IDENTIFIKASI POTENSI ANTIOKSIDAN MINUMAN COKELAT DARI KAKAO LINDAK (THEOBROMA CACAO L.) DENGAN BERBAGAI CARA PREPARASI: METODE RADIKAL BEBAS 1,1 DIPHENYL-2-PICRYLHYDRAZIL (DPPH)
SKRIPSI
OLEH : HONDY HARTANTO 6103008026
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA SURABAYA 2012
IDENTIFIKASI POTENSI ANTIOKSIDAN MINUMAN COKELAT DARI KAKAO LINDAK (THEOBROMA CACAO L.) DENGAN BERBAGAI CARA PREPARASI: METODE RADIKAL BEBAS 1,1 DIPHENYL-2-PICRYLHYDRAZIL (DPPH)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Teknologi Pertanian Program Studi Teknologi Pangan
OLEH : HONDY HARTANTO 6103008026
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA SURABAYA 2012
Hondy Hartanto (6103008026). “Identifikasi Potensi Antioksidan Minuman Cokelat dari Kakao Lindak (Theobroma cacao L.) dengan Berbagai Cara Preparasi: Metode Radikal Bebas 1,1 Diphenyl-2Picrylhydrazil (DPPH)”. Di bawah bimbingan: 1. Prof. Dr. Ir. Y. Marsono, MS. 2. Maria Matoetina Suprijono, SP., M.Si. ABSTRAK Kakao terbukti merupakan sumber antioksidan. Salah satu produk pemanfaatan kakao adalah minuman berbasis cokelat. Beragam cara preparasi berkembang di masyarakat dalam penyajian minuman cokelat. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui potensi antioksidan yang dapat dipertahankan selama proses pembuatan minuman cokelat dari bubuk kakao dengan berbagai cara preparasi serta menentukan cara preparasi yang paling dapat mempertahankan aktivitas antioksidan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan faktor Cara Preparasi Minuman Cokelat (P) terdiri dari empat perlakuan, yang diulang sebanyak dua kali. Parameter penelitian yaitu aktivitas antioksidan minuman cokelat dalam menangkap radikal bebas DPPH dengan data pendukung yaitu kadar lemak pada bubuk kakao serta total fenol dan total flavonoid pada bubuk kakao dan minuman cokelat. Pengaruh faktor penelitian dianalisa dengan ANAVA pada α= 5% dan apabila hasil uji ANAVA menunjukan adanya pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan DMRT pada α= 5% untuk mengetahui taraf perlakuan yang memberikan perbedaan nyata. Perbedaan cara preparasi mempengaruhi kadar total fenol, tapi tidak berpengaruh nyata pada kadar total flavonoid minuman cokelat. Pembuatan minuman cokelat dengan pengadukan (P1) memiliki kadar total fenol paling rendah (16 ± 2 mg GAE/g), sedangkan minuman cokelat yang diseduh dengan air mendidih (P2) memiliki kadar total fenol paling tinggi (29 ± 1 mg GAE/g). Perlakuan perebusan hingga mendidih (P3) dan pemanasan dengan microwave (P4) memiliki kadar total fenol yang tidak berbeda nyata, namun lebih tinggi dibandingkan P1, masing-masing adalah 24 ± 3 mg GAE/g dan 21 ± 1 mg GAE/g. Hasil penelitian menunjukkan aktivitas scavenging minuman cokelat tidak nyata dipengaruhi oleh berbagai cara preparasi. Scavenging activity minuman cokelat dengan berbagai cara preparasi tidak berbeda nyata dibandingkan vitamin E (sebagai kontrol). Kadar total fenol dan total flavonoid tidak berhubungan nyata dengan aktivitas scavenging minuman cokelat. Kata kunci: antioksidan, kakao lindak, metode DPPH i
Hondy Hartanto (6103008026). “Identification of Antioxidant Potential in Cacao Lindak (Theobroma cacao L.) Chocolate Beverages by Different Preparation Methods: Free Radicals 1,1Diphenyl-2-Picrylhydrazil (DPPH) Method”. Advisory Committee: 1. Prof. Dr. Ir. Y. Marsono, MS. 2. Maria Matoetina Suprijono, SP., M.Si. ABSTRACT Cacao has proven to be source of antioxidants. One of cacao utilization-products is chocolate beverages. Various preparation methods has been used in the process of making chocolate beverages. Experimental research towards effect of various preparation methods on chocolate beverages antioxidant potential has been done. This research aimed to determine antioxidant potential that could be preserved after the making of chocolate beverages from cocoa powder by different preparation methods, and also choose which preparation method could preserve the most antioxidant activity. This research used a Randomized Block Design with Various Preparation Method as factor (P), which consisted of four treatments and was repeated two times. Research parameter was chocolate beverages scavenging activity with supportive data, which are cocoa powder fat content, and also total phenol and flavonoid content of cocoa powder and chocolate beverages. The factor’s effects were analyzed with ANOVA on α= 5%, then followed with DMRT on α= 5% to determine which treatment shows significant effect. All preparation methods affected total phenol content, but they did not affect total flavonoid of chocolate beverages. Chocolate beverage made by dissolving cocoa powder in water (P1) has the lowest total phenol content (16 ± 2 mg GAE/g), while on the other hand, beverage made by dissolving cocoa powder in a boiled water has the highest total phenol content (29 ± 1 mg GAE/g). Beverages made by heated until boiled (P3) and heated in microwave (P4) have common total phenol content, but higher than P1, which are 24 ± 3 mg GAE/g and 21 ± 1 mg GAE/g. Research result showed that scavenging activity of chocolate beverages did not affected significantly by various preparation methods. Chocolate beverages scavenging activity did not differ significantly towards vitamin E (control). Total phenol and flavanoid content did not correlate significantly on chocolate beverages scavenging activity. Keywords: antioxidant, cacao lindak, DPPH method ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat serta penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Skripsi dengan judul: Identifikasi Potensi Antioksidan Minuman Cokelat dari Kakao Lindak (Theobroma cacao L.) dengan Berbagai Cara Preparasi: Metode Radikal Bebas 1,1 Diphenyl-2-Picrylhydrazil (DPPH). Penyusunan Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program Strata 1 (S1) di Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Prof. Dr. Ir. Y. Marsono, MS. dan Maria Matoetina S., SP., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah membantu memberikan pengarahan,
bimbingan,
dan semangat
dalam
menyelesaikan
penulisan tugas ini. 2.
Dr. Paini Sri Widyawati, S.Si., M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan dan masukan dalam bagi penulisan tugas ini.
3.
Para staf Ketua Laboratorium dan Laboran Fakultas Teknologi Pertanian.
4.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia PTP XII Jember yang telah memberikan dukungan berupa penyediaan bubuk kakao sehingga penelitian dapat dilaksanakan dengan lancar. Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna maka
penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata
iii
penulis mengharapkan semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Surabaya, September 2012
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK ...................................................................................... i ABSTRACT .................................................................................. ii KATA PENGANTAR .................................................................iii DAFTAR ISI ................................................................................. v DAFTAR GAMBAR .................................................................. vii DAFTAR TABEL ......................................................................viii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................ ix BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ..................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian....................................................... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kakao (Theobroma cacao). ........................................ 5 2.1.1 Senyawa Antioksidan Kakao. ........................... 6 2.1.2 Proses Pengolahan Biji Kakao.......................... 8 2.2 Antioksidan .............................................................. 11 2.2.1 Klasifikasi Senyawa Antioksidan ................... 12 2.2.2 Mekanisme Antioksidan ................................. 14 2.3 Metode Pengujian Aktivitas Antioksidan ................ 15 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian ....................................................... 19 3.2 Alat Penelitian .......................................................... 19 3.3 Waktu dan Tempat Penelitian................................... 20 3.4 Rancangan Penelitian................................................ 20 3.5 Pelaksanaan Penelitian ............................................. 21 3.5.1 Pembuatan Minuman Cokelat ........................ 21 3.5.2 Metode Analisa .............................................. 25 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemanasan terhadap Kadar Total Fenol Minuman Cokelat .................................................... 26 v
4.2 Pengaruh Pemanasan terhadap Kadar Total Flavonoid Minuman Cokelat ................................... 29 4.3 Aktivitas Scavenging Metode Penghamabatan DPPH dari Minuman Cokelat .................................. 31 4.4 Hubungan Senyawa Fenolik dengan Aktivitas Antioksidan ............................................................. 33 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................... 34 DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 35
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Struktur Bangun (-)-Epikatekin, (+)-Epikatekin, (-)-Katekin dan (+)-Katekin. ....................................... 9 Gambar 2.2 Diagram Alir Proses Pengolahan Biji Kakao menjadi Beberapa Macam Produk Intermediet ......... 10 Gambar 2.3 Mekanisme Reaksi Senyawa Antioksidan ................ 14 Gambar 2.4 Struktur Molekul DPPH sebelum dan setelah Menerima Donor Atom H ......................................... 17 Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Minuman Cokelat ...................................................................... 22 Gambar 4.1 Kadar Total Fenol Minuman Cokelat ....................... 27 Gambar 4.2 Kadar Total Flavonoid Minuman Cokelat ................ 30 Gambar 4.3 Grafik Waktu Vs % Penghambatan DPPH pada Konsentrasi 200 ppm ................................................ 33
vii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Komposisi Kimia Bubuk Kakao Lindak Bebas Lemak ..... 6 Tabel 2.2 Jenis-Jenis Klon Kakao Lindak ......................................... 7 Tabel 2.3 Klasifikasi Jenis Antioksidan berdasarkan Struktur Kimia.................................................................................13 Tabel 3.1 Desain Rancangan Penelitian........................................... 20 Tabel 3.2 Formulasi Minuman Cokelat ........................................... 21 Tabel 4.1 Hubungan Senyawa Fenolik dengan Aktivitas Antioksidan Minuman Cokelat ....................................... 34
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Analisa Kadar Lemak Bubuk Coklat dengan Metode Soxhlet ......................................................... 43 Lampiran 2 Analisa Kadar Total Fenol dengan Metode Kolorimetri Folin-Ciocalteu ...................................... 45 Lampiran 3 Analisa Kadar Total Flavonoid berdasarkan Aluminium Klorida Kolorimetri ............................... 47 Lampiran 4 Analisa Aktivitas Antioksidan dengan Spektrofotometri Metode Peredaman Warna DPPH ........................................................................ 50 Lampiran 5 Data Kadar Lemak Bubuk Cokelat............................ 52 Lampiran 6 Data Kadar Total Fenol dan Total Flavonoid Minuman Cokelat ...................................................... 53 6.1. Kadar Total Fenol ..................................................... 53 6.2. Kadar Total Flavonoid (dihitung sebagai (+)(katekin) .................................................................. 54 6.3. Kadar Total Flavonoid (dihitung sebagai (-)(epikatekin) ............................................................. 55 Lampiran 7 Data Aktivitas Antioksidan Minuman Cokelat (Metode Penangkalan Radikal Bebas DPPH) ........... 56
ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Beragam sumber radikal bebas dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari, seperti asap kendaraan bermotor, asap pabrik, radiasi, makanan, dan juga dari hasil proses oksidasi dalam tubuh. Radikal bebas merupakan ion/atom/gugus atom/molekul yang memiliki satu atau lebih elektron tak berpasangan (Bowen, 2003). Radikal bebas yang berlebih dapat memacu timbulnya berbagai macam penyakit degeneratif, seperti kanker dan penyakit jantung (kardiovaskular). Penyakit kardiovaskular diketahui merupakan salah satu penyakit paling mematikan di Indonesia (Setiabudi, 2009). Timbulnya penyakit degeneratif oleh radikal bebas dapat dihambat ataupun dicegah oleh senyawa antioksidan. Berdasarkan perannya, antioksidan dibedakan dalam sistem pangan dan biologis. Antioksidan dalam sistem pangan berperan untuk menghambat atau mencegah proses oksidasi lemak/minyak sehingga mempunyai fungsi sebagai pengawet. Sedangkan dalam sistem biologis, antioksidan berperan menangkal radikal bebas dalam tubuh sehingga diharapkan dapat mencegah timbulnya berbagai macam penyakit degeneratif. Antioksidan dalam tubuh seringkali tidak mampu mengatasi kerusakan oksidatif yang berlebih sehingga diperlukan antioksidan dari luar. Antioksidan dari luar dapat diperoleh dengan mengkonsumsi makanan maupun minuman yang kaya akan antioksidan. Salah satu sumber antioksidan yang bersifat menyehatkan adalah produk berbasis cokelat yang diolah dari biji kakao. Kakao seperti yang dilaporkan oleh Crozier dkk. (2011) diketahui memiliki kandungan 1
2 polifenol yang tinggi, terutama golongan flavanol. Kadar dan aktivitas antioksidan yang tinggi pada kakao membuatnya berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk yang menyehatkan.
Selain kaya akan
antioksidan, alasan kakao perlu dilirik untuk dikembangkan karena Indonesia merupakan salah satu negara terbesar penghasil kakao sehingga potensinya lebih menjanjikan. Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia dengan pangsa pasar sebesar 13,6% (Rohman, 2009). Volume ekspor produk kakao olahan masih relatif kecil dibandingkan dengan volume ekspor biji kakao. Data BPS yang diolah Kementerian Perindustrian menunjukkan volume ekspor kakao olahan Indonesia pada tahun 2009 hanya mencapai 115.170 ton dengan perincian produk intermediet (cocoa liquor, cocoa cake, cocoa butter, cocoa powder) sebanyak 83.642 ton dan produk akhir sebanyak 31.528 ton. (Media Industri, 2010). Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar komoditi yang diekspor masih dalam bentuk raw material. Indonesia sebagai negara penghasil kakao memiliki peluang besar untuk mengembangkan lebih lanjut komoditi kakao dalam negeri menjadi produk jadi sehingga tidak hanya berhenti menjadi bahan mentah yang diekspor ke luar negeri. Kajian terhadap bubuk kakao yang diperoleh dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur akan dilakukan dalam penelitian ini. Bubuk kakao kemudian akan diolah menjadi bentuk minuman. Diduga akan terjadi penurunan kadar dan aktivitas antioksidan kakao selama proses pengolahan dikarenakan berbagai faktor, seperti suhu dan lama pemanasan. Oleh karena itu, akan diteliti pengaruh berbagai cara preparasi terhadap tingkat aktivitas
3 antioksidan minuman cokelat. Proses preparasi akan dilakukan dengan empat cara sesuai dengan kebiasaan yang berkembang di masyarakat pada umumnya, yaitu: melarutkan bubuk cokelat dengan air mendidih (100oC), menambahkan bubuk cokelat dengan air bersuhu ruang kemudian dipanaskan hingga mendidih (100oC), menambahkan bubuk cokelat dengan air bersuhu ruang kemudian dipanaskan dalam microwave hingga mendidih dan melarutkan bubuk cokelat dalam air bersuhu ruang (sebagai kontrol). Manfaat produk berantioksidan ditentukan oleh tingkat aktivitas antioksidannya. Pengukuran aktivitas antioksidan perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar potensi antioksidan dari produk intermediet sebelum dan setelah diolah menjadi minuman fungsional. Beragam metode pengukuran telah dikembangkan untuk mengukur karakteristik total antioksidan, tetapi tidak ada yang benar-benar ideal (Erel, 2004 dalam
Hassanbaglou
dkk.
2012).
Metode
pengukuran
aktivitas
antioksidan tersebut akan mendeteksi karakteristik yang berbeda dari antioksidan dalam sampel Hal ini menjelaskan mengapa metode pengukuran aktivitas yang berbeda akan mengacu pada pengamatan mekanisme kerja antioksidan yang berbeda pula (Hasannbaglou dkk. 2012). Pengukuran aktivitas antioksidan dalam menangkal radikal bebas dapat dilakukan dengan bermacam metode seperti DPPH, ORAC, dan ABTS (TEAC). Dalam penelitian ini digunakan pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode analisa DPPH. Kelebihan dari metode pengujian DPPH adalah telah banyak digunakan di dunia dan mudah diterapkan karena senyawa radikal yang digunakan bersifat relatif stabil dibanding metode lainnya. Prinsip dari uji
4 ini adalah adanya donasi atom hidrogen dari substansi yang diujikan kepada radikal DPPH yang ditunjukkan oleh perubahan warna. Menurut Karadag dkk. (2009), penentuan aktivitas antioksidan berdasarkan perubahan absorbansi DPPH harus diperhatikan karena absorbansi radikal DPPH setelah bereaksi dengan antioksidan dapat berkurang oleh cahaya, oksigen dan tipe pelarut. 1.2. Rumusan Masalah Seberapa banyak kadar dan aktivitas antioksidan yang dapat dipertahankan selama proses pengolahan bubuk kakao hingga menjadi minuman cokelat dengan berbagai cara preparasi? Bagaimana pengaruh cara preparasi terhadap tingkat aktivitas antioksidan minuman cokelat? 1.3. Tujuan Penelitian Mengetahui kadar dan aktivitas antioksidan yang dapat dipertahankan selama proses pengolahan bubuk kakao hingga menjadi minuman cokelat dengan berbagai cara preparasi. Menentukan
cara
preparasi
manakah
yang
mempertahankan aktivitas antioksidan minuman cokelat.
paling
dapat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kakao (Theobroma cacao) Produk olahan coklat telah menjadi salah satu jenis makanan yang digemari oleh masyarakat modern. Coklat dihasilkan dari biji tanaman kakao yang telah mengalami serangkaian proses pengolahan. Tanaman kakao (Theobroma cacao) penghasil biji kakao terdiri dari empat jenis varietas utama, yaitu Criollo, Nacional, Forastero dan Trinitario (COUNET dkk. 2004 dalam Redovnikovic dkk. 2009). Criollo jarang dibudidayakan secara luas sebab jenis rentan ini terhadap penyakit dan hama. Nacional merupakan jenis kakao yang dibudidayakan di Ekuador. Forastero dibudidayakan di daerah Amazon dan jenis ini paling banyak dibudidayakan dan digunakan untuk menghasilkan berbagai permen coklat. Sedangkan Trinitario merupakan persilangan antara Forastero dan Criollo. Kakao sebagai komoditas perdagangan biasanya dibedakan menjadi dua kelompok besar (Departemen Perindustrian, 2007), yaitu: a.
Kakao mulia (fine cocoa) Secara umum, kakao mulia diproduksi dari varietas criollo. Di Indonesia, kakao mulia dihasilkan oleh beberapa perkebunan tua di Jawa, seperti di Kabupaten Jember yang dikelola oleh PTPN (Perusahaan Perkebunan Negara).
b.
Kakao curah (bulk ordinary cocoa) Kakao curah diproduksi dari varietas forastero dan dihasilkan oleh sebagian besar produsen kakao di Indonesia. Kualitas kakao curah biasanya rendah, meskipun produksinya lebih tinggi. Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia
setelah negara Pantai Gading dan Ghana. Jenis tanaman kakao yang 5
6 diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao curah (lindak) dengan sentra produksi utama di daerah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah (Departemen Perindustrian, 2007). Sedangkan jenis kakao mulia dibudidayakan oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Tengah. Kakao mulia umumnya memiliki keunggulan dalam aroma dan cita rasa, sedangkan kelebihan kakao lindak adalah memiliki produktivitas yang tinggi dan relatif mudah dibudidayakan (ICN, 2010). Komposisi kimia bubuk kakao lindak bebas lemak dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember disajikan pada Tabel 2.1. Klon kakao lindak yang dibudidayakan di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember disajikan pada Tabel 2.2. Bubuk kakao lindak yang diperoleh dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember merupakan campuran dari semua jenis klon kakao lindak yang dibudidayakan. Tabel 2.1 Komposisi Kimia Bubuk Kakao Lindak Bebas Lemak Komponen Komposisi (g/100g ) Lemak 2,585 Abu 7,505 Air 10,415 Protein 28,075 Karbohidrat 51,420 Sumber: Yuliatmoko (2007), Hasanah (2007), Amri (2007) dan Kusumantias (2007) dalam Yuliatmoko (2007) 2.1.1. Senyawa Antioksidan Kakao Kakao diketahui memiliki kadar antioksidan cukup tinggi. Kelompok senyawa polifenol yang paling banyak terdapat pada kakao adalah flavonoid golongan flavanol (Yuliatmoko, 2007). Jenis antioksidan yang terkandung dalam biji kokoa antara lain adalah katekin, epikatekin, prosianidin yang merupakan jenis polifenol.
7 Tabel 2.2. Jenis-Jenis Klon Kakao Lindak Deskripsi Keunggulan/Kelemahan Biji berwarna ungu Rentan penyakit busuk GC 7 Produktivitas mencapai 2,0 ton/ha buah, VSD dan hama PBK Kadar lemak 55% Moderat tahan penyakit Biji bewarna ungu busuk buah ICS 60 Produktivitas mencapai 1,5 ton/ha Rentan penyakit VSD dan Kadar lemak 54% hama PBK Moderat tahan penyakit Biji berwarna ungu TSH busuk buah Produktivitas mencapai 1,76 ton/ha 858 Rentan penyakit VSD dan Kadar lemak 56% hama PBK Moderat tahan penyakit Biji berwarna ungu busuk buah ICS 13 Produktivitas mencapai 1,83 ton/ha Rentan penyakit VSD dan Kadar lemak 52% hama PBK Biji berwarna ungu Moderat tahan penyakit NIC 7 Produktivitas mencapai 1,65 ton/ha busuk buah dan VSD Rentan hama PBK Kadar lemak 53% Biji berwarna ungu Moderat tahan penyakit PA 300 Produktivitas mencapai 1,40 ton/ha busuk buah dan VSD Kadar lemak 54% Moderat tahan penyakit Biji berwarna ungu RCC busuk buah Produktivitas mencapai 2,28 ton/ha 70 Rentan penyakit VSD dan Kadar lemak 57% hama PBK Biji berwarna ungu Tahan penyakit busuk buah ICCRI Produktivitas mencapai 2,19 ton/ha Moderat tahan penyakit 03 VSD Kadar lemak 55% Biji berwarna ungu Tahan penyakit busuk buah ICCRI Produktivitas mencapai 2,16 ton/ha Moderat tahan penyakit 04 VSD Kadar lemak 55% Produktivitas mencapai 1–1,5 Benih Toleran terhadap serangan Hibrida ton/ha hama dan penyakit F1 Perbanyakan relatif mudah Sumber: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2011) Klon
8 Menurut Misnawi dkk. (2002) dalam Yuliatmoko (2007), kandungan polifenol pada bubuk kakao tanpa fermentasi adalah sebesar 120-180 g/kg, 37% di antaranya dalam bentuk monomer flavan-3-ol, 58% dalam bentuk oligomer dan 5% sisanya berupa antosianin dan polifenol lainnya. Senyawa monomer flavanol terutama (-)-epikatekin pada kakao memiliki efek menguntungkan bagi kesehatan kardiovaskular (Hurst dkk. 2011). Donovan dkk. (2006) dalam Hurst dkk. (2011) melaporkan urutan bioavailabilitas monomer flavan-3-ol dari yang tertinggi sampai terendah adalah (-)-epikatekin, (+)-katekin dan (-)-katekin. Biji kakao mengandung 12,8-43,2 mg/g (-)-epikatekin bergantung pada varietasnya. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Hurst et al. (2011)
menunjukkan
bahwa
pemanasan
pengeringan dan pemanggangan dapat
pada
proses
menyebabkan
fermentasi, berkurangnya
kandungan (-)-epikatekin, (+)-katekin serta mendorong terbentuknya stereoisomer baru (-)-katekin (Hurst dkk. 2011). Struktur bangun (-)epikatekin, (+)-epikatekin, (-)-katekin dan (+)-katekin ditunjukkan pada Gambar 2.1. Proses pemanasan yang dilakukan dalam penelitian ini memungkinkan terjadinya perubahan struktur stereoisomer flavanol yang dapat berakibat pada perubahan aktivitas antioksidan. 2.1.2. Proses Pengolahan Biji Kakao Proses pengolahan biji kakao di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia yang berpusat di Jember diawali dengan sortasi untuk memisahkan biji kakao dari kotoran-kotoran yang mungkin terikut. Biji kakao yang diolah adalah biji yang telah difermentasi selama lima hari. Selanjutnya, dilakukan tahap penyangraian untuk membentuk aroma dan citarasa khas coklat dari biji kakao dengan perlakuan panas. Penyangraian
9 dilakukan pada suhu 105-120oC selama 20-35 menit. Setelah disangrai, biji kakao dihilangkan kulitnya secara mekanis hingga diperoleh daging biji (nib).
A
C
B D Gambar 2.1 Struktur Bangun A (+)-Katekin, B (-)-Katekin, C (-)-Epikatekin dan D (+)-Epikatekin Sumber: Hurst dkk. (2011) Nib kemudian dihancurkan hingga mencapai ukuran 20m. Penggilingan nib menggunakan panas menyebabkan lemak kakao meleleh dan membentuk pasta yang selanjutnya disebut dengan kakao liquor. Pasta ini dapat langsung dimurnikan dan dijual sebagai coklat tanpa pemanis (unsweetened baking chocolate). Pasta kakao kemudian dikempa untuk mengeluarkan lemak kakao. Sisa hasil tempaan adalah bungkil padat dengan kandungan lemak berkisar antara 10-22% bergantung pada permintaan konsumen.
10 Bungkil merupakan bahan baku utama dalam pembuatan bubuk coklat setelah melalui proses penghalusan pada suhu antara 34-40oC dan pengayakan dengan mesin pengayak 120 mesh. Gambar 2.2 adalah diagram alir proses pengolahan biji kakao menjadi beberapa macam produk antara (intermediet) di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Biji Kakao Sortasi Penyangraian Pemisahan kulit Daging biji (nib) Pemastaan Pasta coklat Pengempaan
Lemak kakao
Bungkil coklat Penghalusan bungkil Pengayakan
Bubuk coklat
Gambar 2.2 Diagram Alir Proses Pengolahan Biji Kakao menjadi Beberapa Macam Produk Intermediet Sumber : Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2008)
11 2.2. Antioksidan Antioksidan adalah substansi yang mampu menetralkan radikal bebas dengan cara mengorbankan dirinya agar teroksidasi. Radikal bebas merupakan atom atau gugus atom yang memiliki satu atau lebih elektron tak berpasangan (Bowen, 2003). Hal ini menyebabkan radikal bebas bersifat sangat reaktif dan dapat bereaksi dengan protein, lipida, karbohidrat dan DNA (Vijithahh dan Nizar, 2009). Radikal bebas akan mengambil elektron dari molekul stabil terdekat sehingga mengakibatkan munculnya reaksi berantai pembentukan radikal bebas (Shenoy dan Shirwaikar, 2002 dalam Vijithahh dan Nizar, 2009). Radikal bebas dapat bersumber dari polutan, makanan dan minuman, radiasi, pestisida serta hasil proses oksidasi dalam tubuh. Kelebihan radikal bebas dalam tubuh dapat memicu timbulnya berbagai macam gangguan kesehatan degeneratif, seperti kanker dan penyakit jantung (kardiovaskular). Antioksidan mempunyai peran yang berbeda dalam sistem pangan dan biologis. Antioksidan berperan untuk menghambat proses oksidasi lemak/minyak sehingga mempunyai fungsi sebagai pengawet. Sedangkan dalam sistem biologis, antioksidan berperan menangkal radikal bebas dalam tubuh sehingga dapat melawan kerusakan oksidatif. Ada dua cara dalam mendapatkan antioksidan, yaitu dari luar tubuh (eksogen) dan dalam tubuh (endogen). Antioksidan eksogen didapat dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung vitamin C dan E, β-karoten maupun antioksidan sintetik seperti BHA, BHT dan TBHQ. Sedangkan contoh antioksidan endogen adalah enzim superoksida dismutase
(SOD),
glutation
peroksidase
(GSH.Px)
dan
katalase.
Antioksidan endogen seringkali tidak mampu mengatasi stres oksidatif yang
12 berlebih sehingga diperlukan antioksidan eksogen untuk mengatasinya (Halliwel dkk. 1995). Stress oksidatif merupakan keadaan saat mekanisme antioksidan tidak cukup untuk mencegah spesi oksigen reaktif. 2.2.1. Klasifikasi Senyawa Antioksidan Senyawa antioksidan digolongkan menjadi berbagai macam kategori
berdasarkan
jenisnya.
Bentuk
klasifikasi
dari
jenis-jenis
antioksidan disajikan pada Tabel 2.3. Berdasarkan sumbernya, antioksidan dibedakan dalam dua kelompok, yaitu: 1)
Antioksidan alami Antioksidan alami merupakan antioksidan yang diperoleh dari
hasil ekstraksi bahan alami atau terbentuk dari reaksi-reaksi kimia selama proses pengolahan (Trilaksani, 2003 dalam Santoso, 2005). Antioksidan alami dapat diperoleh dari beragam sumber bahan pangan, seperti sayursayuran, buah-buahan, rempah-rempah, dan lain-lain. Contoh dari antioksidan alami adalah vitamin C, vitamin E, dan β-karoten. Menurut Sahidi dan Naczk (1950) dalam Santoso (2005), senyawa antioksidan alami dalam tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik dan polifenolik, seperti golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki fungsi sebagai antioksidan meliputi flavon, flavanol, isoflavon, katekin dan kalkon, sedangkan turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain (Santoso, 2005).
13 2) Antioksidan sintetik Menurut Trilaksani (2003) dalam Santoso (2005), antioksidan sintetik merupakan antioksidan yang diperoleh sebagai hasil dari sintesa reaksi kimia. Contoh dari antioksidan sintetik adalah BHA, BHT dan TBHQ. Tabel 2.3 Klasifikasi Jenis Antioksidan Berdasarkan Struktur Kimia Antioksidan Peranan Ciri-ciri Mengandung Superoksida mangan (MnSOD) dismutase Mengandung (SOD) Mengubah O2 tembaga dan seng Mitochondrial menjadi H2O2 (CuZnSOD) Cytoplasmic Mengandung Extracellular tembaga (CuSOD) Enzimatis Hemoprotein Mengubah H2O2 (endogen) Katalase berbentuk menjadi H20 tetramerik Selenoprotein (mengandung Se2+) Glutathione Menghilangkan Terutama berada di peroksidase H2O2 dan lipid sitosol dan (GSH.Px) peroksida mitokondria Menggunakan GSH Memutus peroksidase lipida Vitamin yang larut α-tokoferol Scavenger pada lipid dalam lemak peroksidase, O2 ° dan OH NonMengikat logamVitamin yang larut β-karoten enzimatis logam transisi dalam lemak (eksogen) Scavenger langsung terhadap O2-, °OH dan H2O2 Vitamin yang larut Asam askorbat Berkontribusi dalam air terhadap regenerasi vitamin E Sumber: Winarsi (2007)
14 2.2.2. Mekanisme Antioksidan Menurut Eskin dan Przybylski (2001) dalam Sari (2005), mekanisme kerja senyawa antioksidan adalah mengkelat ion logam, menghilangkan oksigen radikal, memecah reaksi rantai inisiasi, menyerap energi oksigen singlet, mencegah pembentukan radikal, menghilangkan dan atau mengurangi jumlah oksigen yang ada. Mekanisme reaksi senyawa antioksidan pada Gambar 2.3. AH + ROO. AH + RO. A. + ROO. A. + RO. A. + A. A. +O2 A. +RH Keterangan : AH = antioksidan RH = lemak atau minyak tak jenuh
A. + ROOH A. + ROH AOOH AOH AA AOO. AH +R.
ROO. = radikal peroksil R. = radikal asam lemak tak jenuh
Gambar 2.3 Mekanisme Reaksi Senyawa Antioksidan Sumber: Gordon (1990) dalam Sari (2005) Berdasarkan fungsinya, antioksidan dibedakan menjadi tiga, yaitu: a. Antioksidan primer Antioksidan primer berperan dalam menghentikan reaksi rantai radikal bebas dengan berfungsi sebagai pendonor atom H atau elektron pada radikal bebas dan berdampak pada pembentukan produk yang lebih stabil. Antioksidan primer (AH) dapat memutuskan tahap inisiasi dengan bereaksi dengan sebuah radikal bebas atau menghambat reaksi propagasi dengan cara bereaksi dengan radikal peroksil atau alkoksida (Madhavi dan Salmakhe, 1995 dalam Sari, 2005). Contoh antioksidan yang memiliki mekanisme ini adalah tokoferol, flavonoid dan asam askorbat (Sies dalam
15 Halim, 2011). Sedangkan BHA, BHT dan TBHQ merupakan contoh antioksidan primer yang dibuat secara sintetik. b. Antioksidan sekunder Antioksidan sekunder berperan dalam mengikat atau mengkelat ion logam, sebagai penangkal oksigen, mengubah hidroperoksida menjadi molekul non-radikal, menyerap radiasi UV, dan menginaktifkan oksigen singlet (Pokorny dkk. 2001 dalam Sari, 2005) c. Antioksidan tersier Menurut Pribadi (2009), antioksidan tersier adalah antioksidan yang berfungsi memperbaiki kerusakan sel dan jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas. Contoh dari antioksidan tersier adalah enzim DNArepair dan metionin sulfoksida reduktase yang berperan dalam perbaikan biomolekul yang disebabkan oleh radikal bebas (Winarsi, 2005 dalam Pribadi, 2009). 2.3. Metode Pengujian Aktivitas Antioksidan Pengukuran aktivitas antioksidan dalam menangkal radikal bebas dapat dilakukan dengan bermacam metode, seperti DPPH, ORAC, dan ABTS (TEAC). a)
ORAC (oxygen radical absorbance capacity) Metode ORAC menggunakan senyawa radikal peroksil yang
dihasilkan melalui larutan cair dari 2,2’-azobis-2-metil-propanimidamida. Antioksidan akan bereaksi dengan radikal peroksil dan menghambat degradasi pendaran zat warna (Teow dkk. 2007). Kelebihan metode pengujian ORAC adalah kemampuannya dalam menguji antioksidan hipofilik dan lipofilik sehingga akan menghasilkan pengukuran lebih baik terhadap total aktivitas antioksidan (Prior dkk. 2003 dalam Teow dkk. 2007).
16 Kelemahan dari metode ini adalah membutuhkan peralatan yang mahal (Awika dkk. 2003 dalam Thaipong dkk. 2005) dan metode ORAC hanya sensitif terhadap penghambatan radikal peroksil (Cronin, 2004). b)
ABTS (TEAC) Metode
ini
menggunakan
prinsip
inhibisi,
yaitu
sampel
ditambahkan pada sistem penghasil radikal bebas dan pengaruh inhibisi terhadap efek radikal bebas diukur untuk menentukan total kapasitas antioksidan dari sampel (Wang dkk. 2004). Metode TEAC menggunakan senyawa 2,2’-azino-bis (3-ethylbenzthiazoline-6-sulfonic acid) sebagai sumber penghasil radikal bebas. Kelebihan metode ini dibandingkan metode DPPH adalah dapat digunakan di sistem larutan berbasis air maupun organik, mempunyai absorbansi spesifik pada panjang gelombang dari region visible, dan membutuhkan waktu reaksi yang lebih sedikit (Lee dkk. 2003). Selain itu, kelebihan metode ABTS dibandingkan dengan metode DPPH adalah tidak adanya intervensi warna saat mengukur sampel berantosianin (Arnao, 2000 dalam Teow dkk. 2007). Menurut MacDonaldWicks dkk. (2006) dalam Karadag dkk. (2009), kelemahan dari metode ini adalah radikal ABTS yang digunakan pada metode TEAC tidak ditemukan dan tidak serupa dalam sistem biologis. c)
DPPH Uji peredaman warna radikal bebas DPPH merupakan uji untuk
menentukan aktivitas antioksidan dalam sampel yang akan diujikan dengan melihat kemampuannya dalam menangkal radikal bebas DPPH. Sumber radikal bebas dari metode ini adalah senyawa 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil. Prinsip dari uji ini adalah adanya donasi atom hidrogen dari substansi yang diujikan
kepada
radikal
DPPH
menjadi
senyawa
non
radikal
17 difenilpikrilhidrazin yang akan ditunjukkan oleh perubahan warna (Molyneux, 2004). Gambar 2.4 menunjukkan struktur molekul DPPH sebelum dan setelah menerima donor atom H.
Gambar 2.4 Struktur Molekul DPPH Sebelum dan Setelah Menerima Donor Atom H Sumber: Molyneux (2004) Perubahan warna yang akan terjadi adalah perubahan dari larutan yang berwarna ungu menjadi berwarna kuning (Pauly, 2001 dalam Rahayu dkk. 2009). Intensitas perubahan warna ini kemudian diukur pada spektrum absorpsi antara 515-520 nm pada larutan organik (metanol atau etanol) (Molyneux, 2004). Pemilihan penggunaan metanol yang bersifat lebih polar dibandingkan
etanol
sebagai
pelarut
diharapkan
lebih
dapat
mempertahankan kestabilan DPPH. Kelebihan dari metode DPPH adalah secara teknis simpel, dapat dikerjakan dengan cepat dan hanya membutuhkan spektrofotometer UV-Vis (Karadag dkk. 2009). Sedangkan kelemahan dari metode ini adalah radikal DPPH hanya dapat dilarutkan dalam media organik (terutama media alkoholik), tidak pada media aqueous sehingga membatasi kemampuannya dalam penentuan peran antioksidan hidrofilik. Penentuan aktivitas antioksidan berdasarkan perubahan absorbansi DPPH harus diperhatikan karena absorbansi radikal DPPH setelah bereaksi dengan antioksidan dapat berkurang oleh cahaya, oksigen dan tipe pelarut. Telah diketahui bahwa
18 terjadi pengurangan kapasitas antioksidan ketika kadar air pelarut melebihi batas tertentu dikarenakan terkoagulasinya DPPH (Magalhaes dkk. 2008).
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: 1.
Bahan utama untuk pembuatan minuman cokelat adalah Air Minum dalam Kemasan (AMDK) dan bubuk kakao rendah lemak tanpa proses alkalisasi yang didapatkan dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember, Jawa Timur. Bahan pendukung yang digunakan adalah gula pasir ”Gulaku” dan garam ”Dolphin”.
2.
Bahan yang digunakan untuk analisa adalah akuades, akuabides, nheksana (Merck 104367), asam galat (Merck 842649), reagen FolinCiocalteu (Merck UN 3264), Na2CO3 anhidrat (Merck 106393), NaNO2 (Merck 106549), AlCl3 (Merck 801081), NaOH (Mallincrodkt T108), radikal DPPH (Sigma Aldrich D 9132), metanol p.a (Merck 106009), etanol p.a (Merck 100983), kertas saring kasar, kertas saring Whatman 40, aluminium foil, standar berupa asam galat (Merck 159630), (+)katekin (Sigma Aldrich C 1251), (-)-epikatekin (Sigma Aldrich E 4018), dan α-tokoferol (Sigma Aldrich T 3251).
3.2. Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam pembuatan minuman cokelat adalah panci, pengaduk kaca, kompor, bunsen, kaki tiga, korek api, gelas ukur, kertas aluminium foil, gelas piala, toples, microwave ”National” dan termometer. Sedangkan alat yang digunakan untuk melakukan analisa adalah sentrifus ”Hettich”, spektrofotometer UV-Vis ”Shimadzu”, neraca analitis ”Top Loading METTLER TOLEDO”, neraca analitis ”Sartorius”, 19
20 kuvet, Soxhlet apparatus, labu takar, botol semprot, beaker glass, corong, oven, water bath ”Buchi”, eksikator, vacutiner, pengaduk kaca, dan mikro pipet. 3.3. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Unika Widya Mandala Surabaya, yaitu: Laboratorium Kimia-Biokimia Pangan dan Gizi, Laboratorium Analisa Pangan dan Laboratorium Penelitian. Penelitian utama dilaksanakan pada bulan Mei-September 2012. 3.4.
Rancangan Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental dengan
faktor tunggal, yaitu Cara Preparasi Minuman Cokelat (P) yang dibagi menjadi empat perlakuan, yaitu (P1) melarutkan bubuk cokelat dalam air bersuhu ruang, (P2) melarutkan bubuk cokelat dengan air mendidih (100oC), (P3) menambahkan bubuk cokelat dengan air bersuhu ruang kemudian dipanaskan hingga mendidih (100 oC), (P4) menambahkan bubuk cokelat dengan air bersuhu ruang kemudian dipanaskan dalam microwave dengan mode HIGH (1000 W) selama 1 menit atau hingga timbul gelembung. Masing-masing perlakuan dilakukan ulangan sebanyak empat kali. Percobaan kemudian diacak dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktor tunggal, yaitu cara preparasi minuman cokelat. Desain rancangan penelitian cara preparasi minuman cokelat pada Tabel 3.1.
Ulangan
Tabel 3.1. Desain Rancangan Penelitian Cara Preparasi Minuman Cokelat P1 P2 P3 P1 1 P2 1 P3 1 P1 2 P2 2 P3 2
P4 1 P4 1 2 P4 2 Keterangan: P1 1 adalah cara preparasi dengan melarutkan bubuk cokelat dalam air bersuhu ruang dan merupakan ulangan ke-1 dari empat ulangan.
21 Pengaruh faktor dianalisa menggunakan analisa varians (ANAVA) pada α = 5%. Apabila hasil uji ANAVA menunjukan adanya pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Duncan pada α = 5% untuk mengetahui taraf perlakuan yang memberikan perbedaan nyata. Parameter penelitian yaitu aktivitas antioksidan minuman cokelat dalam menangkap radikal bebas DPPH. Penelitian ini menggunakan data pendukung yaitu kadar lemak/minyak pada bubuk kakao, serta kadar antioksidan (Total Fenol dan Total Flavonoid) pada bubuk kakao dan minuman cokelat. 3.5.
Pelaksanaan Penelitian
3.5.1
Pembuatan Minuman Cokelat Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan minuman
cokelat adalah gula pasir, bubuk cokelat dan air. Formulasi minuman cokelat pada Tabel 3.2. Sedangkan diagram alir proses pembuatan minuman cokelat pada Gambar 3.1. Tabel 3.2 Formulasi Minuman Cokelat Bahan
Persentase (%)
P1
Perlakuan (g) P2 P3
P4
Bubuk Kakao
4,32
12
12
12
12
Gula Pasir
8,99
25
25
25
25
Garam
0,36
1
1
1
1
Air
86,33
240
240
240
240
278
278
278
278
100 Total Sumber: Crozier dkk. (2011)
22 Bubuk Kakao Rendah Lemak Preparasi Bubuk Kakao Bubuk Kakao dalam kemasan sebesar 50 g Gula Pasir Garam Air
Penimbangan Bahan
Analisa: - Total Fenol - Total Flavanoid - Kadar Lemak - Uji DPPH
Preparasi Minuman Cokelat
P1
P2 a)
P3 b)
Minuman cokelat
P4b) Analisa: - Total Fenol - Total Flavanoid - Uji DPPH
Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Minuman Cokelat Sumber: a) Lee dkk. (2003); b) Hershey’s (2010) Tahapan proses pembuatan minuman cokelat terdiri atas beberapa tahap sebagai berikut: a)
Preparasi Bubuk Kakao Preparasi bubuk kakao meliputi penimbangan dan pengemasan
ulang bubuk kakao ke dalam kemasan yang lebih kecil untuk menjaga keseragaman sampel saat dilakukan analisa. Bubuk kakao yang diperoleh dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao adalah sebesar 2,5 kg. Bubuk kakao kemudian dipindahkan ke dalam toples dan dihomogenisasi dengan cara diaduk dengan sendok kayu selama 2 menit. Bubuk kakao sebanyak 2 kg
23 yang telah homogen dilakukan pengemasan ulang dengan cara menimbang bubuk kakao sebesar 50 g langsung ke dalam plastik PE dan kemudian dikemas rapat dan dilapisi dengan aluminium foil. Bubuk kakao yang telah dikemas berjumlah 40 bungkus dengan berat tiap kemasan sebesar 50 g. Kemasan yang digunakan ialah plastik PE yang kemudian dilapisi dengan aluminium foil. Bubuk kakao yang telah dikemas ulang disimpan dalam toples kedap udara yang dilapisi aluminium foil dan diberi silica gel di dalamnya. b) Penimbangan Bahan Bahan – bahan yang digunakan dalam pembuatan minuman cokelat antara lain bubuk kakao yang telah dikemas tiap 50 g, gula pasir, air mineral dan garam. Penimbangan bahan-bahan untuk membuat minuman cokelat tersebut ditimbang sesuai dengan formulasi yang ada. Penimbangan bubuk kakao yang digunakan untuk analisa total fenol tiap ulangan adalah sebesar 2 gram, analisa total flavonoid 2 gram, dan analisa kadar lemak sebesar 2 gram. Gula pasir ditimbang sebesar 25 gram tiap perlakuan. Penimbangan gula dilakukan langsung ke dalam gelas piala 500 mL yang akan digunakan membuat minuman cokelat. Penimbangan bubuk kakao dilakukan dengan cara menimbang 12 gram bubuk kakao dari kemasan 50 gram untuk setiap perlakuan dengan kertas timbang yang telah diketahui beratnya. Bubuk kakao kemudian dituang ke dalam gelas piala 500 mL yang berisi gula pasir. Kertas timbang yang digunakan untuk menimbang bubuk kakao ditimbang kembali untuk mengetahui berat bubuk kakao yang tertinggal pada kertas timbang. Penimbangan garam dilakukan dengan cara menimbang 1 gram garam untuk tiap perlakuan menggunakan kertas timbang dan kemudian dituang
24 pada gelas piala berisi gula pasir dan bubuk kakao. Kertas timbang yang digunakan untuk menimbang garam ditimbang kembali untuk mengetahui berat garam yang tertinggal pada kertas timbang. Air sebesar 240 mL diukur menggunakan gelas ukur 500 mL. c)
Preparasi Minuman Cokelat Preparasi minuman cokelat meliputi pencampuran bahan yang telah
ditimbang sesuai dengan perlakuan yang ada. Cara preparasi minuman cokelat sesuai dengan tiap perlakuan antara lain: Perlakuan 1 (P1) : Air bersuhu ruang (±28,5ºC) yang telah diukur sebesar 240 mL menggunakan gelas ukur 500 mL dicampurkan ke dalam gelas piala ukuran 600 mL yang berisi bubuk kakao, garam dan gula, kemudian dilakukan pengadukan menggunakan pengaduk kaca hingga homogen. Perlakuan 2 (P2) : Air 500 mL dimasukkan ke dalam gelas piala dan kemudian dididihkan langsung menggunakan bunsen hingga mendidih. Air yang telah mendidih kemudian diukur sebesar 240 mL menggunakan gelas ukur 600 mL dan dicampurkan dalam gelas piala 500 mL berisi bubuk kakao, garam dan gula, kemudian dilakukan pengadukan menggunakan pengaduk kaca hingga homogen. Perlakuan 3 (P3) : Air
bersuhu
ruang
diukur
sebesar
240
mL
menggunakan gelas ukur 500 mL dan dicampurkan ke dalam gelas piala 600 mL yang telah berisi bubuk kakao, garam dan gula, kemudian diaduk menggunakan pengaduk kaca hingga homogen. Campuran tersebut kemudian dididihkan langsung di atas pemanas bunsen yang telah diberi alas kasa hingga mendidih. Perlakuan 4 (P4) : Air bersuhu ruang dicampurkan dalam gelas piala 600 mL yang telah berisi bubuk kakao, garam dan gula, kemudian diaduk menggunakan pengaduk kaca hingga homogen. Campuran tersebut
25 kemudian
dimasukkan
ke
dalam
microwave
kemudian
dilakukan
pemanasan dengan pengaturan mode HIGH (1000 W) selama 1 menit hingga muncul gelembung pada minuman cokelat. 3.5.2
Metode Analisa
a) Preparasi Sampel Sampel
minuman cokelat
yang telah dibuat
didinginkan dan
o
disentrifugasi pada 10.000 rpm pada suhu 5 C selama 15 menit. Supernatan yang dihasilkan digunakan sebagai sampel. b) Analisa Kadar Lemak Bubuk Cokelat dengan Metode Soxhlet ditunjukkan pada Lampiran 1. c) Analisa Kadar Antioksidan a. Analisa Kadar Total Fenol dengan metode kolorimetri FolinCiocalteau Fenol (Lee dkk. 2003) ditunjukkan pada Lampiran 2. b. Analisa Kadar Total Flavonoid berdasarkan aluminium klorida kolorimetri (Zhishen dkk. 1999 dalam Lee dkk. 2003) terdapat pada Lampiran 3. d) Analisa Aktivitas Antioksidan dengan Metode Penangkapan Radikal Bebas DPPH (Holliday, 2006 dalam Mediyaningsih, 2009) terdapat pada Lampiran 4.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Antioksidan dibutuhkan oleh tubuh untuk menangkal radikal bebas sehingga diharapkan dapat mencegah timbulnya berbagai macam penyakit degeneratif. Antioksidan dalam tubuh seringkali tidak mampu mengatasi kerusakan oksidatif yang berlebih sehingga diperlukan antioksidan dari luar. Antioksidan dari luar dapat diperoleh dengan mengkonsumsi makanan maupun minuman yang kaya akan antioksidan. Salah satu sumber antioksidan yang bersifat menyehatkan adalah produk berbasis cokelat yang diolah dari biji kakao. Kakao, seperti yang dilaporkan oleh Crozier dkk. (2011), diketahui memiliki kandungan polifenol yang tinggi, terutama golongan flavanol. Salah satu produk berbasis cokelat yang cukup digemari oleh masyarakat adalah minuman cokelat. Dalam penyajiannya, minuman cokelat diproses dengan berbagai cara preparasi yang berbeda. Oleh karena itu, berikut ini dibahas pengaruh berbagai proses preparasi terhadap kadar dan aktivitas antioksidan minuman cokelat. Analisa kadar antioksidan meliputi analisa kadar total fenol dan total flavonoid. Aktivitas antioksidan pada minuman cokelat dianalisa menggunakan sistem pengujian metode radikal bebas DPPH berdasarkan metode yang diterapkan oleh Holliday (2006) dalam Mediyaningsih (2009). 4.1
Pengaruh Pemanasan terhadap Kadar Total Fenol Minuman Cokelat Kadar total fenol minuman cokelat setelah mengalami berbagai
proses preparasi dapat dilihat pada Gambar 4.1. Berdasarkan Gambar 4.1, kadar total fenol minuman cokelat dari empat perlakuan berkisar antara 402-716 mg GAE/gram bubuk cokelat. 26
27
Konsentrasi (mg GAE/g)
35 29
30
24
25
21
20
16
15
10 5 0
P1
P2
P3
P4
Perlakuan
Gambar 4.1 Kadar Total Fenol Minuman Cokelat Penentuan kadar total fenol minuman cokelat dilakukan dengan metode Folin-Ciocalteu. Penggunaan asam galat yang merupakan komponen fenol sebagai standar akan memprediksi kadar komponen fenol dalam minuman cokelat. Berdasarkan hasil uji ANAVA (α = 0,05) diketahui
bahwa
berbagai
cara
preparasi
yang
dilakukan
nyata
mempengaruhi kadar total fenol dalam minuman cokelat. Minuman cokelat tanpa proses pemanasan (P1) memiliki kadar total fenol paling rendah. Sedangkan minuman cokelat yang diseduh dengan air mendidih (P2) memiliki kadar total fenol paling tinggi. Kadar total fenol minuman cokelat P2 meningkat 78%, P3 meningkat 50% dan P4 meningkat 32% dibandingkan P1. Hasil serupa pernah dilaporkan oleh Dewi dan Dominika (2008) yang menemukan bahwa pemanasan pada serbuk sarang semut yang diseduh pada suhu 100oC, menghasilkan kadar total fenol yang lebih besar dibandingkan dengan suhu 60 dan 80oC. Menurut Yuliatmoko dkk. (2007), bubuk kakao lindak bebas lemak mengandung protein dalam kadar yang cukup besar, yaitu 28,075%. Haslam dkk. (1999) dalam Ali (2002) mengemukakan bahwa interaksi antara protein dengan komponen fenolik dapat terjadi akibat ikatan hidrogen
28 antara gugus hidroksil fenolik dengan gugus NH- dan CO- pada protein. Bartolome dkk. (2000) dalam Ali (2002) menyatakan bahwa interaksi hidrofobik antara bagian non polar dari molekul fenolik dengan bagian non polar dari protein mampu menghasilkan interaksi lemah antara komponen fenolik dengan protein. Peningkatan kadar total fenol minuman cokelat setelah mengalami perlakuan panas pada P2, P3 dan P4 diduga akibat terjadinya denaturasi protein sehingga komponen fenolik yang semula terikat dengan protein menjadi lepas. Selain itu, peningkatan kadar total fenol diduga juga terjadi akibat degradasi senyawa fenol kompleks menjadi fenol sederhana (Pujimulyani dkk. 2010). Larrauri dkk. (1997) dalam Akowuah dkk. (2009) melaporkan adanya dekomposisi signifikan terhadap antioksidan fenolik pada suhu di atas 60oC. Perlakuan
perebusan
hingga
mendidih
(P3)
menghasilkan
minuman cokelat dengan kadar total fenol yang lebih rendah dibandingkan dengan minuman cokelat yang diseduh (P2). Hal ini diduga akibat fenol yang telah terekstrak mengalami kerusakan karena dipanaskan dengan waktu kontak yang lebih lama (± 10 menit). Hasil serupa dilaporkan oleh Turkmen dkk. (2004) yang mengemukakan bahwa perebusan menyebabkan penurunan kadar total fenol pada kacang polong, bawang bombay dan gambas. Perlakuan pemanasan dengan microwave (P4) menghasilkan kadar total fenol yang tidak berbeda nyata dengan P3 diduga akibat proses pemanasan tersebut kurang mampu mendenaturasi protein dalam minuman cokelat dikarenakan waktu kontak pemanasan yang relatif singkat (satu menit) serta suhu pemanasan minuman cokelat yang lebih rendah (± 8889oC) bila dibandingkan dengan suhu pemanasan P2 dan P3 (± 98-99oC). Gelombang energi yang dipancarkan oleh microwave akan diteruskan ke
29 dalam sistem melalui air yang bersifat polar menuju komponen-komponen polar lain, seperti senyawa-senyawa fenolik dan katekin (Kaufmann dkk. 2001 dalam Pak-Dek dkk. 2011). Diduga lemak dalam minuman cokelat (26,67 %) yang bersifat non-polar menghambat transfer panas sampel sehingga menyebabkan proses ekstraksi senyawa fenolik kurang berjalan baik. Berdasarkan Heldman dan Singh (2001) konduktivitas panas dari bubuk kakao sebesar 0,188 W/m°C sedangkan konduktivitas panas air pada suhu 25°C adalah sebesar 0,606 W/m°C. Koefisien konduktivitas panas lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan air yang terkandung dalam bubuk cokelat akan menghambat transfer panas gelombang microwave ke dalam sampel.. 4.2
Pengaruh Pemanasan terhadap Kadar Total Flavonoid Minuman Cokelat Penentuan kadar total flavonoid dilakukan dengan menggunakan
metode aluminium klorida kolorimetri. Dalam penelitian ini, kadar total flavonoid minuman cokelat dianalisa menggunakan (+)-katekin dan (-)epikatekin sebagai standar. Total flavonoid minuman cokelat dinyatakan sebagai mg katekin ekivalen/gram (mg CE/g) dalam penentuan kadar (+)katekin. Sedangkan dalam penentuan kadar (-)-epikatekin, total flavonoid dinyatakan sebagai mg epikatekin ekivalen/gram (mg ECE/g). Kadar total fenol sampel minuman cokelat yang lebih rendah dibandingkan kadar total flavonoid diduga disebabkan adanya senyawa fenolik dalam lemak cokelat yang tidak terekstrak sehingga hasil analisa tidak menggambarkan total fenol sampel minuman cokelat secara utuh. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian Othman dkk. (2007) yang menunjukkan bahwa kadar total fenol biji kakao yang diekstrak dengan pelarut etanol lebih tinggi dibandingkan biji kakao yang diekstrak dengan
30 pelarut air. Selain itu, waktu ekstraksi yang dilakukan oleh Othman dkk. (2007) yang lebih lama (dua jam) dibandingkan dengan waktu ekstraksi yang dilakukan dalam penelitian ini (15 menit) diduga juga mempengaruhi banyaknya senyawa fenolik yang terekstrak. Terjadi peningkatan kadar total flavonoid minuman cokelat, baik total (+)-katekin maupun (-)-epikatekin setelah dilakukan proses preparasi. Berdasarkan Gambar 4.2, kadar (-)-epikatekin dari empat perlakuan berkisar antara 360-473 mg ECE/gram bubuk cokelat, sedangkan kadar (+)-katekin berkisar antara 188-274 mg CE/gram bubuk cokelat.
Konsentrasi
40
47
44
50
38
36 27
30
27
19
20
23 Total (-)-Epikatekin Total (+)-Katekin
10 0 P1
P2 P3 Perlakuan
P4
Gambar 4.2 Kadar Total Flavonoid Minuman Cokelat Kadar
total
(-)-epikatekin
minuman
cokelat
lebih
tinggi
dibandingkan kadar total (+)-katekin. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Kwik-Uribe dan Bektash (2008) yang mengatakan bahwa monomer flavanol dalam cokelat didominasi oleh (-)-epikatekin dan juga (+)-katekin dalam jumlah yang jauh lebih kecil. Cooper dkk. (2007) dalam Jalil dan Ismail (2008) mengemukakan bahwa keberadaan epikatekin dominan pada semua cokelat dengan rasio 1:0,1 dibandingkan katekin. Rasio katekin yang lebih besar dari 0,1 disebabkan oleh epimerasi dari (-)-
31 epikatekin
menjadi
(+)-katekin
setelah
kakao
mengalami
proses
pemanggangan (Caligiani dkk. 2007 dalam Hurst dkk. 2011). Berdasarkan uji ANAVA (α = 0,05), diketahui bahwa perbedaan proses preparasi tidak memberikan pengaruh nyata pada kadar total flavonoid minuman cokelat, baik total (+)-katekin maupun (-)-epikatekin. Gotti et al. (2006) dan Kofink dkk. (2007) dalam Hurst melaporkan
bahwa
proses
pemanggangan
atau
Dutch
dkk. (2011) processing
menghasilkan pembentukan stereoisomer baru, (-)-katekin yang tidak ditemukan pada biji kakao segar. Kadar total flavonoid yang tidak berbeda nyata antar perlakuan diduga disebabkan akibat terjadinya epimerisasi dari (-)-epikatekin menjadi (-)-katekin. Hurst dkk. (2011) mengemukakan bahwa epimerisasi dari (-)-epikatekin menjadi (-)-katekin terjadi akibat pemanasan pada proses pemanggangan dan akibat Dutch processing. 4.3
Aktivitas Scavenging Metode Penghambatan DPPH dari Minuman Cokelat Karakteristik antioksidan berpengaruh terhadap mekanisme kerja
antioksidan dalam tubuh manusia. Karakteristik antioksidan yang diukur dalam penelitian ini adalah scavenging activity. Scavenging activity menunjukkan kemampuan antioksidan dalam minuman cokelat untuk menurunkan konsentrasi radikal bebas murni DPPH (1,1-diphenyl-2picrylhydrazil). Prinsip dari uji ini adalah adanya donasi atom hidrogen dari substansi yang diujikan kepada radikal DPPH menjadi senyawa non radikal difenilpikrilhidrazin yang akan ditunjukkan oleh perubahan warna (Molyneux, 2004). Perubahan warna yang akan terjadi adalah perubahan dari larutan yang berwarna ungu menjadi berwarna kuning (Pauly, 2001 dalam Rahayu dkk. 2009). Dengan demikian aktivitas penangkalan radikal bebas dapat dihitung dari peluruhan radikal DPPH. Intensitas perubahan
32 warna ini kemudian diukur pada spektrum absorpsi antara 515-520 nm pada larutan organik (metanol atau etanol) (Molyneux, 2004). Waktu inkubasi selama 20 menit diperlukan untuk memastikan radikal DPPH bekerja. Berdasarkan Gambar 4.3, dapat dilihat bahwa aktivitas scavenging vitamin E dan minuman cokelat dari empat perlakuan berada pada kisaran 80-90%. Hasil uji ANAVA menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada aktivitas scavenging minuman cokelat, baik yang berasal dari minuman cokelat tanpa pemanasan, maupun yang mengalami perlakuan dipanaskan hingga mendidih, dicampur dengan air mendidih dan dipanaskan dengan microwave. Hasil ini berlawanan dengan hipotesa awal, yaitu perbedaan cara preparasi dalam pembuatan minuman cokelat akan menghasilkan minuman cokelat dengan aktivitas scavenging yang berbeda nyata. Hasil penelitian ini menyerupai hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Dominika (2008) pada serbuk sarang semut yang menyimpulkan bahwa waktu dan suhu penyeduhan tidak mempengaruhi aktivitas antioksidan. Penelitian yang dilakukan oleh Zhang dan Hamauzu (2004) dalam Turkmen dkk. (2004) menyimpulkan bahwa metode pemasakan konvensional dengan microwave tidak menunjukkan perbedaan signifikan terhadap aktivitas antioksidan. Aktivitas penangkalan radikal bebas DPPH minuman cokelat dari keempat cara preparasi dibandingkan dengan α-tokoferol (vitamin E) sebagai standar. Vitamin E merupakan antioksidan alami yang banyak digunakan sebagai penghambat reaksi oksidasi lipida dalam bahan makanan (Suryanto dkk. 2011). Konsentrasi yang digunakan adalah 200 ppm berdasarkan jumlah maksimum dalam makanan yang diperbolehkan dalam peraturan Uni Eropa (Pokorny dkk. 2001 dalam Alfarabi, 2010). Berdasarkan hasil penelitian, minuman cokelat yang diperoleh dari berbagai
33 cara preparasi memiliki aktivitas penangkalan radikal bebas DPPH yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan vitamin E (α 0,05). Grafik Waktu Vs % Penghambatan DPPH pada Konsentrasi 200 ppm 92,000
% Penghambatan DPPH
90,000 88,000 α-tokoferol
86,000
P1
84,000
P2
82,000
P3 P4
80,000 78,000
0
5
10 15 Menit ke-
20
25
Gambar 4.3 Grafik Waktu Vs % Penghambatan DPPH pada Konsentrasi 200 ppm 4.4
Hubungan Senyawa Fenolik dengan Aktivitas Antioksidan Tabel 4.1 menunjukkan hubungan antara senyawa fenolik dengan
aktivitas antioksidan minuman cokelat. Total fenol, (-)-epikatekin dan (+)katekin tidak berkorelasi secara signifikan terhadap aktivitas scavenging minuman cokelat. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Pujimulyani dkk. (2010) yang menunjukkan bahwa senyawa fenolik dan flavonoid berhubungan nyata terhadap aktivitas scavenging. Senyawa fenolik yang tidak berhubungan nyata dengan aktivitas scavenging diduga disebabkan adanya komponen fenolik yang belum terekstrak dari lemak minuman cokelat.
34 Tabel 4.1 Hubungan Senyawa Fenolik dengan Aktivitas Antioksidan Minuman Cokelat Senyawa Fenolik Aktivitas Antioksidan (DPPH) Total fenol
-0,269
(-)-epikatekin
-0,738
(+)-katekin -0,654 Keterangan: *menunjukkan korelasi signifikan pada α = 0,05
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Proses penyeduhan, perebusan sampai mendidih dan pemanasan
dengan microwave pada pembuatan minuman cokelat meningkatkan kadar total fenol secara nyata, tapi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar total flavonoid bila dibandingkan dengan pembuatan minuman cokelat tanpa perlakuan pemanasan. Perlakuan perebusan sampai mendidih dan pemanasan dengan microwave menghasilkan minuman cokelat dengan kadar total fenol yang tidak berbeda nyata, sedangkan perlakuan penyeduhan menghasilkan kadar total fenol paling tinggi. Perbedaan cara preparasi tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas scavenging minuman cokelat. Scavenging activity minuman cokelat dengan berbagai cara preparasi tidak berbeda nyata dibandingkan dengan vitamin E. 5.2
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kadar (-)-katekin
dan prosianidin dalam minuman cokelat sehingga dapat diketahui hubungannya dengan aktivitas scavenging.
35
DAFTAR PUSTAKA
Akowuah, G. A., Mariam, A. dan Chin, J. H. 2009. The Effect of Extraction Temperature on Total Phenols and Antioxidant Activity of Gynura procumbens Leaf, Pharmacognosy Magazines Vol. 5 (17): 81-85. Alfarabi, M. 2010. Kajian Antidiabetogenik Ekstrak Daun Sirih Merah (Piper crocatum) IN VITRO. Tesis S-2. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/41142/2010 mal.pdf (18 September 2012) Ali, H. 2002. Protein-Phenolic Interactions in Food. Tesis S-2. http://digitool.library.mcgill.ca/view/action/singleViewer.do?dvs=13 48620653722~352&locale=en_US&show_metadata=false&VIEWE R_URL=/view/action/singleViewer.do?&DELIVERY_RULE_ID=6 &adjacency=N&application=DIGITOOL3&frameId=1&usePid1=true&usePid2=true (26 September 2012). Astawan, M. 2011. Pangan Fungsional untuk Kesehatan yang Optimal. http://www.pdgi-online.com/v2/index.php?option=com_ content&task=view&id=607&Itemid=1 (18 Februari 2012) Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2011. Konsumsi Coklat Rendah Hambat Industri Kakao. http://www.bsn.go.id/news_detail.php? news_id=3276 (15 Januari 2012) Bansode, R. R., Xu, Z. M. dan Losso, J. N. 2002. Thermal Degradation of (±)-Catechin: Implications in Tea Brewing and Functional Foods. Abstrak. http://ift.confex.com/ift/2002/techprogram/paper_12611 .htm (20 September 2012) Bowen, R. 2003. Free Radicals and Reactive Oxygen. http://www.vivo.colostate.edu/hbooks/pathphys/misc_topics/radicals .html (18 Februari 2012) Chen, Z., Zhu, Q. Y., Tsang, D., Huang, Y. 2011. Degradation of Green Tea Catechins in Tea Drinks. Abstrak, Journal of Agricultural Food Chemistry Vol. 49 (1):477-482.
36
37 Cronin, J. R. 2004. Comparing Antioxidant Values with The ORAC Method. Alternative and Complementary Therapies Vol. 10 (3): 167-170. Crozier, S. J., Preston, A. G., Hurst, J. W., Payne, M. J., Mann, J., Hainly, L. dan Miller, D. L.. 2011. Cacao Seeds are A “Super Fruit”: A Comparative Analysis of Various Fruit Powders and Products. Chemistry Central Journal Vol. 5: 5. Dai, J. dan Mumper, R. J. 2010. Plant Phenolics: Extraction, Analysis and Their Antioxidant and Anticancer Properties, Molecules Vol. 15: 7313-7352. Dangles, O., Dufour, C. 2005. Flavonoids-Proteins Interactions. Flavonoids Chemistry, Biochemistry and Applications. New York: CRC Press. http://www.crcnetbase.com/doi/abs/10.1201/ 9781420039443.ch9 (25 September 2012) Departemen Perindustrian. 2007. Gambaran Sekilas Industri Kakao. Artikel. https://www.kemenperin.go.id/PaketInformasi/Kakao/kakao .pdf (31 Januari 2012) Dewi, Y. S. K. dan Dominika. 2008. Aktivitas Antioksidasi Ekstrak Fenol Umbi Sarang Semut (Hydnophytum Sp.) pada Berbagai Suhu Penyeduhan, Jurnal Agritech Vol. 28 (2): 91-96. Fardaniah, R. 2011. Menyongsong Era Coklat Indonesia. Artikel. http://www.phinisinews.com/read/2011/6/27/3592-menyongsong_ era_cokelat_indonesia (15 Januari 2012) Halim, F. 2011. Peran Senyawa Antioksidan dalam Permen Cokelat terhadap Pengaturan Tekanan Darah Manusia. Penulisan dan Seminar Ilmiah S-1. Surabaya: Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Halliwell, B., Aeschbach, R., Lolinger, J., Auroma, O. I. 1995. Toxicology, Journal of Food Chemistry Vol. 33: 601
38 Hassanbaglou, B., Hamid, A. A., Roheeyati, A. M., Saleh, N. M., Abdulamir, A. S., Khatib, A., Sabu, M. C. 2012. Antioxidant Activity of Different Extracts From Leaves of Pereskia bleo (Cactaceae), Journal of Medicinal Plants Research Vol. 6 (15): 2932-2937 Heldman, D. R., Singh, P. R.. 1984. Introduction to Food Engineering. London: Academic Press, Inc. Hershey’s. 2010. Recipes by Product. Artikel. http://www.hersheys.com/recipes/recipe-search.aspx?cid=7&url Beverages.aspx&ICID=KH1427& ICID=KH1427 (2 Juni 2012) Hurst, W. J., Krake, S. H., Bergmeier, S. C., Payne, M. J., Miller, K. B., Stuart, D. A. 2011. Impact of Fermentation, Drying, Roasting and Dutch Processing on Flavan-3-ol Stereochemistry in Cacao Beans and Cocoa Ingredients, Chemistry Central Journal Vol. 5:53 Indonesian Commercial Newsletter (ICN). 2010. Perkembangan Agribisnis Kakao di Indonesia. Artikel. http://www.datacon.co.id/Agri-2010Kakao.html (12 Maret 2012) Irina, I., Mohamed, G. 2010. Biological Activities and Effects of Food Processing on Flavanoids as Phenolic Antioxidants. France: Nancy University-ENSAIA. http://www.intechopen.com/download/pdf/pdfs_id/26397 (15 Maret 2012) Jalil, A. M. M., Ismail, A. 2008. Polyphenols in Cocoa and Cocoa Product: Is There a Link between Antioxidant Properties and Health?, Molecules Vol. 13: 2190-2219. Karadag, A. Ozcelik, B., Saner, S. 2009. Review of Methods to Determine Antioxidant Capacities, Food Analytical Methods Vol. 2:41-60. Kwik-Uribe, C., Bektash, R. M. 2008. Cocoa Flavanols: Measurement, Bioavailability and Bioactivity, Asia Pacific Journal Clinical Nutrition Vol. 17 (S1): 280-283.
39 Lee, K. W., Kim, W. J., Lee H. J., Lee, C. Y. 2003. Cocoa Has More Phenolic Phytochemicals and a Higher Antioxidat Capacity than Teas and Red Wine, Journal of Agricultural Food Chemistry Vol. 51: 7292-7295. Li, N., Taylor, L. S., Mauer, L. J. 2011. Degradation Kinetics of Catechin in Green Tea Powder : Effects of Temperature and Relative Humidity. Abstrak, Journal of Agricultural Food Chemistry Vol. 59 (11): 6082-6090. Medyaningsih, E. 2009. Potensi Ampas Nanas Sebagai Sumber Antioksidan: Karakterisasi Antioksidan Ampas Nanas dari Nanas yang telah Mendapat Perlakuan Blanching. Skripsi S-1. Surabaya: Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Molyneux, P. 2004. The Use of The Stable Free Radical Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for Estimating Antioxidant Activity. Journal of Science and Technology Vol. 26 (2): 211-219. Ortega, N., Romero, M., Macia, A., Reguant, J., Angles, N., Morello, J., Motilva, M. 2008. Obtention and Characterization of Phenolic Extracts from Different Cocoa Sources, Journal of Agricultural. Food Chemistry Vol. 56: 9621-9627. Othman, A., Ismail, A., Ghani, N. A., Adenan, I. 2007. Antioxidant Capacity and Phenolic Content of Cocoa Beans, Journal of Food Chemistry Vol. 100: 1523-1530. Othman, A., Jalil, A. M. M., Weng, K. K.., Ismail, A., Ghani, N. A., Adenan, I. Epicatehin Content and Antioxidant Capacity of Cocoa Beans From Four Different Countries, African Journal of Biotechnology Vol. 9(7): 1052-1059. Petry, R. D., Ortega, G. G., Silva, W. B. 2011. Flavonoid Content Assay: Influence of the Reagent Concentration and Reaction Time on the Spectrophotometric Behavior of the Aluminium Chloride-Flavonoid Complex. Abstrak, Pharmazie Vol. 56 (6): 465-470. Pomeranz, Y, Meloan, C. E. 1971. Food Analysis: Theory and Practice. 3rd edition. USA: Chapman and Hall
40 Pribadi, I. 2009. Uji Aktivitas Penangkap Radikal Buah Psidium Guajava L. dengan Metode DPPH (1,1-Difenil-2-Pikril Hidrazil) serta Penetapan Kadar Fenolik dan Flavanoid Totalnya. Skripsi S-1. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. https://etd.eprints.ums.ac.id/5893/1/K100050061.pdf (13 April 2012) Pujimulyani, D., Raharjo, S., Marsono, Y., Santoso, U. 2010. Aktivitas Antioksidan dan Kadar Senyawa Fenolik pada Kunir Putih (Curcuma mangga Val.) Segar dan Setelah Blanching, Jurnal Agritech 30 (2): 68-74. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2007. Teknologi Prapanen Kakao, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 29 No.1. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2008. Pengolahan Kakao Sekunder. Leaflet. Jember. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2011. Produk yang Diperoleh. http://www.iccri.net/index.php?option=com_content& view=article&id=58&Itemid=97 (13 April 2012) Rahayu, D. S., Kusrini, D., Fachriyah, E. 2009. Penentuan Aktivitas Antioksidan dari Ekstrak Etanol Daun Ketapang (Terminalia catappa L) dengan Metode 1,1-Difenil-2Pikrilhidrazil (DPPH). Seminar Tugas Akhir S-1. Semarang: Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Diponegoro. https://:eprints.undip.ac.id/2828/1/JURNAL_DWI_SRI_RAHAYU. pdf (21 Januari 2012) Redovnikovic, I. R., Delonga, K., Mazor, S., Dragovic-Uzelac, V., Caric, M., Vorkapic-Furac, J. 2009. Polyphenolic Content and Composition and Antioxidative Activity of Different Cocoa Liquors, Czech Journal of Food Science Vol. 27(5):330-337. Rohman, S. 2009. Teknik Fermentasi Dalam Pengolahan Biji Kakao. http://www.majarinmagazine.com/2009/06/teknik-fermentasidalam-pengolahan-biji-kakao (5 September 2011)
41 Santoso, L. 2005. Antioksidan Ekstrak Pollard Gandum Sistem Model Asam Linloeat Beta Karoten. Skripsi S-1. Surabaya: Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Sari, D. C. 2009. Aktivitas Antioksidan Daun Belantas dalam Sistem Model Asam Linoleat Beta Karoten. Skripsi S-1. Surabaya: Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Setiabudi. 2009. Jantung Koroner Penyakit Paling Mematikan Di Indonesia. http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_ content&view=article&id=29643:jantung-koroner-penyakit-palingmematikan-di-indonesia&catid=14&Itemid=98 (8 September 2011) Situmorang, J. P. 2010. Sekilas Tentang Tanaman Kakao. https://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19461/4/Chapter% 2520II.pdf (31 Januari 2012) Shumow, L., Bodor, A. 2011. An Industry Consensus Study on an HPLC Fluorescence Method for the Determination of (±)-Catechin and (±)Epicatechin in Cocoa and Chocolate Products, Chemistry Central Journal, 5:39 Suryanto, E., Momuat, L. I., Taroreh, M., Wehantouw, F. 2011. Potensi Senyawa Polifenol Antioksidan dari Pisang Goroho (Musa sapien Sp.), Journal Agritech Vol. 31 (4): 289-296. Teow, C. C., Truong, V., McFeeters, R. F., Thompson, R. L., Pecota, K. V., Yencho, G. C. 2007. Antioxidant Activities, Phenolics, and β– Carotene Contents of Sweet Potato Genotypes with Varying Flesh Colours, Journal of Food Chemistry, 103: 829-838. Thaipong, K., Boonprakob, U., Crosby, K.., Cisneros-Zevallos, L., Byrne, D. H. 2006. Comparison of ABTS, DPPH, FRAP and ORAC Assays for Estimating Antioxidant Activity From Guava Fruit Extracts, Journal of Food Composition and Analysis, 19: 669-675. Turkmen, N., Sari, F. dan Velioglu, Y. S. 2004. The Effect of Cooking Methods on Total Phenolics and Antioxidant Activity of Selected Green Vegetables, Journal of Food Chemistry Vol. 93 (4): 713-718.
42 Vijithahh, P. K., Nizar, K. 2009. Role of Antioxidants in Biological System. Artikel. http://farmacists.blogspot.com/2009/05/role-ofantioxidants-in-biological.html (9 Maret 2012) Wang, C. C., Chu, C. Y., Chu, K. O., Choy, K. W., Khaw, K. S., Rogers, M. S., Pang, C. P. 2004. Trolox-Equivalent Antioxidant Capacity Assay Versus Oxygen Radical Absorbance Capacity Assay in Plasma, Clinical Chemistry Vol. 50 (5): 952-954. Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami & Radikal Bebas: Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. http://books.google.co.id/books?id=AlC1KQ2Oaj0C&pg=PA3&dq= winarsi+hery&hl=id&sa=X&ei=90KIT42iJoiTiAK6jL2bCw&ved= 0CDIQ6AEwAQ#v=onepage&q=winarsi%20hery&f=false (14 April 2012) Yuliatmoko, W. 2007. Efek Konsumsi Minuman Bubuk Kakao Lindak Bebas Lemak terhadap Aktivitas Antioksidan dan Ketersediaan Hayati. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/10567 (12 Maret 2012)
43 Lampiran 1.
Analisa Kadar Lemak Bubuk Coklat dengan Metode Soxhlet
Prinsip: Prinsip ekstraksi lemak dan minyak dengan ekstraksi Soxhlet adalah dengan mengekstrak lemak/minyak dari bahan pangan dengan menggunakan pelarut organik sehingga diperoleh campuran lemak/minyak bersama dengan pelarutnya. Setelah itu, labu Soxhlet dipisahkan dari tabung Soxhlet
dan
kemudian
pelarut
yang
digunakan
dipisahkan
dari
lemak/minyak dengan cara diuapkan. Berat lemak/minyak yang diketahui digunakan sebagai dasar untuk menghitung kadar lemak/minyak (Pomeranz dan Meloan, 1971). 1.
Ditimbang ± 2 gram bubuk coklat.
2.
Sampel dibungkus dengan kertas saring lalu memasukkan dalam tabung Soxhlet.
3.
Air pendingin dialirkan melalui kondensor.
4.
Tabung dan labu Soxhlet dipasang pada alat destilasi dan dilakukan penambahan 60 mL pelarut n-heksana.
5.
Proses ekstraksi dilakukan selama 4 jam pada suhu 80°C.
6.
Tabung dan labu Soxhlet yang berisi campuran pelarut dan minyak hasil ekstraksi dipisahkan.
7.
Pelarut dalam labu Soxhlet diuapkan dengan oven hingga diperoleh cairan agak pekat.
8.
Dilakukan pengeringan dalam oven dengan suhu 100°C selama 1 jam.
9.
Labu Soxhlet didinginkan dalam eksikator selama 10 menit.
10. Dilakukan penimbangan. 11. Pengeringan dalam oven diulangi sampai diperoleh berat labu konstan (selisih 2 kali penimbangan berturut-turut
0,2 mg).
44 12. Kadar lemak/minyak sampel dihitung dengan rumus perhitungan sebagai berikut: (
)
45 Lampiran 2.
Analisa Kadar Total Fenol dengan Metode Kolorimetri Folin-Ciocalteau Fenol (Lee dkk. 2003)
Prinsip: Menurut Mediyaningsih (2009), reaksi antara senyawa fenolik dengan reagen Folin-Ciocalteu akan menghasilkan senyawa kompleks molibdenum tungsten (dalam reagen Folin Ciocalteu terdapat sodium molibdat dan sodium tungstat). Warna biru yang dihasilkan ditentukan selain oleh kadar senyawa fenolik, juga oleh variasi struktur dan agen pereduksi non fenolik sehingga hasil analisa merupakan hasil relatif dari senyawa fenolik (Green, 2007 dalam Mediyaningsih, 2009). Intensitas warna biru yang semakin tua menunjukkan kadar total fenol yang semakin besar. Analisa kadar total fenol mengukur intensitas perubahan warna yang terjadi ketika oksida metal tereduksi oleh antioksidan polifenol seperti asam galat dan katekin menghasilkan larutan biru (Mermelstein, 2008 dalam Mediyaningsih, 2009). Pengukuran kadar total fenol dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. Pembuatan Kurva Standar Asam Galat 1.
0,025 g asam galat ditimbang secara analitis dalam kertas timbang lalu dimasukkan dalam beaker glass 100 mL.
2.
Ditambahkan 0,2 mL etanol p.a kemudian ditambahkan akuabides hingga mencapai volume 100 mL (didapatkan larutan asam galat 250 ppm). Kemudian dilakukan homogenisasi dengan pengocokan. Larutan ini selanjutnya disebut sebagai Larutan Induk Asam Galat.
3.
Dibuat Larutan Standar Asam Galat dengan berbagai konsentrasi 0; 50; 100; 150; 200 ppm dengan mengambil masing-masing Larutan Induk Asam Galat sebanyak 0; 2; 4; 6; 8 mL dan dimasukkan ke
46 dalam labu takar ukuran 10 mL kemudian ditambahkan akuabides hingga mencapai volume 10 mL. 4.
0,4 mL larutan asam galat standar dipipet secara analitis, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL lalu ditambahkan 0,4 mL reagen Folin-Ciocalteu dan kemudian dikocok. Setelah lima menit, ditambahkan 4 mL 7% Na2CO3 (b/v) dan ditambahkan akuabides hingga mencapai mencapai volume 10 mL lalu dikocok dan diinkubasi selama 90 menit pada suhu 23oC.
5.
Pengukuran absorbansi larutan standar asam galat pada λmax dengan spektrofotometer UV-VIS double beam (didapatkan absorbansi maksimum pada λ 750 nm).
6.
Pembuatan kurva standar antara absorbansi (sebagai sumbu y) dengan konsentrasi (sebagai sumbu x) dengan satuan ppm. Dihitung persamaan kurva regresi linier dan dihasilkan persamaan: Y = ax + b
b.
Pengukuran Kadar Total Fenol berdasarkan Metode FolinCiocalteu (Lee dkk. 2003)
1.
0,4 mL sampel dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL.
2.
Disiapkan blanko, yaitu akuabides.
3.
0,4 mL reagen Folin-Ciocalteu ditambahkan pada campuran dan kemudian dikocok.
4.
Setelah lima menit, 4 mL 7% Na2CO3 dicampurkan.
5.
Ditepatkan dengan akuabides hingga mencapai volume 10 mL.
6.
Dilakukan inkubasi selama 90 menit pada suhu 23oC.
7.
Dilakukan pembacaan absorbansi menggunakan spektrofotometer pada 750 nm.
47 Lampiran 3. Analisa Kadar Total Flavonoid berdasarkan Aluminium Klorida Kolorimetri (Zhishen dkk. 1999 dalam Lee et al ,2003) Prinsip: Prinsip analisa kadar total flavonoid berdasarkan aluminium klorida kolorimetri adalah aluminium klorida akan membentuk asam kompleks yang stabil dengan kelompok keto C-4 , C-3 atau dengan kelompok hidoksil C-5 dari flavon dan flavonol. Aluminium klorida akan membentuk asam kompleks yang labil dengan kelompok orto-dihidroksil dalam cincin A- atau B- pada flavonoid (Mabry dkk. 1970 dalam Chang dkk. 2002). Pengukuran konsentrasi total flavonoid dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. Pembuatan Kurva Standar (+)-Katekin 1.
0,25 g (+)-katekin ditimbang secara analitis dalam kertas timbang dan dimasukkan dalam beaker glass 100 mL.
2.
Ditempatkan dengan akuabides pada labu takar 1.000 mL (didapatkan larutan
(+)-katekin 250 ppm). Kemudian dilakukan homogenisasi
dengan pengocokan. Larutan ini selanjutnya disebut sebagai Larutan Induk (+)-katekin. 3.
Dibuat Larutan (+)-katekin Standar dengan berbagai konsentrasi 0; 50; 100; 150; 200; 250 ppm dengan mengambil masing-masing Larutan Induk (+)-katekin sebanyak 0; 10; 20; 30; 40; 50 mL dan dimasukkan ke dalam labu takar ukuran 50 mL kemudian ditempatkan dengan akuabides hingga 50 mL
4.
1 mL larutan (+)-katekin standar dipipet secara analitis, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL yang telah berisi 4 mL akuabides lalu ditambahkan 0,3 mL 5% NaNO2 (b/v), dikocok dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang. Selanjutnya ditambahkan
48 0,3 mL AlCl3 10%(b/v), dikocok dan setelah 1 menit ditambahkan 2 mL NaOH 1 M. Kemudian ditepatkan dengan akuabides hingga 10 mL lalu dikocok. 5.
Pengukuran absorbansi larutan standar (+)-katekin pada λmax dengan spektrofotometer UV-VIS double beam (didapatkan absorbansi maksimum pada λ 503,6 nm).
6.
Pembuatan kurva standar antara absorbansi (sebagai sumbu y) dengan konsentrasi (sebagai sumbu x) dengan satuan ppm. Dihitung persamaan kurva regresi linier dan dihasilkan persamaan: Y = ax + b
b.
Pembuatan Kurva Standar (-)-Epikatekin
1.
1 mg (-)-epikatekin dilarutkan dalam 2 mL akuabides (didapatkan larutan (-)-epikatekin 500 ppm. Kemudian dilakukan homogenisasi dengan pengocokan. Larutan ini selanjutnya disebut sebagai Larutan Induk (-)-epikatekin.
2.
Dibuat Larutan (-)-epikatekin Standar dalam konsentrasi 50 ppm dengan mengambil masing-masing Larutan Induk (-)-epikatekin sebanyak 1 mL dan ditempatkan ke dalam labu takar 10 mL (didapatkan larutan (-)-epikatekin 50 ppm) kemudian ditepatkan dengan akuabides hingga 10 mL.
3.
Larutan (-)-epikatekin standar kemudian dibuat dengan berbagai konsentrasi 0; 10; 20; 30 dan 40 ppm.
4.
1 mL larutan (-)-epikatekin standar dipipet secara analitis, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL yang telah berisi 4 mL akuabides lalu ditambahkan 0,3 mL 5% NaNO2 (b/v), dikocok dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang. Selanjutnya ditambahkan 0,3 mL AlCl3 10%(b/v), dikocok dan setelah 1 menit ditambahkan 2
49 mL NaOH 1 M. Kemudian ditepatkan dengan akuabides hingga 10 mL lalu dikocok. 5.
Pengukuran absorbansi larutan standar (+)-katekin pada λmax dengan spektrofotometer UV-VIS double beam (didapatkan absorbansi maksimum pada λ 501,9 nm).
6.
Pembuatan kurva standar antara absorbansi (sebagai sumbu y) dengan konsentrasi (sebagai sumbu x) dengan satuan ppm. Dihitung persamaan kurva regresi linier dan dihasilkan persamaan: Y = ax + b
c.
Pengukuran Kadar Total Flavonoid berdasarkan Aluminium Klorida Kolorimetri (Zhishen dkk. 1999 dalam Lee dkk. 2003)
1.
1 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung volumetrik 10 mL yang di dalamnya terdapat 4 mL akuabides.
2.
Pada menit 0, ditambahkan 0,3 mL 5% NaNO2.
3.
Pada menit kelima, ditambahkan 0,3 mL 10% AlCl3.
4.
Pada menit keenam, ditambahkan 2 mL NaOH 1M.
5.
Tiap tabung ditambah 2,4 mL akuabides dan dikocok.
6.
Absorbansi pembentukan warna merah muda diukur menggunakan spektrofotometer
UV-VIS
double
beam
pada
501,9
nm
menggunakan (-)-epikatekin sebagai standar dan pada 503,6 nm menggunakan (+)-katekin sebagai standar.
50 Lampiran 4.
Analisa Aktivitas Antioksidan dengan Spektrofotometri Metode Peredaman Warna DPPH (Ortega dkk. 2008)
Prinsip: Elektron yang tak stabil pada radikal DPPH memberikan absorpsi yang kuat pada panjang gelombang 515-520 nm. Donasi atom hidrogen dari sampel yang diujikan kepada radikal DPPH akan ditunjukkan oleh perubahan warna dari ungu menjadi kuning (Pauly, 2001 dalam Rahayu dkk, 2009). Intensitas perubahan warna berbanding lurus dengan aktivitas scavenging antioksidan. Menurut Mediyaningsih (2009), Analisa Aktivitas Antioksidan dengan Metode Penangkapan Radikal Bebas DPPH dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. Pembuatan Larutan Vitamin E dan Pengukuran Aktivitasnya 1.
0,0125 g vitamin E ditimbang secara analitis dalam botol timbang lalu ditambahkan 2,5 mL metanol p.a dan ditepatkan hingga 25 mL dengan akuabides dalam labu takar 25 mL, kemudian dikocok (diperoleh kadar vitamin E 500 ppm).
2.
Dibuat larutan vitamin E pada konsentrasi 200 ppm dengan mengambil dari larutan vitamin E standar sebanyak 10 mL dan dimasukkan ke dalam labu takar ukuran 25 mL kemudian ditambahkan akuabides hingga mencapai volume 25 mL lalu dikocok.
3.
Larutan DPPH (0,0250 gram dalam 1000 mL metanol p.a) diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis double beam pada panjang gelombang 515-520 nm (didapatkan absorbansi maksimum pada panjang gelombang 515 nm).
4.
Dipipet 250 µL larutan vitamin E 200 ppm dan dimasukkan dalam vacutiner. Ditambahkan 5 mL larutan DPPH dan diukur absorbansinya
51 dengan spektrofotometer UV-Vis double beam pada panjang gelombang 515 nm hingga 20 menit dengan interval waktu lima menit. b.
Pembuatan Larutan Sampel dan Pengukuran Aktivitasnya
1.
Dipipet akuabides dan Supernatan Minuman Cokelat (Sampel) dengan ketentuan sebagai berikut: Konsentrasi 0 ppm Sampel Akuabides (L) (L) P1 0 250 P2 0 250 P3 0 250 P4 0 250 Campuran larutan diukur absorbansinya Sampel
2.
Konsentrasi 200 ppm Sampel Akuabides (L) (L) 124,3 125,7 69,8 180,2 83 167 93,8 156,2 dengan spektrofotometer UV-
Vis double beam pada panjang gelombang 515 nm hingga 20 menit dengan interval waktu lima menit. 3.
Data perubahan absorbansi DPPH dipakai untuk menghitung persentase penangkapan radikal bebas DPPH oleh antioksidan dengan rumus sebagai berikut: % penghambatan = Keterangan: Abs t0 = absorbansi DPPH pada waktu ke-nol Abs t = absorbansi DPPH pada t menit
52 Lampiran 5. Data Kadar Lemak Bubuk Coklat
Sampel
Berat Labu Konstan (g)
Berat Sampel (g)
Berat Labu + Sampel (g)
Berat Sampel Akhir (g)
Kadar Lemak Sampel (%)
BC 1
35,8542
2,0022
36,4085
0,5543
27,68
BC 2
30,9297
2,0026
31,4944
0,5647
28,20
BC 3 38,1181 2,0001 38,6006 0,4825 Contoh perhitungan kadar lemak sampel BC 1:
24,12
( )
Ratarata Kadar Lemak Sampel (%) 26,67
53 Lampiran 6. Data Kadar Total Fenol dan Total Flavonoid Minuman Cokelat
Absorbansi
Kurva Standar Asam Galat 2,000
y = 0,0045x + 0,0158 R² = 0,9978
1,000 0,000 0
50
100 150 200 250 Konsentrasi (mg GAE/L)
300
Gambar 6.1 Kurva Standar Asam Galat 6.1. Kadar Total Fenol Ulangan
Kadar Total Fenol (mg GAE/g bubuk cokelat) Bubuk Cokelat
P1
P2
P3
P4
1
430,0
430,0
702,2
557,8
513,3
2
380,0
374,4
730,0
646,7
552,2
Rata-rata
405
402
716
602
533
Deviasi
35
39
20
63
27
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS
df
MS
F
Pvalue
F crit
103487,654 6635,802
3,000 4,000
34495,885 1658,951
20,794
0,007
6,591
Total
110123,457
7,000
Keterangan: F > F crit. antar perlakuan memberikan pengaruh nyata.
54 Duncan Sampel
N
P1 P4 P3 P2 Sig.
2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 2 3 402,222 532,7775 602,2225 716,111 1 0,163396096 1
a b b c
6.2. Kadar Total Flavonoid (dihitung sebagai (+)-katekin)
Absorbansi
1,000 0,800 0,600 0,400
y = 0,0031x - 0,0012 R² = 0,9991
0,200
0,000 0
50 100 150 200 250 Konsentrasi (+)-katekin (mg CE/L)
Gambar 6.2 Kurva Standar (+)-katekin
Ulangan
Kadar Total Flavonoid (mg CE/g bubuk cokelat) Bubuk Cokelat
P1
P2
P3
P4
1
294,8
156,1
259,4
259,4
194,8
2
211,0
220,6
272,3
288,4
256,1
Rata-rata
253
188
266
274
225
Deviasi
59
46
9
21
43
55 ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS
df
MS
F
Pvalue
F crit
9354,839 4464,100
3,000 4,000
3118,280 1116,025
2,794
0,173
6,591
13818,939
7,000
Keterangan: F < F crit. antar perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata. 6.3. Kadar Total Flavonoid (dihitung sebagai (-)-epikatekin) 0,200 Absorbansi
0,160 0,120 0,080 y = 0,003x + 0,013 R² = 0,9712
0,040 0,000 0
10 20 30 40 50 60 Konsentrasi (-)-epikatekin (mg ECE/L)
Gambar 6.3 Kurva Standar (-)-epikatekin
Ulangan 1
Kadar Total Flavonoid (mg ECE/g bubuk cokelat) Bubuk Cokelat
P1
P2
P3
P4
240,0
360,0
443,3
473,3
383,3
56 Lampiran 7. Data Aktivitas Antioksidan Minuman Cokelat (Metode Penangkalan Radikal Bebas DPPH) Rerata % penghambatan DPPH menit ke5 10 15 20
Sampel α-tokoferol
80,831
81,293
81,640
82,102
P1
88,528
88,713
89,331
89,553
P2
85,799
88,872
88,936
88,936
P3
80,085
79,975
83,676
84,335
P4
87,500
87,370
87,241
87,933
Ulangan
Scavenging Activity Menit ke-20 (%)
1
P1 89,289
P2 91,228
P3 87,535
P4 87,719
2
89,816
86,644
81,135
88,147
Rata2
89,553
88,936
84,335
87,933
Deviasi
0,373
3,241
4,525
0,302
ANOVA Source of Variation
SS
df
MS
F
Between Groups
32,677
3,000
10,892
1,396
Within Groups
31,212
4,000
7,803
P-value 0,366
F crit 6,591
Total 63,888 7,000 Keterangan: F < F crit. antar perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata.