SEJARAH PERGANTIAN NAMA JALAN DI KOTA MEDAN (1900-1970)
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan O l e h
NAMA : Deni Ardian Ginting NIM
: 040706018
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
SEJARAH PERGANTIAN NAMA JALAN DI KOTA MEDAN (1900-1970)
SKRIPSI SARJANA OLEH
NAMA : Deni Ardian Gining NIM
: 040706018
Pembimbing,
Dra. Fitriaty Harahap, S.U. Nip. 131 284 309
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi SEJARAH PERGANTIAN NAMA JALAN DI KOTA MEDAN (1900-1970) Yang diajukan oleh : NAMA
: Deni Ardian Ginting
NIM
: 040706018
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh : Pembimbing,
Dra. Fitriaty Harahap, S.U.
tanggal…………………….
Ketua Departemen Sejarah,
Dra. Fitriaty Harahap, SU
tanggal…………………….
NIP. 131 284 309
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi KEHIDUPAN BURUH PERKEBUNAN DELI MAATSCHAPPIJ 1920-1942 SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O l e h NAMA : Deni Ardian Ginting NIM
: 040706018
Pembimbing,
Dra. Fitriaty Harahap, S.U. Nip. 131 284 309 Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra Dalam bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Lembar Persetujuan Ketua Jurusan
DISETUJUI OLEH :
FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DEPARTEMEN SEJARAH
Ketua Departemen,
Dra. Fitriaty Harahap, SU NIP. 131 284 309
Medan, Maret 2009
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Lembar pengesahan skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian
Diterima oleh. Panitia Ujian Fakultas Sastra Uneversitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan.
Pada
:
Hari
:
Tanggal :
Fakultas Sastra USU Dekan
Drs. Syaifuddin, M.A,. Ph.D Nip 132 098 531
Panitia Ujian.
No.
Nama
Tanda Tangan
1.
……………………………………………….
(…………………….)
2.
……………………………………………….
(…………………….)
3.
…………….....................................................
(…………………….)
4.
……………………………………………….
(…………………….)
5.
……………………………………………….
(…………………….)
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
ABSTRAK SEJARAH PERGANTIAN NAMA JALAN DI KOTA MEDAN (1900-1970) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang penetapan nama jalan di Kota Medan dan untuk mengetahui latar belakang pergantian nama jalan tersebut serta alasan pergantiannya. Dalam memperoleh data penulis menggunakan metode penelitian lapangan. Dimana penulis melakukan wawancara dan di dukung oleh studi kepustakaan. Penulisan ini merekonstruksikan masa lampau tentang pergantian nama jalan dari nama Belanda menjadi nama Indonesia. Pada masa pemerintah kolonial Belanda penamaan jalan berdasarkan nama-nama orangorang Belanda, nama tempat yang terdapat di negeri Belanda dan dari nama perkebunan milik pengusaha asing. Dari penelitian ini diperoleh data, bahwa penamaan nama jalan pada masa kolonial Belanda sebagian besar dilakukan oleh orang-orang Belanda, selebihnya oleh penduduk timur asing yaitu orang-orang Cina dan India, serta penamaan jalan yang dilakukan oleh penduduk pribumi berdasarkan kelompok etnis yang menempati wilayah tersebut. Akan tetapi setelah kemerdekaan Republik Indonesia terjadi pergantian nama jalan yang telah dibuat pada masa kolonial Belanda, dan diganti dengan nama-nama Indonesia. Nama-nama para pejuang kemerdekaan, tokoh intelektual, tokoh pers, tokoh pendidikan, budayawan dan pahlawan revolusi menjadi pengganti nama jalan tersebut.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
UCAPAN TERIMAKASIH Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan karena adanya keterbatasan. Namun penulis merasa bersyukur karena masih dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik
berkat
bantuan dan dorongan
dari berbagai pihak.
Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Kedua orang tua saya yang tercinta, Jhoni Ginting/Maryam Br. Tarigan untuk
doa,
pengorbanan membesarkan
kasih dan
sayang
dan
kesempatan
hingga
cintanya yang
membiayai
yang
telah saya
begitu
diberikan sampai
besar.
Atas
kepada
saya,
dapat
menikmati
pendidikan ke Perguruan Tinggi. Segala nasehat dan petuah yang telah ayahanda dan ibunda berikan senantiasa akan selalu saya ingat. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kesehatan, kebahagiaan dan lindungan dariNYA. 2. Bapak Drs. Syaifuddin, MA.Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra USU, Pembantu Dekan beserta seluruh staf pegawai. 3. Ibu Dra. Fitriaty Harahap, S.U selaku Ketua Departemen Sejarah serta Dra. Nurhabsyah M.Si sebagai Sekretaris Departemen Sejarah yang telah membantu saya dalam kelancaran penyelesaian skripsi ini.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
4. Dosen Pembimbing Skripsi Ibu Dra. Fitriaty Harahap, S.U yang telah memberikan nasihat, didikan, kritik, saran, dan perhatiannya yang begitu besar kepada saya selama penulisan skripsi ini. 5. Ibu Dra. Nina Karina, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik, terima kasih saya ucapkan atas segala perhatian dan nasihatnya yang telah diberikan kepada saya selama menjadi mahasiswa. 6. Kepada seluruh staf Dinas Pemerintahan, dan Arsip Daerah Sumatera Utara serta seluruh informan yang telah banyak memberikan bantuan daa selama penelitian. 7. Adik-adik saya Astina Wati Br Ginting, Okta Beri Pardian Ginting, Eva Popiana
Br.
Ginting,
Aldi
Irman
Ginting,
Alexandro
Tarigan,
terimakasih atas dukungan yang telah diberikan kepada saya hingga saya dapat menyelesaikan Skripsi ini. Khusus kepada keponakan saya Ronald Yuda Aprianta Tarigan yang telah memberikan keceriaan kepada saya terutama dalam masa sulit saat penulisan skripsi. Tuhan memberkati kalian semua. 8. Untuk keluarga besar Ginting dan Tarigan, saya ucapkan terima kasih atas masukan, nasihat dan dukungan yang diberikan kepada saya selama menjadi mahasiswa. 9.
Seluruh rekan-rekan mahasiswa sejarah, alumni, senior, serta adik-adik sejurusan terima kasih saya ucapkan atas dukungan dan perhatian yang telah kalian berikan. Sahabat-sahabatku stambuk’04, Ain, Dika, Deby,
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Ganda, Jhon, Jernita, Oriza, Oddo, Piolina, nandho, Sabet, jefri, serta Ciplex’03, Biz_bass dan kawan-kawanku yang lain terima kasih atas dukungan yang selama ini kalian berikan, smoga persahabatan kita akan terus
terjaga
selamanya….maju
terus
pantang
mundur…Bravo
sejarah……. 10. Sahabat-sahabatku muda/i ‘Arih Ersada’ terima kasih atas pengertian dan kerjasama yang kalian berikan kepada saya selama menjadi mahasiswa… 11. Ija’s Familiy, bu’ Ijah, om’olo, Icha, Budi, a’an, aka terima kasih atas dukungan dan keceriaan yang selama ini kalian berikan, smoga Tuhan memberkati kita Semua. Amin........ Akhirnya untuk semua orang-orang yang telah saya sebutkan diatas maupun yang tidak saya sebutkan, saya ucapkan banyak terima kasih. Saya doakan semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan dan karuniaNYA kepada kalian semua. Semoga skripsi ini berguna bagi kepentingan masyarakat serta bagi perkembangan penulisan sejarah. Amin’
Medan , Juli 2009 Penulis
Deni Ardian Ginting
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
DAFTAR ISI PRAKATA………………………………………………………………………….i ABSTRAK………………………………………………………………………….ii UCAPAN TERIMA KASIH…………………………………………………….iii DAFTAR ISI………………………………………………………………………V BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………………....1 1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………..7 1.3 Tujuan dan Manfaat…………………………………………………..10 1.4 Tinjauan Pustaka………………………………………………………11 1.5 Metode Penelitian……………………………………………………..12 BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN Kondisi Geografis……………………………………………………..15 Keadaan Penduduk……………………………………………………18 Latar Belakang Historis………………………………………………22 Kota Medan Sebagai Kota Perkebunan……………………………..24 BAB III PERKEMBANGAN NAMA JALAN DI KOTA MEDAN 3.1 Perkembangan Sarana Transfortasi Darat di Kota Medan………...30 3.2 Penetapan Nama Jalan Pada masa Belanda 3.2.1 Nama Belanda……………………………………………….32 3.2.2 Nama Indonesia……………………………………………..40 3.2.3 Nama Cina…………………………………………………..42 Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
3.3 Penetapan Nama Jalan Pada Masa Jepang…………………………...47 BAB IV PERUBAHAN NAMA JALAN DI KOTA MEDAN Proses Pergantian Nama Jalan di Kota Medan…………………….49 Alasan Pergantian Nama Jalan di Kota Medan……………………64 BAB V KESIMPULAN …………………………………………………………..67 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembentukan suatu kota tidak akan terlepas dari tindakan ataupun aktivitas yang dilakukan oleh manusia, karena pembentukan dan perkembangan suatu kota merupakan cerminan dari kreasi penduduk kota yang bersangkutan. Ciri suatu kota pada umumnya berawal dari suatu pemukiman penduduk yang kecil, akan tetapi mempunyai lokasi yang strategis, baik itu sebagai pusat kegiatan
pemerintahan,
perdagangan,
pertanian,
maupun
pusat
industri,
mengakibatkan kota tersebut mengalami perkembangan yang pesat. Selain itu ciri lain yang dapat dilihat dari perkembangan suatu kota adalah perkembangan populasi penduduk yang cepat, bertambah banyaknya bagunan-bangunan seperti gedung
pemerintahan,
pemukiman
penduduk,
bangunan
perkantoran,
serta
pembangunan fasilitas kota seperti sarana dan prasarana kota. Pada umumnya pembangunan prasarana kota-kota yang ada di Indonesia dimulai pada masa pemerintahan kolonial Belanda, di mana pembangunannya lebih banyak ditujukan pada bagian kota yang didiami oleh bangsa Eropa dan daerah perdagangan. Kota-kota
di
Indonesia
pada
awalnya
terbentuk
dari
usaha-usaha
kolonialisasi yang dilakukan oleh Belanda, yang kemudian memberikan warna dan ciri yang baru bagi daerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda. Salah satunya terlihat dari kebiasaan orang-orang Belanda atau bangsa Eropa pada Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
umumnya dalam melakukan politik kolonialisasinya. Sebelum memasuki dan melakukan ekspansi kesuatu daerah Belanda biasanya terlebih dahulu berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan yang ada ataupun yang sedang berkuasa di wilayah tersebut, karena akan lebih mudah menguasai suatu wilayah apabila penguasa yang ada telah ditaklukkan. Oleh karena itu dalam melakukan penjajahan di Nusantara, Belanda memang mempunyai kebiasan untuk mulai mengembangkan
kekuasaannya di
suatu
kawasan dengan
terlebih
dahulu
membangun loji atau benteng sebagai basis kekuatan dan pusat pertahannya
1
dan sering sekali di sekitar benteng kemudian muncul dan berkembang sebagai pusat kota. Sebagai contoh, perkembangan kota Batavia yang pada awalnya merupakan usaha dari Jan Piterszoon Coon untuk menguasai Sunda Kelapa dengan terlebih dahulu membagun sebuah benteng sebagai pusat kekuatan dan pertahanannya. Akan tetapi hal yang berbeda dilakukan oleh Belanda di Sumatera Timur, dimana penguasaan wilayah dilakukan secara tidak sengaja yaitu diawali oleh
pedagang-pedagang Belanda yang membuka perkebunan dan mengalami
keberhasilan dan kesuksesan diwilayah tersebut. Dilihat dari perkembangannya, sebelum datangnya pemerintah kolonial Belanda ke wilayah Sumatera Timur, khususnya ke Tanah Deli, Medan hanyalah
sebuah
perkampungan
kecil
yang
lokasinya
terletak
1
disekitar
Tim Pengumpul, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah tingkat II Medan, dalam Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, Medan 1992, Hal. 58. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
pertemuan Sungai Babura dengan Sungai Deli dan merupakan salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Deli. Masuknya pengaruh pemerintah kolonial ke Sumatera Timur
diawali oleh kedatangan Jacobus Nienhuys ke Tanah Deli
pada awal tahun 1860-an, kedatangan
Nienhuys membawa perubahan yang
sangat besar di wilayah Sumatera Timur. Dengan perkebunan tembakau yang semakin luas dan berkembang perlahan Medan berubah menjadi sebuah kota yang penting dan besar di bidang perdagangan. Ada beberapa faktor pendukung berkembangnya Medan menjadi sebuah kota yaitu : 1.
Dibukanya perkebunan tembakau di Deli oleh Jacobus Nienshuys pada tahun 1863, yang kemudian di ikuti oleh banyaknya pemodal asing yang masuk ke Sumatera Timur untuk membuka perkebunan.
2.
Adanya
pembangunan
bangunan
penting
yang
dilakukan
oleh
pemerintah kolonial di sekitar kampung Medan, seperti bangunan benteng Belanda di dekat pertemuan Sungai Babura dengan Sungai Deli tahun 1864, pembangunan gedung Deli Maatschappij pada tahun 1870, serta pembangunan sarana perniagaan seperti bangunan pertokoan dan kedai-kedai, pusat perbelanjan, perumahan, fasilitas hiburan dan lain sebagainya. 3.
Pesatnya
perkembangan
populasi
penduduk
di
Medan
sebagai
dampak dari pembukaan perkebunan di Sumatera Timur, yaitu dari buruh-buruh asing yang sengaja didatangkan oleh Belanda maupun
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
dari migrasi penduduk pribumi yang datang mengadu nasib ke Sumatera timur. Pada waktu Belanda mulai melakukan penjajahan, dalam hal ini adalah pengeksploitasian tanah menjadi lahan perkebunan di Sumatera Timur, di sekitar kawasan Medan sudah lebih dahulu terdapat beberapa perkampungan penduduk yang ditempati oleh penduduk suku Bangsa Melayu dan Karo, yaitu Kampung Aei (hilir), Kampung Tengah, Kampung Besar, Rantau Belimbing, Martubung, Kota Bangun, Cikupan Mabar, Rengas Kupan, Pulau Brayan, Gelugur, Medan Puteri, Kesawan, Tebing Tinggi, Kampung Sungai Mati, Kampung Baru, Kota Maksun, dan Kampung Sungai Kerah.
2
Kota Medan adalah pusat pemerintahan kolonial di wilayah Sumatera Timur, letaknya yang strategis kemudian membuatnya tumbuh menjadi salah satu kota baru dan menjadi sentral dari wilayah di Sumatera Timur. Selain sebagai pusat pemerintahan kolonial Belanda, Medan juga menjadi pusat administrasi perkebunan yang ada di Sumatera Timur. Hal ini semakin jelas setelah Sumatera Timur menjadi Residensi tersendiri yang tunduk kepada wewenang Residen yang ada di Bengkalis pada tahun 1873 dan pada tahun 1887 Medan yang ada di wilayah Kesultanan Deli dijadikan sebagai tempat kedudukan residen di Sumatera Timur. Sebagai kota perkebunan, di Medan banyak dibangun sarana dan prasarana untuk mendukung politik pemerintahan kolonial terutama untuk 2
Ibid. hal. 48.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
mendukung perkembangan di sektor perkebunan. Selain pembangunan gedunggedung pemerintahan, perumahan, dan kantor-kantor administrasi perkebunan, salah satu pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial adalah pembangunan prasarana seperti jaringan jalan raya. Karena fasilitas jalan raya, baik yang menghubungkan suatu kota dengan kota lain atau daerah sekitarnya maupun jaringan jalan yang menghubungkan antar bagian kota, memegang peranan
yang
perkembangan
sangat kota
penting
itu
bagi
sendiri
kelancaran
sekaligus
aktivitas
sebagai
penduduk
kerangka
dasar
dan yang
membentuk struktur kota. 3 Selain jalan-jalan yang telah ada jauh sebelum kedatangan Belanda ke Sumatera Timur, banyak pula di bangun jaringan-jaringan jalan yang baru di kota Medan. Secara umum pembangunan jalan di Kota Medan dapat dibagi menjadi tiga yaitu, pertama pembangunan jalan di pusat kota yang meliputi daerah kesultanan, perumahan-perumahan orang-orang Blenda dan ropa, serta daerah perkantoran. Kedua, jalan yang menghubungkan daerah perkebunan dengan pusat kota, dan yang ketiga adalah jalan yang menghubungkan Kota Medan dengan daerah luar. Pembangunan jalan dipusat kota yang meliputi daerah kesulatanan dibuat untuk memudahkan hubungan pemerintah kolonial dengan kaum bangsawan pribumi di kesultanan tersebut, yaitu dalam melakukan konsesi tanah dan memudahkan 3
mereka
mengontrol
kehidupan
para
sultan-sultan
R. Bintarto, Pengantar Geografi Kota, U.P Spring Yogyakarta, Hal. 61.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
melayu.
Demikian halnya juga dengan jalan yang dibangun di daerah perumahan pegawai-pegawai Belanda dan orang Eropa lainnya. Pembangunan jalan yang menghubungkan daerah perkebunan dengan pusat kota dilakukan untuk mempermudah pihak perkebunan dalam melakukan kegiatan administrasi dan penyetoran pajak perkebunan. Disisi lain jalan yang dibangun untuk menghubungkan kota Medan dengan daerah luar dilakukan untuk mempermudah pihak perkebunan dalam melakukan pengangkutan barang yang akan dibawa ke pelabuhan untuk dijual. Selain itu pembangunan jalan ini ditujukan juga untuk menghubungkan pusat kota dengan daerah perkebunan yang berada jauh dari Kota Medan karena banyak perkebunan yang terletak di luar Kota Medan. Penamaan jalan pada masa Belanda dibuat berdasarkan nama-nama Belanda
seperti
cremerweg,
Coenstraat,
Boloweg,
dan
lain
sebagainya.
Disamping itu, ada juga beberapa nama jalan yang menggunakan nama lokal, di antaranya adalah Djalan Rakyat atau sering disebut dengan Djalan Radja, Djalan Mahkomah, Mangga Laan, Baboera Weg, Kartini Laan, Padang Boelan Weg, Serdang Weg, Djalan Kenanga, Sultan Weg, Djalan Antara, dan beberapa jalan lokal lainnya. Di samping itu ada juga nama jalan yang menggunakan nama Timur asing dan biasanya nama jalan ini terdapat di daerah pemukiman orang Cina dan Tamil. Di antara nama jalan yang berbahasa Cina, adalah Canton Straat, Hakka Straat, Hongkong Straat, dan lain sebagainya, dan nama jalan yang menggunakan nama asing lainnya seperti Calcuta Straat. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Pada masa pendudukan Jepang hampir tidak ada pembangunan jaringan jalan yang baru, demikian pula dengan penamaan jalan. Jepang tidak begitu mempersoalkan pemerintahan
jalan Jepang
yang
menggunakan
berusaha
untuk
nama-nama
menghapuskan
Belanda semua
sekalipun
hal-hal
yang
berhubungan dengan Belanda. Hanya terdapat beberapa nama jalan yang diberi nama Jepang, salah satunya adalah jalan Fuzi Dori atau jalan Imam Bonjol sekarang. karena Jika di lihat pada masa pendudukan Jepang mereka lebih fokus untuk memobilisasi massa untuk membantu dalam perang menghadapi Sekutu. Pada masa Indonesia merdeka baru terjadi pergantian nama-nama jalan yang
berbahasa Belanda
dan beberapa
nama
yang
berhubungan dengan
pemerintah kolonial Belanda, dengan kata lain nama jalan yang dibuat pada masa pemerintahan kolonial
Belanda serta Pendudukan Jepang. Pergantian
nama jalan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam perjalanan sejarah Kota Medan, karena pergantian nama jalan mempunyai arti dan makna bagi masyarkat Medan. Nama-nama jalan menjadi semacam kenyataan sosial kolektif karena nama jalan di perkotaan memadukan ruang dan waktu. Nama jalan adalah waktu yang membeku di dalam kota, ia adalah bayangan dan etos kota serta melambangkan hakekatnya 4. Nama-nama jalan berbahasa Belanda dianggap akan mengingatkan kita kembali kepada masa penjajahan dan penghinaan yang
4
Peter J. M Nas, “ Tatanan Simbolik Jakarta: dari Kosmos ke Kondomonium “ dalam JHS Nomor 4, Tahun 1993. Hal. 64. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
dilakukan oleh pemerintah kolonial. Jalan yang menggunakan nama Belanda diganti dengan nama-nama Indonesia. Biasanya nama jalan yang dianggap memiliki
kenangan-kenangan
kolektif
tersebut
diganti
dengan
nama-nama
pejuang baik dalam skala nasional maupun lokal, nama daerah dan nama-nama Indonesia lainnya. Benteng Weg misalnya yang kemudian diganti menjadi Jalan Kapten Maulana Lubis, Serdang Weg menjadi Jalan Prof. h. M Yamin S.H, Canton Straat menjadi Jalan Cirebon, dan lain sebagainya. Nama jalan yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah nama-nama jalan besar pada waktu itu atau jalan vital, yang merupakan dalah satu faktor dalam perkembangan perkebunan asing. Beberapa nama jalan yang mengalami perubahan diantaranya adalah Jalan Cremer Weg yang berubah menjadi Jalan Balai Kota, Jalan Bolweg berubah menjadi Jalan komodor Laut Yos
Sudarso,
dan
Jalan
Javaris
yang
berubah
nama
menjadi
Jalan
Rachmadsjah. Ruang lingkup yang digunakan dalam penelitian ini adalah kota Medan sebagai salah satu wilayah pemerintahan kolonial Belanda di Keresidenan Sumatera Timur. Penelitian ini ingin melihat bagaimana pergantian nama jalan yaitu pergantian dari nama jalan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang menjadi nama jalan pada saat Indonesia merdeka. Selain itu penulisan tentang perubahan nama jalan di Indonesia khususnya di Kota Medan masih sangat sedikit dan bahkan belum pernah diungkapkan ke dalam sebuah tulisan. Penulisan tentang perubahan nama jalan merupakan Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
bagian dari proses sejarah kota yang penting untuk diungkapkan. Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui bagaimana keterikatan perubahan nama jalan dengan masyarakat sekitar. Hal ini dikarenakan masyarakat Sumatera Utara, khususnya Kota Medan, merupakan pusat pembauran sosiokultur sjak masa pemerintahan kolonial Belanda. Sebagaimana diketahui bahwa kekuatan ekonomi perkebunan
yang
tumbuh di Sumatera Timur
dengan produksi
tembakau yang bernilai jual tinggi menjadikan Kota Medan sebagai pusat kegiatan ekonomi baru sehingga memberikan daya tarik yang luar biasa bagi kaum
pendatang
untuk
mengadu
nasib.
Selain
itu
karena
pesatnya
perkembangan perkebunan tembakau di Deli sejak awal tahun 1860-an maka banyak didatangkan buruh dari luar Sumatera untuk bekerja diperkebunanperkebunan tersebut, akibatnya berbagai macam kelompok etnik yang datang berbaur di kota Medan.
1.2 Rumusan Masalah Periode yang diambil dalam penelitian ini adalah selama 70 tahun, dimulai dari tahun 1900 sampai dengan tahun 1970. dimulai dari tahun 1900 karena pada masa inilah puncak eksploitasi perkebunan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Sumatera Timur. Adapun tahun 1970 diambil sebagai batasan dari penelitian ini adalah karena pada masa ini merupakan awal dari pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II Medan pada masa orde
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
baru. Tahun ini juga sebelum dilakukannya pemekaran daerah di kota Medan
5
dan tentunya pada periode ini telah bnayk dilakukan pergantian nama jalan di Kota Medan. Agar pneliatian lebih terarah, perumusan masalah disusun sebagai berikut: 1. Apa latar belakang penetapan nama jalan di Kota Medan? 2. Apa alasan dan dasar pergantian nama jalan di Kota Medan? 3. Mengapa terjadi pergantian nama jalan di Kota Medan?
1.3 Tujuan dan Manfaat Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui masalah-masalah yang antara lain bertujuan: 1. Untuk mengetahui latar belakang penetapan nama jalan di Kota Medan. 2. Untuk mengetahui latar belakang pergantian nama jalan di Kota medan. 3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang yang mempengaruhi pergantian nama jalan di Kota Medan.
Sedang manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 2. Sebagai tambahan referensi bagi masyarakat umum untuk mengetahui sejarah pergantian nama jalan khususnya di Kota Medan.
5
Tim Pengumpul, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah tingkat II Medan. Loc. Cit., Hal.222. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
3. Diharapkan juga dari penelitian ini dapat menambah invetarisasi sumber sejarah kota khususnya Kota Medan.
1.4 Tinjauan Pustaka Literatur yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi kepustakan, yaitu berupa buku dan makalah yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dan dapat membantu dalam penelitian ini. Tulisan Sarkawi B. Husein, tentang makna dan perebutan simbol nama jalan di kota Surabaya, merupakan sumber yang sangat penting dalam penelitian ini, karena di dalam tulisan itu diterangkan bagaimana penamaan jalan di Surabaya banyak sekali diselubungi oleh kepentingan politik pejabat pemerintahannya.
Dalam
tulisan
ini
juga
diterangkan
bagaimana
proses
pergantian nama jalan di Kota Surabaya yang mendapat penolakan dari masyarakat, oleh karena itu melalui tulisan ini sedikit banyaknya dapat memberikan bahan perbandingan dengan proses penamaan jalan di Kota Medan. Buku yang berjudul Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia, yang disusun oleh freek Colombijn, dkk, yang merupakan hasil dari sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Buku ini mengungkapkan tentang sejarah perkotaan di Indonesia. Buku ini sangat berguna dalam penelitian ini untuk membantu Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
dalam hal pemberian informasi mengenai sejarah perkotaan di Indonesia, seperti hal-hal yang terjadi di kota-kota Indonesia baik itu sejarah, sosial budaya, dan perkembangan kota-kota tersebut sejak masa kolonial Belanda sampai pada masa Indonesia merdeka. Kemudian buku yang ditulis oleh Raldi Hendro Koestoro, dkk, yang berjudul Dimensi Keruangan Kota: Teori dan Kasus, membahas dengan lengkap bagaimana dinamika pembangunan, perkembangan dan pertumbuhan suatu kota di Indonesia. Dalam buku ini dijelaskan faktor-faktor apa saja yang mendorong
terbentuk
dan
berkembangnya
suatu
kota
dan
permasalahan-
permasalahan yang timbul didalamnya, dengan memberikan teori-teori dan contoh studi kasus yang terdapat di beberapa kota-kota di Indonesia. Salah satu permasalahan yang terdapat dalam buku tersebut adalah tentang prasarana kota yang sangat penting sebagai pendukung utama kehidupan masyarakat kota yang diantaranya adalah kebutuhan akan fasilitas jalan yang sangat penting bagi kelancaran aktivitas penduduk dan kota itu sendiri.
1.5 Metode Penelitian Metode sejarah adalah cara-cara yang digunakan untuk menguraikan dan menghadapi dokumen-dokumen sejarah 6. Dalam metode sejarah akan diberikan bagaimana cara seorang sejarawan dalam menyusun dan mengeksplorasi tulisan
6
Louis Gotschalk, Understanding Histori, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, 1985, Jakarta: UI Press, Hal. 32. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
dan sumber-sumber sejarah. Oleh karena itu langkah pertama yang dilakukan adalah
pengumpulan
sumber
atau
heuristik
yang
sesuai
dengan
objek
permasalahan yang dikaji. Penulis meyakini bahwa sumber sangat penting karena memberikan informasi tentang masa lampau, dan untuk mengumpulkan jejak-jejak masa lampau tersebut penulis menggunakan metode kepustakaan dan studi lapangan. Metode kepustakaan dalam hal ini adalah pengumpulan sumber tertulis seperti buku, arsip, dokumen, dan fakta-fakta tertilus lainnya seperti buku harian, surat-surat penting, surat kabar dan lain sebagainya. Sedangkan studi lapangan adalah dengan melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh yang masih hidup dan pernah terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam proses perubahan nama jalan seperti orang-orang dari pemerintahan atau masyarakat setempat. Kedua, adalah dengan melakukan kritik sumber yaitu untuk menyeleksi dan mengkritik data atau sumber yang sudah kita dapat, baik itu kritik yang bersifat intern maupun kritik yang bersifat ekstern, yang tujuannya adalah untuk keabsahan sumber. Katiga, adalah interpretasi data yang sudah kita seleksi agar kita dapat menyusun sebuah inti sari dan menafsirkan sumber yang telah kita kumpulkan tersebut agar menjadi fakta yang valid. Terakhir adalah melakukan historiografi yaitu proses mensintesakan, menyusun dan menceritakan
rangkaian
fakta-fakta
dalam
suatu
bentuk
tulisan
dengan
menggunakan bahasa dan istilah-istilah yang baik agar penulisan menjadi analitis ilmiah dan selaras. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN
Keberadaan Kota Medan, yang menjadi pusat wilayah pemerintahan daerah tingkat I propinsi Sumatera Utara sekarang merupakan suatu kota yang unik. Kota Medan, sejak menjadi pusat kehidupan masyarakat berupa kampung, pernah menjadi pusat kerajaan tradisional, pernah menjadi pusat keresidenan pada masa pendudukan Belanda, pada masa kemerdekaan pernah menjadi pusat Kabupaten, pusat pemerintahan Gubenur Sumatera, yang kemudian menjadi pusat pemerintahan propinsi Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara. Selain itu Kota Medan juga pernah menjadi pusat wilayah pembangunan utama kepada wilayah-wilayah yang ada di sekitarnya 7. Kota Medan terletak pada willayah yang sangat strategis, yaitu merupakan salah satu kota yang terletak langsung pada pintu gerbang dengan dunia luar. Kalau dilihat dari kependudukannya, Kota Medan mempunyai keunikan sendiri. Kota Medan merupakan pusat sosio-kultural sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Sebagaimana diketahui bahwa kekuatan ekonomi perkebunan yang tumbuh di Sumatera Utara, yang pada masa itu adalah Sumatera Timur dengan produksi tembakau yang bernilai jual tinggi menjadikan Kota Medan sebagai pusat kegiatan ekonomi baru sehingga memberikan daya tarik yang 7
Tim Pengumpul, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah tingkat II Medan, dalam Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, Medan 1992. Hal.3. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
luar biasa bagi kaum pendatang untuk mengadu nasib ke wilayah ini. Heterogenitas masyarakat yang terdapat di Sumatera Utara sedikit banyaknya mempengaruhi kondisi politik yang terjadi di wilayah tersebut.
2.1 Kondisi Geografis Secara geigrafis, Kota Medan terletak antara 2 29’ LU-2 30’ LU dan 2 47’ BT-2 30” BT dengan ketinggian 0-40 meter di atas permukaan laut. 8 Letaknya yang tidak jauh dari Selat Malaka menyebabkan suhu Kota Medan pada pagi hari berkisar 23,70 ºC-25,10 ºC, siang hari berkisar 29,20 ºC-32,90 ºC, dan pada malam hari berkisar 26 ºC-30,8 ºC. sedangkan kelembaban udara berkisar antara 68 % sampai 93 %. Sebagian wilayah Medan sangat dekat dengan wilayah laut yaitu pantai Barat Belawan, dan daerah pedalaman yang tergolong dataaran tinggi, seperti Kabupaten Karo. Akibatnya suhu di Medan menjadi tergolong panas. Temperatur udara rata-rata di Medan berkisar 23,70°C-25,10°C pada pagi hari, 29,20°C-32,90°C pada siang hari, dan 26°C-30,8°C pada malam hari. Dalam bulan-bulan paling kering di musim kemarau, curah hujan masih mencapai kira-kira 100mm/bulan. Biasanya curah hujan paling tinggi terjadi pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember tiap-tiap tahun. Sedangkan pada bulan April sampai dengan bulan Mei setiap tahun biasanya curah hujan
8
Balud Sofyan, Sejarah Pemerintahan Kota Madya Medan 1966-1992, Skripsi Belum diterbitkan, Medan : Fakultas Sastra USU, 2003. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
lebih sedikit. Angin yang umumnya berhembus melintasi kawasan Medan adalah angin laut dari Selat Malaka dan angin gunung dari dataran tinggi Karo. Pada jaman dahulu disekitar kawasan Medan, yaitu disekitar tanah Deli sering ada angin puting beliung
yang berhembus dari dataran tinggi Karo
melalui sungai Wampu dan berputar-putar di kawasan Bahorok yang dikenal dengan angin Bahorok. Biasanya angin tersebut bertiup pada musim kemarau dan sering menimbulkan kerusakan. Kota Medan pada jaman kolonial Belanda merupakan bagian dari keresidenan Sumatera Timur, yang terkenal dengan perkebunan tembakaunya. Keadaan tanah yang subur menghasilkan produksi tembakau yang bernilai jual tinggi menjadikan tanah Deli dan Kota Medan sebagai salah satu primadona perkebunan bagi para pedagang, pendatang dan para pemilik perkebunan. Pada masa pemerintah kolonial menguasai wilayah ini, telah dilakukan beberapa penelitian tentang keadaan tanah di kawasan tanah Deli atau Sumatera Timur umumnya.
Penelitian
itu
dilakukan oleh para pakar atau ilmuan untuk
kepentingan perusahaan perkebunan tambakau milik Belanda. Salah satu ilmuan yang melakukan penelitian tentang tanah di Sumatera Timur adalah Van Hissing pada tahun 1900, dari hasil penelitian itu menunjukkan bahwa tanah di Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah cokelat, dan tanah merah. Dari hasil penelitian tersebut juga diketahui letak Kota Medan di atas tanah jenis tanah liat, tanah campuran, dan tanah pasir.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Kota Medan sewaktu menjadi ibukota Keresidenan Sumatera Timur wilayahnya mencakup empat buah kampung asli Deli yaitu : 1. Kampung Petisah Hulu 2. Kampung Petisah Hilir 3. Kampung Kesawan 4. Kampung Sungai Rengas
9
Selain itu Medan dikelilingi oleh kampung-kampung lain seperti Kampung Kota Maksun, Glugur, Kampung Sungai Mati, Sungai Agul dan lain-lain yang kesemuanya termasuk bagian dari wilayah kekuasaan teritorial Kerajaan Deli. Namun seiring dengan perkembangannya
Kota Medan berbatasan dengan
daerah-daerah yang masih tergolong sebagai teritorial Sumatera Utara. Adapun batas-batas tersebut adalah : 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, yaitu Kecamatan Percut Sei Tuan, dan Tanjung Morawa. 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, yaitu Kecamatan Sunggal. 4. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Sumatera. 5. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, yaitu Kecamatan Pancur Batu dan Deli Tua. 10
9
Roestam Thaib, et, al., “ 50 Tahun Kota Penerangan Kotapraja I, 1959, Hal. 101.
Praja Medan”, Medan : Djawatan
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Luas Kota Medan sebelum dilakukannya perluasan wilayah hanya seluas 1.150 Ha, tetapi sejak tahun 1943 sampai tahun 1971 luas Kota Medan mencapai 5.130 Ha, kemudian tahun 1973 luas Kota Medan mengalami pertambahan lagi yaitu menjadi 26.510 Ha. 11
2.2 Keadaan Penduduk Kota Medan yang pada masa kolonial adalah bagian dari wilayah Sumatera Timur
adalah
kampung
halamannya
etnis
Karo,
Melayu,
dan
Simalungun. Etnis Karo dan Simalungun menempati wilayah di sekitar dataran tinggi dan orang-orang Melayu menempati wilayah pesisir. Akan tetapi setelah masuknya pengaruh kolonial Belanda, yang ditandai dengan pembukaan lahanlahan menjadi lokasi perkebunan, maka terjadi perubahan yang sangat besar dalam susunan masyarakat di Sumatera Timur tidak terkecuali kota Medan. Pesatnya perkembangan perkebuanan
pada waktu itu menyebabkan jumlah
penduduk di kawasan Sumatera Timur cepat bertambah, terutama karena banyaknya didatangkan buruh-buruh dari luar untuk bekerja di perkebunanperkebunan tembakau tersebut. Kota Medan adalah salah satu kota yang memiliki pola masyarakat yang heterogen di Indonesia. Heterogenitas penduduk Kota Medan muncul 10
Nurhamidah, dkk, Integrasi Masyarakat Etnik Cina di Kota Madya Medan (Studi Kasus di Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Barat), Medan : Lembaga Penelitian USU, tidak diterbitkan, 1992, hal. 8 11 Pemerintah Kota Medan, Profil Kota Medan, Medan : Pemerintah Kota, 2004, Hal. 38. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
karena faktor urbanisasi, yang erat kaitannya dengan usaha-usaha perkebunan yang banyak membutuhkan tenaga-tenaga kerja. Masyarakat yang didatangkan dari luar Medan, pada dasarnya dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan. Menurut Tengku Luckman Sinar, dalam tahun 1905 penduduk kota Medan berjumlah sekitar 14.250 orang. Pada tahun 1918 jumlah itu bertambah menjadi 43.826 orang, jumlah itu terus bertambah pada tahun 1920 menjadi 45.248 orang, serta jumlah penduduk kota Medan tahun 1930 menjadi 74.976 orang, dengan perincian sebagai berikut: Penduduk Kota Medan Tahun 1918 12
Kelompok Etnik
Jumlah
%
Indonesia (berbagai suku bangsa) Cina Eropa
35.009 orang
79,88
8.629 orang
18,87
409 orang
0,93
Timur Asing
139 orang
Jumlah
43.826 orang
0,32 100 %
Sumber : Sinar S. H. (1991: 58) Setelah dibentuknya Gemente Medan pada tahun 1909, maka terjadi perubahan status pada penduduk Medan. Pertama, penduduk yang berada 12
Tengku Lukman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe, Medan : Satgas MAMBI, 1991, hal. 58. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
dibawah pemerintahan kerajaan Deli dan yang kedua adalah penduduk yang berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Perbedaan status ini lebih nyata terlihat
dalam
perkembangan
kewajiban selanjutnya
penduduk
dalam
pemerintah
kolonial
membayar
pajak.
menciptakan
Dalam
tiga
macm
lingkungan pemukimam penduduk yang diskriminatif di Medan, yaitu : 1.
Eropeese Wijk, yaitu lingkungan pemukiman yang khusus ditempati oleh penduduk golongan Eropa. Penduduk pribumi dan golonga non-Eropa lainnya tidak diijinkan untuk bertempat tinggal dalam lingkungan ini.
2.
Chinesee Wijk, yaitu lingkungan pemukiman yang ditempati oleh orang-orang Cina. Selain sebagai tempat pemukiman orang Cina, juga berfungsi sebagai tempat kegiatan jual beli (perdagangan), karena
dalam
lingkungan
terssebut
terdapat
banyak
toko-toko
kepunyaan orang Cina. 3.
Lingkungan pemukiman (perkampungan) yang khusus ditempati oleh
penduduk
pribumi.
Lingkungan
tersebut
pada
umumnya
berlokasi di pinggiran kota Medan dan sebagian kecil berada dekat lingkungan pemukiman orang-orang Cina.
13
13
Tim Pengumpul, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah tingkat II Medan, Loc. Cit. Hal. 98. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Komposisi Suku-Suku Bumiputera Di Kota Medan Tahun 1930 14 Kategori Suku
Jumlah
%
Jawa
19.067
46,31
Minangkabau
5.590
13,54
Melayu
5.408
13,10
Mandailing
4.688
11,46
Sunda
1.209
2,93
Batavia/Betawi
1.118
2,71
Toba
882
1,99
Angkola
236
0,56
Karo
145
0,34
Batak lainnya
1.189
2.88
Indonesia lainnya
1.798
4,38
Jumlah
41.270
100,00
Hingga masa akhir pendudukan pemerintahan kolonial Belanda jumlah penduduk Kota Medan tidak banyak bertambah hanya berjumlah kira-kira 76.000 orang. Pada masa pendudukan Jepang terjadi peningkatan jumlah penduduk kota Medan, yaitu berjumlah kira-kira 93.000 orang. 14
Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi, Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, Jakarta: LP3S, 1998, hal. 58 Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
2.3 Latar Belakang Historis Medan pada awalnya adalah sebuah kampung kecil, yang lokasinya terletak di sekitar pertemuan Sungai Babura dan Sungai Deli serta merupakan salah satu wilayah kekuasaan dari Kesultanan Deli. Catatan tentang Kampung Medan dan
masyarakatnya tidak
banyak
diketahui sebelum dilakukannya
penelitian oleh John Anderson pada tahun 1823. 15 Menurut Anderson Medan merupakan sebuah kampung kecil yang penduduknya sekitar 200 orang dan hidup cukup makmur sebagai petani lada dan tembakau. Dari hasil penelahaan yang dilakukan oleh tim sejarah rekonstruksi Kota Medan, menghasilkan sejumlah kesimpulan tentang latar belakang historis. Kota Medan didirikan oleh Guru Patimpus yang berasal dari dataran tinggi Karo. Setelah melakukan beberapa pertimbangan tentang bersirinya Kota Medan, dapat disimpulkan bahwa kota Medan berdiri tanggal 1 Juli 1590. 16 Dengan kata lain Medan telah ada jauh sebelum Belanda memasuki wilayah ini. Belanda sendiri masuk ke
kawasan
Medan
sekitar
pertengahan abad
ke-19,
yaitu
pada waktu
kedatangan Jacobus Nienhuys ke tanah Deli pada awal tahun 1860-an. 17 Sejarah perkembangan kota Medan sendiri tidak bisa terlepas dari keadan dan kondisi di wilayah sekitarnya, yaitu dengan Kesultanan Deli yang 15
John Anderson adalah seorang sekretaris Gubernur Inggeris di Pulau Pinang yang melakukan perjalanan ke Sumatera Timur pada tahun 1823. 16 Ibid, hlm. 34. 17 Jacobus Nienhuys adalah seorang Belanda yang bertugas sebagai staf perusahaan tembakau Pieter Van den Arend and Consortium di Jawa Timur, datang ke tanah Deli untuk membuka perkebunan tembakau. Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani ; politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1947, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1985, hlm. 51. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
didirikan oleh Gocah Pahlawan, seorang panglima perang dari Kesultanan Aceh. Ia menetap dan mendirikan pemukiman baru yang merupakan cikal bakal dari Kesultanan Deli. Selain kesultanan Deli, di sekitar kawasan Medan juga terdapat beberapa Kesultanan Melayu lainnya seperti Kesultanan Serdang, Kesultanan Langkat, Kesultanan Siak dan beberapa kerajaan kecil lainnya. Jadi, Medan yang awalnya adalah sebuah perkampungan kecil banyak mendapat pengaruh dari kesultanan-kesultanan Melayu tersebut, baik itu dalam agama maupun dalam bidang kebudayaan. Setelah masuknya pengaruh kolonial Belanda yang ditandai dengan pembukaan perkebunan tembakau di wilayah Deli, kota Medan semakin berkembang
dengan pesat. Selain
karena
semakin
banyaknya pembukaan
perkebuanan di Kawasan Sumatera Timur, pemerintah kolonial Belanda juga telah
mulai
melakukan pembangunan sarana dan prasarana pemerintahan
maupun sarana untuk mendukung perkembangan industri perkebunan di wilayah ini. Seperti pembangunan gedung Deli Maatschappij pada tahun 1870, yang pembangunannya dipusatkan di Medan. Pemerintahan kolonial juga mulai menempatkan
wakil-wakil
pemerintahannya
di
perkebunan-perkebunan swasta tersebut. Lambat
Medan,
untuk
mengawasi
laun berkembang menjadi
sebuah kota yang penting bagi pemerintah kolonial, karena Medan telah menjadi pusat administrasi perkebunan dan pemerintahan di Sumatera Timur. Hal ini semakin jelas kelihatan sejak dijadikannya Sumatera Timur sebagai Residensi tersendiri yang tunduk kepada wewenang Residen yang ada di Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Bengkalis pada tahun 1873, yang dalam perkembangannya Medan yang ada di wilayah Kesultanan Deli dijadikan sebagai tempat kedudukan Residen di Sumatera Timur pada tahun 1887. Pengaruh perkebunan juga menjadi daya tarik bagi kaum pendatang untuk merantau ke tanah Deli, yaitu untuk bekerja di perkebunan tersebut. Ditambah dengan buruh-buruh yang didatangkan oleh pihak perkebunan, baik itu buruh pribumi maupun buruh yang didatangkan dari luar membuat pesatnya perkembangan populasi penduduk di Medan, sehingga menjadikan Medan sebagai kota tempat pembauran berbagai kelompok etnik.
2.4 Kota Medan sebagai Kota Perkebunan Perkembangan kota Medan tidak terlepas dari munculnya industri perkebunan di Sumatera Timur, yang di perkenalkan untuk pertama kalinya oleh
Jacobus Nienhuys pada pertengahan abad ke-19. Sejak kedatangan
Nienhuys industri tembakau mengalami perkembangan yang sangat pesat. Tercatat sejak tahun 1863 sampai tahun 1888 terdapat 148 jumlah perkebunan tembakau,
hampir
setiap
tahun
terlihat
kehadiran
penguasa-penguasa
onderneming baru. Dengan kata lain hanya dalam waktu 25 tahun daerah Sumatera Timur telah berubah menjadi kawasan perkebunan besar. Pada awalnya tanaman yang menjadi primadona setiap perkebunan adalah tembakau yaitu sejak dekade 1870-an sampai 1880-an, akan tetapi karena mutu tanah dari setiap lahan yang berbeda menjadikan para pengusaha Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
perkebunan berpikir dua kali untuk menanam jenis tanaman yang serupa pada lahan baru yang akan dibuka. Setelah mengalami penurunan kualitas dari tembakau yang dialami oleh sebagian besar pengusaha perkebunan, maka mereka mengalihkan penanaman tembakau kepada jenis tanaman lain yaitu, kopi, karet, teh dan kelapa sawit. Setelah masa penanaman industri tembakau selesai maka beberapa onderneming bersaha untuk mencari tanaman pengganti untuk
kembali
mengambil
kembali
lahan
tersebut,
seperti
onderneming
Marendal dekat Medan dan Rimbun melakukan percobaan penanaman karet atau Hevea Brasiliensis pada awal 1885.
18
Begitu juga dengan beberapa
onderneming lain yang mendapat hasil yang kurang maksimal dari industri tembakau mulai mencari tanaman alternatif lainnya. Dengan
banyaknya
pembukaan
lahan
perkebunan
yang
baru
menyebabkan membengkaknya kepentingan kegiatan peekonomian Belanda, salah satu dampaknya adalah menjadikan Medan sebagai pusat perdagangan dan
pusat
administrasi
pemerintah
kolonial.
Oleh
karena
itu
dilakukan
pengembangan pembangunan fasilitas kota seperti, pembangunan jembatan, penerangan, dan fasilitas jalan-jalan baru. Pada masa-masa selanjutnya pelaksanaan pemerintahan kolonial Belanda dan pengusahaan perkebunan-perkebunan milik pengusaha onderneming secara besar-besaran oleh orang Belanda di Deli berjalan seiring dan saling menopang. Keadaan yang demikian itu pada gilirannya cepat menumbuhkan kekuatan besar 18
Ibid. hlm. 74.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
yang
mendukung
keberhasilan
penjajahan
Belanda
di
Sumatera
Timur
umumnya, dan keadaan yang demikian itu pula sekaligus menimbulkan banyak perubahan yang sangat cepat terhadap perkembangan kampung Medan menjadi kota setelah dasawarsa tahun 1860-an. Perkembangan kota yang semakin pesat, maka pada tahun 1887 Medan diresmikan menjadi pusat Residen di wilayah Simatera Timur. 19 Sejak saat itu Medan menjadi pusat segala aktivitas yang ada di Sumatera Timur, baik pusat pemerintahan, perdagangan, maupun pusat pemukiman penduduk Beberapa pembangunan fasilitas kota yang terdapat di Medan yang menjadikan kota Medan sebagai kota industri perkebunan, Yaitu pembangunan sebuah kamar dagang Cina bernama Chineesche Handelsvereeninging oleh seorang mayor Cina, Chong Yong Hian pada tahun 1910. 20 Dua tahun kemudian
menyusul
perkumpulan
dalam
berdiri
perkumpulan
kamar
bidang
perdagangan,
pada
dagang tahun
Belanda. itu
juga
Selain berdiri
perkumpulan para pengusaha perkebunan se- Sumatera Timur. Perkumpulan itu dinamakan Algemeene Vereeneging van Rubber Planters Oostkust van Sumatera atau disingkat dengan AVROS. Pada tahun 1911 diresmikan Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan atau Gemente Warken. Dalam bidang pemerintahan tahun 1912 dilakukan untuk pertamakalinya pemilihan untuk keanggotaan Dewan kota yang sebagian besar adalah orang-orang Belanda. Dewan kota ini berjumlah 15 19
Mahadi, Hari Djadi dan Garis-garis perkembangan Sosiologi Kota Medan, Medan : Fakultas Hukum USU, 1967, hlm. 69. 20 Ibid. hlm.62 Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
orang yang bertugas mengatur segala kepentingan kota dan mengawasi jalannya pembangunan, termasuk didalamnya pembuatan parit, taman kota, dan jalan raya.
21
pada tahun itu juga kota Medan telah memiliki pasukan polisi kota
tersendiri. Pada tahun yang sama
diresmikan jalan Medan-Belawan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda. 22. Dengan peresmian jalan ini menunjukkan bahwa perkembangan jaringan jalan sangat dibutuhkan pada waktu itu sebagai penunjang perkembangan industri perkebunan yang Sumatera Timur.
Jalan menjadi sarana
semakin
transfortasi yang
bergairah di
penting karena
memudahkan para pemilik perkebunan untuk membawa hasil-hasil perkebunan mereka ke pelabuhan untuk di perdagangkan. Pada tahun 1914 bus umum yang pertama ke Tanah Karo diresmikan oleh Belanda, sehingga memudahkan bagi masyarakat Karo untuk melakukan perjalanan ke Medan. Tahun 1916 di Medan telah ada surat kabar dan majalah,
seperti
sebagainya,
23
Sarikat
yang
Islam,
Budi
Utomo,
Benih
Merdeka
dan
lain
menunjukkan bahwa kota Medan telah mengalami
perkembangan dalam bidang komunikasi. Demikian perubahan yang terjadi di Kota Medan dengan berbagai ke lengkapan fasilitas umum dan berbagai kebutuhan lainnya, sehingga sejak tahun 1918 Medan sudah memenuhi syarat untuk menjadi sebuah kota.
21
Ibid T. Luckman Sinar, Op. Cit. hlm. 62. 23 Ibid 22
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kedatangan orang-orang Belanda ke Sumatera Timur sejak akhir abad ke-19, baik untuk menjalankan pemerintahan kolonial maupun untuk membuka perkebunan, merupakan salah satu faktor penting yang mendorong perkembangan Medan menjadi kota industri. Dalam hal ini, tenaga pendorong terpenting datang dari kekuatan ekonomi yang ditumbuhkan oleh produksi perkebunan yang sejak tahun 1860-an sampai awal abad
ke-20
keuntungannya terus-menerus meningkat, terutama perkebunan
tembakau. seperti yang dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Produksi tembakau di Sumatera Timur
24
Tahun
Jumlah Produksi
Harga
1864
50 bal
f.
1865
189 bal
149 sen/pond
1866
159 bal
121 sen/pond
1870
3.114 bal
1871
82.356 bal
1872
3.992 bal
1899
259.035 bal
f. 32.875.000,-
1913
251.689 bal
f. 49.000.000,-
4.000,-
f.
500.000,-
f. 14.750.000,f.
1.000.000,-
24
M A Loderichs, et, al, Beeld Van een stad, Nederland : Asia Maior, Purmerend, November 1997, hal. 40. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Nilai ekspor Sumatera Timur Tahun
Karet
25
Tembakau Teh
Minyak
Minyak
Kelapa
Tanah
Serabut
Total Ekspor
1929
135,8
71,2
11,4
6,9
19,1
27,9
273,2
1931
31,2
32,4
9,1
14,5
21,3
8,1
128,0
1933
13,5
20,9
4,0
13,0
17,9
6,0
84,6
1935
27,3
22,0
5,4
14,4
14,8
4,7
97,0
1937
93,8
29,1
7,9
27,9
27,7
9,6
207,3
* (Dalam juta Gulden)
25
Ibid.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
BAB III Nama Jalan di Kota Medan
Perkembangan Sarana Transfortasi Darat di Kota Medan Kegiatan
perkebunan
di
Sumatera
Timur
didukung
oleh
sarana
transportasi darat, karena sebagian besar perkebunan-perkebunan yang ada terletak di daerah pedalaman. Sebelumnya sarana transportasi yang utama di Sumatera Timur adalah transportasi air yaitu pemanfaatan aliran-aliran sungai yang terdapat di kawasan ini, seperti sungai Deli dan sungai Babura yang mengintari sebagian besar wilayah Sumatera Timur khususnya Kota Medan. Akan tetapi peranan sungai sebagai sarana transportasi utama mulai menurun seiring dengan pembangunan sarana trasportasi darat. Untuk mendukung perkembangan kota Medan sebagai kota perkebunan, maka pemerintah kolonial Belanda banyak melakukan pembangunan sarana dan prasarana kota yang berhubungan dengan perkembangan industri perkebunan itu sendiri. Salah satu prasarana kota yang dibangun adalah sarana transportasi darat, melalui
pembangunan jalan raya yang tahan dengan segala cuaca. Jalan-
jalan yang menghubungkan daerah-daerah pedalaman dengan pusat kota, jalan yang menghubungkan antara satu onderneming dengan onderneming yang lain serta jalan raya besar menjadi fokus utama pemerintah kolonial Belanda. Seperti
pembangunan
jalan
raya
Medan-Belawan
yang
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
dibuat
untuk
memudahkan pengangkutan barang-barang hasil perkebunan ke pelabuhan untuk diperdagangkan. Pada awalnya pembangunan jalan di Sumatera Timur dilakukan oleh para
onderneming,
yaitu
jalan
kebun
(plantwegen)
yang
dibuat
untuk
memudahkan kegiatan usaha mereka sendiri. Jalan kebun ini biasanya membagi seluruh perkebunan, membentang dari sudut kanan ke jalan utama dan tidak terbuka secara tetap melainkan untuk sebagian waktu tertutup pepohonan, pada masing-masing jalan kebun terdapat jalur lahan di kedua belah sisinya. 26 Di sepanjang jalan kebun inilah biasanya di bangun gudang-gudang pengeringan sementara yang menerima tembakau dalam tiga musim berurutan sebelum di bongkar dan dibawa ke gudang utama untuk dijual. Setelah perkembangan industri perkebunan tembakau yang semakin pesat dan begitu juga perkembangan industri perkebunan yang lain, maka pemerintah Belanda mulai muncul dan membangun jalan-jalan yang tahan segala cuaca. Pembangunan jalan-jalan dari daerah pedalaman yang diikuti oleh pembangunan jalan raya besar yang membentang sejajar dengan pantai dari perbatasan Aceh melalui kota-kota Pangkalan Brandan, Tanjung Pura, Binjai, Medan, Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, Kisaran sampai Rantau Prapat di Labuhan Batu. Pembangunan jalan di pedalaman, seperti jalan yang menghubungkan ke Berastagi
dan
Kabanjahe
di
dataran
tinggi
Karo
serta
26
jalan
yang
Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani ; politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1947, Op. Cit. hlm. 66 Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
menghubungkan ke Simalungun dan Danau Toba yang terus ke Selatan Tapanuli dan
Sibolga
merupakan
usaha dari pemerintah
kolonial
untuk
memudahkan setiap onderneming dalam mengembangkan industri perkebunan. Dalam usaha pemerintah Belanda untuk membangun jaringan jalan-jalan yang kita kenal sekarang ini memakan waktu selama 50 tahun. 27 Seiring dengan perkembangan perkebunan dan pembangunan kota Medan yang semakin pesat dengan banyaknya pembangunan gedung-gedung dan kantor-kantor pemerintahan milik
pengusaha
perkebunan
dan
pemerintah
Belanda.
Secara
perlahan,
pembangunan jaringan-jaringan jalan dalam kota berkembang dengan pesat sebagai jalur transportasi utama di kota Medan.
Penetapan Nama Jalan Pada Masa Belanda 3.2.1 Nama Jalan Belanda Pada masa pemerintahan Belanda perkembangan kota Medan berpusat di pertemuan sungai Deli dengan Sungai Babura. Hal ini merupakan dampak dari peranan sungai yang sangat penting sebagai sarana trasportasi pada waktu itu sangat tinggi. Pembangunan-pembangunan gedung penting milik pemerintah kolonial maupun milik pengusaha perkebunan sebagian besar dibangun di sekitar kawasan itu. Dengan kata lain, perkembangan kota Medan pada waktu itu berpusat dari pertemuan kedua Sungai tersebut. Dalam perkembagannya, sungai Deli yang terletak memanjang dan membelah kota Medan menjadi 27
Ibid. hal 88
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
sangat penting peranannya karena hampir di sepanjang jalur sungai inilah banyak dibangun bangunan-bangunan fisik kota serta terkonsentrasinya lokasi pemukiman orang-orang Eropa. Di bagian timur kota Medan yang dibelah oleh Sungai Deli adalah kawasan yang paling berkembang, karna pada kawasan inilah tempat yang paling ramai dan paling sibuk pada saat itu. Karena wilayah Kota Medan yang termasuk juga didalamnya Tanah Deli, selain untuk kawasan perkantoran, hampir sebagian besar luas wilayahnya, dari 288 hektar 28 pada tahun 1874, digunakan sebagai pemukiman orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Secara umum, kalau kita lihat peta kota Medan tahun 1912, maka akan tampak beberapa lokasi-lokasi penting 29. Pertama, pusat kota di kawasan Medan Puteri (Wisma Benteng dan Lippo Land sekarang) dimana terdapat bangunan kantor Deli Maatschappij, Esplanade (lapangan merdeka sekarang), bangunan hotel, bank, bangunan stasiun kereta api, percetakan dan lainnya. Kedua di sebelah utara Kota Medan terdapat bangunan penting seperti rumah sakit Deli Mij Hospital yang terletak di jalan Laboratorium Weg (Jalan Putri Hijau sekarang), sedangkan kearah timur merupakan wilayah perniagaan dan pertokoan seperti pajak ikan lama yang terletak di jalan Peking Straat ( jalan Palangkaraya sekarang), pusat pasar (sentral), kedai panjang di jalan kesawan (
28
Tengku Luckman Sinar, Op. Cit. hal. 44. Geographical Section General Staff No. 4498, Published by War Office II/1945, koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) No. 2018/103. Lihat juga, M A Loderichs, et, al, Op Cit. hal. 98. 29
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
jalan Ahmad Yani sekarang), serta daerah pertokoan lainnya di jalan Canton Straat (jalan surabaya sekarang). Sedangkan di sebelah selatan khususnya daerah yang diapit oleh sungai Deli dan Sungai Babura merupakan daerah pemukiman orang-orang Eropa, seperti perumahan opsir-opsir Belanda yang terletak di jalan Dommein Weg (jalan Raden Saleh yang sekarang) dan perumahan golongan elite Eropa di kawasan Polonia. Sedangkan di bagian Barat kota terdapat berbagai bangunan lain seperti sekolah-sekolah Belanda. Bentuk kota yang tidak kompak dan terserak merupakan ciri utama dari kota Medan, yaitu dengan banyaknya bangunan-bangunan dan jalan-jalan yang di buat bukan berdasarkan perencanaan. Kota Medan merupakan sebuah kota yang dikelilingi oleh perkebunan-perkebunan asing, sehingga pembangunan sarana dan prasarana dibuat berdasarkan kebutuhan dari pengusaha perkebunan tersebut, begitu juga dengan pemerintah kolonial dan penguasa setempat (sultan-sultan Melayu) juga melakukan pembangunan untuk kepentingan mereka sendiri. Pola jalan di dalam kota merupakan salah satu unsur yang mewarnai struktur keruangan dari sebuah kota, karena pola jalan yang ada merupakan salah satu komponen yang paling nyata manifestasinya dalam menentukan periodesasi suatu kota.30 Pola jalan di kota Medan sampai tahun 1900-an dapat
30
Hadi Sabari Yunus, Struktur Tata Ruang Kota, Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2006,
hal.142. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
dikelompokkan
ke
dalam
tiga
pola.
Pertama,
pola
jalan
yang
tidak
direncanakan yang biasanya timbul dari akibat kegiatan ekonomi dan hubungan sosial penduduknya. Kota-kota pada awal pertumbuhannya selalu ditandai dengan sistem ini. Hal ini menunjukkan tidak adanya peraturan atau undangundang perencanaan untuk menertibkan struktur tata ruang kota.
31
Pada sistem
ini terlihat adanya ketidakteraturan sistem jalan yang baik serta terlihat pada pola jalannya yang melingkar-lingkar, lebarnya bervariasi, dan dengan cabangcabang yang banyak di setiap jalannya. Di sepanjang alur Sungai Deli ke arah Utara, Barat, dan Timur Laut dihuni oleh orang-orang Eropa. Wilayah ini adalah
tempat
pemukiman
orang-orang
Eropa,
gedung
pemerintahan dan
bangunan milik pengusaha perkebunan. Jalan-jalan utama di daerah ini adalah Kampements Weg, Cremer Weg, Demmeni Weg, Beatrix Laan, Boolweg, Padang Boelan Weg, Mangga Laan, Andrae Weg, dan lain-lain. Di sebelah selatan alur Sungai Deli dihuni oleh orang-orang Melayu. Jalan-jalan utamanya adalah Paleis Weg, Djalan Amalioen, Djalan Oetama, Djalan Radja, Djalan Poeri, Djalan Mahkomah, Djalan Kenanga, dan lain sebagainya. Sebelah timur ke arah pusat pasar dihuni oleh orang-orang Cina, dengan jalan-jalan utamanya adalah Hakka Straat, timoer Straat, Kwanteebio Straat, Bali Straat, Tjong Jong Hian Straat, Tongking Straat, Yien Sin Straat, dan jalan lainnya. 31
Ibid.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Serta sebelah barat daya pusat kota dihuni oleh orang-orang Tamil dengan jalan utamanya adalah Bombay Straat, Calcutta Straat, Hindoe Straat, Madras Straat, Napatnam Straat dan lain sebagainya. Pola
jalan
yang
kedua
adalah
yang
terletak
di antara daerah
kesultanan dengan daerah kota Medan. Pada masa eksploitasi pemerintah kolonial Belanda di Sumatera Timur terdapat dua kawasan yang letaknya berdekatan akan tetapi mempunyai perbedaan status kependudukan. Salah satu garis pembatas antara keduanya adalah terletak di Jalan Antara (Jalan Sutrisno yang sekarang), yaitu kawasan yang kita sebut sebagai Kota Medan dengan daerah kesultanan. Dengan adanya garis pemisah itu maka sebagian penduduk kampung-kampung yang terdapat di Medan mendapat status sebagai penduduk Gemente dan sebagian lagi mendapat status sebagai penduduk kerajaan yang merupakan kaula dari Kesultanan Deli. Jaringan jalan ini antara lain adalah Sultan
Weg,
Max
Havelaar
Laan,
Wilhelmina
Straat,
Djalan
Javaris,
Maleisches Straat, dan jalan lainnya. Pola jalan yang ketiga adalah daerah yang menghubungkan Kota Medan dengan daerah luar kota atau daerah perkebunan serta yang menghubungkan Medan dengan pelabuhan. Jaringan jalan di kawasan ini sengaja direncanakan untuk
kepentingan
membawa
orang-orang
hasil-hasil
Eropa,
perkebunan
ke
yaitu Medan
untuk Untuk
memudahkan
mereka
diperdagangkan
ke
pelabuhan. Jaringan jalan ini biasanya terhubung dengan jalan raya yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Seperti jalan raya Medan-Belawan yang dibuat pada Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
tahun 1912. beberapa jalan utama yang menghubungkan kawasan ini adalah Jalan Paleis Weg, Djalan Radja yang menghubungkan Medan dengan daerah Tebing Tinggi dan Kota Pinang Baroe. Salak Straat, Maasdam Straat, Serdang Weg yang menghubungkan Medan dengan daerah Tebing Tinggi dan Tanjung Balai. Padang Boelan weg, Sultan Weg yang menghubungkan Medan dengan daerah Brastagi dan Pematang Siantar. Skip Weg, Gloegoer Weg yang menghubungkan Medan dengan daerah Binjai dan Pangkalan Susu, serta jalan yang
menghubungkan
Medan
dengan
kawasan
pelabuhan
Belawan
yaitu
Pakhuis Weg, dan BoolWeg. Proses penamaan jalan-jalan di kota Medan sebagian besar adalah menggunakan nama-nama Belanda. Kalau dilihat dari peta kota Medan pada masa kolonial Belanda, maka akan dapat dilihat bahwa nama-nama jalan sampai pada saat itu banyak menggunakan nama-nama khas Belanda. Nama jalan yang menggunakan nama Belanda biasanya terdapat di kawasan elite, yaitu daerah perumahan orang-orang Belanda dan lokasi-lokasi yang menjadi pusat pemerintahan kolonial serta kantor-kantor perkebunan, kawasan pelabuhan, dan daerah pedalaman. Pada masa kolonial, penamaan jalan biasanya diikuti dengan istilah Laan, Straat, dan Weg. Hal yang sama yang dilakukan di Medan, dimana penamaan jalan yang demikian menunjukkan status kawasan itu. Itilah Laan dipakai untuk kawasan pemukiman elite Belanda, administratur perkebunan dan pejabat pemerintah. Jalan dikawasan ini terlihat asri, dilengkapi drainase yang Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
baik, di sisi kiri dan kanan diteduhi oleh rimbunan pepohonan Akasia atau Angsana. Akses keluar masuk kawasan ini terbatas pada penghuninya sehingga selalu terlihat sepi. Sedankan nama jalan yang jalan yang diikuti dengan istilah Straat dan Weg adalah kawasan di tengah kota yang ramai, secara umum hampir tidak ada perbedaannya.
32
Nama jalan Belanda ini biasanya diambil dari nama-nama yang berhubungan dengan negeri Belanda seperti Arnhemia Straat, Idenburg Straat, Petersburg Straat dan lain sebagainya yang merupakan nama daerah yang terdapat di Negeri Belanda. Ada juga nama jalan yang diberikan dari nama-nama yang terdapat dilokasi jalan tersebut, seperti Avros Laan, diambil dari singkatan Algemeene Vereeniging van Rubber Planters ter Ooskust van Sumatera yaitu perkumpulan organisasi pengusaha-pengusaha asing yang memiliki perkebunan karet di Sumatera Timur yang dibentuk pada tahun 1910. selain itu ada juga nama Controleur Straat, River laan, Lotos Laan yang merupakan nama-nama Belanda berdasarkan lokasi yang ada di sekitar jalan tersebut. Selain itu penamaan jalan pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Medan juga diambil dari nama orang yang pernah berjasa bagi negeri Belanda, seperti Nienhuys Weg yang diambil dari nama Jacobus Nienhuys, seorang
32
Nasrul Hamdani, Morfologi, “Sisi Keras” dan Orang Medan: Sejarah Kota (19301950), Medan: Buletin Historisme edisi Sejarah Kota No. 22/Tahun XI/Agustus 2006, hal 1516. Lihat juga S. Wojowasito, dalam Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, hal 359, 641 dan 792. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Belanda yang bertugas sebagai staf perusahaan tembakau Pieter van den Arend. 33 Di Sumatera Timur ia adalah seorang perintis pembukaan perkebunan tembakau,
yang
kemudian
berkembang
sangat
pesat
dan
memberikan
keuntungan besar yang tidak henti-hentinya bagi orang-orang Belanda dan negeri Belanda. Nama jalan Janssen Laan yang diambil dari nama seorang pemrakarsa pembangunan Deli Proof Station, sebuah lembaga pusat penelitian pertanian (perkebunan) penelitian
serta
laboratorium
penyakit-penyakit
Phatologi
tropis
serta
yang
berfungsi
kesehatan
sebagai
bersama
dengan
pusat van
Vollenhoven. 34 Nama Jalan Cremer
Weg, dari nama seorang Belanda J. T Cremer,
pengganti J. Nienhuys di Maskapai Deli. Ia mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan Sumatera Timur, dan seorang tokoh yang terkemuka dikalangan pengusaha Onderneming. Cremer menjadi administratur di Sumatera Timur atau manajer Maskapai Deli sejak tahun 1871 sampai tahun 1873. Ia juga pernah menjadi menteri jajahan di negeri Belanda dari tahun 1888 sampai 1923.
salah
satu
usaha
yang
dilakukan
Cremer
dalam
mengembangkan
perkebunan asing di Sumatera Timur adalah dengan memprakarsai pembentukan Persatuan Pengusaha Perkebunan Deli (Deli Planters Vereeniging) yang berdiri pada tanggal 23 April 1879 untuk mewakili pengusaha-pengusaha tembakau 33
Karl J. Pelzer, Op. Cit. hlm. 51. Tim Pengumpul, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah tingkat II Medan, Loc. Cit. Hal. 101. 34
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Sumatera Timur dalam hubungan-hubungan mereka baik dengan penguasapenguasa
swantara
(Zelfbestuurders)
maupun
dengan
pemerintah
Hindia
Belanda. Persatuan ini juga mengurusi masalah-masalah agraria, peraturanperaturan perburuhan dan pengimporan buruh.
35
dan banyak lagi nama jalan
lainnya yang menggunakan nama Belanda.
3.2.2 Nama Jalan Indonesia Satu hal yang menarik berkaitan dengan penetapan nama jalan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, yaitu terdapatnya beberapa nama-nama jalan lokal. Nama-nama jalan lokal tersebut mungkin sudah ada sebelum atau setelah kedatangan kolonial Belanda atau diberi nama pada masa eksploitasi pemerintah kolonial tersebut. Hampir separuh dari nama jalan yang ada pada masa Belanda di Medan menggunakan nama lokal, selebihnya memakai nama Belanda dan nama asing lainnya. Nama yang berhubungan dengan hewan, buah-buahan, tumbuhan, dan pohon adalah kategori yang banyak di jumpai sebagai nama jalan di Medan. Sultan adalah nama kebangsawanan dalam yang digunakan sebagai nama jalan. Sultan adalah pemimpin tertinggi (seperti raja dalam sebuah kerajaan) di dalam pemerintahan Kesultanan Melayu. Pemberian nama Sultan menjadi sebuah nama jalan disebabkan jalan ini adalah alah satu jalan utama yang menghubungkan kawasan kesultanan dengan wilayah Medan. Hal ini menunjukkan bahwa daerah Sultan yang merupakan wilayah yang 35
Karl. J Pelzer, Op. Cit. hal. 59.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
secara umum dikuasai dan diperintah oleh sultan dengan peraturan-peraturannya sendiri juga sangat bergantung terhadap fasilitas serta sarana dan prasarana kota Medan. Keadaan ini tidak terlepas dari perkembangan fisik kota Medan yang memiliki wilayah administratif yang luas, dalam artian wilayah sultan dan perkampungan-perkampungan yang ada di sekeliling Medan merupakan bagian dari pada wilayah admisnistratif kota Medan. Dengan ini kota Medan tergolong kedalam kota Over Bounded City dengan kebijakan tata ruang yang berada ditangan pemerintah kotapraja. 36 Di sepanjang jalan ini terdapat beberapa bangunan penting milik pemerintah kolonial seperti bangunan pemerintahan keresidenan, sekolah-sekolah Belanda, pemukiman Belanda serta pemukiman masyarakat kesultanan Deli. Adapun nama jalan yang menggunakan nama buah, yaitu : Djalan Doekoe, Doerian Laan, Djalan langsat, Djalan Ramboetan, Mangga Laan, Salak Straat, Djalan Semangka, Djalan Terong, Djalan Pala dan lain sebagainya. Nama hewan yang menjadi nama jalan adalah: Djalan Ajam, Djalan Angsa, Djalan Bawal, Djalan Gadjah, Djalan Harimau, Djalan Kakap, Djalan Koeda, Djalan Lemboe, Djalan Moesang, Djalan Singa, dan lain sebagainya. Nama bunga yang menjadi nama jalan yaitu: Djalan Anggrek, Djalan Dahlia, Djalan Kenanga, Djalan Melati, Djalan Meranti, dan lainnya, nama pohon yang menjadi nama jalan adalah : Djalan Bamboe, Djalan Roembia, Djati Laan, Gloegoer Weg, dan lainnya. 36
Hadi Sabari Yunus, Struktur Tata Ruang Kota, Op. Cit. hal. 112-113.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Selain
klasifikasi
di
atas,
ada
juga
beberapa
nama
jalan
yang
menggunakan nama daerah yang terdapat di Nusantara seperti : Ambon Straat, Asahan Straat, Atjeh Straat, Baboera Weg, Djalan Bakaran Batoe, Balige Straat, Bali Straat, Bangka Straat, Bengkalis Straat, Bindjei Weg, Brastagi Weg, Deli Straat, Flores Straat, Java Straat, Kabandjahe Straat, Laboehan Weg, Langsa Straat, lombok Straat, Madoera Straat, Djalan Medan, padang Boelan Weg, Palembang Straat, Pertjoet Weg, Prapat Straat, Riouw Straat, Sabang Straat, Samosir Straat, Serdang Weg, Seriboe Dolok Straat, Siak Straat, Siantar Straat, Sibolga Straat, Simeloengoen Straat, Soekamoelia Straat, Tamiang Straat, Taroetoeng Straat, Toba Straat, dan lainnya.
37
Dengan banyaknya nama-nama
jalan yang menggunakan nama Indonesia menunjukkan, bahwa pemerintah kolonial pada waktu itu memberikan tempat dalam penamaan jalan yang berhubungan dengan Indonesia dan memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk memberikan nama jalan yang sesuai dengan lokasi dan hal-hal yang paling sering menonjol dari kawasan itu.
37
Daftar nama jalan Medan tahun 1947, M A Loderichs, et, al, Op Cit. hal. 100-101.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Nama Jalan Cina Selain nama jalan yang menggunakan nama Belanda dan nama lokal, ada pula nama jalan yang menggunakan nama Cina yang dapat dijumpai dalam Peta Kota Medan tahun 1942, 1947, dan tahun 1957. nama jalan Cina biasanya dapat kita jumpai di bagian Timur kota Medan yang merupakan daerah perniagaan, pertokoan, daerah pusat pasar dan daerah pemukiman orangorang Cina, seperti di kawasan Kesawan. Hampir sebagian besar buruh-buruh Cina yang ada di Medan yang tidak bekerja lagi di daerah perkebunan beralih menjadi pedagang dengan membuka kedai-kedai dan toko-toko. Hal ini disebabkan oleh kemajuan perekonomian yang yang berkembang pesat sebagai dampak dari keberhasilan perkebunan. Nama-nama jalan Cina biasanya diambil dari nama tempat atau daerah yang terdapat di negeri Cina, seperti Annam Straat, Macau Straat, Nanking Straat, Peking Straat, Shanghai Straat, dan lainnya. Ada juga nama jalan yang dinamai dengan istilah Cina seperti Hakka Straat dimana di daerah ini banyak dihuni oleh etnis Hakka. Mereka dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan mengecilkan kaki dengan cara mengikat atau membungkus sebagai lambang status yang tidak dimiliki oleh orang Cina lainnya. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai pedagang rotan, tukang kaleng dan pengusaha toko. 38 Canton Straat, daerah ini banyak dihuni oleh kelompok Pantis yang
38
Jufrida, Masuknya Bangsa Cina ke Pantai Timur Sumatera, Medan: Buletin Historisme, edisi Budaya No. 23/ Tahun XI/ Januari 2007 .hal 27 Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
berasal dari Propinsi Kwantung yang sebagian besar dari mereka ahli sebagai tikang
besi,
perabot,
tukang
jahit,
pelacur
dan
sedikit
sebagai
buruh
perkebunan. 39 Jalan Amoy Straat, diman kebanyakan di kawasan ini dihuni oleh Amoy atau hokkian. Berasal dari propinsi Shiang Shou Fu. Mereka dikenal di Pulau Jawa dan Sumatera sebagai pedagang. 40 Nama-nama
Jalan
dikawasan
pemukiman
orang-orang
Cina
juga
didasarkan kepada apa dan siapa yang mendirikan kawasan itu, seperti Tepekong Straat yang menunjukkan adanya toapekong yaitu rumah ibadah penganut Konghucu. Kapiten Weg dan Luitenant Weg yang menurut cerita disekitar jalan itu terdapat kediaman pemimpin warga Cina yang berpangkat kapiten atau letnan. 41 Begitu pula dengan nama jalan Cong Yong Hian Straat yang dari nama seorang mayor Cina, saudara Chong A Fie, yang juga berprofesi sebagai pedagang dan telah sukses di Sumatera Timur. Ia adalah salah satu pendiri organisasi kamar dagang para pedagang-pedagang Cina di Medan, yang diberi nama Chineesche Handelsvereeniging pada tahun 1919. 42 Nama jalan Tjong A Fie Weg, dari nama seorang pengusaha dan pedagang Cina yang sukses di Sumatera Timur. Ia lahir pada tahun 1860 di sebuah desa dibagian selatan propinsi Canton. Pergi ke Deli besama dengan 39
Ibid. Ibid. hal. 28. 41 Narul Hamdani, Loc. Cit. hal. 16. 42 Tim Pengumpul, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah tingkat II Medan, Loc. Cit. Hal. 101 40
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
saudaranya Cong Yong Hian pada tahun 1975
43
dan menetap di Labuhan
Deli. Disana ia pertamakali membuka kedai yang diberi nama Ban Yun Tjong. Dengan kejeliannya dari melihat kebutuhan-kebutuhan kuli-kuli Cina dan penduduk yang berada dalam komplek perkebunan pada waktu itu, maka dalam waktu sekejap ia sudah menjadi kaya raya.
44
Cong A Fie sangat pintar dalam
membangun hubungan dengan penguasa setempat, hal ini dibuktikan dari kedekatan dan hubungan yang baik ia jalankan dengan penguasa pribumi yaitu sultan dan dengan pembesar-pembesar atau tuan-tuan kebon Belanda di daerah tempatnya tinggal, sehingga dalam waktu yang sekejap ia menjadi salah satu orang Cina yang berpengaruh di Sumatera Timur. Hal ini terlihat dari posisinya sebagai Letnan orang-orang Cina pertama dan sebagai perantara jika ada sengketa antara kepala-kepala Tjandil (Mandor) Cina dengan tuan-tuan kebon. Beberapa perkembangan
yang ia lakukan di Sumatera Timur adalah
Mendirikan Hospital Cina yang pertama di Hospital Weg yang bernama Tjie On Jie Jan, pendiri Deli Bank di Medan, mendirikan maskapai perkebunan si Bulan dan menjadi presiden pertama kamar dagang Tionghoa di Sumatera Selain itu ia juga mendirikan Tepekong pertama di Klingen Straat, mendirikan pekuburan Cina di Brayan, mendirikan bangunan untuk Persatuan Sekolah
43 44
M A Loderichs, et, al, Op Cit. hal. 26. Tengku Luckman Sinar, Op. Cit. hal. 84.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Industri yang pertama di Medan tahun 1911, gedung Leger des Heils di Medan dan Frobelschool
45
Karena sifatnya yang suka membantu, seperti memberikan bantuan bagi masyarakat Cina di Sumatera Timur maupun orang-orang cina di negerinya maka
ia
sering
mendapatkan
penghargaan
dan
posisi
yang
bagus
dari
pemerintah kolonial serta dari pemerintah kerajaan Cina. Penghargaan yang ia dapat dari pemerintah kolonial adalah pangkat Letnan yang kemudian diangkat menjadi Kapten orang Cina, Menjadi anggota Afdelingsraad, Gemente, anggota Cultuur Raad Sumatera Timur, dan menjadi Mayor bangsa Cina yaitu jabatan tertinggi untuk bangsa Cina di Medan.
46
Sedangkan penghargaan yang ia dapat
dari kerajaan dan pemerintah Republik Tiongkok adalah diangkatnya Cong A Fie menjadi bangsawan negeri Cina, mendapat bintang Kia We Chang Kelas 3 pada tahun 1916, dan kemudian diangkat menjadi penasihat republik Tiongkok. 47
hal ini menjadikan Cong A Fie diperlakukan sebagai seorang raja oleh
sebagian besar masyarakat Cina yang ada di Sumatera timur dan yang di negeri Tiongkok. Hal yang sama juga berlaku bagi kawasan yang menjadi lokasi pemukiman pendatang dari India, yang sebagian besar penamaan jalannya menggunakan nama-nama yang menjadi ciri khas India. Seperti nama jalan Calcuta Straat, Negapatam Straat, Colombo Straat, Hindoe Straat, Bombay 45
Ibid. Ibid. lihat juga M A Loderichs, et, al, Op Cit. hal. 27. 47 Ibid. hal. 85. 46
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
48
Straat, dan Madras Straat.
Yang sebagian besar dihuni oleh masyarakat dari
India.
3.3 Penetapan Nama Jalan pada Masa Jepang Pada
masa pendudukan Jepang,
Singapura,
Sumatera dan
Malaya
disatukan dalam wilayah yang disebut dengan Devisi II Imperial Guards dari Bala Tentara ke- 25 yang berpusat di Singapura. Sumatera Timur termasuk kedalam Devisi ke -2 dari Imperial Guards markas
besar
di
Medan. 49
Pemerintahan
bersama dengan Aceh dengan Sumatera timur
dipegang
oleh
GUNSEIBU (Administrator Militer) yang bertanggung jawab kepada panglima tentara ke-25 yang bermarkas di Bukittinggi. Selama
pendudukan
Jepang
yang
menjadi
prioritas
utama
adalah
kegiatan militer ataupun usaha-usaha lainnya untuk keperluan perang. Pada masa ini tercipta suatu bentuk suasana yang diliputi oleh ketegangan. Karena Jepang
selalu
berusaha
untuk
memperkuat
barisan
pertahanannya
untuk
menghadapi perang melawan sekutu. Oleh karena itu semua harta yang menjadi milik Belanda dan pengusaha perkebunan pada masa sebelumnya diambil alih oleh tentara Jepang. Segala
usaha
ataupun
tindakan
yang
dilakukan
Jepang
seperti
membentuk usaha perkebunan yang disebut Noyen Renggo Kai yang mengurus 48 49
Narul Hamdani, Loc. Cit. hal. 17. Tengku Luckman Sinar, Op. Cit. hal. 118. dan M A Loderichs, et, al, Op Cit. hal.
63. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
perkebunan dan mendirikan perusahaan Tekisan Kanri Bu merupakan segala usaha pemerintah Jepang sebagai cara mencari tambahan dana dalam persiapan perang menghadapi sekutu. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Jepang memberikan perhatian yang besar dalam memenuhi kebutuhan perang dalam bidang produksi bahan makanan, distribusi dan mobilisasi tenaga kerja. Banyak lahan-lahan perkebunan, tanah-tanah yang kosong serta lokasi dipinggir jalan ditanami oleh tanaman pangan dan jarak yang dugunakan sebagai pengganti minyak pesawat terbang.
50
dengan demikian penduduk menjadi sangat melarat
karena kebutuhan mereka seperti bahan sandang dan pangan selalu dimonopoli dan di kuasai oleh Jepang. Hal ini tercermin dari masyarakat Sumatera Timur, Khususnya kota Medan. Dalam hal perubahan nama jalan Hampir tidak ada pergantian nama jalan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang, mereka sepertinya tidak memiliki banyak waktu untuk memberikan penanda kekuasaannya. Salah satu pergantian nama jalan yang dibuat pada masa pendudukan Jepang adalah nama jalan Polonia Weg semasa pemerintahan kolonial berganti nama menjadi Fuzi Dori. Selain itu terdapat pula beberapa nama jalan yang menggunakan nama Jepang seperti Feikema Weg, Japansch Straat dan Foetsjoe Straat.
50
Ibid. hal. 122.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
BAB IV PERUBAHAN NAMA JALAN DI KOTA MEDAN
4.1 Proses Pergantian Nama Jalan di Kota Medan Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, dilakukan tindakan-tindakan untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan serta kedaulatan negara. Salah satunya adalah dengan melupakan dan menghapus kenangan-kenangan dan memori pahit yang telah lama dirasakan sewaktu masih dijajah oleh Belanda. Semua bentuk susunan kekuasaan yang dibuat pada masa kolonial diganti dengan bentuk pemerintahan yang cocok dengan Negara Republik Indonesia. Walaupun ada beberapa warisan jaman Belanda yang masih dipertahankan dan diperbaharui, seperti peninggalan arsitektur Belanda dan beberapa undangundang pemerintahan jaman Belanda. Usaha untuk menghapus kenangan pahit semasa pendudukan Belanda agak terbantu dengan masuknya tentara Jepang ke Nusantara, yaitu melalui kebijakan-kebijakan yang diambil pada masa pendudukan negeri matahari terbit tersebut yang menghapus segala hal yang berhubungan dengan Belanda, walaupun pada masa tersebut posisi Indonesia sama saja sebagai negara yang dijajah. Salah satu usaha nyata yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menasionalisasikan aset-aset Belanda yang ada di Indonesia. Gedung-gedung milik pemerintahan kolonial diambil alih dan difungsikan oleh pemerintah Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
dengan fungsi yang sama atau berbeda sesuai dengan kebutuhan negara pada waktu itu. Semangat nasionalisasi yang tinggi pada saat itu menimbulkan keinginan yang
kuat
pada
pengambilalihan,
diri
pemerintah
pergantian,
dan
dan
masyarakat
penghapusan
aset-aset
untuk
melakukan
milik
pemerintah
kolonial Belanda, tak terkecuali terhadap nama jalan.
Pegantian Nama Jalan Berbahasa Belanda Setelah melalui masa-masa sulit pada saat penjajahan dalam bentuk eksploitasi perkebunan masa kolonial dan kesengsaraan pada masa pendudukan Jepang, maka setelah kemerdekaan diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945,
rakyat Indonesia melalui tokoh-tokoh terpelajar dan para pejuang
kemerdekaan mulai sadar akan bahaya yang ditimbulkan apabila kemerdekaan yang telah di dapat diambil alih lagi oleh para negeri penjajah. Oleh karena itu dilakukan berbagai upaya dalam mengisi kemerdekaan yaitu dengan membentuk suatu pemerintahan yang berdaulat dan mengatasi segala bentuk permasalahan yang ada sepeninggalan Belanda dan Jepang. Apalagi dengan adanya usaha-usaha yang dilakukan oleh Belanda untuk kembali menguasai dan mengambil alih bekas wilayah kekuasaannya dari tentara Jepang. Pemerintah Belanda yang berada dibelakang tentara sekutu mulai melakukan usahausahanya melalui agresi militer. Pada masa inilah dituntut kerjasama para tokoh pejuang di bidang apapun mereka berada seperti agama, pendidikan, pers, Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
kaum intelektual dan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Apalagi berita proklamasi kemerdekaan Indonesia agak tersendat-sendat sampai kedaerah-daerah lain di kawasan indonesia, dikarenakan sarana komunikasi yang masih sangat sulit pada waktu itu, tak terkecuali di Kota Medan. Di Kota Medan dengan adanya issue-issue tentang berita proklamasi kemerdekaan tersebut tanpa disusul berita yang resmi, maka sebagian besar tokoh-tokoh
pejuang
menanggapinya.
Barulah
beserta satu
masyarakat bulan
setelah
tidak
ada
proklamasi
inisiatif
untuk
tepatnya
bulan
September, mulailah masyarakat dan tokoh pejuang melakukan tindakan untuk mempertahankan kemerdekaan sampai masa pengakuan kedaulatan Republik Indonesia tahun 1949. Setelah adanya pengakuan kedaulatan terhadap negara Indonesia, maka pemerintah mulai melakukan berbagai upaya untuk menghilangkan rasa sakit hati semasa pemerintahan kolonial Belanda. 51 Semangat nasionalisasi dan Indonesiaisasi sanagt tinggi pada waktu awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia. 52 Sentimen anti Belanda mulai hidup di masyarakat. Mulai dari nasionalisasi
perusahaan-peruahaan
dan
gedung-gedung
pemerintahan
milik
perkebunan asing dan Belanda. Semangat indonesiaisasi sangat tinggi yang
51
Wawancara dengan D A Buiskool, 27 Mei 2009. Nasionalisasi adalah proses dimana negara mengambil alih kepemilikan suatu perusahaan milik swasta atau asing. Apabila suatu perusahaan dinasionalisasi maka negara yang bertindak sebagai pembuat keputusan dan para pegawainya menjadi pegawai negeri, Undang-Undang Darurat Republik Indonesia tentang Nasionalisasi. 52
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
terlihat dari upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah untuk menghilangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan Belanda. 53 Hal yang sama juga terjadi terhadap nama-nama jalan di Kota Medan yang telah ada dan diberinama pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Nama-nama jalan menjadi semacam kenangan sosial kolektif karena nama jalan di perkotaan memadukan ruang dan waktu yang membeku di dalam kota, ia adalah bayangan etos kota serta melambangkan hakekatnya. 54 Nama-nama jalan berbahasa Belanda akan mengingatkan kembali kepada kita masa kesengsaraan dan penghinaan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Nama-nama jalan yang dianggap memiliki kenangan kolektif tersebut diganti menjadi nama-nama Indonesia seperti nama-nama pejuang baik dalam skala nasional maupun lokal, nama-nama tempat dan kota-kota yang ada di Indonesia, nama-nama tokohtokoh pers, intelektual, pendidikan, nama-nama tumbuhan, hewan, buah dan lain sebagainya. Nama jalan Dommenie Weg yang diberi nama pada masa kolonial Belanda diganti menjadi jalan Raden Saleh, seorang pelukis kenamaan dari Jawa dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pendidikan melukis secara modern. 55 Raden Saleh sering berkeliling Indonesia dan menggambar tipe-tipe
53 54
Loc.Cit. Peter J. M Nas, Tatanan Simbolik Jakarta: dari Kosmos ke Kondomonium. Op. Cit.
hal. 64. 55
Raden Saleh merupakan anak seorang Bupati, dengan nama lengkap Raden Saleh Syarif Bustaman. Secara kebetulan ia ditemukan oleh A. A. J Payen, pelukis Belgia yang sudah bertahun-tahun diperbantukan kepada profesor Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
orang-orang Indonesia yang disinggahinya. Selain melukis Raden Saleh juga menaruh perhatian yang sangat besar terhadap perjuangan rakyat Indonesia untuk melawan penjajahan yang dilakukan oleh Belanda. Walaupun telah mendapatkan posisi sebagai juru sungging (pelukis) di istana Kerajaan Belanda, ia
selalu
dicurigai
oleh
pemerintah
Hindia Belanda
dapat
menanamkan
pengaruh pergerakan melawan penjajah kepada masyarakat. Oleh karena itu pemerintah kolonial lalu menempatkannya di sebuah daerah terpencil sebagai mantri ukur tanah. 56 Atas jasa-jasanya pemerintah lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan secara anumerta menyerahkan Piagam Anugerah Seni sebagai perintis seni lukis di Indonesia, selain itu nama Raden Saleh juga diabadikan sebagai nama jalan di Kota Medan. Claessens Laan nama jalan pada masa Belanda, kemudian berganti nama menjadi nama Indonesia, yaitu jalan Amir Hamzah. 57 Nama Amir Hamzah merupakan salah nama lokal yang menjadi nama jalan di Kota Medan. Amir Hamzah adalah seorang penyair besar pada jaman pujangga baru. 58 Ia juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam Bahasa
Direktur Pertanian, Kesenian, dan ilmu pengetahuan untuk Jawa dan pupau-pulau sekitarnya. Ensiklopedi Indonesia,….. hal. 346 56 Ibid. 57 Dengan nama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putra, yang lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, pada 28 Februari 1911. ia adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan pujangga baru dan lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan melayu (Kesultanan Langkat) serta banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu. Amir Hamzah terbunuh dalam revolusi Sosial Sumatera Timur yang melanda pesisir Sumatera bagian timur di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Ia wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi, Tanjung Pura Langkat serta diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia. Ibid. hal. 351. 58 Ibid. hal. 351. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapatkan suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga jaman sekarang. Bontekoelaan yang berganti nama menjadi jalan H. Agus Salim. Tokoh pergerakan Indonesia yang berprofesi sebagai Seorang jurnalis yang kemudian terjun kedalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam. Peranan Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sangat besar. Diantaranya adalah sebagai anggota Volksraad (1921-1924), anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945, Menteri Muda Luar Negeri kabinet Sjahrir II tahun 1946 dan 1947, pembuka hubungan Indonesia dengan negaranegara Arab, Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin dan Hatta. 59 Banckert Laan yang berganti nama menjadi jalan Mongonsidi. Nama ini diambil dari nama seorang pahlawan nasional Indonesia Robert Wolter Mongonsidi. 60
Ia
adalah
pendiri
LAPRIS
(Laskar
Pemberontak
Yakyat
Indonesia Sulawesi) yang merupakan gabungan dari laskar-laskar bersenjata di Sulawesi Selatan. Setiap pasukan yang pemberontak yang dipimpimnya selalu mendatangkan kerugian yang besar bagi Belanda. Cremer Weg menjadi jalan Balai Kota pemberian nama jalan ini di karenakan lokasi jalan tersebut yang berdekatan dengan gedung Balai Kota.
59
Ibid. hal. 349 Mongonsidi dilahirkan di desa Malalayang, Sulawesi Utara. Anak seorang petani kelapa sederhana tetapi mempunyai cita-cita yang tinggi. Pemmimpin pasukan pelajar untuk mengusir Belanda yang diboncengi oleh NICA datang ke Sulawesi. Wafat pada 5 September 1949 karena dihukum tembak oleh Belanda. Ibid. hal. 359. 60
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Pergantian nama-nama jalan yang berbahasa Belanda dilakukan sekitar tahun 1950-an, dimana pada tahun-tahun setelah kemerdekaan sampai tahun 1950-an tersebut nasionalisme-ultra sangat kuat berkembang di setiap lapisan masyarakat Indonesia. 61 Pergantian nama jalan berbahasa Belanda terus terjadi sampai pada tahun 1960-an, seperti jalan Cremer Weg yang berganti nama menjadi jalan Balai Kota (sampai sekarang) pada tanggal 17 Januari 1950. Jalan Japaris yang berganti nama menjadi jalan Rachmadsjah (sampai sekarang) pada tanggal 17 November 1964. Jalan Kesawan yang berganti nama menjadi jalan Jenderal Ahmad yani pada tanggal 1 Maret 1966.62 Pada masa pemerintahan kolonial terdapat sekitar 100-an nama jalan yang menggunakan nama Belanda. Nama-nama jalan ini sering kita jumpai pada peta Kota Medan pada tahun 1912 sampai pada tahun 1950-an serta dalam daftar nama jalan pada tahun 1947.63
Berikut daftar nama jalan berbahasa Belanda dan perubahannya 64 :
61
Wawancara dengan Tengku Luckman Sinar, pada hari Jum’at 5 Juni 2009. Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengisi Proklamasi, Penerbit: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, 1976, hal. 787. 12.63 Geographical Section General Staff No. 4498, Published by War Office II/1945, koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) No. 2018/103. Lihat juga, M A Loderichs, et, al, Loc. Cit. hal. 98. 64 Geographical Section General Staff No. 4498, Published by War Office II/1945, koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) No. 2018/103. Lihat juga, M A Loderichs, et, al, Loc. Cit. hal. 98. Buku Tahunan Kota Besar Medan tahun 1954, hal. 211-218. Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengis Proklamasi, diterbitkan oleh: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, tahun 1976, hal. 787. Op.Cit. 62
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
TAHUN No. 1912-1947
1950-1970
1.
Andrea Weg
Jl. Getah
2.
Bontekoelaan
Jl. Haji Agus Salim
3.
Ballotstraat
Jl. Delhi
4.
Bothstraat
Jl. Mojopahit
5.
Boolweg
Jl. Komodor Laut Yos Sudarso
6.
Claessens Laan
Jl. Amir Hamzah
7.
Cremer Weg
Jl. Balai Kota
8.
Coenstraat
Jl. Gajah Mada
9.
Demmenie Weg
Jl. Raden Salaeh
10.
Daendels Straat
Jl. Hayam Wuruk
11.
Evertsen Laan
Jl. Gerilla
12.
Juliana Straat
Jl. Asia
13.
Havelaar Laan
Jl. Multatuli
14.
Krugerstraat
Jl. Bedagai
15.
Nienhuys Weg
Jl. Kesenian
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Selain nama jalan yang berbahasa Belanda, nama-nama jalan lokal yang telah ada pada masa kolonial Belanda juga mengalami perubahan nama. Seperti jalan Serdang yang berganti nama menjadi jalan Prof. H. M. Yamin, 65 Seorang penyair yang kemudian terjun kedalam bidang politik. Karir polotiknya dimulai pada saat Muhammad Yamin giat dalam gerakan-gerakan nasionalis. 66 Melalui organisasi Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya bahasa Indonesia dijadikan asas untuk sebuah bahasa bangsa. Semasa pendudukan Jepang, Yamin bertugas dengan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Sebuah oraganisasi nasionalis yang di sokong oleh pemerintah Jepang. 67 Pada saat Soekarno menjabat sebagai presiden,
Yamin
dilantik
untuk
jabatan-jabatan
yang
penting
dalam
pemerintahannya. Salah satu hal yang menarik dari pergantian nama jalan yang telah ada pada masa kolonial adalah masih dipertahankannya beberapa nama jalan yang bersifat tempat seperti sungai, kota dan gang. 68 Nama-nama jalan ini pada masa kolonial Belanda diberi nama oleh orang-orang Indonesia. Pergantian nama jalan ini dilakukan pada tahun-tahun berikutnya, yaitu pada masa Orde Baru.
65
Muhammad Yamin, lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada 24 Agustus 1903. beliu merupakan salah satu perintis puisi modern Indonesia, serta pencipta mitos yang utama kepada Presiden Soekarno. Wafat di Jakarta, 17 Oktober 1962 dan seorang pahlawan nasional Indonesia. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Loc. Cit. hal. 396. 66 Ibid. 67 Ibid. 68 Wawancara dengan Tengku Luckman Sinar, Loc. Cit. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Pergantian Nama Jalan Berbahasa Cina Selain nama jalan berbahasa Belanda, nama jalan berbahasa Cina juga mengalami penghapusan. Nama-nama Cina yang masih dapat dijumpai dalam peta tahun 1912, 1947 dan tahun 1954, mulai jarang terlihat sejak pertengahan tahun 1960-an. Hal ini dikarenakan adanya upaya untuk menghapus semua nama jalan yang berbahasa Cina. Hal ini sedikit banyaknya ditimbulkan dari rasa tidak suka masyarakat pribumi pada masa itu terhadap kegiatan dan tindakan orang-orang Cina, terutama didalam bidang ekonomi. Tidak dapat dipungkiri bahwa mulai pada masa pemerintahan kolonial Belanda, yaitu saat eksploitasi perkebunan besar-besaran sampai kepada masa kemerdekaan orangorang Cina menempati suatu posisi yang sangat penting dan strategis dalam perkembangan perekonomian di Sumatera Timur. Kedudukan mereka seakanakan lebih tinggi bila dibandingkan dengan masyarakat pribumi, karena selain sebagai buruh perkebunan mereka juga diberikan kebebasan untuk melakukan usaha lain seperti menjadi pedagang dalam mendistribusikan bahan-bahan kebutuhan pokok sehari-hari bagi penduduk Sumatera Timur. Oleh karena itu, sebagian orang-orang Cina pada waktu itu mempunyai penghasilan yang tinggi dan bahkan menjadi orang kaya baru dan mempunyai pengaruh di dalam lingkungan perkebunan, yaitu sebagai mitra para tuan-tuan kebun dalam bidang perekonomian khususnya kebutuhan pokok. Tidak jarang kaum pribumi melihat kelompok etnis Cina ini dapat memperoleh fasilitas-fasilitas tertentu sebagai
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
pedagang perantara.69 Selain itu berdasarkan berbagai pertimbangan baik yang bersifat ekonomis dan politis, pemerintah kolonial Belanda menganggap etnis Cina inilah yang paling layak untuk melaksanakan usaha-usaha dagang tersebut. Hal ini didukung dari sifat yang lebih militan untuk memperjuangkan hidupnya dan umumnya mereka memang selalu berhasil. 70 Sifat lain yang dimiliki oleh etnis Cina yang tidak disukai oleh penduduk pribumi adalah tingkah laku mereka yang masih sangat kental dalam mempertahankan budaya-budaya leluhurnya, walaupun mereka berada didaerah perantauan dan telah beberapa generasi berada di Kota Medan. Dalam kehidupan sehari-hari mereka masih tetap mempertahankan bahasa ‘ibunya’ dalam berkomunikasi sesama mereka. 71 Salah satu hal lagi yang selalu menimbulkan rasa sakit hati bagi penduduk pribumi adalah kelompok etnis Cina ini selalu mempergunakan istilah wanna untuk menyebut penduduk pribumi dalam dalam percakapan mereka seharihari. 72 Sikap dan tingkah laku yang seperti inilah yang selalu menimbulkan rasa sentimen yang tinggi kaum pribumi terhadap etnis Cina.
69
Kelompok etnis cina yang umumnya berprofesi sebagai pedagang selalu mengambil sikap politik ‘pucuk eru’ atau sikap loyal terhadap pihak yang sedang berkuasa dalam setiap periode transisi kekuasaan. Hal ini dilakukan agar kepentingannya dan kehidupannya tidak terganggu, Tim Pengumpul, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah tingkat II Medan, Op. Cit. Hal. 179 70 Hal yang berbeda dialami oleh kelompok etnis Cina di Kota Medan pada masa pendudukan tentara Jepang. Karena penguasa Jepang pada saat itu sesuai dengan kebijaksanaan politik yang dijalankannya, tidak banyak memberikan kesempatan terhadap aktifitas dalam bidang perdagangan dan pertanian. Ditambah lagi sikap kurang simpatik para penguasa Jepang terhadap etnis Cina karena permasalahan perang Tiongkok diantara kedua bangsa yang masih berkecamuk pada waktu itu. Ibid. 71 .Ibid. Hal. 178. 72 Istilah “ wanna’’ ungkapan yang diberikan kelompok etnis Cina untuk menyebut penduduk pribumi yang mempunyai pengertian primitif atau orang-orang yang terbelakang. Ibid. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Sangat kontras dengan kehidupan masyarakat pribumi yang hanya hampir seluruhnya bekerja sebagai buruh di perkebunan asing tersebut dengan penghasilan yang sangat rendah. Sehingga dalam pandangan penduduk pribumi, kelompok etnis Cina tersebut tidak sepantasnya bertindak secara eksklusif mengingat mereka adalah kaum pendatang dan telah tinggal beberapa generasi di Kota Medan. Hal inilah yang menimbilkan rasa iri dan tidak senang pada diri masyarakat pribumi. Apalagi setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, kaum pribumi kembali merasa sebagai tuan rumah di negerinya sendiri. Mereka berusaha
untuk
mengembangkan
membatasi usahanya.
ruang Oleh
gerak
karena
itu,
orang-orang dalam
Cina
perjuangan
dalam untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia banyak kaum partisan pejuang yang melampiaskan rasa sakit hatinya terhadap kelompok etnis Cina tersebut.73 Rasa benci ini semakin lama bertambah tinggi, dan puncaknya adalah pada saat dikeluarkannya Peraturan Pemerintah pada tahun 1959 yang mengatur tentang larangan orang asing berusaha untuk berdagang di bidang eceran mulai dari tingkat kabupaten ke bawah. Dalam aturan ini juga dijelaskan bahwa sebagai pengganti pedagang-pedagang di bidang eceran tersebut diambil alih oleh warga
73
Sering terjadi aksi perkelahian yang dilakukan oleh beberapa kelompok kaum pribumi dengan Kelompok etnis Cina, baik secara individu maupun secara massal. Wawancara dengan D A Buiskool, Loc. Cit. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
negara Indonesia. 74 Hal ini merupakan wujud dari perjanjian persetujuan yang ditanda tangani oleh pemerintah Belanda dengan Indonesia dalam konferensi Meja
Bundar,
berisi
tentang
kewenagan
pemerintah
indonesia
untuk
mengeluarkan peraturan yang melindungi kepentingan nasional dan golongan ekonomi lemah. Pemerintah Indonesia meyakini bahwa setelah kemerdekaan penduduk pribumi tidak akan mungkin dapat bersaing dengan pedagang etnis Cina,
karena
sangat
sedikit
sekali
terdapat
orang-orang
Indonesia
yang
berpengalaman dan dan mempunyai keahlian yang terlatih, ditambah lagi kaum pribumi pun tidak memiliki modal yang kuat dan nyaris tidak mungkin bersaing dengan perusahaan asing dan Tionghoa. 75 Dampak lain dari kecemburuan ini adalah terjadinya sentimen etnis yang mengakibatkan banyak orang-orang Cina yang dianiaya, barang-barang milik mereka diambil secara paksa dan bahkan di bunuh. Hal
yang
sama
juga
dilakukan
76
terhadap
nama-nama
jalan
yang
menggunakan nama Cina. Semua nama jalan yang berbahasa Cina diganti menjadi nama Indonesia. Dari sekitar 20 nama jalan berbahasa Cina yang
74
Peraturan Presiden Republik Indonesia No.10 Tentang Larangan bagi Usaha Perdagangan Kecil dan Eceran yang Bersifat Asing Diluar Ibukota Daerah Swatantra Tingkat I dan II serta Keresidenan, Penerbitan Khusus,81, Djakarta : Departemen Penerangan Republik Indonesia, tahun 1959. 75 Nasionalisme Berakhir Buntung, Majalah Tempo edisi 13-19 Agustus 2007, hal.8889. 76 Wawancara dengan D A Buiskool, Ibid. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
terdapat di Kota Medan pada tahun 1912
77
diganti menjadi nama-nama yang
berbau Indonesia seperti nama-nama tempat dan nama-nama kota yang terdapat di Indonesia.
Berikut dafar nama-nama jalan berbahasa Cina dan perubahannya 78: TAHUN No. Tahun 1912-1947
1957-sekarang
1.
Amoy Straat
Jl. Natal
2.
Annam Straat
Jl. Panjang
3.
Canton Straat
Jl. Surabaya
4.
Hakka Straat
Jl. Letjend M.T Haryono
5.
Hankou Straat
Jl. Sambas
6.
Hokkian Straat
Jl. Andalas
7.
Hongkong Straat
Jl. Cirebon
8.
Jang Kin Hian Straat
Jl. Sidempuan
9.
Kiautsjau Straat
Jl. Banjarmasin
77
Geographical Section General Staff No. 4498, Published by War Office II/1945, koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) No. 2018/103. Lihat juga, M A Loderichs, et, al,Op. Cit. hal. 98. 78 Geographical Section General Staff No. 4498, Published by War Office II/1945, koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) No. 2018/103. Lihat juga, M A Loderichs, et, al, Loc. Cit. hal. 98. Buku Tahunan Kota Besar Medan tahun 1954, hal. 211-218. Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengis Proklamasi, diterbitkan oleh: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, tahun 1976, hal. 787. Op.Cit.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
10.
Macau Straat
Jl. Garut
11.
Nangking Straat
Jl. Amuntai
12.
Peking Straat
Jl. Palangkaraya
13.
Shanghai Straat
Jl. Semarang
14.
Tepekong Straat
Jl. A. Yani 5
15.
Tientsin Straat
Jl. Samarinda
16.
Tjong A Fie Weg
Jl. Cakra
17.
Tjong Jong Hian Straat
Jl. Bogor
18.
Tongkong Straat
Jl. Kapuas Dalam
19.
Yankin Straat
-
20.
Taipoe Straat
Jl. Barus
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
4.2 Alasan Pergantian Nama Jalan di Kota Medan
Setelah melalui masa-masa yang sulit pada saat mempertahankan kemerdekaan yang berakhir di meja hijau Konferensi Meja Bundar, maka sejak saat itu negara Indonesia telah sah menjadi negara yang berdaulat dan bebas menentukan arah perjalanan bangsanya. Semua hal-hal yang berhubungan dengan Belanda berusaha dihilangkan dan diganti dengan hal yang baru, karena diyakini akan mengingatkan kembali pada masa-masa pahit yang telah dialami dalam jangka waktu yang lama. Dimulai dari kebijaksanaan pemerintah menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing. Dengan tujuan untuk mengatasi kondisi ekonomi Indonesia yang masih lemah dan diambang kehancuran, pemerintah
berusaha
untuk
memanfaatkan
aset-aset
Belanda
yang
masih
tertinggal dan berada di Indonesia. Di tingkat lokal semangat nasionalisme juga berkembang pesat. Seperti yang
terjadi
di
Sumatera
Timur,
dalam
tahun-tahun
awal
Indonesia. Pada kurun waktu ini ketegangan terjadi antara
kemerdekaan
kaum nasionalis
dengan kelompok feodal yang berusaha menyambut peralihan kekuasaan dari tangan Jepang kembali ketangan pemerintah kolonial Belanda. 79 Namun dengan semangat nasionalisme yang begitu tinggi maka segala usaha-usaha kaum feodal dapat dihentikan. Puncaknya adalah pada saat kaum nasionalis dan Front
79
Usman Pelly, Sejarah Sosial Kodaya Medan, Direktur Jenderal Kebudayaan, Jakarta: Januari 1984. hal. 77. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Rakyat merasa perlu untuk mengambil suatu tindakan tegas terhadap kelompok feodal. Pada tanggal 3 maret 1946 meletuslah revolusi sosial Sumatera Timur dibawah komando Front Rakyat dengan tujuan utamanya adalah wilayah kesultanan-kesultanan Melayu yang selama masa kolonial mendapatkan posisi yang kuat sebagai penguasa wilayah Sumatera Timur. Dengan kejadian-kejadian tersebut dapat dikatakan wilayah Sumatera Timur yang di dalamnya adalah Kota
Medan
merupakan
salah
satu
daerah
yang
memiliki
semangat
nasionalisme yang tinggi. 80 Hal ini dibuktikan dari semangat anti Belanda yang sangat besar berkembang di masyarakat. Seperti kasus perubahan nama jalan yang terjadi di Surabaya, Alasan utama pergantian nama jalan di Kota Medan adalah di dorong oleh semangat nasionalisasi dan Indonesiaisasi yang tinggi tumbuh di masyarakat. Setelah menutup segala bentuk tindakan untuk menyambut kedatangan Belanda, maka untuk
selanjutnya
adalah
menghilangkan
semua
bentuk
kenangan
yang
berhubungan dengan Belanda. Salah satunya adalah pergantian nama jalan berbahasa Belanda menjadi nama Indonesia. Nama-nama jalan berbahasa Belanda tersebut dianggap warisan kolonial yang
harus dilupakan. 81
80 81
Walaupun Indonesia
telah
merdeka
Wawancara dengan…………. Wawancara dengan………….
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
akan tetapi
keberadaan nama jalan Belanda tersebut akan selalu memberikan kenangan pahit yang sangat sulit untuk dilupakan.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
BAB V KESIMPULAN
Perkembangan perkebunan memberi arti yang penting dalam sistem perekonomian
di
Sumatera
Timur.
Sistemperekonomian
yang
membawa
pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat. Pesatnya perkembangan perkebunan ini dikarenakan akan kebutuhan ekspor hasil-hasil perkebunan, seperti tembakau dan karet. Perkembangan perkebunan membuat semakin ramainya Kota Medan, prasarana
kota
infrastruktur
yang
sehingga memadai.
membutuhkan pembangunan sarana dan Oleh
karena
itu
dibangunlah
berbagai
yang mendukung seperti rumah sakit, hotel, gedung-gedung
pemerintahan dan perkebunan serta pembangunan jaringan jalan. Pada awalnya pembangunan jalan dilakukan oleh pengusaha-pengusaha perkebunan, akan tetapi setelah perkembangan perkebunan yang semakin pesat pemerintah kolonial mulai memberikan perhatian dalam pembuatan jalan-jalan baru dan perawatannya. Begitu juga dengan penamaan jalan di Kota Medan, sebagian besar beri nama oleh pemerintah kolonial dan para pengusaha perkebunan. Nama-nama jlan yang dibuat juga berdasarkan nama-nama Belanda seperti nama ratu negeri Belanda, nama tempat di Belanda, nama-nama tokoh Belanda dan dari namanama perkebunan milik mereka. Pada umumnya jalan yang menggunakan nama Belanda ini terdapat di daerah pusat kota seperti daerah pemukiman orang Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Eropa, daerah perkantoran, hotel dan kantor pemerintahan pemerintah Belanda Namun demikian ada juga terdapat nama-nama jalan lokal di Medan. Pada umumnya jalan ini terdapat didaerah pemukiman orang-orang pribumi di pinggiran kota. Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, terdapat segresi etnik yang tercrmin dengan nama jalan di Medan. Karena penamaan nama jalan di Medan dinamai dengan nama lokal sesuai dengan kelompok masyarakat pribumi yang tinggal di kawasan itu. Selain itu nama jalan yang berbahasa Cina dan India dapat kita jumpai di Medan. Nama Cina pada umumnya terdapat di kawasan perdagangan dalam kota. Karena pada masa kolonial sebagian besar masyarakat etnis Cina bekarja dalam sektor ekonomi, yaitu sebagai pedagang. Sedangkan nama jalan India tedapat di kawasan pemukiman etnis India. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia di proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan baru diproklamirkan pada tanggal 30 September 1945 di Medan, terjadi suatu proses dimana semangat anti Belanda yang sejak lama sudah ditanamkan oleh para tokoh intelektual kita semakin tinggi. Dengan semangat nasionalisme yang tiinggi tersebut maka dilakukan nasionalisasi terhadap segala peninggalan pemerintah kolonial Balanda di Medan, termasuk juga nama jalan. Nama-nama jalan asing seperti nama jalan berbahasa Belanda, Cina, dan India dihapus dan digantikan dengan nama-nama Indonesia. Namanama pahlawan kemerdekaan, tokoh-tokoh pers, intelektual, pendidikan, dan nama pahlawan revolusi menjadi pengganti nama-nama jalan asing tersebut. Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Bintarto R, Pengantar Geografi Kota, U. P. Sring Yogyakarta, 1997. Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengisi Proklamasi, Medan-Indonesia: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia, 1976. Buku Tahunan Kota Besar Medan, Djawatan Penerangan Kota Besar Medan, 1954. Colombijn, Freek dan Martine Barwegen, dkk, Kota Lama Kota Baru Sejarah Kota-Kota di Indonesia Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan, Yogyakarta: Ombak, 2005. Daldjoeni,
Seluk Beluk Masyarakat Bandung: Alumni, 1982.
Kota
(Pusparagam
Sosiologi
Kota),
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta : UI Press, 1985. Husain B. Sarkawi, Sungai dan Perkembangan Kota di Indonesia pada masa Kolonial, dalam mozaik, Jurnal Kebudayaan dan Pemasyarakatan, vol. I, No. 2, Juli-Desember 2003. Kartidirdjo, Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Suatu Alternatif, Jakarta: PT. Gramedia, 1982 --------------- Pendekatan Ilmu Sosial dalam Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Metodologi
Sejarah,
Indonsia,
Jakarta:
Koestoro, Raldi H, Penyunting, Dimensi Keruangan Kota: Teori dan Kasus, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2001. Kuntowojoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994. Loderichs, M A, et, al, Beeld Van een stad, Nederland : Asia Maior, Purmerend: November 1997.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Mahadi, Hari Djadi dan Garis-garis perkembangan Sosiologi Kota Medan, Medan : Fakultas Hukum USU, 1967. Nas, J. M. Peter, Tatanan Simbolik Jakarta: dari Kosmos ke Kondomonium, dalam JHS No. 4, 1993. Pelly, Usman, Sejarah Sosial Kodaya Medan, Direktur Jenderal Kebudayaan, Jakarta: Januari 1984. ------------------ Urbanisasi dan Adaptasi, Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, Jakarta: LP3S, 1998. Pelzer, Karl J., Toean Keboen dan Petani ; Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1947, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1985. Pemerintah Kota Medan, Profil Kota Medan, Medan: Pemerintah Kota Medan, 2004. --------------- 412 Tahun Kota Medan: 1 Juli 1590-1 Juli 2002, Medan: Humas Sekda Kota Medan, 2002. Sinar, Tengku Lukman, Sejarah Medan Tempo Doeloe, Medan : Satgas MAMBI, 1991. Thaib, Roestam, et, al., “ 50 Tahun Kota Praja Medan”, Medan : Djawatan Penerangan Kotapraja I, 1959. Yunus, Hadi Sabari, Struktur Tata Ruang Kota, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Wojowasito. S, dalam Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003. Weber, Max, Apakah yang Disebut Kota? (dalam: Sartono Kartodirdjo, ed : Masyarakat Kuno dan Kelompok-Kelompok Sosial), Bharata Karya Aksara, Jakarta, 1977.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Arsip Geographical Section General Staff No. 4498, Published by War Office II/1945, koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) No. 2018/103. Peraturan Presiden Republik Indonesia No.10 Tentang Larangan bagi Usaha Perdagangan Kecil dan Eceran yang Bersifat Asing Diluar Ibukota Daerah Swatantra Tingkat I dan II serta Keresidenan, Penerbitan Khusus,81, Djakarta : Departemen Penerangan Republik Indonesia, tahun 1959.
Artikel Sofyan, Balud, Sejarah Pemerintahan Kota Madya Medan 1966-1992, Skripsi Belum diterbitkan, Medan : Fakultas Sastra USU. Nurhamidah, dkk, Integrasi Masyarakat Etnik Cina di Kota Madya Medan (Studi Kasus di Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Barat), Medan : Lembaga Penelitian USU, tidak diterbitkan, 1992. Hamdani,
Nasrul, Morfologi, “Sisi Keras” dan Orang Medan: Sejarah Kota (1930-1950), Medan: Buletin Historisme edisi Sejarah Kota No. 22/Tahun XI/Agustus 2006, hal 15-16.
Jufrida,
Masuknya Bangsa Cina ke Pantai Timur Sumatera, Medan: Buletin Historisme, edisi Budaya No. 23/ Tahun XI/ Januari 2007.
Nasionalisme Berakhir Buntung, Majalah Tempo edisi 13-19 Agustus 2007.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.
Deni Ardian Ginting : Sejarah Pergantian Nama Jalan Di Kota Medan (1900-1970), 2010.