STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QURÁN DAN HADITS Nurdinah Muhammad Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh
ABSTRACT Timbulnya fenomena nasikh dan mansukh berangkat dari realita ayat-ayat alQur‟an dan hadits yang secara sepintas kelihatannya kontradiktif. Di dasari atas keyakinan yang kuat para jumhur ulama dan para sahabat akan keotentikan dan keuniversalan kandungan al-Qur‟an dan hadits, maka tidak layak lagi mereka menilai bahwa di dalam pesan yang berlawanan tersebut termuat pesan-pesan kemaslahatan masyarakat yang cukup dalam. Tuntutan kebutuhan setiap umat memang selalu berbeda satu dengan yang lain. Di samping itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan hukum Islam tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan kemajuan. Oleh karena itu wajar saja jika ulama dan para sahabat menghapuskan suatu tasyri` dengan tasyri` yang lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya tentang hukum pertama dan yang kemudian. Kata Kunci: Nasikh dan Mansukh, Al-Qurán, Hadits PENDAHULUAN Sebagai kitab suci umat Islam, al-Qur‟an merupakan sumber pokok ajaran keagamaan. Karena itu, interpretasi terhadap teks-teks al-Qur‟an menjadi sangat penting untuk bisa memahami Islam yang hakiki. Dan dengan sendirinya, ilmuilmu yang menjadi instrumen pemahaman terhadap teks-teks al-Qur‟an juga menjadi penting, seperti sejarah dan sebab-sebab turunnya suatu ayat dalam alQur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh. Ilmu-ilmu tersebut telah berkembang sejak awal munculnya upaya pemahaman terhadap al-Qur‟an dengan segala teori dan teknis operasionalnya. Karena ilmu-ilmu ini sifatnya ijtihadiyah maka terjadi banyak perbedaan dan ikhtilaf di antara ulama pada setiap masa dengan segala konsekuensinya. Fakta ini menunjukkan bahwa Ulumul Qur`an belum mencapai kematangannya dan masih terbuka untuk direkonstruksi ulang guna menghasilkan interpretasi teks-teks alQur‟an yang lebih tepat dan relevan dengan fenomena real kemasyarakatan muslim kontemporer. Hadits merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur‟an sebagai sumber yang utama. Untuk al-Qur‟an semua periwayatan secara mutawatir. Sedangkan periwayatan hadits sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Sehingga mulai dari sini timbul berbagai pendapat dalam menilai kualitas hadits. Sekaligus sebagai sumber perdebatan dalam kancah ilmiah, atau bahkan dalam kancah non ilmiah. Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011
107
Allah telah memberikan tugas kepada umat Islam untuk senantiasa menjaga kesucian al-Qur‟an dan hadits. Hal ini sudah dicontohkan oleh para pendahulu yang selalu menjaga al-Qur‟an dan hadits Nabi. Mereka adalah orangorang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadits Nabi dan ilmunya, mereka adalah para ahli hadits. Para sahabat tabi‟in, dan tabi‟ al-tabi‟in, juga sangat perhatian untuk menjaga hadits-hadits Nabi dan periwayatannya dari generasi ke generasi yang lain, karena mempunyai pengaruh yang besar terhadap agama. Mereka selalu mengajak untuk mengikuti cara hidup dan perilaku Rasulullah, mereka juga diperintahkan untuk mengerjakan apa yang dibawa oleh Nabi dan dilarang untuk mengerjakan semua larangan beliau sebagaimana firman Allah Swt, surah alHasy:7 yang artinya : “Dan ambillah apa yang datang kepadamu dari Rasul dan tinggalkan apa yang dilarang untukmu”. Para ulama, terutama di zaman klasik Islam, berusaha keras melakukan penelitian dan penyeleksian secara ketat terhadap hadits-hadits sehingga dapat dipilih mana hadits yang benar-benar berasal dari Nabi, dan mana yang bukan berasal dari Nabi, dan mana hadits Nasikh wa al-mansukh. Untuk itu mereka menyusun kaidah tertentu, sebagai acuan untuk menilai hadits-hadits tersebut. Kaidah-kaidah inilah yang kemudian berkembang menjadi ilmu tersendiri, yaitu ilmu hadits dan ilmu Nasikh wa al-mansukh. Untuk menyelesaikan problematika hukum-hukum yang bertentangan di dalam ayat-ayat dan hadits-hadits tertentu, para ulama menempuh jalan melalui ilmu ushul fiqh. Sesuai dengan teori dafal-ta`arud (menghilangkan pertentangan), yakni apabila ada ayat dan hadits yang sederajat bertentangan secara lahir, maka diupayakan perkompromian kedua ayat dan hadis tersebut. Seandainya kedua ayat dan hadits yang sederajat itu tidak bisa dikompromikan, maka salah satunya ditarjih (diambil yang lebih kuat), dan apabila secara tarjih tidak bisa di tempuh juga, maka salah satu ayat dan hadits tersebut dinasikhkan (dibatalkan)1. Kandungan hukum yang dibatalkan disebut dengan mansukh, dan yang membatalkannya disebut nasikh PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QURÁN DAN HADITS Dalam konteks Ulumul Qur`an, mansukh adalah ayat yang telah diangkat hukumnya dengan sebab ayat yang datang kemudian. Ayat yang hukumnya menjadi pengganti bagi hukum ayat sebelumnya di sebut nasikh. Proses nasikh dan mansukh ini disebut naskh. Menurut Nasr Hamid abu Zaid2, konsepsi ini menemukan momentumnya dalam al-Qur‟an berdasarkan dua ayat al-Qur‟an, yang satu Makkiyyah, yaitu QS al-Nahl [16] : 101, sebagai berikut : Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, _____________ 1
Al-Zarqani, Manhil al-„Irfan fi, Ulum Al-Qur‟an , Juz I, (Kairo: Isa al- babi al-Halabi, tth), 4. 2 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nas Dirasah Fi „Ulum al-Qur`an, Alih Bahasa: Khoiron Nahdiyin, Tekstualitas Al-Qur‟an Kritik Terhadap Ulumul Qur`an, Cet. II, (Yogyakarta: LKiS, 2002), 142. 108
Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh …
mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. Pengertian al-nasakh menurut bahasa seperti ini juga dijumpai dalam alQur‟an, pada periode madaniyyah, yaitu QS al-Baqarah ( 2 ): 106, sebagai berikut: Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? Karena kedua ayat tersebut secara zahir mengilustrasikan adanya pergantian suatu ayat dengan ayat lain yang lebih baik atau yang sebanding. Namun menurut Hasbi Ash-Shiddiqi, konsep nasikh dalam Al-Qur‟an dipengaruhi oleh kasus naskh dalam sunnah. Seperti kasus pelarangan ziarah kubur yang kemudian diizinkan3. Nasikh sendiri memiliki beberapa kemungkinan arti sebagai berikut4: “Allah menghilangkan (yansakhu) apa yang dimasukkan oleh syaithan.” - Al-Raf`u wa-`izalah, artinya mencabut/ mengangkat dan menghilangkan, sebagaimana orang Arab sering mengatakan nasakhati-al-Syams al-Zill (matahari menghapus kegelapan), dan QS al-Hajj [22]: 52, sebagai berikut: - Al-Tabdil5, artinya menggantikan, sebagaimana QS al-Nahl [16]: 101 dan QS Al-Baqarah [2] : 106. - Al-Tahwil, artinya memindahkan atau mengalihkan, seperti ungkapan tanasukh al-mawarits, yaitu memindahkan hak waris dari satu orang kepada yang lain. - Al-Taswir aw al-Naql, artinya menyalin atau memindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti ungkapan nasakht al-kitab (saya menyalin kitab/ memindahkannya ke lembaran yang lain), dan QS. alJatsiyah (45) : 29, sebagai berikut “Sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat (Nastansikhu) apa yang telah kamu kerjakan “ - Al-Zarkasyi menambahkan makna lainnya bagi konsep ini, yaitu “penangguhan”. Dia berpendapat bahwa kata nunsiha yang sebanding dengan kata Nansakh berasal dari pola انسى – افعلdan bacaannya menjadi ( ننسنهاnunsiuha) yang berarti penangguhan6
_____________ 3
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an/ Tafsir, cet. 5, (Jakarta: Bulan Bintang 1994), 115 4 Abu al-Faraj „Abdurrahman Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur‟an al-Nasikh wa alMansukh,alih bahasa: Wawan Djunaedi Soffandi, Nasikh Mansukh Ayat-ayat yang Dihapus, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), 23. 5 Muhammad Ibnu „Alawi al-Makki, Zubdah al-Itqan Fi Ulum Al-Qur‟an, Alih Bahasa: Tarnama Abdul Qasim, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur‟an Ringkasan Kitab al-Itqan Fi Ulum`AlQur‟an, Cet. I (Bandung : Aras, 2003), 172. 6 Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulum al-Qur‟an, Juz II, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, 1988), 49. Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011
109
Senada dengan pengertian di atas kata-kata nasikh7, menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan) kata nasikh juga dipergunakan untuk makna naqal (memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat yang lain), dan bisa juga bermakna ibthal (membatalkan). Menurut istilah nasikh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara` dengan dalil hukum (kitab) syara` yang lain (yang datang kemudian). Nasikh menurut bahasa mempunyai dua makna, menghapus dan menukil. Sehingga seolah-olah orang yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut istilah, adalah: “pengangkatan yang dilakukan oleh Penetap syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian”.8 Sedangkan al-nasakh menurut istilah, sebagaimana pendapat ulama ushul adalah:
رفع الشا رع حكما شرعي مرتاخ عنو “Syari‟ mengangkat (membatalkan) sesuatu hukum syara‟ dengan menggunakan dalil syar‟i yang datang kemudian”. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ilmu AlNasikh wa al-Mansukh dalam Hadits ialah:
علم يبحث فيو عن النا سخ و املنسو خ من االحا د يث “Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dimansukh-kan dan yang menasikhkan-nya.”9 Konsekuensi dari pengertian ini adalah bahwa menerangkan nas yang mujmal, mentakhsiskan yang „am, dan mentaqyidkan yang mutlak tidaklah dikatakan nasakh. Adapun yang dimaksud dengan ilmu nasikh dan mansukh dalam hadits adalah: “Ilmu yang membahas hadits-hadits yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan, karena materi (yang berlawanan) yang pada akhirnya terjadilah saling menghapus, dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian dinamakan nasikh.”10 Senada dengan ungkapan di atas nasikh adalah hadits yang datang lebih akhir, menghapuskan ketentuan hukum yang terkandung dalam hadits yang datang mendahuluinya. Sedangkan nasikh wa al-mansukh adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang hadits yang datang kemudian sebagai penghapus ketentuan hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu.11
_____________ 7
Muhammad Zaini, Ulumul Qur`an, Suatu Pengantar, Cet. I (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2005), 64. 8 Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Study Ilmu Hadits, Terj Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005), 127 9 Teungku Muhammad Hasbi Ash–Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Hadits, (Semarang:: Pustaka Rizki Putra, 2009), 121. 10 Munzier Suparta, Ilmu Hadits, cet. III (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 37-38. 11 Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), 200 110
Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh …
Demikian juga dapat dijelaskan bahwa apabila didapati sesuatu hadits yang makbul, tidak ada perlawanan, dinamailah hadits tersebut muhkam. Jika dilawan oleh hadits yang sederajat, tetapi mungkin dikumpulkan dengan tidak sukar, maka hadits tersebut dinamai mukhtalif al-hadits. Jika tidak mungkin dikumpulkan dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang kemudian itu dinamai nasikh dan yang terdahulu dinamai mansukh. Nasikh itu terjadi pada zaman Rasulullah Saw, terhadap sejumlah besar hukum, yang sebagian di antaranya disebabkan oleh berangsurnya perubahan pola hidup manusia meninggalkan pola hidup jahiliyah yang batil menuju pengamalan ajaran Islam yang luhur. Mengetahui hadits yang mengandung nasikh adalah salah satu ilmu yang sangat penting dan tidak tertarik kepadanya kecuali para tokoh imam fiqh. Al-Zuhri berkata, “Para fukaha telah mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk mengetahui hadits Rasulullah Saw, yang berkedudukan sebagai nasikh (yang menghapus) dan hadits yang berkedudukan sebagai mansukh (yang dihapus).” Imam „Ali pernah bertemu dengan seorang qadhi lalu bertanya, ”Apakah kamu dapat membedakan antara hadits yang nasikh dan hadits yang mansukh?” Ia menjawab. “Tidak”. Imam berkata, “Kamu celaka dan mencelakakan.” Syarat-syarat dan Mekanisme Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qurán dan Hadits Para pendukung konsep nasikh menetapkan lima syarat bagi proses naskh dalam al-Qur‟an,12 yaitu : Pertama, hendaklah hukum yang terkandung dalam ayat nasikh dan ayat mansukh saling bertentangan (ta`arud) sehingga tidak memungkinkan untuk dikompromikan antara ke duanya (jam‟). Namun bila mungkin dikompromikan, maka salah satu di antara kedua ayat tersebut tidak dapat me-nasikh yang lainnya. Hal ini dapat terjadi karena dua sebab, (1) salah satu dalil bersifat umum („am) dan yang satunya lagi bersifat khusus (khas), (2) masing-masing hukum memiliki kondisi sendiri-sendiri yang tidak dipengaruhi oleh hukum lain. Kedua, hendaklah hukum dari ayat yang mansukh sudah berlaku sebelum digantikan oleh hukum ayat yang nasikh, dalam hal ini sebahagian berpendapat suatu hukum boleh di naskh meskipun belum berlaku, untuk ini al-Suyuthi memberikan contoh QS al-Mujadilah (58) : 13 yang kemudian di naskh dengan ayat ke 1313. Menurut Ibnu Jauzi, dua dalil naskh dapat dibedakan antara yang pertama dan yang ke dua dengan dua cara, yaitu (1) dengan rasio (a`qli), dan (2) melalui catatan kronologi sejarah 14 Ketiga, hukum yang di naskh haruslah hukum yang telah di tetapkan dengan nash syar`i. Bila hukum sebelumnya ditetapkan dengan tradisi atau kebiasaan, maka ketentuan yang datang berikutnya tidak disebut sebagai naskh demikian menurut Ibnu Jauzi.15 Al-Suyuthi berpendapat bahwa tradisi dan ketentuan umat-umat terdahulu juga dapat di naskh.16 _____________ 12
Abu al-Faraj „Abdurrahman Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur`an..., 27. Muhammad Ibnu „Alawi al-Makki, Zubdah..., 173. 14 Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur`an..., 28. 15 Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur`an…, 28. 16 Al-Makki, Zubdah…, 173. 13
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011
111
Keempat, dalil nasikh hendaknya juga merupakan dalil syar`i, sebagaimana dalil yang mansukh. Kelima, hendaklah antara dalil mansukh dan dalil nasikh minimal berada pada level yang setara, atau dalil nasikh lebih tinggi derajatnya dari dalil mansukh, sebagaimana tampak dari QS. al-Baqarah (2) : 106. Dalam pengertian ini, maka hukum yang di tetapkan oleh ayat al-Qur‟an tidak boleh di naskh dengan sunnah atau hadits, melainkan dengan ayat al-Qur‟an pula17. Sebahagian berpendapat boleh menjadi nasikh bagi ayat al-Qur‟an sunnah mutawatirah dan tidak boleh dengan sunnah atau hadits „ahad‟, yang lainnya berpendapat boleh juga menjadi nasikh bagi al-Qur‟an hadits ahad yang shahih mereka yang menjadikan sunnah atau hadits sebagai nasikh bagi ayat al-Qur‟an berargumentasi bahwa sesungguhnya perkataan dan ketetapan nabi juga berasal dari Allah sebagaimana QS. al-Najm (53) : 3-4:
“dan tiadalah yang diucapkan (Muhammad) menurut kemauan nafsunya, melainkan wahyu yang diwahyukan (kepadanya).18 Di samping ke lima syarat ini, ada ketentuan esensial lainnya yang perlu dipahami dalam proses naskh. Bahwa naskh hanya belaku pada ayat-ayat yang secara jelas menunjukkan amr (perintah) dan nahy (larangan). Karenanya, ayatayat khabariyyah tidak termasuk dalam kategori naskh sebab khabar (informasi) bersifat pasti.19 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam nasikh paling tidak diperlukan syarat- syarat berikut : 1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara‟ 2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab syara‟ yang datang lebih belakangan dari kitab yang hukumnya mansukh 3. Kitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut, dan yang demikian tidak dinamakan nasikh. Menurut Abu Muslim al-Asfahani20,bila dianggap bahwa di dalam alQur‟an ada ayat yang telah di mansukh-kan hukumnya, berarti membatalkan sebagian isinya. Membatalkan isi kandungan al-Qur‟an berarti menetapkan bahwa di dalam al-Qur‟an ada yang batl (salah), hal ini bertentangan dengan firman Allah QS. Fushshilat (41): 42, “Tiada datang kepadanya al-Qur‟an) kebatilan baik dari depan maupun belakangnya, karena (al-Qur‟an) diturunkan dari sisi Tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.” Al-Qur‟an adalah syariat yang diabadikan hingga akhir zaman dan menjadi hujjah bagi manusia sepanjang masa. Oleh karenanya, tidak patut di dalamnya terdapat ayat-ayat yang mansukh. Dalam konteks sunnah naskh bisa terjadi karena sunnah merupakan syariat yang sebagiannya didatangkan untuk kepentingan sementara saja, maka kemudian di naskh dengan sunnah yang datang kemudian. Namun tidak demikian halnya dengan al-Qur‟an, apalagi sebagian _____________ 17
Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur`an…, 29. Al-Makki, Zubdah…, 172-173. 19 Al-Makki, Zubdah…, 173. 20 Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an/Tafsir..., 109-110. 18
112
Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh …
besar kandungan al-Qur‟an bersifat kuliyyah, bukan juz`i atau khas. Hukumhukum di dalam al-Qur‟an diterangkan secara ijmali, bukan secara tafhsili. Menurut Hasbi, beberapa ahli telah mengemukakan beberapa alasan yang menguatkan pendapat Abu Muslim QS. al-Baqarah (2) : 106, tiada pasti menunjukkan kepada nasikh ayat al-Qur‟an, karena kata “ayat” dalam teks tersebut ketentuan agama-agama terdahulu yang telah di nasikh oleh syariat nabi Muhammad Saw. Makna nasikh di sini juga dapat berarti memindahkan ayat-ayat tersebut dari lauh al-mahfudh kepada nabi Saw, kemudian ditulis dalam lembaranlembaran mushaf. Bila melihat redaksi ayat tersebut, maka bila dimaknakan nasikh berarti mengangkat hukum, maka hal tersebut hanya menyatakan kemungkinan dan kekuasaan Allah untuk melakukan nasikh, dan bukan menyatakan bahwa telah terjadi nasikh dalam al-Qur‟an. Golongan yang mengusung konsep nasikh menetapkan bahwa nasikh terjadi pada ayat-ayat yang hukum-hukum pokoknya tidak mungkin dikompromikan dan tidak dapat di tafsirkan. Pada hal, tidak ada ayat al-Qur‟an yang tidak dapat di tafsirkan.21 Kerancuan nasikh ini tampak jelas dari ketidak-sepahaman mereka dalam menetapkan jumlah ayat-ayat al-Qur‟an yang mengalami proses nasikh. AlNuhhas menyisakan 100 lebih ayat yang tidak dapat ditafsirkannya, sehingga dianggap mansukh. Jauh di-belakangnya, al-Suyuthi mampu menyesuaikan sebahagian besar ayat-ayat tersebut hingga hanya tersisa 20 ayat saja yang di anggap mansukh. Kemudian al-Syawkani menilai hanya tersisa 8 saja ayat yang mansukh, karena dia berhasil mengkompromikan dan menafsirkan 12 ayat lainnya. Ketika al-Khudari berhasil menyesuaikan ke 20 ayat yang mansukh menurut al-Suyuthi, gugurlah konsepsi nasikh tersebut.22 Ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan Hadits bila ada dua Hadits Makbul yang tanakudh tidak dapat dikompromikan atau di jam‟. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai pada tingkat mukhtalif al-Hadits, kedua Hadits Makbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa di jama‟ (dikompromikan), maka Hadits makbul yang tanakud tadi ditarjih atau dinasakh. Bila diketahui mana di antara kedua Hadits yang diwurudkan dahulu dan yang diwurudkan kemudian, maka wurud kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan. Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Dalam penyebutannya, yang belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetahui nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah Saw sendiri, keterangan sahabat dan dari tarikh datangnya matan yang dimaksud.23 Selanjutnya ilmu ini disebut juga ilmu Mukhtalif al-Hadits. Bila dua hadits makbul yang lahir maknanya bertentangan dapat dijama‟ atau dikompromikan, maka kedua Hadits tersebut diamalkan. Cara talfiq al-hadits antara lain dengan men-takhsis makna hadits yang umum, mentaqyidkan hadits yang mutlak. _____________ 21
Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah..., 114. Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah..., 120 23 Endang Soetari AD, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah, Cet. IV, (Yogyakarta: Mimbar Pustaka, 2005), 213. 22
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011
113
Para ulama banyak yang menaruh perhatian yang khusus dalam ilmu ini. Imam Syafi‟i adalah termasuk ulama yang mempunyai keahlian dalam ilmu Nasikh wa al-Mansukh. Hal itu kita ketahui berdasarkan wawancara Imam Ahmad dengan Ibnu Warih yang baru saja datang dari Mesir. Kata Imam Ahmad: “Apakah telah kamu kutip tulisan-tulisan Imam Syafi‟i?” “Tidak”, jawabnya. “Celakalah kamu”, bentak Imam Ahmad, “kamu tidak dapat mengetahui dengan sempurna tentang mujmal dan mufassal serta nasikh dan mansukhnya suatu hadits sebelum kita semua ini duduk dengan Imam Syafi‟i.” Sayyidina „Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bertemu dengan seorang qadhi, lalu ditanyalah sang qadhi itu. “Apakah kamu mengenal nasikh dan mansukhnya suatu hadits?” “Tidak”, jawab qadli itu. “Celakalah dirimu dan membuat pula celaka orang lain”, bentaknya.24 Bahkan menurut al-Zuhry, ilmu inilah yang paling banyak menguras energi para ulama dan fukaha. Hal ini karena tingkat kesulitannya yang tinggi, terutama dalam melakukan istinbat hukumnya dari nas yang samar-samar. Untuk mengetahui nasikh dan mansukh ini bisa melalui beberapa cara: 1. Dengan penjelasan dari nash atau syari‟ sendiri, yang dalam hal ini ialah Rasul Saw. 2. Dengan penjelasan dari para sahabat 3. Dengan mengetahui tarikh keluarnya hadits serta sabab wurud hadits. Dengan demikian akan diketahui mana yang datang lebih dulu dan mana yang datang kemudian.25. Bidang kajian ilmu nasikh-mansukh ini termasuk kebutuhan utama bagi para ahli fiqh dan ijtihad. Sungguh salah besar dan akan menemukan kesulitan yang tinggi orang yang jiwanya terdorong untuk berfatwa dengan hadits sesuai dengan anggapan tanpa mengetahui ilmu ini, terlebih lagi menguasai syarat-syarat yang lainnya. Diriwayatkan dari Ibnu Sirin, ia berkata: Hudzaifah26 pernah ditanya oleh seorang tentang sesuatu, maka ia menjawab, “Orang yang memberi fatwa itu ada tiga macam, yaitu orang yang mengetahui nasikh dan mansukh;- Orang-orang bertanya, “Siapakah orang yang demikian itu?” Ia menjawab, „Umar‟ – dan orang yang menjadi sultan yang karena jabatannya ia harus memberikan fatwa. PEMBAGIAN ANTARA NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QURÁN DAN HADITS Secara umum, nasikh itu terbagi kepada empat bagian: pertama, nasikh alQur‟an dengan al-Qur‟an : bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan para ulama yang mengatakan adanya nasikh. Misalnya ayat tentang pengharaman khamar yang turun sebanyak tiga tahap. Kedua, nasikh alQur‟an dengan sunnah: sebagian ulama berbeda pendapat karena hanya boleh menggunakan hadits yang martabatnya mutawatir, sedangkan berstatus ahad tidak boleh karena al-Qur‟an itu mutawatir dan menunjukkan yakin. Ketiga, nasikh sunnah dengan al-Qur‟an: bagian ini dibolehkan oleh jumhur, namun menurut Imam al-Syafi`i tidak dibolehkan. Keempat, nasikh sunnah dengan sunnah : bagian ini dikategorikan kepada empat bentuk yaitu : _____________ 24
Fatchur Rahman, Ikhtisar..., 333 Munzier Suparta, Ilmu hadits..., 38 26 Munzier Suparta, Ilmu hadits…, 39 25
114
Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh …
1. 2. 3. 4.
Nasikh Mutawatir dengan mutawatir Nasikh ahad dengan ahad Nasikh ahad dengan mutawatir Nasikh mutawatir dengan ahad27 Menurut kitab-kitab ulumul Qur`an, ayat-ayat al-Qur‟an yang mansukh ada tiga macam: Pertama, ayat yang mansukh rasm (tulisannya) dan hukumnya. Dalam konteks ini, Ibnu Jauzi meriwayatkan dengan sanad yang agak panjang hingga Abu Umamah bin Sahl bin Hanif bahwa ada sekelompok sahabat nabi Saw yang memberi tahu dia tentang seorang laki-laki di antara mereka yang tidak tidur pada tengah malam. Laki-laki tersebut bermaksud untuk membuka catatan sebuah surah yang sebelumnya telah di hafal. Ternyata dia mempunyai rasm surah tersebut kecuali hanya tulisan “bismillahirrahmannirrahim” maka, keesokan paginya dia datang ke rumah nabi Saw guna menanyakan hal tersebut ternyata di sana juga ada beberapa orang lainnya yang memiliki pengalaman yang sama, yaitu tentang surah yang rasm-nya hilang. Setelah nabi Saw menerima mereka, mereka pun memberi tahukan pengalaman tersebut dan menanyakan tentang keberadaan surah tersebut. Rasulullah diam sejenak dan tidak berkata sepatah kata pun. Setelah itu baru beliau bersabda: “tadi malam surah tersebut telah dinasakh. Maka hafalan surah itu pun dinasakh dari dada kalian dan juga dari benda apapun yang mengabadikan rasm surah tersebut.” Dan banyak riwayat lainnya tentang hal yang serupa. Kedua, ayat yang mansukh rasm-nya, namun hukumnya tetap ada. Dalam konteks ini, al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab hadits mereka masing-masing tentang pernyataan Umar bin Khathab tentang hukum rajam terhadap muhsan dan muhsanah yang berzina, bahwa rasm-nya telah diangkat namun hukumnya tetap. Juga terdapat riwayat-riwayat lainnya tentang jenis mansukh ini. Ketiga, ayat yang mansukh hukumnya, namun rasm-nya masih tetap ada.28 Kategori naskh inilah yang lazim dibicarakan dan dibahas oleh para ulama dan ditetapkan kaidah-kaidahnya. Urgensi Mengetahui Nasikh dan Mansukh dalam al-Qurán dan Hadits Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat yang cukup besar bagi para ahli ilmu, terutama bagi mufassir, fukaha, dan ahli ushul. Tujuannya agar pengetahuan mereka tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak atsar (perkataan sahabat maupun tabi`in) yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Diriwayatkan, Sayyidina Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya: “apakah kamu mengetahui mana yang mansukh? Hakim itu menjawab, tidak. Maka Ali berkata: celakalah kamu dan mencelakakan orang lain.” Pentingnya mengetahui masalah nasikh dan mansukh secara tegas diungkapkan beberapa ulama, seperti yang dinyatakan dalam buku Al-Itqan Fi Ulumi al-Qur‟an karangan imam Suyuthi: _____________ 27
Manna‟ Khalil al-Qaththan, Mabahis Fi „Ulum al-Qur‟an, Terj, Mudzakir AS dengan Judul Studi Ilmu-ilmu Qur`an, Cet. 6 (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2001), hal. 334-335 28 Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur`an...., 39-46 Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011
115
Berkata para imam: „tidak boleh bagi seseorang menafsirkan kitab Allah kecuali mengetahui tentang nasakh dan mansukh‟. Selanjutnya al-Zarqani juga mengungkapkan bahwa mengetahui nasikh dan mansukh adalah rukun yang pokok untuk mengetahui Islam dan juga sebagai petunjuk akan kebenaran suatu hukum.29 Begitu urgennya masalah nasikh dan mansukh, maka para ulama mujtahid telah membahas secara spesifik dan mendalam di berbagai kitab klasik dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur‟an, ilmu-ilmu hadits dan ilmu ushul fiqh. Salah satu sebab yang menggerakkan para ulama begitu tertarik mempelajari nasikh dan mansukh dikarenakan adanya firman Allah Swt pada surat al-Baqarah ayat 106. Berdasarkan dalil ayat al-Qur‟an di atas, para ulama berprinsip bahwa alQur‟an sendiri telah melegalisasikan keberadaan nasikh al-Qur‟an dengan alQur‟an. Ulama yang berpendapat demikian di antaranya adalah Imam Syafi`i30 dan Ibnu Hazm. Imam Syafi`i berpendapat bahwa; “Sesungguhnya masalah nasikh itu adalah nasikh ayat al-Qur‟an dengan ayat al-Qur‟an sedangkan sunnah tidak bisa menasikh-kan ayat al-Qur‟an, sunnah berfungsi mengikut kitabullah atau menafsirkan makna yang kurang jelas.” Penjelasan Imam Syafi`i ini menunjukkan suatu pemahaman bahwa beliau hanya membolehkan nasikh kitab dengan kitab. Maksud kitab di sini adalah alQur‟an, dan ia tidak membenarkan nasikh kitab dengan sunnah. Berbeda dengan Imam Syafi`i, salah seorang ulama mujtahid dari mazhab Dzahiri, bernama Ibn Hazm31, berpendapat bahwa nasikh al-Qur‟an dengan sunnah diperbolehkan, contohnya ayat 15 dari surat al-Nisa;
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka Telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.” (QS Al-Nisa : 15). Ayat di atas di nasikhkan oleh Sunnah: “Yahya bin Yahya Attamimi menceritakan kepada kami, Hisyam mengkhabarkan dari Manshur, dari Hasan, dari Hathan bin Abdullah, dari Ubadat bin Shamat berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Ambillah dariku, ambillah dariku sesungguhnya Allah telah menjadikan kepada mereka (wanita-wanita yang melakukan perbuatan keji) jalan. Gadis dengan pria (yang belum pernah nikah) hendaklah dijilid seratus kali dan diasingkan (buang negeri) dan kepada yang sudah kawin hendaklah dijilid seratus kali dan di rajam”. (HR. Muslim). Argumentasi Ibn Hazm tentang diperbolehkan menasikh-kan al-Qur‟an dengan Sunnah adalah didasarkan ayat 3-4 surah Al-Najm:
_____________ 29
Muhammad bin Idris al-Syafi`i, Al-Risalah (Bairut : Daru al Fikr, tth), 106 Abu Muhammad „Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm, Al-Ihkam Fi Ushul al Ahkam, Juz. IV (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah tth), 235. 31 Abu Muhammad „Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm . . ., 519 30
116
Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh …
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS An-Najm : 3-4) Menurut Ibn Hazm sabda Rasulullah adalah wahyu dari Allah, al-Qur‟an juga wahyu, oleh sebab itu tiada halangan untuk menasikh-kan wahyu dengan wahyu32. Keterangan di atas dapat dikatakan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat di antara Imam Syafi`i dengan Ibnu Hazm dalam masalah nasikh dan mansukh. Yang pertama tidak membenarkan adanya nasikh al-Qur‟an dengan Sunnah dan yang terakhir sebaliknya, dengan alasan yang jauh berbeda. Hal ini mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum atas suatu peristiwa yang sama. Secara sederhana barangkali bisa dikatakan bahwa Imam Syafi`i tampak lebih moderat dan rasional jika dibandingkan dengan Ibn Hazm. Hal ini dapat dilihat dari landasan berfikir yang digunakan oleh kedua Imam tersebut. Contoh Ayat-ayat yang Dinasikh dan Hadits-hadits yang dimansukh Al-Suyuthi menyebut dalam Al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat yang dipandangnya sebagai ayat-ayat mansukh. Di antaranya ialah33. Ayat Tentang Qiblat
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui,” (QS al-Baqarah: 115). Ayat tersebut di atas telah di nasakh oleh ayat berikut:
“Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (QS al-Baqarah : 144). Ayat Tentang Wasiat
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tandatanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya..........” (QS al-Baqarah: 180)
_____________ 32 33
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Mizan, Bandung, 1994) 146. Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan Fi „Ulumul Al-Qur‟an, Juz II (Bairut: Dar al-Fikr, t.th.),
20-21. Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011
117
Ayat di atas mansukh oleh ayat-ayat tentang kewarisan dan oleh hadits yang artinya: “sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris. Ayat Tentang Puasa …
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah”......(QS al-Baqarah: 184). Ayat ini telah di nasikh-kan oleh ayat:
“Maka barang siapa yang menyaksikan bulan Ramadhan, hendaklah ia berpuasa”.....(QS al-Baqarah : 185). Hal ini berdasarkan keterangan dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, bersumber dari Salamah Ibn Akwa: “ketika turun surat al-Baqarah: 184, maka orang yang ingin tidak berpuasa, mereka berencana membayar fidyah, sehingga turunlah ayat sesudahnya yang menasikh-kannya. Ayat tentang Berperang
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar,” (QS al-Baqarah :217). Ayat ini telah di nasakh oleh ayat 36, al-Taubah: “Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuan,” ( Al-Taubah; 36). a. Ayat Tentang `iddah “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)”. (QS al-Baqarah : 240) Ayat ini telah di nasikhkan oleh ayat : “Dan orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS al-Baqarah: 234). Hadits Nasakh dapat diketahui melalui beberapa hal sebagai berikut. a. Ditetapkan dengan tegas oleh Rasulullah Saw; seperti hadits :
هنيتكم عن ز يا رة ا لقبور وىا “Semula aku melarangmu untuk berziarah ke kubur, namun (sekarang) berziarahlah”. (HR. al-Tirmidzi) b. Melalui pemberitahuan seorang sahabat, seperti hadits Jabir bin Abdullah r.a., ia berkata.
كان اجر اال مرين من رسو ل اهلل صلى اهلل عليو وسلم تر ك الو ضوء مما مس النار 118
Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh …
“Dua perintah terakhir Rasulullah saw, adalah tidak perlu berwudhuk‟ karena memakan makanan yang tersentuh api.” (HR. Abu Daud dan alNasa‟i) c. Melalui fakta sejarah, seperti hadits Syidad bin Aus dan lainnya yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw bersabda :
افطر احلاجم واحلجوم “Orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam batal puasanya”. (HR. al-Tirmidzi)34 Dan hadits Ibnu Abbas r.a., ia berkata:
ان النيب صلى اهلل عليو وسلم احتجم وىو صاءم “Sesungguhnya Rasulullah Saw berbekam, padahal beliau sedang berpuasa”. (HR. Muslim)35 Al-Imam al-Muthathalibi Muhammad bin idris al-Syafi‟i menjelaskan bahwa hadits yang kedua merupakan nasikh terhadap hadits yang pertama. Buktinya cukup unik. Yakni diriwayatkan kepadanya bahwa Syidad pada masamasa penaklukan kota Makkah bersama Rasulullah Saw. Ketika Rasul melihat seseorang berbekam pada siang hari bulan Ramadhan, maka beliau berkata :
)افطر احلاجم واحملجوم (رواه الرتميذ Dan diriwayatkan kepadanya bahwa Ibnu Abbas berkata:
انو صلى اهلل عليو وسلم احتجم وىو حمرم صاِءم
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. Berbekam, padahal beliau sedang berihram dan berpuasa” 36 ) HR. Muslim) Dengan demikian, jelas bahwa hadits yang pertama (hadits Syidad) itu terjadi pada masa-masa penaklukan kota Makkah, yaitu pada tahun delapan Hijri dan hadits kedua (hadits ibnu Abbas) terjadi pada waktu Haji Wada‟, yaitu pada tahun sepuluh Hijri. Jadi, hadits yang kedua merupakan nasikh bagi hadits yang pertama. Implikasi dan Kitab-kitab yang membahas hadits Nasikh dan Mansukh Sebenarnya ilmu nasikh dan mansukh itu sudah ada sejak pendewanan hadits pada awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri sendiri. Kelahirannya sebagai ilmu dipromotori oleh Qatadah bin Di‟amah As-Sudusy dengan tulisan beliau yang diberi judul “An-Nasikh wa alMansukh”. “Pada tahun-tahun yang berada di antara abad kedua dan ketiga, bangunlah ulama-ulama untuk menulis kitab Nasikh wa al-Mansukh. Di antara sekian banyak kitab nasikh yang masyhur di abad ini ialah kitab Nasikh al-Hadits wa mansukhuhu”, buah karya al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad alAtsram, rekan Imam Ahmad. Kitab yang terdiri dari 3 juz kecil-kecil itu juz ketiganya didapatkan di Daru‟l-Kutubi‟l-Mishriyah.37 Dalam hal ini dapat dilihat karya-karya yang disusun sebagian ulama tentang nasikh dan mansukh dalam hadits, di antaranya : _____________ 34
Nuruddin, Ulum Al-Hadits 2, cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 111-113 Nuruddin, Ulum Al-Hadits..., 114 36 Nuruddin, Ulum Al-Hadits..., 111-113 37 Fatchur Rahman, Ikhtisar..., 333. 35
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011
119
1. An-Nasikh wa al-Mansukh, karya Qatadah bin Di‟amah al-Sadusi, namun tidak sampai ke tangan kita. 2. Nasikh al-Hadits wa Mansukhihi, karya al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Atdram, sahabat Imam Ahmad. 3. Nasikh al-Hadits wa Mansukh, karya ahli hadits Iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad Al-Baghdady, dikenal dengan sebutan Ibnu Syahin. 4. Al-I‟tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, karya Imam al-Hafidh An-Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi al-Hamadani. 5. An-Nasikh wa al-mansukh, karya Abdul Faraj Abdurrahman bin Ali, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu al-Jauzi.38 Selain ulama-ulama yang menyusun kitab nasikh dan mansukh yang dikemukakan di atas. Banyak ahli yang menyusun kitab-kitab nasikh dan mansukh ini, sebagai perintis adalah al-Syafi‟i, kemudian dilanjutkan antaranya Ahmad ibn Ishaq al-Dinary, Muhammad ibn Bahar al-Ashbahany, Ahmad ibn Muhammad alNahas. Kemudian sesudah itu muncullah Muhammad ibn Musa al-Hazimy menyusun kitabnya yang dinamai al-I‟tibar. Kitab ini mudah diperoleh. Kitab alI‟tibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abd al-Haqq.39 Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa; Kitab “Nasikh al-Hadits wa Mansukhuhu” karya muhaddits „Iraq, Abu Hafshin bin Ahmad al-Bagdady, yang lebih populer dengan nama kunyahnya Ibnu Syahin adalah kitab nasikh dan mansukh abad keempat yang sampai dan dapat kita manfaatkan. Kitab itu terdiri dari dua buah naskah tulisan tangan (manuskrip). Yang sebuah berada di Perpustkaan Ahliyah (nasional) di Paris dan yang sebuah lagi disimpan di Perpustakaan Escorial (Spanyol). Kemudian setelah itu keluarlah kitab “al-I‟tibar fi-Nasikh wa‟l-Mansukh mian‟l-Atsar”, karya al-Hafidh Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimy.40 Beliau memanfaatkan usaha ulama-ulama yang terdahulu dalam ilmu ini, sehingga kitab yang disusunnya sudah mencakup seluruh buah pikiran ulamaulama itu. Sistematikanya diatur menurut bab-bab fiqhiyah. Pada setiap bab fiqiyah dikemukakan hadits-hadits yang nampaknya berlawanan itu dengan tidak mengabaikan pendapat-pendapat dari para ulama dan sekaligus nasikh dan mansukhnya. Tidak sedikit pula kita dapatkan pendapat beliau sendiri dalam merajihkan suatu pendapat atas pendapat yang lain. Pada tahun 1319 H, kitab itu dicetak di India, kemudian pada tahun 1346 H, dicetak di Kairo dan pada tahun yang sama dicetak di Halab dengan tahqiq Syaikh Rahib al-Thabakhy al-Halaby. KESIMPULAN Dari keseluruhan uraian dan pembahasan di atas ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan pengertian tentang terminologi nasikh. Para ulama mutaqaddimin memperluas arti nasikh sehingga mencakup: pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang tetapkan kemudian; pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum _____________ 38
Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar..., 129 Teungku Muhammad Hasbi ash – Shiddieqy, Ilmu Hadits,..., 121 40 Teungku Muhammad Hasbi ash – Shiddieqy, Ilmu Hadits,..., 123 39
120
Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh …
2.
3.
4.
5.
6.
7.
yang bersifat samar; penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat. Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah di saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di nasikh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan, bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian nasikh. Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta`akhirin). Menurut mereka nasikh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir. Keberadaan nasikh dalam al-Qur‟an memang dilegitimasi oleh ayat al-Qur‟an itu sendiri (umpamanya lihat QS al-Baqarah: 106). Hikmah nasikh dalam alQur‟an antara lain adalah untuk memelihara kepentingan hamba memelihara perkembangan tasyri` menuju tingkat yang sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah Islam, dan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an seseorang mufassir (ulama) harus menguasai ilmu nasikh dan mansukh agar penafsirannya terarah dan tidak menyimpang. Para pendukung nasikh mengakui bahwa nasikh baru dilakukan apabila, (a) terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, dan (b) harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, dan yang kemudian sebagai nasikh41. Secara umum para ulama dapat dikatakan bahwa mereka semua sependapat menyatakan yang dapat me-nasakh al-Qur‟an hanyalah wahyu-wahyu ilahi yang bersifat mutawatir. Demikian juga dipandang sebagai ayat-ayat mansukh di antaranya ialah: ayat-ayat tentang kiblat, wasiat, puasa, berperang, dan ayat tentang `iddah. Nasikh wa al-Mansukh adalah Ilmu yang membahas hadits-hadits yang saling berlawanan maknanya yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia sebagai nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebagian yang lain, karena ia sebagai mansukh (yang dihapus). Karena itu hadits yang mendahului adalah sebagai mansukh dan hadits yang terakhir adalah sebagai nasikh. Nasikh dapat diketahui melalui beberapa hal; a. Hadits Rasulullah Saw dalam terjemahannya; Semula aku melarangmu untuk berziarah ke kubur, namun (sekarang) berziarahlah. b. Hadits Syidad bin Aus bahwa Rasulullah Saw, bersabda dalam artinya : orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam batal puasanya. (mansukh) Hadits Ibnu Abbas, r.a, ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah Saw berbekam, padahal beliau sedang berpuasa (nasikh)
_____________ 41
Quraish Shihab‟ Membumikan Al-Qur‟an…, 146
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011
121
8. Kegunaan dan pentingnya ilmu Nasikh wal-Mansukh adalah kewajiban bagi orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu syariat, karena seseorang pembahas ilmu syari‟at tidak akan dapat mengambil hukum dari dalil-dalil nash, dalam kaitan ini adalah hadits, tanpa mengetahui dalil-dalil nash yang sudah dinasakhkan dan dalil-dalil yang menasakhnya.
DAFTAR PUSTAKA Abu al-Faraj „Abdurrahman Ibnu Jauzih Cet. II, Yogyakarta: LKiS, 2002. Abu al-Fajar „Abdurrahman Ibnu Jauzi, Nawasikhu-l-Qur‟an al-Nasikh wa alMansukh, Alih Bahasa: Wawan Djunaedi Soffandi, Nasikh Mansukh ayat-ayat Al-Quir‟an yang di hapus, Jakarta: Pustaka Azzam,2002. Abu Muhammad Ali Ibnu Ahmad Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Usul al ahkam, Juz.IV, Beirut: Dar al-Kuttub al-Ilmiyyah, tth. Al-Makki, Muhammad Ibnu „Alawi, Zubdah al-itqan fi „Ulumil Qur‟an, Alih Bahasa: Tarnama Abdul Qasim, Samudra Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an Ringkasan Kitab al-Itqan fi Ulum al-Qur‟an, Cet. I, Bandung: Arasy, 2003. Al-Qaththam, Ma‟na Khalil, Mabahis, Fi Ulum Al-Qur‟an, Terj‟: Mudzakir AS dengan Judul Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, Cet 6, Jakarta, Litera Antar Nusa, 2001. Al-Suyuthi, Jalaluddin, al-Itqam Fi „ulum al-Qur‟an, Juz II, Beirut: Dar al Fikr, tth. Al-Syafi‟i, Muhammad bin Idris, Al-Risalah, Beirut: Dar al Fikr, tth. Ash-Shiddiqi, Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an/Tafsir, Cet. 15, Jakarta: Bulan Bintang, 1994. -----, Sejarah dan Pengantar Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009. Al-Qur‟anul Karim Al-Qaththan, Syaikh Manna‟, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Terj; Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2005. Al-Zarqani, Manhil al-Irfan fi‟ulum Al-Qur‟an Al-Qur‟an, Juz I, Kairo: Isa al-babi al-Halabi, tth. Al-Zarksyi Baddru-l-Din, Muhammad bin „Abdullah, Al-Burhan fi „ulumi-lQur‟an.juzz.II, Beirut: Daru-l-Kitab al-„Ilmiyyyah,1988.
122
Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh …
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Hadits, Jakarta, Bumi Aksara, 2002 Nasir Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nas Dirasah fi „Ulumi-l-Qur‟an, Alih Bahasa: Khoirun Nahdiyin, Tekstualitas Al-Qur‟an Kritik terhadap „UlumulQur‟an, Cet. II, Yogyakarta: LKiS, 2002. Nuruddin, Ilmu Al-Hadits 2, cet. I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994. Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahu‟l Hadits, Bandung: PT. Alma‟arif, cet. I, 1974. Shihab, Quraish “Membumikan Al-Qur‟an, Bandung: Mi„zan, 1994. Soetari, Endang, AD, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah, Yogyakarta: Mimbar Pustaka, cet. IV, 2005. Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, cet.III, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002 Zaini, Muhammad, Ulumul Qur‟an, Suatu Pengantar, cet. I, Banda Aceh: Yayasan Pena,2005.
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011
123