Rombongan Tim Sabang-Merauke MPR Tiba di UNAIR UNAIR NEWS – Tim Safari Kebangsaan Merajut Kebinekaan atau yang disingkat Sabang – Merauke Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) tiba di Universitas Airlangga, Kamis (12/5). Tim Sabang – Merauke hadir untuk mensosialisasikan empat pilar berbangsa di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen UNAIR. Sosialisasi tersebut dihadiri oleh Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dan Rektor UNAIR Prof. Dr. M. Nasih, S.E., M.T., Ak, sebagai pembicara. Ratusan mahasiswa UNAIR dari berbagai jurusan turut meramaikan acara sosialisasi tersebut. Ketua MPR RI menyampaikan bahwa kondisi demokrasi di Indonesia sudah semakin membaik, meski ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Ia menilai bahwa nilai demokrasi mudah dimengerti oleh masyarakat. Namun, internalisasi nilai kebangsaan masih perlu ditanamkan dalam hal substansi dan etika. Agar internalisasi nilai-nilai kebangsaan berproses secara optimal, Zulkifli mengatakan bahwa pemerintah perlu menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN ini berfungsi sebagai peta pemerintah dalam melanjutkan pembangunan di Indonesia. “Kita memerlukan haluan negara untuk mengatur kehidupan bernegara kita selama 20 hingga 50 tahun mendatang,” jelasnya. Senada dengan Ketua MPR RI, Wali Kota Surabaya juga menegaskan pentingnya konsistensi pembangunan. Konsistensi itu patut dijaga agar pergantian pejabat pemerintah tidak turut mempengaruhi pembangunan yang berjalan.
Risma juga bercerita bahwa komponen kepala dinas yang dipimpinnya berasal dari daerah-daerah yang berbeda di Indonesia. “Kepedulian kita untuk orang lain inilah yang menjadi modal untuk menjadi bangsa yang besar,” jelas Risma. Sebagai tuan rumah, Rektor UNAIR menyampaikan gagasan empat pilar sebagai tata nilai ekonomi. Guru Besar FEB UNAIR tersebut juga menegaskan bahwa praktik penerapan empat pilar juga dilaksanakan di kampus UNAIR, mulai dari mahasiswa, pegawai, karyawan, hingga jajaran pemangku kebijakan. “Prinsip ekonomi untuk kesejahteraan umum ini akan terwujud jika berkelanjutan, inklusif, dan adil. Itu yang kami terapkan di UNAIR.” pungkasnya. (*) Penulis : Nuri Hermawan Editor
: Defrina Sukma S.
Tunda Kelulusan demi Mawapres Nasional
Jadi
UNAIR NEWS – Menjadi mahasiswa berprestasi (mawapres) tingkat universitas merupakan kebanggaan tersendiri bagi Amal Arifi Hidayat. Amal ditetapkan sebagai mawapres pada bulan Oktober tahun 2015 lalu dengan IPK 3.64. Pada awal bulan Juni tahun 2016, Amal akan berlaga di ajang mawapres tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti). Amal tak hanya sekali menjajal ajang mawapres di UNAIR. Mahasiswa program studi S-1 Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, UNAIR itu pernah mengikuti mawapres pada semester tiga dan berhasil menjadi juara I tingkat fakultas. Pada
semester lima, ia dinobatkan menjadi juara II mawapres tingkat universitas. Pada semester tujuh, ia berhasil meraih juara I mawapres tingkat UNAIR dan akan mengikuti kompetisi mawapres tingkat nasional. Meski sudah berkali-kali mengikuti ajang mawapres di kampus, ia mengaku tak pernah terobsesi dengan predikat bergengsi mahasiswa UNAIR itu. Namun, ketika ia berhasil menjadi mawapres, bagi Amal, merupakan sebuah pengalaman yang tak ternilai. “Menurut saya, mawapres bukan seperti ajang kompetisikompetisi lainnya. Mawapres merupakan bentuk apresiasi dan bonus karena dalam proses seleksi harus mempertimbangkan prestasi-prestasi lain yang pernah diraih. Menjadi mawapres bukanlah suatu obsesi, tapi ini merupakan pengalaman yang tak ternilai. Saya ingin membuat UNAIR jadi lebih maju dan bisa menginspirasi banyak orang,” tutur Amal. Kini, Amal sedang mempersiapkan diri dan karya ilmiah untuk menghadapi mawapres dari kampus-kampus lain. Tema karya ilmiah yang ditetapkan oleh Dikti dalam ajang mawapres tahun 2016 ini adalah ‘Inovasi untuk Daya Saing Bangsa’. Amal memiliki gagasan untuk membuat sejenis kuman yang bisa menyerang kumankuman tubuh yang resisten terhadap antibiotik. Menurut
pengalaman
akademis
dan
kerja
Amal
di
bidang
kesehatan, tak sedikit pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo berada dalam keadaan kebal terhadap antibiotik. Hal ini menyulitkan tenaga medis dalam memberikan perawatan yang optimal terhadap pasien, mengingat perkembangan penemuan antibiotik berjalan lebih lambat daripada perkembangan kuman yang mengalami resistensi. Bila ini terus terjadi, kondisi demikian akan berimbas pada produktivitas masyarakat dan perekonomian negara. “Ada sebuah bakteri, sebut saja dengan nama bakteri zombie. Bakteri ini bisa memakan bakteri-bakteri lain. Saya
memaksimalkan kemampuan bakteri ini dengan mengubah komponen genetiknya sehingga bakteri itu bisa melawan bakteri-bakteri yang resisten,” ujar lelaki kelahiran 26 Desember 1996. Selain mempersiapkan karya tulis, ia juga sedang membuat sebuah video klip yang menggambarkan tentang gagasan yang ia tuangkan dalam karya tulis. Jadi dokter Tak sedikit anak kecil yang menjawab ingin jadi dokter ketika ditanya soal cita-cita. Begitu pula Amal. Ketika ia ditanya, Amal memang bercita-cita menjadi dokter sejak menjalani studi di bangku sekolah dasar. Bagi Amal, profesi dokter ibarat menyelam sambil minum air. “Kalau pas TK (taman kanak-kanak) dulu saya ingin menjadi astronot, tapi kan nggak kesampaian karena susah. Hahaha. Saya memang memiliki passion di bidang kesehatan. Profesi dokter ini juga mengharuskan kita untuk menolong orang,” tutur Amal yang ingin menjadi dokter spesialis penyakit dalam. Saat ini, Amal menjalani kesibukan sebagai dokter muda yang sedang melakukan praktik di RSDS. Meski demikian, ia belum menyandang gelar wisudawan sarjana kedokteran sebagaimana lazimnya. Amal mengatakan bahwa ia harus menunda waktu kelulusannya agar bisa membawa nama harum UNAIR di kancah mawapres nasional. Selamat berjuang, Amal! (*) Penulis : Defrina Sukma S Editor : Nuri Hermawan
Tim MKWU Pilih Kediri sebagai Tempat Study Excursie UNAIR NEWS – Sebagai upaya pengembangan karakter kebangsaan bagi para mahasiswa, tim Mata Kuliah Wajib Universitas (MKWU) UNAIR mengadakan Study Excursie atau yang lebih dikenal dengan sebutan SE. Kali ini, SE yang diselenggarakan rutin tiap tahun ini mengangkat tema “Kejayaan Sejarah Bangsa dalam Membangun Kehidupan Kebhinekaan dan Wawasan Kebangsaan”. Kabupaten dan Kota Kediri dipilih sebagai tempat dilangsungkan Study Excursie tahun ini, hal ini dikarenakan kediri memiliki potensi yang kuat dibidang sejarah, budaya, pariwisata, serta kerukunan umat beragama. “Kediri merupakan salah satu kota tua yang meninggalkan jejak historis pahlawan masa kerajaan. Ada jejak-jejak pahlawan yang bisa kita pelajari di sana,” ujar Listiyono Santoso, S.S., M.Hum., saat memberikan sambutan dalam pengarahan dan technical meeting SE 2016, Rabu (11/5). Menurut dosen pengampu MKWU tersebut, SE diadakan dalam rangka internalisasi nilai-nilai karakter kebangsaan. Internalisasi nilai karakter kebangsaan tersebut bukan hanya berlangsung di ruang kelas, namun melalui pengalaman langsung di lapangan. SE diupayakan dalam rangka membangun harmonisasi sosial. Prof. Djoko Santoso, dr., Sp.PD-KGH., Ph.D., FINASIM., selaku Wakil Rektor I UNAIR dalam pengarahannya mengatakan bahwa SE ini merupakan the real experience, karena mahasiswa akan berinteraksi langsung dengan kehidupan lokal masyarakat Kediri. “Ini adalah studi kehidupan. Tidak berhenti sampai di sini, pondasi berbangsa harus kuat karakter kebangsaannya,” ujar Prof. Djoko. Di lokasi SE nanti, mahasiswa akan melakukan observasi di
berbagai tempat, seperti Museum Gunung Kelud, Komplek Petilasan Joyoboyo, Sendang Kamandanu, dan Candi Tegowangi. Peserta juga akan diajak ke Simpang Lima Gumul, dan Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Ada 262 mahasiswa dari beragam fakultas di UNAIR yang akan mengikuti SE kali ini. 25 mahasiswa diantaranya merupakan mahasiswa program AMERTA UNAIR, yang sebagian besar berasal dari Negara Malaysia. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh Editor : Nuri Hermawan
Kematian Terhormat Sebaik-baik nasihat adalah kematian Saya melihat kematian dengan tubuh berdarah. Penuh darah dan jijik bagi sebagian orang. Tapi saya tersenyum. Karena darah inilah yang menjadi saksi di hadapan tuhan. Bahwa saya mati dengan terhormat. Lalu orang-orang itu membawa raga saya ke sebuah kamar pemandian. Setelah lebih dulu dicongkeli batang tubuh ini. Otopsi. Dan meski disayat seribu gores. Ditusuk sekian dalam. Tak ada perasaan perih. Saya tetap tersenyum. Karena semakin banyak lubang di badan. Semakin banyak saksi yang akan berbicara pada tuhan. “Kami bersaksi bahwa dia mati dengan luka yang membanggakan,” Sudah tak ada medan laga. Tapi bukankah kita masih bisa mati dengan berdarah? Dengan peluh. Dengan sikap ksatria. Bukan mati di ranjang bertilam empuk. Didampingi anak istri yang menangis atau membaca ayat-ayat tuhan. Ah, betapa itu cara
mati orang sakit. Cara mati orang lemah. Kalau selama ini kau ingin hidup kuat dan sehat, kenapa pula kau membayangkan mati tergeletak di tempat tidur dengan kondisi berpenyakitan? Atau kau tidak pernah membayangkan ingin mati seperti apa? Betapa aneh! Kau mungkin sering membayangkan akan menghabiskan masa tua dengan anak dan cucu di rumah asri dekat sawah. Atau bercitacita menjadi orang kaya dan terkenal di seantero negeri. Berkeinginan menjadi artis atau pemikir nomor wahid. Hidup berbahagia dengan banyak uang. Tapi ternyata kau tidak pernah sekalipun membayangkan ingin mati seperti apa? Hai, bukankah kematian adalah lebih pasti dari semua angan muluk-mulukmu itu? Sekali lagi, betapa aneh! Keluarga yang saya cintai tetap meneteskan air mata. Tapi tidak meratap atau meraung. Sebab, sudah sejak lama saya katakan: saya akan mati muda dengan tubuh penuh darah. Tak hanya sudah sejak lama. Saya juga sudah mengatakan itu berkali-kali, sesering matahari terbit. Sehingga saat saya mati, mereka tidak terkejut. Mereka merasa kematian adalah dongeng yang tertunda kejadiannya. Kemudian menjadi realitas yang sudah disangka-sangka sebelumnya. bukankah kematian lebih pasti dari hari esok? Mungkin burung-burung di langit ikut mendoakan arwah saya yang penuh darah. Tidak, bukan penuh darah. Sudah tidak ada darah di alam baqa tempat arwah bersemayam. Darah hanya ada di dunia fana yang kemunculannya disisipi oleh berbagai interpretasi tak adil. Darah adalah sesuatu yang menjijikkan. Darah adalah penyakit. Darah adalah zat yang mesti dibuang. Namun, bagi saya lain. Sejak remaja, saya ingin mati dengan bersimbah darah. Itulah kematian yang elegan. Tentu bukan dengan bunuh diri. Juga bukan karena ditabrak truk saat menerobos lampu merah.
Saya ingin mati dengan darah bersimbah seusai menolong orang. Seusai membela keluarga dari tindak kejahatan. Atau setelah bersitegang dengan jambret yang ingin merampas tas gadis perawan di perempatan seperti tadi siang. Lalu parangnya menembus daging perut. Memburaikan isi badan. Menyimbahkan darah. Tidak, sekali lagi itu tidak menjijikkan. Itu adalah kematian yang pahlawan. Bayangkan, bagaimana rupa pahlawan yang dulu berjuang di sepanjang jalanan Surabaya dan mati dimangsa peluru musuh? Tak jauh beda dengan kondisi Saya waktu itu. Kami sama-sama mati sebagai pemberani. hidup kadang sependek sebatang rokok Entah berapa banyak orang yang mendoakan saya. Bahkan para wartawan yang berkepentingan meliput heroisme yang saya lakukan pun ikut mensucikan diri. Lantas, berdoa khusyuk. Memohon pada tuhan agar dosa-dosa saya diampuni. Hutang-hutang dilunasi. Oh, betapa kerennya mati seperti ini. Tapi seperti biasa, tetap saja ada yang menaruh sinis. Mereka berdesas-desus dan mengasihani saya yang mati muda ini. “Kasihan dia baru 25 tahun. Belum menikah. Masih muda sudah mati. Tragis, lagi,” ujar salah seorang Ibu yang melihat ambulan mengantarkan jenazah saya ke rumah. Beberapa kawannya, sesama Ibu-Ibu, mengangguk-angguk tanda setuju. Wahai, mengapa mereka begitu mengasihani saya yang berbahagia ini? Tidakkah lebih baik mereka mengasihani diri mereka sendiri yang suka menggunjing dengan tubuh bau kompor? Bagaimana kalau saat tubuh masih bau sambal terasi, berdaster putih bunga-bunga, lagi membicarakan orang lain, tiba-tiba malaikat maut mencabut nyawa mereka semua? Betapa memalukannya mati dengan cara seperti itu. Tidak. Ternyata tak hanya Ibu-Ibu. Beberapa kelompok bapakbapak yang masih sempat tertawa-tertawa—entah karena topik apa—juga sempat mengasihani kematian saya. Ternyata, orang-
orang yang suka salah sasaran dalam mengasihani orang, tidak terpaku pada satu jenis kelamin. Ibu-Ibu atau bapak-bapak sama saja. Lihatlah mereka yang menyuruh keluarga Saya untuk bersikap sabar. Berkali-kali bilang kalau semua yang bernyawa pasti mati. Semua akan kembali pada pencipta. Duhai, ucapan itu sudah kerap saya tuturkan pada keluarga. Sekerap pergantian malam dan siang. Mereka terlambat. Tapi sok berdakwah. Apalah lagi istilah yang cocok bagi mereka kalau bukan pahlawan kesiangan? Ah, tidak. Saya sudah mati. Tidak boleh menghardik. Walaupun kalau sudah mati, tindakan seperti apapun tidak diperhitungkan lagi. Tapi setidaknya, Saya harus bersyukur dengan tidak bersikap buruk. Aneh memang melihat bapak-bapak itu masih sempat tertawatawa—meski tidak terbahak-bahak—di momentum takziah seperti ini. Sama anehnya saat melihat sekelompok pemuda dan pemudi yang tersenyum-senyum di sudut lain. Seharusnya di masa sekarang mereka merenung. Dasar, kaum yang hanya bersilaturahmi saat ada orang meninggal atau hajatan! Orang lagi meninggal, dijadikan acara temu kangen. Betapa mereka semua juga bisa mati mendadak. Seperti Saya yang setelah subuh masih sempat lari pagi. Membersihkan taman. Mencuci pakaian dan memasak telur mata sapi untuk adik. Apalagi mereka yang sudah tua-tua itu. Bernapas saja sudah sulit. Masih sempat cekikikan di depan mayit. Bagaimana kalau malaikat yang kebetulan lewat merasa sumpek dengan tingkahnya dan berinisiatif langsung mencabut nyawanya yang ringkih itu? Kematian seharusnya menjadi nasihat bagi mereka. Kematian lebih pasti dari hari esok. Lihatlah orang yang banyak memiliki rencana hari esok dan mati sebelum hari esok. Alamak, betapa malang kalau dia mati sambil memikirkan rencana yang remeh temeh itu.
Ajal kadang lebih pendek dari sebatang rokok. Sesaat sebelum mati, Saya masih sempat menelepon abang kalau malam ini saya tidak pulang. Dengan alasan, ada perlu di rumah teman. Saya tahu, dia saat itu sedang merokok. Dan Saya yakin, sebelum rokoknya habis, nyawa saya sudah lebih dulu dihabisi penjahat jalanan itu. Penjahat yang dengan parangnya mengantarkan saya, bersama simbahan darah, terbang ke surga. dunia tak lebih dari persinggahan Tubuh saya sudah bersih dan dibungkus kain kafan sederhana. Kain kafan murahan. Karena seberapapun mahalnya kain kafan untuk orang meninggal, toh dikubur juga. Toh tidak bisa membuat mayat kebal gigitan ulat. Toh tidak bisa mengusir dingin dan angkernya perut bumi. Orang-orang menutup wajah saya dengan kapas halus. Wajah pucat ini tidak terlihat ketika dimasukkan ke ambulan untuk kali kedua dan diantar menuju pekuburan. Amboi, teduhnya awan di langit. Mega-mega seperti memberi hormat pada mayat yang mati terhormat ini. Mati dengan darah. Mati dengan keinginan sendiri untuk membela seorang gadis yang mau dijahati. Mati dengan arwah yang tersenyum di awang-awang. Mati dengan tak ada sambutan tangis menderu-deru dari keluarga. “Kami sudah tahu dia akan mati. Kami hanya tidak tahu kapan tepatnya dia mati. Tapi kami sudah menyiapkan diri kalau dia mati di hari atau usia berapapun juga,” ayah berbicara tenang di depan para kerabat. Duh, ayah. Aku masih ingin menelan kebijaksanaanmu. Seperti kebijaksanaanmu yang ogah kawin lagi saat ditinggal Ibu mati lebih dulu. Mungkin saat ini malaikat tengah memberi hormat pada keluarga saya yang tegar. Pada adik perempuan saya yang sejak jenazah sampai rumah hingga menjelang ke liang lahat tak putus mendoakan. Adik, betapa saya tak bisa lagi membuatkanmu telor ceplok kesukaan.
Lubang kubur tampak sederhana. Lebih sederhana dari rumah orang termiskin di dunia. Tubuh yang sudah benar-benar bangkai dimasukkan. Diiringi doa-doa yang naik ke langit. (*)
Cegah Diabetes Melitus dengan Bentuk Kader Kesehatan UNAIR NEWS – Diabetes merupakan salah satu penyakit yang menjadi momok di Indonesia. Berdasarkan data yang dilansir oleh International Diabetes Federation Atlas pada tahun 2015, Indonesia menempati peringkat ketujuh dengan pengidap diabetes terbanyak di dunia. Untuk menekan jumlah penyakit tersebut, maka diperlukan sebuah kesadaran diri dan kelompok untuk melakukan pemeriksaan kesehatan tubuh sejak dini. Berangkat dari hal tersebut, keempat mahasiswa Universitas Airlangga menggagas ide baru untuk mencegah penyebaran penyakit diabetes. Ide bernama SI MANIS atau Siaga Masyarakat Anti Diabetes Melitus dengan metode self check up digagas oleh Aldini Yunita Mia Diantami (Ners/2013), Anjar Ani (Ners/2013), Dewi Permata Lestari (Ners/2013), Yolanda Eka Maulida (Ners/2014), Oktaviani Indah Puspita (Ilmu Hubungan Internasional/2015). Ide tersebut mereka sampaikan melalui Proposal Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat (PKM-M). Proposal yang mereka ajukan berhasil lolos dan mendapatkan pendanaan dari Kemenristekdikti pada tahun 2016, untuk kemudian digunakan dalam mewujudkan gagasan yang sudah dibuat. Bentuk Kader Melalui program kemanusiaan tersebut, tim SI MANIS menyasar
para ibu rumah tangga di wilayah Desa Sidokterto, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo. Dewi, salah satu anggota tim SI MANIS, mengatakan bahwa kelompok pengidap diabetes terbanyak di Indonesia adalah usia di atas 35 tahun. Oleh karena itu, terkait dengan langkah pencegahan, tim SI MANIS membentuk kader berjumlah sepuluh orang yang berasal dari kelompok Program Kesejahteraan Keluarga (PKK) setempat. “Kami mendatangi para anggota PKK untuk mengenalkan program SI MANIS. Kami memberikan pengetahuan kepada mereka tentang diabetes melitus. Terkait dengan proses seleksi kader, kami memberikan tes tentang diabetes. Bagi mereka yang lolos, kami mengajari penggunaan alat-alat kesehatan yang digunakan untuk pengecekan gula darah, misalnya menggunakan jarum suntik, setrip, dan sebagainya,” tutur Dewi. Dengan adanya pembentukan kader, tim SI MANIS akan mudah memantau terhadap implementasi program kreativitas. Dewi berharap, para kader bisa menularkan pengetahuan yang dimiliki kepada masyarakat sekitar.
Tim SI Manis berfoto bersama dengan kader dan anggota PKK di wilayh Sidokerto, Sidoarjo. (Foto: Istimewa)
Selain pembentukan kader, tim SI MANIS juga mengadakan penyuluhan kepada para anggota PKK setempat. Tim menghadirkan salah satu staf pengajar Ners UNAIR untuk memberikan pengetahuan umum tentang diabetes melitus. Penyuluhan itu dilangsungkan pada Sabtu (7/5) di lokasi pengabdian. Antusiasme peserta dapat dilihat dari suasana tanya jawab yang dilontarkan oleh peserta dan pembicara. Pada saat yang sama, tim SI MANIS juga mengadakan pemeriksaan kadar gula darah secara gratis kepada para anggota PKK setempat. Kegiatan tak berhenti pada level penyuluhan. Tim SI MANIS berencana memberikan alat-alat kesehatan kepada PKK setempat agar bisa melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin. Hanya saja, menurut Dewi, pemberian ini baru bisa dilaksanakan sesuai dengan cairnya anggaran PKM – M dari Dikti. Langkah pencegahan ala tim SI MANIS sudah disambut respon positif oleh masyarakat sekitar. Retno, salah satu kader, mengatakan bahwa dirinya senang bisa membantu mengecek kesehatan warga di tempat ia tinggal. Meski ia merasa sedikit grogi, tapi ia telah mendapat cukup pengetahuan. “Kalau memeriksa tensi, dari mbak-mbaknya (tim SI MANIS) sendiri. Kalau periksa gula darah, dari kader. Kami diajari cara periksa, pasang jarum, dan setrip. Nanti kami juga harus memberitahu kepada warga bahwa jarum yang dipakai itu masih baru. Semua sudah diajari,” tutur Retno. Ia berharap dengan adanya program pencegahan diabetes itu, warga di sekitarnya bisa merasakan manfaat hidup sehat salah satunya dengan mengatur kadar gula darah dalam tubuh. Selain itu, dengan adanya program SI MANIS, PKK setempat berencana mengalokasikan anggaran untuk pembelian alat-alat tersebut dan memeriksa kesehatan secara swadaya. (*) Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Nuri Hermawan
Panitia Pembangunan Masjid Kampus C UNAIR Terima Bantuan Rp 160 Juta UNAIR NEWS – Panitia pembangunan masjid “Asma’ul Husna” Universitas Airlangga Surabaya menerima bantuan biaya pembangunan dari alumni UNAIR, Jumat (6/5). Kali ini yang memberikan sumbangan adalah Alumni Fakultas Ekonomi UNAIR (FEUA) tahun 1987 sebesar Rp 160 juta. Bantuan tersebut secara simbolis disampaikan oleh koordinatornya Drs. Ec. Hari Purnomo dan diterima Rektor UNAIR Prof. Dr. Mohammad Nasih, SE, MT., Ak., MCA., seusai salat Jumat di masjid tersebut. Selanjutnya oleh Rektor bantuan diserahkan kepada panitia pembangunan masjid “Asmahul Husna” di kampus C UNAIR ini. Tidak ada seremonial secara khusus. Jadi selesai semua melaksanakan salat Jumat di sebagian lantai masjid yang kini sedang dalam finishing itu, semua menuju ke halaman depan masjid seperlu untuk menyerahkan uang bantuan tersebut. Penyerahan tersebut disaksikan oleh beberapa anggota IKAFE ’87 serta pengurus IKA-UA. ”Dalam suasana yang baik dan spontan ini, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas keperduliannya, siapa tahu nanti juga masih akan berlanjut,” kata Prof Nasih disambut gerrrr para hadirin yang menyaksikan. Menurut Drs. Ec. Hari Purnomo., pengurus IKAFE Jakarta ini, sumbangan Rp 160 juta tersebut dihimpun dari rekan-rekannya dan merupakan bantuan alumni FE’87 yang kedua. Bantuan yang pertama tahun lalu sudah diserahkan kepada panitia pembangunan
masjid sebesar Rp 867 juta. “Alhamdulillah wajib kita syukuri bahwa kami bisa melaksanakan amanah dari panitia pembangunan masjid ini untuk membantu mengumpulkan donatur dari para alumni, terutama yang berada di Jakarta. Kemudian setelah terkumpul sekian itu sekarang kami serahkan agar segera bermanfaat,” kata Hari Purnomo kepada UNAIR NEWS. Ditambahkan oleh Budi Widayanto, anggota panitia pembangunan masjid Alumni UNAIR, bahwa estimasi anggaran pembangunan telah direvisi. Jumlahnya tidak lagi mencapai Rp 25 miliar, tetapi tinggal Rp 17 miliar. Hal itu karena adanya beberapa unsur efisiensi yang ketika dikalkulasi dua tahun lalu masih diperhitungkan, dan ternyata dalam pelaksanaannya terdapat banyak keringanan dan kemudahan.
SEUSAI salat Jumat (6/5) kemarin, Rektor UNAIR Prof. M Nasih (kanan) secara simbolis menerima bantuan dana dari Koordinator Alumni IKA FE 1987 UNAIR sebesar Rp 160 juta. Tampak juga disaksikan beberapa alumni FE. (Foto: Bambang Bes)
”Alhamdulillah dana yang masuk dari para donatur hingga saat ini mencapai Rp 13,077 miliar. Dengan demikian kekurangan biaya pembangunan masjid ini tinggal sebesar Rp Rp 3,922 miliar, sehingga sumbangan amal sodakoh dari para alumni dan donatur masih kami harapkan,” kata Budi, alumni FE UNAIR itu, seraya menambahkan bahwa total pengeluaran hingga akhir April 2016 lalu mencapai Rp 16,082 miliar. Kata Budi, sodaqoh dan atau Infaq bisa ditransfer ke rekening atas nama Panitia Pembangunan Masjid UNAIR Kampus C pada Bank Mandiri Cabang Surabaya Rungkut Megah Raya dengan Nomor Rekening: 142.0031122012. Atau juga kepada atas nama Panitia Pembangunan Masjid Kampus C Unair ke No. Rekening: 7076288504 pada Bank Mandiri Syariah Cabang Kampus C UNAIR. “In sha Allah peresmian masjid ini tidak akan lama lagi,” kata Budi Widayanto. (*) Penulis : Bambang Bes
Dua Mahasiswi UNAIR Ikuti ASEAN University Games Juli Mendatang UNAIR NEWS – Tidak hanya cerdas, tapi juga tangkas, begitulah yang menyandang pada dua mahasiswi Universitas Airlangga yang terpilih menjadi perwakilan dari 10 altet panah. Keduanya dipilih oleh Badan Pembina Olahraga Mahasiswa Indonesia (BAPOMI), untuk mengikuti ASEAN University Games (AUG) ke 18 di Singapura pada tanggal 10-19 Juli 2016 mendatang. Dua atlet muda tersebut adalah Della Adisty Handayani, mahasiswa Ilmu Komunikasi dan Tiara Sakti Ramadhani, mahasiswa Manajemen.
Della dan Tiara akan berangkat bersama atlet panahan lainya dari berbagai kampus di Indonesia. Ditemui oleh wartawan UNAIR NEWS, Direktur Kemahasiswaan UNAIR, Dr. Hadi Subhan, SH., MH., CN., menuturkan bahwa pihak direktorat kemahasiswaan sangat mendukung beragam kegiatan mahasiswa yang bisa membawa nama baik kampus. “Kemahasiswaan sangat mendukung semua kegiatan mahasiswa, apalagi yang berkaitan dengan perlombaan tingkat internasional,” ujar Hadi Subhan saat kedua atlet yang juga didampingi pembinanya, Nilam Andalia Kurniasari, SH., LL.M. di Ruang Direktur Kemahasiswaan, Senin (2/5). Optimis Saat ditanya mengenai kesiapannya mengikuti ajang bergengsi tersebut, Tiara sangat antusias mengikuti kegiatan ini, lantaran mahasiswi ini juga tengah mempersiapkan diri mengikuti Pekan Olahraga dan Seni (PON) September nanti. Tiara berharap, ajang ini juga menjadi langkah pertamanya untuk berkarir di ajang internasional. “Persiapan dan latihan kami sudah dimulai bersamaan dengan persiapan PON, BAPOMI pun memantau kami sejak lama untuk diikutsertakan di even mahasiswa se-ASEAN itu,” ujar Tiara. Sementara itu, Della menargetkan diri untuk mendapat medali emas pada ajang tersebut. Senada dengan Tiara, even ini juga menjadi dipersiapkan Della sebelum mengikuti ajang PON nanti. Della yang juga atlet panahan muda ini memiliki banyak prestasi diberbagai even panahan baik nasional maupun internasional seperti; 5 Medali Emas Kejurnas junior 2010; 2 Medali Emas dan 2 Perunggu Kejurnas Umum 2010; 2 Medali Perak Asian Grand Prix 2011, 1 Medali emas di PON 2012 Riau, 1 Medali Emas di SEA Games 2013 Myanmar. “Kalau buat AUG, saya menargetkan untuk mendapatkan emas,” pungkas Della dengan optimis. (*)
Penulis : Ahalla Tsauro Editor : Nuri Hermawan
Mahasiswa Palangkaraya RamaiRamai Kunjungi UNAIR Store UNAIR NEWS – Jauh-jauh datang dari Kalimantan Tengah tanpa membawa buah tangan barangkali rasanya tak enak. Hal itu yang dirasakan 70 mahasiswa asal Universitas Palangkaraya, Kalteng,. Dalam agenda kunjungan studi banding ke tiga daerah di Pulau Jawa dan Bali, rombongan yang mengenakan almamater bewarna kuning tersebut memilih Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UNAIR sebagai salah satu tujuannya. Di FEB UNAIR, mereka melakukan diskusi tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sebab, tantangan MEA telah menghadang di depan mata. Usai melangsungkan diskusi tentang MEA, rombongan asal Palangkaraya diajak oleh anggota Badan Eksekutif Mahasiswa FEB UNAIR untuk mengunjungi Airlangga Corner.
Tak mau kalah menarik : Dua mahasiswi Universitas Palangkaraya dengan pakaian khasnya saat berkunjung ke UNAIR STORE (Foto: Alifian Sukma) Airlangga Corner memuat berbagai unit usaha sivitas akademika UNAIR, diantaranya adalah UNAIR Store yang menyediakan pernak pernik menarik, dan Airlangga Global Travel. Di UNAIR Store, rombongan melihat aneka pakaian seperti jaket, kaos, gantungan kunci, serta stiker. Kunjungan dari mereka pun berbuah respon positif. “Produk di sini bagus-bagus ya. Ada jaket, kaos, gantungan kunci, dan macam-macam. Saya tadi beli gantungan kunci buat diri saya sendiri,” tutur Desy, mahasiswa asal Unraya.
Foto
bersama
mahasiswa
Universitas
Palangkaraya
dengan
perwakilan Universitas Airlangga di depan gedung Airlangga Corner (Foto: Alifian Sukma) Senada dengan Desy, Fitriana juga mengiyakan pernyataan Desy. Menurut Fitriana, produk-produk yang dijual di UNAIR Store cukup menarik dan berkualitas. So, dapatkan pernak-pernik khas dan asli UNAIR di UNAIR Store sekarang! (*) Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Nuri Hermawan
UNAIR Sediakan 175 Komputer untuk Tes SBMPTN UNAIR NEWS – Dalam rangka pelaksanaan seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN), kampus pelaksana ujian tertulis computer based testing (CBT) panitia lokal wilayah tiga diberi kuota oleh pemerintah untuk menyediakan 280 komputer siap pakai. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga telah menyediakan 160 komputer inti, dan 15 komputer cadangan. Pernyataan itu disampaikan oleh Wakil Rektor I UNAIR Prof. Djoko Santoso, dr., Ph.D., Sp.PD., K-GH, FINASIM ketika meninjau laboratorium komputer di Airlangga Medical Education Center, FK UNAIR, pada Rabu (27/4). Lab komputer tersebut rencananya akan digunakan peserta dalam melaksanakan ujian tertulis CBT SBMPTN tahun 2016. “UNAIR diberikan kuota sebanyak 160 komputer yang digunakan oleh calon mahasiswa untuk melaksanakan tes CBT SBMPTN. Ujian tertulis SBMPTN dengan CBT ini merupakan pilot project, apabila dari segi waktu maupun hasilnya berkualitas, maka proses berikutnya akan menuju ke arah digitalisasi,” tutur Wakil Rektor I UNAIR. Sampai saat ini, proses awal pengerjaan soal belum bisa dipastikan. Prof. Djoko menuturkan bahwa ada dua alternatif mengenai pengerjaan soal, yakni soal diunggah oleh panitia pusat melalui satu server dan menyebar ke server di perguruan tinggi, lalu alternatif yang kedua yaitu panitia pusat menunjuk seseorang untuk membawa hard disk eksternal berisi bank soal dan disetel lewat server tersebut. Terkait dengan kerahasiaan soal dan sterilisasi lokasi tes, Prof. Djoko menjamin bahwa kerahasiaan bank soal tetap terjaga dari berbagai risiko kebocoran. Senada dengan Prof. Djoko, Ketua Unit Pengelola Data Digital Mustofa Rusli, dr., Sp.PD,
mengatakan bahwa bank soal yang tersimpan dalam hard disk itu sudah terenkripsi secara kuat. “Andaikan hard disk itu hilang, hard disk tersebut juga tidak bisa dibuka. Soal itu hanya bisa dibuka pada program khusus,” tutur Mustofa. Menurut Syamsuddin, selaku penanggung jawab pelaksanaan CBT di FK UNAIR, mengatakan bahwa seluruh komputer FK UNAIR yang akan digunakan untuk pelaksanaan CBT SBMPTN sudah sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan, seperti penggunaan prosesor core duo. Apabila gangguan elektronik mengintai, seperti listrik padam, maka pihak FK UNAIR telah menyiapkan UPS (uninterruptible power supply atau suplai daya bebas gangguan) pada setiap komputer dengan kurun waktu hingga lima menit. Kemudian, daya listrik akan disetel melalui genset yang dapat beroperasi sampai 24 jam. “Kalaupun ada masalah dengan komputer, kita akan selesaikan dalam waktu kurang dari satu menit sehingga siswa tidak perlu merasa panik,” ujar Syamsuddin. Selain itu, pada masa pelaksanaan tes CBT SBMPTN, lokasi tes akan dipasangi jammer sehingga koneksi internet maupun sinyal telepon akan hilang. (*) Penulis : Defrina Sukma S. Editor : Dilan Salsabila
Inkubator Penghubung
Bisnis Jadi Riset Bioproduk
dan Perusahaan UNAIR NEWS – Perguruan tinggi merupakan penyokong riset inovatif. Tingginya kualitas sumber daya manusia di perguruan tinggi terbukti dari banyaknya riset yang lahir dari para akademisi kampus. Agar hasil riset itu dapat segera dihilirisasi, maka harus ada penghubung antara peneliti dan perusahaan. Pernyataan itu disampaikan oleh peneliti senior ‘Intitute of Tropical Disease’ (ITD) Universitas Airlangga Dr. Widiyanti, drg., M.Kes, ketika ditemui di Hotel Shangri-La, Rabu (20/4). Yanti, sapaan akrabnya, menyebutnya dengan istilah inkubator bisnis. Peran yang akan dimainkan oleh inkubator bisnis ini adalah menjembatani keinginan peneliti dan perusahaan. Selama ini, tak jarang setiap lembaga memiliki kepentingan sektoral masing-masing. Kepentingan sektoral yang dimaksud adalah para peneliti mengerjakan riset yang sudah direncanakan dalam payung penelitian dengan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan perusahaan ingin memasarkan produk dan meraih keuntungan yang besar. “Inkubator bisnis itu bertugas untuk menegosiasikan keinginan kedua belah pihak. Misalnya kalau suatu bioproduk sudah diproduksi secara massal, berapa royalti yang akan didapatkan peneliti. Apa saja uji produk yang perlu dipersiapkan atau bagian apa yang harus dioptimalkan. Biasanya kami menyebut dengan translational research. Kadang-kadang malah diperlukan untuk melakukan penelitian lagi. Kalau sudah begitu, dananya dari mana. Inilah yang seharusnya dijalankan oleh inkubator bisnis itu,” tutur Yanti. Perlunya dukungan Yanti yang juga menjabat sebagai Ketua Pusat Pengembangan Jurnal dan Publikasi Ilmiah (PPJPI) UNAIR ini mengatakan bahwa pemerintah perlu menunjukkan keberpihakan terhadap iklim riset
di perguruan tinggi. Peneliti HIV/AIDS ITD UNAIR itu berharap agar dukungan berupa anggaran, fasilitas, dan kebijakan riset perlu ditambah. “Terkait alokasi anggaran riset itu perlu ditambah. Tetapi kami tidak hanya memerlukan dukungan secara fisik saja, kami perlu keberpihakan. Pemerintah harus memberikan perhatian secara adil kepada seluruh komponen. Tidak hanya yang berada di lingkup pusat saja,” imbuh Ketua PPJPI UNAIR itu. Yanti menyarankan agar pemerintah mengubah pola kebijakan yang tak berpihak kepada peneliti di Indonesia selama ini. Ia berharap agar pemerintah menentukan block grant kepada pusatpusat riset yang ditunjuk, sehingga dana yang turun bersifat top down. “Penting adanya block grant pada pusat-pusat riset, sehingga dana turun secara top down. Misalnya ITD UNAIR diberi sejumlah dana untuk menghasilkan beberapa bioproduk. Selama ini, kita hanya berkompetisi, kita ajukan proposal riset ke nasional. Entah diterima atau tidak. Saya mengusulkan agar ada sistem yang terdiri dari komponen akademisi, bisnis, dan regulator untuk menentukan prioritas yang harus dikerjakan. Kalau sistem seperti itu dijalankan, maka riset dan bioproduk yang dihasilkan oleh peneliti di Indonesia akan segera berkembang. Perlu ada effort yang luar biasa agar kita bisa mandiri,” tutur Yanti. (*) Penulis: Defrina Sukma S Editor : Binti Q. Masruroh