STUDI KASUS KETONURIA BERDASARKAN URINALISIS SEMIKUANTITATIF STRIP-TEST PADA SAPI PERAH DI PETERNAKAN KUNAK BOGOR
AHMAD RAJA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kasus Ketonuria Berdasarkan Urinalisis Semikuantitatif Strip-test pada Sapi Perah di Peternakan KUNAK Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Ahmad Raja NIM B04090036
ABSTRAK AHMAD RAJA. Studi Kasus Ketonuria Berdasarkan Urinalisis Semikuantitatif Strip-test pada Sapi Perah di Peternakan KUNAK Bogor. Dibimbing oleh R PUTRATAMA AGUS LELANA. Kesehatan hewan merupakan aspek penting dalam meningkatkan produksi susu sapi perah. Salah satu tantangannya adalah bagaimana petugas di lapangan dapat menerapkan pendiagnosaan secara praktis. Untuk itu dilakukan penelitian berbasis studi kasus menggunakan urinalisis semikuantitatif strip-test terhadap 30 sapi perah di Peternakan KUNAK Bogor. Hasil pengamatan menunjukkan 2/30 hewan mengalami ketonuria. Mengingat ketonuria erat kaitannya dengan penggunaan energi cadangan, dalam penelitian ini dilakukan pemeriksaan Body Condition Score (BCS) dan pengukuran frekuensi pernapasan dan nadi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sapi perah ketonuria memiliki nilai BCS 1.5 (kurus) dan peningkatan frekuensi pernapasan dan frekuensi nadi. Peningkatan frekuensi pulsus dan nadi ini merupakan indikasi peningkatan metabolisme. Studi kasus ini memberikan perspektif baru bahwa sapi perah kurus dapat mengalami ketosis selain sapi perah gemuk. Dalam konteks ini urinalisis menggunakan striptest merupakan metode yang efektif untuk mendiagnosa status kesehatan hewan. Adapun hewan yang mengalami gangguan keseimbangan energi beru ketonuria perlu di antisipasi dengan perbaikan nutrisi. Kata kunci: Ketonuria, Sapi Perah, BCS, Urinalisis Strip-test
ABSTRACT AHMAD RAJA. Study Case of Ketonuria Base on Urinalysis Strip-test in Dairy Cattle at KUNAK Bogor. Supervised by R PUTRATAMA AGUS LELANA. Animal health is an important aspect for improving the milk production of dairy cattle. One of the chalange is developing practical diagnostic’s method for field personel. For this purpose we explore the power of semiquantitative urinalysis striptest to diagnose the health status of 30 dairy cattle at KUNAK Bogor. The test result obtained that 2/30 animals where positively ketonuria. Because of ketonuria is closely related to energy, we examined Body Condition Score (BCS) and measured the rate of respiratory and pulse. This positive ketonuria’s dairy cattle were also have low value of BCS (1.5) foolowed by increasing the rate of respiratory and pulse. This finding gave us new information, that ketonuria not only seen in fat dairy cattle, but also in thin dairy cattle. The increased of rate of espiration and pulse was conforming us that animals have incerased metabolism activity. By this case urinalysis strip test is effective method to diagnose animal health status. The finding of ketonuria confimed us that the clinical nutrition improvement should be perfomed. Keywords: Ketonuria, Dairy Cattle, BCS, Urinalysis Strip-test
STUDI KASUS KETONURIA BERDASARKAN URINALISIS SEMIKUANTITATIF STRIP-TEST PADA SAPI PERAH DI PETERNAKAN KUNAK BOGOR
AHMAD RAJA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian adalah Studi Kasus Ketonuria Berdasarkan Urinalisis Semikuantitatif Strip-test pada Sapi Perah di Peternakan KUNAK Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Pimpinan peternakan Peternakan KUNAK Bogor yang memberikan ijin penelitian ini dilakukan di Peternakan KUNAK Bogor. 2. Pembimbing skripsi, Dr Drh R. P Agus Lelana Sp.MP, MSi yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam pembuatan skripsi ini. 3. Dosen Penguji dan Dosen Moderator dalam seminar skripsi penulis, Drh Retno Wulansari, Ph.D dan Drh Arif Purwo Mihardi. 4. Pembimbing Akademik, Dr Nastiti Kusumorini (Almh) yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan. 5. Kedua orang tua Syarmen Nasution (Alm) dan Nelan (Ibu), kakak, adik serta keluarga yang telah memberikan doa dan dukungannya. 6. Teman-teman Tingkat Persiapan Bersama dan teman-teman Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor yang telah menemani penulis selama perkuliahan atas bantuan, saran dan motivasi selama berjuang menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015 Ahmad Raja
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN
vi vi 1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Sapi Perah Friesian Holstein
2
Status Produktivitas
3
Profil Frekuensi Napas dan Nadi
3
Profil Gizi Berdasarkan BCS
4
Ketosis
5
MATERI
5
Waktu dan Tempat
5
Bahan dan Alat
5
Prosedur
6
Pemeriksaan Fisik
6
Pemeriksaan Urin
6
Analisis Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Profil Ketonuria Berdasarkan Status Produktivitas
6
Profil Ketonuria Berdasarkan Nilai BCS
8
Profil Ketonuria Berdasarkan Frekuensi Nadi dan Napas
9
Patogenesis Ketonuria
9
SIMPULAN DAN SARAN
10
Simpulan
10
Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
11
RIWAYAT HIDUP
14
DAFTAR TABEL 1 2 3
Profil status reproduktivitas dan ketonuria 30 sapi perah yang diamati di Peternakan KUNAK Cibungbulang Bogor Profil nilai BCS sapi perah yang mengalami ketonuria di Peternakan KUNAK Cibungbulang Bogor Profil frekuensi nadi dan napas sapi perah yang mengalami ketonuria di Peternakan KUNAK Cibungbulang Bogor
7 8 9
DAFTAR GAMBAR 1 2 3
Sapi jenis Friesian Holstein Ilustrasi penilaian BCS Metabolisme Karbohidrat
2 4 8
PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi perah Friesian Holstein (FH) merupakan ternak andalan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu segar di Indonesia yang semakin meningkat. Keadaan ini perlu didukung dengan berbagai upaya untuk menjamin produksi susu segar Indonesia terus meningkat. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan efektivitas manajemen kesehatan sapi perah. Berbagai metode dewasa ini terus dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas manajemen kesehatan sapi perah. Metode yang dapat digunakan adalah dengan mengukur indeks kesehatan melalui pemeriksaan klinis secara praktis, seperti pemeriksaan suhu tubuh, frekuensi pernapasan, frekuensi pulsus dan BCS. Ternak dengan indeks kesehatan yang baik dapat dijadikan basis dalam meningkatkan produksi susu segar secara optimal. Perubahan indeks kesehatan ternak dapat mengindikasikan adanya penyakit atau gangguan metabolisme pada sapi perah. Pengidentifikasian gangguan metabolisme sapi perah oleh praktisi kesehatan hewan sering menggunakan hasil pemeriksaan darah sebagai penguat diagnosis. Metode ini membutuhkan waktu yang lama untuk memperoleh hasil pengamatan darah dan dapat menyebabkan kongesti pembuluh darah saat pengambilan darah untuk diamati. Metode urinalisis strip-test di Indonesia untuk mendeteksi adanya gangguan metabolisme belum banyak dilakukan. Menurut Henry’s (2007), urinalisis ini sangat mudah dilakukan dan hasilnya dapat diperoleh dalam waktu yang singkat. Teknik ini dapat mendeteksi glukosa, protein, bilirubin, urobilinogen, pH, berat jenis, eritrosit, keton, nitrit, dan leukosit dalam urin. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa teknik urinalisis striptest ini efektif dalam menunjang manajemen kesehatan sapi perah, sehingga perlu dilakukan uji coba dengan fokus terhadap salah satu gangguan metabolisme. Salah satu gangguan metabolisme yang sering menjadi perhatian dalam peternakan sapi perah adalah ketosis (Tehrani-Sharif et al. 2011). Ketosis ini merupakan indikasi meningkatnya badan keton sebagai hasil dari proses glukoneogenesis dalam merombak cadangan lemak untuk mencukupi keseimbangan energi yang negatif (Ingvartsen dan Andersen 2000). Keseimbangan energi yang negatif ini sering dikaitkan dengan tingginya produksi susu sapi perah (Rasmussen et al. 1999). Sebagai implementasi dari konsep tersebut telah dilakukan penelitian uji coba efektivitas urininalisis menggunakan semikuantitatif strip-test dalam mendeteksi ketonuria pada sapi perah FH di Kawasan Usaha Peternakan Cibungbulang Bogor. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang efektivitas penggunaan urine strip-test dalam meningkatkan efektivitas manajemen kesehatan sapi perah. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang efektivitas penggunaan urine strip-test dalam meningkatkan efektivitas manajemen kesehatan sapi perah FH di Peternakan Rakyat Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang Kabupaten Bogor dikaitkan terhadap indeks kesehatan.
2 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menambah informasi mengenai kondisi kesehatan ternak dan memberikan saran dalam mengatasi permasalahan kesehatan pada sapi perah di Peternakan Rakyat Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang Kabupaten Bogor. Penggunaan dan pengembangan teknologi kedokteran hewan yang praktis yaitu urine strip-test.
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Secara taksonomi sapi FH masuk kedalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mammalian, ordo Artiodactylia, sub ordo Ruminansia, family Bovidae, genus Bos, dan spesies Bos taurus. Sapi perah FH berasal dari nenek moyang sapi liar Bos taurus yang merupakan jenis sapi yang tidak berpunuk. Sapi perah yang dikembangkan di berbagai belahan dunia adalah jenis Bos taurus (sapi Eropa) yang berasal dari daerah sub tropis dan Bos indicus (sapi berpunuk di Asia) yang berasal dari daerah tropis, serta hasil persilangan dari keturunan Bos taurus dan Bos indicus. Sapi perah Bos taurus dan Bos indicus yang banyak dikembangkan antara lain adalah Holstein, Brown Swiss, Ayshire, Guernsey dan Jersey. Bangsa sapi perah yang umum dikembangkan di Indonesia adalah bangsa Friesian Holstein. Sapi perah FH berasal dari Belanda Utara atau Friesian Barat. Di Amerika dikenal antara lain sapi Friesian Holstein dan Holstein, sedangkan di Eropa dikenal sapi perah Friesian (Sudono et al. 2003). Sapi FH memiliki ciri-ciri seperti warna belang hitam (berwarna hitam putih), ujung ekor putih, bentuk kepala yang panjang, dahi seperti cawan, moncong luas dan ambing besar serta simetris (Dewan Standardisasi Indonesia 1992). Bobot lahir anak sapi perah FH bisa mencapai 48 kg (Bath et al. 1985). Sedangkan Bobot untuk sapi betina dewasa mencapai 682 kg dan jantan 1 000 kg (Sudono et al. 2003). Sapi perah FH ditampilkan dalam Gambar 1.
Gambar 1 Sapi jenis Friesian Holstein
3 Status Produktivitas Status produktivitas sapi perah dapat dievaluasi terhadap status kebuntingan dan status laktasi. Status kebuntingan sapi perah perlu diperhatikan untuk menjaga nutrisi ternak sehingga kemampuan reproduksi dan produksi susu tetap maksimal. Hal ini menyebabkan perlunya dilakukan pemberian pakan yang memiliki nutrisi seimbang sesuai dengan kebutuhan fisiologis ternak. Nutrisi yang diperoleh dari pakan akan digunakan sebagai energi untuk fisiologis tubuh sapi perah. Defisiensi energi dalam pakan akan mengakibatkan menurunnya produksi susu dan laju pertumbuhan sapi perah (Ensminger et al. 1990). Status laktasi dapat dijadikan tolak ukur untuk mengontrol kebutuhan nutrisi ternak khusunya untuk pertumbuhan dan produksi (Sutardi et al. 1979). Hal ini disebabkan jumlah produksi susu yang cenderung tinggi pada awal laktasi dan membutuhkan energi yang lebih banyak. Kebutuhan energi ternak untuk memproduksi susu tetap optimum dapat dipertahankan dengan pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak. Perbedaan jumlah produksi susu menunjukkan perbedaan pembagian masukan energi terhadap produksi susu dan penambahan bobot sapi. Produksi susu sapi perah cenderung mengalami penurunan setelah laktasi 2 bulan (Sudono 1999). Sapi perah pada awal laktasi memiliki produksi susu yang tinggi namun diikuti dengan terjadinya penurunan konsumsi pakan. Hal ini menyebabkan sapi perah mengalami energi yang negatif. Pada periode laktasi kedua, bobot badan dan jumlah produksi susu sapi perah tidak dapat menggambarkan kebutuhan akan pakan. Hal ini disebabkan karena makanan banyak digunakan untuk pemulihan kondisi tubuh. Pada laktasi ketiga, sapi mencapai puncak konsumsi sehingga membutuhkan jumlah konsumsi pakan yang lebih tinggi (Toharmat 1982). Peningkatan jumlah konsumsi pakan pada periode akhir laktasi bertujuan mempersiapkan tubuh untuk melahirkan. Profil Frekuensi Napas dan Nadi Frekuensi jantung dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, berat badan, aktivitas fisik tubuh, latihan dan kondisi lingkungan seperti suhu lingkungan dan kelembapan udara (Rosenberger 1979). Peningkatan aktivitas metabolisme tubuh juga dapat menyebabkan peningkatan frekuensi nadi. Hal ini disebabkan meningkatnya kebutuhan sapi perah terhadap oksigen dan menyalurkan hasil metabolisme melalui aliran darah. Menurut Marcks et al. (1996), peningkatan frekuensi napas dan nadi ternak menggambarkan tingkat kebutuhan metabolisme dalam tubuh ternak yang meningkat. Frekuensi jantung adalah banyaknya denyut jantung dalam satu menit. Pengamatan terhadap frekuensi jantung pada sapi dihitung secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas apeks jantung pada dinding dada sebelah kiri (Cunningham 2002). Pulsus nadi sapi dapat dirasakan dengan menempelkan tangan pada pembuluh darah arteri coccygeal di bawah ekor bagian tengah sekitar 10 cm dari anus. Denyut nadi dan denyut jantung pada hewan sehat akan selalu sinkron. Denyut jantung normal sapi berkisar antara 55–80 kali per menit (Kelly 1984).
4 Penghitungan frekuensi napas pada sapi dihitung dengan cara menempelkan stetoskop pada bagian dada selama 1 menit. Respirasi normal pada sapi dewasa adalah 15–35 kali per menit dan 20–40 kali pada pedet (Jackson dan Cockroft 2002). Frekuensi pernapasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ukuran tubuh, umur, aktivitas fisik, kegelisahan, suhu lingkungan, kebuntingan, adanya gangguan pada saluran pencernaan, kondisi kesehatan hewan, dan posisi hewan (Kelly 1984). Profil Gizi Berdasarkan BCS Body Condition Score (BCS) merupakan suatu metode penilaian secara subjektif melalui teknik penglihatan (inspeksi) dan perabaan (palpasi) untuk menduga cadangan lemak tubuh terutama untuk sapi perah pada periode laktasi dan kering kandang (Edmonson et al. 1989). Cadangan lemak ini dapat dimanfaatkan oleh ternak pada saat ternak tidak mampu memenuhi kebutuhan energi. Penilaian BCS telah diterima sebagai metode yang efektif dalam pendugaan lemak tubuh dan telah digunakan baik pada peternakan komersial maupun penelitian (Otto et al. 1991). Penilaian skor BCS terdiri dari skala 1–5 yang diberikan atas dasar lemak yang terdapat pada daerah pelvis dan sacralis. Nilai 1 mempunyai arti tubuh sapi sangat kurus, nilai 2 mempunyai arti kurus, nilai 3 mempunyai arti sedang, nilai 4 mempunyai arti gemuk, nilai 5 mempunyai arti sangat gemuk (obesitas). Diantara nilai-nilai utama itu terdapat nilai 0.25, 0.5 dan 0.75 untuk menggambarkan nilai yang berada diantaranya. Penilaian BCS berdasarkan pada pendugaan baik secara visual maupun dengan perabaan pada delapan bagian tubuh ternak. Bagian tubuh tersebut adalah antara lain processus spinosus, processus spinosus ke processus transversus, processus transversus, legok lapar, tuber coxae (hooks), antara tuber coxae dan tuber ischiadicus (pins), antara tuber coxae kanan dan kiri, dan pangkal ekor tuber ischiadicus (Edmonson et al. 1989).
Gambar 2 Ilustrasi penilaian BCS (Pammusureng 2009)
5 Ketosis Ketosis adalah meningkatnya konsentrasi badan-badan keton dalam darah dan urin. Alien (1970) menyatakan bahwa dalam keadaan normal pada ruminansia konsentrasi badan-badan keton jumlahnya hanya sedikit dalam 100 ml plasma darah. Menurut James (1992), kejadian ketosis merupakan penyakit metabolik yang sering terjadi pada awal laktasi. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Hibbett (1980) yang menyatakan bahwa ketosis sapi perah pada awal laktasi diakibatkan rendahnya karbohidrat dan prekursor glukoneogenik dalam ransum. Sapi perah yang laktasi membutuhkan jumlah pakan yang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan produksi susu dan fisiologis pertumbuhan ternak. Menurut Prihatman (2000), pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan 10% dari bobot badan dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari bobot badan. Sementara untuk induk sapi yang sedang laktasi diperlukan tambahan 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Menurut Chase (1990), salah satu faktor penyebab utama terjadinya ketosis adalah kekurangan glukosa untuk sintesis susu pada awal laktasi. Karena konsumsi pakan secara normal menurun pada awal laktasi, maka sapi akan berusaha untuk memanfaatkan energi cadangan dalam tubuh seperti glikogen, protein, dan lemak sebagai sumber energi. Penggunaan energi cadangan lemak sebagai sumber energi menyebabkan terbentuknya badan keton. Badan-badan keton terdiri dari asetoasetat, asam β hidroksi butirat (BHBA) dan aseton. Terbentuknya badan keton disebabkan jumlah asam lemak yang dimolisisasi dari jaringan tidak teroksidasi secara sempurna menjadi energi (Harper 1979).
METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Peternakan Rakyat Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Cibungbulang Kabupaten Bogor. Pengambilan data lapangan yang dilakukan mulai bulan Januari-Mei 2014. Analisis data dan penulisan laporan dilakukan di kampus IPB Dramaga Bogor pada bulan Desember 2014-Mei 2015. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah 30 ekor sapi pada dua kandang ternak yang dipilih secara acak dari 118 peternakan di Peternakan KUNAK Bogor. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: gelas ukur, lap, stetoskop, termometer, urine strip-test (Verify), dan kamera.
6 Prosedur Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dimulai setelah terlebih dahulu dilakukan wawancara dengan peternak untuk mengetahui status reproduksi sapi perah. Status tersebut dikategorikan atas bunting, tidak bunting dan post partus. Pemeriksaan fisik 30 sapi perah meliputi pengukuran frekuensi pulsus hewan dengan menempelkan tangan pada pembuluh darah arteri coccygeal di bawah ekor bagian tengah sekitar 10 cm dari anus, penghitungan frekuensi napas sapi dihitung dengan menggunakan stetoskop dan penilaian BCS sapi perah yang dilakukan dengan penglihatan (inspeksi) dan perabaan (palpasi) atas dasar lemak yang terdapat pada daerah sacralis dan pelvis. Penilaian BCS dilakukan oleh empat orang dan kemudian hasilnya dirata-ratakan untuk mengurangi penilaian yang subjektif. Pemeriksaan Urin Sampel urin yang digunakan dari 30 ekor sapi perah adalah urin pertama pada pagi hari. Urin segar di tampung dalam gelas ukur dan langsung diperiksa dengan menggunakan urine strip-test (Verify) dan hasilnya langsung dibandingkan dengan reagen yang telah ditetapkan. Pengujian urine strip-test untuk mendeteksi kelainan pada urin dengan beberapa parameter, antara lain leukosit, nitrogen, urobilinogen, protein, pH, kadar darah, keton, bilirubin, dan glukosa. Pengamatan yang dilakukan fokus terhadap adanya badan keton dalam urin (ketonuria). Analisis Data Data hasil pengamatan diolah dengan mengelompokkan status kesehatan sapi perah terhadap rentang normal frekuensi pulsus, napas dan BCS. Rentang normal frekuensi pulsus 55–80 kali permenit (Kelly 1984). Frekuensi napas normal 24-42 kali/menit (Frandson 1992). Nilai BCS ideal sapi perah pada awal laktasi adalah 2.5 dan meningkat hingga ahir laktasi yaitu sekitar 3.5 (Penstate 2004). Seluruh data yang didapat akan dianalisis secara deskriptif dan hasil ditampilkan dalam bentuk tabel.
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Ketonuria Berdasarkan Status Produktivitas Hasil pengamatan terhadap 30 ekor sapi perah di Peternakan KUNAK Cibungbulang Bogor diperoleh gambaran status produktivitas yang terdiri dari 2 ekor mengalami kebuntingan, 22 ekor tidak bunting, dan 6 ekor post partus. Dari 30 ekor tersebut terdapat 2 sapi perah yang mengalami ketosis. Sapi perah yang mengalami ketonuria terjadi pada sapi yang sedang tidak bunting. Sapi yang sedang tidak bunting membutuhkan glukosa darah yang tinggi untuk diubah menjadi laktosa susu (Schultz 1970). Hal ini menunjukkan bahwa sapi perah yang
7 mengalami ketonuria terjadi keseimbangan energi yang negatif sehingga tidak mampu mencukupi energi untuk memproduksi susu dan fisiologis pertumbuhan ternak. Menurut Prihatman (2000), pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan 10% dari bobot badan dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari bobot badan. Sementara untuk induk sapi yang sedang laktasi diperlukan tambahan 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Hasil pengamatan terhadap profil status reproduksi 30 sapi perah yang mengalami ketonuria dicantumkan pada Tabel 1. Tabel 1 Profil status produktivitas dan ketonuria 30 sapi perah yang diamati di Peternakan KUNAK Cibungbulang Bogor No Status Produktivitas No Status Produktivitas Ketonuria Ketonuria 1 Bunting 3 bulan 16 Tidak bunting 2 Bunting 7 bulan 17 Tidak bunting 3 Post partus 18 Tidak bunting 4 Post partus 19 Tidak bunting 5 Post partus 20 Tidak bunting 6 Post partus 21 Tidak bunting 7 Post partus 22 Tidak bunting 8 Post partus 23 Tidak bunting 9 Tidak bunting 24 Tidak bunting 10 Tidak bunting 25 Tidak bunting 11 Tidak bunting 26 Tidak bunting 12 Tidak bunting 27 Tidak bunting 13 Tidak bunting 28 Tidak bunting + 14 Tidak bunting 29 Tidak bunting 15 Tidak bunting 30 Tidak bunting + Keterangan: Positif ketonuria (+); Negatif ketonuria (-) Positif ketonuria (+) ditandai dengan perubahan warna pada urin strip tes dari merah muda menjadi ungu tua dengan selang waktu 1-2 menit.
Berdasarkan Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa sapi perah yang mengalami ketonuria adalah sapi perah yang tidak bunting. Hal ini sesuai dengan pendapat Chase (1990) bahwa ketosis adalah gangguan metabolisme yang sering terjadi pada awal laktasi akibat adanya ketidakseimbangan energi. Sapi perah yang mengalami ketosis umumnya menunjukkan gejala penurunan nafsu makan, penurunan produksi susu, dan adanya bau aseton pada susu dan pernapasan. Menurut McDonald et al. (2010), bau aseton pada susu dan pernapasan merupakan bau badan-badan keton sebagai hasil metabolisme glukoneogenesis. Adapun proses glukoneogenesis dikaitkan dengan metabolisme karbohidrat menurut McKee (2003) dijelaskan pada Gambar 3.
8
Gambar 3 Metabolisme karbohidrat (McKee 2003) Berdasarkan Gambar 3 dijelaskan bahwa terdapat empat proses metabolisme karbohidrat, yaitu glikogenesis untuk menghasilkan glikogen dari glukosa, glikogenolisis untuk menghasilkan glukosa dari glikogen, glikolisis untuk menghasilkan energi dari glukosa, serta glukoneogenesis untuk menghasilkan glukosa dari asetat, asam lemak dan asam amino. Metabolisme dari asetat, asam lemak dan juga asam amino dioksidasi dalam hati menjadi asetil-coA yang kemudian dimetabolisme menjadi H2O, CO2 dan ATP (Harper 1979). Hal ini terjadi saat ternak kekurangan energi dari pakan yang mengakibatkan terbentuknya badan keton dalam tubuh ternak. Gangguan metabolisme sapi perah yang mengalami ketonuria dibuktikan dengan pengamatan nilai BCS. Profil Ketonuria Berdasarkan Nilai BCS Hasil pengamatan terhadap profil nilai BCS sapi perah yang mengalami ketonuria di Peternakan KUNAK Cibungbulang Bogor dicantumkan pada Tabel 2. Tabel 2 Profil nilai BCS sapi perah yang mengalami ketonuria di Peternakan KUNAK Cibungbulang Bogor No
Nilai BCS
Ketonuria
1
1.25
+
2
1.25
+
Berdasarkan Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa sapi perah yang mengalami ketonuria adalah sapi perah yang kurus. Hal ini berbeda dengan pernyataan Busato et al. (2002) bahwa ketosis adalah penyakit metabolik yang biasanya terjadi pada sapi perah yang gemuk dengan produksi susu yang tinggi pada awal laktasi. Ketonuria pada sapi perah yang kurus diduga akibat kekurangan energi yang diperoleh dari pakan untuk memproduksi susu. Hal ini sejalan dengan
9 pernyataan Herdt (2000) bahwa sapi perah ketosis menunjukkan adanya upaya untuk mengatasi ketidakseimbangan energi akibat produksi susu yang tinggi melalui mobilisasi lemak tubuh ternak. Peningkatan aktivitas metabolisme sapi perah yang mengalami ketonuria dibuktikan dengan pengukuran frekuensi nadi dan frekuensi napas. Profil Ketonuria Berdasarkan Frekuensi Nadi dan Napas Hasil pengamatan terhadap profil nilai BCS sapi perah yang mengalami ketonuria di Peternakan KUNAK Cibungbulang Bogor dicantumkan pada Tabel 3. Tabel 3 Profil frekuensi nadi dan napas sapi perah yang mengalami ketonuria di Peternakan KUNAK Cibungbulang Bogor No
Frekuensi Nadi
Frekuensi Napas
Ketonuria
1
92
84
+
2
84
80
+
Berdasarkan Tabel 3 diperoleh gambaran bahwa sapi perah yang mengalami ketonuria menunjukkan peningkatan frekuensi napas dan nadi. Menurut Marcks et al. (1996), peningkatan frekuensi napas dan nadi ternak menunjukkan terjadinya peningkatan metabolisme dalam tubuh ternak. Hal ini disebabkan glukoneogenesis energi cadangan yang membutuhkan oksigen untuk mengoksidasi energi cadangan dalam tubuh ternak. Glukoneogenesis energi cadangan terjadi saat glukosa dalam tubuh dan glikogen hati tidak mampu memproduksi energi ternak (McKee 2003). Menurut Guyton (1983), aktivitas metabolisme dalam tubuh ternak yang semakin besar membutuhkan oksigen lebih banyak yang diperoleh melalui peningkatan frekuensi pernapasan. Jumlah oksigen yang meningkat melalui saluran pernapasan akan disalurkan ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Peningkatan frekuensi pernapasan dapat menyebabkan peningkatan aktivitas jantung untuk mendistribusikan hasil metabolisme dan upaya menjaga keseimbangan panas tubuh (Ganong 1983). Patogenesis Ketonuria Ketonuria sapi perah berhubungan erat dengan ketidakseimbangan energi dalam tubuh ternak. Energi utama ruminansia adalah propionat yang diperoleh dari karbohidrat. Metabolisme karbohidrat menghasilkan asetat, butirat, propionat yang diserap dari rumen. Propionat dalam tubuh ternak akan diubah menjadi glukosa di hati dan akan masuk ke aliran darah sistemik sebagai sumber energi ternak. Kelebihan glukosa akan disimpan dalam bentuk glikogen di hati melalui glikogenesis (McDonald et al. 2010). Sapi perah membutuhkan energi yang bervariasi dalam setiap siklus reproduksinya. Kebutuhan nutrisi sapi perah tergantung pada bobot sapi dan tingkat produksi susunya (Sutardi 1981). Menurut Toharmat (1982), produksi susu yang tinggi pada awal laktasi membutuhkan jumlah pakan yang lebih banyak, namun produksi susu mulai menurun pada periode berikutnya. Periode laktasi ketiga sapi perah membutuhkan jumlah konsumsi pakan yang banyak
10 untuk mempersiapkan tubuh untuk melahirkan. Santoso (2002) menyarankan perlunya pemberian pakan dengan kandungan nutrisi dalam ransum yang sesuai dengan kebutuhan ternak. Manajemen pakan yang baik diharapkan dapat mengurangi penggunaan lemak tubuh sebagai energi ternak. Nutrisi dalam tubuh sapi perah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi susu dan perkembangan fetus (Murtenson dan Joergenson 1974). Saat sapi perah tidak mampu memenuhi kebutuhan energi ternak, maka energi diperoleh melalui perombakan energi cadangan dalam tubuh ternak. Menurut McDonald et al. (2010) energi cadangan dalam tubuh yang dapat digunakan sebagai sumber energi ternak saat kekurangan energi adalah jaringan lemak tubuh, gliserol, laktat piruvat dan asam amino atau protein melalui proses glukoneogenesis. Ketidakseimbangan energi yang berkepanjangan menyebabkan asam lemak dalam jumlah besar akan dilepas oleh jaringan lemak untuk dipecah di hati. Pemecahan asam lemak dalam keadaan normal menghasilkan asetil-CoA yang kemudian dimetabolisir menjadi air, CO2 dan menghasi1kan adenosin tri fosdat (ATP). Asam lemak yang dilepas dalam jumlah besar dari jaringan lemak menyebabkan hati tidak mampu mengoksidasi semua asetil-CoA secara sempurna dan terjadi pembentukan badan keton. Pemecahan asam lemak yang tidak sempurna menyebabkan asetil-CoA diubah menjadi asetoasetil-CoA dan selanjutnya menjadi asam asetoasetat. Asam asetoasetat ini mengalami reduksi menjadi asam β hidroksi butirat atau mengalami dekarboksilasi menjadi aseton. Asam β hidroksi butirat merupakan badan keton yang paling banyak ditemukan dalam darah sapi perah yang mengalami ketosis. Ketosis terjadi karena pembentukan badan-badan keton yang berlebihan dalam hati dan berkurangnya penggunaan badan-badan keton oleh jaringan (Bradley 1971). Kejadian ketosis sering terjadi di peternakan sapi perah Indonesia dan menyebabkan kerugian ekonomi pada peternak akibat terjadinya penurunan produksi ternak. Tingkat kejadian ketosis dapat dikurangi dengan beberapa cara antara lain dengan perbaikan manajemen pakan dan manajemen kesehatan. Gustafsson et al. (1995) menyatakan bahwa pemberian jumlah konsentrat dan cara pemberiannya berhubungan dengan kejadian ketosis. Oleh karena itu, perlu diperhatian perbandingan antara hijauan dan konsentrat dalam ransum. Ketosis sapi perah dapat ditangani dengan pemberian obat berupa terapi cairan dan suplemen serta manajemen pakan yang baik.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian diperoleh 2 dari 30 ekor sapi mengalami ketonuria. Sapi perah ketonuria diperkuat dengan BCS yang rendah (1.5) dan peningkatan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan frekuensi pulsus dan napas. Metode urine strip test terbukti efektif dalam mendeteksi kejadian ketonuria.
11 Saran Efektivitas urine strip-test perlu dimantapkan dengan diadakan studi kasus pada tempat dan lokasi yang berbeda dengan jumlah sampel yang lebih banyak. Pendiagnosaan ketosis di lapangan perlu didukung dengan pemeriksaan indeks kesehatan seperti BCS, frekuensi napas dan nadi. Untuk mengatasi ketosis perlu dilakukan penyuluhan kepada peternak tentang manajemen pakan dan pemeliharan kesehatan ternak yang baik.
DAFTAR PUSTAKA Alien R. 1970. Lipid Metabolism. Duke Physiology of Domestic Animal. 8th Ed. M.J. Swenson. Ed (US): Cornell University Pr. Bath DL, Dickinson FN, Tucker HA, Appleman RD. 1985. Dairy Cattle: Principle, Practice, Problem, and Profits. 3rd Ed. Philadelphia (US): Lea and Febringer. Bradley RF. 1971. Diabetic Ketoacidosis and Coma, Joslins Diabetis Melitus. 11th Ed. Philadelphia (US): Lea and Febringer. Busato A, D Faissler, U Küpfer, JW Blum. 2002. Body condition scores in dairy cows: associations with metabolic and endocrine changes in healthy dairy cows. J. Vet. Med. Ser. A. 49:455-460. Chase LE. 1990. Kelainan Metabolik Dalam Nutrisi Sapi Perah. Di dalam: Seminar International F.H. PPSKI. Bandung. Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology. Philadeplhia (US): Saunders Co. Dewan Standardisasi Indonesia. 1992. Sapi Perah Bibit. Jakarta (ID): SNI 012891-1992. Edmonson AJ, Lean IJ, Weaver LD, Loid JW, Farver T, Webster G. 1989. A Body Condition Scoring Chart for Holstein dairy cows. J Dairy Sci. 72: 6870. Ensminger ME, Oldfield JE, Heinemann W. (1990). Feeds and Nutrition. (US): Ensminger Publishing Co. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-4. Penerjemah. Srigandono M dan Koen Praseno SU. Fakultas Peternakan Diponegoro. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. 648-677. Ganong WF. 1983. Review of medical physiology. Edisi ke-11 Departement of Physiology, University of California San Fransisco. California (US): LANGE Medical Publications. hlm 350-354. Gustafsson GM, Lund-Magnussen. 1995. Effect of Daily Exercise on the Getting Up and Lying Down Behavior of Tied Dairy Cows. Prev Vet Med. 25: 2736. Guyton AC. 1983. Ventilasi Paru-paru. In: Buku Teks Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 1-13. Harper HA, VW Roowell, PA Mayer. 1979. Biokimia Edisi ke-17. Jakarta (ID): Kedokteran EGC Pr.
12 Henry’s. 2007. Basic Examination of Urine in Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 21st Ed. 2007: 397. Herdt TH. 2000. Ruminant Adaptation to Negative Energy Balance. Vet. Clin. North Am. Food Anim. Pract. 16: 215-230. Hibbett KG. 1980. The Genesis of Ketosis. Scientific Found. of Veterynary Medicine, Ed AT. Phyllipson, LW. Hall, WR. Pritchard, William Heineman. London (GB): Medical Book Limited. Ingvartsen KL, Andersen JB. 2000. Integration of metabolism and intake regulation: a review focusing on periparturient animals. J Dairy Sci 83: 1573-1597. Jackson PG, Cockroft PD. 2002. Clinical Examination of Farm Animals. Inggris (UK): University of Cambridge. [Internet]. [diunduh 2014 Nov 21]. Tersedia pada: http://www.wanfangdata.com.cn/NSTLHY_NSTL _HY323912.aspx. James RG. 1992. Modern Livestock and Poultry Production. 4th Ed. Albany (NY): Delmar Publishers. pp: 767-768. Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. London (GB): Bailliere Tindall. Marcks DB, Marcks AB, Smith CM. 1996. Basic Medical Biochemistry: A Clinical Approach. Baltimore (US): Lippincot William and Wilkins. McDonald P, RA Edwards, JFD Greenhalgh, CA Morgan. 2010. Animal Nutrition. 7th Ed. Gosport (GB): Ashford Colour Pr. McKee T, McKee JR. 2003. Carbohydrate Metabolism, in: The Molecular Basis of Life. New York (US): McGraw-Hill. Murtenson WP, EM Juergenson. 1974. Approved Practices in Dairying. Calcuta (IN). Oxford and IBK publishing Co. Otto RL, Ferguson JD, Fox DG, Sniffen CJ. 1991. Relationship between body condition score and compotition of ninth to eleven rib tissue in Holstein dairy cows. J Dairy Sci. 74: 852 – 861. Pammusureng. 2009. Penilaian kondisi tubuh dan pengukuran pertumbuhan pedet & dara. Bahan presentasi KPSBU Lembang. Penstate. 2004. Begginer’s guide to Body Conditions Scoring. A Tool For Dairy Herd management. Web presentation. Prihatman K. 2000. Proyek Pengembangan Masyarakat Ekonomi Pedesaan. Jakarta (ID): Bappenas. Rasmussen LK, BL Nielsen, JE Pryce, TT Mottram, RF Veerkamp. 1999. Risk factors associated with the incidence of ketosis in dairy cows. J. Anim. Sci. 68:379-386. Rosenberger G. 1979. Clinical Examination of Cattle. Berlin & Hamburg (GR): Verlag Paul Parley. Santoso U. 2002. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Schultz LH. 1970. Management and Nutritional Aspects of Ketosis .J. Dairy Sci. 54 (6): 962.971. Sudono A, RF. Rosdiana, dan BS. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. Sudono A. 1999. Produksi Sapi Perah. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Pr. Sutardi T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Diktat Kuliah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
13 Sutardi T, M Djohari. 1979. Hubungan kondisi faali sapi laktasi dengan kebutuhan makanannya. Buletin Makanan Ternak S (4) : 189-207. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Tehrani-Sharif M, Hadadi M, Noughabi HH, Mohammadi A, Rostami F an Sharifi H, 2011. Bovine subclinical ketosis in dairy herds in Nishaboor. (IR): Comp Clin Pathol. DOI: 10.1007/s00580-011-1340-2. Toharmat T. 1982. Evaluasi pemberian pakan sapi perah berdasarkan kondisi faalinya. [Skripsi]. Bogor (ID):Fakultas Peternakan. Instutut Pertanian Bogor.
14
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malintang Julu, Sumatera Utara pada tanggal 17 Juni 1990 dari ayah Syarmen Nasution (Alm) dan ibu Nelan. Penulis merupakan putra keenam dari tujuh bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Plus Sipirok dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH). Selama melakukan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB, penulis pernah menjadi Anggota Himpunan Profesi Ruminansia Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.