Strategi Pengusaha Jawa Tengah Membesarkan Bisnis Posted By admin On January 8, 2009 @ 12:00 am In Business Update Grup Pisma Dari Kain Sarung sampai Agrobisnis Siapa tak kenal sarung cap Gajah Duduk? Hampir semua orang mengenali merek ini. Namanya melegenda sebagai sarung tenun pria. Terutama menjelang Idul Fitri, iklan sarung ini seperti menjadi tontonan wajib di layar kaca, saking sering munculnya. Walaupun Gajah Duduk sangat terkenal, tak banyak yang tahu siapa di belakang merek tersebut. Adalah PT Pismatex, perusahaan tenun kawakan — berdiri tahun 1972 – yang kini didukung tak kurang dari 7.000 karyawan dengan omset di atas Rp 1 trilun/tahun, produsen sarung tersebut. Pismatex merupakan bagian dari Grup Pisma yang saat ini tak hanya menekuni bidang tenun, tapi juga merambah ke bisnis-bisnis lain. Ghozi Salim (alm.) adalah yang pertama kali membangun Pismatex. Pria berdarah Arab ini mendirikan pabrik di kawasan Bligo, Buaran, Kabupaten Pekalongan, yang berkembang hingga sekarang — mencapai posisi sebagai pemimpin pasar di bisnis kain sarung. Sayangnya, tahun 1992 Ghozi dan salah seorang putranya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas sehingga Pismatex kehilangan sosok pemimpin perusahaan. Tak ada pilihan lain, putra sulung Ghozi, Jamal Ghozi, yang tengah berada di Jepang, akhirnya dititahkan melanjutkan bisnis keluarga ini. †Tidak ada lagi yang meneruskan karena saudara yang lain perempuan,†ujar Jamal, anak sulung dari empat bersaudara itu. Setelah menamatkan pendidikan di Shinshu University, Nagano, Jepang, Jamal memang tidak langsung pulang ke Indonesia. Ia membuka perusahaan perdagangan di kota yang berjarak 120 km dari ibukota Jepang, Tokyo. Tak jauh dari bisnis keluarganya, ia memilih bisnis perdagangan tekstil. Panggilan keluarga untuk segera mengurus Pismatex membuat Jamal harus meninggalkan bisnis tekstilnya di Jepang. Akan tetapi, tak ingin serta-merta melupakan Negeri Sakura, ia justru mendirikan perusahaan trading baru di luar bidang tekstil, yakni electronic support. Dengan demikian, ia masih sering bolak-balik Indonesia-Jepang. Bisnis baru tersebut sebenarnya tak jauh dari usaha baru yang dikembangkan ayahandanya. Sebelum wafat, Ghozi sempat mendirikan usaha patungan dengan perusahaan asal Jepang, KMK Industrial Co. Ltd., yakni PT KMK Plastics Indonesia, yang bergerak di industri komponen elektronik, khususnya plastik dan moulding. Perusahaan ini terus berekspansi dengan membangun PT KMK Precision Indonesia yang fokus pada manufaktur molding dan reconditioning. Tahun 1993 mulailah Jamal berkiprah di Pismatex. Ia pun melakukan berbagai pembenahan. Di antaranya, memperbarui dan menambah mesin-mesin untuk proses produksi. Ia mendatangkan mesin-mesin tekstil baru dari Jepang dengan teknologi mutakhir. Mesin yang tadinya hanya 200 unit ditambah hingga menjadi 1.400 unit. Karyawan pun melonjak drastis hingga 4.000 orang. †Yang dibutuhkan adalah inovasi. Pada saat itu kesempatan masih bagus,†ujarnya. Investasi terus dilakukan secara bertahap hingga 1997, sebelum krisis ekonomi datang. Jamal mengatakan, di bisnis tekstil, tak ada patokan baku tentang besaran investasi agar bisa menjadi perusahaan tekstil yang terintegrasi. †Investasi Rp 1 miliar atau Rp 1 triliun juga bisa, hanya beda skala,†katanya. Bahkan, menurutnya, investasi sebesar Rp 1 triliun tidak cukup untuk membuat pabrik tekstil terintegrasi. Pismatex saat ini sudah menjadi pabrik tekstil terintegrasi. Perusahaan mampu melakukan proses pembuatan benang (spinning), pembuatan kain (weaving), penyempurnaan kain (finishing), pewarnaan (dyeing) hingga menjadi produk garmen. Ekspansi di bisnis tekstil ini terwujud dengan didirikannya pabrik spinning, PT Pisma Putra Tekstil, tahun 2000. Pabrik ini membuat berbagai macam benang, mulai dari polirayon, poliester, rayon hingga katun. †Awalnya memang untuk Pismatex, tapi akhirnya juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan benang dalam negeri maupun luar negeri, seperti Jepang, Eropa dan Amerika Latin. Jumlahnya hanya 20% yang
ekspor,†ujar Jamal yang lahir tahun 1960. Perusahaan ini memiliki kapasitas produksi 4.000 bal/bulan. Selain sarung, Pismatex juga memproduksi baju Muslim dan kain untuk baju. Target pasarnya, 30% ekspor ke negara-negara Timur Tengah. Meskipun begitu, produknya bisa sampai ke negaranegara Afrika karena produk yang diekspor ke Dubai dan Jeddah bukan hanya untuk pasar lokal di sana, tetapi diekspor lagi ke Afrika. Hanya saja, merek yang digunakan bukan Gajah Duduk, cukup †Made in Indonesia, Pismatex†. †Negara Afrika atau Middle East tidak mau merek binatang, anti,†kata suami Azza Dina itu. Sarung Gajah Duduk juga diekspor ke Malaysia, Thailand dan Brunei. Saat ini, setiap bulan Pismatex mampu menghasilkan 1 juta lembar kain sarung. Jumlah tersebut sudah termasuk dari produksi mitra usahanya di Pekalongan. †Tidak semua produk kami produksi sendiri, sebagian juga diberi ke beberapa orang, Mereka adalah mantan karyawan kami yang sudah pensiun. Mereka kami bekali pekerjaan agar mandiri,†tutur Jamal. Selain karena ada kesempatan, kunci sukses Gajah Duduk, menurut Jamal, juga karena keberanian perusahaannya dalam mendatangkan mesin-mesin baru dan membangun merek. Menurutnya, mengelola merek bukan hal mudah. †Membangun merek tidak gampang, harus berinvestasi untuk membangunnya, seperti memelihara anak, harus diberi makan, disekolahkan di tempat yang bagus agar pintar,†kata pria asal Surabaya itu. Kini, bisnis tekstil memberi kontribusi 40% terhadap total pendapatan Grup Pisma yang menurut Jamal sudah mencapai Rp 1 triliun lebih. Bisnis elektronik memberi kontribusi 30%. Selebihnya berasal dari bisnis properti dan toiletries. Di bisnis elektronik, selain PT KMK Plastic Indonesia dan PT KMK Precision Indonesia, Grup Pisma pun memiliki PT J-Tech Manufacturing of Indonesia (J-Tech) yang didirikan tahun 2003. Ini merupakan perusahaan pendukung industri elektronik yang 90% target pasarnya adalah Jepang. J-Tech berdiri pada Oktober 2002. Sebelumnya, perusahaan ini memiliki pabrik di Cileungsi, Bogor. Namun, pada April 2005 pabriknya dipindah ke Karawang, dengan perlengkapan mesin yang lebih representatif. Pabrik seluas 1,8 hektare itu memproduksi komponen telepon seluler. Perusahaan ini memproduksi perangkat mobile phone dan fixed wireless phone. Selain itu, J-Tech memproduksi 200 komponen elektronik lainnya seperti telepon rumah, printer, transformer pocket dan motor. “Kalau dukungan industri tidak bicara kapasitas produksi, tergantung order,†ujar Jamal. Sejumlah perusahaan kelas dunia seperti Panasonic, Sanyo, Sony Aiwa, Epson, Moric dan Shinetsu sudah masuk dalam daftar pelanggan perusahaan ini. Tahun 2004, J-Tech membentuk usaha patungan dengan PT Inti, yaitu dengan mendirikan PT Inti Pisma Internasional, yang memproduksi ponsel CDMA dengan merek Nexian. Tahun 2006 Nexian berhasil mencatatkan diri di Museum Rekor Indonesia sebagai ponsel pertama dan satu-satunya yang dirakit di dalam negeri, sekaligus juga yang berhasil memproduksi 100 ribu unit ponsel dalam kurun 6 bulan. Selain tekstil dan elektronik, Grup Pisma juga menaungi PT Malidas Sterilindo, perusahaan manufaktur pihak ketiga untuk produk kecantikan dan toiletries. Sejak 1996, perusahaan yang terletak di Sidoarjo ini menghasilkan produk Johnson & Johnson untuk bayi dan dewasa. Ada juga perusahan yang fokus di bidang distribusi farmasi dan peralatan kesehatan, yaitu PT Pisma Medica, yang berdiri pada 2005. Di bisnis pengembang properti, grup ini memiliki PT Pisma Gajah Putra Realestate, yang lokasi proyek-proyeknya ada di Pekalongan. Perusahaan ini membuat rumah hunian Pisma Griya Permai I (total 552 unit) di Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan, di atas lahan 9,2 ha. Ada juga Pisma Griaya Permai II yang didirikan di atas tanah seluas 5 ha di Desa Wiradesa, Kab. Pekalongan. Jamal mengatakan, kunci sukses sebagai wirausaha adalah harus selalu memiliki jiwa optimistis dan tidak mudah menyerah. Selain itu, juga punya keberanian untuk terjun ke dunia bisnis. Manusia diciptakan sempurna, sekarang tinggal bagaimana memanfaatkan karunia Tuhan itu. Berdasarkan pengalaman, akan didapat insting bisnis yang bagus. †Seperti apa pun
melakukan perhitungan dan sepintar apa pun orangnya, risiko rugi pasti ada,†menegaskan.
ujarnya
Meski sempat tertunda karena krisis ekonomi global saat ini, tahun depan Grup Pisma akan melakukan ekspansi di bidang agrobisnis, yaitu pupuk dan bioetanol. Jamal akan menanamkan investasinya ini, lagi-lagi, di Jawa Tengah. †Kenapa Ja-Teng, kalau tidak Ja-Teng, nanti saya dimarahi Pak Bibit,†ujarnya sembari tertawa ringan. Orang yang dikenal dekat dengan Bibit Waluyo, Gubernur Ja-Teng, ini mengatakan, ada keinginan untuk meng-go public-kan salah satu perusahaannya. †Tidak tahu yang mana dulu, apa yang elektronik atau tekstilnya, namun banyak orang yang mengharapkan tekstilnya karena produknya sudah punya brand,†kata pehobi traveling ini. Taufik Hidayat dan Moh. Husni Mubarak Bintang Putra Mobilindo: Raja Mobil Honda di Solo Di Kota Solo, Jawa Tengah, hanya ada dua dealer resmi mobil Honda: Honda Bintang yang ada di Jl. Brigjen Slamet Riyadi 181, dan Honda Solo Baru di Jl. Raya Solo Baru. Meski beda nama dan tempat, kedua dealer ini pemiliknya satu, di bawah payung PT Bintang Putra Mobilindo. Pemiliknya adalah suami istri Handoko dan MHM. H. Kristianti. Prestasi yang diraih kedua dealer itu tergolong ciamik. Penghargaan Best Performance dari PT Honda Prospect Motor di tahun 2004 dan juga juara I untuk Quick Service tingkat regional tahun 2008 telah diraih. Tak hanya itu, penjualan unit kendaraan yang dijajakannya pun tak pernah sepi dari tahun ke tahun, malahan selalu melebihi target. Misalnya pada 2007, dealer Honda Solo Baru menargetkan penjualan 293 unit, tapi realisasinya mencapai 312 unit. Kondisi serupa juga berlaku di Honda Bintang yang realisasinya mencapai 330 dari target 311 unit. Dealer milik Kristianti ini dijadikan agen tunggal Honda sejak 1997. Saat itu menjelang krisis moneter, ia baru memiliki satu dealer mobil, yaitu Honda Bintang. Belum sempat mengecap manisnya berbisnis mobil Honda, Solo dilanda kerusuhan pada 2008. Tak heran, dari Mei sampai Agustus 1998, Honda Bintang sempat berhenti. Namun, petinggi Honda Prospect Motor, Ang Kang Hoo, menyemangati dirinya untuk bangkit kembali. “Waktu itu kami dikirimi mobil, termasuk kendaraan operasional,†tutur Kristianti mengenang. Alasan lainnya Kristianti membuka dealer-nya kembali, karena menurut catatan, sedikitnya terdapat 300-an unit mobil yang dibakar saat kerusuhan itu. “Orang kan butuh alat transportasi juga. Jadi saya putuskan untuk membuka dealer mobil lagi,†ia mengungkapkan, “Meskipun waktu itu daya beli konsumen belum meyakinkan.†Pasalnya, pelanggan masih waswas mengenai keamanan. “September mulai buka, kami bisa jual 6 unit,†ujarnya menambahkan. Untuk mengembalikan gairah pasar, ia memperpanjang warranty claim. Misalnya, di bidang servis yang biasanya hanya 10 ribu km atau tiga bulan, bisa sampai satu tahun servis gratis. Selain itu, ia juga menurunkan bunga kredit serta insentif dan bonus bagi pembeli. Diyakini Kristianti, penjualan sangat terbantu dengan metode ini. Nah, pada 1999 ia membuka outlet baru di kawasan Solo Baru (Kabupaten Sukoharjo). Pasarnya cukup besar, karena banyak penduduk kelas menengah-atas yang tinggal di wilayah ini. Makanya, dealer dan bengkel yang ada di sini lebih besar, yakni seluas 4.200 m2. Dealer baru ini diserahkan sepenuhnya pada anak pertamanya, Edwin Nugroho. “Penjualan Honda per tahun cukup menggembirakan sejak outlet ini dibuka. Bahkan penjualannya selalu melebihi target,†Edwin menambahkan. Sejatinya, kesuksesan ini tak diraih dalam sekejap. Kristianti menuturkan, cikal bakal bisnisnya itu dimulai sejak 1972. Saat itu, ia bersama suaminya, Handoko, mencoba peruntungan dengan meneruskan usaha jual-beli mobil milik mertuanya. Sebagai anak tunggal, suami Kristianti diharuskan melanjutkan bisnis bapaknya (L. Anwar). Menurutnya, sang mertua itu cukup disegani di bisnis mobil Kota Solo.
Yang dijual waktu itu tak hanya mobil bekas, tapi ada pula mobil baru. Hanya saja, ketika itu belum ada showroom khusus yang dimanfaatkan untuk memajang dagangannya. Bahkan, bengkel untuk perbaikan mobil pun belum punya. Perlahan tapi pasti, perusahaannya bernama Star Motor mulai mekar Nah, Dewi Fortuna mulai menghampirinya pada 1974. Saat itu PT Astra International menunjuk dealer milik Kristianti ini menjadi dealer resmi Daihatsu, Peugot dan Renault. Alasannya, di samping Astra di Semarang belum buka, juga prestasinya dinilai lumayan untuk penjualan mobil di Solo. Selain itu, pasar truk di Solo juga sedang booming. Apalagi, merek Daihatsu saat itu sedang merajai. Sewaktu ditunjuk oleh Astra inilah peralatan perbengkelannya bertambah. Astra, disebutkan Kristianti, memberikan pula semacam kredit untuk pengadaan alat perbengkelan. “Pengetahuan saya tentang otomotif juga bertambah karena sering mengikuti training yang diadakan Astra,†tutur kelahiran Kutoharjo 16 Maret 1948 ini. Namun, masa keemasannya dengan Astra ini segera berakhir ketika Astra akhirnya membuka authorized dealer sendiri di Kota Solo sekitar tahun 1985 dan selanjutnya di Semarang. Setelah putus dengan Astra, Star Motor menjadi agen tunggal penjual mobil Ford di Solo. Hanya saja, karena merek Ford dinilai kurang laku, Kristianti pun kembali menjual berbagai merek mobil hingga akhirnya dipinang Honda. Dede Suryadi dan Sigit A. Nugroho Grup Sambas Jaringan Bisnisnya Menyerap 500 Karyawan Lebih Keluarga Sambas bisa dibilang salah satu ikon Kota Purbalingga. Maklum, jaringan bisnis keluarga ini lumayan luas, seperti kontraktor (general contractor), pengolah hotmix, alat berat, bahan bangunan, minimarket Alfamart, optik, toko emas, bengkel mobil, SPBU, percetakan dan pendidikan (sekolah Islam modern terpadu). Semua usaha itu di bawah payung Grup Sambas yang mempekerjakan sekitar 500 karyawan. Hebatnya, kiprah bisnis ini tidak sebatas di Purbalingga, tapi juga merambah ke Purworejo, Cilacap, Banjarnegara, serta kabupaten lain sekitar Banyumas. Tak mengherankan, masyarakat setempat menjuluki keluarga ini sebagai “wong sugih†-nya Purbalingga. Nama Sambas bukan asal comot. Nama itu terkesan menyiratkan keluarga itu berasal dari Kalimantan. Padahal, Sambas yang ini bukanlah sebutan klan, melainkan singkatan Suchari Adi Mulyo Asli Banyumas. Dan, Suchari Adimulyono (alm.) adalah orang yang membidani bisnis keluarga itu pada 1970-an. Kemudian, anak-anaknya membesarkan perusahaan hingga menjadi konglomerat daerah. Sejak awal, pengelolaan bisnis Grup Sambas telah melibatkan generasi kedua. Mereka terdiri atas 7 kakak-beradik, dua di antaranya adalah Widji Laksono dan Eling Purwoko. “Sebenarnya kendali Grup Sambas dipegang oleh Mas Eling, tapi beliau akhir-akhir ini banyak bergerak di bidang sosial. Saya baru bergabung dengan perusahaan pada 1993. Jadi, lima tahun belakangan saya lebih banyak berperan, †ujar Widji, Direktur Grup Sambas, menjelaskan. Widji mengaku bisnis Grup Sambas berkembang pesat dalam 10 tahun terakhir. Kemajuan itu dicapai dengan berbagai upaya dan strategi jitu. “Kami memang terus mencoba, berikhtiar dan belajar tiada henti. Saya selalu mengikuti perkembangan-perkembangan dunia bisnis konstruksi, yang menjadi core bisnis kami, hingga perkembangan teknologi,†tutur sarjana hukum dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, ini. Menurutnya, bisnis harus dikembangkan secara profesional, antara lain dengan menjaga kualitas dan kesinambungan serta memberdayakan pegawai. Biasanya bisnis konstruksi sarat dengan proyek-proyek pemerintah. Namun, Grup Sambas melalui PT Sambas Wijaya (lini bisnis konstruksi) tidak mau mengandalkan proyek dari pemerintah sebagai lahan utama. Mereka lebih mengutamakan bekerja sesuai dengan komitmen yang mengacu pada prosedur operasional standar dan mutu, serta menjaga nama baik keluarga. Contohnya, grup ini menggarap proyek pembangunan pabrik dan gudang PT Boyang Industry. Pabrik ini adalah produsen rambut palsu terbesar di kota itu dan baru relokasi dari Guangzhou,
Cina, ke Purbalingga. Asal tahu saja, selama ini bisnis konstruksi Sambas mengerjakan paketpaket proyek yang nilainya di atas Rp 25 miliar. Manajemen Grup Sambas menyadari karyawan adalah aset penting. Itulah sebabnya, untuk meningkatkan kualitas karyawan, secara rutin diundang beberapa trainer. Misalnya, Ary Ginandjar dari ESQ atau konsultan sertifikasi mutu ISO. Sementara untuk menjaga loyalitas bawahan, secara berkala perusahaan ini memberangkatkan haji karyawan. Dari tahun 2003 sampai sekarang, sudah ada 11 karyawan yang berhaji gratis. Bagi Widji, melihat kondisi dunia bisnis sekarang, investasi yang paling memungkinkan adalah memanfaatkan daerah setempat. Untuk itu, anak ke-4 dari 7 bersaudara ini akan berekspansi ke usaha pengolahan bahan makanan dan minuman yang terintegrasi. “Saat ini rencana pabriknya masih dalam tahap studi kelayakan. Mungkin tahun 2009 akan terealisasi,†ujar pengusaha berusia 39 tahun itu. Pabrik yang diperkirakan menelan dana ratusan miliar itu juga melibatkan para investor lokal dari Purbalingga. Bahan bakunya bakal dioptimalkan dari daerah setempat. Perusahaan yang nantinya zero waste process ini diharapkan bisa melempar mayoritas produknya ke pasar ekspor. Grup Sambas sangat peduli terhadap penciptaan lapangan kerja. “Kami ingin menjadi salah satu perusahaan yang ikut berperan di dalam era penciptaan lahan kerja untuk mengurangi pengangguran,†kata Widji. Menurut dia, makin banyak orang bekerja, makin makmur daerah tersebut. “Kalau Purbalingga yang penduduknya hampir 1 juta makmur, bisnis pun ikut berkembang,†ujar suami Aryawindarti itu menambahkan. Eva Martha Rahayu/Herning Banirestu Mustika Jati Jepara: Pionir dan Eksportir Mebel Jati Kota Jepara memang identik dengan produk mebel berbahan baku kayu jati. Lihat saja, di kota ini showroom mebel ada di mana-mana. Dari kota ini pula muncul CV Mustika Jati Jepara (MJJ) sebagai pemain bisnis mebel terkemuka di Tanah Air, khususnya produk mebel kayu jati. MJJ dirintis oleh H. Ikhsan Hasyim (almarhum) pada 1973. Dalam tempo singkat, MJJ mampu merambah pasar Jakarta, walaupun lebih sebagai pemasok ke sejumlah showroom mebel ternama seperti Candi Baru, Hasta Karya dan Karya Guna. Saat itu, jenis produk mebel yang dipasarkan pun masih terbatas pada perlengkapan rumah tangga seperti dining set, display cabinet, sofa set, dan dressing table, belum sampai menggarap office set. Penataan perusahaan dan perubahan strategi pemasaran mulai dilakukan di MJJ ketika anak-anak H. Ikhsan, yakni H. Noer Yachman dan 7 saudaranya, masuk ke perusahaan ini pada 1990. Selain berkiprah di MJJ, Yachman dan saudara-saudaranya juga memiliki bisnis mebel sendiri. Setiap gerai yang mereka miliki pasti diberi nama Mustika. Di Jepara ada Mustika Sapta Kencana dan New Mustika. Sementara di Jakarta ada Mustika Jati Baru (milik Turchamim), Mustika (milik Siti Kurniati), dan Mustika Jepara (milik Yachman). Di Jakarta, mereka menguasai sentra mebel di Jl. Raya Bekasi Km 18, dan mereka juga memiliki bengkel finishing sendiri. Menurut Yachman, ketika ia dan saudara-saudaranya masuk, MJJ tengah mengalami stagnasi. Strategi pemasaran yang dilakukan bapaknya dinilainya kurang yahud dan tidak agresif. “Dulu, Bapak belum memikirkan pasar luar negeri. Padahal, kebutuhannya cukup besar,†ucap Yachman yang dipercaya sebagai Direktur MJJ. Oleh karena itu, setelah dipercaya memegang tampuk pimpinan di MJJ, Yachman dan saudarasaudaranya langsung menerapkan strategi membidik pasar ekspor. Pasar Amerika Serikat, Eropa dan Asia menjadi bidikan utamanya. Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia ini mulai menjaring pembeli asing melalui jaringan yang dimilikinya. Tak hanya itu, Yachman sengaja melebarkan sayap Divisi Pemasaran MJJ ke Singapura. Tujuannya untuk menjaring para pembeli asal Singapura. Negeri Singa ini dianggap potensial karena banyak pemasarnya yang singgah ke sini. Bahkan, MJJ pernah pula membuka divisi yang sama di Malaysia. Tak lupa, Yachman pun memanfaatkan teknologi Internet untuk memasarkan produknya (lewat situs
www.mustikajati.co.id). “Agar buyer ataupun customer dapat langsung mengorder dari tempat tinggalnya,†ia menjelaskan. Perubahan strategi bisnis ini cukup menakjubkan. Dalam sebulan, Yachman menceritakan, MJJ mampu mengekspor produk mebelnya sebanyak 15 kontainer – satu kontainer nilainya mencapai sekitar Rp 250 juta. Itu hanya untuk pasar Kanada dan AS. Padahal, dalam perkembangannya kemudian pasar ekspor MJJ juga mencakup Asia dan Eropa. Lambat laun nama MJJ mulai dikenal oleh buyer luar negeri. Keadaan yang sama juga terjadi pada pasar lokal. “Buyer lokal juga merekomendasikan produk Mustika,†Yachman mengklaim. Untuk pasar domestik, menurut Yachman, produk MJJ sudah merambah ke seluruh Indonesia, walaupun gerainya hanya terdapat di Jepara dan Jakarta. “Tapi mitra bisnis kami ada di Bali, Makassar dan Kalimantan. Kami memasok showroom-showroom yang ada di Indonesia,†ungkap Yachman, yang menilai besarnya pasar lokal sama dengan pasar ekspor. Toh, Yachman mengakui, krisis global yang terjadi saat ini berimbas pula pada kinerja MJJ. Dalam 7 bulan terakhir, terjadi penurunan 20%-30% untuk pasar ekspor. Sementara untuk pasar lokal, penurunannya mencapai 15%. Di sisi lain, investor asing mulai merangsek masuk dan memproduksi sendiri, sehingga persaingan semakin ketat. Akibatnya, ia mengakui omset MJJ melorot hingga 20%, hingga terpaksa merampingkan karyawan. Kalau sebelumnya pegawainya sekitar 500 orang, kini tinggal setengahnya. “Sekarang ini pengadaan bahan bakunya tergolong susah,†kata Yachman menyebut masalah yang lain. Agar tetap eksis dan memenangi persaingan, Yachman melakukan beberapa perubahan strategi dengan prinsip mengikuti selera pasar. Antara lain, dengan memunculkan desain dan finishing baru yang menarik dengan mengikuti kemauan pasar. Misalnya, untuk pasar Asia lebih banyak menampilkan ukirannya, sedangkan untuk pasar AS dan Eropa, lebih menawarkan konsep minimalis. Selain itu, MJJ juga mulai mengalihkan pasarnya dari AS ke Asia Timur. A. Mohammad B.S. & Sigit A. Nugroho Pasar Raya Sri Ratu: Pionir Pusat Perbelanjaan Modern di Semarang Boleh dibilang Pasar Raya Sri Ratu adalah raja ritel dari Jawa Tengah. Bagaimana tidak, selain kepeloporannya, dalam bisnis pusat perbelanjaan modern yang dirintis sejak tahun 1970-an, gerainya juga terus beranak pinak. Dari Semarang, gerai Sri Ratu merambah ke Purwokerto, Tegal, Pekalongan, bahkan meluas hingga ke Jawa Timur, yakni di Kediri dan Madiun. Hebatnya, meski belakangan jaringan hypermarket dan supermarket asal Jakarta agresif menyerbu Semarang, Sri Ratu tetap eksis. Lihat saja kehadiran gerai Carrefour, Hypermart, Makro, Matahari Department Store, dan Alfa Supermarket yang menambah marak persaingan bisnis ritel di ibu kota Ja-Teng itu. Namun, entah mengapa justru beberapa peritel besar yang menjadi kompetitor Sri Ratu itu malah limbung. “Sebenarnya kami sempat grogi juga dikepung oleh peritel kakap dari Jakarta. Apalagi beberapa lokasi Sri Ratu head to head dengan peritel-peritel raksasa tersebut,†tutur Resturiadi Tresno Santoso yang membesut Sri Ratu bersama istrinya, Tutik Santoso. Resturiadi memiliki jurus khusus agar Sri Ratu bisa memenangi persaingan. “Kami mengubah konsep Sri Ratu dari one stop shopping menjadi mal,†ujar pria kelahiran Yogyakarta tahun 1949 itu. Maka, di akhir tahun 2008 bos yang membawahkan 4.500 karyawan ini memperluas tiga toko Sri Ratu menjadi mal, yakni gerai toko di Madiun, Tegal dan Kediri. Kunci keberhasilan lainnya dalam mengelola Sri Ratu: tekun dan ulet. “Yang jelas, kami harus customer-oriented dan memberi pelayanan terbaik,†kata Resturiadi yang juga berbisnis ayam petelur di bawah payung PT Rehobat. Tidak kalah penting, kekuatan Sri Ratu
adalah memiliki relasi bisnis yang luas di luar negeri. Kolega-kolega inilah yang memasok aneka rupa produk fashion-branded ke Sri Ratu. Resturiadi mengisahkan cikal bakal kelahiran Sri Ratu. Mula-mula usahanya itu hanyalah toko kecil biasa yang dibuka pada 1978. Ia dipaksa ayahnya untuk mandiri secara ekonomi dengan membuka usaha toko. “Awalnya saya bingung, toko ini mau diisi apa. Untunglah, ada beberapa relasi saat saya menjadi salesman sepatu yang bersedia menjadi pemasok dengan sistem pembayaran di belakang,†ujarnya sembari mengutarakan, awalnya jumlah pegawai yang digaji hanya 20 orang. Tak dinyana, dalam perkembangannya toko itu menjadi besar. Dan, tahun 1986 bendera Sri Ratu mulai dikibarkan dengan diikrarkan sebagai pusat perbelanjaan modern pertama yang sudah berpendingin dan ada fasilitas eskalatornya. “Betul, sebelum Sri Ratu sudah ada supermarket Mickey Mouse. Tapi, supermarket itu belum ada AC dan eskalatornya,†Resturiadi menuturkan. Jadi, ia menegaskan, Sri Ratu-lah yang menjadi pionir pusat perbelanjaan modern ber-AC dan memiliki tangga berjalan yang otomatis. Gerai Sri Ratu yang perdana di Semarang dibangun setinggi empat lantai dengan masing-masing lantai seluas 1.500 m2. Dengan konsep one stop shopping kala itu, Sri Ratu terdiri dari department store, supermarket, kafetaria dan arena bermain anak-anak. Ketika membangun Sri Ratu, Resturiadi mengaku tidak semata-mata mengejar untung, melainkan juga membawa misi pemberdayaan ekonomi dari Pemda Semarang. Mereka menginginkan adanya pembangunan pusat perbelanjaan yang bisa menjadi lokomotif ekonomi bagi masyarakat sekitar. Itulah sebabnya pembangunan Sri Ratu didukung penuh oleh Bank Pembangunan Daerah Jateng. “Tujuannya memang untuk lebih menghidupkan dan menjadi lokomotif ekonomi Kota Semarang,†ia menambahkan. Sewaktu pertama diperkenalkan, Sri Ratu sempat menimbulkan pro dan kontra. Kala itu, banyak yang pesimistis bahwa Sri Ratu akan bertahan lama dengan penampilannya yang megah dan modern. †Orang-orang menganggap cost kami akan tinggi, sehingga tidak bisa ditutup dengan omset penjualan,†papar Resturiadi. Toh, faktanya tidak demikian. Malahan, Sri Ratu terus mengepakkan sayap bisnisnya. Setelah sukses di Semarang, setiap dua tahun muncullah cabang Sri Ratu di tempat lain. Selain menambah gerai di Semarang, tepatnya di kawasan Peterongan, Sri Ratu merambah pula ke kotakota lain. Sekadar informasi, ekspansi Sri Ratu keluar kota Semarang ternyata sebagian besar atas permintaan dari pemda setempat yang menginginkan daerahnya maju. “Meski kami diminta, tidak ada fasilitas khusus, kecuali kemudahan perizinan,†ucap bapak dua anak itu. Eva Martha Rahayu/Gigin W. Utomo Tong Tji: Dedengkotnya Teh Melati Bagi penggemar jasmine tea, merek Tong Tji pasti tak asing. Apalagi, Tong Tji menawarkan berbagai pilihan produk — yang biasa ataupun yang eksklusif — dengan kemasan yang apik dan modern. Meski terkenal, banyak yang tak tahu bahwa usia bisnisnya telah mencapai 60 tahun. Sekarang, pengelolaannya berada di tangan generasi ketiga. Tatang Budiono, Direktur Perusahaan Teh Dua Burung (PTDB, pemilik merek Tong Tji), mengungkapkan bahwa kakeknya, Tan See Giam, mendirikan perusahaan ini pada 1938. Boleh dibilang, PTDB merupakan salah satu pelopor industri teh di Tegal. Saat itu, merek Tong Tji belum ada, karena baru dilahirkan pada 1965, dari tangan Suwandi Tjahjanto, ayah Tatang. Merek Tjong Tji diposisikan sebagai merek kedua dengan mutu kelas satu, melengkapi merek Teh Dua Burung yang lebih dulu beredar. Menurut Tatang, yang menonjol dari perusahaan warisan keluarganya adalah komitmennya terhadap mutu teh. Ia mengungkapkan pada saat krisis ekonomi 1985, harga bahan baku teh
meningkat tajam sementara daya beli menurun. Saat itu banyak perusahaan teh menurunkan kualitas tehnya supaya harganya terjangkau. Namun, PTDB justru melakukan sebaliknya: menaikkan harga, tapi kualitas teh dipertahankan. “Perlu perjuangan, karena rata-rata harga kami lebih tinggi dari yang lain, tapi kualitas yang utama,†ujar laki-laki kelahiran Tegal, 14 Juli 1958, ini seraya menambahkan, perusahaannya memiliki tim riset & pengembangan sendiri. Meskipun terhitung sebagai perusahaan tua, inovasi produk tampaknya selalu menjadi perhatian PTDB. Menurut Tatang, inovasi yang pertama kali dilakukan perusahaannya adalah meluncurkan teh celup pada 1990. Saat ini teh celup tersebut telah dikembangkan ke berbagai varian. Selain jasmine tea (teh melati), ada juga black tea jasmine, green tea, green tea jasmine, lemon tea dan, yang baru dipasarkan, mix fruit infusion (lemon, peach dan strawberry). Gebrakan lainnya, perusahaan ini memelopori pembuatan gerai teh kemasan cup siap minum. Ide itu timbul ketika Tatang jalan-jalan ke luar negeri. Saat itu, ia melihat bubble tea yang dijual di pinggir jalan dengan menggunakan kemasan cup. Awalnya, gerai teh Tong Tji ini memberikan minuman segar es teh secara gratis di lokasi-lokasi strategis seperti mal atau pasar. Ternyata, sambutannya luar biasa sehingga gerai ini menjual es teh cup dengan harga Rp 2.500/cup, tergantung lokasinya. Meskipun gerai es teh cup ini banyak diminati orang untuk di-franchise-kan, Tatang belum mau melakukannya. Alasannya, ada risiko penurunan kualitas teh Tong Tji. “Pengawasannya susah,†katanya. Saat ini pengelolaan gerai-gerai ini diberikan ke orang-orang yang betulbetul dipercaya. Biasanya karyawan atau keluarga karyawan. “Jadi, saya tidak mengutamakan kuantitas. Takutnya menjatuhkan kami sendiri.†Kekhasan tehnya, menurut Tatang, rasanya sepet dengan kadar tanin yang tinggi sehingga rasanya lebih kuat. Menurutnya, hal ini dimungkinkan karena daun teh yang digunakan adalah daun teh pilihan, yang berasal dari Sukabumi, Jawa Barat. Daun teh ini dicampur dengan bunga melati yang diambil dari pantai utara Jawa (Pantura) sekitar Tegal. Pemasaran teh Tong Tji masih berkonsentrasi di Pulau Jawa, dan mayoritas di Ja-Teng dan Jawa Barat. Semua bahan itu diolah di pabrik dengan 300 karyawan di Desa Padaharja, Kecamatan Kramat, Tegal. Kapasitas produksinya 3-4 ton/hari tergantung pada jumlah bunga melati yang ada. Pasalnya, produksi bunga ini sangat tergantung musim. Tatang mengklaim perusahaan teh yang memiliki total 1.000 karyawan ini masuk lima besar nasional untuk kategori jasmine tea. Menurut pehobi golf ini, pasar teh Indonesia masih sangat besar karena minum teh merupakan bagian dari tradisi bangsa ini. Bahkan, saat ini anak kecil saja suka minum teh. Diakuinya, dari segi permodalan, perusahaannya kalah dibanding dengan kompetitor. Itulah sebabnya, ia hanya mau bersaing dalam hal inovasi produk. Dengan anggaran promosi 5%, PTDB lebih banyak melakukan promosi below the line. Sebagai generasi ketiga, ayah empat anak ini telah mempersiapkan putra-putrinya — yang bersekolah di Australia– untuk menggantikan posisinya di perusahaan. Anak pertama dan keduanya sudah belajar dan terjun ke perusahaan. “Mereka harus tahu dan mulai dari bawah,†ujar Tatang. †Saya katakan (kepada mereka), perjuangan kalian lebih berat daripada saya dulu,†tutur pria yang duduk di tampuk kepemimpinan perusahaan pada usia 19 tahun karena ayahnya meninggal dunia ini. Yuyun Manopol & Moh. Husni Mubarak Bandeng Juwana: Jagonya Bandeng Presto dari Pandanaran Jalan-jalan ke Semarang, belum pas rasanya kalau tidak membawa oleh-oleh bandeng duri lunak presto. Nah, di antara deretan toko oleh-oleh di sepanjang Jl. Pandanaran, ada sebuah toko yang selalu tampak ramai oleh antrean pembeli, yakni Toko Bandeng Juwana. Toko yang terletak di Jl. Pandanaran 57 itu awalnya hanya sebuah rumah, sekaligus tempat praktik dokter, milik dr. Daniel Nugroho Setiabudi (kini 75 tahun). Ketika itu, Daniel dan istrinya, Ida Nursanti (almarhum), iseng-iseng menjual bandeng presto. Pelanggan awalnya tak lain para
pasien yang berobat ke situ. Daniel mulai menjual bandeng presto buatannya untuk umum pada 3 Januari 1981. Untuk menjual bandeng itu, Daniel dibantu istri dan ketiga pembantunya. Hari pertama menjual bandeng, hanya terjual tiga ekor. Toh, hal itu tidak membuat mereka patah semangat. Ketelatenan dan kesabaran Daniel dalam berbisnis bandeng presto mulai membuahkan hasil: produk mereka mendapat sambutan positif. Pembeli berdatangan dan makin banyak permintaan dari pelanggan. Untuk membedakan bandeng presto buatannya dengan warung bandeng sejenis, Daniel memberi nama Bandeng Juwana. “Saya tidak menyangka usaha bandeng presto ini bisa berkembang seperti sekarang. Padahal, awalnya hanya menyalurkan hobi makan dan masak,†kata Daniel. Kini, Toko Bandeng Juwana selalu diserbu pelancong dari luar kota. Jika di hari pertama hanya terjual tiga ekor sehari, sekarang tokonya mampu menjual sekitar 300 ekor bandeng per hari. Sekarang, karyawannya sudah mencapai 100 orang. Sebagai toko oleh-oleh, Toko Bandeng Juwana tidak hanya menjual bandeng presto, tapi juga ayam tulang lunak, wingko babat, dan berbagai penganan kecil dan ringan khas Semarang dan Jawa Tengah. “Namun, bandeng presto tetap menjadi produk utama kami,†Daniel menegaskan. Selain Toko Bandeng Juwana, Daniel juga memiliki warung bandeng bernama Elrina yang menawarkan berbagai menu masakan berbahan baku bandeng, yang bisa dimakan di tempat ataupun dibawa pulang. Masakan yang ditawarkan Elrina yakni: tongseng bandeng, gudeg bandeng, nasi goreng bandeng, pepes bandeng, bandeng teriyaki dan sate bandeng. Hingga saat ini Daniel belum berminat berekspansi membuka Toko Bandeng Juwana di luar Semarang. Padahal, tawaran dari mereka yang ingin menjadi mitra atau waralabanya sudah banyak. “Saya tidak ada resep apa-apa. Saya sendiri bingung, kenapa orang kalau beli bandeng presto selalu ke tempat kami. Padahal cara kami membuat bandeng presto sama dengan toko bandeng presto lain,†Daniel memaparkan. Toh, dari perjalanan bisnisnya selama ini ia bisa melihat kunci suksesnya, yang tak lain pada caranya melayani pembeli sejak memasuki tokonya. Tutut Handayani & A. Mohammad B.S. Harpindo Jaya: Juragan Yamaha dari Semarang Nama Kang Giok Tik disebut-sebut sebagai salah satu legenda bisnis otomtotif di Jawa Tengah. Ia adalah pendiri Harpindo Jaya (HP), jaringan showroom Yamaha terbesar di Ja-Teng. Sekarang, HP telah memiliki 60 cabang ruang pajang Yamaha yang tersebar di kota-kota di JaTeng dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari showroom itu, HP rata-rata bisa menjual motor sebanyak 5 ribu unit per bulan. Tak heran, dengan penjualan sebanyak itu, HP dianggap sebagai penguasa pasar motor Yamaha di Ja-Teng. Kang Giok Tik pertama kali membuka usaha bisnis sepeda motor dengan nama Toko Harapan Jaya, berlokasi di Jl. Dr. Cipto, Semarang. Di tangannya, motor Yamaha berkembang lumayan cepat. Perkembangan yang cukup signifikan mulai dirasakan ketika dirinya dipercaya bekerja sama dengan beberapa lembaga keuangan untuk pembiayaan secara kredit. Yang pertama kali mengajak kerja sama adalah Bank Surakarta. Di tahun-tahun berikutnya, terjalin kerja sama dengan Bank Perniagaan, Bank Dagang Nasional Indonesia (sudah ditutup), dan BCA. Momentum perkembangan yang mengesankan terjadi pada 1989, setelah HP menjadi Yamaha Centre pertama untuk wilayah Ja-Teng. Sejak itu, HP membuka cabang di beberapa kota kecil di Ja-Teng. Setelah Kang Giok Tik meninggal tahun 1987, manajemen HP dikelola generasi kedua hingga saat ini. Kang Giok Tik memiliki 8 anak, tapi manajemennya kini dipegang lima anak lelakinya. Mereka menjabat sesuai dengan kapasitas masing-masing. Tanto Soegito, anak ketiga, menjabat sebagai direktur yang juga menangani bidang pemasaran, bersama adiknya, Taryo Subagiyo dan Tarjo Sujiwo. Sementara dua adiknya yang lain, Tardi Suwarno menangani teknologi informasi, sedangkan Taryo Sutikno memegang urusan keuangan dan bisnis suku cadang. Menurut Tanto, ia bersama adik-adiknya sudah sepakat untuk membesarkan bisnis yang diwariskan orang tuanya. Mereka tetap berusaha menjaga kekompakan dalam kondisi apa pun.
Kekompakan inilah yang membawa kemajuan besar bagi HP. Memang sejak masih kecil, Tanto dan adik-adiknya sudah akrab dengan bisnis sepeda motor. Di luar jam sekolah, mereka pasti membantu orang tuanya mengelola toko. Meski sekarang HP sudah menjadi penguasa pasar Yamaha di Ja-Teng, Tanto mengaku tidak akan terlena. Apalagi saat ini persaingan bisnis antar-dealer Yamaha sendiri kian ketat. Persaingan ini, ia menambahkan, sengaja diciptakan pihak produsen dengan tujuan supaya masing-masing dealer berlomba menjual Yamaha. †Kalau sampai terlena kami bisa ketinggalan,†kata kelahiran 4 Januari 1958 ini. Dalam upaya meningkatkan penjualan, HP juga terus membuka showroom barunya di kota-kota yang dianggap strategis. Dalam waktu dekat ini bakal diresmikan showroom baru yang berlokasi di Jl. Monjali, Yogya. Selain itu, akan dibuka pula gerai baru di beberapa kota di Ja-Teng. Pembukaan showroom baru tersebut dimaksudkan untuk menjaga pertumbuhan perusahaan yang ditargetkan rata-rata mencapai 10% per tahun. Selain membuka showroom baru, HP juga concern untuk membuka bengkel servis. Ke depan, penghasilan dari jasa bengkel ini diharapkan menjadi sumber pendapatan tersendiri. †Kami sedang menyiapkan bengkel-bengkel khusus Yamaha, selama ini banyak showroom yang belum dilengkapi dengan pelayanan servis,†Tanto menuturkan. HP juga tergolong rajin melakukan branding. Anggaran yang digelontorkan pun tergolong besar, rata-rata Rp 5 miliar per tahun untuk program promosi, baik above the line maupun below the line. Bahkan, saat ini HP memiliki kontrak kerja sama dengan televisi lokal di Semarang untuk mengisi salah satu paket acara. Selain menekuni bisnis motor, ternyata HP memiliki anak usaha yang bergerak di perdagangan komputer dengan bendera Harapan Komputer. Bisnis ini ditangani adik kandung Tanto yang bernama Tardi Suwarno. Puluhan gerai komputernya tersebar di Surabaya dan Semarang. Gigin W. Utomo dan Dede Suryadi Dewi Sri: Melaju di Bisnis Transportasi Massal Nama Dewi Sri dalam legenda Jawa dikenal sebagai sosok dewi yang melambangkan kemakmuran di dunia cocok tanam padi. Namun, Dewi Sri yang satu ini lain. Ia menjelma menjadi ratu jalanan. Ya, Dewi Sri ratu bus antarkota antraprovinsi (AKAP) yang didirikan oleh seorang wanita Adalah Hj. Rukoyah, yang memberanikan diri merintis usaha bus PO Dewi Sri. Ia mengatakan, kebutuhan ekonomilah yang menuntutnya bergelut di dunia usaha. Pendapatan suami sebagai pegawai negeri sipil tak mencukupi untuk membesarkan 6 anaknya. Awalnya Rukoyah berbisnis beras, tidak jauh dari asalnya sebagai keluarga petani. Beras yang diambil dari daerah Bumiayu ini dijualnya ke beberapa daerah di luar Tegal termasuk Jakarta. Selain itu, berasnya dipasok juga ke Dolog. “Omsetnya bisa 50 ton per hari,†ungkap wanita kelahiran Tegal 28 Oktober 1948 ini. Tahun 1993, ia melihat ada peluang usaha di bidang otomotif, khususnya transportasi massal. Ia pun mulai membuka trayek bus tiga perempat jurusan Tegal-Purwokerto. Merasa kurang puas, dua tahun kemudian, ia mengembangkan sayap untuk mencoba yang lebih besar yaitu membuka trayek bus AKAP, jurusan Jakarta-Tegal dengan 7 unit bus baru. “Modalnya sekitar Rp 850 juta per unit,†kata Rukoyah yang saat ini memiliki sekitar 100 unit bus AKAP yang siap melayani penumpang dengan jurusan Tegal-Jakarta, Pekalongan-Jakarta, dan Purwokerto-Jakarta. Menurutnya, kunci sukses dalam mengelola perusahaan bus ini adalah pelayanan untuk penumpang. Dua hal yang perlu diperhatikan, sopir dan kendaraan. Dia mengatakan, mengatur sopir itu gampang-gampang susah. Dari segi pekerjaan kelihatan gampang, tapi mengatur agar mereka disiplin tidak mudah. “Maklumlah, rata-rata mereka tidak mengenyam pendidikan tinggi,†ujarnya tentang 400 sopir yang dibawahkannya.
Harus ada aturan perusahaan yang ketat dan kontrol dari manajemen. “Aset kami sopir ini. Kalau mereka tidak bisa dikendalikan, sering ngompreng membuat penumpang kecewa,†lanjutnya. Selain sopir, kenyamanan penumpang dipengaruhi oleh faktor kendaraan itu sendiri. Untuk itu, Rukoyah selalu memilih bus-busnya dengan kualitas yang bagus seperti Mercy dan Volvo. Untuk perawatan kendaraan, selain memiliki tim maintainance, ia juga terjun langsung untuk melihat kekurangannya sehingga bisa langsung diperbaiki atau diganti dengan yang baru. Ia berusaha terus melakukan peremajaan untuk membuat bus-busnya tampak sedap dipandang dan nyaman saat di jalan. Sekarang, istri H. Ismail ini tidak terlalu banyak mengurusi secara operasional perusahaannya. Ia telah memercayakan Dewi Sri dan unit bisnis yang lain seperti pom bensin dan rumah makan pada anak-anaknya. Untuk pom bensin omsetnya 30 ton per hari, sedangkan rumah makan dikelola mandiri oleh anak pertamanya, Sri Sakti Handayani. Adapun Ikmal Jaya, yang semula menjabat Dirut PO Dewi Sri digantikan oleh kakaknya, Edi Utomo. Ikmal kini Walikota Tegal terpilih periode 2009-2014. Tahun 2003, ekspansi usaha yang lain dari Dewi Sri yaitu feeder bus TransJakarta yang melayani dua rute: BSD City-Pondok Indah-Ratu Plaza-Plaza Senayan, dan BSD City-Kota-Mangga Dua. “Kira-kira ada 40 unit, omsetnya Rp 800 ribu per hari untuk Serpong Citra Raya, dan Rp 500 ribu per hari untuk Citra Indah,†ujar wanita yang hobi senam ini. Rencananya perusahaan ini juga ingin masuk ke lini busway, tapi kalah tender dengan Lorena. “Belum rezekinya. Mungkin lain kali kami yang dapat.†Moh. Husni Mubarak dan Taufik Hidayat Pringsewu Restaurant Group: Berhasil Karena Peduli SDM Sebelum menekuni bisnis kuliner, Agus Hadyanto adalah pengusaha furnitur yang memasok produknya ke sejumlah toko mebel di berbagai kota di Jawa Tengah. Namun, belakangan ia terpincut berbisnis rumah makan setelah melihat kinerja restoran Mie Pasar Baru milik istrinya. †Saya tertarik karena bisnis rumah makan memberi keuntungan yang menarik,†ungkap pria kelahiran 28 Agustus 1948 yang menekuni bisnis kuliner sejak 1997 ini. Kini, di bawah manajemen Pringsewu Restaurant Group (PRG), Agus memiliki 9 resto, antara lain Resto Pringsewu di Pemalang, Yogyakarta dan Surakarta, serta Resto Pringjajar dan Kabayan. Di luar itu, keluarga Agus juga memiliki empat resto dengan menu spesial mi di bawah manajemen Mie Pasar Baru Jakarta Group (MPBJ), yang berlokasi di Tegal, Yogya dan Solo. Pada 2009, jumlah resto yang dikelola bapak dua anak ini akan segera bertambah dua, dengan pembukaan unit resto di Purbalingga dan Sumpiuh, Ja-Teng. Lokasi resto di Purbalingga berdekatan dengan kawasan objek wisata Owabong. †Persiapannya sudah 90%, dan musim liburan ini beroperasi,†kata Agus. Menurut pria berkacamata ini, jika hanya mengejar target, sebenarnya dia bisa membuka cabang sebanyak-banyaknya dengan sistem waralaba. Akan tetapi, dia tak mau melakukannya dengan alasan ketidakkesiapan SDM. Padahal, banyak pihak yang mengajaknya bekerja sama membuka resto dengan bendera Pringsewu. Sebagai pemilik PRG dan MPBJ, suami Elly Yuliana ini terus berusaha bisa membuka resto-resto baru. Namun, dia tidak ingin melakukannya dengan tergesa-tergesa. Dia lebih senang dengan prinsip alon-alon waton kelakon. Karena itulah, kini dia menargetkan hanya meluncurkan satu rumah makan baru per tahun. Bagi Agus, rumah makan termasuk bisnis jasa. Kalau tidak bisa mengelola dengan manajemen yang baik, pasti tidak akan berkembang. Kunci keberhasilannya adalah SDM. †SDM memiliki peran vital bagi maju-mundurnya perusahaan,†ujarnya tandas. Perusahaannya saat ini menerbitkan dokumen Internal Quality Service (IQS), yakni sistem yang mengatur
kesejahteraan karyawan dan berbagai hak karyawan (dari gaji yang layak, tunjangan hari tua, kesehatan, karier hingga kesempatan liburan). Menurut Agus, pembuatan IQS merupakan bentuk keseriusan manajemen agar karyawan bekerja secara tenang dan nyaman di lingkungan PRG. Dia meyakini, jika dipuaskan oleh perusahaan — yang antara lain berkaitan dengan suasana kerja, jaminan masa depan, jaminan karier dan kesehatan — karyawan akan merasa dihargai. †Jika mereka bangga dan senang, mereka akan termotivasi untuk bekerja sebaik mungkin.†Selain IQS, perusahaan menyisihkan 5% dari pendapatannya untuk dibagi ke karyawan, sebagai pemberian tunjangan hari tua dan tunjangan kesehatan untuk keluarga karyawan. Bahkan, karyawan juga diberi kesempatan menambah penghasilan dengan menjual produk/jasa tertentu di rumah makan, seperti cenderamata dan jasa pijat listrik. Menurut Agus, menciptakan suasana kerja yang kondusif merupakan program yang terus dibangun di lingkungan PRG. Untuk itu, pihak manajemen mengadakan pertemuan rutin dengan karyawan yang bertujuan menampung berbagai keluhan. Apabila tidak berani mengungkapkan secara terbuka, karyawan bisa menulis keluhan tersebut. †Di sini karyawan boleh ngomel ke manajernya. Selanjutnya, manajer juga boleh ngomel ke direkturnya,†ujar Agus. Menurut Totok Sutrisno, karyawan yang dipercaya mengelola SDM, sebagai pengusaha, Agus sangat egaliter. †Ia tidak alergi dikritik dan sangat menghargai ide-ide karyawan,†kata Totok. Yang menarik, setelah pensiun nanti, Agus tidak akan menyerahkan manajemen PRG ke anakanaknya. Alasannya, ia sudah percaya dengan manajemen yang sudah ada selama ini. †Terus terang, walau ini (perusahaan ) keluarga, tapi tak ada satu pun yang terlibat di dalam manajemen. Semua diserahkan kepada profesional yang rata-rata fresh graduate,†ujar Agus bangga. Karena itulah, Agus tidak resah ketika kedua anaknya menyatakan tak berminat membantu mengurus bisnis ayahnya. Maklum, kedua anaknya sudah memiliki aktivitas masing-masing. Anak pertamanya, Budi Hardyanto (32 tahun), telah asyik dengan bisnis selulernya, dan kini merupakan salah satu dealer Telkomsel terbesar di Ja-Teng. Adapun anak keduanya, Ivon, ikut suaminya yang merupakan pemilik toko emas. Yuyun Manopol & Gigin W. Utomo Karya Toha Putra: Raja Percetakan Al Quran dari Semarang Salah satu perusahaan legendaris di Semarang adalah PT Karya Toha Putra (KTP). Perusahaan ini secara konsisten menerbitkan kitab suci Al Quran sejak tahun 1960-an, didirikan oleh Yasid Toha. Saat ini KTP yang produknya diekspor hingga ke Arab Saudi, dikelola generasi kedua. Presdir KTP, Hasan Toha Putra, mengungkapkan, dari dua percetakan KTP di Semarang, tiap bulan rata-rata mampu mencetak Al Quran sekitar 200 ribu kitab dalam berbagai model dan ukuran. Dengan omset sebesar itu, Hasan mengklaim KTP sebagai pemimpin pasar penerbitan Al Quran di Indonesia dengan pangsa pasar 30%. “Yang pasti, setiap ada krismon atau krisis global, permintaan Al Quran justru makin tinggi di pasaran,†ujar peraih gelar MBA dari Bridgeport University di Connectitut, Amerika Serikat ini. Hasan bersyukur karena masyarakat yang dilanda masalah, pelariannya ke hal-hal positif dengan mencari kedamaian melalui baca Al Quran. Dari Semarang, Al Quran itu kemudian didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia. Baik lewat jaringan toko buku Toha Putra, maupun lewat toko-toko pustaka lainnya. Untuk menyebarkan kitab suci dan buku-buku Islam lainnya, KTP membuka kantor cabang yang tersebar di 22 kota di Indonesia – dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi. Selama ini KTP memang identik sebagai penerbit Al Quran. Namun, sebenarnya, perusahaan ini juga menerbitkan buku-buku agama populer, bahkan banyak yang best seller. Salah satu
contohnya adalah buku berjudul Kedahsyatan Fathihah. Tak hanya itu, KTP dikenal pula sebagai penerbit buku pelajaran sekolah madrasah dari tingkat diniyah hingga aliyah. Pengusaha kelahiran 10 Oktober 1955 ini menjelaskan, sebagai holding KTP tetap dipertahankan sebagai penerbit Al Quran ternama. Sementara buku lainnya diterbitkan oleh anak perusahaan KTP, antara lain, Pustaka Rizky Putra, Pustaka Nun dan Pustaka Wildan. Kehadiran generasi kedua banyak membawa kemajuan bagi KTP. Berbagai terobosan mulai dari produksi hingga pemasaran lahir dari generasi muda ini. Inovasi yang cukup penting adalah diterbitkannya kitab Al Quran dengan model-model baru yang lebih variatif. Sebelumnya, Al Quran yang diterbitkan masih berupa kitab standar, baik bentuk maupun ukurannya. Lazimnya, kertas masih menggunakan jenis CD dengan warna kecokelatan atau putih. Lalu Hasan melakukan uji coba, sehingga lahirlah Al Quran yang berukuran besar, kecil, bahkan seukuran saku dengan pilihan warna kertas yang beragam. Menariknya lagi, dilengkapi dengan terjemahan bahasa Indonesia, Jawa, dan lainnya. Di luar dugaan, gebrakan produk kitab suci itu diminati pasar. Omsetnya pun terus meningkat, sehingga laba perusahaan naik tajam. Tak berlebihan, bila dikatakan bahwa tahun 1980-an menjadi tonggak bersejarah dalam perjalanan bisnis KTP. Sebab, pada dekade inilah KTP membuka cabang di berbagai kota, baik untuk toko buku maupun distribusi. Dengan komitmen menghasilkan cetakan yang baik, perusahaan ini terus melakukan investasi dengan membeli mesin-mesin cetak yang canggih. Selain mesin cetak yang berkapasitas besar, dibeli pula mesin penjilidan otomatis. Eva Martha Rahayu/Gigin W. Utomo Sinar Mutiara Shuttlecocks: Juragan Shuttlecock Asal Tegal Orang-orang Tegal dikenal mahir membuat shuttlecock. Keahlian itu merupakan warisan turuntemurun. Tak heran, di Tegal khususnya di Desa Lawatan, Dukuhturi, banyak dijumpai pabrik dan home industry bola bulutangkis itu. Beberapa merek shuttlecock terkenal dihasilkan dari Tegal, seperti Garuda, Gajahmada dan Superman. Dan, PT Sinar Mutiara Shuttlecocks (SMS) merupakan salah satu pemain bisnis shuttlecock yang patut diperhitungkan. Bambang Siswanto merintis berdirinya SMS tahun 1982. Namun, ia mulai serius menekuni bisnis bola bulutangkis itu pada 1987. Ia kepincut menjajal bisnis itu lantaran melihat sang ayah yang tekun sebagai perajin shuttlecock. “Dari obrolan dengan karyawan Ayah, saya tertarik memproduksi shuttlecock yang kualitasnya lebih baik. Caranya, saya membeli bulu bebek yang mutunya bagus,†cerita mantan juara bulutangkis single putra se-Jawa Barat pada 1980 ini. Dan merek perdana yang diluncurkan adalah Sinar Mutiara. Kemenangan tim Thomas Cup tahun 1984 membuat produsen shuttlecock panen. SMS juga ketiban rezeki nomplok dari ajang pertandingan bulutangkis bergengsi itu. Kala itu semua jenis shuttlecock mulai dari yang murah sampai mahal laku keras. Produk SMS pun banyak terjual di Jakarta dan Bandung. Penjualan barang terbanyak datang dari toko-toko olah raga ketimbang Gedung Olah Raga. Tingginya permintaan konsumen, mau tidak mau mendorong SMS untuk meluaskan area produksi. Maka, tahun 1987 dibangunlah pabrik SMS seluas kira-kira 17 x 20 meter dan dilengkapi dengan hall untuk lapangan badminton. Dengan pabrik baru yang mempekerjakan 28 karyawan, kapasitas produksi naik menjadi 50 slop atau 600 biji per hari (1 slop = 12 biji). Dalam perkembangannya, meski pabrik telah diluaskan, tidak mampu memproduksi barang sesuai dengan kebutuhan pasar. Solusinya, Bambang menerapkan pola kemitraan: bapak angkat untuk home industry. Saat ini SMS mempunyai lima anak binaan. Tiap anak binaan diberi modal kerja untuk produksi setengah jadi. Begitu sampai di pabrik SMS, produk itu memasuki tahap quality control dan finishing. Masing-masing anak binaan memberi kontribusi produksi 30-50 slop saban hari.
Untuk pengembangan merek, selain Sinar Mutiara, SMS memperkenalkan sejumlah merek baru. Namanya Saporete dan Idola. Jika merek Sinar Mutiara kuat di Jakarta, Saporete eksis di Bandung. Ketiga merek itu dikembangkan menjadi sekitar 30 jenis shuttlecock berdasarkan kualitas. Katakanlah brand Sinar Mutiara diluaskan menjadi 12 merek, antara lain: Sinar Mutiara King Smas dan Sinar Mutiara Christian. Kedua merek ini hasil kerja sama dengan Liem Swie King dan Christian Hadinata sejak tahun 2008. Sementara Saporete diluaskan menjadi 8 merek, sedangkan Idola dikembangkan dalam tiga merek untuk kelas bawah. Pertimbangan Bambang mendiversifikasi merek dalam beberapa kelas, karena mutu bulu bebeknya juga bervariasi. Semakin muda mutu bulu bebeknya, seri kualitasnya pun diurut dari nomor satu, dua, tiga dan seterusnya. Umpamanya, bola badiminton nomor satu tentu kualitas bulunya paling bagus dan enak digunakan. Sekadar informasi, harga shuttlecock Sinar Mutiara dan Saporete berkisar Rp 37-60 ribu per slop. Sementara merek Idola dibanderol Rp 15-30 ribu per slop. Dengan beragam merek, SMS mampu memenuhi kebutuhan pasar lebih luas. Alhasil, pemasaran shuttlecock SMS tidak hanya di Jakarta dan Bandung, tapi juga menjangkau ke wilayah luar Jawa, seperti Batam, Palembang dan Medan. “Kami juga memproduksi shuttlecock pesanan dari Batam sebanyak 50 dus per bulan (1 dus = 50 slop) dengan merek Platinum,†ungkap laki-laki kelahiran 11 Februari 1957 ini. Produk SMS bisa dikenal di banyak daerah, karena promosi ke toko-toko olah raga yang memiliki jaringan klub bulutangkis. Selain itu, ia ikut langsung bermain badminton di lapangan untuk mencoba merek-merek shuttlecock yang dibesutnya. “Kami pun mulai memikirkan untuk menjadi sponsor beberapa pertandingan bulutangkis di Jakarta dan Bandung, semisal Sinar Mutiara Cup,†kata Bambang yang mengaku kunci sukses bisnisnya bertumpu pada dua hal: mengikuti selera konsumen dan didukung anak binaan perusahaannya. Terkait dengan regenerasi SMS ke depan, Bambang telah melibatkan dua dari lima anaknya. Masing-masing adalah Rudi Hartono Siswanto (24 tahun) dan Victor Hartono Siswanto (22 tahun). “Ini harus dilanjutkan oleh generasi berikutnya, karena shuttlecock merupakan bisnis kebanggaan masyarakat Indonesia,†ujar bos yang kini membawahkan 200 karyawan itu. Eva Martha Rahayu/Darandono Batik Wirokuto Generasi ke-4 yang Makin Eksis Tidak salah Pekalongan menyandang julukan Kota Batik. Museum batik nasional saja ada di kota ini, bukan di Yogyakarta atau Solo. Kalau mau masuk ke Pekalongan, baik di kabupaten ataupun kotanya, pengunjung yang melewati jalur pantai utara akan menjumpai banyak galeri batik, dari yang kecil hingga yang skala butik mewah. Salah satu butik yang besar dan terkenal adalah Batik Wirokuto milik Romi Oktabirawa. Berdasarkan silsilah keluarga, Romi termasuk generasi keempat yang menjadi pengusaha batik. Kakeknya merupakan salah satu perajin batik di Kota Pekalongan, begitu juga bapaknya. „Brand Batik Gentereyel adalah milik kakek saya dan Batik Geger milik Bapak Saya,“ ujar Romi. Lahir dari keluarga seni, Romi membuat dan memunculkan merek tersendiri, Batik Wirokuto, pada 1996. „Proses belajar batik saya lakukan dengan mulai mempelajari motif-motif batik kuno, juga motif modern,“ katanya. Dari situlah ia mulai meredifinisi motif, warna dan desain dalam implementasi pembuatan batik. Usaha batiknya memiliki kapasitas produksi hingga 5.000 kain/bulan. Di bengkel kerjanya yang mempekerjakan 100 perajin, Romi mampu memproduksi sekitar 1.000 kain/bulan, sisanya yang 4.000 kain ia alihdayakan ke pengusaha lain. Untuk memasarkan batiknya, ia memiliki tiga galeri, yaitu butik pusat di Wiradesa, Kab. Pekalongan, butik di Kota Pekalongan, dan satu lagi di Pasaraya Jakarta. Dari jumlah yang ia produksi, 50% untuk memenuhi permintaan domestik dan sisanya diekspor ke Jepang berdasarkan pesanan. Selain selendang dan kemeja, Wirokuto sering
pula membatik kimono untuk memenuhi pesanan dari Jepang dan baju barong (pakaian tradisional), pesanan dari Filipina. Moh. Husni Mubarak
Strategi Pengusaha Jawa Tengah Membesarkan Bisnis Posted By admin On January 8, 2009 @ 12:00 am In Sajian Utama Grup Pisma Dari Kain Sarung sampai Agrobisnis Siapa tak kenal sarung cap Gajah Duduk? Hampir semua orang mengenali merek ini. Namanya melegenda sebagai sarung tenun pria. Terutama menjelang Idul Fitri, iklan sarung ini seperti menjadi tontonan wajib di layar kaca, saking sering munculnya. Walaupun Gajah Duduk sangat terkenal, tak banyak yang tahu siapa di belakang merek tersebut. Adalah PT Pismatex, perusahaan tenun kawakan — berdiri tahun 1972 – yang kini didukung tak kurang dari 7.000 karyawan dengan omset di atas Rp 1 trilun/tahun, produsen sarung tersebut. Pismatex merupakan bagian dari Grup Pisma yang saat ini tak hanya menekuni bidang tenun, tapi juga merambah ke bisnis-bisnis lain. Ghozi Salim (alm.) adalah yang pertama kali membangun Pismatex. Pria berdarah Arab ini mendirikan pabrik di kawasan Bligo, Buaran, Kabupaten Pekalongan, yang berkembang hingga sekarang — mencapai posisi sebagai pemimpin pasar di bisnis kain sarung. Sayangnya, tahun 1992 Ghozi dan salah seorang putranya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas sehingga Pismatex kehilangan sosok pemimpin perusahaan. Tak ada pilihan lain, putra sulung Ghozi, Jamal Ghozi, yang tengah berada di Jepang, akhirnya dititahkan melanjutkan bisnis keluarga ini. †Tidak ada lagi yang meneruskan karena saudara yang lain perempuan,†ujar Jamal, anak sulung dari empat bersaudara itu. Setelah menamatkan pendidikan di Shinshu University, Nagano, Jepang, Jamal memang tidak langsung pulang ke Indonesia. Ia membuka perusahaan perdagangan di kota yang berjarak 120 km dari ibukota Jepang, Tokyo. Tak jauh dari bisnis keluarganya, ia memilih bisnis perdagangan tekstil. Panggilan keluarga untuk segera mengurus Pismatex membuat Jamal harus meninggalkan bisnis tekstilnya di Jepang. Akan tetapi, tak ingin serta-merta melupakan Negeri Sakura, ia justru mendirikan perusahaan trading baru di luar bidang tekstil, yakni electronic support. Dengan demikian, ia masih sering bolak-balik Indonesia-Jepang. Bisnis baru tersebut sebenarnya tak jauh dari usaha baru yang dikembangkan ayahandanya. Sebelum wafat, Ghozi sempat mendirikan usaha patungan dengan perusahaan asal Jepang, KMK Industrial Co. Ltd., yakni PT KMK Plastics Indonesia, yang bergerak di industri komponen elektronik, khususnya plastik dan moulding. Perusahaan ini terus berekspansi dengan membangun PT KMK Precision Indonesia yang fokus pada manufaktur molding dan reconditioning. Tahun 1993 mulailah Jamal berkiprah di Pismatex. Ia pun melakukan berbagai pembenahan. Di antaranya, memperbarui dan menambah mesin-mesin untuk proses produksi. Ia mendatangkan mesin-mesin tekstil baru dari Jepang dengan teknologi mutakhir. Mesin yang tadinya hanya 200 unit ditambah hingga menjadi 1.400 unit. Karyawan pun melonjak drastis hingga 4.000 orang. †Yang dibutuhkan adalah inovasi. Pada saat itu kesempatan masih bagus,†ujarnya. Investasi terus dilakukan secara bertahap hingga 1997, sebelum krisis ekonomi datang. Jamal mengatakan, di bisnis tekstil, tak ada patokan baku tentang besaran investasi agar bisa menjadi perusahaan tekstil yang terintegrasi. †Investasi Rp 1 miliar atau Rp 1 triliun juga bisa, hanya beda skala,†katanya. Bahkan, menurutnya, investasi sebesar Rp 1 triliun tidak cukup untuk membuat pabrik tekstil terintegrasi. Pismatex saat ini sudah menjadi pabrik tekstil terintegrasi. Perusahaan mampu melakukan proses pembuatan benang (spinning), pembuatan kain (weaving), penyempurnaan kain (finishing),
pewarnaan (dyeing) hingga menjadi produk garmen. Ekspansi di bisnis tekstil ini terwujud dengan didirikannya pabrik spinning, PT Pisma Putra Tekstil, tahun 2000. Pabrik ini membuat berbagai macam benang, mulai dari polirayon, poliester, rayon hingga katun. †Awalnya memang untuk Pismatex, tapi akhirnya juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan benang dalam negeri maupun luar negeri, seperti Jepang, Eropa dan Amerika Latin. Jumlahnya hanya 20% yang ekspor,†ujar Jamal yang lahir tahun 1960. Perusahaan ini memiliki kapasitas produksi 4.000 bal/bulan. Selain sarung, Pismatex juga memproduksi baju Muslim dan kain untuk baju. Target pasarnya, 30% ekspor ke negara-negara Timur Tengah. Meskipun begitu, produknya bisa sampai ke negaranegara Afrika karena produk yang diekspor ke Dubai dan Jeddah bukan hanya untuk pasar lokal di sana, tetapi diekspor lagi ke Afrika. Hanya saja, merek yang digunakan bukan Gajah Duduk, cukup †Made in Indonesia, Pismatex†. †Negara Afrika atau Middle East tidak mau merek binatang, anti,†kata suami Azza Dina itu. Sarung Gajah Duduk juga diekspor ke Malaysia, Thailand dan Brunei. Saat ini, setiap bulan Pismatex mampu menghasilkan 1 juta lembar kain sarung. Jumlah tersebut sudah termasuk dari produksi mitra usahanya di Pekalongan. †Tidak semua produk kami produksi sendiri, sebagian juga diberi ke beberapa orang, Mereka adalah mantan karyawan kami yang sudah pensiun. Mereka kami bekali pekerjaan agar mandiri,†tutur Jamal. Selain karena ada kesempatan, kunci sukses Gajah Duduk, menurut Jamal, juga karena keberanian perusahaannya dalam mendatangkan mesin-mesin baru dan membangun merek. Menurutnya, mengelola merek bukan hal mudah. †Membangun merek tidak gampang, harus berinvestasi untuk membangunnya, seperti memelihara anak, harus diberi makan, disekolahkan di tempat yang bagus agar pintar,†kata pria asal Surabaya itu. Kini, bisnis tekstil memberi kontribusi 40% terhadap total pendapatan Grup Pisma yang menurut Jamal sudah mencapai Rp 1 triliun lebih. Bisnis elektronik memberi kontribusi 30%. Selebihnya berasal dari bisnis properti dan toiletries. Di bisnis elektronik, selain PT KMK Plastic Indonesia dan PT KMK Precision Indonesia, Grup Pisma pun memiliki PT J-Tech Manufacturing of Indonesia (J-Tech) yang didirikan tahun 2003. Ini merupakan perusahaan pendukung industri elektronik yang 90% target pasarnya adalah Jepang. J-Tech berdiri pada Oktober 2002. Sebelumnya, perusahaan ini memiliki pabrik di Cileungsi, Bogor. Namun, pada April 2005 pabriknya dipindah ke Karawang, dengan perlengkapan mesin yang lebih representatif. Pabrik seluas 1,8 hektare itu memproduksi komponen telepon seluler. Perusahaan ini memproduksi perangkat mobile phone dan fixed wireless phone. Selain itu, J-Tech memproduksi 200 komponen elektronik lainnya seperti telepon rumah, printer, transformer pocket dan motor. “Kalau dukungan industri tidak bicara kapasitas produksi, tergantung order,†ujar Jamal. Sejumlah perusahaan kelas dunia seperti Panasonic, Sanyo, Sony Aiwa, Epson, Moric dan Shinetsu sudah masuk dalam daftar pelanggan perusahaan ini. Tahun 2004, J-Tech membentuk usaha patungan dengan PT Inti, yaitu dengan mendirikan PT Inti Pisma Internasional, yang memproduksi ponsel CDMA dengan merek Nexian. Tahun 2006 Nexian berhasil mencatatkan diri di Museum Rekor Indonesia sebagai ponsel pertama dan satu-satunya yang dirakit di dalam negeri, sekaligus juga yang berhasil memproduksi 100 ribu unit ponsel dalam kurun 6 bulan. Selain tekstil dan elektronik, Grup Pisma juga menaungi PT Malidas Sterilindo, perusahaan manufaktur pihak ketiga untuk produk kecantikan dan toiletries. Sejak 1996, perusahaan yang terletak di Sidoarjo ini menghasilkan produk Johnson & Johnson untuk bayi dan dewasa. Ada juga perusahan yang fokus di bidang distribusi farmasi dan peralatan kesehatan, yaitu PT Pisma Medica, yang berdiri pada 2005. Di bisnis pengembang properti, grup ini memiliki PT Pisma Gajah Putra Realestate, yang lokasi proyek-proyeknya ada di Pekalongan. Perusahaan ini membuat rumah hunian Pisma Griya Permai I (total 552 unit) di Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan, di atas lahan 9,2 ha. Ada juga Pisma Griaya Permai II yang didirikan di atas tanah seluas 5 ha di Desa Wiradesa, Kab. Pekalongan.
Jamal mengatakan, kunci sukses sebagai wirausaha adalah harus selalu memiliki jiwa optimistis dan tidak mudah menyerah. Selain itu, juga punya keberanian untuk terjun ke dunia bisnis. Manusia diciptakan sempurna, sekarang tinggal bagaimana memanfaatkan karunia Tuhan itu. Berdasarkan pengalaman, akan didapat insting bisnis yang bagus. †Seperti apa pun melakukan perhitungan dan sepintar apa pun orangnya, risiko rugi pasti ada,†ujarnya menegaskan. Meski sempat tertunda karena krisis ekonomi global saat ini, tahun depan Grup Pisma akan melakukan ekspansi di bidang agrobisnis, yaitu pupuk dan bioetanol. Jamal akan menanamkan investasinya ini, lagi-lagi, di Jawa Tengah. †Kenapa Ja-Teng, kalau tidak Ja-Teng, nanti saya dimarahi Pak Bibit,†ujarnya sembari tertawa ringan. Orang yang dikenal dekat dengan Bibit Waluyo, Gubernur Ja-Teng, ini mengatakan, ada keinginan untuk meng-go public-kan salah satu perusahaannya. †Tidak tahu yang mana dulu, apa yang elektronik atau tekstilnya, namun banyak orang yang mengharapkan tekstilnya karena produknya sudah punya brand,†kata pehobi traveling ini. Taufik Hidayat dan Moh. Husni Mubarak Bintang Putra Mobilindo: Raja Mobil Honda di Solo Di Kota Solo, Jawa Tengah, hanya ada dua dealer resmi mobil Honda: Honda Bintang yang ada di Jl. Brigjen Slamet Riyadi 181, dan Honda Solo Baru di Jl. Raya Solo Baru. Meski beda nama dan tempat, kedua dealer ini pemiliknya satu, di bawah payung PT Bintang Putra Mobilindo. Pemiliknya adalah suami istri Handoko dan MHM. H. Kristianti. Prestasi yang diraih kedua dealer itu tergolong ciamik. Penghargaan Best Performance dari PT Honda Prospect Motor di tahun 2004 dan juga juara I untuk Quick Service tingkat regional tahun 2008 telah diraih. Tak hanya itu, penjualan unit kendaraan yang dijajakannya pun tak pernah sepi dari tahun ke tahun, malahan selalu melebihi target. Misalnya pada 2007, dealer Honda Solo Baru menargetkan penjualan 293 unit, tapi realisasinya mencapai 312 unit. Kondisi serupa juga berlaku di Honda Bintang yang realisasinya mencapai 330 dari target 311 unit. Dealer milik Kristianti ini dijadikan agen tunggal Honda sejak 1997. Saat itu menjelang krisis moneter, ia baru memiliki satu dealer mobil, yaitu Honda Bintang. Belum sempat mengecap manisnya berbisnis mobil Honda, Solo dilanda kerusuhan pada 2008. Tak heran, dari Mei sampai Agustus 1998, Honda Bintang sempat berhenti. Namun, petinggi Honda Prospect Motor, Ang Kang Hoo, menyemangati dirinya untuk bangkit kembali. “Waktu itu kami dikirimi mobil, termasuk kendaraan operasional,†tutur Kristianti mengenang. Alasan lainnya Kristianti membuka dealer-nya kembali, karena menurut catatan, sedikitnya terdapat 300-an unit mobil yang dibakar saat kerusuhan itu. “Orang kan butuh alat transportasi juga. Jadi saya putuskan untuk membuka dealer mobil lagi,†ia mengungkapkan, “Meskipun waktu itu daya beli konsumen belum meyakinkan.†Pasalnya, pelanggan masih waswas mengenai keamanan. “September mulai buka, kami bisa jual 6 unit,†ujarnya menambahkan. Untuk mengembalikan gairah pasar, ia memperpanjang warranty claim. Misalnya, di bidang servis yang biasanya hanya 10 ribu km atau tiga bulan, bisa sampai satu tahun servis gratis. Selain itu, ia juga menurunkan bunga kredit serta insentif dan bonus bagi pembeli. Diyakini Kristianti, penjualan sangat terbantu dengan metode ini. Nah, pada 1999 ia membuka outlet baru di kawasan Solo Baru (Kabupaten Sukoharjo). Pasarnya cukup besar, karena banyak penduduk kelas menengah-atas yang tinggal di wilayah ini. Makanya, dealer dan bengkel yang ada di sini lebih besar, yakni seluas 4.200 m2. Dealer baru ini diserahkan sepenuhnya pada anak pertamanya, Edwin Nugroho. “Penjualan Honda per tahun cukup menggembirakan sejak outlet ini dibuka. Bahkan penjualannya selalu melebihi target,†Edwin menambahkan. Sejatinya, kesuksesan ini tak diraih dalam sekejap. Kristianti menuturkan, cikal bakal bisnisnya itu dimulai sejak 1972. Saat itu, ia bersama suaminya, Handoko, mencoba peruntungan dengan
meneruskan usaha jual-beli mobil milik mertuanya. Sebagai anak tunggal, suami Kristianti diharuskan melanjutkan bisnis bapaknya (L. Anwar). Menurutnya, sang mertua itu cukup disegani di bisnis mobil Kota Solo. Yang dijual waktu itu tak hanya mobil bekas, tapi ada pula mobil baru. Hanya saja, ketika itu belum ada showroom khusus yang dimanfaatkan untuk memajang dagangannya. Bahkan, bengkel untuk perbaikan mobil pun belum punya. Perlahan tapi pasti, perusahaannya bernama Star Motor mulai mekar Nah, Dewi Fortuna mulai menghampirinya pada 1974. Saat itu PT Astra International menunjuk dealer milik Kristianti ini menjadi dealer resmi Daihatsu, Peugot dan Renault. Alasannya, di samping Astra di Semarang belum buka, juga prestasinya dinilai lumayan untuk penjualan mobil di Solo. Selain itu, pasar truk di Solo juga sedang booming. Apalagi, merek Daihatsu saat itu sedang merajai. Sewaktu ditunjuk oleh Astra inilah peralatan perbengkelannya bertambah. Astra, disebutkan Kristianti, memberikan pula semacam kredit untuk pengadaan alat perbengkelan. “Pengetahuan saya tentang otomotif juga bertambah karena sering mengikuti training yang diadakan Astra,†tutur kelahiran Kutoharjo 16 Maret 1948 ini. Namun, masa keemasannya dengan Astra ini segera berakhir ketika Astra akhirnya membuka authorized dealer sendiri di Kota Solo sekitar tahun 1985 dan selanjutnya di Semarang. Setelah putus dengan Astra, Star Motor menjadi agen tunggal penjual mobil Ford di Solo. Hanya saja, karena merek Ford dinilai kurang laku, Kristianti pun kembali menjual berbagai merek mobil hingga akhirnya dipinang Honda. Dede Suryadi dan Sigit A. Nugroho Grup Sambas Jaringan Bisnisnya Menyerap 500 Karyawan Lebih Keluarga Sambas bisa dibilang salah satu ikon Kota Purbalingga. Maklum, jaringan bisnis keluarga ini lumayan luas, seperti kontraktor (general contractor), pengolah hotmix, alat berat, bahan bangunan, minimarket Alfamart, optik, toko emas, bengkel mobil, SPBU, percetakan dan pendidikan (sekolah Islam modern terpadu). Semua usaha itu di bawah payung Grup Sambas yang mempekerjakan sekitar 500 karyawan. Hebatnya, kiprah bisnis ini tidak sebatas di Purbalingga, tapi juga merambah ke Purworejo, Cilacap, Banjarnegara, serta kabupaten lain sekitar Banyumas. Tak mengherankan, masyarakat setempat menjuluki keluarga ini sebagai “wong sugih†-nya Purbalingga. Nama Sambas bukan asal comot. Nama itu terkesan menyiratkan keluarga itu berasal dari Kalimantan. Padahal, Sambas yang ini bukanlah sebutan klan, melainkan singkatan Suchari Adi Mulyo Asli Banyumas. Dan, Suchari Adimulyono (alm.) adalah orang yang membidani bisnis keluarga itu pada 1970-an. Kemudian, anak-anaknya membesarkan perusahaan hingga menjadi konglomerat daerah. Sejak awal, pengelolaan bisnis Grup Sambas telah melibatkan generasi kedua. Mereka terdiri atas 7 kakak-beradik, dua di antaranya adalah Widji Laksono dan Eling Purwoko. “Sebenarnya kendali Grup Sambas dipegang oleh Mas Eling, tapi beliau akhir-akhir ini banyak bergerak di bidang sosial. Saya baru bergabung dengan perusahaan pada 1993. Jadi, lima tahun belakangan saya lebih banyak berperan, †ujar Widji, Direktur Grup Sambas, menjelaskan. Widji mengaku bisnis Grup Sambas berkembang pesat dalam 10 tahun terakhir. Kemajuan itu dicapai dengan berbagai upaya dan strategi jitu. “Kami memang terus mencoba, berikhtiar dan belajar tiada henti. Saya selalu mengikuti perkembangan-perkembangan dunia bisnis konstruksi, yang menjadi core bisnis kami, hingga perkembangan teknologi,†tutur sarjana hukum dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, ini. Menurutnya, bisnis harus dikembangkan secara profesional, antara lain dengan menjaga kualitas dan kesinambungan serta memberdayakan pegawai. Biasanya bisnis konstruksi sarat dengan proyek-proyek pemerintah. Namun, Grup Sambas melalui PT Sambas Wijaya (lini bisnis konstruksi) tidak mau mengandalkan proyek dari pemerintah sebagai lahan utama. Mereka lebih mengutamakan bekerja sesuai dengan komitmen yang
mengacu pada prosedur operasional standar dan mutu, serta menjaga nama baik keluarga. Contohnya, grup ini menggarap proyek pembangunan pabrik dan gudang PT Boyang Industry. Pabrik ini adalah produsen rambut palsu terbesar di kota itu dan baru relokasi dari Guangzhou, Cina, ke Purbalingga. Asal tahu saja, selama ini bisnis konstruksi Sambas mengerjakan paketpaket proyek yang nilainya di atas Rp 25 miliar. Manajemen Grup Sambas menyadari karyawan adalah aset penting. Itulah sebabnya, untuk meningkatkan kualitas karyawan, secara rutin diundang beberapa trainer. Misalnya, Ary Ginandjar dari ESQ atau konsultan sertifikasi mutu ISO. Sementara untuk menjaga loyalitas bawahan, secara berkala perusahaan ini memberangkatkan haji karyawan. Dari tahun 2003 sampai sekarang, sudah ada 11 karyawan yang berhaji gratis. Bagi Widji, melihat kondisi dunia bisnis sekarang, investasi yang paling memungkinkan adalah memanfaatkan daerah setempat. Untuk itu, anak ke-4 dari 7 bersaudara ini akan berekspansi ke usaha pengolahan bahan makanan dan minuman yang terintegrasi. “Saat ini rencana pabriknya masih dalam tahap studi kelayakan. Mungkin tahun 2009 akan terealisasi,†ujar pengusaha berusia 39 tahun itu. Pabrik yang diperkirakan menelan dana ratusan miliar itu juga melibatkan para investor lokal dari Purbalingga. Bahan bakunya bakal dioptimalkan dari daerah setempat. Perusahaan yang nantinya zero waste process ini diharapkan bisa melempar mayoritas produknya ke pasar ekspor. Grup Sambas sangat peduli terhadap penciptaan lapangan kerja. “Kami ingin menjadi salah satu perusahaan yang ikut berperan di dalam era penciptaan lahan kerja untuk mengurangi pengangguran,†kata Widji. Menurut dia, makin banyak orang bekerja, makin makmur daerah tersebut. “Kalau Purbalingga yang penduduknya hampir 1 juta makmur, bisnis pun ikut berkembang,†ujar suami Aryawindarti itu menambahkan. Eva Martha Rahayu/Herning Banirestu Mustika Jati Jepara: Pionir dan Eksportir Mebel Jati Kota Jepara memang identik dengan produk mebel berbahan baku kayu jati. Lihat saja, di kota ini showroom mebel ada di mana-mana. Dari kota ini pula muncul CV Mustika Jati Jepara (MJJ) sebagai pemain bisnis mebel terkemuka di Tanah Air, khususnya produk mebel kayu jati. MJJ dirintis oleh H. Ikhsan Hasyim (almarhum) pada 1973. Dalam tempo singkat, MJJ mampu merambah pasar Jakarta, walaupun lebih sebagai pemasok ke sejumlah showroom mebel ternama seperti Candi Baru, Hasta Karya dan Karya Guna. Saat itu, jenis produk mebel yang dipasarkan pun masih terbatas pada perlengkapan rumah tangga seperti dining set, display cabinet, sofa set, dan dressing table, belum sampai menggarap office set. Penataan perusahaan dan perubahan strategi pemasaran mulai dilakukan di MJJ ketika anak-anak H. Ikhsan, yakni H. Noer Yachman dan 7 saudaranya, masuk ke perusahaan ini pada 1990. Selain berkiprah di MJJ, Yachman dan saudara-saudaranya juga memiliki bisnis mebel sendiri. Setiap gerai yang mereka miliki pasti diberi nama Mustika. Di Jepara ada Mustika Sapta Kencana dan New Mustika. Sementara di Jakarta ada Mustika Jati Baru (milik Turchamim), Mustika (milik Siti Kurniati), dan Mustika Jepara (milik Yachman). Di Jakarta, mereka menguasai sentra mebel di Jl. Raya Bekasi Km 18, dan mereka juga memiliki bengkel finishing sendiri. Menurut Yachman, ketika ia dan saudara-saudaranya masuk, MJJ tengah mengalami stagnasi. Strategi pemasaran yang dilakukan bapaknya dinilainya kurang yahud dan tidak agresif. “Dulu, Bapak belum memikirkan pasar luar negeri. Padahal, kebutuhannya cukup besar,†ucap Yachman yang dipercaya sebagai Direktur MJJ. Oleh karena itu, setelah dipercaya memegang tampuk pimpinan di MJJ, Yachman dan saudarasaudaranya langsung menerapkan strategi membidik pasar ekspor. Pasar Amerika Serikat, Eropa dan Asia menjadi bidikan utamanya. Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia ini mulai menjaring pembeli asing melalui jaringan yang dimilikinya. Tak hanya itu, Yachman sengaja melebarkan sayap Divisi Pemasaran MJJ ke Singapura. Tujuannya untuk menjaring para pembeli asal Singapura. Negeri Singa ini dianggap potensial karena banyak pemasarnya yang singgah ke
sini. Bahkan, MJJ pernah pula membuka divisi yang sama di Malaysia. Tak lupa, Yachman pun memanfaatkan teknologi Internet untuk memasarkan produknya (lewat situs www.mustikajati.co.id). “Agar buyer ataupun customer dapat langsung mengorder dari tempat tinggalnya,†ia menjelaskan. Perubahan strategi bisnis ini cukup menakjubkan. Dalam sebulan, Yachman menceritakan, MJJ mampu mengekspor produk mebelnya sebanyak 15 kontainer – satu kontainer nilainya mencapai sekitar Rp 250 juta. Itu hanya untuk pasar Kanada dan AS. Padahal, dalam perkembangannya kemudian pasar ekspor MJJ juga mencakup Asia dan Eropa. Lambat laun nama MJJ mulai dikenal oleh buyer luar negeri. Keadaan yang sama juga terjadi pada pasar lokal. “Buyer lokal juga merekomendasikan produk Mustika,†Yachman mengklaim. Untuk pasar domestik, menurut Yachman, produk MJJ sudah merambah ke seluruh Indonesia, walaupun gerainya hanya terdapat di Jepara dan Jakarta. “Tapi mitra bisnis kami ada di Bali, Makassar dan Kalimantan. Kami memasok showroom-showroom yang ada di Indonesia,†ungkap Yachman, yang menilai besarnya pasar lokal sama dengan pasar ekspor. Toh, Yachman mengakui, krisis global yang terjadi saat ini berimbas pula pada kinerja MJJ. Dalam 7 bulan terakhir, terjadi penurunan 20%-30% untuk pasar ekspor. Sementara untuk pasar lokal, penurunannya mencapai 15%. Di sisi lain, investor asing mulai merangsek masuk dan memproduksi sendiri, sehingga persaingan semakin ketat. Akibatnya, ia mengakui omset MJJ melorot hingga 20%, hingga terpaksa merampingkan karyawan. Kalau sebelumnya pegawainya sekitar 500 orang, kini tinggal setengahnya. “Sekarang ini pengadaan bahan bakunya tergolong susah,†kata Yachman menyebut masalah yang lain. Agar tetap eksis dan memenangi persaingan, Yachman melakukan beberapa perubahan strategi dengan prinsip mengikuti selera pasar. Antara lain, dengan memunculkan desain dan finishing baru yang menarik dengan mengikuti kemauan pasar. Misalnya, untuk pasar Asia lebih banyak menampilkan ukirannya, sedangkan untuk pasar AS dan Eropa, lebih menawarkan konsep minimalis. Selain itu, MJJ juga mulai mengalihkan pasarnya dari AS ke Asia Timur. A. Mohammad B.S. & Sigit A. Nugroho Pasar Raya Sri Ratu: Pionir Pusat Perbelanjaan Modern di Semarang Boleh dibilang Pasar Raya Sri Ratu adalah raja ritel dari Jawa Tengah. Bagaimana tidak, selain kepeloporannya, dalam bisnis pusat perbelanjaan modern yang dirintis sejak tahun 1970-an, gerainya juga terus beranak pinak. Dari Semarang, gerai Sri Ratu merambah ke Purwokerto, Tegal, Pekalongan, bahkan meluas hingga ke Jawa Timur, yakni di Kediri dan Madiun. Hebatnya, meski belakangan jaringan hypermarket dan supermarket asal Jakarta agresif menyerbu Semarang, Sri Ratu tetap eksis. Lihat saja kehadiran gerai Carrefour, Hypermart, Makro, Matahari Department Store, dan Alfa Supermarket yang menambah marak persaingan bisnis ritel di ibu kota Ja-Teng itu. Namun, entah mengapa justru beberapa peritel besar yang menjadi kompetitor Sri Ratu itu malah limbung. “Sebenarnya kami sempat grogi juga dikepung oleh peritel kakap dari Jakarta. Apalagi beberapa lokasi Sri Ratu head to head dengan peritel-peritel raksasa tersebut,†tutur Resturiadi Tresno Santoso yang membesut Sri Ratu bersama istrinya, Tutik Santoso. Resturiadi memiliki jurus khusus agar Sri Ratu bisa memenangi persaingan. “Kami mengubah konsep Sri Ratu dari one stop shopping menjadi mal,†ujar pria kelahiran Yogyakarta tahun 1949 itu. Maka, di akhir tahun 2008 bos yang membawahkan 4.500 karyawan ini memperluas tiga toko Sri Ratu menjadi mal, yakni gerai toko di Madiun, Tegal dan Kediri. Kunci keberhasilan lainnya dalam mengelola Sri Ratu: tekun dan ulet. “Yang jelas, kami harus customer-oriented dan memberi pelayanan terbaik,†kata Resturiadi yang juga
berbisnis ayam petelur di bawah payung PT Rehobat. Tidak kalah penting, kekuatan Sri Ratu adalah memiliki relasi bisnis yang luas di luar negeri. Kolega-kolega inilah yang memasok aneka rupa produk fashion-branded ke Sri Ratu. Resturiadi mengisahkan cikal bakal kelahiran Sri Ratu. Mula-mula usahanya itu hanyalah toko kecil biasa yang dibuka pada 1978. Ia dipaksa ayahnya untuk mandiri secara ekonomi dengan membuka usaha toko. “Awalnya saya bingung, toko ini mau diisi apa. Untunglah, ada beberapa relasi saat saya menjadi salesman sepatu yang bersedia menjadi pemasok dengan sistem pembayaran di belakang,†ujarnya sembari mengutarakan, awalnya jumlah pegawai yang digaji hanya 20 orang. Tak dinyana, dalam perkembangannya toko itu menjadi besar. Dan, tahun 1986 bendera Sri Ratu mulai dikibarkan dengan diikrarkan sebagai pusat perbelanjaan modern pertama yang sudah berpendingin dan ada fasilitas eskalatornya. “Betul, sebelum Sri Ratu sudah ada supermarket Mickey Mouse. Tapi, supermarket itu belum ada AC dan eskalatornya,†Resturiadi menuturkan. Jadi, ia menegaskan, Sri Ratu-lah yang menjadi pionir pusat perbelanjaan modern ber-AC dan memiliki tangga berjalan yang otomatis. Gerai Sri Ratu yang perdana di Semarang dibangun setinggi empat lantai dengan masing-masing lantai seluas 1.500 m2. Dengan konsep one stop shopping kala itu, Sri Ratu terdiri dari department store, supermarket, kafetaria dan arena bermain anak-anak. Ketika membangun Sri Ratu, Resturiadi mengaku tidak semata-mata mengejar untung, melainkan juga membawa misi pemberdayaan ekonomi dari Pemda Semarang. Mereka menginginkan adanya pembangunan pusat perbelanjaan yang bisa menjadi lokomotif ekonomi bagi masyarakat sekitar. Itulah sebabnya pembangunan Sri Ratu didukung penuh oleh Bank Pembangunan Daerah Jateng. “Tujuannya memang untuk lebih menghidupkan dan menjadi lokomotif ekonomi Kota Semarang,†ia menambahkan. Sewaktu pertama diperkenalkan, Sri Ratu sempat menimbulkan pro dan kontra. Kala itu, banyak yang pesimistis bahwa Sri Ratu akan bertahan lama dengan penampilannya yang megah dan modern. †Orang-orang menganggap cost kami akan tinggi, sehingga tidak bisa ditutup dengan omset penjualan,†papar Resturiadi. Toh, faktanya tidak demikian. Malahan, Sri Ratu terus mengepakkan sayap bisnisnya. Setelah sukses di Semarang, setiap dua tahun muncullah cabang Sri Ratu di tempat lain. Selain menambah gerai di Semarang, tepatnya di kawasan Peterongan, Sri Ratu merambah pula ke kotakota lain. Sekadar informasi, ekspansi Sri Ratu keluar kota Semarang ternyata sebagian besar atas permintaan dari pemda setempat yang menginginkan daerahnya maju. “Meski kami diminta, tidak ada fasilitas khusus, kecuali kemudahan perizinan,†ucap bapak dua anak itu. Eva Martha Rahayu/Gigin W. Utomo Tong Tji: Dedengkotnya Teh Melati Bagi penggemar jasmine tea, merek Tong Tji pasti tak asing. Apalagi, Tong Tji menawarkan berbagai pilihan produk — yang biasa ataupun yang eksklusif — dengan kemasan yang apik dan modern. Meski terkenal, banyak yang tak tahu bahwa usia bisnisnya telah mencapai 60 tahun. Sekarang, pengelolaannya berada di tangan generasi ketiga. Tatang Budiono, Direktur Perusahaan Teh Dua Burung (PTDB, pemilik merek Tong Tji), mengungkapkan bahwa kakeknya, Tan See Giam, mendirikan perusahaan ini pada 1938. Boleh dibilang, PTDB merupakan salah satu pelopor industri teh di Tegal. Saat itu, merek Tong Tji belum ada, karena baru dilahirkan pada 1965, dari tangan Suwandi Tjahjanto, ayah Tatang. Merek Tjong Tji diposisikan sebagai merek kedua dengan mutu kelas satu, melengkapi merek Teh Dua Burung yang lebih dulu beredar.
Menurut Tatang, yang menonjol dari perusahaan warisan keluarganya adalah komitmennya terhadap mutu teh. Ia mengungkapkan pada saat krisis ekonomi 1985, harga bahan baku teh meningkat tajam sementara daya beli menurun. Saat itu banyak perusahaan teh menurunkan kualitas tehnya supaya harganya terjangkau. Namun, PTDB justru melakukan sebaliknya: menaikkan harga, tapi kualitas teh dipertahankan. “Perlu perjuangan, karena rata-rata harga kami lebih tinggi dari yang lain, tapi kualitas yang utama,†ujar laki-laki kelahiran Tegal, 14 Juli 1958, ini seraya menambahkan, perusahaannya memiliki tim riset & pengembangan sendiri. Meskipun terhitung sebagai perusahaan tua, inovasi produk tampaknya selalu menjadi perhatian PTDB. Menurut Tatang, inovasi yang pertama kali dilakukan perusahaannya adalah meluncurkan teh celup pada 1990. Saat ini teh celup tersebut telah dikembangkan ke berbagai varian. Selain jasmine tea (teh melati), ada juga black tea jasmine, green tea, green tea jasmine, lemon tea dan, yang baru dipasarkan, mix fruit infusion (lemon, peach dan strawberry). Gebrakan lainnya, perusahaan ini memelopori pembuatan gerai teh kemasan cup siap minum. Ide itu timbul ketika Tatang jalan-jalan ke luar negeri. Saat itu, ia melihat bubble tea yang dijual di pinggir jalan dengan menggunakan kemasan cup. Awalnya, gerai teh Tong Tji ini memberikan minuman segar es teh secara gratis di lokasi-lokasi strategis seperti mal atau pasar. Ternyata, sambutannya luar biasa sehingga gerai ini menjual es teh cup dengan harga Rp 2.500/cup, tergantung lokasinya. Meskipun gerai es teh cup ini banyak diminati orang untuk di-franchise-kan, Tatang belum mau melakukannya. Alasannya, ada risiko penurunan kualitas teh Tong Tji. “Pengawasannya susah,†katanya. Saat ini pengelolaan gerai-gerai ini diberikan ke orang-orang yang betulbetul dipercaya. Biasanya karyawan atau keluarga karyawan. “Jadi, saya tidak mengutamakan kuantitas. Takutnya menjatuhkan kami sendiri.†Kekhasan tehnya, menurut Tatang, rasanya sepet dengan kadar tanin yang tinggi sehingga rasanya lebih kuat. Menurutnya, hal ini dimungkinkan karena daun teh yang digunakan adalah daun teh pilihan, yang berasal dari Sukabumi, Jawa Barat. Daun teh ini dicampur dengan bunga melati yang diambil dari pantai utara Jawa (Pantura) sekitar Tegal. Pemasaran teh Tong Tji masih berkonsentrasi di Pulau Jawa, dan mayoritas di Ja-Teng dan Jawa Barat. Semua bahan itu diolah di pabrik dengan 300 karyawan di Desa Padaharja, Kecamatan Kramat, Tegal. Kapasitas produksinya 3-4 ton/hari tergantung pada jumlah bunga melati yang ada. Pasalnya, produksi bunga ini sangat tergantung musim. Tatang mengklaim perusahaan teh yang memiliki total 1.000 karyawan ini masuk lima besar nasional untuk kategori jasmine tea. Menurut pehobi golf ini, pasar teh Indonesia masih sangat besar karena minum teh merupakan bagian dari tradisi bangsa ini. Bahkan, saat ini anak kecil saja suka minum teh. Diakuinya, dari segi permodalan, perusahaannya kalah dibanding dengan kompetitor. Itulah sebabnya, ia hanya mau bersaing dalam hal inovasi produk. Dengan anggaran promosi 5%, PTDB lebih banyak melakukan promosi below the line. Sebagai generasi ketiga, ayah empat anak ini telah mempersiapkan putra-putrinya — yang bersekolah di Australia– untuk menggantikan posisinya di perusahaan. Anak pertama dan keduanya sudah belajar dan terjun ke perusahaan. “Mereka harus tahu dan mulai dari bawah,†ujar Tatang. †Saya katakan (kepada mereka), perjuangan kalian lebih berat daripada saya dulu,†tutur pria yang duduk di tampuk kepemimpinan perusahaan pada usia 19 tahun karena ayahnya meninggal dunia ini. Yuyun Manopol & Moh. Husni Mubarak Bandeng Juwana: Jagonya Bandeng Presto dari Pandanaran Jalan-jalan ke Semarang, belum pas rasanya kalau tidak membawa oleh-oleh bandeng duri lunak presto. Nah, di antara deretan toko oleh-oleh di sepanjang Jl. Pandanaran, ada sebuah toko yang selalu tampak ramai oleh antrean pembeli, yakni Toko Bandeng Juwana. Toko yang terletak di Jl. Pandanaran 57 itu awalnya hanya sebuah rumah, sekaligus tempat
praktik dokter, milik dr. Daniel Nugroho Setiabudi (kini 75 tahun). Ketika itu, Daniel dan istrinya, Ida Nursanti (almarhum), iseng-iseng menjual bandeng presto. Pelanggan awalnya tak lain para pasien yang berobat ke situ. Daniel mulai menjual bandeng presto buatannya untuk umum pada 3 Januari 1981. Untuk menjual bandeng itu, Daniel dibantu istri dan ketiga pembantunya. Hari pertama menjual bandeng, hanya terjual tiga ekor. Toh, hal itu tidak membuat mereka patah semangat. Ketelatenan dan kesabaran Daniel dalam berbisnis bandeng presto mulai membuahkan hasil: produk mereka mendapat sambutan positif. Pembeli berdatangan dan makin banyak permintaan dari pelanggan. Untuk membedakan bandeng presto buatannya dengan warung bandeng sejenis, Daniel memberi nama Bandeng Juwana. “Saya tidak menyangka usaha bandeng presto ini bisa berkembang seperti sekarang. Padahal, awalnya hanya menyalurkan hobi makan dan masak,†kata Daniel. Kini, Toko Bandeng Juwana selalu diserbu pelancong dari luar kota. Jika di hari pertama hanya terjual tiga ekor sehari, sekarang tokonya mampu menjual sekitar 300 ekor bandeng per hari. Sekarang, karyawannya sudah mencapai 100 orang. Sebagai toko oleh-oleh, Toko Bandeng Juwana tidak hanya menjual bandeng presto, tapi juga ayam tulang lunak, wingko babat, dan berbagai penganan kecil dan ringan khas Semarang dan Jawa Tengah. “Namun, bandeng presto tetap menjadi produk utama kami,†Daniel menegaskan. Selain Toko Bandeng Juwana, Daniel juga memiliki warung bandeng bernama Elrina yang menawarkan berbagai menu masakan berbahan baku bandeng, yang bisa dimakan di tempat ataupun dibawa pulang. Masakan yang ditawarkan Elrina yakni: tongseng bandeng, gudeg bandeng, nasi goreng bandeng, pepes bandeng, bandeng teriyaki dan sate bandeng. Hingga saat ini Daniel belum berminat berekspansi membuka Toko Bandeng Juwana di luar Semarang. Padahal, tawaran dari mereka yang ingin menjadi mitra atau waralabanya sudah banyak. “Saya tidak ada resep apa-apa. Saya sendiri bingung, kenapa orang kalau beli bandeng presto selalu ke tempat kami. Padahal cara kami membuat bandeng presto sama dengan toko bandeng presto lain,†Daniel memaparkan. Toh, dari perjalanan bisnisnya selama ini ia bisa melihat kunci suksesnya, yang tak lain pada caranya melayani pembeli sejak memasuki tokonya. Tutut Handayani & A. Mohammad B.S. Harpindo Jaya: Juragan Yamaha dari Semarang Nama Kang Giok Tik disebut-sebut sebagai salah satu legenda bisnis otomtotif di Jawa Tengah. Ia adalah pendiri Harpindo Jaya (HP), jaringan showroom Yamaha terbesar di Ja-Teng. Sekarang, HP telah memiliki 60 cabang ruang pajang Yamaha yang tersebar di kota-kota di JaTeng dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari showroom itu, HP rata-rata bisa menjual motor sebanyak 5 ribu unit per bulan. Tak heran, dengan penjualan sebanyak itu, HP dianggap sebagai penguasa pasar motor Yamaha di Ja-Teng. Kang Giok Tik pertama kali membuka usaha bisnis sepeda motor dengan nama Toko Harapan Jaya, berlokasi di Jl. Dr. Cipto, Semarang. Di tangannya, motor Yamaha berkembang lumayan cepat. Perkembangan yang cukup signifikan mulai dirasakan ketika dirinya dipercaya bekerja sama dengan beberapa lembaga keuangan untuk pembiayaan secara kredit. Yang pertama kali mengajak kerja sama adalah Bank Surakarta. Di tahun-tahun berikutnya, terjalin kerja sama dengan Bank Perniagaan, Bank Dagang Nasional Indonesia (sudah ditutup), dan BCA. Momentum perkembangan yang mengesankan terjadi pada 1989, setelah HP menjadi Yamaha Centre pertama untuk wilayah Ja-Teng. Sejak itu, HP membuka cabang di beberapa kota kecil di Ja-Teng. Setelah Kang Giok Tik meninggal tahun 1987, manajemen HP dikelola generasi kedua hingga saat ini. Kang Giok Tik memiliki 8 anak, tapi manajemennya kini dipegang lima anak lelakinya. Mereka menjabat sesuai dengan kapasitas masing-masing. Tanto Soegito, anak ketiga, menjabat sebagai direktur yang juga menangani bidang pemasaran, bersama adiknya, Taryo Subagiyo dan Tarjo Sujiwo. Sementara dua adiknya yang lain, Tardi Suwarno menangani teknologi informasi, sedangkan Taryo Sutikno memegang urusan keuangan dan bisnis suku cadang.
Menurut Tanto, ia bersama adik-adiknya sudah sepakat untuk membesarkan bisnis yang diwariskan orang tuanya. Mereka tetap berusaha menjaga kekompakan dalam kondisi apa pun. Kekompakan inilah yang membawa kemajuan besar bagi HP. Memang sejak masih kecil, Tanto dan adik-adiknya sudah akrab dengan bisnis sepeda motor. Di luar jam sekolah, mereka pasti membantu orang tuanya mengelola toko. Meski sekarang HP sudah menjadi penguasa pasar Yamaha di Ja-Teng, Tanto mengaku tidak akan terlena. Apalagi saat ini persaingan bisnis antar-dealer Yamaha sendiri kian ketat. Persaingan ini, ia menambahkan, sengaja diciptakan pihak produsen dengan tujuan supaya masing-masing dealer berlomba menjual Yamaha. †Kalau sampai terlena kami bisa ketinggalan,†kata kelahiran 4 Januari 1958 ini. Dalam upaya meningkatkan penjualan, HP juga terus membuka showroom barunya di kota-kota yang dianggap strategis. Dalam waktu dekat ini bakal diresmikan showroom baru yang berlokasi di Jl. Monjali, Yogya. Selain itu, akan dibuka pula gerai baru di beberapa kota di Ja-Teng. Pembukaan showroom baru tersebut dimaksudkan untuk menjaga pertumbuhan perusahaan yang ditargetkan rata-rata mencapai 10% per tahun. Selain membuka showroom baru, HP juga concern untuk membuka bengkel servis. Ke depan, penghasilan dari jasa bengkel ini diharapkan menjadi sumber pendapatan tersendiri. †Kami sedang menyiapkan bengkel-bengkel khusus Yamaha, selama ini banyak showroom yang belum dilengkapi dengan pelayanan servis,†Tanto menuturkan. HP juga tergolong rajin melakukan branding. Anggaran yang digelontorkan pun tergolong besar, rata-rata Rp 5 miliar per tahun untuk program promosi, baik above the line maupun below the line. Bahkan, saat ini HP memiliki kontrak kerja sama dengan televisi lokal di Semarang untuk mengisi salah satu paket acara. Selain menekuni bisnis motor, ternyata HP memiliki anak usaha yang bergerak di perdagangan komputer dengan bendera Harapan Komputer. Bisnis ini ditangani adik kandung Tanto yang bernama Tardi Suwarno. Puluhan gerai komputernya tersebar di Surabaya dan Semarang. Gigin W. Utomo dan Dede Suryadi Dewi Sri: Melaju di Bisnis Transportasi Massal Nama Dewi Sri dalam legenda Jawa dikenal sebagai sosok dewi yang melambangkan kemakmuran di dunia cocok tanam padi. Namun, Dewi Sri yang satu ini lain. Ia menjelma menjadi ratu jalanan. Ya, Dewi Sri ratu bus antarkota antraprovinsi (AKAP) yang didirikan oleh seorang wanita Adalah Hj. Rukoyah, yang memberanikan diri merintis usaha bus PO Dewi Sri. Ia mengatakan, kebutuhan ekonomilah yang menuntutnya bergelut di dunia usaha. Pendapatan suami sebagai pegawai negeri sipil tak mencukupi untuk membesarkan 6 anaknya. Awalnya Rukoyah berbisnis beras, tidak jauh dari asalnya sebagai keluarga petani. Beras yang diambil dari daerah Bumiayu ini dijualnya ke beberapa daerah di luar Tegal termasuk Jakarta. Selain itu, berasnya dipasok juga ke Dolog. “Omsetnya bisa 50 ton per hari,†ungkap wanita kelahiran Tegal 28 Oktober 1948 ini. Tahun 1993, ia melihat ada peluang usaha di bidang otomotif, khususnya transportasi massal. Ia pun mulai membuka trayek bus tiga perempat jurusan Tegal-Purwokerto. Merasa kurang puas, dua tahun kemudian, ia mengembangkan sayap untuk mencoba yang lebih besar yaitu membuka trayek bus AKAP, jurusan Jakarta-Tegal dengan 7 unit bus baru. “Modalnya sekitar Rp 850 juta per unit,†kata Rukoyah yang saat ini memiliki sekitar 100 unit bus AKAP yang siap melayani penumpang dengan jurusan Tegal-Jakarta, Pekalongan-Jakarta, dan Purwokerto-Jakarta. Menurutnya, kunci sukses dalam mengelola perusahaan bus ini adalah pelayanan untuk penumpang. Dua hal yang perlu diperhatikan, sopir dan kendaraan. Dia mengatakan, mengatur sopir itu gampang-gampang susah. Dari segi pekerjaan kelihatan
gampang, tapi mengatur agar mereka disiplin tidak mudah. “Maklumlah, rata-rata mereka tidak mengenyam pendidikan tinggi,†ujarnya tentang 400 sopir yang dibawahkannya. Harus ada aturan perusahaan yang ketat dan kontrol dari manajemen. “Aset kami sopir ini. Kalau mereka tidak bisa dikendalikan, sering ngompreng membuat penumpang kecewa,†lanjutnya. Selain sopir, kenyamanan penumpang dipengaruhi oleh faktor kendaraan itu sendiri. Untuk itu, Rukoyah selalu memilih bus-busnya dengan kualitas yang bagus seperti Mercy dan Volvo. Untuk perawatan kendaraan, selain memiliki tim maintainance, ia juga terjun langsung untuk melihat kekurangannya sehingga bisa langsung diperbaiki atau diganti dengan yang baru. Ia berusaha terus melakukan peremajaan untuk membuat bus-busnya tampak sedap dipandang dan nyaman saat di jalan. Sekarang, istri H. Ismail ini tidak terlalu banyak mengurusi secara operasional perusahaannya. Ia telah memercayakan Dewi Sri dan unit bisnis yang lain seperti pom bensin dan rumah makan pada anak-anaknya. Untuk pom bensin omsetnya 30 ton per hari, sedangkan rumah makan dikelola mandiri oleh anak pertamanya, Sri Sakti Handayani. Adapun Ikmal Jaya, yang semula menjabat Dirut PO Dewi Sri digantikan oleh kakaknya, Edi Utomo. Ikmal kini Walikota Tegal terpilih periode 2009-2014. Tahun 2003, ekspansi usaha yang lain dari Dewi Sri yaitu feeder bus TransJakarta yang melayani dua rute: BSD City-Pondok Indah-Ratu Plaza-Plaza Senayan, dan BSD City-Kota-Mangga Dua. “Kira-kira ada 40 unit, omsetnya Rp 800 ribu per hari untuk Serpong Citra Raya, dan Rp 500 ribu per hari untuk Citra Indah,†ujar wanita yang hobi senam ini. Rencananya perusahaan ini juga ingin masuk ke lini busway, tapi kalah tender dengan Lorena. “Belum rezekinya. Mungkin lain kali kami yang dapat.†Moh. Husni Mubarak dan Taufik Hidayat Pringsewu Restaurant Group: Berhasil Karena Peduli SDM Sebelum menekuni bisnis kuliner, Agus Hadyanto adalah pengusaha furnitur yang memasok produknya ke sejumlah toko mebel di berbagai kota di Jawa Tengah. Namun, belakangan ia terpincut berbisnis rumah makan setelah melihat kinerja restoran Mie Pasar Baru milik istrinya. †Saya tertarik karena bisnis rumah makan memberi keuntungan yang menarik,†ungkap pria kelahiran 28 Agustus 1948 yang menekuni bisnis kuliner sejak 1997 ini. Kini, di bawah manajemen Pringsewu Restaurant Group (PRG), Agus memiliki 9 resto, antara lain Resto Pringsewu di Pemalang, Yogyakarta dan Surakarta, serta Resto Pringjajar dan Kabayan. Di luar itu, keluarga Agus juga memiliki empat resto dengan menu spesial mi di bawah manajemen Mie Pasar Baru Jakarta Group (MPBJ), yang berlokasi di Tegal, Yogya dan Solo. Pada 2009, jumlah resto yang dikelola bapak dua anak ini akan segera bertambah dua, dengan pembukaan unit resto di Purbalingga dan Sumpiuh, Ja-Teng. Lokasi resto di Purbalingga berdekatan dengan kawasan objek wisata Owabong. †Persiapannya sudah 90%, dan musim liburan ini beroperasi,†kata Agus. Menurut pria berkacamata ini, jika hanya mengejar target, sebenarnya dia bisa membuka cabang sebanyak-banyaknya dengan sistem waralaba. Akan tetapi, dia tak mau melakukannya dengan alasan ketidakkesiapan SDM. Padahal, banyak pihak yang mengajaknya bekerja sama membuka resto dengan bendera Pringsewu. Sebagai pemilik PRG dan MPBJ, suami Elly Yuliana ini terus berusaha bisa membuka resto-resto baru. Namun, dia tidak ingin melakukannya dengan tergesa-tergesa. Dia lebih senang dengan prinsip alon-alon waton kelakon. Karena itulah, kini dia menargetkan hanya meluncurkan satu rumah makan baru per tahun. Bagi Agus, rumah makan termasuk bisnis jasa. Kalau tidak bisa mengelola dengan manajemen yang baik, pasti tidak akan berkembang. Kunci keberhasilannya adalah SDM. †SDM
memiliki peran vital bagi maju-mundurnya perusahaan,†ujarnya tandas. Perusahaannya saat ini menerbitkan dokumen Internal Quality Service (IQS), yakni sistem yang mengatur kesejahteraan karyawan dan berbagai hak karyawan (dari gaji yang layak, tunjangan hari tua, kesehatan, karier hingga kesempatan liburan). Menurut Agus, pembuatan IQS merupakan bentuk keseriusan manajemen agar karyawan bekerja secara tenang dan nyaman di lingkungan PRG. Dia meyakini, jika dipuaskan oleh perusahaan — yang antara lain berkaitan dengan suasana kerja, jaminan masa depan, jaminan karier dan kesehatan — karyawan akan merasa dihargai. †Jika mereka bangga dan senang, mereka akan termotivasi untuk bekerja sebaik mungkin.†Selain IQS, perusahaan menyisihkan 5% dari pendapatannya untuk dibagi ke karyawan, sebagai pemberian tunjangan hari tua dan tunjangan kesehatan untuk keluarga karyawan. Bahkan, karyawan juga diberi kesempatan menambah penghasilan dengan menjual produk/jasa tertentu di rumah makan, seperti cenderamata dan jasa pijat listrik. Menurut Agus, menciptakan suasana kerja yang kondusif merupakan program yang terus dibangun di lingkungan PRG. Untuk itu, pihak manajemen mengadakan pertemuan rutin dengan karyawan yang bertujuan menampung berbagai keluhan. Apabila tidak berani mengungkapkan secara terbuka, karyawan bisa menulis keluhan tersebut. †Di sini karyawan boleh ngomel ke manajernya. Selanjutnya, manajer juga boleh ngomel ke direkturnya,†ujar Agus. Menurut Totok Sutrisno, karyawan yang dipercaya mengelola SDM, sebagai pengusaha, Agus sangat egaliter. †Ia tidak alergi dikritik dan sangat menghargai ide-ide karyawan,†kata Totok. Yang menarik, setelah pensiun nanti, Agus tidak akan menyerahkan manajemen PRG ke anakanaknya. Alasannya, ia sudah percaya dengan manajemen yang sudah ada selama ini. †Terus terang, walau ini (perusahaan ) keluarga, tapi tak ada satu pun yang terlibat di dalam manajemen. Semua diserahkan kepada profesional yang rata-rata fresh graduate,†ujar Agus bangga. Karena itulah, Agus tidak resah ketika kedua anaknya menyatakan tak berminat membantu mengurus bisnis ayahnya. Maklum, kedua anaknya sudah memiliki aktivitas masing-masing. Anak pertamanya, Budi Hardyanto (32 tahun), telah asyik dengan bisnis selulernya, dan kini merupakan salah satu dealer Telkomsel terbesar di Ja-Teng. Adapun anak keduanya, Ivon, ikut suaminya yang merupakan pemilik toko emas. Yuyun Manopol & Gigin W. Utomo Karya Toha Putra: Raja Percetakan Al Quran dari Semarang Salah satu perusahaan legendaris di Semarang adalah PT Karya Toha Putra (KTP). Perusahaan ini secara konsisten menerbitkan kitab suci Al Quran sejak tahun 1960-an, didirikan oleh Yasid Toha. Saat ini KTP yang produknya diekspor hingga ke Arab Saudi, dikelola generasi kedua. Presdir KTP, Hasan Toha Putra, mengungkapkan, dari dua percetakan KTP di Semarang, tiap bulan rata-rata mampu mencetak Al Quran sekitar 200 ribu kitab dalam berbagai model dan ukuran. Dengan omset sebesar itu, Hasan mengklaim KTP sebagai pemimpin pasar penerbitan Al Quran di Indonesia dengan pangsa pasar 30%. “Yang pasti, setiap ada krismon atau krisis global, permintaan Al Quran justru makin tinggi di pasaran,†ujar peraih gelar MBA dari Bridgeport University di Connectitut, Amerika Serikat ini. Hasan bersyukur karena masyarakat yang dilanda masalah, pelariannya ke hal-hal positif dengan mencari kedamaian melalui baca Al Quran. Dari Semarang, Al Quran itu kemudian didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia. Baik lewat jaringan toko buku Toha Putra, maupun lewat toko-toko pustaka lainnya. Untuk menyebarkan kitab suci dan buku-buku Islam lainnya, KTP membuka kantor cabang yang tersebar di 22 kota di Indonesia – dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi.
Selama ini KTP memang identik sebagai penerbit Al Quran. Namun, sebenarnya, perusahaan ini juga menerbitkan buku-buku agama populer, bahkan banyak yang best seller. Salah satu contohnya adalah buku berjudul Kedahsyatan Fathihah. Tak hanya itu, KTP dikenal pula sebagai penerbit buku pelajaran sekolah madrasah dari tingkat diniyah hingga aliyah. Pengusaha kelahiran 10 Oktober 1955 ini menjelaskan, sebagai holding KTP tetap dipertahankan sebagai penerbit Al Quran ternama. Sementara buku lainnya diterbitkan oleh anak perusahaan KTP, antara lain, Pustaka Rizky Putra, Pustaka Nun dan Pustaka Wildan. Kehadiran generasi kedua banyak membawa kemajuan bagi KTP. Berbagai terobosan mulai dari produksi hingga pemasaran lahir dari generasi muda ini. Inovasi yang cukup penting adalah diterbitkannya kitab Al Quran dengan model-model baru yang lebih variatif. Sebelumnya, Al Quran yang diterbitkan masih berupa kitab standar, baik bentuk maupun ukurannya. Lazimnya, kertas masih menggunakan jenis CD dengan warna kecokelatan atau putih. Lalu Hasan melakukan uji coba, sehingga lahirlah Al Quran yang berukuran besar, kecil, bahkan seukuran saku dengan pilihan warna kertas yang beragam. Menariknya lagi, dilengkapi dengan terjemahan bahasa Indonesia, Jawa, dan lainnya. Di luar dugaan, gebrakan produk kitab suci itu diminati pasar. Omsetnya pun terus meningkat, sehingga laba perusahaan naik tajam. Tak berlebihan, bila dikatakan bahwa tahun 1980-an menjadi tonggak bersejarah dalam perjalanan bisnis KTP. Sebab, pada dekade inilah KTP membuka cabang di berbagai kota, baik untuk toko buku maupun distribusi. Dengan komitmen menghasilkan cetakan yang baik, perusahaan ini terus melakukan investasi dengan membeli mesin-mesin cetak yang canggih. Selain mesin cetak yang berkapasitas besar, dibeli pula mesin penjilidan otomatis. Eva Martha Rahayu/Gigin W. Utomo Sinar Mutiara Shuttlecocks: Juragan Shuttlecock Asal Tegal Orang-orang Tegal dikenal mahir membuat shuttlecock. Keahlian itu merupakan warisan turuntemurun. Tak heran, di Tegal khususnya di Desa Lawatan, Dukuhturi, banyak dijumpai pabrik dan home industry bola bulutangkis itu. Beberapa merek shuttlecock terkenal dihasilkan dari Tegal, seperti Garuda, Gajahmada dan Superman. Dan, PT Sinar Mutiara Shuttlecocks (SMS) merupakan salah satu pemain bisnis shuttlecock yang patut diperhitungkan. Bambang Siswanto merintis berdirinya SMS tahun 1982. Namun, ia mulai serius menekuni bisnis bola bulutangkis itu pada 1987. Ia kepincut menjajal bisnis itu lantaran melihat sang ayah yang tekun sebagai perajin shuttlecock. “Dari obrolan dengan karyawan Ayah, saya tertarik memproduksi shuttlecock yang kualitasnya lebih baik. Caranya, saya membeli bulu bebek yang mutunya bagus,†cerita mantan juara bulutangkis single putra se-Jawa Barat pada 1980 ini. Dan merek perdana yang diluncurkan adalah Sinar Mutiara. Kemenangan tim Thomas Cup tahun 1984 membuat produsen shuttlecock panen. SMS juga ketiban rezeki nomplok dari ajang pertandingan bulutangkis bergengsi itu. Kala itu semua jenis shuttlecock mulai dari yang murah sampai mahal laku keras. Produk SMS pun banyak terjual di Jakarta dan Bandung. Penjualan barang terbanyak datang dari toko-toko olah raga ketimbang Gedung Olah Raga. Tingginya permintaan konsumen, mau tidak mau mendorong SMS untuk meluaskan area produksi. Maka, tahun 1987 dibangunlah pabrik SMS seluas kira-kira 17 x 20 meter dan dilengkapi dengan hall untuk lapangan badminton. Dengan pabrik baru yang mempekerjakan 28 karyawan, kapasitas produksi naik menjadi 50 slop atau 600 biji per hari (1 slop = 12 biji). Dalam perkembangannya, meski pabrik telah diluaskan, tidak mampu memproduksi barang sesuai dengan kebutuhan pasar. Solusinya, Bambang menerapkan pola kemitraan: bapak angkat untuk home industry. Saat ini SMS mempunyai lima anak binaan. Tiap anak binaan diberi modal kerja untuk produksi setengah jadi. Begitu sampai di pabrik SMS, produk itu memasuki tahap quality
control dan finishing. Masing-masing anak binaan memberi kontribusi produksi 30-50 slop saban hari. Untuk pengembangan merek, selain Sinar Mutiara, SMS memperkenalkan sejumlah merek baru. Namanya Saporete dan Idola. Jika merek Sinar Mutiara kuat di Jakarta, Saporete eksis di Bandung. Ketiga merek itu dikembangkan menjadi sekitar 30 jenis shuttlecock berdasarkan kualitas. Katakanlah brand Sinar Mutiara diluaskan menjadi 12 merek, antara lain: Sinar Mutiara King Smas dan Sinar Mutiara Christian. Kedua merek ini hasil kerja sama dengan Liem Swie King dan Christian Hadinata sejak tahun 2008. Sementara Saporete diluaskan menjadi 8 merek, sedangkan Idola dikembangkan dalam tiga merek untuk kelas bawah. Pertimbangan Bambang mendiversifikasi merek dalam beberapa kelas, karena mutu bulu bebeknya juga bervariasi. Semakin muda mutu bulu bebeknya, seri kualitasnya pun diurut dari nomor satu, dua, tiga dan seterusnya. Umpamanya, bola badiminton nomor satu tentu kualitas bulunya paling bagus dan enak digunakan. Sekadar informasi, harga shuttlecock Sinar Mutiara dan Saporete berkisar Rp 37-60 ribu per slop. Sementara merek Idola dibanderol Rp 15-30 ribu per slop. Dengan beragam merek, SMS mampu memenuhi kebutuhan pasar lebih luas. Alhasil, pemasaran shuttlecock SMS tidak hanya di Jakarta dan Bandung, tapi juga menjangkau ke wilayah luar Jawa, seperti Batam, Palembang dan Medan. “Kami juga memproduksi shuttlecock pesanan dari Batam sebanyak 50 dus per bulan (1 dus = 50 slop) dengan merek Platinum,†ungkap laki-laki kelahiran 11 Februari 1957 ini. Produk SMS bisa dikenal di banyak daerah, karena promosi ke toko-toko olah raga yang memiliki jaringan klub bulutangkis. Selain itu, ia ikut langsung bermain badminton di lapangan untuk mencoba merek-merek shuttlecock yang dibesutnya. “Kami pun mulai memikirkan untuk menjadi sponsor beberapa pertandingan bulutangkis di Jakarta dan Bandung, semisal Sinar Mutiara Cup,†kata Bambang yang mengaku kunci sukses bisnisnya bertumpu pada dua hal: mengikuti selera konsumen dan didukung anak binaan perusahaannya. Terkait dengan regenerasi SMS ke depan, Bambang telah melibatkan dua dari lima anaknya. Masing-masing adalah Rudi Hartono Siswanto (24 tahun) dan Victor Hartono Siswanto (22 tahun). “Ini harus dilanjutkan oleh generasi berikutnya, karena shuttlecock merupakan bisnis kebanggaan masyarakat Indonesia,†ujar bos yang kini membawahkan 200 karyawan itu. Eva Martha Rahayu/Darandono Batik Wirokuto Generasi ke-4 yang Makin Eksis Tidak salah Pekalongan menyandang julukan Kota Batik. Museum batik nasional saja ada di kota ini, bukan di Yogyakarta atau Solo. Kalau mau masuk ke Pekalongan, baik di kabupaten ataupun kotanya, pengunjung yang melewati jalur pantai utara akan menjumpai banyak galeri batik, dari yang kecil hingga yang skala butik mewah. Salah satu butik yang besar dan terkenal adalah Batik Wirokuto milik Romi Oktabirawa. Berdasarkan silsilah keluarga, Romi termasuk generasi keempat yang menjadi pengusaha batik. Kakeknya merupakan salah satu perajin batik di Kota Pekalongan, begitu juga bapaknya. „Brand Batik Gentereyel adalah milik kakek saya dan Batik Geger milik Bapak Saya,“ ujar Romi. Lahir dari keluarga seni, Romi membuat dan memunculkan merek tersendiri, Batik Wirokuto, pada 1996. „Proses belajar batik saya lakukan dengan mulai mempelajari motif-motif batik kuno, juga motif modern,“ katanya. Dari situlah ia mulai meredifinisi motif, warna dan desain dalam implementasi pembuatan batik. Usaha batiknya memiliki kapasitas produksi hingga 5.000 kain/bulan. Di bengkel kerjanya yang mempekerjakan 100 perajin, Romi mampu memproduksi sekitar 1.000 kain/bulan, sisanya yang 4.000 kain ia alihdayakan ke pengusaha lain. Untuk memasarkan batiknya, ia memiliki tiga galeri,
yaitu butik pusat di Wiradesa, Kab. Pekalongan, butik di Kota Pekalongan, dan satu lagi di Pasaraya Jakarta. Dari jumlah yang ia produksi, 50% untuk memenuhi permintaan domestik dan sisanya diekspor ke Jepang berdasarkan pesanan. Selain selendang dan kemeja, Wirokuto sering pula membatik kimono untuk memenuhi pesanan dari Jepang dan baju barong (pakaian tradisional), pesanan dari Filipina. Moh. Husni Mubarak
Copyright © 2009 swaonline. All rights reserved.