ISSN 0853-7690
TERBIT 24 HALAMAN VOL. 28 N0. 01 DESEMBER 2016
SOLIDARITAS TABLOID MAHASISWA UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
Saksi Bisu Sejarah Indonesia
Eks Rumah Radio Bung Tomo; Saksi Bisu yang Kini Menjadi PuingPuing Sejarah
Monkasel: Dari Kapal Perang Hingga Monumen Kapal Selam
Akulturasi Islam dan Budaya dalam Transformasi Sejarah Budaya Tradisional yang Mulai Menghilang
2
MINNA
SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
Salam Pers Mahasiswa!!! Bisa menerbitkan sebuah karya monumental, sudah barangtentu menjadi kebanggaan tersendiri. Apalagi jika proses penerbitan itu disuguhi dengan “perjuangan” yang memicu titik didih dalam tubuh menjadi berlebih, jauh dari kata mudah. Rapat, diskusi kecil, deadline, tugas serta medan liputan yang cukup menguras tenaga menjadi salah satu hal yang tak bisa dihindarkan. Lebih-lebih jika dalam proses penggarapan itu diwarnai dengan sedikit “percikan sentimentil” dari anggota. Maka, rasanya dengan terbitnya Tabloid Solidaritas Edisi I tahun 2016 ini, menjadi pelecut kami untuk senantiasa berkarya lebih lagi. Tabloid edisi kali ini lebih mencoba membedah sektor kajian sejarah. “Saksi Bisu Sejarah Indonesia”. Begitulah tema lengkapnya. Sebuah kalimat dimana persoalan sejarah ingin ditelisik lebih dalam, sesuai dengan sudut pandang mahasiswa (utamanya kacamata Pers Mahasiswa). Namun selebihnya, isu sejarah yang dimaksud tertuju pada bagaimana sebuah objek sejarah bisa bertahan di balik gencarnya waktu menyeiring. Ada beberapa objek sejarah yang bisa dikatakan bertahan sebagaimana fungsi dan tujuannya dibangun dahulu. Namun tak sedikit pula, kini, yang justru peran dan fungsinya sudah berbeda dari yang pertama kali dibangun. Kru Lembaga Pers Mahasiswa Solidaritas UINSA memandang perlu ada kajian yang bisa menelisik dan menyentuh sendi-sendi persoalan tersebut. Hal ini dimaksudkan sebagai edukasi dan upaya merawat ingatan soal apa yang telah terjadi pada masa silam. Di sisi lain, pada terbitan kali ini, kami mencoba menguraikan isu ini dengan unsur kebaharuan. Dan tentunya, hal ini sangat diharapkan bisa memicu segala kalangan untuk turut juga berpikir, bertindak dan bergerak dengan realitas yang terjadi kini. Rasa terima kasih patut kami sampaikan kepada para narasumber dan pihak terkait, yang telah berkenan memberikan waktu dan tenaga sehingga Tabloid ini bisa sampai ke tangan pembaca. Tanpa adanya bantuan, maka mustahil kiranya tabloid ini bisa disaji dan dinikmati. Di samping itu, secara khusus tabloid ini adalah bukti nyata dari rangkaian proses di LPM Solidaritas UINSA. Ini juga menampik bahwa proses penggarapannya dilakukan dengan cara yang mudah dan srampangan. Oleh karenanya, besar harapan kami agar karya ini bisa tertanam di hati pembaca. Dengan demikian, tergambar sebuah penghargaan di balik kerja keras yang dilakukan selama ini. Di samping itu, harapan besar bagi kami ialah civitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya tetap bisa berkiprah banyak di bidang literasi. Salah satu bentuknya yaitu dengan tetap menularkan semangat baca bagi siapapun. Agar ke depan UINSA semakin mapan, lebih baik dan bertambah kualitas akademiknya. Sehingga pada akhirnya, kita semua akan menjadi manusia yang bisa berguna bagi sesama.
Lain daripada itu, kami juga senantiasa mengajak pembaca agar membaca sejarah benar-benar secara objektif. Sebab, dengan membaca sejarah secara asalasalan, hanya akan menambah kesan bahwa kita adalah makhluk latah tanpa bisa menengok sisi kebenaran dari sejarah itu sendiri. Oleh karenanya, “saksi bisu sejarah Indonesia” dapat menjadi alternatif pembelajaran tersebut. Dan kemudian akan sangat mengesankan jika kita semua dapat memetik pelajaran dari narasi yang maha terbatas ini. Maka untuk itulah, dengan bangga kami sampaikan. Mari membaca dan mari mengingat
sejarah. Sebab, tanpa itu kita semua hanya akan menjadi pribadi yang lupa identitas. Dan tentunya kita semua tidak berharap hal ini akan terjadi. Garis bawahnya, di akhir tulisan ini, kami sampaikan lagi. “Mari membaca! Mari mengingat sejarah!. (*) Redaksi
Minkum Anisyah Tiara Khanza, mahasiswi semester 3, prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Kalau ada hal yang lebih asyik selain menangkap kupu-kupu yang indah, mungkin menjaring isu-isu berita lebih mengasyikkan, kalau nelayan memancing ikan tanpa disajikan, LPM solidaritas mampu menyajikan tulisan-tulisan dan memberikan bacaan yang bermutu.
Nur Azizah, mahasiswi semester 1, prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan LPM Solidaritas tempat yang pas buat mahasiwa-mahasiswi yang punya bakat dan keahlian dalam bidang kepenulisan, selain itu juga ada celoteh atau suara hati mahasiswa-mahasiswi untuk mengembangkan kampus UINSA menjadi lebih bagus kedepannya, dari produknya LPM Solidaritas mahasiswa jadi tahu mengenai berita-berita yang ada di kampus ini, tetapi untuk penerbitan produk-produknya lama, sehingga membuat kita harus sabar menunggu. Untuk ke depannya semoga LPM Solidaritas tetap eksis dan jaya.
M. Nafi’ Agus, mahasiswa semester 3, prodi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam LPM Solidaritas dalam analisis permasalahan dan pengambilan sub tema berita sangat baik dan menarik. Tapi mungkin perlu dikembangkan tentang analisis masalahnya juga mengutamakan permasalahan yang ada di lingkup mahasiswa, tidak terfokus pada birokrasi Rektorat, tetapi juga harus menyinggung masalah birokrasi mahasiswa seperti DEMA dan sebagainya, serta sebagai media penyambung lidah mahasiswa, LPM Solidaritas perlu melakukan dialog suatu permasalahan agar mahasiswa juga tahu.
3 SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
EDITORIAL Belajar Pada Sejarah
B
erbincang tentang sejarah bagi sebagian orang akan terasa membosankan dan menjenuhkan, sebab sebagian dari mereka tidak atau lebih tepatnya kurang senang untuk mengingat tanggal-tanggal penting dalam perjalanan sejarah tersebut. Di samping itu, sejarah juga membahas perihal tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Namanama mereka terasa kurang lengkap jika tidak dicantumkan, apalagi secara teoritis sudah menjadi unsur sejarah, berupa manusia. Sehingga yang terjadi saat ini, sejarah secara keilmuan tidak terlalu menonjol ke permukaan. Ia masih “kalah bersaing” dengan program studi yang memiliki peluang kerja lebih, seperti akuntansi. Padahal fakta yang terjadi, sejarah sebenarnya tidak asing dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita mencoba mengingat, maka akan sangat sering orang bertanya tentang kepribadian kita, seperti alamat rumah, jumlah saudara dan hal lain yang sifatnya terjadi di masa lalu. Maka hal itu sudah mengandung nilai-nilai sejarah. Hal ini terjadi ketika sejarah dipandang dari arti kata yang memiliki arti sesuatu yang telah terjadi atau masa lampau umat manusia (Sardiman AM, 1951). Di sisi lain, para pendiri dan pahlawan negeri ini sudah seringkali menyuarakan untuk jangan sekali-kali melupakan sejarah. Soekarno pun sampai menyatakan, “Bangsa yang besar adalah yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.” Namun tentu sebuah pemahaman tidak akan utuh jika hanya dilihat dari satu sisi saja, kita membutuhkan acuan dari berbagai tokoh yang mendefinisikan sejarah, salah satunya Moh. Hatta (1951). Kita akan menemukan bahwa sejarah memberikan sebuah hal yang menarik untuk ditelaah lebih dalam. Hatta mengatakan, sejarah dalam wujudnya memang memaparkan pengertian tentang masa lampau. Akan tetapi ia tidak hanya sekadar melahirkan sebuah cerita mengenai masa silam, ia juga menghadirkan berbagai dinamika, yang salah satunya tentang problematika pelajaran untuk manusia berikutnya (Aminuddin Kasdi, 1991). Hal ini menyiratkan bahwa sejarah selain sebagai wahana rekreatif dalam fungsi ekstrensiknya, juga menjadi
media pembelajaran oleh manusia yang hidup setelah sejarah tersebut tercipta. Ada banyak kejadian yang terjadi dan mengandung nilai ibroh (pelajaran) bagi manusia yang akan melanjutkan perjuangan mewujudkan manusia yang berkeadaban. Boleh saja peristiwa tersebut tidak akan terulang kembali sebagai sebuah persitiwa yang hanya terjadi sekali, sebagaimana ungkapan Sartono Kartodirdjo sekalipun sejarah tidak akan pernah berulang tetapi ada pola-pola atau kecenderungan yang dapat diperhatikan dan diambil sebagai sebuah pelajaran. Artinya pola-pola kejadian yang ada tidak menutup kemungkinan terjadi juga dalam zaman sekarang dan seterusnya. Maka hal tersebut akan menjadi penting untuk diikuti jika memberikan sebuah kemanfaatan, ataupun layak dipelajari untuk langkah antisipasi jika hal serupa terulang kembali dan memberikan dampak yang kurang baik. Contoh peristiwa yang secara pola masih terjadi di zaman sekarang adalah usaha mengatasi banjir yang terjadi pada zaman pemerintahan Erlangga dengan cara membuat bendungan “Waringin Sapto”. Pola yang sama juga bisa saja terjadi dalam usaha meredam banjir yang terjadi secara berkelanjutan di Jakarta, hanya saja teknis yang digunakan menyesuaikan perkembangan zaman yang tentu berbeda, begitu pula dengan ruang dan waktunya. Sejarah juga tak melulu mengenai peristiwa yang hanya tersampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut, maupun sebuah mitos yang akan selalu dipercaya dan dijalankan masyarakat yang meyakininya sebagai sebuah kebenaran. Sejarah hadir dalam sosok gedung-gedung, prasasti, bangunan-bangunan yang berdiri kokoh sejak zaman pembuatannya sampai sekarang atau yang sudah rata dengan tanah. Walaupun bisu, ia memberikan daya tarik yang kuat sehingga banyak dikunjungi, jika ia berupa wahana wisata. Mereka itu tersebar di seantero tanah pertiwi dan selalu siap setiap saat untuk digali dan diketahui perihal perjalanan panjang yang ada di baliknya. Ini yang biasa dilakukan para arkeolog dan ahli sejarah guna menambah kekayaan khazanah sejarah Indonesia. Maka dari itu, keberadaan benda-benda yang memiliki nilai sejarah tinggi sangat patut mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah dan pihak terkait. Bukan semata karena faktor materi yang akan menambah pemasukan, tetapi juga tentang arti penting nilai edukatif di baliknya. *) Moh. Mizan Asrori, Mahasiswa Asal Sumenep, pegiat pers mahasiswa LPM Solidaritas UINSA 2014
Susunan Redaksi: Pelindung: Prof. Dr. H. Abd A’la, M.Ag. Penasehat: Prof. Dr. H. Ali Mufrodi, MA., Drs. H. Samsoel Bahari, MM., Drs. H. Jainuddin, M.Si. Pembina: Dr. Abdul Cholik, M.Ag., Muhlisin, M.Pd.I, Alfi Yusron, S.HI., Sulanam, M.Pd., Muhammad Nuril Huda, M.Pd., Dewa Arya, A.M.Nazal., Fikri Yanda, M.Pd. Pemimpin Umum : Ahmad Farid; Pemimpin Redaksi : Moh. Mizan Asrori; Sekretaris Redaksi: Muti’atul Lutfi; Redaktur : Muhammad Rifki Ghufron Firdaus; Reporter : Latifah Inten Mahardika, Iva Yuroidha, Ahmad Jadulhaq Halim, M. Khair AlFikri, Moh. Samsul Arifin, Atikah Rusyda, Nurani Ahda, Desita Dini Prastiwi, Azizah,Elvina Karima Atika Mayangsari, Eva Ardlillah Daulati, Madihah, Ummahatul Mu’minin, Wahyu Auliasari, Nur Azizah Aulia Rahma, Siti Fatihatur Runika, Najwan Nada, Wiji Agustin Sasmita, Muhammad Nailur Rofi, Muhtadi; Desain Grafis : Mohammad Iqbal, Aliyul Himam, Moch. Malik Ibrahim
4
FOKUS
SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
Dokumen Solidaritas/fotografidestivaljurnalistik2016
Sejarah Indonesia Menuju Kemerdekaan JASMERAH. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Begitulah ungkap presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno ketika perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1966. Semboyan tersebut tentu bukanlah omong kosong belaka. Semboyan itu bisa dijadikan media refleksi untuk kita semua dalam mengarungi masa depan, yakni dengan senantiasa menghargai perjuangan para pahlawan yang telah berjuang dahulu demi masa sekarang.
1
7 Agustus 1945 merupakan hari paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, pada tanggal itulah Indonesia resmi merebut kemerdekaan setelah berabad-abad dijajah oleh beberapa negara. Dilansir dari berbagai sumber, Indonesia ternyata telah dijajah oleh beberapa negara. Pertama, Negara Portugis menjajah pada tahun 1509-1595. Lalu disusul oleh Spanyol pada tahun 15211692. Kemudian dilanjutkan Belanda yang berhasil menjajah seluruh wilayah Indonesia dengan waktu yang paling lama, yaitu 350 tahun. Datang ke Indonesia pada tahun 1602, akhirnya Belanda berhasil diusir pada tahun 1942, tetapi datang kembali pada tahun 1945, dan baru pada tahun 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Negara keempat adalah Perancis, yang menjajah Indonesia pada tahun 1806-1811. Lalu Inggris menjadi negara penjajah kelima, dimulai dari tahun 1811, dan berhasil diusir pada tahun 1816. Dilanjutkan oleh Negara
Jepang, yang menjajah Indonesia selama 3,5 tahun. Ada banyak puzzle yang perlu dirangkai untuk menjadi rangkaian sejarah yang utuh. Salah satu potongan puzzle yang perlu disoroti adalah perjuangan para pahlawan dalam mempersiapkan proses kemerdekaan untuk Indonesia. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa merasakan kebebasan yang bisa kita rasakan saat ini. Diawali dengan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Cusakai yang diketuai oleh Radjiman Widyodiningrat. Selanjutnya BPUPKI diganti menjadi Pantia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Inkai yang diketuai oleh Soekarno. Perubahan nama tersebut menegaskan bahwa tujuan dan keinginan bangsa Indonesia untuk merdeka sangat jelas. Akhirnya, Soekarno, Moh. Hatta, dan Radjiman Widyodiningrat diterbangkan ke Dalat, Vietnam
untuk menemui Marsekal Terauchi. Dalam pertemuan tersebut, mereka dikabari bahwa pasukan Jepang sedang diambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Pada tanggal 10 Agustus 1945, Sultan Syahrir telah mendengar kabar bahwa Jepang telah menyerah pada sekutu. Maka setibanya Soekarno, Moh. Hatta, dan Radjiman Widyodiningrat di Indonesia, ia segera mendesak mereka untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Tetapi, Soekarno menolak. Ia masih belum yakin apakah Jepang telah menyerahkan diri atau tidak pada sekutu. Dan setelah mendengar berita bahwasanya Jepang telah menyerahkan diri pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, golongan muda akhirnya mendesak golongan tua untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Namun, golongan tua tidak ingin terburu-buru karena mereka tidak ingin terjadi pertumpahan darah pada saat proklamasi. Lalu
5 SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo pergi mengunjugi rumah Laksamana Maeda. Maeda pun menyambut mereka dan mengucapkan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sepulang dari rumah Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan rapat untuk PPKI pada tanggal 16 Agustus 1945, pukul 10 pagi di kantor Jalan Pejambon No 2 untuk membicarakan persiapan proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Akan tetapi, pada hari yang ditentukan, Soekarno dan Hatta tidak hadir. Para peserta rapat tidak mengetahui bahwa telah terjadi peristiwa Rengasdengklok, yakni peristiwa
I
penculikan Soekarno dan Hatta oleh golongan muda untuk mempercepat pelaksanaan proklamasi. Setelah kembali dari Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta kembali dibawa ke Jakarta untuk menyusun teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda, yang dibantu Ahmad Soebardjo dan disaksikan Soekarni, B.M. Diah, Sudiro, dan Sayuti Melik. Setelah konsep selesai, Sayuti Melik menyalin dan mengetik naskah tersebut. Keesokan harinya, pada tanggal 17 Agustus 1945 pembacaan proklamasi oleh Soekarno didampingi oleh Moh. Hatta dilaksanakan di kediaman Soekarno, di
FOKUS Jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta. Dengan demikian negara yang terdiri atas ribuan pulau itu pun merdeka seutuhnya. Bisa dibayangkan, betapa tidak mudahnya merebut kemerdekaan itu. Darah, peluh, keringat, doa melebur menjadi satu-kesatuan untuk Indonesia. Maka, rasanya perlulah kita semua menghargai segala jenis jasa itu. Caranya tidak melulu dengan sesuatu yang rumit. Bisa pula melakukan apa yang diakatakan Ir. Soekarno—dengan tidak meninggalkan sejarah!. (Umh)
Budaya Tradisional yang Mulai Menghilang
ndonesia kaya akan budaya. Tiap daerahnya punya tradisi yang terus dijaga dan dilestarikan di masing-masing wilayahnya. Sehingga budaya antara masyarakat Betawi, tidak mungkin sama dengan masyarakat Jawa, Ambon, Maluku, begitu juga daerah lainnya. Seperti yang pernah disampaikan Koentjoroningrat dalam buku karya Mattulada berjudul “Kebudayaan Kemanusiaan dan Lingkungan Hidup” bahwa kebudayaan ada karena tiga wujud. Pertama, wujud kebudayaan adalah suatu ide atau gagasan, nilai, norma, peraturan dan masih banyak lainnya. Kedua, kebudayaan kompleks dengan aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan yang terakhir kebudayaan adalah bentukan hasil karya manusia. Dari tiga wujud kebudayaan itu bisa diartikan bahwa, kebudayaan sengaja diciptakan suatu masyarakat tertentu sebagai sebuah nilai yang “menjaga” aktivitas sosial mereka. Budaya Senyum Sapa Masih ingat ketika banyak turis asing mampir ke Indonesia? Mereka selalu mengatakan bahwa orang Indonesia baik dan murah senyum. Karakter ini tentu tidak ada begitu saja. Karakter orang kita, melalui banyak fase kebudayaan. Percaya atau tidak, ternyata karakter ramah dan baik hati itu ada karena ritual-ritual keagamaan yang sudah berlangsung sejak lama. Budaya ramah senyum ini bisa dilihat di kehidupan masyarakat pedesaan kita. Di pelosok desa bahkan
budaya saling sapa sudah menjadi perihal wajib untuk dilakukan setiap harinya. Misalnya, baru saja pulang kampung saat liburan kuliah, kamu duduk di teras rumah. Tak jarang tetangga desa yang sedang melintas dan melihatmu, akan berteriak kencang “kapan datang?”. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, kebudayaan ini terjalin salah satunya adalah karena kebiasaan ritual yang sudah lama ada. Mengutip seorang peneliti kebudayaan Dirks, dari buku Imam Sukardi yang berjudul “Pilar Islam bagi Pluralisme Modern”. Dirks mengatakan bahwa ritual keagamaan yang selama ini dilakukan masyarakat Jawa—tradisi slametan, bersih desa, haul, dan semacamnya—merupakan penguatan ikatan tradisi sosial dan individu dengan struktur sosial dari kelompok. Integrasi itu dikuatkan sekaligus diabaikan melalui simbolisasi ritual atau mistik. Artinya mau tidak mau ritual keagamaan kita itu dinilai sebagai sebuah pertemuan untuk mengikat persaudaraan. Jadi tak heran jika setiap orang desa mengenal seluruh tetangganya, mulai dari ujung Barat hingga ujung Timur. Seiring berkembangnya jaman dan teknologi saat ini, budaya saling sapa pun tak bisa terelakkan sedikit mulai terkikis. Terutama di kota besar seperti Surabaya. Menurut Pipit Maulidiya, Alumnus jurusan Sejarah dan Kebudayaan UINSA dari teori Dirks tersebut cukup masuk akal kenapa kehidupan kota semakin hedonis. “Banyak masyarakat desa di berbagai daerah sampai pada
saat ini masih melakukan ritual keagamaan. Bentuknya seperti tahlilan, diba’an, slametan, yasinan, bersih desa, dan lain sebagainya. Seringnya bertemu dalam kegiatan ini bisa jadi meningkatkan rasa persaudaraan antar tetangga. Menciptakan ruang diskusi, misalnya diskusi ternak dan pertanian. Nah ritual keagamaan seperti ini nyaris jarang dilakukan di kota. Orientasinya sudah beda, masyarakat kota tersita waktunya untuk memenuhi kebutuhan dan mencari uang hingga larut malam, sehingga acara ritual keagamaan sering terlewatkan,” tuturnya saat ditemui Kamis (29/12). Budaya senyum dan sapa mungkin sebagian dari budaya yang kini sedikit demi sedikit mulai tiada. Entah hilang atau sengaja dihilangkan. Tak hanya kota, agaknya krisis ini juga sudah mewabah di kalangan masyarakat pedesaan. Senyum dan sapa mungkin hanya secuil kebudayaan yang akan hilang jika tidak dijaga. Masih banyak bentukbentuk kebudayaan lainnya seperti menggunakan bahasa yang halus ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Atau budaya membersihkan masjid, selokan, jalan raya secara bersama. Kebudayaan yang menjadi identitas kita ini tentu harus dijaga. Seperti yang sudah diulas Koentjoroningrat bahwa kebudayaan adalah hasil ciptaan manusia, jelas yang bertanggung jawab tetap menjaga nilai itu adalah kita para penerusnya. (Iva)
Akulturasi Islam dan Budaya dalam Transformasi Sejarah
S
iapapun yang tertarik dengan dinamika masyarakat Nusantara saat ini, kata George McT. Kahin, cepat atau lambat akan menyadari bahwa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai pelbagai fenomena pertama kali diperlukan apresiasi terhadap residum budaya tradisional di Nusantara pra-Barat yang utuh. Lebih dari itu, Kahin mengatakan nilai-nilai tradisional Jawa menjadi representasi, mengingat entitas budayanya diakui memiliki pengaruh yang cukup signifikan ke beberapa pulau lain. Kehidupan manusia saat ini, meskipun dalam era modern, masih tak bisa dilepaskan dari unsurunsur tradisionalisme—salah satu perwujudannya ialah kepercayaan masyarakat terhadap benda-benda atau tempat tertentu yang memiliki kekuatan supranatural. Menganggap benda maupun tempat tertentu memiliki nilai magis itu sudah menjadi keseharian dalam kehidupan dewasa ini. Berbicara masalah mitos, tentu tak bisa lepas dari akar sejarahnya. Menurut Buya Syafii—panggilan akrab Ahmad Syafii Maarif, sebelum kedatangan Islam, bumi Nusantara ini sudah dihuni oleh berbagai penganut agama dan kepercayaan animisme,
Dokumen Solidaritas/fotoistimewa
6
FOKUS
SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
dinamisme, jauh sebelum agama Hindu dan Buddha datang ke Nusantara. Pendapat tersebut senada dengan yang dilontarkan Mulder, kepercayaan Jawa sebelum banyak bersentuhan dengan agama-agama besar dimaksud telah memiliki pandangan hidup yang disebut dengan kejawen atau Jawanisme. Eksistensi agama Hindu dan Buddha sejak abad ke-5 Masehi di Nusantara, juga tak bisa lepas dari pengaruh mitos-mitos yang ada sebelumnya. Bahkan, melalui kepercayaan Hindu-lah kran kepercayaan terhadap hal supranatural menemukan momentum sebelum akhirnya ditransformasikan ke dalam nilai-nilai ke-Islam-an oleh penyebar agama Islam pertama kali. Kedua agama tersebut yang embrionya dari India telah melahirkan perhitungan tahun Saka yang sampai saat ini masih eksis keberadaannya di tengah pergumulan masyarakat. Buktibukti tertua mengenai adanya negara-negara Hindu Jawa berupa prasasti-prasasti dari batu yang ditemukan di pantai utara Jawa Barat kurang lebih 60 kilometer sebelah timur kota Jakarta di lembah sungai Cisedane (Koentjaraningrat, 1994: 38). Islam datang sekitar akhir abad ke-13 yang ditandai dengan munculnya kerajaan Islam pertama di Pasai. Para penyebar tersebut—kalau di Jawa masyhur dikenal dengan sebutan Walisongo (sembilan wali), tidak serta-merta menghilangkan praktik-praktik keagamaan yang sudah ada dalam proses dakwahnya. Akan tetapi, mengubah substansi dari praktik tersebut dalam bingkai yang islami. Menurut Robin, sikap Islam yang inklusif terhadap simbolsimbol budaya yang ada telah menyebabkan Islam menyatu dan melebur menjadi satu model keagamaan yang baru.
Monkasel: Dari Kapal Perang Hingga Monumen Kapal Selam
Para penyebar agama Islam tersebut melakukan tindakan seperti itu bukan tanpa alasan. Apabila dilakukan dengan cara eksklusif tentulah Islam itu akan ditolak. Karena sifatsifat yang dibawa adalah perdamaian, inklusif, dan egaliter, maka mudah diterima oleh masyarakat yang notabene-nya saat itu mayoritas masih beragama Hindu yang terkotakkotak dalam sistem kasta. Meminjam bahasa Buya Syafii, adalah sebuah “keajaiban” sejarah kemudian, Islam sebagai pendatang baru telah “menaklukkan” Nusantara sehingga dalam perjalanan waktu, mungkin cukup lama, telah menjadi agama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk sampai sekarang. Dalam bentangan waktu sampai saat ini, tak bisa dipungkiri, banyak dari peninggalan para penyebar agama Islam itu, entah berupa ritual keagamaan maupun simbol yang masih lestari bahkan “dikeramatkan” oleh masyarakat. Hal itu dalam analisis penulis merupakan “perpanjangan” usia dari sinkretisme tersebut dalam wajah yang lebih modern. Dalam paparannya Robin mengatakan, hasil penelitian Husein. S. Ali yang menyatakan bahwa kehidupan masyarakat dalam keseharian ternyata dipandu oleh keyakinan lokal yang melingkupinya. Temuan Ali ini secara tidak langsung juga berhasil membangun konstruk sosial tentang konsep mitos. Misalnya, dalam area makam Sunan Ampel, ada kendi-kendi air minum yang diperuntukkan bagi peziarah atau masyarakat umum. Masyarakat berbeda-beda dalam memaknai substansi dari air dan khasiat jika minum air di kendi itu. Ada yang mengatakan bisa menjadi obat dari berbagai penyakit, bisa mencerdaskan dan lain sebagainya. Dari banyak macam
D
alam proses perkembangan zaman banyak meninggalkan kisah dan peristiwa yang menarik, mengharukan dan penuh perjuangan. Tidak hanya di luar negeri, di Indonesia mempunyai beberapa cerita yang menjadi saksi bisu peristiwa bersejarah dalam perkembangan
pendapat itu pada muaranya tetap sama: kepercayaan masyarakat pada mitos yang menyertai perjalanan sejarah dari kendi tersebut. Pada kondisi tertentu, praktik seperti itu bisa berakibat kemusyrikan karena menganggap orang bisa sembuh, cerdas dan sebagainya bukan karena Allah. Akan tetapi, karena air dalam kendi tersebut. Diterima atau tidak, begitulah konsekuensi dari pola penyebaran Islam yang akulturatif. Memasukkan ajaranajaran ke-Islam-an pada praktik keagamaan yang dikenal sebelumnya. Sehingga masyarakat mudah menerima karena cara-cara yang dipakai tidak fundamentalis. Hal semacam ini yang dikenal dengan teori Receptio-nya Snouck Hurgronje. Arief Aulia Rahman menjelaskan teori ini dengan Islam sebagai agama atau hukum normatif umat Islam dapat diterima di kalangan masyarakat Jawa jika tidak bertentangan dengan budaya Jawa. Walaupun pada taraf tertentu, masyarakat cenderung memaknainya dengan berlebih. Kepercayaan masyarakat terhadap ritual keagamaan simbol-simbol tertentu yang sarat dengan animismenya yang masih lestari sampai saat ini—meskipun mengalami ‘intervensi’ dari pengetahuan modern karena dianggap irrasional dan keluar dari ajaran teologis agama Islam itu sendiri, patut kita apresiasi juga. Sebab, upaya seperti ini termasuk sebagian cara menghargai sejarah perjalanan agama Islam dari awal penyebarannya sampai menjadi agama yang dipeluk mayoritas masyarakat. Adalah tindakan ahistoris apabila memaksakan wajah Islam di Nusantara serupa dengan negara-negara lain. (Rof)
Dokumen Solidaritas/fotoistimewa Indonesia. salah satunya adalah Monumen Kapal Selam (Monkasel) tempat bersejarah di Surabaya. Sesuai yang juga dijelaskan dalam Vidio Rama, sebuah tempat pemutaran film sejarah di sebelah monumen, Monkasel dulunya adalah kapal selam Kapal Republik Indonesia (KRI)
7 SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
FOKUS
KRI Pasopati sedang bersandar di pelabuhanSabang, 1974 Pasopati 410, salah satu armada Angkatan Laut Republik Indonesia buatan Uni Soviet tahun 1952. Kapal selam ini bahkan pernah dilibatkan dalam Pertempuran Laut Aru untuk membebaskan Irian Barat dari pendudukan Belanda. Monkasel terletak di Embong Kaliasin, Genteng, Surabaya. “Panjang dari kapal selam adalah 76 meter dengan lebar 6,3 meter dan terdapat 7 ruangan”, ungkap Amri Selaku Staf Monkasel ketika diwawancarai Solidaritas. Kapal Selam dibawa ke darat dan dijadikan monumen untuk memperingati keberanian pahlawan Indonesia. Monkasel diresmikan pada Sabtu 27 Juni 1998 di Surabaya. Kapal selam ini dibawa ke tengah Surabaya dengan cara dipotong menjadi 16 bagian. Lalu dibawa ke area Monkasel dan dirakit kembali. Monumen berada di Jalan Pemuda, tepat di sebelah Plasa Surabaya. Untuk bisa berkeliling dalam Monkasel, akan dikenakan biaya tiket masuk Rp. 10.000,- . Jika berkunjung ke tempat wisata monumen, akan ditemani oleh seorang pemandu lokal, Monkasel buka pada pukul 08.00 WIB hingga 21.00 WIB.
dinikmati pengunjung selama 15-20 menit, di sekitar Monkasel juga terdapat wahana pemandian. Jika berkeinginan untuk memasuki wahana tersebut pengunjung bisa merogoh kocek sebesar Rp. 8000,-. Pengunjung juga dihibur dengan music live di cafe yang ada di sebelah Monkasel yaitu Moncafe.
diperoleh dari orang berjualan di dalam area monumen. Selain itu juga, pendapatan diperoleh dari penyewaan untuk foto pre-wedding atau acara musik.
“Pengunjung rame saat liburan. Berjualan di sini menguntungkan kalau tidak menguntungkan tidak saya lanjutkan.” Ucap Kusmei, salah satu Berkunjung ke Monkasel tentunya tidak penjual makanan di area Monkasel. hanya berwisata saja, namun juga bermaksud Pendapatan yang didapat oleh Monkasel menggali pengetahuan dan mengetahui sejarah. digunakan untuk pembenahan internal. Banyak pengunjung dari luar kota maupun Pembenahan kapal dilakukan satu tahun sekali. pulau, anak-anak hingga dewasa, seperti ucapan Pendapatan yang didapat monumen kapal selam salah satu pengunjung dari Banda Aceh, “Belajar tidak diberikan ke negara, karena berdiri sendiri. pada masa lalu dan bisa berubah untuk lebih Monkasel tidak dapat bantuan dari pemerintahan baik lagi”, pungkas Dila, dirinya menyempatkan kota dan tetap membayar pajak. Kapal selam berkunjung sebelum meneruskan perjalanannya tersebut diberikan oleh Satuan Kapal Selam ke Pare Kediri. (SATSEL). Pendapatan Monkasel satu bulan bisa Pengunjung Monkasel saat sepi mencapai mencapai 130 juta dan bisa lebih.” Tutur Wulan 200 orang dan mencapai 1000 orang saat hari selaku Kaor Buku. Dirinya menambahkan bahwa libur tiba. Semakin banyak pengunjung, semakin pendapatan itu murni dari pengunjung.(vik/wij/ bertambah pemasukan untuk monumen kapal aul)
selam. Pemasukan atau pendapatan Monkasel tidak hanya dari monumen kapal selam dan Selain fasilitas Vidio Rama yang bisa tempat pemandian, tetapi pendapatan dapat
8
FIKROH
SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
Bagi Bangsa yang Taat Asas, Sejarah Bermanfaat (Sebuah Opini Reflektif dalam Wawancara Eksklusif dengan Prof. Dr. Aminuddin Kasdi, M.S) Oleh: Akh. Rifqi Ghufron Firdaus
Dokumen Solidaritas
Sifat bawaan sejarah ini sekali lagi sebagai keniscayaan, dan sudah lumrah terjadi. Namun apa bisa sejarah itu netral? Tentu bisa, tapi sulit. Karena sejatinya yang menulis sejarah memang mereka yang memenangkan “perang” atau persengketaan dalam satu pihak. Terkait dalam persoalan demikian, bukan berarti sejarah itu sesat. Bahkan sebaliknya, sejarah masih bisa memberikan pelajaran dan inspirasi bagi generasi sekarang dan masa depan.
N
egeri ini sering berdebat soal sejarah. Menghakimi kebenaran dan kerelatifan sejarah secara parsial. Sering pula menilai sejarah adalah manipulasi dari apa yang diceritakan atau dituliskan pengarangnya. Kilas balik sejarah sebenarnya penuntun jalan kebenaran: memetik pelajaran dari kegagalan, dan meneruskan etiket baik keberhasilan masa silam. Pakar sejarah, Aminuddin Kasdi (selanjutnya disebut Prof. Amin) menilai sejarah sebagai peristiwa penting, baik secara individual atau kelompok. Syarat dinilai sebagai sejarah bila suatu peristiwa yang sekali terjadi di masa lampau memiliki sumber sejarah, saksi sejarah, dan/ atau terdapat pelaku sejarah. Potensi sejarah kalanya sebagai sebuah perubahan yang kemudian disebut sebagai konversi kontinuitas dan mempunyai tanggung jawab sosial menerjemahkan kehidupan yang akan datang. Reaksi peristiwa-peristiwa penting dalam suatu negara sejatinya memunculkan kesan berupa memori kolektif dan tulisan, sehingga mengkaver pembacaan setiap orang mengetahui apa yang terjadi di masa lampau. Jadilah sejarah tertulis dan bisa disimak dalam ragam tertentu. Mencoba menilik lebih dalam sejarah sebagai ilmu, ia harus empirik. Tidak sembarang tulisan atau laporan bisa menjadi rujukan sejarah. Serupa dengan disiplin keilmuan lainnya yang menumpukan kajian pada kedalaman data dan verifikasi hasil dari data yang dikumpulkan. Prof. Amin meyakinkan bahwa sejarah sejatinya bisa disebut sebagai fakta ketika sudah bisa kohern saat dipadukan dengan data-data yang lain. Historiografi berpatokan pada elemen tersebut. Sehingga upaya membuat kamuflase sejarah oleh oknum yang tidak bertanggung jawab bisa dikendalikan menggunakan pengilhaman nalar empirik di atas. Berlangsungnya kejadian bernamakan
sejarah ibarat melihat barang dari arah yang berbeda. Artinya bisa saja para sejarawan berkisah tentang apa yang ia lihat namun tidak menyampaikan apa yang kemudian orang lain tahu. Demikian itu mengindikasikan bahwa sebetulnya sejarah mempunyai unsur subjektivitas yang tidak bisa terelakkan. Prof. Amin menyebut bawaan sejarah dimaksud (subjektivitas) adalah personal bias, group prejudice, and way of life. Pertama, tentang personal bias ini adalah sebuah tendensi pribadi tertentu dalam menanggapi kejadian dan mengisahkannya. Penulis dan pelaku sejarah tidak akan mencitrakan buruk dirinya. Namun, orang lain yang berada dalam simpang posisi (rival) akan tertuduh jahat dan berada dalam pihak yang dipersalahkan. Artinya sebagai penulis sejarah tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan subjektivitas cocok dan tidak cocok, like and dislike dalam citra sejarah yang ditulisnya.
Sejarah sebagai pembelajaran diibaratkan kaca spion kendaraan. Saat orang-orang bingung memecahkan masalah, saat orang-orang tidak tahu harus bertindak apa dalam mengatasi masalah dan kebuntuan, maka yang akan dilihat adalah “kaca spion” untuk kembali melihat realitas di belakang yang sudah terjadi dan disebut sebagai sebuah pengalaman. Ungkapan experience is the best teacher relevan sekali yang berarti sejarah. Kemudian Sejarah menjadi inspirasi saat melihat keberhasilan dan kesuksesan yang pernah diperoleh di masa lampau. Implikasi seharusnya generasi sekarang dan masa depan akan termotivasi untuk mempertahankan kesuksesan dan mewujudkan keberhasilan baru. Dalam upaya melihat realitas Bangsa Indonesia saat ini berbeda halnya dengan generasi para pendahulu seperti Soekarno yang mengingatkan bangsa ini untuk tidak sekali-kali melupakan sejarah, atau kebijakan pemerintah kala itu yang mengupayakan pendidikan sejarah secara optimal dan agar dipahami anak bangsa. Sementara hari ini banyak anak-anak enggan belajar sejarah, bahkan dalam pelajaran, banyak sejarah yang mempunyai urgensi atas pembangunan bangsa tak terlukiskan dalam pendidikan sejarah kita. Ironisnya pula, dalam pendidikan kita, sejarah tidak diakomodir dalam materi yang diujikan dalam Ujian Nasional (UN).
Kedua, group prejudice sebagai sebuah kecurigaan pada kelompok lainnya tentang suatu realitas yang memunculkan perspektif baru versi yang dikehendaki. Keniscayaan ini yang sering menimbulkan gejala sosial yang luar biasa, bahkan tidak jarang muncul ketegangan atas pemahaman subjektivitasnya sendiri. Pemisalannya banyak terjadi di Indonesia orang ribut atas sangkaan-sangkaan tertentu pada kelompok tertentu pula, dan tidak jarang berakhir resistans dalam penyelesaian gejolak konfliknya. Inilah besar penyebabnya group prejudice.
Penilaian Prof. Amin, sejarah adalah pelajaran penting sebagai pemupuk kesadaran bahwa bangsa ini dibangun dengan susah payah. Agar kemudian generasi mendatang mampu menjaga nilai semangat pembangunan bangsa ini. Tapi nyatanya banyak anak bangsa yang tidak mengerti pahlawan bangsa, tidak mengerti heroiknya Bung Tomo memimpin pemberontakan melawan penjajah, tidak tahu tentang kejadian sebenarnya tentang G 30 S. Inilah penyebab bangsa yang tidak taat asas. Kita diajarkan untuk mengingat sejarah, tapi pemerintah justru memudarkan instrumen pengingatnya. Jangan heran jika jiwa nasionalisme dan patriotisme anak bangsa juga tergerus, memudar oleh zaman.
Ketiga, mengenai pandangan tentang realitas tertentu dalam kehidupan, way of life. Sejarah pada posisi ini mengalami keistimewaan tersendiri. Saat beberapa orang berbicara idealisme, namun sejarah dalam posisi ini sudah ditentukan atas kesesuaian dengan kehendak pribadi dalam pemahaman sedikit eksklusif. Ini masuk juga dalam karakter subjektivitas.
Taat asas dalam artian konsisten antara pernyataan dan instrumen yang harusnya disediakan oleh pemerintah. Selain agar taat asas, Harapan terakhir Prof. Amin pemerintah bisa memberikan apresiasi setinggi-tingginya pada produk maha karya dan saksi sejarah nampak atau bahkan pada sejarah yang hanya bisa diterka dalam analis kebudayaan Bangsa Indonesia.
9 SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
Meminjam Harta Masa Depan
M
engulas masa kejayaan kerajaan, teringat pada dua kerajaan besar di Indonesia. Kerajaan Sriwijaya yang megah karena akses maritimnya, dan kerajaan Majapahit dengan luas ekspansi yang dikabarkan hingga Singapura. Akan ada banyak hal yang teringat jika terdengar kata Majapahit. Entah Hayam Wuruk, Sumpah Palapa, Patih Gadjah Mada dan banyak lainnya. Jika ditelusuri, situs peninggalan kerajaan Majapahit banyak ditemukan di Trowulan, Mojokerto Jawa Timur. Trowulan diyakini sebagai pusat ibukota Majapahit, dilihat dari beragam situs peninggalan sejarah yang ada di sana. Seperti Candi Brahu, Candi Tikus, Kolam Segaran, dan masih banyak lagi. Beberapa masyarakat awam menganggap bahwa semua situs peninggalan yang berbentuk menjulang sebagai ‘Candi’. Namun, jika dikaji kembali belum tentu bangunan tersebut adalah Candi. Seperti Gapura Bajang Ratu. Sekilas memang tampak menjulang tinggi, dengan denah bangunan berbentuk persegi empat. Ukuran gapura ini 11,5 x 10,5m dan tinggi 16,50m. Terdapat lorong pintu yang tingginya 1,4m. Sejarah menyebutnya sebagai Gapura, padahal pada umumnya bangunan gapura berpasangan, oleh karena itu para ahli mengasumsikan bahwa gapura ini belum selesai dibangun. Nama Bajang Ratu sendiri diyakini ada kaitannya dengan Jayanegara (raja kedua dari kerajaan Majapahit). Bajang artinya kecil, seperti Pembajangan yang berarti Kuburan anak kecil. Menurut kitab Pararaton maupun dalam legenda, Jayanegara dinobatkan menjadi Raja ketika ia masih kecil sehingga gelar Ratu Bajang melekat pada dirinya. Penyelamatan yang pertama dilakukan pada tahun 1890 dengan jalan dipasang balok kayu sebagai penyangga dan kemudian diganti dengan besi kayu ketika kayu penyangga tersebut lapuk. Bajang Ratu merupakan gapura dengan tipe Paduraksa (beratap tunggal), karena selama ini orang mengenal bahwa gapura adalah bangunan yang berpasangan. Pada bagian atapnya terdiri dari tingkatantingkatan horizontal dengan puncak berbentuk kubus. Pada atap terdapat beberapa hiasan relief antara lain : Relief Surya (Matahari), Relief Kalamakara, Relief Naga Berkaki, Relief Kepala Kala dan relief lainnya. Relief tersebut
memiliki fungsi sebagai penolak dari kejahatan. Pada bingkai pintu terdapat ornamen, berupa relief binatang bertelinga panjang dengan ekor berbentuk Sulur Dunung sebagai hiasan. Sebagai situs peninggalan agama Hindu, sudah dapat diketahui dari ciri – ciri tersebut. Karena berbentuk gapura, beberapa ahli memprediksi situs ini sebagai : 1. Menurut peneliti Belanda, gapura Bajang Ratu ini sebagai pintu masuk menuju ke sebuah kompleks bangunan suci. Namun seharusnya gapura ini tidak berdiri sendiri. Dengan kata lain ada gapura di depan yang berbentuk bentar. Baru di halaman kedua, berdiri gapura dengan tipe Paduraksa ini. Dan yang ketiga adalah bangunan Utama, bangunan yang disebut dengan Candi atau tempat ibadah. Namun, pada bangunan ini terdapat indikasi belum selesai karena bangunan pertama dan ketiga tidak ditemukan. Pendapat ini bersumber dari Relief Sritanjung yang melambangkan bentuk upacara pengruwutan (pelepasan). Serta dilihat dari bentuk arsitektur bangunannya yang merupakan Gapura Padaruksa. Seperti halnya kompleks gapura pada situs peninggalan di tempat lain, yang melambangkan bentuk pelepasan atau gunung. 2. Bangunan ini merupakan bangunan suci. Argumennya adalah bangunan ini merupakan replika dari sebuah gunung. Karena gunung difungsikan sebagai ‘kiblat’ umat Hindu beribadah. Jika bangunan ini diasumsikan sebagai gunung, maka terdapat tiga bagian yang melambangkan dari gunung tersebut. Yaitu : kaki candi (burloka), tubuh candi (bufarloka) dan atap candi (swarloka), itu merupakan konsep dalam agama Hindu. 3. Dalam kitab Pararaton dan Negara Kertagama, ditemukan catatan bahwa, salah satu Raja Majapahit kembali ke dunia Wisnu pada tahun 1328. Didukung pula dengan relief Sritanjung yang berada di kaki candi sebelah kiri, dapat disimpulkan bahwa bangunan ini sebagai monumen memperingati wafatnya seorang Raja. Dalam hal
SOROT
Dokumen Solidaritas ini diyakini bahwa sebagai tempat pendahrmaan (penanaman sebagian abu jenazah yang dibakar) dari raja Jayanegara. Biasanya Pendaharmaan diletakkan pada sebuah wadah logam yang ditanam di bawah pondasi bangunan. Dan jika benar maka diprediksi situs ini dibangun pada tahun 1340 atau 12 tahun setelah wafatnya Jayanegara. Sedangkan yang mendirikan bangunan ini, pada masa Tribuana Tungga Dewi. Keistimewaan Bajang Ratu dari beberapa situs yang ada di Trowulan ini, adalah dari kekeayaan relief. Relief tersebut memiliki banyak makna. Ada pula relief binatang dengan dua kepala yang saling berhadapan, seperti semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang diambil dari kitab Sutasoma. Relief tersebut dilambangkan sebagai kesatuan dari masyaralat Majapahit. Selama ini situs peninggalan kerajaan Majapahit di Trowulan ini dirawat oleh BPJP Kementrian Kebudayaan (dibawah naungan Direktorat Kebudayaan UPT Jawa Timur). Ketika disinggung mengenai harapan ke depannya, Sugeng berharap agar UNESCO dapat melirik dan memberikan perhatiannya pada situs – situs di daerah ini. “Ya, inginnya lebih diperhatikan lagi mbak, dan bisa diperhatikan juga oleh UNESCO,” ujarnya. Situs ini juga menjadi bukti bahwa Majapahit ‘pernah’ berjaya dan melegenda. Sebagai ibukota Majapahit, tentunya memiliki banyak kisah, bagaimana Majapahit menjadi besar. Situs ini menjadi bukti atau saksi bisu kejayaan Majapahit.”Setidaknya yang bangunan ini menjadi sesuatu yang harus dijaga oleh kita (generasi sekarang). Ibaratnya ya kita ya pinjam dengan generasi depan. Jadi kita harus merawatnya sebaik mungkin,” kata pak Sugeng. Diharapkan juga, menjadi jati diri bangsa untuk generasi depan. Mulai dari abad ke-5 hingga abad 15 dimana menjadi cikal bakal berdirinya Nusantara. Tak dapat dipungkiri bahwa Majapahit menjadi simbol peninggalan yang begitu fenomenal di lingkup Jawa Timur. Kini, kajian mengenai situs – situs peninggalan Majapahit ini sudah masuk kurikulum muatan lokal pada sekolah – sekolah di Mojokerto. Tak jarang, beberapa guru mengajak muridnya berkunjung di Trowulan ini untuk menyaksikan kekokohan bangunan Majapahit ini. “Kalau tentang pengunjung, banyak ya, karena juga sudah masuk dalam muatan lokal pelajaran di Mojokerto ini. Jadi guru-guru tidak hanya mengajarkan tentang di buku, tetapi juga datang langsung ke sini. Dan untuk turis mancanegara, itu bisa mencapai 300 orang. Tergantung musim mereka. Kebanyakan ketika libur musim panas mereka berkunjung ke sini.” Kata Sugeng. (nar/him)
10
SOROT
SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
“
Eks Rumah Radio Bung Tomo;
Saksi Bisu yang Kini Menjadi Puing-Puing Sejarah
S
alah satu peninggalan sejarah yang menjadi saksi bisu proses kemerdekaan di Kota Pahlawan adalah sebuah bangunan yang terletak di Jalan Mawar No. 10, Surabaya. Bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 2000 meter persegi, dulu digunakan Bung Tomo dalam menyiarkan pidato-pidatonya di radio, bertujuan untuk membakar semangat Arek-Arek Suroboyo dalam melawan pasukan Kolonial Inggris. Rumah tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran Bung Tomo, aktor di balik peristiwa 10 November 1945. Bung Tomo yang pernah menjadi seorang wartawan dan menjadi pegawai kantor berita Domei di Surabaya pada zaman kedudukan Jepang. Sejarah Markas Radio Pemberontakan Pada masa itu, Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai lembaga penyiaran resmi pemerintah, sudah berdiri di beberapa kota besar di Indonesia. Bung Tomo melontarkan gagasannya akan pendirian Radio Pemberontakan kepada Presiden Soekarno dan Amir Sjarifuddin, Menteri Penerangan. Gagasan pendirian radio pemberontakan sebagai media untuk menyuarakan perlawanan. Ketika sampai di Surabaya pada tanggal 12 Oktober 1945, Bung Tomo bergegas menuju RRI Surabaya di jalan Simpang. Bertemu kepala RRI Surabaya, menyampaikan keinginanannya untuk menggunakan stasiun pemancar Radio Surabaya sebagai markas radio pemberontakan, gagasan dari Bung Tomo tersebut. Kepala RRI Surabaya tak keberatan, asalkan ada izin dari Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Surabaya, Doel Arnowo, atau kepada Residen Surabaya, Sudirman. Malam harinya, Bung Tomo mengundang beberapa kawannya untuk berembug di sebuah rumah di Jalan Biliton No. 7 Surabaya. Pertemuan tersebut menyepakati dibentuknya Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), sebuah organisasi kelaskaran yang terkenal berani mati. Pada tanggal 15 Oktober 1945, melalui surat kabar Soeara Rakjat, Bung Tomo mengumumkan bahwa Radio Pemberontakan pada saat itu akan mengudara perdana dengan gelombang 34 meter. Residen Sudirman dan Doel Arnowo hadir untuk memastikan peminjaman pemancar RRI Surabaya tersebut. Radio Pemberontakan, sarana untuk menciptakan solidaritas massa dan memperbesar semangat perjuangan pemuda Surabaya telah rampung, ketika bantuan datang dari Menteri Pertahanan, drg. Moestopo. Dengan memberikan bantuan berupa pesawat pemancar bergelombang pendek bekas Jepang yang dimiliki Tentara
Keamanan Rakyat (TKR), Radio Pemberontakan dapat mengudara setiap Rabu malam dan Minggu malam. Siarannya tidak hanya dalam bahasa Indonesia, tapi juga bahasa daerah dan bahkan bahasa asing terutama bahasa Inggris. Atas prakarsa dr. Sugiri, datanglah seorang Warga Negara Amerika yang bersimpati terhadap perjuangan Indonesia, Miss Deventery atau lebih dikenal dengan nama Bali, Ktut Tantri, bersedia menjadi penyiar dalam bahasa Inggris di Radio Pemberontakan tersebut. Riwayat Eks Markas Radio Pemberontakan Pada tahun 1998, eks Rumah Radio Bung Tomo dijadikan sebagai Bangunan Cagar Budaya, sesuai SK Wali Kota Surabaya No. 188.45/004/402.1.04/1998. Sebuah plakat berwarna keemasan yang tertempel pada depan tembok teras rumah bertuliskan: “Bangunan Cagar Budaya; Rumah Pak Amin (1935). Jalan Mawar 10-12 Surabaya. Tempat Studio Pemancar Radio Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (RBPRI) Bung Tomo. Di sini Ktut Tantri (Warga negara Amerika) menyampaikan pidatonya sehingga perjuangan Indonesia bisa dikenal di luar negeri”. Terdapat pula sebuah prasasti dengan beberapa tanaman yang membuat asri halaman depan bangunan tersebut. Rumah itu sebelumnya digunakan sebagai rumah dinas PNP, salah satu perusahaan pergulaan peninggalan zaman Belanda. Saat ini, PNP berubah nama menjadi PT. Perkebunan Nusantara (PTPN). Aminhadi bekerja di perusahaan tersebut hingga jabatan Direktur Utama (Dirut). Karena ada kesempatan untuk membeli, maka Amin pada saat itu membelinya atas izin dari Menteri Pertanian pada saat itu, Prof. Dr. Thoyib Hadiwidjaja. Sejak saat itu, keluarga pasangan suami-istri, Amin Hadi dan Nini Anila menempati bangunan tersebut. Nahas, sejak 3 Mei 2016, eks Rumah Radio Bung Tomo telah rata dengan tanah. Pembongkaran yang dilakukan oleh pemilik barunya PT. Jayanata, untuk dijadikan lahan parkir sebuah Plaza. Sebelum beralih ke PT. Jayanata, bangunan itu ditempati oleh keluarga Narindrani (68 tahun) dan Tjintariani (66 tahun), anak dari pasangan Bapak Amin Hadi dan Nini Anila tersebut. Sejak peralihan kepemilikan dari Narindrani ke PT. Jayanata pada Desember 2015, PT. Jayanata mengajukan permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pada Februari 2016 mengajukan izin renovasi, dan rekomendasi baru keluar pada Maret 2016. Namun yang terjadi pada awal Maret 2016, bangunan di atas tanah 2000 meter persegi tersebut dirobohkan oleh pemilik barunya, dan pemilik lama tidak mengetahui proses perobohan bangunan tersebut.
Sehubungan dengan itu, Pemerintah kota (Pemkot) Surabaya angkat bicara dan mengakui pihaknya memang mengeluarkan rekomendasi kepada PT. Jayanata, perusahaan di bidang kecantikan sebagai pemilik bangunan untuk merenovasi rumah cagar budaya tersebut. Namun tidak disangka, bangunan tersebut dirobohkan. Berbagai pihak menyesalkan atas perobohan eks Rumah yang menjadi saksi bisu para pejuang di kota Surabaya untuk menyiarkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dari pihak keluarga, salah satu putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo, menuturkan bahwa sangat menyesalkan pembongkaran Rumah Radio Bung Tomo. Menurut dia, itu tidak menghargai nilai-nilai perjuangan para Pahlawan dan merupakan gaya baru pengkhianatan terhadap Pahlawan. Di kutip dari TEMPO.CO, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, buka suara perihal pembongkaran Rumah Radio Bung Tomo. Ia mengaku menyesalkan pembongkaran cagar budaya itu. “Terus terang saya juga nyesal,” kata Risma kepada wartawan di Gedung DPRD Kota Surabaya Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Surabaya, Irvan Widyanto, mengatakan, Pemerintah Kota Surabaya akan mempidanakan pembongkar Rumah Radio Bung Tomo. Menurut dia, pembongkaran itu melanggar peraturan dan undang-undang, karena bangunan itu termasuk ke dalam salah satu cagar budaya. Dalam kasus ini, kata Irvan, ada dua aturan dalam objek yang sama. Keduanya sama-sama bisa dijadikan acuan untuk menjerat pembongkar lahan seluas 15 x 30 meter itu. Dua aturan itu adalah Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pelestarian Bangunan dan Lingkungan Cagar Budaya dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pelestarian Cagar Budaya. Dikutip dari TEMPO.CO, pengamat sejarah Surabaya, Dukut Imam Widodo, tak terlalu terkejut dengan pembongkaran rumah tersebut. Pasalnya, pembongkaran semacam itu sering dilakukan walaupun sudah ada peraturan daerah tentang cagar budaya. “Perda itu hanya di kertas saja karena realisasinya tidak ada,” kata Dukut. Dukut berujar Dinas Pariwisata sering berdalih kecolongan bila ada bangunan bersejarah yang dibongkar. Padahal, rumah di Jalan Mawar itu salah satu bangunan yang berhubungan langsung dengan pertempuran 10 November 1945. “Palingpaling Dinas hanya bilang kami kecolongan,” kata Penulis buku Surabaya Tempo Doeloe ini. (Jdl)
11 SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
SOROT
“ Suramadu: Kilas Balik Proyek 19 Tahun Dokumen Solidaritas/fotoistimewa
I
ndonesia memiliki Jembatan yang menjadi salah satu ikon kebanggaan. Jembatan ini menghubungkan wilayah Surabaya bagian Tambak Wedi dengan Bangkalan, Madura. Jembatan Suramadu namanya, singkatan dari Surabaya dan Madura. Tidak hanya menjadi penghubung Surabaya dan Madura, jembatan Suramadu juga menjadi destinasi wisata yang sering disinggahi pengunjung. Sumber Solidaritas dari pihak Badan Pengembangan Wilayah SurabayaMadura (BPWS), jembatan sepanjang 5,4 kilometer tersebut pertama kali dikukuhkan sebagai proyek nasional, Jumat 14 Desember 1990 melalui Keputusan Presiden nomor 55. Namun, pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis moneter sehingga beberapa proyek tertunda, salah satunya pembangunan Jembatan Suramadu. Keputusan penundaan ini diluncurkan dalam sidang kabinet, Selasa 16 September 1997. Beberapa tahun kemudian setelah krisis moneter usai, keluarlah Keputusan Presiden nomor 79 tahun 2003 yang menyatakan pembangunan Jembatan Suramadu akan dilanjutkan. Pada tahun 2003 inilah mulai terlihat kemegahan jembatan yang sampai saat ini menjadi salah satu kebanggaan Indonesia. Keinginan besar tersebut akhirnya ada pada titian awal. Setelah tertunda hingga empat kali, Rabu 20 Agustus 2003, pukul 11.30 WIB, Megawati Soekarnoputri, Presiden Indonesia saat itu, menekan tombol sirine sebagai peresmian pemancangan pertama tiang pancang Jembatan Suramadu. Pembangunan jembatan tidak hanya menjadi jalur transportasi darat dari arah Surabaya menuju Madura atau sebaliknya, tetapi juga untuk meningkatkan pembangunan, khususnya dalam bidang infastruktur dan ekonomi. Jumlah penduduk Jawa Timur yang mencapai 33 juta jiwa menjadikan Jawa Timur sebagai salah satu provinsi padat penduduk. Dengan kerapatan penduduk tersebut, pemerintah memandang perlu adanya perhatian lebih terhadap perekonomian
warga. Berawal sejak berkembangnya industri dan perdagangan di daerah bagian timur Indonesia, maka diperlukan pula jalur transportasi yang mempermudah akses perdagangan tersebut. Selain tujuan itu, kondisi perekonomian di pulau Madura yang masih bagian dari provinsi Jawa Timur menjadi salah satu alasan. Pasalnya Madura menjadi daerah tertinggal dengan pendapatan per-kapita yang tergolong rendah. Dari sinilah, Jembatan Suramadu sebagai jalur transportasi darat yang menghubungkan Surabaya dan Madura bisa menjadi pendobrak ketimpangan sosial yang sebelumnya mulai mewabah di daerah sekitarnya. Mohammad Effendi, dalam skripsinya yang berjudul Dampak Pembangunan Jembatan Suramadu Terhadap Perekonomian Pulau Madura, menjelaskan bahwa keberadaan Jembatan Suramadu dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang ada di Pulau Madura antara lain untuk menunjang distribusi barang dan jasa ke wilayah Madura, menumbuhkan investasi dan peluang kerja di pulau garam tersebut. Dengan demikian, kebijakan pengalokasian pembiayaan pembangunan Jembatan Suramadu adalah strategi yang dilakukan Pemerintah Pusat guna mendorong perkonomian daerah Madura. Dulunya, hanya ada satu akses yang bisa digunakan masyarakat untuk menyeberang dari Surabaya menuju Madura atau sebaliknya, yaitu kapal feri. Hanya tersedia 18 armada kapal feri dari Tanjung Perak-Kamal (pelabuhan Surabaya-Madura, Red), yang ratarata berusia uzur. Jumlah kapal feri yang ada pun tidak berimbang dengan penyeberangan setiap harinya, sehingga menimbulkan waktu tunggu lebih lama. Berdasarkan survei yang dilakukan BPWS didapat volume lalu lintas kapal feri dari setiap arah perhari di tahun 2002 adalah 315 buah kendaraan ringan, 1036 buah truk kecil, 324 buah truk besar, 260 buah bus dan 8128 buah sepeda motor. Kapasitas kapal feri tersebut sudah penuh yang diindikasikan dengan waktu tunggu
rata-rata kendaraan di pelabuhan Ujung maupun Kamal adalah 30 menit. Kecuali untuk jenis sepeda motor yang lebih leluasa menembus antrean. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk menaikkan penumpang dari pelabuhan ke atas kapal feri selama 15 menit. Waktu tempuh untuk penyeberangan 30 menit, dan waktu untuk menurunkan penumpang 15 menit. Total waktu yang dibutuhkan sekitar 60 menit. Dengan beberapa faktor yang ada, pembangunan Jembatan Suramadu tetap diprioritaskan sebagai salah satu proyek besar Indonesia. Setelah melewati proses pembangunan yang cukup panjang, akhirnya pada Rabu 10 Juni 2009, Jembatan Suramadu resmi dibuka presiden kelima RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah Jembatan Suramadu berdiri dan menjadi jalur transportasi darat Surabaya-Madura, para pedagang berjejer di pinggir jalan, tepat di ujung jembatan sisi Bangkalan Madura. Ketika diwawancarai Solidaritas pada Sabtu (10/12), salah seorang pedagang laki-laki asal Gili Mandangin Madura mengungkapkan kebanggaannya memiliki Jembatan Suramadu. Pedagang yang menjual batik Madura ini juga mengaku menyewa tanah —sebagai tempat menjual dagangannya dan tempat tinggalnya saat ini— dari orang Cina. Di tempat berbeda pedagang yang lain mengaku merintis usaha dagangnya sejak Jembatan Suramadu diresmikan pertama kali, tahun 2009. “Tapi, dulu gak di sini tempatnya, di belakang sana, lebih jauh dari jembatan,” jelasnya dalam bahasa Madura. Berbicara soal pendapatan, beberapa pedagang yang sudah ditemui Solidaritas tidak mau menyebutkan nominalnya. Tapi beberapa pedagang mengaku, perekonomian mereka sangat terbantu setelah adanya Jembatan Suramadu. “Kalau lagi rame, biasanya Sabtu dan Ahad, ya lumayan. Tapi kalau lagi sepi pengunjung, ya sedikit dapatnya,” pungkas pedagang makanan khas Madura ini. (Nda/Iqb)
12
VISI
SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
Mempelajari Sejarah dengan Menghasilkan Sebuah Karya
B
erbicara tentang pelajaran sejarah, yang pertama kali terlintas di pikiran kebanyakan anak muda zaman sekarang pasti jenuh, membosankan, dan banyak hafalan. Mempelajari sejarah kalah pamor dari berbagai pelajaran yang lain. Ya, tentu saja dalam belajar tentang sejarah banyak materi yang harus dihafal, seperti tahun-tahun, tempat, nama tokoh, dan yang lainnya. Itulah kenapa mempelajari sejarah menjadi tidak menarik. Semua itu karena metode yang selama ini banyak digunakan hanya sekadar mempelajari secara teks saja. Sebenarnya ada tiga cara yang dikenal dalam mempelajari sejarah, yakni teks, refleksi (manfaat sejarah) dan falsafi (penemuan ide baru). Untuk menciptakan pembelajaran sejarah yang efektif diperlukan cara atau metode yang tepat. Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya, Ahmad Zaki Fuad, beberapa tahun ini mencoba menggunakan metode yang agak berbeda dari dosen kebanyakan, yaitu dengan membuat buku. Mahasiswa tidak sekadar dituntut untuk membaca atau membuat makalah saja, tapi menciptakan sebuah karya. Menurut Zaki dengan membuat buku, maka manfaat dari suatu pelajaran akan lebih bertahan lama, tidak seperti makalah yang setelah selesai dikerjakan akan langsung hilang (dibuang, red), sehingga kemanfaatanya hanya sebentar.
Selain tidak mudah hilang, manfaat lain yang didapat yaitu mahasiswa diajak untuk belajar menulis, menjadi editor, sekaligus layouter untuk buku yang mereka buat sendiri. Biasanya setiap kelas yang diajar Pak Zaki menerbitkan satu buku untuk digunakan masing-masing anggota kelas dengan dana mereka sendiri. Meski banyak kelebihan dari metode ini, namun bila pada dasarnya mahasiswa tersebut tidak terbiasa dengan menulis maka prosesnya pun juga tidak akan mudah. Maka dari itulah satu kelas tersebut dibentuk kelompok-kelompok yang saling membantu dalam proses pembuatan buku sehingga buku sejarah dapat terselesaikan dan dicetak untuk seluruh anggota kelas. Setelah buku sudah tercetak, pembelajaran selanjutnya menggunakan metode jigsaw. Nantinya, setiap mahasiswa dituntut untuk bertanggung jawab pada hasil tulisannya sendiri dengan menjelaskannya kepada seluruh anggota kelas yang lain dan menjawab pertanyaan sekiranya mereka kurang paham. Dosen sejarah ini sudah cukup puas dengan buku-buku yang telah dihasilkan oleh mahasiswanya meski belum bisa dipasarkan mengingat dari kemampuan mahasiswanya yang masih tingkat satu. Namun, buku yang telah dihasilkan membantu dalam akreditasi fakultas. “Lah mahasiswa semester satu sudah bisa membuat buku kan lumayan. Kalau mahasiswa pasca membuat buku saya nggak heran. Ini mahasiswa semester satu loh.” Ungkapnya ketika ditemui di ruang dosen. (faf) Dokumen Solidaritas/fotoistimewa
13 SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
RESENSI
Judul : Indonesia Poenja Tjerita Pengantar : Zaenuddin H.M Penerbit : Bentang Cetakan : II, Mei 2016 Tebal : xviii + 226 hlm.; 20,5 cm ISBN : 978-602-291-238-5 Peresensi : Junaidi Khab*
M
empelajari sejarah memang terasa sulit dan rumit, karena kita kadang dituntut untuk menghafalkan beberapa angka tahun atau abad dari setiap periodenya. Hal ini mungkin yang menyebabkan sejarah tidak mudah diminati oleh bangsa kita sendiri. Padahal, sejarah memiliki nilai-nilai penting yang perlu diketahui, dipelajari, dan mengambil pesanpesannya sebagai bekal hidup. Hal ini banyak dialami oleh anak bangsa Indonesia ketika dihadapkan pada persoalan sejarah, khususnya sejarah perjalanan Indonesia, negara kita sendiri. Tidak banyak yang peduli dengan sejarah perjalanan bangsa dan negara Indonesia. Selain memang harus mengingat banyak periode, juga kadang kita berpikir tentang manfaat sejarah secara materi. Sehingga, sejarah kebangsaan – Indonesia – perlahan tidak begitu diminati oleh generasi muda. Padahal, dari sejarah kita bisa banyak belajar tentang kehidupan masa-masa sebelumnya. Buku sejarah yang berjudul Indonesia Poenja Tjerita ini merupakan sebuah testimoni dan refleksi untuk kembali mengajak bangsa Indonesia agar mencintai bangsa dan negara melalui sejarah yang – hampir – dilupakan oleh generasi muda, dan bahkan oleh orang dewasa. Ada banyak kehidupan para pendahulu kita yang sebenarnya sangat gemilang, namun seiring zaman bergulir bagai bola api, mereka terabaikan dan terbakar habis tanpa sisa. Ada beberapa kilasan dan ulasan sejarah tentang bangsa Indonesia yang tersaji di dalam buku ini, dengan bahasa
yang mudah untuk dibaca dan dipahami oleh berbagai kalangan. Kilasan sejarah ini sepertinya memang jarang diketahui oleh masyarakat dan terlebih oleh para pelajar di bangku sekolah. Contoh gampangnya, sejarah kepemilikan mobil di Indonesia oleh Kesunanan Surakarta atau Pakubuwono X pada abad XXVIII (hlm. 2). Bahkan, sejarah kepemilikan mobil di Indonesia menjadikan bangsa kita lebih maju dibanding negaranegara lain seperti Thailand. Menghidupkan yang Terkubur Kita sudah melalui berbagai rentetan sejarah berabad-abad silam. Tapi, seakanakan kita tidak mau tahu rentetan sejarah bangsa sendiri. Sehingga, tak heran jika substansi dan saripati eksotisme dan kekayaan Indonesia beralih ke negaranegara lain. Maka dari itu, melalui buku ini kita bisa menghidupkan sejarah yang telah mati terkubur bersama masa lalu untuk dijadikan sebagai bahan reflektif-aplikatif agar bangsa Indonesia kembali dengan kekuatan yang sempurna. Menurut Jennifer Brennan (1988) meskipun Thailand dan Malaysia mengklaim sate sebagai budaya kuliner mereka, sebenarnya sate ini makanan asli Indonesia (hlm. 74). Padahal, justru mereka yang terpengaruh hidangan Indonesia. Sejak zaman dulu, sate digemari banyak orang. Tidak mengherankan jika sate menjadi masakan kuliner Indonesia yang mendunia. Kita harus menyadari bahwa masyarakat Indonesia banyak yang merantau ke negaranegara di belahan dunia. Dengan demikian, tidak dapat disangkal ciri khas Indonesia – termasuk budaya dan tradisinya – juga terbawa bersama mereka. Bangsa kita jangan menunggu hingga hujan turun untuk mengambil payung. Sebelum hujan turun, payung harus segera disiapkan. Misalkan, budaya Reog Ponorogo yang pernah diklaim oleh Malaysia. Ketika sudah diklaim, baru bangsa kita berteriakteriak mengakui reog Ponorogo. Maka dari
itu, buku ini hadir dengan sajian ulasan yang ringan untuk mengingatkan dan menyiapkan payung bagi masyarakat Indonesia agar teguh serta mempelajari sejarah leluhur kita. Segala yang terpendam bersama masa lalu sejarah bangsa kita harus digali dan dihidupkan kembali agar tidak diakui oleh negara lain. Kita harus merasa telanjang bulat jika tidak mengetahui sejarah perjalanan bangsa dan negara kita sendiri. Perlu diingat bahwa bangsa-bangsa lain sudah banyak yang mempelajarinya. Bahkan, hingga pada nama-nama tetumbuhan sekecil apa pun sudah ditulis menjadi sebuah buku – Pohon Berguna Indonesia, empat jilid – oleh K. Heyne berkebangsaan Belanda-Jerman. Begitu juga pernah dikatakan oleh sejarawanislamolog – Prof. Dr. Manu Wijaya, bahwa Belanda memiliki arsip catatan panjang tentang daerah-daerah hingga ke pelosok di Indonesia. Kita tidak boleh duduk minum teh di warung dengan melupakan kewajiban yang seharusnya diprioritaskan. Kehadiran buku ini bukan serta-merta sebagai bahan bacaan belaka. Namun, lebih dari itu, buku ini ditulis dari beberapa penulis yang aktif di media Sejarah RI. Dari beberapa perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia, kita akan menemukan sisi lain sejarah bangsa ini yang jarang – bahkan – tidak pernah tersentuh dan diketahui oleh bangsa Indonesia sendiri. Dari buku ini, kita akan diingatkan atas segala sejarah kebangsaan yang seakanakan sudah dilupakan, mulai dari persoalan budaya, seni, tradisi, bahasa, hingga kuliner khas Indonesia. Mari mengingat lupa atas sejarah bangsa dan negara kita sendiri, Indonesia. * Peresensi adalah Akademisi dan Pecinta Baca Buku asal Sumenep. Lulusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya. Sekarang Bergiat di Komunitas Rudal Yogyakarta.
Paham
14
TELAAH SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
Tidak Paham
K
ata sejarah secara harfiah berasal dari kata arab ( )ةرجشyang artinya pohon. Dalam bahasa Arab sendiri, sejarah disebut tarikh ()خيرات, yang dalam bahasa Indonesia berarti waktu atau penanggalan. Kata sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu historia yang berarti ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi history yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah terjadi. (Wikipedia). Sejarah penting dipelajari agar seseorang dapat mengambil hikmah dari peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau. Arti penting mempelajari sejarah terdapat dalam beberapa ungkapan seperti yang dikatakan oleh Collingwood, “Knowing yourself means knowing what you can do, and since nobody knows what he can do until he tries, the only clue to what man can do is what man has done” (Pengetahuan diri Anda berarti pengetahuan apa yang dapat dikerjakan, dan tidak ada orang yang mengetahui apa yang ia dapat lakukan sampai ia mencoba, satu-satunya kunci rahasia seseorang apa yang dapat dilakukan adalah apa yang telah dilakukan orang tersebut). Bangsa yang bijak adalah bangsa yang mengenal sejarahnya. Seperti sebuah perkataan bijak yang mengatakan, “History repeats itself”. Sejarah itu berulang kembali. Hal yang pernah terjadi di masa lampau suatu saat akan terjadi kembali dengan variasi yang berbeda namun esensinya sama. Manusia yang bijak adalah manusia yang belajar dari masa lalu dan tidak mengulangi kesalahan para pendahulunya. Selain itu, dengan mempelajari serta memahami sejarah, kita akan lebih menghargai apa yang kita miliki sebagai bangsa. Di sisi lain, tujuan yang luhur dari sejarah adalah menanamkan
Dokumen Solidaritas/fotoistimewa semangat kebangsaan, cinta tanah air, bangsa, dan negara. Adanya sejarah, terutama di Indonesia, penting untuk dipahami oleh berbagai lini bangsa Indonesia; pelajar, mahasiswa serta kaum cendekiawan dan sebagainya. Mengingat saat ini minat generasi bangsa Indonesia dalam belajar, serta memahami sejarah di Indonesia cukup rendah. Berdasarkan hal tersebut, LPM Solidaritas melakukan penelitian mengenai tingkat pemahaman Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya terhadap sejarah di Indonesia. Dan oleh sebab itu, berikut hasil dari penelitian tersebut. Sasaran utama dari penelitian dengan menggunakan kuesioner ini adalah untuk mengetahui tingkat pemahaman mahasiswa UINSA terhadap sejarah di Indonesia. Dari 75 responden yang diteliti, bisa diperoleh hasil 51% Mahasiswa UINSA paham dengan sejarah di Indonesia. Sedang 49% sisanya, mengaku tidak paham dengan sejarah di Indonesia. Sedangkan, dari beberapa materi sejarah di Indonesia meliputi: sejarah kerajaan hingga sejarah kemerdekaan di Indonesia, sebagian besar dari responden mengaku lebih menyukai sejarah kemerdekaan di Indonesia. Alasannya, pada momen kemerdekaan lebih mengangkat sisi perjuangan para pahlawan dalam memperoleh kemerdekaan. Di sisi lain, menurut beberapa responden sisi kemerdekaan lebih menarik dibanding yang lainnya. Ketika disinggung dari mana mereka mengetahui sejarah, kebanyakan dari mereka memperoleh dari pelajaran di sekolah dan cerita dari orangtua. Sedang dari angket yang disebar, sebanyak 73% mahasiswa menjawab bahwa sejarah di Indonesia sukar dipahami. Hal ini tentu saja menjadi evaluasi bagi para pegiat pendidik untuk senantiasa memberikan cara efektif lain agar generasi muda lebih mengerti sejarah bangsanya. (mdh/eva)
A
Dari 75 responden yang diteliti, diperoleh hasil 51% Mahasiswa UINSA paham dengan sejarah di Indonesia.
B
Dari 75 responden yang diteliti, diperoleh hasil 49% Mahasiswa UINSA mengaku tidak paham dengan sejarah di Indonesia.
15
RIHLAH
SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
Profil Singkat Nama
: Virgiawan Listanto
Nama Tenar
: Iwan Fals
TTL 1961
: Jakarta, 3 September
Alamat
: Leuwinanggung, Bogor
Riwayat Pendidikan
: SMPN 5 Bandung SMAK BPK Bandung STP (Sekolah Tinggi Publisistik, sekarang IISIP) Institut Kesenian Jakarta (IKJ)
Ayah
: Kol. Sutopo (Alm.)
Ibu
: Lies Su’udiyah
Istri : Rossana Anak-anak
I
: Galang Rambu Anarki (Alm), Annisa Cikal Rambu Basae, Raya Rambu Rabbani
wan Fals adalah musisi legendaris generasi 70-an, dan masih abadi hingga saat ini. Siapa tidak kenal Iwan Fals? Lagu-lagunya digemari seluruh kalangan, angkatan tua maupun muda-muda. Konsernya laris di mana-mana. Fansnya tersebar di seantero Indonesia. Album-albumnya dicari-cari baik yang rilis baru saja maupun yang keluaran lama. Masa Kecil Pria bernama asli Virgiawan Listanto ini menyukai musik sejak kecil. Ketika duduk di bangku SMP ia menjadi gitaris dalam paduan suara sekolah. Tanto, panggilan kesayangan di keluarganya, sejak SMP suka ngamen untuk mengembangkan bakat musiknya. Kala itu teman-teman sekolah Iwan Fals sedang menggemari Rolling Stones, tapi Iwan cenderung lebih suka membuat lagulagunya sendiri, dengan lirik-lirik yang lucu dan membuat orang bahagia, mengalir saja, sesuai dengan caranya menikmati kehidupan. Iwan sering tampil di acara-acara hajatan. Selain musik, Iwan juga memiliki keahlian bela diri. Ia pernah menjadi Juara II Karate Tingkat Nasional dan Juara IV Karate Tingkat Nasional pada tahun 1989. Iwan menularkan ilmunya dengan menjadi pelatih karate di STP tempatnya berkuliah. Masa kecil Iwan banyak dihabiskan di Bandung, namun ia sempat tinggal di Jeddah, Saudi Arabia selama delapan bulan. Saat perjalanan pulang ke Indonesia dari Jeddah, Iwan kecil membawa gitarnya. Di dalam pesawat ada seorang pramugari meminjam gitarnya, dan heran karena suara gitar tersebut fales. Pada waktu itu Iwan belum begitu mahir bergitar. Setelah membenahi gitar, sang pramugari mengajari memainkan lagu ‘Blowing in The Wind’ milik Bob Dylan.
VIRGIAWAN LISTANTO Dokumen Solidaritas/fotoistimewa
Perjalanan Karier Karier musik Iwan bermula saat ia duduk di bangku SMA. Saat itu ia ditawari rekaman oleh Bambang Bule yang berasal dari Jakarta. Sebelumnya Bambang mendengar rekaman Iwan dari Radio 8 EH milik ITB. Bermodalkan uang hasil menjual motor untuk membuat master, Iwan rekaman lagu di Istana Music Records Jakarta bersama teman-temannya yang tergabung dalam grup Amburadul. Namun ternyata kaset rekamannya tidak laku. Suatu hari saat kelas tiga SMA ia mengikuti Festival Musik Humor yang diadakan Lembaga Humor Indonesia (LHI) di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Iwan tampil solo memainkan gitar dan harmonika. Lagulagu humor Iwan direkam oleh ABC Records namun kembali tidak begitu sukses. Akhirnya Iwan rekaman di Musica Studio dan digarap dengan serius. Album ‘Sarjana Muda’ ramai di pasaran dan Iwan mulai mendapat banyak tawaran bernyanyi. Lagu ‘Oemar Bakri’ bahkan sempat ditayangkan di TVRI. Mengkritik Lewat Lagu Sebagai musisi beraliran countrybalada, Iwan Fals banyak menyanyikan lagu tentang potret kehidupan sosial hingga politik pada era-nya, juga lagu-lagu asmara. Diiringi petikan gitar akustik, lirik-lirik lagu Iwan Fals yang cenderung berupa mix sajak dan celotehan ala-ala musik balada terlantun unik, asyik, namun juga teratur. Lagu-lagu yang dinyanyikan Iwan ditulis oleh dirinya sendiri maupun orang lain. Perlu diingat, Iwan Fals merupakan musisi angkatan awal untuk aliran musik country di Indonesia. Saat itu, di akhir tahun 70-an, musik yang sedang hits adalah musik-
musik Koes Plus dan musik luar sejenis Rolling Stone. Iwan Fals membawa nuansa baru dalam dunia musik Indonesia dengan gaya country. Aliran musik ini terkenal dengan gaya khasnya dalam menyapa rakyat. Irama dan liriknya sangat dekat dengan unsur kerakyatan. Selain Iwan Fals, saat itu salah satunya ada Ebiet G. Ade yang juga bergaya country. Mereka berdua adalah pejuang rakyat yang namanya abadi apalagi bagi para penggemarnya. Iwan Fals adalah Bob Marley versi Indonesia yang mewakili perasaan rakyat pinggiran lewat lagu. Saat konser, panggung Iwan Fals selalu bersih dari logo sponsor. Hal ini untuk menjaga idealismenya yang tidak mau dianggap wakil dari produk tertentu. Pada masa Orde Baru, lagu-lagu Iwan sempat dicekal dan banyak jadwal konser Iwan Fals yang dilarang dan dibatalkan oleh aparat keamanan dengan alasan liriklirik lagunya menimbulkan kericuhan dan mengganggu stabilitas negara. Saat itu memang lagu-lagu Iwan Fals sangat kritis dan membangkitkan perlawanan. Tidak heran jika beberapa perusahaan rekaman tidak berani memasukkan beberapa lagunya ke dalam album yang dijual di pasar bebas. Beberapa konsernya pada tahun 80-an sempat disabotase dengan cara pemadaman aliran listrik dan pembubaran secara paksa karena Iwan membawakan lagu yang liriknya menyindir penguasa negara. Rencana tour konser 100 kota di seluruh Indonesia pernah dibatalkan karena ada pembatalan izin secara tiba-tiba oleh kepolisian. Tahun 1986 Iwan sempat ditahan dan diinterogasi selama dua minggu setelah menyanyikan lagu ‘Demokrasi Nasi’, ‘Pola Sederhana’, dan ‘Mbak Tini’
Bersambung ke halaman 18, IWAN
16 SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
PISS
Dokumen Solidaritas/fotoistimewa
Good Will Sebagai Landasan Bagi Penyelesaian Konflik
S
tateless community, saat ini itulah kata yang selalu dilekatkan pada suku Rohingya, komunitas Muslim yang mendiami wilayah negara bagian Rakhine atau dikenal juga dengan Arakan, Myanmar. Mereka adalah minoritas di antara mayoritas penduduk yang beragama Buddha. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) jumlah mereka saat ini diperkirakan sebesar lebih kurang 800.000 jiwa. Orang-orang Rohingya dikatakan sebagai stateless karena Cukup banyak referensi yang menguraikan jawabannya dengan berbagai versi. Akan tetapi, secara umum dapat dijelaskan bahwa mereka menjadi stateless karena pemerintah Myanmar pada tahun 1982 melalui Undang-undang Kewarganegaraannya (Citizenship Law) mengeluarkan suku ini dari beberapa suku yang berhak memperoleh kewarganegaraan Myanmar. Saat itu Jenderal Ne Win memimpin Myanmar secara militer, padahal sebelumnya, ketika Myanmar sudah terbebas dari penjajahan Inggris, suku ini masuk menjadi salah satu suku yang diakui Negara. Sayangnya, ketika saat ini Myanmar telah dipimpin oleh kepala Negara berasal dari masyarakat sipil (non militer), hukum yang ditetapkan Jenderal Ne Win tersebut tetap diberlakukan. Pemerintah Myanmar menganggap warga Rohingya bukan bagian dari suku negaranya dikarenakan warga Rohingya berbeda dengan warga Myanmar yang lainnya. Mereka berperawakan seperti warga India (Benggali). Memang sebagian dari mereka orang-orang Bangladesh yang didatangkan pemerintah kolonial Inggris sebagai imigran ke Rakhine ketika mereka menjajah negara ini. Secara geographis, Myanmar, negara bagian Rakhine memang berbatasan langsung dengan Bangladesh. Selain itu, tidak seperti mayoritas masyarakat Myanmar yang beragama Buddha, suku Rohingya beragama Islam. Tentu terdapat perbedaan yang mencolok antara mayoritas masyarakat Myanmar dengan orang-orang Rohingya. Selain itu, perlu juga dijelaskan bahwa warga Rohingya ini sebenarnya bukan hanya berasal dari Bangladesh. Jauh sebelumnya sudah ada pedagang Arab yang sampai di Rakhine. Saat itu Rakhine masih berbentuk kerajaan Buddha yang bernama Mrauk-U. Di sini para pemimpin Buddha menghormati dan berteman dengan orang-orang Muslim. Keadaan ini mengindikasikan bahwa Rohingya bukanlah satu suku. Terdapat keanekaragaman suku di dalamnya. Sehingga dapat dimengerti bahwa political construction.
Wahidah Zein Br Siregar*
Penting bagi penulis untuk menjelaskan siapa komunitas Rohingya ini dan bagaimana sejarahnya? Salah satu tujuannya supaya kita mampu melihat persoalan konflik Rohingya ini secara lebih terbuka dan bisa memahami konteksnya. Sehingga, dapat dicari jalan keluar yang baik bagi pihak-pihak yang berkonflik. Mediator konflik dapat bertindak adil bagi kedua pihak yang berkonflik. Ibarat pepatah suku Melayu agar bisa melakukan “menarik rambut dari dalam kumpulan tepung, rambut tak putus tepungpun tidak berserak”. Jadi harus benar-benar ada kehati-hatian dan tidak melakukannya dengan terburu-buru sehingga pihak yang berkonflik dapat berangsur-angsur menjadi sahabat. Tentu mudah bagi kita mengatakan tetapi belum tentu mudah melaksanakan. Namun tidak bisa juga diambil kesimpulan bahwa tidak mudah bukan berarti tidak bisa. Harus selalu ada optimisme di dalam diri kita bahwa setiap manusia, jauh di lubuk hatinya dapat merasakan bahwa kedamaian akan lebih indah dari pada peperangan, bahwa menyayangi lebih baik dan menyenangkan daripada membenci, bahwa orang yang saat ini sangat kamu benci satu saat bisa menjadi orang yang kamu sayangi, jadi tidak ada konflik yang abadi, yang harus terus menerus dilanjutkan, karena dirimu akan lelah berkepanjangan. Bagi penulis, konflik Rohingya yang terjadi karena banyaknya kepentingan, adanya rasa takut yang besar, dan kurangnya pemahaman terhadap satu sama lainnya yang sedang bertikai. Di sisi lain, potret buruk tentang perilaku pemerintah sebuah Negara dan sebahagian penduduknya serta penderitaan yang dialami oleh komunitas yang tertindas disebarluaskan oleh media secara sangat vulgar, sehingga menimbulkan kemarahan yang semakin besar di sisi pelaku kekerasan dan perasaan pesimis dan tak berdaya dan ingin melawan di sisi korban. karena yang mengikrarkan diri sebagai mediator tidak membawa air kesejukan malah membawa bensin yang membesarkan api kebencian. Perhatikan bersama celah kebaikan dan kedamaian yang dialami oleh komunitas Rohingya dan pemerintah Myanmar serta sebagian penduduknya yang saat ini sedang bertikai. Dari media kita ketahui bahwa sebagian penduduk Myanmar yang melakukan tindakan kekerasan kepada komunitas Rohingya para pendeta Buddha (Monk), dan mereka didukung oleh pemerintah. Cukup lama terjadi momen di mana komunitas Rohingya dan mayoritas masyarakat Rakhine hidup dengan rukun dan damai. Momen
itu adalah ketika para pedagang Muslim sampai dan kemudian menetap di Kerajaan Mrauk-U. Momen berikutnya ketika pemerintah kolonial Inggris angkat kaki dari Myanmar, sehingga Myanmar menjadi Negara merdeka. Saat itu pemerintah Myanmar memasukkan Rohingya sebagai salah satu suku bangsanya dan masuk di dalam Undang-undangnya. Penulis yakin, bahwa komunitas Rohingya dan penduduk Myanmar lainnya merasakan tekanan yang sama ketika mengalami penjajahan Inggris, dan berjuang bersama untuk memperoleh kemerdekaan. Sehingga, jika dibandingkan, sebenarnya lebih banyak masa di mana mereka hidup bersama secara damai dibandingkan dengan masa berkonflik. Tekanan yang sama tentu juga dirasakan bersama komunitas Rohingya dan masyarakat umum Myanmar ketika diperintah oleh pemimpin militer yang otoriter. Saat itu bukan hanya suku Rohingya yang mengalami tekanan tetapi semua orang. Saya memiliki seorang teman Myanmar beragama Budha yang lari ke Australia karena mencoba melawan tekanan pemerintah militer yang otoriter. Karenanya para mediator semestinya merangkai kembali kenangan indah antara mereka yang berkonflik dibandingkan dengan mengingatkan secara intensif pada kobaran kebencian yang seperti tidak berujung. Dalam hal ini pepatah juga bisa menggambarkannya, jika kamu ingin membenci seseorang maka ingat-ingatlah keburukan orang itu. Akan tetapi, jika kamu ingin tetap menyayangi sesorang maka ingat-ingatlah kebaikan orang itu. Selanjutnya coba uraikan secara perlahan apa yang menyebabkan terjadinya konflik antara keduanya. Apakah karena perilaku buruk salah satu pihak? Apakah karena sikap arogansi? Apakah karena sikap yang tidak mau berterima kasih atas kebaikan yang pernah diterima? Apakah karena memaksakan kehendak? Apakah karena menganggap diri atau agamanya lebih baik dari diri atau agama orang lain? Ingin memaksakan orang lain untuk mengikuti keyakinannya? Atau karena apa? Mediator, siapapun itu, lembaga mulai dari PBB, NGO Internasional, maupun NGO lokal, atau individu-individu yang memiliki perhatian dan ingin membantu menyelesaikan konflik ini, termasuk media, cobalah untuk membincangkan hal ini dengan cara-cara yang persuasif kepada kedua belah pihak. Sekeraskerasnya orang-orang di kedua belah pihak tentu ada orang-orang yang masih lembut hatinya. Cobalah berbicara dengan orangorang tersebut. Dari hal-hal yang mungkin bagi sebahagian orang dianggap kecil atau remeh
Bersambung ke halaman 18, KONFLIK
17 SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
LONTAR
Dokumen Solidaritas
Bahaya Laten Pembredelan Oleh: M. Fathur Rohman*
I
”Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/Dituduh subversif dan mengganggu keamanan/Maka hanya ada satu kata: lawan!”
tulah kutipan puisi karya Wiji Tukul berjudul ‘Peringatan’. Pengobar semangat yang biasa dideklamasikan para orator dalam setiap demonstrasi. Mulai dari demonstrasi mahasiswa sampai demonstrasi para buruh. Lawan! Kata tersebut yang saat ini harusnya berkobar di hati dan kepala para anggota Pers Mahasiswa. Menjadi pengobar semangat dan keberanian untuk mulai melawan. Sebab, tahun-tahun belakangan ini, Kampus mengalami kemerosotan yang sangat besar. Kampus yang selama ini menjadi wahana candradimuka, tempat penggemblengan penerus bangsa, mandek hanya menjadi lembaga pengajaran. Itu pun ditambah dengan semakin mahalnya biaya kuliah, kebebasan akademik dibatasi bahkan dikriminalisasi, dan demokrasi kampus dikebiri. Satu demi satu pers mahasiswa pun tak luput dari intimidasi bahkan dibekukan dan dibredel. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pengurus Litbang Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Dari hasil penelitian yang dilakukan sampai Mei 2016, selama kurun waktu 3 tahun, mulai tahun 2013, ada 47 Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dari 64 LPM yang menjadi responden, pernah menerima tindak kekerasan. Dari 47 LPM tersebut, 11 di antaranya pernah mengalami pembredelan. Sedangkan hanya ada 17 LPM saja yang tidak pernah mengalami kekerasan (persma.org). Jumlah tersebut belum keseluruhan, karena masih banyak LPM yang belum terdata. Sedangkan selama kurun waktu satu tahun mulai bulan September 2015 sampai September 2016, telah muncul tidak kurang dari sepuluh kasus yang menimpa Lembaga Pers Mahasiswa. Beberapa di antaranya seperti kasus pembredelan Majalah Lentera oleh Polisi, Pembekuan LPM Aksara oleh Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fakultas Ilmu Keislaman Universitas Trunojoyo, Pembekuan dan pengusiran anggota UKPKM Media Universitas Mataram oleh Rektor serta Kasus Pembekuan LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan, telah dikawal bersama oleh PPMI melalui Bidang Pekerja Advokasi, baik secara nasional maupun teman-teman di Dewan Kota. Berbagai alasan menjdi pemicu maraknya pembredelan dan diskriminasi. Di antaranya, pemberitaan LPM yang dinilai merugikan, seringnya LPM melakukan kritik, sampai sikap arogan dari birokrasi baik itu mahasiswa maupun rektorat yang merasa memiliki kekuasaan untuk berhak mengatur kebijakan redaksi LPM. Bebalnya birokrasi mahasiswa, tercermin dalam kasus pembredelan sekaligus pembekuan LPM
Aksara Fakultas Ilmu Keislaman (FIK) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) akhir September 2015 lalu. Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UTM mengancam akan melakukan tidak kekerasan kepada kru Aksara sekaligus membekukan Aksara. Kasus tersebut bermula setelah beberapa pemberitaan Aksara di portal online mereka dinilai merugikan DPM. Berita tersebut terkait pelaksanaan orientasi mahasiswa baru atau Islamic Orientation Faculty (IFO). Pihak DPM juga menuntut bahwa Aksara tidak seharusnya memberitakan keburukan FIK. Sebab, menurut mereka, keburukan adalah aib yang harus ditutupi. Bukan dikritisi dan disebarkan. Mereka juga menuntut Aksara karena tidak membubuhkan gelar Bapak dan Ibu ketika menyebut atau mengutip perkataan pegawai kampus. Sedang kebebalan birokrasi kampus, yang telah menjual idealisme dan kebanggaan akademik mereka demi politik bisa dilihat pada kasus UKPKM Media Unram, LPM Pendapa Universitas Tamansiswa dan LPM Poros UAD. Mereka adalah LPM yang aktif memberikan kritik terhadap kebijakan kampus. Mulai dari pemberlakuan UKT yang jauh dari tujuan utamanya untuk meringankan mahasiswa kurang mampu agar bisa berkuliah dengan biaya terjangkau, sampai kebijakankebijakan rektor dan dekanat yang merugikan mahasiswa. Sebagai konsekuensinya, mereka kemudian menerima pembekuan lembaga dari rektorat. Poros dibekukan sampai akhirnya mereka berhasil memperjuangkan keberlanjutannya setelah berjuang lebih dari tiga bulan. Media dibekukan, dibubarkan dan diusir secara paksa dari kantor sekretariat karena menolak klausul dari rektorat untuk tidak lagi memberitakan keburukan kampus dan hanya fokus pada pemberitaan prestasi. Mereka menolak menjadi humas kampus dan dibubarkan. Begitu pula Pendapa. Mereka bahkan dibekukan dua kali dalam satu tahun. Nopember 2015 mereka dibekukan karena pemberitaan dan dinilai terlalu sering mengkritisi kebijakan kampus. Namun, pembekuan tersebut hanya bertahan selama dua minggu setelah mereka berhasil mencapai kesepakatan bersama melalui mediasi didampingi para alumni Pendapa. Nopember 2016, mereka kembali dibekukan oleh rektorat dengan alasan serupa. Bisa dilihat dari kasus-kasus tersebut bahwa mental mahasiswa dan birokrasi kampus saat ini sudah sangat rendah. Kemunduran demokrasi telah terjadi bahkan di lingkungan kampus yang harusnya bisa menjadi benteng terakhir penjaga demokrasi. Sebab, kampus memiliki otonomi sendiri untuk membentuk sistem ideal mereka. Selain juga kampus merupakan
gudang akademisi dan cendekiawan yang harusnya memiliki berbagai macam teori demokrasi yang ideal. Dan kampuslah tempat mereka melakukan penelitian dan percobaan. Itulah gunanya kampus menjadi miniatur negara. Belum lagi berbagai LPM yang meskipun tidak dibredel, tetapi dikebiri melalui kebijakan redaksi yang harus melalui sensor dari birokrasi. Juga acara-acara diskusi, bedah film, bedah buku di berbagai kampus yang tak direstui dan dibubarkan polisi. Bukankah kampus memiliki kebebasan akademik, di mana masyarakat kampus berhak untuk melakukan segala kegiatan demi pengembangan akademiknya? Jika kebebasan akademik sudah tidak lagi ada, dan mahasiswa diharuskan menerima mentahmentah semua kebijakan dan pelajaran yang diberikan kampus, lalu apa bedanya kampus dengan peternakan? Dimana lagi pemuda bangsa, mahasiswa ditempa dan mampu mengembangkan kemampuan akademik dan skill-nya jika kampus sudah menjadi peternakan? Dengan dalih otonomi kampus, lembagalembaga pendidikan telah dibawa jauh dari tujuan utamanya; memperbaiki bangsa. Dengan menjadi lembaga yang anti kritik, memuja pencitraan, para ahli pendidikan di kampus telah memperkokoh status menara gading mereka. Dengan kondisi seperti ini, sudah saatnya mahasiswa sadar dan mulai kembali belajar. Pers mahasiswa juga harus meneguhkan posisinya sebagai penjaga demokrasi. BEM, DPM, ORMEK (Organisasi Mahasiswa Ekstra), UKM, kembali menjalin interaksi yang sehat, merumuskan dengan jelas dan tegas kewenangan dan kewajiban masing-masing. Tidak ada salahnya melakukan introspeksi diri, melihat kembali sistem yang selama ini dijalankan. Menelaah ulang, kewenangan dan kewajiban masingmasing. Agar tidak saling menunggangi atau bahkan mengintervensi. Jika mahasiswa adalah gelar akademis, maka selaiknya pula berperilaku sebagaimana harusnya seorang akademisi, bukan preman berjas akademis. Supaya bukan arogansi yang kemudian muncul menjadi pembawaan. Sebab, dengan membawa arogansi, berarti pintu untuk belajar dan melakukan evaluasi diri telah resmi ditutup. Dan mahasiswa akan semakin terperosok dalam keterpurukan. Melanjutkan laju dekadensi. *)Redaktur LPM Solidaritas 2012-2013, Koordinator Badan Pekerja Advokasi Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) 20152016, Wartawan Majalah Derap Desa.
18
IBROH
SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
“
Tidak Hilang, Hanya Tenggelam Regenerasi Budaya: Upaya Mengembalikan Identitas Sebuah Bangsa
S
iapa yang tidak mengenal ludruk. Sebuah kesenian dengan genre drama kocak dan cinta masyarakat Jawa Timur zaman dahulu yang sangat terkenal. Namanya tidak hanya berkibar di kandang Jawa Timur saja, negara Suriname pun telah mengenal betul apa itu ludruk. Lelaki tua berusia 73 tahun itu menyimpan banyak cerita tentang dirinya dan kehidupannya di dunia ludruk. Namanya adalah Kartolo, sang legenda ludruk Jawa Timuran. Berbagai daerah di Indonesia telah dijamahnya. Ia tidak sendirian, kelompok pagelaran ludruk Kartolo selalu menemani setiap perjalanannya. Ribuan orang terhibur dengan aksi yang mereka bawakan.
Sore itu, kami menemui sang legenda di kediamannya yang berada di Surabaya bagian timur. Ditemani sang istri, Kartolo menceritakan kisah perjalanannya menjadi seorang pemain
Dokumen Solidaritas ludruk. Pada era 80-an, ludruk di Surabaya sangat berjaya. Pada masa itu banyak bermunculan pagelaran ludruk di beberapa gedung di Surabaya. Pada masa itu kelompokkelompok ludruk bemunculan, mulai kelompokkelompok kecil yang hanya bermain di kampungkampung, hingga kelompok-kelompok besar yang bisa membuat pagelaran sampai ke luar kota. Seiring berjalannya waktu, eksistensi ludruk seakan tergeser oleh kehadiran hiburan modern semacam televisi. Minat masyarakat yang awalnya menyukai pagelaran-pagelaran semacam ludruk, berganti menyukai acaraacara yang bisa dinikmati dari rumah melalui televisi. Kartolo juga mengungkapkan bahwa ludruk susah jika dibuat pagelaran yang bisa ditonton melalui televisi. Hal itu dikarenakan ludruk kurang memiliki sponsor yang bisa membiayai pagelarannya.
Ketika ditanya mengenai upaya pemerintah dalam meregenarasi ludruk, lelaki berambut putih tersebut mengungkapkan apresiasinya terhadap pemerintah yang memfasilitasi kebudayaan ludruk. Hal itu dibuktikan dengan masih banyaknya lombalomba ludruk yang diadakan di sekolah-sekolah. Bukan hanya itu, saat ini di Surabaya juga terdapat komunitas pemuda yang mempelajari budaya Suroboyoan, termasuk ludruk. Pada akhir wawancara, Kartolo menyampaikan pesan kepada para pemuda untuk mencintai budaya Indonesia. Mencintai budaya modern bukanlah suatu hal yang salah, namun budaya Indonesia adalah suatu hal yang harus dijaga karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Alangkah baiknya jika pemuda saat ini mau dan mampu mengolaborasikan kemampuannya dengan budaya, sehingga budaya akan terlihat semakin berwarna. (elv/ mdh)
Sambungan dari halaman 15, IWAN di Pekanbaru. Sejak saat itu, Iwan dan keluarganya sering mendapat teror. Dalam perjalanan musiknya Iwan bergabung dalam ruang ekspresi Bengkel Teater milik WS. Rendra. Bengkel Teater bagai media transformasi pemikiran kebudayaan penambah wawasan dan karya. Lewat Bengkel Teater terbentuklah grup SWAMI, yang setelah itu Iwan makin naik daun setelah rilis lagu ‘Bento’ dan ‘Bongkar’ yang sangat fenomenal. Tahun 1990 Iwan dan beberapa rekan tergabung dalam grup Kantata Takwa yang dipayungi oleh WS. Rendra. Sebelum tenar, Iwan Fals sempat beberapa kali mengganti ejaan namanya. Tahun 1979, ejaan namanya Iwan Fales. Kemudian berganti menjadi Iwan Falls dan akhirnya berubah menjadi Iwan Fals hingga kini. Lagu-lagu Iwan Fals terinspirasi dari koran, televisi, keadaan sekitar, dan alam. Iwan yang memang berjiwa sangat peka terhadap kondisi sosial, ditambah pemahamanpemahaman makna kehidupan yang ia peroleh dari pengamatan, pengalaman, dan Bengkel Teater, membuat syair-syair ala balada-nya sarat makna. Iwan Fals bukan hanya kritis, namun juga patriotis, filosofis, humanis,
humoris, sekaligus romantis bahkan agamis sehingga lagu-lagunya sangat berwarna namun tidak menghilangkan karakter khas Iwan Fals. Iwan Fals sekali lagi adalah musisi yang menyuarakan suara rakyat bawah dan kaum marginal. Dengan berani ia mengkritik pemerintah lewat lagu-lagunya. Pada tahun 1998 Iwan bersama teman-temannya membentuk Partai Tikus Got. Nama partai tersebut terinspirasi dari kehidupan tikus-tikus got yang tinggal di tempat kumuh, dibenci, diburu, dibasmi, namun tetap bertahan dan terus berkembang biak. Namun Partai Tikus Got tidak pernah ikut PEMILU karena tidak pernah didaftarkan. Sebagai tambahan, Iwan Fals sempat diusulkan untuk menjadi calon presiden sebelum PEMILU 2014 namun ia menolak. Tahun 1997 putra sulung Iwan Fals, Galang Rambu Anarki, berpulang dan hal tersebut sangat membuat Iwan terpukul. Iwan vakum dalam bermusik selama beberapa tahun dan banyak menyibukkan diri dengan melukis dan bela diri. Tahun 2002 ia aktif kembali ke dunia musik dan lagu-lagunya menjadi lebih lembut dan tidak segarang dulu lagi. Penampilannya juga berubah, tidak gondrong dan lebih berpenampilan rapi. Ia meluncurkan
album ‘Suara Hati’ yang salah satu lagunya berjudul ‘Hadapi Saja’ yang ia buat untuk menguatkan dirinya setelah kepergian Galang. Kisah Asmara Saat mengikuti Festival Musik Humor di IKJ di usia kelas tiga SMA, Iwan tertarik dengan seorang mahasiswi tomboi Jurusan Seni Rupa yang akrab disapa Yos. Tidak butuh waktu lama, Iwan langsung menyatakan perasaannya kepada Yos dan mereka menjalin hubungan. Namun Yos sempat suka dengan lelaki lain dan pada saat itulah Iwan nekat melamar Yos. Iwan meyakinkan Yos apakah ia berani menikah dengannya yang hanya bisa ngamen, dan Yos mengiyakan. Iwan dan Yos menikah pada tahun 1980. Dan masih langgeng sampai saat ini dengan dikaruniai tiga orang buah hati. Iwan dan Yos sama-sama sangat kehilangan saat kepergian putra sulung mereka, Galang, pada tahun 1997, namun mereka melampiaskannya ke hal-hal positif. Iwan menjadi lebih tegas dan bertanggung jawab, dan Yos lebih kuat dalam beragama. Yos saat ini menjadi manajer Iwan Fals sehingga ia bisa memantau kondisi Iwan yang kerap tour konser kemana-mana. (rus)
Sambungan dari halaman 16, KONFLIK sesungguhnya bisa menjelma hal-hal yang lebih besar dan bertahan keberlangsungannya. Tentu saja tidak boleh ada anggapan bahwa yang tertindas akan selalu benar dan yang menindas akan selalu salah. Pasti ada celahcelah kebaikan di kedua pihak. Kebaikan itulah yang harus digali oleh para mediator. Penulis mengatakan hal ini sebagai niat baik (good will) dari semua pihak, yang bertikai maupun mediatornya. Meskipun banyak orang
yang mengatakan bahwa niat baik saja tidak cukup, atau melakukan simplipikasi masalah, tetapi ia bisa menjadi landasan atau dasar bagi penyusunan program dan kegiatan baik selanjutnya. Niat baik dapat tumbuh dalam diri semua orang tanpa memandang latar belakang budaya, kelas sosial, maupun agama yang diyakini. Niat baik itu adalah esensi hidup manusia, karenanya bangunkan kembali persatuan Myanmar dengan membangkitkan
niat baik semua penduduknya. Penulis yakin bahwa penduduk dan pemerintah Myanmar dapat memahami bahwa Rohingya adalah bahagian dari mereka. Komunitas Rohingyapun harus tetap optimis dapat bersatu dengan saudara-saudaranya suku-suku Myanmar lainnya. Hiduplah sesuai dengan ciri kebangsaan Myanmar meskipun memiliki agama yang berbeda. *) Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UINSA
19 SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
Foto oleh Nurani Solidaritas)
Ahda
(Koordinator
Fotografi
LPM
Kampung Jetis Sidoarjo terkenal dengan nama kampong batik, dikarenakan sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai pengrajin batik. Lokasinya persis di depan Masjid Abror. Semua dimulai oleh Mbah Mulyadi yang konon katanya keturunan Raja Kediri. Selain membuka bisnis batik tulis, Mbah Mulyadi juga mengajarkan cara membuat batik sekaligus juga mengajar ngaji kepada masyarakat Desa Jetis. Seiring berjalannya waktu keturunan Mbah Mulyadi tak ada yang mampu melanjutkan usaha ini. Sejak itu batik semakin meredup dari Desa Jetis, hingga akhirnya pada tahun 1970 batik Jetis kembali bangkit yang diprakarsai oleh Ayah dari Pak Amri, seorang pegawai pembuat batik di kediaman Mbah Mulyadi. Kemudian pada tahun 2008, Desa Jetis diresmikan sebagai Kampung Batik Jetis oleh Bupati Win Hendrarso.
Foto oleh Muti’atul Lutfi (Koordinator Fotografi LPM Solidaritas) Aktivitas Pasar Ikan PabeanAroma menyengat khas ikan menghinggapi indera penciuman para pengunjung pasar. Lalu-lalang para pembeli di depan para pedagang, disertai dengan hamparan berbagai jenis ikan laut dan tawar. Beroperasi pukul 11.00-03.00 dini hari, pasar ini difungsikan sejak 1918 sebagai tempat transaksi jual beli rempah di masa lalu. Nama pasar Pabean tetap dikenal hingga sekarang, yang dikenal juga dengan nama Pasar Ikan Pabean.
Foto oleh Muti’atul Lutfi (Koordinator Fotografi LPM Solidaritas) Seseorang ‘nyungun’Profesi yang banyak digeluti wanita dengan umur berkisar 2540 tahun di Pasar Ikan Pabean, Kecamatan Pabean Cantikan, Surabaya. Kepala berbalut kain dan plastik tebal sebagai pelindung dari beratnya beban timba, yang berisi ikan dengan jumlah mulai dari satu hingga dua digit kilo-an. Seorang’ Nyungun’ bertugas sebagai penyampai dan pemenuh tujuan dari bakul ikan kepada penerima pesanan ikan
Foto oleh Atika Rusyda (Anggota HRD LPM Solidaritas) Dua gadis cilik bercengkerama di depan rumah mereka di bilangan Pabean Cantikan Surabaya, tepatnya di pelosok Pasar Ikan Pabean. Jarak tempuh dari Pusat Pasar Pabean menuju rumah tersebut sejauh 10 meter, dengan kondisi pijakan yang hampir tiada hari tanpa sandal bermandikan lumpur. Boneka berambut pirang dan pink menjadi salah satu sumber senyum yang terekah di wajah mereka. Anak-anak di daerah ini biasa bermain di sela gang-gang sempit permukiman yang terletak di sisi sungai Jembatan Merah.
20 SOLIDARITAS, DESEMBER 2016
Foto oleh Muti’atul Lutfi (Koordinator Fotografi LPM Solidaritas) Parade Ikan AsapIbu Raihan (35) menjejerkan ratusan tusuk ikan di atas perapian. Ikan bawal seharga 3000 rupiah per-tusuk ini dijual berdasarkan pesanan. Pengasapan ikan ini bertujuan untuk mengurangi kadar air pada ikan, sehingga ikan dapat bertahan dalam beberapa hari. Pengasapan dilakukan hingga ikan berwarna coklat keemasan, ikan yang sudah matang kemudian diparadekan di atas wadah dan ditiriskan.
Foto oleh Muti’atul Lutfi (Koordinator Fotografi LPM Solidaritas) Ibu Nikmah (50) sedang menusuk ikan bawal yang sudah dikuliti dengan tusuk bambu untuk kemudian diasapi, jumlahnya hingga ratusan tusuk ikan per hari. Ibu Nikmah penjual ikan yang setiap hari pulang-pergi dari daerah Hang Tuah-Cantikan Surabaya. Penghasilan tiap harinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan perut keluarganya saja, pun walau begitu tak mengurangi rekah senyum sang wanita penjual ikan tersebut. Tak hanya sendiri, Ibu Nikmah berjualan di samping sungai Jembatan Merah dengan saudaranya dari petang hingga malam hari.
Foto oleh Aliyul Solidaritas)
Himam
(Koordinator
Magang
LPM
Masjid Raya Ulul Albab – UIN Sunan Ampel Surabaya Suasana menjelang shalat Maghrib di dalam Masjid Raya Ulul Albab. Tampak para mahasiswa bergegas memasuki masjid, sedang sebagian jamaah mengambil posisi pada shaf depan. Solat Maghrib berjamaah tidak diikuti oleh seluruh mahasiswa dikarenakan jadwal perkuliahan yang beragam. Namun pada hari tertentu jamaah solat Maghrib di Masjid ini membludak, misalnya setelah kegiatan Ma’had (kajian kepesantrenan) yang diadakan setiap Rabu sore.
Foto oleh Muti’atul Lutfi (Koordinator Fotografi LPM Solidaritas) Asap KehidupanPengasapan dilakukan untuk mengawetkan, memberi warna dan memberikan rasa khas terhadap ikan. Asap yang mengepul dari proses pengasapan ikan, merupakan udara yang hampir tiap hari dihirup oleh Ibu Raihan (35). Setiap harinya, yang dihirup tidak hanya oksigen, pun juga partikel-partikel asap.
21
Puisi SEJ(ARAH) Karya: Nurani Ahda Tak ada yang mencari Sehingga seperti mati Tak ada yang peduli Sehingga seperti basi Tak usahlah kau kasihani Karna ini tentang jati diri Tak usahlah kau memungkiri Karna ini tentang kisah di suatu hari
Siapa yang bilang tak perlu ingat sejarah? Bagaimana cara kau menentukan arah? Apakah kau mau kena marah? Cuihhh, kau membuat bangsa semakin gerah Cobalah selalu kau ingat Pasti akan tumbuh suatu semangat Yang bisa meledak seperti geranat Karna ini cara agar bangsamu tak tamat Dasar bangsat!!!
NEGERIKU Karya: Mustofa Bisri mana ada negeri sesubur negeriku?
Aku pernah merasakan sakit Teralu sakit hingga tak mampu menjerit Merasakan bangsa yang semakin pahit Persatuan serasa morat-marit Demi dunia yang elit Kau ambil setumpuk duit Dan kau hilang tanpa pamit Aku curiga kau ini dedemit Keputusannya tak bisa dibantah laksana wasit Semakin jaya semakin buncit Suka tebar pesona dengan genit Idih Amit-amit Kesana-kemari selalu menggigit Penyebar fitnah di setiap cuit Sadarlah kau telah merusak bibit Anjrit!!! Bangsa ini semakin terhimpit Gegara kau yang semakin melejit Merasa dermawan, nyatanya pelit Omonganmu yang berbelit-belit Aku yang mendengar jadi sembelit Ku tunggu kau menjadi mayit Salam pahit, dariku yang tak berkulit!
Karya: Muhammad Yamin Bersatu kita teguh
sawahnya tak hanya menumbuhkan
Bercerai kita runtuh
padi, tebu, dan jagung
Duduk di pantai tanah yang permai
tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan
Tempat gelombang pecah berderai
gedung
Berbuih putih di pasir terderai
perabot-perabot orang kaya didunia
Tampaklah pulau di lautan hijau
dan burung-burung indah piaraan mereka berasal dari hutanku ikan-ikan pilihan yang mereka santap
Gunung-gunung bagus rupanya Dilingkari air mulia tampaknya Tumpah darahku Indonesia namanya
bermula dari lautku
Lihatlah kelapa melambai-lambai
emas dan perak perhiasan mereka
Berdesir bunyinya sesayup sampai
digali dari tambangku
Tumbuh di pantai bercerai-cerai
air bersih yang mereka minum
Memagar daratan aman kelihatan
bersumber dari keringatku
Dengarlah ombak datang berlagu
mana ada negeri sekaya negeriku?
Mengejar bumi ayah dan ibu
majikan-majikan bangsaku
Indonesia namanya. Tanah airku
memiliki buruh-buruh mancanegara brankas-brankas ternama di manamana
BAIT NYELEKIT
INDONESIA TUMPAH DARAHKU
menyimpan harta-hartaku
Tanahku bercerai seberangmenyeberang Merapung di air, malam dan siang
negeriku menumbuhkan konglomerat
Sebagai telaga dihiasi kiambang
dan mengikis habis kaum melarat
Sejak malam diberi kelam
rata-rata pemimpin negeriku
Sampai purnama terang-benderang
dan handai taulannya
Di sanalah bangsaku gerangan
terkaya di dunia
menompang
mana ada negeri semakmur negeriku
Selama berteduh di alam nan lapang
penganggur-penganggur diberi perumahan gaji dan pensiun setiap bulan rakyat-rakyat kecil menyumbang negara tanpa imbalan rampok-rampok diberi rekomendasi
Tumpah darah Nusa India Dalam hatiku selalu mulia Dijunjung tinggi atas kepala Semenjak diri lahir ke bumi Sampai bercerai badan dan nyawa
dengan kop sakti instansi
Karena kita sedarah-sebangsa
maling-maling diberi konsesi
Bertanah air di Indonesia
tikus dan kucing
Sumber: Sajak-sajak Perjuangan dan
dengan asyik berkolusi
Nyanyian Tanah Air Oyon Sofyan, editor halaman 15.
(Pahlawan dan Tikus, 1995)
Diambil dari buku Apresiasi Puisi
Diambil dari buku Apresiasi Puisi
Herman J. Waluyo halaman 52
Herman J. Waluyo halaman 113
22
DEMI LUSA Karya: Nurani Ahda *) Angin berhembus menyebar busa Terus berjalan meski tak ada rasa Mungkin memang sudah habis masa Tubuh ringkih hampir binasa Tak ada lagi mereka yang perkasa Tak ada tokoh, semuanya hanya pemirsa Menyaksikan kisah yang dianggap rekayasa Wahai kamu yang hidupnya sentosa Yang mengaku sudah banyak jasa Kaki terus berjalan merasa tak ada dosa Tak pernah malu kepada yang Maha Esa Pikiran sudah miring macam menara pisa Selalu mencari mangsa tak mampu tuk puasa Segalanya mengatas namakan bangsa Padahal hanya berlenggak mirip angsa Semoga lusa bukan kau yang berkuasa
*) Penulis adalah Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam UINSA Semester 5
Oleh: Wiji Agustin S. Ilmu Komunikasi UINSA Semeseter 3
23
Oleh: M. Malik Ibrahim Sastra Inggris UINSA Semeseter 5
Fb : Facebook.com/lpm.solidaritas.1 | Instagram : @lpmsolidaritas | Twitter : Twitter.com/lpmsolidaritas | g+ :
[email protected]