KRITIK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA CANNIBALOGY KARYA BENNY YOHANES DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh Rahayu Handayani NIM 1111013000081
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016
│
Lembar Pengesahan SkriPsi
KRITIKSOSIALDALAMNASKAIIDRAMACANNIBALaGY KARYABENNYYOHANESDANIMPI.IKASINYAPADA PEMBELAJARANBAHASADAl\SASTRAINDONESIADI SEKOLA.II MENEI\GAH A',IIAS (SMA) SkriPsi
DiajukanguruanUniversitaslslamNegeri "sy'#ii Menempuh Gelar n* ,r:.#l'untuk
C)leh
Rahavu Handavanl lll1013000081 Mengetahui
lRA lNDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SAS■ FAKULTASILPIllTTARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITASISLAM NEGERISYARIF ⅡIDAYATULLAH JAKARTA 2016
LEMBAR PENGESAHAN PENGUЛ ルαJOθ
SkripSi beludul Kritik SoSial Dalam Naskah Drama Cα ““
Karya
Bemmy YohaneS dan lmplikaSinya pad,Pelmbelaiaran Bahasa dan Sastra lndonesia di Sekolah DIleneDgah Atas(SM鵬
0・
Di Sus■m
Oleh nhayu
Handayanio NIM ll H013000081,di4ukan kepada Fakultas lmu Tarbiyah dan
Keguruan,Un市 ersitas
ISlaIII Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dmyatakan
LULUS pada ttian MunaqOSah tangga1 18 November 2016 di hadapan dewall pe■ guJi.Karena itu pellulis berhak mempeF01Ch gelaF Sttana Pendidikan(S.Pd。
dalam bidang Pendidikan BahaSa dan Sastra lndonesia.
Jtarta,18 Nov面ber 2016
Paniti Ujian Munaqosah
Ketua Panitia/Ketua Jllrusttrogralln Smdi
DL MakVunSubukio M・
Hum
の /1ル
NIP.198003052009011015 Sekertaris husttpgraln Smdi
Tanda Tangan
Tanggal
1・
6∠ :4響
Tolo EdidarmOo Me A
NIP,197602252008011020 PenguJi l
@6
Ahmad Bahtiar.M.Hum
/, /t,1'
NIP.197601182009121002 PenguJi 2
.!119岬 ″ィ
Novi Diah Harvantin M.Hum
NIP.198411262015032007 Mengetahui,
hu Tarbiyah dan
Dekan Faku
UIN S
NIP。
1
1007
)
k
KEMENTERIAN AGAMA
No Dokumen
UIN JAKARTA F:TK Л ″圧」 rda “
Ar●
FORM(FR)
No´
95q國 ′ダィ2¨
Revisi:
i
F!丁 :
:
: 01
Ha
ini,
Rahayu Handayani
Tempat/Tgl.Lahir:Jakarta,1l FebllЯ ri 1993
NEM
:1111013000081
Jllrusan/Plodi
:Pendidikan Bahasa dan Sastra lndoncsia
Judul Skripsi
:IGitik Sosial Dalaln Naskah Drama Cα 刀 Jbα lo響 Karya “ Bemy Yohanes dan hlplikasinyaPadaPembelttaran Bahasa dan Sastra lndonesia di Sekolah Menengah Atas(SMAp
Dosen Pembimbing
dengan
:1.Rosida DЮ wati
ini menyatakan bahwa skripsi yang
saya buat benar-benar hasil karya sendiri
dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis. Pernyataan
K―
FR― AKD-089
l Maret 2010
SURAT PERNYATAAN KARYA SEND:RI
Saya yang bertanda tangan di bawah
Nama
Tgl Terbl
ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta,
Mahasiswa Ybs.
ABSTRAK Rahayu Handayani, (1111013000081), “Kritik Sosial dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Rosida Erowati, M. Hum. Karya sastra memiliki kecenderungan untuk mencerminkan kondisi sosial masyarakat yang dipotretnya. Oleh karena itu jika di dalamnya terdapat kritik sosial, hal ini menandakan bahwa karya sastra tersebut menyikapi sebuah fenomena sosial. Naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes merupakan salah satu naskah drama yang mengandung kritik sosial di dalamnya. Dengan demikian peneliti menggunakan naskah tersebut sebagai objek penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan struktur naskah; (2) merepresentasikan kritik sosial masa Orde Baru dan (3) mengimplikasikannya ke dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yaitu pendekatan yang berupaya mengungkapkan hubungan antara karya sastra dengan kehidupan sosial masyarakat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, hasil penelitian ini menunjukkan terdapat lima kritik sosial terkait kekuasaan pada masa Orde Baru dalam naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes, yaitu: (1) Kritik terhadap pembatasan kebebasan berbicara (pembungkaman publik) yang dilakukan pemerintah Orde Baru, (2) Kritik terhadap sistem ketakutan sebagai kontrol, (3) Kritik terhadap lahirnya Supersemar, (4) Kritik mengenai rekayasa di seputar G-30-S melalui penggambaran peristiwa lubang buaya, (5) Kritik mengenai pembantaian di Bengawan Solo.
Kata kunci: Kritik Sosial, Orde Baru, Kekuasaan, Naskah Drama, Naskah Cannibalogy, Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
i
ABSTRACT Rahayu Handayani, (1111013000081), "Social Criticism in Drama Cannibalogy Work of Benny Yohanes and its Implications on Indonesian Language and Literature Learning". Majors Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Science and Teachers Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Advisor: Rosida Erowati, M. Hum. The literary work has a tendency to reflect the social conditions. Therefore, if in it there is social criticalism, this indicates that the literary work to address a social phenomenon. Cannibalogy script by Benny Yohanes was one of the plays that contain social criticism in it. Thus researchers used the text as an object of research. This study to: (1) describe the structure of the text; (2) represents the social criticism Orde Baru and (3) implement its into teaching Indonesian language and literature at schools. This study uses the approach of sociology of literature that approach seeks to express the relationship between literature in the social life of the community. The method used in this study is a qualitative method. Based on the analysis performed, the results of this study indicate there are five social criticism related to power during the Orde Baru in the Cannibalogy script by Benny Yohanes, namely: (1) Criticism of restrictions on freedom of speech (silencing public) conducted the New Order government, (2 ) criticisms of fear as a control system, (3) Criticism of birth Supersemar, (4) Critics of engineering around the G-30-S through the depiction of Lubang Buaya events, (5) Criticism and the massacre at Bengawan Solo
Keywords: Social Criticism, Orde Baru, Power, Drama Script, Cannibalogy Script, Indonesian Language and Literature Learning in High School.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim, Segala puji bagi Allah SWT atas segala yang ada di semesta jagad raya yang telah memberi limpahan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kritik Sosial dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Shalawat serta salam senantiasa tercurah limpahkan untuk Nabi Besar Muhammad saw, keluarga, para sahabat, dan umatnya. Penulisan skripsi ini ditujukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan ilmu pengetahuan. Dalam proses penulisan penelitian ini penulis banyak mendapat masukan, bimbingan, saran, motivasi, dan semangat dari berbagai pihak. Semua itu tak lain untuk menjadikan
penulis
menjadi
pribadi
yang lebih baik dan kaya
informasi. Dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang memudahkan dalam segala proses dalam perkuliahan. 3. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu berusaha meluangkan waktu untuk penulis dalam proses bimbingan skripsi, sabar dalam membimbing dan memberikan masukan untuk referensi tulisan hingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik; 4. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya dan dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan pada umumnya yang telah memberikan ilmu dalam menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; iii
5. Ucapan terimakasih ditujukan kepada sahabat yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk menjadi tempat berkeluh kesah dan berdiskusi dalam proses penulisan skripsi ini, yaitu Bambang Prihadi, Irfan Nawawi, dan Tendy Ahmad. 6. Sahabat seperjuangan “Genk Che” Ade Nurfadillah, Amalia Rosyidah, Astri Pertiwi, Madhensia Putri Pratiwi, dan Rohmatun Masruroh yang sejak awal perkuliahan menjadi keluarga baru yang membingkai kebahagiaan, yang selalu mendukung, menyemangati, dan mendoakan penulis dalam segala hal. 7. Sahabat seperjuangan Syifa Fauziah, Nova Liana, Maisyah, Marsita, Irmalia, Nugroho, Ivan, Taufik, Ikhsan, Arafi beserta keluarga PBSI C 2011 yang selalu mendukung, menyemangati serta menjadi tempat berdiskusi dan berkeluh kesah dalam perkuliahan dan proses penulisan skripsi ini. 8. Keluarga besar Teater Syahid yang telah memberi banyak pelajaran serta pengalaman berharga dalam berkesenian, berteater, dan kehidupan. 9. “Keluarga Cemara Teater Syahid 2012”, keluarga yang selalu memberikan pelukan hangat dalam bahagia dan gundah, yaitu Dede Zakiyah, Henny Andayani, Firsa Lubis, Nur Ariyani, Malissa Rizki, Nurul Hidayanti, Arsheila, Muhammad Irfan, dan Jarot Andaru yang selalu memberikan semangat, dukungan, keceriaan, dan kebahagiaan, dalam menjalani hari. 10. Ucapan teristimewa ditujukan kepada keluaga tersayang terutama Ayah dan Ibu tercinta yaitu Muhammad Syafii dan Rosmini yang telah mendidik, membimbing, memotivasi penulis untuk menjadi manusia yang baik dan bijaksana, yang tiada hentinya memanjatkan doa kepada Sang pencipta dan memberikan dukungan moril serta
materil sehingga penulis dapat
mempersembahkan skripsi ini sebagai tanda bakti dan tanda cinta. Tak lupa untuk kakak-kakak dan adik tercinta yaitu Kakanda Muhammad Fikri Ilman, dan Dwi Ayu Lestari, serta Adinda Novi Andini yang telah memberikan motivasi, keceriaan, dan kasih sayang dalam perjalanan hidup hingga saat selesainya skripsi ini;
iv
Terimakasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian penelitian ini yang tak dapat disebutkan satu persatu. Semoga limpahan rahmat Allah, Tuhan yang maha kuasa terhikmat kepada kita semua. Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Besar harapan penulis agar penelitian ini dapat bermanfaat, baik untuk penulis pribadi maupun pembaca.
Jakarta, 23 September 2016
Penulis
v
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ABSTRAK .............................................................................................................. i ABSTRACT ........................................................................................................... ii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .....................................................................1 B. Identifikasi Masalah............................................................................5 C. Pembatasan Masalah ...........................................................................5 D. Rumusan Masalah...............................................................................5 E. Tujuan Penelitian ................................................................................6 F. Manfaat Penelitian ..............................................................................6 G. Metodologi Penelitian .........................................................................7 BAB II KAJIAN TEORI A. Hakikat Kritik Sosial ........................................................................10 1. Pengertian Kritik Sosial ..........................................................10 2. Kritik Sosial, Protes Sosial, dan Kreativitas ...........................12 3. Kritik Sosial dalam Sastra .......................................................13 4. Kritik Sastra.............................................................................14 5. Jenis-Jenis Kritik Sosial ..........................................................15 B. Hakikat Sosiologi Sastra ...................................................................19 1. Pengertian Sosiologi Sastra .....................................................19 C. Hakikat Drama ..................................................................................21 1. Pengertian Drama ..........................................................................22 2. Pengertian Naskah Drama .............................................................23 3. Unsur Intrinsik Drama ...................................................................24 4. Unsur Ekstrinsik Drama ................................................................38 D. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ......................................38 vi
E. Penelitian yang Relevan ...................................................................43 BAB III BIOGRAFI PENGARANG A. Biografi Benny Yohanes.........................................................................44 B. Pandangan Benny Yohanes ....................................................................46 C. Naskah-Naskah Drama Karya Benny Yohanes ......................................48 D. Penyutradaraan Karya Benny Yohanes ..................................................50 E. Sinopsis Naskah Drama Cannibalogy ....................................................52 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Unsur Intrinsik Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes ....53 1. Tokoh dan Penokohan ...................................................................53 2. Alur................................................................................................78 3. Latar dan Ruang ............................................................................87 4. Penggarapan Bahasa ......................................................................93 5. Tema (Premise) dan Amanat.........................................................99 B. Analisis Kritik Sosial terhadap Kekuasaan Orde Baru dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes.........................................104 1. Rekayasa di Seputar G-30-S (Peristiwa Lubang Buaya) ............105 2. Lahirnya Supersemar...................................................................108 3. Pembatasan Kebebasan Berbicara (Pembungkaman Publik) ......110 4. Sistem Ketakutan Sebagai Kontrol .............................................113 5. Pembantaian di Bengawan Solo ..................................................114 6. Pelengseran Penguasa .................................................................116 C. Implikasi Kritik Sosial dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ............119
BAB V PENUTUP A. Simpulan ...............................................................................................120 B. Saran .....................................................................................................121 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................122 LAMPIRAN LEMBAR UJI REFERENSI BIOGRAFI PENULIS vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu wadah untuk mengungkapkan gagasan, ide, dan pikiran. Karya sastra menyuguhkan pengalaman batin serta kehidupan yang dialami sastrawan di masyarakat. Sastrawan merupakan anggota dari masyarakat yang turut menyaksikan serta berkontribusi dalam kehidupan dan peristiwa yang terjadi di lingkungan masyarakat. Maka tidak heran jika karya sastra dianggap sebagai tiruan kehidupan masyarakat. Namun, karya sastra tidak semata-mata menyodorkan fakta secara denotatif, melainkan melalui sebuah refleksi yang diperhalus dengan bangunan estetis. Sejak awal perkembangannya, hampir semua karya sastra khususnya naskah drama mengandung unsur kritik sosial. Wujud kehidupan sosial yang dikritik bermacam-macam. Sastra yang mengandung pesan kritik biasanya lahir akibat terjadinya keresahan pengarang pada peristiwa yang terjadi di kehidupan masyarakat. Salah satu peristiwa yang menarik perhatian beberapa sastrawan ialah tentang kekuasaan dan Orde Baru. Kekuasaan tak selamanya mengikuti jalan logika, kekuasaan dapat bertahan dengan berbagai cara, salah satunya melakukan tekanan dengan kekerasan. Tidak terlupakan, bagaimana pemerintah semasa Orde Baru mengorbankan ribuan nyawa demi kelanggengan kekuasaannya, seperti yang dikatakan dalam Asvi Warman mengenai pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang yang dianggap berhaluan komunis, diatandai dengan jatuhnya korban jiwa hingga 500.000 orang.1 Hal inilah yang kemudian diangkat oleh Benny Yohanes dalam naskah drama Cannibalogy. 1
Asvi Warman Adam, Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004), hlm. VI.
1
2
Benny Yohanes yang selanjutnya disebut Benjon merupakan salah seorang penulis naskah drama dan dosen di STSI Bandung yang aktif dan produktif dalam dunia keteateran, terbukti dari banyak karya yang ditulis serta beberapa naskah drama yang menjadi nominasi terbaik dalam beberapa ajang festival penulisan naskah drama. Salah satu di antaranya ialah naskah Cannibalogy yang masuk ke dalam lima besar naskah terbaik versi Federasi Teater Indonesia pada 2008. Naskah ini merupakan naskah drama yang menggambarkan masa kekuasaan rezim Orde Baru yang dibumbui potongan-potongan sejarah Indonesia lainnya. Karya ini dapat menjadi renungan bagi penikmat karya sastra tentang sejarah bangsa Indonesia, yakni saat keadaan yang menjadikan bangsa kita terpuruk oleh kegelisahan peradaban; kediktatoran pemimpin, ketidakberdayaan hukum, kemiskinan, demonstrasi, dan pelengseran jabatan. Permasalahan-permasalahan aktual di atas ternyata juga telah diangkat oleh beberapa sastrawan yang juga mengusung tema Orde Baru dalam naskah drama. Dua di antaranya yakni Seno Gumira Ajidarma dalam karyanya Mengapa Kau Culik Anak kami? dan Nano Riantiarno dalam karyanya Semar Gugat. Dalam Mengapa Kau Culik Anak kami? Seno mengusung latar Masa pemerintahan Orde Baru yang marak terjadi kekerasan politik baik secara birokratis maupun secara fisik. Naskah ini mengangkat peristiwa penculikan aktivis yang terwujud dalam obrolan antara tokoh Ibu dan Bapak yang anaknya diculik dan belum kembali. Drama ini menggambarkan tindak kekejaman yang dilakukan oleh tentara, serta kehidupan Ibu-Bapak yang anaknya hilang diculik oleh penguasa. Sejak awal penceritaan, Seno telah menunjukkan teror yang terjadi dalam dunia politik. Bagaimana kejahatan hukum dapat saja terjadi demi kepentingan penguasa, terutama jika berada di bawah negara dan pemerintahan dengan kendali hukum serta tatanan nilai yang kabur.
3
Selain mengenai peristiwa penculikan aktivis, dalam drama ini juga mengangkat tindak kekerasan yang pernah terjadi pada tahun 1965-1966. Dalam naskah tersebut digambarkan tindak kekerasan dan pembunuhan massal yang dialami orang-orang terduga komunis sebagai tindak pembersihan politik pada masa transisi dari Orde Lama menuju ke Orde Baru. Penggambaran pembantaian besar-besaran ketika ricuh Partai Komunis menjadi relevansi dari ketimpangan sosial dan politik yang terjadi di Indonesia. Selanjutnya adalah naskah Semar Gugat karya Nano Riantiarno. Dalam naskah tersebut Nano menyampaikan kritikan serta isu besar yang terjadi selama Orde Baru berlangsung secara simbolik melalui penggalan-penggalan kalimat dalam dialog antartokoh. Dikarenakan represifnya rezim yang berkuasa saat itu, maka kritik yang disampaikan tidak bersifat langsung atau verbal. Rezim penguasa yang otoriter pada saat itu cenderung represif terhadap kebebasan pers. Setiap media massa yang berani mengkritik kebijakan penguasa, kemudian pemimpin redaksi media tersebut dicekal atau dibredel media penerbitannya. Kondisi sosial masyarakat pada masa Orde Baru yang sangat kapitalistik, merajalelanya kemiskinan, bobroknya sistem pendidikan, kurang dihargainya hak asasi manusia dan semacamnya tidak lepas pula dari kritik Nano dalam naskah drama Semar Gugat tersebut. Naskah-naskah drama tersebut dapat menjadi referensi bacaan sastra bagi siswa-siswa di sekolah agar menjadi generasi yang lebih kritis dan peka terhadap sejarah dan perkembangan yang terjadi di Indonesia. Keberadaan naskah drama sebagai bacaan fiksi dapat melengkapi pembelajaran sastra. Kritikan sosial yang terkandung di dalamnya pun dapat merangsang siswa untuk terus berpikir kritis mengenai keadaan sosial yang terjadi di sekitar. Naskah-naskah yang menyuarakan kritik penyimpangan masa Orde Baru pun dapat mengajarkan siswa untuk tidak melupakan sejarah bangsa.
4
Keberadaan naskah drama Cannibalogy sebagai bacaan fiksi dapat pula melengkapi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Naskah drama Cannibalogy dapat menjadi salah satu bacaan yang memberikan peserta didik pemahaman dan pengenalan terhadap nilai-nilai sosial yang terkandung dalam sastra. Dari kondisi dan masalah sosial yang terkandung dalam karya fiksi dapat mengembangkan diri peserta didik pada aspek afektif. Pada saat membahas unsur ekstrinsik karya sastra, siswa dapat mengamati kenyataan sosial yang diceritakan oleh pengarang. Dengan pendidikan sastra, peserta didik tidak hanya diajak untuk memahami dan menganalisis berdasarkan bukti yang ada dalam karya sastra dan kenyataan yang ada di luar sastra, tetapi juga diajak untuk mengembangkan sikap positif terhadap karya sastra. Pendidikan semacam ini akan mengembangkan kemampuan berpikir, sikap, dan keterampilan peserta didiknya. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan salah satu media ajar sekaligus penyampaian kritik. Dalam pembelajaran sastra pun peserta didik diharapkan mampu memahami realitas kehidupan yang tercermin secara kritis, maka penelitian ini sangat penting untuk dapat diterapkan pada pembelajaran sastra di sekolah. Sehubungan dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti kritik sosial dalam naskah drama cannibalogy karya Benny Yohanes yang menggambarkan kondisi Indonesia pada masa Orde Baru dalam skripsi dengan judul “Kritik Sosial dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA).”
5
B. Identifikasi Masalah Tujuan dari identifikasi masalah adalah untuk memudahkan peneliti dalam mengkaji bahasan penelitiannya. Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, terdapat beberapa identifikasi masalah yang dapat dibahas dalam penelitian ini, di antaranya: a. Karya sastra merupakan media krtitik sosial. b. Sastra yang mengandung pesan kritik sosial lahir akibat keresahan pengarang pada peristiwa yang terjadi di kehidupan masyarakat. c. Banyak terjadinya kasus penyimpangan oleh sosok penguasa pada masa Orde Baru.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, penulis membatasi masalah hanya pada kritik sosial dalam naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah yang telah diuraikan tersebut, dan agar permasalahan lebih mudah untuk dibahas, maka dalam penelitian ini penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas, yakni: 1. Bagaimana struktur naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes? 2. Bagaimana bentuk kritik sosial dalam naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes? 3. Bagaimana implikasi kritik sosial naskah Cannibalogy karya Benny Yohanes sebagai bahan ajar sastra di SMA?
6
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui struktur naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes. 2. Untuk mengetahui kritik sosial yang terdapat dalam naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes. 3. Untuk mengetahui implikasi penelitian naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes pada pembelajaran sastra Indonesia di SMA.
F. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti dan pendidik bahasa dan sastra Indonesia baik secara teoretis maupun praktis :
1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memperluas ilmu pengetahuan di bidang kritik sosial dan sastra Indonesia serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan sehingga dapat bermanfaat bagi perkembangan sastra Indonesia.
2. Manfaat Praktis a) mengetahui kritik sosial yang terdapat dalam naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes. b) Sebagai bahan yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. c) Sebagai motivasi dan referensi bagi peneliti lain yang akan mengkaji atau meneliti bahan dan kajian sejenis.
7
G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian, setiap penulis perlu menetapkan suatu metode penelitian. Dalam arti luas, metode dianggap sebagai cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Metode berfungsi menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami.2 Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan sosiologi sastra. Metode kualitatif menafsirkan data dengan menyajikannya
dalam
bentuk
deskripsi.
Dengan
metode
kualitatif
memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya konteks keberadaannya.3 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra dengan menghubungkan cerita dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon dengan kondisi sosial masa pemerintahan Orde Baru. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sumber data sekunder. a. Sumber data primer Data primer merupakan data langsung yang berkaitan dengan karya sastra yang dikaji, dalam hal ini data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes 2
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), h. 34. 3
Ibid, h. 47
8
yang diterbitkan pada tahun 2008 dan Drama dalam Dua Dimensi karya Hasanuddin W.S.
b. Sumber data sekunder Data sekunder merupakan data tambahan atau pelengkap yang memiliki hubungan dengan objek penelitian, sumber data sekunder yang digunakan pada penelitian ini berasal dari referensi di luar naskah Cannibalogy, yakni buku-buku mengenai sastra, pengkajian fiksi, dan Orde Baru. Data ini sebagai penunjang untuk membantu penelitian terkait kritik sosial karya sastra.
3. Teknik Pengumpulan data Teknik yang dipakai dalam mengumpulkan data ini adalah studi kepustakaan atau dokumentasi. Teknik dokumentasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan membaca buku-buku yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti. Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan data yang relevan dengan masalah penelitian. Semua data yang berkaitan dengan masalah pokok penelitian ini ditelaah secara teliti sehingga diperoleh data penelitian yang komprehensif. Setiap data yang diperlukan disajikan dalam tulisan ini, sebagai bahan analisis untuk menjawab permasalahan penelitian. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data adalah suatu cara yang digunakan untuk menguraikan keterangan-keterangan atau data-data yang diperoleh agar dapat dipahami oleh peneliti. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
9
a. Manganalisis data yakni naskah drama Cannibalogy karya Benjon berdasarkan struktur naskah meliputi tema, tokoh, dan penokohan, alur, latar cerita, dan gaya bahasa. b. Analisis dalam penelitian ini menggunakan tinjauan ilmu sosiologi sastra. Analisis ini dilakukan dengan membaca dan memahami buku yang berkaitan dengan penelitian dan mengumpulkan berbagai teks yang berkaitan dengan Orde Baru kemudian menganalisisnya sesuai rumusan yakni kritik sosial dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon. c. Mengimplikasikan naskah drama Cannibalogy karya Benjon dalam pembelajaran sastra di SMA dilakukan dengan cara menghubungkannya dengan materi pembelajaran sastra di sekolah.
BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Kritik Sosial 1. Pengertian Kritik Sosial Pengertian ‘kritik’ berasal dari kata krites (Yunani Kuno) yang berarti ‘hakim’. Krites sendiri semula berasal dari kata krinein ‘menghakimi’. Pengertian kritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya.1 Kata sosial dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti ‘berkenaan dengan masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum.’2 Dari definisi kritik dan sosial yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud kritik sosial adalah pandangan atau tanggapan yang berisi komentar atau kecaman terhadap fenomena sosial yang menyimpang. Adanya pengaruh masyarakat terhadap hasil karya seorang pengarang akan memunculkan kritik terhadap ketimpangan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat. Karya sastra yang mengandung kritik sosial lahir di masyarakat akibat keresahan dan kekritisan pengarang akibat terjadinya peristiwa yang tidak semestinya di kehidupan sosial masyarakat. Kritik sosial tidak hanya bersifat mengecam, mencela, tetapi juga berisi tanggapan, serta inovasi sosial sehingga tercapai sebuah harmonisasi sosial. Kritik dapat disampaikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Media yang tersedia untuk menyampaikan kritik juga cukup beragam. Karya sastra merupakan salah satu media untuk menyampaikan kritik sosial secara tidak langsung. Kritik sosial banyak dijumpai dalam karya sastra sebagai gambaran realita sosial. 1
Tim Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), ed , cet 3ibid, h. 601 2 ibid., h. 1085.
10
11
Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat. Dalam konteks inilah, kritik sosial merupakan salah satu variabel penting dalam memelihara sistem sosial. Berbagai tindakan sosial ataupun individual yang menyimpang dari orde sosial maupun orde nilai moral dalam masyarakat dapat dicegah dengan memfungsikan kritik sosial. Dengan kata lain, kritik sosial dalam hal ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat.3 Kritik sosial juga dapat berarti sebuah inovasi sosial. Artinya, kritik sosial menjadi sarana komunikasi gagasan-gagasan barusembari menilai gagasan-gagasan lama untuk suatu perubahan sosial. Kritik sosial dalam kerangka yang demikian berfungsi untuk membongkar berbagi sikap konservatif, status quo, dan vested interest dalam masyarakat untuk perubahan sosial.4 Perspektif kritik sosial yang demikian lebih banyak dianut oleh kaum kritis dan strukturalis. Mereka melihat bahwa kritik sosial adalah wahana komunikatif untuk suatu tujuan perubahan sosial.5 Kritik sosial dapat dipahami sebagai suatu ide atau gagasan yang bertolak belakang atau berfungsi sebagai diapoda dari kenyataan maupun berbagai bentuk keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan dan harapan. Akhmad Zaini Abar dalam Mahfud M.D mengemukakan bahwa, “kritik sosial adalah suatu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat”. Zaini juga mengatakan bahwa “berbagai tindakan sosial atupun individual yang menyimpang dari kaidah umum dapat dihindari 3
Akhmad Zaini Abar, “Kritik Sosial, Pers, dan Politik Indonesia” dalam Moh. Mahfud MD, dkk (editor), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (Yogyakarta: UII Press, 1999), Cet. 2, h. 47.
4
Ibid, h. 49. Ibid, h. 49.
5
12
maupun dicegah dengan cara memfungsikan kritik sosial”.6 Dengan kata lain, kritik sosial dalam pandangan ini berfungsi sebagai wahana untuk mencegah hal-hal menyimpang yang terjadi di lingkungan sosial atau masyarakat, selain itu kritik sosial juga tampil sebagai penetral keadaan agar keadaan tetap tentram dan terjaga.
2. Kritik Sosial, Protes Sosial, dan Kreativitas Kritik sosial dapat dipahami
sebagai instrumen yang mengoreksi
kekuasaan dengan menciptakan suatu integritas.7 Sehingga kritik sosial tidak selalu diartikan sebagai suatu disintegrasi, melainkan mampu memberikan kontribusi terhadap harmoni sosial. Harmoni sosial atau stabilitasi di sini dianggap sebagai garis tengah atau keseimbangan yang berdiri di tengahtengah konflik yang ada. Pada titik inilah dapat dilihat suatu ketegasan bahwa kritik sosial harus berfungsi sebagai sistem kontrol. Berbicara mengenai kritik sosial, maka erat hubungannya dengan protes sosial dan kreativitas, terutama jika dikaitkan dengan karya sastra. Seperti yang dipaparkan Saini K. M mengenai hubungan antara protes sosial dan kreativitas. Pertama, terdapat dua unsur yang menghasilkan kreativitas, yaitu kesadaran manusia dan realitas. Kesadaran manusia dapat berupa kepekaan pikiran maupun hasratnya. Realitas dapat berupa rangsangan, sentuhan-sentuhan, serta masalah-masalah yang melibatkan dan menjadi pemicu kesadaran manusia.8 Kedua, melalui keterarahan dapat melahirkan kreativitas bila diungkapkan dengan usaha sadar. Usaha sadar tersebut hanya dapat terjadi setelah melakukan penetapan (identifikasi) tantangan-tantangan yang ditemukan dalam realitas. Saini membagi realitas menjadi empat bagian, 6
Moh. Mahfud MD, dkk, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta : UI Press, 1997), h. 47. 7 Ibid, h. 25 8 Saini K.M, Protes sosial dalam Sastra, (Bandung: Angkasa, 1988), h. 2.
13
antara lain realitas fisik, realitas sosial, realitas psikis, dan realitas metafisik. Letak protes sosial berada pada lingkungan sosial (realitas sosial) yang terdiri atas hubungan antara individu dengan individu lain atau jangkauan yang lebih luas mencakup masyarakat. Tetapi, tidak berhenti pada realitas sosial belaka untuk membuat karya sastra yang bermutu. Pada prosesnya, penciptaan karya sastra tidak berlangsung dalam kondisi tekanan dari pihak lain ataupun atas ideologi tertentu. Kejujuran dalam berkreativitas ditunjukkan melalui karya sastra. Maka dari itu, untuk melihat kejujuran tersebut, Saini mengutip istilah yang digunakan oleh T. S. Elliot, Yaitu objective-correlative. Maksud dari istilah tersebut adalah, “pengalaman (sejati) yang semula merupakan milik seseorang, kalau orang itu sastrawan kreatif, maka ia akan mengolah pengalaman itu sedemikian rupa sehingga menjadi pengalaman yang bersifat objective-correlative.9 3. Kritik Sosial dalam Sastra Damono memaparkan bahwa karya sastra dapat menampilkan gambaran kehidupan masyarakat. Berbagai hal atau peristiwa dalam masyarakat dapat mempengaruhi pikiran pengarang atau mengendap dalam pikirannya sehingga lahirlah sebuah karya. Sastra dengan ini berarti tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam karya sastra tercermin gambaran tentang struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lainlain.10 Berkat kemampuan dan kepekaannya, seorang sastrawan dapat menghasilkan karya yang bermanfaat bagi masyarakat. Jadi selain sebagai alat yang menghibur, suatu karya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, 9
Ibid., h. 2. Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas,(Jakarta:Depdikbud, 2002), h. 11.
10
14
antara lain menuliskan kritik terhadap masyarakat. Banyak karya sastra yang bernilai tinggi yang di dalamnya menampilkan pesan-pesan kritik sosial.11 Sementara itu, Sikana memaparkan bahwa karya sastra merupakan sebuah cerminan masyarakat, sebuah dokumentasi sosial, dan sebuah wadah bagi protes sosial.12 Pada bagian lain dikatakannya pula bahwa teks sastra dapat dianalisis dalam kaitannya dengan isu politik, ekonomi, budaya, dan aspek-aspek lainnya yang membangun masyarakat.13 Sikana menjabarkan halhal yang bisa digali dalam sebuah karya sastra jika sebuah penelitian menggunakan pendekatan sosiologi sastra, seperti ekonomi, isu politik, dan budaya. Menuangkan kritik sosial dalam bentuk karya sastra adalah salah satu bentuk penyampaian kritik sosial secara tidak langsung terhadap kondisi sosial yang sedang terjadi. Pengarang menyuarakan tanggapannya yang berbentuk kritik sosial dan mewakili masyarakat untuk mengemukakan keluhan dan harapan masyarakat. Keluhan dan harapan terjadi karena realitas sosial berada pada ketidaksesuaian dari apa yang diharapkan sehingga memunculkan kritik sosial yang dikemukakan melalui berbagai media yang salah satunya adalah karya sastra. 14
4. Kritik Sastra William Flint Thrall dan Addison Hibbard dalam Atar Semi mengemukakan bahwa kritik merupakan keterangan, kebenaran analisis atau judgment suatu karya sastra. Selanjutnya dikatakan, bahwa ada beberapa cara mengklasifikasikan kritik, yang lazim di antaranya adalah mimetik, pragmatik, ekspresif, dan objektif. Salah satu dikotomi umum kritik ialah aliran 11
Op., cit. Nurgiyantoro, h. 330 Mana Sikana, Kritikan Sastra Melayu Modern. (Singapura: Pustaka Karya, 2006), h. 400. 13 ibid., h. 404. 12
14
ibid., h. 397.
15
Aristotelian versus Platonic. Aristotelian menganggap kritik bersifat formal, logis, dan yudisial yang cenderung mengemukakan nilai-nilai karya pada diri suatu karya sastra atau hal-hal yang berhubungan dengan karya itu sendiri. Platonic mengarah kepada pandangan moral dan kegunaan (manfaat) suatu karya seni, di mana nilai suatu karya diperoleh pada kegunaan untuk yang lain dan tujuan-tujuan non seni. Jadi, pada pokoknya apa yang dimaksudkan dengan dikotomi Aristotelian Platonic ialah pemisahan intrinsik dengan ekstrinsik. Definisi lain mengenai kritik sastra dikatakan oleh Andra Harjana sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran semantik yang dinyatakan dalam bentuk tertulis.15 Dari beberapa pemaparan di atas, secara singkat dapat dijelaskan bahwa kritik sastra adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang masyarakat dalam karya sastra. Dalam kritik sastra, dapat diketahui nilai-nilai pada suatu karya sastra serta hal-hal yang berhubungan dengan karya itu sendiri.
5. Jenis-jenis Kritik Sosial Kritik sosial yang menjadi perhatian peneliti dalam penelitian ini meliputi beberapa aspek, yakni kritik sosial masalah politik, sosial-budaya, moral, dan kemanusiaan. a. Kritik Sosial Masalah Politik Sumaadmaja mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk berpolitik karena manusia mempunyai kemampuan untuk mengatur kesejahteraan, keamanan, dan pemerintahan di dalam kelompoknya. Manusia adalah makhluk yang dapat mengatur pemerintahan dan negaranya.16 Dalam usaha mengatur pemerintahannya, manusia harus menjalankan suatu 15
Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 2013), h. 5. Nursid Sumaadmaja, Perspektif Studi Sosial. (Bandung: Penerbit Angkasa,1980), h. 42.
16
16
mekanisme yang sesuai sehingga tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan yang akan merugikan masyarakat. Mahfud dalam bukunya yang berjudul “ Politik Hukum di Indonesia” membagi dua hal mengenai susunan kekuatan politik secara dikotomis.17 1) Konfigurasi politik demokratis adalah susunan sisem politik yang membuka peluang bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijakan umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan politik. 2) Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elite kekuasaan untuk melaksanakan persatuan, penghapusan
oposisi
terbuka,
dominasi
pimpinan
negara
untuk
menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuatan politik oleh elite politik yang kekal, serta dibalik semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan. Mekanisme lain yang harus dijalankan dalam pemerintahan adalah kekuasaan (power). Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan orang lain, dalam hal ini kekuasaan memiliki unsur yang tidak dimiliki oleh pengaruh, yaitu kemampuan untuk memadamkan perlawanan dan menjamin tercapainya keinginan penguasa itu. Aspek terakhir yang dalam mekanisme politik adalah kekuasaan (authority).
Kekuasaan
dapat
diartikan
sebagai
kemampuan
untuk
menggunakan kekerasan. Kekuasaan dapat melawan keinginan orang dan 17
Mahfud MD. Politik Hukumdi Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 30.
17
membuatnya patuh pada peraturan atau kebijakan yang dtetapkan penguasa pemerintahan, walaupun dengan menggunakan jalan-jalan kekerasan. Kritik sosial masalah politik berkaitan dengan masalah kekuasaan (power), pengam bilan keputusan (decision making), kebijakan politik (public policy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution).18 b. Kritik Sosial Masalah Sosial-Budaya Masalah sosial budaya adalah peristiwa atau kejadian yang timbul akibat interaksi sosial dalam kelompok masyarakat atau antara kelompok masyarakat guna memenuhi suatu kepentingan hidup, yang dianggap merugikan salah satu pihak atau masyarakat secara keseluruhan. Masalah tersebut bersumber pada perbedaan sosial budaya yang dianggap merugikan kepentingan pihak lain, sehingga dapat memicu terjadinya konflik. Dengan demikian moral selalu menunjukkan baik buruknya perbuatan atau tingkah laku manusia sebagai manusia. Tolok ukur untuk menilai baik buruknya tingkah laku manusia disebut norma. Prinsip moral yang amat penting adalah melakukan yang baik dan menolak yang buruk. Abdulkadir memaparkan bahwa manusia merupakan makhluk sosial artinya manusia sebagai individu tidak akan mampu hidup sendiri dan berkembang sempurna tanpa hidup bersama dengan individu manusia yang lain. Manusia harus hidup bermasyarakat, artinya saling berhubungan dan berinteraksi satu sama lain dalam kelompoknya dan juga dengan individu di luar kelompoknya guna memperjuangkan dan memenuhi kepentingannya.19 Warga masyarakat menyatukan diri dalam tipe kelompok sosial budaya berdasarkan kesatuan tempat dan ikatan alamiah. Alasan pertama karena mata pencaharian yang sama, sehingga penerapan asas gotong royong dan tolong menolong lebih efektif dan efisien. Kedua adalah keturunan (etnis) 18 19
Ibid., h. 31. M Abdulkadir,ilmu Sosial Budaya Dasar, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), h.5.
18
yang sama, budaya yang sama yang mengikat mereka, sehingga berkembang rasa solidaritas kelompok untuk hidup bersama dan saling melindungi di tempat yang sama.20 Sikap sosial yang secara moral dapat dinilai buruk yaitu, misalnya sikap radikal, sikap membenci golongan yang dianggap menindas orang kecil, sikap acuh tidak acuh atau masa bodoh, sikap kasihan. Sikap-sikap macam ini tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka layak dihindari. Jadi kritik sosial masalah moral adalah kritik yang ditujukan kepada sikap atau perbuatan manusia, apakah sesuai dengan norma atau hukum yang berlaku. c. Kritik Sosial Masalah Kemanusiaan Manusia adalah makhluk cipataan Tuhan yang paling sempurna. Kesempurnaan itu dibuktikan oleh akal, perasaan, dan kehendak yang membedakannya dengan makhluk lain. Karena kesempurnaan itu, manusia mempunyai nilai yang sama di mana saja. Manusia yang bernilai adalah manusia yang selalu mengarahkan setiap tingkah laku dan perbuatannya pada kebenaran, kebaikan, dan kemanfaatan bagi semua manusia.21 Lebih lanjut mengenai berbagai aspek kehidupan manusia yang dapat dikategorikan menjadi 2 ungkapan, yaitu ungkapan aspek kehidupan manusiawi dan ungkapan aspek kehidupan tidak manusiawi. Aspek kehidupan manusiawi diungkapkan sesuai dengan nilai budaya sebagai pandangan hidup, melalui sikap dan perbuatan yang saling menyayangi, melindungi,
menghargai,
menguntungkan,
menyenangkan
dan
membahagiakan yang dirasakan sebagai keindahan hidup. Aspek kehidupan tidak manusiawi diungkapkan melalui sikap dan perbuatan yang merugikan, menggelisahkan dan menjadikan manusia menderita karena dirasakan tidak adil, tidak bertanggung jawab, jelek dan jahat.22 20
Ibid., h. 45. Ibid., h. 11. 22 Ibid., h. 93. 21
19
Dalam realita, ada pula yang menanggapi manusia lain serta lingkungan hidupnya secara tidak manusiawi, mengabaikan nilai manusia lain guna memenuhi kepentingannya sendiri. Bertindak kasar, sewenangwenang, menyakiti, membuat orang menderita, bahkan dimusnahkan. Dengan demikian, kritik sosial mengenai masalah kemanusiaan ditujukan terhadap tindakan-tindakan seseorang atau sekelompok orang yang menyakiti secara fisik kepada orang lainnya, bertindak tidak manusiawi yang merugikan dan menyengsarakan orang lain.
B. Hakikat Sosiologi Sastra 1. Pengertian Sosiologi Sastra Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Arenanya asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya.23 Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan
proses
sosial.
Sosiologi
mencari
tahu
bagaimana
masyarakat
dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial- kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri
dengan
lingkungaannya,
tentang
mekanisme
sosialisasi,
proses
23
Suwardi Endraswara, Metodologi penelitian Sastra, (Yogyakarta: Medpress, 2008), Cet. IV., h.77.
20
pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat ditempatnya masingmasing.24 Sesungguhnya antara sosiologi dan sastra merupakan dua ilmu yang memiliki objek yang sama, yaitu manusia dan masyarakat.25 Hakikat sosiologi adalah objektivitas, sedangkan hakikat karya sastra adalah objektivitas dan kreativitas sesuai dengan pandangan pengarang. Jadi, dasar pemikiran yang mengitari konsep sosiologi sastra adalah keterkaitan sastra dengan masyarakat. Munculnya sebuah karya sastra merupakan gambaran dari masyarakat itu sendiri, sebab sastra merupakan refleksi hubungan seseorang dengan orang lain atau masyarakat.26 Dalam konteks ini, sastra bukanlah sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan.27 Untuk meneliti sebuah karya sastra, dalam penelitian ini khususnya drama sangat berkaitan dengan masyarakat, sehingga untuk memaparkan gejala sosial dan segala persoalannya dibutuhkan pendekatan sosiologi. Dengan demikian, penelitian sosiologi sastra, baik dalam bentuk penelitian ilmiah maupun praktis, dilakukan dengan cara mendeskripsikan, memahami, dan menjelaskan unsur-unsur karya sastra dalam kaitannya dengan perubahanperubahan sosial yang terjadi disekitarnya.28 Karya sastra adalah sebuah struktur tanda yang bermakna. Di samping itu, karya sastra adalah karya yang ditulis oleh pengarang. Pengarang tidak terlepas dari sejarah sastra dan latar belakang sosial budayanya. Maka semua itu tercermin dalam karya sastra. 24
Sapadi Joko Damono, Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengenmbangan Bahasa, 1979), h. 7. 25 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), h . 2. 26 Rachmat Djoko Pradopo,dkk, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2002),h.151. 27 Pradopo. Loc.cit. 28 Nyoman Kutha Ratna, Op.cit,. h. 25.
21
Hill dan Pradopo berpendapat bahwa karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks, oleh karena itu untuk memahaminya haruslahkan karya sastra dianalisis.29 Sedangkan Goldman dan Faruk mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya yaitu, (1) bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner, dan (2) bahwa dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan semesta tokoh, objektif, dan relasi secara imajiner.30 Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, hasil berupa karya sastra dengan masyarakat, dan hubungan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Konsep tersebut menandai bahwa sosiologi sastra akan meneliti sastra sebagai ungkapan historis, ekspresi suatu waktu, sebagai sebuah cermin, serta memuat aspek sosial budaya yang memiliki fungsi sosial berharga yakni aspek fungsi sosial sastra berkaitan dengan cara manusia hidup bermasyarakat.
C. Hakikat Drama Drama adalah bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog. Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh berbeda dengan lakuan dan dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.31 Berbicara tentang drama, terdapat dua aspek yang perlu di pahami dan dipisahkan. Yang pertama ialah aspek penulisan naskah dan kedua aspek
29
Rachmat Djoko Pradopo, op. cit., h. 108. Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h.71. 31 E.Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia: Puisi, Prosa, Drama, (Jakarta: PT Perca, 2008), h. 81. 30
22
pementasan. Meskipun keduanya berbeda, namun terdapat ikatan hubungan yang sangat erat.
1. Pengertian Drama Sebagai sebuah bentuk karya sastra, penyajian drama berbeda dengan bentuk kesusastraan lainnya, cerpen dan novel misalnya. Pada novel dan cerpen masing-masing menceritakan kisah yang melibatkan tokoh-tokoh melalui kombinasi antara narasi dan sedikit dialog, sedangkan sebuah drama pada hakikatnya terdiri atas dialog dan sedikit prolog. Dalam Suyadi San, drama (Yunani Kuno : δramoy) adalah satu bentuk karya sastra yang memiliki bagian untuk diperankan oleh aktor. Kosa kata ini berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “aksi”, “perbuatan”.32 Dalam bahasa Inggris disebut drama, dan dalam bahasa Perancis disebut drama yang berarti perbuatan atau tindakan. Berdasarkan kenyataan ini, memang drama sebagai pengertian lebih difokuskan kepada dimensi pertunjukannya. Ferdinan Brunetire dan Balthazar Verhagen dalam Hasanuddin berpendapat bahwa drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan action dan perilaku. Sedangkan pengertian drama menurut Moulton adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak, drama adalah menyaksikan kehidupan manusia yang diekspresikan secara langsung.33 Pementasan sebuah drama akan memudahkan penikmat sastra untuk memahami drama, karena penikmat akan lebih mudah mengerti dan memahami dialog yang diucapkan dengan intonasi dan artikulasi yang sesuai jika dibandingkan dengan membaca dialog-dialog pada naskah drama secara langsung. Dengan dialog, akan terlihat penokohan, permasalahan dan 32
Suyadi San, Drama Konsep Teori dan Kajian, (Medan: CV. Partama Mitra Sari, 2013), h. 5. 33 Hasanuddin, Drama Karya Dalam Dua Dimensi, (Bandung: Angkasa, 1996), cet. 1, ,h. 2.
23
peristiwa yang hendak dikemukakan oleh pengarangnya. Akan tetapi, jika pemahaman tersebut terus dipaksakan dan berorientasi dengan pengertian seperti di atas, drama akan kehilangan dimensi sastranya, dan hanya akan menonjol dari seni pertunjukannya saja.
2. Naskah Drama Kata naskah berasal dari bahasa Inggris manuscript dan bahasa Perancis manuscrit yang berarti karangan yang ditulis tangan atau diketik, yang dipergunakan sebagai dasar untuk mencetaknya.34 Jadi, naskah dapat dikatakan sebagai karangan yang tertulis. Sedangkan drama, seperti yang telah dijelaskan, merupakan karya sastra dalam bentuk dialog dan juga merupakan seni pertunjukan. Sebagai genre sastra, drama mempunyai unsur cerita yang ditulis seorang pengarang dalam bentuk dialog. Pengarang naskah drama menggunakan bahasa sebagai sarana untuk menyalurkan kreativitas dan imajinasinya yang dibentuk dalam dialog dan petunjuk pemanggungan. Dialog merupakan pemikiran tokoh yang ditampilkan dalam bentuk perkataan atau ujaran, sedangkan petunjuk pemanggungan merupakan tuntunan bagi pengaturan tingkah laku pemain.35 Sebagai genre sastra, secara umum dapat dikatakan drama mendekati, atau bahkan dapat diidentikan dengan fiksi. Biasanya rumusan tentang keidentikan ini diperoleh dari penelusuran tentang bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang. Dalam fiksi dapat ditemukan pemaparan tersebut tentang suatu peristiwa atau tentang seseorang. Pemeranan tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga seolah-olah terjadi. Tokoh atau seseorang yang dipaparkan seolah-olah benar ada dan pernah ada, 34 35
Ibid., h. 532. Attar Semi, Anatomi Sastra, (Bandung: Angkasa, 1988),h. 161.
24
atau akan ada nantinya. Padahal peristiwa hanya ada dalam imajinasi dan pikiran pengarang semata. Tentu saja harus diingat bahwa pemaparan ini tidak mungkin terus imajinasi, karena jika terus saja imajinasi, fiksi tidak pula bisa dipahami. Unsur-unsur yang semacam ini – yang biasa dikenal dengan istilah fiksionalitas – di dalam drama.36 Namun dengan terbentuknya cerita melalui dialog-dialog antar tokoh membuat naskah drama berbeda dengan genre sastra lainnya. Puisi tersusun dari rangkaian kata yang bermakna dan sifatnya simbolik, sedangkan cerita fiksi seperti cerpen dan novel disusun dengan menarasikan cerita yang ditulis oleh pengarang.
3. Unsur Intrinsik Drama Di dalam drama tidak ditemukan adanya unsur pencerita, sebagaimana terdapat di dalam fiksi. Alur di dalam drama lebih dapat ditelusuri melalui motif yang merupakan alasan utama munculnya suatu peristiwa. Motif di dalam drama menjadi penting, karena aspek ini sudah menjadi perhatian pengarang sewaktu karya drama ditulis.37 Sebagai suatu genre sastra, drama mempunyai kekhususan dibanding dengan genre sastra yang lain. Jika dibandingkan dengan karya fiksi yang lain, maka unsur intrinsik dalam drama dikatakan kurang sempurna. Namun begitu, tidaklah berarti bahwa dengan hilangnya unsur pemaparan dan pembeberan, drama menjadi karya yang terbatas sama sekali. Justru pada aspek ini jugalah letak kekuatan karya drama.38 Dalam bukunya, Hasanuddin menyebutkan naskah drama terdiri atas :
36
Hasanuddin, op. cit., h. 58. Ibid., h. 75. 38 Ibid., h. 76 37
25
a. Penokohan dan Perwatakan Dalam drama (kecuali monolog) tidak hanya ada seorang tokoh yang bergerak tanpa hubungan dengan tokoh lain. Tokoh dalam drama tersebut berdialog dengan tokoh lain, bertatap muka dan berkonflik antara satu sama lain, saling berinteraksi dan komunikasi hingga menimbulkan konflik. Dalam Suyadi San, terdapat istilah yang lazim digunakan yakni penokohan dan teknik penokohan. Penokohan merujuk kepada proses penampilan tokoh yang berfungsi sebagai pembawa peran watak tokoh cerita dalam drama. Sedangkan teknik penokohan adalah teknik yang digunakan penulis naskah lakon, sutradara, atau pemain dalam penampilan atau penempatan tokoh-tokoh wataknya dalam cerita. Teknik penokohan dilakukan dalam rangka menciptakan citra tokoh cerita yang hidup dan berkarakter. Watak tokoh cerita dapat diungkapkan melalui salah satu teknik berikut : 1. Apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dikehendaki tentang dirinya atau tentang diri orang lain, 2. Lakuan, tindakan, 3. Cakapan, ucapan, ujaran, 4. Kehendak, perasaan, pikiran, 5. Penampilan fisik. Penokohan, gerak, dan cakapan adalah tiga komponen utama yang menjadi dasar terjadinya konflik (tikaian) dalam drama. Pada hakikatnya konflik (tikaian) merupakan unsur intrinsik yang harus ada dalam sebuah drama. Dalam Suyadi San terdapat empat cara membangun pola penokohan naskah drama. Pertama, tiap tokoh mempunyai nama. Namanama tokoh tidak di susun secara serta merta oleh pengarang. Tentu memiliki alasan dan latar belakang. Ini, tentu penamaan saja akan menjadi gambaran perwatakan sang tokoh. 39 39
Suyadi San, op.cit., h. 10.
26
Pola penokohan yang pertama ini tentu akan membantu pembaca ataupun aktor dalam mengetahui watak, dialek, serta kebiasaan yang dilakukan oleh tokoh dalam naskah. Sebagai contoh tokoh Mas Ageng dalam naskah Cannibalogy karya BenJon. Tentu ada maksud serta makna di balik nama tersebut. Dari namanya akan terlihat Mas Ageng berasal dari tanah Jawa dan memiliki kedudukan yang dihormati. Tidak jauh berbeda halnya dengan Suyadi San, Hasanuddin. WS mengatakan dalam penokohan terbentuk hal-hal yang berkaitan dengan penamaan, keadaan fisik tokoh, keadaan sosial tokoh, serta karakter tokoh. Hal-hal yang termasuk di dalam permasalahan penokohan ini saling berhubungan dalam upaya membangun permasalahan-permasalahan atau konflik-konflik kemanusiaan yang merupakan persyaratan utama drama. Bahkan di dalam unsur drama, penokohan merupakan aspek penting, selain aspek ini aspek-aspek lain di dalam drama dimungkinkan berkembang, unsur penokohan di dalam drama terkesan lebih tegas dan jelas pengungkapannya dibandingkan dengan fiksi.40 Pemilihan aspek penamaan untuk tokoh diniatkan sejak semula oleh pengarang untuk mewakili permasalahan dan konflik yang hendak dikemukakan. Oleh sebab itu, dalam upaya penemuan permasalahan drama, pembaca perlu mempertimbangkan unsur penamaan tokoh. Setidak-tidaknya yang harus disadari pembaca adalah faktor nama merupakan suatu subsistem yang lebih besar. Nama di dalam drama dapat menimbulkan persepsi dan resepsi tertentu.41 Kedua, pemeranan. Tokoh-tokoh yang dihadirkan pengarang, untuk dapat membangun persoalan dan menciptakan konflik-konflik, biasanya melalui peran-peran tertentu yang harus mereka lakukan. Jarang tokoh memiliki peran tunggal, kebanyakan multi peran. Jumlah peran 40 41
Hasanuddin, op.cit., h. 76. Ibid., h. 78.
27
yang harus diemban tokoh biasanya tergantung dengan interaksi sosial yang dijalaninya. Perubahan lawan interaksi sosial akan menyebabkan berubahnya peran seorang tokoh. Setiap peran umumnya selalu hadir berpasangan dengan peran seorang tokoh. Setiap peran umumnya selalu hadir berpasangan dengan peran lain dalam bentuk suatu permasalahan atau konflik. Setiap konflik atau permasalahan dapat saja muncul atau dibentuk oleh beberapa peran dari beberapa tokoh. Namun, beberapa peran itu tetap hadir dalam dua kelompok peran yang berpasangan.42 Mengenai hal ini, Robert Sholes dalam Hasanuddin merumuskan enam kedudukan peran tokoh di dalam drama. Keenam kedudukan peran inilah yang membangun cerita dan membentuk konflik. Kedudukan enam peran itu adalah : a)
Peran Lion, yaitu tokoh-tokoh yang dikategorikan sebagai
pembawa ide. Disebut juga tokoh protagonis. Biasanya memerjuangkan sesuatu, yang mungkin berupa kebenaran, kekuasaan, perdamaian, cinta, atau juga wanita. Di dalam perjalanannya kerap kali tokoh Lion mendapat hambatan dan tantangan. Sebagai contoh dalam naskah Cannibalogy yang merupakan peran Lion ialah Suman. Suman digambarkan sebagai tokoh pejuang yang sedang merebut tanah Mojokuto dari tangan penjajah, serta berjuang untuk membebaskan Sun dari Mars. b)
Peran Mars, yaitu tokoh yang menentang dan menghalang-
halangi perjuangan Lion. Biasanya berkeinginan untuk mendapatkan apa yang diinginkan peran Lion. Sering juga di sebut dengan tokoh antagonis.
42
Suyadi San, op.cit., h. 11.
28
Sebagai contoh dalam naskah Cannibalogy yang merupakan peran Mars ialah Suhar. Suhar berkeinginan untuk menguasai dan merampas tanah Mojokuto dan berambisi untuk menikahi Sun. c)
Peran Sun, tokoh atau apapun yang menjadi sasran perjuangan
Lion dan juga yang ingin didapatkan Mars. Merupakan apa yang diinginkan dan diperjuangkan oleh Lion dan Mars. Dalam naskah Cannibalogy Sun diperankan oleh Sinta Salim dan Tanah Mojokuto, karena kedua hal tersebut yang sedang di perjuangkan oleh peran Lion dan Mars. d)
Peran Earth, yaitu peran atau tokoh apapun yang menerima
hasil perjuangan Lion atau Mars. Jika Lion berjuang untuk dirinya sendiri, maka Lion dapat berperan sebagai Earth. Begitu juga Mars, jika ia berjuang untuk dirinya sendiri maka sekaligus sebagi Earth. Dalam naskah Cannibalogy yang berperan sebagai Earth ialah rakyat Mojokuto, hal tersebut dikarenakan dalam naskah Cannibalogy peran Lion berusaha untuk merenggut tanah Mojokuto dari jajahan Olanda. e)
Peran Scale, yaitu peran yang menghakimi, memutuskan,
menengahi, atau juga menyelesaikan konflik dan permasalahan yang terjadi dalam drama. Biasanya pertengahan antara Lion dan Mars. Dalam naskah Cannibalogy yang merupakan peran Scale ialah Mas Ageng Rais. Mas Ageng merupakan sosok penguasa dalam naskah ini yang berhak memberikan keputusan layaknya hakim. f)
Peran Moon, yaitu peran yang bertugas sebagai penolong. Bisa
saja Moon menolong Lion, namun ada juga yang mungkin bertugas menolong Mars. Di dalam kondisinya akan muncul banyak variasi peran. Tidak menutup kemungkinan peran Moon yang membatu Sun, Earth, dan Scale.43 Dalam naskah Cannibalogi Peran Moon dapat 43
Hasanuddin, op.cit., h. 81.
29
digambarkan pada sosok Landless yang memuluskan jalan Suhar menuju kekuasaan. Ketiga, sistem perwatakan. Tokoh watak atau karakter dalam drama adalah bahan baku yang paling aktif dan dinamis sebagai penggerak alur cerita. Para tokoh dalam drama tidak hanya berfungsi sebagai penjamin bergeraknya semua peristiwa cerita, tetapi juga berfungsi sebagai pembentuk dan pencipta alur cerita. Keempat, tindakan. Dalam menjalankan peran dan perwatakannya, tokoh cerita pada drama dapat diwujudkan dalam bentuk tiga dimensi, meliputi: 1. Dimensi fisiologi, yakni ciri-ciri fisik yang bersifat badani atau ragawi, seperti usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri wajah, dan ciri-ciri fisik lainnya. 2. Dimensi psikologi, yakni ciri-ciri jiwani atau rohanni, seperti mentalitas, tempramen, cipta, rasa, krasa, IQ, sikap pribadi, dan tingkah laku. 3. Dimensi sosiologis, yakni ciri-ciri kehidupan sosial, seperti status sosial, pekerjaan, jabatan, jenjang pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan pribadi, sikap hidup, perilaku masyarakat, agama, ideology, sistem kepercayaan, aktivitas sosial, aksi sosial, hobi pribadi, organisasi sosial, suku bangsa, garis keturunan, dan asal usul sosial. Perwatakan atau penokohan juga memiliki dasar-dasar tersendiri. Watak hendaklah bergerak bebas tanpa mendapat gangguan meski dari penulisnya sendiri. Adalah suatu perbuatan yang kurang etis, apabila sang dramawan masuk menyusup ke dalam diri watak. Jadilah watak itu sebagai boneka dan dialog yang diucapkan adalah ucapan sang dramawannya sendiri.44
44
Suyadi San, op.cit., h.12.
30
Sependapat dengan Suyadi, Wahyudi Siswanto dalam bukunya menyampaikan bentuk komunikasi dalam naskah drama secara skematik yang diadaptasi dari Luxemburg sebagai berikut :
pengarang
aktor
aktor
pembaca
Di dalam teks yang bicara adalah aktor atau pelaku, bukan pencerita seperti halnya dalam prosa rekaan. Pengarang menyerahkan segalanya kepada pelaku, demikian juga pembaca langsung berhadapan dengan pelaku. Pelaku bisa bergantian peran sebagai pembicara dan pendengar. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya hubungan tidak langsung antara pengarang dan aktor serta komunikasi aktor dan pembaca.45 Sesuatu yang unik dalam kedudukan watak pada drama ialah bahwa antara watak-watak dalam drama tidak harus ada persamaan atau penerimaan. Setiap watak mempunyai posisinya tersendiri dan bergerak menurut kemauannya sendiri. Ia tidak boleh menjadi bayang-bayang watak yang lain. Menciptakan pelakon atau tokoh adalah mudah, tetapi menciptakan watak teramat sukar. Watak yang dinamis, yang berani, yang lebih bijak dari audien, yang lebih pintar dan mempunyai unsur-unsur keuniversalan sangat penting bagi perwatakan dalam sebuah drama. Jika terdapat watak yang seperti ini, niscaya sebuah drama itu akan menjanjikan nilai dan mutu. Sebaliknya watak yang statis, menyerah, kalah, dan dialognya juga lemah, akan menjadikan drama itu tidak menarik dan menjemukan.
45
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teaori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008).h. 163.
31
Kebulatan watak akan muncul dari sudut fisik, mental, dan tindakannya. Audien akan mengenali mereka dari data-data tersebut. Di samping
itu
gambaran-gambaran
yang
bercorak
sosial,
seperti
pekerjaannya, sosialisasinya, agamanya, politiknya, dan sebagainya akan lebih menolong menjadikan ia watak yang bulat. Apalagi jika sifat kejiwaan atau psikologi membantunya sehingga dapat dikemukakan citacitanya, perangainya, dan tindakannya; ini akan lebih menguatkan perwatakan.46 b. Alur Permasalahan yang terkandung dalam drama akan membangun lakon lebih jelas dan konkret, selain dapat dibangun melalui pertemuan dua tokoh atau sekelompok tokoh yang melakoni peran yang berbeda, dapat pula dibangun melalui laku. Laku dapat dipahami sebagai gerakan atau tindakan tokoh-tokoh, selanjutnya gerakan serta tindakan para tokoh dapat membentuk atau membangun suatu peristiwa. Dalam memahami peristiwa di dalam drama harus disadari sepenuhnya bahwa peristiwa tidaklah terjadi begitu saja secara tiba-tiba atau serta merta. Setiap peristiwa yang berlaku atau yang terjadi selalu mempunyai hubungan sebab akibat. Suatu peristiwa akan terjadi jika disebabkan oleh suatu hal atau hal yang menjadi alasan mengapa peristiwa itu terjadi.47 Oleh sebab itu, usaha untuk memahami peristiwa di dalam drama adalah dengan memperhatikan tindakan-tindakan dan perbuatan para tokoh. Pada akhirnya, pembaca dapat menemukan sebuah peristiwa yang nantinya berhubungan satu sama lain tanpa ada peristiwa yang terlepas. Hubungan antara peristiwa dengan peristiwa yang lain disebut dengan alur atau plot. 46 47
Suyadi San, op.cit., h.12. Ibid., h. 86.
32
Alur sebagai rangkaian peristiwa yang saling berhubungan secara kausalitas akan menunjukkan kaitan sebab akibat. Jika hubungan kausalitas peristiwa terputus, dengan peristiwa yang lain, maka dapat dikatakan bahwa alur tersebut kurang baik. Alur yang baik adalah alur yang memiliki kausalitas sesama peristiwa yang terdapat dalam naskah drama. Karakteristik alur drama dikategorikan menjadi dua, yakni alur konfensional dan non konfensional. Pengertian alur konfensional ialah dimana peristiwa yang disajikan terlebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya peristiwa yang hadir sesudahnya. Peristiwa yang muncul kemudian selalu menjadi akibat dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan alur nonkonvensional adalah alur yang dibentuk berdasarkan rangkaian peristiwa yang tidak berdasarkan runtutan sebagaimana alur konvensional. Tidak berarti alur nonkonfensional tidak mempunyai keteraturan. Selintas memang alur yang demikian sepertinya tidak teratur, tetapi harus disadari bahwa dalam bentuk yang demikian teratur terbentuk di dalamnya.48 Selain karakteristik alur drama seperti di atas, terdapat tahapan lain yang terlihat lebih rinci, hal tersebut seperti yang dikemukakan Tasrif dalam Nurgiantoro. Tasrif membedakan tahapan alur menjadi lima bagian. Kelima tahapan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Tahap Situation: Tahap penyituasian, tahap yang pertama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh (-tokoh) cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberi informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. 2) Tahap Generating Circumstance: Tahap pemunculan konflik, masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, 48
Ibid., h. 90
33
tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap selanjutnya. Tahap pertama dan kedua pada pembagian ini, tampaknya berkesesuaian dengan tahap awal pada penahapan seperti yang dikemukakan di atas. 3) Tahap Rising Action: Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan
pada
tahap
sebelumnya
semakin
berkembang
dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencengangkan dan menegangkan. Konflikkonflik yang terjadi, baik internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan, benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari. 4) Tahap Climax: Tahap klimaks, konflik dan atau pertentanganpertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh (-tokoh) utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. 5) Tahap Denouement: Tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-konflik, atau konflik-konflik tambahan jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Tahapan ini berkesesuaian dengan tahap akhir di atas. 49 Tahap-tahap pemplotan seperti di atas dapat juga digambarkan dalam bentuk diagram. Diagram struktur yang dimaksud biasanya didasarkan pada urutan kejadian dan atau konflik secara kronologis. Seperti yang digambarkan oleh Jones dalam Nurgiantoro. 49
Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi,(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2013) h.149.
34
Klimaks
Pemecahan
Inciting Forces +) *)
**)
Awal
Tengah
Akhir
Keterangan: *) Konflik dimunculkan dan semakin ditingkatkan **) Konflik dan keegangan mulai dikendorkan +) Inciting force menyaran pada hal-hal yang semakin meningkatkan konflik sehingga akhirnya mencapai klimaks. Diagram di atas menggambarkan perkembangan plot yang runtut dan kronologis. Jadi sesuai dengan tahap-tahap pemplotan yang secara teoretis konfensional itu. 50
c.
Latar dan Ruang Latar
merupakan
identitas
permasalahan
drama
sebagai
karya
fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan penokohan dan alur. Jika permasalahan drama sudah diketahui melalui alur atau penokohan, maka latar dan ruang memperjelas suasana tempat, serta waktu peristiwa itu berlaku. Latar dan ruang dalam drama memperjelas pembaca untuk mengidentifikasi permasalahan drama. Secara langsung latar berkaitan dengan penokohan dan alur. Sehubungan dengan itu, latar harus dapat menunjang alur dan penokohan dalam membangun permasalahan dan konflik. Ruang merupakan unsur lain drama yang jelas berkaitan dengan latar. Ruang juga menyangkut tempat dan suasana. Namun begitu, sukar untuk 50
Ibid., h. 151.
35
menganalisis ruang tanpa menghubungkannya dengan persoalan pementasan. Membicarakan ruang hanya menitik beratkan drama sebagai genre sastra belaka memberikan pemahaman yang tidak menyeluruh. Oleh sebab itu, bukanlah berlebihan jika untuk memahami persoalan ruang di dalam drama, pembaca pembaca menghubungkannya dengan pementasan.51 Luxemburg, dkk dalam Hasanuddin, di dalam teks drama sebenarnya dimungkinkan untuk memasukkan hal-hal bersifat naratif yang mengisahkan suatu ruang lebih luas, bahkan terdapat juga kemungkinan vokalisasi. Di dalam teks drama dapat dilakukan, misalnya dengan menempatkan suatu kejadian tempat seorang tokoh melihat keluar, melalui jendela, dari tempat ketinggian seperti dari balkon, dan lain-lain. Teknik seperti ini biasanya disebut teichoscopie.52
d. Penggarapan Bahasa Di dalam sebuah drama, dialog merupakan situasi bahasa utama. Namun begitu, pengertian penggarapan bahasa dipergunakan pengarang sehingga terjadi situasi bahasa. Pembicaraan tentang gaya bahasa menyangkut kemahiran pengarang dalam menggunakan bahasa sebagai medium drama. Masalah penggarapan bahasa di dalam drama memang berkaitan dengan gaya bahasa. Bagaimana pengarang memilih sarana pengucapannya sehingga permasalahan yang ingin dikemukakan dapat tertuang melalui bentukan dialog para tokoh drama. Menggunakan bahasa tulis sebagai sarana teks drama, pengarang berarati tidak berhadapan langsung dengan pembaca, sehingga terdapat celah kelemahan komunikasi dibandingkan bahasa lisan. Akan tetapi karena situasi bahasa di dalam drama adalah dialog, maka meskipun menggunakan bahasa 51 52
Ibid., h. 97 Hasanuddin. Op., cit., h. 98
36
tulis, kesan kelisanan dalam bahasa langsung tetap menonjol dan dominan dalam drama dibandingkan pada fiksi yang lain. Gaya bahasa cenderung dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu penegasan, pertentangan, perbandingan, dan sindiran. Sebagaimana di dalam karya sastra lainnya, di dalam drama para pengarang pun memanfaatkan hal ini. Tentu dengan memperhatikan kekhususan karakteristik drama. Masingmasing jenis itu dapat diperinci lebih lanjut, misalnya metafora, personifikasi, asosiasi, paralel, dan lain-lain, untuk jenis bahasa perbandingan, ironi, sarkas, dan sinis, untuk jenis gaya bahasa sindiran; pleonasme, repetisi, klimaks, retoris, dan lain-lain, untuk gaya bahasa penegasan, dan paradoks, antithesis, dan lain-lain, untuk jenis gaya bahasa pertentangan. Penggunaan jenis gaya bahasa ini akan membantu pembaca mengidentifikasi perwatakan tokoh. Tokoh yang menggunakan gaya bahasa penegasan dalam ucapan-ucapannya tentu akan berbeda letaknya dengan tokoh yang menggunakan gaya bahasa sindiran ataupun pertentangan dan perbandingan. 53 Penggarapan bahasa di dalam drama akan memberikan indikasi lain tentang keberadaan unsur-unsur yang berkaitan erat dengan latar drama, misalnya hal-hal berhubungan dengan latar drama, dengan indikasi suasana, waktu, dan tempat. Jika di dalam teks drama ditemukan gaya sinisme yang digunakan
pengarang,
kesewenang-wenangnya
mungkin
akan
kekuasaan,
memberikan
ataupun
gaya
indikasi simbolisme
tentang yang
berhubungan dengan suasana keprihatinan. Dengan begitu, suasana dan latar cerita dapat dikenali melalui gaya bahasa atau penggarapan bahasa yang dilakukan oleh pengarang melalui para tokoh, apakah bersuasana komedi atau tragedi. Oleh sebab itu, penggarapan bahasa oleh pengarang di dalam drama
53
Ibid., h.99.
37
merupakan bagian penting untuk diselidiki guna menunjang pemahaman informasi-informasi teks drama dengan baik dan benar.54
e. Tema (Premisse) dan Amanat Tema dan amanat dapat dirumuskan dari berbagai peristiwa, penokohan, dan latar. Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Oleh sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Dalam sebuah drama terdapat banyak peristiwa yang masing-masing mengemban permasalahan, tetapi hanya ada sebuah tema sebagai intisari dari permasalahan-permasalahan tersebut. Permasalahan ini dapat juga muncul melalui perilaku-perilaku para tokoh ceritanya yang terkait dengan latar dan ruang.55 Tema
sebuah
karya
sastra
selalu
berkaitan
dengan
makna
(pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna (pengalaman) kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya.56 Amanat merupakan opini, kecenderungan, dan visi pengarang terhadap tema yang dikemukakannya. Amanat di dalam drama dapat terjadi lebih dari satu, asal kesemuanya itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan kristalistik dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, latar, dan ruang cerita.57 54
Ibid., h. 101. Ibid., h. 103. 56 Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, 2012), h. 71. 57 Hasanuddin, Op. cit. h. 103 55
38
4. Unsur Ekstrinsik Struktur luar karya sastra atau disebut dengan unsur ekstrinsik adalah “segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang turut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, misalnya faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat”.58 Dengan demikian, pemahaman unsur ekstrinsik suatu karya akan membantu dalam pemahaman makna karya tersebut, karena karya sastra muncul dari suatu budaya. Segi ekstrinsik hanya dapat dibicarakan bila dilihat dari segi-segi kemasyarakatan atau sosio kultural yang mempengaruhi karya tersebut dan falsafah hidup yang dianut pengarangnya.59 Oleh karena itu, biografi pengarang, lingkungan sosial, pendidikan, dan pandangan hidup pengarang termasuk kedalam bagian dari pembahasan unsur ekstrinsik yang mempengaruhi isi dari karya yang bersangkutan.
D. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Pendidikan secara luas, merupakan pembentukan kepribadian, kemajuan ilmu, kemajuan teknologi, dan kemajuan kehidupan sosial pada umumnya.60 Proses pendidikan dapat berlangsung karena adanya sarana yang mendukung dan menjadi ajang berlangsungnya pendidikan Yang dimaksud sarana dan ajang tersebut adalah masyarakat, baik masyarakat mikro seperti keluarga ataupun masyarakat makro seperti sekolah dan lingkungan. Pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembanganya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. 58
Semi, Op. Cit, h. 35. Ibid, h. 36. 60 Nursid Sumaadmaja,Perspektif Studi Sosial (Bandung: Penerbit Angkasa, 1980), h. 89 59
39
Pembelajaran merupakan bagian dari proses pendidikan. Rahmanto dalam Metode Pengajaran Sastra mengemukakan bahwa pembelajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu
keterampilan
berbahasa,
meningkatkan
pengetahuan
budaya,
mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.61 Pembelajaran yang baik dan tepat akan mewujudkan cita-cita pendidikan yang luhur sebagaimana tertuang dalam Bab II, Pasal 3 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yang berbunyi: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Dalam dunia pendidikan para pengajar terus berupaya meningkatkan keberhasilan dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Menurut Basennang Saliwangi, pengajaran berbahasa berupaya untuk melatih siswa menemukan konsep-konsep yang berkaitan dengan semantik, pemahaman arti kata, kalimat, isi paragraf, dan isi secara keseluruhan, juga prinsip tentang bahasa yang digunakan.62 Sedangkan menurut Wahyudi Siswanto, melalui pengajaran sastra siswa diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung.63 Mengutip Henry Guntur Tarigan dalam kurikulum di sekolah keterampilan berbahasa (atau language arts, language skills) biasanya mencakup empat aspek, yaitu: “(1) keterampilan menyimak/mendengar (listening skills), (2) keterampilan 61
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanius, 1988), h. 16. Basennang Saliwangi, Pengantar Strategi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia, (Malang: IKIP, 1989), hlm. 23. 63 Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 168.
62
40
berbicara (speaking skills), (3) keterampilan membaca (reading skills) dan keterampilan menulis (writing skills).”64 Dalam
pembelajaran
sastra
menurut
Wahyudi
Siswanto
keempat
keterampilan tersebut meliputi: (1) keterampilan mendengar meliputi: mendengar, memahami, mengapresiasi ragam karya sastra baik asli, saduran atau terjemahan sesuai kemampuan siswa. (2) keterampilan berbicara meliputi: membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra sesuai dengan isi konteks lingkungan dan budaya. (3) keterampilan membaca meliputi: membaca dan memahami ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. (4) keterampilan menulis meliputi: mengekspresikan karya sastra yang diminati dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang telah dibaca.65 Keempat aspek tersebut terdapat dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).Pembelajaran sastra adalah pembelajaran yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Kompetensi apresiasi sastra yang diasah dalam pendidikan ini adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Melalui pendidikan semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, dan
menganalisis karya sastra secara langsung. Mereka diajak
berkenalan dengan sastra, tidak melalui hapalan nama-nama judul karya sastra atau sinopsisnya saja, tetapi langsung berhadapan dengan karya sastranya.66 M. Atar Semi berpendapat bahwa pengajaran sastra di sekolah menengah pada dasarnya bertujuan agar siswa memiliki rasa peka terhadap karya sastra sehingga dapat terdorong dan tertarik untuk membacanya. Dengan demikian, diharapkan siswa memperoleh pengetahuan tentang manusia dan kemanusiaan 64
Henry Guntur Tarigan, Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm. 1. 65 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra,(Jakarta: Grasindo, 2008), h. 171. 66 ibid., 168.
41
sebagai suatu respon sastra, mengenal nilai-nilai dan mendapat ide-ide baru.
67
Karya sastra lahir dari penggabungan antara fakta dan imajinasi dengan bahasa sebagai medianya, sehingga diharapkan siswa mempunyai bekal untuk merespon kehidupan ini dengan imajinatif. Manfaat membaca dan mempelajari sastra yakni untuk menunjang keterampilan
berbahasa,
meningkatkan
pengetahuan
sosial
budaya,
mengembangkan rasa karsa dan pembentukan watak.68 Dengan manfaat ini, kemampuan siswa dapat lebih diasah melalui pembelajaran sastra.Studi sastra dalam hubungannya dengan pengajaran sastra telah melahirkan berbagai macam pendekatan, yakni: 1. Pendekatan kesejarahan Pendekatan
kesejarahan
adalah
pendekatan
pengajaran
yang
memusatkan perhatian kepada aspek sejarah kehadiran sastra. Periodisasi sastra, dan ciri-ciri khas yang menandai perkembangan sastra dari zaman ke zaman. Dengan pendekatan ini siswa memperoleh pengetahuan mengenai: (1) proses kejadian suatu karya sastra; (2) latar belakang yang mewarnai karya sastra tersebut; (3) perkembangan sastra dari masa ke masa; dan (4) latar belakang yang mendorong perkembangan sastra atau yang menjadi fenomena yang menonjol pada suatu periode tertentu. 2. Pendekatan sosiopsikologis Pendekatan yang memusatkan perhatian kepada masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang ada di dalam karya sastra. Dengan pendekatan ini diharapkan siswa memahami sastra dalam konteks kemasyarakatan tempat sastra tersebut dilahirkan.
67
M. Atar Semi, Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1990), hlm. 152-153. 68 Ibid., hlm. 154.
42
3. Pendekatan emotif Pendekatan
ini
dalam
pengajaran
sastra
berupa
upaya
guru
memanipulasi emosi siswa tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk menentukan sendiri atau menikmati sendiri karya tersebut. Setelah itu guru memberikan tugas kepada siswanya untuk membaca karya sastra. Dengan begitu siswa membaca dengan menggunakan sikap emosi tertentu. 4. Pendekatan analisis Pendekatan ini memusatkan perhatian kepada aspek pendidikan dan moral yang terdapat dalam suatu karya sastra. 5. Pendekatan didaktis Pendekatan analisis yaitu pendekatan yang memusatkan perhatian kepada analisis segi-segi intrinsik karya sastra. Dengan pendekatan ini guru cenderung untuk menunjukan komponen-komponen yang terdapat dalam suatu karya sastra. Pendekatan yang disebutkan di atas memiliki kelemahan-kelemahan di samping adanya kekuatan, sehingga guru dapat mengambil unsur-unsur yang positifnya. Di dalam pemilihan pendekatan perlu mempertimbangkan beberapa masalah, yaitu: a) tujuan pengajaran; b) kebutuhan siswa menurut perkembangan jiwa dan lingkungan ekologis; c) hakikat sastra sebagai karya seni; d) memperhatikan perbedaan individual siswa seperti watak dan minat; e) pendekatan yang dipilih hendaknya memungkinkan siswa mendapat peluang seluas-luasnya mengapresiasi karya sastra; dan f) pendekatan yang dipilih hendaknya menjamin pengertian yang benar tentang sastra secara utuh dan memperhatikan fungsi sastra dalam kehidupan.69
69
Ibid., hlm. 196-197.
43
E. Penelitian yang Relevan Suatu penelitian maupun hasil penelitian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur lainnya, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan permasalahan yang sedang dibahas oleh seorang peneliti atau penulis. Sebuah karya ilmiah mutlak membutuhkan referensi sebagai acuan suatu penelitian yang sedang dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber dari makalah, skripsi, jurnal, internet atau yang lainnya. Sejauh yang penulis ketahui, belum ditemukan penelitian mengenai “Kritik Sosial Dalam Naskah Drama Cannibalogy dan Implikasinya Pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia” di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta di universitas lain, namun terdapat beberapa tulisan yang berkaitan dengan skripsi yang penulis buat. Selanjutnya akan penulis paparkan judul serta masalah yang dibahas : 1. Akhyar Makaf dengan tesis yang berjudul “Proses Kreatif Penciptaan “Pertja” Karya Benny Yohanes” yang disusun oleh untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat magister dalam bidang seni, Minat Utama Seni Teater di Program Penciptaan dan Pengkajian di Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 2014. Adapun pembahasan dalam tesis ini ialah mengenai proses kreatif Benjon dalam menciptakan karya drama dan pertunjukan “Pertja” yang berhubungan dengan pengalaman masa lalunya dengan menggunakan teori kreativitas dalam perspektif psikoanalisis Sigmund Freud dan Jacques Lacan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Benjon didorong oleh perasaan keterasingan yang justru membuatnya menemukan momen kreatif. Ia mengeksplorasi pengalaman masa lalunya tentang kekerasan dan erotisme, kisah unik dari orang yang pernah ditemuinya,serta realita kehidupan masyarakat perkotaan ke dalam karya yang diciptakannya.
44
Relevansi penelitian ini dengan penelitian di atas ialah sama-sama menganalisis karya sastra berupa naskah drama karya Benny Yohanes. Perbedaannya. jika dalam penelitian di atas meneliti naskah dan pementasan Pertja dari sudut pandang proses kreatif Benjon dalm menciptakan karya, penelitian ini menggunakan naskah Cannibalogy sebagai objek penelitian dengan sudut pandang kritik sosial yang terkandung di dalamnya. 2. Ilmi Fadilah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni UPI Bandung 2013 dengan judul Skripsi “Representasi Ketidakadilan Gender dalam Naskah Drama Pertja Karya Benny Yohanes (Kajian Feminis)” yang dikaji dengan metode deskriptif analitik, penelitian ini menggunakan teori feminis secara umum, khususnya mengenai ketidakadilan gender. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya ketidakadilan gender pada tokoh-tokoh perempuan dalam naskah Pertja karya Benjon. Relevansi penelitian ini dengan penelitian di atas ialah sama-sama menganalisis karya sastra berupa naskah drama karya Benny Yohanes serta membahas permasalahan sosial. Perbedaannya terletak pada judul naskah yang diteliti serta teori yang digunakan. Teori yang digunakan dalam penelitian di atas ialah teori feminis yang mengkaji ketidak adilan gender sedangkan teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori sosiologi sastra yang mengkaji permasalahan sosial yang terkandung dalam naskah drama Cannibalogy.
BAB III Biografi Pengarang A. Biografi Benny Yohanes Benny Yohanes lahir di kota Bandung, 15 Februari 1962. Pemilik nama panggung Benjon ini menyelesaikan pendidikan sebagai Sarjana Muda Teater di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung pada tahun 19891, menyelesaikan S2 dengan menyandang gelar M.Hum di Universitas Indonesia pada tahun 2000, serta menyelesaikan S3 dengan menyandang gelar Dr. di Universitas Padjadjaran pada tahun 2013.2 Dengan perjalanan pendidikan yang telah ditempuh oleh suami dari Soeko Sri Setiati ini, maka kreativitasnya dibidang keteateran tak dapat di ragukan. Benjon merupakan seorang teaterawan yang serba bisa, bahkan dapat dikatakan pemborong segala pekerjaan bidang keteateran. Benjon merupakan pendiri teater Re-publik, sutradara, aktor, penulis naskah, kritikus, pengamat seni pertunjukan, anggota pengawas Federasi Teater Indonesia sejak 2008 dan anggota International Federation of Theatre Research sejak 2005, selain itu ia turut pula dalam pekerjaan produksi keteateran, mulai dari membuat proposal, mendesain poster, skeneri, lampu, kostum, properti, merias, memilih dan belanja material pentas, menjahit, bertukang hingga menulis kritik pentasnya sendiri.3 Selain aktif dalam dunia keteateran, Benjon juga merupakan seorang akademisi, ia merupakan Wakil Rektor Bidang Akademik dan 1
Beny Yohanes, Profil Beny Yohanes, 2010, dalam Nano Riantiarno (ed.), (http://www.kelola.or.id/database/theatre/list/&dd_id=67&p=3). Diakses pada tanggal 24 Desember 2015, pukul 21.00 WIB. 2 Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Biodata Dosen http://forlap.dikti.go.id/dosen/detail/OUQ2NzlDRjktMUM5MC00MkUzLUI3MjEtOTYzMj VDMUM2QUI2/0. Diakses pada tanggal 24 Desember 2015, pukul 21.15 WIB. 3
Riantiarno, op. cit.
44
45
Kemahasiswaan dengan tugas mewakili Rektor dalam memimpin pengelolaan kegiatan di bidang akademik, kemahasiswaan, dan alumni.4 Ayah dari tiga anak ini merupakan penulis lakon dan sutradara yang sering kali bermain dengan kerumitan dalam karyanya. Sebagai penulis naskah sekaligus sutradara, Benjon memiliki gaya dan karakteristik yang unik. Dalam tulisannya ia menggunakan pilihan bahasa yang ekspresif, melanggar tabu dan kesantunan; banyak menyalahi kaidah bahasa konvensional, serta mencampur adukkan gaya bahasa. Berkat daya kreatifnya dalam menulis, pada tahun 2008 Benjon meraih penghargaan The Best Five Sayembara Penulisan Naskah Drama Federasi Teater Indonesia, setelah sebelumnya meraih Juara Pertama Lomba Naskah Monolog Lembaga Anti Korupsi pada tahun 2004, dan Juara II Lomba Menulis Naskah Drama Radio Common Ground Indonesia di tahun 2002. Di bidang penulisan kritik teater, BenJon juga meraih penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2005, Direktorat Kesenian tahun 1996 dan Direktorat Kesenian-Harian Umum Pikiran Rakyat tahun 1996. Salah satu hubungan antara karya Benjon dan pengalaman masa lalu adalah kecenderungan yang dominan untuk menghadirkan hal-hal ganjil yang bersifat metaforik, baik dalam bentuk lakuan (action) dan bahasa (dialog). Hal ini kemudian menjadi ciri khas dan sekaligus kekuatan dari drama-drama Benjon. “Momok Zaman” (1988) adalah drama surealis yang menghadirkan simbolsimbol primitif untuk mengungkapkan bermacam bentuk kekerasan dan incest yang ditafsirkan dalam perspektif politik dan kekuasaan. “Shakaespeare CARNIVORA” (2009) mengisahkan tentang perjalanan sejarah manusia yang dipenuhi kekejaman, penindasan dan intrik layaknya karya-karya tragedi William Shakaespeare.
Sedangkan
“Cannibalogy”
(2008)
mengisahkan
tentang
perbandingan kekejaman antara penjajahan, kediktatoran sebuah rezim dan aksi kanibalisme manusia. Secara langsung Benjon membandingkan antara penjajahan 4
http://www.stsi-bdg.ac.id/index.php/2015-03-30-05-27-49/struktur-isbi/pimpinan
46
Eropa terhadap dunia ketiga, rezim Orde Baru di Indonesia dan aksi kanibalisme Sumanto. 5
B. Pandangan Benny Yohanes Benny Yohanes (BenJon) merupakan salah seorang penulis drama yang mendapat pengaruh kuat dari pengalaman masa lalunya. Ia banyak menulis drama yang berhubungan dengan kejadian yang dialaminya langsung di lingkungan tempat ia dibesarkan, terutama pengalaman yang membekas kuat yang sering dihadirkan dalam karya-karyanya.6 Beberapa naskah Benjon mempunyai struktur yang unik. Struktur alur Aritoteles benar-benar dicederai bahkan dimutilasi, tokoh-tokohnya juga cenderung tidak jelas bahkan beberapa naskah terkesan seperti orang gila. Latar tempat, waktu, dan sosialnya pun sengaja dihancurkan untuk memperkuat keabsurdan tokoh, sehingga naskah-naskah Beny Yohanes terkesan gelap, rumit, dan susah dimengerti namun Benjon suka membubuhkan hal-hal yang komedi khususnya dalam naskah monolognya sehingga terkesan naskah dramanya berbau black komedi.7 Berdasarkan
wawancara
Munaf,
Benjon
mengungkapkan
bahwa
kecenderungannya menulis naskah yang sarat kekerasan dan erotisme, yaitu karena masa kecil hingga dewasanya yang dilalui di lingkungan “hitam” di wilayah Cicadas, Kota Bandung. Cicadas adalah daerah padat penduduk di tengah kota yang dekat dengan pusat kegiatan ekonomi. Sekitar tahun 1960-1980-an daerah ini terkenal sebagai daerah rawan karena menjadi tempat aktifitas premanisme dan prostitusi. Benjon bercerita bahwa di masa kecilnya semenjak Sekolah Dasar (SD) sampai setelah tamat SMA (1968-1981), ia sudah terbiasa 5
ibid Akhyar Makaf, “Proses Kreatif Penciptaan Pertja Karya Benny Yohanes,” Tesis pada Pascasarjana ISI Yogyakarta, Yogyakarta, 2014 . h.1, tidak dipublikasikan. 7 Ferick Sahid Persi, Arkeologi Beha: Kehidupan Urban yang Rakus, 2015, (http://www.panggungkita.com/2015/02/arkeologi-beha-kehidupan-urban-yang.html), diakses pada tanggal 15 Maret 2016 pukul 15.09 WIB. 6
47
melihat perkelahian antar geng dan preman, kekerasan dan penganiayaan di depan publik, serta kehidupan malam yang ada di sekitar lingkungannya. Ketertarikan Benjon pada ilmu pengetahuan dan semangatnya untuk terus bersekolah menyelamatkan masa depannya dari kesuraman akibat pengaruh lingkungan. Ia menjatuhkan pilihan untuk menjadi praktisi sekaligus akademisi seni. Dalam setiap karya-karyanya, kenangan masa lalu atas apa yang dialaminya seringkali hadir. Benjon juga mengatakan bahwa erotisme dan sensualitas adalah “bahasa” yang bisa dipahami/ dimengerti semua orang, walaupun belum tentu diterima karena sebab atau alasan tertentu. Benjon memilih menghadirkan sesuatu yang berhubungan dengan kekerasan dan seksualitas karena ia menganggap hal ini merupakan sifat alamiah dari perilaku manusia sebagai dasar konflik yang kemudian dihadirkan melalui metafora. Hal inilah yang diutarakan Benjon sebagai alasan kecenderungannya mengekplorasi dua hal ini dalam naskahnaskahnya.8 Menurut berbagai sumber, pemikiran Benjon tak hanya berhenti pada penulisan naskah drama atau naskah pertunjukan saja. Benjon telah menulis banyak karya esai. Esai-esainya, selain telah dipublisir di beragam media cetak, juga terangkum dalam buku Teater untuk Dilakoni, Ideologi Teater Modern Kita, Mencipta Teater dan Teater Indonesia, Konsep, Sejarah, Problema, serta 70 tahun Rendra. Mendapat Penghargaan Pertama Lomba Penulisan Kritik Teater Tingkat Nasional, Direktorat Kesenian, 1996. Mendapat Penghargaan Pertama Lomba Penulisan Kritik Teater Tingkat Nasional, Dewan Kesenian Jakarta, 2005. Salah satu tulisannya yang berjudul “Panggung Besar, Panggung Kecil: Fenomena Pemuaian dan Penukilan Ruang Publik dalam Panggung”, Benjon menuliskan bahwa realitas ruang-publik dalam kurun reformasi, ditandai oleh eksplosi wacana kekuasaan, sebagai implikasi mengencernya kontrol represif 8
Munaf, op.cit., h. 7.
48
negara terhadap masyarakat. Terhadap realitas ruang-publik tersebut, dunia teater modern telah meresponsnya secara aktif. Respons aktif itu telah mempengaruhi pilihan tematiknya, juga samapai tingkat pengucapan artistiknya. Pergeseran pertama pada tematik teater menunujukkan fokus pada masalah-masalah “besar”, seperti problem kompetisi kekuasaan, perlawanan publik terhadap otoritas pemerintah, serta kritisme terhadap kinerja elite politik atau penguasa. Respon aktif seperti ini bersifat adoptif terhadap realitas ruang-publiknya. Pengadopsian masalah-masalah “besar” seperti itu telah memungkinkan terjadinya pemuaian ruang-publik dalam panggung teater.9
C. Naskah Drama Karya Benny Yohanes Benjon merupakan teaterawan yang aktif dan produktif dalam penulisan naskah drama, beberapa naskah drama karyanya telah mendapatkan penghargaan di beberapa ajang kepenulisan naskah drama, selain naskahnaskah yang telah mendapatkan penghargaan, berikut akan dipaparkan juduljudul naskah drama karya Benjon baik yang belum atau sudah pernah dipentaskan dalam bentuk tabel yang disusun oleh peneliti dengan acuan dari berbagai sumber :
9
Benny Yohanes, “ Panggung Besar, Panggung Kecil: Fenomena Pemuaian Dan Penukilan Ruang Public Dalam Panggung Teater” , dalam Ipit S. Dimyanti (ed.),Teater Bandung: Gagasan & Pemikiran, (Bandung: Jurusan Teater STSI Bandung),h. 13.
49
3.1 No
Judul
Tahun No
Judul
Tahun
1
Sangkuriang
1988
19
Bendera Untuk Dewa
2000
2
Momok
1989
20
Tubuh Melayoe
2000
3
Yang Berwajib
1989
21
Pipis
2000
4
Ibunda Elektronika
1990
22
EGG
2001
5
Dobol
1992
23
Metropolutan
2002
6
Ibu Mencari Boedi
1992
24
Aku Ke Luar Menjemput Badai
2003
7
Bersama Tengkorak
1993
25
Hamlet Inside
2004
8
Takoet
1994
26
Sphinx Tripel-X
2004
9
Momok Zaman
1998
27
ARKEOLOGI BeHa
2004
10
BIUS
1997
28
Black Jack
2006
11
Dubur
1997
29
BIN
2008
12
1000 Watt
1997
30
Cannibalogy
2008
13
Sodom Kota Binatang
1998
31
Shakespeare CARNIVORA
2009
14
Sumbi dan Gigi Imitasi
1998
32
Interupsi Jambal Roti
2009
15
Makan Hakan
1999
33
Pertja
2010
16
Telur, Tomat dan Seteguk Darah : Demokrasi Belum Nyali
1999
34
Urban Corpus
2010
17
Boen/ Cit Aku Ada Karena Aku Mesum dan Ternoda
1999
35
Manifes Urbanis
2010
18
Gigolo Galileo
2000
50
D. Penyutradaraan Karya Benny Yohanes Benjon merupakan sutradara yang produktif, sejak tahun 1983 sampai dengan 2009 Benjon telah menyutradarai dan memanggungkan beragam naskah baik karya sendiri maupun karya pengarang lain, berikut akan dipaparkan naskahnaskah drama yang pernah disutradarai Benjon: 3. 2
No
Judul Pementasan
Karya
Tahun
1
Caligula
Albert Camus
1983
2
Pelacur Terhormat
Jean Paul Sartre
1987
3
Pakaian dan Kepalsuan
karya Averchenko
1987
4
Kisah Perjuangan Suku Naga
karya Rendra
1988
5
Amat Berontak
Saini KM
1988
6
Momok
Benjon
1989
7
Yang Berwajib
Benjon
1989
8
Ibunda Elektronika
Benjon
1990
9
Architruc
Robert Pinget
1991
10
Ibu Mencari Boedi
Benjon
1992
11
End Game
Samuel Beckett
1993
12
Bersama Tengkorak
Benjon
1993
13
Pinangan
Anton Chekhov
1994
14
Takoet
Benjon
1994
15
Dag Dig Dug
Putu Wijaya
1995
16
Senja dan Dua Kematian
Kirdjomuljo
1996
17
Bius
Benjon
1997
18
Dubur
Benjon
1997
19
Sodom Kota Binatang
Benjon
1998
51
20
Makan Hakan
Benjon
1999
21
Hikayat Celana Dalam
Benjon
1999
22
Benjon
1999
23
Boen/Cit Aku Ada Karena Aku Mesum dan Ternoda Telur, Tomat dan Seteguk Darah
Benjon
2000
24
Gigolo Galileo
Benjon
2000
25
Tubuh Melayoe
Benjon
2000
26
Jas Panjang Pesanan
Wolf Mankowich
2001
27
ARKEologi BeHa
Benjon
2004
28
Monolog Aku Ke Luar Menjemput Badai Benjon
2003
29
Monolog Hamlet Inside
Benjon
2004
30
Monolog Black Jack
Benjon
2006
31
Shakespeare CARNIVORA
Benjon
2009
32
Interupsi Jambal Roti
Benjon
2009
Selain dalam penulisan naskah drama dan penyutradaraan, keaktoran Benjon pun sudah teruji. Di teater Re-publik, ia handal berakting bahkan sampai enam jam di panggung pada pentas Ruh di tahun 1992. Ia tampil meyakinkan pula di pementasan berjudul Shakespeare Carnivora di tahun 2009 dan Interupsi Jambal Roti di tahun 2009, produksi Oyag Forum, bahkan ia juga kerap bermain monodrama yang ditulis dan disutradarainya sendiri.
E. Sinopsis Naskah Drama Cannibalogy Berawal dari kebangkrutan usaha kelontongannya, Suhar berambisi untuk menjadi seorang yang kaya, kuat, dan sukses dengan bertapa di kali Solo. Dalam perjanjiannya dengan guru spiritual yang ditemui di kali Solo, Suhar diwajibkan memberi makan kali Solo dengan darah manusia setiap kali nasibnya membaik, “satu kepala baru setiap kali alam mengangkatmu ke derajat yang lebih tinggi”.
52
Suhar semakin gemilang, nasib baik terus menghampirinya dan ia tidak pernah lupa untuk memberikan tumbal kepada kali solo. Suhar berada di atas angin setelah ia menculik seorang perempuan peranakan yang merupakan selir penguasa desa Mojokuto dan menyerahkannya kepada pemimpin pasukan Olanda dengan imbalan jabatan yang tinggi, yakni menjadi komandan divisi Jawa. Hingga kemudian ia kelimpungan karena kekuasaan Olanda dijatuhkan dan Sinta Salim yang merupakan tawanannya direbut kembali oleh pasukan Suman. Namun hal tersebut tak bertahan lama, Suhar kembali menyusun strategi. Seluruh alas puputan di bumi hanguskan hingga Suhar berhasil menangkap Suman dan Sinta salim. Suhar kembali Berjaya, ia terus membangun Jawa dengan mengambil hak hidup manusia. Kekuasaan membutakannya, Suhar menjadi sosok tangan besi yang kejam. Nyawa-nyawa tak bersalah menjadi korban. Di akhir cerita, semua pintu keberuntungan Suhar tertutup. Setelah gagal menikah dengan Sinta Salim dan kehilangan Ki Butho, jatuhlah kepedihan suhar. Ki Ageng yang membawa pasukan tentara peranakan dari Batavia berhasil melumpuhkan pasukan Suhar. Kekuasaan suhar jatuh, ia dihakimi dan dihukum untuk menggali lubang menjadi parit dari pusar banyuwangi ke barat sampai Bantam Kulon hingga akhir hayatnya.
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Unsur
Intrinsik
Naskah
Drama
Cannibalogy
Karya
Benny Yohanes Unsur intrinsik dapat dijadikan sebagai jembatan atau fondasi awal dalam proses analisis kesusasteraan, sehingga unsur intrinsik sangat penting diketahui agar sebuah cerita dapat dinikmati serta lebih dipahami oleh pembaca. Sebagai suatu genre sastra, drama mempunyai kekhususan dibanding dengan genre sastra yang lain. Jika dibandingkan karya fiksi yang lain, maka unsur intrinsik dalam drama dikatakan kurang sempurna. Namun begitu, tidaklah berarti bahwa dengan hilangnya unsur pemaparan dan pembeberan, drama menjadi karya yang terbatas sama sekali. Justru pada aspek ini jugalah letak kekuatan karya drama.1 Di bawah ini akan dijelaskan unsur intrinsik dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon sebagai berikut: 1. Tokoh dan Penokohan Tokoh dan penokohan merupakan unsur penting dalam cerita fiksi. Hadirnya sebuah peristiwa dan konflik dalam cerita fiksi dijalani oleh tokoh-tokoh dengan segala perwatakannya. Benjon dalam Cannibalogy melukiskan tokohnya secara jelas, hal ini terlihat melalui tindakan para tokoh serta pendeskripsian yang disampaikan oleh pengarang melalui narasi dan dialog. Dalam Suyadi San dibahas empat cara membangun pola penokohan dalam naskah drama yakni: 1) setiap tokoh mempunyai nama, 2) Pemeranan, 3) sistem perwatakan, dan 4) tindakan. Namun yang akan dibahas hanya pada sub-bab pemeranan dan tindakan karenakan dianggap cukup mewakili keempat pola penokohan yang ada. 1
Hasanuddin, Drama: Karya Dalam Dua Dimensi, (Bandung: Angkasa, 1996), cet. 1, h. 76.
53
54
a. Pemeranan Pemeranan yang dimaksudkan pada sub-bab ini ialah tokohtokoh yang dihadirkan pengarang, untuk dapat membangun persoalan dan menciptakan konflik-konflik, biasanya melalui peran-peran tertentu yang harus mereka lakukan. Jarang tokoh memiliki peran tunggal, kebanyakan multi peran. Jumlah peran yang harus diemban tokoh biasanya tergantung dengan interaksi sosial yang dijalaninya. Perubahan
lawan
interaksi
sosial
akan
menyebabkan
berubahnya peran seorang tokoh. Setiap peran umumnya selalu hadir berpasangan dengan peran seorang tokoh. Setiap peran umumnya selalu hadir berpasangan dengan peran lain dalam bentuk suatu permasalahan atau konflik. Setiap konflik atau permasalahan dapat saja muncul atau dibentuk oleh beberapa peran dari beberapa tokoh. Namun, beberapa peran itu tetap hadir dalam dua kelompok peran yang berpasangan.2 Pada bab ini akan dibahas mengenai pemeranan menurut Robert Sholes dalam Hasanuddin WS. Dalam membangun pola penokohan, Robert Sholes membagi menjadi enam bentuk pemeranan sebagai berikut:
a) Peran Lion Peran Lion dalam naskah Cannibalogy diwakili oleh tokoh Suman. Dalam naskah drama ini, Suman mewakili penggambaran sosok heroik dengan segala kebaikan dalam dirinya. Dalam naskah ini Suman digambarkan dengan karakter lugu, tabah, tegar, amanat, berani, beranggung jawab, serta memiliki jiwa kepemimpinan. Meskipun pada tahap pembukaan cerita Suman digambarkan sebagai sosok kanibal pemakan daging manusia yang sudah mati untuk mendapatkan kekayaan dan kekuatan, namun ternyata setelah melewati 2
Suyadi San, Drama Konsep Teori dan Kajian, (Medan: CV. Partama Mitra Sari, 2013), h. 11.
55
fragmen demi fragmen dapat terjelaskan bahwa dalam naskah Cannibalogy, Suman tidak ditakdirkan untuk berperan sebagai tokoh jahat, bahkan sebaliknya. Terdapat sisi berbeda dari Suman seperti pada penggalan dialog berikut: Suman: (Berlutut di depan kaki Ki Ageng) saya ingin kaya, tuan. Dan saya ingin kebal dari senjata. Saya ingin menjadi prajurit. Maju perang. Membela tanah yang kupijak.3 Dari kutipan dialog di atas dapat terlihat bahwa di balik keganasannya memakan mayat manusia, ternyata Suman memiliki niat tulus untuk menjaga tanah Mojokuto. Tak hanya itu, setelah pertemuannya dengan sosok Mas Ageng, Suman pun dipercaya untuk memimpin pasukan Mojokuto dalam melawan pasukan Olanda serta merebut kembali tanah Mojokuto dari kekuasaan Olanda. Suman : Mojokuto sudah dirampas. Cuma kami yang bertahan. Kalau kalian musuh, tempur denganku.4 Suman : Mojokuto sudah tak ada. Sekarang, setiap jengkal tanah yang aku pijak, dan sejengkal yang akan kurebut kembali, di sanalah Mojokuto.5
Dari kutipan kedua dialog tersebut menjelaskan bahwa Suman yang sebelumnya dipercaya oleh Mas Ageng untuk menjaga tanah Mojokuto benar-benar menjalankan tugasnya. Suman menjadi pemimpin pasukan yang berani dan tangguh. Tak hanya menjalankan tugasnya untuk menjaga Mojokuto, Suman juga berjuang untuk menjaga Sinta Salim dari pasukan Olanda. 3
Benny Yohanes, Cannibalogy, (Bandung: Republik, 2008), h. 11. Ibid,. h. 1. 5 Ibid,. h. 22. 4
56
Suman: Linggar, siapkan terus pasukan dan perbekalan. Kita segera berangkat. Mencari jalan masuk kota! Linggar : Seperti rencana ? Suman : (Berpikir sejenak. Mengambil buku yang dibaca Suto. Menimbang) Ya ! Kita akan masuk Mojokuto. Membebaskan Nyai. Meneguhkan kesetiaan kita untuk Jawa. Tapi aku minta semua senjata disamarkan. Kita akan bermain. (Suman mengoleskan bubuk putih ke wajahnya)6 Kutipan dialog di atas menggambarkan aksi Suman sebagai seorang pemimpin pasukan perang. Suman merupakan pemimpin pasukan yang cerdik, kreatif dan berani. Untuk melancarkan perjuangannya dalam merebut kembali tanah Mojokuto dan Sinta Salim yang dirampas oleh Suhar dan pemerintah Olanda. Suman mengatur strategi peperangan dengan menggunakan pertunjukan seni. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari pemaparan tersebut,
tokoh
Suman
dapat
mewakili
peran
Lion
yang
memperjuangkan sesuatu, berupa kebenaran, kekuasaan, perdamaian, cinta, atau juga wanita.
b) Peran Mars Tokoh yang berperan sebagai Mars dalam naskah ini ialah Suhar. Suhar merupakan penggambaran penuh sosok Mars yang merupakan penantang dari peran Lion (Suman). Dalam naskah drama Cannibalogy Suhar digambarkan sebagai tokoh dengan sifat ambisius, picik, kejam, kuat, dan berani. Pada penggambaran awal, Suhar dimunculkan sebagai seorang yang
depresi
akibat
mengalami
kebangkrutan
atas
usaha
kelontongannya. Kejadian tersebut membuat Suhar mengambil keputusan untuk bertapa di kali Solo agar mendapatkan kekayaan, kekuatan, dan kekuasaan. Berkat keputusannya tersebut, Suhar 6
Ibid., h. 43.
57
bertemu dengan sosok penasehat spiritual yang mengantarkan Suhar memasuki gerbang cita-citanya. Seperti dalam dialog Suhar dan Ki Butho di bawah ini : Ki Butho : Kau lihat, betapa berharganya umpan yang kita pasang ? Suhar : Luar biasa. Ki Butho : Kau seorang komandan sekarang. Dengan surat perintah langsung dari tahta Olanda. Kau rasakan itu ? Perubahan yang besar ini ? Suhar : Luar biasa. Alam memberiku takdir yang luar biasa.7
Cita-cita Suhar untuk menjadi seorang penguasa mulai terwujud setelah menuruti nasihat Ki Butho untuk menjadikan Sinta Salim sebagai umpan kepada pemerintahan Olanda dan sejak saat itu Suhar diberi tahta kuasa oleh Landless sebagai komandan divisi Jawa. Setelah kekuasaan di tangannya, Suhar memulai aksinya. Suhar yang penuh ambisi dan haus kuasa. Semua yang menghalanginya akan ditumpas, tak ada ampun, tak ada kata menyerah. Suhar akan terus berusaha mempertahankan kekuasaanya. Suhar : (Berubah tenang) Ki, pasukanku masih kuat. Dan aku sanggup membakar habis Alas Puputan. Suman bisa kutaklukkan! Ratu Olanda akan kasih kepercayaan daripada kita lagi. Jangan kuatir soal hutang bank. Aku pemegang saham mayoritas. Direksinya bisa kuganti setiap saat. Kalau uang segar masih kurang, pulau-pulau terpencil bisa kita jual. Banyak bule 7
Ibid., h.31.
58
gendheng mau punya daripada surga di hutan tanpa penghuni. Sumatera, Celebes dan Papua, bisa kuamankan…8 Suhar : (Bicara sambil menginjak gundukan tubuh) Alas Puputan obong! Tumpas sudah semua gerombolan. Kita kembali ke Kali Solo. Rayakan kemenangan!... 9
Kutipan dialog di atas menjelaskan watak dan ambisi Suhar sebagai seorang penguasa. Dengan kekuasaan dan pikirannya yang licik, Suhar menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kuasanya dengan menghancurkan orang-orang yang membuatnya merasa terancam hingga tak segan untuk melakukan pembunuhan besar-besaran. c) Peran Sun Dalam naskah Cannibaloogy peran Sun diwakili dalam tokoh Sinta Salim. Sinta Salim merupakan tokoh yang diperebutkan dan diperjuangkan oleh peran Lion (Suman) dan Mars (Suhar). Sinta Salim digambarkan sebagai sosok wanita peranakan (keturunan Cina) yang mencintai tanah Mojokuto. Sinta Salim merupakan wanita yang cantik, cerdas, dan pemberani. Suman : Kita akan selamatkan dia, Suto! Nyai akan selamat! (Mengeluarkan saputangan dari kantung kain kecil di pinggangnya. Menarik nafas panjang) Kitalah pasukan kera itu. Kita akan kembalikan Nyai pada suaminya.10
8
Ibid., h. 47. Ibid., h. 49. 10 Ibid.,h. 41. 9
59
Pada kutipan dialog di atas menggambarkan peristiwa saat Suman mengatur rencana untuk membebaskan Sinta Salim dari tawanan Suhar dan pasukan Olanda. Bagi Suman, Sinta salim bukan hanya sekedar perempuan peranakan namun juga amanah dari Mas Ageng. Selain kedua alasan tersebut, Suman memiliki alasan lain untuk memperjuangkan Sinta Salim: Suman jatuh hati kepada Sinta Salim. Seperti definisi peran Sun yang menjadi tokoh yang diperebutkan dan diperjuangkan oleh peran Lion (Suman) dan Mars (Suhar), bukan hanya Suman yang berperan sebagai Lion yang memperjuangkan Sinta, namun Suhar sebagai peran Mars juga turut memperebutkan Sinta untuk memenuhi ambisi. Ki Butho : (Mendekap bahu Suhar dari belakang. Serius. Kejam) Rebut kembali Sinta. Bumi hanguskan Alas Puputan. Telanjangi Suman. Dia akan mati dengan sengsara. Setiap pelacur di Mojokuto akan merajamnya. Seluruh tetelan daging dan jeroannya akan berceceran sepanjang Bantam hingga Banyuwangi. Itu akan jadi peringatan untuk siapapun yang menentang kekuasaanmu.11 Dalam kutipan dialog Ki butho tersebut, Suhar dan Ki Butho merencakan untuk kembali merebut Sinta Salim yang sebelumnya telah
dibebaskan
oleh
Suman.
Suhar
tak
dapat
menerima
kekalahannya, pikirannya semakin picik. Sinta Salim bukan hanya sekedar wanita idamannya, namun juga digunakan sebagai alat untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Melalui penjelasan serta kutipan-kutipan dialog yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa Sinta Salim berperan sebagai Sun dalam naskah Cannibalogy, sebab Sinta Salim merupakan sosok sasaran perjuangan Lion dan juga yang ingin didapatkan Mars. Selain
11
Ibid., h. 47.
60
itu, Sinta Salim juga merupakan apa yang diinginkan dan diperjuangkan oleh Lion dan Mars.
d) Peran Earth Peran atau tokoh apapun yang menerima hasil perjuangan Lion atau
Mars.
Dalam
naskah
ini
rakyat
Mojokuto
merupakan
penggambaran peran Earth, karena dalam naskah drama Cannibalogy peran Lion berusaha untuk merenggut tanah Mojokuto dari jajahan Olanda dan peran Mars. Suman : (Menegakkan wajahnya) Akan kujaga seluruh makam. Akan kurawat yang hidup, dan yang mati. Mas Ageng : (Menatap dalam pada Suman. Membebatkan kain hijau ke lengan Suman) Bela...Mojokuto. (Mas Ageng masuk ke pendopo).12
Pada dialog di atas Suman berjanji untuk menjaga warga Mojokuto kepada dirinya sendiri. Suman yang sebelumnya mempunyai mimpi untuk membela dan menjaga Mojokuto kini menjadi nyata. Suman bertekad dan berjuang untuk merebut kembali tanah Mojokuto yang telah dirampas oleh pasukan Olanda hingga akhir hayatnya. Ageng Rais : Penduduk Mojokuto, berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian. Setiap pemimpin akan menggali kelemahannya sendiri, saat menukar impian sebagai kenyataan. Memaksakan pernyataan menjadi akhir semua impian. Berjagalah! Telah kuberikan kembali Mojokuto pada kalian. Tapi, tidak semua akan kembali.13
12 13
Ibid., h. 15. Ibid., h.66.
61
Kutipan di atas terjadi pada fragmen IV. 3 yakni penggambaran peristiwa
menjelang
akhir
cerita,
penduduk
Mojokuto
telah
mendapatkan kembali tanah mereka berkat pengorbanan Suman yang diteruskan oleh pasukan Mas Ageng sepeninggal Suman. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa warga Mojokuto merupakan penggambaran peran Earth, sebab warga Mojokuto merupakan penerima hasil perjuangan Lion atau Mars yang berupa desa mereka yakni tanah Mojokuto . e) Peran Scale Dalam naskah ini peran Scale diwakili dalam tokoh Mas Ageng atau Ageng Rais. Mas Ageng merupakan penguasa di tanah Mojokuto. Mas Ageng digambarkan sebagai sosok pemimpin dan hakim yang bijaksana, adil dan tegas. Mas Ageng : (Mas Ageng menekan ujung golok lebih keras ke dada Suman. Suman menahan nafas bersorak) Perbuatannya patut dihukum. Ya!! Tapi orang-orang mojokuto dengarkan keputusanku. Di dunia orang hidup, menghukum bukan menyakiti. Juga bukan untuk menghabisi. Menghukum itu untuk menyembuhkan. Suman, kau dihukum, supaya kau sembuh. Supaya kau patuh di dunia orang hidup, dan hormat di dunia orang mati. Kau dihukum untuk hidup. Maka, kau harus bekerja merawat seluruh makam di tanah Mojokuto, dan menjaganya seperti kau menjaga kehidupanmu sendiri. itulah baktimu untuk tanah mojokuto. Sekali saja kau langgar ini, maka tanganku sendirilah yang menjadi hukum untuk hidupmu!14 Kutipan dialog di atas mewakili bahwa Mas Ageng merupakan sosok pemimpin serta hakim yang bijaksana. Tak terbayangkan hukuman apa yang pantas diberikan kepada seorang yang berani mencuri dan memakan jasad orang mati, namun Mas Ageng dengan bijaksana memberikan hukuman yang dapat memberikan Suman 14
Ibid., h.13.
62
pelajaran bahwa orang hidup tidak melakukan “hal seperti itu”, orang hidup harus menghargai dan menghormati orang lain baik yang masih hidup ataupun sudah mati. Ageng Rais : Kamu memberi hidup, dan meminta mereka menjual kekebasannya padamu. Dan kebebasan itu tak bisa mereka beli kembali, kecuali dengan nyawanya sendiri. Itulah yang sudah kau perbuat kepada penduduk Mojokuto. Suhar, kepada yang hidup kamu bisa bersaksi. Tetapi kepada yang telah mati, kamu harus menggali. Inilah penebusan yang harus kamu jalani : Kau akan menggali lubang, menjadi parit panjang, selebar tubuhmu saat terlentang. Kau akan menggali dari pusar Banyuwangi, terus ke barat sampai Bantam Kulon. Itulah yang akan kau lakukan dengan jiwa petanimu, sampai nafasmu yang terakhir kali. Dari parit yang kau gali, sepanjang jalan pos yang berliku ini, kau akan menggali untuk mengingat sejarahmu kembali. Menentukan akhirmu sendiri! Beri dia perbekalan.15
Pada menjelang akhir cerita sosok Mas Ageng kembali muncul untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Mas Ageng datang melawan dan menangkap pasukan Suhar serta memberikan Suhar hukuman atas segala kesalahan yang telah diperbuatnya. Penggalan dialog tersebut juga menunjukkan bahwa seorang pemimpin haruslah tegas dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Seorang pemimpin akan menjadi panutan dan dihormati ketika ia memimpin dengan bijaksana dan penuh wibawa. Dari kutipan-kutipan dialog di atas, dapat disimpulkan bahwa Mas Ageng adalah tokoh dengan peran Scale dengan definisi peran sebagai tokoh yang menghakimi, memutuskan, menengahi, atau juga menyelesaikan konflik dan permasalahan yang terjadi
15
Ibid., 65.
63
f) Peran Moon Peran Moon diwakili dalam tokoh Landless. Landless merupakan
pemimpin
besar
pasukan
Olanda.
Dalam
naskah
Cannibalogy, Landless digambarkan sebagai seorang pemimpin pasukan yang lalim. Dalam naskah ini, Landless berperan sebagai penolong dari peran Mars (Suhar). Landless yang menjadikan Suhar sebagai pemimpin Jawa dan menaikkan derajat Suhar. Landless : Well... Suhar, mulai 11 Maret, kau resmi panglima. Kamu boleh tumpas habis semua gerombolan pengacau keamanan zonder pengadilan. En jalan pos terpanjang harus lahir di Jawa. En akan kuberi nama PosLandless straat. Kerja baik, upahmu baik. Bersumpahlah Suhar. (Landless menjabat tangan Suhar. Suhar bersimpuh di depan Landless)16 Kutipan dialog di atas merupakan peristiwa saat Landless mengangkat Suhar menjadi komandan divisi Jawa, saat yang sangat dinantikan oleh Suhar. Dialog tersebut membuktikan bahwa Landless merupakan sosok pendukung dari peran Mars (Suhar). Landless : (Bertepuk tangan ) Bravo!...Bravo! Pertunjukan bagus. Timing yang tepat. Suhar, pandai kamu membuat drama. Well, amankan terus trans Jawa, Suhar. Dan kalau semua lancar, kamu tidak hanya berwenang di Jawa. Kamu juga akan berwenang atas Sumatera, Celebes dan Papua. Suhar : Saya akan jaga daripada kesetiaan saya.17
Pada kutipan dialog tersebut digambarkan Landless semakin percaya dan kagum pada keberanian Suhar. Keberanian serta kekejaman Suhar dalam bertugas membawanya terus menuju kejayaannya, Landless tanpa ragu menjanjikan kekuasaan lebih kepada Suhar jika semua pekerjaannya lancar.
16 17
Ibid., h. 33. Ibid., h.37.
64
Melalui penjelasan serta kutipan diaolog yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa Landless merupan peran Moon dalam naskah Cannibalogy. Sebab Landless bertugas sebagai penolong. Bisa saja Moon menolong Lion, namun ada juga yang mungkin bertugas menolong Mars.
b. Tindakan Tindakan yang dimaksudkan pada sub-bab ini adalah tindakan tokoh dalam menjalankan peran dan perwatakannya. Tokoh cerita pada drama dapat diwujudkan dalam bentuk tiga dimensi, meliputi: 1. Dimensi fisiologi, yakni ciri-ciri fisik yang bersifat badani atau ragawi, seperti usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri wajah, dan ciri-ciri fisik lainnya. 2. Dimensi psikologi, yakni ciri-ciri jiwani atau rohani, seperti mentalitas, temperamen, cipta, rasa, karsa, IQ, sikap pribadi, dan tingkah laku. 3. Dimensi sosiologis, yakni ciri-ciri kehidupan sosial, seperti status sosial, pekerjaan, jabatan, jenjang pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan pribadi, sikap hidup, perilaku masyarakat, agama, ideologi, sistem kepercayaan, aktivitas sosial, aksi sosial, hobi pribadi, organisasi sosial, suku bangsa, garis keturunan, dan asal usul sosial.18 Berikut akan disampaikan penjelasan mengenai ketiga dimensi tindakan penokohan dalam pemaparan berdasarkan tokoh. a) Suhar Pada tahap pemunculan, tokoh Suhar digambarkan sebagai orang yang sedang putus asa akibat kegagalannya dalam usaha yang dijalankannya. Hal tersebut menunjukkan dimensi psikologis tokoh Suhar yang mudah menyerah dan putus asa, hal tersebut digambarkan dalam kutipan di bawah ini: 18
Suyadi San, Drama: Konsep teori dan Kajian,(Medan: CV. Pratama Mitra Sari, 2013)., h. 13.
65
Tengah hari. Di tengah pasar yang sudah usai, sebuah tegalan terbuka, desa Pring. Suhar menumpuk semua barang kelontong jualannya, memantik api ke jerami kering, lalu membakarnya. Di depan barang-barang kelontong yang terbakar itu, seorang ibu terisak sambil bersimpuh. Mbok Tirah : O...Nang... Wetonmu iku Seloso Kliwon. Kamu cocoknya ya berdagang. Itu sudah garis hidupmu. O...alah, kok sekarang semuanya malah kamu obong. Sing eling tho Nang...nang... Suhar : (Wajahnya mengeras, tapi sikapnya mantap) Mbok Tirah, aku sudah bangkrut. Nasibku sempit di sini. Kampung ini sepertinya menolakku.19
Dalam kutipan di atas menggambarkan peristiwa pembakaran barang dagangan Suhar akibat keputus asaannya atas kebangkrutan usaha kelontongannya. Kutipan tersebut juga menjelaskan bahwa tokoh Suhar merupakan seseorang yang lemah hati dan mudah menyerah. Namun dengan berjalannya cerita, Suhar berubah menjadi sosok yang pantang menyerah dan penuh percaya diri seperti pada kutipan di bawah ini: Ki Butho : Bencana! Bencana! Kita terjepit, Suhar. Dijepit dua musuh. Dan keduanya seperti membuang berak di muka kita. Ratu Olanda murka karena kematian Landless. Proyek trans Jawa ludas, dan kita terlilit getahnya. Seluruh hutang bank si bule Landless diwariskan pada kita. Mau bayar dengan apa, kita ? Bencana! Ini bencana! Dan si Suman, makin bercokol di Alas Puputan. Bayangannya terus mengancam pasukan kita dari setiap sisi hutan. Seperti kelelawar lapar dia menyergap. Dan setiap malam menjadi upacara kematian. Bencana! Suhar :
19
Ibid., h.3.
66
(Berubah tenang) Ki, pasukanku masih kuat. Dan aku sanggup membakar habis Alas Puputan. Suman bisa kutaklukkan! Ratu Olanda akan kasih kepercayaan daripada kita lagi. Jangan kuatir soal hutang bank. Aku pemegang saham mayoritas. Direksinya bisa kuganti setiap saat. Kalau uang segar masih kurang, pulau-pulau terpencil bisa kita jual. Banyak bule gendheng mau punya daripada surga di hutan tanpa penghuni. Sumatera, Celebes dan Papua, bisa kuamankan. Semuanya sudah jadi zona militerisasi. Kita dapat dukungan senjata dari negeri Amenglika. Intel-intelnya tersebar di seluruh jawatan. Semuanya akan aman dan terkendali. Cuma tinggal satu permintaanku. Ki, jadikan Suhar penguasa nusantara.20
Kutipan di atas menggambarakan suasana yang kacau. Setelah pasukan Suman berhasil membunuh Landless dan pasukan Olanda serta merebut kembali Sinta Salim. Ki Butho yang kalang kabut akibat kekalahan pasukan Olanda tidak membuat Suhar turut larut dalam kebingungan. Sebaliknya, Suhar bersikap tenang dan penuh percaya diri, tak seperti pada awal kemunculannya yang mudah putus asa. Seiring berjalannya peristiwa, Suhar berubah menjadi pribadi yang tenang serta dapat berpikir jernih dalam menghadapi masalah dan cerdik mengatur strategi untuk tetap mempertahankan kuasanya. Suhar : (Lemah) O, ancur tenan. Ucul kabeh...Ki, saya tak bisa berdiri tanpa kakimu. Alam menutup gerbangnya untukku. Pernikahanku tanpa restu. Alam sedang melawanku. Sekarang saya sendiri. Lemah kakiku. Ah, harus kurebut lagi! Kekuasaan itu semua, atau tidak sama sekali!21
Dimensi psikologis yang tercermin dalam dialog di atas adalah dimensi psikologis karsa yang terdapat dalam kutipan “harus kurebut lagi! Kekuasaan itu semua, atau tidak sama sekali!”. Dalam keputusasaannya akibat matinya Ki Butho dan Sinta, Suhar masih 20 21
Ibid., h.47. Ibid., h. 59.
67
memiliki ambisi yang kuat untuk kembali bangkit dan merebut kembali kekuasaannya. Jika diperhatikan dari dimensi psikologis, Suhar merupakan tokoh dengan kondisi psikologis yang labil, ada kalanya ia putus asa, dan ada kalanya pula ia kuat penuh dengan percaya diri menghadapi masalah yang dihadapinya. Suhar : Saya orang miskin, Ki. Ki Butho : Kamu masih miskin, ya. Tapi menurut penerawanganku, takdirmu akan membaik. Syarat kerbau bisa kau tunda. Tapi tidak untuk yang satu ini.22
Kutipan dialog tersebut mempertegas dimensi sosial tokoh Suhar dengan status sosial sebagai orang miskin yang mencoba mencari jalan pintas untuk mendapatkan kekayaan dengan kemusrikan. Seiring berjalannya cerita, Suhar berubah menjadi orang yang mapan dan memiliki jabatan yang tinggi. Hari yang lain. Siang hari. Markas Suhar. Suhar mengisap cerutu, berkacamata hitam, dan mengenakan seragam militer. Suhar mengempit tongkat komando. Asistennya masuk melaporkan keadaan.23
Kutipan di atas menggambarkan status sosial Suhar yang telah berubah. Tidak seperti pada awal kemunculannya yang hanya seorang pedagang kelontongan, Suhar telah memiliki markas dan mengenakan seragam militer yang dilengkapi dengan tongkat komando. Kini Suhar telah mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang penguasa. Selanjutnya ialah pembahasan dimensi fisiologi tokoh Suhar yang disampaikan melalui dialog Ki Butho di bawah ini: 22 23
Ibid., h. 6. Ibid., h. 36.
68
Ki Butho : Orang-orang sepanjang Kali Solo adalah binaanku, meneer. Mereka petani dan kuli yang tekun. Dilatih sedikit saja, mereka sanggup jadi soldadu. Dan Suhar, dia kaderku nomor satu. Dia muda, kuat, putera daerah pula. Saya berani jamin, dia pandai memimpin.24
Dalam kutipan dialog di atas, Ki Butho menggambarkan tokoh Suhar sebagai seorang pemuda yang kuat, tidak terlalu spesifik memang jika dilihat dari kutipan di atas. Namun jika kembali dibaca fragmen demi fragmen dalam naskah ini, pembaca akan dapat mengimajinasikan ciri fisik tokoh Suman dengan dasar “dia muda dan kuat” pada umumnya seorang pemuda yang kuat memiliki struktur tubuh yang proporsional dan tegak serta mampu bekerja keras. Melalui pemaparan ketiga dimensi tindakan dalam tokoh Suhar, pembaca dapat mengetahui ciri fisik, keadaan psikologis, serta kondisi sosial tokoh Suhar dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon. Dalam naskah tersebut, penggambaran ciri fisik Suhar tidak terlalu mendetail, Suhar hanya digambarkan sebagai seorang pemuda yang
kuat.
Selanjutnya
dalam
dimensi
psikologis
Benjon
menggambarkan Suhar sebagai tokoh dengan keadaan psikologis yang labil, berubah tak menentu. Pada awal kemunculannya ia digambarkan sebagai seseorang yang mudah putus asa, di tengah cerita digambarkan sebagai seorang yang keras dan kejam, dan di akhir cerita digambarkan sebaagai seseorang yang lemah tak berdaya. Terakhir penggambaran dimensi sosial. Dalam penggambaran dimensi sosial, perubahan yang terjadi dalam tokoh Suhar berubah dengan drastis, yang pada awalnya Suhar hanya seorang pedagang kelontongan, kemudian berubah menjadi seorang komandan, dan pada akhir cerita Suhar tidak menjadi apa-apa. Dengan demikian, melalui pemaparan ketiga tindakan di atas, 24
Ibid., h. 33.
69
pembaca dapat mengimajikan tokoh Suhar lebih nyata, serta aktor yang akan memerankan tokoh Suhar ke dalam sebuah pementasan memiliki gambaran yang jelas tentang tokoh yang akan diperankannya. b) Suman … Dari liang makam nampak sosok kepala plontos sedang menggaruk tanah dengan kedua tangannya. Dengus nafas dan suara gagak saling menimpal. Angin kencang. Seonggok jasad dikeluarkan dari liang. Sosok kepala plontos memanggul jasad ke bahunya. Gerakannya sigap. Keringat mengkilat dari bidang dadanya. Kulitnya coklat keruh. Hitam matanya.25 Kutipan tersebut menggambarkan ciri fisik tokoh Suman dengan kepalanya yang plontos, berkulit keruh serta bermata hitam. Penggambaran ciri fisik Suman yang demikian membuat pembaca menerka-nerka betapa menyeramkannya penampakan tokoh Suman yang ditambah dengan keterangan peristiwa dalam kutipan di atas yang mencirikan sosok yang mengerikan. Suman : Karena apa yang kumakan ? Tidak, tuan. Aku tidak melayani rasa sakit! Aku biarkan sakit datang, kalau dia mau datang. Itu memberiku pelajaran untuk bertahan. Kalau aku bertahan, aku bisa membela tanah yang kupijak! Itu sikapku sebagai manusia.26 Kutipan di atas menggambarkan betapa kuatnya tekad Suman untuk bertahan hidup di tengah kemiskinan. Dimensi psikologis yang tercermin dalam dialog di atas menggambarkan sikap mentalitas Suman yang kuat. Kuat yang dimaksudkan yakni berambisi untuk tetap bertahan hidup dalam kemiskinan dan kelaparan untuk menjadi pembela tanah Mojokuto. Selain dimensi psikologis, dimensi sosial pun tergambar dalam kutipan di atas. Dimensi sosiologis yang 25 26
Ibid., h. 1. Ibid., h.12.
70
tergambar ialah sikap hidup Suman. Ia tak hanya ingin hidup untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk tanah yang dipijaknya dengan arti menjadi pahlawan perang. Dalam kemiskinan dan keanehannya ia tetap bertekad untuk menjadi orang baik yang kemudian dibuktikan dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya dalam naskah ini. Mas Ageng : Apa agamamu ? Suman : Sehari-hari, aku Islam. Tuhanku satu.27
Selain pemaparan mengenai dimensi sosial di atas, pada kutipan dialog di atas ini juga menjelaskan dimensi sosiologis dalam ciri kehidupan beragama, dengan penjelasan dalam dialog bahwa Suman memeluk agama Islam. Meskipun Suman percaya bisikan magis yang membuatnya memakan mayat, Suman tetap menganggap Islam adalah agama yang benar. Melalui pemaparan ketiga dimensi tindakan dalam tokoh Suman, pembaca dapat mengetahui ciri fisik, keadaan psikologis, serta kondisi sosial tokoh Suman dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon.
Dalam
naskah
tersebut,
dimensi
fisiologis
Suman
digambarkan dengan mendetail sehingga pembaca dapat mengimajikan tokoh suman lebih nyata, yakni dengan menyebutkan warna kulitnya yang coklat, matanya yang hitam, dan kepalanya yang plontos serta gerakannya yang sigap saat menggotong mayat curiannya. Selanjutnya dalam dimensi psikologis Benjon menggambarkan Suman sebagai tokoh dengan keadaan psikologis mental yang kuat, Suman berani menerima hukuman atas kesalahan yang telah dilakukannya, selain itu Suman juga memili mental sebagai pejuang. Terakhir penggambaran dimensi sosial. Dalam penggambaran dimensi sosial, dalam hal ini 27
Benny Yohanes. op. cit,. h. 7.
71
Suman digambarkan sebagai orang miskin yang memiliki pandangan hidup ingin menjadi orang yang berguna untuk tanah yang dipijaknya. c) Mas Ageng Mas Ageng muncul. Sosoknya pendek, berkulit hitam, alisnya setebal kumisnya. Tubuhnya berisi. Di bahunya menclok seekor iguana, yang selalu dielusnya. Mas Ageng masih mengunyah sirihnya...28
Dalam kutipan di atas, Mas Ageng digambarkan dengan ciri fisik yang pendek, berkulit hitam, beralis dan berkumis tebal, serta tubuh yang berisi. Penggambaran ciri fisik yang demikian membuat penampakan sosok Mas Ageng terkesan menyeramkan, meskipun demikian Mas Ageng tetap terkesan gagah dari penggambaran alis serta kumis yang tebal. Mas Ageng : (Mas Ageng menekankan ujung golok lebih keras ke dada Suman. Suman menahan nafas. Penduduk bersorak) Perbuatannya patut dihukum. Ya!! Tapi orang-orang Mojokuto, dengarkan keputusanku. Di dunia orang hidup, menghukum bukan menyakiti. Juga bukan untuk menghabisi. Menghukum itu, menyembuhkan. Suman, kau dihukum, supaya kau sembuh. Supaya kau patuh di dunia orang hidup,dan hormat di dunia orang mati. Kau dihukum untuk hidup. Maka, kau harus bekerja merawat seluruh makam di tanah Mojokuto, dan menjaganya seperti kau menjaga kehidupanmu sendiri. Itulah baktimu untuk tanah Mojokuto. Sekali saja kau langgar ini, berarti kau gagal untuk sembuh. Dan kalau kau gagal sembuh, maka tanganku sendirilah yang akan menjadi hukum untuk hidupmu!29 Dimensi psikologis yang tercermin dalam dialog tersebut adalah dimensi psikologis sikap pribadi. Mas Ageng memiliki sikap pribadi yang bijaksana hal tersebut tercermin dari pemberian hukuman terhadap Suman yang telah memakan jasad orang mati. Suman 28 29
Ibid., h. 9. Ibid., h. 14.
72
diberikan
hukuman
bukan
dengan
disakiti
namun
diberikan
kesempatan untuk menjadi manusia yang lebih baik dan berguna bagi orang lain. Sinta Salim : Mas Ageng pasti selamat dalam pelariannya. Dia pernah sekolah di luar negeri. Pandai membaca mana kawan mana lawan. Mas Ageng dan kamu itu mirip. Alis kalian serupa.30 Pada dialog Sinta Salim tersebut menggambarkan dimensi sosiologis jenjang pendidikan pada diri Ki Ageng. Dengan penjelasan bahwa Mas Ageng pernah sekolah di luar negeri. Melalui dimensi sosial yang demikian, memungkinkan Mas Ageng dapat menghadapi musuh dengan cerdik. Melalui pemaparan ketiga dimensi tindakan dalam tokoh Mas Ageng di atas, pembaca dapat mengetahui ciri fisik, keadaan psikologis, serta kondisi sosial tokoh Mas Ageng dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon. Dalam naskah tersebut, ciri fisik Mas Ageng digambarkan dengan mendetail, yakni dengan menyebutkan bahwa Mas ageng memiliki postur tubuh yang pendek, berkulit hitam, beralis dan berkumis tebal, serta tubuh yang berisi. Selanjutnya dalam dimensi psikologis Benjon menggambarkan Mas Ageng sebagai tokoh yang memiliki keadaan psikologis sikap pribadi yang bijaksana, dijelaskan melalui pemberian hukuman untuk pelaku tindak kesalahan seperti pemberian hukuman kepada Suman yang telah mencuri dan memakan jasad Mbah Sirep, Mas ageng justru menghukumnya dengan memberikan amanat untuk menjaga tanah Mojokuto. Terakhir penggambaran dimensi sosial. Mas Ageng digambarkan sebagai orang yang memiliki pendidikan tinggi sehingga melalui dimensi sosial yang demikian, memungkinkan Mas Ageng dapat menghadapi musuh dengan cerdik. 30
Ibid., h. 24.
73
d) Landless Kebo : Dengan senjata meriam, dan pasukan berseragam. Badan mereka tinggi, berkulit putih, dengan topi lancip bersurai. Mereka menyisir gudang rempah, dan membongkar paksa pintu-pintunya. Rempah-rempah dijarah. Pasukanku yang melawan, mereka tembak. Penduduk ditawan. Mereka bersiap menuju kemari, dengan kuda, dan meriam. Mas Ageng : Siapa pemimpinnya ?! Kebo : Landless. Panglima Landless. Pasukannya menyebut nyebut nama itu sambil bernyanyi, menendang penduduk dan membakar gudang gudang yang sudah mereka kuras isinya.31
Kutipan dialog di atas, menggambarkan dimensi fisiologis pasukan Landless dengan menggunakan majas sinekdok pars pro parte, yakni dengan menyebutkan ciri fisik keseluruhan pasukan yang berbadan tinggi dan berkulit putih untuk mewakili penggabaran ciri fisik Landless. Dengan ciri fisik Landless beserta pasukan yang demikian dapat pula menjelaskan bahwa Landless dan pasukannya tidak berasal dari Mojokuto dan Nusantara, melainkan dari negaran lain di bagian Barat. Landless : (Tertawa) Ne, Suhar. Terlalu banyak laporan di atas meja. Landless mau sedikit hiburan. Tembak kepala orang ini di depanku. (Landless melepaskan pengaman senjata pistolnya. Lalu senjata itu diserahkan ke tangan Suhar)32
31 32
Ibid,. h.15. Ibid., h. 36.
74
Dimensi psikologis yang tercermin dalam dialog tersebut menggambarkan
bahwa
Landless
merupakan
seseorang
yang
temperamen Hal tersebut terdapat dalam peristiwa saat Landless marah akibat markasnya dihancurkan dan ingin pelakunya dihukum dengan tembakan di kepala. Hoffmann : Yang Mulia tuan Landless. Batavia dibanjiri pendatang. Mereka jual perhiasan, sutra dan candu. Pasar gelap makin ramai. Orang pribumi dan pendatang bangun rumah gelap sepanjang Ciliwung. Buang hajat di situ juga. Malaria merajalela. Pendatang sering bikin onar. Penjara penuh. Kramat Tunggak ramai. Mohon petunjuk. Komisaris Abeng.33 Penggunaan sebutan "Yang Mulia" dalam dialog Hoffman tersebut menjelaskan bahwa dalam dimensi sosial tokoh Landless memiliki kekuasaan atau jabatan yang tinggi dan dihormati. Melalui pemaparan ketiga dimensi tindakan dalam tokoh Landless di atas, pembaca dapat mengetahui ciri fisik, keadaan psikologis, serta kondisi sosial tokoh Landless dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon. Dalam naskah tersebut, ciri fisik Landless digambarkan dengan kurang mendetail,
yakni
hanya
dengan
menyebutkan bahwa pasukan Landless memiliki postur tubuh yang tinggi dan berkulit putih serta menggunakan topi lancip bersurai, Penampakan ciri fisik yang demikian menggambarkan bahwa Landless beserta pasukannya bukanlah orang pribumi. Selanjutnya dalam dimensi psikologis Benjon menggambarkankan Landless sebagai tokoh dengan keadaan psikologis yang tempramental, dijelaskan melalui penggambaran emosi Landless yang mudah meledak. Terakhir penggambaran dimensi sosial. Dalam penggambaran dimensi sosial, dalam hal ini Landless digambarkan sebagai orang yang memiliki jabatan dan status sosial yang tinggi sehingga melalui dimensi sosial 33
Ibid., h. 19.
75
yang demikian Landless mendapat panggila kehormatan yakni Yang Mulia. e) Sinta Salim Sinta Salim : Ini soal tekad untuk tidak menyerah. Untuk saling memperkuat kepercayaan. Untuk saling menambatkan pegangan. Sejak Mas Ageng harus lari, aku hanya seorang perempuan, terlunta tanpa perlindungan, di tengah kecamuk perang. Kulitku putih, mataku sipit. Tanpa Mas Ageng, aku tak bisa lagi berlindung di balik keningratannya. Aku kembali seorang perempuan peranakan. Sama seperti perempuan-perempuan lain di gubukgubuk kotor Batavia. Dan komplotan setan putih itu tentu akan menganggap aku tak lebih sebagai daging mainan. Tapi kamu menjaga aku. Menjaga dagingku. Menjaga kehormatanku. Semua ini lebih besar dari asmara. Karena aku tidak jatuh demi tubuhmu, aku tertarik daya hatimu. Simpan sapu tangan ini, Suman. Janji ini akan kuat, untukku dan untukmu.34
Dimensi fisiologis tokoh Sinta Salim dalam kutipan dialog di atas menggambarkan Sinta merupakan seorang perempuan peranakan (Tionghoa) dengan ciri fisik bermata sipit, serta berkulit putih. Dengan ciri fisik yang demikian menandakan bahwa Sinta memiliki paras yang cantik. Dalam dialog tersebut pula digambarkan bahwa wanita dengan paras demikian hanya akan menjadi “mainan” dari pasukan Olanda. Namun karena berada dalam lindungan Suman beserta pasukannya, kehormatan dan kehidupan Sinta terjaga. Selain dimensi fisiologis, dimensi psikologis tokoh Sinta Salim pun tercermin dalam kutipan tersebut yang menggambarkan sikap pribadinya. Dari kutipan di atas dapat terlihat sikap pribadi Sinta. Tokoh Sinta Salim digambarkan sebagai wanita yang berprinsip dan teguh pendirian. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat “Ini soal tekad untuk tidak menyerah, untuk saling memperkuat kepercayaan.” 34
Ibid., h.26.
76
Kutipan tersebut semakin memperjelas bahwa Sinta merupakan wanita yang kuat dan percaya diri. Selain kutipan di atas, dimensi Psikologis Sinta kembali dimunculkan pengarang dalam fragmen III.5. Sinta Salim : (Siuman. Melihat tubuh Suman yang telah jadi mayat. Sikapnya berubah tegas, penuh nyali) Hanya satu syarat untuk perkawinan ini, Suhar. Dan hanya kuminta sekali. Kau menolak, aku mati. Suhar : Katakan. Sinta Salim : (Membuka kebayanya, tampak seluruh perutnya dilekati lilitan bom) Syaratku satu : Apa yang telah kau hinakan, itulah yang akan kau telan. Maka, kau harus makan daging Suman di depan mataku. Tujuh kerat daging mentah, yang masih berdarah. Dan satu dentum meriam untuk setiap kerat yang kau makan. Itu mas kawin yang kuminta! Kau menolak, segera kutarik pemicu. Dagingku pasti hancur, dan kepahitanmu abadi!35 Kutipan di atas memperjelas sikap pribadi Sinta yang tegas dan berani. Sinta berani mengambil sikap untuk menghukum Suhar yang telah membunuh Suman, yakni dengan meminta Suhar memakan jasad Suman serta mengancam untuk bunuh diri jika keinginannya tak terpenuhi. Pengambilan sikap oleh Sinta dalam kutipan di atas membuktikan bahwa Sinta merupakan wanita yang tegas dan pemberani. Suhar : (Terkekeh) Ki, itu cara daripada berpikir lama. Kita harus pakai cara hitung yang lebih realistis. Aku bisa kuasai ini nusantara, kalau Sinta Salim bisa kumiliki. Aku sudah telusuri daripada silsilah keluarganya. Sinta Salim itu keluarga dari super-taipan. Keluarganya kuasai hampir delapan puluh prosen jaringan bisnis Asia. Bayangken, Ki. Kalau Sinta Salim di tanganku, 35
ibid. h. 55.
77
kita bahkan bisa bangun Bengawan Solo menjadi kali bertingkat. Pasar modern di tingkat atas, makam pahlawan di bawahnya. Atau seluruh Mojokuto bisa kita ubah jadi Kramat tunggaknya Asia. Itu cepat sekali menaikkan devisa daripada negara. Atau Batavia kita penuhi dengan kuli-kuli peranakan, untuk bangun tiruan great wall atau taman mini nusantara, dengan upah paksa.36 Dalam kutipan dialog Suhar di atas menggambarkan dimensi sosiologis tokoh Sinta Salim berdasarkan asal usul sosial. Sinta merupakan seorang perempuan peranakan yang berasal dari keluarga super taipan yang memiliki kekuasaan dalam jaringan bisnis di Asia. Keadaan sosial yang dimiliki Sinta membuat Suhar berambisi mendapatkannya agar kekuasaan yang dimilikinya semakin kuat. Melalui pemaparan ketiga dimensi tindakan dalam tokoh Sinta Salim, pembaca dapat mengetahui ciri fisik, keadaan psikologis, serta kondisi sosial tokoh Sinta Salim dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon. Dalam naskah tersebut, Sinta Salim digambarkan sebagai seorang perempuan Tionghoa dengan ciri fisik bermata sipit, serta berkulit putih. Selanjutnya dalam dimensi psikologis Benjon menggambarkan Sinta Salim sebagai tokoh perempuan dengan sikap pribadi yang tegas dan berani. Sinta berani mengambil sikap untuk menghukum Suhar yang telah membunuh Suman. Terakhir penggambaran dimensi sosial, dalam naskah ini Sinta Salim merupakan seorang perempuan peranakan yang berasal dari keluarga super taipan yang memiliki kekuasaan dalam jaringan bisnis di Asia. Dengan demikian, melalui pemaparan ketiga tindakan di atas, pembaca dapat mengimajikan tokoh Sinta Salim lebih nyata, serta aktor yang akan memerankan tokoh Sinta Salim ke dalam sebuah pementasan memiliki gambaran yang jelas tentang tokoh yang akan diperankannya.
36
ibid. h. 48.
78
2. Alur Cerita dalam naskah Cannibalogy terdiri dari empat babak. Pada setiap fragmennya menggambarkan perubahan peristiwa yang berlangsung selama beberapa waktu dengan menggunakan alur maju. Jangka waktu yang digunakan dalam naskah ini kurang lebih mencapai tiga tahun. Rangkaian peristiwa dimulai dengan kasus pembongkaran makan Mbah Sirep oleh Suman dan kemudian ditutup dengan penghukuman Suhar yang telah melakukan banyak tindak kesalahan dalam kehidupannya. Sebelum membahas tahapan alur yang terdapat dalam naskah drama Cannibalogy, peneliti akan menjelaskan sistematika yang terdapat dalam naskah drama Cannibalogy terlebih dahulu. Naskah drama Cannibalogy terdiri dari enam puluh Sembilan halaman yang terdiri atas empat babak yang di dalamnya terdapat pengadeganan dengan sebutan fragmen. Pada babak I terdiri dari lima fragmen yang terdapat dalam enam belas halaman. Pada babak I fragmen I.2 dan I.4, merupakan tahap pengenalan tokoh Suhar. Pada fragmen I.1, I.3, dan I.5 merupakan merupakan tahap pengenalan tokoh Suman. Selanjutnya babak II terdiri dari tujuh fragmen dalam dua puluh tujuh halaman. Fragmen II.1 merupakan penampakan Mojokuto setelah ditaklukan pasukan Olanda, fragmen II.2 menggambarkan pertemuan Suhar dengan Suman, fragmen II.3 menggambarkan penculikan Sinta Salim yang menjadi pemicu konflik dalam naskah Cannibalogy,fragmen II.4 menggambarkan peristiwa pertemuan Suhar dengan Landless yang membawanya menuju kekuasaan dengan menyerahkan Sinta Salim, fragmen II.5 merupakan penggambaran awal Suhar setelah menjadi seorang Penguasa, II.6 merupakan penggambaran Sinta Salim yang telah ditawan oleh pasukan Olanda dan berhasil dimata-matai oleh Kerpo, pada fragmen ini Sinta Salim menitipkan Sapu tangan pertanda kepada Suman melalui Kerpo, fragmen II.7 merupakan
79
peristiwa penyusunan strategi untuk merebut kembali Sinta Salim oleh Suman dan pasukan Mojokuto. Babak III terdiri dari lima fragmen dalam dua belas halaman. Fragmen III. 1 merupakan penggambaran peristiwa penaklukan pasukan Olanda dan perebutan kembali Sinta Salim oleh pasukan Suman, fragmen III. 2 merupakan peristiwa penyusunan strategi untuk menaklukan pasukan Mojokuto dan merebut kembali Sinta Salim dengan membumi hanguskan Alas Puputan, fragmen III. 3 menggambarkan peristiwa penaklukan Alas Puputan oleh pasukan Suhar, Sinta Salim telah direbut kembali, dan Suman telah ditangkap, fragmen III. 4 menggambarkan peristiwa penangkapan Suman dan dirajam oleh sundal Kali Solo, fragmen III. 5 pada fragmen ini Suhar memaksa untuk menikah dengan Sinta Salim. Babak IV terdiri dari lima fragmen dalam enam belas halaman. Fragmen IV. 1 menggambarkan peristiwa kanibalisme yang dilakukan Suhar dengan memakan daging Suman sebagai mas kawin untuk Sinta Salim, pada fragmen ini juga merupakan tahap penurunan konflik dengan matinya Sinta Salim dan Ki Butho, fragmen IV. 2 menggambarkan hari menjelang kehancuran Suhar serta penangkapan Suhar oleh pasukan Mas Ageng, fragmen IV. 3 merupakan peristiwa penghakiman Suhar oleh Mas Ageng di hadapan warga Mojokuto, fragmen IV. 4 menggambarkan hari-hari penghukuman Suhar dengan menggali parit sampai ke Bantam Kulon, fragmen IV. 5 merupakan penutupan naskah dengan penyampaian pesan oleh “Suara Pelatih”. Dalam penelitian ini tahapan alur tersebut akan dipaparkan dengan menggunakan teori pembagian tahapan alur menurut Tasrif dalam Nurgiantoro yang terbagi menjadi lima tahapan. Kelima tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
80
a. Tahap Situation Tahap penyituasian, tahap yang pertama yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita dan pemberian informasi awal yang berfungsi melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. Tahap Situation dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon ini dimulai dari fragmen kesatu dan kedua yang dibuka dengan menceritakan sejarah hidup tokoh-tokoh utama dalam naskah ini, yakni Suman dan Suhar. Lewat tengah malam. Kuburan desa pinggiran Mojokuto. Sebuah makam sedang digali. Dari tengah kampung, sayup-sayup terdengar gamelan mengiringi adegan perang pada pertunjukan wayang. Dari liang makam nampak sosok kepala plontos sedang menggaruk tanah dengan kedua tangannya. Dengus nafas dan suara gagak saling menimpal. Angin kencang. Seonggok jasad dikeluarkan dari liang. Sosok kepala plontos memanggul jasad ke bahunya. Gerakannya sigap. Keringat mengkilat dari bidang dadanya. Kulitnya coklat keruh. Hitam matanya. Suman : Guru, syaratnya sudah dapat. Ini baru yang kelima. Ya,.....harus tambah dua lagi. Ilmuku hampir sampai. Semua syarat akan kupenuhi, guru. Hah, aku lapar. Aku bosan melarat. Aku minta kaya! Aku ingin kebal dari senjata. Gusti, paringono kuat slamet! 37
Pada kutipan dari fragmen satu ini memperkenalkan sosok Suman yang merupakan tokoh protagonis dalam naskah drama Cannibalogy. Suman digambarkan sebagai seorang yang menyeramkan tidak hanya dilihat dari fisiknya, tetapi perbuatannya yang menyimpang dengan menganut ilmu sesat dengan membongkar makam dan mencuri jasadnya.
37
Benny Yohanes., op. cit. h.1.
81
Situasi selanjutnya yakni terjadi pada fragmen kedua. Pada situasi ini diperkenalkan tokoh Suhar yang merupakan pemeran antagonis dan memiliki andil besar dalam berjalannya cerita. Fragmen ini dimulai dengan kemunculan tokoh Suhar yang sedang membakar barang dagangannya karena putus asa dengan nasibnya. Dalam fragmen kedua ini, dimunculkan pula tokoh Mbok Tirah sebagai ibu kandung Suhar yang bersedih karena perbuatan Suhar. Pada fragmen kedua ini terjadi dialog dingin antara Suhar dan Mbok Tirah. Mbok Tirah : Jangan putus asa. Gusti Allah sing dhuwe kuasa. Pergi ke desa lain,Suhar. Coba lagi. Pasti laku daganganmu. Bapakmu dulu juga begini. Tapi ndak pernah sampai ngobong. Rejeki harus disyukuri. Gusti Allah ora sare. Suhar : Mbok, aku memang mau pergi. Ke Solo. Aku mau bertapa di Bengawan Solo.38
Pada fragmen kedua ini Tidak jauh berbeda dengan Suman, Suhar pun melakukan hal yang sama untuk meraih impiannya, yakni dengan cara mistis. Meskipun dengan cara yang berbeda, keduanya memiliki misi yang sama, yakni untuk mendapatkan kekayaan dan kekuatan. Pada tahap ini, tergambar situasi awal yang menyulut kemunculan cerita pada tahapan berikutnya. b. Tahap Generating Circumstance: Tahap ini merupakan tahap pemunculan masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik sehingga kemudian konflik tersebut terus berkembang seiring berjalannya cerita. Tahap pemunculan konflik yang terjadi dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon terletak pada
38
Ibid., h. 2.
82
fragmen II. 4, pada fragmen ini digambarkan penculikan Sinta Salim oleh Suhar. Kini, diantara ayunan Suhar dan Ki Butho, menyembul ayunan lain. Sosok tubuh perempuan tertelungkup lemah, seperti tertidur. Di tangannya tergenggam beberapa anak panah yang patah tangkainya. Anak panah yang patah itu berjatuhan ke tanah. Derap pasukan berkuda menembus kabut. Suara letusan senjata menerobos dari sela pepohonan. Tubuh perempuan yang berayun, lenyap disaput kabut. Sosok Suhar dan Ki Butho juga lenyap. Di sambung gema gelak tawa bersambungan. Suman terlonjak, terbangun dari tidurnya. Kokok ayam menyambut pagi. Pasukan Suman menghambur melingkari Suman. Salah seorang melaporkan. Linggar : Kerpo tak nampak. Gubukmu kosong. Tamu yang menginap menghilang. Pasti melarikan diri. Dari arah lain, muncul seorang lain melaporkan. Suto : Suman...gubuk Nyi Mas kosong. Pintu terkunci, tapi jendelanya terbuka. Tak mungkin Nyi Mas bersekongkol melarikan diri.39
Kutipan di atas menggambarkan peristiwa penculikan Sinta Salim dengan menggunakan mantra sihir oleh Ki Butho. Peristiwa penculikan tersebut merupakan tahap awal pemunculan masalah dalam naskah Cannibalogy. Dari penculikan Sinta Salim tersebut permasalahan demi permasalahan mulai dimunculkan. Suman yang tidak terima dengan penculikan tersebut segera menyusun rencana untuk merebut kembali Sinta Salim, peperangan antara Suman beserta pasukan Mojokuto dengan pasukan Suhar pun dimulai. Peperangan ini yang menjadi awal dari peningkatan konflik.
39
Ibid., 28.
83
c. Tahap Rising Action Tahap ini merupakan tahap peningkatan konflik di mana konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Cerita semakin menegangkan dan konflik yang terjadi dari segi eksternal, internal, maupun keduanya hingga mengarah menuju klimaks. Peningkatan konflik dalam naskah Cannibaligy karya Benjon dapat terlihat pada fragmen III. 3. Pada fragmen ini menceritakan penyerangan Alas Puputan oleh pasukan Suhar untuk menangkap Suman dan Sinta Salim. Alas Puputan. Penaklukan pasukan Suman, dalam sebuah koreografi. Barisan serdadu berseragam lengkap berderap melintas, dalam formasi menyerbu. Dari arah yang berseberangan, bergulingan puluhan tubuh berkomprang , dadanya dalam lilitan jerami berapi. Terdengar letusan letusan besar meriam yang ditembakkan. Cakrawala memerah. Tubuh tubuh dalam lilitan jerami terhempas, dalam formasi ambruk satu persatu, menjadi gundukan tubuh. Suhar muncul dari tengah pasukan berseragam. Suhar : (Bicara sambil menginjak gundukan tubuh) Alas Puputan obong! Tumpas sudah semua gerombolan. Kita kembali ke Kali Solo. Rayakan kemenangan! Pasukan Suhar : Jayalah Suhar! Solih : Suman kita tangkap. Perempuannya juga. Suhar : Wanita itu urusanku. Borgol si Suman. Aku mau semua sundal Kali Solo merajamnya.40
40
Ibid., h. 48.
84
Kutipan di atas terjadi pada fragmen III. 3 yani menunjukkan tahap situasi yang semakin menegang, Suhar yang murka atas perebutan Sinta Salim dan pembunuhan Landless oleh pasukan Suman, akhirnya membumihanguskan
Alas
Puputan
yang
merupakan
tempat
persembunyian pasukan Suman. Dalam peperangan ini Suhar muncul sebagai pemenang karena telah berhasil menangkap Suman dan mendapatkan kembali Sinta Salim. d. Tahap Climax Pada tahap climax ini, konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi mencapai titik intensitas puncaknya. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon, tahap climaks disampaikan pada fragmen III. 5. Dalam fragmen ini, tibalah kehancuran Suhar. Suhar yang menjadi tokoh utama mengalami konflik batin dengan keadaan yang harus ia hadapi. Semua yang diinginkannya hancur. Wanita impiannya mati dengan melakukan bom bunuh diri, Ki Butho yang merupakan sosok penasehatnya juga mati karena hanyut terbawa arus deras kali Solo. Suhar : (Lemah) O, ancur tenan. Ucul kabeh...Ki, saya tak bisa berdiri tanpa kakimu. Alam menutup gerbangnya untukku. Pernikahanku tanpa restu. Alam sedang melawanku. Sekarang saya sendiri. Lemah kakiku. Ah, harus kurebut lagi! Kekuasaan itu semua, atau tidak sama sekali!41 Keputusasaan Suhar yang merupakan sosok penguasa kejam dan bertangan besi tak terbendung lagi. Suhar merasa sangat hancur, lemah dan pesimis, namun di tengah keputusasaannya Suhar kembali memotivasi dirinya untuk kembali bangkit. 41
Ibid., h. 59.
85
Dalam
fragmen
berikutnya
kehancuran
Suhar
kembali
dimunculkan. Suhar yang sedang bertapa di Gua Semar terkejut saat kedua prajuritnya datang dengan membawa laporan bahwa mereka telah diserang oleh tentara peranakan yang dipimpin oleh Mas Ageng. Djono : Serahkan diri. Minta perlindungan, sesuai undang-undang. Suhar : (Tenang) Tidak! Tidak akan saya serahkan daripada diri saya, dan kehormatan saya. Sebagai prajurit, saya tidak akan mundur, atau menyerah. Ini tidak sesuai dengan Sapta Marga. Tentara itu mengabdi, sampai mati. Djono : Kita kesulitan uang. Harga harga mahal. Orang-orang muda jadi musuhmu, menghinamu. Menurunkan dan membakar gambargambarmu. Penduduk miskin menjarah kota. Membunuh siapa saja, yang tidak serupa. Tentara bingung. Amenglika cuci tangan. Zaman sedang berubah. Kita tak punya pilihan.42 Kutipan tersebut menunjukan tahap situasi yang semakin rumit, baik dari segi keadaan maupun perasaan yang dirasakan Suhar. Suhar mulai dihadapkan dengan situasi yang mengharuskannya menerima kenyataan yang tidak diinginkannya. Suhar tidak rela melepaskan masa kejayaan dan kekuasaannya. Hari-hari menjelang kejatuhan Suhar sudah mulai terlihat.
e. Tahap Denouement Pada tahap Denouement ini, konflik yang telah mencapai klimaks, diberi jalan keluar dan cerita diakhiri. Suhar yang digambarkan sebagai sosok pemimpin yang ambisius, merugikan banyak pihak dan memakan banyak korban nyawa, kini menuai hasilnya. Suhar dan pasukannya disergap oleh pasukan Mas Ageng di dalam Gua Semar. 42
Ibid.,h. 61.
86
Pasukan yang dipimpin Daeng, tiba-tiba masuk menyerbu gua. Moncong-moncong senjata diarahkan pada Suhar dan kelompoknya. Daeng : Ageng Rais, pemimpin Mojokuto, menahan anda. Suhar : Saya bukan penjahat. Saya penyelamat Jawa. Maka sekarang, saya umumkan: Saya menyatakan berhenti sebagai pembangun Mojokuto. Saya menyatakan berhenti, dan melepaskan seluruh mandat. Dari dulu, saya tak pernah kepingin pekerjaan ini. Saya ini jiwa petani!43
Pada tahap sebelumnya Suhar mengalami kegelisahan karena kehancurannya pada tahap ini Suhar kegelisahan Suhar semakin menuncak dengan mulai diperlihatkannya kenyataan bahwa ia benar-benar telah gagal dan hancur. Kutipan tersebut menggambarkan penyergapan pasukan Suhar oleh pasukan Mas Ageng. Pada fragmen berikutnya Suhar dipertemukan dengan Mas Ageng, ia dihakimi dan dihukum untuk mengingat kesalahannya dengan menggali parit hingga akhir hayatnya. Ageng Rais : Kamu memberi hidup, dan meminta mereka menjual kekebasannya padamu. Dan kebebasan itu tak bisa mereka beli kembali, kecuali dengan nyawanya sendiri. Itulah yang sudah kau perbuat kepada penduduk Mojokuto. Suhar, kepada yang hidup kamu bisa bersaksi. Tetapi kepada yang telah mati, kamu harus menggali. Inilah penebusan yang harus kamu jalani: Kau akan menggali lubang, menjadi parit panjang, selebar tubuhmu saat terlentang. Kau akan menggali dari pusar Banyuwangi, terus ke barat sampai Bantam Kulon. Itulah yang akan kau lakukan dengan jiwa petanimu, sampai nafasmu yang terakhir kali. Dari parit yang kau gali, sepanjang jalan pos yang berliku ini, kau akan menggali untuk mengingat sejarahmu kembali. Menentukan akhirmu sendiri! Beri dia perbekalan.44 43 44
Ibid.,h. 62. Ibid., h. 65.
87
Melalui dialog tersebut akhir dari naskah Cannibalogy dapat terjelaskan. Suhar yang merupakan penguasa dengan sikap semena-mena harus menebus
segala kesalahannya dengan hukuman membuat parit
panjang diberikan oleh Mas Ageng untuk mengingat sejarah dan kesalahannya. Meskipun pada awal cerita sosok Suhar terlihat ambisius, kejam dan berani, pada tahap denouement ini seketika berubah drastis menjadi seorang yang lemah dan tak berdaya. Peristiwa tersebut menjadi jalan keluar atau penurunan klimaks untuk mengakhiri cerita. 3. Latar dan Ruang Latar merupakan identitas permasalahan drama sebagai karya fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan penokohan dan alur. Jika permasalahan drama sudah diketahui melalui alur atau penokohan, maka latar dan ruang memperjelas suasana tempat, serta waktu peristiwa itu berlaku. Latar dan ruang dalam drama memperjelas pembaca untuk mengidentifikasi permasalahan drama. Secara langsung latar berkaitan dengan penokohan dan alur. Sehubungan dengan itu, latar harus dapat menunjang alur dan penokohan dalam membangun permasalahan dan konflik. Dalam naskah drama Cannibalogy, penyajian latar seperti latar tempat disebutkan secara gamblang oleh pengarang, baik dalam narasi ataupun melalui dialog antartokoh dan petunjuk laku. Di bawah ini akan disajikan analisis latar dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon.
a. Latar Tempat Jika dilihat secara keseluruhan latar tempat yang digunakan dalam naskah drama Cannibalogy adalah pulau Jawa, karena terdapat beberapa fragmen yang menyebutkan beberapa daerah di pulau Jawa serta terdapat pula beberapa fragmen yang menggunakan bahasa jawa. Selain itu terdapat pula sebuah desa yang sering kali digunakan sebagai latar tempat dalam naskah Cannibalogy, yaitu desa Mojokuto.
88
Desa Mojokuto merupakan Latar tempat yang mendominasi peristiwa penting dalam naskah drama Cannibalogy. Dalam naskah drama Cannibalogy Mojokuto digambarkan sebagai pusat kota yang menjadi latar munculnya beberapa peristiwa penting. … Kuburan desa pinggiran Mojokuto. Sebuah makam sedang digali. Dari tengah kampung, sayup-sayup terdengar gamelan mengiringi adegan perang pada pertunjukan wayang. Dari liang makam nampak sosok kepala plontos sedang menggaruk tanah dengan kedua tangannya. Dengus nafas dan suara gagak saling menimpal. Angin kencang. Seonggok jasad dikeluarkan dari liang. Sosok kepala plontos memanggul jasad ke bahunya. Gerakannya sigap. Keringat mengkilat dari bidang dadanya. Kulitnya coklat keruh. Hitam matanya.45
Kutipan tersebut merupakan penggambaran latar dan suasana dalam naskah Cannibalogy yaitu peristiwa pencurian jasad mbah Sirep yang baru meninggal oleh Suman. Latar suasana dibuat mencekam dengan menampilkan bunyi-bunyian melalui prolog sehingga pembaca dapat mengimajikannya secara detail. Selain Mojokuto, dalam naskah ini terdapat pula peristiwa yang terjadi di Kali Solo. Seperti pada kehidupan nyata, air merupakan sumber peradaban manusia, begitupun Kali Solo dalam naskah Cannibalogy yang digambarkan sebagai pusat peradaban bagi masyarakat Mojokuto sehingga peristiwa kehidupan dalam naskah ini tak terlepas dari aliran sungai tersebut. Kali Solo atau Bengawan Solo digambarkan sebagai tempat keramat yang biasa digunakan sebagai tempat bertapa untuk meminta kelancaran atas urusan duniawi. Ki Butho : Aku penunggu Bengawan Solo. Suhar : Saya datang Ki Butho. Saya minta ijin eyang, saya mau... 45
Ibid. h, 1.
89
Ki Butho : Sudah kubaca maksudmu. Romanmu bagus,cah. Tapi jiwamu belum bersih, Suhar. Suhar : Mohon saya dibersihkan, Ki.46
Kutipan tersebut menggambarkan pertemuan Suhar dengan Ki Butho di Kali Solo. Dalam naskah Canniballogy, kali Solo digambarkan sebagai tempat keramat untuk meminta berkah dan kekayaan, dan tujuan Suhar mengunjungi tempat tersebut adalah untuk bertapa guna mewujudkan mimpinya. Dayung bersambut, Ki Butho pun merestui niat Suhar untuk bertapa di Kali Solo. Selain tempat keramat, Kali Solo juga digambarkan sebagai puasat kehidupan dalam naskah tersebut. Berdasarkan kutipan dialog di atas terlihat bahwa Suhar memiliki kesempatan besar untuk meraih mimpinya, namun tidak dengan cuma-cuma. Suhar harus memberi tumbal pada Kali Solo setiap nasibnya membaik. Tanpa rasa takut dan kemantapan hati, Suhar pun
menyanggupi
perjanjian
tersebut.
Peristiwa
selanjutnya
berlangsung di pendopo Mojokuto yang telah dijadikan Opera Minerva oleh pasukan Olanda. Landless : Dan untuk kamu, Suhar. Kau kumpulkan seluruh orang-orang muda yang sehat. Mereka akan jadi pasukan pribumi, untuk menjaga kelancaran proyek trans Jawa. En Kolonel Hoffmann akan kasi dia punya ilmu militer untuk kamu semua. Pasukanmu boleh pegang senjata atas ijinku. En kamu bisa tumpas itu kerusuhan-kerusuhan para inlander, atas nama keamanan negara. Aku akan teken surat perintah untuk kamu sebagai komandan divisi Jawa. Sekarang awal bulan Maret. En Hoffmann, kapan surat perintahnya kelar ?47
46 47
Benny Yohanes. op.cit., h. 4. Ibid., h. 34.
90
Peritiwa di tempat ini menjadi sangat penting karena Opera Minerva dan perjumpaannya dengan Landless, impian Suhar untuk menjadi orang yang sukses terkabul. Setelah menyerahkan selir pemimpin Mojokuto pada pasukan Olanda, Suhar diangkat menjadi komandan divisi Jawa. Hari yang lain. Di sebuah gua, bernama gua Semar, di daerah dataran tinggi. Suhar sedang bersemedi di atas batu. Djono menyalakan dupa. Bersamaan dengan itu, bias cahaya merah dan kepul asap kekuningan menguasai seluruh kawasan gua. Terdengar suara senjata-senjata diletuskan, pertempuran menuju akhirnya, dan dari arah Barat gelora kemenangan terdengar. Amir dan Yusuf berlari tanpa senjata dan seragam berlumpur, bersimpuh di depan Suhar. Amir : Serangan gerilya dari Barat. Mojokuto sudah mereka rebut. Yusuf : Mereka punya mesiu. Dan tentara-tentara berkuluk putih menyergap pasukan kita dari setiap perbatasan. Seluruh komandan ambil langkah menyerah.48
Kutipan di atas menggambarkan detik-detik kekalahan Suhar yang sedang bersembunyi di Gua Semar. Mojokuto yang sebelumnya berhasil ia kuasai telah berhasil direbut kembali oleh pasukan Mas Ageng yang dibantu oleh pasukan dari Batavia. Dalam seluruh latar tempat pada naskah Cannibalogy pengarang menggambarkan tempat-tempat penting yang berkaitan dengan peristiwa penting yang berkaitan dengan tokoh utama yang menjadi sasaran penelitian ini. Demikian beberapa latar tempat di sini memiliki keterkaitan yang erat dengan tema yang telah dipaparkan sebelumnya yakni mengenai kekuasaan. Dengan demikian latar tempat pun berkaitan erat dengan alur yang menjadi jalan cerita tokoh utama. 48
Ibid., h.61.
91
b. Latar Waktu Latar waktu dalam naskah Cannibalogy tidak digambarkan secara gamblang. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kejadian yang ada dalam naskah berjalan begitu saja tanpa harus menampilkan penanda waktu akurat. Meskipun demikian, petunjuk waktu dapat dianalisis melalui peristiwa-peristiwa yang secara faktual terdapat dalam sejarah. Dalam naskah tersebut penggambaran latar waktu secara implisit tertera pada beberapa dialog. Salah satunya dapat dilihat pada kutipan berikut: Solih : Mayat-mayat sudah diangkat dari lubang. Tujuh orang. Korban diiris-iris. Mereka masih hidup waktu dikubur paksa di sumur kering. Orang-orang terbaik yang kita punya. Suhar : Ya..ya. Itu kerjaan BTI. Pengacau! Mereka komplotan si Suman juga. Makamkan semuanya dengan baik. Kasih gelar sebagai pahlawan revolusi. Biar rakyat seneng. Solih : Harus kita tangkap gembongnya. Suhar : Pasti. Aidil dan Untung. Kejar mereka sampai Madiun.49
Dari kutipan tersebut diketahui bahwa dalam naskah terjadi peristiwa pembantaian sadis yang melibatkan tokoh bernama Aidil dan Untung. Jika ditarik pada peristiwa sejarah Indonesia, kutipan tersebut mengacu pada tragedi Lubang Buaya, dimana tujuh orang jenderal dibunuh dengan sadis dan dikumpulkan dalam satu sumur kering dengan terduga pelaku anggota PKI. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengarang menggunakan latar waktu cerita sekitar tahun 1965-1998 atau 49
Ibid. h. 36
92
diketahui sebagai masa Orde Baru. Pemilihan latar waktu ini digunakan pengarang bukan tanpa alasan sebab saat itu banyak sekali peristiwa sejarah kelam yang terkesan kabur atau dikaburkan. Kegelisahan tersebut yang melandasi pengarang untuk menyampaikan kritik melalui naskah ini. Kemudian latar lainnya yang terdapat dalam naskah Cannibalogy ialah malam hari, tengah hari, dan hari yang lain. Berikut kutipan-kutipan yang mengacu pada latar waktu tersebut: 1) Malam Malam ini, kita bikin Jawa bersuka! Mojokuto tinggal sejarah. Sekarang, Opera Minerva adalah mercusuar baru kekuasaan di Jawa…50 Hari yang lain. Malam hari. Pertunjukan sedang berlangsung di gedung Opera Minerva. Nampak belasan perempuan berambut blonda mengenakan kostum serimpi, dan secara rampak mereka menari gaya bedhaya.51 (Pada pasukannya) Dulur, malam ini akan kita kenang sebagai malam untuk kesetiaan nyali dan keberanian seni. Dulur, lepaskan samaran…52 2) Tengah hari Tengah hari. Di tengah pasar yang sudah usai, sebuah tegalan terbuka, desa Pring. Suhar menumpuk semua barang kelontong jualannya, memantik api ke jerami kering, lalu membakarnya…53 3) Hari yang lain Hari yang lain. Siang hari. Markas Suhar. Suhar mengisap cerutu, berkacamata hitam, dan mengenakan seragam militer. Suhar mengempit tongkat komando…54 Hari yang lain. Di sebuah gua, bernama gua Semar, di daerah dataran tinggi. Suhar sedang bersemedi di atas batu. Djono menyalakan dupa. Bersamaan dengan itu, bias cahaya merah dan kepul asap kekuningan menguasai seluruh kawasan gua. Terdengar suara senjata-senjata diletuskan, pertempuran menuju akhirnya, dan dari arah Barat gelora 50
Ibid., h. 39. Ibid., h. 45. 52 Ibid., h. 46. 53 Ibid., h. 2. 54 Ibid., h. 47. 51
93
kemenangan terdengar. Amir dan Yusuf berlari tanpa senjata dan seragam berlumpur, bersimpuh di depan Suhar.55 Penggambaran latar waktu yang digunakan oleh Benjon dalam naskah drama Cannibalogy berfungsi untuk memperkuat cerita. Malam hari dalam naskah ini menggambarkan betapa sebenarnya malam bukan hanya sekedar waktu untuk beristirahat. Banyak hal yang dapat dilakukan malam hari, terlebih naskah ini merupakan penggambaran suasana perang sehingga pemilihan waktu malam sangat tepat untuk berkegiatan. Latar selanjutnya ialah siang hari, pada kutipan tersebut digambarkan tokoh Suhar yang frustasi akibat kebangkrutannya sehingga ia membakar seluruh barang dagangannya dan memilih jalan kiri untuk melanjutkan hidup. Latar selanjutnya ialah hari yang lain, pada kutipan pertama Suhar yang sebelumnya hanya seorang pedagang kelontongan kini digambarkan telah menjadi seorang komadan lengkap dengan seragam militer yang menjelaskan bahwa status sosialnya telah berubah. Selanjutnya pada kutipan yang kedua menggambarkan hari-hari menjelang kehancuran Suhar. Suhar yang sebelumnya telah menjadi seorang komandan, akhirnya hancur karena perbuatannya sendiri dan mengharuskan ia bersembunyi di sebuah gua, namun persembunyiannya sia-sia karena tempat persembunyian tersebut telah diketahui oleh pasukan Mas Ageng.
4. Penggarapan Bahasa Sebagaimana di dalam karya sastra lainnya, di dalam drama para pengarang pun memanfaatkan penggunaan gaya bahasa. Tentu dengan memperhatikan kekhususan karakteristik drama. Penggunaan jenis gaya bahasa ini akan membantu pembaca mengidentifikasi perwatakan tokoh. Tokoh yang menggunakan gaya bahasa penegasan dalam ucapan-
55
Benny Yohans. op.cit,.h. 60.
94
ucapannya tentu akan berbeda letaknya dengan tokoh yang menggunakan gaya bahasa sindiran ataupun pertentangan dan perbandingan.56 Gaya bahasa yang paling dominan yang digunakan dalam naskah drama Cannibalogy kaya Benny Yohanes yakni gaya bahasa sinisme. Hal tersebut terjadi karena naskah ini merupakan naskah yang menggambarkan keadaan sosial yang menyimpang. Salah satu contohnya ialah terdapat pada awal pembukaan cerita Kuro : Lihat sendiri. Dagingnya sudah dibikin sate. Lainnya sedang direbus. Lihat di lehernya. Itu masih daging korban juga. Malah dibikin kalung. Orang ini gemblung, Daeng. Sentolo : Matanya melotot terus. Seperti burung hantu. Nantang dia. Ada setan di dagingnya. Kamu ini manusia apa binatang ?!57
Peristiwa yang terjadi dalam kutipan tersebut ialah menggambarkan kemarahan warga Mojokuto akibat ulah Suman yang membongkar dan memakan daging mayat yang dicurinya. Selain gaya bahasa sinisme, ada beberapa gaya bahasa pula yang digunakan oleh Benjon dalam naskah drama Cannibalogy seperti yang akan dipaparkan di bawah ini: a.
Antitesis Antitesis merupakan sebuah gaya bahasa yang mengandung
gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan.58 Penggunaan antitesis dapat dilihat dalam kutipan: Dik Sinta Salim, bicara adik panjang dan rumit. Suman tidak sekolah. Tidak bisa bergaya bahasa. Agak mumet jadinya. Tapi wajah adik, suara adik, tatapan adik, lebih sampai dari bahasa adik.59 56
Ibid., h.99. Benny Yohanes., op.cit. h, 3 58 Gorys Keraf,Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004). h. 126. 59 Benny Yohanes, op. cit., h. 26. 57
95
Pengarang menggunakan majas ini untuk menggambarkan bentuk pertentangan yang terjadi pada tokoh Suman. Hal ini berfungsi untuk menguatkan dimensi sosial tokoh Suman dalam naskah. Pada dialog tersebut, digambarkan bahwa tokoh Suman merupakan seorang yang tidak bersekolah maka tidak cerdas dalam menyimak pembicaraan orang lain yang terkesan rumit, namun karena rasa sukanya terhadap Sinta Salim, Suman mengerti maksud dari apa yang disampaikan olah Sinta Salim. b.
Personifikasi Personifikasi merupakan semacam gaya bahasa kiasan yang
menggambarkan benda mati seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.60 Penggunaan personifikasi dapat dilihat dalam kutipan: Ki Butho : Bengawan Solo belum memberiku tanda.61
Dalam kutipan tersebut Ki Butho menunggu pertanda dari Bengawan Solo untuk menjadikan Suhar penguasa Nusantara. Penggambaran latar tempat yang disampaikan pengarang menggambarkan bahwa Bengawan Solo bukan sekedar tempat air mengalir, namun juga merupakan sebuah benda yang memiliki sifat-sifat manusia sehingga dapat memberi pertanda akan sesuatu. c. Sinisme Sinisme diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati.62 Penggunaan majas ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: Mas Ageng : (Mengambil golok dari tangan Sentolo. Dengan isyarat tangan meminta Sentolo mundur. Meminta pada Daeng) Daeng, baringkan.
60
Gorys Keraf, op. cit., h. 140. Benny Yohanes, op. cit, h. 47. 62 Gorys Keraf, op. cit., h. 143. 61
96
(Daeng menelentangkan tubuh Suman di atas sebatang gebok pisang. Mas Ageng menempelkan ujung golok ke dada Suman) Orang-orang Mojokuto, dengarkan keputusanku. Orang ini miskin. Begitu juga pikirannya. Dia tidak hormat pada jasad orang mati, karena dia merasa harus bertahan hidup. Tak ada orang lain memberinya jalan keluar. Dia mencari jalan keluar di dunia orang mati. Pikirannya menjadi bagian dari kematian itu juga. Tapi orang ini berkeras hati ingin hidup. Kalau dia mau hidup, dia harus berpikir seperti orang hidup. Dia harus patuh pada hukum.63
Pada kutipan di atas pengarang menggunakan gaya bahasa sinisme yang disampaikan oleh Mas Ageng sebagai sindiran terus terang terhadap ketakperdulian masyarakat atas potret kemiskinan yang ada di sekitarnya melalui tokoh Suman. Kutipan tersebut berkaitan dengan dimensi sosial tokoh Suman yang menggambarkan bahwa kemiskinan serta ketakberdayaannya membuat Suman gelap mata untuk mencari jalan keluar di jalan yang salah karena ia merasa harus tetap bertahan hidup sehingga ia menjadi manusia yang ganas. d. Simile Simile merupakan gaya bahasa yang menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya secara eksplisit menunjukkan kesamaan yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya.64 Penggunaan simile dapat dilihat dalam kutipan: Landless : Tak ada lapangan bagus di Mojokuto. Tanahnya lembek, banyak lumpur, seperti pribuminya.65
Pada kutipan di atas pengarang menggunakan gaya bahasa simile melalui tokoh Landless untuk menggambarkan pribadi pribumi yang lemah sehingga
63
Benny Yohanes, op. cit, h. 13. Gorys Keraf, op. cit., h. 138. 65 Benny Yohanes, op. cit, h. 18. 64
97
sangat mudah untuk diinjak-injak dan dihancurkan melalui penggambaran tanah yang lembek. e. Elipsis Elipsis berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat ditafsirkan sendiri oleh pembaca, sehingga struktur kalimatnya memenuhi pola yang berlaku.66 Penggunaan elipsis dapat dilihat dalam kutipan: Suhar : (Setengah tertidur) Mbok, saya mau mati di Kali Solo. Itu tanahku. Dulu, saya ingat betul lagunya. Sekarang…ah, aku tak kuat, mbok.67
Secara tidak langsung pengarang menggunakan gaya bahasa ini untuk memperlihatkan
kesedihan
yang
dialami
Suhar
akibat
kejatuhan
kekuasaannya. Kutipan tersebut juga sekaligus menggambarkan dimensi psikologis dan sosial tokoh Suhar. Suhar yang sebelumnya selalu optimis dan memiliki kuasa, kini berubah menjadi pesimis dan lemah saat harus menerima hukuman untuk membayar perbuatannya hingga tak kuat lagi untuk mengingat dan menyanyikan lagu tempat yang telah memberinya pertanda untuk menjadi penguasa. f. Hiperbola Hiperbola merupakan semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dan terkesan membesar-besarkan.68 Penggunaan hiperbola dapat dilihat dalam kutipan: Suhar : (Lemah) O, ancur tenan. Ucul kabeh...Ki, saya tak bisa berdiri tanpa kakimu. Alam menutup gerbangnya untukku. Pernikahanku tanpa restu. Alam sedang melawanku. Sekarang saya sendiri. Lemah 66
Gorys Keraf, op. cit., h. 132. Benny Yohanes, op.cit., h. 69. 68 Gorys Keraf, op. cit., h. 135. 67
98
kakiku. Ah, harus kurebut lagi! Kekuasaan itu semua, atau tidak sama sekali!69 Kutipan di atas menggambarkan keputusasaan Suhar atas lenyapnya Ki Butho di Bengawan Solo karena berusaha menyelamatkan Sinta Salim. Kata “saya tak bisa berdiri tanpa kakimu” dimaksudkan untuk menyatakan bahwa Suhar tak berkutik tanpa Ki Butho dan petuahnya, Sebab Ki Butho merupakan petunjuk arah dalam hidup Suhar. g. Eufemismus Eufemismus semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan halus untuk menggantikan sesuatu yang dirasa tidak menyenangkan.70 Penggunaan eufemismus dapat dilihat dalam kutipan:
Ageng Rais : Kamu memberi hidup, dan meminta mereka menjual kekebasannya padamu. Dan kebebasan itu tak bisa mereka beli kembali, kecuali dengan nyawanya sendiri.71
Kutipan di atas menggambarkan kemarahan Mas Ageng setelah mengetahui perbuatan Suhar yang telah mengorbankan banyak nyawa penduduk Mojokuto
untuk
melanggengkan
kekuasaannya.
Penggunaan
“Dan
kebebasan itu tak bisa mereka beli kembali, kecuali dengan nyawanya sendiri”
sebagai
media
penyampaian
makna
“membunuh”
yang
disampaikan dengan kata yang lebih halus. Penggunaan gaya bahasa yang menarik akan menimbulkan kesan imajinatif yang mendalam. Hal ini dilakukan Benjon dalam naskah drama Cannibalogy dengan banyak menggunakan gaya bahasa untuk menambah 69
Benny Yohanes, op. cit, h. 60. Gorys Keraf, loc. cit. 71 Benny Yohanes, op. cit, h. 66. 70
99
fariasi dan fantasi alur cerita dalam naskah tersebut untuk memperoleh pendalaman isi naskah 5. Tema (Premisse ) dan Amanat a. Tema Tema merupakan salah satu unsur pembangun dalam sebuah cerita yang tidak hanya dituliskan secara tersurat atau terpampang jelas dalam kutipan, tetapi penampakan tema dapat tersirat dalam berbagai kutipan dialog antar tokoh ataupun alur kejadian dalam suatu peristiwa yang tengah dialami tokoh. Tema dalam naskah drama tidak dapat ditentukan hanya dengan membaca sepotong cerita, tetapi harus membaca keseluruhan cerita secara utuh. Hal tersebut dikarenakan sifat tema yang bersifat luas, artinya tema dalam sebuah naskah drama harus mampu menjadi ide dasar atau gagasan besar. Cannibalogy
memiliki
makna
yang
menyeramkan.
Cannibalogy berasal dari kata kanibal atau kanibalisme yang secara harfiah berarti kebiasaan memakan daging atau bagian tubuh manusia; secara ilmiah dikenal pula dengan istilah antropofagi (Yunani: anthroopos = manusia; fragein = makan).72 Namun kanibal yang dimaksudkan dalam naskah ini tidak hanya sekedar sifat manusia memakan daging manusia, namun artian
merampas
kebebasan
serta
juga memakan manusia dalam hak
hidup
manusia
demi
melanggengkan kekuasaan. Jika diperhatikan fragmen demi fragmen dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon, banyak membahas masalah-masalah sosial pada masa Orde Baru. Bukan hanya budaya saling makan dan saling sikut pada sosok penguasa, namun juga penggambaran cara seorang pemimpin berkuasa dan memiliki kuasa sebagai pengendali keamanan dan kehancuran suatu wilayah. Jika ditelisik dari permasalahan ini, 72
Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, jilid III, (Jakarta: Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1982), h. 1646.
100
maka tema minor yang digunakan dalam naskah ini adalah sosok penguasa. Di sisi lain, perjalanan tokoh Suhar yang berperan sebagai penggerak cerita dalam naskah ini memuat tema haus kuasa. Terdapat empat sosok penguasa dengan beragam perwatakan yang digambarkan dalam naskah drama Cannibalogy, mulai dari pemimpin yang adil, bijaksana, sampai pada sosok penguasa yang lalim, otoriter, dan licik. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya ialah Mas Ageng yang merupakan seorang pemimpin bijaksana, Landless pemimpin pasukan Olanda yang digambarkan sebagai sosok pemimpin yang lalim. Setelah keduanya, muncullah kedua karakter penguasa yang sebenarnya berperan sebagai pembawa cerita, yakni Suman dan Suhar. Suman merupakan pemimpin yang diberikan kuasa oleh Ki Ageng. Pada awal penceritaan Suman digambarkan sebagai pemakan jasad manusia yang sudah mati untuk mendapatkan kekayaan, kekuatan, dan kekuasaan, namun seperti pemberi kuasanya, Suman merupakan pemimpin yang memperjuangkan kebaikan. Suman, kau dihukum, supaya kau sembuh. Supaya kau patuh di dunia orang hidup, dan hormat di dunia orang mati. Kau dihukum untuk hidup. Maka, kau harus bekerja merawat seluruh makam di tanah Mojokuto, dan menjaganya seperti kau menjaga kehidupanmu sendiri. Itulah baktimu untuk tanah Mojokuto. Sekali saja kau langgar ini, berarti kau gagal untuk sembuh. Dan kalau kau gagal sembuh, maka tanganku sendirilah yang akan menjadi hukum untuk hidupmu!73 Pada penggalan dialog tersebut, Mas Ageng mempercayakan Suman untuk menjaga tanah Mojokuto, dan setelah peristiwa itu datanglah pasukan Olanda untuk merebut Mojokuto. Mas Ageng bersembunyi, di sanalah Suman mengambil alih peran Mas Ageng untuk memimpin dan merebut kembali tanah Mojokuto. Sedangkan Suhar, seperti pemberi kekuasaannya, ia merupakan sosok pemimpin yang lalim, tak mempedulikan kepentingan orang lain. Cannibalogy
yang tergambar dalam diri Suhar adalah sosok
73
Benny Yohanes, op.cit., h. 13.
101
pemimpin dengan sifat kanibal yang sesungguhnya, ia tak hanya memakan daging manusia, namun juga memakan hak manusia untuk mempertahankan kekuasaannya. (Bertepuk tangan) Bravo!...Bravo! Pertunjukan bagus. Timing yang tepat. Suhar, pandai kamu membuat drama. Well, amankan terus trans Jawa, Suhar. Dan kalau semua lancar, kamu tidak hanya berwenang di Jawa. Kamu juga akan berwenang atas Sumatera, Celebes dan Papua.74 Pada penggalan dialog tersebut, Suhar dipercayakan untuk memimpin tanah Jawa oleh Landless atas keberaniannya dalam menjalankan tugas, dan setelah kematian Landless, Suhar menjadi penguasa penuh atas Nusantara. Berdasarkan tema minor dan pemaparan di atas, dengan ditonjolkannya beberapa tokoh pemimpin atau penguasa, cara mendapatkan dan cara memimpin masing-masing dapat ditarik kesimpulan bahwa naskah drama Cannibalogy karya Benjon bertemakan “kekuasaan”.
b. Amanat Amanat merupakan opini, kecenderungan, dan visi pengarang terhadap tema yang dikemukakannya. Amanat di dalam drama dapat terjadi lebih dari satu, asal kesemuanya itu terkait dengan tema.75 Pada umumnya karya sastra, khususnya naskah drama selalu berisi pesan atau amanat yang disampaikan melalui dialog-dialog tiap tokoh, sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh pembaca. Melalui karya sastra, setiap pengarang memiliki tujuan tersendiri yang ingin disampaikan kepada pembacanya Begitu pula Benjon dengan naskah drama Cannibalogy, melalui naskah ini Benjon menyampaikan pesan melalui dialog Mas Ageng selaku tokoh pemimpin yang bijaksana. 74 75
Ibid., h. 37. Hasanuddin, op.cit., h.103.
102
Mas Ageng : (Mas Ageng menekankan ujung golok lebih keras ke dada Suman. Suman menahan nafas. Penduduk bersorak ) Perbuatannya patut dihukum. Ya!! Tapi orang-orang Mojokuto, dengarkan keputusanku. Di dunia orang hidup, menghukum bukan menyakiti. Juga bukan untuk menghabisi. Menghukum itu, menyembuhkan. Suman, kau dihukum, supaya kau sembuh. Supaya kau patuh di dunia orang hidup,dan hormat di dunia orang mati. Kau dihukum untuk hidup. Maka, kau harus bekerja merawat seluruh makam di tanah Mojokuto, dan menjaganya seperti kau menjaga kehidupanmu sendiri. Itulah baktimu untuk tanah Mojokuto. Sekali saja kau langgar ini, berarti kau gagal untuk sembuh. Dan kalau kau gagal sembuh, maka tanganku sendirilah yang akan menjadi hukum untuk hidupmu!76
Pesan yang cukup menarik untuk diungkit kaitannya dengan perkara eksekusi penghukuman tindak penyimpangan sosial. Eksekusi dari kekuasaan feodal yang tergambar dalam naskah Cannibalogy justru diungkapkan secara paradoksal terhadap kanibalisme yang dilakukan oleh Suman. Dikatakan oleh Mas Ageng Rais bahwa menghukum itu tidaklah harus menyakiti atau bahkan harus menghabisi seseorang yang terbukti bersalah. Menghukum itu 'menyembuhkan'. Maksud menyembuhkan dalam kutipan dialog tersebut ialah merubah pelaku penyimpangan menjadi manusia yang lebih baik dan tidak mengulangi kesalahannya di masa lampau. Inilah semangat humanisme yang ditiupkan oleh Benjon atau sang penulis naskah yang sangat menyentuh realita hukum yang kadang muncul banyak kasus, dengan adanya aparat yang malah melakukan pembiaran pada tindak kekerasan dari individu atau kelompok masyarakat yang 76
Benny Yohanes, op. cit., h. 14.
103
'menghukum'
kelompok
masyarakat
lainnya
yang
semakin
memperkuat kesan bahwa hukum tajam ke bawah. Ageng Rais : Kamu memberi hidup, dan meminta mereka menjual kekebasannya padamu. Dan kebebasan itu tak bisa mereka beli kembali, kecuali dengan nyawanya sendiri. Itulah yang sudah kau perbuat kepada penduduk Mojokuto. Suhar, kepada yang hidup kamu bisa bersaksi. Tetapi kepada yang telah mati, kamu harus menggali. Inilah penebusan yang harus kamu jalani : Kau akan menggali lubang, menjadi parit panjang, selebar tubuhmu saat terlentang. Kau akan menggali dari pusar Banyuwangi, terus ke barat sampai Bantam Kulon. Itulah yang akan kau lakukan dengan jiwa petanimu, sampai nafasmu yang terakhir kali. Dari parit yang kau gali, sepanjang jalan pos yang berliku ini, kau akan menggali untuk mengingat sejarahmu kembali. Menentukan akhirmu sendiri! Beri dia perbekalan. Daeng : (Memberikan sekop dan pacul baru kepada Suhar) Ini barang inventaris negara. Rawatlah dengan baik. (Kepada pasukannya) Bawalah ke ladangnya. (Dua orang membawa Suhar pergi) Ageng Rais : Penduduk Mojokuto, berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian. Setiap pemimpin akan menggali kelemahannya sendiri, saat menukar impian sebagai kenyataan. Memaksakan pernyataan menjadi akhir semua impian. Berjagalah! Telah kuberikan kembali Mojokuto pada kalian. Tapi, tidak semua akan kembali.77 Pesan moral yang terkandung dalam naskah Cannibalogy disampaikan oleh penulis melalui dialog Ki Ageng menjelang akhir cerita. Dialog tersebut bermaknakan bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab atas dirinya dan segala yang dilakukannya, karena setiap orang
akan menebus kesalahannya, begitu juga seorang
77
ibid., h. 66.
104
pemimpin. Ketika seorang pemimpin melakukan kesewenangwenangan dengan jabatan dan kuasanya, maka ia akan berakhir dengan kehancuran dirinya. Rangkaian peristiwa dan dialog tersusun secara integral dalam tema. Kekuasaan dan penindasan menjadi latar penuh konstruksi naskah drama Cannibalogy. Dalam penyelenggaraan kekuasaan, kadang penguasa melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan norma dan moral. Seperti halnya Suhar dalam melakoni tugasnya harus menumbalkan banyak nyawa. Kenyataan demikian tentu menuai respon dan kritik dari banyak kalangan. Cannibalogy mengandung pesan moral tentang kritik terhadap kekuasaan yang menumbalkanp rakyat. Sejatinya kritik adalah upaya mengingatkan apa yang dikritik. Benjon lewat Cannibalogy sedang memaparkan apa yang terlupa oleh penguasa jaman Orde Baru, yaitu bahwa tiap generasi selalu menyusun kelemahannya sendiri kepada generasi lanjut.
B. Analisis Kritik Sosial dalam Naskah Cannibalogy karya Benny Yohanes Setelah melakukan pengkajian unsur intrinsik yang terkandung dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon, penelitian ini menghasilkan datadata yang berkaitan dengan penggambaran peristiwa masa Orde Baru. Kritik sosial yang dapat ditemukan dalam Cannibalogy karya Benjon adalah kritik terhadap kekuasaan pada masa Orde Baru. Dalam naskah ini, kritik sosial tergambar di setiap fragmennya. Dalam hal ini Benjon sangat jeli memilih peristiwa yang kemudian jika diperhatikan kembali mengandung kritik di dalamnya. Diawali dengan penggambaran seorang tokoh super di negeri ini yang terkenal dengan sifat kepemimpinan “tangan besi”, tokoh tersebut adalah mantan presiden RI ‘Soeharto’. Penggambaran watak secara psikologis dan sosiologis penulis tuangkan dengan cerdas dan kreatif dalam tokoh Suhar.
105
Benjon menceritakan pemimpin masa Orde Baru dengan cara yang berbeda, naskah ini diciptakan dengan gaya interteks. Ia tidak hanya menceritakan peristiwa di masa Orde Baru saja, tetapi juga menyatukan dengan peristiwa bersejarah lainnya melalui cuplikan-cuplikan peristiwa, seperti saat kedatangan pasukan Belanda di Indonesia, tumbangnya masa penjajahan Belanda, hingga tragedi G–30-S, bukan dengan mengambarkan peristiwa sejarah Indonesia secara utuh. Kritik sosial yang terkandung dalam naskah drama Cannibalogy merupakan perwujudan dari tanggapan terhadap tindak penyimpangan yang kerap terjadi pada masa kekuasaan Soeharto, serta pada masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Wujud kritik sosial yang didapati dalam naskah Cannibalogy di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Rekayasa di Seputar G-30-S (peristiwa Lubang Buaya) Pada Oktober 1965, radio dan televisi Indonesia menyiarkan secara luas berita yang dapat membuat perasaan menjadi tidak menentu, “jasad para jenderal yang dibunuh ditemukan di Lubang Buaya.” Sementara itu, anggota organisasi-organisasi yang terafiliasi PKI sedang berlatih di dekat Lubang Buaya sebagai sukarelawan kasus konfrontasi Indonesia-Malaysia yang digagas Soekarno. Fakta ini dimanfaatkan dengan baik oleh militer yang kemudian menuding PKI mencoba melakukan kudeta dan menyebut komunis adalah pembunuh yang kejam dan sadis. Dalam penalaran yang tidak masuk akal ini, bukan hanya pemimpin PKI yang dinyatakan bersalah, melainkan seluruh anggota partai dan simpatisannya (nonpartai).78 Peristiwa ini kemudian menjadi salahsatu peristiwa yang diangkat sebagai bahan kritik yang disampaikan Benjon dalam naskah Cannibalogy melalui laporan Solih kepada Suhar yang sedang berada di markas, Suhar digambarkan sebagai komandan divisi Jawa dengan seragam militer yang dikenakannya lengkap dengan tongkat komando. 78
Julie Southwood – Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum & Propaganda 1965-1981, (Depok: Komunitas Bambu, 2012), ter. Komunitas Bambu, h. 86.
106
Solih : Mayat-mayat sudah diangkat dari lubang.Tujuh orang. Korban diiris-iris. Mereka masih hidup waktu dikubur paksa di sumur kering. Orang-orang terbaik yang kita punya. Suhar : Ya..ya. Itu kerjaan BTI. Pengacau! Mereka komplotan si Suman juga. Makamkan semuanya dengan baik. Kasih gelar sebagai pahlawan revolusi. Biar rakyat seneng. Solih : Harus kita tangkap gembongnya. Suhar : Pasti. Aidil dan Untung. Kejar mereka sampai Madiun. Solih : Tangkap hidup atau mati ? Suhar : (Tenang. Tersenyum) Tembak saja. Paling adil buat gerombolan. 79
Peristiwa Lubang Buaya menjadi latar dalam dialog tersebut. Kekejaman BTI yang digambarkan Solih dalam naskah Cannibalogy semacam kritikan tajam yang dilakukan Benjon dalam karyanya. Penyampaian peristiwa yang sebenarnya disampaikan secara gamblang pada kutipan di atas. Peristiwa dalam kutipan tersebut Seperti pernyataan yang dilontarkan Soeharto selaku Pangkostrad yang disiarkan langsung oleh RRI dan TVRI setelah pengangkatan jasad para korban pembunuhan G-30-S di Lubang Buaya, Senin 4 Oktober 1965, sekitar pukul 15.00, “jelas betapa kejam dan biadabnya aniaya yang dilakukan petualangpetualang G-30-S. Ketujuh jenazah Pahlawan Revolusi, 6 Jendral dan
79
Benny Yohanes, op.cit, h. 34.
107
seorang Perwira pertama, ditemukan dalam keadaan tubuh yang jelas penuh luka karena siksaan. Bekas luka di sekujur tubuh pahlawan kita”.80 Selain pemberitaan yang disampaikan RRI dan TVRI, mediamedia cetak pun gencar memberitakan peristiwa tersebut dengan kabar bahwa ketujuh korban disiksa di luar batas kemanusiaan. Pada edisi 5 Oktober, Harian Angkatan Bersendjata bahkan menampilkan foto kabur dari mayat-mayat yang mulai membusuk, lalu menggambarkan kematian mereka sebagai “perbuatan barbar dalam bentuk penyiksaan yang diluar batas-batas kemanusiaan “. Sementara itu Berita Yudha menyebutkan, mayat-mayat itu tertutup dengan tanda-tanda yang mengindikasikan adanya penyiksaan. Dalam suatu penjelasannya kepada pers, Soeharto sendiri mengatakan bahwa dengan mata kepala sendiri dia melihat bekas penyiksaan biadab telah dilakukan oleh segerombolan manusia barbar yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September”. Pada edisi 9 Oktober 1965, Berita Yudha bahkan melaporkan bahwa jasad Lettu Tendean mengalami luka sayatan pisau di dada sebelah kiri dan perutnya, lehernya telah dipenggal, dan kedua matanya dicungkil keluar. Pada edisi 11 Oktober Harian Angkatan Bersendjata menulis Piere Tendean sebelumnya diperlakukan sebagai “barang mainan” Gerwani. 81 Berlainan dengan pemberitaan yang disampaikan oleh media, pemeriksaan yang dilakukan oleh tim forensik yang terdiri dari dua orang dokter tentara beserta tiga ahli forensik sipil dan Fakultas Kedokteran UI. Tim forensik sama sekali tidak menemukan bekas siksaan di tubuh para korban, sebelum mereka terbunuh. Pengumuman sengaja dibuat untuk memprovokasi hiruk-pikuk anti komunis, mengompori orang lain untuk melakukan tindakan gegabah membunuh ‘PKI’, memancing amarah tanpa alasan atau kesetiakawanan: “jika kamu berdiri di depan pintu dan kamu berkata bahwa kamu hanyalah 80
Eros Drarot, dkk, Siapa Sebenarnya Soeharto - Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI), (Jakarta: PT. TransMedia, 2008), Cet. 10, h.16. 81 Ibid., h.17.
108
manusia, tidak seorangpun yang akan tertarik. Massa hanya perduli pada partai tempatmu bernaung.” Komunis digambarkan sebagai sosok yang tidak manusiawi; yang harus dimusnahkan, disapu bersih, diberantas, diganyang. Mengutip metafora dari pemimpin Angkatan Bersenjata mengenai pembantaian tersebut, “Reaksi publik terhadap komunisme sungguh ekstrem.”82 Rumor dan isu yang sengaja disebar dengan mengklaim seperti peristiwa di atas merupakan cara efektif dalam propaganda. Justifikasi kelompok pembantai elit militer di Lubang Buaya digunakan oleh Soeharto untuk meyakinkan masyarakat bahwa PKI memiliki keterlibatan dengan kelompok tersebut. Terlebih gelar pahlawan yang melekat pada para korban akan lebih menarik simpati masyarakat untuk ikut melakukan “pembersihan”. 2. Lahirnya Supersemar Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) merupakan catatan sejarah yang sampai saat ini keabsahannya masih menjadi kontroversi. Secara umum, isi Supersemar adalah perintah Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto yang mengalihkan tanggung jawab kepresidenan. Dalam Cannibalogy pun terdapat fragmen yang tampak mengacu pada peristiwa 11 Maret 1966 tersebut. Dengan sentuhan imajinasi kreatifnya Benjon menyisipkan peristiwa penting dengan cara yang terlihat sepele. Landless : Well... Suhar, mulai 11 Maret, kau resmi panglima. Kamu boleh tumpas habis semua gerombolan pengacau keamanan zonder pengadilan. En jalan pos terpanjang harus lahir di Jawa. En akan kuberi nama Pos Landless straat. Kerja baik, upahmu baik. Bersumpahlah Suhar. (Landless menjabat tangan Suhar. Suhar bersimpuh di depan Landless)83
82 83
Julie Southwood- Patrick Flanagan. Op. cit., h. 86. Benny Yohanes, op.cit.,h. 33.
109
Dialog di atas menandakan betapa besarnya pengaruh Supersemar dalam praktik kekuasaan Suhar. Supersemar menjadi simbol sakti Suhar untuk melancarkan ambisinya. Dalam kenyataan sejarah Indonesia, Supersemar
menjadi
titik
balik
Soeharto
untuk
secara
politis
“membersihkan” saingan-saingan dari kubu PKI dan upaya penuh untuk memegang kekuasaan. Keterkaitan yang dibuat Benjon bukan kebetulan semata, penanggalan yang dimaksudkan dalam kenaikan jabatan Suhar tak hanya penanggalan sembarang, namun menjadi suatu kritik tersendiri ketika dikaitkan dengan sejarah yang terjadi pada tanggal yang sama, yakni peristiwa Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) yang menjadi titik tolak Soeharto sebagai penguasa RI.84 Dengan lahirnya supersemar, Soekarno selaku presiden pertama Negara ini tak lagi memiliki daya, langkah Soeharto semakin mulus untuk menjadi seorang penguasa dan terbukti hingga tiga puluh dua tahun masa jabatan digenggamnya. Keadaan sosial dan politik berubah setelah naiknya Soeharto sebagai presiden. Pada perawalan Orde Baru, Soeharto mampu memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (Tritura), yaitu pembubaran PKI dan pembersihan kabinet dari unsurunsur PKI. Sementara itu, tuntutan ketiga, yaitu penurunan harga yang berarti perbaikan bidang ekonomi belum diwujudkan. Hal itu terjadi karena syarat mewujudkannya perlu dilakukan dengan pembangunan secara terus-menerus dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Pelaksanaan pembangunan agar lancar dan mencapai hasil maksimal memerlukan stabilitas nasional.
84
Isi Supersemar itu antara lain Presiden Soekarno memberikan kekuasaan kepada Letjen Soeharto unruk mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, keamanan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar Revolusi/Mandataris MPRS, serta demikian kebutuhan bangsa dan Negara RI dan melaksanakan dengan pasti ajaran-ajaran Panglima Besar Revolusi.
110
3. Pembatasan Kebebasan Berbicara (Pembungkaman Publik) Reformasi di Indonesia yang terjadi pada tahun 1998, merupakan transisi demokrasi dari otoritarian menuju liberatarian, demokrasi di Indonesia di era tahun 1968-1998 cenderung menganut sistem otoritarian dimana media massa dan kebebasan pers dibatasi oleh undang-undang dan peraturan pemerintah dibawah kendali orde baru, sehingga media massa tunduk dibawah kekuasaan pemerintah. Begitu besarnya kontrol pemerintah terhadap media massa pada saat Orde Baru tersebut, seolah kran-kran pers dikunci rapat oleh pemerintah, akibatnya pers tidak dapat memberikan informasi yang akurat dan terbuka (transparancy) kepada masyarakat, media tidak dapat mengkritik kebijakan pemerintah yang menyimpang, kritik dibungkam dan sistem oposisi diharamkan, yang ahirnya penyimpangan yang dilakukan pemerintahan itu berakibat seperti semakin
merajarelanya
koncoisme
korupsi,
kolusi
nepotisme,
pembangunan yang tidak merata, bertambahnya kesenjangan sosial, ketika media massa tidak bebas untuk menyampaikan informasi maka pengetahuan
masyarakat
tentang
informasi
yang
sebenarnya
termarjinalisasikan. Kasus yang paling terlihat dengan banyaknya surat kabar dan majalah yang dibredel, seperti kasus majalah Tempo dan majalah Detik pada tahun 1997, karena tidak tunduk pada pemerintah yang berkuasa, maka kedua koran dan majalah tersebut dibreidel, begitu ketatnya pengawasan pemerintahan yang otoriterian terterhadap kebebasan pers, namun tidak semua hal yang buruk pada teori otoriterian, ada sisi kebaikan yang dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia, meskipun saat itu media massa dan persnya seolah-olah dibungkam dan dikontrol oleh pemerintah yang berkuasa.
85
Dalam naskah Cannibalogy
85
Jamhur Poti. Demokratisasi Media Massa Dalam Prinsip Kebebasan, Jurnal Ilmu Pemerintah, 2011, 19.https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja &uacElet=8&ved=0ahUKEwjcsaPQ46rPAhVJK48KHZwkDfcQFggaMAA&url=http %3A%2F%2Ffisip.umrah.ac.id%2Fwpcontent%2Fuploads%2F2012%2F03%2FJURNAL-ILMU-PEMERINTAHAN-BARUKOREKSI-
111
sindiran mengenai pembatasan kebebasan berbicara disampaikan melalui dialog Suhar pada fragmen VI.I. Suhar : Amir, Yusuf. Tak boleh ada yang tahu berita ini! Kontrol surat kabar! Amir : Perempuan-perempuan ini bisa kasih informasi. Kita apakan ? Suhar : Hemmh! Mereka pantas jadi tumbal untuk kesialan ini. Habisi!86 Dalam naskah ini, pembatasan kebebasan publik untuk berbicara digambarkan dalam fragmen IV. 1. Peristiwa pada
kutipan di atas
membawa ingatan pembaca untuk kembali pada peristiwa pembungkaman publik di masa Orde Baru. Pada masa itu, terdapat banyak media yang dicabut izin terbitnya serta beberapa sastrawan yang ditangkap serta diasingkan karena menyampaikan informasi yang dianggap mengancam keamanan negara. Sepert dilansir dalam situs online harian Kompas, jurnalisme dibelenggu dengan penerbitan surat izin usaha penerbitan pers. Kritik terhadap pemerintah, dipastikan menjadi jalan untuk dicabutnya SIUPP, yang berarti perusahaan pers dipaksa berhenti beroperasi. Belenggu yang dihadirkan rezim Orde Baru malah menumbuhkan aktivis demokrasi. Sejumlah gerakan perlawanan muncul, yang kemudian segera dibungkam pemerintah dengan cepat. Salah satu tonggaknya adalah Tragedi 27 Juli
last.2335.pdf&usg=AFQjCNG9mesSlr6F_tt28tclMSh1ECbuEQ&sig2=QL_cY7pYZQ SlfB8GCjs43Q&bvm=bv.133700528,d.dGo. Diakses pada 25 September 2016 pukul 22:35. 86
Benny Yohanes, op.cit., h. 58.
112
1996. Setelah peristiwa yang dikenal dengan sebutan Tragedi Kudatuli, dinamika politik semakin panas, apalagi menjelang Pemilu 1997.87 Menurut pemberitaan, terdapat beberapa media cetak yang dibredel pada masa itu, salahsatunya ialah Koran Tempo yang dibredel sebanyak dua kali. Pembredelan yang pertama pada 12 April 1982, Tempo dibredel oleh Departemen Penerangan melalui surat yang dikeluarkan oleh Ali Moertopo (Menteri Penerangan). Tempo dianggap telah melanggar kode etik pers. Ide pembredelan itu sendiri datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang saat itu dipimpin oleh Harmoko, wartawan harian Pos Kota. Diduga, pembredelan tersebut terjadi karena Tempo meliput kampanye partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta, yang berakhir rusuh. Presiden Soeharto, yang notabene motor partai Golkar, tidak suka dengan berita tersebut. Pada pembredelan yang kedua, 21 Juni 1994, Tempo kembali dibredel bersama saudara tirinya: Editor dan Detik. Kali ini penyebabnya adalah berita Tempo terkait pembelian pesawat tempur eks Jerman Timur oleh BJ Habibie. Berita tersebut tidak menyenangkan para pejabat militer karena merasa otoritasnya dilangkahi.88 Pengalaman panjang terkait pembungkaman publik yang terjadi selama pra-reformasi 1998, yang berkaitan dengan pembredelan media cetak, pencekalan karya sastra, dan pembubaran paksa terhadap suatu karya seni, tentu bisa menjadi pelajaran yang paling berharga dalam perkembangan budaya demokrasi di Indonesia. Pembungkaman serta pembubaran oleh aparat terhadap media, sastra dan kegiatan kesenian di Indonesia pada masa Orde Baru menunjukkan bahwa budaya politik pusat
87
Bayu Galih . Berakhirnya Kekuasaan Soeharto dan Orde Baru. http://nasional.kompas.com/read/2016/05/21/06060041/21.Mei.1998.Berakhirnya.Keku asaan.Soeharto.dan.Orde.Baru.?page=all. Diakses pada 12 Juli 2016 pukul 20:30 WIB. 88 Fachrul Khairuddin. Sejarah Majalah Tempo: Konflik dan Pembredelan http://www.kompasiana.com/fachrulkhairuddin/sejarah-majalah-tempo-konflik-danpembredelan_5500651a813311a019fa768d. Diakses pada 16 Agustus 2016 pukul 22:17 WIB.
113
kekuasaan belum bisa mentolerir hadirnya kebaruan pemikiran pada saat itu. 4. Sistem ketakutan Sebagai Kontrol Sistem ketakutan diciptakan melalui ancaman dan intimidasi dengan tindakan-tindakan yang mengarah pada kekerasan, hingga bahkan kematian. Eksekusi dijadikan sebagai contoh bagi pihak-pihak yang melawan kekuasaan, sehingga menimbulkan ketakutan dan memberikan pertimbangan pada pihak lain untuk tidak melawan penguasa. Sistem ketakutan sebagai kontrol dalam naskah ini terlihat pula melalui gambaran lingkungan korban pembantaian. Oleh Benjon, lingkungan korban digambarkan sebagai lingkungan yang antisipatif. Lingkungan bersikap tanggap terhadap situasi tersebut dengan cara bungkam dan menjauhi keluarga korban pembantaian, seperti yang digambarkan pada dialog warga Mojokuto ketika hari penghakiman Suhar berikut. Penduduk 4 : Saya melaporkan nasibnya mas Suranto, kepala sekolah di Pare. Istrinya sedang hamil sembilan bulan. Yang laki dipenggal, istri dan bayinya dicincang. Tak ada yang berani menolong kelima anak mereka yang masih kecil-kecil, karena kami diancam.89 Sistem ketakutan sebagai kontrol dibangun oleh pemerintah masa Orde baru untuk mengontrol gerak warga. Dengan rasa takut dan ancaman warga-warga dikontrol agar tidak memberontak terhadap tindakan yang mengatasnamakan pemerintah negara. Penggambaran Benjon dalam kutipan tersebut yakni mengenai nasib kelima anak korban pembantaian yang mengalami kondisi sulit, para tetangga justru menjauhi setelah orangtua mereka dibunuh. Hal ini tidak lain adalah karena sistem ketakutan seperti yang dijelaskan sebelumnya. Tetangga-tetangga korban memilih menjauh karena rasa takut akan mengalami nasib yang sama jika menolong kelima anak korban. Jika diingat kembali, peristiwa tersebut 89
Benny Yohanes, op.cit.,h. 65.
114
membawa kita kembali pada sejarah kelam bangsa Indonesia dalam peristiwa G-30-S di mana banyak nyawa-nyawa menjadi korban akibat tuduhan sebagai mata-mata atau terduga anggota PKI yang kepastiannya masih samar. Kritik demikian disampaikan Benjon dalam naskahnya melalui penggambaran yang disampaikan oleh seorang warga yang mengadukan perbuatan Suhar kepada Mas Ageng selaku pemimpin Mojokuto pada hari pengadilan Suhar. Terlalu banyak orang yang memilih bungkam karena takut turut menjadi korban.
5. Pembantaian di Bengawan Solo Ki Butho : (Menempelkan ujung keris ke kepala Suhar)Kau dan aku akan mengikat sebuah perjanjian. Setiap kali nasibmu membaik, kau harus kembali ke Bengawan Solo. Memberi makan sungai besar ini. Bukan dengan darah ayam, Suhar. Kau harus memberi makan Bengawan Solo dengan darah segar yang sesungguhnya. Satu kepala baru untuk setiap kali alam mengangkatmu ke derajat lebih tinggi. (Nada suaranya berubah, tekanan dan ancaman) Sanggup?90 Kutipan di atas menggambarkan pertemuan Suhar dengan Ki Butho di kali Solo. Dalam naskah Canniballogy, kali Solo digambarkan sebagai tempat keramat untuk bertapa meminta berkah dan kekayaan, namun untuk mendapatkan kesemuanya Suhar harus mengikat perjanjian dengan Ki Butho, Suhar harus memberikan persembahan kepada Kali Solo setiap kali nasibnya membaik. Membaca kembali peristiwa yang terjadi dalam kutipan tersebut, terselubung pengungkapan sejarah pembantaian di Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas pada sekitaran 1965. Pada masa itu Sungai Bengawan Solo dan sungai Brantas menjadi saksi bisu atas pembantaian yang dilakukkan kepada orang-orang terduga anggota PKI. 90
Benny Yohanes. Op. cit., h. 7.
115
Pada saat itu, selama enam bulan, tiap 2-3 hari sekali ada eksekusi terhadap aktivis PKI. Jika bunyi dor senjata api menyalak, penduduk sekitar jembatan memilih mengunci pintu. “Kalau ada di luar rumah takut dituduh PKI” kata Suyek (saksi hidup). Penduduk baru berani keluar rumah ketika pagi menjelang. Kerap, pada pagi hari, ia menyaksikan mayat terdampar di tepi Bengawan Solo. Lalu beberapa orang menggeser mayat bergelimpangan itu ke tengah sungai agar terbawa arus. Jembatan yang berjarak empat kilo meter dari jantung kota Solo itu memang merupakan salah satu tempat yang sering dijadikan sebagai tempat pengeksekusian. Sejarawan Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Sudharmono, mengatakan eksekusi mati orang-orang PKI di atas Jembatan Bacem terjadi pada sekitar Oktober 1965. Akibat pembantaian itu, air Bengawan Solo berwarna darah. Kadang penduduk mendapati jari manusia di perut ikan. Ketika terjadi banjir besar pada 1966, bekas eksekusi di Bengawan Solo hilang. “Sungai kembali jernih,” kata Sudharmono.91 Namun jika diperhatikan pada perjanjian Ki Butho “satu kepala baru setiap kali alam mengangkatmu ke derajat yang lebih tinggi”, kejadian tersebut merujuk pada peristiwa di Sungai Brantas Kediri, di mana banyak jasad tanpa kepala merintangi sungai tersebut. Berbeda dengan eksekusi yang dilakukan di Bengawan Solo, eksekusi yang dilakukan di Sungai Berantas jauh labih sadis, yakni dengan memenggal kepala terduga anggota PKI. Salah satu lokasi yang sering kali digunakan untuk membantai adalah gisikan atau sepanjang pinggiran Sungai Brantas, yang membelah wilayah Kediri. Kepala para korban dipenggal dan lantas dilempar ke sungai. Kediri diduga menjadi ladang pembantaian paling besar di Jawa Timur. Belum ada angka pasti jumlah korban pembantaian kala itu. 91
Kurniawan et.al, Pengakuan Algojo 1965, (Jakarta: PT Tempo Inti Media, 2013), cet. IV, h. 51.
116
Namun, sejak operasi penumpasan dimulai, Sungai Berantas menjadi kuburan terapung. Mayat-mayat yang sebagian besar tanpa kepala mengambang di sepanjang sungai. Bau busuk menguar. Tidak ada orang yang berani menangkap ikan serta bersedia makan ikan dari sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Timur itu.92 Hal tersebut diungkapkan juga dalam dialog naskah Cannibalogy. Penduduk 5 : Sungai Brantas mampet akibat mayat-mayat. Tubuh tanpa kepala merintangi sungai-sungai di Semarang. Dan kepala-kepala manusia berjejer di atas pagar kayu sepanjang jalan di Solo.
Pengarang memunculkan dialog di atas untuk menjelaskan kesalahan yang telah dilakukan Suhar. Kutipan tersebut menggambarkan keadaan sosial yang mengerikan semasa Suhar berkuasa. Banyak nyawa yang menjadi korban atas keberingasannya. Dengan alasan untuk “kebersihan” dan keamanan, nyawa dan jiwa banyak ditumbalkan. Deskripsi suasana yang dipaparkan Benjon mengindikasikan peristiwa Bengawan Solo adalah tragedi. Mayat-mayat yang mengambang tidak direspon sebagai suatu yang mengerikan atau kejahatan, tetapi sebaliknya, seakan pajangan atau ornamen kekuasaan. Kenyataan pahit yang dialami oleh korban dengan atribut PKI meniadakan hukum, baik hukum positif maupun moral. 6. Pelengseran Penguasa Keberhasilan dan kejayaan yang dicapai oleh Soeharto dengan rezim Orde Baru pada akhirnya mengalami keruntuhan. Keburukan yang dilakukan oleh rezim Soeharto mulai nampak ke permukaan semenjak rezim ini mengalami kemunduran. Periode 1989-1998 merupakan masa
92
Ibid., h. 12.
117
tersulit yang harus dilalui oleh rezim ini. Seperti digambarkan dalam kutipan peristiwa di bawah ini. Djono : Kita kesulitan uang. Harga harga mahal. Orang-orang muda jadi musuhmu, menghinamu. Menurunkan dan membakar gambar-gambarmu. Penduduk miskin menjarah kota. Membunuh siapa saja, yang tidak serupa. Tentara bingung. Amenglika cuci tangan. Zaman sedang berubah. Kita tak punya pilihan.93
Suhar yang sebelumnya merupakan seorang penguasa yang ditakuti di Mojokuto menemui akhir kekuasaannya setelah Sinta dan Ki Butho mati. Kuasanya tak dapat bertahan lagi karena seluruh rakyat Mojokuto dan pasukan Mas Ageng bersatu untuk menyerang da merebut kembali tanah Mojokuto yang telah direnggut paksa oleh Suhar dan pemerintah Olanda. Keadaan sosial berubah menjadi kacau dan Suhar tak lagi memliki pendukung. Peristiwa tersebut merupakan penggambaran keadaan sosial pada masa menjelang berakhirnya rezim Orde Baru yang disampaikan Benjon dalam naskah Cannibalogy. Peristiwa demi peristiwa membuat rakyat Indonesia khususnya mahasiswa gerah dengan rezim otoriter pada masa itu. Massa mulai memberontak dan terjadi kerusuhan dimana-mana, yang pada awalnya mahasiswa hanya melakukan aksi prihatin atas krisis yang terjadi di Indonesia menjadi semakin besar akibat naiknya kembali Soeharto sebagai Presiden RI. Beberapa hari sebelum kejatuhan Soeharto merupakan hari-hari terpanjang yang harus dilaluinya. Tuntutan reformasi dari rakyat terus menggema. Demonstrasi terjadi diberbagai daerah. Terjadi sebuah insiden ketika penembak jitu ABRI menembak empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei.94 Tanggal 13 Mei 1998 siang, usai pemakaman keempat mahasiswa itu, ribuan massa mulai menyemut di sekitar kampus Trisakti. Mereka ingin
93 94
Benny Yohanes, op.cit.,h. 61. Ibid,. h. 689.
118
bergabung dengan para mahasiswa, namun dicegah aparat keamanan. Akibatnya massa mengamuk dan mulai mengadakan aksi pelemparan dan perusakan.95 Kerusuhan yang bermula disekitar Universitas Trisakti dengan cepat menyebar ke tempat-tempat lain, dan kemudian berkembang menjadi kerusuhan rasialis. Etnis Tionghoa menjadi sasaran. Toko-toko dan rumah-rumah mereka dirusak, barang-barang mereka dijarah, dan tidak sedikit rumah yang kemudian dibakar.96 Soeharto yang kala itu menghadiri sebuah konferensi di Kairo memutuskan untuk segera kembali ke tanah air pada 15 Mei 1998. Tiga hari berselang, Harmoko, yang kala itu menjabat sebagai ketua MPR, secara terangterangan meminta kepada Soeharto untuk mengundurkan diri. MPR dan ABRI pun mendukung segera diadakannya sidang istimewa guna memilih presiden yang baru. Nampaknya usaha yang dilakukan oleh mahasiswa untuk menggulingkan Soeharto dari kursi kepresidenannya kala itu telah mendapatkan dukungan dari pejabat tinggi pemerintahan. Peristiwa tersebut tergambarkan dalam fragmen IV.2 dalam naskah drama Cannibalogy yakni pernyataan pengunduran diri Suhar sebagai pembangun Mojokuto. Suhar : Saya bukan penjahat. Saya penyelamat Jawa. Maka sekarang, saya umumkan: Saya menyatakan berhenti sebagai pembangun Mojokuto. Saya menyatakan berhenti, dan melepaskan seluruh mandat.Dari dulu, saya tak pernah kepingin pekerjaan ini. Saya ini jiwa petani! Dalam naskah ini setelah ditangkap oleh pasukan Mas Ageng, Suhar menyatakan berhenti sebagai pembangun Mojokuto. Peristiwan ini menggabarkan detik-detik pengunduran diri Presiden Soeharto dari jabatannya yang didesak oleh rakyat Indonesia. Dalam pidatonya, Presiden terlama di Indonesia ini menyatakan berhenti dari jabatannya dan menyerahkan kuasanya kepada Wakil Presiden saat itu yakni B. J Habibie. 95
James Luhulima, Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto dan Beberapa Peristiwa Terkait, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2007), cet. VI. h.120. 96 Ibid,. h. 103
119
Pengunduran diri Presiden Soeharto disambut gembira oleh puluhan ribu mahasiswa yang “menduduki” Gedung MPR/DPR sejak tanggal 18 Mei 1998. Para mahasiswa yang mengerumuni pesawat televisi di Lokawirashaba dan ruangruang lain di DPR berteriak dan berjingkrak serta bersalam-salaman.97 Suasana serupa juga tampak di kota-kota lain, termasuk Yogyakarta, Semarang, Purwokerto, Denpasar, Palembang, dan Ujung Pandang. Di beberapa tempat, warga masyarakat ikut larut bersama kegembiraan mahasiswa.Para mahasiswa sangat bergembira karena perjuangan mereka untuk menurunkan presiden Soeharto sejak Desember 1997 membuahkan hasil.98 Periode rezim Orde Baru hingga kejatuhannya memang menjadi periode kelam dalam perjalanan negara ini setelah menyatakan kemerdekaannya. Banyak hal yang telah dilakukan oleh rezim terlama yang pernah ada di negeri ini guna mempertahankan kekuasaannya tanpa menghiraukan adanya pihak lain yang berada diluar rezim tersebut.
C. Implikasi Kritik Sosial dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Pembelajaran
sastra
adalah
pembelajaran
yang
mencoba
untuk
mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Kompetensi apresiasi sastra yang diasah dalam pendidikan ini adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Melalui pendidikan semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, dan menganalisis karya sastra secara langsung. Mereka diajak berkenalan dengan sastra, tidak melalui hapalan nama-nama judul karya sastra atau sinopsisnya saja, tetapi langsung berhadapan dengan karya sastranya.99
97
Ibid,. h. 11 Ibid,,. h. 12 99 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra,(Jakarta: Grasindo, 2008), h. 168. 98
120
Menurut M. Atar Semi pelajaran sastra di sekolah bertujuan agar siswa memiliki kepekaan terhadap karya sastra sehingga merasa termotivasi dan tertarik untuk membacanya. Dengan membaca karya sastra diharapkan peserta didik memperoleh pengertian yang baik tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai dan mendapatkan ide-ide baru.100 Sebagai salah satu bentuk karya sastra, drama merupakan bagian dari bahan ajar dalam pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA). Keberadaan naskah drama Cannibalogy sebagai bacaan fiksi menjadi salah satu bacaan yang memberikan peserta didik pemahaman dan pengenalan terhadap nilai-nilai sosial yang terkandung dalam sastra. Analisis kritik sosial dalam naskah drama Cannibalogy karya
Benjon dapat pula
diimplikasikan ke dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, yaitu melalui materi unsur intrinsik dan ekstrinsik naskah drama. Dengan mempelajari unsur-unsur tersebut siswa dapat memahami kondisi dan masalah sosial yang terkandung dalam karya fiksi sehingga dapat mengembangkan diri peserta didik pada aspek afektif. Hasil analisis ini dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada Kurikulum KTSP. Dalam kurikulum KTSP, pelajaran bahasa dan sastra Indonesia memiliki silabus yang di dalamnya terdapat Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang harus dicapai dan dikuasai oleh siswa. Dalam analisis ini terdapat analisis unsur-unsur intrinsik yang dapat diimplikasikan pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada jenjang SMA kelas XI semester ganjil.Dalam silabus terdapat SK yang harus dikuasai oleh peserta didik yakni mampu mengulas secara kritisi teks film/drama. Kemudian KD yang harus dicapai ialah siswa dapat memahami struktur dan kaidah teks film/drama baik melalui lisan maupun tulisan serta mampu mengungkapkan kembali kaidah teks film / drama.
100
Atar Semi, Rancangan dan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1990), hlm. 152-153.
121
Dalam kegiatan pembelajaran drama, strategi yang digunakan yakni pembelajaran aktif dan interaktif dengan merujuk pada bentuk diskusi dan saling berbagi kesempatan di antara peserta didik untuk memberi suatu tanggapan. Untuk merealisasikan strategi tersebut, digunakan beberapa metode pembelajaran yakni tanya jawab, ceramah, diskusi, kerja kelompok dan demonstrasi atau pemeragaan model. Semua ini harus diupayakan dengan baik agar siswa menguasai materi tersebut dan tujuan pembelajaran dapat tercapai. Dalam mencapai tujuan pembelajaran mengenai drama, peserta didik akan mempraktikkan dua keterampilan berbahasa, yakni menyimak dan berbicara. Dua minggu sebelum materi pembelajaran, peserta didik sudah diberi tugas membaca naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes secara berkelompok. Saat kegiatan belajar mengajar, peserta didik menyimak penjelasan dari guru terkait cara dan langkah-langkah menganalisis unsur intrinsik drama khususnya alur cerita, karakter tokoh dan latar cerita yang akan menjadi fokus pembahasan. Setelah peserta didik selesai menyimak penjelasan guru, peserta didik membentuk kelompok diskusi. Kemudian, secara berkelompok peserta didik diminta untuk mengidentifikasi dan menganalisis keterkaitan unsur intrinsik (karakter tokoh, alur cerita dan latar) pada naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes. Tiap kelompok mengerjakan tugas di Lembar Kerja Siswa (LKS) yang telah disiapkan oleh guru. Setelah tugas selesai, tiap kelompok mempresentasikan di depan kelas. Untuk menguji pemahaman mengenai konsep-konsep yang telah dipelajari, di akhir pembelajaran peserta didik diberikan pertanyaan lisan tentang fungsi dialog dalam drama dan cara mengekspresikan dialog dalam drama dan memberikan tanggapan penampilan dialog dalam drama oleh kelompok lain. Melalui tahapan-tahapan pembelajaran di atas peserta didik dituntut untuk berwawasan lebih luas dan berpikir kritis lewat kritik sosial yang tertuang dalam naskah drama, sehingga diharapkan mampu lebih menghargai dan peduli terhadap sejarah bangsa serta keadaan sosial disekitarnya.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Setelah melakukan analisis terhadap naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes merupakan naskah dengan tema kekuasaan. Alur cerita tersusun secara kronologis dan runtut. Terdapat banyak tokoh dalam Cannibalogy, namun terdapat beberapa tokoh central yang mempengaruhi alur cerita yakni Suhar, Suman, Sinta, Landles, dan Mas Ageng. Pengarang menggunakan latar waktu cerita sekitar tahun 1965-1998, ditandai dengan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru. Amanat yang disampaikan yakni setiap orang memiliki tanggung jawab atas dirinya dan segala yang dilakukannya, karena setiap orang akan menebus kesalahannya, begitu juga seorang pemimpin. Ketika seorang pemimpin sewenang-wenangan dengan jabatan dan kuasanya, maka ia akan berakhir dengan kehancuran. 2. Terdapat lima kritik Sosial yang dipresentasikan dalam naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes yang terlihat dari penggambaran tokoh dan peristiwa. Kritik pertama adalah kritik terhadap pembatasan kebebasan berbicara (pembungkaman publik) yang dilakukan pemerintah Orde Baru, kedua kritik mengenai sistem ketakutan sebagai kontrol, ketiga kritik tentang lahirnya Supersemar, keempat kritik mengenai rekayasa di seputar G-30-S melalui penggambaran peristiwa Lubang Buaya, kelima kritik mengenai pembantaian di Bengawan Solo. 3. Analisis kritik sosial dalam naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes dapat diimplikasikan pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA kelas XI semester ganjil dalam silabus Kurikulum 2013. Naskah drama ini 122
123
dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran sastra yang isinya banyak mengandung nilai-nilai sosial, pendidikan moral maupun sejarah, dengan standar kompetensi mampu mengkritisi teks film/drama, dan kompetensi dasar memahami struktur dan kaidah teks film/drama baik melalui lisan maupun tulis serta mampu mengungkapkan kembali kaidah teks film/drama dan menginterpretasikan makna baik secara lisn maupun tulisan.
B. Saran Berdasarkan hasil analisis dan simpulan yang telah diuraikan, penulis mengajukan beberapa saran, yakni:
1. Guru diharapkan menjadi pendidik yang cerdas serta memahami apresiasi sastra yang dikaitkan dengan keadaan sosial dan bersikap edukatif ketika menyampaikan materi pembelajaran apresiasi sastra. 2. Dari penggambaran peristiwa sejarah Indonesia dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon, diharapkan peserta didik dapat mengetahui sejarah bangsanya. 3. Lewat kritik sosial yang tertuang dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon, diharapkan siswa mampu memahami norma-norma bangsa serta menjadi calon pemimpin yang bermoral di masa depan. 4. Naskah drama Cannibalogy dapat digunakan sebagai sumber dalam pembelajaran apresiasi sastra dalam mata pelajaran bahasa Indonesia karena naskah tersebut mengandung nilai-nilai sosial, pendidikan moral serta sejarah yang dapat menjadikan peserta didik lebih kritis dan menghormati keadaan sosial di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir, M. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005. Asvi, Adam Warman. Menguak Misteri Sejarah. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010. Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004. Djarot, Eros. dkk. Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI. Jakarta: PT. TransMedia, Cet. 10, 2008. Damono, Sapardi Joko. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengenmbangan Bahasa, 1979. Dimyanti, Ipit S. Panggung Besar, Panggung Kecil: Fenomena Pemuaian Dan Penukilan Ruang Public Dalam Panggung Teater, Teater Bandung: Gagasan & Pemikiran. Bandung: Jurusan Teater STSI Bandung. Djafar Zainuddin. Soeharto: Mengapa Kekuasaannya dapat Bertahan Selama 32 Tahun. Depok: FISIP-UI Press, 2005. Endraswara, Suwardi. Metodologi penelitian Sastra, Yogyakarta: Medpress, , Cet. IV. 2008 Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004. Kosasih, E. Apresiasi Sastra Indonesia: Puisi, Prosa, Drama. Jakarta: PT Perca, 2008. K.M Saini. Protes sosial dalam Sastra, Bandung: Angkasa, 1988. Kurniawan et.al, Pengakuan Algojo 1965. Jakarta: PT Tempo Inti Media, cet. IV, 2013. Luhulima, James. Hari-Hari Terpanjang: Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto. Jakarta: Kompas, 2007. MD, Mahfud dkk. Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta : UI Press, cet. 2, 1997. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2009. 124
125
Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, 2012. Pradopo, Rachmat Djoko. dkk. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2002. Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanius, 1988. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008, Terj. dari A History of Indonesia Since c. 1200 Fourth Edition. Cet. I. Serambi Ilmu Semesta, 2008. Saliwangi, Basennang. Pengantar Strategi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia. Malang: IKIP, 1989. San, Suyadi. Drama Konsep Teori dan Kajian. Medan: CV. Partama Mitra Sari, 2013. Saraswati, Ekarini. Sosiologi Sastra Sebuah Pemahaman Awal, Malang: UMM Press. Semi, Attar. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa, 1988. Semi, Atar. Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1990 Sikana, Mana. Kritikan Sastra Melayu Modern. Singapura: Pustaka Karya, 2006. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008. Southwood, Julie dan Patrick Flanagan. Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum & Propaganda 1965-1981. Depok: Komunitas Bambu, 2012. Sumaadmaja, Nursid. Perspektif Studi Sosial. Bandung: Penerbit Angkasa,1980. Tarigan, Henry Guntur. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa, 2008. Tim Analisis Informasi (LAI). Kontroversi Super Semar: Dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto (Edisi Revisi). Yogyakarta: Medpress, Cet. 10, 2007. W S. Hasanuddin. Drama Karya Dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa, Cet. 1, 1996.
126
Yohanes, Benny. Cannibalogy, Bandung: Republik, 2008. Ibo,
Ahmad . Catatan Kelam Dunia Seni di Masa Orde Baru. http://www.huntnews.id/p/detail/16c9fa5c7cc4237d0f3cda537d96eeb1?uc_ param_str=dnfrpfbivesscpgimibtbmntnijblauputoggdnw&pos=14533501285 34&channel=lifestyle&chncat=category_indonesian. Diakses pada 19 Agustus 2016 pukul 22:15 WIB.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Pramoedya Ananta Toer. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/tokoh/278/Pramoedya%2 0Ananta%20Toer. Diakses pada 19 Agustus 2016 pukul 22:10 WIB. Galih, Bayu. Berakhirnya Kekuasaan Soeharto dan Orde Baru. http://nasional.kompas.com/read/2016/05/21/06060041/21.Mei.1998.Berakh irnya.Kekuasaan.Soeharto.dan.Orde.Baru.?page=all. Diakses pada 12 Juli 2016 pukul 20:30 WIB. Khairuddin, Fachrul. Sejarah Majalah Tempo: Konflik dan Pembredelan http://www.kompasiana.com/fachrulkhairuddin/sejarah-majalah-tempokonflik-dan-pembredelan_5500651a813311a019fa768d. Diakses pada 16 Agustus 2016 pukul 22:17 WIB. Yohanes, Beny. Profil Beny Yohanes, 2010, dalam Nano Riantiarno (ed.), (http://www.kelola.or.id/database/theatre/list/&dd_id=67&p=3 Poti, Jamhur. Jurnal: Demokratisasi Media Massa Dalam Prinsip Kebebasa. https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1& cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjcsaPQ46rPAhVJK48KHZwkDfcQFggaM AA&url=http%3A%2F%2Ffisip.umrah.ac.id%2Fwpcontent%2Fuploads%2F2012%2F03%2FJURNAL-ILMUPEMERINTAHAN-BARU-KOREKSIlast.2335.pdf&usg=AFQjCNG9mesSlr6F_tt28tclMSh1ECbuEQ&sig2=QL_ cY7pYZQSlfB8GCjs43Q&bvm=bv.133700528,d.dGo. Diakses pada 25 September 2016 pukul 22:35. Shadily, Hassan. Ensiklopedi Indonesia, jilid III, Jakarta: Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1982. Tim Balai Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 3, 2005.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
NAMA SEKOLAH MATA PELAJARAN KELAS /SEMESTER PROGRAM ASPEK PEMBELAJARAN STANDAR KOMPETENSI
SMAN 22 Kab. Tangerang Bahasa dan Sastra Indonesia XI (sebelas) / 2 (dua)
KOMPETENSI DASAR
5.2 Memahami struktur dan kaidah teks film / drama
IPS Menulis 5. 1 Mengulas secara kritis film/drama
INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI : No Indikator Pencapaian Kompetensi 1 2
3
Memahami struktur dan kaidah teks film / drama baik melalui lisan maupun tulisan Mengungkapkan kembali struktur teks film / drama
Nilai Budaya Dan Karakter Bangsa
Kewirausaha Ekonomi Kre
Bersahabat/
Kepemimpin Keorisinilan
komunikatif Kreatif
Menginterpretasi makna teks film / drama baik secara lisan maupun tulisan
ALOKASI WAKTU
2 x 45 menit ( 2 pertemuan)
TUJUAN PEMBELAJARAN TUJUAN Siswa mampu mengungkapkan kembali struktur teks film / drama MATERI POKOK PEMBELAJARAN
METODE PEMBELAJARAN v v
Presentasi Diskusi Kelompok
Teks drama/ video rekaman pementasan drama Unsur yang terkandung dalam teks drama (unsur intrinsik dan ekstrinsik)
v v
Tanya Jawab Penugasan
STRATEGI PEMBELAJARAN Tatap Muka
Terstruktur
Menganalisis teks film/
Memahami teks film/ drama
drama berdasarkan unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terkandung
Mandiri
Siswa dapat memahami unsur intrinsik teks film/drama serta mengkritisi teks yang telah dipelajari
KEGIATAN PEMBELAJARAN KEGIATAN PEMBELAJARAN
KEGGIATAN PEMBUKA (Apersepsi)
Guru memberi salam dan memberi pertanyaan yang berhubungan dengan pembelajaran sebelumnya tentang teks film/ drama serta kondisi yang beredar di masyarakat
Guru memutarkan rekaman beberapa cuplikan adegan pementasan drama . Cuplikan difokuskan pada fenomena sosial.
Eksplorasi
Kegiatan Inti :
ALOKASI WAKTU 20 Menit
70 Menit
Guru menjelaskan beberapa teknik yang sangat penting dalam mengkritisi teks drama. Setiap penjelasan langsung disertai contoh yang terdapat dalam teks drama Elaborasi Siswa membaca teks drama secara utuh. Dengan berdiskusi, siswa menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik di dalamnya. Siswa berdiskusi untuk merumuskan mengkritisi teks drama.
Siswa mempresentasikan hasil diskusinya di muka kelas dan ditanggapi secara
70 menit
kritis oleh anggota kelompok lain. Guru mengobservasi kinerja dan keterlibatan setiap siswa dalam berdiskusi maupun presentasi Guru mengulas hasil presentasi setiap kelompok Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa: Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui.
PENUTUP (Internalisasi dan refleksi)
Guru mengakhiri kegiatan pembelajaran dengan memberikan pesan agar peserta didik selalu belajar agar dapat menjawab soal-soal Kuis Uji Teori untuk mereview konsep-konsep penting tentang mengkritisi teks film/ drama yang telah dipelajari
Guru memberikan kuis berkenaan dengan aspek pengetahuan dan keterampilan. Guru memberikan arahan kegiatan berikutnya dan tugas pengayaan Siswa diajak merefleksikan nilainilai serta kecakapan hidup (live skill) yang bisa dipetik dari pembelajaran Guru menyampaikan tugas mandiri (dikerjakan di rumah): mencermati teks. Pengamatan difokuskan pada hubungan teks drama dengan fenomena sosial.
20 Menit
SUMBER BELAJAR Pustaka rujukan V
Buku Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik kelas XI SMA/SMK/MA/MAK semester 2 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2013 Drama Karya dalam dua dimensi karya Hasanuddin W.S
V
Material: Mediacetak dan elektronik Website internet Lingkungan
Naskah drama Cannibalogy
Lingkungan masyarakat sekitar siswa
PENILAIAN V V V TEKNIK DAN BENTUK
INSTRUMEN /SOAL
RUBRIK/KRITERIA PENILAIAN/BLANGKO OBSERVASI
Tes Lisan Tes Tertulis Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas, projek, portofolio Pengukuran Sikap Penilaian diri Tugas untuk menganalisis teks drama Tugas untuk mendiskusikan dan mempresentasikan hasil analisis teks drama Daftar pertanyaan Kuis uji teori untuk mengukur pemahaman siswa atau konsep-konsep yang telah dipelajari Blangko observasi dan penilaian kinerja siswa dalam mengikuti diskusi dan presentasi (terlampir di bawah)
Mengetahui Kepala Sekolah
Tangerang, Juli 2016 Guru Mata Pelajaran
NIP.
NIP.
Uraian Materi A. Hakikat Drama 1. Pengertian Drama
Drama adalah bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog. Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh berbeda dengan lakuan dan dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.1 Berbicara tentang drama, terdapat dua aspek yang perlu di pahami dan dipisahkan. Yang pertama ialah aspek penulisan naskah dan kedua aspek pementasan. Meskipun keduanya berbeda, namun terdapat ikatan hubungan yang sangat erat. Sebagai sebuah bentuk karya sastra, penyajian drama berbeda dengan bentuk kesusastraan lainnya, cerpen dan novel misalnya. Pada novel dan cerpen masing-masing menceritakan kisah yang melibatkan tokoh-tokoh melalui kombinasi antara narasi dan sedikit dialog, sedangkan sebuah drama pada hakikatnya terdiri atas dialog dan sedikit prolog. Pementasan sebuah drama akan memudahkan penikmat sastra untuk memahami drama, karena penikmat akan lebih mudah mengerti dan memahami dialog yang diucapkan dengan intonasi dan artikulasi yang sesuai jika dibandingkan dengan membaca dialog-dialog pada naskah drama secara langsung. Dengan dialog, akan terlihat penokohan, permasalahan dan peristiwa yang hendak dikemukakan oleh pengarangnya. Akan tetapi, jika pemahaman tersebut terus dipaksakan dan berorientasi dengan pengertian seperti di atas, drama akan kehilangan dimensi sastranya, dan hanya akan menonjol dari seni pertunjukannya saja.
1
E.Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia: Puisi, Prosa, Drama, (Jakarta: PT Perca, 2008), h. 81.
B. Kemampuan Bersastra 1. Mendengarkan Mendengarkan Drama dan Mengidentifikasi Peristiwa serta Konfliknya Drama merupakan cerita tentang kehidupan manusia yang diperankan di atas panggung atau dipentaskan. Oleh karena merupakan tiruan kehidupan manusia, drama selalu menyajikan rangkaian peristiwa yang berhubungan sebab akibat sehingga terbentuk jalan cerita (alur). Setiap tahapan alur dipentaskan dalam adegan berupa dialog dan pemeranan yang dipisahkan menggunakan perpindahan panggung atau pergantian layar. Secara lengkap, penyajian alur dapat dijelaskan berikut ini. 1) Tahap Situation: Tahap penyituasian, tahap yang pertama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh (-tokoh) cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberi informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. 2) Tahap Generating Circumstance: Tahap pemunculan konflik, masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap selanjutnya. Tahap pertama dan kedua pada pembagian ini, tampaknya berkesesuaian dengan tahap awal pada penahapan seperti yang dikemukakan di atas. 3) Tahap Rising Action: Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan
pada
tahap
sebelumnya
semakin
berkembang
dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencengangkan dan menegangkan. Konflikkonflik yang terjadi, baik internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan, benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari.
4) Tahap Climax: Tahap klimaks, konflik dan atau pertentanganpertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh (-tokoh) utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. 5) Tahap Denouement: Tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-konflik, atau konflik-konflik tambahan jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Tahapan ini berkesesuaian dengan tahap akhir di atas.2 Contoh teks drama Cannibalogy Naskah drama ini menceritakan tentang seorang penguasa diktator yang menguasai suatu daerah . ia merupakan seorang penguasa yang semena-mena. Karena sifatnya yang tidak baik, maka akhirnya penguasa tersebut jatuh dan diberikan hukuman seumur hidupnya. BABAK I Fragmen 1 Lewat tengah malam. Kuburan desa pinggiran Mojokuto. Sebuah makam sedang digali. Dari tengah kampung, sayup-sayup terdengar gamelan mengiringi adegan perang pada pertunjukan wayang. Dari liang makam nampak sosok kepala plontos sedang menggaruk tanah dengan kedua tangannya. Dengus nafas dan suara gagak saling menimpal. Angin kencang. Seonggok jasad dikeluarkan dari liang. Sosok kepala plontos memanggul jasad ke bahunya. Gerakannya sigap. Keringat mengkilat dari bidang dadanya. Kulitnya coklat keruh. Hitam matanya. Suman : Guru, syaratnya sudah dapat. Ini baru yang kelima. Ya,.....harus tambah dua lagi. Ilmuku hampir sampai. Semua syarat akan kupenuhi, guru. Hah, aku lapar. Aku bosan melarat. Aku minta kaya! Aku ingin kebal dari senjata. Gusti, paringono kuat slamet! Suara gamelan perang meninggi. Suman berjalan tergesa ke timur, menembus gelap. Kuburan sesaat senyap. Bias api obor menyorot ke areal makam. Muncul dua orang tentara desa, Kuro dan Sentolo. *** Mbok Tirah : O...Nang... Wetonmu iku Seloso Kliwon. Kamu cocoknya ya berdagang. Itu sudah garis hidupmu. O...alah, kok sekarang semuanya malah kamu obong. Sing eling tho Nang...nang... Suhar : (Wajahnya mengeras, tapi sikapnya mantap) Mbok Tirah, aku sudah bangkrut. Nasibku sempit di sini. Kampung ini sepertinya menolakku. Mbok Tirah : Jangan putus asa. Gusti Allah sing dhuwe kuasa. Pergi ke desa lain,Suhar. Coba lagi. Pasti laku daganganmu. Bapakmu dulu juga begini. Tapi ndak pernah sampai ngobong. Rejeki harus disyukuri. Gusti Allah ora sare. 2
Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi,(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2013) h.149.
Suhar : Mbok, aku memang mau pergi. Ke Solo. Aku mau bertapa di Bengawan Solo. Mbok Tirah : Bertapa ? Siapa yang menyuruhmu, nang ? Suhar : Suhar mau cari wangsit. Suhar mau berjuang. Pamit,mbok. (Mencium tangan Mbok Tirah. Berangkat dengan gembolannya) Fragmen 3 Hari yang lain. Dekat hutan. Selewat subuh. Gubuk tua. Suman sedang membakar daging. Asap mengepul. Belasan orang bersenjata tajam mengendap-endap mendekatinya dari arah belakang. Segera orang-orang merangseknya. Suman : (Membalik, sorot matanya menantang. Mulutnya masih mengunyah keratan daging hangus. Suaranya tenang, berjalan mendekati orang-orang) Mau coba ? Massa : Bunuh! Bunuh!! (Dari arah belakang, Kuro menerjang dan meringkus Suman. Sentolo menyudahinya dengan pukulan keras batang kayu ke kepala Suman. Suman rubuh. Massa bersorak. Pukulan bertubi ke tubuh Suman. Muncul Daeng, dalam seragam hitam prajurit) Kuro : Lihat sendiri. Dagingnya sudah dibikin sate. Lainnya sedang direbus. Lihat di lehernya. Itu masih daging korban juga. Malah dibikin kalung. Orang ini gemblung, Daeng. Sentolo : Matanya melotot terus. Seperti burung hantu. Nantang dia. Ada setan di dagingnya. Kamu ini manusia apa binatang ?! Fragmen 4 Hari yang lain. Malam belum tua. Sebuah kelokan di tepi Bengawan Solo. Cahaya bulan meronai wajah pepohonan. Rumput tinggi. Suara serangga malam. Suhar : Ini tempatnya. Mirip seperti mimpiku. Alam akan memberi tanda-tanda.Takdir baruku mulai dari sini. (Memungut sesuatu dari hampar batu) Apa ini? (Membaca judul majalah) Playboy. (Membuka halaman, nafasnya mendadak terengah) Cahaya tajam seperti kilat menyambar jidat Suhar. Tubuhnya tersungkur ke hampar batu. Muncul sosok kurus kecil, kepalanya berkuluk hijau tua, mengenakan baju batik berlapis-lapis. Di tangannya terhunus keris yang masih mengepulkan asap. Ki Butho : Aku penunggu Bengawan Solo. Suhar : Saya datang Ki Butho. Saya minta ijin eyang, saya mau... Ki Butho : Sudah kubaca maksudmu. Romanmu bagus,cah. Tapi jiwamu belum bersih, Suhar. Suhar : Mohon saya dibersihkan, Ki. Ki Butho : Kamu sedia syaratnya ? Suhar : Ada, Ki. Kemenyan, cerutu, beras hitam, air kembang, daun kelor, darah ayam cemani. Ki Butho : Masih kurang. Suhar : Bisa saya penuhi, Ki. Ki Butho : Satu kerbau betina yang masih perawan. Dan edisi terbaru majalah yang kau pegang itu. Suhar : Yang dua itu, saya belum sedia, Ki. Saya juga belum paham kaitannya dengan maksud saya. Ki Butho : Suhar, Suhar. Kamu ini mau tapa brata, minta berkah kekayaan dan kemulyaan. Tapi apa yang kamu bawa?! Cuma kemenyan dan sebotol darah ayam. Lainnya cuma tetek bengek murahan. Penuhi semua syaratnya. Baru aku bisa membimbingmu membaca rencana alam untuk kamu. Suhar : Apa yang mesti saya perbuat, Ki ? Ki Butho : (Menempelkan ujung keris ke kepala Suhar) Kau dan aku akan mengikat sebuah perjanjian. Setiap kali nasibmu membaik, kau harus kembali ke Bengawan Solo. Memberi makan sungai besar ini. Bukan dengan darah ayam, Suhar. Kau harus memberi makan Bengawan Solo dengan darah segar yang sesungguhnya. Satu kepala baru untuk setiap kali alam mengangkatmu ke derajat lebih tinggi. (Nada suaranya berubah, tekanan dan ancaman ) Sanggup ? Suhar : Saya belum paham... Ki Butho : Pada waktunya kau akan paham. Darah !( Dengan ujung kerisnya Ki Butho mengoleskan darah ayam cemani ke kening Suhar. Sisanya dikucurkan melingkar di sekeliling mezbah batu, dimana Suhar bersimpuh ) Cerutu ! (Suhar menyodorkan cerutu.Ki Butho ambil cerutu, lalu menyalakannya. Terbatuk) Ah, cerutu murah. Kau boleh mulai semedi malam ini. Tempat ini sudah aku lindungi.
Fragmen I. 5 Hari yang lain. Siang hari. Lapangan terbuka sebelum pendopo Mojokuto.Tiga pemain jathilan, dengan pakaian sorban dan jubah putih menunggang kuda gebyok. Kepala kuda berbentuk kepala plontos, serupa kepala Suman, tapi dengan mulut menganga dan bergigi serigala. Pemain jathilan memecut kepala plontos itu. Semakin kuat pecutan, semakin atraktif gerakan pemainnya. Di belakangnya nampak tubuh Suman, yang digotong serupa babi buruan. Tinggal cawat menutupi tubuh Suman. Penduduk Mojokuto memainkan musik dari pukulan bambu dan besi. Arak-arakan itu sampai ke depan pendopo. Daeng naik ke lantai pendopo, memasuki pintu, lalu sesaat ke luar lagi, mendatangi massa. Daeng : Mas Ageng, pemimpin Mojokuto, sedia menerima kalian. Mas Ageng muncul. Sosoknya pendek, berkulit hitam, alisnya setebal kumisnya. Tubuhnya berisi. Di bahunya menclok seekor iguana, yang selalu dielusnya. Mas Ageng masih mengunyah sirihnya. Sinta Salim,selir Mas Ageng, seorang perempuan peranakan, membawakan tempolong. Mas Ageng : Mana orangnya ? Daeng : ( Kepada Kuro dan Sentolo) Lepaskan talinya! Suman digelandang ke depan Mas Ageng. Didudukkan di atas tanah. Mas Ageng memandanginya sesaat. Alis Suman setebal rambut alis dirinya. Mas Ageng : Kamu senang daging ? Suman : Tidak suka. Mas Ageng : (Suaranya berubah meninggi dan tegas) Suman, kenapa mayat mbah Sirep kamu makan ?! Suman : (Berlutut di depan kaki Mas Ageng)Saya ingin kaya, tuan. Dan saya ingin kebal dari senjata. Saya ingin jadi prajurit. Maju perang. Membela tanah yang kupijak. Sentolo : (Merenggut kepala Suman. Menempelkan golok ke leher Suman) Bohong!! Ngawur!! Gemblung!! Hukum dia, den Mas. Penclas lehernya! Biar dia nyahok! Beri aku perintah, den Mas. Suman : Jika sekarang tuan ijinkan golok ini menebas leherku, teruskan, tuan. Aku tidak melayani rasa sakit. Kalau hari ini harus menjadi hari kematianku, Suman hanya menyesal, sedikit sekali baktiku untuk tanah Mojokuto. Sentolo : (Mendesak Mas Ageng) Den Mas,..... Mas Ageng : (Mengambil golok dari tangan Sentolo. Dengan isyarat tangan meminta Sentolo mundur. Meminta pada Daeng). Daeng, baringkan. (Daeng menelentangkan tubuh Suman di atas sebatang gebok pisang. Mas Ageng menempelkan ujung golok ke dada Suman) Orang-orang Mojokuto, dengarkan keputusanku. Orang ini miskin. Begitu juga pikirannya. Dia tidak hormat pada jasad orang mati, karena dia merasa harus bertahan hidup. Tak ada orang lain memberinya jalan keluar. Dia mencari jalan keluar di dunia orang mati. Pikirannya menjadi bagian dari kematian itu juga. Tapi orang ini berkeras hati ingin hidup. Kalau dia mau hidup, dia harus berpikir seperti orang hidup. Dia harus patuh pada hukum. Mas Ageng : (Mas Ageng menekankan ujung golok lebih keras ke dada Suman. Suman menahan nafas. Penduduk bersorak ) Perbuatannya patut dihukum. Ya!! Tapi orang-orang Mojokuto, dengarkan keputusanku. Di dunia orang hidup, menghukum bukan menyakiti. Juga bukan untuk menghabisi. Menghukum itu, menyembuhkan. Suman, kau dihukum, supaya kau sembuh. Supaya kau patuh di dunia orang hidup,dan hormat di dunia orang mati. Kau dihukum untuk hidup. Maka, kau harus bekerja merawat seluruh makam di tanah Mojokuto, dan menjaganya seperti kau menjaga kehidupanmu sendiri, Itulah baktimu untuk tanah Mojokuto. Sekali saja kau langgar ini, berarti kau gagal untuk sembuh. Dan kalau kau gagal sembuh, maka tanganku sendirilah yang akan menjadi hukum untuk hidupmu! (Dengan sepenuh tenaga, Mas Ageng menancapkan golok ke batang gebok pisang. Golok tegak terpasak. Cairan semerah darah meleleh dari lapisan gebok. Orang-orang takjub. Suman bersimpuh di kaki Mas Ageng)
Setelah itu terdengar letusan meriam. Suara kepanikan awalnya sayup lalu makin menegas. Perintah untuk mengungsi dan embikan hewan ternak berbaur, dengan suara letusan senjata yang terdengar makin kerap. Sejumlah penduduk tergopoh, berduyun mencari perlindungan di sekitar pendopo. Suasana serentak kalut. Daeng melindungi Mas Ageng. Kebo muncul, terluka tembak di bahunya. Daeng : Kebo, apa terjadi ? Kebo : Mojokuto diserang. Rumah-rumah dibakar. Mas Ageng : Siapa mereka ? Kebo : Dari laut utara datangnya. Lusinan kapal besi, dengan bendera merah biru merapat ke pantai. Syahbandar melaporkan, mereka cuma kapal dagang pembeli rempah. Tapi mereka tidak seperti pedagang. Mas Ageng : Kapal besi ? Kebo : Dengan senjata meriam, dan pasukan berseragam. Badan mereka tinggi, berkulit putih, dengan topi lancip bersurai. Mereka menyisir gudang rempah, dan membongkar paksa pintu-pintunya. Rempah-rempah dijarah. Pasukanku yang melawan, mereka tembak. Penduduk ditawan. Mereka bersiap menuju kemari, dengan kuda, dan meriam. Mas Ageng : Siapa pemimpinnya ?! Kebo : Landless. Panglima Landless. Pasukannya menyebut nyebut nama itu sambil bernyanyi, menendang penduduk dan membakar gudang gudang yang sudah mereka kuras isinya. Terdengar lagi dentuman meriam. Lalu suara pasukan berkuda, makin menegas. Mars yang bergelora. Daeng : Kita akan melawan! Mas Ageng : Daeng, siapkan seluruh pasukanmu, dan siaga di gerbang timur. Kebo, kau akan menahan setan putih itu bersama pasukan Murod, di gerbang barat. Perintahkan penduduk mengungsi ke tepi hutan. Aku sendiri yang akan menjaga pendopo. Laksanakan segera! Daeng : Segera! Kebo, kita akan melawan. (Berlari ke timur) Kebo : Sampai darah terakhir! (Berlari ke Barat) (Letusan senjata makin kerap. Gerombolan penduduk berlarian. Sesaat sepi, tanpa suara. Suman masih bersimpuh.) Sinta Salim menarik kain panjangnya, lalu ujungnya diselipkan ke pinggang. Dia memasang busur dan anak panah. Sinta Salim : (Berteriak nyaring) Cantrik Dalem! Bela Mojokuto! Dari arah lain masuk belasan perempuan, siap dengan panah dan busur. Sinta Salim berjalan ke luar pendopo, diikuti belasan perempuan itu.
Lembar Kerja Siswa (LKS) Kelompok ke- : Anggota kelompok : Analisislah unsur intrinsik dari naskah drama Cannibalogy karya Benny Yohanes:
No. 1.
Unsur Intrinsik Alur a) Penyituasian b) Pemunculan konflik c) Peningkatan konflik d) Klimaks e) Penyelesaian
2. Latar a) Waktu b) Tempat 3. Tokoh dan penokohan
Jawaban
Bukti
Jawaban Lembar Kerja Siswa (LKS) No . 1.
Unsur Intrinsik
Jawaban
Bukti
Tahap Situation dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon dimulai dari fragmen pertama dan kedua yakni dengan menceritakan sejarah hidup tokoh-tokoh utama dalam naskah ini, yakni Suman dan Suhar.
…Sosok kepala plontos memanggul jasad ke bahunya. Gerakannya sigap. Keringat mengkilat dari bidang dadanya. Kulitnya coklat keruh. Hitam matanya (Benny Yohanes, hlm. 1) Jangan putus asa. Gusti Allah sing dhuwe kuasa. Pergi ke desa lain,Suhar. Coba lagi. Pasti laku daganganmu. Bapakmu dulu juga begini. Tapi ndak pernah sampai ngobong. Rejeki harus disyukuri. Gusti Allah ora sare. (Benny Yohanes, hlm. 2)
b) Pemunculan konflik
Tahap pemunculan konflik yang terjadi dalam naskah drama Cannibalogy karya Benjon terletak pada fragmen II. 4, pada fragmen ini digambarkan penculikan Sinta Salim oleh Suhar.
Suman...gubuk Nyi Mas kosong. Pintu terkunci, tapi jendelanya terbuka. Tak mungkin Nyi Mas bersekongkol melarikan diri. (Benny Yohanes, hlm. 28)
c) Peningkatan konflik
Peningkatan konflik dalam naskah Cannibaligy karya Benjon dapat terlihat pada fragmen III.3. Pada fragmen ini menceritakan penyerangan Alas Puputan oleh pasukan Suhar untuk menangkap Suman dan
Suhar : (Bicara sambil menginjak gundukan tubuh) Alas Puputan obong! Tumpas sudah semua gerombolan. Kita kembali ke Kali Solo. Rayakan kemenangan! Pasukan Suhar :
Alur a) Penyituasian
2.
Sinta Salim.
Jayalah Suhar! Solih : Suman kita tangkap. Perempuannya juga. Suhar : Wanita itu urusanku. Borgol si Suman. Aku mau semua sundal Kali Solo merajamnya. (Benny Yohanes, hlm. 48)
d) Klimaks
tahap klimaks disampaikan pada fragmen III. 5. Dalam fragmen ini, kehancuran Suhar dimunculkan. Suhar yang menjadi tokoh utama mengalami konflik batin dengan keadaan yang harus ia hadapi. Semua yang diinginkannya hancur.
Suhar : (Lemah) O, ancur tenan. Ucul kabeh...Ki, saya tak bisa berdiri tanpa kakimu. Alam menutup gerbangnya untukku. Pernikahanku tanpa restu. Alam sedang melawanku. Sekarang saya sendiri. Lemah kakiku. Ah, harus kurebut lagi! Kekuasaan itu semua, atau tidak sama sekali! (Benny Yohanes, hlm. 59)
e) Penyelesaian
Tahap penyelesaian disampaikan dalam fragmen IV. Pada fragmen ini menggambarkan peristiwa penyergapan Suhar oleh pasukan Mas Ageng di dalam Gua Semar.
Pasukan yang dipimpin Daeng, tiba-tiba masuk menyerbu gua. Moncong-moncong senjata diarahkan pada Suhar dan kelompoknya. Daeng : Ageng Rais, pemimpin Mojokuto, menahan anda. (Benny Yohanes, hlm. 61)
Latar a) Tempat
Jika dilihat secara keseluruhan latar tempat yang digunakan dalam naskah drama Cannibalogy
… Kuburan desa pinggiran Mojokuto. Sebuah makam sedang digali. Dari tengah kampung, sayup-sayup
b) Waktu
adalah pulau Jawa, karena terdapat beberapa fragmen yang menyebutkan beberapa daerah di pulau. Selain itu terdapat pula sebuah desa yang sering kali digunakan sebagai latar tempat dalam naskah Cannibalogy, yaitu desa Mojokuto. Desa Mojokuto merupakan Latar tempat yang mendominasi peristiwa penting dalam naskah drama Cannibalogy.
terdengar gamelan mengiringi adegan perang pada pertunjukan wayang. (Benny Yohanes, hlm. 1)
Latar waktu dalam naskah Cannibalogy tidak digambarkan secara gamblang. Meskipun demikian, petunjuk waktu dapat dianalisis melalui peristiwa-peristiwa yang secara faktual terdapat dalam sejarah.melaului peristiwa-peristiwa yang di gambarkan dalam naskah, dapat diperkirakan latar waktu yang digunakan pengarang adalah sekitar tahun 1965-1998 atau diketahui sebagai masa Orde Baru.
Solih : Mayat-mayat sudah diangkat dari lubang. Tujuh orang. Korban diiris-iris. Mereka masih hidup waktu dikubur paksa di sumur kering. Orangorang terbaik yang kita punya. Suhar : Ya..ya. Itu kerjaan BTI. Pengacau! Mereka komplotan si Suman juga. Makamkan semuanya dengan baik. Kasih gelar sebagai pahlawan revolusi. Biar rakyat seneng. Solih : Harus kita tangkap gembongnya. Suhar : Pasti. Aidil dan Untung. Kejar mereka sampai Madiun. (Benny Yohanes, hlm. 36)
3
Tokoh dan penokohan
a)
Peran Lion
Peran Lion dalam naskah Cannibalogy diwakili oleh tokoh Suman. Dalam naskah drama ini, Suman mewakili penggambaran sosok heroik dengan segala kebaikan dalam dirinya. Dalam naskah ini Suman digambarkan dengan karakter lugu, tabah, tegar, amanat, berani, beranggung jawab, serta memiliki jiwa kepemimpinan.
Suman: (Berlutut di depan kaki Ki Ageng)
saya ingin kaya, tuan. Dan saya ingin kebal dari senjata. Saya ingin menjadi prajurit. Maju perang. Membela tanah yang kupijak. (Benny Yohanes, hlm. 11)
b)Peran Mars
Tokoh yang berperan sebagai Mars dalam naskah ini ialah Suhar. Suhar merupakan penggambaran penuh sosok Mars yang merupakan penantang dari peran Lion (Suman). Dalam naskah drama Cannibalogy Suhar digambarkan sebagai tokoh dengan sifat ambisius, picik, kejam, kuat, dan berani.
Ki Butho : Kau lihat, betapa berharganya umpan yang kita pasang ? Suhar : Luar biasa. Ki Butho : Kau seorang komandan sekarang. Dengan surat perintah langsung dari tahta Olanda. Kau rasakan itu ? Perubahan yang besar ini ? (Benny Yohanes, hlm. 31)
c) Peran Sun
Suman :
Dalam naskah Cannibaloogy peran Sun diwakili dalam tokoh Sinta Salim. Sinta Salim
Kita akan selamatkan dia, Suto! Nyai akan selamat! (Mengeluarkan saputangan dari kantung kain kecil di
merupakan tokoh yang diperebutkan dan diperjuangkan oleh peran Lion (Suman) dan Mars (Suhar). Sinta Salim digambarkan sebagai sosok wanita peranakan (keturunan Cina) yang mencintai tanah Mojokuto.
pinggangnya. Menarik nafas panjang) Kitalah pasukan kera itu. Kita akan kembalikan Nyai pada suaminya. (Benny Yohanes, hlm. 41)
d) Peran Earth
Suman : Peran atau tokoh apapun (Menegakkan wajahnya) Akan kujaga seluruh makam. Akan yang menerima hasil kurawat yang hidup, dan yang perjuangan Lion atau Mars. mati. Dalam naskah ini rakyat Mas Ageng : Mojokuto merupakan (Menatap dalam pada Suman. penggambaran peran Earth, Membebatkan kain hijau ke karena dalam naskah drama Cannibalogy peran Lion lengan Suman) berusaha untuk merenggut Bela...Mojokuto. (Mas Ageng tanah Mojokuto dari jajahan masuk ke pendopo). Olanda dan peran Mars.
(Benny Yohanes, hlm.15)
e) Peran Scale
Mas Ageng :
Dalam naskah ini peran Scale diwakili dalam tokoh Mas Ageng atau Ageng Rais. Mas Ageng merupakan penguasa di tanah Mojokuto. Mas Ageng digambarkan sebagai sosok pemimpin dan hakim yang
(Mas Ageng menekan ujung golok lebih keras ke dada Suman. Suman menahan nafas bersorak) Perbuatannya patut dihukum. Ya!! Tapi orang‐orang mojokuto dengarkan keputusanku. Di dunia orang hidup, menghukum bukan
bijaksana, adil dan tegas.
menyakiti. Juga bukan untuk menghabisi. Menghukum itu untuk menyembuhkan. Suman, kau dihukum, supaya kau sembuh. Supaya kau patuh di dunia orang hidup, dan hormat di dunia orang mati. Kau dihukum untuk hidup. Maka, kau harus bekerja merawat seluruh makam di tanah Mojokuto, dan menjaganya seperti kau menjaga kehidupanmu sendiri. itulah baktimu untuk tanah mojokuto.
Sekali saja kau langgar ini, maka tanganku sendirilah yang menjadi hukum untuk hidupmu! (Benny Yohanes, hlm. 13)
f) Peran Moon
Landless :
Peran Moon diwakili dalam tokoh Landless. Landless merupakan pemimpin besar pasukan Olanda. Dalam naskah Cannibalogy, Landless digambarkan sebagai seorang pemimpin pasukan yang lalim. Dalam naskah ini, Landless berperan sebagai penolong dari peran Mars (Suhar). Landless yang menjadikan Suhar sebagai pemimpin Jawa dan menaikkan derajat Suhar.
Well... Suhar, mulai 11 Maret, kau resmi panglima. Kamu boleh tumpas habis semua gerombolan pengacau keamanan zonder pengadilan. En jalan pos terpanjang harus lahir di Jawa. En akan kuberi nama PosLandless straat. Kerja baik, upahmu baik. Bersumpahlah Suhar. (Landless menjabat tangan Suhar. Suhar bersimpuh di depan Landless) (Benny Yohanes, hlm. 33)
Penilaian Kelompok Kelompok keAnggota kelompok Kelas Tanggal penilaian No.
: : : :
Aspek-aspek yang dinilai
Nilai A
1. 2.
Antusiasme peserta kelompok dalam penyusunan tugas. Kemampuan bekerjasama atau berdiskusi.
3.
Ketuntasan menyelesaikan tugas.
4.
Keberanian dalam mengemukakan pendapat.
5.
Tingkat perhatian pada kelompok lain yang sedang mempresentasikan hasil diskusi.
B
C
D
Petunjuk: Lembar ini diisi oleh guru untuk menilai kelompok dalam menyelesaikan tugas dan mengemukakan pendapat. Berilah tanda ceklis (√) pada kolom skor sesuai dengan sikap sosial yang ditunjukkan oleh peserta didik dalam kelompok dengan kriteria sebagai berikut: Baik sekali (A) : skor 81-90 Baik (B) : skor 71-80 Cukup (C) : skor 61-70 Kurang (D) : skor 51-60
UJI REF'ERENSI Seluruh referensi yan digunakan dalam penulisan skripsi yang berjudul
"Kritik
Sosial dalam Naskah Drama Cannibalogt Karya Benny Yohanes dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekaolah Menengah Atas (SMA)" yang
disusun oleh Rahayu Handayani NIM: 1111013000081 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Itrru Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, telah diuji kebenarannya oleh dosen pembimbing skripsi pada tanggal 28 September 2016.
28 September 2016
10302008012009
UJI REFERENSI
Nama NIM Jurusan Fakultas Judul skripsi
: Rahayu Handayani
:1111013000081 : Pendidikan Bahasa dan Sasira Indoaresia
: Ihnu Tarbiyah dan Keguruan
: Kritik sosial dalam Naskatr Drama cannibalogt Karya Benny Yohanes dan Implikasinya pada Pembelajaran Batrasa
Dosen
dan Sastra Indonesia.
Pembimbing : Rosida Erowati, M.Hum
REFERENSI
I つ4
3.
PARAF
Adam, Asvi Warman. Menguak Misteri Sejarah. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010. Adam, Asvi Warman. Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004.
Damono, Sapadi Joko. ,Soslologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringlas. Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengenmbangan Bahasa, 1979.
4.
Dirnyati, Ipit S. Panggung Besar, Panggung Kecil: Fenomena Pemuaisn Dan Peruthlan Ruang Public Dalam Panggung Teater, Tealer Bandung: Gagasan & Pemikiran Bandung: Jurusan Teater STSI Bandrurg.
5.
Djmot, Eros, dkk. Siapa Sebenamya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Paro Pelaht Sejarah G-3?-S/PKL Jakarta: PT. TransMedia, Cet. 10, 2008.
6.
Endraswara, Suwardi, Metodologi penelitian
Sastra,
Yogiakarta: Medpress, Cet. tV. 2008 7.
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
q
嚇メ
NO。
誹
メ
卸 ´ 礫
PUStaka
P-elajar,2013. 8.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia
⊂ス
Pustaka Utama, 2004.
MD, Moh. Mahfud dkk, Kritik
Sosial dalam Wacana
Pembangunan. Y ogyakarta : UI Press, 1 997.
1988.
θ
う0
Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Gadjatr Mada University Press: Yogyakarta, 2072. Pradopo, Rachrnat Djoko, dk,k. Metodologi Penelitian Sastra.
Yoryakarta: Hanindita Graha Widya 2002. Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanius,
1
1
988.
16 Ratna, Nyoman
Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakara: Pustaka Pelajar,2009.
17 San, Suyadi-
Drama Konsep Teori don Kajian. Medan: CV.
Partama Mitra Sari, 2013.
串 ´ 翠 岬 C
︱ス
0ン
Semi, Atar. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa, 1988.
d
Semi, Atar. Rancangan dan Pengajaran Bahasa dan
Sastra
Indanesia. Bandung: Angkasa, I 990. つ4
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo 2008.
22 Southwood,
中
3絆
Saraswati, Ekarini. Sosiologi Sastra Sebuah Pemahaman Awal, Malang: UMMPress.
2C
準
Angkasa,
∩MP
K. M, Saini. Protes sosial dalam Sastra. Bandung:
C
R膝F
nυ
Kurniawan et.al, Pengalcuan Algojo 1965, (Jakarta: PT Tempo Inti Media, cet. IV,2013.
耳 Ч
Kosasih, E. Apresiasi Sastra Indnnesia: Puisi, Prosa, Dranta. Jakarta: PT Perca, 2008.
ヽス
9
a
&
Julie dan Patrick Flanagan. Teror Orde Bant:
Penyelewengan Hukum Komunitas Bambu,2012.
&
Propaganda 1965-1981. Depok, 以 剰
23 Tim Analisis hrformasi (LAI). Kontroversi &tper Semar: Dalam
Transisi Kekuasaan Soelmmo-Soeharto @disi
Revisi).
C
Yogyakarta:Ⅳ lcdpress,Cct.10,2007. 24
Tim Balai Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
25
W.S,Hasanllddin.Drttα 施 ッα Dalam Dua Dimensi. Bandllllg:Angkasa,Cet.1,1996.
σ
2( Yollalles,Benw.助 η ″bα ゎ,4 Balldung Rcpllblk,2008. 27
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Prttο ιめη И ″ `冽 “ http://badanbahasa.kenldikbud.go.idД allloedyaO/。 20An狙 協%20ToeL
C
1
■,ι ス alnanballasa/tokoh/278/Pr
Diakses pada 19 Agllstus 2016
puku1 22:10 WIB. 28
ひ
︱ス洲ヽ
Balai Pustaka, Cet. 3, 2005.
』
Khairuddin, Fachrul. Sejarah Majalah Tempo: Konflik dan P e mb re de I an.http I / vmw.kompasian a. comJ fachrulkhairuddinlse
j arah-maj alah-temp o-konfl ik-dan-
pembredelan_5500651a813311a019fa768d. Diakses Agustus 2016 pukul22:17 ] .flB.
pada
16
串
2S
課 3C Galib,Bayll.3θ ra餞′ の り
′
1.Diakses pada 12」 llli 2016 puku1 20:30 WIB. 31 Persi,Ferick Sahid.И
″ 権ο ′ α旋″ 9g′ Bθ 力
Rα肋 ■ 2θ f5,
0■ ゾん
'
w,panggllngkita.cOlw2015/02/arkeologl― bcha…
“ urban‐ yallg.llml).diakses pada tallggal 15 Maret kehidupall¨
撃
2016 puku1 15.09 WIB.
3
Poti, Jamhur.ア DeIIlokratisatt Mcdia Massa Dalam Risip
Kebebasan,
プレ α′
/7H"
Pθ 閣
滋ね乃,
2011,
“ 19.https://www.g00gle.co.id/url?sa■ &rc← i&q=&esrc=s&§ ΩwQ `″
Pz咀lVJIC48KI― IZlvkDfcOF2gaMAA&ul・ l=http%3A%32F%2Fisi p lllllrah.ac.id'′ QFum―
戚
.dGo. Diakses pada 25 Septemb er
20l6pukul 22:35.
B 柵
dalalln Nano
。 (ed.),
0"ノ/www.kelola.Or.id/database/theatre/1ist/&dd 」d-67&p=3 Shadiン ,Hassan.助 ∫ Bartl―
訪物 ρθ
van HOeve,1982.
“
れ 山 d HI,Jakma lchti肛
“
Tim Balai Pustaka.焔 ″ s Bem′ Bα ′ ″sα
Balai Pustaka,Cet.3,2005.“
Jヵ `ゎ
ηθsね 。Jakartal
Jakarta, 28 September 2016
Yang Menyatakan
Erowati,M.Hum 2008012009
BIOGRAFI PENULIS Rahayu Handayani lahir di Jakarta, 11 Febuari 1993. Anak ketiga dari Bapak Muhammad Syafii dan Ibu Rosmini ini memulai pendidikan di Taman Kanak-Kanan Bina Umat pada tahun 1998, setelah lulus dari Taman Kanak-Kanak ia melanjutkan pendidikannya di SD Negeri Perumnas BP Parung Panjang dari tahun 1999 - 2006, lalu melanjutkan pendidikan ke jenjang pertama di sekolah favorit berstandar Nasional SMP Negeri 1 Parung Panjang dari tahun 2006 – 2009. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 22 Kabupaten Tangerang sebelum akhirnya memilih untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yakni di Universitas Islam Negeri Jakarta. Sejak kecil penulis bercita-cita untuk menjadi seorang guru. Itulah yang menjadi salah satu alasan penulis memilih Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis merupakan penggiat seni dan penyuka sastra. Hal ini terlihat sejak kecil hingga sekarang sering mengikuti pementasan seni. Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama penulis merupakan vocalis band. Hal tersebut dilanjutkan sampai Sekolah Menengah Atas. Selain ngeband penulis juga sempat aktif di ekstrakurikuler karawitan dan paduan suara sekolah di SMA. Setelah memasuki perguruan tinggi penulis sempat aktif di UKM Paduan Suara Mahasiswa (PSM) selama satu tahun dengan pencapaian konser Recital PSM UIN tahun 2011 di Aula Student Center serta beberapa konser kecil di dalam dan di luar kampus. Kemudian penulis melanjutkan tahun-tahun berikutnya di UKM Teater Syahid sejak 2012 hingga sekarang. Selama aktif di Teater Syahid penulis tercatat terlibat sebagai aktor dalam dalam beberapa pementasan, di antaranya pementasan MADA di Hall Student Center dan Teater Kecil Taman Ismail Marzuki pada tahun 2013 yang disutradari Bambang Prihadi dengan naskah yang terinspirasi dari novel MADA karya Abdullah Wong, Cannibalogy naskah karya Benny Yohanes di Hall Student Center pada tahun 2014 disutradarai Bangkit Sanjaya, lakon Pada Suatu Hari naskah karya Arifin C. Noer di Aula Student Center tahun 2014 disutradarai Taufik Hidayat, Orkes Pulang inspirasi naskah Dzatmiati Sari di Aula Madya tahun 2015 disutradarai Amalia Rosyidah (Audisi FESTAMASIO 7), Orkes Pulang inspirasi naskah Dzatmiati Sari di UPI Bandung tahun 2015 disutradarai Rajab Husain (FESTAMASIO 7).