Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2015, Volume 10 Nomor 2, ( 40 – 54 )
RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENGURANGI GANGGUAN PENYESUAIAN PADA REMAJA Oleh : Esty Aryani Safithry * Abstrak Remaja perlu melakukan penyesuaian diri dalam menghadapi masa peralihan dirinya. Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah keterampilan sosial untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Subyek penelitian adalah mahasiswa UM Palangkaraya. Jenis penelitian adalah studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa restrukturisasi kognitif ini dapat menurunkan gangguan kecemasan yang dialami, ia dapat mengenali pikiran negatif dan motif yang mendorongnya dan menyadari bahwa pikiran-pikiran negatif tersebut sangat menganggu kehidupanya dan dapat dapat membuat daftar-daftar mengenai pemecahan masalah yang sedang ia hadapi
Kata Kunci : Gangguan Penyesuaian, Restrukturisasi Kognitif PENDAHULUAN Istilah stress menunjukkan adanya tekanan atau kekuatan pada tubuh yang dialami individu agar ia mampu beradaptasi atau menyesuaikan dirinya. Dalam batas tertentu stress sehat untuk diri kita, dan stress memantu kita untuk membantu kita agar tetap waspada dan aktif. Ada 2 jenis stress yaitu eustress (stress positif yang berguna bagi individu) dan distress (stress negatif yang cenderung mengacu pada tekanan fisik atau psikis). Stress bersumber dari stressor yang beragam macamnya, bisa fisik maupun psikis. Adakalanya stress yang berlebihan dapat merusak kemampuan coping masalah seseorang. Stres berimplikasi secara luas pada masalah-masalah fisik maupun psikologis. Pada bab ini akan membahas efek-efek dari stress dengan membahas suatu kategori gangguan psikologis yang disebut gangguan penyesuaian yang menyangkut reaksi maladaptif terhadap stress, setelah itu akan dibahastentang peranan stress dan factor-faktor psikologis dan sosiokultural pada gangguan-gangguan fisik Gangguan penyesuaian bercirikan reaksi maladaptif individu terhadap suatu
stressor tertentu yang nampak dari penurunan yang signifikan dalam fungsi sosial, pekerjaan, ataupun akademis individu (Chaplin, 2006). Dalam hal ini individu mengalami stress diatas batas ambang normal. Bila ini berlangsung dalam minimal 6 bulan setelah stressor terjadi, maka individu diagnosa mengalami gangguan tersebut. Stressor gangguan ini bisa berupa putus cinta, sehingga individu mengalami hendaya fungsi psikisnya yang terwujudkan dalam penurunan kinerja fungsinya. Stres merupakan suatu keadaan tertekan baik secara fisik maupun secara psikologis. Diketahui bahwa stres dapat mempengaruhi kita secara mental dan emosional. Hal ini dapat membuat kita merasa cemas dan kewalahan. Dapat membuat emosi kita pendek dan menyebabkan kita merasa tertekan. Ketika merasa stres, hormon stres tertentu, seperti adrenalin dan kortisol, dilepaskan ke system tubuh. Ini bagus dalam dosis kecil. Bahkan dapat bermanfaat. Tapi jika stres berkepanjangan dan hormon-hormon ini terus dipompa ke dalam sistem, mereka benar-benar dapat
* Esty Aryani Safithry, M.Psi Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
40
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2015, Volume 10 Nomor 2, ( 40 – 54 )
menyebabkan kerusakan pada tubuh dan kesehatan. Ini pengetahuan umum bahwa terlalu banyak stres dapat berdampak negatif pada tekanan darah. Tetapi hal itu dapat mempengaruhi kesehatan dalam cara negatif lainnya juga. Timbulnya suatu penyakit, khususnya yang disebabkan oleh suasana fikiran banyak memberikan dampak negatif, seperti gangguan-gangguan penyakit fisik dan mental. Gangguan-gangguan pada orang zaman sekarang ini, disebabkan karena kacaunya fikiran dari berbagai macam problema kehidupan yang multidimensi, dan akhirnya seseorang menghadapi kegalauan dalam hidupnya. Istilah kebingungan atau kegelisahan orang sekarang banyak mengenalnya dengan istilah Stres. Hubungan antara pikiran (mind) dan tubuh (body) telah menjadi topik perdebatan sejak dahulu kala. Sumbersumber psikologis dari stres menurut Jeffey, Spencer A. Rathus, dan Beverly (2005), tidak hanya menurunkan kemampuan kita untuk menyesuaikan diri, tetapi secara tajam juga mempengaruhi kesehatan kita. Bahkan hampir semua penyakit fisik yang dialami orang yang datang memeriksakan diri ke dokter atau disfungsional organ pada keluhan penyakit orang sekarang sering berhubungan dengan stres. Stres meningkatkan risiko terkena berbagai jenis penyakit fisik, dari mulai gangguan pencernaan sampai penyakit jantung, bahkan dari kelelahan berfikir galau atau stres pada seseorang dapat menggangu organ lainnya pula seperti liver, pankreas,dll. Permasalahan yang dihadapi subjek adalah ia tidak betah disekolah yang baru karena ia merasa orang-orang tidak suka dengannya karena ia adalah orang aneh yang selalu dijauhi. Ia merasa tidak ada
yang mau berteman denganya, salah satunya karena ia merasa murid yang kurang populer. Ia merasa tidak ada lagi orang yang menyanginya, yang siap membantunya jika ia mandapakan kesulitan. Bahkan ia takut karena tidak ada teman ia akan kesulitan dalam mengerjakan tugas, ujian dll. Hal tersebut membuat subjek malas untuk pergi ke sekolah, ia bahkan pernah bolos beberapa hari, perilaku subjek tersebut sudah berlangsung lebih dari 3 bulan, bahkan perilaku subjek bertambah parah seperti nilai ujian yang sangat kurang, lebih banyak tidur, sering berdiam diri, sering melamun. Klie merasa enggan untuk berangkat sekolah kadang ia harus dipaksa dahulu oleh ayahnya baru kemudian ia mau berangkat ke sekolah. Bahkan subjek terlihat lebih kurus karena makanya tidak teratur. Ia juga pernah terlihat sedang menagis di kamarnya. Teknik restrukturisasi kognitif bertujuan untuk mengubah pemikiran irasional subjek seperti fikiran subjek bahwa ia tidak akan mendapatkan teman yang baru di sekolahnya yang baru menjadi pemikiran yang lebih rasional yang akhirnya dapat disadari subjek bahwa kecemasanya sangatlah tidak beralasan. Restukturisasi kognitif didasarkan pada asumsi bahwa perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan, proses fisiologis, serta konsekuensinya pada perilaku. Jadi bila ingin mengubah perilaku yang maladaptif dari subjek, maka tidak hanya sekedar mengubah perilakunya saja, tetapi juga menyangkut aspek kognitifnya (Nevid, 2005). METODE PENELITIAN Subyek Penelitian Subyek penelitian berjumlah 1 orang yang merupakan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Alasan dipilihnya mahasiswa UMP sebagai subyek
* Esty Aryani Safithry, M.Psi Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
41
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2015, Volume 10 Nomor 2, ( 40 – 54 )
penelitian adalah karena berdasarkan Survey dari Bimbingan dan Konseling UMP tahun 2015 di lingkungan mahasiswanya, persoalan penyesuaian diri yang meliputi Fikiran irasional berupa tidak ada yang mau berteman dengan subjek karena ia bukan orang yang baik dan tidak ada keyakinan diri bahwa ia dapat menyelesaikan masalahnya tersebut dengan baik Lingkungan menuntut untuk melakukan sesuatu yang subjek tidak mampu melakukanya, memandang masa depan sebagai tidak ada harapan dan menyakini bahwa dirinya tidak punya kekuatan untuk mengubah hal-hal menjadi lebih baik. Selain itu juga karena pertimbangan praktis bahwa Universitas Muhammadiyah Palangkaraya adalah tempat peneliti bekerja selama ini. Jumlah subyek dalam penelitian ini 1 orang. Jumlah subyek dalam penelitian ini yang berjumlah lebih dari satu bertujuan untuk mencapai validitas eksternal seperti yang ditulis oleh Kazdin (2009) bahwa validitas eksternal dari single case research bergantung pada replikasi sistematis mengenai efek terapi dari banyak subjek. Rancangan Penelitian Penelitian ini dapat digolongkan dalam penelitian Single-case designs (Kazdin, 2009) atau Small N- designs (Barker, Pistrang ,& Elliot, 2006). Single case designs terdiri dari: (1) manipulasi eksperimental suatu treatmen yang lazim disebut single-case experimental designs dan (2) yang bersifat non-eksperimental dari suatu treatmen yang lazim disebut case study, meskipun garis yang tegas diantara kedua pendekatan itu tidaklah selalu jelas (Barker, Psitrang, & Elliot, 2006). Elemen desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah ABA design; di mana A adalah fase sebelum terapi, B adalah fase
terapi atau intervensi yang kemudian dilanjutkan dengan fase tindak lanjut A (Kazdin, 2009). Metode Pengumpulan Data Asesmen dalam psikologi klinis ialah pengumpulan informasi untuk digunakan sebagai dasar bagi keputusan-keputusan yang akan disampaikan oleh penilai (Markam, 2008). Menurut Bernstein dan Nietzel (dalam Markam, 2008) ada empat komponen dalam proses asesmen psikologi klinis yaitu : 1) Perencanaan dalam prosedur pengumpulan data ; 2) Pengumpulan data untuk asesmen ; 3) Pengolahan data dan pembentukan hipotesis dan 4) Mengkomunikasikan data asesmen baik dalam bentul laporan maupun dalam bentuk lisan. 1. Perencanaan dalam prosedur pengumpulan data Sebelum dilakukan prosedur asesmen, terlebih dahulu pemeriksa harus bertanya pada diri sendiri apa yang ingin diketahui dan bagaimana caranya. Untuk itu diperlukan guide interview meliputi apa yang perlu diketahui dan bagaimana cara memperoleh jawabanya 2. Pegumpulan data untuk asesmen Sesuai dengan pertanyaan pada tahap perencanaan maka ditentukan bagaimana wawancara ditentukan untuk informasi apa yang diutamakan. Demikian juga untuk observasi, perlu ditentukan metode dan fokus observasi. Wawancara dilakukan kepada subjek dan orangtuanya. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengetahui keadaan subjek sekarang ini antara lain seberapa besar intensitas gangguan subjek dan seberapa besar gangguan tersebut mempengaruhi kehidupan
* Esty Aryani Safithry, M.Psi Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
42
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2015, Volume 10 Nomor 2, ( 40 – 54 )
sehari-hari serta apa dampak bagi keluarga. Observasi dilakukan Mengamati polapola interaksi dengan orang sekitarnya, deskripsi tentang penampilan fisik subjek, deskripsi perilaku verbal dan
nonverbal selama asesmen berlangsung, saat berlangsung dan sesudah asesmen Adapun kegiatan asessmen yang dilakukan dapat dijelaskan lebih lanjut dalam tabel berikut :
Tabel. 1 Kegiatan Asesmen Tanggal 1 Juni 2015
Metode Observasi
3 Juni 2015
Wawancara dengan subjek
Wawancara dengan orang tua subjek
8 Juni 2015
Tes Grafis
Tes wartegg
Tujuan Mengamati penampilan, aktifitas psikomotor, pembicaraan dan sikap terhadap pemeriksa. Mengetahui keluhan-keluhan subjek saat ini dan dahulu Mengetahui perasaan-perasaan subjek saat ini dan dahulu Mengetahui bagaimana hubungan subjek dengan keluarganya Mengetahui bagaimana keadaan keluarga subjek Mengetahui bagaimana pola asuh keluarga Mengetahui riwayat penyakit subjek dari kecil hingga dewasa Mengetahui perkembangan subjek dari bayi hingga dewasa Mengetahui konsep diri subjek Mengetahui sikap subjek kepada keluarga dan lingkungan Mengetahui keadaan emosi subjek Mengetahui aspek kepribadian subjek berupa bagaimana proses berfikir subjek, dan penyelesaian masalah subjek
Prosedur Intervensi 1. Restrukturisasi Kognitif CBT dengan teknik restrukturisasi kognitif bertujuan untuk mengubah pemikiran irasional subjek seperti fikiran subjek bahwa ia tidak akan mendapatkan teman yang baru di sekolahnya yang baru menjadi pemikiran yang lebih rasional yang akhirnya dapat disadari subjek bahwa kecemasanya sangatlah tidak beralasan.
Restukturisasi kognitif didasarkan pada asumsi bahwa perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan, proses fisiologis, serta konsekuensinya pada perilaku. Jadi bila ingin mengubah perilaku yang maladaptif dari subjek, maka tidak hanya sekedar mengubah perilakunya saja, tetapi juga menyangkut aspek kognitifnya (Nevid, 1991).
* Esty Aryani Safithry, M.Psi Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
43
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2015, Volume 10 Nomor 2, ( 40 – 54 )
Penerapan restrukturisasi kognitif untuk mengatasi kecemasan pada subjek meliputi: 1. Menemukan/mengidentifikasi pemikiran negatif/irasional yang menimbulkan kecemasan yaitu kecemasan berlebihan mengenai fikiran subjek bahwa ia tidak akan bisa mendaptkan teman-teman yang baik seperti teman-temanya di sekolah yang dulu. 2. Mengajari subjek hubungan antara pemikiran–emosi-tingkah laku, pemikiran negatif yang muncul dapat mempengaruhi emosi dan akhirnya dapat memunculkan tingkah laku negatif. Jika subjek berfikiran bahwa ia tidak akan bisa mendapatkan teman maka subjek akan merasakan khawatir dan gelisah kemudian akan mengganggu konsentrasi subjek di sekolah. 3. Mengajari subjek untuk mencari alternatif-alternatif pemikiran yang lebih positif atau rasional. Pemikiran positif berupa subjek mempunyai kemampuan seperti menyanyi maka ia bisa ikut ekstrakulikuler grup vokal atau paduan suara maka ia akan mendapatkan teman-teman baru. 2. Metode Problem Solving Jika subjek sudah mengetahui bahwa pemikiran negatifnya dapat mempengaruhi tingkahlaku, maka subjek juga dapat mengatahui apa permasalah yang sebanarnya yang ada pada dirinya. Metode problem solving fokusnya pada mengajari subjek bagaimana memecahkan/mengolah masalah lewat pemikiran yang logis, beralasan untuk menghasilkan solusi yang memuaskan. Metode ini efektif untuk problem-problem
personal/interpersonal (Nevid, 2005). Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada metode ini antara lain. Lima langkah melakukan problem solving : a. Orientasi umum b. Subjek didorong untuk mengenali problem dan menyadari bahwa problemnya dapat diselesaikan secara sistematis c. Definisi problem d. Subjek dibantu untuk menyatakan problemnya secara konkrit dan jelas. e. Memunculkan alternatif-alternatif pemecahan masalah f. subjek diajak untuk melakukan brainstrorming untuk menghasilkan alternatif-alternatif pemecahan masalah sebanyak mungkin, tanpa memikirkan benar-salahnya. g. Pengambilan keputusan h. Menganalisis alternatif-alternatif pemecahan masalah yang dihasilkan di atas secara cermat; membuang yang tidak mungkin untuk dijalankan. i. Verifikasi j. Setelah rencana dibuat, subjek didorong untuk memantau perkembangannya untuk melihat apakah rencana yang dibuatnya dapat mengatasi masalahnya. HASIL PENELITIAN 1. Permasalahan Subjek Bulan yang Maret lalu subjek bersama keluarganya pindah ke Palangkaraya, karena ayahnya dipindah tugaskan,subjek merasa keberatan atas kepindahan tersebut dengan alasan tidak mau pisah dengan teman-temanya dan tidak suka dengan kota Surabaya yang panas, namun ia terpaksa mengikuti
* Esty Aryani Safithry, M.Psi Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
44
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2015, Volume 10 Nomor 2, ( 40 – 54 )
orangtuanya. Subjek mengatakan ia tidak betah disekolah yang baru karena ia merasa orang-orang tidak suka dengannya karena ia adalah orang aneh yang selalu dijauhi. Ia merasa tidak ada yang mau berteman denganya, salah satunya karena ia merasa murid yang kurang populer. Ia merasa tidak ada lagi orang yang menyanginya, yang siap membantunya jika ia mandapakan kesulitan. Bahkan ia takut karena tidak ada teman ia akan kesulitan dalam mengerjakan tugas, ujian dll. Hal tersebut membuat subjek malas untuk pergi ke sekolah, ia bahkan pernah bolos beberapa hari, perilaku subjek tersebut sudah berlangsung lebih dari 3 bulan, bahkan perilaku subjek bertambah parah seperti nilai ujian yang sangat kurang, lebih banyak tidur, sering berdiam diri, sering melamun. Klie merasa enggan untuk berangkat sekolah kadang ia harus dipaksa dahulu oleh ayahnya baru kemudian ia mau berangkat ke sekolah. Bahkan subjek terlihat lebih kurus karena makanya tidak teratur. Ia juga pernah terlihat sedang menagis di kamarnya. 2. Hasil observasi Subjek berpakaian rapi. Badan tinggi sekitar 170 cm. Kulitnya putih bersih. Ia berbicara sangat pelan, lebih banyak menunduk dan tersenyum. Saat pengerjaan tes grafis, kien mengerjakan dengan waktu yang agak lama sekitar 30 menit, beberapa kali ia menggunakan penghapus dan mengganti gambarnya, ia menggambar dengan sangat hati-hati dan pelan, tatapan matanya lurus tertuju pada tes tersebut. Subjek cukup kooperatif walaupun membutuhkan raport yang
agak lama agar subjek mau bercerita, beberapa kali ia mengatakan bahwa ia malu. Beberapa kali ia merapikan rambutnya dan merapikan kerah bajunya. 3. Hasil wawancara a. Wawancara dengan subjek Subjek berusia 17 tahun, bersekolah di SMP kelas 2. Disekolahnya yang dulu subjek mempunyai 5 orang sahabat perempuan. Mereka sangat akrab dan selalu pergi bersamasama bahkan mereka mempunyai hobi yang sama yaitu menyanyi, mereka bersama-sama mengikuti ekstrakulikuler band di sekolahnya. Subjek merasa sangat nyaman bila berada di rumah, ayah dan ibunya sangat menyayanginya. Segala yang ia minta pasti dituruti seperti saat ia ingin membeli laptop, ayahnya langsung memberikanya. Kemudian subjek pindah sekolah. Ia tidak menyukai sekolah barunya karena ia merasa mendapatkan kesulitan dalam mencari teman. Ia sangat mengharapkan mendapatkan teman seperti disekolahnya dulu, dimana mereka selalu membantu subjek jika ia sedang mendapatkan kesulitan, setia kawan dan menyayangi subjek. Pada kenyataanya ia merasa teman-teman sekelasnya tidak menyukainya. Menurut subjek mereka tidak menyukainya karena temantemanya menganggap ia banci dan aneh. Ia merasa teman sekelasnya itu memandangnya dengan aneh kemudian menjauhinya. Ia kemudian merasa seperti orang bodoh yang tidak berguna yang tidak pantas mendapatkan teman. Ia
* Esty Aryani Safithry, M.Psi Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
45
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2015, Volume 10 Nomor 2, ( 40 – 54 )
merasa tidak mampu menyelesaikan masalhnya ini bahkan kedua orang tuanya. Ia sangat mengaharapkan ia bsia segera mendapatkan teman yang cocok. b. Wawancara dengan ibu subjek Subjek anak ke 4 dari 4 bersaudara. Ketiga kakaknya adalah perempuan. Saat dalam kandungan ibu subjek sering sakit-sakitan dan sering mengkonsumsi obat yang sebenarnya dilarang oleh dokter. Subjek lahir prematur dengan jalan operasi, kemudian ia dirawat di inkubator beberapa hari. Perkembangan subjek seperti tumbuh gigi, berjalan dan mulai berbicara berjalan lancar sesuai umurnya. Subjek pernah sakit parah sewaktu berumur sekitar 1 tahun, ia mengalami panas tinggi sampai mengakibatkan kejang-kejang dan dirawat beberapa hari di rumah sakit. Umur 4 tahun subjek sekolah di TK, ia menunjukan perilaku rewel, subjek tidak mau sekolah jika bukan ibunya yang mengantar dan jika ibunya tidak menungguinya. Hal tersebut berlangsung sekitar 1 tahun sampai ia memasuki kelas nol besar. Ia termasuk murid yang lebih sering menangis dibandingkan temantemanya yang lain, biasanya saat ibunya telat menjemputnya. Selain itu ia juga sangat pemalu, ia tidak mau jika disuruh memimpin doa dan bernyanyi di depan kelas. Subjek lebih sering terlihat sendiri, baik dalam melakukan aktivitas di sekolah maupun di rumah. Ia memang lebih sering terlihat berteman dengan teman-teman perempuanya dari pada berteman
dengan laki-laki baik itu di sekolah atau di lngkungan rumahnya, ia lebih memilih untuk bermain bersama dengan kakaknya di dalam rumah. Subjek belum pernah melakukan perbuatan yang menuju ke arah kekerasan atau berkelahi, tapi ketika ia tidak menemukan ibunya berada di dekatnya dia akan mudah menangis dan berperilaku seperti berguling-guling dan memukul-mukul. Umur 6 tahun ia masuk SD, subjek tidak mau berangkat sendiri dan harus diantar oleh ayah atau ibunya walaupun jarak sekolahanya dekat dengan rumahnya. Di sekolah ia cenderung lebih memilih teman perempuan dari pada laki-laki hal ini membuat subjek menjadi bahan olokan teman-temanya yang lain. Prestasi subjek disekolah cukup bagus ia selalu masuk 3 besar di kelasnya. Umur 8 tahun ia mengalami kecelakaan saat sedang bepergian bersama kakaknya, ia mengalami luka yang cukup parah, dokter mengatakan bahwa ia mengalami geger otak. Karena kejadian itu, menurut ibunya membuat mereka menjadi lebih protektif kepada subjek karena mereka mengalami ketakutan jika sesuatu hal yang buruk terjadi pada subjek. Umur 12 tahun subjek masuk SMP. Teman-temanya sebagian besar perempuan, ia mengatakan bahwa dengan teman-teman perempuan lebih mengerti dirinya sedangkan teman laki-laki lebih sering mengejeknya dengan mengatakan bahwa ia banci. Ia tidak mempunyai pacar namun mempunyai beberapa
* Esty Aryani Safithry, M.Psi Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
46
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2015, Volume 10 Nomor 2, ( 40 – 54 )
sahabat perempuan, mereka sering kerja kelompok bersama dan jalanjalan bersama dan di kelompok itu hanya subjek yang laki-laki. Subjek mempunyai hobi menyanyi. Dia bersama teman-teman perempuanya mengikuti ekstrakulikuler paduam suara. Ia tidak menyukai olah raga karena menurutnya hal tersebut melelahkan. Umur 15 tahun saat subjek SMA, ia bersama keluarganya pindah ke Surabaya karena pekerjaan ayahnya yang mengharuskan mereka pindah. Oleh karena itu subjek terpaksa pindah sekolah dan ia merasa sangat sedih karena ia akan berpisah dengan teman-temanya dan ia tidak menyukai tempat baru. Akhirnya mereka pindah dan subjek juga harus pindah sekolah. Subjek mengalami kesulitan di sekolah yang baru, ia kesulitan untuk mendapatkan teman karena ia sering diejek oleh teman-teman sekolahnya akibanya ia menjadi
malas sekolah, prestasinya menurun. Kemudian menjadi sering sakitsakitan serta lebih sering melamun. 4. Hasil Tes Grafis Subjek tergolong seseorang yang secara emosi tidak stabil dan kekanak-kanakan bahkan mengalami hambatan dalam perkembangannya. Subjek cenderung pasif dan ada kesan inferior serta kurang mampu mengungkapkan perasaan emosinya. Dengan kondisi tersebut mengakibatkan subyek selalu merasa tertekan dan adanya ketidakpuasan terhadap dirinya. Perasaan tertekan tersebut membuat copingnya terhadap masalah menjadi kurang efektif, yang membuat ia menjadi gampang stres. Dalam bersosialisasi, subyek termasuk individu yang tertutup, kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik. Subyek terlihat penurut karena kitidak mampuanya dalam menunjukan dirinya akibat dari peran orang tuan yang overprotektif.
Tabel 2 Kriteria berdasarkan DSM IV untuk gangguan penyasuaian No 1
Kriteria DSM IV Suatu reaksi maladaftif terhadap suatu stresor yang dikenali dan berkembang 3 bulan sejak munculnya stresor
2
Reaksi maladaptif ini terlihat Ya dari adanya hendaya yang bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan, akademis atau adanya kondisi distres emosional yang melebihi batas Diagnosis gangguan penyesuian Ya ini bisa ditegakan bila reaksi
3
Memenuhi Ya
Perilaku yang muncul Stresor yang dikenali berupa perubahan lingkungan sosial dan lingkungan sekolah, reaksi maladatif sudah muncul sejak 3 bulan yang lalu Hendaya dalam fungsi sosial berupa menarik diri, murung, aktifitas menurun Hendaya dalam fungsi akademis berupa penurunan konsentrasi dan penurunan prestasi Reaksi berupa hendaya fungsi sosial dan fungsi akademis tidak
* Esty Aryani Safithry, M.Psi Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
47
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2015, Volume 10 Nomor 2, ( 40 – 54 )
4
5
terhadap stres tidak memenuhi kriteria diagnostik sidrom klinis yang lain seperti gangguan mood dan gangguan kecemasan Reaksi maladaptif dalam bentuk Ya gangguan penyesuaian ini mungkin teratasi bila stresor dipindahkan atau individu belajar mengatasi stresor Bila reaksi maladaptif ini masih Ya berlangsung lebih dari 6 bulan setelah stresor (atau konsekuensinya) dialihkan, diagnosis gangguan penyesuaian perlu diubah
memenuhi kriteria gangguan mood dan gangguan kecemasan
Bila stresor berupa perubahan lingkungan sosial dapat mungkin diatasi jika subjek belajar coping yang baik terhadap stresor tersebut Reaksi maladaptif telah berlangsung selama 3 bulan
Tabel 3 Subtipe gangguan penyesuaian No
Subtipe gangguan penyesuaian
Perilaku yang muncul
1
Gejala kecemasan
Gelisah, gugup, perasaan khawatir
2
Mood depresi
Menangis, sulit tidur, murung dan menarik diri
Diagnosis multiaxial dari DSM IV a. Axis I : 309.28 Gangguan penyesuaian dengan gejala campuran antara kecemasan dan mood depresi b. Axis II : Ciri kepribadian dependen c. Axis III : d. Axis IV : stresor psikososial : perubahan lingkungan rumah dan sekolah
e. Axis V :
61-70 Beberapa gejala ringan atau sedikit kesulitan dalam fungsi sosial.
PROGNOSIS Prognosis baik berdasarkan hal-hal berikut : 1. Subjek termasuk individu yang terbuka terhadap permasalahan 2. Subjek dan keluarga yang kooperaif 3. Dukungan penuh dari keluarga untuk subjek
* Esty Aryani Safithry, M.Psi Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
48
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2015, Volume 10 Nomor 2, ( 40 – 54 )
Tabel 4 Rangkuman Hasil Intervensi Sesi
Kegiatan
Tujuan
Hasil
• Mengajukan pertanyaan yang Asesmen mendorong subjek Pra bercerita terapi • mengungkapkan jenis intervensi yang kemungkinan dibutuhkan subjek.
Membangun relasi dengan subjek Mencapai kesepakatan agar dapat melanjutkan proses konseling. Efektifnya proses pemahaman akan subjek dan respon mereka terhadap pertanyaan atau pernyataan yang dilontarkan konselor.
Subjek menyetujui kegiatan terapi yang akan diberikan kepadanya, Subjek mengetahui langkahlangkah apa saja yang akan ditempuh pada sesisesi selanjutnya, subjek mempunyai gambaran mengenai tugas-tugas yang akan diberikan pada sesi.
Sesi 2 : Memban gun Motivasi Perubaha n Perilaku Diri
mengajak subjek untuk mengidentifikasi dan mengenali kekuatan dan kelemahan dari kepribadian subjek dengan membuat daftar keduanya.
Sesi ini bertujuan mendorong subjek untuk mempunyai motivasi kuat untuk mengubah perilaku
Subjek mengetahui kelebihan dan kelemahan dirinya dan teryata kelebihan yang dimiliki subjek dapat membantunya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi
Sesi 3: Mengelo la Pikiran Dan Emosi Negatif
mengubah pikiran negatif menjadi pikiran yang lebih positif, obyektif dan rasional membuat subjek merasa lebih nyaman.
pengenalan pemikiran yang salah terhadap persoalan yang seringkali memicu kecemasan subjek
terlatih untuk mengenali pikiran negatif dan motif yang mendorongnya dan menyadari bahwa pikiran-pikiran negatif tersebut sangat menganggu kehidupanya
Perubahan/pengoreksia n pola pikir yang irasional menjadi pemikiran yang positif, obyektif dan konstruktif, sehingga mampu mengontrol perilaku kekerasan;
Mampu mengubah perilakunya dengan melalui perubahan pada pola pikirnya terhadap masalah. Subjek menyadari bahwa pikiran-pikiran negatif dapat mempengaruhi perilaku, dan dengan berfikir positif maka
Sesi 1 :
Sesi 4
Meminta ia memikirkan beberapa Menguba alternatif cara h penyelesaian masalah pemikira dan menuliskan n negatif berbagai cara menjadi penyelesaian masalah. pemikira Meminta subjek n positif menentukan pilihan
* Esty Aryani Safithry, M.Psi Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
49
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2015, Volume 10 Nomor 2, ( 40 – 54 )
Sesi 5: Mengelo la Konflik (Problem solving)
Sesi 6 Penutup
yang terbaik dan termungkin dari berbagai alternatif tadi. Mengajak subjek untuk membuat daftar langkah yang akan ditempuh untu melaksanakan alternatif solusi yang dipilih. Mendorong subjek untuk merencanakan untuk melaksanakan daftar langkah tersebut. Mengajak subjek untuk mengubah cara mengelola konflik mengarah pada solusi masalah Meminta subjek menyusun rencana dan tahapan dalam menghadapi konflik. Diskusikan secara bersama berbagai solusi alternatif terhadap permasalahan yang seringkali menimbulkan konflik. mengajak subjek untuk merefleksikan perubahan apa yang telah terjadi dalam diri subjek baik berupa pemahaman baru, pengalaman emosional ataupun keterampilan yang didapatkannya
perilaku juga positif
Mengelola konflik dimulai dengan membangkitkan niat individu untuk menyelesaikan konflik secara sehat
Subjek sudah dapat membuat daftar-daftar mengenai pemecahan masalah yang sedang ia hadapi
Memperkuat kepercayaan diri untuk meninggalkan perilaku yang bermasalah dan mempersiapkan diri dalam menghadapi kehidupannya ke depan
Subjek mampu melakukan setiap langkah penyelesaian masalah yang sudah ia buat .
PEMBAHASAN Subjek mengalami komplikasi saat dilahirkan, dimana ibunya yang sakit-
sakitan mengandung subjek dan subjek lahir prematur dan dirawat di ingkubator beberapa hari. Komplikasi saat melahirkan
* Esty Aryani Safithry, M.Psi Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
50
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2015, Volume 10 Nomor 2, ( 40 – 54 )
dapat mempengaruhi anak secara fisik dan psikologis (Nolen, 2004). Saat subjek berumur 1 tahun, subjek pernah mengalami panas tinggi sampai Kekang-kejang. Ia juga pernah jatuh dan mengalami geger otak. Keadaan subjek tersebut membuat orangtuanya cenderung memanjakan subjek. Anak yang dimanja akan mengembangkan sikap dependen terhadap orang tuanya (Alwisol, 2007). Saat masih TK subjek selalu minta diantar dan ditunggui saat sekolah oleh ibunya. Ia akan menjadi sangat rewel jika ia jauh dari orangtuanya. Ia termasuk murid yang lebih sering menangis dibandingkan temantemanya yang lain, biasanya saat ibunya telat menjemputnya. Selain itu ia juga sangat pemalu, ia tidak mau jika disuruh memimpin doa dan bernyanyi di depan kelas. Anak yang dependen akan mengembangkan sikap tidak aman jika berada jauh dari orangtua (Nolen, 2004). Pada subjek, ia lebih sering terlihat sendiri, baik dalam melakukan aktivitas di sekolah maupun di rumah. Walaupun mau berteman ia lebih sering terlihat berteman dengan teman-teman perempuanya dari pada berteman dengan laki-laki baik itu di sekolah atau di lingkungan rumahnya, ia lebih memilih untuk bermain bersama dengan kakaknya di dalam rumah. Anak yang merasa tidak aman dilingkunganya membuat aktifitasnya bersosialisasinya terhambat akibatnya ia tidak akan belajar bagaimana cara bersosialisasi dengan baik (Hall, 2000). Pada hasil tes grafis dan wartegg menunjukan subjek mengalami kesulitan dalam mengembangkan suatu hubungan, ia lebih terpaku pada hubungan yang tidak akan meyakiti dirinya dalam hal ini subjek lebih merasa nyaman jika ia bergaul dengan
perempuan daripada dengan laki-laki yang cenderung keras. Menurut Adler (Alwisol, 2007) Anak yang dimanja tidak mendapatkan cinta yang lebih, tetapi justru kurang dicintai. Mereka terlalu dilindungi, dijaga, ditutupi dan dipisahkan dari tanggung jawab. Orang tua menunjukan rasa cinta dengan mengerjakan terlalu banyak untuk mereka dan memperlakukan mereka layaknya mereka tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri. Perlakuan yang bertolak belakang diterima subjek yaitu ayahnya sering seringkali memperlakukan subjek dengan keras seperti sering kali menghukumnya walaupun ia melakukan keselahan yang sepele dan peran ayah yang kurang dominan membuat subjek cenderung lebih dekat kepada ibunya dan subjek secara tidak sadar meniru perilaku ibunya akibatnya perilaku subjek juga mengarah ke perilaku perempuan seperti cara berjalan dan berbicara. Menurut Adler (Alwisol,2007), ayah yang mengabaikan anaknya membuat perkembangan interes sosial anak menjadi kacau, anak merasa diabaikan dan timbul kasih sayang yang nurotik kepada ibu. Subjek yang tidak terampil dalam menyelesaikan masalahnya sendiri mendapatkan masalah di sekolah yaitu labeling dari teman-temanya yang mengatakan ia seperti banci, membuatnya merasa tidak nyaman untuk berteman dengan teman laki-lakinya maka ia lebih memilih berteman dengan perempuan. Akibatnya anak tidak pernah belajar dalam menyelesaikan permasalahan mereka sendiri seperti pada subjek dimana ia sudah merasa aman dalam menjalin hubungan tiba-tiba keadaan harus berubah, subjek harus pindah rumah dan pindah sekolah, karena ia selalu menuntut bahwa
* Esty Aryani Safithry, M.Psi Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
51
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2015, Volume 10 Nomor 2, ( 40 – 54 )
lingkunganya harus selalu aman sedangkan dilingkungan baru ia harus menjalin suatu hubungan dari awal lagi. Pada tes grafis menunjukan subjek tidak pernah belajar bagaimana menghadapi situasi tersebut karena ia telah terbiasa hidup di lingkungan yang aman, ia sangat dijaga, dan dipisahkan dari tanggung jawab oleh orangtuanya. Subjek tidak pernah belajar bagaimana cara menyelesaikan masalah dengan baik membuat ia kesulitan dalam beradaptasi. Individu yang tidak mampu beradaptasi menjadi rentan terhadap stres. Stres terjadi jika seseorang dihadapkan dengan peristiwa yang mereka rasakan dapat mengancam psikologisnya. Kadar stres dalam suatu peristiwa sangat tergantung bagaimana individu berpersepsi terhadap stresor yang muncul (Hurlock, 2005). Subjek memandang stesor tersebut sangat berat. Jika seseorang mengalami mengalami stres maka ia akan melakukan coping untuk meredakan stresnya, coping terhadap stres ada dua macam yaitu coping yang berfokus pada emosi dan coping pada masalah (Nevid, 2007). Subjek lebih menggunakan coping yang berfokus pada emosi dimana coping ini tidak menghilangkan stresor dalah hal ini masalah adaptasi subjek, membuatnya tidak dapat mengembangkan cara yang lebih baik untuk mengatir stresor. Bentuk coping ini sesuai dengan hasil observasi dan wawancara adalah melamun dan berkhayal. Melamun dan barkhayal merupakan bentuk plarian secara imanjiner, bukan benruk tindakan untuk menyelesaikan masalah. Akibat dari coping yang tidak efektif ini akan memunculkan masalah baru yaitu frustrasi dan menggiring pada gangguan psikologis, fisik serta sosial. Gangguan psikologis berupa munculnya sesitifitas
emosional seperti mudah kecewa, cepat tersinggung, gelisah dan diliputi kecemasan. Gangguan fisik berupa subjek yag sering mengeluhkan sakit seperti sakit kepala dan tidak bisa tidur, gangguan sosial dimana subjek mengalami kesulitan dalam bergaul, lebih suka menyendiri dan mengindar. Gejala-gejala diatas mengarah kepada gangguan penyesuaian dimana subjek memunculkan reaksi maladaftif terhadap suatu stresor yang dikenali yang berlangsung kurang dari 6 bulan. Reaksi maladaftif ini terlihat dari hendaya yang signifikan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau akademis (Nevid, 2007). Gangguan penyesaian memiliki beberapa sub tipe salah satunya gejala campuran antara kecemasan dan mood depresi. Gejala-gejala kecemasan tersebut berupa adanya pola pikir irasional seperti “ teman-teman sekolah saya tidak mau berteman dengan saya karena saya adalah orang yang aneh, mungkin saya adalah orang yang tidak baik dan tidak pantas untuk mendapatkan teman”. Maka perilaku yang muncul berupa terus-terusan merasa khawatir, gelisah dan murung. Mood depresi berupa tidak ada keyakinan diri bahwa ia dapat menyelesaikan masalahnya tersebut dengan baik, ia merasa tidak ada lagi teman-teman yang dapat membantunya seperti dulu, saat ada permasalahan seperti ini ia merasa sendiri, tidak ada yang dapat menolongnya bahkan dirinya sendiri. Disertai dengan pandangan negatif terhadap lingkungan dan masa depan (Nevid, 2007). Berdasarkan tes grafis dan wartegg, subjek merasa lingkungan mengancam dirinya, menuntutnya untuk melakukan sesuatu yang tidak dapat ia lakukan dan memberikan hambatan yang tidak dapat ia atasi. Akibatnya ia memandang masa depan
* Esty Aryani Safithry, M.Psi Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
52
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2015, Volume 10 Nomor 2, ( 40 – 54 )
sebagai tidak ada harapan dan menyakini bahwa dirinya tidak punya kekuatan untuk mengubah hal-hal menjadi lebih baik. Akhirnya membuat ia merasa tidak punya harapan, diliputi kesedihan. Manisfestasi dari reaksi stres subjek berupa tidak nafsu makan, sulit tidur, aktifitas dan prestasi menurun serta kurangya konsentrasi. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahawa penerapan restrukturisasi kognitif yang selama 6 sesi terapi dapat menurunkan gangguan kecemasan. Adapun perubahan-perubahan yang dialami subjek setelah mengikuti proses terapi adalah sebagai berikut : 1. Subjek mengetahui kelebihan dan kelemahan dirinya dan teryata kelebihan yang dimiliki subjek dapat
2.
3.
4.
5.
membantunya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi Terlatih untuk mengenali pikiran negatif dan motif yang mendorongnya dan menyadari bahwa pikiran-pikiran negatif tersebut sangat menganggu kehidupanya Mampu mengubah perilakunya dengan melalui perubahan pada pola pikirnya terhadap masalah. Subjek menyadari bahwa pikiran-pikiran negatif dapat mempengaruhi perilaku, dan dengan berfikir positif maka perilaku juga positif Subjek sudah dapat membuat daftardaftar mengenai pemecahan masalah yang sedang ia hadapi Subjek mampu melakukan setiap langkah penyelesaian masalah yang sudah ia buat
DAFTAR PUSTAKA ChaplinJ.P.2006.Kamus Lengkap Psikologi. penerjemah Kartini Kartono.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada Cottone, R.R. (2010). Theories and Paradigms of Counseling and Psychoterapy. Boston: Allyn & Bacon. Craighead, L.W., Craighead, W.E., Kazdin, A.E., & Mahoney, M.J. (2004). Cognitive And Behavioral Interventions. Boston: Allyn and Bacon. Diagnostic And Statistical Manual of Mental Disorders. Fourth Edition (2000). Washington, DC: American Psychiatric Association. Goldfried, M.R., & Davison, G.C. (2006). Clinical Behavior Therapy. New York: Holt, Rinehart and Winston. Holmes, D. S. (2007). Abnormal Psychology. Third Edition. New York: Addison – Wesley Educational Publisher Inc. Kazdin, A.E. (2009). Methodological Issues & Strategies in Clinical Research. Washington DC : American Psychological Association. Liu. Xianchen et al. 2000. Sleep Loss and Day Time Sleepiness in the General Adult Population of Japan Psychiatric research 93 1-11 Martin, G., & Pear, J. (2003). Behavior Modification What It Is And How To Do It. Seventh Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Green, E.B. (2005). Abnormal Psychology In Changing World. New Jersey: Prentice Hall.
* Esty Aryani Safithry, M.Psi Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
53
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2015, Volume 10 Nomor 2, ( 40 – 54 )
Poerwandari, K. (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Prawitasari, J.E. (2009). Behavior Therapy In Indonesia. Dalam Oei, T.P.S., Behavior Therapy and Cognitive Behavior Therapy in Asia (hlm 81 – 96). Brisbane: Edumedia Pty Ltd. Sarason, I.G., & Sarason, B.R. (2009). Abnormal Psychology. The Problem of Maladaptive Behavior. Ninth Edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc
* Esty Aryani Safithry, M.Psi Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
54