Suara Tak Terucap dari Kelok Seribu Oleh: Dahlan Iskan - CEO PLN Kalau Sumbar punya kelok sembilan nan mengular dan Sulteng punya jurang Kebun Kopi nan curam, Flores punya dua-duanya. Saya membuktikannya Sabtu dan Minggu 2-3 Oktober lalu. Yakni ketika saya melakukan perjalanan darat dari Ruteng ke Maumere lewat Ende. Rasanya inilah jalan dengan kelokan terbanyak yang pernah saya lewati sepanjang hidup saya. Itu pula sebabnya mengapa perjalanan darat yang tidak sampai 600 km ini menghabiskan waktu dua hari suntuk. Tahukah Anda berapa banyak kelokan di sepanjang rute ini? Ternyata 6.234 kelokan. Kalau Anda tidak percaya hitunglah sendiri. Meski angka itu saya buat secara sungguh-sungguh --ngawurnya-- tapi belum tentu tidak sebanyak itu. Anggaplah setiap satu kilometer sedikitnya terdapat 27 kelokan. Lalu kalikan 316 Km atau berapalah. Jatuhnya --ini juga ngawur-- 6.432 kan? Agar Anda tidak mempersoalkan akurasi angka-angka itu, saya sebut saja jalur ini "jalur kelok seribu". Di jalur "kelok seribu" inilah geothermal (pembangkit listrik tenaga panas bumi/PLTP) Ulumbu dan Mataloko berada. Ini penting karena dua-duanya akan kita andalkan untuk melistriki seluruh pulau Flores. Direksi PLN memang sudah bertekad untuk menjadikan Flores sebagai satu-satunya pulau di Indonesia yang seluruh listriknya menggunakan tenaga panas bumi. Sebenarnya sudah hampir 10 tahun lalu Ulumbu dibicarakan. Tapi tidak jadi-jadi. Pemrakarsa proyek ini, putra daerah Flores, senior PLN, Bapak Vincent T Radja berjuang keras untuk mewujudkannya. Namun sampai beliau pensiun proyek geothermal Ulumbu ini belum juga selesai. Maka ketika mendengar saya diangkat jadi Dirut PLN Pak Vincent, ditemani beberapa pensiunan lainnya, langsung menemui saya. Kesehatannya rupanya sudah menurun. Tapi semangat memperjuangkan Ulumbunya tetap tinggi sehingga saya masih bisa menangkap kata-katanya yang sudah agak sulit diucapkan. Ulumbu harus diteruskan, katanya. Tentu saya berjanji untuk melihat dulu lokasinya. Saya menyesal tidak mempercepat perjalanan ke Flores waktu itu. Dua bulan berikutnya, ketika saya sedang mendiskusikan rencana perjalanan ke Flores, saya diberitahu bahwa Pak Vincent meninggal dunia. Dialah ahli geothermal terkemuka Indonesia. Lokasi geothermal Ulumbu, seperti yang saya lihat 3 Oktober lalu, ternyata memang sexy. Letaknya di celukan gunung Poco Ranaka yang indah. Gunung ini tingginya 2140 meter. Tidak jauh dari kota Ruteng. Saya kaget tiba di sini: sumur uap geothermal ini sudah lama jadi. Tentu sudah tidak sulit lagi mewujudkannya. Maka saya bertekad bahwa proyek ini harus segera jadi. Apalagi dananya sudah ada.
Untuk meneguhkan tekad itu, ketika saya kembali ke kantor PLN Cabang Ruteng, saya mengambil buku tamu. Di buku itulah saya menggoreskan pena begini bunyinya: saya bersumpah untuk menjadikan proyek ini sebelum akhir tahun 2011. Agar jadi hadiah Natal terbaik bagi rakyat Flores yang mayoritas Katolik itu. Saya berani mencanangkan itu karena dua hal: dananya sudah siap sejak tahun 2005 dan semangat teman-teman PLN sangat tinggi. Baik yang di PLN Pusat maupun PLN NTT. Bahkan Direktur Operasi Indonesia Timur Vickner Sinaga memajukan jadwal itu: sebelum Agustus 2011. Agar bisa jadi hadian ulang tahun kemerdekaan. General Manager PLN Nusa Tenggara Timur Janu Warsono akan mengawal proyek ini. Dia juga bertekad untuk mengubah agar NTT jangan lagi kependekan Nusa Tidak Tentu, tapi Nusa Terang Terus. Memang ada persoalan lereng gunung yang longsor. Namun ini hanya urusan teknis yang bisa dihitung bagaimana mengatasinya. Ahli-ahli sipil di PLN pasti bisa mencarikan solusinya. PLN sudah sering mengerjakan PLTA yang jauh lebih sulit dari ini. Kalau proyek Ulumbu ini selesai saya membayangkan betapa tambah menariknya kota Ruteng. Inilah kota yang karena berada di pegunungan dengan ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut, sejuk dan indahnya bukan main. Kawasan di sekitar kota ini juga begitu suburnya. Hijau dan hijau. Jauh dari bayangan Flores yang gersang. Pengin rasanya agar mesin-mesin diesel listrik di Ruteng ini agar segera disingkirkan. Saya tahu rakyat Ruteng kini sudah puas dengan listrik yang sudah sangat cukup sekarang ini (sampai-sampai waktu tiba di bandara kecil di Ruteng saya dan isteri disambut dengan upacara adat dan diberi hadiah ayam jantan sebagai ucapan terima kasih di Ruteng tidak byar-pet lagi) namun cara ini sangat mahal. Maka geothermal Ulumbu harus jadi! Begitu sulit dan terjalnya jalan menuju proyek ini, tapi begitu menantangnya untuk menyelesaikannya. Dari Ulumbu kami terus menyusuri kelok seribu menuju geothermal Mataloko. Meski lokasi Mataloko lebih mudah dijangkau (proyek ini hanya 1 km dari seminari terkemuka di Mataloko) tapi kapasitasnya hanya 2 MW. Proyek ini sudah jadi, namun rusak-rusak melulu. Kebetulan di lokasi Mataloko masih ada teknisi dari Tiongkok. Kami sempat mendiskusikannya. Terutama untuk menjaga bagaimana setelah perbaikan terakhir ini tidak akan mati-mati lagi. Para teknisi Tiongkok itu berjanji tanggal 6 Oktober ini geothermal Mataloko sudah menyala kembali. Dan tidak akan mati-mati lagi. Rupanya selama ini terjadi kesulitan komunikasi antar teknisi yang saling tidak mengerti bahasa masing-masing itu.
2
Meski proyek ini kecil, namun fungsinya sangat penting. Tegangan listrik Di wilayah ini kurang baik karena jauh dari pembangkit. Para guru di sekolah seminari itu misalnya, tidak berani menggunakan komputer setelah jam 5 sore. Takut rusak. Saya memang menyempatkan diri untuk meninjau seminari besar yang dibangun tahun 1930-an itu dan memberikan harapan bahwa dengan teratasinya PLTP Mataloko tidak ada lagi keraguan akan keselamatan komputernya. Di Mataloko isteri saya "turun mesin". Minyak kayu putih harus lebih banyak disiramkan di punggung dan perutnya. Mabuknya sudah tidak ketulungan. Tapi perjalanan dari Mataloko ke Ende masih 3,5 jam lagi. Rakyat setempat punya cara untuk bepergian melewati "kelok seribu" tanpa mabuk. Yakni naik "bus kayu". Inilah kendaraan umum yang amat populer di jalur "kelok seribu". Truk yang diberi atap. Bus kurang laku di sini. Dengan naik bus kayu penumpang bisa mendapat udara bebas. Di samping bisa membawa barang dan ternak lebih banyak. Pukul 21.00 barulah kami tiba di Ende. Ikan bakar yang disiapkan teman-teman PLN Ende sudah pada dingin. Tapi seluruh karyawan di Ende masih menanti sambil menyanyinyanyi. Tentu juga sambil menahan lapar. Karena itu sebelum Kepala Cabang Ende, Audi membuka acara dialog tengah malam, kami makan dulu rame-rame. Kami pun sepakat, keesokan harinya, pukul 05.00 kumpul lagi di kantor. Untuk bersama-sama olahraga jalan pagi. Yakni dari kantor PLN ke rumah kenangan yang dulu ditempati Bung Karno ketika empat tahun dibuang ke Ende. Jarak tempuhnya 45 menit. Kurang lebih sama dengan jarak jalan kaki saya setiap pagi dari rumah saya di sebelah Pacific Place ke kantor PLN Pusat di Jalan Trunojoyo. Pagi itu kami tidak sempat sarapan. Setelah selesai olahraga harus bergegas ke proyek PLTU Ende di pantai utara. Berarti kami harus kembali menyusuri "kelok seribu" dengan perut kosong. Jarak tempuhnya hampir tiga jam. Untungnya ada singkong rebus yang dimasukkan ke mobil bersama sambal. Memang selalu saja ada makanan lokal yang istimewa. Di Kupang ada jagung rebus lokal. Manisnya seperti jagung manis dan pulennya seperti ketan. Di Ende singkongnya bukan main nendangnya: lezat rasanya, pulen gigitannya dan masir komposisinya. Apalagi dimakan dengan sambal khas Flores. Sayangnya "kelok seribu" telah membuat sambal itu tumpah di pangkuan dan minyaknya merembes sampai menembus celana dalam. Pedalaman saya merasa terganggu tapi malu merintih: minyak sambal itu rupanya merembes sampai ke bagian yang ada di balik celana dalam. Tiba di lokasi PLTU saya tercenung. Mengapa dibangun PLTU Batubara di sini. Kalau saja keputusan itu dibuat sekarang, saya akan memilih menggunakan dana tersebut untuk mempercepat penyelesaian proyek geothermal Ulumbu dan memperbesarnya. Apalagi proyek PLTU ini tersendat-sendat karena kontraktornya salah hitung. Terlalu rendah menawarkan harganya dulu. Kini kesulitan keuangan membuat proyek ini belum tentu handal di masa depan.
3
Satu-satunya yang masih bisa diperbuat adalah mempercepatnya agar tidak semakin molor lagi. Kami juga sepakat memberi kepercayaan kepada Generasi muda PLN untuk mencari jalan keluar. Hanya anak-anak muda yang bisa nekad membuat PLTU ini mendapatkan terobosan. Saya lihat mereka lulusan ITB dan ITS yang handal, gigih dan berani. Setidaknya berani mendebat saya. Kepada mereka saya titipkan nasib PLTU ini. "Kelok seribu" sudah berlalu. Perjalanan selanjutnya memang masih akan tiga jam tapi tinggal menyusuri pantai utara. Menuju Maumere. Kelokannya hanya ratusan mengikuti bukit-kubit yang tidak seberapa terjal. Kami melewati perkebunan kemiri yang rindang. Lalu perkebunan mente yang berbuah lebat. Tepat tengah hari kami sudah tiba di kantor PLN Cabang Maumere. Meski hari Minggu semua karyawan dan isteri lengkap menunggu di kantor. Kami mendiskusikan kondisi listrik di Maumere. Mereka juga minta penjelasan mengenai banyak hal di PLN. Termasuk mengenai wacana larangan suami isteri kerja di PLN. Ternyata di situ ada karyawan muda asal Sidoarjo yang sudah mengincar seorang gadis yang kini sedang menjalani masa percobaan untuk menjadi karyawan PLN. Secara gurau saya sarankan agar cepat-cepat saja dilamar dan dikawini. Sebelum aturan baru berlaku. Aturan itu nanti tidak akan berlaku mundur. Saya memang prihatin melihat di PLN ini banyak sekali suami istri yang harus hidup berjauhan bertahun-tahun. Bahkan mungkin sampai pensiun kelak. Untuk itu saya minta ijin untuk menyebut General Manager PLN NTT sebagai contoh. Isteri Pak Janu itu, dulunya juga karyawan PLN. Namun mereka sepakat hanya suami yang meniti karir. Sedang sang istri mempersiapkan tiga anaknya agar tidak menjadi anak pembantu. Hasilnya hebat: anakanak pak Janu hebat-hebat, pinter-pinter. Di Teknik Elektro ITB dan fakultas elektro Undip. Kalau saja waktu itu mereka hidup terpisah bisa jadi karir Pak Janu terganggu tidak bisa mencapai tingkat General Manager seperti sekarang. Wacana ini sekarang memang lagi top di kalangan karyawan PLN. Banyak sekali pro dan kontra. Tapi sebenarnya larangan seperti itu sudah umum berlaku di perusahaanperusahaan besar di mana saja. Tiga hari di NTT saya memperoleh kesimpulan PLN NTT akan menjadi gunung yang tidak tinggi tapi sakti dewanya dan akan menjadi sungai yang tidak dalam tapi besar naganya. Pak Janu adalah tipe pemimpin yang tidak banyak bicara tapi nyata kerjanya. Saya memang mencatat ada tiga jenis orang/pemimpin. Pertama yang bicaranya hebat tapi kerjanya juga hebat. Kedua yang bicaranya luar biasa, kalau diskusi paling pintar, kalau berteori paling canggih namun tidak pernah bisa bekerja dengan baik. Dan yang ketiga adalah yang kalau rapat hanya sesekali bicara, yang kalau tidak ditanya tidak bunyi tapi hasil kerjanya luar biasa. Pak Janu punya kelebihan lain: dicintai anak buahnya. Dia mendatangi mereka di pelosok mana pun dan di pulau apa pun. Dia juga yang berhasil membuat Kupang menjadi kota pertama yang lampu penerangan umum di jalan rayanya menggunakan tenaga surya.
4
Hari itu, jam 05.00 subuh saya melihat sendiri bahwa lampu jalan raya di Kota Kupang yang bertenaga surya itu bisa berfungsi baik. Artinya sampai pagi pun lampunya tetap menyala. Ini berarti tenaga matahari yang disimpan di accu/baterai tersebut cukup untuk menyalakan lampu besar semalam suntuk. Kalau pun ada beberapa lampu yang saya lihat tidak menyala, ternyata ada penyebab lainnya: accu/baterainya dicuri orang! Kini Pak Janu yang baru pulang dari Tiongkok itu sudah punya kiat mengatasi pencurian accu itu. Di Tiongkok dia melihat sudah ada accu/baterai yang tidak bisa digunakan untuk start mobil/motor. Baterai jenis itulah yang kelak akan digunakan untuk memperluas suryanisasi lampu jalan raya. Kami berpisah di Bandara Kupang. Hari sudah senja dan kami harus segera kembali ke Jakarta. Kami sudah keliling Kupang di hari pertama kunjungan ini. Yakni ke proyek PLTU 2 x 16,5 MW. Proyek ini juga memiliki masalahnya sendiri tapi Pak Vickner Sinaga sudah melakukan apa yang harus dipercepat. Kami juga sempat melihat pabrik semen Kupang. Satusatunya industri besar di pulau Timor ini sangat berharap PLN bisa memberikan listrik yang cukup. Bahkan kalau listrik di NTT memang bisa baik akan ada dua pabrik lagi yang akan dibangun: pabrik pengolahan mangaan yang memerlukan listrik masing-masing 4 MW. Alangkah vitalnya listrik ini untuk memajukan ekonomi daerah. Dari kunjungan ke berbagai daerah di NTT ini saya mendapat pelajaran manajemen yang sangat berharga. Pelajaran yang belum pernah saya peroleh dalam hidup saya. Ini datang dari ucapan tidak langsung seorang karyawan yang malam itu ikut menampilkan paduan suara. Paduan suara karyawan PLN NTT memang ciamik. Juara paduan suara BUMN! Setelah turun panggung dia berbisik: “Pak, kunjungan bapak ini membuat kami merasa dekat dengan pimpinan. Selama ini kami menyangka kalau pimpinan itu hanya lebih dekat dengan rekanan". Makna bisikan itu sangat dalam. Citra pimpinan yang hanya dekat dengan rekanan ternyata menimbulkan dampak psikologis yang hebat di kalangan karyawan. Ternyata karyawan sering segan menegur, marah atau memberi sanksi kepada rekanan akibat suasana kebatinan yang tidak terkatakan itu. Mereka takut menegur rekanan karena mereka melihat betapa akrabnya pimpinan dengan rekanan tersebut. Intinya, mereka takut menegur yang mereka kira temannya pimpinan. Meski kedekatan pimpinan dengan rekanan tidak mesti karena adanya hubungan khusus, namun karyawan ternyata tidak mudah membedakannya. Karyawan tidak bisa tahu mana perkawanan yang profesional dan mana perkawanan yang kolutif. Begitu melihat keakraban antara pimpinan dan rekanan (misalnya bisa masuk ruang kerja pimpinan tanpa prosedur atau sering sama-sama main golf atau sering sama-sama makan) karyawan langsung menduga hubungan itu sangat khusus. Karyawan akan hati-hati memperlakukan rekanan tersebut "khawatir jangan-jangan mengganggu kepentingan khusus pimpinan". Bahwa ada perasaan karyawan seperti itu sungguh baru kali ini saya mendengarnya. Di swasta tidak ada hal seperti ini. Maklum baru kali ini saya bergaul dengan karyawan BUMN. Alangkah pentingnya kita mendengar suara yang tidak terkatakan itu…….
5