INFO SOSIAL EKONOMI Vol. 2 No.2 (2001) pp. 67 – 76
STRATEGI BALITBANG HUTBUN DALAM PENGELOLAAN LAND GRANT “MANAGEMENT” COLLEGES Oleh: SUBARUDI 1)
RINGKASAN Land Grant Colleges (LGC) diadopsi dari Amerika Serikat yang merupakan lahan (berhutan) yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada lembaga-lembaga riset, pendidikan dan pelatihan untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Istilah LGC telah dirubah menjadi LGMC (Land Grant Management Colleges) karena kata tersebut lebih tepat dari segi substansi (sebuah pengelolaan lahan), segi ilmiah (lahan dikelola dengan menggunakan riset ilmiah), dan segi hukum (pemilik lahan masih dipegang oleh pemerintah). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan (Badan Litbang) telah menerima LGMC (dengan luas 40.000 ha di Sumatera Selatan), tetapi hingga saat ini tidak ada usaha-usaha untuk mengelolanya. Oleh karena itu, tulisan ini membahas beberapa strategi yang harus dilakukan Badan Litbang untuk memanfaatkan secara optimal LGMC bagi kegiatankegiatan riset dan pengembangannya. Ada 6 (enam) strategi yang harus dipertimbangkan dan dilakukan oleh Badan Litbang, meliputi: (1) pembuatan rencana pengelolaan LGMC sesegera mungkin, (2) melakukan kegiatankegiatan yang mendukung langkah operasional pemanfaatan LGMC, (3) mengembangkan infrastruktur dan fasilitas LGMC, (4) merekrut tenaga-tenaga yang bekerja pada LGMC, (5) merancang sistem administrasi LGMC, dan (6) membangun sistem pengawasan terhadap pengelolaan LGMC. Kata kunci : Strategi, land grant management, colleges, manajemen, pengelolaan.
PENDAHULUAN Dalam pertemuan antara tiga Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Sosial Ekonomi, Hasil Hutan, Hutan dan Konservasi Alam) yang diselenggarakan di Bogor tanggal 15 Juli 2000 sebagai tindak lanjut Rapat Kerja Nasional Kehutanan dan Perkebunan dibicarakan tentang kemajuan pembuatan rencana pengelolaan Land Grant College (LGC) oleh Tim Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) yang sudah dibentuk sesuai dengan SK Kepala Badan Litbang. Dalam pertemuan tersebut juga disinggung tentang suksesnya Universitas Gajah Mada dalam meremajakan Hutan Gunung Kidul dan proyek BMPP-Uni Eropa 1)
Staf Peneliti pada P2SE Hutbun
67
I N F O
volume 2 no. 2 (2001)
dengan penataan hutan di Bulungan, Kalimantan Timur dan juga dipertanyakan dengan pengelolaan LGC Balitbang Kehutanan dan Perkebunan (Baslitbang Hutbun) yang berlokasi di Sumatera Selatan dengan luas 40.000 ha. Apakah sudah dibuat rencana umum pola pengelolaan dan pemanfaatannya sehingga hal ini akan mempermudah Balitbang dalam menyusun Sasaran Lima Tahunan (Sarlita)nya yang kemudian akan dijabarkan lebih lanjut menjadi program tahunan. Sebenarnya kepemilikan LGC bagi Balitbang merupakan kesempatan emas yang harus dimanfaatkan secara maksimal sejalan dengan Visi dan Misi nya sebagai “Centre of Excellence” sehingga apabila pengelolaan LGC dapat berjalan secara terencana, terpadu dan lancar dapat dijadikan suatu kebanggaan (Success Story) tersendiri bagi Balitbang dalam upaya mengikis kritik terhadap kinerjanya selama ini. Apalagi hal ini dikaitkan dengan pernyataan Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) dalam Sidang Kabinet terbatas Bidang Kesra dan Taskin, tanggal 14 April 1999 bahwa pada era Millenium ke 3 sistem perekonomian suatu bangsa lebih ditentukan oleh penguasaan iptek sehingga memungkinkan negara dengan penguasaan iptek yang tinggi akan “menjajah” negara yang penguasaan ipteknya rendah. Persoalan yang muncul ke permukaan adalah apakah Balitbang sudah berpikir kedepan (visioner) dan mau merubah pola pikir lama yang cenderung praktis, statis dan berorientasi pada keproyekan. Tulisan ini mencoba menyumbangkan saran tentang strategi yang harus diterapkan Balitbang agar pola pengelolaan LGC sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. Tulisan ini dimulai dengan sejarah singkat LGC, tujuan dan manfaat LGC, pola umum pengelolaan LGC, mekanisme pelaksanaan pengelolaan LGC dan strategi untuk mewujudkan pelaksanaan pengelolaan LGC.
SEJARAH SINGKAT LGC LGC diawali dengan sejarah pengembangan pendidikan di Amerika Serikat pada tahun 1787 melalui suatu ordonansi Confederation yaitu suatu kebijakan penyediaan sebidang lahan di tiap wilayah hunian bagi keperluan pendidikan. Titik awal perkembangan LGC pada tahun 1850 yang didasari ordonansi di atas dan terus berkembang pesat sehingga kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan kualitas sumberdaya manusia (SDM) di Amerika Serikat menjadi apa yang ada sekarang ini. Berpijak dari pengalaman Amerika, Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dephutbun) berupaya mengadopsi dan menerapkan kebijakan LGC untuk pendidikan, penelitian dan agrobisnis untuk meningkatkan SDM dan Iptek dibidang kehutanan dan perkebunan sehingga pengelolaan hutan dan kebun yang lestari dalam tatanan perekonomian rakyat yang tangguh dan profesionalisme dapat segera terwujud. Sejarah singkat di atas dikutip dari makalah Menhutbun dalam Sidang Kabinet terbatas Bidang Kesra dan Taskin, tanggal 14 April 1999 yang berjudul “Pelaksanaan Program LGC Untuk Pembangunan SDM Kehutanan dan Perkebunan”. 68
Strategi balitbang…..(Subarudi)
Menurut Ketua Tim Pengkaji LGMC (Land Grant Management College) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Syafrida M, sebenarnya ada perbedaan mendasar antara konsep LGC versi Amerika dan Indonesia yaitu bentuk hak atas lahan yang diberikan Pemerintah dimana LGC di Amerika lahan dihibahkan kepada Perguruan Tinggi (PT) dan dapat dipindahtangankan kepemilikannya (dijual) kepada pihak lain. Sedangkan LGC model Indonesia diberikan haknya hanya sebatas pengelolaan lahannya saja dan kepemilikan lahannya tetap ada pada negara (Kompas, 18/7/2000). Berdasarkan hak atas kepemilikan lahan maka penulis setuju sekali atas pergantian istilah LGC menjadi LGMC yang sedang dipersiapkan konsepnya oleh LGMC IPB karena istilah LGMC lebih tepat dari segi subtansi, ilmiah dan aspek yuridis. Oleh karena itu untuk penulisan selanjutnya istilah LGMC akan terus dipakai sebagai pengganti istilah LGC. MAKSUD, TUJUAN DAN MANFAAT LGMC
1.
2.
3.
4.
Adapun maksud diadakannya LGMC oleh Dephutbun adalah untuk: Meningkatkan kualitas dan profesionalisme SDM melalui pengembangan PT dan Lembaga Pendidikan dan Penelitian (LPP) serta Lembaga pendidikan yang mandiri seperti Pondok Pesantren yaitu penyediaan sarana dan prasarana serta sistem diklat yang memadai dan ditunjang dengan dana yang cukup. Memberikan peran dan keleluasaan kepada PT dan LPP untuk mengelola lahan berskala luas guna mendukung pelaksanaan pendidikan, penelitian sesuai kebutuhan dan kemajuan teknologi serta menguntungkan secara ekonomis. LGMC yang diberikan kepada pondok pesantren adalah untuk menumbuh-kembangkan rasa tanggung jawab dan peran masyarakat serta untuk mengelola hutan. Memberikan keleluasaan kepada PT dan LPP untuk menggali sumber dana secara mandiri. Keuntungan yang didapat dari kegiatan tersebut diharapkan dapat membiayai kegiatan penelitian sehingga tidak lagi hanya bergantung pada dana Pemerintah. Membangun Demplot pendidikan berskala ekonomi sekaligus sebagai percontohan bagi masyarakat untuk membangun hutan kemasyarakatan.
Sedangkan tujuan LGMC adalah untuk mewujudkan upaya pengelolaan sumber daya alam (khususnya sumber daya hutan dan kebun) yang lestari dan bermanfaat bagi peningkatan kemampuan SDM dan pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat luas. Manfaat lain yang diterima Balitbang adalah LGMC dapat dijadikan areal penelitiannya dengan tingkat aksessibilitasnya yang tinggi sehingga tidak bergantung kepada para pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dalam melaksanakan program penelitiannya. Berdasarkan maksud, tujuan dan manfaat LGMC di atas maka tidak perlu ada keraguan dan kesangsian lagi di dalam “hati” Balitbang untuk memprioritaskan pelaksanaan LGMC ini secara lebih terrencana, terpadu, seksama dan komprehensif dengan melibatkan pakar-pakar di bidang kehutanan dan perkebunan miliknya sendiri tanpa melibatkan pihak ketiga/ konsultan luar. 69
I N F O
volume 2 no. 2 (2001)
POLA UMUM LGMC Sebelum berbicara tentang pola umum LGMC khususnya yang dapat dilaksanakan oleh Balitbang hutbun maka perlu dilihat usulan-usulan dalam pengembangan LGMC mengingat LGMC baru merupakan suatu konsep/gagasan yang aturan mainnya belum ada. Menurut Menhutbun ada beberapa usulan yang muncul dalam pengembangan LGMC adalah sebagai berikut: a) LGMC tidak akan dapat berjalan tanpa ada koordinasi yang baik antar instansiinstansi yang terkait seperti Departemen Pendidikan Nasional, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Koordinasi Kesejahteraan Sosial (BKKS), Departemen Keuangan dan Menteri Koordinator Pengentasan Kemiskinan. b) Dephutbun sebagai pengatur tata ruang dan peruntukkan kawasan dan untuk kegiatan selanjutnya diperlukan koordinasi dalam bentuk suatu forum lintas sektoral. c) Walaupun peluang semua PT dan LPP sama untuk mendapatkan lahan LGMC namun pemberiannya dilakukan secara selektif, adil dan mempertimbangkan ketersediaan kawasan. d) Program LGMC hanya terbatas pada lahan di Luar Jawa dengan pertimbangan: (1) di Jawa sudah diarahkan dengan program hutan kemasyarakatan (HKm); (2) program ini termasuk penerapan kebijakan redistribusi pemanfaatan lahan kawasan hutan di luar Jawa; (3) hutan di luar Jawa belum dikelola sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan yang lestari sehingga dapat menjadi bahan penilaian di PT untuk mewujudkan pola pengelolaan hutan yang lestari. e) Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari program LGMC adalah (1) untuk pengembangan teknologi dapat segera diwujudkan; (2) kayu dapat diperoleh dengan harga murah karena diusahakan oleh masyarakat setempat; (3) keamanan dan resiko usaha rendah karena partisipasi aktif masyarakat setempat; (4) tersedianya dana abadi bagi eksistensi pengelola LGMC dan (5) program ini dapat meningkatkan kecerdasan bangsa dan kesejahteraan rakyat yang merupakan program penting Pemerintah. Dari berbagai gagasan yang muncul di atas maka Balitbang dapat memulai menyusun pola umum pengelolaan yang sudah seharusnya dipaduserasikan dengan Visi dan Misi Balitbang atau jika memang diperlukan dapat saja Visi dan Misinya disempurnakan dalam upaya penyelarasan dengan konsep LGMC. Jika di PT ada Tri Dharma yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat maka Balitbang juga seharusnya mempunyai konsep TIA (Tri Integrated Application) yaitu penerapan terpadu dari tiga instansi yaitu Pusat Diklat, Puslitbang dan Pusat Penyuluhan Kehutanan dimana ketiga kegiatan tersebut saling berkaitan, saling bergantung dan saling isi.
70
Strategi balitbang…..(Subarudi)
Konsep TIA ini belum pernah di sentuh dan menjadi bahan pemikiran ke depan dan cenderung diabaikan oleh masing-masing instansi dengan indikasi-indikasi sebagai berikut; 1) Ketiga instansi yaitu Balitbang Hutbun, Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat), dan Pusat Penyuluhan (Pusluh) berjalan sendiri-sendiri dengan agendanya masing-masing dengan upaya-upaya menarik dana proyek yang sebesar-besarnya. 2) Proses “transfer of knowledge” dari Peneliti kepada Widyaiswara masih langka untuk dilaksanakan padahal user hasil litbang terdekat adalah Widyaiswara. 3) Selama ini “banyak” peneliti yang merangkap Widyaiswara yang langsung melatih pegawai atau pelaksana langsung di bidang pengelolaan hutan di lapangan dan industri hasil hutan. 4) Widyaiswara cenderung mencari ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sendiri untuk digunakan sebagai bahan pengajaran dan praktek di bidang yang diajarkannya kepada peserta diklat. 5) Kualitas penyuluh kehutanan masih belum dapat diandalkan karena diklat yang diberikan lebih banyak diarahkan kepada teknis penyuluhan daripada substansinya. Dalam hal ini peranan Widyaiswara Pusdiklat dapat ditingkatkan dengan membekali penyuluh-penyuluh di lapangan dengan substansi penyuluhannya. 6) Peneliti belum pernah mendapatkan input langsung dari penyuluh sebagai dasar menentukan obyek penelitiannya walaupun input tersebut sangat berharga karena informasi yang diperoleh penyuluh berdasarkan permasalahan yang dihadapi petani di lapangan. Mengingat pentingnya konsep TIA maka Balitbang dalam menyusun pola umum LGMC perlu melibatkan kedua instansi lainnya yang berwenang atau jika memang diperlukan dalam rangka efisiensi dan efektifitas organisasi dapat saja dilakukan penggabungan menjadi suatu Badan yang mengelola ketiga kegiatan (Litbang, Diklat dan Penyuluhan) tersebut secara terpadu dan terencana. Dalam upaya menyusun pola umum LGMC hendaknya memperhitungkan ketiga kegiatan tersebut di atas dibidang kehutanan dan perkebunan sehingga intensitas, aksesibilats dan mobilitas ketiga kegiatan tersebut dapat ditingkatkan ke arah pemanfaatan LGMC yang optimal. Pola umum LGMC dibuat dengan terlebih dahulu melakukan pemotretan udara dan dilanjutkan dengan ground survey di areal yang akan dikelola sehingga hasil kegiatan tersebut dapat membantu dan mempermudah proses perencanaan selanjutnya dengan melihat karakteristik daerah, sifat tanah, aksesibilitas, topografi dan iklim (mikro dan makro). Data yang terkumpul dapat digunakan untuk merancang rencana kegiatan diklat, litbang dan penyuluhan di lahan LGMC. Dalam merancang pola umum LGMC harus dibuat sasaran yang hendak dicapai secara jelas untuk jangka panjang (20 tahun), jangka menengah (10 tahun) dan jangka pendek (5 tahun) sehingga ada gambaran ideal tentang LGMC nantinya dan prioritas kegiatan tahunan yang harus dilakukan oleh ketiga intansi terkait.
71
I N F O
volume 2 no. 2 (2001)
Apabila keseluruhan program telah dibuat maka perlu dibuka suatu wacana untuk mendiskusikan secara intensif dengan pakar-pakar yang ada dan bagian perencanaan dari ketiga instansi sehingga dalam penyusunan DUP nya tidak keluar dari pola umum yang ada sehingga pelaksanaan kegiatan diklat, litbang, dan penyuluhan lebih terarah dalam hal tujuan dan sasaran yang hendak dicapai setiap tahunnya. Jika diperlukan dapat saja dilakukan “Public Opening” dimana masyarakat sekitar mengetahui kegiatan yang dilakukan di LGMC dalam rangka mensosialisasikan Public Accountability kepada instansi-instansi lainnya dalam lingkup Dephutbun. Pola umum yang ada hendaknya dapat dijadikan acuan atau panduan bagi ketiga instansi apabila ingin melaksanakan kerjasama-kerjasama dengan pihak luar negeri apalagi kerjasama luar negeri yang dilakukan oleh Balitbang sudah demikian luas seperti Tropenbos, Uni Eropa, Centre for International Forestry Research (CIFOR), Japan International Cooperation Agency (JICA), Badan Kerjasama Teknik Jerman (GTZ), Cambrige University, Korea (Septiani dan Haryanto, 1999).
POLA PELAKSANAAN LGMC Sesuai dengan urutan pelaksanaan kegiatan berdasarkan teori manajemen “POAC” maka sebelum melaksanakan pengelolaan LGMC perlu dilakukan terlebih dahulu aspek pengaturan (organizing) dengan lebih menekankan kepada siapa (who) melakukan kerja apa (what), kapan (when) dan dimana (where) lokasinya serta bagaimana (how) melaksanakan pekerjaan tersebut. Pola kerjasama antara Balitbang dengan perusahaan swasta perlu segera diwujudkan seperti yang dilakukan oleh IPB dengan PT. IFA, Universitas Cenderawasih (Uncen) dengan PT. Semai Matoa Timber, Universitas Haluoleo dengan PT. Intisixta dengan terlebih dahulu melakukan penandatangan nota kesepahaman (MOU) yang menjelaskan secara detail tentang peran, hak dan kewajiban dari kedua pihak serta sistem pendanaan dan bagi hasil dari kerjasama tersebut. Dua hal penting yang harus dilakukan Balitbang sambil menunggu selesainya pekerjaan pembuatan Pola Umum LGMC adalah menyusun petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak) dari berbagai kegiatan yang akan dilakukan di lapangan dari mulai pembangunan persemaian dan pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan penebangan. Pembuatan juknis ini hendaknya dilakukan oleh orang-orang yang memang professional dibidangnya dan menguasai permasalahan di lapangan. Juknis dan juklak dari setiap kegiatan pengelolaan hutan hendaknya disusun secara lengkap, sederhana, sistematis dan mudah dimengerti oleh para pelaksana di lapangan dengan cara melakukan seleksi dan mengkaji terhadap teknologi yang ada dibidang kehutanan dan perkebunan dalam upaya menemukan teknologi tepat guna tanpa memasukkan teori-teori yang akan membingungkan pelaksana di lapangan saat menggunakan juklak dan juknis tersebut. Hal ini dapat juga dijadikan bukti bahwa hasil riset Balitbang Hutbun sepenuhnya digunakan dalam pengelolaan hutan sebagai suatu success story bagi Balitbang. 72
Strategi balitbang…..(Subarudi)
Jika kerjasama ketiga instansi (Balitbang, Pusdiklat dan Pusluh) dapat direalisasikan maka sebagai tenaga pelaksana dapat saja diberikan kepada peserta diklat atau siswa Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) pada saat melakukan praktek pelatihan atau praktek kerja sehingga biaya pelaksanaan suatu kegiatan dapat dikurangi. Dalam praktek dilapangan dapat saja Peneliti dan Widysiawara bekerjasama sebelum pelaksanaan suatu pelatihan dimulai dengan menginstruksikan peserta diklat untuk melakukan suatu perlakuan khusus sesuai dengan tujuan dan sasaran riset yang hendak dicapai. Sebagai contoh pada saat pelatihan pelaksana penanaman, peneliti di bidang penanaman dapat saja merancang design penelitiannya sedemikian rupa dan diinformasikan kepada widyaiswara sehingga peserta diklat dapat dibagi dalam kelompok-kelompok kerja sesuai dengan jumlah perlakuan yang hendak diterapkan dalam riset tersebut. Pada dasarnya pola pelaksanaan LGMC akan berhasil apabila dilakukan secara bersama atau bekerjasama dengan pihak tertentu. Keuntungan-keuntungan dari hasil pola kerjasama dapat diperoleh melalui berbagai aspek manajemen, diantaranya: 1. Material (bahan) dapat dipenuhi oleh berbagai pihak atau saling melengkapi dari berbagai pihak yang terkait. 2. Men (tenaga) dapat dimanfaatkan dengan menyewa tenaga dari luar (harian) atau tenaga gratis dari peserta diklat atau siswa SKMA. 3. Method (metoda) dapat diuji-cobakan langsung di lapangan dengan mempertimbangkan aspek-aspek ekonomis, praktis, kemudahan untuk diterapkan dalam segala kondisi. 4. Machine (mesin dan peralatan) hendaknya dipilih atau dibuat dengan pendekatan teknologi tepat guna dengan sedikit kemudahan baik dalam pengoperasian dan pemeliharaannya. 5. Money (dana) dapat ditanggung secara bersama-sama sehingga keuntungan dan kerugian dapat ditanggung dan dirasakan bersama. 6. Market (pasar) dapat dikembangkan terlebih dahulu dengan mengkaji kondisikondisi pasar yang ada sebelum suatu marketing mix dilakukan baik untuk bidang kehutanan dan perkebunan. Dalam memilih karyawan Balitbang atau Perusahaan yang akan menduduki setiap jabatan dalam struktur organisasi pengelolaan LGMC sebaiknya dilakukan secara terbuka dan lulus semacam uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) bagi pejabat tersebut sehingga penunjukkan pejabat berdasarkan “urut kacang” atau senioritas dan kepangkatan harus sudah ditinggalkan apabila pengelolaan LGMC ingin berhasil dengan baik dan sukses. Sebenarnya penerapan sistem penawaran terbuka terhadap lowongan jabatan dengan melakukan uji kelayakan dan kepatutan tidak saja untuk organisasi pengelolaan LGMC tetapi juga untuk setiap jabatan dalam organisasi atau unit organisasi dibawah tanggung jawab dan wewenang Balitbang Hutbun dimana selama ini banyak jabatan struktural yang dirangkap oleh pejabat fungsional/peneliti. Kasus-kasus jabatan rangkap ini hendaknya sudah mulai
73
I N F O
volume 2 no. 2 (2001)
dipikirkan saat ini untuk mencari solusi yang terbaik sehingga kinerja Balitbang dapat lebih disempurnakan dan ditingkatkan di masa datang.
STRATEGI BALITBANG HUTBUN UNTUK MENGELOLA LGMC Strategi adalah kumpulan taktik-taktik yang hendak digunakan untuk mencapai suatu tujuan dari suatu organisasi. Strategi ini penting agar suatu pelaksanaan kegiatan dapat berjalan dengan baik dan lancar dengan memperhatikan hambatanhambatan dan tantangan yang ada. Strategi yang harus dilakukan oleh Balitbang untuk mengelola LGMC dengan sukses adalah: 1. Pembuatan Pola Umum Pengelolaan LGMC Secepat Mungkin Pembuatan pola umum pengelolaan LGMC ini harus merupakan prioritas kegiatan Balitbang dari semua kegiatan yang hendak dilaksanakan sehingga semua pihak akan memusatkan perhatian dan konsentrasinya kepada pelaksanaan LGMC. Penyelesaian pola umum ini harus dilakukan secara intensif dan memerlukan waktu sekitar 6-12 bulan. Di samping menunggu selesainya pola umum ini ada beberapa kegiatan lain yang menunjang pelaksanaan pengelolaan LGMC dan dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan. 2. Pelaksanaan Kegiatan Pendukung Operasional Ada beberapa kegiatan pendukung yang dapat dilaksanakan oleh Balitbang sambil menunggu selesainya pembuatan pola umum LGMC diantaranya: a. Membentuk tim kompilasi hasil-hasil riset Tim kompilasi mempunyai tugas pokok mengkompilasi hasil-hasil riset yang diunggulkan dan dibanggakan oleh Balitbang dari mulai kegiatan persemaian dan pembibitan, penanaman dan pemeliharaan (pemupukan, pemangkasan dan penjarangan) serta penebangan/pemanenan. Tim kompilasi ini dapat saja ditunjuk dari petugas-petugas perpustakaan yang dimiliki Balitbang. b. Membentuk tim seleksi teknologi tepat guna Tim seleksi teknologi tepat guna mempunyai tugas menseleksi hasil-hasil riset yang ada sesuai dengan bidang kegiatan pengelolaan hutan dengan meninjau dari beberapa aspek sebagai bahan pertimbangan seperti aspek teknis, praktis, ekonomis, kemudahan (pemakaian, mendapatkan bahan dan alat serta pemeliharaan), ekologis (sedikit dampak negatipnya terhadap lingkungan) dan sosiologis (kesesuaian terhadap sosial dan budaya masyarakat setempat dimana teknologi tersebut akan diterapkan). Tim ini hendaknya beranggotakan dari beberapa kelompok peneliti yang terkait dan benar-benar menguasai bidang teknologi yang hendak diseleksi. Dengan
74
Strategi balitbang…..(Subarudi)
demikian dapat saja tim ini berubah-ubah keanggotannya tergantung bidang teknologi yang hendak dipilih. c. Membentuk tim pembuatan juklak dan juknis Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa juklak dan juknis ini penting untuk pelaksana pengelolaan hutan di lapangan maka penyusunannya harus memenuhi persyaratan yang ada (sederhana, lengkap dan mudah dipahami dan dilaksanakan di lapangan). Juklak dan juknis ini hendaknya harus mencakup semua kegiatan pengelolaan hutan dan kebun. Anggota tim ini juga masih menjadi bagian tugas peneliti dengan tetap memperhatikan produktifitas hasil tulisan yang pernah dibuatnya. d. Membuat struktur organisasi pengelolan LGMC Struktur organisasi yang hendak dibuat tetap harus mengacu kepada sistem pengelolaan hutan yang lestari dan lebih berorientasi kepada efektifitas dan efisiensi serta rentang kendali yang cukup agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan dengan baik dan lancar. 3. Pembangunan Sarana dan Prasarana Berdasarkan pola umum LGMC yang ada maka perlu disusun daftar pengadaan sarana dan prasarana yang akan dijadikan prioritas sehingga pelaksanaan kegiatan lainnya dapat berjalan mengikutinya dengan menggunakan sebuah rencana jaringan kerja (network planning). Jadi dalam usaha mempercepat pembangunan sarana dan prasarana LGMC perlu diupayakan secara aktif oleh Balitbang Hutbun untuk mendapatkan dana hibah dari lembaga-lembaga donor internasional atau melaksanakan riset bersama di dalam lokasi LGMC. 4. Rekruitmen Pegawai dan Pekerja LGMC Rekruitmen pegawai dan pekerja LGMC hendaknya dilakukan secara terbuka, adil dan bijaksana dalam artian pekerja-pekerja yang mendapat prioritas untuk direkut adalah mereka yang tinggal disekitar lokasi LGMC sehingga keberadaan dan pengamanan LGMC akan dilakukan oleh masyarakat sendiri. 5. Sistem Administrasi Pengelolaan LGMC Sistem administrasi sangat diperlukan untuk mengetahui sejauh mana pengelolaan LGMC telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip suatu usaha atau bisnis karena pengelolaa LGMC bagi Balitbang bukan sekedar melakukan kegiatan usaha penelitian tetapi bagaimana caranya untuk mencari keuntungan (dana) yang dapat digunakan untuk kemandirian Balitbang dalam menyediakan dana untuk membiayai kegiatan-kegiatan penelitiannya di masa datang. Sistem administrasi yang dibuat hendaknya sederhana, ringkas dan tidak terlalu birokratis karena hanya akan menjadi penghambat pelaksanaan setiap kegiatan teknis di lapangan. Disamping itu perlu disosialisasikan bahwa sistem administrasi merupakan sistem pendukung dalam pelaksanaan pekerjaan teknis dan bukan sebaliknya penentu pekerjaan teknis di lapangan. 75
I N F O
volume 2 no. 2 (2001)
6. Sistem Pengawasan Dalam rangka mewujudkan pelaksanaan akuntabilitas publik (Public Accountability) bagi pengelola LGMC maka perlu diusahakan sistem pengawasan yang independen dan bersifat eksternal (akuntan publik) sehingga setiap kesalahan atau penyimpangan dalam skala kecil dan lebih awal dapat segera diketahui walaupun pengawas internal masih tetap diperlukan.
KESIMPULAN Konsep LGMC ini diharapkan dapat membuka cakrawala berpikir bagi semua pimpinan, karyawan dan peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan tentang betapa pentingnya keberadaan LGMC ini. Di samping itu keberhasilan pengelolaan LGMC ini dapat dijadikan tolok ukur keberadaan dan keberhasilan Balitbang dalam upaya mewujudkan Visi dan Misi “Centre of Excellent” nya melalui kegiatan-kegiatan riset yang nyata, terencana dan terpadu untuk mewujudkan sistem pengelolaan hutan dan kebun yang lestari. Strategi-strategi yang telah diuraikan dapat saja dijadikan bahan masukan (input) dan tantangan bagi peneliti senior dan yunior untuk dapat mengembangkan dan meningkatkan kualitas serta profesionalismenya melalui riset-riset yang lebih berorientasi kepada “Problem solving” daripada “credit point dan coin” semata.
DAFTAR PUSTAKA Lubis, P.C. 1999. Universitas Sumatera Utara, Medan, Menuju Land Grant Colleges and University. Kompas, 26 Desember 1999. Nasution, M. 1999. Pelaksanaan Program LGC Untuk Pembangunan SDM Kehutanan dan Perkebunan. Makalah Dalam Sidang Kabinmet Terbatas Bidang Kesra dan Taskin, Tanggal 14 April 1999. Septiani dan Haryanto. 1999. Laporan Hasil Kerjasama Luar Negeri Badan litbang Kehutanan dan Perkebunan dengan Lembaga Donor dan Riset International. Sylva tropika No: April 1999. Syafrida, M. 2000. Konsep LGMC Sedang Dipersiapkan Oleh Tim LGMC IPB. Kompas, 18 Juli 2000.
76