ZAM TELAH DITEMBAK dalam jarak dekat setelah tiga jam terkurung bersama Marc dan tiga anggota keluarganya di Kastil Salomo. Ia tumbang, dengan dada bersimbah darah. Marc memperhatikan komputernya yang masih mati, beberapa saat setelah ia menembak jitu dada sahabatnya. Beberapa saat tampak keningnya berkerut, otaknya seolaholah memerintahkan tangannya agar mengarahkan pistol di gengamannya ke kepalanya sendiri. Dan… DUAAARRR!!! Letusan kedua pistol itu pun menembus kepalanya sendiri. Ia ambruk bersimbah darah. Dari lapangan aula, Miranda menjerit histeris. Ia tahu persis apa yang akan terjadi jika ada dua letusan pistol dari dalam ruang kerja suaminya. Ia meratap-ratap karena kedua orang yang sangat dicintainya sedang berebut menyambut ajal. Suara dua letusan berturut-turut membuat kekhawatiran tiba-tiba menye-ruak. Membuat kakinya membeku. Beberapa jam kemudian, setelah komandan pasukan menganggapnya cukup aman, pasukan merangsek masuk. Paramedis menyusul di belakangnya, dan langsung melakukan evakuasi. Jenderal Abdurahman, pemimpin Tentara Strategis Konfederasi melangkah masuk ke dalam Kastil Salomo setelah para komandan pasukan memastikan tempat itu aman. Sesaat terbersit dalam benaknya bagaimana nasib teman baiknya yang telah tiga jam terperangkap di dalam kastil. Dalam hati ia berdoa kepada Allah agar Zam diselamatkan. Kalaupun tidak dalam bentuk kehidupan, minimal ia diberi petunjuk bagaimana mengatasi ancaman Genosider
selanjutnya. Baru pertama kali Sang Jenderal memasuki Kastil Salomo, lambang terbesar hegemoni Mason. Bangunan itu dilapisi pualam cemerlang. Ruang utamanya sebuah aula luas nan sejuk di pusat bangunan. Mereka telah merancang kesejukan itu tanpa bantuan listrik. Kastil Salomo adalah bagian terpenting dalam sekte rahasia yang memerintah Mason. Kastil ini dibangun di atas reruntuhan kota tua Baitul Maqdis, setelah melalui rentang waktu panjang penyerobotan dan pengusiran. Iblis telah memperalat manusia, sehingga mereka membenarkan pembantaian yang terjadi menyusul pengambilalihan Kota Suci Jerusalem. Huru-hara Perang Salib dan masuknya Mason tahun 1949 adalah dua peristiwa paling mengerikan setelah penaklukan Nebukadnezar dan Alexander The Great, sesuatu yang tidak terjadi ketika kota itu diambil alih Tentara Muslim pimpinan Jenderal Salahudin Al-Ayyubi dan pengambilalihan kembali oleh Tentara Strategis Konfederasi pimpinan Jenderal Abdurahman saat itu. Mereka memanfaatkan ajaran-ajaran yang cenderung pada kesombongan etnosentrik, untuk menguasai dunia. Sudah jelas, tujuan penguasaan itu adalah membela ideologi pagan, bukan ideologi samawi yang berbasis kebaikan. Musuh utama mereka adalah Kaum Muslimin, satu-satunya pemegang agama samawi yang tak mempan diperalat. Sesaat dalam langkah itu, seorang ajudan membisikannya sesuatu. Ajudan menunjukkan selembar kecil amplop. Lalu diraihnya sepucuk surat bercap Institut Keberpasangan itu dari tangan si ajudan. Cap itu membuat Jenderal bertambah antusias. Ia membacanya serius, meskipun
harus sambil berjalan. Subhanallah lirih hati kecil Jenderal Abdurahman. Beberapa menit lalu ia berdoa meminta jalan keluar, sekarang jalan keluar itu telah dibukakan Allah. Sang Jenderal masih berjalan di tengah-tengah para ajudan, menyusuri koridor, menuju ruang kerja Marc, tempat kejadian Triple Twelve dipertaruhkan. Jenderal itu berjalan tak fokus. Ia hanya mengikuti para ajudan yang berjalan tegap di depannya. Assalamu ‘alaikum, Semoga Allah senantiasa memberi barakah kepada para pejuang yang membela namaNya. Kami telah mendengar kabar tentang Profesor Zam. Kami juga telah mendengar kabar bahwa mesin jagal itu masih ada. Mohon Anda berkenan membawa jasad Profesor Zam ke Cairo untuk tindakan yang sangat penting berkaitan langkah selanjutnya untuk mengatasi mesin itu. Kami mungkin punya teknologi untuk mencari informasi di dalam otak beliau. Semoga Allah meridhai, Abdul Wahid Direktur Institut Keberpasangan
Perjalanan panjang menelusuri labirin-labirin kastil telah selesai. Jenderal segera dipersilakan mema-suki ruang kerja Marc. Ia melangkah masuk. Dua orang ahli forensik dan dua prajurit telah berada di pintu. Puluhan lainnya dari divisi intelijen pasukan konfederasi bekerja di seluruh ruangan, menggeledah dokumen-dokumen Marc. Di pusat ruangan, dua jenazah manusia membujur. Yang satu kepalanya hancur karena tembakan jarak dekat, dan yang lain dadanya bersimbah darah. “Assalamu’alaikum, Jenderal Abdurrahman,” sapa Maya Erdogan, salah satu tenaga ahli forensik divisi inteligen. Ia menjulurkan tangan kanan ke arah Jenderal. “Wa’alaikum salam.” Jenderal menerima jabat tangan Maya dan ahli forensik pria lain di sampingnya. “Apa yang Anda peroleh, Nona Erdogan?” tanyanya kemudian. Jenderal membaca nama wanita itu dari kartu identitas yang tergantung di lehernya. “Kami telah mengumpulkan data-data dan mengolahnya. Kesimpulan kami, Marcus David menembak Profesor Zam beberapa menit sebelum ia menembak kepalanya sendiri,” jelas ahli forensik wanita itu. “Hmmm...” Sang Jenderal berdehem sambil berpikir sejenak. OK! “Terimakasih, Nona Erdogan.” “Sama-sama Jenderal.” “Mana kepala intelijen di sini?” lanjutnya kepada salah satu ajudan. “Komandan Thariq sedang memeriksa dokumendokumen, Jenderal. Ia tidak tahu Anda datang. Tidak ada alat
komunikasi yang bisa digunakan. Silakan sebelah sini,” ucap ajudan berbadan tegap yang sudah berdiri di samping Maya. Jenderal dan para ajudannya masuk lebih dalam melewati dua jenazah yang dibaringkan di atas karpet di depan sofa berwarna coklat padam. Sebelum ia melewati sofa berwarna coklat padam terakhir, Komandan Thariq muncul dari balik pintu. Dengan sigap menegakkan badan dan menempelkan tangan kanan ke ujung dahi. Sang Jenderal membalas hormat itu, angkuh. “Kami telah menemukan sesuatu, Jenderal,” ucap Komandan Thariq setelah berjabat tangan. “Mesin itu dipasang sebagai puluhan satelit komunikasi di atmosfer. Itu berarti ia tidak terkena medan magnet Senjata Penghancur Elektron. Instalasi elekroniknya diperkirakan masih aman dan bisa dipergunakan lagi sewaktu-waktu. Kami belum mendapatkan informasi apapun berkaitan dengan pusat kendali cadangannya di Bumi.” “Tolong Anda atur bagaimana caranya jasad Profesor Zam sampai ke Kota Cairo sebelum tengah malam ini,” instruksi Jenderal kemudian. “Bbaik, Jenderal.” Komandan Thariq sedikit gagap, kaget dengan perintah Jenderal Abdurahman. Buat apa jasad ini dibawa ke sana? TAK BERSELANG HARI, mereka—Jenderal Abdurahman, Profesor Abdul Wahid, dan beberapa asisten—telah bergegas menuju bunker eksklusif di belakang bangunan utama markas Institut Keberpasangan di pinggiran Kota Cairo. Ketika sampai di depan pintu metal berlapis krom, seorang berpakaian serba putih maju dan berbisik sesuatu
kepada salah satu dari dua orang mekanik dengan baju penuh keringat dan peluh. Mereka telah berjam-jam berada di depan pintu metal itu, berusaha memperbaiki instalasi elektronik pintu metal berlapis krom itu. Medan magnet dari Senjata Penghancur Elektron telah menghancurkan instalasi elektroniknya. Ditambah instalasi pendingin ruangan juga telah dihancurkannya. Mereka bekerja dalam suasana panas dan dirongrong deadline. “Anda sudah memperbaiki pintu itu?” tanya seorang berbaju serba putih. “Kami sudah memperbaikinya,” jawab salah satu mekanik dengan perasaan bangga. Si mekanik berpakaian penuh peluh itu kemudian mengarahkan jari-jarinya ke sebuah papan penuh tombol. Menekan angka-angka yang sudah sangat dihafalnya dalam lima jam terakhir. Sesaat kemudian pintu metal berlapis krom itu terbuka. “Terimakasih,” ucap seseorang berbaju serba putih. “Sama-sama,” jawab sang mekanik berbaju penuh peluh. Ruangan di balik pintu metal berlapis krom itu tak kalah sumpek dari selasar-selasar panjang yang tadi baru mereka lalui. Ruangan yang sangat besar dan hampir berantakan. Hanya instalasi pendingin ruangannya saja yang mati. Semua peranti elektronik di dalam ruangan itu masih bisa berfungsi dengan baik. Ruangan itu memang dirancang khusus untuk bertahan dari medan magnet yang sangat kuat. Profesor Zam sendiri yang telah merancang ruang bunker itu. Ia telah
memperkirakan suatu masa depan di mana Senjata Penghancur Elektron harus ditembakkan. Ia membuat ruangan itu untuk menyimpan berbagai macam masterpiece teknologi elektronika. Masterpiece itu terlihat berserakan di seluruh ruangan besar itu, tertutup kainkain putih halus. Ranjang troli yang membawa jenazah Zam memasuki ruangan sumpek itu. Salah seorang mekanik mencari peralatan yang mungkin bisa digunakan untuk mendinginkan ruangan. Tapi mereka tak diperkenankan lagi menyertai orang-orang berpakaian serba putih itu. Orang berbaju putih yang menjadi ketua tim itu, Profesor Abdul, membuka salah satu kain penutup di pusat ruangan. Beberapa orang berbaju putih lainnya membuka kain-kain penutup yang lain. Profesor Abdul menekan satu tombol merah besar di atas meja metalik berisi ratusan tombol yang tadi ditutupi kain putih halus. Bunyi klik pelan seolah-olah mengalirkan energi luar biasa ke dalam meja penuh tombol yang tadinya seperti barang rongsokan itu. Lampu-lampu warna-warni berkerlapkerlip di sepanjang meja penuh tombol. Sesaat kemudian, ruangan itu menjadi sejuk. Lalu muncul layar hologram setinggi dua gajah Afrika saling tindih. Seketika ruang bunker besar itu pun tampak hidup. Menakjubkan. Hampir seratus tahun kemudian, Zam bangun di salah satu ranjang di Asrama Ustadz Walid. Ia baru tahu kalau ia hidup di tubuh Jala Kendolo beberapa jam kemudian. SETELAH MEMBUAT AKUN di Lokus Utama Ad-
ministrator Noval, Lembah Activic, Zam diinterogasi kembali tentang keberadaan GN12. Namun ia masih pura-pura amnesia. Sampai ia dipulangkan ke Gedung Bola dan dikembalikan ke kamar tidurnya, sebuah ruangan berbentuk aneh itu. Malam itu Zam berpikir keras di pinggir ranjang nanonya. Tiga petinggi Korporasi Zam Hasan—Doktor Khair, Profesor Abu, dan Profesor Subroto, baru saja meninggalkannya setelah sedikit mengintero-gasinya kembali. Ia masih berpura-pura amnesia. Kamu jangan beritahu siapapun, ia terbayang kata-kata Ana. Jangan sampai mesin itu jatuh ke tangan orang jahat. Aku yakin Profesor Abu bukan orang jahat. Ia melihat gadget kecil Pointer di atas meja, pemberian Doktor Khair. Ia masuk ke dalam akunnya. Setelah akses masuk diterima, ia mencari fitur pesan singkat. Ia menulis di box yang disediakan gadget itu: Profesor, saya ingin mengatakan sesuatu. Dan mengirimkannya ke akun Profesor Abu. Tak berapa lama, terdengar suara ting dari interfacer di tengah ruangan itu. Sebuah siluet muncul dari benjolan hitam interfacer, semakin besar dan semakin terang. Akhirnya siluet itu menjadi citra seseorang pria berjanggut lebat, berpakaian koko sederhana, dengan ukuran yang semakin membesar. Sudah diduga, ia avatar Profesor Abu. Konfigurasinya selesai setelah ia mencapai ukuran manusia normal. “Assalamu’alaikum, Zam.” “Wa’alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh.” “Saya ingin menceritakan apa yang saya ketahui tentang
mesin itu, Profesor.” “Sudah saya duga.” “Saya hanya pura-pura amnesia.” “Juga sudah saya duga.” “Pusat kontrol mesin itu saya sembunyikan di sebuah tempat tersembunyi di Pulau Jawa—waktu itu. Gua Danawarih. Mudah-mudahan gempa-gempa yang sering terjadi lebih menyembunyikan gua itu.” Tak berapa lama, tiga buah avatar lagi muncul dari benjolan kecil interfacer. Dua diantaranya membentuk citra Doktor Khair dan Profesor Subroto, dan satu yang tersisa, betul-betul tak disangka, bukan tuan rumah kota server yang sangat membanggakan institusinya itu, namun membentuk citra manusia yang dikenali Zam sebagai Khalifah. “Segera kirim tim ke sana, Tuan-tuan,” instruksi Khalifah, “mesin itu harus dihancurkan.” “Mesin itu hanya pengontrolnya, Tuan Khalifah,” desah Profesor Abu. “Bagaimana dengan satelit-satelit yang membawa penyakit itu?” “Kami membangun pengontrol sekaligus penghancur di mesin itu. Satelit-satelit berisi ratusan ton virus multistrain itu akan lepas dari orbit secara sentrifugal, kemudian bom waktunya akan meledak dalam sebulan. Penyakit itu akan tersembunyi di dalam ruang angkasa. Tidak perlu khawatir,” Zam menjelaskan. Ia menarik napas dalam-dalam. “Mudah sekali menghancurkannya,” lanjut Zam. “Yang tidak mudah sebenarnya adalah menumpas pikiran orangorang Mason. Mereka sedang menyusun kekuatan kembali.” “Tuan Ikhsan,” kata Khalifah, “kita terikat perjanjian
selama seratus tahun dengan mereka, kami tak bisa memerangi mereka sebelum ada bukti mereka melanggar perjanjian.” “Kalian salah telah menjalin perjanjian dengan mereka. Kami kira sejarah pembangkangan mereka atas Piagam Madinah dan komplotan busuk mereka dalam Tragedi 1949 sudah cukup membuktikan mereka tak bisa dipercaya sama sekali. Sampai kapan pun mereka tak bisa dipercaya.” Ia menjeda. “Walaupun demikian, saya akan membantu pemerintah mendapatkan bukti itu.” “Maksud Anda,” Profesor Subroto ikut serta, “Anda akan menyusup?” “Itu pekerjaan saya dari dulu.” “Anda harus masuk melalui dua teman Mason Anda,” usul Profesor Abu. “Saya mencurigai putri singgah Tuan Mustofa sebagai Harbi.” “Saya terima usul Anda, Profesor,” kata Zam. “Namun naluri saya mengatakan sebaliknya, saya justru mencurigai teman satu tim saya.” Mereka semua bergeming. “Sesungguhnya, waktulah yang akan membuk-tikan.” ZAM DAN ANA telah benar-benar terdesak di bangunan kuno berbentuk Obelisk tak begitu tinggi yang ternyata berbentuk prisma segitiga itu, yang berdiri kokoh di kompleks utama Proyek Lubang Cacing. Ana tak begitu berharap pesan yang Zam kirim sampai ke tujuannya dan bantuan segera datang. Ia tak tahu kalau gadget kecil itu Pointer, bukan gadget biasa yang selalu
tergantung jaringan Superkomputer. Yang ia tahu, Pulau Victory adalah salah satu pulau paling terisolasi di dunia, yang tak ada teknologi canggih secuil pun kecuali Mesin Porter di lobi Kantor Pusat Yayasan Anggrek Bulan, handle pintu yang menggunakan teknologi genom-printer primitif, dan wormhole yang ada di belakangnya sekarang. Mereka masih menyandarkan punggung ke salah satu sisi Obelisk itu, menyembunyikan diri dari pasukan Freaky, yang bisul di kepalanya kadang-kadang harus meletus lantaran terlalu banyak memforsir energi, yang mungkin sedang mengejarnya. “Ini pintu lubang cacing itu,” ucap Ana sambil menempelkan tangan di dinding Obelisk. “Mengarah ke tiga tempat di Planet Toosle.” “Masing-masing sisi Obelisk disambungkan ke tempattempat yang berbeda?” tanya Zam. “Tidak mungkin mengumpulkan pasukan yang sangat banyak dalam satu tempat saja bukan?” Ana balik melempar tanya, retoris. Zam mengerti. Di langit sana sedang ada mobilisasi pasukan untuk menyerang Bumi, dan Mason mengakomodasi jalur masuk mereka dari sini. Bukan main keras kepalanya mereka, tak mau hidup dengan sesama malah berhubungan dengan para makhluk yang cenderung pada kejahatan. Sekarang Zam telah terdesak bersama seorang wanita Mason yang berusaha membelot dari bangsanya. Ana memang tak suka apa yang dilakukan bangsanya beberapa millenium terakhir. Ia benci dirinya sendiri. Bahkan Alquran dan Alkitab
telah mengabadikan banyak sekali kesalahan mereka dalam sejarah. Ia tak ingin sejarah-sejarah itu berulang di abad ini. Oleh karena itu, ia membantu Zam. Ana masih mengingat tujuan awalnya datang ke proyek itu. Ia harus mencari gravicar untuk kabur sebelum ia melihat bayangan-bayangan panjang dari barisan orang di sisi tebing sebelah timur. Ketika ia akan mengajak Zam pergi dari situ, salah satu sisi Obelisk tiba-tiba berpendar. Zam dan Ana terpekik kaget bukan main. Di tengah perpendarannya ada gulungan awan badai yang sangat mengerikan. Itu mungkin yang dinamakan Ana Lubang Cacing, pikir Zam. Dan lubangnya menghadap tepat ke arah mereka berdua. “Lubang cacing telah tersambung,” kata Ana. “Pintunya telah terbuka.” Zam dan Ana tampak sangat kagum. Mereka berdua terpekur di depan sisi berpendar dan mengamatinya dengan seksama. Mereka begitu takjub sampai-sampai mereka lupa akan kehadiran pasukan berkulit hijau dengan bisul-bisul di ubun-ubunnya yang sudah mengelilingi mereka sepanjang sisi tebing. Para pasukan berbisul berjajar rapi bak akan maju berperang. Ana yang pertama menyadari kehadiran mereka buruburu mendorong Zam mendekat Obelisk kembali. “Kita sudah dikepung, Zam,” Ana melemparkan pandangan ke seluruh penjuru tebing. “Kau harus pergi dari sini, Zam.” Zam juga melihat pasukan hijau berbisul telah mengepung mereka.
“Cari ibuku di sana! Cari Linda David!” Belum sempat Zam mengucapkan sesuatu, Ana mendorong tubuh Zam lebih dalam ke sisi Obelisk berpendar, ke dalam pusaran awan yang bergulung-gulung. Dan... ZWZWZWZWZZZ…!!! Zam pun tersedot Lubang Cacing. Untungnya, ia sudah mendengar kalimat Ana: cari Linda David! Pesawat-pesawat tempur berbentuk piring muncul di latar belakang tebing, di belakang pasukan hijau berbisul yang berjajar-jajar. Sesaat Ana belum yakin itu pesawat-pesawat tempur pasukan Pemerintah Konfederasi, sebelum pasukan-pasukan berkulit hijau berbisul di sepanjang sisi tebing itu kocar-kacir ke segala penjuru. Pesawat-pesawat tempur tampak makin banyak di latar bela-kang, mendekat ke Proyek Lubang Cacing. Sekarang Ana makin yakin mereka pasukan Pemerintah Konfederasi. Itu berarti Pulau Victory telah dilumpuhkan. Menyesal sekali, ia telah mendorong Zam ke dalam Lubang Cacing. Ana bimbang hendak menyusul Zam atau berdiri saja di situ menunggu pasukan konfederasi menyelamatkannya. Sebuah ide melintas, dan ia segera memutuskan apa yang seharusnya dilakukan.