Risalah Konsep Nama proyek
Investasi Berfokus Masyarakat untuk Menangani Deforestasi dan Degradasi Hutan (Community-Focused Investments to Address Deforestation and Forest Degradation - CFI-ADD+)
Kawasan
Asia Tenggara
Sektor
Lingkungan dan Sumber Daya Alam
Subsektor
Kehutanan
ID Proyek
47084
Badan Pelaksana
Kementerian Kehutanan, Pemerintah Indonesia
Badan Penerap
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, dan lainnya (akan ditentukan kemudian)
Kategori Lingkungan
[ ] A [X] B [ ] C [ ] FI [ ] TBD (akan ditentukan kemudian)
Tanggal Persiapan Risalah Konsep
21 Maret 2013
Tanggal Perkiraan Persetujuan Risalah Konsep oleh ADB
31 Juli 2013
1. Dasar Pemikiran Keterlibatan ADB
Indonesia memiliki area hutan tropis terbesar di Asia dengan hampir 25% dari populasinya bermukim di dekat atau pada lahan hutan. Indonesia kehilangan sekitar 24 juta hektar lahan hutan dari 1990 hingga 2010. Sebanyak hampir 25% dari total jumlah lahan gambut dibabat untuk menanam kelapa sawit dan tanaman perkebunan lain. Hilangnya fungsi hutan dan degradasi ekosistem hutan tersebut mengancam pembangunan berkelanjutan dan mata pencaharian jutaan orang, karena kemiskinan paling umum ditemukan pada masyarakat pedesaan yang hidupnyabergantung pada hutan. Bukti menunjukkan bahwa kemiskinan di daerah pedesaan dapat dikurangi hanya dengan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan yang menghasilkan pendapatan dan layanan lingkungan.
Deforestasi, degradasi hutan, dan konversi lahan gambut adalah kontributor emisi gas rumah kaca 1 (GRK) terbesar di Indonesia. Sebanyak 60% (0,8 GtCO2e dari total 1,4 GtCO2e) dari emisi total pada tahun 2000 berasal dari sektor Penggunaan Lahan, Perubahan Penggunaan Lahan, dan Kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry, LULUCF). Rencana Aksi Nasional untuk mengurangi emisi GRK (Keputusan Presiden No. 6/2011 pada September 2011) memproyeksikan emisi LULUCF (1,6 GtCO2e - 53%) masihmencapai lebih dari 50% emisi GRK tahunan (3,0 GtCO2e) pada 2020.
Pada tahun 2009, Indonesia bertekad untuk mengurangi emisi GRK sebanyak 26% di tahun 2020 dengan perbandingan skenario bisnis berjalan seperti biasa (business as usual), serta mempertahankan pertumbuhan ekonomi pada angka 7%. Indonesia juga bertekad mengurangi emisi hingga 41% dengan dukungan sumber daya finansial tambahan dari mitra pembangunannya. Karena emisi GRK yang dihasilkan oleh LULUCF termasuk tinggi, upaya untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) sangat diperlukan agar dapat meraih tujuan tersebut.
Program Investasi Kehutanan (Forest Investment Program, FIP) adalah salah satu dari tiga subprogram dari Dana Iklim Strategis di bawah Dana Investasi Iklim (Climate Investment Funds, CIF) yang bernilai $7,5 miliar. Indonesia adalah salah satu dari delapan negara percontohan yang dipilih untuk FIP. Rencana Investasi Kehutanan untuk Indonesia mendapat persetujuan baru-baru ini dari Subkomite FIP pada tanggal 5 November 2012. Melalui FIP, Indonesia direncanakan akan menerima
1
Gigaton ekuivalen karbon dioksida
1
$70 juta (terdiri atas $37,5 juta dana hibah dan $32,5 pinjaman konsesi), di mana $17,5 juta di antaranya direncanakan akan disalurkan melalui ADB.
Keberlanjutan lingkungan adalah salah satu dari lima prioritas utama Strategi ADB 2020. Strategi Kemitraan ADB (Country Partnership Strategy, CPS) untuk Indonesia 2012-2014, yang selaras dengan Rencana Pemerintah Jangka Menengah (RPJMN) 2010-2014, meliputi dua pilar yaitu pertumbuhan inklusif dan keberlanjutan lingkungan dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Mengedepankan penurunan karbon melalui penggunaan lahan yang efektif dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan juga merupakan salah satu dari lima prioritas operasional ADB untuk mengatasi perubahan iklim.
2. Lingkup dan Tujuan Proyek:
Sejalan dengan tujuan dan maksud dari rencana investasi kehutanan untuk Indonesia, Proyek ADB ditujukan untuk menangani kendala-kendala di tingkat sub-nasional untuk REDD+ dan pengelolaan hutan berkelanjutan. Proyek ini akan berfokus di wilayah Kalimantan Barat, salah satu dari lima provinsi terbesar yang memberikan kontribusi terhadap emisi GRK dari LULUCF di Indonesia. Faktorfaktor penyebab utama deforestasi dan degradasi hutan mencakup pembalakan komersial dan ilegal, konversi hutan menjadi pertanian, penambangan, dan kebakaran hutan yang tidak terkendali. Alasan mendasar dari terjadinya hal-hal tersebut meliputi perencanaan tata ruang yang tidak efektif dan skema kepemilikan yang lemah, pengelolaan hutan yang tidak efektif, serta tata kelola dan penerapan hukum yang tidak cukup. Proyek yang diajukan ini bertujuan untuk menangani semua alasan mendasar tersebut.
Proyek ini akan memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan Rencana Aksi Nasional untuk mengurangi emisi GRK, Strategi REDD+ Nasional (yang dikeluarkan pada Juni 2012), dan rencana aksi Kalimantan Barat untuk mengurangi emisi. Dengan mengurangi tekanan pada hutan asli dan mengedepankan pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan dan merata, proyek ini tidak hanya akan mengurangi emisi GRK (antara 17,7 and 22,1 MtCO2 selama lima tahun) tetapi juga menghasilkan keuntungan tambahan seperti penurunan tingkat kemiskinan, peningkatan kualitas hidup masyarakat setempat, perlindungan hak-hak masyarakat adat, dan peningkatan pelestarian keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem lain.
Proyek ini bertujuan untuk memperbaiki tata kelola, insentif, dan pengawasan, sejalan dengan tiga strategi Kalimantan Barat untuk REDD+, dengan cara: (i) mengurangi deforestasi melalui perbaikian kebijakan dan lembaga pemerintah, (ii) membuat insentif untuk pengelolaan hutan yang diperbaiki, dan (iii) mengawasi pembayaran REDD+ melalui mekanisme konsultasi dengan beragam pemangku kepentingan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Proyek ini akan menggunakan sumber dana FIP untuk memperkuat kapasitas unit pengelolaan hutan (forest management unit, FMU/KPH) di Provinsi Kalimantan Barat dan melakukan pilot investasi REDD+ yang berfokus pada masyarakat di Kabupaten Sintang dan Melawi, serta belajar dari pengalaman dari kawasan lain di provinsi tersebut. Dua kabupaten tersebut terkenal terutama karena memiliki hutan alami dengan nilai pelestarian yang tinggi, namun tengah menghadapi ancaman deforestasi dan degradasi hutan. Proyek ini akan memperbaiki kapasitas perencanaan tata ruang yang partisipatif dan pengelolaan sumber daya hutan, serta mengidentifikasi pendekatan untuk menyelaraskan kebijakan nasional dan subnasional dalam peningkatan stok karbon hutan.
Proyek ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman mengenai implementasi REDD+ berbasis masyarakat, untuk kemudian dapat ditingkatkan dalam skala lebih besar di kabupaten dan provinsi lain. Selain itu, akan dikaji kesempatan pengembangan bisnis spesifik terkait REDD+ oleh KPH. Proyek ini bertujuan untuk memberikan hasil yang meliputi penghilangan (atau paling tidak pengurangan) deforestasi tak terencana dan kegiatan degradasi hutan, menjaga hak adat dan lokal, serta memaksimalkan keuntungan sosial dan lingkungan tambahan.
2
Untuk mencapai maksud di atas, proyek ini akan bekerja sama dengan dua proyek ADB lainnya dalam pengelolaan hutan di Kalimantan Barat. Kedua proyek ini adalah Pengelolaan Hutan dan Keanekaragaman Hayati Berkelanjutan di Kalimantan---Sustainable Forest and Biodiversity Management in Borneo (Bantuan Teknis Pengembangan Kapasitas No. 44413-01) dan Sistem Mata Pencaharian Berkelanjutan untuk Masyarakat Adat di Jantung Kalimantan Indonesia---Sustainable Livelihoods Systems for Indigenous Peoples in the Indonesian Heart of Borneo (Hibah Japan Fund for Poverty Reduction No. 44413-02).
Proyek ini akan berhubungan erat dengan proyek-proyek lain yang dikelola para mitra pembangunan, seperti Australia, Uni Eropa, Jerman, Jepang, Norwegia, Inggris, Amerika, dan Kelompok Bank Dunia. Pendanaan tambahan dari mitra pembangunan yang terpilih akan dicari selama persiapan proyek untuk mengembangkan lingkup dan jangkauan investasi-investasi REDD+.
3. Komponen Proyek dan Daftar Kegiatan Tentatif:
Proyek ini akan memiliki tiga komponen. Di tiap komponen, berbagai kegiatan telah direncanakan namun kegiatan-kegiatan ini akan dikembangkan dan diprioritaskan lebih lanjut pada tahap persiapan proyek. Masukan dari pemangku kepentingan akan dikumpulkan pada tahap ini, terutama terkait dengan peningkatan manfaat REDD+ bagi masyarakat setempat. Target waktu penyelesaian tiap kegiatan ditulis dalam tanda kurung.
Komponen 1: Dukungan Implementasi Strategi REDD+ Tingkat Provinsi 1.1
Menilai dan memetakan status dasar tata batas dan pengelolaan dalam KPH di dekat hutan pelestarian bernilai tinggi, dan menyediakan masukan untuk “Satu Peta” (2015)
1.2
Membuat mekanisme keluhan dan ganti rugi dengan melibatkan pemerintah kabupaten dan KPH (2015)
1.3
Melakukan suatu pilot sistem informasi perlindungan tingkat kabupaten yang sejalan dengan pedoman UNFCCC dan berdasarkan inisiatif sebelumnya (2016)
1.4
Melatih pegawai tingkat provinsi, kabupaten, dan KPH serta pemimpin masyarakat sipil dan masyarakat dalam: (i) mediasi konflik penggunaan lahan dan perencanaan partisipatif, (ii) koordinasi lintas sektor untuk mencegah, mendeteksi, dan menekan kegiatan yang mengakibatkan hilangnya hutan, (iii) koordinasi horizontal dan vertikal untuk mengelola lanskap dan layanan ekosistem, (iv) prosedur untuk persetujuan bebas, tanpa paksaan, didahulukan, dan diinformasikan, (v) implementasi REDD+ di tingkat subnasional, dan (vi) pengembangan pengaturan pembagian keuntungan yang adil, dengan memperhatikan jender, dan tepat secara budaya (2017)
1.5
Menyusun dana berputar yang transparan, dapat dipertanggungjawabkan, dan berkelanjutan untuk melakukan suatu pilot skema insentif berbasis kinerja yang: (i) mengedepankan kerja sama untuk mencegah kebakaran hutan dan rerumputan yang tidak terkendali serta meningkatkan modal sosial, finansial, dan fisik milik penghuni hutan dan mengedepankan pemerataan dan penyertaan desa, (ii) membantu regenerasi alamiah dalam batas-batas hutan, dan (iii) menerapkan praktik pengelolaan serta mata pencaharian lahan dan hutan yang berkelanjutan (2017)
1.6
Memperbaiki kualitas data ilmiah, biofisika, dan sosial untuk penggunaan lahan dan perencanaan tata ruang oleh UPT dan perencanaan penggunaan hutan oleh KPH, bekerja sama dengan mitra pembangunan lain (2018); dan mekanisme untuk penggunaannya dalam pengelolaan sumber daya lahan dan hutan yang adaptif
3
Komponen 2: Implementasi percontohan REDD+ yang berfokus pada masyarakat, dan memperkuat kapasitas subnasional dalam pengelolaan hutan berkelanjutan 2.1
Mengidentifikasi area hutan produksi yang cocok untuk diubah menjadi pengelolaan hutan masyarakat sebagai manifestasi pengaturan penguasaan masyarakat (HA, HD, HKM, HTR) (2015)
2.2
Melakukan pilot kesepakatan-kesepakatan tentang pengelolaan hutan kemasyarakatan yang dapat dipercaya dan efisien di KPH (2016), bersama dengan mekanisme yang efektif untuk memonitor dan penerapan kesepakatan-kesepakatan tersebut
2.3
Menyusun suatu dana yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan untuk pilot atau meningkatkan skema insentif berbasis kinerja bagi sektor swasta untuk mempraktikkan pengelolaan hutan berkelanjutan, mengurangi penebangan dan memproses limbah, berinvestasi dalam skema sertifikasi, dan merelokasi operasi penebangan dan perkebunan ke lahan kritis (2016)
2.4
Menyusun suatu sistem yang efisien dan transparan untuk masyarakat adat dan penghuni hutan lain (misalnya para transmigran) untuk mengaplikasikan penguasaan pengelolaan hutan kemasyarakatan di KPH dan membuka akses hutan produksi berdasarkan penilaian dan pemetaaan partisipatif tingkat provinsi (2017)
2.5
Mendata dan mengintegrasikan pengetahuan adat, kearifan lokal, dan pengetahuan setempat mengenai pengelolaan hutan dan penggunaan lahan ke dalam rencana tata ruang kabupaten dan KPH, dengan bekerjasama dengan masyarakat setempat dan organisasi masyarakat sipil (2017)
2.6
Menciptakan suatu dana yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan untuk membiayai transaksi dan pelaksanaan oleh masyarakat adat dan komunitas setempat yang ingin melaksanakan proyek REDD+ untuk pasar karbon sukarela, dengan berkoordinasi dengan Mekanisme Hibah Terdedikasi untuk Masyarakat Adat dan Setempat (DGM) dari FIP (2017)
2.7
Membiayai layanan penyuluhan oleh kabupaten dan KPH untuk komunitas setempat – dengan menyertakan perempuan, generasi muda, dan kelompok terpinggirkan terkait – mengenai mediasi konflik penggunaan lahan, pengelolaan lahan berkelanjutan, agroforestri, pemahaman pembayaran skema layanan ekosistem, pembagian keuntungan, dan tema relevan lain (2018)
Komponen 3: Harmonisasi kebijakan fiskal atas perbaikan stok karbon
Proses desentralisasi menimbulkan beberapa tantangan dalam efektivitas pengelolaan hutan di Indonesia. Contohnya, pendapatan dari retribusi panen hutan dan biaya untuk reboisasi sekarang didistribusikan kepada pemerintah kabupaten dan provinsi dengan suatu cara yang menghasilkan area dengan panen hutan yang besar, bukan praktik pengelolaan terbaik (best management practices). Pengelolaan area yang lintas batas (seperti koridor margasatwa dan daerah aliran sungai) tetap merupakan suatu gap. Lebih penting lagi, seringkali ada perbedaan antara lembaga setempat, masyarakat, kebijakan perencanaan penggunaan lahan setempat, dan proses perizinan penggunaan lahan di tingkat nasional dan subnasional. Hal-hal tersebut seringkali mengarah pada izin yang tumpang-tindih, izin untuk area yang tidak sesuai, dan konflik dengan masyarakat setempat. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan berikut dibawah ini telah direncanakan:
3.1
Menelaah mekanisme fiskal antara tingkat nasional dan subnasional untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan dan disinsentif untuk menangani hal-hal yang mendorong deforestasi dan degradasi hutan, termasuk menyelesaikan hal-hal terkait alokasi dan distribusi pendapatan yang dihasilkan (2014)
3.2
Melakukan suatu pilot skema insentif secara transparan yang mendukung penyelarasan transfer fiskal subnasional yang sudah ada dengan tujuan REDD+ yang juga menghasilkan pemanfaatan bersama terhadap sosial dan lingkungan, dengan memperhatikan implikasi equitas dari skema tersebut (2016)
4
3.3
Menyelenggarakan atau mendukung sarana komunikasi untuk kerja sama teknologi, penyebaran informasi, dan koordinasi kebijakan lewat pertukaran pengetahuan dan berjejaring antar KPH, kabupaten, provinsi, dan negara (2018)
4. Risiko, Uji Tuntas, dan Konsultasi Pemangku Kepentingan Selama Pengembangan Proyek
Proyek ini diklasifikasikan sebagai proyek yang kompleks karena terbatasnya pengalaman ADB dengan proyek-proyek REDD+ di Indonesia, terbatasnya pengalaman Kementerian Kehutanan dengan proyek-proyek yang didukung ADB, konflik kepentingan dan tidak jelasnya alur tanggung jawab di lapangan antara KPH dan unit pemerintahan subnasional lainnya, masalah konflik terkait kepemilikan lahan, berbagai peraturan daerah yang saling bertentangan, kurang jelasnya pengaturan kepemilikan, terbatasnya kapasitas teknis dan kelembagaan dari badan pelaksana di program investasi REDD+ yang berfokus pada masyarakat, dan potensi keprihatinan tentang perlindungan, terutama yang berhubungan dengan jender, transmigran, dan masyarakat hutan setempat.
Pada masa persiapan proyek, masyarakat setempat serta pembuat kebijakan tingkat kabupaten, provinsi dan nasional akan dimintai pendapat untuk menilai (i) dampak kemiskinan, jender, dan sosial di area proyek, khususnya masyarakat transmigran dan Dayak; (ii) pengelolaan keuangan publik; pengadaan; aturan-aturan antikorupsi; hal-hal yang menyangkut kebijakan dan hukum; kapasitas; tata kelola, kelembagaan dan mekanisme-mekanisme tingkat sub-nasional; (iii) viabilitas ekonomi dan finansial, termasuk kemampuan pengelolaan finansial badan penerap, dan mekanisme pendanaan yang cocok untuk proyek hibah selanjutnya.
Mencari masukan dari berbagai pemangku kepentingan mengenai hal-hal tersebut diatas.
5. Informasi Utama: Nama: Jabatan: Telepon: Faksimili: Email: Lokasi:
Dr. Ancha Srinivasan Pr. Climate Change Specialist 63-2-632-4786 63-2-636-2231
[email protected] Manila, Filipina
Alternatif: Nama: Jabatan: Telepon: Faksimili: Email: Lokasi:
Pantja Putih Wardhani Senior Project Officer 62-21-251-2721 62-21-251-2749
[email protected] Jakarta, Indonesia
5