kematian anak sapi dari induk yang sudah divaksin hanya sebanyak satu ekor, maka peternak sapi dapat terhindar dari risiko kerugian yang cukup besar. Bila seekor anak sapi dihargai Rp 4 juta, maka dengan penggunaan vaksin VTEC yang sangat terjangkau buat peternak ini akan dapat menyelamatkan penghasilan peternak sebanyak 20 juta rupiah. Agar vaksin ini mudah diakses oleh peternak di seluruh pelosok nusantara, maka Balitbangtan telah menggandeng salah satu perusahaan nasional, PT Caprifarmindo Laboratories, untuk bekerjasama dalam memproduksi vaksin ini secara massal. Vaksin ini diberi merek dagang CAPRIVAC VTEC. Semoga vaksin produksi anak bangsa ini dapat membantu peternak sapi kita, dan turut berkontribusi nyata dalam peningkatan produksi daging nasional.
Suplemen Majalah SAINS Indonesia
Edisi Mei 2016
Suplemen Agrotek
Vaksin ETEC,
Ternak Sehat, Keuntungan Meningkat
C
ukup mengejutkan bahwa data menunjukkan ternak babi merupakan salah satu komoditi ternak yang diekspor Indonesia dalam jumlah besar. Bahkan dipertegas data dari Kementerian Pertanian (2012) dimana volume impornya dapat dikatakan nol dibandingkan dengan komoditi ternak lainnya yang juga diekspor. Jadi, ternak babi merupakan satu-satunya ternak yang kelebihan volume hasil ternaknya murni diekspor. Kondisi peternakan yang terbatas ternyata tidak menjadi pembatas dalam perkembangan ternak babi. Tujuan ekspor untuk daging babi hasil ternak di Indonesia adalah negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Filipina dan pasar komoditi ternak babi masih terbuka untuk negara lainnya termasuk Hongkong.
Namun, sama halnya dengan kondisi peternakan lainnya, bahwa tantangan terberat dalam beternak adalah berkaitan dengan kesehatan ternak. Kematian pada anak babi akibat diare yang disebabkan bakteri Eschericia coli, masih menjadi masalah. Namun sekarang sudah ditemukan vaksin yang dapat menyelamatkan peternak dari kerugian akibat kematian anak babi. Adalah Prof Dr Drs Supar MS, peneliti di Balai Besar Penelitian Veteriner, Balitbangtan, dengan formulasi vaksin inaktif yang dibuat dari sel bakteria E coli yang mengandung antigen fimbriae (pili) K88; K99; F41, dan 987P, telah teruji dapat mengatasi masalah tersebut. Penggunaan formulasi vaksin ini pada induk babi yang diinjeksikan sebanyak dua ml pada umur kebuntingan 70-75 hari dan di-booster dengan dosis yang sama pada umur kebuntingan 100-105 hari, ternyata dapat menurunkan kasus diare dan mortalitas anak babi yang dilahirkan. Kasus diare rata-rata turun dari 14,3% menjadi 3,2%, sementara mortalitas rata-rata turun dari
“
Penyebarluasan vaksin ini diharapkan sekaligus menjadi upaya pencegahan penyebaran bakteri E coli.
“
Edisi Mei 2016
Suplemen Majalah SAINS Indonesia
Suplemen Agrotek
14,8% menjadi 3,1% sampai dengan umur dua minggu. Penggunaan vaksin yang juga disebut sebagai Vaksin ETEC Multivalen pada induk babi di tingkat akhir kebuntingan merupakan metode alternatif yang efektif dalam pengendalian kolibasilosis neonatal pada anak babi. Apa kelebihannya? selain mampu melindungi anak babi dari infeksi kolibasilosis, teknologi ini menawarkan kemudahan dalam mempro-
duksinya dimana dapat dibuat dari isolat lokal dan keamanannya terjamin, daya proteksi antibodi maternal mampu bertahan selama 3-4 minggu setelah melahirkan, serta tidak menimbulkan nekrosis pada bekas suntikan sehingga tidak ada kecacatan tubuh ternak. Diantara keunggulan tersebut yang paling penting adalah kemanfaatannya bagi peternak untuk menyelamatkan keuntungan yang seharusnya diperoleh dengan menekan tingkat kematian. Tercatat bahwa dari hasil analisa keuntungan dalam penggunaan vaksin ini, kerugian ekonomi yang dapat dicegah peternak pada skala usaha 10 ekor induk babi mencapai Rp 2.170.000. Teknologi vaksin ini potensial untuk dikerjasamakan dengan industri obat-obatan hewan/veteriner dan atau oleh peternak babi komersial. Adalah PT. Caprifarmindo Laboratories yang telah menyambut peluang tersebut, dengan merk dagang CAPRIVAC ETEC. Nantinya penyebarluasan vaksin ini diharapkan sekaligus menjadi upaya pencegahan penyebaran bakteri E coli.
Analisa Keuntungan dari Penggunaan Vaksin ETEC
Parameter
Jumlah
Harga Satuan (Rp)
Total (Rp)
Asumsi 10 ekor induk babi melahirkan 80 ekor anak babi A. Kematian anak babi (jika tidak divaksin dengan Vaksin ETEC)
12 ekor
250.000
3.000.000
B. Pemakaian Vaksin ETEC (2 dosis untuk 1 ekor babi)
20 dosis
4.000
80.000
3 ekor
250.000
750.000
C. Kematian dengan vaksin ETEC Keuntungan yang diperoleh (A-B-C)
2.170.000
Suplemen Majalah SAINS Indonesia
Edisi Mei 2016
Edisi Mei 2016
Suplemen Majalah SAINS Indonesia