PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 2 2010
Respon Produsen dan Konsumen terhadap Varietas Unggul Padi Beras Merah dalam Menciptakan Peluang Pasar Made Oka A. Manikmas Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Jalan Merdeka 147, Bogor
ABSTRACT. Responses of Producers and Consumers to Brown Grain Rice Rice Variety in Conjunction with Market Prospect. The adoption process of newly released rice varieties and their production technologies were generally slow. This was due to various factors, such as: (1) less intensive of dissemination and promotion of the new technology to the market and end users; (2) consumer taste and preference may not be well delineated by the researchers, and (3) ex-ante and ex-post analysis have not become serious concerns among the researchers in the rice variety research and development process. Objective of this article was to evaluate the consumer respond and perception to the newly released brown rice in Indonesia. A structural survey was carried out in West Sumatra and Lampung Provinces by interviewing respondents that consist of rice consumers and rice farmers as producers. A stratified random sampling was exercised to group the respondents by locations (urban and rural) and income classes. The results revealed that there were notable differences in attitudes and perceptions of respondents with respect to the brown rice varieties across the provinces. Consumers were willing to pay substantial premium price for the new high yielding brown rice for reason that they considered as functional food. This premium price was expressed in a form of consumers’ willingness to pay (WTP) at higher retail price compared to the existing prices of similar products. The respond and perception of farmers as producer were mostly expressed through willingness to accept (WTA) to the newly released varieties, hoping that it performs better than does the existing varieties. Keywords: Brown rice, producer, consumer, perception, acceptance ABSTRAK. Lambatnya proses adopsi varietas unggul baru padi dan teknologi budidayanya disebabkan oleh berbagai factor, antara lain: (1) kurang intensifnya diseminasi dan promosi secara langsung ke masyarakat petani, (2) kurang disesuaikannya selera dan preferensi konsumen yang bersifat spesifik lokasi dan pasar oleh peneliti, dan (3) belum diterapkannya analisis ex-ante dan analisis ex-post dalam proses perakitan dan pengembangan inovasi teknologi, khususnya varietas padi kepada masyarakat luas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi persepsi dan respon konsumen terhadap pelepasan varietas unggul baru padi beras merah. Survei terstruktur dilakukan di provinsi Sumatera barat dan lampung dengan mewawancarai secara langsung responden yang terdiri atas konsumen dan petani sebagai produsen. Teknik penarikan contoh berstrata digunakan untuk mengelompokkan responden berdasarkan lokasi (Kota dan Desa) dan kelas pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan perilaku dan persepsi yang cukup lebar pada konsumen dan petani antarprovinsi terhadap varietas unggul baru padi beras merah. Keinginan konsumen untuk membayar (Willingness to Pay, WTP) dengan harga lebih tinggi untuk beras merah cukup besar. Premium ini ditunjukkan oleh keinginan konsumen untuk membayar lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang berlaku untuk produk yang sama. Keinginan untuk menerima dan mengadopsi varietas unggul baru padi beras merah dan teknologi budidayanya ditunjukkan oleh petani melalui
Willingness to Accept (WTA) selama varietas tersebut mampu menunjukkan keragaan yang lebih baik dibandingkan dengan varietas yang telah beredar. Kata kunci: Beras merah, produsen, konsumen, persepsi, penerimaan
F
aktor yang dapat mempengaruhi lambatnya proses adopsi teknologi padi seperti varietas unggul baru (VUB) dan teknik budi daya, antara lain adalah kurang intensifnya diseminasi dan promosi. Di sisi lain, kurang dipertimbangkannya selera dan preferensi konsumen yang bersifat spesifik lokasi dan pasar diduga turut memperlambat penerimaan konsumen. Belum diterapkannya analisis ex-ante dan analisis ex-post dalam proses perakitan dan pengembangan inovasi teknologi sehingga cukup sulit diukur dampak penemuan dan diseminasi VUB terhadap masyarakat. Kaitannya dengan pasar, ketika akan membeli suatu produk, konsumen sering dihadapkan kepada keputusan untuk menentukan harga maksimal yang mereka mampu membayar. Ketika sebagai penjual, mereka berpikir untuk kemungkinan harga minimal yang dapat mereka terima (Simoson and Drolet 2003). Bagaimana konsumen memutuskan membayar harga tertinggi untuk produk tertentu dan bagaimana memutuskan untuk menerima harga yang paling rendah yang dapat diterima sangat terkait dengan harga bayangan sebagai indikator untuk mengukur demand driving commodity (Monroe 1990). Hasil penelitian dan pengembangan tanaman padi cukup dominan dibandingkan dengan komoditas tanaman pangan lainnya. Salah satu VUB beras merah yang dilepas secara resmi oleh pemerintah pada bulan Juni tahun 2006 diberi nama Aek Sibundong. Badan Litbang Pertanian telah melaksanakan suatu studi tentang demand driving analysis, khususnya terhadap varietas padi beras merah tersebut dan teknologi budidayanya. Potensi padi beras merah dalam menciptakan peluang pasar diukur melalui analisis perilaku, respon, dan keinginan konsumen untuk membayar produk tersebut. Dengan demikian, produk-produk yang dilepas ke pasar akan dibayar lebih tinggi oleh konsumen dan implikasinya dapat diterima oleh petani sebagai calon pengguna inovasi teknologi. 89
ADNYANA: RESPON PRODUSEN DAN KONSUMEN TERHADAP BERAS MERAH
Argumen dibalik fenomena tersebut adalah harga maksimum yang ingin dibayar (perceived value) oleh konsumen akan berperan besar dalam keputusan mereka sebagai pembeli. Harga pasar akan berperan besar dalam menentukan harga minimum yang bersedia mereka terima bila sebagai penjual (Simoson and Drolet 2003). Harga reservasi (reservation price) atau willingness-to-pay (WTP) yang tertinggi terhadap suatu produk sering dipengaruhi oleh preferensi konsumen. Harga ini dapat diduga dengan menggiring konsumen untuk mempertimbangkan harga tertentu sekalipun bersifat arbitrari. Sebagai penjual, harga minimal sangat dipengaruhi oleh harga ekspektasi pasar suatu produk yang akan ditawarkan (Bettman et al. 1998). Pada dasarnya konsumen adalah pembeli, maka sebagian besar penelitian tentang kemampuan suatu produk untuk menciptakan pasar terfokus pada harga dari sisi konsumen. Namun konsumen sering juga sebagai penjual atau produsen-penjual (Cameron and James 1987; Kahneman et al. 1990). Sebagai contoh, petani tanaman padi di satu sisi menjual hasil produksinya dalam bentuk gabah, di sisi lain mereka juga membeli beras. Kondisi seperti ini sangat umum di wilayah pedesaan di mana produsen juga konsumen. Hal ini sangat terkait dengan produk-produk pertanian, terutama padi. Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis preferensi konsumen terhadap varietas dan produk tanaman padi beras merah, (2) mengevaluasi willingness to pay konsumen terhadap produk beras merah yang ditawarkan kepada mereka, dan (3) mengevaluasi willingness to accept (WTA) petani produsen terhadap teknologi beras merah, khususnya varietas padi beras merah dan teknologi budidayanya.
METODOLOGI Demand driving commodity dapat didefinisikan sebagai komoditas atau produk baru yang diluncurkan (launched) ke pasar yang diperkirakan mampu menciptakan dan tumbuhnya permintaan dari konsumen. Hal ini tidak mudah dilakukan, karena setiap produk baru memerlukan sosialisasi dan promosi agar dikenal oleh calon konsumen. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk melakukan inteligen pasar (market inteligence) untuk mengevaluasi dan menganalisis keinginan konsumen membeli produk tersebut pada tingkat harga tertentu dibandingkan dengan produk pesaingnya. Jumlah konsumen yang bersedia membeli relatif terhadap berbagai produk pesaingnya merupakan potensi pasar produk baru tersebut. Potensi pasar ini secara tidak langsung mencerminkan kemampuan
90
produk yang baru diluncurkan untuk menciptakan permintaan. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana teknik dan prosedur untuk mengukur keinginan konsumen untuk bersedia membeli produk yang baru diluncurkan ke pasar. Prosedur dan Pendekatan Prosedur yang digunakan untuk mengukur keinginan konsumen untuk membayar WTP sangat menentukan dalam pengambilan keputusan tentang harga produk yang baru diluncurkan (Cameron and James 1987). WTP terkait dengan sejumlah uang maksimum yang bersedia dibayarkan konsumen untuk membeli produk tertentu (Kalish and Nelson 1991). Sedikitnya tersedia tiga pendekatan untuk mengukur WTP. Pertama, data preferensi terungkap (revealed preference data). Teknik ini dicatat dari transaksi langsung yang terjadi di suatu pasar (Ben-Akiva et al. 1994). Data preferensi ini dikumpulkan berdasarkan pembelanjaan nyata konsumen dengan akurasi cukup tinggi. Kedua, data pernyataan preferensi (stated preference data). Data ini dikumpulkan berdasarkan perilaku dan respon konsumen terhadap pilihan hipotesis yang ditawarkan kepada mereka (Ben-Akiva et al. 1994). Prosedur umum yang digunakan dalam teknik pengumpulan data preferensi adalah conjoint analysis method (CAM) dan contingent valuation method (CVM). CVM lebih banyak diminati oleh peneliti demand driving commodity dengan cara menanyakan langsung kepada konsumen untuk mengatakan WTP-nya terhadap suatu produk (Kalish and Nelson 1991). CAM dilakukan berdasarkan rankings, ratings atau keputusan konsumen untuk menentukan pilihan terhadap profil produk yang dinyatakan dalam atribut ganda (multiple attributes), termasuk harga produk tersebut (Kalish and Nelson 1991). Ketiga, menawarkan produk (offers of products) kepada konsumen dan menanyakan keinginan untuk membayar produk yang ditawarkan melalui proses tawar menawar sampai tercapai nilai WTP yang rasional, relatif terhadap harga pasar yang berlaku. Untuk menganalisis potensi pasar teknologi atau produk baru, analisis kesepakatan dengan menggunakan CVM merupakan salah satu metodologi yang banyak diminati oleh peneliti pemasaran. Dalam penelitian ini, CVM juga diterapkan untuk menganalisi peluang pasar VUB beras merah Aek Sibundong. Dalam penelitian ini, pertama konsumen dikaji apakah mereka ingin membeli dan atau menjual suatu produk pada harga arbitatrari (arbitrary price) dan kemudian dievaluasi harga yang sebenarnya ingin mereka bayar bila sebagai pembeli dan atau harga yang diterima bila sebagai penjual (Ariely et al. 2002). Prosedur
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 2 2010
serupa juga diterapkan untuk harga pasar yang berlaku dengan menanyakan kepada konsumen suatu harga lebih tinggi atau lebih rendah dari suatu besaran arbitrari. Dengan demikian, penelitian ini mencoba mengukur WTP maksimum dan WTA minimum konsumen. Tehnik Wawancara dan Penarikan Contoh Kepada responden ditawarkan padi/beras merah dengan berbagai keunggulannya, seperti kandungan besi tinggi, kandungan vitamin A dan protein lebih tinggi, rasa nasi tidak pera walaupun kurang pulen dibandingkan dengan beras putih. Wawancara secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstrktur dilakukan kepada responden di dua Kabupaten per provinsi. Responden dikelompokkan atas tingkat pendapatan tinggi, sedang, dan rendah. Penarikan sampel responden mengikuti teknik penarikan contoh terstrata (stratified random sampling technique) atas dasar pendapatan dan wilayah (desa dan kota). Pendekatan yang digunakan dalam wawancara dengan konsumen maupun petani produsen pada dasarnya mengikuti kombinasi antara supply push dan demand driven. Supply push terkait dengan diseminasi dan promosi inovasi teknologi. Demand driven terkait dengan refleksi konsumen dalam penentuan selera dan pilihan terhadap produk yang ditawarkan kepada mereka, khususnya beras merah. Pertanyaan diajukan kepada konsumen untuk menggali WTP terhadap nilai premium dari produk yang ditawarkan dan WTA konsumen terhadap nilai diskon yang diberikan kepadanya. Jika konsumen murni sebagai pembeli, WTP-nya dievaluasi terhadap harga yang berlaku di pasar yang umumnya lebih tinggi diukur dengan nilai nominal maupun relatif. Jika konsumen sebagai penjual WTA yang ditawarkan pada umumnya lebih rendah dari harga pasar. Lokasi dan Jumlah Sampel Penelitian dilakukan masing-masing di dua kabupaten di Provinsi Sumbar dan Lampung. Sebanyak 50 responden diwawancarai di masing-masing kabupaten atau masing-masing 100 responden per provinsi sehingga total 200 responden untuk dua provinsi. Perbandingan jumlah produsen dan konsumen ditetapkan seimbang (50%:50%). Penentuan komoditas padi beras merah didasari atas beberapa pertimbangan: (1) beras merah termasuk kelompok bahan pangan fungsional (functional food), (2) varietas padi beras merah dilepas pada tahun 2006 yang merupakan varietas pertama dalam satu dekade sebelumnya, (3) beras merah memiliki keunggulan dalam kandungan gizi (vitamin, protein mineral), (4) harga beras merah lebih
tinggi dibandingkan dengan beras yang telah beredar di pasar, (5) keragaman selera dan pilihan konsumen terhadap jenis beras merah dibandingkan dengan beras yang telah beredar, dan (6) prakiraan minat petani terhadap varietas ungul baru yang ditawarkan cukup besar. Dengan demikian, penentuan provinsi disesuaikan dengan prakiraan peluang dan potensi pasar serta penerimaan petani dari aspek biofisik maupun sosial-ekonomi. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2006, bertepatan dengan dilepasnya varietas padi beras merah. Beras merah dimasukkan ke dalam pangan fungsional karena mengandung vitamin A yang cukup tinggi yang bermanfaat untuk kesehatan mata. Kandungan amilosa juga tinggi yang aman dikonsumsi oleh konsumen yang menderita penyakit diabetes. Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan meliputi: (1) karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan utama, status pekerjaan (permanen, sambilan), jumlah anggota keluarga, dan pendapatan); (2) opini, persepsi, dan respon; (3) willingness to pay (WTP) dan willingness to accept (WTA); dan (4) informasi lain yang relevan dengan tujuan penelitian (pengetahuan, risiko dll.). Data yang terkait dengan WTP konsumen meliputi harga yang ditawarkan dan harga yang bersedia dibayar konsumen. Wawancara dilakukan sampai diperoleh harga kesepakatan sebagai respon terhadap kelebihan karakteristik beras merah yang ditawarkan kepada mereka. Data yang terkait dengan WTA pengguna atau petani produsen meliputi karakteristik biofisik varietas padi beras merah, seperti produktivitas, biaya produksi, risiko kegagalan panen, dan kemudahan dalam pemeliharaan. Analisis Data Analisis terhadap WTP maupun WTA konsumen terhadap produk baru yang ditawarkan kepada mereka menggunakan analisis empiris dan deskriptif. Contingent Valuation Method (CVM) digunakan untuk mengukur WTP maupun WTA konsumen terhadap produk yang ditawarkan dalam wawancara langsung. Hasil analisis CVM disajikan dalam bentuk tabulasi silang sederhana dan bersifat deskriptif. Hasil analisis akan mencerminkan peluang masing-masing varietas dan atau produk tanaman padi yang akan dilepas untuk menciptakan pasar. Dengan demikian, ke depan pelepasan suatu varietas tanaman atau bibit unggul baru sebaiknya disertai dengan hasil demand driving commodity analysis sebagai data dukung selain keunggulan terhadap cekaman biotik dan abiotik yang dicantumkan dalam deskripsi pelepasan. 91
ADNYANA: RESPON PRODUSEN DAN KONSUMEN TERHADAP BERAS MERAH
HASIL DAN PEMBAHASAN Preferensi dan Persepsi Konsumen Analisis persepsi dan preferensi responden sebagai kosumen dianalisis atas dasar karakteristik fisiko-kimia beras merah, rasa, dan penampakan. Keinginan konsumen untuk membayar lebih tinggi beras merah dikelompokkan atas dasar tingkat pendapatan, wilayah, dan sifat organoleptik beras merah yang ditawarkan kepada mereka (Tabel 1). Dari aspek rasa nasi beras merah relatif terhadap nasi dari jenis beras lainnya, konsumen di pedesaan Sumbar rata-rata mengatakan lebih baik 95,7% dan sama saja 4,3%. Sedangkan 100% responden di perkotaan mengatakan rasa nasi beras merah lebih baik. Hal ini mencerminkan bahwa dari aspek rasa nasi, konsumen di Sumbar dapat menerima dan berkeinginan untuk membeli beras merah yang ditawarkan kepada mereka. Dengan kata lain, peluang pasar varietas unggul baru padi beras merah di Sumbar cukup besar. Di Lampung, responden di pedesaan mengatakan lebih baik, sama saja, dan lebih jelek masing-masing 55,4%; 22,9%; dan 21,6%, sedangkan di perkotaan masing-masing 23,0%; 46,2%; dan 30,8%. Hal ini mencerminkan keragaman preferensi dan persepsi yang cukup tinggi di pedesaan maupun perkotaan Lampung. Peluang pasar padi beras merah yang ditawarkan kepada konsumen di Lampung tidak setinggi di Sumbar. Sebagai
contoh masing-masing 21,6% dan 30,8% konsumen di desa dan di kota yang mengatakan beras merah yang ditawarkan kepada mereka lebih jelek dibandingkan dengan beras yang sudah beredar di pasar. Dari aspek penampakan terutama warna beras merah, 100% responden perkotaan di Sumbar mengatakan lebih baik dibandingkan dengan beras yang sudah beredar di pasar setempat. Namun, responden di pedesaan Sumbar masing-masing 89,7%; 9,7%; dan 1,1% mengatakan warna beras merah yang ditawarkan kepada mereka lebih baik, sama saja, dan lebih jelek. Dari aspek ukuran yang lebih ramping dan panjang dibandingkan dengan beras merah yang telah beredar, preferensi konsumen cenderung mengatakan lebih baik dan sama saja. Di Sumbar, misalnya, sekitar 80,7% dan 19,4% di pedesaan dan 87,5% dan 12,5% di perkotaan mengatakan ukuran beras merah yang ditawarkan lebih baik dan sama saja dibandingkan dengan beras merah yang telah beredar. Dengan demikian, dari aspek ukuran dan warna beras, tampaknya konsumen di perkotaan lebih responsif dibandingkan dengan pedesaan. Hal ini terkait dengan harga dan pengetahuan konsumen terhadap berbagai kelebihan yang dimiliki oleh beras merah yang ditawarkan. Perbandingan ukuran dan warna beras merah dengan beras merah yang sudah beredar dilakukan untuk menjaga konsistensi data dengan karakteristik yang sama untuk varietas yang berbeda. Dengan demikian, konsistensi respon konsumen pun dapat tercermin dengan baik.
Tabel 1. Preferensi konsumen menurut karakteristik beras merah relatif terhadap beras lainnya di Sumbar dan Lampung, 2006. Sumbar (%)
Lampung (%)
Karakteristik beras meras Desa
Kota
Rata-rata
Desa
Kota
Rata-rata
Rasanya Lebih baik Sama saja Lebih jelek
95,7 4,3 .
100 . .
96,0 4,0 .
55,4 22,9 21,6
23,0 46,2 30,8
47,0 29,0 24,0
Penampakan (warna) Lebih baik Sama saja Lebih jelek
89,2 9,7 1,1
100 . .
90,1 8,9 11,0
39,2 43,2 17,6
38,5 23,0 38,5
39,0 38,0 23,0
Ukuran Lebih baik Sama saja Lebih jelek
80,6 19,4 .
87,5 12,5 .
81,2 18,8 .
18,9 75,7 5,4
34,6 65,4 .
23,0 73,0 4,0
Kandungan gizi Lebih baik Sama saja
100 .
100 .
100 .
98,6 1,4
96,2 3,8
98,0 2,0
Secara umum Lebih baik Sama saja Lebih jelek
100 . .
100 . .
100 . .
77,3 22,7 .
56,2 31,3 12,5
71,7 25,0 3,3
92
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 2 2010
Dari aspek kandungan gizi, beras merah yang merupakan salah satu bahan pangan fungsional utama, 100% konsumen di Sumbar di pedesaan maupun di perkotaan mengatakan bahwa kandungan gizi beras merah varietas Aek Sibundong lebih baik daripada beras merah yang telah beredar maupun beras putih yang dijual di pasar setempat. Selanjutnya, 98,6% konsumen di pedesaan dan 96,2% di perkotaan mengatakan bahwa kandungan gizi beras merah varietas baru lebih baik daripada beras yang sudah beredar. Hanya 3,9% dan 2,0% konsumen yang mengatakan sama saja. Secara umum, seluruh konsumen di Sumbar (100%) mengatakan bahwa beras merah varietas baru lebih baik. Sekitar 77,3% dan 56,3% konsumen di Lampung berpendapat bahwa beras merah yang ditawarkan lebih baik dibandingkan dengan beras merah yang telah ada. Willingness to Pay (WTP) WTP konsumen terhadap beras merah varietas Aek Sibundong yang ditawarkan juga dikelompokkan atas dasar tingkat pendapatan konsumen, baik di pedesaan maupun di perkotaan, yang terdiri atas tujuh kelompok pendapatan (Tabel 2). Terlihat cukup jelas kecenderungan konsumen terhadap harga beras merah yang ditawarkan. Di pedesaan Sumbar, makin tinggi pendapatan konsumen makin rendah keinginan untuk membayar lebih mahal beras merah yang ditawarkan. Di perkotaan,
masing-masing 37,5% dan 62,5% dari kelompok pendapatan I dan II yang bersedia membayar lebih mahal dari pada harga beras yang berlaku setempat. Trend WTP yang hampir sejalan juga ditemukan pada konsumen di pedesaan maupun di perkotaan Lampung. Namun WTP yang lebih tinggi terhadap beras merah masih ditunjukkan oleh konsumen yang termasuk tingkat pendapatan kelompok I, masing-masing 52,7% dan 73,2% responden di pedesaan dan perkotaan di Lampung. Dasar pertimbangan konsumen untuk membayar lebih mahal beras merah Aek Sibundong dikaitkan dengan rasa nasi, penampilan, ukuran beras, dan kandungan gizi sesuai dengan deskripsi varietas saat dilepas pada 2006. Baik di Sumbar maupun di Lampung, WTP konsumen cukup beragam. Di Sumbar, misalnya, masing-masing 31,2%; 17,09%; 15,9%; dan 35,7% konsumen yang bersedia membayar lebih mahal beras merah baru atas dasar rasa nasi, penampilan, ukuran beras, dan kandungan gizi. Atas dasar pertimbangan yang sama, nilai WTP konsumen di Lampung, masingmasing 30,5%; 25,1%; 15,8%; dan 28,4%. Keragaman WTP konsumen yang cukup lebar juga ditemukan di pedesaan dan perkotaan, baik di Sumbar maupun di Lampung (Tabel 3). Kondisi ini mencerminkan bahwa keinginan konsumen untuk membayar beras merah baru dengan harga lebih mahal dipengaruhi oleh rasa nasi dan kandungan gizi. Mereka kurang tertarik dengan
Tabel 2. Proporsi konsumen menurut kelas pendapatan terhadap WTP harga beras berah yang ditawarkan di Sumbar dan Lampung, 2006. Sumbar (%)
Lampung (%)
Kelas, pendapatan konsumen (Rp 000/bulan)
Desa
Kota
Rata-rata
Desa
Kota
Rata-rata
I : P < 250 II : 250 < P <500 III : 500 < P < 750 IV : 750 < P < 1.000 V : 1.000 < P < 1.500 VI : 1.500 < P < 2.000 VIII: P > 2.500
53,8 33,3 2,2 4,3 4,3 1,0 1,0
37,5 62,5 . . . . .
52,5 35,6 2,1 3,9 3,9 1,0 1,0
52,7 13,5 27,0 1,2 2,7 2,7 .
73,2 11,5 11,5 . 3,8 . .
58,0 13,0 23,0 1,0 3,0 2,0 .
Total
100
100
100
100
100
100
P = pendapatan
Tabel 3. Proporsi konsumen menurut dasar pertimbangan konsumen mau membeli lebih mahal beras merah di Sumbar dan Lampung, 2006. Sumbar (%)
Lampung (%)
Dasar pertimbangan
Rasanya Penampilan Ukuran Kandungan gizi
Desa
Kota
Rata-rata
Desa
Kota
Rata-rata
32,5 21,7 13,2 32,6
30,0 12,5 18,7 38,8
31,2 17,2 15,9 35,7
30,4 18,8 14,0 36,8
30,7 31,4 17,7 20,2
30,5 25,1 15,8 28,4
93
ADNYANA: RESPON PRODUSEN DAN KONSUMEN TERHADAP BERAS MERAH
penampilan dan ukuran. Hal ini sejalan dengan karakteristik beras merah sebagai bahan pangan fungsional yang sangat bermanfaat bagi kesehatan konsumen. Willingness to Accept (WTA) Kesediaan responden sebagai petani produsen menerima teknologi produksi varietas padi beras merah Aek Sibundong dari aspek produktivitas, biaya produksi, risiko kegagalan panen, dan kemudahan dalam pemeliharaan tanaman disajikan pada Tabel 4. Seluruh produsen di Sumbar, baik di pedesaan maupun di perkotaan, bersedia menerima teknologi baru karena produktivitas yang lebih tinggi. begitu pula responden di perkotaan Lampung. Secara umum terdapat perbedaan yang cukup lebar dalam aspek kesediaan petani produsen menerima varietas padi beras merah. Perbedaan ini tampak dari alasan lebih baik di Sumbar dan sama saja di Lampung. Kondisi ini konsisten dengan persepsi dan preferensi konsumen yang lebih responsif di Sumbar dibandingkan dengan di Lampung. Hasil analisis di pedesaan Lampung menunjukkan bahwa 31,4%; 60,0%; dan 8,6% reponden mengatakan dapat menerima teknologi produksi varietas beras merah masing-masing karena produktivitas lebih tinggi,
sama saja, dan lebih rendah. Dari sisi biaya produksi, seluruh responden di perkotaan Lampung bersedia menerima teknologi produksi beras merah karena biaya produksi lebih kurang sama dengan biaya produksi beras biasa. Sebagian besar responden di Sumbar (50%) menerima teknologi beras merah karena biaya produksi lebih efisien, dan 88,6% responden, termasuk di pedesaan (87,1%) Lampung, bersedia menerima teknologi tersebut karena biaya produksi yang sama dengan usahatani padi biasa (Tabel 4). Dari aspek risiko kegagalan dalam usahatani padi, sebagian besar responden di pedesaan Sumbar, bahkan seluruh responden di perkotaan, dapat menerima teknologi baru beras merah karena risiko yang lebih rendah. Sebagian besar responden pedesaan (68,5%) dan perkotaan (100%) di Lampung menerima teknologi baru beras merah karena risiko kegagalan usahatani sama saja dengan usahatani padi lainnya. Sebagian besar responden di Sumbar baik di pedesaan (91,6%) maupun perkotaan (100%) mengatakan akan menerima varietas beras merah Aek Sibundong apabila umurnya lebih genjah. Umur lebih genjah terkait dengan pola tanam padi dalam setahun, dengan harapan petani produsen dapat meningkatkan indeks pertanaman (IP) dalam usahataninya. Sebagian besar responden di Lampung yaitu 88,8% di pedesaan
Tabel 4. Dasar pertimbangan produsen untuk dapat menerima padi beras merah menurut teknologi produksi relatif terhadap beras lainnya di Sumbar dan Lampung, 2006. Responden (%)
Responden (%)
Aspek teknologi beras merah Desa
Kota
Sumbar
Desa
Kota
Lampung
Produktivitas Lebih tinggi Sama saja Lebih rendah
100 . .
100 . .
100 . .
31,4 60,0 8,6
100 . .
39,2 53,2 7,6
Biaya produksi Lebih efisien Sama saja Lebih mahal
51,6 46,6 1,7
25,0 75,0 .
50,0 48,4 1,5
8,6 87,1 4,3
. 100 .
7,6 88,6 3,8
Risiko kegagalan Lebih rendah Sama saja
88,3 11,7
100 .
89,1 10,9
31,4 68,6
. 100
27,8 72,2
Umur tanaman Lebih genjah Sama saja Lebih dalam
91,7 8,3 .
100 . .
92,2 7,8 .
2,8 82,9 14,3
. 100 .
2,6 84,6 12,8
Kemudahan dalam pemeliharaan Lebih mudah Sama Saja
36,7 63,3
50,0 50,0
37,5 62,5
7,1 92,9
. 100
6,3 93,7
Secara umum Lebih baik Sama saja
98,2 1,8
100 .
98,3 1, 7
30,6 69,4
25,0 75,0
29,8 70,2
94
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 2 2010
dan 100% di perkotaan bersedia menerima varietas unggul baru karena umurnya sama saja dengan padi biasa. Keragaman umur padi tampaknya tidak banyak mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan untuk menerima varietas unggul baru yang ditawarkan. Petani di Sumbar lebih responsif terhadap umur padi dibandingkan dengan di Lampung (Tabel 4). Kondisi yang berbeda antara Sumbar dan Lampung cukup jelas. Sebagian besar responden di Sumbar bersedia menerima teknologi produksi padi beras merah karena kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan usahatani padi lainnya. Sebagian besar responden bersedia menerima teknologi tersebut semata-mata karena kinerjanya lebih kurang sama dengan uasahatani padi biasa. Di Sumbar, masingmasing 98,2% dan 100% responden di pedesaan dan perkotaan dapat menerima teknologi tersebut karena kinerjanya lebih baik. Tetapi di Lampung, 69,4% dan 75,0% responden menerima teknologi baru beras merah walaupun kinerjanya sama dengan usahatani padi biasa (Tabel 4). Sebanyak 12,7% produsen beras di pedesaan Sumbar bersedia mengusahakan padi beras merah karena pertimbangan biaya produksi yang lebih murah. Di sisi lain, 27,3%; 16,5%; 16,5%; 10,4%; dan 16,6% produsen menerima varietas baru beras merah karena produktivitasnya lebih tinggi, umur lebih genjah, lebih mudah pemeliharaan, dan harganya lebih menarik. Di perkotaan Sumbar, masing-masing 28,5%; 23,8%; dan 19,1% produsen bersedia mengusahakan padi beras merah karena produktivitas lebih tinggi, harga lebih menarik, dan risiko kegagalan lebih rendah. Alasan lainnya adalah lebih mudah pemeliharaan, biaya produksi rendah, dan umur tanaman yang lebih genjah. Alasan utama produsen di Lampung, baik di pedesaan maupun perkotaan, bersedia mengusahakan padi beras merah dengan harapan produktivitas lebih tinggi, dan harga lebih mahal. Alasan lain yang dikemukakan oleh produsen di pedesaan adalah risiko kegagalan rendah (17,8%), biaya produksi (16,0%), umur genjah (9,5%), dan pemeliharaan (8,6%). Pertimbangan
lainnya dari responden di perkotaan Lampung adalah biaya produksi (21,4%), pemeliharaan (12,1%), resiko (10,6%), dan umur panen (8,2%) (Tabel 5). Sebagian besar produsen di pedesaan (65,1%) maupun di perkotaan (100%) di Sumbar bersedia menjual beras merah lebih murah dari beras pesaingnya karena terkompensasi oleh produktivitas yang lebih tinggi. Sebaliknya, masing-masing 85,1% responden di pedesaan dan 88,0% di perkotaan Lampung ingin menjual produk beras merahnya dengan harga yang lebih mahal dengan orientasi keuntungan yang lebih besar (Tabel 6). Sebagian besar produsen di Sumbar bersedia menerima padi beras merah pada harga yang lebih murah dengan alasan hasil yang lebih tinggi. Sebagian besar responden di Lampung terutama kelompok pendapatan lebih tinggi (VIII) di pedesaan dan kelompok IV di perkotaan bersedia menjual beras merah lebih murah. Seluruh responden di pedesaan maupun di perkotaan Sumbar dapat menerima padi beras merah dengan harapan harga lebih mahal. Respon responden di Lampung lebih beragam terutama di pedesaan, yaitu 20,6% kelompok pendapatan I, 23,8% kelompok II, dan 38,1% kelompok III dapat menerima beras merah dengan harga lebih tinggi. Di perkotaan, 36,3% kelompok I, 36,3% kelompok II, dan 18,18% kelompok IV dapat menerima padi beras merah dengan harga lebih tinggi (Tabel 6). Secara umum, keinginan produsen yang juga sebagai konsumen beras merah untuk menerima (willingness to accept, WTA) dengan harga lebih murah, lebih mahal, atau sama dengan harga beras yang belaku terhadap beras merah sangat berbeda antara kedua provinsi. Di Lampung, misalnya, jumlah produsen dengan WTA dengan harga lebih murah hanya 7,1%, sedangkan lebih mahal atau sama saja masing-masing 85,8% dan 7,1%. Di Sumbar, 67,2% produsen ingin membayar dengan harga lebih murah dan masing-masing 1,5% dan 29,8% bersedia membayar lebih mahal atau minimal sama dengan harga pasar yang belaku pada saat survei dilakukan (Tabel 7).
Tabel 5. Proporsi produsen beras merah menurut dasar pertimbangan budi daya, mau menanam dan menjual lebih murah beras merah di Sumbar dan Lampung, 2006. Sumbar (%)
Lampung (%)
Dasar pertimbangan
Biaya produksi (Rp/ha) Produktivitas (kg/ha) Resiko kegagalan Umur Mudah memeliharanya Harga
Desa
Kota
Rata-rata
Desa
Kota
Rata-rata
12,76 27,4 16,5 16,5 10,4 16,6
8,3 28,6 19,0 8,3 11,9 23,8
27,4 16,7 15,9 10,4 17,1
16,0 26,0 17,9 9,5 8,6 22,8
21,4 27,2 10,6 8,2 12,1 22,5
26,3 16,2 9,2 9,4 22,7
95
ADNYANA: RESPON PRODUSEN DAN KONSUMEN TERHADAP BERAS MERAH
Tabel 6. Proporsi produsen terhadap WTA harga beras merah yang ditawarkan di Sumbar dan Lampung, 2006. Sumbar (%)
Lampung (%)
Persepsi produsen Desa
Kota
Rata-rata
Desa
Kota
Rata-rata
Lebih murah Lebih mahal Sama dengan harga pesaing WTA lebih murah I : P < 250 II: 250 < P < 500 IV : 750 < P < 1.00 VIII Total WTA Lebih Mahal I : P < 250 II: 250 < P < 500 III: 500 < P < 750 IV : 750 < P < 1.00 V: 1.000< P < 1.500 VIII: P > 2.500
65,1 1,5 31,7
100
67,2 1,5 29,8
8,1 85,1 6,8
4,0 88,0 8,0
85,8 7,1
63,4 31,7 4,9 . 100
100 . . . 100
66,7 28,9 4,4 . 100
16,7 16,7 . 66,6 100
. . 100 . 100
14,3 14,3 14,3 57,1 100
100 . . . . .
100
100 . . . . .
20,6 23,8 38,1 4,8 7,9 4,8
36,4 36,4 9,1 18,2 . .
24,7 27,1 30,6 8,2 5,9 3,5
Total
100
100
100
100
100
100
P = pendapatan
Tabel 7. Proporsi produsen terhadap WTA harga beras merah yang ditawarkan di Sumbar dan Lampung, 2006. Persepsi responden (%) WTA beras merah Lampung
Sumbar
7,1 85,8 7,1
67,2 1,5 29,85
Lebih murah Lebih mahal Sama dengan harga pesaing
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan (1) Faktor penentu willingness to pay (WTP) konsumen untuk membayar lebih mahal produk yang ditawarkan kepada mereka dibandingkan dengan harga pasar dari produk sejenis yang telah beredar mencerminkan peluang pasar produk baru tersebut. Kandungan gizi dan rasa merupakan dua faktor yang paling menentukan WTP konsumen terhadap beras merah Aek Sibundong. (2) Di sisi lain, willingness to accept (WTA) petani produsen terhadap VUB beras merah yang diperkenalkan lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat produktivitas dan kemudahan pemeliharaan tanaman di lapangan. (3) Karena banyak proses perakitan varietas unggul baru (VUB) tanaman padi mengarah kepada supply 96
push approach daripada demand driving approach, maka upaya untuk promosi dan sosialisasi harus mendapat prioritas yang lebih besar. Melalui pendekatan ini diharapkan VUB atau produk baru tanaman padi yang dihasilkan mampu menciptakan pasar masing-masing, baik di tingkat konsumen maupun produsen yang juga net consumer. (4) Pendekatan demand driving tetap harus dilakukan dalam proses perakitan VUB. Dengan mengetahui faktor-faktor penentu terutama sifat-sifat fisikokimia produk yang memiliki pasar luas harus dijadikan acuan untuk memperbaiki VUB atau produk-produk tanaman padi agar WTP konsumen makin kuat. Pendekatan ini dapat dikombinasikan dengan supply push untuk mempercepat proses adopsi dan penerimaan petani maupun konsumen. (5) Dengan demikian pendekatan kombinasi antara demand driving dan supply push merupakan perpaduan yang saling mengisi dalam upaya membaca keinginan konsumen atau pasar secara luas. Melalui pendekatan kombinasi diharapkan tingkat adopsi VUB tanaman padi dapat ditingkatkan dan diperluas. Implikasi Kebijakan (1) Hasil penelitian ini merupakan umpan balik yang sangat berharga dalam proses perakitan varietas unggul baru padi. Ke depan, pendekatan supply push yang dikombinasikan dengan demand driven sejalan dengan selera dan rasa (WTP) konsumen
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 2 2010
dan pilihan dan keinginan untuk penerimaan (WTA) petani pengguna hendaknya menjadi prioritas. (2) Dukungan pemerintah dan pengemban kepentingan terkait dalam pendekatan ini sangat diperlukan untuk mempercepat proses adopsi dan penerimaan varietas unggul baru sesuai dengan selera dan preferensi konsumen maupun petani pengguna. Di sisi lain, kecepatan dalam proses perakitan varietas unggul baru akan menghemat tenaga, waktu, dan biaya. (3) Penelitian tentang supply push dan deman driven dalam penciptaan dan diseminasi teknologi dan produk terutama varietas unggul baru hendaknya menjadi bagian penting dari penelitian pemuliaan tanaman. Dukungan kebijakan pemerintah terutama program dan anggaran yang terukur menjadi salah satu faktor penentu kecepatan dan keberhasilan program penelitian di bidang pemuliaan tanaman.
DAFTAR PUSTAKA Ariely, D., G. Loewenstein, and D. Prelec. 2003. Coherent arbitratrariness: stable demand curves without stable preference. Quarterly Journal of Economics. Ben-Akiva, M. 1994. Combaining revealed and stated preference data. Marketing Letters. 5(4):335-350. Bettman, J.R., M.F. Luce, and J.W. Payne. 1998. Constructive consumer choice processes. Journal of Consumer Research 25(12):187-217. Cameron, T.A. and M.D. James. 1987. Estimating willingness to pay from survey data: an alternative to pretest-market evaluation procedure. Journal of Marketing Research 26:389395. Kalish, S. and P. Nelson. 1991. A comparation of ranking, rating and reservation price measurement in conjoint analysis. Marketing Letters 2(4):327-335. Monroe, K.B. 1990. Pricing: making profitable decisions. Second Edition, New York: McGraw-Hill. Simoson, I. and A. Drolet. 2003. Anchoring effect on consumers’ willingness to pay (WTP) and willingness to accept (WTA). Research Paper Series. No. 1787. Stanford Garaduate School of Business.
97