Naskah Ringkas
Relevansi Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM dengan Operasi Militer Aceh Periode 2003-2004 (Monica Elizabeth Dina – Fakultas Hukum UI 2009) Abstrak Tulisan ini membahas mengenai Operasi Militer Aceh yang dilaksanakan pada tahun 20032004 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2003 pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Pertama, dibahas mengenai pengaturan konflik bersenjata noninternasional dalam Hukum Humaniter Internasional. Kedua, akan dilihat pengaturan perlindungan terhadap penduduk sipil dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM. Ketiga adalah relevansi Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM tersebut dengan Operasi Militer Aceh, yaitu mengenai pengkategorian jenis konflik bersenjata dan perlindungan penduduk sipil dalam Operasi Militer tersebut. Kemudian akan dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Operasi Militer Aceh paada periode 2003-2004. Kata Kunci : Hukum Humaniter Internasional, Hukum HAM, Konflik Bersenjata NonInternasional, Perlindungan Penduduk Sipil.
I.
Pendahuluan Gagalnya perundingan damai antara pihak pemerintah Indonesia dengan GAM pada
tanggal 18 Mei 2003 mendorong digelarnya operasi militer untuk menumpas gerakan separatis tersebut. GAM, yang sejak jatuhnya rejim Soeharto mulai memperoleh pengaruh karena adanya kekecewaan mendalam dari rakyat Aceh selama diterapkannya Daerah Operasi Militer (1990-1998) dinilai tidak menunjukkan sikap yang kooperatif dalam upaya mencari solusi damai untuk masalah Aceh. Berdasarkan penilaian tersebut, pada tanggal 19 Mei 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 28 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Daerah Militer di propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Sebagai panduan pelaksanaan darurat militer di Aceh digunakan UU No. 23 Prp Tahun 1959 dan UU No. 57 Prp Tahun 1960. Keppres tersebut juga antara lain menetapkan Panglima Kodam Iskandar Muda sebagai Penguasa Darurat Militer Daerah, dengan dibantu Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), Gubernur dan Kepala Kejaksaan Tinggi NAD. Operasi Terpadu ini meliputi empat operasi, yaitu Operasi Pemulihan Keamanan; Operasi Kemanusiaan; Operasi Penegakan Hukum; dan Operasi Pemantapan Jalannya Pemerintahan. Sejak awal, fokus dari Operasi Terpadu ini jelas pada operasi pemulihan keamanan atau operasi militer. Ketiga
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
operasi lainnya diimplementasikan untuk menunjang langkah-langkah yang dilakukan oleh operasi militer tersebut.1 Hukum humaniter mempunyai tujuan untuk mengurangi penderitaan dari konflik bersenjata dengan membatasi metode dan cara berperang, juga melindungi mereka yang tidak terlibat maupun tidak lagi terlibat dalam konflik bersenjata. Diterapkannya hukum humaniter akan didasarkan pada pengkategorian konflik bersenjata tersebut, apakah bersifat internasional maupun non-internasional, contohnya mengenai status dari tawanan perang (prisoners of war) dan protected persons hanya berlaku dalam konflik bersenjata yang bersifat internasional.2 Pengklasifikasian konflik bersenjata ini memiliki konsekuensi langsung baik bagi komandan maupun korban kekerasan, karena hal ini akan menentukan hukum yang harus diterapkan dan perlindungan yang ada dalam hukum humaniter ditentukan sesuai dengan situasinya.3 Sylvain Vite berpendapat bahwa instrumen-instrumen hukum humaniter tidak memberikan kriteria yang cukup untuk menentukan kategori konflik bersenjata. Karena itu beberapa penjelasan tertentu diperlukan untuk mengetahui situasi yang membuat berlakunya hukum humaniter. Penjelasan akan hal tersebut bergantung kepada situasi yang terjadi dikategorikan menurut hukum. Dari satu kasus ke kasus lainnya digunakan hukum yang bervariasi. Penggunaan rezim juga tidak selalu sama, tergantung pada situasinya, contohnya apakah situasi yang terjadi tergolong sebagai konflik bersenjata internasional atau konflik bersenjata non-internasional. Bersama dengan itu, beberapa jenis kekerasan lain seperti ketegangan internal dan gangguan internal, yang tidak mencapai batasan berlakunya hukum humaniter juga perlu didefinisikan.4 Melihat fakta-fakta yang terjadi dimana perang tidak lagi sebatas antara negara saja, menjadi hal yang menarik untuk melihat bagaimana pengaturan akan konflik bersenjata non-internasional dalam Hukum Humaniter Internasional.
1
Lina A. Alexandra, “Hukum Perang Internal: Studi Kasus Operasi Terpadu Di Aceh 2003,” dalam Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia, vol. III, no. 1, (Jakarta: ELSAM, 2005), hlm. 123. 2
Knut Dormann, “The Legal Situation of ‘Unlawfull/Unprevileged Combatants’ “, International Review of the Red Cross, Vol. 85, (Maret 2003), hlm. 46. 3
ICRC, “Kekerasan dan Penggunaan Kekuatan”, diunduh melalui http://icrcjakarta.info/download/Kekerasan%20dan%20Penggunaan%20Kekuatan.pdf., pada 7 April 2013. 4
Sylvain Vite, “Typology of Armed Conflicts in International Humanitarian Law: Legal Concepts and Actual Situations,” dalam International Review of the Red Cross, Vol. 91, (2009), hlm. 70.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
Penduduk sipil juga sering kali menjadi korban dalam konflik bersenjata noninternasional. Sering kali penduduk yang tidak bersalah atau seharusnya sama sekali tidak dilibatkan dalam konflik bersenjata turut menjadi sasaran, baik secara langsung maupun tidak. Untuk itu harus dilihat apakah ada prinsip-prinsip dalam Hukum Humaniter Internasional yang harus diterapkan. Dalam pelaksanaannya, prinsip-prinsip dalam hukum humaniter yang ada tidak diaplikasikan secara maksimal atau bahkan tidak diaplikasikan sama sekali. Untuk itu, dalam tulisan ini pula akan dibahas bagaimana perlindungan penduduk sipil tersebut dalam konflik bersenjata non-internasional dalam Hukum Humaniter Internasional. Di dalam tulisan ini akan dibahas mengenai konflik bersenjata yang terjadi pada saat diberlakukan Operasi Militer di Aceh pada tahun 2003 hingga 2004. Akan dilihat relevansi dari Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM dengan Operasi Militer di Aceh tersebut. Penting untuk mengetahui apakah Operasi Militer yang dilaksanakan di Aceh ini termasuk dalam suatu konflik bersenjata non-internasional dalam Hukum Humaniter Internasional. Kemudian melihat jatuhnya banyak korban, akan dilihat bagaimanakah prinsipprinsip Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM diterapkan di Aceh pada masa itu. II.
Pembahasan
2.1.
Operasi Militer Aceh Periode 2003-2004 sebagai Suatu Konflik Bersenjata Non-
Internasional Pengaturan mengenai konflik bersenjata non-internasional dimuat dalam Pasal 3 Bersama Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II Tahun 1977 Konvensi Jenewa. Dalam Pasal 3 Bersama diatur mengenai standar minimum kemanusiaan, yaitu larangan untuk melakukan tindakan kekerasan, pemerkosaan, penyanderaan, dan menghukum dan menjatuhi hukuman mati tanpa adanya putusan pengadilan. Namun, Pasal 3 Bersama tersebut tidak memuat definisi mengenai konflik bersenjata non-internasional. Penjelasan mengenai yang termasuk dalam konflik bersenjata non-internasional tersebut dimuat dalam Protokol Tambahan II Tahun 1977 Pihak pemerintah RI merupakan subjek hukum secara langsung dari aplikasi Pasal 3 Bersama. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa sejak tanggal 30 September 1958. Karena itu, pemerintah RI termasuk dalam hal ini TNI sebagai komponen utama pertahanan bangsa terikat untuk menaati dan tunduk pada aturan Hukum Humaniter Internasional yang
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
tercantum dalam Konvensi Jenewa, tanpa kecuali pada Pasal 3 sebagai pasal yang khusus mengatur tentang konflik bersenjata non-internasional.5 Namun disayangkan bahwa Pemerintah RI hingga saat ini belum menandatangani dan meratifikasi Protokol Tambahan II dari Konvensi Jenewa. Walau demikian, hal ini tidak berarti pemerintah RI, khususnya TNI, tidak perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur di Protokol Tambahan II tersebut. Isi Protokol Tambahan II tersebut hanya merupakan urainan secara lebih spesifik dari Pasal 3 Bersama, namun tidak selengkap yang diuraikan pada Protokol Tambahan I. Memang, di dunia internasional Protokol Tambahan II belum dapat diterima secara keseluruhan sebagai Hukum Kebiasaan Internasional karena berkaitan dengan kedaulatan negara, melainkan hanya beberapa ketentuan yang berkaitan dengan kemanusiaan saja, misalnya adalah pada Pasal 4 dan 13. Karena itu, walaupun belum meratifikasi, Pemerintah RI dalam pelaksanaan suatu Operasi Militer harus tetap mengikuti ketentuan yang berkaitan dengan kemanusiaan sebagaimana dimuat dalam Protokol Tambahan II yang beberapa pasalnya berdasarkan praktik dipandang sebagai Hukum Kebiasaan Internasional. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya negara yang telah meratifikasi Protokol Tambahan II ini dan dapat dilihat dalam beberapa kasus, sebagai contoh pada Kasus Prosecutor v. Norman, Fafana, Kandewa di Sierra Leone6 dan pada Kasus Prosecutor v. Tadic di ICTY.7 Dalam Kasus Prosecutor v. Norman, Fafana, Kandewa di Sierra Leone, disebutkan bahwa penggunaan anak-anak di bawah 15 tahun untuk menjadi tentara anak adalah dilarang berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Protokol Tambahan II yang dianggap sebagai Hukum Kebiasaan Internasional. Kemudian pada Kasus Prosecutor v. Tadic di ICTY disebutkan bahwa Chamber juga menyebutkan pernyataan Secretary General bahwa “Additional Protocol II as a whole was not deemed to have been universally recognized as customary international law.”8 Kemudian Chamber menyatakan:9 5
Ibid., hlm, 136.
6
Special Court for Sierra Leone (SCSL), Prosecutor v. Norman, Fofana, Kondewa, Case No. SCSL-0414-T, Decision on Motions for Judgment of acquittal Pursuant to Rule 98, 21 October 2005. 7
ICTY (d), Prosecutor v. Tadic, Decision on The Defence Motion For Interlocutory Appeal on Jurisdiction, Appeals Chamber, Case IT-94-1, Oct. 2, 1995. 8
Ibid., par. 116.
9
Ibid., par. 134.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
... concurred with this view inasmuch as many provisions of Protocol [II] can now be regarded as declaratory of existing rules or as having crystallized in emerging rules of customary law, but not all. The list in Article 4 of the Statute comprises serious violations of the fundamental humanitarian guarantees which are recognized as part of international customary law. Saat ini telah terdapat praktik negara dalam jumlah cukup banyak yang secara konsisten menuntut adanya perlindungan Hukum Humaniter Internasional dalam konflik bersenjata non-internasional. Dikarenakan sebanyak 157 negara telah menjadi peserta dari Protokol Tambahan II ini, maka dapat dikatakan bahwa walaupun tidak secara keseluruhan menjadi Hukum Kebiasaan Internasional, Protokol Tambahan II ini telah diterima secara umum. Namun, Hukum Kebiasaan Internasional lebih luas daripada aturan-aturan dalam Protokol Tambahan II ini. Praktik-praktik yang telah ada di kalangan negara-negara telah membentuk aturan Kebiasaan internasional yang lebih rinci daripada Protokol Tambahan II.10 Walaupun kehadiran Pasal 3 Bersama dianggap penting, namun pasal tersebut hanya memberikan kerangka yang sangat dasar berupa standar-standar minimum. Untuk itu, kehadiran Protokol Tambahan II merupakan pelengkap yang berguna bagi Pasal 3 tersebut. Walaupun Protokol Tambahan II tidak memuat ketentuan serinci ketentuan dalam Protokol Tambahan I, sehingga untuk beberapa hal masih harus merinci pada ketentuan Protokol Tambahan I dan hukum kebiasaan internasional. Adapun untuk mengetahui apakah Pasal 3 Bersama merupakan Hukum Kebiasaan Internasional atau bukan, dapat dilihat dari dua unsur, yaitu praktik di kalangan Negara-negara (usus) dan keyakinan bahwa praktik tersebut diwajibkan, dilarang, atau diperbolehkan demi hukum (opinio juris sive necessitatis).11 Pada awalnya, ICRC mengajukan suatu definisi yang luas mengenai kriteria substansi yang dimaksud dengan konflik bersenjata non-internasional, yaitu adanya suatu konfrontasi antara angkatan bersenjata atau kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir yang dipimpin oleh komandan yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, yang mana kelompok tersebut harus memiliki dengan derajat minimum sebagai suatu organisasi. Namun 10
Jean-Marie Henckaerts, “Studi (kajian) tentang Hukum Humaniter Internasional Kebasaan: Sebuah Sumbangan bagi Pemahaman dan Penghormatan terhadap Tertib Hukum dalam Konflik Bersenjata,”International Review of the Red Cross, vol. 87, no. 857, Maret 2005. 11
Pengadilan Internasional, Continental Shelf Case (Libyan Arab Jamahiriya v. Malta) [Kasus Continental Shelf (Jamahiriya Arab Libya versus Malta)], Judgment (Keputusan), 3 Juni 1985, ICJ Reports 1985 (Laporan Pengadilan Internasional 1985), hlm. 29-30, alinea 37.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
usulan ini sulit diterima secara konsensus. Oleh karena itu terdapat sejumlah usulan-usulan lain, dan akhirnya ada tiga kriteria yang dapat diterima oleh para pihak yang berunding untuk menentukan unsur-unsur adanya suatu konflik non-internasional, yaitu : 1) Adanya Komando yang Bertanggung Jawab terhadap Anak Buahnya Operasi Militer Aceh yang dilakukan berdasarkan Keppres No. 28 Tahun 2000 tersebut dipimpin oleh Presiden sebagai Penguasa Darurat Militer Pusat (PDMP). Kemudian dalam Badan Pelaksanaan Hariannya dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan dibantu oleh para menteri lainnya.12 Kemudian untuk tingkat daerah, pelaksanaan Darurat Militer ini dipimpin oleh PDMD Mayor Jenderal (Mayjend) TNI Endang Suwarna yang dibantu oleh Gubernur Provinsi NAD, Kepala Kepolisian Daerah NAD, dan Kepala Kejaksaan Tinggi NAD.13 Sementara itu dari sisi GAM, GAM memiliki struktur organisasi yang mirip dengan suatu negara. Struktur pemerintahan ini dibentuk karena GAM memandang dirinya sebagai perwakilan yang sah dari masyarakat Aceh. Struktur organisasi GAM secara umum terbagi atas kepemimpinan di tingkat tinggi (top leadership) yang ada di pengasingan, dan pemerintahan di tingkat menengah (midlevel leadership), pasukan, anggota dan basis dukungan di Aceh. Setelah beberapa perubahan dari sejak awal dibentuk pada tahun 1976-1979, struktur organisasi yang berlaku saat ini, berdasarkan Deklarasi Stavanger tahun 2002, kepemimpinan di tingkat tinggi dipegang oleh Zaini Abdullah sebagai menteri luar negeri dan Malik Mahmud sebagai Perdana Menteri.14 GAM di Aceh dapat dibagi atas pemerintahan sipil dan struktur militer. Sistem organisasi sipil GAM merupakan hasil interpretasi terhadap sistem kesultanan yang dianut ketika Aceh masih berbentuk kesultanan yang independen. Posisi tertinggi dipegang oleh Hasan di Tiro sejak tahun 1976. Para pemimpin GAM itu pada umumnya disebut dengan jabatan wali negara. Unit administratif terbesar di bawah kekuasaan wali negara adalah Nanggroe (propinsi) yang dipimpin oleh gubernur (wali Nanggroe) dan dibantuk oleh 12
Indonesia (e), Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2003, Keputusan Presiden tentang Pernataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, LN No. 54, Pasal 2. 13
Ibid., Pasal 3.
14
Kirsten E. Schulze, The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization – Policy Studies 2, (Washington: East West Center, 2004), hlm. 11.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
panglima Nanggroe yang merupakan panglima militer. Nanggroe terdiri atas beberapa distrik (sagoe) yang dipimpin oleh kepala distrik (ulee sagoe) dan juga dibantuk oleh panglima militer distrik (panglima sagoe). Setiap sagoe terbagi atas beberapa desa yang dipimpin oleh kepala desa (geutjhik) yang dipimpin oleh seorang wakil (waki) dan empat orang tetua (tuha puet). Desa merupakan unit terendah dalam struktur administratif. Berdasarkan Deklarasi Stavanger 2002, terjadi perubahan dalam struktur sipil ketika para pemimpin GAM di Swedia menjadi pemerintah negara Aceh dalam pengasingan. Tingkat administrasi tertinggi adalah wilayah yang dipimpin oleh seorang gubernur, dibantu dengan panglima wilayah dan kepala polisi wilaya (ulee bentara). Setiap wilayah terdiri atas empat distrik/daerah, yang terbagi atas beberapa sagoe. Unit terendah adalah desa.15 Sedangkan struktur militer GAM terdiri atas panglima TNA (Tentara Negara Aceh) yang membawahi 17 panglima wilayah. Panglima wilayah ini bertanggung jawab atas empat panglima daerah. Panglima daerah membawahi panglima sagoe. Panglima sagoe ini mengatur pasuka di dalam kelompok-kelompok. Secara faktual, mekanisme jalur komando tidak selalu melewati panglima TNA sebagai pimpinan tertinggi militer. Pimpinan tertinggi GAM di pengasingan kerap melakukan kontak langsung kepada panglima wilayah yang ebrgerak di lapangan tanpa sepengetahuan dari Panglima TNA. Mekanisme ini kemudian membentuk suatu struktur triangular yang merupakan bagian dari strategi jika sewaktu-waktu terjadi serangan terhadap Panglima TNA yang pada kenyatannya, mekanisme ini kerap menimbulkan kekacauan komando.16 2) Kelompok Bersenjata yang Terorganisir Tersebut dapat Melakukan Pengawasan terhadap Sebagian Wilayah Nasional Dalam Keppres No. 28 Tahun 2003 di Pasal 1 di muat bahwa seluruh wilayah Provinsi NAD dinyatakan dalam Keadaan Bahaya dengan tingkatan Keadaan Darurat Militer. Jadi, sebagian wilayah nasional yang dimaksudkan di sini adalah Provinsi NAD iu sendiri. Dalam hal ini, sebagaimana dikemukakan pada poin sebelumnya bahwa pengusaan di lapangan terhadap provinsi NAD tersebut dipimpin oleh PDMD Mayjen
15
Ibid., hlm 12-13.
16
Ibid., hlm 18.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
Endang Suwarna yang memimpin kelompok TNI/Polri dalam Darurat Militer di Aceh ketika itu. Kemudian dari pihak GAM tercatat hingga periode pertengahan tahun 2003, GAM memiliki sejumlah anggota yang tersebar di delapan daerah, yaitu Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tengah, dan Aceh Tenggara. Jumlah anggota GAM hingga periode tersebut mencapai lebih dari 5.500 orang.17 3) Mampu untuk Melaksanakan Protokol Tambahan II. Dari Pihak TNI/Polri sendiri, telah dinyatakan secara eksplisit oleh KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu yang menyatakan seluruh anggota GAM yang tertangkap akan dijadikan tawanan perang TNI, dimana aturan mengenai tawanan perang jelas diatur dalam Hukum Humaniter Internasional.18 Kesadaran pihak TNI tentang penghormatan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan dalam konflik non-internasional yang secara khusus tercantum dalam Pasal 3 Bersama antara lain juga nampak dalam upaya TNI untuk mengundang ICRC dan Palang Merah Indonesia (PMI) untuk mengorganisir penyebaran isi dan aturan-aturan dasar dari Hukum Humaniter Internasional kepada prajurit TNI/Polri sebelum diterjunkan di Aceh ketika itu. Sesi pertama dari upaya tersebut dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 2003 di Lhokseumawe. Materi tentang ‘Prosedur Operasional Standard’ (Standard Operational Procedures/SOPs) tentang kegiatan organisasi Palang Merah, yang dikembangkan PMI bekerjasama dengan ICRC, telah disebarkan ke semua pos-pos militer.19 Berdasarkan penjabaran-penjabaran tersebut, maka konflik antara RI dengan GAM memenuhi kriteria sebagai subjek terhadap konflik bersenjata non-internasional. Maka itu, dalam pelaksanaannya, harus tunduk dan berdasar kepada Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM. Hukum Humaniter Internasional itu meliputi Pasal 3 Bersama Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II Tahun 1977. Indonesia telah meratifikasi keempat Konvensi Jenewa Tahun 1949, maka Pasal 3 Bersama Konvensi Jenewa berlaku bagi Indonesia. Kemudian, walaupun Indonesia belum meratifikasi Protokol Tambahan II Tahun 17
Ibid.
18
Lina A. Alexandra, Op Cit.
19
Ibid.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
1977, namun berdasarkan kriteria Hukum Kebiasaan Internasional sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka Indonesia terikat dengan Protokol Tambahan II sebagai Hukum Kebiasaan Internasional. 2.2.
Perlindungan Penduduk Sipil berdasarkan Prinsip Pembedaan Adanya pengakuan atas aplikasi hukum konflik bersenjata non-internasional dalam
Operasi Militer Aceh secara eksplisit juga dapat dilihat dari pernyataan KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu yang menyatakan seluruh anggota GAM yang tertangkap akan dijadikan tawanan perang TNI, dimana aturan mengenai tawanan perang jelas diatur dalam Hukum Humaniter Internasional.20 Operasi Militer yang merupakan suatu konflik bersenjata noninternasional ini, harus dilaksanakan sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM. Hukum Humaniter Internasional, dalam hal ini Pasal 3 Konvensi Jenewa yang memuat ketentuan standar minimum kemanusiaan dan Protokol Tambahan II Tahun 1977. Memang, secara formal, Indonesia tidak terikat padal Protokol Tambahan II Tahun 1977 ini. Namun, dikarenakan kehadiran Protokol Tambahan II Tahun 1977 ini bertujuan untuk mendukung dan mengembangkan Pasal 3 Bersama Konvensi Jenewa 1949, maka setidaknya dalam praktek pelaksanaan konflik non-internasional, kedua pihak tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam protokol ini, terutama Pasal 13 dalam hal perlindungan penduduk sipil. Menurut Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan RI, Sudrajat, hal yang perlu dilakukan untuk meminimalkan jatuhnya korban sipil dan pelanggaran HAM antara lain adalah dengan ‘mengirimkan tentara profesional, anggaran yang cukup, disiplin tentara yang baik, dan rencana operasi yang tepat.’ Selain itu, ditekankan pula tentang perlunya aturan pelibatan perang (rules of engagement) yaitu adanya aturan dalam perang serta sanksi hukum terhadap personil militer yang melanggar aturan.21 Selain itu, beberapa hari menjelang dilaksanakannya Operasi Terpadu di Aceh, Wakil Presiden RI Hamzah Haz menegaskan bahwa pemerintah melakukan operasi tersebut semata-mata untuk memulihkan kondisi rakyat dan darah Aceh dari gangguan keamanan yang dilakukan oleh pemerintah dan karena itu rakyat Aceh tidak perlu khawatir.22 20
Ibid.
21
Kompas, 30 April 2003.
22
Kompas,12 Mei 2003.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
Adanya kesadaran tentang kemungkinan pelanggaran HAM juga diperkuat dengan pernyataan Menteri kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra bahwa pemerintah memahami bahwa penggelaran kekuatan militer secara besar-besaran berpotensi untuk menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM. Penentuan batasan waktu pelaksanaan operasi dipandang merupakan salah satu upaya nyata terhadap penghormatan terhadap HAM.23 Kesadaran pihak TNI tentang penghormatan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan dalam konflik non-internasional yang secara khusus tercantum dalam Pasal 3 Bersama antara lain juga nampak dalam upaya TNI untuk mengundang ICRC dan Palang Merah Indonesia (PMI) untuk mengorganisir penyebaran isi dan aturan-aturan dasar dari Hukum Humaniter Internasional kepada prajurit TNI sebelum diterjunkan di Aceh ketika itu. Sesi pertama dari upaya tersebut dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 2003 di Lhokseumawe. Materi tentang ‘Prosedur Operasional Standard’ (Standard Operational Procedures/SOPs) tentang kegiatan organisasi Palang Merah, yang dikembangkan PMI bekerjasama dengan ICRC, telah disebarkan ke semua pos-pos militer.24 Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, pemahaman tentang pentingnya perlindungan penduduk sipil dalam perang nampaknya cukup terlihat walaupun tidak secara eksplisit. Beberapa penekanan antara lain mengacu pada pernyataan bahwa Operasi Terpadu di Aceh ini ditujukan untuk menenangkan hati dan pikiran rakyat Aceh di samping berbagai seruan dari Panglima TNI untuk mengingatkan para prajurit TNI untuk menghindari jatuhnya korban sipil ketika menyerang anggota GAM. Karena itu, dalam pelaksanaannya, para pihak, terutama dalam hal ini TNI sebagai aktor pelaksana dari kebijakan negara seharusnya melaksanakan prinsip-prinsip perlindungan terhadap penduduk sipil berdasarkan Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM. Hukum Humaniter Internasional itu meliputi Pasal 3 Bersama Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II Tahun 1977. Selain itu, para pihak juga harus menghargai hak-hak asasi manusia, hak-hak anak, dan hak-hak perempuan sebagaimana diatur dalam ICCPR, CRC, CEDAW, UNCAT, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. Pasal 3 Bersama Konvensi Jenewa memuat standar minimum kemanusiaan yang pada intinya melarang dilakukannya:
23
Suara Pembaruan, 14 Mei 2003.
24
Lina A. Alexandra, Op Cit.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
1) Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengurungan, perlakuan dan penganiayaan; 2) Penyanderaan; 3) Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat; 4) Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab. Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Sebagai contoh, hasil temuan Kontras memuat bahwa per tanggal 18 Juni disebutkan jumlah korban sipil yang tewas mencapai 108 jiwa, korban luka-luka 53 jiwa serta 58 orang dinyatakan hilang. Kekhawatiran banyak pihak akan jatuhnya korban dari kalangan sipil menjadi kenyataan sepanjang operasi pemulihan keamanan.25 Kemudian dari tujuh puluh peristiwa yang diamati oleh Tim Ad Hoc Aceh, dicatat terkait dengan Pasal 3 Bersama ini 61 orang meninggal, 6 orang hilang secara paksa, 91 orang luka-luka, dan 13 orang diperkosa.26 Dalam Protokol Tambahan II Tahun 1977 dimuat ketentuan bahwa hors de combat sepenuhnya mendapat perlindungan dan pihak dalam konflik tidak boleh menerapkan strategi barbarism yang dapat menghancurkan secara total tanpa membedakan sasaran yang legitimate (militer) dan sasaran yang non-legitimate (sipil). Hal ini terkait dengan prinsip pembedaan penduduk sipil. Dalam pelaksanaan Darurat Militer, diberlakukan sistem KTP Merah-Putih untuk penduduk Aceh yang fungsinya kurang lebih untuk memisahkan antara penduduk sipil dan GAM. Kala itu, Endang Suwarna menginstruksikan kepada seluruh masyarakat Aceh untuk membekali diri dengan KTP Merah Putih. KTP khusus warga Aceh ini berukuran sekitar 13x10 cm. Di bagian muka berwarna merah dan putih, lengkap dengan gambar Garuda dan isi Pancasila. Setelah ditandatangani camat, KTP Merah Putih
25
Kontras, “Siaran Pers No. 11/SP-Kontras/VI/03 tentang Satu Bulan Setelah Darurat Militer di Aceh: Quo Vadis Aceh?” diakses melalui http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=18 pada 2 Juli 2013. 26
Komnas HAM, “Laporan Tim Ad Hoc Aceh,” (Jakarta: Komisi Nasional HAM, 2004), hlm. 321.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
diverifikasi oleh komandan Koramil.27 Cara mendapatkannya pun agak rumit sebagaimana dimuat dalam kutipan artikel di bawah ini:28 ... Bayangkan, untuk mendapatkan secarik kertas yang dinamakan KTP MP, orang Aceh harus melewati beragam hal dan institusi yang telah ditunjuk oleh penguasa DARMIL (Darurat Militer). Setelah mengambil blangko yang sudah diisi oleh Keuchik (kepala desa), blangko kita bawakan ke Polsek, di sana kita harus antri dengan tertib karena semua warga pada waktu itu secara massal mengurusi KTP MP. Di Polsek ini kita akan berhadapan lansung dengan Kapolsek untuk dimintai keterangan ini-itu dan (bayangkan bagaimana capeknya seorang Kapolsek untuk melayani rakyat). Bila keterangan yang kita berikan tidak berbelit-belit dan nama kita tidak tercantum dalam DPO Polsek, maka urusannya akan mudah (tapi tunggu dulu bagi namanya tercantum atau ada kemiripan nama dengan DPO, silakan bermalam di Polsek untuk proses selanjutnya). Setelah selesai di Polsek, dan mendapatkan tanda tangan Kapolsek, KTP MP masih harus dibawakan lagi ke Institusi militer yaitu, Koramil. di Koramil tak jauh beda dengan Polsek, prosesnya tak sama. yang membedakannya cuma bentuk tanda tangan. Danramil akan menandatangani KTP MP dengan senang hati jika proses screening terlewati dengan mulus. namun tak sedikit yang harus mendekam di Koramil karena namanya tercantum dalam DPO Militer. Bila di dua tempat tersebut di atas sudah kelar dan tidak bermasalah, maka untuk terakhir kalinya anda berurusan dengan birokrasi. Maka bawalah KTP MP itu ke kantor kecamatan untuk distempelkan oleh pihak kecamatan. tentu setelah Pak Camat menandatanganinya. Jika pak camat sudah memberi cap kecamatan, maka sahlah Anda sebagai warga yang ‘bersih lingkungan’ dari kegiatan makar terhadap NKRI (meskipun tak sedikit yang kecolongan). .... Pada awalnya, diasumsikan bahwa kebijakan KTP Merah Putih ini adalah untuk mendukung praktik prinsip pembedaan yang mencegah terjadinya serangan membabi-buta. Namun dalam praktik ternyata, KTP Merah Putih ini menjadi semacam diskriminasi bagi rakyat Aceh. Hal ini terlihat dengan kewajiban untuk mengganti KTP biasa menjadi KTP Merah Putih pula bagi penduduk Aceh yang berada di luar Aceh. Bahkan, pejabat-pejabat di beberapa kota juga mengeluarkan Surat Edaran agar mengawasi semua orang Aceh yang berada di wilayahnya.29
27
Radzie Gade, “19 Maret 2003 Sejarah Kelam”, diakses http://www.acehtraffic.com/2012/05/19-maret-2003-sejarah-kelam-aceh.html pada 2 Juli 2013.
melalui
28
Idrus Bin Harun, “Aceh Mengindonesian Diri dengan KTP Merah Putih,” diakses melalui http://sejarah.kompasiana.com/2011/04/26/aceh-mengindonesiakan-diri-dengan-ktp-merah-putih-360015.html pada 2 Juli 2013. 29
Andreas Harsono, “Republik Indonesia Kilometer http://www.andreasharsono.net/2003_12_01_archive.html pada 2 Juli 2013.
Nol,”
diakses
melalui
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
Kemudian dalam Pasal 4 Protokol Tambahan II ini dimuat pula mengenai larangan melakukan pemerkosaan, pemaksaan tindakan prostitusi, atau segala macam penyerangan yang tidak patut, perbudakan dalam segala bentuk, perampasan, dan ketentuan mengenai perlindungan untuk anak-anak.30 Pada Pasal 7 hingga 12 diatur mengenai perlindungan bagi mereka yang terluka, sakit, mengalami kehancuran, dan perlindungan terhadap pekerja kesehatan dan sosial.31 Pasal 14 hingga 17 merupakan aturan perlindungan yang baru karena memberikan perlindungan yang baru karena berusaha memberikan perlindungan secara menyeluruh terhadap populasi sipil, termasuk fasilitas-fasilitas umum yang vital, keagamaan, kebudayaan, dan larangan untuk melakukan pemindahan secara paksa kecuali untuk alasan keamanan.32 Terakhir, dalam Pasal 18, yang juga merupakan Pasal yang kontroversial yang memberikan kemungkinan bagi ICRC untuk memberikan bantuan kemanusiaan, selain itu juga adanya inisiatif dari kaum sipil untuk memberikan bantuan bagi mereka yang terluka, sakit, atau mengalami kehancuran. Bahkan dalam paragraf keduanya diberikan kemungkinan bagi badan-badan internasional untuk memberikan bantuan dalam situasi ketika masyarakat sipil mengalami kondisi yang menderita karena adanya kondisi kekurangan materi yang vital untuk mempertahankan hidup seperti bahan makanan. Namun, ditegaskan juga bahwa pemberian bantuan tersebut harus mendapat persetujuan lebih dahulu dari negara penerima.33 Sejak Operasi Terpadu yang memfokuskan pada operasi keamanan mulai digelar, terdapat dua masalah penting terkait dengan aplikasi hukum untuk konflik bersenjata noninternasional, yaitu:34 1) masalah mendasar tentang bagaimana melakukan pembedaan antara kaum sipil biasa dengan kelompok pemberontak sehingga jumlah korban dari pihak sipil dapat diminimalisir; dan 2) pihak militer harus dapat menjamin bahwa tindakan penyerangan yang dilakukan terhadap GAM tidak akan menambah penderitaan rakyat Aceh. 30
United Nations (b), Op Cit., Pasal 4.
31
Ibid., Pasal 7-12.
32
Ibid., Pasal 14-17.
33
Ibid., Pasal 18.
34
Ibid.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
Tujuan Prinsip Pembedaan ini dalam hukum internasional adalah untuk melindungi semua peserta perang, baik yang merupakan kombatan maupun juga penduduk sipil. Pembedaan ini perlu diadakan, untuk mengetahui siapa yang dapat/boleh dijadikan objek kekerasan dan siapa yang harus dilindungi. Dengan kata lain, adanya prinsip pembedaan tersebut dapat diketahui siapa yang boleh turut dalam permusuhan, sehingga dijadikan objek kekerasan dan siapa yang harus dilindungi karena tidak turut serta dalam permusuhan.35 Hukum membatasi dasar kemanusiaan hak-hak pihak yang terlibat pertikaian untuk menggunakan beberapa senjata dan metode berperang tertentu serta memberi perlindungan kepada korban maupun harta benda yang terkena akibat pertikaian bersenjata. Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan the civilian population and individual civilians shall enjoy general protection against danger arising from military operation.36 Asas umum ini memerlukan penjabaran lebih jauh ke dalam sejumlah asas pelaksanaan (principles of application), yakni:37 1)
Pihak-pihak yang bersengketa, setiap saat, harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objekobjek sipil
2)
Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perorangan, tidak boleh dijadikan objek serangan walaupun dalam hal melakukan reprisals (pembalasan)
3)
Tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil adalah dilarang
4)
Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidaktidaknya, untuk menekan kerugian atau kerusakan yag tak disengaja menjadi sekecil mungkin
35
Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
36
Jean Pictet, Op Cit., hlm. 67.
37
Ibid.
hlm. 3.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
5)
Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.
Selain ketentuan Hukum Humaniter Internasional, negara juga wajib untuk melindungi HAM bagi warga negaranya dengan berbagai konvensi, yaitu ICCPR, CRC, CEDAW, dan UNCAT yang mengatur mengenai hk-hak sosial dan politik, hak anak-anak, hak perempuan, dan larangan untuk melakukan penyiksaan. Selain itu ada pula UndangUndang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Terhadap kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi, akan dibentuk suatu pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimuat dalma Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. Pelanggaran HAM berat ini dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusian. Kemudian yang termasuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan adalah sebagai berikut:38 Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa : a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asa) ketentuan pokok hukum intemasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasaan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, efnls, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah di,akui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; 38
Indonesia (f), Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, Undang-Undang tentang Pengadilan HAM, LN No. 208, TLN No. 4026, Pasal 9.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
i. j.
2.3.
penghilangan orang secara paksa; atau kejahatan apartheid
Pelanggaran-Pelanggaran Hukum dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, Komisi Nasional HAM (Komnas
HAM) memiliki fungsi pengkajian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi mengenai HAM.39 Dalam kaitannya dengan Operasi Militer Aceh periode 2003-2004 ini, Komnas HAM menjalankan fungsi pemantauannya dengan dibentuknya suatu Tim Ad Hoc Komnas HAM. Dalam hal pemantauan, Komnas HAM berkewajiban untuk melakukan pengamatan peaksanaan hak asasi manusia dan menyusun laporan hasil pengamatan tersebut. Pada kasus ini, Komnas HAM membentuk suatu Tim Ad Hoc beranggotakan tiga belas orang untuk menjalankan fungsi pemantauan di Aceh yang berangkat secara bergantian ke lapangan, masing-masin sejumlah lima orang.40 Ada pun hasil dari laporan tersebut dijabarkan beberapa peristiwa yang diamati, yaitu:41 1) Pembunuhan di Luar Proses Hukum (extra judicial execution) 2) Penyiksaan dan/atau Penganiayaan (torture) 3) Penghilangan Orang secara Paksa (enforced disappearances); 4) Pemindahan Penduduk secara Paksa (enforced displacement) 5) Penangkapan dan Penahanan Sewenang-wenang (arbitrary arrest and detention) 6) Pembakaran dan Perusakan Fasilitas Publik dan Objek Vital Tim Ad Hoc Aceh menemukan banyak terjadinya pembakaran, perusakan dan penghancuran gedung-gedung sekolah, rumah penduduk, jembatan, tiang-tiang listrik, rumah ibadah, rumah sakit, dan prasarana umum lainnya. Perusakan fasilitas publik tersebut juga termasuk ke dalam kategori pelanggaran Hukum Humaniter Internasional.
39
Indonesia (a), Op Cit., Pasal 76 ayat (1).
40
Amal Ihsan, “Tim Ad Hoc Komnas HAM Akan Investigasi ke Aceh”, Tempo Interaktif 4 Juni 2003, diakses melalui http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2003/06/04/brk,20030604-42,id.html pada 1 Juli 2013. 41
Komisi Nasional HAM, “Laporan Tim Ad Hoc Aceh,” (Jakarta: Komisi Nasional HAM, 2004), hlm.
106-108.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
7) Perkosaan (rape) 8) Pelecehan Seksual (sexual harrasment) 9) Kuburan Massal (mass grave) 10) Pengungsi Internal (Internal Displaced Persons/IDPs) 11) Milisi (militia) 12) Penyanderaan 13) Pungutan Liar Dari berbagai peristiwa yang ditemukan oleh Tim Ad Hoc Aceh selama masa Darurat Militer I, dapat dikelompokkan berbagai jenis pelanggaran didasarkan perbuatannya, yaitu:42 1) penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (9 kasus); 2) penyiksaan (16 kasus); 3) penghilangan paksa (6 kasus); 4) perlakuan tidak manusiawi (30 kasus); 5) pelecehan seksual dan pemerkosaan (9 kasus); 6) pengusiran dan pengunsi (8 kasus); 7) pembunuhan di luar hukum (19 kasus); 8) penyerangan membabi-buta (3 kasus); 9) perusakan/pemusnahan kepemilikan pribadi (7 kasus); 10) perampasan dan penjarahan kepemilikan priadi (1 kasus); dan 11) Perusakan kepemilikan dan bangunan publik (1 kasus). Paling tidak ada 70 peristiwa (kasus) yang dipantau di tujuh wilayah yang terjangkau kegiatan pemantauan yang tersebar di tujuh wilayah kabupaten dan kotamadya: Aceh Besar (1 kasus), Banda Aceh (2 kasus), Bireuen (25 kasus), Aceh Utara (18 kasus), Lhok Seumawe (5 kasus), Aceh Timur (9 kasus), Langsa (5 kasus), dan Aceh Tengah/Takengon (3 kasus), serta satu kasus yang kurang jelas tempat kejadianna. Keterangan tentang peristiwa itu diperoleh dari sumber informasi primer (110 orang saksi) dan berbagai sumber informasi sekunder. 43 42
Ibid., hlm. 319.
43
Ibid., hlm. 318.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
4.2.4. Evaluasi terhadap Pelaksanaan Operasi Militer Aceh Periode 2003-2004 Darurat Militer yang dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2003 hingga 19 Mei 2004 ini memiliki dampak yang cukup besar pada kondisi Provinsi NAD. Peristiwa ini bukanlah peristiwa yang dipandang biasa dalam sejarah. Terdapat beberapa hal yang dianggap sebagai masalah dari pelaksanaan Operasi Militer ini. Pertama, penyalahgunaan wewenang. Praktik penyalahgunaan wewenang itu justru dilakukan oleh TNI/Polri. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah kasus pungutan liar atas kendaraan-kendaraan yang lewat di jalan utama Banda Aceh ke Medan dan tindakan peminjaman kendaraan pribadi secara paksa oleh aparat. Penyalahgunaan wewenang juga dpaat dilihat dalam kegiatan penyaluran bantuan untuk korban, sebagaimana dilaporkan bahwa bantuan yang diterima oleh korban tidak sesuai dengan apa yang dilaporkan secara resmi oleh birokrasi setempat. Kedua, minimnya penerapan prinsip perlindungan penduduk sipil berdasarkan Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM. Berdasarkan analisis sebelumnya, dapat dilihat berdasarkan besarnya jumlah korban bahwa prinsip-prinsip yang terkandung dalam Hukum Humaniter dan Hukum HAM yang berfungsi untuk melindungi hak-hak penduduk sipil, terutama prinsip pembedaan penduduk sipil dan kombatan tidak terimplementasi secara baik. Kemudian juga tindakan-tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan sewenangwenang, bahkan kecenderungan untuk membunuh, bertentangan dengan hukum. Seharusnya pihak TNI/Polri menindak secara hukum berdasarkan putusan pengadilan. Ketiga, tidak jelasnya indikator keberhasilan Operasi Terpadu. Keberhasilan Darurat Militer/Operasi Terpadu tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan operasi militer untuk mengeliminasi kekuatan GAM saja, tetapi seharusnya lebih ditentukan oleh berfungsinya kembali mekanisme pemerintahan lokal dan normalisasi situasi keamanan dan ketertiban hukum. Namun, pemerintah tidak secara jelas menjabarkan tujuan dan tahapan masingmasing Operasi Pemulihan Keamanan, Operasi Kemanusian, Operasi Pemantapan Jalannya Pemerintahan Daerah, dan Operasi Penegakan Hukum.Ketiga operasi terakhir tersebut jelas hanya dijalankan untuk menanggulangi ekses dan/atau memperkuat Operasi Pemulihan Keamanan tanpa ditujukan untuk menyelesaikan persoalan Aceh secara menyeluruh. Keempat, kerusakan sarana publik selama masa Operasi Militer. Pemerintah tidak melakukan assessment dan perkiraan terhadap kemungkinan terjadinya perusakan fasilitas umum. Ini terlihat dari tidak strategi operasi militer untuk melindungi dan meminimalisasi
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
kerusakan pada fasilitas-fasilitas umum. Oleh karena itu, Pemerintah sulit untuk memberikan respon yang cepat dan memadai untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi. Kelima, penegakan hukum terhadap sejumlah pelaku. Terhadap sejumlah kasus dan peristiwa yang dianggap sebagai pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas, sebagai hasil temuan dari Tim Ad Hoc Aceh, seharusnya hasil temuannya dapat menjadi hasil penyelidikan untuk menemukan bukti permulaan yang cukup dan diserahkan kepada Penyidik Kejaksaan Agung sebagaimana dimuat dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. Namun berdasarkan keterangan dari Pihak Komnas HAM, hasil temuan Tim Ad Hoc Aceh tersebut tidak dilanjutkan ke Kejaksaan untuk dijadikan hasil penyelidikan dan dilanjutkan oleh penyidik. Hal ini dikarenakan menurut Tim Ad Hoc Aceh dalam temuannya, penyidik tidak menemukan unsur pelanggaran HAM Berat yang cukup untuk dilanjutkan sebagai kategori Pelanggaran HAM Berat. Ini merupakan hal yang aneh, karena dari hasil laporannya, Tim Ad Hoc Aceh jelas memuat kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai Pelanggaran HAM Berat. Kemudian, dalam Memorandum of Understanding Helsinki (MoU Helsinki) yang dilakukan antara perwakilan pemerintah Indonesiadan pihak GAM pada tanggal 15 Agustus 2005, disepakati dalam poin 2.2. bahwa akan dibentuk sebuah pengadilan HAM untuk Aceh dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Hingga kini pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu di Aceh masih menjadi wacana untuk diselesaikan. Pembentukan Pengadilan HAM dan KKR Aceh merupakan janji para pihak saat menandatangani MoU Helsinki. Kemudian, Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) mengamanahkan agar setahun setelah Undang-Undang No. 11 tahun 2006 itu diundangkan, KKR sudah berlaku efektif, namun hingga kini proses pembentukannya belum juga tampak akan segera dibahas pihak eksekutif dan legislatif di Aceh. Para elit politik Aceh beralasan, KKR Aceh akan dibentuk setelah ada KKR nasional. Karena secara legislasi, KKR Aceh disebutkan sebagai bagian dari KKR nasional. Padahal, Undang-Undang No. 27 tahun 2004 tentang KKR sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum lagi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sampai sekarang, pemerintah belum juga mengirimkan rancangan undang-undang KKR yang baru ke DPR.44
44
Evi N. Zain, “KKR dan Pengadilan HAM Aceh: Preh Boh Ara Hanyot,” diakses melalui http://www.koalisi-ham.org/acehdalamberita/kkr-dan-pengadilan-ham--aceh-preh-boh-ara-hanyot/index.php pada 2 Juli 2013.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
Secara legislasi, norma-norma HAM universal telah diadopsi dalam hukum nasional pada pemerintahan Presiden BJ Habibie. Antara lain dengan diundangkannya UndangUndang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat prinsip pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang sejalan dengan norma internasional. Hal itu ditunjukkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang memuat bahwa setiap orang berhak menggunakan semua hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia. Kemudian di pasal 8 menyebutkan, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab pemerintah. Pengusutan dan Pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM masa lalu harus segera dilakukan. Penundaan dengan berbagai dalih dan alasan merupakan sikap ambigu yang dapat membingungkan masyarakat. Sikap demikian juga merupakan pembiaran yang akan berdampak buruk serta menyebabkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap proses berbangsa dan bernegara. Penundaan penuntutan, pengungkapan serta pemberian sanksi terhadap kejahatan pelanggaran HAM masa lalu akan menginspirasi mereka yang kuat dan berkuasa untuk menggunakan cara apa saja, termasuk melanggar HAM, demi kekalnya kekuasaannya. Bila tidak ada penuntutan yang serius dan pengungkapan peristiwa kejahatan secara patut, maka dapat menjadi inspirasi pula bagi para penjahat kemanusiaan untuk mengulangi perbuatan pidana serupa di masa datang. III.
Penutup
3.1.
Simpulan Pertama, Hukum Humaniter Internasional mengatur mengenai konflik bersenjata non-
internasional dalam Pasal 3 Bersama Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II Tahun 1977. Konflik bersenjata non-internasional dalam Pasal 3 Bersama Konvensi Jenewa tahun 1949 disebut sebagai konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, terjadi ketika terdapat kekerasan bersenjata yang berkepanjangan antara otoritas pemerintah dengan kelompok bersenjata yang terorganisir atau antara kelompok bersenjata yang terorganisir dalam wilayah suatu negara. Kemudian dalam Protokol Tambahan II Tahun 1977 diatur bahwa konflik bersenjata non-internasional merupakan konflik yang terjadi di wilayah salah satu Pihak Peserta Agung antara angkatan bersenjatanya dengan angkatan bersenjata pemberontak atau kelompok-kelompok bersenjata pemberontak lainnya, yang terorganisir di bawah komando yang bertanggung-jawab, melaksanakan kekuasaan atas suatu bagian dari Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
wilayahnya sehingga memungkinkan mereka melaksanakan operasi-operasi militer secara terus-menerus (sustained) dan yang teratur baik (concerted) dan memungkinkan mereka melaksanakan Protokol Tambahan II. Namun, Protokol Tambahan II tidak berlaku bagi situasi wars of national liberation, yang dikategorikan sebagai konflik bersenjata internasional berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Protokol Tambahan I. Seperti Pasal 3 Bersama, konflik bersenjata non-internasional dalam Protokol Tambahan II hanya terjadi ketika situasinya mencapai tingkatan kekerasan yang membedakannnya dari ketegangan internal dan gangguan internal. Namun dalam Protokol Tambahan II dalam menilai tingkat organisasi dari para pihak, mensyaratkan bahwa kelompok bersenjata non-pemerintah mempunyai suatu tingkatan organisasi yang cukup tinggi, kelompok bersenjata tersebut harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab dan melaksanakan kekuasaan atas suatu bagian dari wilayahnya, yang memungkinkan mereka untuk melaksanakan operasi militer secara terus menerus dan yang teratur baik dan memungkinkan mereka untuk melaksanakan Protokol Tambahan II. Protokol Tambahan II juga membatasi keberlakuannya terhadap konflik bersenjata antara pasukan pemerintah dengan pasukan bersenjata pemberontak atau kelompokkelompok bersenjata terorganisir lainnya. Hal itu berarti bahwa Protokol Tambahan II tidak berlaku terhadap konflik yang terjadi antar kelompok bersenjata melawan kelompok bersenjata, yang pasukan pemerintah tidak menjadi pihak di dalam konflik tersebut. Kedua, perlindungan terhadap penduduk sipil dalam konteks konflik bersenjata noninternasional juga diberikan dalam Pasal 3 Bersama Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II Tahun 1977. Dalam Pasal 3 Bersama, diatur mengenai standar minimum kemanusiaan, yaitu dilarangnya tindakan-tindakan tertentu, yaitu: 1)
tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengurungan, perlakuan dan penganiayaan;
2)
penyanderaan;
3)
perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
4)
menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
Kemudian Protokol Tambahan II Tahun 1977 yang mendukung adanya Pasal 3 Bersama juga memberikan sejumlah ketentuan mengenai perlindungan penduduk sipil dalam konflik bersenjata non-internasional. Dalam Pasal 4 Protokol Tambahan II ini dimuat pula mengenai larangan melakukan pemerkosaan, pemaksaan tindakan prostitusi, atau segala macam penyerangan yang tidak patut, perbudakan dalam segala bentuk, perampasan, dan ketentuan mengenai perlindungan untuk anak-anak.45 Selain itu, negara juga memiliki peran dalam perlindungan penduduk sipil dalam konflik bersenjata non-internasional, yaitu dengan adanya Hukum HAM. Hukum HAM berlaku baik dalam keadaan konflik maupun damai, di antaranya lewat konvensi-konvensi terkait, yaitu ICCPR, CRC, CEDAW, UNCAT, dan hukum nasional Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ketiga, relevansi antara Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM dengan Operasi Militer Aceh periode 2003-2004, yaitu bahwa benar Operasi Militer Aceh periode 2003-2004 dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata non-internasional dalam Hukum Humaniter Internasional sebab konflik ini telah memenuhi ketiga unsur untuk dapat dikatakan sebagai konflik bersenjata non-internasional. Dikarenakan Operasi Militer Aceh periode 2003-2004 ini masuk dalam kategori konflik non-internasional, maka dalam pelaksanaannya berlaku Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM. Hukum Humaniter Internasional di sini, yaitu Pasal 3 Bersama Konvensi Jenewa yang memuat standar minimum kemanusiaan dan Protokol Tambahan II Tahun 1977. Namun disayangkan bahwa Pemerintah RI hingga saat ini belum menandatangani dan meratifikasi Protokol Tambahan II dari Konvensi Jenewa. Walau demikian, hal ini tidak berarti pemerintah RI, khususnya TNI, tidak perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur di Protokol Tambahan II tersebut. Isi Protokol Tambahan II tersebut hanya merupakan urainan secara lebih spesifik dari Pasal 3 Bersama, namun tidak selengkap yang diuraikan pada Protokol Tambahan I. Memang, di dunia internasional Protokol Tambahan II belum dapat diterima secara keseluruhan sebagai Hukum Kebiasaan Internasional karena berkaitan dengan kedaulatan negara, melainkan hanya beberapa ketentuan yang berkaitan dengan kemanusiaan saja, misalnya adalah pada Pasal 4 dan 13.
45
United Nations (b), Op Cit., Pasal 4.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
Karena itu, walaupun belum meratifikasi, Pemerintah RI dalam pelaksanaan suatu Operasi Militer harus tetap mengikuti ketentuan yang berkaitan dengan kemanusiaan sebagaimana dimuat dalam Protokol Tambahan II yang beberapa pasalnya berdasarkan praktik dipandang sebagai Hukum Kebiasaan Internasional. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya negara yang telah meratifikasi Protokol Tambahan II ini dan dapat dilihat dalam beberapa kasus, sebagai contoh pada Kasus Prosecutor v. Norman, Fafana, Kandewa di Sierra Leone46 dan pada Kasus Prosecutor v. Tadic di ICTY.47 Saat ini telah terdapat praktik negara dalam jumlah cukup banyak yang secara konsisten menuntut adanya perlindungan Hukum Humaniter Internasional dalam konflik bersenjata non-internasional. Dikarenakan sebanyak 157 negara telah menjadi peserta dari Protokol Tambahan II ini, maka dapat dikatakan bahwa walaupun tidak secara keseluruhan menjadi Hukum Kebiasaan Internasional, Protokol Tambahan II ini telah diterima secara umum. Karena itu, dalam pelaksanaannya harus diterapkan prinsip perlindungan penduduk sipil sebagaimana diberikan dalam Pasal 3 Bersama, Pasal 4 dan 13 Protokol Tambahan II Tahun1977, dan Hukum HAM, yaitu ICCPR terkait hak-hak asasi manusia, CRC terkait hakhak anak, CEDAW terkait hak-hak perempuan, UNCAT terkait larangan penyiksaan, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM demi meminimalkan jatuhnya korban, terutama penduduk sipil. Dalam laporan-laporan yang ditemukan dari pemantauan di lapangan, terutama Laporan Tim Ad Hoc Komisi Nasional HAM untuk Aceh pada tahun 2004, ditemukan sejumlah pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan ketika pelaksanaan Operasi Militer tersebut. Berdasarkan hal tersebut, disimpulkan bahwa Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM yang ada tidak diimplementasikan secara baik dan benar dalam pelaksanaan Operasi Militer Aceh periode 2003-2004 tersebut.
46
Special Court for Sierra Leone (SCSL), Prosecutor v. Norman, Fofana, Kondewa, Case No. SCSL-0414-T, Decision on Motions for Judgment of acquittal Pursuant to Rule 98, 21 October 2005. 47
ICTY, Prosecutor v. Tadic, Decision on The Defence Motion For Interlocutory Appeal on Jurisdiction, Appeals Chamber, Case IT-94-1, Oct. 2, 1995.
Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
Daftar Pustaka Buku Alexandra, Lina A. “Hukum Perang Internal: Studi Kasus Operasi Terpadu Di Aceh 2003” dalam Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia. Vol. III. No. 1. Jakarta: ELSAM. 2005. Dormann, Knut. “The Legal Situation of ‘Unlawfull/Unprevileged Combatants’“. International Review of the Red Cross. Vol. 85. .Maret 2003. Haryomataram. Pengantar Hukum Humaniter Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005. Henckaerts, Jean-Marie. “Studi (kajian) tentang Hukum Humaniter Internasional Kebasaan: Sebuah Sumbangan bagi Pemahaman dan Penghormatan terhadap Tertib Hukum dalam Konflik Bersenjata”. International Review of the Red Cross. Vol. 87. No. 857. Maret 2005. Komnas HAM, “Laporan Tim Ad Hoc Aceh”. Jakarta: Komisi Nasional HAM. 2004. Schulze, Kirsten E.. The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization – Policy Studies 2. Washington: East West Center. 2004. Vite, Sylvain. “Typology of Armed Conflicts in International Humanitarian Law: Legal Concepts and Actual Situations”. Dalam International Review of the Red Cross. Vol. 91. 2009. Hlm. 70.
Artikel Gade,
Radzie. “19 Maret 2003 Sejarah Kelam”. Diakses melalui http://www.acehtraffic.com/2012/05/19-maret-2003-sejarah-kelam-aceh.html pada 2 Juli 2013.
Harun, Idrus Bin. “Aceh Mengindonesian Diri dengan KTP Merah Putih”. Diakses melalui http://sejarah.kompasiana.com/2011/04/26/aceh-mengindonesiakan-diri-dengan-ktpmerah-putih-360015.html pada 2 Juli 2013. Harsono, Andreas. “Republik Indonesia Kilometer Nol”. Diakses http://www.andreasharsono.net/2003_12_01_archive.html pada 2 Juli 2013.
melalui
ICRC. “Kekerasan dan Penggunaan Kekuatan”. Diunduh melalui http://icrcjakarta.info/download/Kekerasan%20dan%20Penggunaan%20Kekuatan.pdf. pada 7 April 2013. Kontras. “Siaran Pers No. 11/SP-Kontras/VI/03 tentang Satu Bulan Setelah Darurat Militer di Aceh: Quo Vadis Aceh?” Diakses melalui http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=18 pada 2 Juli 2013. Zain, Evi N. “KKR dan Pengadilan HAM Aceh: Preh Boh Ara Hanyot”. Diakses melalui http://www.koalisi-ham.org/acehdalamberita/kkr-dan-pengadilan-ham--aceh-prehboh-ara-hanyot/index.php pada 2 Juli 2013. Universitas Indonesia
Naskah Ringkas
Peraturan dan Putusan Pengadilan ICTY. Prosecutor v. Tadic. Decision on The Defence Motion For Interlocutory Appeal on Jurisdiction. Appeals Chamber. Case IT-94-1. 2 Oct. 1995. Indonesia. Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2003. Keputusan Presiden tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. LN No. 54. _________.Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. Undang-Undang tentang Pengadilan HAM, LN No. 208, TLN No. 4026. Pengadilan Internasional. Continental Shelf Case (Libyan Arab Jamahiriya v. Malta) [Kasus Continental Shelf (Jamahiriya Arab Libya versus Malta)], Judgment (Keputusan). 3 Juni 1985. ICJ Reports 1985 (Laporan Pengadilan Internasional 1985). Special Court for Sierra Leone (SCSL). Prosecutor v. Norman, Fofana, Kondewa. Case No. SCSL-04-14-T. Decision on Motions for Judgment of acquittal Pursuant to Rule 98. 21 October 2005. United Nations. United Nations Charter. 1945. _________. Konvensi Den Haag IV mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. 1907 _________. Konvensi Jenewa I mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat. 1949. _________. Konvensi Jenewa II mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut. 1949. _________. Konvensi Jenewa III mengenai PerlakuanTawanan Perang.1949. _________. Konvensi Jenewa IV mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang. 1949. _________. Konvensi Jenewa. Protokol I mengenai Perlindungan Korban dalam Konflik Bersenjata Internasional. 1977. _________. Konvensi Jenewa. Protokol Tambahan II mengenai Perlindungan Korban dalam Konflik Bersenjata Non-internasional. 1977. _________. International Covenant on Civil Political Rights (ICCPR). Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. _________. Convention on the Rights of the Child (CRC). Konvensi Hak-hak Anak. _________. Convention on the Elimination of Discrimination of All Form Against Woman (CEDAW). Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. _________. United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT).Konvensi Melawan Penganiayaan.
Universitas Indonesia