SISTEM EKONOMI ISLAM PADA MASA RASULULLAH SAW Oleh : Drs. NURSIDIK (Hakim pada Pengadilan Agama Kajen)
I. Pendahuluan Secara umum, ekonomi oleh Samuelson dalam bukunya “ The Economics “ sebagaimana dikutif oleh H. Fathurrahman Djamil1, didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa ekonomi adalah perilaku manusia yang berhubungan dengan bagaimana proses dan cara memperoleh
dan mendayagunakan produksi,
distribusi, dan konsumsi. Ekonomi berkaitan dengan perilaku manusia yang didasarkan pada landasan dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsip yang menjadi dasar acuan. Begitu pula ketika manusia melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka tampak suatu rambu-rambu hukum yang mengaturnya. Ramburambu hukum dimaksud, baik yang bersifat pengaturan dari Al Quran, Al Hadits, peraturan perundang-undangan (ijtihad kolektif), ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, maqashidus syariah, maupun istilah lainnya dalam teori-teori hukum Islam. Namun
cara
manusia
untuk
memenuhi
kebutuhan
dan
cara
mendistribusikan kebutuhan dimaksud, didasari oleh filosofi yang berbeda antara seorang manusia yang satu dengan manusia lainnya, antara kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya, antara suatu negara yang satu dengan negara yang lainnya. Hal ini terjadi terjadi sebagai akibat perbedaan keyakinan agama, 1
H. Fathurrahman Djamil, “ Prinsip Ekonmi Syariah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah “, Makalah yang disampaikan pada Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme Bagi Para Ketua Pengadilan Tingkat Pertama Peradilan Agama Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, Semarang, DI Yogyakarta, Bandung, Banten dan DKI Jakarta di Batu- Malang, 1-4 Mei 2006, hal. 1.
1
ideologi, budaya hukum ( legal culture ), kepentingan politik yang tumbuh dan berkembang dalam suatu komunitas masyarakat.2 Selain itu, dalam hal tertentu antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya dalam melakukan aktivitas dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya mempunyai unsur kesamaan bila menjadikan Al Quran dan Hadits
sebagai
rambu-rambu dalam beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ramburambu pengaturan dalam beraktivitas dimaksud, baik dalam hukum perbankan, jual beli, asuransi, gadai, hutang piutang, maupun dalam bentuk lainnya dalam bidang hukum ekonomi yang dalam bahasa peraturan perundang-undangan disebut ekonomi syariah.3 Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem ekonomi syariah menekankan pada konsep manfaat kegiatan ekonomi yang luas, sejak proses transaksi sampai hasil akhirnya. Setiap kegiatan, termasuk proses transaksi, harus mengacu kepada konsep maslahat dan menjunjung tinggi asas keadilan. Prinsip ini juga menekankan para pelaku ekonomi untuk selalu menjunjung tinggi etika dan norma hukum dalam kegiatan ekonomi.4 Istilah ekonomi syariah dalam wacana pemikiran ekonomi Islam kontemporer kerap diidentifikasi dengan pelbagai sebutan yang berbeda. Ada yang menyebutnya dengan istilah “ ekonomi Islam “, “ ekonomi ilahiyah “, atau “ ekonomi qur‟ani “. Bahkan ada pula yang menyebutnya “ ekonomi rahmatan lil ‘alamin “ . Perbedaan istilah ini sekaligus menunjukkan bahwa istilah “ ekonomi Islam “ bukanlah nama baku dalam terminologi Islam.5 Menurut Dr. Muhammad Abdullah Al-Arabi, dalam Sistem Ekonomi Islam, Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya, sebagaimana dikutip oleh Gemala Dewi,
6
bahwa definisi ekonomi Islam adalah “ Ekonomi Islam merupakan
sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang kita simpulkan dari al-Qur‟an dan 2
Zainuddin Ali, 2008, Hukum Ekonomi Syariah, Sinar Grafika, Edisi I, Cet. 1, Jakarta, hal. 1. Ibid. 4 H. Fathurrahman Djamil, “ Prinsip Ekonmi Syariah….., op.cit. 5 Hasbi Hasan, Ekonomi Syariah dalam Politik Hukum Nasional (dalam Majalah Mimbar Hukum dan Peradilan Nomor 68, Februari 2009), PPHIMM, Jakarta, 2009, hal. 117. 6 Gemala Dewi, 2004, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan & Perasuransian Syariah di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, cet. Ke-1, hal. 33. 3
2
As-Sunah, dan merupakan bangunan perekonomian yang kita dirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa “. Ekonomi Islam bukanlah merupakan paradigma baru, meskipun pemikiran ekonomi Islam telah mengemuka pada beberapa tahun belakangan ini di sejumlah negara muslim. Namun ide-ide ekonomi Islam dapat dirunut kembali ke pesan al Quran pada abad ke-7. Menurut pengertian ini, maka ekonomi Islam setua dasardasar teoritis sebagian besar sistem ekonomi Barat, khususnya kapitalisme modern.7 Pelaksanaan sistem ekonomi Islam telah ada dan dilaksanakan oleh Rasulullah SAW sebagai seorang Rasul tauladan bagi umat muslim. Bahkan bangsa Arab telah terkenal sebagai bangsa pedagang sebelum periode Rasulullah Saw. Adam Smith dalam bukunya “ The Wealth of Nations “ jilid kelima bab pertama sebagaimana dikutif oleh H. Adiwarman A. Karim8, membandingkan masyarakat dengan tingkat perekonomian yang berbeda, yakni bangsa dengan ekonomi terbelakang dan bangsa ekonomi maju. Masyarakat dengan ekonomi terbelakang ditandai dengan mata pencahariannya sebagai pemburu, sedang masyarakat ekonomi maju ditandai dengan mata pencahariannya sebagai pengembala dan pedagang. Contoh masyarakat ekonomi terbelakang adalah masyarakat Indian di Amerika Utara, sedangkan contoh masyarakat ekonomi maju adalah bangsa Arab dan Tartar. Selanjutnya Adam Smith menjelaskan bahwa bangsa Arab yang dimaksud adalah yang dipimpin oleh “ Mahomet and his immediate successors “ atau lebih tepatnya Rasulullah Muhammad Saw dan Khulafaur Rasyidin. II. Sistem Ekonomi Islam Pada Masa Rasulullah Saw Secara umum, tugas kekhalifahan manusia adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan ( al-An’aam : 165) serta tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas (adz-Dzaariyaat : 56). Untuk 7
Latifa M. Alqaoud dan Mervyn K. Lewis, 2001, Perbankan Syariah, Prinsip, Praktek, Prospek, Terjemahan oleh Burhan Wirasubrata, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, hal. 30. 8 H. Adiwarman A. Karim, 2001, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani, Jakarta, hal. 14.
3
menunaikan tugas tersebut, Allah SWT memberi manusia dua anugerah nikmat utama, yaitu manhaj al-hayat „sistem kehidupan‟ dan wasilah al-hayat „ sarana kehidupan‟.9, sebagaimana firmanNya :
Artinya : “ Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”10 Manhaj al-hayat adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan atau sebaiknya meninggalkan sesuatu. Aturan tersebut dikenal sebagai hukum lima ( al-ahkaam al-takliifiyaah ), yakni wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh, atau haram. Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri (jiwa dan raga), keselamatan akal, keselamatan harta benda, maupun keselamatan nasab keturunan. Hal-hal tersebut merupakan kebutuhan pokok atau primer ( alhaajat adh-dharuriyyah). Pelaksanaan Islam sebagai way of live secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan, akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik, sebuah tatanan yang disebut sebagai hayatan thayyibah (an-Nahl : 97). Sebaliknya,
9
Muhammad Syafi‟i Antonio, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani, Jakarta, hal. 7. 10 QS : 31 : 20
4
menolak
aturan
itu
atau
sama
sekali
tidak
memiliki
keinginan
mengaplikasikannya dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam kehidupan sekarang, ma’isyatan dhanka atau kehidupan yang sempit, serta kecelakaan di akhirat nanti (Thaahaa : 124-126). Aturan-aturan itu juga diperlukan untuk mengelola wasilah al-hayah atau segala sarana dan prasarana kehidupan yang diciptakan Allah SWT untuk kepentingan hidup manusia secara keseluruhan. Wasilah al-hayah ini dalam bentuk udara, air, tumbuh-tumbuhan, hewan ternak, dan harta benda lainnya yang berguna dalam kehidupan.11
Artinya : “ Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu ”.12 Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonominya sebagaimana telah dicontohkan oleh teladan kita Muhammad Rasulullah Saw. Beberapa pemikiran ekonomi Islam yang disadur ilmuwan Barat antara lain, teori invisible hands yang berasal dari Nabi Saw dan sangat populer di kalangan ulama. Teori ini berasal dari hadits Nabi Saw. sebagaimana disampaikan oleh Anas RA, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. Dalam hadits tersebut diriwayatkan sebagai berikut : “Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata: “Ya Rasulullah hendaklah engkau menentukan harga”. Rasulullah SAW. bersabda: ”Sesungguhnya Allahlah yang menentukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki.
11 12
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah….,op.cit, hal. 7-8. QS : 2 : 29.
5
Sangat aku harapkan bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta.” 13 Dengan hadits ini terlihat dengan jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep invisible hand atau mekanisme pasar dari pada Adam Smith. Inilah yang mendasari teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah SAW dalam hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal. Rasulullah menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh ditetapkan, karena Allah-lah yang menentukannya. Sungguh menakjubkan, teori Nabi tentang harga dan pasar. Kekaguman ini dikarenakan, ucapan Nabi Saw itu mengandung pengertian bahwa harga pasar itu sesuai dengan kehendak Allah yang sunnatullah atau hukum supply and demand. Maka sekali lagi ditegaskan kembali bahwa teori inilah yang diadopsi oleh bapak ekonomi barat, Adam Smith dengan nama teori invisible hands. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan tidak kelihatan (invisible hands). Bukankah teori invisible hands itu lebih tepat dikatakan God Hands (tangan-tangan Allah).14 Di samping itu ada beberapa kebijakan ekonomi yang telah dijalankan oleh Rasulullah Saw, antara lain : 1. Kebijakan Fiskal Rasulullah Saw15 Ketika
keadaan perekonomian
masih lesu dan pemerintah baru saja
mendapat hutang baru dari Consultative Group on Indonesia (CGI) dan Dana Moneter Internasional (IMF), perlunya kebijakan fiskal yang tepat mengemuka di antara beberapa usulan kebijakan dari para ekonom. Sebenarnya kebijakan fiskal telah sejak lama dikenal dalam teori ekonomi Islam, yaitu sejak zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, dan kemudian dikembangkan oleh para ulama.
13
HR Ad Daromi. www. Niriah.com, diakses tanggal 19 Nopember 2009. 15 Disadur sebagian dari buku berjudul Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer oleh H. Adiwarman A. Karim, hal. 25-27. 14
6
Pada jaman Rasulullah Saw, sisi penerimaan APBN terdiri atas kharaj ( sejenis pajak tanah ), zakat, khums (pajak 1/5), jizya (sejenis pajak atas badan orang non muslim), dan penerimaan lain-lain (di antaranya kaffarah / denda). Di sisi pengeluaran, terdiri atas pengeluaran untuk kepentingan dakwah, pendidikan dan kebudayaan, iptek, hankam, kesejahteraan sosial, dan belanja pegawai. Penerimaan
zakat dan kums dihitung secara proporsional, yang dalam
persentase dan bukan ditentukan nilai nominalnya. Secara ekonomi makro, hal ini akan menciptakan built-in stability. Ia akan menstabilkan harga dan menekan inflasi ketika permintaan agregat lebih besar daripada penawaran agregat. Dalam keadaan stagnasi, misalnya permintaan agregat turun menjadi lebih kecil daripada penawaran agregat, ia akan mendorong ke arah stabilitas pendapatan dan total produksi. Sistem zakat perniagaan tidak akan mempengaruhi harga dan jumlah penawaran karena zakat dihitung dari hasil usaha. Dalam istilah finansialnya disebut tax on quasi rent. Ini berbeda dengan sistem pajak pertambahan nilai (PPN) yang populer sekarang; PPN dihitung atas harga barang, sehingga harga bertambah mahal dan jumlah yang ditawarkan lebih sedikit atau dalam istilah ekonominya up-ward shift on supply curve. Khusus untuk zakat ternak, Islam menerapkan sistem yang progresif untuk memberikan insentif meningkatkan produksi. Makin banyak ternak yang dimiliki makin kecil rate zakat yang harus dibayar. Ia akan mendorong tercapainya skala produksi yang lebih besar dan terciptanya efisiensi biaya produksi. Sistem progresif ini hanya berlaku untuk zakat ternak karena bila terjadi kelebihan pasokan, ternak tidak akan busuk seperti sayur atau buah-buahan. Harga tidak akan jatuh karena kelebihan pasokan. APBN jarang sekali mengalami defisit, yaitu pengeluaran hanya dapat dilakukan bila ada penerimaan. Pernah sekali mengalami defisit, yaitu sebelum perang Hunain, namun segera dilunasi setelah perang. Bahkan di jaman Umar dan Utsman r.a., malah APBN mengalami surplus. Dengan tidak ada defisit berarti tidak ada uang baru dicetak dan ini berarti tidak akan terjadi inflasi yang disebabkan ekspansi moneter. Inflasi terjadi di jaman Rasulullah dan Khulafaur
7
Rasyidin akibat turunnya pasokan barang ketika musim paceklik atau ketika perang. 2. Kebijakan Moneter Rasulullah Saw16 Sejak nilai tukar merosot terus, Bank Indonesia menerapkan kebijakan suku bunga tinggi. Dari sisi kemampuan SBI menyedot rupiah, hasilnya mulai tampak. Akan tetapi, besaran makro lainnya dan industri perbankan malah sebaliknya. The Asian Banker Journal, Mei 1998, dalam editorialnya menampilkan perkiraan para bankir bahwa tingkat kredit bermasalah di Indonesia tahun 1998 mencapai 20 %, bahkan para analis memperkirakan 50-55 %. Kebijakan moneter sebenarnya bukan hanya mengotak atik suku bunga. Bahkan sejak jaman Rasulullah Saw dan Khulafaur Rasyidin, kebijakan moneter dilaksanakan tanpa menggunakan instrumen bunga sama sekali. Perekonomian Jazirah Arabia ketika itu adalah ekonomi dagang, bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam; minyak bumi belum ditemukan dan sumber daya alam lainnya terbatas. Perekonomian Arab di zaman Rasulullah Saw
bukanlah ekonomi
terbelakang yang hanya mengenal barter, bahkan jauh dari gambaran seperti itu. Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab, bahkan menjadi alat bayar resmi : Dinar dan Dirham. Sistem devisa bebas diterapkan, tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar atau dirham. Bila para pedagang mengekspor barang, berarti dinar/dirham diimpor. Sebaliknya, bila mereka mengimpor barang, berarti dinar/dirham diekspor. Jadi, dapat dikatakan bahwa keseimbangan supply dan demand di pasar uang adalah derived market dari keseimbangan aggregate supply dan aggregate demand di pasar barang dan jasa. Nilai emas dan perak yang terkandung dalam dinar dan dirham sama dengan nilai nominalnya, sehingga dapat dikatakan penawaran uang elastis sempurna terhadap tingkat pendapatan. Tidak adanya larangan impor dinar/dirham berarti penawaran uang elastis; kelebihan penawaran uang dapat diubah menjadi perhiasan emas atau perak. Tidak terjadi kelebihan penawaran atau permintaan 16
Ibid, hal. 28-29.
8
sehingga nilai uang stabil. Untuk menjaga kestabilan ini, beberapa hal berikut dilarang : a.
Permintaan yang tidak riil. Permintaan uang adalah hanya untuk keperluan transaksi dan berjaga-jaga.
b.
Penimbunan
mata
uang
(at-Taubah
:
34-35)
sebagaimana
dilarangnya penimbunan barang. c.
Transaksi talaqqi rukban, yaitu mencegat penjual dari kampung di luar kota untuk mendapat keuntungan dari ketidaktahuan harga. Distorsi harga ini merupakan cikal bakal spekulasi.
d.
Transaksi kali bi kali, yaitu bukan transaksi tidak tunai. Transaksi tunai diperbolehkan, namun transaksi future tanpa ada barangnya dilarang. Transaksi maya ini merupakan salah satu pintu riba.
e.
Segala bentuk riba (al-Baqarah : 278).
Dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus stabilitas, Islam tidak menggunakan instrumen bunga atau ekspansi moneter melalui pencetakan uang baru atau defisit anggaran. Yang dilakukan adalah mempercepat perputaran uang dan pembangunan infrastruktur sektor riil. Faktor pendorong percepatan perputaran uang adalah kelebihan likuiditas tidak boleh ditimbun dan tidak boleh dipinjamkan dengan bunga, sedangkan faktor penariknya adalah dianjurkan qard (pinjaman kebajikan), sedekah, dan kerja sama bisnis berbentuk syirkah atau mudharabah. Jadi, kebijakan moneter Rasulullah Saw selalu terkait dengan sektor riil perekonomian. Hasilnya adalah pertumbuhan sekaligus stabilitas negara. III. Kesimpulan Dari uraian pembahasan tersebut di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : - Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonominya
sebagaimana
telah
dicontohkan
oleh
teladan
kita
Muhammad Rasulullah Saw. Beberapa pemikiran ekonomi Islam yang disadur ilmuwan Barat antara lain, teori invisible hands yang berasal dari Nabi Saw dan sangat populer di kalangan ulama.
9
- Perekonomian Arab di zaman Rasulullah Saw
bukanlah ekonomi
terbelakang yang hanya mengenal barter, bahkan jauh dari gambaran seperti itu. Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab, bahkan menjadi alat bayar resmi : Dinar dan Dirham. Sistem devisa bebas diterapkan, tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar atau dirham.
DAFTAR PUSTAKA - Gemala Dewi, 2004, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan & Perasuransian Syariah di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, cet. Ke-1. - H. Adiwarman A. Karim, 2001, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani, Jakarta. - H. Fathurrahman Djamil, “ Prinsip Ekonmi Syariah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah “, Makalah yang disampaikan pada Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme Bagi Para Ketua Pengadilan Tingkat Pertama Peradilan Agama Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, Semarang, DI Yogyakarta, Bandung, Banten dan DKI Jakarta di Batu- Malang, 1-4 Mei 2006 - Hasbi Hasan, “ Ekonomi Syariah dalam Politik Hukum Nasional “(dalam Majalah Mimbar Hukum dan Peradilan Nomor 68, Februari 2009), PPHIMM, Jakarta, 2009. - Latifa M. Alqaoud dan Mervyn K. Lewis, 2001, Perbankan Syariah, Prinsip, Praktek, Prospek, Terjemahan oleh Burhan Wirasubrata, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta. - Muhammad Syafi‟i Antonio, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani, Jakarta. . - Zainuddin Ali, 2008, Hukum Ekonomi Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, cet.1. - www. Niriah.com.
10