PGM 20006,29(1): 48-55
Status gizi balifa di daerah tectinggaltahun 2004
STATUS GlZl BALITA Dl DAERAH TERTINGGAL TAHUN 2004 (KAJIAN DATA SKRT 2004) Fel/y P. Senewe dan Sanqaja 2
ABSRTACT NUTRITIONAL STATUS OF UNDER-FIVE IN LESS DEVELOPED AREAS (ANALYSIS OF HOUSEHOLD HEALTH SURVEY OF 2004) Background: Less Developed Areas (LDA) as defined areas that have in part area with low swio-economu: status or low accass to public services including health. These conditiis are unfavourable fw growth of children. Aware about these problems may create programs to lift up the quality of human resources in the areas. Therefore, it is important to have information ofthe nutribonal status of undwfivas in LDA. Objective$: To have information on the nutritionalstatus of under five children in LDA diwtricts. Methods: This exercise used data of household health survey 2004. The samples were classified ~ntowasting, stunting and undermight. Descriptive analysis was conducted to compare the prevalence of wasting, stunting and underweight between LDA and non LDA. Results: The prevalence of wasting, stunting and undenneight are higher in LDA as m p a r e d to non LDA. Except in urban LDA the prmlence of underweght b 9.1% as compaed urban non LDA 11.3%. [Pend Gizi Makan 2006,29(1): 48-35] Key words: nutrifionalstatus, less developedarea
PENDAHULUAN tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya. Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meliputi pembangunan aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya dan keamanan. Di samping itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah. Pengertian daerah tertinggal, didefinisikan berdasarkan kondwi soslal, ekonomi, budaya dan wilayah (fungsi inter dan inta spasial baik pada aspek alam, aspek manusianya, maupun prasarana pendukungnya). Daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala naslonal dan rata-rata status sosial ekonomi yang relatii rendah. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal karena beberapa faktor penyebab antara lain faktor geografw. geomorfologk lainnya sehingga sukt dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media komunikasl Sebaran daerah tertinggal secara gwgrafis digolongkan menjadi beberapa beberapa kelampok antara bin daerah yang terletak di pulw-pulau kecil, gugusan pulau
esehatan anak di bawah lima tahun (BalRa) di Indonesia masih jauh dari keadaan yang diharapkan, ha1 ini dapat dilihat dari besamya jumlah balita yang meninggal. Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 200212003, kematian balita sebesar 46 per 1.000 kelahiran hidup selama periode 1998-2002 (2,3). Status kesehatan balita berhubungan dengan beberapa faktor ibu selama hamil dan rnelahirkan. Permagalahan kesehatan ibu seperti masih rendahnya perneriksaan selama hamil atau ante natalcare, masih rendahnya pergalinan ditolong deh tenaga kesehatan, status gizi bu hamil yang rendah. Dernikian juga permasalahan pada balita selama hidup antara lain, masih rendahnya kunjungan nwnatal, atau cakupan imunbasi yang masih rendah. Beberapa ha1 ini menyebabkan kesehatan balita makii rendah (4.5,6). Pembangunan di d a m h tertinggal merupakan upaya terencana untuk rnengubah suaiu wilayah yang dihun~deh komunitas dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fsik, menjad daerah yang maju dengan komunitas yang kuaMas hidupnya sama atau
K
1 2
Tim Teknis Surkesnas Peneliti pada Puslitbang Gizi dan Makanan, Badan Litbang Kesehatan, Depkes RI
48
PGM 20006,29(1): 48-55
Status gizi balka di daerah tertinggal tahun 2004
yang berpenduduk dan memiliki kesulitan akses ke daerah laln yang kbih maju, daerah yang secara administratif sebaglan atau seluruhnya terletak diperbata~nantarnegara baik batas darat maupun laut, daerah yang tetktak di wilayah rawan bencana alam baik gempa, longsor, gunung ap, maupun banjir atau daerah yang sebaglan besar Mlayahnya berupa pesisir. Perrnasalahan yang dihadapi daerah tertinggal antara lam kualitas sumber &ya manusia di daerah tertinggal relaw lebih rendah 6 bawah ratbrata nasional akibat terbatasnya akses masyarakat terhadap kesehatan (Shategi Naslonal PDT) (1). Susenas merupakan s u ~ e isosial ekonomi naslonal yang dilaksanakan bap tahun mencakup 30 provinsi di lndonesb, dimana di dalamnya luga berisi informasi tentang kesehatan bahta. lnforrnasi kesehatan yang dildenfikasi adalah keluhan kesehatan ddam satu bulan terakhir, berobat @Ian, tersedianya jaminan pembiayaan, r ' i y a t penolong prsalinan, r i i y a t imunisasi dan riwayat pemberim air susu ibu (ASI). Saat ini terdapat 190 kabupaten yang tergolong kabupater dengan kategon kabupaten tertinggal (Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal) (1). Dari beberapa kabupaen terhnggal termasuk juga kabupaten yang berada di daerah kepulauan. Dan beberapa masalah dan kondisi dari masyarakat yang linggal di daerah letlinggal maka perlu diketahui sejauh rnana status kesehatan masyarakat khususnya anak balita di daerah tmtinggal termasuk dl daerah kepulauan. Dengan demiklan diharapkan dan analisis mi dapat membwi masukan kepada program tentang kesehatan bal~tadan kepada program pembangunan di daerah tertrnggal. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui status gizi balita di daerah tertinggal. Dan nantirnya diharapkan dapat membenkan masukan untuk program kesehatan anak khususnya balita, program gizi keluarga dan program Pembangunan Daerah Tmtinggal
BAHAN DAN CARA Menurut Mosley and Chen (7), faktw sosial ekonomi dan budaya rnempengaruhi kelangsungan hidup anak melalui berbagai faktw. Faktor-faktor tersebut antara bin adalah faktor ibu (termasuk umur ibu, paritas, jarak kehamihn dan jenis kebmm), fakta lingkungan (yaitu berhubungan dengan medla penyebaran penyebab penyakit seperii udara, air, makanan, kulit, tanah, serangga dll. Juga
Felly P, dkk
ketersediaan sarana kesehatan, jarak ke sarana kesehatan, tempat t~nggal dan kawasan). kekurangan gizi (yaltu kekurangan kalori, protein dan kekurangan vitamin dan mineral, misalnya wasting, stunting dan undenueight), traumalcedera dan upaya pncegahan penyakit dari indwidu itu sendiri (misalnya imunkasi, pengobatan dan pember~an ASI) Dari beberapa faktw di atas balita dapat sakit atau sehat. Ba'ta yang sakit dapat menyebabkan pertumbuhan dan pskembangan (tumbuh kembang) balita terhmbat atau dapat menyebabkan kematian. Ukuran sampel SKRT 2004 secara keseluruhan sebanyak 182.304 rumah tangga, dengan jurnbh kabupatenkota yang tercakup sebanyak 377 kabupatenkota Sampel &lam analisis ni sebanyak 377 kabupaten dabm sampd SKRT 2004. Di dalamnya termasuk kabupatenlkota yang terdiri dari 190 kabupaten tertinggal(1) dan kepulauan dan 187 kabupaten tidak tertinggal. Untuk keperluan estimasi tingkat kabupatenlkota, beberapa kabupatenkota baru (penekeran) rnasih rnengikuti kabupatenkota induknya (asal). Rumah tangga dicacah dengan menggunakan kuesioner SKRT yang bensi pertanyaan tentang keterangan tiap anggota kduargal perwangan mmgenal kesehatan termasuk kesehatan balita. Pewawancara adalah petugas kesehatan, yang &tang mengunjungl rumah tangga dan mewawancarai setiap anggota rurnah tangga dari rumah sampel. Sampel kabupatm terpilih adalah kabupaten sesuai dengan kritena daerah tdmggal (Kementerian Pembangunan Daerah TMinggal) sebagai berikut NAD 12 kab, Sumut 6 kab, Sumbar 9 kab, Bangkulu 8 kab. Riau 2 kab, Kep Riau 1 kab. Jambi 3 kab, Sumsel6 kab, Lampung 5 kab, Babel 2 kab, Jabar 2 kab. Jateng 3 kab, DIY 2 kab. Jatim 6 kab, Banten 2 kab, Bali 1 kab, NTB 7 kab, NTT 15 kab, Kalbar 9 kab. Kalteng 7 kab, Kaltlm 3 kab, Kalsel 2 kab, Sulut 2 kab, Sulteng 9 kab, Sulbar 5 kab, Sulsel 11 kab, Sultra 8 kab. Gwontalo 4 kab, Maluku 7 kab. Malut 6 kab, lrja Bar 7 kab, Papua 18 kab. Var'ibel yang diinahsis yanu umur balita (12-59 bulan) dan bayi (0-11 bubn), ]enis kebmin, ternpat tinggal : perdesaan dan perkotaan, kawasan: J a w Bali dan luar Jam-Bali. Untuk mengukur status glzi baliia darl Berat Badan terhadap Tingg~Badan (wasting) dengan kriteria balita kurus ( ~ 2 . SD) 0 dan normal (2-2,O SD). Selanjutnya dari balita yang normal (BBITB ~ 2 . 0SD) dlanahsii Tingg~Badan terhadap Umur (stmtmg) dengan kriteria balita
PGM 2MX)6,29(1): 48-55
Stetus gtzi bd#a di daereh terthggd tahun 2W4
pendek (<-2,O SD) dan nMmal k-2.-0 SD). Bukur juga Berat Badan terhadap Umur (undemeghQ dengan kriteria belita Gizi kurang (<-2,O SD) dan normal ($,0 SO). Status ghi menggunakan subset data SKRT 2W4 dengan perhitungan z-score (anthropametty examination). Data pengukuran antropometri untuk tinggi badan inenggu~kanabt mimtofse, untuk panjang badan menggunakan
Valabsl DaerahTertinggal
F4iy P, dkk
kngih rneasuing boanl, dan untuk berat bedan menggunakan uniscale. Unit analisis adalah anak berumur di bawh lrma tahun (Balita) 0-4 tahun pada 377 Kabupsten di Indonesia. Analisk data menggunakan data SKRT 2004 untuk status Gizi baliia dengan melakukan recode dan analiis deskriptif.
Umur
Definisi Operaional Oaerah kabupaten yang relaw kurang kkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasianal dan berpenduduk yang relat'iftertinggal. Usia anak yang diikur dalam bulan.
Jenis kelamin
Jenis kebmin anak.
1
1
I Kawasan
Lokasi balita berada dikebmpdtkan dari beberapa Pmvmsi
Wasti@Kurus (BEVTB)
Status gizi bahta diukur dari Berat Badan terhadap Tinggi Badan (Wasting) dengan kriteria balita kurus (c2.0 SO) dan normal (2-2.0 SD). Pada pengukuran BWTB mendapat nilai normal kemudian diukur Tinggi Badan terhadap Umur (Siunting) dengan kiiena baMa pendek (c2.0 SD) dan normal (>-2.0 SD). Pada pengukuran BWTB mendapat nilai normal kemudian diukur Berat Badan terhadap Umur (UndemeigM) dengan kriieria balita g~zikurang (<-2.0 SD) dan normalp,-2.0 SD).
Sunting'Pendek (TW IhdeweightGid Kurang(BBN)
HASlL Dari data SKRT 2004 diiemukm sebanyak 99118 b a ~dan i anak di bawah lima tahun (belib). yaw terbagi afas 27.281 baiita (27.5%) b a d a di daerah tertinggal dan balita (72'5%) berada di daerah tidak tertinggal. Status gizi balits Status gizi b a l i diukur dari Beat Badan (BE) terhadap Tinggi Badan (TB) atau BBlTB (Wasting) dengan kriteria balita kurus (c2.0 SD) dan normal (2-2.0 SO). Selanjuinya dari baliia yang normal
Skala Kategori 1. Tertinggal 2. Tidaktertinggal i Skala Nci-nmal 1. 12-59 buian (balita) 2.0-11 bulan (bayi) ! Skala Nominal 1. Laki-bki 2. Perernpuan : Skala Nominal -~ -- 1. Grdesaan 2. Perkotaan Skala Nomtnal 1 Jawa-Bali 2. Luar Jawa-Bali , Skala Nominal 1. Kurus 2. Normal ! Skala Nom~nal 1. Pendek 2. Normal Skala Nom~nal 1. Giz~kurang 2. Normal Skala Nominal I
I
(n=2804) dimnabis Tmggi Badan terhadap Umur atau TBN (Stunting) derigan knteria balitapendek (<-2.0 SO) dan normal p-2.0 SD). Diukur juga Berat Badan terhadap atau BBN ,undelweight) dengan kriteria baCta Gizi kurang (<.2,0 SD) dan normal ( 9 0 SD). Pads Tabel 1 menun]ukkan balita kurus (<-2.0 SD) di lndonesla masih cukup besar di atas 10 penen, dan tefutama di daerah tertinggal. Di daerah tidak tertinggal, tidak terdapat perbedaan prevalensi baliia kurus menurut umur, jenis kebmin, kda desa, kawasan Jawa Bali dan luar Jawa Bali tetapl di daerah terlmggal mash terdapat &edaan prevalensi balm kurus.
PGM 2MX)6.29(1):48-55
Status giri balrla di dawah Mhggal tahm 2004
Tabel 1 Prevalensi Status Gizi Balita (BBITB) atau w a B t i n g ' K ~di~Dawah ~ Tertinggal dan Tidak Tertinggal Menurut Karaktm-istik Latar Belakang. SKRT 2004
Ya Prevalensi Balita Kurus
Nasional
Daerah Tertinggal
Karaktm-istik latar bdakang
/
14.5
%
Tidak
1
11,3
1
12.2
N
1
390
- 0-1I bin
- Perdesaan - Perkotaan Kawasan: - Luar Jawa-Bali - Jawa Bali Dan balita normal (BE tarhadap TB), sebnjutnya d~lakukan penilaian status gizi balita pendek atau stunting. Pada Tabel 2 ditunjukkan prevalansl bakta pendek yakni sekitar 1 dari 3 balita di lndonesla pendek. Lebih banyak dijumpal di
daerah tertinggal, prwaiensi balita pendek meningkat pada g h g a n umur 12-59 buian Prevalensi tertinggi balita penddek di dserah twtinggal di kawasan Jawa Bali
Tabel 2 Prevalensi Status Gid Balita (TBILI) atau S?untin@Fendek di Daerah Toflinggal dan Tidak Tertinggal Menurut Karakteristik Latar Belakang, SKRT 2004
- 0-11bln
- 1259 bln - Perempuan Tempat linggal: - Perdesaan
- Luar Jawa-Bali
Status gizi baWa d &ah
PGM 20006,29(1): 4&55
FeHy P, dkk
m g g d tahun 2W4
balita giii kurang dijumpai berbeda, dan lebih tinggi pa& kdmpok umur 12-59 bulan, perempuan dan di kawasan J a w Bail.
T a b l 3, menunjukkan prevalensi balta ghi kurang di Indonesia sudah relatif rendah (21%). namun demikiin balita gizl kurang masih banyak di daerah tertinggal. Di daerah tertinggal prevalensi
Tabel 3 Ravalenri SMM Gizi Balita (BEN) atau UndmwiggtMGizi Kurang dl D w a h Tartlnggal dan Tidak Tartlnggd Menuul K s a k l a i d i k Latar Bdakang, SKRT 2004
Daerah Tartinggal
Karakteristik ldar bclakang
Ya ~
~
~
......~
Umur - 0.11 bln - 12-59 bln
~
.
~
~
Tidak
-~~~~~~ ~
.
~ ... ~
. ..... ~~.~
~
201 6,s 25,7
7,8 22,6
21.1
21,s
Jenn kelamin: - Lakklaki
- Perempuan
~
/
I N
Sb
23,O
Prevalensi Balita Gizi Kurang .
Nasbnal
~~~~~.~~~ .
1 1
~
2's1 7.7 23,s 21.4
Tempat bnggal - Perdesaan
- Luar Jwa-Bali
BAHASAN Seorang anak yang dilahirkan memtiki garis perlumbuhan (yowfh trajectory) normal masingmasing. Garis pertumbuhan normal ini, ada yang berada di garis median, ada yang lebih rendah dan ada pula yang lebih tmgg~.Ada anak yang beat badannya berada di bawh garis merah (BGM) atau pada pita kunhg, dan ada yang terbtak pada plta hijau, tetapi garis perlumbuhan mereka mengikuti garis pertumbuhan normal. Pertumbuhan seorang anak bukan hanya sekedar gambaran perubahan berat badan, tinggi badan atau ukuran tubuh lainnya. tetapi lsbih dari itu memberikan garnbaan tentang keseimbangan antara mupan dan kebutuhan zat gizi seorang anak yang sedang dalam proses tumbuh. Bila jumlah asupan zat g'ii sesual dengan yang dlbutuhkan, maka disebut gin seimbang atau gizi baik. B~lajumlah asupan zat gizi kurang dari yang dibutuhkan disebut gui kurang, sedangkan bla jumlah asupan zat melebihi dari yang dbuluhkan
disebut clizi lebih. Dalam keadaan qizi baik dan s h a t atau bebas daci penyakit, p&imbuhan seorang anak akan terganggu, misahya anak temebut akan kurus, pendek atau gemuk. Gangguan pertumbuhan dalam waktu singkat sering terjad~pada perubahan b r a t badan sebagai akibat menurunnya nafsu makan, saklt seperti diare dan infeksi saluran pernapasan, atau karena kurang cukupnya makanan yang dikonsumsl. Sedangkan gangguan pertumbuhan yang berlangsung &am waktu yang lama dapat terk'hat pada hambatan perlambahan tinggi badan. Penibian status gizi berguna untuk mempemleh gambaran tentang: a). Status gin anak untuk memutuskan apakah anak perlu diberikan mtervensi atau tidak (pemberian makanan tambahan ataupun pengobatan). Selan itu penhian status gin bal'lta menurut indikalor W E dapat digunakan untuk menentukan jdur pertumbuhan n m a l anak pada kartu menuju sehat (KMS), b) Status glzi masyarakat yang sering digambarkan dengan
PGM 20006.29(1): 48-55
Status g i i bdba di dawah twfnggal tahun 2004
besaran masalah ghi pada kelompok balta. Besaran masalah gizi ini b~asadiiajkan dalam nilai prevalensi Kurang Giz~.Dengan memperokh gambaran tentang basaran masalah gizi dan masalah lain m~salnya insiden penyakit infeksi, kerniskinan, tingkat pengetahuan, dan per~laku (18). Untuk suatu program intewensi pembenan makanan tambahan maka kategwi kurus ( W E ) akan sangat sensiti terhadap program pemulihan gizi dengan pembenan rnakanan tambahan. Artinya dampak program akan terlihat jebs karena kekurangan energ!. Dengan dem~knnprogram menjad~efektii dan efisien (25). Pada umumnya pengukuran BB terhadap TB menunjukkan keadaan g h ~kurang yang lebih plas dan sensiMIpeka dibandingkan penilaian prevalensi berdasarkan BB dan umur ( W U ) Prevaknsi gizi kurang menurut W B (kurudwsting <-2SD) sesudah tahun 1992 berkisar antara 10-1696. Menurut WHO jika prevalensi wasting di atas lo%, menunjukkan negara tersebut mmpunyai masalah ghi yang sangat senus dan berhubungan erat dengan angka kernatnn belita (20). Dabm kajian ini ditemukan balita kurus di lndonesia sebesar 12 persen. Angka ini mash dabm kisaran diatas ( l a 16%) tetap! angkanya rnasih lebih rendah dibandingkan yang dibporkan SKlA 1995 sebesar 13,496 dan laporan SKRT 2001 setmar 15.8%. Kalau menurut kiriteria WHO maka negara kita masih merupakan masalah yang sangat serius yang berhubungan dengan kematian bakta. Ba'ta yang kurus ini kbih banyak ditemukan di daerah twtinggal dibandingkan dl daerah tidak tertinggal. Di daerah terbnggal balita kurus banyak dijumpai pada bkl-bki dan sangat banyak dilumpai di perdesaan dengan perbedaan proporsi sebesar 7% Demikiin pula menurut kawasan di daerah tetimgga ditemukan beda prcporsi yang sangat besar (11%) antaa proporsi balita kurus di luar Jam-Bali dan J a m Bali. Dalam kajian ini ditemukan prevalensi ballta pendek di Indonesia sebesar 26 persen, dimana prevalensi balita pmdek kbih banyek di ternukan di daerah tertinggal dibandimgkan di daerah tidak tertinggal. Menurul kelompok umur, balita berumur 12-59 bubn kbih pendek dibandingkan bayi berumur 0-11 bulan dan beda proporsi cukup lebar. Justru tarkhat ada beda proporsi di daerah tidak tertiiggal, dimana banyak di]umpai balita pendek pada jenis kelamm bki-laki, tinggal di perdesaan dan sediktt leb~hbanyak di kawasan luar J a m Bali. Masalah gui kurang pada anak balita dapat dilihat
FeHy P, dkk
kecenderungan. Menurut Susenas 1989, prevalensi gizi kurang bahta adabh 37.5% menurun menladi 27,396 tahun 2002. Terpdi pmurunan gizi kurang pada baXta adabh 27% tahun 1989 sampai tahun 2002. Sementara Goal Repelita (1998) prevalensi gni kurang pada balita menpdi 25%, dan World Summif for Children (WSC) goal menpdi 19% pada tahun 2000. Jika angka status g~zidikaji menurut kabupaten. 80% dwi total kabupaten dl lndonesia berada pada kondisi dimana prevalensi giz~kurang pada balita di atas 20% (Susenas 2002). Kabupaten di lndonesia masih menghadapi sejumbh 2 atau kbih dari 10 balrta menderita gizi kurang. Kronisnya masalah ghi kurang pada balita di lndones~a ditunjukkan dengan tingginya prevalensi anak balita pendek Prevalensi anak balita pendek dan tahun 1992 sarnpai 2002 dar~ bebetapa s u ~ amas~h sekitar 30.40% anak balita di lndonesia diklasifikasikan pendek (20). Menurut SKRT 2001, prevdensi balia pendek 34,3%, dirnana balita pendek lebih banyak pada kelompok umur 12-59 bulan (38%) dibandingkan kelompok umur 0-11 bulan (20%). Sedangkan menurut tempat tinggal banyak di perdesaan dan luar JamBali (8) Dalam analRis ini ditemukan prevalensi baliia gizi kurang di lndonesia sebesar 21 penen. Angka ini temyata hampir sarna dengan temuan SKRT 2004 (19). Prevalensi lebih tinggi di daerah tertinggal dari pada di daerah tidak tertmggal. Di daerah tertinggal, kelmpok umur 12-59 bulan sangat banyak ditemukan balita ghi kurang dan terlihat beda proporsi yang sangat lebar. Di daerah tertinggal balia ghi kurang kbih banyak dibmpai pada perempuan, dan di kawasan. Menurut Jahari, prevalensi gizi kurang pada bal~ta0-59 bubn secara nasional ada kecenderungan rnenurun yakni sepk tahun 1989 (36,2%), 1995 (29,8%), 1998 (28,3%), 1999 (25,456) (21) dan temuan dalam kajian karni tahun 2004 (21,1%). Namun angka prevalens~gizi kurang lika dibandingkan dengan negara ASEAN yang masing-rnasmg 2056, maka lndonesia masih kbh tinggi. Masalah pertumbuhan pada usm balita diduga kuat sangat berkaitan dengan praktek pernberian AS1 (21). Hal yang serna juga dilaporkan bahwa sebelum krisis faktor nsiko yang bwhubungan dengan status gbi adalah status ASI, pendidikan ibu, status diare dan sumber air minum. Kemungkinan terjadinya status gizi kurang pada anak yang tidak diben AS1 dan anak yang diare 2.10 kali lebih tinggi dibanding dengan anak yang tidak dtare (22).
PGM 20006.29(1): 48-55
Status gki balta didaerah fwthggal tahun 2004
Status gizi balita kurus (wasting), balita pendek (stunting) dan giii kurang (undemeighf) masih terdapat perbedaan antara daerah tertmggal dan tidak tertinggal.
SARAN 1.
Rewtabasi p y a n d u
2. Pembangunan kesehatan masyarakat terrnasuk bayiialila perlu tanggung jawab bersama dengan ketedibatan lintas sektw maupun lintas program.
RUJUKAN 1.
2.
Kementr'en Pembangunan Daerah Tertinggal RI. Stsategi Nasmnal Pembangunan Daerah Tertinggal. Jakarta Kernanken Pembangunan Daerah Tertinggal RI. 2004. Soemantri S., dkk. Kajimn Kematian lbu dan Anak di Indonesia. Yakarta: T i Kajian AKIAKA' Badan Pendti'n dan pengembangan Kesehatan. M04.
3.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. SUN& Kesehalan Rumah Tanaaa 2001. Jakarta: Badan Libang Depkes, 2 0 0 i -
4.
Padan Peneliien dan Pengembangan Kesehatan. Lapwan SKRT 2001: Studi Kesehatan lbu dan Anak (SKIA), Tim Surkesnas. Jakarta: Badan Litbang Depkes, 2002.
5.
Depkes-BPS-Unicef. End Decade Statkt'cal Report: Data and Descriptive Analysis. Jakarta: Depkes-BPS-Unicef, 2000.
6.
Bisara. 0, etall. Status gizi wanita usia subur ONUS) dan Balita di lndonesia rnenurut data SKRT 2001. &letin Peneltian Kesehatan 2003,31(3): 143 - 1%.
7
Badan Litbang Kesehatan. Status Kesehatan. Pelayanan kesehatan, perilaku hidup sehat dan kesehatan lingkungan. Susenas 2004, Substansi Kesehatan. SURKESNAS. Jakarta: Balibangkes, 2005.
8.
Yusuf Safullah. Menneg Pembangunan Percepatan Daerah Tertinggal (PPDT). "Tugas
FeRy P, dkk
Pokok Kami Mengurangi Disparitas'. lndonesia 2005,36(9077): 6. 9.
Media
Profil Kementerian Negara Pernbangunan Percepatan Daerah Tertinggal. Media lndonesia 2005,36(9077): 6.
10. Depkes RI. Rencana Stsatega Departemen Kesehatan 2005-2009. Jakarta: Depkes RI, 2005. 11. WHO. Millennium Development Goals. Geneva: World Health Organization. 2003.
12, Susenas 2004, Pedoman Pencacah Kor, Jakarta: Badan Pusat Stahstik, 2004. 13. Handayani L, Siswono. Pola kehrhan kesakitan penduduk lndonesia. AnaCsis data Susenas 2001. Buletin Penelitisn Kesehetan 2002,30(4): 192. 14. Setyowati T., Budimno R. Pemberen a~ susu ibu fASI) dan Demberian minumanlmakanan pada' baii. Bokiin Peneltian Kesehatm 1999. 26(4): . . 157.
15. Suhariyanto Kecuk, Avensora A. Pengukuran Kemisk~nan di lndonesia. Paper pada pertemuan Surkesnas di Glri Kembang Cipams Oktober 2005. Yakarta: Badan Pusat Statlist~k (BPS), 2005. 16. Depkes RI. Pemantauan Pertumbuhan Balita. Jakarta: Depkes RI, Ditpn Binkesmas, Dit Gizi Masyarakat 2002. 17. Badan Litbang Kesehatan. S u ~ e Kesehatan i Rumah Tangga (SKRT) 2004, Surkesnas Status Kesehatm Masyarakat Indonesia. Jakarta: Badan Litbangkes Depkes RI, 2005. 18. Ahnaraa. Kajian Masalah Gizi di lndonesia (Analsis kecenderungan dan proyeksi sampai dengan 2020). Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat Depkes RI, 2002. 19. Ahnarita. Kajian Masalah Giii di lndonesia (Analisis kecenderungan dan proyeksi sampai dengan 2020). Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat Depkes RI, 2002. 20. Jahari Abas B, dkk. Status gizi baMa di lndonesia sebelum dan selama krisis (Analisis data antmpmetsi Susenas 1989 s/d 1999), Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan
PGM 20006,29(1): 46-55
Status gizi balita di daerah tedinggal tahun 2004
Gi VII, LIPI, Jakarta, 29 Februai - 2 Maret 2000. 21. Tarigan Ingan. Faktm-faktm yang bwhubungan dengan status gizi anak umur 636 bulan sebelum dan saat kfbis ekonwni di Jawa Tengah. &letin Pensliban Kesehatan 2003,31(1)- 1-12 22. lnanto Joko, dkk. Tren angka kematisn bayi dan angka kematian anak balita di Indonesia. &iefn Rneiitien Kesehatan 2003,31(4): 197-210.
FeUy P, d k
23 Kartono Joko, dkk Keadaan grzl anak bal~tadl wlayah Bogor, Tangerang dan Bekas~ (Botabek) s&ma knsls ekonwn~ &lefn Penelirran Kesehatan 2002,30(1) 7-10 24. Utomo Budi Kelangsungan hidup anak di Indonesia: Pengerlian, masabh, progran dan bahasan metodobgi Jakarta: Unit penelitian kelangsungan hidup anak, Pusat Penelitian Kesehatan - Lembaga Penelitian UI. 1998.
PGM 2006,29(1): 5 6 6 2
Kabupefen Bogor
Besaranmasalah ghi b&
lman Sumamo
BESARAN MASALAH GlZl BALITA KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN BAKU ANTROPOMETRI NCHS DAN WHO 2005 lman Sumamo 1
ABSTRACT THE MAGNITUDE OF MALNUTRITION AMONG UNDER-FIVE IN THE DISTRICT OF BOGOR USING ANTHROPOMETRIC STANDARD OF NCHS AND WHO 2005 Background: In the early June 2006 WHO introduced new Anthropometric standard. The WHO recommen&d the Southeast Astan counb%s to adopt the new standxd. The standard is supported by s o h r e for data analysis. There seem no objections in adopting the standard. However, the experts group of lndoneslan Nutrition Association demands to evaluate the standard, before lndonesla use it in the nutritinn program. This paper is one of the acilvities in evaluating the impact dadopting new standard to the magnitude of malnutrition. Methods: This exercise use the data of G r d h Monltwing Survey in the (kstnct of Bogor The data were proccessed using the WHO anthropometric software.The data were analysed descripiively. Result: It was found that there is no s~gnificantdiierence m the prevalence of wasting, between using the NCHS and WHO standard (10.7% vs 11.1 %). But the prevalence of wasting is doubling in the age grwp 05 months (7 8% vs 15.7%). The prevalence of stunted slightly increase. (14.7% by NCHS versus 18% by WHO). The prevalence of stunting 6 34.1 % by NCHS and 39.2% by WHO. The prevalence of severe underweight is the same, however, the prevalence of undermight is on the other way around. The prevalence is 20.2% by NCHS and become 15.9% by the WHO. It is interesting to note when invok~ngweight the prevalence always hlgher by WHO in the age grwp of 0-5 months. Conclusion: The lower prevalence of underweight may cause a problem in the program because this is the parameter that is used h the program. The target of nutrition program is set 20% underweight if we use WHO the prevalence now from 20.296 became 155b [Penel Gizi Mskrn 2006.29(1): 56-62] Ksy Words: nutritionalstatus index, anthmpomelric standard
PENDAHULUAN
S
tatus gizi merupakan refleksi kecukupan konsumsi pangan yang tidak hanya dicerna tetapi juga digunakan oleh tubuh. Beberapa faktw mengganggu proses ini, terutama mfeksi dan gangguan metabolisme (1). Pengukuran status kesehatan dan gizi dapat diukur dengan pengukuran antropometri (2,3,4). Berat badan dianggap ukuran yang hdak memuaskan, namun pengamatan perubahan berat badan secara serial me~pakan cara suweitan gizi di negara berkembang. Bahkan di Indonesia berat badan menurut umur digunakan daiam pmgram gizi, dijadilkan alat penyuluhan dalam bentuk kartu pertumbuhan anak yang biasa dlsebut kartu menuju sehat (KMS). Banyak faktw yang mempengaruhi pertumbuhan Garn dkk (5) menunjukkan adanya perbedaan antar masyarakat
1
dalam ukuran tubuh dan kedewasaan. Karena itu bgis bib banyak usulan untuk membuat standar lokal. Namun Graitcet and Gentry (6) menunjukkan bahwa etnik dan genetik tidak terlalu penting dabm perbandtngan pertumbuhan. Neuman CG (7) menyatakan seleksi pemihhan data acuan untuk mengukur pertumbuhan fisik yang normal tefus menjadi topik debat yang panas. lsu utama adalah pengertian nwmal. Apakah menggunakan standar lokal atau international. Apakah menggunakan kelompok elit atau yang representat# Faktw penting adalah lhngkungan dan genetik. Namun genetik lemyata tidak terlalu menentukan, terbukti gans pertumbuhan antar ke 6 negara yang menjadi dasar penyusunan baku WHOGS tidak berbeda
Penellti pada Puslitbang Gui dan Makanan, Badan Litbang Kesehatan, Depkes RI