Resolusi Konflik Keluarga Berbasis Kearifan Lokal Islam Nusantara
RESOLUSI KONFLIK KELUARGA BERBASIS KEARIFAN LOKAL ISLAM NUSANTARA Alamsyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung
[email protected] Abstract Family conflict or conflict within a family is a dispute between two or more parties that disrupt daily activities in various aspects of family life, from preparations, processes to family life endings. This conflict may result in a small scale of danger to to the large one. In this paper, the author proposes a formula of local wisdom as a model for an appropriate solution in the conflicts resolution of family life on the grounds that local wisdome is the values living in the community and attended by its people, and this local wisdome is actually an evolution of the revelation precepts or old values that have undergone Islamisation. The practice of local wisdome as the basis of conflict resolution has been excercised in the history of Islamic civilization. The Qur’an also ordered the peaceful resolution of such conflict through a negotiator (h}akam), which had been the tradition of pre-Islamic Arab society. Thus, Islam greatly appreciates local values and makes it as one way of resolving the conflict. In this context, the author is trying to stock list a variety of indigenous wisdome Muslim communities in the archipelago relevant to an approach in the resolution of family conflict on the grounds that the core contained can strengthen the system of kinship, brotherhood and avoid divisions. The thing important to have done is reconstruction and reactualization of the wisdom values in the local culture of Muslim archipelago to keep them relevant to any values development of the current. Abstrak Konflik keluarga atau konflik dalam keluarga adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang menganggu kegiatan sehari-hari dalam berbagai aspek kehidupan keluarga, mulai dari persiapan, proses dan berakhirnya kehidupan keluarga. Konflik ini dapat Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
391
Alamsyah
berdampak mulai skala kecil sampai dengan bahaya besar. Dalam tulisan ini, penulis menawarkan formula kearifan lokal sebagai salah satu model penyelesaian yang tepat dalam resolusi konflik kehidupan keluarga dengan alasan bahwa kearifan lokal merupakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan diikuti oleh anggotanya, dan kearifan lokal tersebut sebenarnya merupakan pengembangan dari ajaran wahyu atau nilai-nilai lama yang telah mengalami Islamisasi. Praktek kearifan lokal sebagai basis resolusi konflik telah dipraktekkan dalam sejarah peradaban Islam. Al-Qur’an juga memerintahkan penyelesaian konflik secara damai melalui juru runding (h}akam) yang memang sudah tradisi masyarakat Arab pra-Islam. Jadi Islam sangat menghargai nilai-nilai lokal dan menjadikannya sebagai salah satu cara penyelesaian konflik. Penulis dalam konteks ini mencoba menginventarisir berbagai kearifan lokal masyarakat muslim di Nusantara tersebut yang relevan sebagai pendekatan dalam penyelesaian konflik kekeluargaan dengan pertimbangan bahwa muatannya dapat memperkokoh sistem kekeluargaan, persaudaraan dan menghindari perpecahan. Kata Kunci: kearifan lokal, konflik, mediasi, kekeluargaan
A. Pendahuluan Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Secara tradisional, keluarga diartikan sebagai dua atau lebih orang yang dihubungkan dengan pertalian darah, perkawinan atau adopsi (hukum) yang memiliki tempat tinggal bersama. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang mengemudikan perjalanan hidup keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak merupakan suatu kesatuan yang kuat apabila terdapat hubungan baik antara ayah-ibu, ayah-anak dan ibu-anak. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua pribadi dalam keluarga. Interaksi antar pribadi yang terjadi dalam keluarga ini ternyata berpengaruh terhadap keadaan bahagia (harmonis) atau tidak bahagia (disharmonis) pada salah seorang atau beberapa anggota keluarga lainnya.1 Singgih D Gunarsa, Psikologi Keluarga (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1995), h. 7. 1
392
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Resolusi Konflik Keluarga Berbasis Kearifan Lokal Islam Nusantara
Ketegangan maupun konflik dengan pasangan atau antara suami dan istri merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik, namun konflik dalam rumah tangga bisa menjadi momok yang membahayakan. Apabila konflik dapat diselesaikan secara sehat, maka masing-masing pasangan (suami-istri) akan mendapatkan pelajaran yang berharga, menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian, gaya hidup dan pengendalian emosi pasangannya sehingga dapat mewujudkan kebahagiaan keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-masing pihak baik suami atau istri tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan melalui komunikasi dan kebersamaan. Di sisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi dan semakin membahayakan bagi keluarga khususnya suami dan istri yang terlibat konflik. Dalam masyarakat Indonesia sejak lama sudah berjalan penyelesaian konflik secara damai berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam budaya kearifan setempat (kearifan lokal). Nilainilai kearifan lokal ini penting dikaji kembali perannya dalam penyelesaian konflik keluarga yang menjadi fokus tulisan ini. B. Konflik Keluarga: Macam dan Faktor Penyebab Konflik (conflict) atau yang sering disamakan dengan sengketa (dispute)2 adalah sebuah perselisihan antara dua orang atau pihak yang dapat menganggu hasil kerja, baik produktivitas atau efesiensi. Konflik keluarga atau konflik dalam keluarga adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang menganggu kegiatan sehari-hari dalam berbagai aspek kehidupan keluarga, mulai dari persiapan, proses dan berakhirnya kehidupan keluarga. Konflik ini dapat berdampak mulai skala kecil sampai dengan bahaya besar. Ada perbedaan pendapat di kalangan ilmuan tentang makna konflik dan sengketa. Sebagian sarjana mengatakan kedua istilah tersebut memiliki makna sama dan tidak ada perbedaan mendasar. Namun sebagian ilmuan lainnya mengatakan dua istilah tersebut memiliki perbedaan, baik makna maupun luas cakupan dan tempat penggunaannya. Lihat Takdir Rahmadi, Mediasi; Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2010) h. 1-4 2
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
393
Alamsyah
Sebenarnya konflik itu sendiri bermacam-macam, mulai dari konflik antarindividu, konflik antaretnik, konflik antaragama dan internal agama, konflik antargolongan atau kelas sosial, konflik antarras, hingga konflik antarnegara atau negara dan rakyat.3 Konflik yang terjadi dalam keluarga dalam hal ini dapat digolongkan ke dalam konflik antarindividu. Jika dikaji lebih jauh wilayah persoalannya, maka konflik keluarga dapat dirinci lagi menjadi beberapa macam konflik, yaitu: 1. Konflik dalam perkawinan (syiqa>q); berupa konflik dalam pemilihan dan penetapan jodoh, penentuan mahar, uang jujur, proses pembayaran, pemberian nafkah, pergaulan dalam rumah tangga dan hubungan seksual, dan perkawinan monogami atau poligami. 2. Konflik dalam perceraian (talak dan gugat); berupa masa persiapan atau pisah ranjang, pihak yang mengambil inisiatif memulai cerai, biaya dan proses cerai, dan hubungan keluarga pasca percearaian. 3. Konflik dalam pembagian harta bersama (gono gini) dan harta waris (tirkah) berupa perebutan harta bersama, penetapan jumlah dan macam harta bersama, penetapan jumlah harta waris, penetapan bentuk harta waris, penetapan para ahli waris, dan jumlah bagian masing-masing ahli waris. 4. Konflik dalam pengasuhan dan nafkah anak (h}ad}a>nah), misalnya penetapan siapa yang berhak mengasuh, bagaimana biaya pengasuhan, proses lama pengasuhan, serta hak masingmasing bapak dan ibu. 5. Konflik dalam persoalan waqaf, hibah, dan wasiat, dan lainlain yang terkait dengan kehidupan keluarga. Adapun sebab-sebab terjadinya konflik secara umum antara lain: Pertama, perbedaan nilai. Nilai adalah sesuatu yang menjadi dasar, pedoman, tempat setiap manusia menggantungkan pikiran, perasaan, dan tindakan. Konflik yang termasuk dalam kategori perbedaan nilai ini adalah konflik yang bersumber pada Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 239. 3
394
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Resolusi Konflik Keluarga Berbasis Kearifan Lokal Islam Nusantara
perbedaan rasa percaya, keyakinan, bahkan ideologi atas apa yang diperebutkan. Kedua, kurang komunikasi. Konflik banyak juga terjadi hanya karena dua pihak yang bersengketa kurang berkomunikasi. Kegagalan berkomunikasi ini disebabkan kedua belah pihak tidak dapat menyampaikan pikiran dan tindakan pada pihak lain, sehingga membuka perbedaan informasi di antara mereka yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik. Ketiga, kepemimpinan kurang efektif. Secara politis kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang kuat, adil, dan demokratis. Hanya saja untuk mendapatkan pemimpin yang demikian bukanlah perkara yang mudah. Konflik karena kepemimpinan yang tidak efektif ini sering terjadi pada suatu komunitas yang pemimpinnya memiliki karakter kurang efektif. Keempat, ketidakcocokan peran. Peran yang dipahami secara berbeda dan peran yang dimainkan juga tidak cocok dapat menyebabkan terjadinya konflik karena ada dua pihak yang mempersepsikan secara sangat berbeda tentang peran mereka masing-masing. Kelima, produktivitas rendah. Konflik dapat pula terjadi karena kedua belah pihak seringkali kurang atau tidak mendapatkan keuntungan dari hubungan mereka sehingga muncul prasangka di antara mereka. Keenam, perubahan keseimbangan. Adanya perubahan keseimbangan dalam suatu masyarakat dapat menyebabkan konflik, baik karena faktor alam atau faktor sosial.4 C. Model-Model Resolusi Konflik dalam Islam Resolusi konflik adalah sebuah proses untuk menemukan jalan keluar dari sebuah konflik. Dalam berbagai literatur resolusi konflik, ada beberapa model yang dapat dilakukan dalam penyelesaian konflik, yaitu: 1. Penyelesaian berdasarkan sumber konflik. Dalam model ini, harus diketahui terlebih dahulu sumber-sumber konflik: apakah, relasi, nilai, dan lain sebagainya. Setelah diketahui sumbernya, barulah melangkah pada upaya penyelesaian Agus Sriyanto, “Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal”, Ibda`, Vol. 5, No. 2, Jul-Des 2007, h. 286-301. 4
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
395
Alamsyah
konflik. Setiap sumber masalah tentunya memiliki jalan keluar masing-masing sehingga tidak ada cara penyelesaian konflik yang tunggal. 2. Model boulding; metode penyelesaian konflik dengan cara menghindar, menaklukkan, dan mengakhiri konflik sesuai prosedur. 3. Model pluralisme budaya; antara lain melalui proses asimilasi yang dapat membantu resolusi konflik. Sebagai comtoh, individu atau kelompok diajak memberikan reaksi tertentu terhadap pengaruh lingkungan sosial dengan mengadopsi kebudayaan yang baru masuk. Selain asimilasi, cara lainnya adalah akomodasi, di mana dua kelompok atau lebih yang mengalami konflik harus sepakat untuk menerima perbedaan budaya, yang harus dinyatakan melalui penyatuan penciptaan kepentingan bersama.5 4. Model intervensi pihak ketiga, baik berupa arbitrasi maupun mediasi. Arbitrasi adalah penyelesaian konflik dengan cara mengambil pihak ketiga untuk memutuskan masalah yang terjadi, dan keputusan pihak ketiga harus dipatuhi oleh masingmasing pihak. Sedangkan mediasi berarti pihak ketiga hanya berfungsi untuk menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat.6 Dalam konflik hukum yang sering terjadi di antara manusia atau badan hukum, secara garis besar ada dua cara penyelesaian. Pertama, melalui putusan hukum legal formal yang dibuat oleh hakim pengadilan yang dinamakan penyelesaian secara litigasi. Kedua, melalui perdamaian (is}la>h}, rekonsiliasi, resolusi konflik, mediasi konflik, dan sebagainya) baik melalui putusan hakim di lembaga peradilan maupun putusan lembaga mediasi moderen seperti Badan Arbitrasi Nasional atau melalui mediasi secara budaya kekeluargaan tradisional. Penyelesaian model kedua ini dinamakan nonlitigasi. Dalam ajaran Islam juga ditemukan beberapa cara penyelesaian konflik sebagaimana yang diterangkan dalam 5 6
396
Soekanto, Sosiologi, h. 239. Ibid. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Resolusi Konflik Keluarga Berbasis Kearifan Lokal Islam Nusantara
beberapa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi. Al-Qur’an dalam beberapa ayat menyiratkan bahwa penyelesaian konflik atau sengketa dapat dilakukan dengan dua cara di atas, yaitu melalui putusan hakim pengadilan (hukum) dan dapat pula melalui jalur perdamaian (is}la>h}). Akan tetapi al-Qur’an sangat menganjurkan perdamaian sebagai pilihan utama dalam penyelesaian konflik. Sebagai contoh, jika terjadi sengketa suami istri (syiqa>q) maka diajarkan agar masing-masing pihak yang bersengketa mengutus juru runding atau h}akam masing-masing yang berfungsi memediasi penyelesaian sengketa. Putusan h}akam ini dapat untuk mendamaikan kedua pihak yang berkonflik atau bersifat memutuskan.7 Demikian pula jika terjadi nusyu>z (penyimpangan) oleh pihak suami, maka dibolehkan melakukan is}la>h} (perdamaian) antara suami dan istri untuk saling berbagi hak dan kewajiban.8 Dalam kasus jika suami istri tetap saling menuduh zina tanpa mau didamaikan, maka cerai secara li‘a>n adalah jalan terakhir. Allah swt. juga menyatakan bahwa jika ada dua golongan umat Islam berperang maka wajib didamaikan (is}la>h}), jika ada kelompok yang tidak mau berdamai maka barulah kelompok itu diperangi.9 Dalam beberapa hadis dinyatakan pula ketentuan tentang perdamaian sebagai solusi penyelesaian sengketa, antara lain hadis Nabi saw.: “Perdamaian adalah boleh di kalangan umat Islam selama tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”.10 Dalam hadis lain yang dituturkan Sahl ibn H{unaif ra. dinyatakan bahwa Rasulallah saw. membuat perjanjian Hudaibiyah dengan orang Quraisy Mekah walau banyak yang menentangnya, seperti ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b, namun ternyata Perjanjian Hudaibiyah ini yang mengantarkan kemenangan umat Islam pada masa selanjutnya.11 Menurut keterangan al-Barra>’ ibn ‘A
T{a>lib ditugasi menulis draft naskah perdamaian antara Nabi s.a.w QS. an-Nisa>’ [4]: 35. QS. an-Nisa>’ [4]:128. 9 QS. al-H{ujura>t [49] : 9. 10 Program CD al-Baya>n: Mausu>‘ah al-H{adi>s\ an-Nabawi asy-Syari>f, nomor hadis 1663. 11 Ibid, nomor hadis 1057. 7 8
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
397
Alamsyah
dengan orang-orang Musyrikīn pada hari perjanjian Hudaibiyah. Untuk menghilangkan ketegangan, Nabi saw. melarang Ali untuk menuliskan kalimat “Muhammad utusan Allah”. Namun Ali tidak mau menghapus kalimat itu, sehingga Nabi saw. sendiri yang menghapusnya.12 Hal ini dilakukan Nabi saw. dalam rangka strategi perdamaian dan demi kemenangan dakwah Islam dalam jangka panjang. D. Kearifan Lokal sebagai Mediasi Konflik Penyelesaian konflik seharusnya disesuaikan dengan konteks dan latar atau setting di mana konflik itu terjadi. Dengan demikian pendekatan yang umum sebenarnya tidak relevan diterapkan dalam menangani masalah konflik lokal, sehingga dibutuhkan model khusus. Pendekatan dalam penyelesaian konflik yang belum banyak dikaji tetapi sebenarnya telah lama berjalan adalah kearifan lokal (local wisdom). Kearifan lokal berasal dari kata kearifan atau kebijaksanaan (wisdom); dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah nilai-nilai atau gagasan lokal setempat yang bersifat bijaksana, penuh kebaikan dan kemuliaan, yang tertanam secara mendalam dan diikuti oleh masyarakatnya. Setiap budaya memiliki kearifankearifan tersendiri dalam menyikapi permasalahan hidup yang dihadapi, termasuk di dalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik.13 Kearifan-kearifan yang terdapat berbagai budaya masyarakat inilah yang sering dinamakan sebagai kearifan lokal (local wisdom). Menurut Moendardjito, unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.14 Ketika banyak terjadi konflik, maka lahir berbagai teori tentang penyelesaian konflik. Hanya saja Ibid, nomor 1056. Koencaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1993), h. 31. 14 Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius) (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986) h. 40-41. 12 13
398
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Resolusi Konflik Keluarga Berbasis Kearifan Lokal Islam Nusantara
penerapannya tidak mudah karena berbagai faktor dan variabel yang beragam. Berbagai konflik yang terjadi di Indonesia baik konflik vertikal maupun konflik horizontal telah menimbulkan kesengsaraan masyaraakat dan gangguan terhadap ketahanan bangsa dan Negara. Akibatnya cenderung melebar ke berbagai aspek kehidupan lainnya, di antaranya gejala pudarnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa dan rasa empati serta simpati. Potensi konflik bagi Indonesia yang dapat menimbulkan disintegrasi nasional adalah pontensi konflik antar agama, ras, suku, golongan, masalah tanah antara masyarakat dengan perusahaan, antara pusat dan daerah, sipil dan militer, lembagalembaga pemerintah, dan lain-lain. Potensi konflik lainnya adalah implementasi otonomi daerah, seperti konflik antarpemerintah lokal (saling berbatasan), dan sebagainya. Umumnya konflik tentang identitas dalam suatu masyarakat cenderung lebih rumit, bertahan lama serta sulit dikelola, sedangkan konflik yang berciri primordial sulit dipecahkan karena sangat emosional. Pola penyelesaian konflik memang kadang unik, sehingga model di suatu daerah tak mungkin diterapkan di daerah lain. Oleh karena itu, dalam menentukan langkah penyelesaian berbagai peristiwa konflik perlu dicermati dan dianalisis banyak hal; tidak saja faktor global universal, tetapi perlu juga faktor lokal dan khusus. Cara penyelesaian konflik lebih tepat jika menggunakan model-model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya setempat. Penyelesaian yang ideal adalah jika dilakukan atas inisiatif penuh dari masyarakat bawah yang masih memegang teguh adat lokal serta sadar akan pentingnya budaya lokal dalam menjaga dan menjamin keutuhan masyarakat. Di antara kearifan lokal yang sudah ada sejak dahulu dan masih terpelihara sampai sekarang antara lain alon-alon asal kelakon (Jawa Tengah/DI Yogyakarta), dan basusun sirih (Melayu Sumatra), Adat Badamai-Baakuran dalam masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan), dalihan natolu (Tapanuli), rumah betang (Kalimantan Tengah), menyama braya (Bali), saling Jot dan saling pelarangan (NTB), siro yo ingsun, ingsun yo siro (Jawa Timur) dan tradisi Tepung Tawar dalam masyarakat Musi Rawas Sumatera Selatan. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
399
Alamsyah
Tradisi dan kearifan lokal yang masih ada dan berlaku di masyarakat berpotensi untuk dapat mendorong keinginan hidup rukun dan damai. Hal itu karena kearifan tradisi lokal pada dasarnya mengajarkan perdamaian dengan sesamanya, lingkungan, dan Tuhan.15 Pendekatan kearifan lokal sangat tepat dalam menyelesaikan konflik karena selama ini sudah membudaya dalam masyarakat, juga masih memiliki nilai sakral dan tidak hanya berorientasi profan semata. Dengan adat lokal ini diharapkan resolusi konflik bisa selesai dan diterima secara damai oleh semua kelompok dalam waktu lama. Selain argumen di atas, beberapa alasan lain pentingnya pendekatan kearifan lokal dalam mediasi konflik adalah karena kearifan lokal umumnya lebih menekankan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan dan sikap ketauladanan, dan bukan pada nilai-nilai individual. Penyelesaian dengan resolusi konflik secara damai tidak meninggalkan rasa dendam dan sakit hati berkepanjangan, tetapi membangun emosi persaudaraan, rasa, nurani dan kehormatan diri. Oleh karena diselesaikan dengan rasional, pelibatan emosi dan perasaan maka penyelesaian bersifat tuntas dan dapat diterima semua pihak yang bertikai. Di sinilah resolusi konflik menawarkan kebersamaan atau sama-sama menguntungkan (win-win solution) bagi yang bersengketa dan tidak merugikan satu pihak sementara pihak lain diuntungkan (win-lose solution). Faktor lain yang mendukung dilakukannya resolusi konflik dengan pendekatan kearifan budaya lokal adalah karena masyarakat Indonesia sangat plural dalam berbagai aspek dan masih memegang kuat adat tradisi, terutama di pedesaan, sehingga berbagai nilai-nilai tradisi yang bijaksana dapat menjadi mediasi perdamaian. Oleh karena itu, pihak Mahkamah Agung Republik Indonesia menggagas agar di desa-desa dibentuk Peradilan Desa yang berguna untuk menyelesaikan dan memutus perkara kecil dan sederhana oleh para tokoh dan aparat desa sehingga tidak perlu dibawa ke pengadilan negara.
15
301.
400
Agus Sriyanto, Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal, h. 286-
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Resolusi Konflik Keluarga Berbasis Kearifan Lokal Islam Nusantara
E. Mediasi Konflik Berbasis Kearifan Lokal dalam Islam Islam adalah agama yang bersifat inklusif. Oleh karena itu berbagai ajaran Islam memang terbentuk dari wahyu-wahyu ketuhanan, namun banyak juga ajaran Islam yang bersumber dan diinspirasi oleh keberadaan dan perkembangan budaya umat manusia. Wahyu yang turun membawa ajaran dari Allah swt tidak datang ke dalam ruang dan tempat yang kosong dari peradaban, tetapi selalu bertemu dengan kehidupan manusia yang telah mencapai taraf perkembangan tertentu. Jadi Islam sangat menghargai dan memperhatikan budaya, tradisi, dan hukum masyarakat lokal. Ajaran wahyu yang turun selalu memperhatikan sistem budaya yang hidup di tengah masyarakat. Dalam perkembangannya dapat terjadi dialog, asimilasi atau bahkan adhesi persenyawaan antara wahyu dan budaya masyarakat, dalam hal ini adalah budaya masyarakat Arab pra Islam. Al-Qur’an mengatakan secara tegas bahwa Muhammad saw diutus ke dunia untuk membawa rahmat kasih sayang bagi alam semesta. Dengan demikian Islam datang tidak untuk membasmi atau menghancurkan semua peradaban, budaya atau nilai-nilai yang telah hidup dalam masyarakat yang ada, baik nilainilai itu berasal dari agama sebelumnya atau murni hasil budaya setempat. Islam justru datang untuk memperkuat (mu’ayyidmus}addiq) ajaran para nabi sebelumnya, serta mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan universal dan lokal. Maka banyak tradisi masyarakat Arab pra Islam (ja>hiliyyah) ajaran H{ani>fiyyah dari nabi Ibrahim as., ajaran Yahudi dari Nabi Musa as., dan ajaran Nasrani dari Nabi Isa as. yang masih diteruskan oleh Nabi Muhammad saw. Demikian pula banyak ketentuan Syari’at Islam sebenarnya berasal dari tradisi masyarakat Arab pra Islam yang diadopsi menjadi Syari’at, seperti: Tah}ki>m, syu>ra>, ‘a>qilah (denda), qis}a>s}, diyat, sistem perwalian16. Perwalian ini memiliki banyak bidang, baik dalam persoalan kesukuan, sistem perkawinan, kekeluargaan, sampai pada pengurusan anak dan harta. Sedangkan hukuman rajam dan salib diambil dari tradisi hukum Yahudi. Khali>l Abdul Kari>m, Syariah Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad Irsyady (Yogyakarta: PT LKiS, 2010), h. 5 16
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
401
Alamsyah
Demikian pula prinsip hidup positif masyarakat Arab lama terus dikembangkan oleh Rasulullah saw., seperti prinsip jujur (s}iddi>q), pantang berdusta, berani, kesatria, tidak munafiq, menghormati tamu, teguh dengan janji, kesetiakawanan tinggi. Sedangkan praktek lama yang buruk yang dipraktekkan oleh sebagian kabilah, seperti mengubur anak perempuan hiduphidup, oleh beliau dilarang untuk dilakukan lagi. Artinya bahwa masyarakat Arab pra Islam telah memiliki nilai-nilai positif dalam bermasyarakat dan bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang memang mempraktekkan nilai-nilai kemuliaan tersebut. Oleh karena itu, maka Rasulullah saw mengatakan: “Khairukum fi al-ja>hiliyyah khairukum fi al-Isla>m”; bahwa sebaik-baik orang pada masa jahiliyyah adalah juga sebaik-baik orang pada masa Islam. Dalam rangka menegaskan hubungan yang positif antara Islam dan tradisi kearifan lokal ini, maka ulama menyusun kaidah fikih yang menyatakan bahwa “adat istiadat dapat dijadikan hukum” (al-‘a>dah muh}akkamah). Dengan kaidah ini, maka tidak relevan lagi untuk mempertentangkan Islam dan budaya lokal karena memang ajaran Islam juga banyak yang terbentuk dari adat istiadat. Implikasi selanjutnya maka lahir kaidah fikih bahwa “hukum dapat berubah dengan perubahan waktu, tempat, keadaan dan adat istiadat” (tagayyur al-ah}ka>m bi tagayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ah}wa>l wa al-‘awa>’id).17 Praktik kearifan lokal sebagai basis resolusi konflik telah dipraktikkan dalam sejarah peradaban Islam Arab. Tradisi penyelesaian sengketa secara damai telah dilakukan dan menjadi kebiasaan yang berlangsung terus menerus secara lama. Al-Qur’an memerintahkan penyelesaian konflik secara damai melalui juru runding (h}akam) yang memang sudah tradisi masyarakat Arab pra Islam. Jadi Islam sangat menghargai nilai-nilai lokal dan menjadikannya sebagai salah satu cara penyelesaian konflik. Rasulullah saw. sendiri mencontohkan dengan mendamaikan berbagai suku Arab yang bersengketa tentang siapa yang paling Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n ‘an Rabb al‘An, vol. II (Beirut: Da>r al-Fikr, 1995), h. 2. 17
402
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Resolusi Konflik Keluarga Berbasis Kearifan Lokal Islam Nusantara
berhak mengangkat batu Hajar Aswad yang hanyut akibat banjir. Beliau mencontohkan perdamaian tersebut dengan mengajak empat kepala suku terbesar untuk bersama-sama mengangkat batu Hajar Aswad ke tempat semula. Jika ditarik lebih ke belakang lagi, ternyata Nabi saw. ketika baru hijrah dari Mekkah ke Madinah telah membuat perjanjian perdamaian yang sangat terkenal dengan nama Piagam Madinah (S{ah}i>fah al-Madi>nah). Banyak kalangan sejarawan menempatkan Piagam Madinah ini sebagai konstitusi umat manusia pertama dalam sejarah.18 Ibnu Hisya>m dalam karya monumentalnya berjudul as-Si>rah an-Nabawiyyah menuliskan panjang lebar isi Piagam Madinah ini.19 Piagam Madinah merupakan perjanjian perdamaian yang mengikat di antara berbagai komunitas yang ada di kota Madinah dan sekitarnya. Kelompok besar yang mengikatkan diri dalam piagam perjanjian ini adalah kelompok Arab muslim dari suku Aus dan Khazraj dan kelompok Yahudi yang terdiri dari beberapa suku. Perjanjian ini juga memuat ketentuan-ketentuan ikatan perdamaian dan hukuman bagi yang melanggarnya, Jika dikaji secara jernih tentang isi perjanjian tersebut jelas muatannya merupakan ketentuan hukum tidak tertulis yang memang sudah ada dalam tradisi masyarakat Arab, namun Piagam Madinah mempertegasnya dalam bentuk perjanjian secara tertulis. F. Kearifan Lokal Islam Nusantara sebagai Basis Resolusi Konflik Keluarga Berbagai nilai kearifan dalam masyarakat muslim Nusantara sebenarnya sejalan dengan Islam, karena sebenarnya banyak nilainilai tersebut yang bersumber dari wahyu, atau dikembangkan dari wahyu ajaran Islam, atau berasal dari nilai-nilai lama yang telah di-“Islam”-kan. Jadi prinsipnya tidak ada pertentangan anatara Islam dan kearifan lokal dan tidak perlu dipertentangkan. Berbagai tradisi muslim Nusantara tersebut memuat nilai positif 18 William M. Watt, Muhammad at Madina (Oxford: Oxford University Press, 1956), h. 221-225. 19 Ibnu Hisya>m, as-Si>rah an-Nabawiyyah, Vol. I (Kairo: Mus}t}afa alBa>bi al-H{alabi wa Aula>duhu, t.t.), h. 150. Lihat juga Ibn Ish}a>q, Si>rah ar-Rasu>l (Beirut: Da>r al-Fikr, 1970), h. 72
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
403
Alamsyah
sehingga dapat dijadikan cara menyelelsaikan sengketa, seperti ajaran “pela gandong” di kalangan masyarakat Maluku, ajaran “setungku tiga batu” dalam masyarakat Papua yang menopang keharmonisan antara penganut muslim, Nasrani dan Animisme, demikian juga tradisi “tepung tawar” yang digunakan sebagai media penyelesaian sengketa dalam masyarakat Musi Rawas Sumatera Selatan. Sementara itu ada pula tradisi “Adat Badamai-Baakuran” untuk menciptakan perdamaian jika terjadi perselisihan dalam masyarakat Banjar baik yang di Propinsi Kalimantan Selatan, maupun di Riau dan Jambi. Mereka lebih terhormat memilih cara kekeluargaan dalam penyelesaian sengketa, menjaga tatanan harmoni dan tidak melanggar kearifan tradisional.20 Di Minangkabau Sumatera Barat ada lembaga “Kerapatan Kaum, Suku dan Anak Nagari’ dan di Aceh ada fungsionaris “Keuchik, Tuha Peut Gampong, dan Imeum Meunasah” yang dapat mendamaikan perselisihan keluarga, bahkan bisa memutus jika tidak bisa didamaikan.21 Dalam masyarakat Lampung masih hidup tradisi “pi’il pesenggiri” dan “Muwakhi” atau ‘Muakhi” yang maknanya sejalan dengan prinsip-prinsip Islami, Budaya “pi’il pesenggiri” secara substansial memuat ajaran menghormati tamu, bekerja keras, memupuk ukhuwah, meningkatkan kualitas diri, egaliter, kemandirian, nilai etika dan demokratis.22 Sedangkan konsep “muakhi” dalam masyarakat Lampung adalah memiliki makna hidup bersaudara, karena ada ikatan darah, suku, atau bahkan agama, organisasi, dan komunitas karena kesamaan tujuan atau kepentingan. Sehingga konsep muakhi dapat menjadi pemersatu dan perekat keharmoniasan dalam keluarga dan masyarakat.23 Dengan demikian nilai-nilai bijaksana dalam berbagai tradisi Lokal Nusantara di atas sangat Islami dan tepat dalam Ahmadi Hasan, Adat Badamai dalam Budaya Masyarakat Banjar (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2009), h. 99 – 101. 21 Takdir Rahmadi, Mediasi, h. 90. 22 Fachruddin, “Kearifan Lokal Daerah Lampung”, dalam Fachruddin Dani Blog, Minggu, 4 April 2010 23 A. Fauzie Nurdin, Budaya Muakhi; dan Pembangunan Daerah Menuju Masyarakat Bermartabat (Yogyakarta: Gama Media, 2009), h. 89 -92. 20
404
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Resolusi Konflik Keluarga Berbasis Kearifan Lokal Islam Nusantara
mediasi karena menekankan kepada keharmonisan, kebersamaan, demokrasi, saling berbagi, toleransi, dan menghormati sehingga dapat membangun keluarga harmonis dan bahagia. Nilainilai itu juga akan menjaga sistem kekerabatan-kekeluargaan sehingga menjaga persaudaraan dan silaturrahim, dan bukan mengembangkan pola hidup personal individual yang terpecah. Dengan demikian tradisi kearifan lokal dapat dikembangkan untuk membangun hubungan keluarga yang harmonis, komunikatif, saling pengertian, demokrasi dan saling toleransi. Di sinilah peran tokoh disegani masih berfungsi efektif, seperti kiyai, ustaz, tuan guru, cekgu, atau tokoh religius atau tokoh adat lainnya. Dengan sistem kekeluargaan ini maka masyarakat menganggap kehidupan keluarga, seperti perkawinan, sebagai ikatan sakral, sehidup semati, melahirkan prinsip malu untuk bercerai, malu untuk berbuat zalim atau prilaku tidak bertanggungjawab. Nilai-nilai demikian tentu secara mendasar dapat mempererat hubungan dan ikatan kekeluargaan dan menghindari perpecahan. Atas dasar prinsip keutuhan keluarga ini, maka tradisi sebagian masyarakat yang tidak menjadikan harta pusaka nenek moyang sebagai harta warisan adalah tradisi yang baik dan masih memiliki nilai-nilai kebaikan. Harta pusaka adalah harta yang diteruskan turun temurun, dikelola untuk dikembangkan, dan bukan harta yang diwariskan dan dibagi habis di antara para ahli waris. G. Penutup Konflik selalu muncul dalam kehidupan manusia, dengan berbagai bentuk dan sifat. Konflik sering dianggap negatif karena murugikan semua pihak baik yang bertikai maupun pihak sekeliling. Namun di sisi lain, konflik sebenarnya juga memiliki semangat untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Di sinilah perlu dilakukan manajemen konflik secara positif. Banyak model penyelesaian konflik yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan perselisihana atau sengketa yang sering terjadi dalam masyarakat. Agar konflik tidak semakin rumit dan penyelesaiannya semakin berlarut maka perlu digunakan model yang tepat. Di antara pendekatan yang cukup relevan dengan Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
405
Alamsyah
budaya masyarakat Indonesia adalah penyelesaian konflik berbasis kearifan lokal. Dalam Islam ternyata penyelesaian konflik secara damai dengan menggunakan media kearifan budaya lokal memang dibolehkan, juga dianjurkan bahkan telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad saw., para sahabat dan terus berkembang dalam pemikiran dan praktek kehidupan umat Islam. Oleh karena kearifan lokal merupakan warisan masa lalu, maka perlu dilakukan rekonstruksi agar tetap aktual di dunia moderen. Rekonstruksi dilakukan dengan menggali makna substantif kearifan lokal. Nilai keterbukaan misalnya dikembangkan dan kontekstualisasikan menjadi kejujuran dan berbagai nilai turunannya yang lain. Hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu.
406
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Resolusi Konflik Keluarga Berbasis Kearifan Lokal Islam Nusantara
DAFTAR PUSTAKA Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Jakarta: Pustaka Jaya, 1986. Basrin, Erwin, Profil Singkat Selepu Lebong, http://rejangkeme. blogspot.com/2009/01/propil-singkat-selupulebong.html Gunarsa, Singgih D, Psikologi Keluarga, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1995. Gunaryo, Ahmad, Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia, dari Konflik Agama Hingga Mediasi Peradilan, Semarang: WCM, 2007. Hasan, Ahmadi, Adat Badamai dalam Budaya Masyarakat Banjar, Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2009. Hisya>m, Ibnu, as-Si>rah an-Nabawiyyah, vol. I, Kairo: Mus}t}afa alBa>bi al-H{alabi wa Aula>duhu, t.t. Ish}a>q, Ibnu, Si>rah ar-Rasu>l, Beirut: Da>r al-Fikr, 1970. Karim, Khalil Abdul, Syariah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terjemah oleh Kamran, Yogyakarta: LKiS, 2010. Liliweri, Alo, Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, Yogyakarta: LKIS, 2009. Nurdin, A. Fauzie, Budaya Muakhi dan Pembangunan Daerah Menuju Masyarakat Bermartabat, Yogyakarta: Gama Media, 2009. Rahmadi, Takdir, Mediasi; Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2010. al-Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n ‘an Rabb al‘An, Beirut: Da>r al-Fikr, 1995. Soekanto, Soerjono, Sosiologi Sautu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1990. Sriyanto, Agus, “Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal”, Ibda`, P3M STAIN Purwokerto, Vol. 5, No. 2, Jul-Des 2007. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
407
Alamsyah
Susan, Novri, Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, Jakarta: Kancana Media Group, 2009. Watt, William M., Muhammad at Madina, Oxford: Oxford University Press, 1956. Wignjodipoero, Soerjono, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1967
408
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012