Topik Utama SKEmA BARU PENDANAAN BIoDIESEL BERBASIS SAWIT, mENUJU KEmANDIRIAN ENERgI DI TENgAh mELEmAhNyA hARgA mINyAK DUNIA yunita Ariyani, muhammad Ferian, Dadan Kusdiana, Bayu Krisnamurthi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)
[email protected] SARI Perkembangan industri biodiesel yang terus menunjukkan tren positif sejak 2006, telah menempatkan biodiesel sebagai salah satu komoditas energi terbarukan yang diandalkan dapat memenuhi target pada bauran energi nasional sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada Mei 2015, pemerintah meluncurkan skema baru pendanaan biodiesel berbasis sawit. Kebijakan ini dibuat sebagai upaya meningkatkan realisasi pemanfaatan biodiesel sekaligus mendorong industri sawit yang berkelanjutan sebagai bahan baku utama biodiesel. Kata Kunci: Biodiesel, sawit, dana perkebunan sawit, energi
1. PENDAhULUAN Kebijakan Energi Nasional sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2014 mengamanatkan persentase pemanfaatan energi terbarukan dalam bauran energi nasional minimal sebesar 23% pada 2025 dan menjadi 31% pada 2050. Penetapan target ini tentunya didasari kondisi keenergian indonesia saat ini yang sangat bergantung pada energi fosil. Sebanyak 96% dari suplai energi primer masih didominasi oleh bahan bakar berbasis fosil yang jumlahnya terbatas. Di sisi lain, indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang demikian besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Dalam upaya mendorong pemenuhan kebutuhan energi secara mandiri sekaligus meningkatkan persentase energi terbarukan pada bauran energi nasional, pemerintah telah mengambil langkah penting melalui penyusunan kebijakan terkait energi terbarukan, salah satunya yaitu regulasi terkait bahan bakar nabati (biofuel). Biofuel diyakini sebagai salah satu solusi
M&E, Vol.14, No. 1, Maret 2016
permasalahan defisit energi khususnya di sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik berbasis minyak diesel. Di sisi lain, keberadaan biofuel juga mendukung rencana jangka panjang pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan berbasis green energy. Kebijakan Bahan Bakar Nabati (BBN) mulai populer dan diimplementasikan di indonesia pada 2006. Namun dalam perjalanannya, baru BBN jenis biodiesel yang mampu berkembang secara komersial hingga saat ini. Dilihat dari aspek kebijakan dan teknologi, industri biodiesel dapat dikatakan telah siap. Namun demikian, aspek ekonomi masih menjadi pertimbangan beberapa pihak dalam pelaksanaan mandatori mengingat nilai keekonomian biodiesel yang masih berada di atas harga minyak solar, ditambah kondisi harga minyak dunia yang mengalami penurunan selama periode satu tahun terakhir. Sejak dicanangkan pertama kali hingga 2014, pemerintah menggulirkan dana subsidi untuk biodiesel yang dicampurkan ke dalam BBM
61
Topik Utama PSO (Public Service Obligation) atau saat ini dikenal dengan istilah Jenis BBM Tertentu (JBT). Dana ini bersumber dari aPBN yang diberikan dalam rangka mendorong pemanfaatan biodiesel. Pada dasarnya subsidi ini ditujukan kepada masyarakat untuk menutup disparitas harga antara biodiesel dan minyak solar. Namun pada 2015 pemerintah mengubah kebijakan, yaitu subsidi BBN tidak lagi dianggarkan di dalam aPBN. Maka pada akhir agustus 2015, dimulai fase baru bagi industri biodiesel. Pemerintah menerapkan kebijakan dukungan pembiayaan biodiesel yang semula bersumber dari dana aPBN beralih menjadi bersumber dari dana perkebunan kelapa sawit. Sawit adalah bahan baku utama biodiesel dan merupakan komoditas utama perkebunan yang telah memberikan kontribusi besar bagi negeri ini. Pada 2014, industri sawit mampu menyumbang devisa negara dengan nilai ekspor mencapai 175 triliun rupiah. Sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam menjamin pengembangan industri sawit, maka diluncurkanlah strategi nasional pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan melalui pembentukan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Skemanya dapat dilihat pada Gambar 1. Pemerintah menetapkan biodiesel sebagai salah
satu objek pendanaan Dana Perkebunan Sawit. Kebijakan ini diharapkan dapat membuka pasar baru yang dapat menyerap suplai CPO domestik. Selain itu, tentunya dimaksudkan untuk penyediaan pendanaan biodiesel yang lebih stabil sehingga dapat meningkatkan konsumsi biodiesel dan pada akhirnya dapat mendukung kemandirian energi. 2. review Implementasi Biodiesel a. Dukungan Regulasi dan Realisasi Pemanfaatan Kebijakan terkait BBN diawali dengan diterbitkannya instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006. Sejak 2009, Pemerintah telah memberlakukan kebijakan mandatori pemanfaatan BBN pada sektor transportasi, industri dan pembangkit listrik melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Berkat dukungan regulasi mandatori ini, indonesia mengalami lompatan kemajuan dalam industri biodiesel, mulai dari pencampuran sebesar 2,5% pada 2006 melesat 8 (delapan) kali lipat menjadi 20% pada 2016 seperti dapat dilihat pada Gambar 2. Target
gambar 1. Peranan Dana Perkebunan Sawit dalam Mendukung Program Mandatori Biodiesel
62
M&E, Vol.14, No. 1, Maret 2016
Topik Utama
gambar 2. Historis Perkembangan Biodiesel
yang disusun pemerintah dalam penetapan mandatori mencerminkan optimisme bahwa pengembangan biodiesel akan terus berlanjut, bahkan pada 2020 pencampuran biodiesel ditargetkan sebesar 30% (B30). Biodiesel merupakan salah satu komoditas strategis yang diharapkan terus berkembang untuk menyokong ketahanan energi. Data kapasitas
terpasang biodiesel sejak 2009 sampai 2015 menunjukkan tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini, kapasitas industri biodiesel telah mencapai 7,3 juta kL/tahun dari 17 produsen biodiesel yang aktif berproduksi (Gambar 3). Pemanfaatan biodiesel domestik juga terus meningkat setiap tahunnya, sebesar 669 ribu
gambar 3. Sebaran industri Biodiesel, Sumber: Ditjen EBTKE, KESDM Tahun 2016
M&E, Vol.14, No. 1, Maret 2016
63
Topik Utama
gambar 4. Perkembangan Konsumsi Domestik Biodiesel
KL pada 2012 meningkat menjadi 1,05 juta KL pada 2013, kemudian pada 2014 menjadi 1,85 juta KL atau meningkat sebesar 76% dibandingkan tahun sebelumnya. Hanya pada 2015 selama periode Januari hingga agustus terjadi anomali penurunan konsumsi domestik akibat turunnya harga minyak dunia secara drastis sehingga menyebabkan melebarnya disparitas harga antara solar dan biodiesel, ditambah dengan tidak adanya alokasi subsidi khusus BBN pada aPBNP 2015 (Gambar 4). b. harga Indeks Pasar Biodiesel Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, implementasi biodiesel di indonesia sebagian besar dipengaruhi oleh isu ekonomi yakni harga jual biodiesel itu sendiri. Dalam pengaturan harga biodiesel, pemerintah menyusun regulasi terkait Harga indeks Pasar (HiP) biodiesel
yang dicampurkan ke dalam Jenis BBM Tertentu/PSO. Sedangkan untuk biodiesel yang dicampurkan ke dalam BBM Non PSO, harga biodiesel mengikuti harga keekonomiannya melalui mekanisme business to business (B to B) antara Badan Usaha BBN dengan Badan Usaha BBM. Namun demikian, HiP BBN yang ditetapkan pemerintah setiap bulan ini umumnya menjadi referensi harga di kalangan pelaku industri. Pada perkembangannya, HiP biodiesel mengalami beberapa kali perubahan seperti dapat dilihat pada Gambar 5. Hal ini sebagai salah satu bentuk pendekatan yang dilakukan pemerintah agar bisnis ini dapat berjalan. Sejak 2015, formula HiP biodiesel mulai didasarkan pada harga bahan bakunya yakni CPO. Formula harga ini diharapkan dapat mendorong pen-
gambar 5. Historis Harga indeks Pasar Biodiesel
64
M&E, Vol.14, No. 1, Maret 2016
Topik Utama Tabel 1. Besaran Pungutan Ekspor CPO dan Produk Turunannya
ciptaan pasar karena mencerminkan kondisi riil industri biodiesel, yaitu 80% struktur biaya produksinya dipengaruhi oleh harga bahan baku. Pada Juni 2015, HiP biodiesel diubah dengan pertimbangan efisiensi dan tambahan komponen ongkos angkut untuk mengakomodir jangkauan penyaluran agar dapat merata di seluruh wilayah indonesia. 3. SKEmA PENDANAAN BIoDIESEL DARI DANA PERKEBUNAN SAWIT Merosotnya konsumsi domestik biodiesel pada awal 2015 akibat turunnya harga minyak mentah dan belum adanya kebijakan untuk menutup disparitas harga biodiesel dengan solar ternyata cukup memberikan dampak pada industri hulu yakni CPO sebagai bahan baku utama biodiesel. Respon pasar CPO terhadap pelaksanaan implementasi biodiesel di dalam
negeri demikian besar mengingat indonesia merupakan produsen sekaligus eksportir sawit terbesar di dunia. Tidak berjalannya mandatori biodiesel sebagai salah satu industri hilir sawit mengakibatkan over supply CPO yang diyakini sebagai salah satu penyebab turunnya harga CPO. Sebagai langkah konkret, pemerintah bersama stakeholder terkait bekerjasama merancang kebijakan yang mampu melejitkan kembali kedua industri strategis ini sekaligus, baik biodiesel maupun CPO. Pada Mei 2015, terbit kebijakan terkait Dana Perkebunan Kelapa Sawit melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24/2015 dan Peraturan Presiden Nomor 61/2015 yang pelaksanaannya diserahkan kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). BPDPKS bertugas mengumpulkan dan mengelola pungutan ekspor CPO dan produk turunannya yang besarannya berkisar antara 10-50 USD/ton. Dana pungutan ekspor ini akan digunakan untuk sejumlah program, salah satunya untuk pendanaan biodiesel. Dana pembiayaan biodiesel ditujukan untuk menjembatani kesenjangan antara harga biodiesel dan solar dengan jalan menutup disparitas harganya. Dengan adanya tambahan dana on-top dari dana subsidi pemerintah, diharapkan sasaran pemanfaatan biodiesel dapat tercapai dan juga memberikan implikasi yang signifikan bagi industri sawit. Prinsip objek pendanaan biodiesel dari dana perkebunan sawit pada dasarnya sama dengan subsidi biodiesel dari aPBN yakni diberi-
gambar 6. Mekanisme Penyaluran Dana Pembiayaan Biodiesel melalui Dukungan Dana Perkebunan Sawit
M&E, Vol.14, No. 1, Maret 2016
65
Topik Utama
gambar 7. Model Pembiayaan Biodiesel dari Dana Perkebunan Sawit
kan kepada masyarakat sehingga harga jual solar yang telah dicampurkan dengan biodiesel tetap sama dengan harga jual solar murni. Perbedaannya terdapat pada mekanisme penyaluran dana. Pada subsidi yang bersumber dari aPBN, dana diberikan lewat Badan Penyalur Jenis BBM Tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah (Pertamina/aKR). Sedangkan untuk dana pembiayaan biodiesel dari dukungan dana perkebunan sawit, dana disalurkan langsung kepada Badan Usaha BBN yang berkontrak dengan BU BBM Penyalur JBT. Selanjutnya BU BBM Penyalur JBT akan membeli biodiesel seharga HiP minyak solar. adapun besaran dana yang diberikan adalah sebesar selisih harga antara HiP minyak solar/MOPS dengan HiP biodiesel dengan formula saat ini yakni CPO+125 USD/ton+ ongkos angkut (Gambar 6 dan 7).
lan terakhir juga menunjukkan angka realisasi yang baik dengan volume rata-rata per bulan sebesar 200 ribu KL. Pada 2016, pemerintah merencanakan perluasan objek pendanaan biodiesel ke sektor pembangkit listrik sehingga total target penyaluran menjadi sebesar 3,7 juta KL dengan proyeksi kebutuhan dana sekitar 9-13 triliun rupiah, tergantung pada selisih harga antara biodiesel dan solar. Dana perkebunan sawit yang diperoleh melalui pungutan ekspor produk CPO dan turunannya juga diproyeksikan cukup untuk mendukung pembiayaan implementasi B20.
Tabel 2. Realisasi Mandatori Biodiesel
Realisasi penyaluran biodiesel melalui dukungan dana perkebunan sawit pada agustus – Desember 2015 tercatat sebesar 428 ribu KL dengan total kebutuhan dana sebesar 852 miliar rupiah. implementasi mandatori biodiesel 20% (B20) yang telah berjalan selama 2 bu-
66
M&E, Vol.14, No. 1, Maret 2016
Topik Utama Di samping pendanaan biodiesel, BPDPKS juga mendukung program mandatori biodiesel melalui pendanaan riset di bidang biofuel dan promosi. Untuk rencana jangka panjang, dukungan dari sisi riset mutlak diperlukan baik untuk meningkatkan efisiensi produksi; persiapan mandatori biodiesel 30% (B30); studi penerapan biofuel generasi ketiga, dan kebutuhan lainnya yang terus berkembang. Sementara promosi biofuel dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemanfaatan biofuel untuk menyokong kemandirian energi. 4. PERSPEKTIF mANDAToRI BIoDIESEL, mENgAPA TETAP hARUS BERJALAN DI TENgAh mELEmAhNyA hARgA mINyAK DUNIA Konsumsi energi final di Indonesia meningkat dari 931 juta BOE pada 2013 menjadi 983 juta BOE pada 2014 atau tumbuh sebesar 6% per tahun. Kebutuhan energi nasional akan terus meningkat sesuai dengan perekonomian yang terus berkembang. Dengan kenyataan kondisi lifting minyak yang terus
menurun, maka hanya ada dua pilihan bagi indonesia, bergantung pada negara lain dengan mengimpor sumber daya energi secara terus menerus, atau mandiri dengan mulai memberikan porsi lebih pada pengembangan energi terbarukan. Dari kedua pilihan tersebut, tentunya pilihan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan lebih layak untuk dipilih. Sangat berisiko bagi sebuah negara yang bercita-cita mencapai pertumbuhan ekonomi yang baik namun menggantungkan sumber energinya pada negara lain. Di lain sisi, indonesia memiliki potensi bahan baku untuk memproduksi biofuel dalam jumlah besar. Sangat disayangkan bila potensi ini tidak dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mencapai kemandirian energi. Pemanfaatan biodiesel terbukti telah mampu menekan angka impor solar yang secara langsung akan memberikan penghematan pada devisa negara. Tahun 2014 tercatat pemanfaatan biodiesel memberikan dampak positif terhadap penghematan devisa negara sebesar 1,23 miliar USD. Pelaksanaan B20 tahun 2016 ditargetkan mampu mengurangi
gambar 8. Grafik Perkembangan Harga CPO Domestik
M&E, Vol.14, No. 1, Maret 2016
67
Topik Utama impor BBM hingga 6,9 juta KL yang setara dengan penghematan devisa 2 miliar USD. Jauh lebih penting bahwa penerapan B20 biodiesel akan memberikan manfaat pada peningkatan diversifikasi energi untuk peningkatan ketahanan energi. Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RaN GRK) mengamanatkan pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan. impelementasi mandatori biodiesel akan memberikan dampak positf terhadap pengurangan emisi CO2e dibandingkan penggunaan fossil-fuel. Emisi CO2e yang bisa dikurangi jika diterapkan B20 mencapai 9-18 juta ton CO2e per tahun. Skema pendanaan biodiesel melalui dukungan dana perkebunan sawit didasari semangat untuk menciptakan industri sawit yang berkelanjutan. Pelaksanaan pencampuran biodiesel tidak hanya bermanfaat bagi sektor energi, namun juga industri sawit sebagai bahan baku utamanya. Berjalannya mandatori biodiesel akan meningkatkan permintaan CPO yang dapat menstabilkan harga CPO. Hal ini telah dibuktikan pada pelaksanaan penyaluran dana yang telah dimulai sejak agustus 2015 hingga saat ini memberikan pengaruh positif pada kestabilan harga CPO (Gambar 8). Di samping itu, pemanfaatan CPO menjadi biodiesel dapat
meningkatkan nilai tambah produk CPO sebesar Rp 9 triliun serta menambah lapangan kerja on-farm maupun off-farm sebanyak 830 ribu orang. Dengan banyaknya manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan mandatori biodiesel, sesungguhnya tidak ada alasan untuk melemahkan program ini meskipun di tengah menurunnya harga minyak dunia. Kondisi saat ini merupakan tantangan yang harus dilalui untuk mencapai kemandirian energi. Jika sudah berhasil pada tingkat harga minyak yang rendah, maka kedepan biodiesel seharusnya dapat bertahan pada kondisi harga minyak dunia yang lebih baik. 5. oPTImISmE mASA DEPAN DAN LANgKAh STRATEgIS yANg DIBUTUhKAN Sebuah fakta bahwa saat ini indonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia dengan luas area perkebunan mencapai 11.4 juta Ha dan produksi CPO sebesar 31 juta ton. Dari total produksi tersebut, konsumsi domestik hanya berada pada kisaran 8 juta ton sedangkan sisanya diekspor. Tersedia ruang yang sangat besar untuk memanfaatkan produksi CPO tersebut. Bahkan untuk mencapai target B30 pada tahun 2020, indonesia diproyeksikan hanya membutuhkan 26% dari total produksi CPO yang ada (Tabel 3).
Tabel 3. Proyeksi Kebutuhan Biodiesel dan CPO sebagai Bahan Baku
68
M&E, Vol.14, No. 1, Maret 2016
Topik Utama Geliat industri biodiesel kembali terlihat sejak diluncurkannya kebijakan pendanaan biodiesel berbasis sawit. Data Kementerian ESDM mencatat saat ini terdapat 2,92 juta KL rencana pembangunan pabrik baru dan penambahan kapasitas pabrik eksisting. Peningkatan kapasitas terpasang, sumber bahan baku yang berlimpah, dan teknologi yang sudah mature adalah modal yang cukup bagi indonesia menuju B30. Pelaksanaan mandatori biodiesel masih didominasi oleh sektor PSO. Pengawasan dan penerapan sanksi pada sektor Non PSO menjadi kunci utama keberhasilan program mandatori ini. industri biodiesel di tahun mendatang harus memainkan peran yang lebih besar terhadap porsi bauran energi nasional. Untuk itu, perlu upaya yang intensif untuk terus mendorong industri ini. Efisiensi produksi, peningkatan infrastruktur blending dan tangki penyimpanan,
serta pemerataan pembangunan pabrik baru yang mampu menjangkau ketersediaan di seluruh wilayah, terutama untuk indonesia Bagian Timur membutuhkan kerjasama semua pihak baik pemerintah, BUMN maupun pihak swasta. Lebih jauh, pemerintah juga perlu mendorong penciptaan industri metanol di dalam negeri yang merupakan bahan baku pendukung biodiesel. Peningkatan produksi biodiesel tentunya akan meningkatkan kebutuhan akan metanol yang saat ini 90% masih diimpor dari negara lain. 6. PENUTUP Peran biodiesel menyentuh hampir semua aspek pendorong ekonomi berkelanjutan sesuai amanat undang-undang, baik itu aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Dukungan terhadap biodiesel merupakan dukungan terhadap energi yang berkelanjutan, diversifikasi energi, dan ketahanan energi.
gambar 9. Kerjasama Pemerintah dan Swasta pada Pelaksanaan Dana Perkebunan Sawit
M&E, Vol.14, No. 1, Maret 2016
69
Topik Utama Biodiesel telah berjalan dengan baik melalui skema dukungan dana perkebunan sawit. indonesia akan menikmati keuntungan ganda pemanfaatan biodiesel yakni untuk mensubtitusi solar dan menciptakan pasar baru bagi industri sawit yang dapat meningkatkan nilai ekonomi. implementasi dana perkebunan sawit merupakan salah satu bentuk sinergi kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta (public-private partnership) untuk mewujudkan pengembangan industri biodiesel dan sawit yang berkelanjutan (Gambar 9). DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014, Statistik Perkebunan Indonesia 2013-2015, Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015, Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta. PT. Kharisma Pemasaran Bersama, 2016, www.kpbptpn.co.id/about-0.html Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Energi, 2015, Outlook Energi Indonesia 2015, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta. The Business Watch indonesia, Biofuel Industry In Indonesia: Some Critical Issues Wright Thom; arif Rahmanulloh, 2015, Indonesia Biofuels Annual Report 2015, USDa Foreign agricultural Service.
indonesia Commodity & Derivatives Exchange, 2016, www.icdx.co.id/marketdata/ quotes?product=cpotr
70
M&E, Vol.14, No. 1, Maret 2016