International Seminar and National Seminar on “Innovative Governance”
STRENGTHENING LOCAL WISDOM (SUBAK INSTITUTION) IN AGRICULTURAL POLICY REFORM IN BALI By Gede Sandiasa Student of Graduate Program, Public Administration Science, UB, Malang Abstract Tourism policies on Bali contribute greatly to the local government revenue of Bali Province, but it seems that there is no significant impatc of those policies on farming communities; in fact, it has been already well known that the livelihoods of the people in Bali is on agriculture. There are a number of problems which are faced by farmers as the result of the development of tourism in Bali, namely: impartiality of government policies towards the farming communities; push towards farmers and their agricultural efforts due to tourism growth; exploitation and adverse effects of economic globalization on farmers; and diminishing role subak (Balinese traditional farming organization) as local wisdom which is no longer able to provide facilities to farmers. Functions of subak for the farming community are mainly on a) the search and distribution of water; b) the maintenance of irrigation facilities; c) the mobility of financial resources; d) the administrative handling of subak; e) handling conflict; and f) religious rituals. Various government policies have been unable to protect farmers' efforts, and it is a reality that farming land in Bali continues to decrease, reaching 28 hectares per year; that tax system disproportionately harms farmers; protection of agricultural water use is not capable of ensuring the sustainability of farming; that imports of agricultural products have adverse impact on farmers; that fluctuations in agricultural prices are not a serious concern for government, lowering the morale of farmers; that various subsidies and incentives through government policy are incidental and do not educate the farming community. Agricultural policy reform needs to be done by involving elements of locality, through empowerment and strengthening of local institutions which is called subak, changing assumptions of policies to directly focus on subak institutions, strengthening and protecting agriculture through awig-awig (local regulations), empowering farmers through community-based management; increased competitiveness and development of networking for farmers. Keyword: policy reform, local wisdom, subak, agricultural policy
Gede Sandiasa| 1
International Seminar and National Seminar on “Innovative Governance”
1. Pendahuluan Reformasi kebijakan pemerintah nasional maupun daerah telah mencapai reformasi yang mendasar, dari pemerintahan sentralisasi menjadi sistem pemerintahan otonomi daerah dengan dikeluarkannya UU Otonomi daerah 22 tahun 1999 dan Daerah dan UU 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. Demikian juga di bidang pertanian pemerintah telah melaksanakan beberapa perubahan kebijakan, baik langsung maupun tidak langsung menangani pertanian seperti: UU No 5 tahun 1960 tentang UUPA; UU Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB); PP No. 43 tahun 2008 tentang Air Tanah; PP RI No.1 tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Pertanahan Pangan Berkelanjutan, yang mana kebijakan memiliki asumsi bahwa sektor pertanian pendukung utama perekonomian bangsa Indonesia. Namun demikian keberuntungan tidak selalu berpihak kepada masyarakat petani, dan hasil reformasi di segala bidang belum mampu mensejahterakan dan memberi pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Bahkan menurut Mollingga bangunan kebijakan pertanian berbasis kapitalism menyatakan, “dominate as a form of production and merchant capital continued to ‘drink the blood of the peasant”(Mollinga, 2010:416). Pariwisata Bali didukung sebagian besar oleh sektor pertanian secara luas, peradaban dibidang pertanian di Bali sebenarnya telah mengalami pemikiran yang sangat maju sejak diciptakannya subak (sistem pengairan melalui manajemen penggunaan air). Subak dalam prasasti Klungkung (1072 M) kata subak berasal dari istilah kasuwakan, yang kemudian dikenal dengan istilah subak, yaitu system pertanian di Bali yang telah berkembang sejak abad ke – 11 masehi (Supriatna, 2006: 17). Dari subak tercipta ornamen peradaban yang lain: kehidupan gotongroyong, upacara adat keagamaan dalam pengelolaan sektor pertanian, tata ruang persawahan (teras sering), alur sungai yang lestari menjadi daya tarik tersendiri bagi sektor pariwisata. Akan tetapi seiring dengan perkembangan pariwisata yang pesat, pemukiman penduduk semakin padat, memberi ekses yang tidak baik bagi perkembangan Bali ke depan. Hal ini didukung pendapat Caroll Warren menyebutkan sebagai berikut: ”Pertambangan batu karang tanpa aturan untuk pembangunan hotel dan perluasan airport, abrasi pantai; peningkatan sampah plastik, limbah dan polusi udara; salinasi pada air bawah tanah; pengambilan air pertanian untuk dijual ke hotel dan lapangan golf; konversi lahan produktif – seringkali lewat tekanan dan intimidasi menjadi fasilitas pariwisata; dan keterlibatan angkatan bersenjata dan pemerintah dalam memfasilitasi proyek” (Caroll Warren: 1996: 3). Selanjutnya secara rinci dapat dijelaskan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat petani di Balisebagai berikut. Menurut RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah) Provinsi Bali Tahun 2005-2025, rata-rata pendapatan rumah tangga petani dari sektor pertanian hanya 33% dari total pendapatannya atau sebesar Rp. 11.000 per hari. Berkenaan dengan penguasaan lahan semakin sempit, yakni sekitar 0,38 ha per petani, dari 563.686 Ha luas tanah di Bali, hanya 70,74 persen atau sekitar 398.491 Ha masih potensial untuk pertanian, perkebunan dan peternakan. Luas sawah hanya 81.210 Ha dengan luas panen mencapai 142.971 Ha. Luas lahan tersebut digarap oleh 408.114 KK atau 2.221.392 orang keluarga tani yang didukung oleh 1.481 subak sawah dan 1.091 Gede Sandiasa| 2
International Seminar and National Seminar on “Innovative Governance”
subak abian (Suparta, 2011). Fakta di lapangan alih fungsi lahan ini menurut data Dinas Pertanian Propinsi Bali berada pada kisaran minus 28 hektar per tahun. Artinya setiap tahunnya 28 hektar sawah telah menjadi rumah atau bukan lagi menjadi area pertanian (Anonim, 2011). Selanjutnya rendahnya tingkat pendidikan petani, berdampak pada penguasaan dan akses teknologi lemah, serta penguasaan informasi dan akses pasar lemah. Ketidak stabilan harga hasil pertanian, akibat fluktuasi hasil pertanian maupun tekanan pasar global, harga hasil pertanian berfluktuasi sangat besar dan secara relatif masih sangat rendah (RPJPD Provinsi Bali). Sebagai dampak kondisi struktur perekonomian Bali yang tak didukung dengan pertanian yang kuat akan hancur. Gejala ini ditunjukkan Bali sangat tergantung pada daerah lain dalam menyediakan berbagai komoditi pertanian. Tercatat 60 - 70 persen pasar di daerah ini diisi komoditi pertanian dari luar Bali. Ini sangat ironis jika melihat hampir 80 persen masyarakat Bali bekerja di sektor pertanian (Kauripan, 2010). Disisi lain akses terhadap permodalan juga sangat terbatas, akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan keluarga petani. Tahun 2006, investasi di sektor pertanian hanya 0,37 persen, sedangkan sektor pariwisata 94 persen. Sisanya 5,63 persen sektor industri (RPJPD Provinsi Bali). Persoalan lain yang terus menjadi tantangan dan banyak menimbulkan konflik adalah keterbatasan, penurunan debit air. Bali menghadapi permasalahan sumber daya air sangat serius, debit sungai dan mata air menurun. Menurunnya air Danau Buyan dan Tamblingan, meningkatkan masalah kelangkaan air untuk irigasi, bahkan hampir di semua kabupaten di Bali (Sutantra, 2009). 2. Review Penelitian Pendahuluan Dalam mempertajam pokok persoalan dan permasalahan dalam bidang pertanian, berikut ini disampaikan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai berikut. Roth (2009) yang meneliti kelembagaan pengelolaan air di Sulawesi dengan dua sistem yaitu WUA dan Subak bagi petani yang berasal dari Bali, yang menemukan terdapat simbiosis yang saling menguntungkan, serta institusi pengelolaan air telah mengalami transformasi penting dapat mendorong kemajuan petani. Penelitian kedua Olper (2007) yang meneliti 40 negara di dunia pengembangan pertanian kurun waktu tahun 1982-2000, ditemukan bahwa terjadi penurunan hak-hak atas kepemilikan tanah pertanian, meskipun di sisi lain pemerintah mendorong dan mendukung peningkatan usaha di bidang pertanian. Hasil penelitian berikutnya yang masih mempersoalkan kepemilikan tanah adalah penelitian Jensen dan Raagmaa (2010) dengan metode studi kasus, mereka meneliti pada pemerintah Lokal Estonia yang menunjukkan respon lokal terhadap berbagai kebijakan pemerintah dalam restrukturisasi kepemilikan tanah serta proporsi tanah pertanian produktif di daerah tersebut. Penelitian berikutnya pada 33 negara penghasil beras, dimana diteliti pengaruh subsidi negara-negara kaya terhadap negara-negara miskin menunjukkan hasil semakin tinggi subsidi negara-negara kaya dan penerapan pajak pertanian terhadap negara miskin melebarkan kesenjangan produksi padi sawah antara negara-negara kaya dengan negara miskin (Rakotoarisoa, 2011). Selanjutnya dalam mekanisme pasar persaingan tidak sempurna mengubah mekanisme transmisi harga, menghasilkan tren harga lebih fleksibel, ini Gede Sandiasa| 3
International Seminar and National Seminar on “Innovative Governance”
merupakan hasil penelitian Soregaroli dkk. Penelitian di Korea oleh Wang Jikong dan Liu Jing menunjukkan bahwa pemerintah dalam mendukung sistem pertanian tradisional perlu melibatkan pengembangan infrastruktur pertanian dan mekanisme pertanian yang tinggi (2010). Pengaturan penggunaan sumberdaya air, menemukan sumberdaya air yang baru serta berbagai kebijakan yang mendorong perkembangan dan perluasan kebijakan Arab Saudi terbukti efektif dalam mendorong dan mengembangkan perluasan areal dan usaha petani, ini hasil temuan Al-Saud (2010). Selanjutnya Kai-Xia Wang dkk (2011), mencoba meneliti pengaruh tingkat pendidikan petani, profesionalisme, luas lahan, umur, pengalaman, ukuran keluarga dan daya beli petani terhadap kepemilikan asuransi pertanian, dimana hasilnya kesemua itu tidak signikan memiliki pengaruh. Penelitian yang menunjukkan bahwa penyuluhan dan pengembangan model penyuluhan mendorong perbaikan keahlian petani dan usaha pertanian berkelanjutan merupakan hasil review hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Hasnah MD dkk (2011), yang mendukung hasil penelitian sebelumnya dari Philip A S James yang menemukan tentang pentingnya keuangan mikro, sistem penyuluhan pertanian dan pendidikan sebagai dasar pengambilan keputusan petani dan keterlibatan lokal dalam pengambilan keputusan (2010). 3. Reformasi dan Paradigma Kebijakan Reformasi kebijakan dimaksudkan untuk memperkuat pemerintah daerah agar dapat menyelesaikan berbagai persoalan di daerah seperti ilustrasi berikut ini, “make a strong case for greater empowerment of local governments to address local problems and offers illustrations in issues ranging from garbage collection to school choice, school construction, and policing” (Andrisani, 2002: 11). Dengan demikian peran pemerintah daerah semakin strategis dalam mengelola dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Kewenangan untuk mengelola potensi daerah secara maksimal makin terbuka, namun demikian tantangan yang dihadapi daerah tidaklah begitu mudah untuk dapat memenuhi kepentingan daerah dengan berbagai persoalan di daerah. Kebijakan sebagai suatu agregasi nilai dari berbagai aktor di daerah menjadi sumber perhatian tersendiri bagi daerah, bagaimana para pembuat kebijakan dapat mencapai atau mengakomodasi berbagai kepentingan di daerah. Pembatasan rasionalitas administrasi dalam proses ”policy making” dengan mengacu pada pencapaian dan pemenuhan tiga kepentingan yaitu: “self-interest”, kepentingan daripada aktor pembuat kebijakan, “organization interest”, yaitu kepentingan pemerintah daerah, serta ”extra organization interest”, adalah kepentingan yang menyangkut pada lingkungan organisasi atau kepentingan “policy maker as citizen” (Hodgkinson, 1978: 73). Dengan tata kelola (governance) dan melakukan “policy change” atau “sustained product innovation” (Styhre, 2007: 17) paradigma dan pendekatan perumusan kebijakan “good policy choice” (Lankester, 2004:301), kekinian yang mampu memberi ruang gerak bagi partisipasi (participation) semua pihak, mengembangkan jejaring (networking) kelembagaan dan kembali melalui pendekatan musyawarah mufakat “deliberation” (Frederickson & Smith, 2003; Hardiman, 2007), sehingga tujuan dan misi kebijakan untuk mewujudkan keberpihakan dan pemberdayaan kaum lemah (termarginalkan) sebagai misi dan tujuan kebijakan dapat di capai. Gede Sandiasa| 4
International Seminar and National Seminar on “Innovative Governance”
Good governance, prasyarat untuk mencapai pelayanan publik yang berkualitas, juga menuntut pentingnya keterbukaan, transfaransi dan akuntabilitas pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan, hingga kemampuan pemerintah untuk mendayagunakan energi publik dalam proses kebijakan (Widada, 2008: 312). Sedangkan menurut Petter dan Pierre (Frederickson & Smith, 2003) menyebutkan bahwa ada empat elemen dasar karakterisitik governance, yaitu: dominasi jaringan, pengurangan kekuatan control negara, perpaduan antara sumberdaya publik dan privat dan menggunakan multi instrument. Pendekatan deliberation dalam reformasi kebijakan juga menjadi perhatian penting. Menurut Gutmann dan Thompson bahwa pentingnya musyawarah dalam pengambilan keputusan strategis dari sudut pandang kebijakan publik, disebut sebagai “demokrasi deliberatif” merupakan upaya untuk meningkatkan legitimasi keputusan, dengan hati-hati mempertimbangkan tuntutan kelompok yang saling bertentangan, untuk memperluas pemahaman peserta mengenai isu-isu kepentingan bersama, untuk meningkatkan rasa hormat terhadap perbedaanperbedaan yang didasarkan pada nilai-nilai, dan untuk mengembangkan posisi kebijakan yang dapat bertahan dari pemeriksaan kritis berkelanjutan (Smith, 2009: 11). Mendesain kebijakan deliberatif menurut Compston 2009: 40) akan menghasilkan referensi jejaring kebijakan dimana secara kongkrit dalam proses kebijakan akan terpenuhinya: (1) komunikasi preferensi dan asosiasi argumentasi; (2) kombinasi penyebaran sumberdaya bersama dengan menawarkan janji maupun ancaman; (3) berbagai diskursus yang memungkinkan terjadinya pertukaran sumberdaya bersama maupun penyatuan sumberdaya. Melalui pendekatan deliberasi ini, rasa memiliki dan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan menjadi meningkat. menurut Brinkerhoff dan Crosby (2002), menyebutkan ada tiga dimensi yang mesti dikemukakan terkait dengan partisipasi dalam dimensi “decision”, yaitu siapa, apa dan mengapa. “siapa” dapat dilihat keterlibatan berbagai pihak “stakeholders” yang memiliki power dalam mempengaruhi kontruksi kebijakan, partisipan, ini melingkupi stakeholders pemerintah pusat, dengan sub-sub agennya, organisasi non publik termasuk aktor-aktor swasta, berbagai organisasi nasional dan pemerintah daerah, citizen termasuk juga yang kerapkali melibatkan para donor di dunia internasional. Membagi problem kebijakan pada perwakilan publik untuk bersama-sama membuat kesepakatan penyelesaian permasalahan publik menjadi keputusan bersama (King & stiver, 1998: 97). 4. Subak Sebagai Kearifan Lokal Pemberdayaan masyarakat petani melalui subak di Bali sebenarnya sudah dilakukan melalui penerapan tiga konsep yaitu keseimbangan antara manusia dengan Tuhannya (prahyangan); keseimbangan antara hubungan manusia dengan manusia yang lain (pawongan) dan kesimbangan antara hubungan manusia dengan alamnya (palemahan). Ketiga hubungan tersebut di Bali disebut dengan Tri Hita Karana (tidal hal menjadi penyebab), sebab musabab terjadi kebaikan maupun kesejahteraan (Sandiasa, 1999), semua bermula dan berakhir pada penerapan konsep tersebut. Pendekatan pemberdayaan melalui hukum dan kebiasaan masyarakat lokal ini memberikan otonomi yang bebas dari unsur-unsur sosial, politik, etnik maupun gender baik secara individual maupun secara kolektif dalam kehidupan masyarakat Bali. Kearifan lokal adalah adat kebiasaan Gede Sandiasa| 5
International Seminar and National Seminar on “Innovative Governance”
dalam masyarakat yang merupakan terwujudan dari nilai-nilai budaya berdasarkan hasil inovasi lokal, yang dapat dimanfaatkan secara maksimal dan diarahkan secara positif dalam berbagai bentuk dan upaya untuk mengatasi persoalan (Supadi, 2009). Kearifan lokal yang berbasis budaya dan adat, selalu menjadi warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat tradisional. Adat kebiasaan ini melatarbelakangi atau menjadi tonggak sejarah keperilakuan secara turun temurun bagi masyarakat dalam menghadapi berbagai persoalan yang menekan, mendorong dan memunculkan ide-ide kreatif dalam mengisi dan memperjuangkan hak-hak hidupnya. Seperti apa yang dikemukakan Gardner berikut ini “In Most human society, throught most of human history, creativity was neither sought after nor rewarded. Just as human beings have a conservative bent, one that militates againt educational innovation and interdiciplinary leaps, human societies also strive to maintain their current form”. (Gardner, 2006:77). Hal ini juga didukung oleh pendapat berikut, “It appear that some people have experiences that develop their facility in intelectual process associated with creativity and intellegences” (Costa, 1988: 41). Dengan begitu peradaban berkembang sejak jaman sejak awal manusia ada, sampai masuknya dunia modern saat ini. Selanjuntnya pendapat Acwin Dwijendra, 2009 menyebutkan ciri-ciri kehidupan budaya masyarakat tradisional Bali adalah: (1) ciri kehidupan budaya dan masyarakat gotong royong; (2) hubungan yang sejajar antara anggota masyarakat; (3) tidak ada system kasta secara vertikal; (4) susunan pengurus hulu ampad, artinya batas antara pengurus sesuai dengan kedudukannya; (5) sistem politik bersifat fleksibel, tidak meninggalkan tradisi nenek moyangnya, dan bersifat musyawarah dan (6) adanya konsep luanan tebenan (atasan dan bawahan/hulu dan hilir). Kekuatan daya organisasi dan manajemen subak sebagai dimensi kearifan lokal sangat di akui di Bali sejak lama, mampu mengendalikan dan meningkatkan daya kerja masyarakat petani sampai saat ini. Subak memiliki berbagai peran, fungsi, dan kegiatan antara lain (a) pencarian dan pendistribusian air, (b) pemeliharaan fasilitas irigasi, (c) mobilisasi sumber dana, (d) penanganan administrasi subak, (e) penanganan konflik yang dihadapi subak, dan (f) kegiatan ritual atau keagamaan (Anonim, 2007). 5. Rekomendasi Kebijakan Penguatan Masyarakat dan Kelembagaan Petani Reformasi kebijakan dibidang pertanian perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Perubahan dilakukan lebih pada asumsi pilihan publik (Ekelund, JR, 2010) mengacu pada kebutuhan masyarakat petani subak dengan ciri: teknologi sederhana, berbasis kultur, penyelenggaraan program persektor, lebih banyak melibatkan petani, dan menyesuaikan dengan kesediaan waktu dan kemampuan petani, serta peningkatan pengetahuan petani. Menurut Pasaribu (2010: 37) untuk melindungi kepentingan petani, pemerintah mesti melakukan kebijakan berkaitan dengan hal-hal berikut : “(a) to encourage farmers to increase production by reducing the risks involved in higher costs associated with the use of new improved modern technology; (b) to provide cover to the rice farmers against crop losses due to natural causes, so that they are able to fulfill essential needs, including food for the family; (c) to provide financial stability and confidence in the Gede Sandiasa| 6
International Seminar and National Seminar on “Innovative Governance”
farm sector, and thereby reduce the migration of farmers or workers to urban centers; (d) to ensure the recovery of loans of government or other lending agencies in the times of crop failure; and (e) to facilitate the government to budget the assistance to farmers as a part of continuing annual program rather than being faced with ad hoc emergency programs, often hurriedly planned and financed, which are difficult to administer and are prone to inequities and local pressures”. Selanjutnya berdasarkan studi literature dan pengamatan, penulis menyampaikan beberapa rekomendasi. Pertama, perubahan kebijakan langsung terfokus pada Lembaga Pertanian Masyarakat Bali atau subak. Revitalisasi menyesuaikan peranan kembali subak sesuai Perda 2/1972 tentang Irigasi. Tugas lembaga ini lebih fokus pada pembinaan subak, bukan sekadar mengumpulkan pajak bumi dan bangunan (Sutantra, 2009). Kedua, Penguatan dan Proteksi Petani. Model pendekatan tentang akses masyarakat terhadap layanan publik (dalam Nurmandi, 2010) dan penguatan kebertahanan petani terhadap dampak global “counteract the negative effects of technological innovation and economic internationalization” (Compston, 2009) dan perubahan iklim (Ken Coghill & Lewis, 2010). Subsidi bidang pertanian, pembatasan impor hasil pertanian, peningkatan pengetahuan dan kemampuan teknologi petani masih sangat diperlukan, perlindungan tanah subur petani misalnya dari dampak pengembang perumahan dan galian C (Penegasan peraturan Daerah Provinsi Bali nomor 5 tahun 2007). Ketiga, Pemberdayaan Masyarakat Petani Berbasis Managemen Masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan penguatan posisi subak, melalui pengesahan dan pengakuan awig-awig subak (peraturan subak) yang dapat diperkuat melalui perda maupun peraturan pemerintah, yang pemberlakukannya khusus wilayah Bali. Empowered by a “social contract” from the people (Ghani, 2008), diperkuat dengan pendapat sebagai berikut, “their interest in providing the collective good grows and they are able to internalize a larger share of the costs. Given a fixed sum game, as the interests of ‘‘big’’ users grows, by definition shares for ‘‘small’’ users are reduced and they become more likely to free-ride (Ruttan, 2008). Secara bertahap prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan diletakkan pada masyarakat itu sendiri “to buildding relationships with local actors and to including their interests in the change process” (Vellema, 2011: 120); kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasi sumber-sumber yang ditingkatkan; memperhatikan kondisi lokal; menekankan social learning antara birokrasi. Di mana dengan memanfaatkan perkembangan teori baru masyarakat diperlakukan sebagai Citizen’s dapat mewujudkan beberapa manfaat antara lain: assembly members committed themselves to: respecting people and their opinions; open-mindedness– challenging ideas not people; listening to understand; focus on the mandate– preparedness; simple, clear, concise communication; inclusivity – all members are equal; positive attitude; and integrity. (Citizens’ Assembly on Electoral Reform 2004: 68 dalam Smith, 2009: 86). Selama ini masih mengacu pada kepentingan para pengambil kebijakan, misalnya pemberian pupuk organik (tidak dipakai oleh petani), kebijakan impor sapi dan beras (merugikan petani), Gede Sandiasa| 7
International Seminar and National Seminar on “Innovative Governance”
penanganan proyek irigasi yang besar dan waktu lama (merugikan musim tanam petani), pengenaan pajak tidak berdasarkan hasil pertanian dll. Keempat, model Peningkatan Daya Saing: memanfaatkan perkembangan borderless world economy, dengan kesadaran yang semakin tinggi bahwa diperlukan peningkatan daya saing melalui transformasi teknologi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, penguatan system informasi, modernisasi manajemen usaha, serta pembaharuan kelembagaan, secara keseluruhan mengacu pada peningkatan efisiensi dan kualitas layanan, produksi, dan distribusi barang dan jasa dalam pasar domistik, regional, dan global. Kelima, Penguatan dan pengembangan Jaringan bagi Petani. Komunitas mengembangkan jaringan (net working) antara birokrasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dan agen swasta lainnya. Penciptaan jaringan diseluruh sektor-sektor yang menghasilkan nilai publik (Morse, 2007). Mendorong kebijakan yang memungkinkan pihak swasta dan lainnya terlibat dalam menangani masalah petani. 6. Kesimpulan Subak sebagai lembaga tradisional masyarakat petani Bali merupakan kearifan local sebagai perwujudan budaya berdasarkan hasil inovasi local, yang dapat dimanfaatkan secara maksimal dan diarahkan secara positif dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi petani. Subak dapat mendorong dan memunculkan ide-ide kreatif dalam mengisi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat petani. Kondisi sekarang ini, perkembangan pariwisata di Bali banyak memberi dampak negative terhadap keberlangsungan lembaga subak di Bali. Dalam keadaan demikian perlunya kebijakan pemerintah dibidang pertanian dapat diarahkan dalam rangka memperkuat eksistensi lembaga subak, dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat petani. Rekomendasi reformasi kebijakan pertanian yang dapat dilakukan: perubahan asumsi kebijakan yang langsung berfokus pada lembaga subak; penguatan dan proteksi petani; pemberdayaan masyarakat petani berbasis manajemen masyarakat; peningkatan daya saing dan penguatan dan pengembangan jaringan petani. Daftar Pustaka Acwin Dwijendra, Ngakan Ketut, 2009. Arsitektur Kebudayaan Bali Kuno. Denpasar: CV Bali Media Adhikarsa. Al-Saud, M. I., 2010. “Evaluation of Potential Impacts of Agricultural Policy Reforms on Sustainability of Groundwater Resources of Saudi Arabia”. In Journal of Agricultural Science and Technology Oct. 2010, Volume 4, No.5 (Serial No.30), ISSN 1939-1250, USA Andrisani, Paul J., et al., (eds.), 2002. The New Public Management Lessons From Innovating Governors and Mayors. Netherlands: Kluwer Academic Publishers Anonim, 2007. “Revitalisasi Subak Dalam Memasuki Era Globalisasi”. Lentera Pustaka, Denpasar. Anonim, 2011. Pertanian Adalah Nafas Pulau Bali. Denpasar, 28 Februari 2011 jadul1972.multiply.com/.../Pertanian_Adalah_Nafas.
Gede Sandiasa| 8
International Seminar and National Seminar on “Innovative Governance”
Brinkerhoff, Deric W & Benjamin L Crosby, 2002. Managing Policy Reform: Concepts and Tools for Decision Makers in Developing and Transitioning Countries. USA: Kumarian Press Ins, Blue Hills Avenue. Caroll Warren: 1996. Menari Diatas Pijakan Rapuh (Refleksi Keterdesakan Bali Dari Ekspansi Industri Pariwisata). Http://taman65.wordpress.Com /2008/08/30/menari-diatas-pijakan-rapuh-refleksi-keterdesakan-bali-dariekspansi -industri-pariwisata/ Compston, Hugh, 2009. Policy Networks and Policy Change Putting Policy Network Theory to the Test. New York: Palgrave Macmillan. Costa, Arthur L., 1988. Developing Minds, A Resource Book For Teaching Thinking. Virginia: ASCD, Alexandria. Ekelund Jr ,Robert B., & Robert F. Hébert, 2010. “Interest-group analysis in economic history and the history of economic thought”. in Public Choice Public Choice Journal (2010) 142: 471–480 Department of Economics, Auburn University, 404 Blake St., Auburn Frederickson, H.George & Kevin B. Smith, 2003. The Public Administration Theory Primer. Oxford: WestView Press. Gardner, Howard, 2006. Five Minds For The Future. Boston: Harvard Business School Press. Ghani, Ashraf, and Clare Lockhart , 2008. Fixing Failed States A Framework for Rebuilding a Fractured World. Oxford: Oxford University Press, Inc. Hardiman, FB., 2007. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Kanisius. Hodgkinson, Christopher, 1978. Toward a Philosophy of Administration. Oxford: Basil Blackwell. James, Philip A. S., 2010. “Using Farmers’ Preferences to Assess Development Policy: A Case Study of Uganda”. In Development Policy Review, Published by Blackwell Publishing, Oxford OX4 2DQ, UK and 350 Main Street, Malden, MA 02148, USA 2010, 28 (3): 359-378. Jensen, Arild Holt & Garri Raagmaa, 2010. “Restitution of agricultural land in Estonia: Consequences for landscape development and production”. In Norwegian Journal of Geography Vol. 64, 129_141. 2010 RoutledgeTaylor & Francis. Kauripan, Jeffrey, 2010. “Pertanian Lemah Struktur Ekonomi Bali akan Hancur”. Bali Post, 11 Juni 2010 Ken Coghill and Colleen Lewis , 2010. “Climate change and sustainability post Copenhagen: addressing a knowledge gap”. in the Paper of 28th International Congress of Administrative Sciences, Nusa Dua Bali King, Simrell & Camilla Stivers, 1998. Government Is Us: Public Administration in an Anti Government Era. California : Sage Publication Inc. Lankester, Tim, 2004. "Asian Drama’ The Persuit of Modernization In India and Indoensia. Dalam Asian Affair, Vol XXXV, No. III, November 2004. Routledge. Mollinga, Peter P., 2010. “The Material Conditions of a Polarized Discourse: Clamours and Silences in Critical Analysis of Agricultural Water Use in India” in Journal of Agrarian Change, Vol. 10 No. 3, July 2010, pp. 414– 436. Blackwell Publishing Ltd. Morse, Ricardo S., et al., Editor, 2007. Transforming Public Leadership for the 21st Century. M.E. New York and London: Sharpe Armonk. Gede Sandiasa| 9
International Seminar and National Seminar on “Innovative Governance”
Nurmandi, 2010. Manajemen Pelayanan Publik. Yogyakarta: Sinergi Visi Utama. Olper, Alessandro, 2007. “Land inequality, government ideology and agricultural protection”. In Food Policy 32, Elsevier Ltd. (2007) 67–83 Pasaribu, Sahat M., 2010. “Developing rice farm insurance in Indonesia”. In Agriculture and Agricultural Science Procedia 1 (2010) 33–41. Published by Elsevier B.V. Rakotoarisoa, Manitra A., 2011. “The impact of agricultural policy distortions on the productivity gap: Evidence from rice production”. in Food Policy 36 2010 Elsevier. (2011) 147–157 Roth, Dik, 2009. “Property and Authority in a Migrant Society: Balinese Irrigators in Sulawesi, Indonesia”. Development and Change 40(1): 195–217 (2009). in Institute of Social Studies 2009. Published by Blackwell Publishing, 9600 Garsington Road, Oxford OX4 2DQ Ruttan, Lore M., 2008. “Economic Heterogeneity and the Commons: Effects on Collective Action and Collective Goods Provisioning”. in World Development Vol. 36, No. 5, pp. 969–985, 2008 _ 2008 Elsevier. Sandiasa, Gede, 1999. “Implementasi Kebijakan Desa Adat dalam Pembangunan Keluarga Sejahtera (Studi Kasus di Desa Adat Sembiran Kecamatan Tejakula Kabupaten Daerah Tingkat II Buleleng)”. Dalam Tesis. Malang: FIA Brawijaya. Smith, Graham, 2009. Democratic Innovations: Designing institutions for citizen participation. New York: Cambridge University. Soregaroli, Claudio, Paolo Sckokai, & Daniele Moro, 2011. “Agricultural policy modelling under imperfect competition”. In Journal of Policy Modeling 33 . Published by Elsevier Inc. (2011) 195–212. Styhre, Alexander, 2007. The Inovative Bureaucarcy: Bureaucarcy in an Age of Fluidity. Milton Park: Routledge. Supadi, 2009. Model Pengelolaan Irigasi Memperhatikan Kearifan Lokal. Hibah Bersaing Universitas Pasca Sarjana, Universitas Di Penegoro, Semarang Suparta, Nyoman, 2011. “Pembangunan Sektor Pertanian Terpinggirkan Padahal Penyerap Tenaga Kerja Terbesar”. Media Bisnis Bali, 15 Mei 2011. Supriatna, Nana, 2006. Sejarah. Grafindo Media Pratama, Jakarta Sutantra, Nyoman. 2009. “Harapan Mensinergikan Pariwisata dan Pertanian di Bali”. ajegbali.org/taxonomy/term 09/25/2009. Vellema, Sietze, (ed.), 2011. Transformation and Sustainability in Agriculture Connecting Practice with Social Theory. The Netherlands: Wageningen Academic Publishers. Wang, Kai-xia, Hong-an Xiao, & Wen-xiu Zhang, 2011. “Analysis on Influencing Factors of Farmers Involving in Rural Social Endowment Insurance —Take Huiping Town, Qidong City, Jiangsu Province as Example”. In Joumal ofAgricultural Science, Vol. 3, No. 1; March 2011. Widada, YS., dkk,. Edt,. 2008. Revolusi Politik Kaum Muda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Gede Sandiasa| 10