RINGKASAN DISERTASI
PENGEMBANGAN MASYARAKAT PESISIR BERDASARKAN KEARIFAN LOKAL DI PESISIR KABUPATEN BULELENG DI PROVINSI BALI
SITI AMANAH
Komisi Pembimbing: Ketua :
Dr. Ir. Basita G. Sugihen, M.A.
Anggota : Prof. Dr. H. Pang S. Asngari Prof. Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, APU. Dr. Ir. Sumardjo, M.S.
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
ABSTRACT SITI AMANAH. Coastal Community Development based on Local Knowledge and Wisdom in Coastal Area of Buleleng Regency, in Province of Bali. Directed by BASITA GINTING SUGIHEN, PANG S. ASNGARI, DJOKO SUSANTO, and SUMARDJO. Socio–economics and ecological aspects of community behavior are very complex, and relate to internal and external factors include local knowledge and wisdom. The community is still confronted to poverty problems and needs improvement. Therefore, the purpose of the study was to generate representative strategy for developing behavioral coastal community change to achieve better quality of life. The study was carried out at the coastal area of Buleleng Regency, North of Bali Province. A number of 168 out of 229 coastal community respondents, and 33 informants participated in the study. Interview techniques combined with semistructured interview were utilised to study the research problems. Both qualitative and quantitative data analysis were utilised to explain the research findings. The evident showed that coastal community in Buleleng Regency still managed the resources traditionally. The community managed various activities includes catch– fishery, aquaculture, sea farming, fishery processing, marketing, and tourism. Local regulation (awig–awig) has been used to manage the coastal resources. The principle of tri hita karana or three sources of life (God, human, and nature) has been enriched the life of the community. Both awig–awig and tri hita karana are forms of local knowlwedge and wisdom. Research results indicated that all independents variables include socio–cultural dynamic of the community, informal leadership, respondent profile, empowerment programs, facilitators’ competency, and the law, regulation, policies, and infrastructure correlated significantly to community behavior (rs range from 0,174 to 0,816). Socio–cultural dynamic of the community and empowerment programs directly affected the community behavior with path coefficients value respectively were 0,117 and 0,718. The total determinant coefficient of the model was 0,98. This coefficient value means that 98 percent of variables used in the model were able to explain the community behaviour in managing the resources; and that two percent of the behavior were affected by other variables such as behavior of nonfishery communities in exploiting the resources and natural aspect of fishery and coastal resources. The implementation of the coastal community development strategy as one of the research output, requires the dynamic of socio–economic condition and high quality of extension system. From Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT) analysis, it can be suggested that the fishery community model generated from this research can be implemented well through maximizing the strengths and opportunities. Developing the coastal community should combine multi-approaches includes maintaining socio–cultural values of the community through acknowledging indigenous knowledge and local wisdom; improving extension system that would help promote fishery quality of life; undertaking various productive activities; coordination amongst stakeholders; and law enforcement concerning coastal and marine resources exploitation.
ii
RINGKASAN SITI AMANAH. Pengembangan Masyarakat Pesisir berdasarkan Kearifan Lokal di Pesisir Kabupaten Buleleng, di Provinsi Bali. Dibimbing oleh BASITA GINTING SUGIHEN, PANG S. ASNGARI, DJOKO SUSANTO, dan SUMARDJO. Pola kehidupan masyarakat pesisir sangat kompleks, dihadapkan pada kondisi sumber daya pesisir dan laut (disingkat SDP) yang khas dan sumber kehidupan yang bergantung secara langsung mau pun tidak langsung pada SDP. Fokus penelitian ini adalah perilaku masyarakat pesisir yang memanfaatkan SDP di bidang perikanan yakni nelayan, pembudidaya, pengolah, dan pemasar. Sejalan dengan itu, tujuan penelitian adalah mengungkap dan menjelaskan faktor–faktor yang berhubungan dengan perilaku mengelola SDP, dan perumusan strategi pengembangan masyarakat pesisir yang relevan. Penelitian dilakukan di tiga wilayah pesisir di Kabupaten Buleleng yakni di Kecamatan Gerokgak, Buleleng, dan Tejakula. Data primer diperoleh dari 229 orang responden masyarakat pesisir dan 33 informan, namun yang diolah secara statistik adalah 168 responden yang memiliki kegiatan usaha serupa di tiga lokasi pesisir. Analisis kuantitatif dan deksriptif kualitatif digunakan untuk menjelaskan temuan. Peubah penelitian adalah dinamika sosial budaya masyarakat (X1 ); kepemimpinan informal (X2 ); keragaan individu (X3 ); program pemberdayaan pada masyarakat (X4 ); kompetensi fasilitator program pemberdayaan (X5 ); kualitas pendukung kegiatan perikanan (X6 ); perilaku masyarakat pesisir terhadap SDP (Y1 ); kualitas SDP (Y2 ); dan kesejahteraan rumah tangga (Y3 ). Nelayan, pembudidaya, pengolah, dan pemasar hasil perikanan di lokasi penelitian tergolong masyarakat pesisir tradisional yakni pemanfaatan SDP diutamakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (subsisten). Komunitas tersebut memiliki kearifan lokal berupa awig–awig guna mengatur pemanfaatan SDP. Awig–awig disusun bersama berdasarkan kesepakatan lokal, sekaligus menjadi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga kelompok nelayan. Pelanggaran terhadap awig–awig dikenakan sanksi tegas. Prinsip tri hita karana atau keseimbangan tiga sumber kehidupan yaitu antara Tuhan, alam, dan manusia dan penerapan awig-awig secara konsisten adalah pendorong bagi perilaku yang responsif terhadap pengelolaan SDP secara berkelanjutan. Penangkapan ikan hias menggunakan teknik ramah lingkungan dilakukan oleh nelayan di Kecamatan Tejakula. Nelayan di Kecamatan Tejakula aktif melakukan transplantasi karang. Intensitas pemanfaatan SDP paling tinggi untuk berbagai usaha dijumpai di Kecamatan Gerokgak. Selain karena kondisi biofisik Teluk Pemuteran yang mendukung, masyarakat pesisir di Kecamatan Gerokgak memiliki peluang yang besar mengakses informasi dan memanfaatkan hasil- hasil penelitian tentang budi daya laut (marine aquaculture) dari Balai Besar Riset Perikanan Budi Daya Laut, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Kondisi permukiman nelayan di Kecamatan Buleleng tertata sebagai hasil kesepakatan antara nelayan dengan pengelola wisata bahari. Nelayan di Kecamatan Buleleng memiliki usaha sambilan yakni menawarkan jasa wisata bahari pada wisatawan berupa pengamatan perilaku lumba–lumba, diving, dan snorkeling. Seluruh peubah bebas menunjukkan hubungan positif dan nyata dengan perilaku nelayan mengelola SDP. Kondisi sosial budaya yang menerapkan nilai- nilai kearifa n lokal secara konsisten dan dinamis; didukung oleh program pemberdayaan ii
yang berpusat pada kepentingan masyarakat merupakan faktor determinan yang berpengaruh langsung terhadap peningkatan kualitas perilaku nelayan mengelola SDP secara optimal. Keterkaitan antar peubah dalam model pengembangan perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP secara lestari menunjukkan adanya hubungan positif dan nyata antara dinamika sosial budaya, kepemimpinan informal, kondisi nelayan, kualitas program pemberdayaan, kompetensi fasilitator, serta dukungan fasilitas dan peraturan pemanfaatan SDP dengan perilaku nelayan mengelola SDP dengan nilai koefisien korelasi berkisar antara 0,174 hingga 0,816. Nilai koefisien lintas hubungan antara peubah kondisi sosial budaya yang dinamis dan kualitas program pemberdayaan dengan peubah perilaku nelayan mengelola SDP berturutturut adalah sebesar 0,117 and 0,718. Koefisien determinasi total dari hubungan antar peubah pada model perilaku masyarakat mengelola SDP adalah sebesar 0,98. Artinya, keragaman data yang dapat dijelaskan pada model hubungan antar peubah tersebut adalah sebesar 98 persen. Sisanya sebesar dua persen dijelaskan oleh peubah lain yang tidak termasuk di dalam model seperti aktivitas pengelola SDP non masyarakat pesisir dan aspek alamiah SDP seperti abrasi dan migrasi ikan. Evaluasi faktor internal dan eksternal model pengembangan masyarakat pesisir menunjukkan bahwa faktor penentu keberhasilan model pengembangan masyarakat pesisir adalah kekuatan berupa dinamika sosial budaya masyarakat yang tinggi; kelemahan yang paling menonjol adalah pendekatan penyuluhan belum berorientasi pada kebutuhan dan penyuluhan terlalu terfokus pada masalah teknis; peluang terbuka paling besar adalah kesempatan melakukan diversifikasi usaha di pesisir; dan ancaman terbesar adalah persaingan pasar hasil perikanan dengan produk yang lebih bervariasi. Kekuatan model pengembangan masyarakat pesisir tersebut berada pada Kuadran I (satu) atau wilayah Kekuatan dan Peluang (StrengthsOpportunities, disingkat SO) yaitu memaksimumkan kekuatan dan peluang. Hal ini menunjukkan model yang dihasilkan melalui penelitian ini kokoh (robust), sehingga layak untuk diterapkan secara nyata. Strategi pengembangan masyarakat pesisir untuk mewujudkan visi masyarakat pesisir yang sejahtera dan mandiri dapat dilakukan melalui mekanisme penyelenggaraan sistem penyuluhan yang didasarkan pada kondisi spesifik SDP, didukung nilai- nilai kearifan lokal, difokuskan pada peningkatan kualitas hidup nelayan dan keluarganya, dan berorientasi mutu. Keterpaduan antar lembaga dan keseimbangan pencapaian tujuan ekonomi, ekologi, dan sosial diperlukan bagi keberlanjutan sistem pengembangan masyarakat pesisir. Kata Kunci: masyarakat pesisir, kearifan lokal, dan perilaku pengelolaan SDP
iii
PRAKATA Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena hanya atas limpahan petunjuk dan anugerah–Nyalah maka disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan hasil kajian teoritik dan empirik tentang pengembangan masyarakat pesisir mengelola sumber daya pesisir dan laut berdasarkan pada kearifan lokal. Penelitian dilakukan di wilayah pesisir utara Pulau Bali yang khas dengan kondisi masyarakat relatif lebih tradisional dibandingkan dengan Bali Selatan seperti Kawasan Pantai Kuta dan Jimbaran yang berkembang pesat oleh industri pariwisata yang sudah mendunia. Dapat dikatakan, disertasi ini merupakan refleksi pembelajaran penulis tentang perilaku masyarakat pesisir terhadap lingkungannya. Perilaku manusia merupakan hasil interaksi faktor internal dan eksternal, begitu pula dengan perilaku nelayan terhadap sumber daya pesisir dan laut. Diharapkan disertasi dapat memberikan sumbangsih yang besar bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat pesisir. Disertasi ini dipersembahkan kepada Suami tercinta H. Muhammad Akbar, M.Sc. Eng. dan ananda Deka Auliya Akbar dan Refo Ilmiya Akbar; orang tua kami Ayahanda H. Sukro Utomo SH (Alm), dan Ibunda Hj. Maimunah, A.Md.; Keluarga Besar Sukro Utomo dan Keluarga Besar Abubakar Hasan Malbari; atas dukungan yang tanpa mengenal lelah, baik moriil maupun spirituil, sehingga kami dapat melaksanakan tugas studi, pekerjaan dan tugas-tugas lainnya sebagai pengalaman berharga dalam hidup dan kehidupan. Ungkapan terima kasih diperuntukkan kepada Para Pendidik kami di berbagai lembaga pendidikan mulai Pra Sekolah hingga SMA di Singaraja Bali, Universitas Brawijaya, Universitas Padjadjaran, Indonesia-Australia Languange Foundation - Bali, University of Western Sydney, dan Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB, yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengasah kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Penghargaan ditujukan kepada Penguji Disertasi yaitu Dr. Joko Purwanto, Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, dan Dr. Sudirman Saad, para kolega di Departemen Sosial Ekonomi Perikanan – Kelautan FPIK, dan di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat FEMA semoga dapat me motivasi mahasiswa untuk lebih mencintai dunia bahari, aktif dalam memberdayakan keluarga nelayan dan masyarakat yang lebih luas, menuju tatanan kehidupan bangsa yang sejahtera dan bermartabat. Kami menyadari bahwa tidak ada sesuatu pun yang sempurna termasuk ringkasan disertasi ini, atas saran dan masukan pembaca kami sampaikan terima kasih. Bogor, 12 Desember 2005 Siti Amanah P 016014031
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Singaraja–Bali pada 03 September 1967 sebagai putri pertama Keluarga Bapak H. Sukro Utomo, S.H. (Almarhum), dan Ibu Hj. Maimunah, A.Md. Pada tahun 1985, melalui jalur Penelusuran Minat, Bakat, dan Kemampuan (PMDK), penulis diterima di Fakultas Pertanian (FAPERTA), Universitas Brawijaya (UNIBRAW) Malang. Penulis memilih Program Studi Penyuluhan dan Pembangunan Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Saat menempuh Program Sarjana, penulis aktif dalam kepengurusan HIMASEPA–FAPERTA UNIBRAW, dan menjadi asisten dosen pada mata kuliah Ekonomi Pertanian, Statistika, dan Sosiologi Pedesaan. Penulis lulus sebagai Sarjana Pertanian pada tahun 1989 dengan predikat cum laude. Judul skripsi yang disusun adalah “Pengaruh Kepemimpinan terhadap Partisipasi Petani dalam Pelaksanaan Kegiatan Lumbung Desa (Studi Kasus pada Dua Desa di Malang Selatan).” Sejak tahun 1991, penulis bertugas sebagai dosen pada Politeknik Pertanian Universitas Jember (sekarang Politeknik Negeri Jember). Mata kuliah yang diasuh antara lain adalah Penyuluhan I dan II, Koperasi, Dasar–dasar Manajemen, Ekonomi Produksi, dan Dasar–dasar Perancangan Percobaan. Pada tahun 1991 hingga 1992, penulis mengikuti pendidikan dan latihan pada Polytechnic Education Consortium of Agriculture (PEDCA) Universitas Padjadjaran dengan spesialisasi Penyuluhan Pertanian. Pada tahun 1995, penulis menempuh Program Master pada University of Western Sydney dengan bea siswa dari Pemerintah Australia (AusAID, dulu AIDAB). Penulis menamatkan Program Master tersebut pada tahun 1997 dengan tesis berjudul A Learner–centered Approach to Improve Teaching and Learning Process at an Agricultural Polytechnic in Indonesia. Penulis mulai bertugas pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB sejak tahun 1998, dan membina Mata Kuliah Penyuluhan dan Pengembangan Masyarakat Pesisir, Komunikasi Pembangunan, Sosiologi Perikanan, Perubahan Sosial, dan Manajemen Umum. Hingga November 2005, penulis berhasil membimbing dan meluluskan lebih dari 23 mahasiswa Program Diploma III, 33 mahasiswa Program Sarjana, dan tiga mahasiswa Program Master. Juni 2005 hingga saat ini, penulis diberi amanah sebagai Ketua Divisi Kajian Gender dan Pembangunan, Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, IPB. Pada Semester Genap Tahun Ajaran 2001/2002, penulis mulai menempuh Program Doktoral pada Sekolah Pascasarjana IPB dengan Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan. Kegiatan ilmiah yang diikuti penulis dalam lima tahun terakhir antara lain, Pemakalah pada International Symposium of Agricultural Sciences (Bogor, 2000), Peserta Forum Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (Jakarta, 2001), Panitia Symposium on Socio Economic Fisheries (JSPS–IPB, 2002), Pemakalah pada Seminar Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi X (Jakarta, 2001 sampai dengan 2005), dan Peserta Lokakarya Multipihak sebagai Landasan Keterpaduan untuk Pengelolaan Lingkungan Hidup Kepulauan Seribu (2003). Penulis terpilih sebagai Penyaji Poster Terbaik Bidang Ilmu Sosial pada Presentasi Hasil Penelitian Hibah Bersaing IX tahun 2005 yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi DEPDIKNAS, dan Finalis Sayembara Karya Tulis “Menuju Indonesia Sejahtera: Upaya Konkret Pengentasan Kemiskinan” tahun 2005 yang diselenggarakan oleh
iv
Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) dan Harian KOMPAS. Tulisan ilmiah yang dipublikasikan dalam lima tahun terakhir antara lain adalah Metode RRA dan PRA dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Terpadu (Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Laut IPB, 2000), Pendekatan Participatory Action Research dalam Upaya Kemandirian Petani–Nelayan Kecil (Buletin Ekonomi Perikanan, 2000), New Approach to Agricultural Extension (Prosiding CREATA, 2001), Strategi Penyuluhan untuk Pengembangan Petambak Tradisional (Jurnal Ilmu Perairan, 2001), Perencanaan Program Penyuluhan di Desa Anturan, Buleleng, Bali (Buletin Ekonomi Perikanan, 2003), dan Perencanaan Strategis Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Terpadu di Kepulauan Seribu (Buletin Ekonomi Perikanan, 2004). Artikel yang berjudul “Pengembangan Masyarakat Pesisir dalam Mengelola Sumber Daya Pesisir dan Laut: Kasus Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali” sebagai bagian dari disertasi ini diterbitkan oleh Jurnal Pascasarjana IPB. Pada tanggal 27 Oktober 2005, penulis menempuh Sidang Ujian Tertutup; dan pada tanggal 12 Desember 2005, penulis menempuh Sidang Ujian terbuka dan dinyatakan lulus dari Studi Program Doktoral di IPB.
v
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... PENDAHULUAN ................................................................................................ Latar Belakang .................................................................................. .......... Masalah Penelitian ............................................................................. ......... Tujuan Penelitian .............................................................................. .......... Pengertian Istilah ......................................................................................... KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ...................................................... Kerangka Berpikir ...................................................................................... Hipotesis Penelitian .................................................................................... METODE PENELITIAN ..................................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................................... Gambaran Umum Responden ..................................................................... Perilaku Masyarakat Pesisir Mengelola SDP .............................................. Pengembangan Masyarakat Pesisir dalam Mengelola SDP ........................ Hubungan antara Perilaku Nelayan dengan Kondisi SDP ................... Keterkaitan antara Perilaku, Kondisi SDP, dan Kesejahteraan Rumah Tangga .................................................................................................. Sistem Pengembangan Masyarakat Pesisir Mengelola SDP bagi Kesejahteraan ....................................................................................... Model Pengembangan Perilaku Masyarakat Pesisir dalam Mengelola SDP Penerapan Model Pengembangan Masyarakat Pesisir dalam Mengelola SDP ....................................................................................................... KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ Kesimpulan .................................................................................................. Saran ............................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
vii
vi vii 1 1 2 2 3 8 8 15 16 19 17 20 22 29 32 33 40 48 49 54 54 56 58
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Pemikiran tentang Perilaku Masyarakat Pesisir Mengelola SDP............. Identifikasi Paradigma Pengembangan Masyarakat .............................. Pemikiran tentang Nilai -nilai Sosial Budaya dalam Mengelola SDP ... Pemikiran tentang Profil Individu Nelayan dalam Mengelola SDP ...... Pemikiran tentang Program Pemberdayaan dan Kemampuan Fasilitator Program ................................................................................. Pemikiran tentang Pendukung Kegiatan dalam Pengelolaan SDP ......... Pemikiran tentang Kondisi SDP dan Perannya bagi Kesejahteraan ...... Potensi dan Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Kabupaten Buleleng Tahun 2003 ............................................................................... Perkembangan Penggunaan Alat Tangkap Ikan di Lokasi Studi pada Tahun 2001-2003 ..................................................................................... Produksi Beberapa Usaha Perikanan di Tiga Lokasi Penelitian pada Tahun 2000 dan 2003 ............................................................................... Sebaran Kelompok Nelayan Berdasarkan Kelasnya di Lokasi Penelitian Tahun 2003.............................................................................. Ciri-ciri Responden di Tiga Kecamatan .................................................. Perbandingan Awig-awig di Tiga Lokasi Penelitian................................ Sebaran Responden menurut Perilaku dalam Mengelola SDP ................ Hubungan antara Perilaku Masyarakat Pesisir dengan Berbagai Peubah Bebas ......................................................................................... Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung berbagai Peubah Bebas terhadap Perilaku Nelayan ..................................................................... Hasil Analisis Jalur antar Indikator Peubah Kualitas SDP terhadap Kondisi SDP ............................................................................................. Hasil Analisis Jalur berbagai Indikator Perilaku dan Konsisi SDP terhadap Kesejahteraan .......................................................................... Hasil Analisis Jalur Hubungan antara Perilaku dengan Kondisi SDP dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan .............................................. Analisis Jalur Hubungan antar Peubah dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Masyarakat Pesisir ..........................................................
viii
8 10 11 12 13 14 14 19 20 21 22 23 25 30 31 33 36 38 39 42
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Alur Berpikir Logik Lingkup yang Diteliti dan Proses Penelitian ......... 2. Keterkaitan antar Peubah dalam Mendesain Model Pengembangan Masyarakat Pesisir untuk Meningkatkan Kesejahteraan ........................ 3. Hubungan antar Peubah yang Mempengaruhi Perilaku Nelayan dalam Mengelola SDP ............................................................................ 4. Hubungan antar Peubah yang Berpengaruh terhadap Kualitas SDP........ 5. Hubungan antara Peubah Perilaku Nelayan, Kualitas SDP, dan Kesejahteraan Rumah Tangga ................................................................ 6. Pengaruh Peubah Perilaku dan Kualitas SDP terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Pesisir ............................................................................. 7. Keterkaitan antara Manusia, SDP, dan Perilaku Masyarakat Mengelola SDP ........................................................................................ 8. Analisis Sistem Pengembangan Masyarajat Pesisir Mengelola SDP secara Berkelanjutan .............................................................................. 9. Model Pengembangan Perilaku Masyarakat Pesisir Mengelola SDP secara Optimal ........................................................................................ 10. Keterkaitan antar Lembaga dalam Pengembangan Masyarakat Pesisir ... 11. Mekanisme Penerapan Sistem Pengembangan Masyarakat Pesisir dalam Mengelola SDP ..............................................................................
ix
9 17 35 37 39 40 41 43 51 52 55
PENDAHULUAN Latar Belakang Masyarakat pesisir memiliki kehidupan yang khas, dihadapkan langsung pada kondisi ekosistem yang keras, dan sumber kehidupan yang bergantung pada pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut (selanjutnya disingkat SDP). Masyarakat pesisir terutama nelayan kecil, masih terbelit oleh persoalan kemiskinan dan keterbelakangan. Terdapat persoalan tertentu terkait dengan aspek ekologis, sosial, dan ekonomi, sehingga masyarakat pesisir masih tertinggal (Hanson, 1984). Kebergantungan yang sangat tinggi terhadap sektor pariwisata memperburuk kondisi kehidupan masyarakat sejak krisis ekonomi 1997–1998, diperparah oleh tragedi bom di Kawasan Wisata Pantai Kuta Denpasar pada 12 Oktober 2002 dan pada 1 Oktober 2005.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat akibat menurunnya kunjungan
wisatawan yang berdampak pada semakin meningkatnya pengangguran. Hal ini dialami pula oleh 35 persen penduduk usia produktif dan nelayan di Kabupaten Buleleng yang terlibat pula pada layanan jasa pariwisata. Pengelolaan SDP secara optimal merupakan alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mengurangi kebergantungan yang terlalu besar pada sektor pariwisata. Pada tahun 2003, 10 persen penduduk Provinsi Bali memiliki pengeluaran antara Rp 60 ribu hingga Rp 80 ribu dalam sebulan. Persentase pengeluaran tertinggi adalah pada kelompok pengeluaran antara Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per bulan, yakni sebesar 34 persen (BPS, 2003). Pada tahun 2003, nilai kebutuhan minimal hidup per bulan lebih kurang Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu. Hal ini me mperlihatkan bahwa di Provinsi Bali masih ada sebagian masyarakat yang hidup miskin. Persoalan kualitas hidup yang rendah dialami pula oleh masyarakat pesisir Kabupaten Buleleng.
Ketertinggalan dan
keterbelakangan sebagian masyarakat pesisir dibandingkan potensi SDP yang dimiliki dapat diteliti dari berbagai segi, salah satunya adalah dari perilaku nelayan dalam mengelola SDP tersebut. Melalui penelitian, keterkaitan antara faktor internal dan eksternal nelayan dengan perilaku nelayan dalam memanfaatkan SDP dapat dianalisis. Dinamika sosial budaya masyarakat, konsep pemberdayaan komunitas, dan berbagai teori terkait digunakan dalam menelaah pengembangan komunitas pesisir.
Perilaku pengelola sumber daya alam
dianalisis dengan menggunakan teori belajar, teori perubahan berencana, dan konsep perilaku.
Fakta empirik yang diperoleh melalui penelitian sangat bermanfaat dalam
merancang model pengembangan perilaku masyarakat pesisir guna mengelola pesisir dan
1
2
laut. Keterkaitan berbagai variabel yang berkontribusi pada perilaku masyarakat pesisir dalam mendayagunakan SDP dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Pemanfaatan sumber daya alam secara sosio-ekonomi dan menaati asas kelestarian, se diharapkan dapat menjamin keberlanjutan SDP, sebagaimana diungkap pula dalam Agenda 21 yang salah satu bagiannya mengemukakan pentingnya pengelolaan sumber daya alam termasuk SDP.
Atas dasar itulah maka penelitian ini dilakukan guna
mengungkap berbagai faktor terkait denga n perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP di Kabupaten Buleleng.
Masalah Penelitian Masalah penelitian (research questions) yang dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana pengetahuan, sikap mental, dan kemampuan masyarakat pesisir dalam menge lola SDP di Kabupaten Buleleng, dan mengapa pengelolaan SDP masih terbatas? (2) Faktor–faktor determinan manakah yang mempengaruhi perilaku masyarakat pesisir dalam mengelola SDP? (3) Apakah terdapat hubungan antara perilaku nelayan mengelola SDP dan kualitas SDP dengan kesejahteraan rumah tangga? (4) Bagaimana paradigma pengembangan perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP guna meningkatkan kualitas hidup dan kelestarian sumber daya alam?
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian secara umum adalah untuk memperoleh gambaran rinci tentang perilaku masyarakat pesisir meliputi nelayan, pengolah dan pembudidaya, dalam memanfaatkan SDP menjadi berbagai aktivitas produktif tanpa merusak keseimbangan lingkungan. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengungkap perilaku masyarakat pesisir khususnya nelayan, dalam mengelola sumber daya pesisir dan laut. (2) Menjelaskan faktor–faktor yang berhubungan dengan perilaku masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut, dan mempengaruhi kondisi sumber daya alam tersebut serta kesejahteraan rumah tangga nelayan. (3) Menghasilkan desain rumusan strategi pengembangan masyarakat yang relevan dengan tipologi masyarakat pesisir di Kabupaten Buleleng.
3
Definisi Istilah Model Model adalah abstraksi realitas, yang di dalamnya dinyatakan hubungan antar variabel yang disederhanakan. Suatu model dapat menjelaskan bekerjanya sebuah sistem. Dalam penelitian ini, model diperoleh melalui perpaduan antara teori, kondisi empirik, didasarkan pada asumsi tertentu, dan dapat diuraikan dengan jelas komponen– komponennya
sehingga
pengguna
model
tersebut
kelak
dapat
dengan
mudah
menerapkannya . Penyuluhan Pembangunan Penyuluhan pembangunan meliputi upaya sadar dan terencana yang berkaitan dengan transformasi perilaku melalui pendekatan pendid ikan, komunikasi, dan partisipasi, agar masyarakat dapat mengambil keputusan mengelola kegiatan menuju kehidupan yang lebih berkualitas lahir dan batin. Penyuluhan bukanlah berarti penerangan, sosialisasi, ataupun transfer teknologi, akan tetapi penyuluhan merupakan proses pemberdayaan agar individu, kelompok, organisasi, dan komunitas yang lebih luas mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi melalui pendekatan pendidikan non formal dan komunikasi interaktif. Penyuluh Penyuluh adalah orang yang memiliki kompetensi dan tanggung jawab sebagai pengantar perubahan atau pembaharuan (agent of change) dalam proses transformasi perilaku ke arah yang diharapkan. Di lapangan, terdapat penyuluh yang ditugaskan oleh instansi pemerintah seperti Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), dan dikenal pula istilah penyuluh swadaya, yakni pihak yang melaksanakan kegiatan penyuluhan dan berasal dari lingkungan masyarakat seperti ketua kelompok nelayan dan pemuka masyarakat dengan pembia yaan dari masyarakat. Penyuluh memerlukan kompetensi tertentu untuk mentransformasikan perilaku individu, kelompok, organisasi maupun masyarakat.
Kompetensi itu meliputi kemampuan
berinteraksi dengan masyarakat atau kemampuan bersosialisasi, penguasaan materi dan metode penyuluhan, dan prinsip–prinsip ekonomi suatu usaha.
4
Wilayah Pesisir Wilayah pesisir sebagaimana dikemukakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (2002b) merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut arah darat meliputi bagian daratan, baik yang kering maupun yang terendam air laut, dan masih dipengaruhi oleh sifat–sifat air laut seperti pasang surut, angin laut, ombak dan gelombang serta perembesan air laut; sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar dari Daerah Aliran Sungai (DAS) maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan buangan limbah domestik, limbah industri dan pertanian. Dalam penelitian ini, batasan wilayah pesisir adalah daerah daratan yang berbatasan langsung dengan laut, dengan radius mencapai 3 (tiga) km dari garis pantai dan 4 (empat) mil dari garis pantai ke arah laut.
Sumber Daya Pesisir dan Laut (SDP) Sumber daya (resource) merupakan sesuatu yang berguna, dimiliki oleh sebuah Negara, dan dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan (Collins Cobuild English Dictionary, 1992). Sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati, dan sumber daya buatan (Soerjani dkk., 1987). Ekosistem pesisir meliputi terumbu karang, padang lamun, kawasan pantai, dan perairan terbuka (Whitten dkk., 1999). SDP oleh Dahuri (2003) dibagi menjadi empat yaitu sumber daya yang dapat diperbaharui, sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, energi termal, dan jasa-jasa lingkungan. SDP yang dimaksud dalam penelitian ini, adalah lahan di pesisir yang dapat digunakan untuk usaha produktif, dan sumber daya ikan di wilayah laut. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa subyek penelitian memanfaatkan SDP melalui penangkapan ikan, budi daya perairan, dan pengolahan ikan secara tradisional; dan memanfaatkan lahan di pesisir untuk usaha produktif. Masyarakat Pesisir Masyarakat pesisir merupakan kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan SDP (Nikijuluw, 2001). Dengan demikian, terdapat masyarakat pesisir yang bergantung pada pemanfaatan sumber daya perikanan dan non perikanan.
Pemanfaat sumber daya
5
perikanan antara lain terdiri atas nelayan, pembudidaya ikan dan biota laut lainnya, pengolah dan pemasar.
Pemanfaat SDP non perikanan diantaranya penyedia jasa
lingkungan, dan pemanfaat energi termal dan bahan tambang. Departemen Kelautan dan Perikanan (2002a) menyebutkan masyarakat pesisir meliputi nelayan yaitu orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan, pembudidaya ikan di laut, petambak, wanita nelayan dan pengolah ikan, dan lembaga pemasar hasil perikanan. Penelitian ini difokuskan pada pemanfaat SDP perikanan yakni nelayan, pembudidaya, pengolah, dan pemasar hasil perikanan. Kearifan Lokal Kearifan lokal merupakan nilai–nilai budaya, pengetahuan, dan pengalaman yang menjadi entitas suatu kelompok masyarakat yang digunakan oleh masyarakat dalam mengelola interaksi antara sesama manusia, dan antara manusia dengan alam. Mitchell dkk. (2003) menyebutkan bahwa pada masyarakat lokal, konsep tentang hak kepemilikan bisa berbeda, bahkan tidak ada. Terkait dengan pengelolaan SDP, masyarakat pesisir melalui kelompok nelayan di Bali memiliki kesepakatan tentang mekanisme pemanfaatan SDP yang didasarkan pada nilai–nilai lokal. Tata aturan tersebut dikenal dengan awig– awig, dan penjelas awig-awig disebut pelarem. Selain itu, prinsip tri hita karana atau tiga sumber keseimbangan hidup yaitu Tuhan, manusia, dan alam mewarnai kehidupan masyarakat Bali. Awig-awig dan tri hita karana saling mendukung dalam mewujudkan tatanan kehidupan yang harmonis di Bali. Perilaku Masyarakat Pesisir Perilaku masyarakat pesisir dalam penelitian ini mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan masyarakat pesisir dalam memanfaatkan pesisir dan laut untuk secara berkelanjutan ditinjau dari segi sosial, ekonomi, dan konservasi.
Pengembangan Masyarakat Pengembangan masyarakat adalah upaya masyarakat bersama pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan alam melalui proses pemberdayaan yang salah satunya dapat ditempuh melalui program penyuluhan. Terdapat empat unsur pokok pengembangan masyarakat yaitu adanya tujuan yang diharapkan, partisipasi masyarakat,
6
dukungan pemerintah, dan organisasi masyarakat. Inisiatif mengembangkan masyarakat diharapkan dapat berasal dari dalam masyarakat, sehingga peran orang luar lebih banyak sebagai fasilitator. Pemberdayaan (empowerment) adalah upaya kapasitasi atau peningkatan kemampuan masyarakat baik secara sosial maupun ekonomi dengan menggunakan potensi sumber daya lokal; menempatkan orang yang diberdayakan sebagai subyek atau fokus kegiatan; sehingga masyarakat memiliki kekuatan untuk meningkatkan kualitas hidup. Pemberdayaan merupakan upaya peningkatan kekuatan (daya) masyarakat agar masyarakat tersebut mempunyai kekuatan untuk maju dan berkembang (legal power), memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan (legal authority), dan mampu mengakses berbagai layanan publik (legal access). Dalam penelitian ini, keberdayaan adalah dimilikinya kemampuan mengelola SDP untuk berbagai usaha, pengambilan keputusan secara mandiri, mampu mengakses pendidikan yang layak bagi anggota keluarganya,
layanan
kesehatan
yang
berkualitas,
mengembangkan
usaha,
dan
mengembangkan jaringan sosial. Kriteria Kemiskinan Terdapat dua macam tolok ukur kemiskinan, yaitu absolut dan relatif. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang diukur berdasarkan garis kemiskinan (poverty line). United Nation Development Program (UNDP) menetapkan Human Development Index (HDI) sebagai tolok ukur perkembangan kualitas hidup yang dilihat dari pendapatan, pendidikan, dan derajat kesehatan; Sajogyo menetapkan ukuran pengeluaran setara beras sebagai garis kemiskinan; Biro Pusat Statistik (BPS) menggunakan sebelas indikator kesejahteraan, dan lain–lain.
Pada bulan September 2000, dalam Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa–bangsa, sejumlah 189 negara anggota PBB menyepakati Deklarasi Milenium yang dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs). Deklarasi tersebut menekankan dipenuhinya hak–hak dasar manusia melalui pendekatan nilai–nilai lokal. Delapan target MDGs meliputi (i) penghapusan kemiskinan dan kelaparan, (ii) pencapaian pendidikan dasar untuk semua, (iii) kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (iv) menurunkan angka kematian balita, (v) peningkatan kesehatan ibu, (vi) memerangi penyakit HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, (vii) menjamin kelestarian lingkungan hidup secara berkelanjutan, dan (viii) membangun kemitraan global untuk pembangunan. Indonesia mencanangkan mencapai tujuan MDGs pada tahun 2015.
7
Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang diukur dengan membandingkan satu kelompok pendapatan dengan kelompok pendapatan lainnya.
Seseorang dapat
dikategorikan miskin dengan membandingkan pendapatan orang tersebut dengan golongan pendapatan lain, dalam hal ini pendapatannya di bawah pendapatan golongan lain tersebut atau disebut kesenjangan (Arif Satria, 2002). Terdapat dua penyebab kemiskinan yaitu alamiah dan struktural.
Kemiskinan
alamiah disebabkan oleh kondisi internal masyarakat seperti etos kerja rendah, rendahnya motivasi untuk maju, permodalan yang minim, keterbatasan teknologi dan kondisi alam yang buruk. Kemiskinan struktural disebabkan oleh faktor dari luar nelayan terutama struktur ekonomi dualistik. Faktor eksternal sifatnya berjenjang, yaitu level desa atau mikro dan makrostruktural. Pada level mikrodesa, terdapat pola hubungan kebergantungan masyarakat di lapisan bawah (client) pada lapisan atas (patron) merupakan struktur yang sulit diubah. Di tingkat makro, kualitas kebijakan pembangunan kurang berpihak pada peningkatan derajat kaum marjinal sehingga peningkatan kesejahteraan masyarakat tersendat. Kemiskinan nelayan pada gilirannya menempatkan nelayan, pembudidaya, dan pengolah ikan pada posisi lemah terutama pada aspek pasca produksi. Keberlanjutan Pada era 1980-an, istilah keberlanjutan sangat erat terkait dengan konsep ekologi. Pada perkembangan selanjut nya, konsep keberlanjutan berkaitan dengan tiga aspek kehidupan yaitu kesinambungan secara ekologi, sosial, dan ekonomi. Keberlanjutan SDP berarti kondisi yang memungkinkan sumber daya alam tersebut lestari, mampu mendukung kehidupan manusia secara berkualitas, dan secara tatanan kehidupan sosial masyarakat terjaga.
Pengelolaan SDP secara berkelanjutan mencerminkan pemanfaatan dilakukan
dengan disertai tindakan pemulihan kondisi sumber daya alam tersebut, diikuti oleh tatanan kehidupan sosial yang mantap, dan kondisi perekonomian masyarakat yang stabil. Dengan demikian, SDP terjamin ketersediaannya baik dalam mutu maupun jumlahnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang.
8
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Proposisi penelitian ini adalah perilaku nelayan yang sesuai dengan prinsip ekonomi dan konservasi, dan didasarkan pada aspek sosial budaya, mampu menjamin keberlanjutan SDP. Proses penelitian yang menggambarkan keterkaitan metode deduktif dan induktif ditampilkan pada Gambar 1. Perilaku masyarakat pesisir memanfaatkan SDP berhubungan dengan berbagai peubah. Peubah terikat dalam penelitian adalah perilaku masyarakat mengelola SDP, kondisi SDP, dan kesejahteraan.
Peubah bebas yang
dianalisis
budaya
dalam
penelitian
ini
meliputi
dinamika
sosial
masyarakat,
kepemimpinan informal, kondisi sosial ekonomi masyarakat, program intervensi, kompetensi fasilitator, dan dukungan terhadap usaha perikanan. Pemikiran mengenai perilaku yang diharapkan dimiliki oleh masyarakat pesisir ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Pemikiran tentang Perilaku Masyarakat Pesisir dalam Mengelola SDP
Unsur–unsur perilaku 1. Pengetahuan Wawasan tentang SDP
2. Sikap mental Respon terhadap pemanfaatan dan konservasi 3. Keterampilan Kemampuan memanfaatkan SDP menjadi berbagai usaha disertai upaya pemulihan sumber daya
Perilaku yang terlalu bergantung - Pemahaman tentang pemanfaatan SDP secara optimal terbatas - Berprinsip bahwa SDP dapat dieksploitasi terus menerus (kurang informasi tentang sumber daya yang dapat dan yang tidak dapat diperbaharui) - Adanya pemahaman bahwa kegiatan di darat tidak berpengaruh terhadap SDP - Apriori terhadap kerusakan pesisir dan laut - Berorientasi ke masa la lu dan sulit menerima perubahan - Enggan mengambil resiko - Terlalu bergantung pada satu jenis usaha karena keterbatasan keterampilan - Menggunakan alat tangkap tanpa peduli terhadap dampak lingkungan - Tidak mampu memelihara kondisi SDP - Keterbatasan dalam mengolah dan memasarkan hasil
8
Perilaku berdaya yang diharapkan - Memahami potensi sumber daya alam dan akses terhadap pemanfaatannya secara optimal - Berprinsip bahwa kelestarian SDP perlu dijaga - Mengetahui adanya keterkaitan antara kegiatan di darat dan laut
- Aktif mencari terobosan teknologi pemanfaatan yang ramah lingkungan - Orientasi masa depan dan terbuka terhadap perubahan - Melakukan perhitungan terhadap resiko dan ketidakpastian - Menerapkan diversifikasi usaha - Menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan (orientasi pada pelestarian SDP) - Melakukan usaha konservasi di lingkungan pesisir dan laut - Mampu mengolah dan memasarkan produk
Pemenuhan kebutuhan rumah tangga pesisir (nelayan, pembudidaya, pengola h dan pemasar): fisik dan non fisik
Pemanfaatan SDP secara imbang antara pencapaian tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan
Perilaku masyarakat pesisir pengelola SDP
• Mengapa kapasitas masyarakat pengelola SDP masih rendah? • Bagaimana meningkatkan kemauan dan kemampuan pengelola SDP yang optimal ? • Bagaimana peran pemerintah dan stakeholders lain dalam pengembangan masyarakat pesisir?
Deduksi konsep dan teori terkait dengan penelitian antara lain perilaku manusia, pengembangan masyarakat, dan kesejahteraan Model hipotetis pengembangan nelayan/ masyarakat pesisir : • Orientasi proses dan hasil • Pengutamaan kebutuhan masyarakat pesisir
Analisis induktif didasarkan pada fakta empirik melalui: survai, pengamatan berpartisipasi, diskusi kelompok terfokus, diskusi dengan informan, analisis deksriptif dan inferensial
Formulasi model pengembangan masyarakat pesisir pengelola SDP untuk kesejahteraan
Kinerja operasionalisasi model
Kesejahteraan masyarakat
Hubungan berbagai peubah terhadap perilaku masyarakat pesisir memanfaatkan SDP (dianalisis secara kualitatif dan kuantitiatif)
Gambar 1. Alur Berpikir Logik Lingkup yang Diteliti dan Proses Penelitian 9
10
Kehandalan masyarakat pesisir untuk mengelola SDP secara optimal hanya dapat dicapai, jika masyarakat hingga level terkecil yaitu keluarga memiliki tersebut memiliki kemampuan memanfaatkan sumber daya tersebut menjadi usaha produktif, mulai dari pengadaan input, pelaksanaan kegiatan usaha (proses) hingga penanganan produk secara profesional. Terdapat dua hal yang memerlukan penelaahan yaitu (i) tingkat pemanfaatan sumber daya yang belum optimal di beberapa kawasan pesisir Buleleng (Siti Amanah dkk., 2004), dan (ii) di beberapa kawasan di pantai utara Buleleng, kegiatan penangkapan ikan relatif tinggi dengan produksi mencapai 2.339,90 ton ikan/tahun pada satu kecamatan (Dinas Kelautan dan Perikanan Buleleng, 2003). Model pengembangan masyarakat yang dituju adalah yang dapat mewujudkan perubahan perilaku positif pada masyarakat pesisir, memberdayakan, dan meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Identifikasi terhadap paradigma yang membuat ketergantungan dan keberdayaan dirangkum dalam Tabel 2. Tabel 2. Identifikasi Paradigma Pengembangan Masyarakat
Indikator
Menambah kebergantungan
Meningkatkan keberdayaan
1. Peran penyuluh/agen pembaharu
- Sebagai pusat kegiatan, dan guru
- Dinamis, bergantung pada kondisi, lebih banyak sebagai fasilitator
2. Orientasi program
- Tujuan - Ditentukan oleh orang luar/expert
-
3. Metode pelaksanaan
- Cenderung berupa anjuran dan petunjuk (monoton)
- Berbagai metode, disesuaikan dengan situasi
4. Pendekatan belajar – mengajar
- Searah (transfer pengetahuan) - Berpusat pada pengajar (teacher- centred), orientasi tujuan (subject matter) - Pola hubungan guru-murid (pendekatan pedagogis)
-
- Rendah
-
5. Penggunaan sumber daya lokal
-
Proses dan tujuan Dilakukan bersama -sama yang disesuaikan kebutuhan masyarakat
Dua arah (interaktif) Berpusat pada peserta belajar (learner-centred), orientasi proses, dan problem solving Pembelajaran orang dewasa (pendekatan andragogi) Tinggi
Nilai budaya positif seperti etos kerja yang kuat, memiliki daya cipta, rasa, karsa yang tinggi, orientasi masa lalu dan masa depan, dan kepatuhan terhadap kepatuhan terhadap peraturan lokal dan pemuka masyarakat merupakan ciri khas masyarakat tradisional pada umumnya. Etos kerja yang tinggi, disertai daya cipta, rasa, dan karsa yang tinggi, berorientasi ke depan, lebih mudah meningkatkan produktivitas usaha. Pemikiran mengenai nilai-nilai sosial budaya yang diharapkan dimiliki oleh masyarakat
11
pesisir dalam pengelolaan SDP disajikan pada Tabel 3. Nilai- nilai tersebut merupakan kontinum antara yang sifatnya tidak mendukung hingga mendukung pengelolaan SDP.
Tabel 3. Pemikiran tentang Nilai- nilai Sosial Budaya dalam Mengelola SDP Indikator sosial budaya 1. Peran SDP bagi kehidupan masyarakat
2. Aturan lokal untuk menga-wasi pemanfaatan SDP 3. Kegiatan bersama, seperti gotong royong 4. Hubungan sosial antar masyarakat dalam pengelolaan SDP 5. Peran pemimpin informal 6. Kegiatan upacara untuk menghormati laut sebagai sumber kehidupan
Kapasitas pengelolaan rendah (exploitative) - Upaya konservasi minim, belum memanfaatkan SDP secara tepat, usaha terlalu berorientasi ke darat - Belu m atau tidak ada
Kapasitas pengelolaan tinggi (environmental friendly) - Optimal, masyarakat pesisir dapat memanfaatkan SDP untuk berbagai bidang usaha disertai upaya konservasi - Ada dan diterapkan secara konsisten di masyarakat
- Terbatas hanya pada kegiatan yang bersifat konsumtif - Belum berkembang, cenderung bersifat exploitatif - Hak lapisan bawah terabaikan - Peran pemimpin informal didominasi oleh pihak luar - Ada, namun kurang penghayatan (sebatas ceremonyl)
- Berkembang, dan mendukung di semua segi kehidupan - Terdapat jaringan kerja sama yang saling menguntungkan - Adil dan demokratis - Pemimpin informal dihormati dan dipatuhi (legitimate) - Ada dan berlangsung rutin secara khidmat sebagai rasa syukur atas hasil yang diperoleh
Hal lain yang ditemui pada komunitas nelayan adalah masih kentalnya budaya gotong royong yang juga dimiliki oleh komunitas petani. Di sisi lain, masyarakat pesisir memiliki ciri-ciri yang agak berbeda dengan masyarakat agraris, dalam hal keunikan sumber daya yang dihadapi. Masyarakat agraris seperti komunitas petani, mengelola sumber daya dengan batas-batas kepemilikan yang jelas dan terkontrol (hak-hak kepemilikan lahan jelas), mampu memprediksi keluaran berdasarkan masukan yang digunakan, serta dihadapkan pada faktor resiko dan ketidakpastian yang relatif lebih rendah.
Masyarakat pesisir, khususnya nelayan dihadapkan pada berbagai tipe
kepemilikan sumber daya di kawasan pesisir dan laut, yaitu milik pribadi (private property), hak kepemilikan pemerintah (government property), kepemilikan bersama oleh komunitas (communal property),dan wilayah terbuka (open access atau no body property). Implikasi hal ini adalah nelayan hanya dapat mengakses sumber daya pada area milik bersama dan wilayah terbuka. Dalam pengelo laan SDP, masyarakat Bali telah memiliki perangkat peraturan (awig-awig) yang mengatur pemanfaatannya.
12
Beberapa studi mengemukakan bahwa faktor internal dan eksternal nelaya n memiliki keterkaitan dengan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga seperti Mubyarto dkk. (1984), Wahyuningsih dkk. (1996), dan Syahputra (2002). Faktor internal nelayan seperti status sosial ekonomi, pendidikan (formal dan informal), teknologi yang digunakan, wawasan lingkungan, pengalaman berusaha dan kekosmopolitan memiliki hubungan positif dengan kualitas hidup nelayan. Dalam teori belajar dikemukakan, bahwa terdapat interaksi antara karakteristik internal nelayan dengan lingkungan. Dari interaksi itulah terjadi proses belajar, akhirnya menimbulkan sikap, dan ketika sikap menjadi tindakan maka timbullah perilaku. Perilaku yang berulang dan muncul menjadi kebiasaan, akan membentuk pola perilaku, dan menjadi sulit diubah ketika perilaku tersebut sudah mewatak. Dengan demikian, ciri-ciri individu nelayan turut membentuk perilaku dalam pemanfaatan SDP. Profil individu ideal mengelola SDP sebagaimana disajikan pada Tabel 4 dicirikan dengan perilaku mandiri, progresif di berbagai segi kehidupan yang dicitrakan dari pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan yang dimiliki. Tabel 4. Pemikiran tentang Profil Individu Nelayan dalam Mengelola SDP Kriteria 1. Pengetahuan
Terkebelakang - Wawasan terbatas, sulit menerima perbedaan, kurang mampu belajar dari pengalaman - Sulit mengambil keputusan
2. Sikap
3.
- Orientasi masa lalu, etos kerja rendah, selalu curiga, skeptis, sulit menerima perbedaan, kurang percaya diri, emosi labil, mudah menyerah
Kemampuan - Terbatas, bergantung pada orang lain - Kurang mampu bekerjasama dengan pihak lain - Sulit mengambil keputusan
Modern - Wawasan luas, kosmopolit, pandangan luas, dapat menilai perilaku baik dan buruk terhadap SDP - Dapat mengatasi masalah berdasarkan pertimbangan kondisi yang tepat - Orientasi masa depan, ulet dan tangguh, terbuka, adaptif, mudah menerima perbedaan, luwes dalam bergaul, aktif dan kreatif - Terampil, cekatan, dan efisien - Dapat bekerjasama - Dapat mengatasi persoalan dan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan kondisi yang tepat
Pemikiran tentang program pemberdayaan yang kurang memberdayakan dan yang memberdayakan ditampilkan pada Tabel 5. Hal tersebut dilihat dari segi program dan kompetensi fasilitator program.
13
Tabel 5. Pemikiran tentang Program dan Kemampuan Fasilitator Program Pemberdayaan Kriteria Kurang memberdayakan A. Program Pemberdayaan 1. Inisiasi dan tujuan - Inisiasi oleh pihak luar program
2.
Materi program
- Fokus hanya pada masalah cara atau teknologi produksi
3. 4.
Kegiatan Proses
- Donasi (pembagian sumbangan) - Berpusat pada pemerintah atau sponsor - Pendekatan searah - Bias pada kepentingan pihak luar
B. Fasilitator Program 1. Peran fasilitator 2.
Kompetensi fasilitator
3.
Monitoring dan evaluasi Keberlanjutan
4.
- Menggurui - Lemah dalam berkomunikasi, memotivasi, dan memberdayakan masyarakat - Supervisi oleh pihak luar kurang - Rendah/kurang inovatif
Memberdayakan - Program diinisiasi dari sistem sosial masyarakat (kebutuhan), penetapan tujuan oleh masyarakat, difasilitasi oleh lembaga terkait - Program dirancang dengan mengakomodasi kebutuhan nelayan (klien) - Penguatan kapasitas masyarakat - Berpusat pada individu, kelompok, dan masyarakat lokal - Multi pendekatan, sesuai dengan tingkat kesiapan masyarakat - Melibatkan berbagai stakeholders - Belajar bersama, suasana demokratis, berbagi pengalaman - Kemampuan teknis, dan non teknis yang memadai serta memberdayakan masyarakat - Terprogram dengan melibatkan masyarakat,, tolok ukur keberhasilan jelas - Tinggi, masyarakat memiliki kreatifitas dan daya inovatif yang tinggi
Syarat pokok dan pelancar 1 pembangunan pertanian yang dikemukakan oleh Mosher (1966) dapat diaplikasikan dalam pembangunan di wilayah pesisir, namun aspek pendidikan pembangunan seyogyanya merupakan hal yang utama. Melalui pendidikan akan berkembang pengetahuan dan wawasan, sikap mental, dan tindakan yang lebih matang. Faktor pendukung kegiatan perikanan termasuk kebijakan dalam aspek hukum dan peraturan perikanan yang diterapkan secara tegas sangat kondusif bagi pengelolaan SDP yang lestari.
Pendukung kegiatan perikanan seperti ditampilkan pada Tabel 6
diperlukan bagi kelancaran usaha di pesisir. Produksi perikanan tidak akan berdaya guna jika tidak terdistribusikan, sehingga adanya pasar dan sarana sangat berperan bagi kemajuan usaha yang berbasis SDP. Pemikiran tentang kondisi SDP dan perannya bagi kesejahteraan ditunjukkan pada Tabel 7.
1
Syarat pokok pembangunan pertanian terdiri atas (a) tersedianya sarana produksi secara lokal, (b) pasar hasil pertanian, (c) teknologi yang senantiasa berubah, (d) transportasi, dan (e) kredit; dan syarat pelancar pembangunan pertanian meliputi (a) pendidikan pembangunan, (b) kegiatan bersama, (c) insentif, (d) perluasan dan perbaikan lahan, dan (e) perencanaan nasional
14
Tabel 6. Pemikiran tentang Sarana dan Prasarana Pendukung dalam Pengelolaan SDP Kriteria 1. 1.Akses sarana produksi 2. Pasar
Menghambat pengelolaan - Tidak terjangkau dari segi jumlah maupun harga - Kurangnya pengembangan jaringan pemasaran
3. Teknologi
- Lambat dalam diseminasi teknologi atau hasil penelitian
4. Fasilitas pendaratan, pabrik es, dan fasilitas lain
- Tidak tersedia lokasi pendaratan - Letak pabrik es jauh dari lokasi nelayan - Jauh dari lokasi BBM
5. Transportasi
-
6. Hukum dan peraturan perikanan
Sarana angkutan sulit didapat (terbatas jumlah, jenis, dan waktu) - Tidak jelas, sosialiasi dan penerapan hukum minim
7. Pusat informasi/ inovasi perikanan
- Lokasi pusat informasi tidak terjangkau, petugas terbatas
Mendukung pengelolaan - Tersedia secara lokal dan terjangkau - Telah dikembangkannya jaringan pemasaran, dengan harga yang menguntungkan - Adanya lembaga yang berperan menyebarluaskan teknologi hingga ke masyarakat - Adanya jetty dan lokasi pendaratan - Adanya bengkel - Terdapat pabrik es dan depot di lokasi nelayan - BBM tersedia secara lokal - Lancar dan memadai - Adanya penyuluhan hukum, dan penegakkan hukum secara terus menerus - Pusat informasi terjangkau, dan petugas rutin ke lokasi masyarakat pesisir
Tabel 7. Pemikiran tentang Kualitas Pengelolaan SDP dan Perannya bagi Kesejahteraan Jenis SDP
1. Sumber daya lahan di pesisir
2. Sumber daya ikan
3. Terumbu karang
4. Vegetasi di pesisir
Kualitas pengelolaan SDP Rendah - Tumpang tindih berbagai kegiatan di pesisir - Konversi mangrove tanpa upaya regenerasi - Rendahnya pengelolaan sampah di kawasan pesisir - Penggunaan bom dan sianida saat menangkap ikan - Penggunaan zat kimia berlebihan pada budidaya tambak - Pengolahan ikan kurang variatif - Penambangan karang liar dan penggunaan alat tangkap perusak karang - Tidak dilakukannya pemulihan karang - Penerapan hukum dan peraturan tentang pemanfaatan SDP termasuk penambangan karang belum efektif - Variasi jenis vegetasi rendah - Tidak terpelihara
-
-
Pengelolaan SDP berkualitas (orientasi masa depan) Tata ruang pemanfaatan diatur sesuai kemampuan lahan Pengendalian konversi dan penanaman mangrove Adanya pengolahan limbah guna mencegah polusi di kawasan pesisir dan laut Penangkapan ikan dengan alat dan teknik yang ramah lingkungan Minimalisasi penggunaan zat kimia dalam budidaya tambak Olahan ikan bervariasi Sistem tarif dan pengendalian penambangan karang Transplantasi karang Penegakkan hukum dan pengembangan peraturan lokal Pengelolaan lingkungan oleh masyarakat
- Keragamajenis vegetasi tinggi - Terawat dan dapat bernilai sosial, ekonomi, dan ekologis
15
Hipotesis Penelitian ((1)Terdapat hubungan yang nyata antara perilaku masyarakat pesisir terhadap SDP dengan kondisi pengelolaan SDP dan kesejahteraan rumah tangga. (2) Perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP dipengaruhi oleh faktor internal yaitu keragaan nelayan dan faktor eksternal nelayan meliputi dinamika sosial budaya, kualitas kepemimpinan informal, kualitas program pemberdayaan, kompetensi fasilitator, dan kualitas pendukung usaha perikanan. (3) Kualitas pengelolaan SDP berhubungan secara nyata dengan intensitas pemanfaatan lahan, vegetasi di pesisir, variasi hasil tangkapan, dan kualitas terumbu karang. (4) Kesejahteraan rumah tangga dipengaruhi secara nyata oleh perilaku masyarakat pesisir dan kualitas pengelolaan SDP. (5) Terdapat perbedaan yang nyata pada perilaku masyarakat pesisir, kualitas pengelolaan SDP, dan kesejahteraan rumah tangga diantara tiga kategori wilayah pesisir di Kabupaten Buleleng. (6) Pengembangan masyarakat pesisir bagi kesejahteraan dipengaruhi secara langsung maupun tidak langsung oleh dinamika sosial budaya masyarakat, kualitas kepemimpinan informal, keragaan individu, kompetensi fasilitator kualitas program intervensi, kualitas pendukung usaha perikanan, perilaku masyarakat, dan kualitas pengelolaan SDP. Hipotesis pertama diajukan untuk menjawab pertanyaan penelitian pertama tentang kemauan dan kemampuan masyarakat pesisir. Pencapaian tujuan penelitian pertama yaitu mengungkap perilaku masyarakat pesisir dalam mengelola SDP dilakukan secara deskriptif kualitatif. Hipotesis kedua diajukan untuk menjawab pertanyaan penelitian kedua dan untuk mencapai tujuan penelitian kedua tentang faktor determinan yang mempengaruhi perilaku nelayan mengelola SDP.
Hipotesis ketiga diajukan untuk
menjawab pertanyaan penelitian ketiga. Hipotesis keempat diajukan untuk menjawab pertanyaan penelitian ketiga tentang kaitan kualitas SDP terhadap kesejahteraan. Hipotesis kelima diajukan untuk menjawab masalah penelitian pertama mengenai kapasitas masyarakat pesisir mengelola SDP, menjawab pertanyaan penelitian ketiga, dan diajukan untuk mencapai tujuan penelitian pertama dan kedua. Hipotesis keenam diajukan untuk menjawab pertanyaan penelitian keempat dan mencapai tujuan penelitian ketiga.
METODE PENELITIAN Terdapat empat jalan untuk memperoleh pengetahuan yaitu dengan cara (1) kegigihan atau keuletan (tenacity), (2) otoritas (kewenangan), (3) keyakinan kukuh (a priori), dan (4) metode ilmu pengetahuan (Kerlinger, 2003). Metode keempat diterapkan dalam penelitian ini meliputi perumusan masalah, penetapan tujuan, kajian teori, dan penelusuran pustaka terkait dengan topik penelitian, pengumpulan dan analisis data, serta mempresentasikan temuan-temuannya. Studi ini merupakan penelitian deksrip tif, analitis, dan eksplanasi. Tujuan penelitian deskriptif (descriptive research) adalah menjelaskan subyek penelitian seperti profil kelompok, proses, mekanisme atau hubungan, memberikan gambaran verbal dan numerik, menelusuri informasi untuk menjelaskan temuan, atau berbagai hal yang bertentangan dengan kepercayaan (Neuman, 1994). Sebagai sebuah penelitian eksplanasi (explanatory research), penelitian ini dimaksudkan untuk menguji teori perilaku, dan mencari penjelasan yang lebih baik tentang perkembangan pengetahuan yang menghubungkan berbagai isu, membangun atau menerapkan teori terkait topik penelitian, mengemukakan fakta untuk mendukung atau menjelaskan hubungan perilaku masyarakat pesisir dengan kondisi SDP. Model yang dibangun dari metode deduktif, menghasilkan beberapa kemungkinan analisis hubungan antar peubah (Gambar 1). Pesisir Kabupaten Buleleng dipilih sebagai lokasi studi dengan pertimbangan antara lain, dimilikinya pengetahuan dan pengalaman empirik tentang masyarakat pesisir di lokasi tersebut oleh peneliti sejalan dengan studi yang dilakukan di kawasan tersebut mulai tahun 2001 hingga 2004; adanya kearifan lokal yang dijalankan oleh komunitas nelayan yang terintegrasi dalam aktivitas kelompok nelayan; dan belum terkelolanya SDP secara optimal.
Hal ini sangat bermanfaat dalam memahami sistem sosial budaya
masyarakat, kondisi ekosistem, dan pengelolaan SDP setempat yang sangat berguna untuk memperoleh informasi yang sahih, dan akurat. Penelitian dilakukan pada tiga kecamatan di pesisir yaitu: (1) Kecamatan Gerokgak dengan jarak 55 km di Barat Kabupaten Buleleng, (2) Kecamatan Buleleng yang berada di wilayah pusat pemerintahan, dan (3) Kecamatan Tejakula terletak 23 km sebelah Timur dari Buleleng.
16
17
X1 X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X2 X2.1 X2.2 X2.3
Dinamika sosial budaya masyarakat Nilai-nilai sosial budaya Peran lembaga adat Dinamika hubungan antar anggota masyarakat Kearifan lokal pengelolaan SDP Kualitas kepemimpinan informal Peran pemimpin Perilaku kepemimpinan Gaya kepemimpinan
X3 X3.1 X3.2 X3.3 X3.4 X3.5
Y2
X4.1 X4.2 X4.3 X4.4 X5 X5.1 X5.2 X5.3
Kualitas program pemberdayaan Perencanaan dan Tujuan program Proses/pendekatan program Kesesuaian materi dengan kebutuhan Kontinuitas program Kompetensi fasilitator program pemberdayaan Kemampuan komunikasi Kemampuan memotivasi Kemampuan melakukan transfer belajar
Kualitas Pengelolaan SDP Tingkat pemanfaatan lahan di pesisir Produksi dan variasi hasil tangkapan Kualitas terumbu karang Vegetasi di pesisir
Y2.1 Y1
Y1.1
X4
Keragaan individu Status sosial ekonomi Motivasi berusaha Kepribadian Keterlibatan dalam kelompok Gender
Y1.2 Y1.3
Perilaku masyarakat pesisir dalam memanfaatkan SDP Aspek kognitif tentang potensi, pemanfaatan, dan konservasi SDP Sikap mental dalam konservasi SDP Aspek psikomotorik dalam pengelolaan SDP
Y2.2 Y2.3 Y2.4
Y3 Y3.1 Y3.2
X 6 Kualitas pendukung kegiatan perikanan X 6.1 Pasar X 6.2 Sarana produksi X 6.3 Transportasi X 6.4 Pendaratan Ikan X 6.5 Dukungan informasi, riset inovasi, peraturan dan kebijakan pemerintah di bidang perikanan
Y3.3 Y3.4 Y3.5
Kesejahteraan Rumah Tangga Pendapatan rumah tangga Pemenuhan kebutuhan dasar Derajat kesehatan Pendidikan anak Pemenuhan kebutuhan non fisik
Gambar 2. Keterkaitan antar Peubahl dalam Disain Model Pengembangan Masyarakat Pesisir untuk Meningkatkan Kesejahteraan
Populasi penelitian adalah masyarakat pesisir yang melakukan kegiatan usaha perikanan yang berjumlah 1.516 orang. Masyarakat pesisir yang diwawancarai berjumlah 229 orang, terdiri atas nelayan ikan konsumsi atau hias, pengolah, pembudidaya, pengolah dan pemasar. Untuk keperluan analisis statistik, dipilih responden yang memiliki kegiatan perikanan yang sama di tiap kecamatan, yaitu nelayan penangkap ikan konsumsi, dan pengolah dan pemasar (168 orang). Informasi diperoleh pula dari 33 orang informan yang berjumlah 10 orang penyuluh, 10 orang pemuka masyarakat, 10 orang pengurus kelompok, dan 3 orang fasilitator program pemberdayaan. Digunakan beberapa teori dan konsep sebagai basis analisis temuan empirik penelitian antara lain teori dan konsep perilaku, teori tentang perubahan berencana (Lippitt dkk, 1958), konsep pengembangan komunitas (Rothman, 1974; Ife, 1995), dan konsep belajar dari pengalaman (Kolb, 1984). Data penelitian dikumpulkan melalui observasi,
18
wawancara semi terstruktur, diskusi dengan nara sumber, dan penelusuran informasi sekunder. Instrumen penelitian adalah kuesioner dengan menggunakan skala pengukuran Likert, semantic differential Osgood, metode Guttman, skala Thurstone, dan skala nilai sesuai dengan karakteristik peubah yang diukur.
Skala pengukuran tersebut dapat
digunakan untuk mengukur perilaku individu atau kelompok (Oppenheim, 1966). Hasil uji coba kuesioner menunjukkan nilai koefisien validitas (0,5420 hingga 0,874), dan koefisien reliabilitas α Cronbach (0,6170 hingga 0,8750). Nila i koefisien tersebut nyata (α = 0,05), ini berarti kuesioner layak untuk digunakan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kuantitatif dan analisis deskriptif kualitatif. Uji statistik parametrik pada data yang telah ditransformasi dan uji statistik non parametrik digunakan untuk menganalisis data kuantitatif dan menguji hipotesis penelitian. Analisis deskriptif kualitatif dilakukan untuk menjelaskan fenomena perilaku yang sulit dikuantifikasikan dan mengelaborasi hasil analisis kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Provinsi Bali didirikan pada tanggal 14 Agustus 1958 sesuai dengan UndangUndang Nomor 84 Tahun 1958. Provinsi ini terletak pada 70 - 80 Lintang Selatan, dan 1140 - 1150 Bujur Timur, memiliki luas wilayah 5.636,66 km2 dengan Ibukota Denpasar. Berdasarkan Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004, jumlah penduduk Provinsi Bali adalah 3.385.750 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 601 jiwa/km2 . Laju pertumbuhan penduduk selama tahun 2000 hingga 2004 sebesar 1,89 persen per tahun (SETDA Provinsi Bali, 2005). Buleleng terletak di Bagian Utara Pulau Bali, merupakan Kabupaten terluas dengan luas wilayah 1.366 km2 , dan menjadi Ibukota Provinsi pada tahun 1960-an. Kabupaten ini memiliki luas laut lebih kurang 3.196,8 km dengan panjang pantai 144 km, dan potensi 12.523 ton ikan per tahun. Potensi dan pemanfaatan sumber daya perikanan Kabupaten Buleleng pada tahun 2003 secara lebih lengkap disajikan pada Tabel 8. Tampak dari data tersebut masih terbuka peluang untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki. Khusus untuk kegiatan penangkapan ikan di laut potensi yang tersisa hanya 12,75 persen, karena yang 20 persen lagi adalah untuk stock. Tabel 8. Potensi dan Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Kabupaten Buleleng Tahun 2003 No
I. 1 2 3 4 II. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kegiatan
Perikanan laut Penangkapan (ton) Budidaya kerapu dan bandeng (ha) Budidaya rumput laut (ha) Budidaya mutiara (ha) Perikanan darat Penangkapan di perairan umum (ha) Budidaya tambak (ha) Budidaya kolam (ha) Budidaya mina padi (ha) Pembenihan bandeng dan kerapu (bak) Pembenihan udang windu (unit) Pembenihan udang galah (unit) Pembenihan ikan hias (ha) B B I – ikan karper (ekor)
Potensi
Persentase Pemanfaatan (%)
Produksi (ton)
12.523,00 500,00 250,00 250,00
67,25 5,20 22,52 19,12
8.432,00 28,20 421,20 0,01
481,30 500,00 27,32 3.354,60 6.000 5 10 27,32 1.200.000
3,32 3,60 18,08 0,68 75,00 10,00 10,00 3,66 40,25
127,48 291,50 23,40 8,40 2,4 x 109* 2,01 x 107* belum ada data
5 x 104* 4,83 x 105*
Keterangan: * dalam ekor Sumber : Diolah dari Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buleleng Tahun 2004 19
20
Terdapat delapan jenis alat tangkap ikan yang digunakan nelayan di Kabupaten Buleleng yaitu pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, seser, pancing ulur, pancing tonda, bubu, dan bagan. Terjadi penurunan penggunaan alat tangkap seser pada semua kecamatan, pada tahun 2001 terdapat 657 unit seser, tahun 2002 ada 79 unit, dan tahun 2003 menjadi 15 unit atau turun sebesar 2,28 persen dari tahun 2001. Alat tangkap bubu, jaring insang hanyut, pancing ulur, dan pancing tonda mengalami peningkatan di semua kecamatan. Di Kecamatan Gerokgak dan Buleleng, pancing ulur paling banyak digunakan. Di Kecamatan Tejakula, jaring insang hanyut paling banyak digunakan. Tabel 9. Perkembangan Penggunaan Alat Tangkap Ikan di Lokasi Studi pada Tahun 2001 - 2003 Kecamatan, tahun, dan jumlah alat penangkapan (unit) No
Jenis alat tangkap
Gerokgak 2001
2002
Buleleng 2003
2001
2002
Tejakula 2003
2001
2002
2003
1 Pukat pantai
48
34
80
28
11
11
6
3
5
2 Pukat cincin
0
0
0
8
2
8
0
0
371
3 Jaring insang hanyut
273
282
206
13
41
41
1634
1158
1792
4 Seser 5 Pancing ulur
445 505
0 413
0 511
23 214
0 363
0 363
189 594
79 599
15 1381
6 Pancing tonda
38
61
67
143
273
273
513
524
814
7 Bubu
32
9
33
0
45
45
23
20
25
8 Bagan
14
12
23
0
0
0
0
0
0
Sumber: Diolah dari Data Dinas Kelautan dan Perikanan Buleleng, 2002 s.d 2004
Produktivitas perikanan tangkap tertinggi di Kecamatan Tejakula, disusul oleh Kecamatan Buleleng, dan Gerokgak (Tabel 10). Budi daya laut hingga tahun 2003 hanya dilakukan di Kecamatan Gerokgak, sedangkan di Kecamatan Buleleng baru dimulai tahun 2004, sehingga saat penelitian ini dilakukan belum memperlihatkan hasil. Pemanfaatan perairan umum seperti sungai, baru dapat dilakukan di Kecamatan Buleleng mengingat di dua kecamatan lainnya kondisi sungai sudah dangkal, dan kondisi air yang tidak stabil. Perbandingan produksi perikanan antara tahun 2000 dengan 2003, memperlihatkan bahwa di Kecamatan Gerokgak terjadi peningkatan produksi perikanan, terutama perikanan tangkap. Kondisi sebaliknya terjadi di Kecamatan Buleleng dan Tejakula yang mengalami penurunan hasil penangkapan ikan.
Hal ini berkaitan dengan semakin intensifnya
penangkapan ikan di Kecamatan Gerokgak dibandingkan dengan di Kecamatan Buleleng dan Tejakula.
Nelayan di Kecamatan Buleleng memiliki kegiatan sampingan yakni
berdagang, dan di Kecamatan Tejakula kegiatan sampingan nelayan adalah berkebun.
21
Pada tingkat Kabupaten, terjadi peningkatan produksi perikanan sebesar 1,2 persen meskipun terjadi penurunan produksi. Tabel 10. Produksi Beberapa Usaha Perikanan di Tiga Lokasi Penelitian pada Tahun 2000 dan 2003
No A 1 2 B 1 2
Tahun Jenis usaha Perikanan laut Penangkapan Budi daya laut Perikanan darat Sungai Tambak
Jumlah Persentase perubahan produksi tahun 20002003 (%)
Produksi usaha perikanan dalam ton pada tahun 2002 dan 2003 Gerokgak Buleleng Tejakula 2002 2003 2002 2003 2002 2003 478,4 1,0
1.194,4 386,9
1.308,5 0
673,0 0
0 259,8
0 165,5
15,52 0
1,3 0
739,2
1.746,7
1.324,0
674,3
Naik 136,3
Turun 49,1
1.839,6 0
1.665,9 0
0 0 1.839,6
0 0 1.665,9
Turun 9,4
Keterangan:
Produksi tersebut diperoleh dari usaha perikanan yang dilakukan di wilayah pantai (daerah pasang surut) Sumber: Diolah dari data Dinas Kelautan dan Perikanan, 2004 Selain melakukan usaha penangkapan ikan dan budidaya perairan, masyarakat pesisir melakukan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Pengolahan ikan seluruhnya dilakukan oleh wanita nelayan, dan 50 persen pengolah memasarkan langsung produknya. Pada tahun 2004, dari 8.432,0 ton ikan yang diproduksi, 79,4 persen dijual dalam bentuk segar, sedangkan 20,6 persen diolah dengan cara diasin, dipindang, dan diasap. Ikan yang diasin adalah 236,6 ton teri dan 53,6 ton cumi. Ikan yang dipindang adalah 366,2 ton lemuru, 296,6 ton tongkol, 172,6 ton layang, 314,6 ton cakalang, dan 56,2 ton kembung. Ikan terbang diolah dengan cara diasap yaitu sebanyak 221,2 ton. Masing- masing kawasan pesisir mempunyai kelompok nelayan sebagai wadah kegiatan masyarakat pesisir.
Terdapat empat kriteria kelas kelompok yang ditetapkan
berdasarkan penilaian kinerja kelompok oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (Tabel 11). Kriteria tersebut adalah pemula, lanjut, madya, dan utama. Semakin maju dan berkembang kelompok, maka kelas kelompok akan makin meningkat peringkatnya. Penilaian kinerja kelompok nelayan diukur berdasarkan keaktifan anggota dan pengurus kelompok dalam berbagai kegiatan, intensitas pertemuan, perkembangan inovasi dan teknologi yang digunakan, produktivitas, dan prestasi yang pernah dicapai.
Kecamatan Gerokgak
22
memiliki kelompok nelayan terbanyak, disusul Kecamatan Tejakula, dan Kecamatan Buleleng. Dilihat dari kriteria kelompok, kelompok pemula merupakan kelompok yang paling banyak di Kabupaten Buleleng (44,6 persen).
Di sisi lain, hanya Kecamatan
Buleleng yang telah memiliki kelompok kelas utama (18,2 persen).
Di Kecamatan
Gerokgak dan Tejakula kelas kelompok tertinggi dicapai pada kriteria madya dengan persentase berturut-turut adalah 15,4 dan 15,8 persen. Di Kabupaten Buleleng pada tahun 2000 terdapat 11 kelompok wanita nelayan dan pengolah, pada tahun 2003 jumlah kelompok berkembang menjadi 26 kelompok. Perkembangan kelompok pengolah masih jauh tertinggal dibandingkan dengan kelompok nelayan.
Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan sarana dan prasarana pendukung,
keterampilan, keterbatasan dalam mengakses sumber daya perikanan, permodalan, informasi, dan pemasaran.
Pembudidaya laut hingga tahun 2004 belum membentuk
kelompok secara resmi. Komoditas yang dibudidayakan pada tahun 2003 meliputi rumput laut, bandeng, kerapu, sedangkan mutiara masih dalam taraf uji coba oleh perusahaan. Enam puluh persen atau setara dengan 73 Rumah Tangga Perikanan (RTP) pembudidaya laut melakukan usaha di Kecamatan Gerokgak dengan produktivitas masing- masing 7,2 ton rumput laut/ha per tahun, 77,6 ton bandeng/ha per tahun,18,7 ton kerapu/ha per tahun, dan 0,002 ton mutiara/ha per tahun.
Tabel 11. Sebaran Kelompok Nelayan Berdasarkan Kelasnya di Lokasi Penelitian Tahun 2003 Kecamatan
Pemula Jumlah %
Kelas Kelompok Lanjut Madya Jumlah % Jumlah %
Utama Jumlah %
Total per Kecamatan
Gerokgak
13
50,0
9
34,6
4
15,4
0
0
26
Buleleng
4
36,4
4
36,4
1
9,1
2
18,2
11
Tejakula
8
42,1
8
42,1
3
15,8
0
0
19
25
44,6
21
37,5
8
14,3
2
3,6
56
Total Kelompok
Sumber: Diolah dari data Perikanan Kabupaten Buleleng Tahun 2004
Gambaran Umum Responden Responden nelayan penangkap ikan konsumsi dan pengolah-pemasar terdapat di seluruh kecamatan memiliki ciri-ciri seperti disajikan dalam Tabel 12. Di tiga lokasi, usia
23
nelayan pada interval 32 hingga 42 tahun memiliki persentase tertinggi, yaitu 43,8 persen di Kecamatan Gerokgak dan Buleleng, dan 50 persen di Kecamatan Tejakula. Sebanyak 14,5 persen responden di Kecamatan Gerokgak dan 13,4 persen responden di Kecamatan Buleleng tidak menyelesaikan SD (tahun tempuh pendidikan formal kurang dari empat tahun). Pendidikan responden umumnya SD dan SMP tidak tamat. Responden yang telah menyelesaikan pendidikan menengah atas adalah di Kecamatan Buleleng yaitu sebanyak 37 persen, disusul Kecamatan Gerokgak sebanyak 13,6 persen, dan di Kecamatan Tejakula sebanyak 10 persen.
Terdapat 5 persem responden yang tidak dapat membaca dan
menulis. Tabel 12. Ciri-ciri Responden di Tiga Kecamatan Perihal 1. Jenis kelamin (jiwa): Laki-laki Perempuan Total 2. Usia (tahun): a. Kurang dari 32 b. 32 – < 42 c. 42 – <52 d. > 52 Total 3. Pendidikan formal (tahun) a. < 4 b. 4 - < 6 c. 6 - < 8 g. > 8 Total 4. Jumlah tanggungan (jiwa) a. 1 b. 1 - < 3 c. 3 - < 5 d. > 5 Total 5. Pengalaman berusaha (tahun) a. < 12 b. 12 – < 20 c. 20 – < 28 d. > 28 Total 6. Pendapatan (x Rp 1000/bulan) a. < 420 (sangat rendah) b. 420 - <750 (rendah) c. 750 - <1.080 (tinggi) d. > 1.080 (sangat tinggi) Total
Sumber: Data primer diolah
Gerokgak Jumlah %
Buleleng Jumlah %
Tejakula Jumlah %
43 12 55
78,2 21,8 100,0
48 25 73
65,8 34,2 100,0
15 25 40
37,5 62,5 100,0
6 23 18 8 55
10,9 43,8 31,5 13,7 100,0
8 32 23 10 73
11,0 43,8 31,5 13,7 100,0
1 20 14 5 40
2,5 50,0 35,0 12,5 100,0
8 10 24 13 55
14,5 18,2 43,6 23,6 100,0
1 15 30 27 73
13,4 20,5 41,1 37,0 100,0
0 4 32 4 40
0 10,0 80,0 10,0 100,0
3 31 17 4 55
5,4 5,3 31,0 7,3 100,.0
2 32 31 8 73
2,7 43,8 42,5 11,0 100,0
1 23 14 2 40
2,5 57,5 35,0 5,0 100,0
6 24 14 11 55
10,9 43,6 25,5 20,0 100,0
11 33 21 8 73
15,1 45,2 28,8 10,9 100,0
2 16 19 3 40
5,0 40,0 47,5 7,5 100,0
5 29 15 6
9,1 52,7 27,3 10,9
2 29 20 22
2,7 32,7 27,4 30,1
2 25 12 1
5,0 62,5 30,0 2,5
55
100,0
73
100,0
40
100,0
24
Berdasarkan pendapatan per bulan, masyarakat di Kecamatan Buleleng memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya.
Hal ini
berkaitan dengan diversifikasi usaha yang lebih banyak dilakukan oleh nelayan di Kecamatan Buleleng, dan lokasi yang berada di sekitar pusat kota memudahkan nelayan mengakses informasi dari berbagai lembaga baik pemerintah maupun swasta.
Perilaku Masyarakat Pesisir Mengelola SDP Mengacu pada kajian empirik penelitian ini, masyarakat pesisir di Kabupaten Buleleng mengelola SDP secara tradisional. Hal ini tergambar pada penggunaan alat tangkap dan armada yang sederhana, dengan daerah tangkapan ikan (fishing ground) terbatas, diterapkannya peraturan lokal secara konsisten, ikatan antar anggota masyarakat yang cenderung guyub (gemeinschaft), dan lingkup usaha di bidang perikanan belum berorientasi pasar. Di Kabupaten Buleleng terdapat 30,6 persen nelayan tanpa armada, nelayan jukung sebanyak 28,5 persen, nelayan menggunakan armada motor tempel sebanyak 39,6 persen, dan nelayan dengan menggunakan mesin 5 PK sebanyak 1,3 persen. Dalam kondisi demikian, nelayan di wilayah penelitian umumnya melakukan aktivitas penangkapan ikan sehari pergi pulang (one day fishing) karena daya jelajah yang terbatas. Hal ini berdampak pada besar kecilnya penghasilan. Nelayan di beberapa daerah yang armadanya lebih besar dan kuat yang dicirikan dengan armada lebih dari 30 GT dengan alat tangkap canggih yang memiliki kemampuan untuk melakukan penangkapan ikan hingga ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Nilai-nilai sosial budaya masyarakat Bali sangat kuat, dan mengutamakan keseimbangan. Pada masyarakat Hindu Bali, dikenal tri hita karana atau tiga sumber kebahagiaan, bahwa kebahagiaan material dan spiritual bergantung pada keharmonisan yang tercipta antara Sang Hyang Widhi Wasa, manusia, dan lingkungan (Whitten dkk, 1999). Dalam akar kepercayaan Hindu, manusia merupakan dunia kecil, yang berkaitan dengan alam yang lebih besar dan saling berinteraksi satu sama lain. Alam perlu dihormati dan dijaga keseimbangannya, perilaku merusak alam berarti mengkhianati interaksi manusia dengan alam. Interaksi manusia dengan alam, termasuk dalam mengelola SDP didasarkan pada peraturan tertulis lokal (awig-awig).
Awig-awig tersebut menyangkut
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Kelompok Nelayan yang menerangkan berbagai aspek dalam pengelolaan SDP termasuk jumlah hari penangkapan, pemantauan
25
penangkapan oleh nelayan, dan upaya rehabilitasi SDP seperti transplantasi karang yang di Desa Les, Kecamatan Tejakula difasilitasi oleh Yayasan Bahtera Nusantara. Awig-awig yang berkaitan dengan SDP di lokasi penelitian sebagaimana ditampilkan pada Tabel 13 dapat dibandingkan berdasarkan tiga hal utama yaitu mekanisme (1) penyusunan awig-awig, (2) SDP yang diatur pemanfaatannya melalui awigawig SDP, (3) pengontrolan penerapan awig-awig seperti jenis dan besarnya sanksi. Tabel 13. Perbandingan Awig-awig di Tiga Lokasi Penelitian
Uraian 1. Mekanisme penyusunan
Gerokgak - Kesepakatan anggota kelompok nelayan, didukung kepala desa
2. Tujuan awal disusunnya awig-awig
- Mengurangi pengeboman ikan dan karang oleh sebagian nelayan
3. SDP yang diatur dalam awigawig 4. Kontrol pelaksanaan awig-awig
- Terumbu karang - Areal laut - Sanksi berupa uang dengan jumlah bervariasi
Kecamatan Buleleng - Kesepakatan anggota kelompok nelayan, didukung kepala desa
Tejakula - Kesepakatan anggota kelompok dan diketahui kepala desa adat dan dinas
- Menjamin ketertiban waktu menangkap ikan, keamanan rumpon, dan jasa penyewaan perahu - Ikan - Areal laut
- Untuk rehabilitasi karang (konservasi) dan ekonomi (bisnis ikan hias air laut) oleh nelayan - Terumbu karang - Ikan
- Sanksi berupa uang
- Sanksi berupa uang dengan jumlah bervariasi
Sumber: Hasil analisis data primer
Perilaku Masyarakat Pesisir di Kecamatan Gerokgak Pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman responden di Kecamatan Gerokgak tentang SDP 90 persen masuk dalam kriteria tinggi. Sepuluh persen responden belum menyadari peluang mengelola SDP untuk berbagai kegiatan produktif.
Kegiatan
masyarakat pesisir di Kecamatan Gerokgak paling bervariasi dibandingkan dengan di Kecamatan Buleleng, dan Tejakula. Hal ini didukung oleh kondisi geografis, yaitu adanya Teluk Pemuteran dengan keanekaragaman hayati tinggi, sehingga memungkinkan masyarakat setempat berbagai usaha. Sikap mental masyarakat terhadap SDP di Kecamatan Gerokgak tampak pada ketangguhan memanfaatkan sumber daya tersebut. Nelayan yang berasal dari Pulau Jawa,
26
Madura, dan Sulawesi (Suku Bugis dan Makassar), dan bermukim secara turun temurun di Kecamatan Gerokgak memiliki daya tahan yang relatif lebih lama untuk menangkap ikan di laut dibandingkan dengan nelayan yang berasal dari desa setempat. Salah satu faktor pendorong untuk melaut lebih lama adalah nelayan dari luar Bali menggantungkan hidup sepenuhnya dari hasil laut, sedangkan nelayan yang berasal dari Pulau Bali pada umumnya masih memiliki lahan atau menggarap kebun atau sawah meskipun dalam luasan yang relatif terbatas.
Nelayan Madura, Bugis, dan Makassar yang telah bermukim sejak
berpuluh tahun di Kecamatan Gerokgak memiliki kemampuan menjelajah laut lebih jauh sesuai dengan budaya maritim yang melekat pada ketiga uku tersebut. Keberadaan berbagai suku di Kecamatan Gerokgak dan di beberapa wilayah pesisir di Kabupaten Buleleng berkaitan dengan sejarah masa lalu, yakni karena perdagangan antar pulau untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan adanya Kerajaan Buleleng yang memerlukan bantuan bala tentara dari negeri lain ketika berperang dengan kerajaan lain di Bali. Kerajaan Buleleng memberikan hadiah berupa tanah di wilayah dataran tinggi di sekitar Kecamatan Sukasada. Kehidupan beberapa suku yang terbiasa melaut, mendorong sebagian komunitas untuk bermukim di wilayah pesisir, terutama suku Bugis dan Madura. Tidak mengherankan, jika pada beberapa wilayah pesisir Kabupaten Buleleng, ditemui perkampungan nelayan dari kedua suku itu. Nelayan di Kecamatan Gerokgak memiliki kegiatan paling beragam yang diperlihatkan oleh berkembangnya usaha berbasis SDP yaitu perikanan tangkap, budidaya laut dan tambak, pengolahan, dan pemasaran ikan hasil tangkapan, serta wisata bahari. Hal ini berkaitan dengan berbagai faktor.
Pertama, interaksi sosial antara masyarakat asli
dengan pendatang cukup tinggi sehingga memungkinkan terjadinya proses penyebaran inovasi yang lebih mudah antara masyarakat pendatang dengan yang bermukim di lokasi tersebut. Kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat sangat beragam dan bervariasi, hal ini tampak pada variasi pendapatan nelayan di Kecamatan Gerokgak yang berkisar antara Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) hingga Rp1.450.000,00 (satu juta empat ratus lima puluh ribu) per bulan pada tahun 2004. Nelayan melakukan kegiatan usaha tambahan untuk meningkatkan penghasilan yaitu memandu wisatawan melakukan snorkeling dan diving, menikmati Teluk Pemuteran, atau menyeberangkan wisatawan ke Pulau Menjangan, membuka warung kelontong (berdagang), dan buruh tani. Wanita nelayan di Kecamatan Gerokgak melakukan pengolahan ikan hasil tangkapan serta pemasarannya.
Intensitas pengolahan ikan meningkat pada saat hasil
tangkapan ikan berlimpah, sebaliknya pada saat hasil tangkapan ikan rendah, ikan laut
27
segar langsung dijual.
Pengolahan ikan di Kecamatan Gerokgak terbatas pada
pemindangan, belum ada pengolahan yang lebih variatif seperti pembuatan fillet ikan, abon ikan, maupun terasi. Keterbatasan modal, motivasi, keterampilan, serta keterjaminan pasar merupakan faktor penghalang bagi wanita nelayan untuk melakukan diversifikasi bentuk olahan yang bernilai ekonomi tinggi. Pada tahun 2003, di Kecamatan Gerokgak terdapat tujuh rumah tangga pembudidaya tambak dengan luasan usaha antara 2.5 hingga 10 hektar. Pembudidaya tersebut merupakan mitra perusahaan perikanan. Pengusaha menyediakan modal, sarana dan
prasarana
usaha,
sedangkan
pembudidaya
menawarkan
jasa
pemeliharaan.
Pembudidaya memperoleh imbalan sesuai dengan hasil panen yang didapat dengan sistem pembagian usaha yang disepakati. Perilaku Masyarakat Pesisir di Kecamatan Buleleng Ditinjau dari aspek kognitif, maka nelayan di Kecamatan Buleleng memahami potensi SDP, namun pengelolaan SDP terbatas pada kegiatan perikanan tangkap, wisata bahari, dan pengolahan ikan dalam skala rumah tangga.
Aktivitas penangkapan ikan
dilakukan oleh nelayan dengan armada motor tempel dengan beragam alat tangkap, sedangkan pengolahan ikan dilakukan oleh wanita nelayan namun bergantung pada musim. Kegiatan pemasaran hasil perikanan tangkap oleh wanita nelayan.
Dalam mengelola
wisata bahari, nelayan bekerjasama dengan hotel di kawasan wisata Pantai Lovina. Kegiatan wisata bahari tersebut terkelola dalam bentuk pengamatan perilaku lumba- lumba, diving, dan snorkeling.
Nelayan secara berkelompok mengatur sistem antrian dan
pemanduan wisatawan. Biaya sewa perahu untuk mengamati lumba- lumba pada tahun 2003-2004 adalah Rp30.000,00 hingga Rp40.000,00 per orang dengan waktu pengamatan selama dua jam mulai pukul 06.00 – 08.00 WITA. Komunitas nelayan di Kecamatan Buleleng relatif mudah menerima ide baru, sebagai gambaran nelayan di Kecamatan Buleleng ini telah dapat memodifikasi berbagai alat tangkap yang disesuaikan dengan kondisi SDP, seperti bentuk bagan yang mampu menahan arus air laut. Tingkat kemajuan kelompok nelayan di Kecamatan Buleleng paling tinggi diantara kecamatan lainnya, bahkan beberapa ketua kelompok nelayan merupakan penyuluh sawadaya dan dapat menjadi mitra penyuluh. Nelayan di Kecamatan Buleleng relatif mampu mengelola kegiatan secara mandiri, dan memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang SDP dan manfaatnya bagi kehidupan. Hal ini terlihat dari keterampilam
28
nelayan dalam memandu wisatawan dalam bahasa Inggris dalam bentuk percakapan sederhana sebagai modal utama dalam industri wisata. Di sisi lain, sikap mental dalam mengelola kawasan permukiman di pesisir, dan keterampilan dalam menangani hasil tangkapan masih memerlukan perhatian terutama dalam menjaga lingkungan pantai agar tetap bersih, hijau, dan asri.
Khusus penanganan dan pengolahan hasil tangkapan,
diperlukan dukungan fasilitas pendingin yang memadai untuk menyimpan mencegah kerusakan hasil tangkapan. Wanita pengolah memerlukan penyuluhan tentang pengolahan hasil tangkapan menjadi berbagai produk disertai dukungan pemasaran. Kegiatan penyuluhan di lokasi penelitian 80 persen melalui demonstrasi cara, sedangkan upaya mengembangkan jaringan pemasaran masih belum maksimal. Secara afektif, nelayan di Kecamatan Buleleng memiliki respon positif terhadap pelestarian terumbu karang, pemeliharaan mangrove, dan penanganan kawasan pesisir. Sejauh ini, konservasi SDP terutama terumbu karang telah disebarluaskan oleh Dinas Pariwisata, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan LSM setempat. Kegiatan tersebut perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan penyuluhan yang langsung mengarah pada aksi nyata masyarakat dalam rehabilitasi karang. Penyuluhan penting dilakukan secara tepat, yakni bukan hanya sebatas penerangan, namun mampu memfasilitasi perubahan di masyarakat hingga terjadinya perubahan yang lebih baik terutama pada sikap mental individu, kelompok dan masyarakat tentang arti penting pengelolaan SDP. Rehabilitasi karang memerlukan dana yang cukup besar dan kemampuan masyarakat dalam menangani persoalan ini secara swadaya masih rendah. Untuk itu sebenarnya kegiatan transplantasi karang perlu disponsori oleh berbagai lembaga baik pemerintah maupun swasta, terutama yang memiliki kaitan langsung dengan SDP.
Perilaku Masyarakat Pesisir di Kecamatan Tejakula Masyarakat pesisir di Kecamatan Tejakula memiliki tiga kegiatan utama yaitu penangkapan ikan hias, penangkapan ikan konsumsi, dan pemindangan. Nelayan ikan hias khususnya di Desa Les Kecamatan Tejakula merupakan nelayan yang terkemuka dalam transplantasi karang dan penangkapan ikan dengan teknik yang ramah lingkungan, bebas dari penggunaan sianida.
Kemauan dan kemampuan nelayan dalam menangkap ikan
dengan teknik yang tidak merusak lingkungan tersebut tidak terlepas dari peran fasilitator yakni LSM Yayasan Bahtera Nusantara dan Telapak Indonesia. Selama 15 tahun setelah dilakukan kegiatan transplantasi karang, nelayan di Desa Les dapat memperoleh ikan hias
29
beragam jenis secara rutin, dan mampu memberikan nilai tambah bagi kehidupan nelayan setempat.
Jenis ikan hias di Desa Les lebih dari 400 jenis dan yang paling banyak
diperoleh adalah balistodes conspicillum (triger kembang), dascyllus trimaculutus (dakocan hitam), paravanthurus hepatus (letter six), pamacanthus xanthometapon (angle napoleon), dan pomacanthus imperator (angle batman).
Penyebarluasan teknik
penangkapan ikan hias bebas sianida dilakukan melalui media cetak maupun audio-visual, pelatihan pada nelayan daerah lain tentang transplantasi karang dsb. Selain kegiatan penangkapan ikan hias ramah lingkungan, di desa-desa di Kecamatan Tejakula terdapat pula kegiatan penangkapan ikan konsumsi dan pemindangan ikan secara tradisional. Masalah yang dihadapi nelayan di Kecamatan Tejakula antara lain adalah keterisoliran yang berdampak pada kesulitan mengakses layanan telekomunikasi dan konsultasi, kekeringan (masalah iklim), dan keterbatasan modal.
Dibandingkan
dengan nelayan di Kabupaten Buleleng Bagian Barat, nelayan di Bagian Timur Kabupaten Buleleng terhambat dalam melakukan konsultasi dengan lembaga yang menangani masalah perikanan. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) sekarang menjadi Unit Pelaksana Teknis Fungsional (UPTF), yang bergerak di bidang perikanan sangat terbatas bahkan hampir tidak ada di Kabupaten Buleleng Bagian Timur. Wanita nelayan di Kecamatan Tejakula merupakan pelaku utama usaha pemindangan ikan hingga pemasarannya. Pengolahan ikan dilakukan secara tradisional, dan masih belum memenuhi persyaratan hieginitas, dan perlu dikemas agar lebih menarik. Daya saing produk pengolahan dapat ditingkatkan melalui penyadaran, kemauan, dan kemampuan wanita nelayan dalam menangani (handling) produk mulai dari bahan mentah hingga menjadi produk jadi atau siap dikonsumsi, terutama aspek kebersihan. Sebaran perilaku responden dalam mengelola SDP di tiga kecamatan ditampilkan pada Tabel 14. Dapat dijelaskan dari informasi pada Tabel 13 bahwa masyarakat pesisir di Kecamatan Gerokgak dan Tejakula, meskipun pengetahuan tentang SDP relatif lebih rendah daripada masyarakat pesisir di Kecamatan Buleleng namun memiliki sikap mental yang sangat baik terhadap SDP. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan tentang SDP yang secara turun temurun diwariskan oleh generasi terdahulu.
Artinya, sikap mental
masyarakat pesisir di dua kecamatan tersebut terbentuk oleh akumulasi pengalaman masa lalu orang tua yang telah terinternalisasi dengan baik. Di sisi lain, pada masyarakat pesisir di Kecamatan Buleleng, memiliki pengetahuan tentang SDP tinggi, namun sikap mental terhadap SDP tidak setinggi seperti di Kecamatan Gerokgak. Di Kecamatan ini, nelayan dan masyarakat pesisir umumnya mampu mengakses informasi dari berbagai sumber
30
diantaranya karena kemudahan mengakses jaringan telekomunikasi, dan melakukan konsultasi dengan penyuluh.
kemudahan
Di sisi lain, sikap mental dan keterampilan
masyarakat pesisir di Kecamatan Buleleng memperlihatkan ciri masyarakat pesisir yang cenderung eksploitatif namun belum sepenuhnya melakukan upaya rehabilitasi SDP. Hal ini dipicu oleh semakin meningkatnya tekanan akan pemanfaatan SDP seiring kebutuhan hidup yang meningkat. Meski demikian, secara umum perilaku masyarakat pesisir di tiga kecamatan mengarah terhadap perilaku yang mendukung pengelolaan SDP secara berkelanjutan.
Tabel 14. Sebaran Responden menurut Perilaku dalam Mengelola SDP Aspek Perilaku
Kecamatan
Kriteria Gerokgak
(selang skor)
Jumlah
Kabupaten
Buleleng
%
Jumlah
Tejakula %
Jumlah
%
Jumlah
%
Kognitif
Rendah
24
43,6
20
45,0
18
45,0
62
36,9
(4-16);
Tinggi
31
56,4
53
55,0
22
55,0
106
63,1
median 12
Jumlah
55
100,0
73
100,0
40
100,0
168
100,0
Sikap mental
Rendah
4
7,3
32
43,8
3
20,0
39
23,2
(4-16);
Tinggi
51
92,7
41
56,2
37
80,0
129
76,8
median 14
Jumlah
55
100,0
73
100,0
40
100,0
168
100,0
Keterampilan
Rendah
12
21,8
32
43,8
8
20,0
52
31,0
(5-20);
Tinggi
43
78,2
41
56,2
32
80,0
116
69,0
median 13
Jumlah
55
100,0
73
100,0
40
100,0
168
100,0
Perilaku
Rendah Tinggi Jumlah
21 34 55
38,2 61,8 100,0
36 37 73
49,3 50,7 100,0
16 24 40
40,0 60,0 100,0
73 95 168
43,5 56,5 100,0
(13-52); median 38
Perilaku nelayan di seluruh kecamatan sebagaimana disajikan pada Tabel 15 berkorelasi positif dan nyata dengan dinamika sosial budaya masyarakat, kualitas kepemimpinan, keragaan responden, kualitas program intervensi, kompetensi fasilitator, dan kualitas pendukung kegiatan perikanan. Dengan demikian jika peubah-peubah bebas berada dalam kondisi yang meningkat, maka akan semakin baik pula perilaku nelayan dalam mengelola SDP.
31
Tabel 15. Hubungan antara Perilaku Masyarakat Pesisir dengan Berbagai Peubah Bebas Peubah/ indikator
Dinamika sosial budaya
Kualitas kepemimpinan
Keragaan responden
Kualitas program
Kompetensi Fasilitator
Kualitas pendukung kegiatan
Perilaku
Perilaku
0,247**
0,271**
0,211**
0,816**
0,174*
0,250**
1
Aspek kognitif
0,249**
0,198*
0,206**
0,828**
0,181*
0,232**
0,812**
Aspek sikap mental
0,071
0,194*
0,141
0,568**
0,035
0,144
0,657**
Aspek keterampilan
0,233**
0,197*
0,133
0,431**
0,195*
0,734**
Keterangan:
** nyata pada α = 0,01
0,171*
* nyata pada α = 0,05
Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat dan Indonesia pada tahun 2005 ini memiliki populasi lebih kurang 215 juta jiwa membutuhkan pemenuhan berbagai kebutuhan baik fisik dan non fisik.
Kegiatan usaha produktif di pesisir dan laut
merupakan salah satu alternatif yang dapat dikembangkan guna memenuhi kebutuhan hidup tersebut. Orientasi pengambil keputusan (policy maker) yang kurang memerhatikan SDP tampak pada masih terbatasnya program pembangunan yang diarahkan pada pengembangan wilayah dan komunitas pesisir. Lebih jauh, penekanan pada penerapan peraturan (law enforcement) tentang pengelolaan SDP sangat terbatas. Sebagai akibatnya, perilaku nelayan dan pemanfaat SDP sulit dikontrol.
Dari segi teknis, pengawasan
terhadap pelaku pelanggaran relatif lemah karena keterbatasan armada patroli dan aparat keamanan laut. Dalam ilmu penyuluhan, perilaku manusia disebutkan dapat dikembangkan dan diarahkan untuk menjadi lebih baik me lalui pendekatan pendidikan dan komunikasi. Pendidikan (education) yang asal katanya dari Bahasa Latin yaitu educare, berarti mengeluarkan potensi.
Dengan pendekatan pendidikan, maka komunitas pesisir
diupayakan dapat mengembangkan potensi yang dimiliki untuk mampu menyelesaikan masalah guna meningkatkan kualitas hidup. Penyuluhan sebagai sistem pendidikan non formal, apabila diterapkan secara tepat dapat mengembangkan perilaku yang lebih baik terhadap SDP. Penyuluhan secara benar akan menerapkan prinsip-prinsip dihargainya entitas individu peserta penyuluhan secara utuh, egaliter, berkelanjutan, memberdayakan bukan memperdayakan, tidak sekedar penerangan atau propaganda, dan menerapkan prinsip membantu orang lain agar orang tersebut dapat menolong diri sendiri, keluarga,
32
dan masyarakat (help people to help themselves). Prinsip memberdayakan ini sejalan dengan falsafah penyuluhan sebagaimana dikemukakan oleh Asngari (2001) adalah (i) falsafah pentingnya individu; (ii) falsafah membantu diri sendiri; (iii) falsafah mendidik; (iv) falsafah demokrasi; (v) falsafah bekerja sama; dan (vi) falsafah kontinyuitas. Pengelolaan SDP yang memenuhi kriteria sosial, ekonomi, dan lingkungan akan mencapai tujuan jika disertai penerapan falsafah di atas. Belajar merupakan usaha sadar dari seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) sebagaimana
dikemukakan Kolb (1984) merupakan siklus belajar yang terdiri atas empat proses yaitu pengalaman
nyata
(concrete
experience),
menyusun
konsep
abstrak
(abstract
conceptualization), penerapan aktif (active experimentation), dan mengamati sekaligus merefleksikan hasil pengamatan (reflective observation).
Hasil perhitungan korelasi
Rank-Spearman memperlihatkan terdapat korelasi positif yang nyata antara pengalaman berusaha dengan perilaku nelayan (r s=0,236). Dengan demikian, proses belajar mengajar berbasis pengalaman tentang perilaku dalam mengelola SDP dan dampaknya dapat disinergiskan dalam pelaksanaan penyuluhan di pesisir.
Dalam penyuluhan berbasis
peserta belajar (learner-centered approaches), pengalaman diasimilasikan menjadi bekal untuk solusi masalah, mengerucutkan rencana tindakan, dan pengambilan keputusan atas situasi yang dihadapi dengan mengakomodasikan kepentingan berbagai pihak (Siti Amanah, 1995). Implikasi penerapan prinsip pembelajaran berbasis pengalaman dalam kegiatan penyuluhan adalah bahwa setiap individu, kelompok maupun komunitas akan melalui daur belajar, dan dalam menghadapi situasi kompleks, individu dapat dibantu dalam mengambil keputusan saat menghadapi persoalan.
Pengembangan Masyarakat Pesisir dalam Mengelola SDP Nilai koefisien lintas langsung yang ditampilkan pada Tabel 16 bermakna bahwa pengembangan masyarakat pesisir dipengaruhi secara langsung dan nyata oleh kedinamisan sosial budaya dan kualitas program pemberdayaan dengan koefisien lintas langsung berturut-turut sebesar 0,117 dan 0,718. Dengan demikian, perilaku masyarakat pesisir dalam mengelola SDP secara optimal dapat dikembangkan melalui penanaman nilai- nilai sosial budaya tentang konservasi, pemanfaatan SDP secara efisien, efektifitas peran lembaga adat berkaitan dengan perilaku masyarakat pesisir, menjamin kondisi sosial
33
yang harmonis, dan penerapan kearifan lokal secara konsisten. Selain peubah dinamika sosial budaya masyarakat dan kualitas program pemberdayaan, peubah bebas lainnya yaitu kepemimpinan informal, keragaan individu, kompetensi fasilitator, serta sarana dan prasarana pendukung kegiatan berpengaruh positif terhadap perilaku masyarakat pesisir. Beberapa peubah bebas menunjukkan pengaruh tidak langsung yang lebih baik daripada pengaruh langsungnya terhadap perilaku nelayan.
Sebagai gambaran,
kompetensi fasilitator akan berpengaruh makin tinggi terhadap perilaku nelayan dibandingkan pengaruhnya secara langsung, bila didukung oleh program pemberdayaan yang berkualitas. Begitu pula dengan kepemimpinan informal, kearagaan nelayan, dan kualitas pendukung usaha, nilai pengaruh tidak langsungnya terhadap perilaku nelayan lebih tinggi daripada pengaruh langsung jika dipadukan dengan program pemberdayaan yang bermutu. Tabel 16. Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung berbagai Peubah Bebas terhadap Perilaku Nelayan Pengaruh tidak langsung melalui Peubah
Dinamika sosial budaya (X1) Kualitas kepemimpinan informal (X2) Keragaan nelayan (X3) Kualitas Program (X4) Kompetensi Fasilitator (X5) Kualitas pendukung kegiatan (X6)
Pengaruh langsung
Dinamika sosial budaya (X1)
Kualitas kepemimpinan informal (X2)
Keragaan nelayan (X3)
Kualitas program (X4)
Kompetensi fasilitator program (X5)
Kualitas pendukung kegiatan (X6)
Pengaruh total
0
0.014
0.010
0.017
-0.007
0.005
0.156
0.047
0.037
0
0.009
0.064
-0.001
0.013
0.169
0.035
0.031
0.010
0
0.086
0.004
-0.006
0.161
0.718**
0.002
0.003
0.004
0
0.014
0.006
0.747
0.079
-0.007
0.000
0.001
0.123
0
0.000
0.196
0.045
0.010
0.011
-0.004
0.103
0.000
0
0.165
0.117*
Keterangan: * nyata pada α =0,05
** nyata pada α = 0,01
Berdasarkan Gambar 3 tampak bahwa ada terdapat lima jalur hubungan antar peubah yang signifikan terhadap perilaku nelayan.
Jalur tersebut adalah (1) jalur
hubungan langsung antar peubah ke peubah perilaku nelayan dengan nilai korelasi antar peubah (selanjutnya disingkat dengan R) sebesar 0,793 dan nilai R2 sebesar 0,628; (2)
34
jalur hubungan tidak langsung melalui peubah kualitas kepemimpinan informal dengan nilai R sebesar 0,782 dan nilai R2 sebesar 0,611; (3) jalur hubungan tidak langsung melalui peubah kompetensi fasilitator dengan nilai R sebesar 0,783 dan nilai R2 sebesar 0,613; dan (4) jalur hubungan tidak langsung melalui kualitas pendukung kegiatan dengan nilai R sebesar 0,777 dan nilai R2 sebesar 0,604.
Guna mengetahui validitas model
analisis jalur secara keseluruhan di atas maka digunakan cara perhitungan koefisien determinasi total. Melalui perhitungan, diperoleh koefisien determinasi total dari model di atas adalah sebesar 0,98. Artinya, keragaman data yang dapat dijelaskan oleh model perilaku di atas adalah sebesar 98 persen, sedangkan sebesar 2 persen dijelaskan oleh peubah lain seperti perilaku pihak selain nelayan dalam memanfaatkan SDP dan pengembangan kelembagaan penyuluhan dalam pengeloaan SDP. Berdasarkan analisis jalur tersebut, dapat dijelaskan bahwa pengembangan masyarakat pesisir dapat dilaksanakan dengan memperhatikan peubah-peubah berikut sosial budaya yang dinamis dan program pemberdayaan yang bermutu, maka sangat penting untuk melibatkan peran pemimpin informal, memperhatikan kondisi spesifik nelayan, dan penyuluh atau fasilitator yang kompeten.
Masyarakat pesisir di lokasi
penelitian memiliki kebergantungan terhadap program pemberdayaan dan kepatuhan yang tinggi terhadap nilai- nilai sosial budaya.
Implikasi hal ini, program pemberdayaan
dirancang ke arah kemandirian masyarakat baik secara sosial maupun ekonomi. Aspek sosial budaya menjadi penting mengingat keunikan nilai- nilai yang dianut sistem klien. Pada masyarakat pesisir di Bali, ciri khasnya adalah adanya penerapan desa dinas dan desa adat yang saling mendukung. Sistem desa dinas mengatur mekanisme administrasi pemerintahan, sedangkan desa adat terkait dengan pelaksanaan upacara adat dan keagamaan. Dalam pengelolaan SDP, setiap komunitas pesisir memiliki tata aturan (awig-awig) yang spesifik. Kondisi sosial budaya yang dinamis dapat dikembangkan melalui efektifitas peran kelembagaan lokal baik dalam bentuk pranata maupun pengembangan organisasi kemasyarakatan.
Kearifan lokal berupa awig-awig dalam
pengelolaan SDP dan penerapan prinsip tri hita karana kehidupan sehari- hari mendukung terwujudnya tatanan kehidupan yang harmonis. Hal ini dikarenakan berkembangnya mekanisme pengawasan dari dan oleh masyarakat dan adanya struktur tugas yang jelas antara berbagai komponen dalam penerapan awig-awig.
35
Kualitas kepemimpinan informal (X2 )
0,316** 0,047
0,293** Cs1 = 0,609
Dinamika sosial budaya (X1 )
0,251*
0,117*
0,216**
Keragaan nelayan (X3 )
Perilaku masyarakat pesisir dalam mengelola SDP(Y1 )
0,035
0,086 0,045
Kualitas pendukung kegiatan (X6 )
R1 2 =0,628 0,144* 0,718**
Kualitas program (X4 ) Kompetensi fasilitator program (X5 )
0,171* 0,079
Keterangan: R1 2 = koefisien determinasi hubungan langsung seluruh peubah bebas terhadap perilaku; dan Cs1 = pengaruh peubah asing pada lintasan satu atau √(1- R12 )
Gambar 3. Hubungan antar Peubah yang Berkaitan dengan Perilaku Nelayan Mengelola SDP
Perilaku manusia di darat pada akhirnya berdampak pada kondisi SDP. Penggunaan zat- zat kimia seperti pestisida, obat-obatan, dalam kegiatan pertanian dan budidaya perairan, penebangan liar, pembuangan limbah industri secara bebas, dan limbah domestik berpengaruh buruk terhadap ekosistem pesisir seperti terumbu karang, padang lamun, dan pantai.
Kondisi terumbu karang yang memburuk menurunkan produksi
tangkapan nelayan karena karang yang merupakan rumah bagi ikan dan biota laut lain untuk berkembang biak menjadi rusak. Hasil penangkapan ikan yang semakin menurun berakibat pada penurunan pendapatan usaha nelayan.
Keterpurukan pada gilirannya
berdampak pada semakin menurunnya kualitas kehidupan nelayan dan anggota keluarganya. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari rendahnya kemampuan rumah tangga nelayan
kecil
untuk
pengembangan ekonomi.
mengakses
layanan
pendidikan,
kesehatan,
dan
peluang
36
Hubungan antara Perilaku Nelayan dengan Kualitas SDP Uji kontingensi antara perilaku nelayan dengan kualitas SDP dengan data terpilah menurut lokasi pesisir menjelaskan hal- hal khusus berikut (1) Terdapat hubungan nyata antara perilaku nelayan dengan kualitas terumbu karang dan kerapatan vegetasi di pesisir; (2) Aspek kognitif dengan pemanfaatan lahan lahan, dengan kualitas terumbu karang, dan dengan vegetasi di pesisir berhubungan nyata; dan (3) Keterampilan berhubungan secara nyata dengan kondisi SDP, dan dengan vegetasi di pesisir. Melalui analisis jalur yang ditampilkan pada Tabel 17 dan Gambar 4 menunjukkan bahwa indikator untuk melihat kualitas SDP berpengaruh positif yang nyata terhadap kualitas SDP. Tabel 17. Hasil Analisis Jalur antar Indikator Indikator Kualitas SDP terhadap Kondisi SDP Pengaruh tidak langsung melalui Peubah
Pengaruh langsung
Pemanfaatan lahan (Y2..1 ) Fluktuasi hasil tangkapan (Y2.2 ) Kualitas terumbu karang (Y2..3 ) Vegetasi di pesisir (Y2 .4 )
0.297** 0.420** 0.375** 0.409**
Pemanfaatan lahan (Y2..1 ) 0 -0.02 0.141 0.264
Fluktuasi hasil tangkapan (Y2.2 ) -0.035 0 0.019 0.091
Kualitas terumbu karang (Y2..3 ) 0.113 -0.009 0 0.213
Kualitas SDP sangat peka terhadap berbagai aktivitas manusia.
Vegetasi di pesisir (Y2 .4 ) -0.006 0.052 0.264 0
Intensitas
penambangan karang yang berlebihan, penggunaan zat-zat kimia dalam budidaya perikanan, pembuangan sampah di pesisir, limbah industri dalam bentuk bahan kimia berbahaya yang dibuang langsung ke sungai lalu mengalir ke laut sangat merusak ekosistem.
Keterkaitan antara Perilaku, Kualitas SDP, dan Kesejahteraan Rumah Tangga Guna mengetahui pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total peubah yang berpengaruh terhadap kesejahteraan, dapat dilihat hasil analisis jalur pada Tabel 18 dan Gambar 5. Tampak bahwa peubah pemanfaatan lahan memiliki pengaruh tertinggi secara nyata terhadap kesejahteraan, sedangkan fluktuasi hasil tangkapan berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan. Beberapa peubah memiliki pengaruh tidak langsung yang
Pengaruh Total 0.369 0.443 0.799 0,977
37
lebih besar terhadap kesejahteraan daripada pengaruh langsung. Misalnya, sikap mental nelayan yang didukung oleh keterampilan berusaha akan memiliki pengaruh positif secara tidak langsung terhadap kesejahteraan.
Fluktuasi hasil tangkapan (Y2.2 ) 0,127**
Vegetasi di pesisir (Y2 .4 )
Kualitas Pengelolaan SDP (Y2 )
0,420**
0,645**
Kualitas terumbu karang (Y2.3 )
0,300**
0 0,567** Cs 0,375**
Pemanfaatan lahan (Y2.1 )
0,297**
Gambar 4. Hubungan antar Indikator Peubah SDP dengan Kualitas Pengelola an SDP
Dalam pengelolaan SDP secara optimal, maka pemanfaatan lahan untuk usaha produktif perlu diikuti dengan dikikisnya sikap mental yang dapat merusak SDP termasuk dicegahnya kerusakan terumbu karang. Selain keterampilan dan fluktuasi hasil tangkapan, semua indikator berpengaruh positif terhadap kesejahteraan nelayan.
Keterampilan
menangkap ikan berpengaruh negatif meski pengaruhnya tidak signifikan terhadap kesejahteraan, hal ini berkaitan dengan peningkatan kemampuan masyarakat pesisir memodifikasi alat tangkap ikan dan melakukan budi daya ikan namun ada yang berdampak negatif bagi SDP. Untuk mengantisipasi hal ini, penyuluhan tentang perbaikan kondisi lingkungan di pesisir dan laut melalui pemanfaatan sumber daya alam secara ramah lingkungan, diversifikasi usaha, perguliran modal melalui lembaga keuangan non formal dan keterjaminan pemasaran perlu dilakukan secara kontinyu.
38
Tabel 18. Hasil Analisis Jalur Berbagai Indikator Perilaku dan Kualitas SDP terhadap Kesejahteraan Pengaruh tidak langsung melalui
Indikator Aspek kognitif ( y 1.1) Sikap mental (y 1.2) Keterampilan (y 1.3) Pemanfaatan lahan ( y 2.1 ) Fluktuasi hasil tangkapan (y 2.2) Kualitas terumbu karang (y 2.3) Vegetasi (y 2.4)
Pengaruh total
Pemanfaatan lahan ( y 2.1)
Variasi hasil tangkapan (y 2.2)
Kualitas terumbu karang (y 2.3)
Vegetasi (y 2.4)
0.026
-0.011
-0.011
0.008
-0.004
0.082
0
0.018
-0.002
-0.012
-0.005
0.003
-0.012
0.015
-0.002
0
0.034
-0.002
0.009
-0.013
0.147
0.425**
0.004
0
0.009
0
0.013
0.018
-0.001
0.468
-0.158**
-0.002
-0.001
0.001
-0.029
0
-0.002
0.017
-0.174
0.069
0.018
-0.001
0.024
0.193
0.011
0
0.088
0.401
0.131
0.028
0.001
-0.015
-0.004
-0.035
0.038
0
0.144
Koefisien. Lintas
Aspek kognitif ( y 1.1)
Sikap mental (y 1..2)
Keterampilan (y 13 )
0.078
0
-0.004
-0.010
-0.003
0.106
Hubungan antar peubah yang digunakan sebagai jalur untuk melihat pengaruh kualitas SDP terhadap kesejahteraan adalah (1) jalur langsung hubungan faktor determinan yaitu aspek kognitif, sikap mental, keterampilan, pemanfaatan lahan, fluktuasi hasil tangkapan, kualitas terumbu karang, dan vegetasi di pesisir dengan nilai R2 sebesar 0,343; (2) jalur tidak langsung melalui keterampilan nelayan dengan nilai R2 sebesar 0,196; (3) jalur tidak langsung melalui pemanfaatan lahan dengan nilai R2 sebesar 0,218; (4) jalur tidak langsung melalui kualitas terumbu karang dengan nilai R2 sebesar 0,535; dan (5) jalur tidak langsung melalui vegetasi di pesisir dengan nilai R2 sebesar 0,443.
Dari
perhitungan koefisien determinan total didapat nilai R2 sebesar 0, 940, artinya keragaman data yang dapat dijelaskan model tersebut adalah 94 persen, dan hanya enam persen dijelaskan oleh peubah lain yang tidak tercakup di dalam model dan error. Analisis jalur tentang hubungan antara indikator perilaku nelayan, kualitas SDP, dan kesejahteraan memperlihatkan bahwa masalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental untuk menjaga SDP seperti terumbu karang, mangrove, lahan di pesisir sangat penting. Pengenalan tentang potensi dan pemanfaatan SDP sejak dini dapat dikenalkan pada masyarakat luas khususnya yang terlibat langsung di kawasan pesisir seperti keluarga nelayan termasuk generasi muda nelayan, pembudidaya di laut, pembudidaya di air payau,, dan pengolah hasil perikanan tangkap.
Metode pembelajaran yang kreatif,
39
menarik, dan persuasif dapat menggugah kesadaran individu dan kelompok masyarakat untuk bertindak lebih baik terhadap lingkungan. Pemanfaatan Lahan (Y2..1 )
Aspek kognitif (Y1.1 )
0,425** 0,269**
0,453** 0,384**
Fluktuasi hasil tangkapan (Y2.2 )
Sikap mental (Y1..2 )
R1 2 =0, 343
-0,158
Kesejahteraan rumah tangga (Y3 )
0,123*
0.249* 0,170*
Kualitas terumbu karang (Y2..3 ) Keterampilan (Y1.3 )
0,130
0,069
0,223*
0,559**
0,131
Vegetasi di pesisir (Y2 .4 )
0,106
Gambar 5.
Hubungan antara Peubah Perilaku Nelayan, Kualitas SDP, dan Kesejahteraan Rumah Tangga
Hasil analisis jalur pada Tabel 19 yang transformasi perilaku nelayan
pesisir dapat dilakukan melalui
untuk mengelola SDP secara optimal.
Diperlukan
peningkatan kualitas SDP melalui peran aktif individu nelayan, kelompok, dan komunitas yang lebih luas. Tabel 19. Hasil Analisis Jalur Hubungan antara Perilaku dengan Kualitas SDP dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Peubah Perilaku (Y1 ) Kualitas SDP (Y2 )
Koefisien Lintas 0,132 0,327**
Pengaruh tidak langsung melalui Perilaku (Y1 ) Kondisi SDP (Y2 ) 0 0,061 0,061 0
Pengaruh total 0.193 0.388
Keterangan: ** nyata pada α 0.01 Kualitas SDP yang terjamin memberikan pengaruh positif terhadap kesejahteraan. Pengaruh tidak langsung peubah juga bernilai positif.
Ini berarti, perilaku nelayan
40
terhadap SDP diarahkan pada keseimbangan antara aspek pemanfaatan dan konservasi. Menurut teori pembelajaran sosial, manusia belajar dari interaksinya dengan manusia lain mengakumulasi menjadi pengalaman belajar, dan melakukan proses imitasi.
Dalam
pengelolaan SDP, terjadi interaksi antar pemanfaat SDP, interaksi antara pemanfaat SDP dengan lingkungan, dan dengan lembaga pemberdayaan dan penyusun kebijakan tentang SDP, dan pola interaksi tersebut dapat dilukiskan sebagai tiga lingkaran yang saling berhubungan (Gambar 6). Perilaku nelayan dalam mengelola SDP (Y1 ) 0,132 0,061
Kualitas pengelolaan SDP (Y 2 )
Kesejahteraan rumah tangga (Y3 )
R12=0,140
0,327**
Cs =0,920
Keterangan: R1 2 = koefisien determinasi hubungan langsung seluruh peubah bebas terhadap peubah kesejahteraan; dan Cs= pengaruh peubah asing pada model lintasan atau √(1- R1 2 )
Gambar 6.
Pengaruh Peubah Perilaku dan Kondis i SDP terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Pesisir
. Manusia merupakan sentral dari berbagai aktivitas di kawasan pesisir dan laut. Penurunan kualitas hidup manusia berakar pada perilaku manusia sendiri dalam berhubungan dengan alam. Langkah awal adalah mengupayakan agar dimiliki kemauan untuk berubah. Hal ini sejalan dengan yang disebutkan Royce (1996), bahwa nelayan maupun pembudidaya baru mau me ngubah cara bertindak manakala diyakini bahwa ada manfaat atas perubahan cara bertindak tersebut, ada pengurangan beban kerja, dan resiko rendah.
Guna mencegah perilaku menyimpang dalam pengelolaan SDP, kesiapan
komunitas, dan pengembangan komunitas dalam pengambilan keputusan sangat penting. Proses aksi sosial dan proses pengambilan keputusan dalam inovasi dari model adopsi inovasi Ro gers (1994) dapat dimodifikasi. Proses aksi sosial meliputi lima tahap: (1) stimulasi minat (stimulation of interest); (2) inisiasi (initiation); (3) legitimitasi (legitimation); (4) keputusan bertindak; dan (5) aksi (Donnermeyer dkk., 1996). Model pengambilan keputusan Rogers tentang adopsi inovasi meliputi lima tahap: (1) pengetahuan (knowledge); (2) persuasi (persuasion); (3) keputusan (decision); (4)
41
implementasi (implementation); dan (5) konfirmasi (confirmation). Kedua langkah di atas memerlukan adaptasi sebelum diterapkan pada komunitas tertentu.
- Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya, - Kebutuhan dan harapan, - Dinamika sosial budaya dan kepemimpinan
Kondisi Nelayan
Peran Pemerintah, Swasta, dan LSM
Kondisi SDP
Ekosistem: - Terumbu karang: ikan, plankton, dan biota laut lain - Padang lamun: vegetasi dan fauna - Pantai: lahan berpasir, vegetasi, dan fauna.
- Pengembangan perilaku positif pada lingkup mikro, meso, dan makro - Pendekatan penyuluhan secara tepat dan benar. - Hukum, peraturan perundangan, kebijakan tentang pengeloaan SDP
Gambar 7. Keterkaitan antara Manusia, SDP, dan Perilaku Masyarakat Mengelola SDP Hasil analisis jalur keseluruhan peubah terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir memperlihatkan bahwa beberapa peubah menunjukkan nilai pengaruh tidak langsung yang lebih besar daripada pengaruh langsungnya (Tabel 20). Peubah kepemimpinan informal memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan melalui dinamika sosial budaya yang jauh lebih tinggi daripada pengaruh langsungnya. Pengaruh langsung kepemimpinan informal hanya 19 persen terhadap kesejahteraan, sedangkan pengaruh tidak langsungnya sebesar 62 persen.
Begitu pula dengan peubah keragaan responden, didukung oleh
dinamika sosial budaya yang tinggi peubah tersebut memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan yang tinggi yaitu sebesar 61 persen, sedangkan pengaruh langsungnya sebesar 35 persen. Program pemberdayaan memiliki nilai koefisien lintas tidak langsung terhadap kesejahteraan yang positif bila didukung oleh keragaan nelayan yang berkualitas, dukungan kepemimpinan informal, fasilitator yang kompeten, dan perilaku masyarakat yang optimal dalam mengelola SDP. Dari hasil analisis jalur tersebut dapat dijelaskan bahwa pemimpin informal lebih mampu mengarahkan perilaku masyarakat ketika kondisi SDP terjaga. Kompetensi fasilitator memiliki pengaruh tidak langsung yang relatif tinggi terhadap kesejahteraan jika didukung oleh kondisi sosial budaya yang dinamis. Kualitas SDP berpengaruh positif terhadap kesejahteraan jika didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana penunjang usaha yang mencukupi.
Tabel 20. Analisis Jalur Hubungan antar Peubah dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Pengaruh tidak langsung melalui Peubah
Dinamika sosial budaya (X1.) Kepemimpinan informal (X.2 ) Keragaan responden (X.3 )) Program pemberdayaan (X4 ) Kompetensi fasilitator (X5 ) Dukungan sarana & prasarana (X.6 ) Perilaku masyarakat pesisir (Y1 ) Kualitas SDP (Y2 )
Koefisien Dinamika Kepemimpinan sosial lintas informal (X.2 ) budaya langsung (X1.)
Keragaan responden (X.3 )
Program pemberdayaan (X4 )
Kompetensi fasilitator (X5 )
Dukungan sarana & prasarana (X.6 )
Perilaku masyarakat pesisir (Y1 )
Kualitas SDP (Y2 )
Pengaruh total
0.438
0
0.011
0.017
0.016
-0.010
0.005
0.015
0.002
0.494
0.040
0.130
0
0.014
0.000
-0.015
0.015
0.006
0.020
0.210
0.062
0.108
0.008
0
-0.005
-0.005
-0.006
0.005
0.012
0.178
-0.200
-0.063
0.000
0.003
0
0.001
0.003
0.093
0.003
-0.159
0.173
-0.040
-0.005
-0.003
-0.001
0
-0.001
0.012
0.145
0.279
0.051
0.034
0.009
-0.007
-0.006
-0.002
0
0.006
0.002
0.086
0.129
0.099
0.004
0.005
-0.155
0.018
0.005
0
-0.004
0.102
0.197
0.008
0.006
0.007
-0.003
0.127
0.001
-0.002
0
0.342
Keterangan: * * nyata pada α = 0.05
** nyata pada α = 0.01 43
43
Sistem Pengembangan Masyarakat Pesisir Mengelola SDP bagi Kesejahteraan Sistem memiliki serangkaian ide yang dapat digunakan untuk memahami kompleksitas, dan memiliki hubungan antar komponen sebagai satu kesatuan (Checkland, 1981). Masukan sistem ada ya ng berasal dari luar dan dalam sistem. Identifikasi peubah input dan output dalam sistem pengembangan masyarakat pesisir ditampilkan pada Gambar 8. Masukan Tidak Terkontrol
Masukan dari Luar Sistem
- Kondisi sosial ekonomi nelayan - Kelembagaan lokal masyarakat pesisir - Kondisi SDP - Intervensi dari LSM/sponsor pada masyarakat pesis ir - Ketersediaan faktor produksi dan pemasaran hasil
- Kebijakan pembangunan - Nilai-nilai budaya lokal - Struktur sosial
Pengembangan Masyarakat Pesisir berdasarkan Kearifan Lokal - Sistem penyuluhan yang mantap sesuai kondisi biofisik, sosial, dan ekonomi masyarakat pesisir - Fokus pada kebutuhan masyarakat dan potensi SDP
Masukan Terkontrol - Penyuluhan dalam kerangka negara kepulauan (SDP) - Program penyuluhan/ pemberdayaan - Saran dan prasarana usaha perikanan & kelautan - Kualitas fasilitator - Kerjasama antar lembaga
- Perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP secara optimal - Kondisi SDP yang lestari - Pengelolaan SDP terpadu - Kondisi rumah tangga dan komunitas pesisir masyarakat ke arah yang lebih berkualitas dan bermartabat
Luaran yang Tidak Diinginkan - Kebergantungan pada orang luar - Kontrol SDP yang terlalu besar pada masyarakat - Penyalahgunaan peran fasilitator
Pengendalian dan Pengawasan Kebijakan, Program, dan Kegiatan -
Gambar 8.
Luaran yang Diinginkan
Perencanaan dan monitoring Revisi perencanaan Evaluasi dan tindak lanjut Pemantauan dan evaluasi
Analisis Sistem Pengembangan Masyarakat Pesisir Mengelola SDP secara Berkelanjutan
Antara input dan output terdapat hubungan, dan terkadang tidak dapat sepenuhnya diketahui cara kerja sistem, dalam hal ini menurut Haslett (2000) para analis sistem dihadapkan pada sebuah sistem kotak hitam (black box system). Penelaahan lebih lanjut dapat mengungkap komponen kerja sistem dengan aliran yang jelas setiap energi dan unsur dalam sistem, dan kondisi ini dikenal sebagai sistem kotak putih (white box system).
44
Pengembangan
masyarakat
pesisir
sebagai
implementasi
penyuluhan
pembangunan merupakan kegiatan pendidikan. Penyuluhan dapat dilihat sebagai suatu penyediaan jasa yakni proses belajar–mengajar (proses pembelajaran) seperti dikemukakan pula oleh Tampubolon (1996). Agar perilaku pengelola SDP senantiasa dapat diarahkan untuk menjaga kondisi SDP secara berkelanjutan, perlu (1) dirumuskan visi, misi, dan tujuan pengembangan masyarakat pesisir yang jelas, dan (2) meningkatkan kualitas program pemberdayaan termasuk peningkatan kompetensi penyuluh/fasilitator. Konsepkonsep manajemen partisipatif dan Total Quality Management (TQM) diperlukan guna mencapai standar mutu pelayanan jasa penyuluhan yang diharapkan pelanggan. Rencana strategis untuk mutu berguna sebagai landasan gerak menuju sistem pengembangan masyarakat
Mempertimbangkan kualitas SDP dan sumber daya manusia (SDM) di
Kabupaten Buleleng, maka rumusan visi, misi, tujuan, dan strategi penyuluhan atau pengembangan masyarakat pesisir adalah sebagai berikut:
Visi: Menjadikan masyarakat pesisir di Kabupaten Buleleng yang sejahtera dan mandiri melalui pengelolaan sumber daya pesisir dan laut secara lestari. Misi: Guna menjadikan SDP Kabupaten Buleleng yang lestari dan bermanfaat bagi kehidupan masa kini dan masa depan, maka penyuluhan sebagai bentuk pengembangan masyarakat pesisir diarahkan mampu mewujudkan masyarakat pesisir yang mampu berperilaku efektif dan efisien dalam memanfaatkan SDP. Guna mewujudkan visi di atas, maka dijalankan misi berikut: -
Mengembangkan peran dinamika sosial budaya masyarakat untuk penanaman nilainilai kelestarian lingkungan,
-
Mengembangkan kapasitas masyarakat pesisir melalui pembelajaran berbasis pengetahuan dan pengalaman tentang pemanfaatan SDP untuk peningkatan kesejahteraan, keterjaminan sosial, dan keseimbangan lingkungan,
-
Meningkatkan peran pemimpin informal, pemerintah, dan swasta dalam pemberdayaan masyarakat pesisir guna mengembangkan usaha alternatif bagi peningkatan kualitas rumah tangga, dan
-
Menerapkan keadilan dan kesetaraan gender dalam pengelolaan SDP.
45
Tujuan: (a) Tujuan konservasi. Perilaku pengelola SDP guna menjamin pelestarian SDP melalui konservasi, rehabilitasi ekosistem terumbu karang, dan pesisir. (b) Tujuan ekonomi. positif
bagi
Perilaku masyarakat pesisir diharapkan dapat memberikan efek
kualitas
hidup
masyarakat
setempat,
dan
sumbangannya
bagi
perekonomian lokal, regional, dan nasional. (c) Tujuan sosial budaya. Dipelihara dan dikembangkannya budaya lokal seperti adat istiadat, norma, nilai- nilai lokal termasuk awig-awig, dan pandangan hidup yang mendukung upaya pelestarian SDP. (d) Tujuan kelembagaan. Penyuluhan dapat menguatkan interaksi antar lembaga dan antar sektor terkait dalam pelestarian sumber daya pesisir.
Diterapkannya hukum dan
peraturan secara tegas. Pada kasus di Kabupaten Buleleng, keempat tujuan tersebut diupayakan dapat dicapai dengan prioritas pertama yakni tujuan ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan tujuan kelembagaan. Tujuan ekonomi hendaknya tidak mengalahkan tujuan lainnya.
Target Sejalan dengan visi, misi, dan tujuan penyuluhan dalam pengelolaan SDP yang berbasis kearifan lokal, maka target penyuluhan disusun dengan memadukan kepentingan ekologi, ekonomi, dan sosial. Target tersebut adalah (1) dikuranginya laju kerusakan terumbu karang, (2) ditingkatkannya vegetasi dan luas areal padang lamun, (3) dikelolanya budidaya laut yang ramah lingkungan (4) diversifikasi usaha untuk mengurangi perilaku menyimpang dalam mengelola SDP sekaligus meningkatkan penghasilan nelayan; (5) meningkatnya kesadaran masyarakat dan pemanfaat SDP untuk kelestarian sumber daya alam tersebut; (6) eliminasi perilaku negatif seperti pengeboman karang, penggunaan potassium cyanide, dan kompresor; (7) koordinasi antar pengguna SDP, dan (8) ditegakkannya hukum dan peraturan pendaya gunaan SDP yang adil dan bertanggung jawab. Berdasarkan kekhususan persoalan pada masing- masing kecamatan, maka target tersebut dapat dipilah sebaga i berikut: (1)
Di Kecamatan Gerokgak, target perubahan perilaku dalam mengelola SDP diprioritaskan pada peningkatan kesadaran masyarakat untuk
mengelola SDP
secara lestari, pengelolaan budidaya laut yang ramah llingkungan, diversifikasi usaha, koordinasi antar pengguna SDP, dan penegakkan hukum dan peraturan
46
pemanfaatan SDP secara adil dan bertanggung jawab, mengingat perairan laut di kecamatan ini berbatasan dengan perairan Provinsi Jawa Timur. (2)
Di Kecamatan Buleleng, target perubahan perilaku dalam mengelola SDP diprioritaskan pada upaya eliminasi perilaku negatif dalam penangkapan, dan koordinasi antar pemanfaat SDP.
(3)
Di Kecamatan Tejakula, target perubahan perilaku dalam mengelola SDP diprioritaskan pada diversifikasi usaha, koordinasi antar pengguna SDP, dan penyebarluasan pemahaman dan keterampilan transplantasi karang pada nelayan yang belum menerapkan teknologi tersebut. Untuk menyusun rencana pengelolaan diperlukan kelengkapan data baik primer
maupun sekunder yang berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan setempat. Berbagai metode untuk memperoleh data dapat digunakan seperti survai, observasi berpartisipasi, maupun diskusi kelompok terfokus, bergantung pada sumber daya manusia, waktu, dan biaya yang tersedia. Kekuatan, Kelemaha n, Peluang dan Ancaman (KEKEPAN) Guna mengetahui kekuatan pendorong dan penghambat kelembagaan penyuluhan perikanan dalam konteks pengelolaan SDP sekaligus untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan, maka dilakukan analisis KEKEPAN (kekuatan, kelemaha n, peluang, dan ancaman) atau biasa dikenal dengan SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats). Analisis KEKEPAN model pengembangan masyarakat pesisir melalui evaluasi faktor internal dan eksternal menghasilkan hal berikut.
Faktor Penentu Keberhasilan
(FPK) Model Pengembangan Masyarakat Pesisir terdiri atas kekuatan terbesar adalah dinamika sosial budaya masyarakat yang tinggi dengan total nilai bobot (TNB) sebesar 0,49; kelemahan yang paling menonjol adalah pendekatan penyuluhan belum berorientasi pada kebutuhan masyarakat dengan TNB sebesar 0.24; peluang yang terbuka paling besar adalah kesempatan melakukan diversifikasi usaha di pesisir dengan TNB sebesar 0,52; dan tantangan terbesar adalah tuntutan untuk menerapkan usaha yang ramah lingkungan yang merupakan isu global dengan TNB sebesar 0,31. TNB Kekuatan 2.82; Kelemahan 1.21; Peluang 2.36; Tantangan 1.60, maka kekuatan dari model pengembangan masyarakat pesisir tersebut berada pada kuadran I (Area SO).
47
Strategi Analisis KEKEPAN model pengembangan masyarakat pesisir menghasilkan empat alternatif strategi yang dapat dikombinasikan antara satu dengan yang lain dalam bentuk program terpadu. Keempat alternatif strategi itu adalah (1) Pengembangan masyarakat pesisir dengan memadukan kekuatan dan peluang yakni memaksimumkan kekuatan dan peluang atau dikenal dengan sebutan maksi- maksi, diarahkan pada pengembangan dinamika sosial budaya masyarakat pesisir mendukung pemanfaatan SDP melalui diversifikasi usaha. (2) Pengembangan
masyarakat
pesisir
dengan
meminimalisasi
kelemahan
dan
memaksimumkan peluang dapat dilakukan melalui peningkatan layanan penyuluhan yang bermutu. (3) Pengembangan masyarakat pesisir melalui upaya meningkatkan kekuatan dan menangatasi tantangan yaitu dengan jalan mengendalikan pemanfaatan SDP secara benar melalui pendekatan sosio-budaya, pengelolaan usaha ramah lingkungan (syarat eco-labelling), agar produk yang dihasilkan mampu menembus pasar internasional. (4) Pengembangan masyarakat pesisir melalui penanggulangan tantangan dan mengurangi kelemahan ditempuh melalui pengembangan koordinasi dalam mengelola SDP dengan lembaga terkait, penegakkan hulum (law enforcement) pemanfaatan SDP, dan menjamin keberlangsungan penyuluhan di pesisir. Kebijakan dan Rencana Mutu Kebijakan Mutu Berdasarkan visi, misi, tujuan, dan strategi yang telah dikemukakan, maka kebijakan mutu dalam implementasi model pengembangan masyarakat meliputi: (1) Menyediakan mutu layanan jasa penyuluhan/pengembangan masyarakat yang profesional agar mampu memenuhi kebutuhan pela nggan yang semakin beragam. (2) Menyediakan jasa konsultasi dan pemberdayaan masyarakat atau klien, untuk peningkatan kinerja nelayan/masyarakat pesisir sebagai pihak pengguna. (3) Mengembangkan sumber daya manusia meliputi pengembangan kapasitas pelanggan internal primer guna memperbaiki kinerja secara terus menerus. (4) Meningkatkan dukungan kelembagaan, pendanaan, dan kapasitas penyuluh. (5) Mengembangkan jaringan kerjasama dengan berbagai pihak.
48
Perencanaan mutu pada hakekatnya dilakukan untuk menerjemahkan kebutuhan pelanggan menjadi rancangan mutu.
Hasil identifikasi kebutuhan pelanggan (pada
Lampiran) dalam sistem pengembangan masyarakat diterjemahkan sebagai berikut: (a) Rancangan proses belajar mengajar dalam pengembangan masyarakat dan fasilitas penunjang pembelajaran dirancang sedemikian rupa dan ditingkatkan mutunya agar dapat membantu masyarakat pesisir menyelesaikan masalah yang dihadapi; (b) Tenaga penyuluh memiliki kemampuan yang tinggi dalam menyediakan layanan yang prima, dalam memandu, mendampingi, melatih, dan memberdayakan masyarakat; (c) Masyarakat pesisir yang memiliki kehidupan berkualitas ditunjukkan oleh perilaku yang terkontrol dalam memanfaatkan SDP secara ekonomi, sosial, dan ekologis. Menjalin dan mengembangkan kerjasama antar lembaga dan lintas sektor dalam implementasi kegiatan pengembangan masyarakat
Pengaturan Bagian-Bagian Pengkoordinasian
antar
bagian
dalam
model
pengembangan
dimaksudkan untuk menyusun rancangan mutu menjadi sistem.
masyarakat
Rancangan mutu
pengembangan masyarakat pesisir itu dibagi menjadi empat bagian atau sub sistem yaitu (i) Sub sistem penelitian dan pemberdayaan, (ii) Sub sistem pendidikan dan latihan, (iii) Sub sistem kelembagaan, dan (iv) Sub sistem pengembangan dan kerjasama. Melalui empat subsistem tersebut, pelanggan lembaga pengembangan masyarakat baik internal maupun eksternal, diharapkan dapat terpenuhi kebutuhan dan harapannya.
Biaya Mutu Biaya mutu dalam penyelenggaraan model pengembangan masyarakat pesisir luaran penelitian ini meliputi biaya proses penyelenggaraan model pengembangan, biayabiaya yang terkait dengan kegiatan penunjang, dan biaya-biaya tersembunyi.
Sebagai
suatu bentuk layanan pendidikan non formal, maka pada implementasi model pengembangan masyarakat terdapat pula biaya pencegahan (prevention cost), dan biaya kegagalan (failure cost). Biaya pencegahan adalah pengeluaran yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kegagalan atau kesalahan dalam proses produksi barang atau jasa dan dalam pelayanannya. Biaya kegagalan adalah pengeluaran yang muncul akibat terjadinya kesalahan dalam sistem penyelenggaran pengembangan masyarakat, kekeliruan dalam pemilihan pendekatan dan metode, kesalahan lain yang bertolak belakang dengan tipologi, dan kebutuhan pelanggan.
49
Untuk menghindari munculnya berbagai biaya tersebut dapat dilakukan dengan (1) Kepemimpinan yang bermutu; (2) Petugas penyuluh atau fasilitator yang bermutu dan tenaga penunjang
yang cekatan dan professional; (3) Manajemen penyelenggaraan
pengembangan masyarakat yang mendukung peningkatan mutu layanan penyuluhan; (4) Sistem informasi yang baik dan prosedur pelaksanaan pengembangan masyarakat yang sederhana dan jelas; (5) Tersedianya sarana, prasarana yang mencukupi dan terpelihara; (6) Senantiasa bekerja dengan hati- hati dan mencegah kesalaha n sekecil apapun; dan (7) Lingkungan kerja yang nyaman dan kondusif.
Rencana Kerja Rencana kerja dipilah menjadi jangka pendek, menenga, dan panjang sebagai berikut: Rencana Jangka Pendek (1) Menyusun perencanaan secara partisipatori tentang pengelolaan SDP terpadu melibatkan berbagai pihak. (2) Rencana yang telah tersusun didokumentasikan secara tertulis untuk memudahkan dalam melaksanakan diseminasi, implementasi program, dan tindak lanjut. (3) Diseminasi hasil perencanaan partisipatori pada seluruh komunitas pesisir dan lembaga terkait untuk meningkatkan rasa memiliki dan menggugah semangat untuk berpartisipasi aktif dalam program pengelolaan SDP secara terpadu. (4) Penyiapan implementasi rencana tentang pengelolaan SDP terpadu meliputi upaya diversifikasi usaha untuk mengantisipasi resiko dan ketidakpastian. (5) Eksekusi rencana melalui pendekatan sosial budaya dibantu oleh pemuka adat, ketua kelompok nelayan, dan penyuluh setempat. (6) Pemantauan kegiatan, dan membekali komunitas nelayan agar dapat menindak lanjuti penyelenggaraan kegiatan secara swakarsa dan swadaya.
Rencana Jangka Menengah Dalam jangka menengah, upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya lokal.
Komunitas nelayan masih
memerlukan dukungan fasilitasi dari luar sistem sosial masyarakat. Menyikapi hal ini maka stimulasi dari pemerintah dan swasta sebagai promotor pengembangan usaha dari komunitas pesisir sangat diperlukan.
50
Rencana Jangka Panjang Dalam jangka panjang, kerjasama pemerintah bersama pihak terkait dengan SDP perlu dikembangkan terus untuk mewujudkan visi, melaksanakan misi, mengembangkan strategi yang dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir secara keseluruhan. Model Pengembangan Perilaku Masyarakat Pesisir dalam Mengelola SDP Model pengembangan perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP sebagaimana ditampilkan pada Gambar 9 memperlihatkan bahwa 70 persen dari indikator variabel yang digunakan memiliki korelasi positif yang nyata dengan perilaku.
Perilaku ne layan
mengelola SDP secara optimal memiliki hubungan yang sangat nyata dengan seluruh variabel bebas. Mencermati model perilaku masyarakat pesisir tersebut, maka menjadi masukan bagi pihak yang berhadapan langsung dengan komunitas pesisir terutama Dinas Kelautan dan Perikanan di tataran Kabupaten beserta jajarannya serta Dinas terkait lainnya, Departemen Kelautan dan Perikanan terutama Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia di Departemen tersebut, LSM, Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi, dan pihak swasta untuk berkoordinasi mengkondisikan agar aspek-aspek yang berkorelasi secara nyata di atas dapat dikembangkan ke arah positif melalui pendekatan yang relevan. Model pemberdayaan ini adalah mengutamakan kebutuhan masyarakat lokal, penerapan pendekatan partisipatori, dan didasarkan pada dinamika sosial budaya masyarakat setempat.
Luaran penelitian ini memperlihatkan bahwa perilaku masyarakat pesisir
mengelola SDP di Kabupaten Buleleng berkorelasi positif yang nyata dengan seluruh variabel penelitian baik internal maupun eksternal nelayan. Transformasi kehidupan masyarakat pesisir dapat dilihat dari perubahan positif yang terjadi dalam lima hal berikut yaitu (1) meningkatnya kualitas kehidupan nelayan dan keluarganya (better living); (2) pola hubungan antar masyarakat yang semakin mantap (better community) yang idealnya merupakan tatanan kehidupan masyarakat madani (civil society), (3) digunakannya teknologi (penangkapan, budidaya laut/tambak, pengolahan) yang ramah lingkungan (better farming), (4) meningkatnya kemauan, kemampuan, dan kesempatan dalam mengelola akuabisnis, dan kegiatan produktif lainnya (better business), dan (5) meningkatnya kondisi lingkungan fisik terutama ekosistem pesisir yang semakin terpelihara untuk mendukung kehidupan manusia di masa sekarang dan yang akan datang (better environment).
51
Dinamika sosial budaya
r=0,262**
(1) Nilai-nilai sosial budaya (r=0,185**) (2) Peran lembaga adat (r=0,179**) (3) Interaksi sosial (r=0,112) (4) Kearifan lokal tentang SDP (r=0,237**)
Kepemimpinan informal (1)
Peran pemimpin (r=0,178**) (2) Perilaku kepemimpinan (r=0,065) (3) Gaya kepemimpinan (r=0,252**)
r=0,250**
Keragaan nelayan r= 0,227**
Perilaku pengelolaan SDP secara optimal (1) Wawasan tentang potensi dan pemanfaatan SDP (2) Sikap peduli lingkungan (3) Keterampilan
r=0,770**
Kualitas program (1) Perencanaan (r=0,543**) (1) Proses/pendekatan (r=0,656**) (2) Kompatibilitas (r=0,246**) (3) Kontinuitas (r=0,246**)
(1) Status sosial ekonomi (r=0,147**) (2) Motivasi berusaha (r=0,238**) (3) Respon terhadap perubahan (r=-0,049) (4) Keaktifan (r=0,004) (5) Aspek Gender (r=0,196**)
r= 0,220**
Fasilitas dan Dukungan r= 0,203**
Kompetensi penyuluh/fasilitator
(1) (2) (3) (4) (5)
Pasar (r=0,068) Sarana produksi (r=0,05) Transportasi (r=0,219**) Pendaratan ikan (r=0,149*) Dukungan informasi, riset inovasi, dan peraturan perikanan (r=0,147*)
(1) Kemampuan komunikasi (r=0,195**) (2) Kemampuan memotivasi (r=-0,008) (3) Kemampuan belajar – mengajar (r=0,183**)
Keterangan: * nyata pada α=0,05; ** nyata pada α=0,01 Gambar 9. Model Pengembangan Perilaku Masyarakat Pesisir Mengelola SDP secara Optimal Penerapan Model Pengembangan Masyarakat Pesisir dalam Mengelola SDP Nelayan dan masyarakat pesisir merupakan pelanggan sebagaimana telah dikemukakan pada uraian sebelumnya. Dalam sistem ini terdapat tiga komponen penting yaitu (1) SDP, (2) hukum, peraturan atau kebijakan tentang pengelolaan SDP, dan (3) kondisi sosial budaya masyarakat nelayan.
Mekanisme kerja model pengembangan
masyarakat dalam mengelola SDP secara lestari dapat disederhanakan seperti tampak Gambar 10. Mekanisme kerja tersebut membentuk sebuah siklus yang terdiri atas empat tahap yaitu perencanaan, proses, monitoring dan evaluasi, serta tindak lanjut (Gambar 11).
52
Koordinasi & komunikasi
Lembaga penyuluhan: pemerintah (Pusat dan Daerah) dan swasta (LSM)
Konsultasi, dan fasilitasi via program pemberdayaan yang berkualitas
Lembaga penelitian dan pengembangan diseminasi Riset potensi dan pemanfaatan SDP
SDP: lahan di pesisir, ikan, terumbu karang, dan mangrove
Informasi IPTEK
Peraturan lokal pengelolaan SDP
Kebutuhan dan harapan
Pengelolaan SDP secara berkelanjutan (ekologis, sosial, dan ekonomi)
Penyuluh
Anggota kelompok nelayan dan masyarakat pesisir lainnya (kondisi sosial
Ketua kelompok nelayan, pemuka adat, tokoh masyarakat (penyuluh swakarsa)
ekonomi) Interaksi – komunikasi (dinamika sosial budaya)
Sarana/prasarana Usaha berbasis SDP: perikanan tangkap, budidaya tambak, budidaya perairan, pengolahan, jasa wisata
perantara Konsumen dan Lembaga pemasaran
Gambar 10. Keterkaitan antar Lembaga dalam Pengembangan Masyarakat Pesisir (1) Tahap perencanaan Perencanaan (planning) merupakan suatu kegiatan yang memberikan pedoman garis-garis besar mengenai hal yang akan dituju, sehingga perencanaan merupakan persiapan-persiapan tentang pelaksanaan suatu tujuan. Pada tahap ini dipersiapkan keseluruhan rencana implementasi fungsi manajemen dan rencana pengelolaan unsur manajemen dalam sistem pengembangan masyarakat pesisir. Diperlukan data dan informasi yang akurat tentang kondisi biofisik SDP, kondisi sosial, budaya, ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir, peraturan lokal pengelolaan SDP, dan teknologi perikanan. Peran penyuluh pada perencanaan sangat penting untuk dapat memfasilitasi masyarakat untuk bersama-sama menentukan masalah, sekaligus menyusun alternatif penyelesaian masalah. Permasalahan keterbatasan jumlah dan
53
mutu personil penyuluh, dapat diatasi melalui pelibatan nelayan maju, pemuka masyarakat yang menguasai persoalan SDP, dan anggota masyarakat yang kompeten. Penyuluh atau fasilitator hendaknya (i) Memiliki jiwa kepemimpinan; (ii) Memahami adat istiadat, nilai- nilai budaya, dan mampu mengembangkan interaksi sosial yang harmonis dengan segenap lapisan masyarakat; (iii) Memiliki pemahaman tentang masalah yang dihadapi masyarakat; (iv) Memfasilitasi masyarakat agar dapat melaksanakan siklus program secara mandiri; dan (v) Mampu menggalang jejaring secara internal dan eksternal masyarakat untuk keberlanjutan program.
(2) Tahap proses Suasana belajar yang kondusif dalam penyelenggaraan penyuluhan merupakan prasyarat utama keberhasilan proses transformasi pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan termasuk pendekatan belajar orang dewasa, pendekatan partisipatori pada seluruh siklus program (PDSA). Makin tinggi interaksi antara penyuluh dengan klien (partisipan penyuluhan) maka efisiensi belajar akan cenderung meningkat. Lingkungan yang mempengaruhi efisiensi belajar meliputi lingkungan pelajar dan lingkungan tempat belajar. Lingkungan pelajar meliputi suasana keluarga, tempat tinggal, keadaan sarana atau keadaan teknologi. Lingkungan keluarga yang harmonis akan mendukung proses belajar.
Kemajuan teknologi juga mendukung peningkatan
efisensi belajar, media elektronik, komputer, int ernet akan mempermudah proses belajar dan penyediaan informasi yang relevan.
Nelayan ikan hias Desa Les
Kecamatan Tejakula telah memanfaatkan sarana komputer dalam pelaksanaan program transplantasi karang yang difasilitasi oleh LSM. Bagi komunitas pesisir yang belum dapat mengakses informasi teknologi, diperlukan penyesuaian akan tingkat kerumitan teknologi, yang tepenting adalah proses penyelenggaraan penyuluhan yang dapat mengakomodasi kepentingan nelayan. Lingkungan belajar yang kondusif dapat berupa lingkungan yang bersifat perangkat lunak atau software yang meliputi: peraturan, tata tertib, norma lembaga pendidikan, struktur organisasi, tata kerja lembaga pendidikan dan pengelola
54
lembaga pendidikan. Lingkungan yang bersifat perangkat keras atau hardware meliputi lokasi, ruang belajar, dan dukungan sarana pembelajaran lainnya seperti kendaraan keliling, layar tancap, dan audio visual aids. Selain itu, sifat kelompok belajar dapat meningkatkan efsiensi belajar yang meliputi besarnya kelompok belajar, homogenitas kelompok, kekompakan kelompok, struktur kelompok, kepemimpinan kelompok, perilaku kelompok, dan suasana kelompok.
(3) Tahap monitoring dan evaluasi Monitoring dilakukan secara terus menerus selama program berlangsung. Evaluasi program dapat dilakukan
baik
secara
formal
maupun
informal
dengan
mengutamakan pendekatan partisipatif. Secara formal, evaluasi dilakukan dengan mengikuti tata cara yang telah ditetapkan organisasi baik waktu, teknik maupun halhal yang dinilai, siapa yang melakukan, serta tindak lanjut hal- hal yang perlu dilakukan. Evaluasi secara informal dapat dilakukan pada tiap kesempatan. Dalam peraturan lokal (awig-awig) pengelolaan SDP oleh nelayan di wilayah penelitian ditetapkan kesepakatan tentang pendayagunaan potensi, anjuran, dan larangan serta sanksi atas pelanggaran. Di Kabupaten Buleleng denda atas pelanggaran awig-awig besarnya bervariasi.
Monitoring dan evaluasi dapat dilakukan oleh komunitas
nelayan sendiri. Secara formal penyuluh dapat mengukur keberhasilan program dan dari hasil pemantauan tersebut ditindaklanjuti dengan perbaikan langkah selanjutnya.
(4) Tahap tindak lanjut Manfaat dengan dicapainya pengelolaan SDP lestari adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat pesisir pada masa sekarang, dan yang akan datang, sehingga mampu mengakses berbagai layanan publik (kesehatan, pendidikan, dan pengembangan perekonomian).
Pada tahap tindak lanjut, masyarakat dapat
menangani program secara mandiri.
Pada tahap ini, peran penyuluh tetap
diperlukan sebagai konsultan, partner, dan mitra bagi pengembangan program. Masyarakat pesisir pada saat tindak lanjut program melalui kelompok nelayan dapat merencanakan program untuk menyelesaikan masalah lain, dengan proses seperti di atas. Dengan demikian siklus PDSA berulang.
Penyelenggaraan program/kegiatan secara berkualitas
- Penyiapan program - Pendanaan - Kelembagaan - Manajemen program
Monitoring dan Evaluasi KAJI/STUDY
TINDAKAN/ACTION
INPUT: - Data/informasi SDP - Nelayan/Masyarakat Pesisir - Fasilitator/penyuluh Pemuka masyarakat - Sarana dan prasarana penunjang RENCANA /PLAN
-
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan latihan Pelaksanaan penyuluhan Implementasi kebijakan
Perilaku nelayan berkualitas: sosial, ekonomi, dan lingkungan
-
HASIL/OUTPUT
KEGIATAN/DO
Kelembagaan lokal berkembang SDP lestari SDM berkualitas Kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir terjamin MANFAAT/ OUTCOMES
Lingkungan dan kebijakan yang kondusif
55
Gambar 11. Mekanisme Penerapan Sistem Pengembangan Masyarakat Pesisir dalam Mengelola SDP
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan (1) Perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP adalah sebagai berikut: (i) Pemanfaatan SDP di tiga lokasi pesisir dilakukan secara tradisional dengan teknik penangkapan ikan dan pengolahan hasil perikanan tangkap secara sederhana, skala rumah tangga, dan belum berorientasi pasar. Setiap wilayah pesisir memiliki peraturan lokal tentang pemanfaatan SDP yang disebut awigawig. Awig-awig disusun oleh kelompok nelayan melalui kesepakatan bersama. (ii) Pengetahuan nelayan di Kabupaten Buleleng terhadap SDP bervariasi, dari yang belum memahami potensi SDP hingga mampu mengaplikasikan pengetahuan tentang konservasi SDP dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa kawasan
pesisir memiliki masalah kebersihan, abrasi pantai, dan kerusakan ekosistem terumbu karang. (iii) Sikap mental masyarakat pesisir tentang SDP tampak pada respon yang positif untuk menjaga kelestarian lingkungan. Di Kecamatan Tejakula, khususnya di Desa Les, nelayan mampu mengembangkan sikap mental positif dari merusak menjadi menjaga
terumbu karang.
Masyarakat pesisir di Kecamatan
Gerokgak memiliki kegiatan usaha di bidang perikanan yang paling beragam dibandingkan dengan di Kecamatan Buleleng dan Tejakula yakni pembesaran bandeng dan budidaya laut, penangkapan ikan, dan pengolahan serta pemasaran. Sebagai usaha sampingan, nelayan di Kecamatan Gerokgak melakukan usaha penyewaan perahu bagi wisatawan yang berkunjung ke Pulau Menjangan. Nelayan di Kecamatan Buleleng, terutama di kawasan Lovina, selain menangkap dan mengolah ikan, aktif pula melakukan usaha jasa wisata bahari berupa memandu wisatawan menikmati perilaku lumba- lumba di laut, diving, dan snorkeling.
Aktivitas nelayan di Kecamatan Gerokgak dan Buleleng
tersebut dikoordinir oleh kelompok nelayan. (iv) Keterampilan mengolah ikan terbatas pada pemindangan dan pengasapan ikan yang dilakukan oleh wanita nelayan. Pemasaran hasil olahan dilakukan oleh wanita nelayan.
Permasalahan utama yang dihadapi wanita nelayan adalah
keterbatasan modal untuk pengembangan usaha, pemahaman ya ng relatif
56
57
terbatas tentang “higienitas” dalam pengolahan ikan, dan kurangnya modifikasi produk. (v) Nelayan di Kecamatan Buleleng menjaga lingkungan permukiman secara lebih tertata dibandingkan dengan di Kecamatan Gerokgak dan Tejakula.
Di
Kawasan Pantai Lovina, Kecamatan Buleleng, penataan tersebut merupakan hasil kesepakatan antara kelompok nelayan dengan pengelola hotel di kawasan setempat. (2) Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP secara optimal adalah sebagai berikut: (i) Kondisi sosial budaya masyarakat pesisir yang dinamis; kepemimpinan informal yang kharismatis, mampu memberikan teladan dan memotivasi pengikut; nelayan yang responsif terhadap pengelolaan SDP secara lestari; program pemberdayaan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat pesisir; fasilitator yang kompeten; dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung usaha nelayan memiliki memiliki hubungan positif dan nyata terhadap perilaku nelayan dalam mengelola SDP secara optimal. Kondisi sosial budaya yang menerapkan nilai- nilai kearifan lokal dan dinamis dalam bentuk kesepakatan antar anggota masyarakat; didukung oleh program pemberdayaan yang berpusat pada kepentingan masyarakat merupakan faktor determinan yang berpengaruh langsung terhadap peningkatan kualitas perilaku nelayan dalam mengelola SDP secara optimal. Penerapan prinsip keseimbangan antara Tuhan, alam semesta, dan manusia (tri hita karana) merupakan faktor pendorong perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP secara lestari. (ii)
Pemanfaatan
lahan
di
pesisir
untuk
usaha
produktif
dengan
tetap
memperhatikan daya dukung lahan, hasil tangkapan yang meningkat dalam mutu dan jumlah, kondisi terumbu karang yang terpelihara, dan kerapatan vegetasi di pesisir yang tinggi dapat memudahkan nelayan mengakses SDP. (iii) Perilaku nelayan mengelola SDP yang berorientasi pada keseimbangan antara pemanfaatan
untuk
kepentingan
meningkatkan kesejahteraan.
ekonomi,
ekologi
dan
sosial
dapat
Fasilitator yang kompeten didukung program
pemberdayaan yang berpusat pada kondisi lokal memiliki pengaruh tidak langsung yang besar terhadap transformasi perilaku nelayan.
58
(3) Keterkaitan peubah pada model pengembangan perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP secara lestari menunjukkan adanya hubungan positif dan nyata antara dinamika sosial budaya, kepemimpinan informal, kondisi nelayan, kualitas program pemberdayaan, kompetensi fasilitator, serta dukungan fasilitas dan peraturan pemanfaatan SDP dengan perilaku nelayan mengelola SDP. Koefisien determinasi total dari model di atas adalah sebesar 0,98. Keragaman data yang dapat dijelaskan pada model hubungan antar peubah terhadap perilaku sebesar 98 persen dan sisanya sebesar dua persen dijelaskan oleh peubah lain yang tidak termasuk di dalam model seperti aktivitas pengelola SDP non nelayan dan aspek alamiah SDP. (4) Evaluasi faktor internal dan eksternal model pengembangan masyarakat pesisir menghasilkan informasi berharga bahwa faktor penentu keberhasilan model pengembangan masyarakat pesisir adalah kekuatan berupa dinamika sosial budaya masyarakat yang tinggi; kelemahan yang paling menonjol adalah pendekatan penyuluhan belum sepenuhnya berorientasi pada kebutuhan; peluang yang terbuka paling besar adalah kesempatan melakukan diversifikasi usaha di pesisir; dan ancaman terbesar adalah persaingan produk perikanan yang lebih bervariasi dan bermutu dari tempat lain.
Kekuatan model pengembangan masyarakat pesisir
tersebut berada pada Kuadran I (satu) atau wilayah Strengths-Opportunities (SO) yang berarti memaksimumkan kekuatan dan peluang. Hal ini mencerminkan model yang dihasilkan melalui penelitian ini kokoh (robust) sehingga layak untuk diterapkan secara nyata. (5) Strategi pengembangan masyarakat pesisir diarahkan pada peningkatan kualitas hidup nelayan dan keluarganya melalui pengelolaan SDP secara terpadu dengan mengakomodasikan kepentingan ekologis, sosial-budaya, dan ekonomi secara seimbang.
Pengembangan masyarakat pesisir dilakukan melalui penerapan
mekanisme sistem penyuluhan yang didasarkan pada potensi alam dan manusia atau kondisi khas setiap lokasi, dan berorientasi pada pelanggan yaitu kelompok dan masyarakat yang difasilitasi.
Saran (1)
Pengelolaan SDP oleh masyarakat secara lestari dapat dikembangkan melalui pendekatan sosial-budaya melalui peran kelembagaan lokal berupa peraturan atau
59
kesepakatan lokal, didukung oleh pendekatan penyuluhan atau pemberdayaan yang berpusat pada masyarakat sebagai subyek, disertai kinerja kepemimpinan informal yang mampu mengembangkan perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP secara lestari. Kebutuhan masyarakat pesisir spesifik untuk tiap lokasi: bagi pesisir yang terisolir, maka fasilitasi diarahkan pada kemampuan masyarakat mengakses informasi. Di wilayah pesisir dengan usaha berbasis SDP yang tinggi, diperlukan penyuluhan yang difokuskan pada fasilitasi teknologi pra dan pasca panen, dan
pengembangan jaringan pemasaran.
Di wilayah pesisir dengan
kondisi SDP buruk, diperlukan penyuluhan terfokus pada konservasi SDP dan alternatif diversifikasi usaha yang dapat dilakukan masyarakat setempat. (2)
Diperlukan pengembangan kelembagaan organisasi penyuluhan hingga di level desa, dukungan sarana dan prasarana dalam bentuk demplot, sarana mobilitas seperti kendaraan operasional, alat komunikasi, dan alat bantu penyuluhan, serta sistem reward yang jelas bagi penyuluh atau tenaga lapangan untuk melaksanakan
misi
pengembangan
masyarakat
secara
lebih
berkualitas.
Rekruitmen penyuluh sebagai salah satu program dalam RPPK perlu dilakukan secara cermat dengan mengedepankan kompetensi dan dimilikinya komitmen untuk menyejahterakan nelayan.
Pemerintah Pusat dan Daerah hendaknya
memiliki kebijakan dan dukungan kelembagaan dalam bentuk organisasi penyuluhan yang solid dan disertai peningkatan kemampuan masyarakat untuk mengelola SDP secara optimal . (3)
Pengembangan perilaku yang sesuai dengan kaidah sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam mengelola SDP, diperlukan tidak hanya untuk masyarakat yang tertinggal, namun juga untuk pihak pemerintah dan swasta. Visi, misi, tujuan, target, dan strategi penyuluhan dalam konteks pengelolaan SDP secara lestari perlu dipahami, dilaksanakan oleh seluruh pihak yang berkepentingan yakni pemerintah, swasta, dan komunitas pesisir, disertai pemantauan dan tindak lanjut kegiatan.
DAFTAR PUSTAKA Arif Satria. 2002. Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: PT Pustaka Cidesindo. Asngari, Pang S. 2001. “Peranan Agen Pembaharuan/Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumber Daya Manusia Pengelola Agribisnis.” Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi Peternakan. Bogor: Fakultas Peternakan, IPB. Badan Pusat Statistik (BPS), 2003. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2003. Survai Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, 2005. Statistik Demografi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Provinsi Bali 2004. Hasil Survai Sosial Ekonomi Nasional. Denpasar: BPS Provinsi Bali. Checkland, Peter. 1981. Systems Thinking, Systems Practice. Chichester: John Wiley & Sons. Cobuild. 1992. English Language Dictionary. London and Glasgow: Collins Publishers and the University of Birmingham. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Pedoman Umum Penyuluhan Perikanan. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan, Departemen Perikanan dan Kelautan. Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Buleleng. 2004. Data Perikanan Kabupaten Buleleng Tahun 2003. Singaraja: Dinas Kelautan dan Perikanan. Donnermeyer, Joseph F., Barbara A. Plested, Ruth W. Edwards, Gene Oetting, dan Lawrence Littlethunder. 1997. “Community Readiness and Prevention Programs.” Journal of the Community Development Society, Vol. 28. No.1: 65-83. Hanson, Arthur J. 1984. Coastal Community: International Perspectives. Makalah pada The 26th Annual Meeting of the Canadian Commission for UNESCO, St John’s Newfoundland, 6 th June 1984. Haslett, Simon K. 2000. Coastal Systems. London: Routledge. Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives – Vision, Analysis and Practice. Melbourne: Longman Australia, Pty Ltd. Kerlinger, Fred N. 2003. Asas-asas Penelitian Behavioral. Cetakan ke-19. Penerjemah Landung Simatupang. Disunting oleh H.J. Koesoemanto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kolb, David. 1984. Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. New Jersey: Prentice Hall. Lippitt, Ronald, Jeanne Watson, dan Bruce Westley. 1958. Planned Change: A Comparative Study of Principle and Techniques. Diedit oleh Willard B. Spalding. New York: Harcourt Brace and World, Inc. Mitchell, Bruce, B. Setiawan, Dwita H. Rahmi. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Edisi Bahasa Indonesia. Judul asli: Resource and Environmental Management. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mosher, A.T. 1966. Getting Agriculture Moving. New York: Frederich A Praeger, Inc Publishers. Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan: Studi Antropologi di Dua Desa Pantai. Jakarta: CV Rajawali. Neuman, Lawrence. 1994. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Allyn and Bacon. 60
61
Oppenheim, A.N. 1966. Questionnaire Design, and Attitude Measurement. London: Heinemann. Rogers, Everett M. 1994. The Diffusion Process. Edisi Keempat. New York: The Free Press. Rothman, Jack. 1974. Approaches to Community Intervention. Dalam Strategies to Community Intervention. Diedit oleh John E. Tropman, John E. Echolds dan Jack Rothman. Colombia: Colombia University Press Copyright NCSW. Royce, William F. 1996. Introduction to the Practice of Fishery Science. Revised Edition. California, Academic Press, Inc. Siti Amanah. 1996. “A Learner-centred Approach to Improve Teaching and Learning Process at an Agricultural Polytechnic in Indonesia.” Thesis. Sydney: University of Western Syd ney-Hawkesbury. _________. Anna Fatchiya, dan Dewi Syahidah. 2004. Pemodelan Penyuluhan Perikanan pada Masyarakat Pesisir melalui Pendekatan Partisipatif. Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi X/2002-2004. Bogor: IPB dan Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Terapan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Soerjani, Moh., Ahmad Rofiq, dan Rozy Munir. 1987. Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta: UI-Press. Syahputra, M. Darwin. 2002. “Karakteristik Kemiskinan Nelayan di Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh.” Skripsi. Bogor: Jurusan SEI-FPIK. Tampubolon, D.P. 1996. Pokok-Pokok Perencanaan Strategis Perguruan Tinggi Untuk Mutu. Kumpulan Makalah Manajemen Mutu Terpadu di Perguruan Tinggi. Jakarta: HEDS Project. van den Ban, A. W., dan H.W. Hawkins. 1988. Agricultural Extension. Essex-England: Longman Scientific & Technical. Wahyuningsih, Elizabeth T.Gurning, dan Edhie Wuryantara. 1996. Budaya Kerja Nelayan Indonesia di Jawa Tengah: Kasus Masyarakat Nelayan Desa Wonokerto Kulon Kecamatan Wiradesa, Kabupaten Pekalongan. Jakarta: Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Kebudayaan Masa Kini, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Whitten, Tony, Roehayat E. Soeriaatmadja, dan Suraya A. Afiff. 1999. Ekologi Jawa dan Bali (The Ecology of Jawa and Bali) Seri Ekologi Indonesia Jilid II. Alih bahasa Kartika Sari, Tyas Budi Utami dan Agus Widyantoro. Canada: Dalhouise University.
Lampiran. Identifikasi Kebutuhan dan Harapan Pelanggan Layanan Penyuluhan/ Pengembangan Masyarakat Pesisir Mengelola SDP P e l a n g g a n Kegiatan penyuluh/ lembaga pengembangan masyarakat pesisir
Primer Penyuluh, tenaga pendamping atau fasilitator
Internal Sekunder
Tersier
Primer
Eksternal Sekunder
Tersier
Pimpinan lembaga penyuluhan atau pemberdayaan
Pengambil kebijakan bidang pemberdayaan masyarakat
Pemanfaat SDP langsung dan partisipan penyuluhan
Pemimpin masyarakat, dan pemilik modal
Masyarakat luas (konsumen)
• Memfasilitasi atau
• Memberdayakan
• Memperoleh
memberdayakan masyarakat melalui berbagai pendekatan yang relevan; • Bersama masyarakat menyusun program kerja, mengawasi pelaksanaan dan membantu masyarakat untuk dapat menindaklanjutinya; dan • Meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penyuluh/ pendamping di lembaganya
masyarakat dengan menggunakan berbagai pendekatan yang relevan; • Mengadakan pertemuan rutin dengan masyarakat yang didampingi sesuai kebutuhan masyarakat atau minimal dua minggu sekali; dan • Bersama masyarakat menyusun program kerja, mengawasi pelaksanaan dan membantu masyarakat untuk dapat menindaklanjutinya.
legitimasi dari pihak berwenang tentang eksistensi lembaga; • Memperoleh dukungan baik finansial maupun sarana dan prasarana fisik untuk melancarkan kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh; dan • Memperoleh penghargaan secara proporsional.
• Adanya data yang • Memperoleh sahih dan akurat layanan jasa tentang kondisi konsultasi dari fisik SDP, kondisi penyuluh yang sosial dan berkualitas; ekonomi • Mampu mengakses masyarakat untuk berbagai layanan perumu san publik di bidang kebijakan terkait pendidikan, pengembangan kesehatan, dan masyarakat pesisir pengembangan mengelola SDP; usaha; dan • Tersusunnya • Mampu kebijakan yang meningkatkan komprehensif kualitas hidup tentang dirinya dan anggota pengelolaan SDP keluarganya. untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat; dan • Terlaksananya kebijakan oleh stakeholders terkait bidang pengembangan masyarakat pesisir
Pemimpin masyarakat • Partisipasi, legitimasi, dan kepatuhan (compliance) dari pengikut; dan • Pencapaian tujuan pengelolaan SDP secara lestari Pemilik modal • Berjalan dan berkembangnya usaha; • Hasil usaha yang optimal; • Keberlanjutan usaha; dan • Pekerja (mitra usaha) yang berkualitas .
• Memperoleh barang dan jasa yang berkualitas dalam jumlah yang tepat • Kemudahan dan kenyamanan memperoleh barang dan jasa yang ditawarkan oleh kegiatan yang bersumber dari pengelolaan SDP.