PROSIDING SEMINAR NASIONAL Pendidikan Bahasa dan Sastra sebagai Media Revolusi Mental Generasi Masa Depan
© Appi-Bastra 2016 All right reserved
Penyunting: Dr. Sueb Hadi, M.Pd. Dr. Sujinah, M.Pd. Dr. Syamsul Gufron, M.Si. Drs. Yarno, M.Pd.
Desain : Samsul Anam Layout : Alif Faricha Almadina
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan
Tebal : x + 472 halaman ISBN : 978-602-72650-1-1 Cetakan Pertama, September 2016
Penerbit: Appi-Bastra Jln. Sidosermo 4 Gang 8-A Nomor 16, Surabaya Email:
[email protected]
ii | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
SAMBUTAN Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh, Marilah kita memanjatkan puji syukur alhamdulillah ke hadirat Allah SWT, karena berkah dan hidayah-Nya kita dapat melaksanakan acara launching dan Seminar Nasional Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra (APPI BASTRA). Di samping itu saya patut bersyukur karena ada alumni yang memiliki gagasan atau pemikiran untuk melahirkan organisasi profesi ”APPI BASTRA” ini. Saya berkeyakinan dalam masa yang akan datang organisasi profesi ini akan bermanfaat bagi institusi kita, baik perguruan negeri maupun perguruan tinggi swasta. Hadirin yang berbahagia. Pendidikan bahasa dan sastra merupakan bidang ilmu yang mengadung nilai budaya sangat tinggi. Hal ini disebabkan bahasa dan sastra itu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan budaya. Semua hasil karya cipta manusia muncul harus dituangkan dengan bahasa yang baik. Karena bahasa dan sastra mengadung peranan yang demikian penting, pendidikan bahasa dan sastra ini sangat memengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Pendidikan bahasa dan sastra dapat memengaruhi kehidupan sosial, budaya, moral, etika estetika, dan sebagainya. Oleh karena itu, seminar nasional ini mengangkat tema: ”Pendidikan Bahasa danSatra Indonesia sebagai Media Revolusi Mental Generasi Masa Depan”. Untuk itu, melalui Seminar Nasional ini pendidikan bahasa dan sastra dapat memberikan andil dalam mewujudkan perubahan mental secara cepat generasi muda harapan masa depan. Perubahan tersebut, misalnya, perubahan mental tentang semangat membangun bangsa yang bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme; kekerasan; ketidakadilan, dan sebagainya. Harapannya, peran pendidikan bahasa dan sastra dapat sebagai pembaru peradaban dan penghalus budi pekerti benar-benar dapat dijalankan. Tujuan seminar ini sebagai berikut. 1) Berkontribusi pemikiran kepada berbagai pihak dalam bidang pendidikan bahasa dan sastra. 2) Berkontribusi pemikiran kepada berbagai pihak tentang revolusi mental. 3) Memberikan informasi tentang pengetahuan dan pengalaman mengenai pendidikan bahasa dan satra sebagai media revolusi mental genrasi masa depan. 4) Memberikan sumbangan perkembangan keilmuan tentang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia sebagai media revolusi mental generasi masa depan. Mudah-mudahan seminar nasional ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu bahasa dan sastra pada khususnya dan perkembangan pendidikan mental bagi generasi mendatang. Amin. Akhirul kalam wa billahi taufiq walhidayah Wassalamualaikum Warakmatullahi Wabarakaatuh.
Surabaya, 24 September 2016 Ketua Umum Appi-Bastra, Prof. Dr.H. Haris Supratno, M.Pd.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| iii
iv | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
KATA PENGANTAR Puji syukur kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa atas berkah dan limpahan rahmat-Nya kita dapat melaksanakan launching dan seminar nasional Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra (APPI BASTRA). APPI BASTRA ini merupakan organisasi profesi yang didirikan oleh empat serangkai alumni Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya, yaitu (1) Dr. Amrin Batubara, M.A.; (2) Dr. H. Sueb Hadi Saputro, M.Pd; (3) Dr. Sujinah, M.Pd; (4) Dr. H. Syamsul Gufron, M.Si. Kami juga mendapatkan angin segar karena didukung oleh Prof. Dr. H. Haris Supratno, mantan Rektor Universitas Negeri Surabaya, yang berkenan menjadi ketua APPI BASTRA periode 2015-2020. dan Prof. Dr. Suyatno, M.Pd., rektor Universitas HAMKA Jakarta sebagai Konsorsium APPI BASTRA. Kegiatan yang dilaksanakan APPI BASTRA yaitu penerbitan jurnal ilmiah ”BASTRA”, melakukan pendampingan pembelajaran bahasa dan sastra ke sekolahsekolah, mengadakan seminar-seminar/workshop, dan melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Seminar nasional ini mengangkat tema: ”Pendidikan Bahasa dan Sastrasebagai Media Revolusi Mental Generasi Masa Depan”. Melalui Seminar Nasional ini Pendidikan Bahasa dan Sastra dapat memberikan andil dalam mewujudkan perubahan mental secara cepat generasi muda harapan masa depan. Para pembicara utama dalam seminar ini yaitu: 1. Prof. Dr. H. Haris Supratno (Guru BesarUniversitasNegeri Surabaya) 2. Prof. Dr. H. Suyatno, M.Pd(Guru BesarUniversitas HAMKA Jakarta 3. Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan, M.A. (Guru Besar Universitas Negeri Surabaya) Seminar ini menyasar berbagai pihak yang peduli terhadap perkembangan bahasa dan sastra. Mereka terdiri atas dosen bahasa dan sastra, peneliti bahasa dan sastra, guru bahasa dan sastra, mahasiswa bahasa dan sastra, serta para pemerhati bahasa dan sastra. Harapan kami, semoga seminar nasional yang sekaligus mengawali pendirian APPI Bastra ini memberikan manfaat bagi perkembangan bahasa dan sastra di tanah air.
Surabaya, 24 September 2016 Ketua Panitia, Dr. H. Sueb Hadi Saputro, M.Pd.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| v
vi | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL SAMBUTAN KETUA APPI-BASTRA KATA PENGANTAR KETUA PANITIA DAFTAR ISI
MAKALAH UTAMA NILAI-NILAI DALAM SASTRA SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN KARAKTER/REVOLUSI MENTAL GENERASI MASA DEPAN Haris Supratno; FPBS UNESA KEARIFAN LOKAL DALAM NOVEL INDONESIA MUTAKHIR SetyaYuwana Sudikan; Universitas Negeri Surabaya
MAKALAH PENDAMPING BIDANG KEBAHASAAN MEMOTRET REALITAS PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA Dina Ayu Puspita Wardani; Universitas Negeri Malang
i iii v vii
1
3
25
35 37
PERAN PENGUKURAN BAHASA DALAM REVOLUSI MENTAL Endang K. Trijanto; Universitas Negeri Jakarta
43
PEMERTAHANAN KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA DALAM KONTEKS DUNIA PENDIDIKAN (MAINTENANCE OF INDONESIAN POSITION IN EDUCATION CONTEXT) Moh.Hafid Effendy; Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan
51
KESANTUNAN TUTURAN DIREKTIF DALAM INTERAKSI PEMBELAJARAN Mardiyah Putri Astuti; Universitas Negeri Malang
61
KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DAN PEMBELI DI MALIOBORO YOGYAKARTA Reinardus Aldo Agassi; Jalan Semarang 5 Malang
69
PELESTARIAN BAHASA DAERAH SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL Sayama Malabar; Universitas Negeri Gorontalo
77
KESALAHAN-KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA PEMBELAJAR BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA ASING: SEBUAH PENELITIAN PENDAHULUAN Setya Tri Nugraha; Universitas Sanata Dharma
85
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| vii
PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL GENERASI MASA DEPAN Sueb HadiSaputro; FBS-UWKS
107
KONSISTENSI PENERAPAN KAIDAH AFIKSASI BAHASA INDONESIA Suher M. Saidi; Universitas Muhammadiyah Surabaya
115
PERANAN BAHASA DAN ATTITUDE REMAJA DI ZAMAN MODERN Wahyu Mulyani; Fakultas Universitas PGRI RonggolaweTuban
123
MANAJEMEN GERAKAN LITERASI DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SEBAGAI UPAYA MENCETAK GENERASI MASA DEPAN PRODUKTIF Afry Adi Chandra; SMK Negeri 1 Udanawu, Jalan Raya Slemanan, Blitar
131
VIDEO REALITY SHOW ”ORANG PINGGIRAN” TRANS|7 SEBAGAI STIMULUS DALAM MENULIS CERITA INSPIRATIF: INTEGRASI KETERAMPILAN MENYIMAK DAN MENULIS Ajeng Cahya Nurani; Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang
139
REVOLUSI MENTAL MELALUI BAHASA DAN SASTRA DALAM TAHAPAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH Dwi Bambang Putut Setiyadi; Universitas Widya Dharma Klaten
147
LIMA TEKNIK OPTIMALKAN MUTU LITERASI Idhoofiyatul Fatin; Universitas Muhammadiyah Surabaya
155
MEME COMIC INDONESIA (MCI) PRODUK REVOLUSI MENTAL ANAK BANGSA Pheni Cahya Kartika; Universitas Muhammadiyah Surabaya
163
KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DALAM PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA INDONESIA Warsiman; Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya
171
PENGUATAN BAHASA DAN BUDAYA INDONESIA DI ERA MEA Yarno; FKIP Universitas Muhammadiyah Surabaya
185
MEMBANGUN BUDAYA LITERASI DI PERGURUAN TINGGI MELALUI MATA KULIAH BAHASA INDONESIA Syamsul Ghufron; Universitas Islam Darul Ulum Lamongan
197
viii | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
MAKALAH PENDAMPING BIDANG KESASTRAAN
205
LASKAR PELANGI: TELADAN PEMBIASAAN BERPERILAKU BAIK Anggie Lestantiya Febriyanti; Universitas Negeri Malang
207
PENDIDIKAN SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL GENERASI MASA DEPAN Eko Hardinanto; Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” JawaTimur
215
”GADIS PANTAI” PRAMOEDYA ANANTA TOUR: SEBUAH KAJIAN SEMIOTIK ATAS DESAIN SAMPUL DITINJAU DARI SISI KEBUDAYAAN MATERIAL MASYARAKAT JAWA DI MASA FEODALISME Hiqma Nur Agustina; Universitas Islam Syekh-Yusuf (UNIS) Tangerang 223 KARYA SASTRA BERBASIS KARAKTER, SEBAGAI MEDIA PEMBANGUN ”MENTAL BERBANGSA” TANTANGANNYA KINI DAN NANTI Ida Sukowati; Universitas Islam Darul Ulum Lamongan
231
KONSTRUKSI LEGENSKAP MASYARAKAT MADURA BARAT Iqbal Nurul Azhar; Universitas Trunojoyo Madura
239
MENUMBUHKAN BUDAYA LITERASI PADA ANAK-ANAK MELALUI SASTRA ANAK Lestari Setyowati1, Ninik Suryatiningsih2; 1STKIP PGRI Pasuruan
249
”SUSAHKAH MENULIS CERITA FABEL?” Lia Noviana Qostantia; Universitas Negeri Malang
257
URGENSI SASTRA EKOLOGIS SEBAGAI UPAYA UNTUK MENANAMKAN PEMAHAMAN TENTANG ARTI PENTING PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP PADA PENGAJARAN SASTRA DI KELAS VII SMP Mujihadi; SMP Negeri 2 Jatirogo Kabupaten Tuban
263
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SEJARAH KERAJAAN TALAGA MANGGUNG SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL GENERASI MASA DEPAN DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDIDIKAN SASTRA Pipik Asteka dan Sri Sumartini; Universitas Majalengka 273 GAMBARAN PENDIDIKAN KARAKTER DI TRANSKRIPSI NASKAH FILM ADA APA DENGAN CINTA MELALUI NILAI MORAL Rasyidah Nur Aisyah; STKIP PGRI Pasuruan 281 Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| ix
CERPEN SEBAGAI PENYULUT IMAJINASI INDIVIDUAL SISWA Muhamad Rullyfudin; Universitas Negeri Malang
291
KEKUATAN BANGSA INDONESIA: STUDI NOVEL-NOVEL PRAMOEDYA ANANTA TOER Sariban; Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unisda
299
SASTRA BUDAYA JAWA SEBAGAI MEDIA PUSTAKA TATA KRAMA SISWA Siwi Tri Purnani; Universitas Negeri Malang
311
SEKAR PANGKUR: LESSONS LEARNED Slamet Wiyono; The National Land Institute, Yogyakarta
319
ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER PADA TRADISI GALUNGAN DUSUN WONOMULYO KELURAHAN GENILANGIT KECAMATAN PONCOL MAGETAN Sriyono, DewiTryanasari; IKIP PGRI Madiun
321
KEARIFAN LOKAL DALAM CERITA PEWALIAN SUNAN BEJAGUNG KABUPATEN TUBAN SEBAGAI LANDASAN ALTERNATIF PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA Suantoko; Universitas PGRI RonggolaweTuban
333
KARYA SASTRA SEBAGAI KESADARAN LOGIKA DAN PERMAINAN BAHASA Tsalits Abdul Aziz Al Farisi; Universitas Islam Darul Ulum Lamongan
343
MAKALAH PENDAMPING BIDANG PEMBELAJARAN
349
BAHAN AJAR TEKS DESKRIPSI BERBASIS KEARIFAN LOKAL UNTUK SMP DI JEMBER Ahmad Syukron; Universitas Jember
351
RASIONALITAS DAN AKTUALITAS LOCAL WISDOM DENGAN PENDEKATAN TRIPLE HELIX SEBAGAI BASIS PENDIDIKAN KARAKTER Anggun Melati Sari; Universitas Sebelas Maret Surakarta
359
MEMAKSIMALKAN PERAN MEDIA SOSIAL UNTUK KEBERHASILAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA Arya Pramuditta Wardhana; Universitas Negeri Malang
365
PENGAJARAN SASTRA DENGAN KONSEP INTEGRALISTIK SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL GENERASI MASA DEPAN Deden Sutrisna; Universitas Majalengka
369
x | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
PENILAIAN DIRI DAN PENILAIAN SEJAWAT; ALTERNATIF PENILAIAN PEMBELAJARAN Fitri Amilia; FKIP Universitas Muhammadiyah Jember
375
PEMBINAAN PELAFALAN BAKU BAHASA INDONESIA SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMPERBAIKI ARTIKULASI PADA PENYAJIAN LAGU KEBANGSAAN BAGI SISWA SEKOLAH DASAR Hartini; IKIP PGRI Madiun
381
TEKS DESKRIPSI SEDEKAH BUMI SIRATAN SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SMP DI KABUPATEN TUBAN HeriKustomo; SMP Negeri 1 Rengel Kabupaten Tuban
389
PENGEMBANGAN BUKU MODEL PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS TEMATIK INTEGRATIF DI SD KELAS TINGGI SEBAGAI SUPLEMEN GURU PADA KURIKULUM 2013 Malawi, I., Tryanasari, D., dan Riyanto, E. IKIP PGRI Madiun
399
NILAI-NILAI KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN MENULIS BERBASIS PENGALAMAN Isah Cahyani; Univesrsitas Pendidikan Indonesia
415
MENYIBAK PEMBELAJARAN SASTRA MELALUI PENDEKATAN HERMENEUTIK Jusrin Efendi Pohan1, Muhammad Munawir Pohan2
425
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS SAINTIFIK BERMUATAN PENDIDIKAN KARAKTER DENGAN STRATEGI LIPIRTUP DI SMP Moh.Mu’minin; Unirow Tuban
435
RELEVANSI PEMBELAJARAN BAHASA DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER Shofiyuddin; Universitas PGRI RonggolaweTuban
443
MENGEMBANGKAN BUDAYA LITERASI MAHASISWA MELALUI PENDEKATAN KULTURAL DENGAN SASTRA PENTAS JIDOR SENTULAN DI JOMBANG Susi Darihastining; STKIP PGRI Jombang
455
LAMPIRAN
463
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| xi
MAKALAH UTAMA
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 35
SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL GENERASI MASA DEPAN Haris Supratno Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS UNESA
ABSTRAK Karya sastra banyak mengandung berbagai nilai yang dapat digunakan sebagai mendia pendidikan karakter/ revolusi mental generasi muda masa depan. Revolusi mental merupakan perubahan cara berpikir secara cepat untuk mengubah tatanan masyarakat Indonesia agar mampu menjadi pemimpin di masa depan yang amanah dan jujur sehingga dapat membawa bangsa Indonesia ke masa depan yang lebih baik dan sejahtera. Revolusi mental tersebut bertujuan agar masyarakat Indonesia secara cepat dapat menjadi negara Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial-budaya, sehingga dapat segera mewujudkan masyarakat yang merdeka, adil, makmur, berbudaya, dan beradab. Revolusi mental dapat memanfaatkan karya sastra sebagai media pendidikan karakter/ revolusi mental generasi Indonesia masa depan agar buisa membawa bangsa Indonesia mecapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Melalui pendidikan sastra, para pendidik dapat menjadikan nilai-nilai karya sastra, baik tulis maupun lisan sebagai media pendidikan karakter/revolusi mental generasi masa depan. Kata kunci: revolusi mental, berdaulat, mandiri, berbudaya, dan berkepribadian.
PENDAHULUAN Bangsa Indonesia memiliki aneka ragam karya sastra tulis maupun lisan yang banyak mengandung nilai yang dapat dijadikan media pendidikan karakter/revolusi mental generasi masa depan. Generasi Indonesia masa depan merupakan generasi emas yang memiliki potensi sebagai pemimpin bangsa di masa depan yang dapat membawa bangsa Indonesia hidup lebih baik daripada masa sekarang, yang bisa mewujudkan cita-cita bangsa dalam menciptakan masyarakat Indonesia yang maju, berkualitas, kreatif, inovatif, yang dilandasi iman, takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlakul karimah. Istilah revolusi mental muncul pertama pada saat ramai-ramainya masa kampanye pemilihan presiden periode 2014-2019. Salah satu pasangan presiden Jokowi-JK menciptakan istilah dan sekaligus menjadi tema dalam kampanyenya yaitu istilah Revolusi Mental. Istilah revolusi mental pada awalnya masih dalam tataran konsep dan belum jelas arahnya. Namun, istilah tersebut menjadi menarik karena pasangan Jokowi-JK dapat memenangkan pemilihan Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Istilah revolusi mental akhirnya juga menjadi salah satu prioritas program pembangunan masa pemerintahan Jokowi-JK, di samping program kemandirian bangsa dan kemaritiman. Istilah revolusi mental dipakai Jokowi berdasarkan latar belakang pengalaman dan hasil pengamatannya bahwa Pemerintahan Republik Indonesia pasca reformasi selama 16 tahun, dan telah ganti empat kali presiden, yaitu era Habibi, Gus Dur, Megawati, dan Sby, di samping telah mencapai berbagai prestasi, antara lain di bidang Prosiding Seminar Nasional | 3
ekonomi, pendidikan, dan demokrasi. Akan tetapi, di sisi lain, masyarakat Indonesia banyak yang mengalami ketidakpuasan dan kegalauan di perbagai bidang. Di manamana terjadi demonstrasi, perkelaian antarpelajar, perkelaian antarmahasiswa, perkelaian antarkelompok, dan antarmasyarakat (Widodo, 2014:1; Supratno: 2014:2). Berarti ada sesuatu yang salah atau kurang dalam pelaksanaan pembangunan tersebut. Pembangunan nasional kita sejak jaman Orde Baru ditekankan kepada pembangunan ekonomi dan fisik yang difokuskan di kota-kota besar , seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makasar, Bandung, dan Semarang. Sedangkan pembangunan di kota kecil apalagi di desa-desa kurang mendapat perhatian. Kemajuan pembangunan ekonomi dan fisik hanya ada di kota besar, sehingga perkembangan ekonomi pun hanya ada di kota-kota besar. Sementara masyarakat yang sebagian besar tinggal di pedesaan tetap tidak banyak atau tidak siknifikan mengalami perubahan. Kehidupan mereka tetap miskin, sehingga untuk mengubah nasib dirinya dan keluarganya harus lari ke kota-kota besar, khususnya ke Jakarta. Jakarta menjadi tumpuhan dan pusat arus urbanisasi, sehingga kota-kota besar pun tidak lagi mampu menampung arus urbanisai tersebut. Akibatnya, masyarakat yang lari ke kota besar, khususnya Jakarta tidak semuanya mampu mengubah nasibnya lebih baik daripada waktu di desa, akhirnya justru dianggap menjadi beban masyarakat Jakarta, bahkan dianggap penyakit masyarakat. Pembangunnan masyarakat Indonesia pasca reformasi pun tidak jauh berbeda, masih terpusat di kota-kota besar dan masih menekankan pada pembangunan ekonomi dan fisik. Pembangunan manusia seutuhnya pun, khususnya pembangunan mental atau karakter masih belum menjadi fokus utama, meskipun dana pendidikan sudah lebih banyak daripada masa pemerintahan Orde Baru. Dalam dunia pendidikan jaman Pemerintahan SBY juga sudah memprogramkan pendidikan karakter, meskipun hasilnya juga belum tampak nyata dan belum dirasakan dapat mengubah perilaku dan karakter masyarakat Indonesai. Ternyata perilaku masyarakat Indonesia, pelajar, dan mahasiswa juga belum banyak berubah ke arah yang lebih baik. Hal tersebut terbukti perkelaian antarpelajar, antarmahasiswa, dan antarmasyarakat juga masih terjadi di mana-mana. Menurut Widodo (2014: 2-3) pembangunan di Indonesia pasca reformasi baru terbatas pembangunan atau perubahan yang sifatnya institusional dan kelembagaan negara, belum menyangkut pembangunan yang menyentuh paradikma, mindset, dan budaya politik dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Pembangunan yang hanya menekankan pada institusional dan kelembagaan negara, tidak akan mampu untuk mengantarkan masyarakat Indonesia ke arah cita-cita bangsa seperti yang diharapkan atau diproklamasikan oleh para pendiri bangsa. Agar pembangunan di Indonesia dapat mencapai perubahan ke arah yang lebih baik, bermakna, dan berkesinambungan dan menjadi budaya sesuai cita-cita proklamasi, yaitu untuk mencapai masyarakat Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, maka diperlukan revolusi mental. Salah satu kesalahan atau kekurangan pembangunan di Indonesia tersebut terletak pada pembangunan mental, karena mental akan membawa arah sikap dan perilaku manusia atau masyarakat. Bila mental manusia Indonesia tidak baik, maka sikap dan perilaku masyarakat akan mengarah kepada perbuatan yang tidak baik, seperti demonstrasi, perkelaian, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, dan sebagainya. Sebaliknya, bila mental masyarakat baik, maka sikap dan perbuatan masyarakat akan cenderung ke perbuatan yang lebih baik,tidak akan terjadi 4 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
demonstrasi dan perkelaian di mana-mana, pemerkosaan, dan pembunuhan. Demontrasi masyarakat di berbagai bidang terjadi karena masyarakat merasa tidak puas apa yang telah terjadi di dalam pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, serta tidak adanya rasa syukur sebagian besar masyarakat Indonesia dan para pejabat negara, sehingga mengakibatkan para pejabat negara terjerumus kepada perbuatan yang melanggar etika, moral, dan agama. Perkelaian natarpelajar, antarmahasiswa, dan antarmasyarakat juga terjadi karena mental masyarakat yang kurang baik, kurang toleran, kurang bersyukur terhadap nikmat Allah yang diterimanya, kurang atau tidak sabar dalam setiap menghadapi persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Seandainya mental masyarakat Indonesia baik, mensyukuri nikmat Allah SWT, sabar, iklas, dan mau mengalah, maka tidak akan terjadi demontrasi dan berbagai jenis perkelaian tersebut, tidak akan terfjadi kurupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara, baik eksekutif, legislatif, maupun Yudikatif. Untuk menghadapi berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat terbut dan untuk memperbaiki sikap dan perilaku masyarakat Indonesia, salah satu kuncinya adalah dengan revolusi mental. Revolusi mental tersebut bertujuan untuk mengadakan perubahan mental atau cara berpikir masyarakat Indonesia secara cepat dari yang belum baik menjadi lebih baik, sehingga dapat dicapai tatanan masyarakat Indonesia yang mandiri, berbudaya, dan beradap atau berkepribadian. Perubahan tersebut mencakup segala aspek perikehidupan masyarakat Indonsia, baik dalam bidang pemerintahan, politik, sosial, budaya, dan pendidikan. Salah satu cara melakukan perubahan karakter melalui revolusi mental dapat dilakukan melalui pendidikan sastra dengan memanfaatkan dan menjadikan contoh sikap, perilaku, dan tutur bahasa para tokoh dalam karya sastra, baik sastra tulis maupun sastra lisan. Banyak nilai dalam karya sastra tulis maupun lisan yang dapat dijadikan media pendidikan karakter/revolusi mental generasi masa depan agar menjadi manusia yang baik dan menjadi pemimpin yang sidik, amanah, tablikh, dan fatonah. MAKNA REVOLOSI MENTAL Istilah revolusi dapat bermakna perubahan sesuatu dalam segala bidang. Perubahan suatu organisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara (1) evolusioner, yaitu perubahan organisasi yang dilakukan pada saat organisai sedang mengalamai masa kejayaan, (2) trannformasi, yaitu perubahan organisasi pada saat performa organisasi dalam keadaan sangat baik, (3) turnaround, yaitu perubahan pada saaat kondisi organisasi mulai mengalami penurunan kinerja, kalau tidak mengalami perubahan, kinerja akan semakin menurun dan lama kelamaan organisasi bisa mengalami kematian, dan (4) revolusi, yaitu perubahan organisasi yang dilakukan secara cepat dan biasanya mengakibatkan korban jiwa maupun harta. Namun, bila revolusi dalam bidang mental, tidak akan membawa korban jiwa dan harta seperti revolusi politik, revolusi sosial, dan revolusi pemerintahan (Muhaimin dkk., 2009:67; Supratno, 2014:2). Kata revolusi sering digunakan dalam istilah politik dan sosial, seperti revolusi politik,revolusi fisik, revolusi industri, dan revolusi sosial. Kata revolusi mengandung makna perubahan secara radikal atau secara cepat yang pada umumnya dilakukan dengan kekerasan sehingga mengakibatkan korban baik nyawa maupun harta. Kata revolusi mengandung konotasi makna negatif, karena setiap peristiwa perubahan Prosiding Seminar Nasional | 5
dengan revolusi pada umumnya dilakuan dengan kekerasan, sehingga mengakibatkan korban nyawa dan harta. Di negara kita sudah banyak terjadi peristiwa revolusi dalam bidang politik. Pada jaman penjajahan Belanda maupun Jepang. Bangsa Indonesia melakukan rovolusi kepada penjajah Belanda dan Jepang, sehingga banyak mengakibatkan korban nyawa maupun harta. Revolusi yang dipelopori antara lain oleh Sukarno, Hatta, Syahrir, Amir Syariffdin, dan Tjipto Mangunkusumo. Bung Karno juga pernah menggunakan istilah revolusi sebagai judul bukunya, yaitu Di Bawah Bendera Revolusi. Dalam buku tersebut Sukarno menceritakan autobiografinya sejak kecil sampai menjadi Presiden. Sukarno dengan beberapa teman seperjuangannya menggugat dan menentang penjajahan Belanda maupun Jepang, agar penjajah segera henggang dari bumi pertiwi. Dalam perjuangan secara revolusi tersebut juga banyak korban nyawa maupun harta benda (Sudjatmiko,2014: 96). Sedangkan kata mental dapat bermakna jiwa, akhlak,atau watak. Ada juga yang menyamakan kata mental dengan kata kepribadian. Kepribadian adalah keseluruhan karakteristik, sikap dan nilai-nilai yang dianut oleh individu untuk bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain dan lingkungannya. Kepribadian tersebut pada umumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain keturunan, hubungan keluarga, kebudayaan, dan kelas sosial ( Pangewa, 2004: 42). Sedangkan kata sikap menurut Pangewa (2004: 59) merupakan situasi mental yang mempengaruhi seseorang dalam kecenderungannya untuk menjadi bermotivasi dalam hubungan dengan sesuatu. Sikap bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir, tetapi dapat dibentuk oleh lingkungan dan pengalaman. Sikap dapat bersifat tetap, tetapi bisa juga berubah sesuai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kata mental juga dapat berarti cara berpikir atau mendset seseorang. Mental atau cara berpikir seseorang akan menentukan tutur bahasa, sikap, dan perilaku seseorang. Revolusi mental secara luas dapat bermakna perubahan cara berpikir seseorang dari kondisi yang belum baik menjadi lebih baik. Perubahan cara berpikir masyarakat Indonesia dari yang tidak atau belum baik menuju ke arah yang lebih baik, akan membawa konsekuensi perubahan tatanan masyarakat Indonesia menuju tatanan masyarakat Indonesia yang lebih baik dalan segala perikehidupan masyarakat Indonesia, baik bidang pemerintahan, politik, sosial, budaya, dan pendidikan. Namun, perubahan mental pada diri seseorang atau masyarakat juga tidak mudah. Perubahan mental seseorang atau masyarakat dapat berubah dengan penuh kesadaran atau suka rela, apabila mereka mau melakukan evaluasi terhadap dirinya sendiri. Mental, sikap, dan perilaku seseorang masyarakat telah baik atau belum. Bila belum baik, mereka diharapkan ada kesadaran untuk berubah ke arah yang lebih baik. Perubahan tersebut dapat disebut perubahan secara internal. Perubahan mental seseorang atau masyarakat juga bisa diubah secara cepat atau secara revolusi yang datang dari pihak luar atau pemerintah, baik melalui paksaan, kebijakan, peraturan perundang-undangan, atau melalui suatu gerakan nasional. Perubahan tersebut dapat disebut perubahan secara eksternal (Supratno, 2014:4) NILAI-NILAI DALAM SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL GENERASI MASA DEPAN Karya sastra banyak mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan media pendidikan revolusi mental kepada generasi Indonesia masa depan.Perubahan mental atau cara berpikir masyarakat Indonesia secara revolusi diharapkan agar masyarakat 6 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Indonesia mau melakukan perubahan secara cepat ke arah yang lebih baik dalam segala bidang, baik pemerintahan, politik , sosial, budaya, dan pendidikan, untuk menuju masyarakat yang adil, makmur, demokratis, berbudayaa, dan beradab atau berkepribadian. Dalam novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburahman El Shirazy mengandung nilai rasa syukur terhadap nikmat Allah yang digambarkan melalui tokoh Lina. Lina dalam menghadapi perkembangan usahanya membuka toko buku selalu bersyukur dan berpandangan positif terhadap apa yang dialaminya. Seorang yang membuka toko buku, kadang-kadang pembelinya ramai, kadaang-kadang juga sepi. Bila dalam keadaan pembeli ramai, maka ia selalu mengucapkan syukur alhambdulillah dan dapat untuk menambah ibadah kepada Allah SWT, tetapi dalam keadaan sepi, ia juga merasa senang karena dapat untuk istirahat dan membaca Alquran. Sifat Lina inilah yang digagumi Zahrana, yang selalu mensyukuri nikmat Allah baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah. Hal tersebut sesuai firman Allah bahwa Allah akan melipatgandakan nikmat-Nya bagi orang-orang yang bersyukur atas nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya, dan akan memberikan laknat-Nya kepada orang-orang yang tidak bisa mensyukuri nikmat Allah. Gambaran rasa syukur dan selalu berpandangan positif Lina tersebut tampak pada ktipan sebagai berikut: “Sedang sepi ya Lin?” “Tadi ramai.” Ya kadang ada sepinya juga. Malah bisa istirahat dan baca Al-Quran.” Jawab Lina santai. Zahrana selalu kagum dengan cara pandang Lina yang selalu positif.Kalau tokonya ramai dia senang dan bersyukur, dia akan berkta, “Alhamdulillah ramai Rana, bisa untuk tambah-tambah ibadah.” Kalau sedang sepi ya seperti yang baru saja ia dengar, “Malah bisa istirahat dan baca Al-Quran.”(Shirazy, 2013: 102-103).
Kutipan tersebut menggambarkan sikap Lina yang selalu mensyukuri nikmat Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah. Dalam keadaan tokonya ramai, ia juga bersyukur dengan mengucapkan Alhamdulilah, tetapi dalam keadaan tokonya sepi, ia juga menyikapinya dengan rasa senang karena dapat digunakan untuk istirahat dan membaca Alquran. Rasa syukur akan membawa manusia merasakan kedamaian dan ketenangan dalam hidup hidup di masyarakat. Rasa syukur tersebut dapat dijadikan sebagai contoh bagi masyarakat Indonesia, khusussnya generasi masa depan dan para pejabat negara. Rasa syukur akan membawa kedamaian dan ketengangan dalam hidup. sebaliknya rasa tidak syukur akan membawa manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar etika, moral, agama, dan hukum, sehingga bisa membawa manusia ke arah sikap, prilaku, dan tutur bahasa yang tidak baik, bahkan bisa membawa manusia ke penjara di akhir hidupnya. Banyaknya kasus kurupsi para pejabat negara, juga salah satu diantaranya karena adanya rasa tidak syukur terhadap nikmat atau rezeki Allah yang diberikan kepadanya. Mereka merasa selalu kurang terhadap apa yang diterimanya dari Allah. Dalam novel Mihrab Cinta mengandung nilai semangat yang tinggi mencari ilmu. Dalam novel tersebut digambarkan tokoh Samsul yang memiliki semangat yang tinggi untuk mencari ilmu di pesanren. Di pesanren merupakam masa mencari ilmu bukan saat menikmati kehidupan. Ia harus prihatin, mengurangi tidur, dan makan. Saatnya memperbanyak ibadah dan belajar... ISa terus belajar dengan penuh semangat. Setiap hari ia hanya selalu berpikir belajar untuk menambah ilmu. Selain tekun, sambsul juga termasuk santri yang kritis, yang selalu menanyakan sesuatu kepada santri yang lebih senior. Hal tersebut tampak pada kutipan sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional | 7
Ia telah menanamkan dalam pikiran bawah sadarnya bahwa di pesantren ini bukan saatnya menikmati hidup. Bukan saatnya santai dan berleha-leha. Tetapi ini adalah saatnya prihatin, mengurangi tidur dan makan. In adaah saatnya memperbanyak ibadah dan belajar... Ia terus belajar dengan gigih. Tak terasa sudah lebih dari sembilan bulan ia belajar di pesantren itu. Yang ada dalam pikirannya setiap hari adalah bagaimana menambah ilmu. Selain tekun ia juga kritis. Ia sering menanyakan banyak persoalan kepada santri yang lebih senior. Khususnya kepada Ayub. Sekali dua kali Ayub kewalahan juga menjawab pertanyaan Syamsul (Shirazy, 2010: 60).
Kutipan tersebut menggambarkan semangat yang tinggi Syamsul dalam belajar di pesantren. Ia telah menyadari bahwa hidup di pesantren bukan masa-masa menikmati hidup dan santai, tetapi saatnya belajar keras, mengurangi makan dan tidur serta memperbanyak ibadah dan belajar. Semangat mencari ilmu yang tinggi tersebut dapat dijadikan contoh bagi generasi masa depan Indonesia agar selalu memiliki semangat yang tinggi untuk mencari ilmu sebagai bekal hidup di dunia dan akhirat. Dengan ilmu generasi masa depan akan dapat mencapai cita-cita dan Allah akan mengangkat derajadnya yang lebih tinggi daripada derajat orang-orang yang tidak berilmu. Meskipun di Indonesia, pemerintah kurang menghargai terhadap orang-orang yang berilmu. Dalam novel tersebut juga mengajarkan kepada masyarakat agar jangan suka menfitnah orang karena fitnah itu mempunyai dampak negatif yang luar biasa. Dampak fitnah lebih besar dari pada pembunuhan, karena fitnah dampaknya sangat luas. Seperti yang dialami Syamsul, karena ia difitnah mencuri dampaknya sangat luas dan sangat memalukan. Dampak pertama, mayoritas santri mengganggap ia pencuri dan membecinya, ia harus dihukum cukur gundul di tengah halaman pondok, orang tuanya menjadi benci kepada Syamsul, dan harus dikeluarkan dari pondok pesantren dengan tidak hormat, dan menjadikan Syamsul semakin prustasi, karena semua orang membecinya. Gambaran tersebut tampak pada kutipan sebagai berikut: Airmata Syamsul langsung turun. Bukan karena sakit oleh tamparan ayahnya, tapi karena sakit hati yang amat sangat. Ia tahu ayahnya sangat marah, tetapi ia memaaafkan ayahnya karena ayahnya tidak tahu apa-apa. Ia sakit hati karena fitnah Burhan, ayahnya yang tidak pernah menamparnya selama ini, kali ini menamparnyadengan penuh kebencian. Air mata Syamsul meleleh. Syamsul diam saja. Ia merasa tak ada gunanya membela. Ia akan menjelaskan semuanya jika sampai di rumah nanti. Namanya memang telh rusak. Ia benar-benar hancur di tempat pesantren itu. Tapi ia berharap tidak hancur di tmapat lain (Shirazy, 2010: 82).
Dampak fitnah sangat luar biasa, sehingga Syamsul dianggap pencuri, Syamsul dibenci mayoritas para santri, dibenci orang tuanya, dibeci kiainya, dan namanya benar-benar hancur di lingkungan pondok pesantren Al-Furqan dan di keluarganya. Peristiwa tersebut dapat dijadikan pelajaran bagi masyarakat khususnya generasi masa depan, agar jangan suka menfitnah orang, karena fitnah merupakan perbuatan dosa besar, bajkan dosanya lebih besar daripada pembunuhan. Dalam novel tersebut juga mengandung ajaran Islam bahwa setiap perbuatan orang sekecil apa pun bentuknya, akan mendapat balasan dari Allah. Perbuatan baik seseorang akan mendapatkan balasan kebaikan. Perbuatan jahat seseorang akan mendapatkan balasan kejahatan dari Allah SWT. Dalam pepatah Jawa mengatakan “becik kettitik, ala ketara” artinya, barang siapa berbuat kebaikan akan kelihatan, sebaiknya barang siapa berbuat kejahatan akan diketahui juga. Gambaran tersebut 8 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
tampak pada kutipan sebagai berikut: “Kangmas, suatu hari kebenaran itu pasti akan jelas”. Becik ketitik olo kethoro! Sebaiknya Kangmas ingat baik-baik apa yang dikatakan Syamsul ketika ia dizalimi” (Shirazy, 2010: 89). Dalam novel Sang Pembaharu, Perfjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar karya Agus Sunyoto juga dijelaskan dan ditegaskan bahwa belajar ilmu agama tertentu tidak harus masuk agama yang dipelajarinya, karena memeluk suatu agama tidak boleh dipaksakan. Tidak ada paksaan dalan memeluk agama dan sudah menjadi ketentuan Tuhan bahwa umat manusia harus hidup dalam beraneka ragam, baik kebangsaan, bahasa, budaya, maupun agama. Hal tersebut tampak pada kutipan sebagai berikut: ”Saya tidak pernah mensyaratkan bahwa harus pindah agama untuk menjadi urid saya. Sebab, masalah agama dalam makna syariat bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Sungguh tidak ada paksaan dalam agama.... sesungguhnya telah menjadi kenyataan bahwa umat manusia harus hidup beraneka ragam, baik dalam hal kebangsaan, bahasa, budaya, maupun agama” (Sunyoto 4, 2004: 47).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk belajar ilmu agama tertentu tidak harus masuk agama yang dipelajari. Demikian juga untuk belajar agama kepada seorang guru tidak harus berpindah agama sesuai agama gurunya. Dalam agama tidak ada paksaan dan sesunguhnya tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah menjadi suratan Ilahi bahwa manusia hidup harus beraneka ragam, baik kebangsaan, bahasa, budaya, maupun agama. Dalam novel tersebut memberikan suatu sikap yang baik kepada masyarakat bahwa belajar ilmu tidak harus pindah agama dan agama tidak boleh dipaksakana kepada seseorang. Novel tersebut juga memberikan contoh bahwa belajar ilmu tidak harus berpindah agama, misal orang Kristen yang akan bersekolah di sekolah Islam tidak harus berubah agama menjadi Islam. Sebaliknya, orang Islam yang belajar di sekolah kristen juga tidak harus pindah agama kristen. Dalam novel tersebut juga telah diajarkan bagaimana caranya menyikapi masalah duniawai dan cara beramal. Dalam ajaran Islam tidak boleh orang berkeingnan meninggalkan urusan duniawi karena orang yang akan meninggalkan urusan duniawi yang kemudian akan melakukan iktikaf di makam gurunya adalah sebagai keinginan nafsu yang akan menjerumuskan manusia ke dalam lamunan kosong. Dalam novel tersebut juga diajarkan bagaimana caranya beramal. Beramal sesungguhnya hanyalah bentuk kerangka yang tegak dan tidak hidup, yang memberikan roh hidup kepadanya hanyalah dengan dilandasi keiklasan. Banyak orang yang beramal, tetapi bagaikan kerangka tegak yang tidak hidup, karena pada saat beramal tidak dilandasi keiklasan hanya untuk mendapatkan ridha Tuhan, tetapi masih mengharapkan sesuatu imbalan (Sunyoto 4, 2004: 54). Dalam novel tersebut mengandung nilai bagaimana caranya beramal. Bila seseorang beramal harus diniati dengan ikhlas karena mengharapkan ridha Allah, bukan karena mengharapkan sesuatu pujian dari orang lain. Amalan yang begitu akan menghapuskan nilai pahala amal tersebut. Dalam novel tersebut juga telah diajarkan bagaimana untuk mendapatkan kebenaran. Pertama, kebenaran bersemayam di dalam dan sekaligus di luar diri manusia sendiri. Kebenaran tidak terikat, tetapi juga tidak terlepas sama sekali dari keberadaan manusia, hanya manusia belum menyadari. Kedua, kebenaran bersemayam di dalam diri manusia sendiri, pada hakikatnya ia tidak terperangkap di dalam tubuh manusia. Ia tidak bisa dibayabgkan seperti sebilah pedang yang berada di dalam Prosiding Seminar Nasional | 9
sarungnya. Ketiga, jangan mengandalkan kekuatan akal semata-mata untuk menemukan kebenaran sejati, karena akal yang tidak mendapat hidayah-Nya, justru akan mengikat dan menjerumuskan manusia ke jaring-jaring kejahilan yang menyesatkan. Keempat, bahwa kebenaran secara kebetulan tidak bisa menghampiri seorang pemalas yang tidak mencari-Nya. Dalam novel tersebut juga telah diajarkan kepada masyarakat bahwa dalam pengembangan pendidikan Islam tidak boleh hanya dikembangkan pengetahuan berdasarkan nalar saja, tetapi harus diimbangi dengan penegembangan pendidikan rohani atau pendidikan agama (Sunyoto 4, 2004: 58). Dalam novel Sang Pembaharu, Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar Buku Lima, juga menggambarkan muamalah yang terkait dengan persaudaraan dan tolongmenolong. Pada saat Abdul Jalil menceritakan kepada Wiku Suta Lokeswara bahwa ayahandanya Sri Mangana akan diserang dan dibunuh oleh raja Pasundan, ia langsung menyatakan siap pergi ke Caruban Larang untuk membantu Saudaranya karena ia telah menganggap bahwa Sri Mangana adalah saudaranya. Persaudaraan tidak mengenal agama. Meskipun antara Wiku Suta Lokeawara dan Sri Mangana berbeda agama, tetapi keduanya tetap menganggap saudara. Abdul Jalil dan Sri Mangana dalam membengun masyarakat baru yaitu masyarakat Islam yang tidak membeda-bedakan asal keturunan dan status sosial tidak hanya mendapat bantuan dari saudaranya sesama Islam, tetapi juga mendapat bantuan dari saudaranya yang berbeda agama. Hal tersebut semata-mata karena kekuasaan Allah SWT, Yang Maha Mengatur, dan Maha Menentukan segala-galanya. Sesungguhnya apa yang dianggap buruk oleh manusia, belum tentu buruh di hadapan Allah SWT. Sebaliknya, yang dianggap baik oleh manusia, belum tentu baik menurut Allah SWT. Gambaran persaudaraan dan saling tolong –menolong tersebut tampak pada kutipan sebagai berikut: Mendengar Sri Mangana teracam, Wiku Suta Lokeswara tiba-tiba merah wajahnya. Tanpa diminta ia menyetakan kesediaan untuk berangkat ke Caruban Larang demi membela saudaranya tersebut. “Hidup atau mati, kami adalah saudara. Baik atau buruk,kami juga saudara. Jika darahnya tumpah maka darahku pun harus tumpah pula ....” Mendengar tekaaad Wiku Suta Lokeswara untuk membela Sri Mangana, Abdul Jalil tercekat kaget. Ia tidak menduga jika ikatan persaudaraan antar ksetra yang pernah diungkapkan ibunda asuhanya, Nyi IndangGeulis, terbukti melebihi dugaannya.... Setelah membayangkan besarnya dukungan yang bakal diperoleh dari ksetra-ksetra, Abdul Jalil mengguman dalam hatinya “Ya Allah, bantuan yang hamba harapkan datanga dari sasudara-saudara hamba seagama seperti Sayyid Habbibullah alMu’athathal untuk mendukung perjuangan mulia ini terbukti telah engkau gagalkan. Sebaliknya, dukungan kuat justru hamba terima dari orang-orang yang paling tidak hamba sukai.... Tetapi, apa yang terjadi itu sesungguhnya bergantung mutlak pada kehendak.Mu. Engkau Zat Yang Maha Berkuasa, Maha Mengatur, dan Maha Menentukan segala-galanya. Sesungguhnya, apa yang hamba anggap buruk, belum tentu buruk. Sedangkan apa yang Engkau anggap baik, pastilah itu yang terbaik” (Sunyoto 5, 2004: 6-7).
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebagai saudara, kita harus saling membantu kepada saudara yang sedang mengalami musibah dan memerlukan bantuan. Dalam menjalin persaudaraan tidak perlu memandang agama, karena sesungguhnya setiap manusia adalah saudara. Bantuan tidak harus datang dari saudara seagama, kadang-kadang saudara seagma tidak mau saling membantu, tetapi 10 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
kadang-kadang bantuan tanpa diduga datang dari saudara kita yang lain agama. Saudara kita seagama belum tentu baik, sebaliknya saudara kita lain agama, belum tentu tidak baik. Bila Allah menghendaki, bisa terjadi, jstru pertolongan berasal dari saudara lain agama. Allah yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan segala-galanya. Dalam novel tersebut mengandung nilai saling tolong menolong tanpa membedakan status sosial, pangkat, jabatan, dan agama. Bila menolong hanya karena Allah, tidak mengarapkan imbalan sesuatu dari orang lain dan tidak membedakan status sosial,jabatan, dan agama. Peristiwa tersebut dapat menjadi contoh bagi kita bahwa pertolongan tidak selalu datang dari saudara seagama. Saudara seagama yang diharapkan kemungkinan justru tidak mau membantu. Sebaliknya, saudara dari lain agama yang dikira tidak baik, justru baik dan mau menolong kita bila Allah menghendaki, karena sesungguhnya Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan segala urusan manusia. Apa yang dikehendaki manusia belum tentu dianggap baik oleh Allah. Sebaliknya, apa yang dikehendaki Allah, pastilah yang terbaik bagi kita maupun bagi Allah. Dalam novel Sang Pembaharu, Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar karya Agus Suyoto juga menggambarkan hal yang terkait dengan pencarian pengetahuan tentang kebenaran menuju jalan sejati, yaitu pengetahuan tentang jalan pentingnya memahami pengetahuan menjelang mati. Barang siapa yang di akhir hayatnya atau nafat terakhirnya mengucapkan kalimat Lailaha illa Allah, maka ia akan masuk surga tanpa di hisab. Masalah pengetahuan menjelang ajal tersebut sangat penting karena kunci keselamatan seseorang di akhirat kelak ditentukan oleh bisa dan tidaknya seseorang dapat melafalkan Lailaha illa Allah di akhir hayatnya. Pada umumnya manusia tidak tahu atau melalaikan pengetahuan kunci keselamatan di akhirat dan banyak umat Islam yang pada saat menjelang ajalnya uga tidak mampu melafalkan kalimat Lailaha illa Allah. Hal tersebut sesuai dengan kutipan sebagai berikut: “Jalan keselamatan Allah SWT. Untukku? Aku dianugrahi-Nya pengetahuaan untuk bisa memilih jalan terang keselamatan? ... tidak banyak orang tahu bahwa citra keselamatan dan citra ketidakselamatan manusia akan terlihat saat menjelang ajal... Bahkan umlah umat Islam yang bisa mengucap Lailaha illa Allah dalam makna sebenarnya saat menjelang ajal bisa dihitung dengan jari”. Krena itu, sungguh sangat arif keinginan Paduka yang menempatkan tuntunan yang benar saat menjelang ajal itu sebagai pilihan utama. Sebab, di situlah terletak kunci rahasia keselamatan yang hampir selalu dilalaikan manusia (Sunyoto (3), 2004: 21-12).
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang kunci keselamatan manusia untuk mendapatkan jalan kebenaran sejati menuju akhirat, banyak orang Islam yang tidak tahu dan tidak mampu mengucapkan kalimat Lailaha illa Allah menjelang ajalnya. Dalam mencari ilmu atau pengetahuan, tidak mengenal tataran keturunan atau tataran sosial, artinya tidah harus orang tua atau guru yang harus mengajar kepada anak atau muridnya, atau orang kaya harus mengajar kepada orang miskin. Ukuran seorang guru adalah berdasarkan penguasaan ilmunya atau pengetahuannya. Seorang anak boleh mengajarkan ilmu atau pengetahuan kepada ayahnya, bila memang sang anak lebih pandai dan menguasai ilmu atau pengetahuan daripada orang tuanya. Demikian juga, bila seorang murid ternyata mempunyai ilmu atau pengetahuan yang tidak dimiliki gurunya, maka seorang murid bisa mengajarkan ilmunya kepada gurunya. Hal tersebut juga dialami oleh gurunya Syaikh Abdul Jalil yang minta diajari Prosiding Seminar Nasional | 11
dan dituntun mencari pengetahuan tentang jalan kebenaran sejati menuju akhirat. Hal tersebut tergambar jelas dalam kutipan berikut: “Engkau benar sekali , Anakku. Memang Allah SWT, sselama ini telah mengajarkan jalan kebenaran kepadaku. Namun, jalan kebenaran yang aku lewati itu belum selesai aku lintasi. Kini Allah SWT menyuruhku agar meninta engkau menuntun aku melewati lintasan jalan akhir kebenaran-Nya. Maklum, mungkin aku sudah tua bangka, rabun, dan tidak kuat lagi berjalan di atas jalan Kebenaran-Nya sehingga aku harus dituntun oleh yang lebih muda dan yang lebih tahu arah”(Sunyoto (3), 2004: 23).
Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar untuk mencari ilmu atau pengetahuan tidak memandang umur, status sosial, dan keturunan. Ukuran seseorang menjadi guru adalah penguasaan ilmu atau pengetahuannya. Seorang anak boleh mengajar orang tuanya, bila anaknya lebih menguasai ilmu. Seorang siswa juga bisa mengajarkan ilmu yang dikuasainya kepada gurunya, bila memang gurunya tidak memiliki ilmu atau pengetahuan tertentu. Contohnya, orang tua tidak tahu bahwa kunci keselamatan menuju akhirat adalah ucapan Lailaha illa Allah di akhir hayatnya, maka seorang anak yang telah mengetahui ilmu atau pengetahuan tersebut dapat memberi tahu atau mengajarkan ilmu tersebut kepada orang tuanya. Perilaku Si Mangana tersebut dapat memberikan contoh perubahan sikap para guru agar tidak selalu menganggap dirinyapaling tahu dan paling pinter dan selalu mengnaggap muridnya tidak tahu dan bodoh. Guru tidak perlu malu belajar pada muridnya, bila memang guru tidak tahu. Dalam novel tersebut juga mengandung nilai persaudaraan dan silaturahmi. Seseorang yang mempunyai saudara harus saling mencintai dan menyambung tali silaturahmi. Seorang yang mempunyai saudara dan saling mencintai, maka ia akan merasa rindu dengan saudaranya bila sudah lama tidak bertemu dengan saudaranya. Ia pasti ada perasaan dan keinginan untuk bertemu dengan saudaranya yang sudah lama tidak pernah berjumpa karena beperhian jauh. Hal tersebut juga dialami oleh Nyi Mas Gandasari. Ia mempunyai saudara yang bernama Abdul Jalil yang sudah lama pergi meninggalkan keluarganya ke Irak dalam rangka mencari ilmu. Nyi Mas Gandasari merasa rindu kepada adiknya, maka ia menyuruh ayahnya untuk mencari adiknya. Sri Mangana pun berusaha pergi ke Irak untuk mencari anaknya karena terdorong permintaan anaknya. Setelah Abdul Jalil kembali ke jawa dan silaturahmi ke ayahnya, maka ayahnya mengajak Abdul Jalil bersilaturahmi ke rumah Nyi Mas Gandasari, kakak Abdul Jalil. Setelah Nyi Mas Gandasari mengetahui bahwa yang datang dengan ayahnya adalah Abdul Jalil, adiknya yang sudah lama sangat dirindukannya, maka Nyi Mas Gandasari segera duduk berlutut dan merangkul adiknya sambil menangis tersedu-sedu melampiaskan rasa rindu dan kasih sayangnya kepada adiknya. Abdul Jalil pun membiarkan kakaknya menumpahkan segala rasa rindu dan kasih sayangnya kepada dirinya, sehingga jubah di bahunya basah oleh airmata kerinduan dan kebahagiaan kakaknya. Tangisan dan air mata kakaknya merupakan tanda kerinduan dan kasih sayannya kepada adiknya. Kerinduan, kasih sayang, dan kelembutan Nyi Mas Gandasari kepada adiknya tersebut tampak pada kutipan sebagai berikut: Sekalipun kesaktian dan keteguhan Nyi Mas Gandasari sudah termasyhur melebihi laki-laki, hati yang tersembunyi di dalam dadanya sesungguhnya tetaplah hati permpuan yang penuh kasih dan kelembutan. Hal itu terlihat tatkala Sri Mangana 12 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
mengunjunginya dengan mengajak Abdul Jalil....Saat ayahanda amgkatnya menjelaskan bahwa laki-laki muda yang duduk di hadapannya adalah adaik yang selalu dirindukannya selama bertahun-tahun, yaitu San Ali, runtuhlah keteguhan bukit karang hatinya yang termasuhr itu. Bagaikan selembar kain jatuh, dia duduk berlutut dan merangkul adik yang dirindukannya sambil menangis tersedu-sedu. Dia menjadi perempuan biasa yang berhati sangat lembut (Suyoto 3, 2004: 63-64).
Uraian tersebut memberikan contoh kepada masyarakat bahwa seseorang yang mempunyai saudara harus saling mencintai. Bila sesorang saling mencintai saudaranya, maka ia akan merasa rindu kepada saudaranya bila sudah lama tidak berjumpa dan ada perasaan dan keinginan bersilaturahmi untuk menjalin dan mempererat hubungan persaudaraan. Silaturahmi kepada sesama saudara menrupakan ajaran Islam. Islam memerintahkan kepada manusia agar saling bersilaturahmi untuk mempererat hubungan persaudaraan. Rasulullah bersabda bahwa barang siapa yang suka bersilaturahmi, maka akan diberi umur panjang, diberikan rezeki yang banyak, dan mempererat hubungan persaudaraan. Dalam bersilaturahmi tidah mengenal bahwa yang muda harus bersilaturahmi ke yang lebih tua, atau yang miskin bersilaturahmi ke yang kaya. Dalam bersilaturahmi, Islam tidak membeda-bedakan umur dan status sosial. Barang siapa yang bersilaturahmi, dialah yang mendapatkan bahala. Barang siapa yang punya kesempatan, bersilaturahmilah karena ia yang akan mendapatkan pahala, tidak harus yang muda bersilaturahmi ke yang tua, yang miskin ke yang kaya. Perbuatan Sri Mangana yang bersilaturahmi ke rumah anaknya, merupakan contoh yang sangat baik bagi masyarakat. Meskipun ia orang tua, tetapi mau bersilaturahmi ke anaknya. Dalam kehidupan masyarakat postmodern saat ini, khususnya masyarakat yang tinggal di kota besar dan berstatus sosial tinggi, akan semakin bersifat individual dan materialistik. Bahkan dengan sesama tetangga pun, kadang-kadang tidak kenal dan tidak saling menyapa, apalagi melakukan silaturahmi, karena mereka disibukkan dengan berbagai aktivitas dan pekerjaan yang sangat padat. Kegiatan silaturahmi sangat jarang dilakukan. Bahkan silaturahmi hanya dilakukan sekali dalam satu tahun, yaitu setiap hari raya Idul Fitri. Padahal silaturahmi merupakan ajaran dan perintah agama. Namun, masyarakat sekarang sangat jarang melakukan silaturahmi. Manusia sebenarnya tidak sendirian, manusia pada dasarnya makhluk sosial yang keberadaannya di dunia membutuhkan orang lain dan tidak bisa hidup sendirian. Seperti yang dirasaan Abdul Jalil bahwa pada awalnya ia merasakan hidup sendirian sebatang kara. Namun, setelah dijelaskan oleh ayahandanya bahwa ia mempunyai saudara perempuan dan punya saudara laki-laki dan memiliki saudara-saudara yang lain yang ada hubungan darah maupun kekerabatan, dan diajak bersilaturahmi ke tempat saudaranya, baru ia sadar bahwa sebenarnya dunia ini seakan-akan sangat sempit. Ke mana-mana dia berada selalu dipertemukan dengan orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengannya. Orang-orang yang merasa bisa hidup sendirian tanpa menggantungkan atau membutuhkan orang lain, karena mereka enggan bersilaturahmi, sempit wawasan, membagakan status sosial dan keturunan, dan kekerdilan jiwanya (Suyoto 3, 2004: 81). Dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua harus menjelaskan kepada anaknya atau kerabatnya bahwa mereka sebenarnya memiliki saudara baik karena hubungan darah ataupun hubungan kekerabatan yang tempatnya mungkin saling berjauhan. Di samping itu, orang tua juga harus sering mengajak anak-anaknya untuk saling siling bersilaturahmi untuk menyambung dan mempererat hubungan Prosiding Seminar Nasional | 13
persaudaraan antara mereka. Tanpa penjelasan dari orang tua atau kerabat yang lain dan silaturahmi, hubungan antarsaudara bisa saling retak dan semakin jauh. Oleh sebab itu, silaturahmi kepada saudara atau kerabat, baik yang ada hubungan darah ataupun karena hubungan kekerabatan sangat penting untuk mempererat hubungan persaudaraan dan akan mendapat pahala dari Allah Subhanahu Wataala. Dalam novel tersebut juga digambarkan masalah muamalah yang terkait dengan kekuasaan dan perebutan tanah Caruban Larang sebagai samiddha antara kerajaan Pasundan dengan kerajaan Demak, sehingga menyebabkan konflik antara kerajaan Pasundan dengan kerajaan Demak. Samiddha adalah hutan yang kayunya tidak boleh untuk berbagai kepentingan, kecuali untuk upacara-upacara persembahan kepada dewa dan arwah leluhurnya. Hutan samiddha disucikan dan terlarang untuk siapa pun yang tidak berhak memasukinya (Sunyoto 3, 2004: 76). Namun, konflik tersebut akhirnya dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai sepakat antara kedua belah pihak melalui perantara penguasa Palembang. Hutan Caruban Larang akhirnya disepakati dikembalikan menjadi samiddha milik Sang Bhumi. Hal tersebut tampak pada kutipan sebagai berikut: ... Pamanda Raden Kusen telah menyatakan bahwa Pakuwuan Caruban tidak lagi berada di bawah kekuasaan Maharaja Sunda, tetapi di bawah Demak.... Tntu saja keputusan Raden Kusen itu menimbulkan kemarahan semua orang Sunda dan hampir terjadi perang besar.... Lalu diputuskan oleh ayahandaku untuk menyelesaikan perkara samiddha melalui jalan damai perundingan. Demikianlah, setelah melalui beberapa kali pertemuan akhirnya kedua belah pihak yang berselisih mencapai kesepakatan.... Akhirnya. Dengan penengah Tuan Milinadi, diambil kata sepakat oleh kedua belah pihak untuk mengembalikan Caruban Larang sebagai samiddha milik Sang Bhumi (Sunyoto 3, 2004: 82-84).
Perebutan kekuasaan dan tanah akan dapat diselesaikan dengan cara damai, yaitu dengan jalan musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Perebutan kekuasan dan tanah tidak harus diselesaikan dengan cara perang, karena peperangan justru akan menghancurkan kedua belah pihak dari berbagai aspek dan dampaknya sangat luar biasa membuat kerusakan di bumi, yang menjadi kurban adalah rakyat. Oleh sebab itu, konfli seperti apa pun sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan, tanpa harus melalui jalan perang, agar tidak menimbulkan kurban dan membuat kerusakan di bumi. Peristiwa tersebut merupakan contoh yang sangat baik bagi masyarakat Indonesia pada khususnyadan dan masyarakat dunia pada umumnya bahwa perbutan kekuasaan atau tanah negara seharusnya diselesaikan melalui jalan musyawarah untuk mencapai kesepakatan kedua belah pihak yang saling berkonflik, tidak harus diselesaikan dengan jalan peperangan, yang dampaknya adalah kerusakan peradaban dunia, kematian, dan kesengsaraan ribuan bahkan jutaan umat manusia seperti yang terjadi di belahan dunia Arab saat ini. Dalam novel tersebut juga dijelaskan tentang muamalah yang terkait dengan dakwah dan toleransi. Dalam mengembangkan dakwah Islam tetap harus memperhatikan toleransi kepada agama dan kepercayaan masyarakat setempat. Tidak boleh dalam berdakwah mengandung unsur sara bahwa yang paling benar adalah agama Islam sedangkan agama dan kepercayaan lain adalah tidak benar, sesat, dan kafir. Islam adalah agama rahmatan lil alamin, yaitu agama yang memberikan rahmat, melindungi, dan menghormati semua orang, sehingga dalam berdakwah Islam, justru 14 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
tidak boleh mencaci maki agama lain dan pemeluk agama dan kepercayaan lain. Gambaran berdakwah menyebarkan Islam dengan saling menghormati agama dan kepercayaan lain tampak ada kutipan sebagai berikut: “Maksudku, meski niat utama beliau membangun padepokan di tanah larangan ini adalah semat-mata untuk mengembangkan dakwah Islam, beliau tetap menghormati kepercayaan orang-orang setempat. Beliau memahami bahwa sesungguhnya Padepokan” Giri Amparan Jati yang terletak di samiddha Caruban tidak hanya dianggap sebagai milik orang-orang muslim, tetapi juga dianggap sebagai milik semua orang Sunda dan Jawa, tidak peduli apakah di Muslim, Hindu atau Budha” (Sunyoto 3, 2004: 87-88).
Uraian di atas memberikan contoh kepada masyarakat, khususnya para dai atau mubalikh bahwa bila berdakwah menyebarkan Islam tetap harus mengedepankan toleransi terhadap agama dan kepercayaan lain. Dalam berdahwah tidak boleh justru menghina dan mencemarkan agama dan kepercayaan lain serta pemeluknya. Dalam hidup di masyarakat, harus saling toleran , saling menghormati dan menghargai serta mengakui keberadaan agama, kepercayaan, dan pemeluk agama lain. Bila masyarakat sudah saling menghormati, menghargai, dan mengakui keberadaan agama, kepercayaan, dan pemeluknya, maka kehidupan masyarakat akan dapat mencapai kebahagiaan, kedamaian, keadilan, keindahan,dan kesejahteraan hidup di dalam masyarakat. Toleransi tersebut juga dijadikan dasar Abdul Jalil dalam membangun masyarakat baru kota Caruban. Ia tidak mau membangun masyarakat baru, tetapi dengan menghacurkan peradapan dan sejarah masa silam, karena pada dasarnya kehidupan manusia itu merupakan rangkaian sejarah masa silam yang saling terkait satu sama yang lain, bagaikan perhiasan kalung mutiara. Peradapan dan sejarah masa sialam justru dapat dijadikan akar penguat dalam membangun tradisi masyarakat baru yang lebih baik dan sejahtera. Bahkan nama-nama tempat juga mengandung makna sejarah bagi kehidupan manusia masa silam dan akan terkait dengan kehidupan manusia masa kini maupun di masa mendatang. Hal tersebut tampak pada kutipan sebagai berikut: Abdul Jalil sadar betapa di balik nama-nama tempat yang ada di permukaan bumi, ssungguhnya tersembunyi makna sejarah yang dalam dari kehidupan manusia masa silam yang terkait dengan kehidupan manusia masa kini danm mendatang. Ia sadar bahwa kehidupan manusia pada hakekatnya adalah rangkaian sejarah yang sambungmenyambung ibarat untaian perhiasan kalung mutiara. Lantaran itu, ia tidak ingin menuangkan gagasan dan impiannya membangun sejarah kehidupan baru dengan membinasakan seluruh sisa kehidupan lama yang bisa dimanfaatkan sebagai akar penguat (Sunyoto 3, 2004: 88-89).
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam membangun masyarakat baru tetap harus dilandasi toleransi, saling menghargai, menghormati, dan melindungi sejarah dan peradapan masa silam, karena pada hakekatnya membangun kehidupan masyarakat baru yang lebih maju pada hakekatkanya tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan peradapan manusia pada masa silam, bahkan dapat dijadikan akar penguat peradapan masyarakat baru.
Prosiding Seminar Nasional | 15
Masalah tersebut dapat dijadikan sebagai contoh bagi masyarakat dan para pemimpin pada masa kini, agar dalam membangun masyarakat dan negara harus tetap memperhatikan sejarah dan peradapan masyarakat yang sudah ada. Jangan sampai sejarah, peradapan, dan karya-karya pemimpin pendahulunya justru dianggap kuno dan tidak ada manfaatnya, sehingga tidak dihiraukan dan bahkan diahancurkan tanpa dilandasi toleransi. Seorang pemimpin dapat mengambil keputusan yang menyangkut masyarakat banyak harus selalu mengedepankan toleran dan musyawarah yang dilandasi pikran dan hati. Dalam pengambilan keputusan harus memperhatikan antara pikiran dan hati. Di samping, memperhatikan kebaikan, keindahan, dan kepentingan masyarakat banyak, tetapi juga memperhatikan nasib masyarakat yang menjadi korban pembangunan. Resistensi dan dampak negatif harus ditekan seminimal mungkin agar tidak banyak merugikan masyarakat kecil. Dalam novel tersebut juga digambarkan masalah muamalah yang terkait dengan kepedulian sosial terhadap orang lain atau masyarakat, yaitu orang arif atau orang yang sudah memiliki pengetahuan dan kesadaran terhadap lingkungan masyarakat. Seorang yang arif harus mempunyai kepedulian terhadap kehidupan masyarakat yang sedang terjebak ke dalam perangkat kejahilan, memiliki semangat untuk membebaskan kaum yang tertidas, membebaskan dari para budak yang tertindas dari para majikannya, harus menolong masyarakat yang akan terkenan bencana, membangunkan saudarasaudaranya dari mimpi kosong, dan harus mengingatkan saudara-saudaranya tentang akan datangnya marabahaya yang akan membahayakan kehidupan masyarakat. Seorang yang arif harus menghilangkan sifat-sifat keakuan pribadi dan rasa pamrih terhadap kehidupan duniawi demi lahirnya suatu kehidupan masyarakat baru yang selaras dan seimbang dengan hukum-hukum Tuhan, rela berkurban seperti hujan yang telah membasahi seluruh bumi sehingga muncul benih-benih kehidupan baru, dan rela berkurban seperti matahari yang menyinari seluruh alam dan memberikan kehangatan kepada seluruh makhluk di mumi, tanpa mengharapkan balasan apa pun, dan meneladani seluruh aktifitas kehidupan Nabi Muhammad SAW, dalam rangka melakukan perubahan untuk menciptakan masyarakat baru yang lebih baik (Sunyoto 3, 20004: 193-195). Untuk membangun masyarakat baru, harus dimulai dengan pendidikan. abdul Jalil dalam membangun masyarakat baru juga dimulai dengan mengubah sistem pendidikan. Dengan pendidikan masyarakat akan memiliki pengetahuan. Sistem pendidikan lama yang hanya mengajarakan ilmu agama seperti nahwu, sharf, tafsir, hadist, ditambah dengan ilmu balaghoh, fiqih madzhaf Syafingi, Hambali, Hanafi, Maliki, ilmu-ilmu Alquran, filsafat, dan ilmu hikmah. Dalam novel Sang Pembaharu, Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar karya Agus Suyoto mengambarkan akhlak yang baik Sayik Datuk Kahfi. Meskipun ia orang yang lebih tua dan sebagai guru, tetapi sangat menghormati Abdul Jalil sebagai saudara sepupu dan sekaligus murid kesayangannya. Tutur bahasanya halus, sopan, dan sikapnya merendah. Ia sebagai saudara sepupu dan sekaligus gurunya, meminta kepada muridnya agar diajari pengetahuan tentang jalan Kebenaran Sejati mnuju ke Tuhan. Meskipun ia sebagai guru, tetapi ia tahu bahwa muridnya telah menemukan dan menguasai hakekat kebenaran yang selama ini dia cari dengan pergi ke Baghdad. Oleh sebab itu, dengan penuh rasa hormat dan merendah kepada muridnya, ia meminta agar diajari ilmu tentang hakekat Kebenaran Sejati menuju Tuhan. Gambaran tersebut tampak pada kutipan sebagai berikut:
16 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Syaikh Datuk Kahfi mengangguk haru mendengar uraian Abdul Jalil. Dia menangkap sasmita bahwa saudara sepupi sekaligus siswa kesayangannya itu kiranya telah menemukan hakikat Kebenaran yang selama ini dicarinya. Dengan suara bergetar dia berkata, “Aku tahu, o Anakku, bahwa engkau telah menemukan apa yang engkau cari selama ini. Karena itu, ajarilah aku tentang jalan Kebenaran Sejati menuju-Nya” (Sunyoto (3), 2004:22).
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Syaikh Datuk Kahfi sebagai saudara sepupu dan sekaligus sebagai guru Abdul Jalil, tetapi ia sangat menghormati muridnya. Dengan sikap, perilaku, dan tutur bahasa yang halus dan merendah, ia minta diajari ilmu tentang Kebenaran Sejati. Meskipun Syaikh Datuk Kahfi sebagai guru, ia tahu bahwa muritnya lebih tahu dan memahami ilmu tentang Kebenaran Sejati menuju Tuhan. Oleh sebab itu, ia sebagai gurunya, tidak merasa malu mita diajari tentang ilmu Kebenaran Sejati kepada siswa kesayangannya. Sikap dan perilaku Syaik Datuk Kahfi tersebut dapat menjadi contoh yang baik bagi para guru bahwa seorang guru tidak selalu lebih pandai daripada muridnya dan selalu harus minta dihormati oleh muridnya. Seorang guru bila memang tidak tahu tentang sesuatu, tidak perlu malu minta diajari muridnya. Seorang guru juga harus menghormati kepada muridnya. Jadi, guru dan murid boleh saling belajar dan saling menghormati. Itulah contoh akhlak yang baik. Dalam novel tersebut juga digambarkan nilai kesederhanaan Sri Mangana. Ia digambarkan sebagai seorang raja yang sangat sederhana atau sahaja. Pada saat ia tidak dinas, ia hanya memakai kain putihyang menutupi tubuhnya dari perut hingga ke lutut. Kepalanya gudul yang ditumpui rambut yang halus tanta menggunakan mahkota sebagaimana raja pada umumnya.ia tidak pernah memakai mahkota emas sebagaimana raja-raja pada umumnya. Pada saat berdinas pun tubuhnya yang sangat gagah haya ditutupi jubah putih. Semuanya dibuat dari kain katun kasar dan tanpa hiasan. Sri Mangana juga dikenal sebagai seorang raja yang ramah dan suka bergaul dengan siapa saja, raja, pangeran, saudagar, rohaniawan, kepala desa, pedagang kecil, pengrajin, dan nelayan. Ia juga dikenal sebagai pelindung kaum fakir-miskin, penegak keadilan, dan pemberi pengayomaan bagi kaum yang lemah. Karta kekayaannya terbuka untuk siapa saja yang membutuhkan. Ia juga dikenal sebagai seorang raja yang saleh dan taat beribadah. Setiap sore setelah menjalankantugasnya sebagai raja, ia juga menyempatkan diri mengajar agama. Sri Mangana juga dikenal sebagai raja yang tidak pernah membeda-bedakan berdasarkan warna kulit dan aliran darah. Ia selalu terlihat bersahaja meskipun telah menduduki raja. Akhlak Sri Mangana tersebut tampak pada kutipan sebagai berikut: Sri Mangana sendiri dikenal sebagai orang yang bersahaja, juga dikenal sebagai raja yang ramah dan suka bergaul dengan berbagai jenis manusisa mulai raja-raja, pangeran, saudagar, ruhaniawan, kepala desa, pedagang kecil, bahkan pengrajin dan nelayan. Ia juga dikenal sebagai pelindung kaum fakir miskin, penegak keadilan, dan pemberi pengayoman bagi yang lemah. Harta kekayaannya senantiasa terbuka bagi mereka yang membutuhkan. Ia dikenal sebagai raja yang sangat saleh dan taat menjalankan perintah agamanya.... tidak pernah membeda-bedakan keberadaan manusia berdasarkan warna kulit dan aliran darah. Ia selalu terlihat bersahaja, meski telah menduduki tahta Caruban Larang (Sunyoto (3), 2004: 38 dan 41).
Prosiding Seminar Nasional | 17
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang yang memiliki akhlak yang baik, hidupnya bersahaja atau sederhana, ramah, suka bergaul tanpa membeda-bedakan warna kulit, keturunan, status sosial, dermawan, suka menolong kepada siapa pun yang membutuhkan, memperhatikan kepada fakir-miskin, saleh dan taat beribadah kepada Tuhan. Nilai kesederhanaan tersebut dapat dijadikan contoh bagi para pejabat negara agar hidup sederhana, ramah, suka bergaul tanpa membeda-beda status sosial, pangkat dan menjadi penolong dan pelindung rakyat. Dalam novel tersebut juga mengandung nilai kesederhanaan seorang permaisuri raja yang bernama Nyi Indang Geulis. Meskipun seorang permaisuri raja, tetapi hidupnya sangat bersahaja sehingga tidak mengesankan sebagai permaisuri raja. Ia juga tidak memakai perhiasan berlebihan sebagaimana seorang istri raja. Namun, ia tetap kelihatan berwibawa, anggun, dan berwibawa terpancar dari dalam dirinya. Dibalik ketegasannya, penuh semangat, berwibawa, dan cenderung menguasai, namun sesungguhnya di dalam dirinya tersembunyi sifat kesabaran yang tak tertandingi. Karena kesabarannya itulah, maka ia diangkat menjadi penghulu para perempuan yang dicintai Allah pada zamannya. Gambaran akhlak Nyi Indang Geulis tersebut tampak pada kutipan sebagai berikut: Tidak berbeda jauh dengan Sri Mangana, Nyi Indang Geulis, sang permaisuri yang adalah ibunda asuh Abdul Jalil, dalam pertemuan itu juga tampil seperti biasanya, yakni sangat bersahaja tidak mengenakan perhiasan berlebih di tubuhnya, kecuali dua pasang giwang emasdengan hiasan permata sebesar butiran kacang. Meski demikian, keanggunan dan kewibawaan seorang permaisuri memancar agung dari citra dirinya....Mereka yang melihat dari amata indriawi tidak akan mampu menangkap kenyataan betapa di dalam penampilan ibunda asuhnya yang tegas, penuh semangat, berwibawa, dan cenderung menguasai itu sesungguhnya tersembunyi kesabaran yang tak tertandingi. Bahkan, lantaran kesabarannya itulah dia diangkat menjadi penghulu para perempunan yang dicintai Allah pada zamannya (Sunyoto, (3), 2004: 42 dan 45).
. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Nyi Indang Geulis sebagai permasisuri raja memiliki akhlak yang baik. Ia sangat bersahaja, tidak mengenakan perhiasan yang berlebihan sebagaimana layaknya permaisuri raja. Di balik ketegasan, keanggunan, semangat, tegar, dan kewibawaannya, terpancar citra yang agung dalam dirinya dan memiliki sifat kesabaran yang tak tertandingi, sehingga diangkat menjadi penghulu para perempuan yang dicintai Allah. Ia tidak lagi pernah marah karena tidak ada lagi yang bisa msembuatnya marah. Sebagai seorang permaisuri, ia telah dapat mencapai kebenaran sejati karena telah mampu membebaskan dirinya dari dorongan sifat keangkuhan, kesombongan, dan merasa memiliki terhadap segala sesuatu. Ia telah mampu membebaskan diri dari rasa memiliki yang ada di sekitarnya. Semuanya hanyalah milik Allah. Ia lepaskan segala sesuatu yang merasa dimilkinya dengan penuh rasa sabar dan iklas. Termasuk suami, anak, dan kekayaan, semuanya milik Allah. Ia telah merelakan dengan penuh kesabaran dan keiklasan orang lain ikut menikmati kebahagiaan dengan suaminya. Ia telah mengetahui ajaran dari gurunya bahwa amalan yang paling menyiksa, tetapi sangat utama bagi perempuan adalah sabar dan iklas di madu. Gambaran kesabaran dan keiklasan seorang permaisuri tersebut tampak pada kutipan sebagai berikut: “Syukurlah, kejahilan jiwaku yang gelap. Pengab, dan panas laksana api itu berangsurangsur pupus digantikan pancaraan keindahan ketika aku lewati liku-liku pendakian 18 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
hidup yang curam dan terjal. Perlahan-lahan tapi pasti, aku tinggalkan beban keakuan yang memberati punggungku. Aku lepaskan keterikatanku pada suami. Aku lepas rasa kepemilikanku terhadap suami. Saat itu aku yakinkan sepenuh jiwaku bahwa sesungguhnya suamiku bukanlah milikku. Suamiku adalah milik Allah. Demikian pun, aku tekan rasa kepemilikanku untuk bisa bersabar dab iklas menyaksikan perempuan lain-para maduku-menikmati kebahagiaan bersama suamiku. Ah, betapa indah saat aku bergulat mati-matian memerangi diriku sendiri. Betapa indahnya saat aku menitikkan air mata di lereng terjaal pendakianku. Dan, betapa indah saat awal aku gapai puncak kemenanganku ”(Sunyoto 3, 2004: 53-54).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang berakhlak baik dan dapat mencapai kebenaran sejati, kebahagiaan, dan keindahan hidup, apabila seseorang dengan sabar dan iklas telah mampu melepaskan diri dari sifat keakuan, kesombongan, rasa memiliki terhadap segala sesuatu yang dianggap miliknya, seperti suami, anak, keluarga, kehormatan, kemuliaan, jabatan, dan kekayaan. Semuanya itu adalah milik Allah, sehingga ia dengan sabar dan iklas membiarkan perempuan lain ikut menikmati kebahagiaan bersama suaminya. Akhlak yang baik penuh kasih dan kelembutan juga dimiliki oleh Nyi Muthmainah yang lebih dikenal Nyi Mas Gandasari. Di samping memilki akhlak yang baik, ia juga merupakan wanita yang sangat cantik, sakti, teguh pendiriannya, dan sangat termasyhur melebihi seorang laki-laki. Namun, ia tetap perempuan yang memiliki hati yang lemah lembut dan penuh kasih. Kelembutan hati dan penuh kasih Nyi Mas Gandasari tersebut tampak pada kutipan sebagai berikut: “Sekalipun kesaktian dan keteguhan Nyi Mas Gandasari sudah termasuhur melebihi laki-laki, hati yang tersembunyi di dalam dadany sesungguhnya tetplah hati perempuan yang penuh kasih dan kelembutan....Dia menjadi permpuan biasa yang berhati sangat lembut “(Sunyoto 3, 2004: 63-64). Uraian di atas memberikan contoh kepada masyarakat bahwa meskipun Nyi Mas Gandasari seorang wanita yang sangat cantik , sakti, dan teguh, namun tetap memiliki akhlah yang baik, lemah lembut dan penuh kasih. Seorang wanita, meskipun cantik, sakti, dan kaya raya tidak boleh memiliki sifat sombong dan hidup berfoya-foya dan glamor yang suka memamerkan kekayaannya. Sesorang yang sombong dan angkuh justru membebani hidupnya. Ia tidak akan bahagia dan merasakan keindahan hidup di dunia. Seseorang yang merasa bahagia dan indah dalam hidupnya justru orang yang rendah hati, sabar, iklas, dan mencintai kepada sesamanya. Dalam novel BumiCinta mengandung nilai kekuatan iman tokoh Ayyas seorang santri salaf yang hidup di dalam masyarakat Rusia yang sangat bebas dalam pergaulan dan free sex-nya. Kota Moskwa yang sangat terkenal dengan kehidupan bagaikan surga kebebasan di dunia. Kehidupan masyarakat yang sebagian besar tidak mengenal agama. Mereka beranggapan bahwa hidup yang bahagia adalah hidup yang bebas tidak terikat oleh aturan-atran agama. Masyarakat Rusia yang kehidupan pada umumnya sangat bebas dalam pergaulan dan free sex-nya dan tidak terikat pada aturan agama, merupakan poduk manusia Rusia yang pada umumnya sejak dulu menganut ajaran Marxisme, yang tidak mengakui adanya Tuhan. Di Rusia inilah tokoh santri salaf, Ayyas berjuang dan mempertahankan keimanannya. Keimanannya diuji dengan kecantikan wanita, seperti Yalena, Linor, dan Anastasia, yang dapat meruntuhkan iman seorang laki-laki normal mana pun. Kecantikan wanita merupakan salah satu godaan iman yang paling berat. Hal tersebut sesuai dengan kutipan sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional | 19
“Di negara seperti Rusia, orang-orang yang beriman tidaklah mudah menjaga dan mempertahankan imannya. Musuh iman di mana-mana. Berkeliaran setiap detik. Dan mereka lebih kejam, lebih buas, lebih licik, dan lebih sadis bila dibandingkan dengan musuh-musuh iman yang ada di negara yang terkenal bebas dan sekuler seperti Amirika Serikat sekalipun” (Shirazy, 2010: 6).
Kehidupan masyarakat Rusia yang sangat bebas dalam pergaulan dan free sexnya merupakan produk dari manusia-manusia Rusia yang sebagian besar bebas dalam pergaulan dan free sex-nya, karena dalam hidupnya tidak dikendalikan ajaran-ajaran agama. Bahkan agama dianggap merupakan belenggu bagi kehidupan manusia rusia. Itulah sebabnya, orang-orang Rusia pada umumnya tidak mengenal Tuhan atau atheisme. Tokoh Ayyas merupakan simbolik seorang pemuda yang kuat imannya yang hidup di tengah-tengah masyarakat yan bebas dalam pergaulan dan free sex-nya. Namun, Ayyas tetap mampu mempertahankan keimannya dari godaan wanita-wanita cantik seperti Yalena, Linor, dan Anastasia. Kekuatan keimanan Ayyas tersebut dapat menjadi contoh kepada generasi masa depan, agar memiliki iman yang kuat, sehingga keimanannya tidak runtuh karena godaan kecantikan wanita. Wanita cantik merupakan godaan paling berat bagi seorang laki-laki yang tidak kuat imannya. Dalam novel Ayat-Ayat Cinta juga mengandung nilai keimanan dan semangat mencari uilmu yang tinggi yang digambarkan dalam tokoh Fahri.Fahri digambarkan sebagai seorang mahasiswa yang mempunyai iman yang kuat, memiliki semangat belajar yang tinggi, sehingga di tengah-tengah cuaca panas di kota Mesir, ia tetap keluar dari asramanya untuk belajar Alquran secara langsung kepada ulama besar Mesir yang bernama Syaikh Mahmoud Khushari. Ia merupakan satu-satunya murid dari Indonesia dan menjadi anak emas sang guru dari sepuluh muridnya. Kekuatan iman Fahri itulah yang telah menggerakkan hatinya tetap keluar dari asrama untuk belajar Alquran kepada Syaikh Mahmoud Khushari. Hanya orang-orang yang benarbenar tebal imannyalah yang mau dan mampu menggugah dan menggerakkan hati mereka untuk pergi salat berjamaah ke masjid. Hal tersebut tampak dalam kutipan sebagai berikut: “Memang, istirahat di dalam flat sambil menghidupkan pendingin ruangan jauh lebih nyaman daripada berjalan ke luar rumah, meski sekedar untuk shalat berjamaah di masjid. Panggilan azan Zuhur dari ribuan menara yang bertebaran di seantero kota hanya mampu menggugah dan menggerakkan hati mereka yang benarbenar tebal imannya” (Shirazy, 2005; 26). Fahri juga digambarkan sebagai seorang yang mempunyai iman yang kuat dan mempunyai semangat yang tinggi belajar ilmu agama, sehingga ia menjadi salah satu mahasiswa yang terpandai dan hafal Alquran di antara mahasiswa yang lain serta menjadi anak emas Syaikh Mahmoud Khushari. Hal tersebut tampak dalam kutipan sebagai berikut: Tahun ini, setelah melalui ujian ketat beliau hanya menerima sepuluh orang murd. Aku termasuk sepuluh orang yang beruntung itu. Lebih beruntung lagi, beliau sangat mengenalku. Itu karena sejak tahun pertama kuliah aku sudah menyetorkan hafalan Alquran pada beliau di serambi Masjid Al-Azhar. Juga karena di antara sepuluh orang yang terpilih itu ternyata hanya diriku seorang yang bukan orang Mesir. Aku satusatunya orang asing dan sekaligus satu-satunya yang dari Indonesia. Tak heran jika beliau menganakemaskan diriku. Dan teman-teman dari Mesir tidak ada yang merasa iri dalam masalah ini, mereka semua simpati padaku (Shirazy, 2005: 17). 20 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Keimanan Fahri terhadap Alquran juga bukan sekedar percaya dan menganggap suci kepada Alquran. Mekipun ia telah hafal Alquran, tetapi ia tetap selalu emangat belajar membaca dan menghafal dengan benar serta mengkaji kandungan atau isi Alquran serta mengamalkan ajaran-ajarannya dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Di tengah-tengah kesibukannya yang padat, ia selalu menyempatkan mengaji dan belajar Alquran. Untuk mengaji Alquran, ia tidak takut berbagai tantangan seperti teriknya matahari dan jauhnya tempat belajar. Setiap Minggu dua kali, ia harus belajar Alquran kepada Syaikh Usman Abdul Fattah yang jauhnya sekitar lima puluh kilometer dari tempat tinggalnya di apartemen. Semangat Fahri belajar Alquran tersebut tampak pada kutipan berikut: “Siang yang melelahkan. Umbun-umbun kepalaku rsanya mendidih. Cuaca benar-benar panas. Yng berangkat talaqqi (belajar menghafal Alquran berhadapan langsung dengan gurunya) pada Syaikh Utsman hanya tiga orang. Aku, Mahmoud dan Hisyam. Syaikh Utsman jangan ditanya. Disiplin beliau luar biasa ... Aku bertiga membaca tigs ksli lipst dsri bissanya. Jatah membaca Alquran sepuluh orang kami bagi bertiga ((Skirazy, 2005: 57)”.
Fahri selalu berusaha untuk menjaga imannya dengan selalu ingat kepada ajaran Islam, menjalankan perintah ajaran Islam dan berusaha belajar menjauhi larangannya. Karakter dan perilaku Fahri dapat dijadikan contoh bagi para generasi Indonesia masa depan agar memiliki iman yang kuat dan memiliki semangat untuk mencari ilmu dan selalu belajar Alquran meskipun ia telah hafal Alquran, sebagai bekal hidup di dunia maupun di akhirat kelak. Dalam novel Bumi Cinta juga digambarkan tokoh Ayyas sebagai seorang pemuda santri salaf yang rajin salat. Di tengah- tengah kesibukannya dan di man pun, ia selalu tidak meninggalkan salat dan membaca Alquran. Gambaran tersebut tampak pada kutipan berikut: “ Yalena sampai di apartemen ketika Ayyas sedang salat. Suara Ayyas membaca Alquran ketika salat terdengar sangat jelas... yalena mendengar salam Ayyas, tanda salatnya telah selesai....” (Shirazy, 2010: 49). Di tengah-tengah kesibukan Ayyas di mana pun ia selalu salat. Meskipun di Moskwa mencari masjid sangat sulit, karena mayoritas penduduknya nonmuslim. Mencari masjid di Moskwa tidak semudah mencari masjid di Indonesia atau di New Delhi Hindia. Tetapi, ia selalu berusaha untuk selalu salat. Pada saat ia seharian sibuk di kampus MGU, ia segera bergegas mencari tempat untuk salat. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: “ Keluar dari kampus MGU Ayyas langsung bergegas mencari tempat untuk sujud dan rukuk. Ia hampir lupa salat zuhur. Setelah lebih tiga hari di Moskwa, keringanan untuk menjamak dan mengqasar sudah tidak ada lagi... waktu solat hampir habi dan Ayyas belum juga mendapatkan tempat untuk salat. Ia tahu bahwa mencari masjid di Moskwa tidak semudah mencari masjid di Jakarta atau di New Delhi Hindia ... Akhirnya ia ia nekat, ia masuk stasiun Universiteit dan mencari sudut untuk bisa sujud kepada Allah Azza Wa Jalla” (Shirazy, 2010: 84). Kerajinan salat Ayyas di mana pun digambarkan pada saat Ayyas di ruang Profesor Tomskii. Ia telah merebahkan tubuhnya di sofa sejenak. Ia telah memasang alarm sebagai tanda manjingnya waktu salat. Ia telah tertidur pulas, pada saat ponselnya berdering sebagai tanda telah manjing waktu salat. Ia segera bangun mengambil air wudhu dan melaksanakan salat. Gambaran tersebut tampak pada kutipan sebagai berikut: “ Ayyas meletakkan rangselnya di dekat sofa lalu merebahkan Prosiding Seminar Nasional | 21
badannya... Ayyas terbangun ketika ponselnya meleking-leking. Berarti ia terlelap cukup lama... Lalu berwudhu dan menegakkan salat. Ayyas rukuk dan sujud di ruangan itu dengan penuh rasa khusuk dan menyatu dengan keagungan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala”(Shirazy, 2010: 152). Kutipan tersebut telah membuktikan bahwa Ayyas di mana pun selalu melaksanakan salat, karena salat merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam di mana pun dan dalam keadaan apa pun. Ia tidak pernah meninggalkan salat. Perilaku Ayyas yang tidak pernah meninggalkan salat tersebut dapat menjadi contoh bagi siapa pun, khusunya generasi muda. orang Islam di mana pun dan dalam situasi apa pun harus tetap melaksanakan salat. Dalam novel Ayat-Ayat Cinta juga mengajarkan kepada orang tua, agar bila membagi harta benda warisan kepada anak- anaknya bisa berbuat adil dan tetap saling menjaga hubungan persaudaraan dan rasa solidaritas di antara anak-anaknya. Anakanaknya tetap bisa hidup layak. Jangan sampai justru harta benda warisan mengakibatkan putusnya bungan persaudaraan. Bila orang tua punya empat anak dan memiliki empat perusahaan, misalnya perusahaan tektil, elektronik, makanan, dan kayu, maka cara membaginya anaknya yang muda suruh milih yang pertama, perusahaan yang mana yang disukainya, kemudian kakaknya dari yang termuda dan seterusnya secara berurutan. Tetapi perusahaan tersebut tidak dimiliki oleh individu secara mutlak, tetapi membaginya dengan model secara saham. Jadi, anak-anaknya yang memilik salah satu perusahaan tersebut hanya memiliki saham 60%, yang empat puluh presen dibagi ketiga anaknya yang lain masing-masing 10 %. Demikian juga anaknya yang kedua sampai keempat, masing-masing juga hanya memiliki saham 60 %, sisanya yang 40 %, juga dibagi ketiga anaknya yang lain. Jadi, setiap anak hanya memiliki saham di perusahaan miliknya 60 % dan memiliki saham 10 % di setiap perusahaan yang dimiliki saudaranya yang lain. Hal tersebut untuk menjaga dan menciptakan perasaan dan semangat persaudaraan dan solidaritas antarsaudara bahwa keempat perusahaan tersebut masing-masing masih merasa memiliki dan bertanggung jawab, sehingga bila terjadi salah satu perusahaan mengalami kebangkrutan, maka ia masih memiliki 30 % di perusahaan yang lain, sehingga mereka tidak jatuh miskin. Dengan demikian, perasaan persaudaraan dan solidaritas antarsaudara masih tetap bisa dijaga dan dipertahankan (Shirazy, 2005: 272-273). Dalam novel Bumi Cinta juga mengajarkan bahwa Islam mengajurkan agar manusi bekerja demi membangun kejayaan duniawi sebagai bekal di akhirat kelah, karena sesungguhnya surga itu adalah hasil menanamkan kebaikan ketika di dunia. Rasulullah juga bersamda bahwa dinia adalah ladang akhirat, artinya apa yang dipetik di akhirat merupakan hasil amal kebaikan atau ibadah yang telah ditanam di dunia. Tanpa seseorang menanamkan amal kebaikan atau ibadah ketika di dunia, tidak mungkin akan memetik kebahagiaan di akhirat. Islam mengajarkan keseimbangan antara kepentingan di dunia dan di akhirat. Tidak boleh ada ketidakseimbangan antara kepentingan dunia dengan kepentingan di akhirat. Rasulullah bersabda bahwa manusia harus bekerja seolah-olah akan hidup seribu tahun lagi dan beribadah seolah-olah akan mati besuk. Maknanya manusia harus rajin bekerja dan beribadah ketika di dunia bagaikan menannm yang kan dipetik hasilny di akhirat kelak. Rasulullah juga bersabda bahwa seseorang yang bekerja untuk anak-anaknya, maka pahanya sama dengan berjuang di jalan Allah. Harta yang dibelanjakan ke jalan Allah, harta yang digunakan untuk memerdekakan budak, harta yang diberikan kepada 22 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
fakir miskin, dan harta yang dibelanjakan untuk keluarga, maka diantara ketiga amalan tersebut, harta yang dibelanjakan untuk keluarga adalah yang paling besar keutamaannya (Shirazy, 2010: 387-388) SIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra Indonesia banyak mengandung nilai yang dapat dijdikan media pendidikan karakter atau revolusi mental generasi masa depan agar memiliki karakter yang lebih baki daripada masyarakat sekarang. Generasi Indonesia masa depan merupakan generasi emas sebagai calon pemimpin di masa depan, sehingga mental mereka perlu dilakukan rvolusi mental m,enggunakan media pendidikan nilai dalam karya sastra Revolusi mental adalah perubahan cara berpikir masyarakat Indonesia secara cepat dalam berbagai hal, baik dalam bidang pemerintahan, politik, sosial, budaya, dan pendidikan. Perubahan tersebut mengarah kepada berubahan dalam segala bidang dari yang belum baik menjadi lebih baik dan menjadi budaya bagi seluruh masyarakat Indonesia. Revolusi mental atau perubahan cara berpikir masyarakat Indonesia agar menjadi budaya dari yang tidak baik menjadi lebih baik bertujuan agar masyarakat Indonesia secara cepat dapat mewujudkan negara yang merdeka, adil, makmur, berbudaya, dan beradab atau berkepribadian. Perubahan mental generasi Indonesia masa depan tersebut tersebut dapat dilakukan melalui revolusi mentgal menggunakan media nilai-nilai dalam karya sastra. Revolusi mental generasi masa depan harus dilakukan agar memiliki mental yang baik dan kuat, memiliki iman yang kuat, berakhlak yang baik, suka menolong orang lain karena ridho Allah tanpa memandang stautus sosial, pangkat, jabatan dan agama, memiliki semangat mencari ilmu, saling menghormati dan toleran terhadap sesamanya, selalu solat tepat waktu di mana saja dan kapan saja, selalu mempelajari Alquran, orang tua membagi warisan secara adil dan mempertimbangkan kelangsungan persaudaraan, dan bekerja keras secara iklas sebagai investasi akhirat. DAFTAR PUSTAKA Muhaimin dkk. 2009. Manajemen Pendidikan, Aplikasi dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta: Kencana. Pangewa, Maharuddin. 2004. Perilaku Keorganisasian. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Sudjatmiko, Budiman. 2014. Anak-Anak evolusi. Jakarta: Kompas. Widodo, Joko. 2014. “Artikel Revolusi Mental”. Harian Kompas, 1 Nopember (www. kompasiana com ,diakses tanggal 14 Nopember 2014). Shirazy, Habiburahman El. 2004. Ayat-ayat Cinta. Jakarta : Ihwah Publising Hause. ------ 2010. Dalam Mihrap Cinta. Jakarta : Ihwah Publising Hause. ------ 2011. Bumi Cinta. Jakarta : Ihwah Publising Hause. ------ 2011. Cinta Suci Zahrana. Jakarta : Ihwah Publising Hause. Prosiding Seminar Nasional | 23
Supratno, Haris. 2014. “Revolusi Mental Dalam Pendidikan untuk Menciptakan Masyarakat Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri, Berbudaya, dan Berkepribadian. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Revolusi Mental dalam Dunia Pendidikan di Unesa. Sunyoto, Agus 3. 20 04. Sang Pembaharu, Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar. Yogyakarta: LkiS. Sunyoto, Agus 4. 20 04. Sang Pembaharu, Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar. Yogyakarta: LkiS. Sunyoto, Agus 5. 20 04. Sang Pembaharu, Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar. Yogyakarta: LkiS.
24 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
KEARIFAN LOKAL DALAM NOVEL INDONESIA MUTAKHIR Setya Yuwana Sudikan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya Pos-el.
[email protected]
”Sekali layar terkembang, Pantang surut ke belakang” (Filosofi orang Bugis)
PENDAHULUAN Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla merancang sembilan agenda prioritas Sembilan program itu disebut Nawacita. Program ini digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang: 1)berdaulat secara politik, 2) mandiri dalam bidang ekonomi dan 3) berkepribadian dalam kebudayaan. Sembilan program tersebut, yaitu: 1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim. 2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan. 3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. 4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. 5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program "Indonesia Pintar"; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019. 6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. 7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. 8. Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Prosiding Seminar Nasional | 25
9. Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga. Mengapa sejak tahun 2000-an tidak ditemukan karya sastra yang dapat diandalkan, sekelas karya Iwan Simatupang (novel Kering, Ziarah, Merahnya Merah, Koong), Budi Darma (Orang-orang Bloomington, Olenka, dan Rafilus), Putu Wijaya (Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Stasiun (1977), Pabrik (1976), Keok (1978), Aduh, Bali, Dag-dig-dug, Edan, Gres, Lho (1982), Merdeka, Nyali, dll. ) atau bahkan karya Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca)? ‘Karya besar’ tidak dihasilkan oleh para pengarang Indonesia mutakhir. Gerak dan langkah sastrawan tidak dibarengi dengan ‘karya besar’. Padahal dari segi ekonomi, kesejahteraan hidup sastrawan Indonesia semakin membaik. Pertanyaannya, apakah ‘karya besar’ harus dihasilkan oleh sastrawan yang kondisinya tertekan dan tertindas? Sebagaimana Pramoedya Ananta Toer, saat menjadi tahanan politik di Pulau Buru? Juga Mochtar Lubis ketika menjalani hukuman politik tanpa proses peradilan atau W.S. Rendra yang hidupnya dalam tekanan rezim Orde Baru? Ada tiga istilah yang sering digunakan secara tumpang tindih, yaitu pengetahuan lokal (local knowledge), kearifan lokal (local wisdom), dan kecerdasan setempat (local genius). Istilah pengetahuan tradisional (baca: pengetahuan lokal, pen.) adalah segala sesuatu yang terkait dengan bentuk-bentuk tradisional (baca: lokal, pen.), baik itu suatu kegiatan ataupun hasil suatu karya yang biasanya didasarkan pada suatu kebudayaan tertentu (Avonina, 2006). Sardjono (2004:28-29) menyatakan pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu komunitas, masyarakat atau suku bangsa tertentu, yang bersifat turun-menurun dan terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan. The World Intellectual Property Organization (WIPO) menggunakan terminologi pengetahuan tradisional untuk menggambarkan/tradition-based-literacy, artistic, scientific works, performances, inventions, scientific discoveries, designs, marks, names and symbols, undisclosed information and all other tradition based innovations and creation yang berasal dari kegiatan intelektual dalam bidang industri, keilmuan, sastra ataupun seni (Sardjono, 2004:8). Di pihak lain, Wales (dalam Poepawardojo, 1986:30) memaknai local genius sebagai the sum of the cultural characteristics which the vast majority of a people have in common as a result of their experiences in early life” (keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat/bangsa sebagai hasil pengalaman mereka pada masa lampau). Mundardjito (1986:40) menjelaskan secara implisit hakikat local genius, yaitu: (1) mampu bertahan terhadap budaya luar; (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; (3) memiliki kemampuan mengintegrasi unsur-unsur budaya luar ke dalam budaya asli; (4) mempunyai kemampuan mengendalikan; (5) mampu memberikan arah pada perkembangan budaya. Sedyawati (1986:186-187) membedakan dua pengertian local genius, yaitu: (1) segala nilai, konsep dan teknologi yang telah dimiliki suatu bangsa sebelum mendapat “pengaruh asing”; (2) daya yang dimiliki suatu bangsa untuk menyerap, menafsirkan, mengubah, dan mencipta sepanjang terjadinya pengaruh asing.
26 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Sedangkan kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah di mana komunitas itu berada. Kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografispolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal (Saini dalam Permana, 2010:1). Kearifan lokal dimaknai kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta yang berwajah manusia dan menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala alam serta keteledoran manusia (Wahono, dkk., 2004:vii). Kearifan lokal juga diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Sistem pemenuhan kebutuhan mereka pasti meliputi seluruh unsur kehidupan, agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki dan mengembangkan unsur kebutuhan dan cara pemenuhannya, dengan memperhatikan sumber daya manusia dan sumber daya alam di sekitarnya (Depsos, 2006). Hadi (2006) menyatakan bahwa pada dasarnya dalam setiap komunitas masyarakat memiliki kearifan lokal (local wisdom). Kearifan lokal yang terdapat pada setiap komunitas masyarakat tradisional sekalipun terdapat terdapat suatu proses untuk ‘menjadi pintar dan berpengetahuan’ (being smart and knowledgeable). Hal itu terkait dengan adanya keinginan agar dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupan, sehingga warga komunitas masyarakat akan secara spontan memikirkan cara-cara untuk melakukan dan/atau menciptakan sesuatu. Dalam hal ini termasuk juga cara untuk membuat makanan, cara untuk membuat peralatan yang diperlukan untuk mengolah sumberdaya alam demi menjamin tersedianya bahan makan, dan sebagainya. Dalam proses tersebut suatu penemuan yang sangat berharga dapat terjadi tanpa disengaja. Mereka menemukan bahwa suatu jenis tanaman tertentu dapat menghasilkan buah yang dapat dimakan setelah dilakukan cara pengolahan tertentu; atau daun tertentu dapat menyembuhkan mereka dari sakit perut, sedang daun lain mengobati demam; atau akar-akaran tertentu dapat menyembuhkan luka. Pengembangan suatu sistem pengetahuan dan teknologi yang asli tersebut itulah yang disebut kearifan lokal. Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan. Kearifan lokal tersebut, selanjutnya menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan (sustainable development) (Hadi, 2006). Kearifan lokal dipandang lahir dan berkembang dari generasi ke generasi seolaholah bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Tidak ada ilmu dan teknologi yang mendasari lahirnya kearifan lokal, bahkan tidak ada pendidikan dan pelatihan untuk meneruskannya. Sejatinya manusia menciptakan budaya dan lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaan-kebiasaan, praktik, dan tradisi diwariskan dari generasi ke generasi. Pada gilirannya kelompok atau masyarakat tersebut tidak menyadari darimana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi berikutnya terkondisikan Prosiding Seminar Nasional | 27
menerima ‘kebenaran’ itu tentang nilai, pantangan, kehidupan, dan standar perilaku (Idrus, 2008). Kearifan lokal dapat pula didefinisikan sebagai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tradisi, pepatah-petitih, dan semboyan hidup. Salah satu ungkapan dari kearifan lokal adalah alon-alon waton kelakon, kebat kliwat (pen.) (biar lambat asal tujuan tercapai daripada terlalu cepat tetapi merugikan) dalam budaya Jawa, atau semboyan marsiadap ari (saling membantu dalam melakukan suatu pekerjaan) dalam budaya Batak. Konsep kearifan lokal atau kearifan tradisional atau sistem pengetahuan lokal (indigenous knowledge system) adalah pengetahuan yang khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal balik antara masyarakat dengan lingkungannya (Marzali dalam Mumfangati, dkk. 2004). Jadi konsep sistem kearifan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Karena hubungan yang dekat dengan lingkungan dan sumber daya alam, masyarakat lokal, tradisional, atau asli, melalui “uji coba” telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi di mana mereka tinggal yang telah dianggap mempertahankan sumber daya alam, serta meninggalkan kegiatankegiatan yang dianggap merusak lingkungan (Mitchell, 2003). Berdasarkan uraian tersebut, pengetahuan lokal, local genius, maupun kearifan lokal, pada hakikatnya memiliki pengertian yang sama. Ketiga istilah tersebut mendasari pemahaman bahwa kebudayaan itu telah dimiliki dan diturunkan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi selama ratusan bahkan ribuan tahun oleh masyarakat setempat atau lokal. Kebudayaan yang telah kuat berakar itu tidak mudah goyah dan terkontaminasi dengan pengaruh dari kebudayaan lain yang masuk. DIMENSI KEARIFAN LOKAL Menurut Sutarto (2010:vii) kearifan lokal yang terkandung dalam produk budaya, terkait dengan lima kegiatan kebudayaan. Pertama, sebagai bangsa yang religius, kearifan lokal terkait dengan sikap serta perilaku dalam berkomunikasi dengan Sang Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa. Kedua, terkait dengan diri sendiri, yakni bagaimana menata diri dan mengendalikan diri agar dapat menerima dan diterima oleh pribadi-pribadi lain di luar diri kita. Ketiga, bagaimana bergaul atau berkomunikasi dengan masyarakat luas karena kita menjadi bagian darinya. Dalam hal ini kearifan lokal terkait dengan rasa keadilan, tolerasi, dan empati, yang bermuara pada bagimana menyenangkan perasaan orang lain agar orang lain menerima kita sebagai bagian yang penting dan dibutuhkan. Keempat, sikap dan perilaku yang terkait dengan anggota keluarga dan kerabat kita. Kita harus menghargai orang tua kita, dan kerabat kita yang lain. Kearifan lokal yang terkait dengan etos belajar dan etos bekerja akan mengantar kita menjadi insan yang kreatif dan produktif. Kreativtas kita bukan hanya akan menolong diri kita, tetapi juga menolong orang lain. Jika kita dapat memberikan sesuatu kepada masyarakat, kita akan menjadi bagian yang berarti bagi masyarakat. Kelima, kearifan lokal yang terkait dengan lingkungan akan membuat hidup kita aman dan nyaman karena lingkungan yang kita jaga dan pelihara akan memberi manfaat positif kepada kehidupan kita. Lingkungan yang rusak akan membuat kehidupan kita rusak. Endraswara (2008:195-201) mengidentifikasi ada 25 bentuk kearifan lokal Jawa, di antaranya: (1) nama sasmita, (2) pepiridan, (3) unen-unen, (4) perintah halus, (5)
28 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
nglulu, (6) cangkriman, (7) dolanan, (8) sekar gendhing, (9) basa basuki, (10) filosofi, (11) tembang dolanan, (12) isbat, (13) pepali. Menurut Ife (2002) kearifan lokal memiliki enam dimensi, sebagai berikut ini. Pertama, Dimensi Pengetahuan Lokal. Setiap masyarakat di mana pun mereka berada selalu memiliki pengetahuan lokal yang terkait dengan lingkungan hidupnya. Pengetahuan lokal terkait dengan perubahan dan siklus iklim kemarau dan penghujan, jenis-jenis flaura dan fauna, dan kondisi geografi, demografi, dan sosiografi. Hal ini terjadi karena masyarakat mendiami suatu daerah itu cukup lama dan telah mengalami perubahan-perubahan yang bervariasi menyebabkan mereka mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kemampuan adaptasi ini menjadi bagian dari pengetahuan lokal mereka dalam menguasai alam. Kedua, Dimensi Nilai Lokal. Untuk mengatur kehidupan bersama antara antarwarga masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama oleh seluruh anggotanya. Nilai-nilai itu biasanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhanhnya, manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam. Nilai-nilai itu memiliki dimensi waktu berupa nilai masa lalu, masa kini, dan masa datang. Nilai-nilai tersebut akan mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan masyarakatnya. Ketiga, Dimensi Keterampilan Lokal. Keterampilan lokal bagi setiap masyarakat dipergunakan sebagai kemampuan bertahan hidup (survival). Keterampilan lokal dari yang paling sederhana seperti berburu, meramu, bercocok tanam maupun membuat industri rumah tangga. Keterampilan lokal ini biasanya hanya cukup dan mampu memenuhi kebutuhan keluarganya masing-masing atau disebut dengan ekonomi subsistensi. Keempat, Dimensi Sumber Daya Lokal. Sumber daya lokal pada umumnya adalah sumber daya alam yaitu sumber daya yang tak terbarui dan yang dapat diperbarui. Masyarakat akan menggunakan sumber daya lokal sesuai dengan kebutuhannya dan tidak akan mengeksploitasi secara besar-besar atau dikomersialkan. Sumber daya lokal ini sudah dibagi peruntukkannya seperti hutan, kebun, sumber air, lahan pertanian, dan permukiman. Kepemilikan sumber daya lokal ini biasanya bersifat kolektif. Kelima, Dimensi Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal. Setiap masyarakat pada dasarnya memiliki pemerintahan lokal sendiri atau disebut pemerintahan kesukuan. Suku merupakan kesatuan hukum yang memerintah warganya untuk bertindak sebagai warga masyarakat. Masing-masing masyarakat mempunyai mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda-beda. Ada masyarakat yang melakukan secara demokratis atau duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Ada juga masyarakat yang melakukan secara hierarkis, bertingkat atau berjenjang. Keenam, Dimensi Solidaritas Kelompok Lokal. Suatu masyarakat umumnya dipersatukan oleh ikatan komunal untuk membentuk solidaritas lokal. Setiap masyarakat mempunyai media-media untuk mengikat warganya dapat dilakukan melalui ritual keagamaan atau acara dan upacara adat lainnya. Masing-masing anggota masyarakat saling memberi dan menerima sesuai dengan bidang dan fungsinya masing-masing, seperti dalam solidaritas mengolah tanaman padi dan kerja bakti gotong-royong. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa Sutarto dan Endraswara menyederhanakan konsep kearifan lokal hanya pada ungkapan tradisional. Di pihak lain, Ife memandang kearifan lokal sebagai konsep yang lebih luas mencakup dimensi Prosiding Seminar Nasional | 29
pengetahuan lokal, nilai lokal, keterampilan lokal, sumber daya lokal, mekanisme pengambilan keputusan lokal, dan dimensi solidaritas kelompok lokal. Dalam makalah ini penulis memilih konsep Ife untuk memahami dan mengungkap pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat Indonesia. KEARIFAN LOKAL DALAM NOVEL INDONESI MUTAKHIR Sastrawan Indonesia mutakhir yang secara khusus memiliki komitmen dan konsisten menaruh perhatian pada pelestarian lingkungan hidup (ekosistem) yaitu Korrie Layun Rampan. Ia termasuk sastrawan yang produktif, telah menghasilkan berpuluh-puluh kumpulan cerita pendek, novel, dan antologi puisi. Dalam novel Api Awan Asap yang diterbitkan PT Grasindo (1999), Korrie Layun Rampan mendeskripsikan paradoks antara kearifan lokal masyarakat Dayak mengelola hutan di satu pihak, dan tindakan HPH dan HTI di pihak lain yang membuka hutan Kalimantan Timur dengan cara membakar lahan. Perhatikan data berikut ini. [....] Bau asap api menyeruak dari luar lou. Kebakaran hutan seperti momok dan hantu yang menyerang kawasan desa dan kota. Di cakrawala menggantung awan-awan asap yang datang dari berbagai arah. Kamera televisi tak mampu merekam bau asap api, tetapi mampu merekam awan asap yang menggantung rendah sekali. “Jadi ada kearifan tertentu dalam mengolah hutan dan tanah?” “Kearifan itu yang membuat warga tidak sembarangan menebang atau menggali. Tapi orang-orang yang datang dari kota dengan rakusnya membabat hutan, dan membuka tanah, membakar hutan hingga asap api menutupi langit. Anda lihat mendung yang menggantung, bukan mendung mengandung hujan, tapi mendung asap api yang datang dari lahan orang kaya dari kota.” “Tapi orang-orang menuduh para peladang berpindah yang menjadi penyebab kebakaran hutan. Penyebab timbulnya asap api!” “Tuduhan yang tidak mengandung kebenaran. Ribuan tahun orang sini menghuni daerah ini, belum pernah terjadi kebakaran hutan seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Para pekerja dan pengelola lahan perkebunan raksasa itu tidak mengerti cara membakar lahan kering, agar apinya tidak merambat ke lahan lainnya dan hutan rimba. Orang sini punya cara tertentu untuk menangkal bahaya kebakaran hutan. Jika mereka membakar ladang, mereka sudah tahu caranya agar api tidak menyeberang ke lahan lainnya. Nenek moyang telah mengajar mereka agar terhindar dari perusakan lingkungan hidup.” (Rampan, 1999:30-31).
Berdasarkan data tersebut dapat dipahami bahwa kerusakan hutan di Kalimantan Timur karena ketamakan dan kerakusan para investor yang datang dari Jakarta dan luar negeri. Mereka membakar hutan dan menggali tanah untuk penambangan emas dan batubara tanpa mempedulikan kerusakan ekologi. Melalui gaya bahasa paradoks, Korrie Layun Rampan membandingkan cara-cara mengolah hutan dan tanah oleh warga lokal dengan para pendatang. Warga lokal memiliki cara-cara tertentu dalam membakar hutan agar tidak menyeberang ke lahan lainnya. Nenek moyang mereka mengajarkan agar pembakaran hutan terhindar dari perusakan lingkungan hidup. Di pihak lain, para investor menebang habis hutan sehingga terjadi penggundulan untuk kepentingan penambangan emas, penambangan batu bara, dan perkebunan kelapa sawit. Menurut Rampan (1999:27-32) warga asli Kalimantan Timur memiliki enam (6) kearifan tradisional terkait dengan peruntukan kawasan hutan. Pertama, di kawasan lou berdiri ada seluasan tanah yang dikhususkan untuk ditanam dengan buah-buahan 30 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
tertentu seperti lai, durian, langsat, nangka, encepm payakng, encepm bulau, keramuq, rambutan, cempedak, rekep, siwo, dan sebagainya. Kawasan itu merupakan hutan tetap yang tidak boleh dirambah siapa pun. Semua warga merupakan pemiliknya meskipun pohon-pohon itu mungkin hanya ditanam oleh petinggi atau salah seorang warga lou. Kedua, setelah lou dan kebun buah-buahan, warga menggunakan lahan untuk perkebunan. Pada dataran yang tidak terjangkau banjir digunakan untuk lahan kebun kopi, kebun lada, kebun buah-buahan yang menjadi milik pribadi. Para warga dapat memilih jenis pohon apa yang ditanamnya, sesuai dengan kemungkinan datangnya nilai ekonomis di kelak kemudian hari. Lingkaran ketiga, dari tradisi huma merupakan kawasan yang memang diperuntukkan bagi lahan ladang. Setelah kawasan itu dirambah, ditanami padi, jika dirasa tidak subur, maka warga akan membuka lahan di sebelahnya untuk lahan baru. Demikian seterusnya dalam lingkaran waktu, sang peladang akan kembali ke tanah asal. Mula-mula ia memang merambah hutan perawan, tetapi setelahnya ia hanya membuka hutan yang telah dirambahnya beberapa tahun yang lalu. Keempat, hutan khusus yang disediakan sebagai persediaan untuk mengambil bahan bangunan rumah, pembuatan perahu, dan segala yang berhubungan dengan kehidupan warga lou. Kelima, suatu kawasan dijadikan ajang tempat mencari hasil hutan yang khusus disediakan alam seperti damar, rotan, sarang burung atau lebah madu. Kadang kawasan hutan itu juga dijadikan arena berburu. Oleh adat kawasan ini dimasukkan ke dalam hak ulayat yang merupakan satu kesatuan dengan benua. Keenam, kawasan hutan bebas. Orang-orang dari desa lain dan kawasan lain dapat mengambil hasil bumi dan berburu di kawasan itu. Bahkan, mereka juga dapat menjadikan kawasan itu sebagai kampung baru. Karena berada di luar tanah persekutuan lou, tanah itu dianggap kawasan tak bertuan. Kritik pedas dan tajam dilancarkan oleh Korrie Layun Rampan dalam novel Api Awan Asap. Kritik tersebut terkait dengan kebakaran hutan dan kerusakan hutan yang dilakukan oleh perusahaan HPH, HTI, pengusaha penambangan emas, dan pengusaha penambangan batu bara. Perhatikan data berikut ini. [....] Pada saat lou Dempar didirikan waktu itu sedang boom-nya banjir-kap yang kemudian diikuti oleh penebangan HPH. Itulah sebabnya, sekeliling lou itu sebenarnya sangat rawan kebakaran. Bukan hanya di lou Ulu dan di kawasan Taman Nasional Kutai, akan tetapi kawasan seluruh kaki gunung Merangah dan Gunung Tuhatn, yang terletak di arah utara lou juga menyimpan bom api yang menakutkan. Sebenarnya, kawasan ini telah mengalami beberapa trauma. Pada zaman banjir-kap dan permulaan HPH masyarakat lou disergap dengan kedatangan para pekerja kayu yang merayu dengan rupiah terhadap gadis atau janda di beberapa desa. Setelah usai kontrak kerja mereka tinggalkan istri dan anak-anak itu sebagai orang yang kehilangan. Masih lumayan nasib mereka dan anaknya yang ditinggal lelaki asing dengan istilah kawin kontrak, akan tetapi sejumlah wanita yang menderita karena penyakit kotor mengalami nasib jauh lebih buruk, di antara mereka ada yang langsung meninggal dunia, tetapi sejumlah lainnya menderita seumur hidup. Banjir-kap dan HPH sendiri merupakan trauma tersendiri. Ditambah HTI dan penambangan emas dan batubara. Kegiatan ini sangat mengganggu peruntukan lahan yang menjadi bagian dari lou, dan juga secara langsung mengganggu ekosistem. Jika dahulu musim dapat ditentukan dari peredaran bintang, akan tetapi pengaruh penebangan yang dilakukan secara besar-besaran membawa akibat yang serius, menyusutnya air sungai sampai tahap yang kritis di musim kemarau, dan banjir bandang yang tak terkendali jika musim hujan tiba. Tanah terkikis humusnya dan kadangkala longsor dan terban itu memutuskan jalan yang sudah dibangun masyarakat secara gotong royong, kadang sampai Prosiding Seminar Nasional | 31
membawa akibat bencana kepada orang-orang yang memintas di tempat itu. Bahkan pernah terjadi, seseorang yang sedang berjalan menjual hasil buminya ke lou terkubur hidup-hidup di dalam tanah yang terban, dan kemudian mengatup kembali. Jika dahulu aktivitas berladang yang dianggap mencemari paru-paru bumi, sekarang penebangan hutan secara meluas membuat paru-paru itu bukan hanya tercemar, tetapi terluka. Beberapa bagian dataran hutan menjadi gundul, dan bagian-bagian lainnya berubah menjadi padang ilalang yang makin hari makin meluas. Suatu ironi dari kehidupan modern yang mengagungkan ilmu dan keahlian jika dibandingkan dengan masyarakat setempat yang kondisinya seakan-akan surut pada lima abad yang lalu. Akan tetapi justru selama berabad-abad mereka sebenarnya merupakan pengelola yang penuh kearifan (Rampan, 1999:114-115).
Berdasarkan data tersebut dapat dikemukakan bahwa pengarang menarasikan trauma yang dialami masyarakat pribumi terkait dengan banjir, kebakaran hutan, perempuan-perempuan yang ditelantarkan suami karena kontrak kerja habis, kerusakan ekosistem dampak dari penebangan hutan yang diperuntukkan HPH, HTI, penambangan emas dan batubara. Pengarang tidak rela apabila penduduk asli dijadikan sasaran tembak pencemaran. Perkembangan ilmu dan teknologi yang mengagungkan pemikiran modern justru menghancurkan ekosistem, dibandingkan pengelolaan hutan oleh penduduk asli. Selain itu, dalam teks sastra tersebut Korrie Layun Rampan mengemukakan bahwa penduduk asli sudah tidak dapat memerhitungkan musim berdasarkan peredaran bintang. Pengaruh penebangan secara besar-besaran mengakibatkan menyusutnya air sungai sampai tahap kritis pada musim kemarau, dan banjir bandang yang tidak terkendali pada musim hujan. Tanah yang terkikis humusnya kadangkala longsor dan terban memutuskan jalan yang sudah dibangun masyarakat secara gotong royong, kadang sampai membawa akibat bencana kepada orang-orang yang memintas di jalan itu. Pengarang lokal berasal dari Banjarmasin bernama Aliman Syahrani, telah menulis novel Palas (2004)diterbitkan penerbit Pustaka Banua, Banjarmasin. Novel ini berkisah tentang pegunungan Meratus, tepatnya di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, yang dihuni suku Dayak. Terbitnya novel Palas mengingatkan pembaca untuk tetap menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan alam sekitarnya. Tema utama novel ini yaitu masalah banjir yang diakibatkan oleh kerusakan ekosistem hutan karena ulah manusia melalui illegal logging. Lingkungan alam dan kebudayaan masyarakat di pegunungan Meratus mulai tersentuh oleh peradaban modern. Perusakan alam terjadi di mana-mana. Penebangan hutan untuk membuka lahan baru dan mengambil hasil penebangan, mulai merebak. Eksploitasi perut bumi untuk menggali batubara, semakin merusak ekosistem di wilayah Loksado. Dulu suara burung berkicau bisa terdengar kemerduannya, sekarang suara itu tergantikan dengan suara lagu-lagu populer. Deru sepeda motor dan raungan bunyi mesin mobil menghiasi udara di kawasan Loksado. Para muda-mudi di Loksado telah mengadopsi gaya hidup masyarakat metropolitan. Perhatikan data berikut ini. Malam hari di awal musim penghujan di desa terpencil kaki pegunungan Meratus adalah kelengangan yang tetap terasa purba. Senyap yang menyergap membuatku merasa terpencil dan asing. Padahal, Loksado adalah kenangan. Loksado berarti tanah tumpah kelahiran. Namun trenyuh juga perasaanku menyaksikannya masih saja dibiarkan terlelap dalam alam keterbelakangan. Hanya listrik yang kini padam itu satu-satunya tanda kemajuan di desa ini. Padahal sudah sekian lama betapa hutan-hutan pegunungan Meratus 32 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
dirambah illegal logging dan buminya semakin digaruk karena memeram harta. Sudah sekian lama hasil alam desa itu dirampas oleh para pengusaha dan pejabat serta orangorang kota yang konon membela hak-hak masyarakat pedesaan dan rakyat jelata (Syahrani, 2004:47-48).
Data tersebut berisi kritik pengarang terhadap para pengusaha, pejabat, dan orang-orang kota yang telah merampok kekayaan alam hutan pegunungan Meratus yang berupa penebangan hutan HPH, HTI, penambangan emas, dan penambangan batu bara. Para pengusaha dan investor tersebut tidak ada yang peduli terhadap masyarakat pribumi. Masyarakat pribumi tidak sedikit pun menikmati kekayaan alam mereka yang telah dirampok oleh para pendatang. Karya sastra yang tidak kalah penting untuk dibahas yaitu novel berjudul Anak Bakumpai Terakhir karya Yuni Nurmalia (2013) yang diterbitkan penerbit Salsabila Pustaka Alkautsar. Novel ini berkisah tentang perjuangan seorang keturunan suku Bakumpai, Aruna, untuk menyelamatkan kekayaan alam sekaligus keberadaan suku Bakumpai dari kontaminasi limbah dan racun akibat penebangan liar dan penambangan besar-besaran oleh para pendatang dan pemodal. Ketidakberdayaan, keprihatinan, dan perasaan sedih dialami oleh warga pribumi yang peduli pada hutan yang menghidupinya. Pengarang novel ini merasa tidak berdaya melihat kerusakan hutan yang menjadi miliknya. Perhatikan data berikut ini. Kai tetap maju, tak menjawab pertanyaanku. Tapi, sepetrtinya kami bergerak semakin ke tengah pulau. Ke arah utara Desa Pujon. Selang berapa lama Kai berhenti berjalan. Ia memaku dirinya di tengah jalan setapak yang terputus oleh sebuah padang yang luas. Laksana padang pasir yang berwarna putih terang. Areal tersebut adalah lokasi pembuangan limbah pasir dari aktivitas penambangan emas rakyat. Aku terpukau. Kami seperti di sebuah lembah gurun pasir yang menganga begitu luasnya (Nurmalia, 2013:114).
Data tersebut memberikan gambaran kepada pembaca sikap kritis pengarang terhadap perusakan ekosistem yang terjadi di Desa Pujon. Hutan belantara berubah menjadi padang pasir berwarna putih limbah penambangan emas. Tokoh aku terpana karena tidak mampu berbuat sesuatu terhadap ekosistemnya yang dirusak orang. DAFTAR RUJUKAN Avonina, Sthefanny. 2006. “Apa yang Dimaksud dengan Pengetahuan Tradisional?”, Konvergensi, Edisi IX, Oktober 2006. Departemen Sosial Republik Indonesia. 2006. ”Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil”, (http//wwwdepsos.go.id). Endraswara, 2008. “Pemilihan Bahan Pelajaran Kearifan Lokal Jawa”, dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Kerangka Budaya (Penyunting Mulyana). Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 189-203. Geriya, I Wayan. 2004. “Revitalisasi Kearifan Lokal Bali”, Bali Pos, 28 Agustus. 2004.
Prosiding Seminar Nasional | 33
Hadi, A.C. Sungkana. 2006. “Melestarikan Kearifan masyarakat Tradisional (Indigenous Knowledge)”, dalam Buletin Perpustakaan dan Informasi. Bogor, Juni. Idrus, Istiyani. 2008. “Kearifan Lokal dan Pendidikan Nonformal”, Artikel edisi 22 September. Ife, Jun. 2002. Community Development, Creating Community Alternatif Vition Analysis and Practise. Australia: Longmann. Mitchell, Bruce, B. Setiawan, Dwita Hadi Rahma. 2003. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press. Munfangati, dkk. 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Nurmalia, Yuni. 2013. Anak Bakumpai Terakhir. Jakarta: Salsabila. Permana, R. Cecep Eka .2010. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mitigasi Bencana. Jakarta: Wedatama Sidya Sastra. Purpowardojo, Soerjanto. 1981. “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi,” dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius) (Penyunting Ayatrohaedi). Jakarta: Pustaka Jaya, hal. 28-38. Rampan, Korrie Layun. 1999. Api, Awan, Asap. Jakarta: PT. Grasindo. Rampan, Korrie Layun. 2000. Tak Alang Kepalang. Jakarta: Balai Pustaka. Rampan, Korrie Layun. 2002. Tarian Gantar. Magelang: Yayasan IndonesiaTera. Sardjono, Agus. 2004.Pengetahuan Tradisional. Jakarta: Universitas Indonesia. Sedyawati, Edi. 1986. “Local Genius dalam Kesenian Indonesia”, dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). (Penyunting: Ayatrohaedi). Jakarta: Pustaka Jaya. Sutarto, Ayu. 2010. Kearifan Lokal Jawa (Pesan-pesan Mulia dari Leluhur). Surabaya: Bidang PNFI – Nilai Budaya, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Syahrani, Aliman. 2004. Palas. Banjarmasin: Pustaka Banua. Wahono, Francis; AB. Widyanta; Titus O. Kusumayati (Ed.). 2004. Pangan, Kearifan Lokal & Keanekaragaman Hayati: Pertaruhan Bangsa yang Terlupakan. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
34 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
MAKALAH PENDAMPING BIDANG KEBAHASAAN
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 35
MEMOTRET REALITAS PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA Dina Ayu Puspita Wardani Program Studi Keguruan Bahasa,Pascasarjana Universitas Negeri Malang Pos-el.
[email protected]
ABSTRAK Makalah ini bertujuan untuk memotret realitas kekinian bahasa nasional Indonesia yang sejatinya menjadi salah satu kebanggaan dan jati diri bangsa Indonesia seperti yang diamanatkan oleh konstitusional dalam Undang-undang Republik Indonesia. Dalam konteks ini, konstitusi Negara telah mencoba merumuskan upaya pemartabatan bahasa nasional tersebut. Namun, di sisi lain, tergambarkan kondisi bahasa Indonesia sebagaimana digunakan oleh para penuturnya yang menyiratkan ketidakbanggaan menjadi pengguna bahasa Indonesia. Diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan martabat bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa. Kata kunci: penggunaan bahasa, bahasa Indonesia
“Kalau sudah dapat ilmu, gayamu kebarat-baratan.. Kalau sudah merasa alim, gayamu kearab-araban..”:
PENDAHULUAN Bahasa Indonesia lahir ketika diikrarkannya sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928. Usia yang tergolong muda untuk mencapai perkembangan seperti saat ini, dari status sebagai bahasa kreol bahasa melayu yang hanya berfungsi sebagai lingua franca berganti menjadi sosok yang kokoh sebagai bahasa modern. Tuntukan agar bahasa Indonesia terus berkembang dalam sosoknya yang moderen memperoleh penguatan legal ketika diterbitkan undang undang nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.Selain akan terus berkembang dengan dukungan kekayaan yang ada dalam bahasa-bahasa dan kebudayaan daerah, bahasa Indonesia juga akan secara terbuka menerima atau mungkin tidak bisa membendung pengaruh dari bahasa asing. Harapan akan berkembangnya bahasa Indonesia seperti yang tercantum dalam undang-undang tentu saja harus dipahami sebagai sebuah upaya untuk mengangkat martabat bahasa nasional Indonesia ke tataran yang lebih terhormat. Namun demikian, upaya pemartabatan bahasa Indonesia tampaknya tidak sejalan dengan realitas yang ditemukan dalam masyarat pengguna bahasa Indonesia. Beberapa penulis seperti Zaeni (2013), Yuliati, Lilis Ch & Wiwitan (2014), Wijayanto (2014) telah menyoroti penggunaan bahasa Indonesia oleh masyarakat sekarang ini. Zaeni (2013) menuliskan bagaimana bahasa gaul berkembang dikalangan remaja yang banyak mencampuradukkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Sejalan dengan zaeni (2013), Yuliati, et al. (2014) menjelaskan bagaimana bahasa gaul yang digunakan oleh para remaja di media sosial. Sedangkan Wijayanto (2014) mencoba menjelaskan tentang ketidaksantunan bahasa yang banyak digunakan pada sinetron kehidupan remaja. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 37
beberapa kajian penggunaan bahasa Indonesia yang telah disebutkan diatas menunjukkan adanya gejala alih kode yang tidak pada tempatnya, penggunaan kata atau frasa yang berlebihan, penciptaan “bahasa gaul” yang over-creative. Hal tersebut merupakan sejumlah contoh perlakuan bahasa yang justru melemahkan bahkan bahkan merusak martabat bahasa Indonesia itu sendiri. Secara tidak langsung perilaku seperti ini mendapat sindiran keras dari seorang seniman, budayawan, penyair dan intelektual, Emha Ainun Najib (Cak Nun) yang mengungkapkan “Kalau sudah dapat ilmu, gayamu kebarat-baratan.. Kalau sudah merasa alim, gayamu kearab-araban”. Mungkin istilah “gaya” dalam ungkapan ini berarti banyak hal, namun sangat terasa jika kita kaitkan dengan penggunaan gaya berbahasa masyarakat Indonesia saat ini. Makalah ini akan membahas kekinian penggunaan bahasa Indonesia yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-sehari. BAHASA INDONESIA DAN NILAINYA Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiter yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (lihat, Kridalaksana: 1985; Keraf: 1991; Chaer, 2006; KBBI; 2001). Bahasa disebut juga sabagai cermin budaya dari penuturnya. Karakter bangsa Indonesia yang tercermin dalam kearifan budaya lokal terwadahi oleh Bahasa Indonesia. Hal tersebut berkontribusi membangun karakter masyarakat yang cerdas dan tetap berpegang pada etika ketimuran yang mengutamakan kesantunan. Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga merupakan alat pemersatu bagi sebuah negara yang memiliki banyak bahasa daerah, seperti Indonesia. Menurut Kahin (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 230) mengenai asal- usul Bahasa Indonesia berasal dari sebuah pidgin yang disebut Bazaar Malay atau Low Mal Bahasa Melayu mulai digunakan di Indonesia sebagai lingua franca sejak abad ketujuh. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya beberapa prasati yang menggunakan bahasa Melayu. Pada zaman kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa baku agama Budha Bahasa Melayu berkembang dengan pesat pada abad 16-17, yang dibuktikan dengan bentuk sastra syair Hamzah Fansuri, hikayat raja- raja Pasai, dan sejarah Melayu Pada abad 16-17, bahasa Melayu menjadi bahasa tulis resmi yang digunakan di kerajaan-kerajaan dan agama Pada abad 13, bersamaan dengan kedatangan Islam, bahasa Melayu mengalami perubahan dalam penulisannya dengan huruf Arab yang berkembang menjadi Arab- Melayu. Ch. A. Van Ophuijsen menyusun ejaan resmi bahasa Melayu yang dimuat dalam Kitab bahasa Melayu, yang saat ini disebut sebagai pembakuan Bahasa Indonesia. Pada tahun 1908, pemerintah mendirikan badan penerbit buku bacaan yang bernama Commissie Voor De Volkslectuur yang kemudian diubah menjadi Balai Pustaka pada tahun 1917. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa persatuan di Indonesia pada 28 Oktober 1928 dalam ikrar Sumpah Pemuda. Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36). kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: Bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, Bahasa resmi dalam perhubungan tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta
38 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
pemerintahan, Bahasa resmi dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu dan teknologi. REALITAS KEKINIAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA Walaupun belum dapat dipastikan bahwa belum semua lapisan masyarakat Indonesia menggunakannya, bahasa Indonesia kini sudah semakin luas digunakan oleh berbagai kalangan di tanah air. Setiap kelompok pengguna bahasa Indonesia mempunyai keunikan tersendiri dalam menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan perannya masing-masing. Berikut adalah beberapa kelompok pengguna bahasa Indonesia. Media Massa Media massa atau Pers adalah suatu istilah untuk jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Bahasa yang digunakan adalah bahasa jurnalistik yang merupakan bahasa yang digunakan oleh pewarta atau media massa untuk menyampaikan informasi. Bahasa dengan ciri-ciri khas yang memudahkan penyampaian berita dan komunikatif. Media massa berkewajiban memasyarakatkan bahasa Indonesia. Media harus menjadi teladan dan pelopor dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, dalam praktiknya,beberapa semua media cetak ataupun elektronik terkesan lebih menonjolkan bahasa asing pada berita yang dibawanya. Beberapa contoh dapat kita lihat dari judul pada acara-acara televisi yang menggunakan bahasa Inggris ataupun campur kode pada konten nasional misalnya Tukang bubur naik haji: the series, go spot, spotlite, on the spot, braking news, selebriti on the weekend dan sebagainya. Hal tersebut menunjukkan sikap penutur yang kurang positif terhadap bahasanya. Semua acara itu disajikan dalam bahasa Indonesia, dengan target pemirsa penutur bahasa Indonesia.Hal serupa juga dapat kita temukan pada media cetak, misalnya kita menemukan islam digest, kick off, freshion, sportaiment, foodaholic, high light, detik news, female, home nasional, detikHot, dan sebagainya. Memang benar bahwa cara berbahasa seperti disebutkan di atas itu merupakan gejala sesaat yang akan hilang dalam waktu tidak terlalu lama. Akan tetapi, apabila cara-cara berbahasa seperti itu semakin luas digunakan oleh masyarakat dan dicontohkan penggunaanya oleh tokoh-tokoh, serta diperkuat oleh tayangan dalam media yang beragam saluran (cetak dan elektronik), maka hal itu dikhawatirkan akan mengganggu perkembangan bahasa Indonesia yang sedang tumbuh itu. Apalagi, para pengguna bahasa Indonesia kini lebih banyak terdiri atas kaum muda yang sedang tumbuh dan mencari identitas diri. Bukan hal yang mustahil apabila kelak kemudian hari, bahasa Indonesia mereka tidak ajeg dalam bentuk, yakni dalam konstruksi kalimatnya, dan tidak jelas dalam isi, yakni dalam pesan yang ingin disampaikannya. Akibatnya, mereka menjadi pengguna bahasa Indonesia yang kurang cermat. Padahal, kecermatan berbahasa merupakan cerminan dari kecermatan berpikir danbernalar. Oleh karena itu, sebagai wujud tanggung jawabnya, media massa, pejabat publik,tokoh masyarakat, dan pesohor sudah selayaknya ikut membangun kecerdasan masyarakat itu melalui pemberian contoh berbahasa yang pantas dan layak, sesuai dengan ranahnya.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 39
Masyarakat Bahasa Indonesia digunakan oleh seluruh lapoisan masyarakat Indonesia baik pada golongan menengah keatas ataupun menengah kebawah. Pertama kita akan membahas tentang kelompok masyarakat yang pertama, masyarakat menengah keatas. Masyarakat menengah keatas yang dimaksud disini adalah kelompok masyarakat pengguna bahasa yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi yang memiliki peluang, pengaruh, keleluasaan, dan jejaring lebih luas untuk menggunakan bahasa dalam berbagai ranahnya. Masyarakat yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya pengusaha menengah dan besar serta para politisi yang keduanya dapat membat contoh-contoh penggunaan bahasa sesuai dengan keinginannya, baik bentuk, isi, maupun tempat/medianya seperti beberapa contoh spanduk yang bisa ditemui di pinggir seperti berikut.
Penggunaan bahasa seperti yang dicontohkan diatas menunjukkan tidak adanya sikap positif terhadap bahasa nasional sendiri, bahkan mungkin menganggap bahasa Indonesia tidak mampu menyampaikan gagasan dengan baik kepada pembacanya. Selanjutnya kita akan membahas tentang kelompok masyarakat kedua, masyarakat mengah kebawah yang bisa disebut dengan masyarakat awam. Hampir sama dengan kelompok masyarakat pertama hanya saja dalam lingkup yang lebih kecil. Mereka punya kecendurungan banyak meniru penggunaan bahasa dari kelompok pertama. Berikut beberapa contoh penggunaan bahasa oleh masyarakat awam yang sering kali kita jumpai.
40 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Baik kelompok pertama maupun kedua menggunakan bahasa demikian untuk tujuan yang sangat praktis. Konstruksi bahasa sering kali tidak menjadi perhatian utama, sebab mereka lebih mementingkan isi/ pesan yang ingin disampaikan. Namun, kreativitas masyarakat ini mencerminkan tingkat keterampilan berbahasa mereka. Di sisi lain, tidak sedikit pula masyarakat terutama golongan anak muda yang banyak menggunakan istilah asing dalam berkomunikasi di kehidupan sehari-hari. Mereka seakan-akan ingin menujukkan identitas mereka dengan bahasa yang mereka gunakan. Adanya anggapan bahwa gengsi yang dimiliki bahasa Indonesia tidak lebih besar dari bahasa inggris sebagai bahasa internasional menjadikan mereka terlihat pandai dan berilmu ketika menggunakan bahasa inggris. Tidak hanya bahasa inggris sebagai bahasa asing yang sering digunakan oleh masyarakat, istilah-istilah bahasa arab juga sering digunakan masyarakat untuk menunjukkan kealiman atau pengetahuan agama yang tinggi. Gejala keragaman berbahasa yang ditunjukkan oleh masyarakat ini, khususnya dalam hal campur/alih kode, merupakan salah satu bukti kuat tentang adanya gelombang penggerusan bahasa nasional oleh bahasa asing. Ketika gejala yang sama muncul pada awal tahun 80-an dan kini berulang dengan lebih kuat, sebetulnya bukan karena gagalnya model perencanaan bahasa nasional. Politik bahasa yang dibuat Pemerintah telah secara jelas menggariskan status masing-masing bahasa, yakni sebagai bahasa nasional, daerah, atau asing. Demikian pula, telah jelas model dan tanggung jawab pengembangan dan pembinaannya. Namun, mengingat bahasa Indonesia belum bisa dijadikan sebagai salah satu kebanggaan dan jati diri penuturnya, pengaruh dan tuntutan yang kuat dari lingkungan (global) untuk ikut menggunakan bahasa asing telah meruntuhkan atau setidaknya mengikis nasionalisme yang awalnya dibangun oleh para pencetus gagasan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang fungsinya mempersatukan rasa kebangsaan bangsa Indonesia. Gagasan ini kemudian memperoleh penguatan konstitusional yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Negara dengan garis politik bahasa yang termaktub dalam Undang-undang nomor 24 tahun 2009. SIMPULAN Upaya pemartabatan bahasa nasional seringkali diganggu oleh adanya kepentingan yang tidak memahami nilai pentingnya sebuah bahasa sebagai jati diri bangsa. Memang benar bahwa bahasa Indonesia saat ini belum menjadi bagian dari nilai inti budaya masyarakat bangsa Indonesia, merujuk kepada sejarah kelahiran (istilah) bahasa Indonesia pada 28 Oktober 1928. Akibatnya, sikap penutur bahasa Indonesia kepada bahasanya pun tidak terlalu positif. Kondisi ini diperparah dengan model-model berbahasa sesaat yang secara kebetulan ditunjukkan dalam dan dikokohkan oleh media massa dan tokoh-tokoh masyarakat serta pesohor yang kemudian diikuti oleh warga masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul, dan Agustina, Leonie. ]2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 41
Departemen Pendidikan Nasional. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1985. Tata bahasa deskriptif bahasa Indonesia: Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Wijayanto, Agus. 2014. Ketidaksantunan Berbahasa Penggunaan Bahasa Kekerasan di Sinetron Bertema Kehidupan Remaja. Prosiding Seminar Nasional Ketidaksantunan Berbahasa dan Dampaknya dalam Pembentukan Karakter. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Zaeni, Irwawan. 2013. Penggunaan Kata - Kata Bahasa Inggris dalam Bahasa Gaul Kalangan Remaja Indonesia Era Perkembangan Social Networking (Sebuah Kajian Sinkronik-Referensial). Linguistika Akademia. 2 (2): 139-155. Yuliati, Nova; Lilis, Dede; dan Wiwitan, Tresna. 2014. Bahasa gaul Remaja di Media Sosial: Polarisasi Budaya Global. Prosiding Seminar Nasional Penelitiandan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora. (online). (http://prosiding.lppm.unisba. ac.id/index.php/sosial/article/download/666/pdf). Diakses 03 September 2016.
42 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
PERAN PENGUKURAN BAHASA DALAM REVOLUSI MENTAL
Endang K. Trijanto Universitas Negeri Jakarta Pos-el.
[email protected]
ABSTRACT Mental revolution as we know, need language to communicate, means the user needs out the language properly. It require knowledge and measurement in language, and it is known even by language learner in the learning time. This study discuss about learning process, measurement done mainly in the process of mastering four skill language, in this case to learn German. By applying the measurements in learning the German language learners or students are expected to speak orderly, so they know the limits of what is good and right in the language. Research on measurement in German at various level of language, whether beginner to advanced, has done both quantitatively and qualitatively. The final result of the languageskills of students has increased rapidly within the implementation of a wide range of measurement in learning. Means students can express their ideas and their application in the German language is good and right, so that they will also be able to take part in mental revolution which is now be in grolled. Keywords: measurement in the language, needs to be known and applied, support for mental revolution
PENDAHULUAN Revolusi mental telah diujarkan dan dicanangkan oleh Presiden Jokowi secara terbuka di Indonesia, sehingga sekarang pun marak, dan menjadi bahasan utama pada Seminar Nasional ini. Penulis sebagai tenaga pengajar tetap di Perguruan Tinggi Negeri wajib ikut ambil bagian, karena profesi penulis sebagai pengajar bahasa, dan bertanggung jawab pada mata kuliah kebahasaan yang diampunya, di kelas kebahasaan Jerman awal sampai dengan lanjut. Mengutip tulisan presiden Jokowi tentang revolusi mental : “Kita perlu memperbaiki cara kita merekrut pemain … yang lebih mengandalkan keterampilan … yang bersih, handal dan kapabel … dan mendukung pekerjaan pemerintah…demi menegakkan Negara yang berdasarkan hukum…sistem pendidikan harus…berbudaya dan beradab… . Revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional" (http://presidenri.go.id/ulasan/revolusi-mental.html diunduh tgl. 21.08.2016). Selain ulasan dari presiden Jokowi, masih ada beberapa tulisan dari para tokoh yang akan dikutip di sini. Namun dalam tulisan ini yang terurtama dibahas adalah kegiatan penulis yang berupaya membina manusia muda yaitu mahasiswa melalui beberapa macam model pengukuran agar mahasiswa tertib dalam berbahasa, sehingga dengan itu mahasiswa dapat ikut ambil bagian, dan mendukung revolusi mental sesuai kemampuannya. Dengan tertib berbahasa, diharapkan mahasiswa mampu menyampaikan aspirasi mereka untuk mendukung revolusi mental. *) Tulisan ini disajikan dalam Seminar Nasional APPI-BASTRA di UNESA tanggal
24 September 2016.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 43
PEMBAHASAN Menurut http: //revolusi mental.go.id / tentang gerakan / siapa-penggerakrevolusi-mental.html, diunduh tgl. 21/08/2016 – para penggerak revolusi mental terdiri dari : pemerintah, pengusaha, budayawan, tokoh agama, akademisi dan k i t a. Karena “kita” atau penulis yang adalah “akademisi“, maka tindak lanjut dari himbauan itu harus segera dilaksanakan dan dibuktikan. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan beberapa tahun terakhir ini, kebergolakan dan kekurangmampuan mahasiswa itu, adalah karena kurang ditunjang tata ukur yang seharusnya sudah dilakukan dan diterapkan dalam pembelajaran. Salah satu contoh adalah hasil belajar mahasiswa pada kelas dengan tingkat kebahasaan menengah awal (tingkat B1) yang penulis ampu pada awal tahun 2015. Sebelumnya perlu penulis utarakan sedikit tentang tingkat kebahasaan pada bahasa Eropa (Jerman, Perancis dan lain-lain) sesuai GER (Gemeinsame Europäische Referenzrahmen) atau dalam bahasa Inggris dinamakan CEFR, bahwa tingkat kebahasaan dimulai dengan kelas awal atau A1, A2, B1, B2 C1, C2. Untuk Program Studi Pendidikan Bahasa Jerman (PSPBJ) strata satu di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pembelajaran tingkat kebahasaan adalah sampai dengan B2, sedangkan C1 dan C2 diperlukan mahasiswa bila mereka akan studi lanjut di RFJ (Republik Federal Jerman) untuk menempuh S2 dan S3; sehingga UNJ menyesuaikan perkuliahan di S1 hanya sampai tingkat kebahasaan B2. Jadi agar mahasiswa dapat mencapai B2, mahasiswa harus melalui secara berkesinambungan dan lulus tingkat kebahasaanA1, A2, B1, B2/1 dan B2/2. Dalam tulisan ini dibahas pembelajaran dari kelas awal (A1) sampai dengan kelas lanjut (B2). Sejak tahun 2008 pembelajaran bahasa Jerman di UNJ sudah mengacu pada GER, dan bahan ajar yang digunakan adalah studio d, bahan ajar ini sejak saat itu juga digunakan di berbagai Negara, yang belakangan juga digunakan di PSPBJ di perguruan tinggi lain di Indonesia. Dengan bahan ajar studio d yang mula-mula diterapkan pada mahasiswa angkatan tahun 2008, kebetulan kurikulumnya waktu itu juga mengalami pembaharuan. Hasil belajar yang dicapai mahasiswa pada angkatan tahun itu sangat bagus, yaitu 80%, yang dilanjutkan mahasiswa sampai tingkat kebahasaan A2, namun mengalami penurunan di tingkat B1. Akan tetapi tingkat kelulusan yang dicapai mahasiswa angkatan 2008 ini sampai dengan akhir studi S1 mencapai 75% ; dan 20% mahasiswa angkatan 2008 ini pernah mendapat bea siswa singkat ke RFJ. Berarti tingkat kebahasaan angkatan ini baik. Namun tingkat keberhasilan ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan, sampai dengan awal 2016, atau mahasiswa angkatan 2015 prestasi mahasiswa kurang cemerlang. Kondisi ini juga penulis alami ketika penulis mengampu mata kuliah kebahasaan pada angkatan tahun tertentu. Hari-hari pertama mengajar mata kuliah kebahasaan, perlu pengajar mengenal penguasaan bahasa mahasiswa. Namun apabila mahasiswa tidak memenuhi kualifikasi tingkat kebahasaan Jerman tertentu, sekalipun telah mencapai batas nilai untuk lulus ke tigkat kebahasaan selanjutnya, perlu hal itu dipertanyakan, dan dicari penyebab masalah, serta dicari cara penanggulangan masalah tersebut. Untuk memecahkan masalah serta menanggulangi yang penulis hadapi, awalnya penulis akan melakukan remedial, akan tetapi banyak sekali kendala yang akan penulis hadapi. Oleh karena itu upaya lain yang penulis lakukan adalah menambahkan bentuk evaluasi dengan alat ukur yang dapat disisipkan pada pembelajaran, namun tanpa mengubah alur pembelajaran. 44 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Pilihan itu jatuh pada formatif-tes, alasannya adalah: setelah mahasiswa penulis beri tes awal setingkat kebahasaan mereka yaitu B1, baik lisan maupun tulisan; ternyata masih banyak sekali kesalahan mendasar setingkat A1 dan A2 yang mahasiswa lakukan, dan mereka tidak tahu apa dan bagaimana harus dilakukan untuk secara mandiri memperbaiki kesalahan tersebut. Dengan demikian penulis berasumsi bahwa pada tingkatan kebahasaan atau pada kelas sebelum penulis mengajar, mahasiswa belum pernah mendapat latihan atau formatif-tes. Berarti latihan dan pengukuran setelah satu pelajaran (Einheit) selesai, tidak dan belum pernah mahasiswa peroleh. Dan hal itu dibenarkan para mahasiswa bahwa mereka memang tidak diperkenalkan pada bentuk latihan formatif-tes. Dengan demikian masalah pada kegiatan ini adalah : (a) Apakah pemberian formatif-tes dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa ? (b) Apakah dengan pemberian formatif-tes mahasiswa dapat secara mandiri memperbaiki kesalahannya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, hal berikut akan dilakukan : (a) Alasan pemberian formatif-tes. Beberapa akhli telah mengutarakan pernyataan mereka, di antaranya (Winkel, 1984) menyatakan bahwa: formatif-tes sebaiknya diberikan setelah satu pelajaran berakhir, ... karena tidak hanya mahasiswa melainkan juga pengajar memerlukan informasi tentang proses pembelajaran, yaitu feedback tentang kemajuan belajar, terutama hasil belajar . Lebih lanjut Carey & Carey (2001): formative evaluation is a judgement of the strengths and weakness of instruction in its developing stages, for purpose of revising the instruction to improve its effectiveness. Lebih lanjut menurut Carey & Carey, bahwa ada tiga alasan pemberian formatiftes, yaitu one-to-one adalah sebagai suatu clinical evaluation, yang artinya adalah untuk mengontrol seberapa dalam dan intensif setiap mahasiswa menguasai materi yang dibahas. Kedua, apakah keberhasilan belajar pada kelompok kecil sudah benarbenar terukur. Ketiga, pengukuran ini adalah bagian dari tujuan belajar, yang ditentukan pada proses pembelajaran. Sesuai dengan teori-teori ini dilakukan lah hal berikut (lihat HP-EKT, 2015b dan KOLITA 14, 2016). Pertama-tama, pembelajaran berlangsung secara normal, artinya pembelajaran pada minggu pertama sampai dengan minggu ketiga adalah pembelajaran untuk Einheit satu dan dua dengan buku pelajaran (Lehrbuch) dan buku latihan (Sprachtraining) studio d B1. Pelajaran dan latihan-latihan dikerjakan bersama di kelas, juga latihan-latihan tertentu dikerjakan oleh mahasiswa sebagai pekerjaan rumah. Dan pada minggu terakhir tersebut ternyata bahwa banyak mahasiswa tidak mengalami kemajuan belajar, sehingga mahasiswa diminta untuk selalu mempersiapkan diri, mengulang di rumah, dan mempelajari yang sudah diperoleh di kelas. Selain itu juga diumumkan bahwa akan ada pemberian tes, setelah satu pelajaran berakhir, untuk melihat kemajuan belajar. Ketika pelajaran dua berakhir, maka diberikanlah tes untuk menguji kemampuan mahasiswa dengan diberikan tes E1+2, ternyata hasil rata-rata kelas adalah 4,7. Setelah hasil tes dibagikan dan kesalahankesalahan dibahas, diterangkan serta upaya perbaikan dikerjakan. Mahasiswa diminta untuk kembali belajar di rumah dan bertanya kepada pengajar, kalau masih belum memahami bahan pelajaran. Namun waktu berjalan terus, dan pembelajaran harus tetap berlangsung. Setelah pelajaran ketiga, diberikanlah tes E-3, dan ternyata hasilnya membaik, hasil rata-rata kelas adalah 8,3, diperkirakan bahwa mahasiswa telah berusaha dengan giat belajar di rumah dan mengulang pelajaran. Setelah satu setengah minggu kemudian, tes E-4 Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 45
dilaksanakan, namun hasil belajar kembali turun dengan hasil rata-rata kelas adalah 4,9. Bila hasil belajar dari tiga tes formatif tersebut dicermati (lihat grafik-1 / rerata kelas di bawah ini) ternyata telah terjadi kenaikan yang cukup signifikan, yaitu dari 4,7 menjadi 5,9.
Grafik Rerata Kelas 10,0 8,0
1
6,0
2
4,0
3
2,0
4
0,0 1
2
3
4
Keterangan: 1 : rerata hasl tes E-1+2 2 : rerata hasil tes E-3 3: rerata hasil tes E – 4 4 : rerata hasil tes 1,2,3
Grafik 1 Rerata kelas
Berikut yang dibahas adalah pertanyaan kedua, (b) Apakah dengan pemberian formatif-tes mahasiswa dapat secara mandiri memperbaiki kesalahannya? - Ketika pada awalnya penelitian kecil ini berhenti pada rerata hasil belajar dari E- 1+2, E-3, dan E-4, hasil yang diperoleh memang ada kemajuan belajar secara signifikan. Namun kemudian peneliti meneruskan penelitian ini dengan Einheit lanjutan, juga dengan memberikan tes formatif lanjutan, serta tes sumatif yaitu UTS dan UAS sampai waktu pembelajaran berakhir, karena semester juga berakhir. Tambahan data adalah E-5+6 dengan rerata 5,6, E-7+8 dengan rerata 7,01., untuk tambahan dari dua formatif tes ( E-5+6, dan E-7+8) tersebut reratanya adalah 6,3. Sedangkan tes sumatif dalam bentuk UTS dengan rerata kelas adalah 6,58 , dan UAS dengan rerata kelas 5,87; maka rerata hasil ujian sumatif adalah 6,23. Dengan demikian hasil dari pengumpulan skor baik dalam formatif tes dan sumatif tes, telah dapat menaikkan skor hasil belajar mahasiswa sekalipun dengan susah payah hal itu dicapai. Apa penyebab penurunan prestasi mahasiswa? Padahal tingkat kebahasaaan sudah B1 hingga B2 GER. Jadi sebagaimana telah diupayakan seperti di atas, perlu dicari penyebab masalah, yang kemudian diperbaiki. Pada kelas B2/1 (lihat HP-EKT 2015a), pada kelas lanjut pertama, sebagian besar mahasiswa mencapai kelas tersebut menurut penulis tidak sesuai dengan standar yang seharusnya. Standar (alat ukur) yang penulis terapkan adalah dari konsep pembelajaran di kelas lanjut (das Konzept im studio d B2/1) dari penerbit dan konsultan bahan ajar (lihat HP-EKT 2015a). Hasil yang dicapai mahasiswa adalah sebagai berikut:
46 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
B2/1 9,00 7,00
6,19
6,37
1
2
7,47
6,92
3
4
5,00 3,00 1,00 -1,00
Grafik 2 Peningkatan Keterampilan bahasa Jerman Keterangan : 1: Rerata skor UTS = 6,19 2 : Rerata skor setelah pengayaan tahap awal = 6,37 3: Rerata skor setelah pengayaan tahap lanjut = 7,47 4: Rerata peningkatan secara keseluruhan = 6,92 Dari grafik-2, pengayaan yang diterapkan pada 4 keterampilan bahasa Jerman adalah dengan menonton televise Jerman / DW-TV. Alasan menonton DW-TV adalah : 1) siaran adalah siaran langsung dalam bahasa Jerman oleh penutur asli Jerman. Ini penting bagi mahasiswa dengan tingkat kebahasaan lanjut B2/1, 2) peristiwa yang terjadi adalah aktual pada hari itu/ waktu itu, 3) sebagian besar mahasiswa tidak dapat menangkap DW-TV di rumah, jadi mereka secara bersama berkelompok kecil menonton DW-TV di perpustakaan Goethe-Institut Jakarta, kemudian mereka membahas dan melaporkan baik secara tulisan dan lisan dengan LCD di kelas tentang kegiatan mereka (tema hari itu, dengan durasi menonton setengah jam per kelompok). Jadi alat ukur yang diterapkan juga disesuaikan sebagaimana dalam das Konzept fuer die Mittelstufe. Sedangkan di kelas B2/2, pengukuran diutamakan pada pemahaman konsep lingkungan hidup, terutama keragaman hayati (biodiversity). Pada HP-EKT 2014 tersebut yang dikerjakan mahasiswa adalah mengenal, mendalami dan menyebarluaskan konsep lingkungan hidup. Pada tahap mengenal dan mendalami konsep LH, mahasiswa boleh membaca atau mengaitkan Text dalam bahasa Jerman dengan informasi – informasi dalam bahasa Indonesia atau bahasa yang lebih membantu pemahaman mahasiswa, yang juga ada di pasaran atau di media (cetak, digital). Sedang untuk kegiatan menyebarluaskan, dapat dilakukan mahasiswa ketika mereka melaksanakan PKM atau PPL di sekolah latihan. Hasil yang dapat dipetik dari kegiatan ini (lihat HP-EKT, 2014).
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 47
NILAI 1 (E3, E5, E7+8) 3
7,11
2
5,76
1
Keterangan : 1.. Rata-rata Nilai E3 = 6,10 2. Rata-rata Nilai E5 = 5,76 3. Rata-rata Nilai E 7+8 = 7,11
6,10 0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
Grafik – 3 (sebelum Tindakan)
NILAI 2 (M, V-1, V-2) 3
7,13
2
Keterangan : 1.Rata-rata Nilai M = 6,55 2. Rata-rata Nilai V1 = 6,21 3. Rata-rata Nilai V2= 7,13
6,21
1
6,55 0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
Grafik – 4 : Nilai setelah Tindakan
Perbandingan Nilai Rata-rata
5,00
5,50
6,00
Nilai Rata-rata 2
6,50 Nilai Rata-rata 1
7,00
Keterangan: Nilai rata-rata -1 = 6,32 Nilai rata-rata -2 = 6,63
Grafik – 5: Perbandingan rata-rata Tiga grafik di atas menunjukkan bahwa peningkatan hasil belajar kelas lanjut B2/2 pun telah terjadi dengan signifikan setelah alur pengukuran dilakukan sesuai dengan das Konzept in der Mittelstufe, yaitu pengukuran yang sesuai dengan konsep pembelajaran bahasa Jerman yang berlaku secara internasional atau GER. Dari pengukuran-pengukuran yang dibahas di atas, dapat diperoleh hasil belajar mahasiswa secara akademik. Mahasiswa juga tahu apa yang diharapkan dalam pembelajaran, dan yang paling penting adalah mahasiswa tahu batas dan tata ukur yang berlaku secara internasional. Dengan tahu aturan dan hukum, hal itu dapat mengontrol diri juga kelompok mahasiswa , sehingga juga akan menunjang kegiatan lain. SIMPULAN Dari ulasan-ulasan di atas, yang diawali dengan pengukuran di kelas awal A1, B1 sampai dengan B2/2 GER dalam kebahasaan Jerman di PSPBJ – UNJ, dapat dicermati bahwa dalam pembelajaran bahasa Jerman, diperlukan kecermatan dalam pengukuran. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa dapat mengukur kemampuan serta keterampilan 48 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
bahasanya, sehingga mahasiswa dapat mengontrol dirinya dalam berbahasa. Kecermatan dan kontrol diri ini sangat penting bagi mahasiswa dalam revolusi mental. Hal ini menunjang ulasan AP Prasetyono staf ahli di Kemristekdikti yang diunduh 21/08/2016 http://www.dikti.go.id/revolusi-mental-modal-menuju-inovasi-indonesia berikut: "... dengan didukung oleh manusia yang unggul... memiliki keahlian dan keterampilan... mempunyai motivasi berprestasi, disiplin ... taat hukum ... berpandangan optimistis, produktif – inovatif – adaptif ". Selain itu mahasiswa juga dapat berpartisipasi dalam 8(delapan) prinsip dasar revolusi mental (http://revolusimental.go.id/tentang-gerakan/8-prinsip-revolusi-mental.html diunduh 21/08/2016) . Harapan penulis, selain (1) upaya yang dilakukan penulis untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa dalam kegiatan penelitian, juga (2) upaya tersebut dapat menunjang program di kampus, masyarakat juga negara dengan ikut berpartisipasi dalam kancah yang terjangkau mau pun masyarakat luas mendukung revolusi mental. S e m o g a !!! DAFTAR PUSTAKA Dick, W., Lou Carey & Carey, James (5.th ED). 2001. The Systematic Desain of Instruction. Longman Publisher. KOLITA 14, 2016. Universitas Katolik Atmajaya Jakarta. Stein, Margit. 2009. Allgemeine Pädagogik. München: Ernst Reinhardt Verlag. Trijanto, Endang K. 2014. Pemahaman Konsep Lingkungan Hidup dalam Bahan Ajar studio d B2. Hasil Penelitian dengan Dana BLU UNJ 2014. --------------. 2015a. Meningkatkan Keterampilan Bahasa Jerman dengan Bahan Ajar studio d B2/1. Hasil Penelitian dengan Dana BLU UNJ 2015. --------------. 2015b. Die Leistungsmessung im Fremdsprachenunterricht. Makalah disajikan pada Seminar di JBJ – UNJ tanggal 28 Oktober 2015. W.S. Winkel S.J. 1984. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta : PT Gramedia. Daftar unduhan tanggal 21/08/2018 http://presidenri.go.id/ulasan/revolusi-mental.html http://revolusimental.go.id/tentang-gerakan/siapa-penggerak-revolusi-mental.html http://revolusimental.go.id/tentang-gerakan/8-prinsip-revolusi-mental.html
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 49
50 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
PEMERTAHANAN KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA DALAM KONTEKS DUNIA PENDIDIKAN (MAINTENANCE OF INDONESIAN POSITION IN EDUCATION CONTEXT) Moh. Hafid Effendy Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan Pos-el.
[email protected]
ABSTRAK Pemertahanan bahasa (language maintenance) berkaitan dengan masalah sikap atau penilaian terhadap suatu bahasa, untuk tetap menggunakan bahasa tersebut di tengahtengah bahasa lainnya.Arus global tanpa kita sadari berimbas pula pada penggunaan dan keberadaan bahasa Indonesia di masyarakat. Penggunaan bahasa di dunia maya, facebook misalnya, memberi banyak perubahan bagi struktur bahasa Indonesia yang oleh beberapa pihak disinyalir merusak bahasa itu sendiri. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional harus disikapi bersama termasuk dalam pengajarannya. Di era global dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, seharusnya bisa kita manfaatkan dalam pemertahanan bahasa Indonesia. Salah satunya dengan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis ICT (Information, Communication and Technology). Pemanfaatan ICT sudah menjadi keharusan yang tidak dapat ditundatunda lagi misalnya dengan memanfaatkan ICT sebagai alat bantu pembelajaran bahasa Indonesia dalam dunia pendidikan. Masalah yang timbul adalah setiap anakanak diwajibkan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di bidang pendidikan, sedangkan di lain pihak mereka kembali menggunakan bahasa daerah mereka ketika tidak berada di bangku sekolah. Inilah yang terjadi pada beberapa dekade yang lalu, di mana Bahasa Indonesia belum berkembang dengan baik sebagai bahasa Nasional. Oleh karena itu, pemertahanan kedudukan bahasa Indonesia dipandang perlu dalam konteks pendidikan untuk menyelamatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan sebagai identitas bangsa.
Kata kunci: pemertahanan, kedudukan bahasa Indonesia , dunia pendidikan
PENDAHULUAN Dewasa ini kita hidup dalam era globalisasi, yang dipicu oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di bidang transportasi dan revolusi di bidang komunikasi. Dengan perkembangan yang sangat cepat di bidang transportasi dan komunikasi, arus globalisasi terasa bertambah kuat, sehingga dunia terasa makin datar (Thomas Friedman, 2005). Akibat derasnya arus globalisasi batas negara menjadi kabur dan akhirnya hilang. Tekanan arus globalisasi yang melanda bangsa-bangsa yang sedang berkembang menimbulkan perubahan yang semakin cepat dan luas dalam berbagai wilayah kehidupan. Globalisasi akan meningkatkan pemahaman antarbudaya, memecah batas antara masyarakat dari negara yang berbeda seiring dengan berkembangnya kemitraan dalam berdagang antarnegara. Globalisasi memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang. Sebagian besar orang menafsirkan sebagai proses pengecilan dunia atau menjadikan dunia sebagaimana layaknya sebuah desa kecil, setiap orang bisa berkomunikasi dengan sangat mudah, berhubungan dengan waktu yang singkat, dan dengan biaya yang relatif rendah. Globalisasi adalah akibat dari revolusi teknologi, komunikasi, dan informasi yang dapat berimbas pada tatanan masyarakat, bangsa, dan Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 51
negara di berbagai belahan dunia. Setiap bangsa di dunia tidak dapat melepaskan diri dari arus global akibat revolusi tersebut. Dengan kondisi seperti itu, persaingan antarwilayah pun semakin tinggi. Siapa yang menguasai komunikasi dialah yang akan menguasai dunia. Bahasa merupakan alat komunikasi di dunia. Oleh karena itu, eksistensinya di tengah arus global harus dicermati. Arus global berimbas pula pada penggunaan dan keberadaan bahasa Indonesia di masyarakat. Penggunaan bahasa di dunia maya, internet, facebook misalnya, memberi banyak perubahan bagi sturktur bahasa Indonesia yang oleh beberapa pihak disinyalir merusak bahasa itu sendiri. Di samping itu, berlandaskan alasan globalisasi dan prestise, masyarakat mulai kehilangan rasa bangga menggunakan bahasa nasional. Tidak hanya pada rakyat kecil, ‘krisis bahasa’ juga ditemukan pada para pejabat negara. Kurang intelek katanya kalau dalam setiap ucapan tidak dibumbui selingan bahasa asing yang sebenarnya tidak perlu. Hal tersebut memunculkan istilah baru, yaitu ‘Indoglish’ kependekan dari ‘Indonesian-English’ untuk fenomena bahasa yang kian menghantam bahasa Indonesia. Sulit dipungkiri memang, bahasa asing kini telah menjamur penggunaannya. Mulai dari judul film, judul buku, judul lagu, sampai pemberian nama merk produk dalam negeri. Kita pun merasa lebih bangga jika lancar dalam berbicara bahasa asing. Namun, apapun alasannya, entah itu menjaga prestise, mengikuti perkembangan zaman, ataupun untuk meraup keuntungan, tanpa kita sadari secara perlahan kita telah ikut andil dalam mengikis kepribadian dan jati diri bangsa kita sendiri. Sekarang ini penggunaan penggunaan bentuk ‘Inggris’ sudah banyak menggejala. Dalam bidang internet dan komputer kita banyak menggunakan kata mendownload, mengupload, mengupdate, dienter, direlease, didiscount, dicopy, disunting,dan lain sebagainya. Tidak hanya dalam bidang komputer saja, di bidang lain pun sering kita jumpai. Selain bahasa Asing, kedudukan bahasa Indonesia juga semakin terdesak dengan pemakain bahasa-bahasa gaul di kalangan remaja. Bahasa gaul ini sering kita temukan dalam pesan singkat atau sms, chatting, dan sejenisnya. Misalnya dalam kalimat’kagak bisa tuh, lho kok gitu, pa sich yg ga bs’ dalam kalimat tersebut penggunaan kata ganti aku tidak dipakai lagi. Penggunaan bahasa yang campur aduk dan kebakuannya dapat diragukan. Berbeda dengan negara kita sendiri, “tuan rumah” dari Bahasa Indonesia. Kita tahu bahwa bangsa Indonesia terbentuk dari beraneka ragam suku, budaya, agama, dan bahasa. Bangsa Indonesia merupakan cermin kemajemukan yang ditunjang dengan berbagai simbol pemersatu bangsa. Salah satu pemersatu itu adalah bahasa Indonesia. Namun, masalah yang dihadapi bangsa ini adalah kondisi kebahasaan di Indonesia yang cukup memprihatinkan, terutama penggunaan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia di tempat umum, seperti nama bangunan, nama kompleks perumahan, nama pusat perbelanjaan, serta nama hotel dan restoran, sudah mulai marak menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Nama tempat yang seharusnya menggunakan nama berbahasa Indonesia, tetapi menggunakan kata asing itu menunjukkan mulai lunturnya jati diri keindonesiaan. Kondisi seperti itu harus kita sikapi dengan arif agar kita tidak menjadi asing di negeri sendiri. Oleh karena itu, untuk memecahkan masalah ini, semua elemen harus bersatu padu, supaya bahasa kita sendiri sebagai bahasa pemersatu bangsa tidak hilang ditelan masa. Salah satunya adalah dengan Penanaman cinta bahasa kepada anak bangsa haruslah dari sejak dini, hingga perguruan tinggi secara optimal melalui; materi 52 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
pembelajaran yang berkaitan dengan keterampilan siswa dalam berbahasa dengan memanfaatkan berbagai media belajar, metode, pendekatan, strategi pembelajaran, maupun evaluasi pembelajaran. Pendidikan bahasa dan sastra Indonesia berperan sangat penting didalam menjaga keutuhan dan rasa persatuan Indonesia, karena bahasa Indonesia telah ditetapkan sebagai perekat kebersamaan dan sebagai salah satu simbol jati diri bangsa. Hal itu sejalan dengan semboyan “Bahasa Menunjukkan Bangsa”. Di samping itu, upaya pemertahanan pembelajaran oleh guru bahasa dan sastra Indonesia dengan menyerasikan antara metode pembelajaran yang diterapkan dengan kemampuan yang dimiliki oleh tenaga pendidik dengan pengajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, gembira dan menyenangkan serta pemilihan materi pembelajaran yang digali dari nilai luhur bangsa akan membentuk jati diri siswa yang kelak mampu menghadapi kehidupan dimasa depan yang bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga jika hal tersebut dilakukan, maka pemertahanan di bidang pendidikan akan optimal. PEMBAHASAN Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang pemertahanan bahasa Indonesia dalam kontek bidang pendidikan, makapembahasan akan difokuskan pada (1) pembelajaran bahasa, (2) strategi pembelajaran Bahasa Indonesia, dan (3) hasil pembelajaran 1. Pembelajaran Bahasa Pembelajaran merupakan upaya membelajarkan siswa Degeng (1989). Kegiatan pengupayaan ini akan mengakibatkan siswa dapat mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien. Upaya-upaya yang dilakukan dapat berupa analisis tujuan dan karakteristik studi dan siswa, analisis sumber belajar, menetapkan strategi pengorganisasian, isi pembelajaran, menetapkan strategi penyampaian pembelajaran, menetapkan strategi pengelolaan pembelajaran, dan menetapkan prosedur pengukuran hasil pembelajaran. Oleh karena itu, setiap pengajar harus memiliki keterampilan dalam memilih strategi pembelajaran untuk setiap jenis kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, dengan memilih strategi pembelajaran yang tepat dalam setiap jenis kegiatan pembelajaran, diharapkan pencapaian tujuan belajar dapat terpenuhi. Gilstrap dan Martin (1975) juga menyatakan bahwa peran pengajar lebih erat kaitannya dengan keberhasilan pebelajar, terutama berkenaan dengan kemampuan pengajar dalam menetapkan strategi pembelajaran. Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan. Sedangkan tujuan pembelajaran bahasa, menurut Basiran (1999) adalah keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks komunikasi. Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai, dan mengekspresikan diri dengan berbahasa. Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan. Sementara itu, dalam kurikulum 2004 untuk SMA dan MA, disebutkan bahwa tujuan pemelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia secara umum meliputi (1) siswa menghargai dan membanggakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara, (2) siswa memahami Bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi,serta menggunakannya dengan Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 53
tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan, (3) siswa memiliki kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional,dan kematangan sosial, (4) siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis), (5) siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (6) siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Untuk mencapai tujuan di atas, pembelajaran bahasa harus mengetahui prinsipprinsip belajar bahasa yang kemudian diwujudkan dalam kegiatan pembelajarannya, serta menjadikan aspek-aspek tersebut sebagai petunjuk dalam kegiatan pembelajarannya. Prinsip-prinsip belajar bahasa dapat disarikan sebagai berikut. Pebelajar akan belajar bahasa dengan baik bila (1) diperlakukan sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan minat, (2) diberi kesempatan berapstisipasi dalam penggunaan bahasa secara komunikatif dalam berbagai macam aktivitas, (3) bila ia secara sengaja memfokuskan pembelajarannya kepada bentuk, keterampilan, dan strategi untuk mendukung proses pemerolehan bahasa, (4) ia disebarkan dalam data sosiokultural dan pengalaman langsung dengan budaya menjadi bagian dari bahasa sasaran, (5) jika menyadari akan peran dan hakikat bahasa dan budaya, (6) jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan mereka, dan (7) jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran mereka sendiri (Aminuddin, 1994). 2. Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia Pembicaraaan mengenai strategi pembelajaran bahasa tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pendekatan, metode, dan teknik mengajar. Machfudz (2002) mengutip penjelasan Edward M. Anthony (dalam H. Allen and Robert, 1972) menjelaskan sebagai berikut. Pendekatan Pembelajaran Istilah pendekatan dalam pembelajaran bahasa mengacu pada teori-teori tentang hakikat bahasa dan pembelajaran bahasa yang berfungsi sebagai sumber landasan/prinsip pengajaran bahasa. Teori tentang hakikat bahasa mengemukakan asumsi-asumsi dan tesisi-tesis tentang hakikat bahasa, karakteristik bahasa, unsurunsur bahasa, serta fungsi dan pemakaiannya sebagai media komunikasi dalam suatu masyarakat bahasa. Teori belajar bahasa mengemukakan proses psikologis dalam belajar bahasa sebagaimana dikemukakan dalam psikolinguistil. Pendekatan pembelajaran lebih bersifat aksiomatis dalam definisi bahwa kebenaran teori-teori linguistik dan teori belajar bahasa yang digunakan tidak dipersoalkan lagi. Dari pendekatan ini diturunkan metode pembelajaran bahasa. Misalnya dari pendekatan berdasarkan teori ilmu bahasa struktural yang mengemukakan tesis-tesis linguistik menurut pandangan kaum strukturalis dan pendekatan teori belajar bahasa menganut aliran behavioerisme diturunkan metode pembelajaran bahasa yang disebut Metode Tata Bahasa (Grammar Method).
Metode Pembelajaran Istilah metode berarti perencanaan secara menyeluruh untuk menyajikan materi pelajaran bahasa secara teratur. Istilah ini bersifat prosedural dalam arti penerapan 54 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
suatu metode dalam pembelajaran bahasa dikerjakan dengan melalui langkah-langkah yang teratur dan secara bertahap, dimulai dari penyusunan perencanaan pengajaran, penyajian pengajaran, proses belajar mengajar, dan penilaian hasil belajar. Dalam strategi pembelajaran, terdapat variabel metode pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu strategi pengorganisasian isi pembelajaran, (b) strategi penyampaian pembelajaran, dan (c) startegi pengelolaan pembelajaran (Degeng, 1989). Hal ini akan dijelaskan sebagai berikut. Strategi Pengorganisasian Isi Pembelajaran Metode untuk mengorganisasikan isi bidang studi yang telah dipilih untuk pembelajaran. “Mengorganisasi” mengacu pada tindakan seperti pemilihan isi, penataan isi, pembuatan diagram, format, dan lain-lain yang setingkat dengan itu. Strategi penyampaian pembelajaran adalah metode untuk menyampaikan pembelajaran kepada pebelajar untuk menerima serta merespon masukan yang berasal dari pebelajar. Adapun startegi pengelolaan pembelajaran adalah metode untuk menata interaksi antara pebelajar dengan variabel pengorganisasian dan penyampaian isi pembelajaran. Strategi pengorganisasian isi pembelajaran dibedakan menjadi dua jenis, yaitu strategi pengorganisasian pada tingkat mikro dan makro. Strategi mikro mengacu pada metode untuk mengorganisasian isi pembelajaran yang berkisar pada satu konsep atau prosedur atau prinsip. Sedangkan strategi makro mengacu pada metode untuk mengorganisasi isis pembelajaran yang melibatkan lebih dari satu konsep atau prosedur atau prinsip. Strategi makro lebih banyak berurusan dengan bagaimana memilih, menata ururtan, membuat sintesis, dan rangkuman isi pembelajaran yang paling berkaitan. Penataan ururtan isi mengacku pada keputusan tentang bagaimana cara menata atau menentukan ururtan konsep, prosedur atau prinsip-prinsip hingga tampak keterkaitannya dan menjadi mudah dipahami. Dalam kepustakaan sosiolinguistik, pemertahanan dan pergeseran bahasa merupakan fenomena yang menarik. Terminologi pemertahanan dan pergeseran bahasa pertama kali diperkenalkan oleh Fishman pada tahun 1964 yang selanjutnya dikembangkan oleh Susan Gal (1979) yang meneliti masalah pilihan dan pergeseran bahasa di Oberwart, Austria timur, dan Nancy Dorian (1981) yang mengkaji pergeseran bahasa Gaelik oleh bahasa Inggris di Sutherland Timur, Britania bagian utara. Pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa erat kaitannya dengan ranah yang berkaitan dengan pilihan bahasa dan kewibahasaan. Kajian pemertahanan dan pergeseran bahasa perlu dikaitkan dengan konsep pemilihan bahasa. Pemahaman tentang pilihan bahasa dalam ranah yang dihubungkan dengan konsep diglosia di atas sangat penting artinya karena dengan begitu pemertahanan dan kebocoran diglosia yang menyebabkan pergeseran bahasa dapat dilihat. Pemertahanan dan pergeseran bahasa serta kepunahan suatu bahasa bertitiktolak dari kontak dua bahasa dalam suatu masyarakat. Gejala kepunahan bahasa akan tampak dalam proses yang cukup panjang. Mula-mula tiap-tiap bahasa masih dapat mempertahankan pemakaiannya pada ranah masing-masing. Kemudian pada suatu masa transisi masyarakat tersebut menjadi dwibahasawan sebagai suatu tahapan sebelum kepunahan bahasa aslinya (BI) dan dalam jangka waktu beberapa generasi mereka bertrasformasi menjadi masyarakat ekabahasawan kembali. Dengan demikian, pergeseran bahasa mencakup pertama-pertama kedwibahasaan (seringkali bersama diglosia) sebagai suatu tahapan menuju keekabahasaan (BI yang baru).
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 55
Demikian pula halnya dengan pemertahanan/pergeseran bahasa, ada aspek-aspek sosial psikologis pendukung suatu bahasa yang dapat diandalkan guna menangkis serangan pemakaian bahasa dari luar atau paling tidak dapat memperkuat basis perlawanan terhadap musuh. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional harus disikapi bersama termasuk dalam pengajarannya. Bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai alat komunikasi mempunyai peran sebagai penyampai informasi. Kebenaran berbahasa akan berpengaruh terhadap kebenaran informasi yang disampaikan. Berbagai fenomena yang berdampak buruk pada kebenaran berbahasa yang disesuaikan dengan kaidahnya, dalam hal ini berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Globalisasi memang tidak dapat dihindari. Akulturasi bahasa nasional dengan bahasa dunia pun menjadi lebih terasa perannya. Menguasai bahasa dunia dinilai sangat penting agar dapat bertahan di era modern ini. Namun sangat disayangkan jika masyarakat menelan mentah-mentah setiap istilah-istilah asing yang masuk dalam bahasa Indonesia. Ada baiknya jika dipikirkan dulu penggunaannya yang tepat dalam setiap konteks kalimat. Sehingga penyusupan istilah-istilah tersebut tidak terlalu merusak tatanan bahasa nasional. Di samping itu, Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar mempunyai beberapa konsekuensi logis terkait dengan pemakaiannya sesuai dengan situasi dan kondisi. Pada kondisi tertentu, yaitu pada situasi formal penggunaan bahasa Indonesia yang benar menjadi prioritas utama. Penggunaan bahasa seperti ini sering menggunakan bahasa baku. Kendala yang harus dihindari dalam pemakaian bahasa baku antara lain disebabkan oleh adanya gejala bahasa seperti interferensi, integrasi, campur kode, alih kode dan bahasa gaul yang tanpa disadari sering digunakan dalam komunikasi resmi. Hal ini mengakibatkan bahasa yang digunakan menjadi tidak baik. Berbahasa yang baik yang menempatkan pada kondisi tidak resmi atau pada pembicaraan santai tidak mengikat kaidah bahasa di dalamnya. Ragam berbahasa seperti ini memungkinkan munculnya gejala bahasa baik interferensi, integrasi, campur kode, alih kode maupun bahasa gaul. Kodrat manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari adanya interaksi dan komunikasi antarsesamanya. Bahasa sebagai sarana komunikasi mempunyai fungsi utama bahasa adalah bahwa komunikasi ialah penyampaian pesan atau makna oleh seseorang kepada orang lain. Keterikatan dan keterkaitan bahasa dengan manusia menyebabkan bahasa tidak tetap dan selalu berubah seiring perubahan kegaiatan manusia dalam kehidupannya di masyarakat. Perubahan bahasa dapat terjadi bukan hanya berupa pengembangan dan perluasan, melainkan berupa kemunduran sejalan dengan perubahan yang dialami masyarakat. Berbagai alasan sosial dan politis menyebabkan banyak orang meninggalkan bahasanya, atau tidak lagi menggunakan bahasa lain. Dalam perkembangan masyarakat modern saat ini, masyarakat Indonesia cenderung lebih senang dan merasa lebih intelek untuk menggunakan bahasa asing. Hal tersebut memberikan dampak terhadap pertumbuhan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa. Bahasa Inggris yang telah menjadi raja sebagai bahasa internasional terkadang memberi dampak buruk pada perkembangan bahasa Indonesia. Kepopuleran bahasa Inggris menjadikan bahasa Indonesia tergeser pada tingkat pemakaiannya. Berbagai penyebab pergeseran pemakaian bahasa Indonesia, tidak hanya disebabkan oleh bahasa asing tetapi juga disebabkan oleh adanya interferensi bahasa daerah dan pengaruh bahasa gaul. Dewasa ini bahasa asing lebih sering digunakan daripada bahasa Indonesia hampir di semua sektor kehidupan. Sebagai contoh, 56 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
masyarakat Indonesia lebih sering menempel ungkapan “No Smoking” daripada “Dilarang Merokok”, “Stop” untuk “berhenti”, “Exit” untuk “keluar”, “Open House” untuk penerimaan tamu di rumah pada saat lebaran, dan masih banyak contoh lain yang mengidentifikasikan bahwa masyarakat Indonesia lebih menganggap bahasa asing lebih memiliki nilai. Sehubungan dengan semakin maraknya penggunaan bahasa gaul yang digunakan oleh sebagian masyarakat modern, perlu adanya tindakan dari semua pihak yang peduli terhadap eksistensi bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Dunia pendidikan yang syarat pembelajaran dengan media bahasa menjadikan bahasa sebagai alat komunikasi yang primer. Sejalan dengan hal tersebut, bahasa baku merupakan simbol dalam dunia pendidikan dan cendekiawan. Penguasaan Bahasa Indonesia yang maksimal dapat dicapai jika fundasinya diletakkan dengan kokoh di rumah dan di sekolah mulai TK (Taman Kanak-kanak) sampai PT (Perguruan Tinggi). Akan tetapi, fundasi ini pada umumnya tidak tercapai. Di berbagai daerah, situasi kedwibahasaan merupakan kendala. Para guru kurang menguasai prinsip-prinsip perkembangan bahasa anak sehingga kurang mampu memberikan pelajaran bahasa Indonesia yang serasi dan efektif. Rusyana (1984:152) menyatakan bahwa dalam membina masyarakat akademik, penggunaan bahasa yang tidak baik dan tidak benar akan menimbulkan masalah. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dianggap mempunyai peranan dalam menuju arah pembangunan masyarakat akademik idaman. Kurangnya pemahaman terhadap variasi pemakaian bahasa berimbas pada kesalahan penerapan berbahasa. Secara umum dan nyata perlu adanya kesesuaian antara bahasa yang dipakai dengan tempat berbahasa. Tolok ukur variasi pemakaian bahasa adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan parameter situasi. Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma yang berlaku dan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia (Sugono, 1994: 8). Implementasi terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia Implementasi Pembelajaran Berbasis ICT (Information, Communication and Technology) di era global dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, seharusnya bisa kita manfaatkan dalam pemertahanan bahasa Indonesia. Salah satu hal yang dapat kita lakukan adalah dengan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis ICT (Information, Communication and Technology). Pemanfaatan ICT untuk pendidikan sudah menjadi keharusan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Berbagai aplikasi ICT sudah tersedia dalam masyarakat dan sudah siap menanti untuk dimanfaatkan secara optimal untuk keperluan pendidikan. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk sesuai dengan fungsinya dalam pendidikan. Menurut Indrajut (2004), fungsi teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan dapat dibagi menjadi tujuh fungsi, yakni: (1) sebagai gudang ilmu, (2) sebagai alat bantu pembelajaran, (3) sebagai fasilitas pendidikan, (4) sebagai standar kompetensi, (5) sebagai penunjang administrasi, (6) sebagai alat bantu manajemen sekolah, dan (7) sebagai infrastruktur pendidikan. Merujuk pada ketujuh fungsi tersebut dapat dipahami bahwa ICT dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya dalam pemertahanan bahasa Indonesia dalam konteks dunia pendidikan. Maka dari itu, perlu adanya pemanfaatan ICT dalam dunia Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 57
pendidikan, aplikasi nyata dalam dunia pendidikan misalnya dengan memanfaatkan ICT sebagai alat bantu pembelajaran bahasa Indonesia. Pemanfaatan ICT dalam pembelajaran bahasa misalnya dengan memanfaatkan blog sebagai wadah kreatifitas siswa dalam meningkatkan kemampuan menulisnya. Selain itu, penggunaan media pembelajaran yang berbasis ICT akan memudahkan siswa dalam menerima dan memahami pelajaran yang disampaikan. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan dalam kajian ini dapat ditarik simpulan bahwa era global dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sangat berpengaruh terhadap pemertahanan bahasa Indonesia. Namun demikian, dengan kemajuan teknologi seharusnya bisa kita manfaatkan dalam mempertahankan bahasa Indonesia. Salah satu hal yang dapat kita lakukan adalah dengan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis ICT (Information, Communication and Technology). Penerapan ICT dapat dilakukan seperti: Pembelajaran akan berubah dari guru sebagai pusat kepada siswa atau diri sendiri sebagai pusat pembelajaran, menekankan pembelajaran secara mandiri, memberikan kebebasan dalam pembelajaran supaya siswa dapat mencurahkan keupayaan diri masing-masing dalam mempertimbangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan dirinya, dan menyambung multimedia teknologi dengan jaringan seluruh dunia untuk dijadikan asas pembelajaran bahasa secara mandiri. DAFTAR PUSTAKA Basiran, Mokh. 1999. Apakah yang Dituntut GBPP Bahasa Indonesia Kurikulum 1994?. Yogyakarta: Depdikbud. Darjowidjojo, Soenjono. 1994. Butir-butir Renungan Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing. Makalah disajikan dalam Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing. Salatiga: Univeristas Kristen Satya Wacana Degeng, I.N.S. 1997. Strategi Pembelajaran Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi. Malang: IKIP dan IPTDI Depdikbud. 1995. Pedoman Proses Belajar Mengajar di SD. Jakarta: Proyek Pembinaan Sekolah Dasar Machfudz, Imam. 2000. Metode Pengajaran Bahasa Indonesia Komunikatif. Jurnal Bahasa dan Sastra UM Moeleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosyda Karya. Saksomo, Dwi. 1983. Strategi Pengajaran Bahasa Indonesia. Malang: IKIP Malang Salamun, M. 2002. Strategi Pembelajaran Bahasa Arab di Pondok Pesantren. Tesis. Tidak diterbitkan
58 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Sholhah, Anik. 2000. Pertanyaan Tutor dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing di UM. Skripsi. Tidak diterbitkan. Subyakto, Sri Utari. 1988. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud Sugiono, S. 1993. Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing. Makalah disajikan dalam Konferensi Bahasa Indonesia; VI. Jakarta: 28 Oktober—2 Nopember 1993 Suharyanto. 1999. Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD. Yogyakarta: Depdikbud Dorian, N. 1982. Language Death: The Life Cycle of a Scottish Gaelic Dialect. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta Fishman, Joshua A. 1990 Language and Ethnicity in Minority Sociolinguistic Perspectives. Cleveden: Multilingual Matters Ltd. Friedman Thomas, L. 2005. The World is Flat. Sugono, Dendy. 1994. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 59
60 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
KESANTUNAN TUTURAN DIREKTIF DALAM INTERAKSI PEMBELAJARAN Mardiyah Putri Astuti Universitas Negeri Malang
[email protected]
ABSTRACT Politeness speech in learning interactions in the classroom is conducted through directive speech, paying attention to speech strategy, and influenced by cultural aspects. The assessment of directive speech, politeness strategies, and aspects of Javanese culture is conducted by using theory based on directive speech act theory by Bach andd Harnish to analyze directive speech act; Brown and Levinson’s theory to analyze civilities speech act strategies; and theory of speech level by Gunarwan to analyze the aspect of Javanese culture. Directive interaction’s form shows that teacher predominantly expresses politeness through commands, prohibitions, permissions, and advices with the consideration of cultural aspects and the Javanese cultural aspect is integrated in learning interaction. The forms of directive interaction, directive politeness interactions, and cultural aspects are expressed predominantly by teacher and student in spesific purposes. This exposes the existance of politeness in learning interactions. Keyword: politeness speech, learning interaction, speech directive, politeness strategies, the cultural aspect
PENDAHULUAN Kesantunan tuturan guru dan siswa memiliki nilai-nilai yang sangat penting untuk memahami bagaimana etika atau budi pekerti guru dan siswa ketika berinteraksi dalam kegiatan belajar mengajar. Penggunaan bahasa yang santun merupakan alat yang paling tepat dalam berinteraksi. Siswa perlu dibina dan diarahkan untuk bertutur secara santun, karena merekalah generasi penerus bangsa yang akan hidup sesuai dengan zamannya. Apabila siswa dibiarkan bertutur tidak santun, maka tidak mustahil jika kesantunan yang sudah ditanamkan dari generasi ke generasi akan luntur termakan oleh generasi yang arogan, kasar, kering dari nilai-nilai etika, dan agama. Penggunaan kesantunan berbahasa ternyata tidak saja ditentukan oleh pilihan topik dan tujuan tuturan, tetapi juga oleh konteks tuturan seperti kedudukan dan strata sosial antara penutur dengan mitra tutur, serta ruang dan waktu aktualitas tuturan. Lingkungan sekolah adalah ruang dan waktu akademis, karena itu juga berpengaruh terhadap munculnya pilihan bentuk dan fungsi kesantunan berbahasa, baik guru maupun siswa dalam etika tuturan tertentu. Pemahaman tersebut dapat dipertegas bahwa etika tutur dalam berbahasa selalu memiliki hubungan dengan konteks. Gagasan tentang konteks berada di luar pengejewantahannya yang jelas, seperti latar fisik tempat dihasilkannya suatu ujaran yang mencakup faktor-faktor linguistik, sosial, dan epistemik (Cummings, 2007:5). Artinya, pelaksanaan maupun penafsiran mengenai kesantunan berbahasa sangat dipengaruhi faktor konteks. Sehubungan dengan pemahaman tersebut konteks yang Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 61
akan diamati dalam penelitian ini adalah konteks kesantunan berbahasa dalam lingkup sekolah. Setelah mempertimbangkan latar belakang di atas, maka teori yang dipilih dalam kajian ini meliputi: (1) kajian pragmatik, (2) konsep kesantunan berbahasa, (3) kesantunan budaya budaya Jawa, (4) tindak tutur direktif, (5) kesantunan tuturan dalam interaksi pembelajaran, dan (6) konteks. Masing-masing dijelaskan seperti berikut ini.
PEMBAHASAN Kajian Pragmatik Linguistik sebagai ilmu telaah bahasa yang mencakup berbagai cabang, antara lain fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik yang ditelaah dari sudut pandang internal, yaitu dari sudut pandang bahasa itu sendiri. Berbeda dari cabangcabang linguistik tersebut, pragmatik menelaah bahasa dari sudut pandang eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi (Parker, 1986). Kajian pragmatik tidak semata-mata memusatkan perhatian pada bahasa, tetapi pada apa yang dilakukan oleh penutur dengan menggunakan bahasa. Disamping itu, kajian pragmatik juga mencakup interaksi antara “saya” dan “anda”. Dengan demikian pragmatik mengkaji bahasa dalam penggunaan dan interaksi antar pengguna bahasa (Wierzbicka, 1991: 15 – 20). Dari pemahaman di atas dapat dipertimbangkan bahwa teori pragmatik dipandang mampu menjelaskan aspek-aspek kebahasaan dari sudut pandang yang lebih luas, yang meliputi hubungan aspek-aspek internal dan eksternal bahasa. Fenomena kesantunan misalnya, dapat dijelaskan bukan hanya dari sudut pandang bahasa, tetapi juga dari sudut pandang budaya yang dianut oleh pengguna bahasa tersebut. Selain itu, dalam pragmatik juga dikenal teori tentang hubungan antara ekspresi, makna tuturan, maksud tuturan, dan implikasi dari suatu tuturan. Teori tersebut dikemukakan oleh Grice yang kemudian dikenal sebagai teori Grice (Grice, 1975). Dalam teori itu, Grice mengemukakan dua sudut pandangnya mengenai teori pragmatik, yaitu (1) menyangkut masalah makna, makna di dalam komunikasi dibedakan atas makna alamiah (natural meaning), dan makna non-alamiah (non-natural meaning atau meaning nn), serta (2) menyangkut masalah penggunaan bahasa untuk tujuan berkomunikasi. Ketika berkomunikasi seseorang akan menemui kendala-kendala yang menyebabkan komunikasi tidak berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Konsep Kesantunan Berbahasa Kesantunan dapat dijelaskan sebagai “kualitas bersikap santun”. Istilah-istilah yang berkaitan seperti civility, courtesy, dan goodmanners menunjuk pada berbagai jenis hubungan asosiatif.Salah satu aspek kesantunan yang menarik perhatian adalah kenyataan bahwa kesantunan terletak pada persimpangan antara bahasa dan realitas sosial. Pengertian umum tentang kesantunan menghubungkan bahasa dengan aspekaspek kehidupan struktur sosial, sekaligus kode-kode perilaku dan etika. Dengan demikian, kajian kesantunan memiliki nilai-nilai yang sangat penting untuk memahami bagaimana masyarakat dan etika berkaitan dengan bahasa dan perilaku secara umum, serta memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang bagaimana masyarakat terbetuk dan dipertahankan melalui interaksi. Pada budaya Jawa, pemahaman “basa” yang memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia “bahasa”, secara kontekstual memiliki arti yang berbeda dengan arti 62 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
sebenarnya. Ketika masyarakat dengan budaya Jawa menyebut kata “basa” maka pemahaman yang terbentuk adalah tingkatan tuturan (undha usuk) yang digunakan ketika bertutur. Dalam budaya Jawa, terdapat tiga tingkatan tuturan yang biasa digunakan dalam berkomunikasi, yaitu (1) krama inggil, (2) krama, dan (3) ngoko. Dari ketika tingkatan tuturan tersebut, memiliki aturan-aturan tertentu dalam penggunaannya sebagai alat untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, sebaya, ataupun dengan orang yang lebih muda berdasarkan skala jarak umur ataupun skala jarak sosial yang terbentuk dengan sendirinya berdasarkan kebudayaan yang ada. Brown dan Levinson menggagas teori kesantunan dengan lebih komprehensif. Teori tersebut menyatakan bahwa kesantunan berbahasa muncul sebagai sebuah penyimpangan dari hakikat pertuturan yang rasional dan efisien. Melalui kajian menyeluruh terhadap kesantunan berbahasa mitra tutur akan memahami alasan bagi ketidakrasionalan dan inefisiensi ungkapan penutur. Teori tersebut dilandaskan oleh Brown dan Levinson (1987:62) pada konsep muka yang didefinisikan sebagai gambaran diri dihadapan publik yang dimiliki dan harus dijadikan pedoman oleh setiap individu dewasa yang rasional ketika sedang berinteraksi dalam pertuturan. Konsep muka mencakup dua aspek yang saling berhubungan, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif adalah keinginan semua penutur agar tindakan mereka disenangi mitra tutur, sedangkan muka negatif merupakan keinginan semua penutur agar tindakan mereka tidak dihambat oleh mitra tutur. Kesantunan untuk menjaga muka positif dapat pula disebut dengan kesantunan afirmatif. Kesantunan afirmatif mengacu pada strategi bertutur dengan cara menonjolkan kedekatan, keakraban, serta hubungan baik antara penutur dan mitra tuturnya. Selain kesantunan afirmatif, ada pula kesantunan diferensial. Kesantunan diferensial lebih dikaitkan dengan kesantunan untuk menjaga muka negatif yang merujuk pada strategi bertutur yang menunjukkan eksistensi jarak sosial antara penutur dan mitra tuturnya. Perbedaaan dua bentuk kesantunan ini dapat dicontohkan pada dua kalimat berikut: (1) “Gimana menurutmu?” (2) “Bagaimana menurut Saudara?” Contoh kalimat (1), menggunakan ujaran nonformal dan dapat ditafsirkan sebagai upaya memendekkan jarak sosial (kesantunan afirmatif), sedangkan contoh kalimat (2) menggunakan ujaran formal dan dapat ditafsirkan sebagai upaya menjauhkan jarak sosial (kesantunan diferensial). Kesantunan Budaya Jawa Budaya Jawa dapat dikelompokkan ke dalam budaya timur yang memiliki karakteristik masyarakat timur yang cenderung mengedepankan intuisi dan perasaan, yang berbanding terbalik dengan budaya masyarakat barat yang cenderung mengedepankan rasional dan logika. Masyarakat Jawa sebagai bagian dari masyarakat timur, maka aspek pilihan bentuk, strategi, serta tingkat kesantunan dalam praktik komunikasi selalu memperhatikan aspek intuisi dan rasa seperti menghormati orang yang lebih tua, malu untuk berbicara keras, serta tidak menggunakan kata-kata perintah langsung. Kejadian seperti ini tidaklah salah dan merupakan salah satu cerminan dari budaya timur. Salah satu ciri budaya Jawa adalah adanya sistem tingkat tutur (undha usuk), yang tidak dimiliki oleh setiap bahasa di dunia ini. Sesuai dengan pendapat Poedjosoedarmo (1979: 59), bagi orang yang tidak paham benar mengenai bahasa Jawa akan mengatakan bahwa tingkat tutur bahasa Jawa sulit dan memupuk sikap Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 63
tidak demokratis antara penutur dan mitra bicaranya. Namun sebetulnya bila nilai filosofis tingkat tutur itu dipahami benar, justru tingkat tutur dalam budaya Jawa mengajari manusia untuk mempelajari nilai-nilai kemanusiaan, seperti sikap andap asor (rendah diri), empan papan (sadar akan tempat), saling menghormati, pengakuan akan keberagaman, dan tepa slira (tenggang rasa). Sistem tingkat tutur dalam bahasa Jawa, merupakan pertanda pentingnya adat sopan santun yang menjalin sistem tata hubungan antar manusia. Kesantunan dalam budaya Jawa didominasi oleh rasa. Dalam hal ini, yang dikategorikan rasa bukan akal atau rasional, tetapi yang berkaitan dengan hati dan intuisi. Di dalam kebudayaan jawa, apabila seseorang sedang bertutur dengan orang yang lebih tinggi statusnya, maka orang tersebut akan menunjukkan rasa hormat dan sungkan (segan). Perasaan sungkan menuntut seorang untuk selalu berhati-hati dalam bertindak dan berbicara, sehingga tidak akan sembrono (gegabah) dalam membawa diri maupun berbicara yang ditunjukkan oleh pilihan diksi, suprasegemental, dan gestural yang dipertimbangkan sesuai dengan mitra tutur dan konteks tuturnya. Kebudayaan Jawa mengajarkan, apabila seseorang tidak hati-hati ketika bertutur ataupun bertindak dalam berperilaku dan berbicara, maka akan dianggap tidak sopan atau tidak punya unggah-ungguh (tata karma). Kartomihardjo dan Hatmosuprobo (1988), menyatakan bahwa dalam menggunakan bahasa, penutur tidak bisa lepas dari norma-norma sosial dan budaya yang dimilikinya. Kesantunan ataupun kesopanan dalam berbahasa dapat terefleksi pada kepatuhan penutur terhadap norma-norma sosial dan budayanya. Dalam budaya Jawa norma-norma kesantunan mengacu pada tiga nilai, yakni: (1) empan papan, menerangkan bahwa dalam berinteraksi penutur hendaknya menyatakan segala sesuatu secara wajar dan benar sesuai dengan tataran masyarakat, (2) urip mapan, menerangkan bahwa tututran itu hendaknya digunakan secara layak sesuai dengan harkat dan martabat, (3) mapanake wong tuwa, mengacu pada konsep bahwa yang lebih tua itu selayaknya dihormati. Sementara itu Gunarwan (1994), menjabarkan norma-norma kesantunan budaya Jawa dalam empat bidang. Pertama, kurmat atau hormat. Dalam budaya Jawa, setiap orang harus menunjukkan sikap hormat ketika berlaku dan bertutur. sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Mengikuti aturan-aturan tata krama yang sesuai, dengan mengambil sikap hormat yang tepat. Kefasihan dalam mempergunakan sikap-sikap hormat yang tepat dikembangkan pada orang jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga, seperti memiliki rasa wedi (takut), isin (malu), dan sungkan (segan) kepada orang yang dianggap lebih tinggi berdasarkan skala jarak sosial dan umur. Kedua, andhap asor atau rendah hati. Rendah hati dapat diartikan sebagai tindakan tidak mau menonjolkan diri, meskipun memiliki kemampuan yang lebih. Orang jawa selalu mengutamakan sifat andhap asor bila berhubungan dengan sesama manusia. sifat andhap asor dapat dijadikan kontrol diri agar tidak mudah marah, mawas diri, dan menjadikan saran dan kritik sebagai sebuah hal positif untuk membangun pribadi yang lebih baik. Ketiga, empan-papan atau sadar akan tempat. Empan papan menuntut keluwesan untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi pada tempat dan waktu tertentu. Dalam bertindak dan bertutur, seseorang harus mempertimbangkan tujuannya, yakni untuk siapa, dimana, bagaimana cara bertindak dan bertutur, serta seberapa jauh tindak dan tutur yang harus dilakukan, sebagai kontrol diri untuk memposisikan
64 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
dirinya sesuai dengan situasi dan kondisi berdasarkan tata krama dan tingkatan tuturan yang sesuai dengan kedudukannya. Keempat, tepa selira atau mawas diri. Sesuai dengan budaya Jawa, segala bentuk perlakuan yang akan dilakukan kepada orang lain, terlebih dahulu harus dipertimbangkan tingkat kebenarannya dengan segala konsekuensi yang akan ditimbulkan apabila perlakuan tersebut diterapkan pada diri sendiri. Dalam hal ini, tepa selira mengajarkan seseorang untuk merasakan apa yang mungkin dirasakan oleh orang lain sebagai bentuk cerminan diri. Tindak Tutur Direktif Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan sesuai apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tindak tutur direktif disebut juga dengan tindak tutur impositif. Tuturan yang dapat dikategorikan dalam tindak tutur jenis ini, antara lain: tuturan meminta, mengajak, memaksa, menyarankan, mendesak, menyuruh, menagih, memerintah, mendesak, memohon, menantang, dan memberi aba-aba. Contohnya, “Bantu aku memperbaiki tugas ini”. Contoh tersebut dapat dikategorikan ke dalam tindak tutur jenis direktif, karena dituturkan agar penuturnya melakukan tindakan yang sesuai dengan tuturannya, yakni membantu memperbaiki tugas. Indikator dari tuturan direktif adalah adanya suatu tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur setelah mendengar tuturan tersebut. Menurut Yule (2006:92), direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi: perintah, pemesanan, permohonan, permintaan, dan pemberian saran. Pada waktu menggunakan direktif penutur berusaha menyesuaikan dunia dengan kata (lewat pendengar). Tindak tutur direktif merupakan salah satu kategori tindak ilokusi menurut JR. Searle. Gunawan (dalam Rohmadi, 2004:32) mendefinisikan tindak tutur direktif sebagai tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu. Menurut Tarigan (1986:47), tindak tutur direktif dimaksudkan untuk menimbulkan efek melalui tindakan penyimakan. Ibrahim (1993:27) mendefinisikan tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitra tutur. Ibrahim membagi tindak tutur direktif menjadi enam jenis, yaitu (1) Permintaan, tindak permintaan menunjukkan dalam mengucapkan sesuatu tuturan, penutur memohon kepada mitra tutur untuk melakukan suatu perbuatan, (2) Pertanyaan, tindak pertanyaan mengandung pengertian bahwa dalam mengucapkan suatu tuturan, penutur menanyakan pada mitra tutur apakah suatu proposisi itu benar, (3) Perintah, tindak perintah mengindikasikan bahwa ketika mengucapkan suatu tuturan, penutur menghendaki mitra tutur untuk melakukan perbuatan, (4) Larangan, tindak larangan merupakan suatu tindakan yang menunjukkan bahwa ketika mengucapkan suatu ekspresi penutur melarang mitra tutur untuk melakukan tindakan, (5) Pemberian izin, tindak pemberian izin merupakan tindakan yang mengindikasikan bahwa, ketika mengucapkan suatu tuturan menghendaki mitra tutur untuk melakukan perbuatan (tindakan), dan (6) Nasihat, tindak nasihat adalah tindak ketika mengucapkan suatu ekspresi, penutur menasehati mitra tutur untuk melakukan tindakan. Kesantunan Tuturan dalam Interaksi Pembelajaran Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 65
Tuturan atau ujaran dipandang sebagai unit terkecil yang menyatakan tindakan dalam suatu peristiwa tutur yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam upaya membangun percakapan guna mencapai tujuan pembelajaran di kelas. Austin (dalam Searle, 1979:16) mengungkapkan, sebagai sesuatu yang menyatakan tindakan, ujaran itu disebut tindak tutur. Pada dasarnya, semua komunikasi verbal melibatkan tindak tutur. Menurut Brown dan Levinson (1987), dalam interaksi pembelajaran, terdapat dua guna yang harus diperhatikan. Pertama, penggunaan bentuk (wujud verbal) yang terkait dengan etnis tindak tutur tertentu. Peenggunaan wujud verbal, sebagaimana tampak pada pemilihan kata yang digunakan harus memenuhi kewajaran sesuai dengan konteks sosial budaya. Artinya, harus sesuai dengan muka positif dan muka negatif yang ditawarkan mitra tutur, sesuai dengan (1) tingkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, (2) tingkat status sosial yang simetrik atau asimetrik antara penutur dan mitra tutur dalam konteks penuturan,dan (3) tingkat peringkat tindak berdasarkan kedudukan relatif antara tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya. Kedua, penggunaan strategi penyampaian tindak tutur yang terkait dengan fungsi tertentu dan dengan bentuk penyampaian tertentu, misalnya dengan modus deklaratif, interogatif, atau imperatif, baik secara langsung atau tidak langsung yang memenuhi kewajaran. Maksud dari penggunaan strategi yang memenuhi kewajaran, yaitu sesuai dengan sistem sosial (peran, status, serta hubungan peran sosial penutur dan mitra tutur sebagai sistem mikro), dan nilai budaya (adat istiadat, religi, dan norma-norma lainnya sebagai sistem makro) masyarakat tuturnya. Muka positif dan muka negatif yang ditawarkan mitra tutur sesuai dengan (1) tingkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, (2) tingkat status sosial yang simetrik atau asimetrik antara penutur dan mitra tutur dalam konteks penuturan, dan (3) tingkat peringkat tindak berdasarkan kedudukan relatif antara tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya. Dalam mengekspresikan kesantunan melalui penggunaan bentuk atau wujud verbal, serta penggunaan strategi kesantunan tindak tutur harus memenuhi kewajaran sesuai dengan konteks sosial budaya. Konteks sosial budaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah konteks sosial budaya jawa. Konteks Konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Halliday & Hasan (1994) mengatakan hafiah konteks berarti “something accompanying text”, yaitu sesuatu yang inheren dan hadir bersama teks, sehingga dapat diartikan konteks sebagai situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Halliday & Hasan (1994: 16) mengatakan yang dimaksud dengan konteks situasi adalah lingkungan langsung tempat teks itu benar-benar berfungsi. Atau dengan kata lain, kontek situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Selanjutnya dalam pandangan Halliday (1994: 16), konteks situasi terdiri dari tiga aspek, yaitu (1) Medan wacana, (2) Pelibat wacana, dan (3) modus atau sarana wacana. Medan wacana merujuk pada aktivitas sosial yang sedang terjadi atau apa yang sesungguhnya disibukkan oleh para pelibat. Pelibat wacana merujuk pada orang-orang yang 66 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
mengambil bagian, sifat para pelibat, kedudukan dan peran mereka, jenis-jenis hubungan peranan apa yang terdapat di antara para pelibat. Sarana wacana merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dalam situasi, termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan. Imam Syafi’ie (dalam Mulyana, 2005: 24) menambahkan, apabila dicermati dengan benar, konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilih menjadi empat macam, yakni: (1) Konteks linguistik (linguistic context), yaitu kalimat-kalimat dalam percakapan, (2) Konteks epistemis (epistemis context), adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan, (3) Konteks fisik (physical context), meliputi tempat terjadinya percakapan, objek yang disajikan dalam percakapan, dan tindakan para partisipan, dan (4) Konteks sosial (sosial context), yaitu relasi sosio-kultural yang melengkapi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan. Uraian tentang konteks terjadinya suatu percakapan (wacana) menunjukkan bahwa konteks memegang peranan penting dalam memberi bantuan untuk menafsirkan suatu wacana. Dengan demikian dapat disimpulkan secara singkat bahwa dalam berbahasa (berkomunikasi), konteks adalah segala-galanya (Mulyana, 2005: 24). SIMPULAN DAN SARAN Kesantunan tuturan direktif dalam interaksi pembelajaran mengarah kepada respon langsung antara guru dan siswa. Bagi akademisi, disarankan menggunakan kesantunan tuturan direktif dalam interaksi pembelajaran sebagai bahan referensi yang bersifat kontributif dan konstruktif. Bagi pengembang linguistik dan pendidik bahasa, diharapkan dapat menggunakan kajian ini secara kritis dan kreatif sebagai kontribusi pada pengajaran tindak tutur dan kesantunan dalam bertutur. DAFTAR PUSTAKA Brown, P. dan Levinson, S.C. 1987. Universals in Language Usage: Politeness Phenomena. Cambridge: Cambridge University Press. Cummings, L. 1999. Pragmatik: Sebuah Perspektif Multidisipliner. Terjemahan Abdul Syukur Ibrahim (Ed.). 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Grice, H. P. 1975. Logic and Conversation. New York: Academic Press. Gunarwan, A. 1994. Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik. Makalah disajikan dalam Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya Ketujuh (PELLBA VII), Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta 26 – 27 Oktober 1993. Halliday, M.A.K & Hasan, R. (1994). Bahasa Konteks dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. (Terjemahan Asruddin Barori Tou). Yogyakarta: UGM Press. Ibrahim, A.S. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional. Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 67
Parker, F. 1986. Linguistic for Non-Linguist. London: Little, Brown and Company Inc. Poedjosoedarmo, S. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Rohmadi, M. 2004. Pragmatik: Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media. Searle, J.R. 1979. Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Act. Cambridge: Cambridge University Press. Tarigan, H. G. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. Wierzbicka, A. 1991. Cross-Cultural Pragmatics, The Semantics of Human Interaction. New York: Mouton de Gruyter. Yule, G. 1996. Pragmatics. New York: Oxford University Press. Terjemahan. Indah Fajar Wahyuni (penerjemah). 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
68 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DAN PEMBELI DI MALIOBORO YOGYAKARTA Reinardus Aldo Agassi Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang Pos-el.
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan tingkat kesantunan berbahasa penjual dan pembeli di Malioboro Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode observasi partisipatif dan metode simak-catat. Dari hasil analisis data dan pembahasan, diketahui bahwa tingkat kesantunan berbahasa pedagang di Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun dan tingkat kesantunan pembeli di Malioboro Yogyakarta sebagian besar tergolong tidak santun. Tuturan pedagang yang santun tercatat 20 data tuturan yang terdiri atas 7 data tuturan dari skala untungrugi, 7 data tuturan dari skala pilihan, dan 6 data tuturan dari skala ketidaklangsungan. Sedangkan tuturan pedagang yang tidak santun tercatat 17 data tuturan yang terdiri atas 14 data tuturan dari skala untung-rugi, 3 data tuturan dari skala pilihan, dan 0 data dari skala ketidaklangsungan. Tuturan pembeli yang santun tercatat 16 data tuturan yang terdiri atas 3 data tuturan dari skala untung-rugi, 9 data tuturan dari skala pilihan, dan 4 data tuturan dari skala ketidaklangsungan. Sedangkan tuturan pembeli yang tidak santun tercatat 21 data tuturan yang terdiri atas 13 data tuturan dari skala untung-rugi, 2 data tuturan dari skala pilihan, dan 6 data tuturan dari skala ketidaklangsungan. Kata kunci: kesantunan berbahasa, penjual dan pembeli, tuturan
PENDAHULUAN Pemakaian bahasa secara santun belum banyak mendapat perhatian. Sangat wajar jika kita sering menemukan pemakaian bahasa yang baik ragam bahasanya dan benar tata bahasanya, tetapi nilai rasa yang terkandung di dalamnya menyakitkan hati pembaca dan pendengarnya. Hal ini terjadi karena pemakai bahasa belum mengetahui bahwa di dalam suatu struktur bahasa terdapat struktur kesantunan. Pranowo (2009:4) mengungkapkan struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur agar tidak menyinggung perasaan pendengar. Hal inilah yang belum mendapat perhatian para ahli bahasa. Kesantunan berbahasa dapat dilihat dalam interaksi jual beli antara penjual dan pembeli di Malioboro pada khususnya memiliki keunikan karena interkasi jual beli tersebut berkaitan dengan aspek sosial dan budaya di lingkungan sekitar. Karena keunikan tersebut, belum banyak penelitian yang meneliti tentang kesantuan berbahasa antara penjual dan pembeli diantara penelitian yang lain sebagai berikut. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Ventianus Sarwoyo dengan judul “Tindak Ilokusi dan Pendanda Tingkat Kesantunan Tuturan di dalam Surat Kabar”. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa dalam suatu tuturan yang diujarkan akan memberikan penilaian terhadap tuturan dari sopan santunnya. Penelitian ini juga menemukan enam penanda tingkat kesantunan, yaitu (1) analogi, (2) pilihan kata atau diksi), (3) gaya bahasa, (4) penggunaan keterangan atau modalitas, (5) penyebutan Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 69
subjek yang menjadi tujuan tuturan, dan (6) bentuk tuturan. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh H. Jamal, dengan judul “Kesantunan dalam Perspektif. Suatu Telaah Sosiopragmatik Penggunaan Bahasa di BDK Surabaya”. Penelitian ini memiliki beberapa kesimpulan tentang kesantunan berbahasa. Peneliti menuliskan bahwa setiap masyarakat memiliki seperangkat norma yang terdiri atas sejumlah kaidah-kaidah eksplisit untuk menentukan kesantunan berbahasa. Kaidah-kaidah tersebut ditentukan oleh perilaku-perilaku tertentu, lingkungan, dan cara berpikir masyarakatnya. Kesantunan berbahasa tidak terlepas dari kegiatan komunikasi antar sesama manusia. Kesantunan berbahasa dapat dilakukan oleh penutur karena terdorong oleh sikap hormat kepada mitra tutur yang lain. Dalam melakukan komunikasi yang santun juga membutuhkan strategi interaksi yang efektif. Strategi yang dikemukakan oleh Grice (1975) (dalam Dardjowidjojo, 2012:109-111; Levinson, 1983:101-102) yaitu (1) Maksim Kualitas. Maksim ini menyatakan sebagai pembicara informasi yang kita berikan haruslah seinformatif mungkin, tetapi jangan lebih jangan kurang. (2) Maksim Kualitas. Maksim ini membimbing orang untuk mengatakan apa yang menurut dia tidak benar; kita juga hendaknya tidak mengatakan sesuatu yang tidak ada bukti kebenarannya. (3) Maksim Hubungan. Pada maksim ini kita diharapkan untuk memberikan informasi yang relevan terhadap ujaran. (4) Maksim Cara. Dalam maksim ini, penutur dan mitra tutur harus mengungkapkan pikirannya secara jelas. Kesantunan berbahasa tidak hanya dibatasi oleh empat maksim saja, akan tetapi kesantunan berbahasa memiliki prinsip tersendiri yang bertujuan untuk membuat agar tuturan antar sesama penutur menjadi lebih santun. Dalam hal ini, berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Grice, Leech (1983:119) (dalam Rahardi, 2009:25-26) mengungkapkan prinsip kesantunan yang dianggap paling lengkap, paling mapan, dan paling komprehensif. Rumusan prinsip kesantunan tertulis sebagai berikut. (1) Tact Maxim, (2) Generosity maxim, (3) Approbation maxim, (4) Modesty maxim, (5) Agreement maxim, (6) Sympathy maxim. Rumusan dalam bahasa Indonesia yang diungkapkan oleh Wijana (1996) (dalam Rahardi, 2009:26) tertulis sebagai berikut. (1) maksim kebijaksanaan, (2) maksim penerimaan, (3) maksim kemurahan, (4) maksim kerendahan hati, (5) maksim kecocokan, (6) maksim kesimpatisan. Lain halnya dengan pendapat pakar di atas, Pranowo (2009:36) menambahkan maksim kesantunan ketujuh, yaitu maksim pertimbangan (consideration maxim). Maksim pertimbangan ini memiliki definisi yakni maksim yang menyatakan bahwa penutur hendaknya meminimalkan rasa tidak senang kepada mitra tutur dan memaksimalkan rasa senang kepada mitra tutur. Maksud dari pernyataan tersebut di atas adalah bahwa penutur diharapkan dapat membuat mitra tuturnya merasa lega terhadap tuturan yang diujarkan penutur ketika proses berkomunikasi berlangsung. Selain keenam maksim, Leech (1983) menyodorkan lima buah skala pengukur kesantunan berbahasa yang didasarkan pada setiap maksim interpersonalnya. Kelima skala kesantunan sebagai berikut. (1) Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, (2) Optionally scale atau skala pilihan, (3) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan, (4) Authority scale atau skala keotoritasan, (5) Social distance scale atau skala jarak sosial. HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang dianalisis adalah tuturan verbal (hal-hal yang dituturkan) yang sifatnya percakapan antara penjual dan pembeli. Data diambil dari pengamatan percakapan pedagang dan pembeli di Malioboro Yogyakarta. Hasilnya ada sekitar 37 70 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
data tuturan yang dianalisis dalam penelitian ini. Data tuturan tersebut kemudian dianalisis untuk kedua objek penelitiannya, yakni dari segi penjual atau pedagang dan dari segi pembeli. Jumlah data tuturan pedagang dan pembeli sama-sama berjumlah 37 data tuturan. Tuturan pedagang dan pembeli yang dianalisis tersebut terangkum dalam satu data sekaligus. Dipaparkan bahwa tingkat kesantunan berbahasa pedagang di Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun dan tingkat kesantunan pembeli di Malioboro Yogyakarta sebagian besar tergolong tidak santun. Tuturan pedagang yang santun tercatat 20 data tuturan yang terdiri atas 7 data tuturan dari skala untung-rugi, 7 data tuturan dari skala pilihan, dan 6 data tuturan dari skala ketidaklangsungan. Sedangkan tuturan pedagang yang tidak santun tercatat 17 data tuturan yang terdiri atas 14 data tuturan dari skala untung-rugi, 3 data tuturan dari skala pilihan, dan 0 data dari skala ketidaklangsungan. Tuturan pembeli yang santun tercatat 16 data tuturan yang terdiri atas 3 data tuturan dari skala untung-rugi, 9 data tuturan dari skala pilihan, dan 4 data tuturan dari skala ketidaklangsungan. Sedangkan tuturan pembeli yang tidak santun tercatat 21 data tuturan yang terdiri atas 13 data tuturan dari skala untung-rugi, 2 data tuturan dari skala pilihan, dan 6 data tuturan dari skala ketidaklangsungan. Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di Malioboro Yogyakarta Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) Berdasarkan analisis, tingkat kesantunan berbahasa pedagang di Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun. Karena tuturan yang dituturkan oleh penutur (penjual) kepada mitra tutur (pembeli) dalam percakapan transaksi jual beli yang dilakukan menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat yang menandakan bahwa tuturan tersebut memberikan keuntungan kepada mitra tutur (pembeli). Dalam hal ini santunnya tuturan tentu akan terlihat dari tuturan penutur (penjual) apakah tuturannya menguntungkan mitra tuturnya (pembeli) atau bahkan sebaliknya merugikan diri mitra tuturnya. Dapat dibuktikan pada penggunaan kalimat “Sedengsedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu”. “Ya wis, oke-oke, Dik”. “Kalo beli dua, dua puluh tiga ribu aja”. Ujaran-ujaran yang dituturkan oleh penutur (penjual) dalam percakapan dengan mitra tutur (pembeli) saat transaksi jual beli tersebut menandakan bahwa penjual memberikan keuntungan kepada pembeli. Dengan penekanan ujaran tersebut dalam percakapan di antara kedua partisipan tutur itu, dapat dikatakan bahwa tuturan tersebut dikategorikan ke dalam tuturan yang santun (menguntungkan mitra tuturnya). Dalam transaksi jual beli yang dilakukan penutur dan mitra tutur tentu tidak terlepas dengan adanya tuturan-tuturan yang dirasa tidak santun untuk dituturkan kepada diri mitra tutur (pembeli). Misalnya saja dengan penekanan kalimat-kalimat sebagai berikut, “Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki”, “Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku”, dan “Bordir bedo!” . “Gak boleh!”. “Mau beli yang mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok dicampur-campur!”. Penggunaan ujaran tersebut telah mencerminkan bahwa tuturan yang dituturkan kepada mitra tutur (pembeli) tidak santun. Ujaran itu menandakan bahwa penjual sangat merugikan diri pembelinya. Oleh karena itu, dengan penekanan ujaran tersebut tuturan yang dituturkan penutur kepada mitra tutur dapat digolongkan ke dalam tuturan yang tidak santun (merugikan mitra tutur).
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 71
Bahasan mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang dengan penekanan ujaran yang digunakan sebagai penanda apakah tuturan yang dituturkan penjual kepada pembeli santun atau tidak santun di atas termasuk dalam teori skala kesantunan milik Geoffrey Leech, khususnya skala untung-rugi yang dijelaskan mengenai seberapa besar keuntungan atau kerugian yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur atau sebaliknya agar penutur dan mitra tutur dapat saling memberikan keuntungan atau kepuasan saat bertutur kata. Seorang penutur sebaiknya merugikan dirinya sendiri, bukan malah meninggikan dirinya di hadapan lawan tuturnya ketika berkomunikasi. Skala Pilihan (Optionality Scale) Percakapan-percakapan yang dilakukan oleh penutur (penjual) kepada mitra tutur (pembeli) di dalamnya terdapat tuturan-tuturan yang menandakan santun tidaknya tuturan dari segi skala pilihan. Dapat dibuktikan dengan tuturan-tuturan penutur kepada mitra tutur, antara lain “Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas hargane. Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus dua puluh. Cowok cewek bisa. Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga limaan. Tinggal pilih, Mbak’e”. “Paling besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple gak ada. Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini” dan “Ini empat puluh Dek yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek. Bisa kurang sedikit”. Ujaran tersebut merupakan penanda pilihan yang diberikan oleh penjual kepada pembeli. Adanya pilihan-pilihan yang diberikan penutur kepada mitra tutur tersebut menjadikan tuturan yang dituturkan dikategorikan ke dalam tuturan yang santun. Ada pula penanda-penanda dalam tuturan yang dituturkan oleh si penjual kepada pembelinya yang menandakan bahwa tuturan tersebut tidak santun, antara lain “Anane iki nyoh. Iki wernane”. Ujaran penutur tersebut menandakan bahwa penutur tidak memberikan pilihan-pilihan kepada mitra tuturnya. Penutur hanya memberikan apa yang sudah dia ambil yang kemudian langsung diberikan kepada mitra tutur (pembeli). Oleh karena itu, tidak adanya tuturan-tuturan yang menandakan adanya pilihan-pilihan yang diberikan oleh penjual kepada pembeli maka tuturan (penanda) tersebut dikategorikan ke dalam tuturan yang tidak santun. Penanda-penanda untuk mengukur tingkat kesantunan berbahasa pedagang dalam skala pilihan ini telah dijelaskan di atas. Penekanan-penekanan dalam tuturantuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur tersebut di atas mengacu pada teori skala kesantunan Geoffrey Leech, khususnya skala pilihan yang menjelaskan mengenai seberapa besar penutur memberikan pilihan-pilihan kepada mitra tuturnya ketika melakukan tindak tutur. Hal ini lebih pada pemberian sebuah penawaran kepada mitra tuturnya saat berkomunikasi. Jadi, penutur tidak boleh mengharuskan atau memaksakan mitra tuturnya untuk melakukan suatu tindakan tanpa adanya suatu pilihan. Apabila hal tersebut terjadi, maka tuturan tersebut akan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun. Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) Pembahasan yang ketiga ini mengenai tingkat kesantunan pedagang di Malioboro Yogyakarta menurut skala ketidaklangsungan. Bahasan ini mengacu pada tuturan dan penekanan kata-kata atau kalimat-kalimatnya yang menandakan santun tidaknya tuturan yang dituturkan oleh penutur (penjual) kepada mitra tutur (pembeli). Dapat dilihat dari contoh kalimat berikut ini, antara lain “Nawar aja bisa. Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja”, “Enem tahun nek larene ageng nggih 72 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
cekapan. Nek kaliten kadose mboten”. Kalimat-kalimat tersebut merupakan penanda bahwa tuturan yang dituturkan bersifat tidak langsung. Penutur (penjual) tidak langsung menuturkan apa yang dia inginkan namun melalui kalimat-kalimat seperti yang di atas penutur ingin berbasa-basi terlebih dahulu kepada mitra tutur (pembeli). Maka dari itu, tuturan dengan penekanan seperti di atas termasuk dalam kategori tuturan yang santun. Tuturan-tuturan dengan penanda atau penekanan seperti itulah yang dapat mewakili apakah tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur santun atau tidak santun. Hal ini mengacu pada teori skala kesantunan Leech khususnya skala ketidaklangsungan (indirectness scale) yang memaparkan mengenai pokok teori skala ketidaklangsungan bahwa penutur harus benar-benar memahami dan mengerti bagaimana cara menyampaikan suatu maksud tuturan kepada mitra tutur agar proses pertuturan yang tengah dilangsungkan dapat berjalan dengan baik dan santun. Seseorang yang memiliki cara masing-masing untuk dapat menyampaikan maksud dari tuturannya, apakan dilakukan secara langsung atau dapat juga dengan menggunakan basa-basi terlebih dahulu agar tuturan yang dituturkan baik oleh penutur maupun mitra tutur tidak menyinggung satu sama lain. Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di Malioboro Yogyakarta Skala Biasa-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) Pembeli sebagai penutur tidak pernah lepas dengan penggunaan tuturan yang dianggap santun dan ada pula yang menggunakan tuturan yang dianggap tidak santun. Banyak pembeli yang menganggap bahwa dirinya adalah seorang raja karena dialah yang akan membeli dagangan dari penjual. Dalam skala ini, jika penutur (pembeli) menguntungkan diri mitra tuturnya (penjual), maka tuturan tersebut dianggap santun, begitu pula sebaliknya. Seperti contoh, antara lain “Iya dua ribu, gak ada lima ratusan” dan “Yang besar tiga lima ya, Bu?”. Ujaran tersebut merupakan suatu penekanan dalam percakapan yang dilakukan oleh penutur dengan mitra tuturnya. Dengan penanda tersebut dapat dianalisis dan dipaparkan dengan jelas bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena adanya keuntungan yang didapatkan oleh si mitra tutur (penjual). Jadi, tuturan pembeli tersebut digolongkan ke dalam tuturan yang santun. Dalam komunikasi jual beli tidak luput akan terjadinya penggunaan tuturan yang dianggap tidak santun. Hal ini akan mengakibatkan komunikasi yang sedang terjadi menjadi kurang baik. Penekanan pada ujaran dalam percakapan antara penutur (pembeli) dengan mitra tutur (penjual) juga harus benar-benar diperhatikan. Antara lain, “Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar juga kok!”, “Mbok sing selawe loro to, Bu, Bu. Iya, Bu? Selawe loro. Pisan selawe loro. Tuku neng kene pisan kok” dan “Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik. Sing murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000 karekkan. Kono lho warna pink apa ndek kono ukuran L”, “Harusnya samalah!”, “Koyok gak tau tuku, Pak. Aku wingi yo wis tuku neng kene!”, dan “Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya!”. Ujaran seperti itulah yang dirasa kurang tepat untuk dituturkan kepada mitra tutur (penjual) dalam konteks jual beli. Ujaran tersebut memiliki makna dan maksud yang kurang baik untuk dituturkan. Penekanan ujaran dalam percakapan yang ada dapat merugikan diri mitra tutur (penjual) sehingga suasana yang terjalin menjadi tidak harmonis. Dapat disimpulkan bahwa tuturan yang dicontohkan di atas termasuk dalam kategori tuturan yang tidak santun.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 73
Skala Pilihan (Optionality Scale) Pembeli juga memiliki hak untuk meminta atau memberikan pilihan-pilihan baik itu mengenai barang dagangan, harga dagangan, dan yang lainnya. Semakin banyak pilihan-pilihan dalam tuturan yang dituturkan akan semakin santunlah tuturan tersebut, begitu juga sebaliknya semakin minimnya pilihan-pilihan yang diberikan maka akan semakin tidak santunlah tuturan tersebut. Antara lain pada ujaran, “Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini double XL kan?” dan “Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga limaan”, dan “Iki yo apik warnane. Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas”. Ujaran tersebut menandakan bahwa makna dan maksud dari tuturan yang dituturkan oleh penutur memberikan suatu pilihan-pilihan. Terdapat pilihan-pilihan baik mengenai harga, ukuran, warna, dan jumlah pembelian dari dagangan si mitra tutur (penjual). Tuturan dengan menggunakan penekanan atau penanda tersebut menjadikan tuturan itu dikategorikan ke dalam tuturan yang santun karena terdapat banyak pilihanpilihan di dalam tuturan penutur (pembeli). Namun, dalam tuturan pembeli saat transaksi jual beli dengan penjual juga terdapat tuturan yang dianggap tidak santun dalam konteks skala pilihan ini. Pembeli (penutur) ada juga yang tidak memberikan pilihan-pilihan. Antara lain, “Mas, yang gambarnya lucu gitu lho, Mas”. Ujaran tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun, karena ujaran tersebut menandakan bahwa tidak adanya pilihan-pilihan yang diberikan. Sesuai dengan teori, bahwa semakin tidak adanya pilihan-pilihan yang diberikan, maka dianggap tidak santunlah tuturan tersebut. Hal ini lebih pada pemberian sebuah penawaran kepada mitra tuturnya saat berkomunikasi. Penutur tidak boleh mengharuskan atau memaksakan mitra tuturnya untuk melakukan suatu tindakan tanpa adanya suatu pilihan. Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) Pembahasan yang ketiga di bawah ini mengacu pada tuturan pembeli yang dilihat dari skala ketidaklangsungan. Seseorang memiliki cara masing-masing untuk dapat menyampaikan maksud dari tuturannya, apakah dilakukan secara langsung atau dapat juga dengan menggunakan basa-basi terlebih dahulu agar tuturan yang dituturkan baik oleh penutur maupun mitra tutur tidak menyinggung satu sama lain. Penutur tidak diperbolehkan terang-terangan menyampaikan maksud dari tuturan yang diucapkan, karena semakin langsung maksud dari tuturan itu tersebut terucap, tentu tuturan itu menjadi semakin tidak santun, begitu juga sebaliknya apabila semakin tidak langsung tuturan itu diucapkan maka semakin santunlah tuturan tersebut. Sesuai dengan teori tersebut, bentuk ujaran tersebut, antara lain “Warnane napa? Pas’e piro, Mbak?” dan “Dua belas ribu? Sepuluh aja”. Penekanan kalimat-kalimat tersebut dalam tuturan pembeli sebagai penutur merupakan tuturan yang bersifat tidak langsung. Pembeli tidak langsung mengungkapkan maksudnya secara terang-terangan. Penutur berbasa-basi terlebih dahulu sebelum benar-benar menyampaikan maksud dari tuturan yang akan dituturkan kepada penjual. Oleh karena itu, tuturan tersebut digolongkan ke dalam tuturan yang santun. Berbeda dengan ujaran “Nawar dua lima!” yang memperlihatkan bahwa penekanan yang digunakan dalam tuturan pembeli bersifat langsung. Ujaran tersebut menandakan pembeli secara langsung menawar harga dagangan. Penutur tidak berbasa-basi terlebih dahulu melainkan langsung 74 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
menyampaikan maksud dari tuturannya, sehingga tuturan dengan penekanan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun. Data-data beserta analisisnya di atas tersebut merupakan contoh-contoh pembahasan tuturan penjual dan pembeli baik yang santun maupun yang tidak santun. Pembahasan tersebut diperlihatkan bahwa skala untung rugi, skala pilihan, dan skala ketidaklangsungan yang ada dalam teori skala kesantunan Leech digunakan sebagai dasar analisis untuk mengetahui tingkat kesantunan berbahasa penjual dan pembeli di Malioboro Yogyakarta. SIMPULAN Penelitian ini membahas tingkat kesantunan berbahasa penjual dan pembeli di Malioboro Yogyakarta. Berdasarkan pembahasan di atas, diperoleh beberapa hal yang dapat disimpulkan. Secara rinci beberapa hal tersebut, antara lain (1) terdapat tiga skala yang dapat digunakan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimanakah tingkat kesantunan suatu tuturan yang dituturkan, khususnya dalam masalah pokok penelitian ini, yakni kesantunan berbahasa penjual dan pembeli di Malioboro Yogyakarta. Ketiga skala tersebut adalah (1) skala untung rugi, (2) skala pilihan, dan (3) skala ketidaklangsungan. Tiga skala ini merupakan skala kesantunan milik Geoffrey Leech yang menjadi dasar analisis penelitian ini. Jadi, apabila tuturan yang digunakan ingin terdengar santun, maka seorang penutur baik penjual maupun pembeli harus memerhatikan ketiga skala tersebut sebelum bertutur kata atau berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Aspek-aspek ini tentu akan memengaruhi tuturan yang tengah dikomunikasikan antara kedua partisipan tutur. Penutur dan mitra tutur yang tengah berkomunikasi juga harus memerhatikan konteksnya. Konteks yang dimaksud adalah kapan tuturan itu harus diucapkan, di mana tuturan itu dituturkan, siapa lawan tutur kita, dan bagaimana maksud dari tuturan yang dituturkan. Dengan begitu, tuturan yang dihasilkan akan dapat digolongkan ke dalam kategori tuturan yang santun atau tidak santun. Selanjutnya, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat kesantunan berbahasa pedagang di Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun dan tingkat kesantunan pembeli di Malioboro Yogyakarta sebagian besar tergolong tidak santun. Tuturan pedagang yang santun tercatat 20 tuturan dan tuturan pedagang yang tidak santun tercatat 17 tuturan. Begitu juga dengan kesantunan berbahasa pembeli. Tuturan pembeli yang santun tercatat 16 tuturan dan tuturan pembeli yang tidak santun tercatat 21 tuturan. DAFTAR PUSTAKA Baryadi, I Praptomo. 2012. Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma. Cummings, Louise. 2007. Pragmatik: Sebuah Perspektif Multidisipliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dardjowidjojo, Soenjono. 2012. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Leech, Geoffrey N. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 75
Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Press Syndicate of the University of Cambridge.
Moleong, Lexy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nurastuti, Wiji. 2007. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Ardana Media. Pranowo. 2009. Berbahasa Secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ____ . 2009. Kesantunan Berbahasa Tokoh Masyarakat Ditinjau dari Aspek Pragmatik. Yogyakarta: Universitas Sana Dharma. Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisisus. Rahardi, Kunjana. 2009. Sosiopragmatik. Jakarta: Penerbit Erlangga. Rahardi, R. Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: Dioma. ____ . 2005. Pragmatik, Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Sarwoyo, Ventianus. 2009. “Tindak Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan di Dalam Surat Kabar (Suatu Tinjauan Pragmatik)”. Skripsi. Yogyakarta: PBSID Universitas Sanata Dharma. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.
76 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
PELESTARIAN BAHASA DAERAH SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL Sayama Malabar Universitas Negeri Gorontalo Pos-el.
[email protected]
ABSTRAK Revolusi mental merupakan suatu gerakan seluruh masyarakat baik pemerintah atau rakyat dengan cara yang cepat untuk mengangkat kembali nilai-nilai strategi yang diperlukan oleh Bangsa dan Negara sehingga dapat memenangkan persaingan di era globalisasi. Untuk mengangkat kembali nilai-nilai tersebut, diperlukan alat komunikasi sehari-hari, salah satunya Bahasa Daerah. Oleh sebab itu, makalah ini bertujuan mendeskripsikan fungsi Bahasa Daerah sebagai produk budaya, eksistensi Bahasa Daerah dewasa ini, dan pelestarian Bahasa Daerah sebagai media revolusi mental. Hasil kajian menunjukkan bahwa: (a) fungsi Bahasa Daerah sebagai produk budaya, yaitu alat ungkap kebudayaan , identitas suku bangsa, pendukung Bahasa Nasional, bagian dari mosaik kebudayaan Indonesia dan dunia, jembatan antargenerasi, bahasa pengantar di Sekolah, sumber kebahasaan untuk memperkaya Bahasa Indonesia, pelengkap Bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat daerah; (b) fenomenanya dewasa ini belum sesuai harapan karena kepedulian untuk menggunakan Bahasa Daerah masih rendah; dan (c) upaya pelestarian Bahasa Daerah sebagai media revolusi mental dilakukan melalui gerakan penutur sendiri, pemerintah setempat, instansi pendidikan, media publikasi, orang tua, dan tokoh masyarakat agar menjadi bangsa yang menghargai bahasanya sendiri. Kata kunci: pelestarian, bahasa Daerah, revolusi mental.
PENDAHULUAN Bahasa Daerah merupakan salah satu ciri khas suku bangsa yang sangat besar pengaruhnya bagi bangsa itu sendiri. Bahasa Daerah dalam pemakaiannya tidak hanya dipakai sebagai alat komunikasi sehari-hari, tetapi juga dipakai sebagai alat kebudayaan. Sebagai bagian dari kebudayaan, Bahasa Daerah juga turut mengambil bagian dalam peran manusia dan terus berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Oleh karena tu, Bahasa Daerah perlu dilestarikan, karena merupakan lambang identitas suatu daerah, masyarakat, keluarga dan lingkungan, serta telah mempunyai dasar hukum yang kuat di Indonesia. Dalam penjelasan pasal 32 dan 36 UUD 1945 disebutkan bahwa (1) budaya bangsa adalah buah budinya seluruh rakyat Indonesia, (2) bahasa-bahasa daerah yang terdapat di seluruh Indonesia termasuk budaya bangsa, dan (3) unsur budaya bangsa tetap dihormati dan dipelihara oleh negara (2011). Dari penjelasan pasal ini terlihat betapa pentingnya Bahasa Daerah bagi bangsa Indonesia. Bertolak dari uraian di atas, di Indonesia tercatat 731 bahasa daerah. Kedudukannya telah dirumuskan dalam Seminar Politik Bahasa pada tahun 1999, yaitu sebagai sarana penghubung dan pendukung kebudayaan di daerah. Kedudukan ini sangat strategis karena Bahasa Daerah merupakan alat pengembang kebudayaan daerah yang mendukung terciptanya kebudayaan nasional. Oleh sebab itu, Bahasa Daerah perlu dilestarikan, karena bahasa daerah tetap memiliki posisi penting dalam Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 77
kehidupan masyarakat kita pada masa kini dan masa yang akan datang, serta penetapan Hari Bahasa Ibu Sedunia adalah sebuah langkah penting UNESCO yang patut didukung dalam melestarikan bahasa daerah. PEMBAHASAN Fungsi Bahasa Daerah sebagai Produk Budaya Bahasa Daerah merupakan salah satu produk budaya suatu bangsa. Dengan bahasa Daerah kita bisa mengetahui budaya orang lain. Suatu bangsa tercermin dari budayanya. Kebudayaan hanya bisa terwujud apabila budaya itu dimengerti, dipahami, dan dijunjung masyarakat pemakai bahasa Daerah itu. Bahkan sering dikatakan bahwa kebudayan dapat terjadi apabila ada Bahasa Daerah, karena Bahasa Daerahlah yang memungkinkan terbentuknya kebudayaan. Di sisi lain pola hidup, tingkah laku, adat istiadat, cara berpakaian dan unsure budaya lain juga bisa disampaikan atau ditransmisi melalui Bahasa Daerah. Bahkan kebudayaan nenek moyang dapat diterima dan diwariskan kepada anak cucu kita melalui Bahasa Daerah.Kebudayaan nenek moyang yang terkandung dalam naskah-naskah lama, yang mungkin ditulis beratus-ratus tahun lalu, bisa dinikmati sekarang ini hanya karena ditulis dalam Bahasa Daerah. Jadi, Bahasa Daerah dan budaya mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan sederajat yang kedudukannya sama tinggi. Kebudayaan dan bahasa merupakan suatu sistem yang melekat pada manusia. Bahkan sering sulit mengidentifikasi hubungan antarkeduanya karena saling mempengaruhi, saling mengisi dan berjalan berdampingan.Menurut Nababan (1991:82) ada dua macam hubungan bahasa dan kebudayaan, yakni (1) bahasa adalah bagian dari kebudayaan (filogenetik), dan (2) seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya (ontogenetik). Dengan demikian untuk belajar suatu budaya sekelompok masyarakat, seseorang harus menguasai bahasa Daerah sekelompok masyarakat tersebut. Sebagai produk budaya, fungsi Bahasa Daerah telah diatur dalam undangundang.Undang-Undang dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36 yaitu: “Bahasa daerah itu merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup; bahasa daerah itu adalah salah satu unsur kebudayaan nasional yang dilindungi oleh Negara. Bahasa Daerah sebagai produk budaya adalah bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahasa daerah tersebut memiliki fungsi sebagai berikut: a. Alat Ungkap Kebudayaan Bahasa Daerah merupakan alat yang paling tepat untuk mengungkapkan kekayaan budaya suatu suku bangsa. Perlu disadari bahwa tidak setiap aspek budaya suatu suku bangsa dapat diungkapkan secara tepat dalam bahasa lain dengan tetap mempertahankan daya, bobot, dan keindahannya. Dapat dibayangkan betapa sulitnya menyusun suatu tutur indah bagi pembangunan suatu rumah adat dalam bahasa Indonesia atau Inggris yang sama bobotnya dengan tutur yang lazim disampaikan dalam Bahasa Daerah. b. Identitas Suku Bangsa Di perantauan, biasanya identitas budaya yang masih bisa melekat dan tetap terpelihara adalah Bahasa Daerah.Tidak jarang kita mendengar orang menggunakan Bahasa Daerahnya untuk menelepon sanak keluarga atau handai taulannya dari perantauan.Boleh jadi ada orang tertentu yang menganggap hal ini lucu dan kurang
78 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
c.
d.
e.
f.
g.
h.
bergengsi, juga terkesan kampungan.Tetapi demi pelestarian dan kelestarian Bahasa Daerah, hal itu sudah merupakan langkah terpuji. Pendukung Bahasa Nasional Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang keberadaannya diakui oleh Negara. UUD 1945 pada pasal 32 ayat (2) menegaskan bahwa “Negara menghormati dan memilihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.”Sumbangan Bahasa Daerah kepada bahasa Indonesia, antara lain, bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan kosa kata. Bagian dari Mosaik Kebudayaan Indonesia dan Dunia Sebagai identitas suku bangsa, Bahasa Daerah merupakan bagian dari mosaik kebudayaan Indonesia.Bahasa daerah merupakan kekayaan budaya bangsa yang dilindungi undang-undang dan patut dilestarikan. Sebagai identitas berbagai suku bangsa di NKRI, bahasa daerah telah menjadi sasaran penelitian para ahli bahasa mancanegara. Jembatan Antargenerasi Bahasa Daerah dikatakan sebagai jembatan antargenerasi karena berbicara menggunaka Bahasa Daerah berarti kita menggunakan bahasa orang tua dan leluhur kita, tanpa melepaskan diri dari tuntutan kebahasaan masa kini. Kita akan lebih mudah mengenal kehidupan generasi-generasi sebelumnya dalam suatu suku bangsa Artinya Bahasa Daerah adalah kunci untuk memahami masa lalu kita, yang mengantar kita ke masa sekarang. Bahasa Pengantar di Sekolah Melalui penggunaan Bahasa Daerah dalam kegiatan belajar-mengajar, sekurangkurangnya di tingkat dasar, para peserta didik sebagai tunas muda harapan daerah dan nasional, sejak dini telah dituntun untuk mengenal, memahami, dan menghargai kekayaan budaya lokal mereka sendiri. Jika kesadaran akan hakikat Bahasa Daerah telah berakar kuat di dalam sanubari penuturnya, maka dengan sendirinya akan tumbuh rasa bangga untuk menggunakan Bahasa Daerah mereka dalam kehidupan sehari-hari. Sumber Kebahasaan untuk Memperkaya Bahasa Indonesia Seringkali istilah dalam Bahasa Daerah diresmikan sebagai istilah bahasa Indonesia. Contohnya “gethuk“ (penganan dibuat dari ubi dan sejenisnya yang direbus, kemudian dicampur gula dan kelapa ditumbuk bersama). Pelengkap Bahasa Indonesia di dalam Penyelenggaraan Pemerintah pada Tingkat Daerah Dalam tatanan pemerintah pada tingkat daerah, Bahasa Daerah menjadi penting dalam komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat yang kebanyakan masih menggunakan bahasa ibu.Pemerintah harus menguasai Bahasa Daerah tersebut yang kemudian dapat dijadikan pelengkap di dalam penyelenggaraan pemerintah pada tingkat daerah tersebut.
Fenomena Bahasa Daerah Gorontalo Dewasa Ini Pada era globalisasi dan modernisasi ini, Bahasa Daerah yang umumnya merupakan bahasa ibu di Nusantara tercinta bukan sesuatu yang menarik dan menantang. Kenyataan menunjukkan bahwa pamor Bahasa daerah sudah kalah jauh dibandingkan dengan bahasa nasional. Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus globalisasi, Bahasa Daerah dihadapkan pada persoalan yang semakin rumit dan kompleks. Salah satu Bahasa Daerah yang mengalami masalah Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 79
tersebut adalah Bahasa Gorontalo. Masalah yang dialami adalah: Pertama, sebagai bahasa komunikasi daerah, Bahasa Gorontalo dituntut untuk bersikap luwes dan terbuka terhadap pengaruh asing. Hal ini cukup beralasan, sebab kondisi zaman yang semakin kosmopolit dalam satu pusaran global, Bahasa Gorontalo harus mampu menjalankan peran interaksi yang praktis antara komunikator dan komunikan.Artinya, setiap peristiwa komunikasi yang menggunakan media bahasa Gorontalo harus bisa menciptakan suasana interaktif dan kondusif, sehingga mudah dipahami dan terhindar dari kemungkinan salah tafsir. Kedua, dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi, Bahasa Gorontalo harus tetap mampu menunjukkan jatidirinya sebagai milik daerah yang beradab dan berbudaya di tengah-tengah pergaulan antardaerah. Hal ini sangat penting disadari, sebab modernisasi yang demikian gencar merasuki sendi-sendi kehidupan daerah dikhawatirkan akan menggerus jatidiri daerah Gorontalo yang selama ini dibanggakan. Persoalannya sekarang, mampukah Bahasa Gorontalo berdiri tegak di tengahtengah tuntutan modenisasi tetap sanggup mempertahankan jatidirinya sebagai milik daerah Gorontalo yang beradab dan berbudaya?Sanggupkah Bahasa Gorontalo menjadi bahasa yang berwibawa dan terhormat, sejajar dengan bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia ini? Haruskah bahasa Gorontalo disingkirkan sebagai tuan rumah di negeri sendiri? Fakta di lapangan, perhatian dan kepedulian generasi muda menggunakan Bahasa Gorontalo secara jujur harus diakui belum sesuai harapan. Keluhan ini sudah lama terdengar. Memang, Bahasa Gorontalo tidak antimodernisasi, akan tetapi, rasa rendah diri (inferior) yang berlebihan dalam menggunakan bahasa sendiri justru mencerminkan sikap masa bodoh yang bisa melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebanggaan terhadap bahasa sendiri. Fenomena negatif yang masih terjadi di tengah-tengah masyarakat generasi muda Gorontalo dewasa ini antara lain. a. Banyak generasi muda Gorontalo lebih memperlihatkan dengan bangga kemahirannya menggunakan Bahasa Jawa, Bugis, Bahasa Inggris, dan dialek Jakarta. b. Banyak generasi muda Gorontalo merasa malu menggunakan Bahasa Gorontalo. c. Banyak generasi muda Gorontalo tidak mau mempelajari Bahasa Gorontalo karena merasa dirinya telah merasa memiliki Bahasa Gorontalo sejak lahir. d. Banyak para pendidik kurang menguasai Bahasa Gorontalo. e. Tidak sedikit kepala sekolah yang memilih Bahasa Inggris sebagai muatan lokal dengan alasan internasionalisasi. f. Perda penerapan Kurikulum Muatan Lokal (Bahasa Gorontalo) untuk jenjang Pendidikan SD/MI, SMP/M.Ts, SMA/MA/SMK baik Negeri maupun Swasta belum berjalan sesuai harapan. g. Perguruan Tinggi di Gorontalo, baik negeri dan swasta belum ada yang membuka jurusan/prodi Bahasa Daerah, akibatnya daerah Gorontalo tidak memiliki SDM/pendidik yang mampu mengajar Bahasa Daerah. h. Tidak terdapatnya meseum sebagai tempat mendokumentasikan Bahasa Daerah yang terdapat di Gorontalo. i. Hasil penelitian tentang Bahasa Daerah kurang mendapat perhatian dari Pemerintah. Mencermati fenomena Bahasa Daerah (Bahasa Gorontalo) di atas, dipandang perlu melakukan upaya pelestariannya sebagai media revolusi mental.
80 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Pelestarian Bahasa Daerah sebagai Media Revolusi Mental Banyak penutur terlena dengan menuruti semua keinginannya menggunakan bahasa. Akhirnya, karakter bangsa berubah menjadi rapuh, mudah diterjang ombak, terjerumus dalam tren bahasa dan budaya yang kebarat-baratan. Prinsip-prinsip moral, budaya bangsa, Bahasa Daerah dan perjuangan hilang dari karakteristik mereka. Inilah yang menyebabakan dekadensi moral serta hilangnya kreativitas dan produktivitas Bahasa Daerah suatu bangsa. Untuk melestarian bahasa daerah yang hilang kreativitas dan produktivitasnya diperlukan revolusi mental. Mendengar kata revolusi mental bukanlah hal yang baru bagi bangsa Indonesia, karena sebelumnya presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno telah mencetuskan ini. Namun, belakangan ini kata revolusi mental tengah hangat menjadi topik pembicaraan. karena kata revolusi mental ini menjadi jargon atau program pemerintahan presiden Jokowi yang tertuang dalam Nawa Cita poin ke delapan (8). Revolusi mental merupakan suatu gerakan seluruh masyarakat baik pemerintah atau rakyat dengan cara yang cepat untuk mengangkat kembali nilai-nilai strategi yang diperlukan oleh Bangsa dan Negara sehingga dapat memenangkan persaingan di era globalisasi (Mulyasa, 2015). Revolusi mental berfungsi mengubah cara pandang, pikiran, sikap dan perilaku yang berorientasi pada kemajuan dan kemoderenan, menjadi bangsa besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Perlunya revolusi mental karena penyakit seperti emosi/mental/jiwa akan berdampak pada individu berupa malasnya seseorang menggunakan Bahasa Daerah dan tidak mempunyai karakter. Dampaknya akan menular kepada masyarakat yang ditandai dengan bangsa yang lemah dan menjadi tidak bermartabat. Pelestarian Bahasa Baerah dilakukan dengan cara atau langkah-langkah yang dapat menjadikan suatu Bahasa Daerah bertahan dalam suatu masyarakat yang multikultural.Thomson (dalam Sumarsono, 1993, menyatakan bahwa upaya untuk melestarikan bahasa adalah : a. Menetapkan bahasa secara yuridis b. Menjadikannya bahasa sebagai bahasa dalam proses pengajaran c. Mempergunakannya dalam aktivitas pelayanan masyarakat d. Menetapkannya sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan e. Mendirikan lembaga/departemen yang khusus menangani masalah bahasa. Upaya-upaya di atas, berlaku pula pada Bahasa Daerah (Bahasa Gorontalo) sebagai salah satu bagian dari bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Oleh karena itu, untuk mewujudkan revolusi mental generasi muda, diperlukan gerakan seluruh masyarakat baik pemerintah atau rakyat dengan cara yang cepat mengangkat kembali nilai-nilai strategi yang diperlukan oleh Bangsa dan Negara sehingga dapat memenangkan persaingan Bahasa Daerah di era globalisasi. Untuk mengangkat kembali nilai-nilai strategi tersebut, maka media pelestarian Bahasa Daerah yang dilakukan, yaitu: Upaya dari Penutur Sendiri Upaya dari penutur tiada lain adalah loyal berbahasa Gorontalo. Loyalitas penutur bahasa sangat menentukan keberhasilan dalam pelestarian Bahasa. Hal ini sesuai pendapat Fisman (1972) bahwa salah satu faktor penting pemertahanan sebuah bahasa adalah adanya loyalitas masyarakat penutur/pendukungnya. Dengan loyalitas itu, penutur suatu bahasa akan tetap mewariskan bahasanya dari generasi ke generasi. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 81
Bahasa Gorontalo akan bertahan jika prestasi dan prestise para penuturnya berkibar di ranah daerahnya sampai ke ranah nasional bahkan internasional. Solusinya, menerjemahkan karya sastra daerah Gorontalo ke bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa Gorontalo akan bertahan jika kemakmuran para penuturnya unggul secara kolektif minimal di ranah daerahnya. Kelompok yang menguasai sumber-sumber ekonomi akan lebih mudah menguasai kunci-kunci sosial budaya. Seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Inggris yang mendirikan dan membiayai The British Council sampai keberadaannya tersebar di seluruh penjuru dunia. Kapan pemerintahpemerintah daerah di Indonesia melakukan ini? Upaya dari Pemerintah Setempat Dalam Undang-undang tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Pasal 42, ayat (1) dinyatakan bahwa “Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.”Regulasi itu harus diterjemahkan ke dalam peraturan daerah (Perda) sebagai wujud apresiasi Pemda atas pelestarian Bahasa daerah. Kebijakan otonomi daerah diharapkan berimbas pada otonomi Bahasa Daerah. Misalnya untuk pelestarian Bahasa Gorontalo dapat dilakukan dengan cara: (a) mengatur penggunaan Bahasa Gorontalo untuk nama-nama kuliner di restoran besar dan kecil, simbol-simbol yang ada di institusi penyelenggara pemerintahan dan sekolah, (b) menggunakan Bahasa Daerah di institusi penyelenggara pemerintahan dan sekolah minimal sehari dalam sepekan baik dalam situasi resmi atau tidak resmi, (c) menerapkan regulasi dan Kurikulum Muatan Lokal (Bahasa Gorontalo) untuk Jenjang Pendidikan SD/MI, SMP/M.Ts, SMA/MA/SMK baik Negeri maupun Swasta, (d) mempopulerkan kembali cerita rakyat dalam tradisi lisan dalam bahasa daerah setempat dalam suatu kompetisi, dan (e) memberi nama dengan Bahasa Daerah pada setiap ruangan kelas maupun kantor. Upaya dari Instansi Pendidikan Jika suatu Bahasa Daerah dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, maka sikap baik dan loyal terhadap Bahasa Daerah tersebut akan baik. Bahasa Gorontalo akan bertahan jika bahasa pengantar dalam pendidikan menggunakan Bahasa Gorontalo. Hal ini sesuai dengan fatwa global UNESCO pada tahun 1951 yang mengharuskan bahasa pengantar pendidikan dalam bahasa ibu. Alasan UNESCO mengeluarkan fatwa tersebut adalah (1) secara psikologi, siswa memiliki kelekatan emosional terhadap bahasa ibu, (2) secara sosiologis, bahasa ibu dipergunakan secara produktif di luar kelas dan dalam keluarga, dan (3) secara edukatif, pengetahuan akan mudah dicerna oleh siswa manakala disajikan melalui bahasa yang telah diakrabinya (Alwasilah 2006:77). Selain itu, Bahasa Gorontalo akan bertahan jika tujuan pengajaran Bahasa Gorontalo di sekolah-sekolah diorientasikan kepada kefasihan, yakni pembiasaan komunikasi bukan ketepatan dalam struktur Bahasa Gorontalo. Upaya dari Media Publikasi Media publikasi dalam hal ini media masa, media elektronik, media sosial, dan buku dapat dijadikan sebagai sebuah pempublikasian suatu Bahasa daerah. Publikasi media seperti koran, radio dan TV ternyata lebih ampuh dalam melestarikan Bahasa 82 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
daerah. Selain itu, penerbitan buku-buku tentang budaya termasuk cerita-cerita rakyat Gorontalo, dan kamus berbahasa Gorontalo yang lengkap. Bahasa Gorontalo akan bertahan jika para penuturnya aktif menggunakannya dalam media tulis. Disadari atau tidak, globalisasi saat ini telah menyapu kearifan lokal. Oleh karena itu, membaca, mengkritik, dan menulis ulang tulisan Bahasa Gorontalo sangat perlu untuk dilakukan.Selain itu, Bahasa Gorontalo akan bertahan jika para penuturnya memanfaatkan teknologi. Kehadiran televisi local, facebook yang tersebar di Indonesia umumnya dan Gorontalo khususnya merupakan potensi yang perlu dikembangkan dengan mengedepankan Bahasa Daerah sebagai bahasa komunikasinya. Upaya dari Orang Tua dan Tokoh Masyarakat Orang tua dan tokoh masyarakat memliki peran yang penting dalam melestarikan suatu Bahasa daerah. Banyak daerah yang mampu mempertahankan Bahasa Daerahnya akibat dari upaya orang tua dan tokoh masyarakat tersebut. Upaya dari orang tua berwujud pembiasaan penggunaan Bahasa Daerah kepada anak-anaknya. Orang tua mendorong untuk tetap berusaha menjadikan bahasa daerah itu sebagai bahasa pertama bagi anak-anak.Sedangkan upaya dari tokoh masyarakat berwujud penggunaan Bahasa Daerah pada setiap upacara adat dan keagamaan. Pelembagaan Bahasa Daerah digalakkan melalui ungkapan-ungkapan dan pepatah-pepatah serta seni budaya tradisional lainnya. SIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa revolusi mental merupakan suatu gerakan seluruh masyarakat baik pemerintah atau rakyat dengan cara yang cepat untuk mengangkat kembali nilai-nilai strategi yang diperlukan oleh Bangsa dan Negara sehingga dapat memenangkan persaingan di era globalisasi. Untuk mengangkat kembali nilai-nilai tersebut, diperlukan alat komunikasi sehari-hari, salah satunya Bahasa Daerah. Bahasa Daerah berfungsi sebagai produk budaya. Fungsi Bahasa Daerah sebagai produk budaya, yaitu alat ungkap kebudayaan , identitas suku bangsa, pendukung Bahasa Nasional, bagian dari mosaik kebudayaan Indonesia dan dunia, jembatan antargenerasi, bahasa pengantar di Sekolah, sumber kebahasaan untuk memperkaya Bahasa Indonesia, pelengkap Bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat daerah. Namun fenomenya dewasa ini belum sesuai harapan karena kepedulian untuk menggunakan Bahasa Daerah masih rendah. Oleh sebab itu, diperlukan upaya pelestarian Bahasa Daerah sebagai media revolusi mental. Hal ini dilakukan melalui gerakan penutur sendiri, pemerintah setempat, instansi pendidikan, media publikasi, orang tua, dan tokoh masyarakat agar menjadi bangsa yang menghargai bahasanya sendiri. DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, A. Chaedar. 2006. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. ----. 2006. Pokoknya Sunda Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Kiblat Buku Utama. Fishman, Joshua A. 1972. Sociolinguistics a Brief Introduction. Third printing. Massachusetts: Newbury House Publishe. http://www.sesawi.net/2014/06/16/. Memahami arti revolusi mental. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 83
Kemdiknas. 2009. Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2009, tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Mulyasa, H. E. 2015. Revolusi Mental dalam Pendidikan. Jakarta: PT. Rosdakarya. Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Undang-Undang Dasar 1945. 2011. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (Hasil Amandemen ke-2). (Tanpa Nama Kota): http://www.google.co.id.
84 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
KESALAHAN-KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA PEMBELAJAR BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA ASING: SEBUAH PENELITIAN PENDAHULUAN Setya Tri Nugraha Universitas Sanata Dharma
ABSTRACT Indonesian as second or foreign language has been developing well both in Indonesia and a broad. This development should be accompanied by research in any area, methodology, material development, and error in learning. This research aims to describe the error of Indonesian learners and proposed the alternative remedial programs in order to eliminate the error. The writer hopes that the research finding would became a contribution to the Indonesian language teachers to achieve the learning objectives. This research result is a description of the learner’s error on effectiveness of sentences, choice of words, affixes, conjunctions, words order, usage of “yang” , words pluralize, and usage of prepositions. Remedial program suggested to anticipate the error are: (1) limiting the domain of the problems and deciding on teaching point; (2) giving clear examples and (3) giving enough chance for the learners to use the appropriate form in different situations. Keywords: the error of Indonesian learners, the alternative remedial programs
PENDAHULUAN Dewasa ini, bahasa Indonesia semakin diminati oleh orang-orang asing atau orang luar negeri. Hal ini dapat dilihat dengan banyak dibukanya lembaga-lembaga yang mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia, ada beberapa perguruan Tinggi yang mempunyai program pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing, antara lain: Universitas Indonesia, Jakarta, Universitas Atma Jaya Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Padang, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, IKIP Malang, dan Universitas Gajah Mada. Selain itu banyak pula lembaga-lembaga kursus yang menyelenggarakan program ini. Beberapa contoh yang ada di Yogyakarta antara lain, Wisma Bahasa, Puri Bahasa Plus, Realia, dan Colorado. Sementara itu, di luar negeri pun banyak berdiri lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pembelajaran, pelatihan dan kursus bahasa Indonesia. Sebagai contoh, di Italia terdapat beberapa lembaga dan universitas yang menyelenggarakan kursus dan studi bahasa Indonesia antara lain, Instituto Universitario Orientale Napoli , Lembaga Ilmiah IsMEO/IsAo di Roma dan Milona, Lembaga Kebudayaan Istituto per l’Oriente di Roma, CELSO (Centro Lombardia Studi Orientele di Genova, dan Lembaga Tinggi Keagamaan milik Vatikan, Ponrificia Universita Gregoriana (Soenoto, 1998: 1-2) Sementara itu, di Thailand ada 5 universitas yang menawarkan program studi Bahasa Indonesia/ Bahasa Melayu yaitu, Universitas Chulalongkorn, Universitas Mahidol, Universitas, Prince Songkhlanakkharin, dan Universitas Ramkhamhaeng (Nimmanupap, 1998: 1). Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 85
Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) ini dimaksudkan untuk memperkenalkan bahasa Indonesia kepada para penutur asing untuk berbagai kepentingan baik pengajaran atau pun komunikasi praktis. Selain itu, pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing, sebagaimana pula bahasa lain sebagai bahasa asing, bertujuan memberikan penguasaan lisan dan tertulis kepada para pembelajar. Hal ini mengandung maksud bahwa mereka diharapkan mampu mempergunakan bahasa Indonesia untuk berbicara dengan lancar dan sekaligus dapat mengerti bahasa yang diujarkan penutur aslinya (Wojowasito, 1977: 1-2). Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia (dan atau bahasa-bahasa lainnya) sebagai bahasa asing tidak mudah dicapai karena dalam proses pembelajarannya pastilah dijumpai banyak permasalahan. Salah satu permasalahan itu berupa kesalahankesalahan berbahasa oleh para pembelajar yang bila tidak segera diidentifikasi akan mengakibatkan kendala berkelanjutan dalam proses pembelajaran bahasa. Apabila hal ini terjadi –belum diidentifikasikannya kesalahan berbahasa secara tepat dan sistematis—dikhawatirkan terjadi ketidaktepatan dalam pemilihan strategi pembelajaran yang mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran bahasa tersebut. Kita harus tahu jenis kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar terlebih dahulu sebelum melakukan analisis lanjutan. Ada dua jenis kesalahan berbahasa yakni, (1) kesalahan terbuka dan (2) kesalahan tertutup. Kesalahan terbuka adalah kesalahan berbahasa pada tingkat ketatabahasaan yang terlihat dalam kalimat-kalimat yang dihasilkan pembelajar. Kesalahan tertutup merupakan kesalahan yang tersembunyi di balik kalimat yang tersusun secara benar menurut tata bahasa; secara benar menurut kaidah ketatabahasaan tetapi tidak benar dari sudut semantiknya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kesalahan-kesalahan terjadi karena adanya kesulitan dari pembelajar mempunyai arti yang penting bagi peneliti yaitu mereka dapat bukti tentang cara bahasa itu dipelajari terlebih dapat diketahui strategi atau metode yang tepat untuk pembelajarannya (Soenardji, 1989: 143-144). Mengingat adanya masalah dalam pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing karena terjadinya kesalahan berbahasa pembelajar, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut permasalahan kesalahan-kesalahan berbahasa Indonesia yang dilakukan oleh para pembelajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing dan mencoba mengajukan alternatif pengajaran remedi agar kesalahan-kesalahan itu berkurang. Orientasi idealis penelitian ini adalah dengan diidentifikasinya kesalahan-kesalahan berbahasa mereka, sekaligus klasifikasinya dapat ditentukan tahapan-tahapan pembelajarannya sehingga dapat memberikan sumbangan berarti pada program pembelajaran bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apa sajakah kesalahan berbahasa Indonesia yang dilakukan oleh para pembelajar Bahasa Indonesia sebagai bahasa asing? 2. Bagaimanakah alternatif strategi pengajaran remedi untuk mereduksi kesalahankesalahan berbahasa tersebut?
86 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
PEMBAHASAN Beberapa amatan mengenai kesalahan atau kesulitan berbahasa Indonesia para pembelajar asing antara lain ditulis oleh Spillane (1993), Dardjowidjojo (1995), dan Munawarah (1996). Spillane (1993: 1-4), dalam makalahnya yang berjudul “Kesulitan Orang Asing Belajar Bahasa Indonesia”, menguraikan hasil refleksi pengalaman pribadinya sebagai orang Amerika selama belajar bahasa Indonesia. Ia menyatakan bahwa kebiasaan belajar yang terlalu visual mengakibatkan kemampuan menangkap ujaran yang dituturkan orang lain tidak terlalu baik. Jadi, masalah yang dialami lebih pada menangkap tuturan lisan dari mitra bicaranya. Beberapa kesalahan yang dialaminya antara lain, pemilihan afiks yang tepat, penentuan asimilasi bunyi, penentuan makna kata setelah mendapat imbuhan, pembentukan konstruksi pasif - aktif, pengucapan bunyi-bunyi sengau, pemakaian kata depan, pemakaian penggolong nomina, dan penerjemahan nomina yang disertai lebih dari satu ajektiva, serta kesalahan dalam memilih kata yang tepat untuk ujaran tertentu. Dardjowidjojo (1995: 1-10) secara umum memaparkan masalah-masalah yang dialami oleh pembelajar asing dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pertama, bentuk kelas individual dan kelas klasikal sering menimbulkan masalah bagi pembelajar. Hal ini disebabkan kemampuan awal bahasa target/bahasa tujuan yang dimiliki pembelajar tidak sama sehingga ada ketimpangan kemampuan di kelas. Kedua, bahan pembelajaran yang tidak sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa dan latar belakang pembelajar menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pemahamnnya. Ketiga, metode pengajaran yang dipakai dalam pembelajaran tidak tepat. Keempat, kualifikasi pengajar yang relatif rendah, dan masalah kelima adalah penyelenggaraan kursus yang tidak “well-organized”. Kelima masalah tersebut mengakibatkan pembelajaran bahasa Indonesia kurang efektif dan pencapaian tujuannya kurang optimal. Sementara itu, Munawarah (1996: 1-6) mencatat tiga jenis kesalahan penulisan yang dilakukan pembelajar asing ketika mereka membuat karangan. Kesalahan tersebut meliputi (1) kesalahan memilih kata untuk mewakili konsep-konsep, (2) kesalahan di bidang ejaan, dan (3) kesalahan tata bahasa yang terdiri atas kesalahan imbuhan, kesalahan aktif-pasif, kesalahan konjungsi dan preposisi, serta kesalahan susunan kalimat. Dia mengajukan dua langkah pemecahan masalah, (1) mendiskusikan kesalahan itu bersama-masa, dan (2) memberi latihan mencari kesalahan dalam suatu paragraf. Namun demikian pengamatan ini belum mengarah pada latar belakang pembelajar dan pemecahan masalah yang komprehensif. Beberapa referensi yang berguna bagi landasan berpijak untuk penelitian ini antara lain: Norish (1983) tentang pembelajar bahasa dan kesalahan-kesalahannya, termasuk di dalamnya kesalahan pembelajar dalam menulis; H.V. George (1972) mengenai kesalahan-kesalahan umum yang dilakukan oleh pembelajar, beberapa penyebab kesalahan berbahasa, dan cara mengatasi kesalahan berbahasa; O’Grady, et.al. (1989) tentang kesalahan berbahasa yang dihubungankan dengan masalah interlanguage dan interference dalam perolehan bahasa kedua (L2); Tarigan (1988) mengenai teori kesalahan berbahasa dan langkah-langkah dalam melakukan analisis kesalahan berbahasa; Tarigan (1989) yang membahas secara rinci pengajaran remedi bahasa sebagai tindak lanjut ditemukannya berbagai kesalahan berbahasa agar kesalahan-kesalahan tersebut tidak terjadi lagi dalam proses pembelajaran bahasa asing/kedua; Lightbown dan Nina Spada (1999) mengenai pembelajaran bahasa kedua dan berbagai aspeknya. Referensi-referensi tentang tata bahasa Indonesia dan aspekProsiding Seminar Nasional 24 September 2016| 87
aspeknya dapat dirunut dari Alieva et. Al (1991), Moeliono (1993), Dardjowidjoyo (1984). Norish (1983: 6-8) memandang perlunya membedakan tiga tipe penyimpangan berbahasa yang berbeda . Tiga hal itu meliputi error, mistake, dan lapse. Error , kesalahan, merupakan penyimpangan berbahasa secara sistematis dan terus-menerus sebagai akibat belum dikuasainya kaidah-kaidah atau norma-norma bahasa target. Mistake, kekeliruan, terjadi ketika seorang pembelajar tidak secara konsisten melakukan penyimpanagn dalam berbahasa. Kadang-kadang pembelajar dapat mempergunakan kaidah/norma yang benar tetapi kadang-kadang mereka membuat kekeliruan dengan mempergunakan kaidah/norma dan bentuk-bentuk yang keliru. Lapse, selip lidah, diartikan sebagai bentuk penyimpangan yang diakibatkan karena pembelajar kurang konsentrasi, rendahnya daya ingat atau sebab-sebab lain yang dapat terjadi kapan saja dan pada siapa pun. Selain membedakan berbagai bentuk penyimpangan berbahasa, Norish juga menyatakan bahwa kesalahan-kesalahan berbahasa pembelajar dapat dijadikan alat bantu yang positif dalam pembelajaran karena dapat dipergunkan oleh pembelajar maupun pengajar dalam mencapai tujuan pembelajaran bahasa...” some good pedagogical reasons have been suggested for regarding errors made bay learners of foreign language leniently but the most important reason is that the error itself may actually be a necessary part of learning a language “(Norish, 1983: 6). Berkaitan dengan kesalahan dalam menulis, Norish berpendapat bahwa penting untuk mendorong pembelajar dapat menyusun kalimat-kalimat mereka secara tertulis sehingga kesalahan-kesalahan yang dibuat hendaknya direduksi bahkan dihilangkan sama sekali....”it was vital that people should be educated to construct grammatically acceptable sentence and be able to spell correctly...because of this, a great deal of attention has traditionally been given to writing and error in the medium tend to be regarded as indicative of some type of failure”(Norrish, 1983: 65). Untuk itu, Norish mengajukan beberapa alternatif koreksi kesalahan dalam menulis antara lain, (1) memeriksa pekerjaan dalam kelompok atau secara berpasangan, (2) melakukan aktivitas dengan keahlian terpadu, (3) mempergunakan kode-kode koreksi untuk menandai pembetulan atas kesalahan-kesalahan yang dibuat pembelajar. George (1972: 2) berpendapat bahwa ...an error is an “unwanted form”, specifically, a form which a particular course designer or teacher does not want, -kesalahan adalah sebuah bentuk yang tidak diinginkan, khususnya, bentuk yang tidak diinginkan oleh para perancang kursus dan para guru. Hal ini berkaitan erat dengan adanya standar-standar tertentu yang telah digariskan oleh guru dan penyusun kurikulum. Penyimpangan atas standar-standar tersebut berarti melakukan kesalahan dan harus segera diantisipasi dan diatasi. Sebagai langkah antisipasi, ia mengajukan dua alternatif, (1) memberi waktu khusus untuk melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan, (2) mengarahkan sikap dan perasaan pembelajar pada bentuk-bentuk standar bahasa target. Apabila langkah antisipasi gagal dan terjadi kesalahan berbahasa, maka diperlukan langkah-langkah remedi yang meliputi: (1) mengidentifikasi dan mendaftar bentuk-bentuk yang tidak diinginkan, (2) menyeleksi sejumlah bentuk yang tidak diinginkan tersebut untuk proses remedi, (3) mempelajari setiap kesalahan yang sudah diseleksi sebagai bahan pertimbangan penyiapan bahan untuk pembelajaran ulang dengan pendekatan yang berbeda terhadap bentuk-bentuk yang diinginkan, (4) menentukan organisasi dan 88 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
strategi pembelajaran dalam kelas sehingga hasil remedi ini dapat diaplikasikan, (5) memilih dan membuat materi remedi untuk kesalahan-kesalahan khusus, dan (6) menerapkan hasil-hasil tersebut dalam proses pembelajaran dan aktivitas kelas secara terus-menerus dengan tetap memperhatikan kesalahan-kesalahan yang terjadi (Norrish, 1972: 80). Sementara itu O’Grady menghubungkan ‘errors analysis´ dengan ’contrastive analysis’ dengan asumsi bahwa kesalahan-kesalahan berbahasa yang diproduksi oleh pembelajar akan terjadi pada titik-titik di mana dua bahasa tidak ada kemiripannya...’it was claimed that the error produced by the learner would occur at those points at which the two languages were dissimilar’. Dengan pembandingan dua bahasa ini (L1 dan L2), masalah-masalah potensial (kesalahan-kesalahan) dapat diprediksi dan difokuskan dalam pembelajaran bahasa target (O’Grady, 1989: ). O’Grady juga menyatakan bahwa...’ an approach known as error analysis saw errors as indicator of the learner’s current underlying knowledge of the second language, or as a clues to the hypothesis that a learner my be testing about the second language....’ yang erat hubungannya dengan adanya ‘interlanguage” dan ‘interference’ dalam pembelajaran bahasa kedua (L2), termasuk-kesalahan-kesalahan berbahasanya. Mengenai klasifikasi kesalahan berbahasa, ia mengklasifikan kesalahan menurut sistem gramatikal yang meliputi: fonologi, sintaksis, morfologi, dan semantik, dan klasifikasi kesalahan karena adanya penghilangan, penambahan, dan penggantian bentuk-bentuk tertentu. Senada dengan O’Grady, Tarigan menyatakan bahwa kesalahan berbahasa sering dijumpai dalam pembelajaran bahasa, baik pembelajaran bahasa kedua atau juga dalam pembelajaran bahasa pertama. Untuk itu, diperlukan suatu prosedur untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan sama sekali kesalahan-kesalahan tersebut. Tarigan mengajukan langkah-langkah prosedur tersebut yang merupakan modifikasi langkah-langkah analisis kesalahan yang diajukan Ellis (1986) dan Sidhar (1985). Langkah-langkah tersebut dijelaskan sebagai berikut: (1) mengumpulkan data yang berupa kesalahan-kesalahan berbahasa yang dibuat pembelajar, (2) mengidentifikasi dan mengklasifikasi kesalahan; tahap pengenalan dan pemilahmilahan kesalahan berdasarkan kategori ketatabahasaan, (3) membuat peringkat kesalahan yang berarti membuat urutan kesalahan berdasarkan keseringan kesalahankesalahan itu muncul, (4) menjelaskan kesalahan dengan mendeskripsikan letak kesalahan, sebab-sebabnya dan pemberian contoh yang benar, (5) membuat perkiraan daerah atau butir kebahasaan yang rawan menyebabkan kesalahan, dan (6) mengoreksi kesalahan berupa pembetulan dan penghilangan kesalahan berupa penyusunan bahan yang tepat dan penentuan strategi pembelajaran yang serasi (Tarigan, 1988: 71-72). Langkah-langkah di atas tidaklah terlalu jauh berbeda dengan langkah-langkah yang diajukan oleh George sebagaimana telah diuraikan di depan. Langkah-langkah inilah yang akan diikuti/dipakai dalam penelitian ini. Selain langkah-langkah yang diajukan di atas, Tarigan juga mengajukan tahaptahap pembelajaran remedi sebagai tindak lanjut dari identifikasi dan analisis kesalahan-kesalahan berbahasa. Tahap-tahap itu meliputi, diagnosis kesalahan, perawatan/penyembuhan kesalahan, penanggulangan kesalahan dan perbaikan kesalahan. Pembelajaran remedi ini hendaknya didasarkan atas pertimbanganpertimbangan (1) frekuensi kesalahan, (2) kesalahan insidental atau kesalahan abadi/terus-menerus, (3) dampak kesalahan tersebut terhadap performansi berbahasa Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 89
pembelajar, (4) dampak kesalahan tersebut terhadap pemaknaan bahasa, (5) peluang keberhasilan dalam pengurangan kesalahan, (6) dampak pada pembelajar itu sendiri (Tarigan, 1988: 50-56). Mengenai metode pembelajaran remedi, diusulkan beberapa tahap antara lain: 1. membatasi ranah masalah dan menentukan ‘teaching point’, 2. memberi contoh-contoh yang jelas mengenai bentuk-bentuk yang benar dari kesalahan-kesalahan yang mereka buat, 3. memberi kesempatan yang cukup dalam penggunaan bentuk-bentuk yang tepat dalam berbagai konteks bahasa. Sementara itu, Lightbown dan Nina Spada memberikan alternatif usulan pembelajaran bahasa kedua/asing yang memungkinkan tereduksinya kesalahankesalahan berbahasa. Usulan itu dirumuskan dalam kalimat-kalimat imperatif sebagai berikut: 1. Get it right from beginning, betul/benar sejak awal, 2. Say what you mean and mean what you say, katakanlah apa yang Anda maksudkan, dan artikan apa yang Anda katakan, 3. Just listen...and read, dengarkanlah dan baca, 4. Teach what is teachable, ajarkanlah apa yang bisa diajarkan, 5. Get it right in the end, betul/benar di akhir (Lightbown,1999: 117-152) Rumusan-rumusan di atas diajukan untuk melokalisir atau mengeliminir kesalahan-kesalahan yang mungkin muncul dalam kelas pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing. Jenis Penelitian dan Populasi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang membuat gambaran secara jelas mengenai suatu hal/fenomena dan sekaligus menerangkan hubungan, menentukan prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan. Johnson (1992: 110-111) mendefinisikan populasi sebagai ...the entire group of entities or persons to which the results of a study are intended to apply. In addition to entities and persons, a population of interest may be a set of instances of language use, such as conversation or written texts . Sesuai dengan definisi di atas, populasi penelitian ini adalah kesalahan yang ada dalam karangan/komposisi dan tes tertulis yang dihasilkan pembelajar asing yang belajar bahasa Indonesia di Indonesian Language and Culture Intensive Course (ILCIC) tahun 1999-2000. Karangan yang dianalisis sejumlah 70 buah karangan. Ketujuh puluh karangan tersebut kemudian dibaca ulang dan kesalahan-kesalahannya dicatat dalam suatu tabel. Dari hasil pembedaan dan pencatatan tersebut terdapat 423 pernyataan yang mengandung kesalahan. Setelah itu, proses selanjutnya adalah klasifikasi kesalahan dalam berbagai tataran linguistik. Sumber dan Analisis Data Data-data penelitian di ambil dari komposisi para pembelajar/penutur asing yang mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasa asing yang dikumpulkan dan mencatat kesalahan-kesalahan yang ada dalam komposisi dan dicatat dalam sebuah tabel untuk selanjutnya diklasifkasikan. Komposisi ini dijadikan data penelitian karena data ini dapat diamati secara langsung dalam bentuk tertulis sehingga memudahkan proses identifikasi dan klasifikasi kesalahan . 90 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Analisis data dilakukan dengan identifikasi kesalahan-kesalahan berbahasa. Setelah diidentifikasi, kesalahan-kesalahan berbahasa tersebut diklasifikasikan dalam kelompok-kelompok tertentu sehingga akan terlihat kesalahan-kesalahan berbahasa yang sering dilakukan oleh pembelajar. Apabila langkah-langkah di atas sudah dilakukan, penentuan alternatif pembelajaran remedinya dapat dilakukan dengan tetap memperhatikan tingkat kesalahan yang dibuat oleh pembelajar untuk menentukan prioritas pembelajarannya. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pusat Pengembangan dan Pelatihan Bahasa (P3 Bahasa) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada devisi Indonesian Language and Culture Intensive Course (ILCIC).
KESALAHAN-KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA PEMBELAJAR BIPA Pada bab ini, akan dipaparkan hasil analisis atas kesalahan-kesalahan berbahasa Indonesia para pembelajar BIPA di ILCIC, P3 Bahasa, Universitas Sanata Dharma, periode 1999-2000 beserta contoh-contoh kesalahannya. Kesalahan-kesalahan tersebut meliputi: (1) ketidakefektifan kalimat (2) kesalahan pemilihan kata (3) kesalahan penggunaan afiks (4) tidak lengkapnya fungsifungsi kalimat (5) kesalahan pemakaian preposisi (6) pembalikan urutan kata (7) kesalahan penggunaan konstruksi pasif (8) kesalahan pemakaian konjungsi (9) ketidaktepatan pemakaian yang (10) kesalahan dalam pembentukan jamak dan. .Gambaran lengkap mengenai kesalahan-kesalahan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.1. Persebaran kesalahan-kesalahan berbahasa Indonesia Jenis Kesalahan 1. Keefektifan kalimat
Jumlah Kesalahan 422
2. Diksi
228
3. Afiksasi 203 4. Tidak lengkapnya 113 fungsi Kalimat 5. Urutan kata
74
6. Preposisi
52
7. Konstruksi pasif
37
Keterangan Kalimat-kalimat yang ada sebagian besar tidak mempunyai kesatuan informasi atau ide. Kesalahan pemakaian ada dengan adalah sebanyak 28; ada juga kesalahan penggunaan kita dengan kami; berangkat dengan meninggalkan; cara dengan secara; tidak dengan bukan; ada dengan mempunyai Lihat tabel 2 .2 Ketidaklengkapan fungsi kalimat meliputi tidak adanya subjek, predikat yang tidak jelas, penghilangan objek pada verba transitif Kesalahan urutan kata berupa pembalikan urutan frasa yang berpola D - M menjadi M – D Pemakaian preposisi di sering rancu dengan pemakaian dalam Kalimat-kalimat yang seharusnya menggunakan bentuk pasif masih menggunakan bentuk aktif dan sebaliknya.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 91
8. Konjungsi 9. Pemakaian “yang”
25 17
10. Penjamakan
9
Bentuk ‘yang’ kadang hadir ketika kalimat/pernyataan tidak menuntut kehadiran yang dan sebaliknya, tidak digunakan ketika sebuah ujaran menghendaki pemakaian yang. Kesalahan dilakukan dengan dipergunakannya bentuk ulang yang berarti jamak walaupun sudah ada penanda jamak lainnya.
Jumlah
1180
Kesepuluh bentuk kesalahan di atas akan diuraikan satu per satu dan disertai dengan contoh-contoh seperlunya. Kesalahan Keefektifan Kalimat Kalimat-kalimat yang dibuat pembelajar tidak efektif karena tidak adanya kesatuan informasi/arti dan bentuk. Kalimat yang dibuat mengandung lebih dari satu kesatuan informasi sehingga sering menimbulkan kerancuan dan ketidaktepatan arti. Bahkan, ada banyak pernyataan yang hanya berisi jajaran kata-kata saja tanpa arti yang jelas sehingga tidak membentuk sebuah kalimat yang utuh dari segi bentuk dan maknanya. Ada 422 kalimat dengan tipe ini. berikut ini beberapa contoh pernyataanpernyataan tersebut beserta alternatif pembenarannya. Contoh-contoh kesalahan keefektifan kalimat: (1) Sering keluarga yang dari daerah pedalaman tinggal di luar kota lama dan banyak adalah petani. (2) Setelah itu, kendi adalah sedia untuk membakar dengan teknik ada primitiv sekali. (3) Menduduki dalam lingkaran tertawa, makanan, menyanyikan dengan ibu, tutortutor dan temannya beristirahat nanti hari ini mengunjungi tempat-tempat lain di cuaca panas. (4) Kami juga mengunjungi orang Jawa di pabrik batik ialah pengalaman lain yang saya mau itu paling baik supaya melihat-lihat jenis berbeda batik. (5) Bagaimanapun dewasa ini pemerintah saya mempunyai dana perwalian dan suatu doktor bisa pekerjaan banyak alternatif ke obat yang modern, misalnya chiropractice, acupunture, aromatherapy, ahli pengobat dengan menggunakan kebatinan (faith healing) reflexology dan hypnotherapy. Alternatif pembenarannya: (1) Keluarga dari daerah pedalaman, yang sebagaian besar adalah petani, sering tinggal di luar kota untuk waktu yang lama. (2) Setelah itu, kendi tersebut siap untuk dibakar dengan teknik tradisional. (3) Setelah mengunjungi beberapa tempat, kami dan para tutor beristirahat dengan duduk melingkar sambil menyanyi, bercanda, dan makan makanan yang disiapkan oleh ibu itu. (4) Kami mengunjungi orang Jawa di pabrik batik untuk melihat jenis-jenis batik yang berbeda. Kegiatan itu merupakan pengalaman lain yang paling baik bagi kami. (5) Dewasa ini, pemerintah saya mempunyai dana perwalian yang memungkinkan seorang dokter bisa memadukan pengobatan alternatif dengan obat yang modern seperti, chiropractice, acupunture, aromatherapy, faith healing, eflexology dan 92 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
hypnotherapy. Kesalahan Pemilihan Kata Sebuah kata mengemban peran yang penting dalam sebuah kalimat/tuturan karena arti atau makna sebuah kalimat dapat dibangun dengan pemilihan kata yang tepat. Apabila terjadi kesalahan pemilihan kata maka akan terjadi pergeseran arti/ makna kalimat, tidak sebagaimana diinginkan oleh penulisnya. Bagi pembaca, kesalahan tersebut akan menimbulkan kesalahpaham atas arti/makna yang dimaksudkan penulis. Penelitian ini memberi gambaran yang jelas bahwa para pembelajar BIPA banyak melakukan kesalahan dalam pemilihan kata ketika mereka menyusun kalimat-kalimat dan atau paragraf. Dari analisis data, terdapat 228 kesalahan dalam pemilihan kata. Kesalahan yang mereka lakukan meliputi (1) penggunaan kata yang benar-benar tidak tepat untuk suatu konteks kalimat tertentu (2) penggunaan kata yang tidak lazim dalam konteks masyrakat Indonesia (3) pengunaan sinonim kata yang tidak tidak benar-benar tepat sebagaimana dituntut konteks kalimat tertentu (4) kerancuan dalam penggunaan kata-kata yang mirip, seperti penggunaan ada dan adalah , mudah dan murah, dsb. (5) penggunaan kata-kata yang merupakan hasil terjemahan secara harafiah dan (6) kesalahan penggunaan kata terjemahan yang bersinonim, seperti kata to leave yang terjemahan bahasa Indonesianya meninggalkan dan berangkat. Pasangan kata seperti inilah yang sering dikacaukan dalam penggunaannya. Beberapa kata yang kesalahan pemakaiannya cukup sering adalah kata ada yang dikacaukan dengan kata adalah; penggunaan pronomina kita dengan kami (yang dalam bahasa Inggris ‘us’); kata berangkat dengan kata meninggalkan; kata cara dengan kata secara; kata tidak dengan kata bukan; kata ada dengan kata mempunyi. Beberapa contoh kesalahan pembelajar dalam memilih kata di paparkan di bawah ini. Contoh kesalahan pemilihan kata: (1) Situasi ini pusing untuk anak-anak dan bisa sangat mempengaruhi mereka. (2) Saya berbicara dengan sopir sambil naik. Dia ada sopir untuk enam tahun. (3) Adalah banyak penjual dan pembeli dalam pasar. (4) Kami berangkat SMA 3 kira-kira pada jam sepuluh malam. (5) Jam empat kami berangkat Hotel Radisson pergi ke Prambanan Temple. (6) Setelah itu bis mengambilkan kami ke tempat yang ramai. (7) Di Inggris masalah-masalah dengan disiplin sedang lebih jelek, misalnya kemangkiran dari sekolah, kedatangan yang terlambat dan kekerasan. (8) Menurut tradisi, orang Batak adalah petani nasi tetapi pada waktu sekarang ekonomi Batak sangat beruntung pada karet dan kopi. A Alternatif pembenarannya: (1) Situasi ini membingungkan anak-anak dan sangat mempengaruhi mereka. (2) Saya berbicara dengan sopir ketika sudah di dalam taksi. Dia sudah menjadi sopir selama enam tahun. (3) Ada banyak penjual dan pembeli di dalam pasar itu. (4) Kami meningglkan SMA 3 kira-kira pada jam sepuluh malam. (5) Pada jam empat, kami berangkat dari Hotel Radisson dan pergi ke Candi Prambanan. (6) Setelah itu, sopir bis mengantar kami ke tempat yang ramai. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 93
(7) Di Inggris, masalah disiplin lebih jelek, misalnya ketidakhadiran ke sekolah, keterlambatan masuk sekolah dan kekerasan. (8) Menurut tradisi, orang Batak adalah petani padi, tetapi sekarang ekonomi masyrakat Batak lebih baik dengan perkebunan karet dan kopi. Kesalahan Penggunaan Afiks Kesalahan penggunaan afiks yang ditemukan cukup beragam. Ada banyak ketidaktepatan dalam menentukan afiks yang akan digunakan dalam proses verbalisasi maupun nominalisasi. Afiks - afiks tersebut sering digunakan terbalik-balik, misalnya seharusnya memakai afiks me- tetapi menggunakan afiks ber- dan demikian pula sebaliknya. Ketidaktepatan tersebut akan berakibat tidak tepatnya sense kalimat yang dibentuk dan bergesernya arti kalimat tersebut. Persebaran kesalahan pemakaian afiks tergambar jelas dalam tabel 2.2 berikut ini. Tabel 2.2 Persebaran kesalahan penggunaan afiks.
me -i me ber -an per me kan per -an terdas ar dike-an kan peber -an pe-an
me -
ber -
-an
per -
per -an
ter-
-
me -.kan 1
di
1
das ar(i ) 7
kan
pe-
me -i
-
ke an -
-
1
1
-
-
-
12
3
1
1
pe-an
-
ber -an -
-
-
-
1
-
8
-
4
11
25
2
-
-
1
-
-
-
-
1
1
1
1
5
2
-
1
-
-
-
-
-
1 1
-
-
-
1 -
-
7 1
-
2 -
1
-
2 -
-
--
1
4
8
-
-
-
-
-
2
-
1
-
-
-
-
1
-
-
3
-
-
-
-
-
1
-
-
-
1
-
-
1
-
1 4
8
2
-
2
2
1
1 -
2 -
2
5
-
1 -
-
1
2 -
6 -
4 -
-
-
1
-
2 1
4
-
-
2 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
1
2 -
-
-
-
1
-
2
-
-
-
-
-
-
1 -
1
3
1
1
1
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
Dari data di atas, dapat diketahui bahwa kesalahan penggunaan afiks me-, yang dikacaukan dengan penggunaan afiks di- cukup banyak yaitu 25 kali dan ini merupakan kesalahan terbanyak. Hal ini juga berkaitan dengan bentuk aktif dan pasif 94 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
yang akan diuraikan tersendiri. Kesalahan lain yang intensitasnya cukup sering dilakukan adalah penggunaan afiks me- yang dikacaukan pemakaiannya dengan afiks ber- sejumlah 12 kesalahan. Jumlah ini selisih satu kesalahan dibandingkan dengan kesalahan penggunaan afiks me- yang dikacaukan dengan penggunaan verba bentuk dasar dan verba bentuk dasar + -i. Kesalahan lain yang intensitas terjadinya relatif sering adalah penggunaan afiks me- yang dikacaukan dengan afiks me-....-kan, afiks me-....-kan yang dikacaukan penggunaannya dengan afiks ber-, dan penggunaan verba bentuk dasar yang dikacaukan pemakaiannya dengan afiks ber-. Kesalahan teresebut masing-masing sebanyak 8 buah. Kesalahan-kesalahan lain yang berjumlah 5-7 buah tersebar dalam beberapa afiks sebagaimana terdapat dalam tabel 2.2. Contoh kesalahan-kesalahan penggunaan afiks: (1) Saya nikmat perjalan di Indonesia. (2) Kalau orang tua perceraian, anaknya sering tinggal dengan ibunya. (3) Ketika saya membaca tentang perkelahian pelajar, saya mengherankan. (4) Kain batik paling terkenal di Australia dan sekarang saya tahu bagaimana batik membuat menggunakan dua cara, batik cap dan batik tulis tangan. (5) Di Inggris guru-guru harus beruniversitas untuk tiga tahun kemudian mereka harus pergi ke mengajar TCC (teacher training college) untuk satu tahun. (6) Lebih dari itu, Soeharto memperlihatkan menarik di Agama Islam. (7) Untuk menulis presentasi ini, saya dibicara dengan tiga orang. (8) Mungkin mayoritas orang Indonesia merasa kecemburuan kepada orang asing. (9) Dia menyuruh Kunto menyanyakan polisi. (10) Dalam karangan ini saya akan membicara tentang perbedaan keluarga di Yogyakarta atau Jaaawa dan di Inggris. Alternatif pembenarannya: (1) Saya menikmati perjalanan di Indonesia. (2) Kalau orang tua bercerai, anak-anaknya sering tinggal bersama ibunya. (3) Ketika saya membaca berita tentang perkelahian pelajar, saya heran. (4) Kain batik paling terkenal di Australia dan sekarang saya mengetahui cara membuat batik yang menghasilkan dua jenis batik, batik cap dan batik tulis tangan. (5) Di Inggris, guru-guru harus belajar di universitas selama tiga tahun kemudian mereka harus belajar di TCC (Teacher Training College) selama satu tahun. (6) Lebih dari itu, Soeharto memperlihatkan ketertarikannya pada Agama Islam. (7) Untuk menulis presentasi ini, saya berbicara dengan tiga orang. (8) Mayoritas orang Indonesia merasa cemburu kepada orang asing. (9) Dia menyuruh Kunto bertanya kepada polisi. (10) Dalam karangan ini, saya akan membicarakan perbedaan keluarga di Yogyakarta atau Jawa dengan keluarga di Inggris. Kesalahan karena Tidak Lengkapnya Fungsi Kalimat Kesalahan-kesalahan ini berupa ketidaklengkapan fungsi kalimat yang meliputi tidak adanya subjek, predikat yang tidak jelas, dan penghilangan objek pada predikat berverba transitif. Kesalahan tipe ini berjumlah 113 buah. Kesalahan tersebut terbagi atas 49 kesalahan karena tidak bersubjek, 45 kesalahan karena predikat yang tidak jelas, dan 19 kesalahan karena tidak adanya objek pada predikat yang berverba transitif. Berikut ini akan disajikan contoh kesalahan-kesalahan tersebut. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 95
Contoh kesalahan karena tidak bersubjek: (1) Di keraton menarik dan indah tetapi cuaca lembab dan panas. (2) Menurut orang wawancara di Indonesia ada yang bermacam-macam di dapatkan daerah ke daerah. (3) Untuk saya mengerti bagaimana mahasiswa mahasiswa tentang pendidikan Indonesia dan khususnya pengajaran Bahasa Inggris. (4) Salah satu utama kebaikan ialah rata-rata guru, saya mengerti bahwa in bagus, semua mahasiswa dikesan. (5) Sementara adalah orang yang mau belajar, untuk menjadi guru ide bagus! Alternatif pembenarannya, (1) Keraton Yogyakarta menarik dan indah tetapi cuaca hari ini lembab dan panas. (2) Menurut orang yang saya wawancarai, Indonesia mempunyai bermacam-macam kesenian yang berbeda di setiap daerah. (3) Saya mengerti pendapat para mahasiswa tentang pendidikan di Indonesia, khususnya sistem pengajaran Bahasa Inggris. (4) Salah satu keunggulan utama ialah kualitas rata-rata guru. Saya mengerti bahwa ini yang membuat semua siswa terkesan. (5) Ada banyak orang yang mau belajar untuk menjadi guru. Ini ide bagus! Contoh kesalahan karena predikat kalimat yang tidak jelas (1) Lebih dari itu, Aromatheraphy ini untuk ketegangan dan kesantaian, ini lebih baik membakar minyak di dalam kamar. (2) Umumnya kenakalan remaja dari rumah atau keluarga rusak. (3) Dulu sebagian besar guru di Tim-tim dari pulau-pulau di Indonesia, tetapi sekarang mereka berangkat dari Tim Tim dan tidak cukup guru untuk sekolah di sana. (4) Di Indonesia ada banyak upacara adat, setiap suku aturan-aturan yang harus dilakukan sebelum upacara pernikahan. (5) Orang-orang yang tinggal di kota berbedaan. Alternatif pembenarannya: (1) Lebih dari itu, Aromatheraphy ini berfungsi untuk menghilangkan ketegangan dan menciptakan rasa santai. Ini dilakukan dengan membakar minyak wangi di dalam kamar. (2) Umumnya, kenakalan remaja bermula dari keluarga yang tidak harmonis. (3) Dulu, sebagian besar guru di Tim-Tim berasal dari berbagai pulau di Indonesia, tetapi sekarang mereka meninggalkan Tim-Tim sehingga tidak ada cukup banyak guru untuk sekolah-sekolah di sana. (4) Di Indonesia, ada banyak upacara adat. Setiap suku memiliki aturan-aturan yang harus dilakukan sebelum upacara pernikahan. (5) Orang-orang yang tinggal di kota berbeda mempunyai kebiasaan yang berneda pula. Contoh-contoh kesalahan karena tidak adanya objek dalam kalimat yang berpredikat verba transitif. (1) Saya menikmati banyak sekali. (2) Seorang anak jalanan berbicara kepada saya kalau orang tua angkat mengusir ketika dia berumur sepuluh. (3) Upacara ini menunda sampai kelurga bisa mempunyai kadang-kdang ada beberapa 96 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
bulan. (4) Bagaimanapun, mereka menjual terbang onderdil kemudian British aerospace pegawai bepergian dari Inggris ke Indonesia. (5) Hidup suku Dani tidak rusah merubah tetapi saya pikir ubah akan menjadi tak dapat dielakkan. Alternatif pembenarannya: (1) Saya sangat menikmati perjalanan ini. (2) Seorang anak jalanan berbicara kepada saya bahwa orang tua angkatnya mengusir dia ketika dia berumur sepuluh tahun. (3) Upacara ini ditunda beberapa bulan sampai keluarga mempunyai cukup banyak uang. (4) Mereka menjual onderdil pesawat terbang itu. Kemudian, Pegawai British Aerospace datang ke Indonesia untuk merakitnya. (5) Kehidupan Suku Dani tidak perlu diubah tetapi saya berpikir bahwa perubahan akan terjadi dan itu tak dapat dielakkan. Kesalahan karena Penggunaan Preposisi yang Tidak Tepat Kesalahan penggunaan preposisi ini berupa pemakaian preposisi yang tidak tepat dalam kalimat, tidak dipakainya preposisi dalam kalimat yang menuntut adanya preposisi, dan pemakaian preposisi yang tidak perlu dalam suatu kalimat. Dari analisis data, terungkap ada 52 kesalahan dalam hal penggunaan preposisi. Kesalahan tersebut terbagi atas 29 kesalahan pada pemakaian preposisi yang tidak tepat, 14 kesalahan karena tidak adanya preposisi dalam kalimat yang menuntut adanya preposisi, dan 9 kesalahan penggunaan preposisi yang tidak perlu. Berikut ini akan disajikan beberapa contoh kesalahan-kesalahan penggunaan preposisi tersebut. Contoh kesalahan penggunaan preposisi yang tidak tepat: (1) Banyak barang-barang dibeli oleh toko-toko pakaian, makanan, tas, dan lain-lain. (2) Sebelum makan siang saya menjadi kuat oleh minum jamu yang “sehat pria”. (3) Saya kembali di hotel Radisson naik bis kecil. (4) Sesudah pertunjukkan kami membeli oleh-oleh kemudian kami pulang kepada Hotel Radisson. (5) Mereka hanya boleh tidur untuk tiga jam sesudah itu mereka harus mengganti dengan lain orang. Contoh kesalahan karena tidak adanya preposisi: (6) Kami pergi Pabrik Batik untuk mengerti tentang proses batik. (7) Kemudian, kami berjalan kaki terus Jl. Malioboro ke supermarket. (8) Hari ini kelompok semua pergi Sultan Palace naik bis besar. (9) Soeharto akan selalu diingatkan orang terkenal dan juga orang jago. (10) Penyakit gawat seperti penyakit kuning bisa disembuhkan jamu. Contoh kesalahan penggunaan preposisi yang tidak perlu: (11) Kehidupan di guru-guru tidak mudah ataukah Anda bekerja di Indonesia atau Skotlandia di mana saya tinggal. (12) Saya hanya harap, dengan semua Indonesia penduduk ingat dia dalam sejarah seorang yang membantu Indonesia menang kemerdekaan dari dua-duanya pemerintah Jepang dan pemerintah Belanda. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 97
(13) Mereka harus ada ‘catalytic conventer’ dalam juga supaya gas yang beracun akan mengurangi. (14) Dalam hal di atas, banyak orang mengadakan tekanan terhadap oleh anaknya supaya mereka membeli mainan dan gula-gula. (15) Itu punya partai di politik yang bernama Golkar. Alternatif pembenarannya: (1) Banyak barang dapat dibeli di toko-toko itu seperti, pakaian, makanan, tas, dan lain-lain. (2) Sebelum makan siang, saya menjadi kuat karena minum jamu “sehat pria”. (3) Saya kembali ke hotel Radisson naik bis kecil. (4) Sesudah pertunjukan, kami membeli oleh-oleh kemudian kami kembali ke Hotel Radisson. (5) Mereka hanya boleh tidur selama tiga jam. Sesudah itu, mereka harus bergantian dengan orang lain. (6) Kami pergi ke pabrik Batik untuk mengerti proses membuat batik. (7) Kemudian, kami berjalan kaki terus ke Jl. Malioboro dan masuk ke supermarket. (8) Hari ini, semua kelompok pergi ke ‘Sultan Palace’ dengan naik bis besar. (9) Soeharto akan selalu diingat sebagai orang terkenal dan juga seorang pahlawan. (10) Penyakit gawat, seperti penyakit kuning, bisa disembuhkan dengan jamu. (11) Kehidupan guru-guru tidak mudah baik Anda bekerja di Indonesia ataupun di Skotlandia tempat saya tinggal. (12) Saya hanya berharap semua penduduk Indonesia mengingat dia dalam sejarah sebagai orang yang membantu Indonesia mencapai kemerdekaan dari kedua penjajah, pemerintah Jepan dan pemerintah Belanda. (13) Mereka harus mempunyai ‘catalytic conventer’ supaya gas yang beracun dapat dikurangi. (14) Dalam hal di atas, banyak orang mengadakan tekanan terhadap anak-anaknya supaya mereka membeli mainan dan gula-gula. (15) Itu milik partai politik yang bernama Golkar. Kesalahan Urutan Kata Urutan kata dimaksudkan sebagai susunan kata untuk membentuk tataran yang lebih tinggi. Dalam bahasa Indonesia, pada umumnya, sesuatu yang diterangkan berada di depan yang menerangkan. Namun demikian, sering terjadi kesalahan dalam urutan ini. Dari hasil analisis data penelitian ini, ada 74 kesalahan dalam hal urutan kata. Para pembelajar melakukan pembalikan atas urutan kata sebagaimana terlihat dalam beberapa contoh di bawah ini. Contoh kesalahan dalam urutan kata: (1) Hari ini, menarik hari. (2) Keluarga adalah sosial kesatuan yang paling penting bagi orang Batak Toba. (3) Bernama ini ‘Ngelangkahi’. (4) Kadang-kadang orang yang datang baru menjadi terkejut, mereka harap memenuhi mimpi mereka. (5) Jamu saset belum komplit harus dicampur dengan lain bahan-bahan seperti beras kencur, anggur merah, madu, dll. (6) Pada tanggal 16 September setulisan di halaman sembilan memberi kesan bahwa musik pendidikan memerlukan sebagai dasar baik sekali untuk humaniora. 98 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
(7) Bentuk kedua di polusi datang dari industri. (8) Mayoritas orang-orang saya dengan berbicara adalah sopir taksi dan juga tetangga saya di desa saya. (9) Terbang itu dipasang oleh British Aerospace pegawai dari onderdil dari Indonesia. (10) Dia diajarkan SMA curikulum yang sama-sama di semua sekolah. Alternatif pembenarannya: (1) Hari ini adalah hari yang menarik. (2) Keluarga adalah kesatuan sosial yang paling penting bagi orang Batak Toba. (3) Ini bernama ‘Ngelangkahi’. (4) Kadang-kadang, orang yang baru datang menjadi terkejut karena mereka berharap mimpi mereka terpenuhi. (5) Jamu saset yang belum komplit harus dicampur dengan bahan-bahan lain seperti beras kencur, anggur merah, madu, dll. (6) Pada tanggal 16 September, sebuah tulisan di halaman sembilan memberi kesan bahwa pendidikan musik diperlukan sebagai dasar yang baik untuk pendidikan humaniora. (7) Kedua bentuk polusi ini berasal dari industri. (8) Mayoritas orang-orang yang berbicara dengan saya adalah sopir taksi dan juga tetangga saya di desa. (9) Pesawat terbang itu dirakit oleh pegawai British Aerospace dengan onderdil dari Indonesia. (10) Dia mengajar sesuai dengan Kurikulum SMA yang sama di setiap sekolah. Kesalahan Penggunaan Konstruksi Pasif Konstruksi pasif bahasa Indonesia dapat dibentuk dengan pronomina orang pertama, kedua, dan ketiga yang mempunyai dua pola yang berbeda. Pola pertama dapat dibentuk dari pola aktif S + me- bentuk asal - (sufiks) + O menjadi pola pasif O + S + bentuk asal- (suifks) untuk pronomina orang pertama, kedua, dan ketiga. Pola kedua dapat dibentuk dari pola aktif S + me- bentuk asal- (sufiks) + O menjadi pola pasif O + di - bentuk asal- (sufiks) + (oleh) + S hanya untuk pronomina orang ketiga. Kesalahan penggunaan konstruksi pasif yang terungkap dari penelitian ini relatif banyak, 37 konstruksi. Kesalahan ini terdiri atas tujuh kesalahan penggunaan konstruksi pasif pola pertama, dan 30 kesalahan penggunaan konstruksi pasif pola kedua. Kesalahan penggunaan konstruksi pasif bentuk kedua ini terjadi karena kesalahan penggunaan afiks-afiks pembentuk konstruksi aktif-pasif. Di bawah ini beberapa contoh kesalahan-kesalahan tersebut. Contoh kesalahan penggunaan konstruksi pasif: (1) Mesjid ini membuat untuk Sultan pertama. (2) Di dalam temple ada banyak kemenyan juga membakar. (3) Tempat pemujaan ketiga kami mengunjungi adalah mesjid. (4) Duduk di rumah ibu merasa beristirahat jug dan makanan membuat oleh ibu enak sekali. (5) Dia diajarkan SMA kurikulum yang sama-sama di semua sekolah. (6) Dua golongan yang saya mau melihati untuk soal karangan ini adalaf suku Kubu yang berasal dari Sumatra Selatan dan Suku Bali Aga yang berasal dari Bali. (7) Contohnya, ada beberapa LSM khusus untuk menolong wanita-wanita yang Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 99
diperkosa, atau untuk menolong orang-orang yang hilang rumahnya karena banjir atau untuk membangkitkan kesadaran tentu suatu hal. (8) Mungkin kebenaran terlalu dasyat untuk mengakui. (9) Mungkin kesenian tradisional bisa mengubah dan mengguna teknik yang modern sehingga pelukisan bisa membuat lebih cepat. (10) Pulau-pulau seperti Bali dan Jawa ada jumlah penduduk tertinggi, jadi banyak orang dimindahkan ke pulau lain khususnya Kalimantan dan Sulawesi. Alternatif pembenarannya: (1) Mesjid ini dibuat untuk Sultan pertama. (2) Di dalam temple, ada banyak kemenyan dibakar. (3) Tempat pemujaan ketiga yang kami kunjungi adalah mesjid. (4) Kenyamanan kami rasakan ketika duduk di rumah ibu itu dan makanan yang di buatnya enak sekali. (5) Kurikulum SMA diajarkan sama di semua sekolah atau Kurikulum SMA dia ajarkan secara sama di semua sekolah. (6) Dua golongan yang ingin saya lihat sebagai topik karangan ini adalah suku Kubu yang berasal dari Sumatra Selatan dan Suku Bali Aga yang berasal dari Bali. (7) Ada beberapa LSM khusus didirikan untuk menolong wanita-wanita yang diperkosa, atau untuk menolong orang-orang yang kehilangan rumahnya karena banjir atau untuk membangkitkan kesadaran tentang suatu hal. (8) Mungkin, kebenaran terlalu dasyat untuk diakui. (9) Mungkin, kesenian tradisional bisa diubah dengan penggunaan teknik yang modern sehingga lukisan bisa dibuat lebih cepat. (10) Pulau-pulau seperti Bali dan Jawa mempunyai jumlah penduduk yang banyak sehingga banyak orang dipindahkan ke pulau lain khususnya Kalimantan dan Sulawesi. Kesalahan Penggunaan Konjungsi Konjungsi berfungsi sebagai penghubung frasa dan klausa dalam kalimat. Selain itu, konjungsi juga berfungsi sebagai penghubung antarkalimat dalam suatu paragraf. Kesalahan penggunaan konjungsi ini akan berakibat tidak jelasnya makna kalimat karena hubungan antarfrasa dan antarklausa tidak jelas. Ada 25 kesalahan penggunaan konjungsi yang terungkap dalam penelitian ini. Kesalah yang cukup menonjol adalah penggunaan konjungsi bahwa dan walaupun , masing-masing 9 dan 5 kesalahan. Kesalahan-kesalah yang lain tersebar untuk konjungsi-konjungsi yang lain. Contoh kesalahan-kesalahan tersebut dipaparkan di bawah ini. Contoh kesalahan penggunaan konjungsi: (1) Guru-guru ada perteman sambil semua murid berjalan-jalan dan berbicara dengan teman di sekolahnya. (2) Gereja ini membagun dengan uang dari orang-orang bahwa menghadiri gereja ini. (3) Oleh sebabnya, apabila dihadapkan pada praktek di lapangan kerja, didikan kurang memuaskan. (4) Menurut saya dan juga semua orang bahwa saya dibuat wawancara, Indonesia masih memerlukan tenaga kerja asing di dalam negara itu. (5) Banyak orang Indonesia rasa bahwa ibu kota Jakarta adalah tempat yang mana mimpi mereka akan menjadi penuhi. 100 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
(6) Walaupun bahkan adalah memberi haparan bahwa setiap hari sesudah sampah terkumpul, sampah-sampah itu dipisahkan menurut jenis bahannya. (7) ABRI mempunyai banyak pengaruh daripada dulu dari masyarakat. (8) Maupun mereka ada rencana-rencana. misalnya, untuk mengatasi masalahmasalah pemerintah Indonesia mencoba transmigrasi. Alternatif pembenarannnya: (1) Guru-guru sedang mengadakan perteman ketika semua murid berjalan-jalan dan berbicara dengan teman di halaman sekolah. (2) Gereja ini membagun dengan uang dari orang-orang yang menghadiri gereja ini. (3) Apabila dihadapkan pada praktek di lapangan kerja, anak didik kurang memuaskan. (4) Menurut saya dan juga semua orang yang saya wawancarai, Indonesia masih memerlukan tenaga kerja asing. (5) Banyak orang Indonesia merasa bahwa ibu kota Jakarta adalah tempat mimipimimpi mereka akan terpenuhi. (6) Sesudah sampah terkumpul, sampah-sampah itu dipisahkan menurut jenis bahannya. (7) ABRI mempunyai banyak pengaruh terhadap masyarakat sejak dulu. (8) Walaupun demikian mereka mempunyai rencana-rencana. Misalnya, untuk mengatasi masalah-masalah kependudukan, pemerintah Indonesia menggalakan program transmigrasi. Kesalahan Penggunaan ‘yang’ Kesalahan pemakaian ‘yang’ yang dilakukan pembelajar BIPA relatif banyak yaitu 15 kesalahan. Kesalahan yang dilakukan berupa penggunaan yang dalam kalimat yang tidak memerlukan ‘yang’ dan sebaliknya ‘yang’ tidak digunakan ketika kalimatkalimat memerlukan yang untuk memperjelas makna kalimat tersebut.
(1) (2) (3) (4) (5)
Contoh kesalahan penggunaan’ yang’: Menurut teman saya, TKA mempunyai peran yang pentiing sekali di dalam bisnis dan proyek-proyek karena bisa membantukan masyarakat dan prasarana lokal Hampir semua segi bahwa saya mencari bisa yang dihubungan dengan seluruh Indonesia. Saluran TV ini swasta dan mereka bisa menunjuk apa saja mereka mau. Oleh karena itu, pers Inggris tidak diperoleh melaporkan satupun yang dikenai buku ini. Suku Dani masih hidup secara yang primitif.
Alternatif pembenarannya: (1) Menurut teman saya, TKA mempunyai peran penting sekali di dalam bisnis dan proyek-proyek karena bisa membantu masyarakat dan prasarana lokal. (2) Hampir semua segi yang saya temukan bisa dihubungan dengan seluruh Indonesia. (3) Saluran TV ini adalah saluran swasta dan mereka bisa mempertunkukan semua hal yang merek mau. (4) Oleh karena itu, pers Inggris tidak diperbolehkan melaporkan satupun tentang buku ini. (5) Suku Dani masih hidup secara primitif. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 101
Kesalahan Pembentuk Jamak Bentuk jamak dalam bahasa Indonesia dapat dibentuk dengan mengulang nomina, penggunaan numeralia, dan penggunaan penanda jamak seperti, beberapa, sejumlah, para, banyak, sedikit, dsb. Apabila bentuk-bentuk itu digunakan nomina yang bersangkutan harus dalam bentuk tunggal. Contohnya, buku-buku, 125 buku, beberapa buku. Kesalahan dalam hal ini adalah pemakaian bentuk beruntun ketika mereka membuat bentuk jamak. Mereka memakai penanda jamak tetapi nomina tetap diulang atau sebaliknya ada penanda tunggal tetapi nominanya jamak. Berikut ini beberapa contoh untuk mendukung penjelasan di atas. Contoh kesalahan penggunaan bentuk jamak: (1) Kami didampingi oleh guru pribadi naik bis ke bermacam-macam trmpat-tempat wisata seperti Keraton, Taman Sari, pasar burung yang terletal di belakang Taman Sari. (2) Saya membicarakan dengan beberapa mahasiswa yang keluarganya tidak mampu untuk mengirimi semua anak-anakny ke universitas. (3) Di Inggris, guru-guru merasa bahwa mereka menerima gajinya yang rendah dan banyak guru-guru berangkat untuk pekerjaan yang lain. (4) Contohnya , kalau sesuatu suku-suku ingin pendidikan atau gereja, dan dokter, mereka seharusnya diberikan itu. (5) Banyak pabrik-pabrik sudah ditutup karena ada lebih murah untuk membuat barang-barang di negeri asing seperti negeri-negeri Timur karena alasan penggangguran ada lebih kejahatan daripada banyak tahhun yang lalu. Alternatif pembenarannya: (1) Kami didampingi oleh guru pribadi naik bis ke bermacam-macam tempat wisata seperti, Keraton, Taman Sari, dan pasar burung yang terletak di belakang Taman Sari. (2) Saya berbicara dengan beberapa mahasiswa yang keluarganya tidak mampu menyekolahkan semua anaknya ke universitas. (3) Di Inggris, guru-guru merasa bahwa mereka menerima gaji yang rendah dan banyak guru meninggalkan profesi itu untuk mencari pekerjaan yang lain. (4) Contohnya , kalau sesuatu suku menginginkan fasilitas pendidikan, gereja, dan dokter, mereka seharusnya mendapatkannya. (5) Pabrik-pabrik sudah ditutup karena pembuatan barang-barang di negeri asing seperti negara-negera Timur lebih murah karena alasan banyak penggangguran. ALTERNATIF STRATEGI PEMBELAJARAN REMEDI Hakekat Pembelajaran Remedi Pembelajaran remedi dimaksudkan sebagai suatu proses memperbaiki berbagai kesalahan berbahasa atau proses membantu pembelajar yang mengalami kesulitan dalam memahami berbagai kaidah berbahasa. Pembelajaran ini juga dimaksudkan sebagai proses penyadaran atas berbagai kesalahan yang dilakukan pembelajar untuk kemudian dilakukan berbagai upaya penanggulangan agar kesalahan-kesalahan tersebut tidak terjadi lagi ( Richard, 1987: 244; George, 1972: 79-80; Norrish, 1983: 79; Suratminto, 1996: 4) 102 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Langkah-Langkah Pembelajaran Remedi Kesalahan-kesalahan berbahasa yang telah dikemukakan pada bab II dapat digunakan sebagai pijakan untuk menentukan langkah-langkah lanjutan yang harus diambil. Hal penting yang perlu dilakukan adalah menginformasikan berbagai kesalahan tersebut kepada pembelajar agar mereka mengetahui kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan. Langkah ini sangat penting dilakukan agar mereka tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama. Kesalahan terbanyak yang terungkap dalam penelitian ini adalah kalimat yang tidak efektif karena hanya berupa jajaran kata yang tidak membentuk satu kesatuan arti/informasi. Kesalahan lain yang perlu diketahui pelh mereka adalah pemakaian afiks dan pilihan kata. Dua hal ini sangat penting untuk menyususn kalimat dan paragraf sehingga mereka hendaknya diminta untuk benar-benar memperhatikannya. Setelah mereka mengetahi kesalahan yang mereka lakukan perlu diupayakan koreksi atas kesalahan-kesalahan tersebut. Koreksi in dapat dilakukan bersama-sama di dalam kelas, ataupun secara individual dengan mempertimbangkan karakteristik pembelajar dan kesalahan yang mereka lakukan. Teknik pertama dapat dilakukan bila pembelajar dapat saling terbuka menerima kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan dan terbuka menerima koreksi dari pembelajar lain. Keuntungan teknik ini adalah penghematan waktu belajar dan komunikasi antarpembelajar dapat terjalin. selain itu masing-masing pembelajar mengetahui beragamnya kesalahan yang dilakukan pembelajar-pembelajar lain sehingga secara otomatis mereka tidak melakukan kesalahan yang sama. Proses koreksi itu sendiri, membantu pembelajar untuk belajar kaidah-kaidah berbahasa secara aplikatif. Teknik bimbingan individual memang lebih efektif dari segi pendekatan personal. Pengajar mengatahui benar-benar karakteristik pembelajar dan kesalahan yang dilakukannya sehingga dapat memberikan alternatif pembenarannya secara tepat. Selain itu, pembelajar tidak meresa malu dengan diketahuinya kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan. Akan tetapi ini memerlukan waktu tersendiri yang lebih banyak dan tidak ada sharing antarpembelajar. Langkah ketiga yang dapat dilakukan adalah memberikan contoh-contoh yang benar atas kesalahan-kesalahan tersebut sehingga pembelajar dapat membandingkan antara bentuk-bentuk yang salah dengan bentuk-bentuk yang benar. Dengan contohcontoh ini, pembelajar diharapkan untuk “menangkap” pola-pola yang benar sehingga dapat membuat bentuk-bentuk yang benar. Selain itu, perlu juga disajikan berbagai bentuk bersaing yang sangat mungkin menimbulkan kesalahan. Sebagai contoh, pemberian deretan morfologis dalam suatu konteks yang tepat untuk menjelaskan berbagai perbedaan pemakaian afiks. Untuk memperjelas pernyataan di atas, cermatilah contoh di bawah ini. Deretan morfologis kata jalan : menjalankan, perjalanan, jalanan, berjalan, menjalani, dijalani, pejalan (kaki).
(1) (2) (3) (4) (5)
Contoh dalam konteks kalimat: Petani itu menjalankan traktornya dengan hati-hati. Perjalanan ini memerlukan biaya banyak dan persiapan mental yang baik pula. Anak - anak jalanan itu juga memerlukan sentuhan kemanusiaan kita. Berjalanlah pelan-pelan ke arah sumber suara itu! Kamu harus menjalani semua cobaan hidup ini dengan tabah dan penuh Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 103
kesabaran! (6) Semua cobaan hidup dijalani dengan tabah dan sabar sehingga sekarang dia dapat hidup bahagia. (7) Sekarang ini, ruang-ruang publik untuk pejalan kaki semakin sempit. (8) Pemerintah daerah Jawa Tengan sedang mengadakan pelebaran jalan utama di jalur Pantai Utara. Langkah di atas dapat pula digunakan dalam mengantisipasi kesalahan pemilihan kata. Perlu disajikan pada pembelajar berbagai sinomim kata lengkap dengan pemakaiannya dalam konteks yang tepat sehingga mereka dapat memilih suatu kata yang tepat untuk mewakili ide mereka dalam konteks yang tepat pula. Langkah lain yang dapat ditempuh dalam pembelajaran remidial ini adalah diskusi dengan pembelajar mengenai kesalahan berbahasa yang mereka lakukan untuk mendapat gambaran yang lengkap alasan terjadinya kesalahan. Langkah ini saya kira sangat tepat karena secara langsung kita dapat mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan sehingga langkah antisipasinya juga langsung ditentukan dan kegunaan lainnya berupa keterampilan berbicara yang semakin meningkat. Langkah-langkah di atas kiranya dapat diterapkan dalam proses pembelajaran BIPA sehingga tujuan yang dikehendaki dapat dicapai atas tereduksinya kesalahankesalahan yang dilakukan oleh pembelajar. Namun, ada hal penting yang perlu diperhatikan yaitu ketepatan pengajar menemukan peta kesalahan pembelajar sehingga selanjutnya dapat menentukan teaching point yang tepat pula. PENUTUP Kesalahan-kesalahan berbahasa Indonesia para pembelajar BIPA di Indonesian Language and Culture Intensive Course (ILCIC), P3 Bahasa kurun waktu 1999-2000 telah teridentifikasi. Kesalahan-kesalahan tersebut meliputi: ketidakefektifan kalimat sebanyak 422 kesalahan, kesalahan pemilihan kata sebanyak 228, kesalahan penggunaan afiks sebanyak 203 kesalahan, tidak lengkapnya fungsi-fungsi kalimat sebanyak 113, kesalahan pemakaian preposisi sebanyak 52, pembalikan urutan kata sebanyak 74 kesalahan, penggunaan konstruksi pasif sebanyak 37, kesalahan pemakaian konjungsi sebanyak 25, ketidaktepatan pemakaian yang ada 17 kesalahan, dan kesalahan dalam pembentukan jamak sebanyak 9 kesalahan. Jadi kesalahan mencolok terjadi pada pembuatan kalimat yang efektif disusul kesalahan pemilihan kata, pemakaian afiks, dan tidak lengkapnya fungsi-fungsi dalam kalimat. Kesalahan-kesalahan tersebut diharapkan dapat tereduksi dengan beberapa langkah pembelajaran remedi yang berupa pemberian informasi tentang kesalahankesalahan berbahasa yang dilakukan pembelajar, koreksi secara berpasangan dan koreksi individual, pemberian contoh-contoh yang benar atas kesalahan-kesalahan yang terjadi, pemberian deretan-deretan morfologis dan kata-kata bersinonim dalam konteks, serta diskusi bersama pembelajar tentang penyebab kesalahan berbahasa yang mereka lakukan. Penelitian ini masih memerlukan pemetaan penyebab kesalahan secara empiris. Untuk itu, masih diperlukan penelitian lapangan untuk mengetahui sumber kesalahan dari pembelajar yang berbeda latar belakang bahasa pertama dan budayanya.
104 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
DAFTAR PUSTAKA Brindley, Geoff (Ed). 1990. The Second Language Curriculum in Action. Sydney NSW : Macquarie University Press. Dardjowidjodjo, Soenjono. 1995. “Masalah dalam Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing di Indonesia”. Kongres Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing , 28-30 Agustus 1995 di Universitas Indonesia, Jakarta. Ellis, Rod. 1986. Classroom Second Language Development. Oxford : Pergamon Press. George, H.V. 1972. Common Errors in Language Learning ; Insight From English. Massachusetts : Newbury House Publisher. Johnson, Donna M. 1992. Approaches to Research in Second Language Learning. New York: Longman Publishing Group. Lightbown, Patsy M dan Nina Spada. 1999. How Languages Are Learned (Revised Edition). Oxford : Oxford University Press Munawarah, Sri. 1996. “Kesalahan Penulisan yang Dilakukan Penutur Asing dalam Belajar Bahasa Indonesia”. Konferensi Internasional II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA II). 29 Mei - 1 Juni 1996 di Padang. Nimmanupap, Sumalee. 1998. “Pengajaran Bahasa Indonesia untuk pembelajar Asing di Thailand”, Makalah Kongres Bahasa Indonesia VII, Jakarta, 26-30 Oktober 1998. Norissh, John. 1983. Language Learners and Theirs Errors. London : The Macmillan Press. O’Grady, William dan Michael Dobrovolsky. 1989. Contemporary Linguistics : An Introduction. New York : St. Martin’s Press. Rivai, S. Faizah Soenoto. 1998. “Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Pembelajar Asing di Italia” Makalah Kongres Bahasa Indonesia VII, Jakarta, 26-30 Oktober 1998. Soenardji, 1989, Sendi-Sendi Linguistika bagi Kepentingan Pembelajaran Bahasa. Jakarta: Spillane, James. 1993. “Kesulitan Orang Asing Belajar Bahasa Indonesia”. Makalah Seminar Sehari Pengajaran Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Asing, 16 Maret 1993 di Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 105
Suratminto, Lilie, 1996. “Remedial Class untuk Mahasiswa BIPA Tingkat Tengah dan Lanjutan”. Makalah Konferensi Internasional II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA II) 29 Mei - 1 Juni 1996 di IKIP Padang. Tarigan, Henry Guntur. 1988. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung : Penerbit Angkasa. ____. 1989. Pengajaran Remedi Bahasa: Suatu Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Depdikbud. Wojowasito, 1977, Pengajaran Bahasa Kedua (Bahasa Asing, Bukan Bahasa Ibu), Bandung: Shinta Dharma
106 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL GENERASI MASA DEPAN Sueb Hadi Saputro FBS-UWK Surabaya
ABSTRAK Pendidikan bahasa Indonesia ini mempunyai peranan yang sangat penting baik dalam mengatur kehidupan masyarakat dalam berkomunikasi sehari-hari maupun dalam kehidupan yang formal yang berkaitan dengan institusi. Pendidikan bahasa Indonesia merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan budaya.Judul yang diangkat dalam makalah ini yaitu “Pendidikan Bahasa Indonesia sebagai Media Revolusi Mental Generasi Muda Masa Depan.” Permasalahan yang penting yang akan penulis angkat dalam makalah ini, yaitu: Bagaimana peran pendidikan bahasa Indonesia sebagai media revolusi mental generasi masa depan? Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk, mendeskripsikan peran pendidikan bahasa Indonesia sebagai media revolusi mental generasi masa depan. Teori yang digunakan, yaitu mental itu berkaitan dengan pikiran, mind. Mentalitas berkaitan dengan cara berpikir yang sudah menjadi kebiasaan, atau kebiasan berpikir. Pendidikan bahasa Indonesia berperan sebagai media revolusi mental generasi masa depan. Dengan menyampaikan materimateri bahasa Indonesia: (1) Kajian Historis Bahasa Indonesia; (2) Bahasa Nasional; (3) Bahasa Negara; (4) Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar;(5) Penggunaan Bahasa pada Penulisan Karya Ilmiah, dan (6) Materi menulis dapat melatih atau membiasakan revolusi mental kepada generasi masa depan. Kata kunci: bahasa Indonesia, media revolusi mental, generasi masa depan
PENDAHULUAN Pendidikan bahasa Indonesia saat ini mengalami pasang surut dalam upaya pencapaian kompetensi peserta didik baik dalam pendidikan formal maupun nonformal. Ada sebagian masyarakat yang mengatakan, bahwa pendidikan bahasa Indonesia saat ini tidak berhasil mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Sebagai bukti nilai akhir yang dicapai oleh peserta didik banyak sekali yang kurang baik. Di sebagian masyarakat yang lain menyatakan bahwa tujuan pembelajaran bahasa Indonesia itu sudah tercapai, karena pembelajaran bahasa Indonesia itu berfokus pada kemampuan komunikatif, yaitu kemampuan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar di masyarakat. Pro dan kontra di masyarakat ini wajar, karena berbeda sudut pandang masingmasing. Bahasa Indonesia saat ini digunakan oleh bangsa Indonesia sebagai alat komunikasi utama dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat kita mulai dari kaum intelektual sampai kaum awam, masyarakat kota sampai masyarakat desa yang tersebar di seluruh pelosok tanah air menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat berkomunikasi. Bahkan dalam rapat kenegaraan mulai rapat paripurna DPR, sidang umum MPR/DPR sampai dengan rapat (rembug desa) menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya bahasa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bermasyarakat mengadung makna bahwa bahasa Indonesia sangat dibutuhkan dalam komunikasi antaranggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Berbangsa mengandung makna bahwa bahasa Indonesia Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 107
berperan penting dalam mengatur kehidupan berbangsa dalam arti yang luas. Bernegara lebih mengarah pada peran bahasa Indonesia digunakan dalam forum resmi atau kenegaraan (Saputro, 2013:1). Berdasarkan uraian di atas, maka pendidikan bahasa Indonesia ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan masyarakat dalam berkomunikasi sehari-hari maupun dalam kehidupan yang formal yang berkaitan dengan institusi. Pendidikan bahasa Indonesia merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan budaya. Banyak orang mengartikan konsep budaya itu dalam arti yang terbatas, ialak pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang memenhi hasratnya akan keindahan. Dengan singkat kebudayaan adalah kesenian. Dalam arti seperti itu memang terlampau sempit. Sebaliknya banyak orang terutama para ahli ilmu sosial, mengartikan konsep kebudayaan itu dalam arti yang sangat luas yaitu seluruh total dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar (Koentjacaraningrat, 1984:2). Dari uraian di atas penulis akan mengangkat judul “Pendidikan Bahasa Indonesia sebagai Media Revolusi Mental Generasi Muda Masa Depan.” Hal ini disebabkan permasahan bangsa saat ini sudah sangat memprihatinkan, dirasa sangat sulit untuk mengurai permasalahan tersebut. Penulis menawarkan alternatif pemecahannya dengan menggunakan pendidikan bahasa Indonesia sebagai medianya. Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat permasalahan yang penting yang akan penulis angkat dalam makalah ini, yaitu: Bagaimana peran pendidikan bahasa Indonesia sebagai media revolusi mental generasi masa depan?
KAJIAN HISTORIS BAHASA INDONSIA Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu “pasar” yang dipakai oleh masyarakat Riau. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa daerah yang digunakan di wilayah Sumatera. Berawal dari peristiwa perjuangan bangsa Indonesia untuk mempersatukan bangsa Indonesia, sehingga dapat mengusir segala bentuk penjajahan dari bumi pertiwi Indonesia, maka para generasi muda Indonesia berkumpul untuk mengikrarkan “Soempah Pemoeda” pada tanggal 28 Oktober 1928 menghasilkan ikrar sebagai berikut: Kami poetra dan poetri Indonesia: 1) bertanah air satoe tumpah darah Indonesia, 2) berbangsa satoe bangsa Indonesia dan, 3) menjunjung tinggi bahasa persatoean bahasa Indonesia(Saputro, 2013:98) Berdasarkan ikrar ketiga tersebut, pengangkatan dan penamaan bahasa Melayu-Riau inilah yang diangkat oleh para pemuda pada “Konggres Pemoeda” pada tanggal 28 Oktober 1928 di Solo menjadi menjadi bahasa Indonesia oleh pemuda Indonesia pada saat itu lebih bersifat politis daripada linguistis, karena memiliki tujuan ingin mempersatukan pemuda untuk berjuang demi tercapainya kemerdekaan Indonesia (Muslich,2011:40). Latar belakang bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia dapat dijelaskan alasan –alasan sebagai berikut: (1) Karena sudah lama bahasa Melayu digunakan sebagai lingua franca atau bahasa perhubungan; (2) Sistem bahasa Melayu sederhana (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik); (3) Secara psikologis suku Jawa dan Sunda mau menerima bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia; (4) 108 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Kesanggupan bahasa Melayu untuk diangkat menjadi bahasa Indonesia yang lebih lanjut dipakai sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) (Fransisca dkk, 2013: 2). Pada Zaman pendudukan Jepang, bahasa Belanda dilarang dipakai dan harus diganti dengan bahasa Indonesia. Ketika itu sebagian besar orang masih meragukan kemampuan bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmu pengetahuan, termasuk para cendekiawannya. Akan tetapi karena dipaksa oleh pemerintah pendudukan Jepang dan didorong oleh pemuda-pemuda Indonesia, orang-orang Indonesia terpaksa menggunakan bahasa Indonesia untuk setiap ranah pembicaraan. Bahasa Indonesia mulai populer dan mulai diperhatikan para pemakainya dengan baik. Setelah itulah terbukti bahwa bahasa Indonesia tidak kurang mutunya dibanding dengan bahasa-bahasa asing lainnya. Bahasa Indonesia pun mulai mengalami perkembangan sesuai dengan kodratnya sebagai bahasa yang hidup. Bahasa Indonesia terus dipakai pemiliknya dengan teratur dan lebih luas. Sesudah merdeka bahasa Indonesia berkembang dengan pesat lebih baik dan lebih luas. Bangsa Indonesia mulai merasakan betapa pentingnya membina dan memperhatikan perkembangan bahasa Indonesia. Bangsa Indonesia mulai sadar bahwa tanpa bahasa Indonesia, bangsa Indonesia tidak akan memperoleh kemajuan. Dalam kondisi yang seperti ini bahasa Indonesia juga mendapatkan pengukuhan lagi dari negara, yakni dengan ditetapkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) disahkan sebagai undang-undang dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945, maka bahasa Indonesia secara otomatis diangkat menjadi bahasa negara. Hal ini secara tersurat termaktub dalam Bab XV/ Pasal 36 yang berbunyi “Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia”. Dengan demikian masyarakat Indonesia tidak lagi tergantung pada bahasa asing dalam upaya mengikuti perkembangan Iptek. Dilihat dari kajian historis di atas, maka dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia tidak muncul dengan tiba-tiba, akan tetapi melalui proses yang lama, melalui perjuangan yang panjang dan berliku. Dengan demikian perkembangan bahasa Indonesia ini dapat dikatakan sudah ditempa oleh sejarah yang demikian hebat. Mulai dari bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat lingkungan lokal di Semenanjung Melayu sampai dikrarkan oleh para pemuda pada saat itu menjadi bahasa persatuan. Proses ini menunjukkan jiwa sosial, jiwa nasionalisme, jiwa kepahlawanan, jiwa psikologis, jiwa persatuan yang luar biasa ditunjukkan oleh generasi muda saat itu. Hal ini bisa terwujud, karena generasi muda memiliki jiwa yang satu yaitu ingin memepersatukan bangsa Indonesia demi cita-cita yang luhur yaitu kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada zaman Jepang segi kualitas penggunaan bahasa Indonesia masih rendah, sehingga generasi muda berupaya untuk meningkatkan mutu penggunaan bahasa Indonesia. Secara politis upaya ini berhasil, akhirnya bahasa Indonesia diakui dan dikenal oleh pemakai bahasa Indonesia untuk dijadikan bahasa pengetahuan oleh masyarakat atau oleh kaum cendekiawan. Sampai masa kemerdekaan atau pascakemerdekaan bahasa Indonesia terus digunakan dalam segala bidang kehidupan, yaitu dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan dan keamanan (hankam). REVOLUSI MENTAL Mental itu berkaitan dengan pikiran, mind. Mentalitas berkaitan dengan cara berpikir yang sudah menjadi kebiasaan, atau kebiasan berpikir. Dan suatu kebiasaan
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 109
habit, pada umumnya terbentuk lewat pembiasaan oleh karena itu mentalitas dapat diubah lewat cara perubahan kebiasaan ( Rektor ITB, 2015:2) Menurut hemat kami, upaya untuk melakukan perbaikan mental, apakah reformasi atau revolusi mental, perlu memperhatikan dua faktor sekaligus: cara berpikir serta lingkungan/ tatanan sosial (Rektor ITB:2015:4). Menurut Supelli dkk (2002:xii),revolusi mental sebagai berikut: a. Upaya untuk mengubah kebiasaan dan kerangka pemikiran sehari-hari masyarakat yang berdampak luas bagi publik. b. Proses menghasilkan manusia merdeka, bagaimaa mendidik manusia yang mengerti dirinya, mengerti keindonesiaannya. c. Transformasi pengertian dan pemahaman mengenai politik dari isu kekuasaan menjadi pelayanan publik. d. Perubahan pikir para penguasa menyangkut orientasi politik, perubahan sikap pejabat publik dan politik partisan e. Tidak hanya menyangkut pola pikiran, namun juga perubahan struktural dalam interaksi sosial yang dominan di masyarakat, yaitu komunikasi, hubungan kekuasaan, dan moralitas. f. Pengembangan sikap anti kepada hal-hal negatif. Revolusi mental menuntut perubahan pada dua tatanan sosial politik, yaitu pada para pejabat (pembuat, pelaksana kebijakan, dan semua yang terkait dengan posisi pemerintahan) dan rakyat sebagai warganegara. Oleh karena itu, perubahan juga harus diarahkan pada kedua tatanan tersebut: bagaimana penguasa menjadi pelindung dan pelayan publik yang cakap dan santun, dan bagaimana rakyat dapat menjadi warga negara yang terlindungi, terjamin hak-haknya, dan bertanggung jawab pada lingkungannya. Di sisi lain, Supelli mengajak kita untuk melihat revolusi mental sebagai proses budaya. Ruang lingkup revolusi mental yang sejalan dengan NAWACITA adalah: 1. Kedaulatan politik yang meliputi: 1) Peningkatan kepatuhan dan penegakkan hukum serta reformasi lembaga peradilan. 2) Perkuatan kelembagaan politik dan reformasi birokrasi pemerintahan 2. Kemandirian ekonomi: peningkatan kemandirian ekonomi dan daya saing bangsa. 3. Kepribadian dan kebudayaan meliputi: 1) Pembangunan pendidikan yang berkualitas dan kebudayaan yang menemukan daya cipta dan inovasi. 2) Pemanfaatan modal sosial dan modal budaya 3) Pengembangan kepribadian dan penegakan jati diri bangsa. 4)Peningkatan peran lembaga sosial, agama, keluarga, dan media publik (Kementerian PPN/ Bappenas (2015). Syamsudin (2015), berharap pemerintahan Joko Widodo bisa melaksanakan ajaran Trisakti yang dicetuskan Presiden pertama Soekarno, dan melakukan revolusi mental. Menurutnya, gerakan revolusi mental harus diarahkan untuk memberantas korupsi. “Korupsi itu bukan mental dan kepribadian bangsa Indonesia. Mental Korupsi inilah yang seharusnya segera direvolusi,” ujarnya dalam seminar Internasional Filsafat Trisakti.
110 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
GENERASI MASA DEPAN Generasi Muda adalah kata yang mempunyai banyak pengertian, namun dari pengertian-pengertian generasi muda mengarah pada satu maksud yaitu kumpulan orang-orang yang masih mempunyai jiwa, semangat, dan ide yang masih segar dan dapat menjadikan Negara ini lebih baik, orang-orang yang mempunyai pemikiran yang vision (Sudibyo, 2011:8). Berdasarkan pendapat di atas generasi muda itu merupakan generasi masa depan, yaitu generasi penerus bangsa Indonesia yang mempunyai semangat tinggi untuk memajukan Indonesia. Generasi yang baru ini akan meneruskan peran dan perjuangan generasi sebelumnya. Generasi baru inilah sebagai generasi masa depan yang sangat diharapkan oleh bangsa dan negara Indonesia. PEMBAHASAN Pendidikan bahasa Indonesia memiliki keterkaitan yang erat dengan revolusi mental generasi masa depan. Sekarang bisa dicermati isi materi pendidikan bahasa Indonesia, yang mencakup kajian historis bahasa Indonesia, bahasa nasional, bahasa negara, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, penulisan karya ilmiah, materi menulis dan sebagainya. Materi-materi tersebut dapat digunakan sebagai media revolusi mental generasi masa depan, sebab kita dapat menerapkan materi-materi tersebut kepada peserta didik, siswa, mahasiswa, atau generasi muda pada umumnya untuk membiasakan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Hal-hal tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini, 1) Kajian Historis bahasa Indonesia Materi pembelajarann ini membicarakan sejarah bahasa Indonesia mulai dari kelahirannya sampai saat ini. Sebagai contoh bahasa Melayu yang diangkat menjadi bahasa Indonesia, tidak datang dengan tiba-tiba, namun melalui proses yang panjang dan berliku. Faktor-faktor yang menyebakan bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia (bahasa nasional): (1) Sejarah telah membantu penyebaran bahasa Melayu, sehingga bahasa Melayu menjadi lingua franca di seluruh nusantara dan menjadi bahasa perdagangan. (2) Bahasa Melayu mempunyai sistem yang sederhana, ditinjau dari segi fonologi, morfologi, dan sintaksis. (3) Faktor psikologis, yaitu suku Jawa dan Sunda telah menerima suka rela pengangkatan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional. (4) Kesanggupan bahasa Melayu itu sendiri, ternyata setelah diangkat menjadi bahasa Indonesia, bahasa Melayu dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman yaitu sebagai bahasa iptek. Materi ini sangat menunjang pelaksanaan revolusi mental. Peserta didik dibiasakan atau dilatih menggunakan bahasa Indonesia sebagai lingua franca atau bahasa perhubungan. Di sisi lain mereka ditujukkan bagaimana pendahulu kita menyepakati atau mau menerima bahasa Melayu untuk diangkat menjadi bahasa Indonesia. Keputusan ini tidak mudah, akan tetapi dapat dilaksanakan. Hal ini merupakan proses menghasilkan manusia merdeka, bagaimaa mendidik manusia yang mengerti dirinya, mengerti keindonesiaannya (Supelli dkk (2002:xii). 2) Bahasa Nasional Materi ini membahas bahasa Indonesia digunakan sebagai alat untuk Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 111
mempersatukan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Meraoke yang terdiri atas berbagai macam suku adat-istiadat, agama dan sebagainya. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: (1) Lambang kebanggaan nasional, (2) Lambang identitas nasional, (3) alat persatuan berbagai suku bangsa, (4) Alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Materi ini sangat menunjang pelaksanaan revolusi mental. Peserta didik dilatih untuk merasa bangga menggunakan bahasa Indonesia, mereka memiliki identitas bangsa Indonesia (tidak minder dalam berhadapan dengan bangsa asing), mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa, dan alat perhubungan antar- daerah dan antarbudaya. Hal ini sesuai dengan pengertian revolusi mental sebagai upaya untuk mengubah kebiasaan dan kerangka pemikiran sehari-hari masyarakat yang berdampak luas bagi publik (Supelli dkk (2002:xii). 3) Bahasa Negara Materi ini membahas bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi dalam forum ke negaraan, mulai dari pusat sampai daerah-daerah, misalnya sidang umum MPR/ DPR, rapat paripurna kabinet sampai rapat RW/RT. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: (1) Bahasa resmi kenegaraan; (2) Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan; (3) Sebagai alat perhubungan di tingkat nasioal untuk kepentingan pembangunan dan pemerintahan; (4) Sebagai alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Materi ini sangat menunjang pelaksanaan revolusi mental. Peserta didik dilatih untuk memahami dan memiliki pola pikir tentang perubahan struktural dalam interaksi sosial di masyarakat mulai dari pusat sampai daerah. Hal ini sesuai pengertian revolusi mental: Tidak hanya menyangkut pola pikiran, namun juga perubahan struktural dalam interaksi sosial yang dominan di masyarakat, yaitu komunikasi, hubungan kekuasaan, dan moralitas (Supelli dkk (2002:xii). Di samping itu juga ditegaskan Kementerian PPN/Bappenas (2015) Pembangunan pendidikan yang berkualitas dan kebudayaan yang menemukan daya cipta dan inovasi. 4) Penggunaan bahasa Indonesia yang Baik dan Benar Materi ini membahas penggunaan bahasa Indonesia yang yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakatnya (penggunaan bahasa Indonesia yang baik). Penggunaan bahasa yang sesuai dengan kaidah yang ada (penggunaan bahasa Indonesia yang benar). Materi ini sangat menunjang pelaksanaan revolusi mental. Peserta didik dilatih untuk memahami aturan dalam penulisan sesuai dengan aturan atau kaidah penulisan yang baik dan benar. Peserta didik diharuskan untuk menerapkan penulisan yang benar. Apabila peserta didik tidak mematuhi penulisan yang benar akan diberi sanksi berupa nilai hasil evaluasi jelek dan dinyatakan tidak lulus. Mereka yang melaksanakan aturan dengan benar akan mendapatkan penghargaan secara adil. Inilah wujud pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia dengan materi penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal ini sesuai dengan pelaksanaan revolusi mental: Peningkatan kepatuhan dan penegakkan hukum serta reformasi lembaga peradilan (Kementerian PPN/Bappenas (2015).
112 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
5) Penulisan Karya Ilmiah Materi ini membahas penggunaan bahasa Indonesia dalam penulisan karya ilmiah. Karya tulis yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan ditulis menurut metodologi yang benar. Tulisan yang berisi permasalahan yang diungkapkan dengan metode ilmiah. Penggunaan bahasa yang sesuai dengan kaidah yang ada (penggunaan bahasa Indonesia yang benar). Materi ini sangat menunjang pelaksanaan revolusi mental. Peserta didik dilatih untuk memahami aturan dalam penulisan karya ilmiah yang benar. Dalam hal ini peserta didik perlu memperhatikan cara berpikir dan lingkungan/ tatanan sosial. Cara berpikir yang logis sangat dibutuhkan oleh peserta didik. Cara berpikir logis, peserta didik harus melakukan penalaran yang benar, penalaran deduktif atau induktif. Di samping itu peserta didik harus mengikuti prosedur penelitian yang benar, tidak boleh menyimpang. Peserta didik juga harus memperhatikan lingkungan, karena lingkungan merupakan sasaran penelitian atau penulisan karya ilmiah. Apabila pembelajaran penulisan ini dilaksanakan sungguh-sungguh sesuai dengan aturan yang ada, maka hal ini merupakan pembiasaan dalam revolusi mental. Inilah wujud pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia dengan materi penggunaan bahasa Indonesia dalam penulisan karya ilmiah. Hal ini sesuai dengan pemahaman terhadap revolusi mental sebagai upaya untuk melakukan perbaikan mental, apakah reformasi atau revolusi mental, perlu memperhatikan dua faktor sekaligus: cara berpikir serta lingkungan/ tatanan sosial (Rektor ITB:2015:4). 6) Materi Menulis Materi ini membahas penggunaan bahasa Indonesia dalam menderapkan salah satu keterampilan berbahasa, yaitu keterampilan mmenulis. Peserta didik dilatih dan dibiasakan untuk menulis kejadian-kejadain yang aktual di masyarakat, misalnya masalah korupsi, kolusi, nepotisme, narkoba dan lain-lain. Materi ini sangat menunjang pelaksanaan revolusi mental. Peserta didik dilatih menulis secara kritis kejadian-kejadian yang aktual, misalnya masalah korupsi, kolusi, nepotisme, dan narkoba. Berangkat dari materi ini peserta didik akan terlatih dan tertanam jiwanya menjadi generasi masa depan yang baik. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan masalah di atas akhirnya dapat ditarik simpulan berikut ini: Pendidikan bahasa Indonesia berperan sebagai media revolusi mental generasi masa depan. Dengan menyampaikan materi-materi bahasa Indonesia: (1) Kajian Historis Bahasa Indonesia; (2) Bahasa Nasional; (3) Bahasa Negara; (4) Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar;(5) Penggunaan Bahasa pada Penulisan Karya Ilmiah, dan (6) Materi Menulis dapat melatih atau membiasakan revolusi mental kepada generasi masa depan. Dengan demikian hal-hal yang menyimpang dari kepribadian bangsa Indonesia atau hal-hal yang menyimpang dari aturan yang berlaku akandikikis habis oleh generasi masa depan kita. DAFTAR PUSTAKA Akhmaloka.2015. Sambutan Rektor ITB “Revolusi Mental dan Pascasarjana.” Bandung: Institut Teknologi Bandung
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 113
Harjanti, Fransisca Dwi. 2010. Bahasa Indonesia Keilmuan.Surabaya: Bimantara Aluugoda Sejahterah. Muslich, Masnur dan I Gusti Ngurah Oka. 2010. Perencanaan Bahasa pada Era Globalisasi. Jakarta: Bumi Aksara. Kementerian PPN/Bappenas.2015. Pembangunan pendidikan yang berkualitas dan kebudayaan yang menemukan daya cipta dan inovasi.Jakarta. Koentjaraningrat. 1984. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Saputro, Sueb Hadi. 2013. Prosiding Seminar Politik Bahasa dan Bahasa Politik Prediksi Peran Strategis Bahasa dan Sastra Indonesia Menyongsong Visi Mosi Indonesia Baru.Surabaya: Fakultas Budaya, Universitas Airlangga. Sudibyo, Tahajudin .2011. Membangun Aktif Peran Generasi Muda dan Mahasiswa dalam Penegakan Kepemimpinan yang Ideal. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer AMIKOM. Supelli, Karlina dkk. 2015. Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pengembangan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Syamsudin, Mukthasar. 2015. Government Public Relations.Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
114 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
KONSISTENSI PENERAPAN KAIDAH AFIKSASI BAHASA INDONESIA Suher M. Saidi FKIP, Universitas Muhammadiyah Surabaya
[email protected]
ABSTRAK Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2009, Pasal 29, Ayat (1) menyatakan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar pada pendidikan nasional. Artinya, fungsi bahasa Indonesia sangat penting dalam interaksi resmi di Indonesia. Karena fungsi bahasa sangat penting, kaidah penerapan berbahasa Indonesia harus mantap, terutama kaidah afiksasi. Penerapan kaidah afiksasi bahasa Indonesia saat ini terasa kurang mantap karena penerapannya tidak konsisten. KBBI dan TBBBI diharapkan mampu menjadi pedoman dalam penerapan kaidah berbahasa Indonesia. Kenyataannya, banyak hal perlu dicermati dan dikonsistensikan dalam penerapannya. Hal tersebut akan menyebabkan kerancuan dan kebingunan pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya materi afiks pada pembelajaran di jenjang SD sampai SMA. Tujuan penelitian ini menunjukkan ketidakkonsistensian kaidah afiksasi pada KBBI dan TBBBI. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, yaitu mendeskripsikan ketidakkonsistensian penerapan kaidah afiksasi pada KBBI dan TBBBI. Hasil penelitian ini mendeskripsikan 1) ketidakkonsistensian penerapan penulisan afiks berdasarkan bentuknya dan 2) ketidakkonsistensian penerapan penulisan afiks berdasarkan maknanya. Kata kunci: konsistensi, kaidah, dan afiksasi
PENDAHULUAN Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara. Dalam Undang-Undang No. 29, Tahun 2009, Pasal 25, Ayat 1 – 3 dinyatakan pula bahwa bahasa Indonesia sebagai 1) bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa, 2) jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah, dan 3) bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa. Secara khusus, dalam Pasal 29, Ayat 1 dinyatakan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Berdasarkan undang-undang tersebut, fungsi bahasa Indonesia sangatlah penting. Keberadaan bahasa Indonesia bukan hanya sekadar bahasa sebagai alat komunikasi, melainkan juga sebagai wujud jati diri bangsa. Berdasarkan fungsi yang begitu penting, keberadaan bahasa Indonesia haruslah sebagai bahasa yang memiliki kemantapan kaidah. Kemantapan kaidah bahasa Indonesia merupakan keniscayaan karena bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sesuai Pasal 36 UUD 1945. Upaya untuk memantapkan kaidah tersebut melalui buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). TBBBI dan KBBI diharapkan sebagai buku besar atau induk yang mengatur segala kegramatikalan bahasa Indonesia. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 115
Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa merupakan lembaga yang bertanggung jawab atas kemantapan kaidah gramatika bahasa Indonesia. Peilbagai upaya telah dilakukan badan tersebut yang dulu lebih kita kenal dengan Pusat Bahasa. Buku TBBI telah mengalami revisi sebanyak dua kali dalam kurun waktu 28 tahun ini. Buku TBBI diterbitkan edisi pertama pada 1988. Setelah beberapa kali naik cetak, pada tahun 1993 mengalami revisi menjadi edisi kedua. Pada tahun 1998 buku TBBBI direvisi lagi sehingga menjadi edisi ketiga. Pada edisi ketiga ini buku TBBBI masih belum menjadi buku induk kaidah gramatika bahasa Indonesia yang sempurna. Buku TBBBI pada edisi ketiga masih kita jumpai ketidakkonsistenan kaidah gramatika. Ketidakkonsistenan tersebut akan menimbulkan masalah dalam berbahasa Indonesia, terutama untuk pembelajaran bahasa di sekolah. Jika kaidah pada TBBI menimbulkan kesimpangsiuran, pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah juga akan mengalami problem. Selain buku TBBBI, KBBI pun telah mengalami revisi beberapa kali. Sampai saat ini KBBI telah muncul revisi sampai edisi kelima. Revisi-revisi tersebut menandakan perubahan-perubahan menuju kemantapan bahasa Indonesia. Upaya penambahan kosakata terus dilakukan walau masih terasa kekurangan-kekurangannya. Kaidah gramatika, khususnya berkenaan dengan afiksasi, pada TBBBI dan KBBI terlihat ketidakkonsistenan dalam pemakaiannya. Antara kaidah dan contoh penerapannya banyak yang tisak selaras. Antara TBBBI dan KBBI juga terlihat tidak selaras. Perbedaan-perbedaan konsep tampak pada kedua buku acuan tersebut. Ketidakselarasan yang menyebabkan ketidakkonsistenan penerapan kaidah gramatikal pada sumber-sumber acuan menunjukkan ketidakmantapan kaidah pada bahasa kita. KBBI dan TBBBI diharapkan mampu menjadi pedoman dalam penerapan kaidah berbahasa Indonesia. Kenyataannya, banyak hal perlu dicermati dan dikonsistensikan dalam penerapannya. Hal tersebut akan menyebabkan kerancuan dan kebingunan pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya materi afiks pada pembelajaran di jenjang SD sampai SMA. Tulisan ini akan mengupas ketidakkonsistenan kaidah afiksasi pada KBBBI dan TBBI. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, yaitu mendeskripsikan ketidakkonsistensian penerapan kaidah afiksasi pada KBBI dan TBBBI. Hasil penelitian ini mendeskripsikan 1) ketidakkonsistensian penerapan penulisan afiks berdasarkan bentuknya dan 2) ketidakkonsistensian penerapan penulisan afiks berdasarkan maknanya. PEMBAHASAN Menurut KBBI, kaidah memiliki makna rumusan asas yang menjadi hukum atau aturan yang sudah pasti. Kaidah gramatika bahasa Indonesia merupakan aturan yang harus dipakai dalam tata bahasa Indonesia. Kemantapan kaidah gramatika bahasa Indonesia akan membuat kemantapan penerapan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai bahasa resmi negara dan sebagai pengantar dalam pendidikan nasional, bahasa Indonesia harus memiliki standardisasi. Standarisasi tersebut berasal dari kaidah yang mantap. Ketidakkonsistenan kaidah membuat ketidakmantapan kaidah tersebut. Bagaimana jika kaidah gramatikal bahasa Indonesia tidak konsisten? Ketidakkonsistenan kaidah bahasa menyebabkan problem dalam berbahasa, terutama dalam pembelajaran berbahasa Indonesia. Ketidakkonsistenan kaidah membingungkan pelaku pembelajaran, baik guru maupun siswa. Kaidah yang tidak 116 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
konsisten juga berpengaruh pada buku-buku materi ajar di sekolah, khususnya berkenaan dengan materi afiksasi. Melalui tulisan ini, akan dipaparkan ketidakkonsistenan kaidah, terutama afiksasi pada TBBBI dan KBBI. TBBBI dan KBBI yang seharusnya menjadi buku utama atau pedoman penerapan kaidah berbahasa Indonesia ternyata mengalami problem-problem ketidaktegasan dan ketidakkonsistenan dalam penerapan kaidah afiksasi dalam berbahasa Indonesia. Ketidakkonsistenan terjadi dalam TBBBI, yaitu kaidah yang diterapkan tidak bersifat mutlak tetapi bergantung pada keadaan. Kaidah afiksasi antara TBBBI dan KBBI tidak selaras. Jika hal tersebut dibiarkan, kebingungan akan dialami oleh guru dan siswa dalam pembelajaran. Ketidakkonsistensian Penerapan Penulisan Afiks Berdasarkan Bentuknya Pada buku TBBBI edisi ketiga banyak dijumpai ketidakkonsistenan penerapan kaidah afiksasi. Beberapa kaidah yang tidak konsisten tersebut akan kami deskripsikan dan kami bahas agar kaidah tersebut menjadi jelas. 1.
(TBBBI halaman 115, subbab morfofonemik meng-, kaidah 3) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem / d / atau / t /, bentuk meng- berubah menjadi men-. Contoh: meng- + datangkan mendatangkan meng- + tanamkan menanamkan meng- + duga menduga meng- + tuduh menuduh Perlu diperhatikan bahwa fonem / t /, seperti yang terdapat pada kata tanam dan tuduh menjadi luluh ke dalam fonem / n /. Pada dasar yang dimulai dengan terseperti pada tertawa dan terjemah, fonem / t / kadang-kadang luluh, kadangkadang tidak. Dengan demikian, kata yang sering dipakai umumnya cenderung untuk luluh, sedangkan yang jarang dipakai lebih sering muncul tanpa peluluhan. Perhatikan contoh berikut. terjemah menerjemahkan atau menterjemahkan tertawa menertawakan atau mentertawakan
Ketidakkonsistenan sangat terlihat pada kaidah tersebut. Kaidah afiks mengberubah menjadi men- jika ditambahkan pada dasar / t / sangat jelas pemaknaannya. Contoh meng- + tanamkan menjadi menanamkan dan meng- + tuduh menjadi menuduh adalah contoh yang riil atau nyata. Namun, pernyataan berikutnya bertentangan dengan kaidah tersebut. Pada kaidah tersebut sangat jelas, yaitu afiks meng- menjadi men- dan fonem / t / luluh ke dalam fonem / n /. Pada keterangan berikutnya dinyatakan fonem / t / kadang-kadang luluh, kadang-kadang tidak luluh. Contoh pada keterangan terlihat tidak mencerminkan sebagai suatu kaidah yang mantap, yaitu meng- + terjemah menjadi menerjemahkan atau menterjemahkan. Contoh lain adalah meng- + tertawa menjadi menertawakan atau mentertawakan. Bentuk menerjemahkan dan bentuk menterjemahkan serta bentuk menertawakan dan mentertawakan keduanya boleh dipergunakan merupakan bukti ketidakkonsistenan kaidah afiksasi.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 117
Mengapa muncul dua bentuk yang keduanya benar? Mungkin kedua bentuk tersebut boleh digunakan apabila kedua bentuk tersebut memiliki makna yang berbeda. Bentuk menerjemahkan dan bentuk menterjemahkan tidak memiliki makna yang berbeda. Ketidakkonsistenan ini akan membingungkan pemakai, terutama pembelajar bahasa Indonesia. Bagi pembelajar, Bahasa Indonesia sebagai materi pelajaran, hal tersebut akan menjadi masalah. Bagi siswa atau guru, bentuk mana yang tepat? 2.
(TBBBI halaman 115, subbab morfofonemik meng-, kaidah 4) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem / b /, / p /, atau / f /, bentuk meng- berubah menjadi mem-. Contoh : meng- + babat membabat meng- + patuhi mematuhi meng- + fokuskan memfokuskan meng- + buat membuat meng- + pakai memakai meng- + fitnah memfitnah Perlu diperhatikan bahwa fonem / p / dari patuhi dan pakai menjadi luluh ke dalam fonem / m /. Akan tetapi, peluluhan itu tidak terjadi jika fonem / p / merupakan bentuk yang mengawali prefik per- dan pe- tertentu. Contoh: meng- + pertinggi mempertinggi meng- + pertaruhkan mempertaruhkan meng- + perdalam mempertaruhkan meng- + pedulikan mempedulikan meng- + pesonakan mempesonakan
Antara kaidah tersebut dengan keterangan di bawahnya tidak sejalan. Tambahan menjadi kaidah baru yang menambah kaidah sebelumnya. Seharusnya, kaidah tidak membingungkan. Kaidah harus jelas dan praktis. Bentuk meng- + pedulikan seharusnya menjadi memedulikan dan meng- + pesonakan menjadi memesonakan. Apa alasan atau dasarnya jika meng- + per- atau pe- fonem / p / menjadi tidak luluh? Jika tidak ada alasan yang mendasari hal tersebut, tidak perlu dibuat kaidah baru. Pada bentuk meng- + pertinggi, hal tersebut bisa terjadi karena meng- bertemu dengan afiks per- sehingga meng- + per- + tinggi menjadi mempertinggi. Apakah peduli dan pesona berasal dari afiks pe- + duli dan pe- + sona? Jawabannya adalah pasti bukan. Kaidah afiks meng- bertemu dengan fonem / p / harus mengalami peluluhan fonem ke dalam fonem / m /. Selain itu, bentuk tersebut dalam TBBBI tidak sama dengan KBBI. Pada KBBI, bentuk meng- + pesona dan meng- + pedulikan menjadi memesona dan memedulikan (Lihat KBBI makna kata pesona dan peduli). Ketidakmantapan kaidah tersebut harus dibenahi. TBBBI dan KBBI sebagai rujukan kaidah berbahasa Indonesia harus sama atau sekonsep. 3.
(TBBBI halaman 117, subbab morfofonemik meng-, kaidah 7)
118 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Kata-kata yang berasal dari bahasa asing perlu diperlakukan berbeda-beda, bergantung pada frekuensi dan lamanya kata tersebut telah kita pakai. Jika dirasakan masih relatif baru, proses peluluhan tidak berlaku. Hanya kecocokan artikulasi saja yang diperhatikan dengan catatan bahwa meng- di depan dasar asing yang dimulai dengan / s / menjadi men-. Jika dasar itu dirasakan tidak asing lagi, perubahan morfofonemiknya mengikuti kaidah yang umum. Contoh: meng- + produksi memproduksi meng- + proses memproses atau memroses meng- + klasifikasi mengklasifikasi meng- + kategori mengkategorikan meng- + transfer mentransfer meng- + teror menteror meng- + survei mensurvei meng- + sukseskan mensukseskan atau menyukseskan Kaidah tersebut menandakan ketidakmantapan. Sebuah kaidah harus jelas. Namun, pada kaidah tersebut terdapat ketidakpastian atau kelonggaran konsep. Kaidah tersebut bisa menimbulkan berbagai pemahaman. Acuan atau patokan dalam kaidah bersifat lunak atau lentur, tidak ada patokan yang pasti. Bergantung frekuensi dan lamanya kata tersebut telah dipakai menimbulkan berbagai kemungkinan penafsiran. Kaidah yang lentur menandakan ketidakmantapan suatu kaidah. Bentuk meng- + proses menjadi memproses atau memroses dan bentuk meng- + sukseskan menjadi mensukseskan atau menyukseskan menandakan bahwa kaidah afiksasi tersebut tidak mantap. Kaidah tersebut seharusnya menentukan salah satu bentuk yang tepat dari proses tersebut. Selain itu, kaidah tersebut, dalam TBBBI, tidak sama dengan KBBI. Dalam KBBI bentuk meng- + proses dan meng- + sukses menghasilkan satu bentuk saja, yaitu memproses dan menyukseskan. KBBI tidak mengenal bentuk memroses dan mensukseskan. Perbedaan kaidah pada dua buku tersebut, TBBBI dan KBBI, membuat kebingungan pemakai bahasa. 4.
(TBBBI halaman 119, subbab morfofonemik ter-, kaidah 1 dan 2) (1) Prefik ter- berubah menjadi te- jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem / r /. Contoh: ter- + rebut terebut ter- + rasa terasa ter- + raba teraba Sebagaimana afiksasi per- dan ber-, ter- juga kehilangan fonem / r / sehingga hanya ada satu / r /. (2) Jika suku pertama kata dasar berakhir dengan bunyi / er /, fonem / r / pada prefiks ter- ada yang muncul dan ada pula yang tidak. Contoh: ter- + percaya terpercaya ter- + cermin tercermin ter- + percik tepercik Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 119
Kaidah 2 pada subbab morfofonemik ter- terlihat ketidakmantapan dalam kaidah afiksasi bahasa Indonesia. Dalam kaidah seharusnya mengandung kepastian bukan keragu-raguan. Bunyi kaidah ada yang muncul dan ada pula yang tidak pada kaidah 2 menyatakan bahwa kaidah tersebut bukanlah kaidah yang bagus. Sebuah kaidah harus tegas mengatur segala bentuk operasionalnya. Bentuk terpercaya menunjukkan fonem / r / pada ter- tetap muncul, sedangkan bentuk tepercik menunjukkan fonem / r / pada ter- tidak muncul. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Tidak ada alasan yang jelas dalam hal tersebut. Seharusnya, kaidah harus konsisten. Jika fonem / r / hilang saat bertemu dengan suku pertama kata dasar berakhir dengan bunyi / er /, hal tersebut harus berlaku untuk semuanya. Pada KBBI bentuk ter- + percaya menjadi tepercaya. Bentuk ter- + percik menjadi tepercik. Namun, bentuk ter- + cermin menjadi tercermin. KBBI juga tidak konsisten terhadap kaidah tersebut. Antara TBBBI dan KBBI juga menunjukkan kaidah yang berbeda. Ketidakkonsistensian Penerapan Penulisan Afiks Berdasarkan Maknanya Selain ketidakkonsistenan kaidah afiksasi mengenai bentuk, ketidakkonsistenan juga terjadi mengenai makna afiks. KBBI yang seharusnya menjadi acuan utama mengenai makna kata juga menunjukkan ketidakkonsistenan dalam hal tersebut. Berikut ini merupakan sebagian data-data yang kami deskripsikan mengenai ketidakkonsistenan makna, terutama afiks, pada KBBI. Afiksasi pada kata uji Kata uji pada KBBI bisa diturunkan menjadi beruji, menguji, diuji, ujian, teruji, keterujian, penguji, dan pengujian. Makna kata uji adalah percobaan untuk mengetahui mutu sesuatu (ketulenan, kacakapan, ketahanan, dll.). Namun, pada kata turunan ujian memiliki makna 1) hasil menguji;pemeriksaan;cobaan, 2) sesuatu yang dipakai untuk menguji. Pada makna kata ujian yang kedua terjadi ketidakkonsistenan makna. Makna kata tersebut tidak sesuai dengan kaidah makna afiks –an pada buku-buku tata bahasa. Memang, menurut Chaer (2008:159) sufiks –an dapat bermakna 1) hasil me- (dasar), 2) yang di- (dasar), 3) alat me- (dasar), 4) tempat, 5) tiap-tiap, 5) banyak (dasar), dan 6) bersifat (dasar). Sufiks –an memang bisa bermakna alat. Namun, tidak semua sufiks –an bisa bermakna alat. Sufiks –an pada kata timbangan dan kukuran bisa bermakna alat untuk menimbang dan alat untuk mengkukur. Apakah sufiks –an pada kata ujian bermakna alat untuk menguji? Sufiks –an pada kata ujian lebih cenderung bermakna hasil. Kata uji sendiri pada KBBI bisa bermakna alat saat diturunkan pada kata penguji. Makna penguji pada KBBI adalah 1) orang yang menguji dan 2) alat untuk menguji. Ketidakkonsistenan tersebut berakibat kesalahan pada penerapan istilah berbahasa Indonesia. Istilah Ujian Nasional adalah imbas dari hal tersebut. Istilah yang tepat untuk pengganti hal tersebut adalah Uji Nasional atau Pengujian Nasional. Afiksasi pada kata latih dan gerak Kata latih pada KBBI diturunkan menjadi berlatih, melatih, terlatih, latihan, pelatih, dan pelatihan. Kata gerak diturunkan menjadi bergerak, menggerakkan, tergerak, gerakan, pergerakan, penggerak, dan penggerakan. Pada dua bentuk tersebut terdapat perbedaan penurunan dari bentuk dasarnya. 120 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Pada kata gerak diturunkan bentuk pergerakan, sedangkan pada kata latih tidak diturunkan bentuk perlatihan. Kata pergerakan dibentuk dari dasar melalui verba berprefiks ber- (bergerak). Seharusnya, pada kata latih bisa diturunkan menjadi pelatihan dan perlatihan. Kata pelatihan dibentuk dari dasar melalui verba berprefiks meng- (melatih), sedangkan kata perlatihan dibentuk dari dasar melalui verba berprefiks ber- (berlatih). Jika pada satu kata yang setipe bisa diturunkan menjadi beberapa bentuk, kata yang lain pun harus bisa diturunkan dengan model yang sama. Ketidaklengkapan tersebut menunjukkan ketidakkonsistenan kaidah afiksasi bahasa Indonesia. Hal tersebut menyebabkan ketidaktepatan pemilihan kata dalam kalimat. Kata pelatihan dalam kalimat Pelatihan dilakukan di semua sekolah bisa bermakna proses melatih dan proses berlatih. Kata pelatihan seharusnya bermakna proses melatih. Untuk makna proses berlatih harus dipakai kata perlatihan. Para dosen memberikan pelatihan bermakna dosen melatih. Mahasiswa mengikuti perlatihan di aula bermakna mahasiswa berlatih. Ketidakkonsistenan tersebut menyebabkan ketidakberterimaan makna kalimat. Makna kata mengkaji dan mengaji Kedua bentuk tersebut berasal dari dasar kata kaji. Menurut KBBI kata kaji adalah 1) pelajaran (agama dsb.), 2) penyelidikan (tt sesuatu). Sesuai kaidah afiksasi bentuk meng- + kaji menjadi mengaji. Namun, saat ini kita jumpai dua bentuk, yaitu mengaji dan mengkaji, Kata kaji memang memiliki dua makna yang berbeda, Namun, jika kata tersebut mengalami proses afiksasi, bentuk penurunan haruslah tetap satu. Proses afiksasi harus sesuai kaidah. Bentuk turunan mengkaji seharusnya tidak dipakai. Satu bentukan boleh memiliki dua makna. Yang membedakan makna dari bentuk tersebut adalah konteks makna kalimat. Kata kaji tergolong pada gejala bahasa homonim, yaitu bentuk dan pelafalannya sama, tetapi maknanya beda. Hal tersebut sama dengan kata kata hak. Kata hak memiliki bentuk dan pelafalan sama, tetapi maknanya beda. Ketika mendapat afiksasi, bentuk kata tersebut tetap sama, yaitu berhak, baik untuk makna telapak sepatu pada bagian tumit yang relatif lebih tinggi maupun kewenangan atau kekuasaan. SIMPULAN Ketidakkonsistenan kaidah afiksasi masih terjadi pada buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (KBBBI) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ketidakkonsistenan kaidah afiksasi pada TBBBI dan KBBI meliputi 1) penerapan penulisan afiks berdasarkan bentuknya dan 2) penerapan penulisan afiks berdasarkan maknanya. Ketidakkonsistenan kaidah gramatika, khususnya afiksasi, menyebabkan permasalahan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Ketidakkonsistenan tersebut menyebabkan kesimpangsiuran konsep afiksasi dalam bahasa Indonesia. Pencermatan kaidah harus dilakukan pada TBBBI dan KBBI. Kaidah-kaidah tersebut ditata kembali agar kaidah menjadi mantap. Kemantapan kaidah menyebabkan kemantapan berbahasa Indonesia. Kemantapan berbahasa Indonesia menyebabkan kemantapan bahasa sebagai jati diri bangsa. Selain itu, kemantapan bahasa Indonesia menyebabkan rasa kebanggan nasional semakin tinggi. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 121
DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan dkk. 2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia(Pendekatan Proses). Jakarta: PT Rineka Cipta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Ramlan, R. 1983. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyono.
122 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
PERANAN BAHASA DAN ATTITUDE REMAJA DI ZAMAN MODERN Wahyu Mulyani Program Studi Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia Universitas PGRI Ronggolawe Tuban email:
[email protected]
ABSTRACT The teenagers problems more difficult to overcome or mitigated in modern life than to the past life. This is caused by the speed of technological developments and the flow waves of global life that are difficult or impossible to resist. There are two purposes of this paper : 1) wants to describe the role of language in modern life, 2) wants to describe the attitude of teenagers in modern life. Based on these purposes, author hope this research can be used as additional knowledge for reader that language has an important role in shaping and changing the attitude of teenagers. This research is a qualitative descriptive tangible theoretical, based on the books and literature that the author read. The Results of this research is : 1) the role of language in modern life as a communication media is very important, because the language of the message delivered by the communicator to the communicant can be understood well, 2) the attitude of teenagers in modern life in the face of life's challenges must be positive, so that they can to be selected and sorted the rate of technological developments and the flow waves of global life that are difficult or impossible to resist that contains negative elements. The role of language to the attitude of teenagers in modern life is very important, because the formation and changes of attitude teenagers based on the language used in communication in the social environment. Keywords: Role of Language, Attitude Teenagers , in Modern Life
PENDAHULUAN Bahasa merupakan salah satu media yang banyak digunakan dalam komunikasi. Tanpa bahasa, komunikasi tidak akan terwujud.Tanpa bahasa,media komunikasi, seperti media cetak (koran dan majalah) dan media elektronik (radio, televisi dan interned) tidak akan berarti. Bahasa danmedia komunikasisaling berkaitan, karena sama-sama berfungsi untuk memproduksi informasi secara luas. Bahasa memiliki sifat yang dinamis dan fleksibel, sehingga selalu berkembang sesuai kebutuhan masyarakat pemakainya. Masyarakat pemakai bahasa secara sosial mulai dari anak-anak, remaja, sampai orang tua, memiliki variasi sendiri-sendiri. Variasi bahasaanak-anak, dan remaja pada umumnya menggunakan bahasa gaul, sesuai dengan tingkat pendidikan dan lingkungannya. Begitu juga orang tua pada umumnya menggunakan bahasa sesuai kebutuhan untuk mendidik dan sesuai dengan apa yang diharapkan lingkungannya. Dalam kehidupan sehari-hari variasi bahasa yang umum digunakan adalah bahasa lisan dan bahasa tulis. Bahasa lisan adalah bahasa yang penyampaiannya dilakukan dengan jalan berbicara, sedang yang menerimanya dengan jalan pendengarkan. Bahasa tulis bahasa yang penyampaiannya dilakukan dengan jalan menulis atau mengarang, sedang yang menerimanya dengan jalan membaca. Kedua variasi ini digunakan sesuai kebutuhan serta situasi dan kondisi.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 123
Sedangkan dalam komunikasi memiliki dua variasi yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Komunikasi verbal dilakukandengan menggunakan kata-kata dalam kalimat dan dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.Secara langsung dapat dilakukan ketika berbicara di depan umum, seperti berpidato, atau ketika memberi nasihat pada anak. Secara tidak langsung dapat dilakukan ketika menulis surat atau mengarang. Komunikasi nonverbal dilakukan tanpa kata-kata secaralangsung melalui tanda, lambang atau isyarat, sepertimemberi bunga, memberi coklat, cibiran bibir, kerlingan mata, lambaiann tangan, angkat jempol,angkat tangan dan gandeng tangan. Komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal, digunakan secara bersama-sama sebagai media pendidikan, namun disesuaikan dengan situasi dan kondisi di mana komunikasi sedang berlangsung. Misalnya komunikasi antara pendidik dengan remaja. Kedua variasi komunikasi tersebut harus digunakan secara bersama-sama, karena kalau hanya komunikasi verbal saja, biasanya masuk telinga kanan ke luar telinga kiri. Namun kalau diikuti dengan komunikasi nonverbal remaja akan lebih memahami dan mengerti apa yang dimaksud dengan komunikasi tersebut.Sehingga remaja menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas, dan memiliki Attitude positif.Apabila remaja memiliki attitude yang positif, maka dia dapat memilih dan memilah, mana yang baik dan benar, serta mana yang jelek dan salah, dalam menghadapi laju perkembangan teknologi dan arus gelombang kehidupan global yang sulit atau tidak mungkin untuk dibendung. Berdasarkan paparan di atas, tulisan ini diberi judul Peranan Bahasa dan Attitude Remaja di Zaman Modern .Tujuan penulisan ini ada dua yaitu 1) ingin mendeskripsikan peranan bahasa di zaman modern, 2) ingin mendeskripsikan attitude remajadi zaman modern. Berdasarkan tujuan tersebut penulis berharap penelitian ini dapat dipakai sebagai tambahan wawasan bagi pemabaca bahwa bahasa memiliki peranan penting dalam membentuk dan mengubah attitude remaja.Serta dapat membantu remaja dalam
memilih dan memilah yang baik dan benar untuk dijadikan pedoman atau tauladan, sehingga pengaruh dari faktor luar yang negatif dapat dihindari.Penelitian ini merupakan penelitian teoritis yang berwujud deskriptif kualitatif, berdasarkan bukubuku, literatur yang penulis baca,serta pengamatan terhadap lingkungan sosial yang sedang bergejolak di masyarakat. PEMBAHASAN Di zaman modern ini, peranan bahasa sebagai media untuk pendidik remajasangat penting. Lajunya perkembangan teknologi dan arus gelombang kehidupan global yang sulit atau tidak mungkin untuk dibendung akan mempengaruhi attitude remaja. Apabila bahasa yang digunakan untuk membentuk attitude remaja kurang baik, maka hasilnya terhadap attitude remaja kurang baik.Apabila bahasa yang digunakan untuk membentuk attitude remaja baik, maka hasilnya terhadap attitude remaja juga baik. Selain itu, lingkungan sosial juga dapat mempengaruhi penggunakan bahasa dan attitude remaja. Bila lingkungan sosial dalam menggunakan bahasa kurang baik, maka pengaruhnya terhadap attitude remaja juga kurang baik dalam arti negatif.Bila lingkungan sosial dalam menggunakan bahasa baik, maka pengaruh terhadap attitude remaja juga baik dalam arti positif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada paparan di bawah ini. Peranan Bahasa di Zaman Modern 124 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Kebutuhan pokok dalam berkomunikasi adalah bahasa. Bahasa adalah salah satu sistem yang menggabungkan unit-unit kecilmenjadi unit-unit lebih besar dengan tujuanuntuk komunikasi (Thomas dan Shan, 2007:8).Unit-unit kecil (fonem) menjadi unit-unit lebih besar kata (butir leksikal), kemudian menjadi struktur kalimat (Sintaksis) sesuai dengan aturan bahasa yang digunakan untuk komunikasi. Sehingga proses terbentuknya maksud atau makna yang terkandung dalam komunikasi dapat dipahami. Komunikasi menurut pendapat Roger (dalam Mulyana, 2000:62) adalahproses dimana suatu ide dialihkandari sumber kepada suatu penerima dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Menurut Raymond dengan sumber yang sama komunikasi adalah suatu proses menyortir, memilih, dan mengirim simol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respon dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksud komunikator. Sedangkan menurut Forsdale (dalam Muhammad, 2000:2)komunikasi adalah suatu proses memberikan signal menurut aturan tertentu, sehingga dengan cara ini suatu sistem dapat didirikan, dipelihara dan diubah. Dari ketiga pendapat tersebut dalam memberikan pengertian komunikasi diawali dengan kata proses, hanya penjabarannyayang berbeda. Untuk itu penulis mengambil dua pendapatyang dipakai sebagai acuan untuk pengertian komunikasi yaitu pendapat Raymond dan Forsdale. Karena pendapat Raymond dan Forsdale lebih umum dan lebih mudah untuk diterapkan. Kata simbol yang digunakan olehRaymond adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lain, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang.Misalnya memasang bendera di halaman depan rumah untuk menyatakan penghormatan atau kecintaan kepada negara. Simbol meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku (pesan nonverbal) dan objek yang maknanya sudah disepakati bersama. Misalnya kata hus diikuti dengan mengangkat jari telunjuk di depan hidung.Kata hus (kata larangan bahasa Jawa) verbalnya (pesan verbal), sedangkan mengangkat jari telunjuk di depan hidung perilakunya (pesan nonverbalnya), maksud pesan tidak boleh melaklukan sesuatu yang berkaitan dengan objek yang dituju. Kata signal yang digunakan oleh Forsdale dapat berwujud verbal dan nonverbal yang mempunyai aturan tertentu. Dengan adanya aturan orang yang menerima signal dan telah mengetahui aturannya dia dapat memahami maksud dari signal yang diterimanya. Bila orang yang menerima signal tidak tahu aturannya, dia tidak akan memahami maksud dari signal yang diterimanya. Hal ini disebabkan setiap bahasa mempunyai aturan tertentu baik bahasa lisan, bahasa tulisan maupun bahasa isyarat. Bila orang yang mengirim signal menggunakan bahasa yang sama dengan orang yang menerima, maka sipenerima akan dapat memahami maksud dari signal tersebut, tetapi kalau tidak, mungkin tidak dapat memahami maksudnya. Komunikasi ditinjau dari sudut pemakaiannya ada dua yaitu verbal dan nonverbal.Komunikasi verbal adalah bentuk komunikasi yang di sampaikan komunikator kepada komunikan dengan cara tertulis (written) atau lisan (oral). Komunikasi verbal tulis dilakukan dengan cara tidak langsung,karena komunikator penyampaian informasi kepada komunikan dengan menggunakan media, seperti: surat, grafik, dan gambar.Komunikasi verbal lisan dapat dilakukan dengan cara langsung, karena komunikator penyampaian informasi kepada komunikan dengan menggunakan media kata-kata secara lisan atau berbicara, dengan tatap muka. Misalnya: orang tua memberi nasihat pada anak, memberi ceramah di Masjid dan memberi kuliah di Kampus. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 125
Komunikasi nonverbal adalah bentuk komunikasi yang di sampaikan secara langsung tanpa kata-kata oleh komunikator kepada komunikan, namun melalui pemberi tanda, isyarat, ekspresi wajah, simbol-simbol, warna dan intonasi suara.Contoh: orang yang sedang marah ekspresi wajahnya menakutkan dan berwarna merah, simbol-simbol kata yang digunakan mengandung makna yang negatif, serta intonasi suaranya tinggi. Komunikasi nonverbal dapat dilakukan dengan cara sentuhan seperti: berjabat tangan, berciuman, pukulan, cubitan dan gandengan tangan. Dengan cara gerakan tubuh yang disebut kenesik seperti: kerlingan mata, cibiran mulut, dan kerutan dahi. Dengan cara melalui ucapan atau vokalik seperti: nada bicara, nada suara, keras lembutnya suara, kualitas suara dan intonasi suara. Komunikasi verbal dan nonverbal sama-sama memiliki peranan penting dalam menyampaikanide-ide, dan pemikiran-pemikiran.Komunikasi verbal tidak diikuti dengan komunikasi nonverbal penyampaian pesan tidak akan dipahami atau dimengerti oleh komunikan.Komunikasi yang hanya melalui kata-kata atau kalimatkalimat, tidak diikuti dengan tanda-tanda,isyarat, dan ekspresi wajah, maka penyampaianpesan tidak akan mudah dipahami. Walaupun kedua komunikasi tersebut memiliki fungsi sendiri-sendiri, namun keduanya berfungsi untuk menyampaikan pesan. Fungsi komunikasi verbal terdiri dari: 1) untuk mengartikulasikan apa yang dipikirkan dan dirasakan, 2) untuk membina hubungan yang baik diantara sesama manusia, 3) untuk mempelajari dunia sekelilingnya, 4) untuk menciptakan ikatanikatan dalam kehidupan manusia. Fungsi komunikasi nonverbaladalah metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi dan memberi informasi tambahan untuk memperjelas maksud dan makna pesan (Mulyana, 2000:5). Selain bahasa sebagai alat yang penting untuk komunikasi, bahasa juga dapat diggunakan secara referensial, dan secara estetik. Secarareferensial bahasa digunakan untuk menyampaikan informasi yang sesuai dengan refensinya. Contoh: pada kalimat Letakkan bunga-bunga itudi atas meja. Kalimat ini dapat dikatakan referensial karena memberikan informasi tentang apa yang hendak ditaruh (bunga) dan di mana harus di letakkan (meja). Secaraestetik bahasa digunakan untuk menyampaikan informasi yang berkaitan dengan keindahan. Keindahan bahasa pada umumnya digunakan dalam karya sastra, dan dalam bahasa sehari-hari untukmembujuk atau merayu. Bahasa yang berfungsi untukmembujuk atau merayu harus diwaspadai pada zaman modern ini. Sebab banyak jalan menuju roma untuk menghasilkan sesuatu yang tidak halal untuk kesenangan sesaat. Misalnya membujuk atau merayu anak di bawah umur dengan memberi sejumlah uang untuk digauli. Atau untuk membujuk dan merayu pacar akan dinikahi asalkan mau disetubuhi. Dan masih banyak lagi peristiwaperistiwa yang membuat anak atau remaja menjadi putus sekolah karena bujukan dan rayuan yang merugikan serta menyesatkan. Untuk itu, bahasa sebagai media komunikasi dalam mendidik anak atau remaja harus yang mudah dipahami dan dimengerti apa maksud pesan yang disampaikan. Apabila pesan yang disampaikan dapat dipahami dan dimengerti oleh anak atau remaja, maka mereka dapat menghadapi tantangan hidup yang semakin hari semakin menglobal. Remaja yang ingin maju, mau tidak mauharus mampu menghadapi tantangan hidup yang sedang dan yang akan datang, sesuai dengan zaman modern yang terus menghadang.Tantangan kehidupan sangat bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi ketahanan individu itu sendiri. Hal ini senada dengan pendapat Andersen 126 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
(dalam Asrori, 2007:119) yang mengatakan situasi kehidupan dapat menyebabkan manusia menjadi serba bingung atau bahkan larut ke dalam situasi baru tanpa dapat menyeleksi lagi, jika tidak memiliki ketahanan hidup yang memadai, karena tata nilai lama yang telah mapan ditantang oleh nilai-nilai baru yang belum banyak dipahami.Oleh sebab itu, ketahanan remaja dalam kehidupan sehari-hari harus kuat, agar menjadi remaja yang memiliki akhlak mulia, bermoral, dan berbudi luhur. Apabila kurang kuat, remaja akan ikut arus global yang kurang baik atau negatif dan kurang memilikiakhlak mulia, bermoral, dan berbudi luhur. Untuk menjadikan remaja yang bermartabat, membutuhkan komunikasi yang tepat. Komunikasi yang tepat adalah komunikasi yang menggabungkan antara verbal dan nonverbal. Sebab kalau hanya komunikasi verbal tanpa komunikasi nonverbal, remaja kurang paham untuk menginterpretasikan makna yang terkandung dalam pesan yang di sampaikan. Komunikasi dengan remaja tidak cukup menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat, tetapi juga membutuhkan sentuhan-sentuhan, gerakan-gerakan tubuh yang halus dengan penuh kasih sayang, namun yang masuk akal secara logika.Bahasa untuk pendidik dan membimbing remaja, harus yang baik dan benar sesuai dengan situasi dan kondisi penggunaannya. Agar menghasilkan remaja yang berkualitas dan bermartabat. Serta menjadi remaja yang mampu meminimalisasi pengaruh negatif dari perkembangan teknologi dan arus gelombang kehidupan global yang semakin tidak menentu. Attitude Remaja Di Zaman Modern Di zaman modern yang terus berkembang, hampir setiap hari, berita-berita yang ditulis di media cetak surat kabar, dan berita-berita yang disiarkan melalui media elektronik, seperti radio, televisi dan interned tentang nasib buruk remaja. Untuk itu, orang tua harus ekstra hati-hati dalam mendidik, membimning dan mengawasi anak remajanya. Agar tidak menjadi bahan berita yang negatif di media massa.Remaja membutuhkan perhatian orang tua, karena remaja masih dalam masa transisi, yang berarti bukan anak-anak dan bukan dewasa, sehingga masih labil menentukan masa depannya. Menurut Sarwono (2002:24) Masa remaja adalah masa topan-badai yang mencerminkan kebudayaan modern yang penuh gejolak akibat pertentangan nilai-nilai. Kehidupan remaja di zaman modern sudah tampak pada berbagai fenomena yang sulit di atasi, walaupun begitu perhatian dari orang tua dan pendidik sangat diperlukan. Fenomena remaja yang tampak akhir-akhir ini adalah fenomea yang negatif. Seperti: perkelaian antarpelajar, penyalahguan obat dan alkohol, reaksi emosional yang berlebihan, dan berbagai perilaku yang mengarah pada perkosaan serta tindak kriminal, narkoba yang hampir tiap hari diberitakan. Problem remaja di atas, merupakan perilaku-perilaku reaktif yang akan meresahkan orang tua dan masa depan remaja dalam menghadapi tantangan kehidupan. Untuk itu, orang tuaperlu mempersiapkananak remajanya untuk menghadapi tantangan kehidupan yang lebih komplek ke depan. Menurut Tilaar (dalam Asrori, 2007:119) tantangan kompleksitas masa depan memberikan dua alternatif yaitu pasrah pada nasib atau mempersiapkan diri sebaik mungkin. Kedua alternatif tersebut yang berpotensi mengarah pada perkembangan positif remaja adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dalam hal ini, remaja membutuhkan pendidikan dan bimbingan, agar remaja berkembang ke arah yang positif, inovatif dan produktif, sesuai dengan kemampuannya. Senada dengan pendapat Gessel (dalam Sarwono, 2002:29) yang mengatakan mendidik anak harus sesuai dengan tahap perkembangan Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 127
alamiahnya, bahkan berdasarkan apa yang seharusnya mereka pelajari. Jadi mendidik remaja harus hati-hati berorientasi ke depan, agar attitude remaja tidak terpengaruh dengan hal-hal yang negatif. Attitude adalah sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal.Attitude senantiasa terarah terhadap suatu hal atau objek. Tidak ada Attitude tanpa objek (Gerungan, 2002:149). Misalnya: untuk seorang remaja muslim yang sungguhsungguh bahwa makanan yang mengandung babi haram, tidak disukai atau dianggap kotor. Ketika ia memakan sesuatu ternyata mengandung unsur babi, ia akan berusaha memutahkan keluar. Memutahkan itu Sikapnya dan daging babi objeknya. Peranan attitude di dalam kehidupan remaja sangat besar, sebab apabila attitude sudah dibentuk pada diri remaja, maka attitude itu akan turut menentukan cara-cara tingkah laku yang khas terhadap objek-objek attitude-nya. Misalnya attitude remaja negatif maka cara-cara bertingkah laku juga negatif terhadap objek yang dituju. Apabila attitude remaja positif maka cara-cara bertingkah laku juga positif terhadap objek yang dituju. Untuk itu, attitude remaja harus positif agar dalam menghadapi tantangan hidup juga positif. Attitude dibedakan menjadi dua yaitu attitude sosial dan attitude individual. Attitude sosial adalah cara-cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap objek sosial. Attitude sosial tidak dilakukan oleh seseorang namun dilakukan oleh sekelompak masyarakat tertentu. Attitude individual adalah cara-cara kegiatan yang dilakukan berulang-ulang terhadap objek secara individu (Gerungan, 2002:150).Dari kedua jenis attitude tersebut yang ada kaitannya dengan kajian ini adalah attitude sosial, khususnya sosial remaja. Kehidupan sosial remaja di zaman modern ini, banyak mengimitasi dari senetron dan film yang ditayangkan melalui layar lebar, layar kaca, dan interned.Attitude remaja tidak dibawa sejak lahir, sehingga attitude remaja dapat dibentuk dan diubah melalui media layar lebar, layar kaca, dan interned. Ciri-ciri attitude ada beberapa yaitu 1) attitude tidak di bawah dari lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan manusia dalam hubungannya dengan objek, 2) attitude dapat berubah-ubah, karena dapat dipelajari, 3)attitude tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mengandung relasi tertentu terhadap suatu objek, 4) attitude dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi juga dapat merupakan kumpulan objek, 5) attitude mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan (Gerungan, 2002:152). Berdasarkan ciri-ciri attitude di atas, maka attitude remaja bukan dibawa dari lahir, tetapi dibentuk dan diubah oleh objek yang berasal dari faktor ekstern (luar) dan faktor intern (dalam).Interaksi yang berasal dari faktor ekstern dan faktor intern dapat mengubah attitude yang negatif menjadi positif atau sebaliknya attitude yang sudah positif berubah menjadi negatif. Atau bahkan dapat membentuk attitude yang benarbenar baru, yang sebelumnya belum dimiliki. Interaksi ekstern (diluar) ialah interaksi dari hasil buah kebudayaan manusia melalui alat-alat komunikasi seperti surat kabar, radio, televesi, buku, dan risalah. Sedangkan interaksi intern (di dalam diri pribadi) adalah interaksi selektivitas sendiri, daya pilihansendiri, atau minat sendiriuntuk menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar dirinya. Dari kedua faktor tersebut yang memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan dan perubahan attitude remaja adalah faktor eksternal seperti surat kabar, televesi dan interned. Karena media massa tersebut menggunakan bahasa yang relatif mudah dipahami dalam menyampaikan pesan, sehingga untuk membentuk dan mengubah attitude remaja juga mudah. Misalnya berita-berita yang ditulis dalam surat kabar 128 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
maupun berita-berita yang disiarkan melalui televisi dan interned, baik yang berita negatif maupun berita positif dapat mempengaruhi attitude remaja. Berita negatif akan mempengaruhi attitude negatif. Berita positif akan mempengaruhi attitude positif. Contoh berita kriminal, pencurian sepeda motor. Attitude negatif akan mengikuti bagaimana cara-cara yang dipakai untuk mencuri sepeda motor. Attitude positif akan mengapresiasi mengapa menjadi pencuri sepeda motor? Atau bahkan mengutuk pencurian sepeda motor.Contoh lain attitude positif. Apabila anak tidak suka dengan pernikahan dini, maka ketika orang tuanya mau menikahkannya, dia akan menolak sekuat kemampuannya untuk tidak menerima. Sedangkan contoh attitude negatif., Anak tidak kuasa menolak permintaan orang tuanya, untuk menikah dini, walaupun sebenarnya dia tidak suka pada pernikahan dini. Berita-berita yang ditulis dalam surat kabar maupun berita-berita yang disiarkan melalui televisi dan interned sangat variatif. Terutama peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang sangat menyayat hati para orang tua. Misalnya tentang pelecehan seksual. Ada satu remaja putri yang diperkosa delapan remaja. Ada seorang guru yang memperkosa muridnya yang masih dibawa umur. Ada bapak-bapak tetangga meperkosa anak remaja tetangga. Ada bapak kandung yang menghamili anak remaja kandungnya. Bahkan pelecahan-pelecehan seksual juga terjadi pada anak dibawah umur. Berita-berita tersebut menunjukan bahwa sebagian dari remaja belum mempunyai attitude yang positif, sehingga mudah terpengaruh hal-hal yang negatif. Latar belakang terjadinya peristiwa-pertiwa tersebut karena banyak tayangan televisi dan interned yang menyajikan film-film pornografi yang tidak layak ditonton, khususnya oleh remaja yang masih labil dalam menentukan attitudenya dan masihberada pada fase krisis identitas. Untuk itu, orang tua sebagai pendidik wajibmemantau perkembanganattitude, moral dan kepribadian anak, agar tidak terkontaminasi dengan lingkungan sosial yang kurang baik. Sebab lingkungan sosial yang kurang baik lebih cepat mempengaruhi perkembangan attitude, moral dan kepribadian anak, bila dibandingkan dengan lingkungan sosial yang baik.Dengan memantau perkembanganattitude, moral dan kepribadian anak, orangtua dapat mengetahui mana pengaruh yang positif dan mana yang negatif. Mana yang membutuhkan nasihat, mana yang tidak. Namun secara alamiah tugas orang tua wajib memberi nasihat atau petuah, agar anak dapat memilih dan memilah mana pengaruh yang baik dan pengaruh yang buruk,yang ada di lingkungannyauntuk menyosog masa depan dengan lebih mantap. Lingkungan sosial remaja ada yang harmonis dan ada yang kacau balau. Lingkungan sosial remaja yang harmonis memiliki pengaruh positif dalam perkembanganattitude,moral dan kepribadian remaja. Remaja memerlukan teladan tentang norma-norma yang tepat untuk diidentifikasi. Perwujudan norma-norma yang tepat tentunya menuntut orang tua sebagai pelopor norma, karena orang tua merupakan pendididk yang pertama dan utama dalam perkembangan anak sebagai manusia sosial yang berkualitas.Orang tua tempat mengimitasi dan mengidentifikasi diri remaja. Selain itu, orang tua memegang peranan utama bagi remaja dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan bantuan orang tua anak remaja akanmenjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas dan bermartabat dalam lingkungannya.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 129
SIMPULAN Di zaman modern yang penuh tantangan hidup, membutuhkan komunikasi yang tepat. Komunikasi yang tepat adalah komunikasi yang menggabungkan antara verbal dan nonverbal. Sebab kalau hanya komunikasi verbal tanpa komunikasi nonverbal, remaja kurang paham untuk menginterpretasikan makna yang terkandung dalam pesan yang di sampaikan. Komunikasi dengan remaja tidak cukup menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat, tetapi juga membutuhkan sentuhan-sentuhan, gerakan-gerakan tubuh yang halus dengan penuh kasih sayang, namun masuk akal secara logika.Bahasa untuk pendidik dan membimbing remaja, harus yang baik dan benar sesuai dengan situasi dan kondisi penggunaannya. Attitude adalah sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal.Attitude senantiasa terarah terhadap suatu hal atau objek. Tidak ada Attitude tanpa objek. Misalnya: untuk seorang remaja muslim yang sungguh-sungguh bahwa makanan yang mengandung babi haram, tidak disukai atau dianggap kotor. Ketika ia memakan sesuatu ternyata mengandung unsur babi, ia akan berusaha memutahkan keluar. Memutahkan itu Sikapnya dan daging babi objeknya. Peranan attitude di dalam kehidupan manusia besar, sebab apabila sudah dibentuk pada diri manusia, maka attitude itu akan turut menentukan cara-cara tingkah laku yang khas terhadap objek-objek attitude-nya. Attitude dibedakan menjadi dua yaitu attitude sosial dan attitude individual. Attitude sosial adalah cara-cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap objek sosial. Attitude sosial tidak dilakukan oleh seseorang namun dilakukan oleh sekelompak masyarakat tertentu. Attitude individual adalah cara-cara kegiatan yang dilakukan berulang-ulang terhadap objek secara individu (Gerungan, 2002:150) Remaja masihberada pada fase krisis identitas. Untuk itu, orang tua sebagai pendidik wajib memantau perkembangan attitude, moral dan kepribadian anak, agar tidak terkontaminasi dengan lingkungan sosial yang kurang baik. Sebab lingkungan sosial yang kurang baik lebih cepat mempengaruhi perkembangan attitude, moral dan kepribadian anak, bila dibandingkan dengan lingkungan sosial yang baik. Dengan memantau perkembanganattitude, moral dan kepribadian anak, orangtua dapat memberi nasihat atau petuah agar anak dapat memilih dan memilah mana pengaruh yang baik dan mana pengaruh yang buruk. DAFTAR PUSTAKA Asrori, Mohammad. 2007. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima. Gerungan. 2002. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama. Muhammad, Arni. 2000. Komunikasi Organesasi. Jakarta: Bumi Aksara. Mulyana, Deddy. 2000.Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung:PT Remaja Rosdakarya. Mustari,Mohamad. 2011. Nilai Karakter (refleksi untuk pendidikan karakter). Yogyakarta: Laksbang Presindo. Rahardi, Kunjana. 2006. Bahasa Kaya, Bahasa Berwibawa. Yogyakarta: Andi Offset. Panuju, Redi. 1997. Sistem Komunikasi Indonesia. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Sarwono, Sarlito Wirawan.2002. Psikologi Remaja.Jakarta: PT Raja Grafendo Persada. Thomas, Linda dan Shan Wareing, 2007. Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan. Malang: Pustaka Pelajar.
130 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
MANAJEMEN GERAKAN LITERASI DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SEBAGAI UPAYA MENCETAK GENERASI MASA DEPAN PRODUKTIF Afry Adi Chandra SMK Negeri 1 Udanawu, Jalan Raya Slemanan, Blitar 66154 Pos-el.
[email protected]
ABSTRAK Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan salah satu cara yang dicetuskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menjawab perkembangan arus zaman. Gerakan yang berakar dari Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 ini diharapkan dapat membentuk generasi muda Indonesia yang berkarakter.Gagasan bersifat deskriptif ini bertujuan untuk memberikan solusi alternatif dalam memanajemen GLS utamanya di lingkup SMK.Temuan pengamatan (di instansi penulis) menunjukkan bahwa pihak sekolah belum maksimal dalam mengapresiasi Gerakan Literasi Sekolah.Padahal gerakan semacam ini memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membangun minat baca, produktivitas, maupun tingkat kepekaan siswa terhadap fenomena yang terjadi di masyarakatnya. Wujud gagasan apresiasi pihak sekolah terhadap GLS antara lain; memajang karya kreatif siswa pada majalah dinding sekolah; memberi penghargaan terhadap karya siswa terbaik (dalam bentuk kategori-kategori); penyediaan bahan bacaan di berbagai sudut sekolah baik untuk guru maupun siswa (majalah, komik, jurnal, tabloid, dan bahan bacaan yang mengandung unsur pendidikan); serta memanfaatkan laman sekolah sebagai wadah untuk menampilkan hasil karya siswa dalam melaksanakan kegiatan literasi, agar dapat diapresiasi oleh orang tua pun masyarakat. Berbagai macam solusi tersebut diharapkan menjadi penggerak terhadap berjalannya Gerakan Literasi Sekolah. Pada akhirnya, gerakan ini akan melahirkan iklim literasi yang kuat di lingkungan sekolah, utamanya sekolah menengah kejuruan. Kata kunci: manajemen, Gerakan Literasi Sekolah, sekolah menengah kejuruan, generasi produktif
PENDAHULUAN Literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan menulis dan membaca, budaya literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berfikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca, menulis yang pada akhirnya apa yang dilakukan dalam sebuah proses kegiatan tersebut akan menciptakan karya (Haryanti: 2015). Literasi menjadi bagian penting dalam menghadapi arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dengan sangat cepat.Perkembangan tersebut juga akan berpengaruh terhadap perubahan sosial. Perubahan sosial dipandang sebagai sebuah konsep yang serba mencakup, yang menunjuk kepada perubahan fenomena sosial, diberbagai tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual hingga tingkat dunia (Lauer, 2003: 5).Seiring perkembangan tersebut, konsep berliterasi juga semakin meluas.Tak hanya ihwal membaca kemudian menulis.Kini literasi telah berkembang mencakup kedalam berbagai aktivitas antara lain membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, dan melihat.Literasi menjadi tulang punggung dalam kemajuan suatu bangsa.Meningkatnya kemampuan masyarakat dalam berliterasi dapat menjadi kunci Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 131
penting kenaikan kualitas sumber daya manusia. Pribadi yang unggul akan menciptakan karakter yang berwawasan luas, berpikir kreatif, kritis, produktif, pun bertanggung jawab. Merujuk dari pada Panduan Gerakan Literasi Sekolah di SMK yang diterbitkan pada tahun 2016, berdasarkan uji literasi membaca dalam PISA (Programme International Student Assesment) 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496). Sebanyak 65 negara berpartisipasi dalam PISA 2012 ini.Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa kemampuan peserta didik Indonesia dalam berliterasi sangat rendah.Maka dari itu, kegiatan literasi harus menjadi sikap pembiasan, utamanya di lingkungan sekolah.Sikap adalah potensi pendorong yang ada dalam jiwa individu untuk berekasi terhadap lingkungannya beserta segala hal yang ada di dalam lingkungannya itu (Koentjaraningrat, 2002: 388). Salah satu program yang berkaitan erat dengan kegiatan literasi adalah Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Gerakan ini merupakan salah satu cara yang dicetuskan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menjawab perkembangan arus zaman. Melalui Gerakan Literasi Sekolah diharapkan dapat membentuk generasi muda Indonesia menjadi pribadi yang berwawasan luas, berpikir kreatif, kritis, produktif, serta bertanggung jawab dalam mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Menurut Buku Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (2016), pengertian literasi dalam konteks Gerakan Literasi Sekolah adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara. Definisi literasi seiring perkembangan zaman semakin meluas. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang “Penumbuhan Budi Pekerti” mengamanatkan pelaksanaan kegiatan pembiasaan baik harian, mingguan, bulanan maupun semesteran. Salah satu pembiasaan yang harus dilakukan adalah menggunakan 15 menit sebelum waktu pembelajaran untuk membaca buku selain buku pelajaran.Gerakan ini telah banyak dilaksanakan dari mulai satuan pendidikan dasar sampai menengah.Bahkan, panduan mengenai pelaksanaan di lapangan pun telah disusun dengan baik.Tujuan umum dari Gerakan Literasi Sekolah ini adalah menciptakan generasi yang memiliki budi pekerti baik, menjadi pembelajar sepanjang hayat, dan produktif. Pada akhirnya akan mencetak generasi masa depan yang berkualitas pun produktif guna kemajuan bangsa di masa mendatang. Dibalik digagasnya Gerakan Literasi Sekolah, terdapat banyak manfaat yang akan dirasakan langsung oleh peserta didik, maupun pihak lain. Dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, kemudahan akses informasi menjadi hal yang bermanfaat bagi perkembangan pengetahuan peserta didik. Keuntungan tersebut harus dimanfaatkan dengan baik oleh pihak pemangku kepentingan pendidikan, kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, orang tua, pun masyarakat. Perkembangan arus teknologi informasi bisa menjadi salah satu terobosan dalam membangun jiwa literat di kalangan peserta didik.Dengan dilaksanakannya Gerakan Literasi Sekolah dapat membentuk kepribadian peserta didik dalam membudayakan kegiatan berliterasi.Menurut Friedman dan Schustack (2008: 22), kepribadian sebagian berasal dari dalam diri dan sebagaian ditentukan budaya.Akan tetapi, semua harus tetap didasarkan atas normadan kemampuan yang disesuaikan dengan perkembangan pribadi peserta didik. Keunggulan tersebut jangan malah menjadi ‘bumerang’ yang justru akan menghambat perkembangannya. Kegiatan berliterasi di sekolah dapat dikembangkan melalui media cetak, visual, maupun digital.Seiring dengan 132 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
perkembangan zaman, kegiatan berliterasi juga semakin berkembang. Aktivitas Gerakan Literasi Sekolah akan berjalan dengan baik, apabila tidak hanya dibebankan kepada peserta didik saja. Pemangku kepentingan pendidikan, kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat harus ikut berperan didalamnya. Meskipun telahdisosialisasikan dan diterbitkan buku panduan yang mempermudah dalam penerapan Gerakan Literasi Sekolah, namun pada kenyataannya masih ada sekolah, utamanya sekolah menengah kejuruan (instansi penulis) yang belum melaksanakan gerakan ini dengan maksimal.Pelaksanaan teknis di lapangan yang belum jelas, rendahnya apresiasi pihak sekolah terhadap karya siswa, maupun penyediaan fasilitas penunjang kegiatan berliterasi masih menjadi beberapa kendala penerapan gerakan yang amat positif ini.Pihak satuan pendidikan, utamanya kepala sekolah yang menggandeng semua warga sekolah sudah seharusnya membina dan membuat kebijakan yang memang benar-benar menghidupkan Gerakan Literasi Sekolah.Melalui kerangka berpikir yang tepat dan disesuaikan dengan kondisi sekolah, kepala sekolah dapat berpikir untuk memutuskan solusi tepat guna dalam menghadapi kendala pelaksanaan GLS.Berpikir dilakukan untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan, memecahkan persoalan, dan menghasilkan yang baru (Rakhmat, 2004: 68).Amat disayangkan, apabila gerakan yang berdampak positif bagi perkembangan kualitas sumber daya manusia ini masih dijalankan dengan ‘setengah hati’. Guna membangun budaya literasi yang kuat di lingkungan sekolah menengah kejuruan dan untuk membentuk generasi masa depan yang produktif,dalam pelaksanaannya Gerakan Literasi Sekolah memerlukan manajemen yang baik dan benar. Solusi alternatif ini diharapkan dapat membawa kebaikan antara pemangku kepentingan pendidikan, kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, siswa, orang tua, serta masyarakat dalam penerapan Gerakan Literasi Sekolah yang mantap. Temuan pengamatan ( di instansi penulis) menunjukkan bahwa pihak sekolah belum maksimal dalam mengapresiasi Gerakan Literasi Sekolah. Padahal gerakan semacam ini memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membangun minat baca, produktivitas, maupun tingkat kepekaan siswa terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakatnya. Karena ini berkaitan dengan penerapan Gerakan Literasi Sekolah pada sekolah menengah kejuruan, maka pembahasan lebih mengedepankan padaaspek pembentukan generasi masa depan yang produktif. PEMBAHASAN Manajemen Gerakan Literasi Sekolah sebagai Upaya Membentuk Generasi Masa Depan Produktif Gerakan Literasi Sekolah berakar dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015. Inti dari gerakan ini adalah Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) yang didalamnya terdapat tujuh poin penting tentang kegiatan pembiasaan meliputi (1) menumbuhkembangkan nilai-nilai moral dan spiritual; (2) menumbuhkembangkan nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan; (3) mengembangkan interaksi positif antara peserta didik dengan guru dan orang tua; (4) mengembangkan interaksi positif antar peserta didik; (5) merawat diri dan lingkungan sekolah; (6) mengembangkan potensi diri peserta didik secara utuh; serta (7) melibatkan orangtua dan masyarakat di sekolah (Permendikbud No. 23 Tahun 2015). Karena pembahasan berkaitan dengan kegiatan literasi, maka kegiatan pembiasaan yang akan didalami adalah tentang “Mengembangkan potensi diri peserta didik secara utuh”. Salah Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 133
satu wujud nyata implementasi dari kegiatan wajib pada bagian tersebut adalah membaca 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata pelajaran (setiap hari).Pada dasarnya Gerakan Literasi Sekolah merupakan penerapan dari salah satu poin dalam Permendikbud Nomer 23 Tahun 2015 tersebut. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik, begitulah definisi GLS menurut Buku Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (2016).Berangkat dari definisi tersebut, mengindikasikan bahwa Gerakan Literasi Sekolah merupakan program yang dijalankan secara bersama. Pemangku kepentingan pendidikan, kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, siswa, orang tua maupun masyarakat bersinergi guna mewujudkan Gerakan Literasi Sekolah yang mantap, utamanya di lingkup sekolah menengah kejuruan. Pada nyatanya (terutama di sekolah menengah kejuruan tempat penulis), sinergitas yang harusnya terwujud mulai kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, siswa , orang tua, dan masyarakat belum tampak secara nyata. Selama ini yang terjadi di lapangan, Gerakan Literasi Sekolah hanya ‘dibebankan’ kepada peserta didik saja.Peran guru, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat kurang begitu dilibatkan.Padahal komponen tersebut dapat menjadi unsur penting dalam membangun/memanajamen lingkungan literasi yang kuat dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Permasalahan teknis terkait penerapan di lapangan Gerakan Literasi Sekolah masih banyak terjadi.Diperlukan beberapa solusi alternatif yang dapat membantu pelaksanaan gerakan ini. Pertama, membuat “penjadwalan” dalam pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah. Maksud penjadwalan disini adalah pembuatan jadwal mingguan berkaitan dengan tema kegiatan literasi yang akan dilaksanakan. Alasan dibuatnya penjadwalan dengan sistem mingguan, agar suatu tema yang sedang didalami/dipelajari oleh peserta didik melalui kegiatan literasi dapat dikuasi dengan baik.Memang dalam kegiatan literasi, peserta didik dipersilakan untuk memilih bahan literasi yang disesuaikan dengan minat dan kemampuannya.Akan tetapi, lebih baik lagi jika dibuat penjadwalan.Tujuan sistem penjadwalan ini agar semua tema yang utamanya berkaitan dengan pelajaran di kelas dapat diliterasikan denganbaik oleh peserta didik.Jadi, tidak hanya tema tertentu saja yang dikuasai oleh peserta didik, melainkan keseluruhan tema yang berkaitan dengan pembelajaran di kelas dapat diserap dengan baik.Penjadwalan ini dapat dibuat dengan kesepakatan antara guru dengan siswa.Peran wali kelas sebagai guru yang paling dekat dengan siswa dalam kelas cukup penting.Contoh penerapan penjadwalan mingguan misalnya sebagai berikut. Tabel 1: Tema Literasi Mingguan Minggu keTema
Minggu ke-1 Bahasa/ Sastra/ Budaya (Muatan Lokal)
Minggu ke-2 Produktif/ Kewirausahaan (sesuai jurusan masing-masing)
Minggu ke-3 Pendidikan Agama/ Budi Pekerti/ Cinta Tanah Air (Nasionalisme)
Minggu ke-4 Penggunaan/ Pengembangan Teknologi Informasi
Pembuatan jadwal tersebut harus dipertimbangkan betul-betul antara guru dengan siswa.Dalam pelaksanaannya, masing-masing tema dapat dijabarkan sesuai 134 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
dengan keinginan dan kemampuan peserta didik.Karena produk dari berliterasi tidak hanya tentang menulis saja, kegiatan membuat komik, karikatur, video dokumenter, dan film pendek juga bisa menjadi hasil atau tindak lanjut dari kegiatan berliterasi. Karena sistem penjadwalan tema literasi dilakukan secara mingguan dan aktivitas Gerakan Literasi Sekolah dilakukan diawal kegiatan pembelajaran (15 menit sebelum pelajaran dimulai), akan ada kemungkinan guru pada jam pertama tersebut kurang menguasai bidang tema yang sedang diliterasikan. Maka dari itu, diperlukan semacam “buku petunjuk pelaksanaan”(Lampiran 2) yang membantu guru dalam membimbing kegiatan literasi di kelas.Buku petunjuk ini disusun dengan tujuan untuk membantu guru membimbing kegiatan literasi, agar utamanya guru yang kurang menguasai dengan tema literasi yang telah ditentukan dapat terus mengikuti tanpa harus kebingungan dalam mengembangkan. Karena salah satu prinsip dari kegiatan literasi adalah berkelanjutan, maka salah satu tujuan penerapan tema mingguan ini adalah menyukseskan poin “berkelanjutan”, agar peserta didik benar-benar menyesap pemahaman akan tema tersebut. Mengenai produk dari literasi, akan dievaluasi secara mendalam oleh guru yang kompeten dengan bidang tersebut, misalnya kegiatan membuat puisi dan karikatur yang diangkat dari ironi panggung perpolitikan, maka akan dievaluasi proses dan hasilnya oleh guru bahasa Indonesia yang kompeten dengan bidang tersebut.Pelukisan sebuah karikatur ada dua unsur, dua kenyataan yang harus ditampilkan, yaitu adanya satire (ironi) dan unsur distorsi (Sibarani, 2001: 11).Peserta didik juga harus memiliki “jurnal harian” (Lampiran 1) Gerakan Literasi Sekolah.Jurnal ini berfungsi untuk memantau perkembangan siswa dalam melaksanakan GLS setiap harinya.Setiap guru mata pelajaran di kelas memiliki tugas untuk mengevaluasi proses dan hasil sesuai dengan bidangnya masing-masing. Jadi, guru (mengajar pada jam pertama) yang kurang menguasai bidang tertentu tidak dibingungkan dengan kegiatan membimbing maupun mengevaluasi hasil karya dari proses literasi peserta didik. Pada bagian ini peran kepala sekolah dalam membina sangat mutlak diperlukan. Kepala sekolah sebagai ‘manajer’ dapat membentuk tim pelaksana Gerakan Literasi Sekolah. Peran tim ini adalah membantu kepala sekolah dalam membuat kebijakan tentang Gerakan Literasi Sekolah, memantau pelaksanaan literasi di sekolah, menyeleksi karya kreatif peserta didik, mengapresiasi karya-karya kreatif yang akan dipajang di mading maupun laman sekolah, menyusun acara peringatan hari besar nasional yang mengedepankan gerakan literasi, dan mengevaluasi pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah. Selain dibantu oleh guru yang kompeten dibidangnya dan tim pelaksana GLS yang dibentuk kepala sekolah. Kegiatan berkarya siswa dalam rangka berliterasi juga dapat dikembangkan dengan lebih lanjut melalui ekstrakurikuler yang ada di sekolah.Sinergitas antara guru yang kompeten dibidangnya, tim pelaksana GLS, serta kegiatan ekstrakurikuler sangat diperlukan. Ini menjadi kesempatan bagi peserta didik untuk mengembangkan lebih lanjut kemampuan yang dimiliki.Pihak sekolah memfasilitasi dengan sebaik mungkin bakat dan minat peserta didik dalam berkarya di kegiatan literasi sekaligus ‘memolesnya’ lebih baik lagi dalam kegiatan ekstrakuriler, misalkan seorang siswa berbakat dalam bidang pembuatan video dokumenter tentang “wifi dan dampaknya bagi masyarakat”, maka kemampuan ia dapat ‘dipoles’ lebih lanjut pada kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik. Kedua, kegiatan memajang karya kreatif peserta didik dari pelaksanaan GLS.Ini menjadi kesempatan bagi peserta didik untuk menampilkan karya-karya kreatifnya.Puisi, cerpen, komik, karikatur, resensi buku, opini, pantun, dan karya Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 135
kreatif lainnya yang bersifat cetak dapat ditampilkan di majalah dinding sekolah.Disetiap sudut sekolah disediakan ruang sebagai tempat memajang karya peserta didik.Ini merupakan salah satu bentuk apreasiasi pihak sekolah.Manfaat dari kegiatan apreasiasi dari pihak sekolah ini adalah menambah kepercayaan diri dan memotivasi peserta didik untuk produktif menciptakan karya-karya kreatif.Koridor sekolah, perpustakaan, papan informasi pada tempat ibadah, aula, kantin sekolah, laboratorium, ruang guru, dan sudut-sudut strategis lainnya bisa menjadi tempat untuk memajang karya peserta didik.Laman sekolah juga bisa menjadi salah satu tempat untuk memajang karya kreatif.Karya dalam bentuk digital bisa terwadahi dan ditampilkan di laman sekolah.Dengan pemanfaatan laman sekolah, masyarakat dapat turut andil dalam kegiatan mengapresiasi karya peserta didik.Karya yang dianggap paling baik berdasarkan kategori tertentu dapat dimuat pada laman sekolah ini.Pergantian secara berkala terhadap karya peserta didik yang ditampilkan di mading maupun laman sekolah juga diperlukan. Tujuannya, memberi kesempatan kepada peserta didik lain untuk lebih produktif menampilkan karya kreatifnya. Selain itu, tindak lanjut dari kegiatan tersebut yang juga dapat memotivasi produktivitas peserta didik dalam membuat karya adalah pengumpulan dan pendokumentasian dalam bentuk buku.Karya-karya berupa puisi, cerpen, resensi buku, opini, komik, karikatur, dan sebagainya dapat dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk buku. Kelak, kumpulan karya tersebut akan dipamerkan pada gelar karya yang diadakan oleh sekolah. Karya dalam bentuk digital dapat ditayangkan selama gelaran pameran karya ini.Pihak tim pelaksana GLS yang dibentuk kepala sekolah, mengkoordinir mekanisme pelaksanaannya. Kegiatan gelar karya seperti ini dapat menjadi ajang bagi sekolah untuk memamerkan sekaligus menginpirasi sekolah lain dalam menyukseskan GLS. Ini bisa menjadi motivasi lebih bagi para siswa untuk terus berkontribusi dalam Gerakan Literasi Sekolah. Ketiga, memberikan perhargaan kepada karya kreatif peserta didik.Kegiatan ini juga memiliki fungsi penting dalam menciptakan iklim literasi yang kuat di lingkungan sekolah.Pemberiaan penghargaan didasarkan atas kategori-kategori tertentu, misalnya karya opini terbaik dengan tema pendidikan anti korupsi mendapatkan hadiah berupa buku bacaan.Fungsi penghargaan ini sebagai motivasi bagi para peserta didik untuk terus produktif, inovatif, dan kreatif dalam melahirkan karya-karya hasil dari kegiatan literasi.Motivasi prestasi (achievement motivation) adalah sifat umum yang selalu ditunjukkan siswa diberbagai bidang (Ormrod, 2008: 109).Dalam pelaksanaannya, pemberian penghargaan ini dapat dilakukan oleh pihak sekolah ketika pelaksanaan upacara bendera hari senin.Pemberian penghargaan dapat dilakukan beberapa minggu setiap bulan atau beberapa bulan sekali.Wujud penghargaan bisa berupa buku bacaan maupun program khusus yang diberikan dari sekolah berupa kegiatan pelatihan yang tujuannya semakin meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berkreasi pada Gerakan Literasi Sekolah yang telah dilaksanakan. Pelaksanaan pelatihan ini ditangani oleh tim yang dibentuk oleh kepala sekolah. Pemberian hadiah juga dapat dilakukan pada saat peringatan hari-hari besar nasional. Hari sumpah pemuda, hari pramuka, hari kebangkitan nasional, hari kartini, hari anak, dan hari kemerdekaan Indonesia dapat menjadi ajang dihelatnya lomba yang bertemakan litersasi, misal lomba musikalisasi puisi, lomba menulis esai, lomba membuat poster, kompetisi teater, lomba membuat film pendek, pun perlombaan kreatif lainnya. Dalam pelaksanaannya, kepala sekolah dapat mengerahkan tim pelaksana GLS yang telah dibentuk. Guru maupun tenaga kependidikan yang 136 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
kompeten dapat dilibatkan kedalam keanggotannya. Ini menjadi momen yang baik bagi sekolah untuk melibatkan seluruh warganya turut ambil bagian dalam menyemarakan hari besar nasional yang penuh dengan muatan literasi. Keempat, pembuatan poster-poster bernada motivasi.Poster motivasi ini mengutamakan produktivitas dari karya kreatif peserta didik sendiri.Dengan dipajangnya karya mereka, secara tidak langsung dapat meningkatkan kepercayaan diri peserta didik dalam berkarya.Guru memberikan motivasi yang kuat kepada siswa, agar dapat saling mengingatkan siswa lain. Ketika siswa memiliki hubungan yang positif dan suportif dengan guru, mereka memiliki self efficacy yang lebih tinggi dan motivasi intrinsik yang lebih besar untuk belajar (Ormrod, 2008: 213).Pemasangan poster ini dapat diletakkan seluruh penjuru sekolah, terutama yang mudah diakses oleh peserta didik.Ruang kelas menjadi titik paling penting dalam kegiatan pemasangan poster motivasi berliterasi ini.Dalam menghasilkan karya berupa poster, peserta didik juga dapat memasukkan unsur kebudayaan lokal.Kalimat-kalimat yang dipergunakan mengandung unsur budaya kedaerahan, membuat poster dengan menggunakan pepatah-pepatah yang ada dalam bahasa Jawamisalnya, “Sepi ing pamrih rame ing gawe”.Makna dari pepatah tersebut adalah “dalam melaksanakan pekerjaan harus secara tulus dan ikhlas”. Dengan memasukkan unsur kearifan lokal, maka juga akan memberikan kontribusi lain, yaitu ikut melestarikan kebudayaan daerah yang menjadi salah satu karakter bangsa Indonesia. Ajaran yang luhur dari suatu kebudayaan dapat memberi dampak terhadap kepribadiaan peserta didik, salah satunya mengajarkan akan sikap santun dan bertanggung jawab. Berkolaborasinya antara penggunaan bahasa Indonesia dengan unsur kebudayaan lokal dapat membawa kearah pembentukan karakter bangsa yang positif. Kelima, penyediaan bahan bacaan untuk mendukung suskesnya GLS.Bahan bacaan menjadi hal yang sangat mutlak diperlukan.Bahan bacaan ini harus menyentuh semua warga sekolah.Karena iklim literasi akan tercipta kuat jika seluruh aspek melaksanakan/mendukungnya dengan baik. Kepala sekolah, guru, pun tenaga kependidikan memberikan teladan kepada siswa dalam menghargai penggunaan bahan bacaan. Kenyamanan lingkungan sekolah juga dapat menjadi pertimbangan dalam menciptakan iklim literasi.Kondisi lingkungan yang asri dan bersih dapat menjadi faktor pendorong peserta didik maupun warga sekolah lainnya untuk berperan aktif dalam GLS.Virus semacam ini lambat laun akan menular ke semua warga sekolah. Bahan bacaan yang disediakan tidak harus dalam bentuk baru, asal kontennya sesuai dengan norma dan kemampuan peserta didik dapat disajikan melalui pojok-pojok baca yang disediakan sekolah. Di setiap bagian sekolah yang dirasa sering dijangkau oleh peserta didik maupun warga sekolah lain dapat ditempatkan “pojok baca”, misalnya ruang guru, lobi, ruang bk, dekat kantin sekolah, laboratorium komputer, laboratorium ipa, dekat tempat ibadah, dan tempat-tempat strategis lainnya. Kemudahan akses menjadi poin yang harus diperhatikan oleh siswa.Pelibatan tim pelaksana GLS sangat diperlukan pada aktivitas ini. Tim GLS menganalisis teknis pelaksanaannya.Masalah pengadaan buku dapat dipertimbangkan dengan pihak kepala sekolah secara matang.Teknis pengamanan buku yang diletakkan di pojok baca dapat dilakukan oleh guru dengan melibatkan peran aktif peserta didik.Kegiatan ini juga bisa menjadi ajang melatih tanggung jawab peserta didik.Tim pelaksana GLS membuat jadwal harian untuk peserta didik maupun guru yang bertugas mengamankan ketersediaan buku di salah satu pojok baca.Jadi, guru memiliki tugas mengecek keamanan buku dan peserta
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 137
didik bertugas mengamankan buku yang tersedia, agar tidak dirusak/dicuri oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. SIMPULAN Pada pelaksanaannya, banyak sekali hambatan dalam menyukseskan Gerakan Literasi Sekolah.Hambatan tersebut dapat diminimalisir apabila pihak sekolah cerdas serta cermat membuat manajamen GLS yang tepat sesuai dengan kondisi sekolah.Adapun solusi alternatif tersebut antara lain, (1) membuat jadwal tema mingguan kegiatan literasi yang diperjelas teknis pelaksanaanya pada “buku petunjuk pelaksanaan” susunan tim pelaksana GLS dengan pihak kepala sekolah, (2) memajang karya kreatif peserta didik pada mading maupun laman sekolah, (3) memberikan penghargaan kepada karya kreatif peserta didik berdasarkan kategori-kategori tertentu, (4) membuat dan memasang poster bernada motivasi untuk giat dalam berliterasi, dan (5) menyediakan bahan bacaan (cetak, visual, maupun digital) murah dan bermanfaat bagi seluruh warga sekolah dalam mendukung terciptanya jiwa literat sepanjang hayat. Aktivitas-aktivitas tersebut tentunya dapat menjadi pendorong dalam menyukseskan pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah, utamanya pada sekolah menengah kejuruan.Tidak menampik kemungkinan dalam pelaksanaannya, GLS mengalami banyak kendala. Baik hal pendanaan maupun pemberdayaan sumber daya manusia yang dilibatkan di dalamnya juga perlu diperhatikan.Pada akhirnya, GLS di sekolah menengah kejuruan dapat menjadi upaya dalam membentuk generasi masa depan yang produktif. DAFTAR PUSTAKA Friedman, Howard S. 2008. Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern. Jakarta: Penerbit Erlangga. Haryanti. 2015. Membangun Budaya Literasi, (Online), (http://www.triniharyanti.id/2014/02/membangun-budaya-literasi-dengan.html), diakses 14 September 2016 Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Lauer, Robert H. 2003. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta Ormrod, Jeanne Ellis. 2008. Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Jakarta: Penerbit Erlangga. Rakhmat, Jalaludin. 2004. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Sibarani, Augustin. 2001. Karikatur dan Politik. Jakarta: PT Media Lintas Inti Nusantara. Suprawoto. 2012. Media Bahasa Jawa Menghadapi Era Global. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika. Widyani, Nur, dkk. 2016. Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 138 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
VIDEO REALITY SHOW ”ORANG PINGGIRAN” TRANS|7 SEBAGAI STIMULUS DALAM MENULIS CERITA INSPIRATIF: INTEGRASI KETERAMPILAN MENYIMAK DAN MENULIS Ajeng Cahya Nurani1 Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang Pos-el.
[email protected]
ABSTRACT The Indonesian language learning has four language skills, which are listening, reading, speaking, and writing. The 2013 curriculum has made the four of language skills can be studied independently, in fact, the teachers can conduct integrated learning. Integrated learning can be done by combining two or more language skills into one strategy. One of the forms of integrated learning is listening skill combined to writing skill. Integrated learning of listening and writing can be used as a strategy in writing inspirational story. The students will be given a reality show video “Orang Pinggiran” TRANS|7 before writing inspirational story. The video has a function as a stimulus to bring up idea in writing inspirational story. Reality show entitled "Orang Pinggiran" published by TRANS|7 is a feature tells about the suburb people to be able to survive although their life rubbed down by time to time. They have to fulfill needs of life despite of their limitations and down The real story that was appointed to be an inspiration for viewers. It is great to used that as a stimulus in writing some inspiring story because students can see the (audio visual) that real not just in their illusion (fantasy) . Keywords: listening, stimulus, integration, inspirational stories, reality show ”Orang Pinggiran” TRANS|7
PENDAHULUAN Kurikulum 2013 mata pelajaran bahasa Indonesia untuk SMP dalam pengimplementasiannya di lapangan masih membutuhkan perbaikan dalam kegiatan pembelajaran. Salah satu materi pembelajaran di kelas IX adalah tentang menulis cerita inspiratif. Hal tersebut dapat ditilik dari Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran bahasa Indonesia kelas IX, yaitu KD 4.11-4.12: menyimpulkan isi ungkapan simpati, kepedulian, empati atau perasaan pribadi dalam bentuk cerita inspiratif yang dibaca dan didengar dan mengungkapkan rasa simpati, empati, kepedulian, dan perasaan dalam bentuk cerita inspiratif dengan memperhatikan struktur cerita dan aspek kebahasaan. Materi menulis cerita inspiratif memiliki tujuan untuk membangun sebuah hal positif bagi para pendengar atau pembacanya. Hal positif tersebut berupa perasaan simpati, empati, kepedulian, dan perasaan sehingga dapat menjadi sebuah inspirasi baru untuk menghasilkan suatu karya dalam bentuk tulisan. Ketrampilan menulis merupakan keterampilan memindahkan gagasan dari pikiran menjadi teks tertulis. Dalam kegiatan menulis, siswa membutuhkan skemata untuk mengembangkan 1
Ajeng Cahya Nurani adalah mahasiswa Pascasarjana, Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Malang
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 139
tulisannya. Clark&Clark (1977:168) menjelaskan bahwa skemata terbentuk oleh pengalaman ataupun kebudayaan yang kemudian dicocokan dengan dunia nyata. Berdasarkan hal tersebut, sebelum memulai kegiatan menulis, guru harus membantu siswa untuk membentuk skemata yang dijadikan sebagai model dalam mengembangkan tulisannya. Pembentukan skemata siswa dapat dilakukan dengan kegiatan yang bersifat reseptif, yaitu menyimak atau membaca. Kegiatan reseptif tersebut berfungsi sebagai pembentuk skemata siswa dalam kegiatan produktif, yaitu menulis atau berbicara. Pembentukan skemata siswa dalam menulis cerita inspiratif dilakukan dengan kegiatan yang bersifat reseptif. Kegiatan reseptif yang dapat menunjang persiapan dalam menulis cerita inspiratif seperti, (1) melakukan observasi, (2) membaca berbagai sumber bacaan yang sesuai dengan kisah yang akan dikembangkan dalam tulisan, (3) mengamati gambar, (4) menonton acara inspiratif yang dapat membangkitkan perasaan simpati, empati, kepedulian, dan perasaan. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Ghazali (2010:170) bahwa ciri dari input yang dapat dipahami pembelajar seperti penggunaan gambar-gambar, alat bantu visual, dan materi-materi otentik. Di antara empat contoh kegiatan reseptif tersebut, menonton acara inspiratif yang dapat membangkitkan perasaan simpati, empati, kepedulian dan perasaan menjadi alternatif sebagai stimulus dalam menulis cerita inspiratif. Pemilihan alat bantu dalam belajar tentunya harus sesuai dengan kebutuhan dan karakter siswa. Oleh karena itu, pemilihan media pembelajaran dalam menulis cerita inspiratif ada baiknya disesuaikan dengan pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa. Konsep belajar ini mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilkinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Alat bantu belajar yang dimaksud seperti yang dijelaskan di atas yaitu media video. video sudah lama diterapkan dalam pembelajaran, media video ini jika diterapkan sebagai media dalam pembelajaran bahasa Indonesia termasuk dalam kategori reseptif, yaitu menyimak. Seorang guru biasanya memberikan sebuah tayangan video untuk merangsang stimulus siswa dalam kegiatan pembelajaran termasuk dalam kegiatan pembelajaran menulis. Salah satu video yang dipilih sebagai media dalam pembelajaran menulis cerita inspiratif adalah video reality show “Orang Pinggiran” TRANS|7. Widyaningrum dan Christiastuti (dalam Hasibuan, 2011) menyatakan reality show adalah suatu acara yang menampilkan realitas kehidupan seseorang yang bukan selebriti (orang awam) dan disiarkan melalui jaringan TV, sehingga bisa dilihat masyarakat. Reality show “Orang Pinggiran” merupakan feature yang bercerita mengenai perjuangan orang pinggiran untuk bisa bertahan hidup meskipun kehidupan mereka terus tergerus oleh perkembangan zaman. Memenuhi berbagai kebutuhan hidup meskipun dengan keterbatasan dan ketertinggalan. Kisah nyata yang diangkat untuk disiarkan kepada pemirsa menjadi inspirasi tersendiri. Hal tersebut karena siswa benar-benar melihat tayangan (audio-visual) bukan hanya angan-angan saja.. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penggunaan video “Orang Pinggiran” dapat (1) Mendeskripsikan integrasi keterampilan menyimak video reality show “Orang Pinggiran” TRANS|7 dan Keterampilan menulis cerita inspiratif, (2)
140 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Mendeskripsikan langkah-langkah pembelajaran menggunakan video “Orang Pinggiran TRANS|7.
menulis
cerita
inspiratif
PEMBAHASAN Integrasi Keterampilan Menyimak dan Menulis Pembelajaran bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan cara menerapkan pembelajaran terintegrasi. Pembelajaran terintegrasi ini dapat dilakukan dengan menggabungkan keterampilan berbahasa menjadi satu strategi yang padu. Salah satu bentuk pembelajaran terintegrasi, yaitu menyimak dan menulis. Keterampilan menyimak termasuk salah satu keterampilan reseptif. Ketrampilan menyimak tidak hanya mendengar tetapi juga memahami hal yang didengar. Kegiatan memahami tersebut dapat menambah skemata siswa. menurut Ur (1996:105) menyebutkan 12 situasi menyimak, yaitu (1) wawancara, (2) instruksi, (3) pengumuman, (4) berita radio, (5) rapat, (6) berbelanja, (7) pertunjukan teater, (8), obrolan di telepon, (9) kuliah atau ceramah, (10) percakapan atau gosip, (11) menonton televisi, dan (12) bercerita. Pada proses menyimak, siswa dituntut untuk fokus sehingga informasi yang akan menjadi skemata siswa dapat diproses secara lengkap. Hasil dari kegiatan menyimak dapat dilihat ketika siswa memproduksi bahasa. Salah satu keterampilan berbahasa yang menuntut siswa untuk memproduksi bahasa adalah menulis. Saddhono (2013: 47) menulis merupakan sebuah proses kreatif menuangkan gagasan dalam bentuk bahasa tulis untuk tujuan, misalnya memberitahu, meyakinkan, dan menghibur. Keterampilan menulis menuntut siswa untuk mengembangkan ide, gagasan, serta pikiran siswa dengan bahasa yang runtut dan mudah dipahami. hal tersebut searah dengan pendapat Kusumaningsih dkk (2013: 66) yang menyatakan bahawa seorang penulis harus menguasai banyak perbendaharaan kata untuk menyampaikan ide-ide, pengetahuan, serta pengalaman yang dimiliki. Dalam hal ini skemata siswa tentang topik yang dibahas dalam tulisannya harus aktif. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan menyimak merupakan langkah dalam memperoleh skemata (input), sedangkan keterampilan menulis merupakan langkah dalam memproduksi skemata (output) dalam bentuk tulis atau lisan. Skemata yang terbentuk dari kegiatan menyimak dapat membantu siswa untuk mengolah skemata tersebut dalam bentuk tulis atau lisan. Menulis cerita inspiratif termasuk dalam jenis teks cerita (narrative text). Anderson&Anderson (2003: 8) menjelaskan bahwa “The steps for constructing a narrative text are (1) an orientation, (2) a complication, (3) a sequence of events, (4) a resolution, and (5) a coda”. Berdasarkan konstruk tersebut, cerita inspiratif memiliki struktur utama, yaitu orientasi, komplikasi, urutan peristiwa, resolusi, dan koda. Pertama, orientasi berisi tentang sebuah peristiwa yang meliputi apa, bagaimana, dan dimana peristiwa itu terjadi. Kedua, komplikasi adalah pemicu yang berisi sesuatu yang akan memulai rantai peristiwa. Peristiwa ini akan mempengaruhi satu atau lebih karakter. Ketiga, urutan cerita berisi bagaimana karakter bereaksi terhadap komplikasi. Hal tersebut termasuk perasaan mereka dan apa yang mereka lakukan. Peristiwa dapat dikatakan secara kronologis atau dengan kilas balik, pembaca diberikan titik perawi pandang. Keempat, resolusi merupakan bagian komplikasi beres atau masalah selesai. Kelima, koda berisi pesan moral atau pijakan untuk belajar dari cerita.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 141
Seorang siswa dapat memenuhi kelima struktur pembangun cerita inspiratif tersebut dengan bantuan video reality show “Orang Pinggiran” TRANS|7. Seperti yang dijelaskan oleh Harmer (2007:267) bahwa dalam memproduksi tulisan, siswa mengikuti model dan stimulus yang disajikan oleh guru. Stimulus yang digunakan oleh guru dapat berupa lisan ataupun tulisan. stimulus ini digunakan untuk memberikan skemata kepada siswa tentang sesuatu yang akan dikembangkan mnjadi sebuah tulisan. Keterkaitan menyimak dengan menulis cerita inspiratif dapat dilihat pada cerita inspiratif yang dikembangkan berdasarkan video reality show “Orang Pinggiran” TRANS|7 berjudul Samsul Si Penjual Cilok Tabel 1 Contoh Video Reality Show “Orang Pinggiran” TRANS|7 sebagai Stimulus Menulis Cerita Inspiratif. No.
Struktur Cerita Video Reality Show “Orang Pinggiran” TRANS|7 (Samsul Inspiratif Bocah Penjual Cilok)
1.
Orientasi
Samsul bocah 10 tahun yang tinggal di Kaki Gunung Slamet tepatnya Desa Bumijawa Kabupaten Tegal yang kini bekerja sebagai penjual bakso “Cilok”. Samsul adalah sulung dari 4 bersaudara yang duduk dikelas 4 SD. Zindan adik kandung dari Samsul yang duduk di kelas 1.
2.
Komplikasi
Prihatin dengan kondisi orang tuanya, sepulang sekolah Samsul berjualan cilok demi mendapat sedikit rupiah.
3.
Urutan Peristiwa
Tak jarang Samsul dan keluarga terpaksa makan cilok tengik bila tak ada lauk teman nasi. Berbagi tugas dengan adiknya menabuh bambu guna memberi tanda saat berjualan keliling. Ayah Samsul nikah muda, Ia pekerja serabutan untuk mendapatkan sesuap nasi. Ibu Samsul kini menderita sakit yang membutuhkan biaya pengobatan. Modal yang Samsul dapat merupakan iba dari salah seorang kios penggiling daging walaupun hutang keluarga Samsul belum tertunaikan. Jarak kelahiran anak-anaknya sangat dekat sehingga pengeluaran ekonomi sangat banyak. Terutama untuk pendidikan anak-anaknya. Hingga kini Samsul masih punya tunggakan biaya pendidikan di sekolahnya. Jualan cilok tidak mampu menutupi segala pengeluaran keluarga.
4.
Resolusi
Apa mau dikata, Samsul harus berjuang demi mendapatkan rezeki untuk membantu kedua orang tuanya. Samsul tak lepas dari cacian teman-teman sebayanya saat berjualan. Ia tidak peduli dengan itu semua dan tetap berjualan cilok untuk membantu perekonomian keluarganya.
5.
Koda
Samsul bersyukur dengan kehidupan yang dimilikinya saat ini. Dia tetap semangat menjalani hidupnya walaupun penuh dengan keterbatasan. Semangat untuk melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren masih digenggamnya walaupun kedua orangtuanya tidak memiliki biaya.
142 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa video reality show “Orang Pinggiran” TRANS|7 dapat dijadikan sebagai stimulus dalam menulis cerita inspiratif. Kisah inspiratif yang diambil dari program reality show “Orang Pinggiran” TRANS|7 menimbulkan perasaan, simpati, empati, dan kepedulian bagi mereka yang menontonnya. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh siswa untuk mengembangkan skemata yang dimiliki dan mengintegrasikannya dengan skemata yang baru diperolehnya pada saat menonton video reality show “Orang Pinggiran” TRANS|7. Setelah itu, skemata siswa akan bertambah dan memudahkan siswa dalam menuangkan ide, gagasan, pikiran dalam tulisan yang akan dikembangkannya karena mereka memiliki modal untuk menulis. Berikut contoh pengembangan cerita inspiratif dari tabel isian yang telah dirancang oleh guru. “Samsul Bocah Penjual Cilok” Potret Kesejahterahan Indonesia kini masih jauh dari Kemerdekaan untuk hidup sejahtera. Samsul bocah 10 tahun yang tinggal di Kaki Gunung Slamet tepatnya Desa Bumijawa Kabupaten Tegal yang kini bekerja sebagai penjual bakso “Cilok”. Samsul adalah sulung dari 4 bersaudara yang duduk dikelas 4 SD. Zindan adik kandung dari Samsul yang duduk di kelas 1 . Keduanya sangat piawai mempersiapkan dagangan ciloknya. Setiap pulang dari sekolah Samsul dan zindan mulai menjajakan jualannya. Samsul tidak merasa malu saat berjualan, bahkan ia merasa senang bisa membantu kedua orangtuanya. Samsul sangat senang jika zindan membantu berjualan bersamanya. Prihatin dengan kondisi orang tuanya, sepulang sekolah Samsul berjualan cilok demi mendapat sedikit rupiah. Tak jarang Samsul dan keluarga terpaksa makan cilok tengik bila tak ada lauk teman nasi.Berbagi tugas dengan adiknya menabuh bambu guna memberi tanda saat berjualan keliling. Harga cilok dagangannya hanya 500 rupiah. Keduanya harus piawai menjajajkannya karena harus segera habis dalam sehari. Perjuangan Samsul tidak sampai disini ia harus menggendong gerobaknya. Ia tidak peduli dengan rasa sakit dipundaknya. Kadang pembeli sering hutang kepada Samsul, tapi bocah kecil ini tidak berani untuk menagih hutang dari pembeli ciloknya. Samsul seringkali berjualan diluar desanya. Bumijawa memang desa yang curah hujannya tinggi, sering Samsul dan Zidan harus bersabar untuk mengejar jualan ciloknya hingga habis karena turun hujan. Ayah Samsul nikah muda, Ia pekerja serabutan untuk mendapatkan sesuap nasi. Ibu Samsul kini menderita sakit yang membutuhkan biaya pengobatan. Modal yang Samsul dapat merupakan iba dari salah seorang kios penggiling daging walaupun hutang keluarga Samsul belum tertunaikan. Apa mau dikata, Samsul harus berjuang demi mendapatkan rezeki untuk membantu kedua orang tuanya. Samsul tak lepas dari cacian teman-teman sebayanya saat berjualan. Ia tidak peduli dengan itu semua. Masa kecil Samsul tidak sepenuhnya bias ia nikmati. Teman-teman sebayanya kadang ingin mengajak bermain saat pulang sekolah namun Samsul keluar rumah dengan gerobag yang di gendongnya. Ibu Samsul sering merasa bersalah melihat anaknya berjualan keliling untuk membantu perekonomian keluarganya. Jarak kelahiran anak-anaknya sangat dekat sehingga pengeluaran ekonomi sangat banyak. Terutama untuk pendidikan anak-anaknya. Hingga kini Samsul masih punya tunggakan biaya pendidikan di sekolahnya. Jualan cilok tidak mampu menutupi segala pengeluaran keluarga. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 143
Dalam Sehari Samsul berjualan cilok hanya mendapatkan uang kurang lebih 12.000 rupiah. Terkadang orang tua Samsul menyerah karena tidak sanggup mebiayai sekolahnya. Samsul punya cita-cita bisa melanjutkan ke Pondok Pesantren. Namun, kedua orangtuanya tidak sanggup mewujudkan impian Samsul. Samsul nasibnya tidak ingin seperti orangtuanya, Ia ingin tidak buta huruf. "Samsul ingin mondok di pesantren, tapi ibu nggak punya uang. Samsul nggak ingin seperti bapak & ibu, nggak sekolah" kini Samsul dengan Semangat dan Kemauan yang tinggi dalam berjuang untuk mencapai cita-citanya. Langkah-langkah Pembelajaran Menulis Cerita Inspiratif dengan Stimulus Video Reality Show ”Orang Pinggiran” TRANS|7 Kegaiatan pembelajaran menulis cerita inspiratif dapat ditilik dari Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran bahasa Indonesia kelas IX, yaitu KD 4.11-4.12: menyimpulkan isi ungkapan simpati, kepedulian, empati atau perasaan pribadi dalam bentuk cerita inspiratif yang dibaca dan didengar dan mengungkapkan rasa simpati, empati, kepedulian, dan perasaan dalam bentuk cerita inspiratif dengan memperhatikan struktur cerita dan aspek kebahasaan. Sebelum memulai pembelajaran menulis cerita inspiratif, guru harus menyiapkan perangkat pendukung seperti: (1) laptop, (2) speaker, (3) LCD, (4) proyektor, dan (5) video reality show ”Orang Pinggiran” TRANS|7. Selain itu, guru harus menyiapkan panduan pembelajaran, yaitu tabel isian (kosong) sebagai panduan siswa dalam menyimak dan mencatat informasi. Tabel Isian sebagai Bahan Latihan Mandiri Tabel isian sebagai bahan latihan mandiri ini dirancang sebagai panduan siswa dalam kegiatan menyimak video dari kisah-kisah inspiratif reality show ”Orang Pinggiran” TRANS|7. Panduan ini dibuat supaya mempermudah siswa mencari informasi yang harus diperoleh pada saat kegiatan menyimak. Tabel 2 Tabel Isian Cerita Inspiratif No. 1. 2. 3. 4. 5.
Hal yang Disimak Nama Tokoh Umur Tempat Tinggal Konflik dalam Cerita Penyelesaian Konflik Cerita
6.
Sikap yang Diteladani
Keterangan
dalam
Informasi yang telah dikumpulkan siswa berdasarkan tabel isian dari video yang telah ditayangkan menjadi pedoman siswa dalam menyusun kerangka cerita inspiratif. Melalui kerangka tersebut siswa menentukan bagian-bagian cerita inspiratif yang sesuai dengan struktur cerita inspiratif yang telah dipahami siswa dalam pembelajaran sebelumnya. Setelah persiapan sudah dilakukan dengan baik, guru dapat melaksanakan pembelajaran menulis cerita inspiratif di dalam kelas dengan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut. 144 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Tahap Latihan Bersama Guru 1. Siswa mengamati model tabel isian yang diberikan oleh guru. 2. Siswa menyimak video reality show ”Orang Pinggiran” TRANS|7 berjudul Samsul Si Penjual Cilok yang ditayangkan oleh guru. 3. Siswa memadupadankan data yang tertera dalam tabel isian yang dijadikan sebagai model dengan informasi yang diperoleh dari kegiatan menyimak video reality show ”Orang Pinggiran” TRANS|7. 4. Siswa membaca model cerita inspiratif yang sudah dikembangkan oleh guru setelah melihat tayangan video reality show ”Orang Pinggiran” TRANS|7. 5. Siswa memahami model cerita inspiratif yang disajikan oleh guru dari hasil menyimak video. Tahap Latihan Mandiri 1. Siswa memahami tahap-tahap pada saat latihan bersama guru. 2. Siswa memahami aspek-aspek yang perlu disimak yang tertera ditabel isian yang telah disajikan oleh guru. 3. Siswa menyimak video reality show ”Orang Pinggiran” TRANS|7 berjudul Siti Penjual Bakso Berusia 7 tahun. 4. Siswa mengisi tabel isian sesuai dengan informasi yang diperoleh dari video yang ditayangkan oleh guru. 5. Siswa menyusun kerangka cerita inspiratif berdasarkan informasi yang sudah terkumpul dalam tabel isian. 6. Siswa menentukan bagian orientasi berisi tentang sebuah peristiwa yang meliputi apa, bagaimana, dan dimana peristiwa itu terjadi. 7. Siswa menentukan bagian komplikasi adalah pemicu yang berisi sesuatu yang akan memulai rantai peristiwa. Peristiwa ini akan mempengaruhi satu atau lebih karakter. 8. Siswa menentukan bagian urutan cerita berisi bagaimana karakter bereaksi terhadap komplikasi. Hal tersebut termasuk perasaan mereka dan apa yang mereka lakukan. Peristiwa dapat dikatakan secara kronologis atau dengan kilas balik, pembaca diberikan titik perawi pandang. 9. Siswa menentukan bagian resolusi merupakan bagian komplikasi beres atau masalah selesai. 10. Siswa menentukan bagian koda berisi pesan moral atau pijakan untuk belajar dari cerita. 11. Siswa menulis cerita inspiratif sesuai dengan kerangka dan struktur cerita inspiratif menggunakan bahasanya masing-masing. SIMPULAN Keterampilan menyimak dan menulis dapat diintegrasikan dalam satu kegiatan pembelajaran. Dalam pembelajaran menulis cerita inspiratif, guru dapat memberikan stimulus berupa video reality show ”Orang Pinggiran” TRANS|7. Video reality show ”Orang Pinggiran” TRANS|7 dipilih sebagai stimulus dalam menulis cerita inspiratif karena kisah-kisah yang disajikan dalam tayangan tersebut membangkitkan perasaan, simpati, empati, dan emosi kepada para penontonnya. Hal ini dapat dimanfaatkan siswa untuk memancing ide, gagasan, dan pikiran siswa. kesamaan struktur informasi yang terdapat dalam video reality show ”Orang Pinggiran” TRANS|7 dengan struktur cerita inspiratif memudahkan siswa dalam menulis cerita inspiratif saat latihan menulis Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 145
di dalam kelas. Dengan adanya masukan (input), siswa akan mudh dalam mengembangkan ketrampilan prouktifnya. DAFTAR RUJUKAN Anderson, M & Anderson K. 2003. Text types: In English 2. South Yarra: Macmillan Education Australia. Clark, Herbert H. Dan Eve V, Clark. 1977. Psychology and Language: an Introduction to Psycholinguistics. United States: Harcourt Brace Jovanovich. Ghazali, A. Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan Pendekkatan Komunikatif-Interaktif. Bandung: Refika Aditama Harmer, Jeremy. 2007. The Practice Of English Teaching (Fourth Edition). UK: Peanom Longman ELT. Hasibuan, Malayu S.P., 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara: Jakarta. Kusumanungsih, dkk. (2013). Terampil Berbahasa Indonesia. Yogyakarta: ANDI. Sadhono, Kundharu. (2013). Menulis Ilmiah Teori dan Aplikasi. Surakarta: LPP UNS. Ur, Penny. 1996. A Course in Language Teaching: Practice and Theory. Melbourne: Cambridge University Press.
146 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
REVOLUSI MENTAL MELALUI BAHASA DAN SASTRA DALAM TAHAPAN GERAKAN LITERASI SEKOLAH Dwi Bambang Putut Setiyadi FKIP dan Program Pascasarjana, Universitas Widya Dharma Klaten Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Tulisan ini bertujuan mengungkapkan upaya melakukan revolusi mental melalui bahasa dan sastra dalam tahapan gerakan literasi sekolah (GLS). Revolusi mental itu dapat dilaksanakan dengan memberikan pilihan materi yang bersumber dari bahasa dan sastra yang mengandung nilai-nilai pendidikan budi pekerti. Materi bahasa yang dipilih dapat berupa diksi-diksi yang santun atau tuturan yang santun sesuai konteks pemakaiannya, sedangkan materi sastra dapat dipilihkan dari teks cerita fiksi atau drama yang berisi pendidikan budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari. Pengintegrasian materi itu dilaksanakan melalui gerakan literasi sekolah dalam tahapan pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Dengan mengintegrasikan materi bahasa dan sastra dalam GLS tersebut diharapkan dapat dicapai target ekosistem sekolah yang literat, yang dapat menumbuhkan budi pekerti peserta didik. Kata kunci: revolusi mental, bahasa dan sastra, gerakan literasi sekolah
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang telah merdeka selama 71 tahun, setelah dijajah oleh bangsa lain selama 350 tahun dan 3,5 tahun. Usia kemerdekaan itu memang masih terbilang muda jika dibandingkan dengan lamanya penjajahan. Penjajahan yang berabad-abad itu telah membekas dalam mental bangsa Indonesia yang muaranya menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki mental kurang percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki. Bangsa kita memiliki kecenderungan tidak percaya diri dan lebih memiliki kekaguman dan anggapan bahwa segala sesuatu yang berasal dari asing itu baik. Hal itu tampak di dalam hampir semua sendi kehidupan. Misalnya berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari dan alat-alat rumah tangga, sampai dalam bidang pendidikan dan bahasa kita lebih percaya jika yang berasal dari asing adalah yang baik. Tidak sedikit hasil produksi, barang-barang kebutuhan sehari-hari, konsepkonsep pemikiran yang telah dihasilkan oleh bangsa Indonesia, seperti barang-barang elektronik, alat-alat rumah tangga, sepeda, mobil, pesawat terbang, konsep-konsep pemikiran yang telah dihasilkan oleh anak-anak bangsa, namun tidak bisa berkembang karena mindset kita telah terbentuk untuk mengagumi semua hal yang berasal dari produk luar negeri. Kita tidak “pede” menggunakan produksi dalam negeri, walaupun ada kampanye “aku cinta Indonesia”, tetap saja yang asing lebih laku. Nama-nama dalam bidang bisnis juga lebih komersial jika menggunakan bahasa nonindonesia, seperti nama makanan, nama toko-toko, perumahan, dan sebagainya akan laku keras dan lebih mahal jika menggunakan diksi asing (berbahasa Inggris). Oleh karena itu, tidak heran apabila Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno melihat kondisi seperti di atas, sehingga beberapa waktu pascakemerdekaan lalu mencetuskan adanya gagasan revolusi mental. Gagasan ini pertama kali dilontarkan oleh Soekarno pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956 Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 147
(Kemenkominfo, 2015). Namun, gagasan tersebut tampaknya tidak diterapkan atau mungkin tidak disambut dengan baik. Setelah setengah abad lebih gagasan itu dilontarkan kembali oleh calon Presiden RI, yaitu Joko Widodo dalam kampanye Pemilu Presiden 2014. Setelah terpilih menjadi Presiden, Jokowi meanjutkan program itu menjadi Gerakan Nasional Revolusi Mental. Hal itu menjadi salah satu daya tarik dan sekaligus memancing munculnya pertanyaan-pertanyaan masyarakat, apakah revolusi mental itu, bagaimana gerakan itu dilaksanakan? Dapatkah hal itu diwujudkan? Presiden Jokowi menjelaskan bahwa revolusi mental berarti warga Indonesia harus mengenal karakter orisinal bangsa. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti luhur, ramah, dan bergotong royong yang dapat membuat masyarakat sejahtera. Namun, saat ini karakter tersebut mengalami perubahan tanpa disadari yang merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidakdisiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahun-tahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa. Oleh karena itu, Jokowi menawarkan ada sebuah revolusi mental. Satu-satunya jalan untuk revolusi sebagaimana dimaksud di atas adalah melalui pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Presiden lebih lanjut mengatakan bahwa kita harus mengembalikan karakter warga negara ke apa yang menjadi keaslian kita, orisinalitas kita, identitas kita (Kompas.com, 17 Oktober 2014)2. Istilah revolusi memiliki arti (1) perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata); (2) perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang (Tim Penyusun Kamus, 1997:840). Mental bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga (Tim Penyusun Kamus, 1997:646). Istilah revolusi mental yang mengemuka itu, masih menimbulkan berbagai tanggapan di masyarakat. Ada yang setuju dan mendukung dan ada pula yang tidak setuju, bahkan mengatakan bahwa program itu bersifat omong kosong, ada juga yang mengatakan hanya slogan. Juga ada pula yang mengatakan bahwa istilah revolusi terlalu keras karena revolusi merupakan perubahan yang sangat cepat disertai dengan kekerasan senjata (perang). Terhadap berbagai pendapat tersebut perlu kiranya hal itu tidak diperdebatkan, tetapi bagaimana hal yang baik itu agar bisa dilakukan atau diterapkan. Kalau kita belum mencoba melakukan atau menerapkan darimana kita bisa memprediksi hasilnya. Yang penting adalah upaya-upaya yang baik harus didukung dan dicoba dilaksanakan. Hal itu juga untuk menyikapi kondisi mental atau karakter bangsa yang sekarang ini menampakkan gejala-gejala kurang baik seperti digambarkan oleh para pakar. Materi bahasa yang dipilih dapat berupa diksi-diksi yang santun atau tuturan yang santun sesuai konteks pemakaiannya, sedangkan materi sastra dapat dipilihkan dari teks cerita fiksi atau drama yang berisi pendidikan budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari. Pengintegrasian materi itu dilaksanakan melalui gerakan literasi sekolah dalam tahapan pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Dengan mengintegrasikan materi bahasa dan sastra dalam GLS tersebut diharapkan dapat dicapai target ekosistem sekolah yang literat, yang dapat menumbuhkan budi pekerti peserta didik. Lebih lanjut dikatakan oleh Presiden bahwa satu-satunya jalan untuk revolusi sebagaimana dimaksud di atas adalah melalui pendidikan yang berkualitas dan merata, 2
Lihat juga Setiyadi (2015:33)
148 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Pembahasan mengenai revolusi mental juga disampaikan oleh Sudaryanto (Kompas.com 23 November 2014), salah satu pakar bahasa atau linguistik, yang mengatakan bahwa revolusi mental dimungkinkan kalau orang kembali menyadari fungsi hakiki bahasa, yaitu untuk mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama. Selanjutnya dikatakan bahwa manakala akal budi tidak dikembangkan dan kerja sama tidak dipelihara dengan bahasa akibatnya akan terjadi hiruk-pikuk di pentas politik dan peristiwa-peristiwa lain yang membuat meja bergelimpangan, batu-batu beterbangan, dan sebagainya3. Jika jalur pendidikan yang dipilih untuk menanamkan pendidikan mental, maka pilihan melalui GLS dalam pembelajaran bahasa dan sastra diharapkan dapat terwujud tujuan yang diinginkan pemerintah dalam GLS, yaitu untuk menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem sekolah agar para warga belajar menjadi pembelajar sepanjang hayat. Berdasarkan uraian di atas, revolusi mental penting ditumbuhkan melalui pendidikan mental kepada para generasi muda bangsa Indonesia sejak dini agar terbentuk mental dasar generasi yang berbudi pekerti luhur. Pendidikan mental itu dumulai sejak seseorang memasuki pendidikan dasar. Dalam makalah ini dibatasi pada bagaimana pendidikan mental dilaksanakan melalui pendidikan bahasa dan sastra dalam tahapan GLS. PEMBAHASAN Seperti kita ketahui bersama bahwa berdasarkan survei internasional (PIRLS 2011, PISA 2009 & 2012) peserta didik Indonesia berada pada peringkat bawah dalam hal keterampilan membaca (UNESCO dalam Kemendikbud, 2016). Hal ini menimbulkan keprihatinan para pemangku kepentingan untuk meningkatkan peringkat tersebut. Upaya yang dilakukan adalah dengan mencanangkan GLS yang digagas oleh Mendikbud yang dikembangkan berdasarkan Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti (Kemendikbud.go.id, 2015). GLS yang diluncurkan pada tanggal 18 Agustus 2016 itu bertujuan untuk membiasakan dan memotivasi siswa agar mau membaca dan menulis guna menumbuhkan budi pekerti (Ayuningtyas, 2015). Budi pekerti berasal dari kata budi dan pekerti. Budi berarti ‘nalar, pikiran, atau watak, sedangkan pekerti ‘penggaweyan, watak, tabiat atau akhlak. Jadi, budi pekerti adalah tingkah laku, perangai, akhlak, dan watak (Endraswara, 2003:1). Pengertian lain diambil dari Ki Hajar Dewantara yang menyatakan bahwa budi pekerti adalah perilaku seseorang yang didasarkan pada kematangan jiwanya (Supriyoko, 2000:4). Dari dua pengertian itu dapat dikatakan bahwa budi pekerti adalah nalar, pikiran, watak, perangai, akhlak, perilaku seseorang yang didasarkan pada kematangan jiwanya. Budi pekerti mengarah kepada perbuatan yang terpuji. Budi pekerti yang baik dapat tumbuh dalam jiwa seseorang melalui kegiatan pembiasaan kegiatan membaca dan menulis. Dalam GLS ada tiga pentahapan, yaitu pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran (Kemendikbud, 2016: 28) sebagai berikut: 1. Tahap ke-1: penumbuhan minat baca melalui kegiatan 15 menit membaca (pembiasaan).
3
Lihat juga Sudaryanto (1990)
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 149
2. Tahap ke-2: meningkatkan kemampuan literasi melalui kegiatan menanggapi buku pengayaan (pengembangan). 3. Tahap ke-3: meningkatakan kemampuan literasi di semua mata pelajaran menggunakan buku pengayaan an strategi membaca di semua mata pelajaran (pembelajaran). Dalam pembahasan ini hanya dibatasi pada kegiatan 15 menit membaca dalam setiap tahapan. Pembahasan di sini tidak berdasarkan buku panduan yang telah dicetak oleh kemendikbud, namun berdasarkan gagasan penulis untuk memberikan materi bahasa dan sastra dengan tujuan untuk menumbuhkan budi pekerti siswa melalui bahasa dan sastra. Berikut ini dibahas mengenai materi-materi apa saja yang sebaiknya diberikan dalam tahapan-tahapan dan fokus kegiatan itu. Tahapan Pembiasaan Pada tahapan pembiasaan lima belas menit membaca setiap hari sebelum jam pelajaran dengan fokus kegiatan membacakan buku dengan nyaring atau seluruh warga sekolah membaca dalam hati. Pada sekolah dasar kelas rendah, materi bahasa hendaknya dipilihkan materi yang berupa tuturan-tuturan yang bersumber dari bahasa daerah tempat siswa tinggal. Dalam lingkungan daerah yang berbahasa ibu bahasa Jawa misalnya, materi yang diberikan bisa dipilihkan berupa penggunaan bahasa Jawa ragam ngoko dan krama. Guru memberikan contoh-contoh kata-kata yang termasuk ragam krama dan ngoko. Misalnya kosa kata sehari-hari yang sering dipakai seperti: adus-siram, mangan-nedha, dhahar, ngombe-ngunjuk, lunga-tindak, aku-kula, kowesampeyan-panjenenengan. Siswa diberikan pembiasaan mengucapkan kata-kata ngoko dan krama dalam berbagai kegiatan ini sampai hafal. Dari segi sastra diberikan cerita-cerita yang bisa berupa dongeng-dongeng yang berisi pendidikan budi pekerti atau cerita dari Mahabarata dan Ramayana. Pada tingkat ini mulai ditumbuhkan pendidikan budi pekerti kepada mereka secara tidak langsung. Siswa diajak mengenali tokoh-tokoh dalam dongeng atau cerita wayang yang berwatak baik dan tokoh-tokoh yang berwatak buruk. Yang baik agar ditiru, sedangkan yang buruk agar ditinggalkan. Guru harus mampu memberikan penjelasan tentang tokohtokoh yang berwatak baik dan berwatak buruk. Pada tingkat sekolah dasar kelas tinggi siswa mulai diberikat pengayaan yang lebih tinggi. Siswa diajak untuk memahami isi bacaan sastra yang dibacanya dan menemukan kosa kata yang termasuk ragam ngoko dan krama. Disamping jumlah kosa kata ngoko dan krama yang ditemukan, para siswa pada jenjang ini juga mulai diberikan penjelasan penggunaan diksi tersebut yang meliputi siapa yang diajak berbicara, usianya berapa, kedudukannya bagaimana, dan sebagainya. Dalam pemakaian bahasa krama di dalamnya terdapat pendidikan budi pekerti luhur seperti sikap menghormati dan menghargai yang lebih tua, sikap santun, ramah, dan gotong royong, dan sebagainya. Selain itu, juga diberikan pengetahuan mengenai materi sastra yang mengarah ke keterampilan membaca. Materi bisa diambilkan dari cerita-cerita sastra Jawa yang bisa berupa cerita Mahabarata dan Ramayana (atau wayang kulit). Siswa ditunjukkan tokoh-tokoh yang menggambarkan watak baik dan buruk. Cerita yang diambil sebagai contoh adalah yang memiliki lakon-lakon yang dapat diteladani, misalnya cerita Ramayana, dalam lakon “Sumantri Ngenger”. Nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang terkandung di dalamnya adalah sikap jujur, bela negara, nasionalis, loyal terhadap negara, jiwa pahlawan, cinta ilmu pengetahuan yang tinggi, perilaku empati sosial, dan 150 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
sebagainya. Dengan penanaman sikap yang demikian dapat membentuk budi pekerti luhur pada para siswa. Pada jenjang SMP, dalam kegiatan menyimak untuk memahami makna implisit sebuah cerita. Cerita bisa dipilihkan dari cerita wayang yang belum diberikan di SD. Dalam kegiatan membaca, siswa diberi pengayaan yang lebih tinggi dan mendalam. Pada kegiatan membaca dilakukan dengan berbagai strategi (misalnya mengenali jenis teks, membuat inferensi, koneksi dengan pengalaman/ teks lain. Materi perlu dibedakan antara SD dan SMP. Berkaitan dengan materi bahasa disisipkann tata krama dalam berbahasa melalui bahasa Jawa (daerah lainnya), maupun kesantunan dalam berbahasa Indonesia dalam berbagai kegiatan. Contoh-contoh dapat diambil dari dialog-dialog tokoh-tokoh dalam cerita wayang itu. Kalau dalam jenjang SD telah diberikan sebuah lakon, di SMP diberikan lakon lain yang lebih tinggi kandungan pendidikan mentalnya. Dari cerita wayang yang dibacanya diharapkan mampu menumbuhkan sikap kritis, kreatif, perilaku empati sosial, dan cinta kepada pengetahuan. Pada jenjang SMA pada kegiatan menyimak cerita diwajibkan siswa dan guru melakukan analisis kritis terhadap tujuan atau pendapat penulis. Dalam cerita wayang pada jenjang SMA, misalnya lakon-lakon yang mengandung budi pekerti yang baik hendaknya diteladani. Jenjang ini diharapkan tercipta ekosistem yang memungkinkan pengembangan sikap kritis, kreatif, inovaif, berjiwa wirausaha, perilaku empati sosial, dan cinta kepada pegetahuan Tahapan Pengembangan Pada tahap ini lima belas menit membaca tiap hari dilakukam dengan kegiatan membaca buku dengan nyaring, membaca dalam hati, membaca bersama, dan atau membaca terpandu diikuti kegiatan lain dengan tagihan nonakademik seperti membuat peta cerita, mengunakan grapic organizer, dan bincang buku. Siswa diberikan materi bahasa yang lebih meningkat dibandingkan dengan tahapan sebelumnya. Materi bahasa masih berkisar pada bahasa Jawa krama yang diberikan kepada siswa dengan jumlah kosa kata yang lebih banyak. Dalam hal ini siswa diajak mengenali lebih dalam situasi-situasi yang berkaitan dengan pemakaian ragam krama di berbagai ranah kehidupan. Siswa juga diajak berdialog dalam situasi yang sesuai dengan jenjang pendidikannya Dalam bidang sastra siswa diberikan materi cerita wayang yang dibacakan dengan nyaring oleh salah satu siswa yang ditunjuk. Sebelumnya siswa diajak membaca bersama dalam hati. Dalam tahapan pengembangan ini, siswa diminta untuk menemukan sendiri pesan-pesan moral yang ada di dalam cerita itu sesuai dengan jenjang pendidikan dan luaran yang ingin dicapai. Juga kandungan filosofi yang terdapat dalam cerita itu yang dapat dipakai sebagai materi pendidikan mental atau budi pekerti kepada para siswa sejak usia dini. Lakon wayang yang dipilih harus berbeda dengan lakon yang telah diberikan pada pentahapan sebelumnya. Dalam dialog antartokoh dalam cerita ini juga bisa dipakai sebagai pembelajaran pemakaian bahasa krama dalam berbagai situasi dan berbagai mitra tutur. Berbagai materi cerita tersebut hendaknya seharusnya telah dimiliki oleh perpustakaan sekolah tersebut karena tanpa buku akan menurunkan nilai akademiknya. Setelah itu, siswa membuat peta cerita untuk memudahkan dalam memahami isi cerita dan hal lain yang kemungkinan harus ada. Alat-alat untuk membuat peta cerita juga harus disiapkan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang diperlukan harus disiapkan sedini Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 151
mungkin. Siswa juga diajak untuk mendiskusikan isi cerita itu sebagai bentuk tagihannya berkaitan dengan tema cerita, tokoh-tokoh dan karakternya, amanat, seting, alur, dan bahasanya. Pada tiap jenjang dibedakan pemilihan materinya sesuai dengan fokus kegiatan dan target yang ingin dicapai. Tahapan Pembelajaran Pada tahapan ini lima belas menit dilakukan melalui kegiatan membacakan buku dengan nyaring, membaca dalam hati, membaca bersama, dan atau membaca terpandu diikuti kegiatan lain dengan tagihan nonakademik dan akademik. Siswa diajak lagi untuk membaca sebuah cerita yang juga berbeda dengan yang telah diberikan pada pentahapan sebelumnya. Pada jenjang SD, SMP, dan SMA diberikan materi yang berbeda. Pada sekolah dasar, salah seorang membacakan cerita dengan nyaring. Lalu guru mengajak siswa untuk mengenali bahasa yang dipakai oleh para tokoh-tokohnya. Pada tingkat SMP siswa diajak untuk memerankan tokoh-tokoh cerita dengan karakter yang berbeda-beda. Pemeranan ini diserta penjelasan guru mengenai watak tokoh-tokoh dalam lakon tersebut disertai alasan-alan mereka mengapa tokoh-tokoh itu berbuat begitu. Yang berkaitan dengan bahasa, diharapkan pada tingkat ini juga telah bisa membedakan pemakaian bahasa yang diperankan oleh para tokoh-tokohnya. Pada jenjang SMA juga diberikan materi bermain peran dalam cerita-cerita wayang yang belum pernah diberikan. Langkah selanjutnya hampir sama dengan tekanan lebih mendalam, yaitu siswa lain diberikan peran untuk memperagakan tokohtokoh dalam lakon itu, kemudian guru memberikan penjelasan mengenai isi cerita dan bahasa yang dipakai dalam dialog tersebut. Isi cerita berkaitan bagaimana struktur ceritanya, filosofi yang terkandung di dalamnya, tokoh-tokoh dan karakternya, katakata yang digunakan moderatornya, dan sebagainya. Kalau perlu disertai dengan pementasan wayang kulit ringkas dengan tujuan untuk memberikan situasi yang lebihkonkrit. Juga filosofi-filosofi yang terkandung di dalamnya sesuai dengan lakon dan tokoh-tokoh pemeran dalam cerita itu. Dari sini dapat digali kandungan pendidikan budi pekerti seperti yang disebutkan dalam ekosistem sekolah yang diharapkan. Dalam jenjang ini ada tagihan nonakademik dan akademik. Materi bahasa dan sastra pada setiap pentahapan seperti telah disebutkan di atas merupakan salah satu materi kegiatan yang dipakai pada program GLS disamping materi utama yang telah ditentukan sebagai sebagai sumber bahan. Jika materi itu adalah cerita wayang (baik Ramayana maupun Mahabarata) guru harus memiliki pengetahuan dalam cerita pewayangan dan karakter para tokoh-tokohnya. Tidak kalah penting juga harus menguasai bahasa Jawa ragam ngoko dan krama (krama inggil) serta kaidah pemakaiannya. Hal ini tidak mudah dilakukan karena guru-guru bahasa Jawa pun saat ini belum tentu memiliki kemampuan tersebut, khususnya guru bahasa Jawa generasi muda banyak yang kemampuan bahasa Jawanya kurang. Namun demikian, guru memiliki kebebasan untuk memilih materi pendidikan mental sesuai dengan kemampuan dan kesenangan guru dan siswa. Yang terpenting dalam kegiatan membaca selama lima belas menit ini adalah tercapainya pembentukan budi pekerti (baik pikiran, watak, perangai, akhlak, perilaku) siswa secara bertahap dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah sehingga terwujud ekosistem sekolah yang diharapkan pada setiap jenjang pendidikan. Bahkan dengan pemberian materi bahasa dan sastra seperti diuraikan di atas dapat terbentuk ekosistem sekolah yang lebih kaya lagi dalam hal pengayaan budi pekerti yang luhur pada diri siswa. 152 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
SIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa revolusi mental dapat dilakukan melalui bahasa dan sastra dengan model GLS yang telah dicanangkan oleh Mendikbud. Revolusi mental itu dapat dilaksanakan dengan memberikan pilihan materi yang bersumber dari bahasa dan sastra yang mengandung nilai-nilai pendidikan budi pekerti. Materi bahasa yang dipilih dapat berupa tuturan dari bahasa daerah yang mengandung diksi-diksi ngoko dan krama atau kata dalam bahasa Indoensia yang santun atau tuturan yang santun sesuai konteks pemakaiannya, sedangkan materi sastra dapat dipilihkan dari teks cerita, dongeng, cerita wayang Ramayana dan Mahabarata yang mengandung nilai-nilai pendidikan mental atau budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari. Pengintegrasian materi itu dilaksanakan melalui gerakan literasi sekolah dalam tahapan pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Dengan mengintegrasikan materi bahasa dan sastra dalam GLS tersebut diharapkan dapat dicapai target ekosistem sekolah yang literat, yang dapat menumbuhkan budi pekerti peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA Ayuningtyas, Diah. 2015. “Mendikbud Luncurkan Gerakan Literasi Sekolah” m.tempo.co/read/news/2015/08/20. Ditjendikdasmen. 2016. Kemendikbud.
Desain
Induk
Gerakan
Literasi
Sekolah.
Jakarta:
_______. Buku Saku Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Kemendikbud. Jagita. 2014. “Revolusi Mental Melalui Pendidikan” http:// www.jagita.com/ news/ 2014 Oktober 15 Kemendikbud. 2013. Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kemendikbud. 2015. “Permendikbud https://kemendikbud.go.id.
Nomor
23
Tahun
2015”.
Kemenkominfo. 2015. “Revolusi Mental: Membangun Jiwa Merdeka Menuju Bangsa yang Besar”. https://kominfo.go.id. 2/10/2015. Pritchard, Ivor. (1988). “Character Education: Research Prospects and Problems”. American Journal of Education.Vol. 96.No. 4 (Aug., 1988). Pp. 469-495. Putut Setiyadi, Dwi Bambang dan Basuki. 2015. “Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Prosiding Seminar Nasional dalam Rangka Bulan Bahasa dan Sastra, 15 Oktober 2015 oleh Program Pascasarjana Universitas Widya Dharma Klaten bekerja sama dengan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah. Klaten: Unwidha Press.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 153
Sartono, Frans. 2014. “Revolusi Mental Berawal dari Bahasa”. Kompas.com, 23 November 2014. Sudaryanto. 1990. Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Supelly, Karlina. 2014. “Mengartikan Revolusi Mental” dalam Business-center.hapsastudia.com/opini/politik-di-indnesia
154 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
LIMA TEKNIK OPTIMALKAN MUTU LITERASI
Idhoofiyatul Fatin Universitas Muhammadiyah Surabaya Pos-el.
[email protected]
ABSTRACT Campus is a center of literacy. On campus, college student can do various literacy activities. Literacy activities for college students can be improved intensity and quality with the intervention of lecturers. Intervention can be the provision of the task of reading books. Giving task of reading is called active learning individual. It is done to maximize college student responsibility. Besides that, it is also to establish a culture of reading in college students’ personality. To be effective, must be given the task of reading that can facilitate collage students up to the stage of publication or presentation of their work. It is done so that the college student does not only record the contents of the book but also trying to understand the content of the book. Several alternative techniques that can be done to optimize the task of reading the college student is butogi (open rotating store), the challenge of reading, college ticket, and flipchart on the spot. Keywords: technique, optimal, literacy
PENDAHULUAN Literasi berasal dari bahasa latin, yaitu littera yang berarti huruf. Istilah tersebut terkait dengan aktivitas membaca dan menulis. Sulzby (dalam Mustafida, 2014:310) menyatakan bahwa literasi adalah kemampuan membaca dan menulis yang bisa diartikan melek huruf atau kemelekwacanaan. Yang dimaksud melek huruf atau kemelekwacanaan di sini bukanlah sekadar bisa membaca dan menulis tetapi juga harus mampu memahami makna atau pesan dari teks yang telah atau akan diciptakan. Dalam menciptakan sebuah tulisan, seorang penulis harus dapat mengungkapkan idenya dengan bantuan bahasa dan pemikirannya. Sebaliknya, untuk dapat memahami sebuah tulisan, seorang pembaca juga harus dapat memperoleh makna dari apa yang dibacanya dengan bantuan bahasa dan pemikirannya. Lebih lanjut, White (dalam Ghufron, 2014:107) menyatakan bahwa literasi adalah kompetensi dalam memahami wacana, baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis sehingga menampakkan pribadi sebagai profesional berpendidikan yang tidak hanya menerapkan untuk selama kegiatan belajar melainkan secara baik untuk selamanya. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa dengan literasi seseorang dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilannya secara berkelanjutan agar menjadi pribadi yang lebih baik. Oleh sebab itu, tidak heran jika muncul istilah “buku adalah jendela dunia” yang mengandung arti bahwa kegiatan membaca memegang peranan penting dalam sebuah kehidupan sebab dapat memperluas wawasan dan pengetahuan. Dengan wawasan dan pengetahuan tersebut, seseorang akan dapat menyikapi segala sesuatu dengan lebih baik. Di Indonesia, gerakan yang berhubungan dengan membaca sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1997, yaitu dicanangkannya Hari Kunjungan Perpustakaan. Selanjutnya pada tahun 2003 dicanangkan Gerakan Membaca Nasional oleh Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 155
pemerintahan Megawati. Gerakan tersebut dilanjutkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudiyono dengan nama Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat (Saputro, 2007). Lebih lanjut, pada tahun 2011 kembali dilakukan gerakan membaca dengan nama Gerakan Nasional Pembudayaan Membaca. Gerakan-gerakan tersebut dari tahun ke tahun akhirnya ditindaklanjuti dengan safari ke daerah-daerah. Banyak program yang berkaitan dengan membaca semakin semarak. Meski demikian, pada kenyataannya membaca belumlah menjadi sebuah kebudayaan di Indonesia. Hal tersebut terbukti dari data UNESCO pada tahun 2012 yang menunjukkan bahwa rendahnya persentase minat baca anak Indonesia, yaitu 0,01%. Data tersebut mengandung arti bahwa di antara 10.000 anak Indonesia, hanya 1 anak yang menyukai membaca (El-Fikri, 2016). Lebih lanjut, Hal tersebut sesuai dengan hasil survey yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2003, 2006 dan 2009 terhadap penduduk berusia 10 tahun ke atas. Hasil survei menunjukkan bahwa minat baca masyarakat menurun setiap tahunnya (Sutoyo, 2016). Bahkan, jika dilihat dari kaca mata dunia, Indonesia hanya menempati posisi ke-56 dari 65 negara dalam hal menafsirkan dan memadukan informasi bacaan (Anwar, 2016). Data-data tersebut menunjukkan bahwa program literasi yang dicanangkan pemerintah belum memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan minat baca masyarakat Indonesia. Menumbuhkan minat baca memang bukan hal yang mudah, apalagi mengingat budaya lisan orang Indonesia yang lebih suka menyimak dan berbicara. Oleh sebab itu perlu digunakan teknik yang mampu mengoptimalkan literasi, khusunya dalam aspek membaca. Penumbuhan budaya literasi dapat dimulai dari bidang pendidikan, dalam hal ini difokuskan pada perkuliahan, sebab aktivitas utama di kampus adalah belajar yang tidak lepas dari kegiatan membaca dan menulis. Di samping itu, terdapat kontrol dosen yang kuat untuk dapat menekankan budaya membaca di kampus. Kontrol tersebut dapat berupa pemberian tugas baca. Pemberian tugas baca tersebut efektif digunakan sebab mahasiswa merasa wajib dan tidak bisa menolak tugas yang diberikan dosen. Hal tersebut terbukti dari persentase mahasiswa yang menunjukkan bahwa 100% mahasiswa menyatakan bahwa mereka menerima tugas baca dosen untuk membaca buku referensi yang telah ditetapkan. Selain itu, 90,9% mahasiswa menyatakan bahwa menerima tugas dari dosen untuk membaca buku di luar buku referensi wajib yang diberikan. Persentase tersebut diperoleh dari angket tentang minat membaca pada mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya yang berjumlah 22 mahasiswa. Meskipun responden hanya berjumlah 22, namun setidaknya dapat memberikan gambaran mengenai besarnya pengaruh dosen dalam mengontrol mahasiswa dalam pembiasaan membaca. Kuatnya pengaruh dosen tersebut harus diberdayakan agar mahasiswa memiliki kebiasaan membaca. Menurut Kimbey (1975:662), kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya unsur paksaan. Meski demikian, kebiasaan bukanlah sesuatu yang alamiah dalam diri manusia tetapi merupakan hasil proses belajar dan pengaruh pengalaman dan keadaan lingkungan sekitar. Pengaruh pengalaman dan keadaan lingkungan inilah yang dapat diperankan oleh dosen untuk membiasakan mahasiswa membaca. Dengan adanya pengkondisian lingkungan yang diciptakan oleh dosen, lama kelamaan mahasiswa tidak akan merasa terpaksa dan terbiasa atau senang membaca. Dalam kegiatan pembelajaran, tugas membaca tersebut haruslah dapat dikemas agar terjadi pembelajaran aktif individual yang mampu memfasilitasi mahasiswa 156 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
hingga pada penyampaian apa yang dibacanya. Warsono dan Hariyanto (2014:33―34) menyatakan bahwa pembelajaran aktif individual adalah perwujudan metode pemberian tugas mandiri seperti membuat rangkuman, resensi, peta konsep, diagram pohon, dan lain-lain. Lebih lanjut, dinyatakan juga bahwa pembelajaran aktif mandiri ini banyak berkembang di perguruan tinggi negara Barat. Dua ahli dari Barat, yaitu Donald R. Paulson dan Jennifer L. Faust sepakat bahwa pembelajaran aktif dikembangkan sebagai alternatif atau pelengkap yang cerdas dalam implementasi metode ceramah. Meski demikian, pembelajaran tersebut juga dapat diterapkan dalam pembelajaran kolaboratif maupun kooperatif bergantung pada skenario yang dibuat oleh dosen. Pembelajaran aktif individual tersebut akan lebih efektif lagi jika ada tindak lanjut berupa publikasi atau penyampaian hasil baca. Jika hanya membaca tanpa adanya tindak lanjut, kegiatan literasi yang dilakukan mahasiswa tersebut akan terasa seperti angin lalu. Bahkan, terkadang tidak sedikit mahasiswa yang hanya sekadar mencatat kembali buku yang dibacanya tanpa berusaha memahami isi bacaan tersebut. Beberapa alternatif teknik yang dapat dilakukan untuk mengoptimalisasi tugas membaca mahasiswa adalah butogi (buka toko bergilir), kompetisi resensi, membaca tantangan, tiket kuliahku, dan pictogram on the spot. PEMBAHASAN Butogi (Buka Toko Bergilir) Melalui teknik ini, mahasiswa memperoleh tugas untuk merangkum sebuah buku dalam bentuk peta konsep. Peta konsep adalah perangkat grafis yang dimaksudkan untuk mengorganisasikan dan menjelaskan pengetahuan yang dalam wujudnya memiliki hal inti di bagian dengah kemudian memiliki banyak cabang sebagai hubungan antar konsep dengan konsep inti (Novak dan Canas dalam Warsono dan Hariyanto, 2014:122). Peta konsep tersebut dibuat dalam selembar karton. Pemilihan kertas karton sebagai media dilakukan agar dapat mempermudah mahasiswa untuk menunjukkan dan mempresentasikan hasil laporannya tersebut, mengingat jenis tugas yang diberikan adalah tugas individu. Di samping itu, teknik ini juga mengkondisikan agar seluruh mahasiswa dapat mempresentasikan hasil bacanya dengan waktu yang terbatas. Dalam pelaksanaanya, mahasiswa dibentuk dalam kelompok-kelompok untuk mempresentasikan peta konsepnya secara bergilir. Butogi (buka toko bergilir) merupakan nama yang diberikan berdasar langkahlangkah yang dilakukan dalam pembelajaran. Berikut adalah alternatif langkahlangkah dalam pelaksanaan Butogi. (1) Mahasiswa memperoleh tugas merangkum sebuah buku dalam bentuk peta konsep dalam selembar kertas karton. Tugas tersebut tentu sudah disampaikan beberapa minggu sebelum mahasiswa mempresentasikan laporan bacanya. (2) Mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mempermudah dalam mengatur jalannya presentasi. Jumlah kelompok bergantung pada jumlah mahasiswa dan lamanya waktu perkuliahan. (3) Kelompok pertama diminta untuk menempelkan peta konsepnya pada dindingdinding kelas dengan jarak yang telah ditentukan agar efektif. Peta konsep tersebut dianggap sebagai toko. (4) Mahasiswa yang telah membuka toko wajib mempromosikan tokonya dengan mempresentasikan peta konsep yang dibuatnya. Pelanggan atau mahasiswa yang belum membuka toko bebas memilih untuk mengunjungi toko yang telah buka. Di Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 157
sini mahasiswa yang membuka toko dituntut untuk dapat memahami dan kreatif dalam menyampaikan hasil bacanya. Waktu untuk mempromosikan tokonya adalah 15 menit. (5) Jika waktu berakhir, toko mahasiswa kelompok pertama harus ditutup (dicopot) dan diganti dengan dibukanya toko kelompok kedua (menempelkan peta konsep di dinding). Sama halnya dengan mahasiswa kelompok pertama, mahasiswa kelompok kedua harus mempromosikan tokonya dan berganti peran sebagai penjual, begitu sebaliknya. (6) Kegiatan tersebut dilakukan berulang sampai semua kelompok memperoleh kesempatan untuk membuka toko. (7) Setelah semua mahasiswa menjelaskan peta konsepnya, dosen memberikan penguatan dan evaluasi terhadap apa yang mereka jelaskan. Kompetisi Resensi Seperti namanya, kompetensi resensi, mahasiswa memperoleh tugas untuk membuat resensi dari hasil bacanya. Resensi adalah ulasan mengenai sebuah buku, termasuk kelebihan dan kekurangan buku tersebut dengan pemberian argument dan bukti yang dapat dipertanggung jawabkan (Nurhadi, 2016:84). Kegiatan meresensi tentu bukanlah hal baru bagi mahasiswa. Meski demikian, membuat resensi merupakan salah satu cara yang baik untuk melihat keseriusan mahasiswa dalam membaca dan memahami sebuah buku. Namun, akan terasa kurang optimal jika hanya membuat resensi dan dikumpulkan. Resensi yang telah dibuat mahasiswa perlu dikompetisikan. Kompetisi tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut. (1) Mahasiswa memasang resensinya di dinding kelas selama satu minggu. Jika jumlah mahasiswa terlalu banyak, dapat disiasati dengan menempel secara bergilir sesuai jangka waktu yang telah ditentukan. (2) Selama jangka waktu tersebut mahasiswa wajib menilai resensi temannya dengan menempelkan kata “tertarik” atau “tidak tertarik” pada kolom penilaian yang telah disediakan. Kata tertarik mewakili maksud bahwa pembaca resensi tertarik untuk membaca buku yang diresensikan. (3) Mahasiswa yang memperoleh kata “tertarik” lebih banyak adalah pemenangnya. (4) Selain dipasang di dinding, mahasiswa wajib mengirimkan resensinya tersebut ke media massa. Resensi yang dipublikasikan di media massa akan memperoleh nilai tertinggi dan menjadi pemenang. Oleh sebab itu, kecil kemungkinan bagi mahasiswa untuk melakukan plagiat dan mereka akan termotivasi untuk membuat yang terbaik. Membaca Tantangan Pada teknik ini, mahasiswa diminta untuk membaca buku dan menceritakan atau menjelaskan isi buku yang dibacanya. Buku yang dibaca mahasiswa pada teknik ini lebih diutamakan buku motivasi atau sastra. Kedua jenis buku tersebut akan lebih efektif digunakan karena Kegiatan ini hanya dilakukan selama sekitar 15 menit untuk setiap kali pertemuan, bisa dilakukan sebelum atau sesudah kegiatan pembelajaran inti. Daftar buku yang harus dibaca mahasiswa juga sebaiknya telah ditentukan sebelumnya oleh dosen. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa mahasiswa membaca dan menceritakan buku baru, bukan menceritakan buku yang pernah dibacanya. Agar lebih menarik dan efektif, hasil baca tersebut dikemas dalam bentuk poster. Poster adalah media yang mengkombinasikan anatara visual dari rancangan yang kuat 158 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
dengan warna serta pesan dengan maksud untuk menangkap perhatian orang (Sudjana, 2005:51). Poster di sini tentu berbeda dengan poster iklan. Karena digunakan sebagai media pembelajaran, poster di sini berisi tentang materi atau isi buku yang dibaca mahasiswa. Mahasiswa harus mampu mengkombinasikan antara visual gambar dan tulisan agar dapat menarik perhatian orang lain untuk mendukung presentasi yang akan dilakukannya. Berikut ini alternatif pelaksanaanya di kelas. (1) Dosen menyiapkan daftar buku yang harus dibaca mahasiswa. Buku tersebut tentu harus ada atau mudah ditemukan mahasiswa. (2) Pada kesempatan pertama, dosen dapat memberikan tantangan membaca salah satu buku pada mahasiswa. Bisa dengan diundi atau yang lainnya. Mahasiswa yang memperoleh tantangan dari dosen diberi kesempatan selama satu minggu untuk membaca buku tersebut dan membuat poster. (3) Pada pertemuan selanjutnya, mahasiswa yang ditantang dosen harus menceritakan isi buku tersebut dan menjawab beberapa pertanyaan mahasiswa lain tentang isi buku selama 15 menit. (4) Mahasiswa yang telah menceritakan isi buku tersebut memperoleh kesempatan untuk menantang atau menunjuk salah satu temannya untuk membaca salah satu buku dalam daftar tantangan. Mahasiswa yang menantang berhak memilih judul buku dan mahasiswa yang ditantang harus bersedia menerima tantangan. Kegiatan tersebut diulang setiap minggunya hingga semua mahasiswa memperoleh kesempatan untuk menceritakan isi buku yang dibacanya. (5) Jika jumlah mahasiswa banyak, dapat disiasati dengan dibagi menjadi dua kelompok dan mahasiswa dapat menceritakan pada kelompok masing-masing secara bersamaan. Tiket Kuliahku Teknik ini menuntut mahasiswa untuk aktif membaca materi pembelajaran sebelum dibahas dalam pertemuan di kelas. Setiap mahasiswa diwajibkan untuk membuat ringkasan. Ringkasan tersebut digunkan sebagai tiket untuk mengikuti perkuliahan. Mahasiswa yang tidak membawa ringkasan tidak diperkenankan untuk mengikuti perkuliahan. Karena mengambil konsep tiket, mahasiswa harus membawa dan menunjukkan ringkasannya tersebut sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Hal tersebut dilakukan agar mahasiswa dapat lebih optimal dalam memahami materi yang akan dibahas karena telah memiliki skemata sebelum diadakannya diskusi atau pendalaman materi bersama dosen. dengan demikian, mahasiswa tidak lagi mengikuti perkuliahan dengan pemahaman yang kosong. Agar lebih efektif, ringkasan yang menjadi tiket kuliah tersebut dibuat dalam bentuk bagan. Bagan adalah salah satu media pembelajaran dua dimensi yang dirancang untuk memvisualisasikan secara logis dan teratur mengenai fakta pokok atau gagasan (Sudjana, 2005:27). Tiket yang berbentuk bagan tersebut tidak langsung dikumpulkan, tetapi perlu dipresentasikan terlebih dahulu. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar mahasiswa tidak hanya sekadar menyalin apa yang dibacanya. Diharapkan mahasiswa dapat lebih berusaha untuk memahami materi karena memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan apa yang diringkasnya kepada temannya. Kegiatan presentasi yang dilakukan mahasiswa dapat dilakukan dengan menggunkan kelompok berpasangan. Hal tersebut akan dapat mengefektifkan waktu perkuliahan yang terbatas. Pelaksanaannya adalah sebagai berikut.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 159
(1) Mahasiswa dibentuk kelompok berpasangan dan saling berhadapan dengan pasangannya. (2) Mahasiswa menentukan giliran presentasi pada setiap kelompoknya. (3) Mahasiswa yang memperoleh giliran pertama mempresentasikan tiket kuliahnya pada pasangannya, kemudian bergantian mahasiswa yang memperoleh giliran kedua. Presentasi tersebut dilakukan serentak seluruh pasangan. Flipcart On The Spot Flipcart adalah lembaran kertas yang berbentuk album namun memiliki ukuran yang lebih besar dan disusun sesuai urutan penyajian materi yang diinginkan serta diikat bagian atasnya (Indriana, 2011:66). Sedangkan On The Spot adalah salah satu acara Tv yang menampilkan tujuh hal unik yang terkadang terlewat dari perhatian masyarakat. dua konsep tersebut digabung menjadi flipcart on the spot yang merupakan media berbentuk album dengan penyajian berurutan dan terikat menjadi satu kesatuan yang menyajikan materi tentang hal yang terlewatkan. Hal yang terlewatkan tersebut adalah biografi atau latar belakang pencetus sebuah teori. Banyak teori yang muncul namun terkadang tidak banyak yang mengetahui biografi atau latar belakang pencetus teori tersebut. Melalui teknik ini, mahasiswa diminta untuk mencari tujuh tokoh yang paling terkenal atau berpengaruh terhadap kemunculan sebuah teori. Teori tersebut tentu disesuaikan dengan mata kuliah yang diprogram. Sebagai contoh, mahasiswa diharuskan membuat flipcart on the spot dari tokoh yang melatarbelakangi munculnya struktur pembelajaran kooperatif dalam mata kuliah Strategi Pembelajaran. Mahasiswa dibentuk kelompok untuk membuat flipcart. Meskipun berkelompok, tapi setiap mahasiswa bertanggung jawab atas satu biografi tokoh. Setiap kelompok memperoleh kesempatan untuk mempresentasikannya sesuai dengan jadwal materi yang telah disepakati. Penjelasan mengenai biografi tersebut bukanlah materi utama dalam pembelajaran, namun merupakan materi pengantar atau penutup dalam kegiatan pembelajaran sebagai penambah pengetahuan. SIMPULAN Beberapa alternatif teknik yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan tugas membaca mahasiswa adalah butogi (buka toko bergilir), kompetisi resensi, membaca tantangan, tiket kuliahku, dan flipcart on the spot. Pada teknik Butogi, mahasiswa diminta untuk membuat peta konsep dalam selembar karton. Karton tersebut dianggap toko dan mahasiswa harus mempresentasikan atau mempromosikan tokonya secara bergiliran. Pada teknik kompetisi resensi, mahasiswa tidak hanya membuat resensi, tetapi juga dikompetisikan baik dalam kelas maupun pada media. Mahasiswa yang berhasil mempublikasikan resensisnya di media massa atau memperoleh penilaian tinggi dari rekannya akan menjadi pemenang. Pada teknik tiket kuliahku, mahasiswa diwajibkan membuat rangkuman materi yang akan dipelajari sebagai tiket untuk mengikuti perkuliahan. Rangkuman tersebut berbentuk bagan dan dipresentasikan pada kelompok pasangan. Pada teknik flipcart on the spot, mahasiswa diminta untuk membuat flipcart yang berisi biografi tujuh tokoh yang paling terkenal atau berpengaruh terhadap kemunculan sebuah teori. Meskipun dibuat secara berkelompok, mahasiswa harus bertanggung jawab atas satu biografi tokoh. Kelima teknik tersebut diharapkan dapat meningkatkan mutu literasi sebab kelima teknik tersebut tidak hanya membuat mahasiswa membaca tapi juga mempublikasikan atau mempresentasikan
160 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
hasil bacanya. Dengan adanya kegiatan publikasi atau presentasi, mahasiswa akan lebih berusaha untuk memahami dan bertanggung jawab atas hasil bacanya.
DAFTAR PUSTAKA Anwar, Samsun Juni. 2016. “Fenomena Baca Tulis di Indonesia”. www.kompasiana.com. 3 April El-Fikri, Syahruddin. 2016. “Menumbuhkan Minat Baca Masyarakat”. www.republika.co.id. 3 April. Ghufron, Syamsul. 2014. “Akselerasi Budaya Literasi di Perguruan Tinggi”. Dalam Proseding Seminar Nasional Plus Membangun Peradaban Generasi Emas Melalui Literasi. (Oktober). Surabaya. Indriana, Dina. 2011. Ragam Alat Bantu Media Pengajaran. Yogyakarta: Diva Press. Mustafida, Hanifa. 2014. “Peran Buku Teks dalam Pendidikan Literasi”. Dalam Proseding Seminar Nasional Plus Membangun Peradaban Generasi Emas Melalui Literasi. (Oktober). Surabaya. Nurhadi. 2016. Teknik Membaca. Jakarta: Bumi Aksara. Saputro, Romi febriyanto. 2007. “Kampanye Membaca Miskin Perpustakaan”. Dalam Majalah Genta Pustaka. 6 (Juni―Juli, I). Semarang. Sutoyo, Agus. 2016. “Duta Baca Indonesia Andy F. Noya: Pentingnya Gemar Membaca Sejak Dini”. www.kelembagaan.perpusnas.go.id. 3 April. Warsono dan Hariyanto. 2014. Pembelajaran Aktif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 161
162 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
MEME COMIC INDONESIA (MCI) PRODUK REVOLUSI MENTAL ANAK BANGSA
Pheni Cahya Kartika Universitas Muhammadiyah Surabaya
[email protected]
ABSTRACT Mental revolution seems to seek to affirm with every effort to make it happen, but as the development of the modern age seems to undermine the nation, especially the young child's mental, social media that have proliferated as if into their daily lives. Cleverness without good mental will give birth to a generation that is said to be upto-date as well, Meme Comic Indonesia or abbreviated MCI one of the largest social media that appears on some social media such as Website (account center), instagram, facebook and others, this account processing data such as pictures, photos and videos were edited in such a way to produce images and impressions that are appropriate although it is insulting, degrading mencarci and demeaning others, but I have had a goal just mere entertainment, the big question of course, is to denounce the entertainment for the youth in our country and whether intelligence in the form of an image as a destination for entertaining mengkreasi become one of the outputs of the education agency that has taught students in the field of iT, are not there many other things if for mere entertainment mencipkan by motivating pictures, photos or video the like without degrading a particular party. the purpose and benefits of why you should analyze about Meme Comic Indonesia (MCI) Product Revolution Mental Nations Children to determine the extent of the response of society, especially academics that much berkecipung education world as Teachers and Lecturers capable of addressing the phenomenon, because the mental revolution as accompanist daalam provide teaching in educational institutions then be analyzed is to analyze and classify the meaning of words generated variables MCI within two months, the month of June and July. Keywords: social media, meme comic, mental revolution
PENDAHULUAN Revolusi mental nampaknya sudah terdengar lama dari jaman ke jaman di negara kita hingga banyak para pemimpin dilingkungan apapun berupaya meneguhkan dengan segala upaya untuk mewujudkannya, namun seiring perkembangan jaman modern rupanya menggerus mental anak bangsa khususnya remaja, kepintaran tanpa mental yang baik akan melahirkan generasi yang dikatakan kaleng kosong semata, media sosial yang menjamur dan menjadi teman keseharian mereka. Banyak kasus kenakalan remaja bermula dari media sosial. Banyak pula media sosial yang mampu memberikan dampak positif pula, misalnya akun yang berisi kata kata motivasi berbasis islami, lembaga sosial yang bergerak dibidang sosial kemanusiaan maupun komunitas remaja lainnya berbasis output yang positif, tetapi bagaimanapun beberapa akun yang tersebar di media sosial ada yang lebih mendominasi dan memiliki rangking teratas yang dibutyikan dengan jumlah pengikut terbanyak pula, meski akun tersebut hanya bersifat hiburan semata. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 163
Media sosial social (Facebook, Twitter, Path dan Instagram) adalah keniscayaan sejarah yang telah membawa perubahan dalam proses komunikasi manusia. Proses komunikasi yang selama ini dilakukan hanya melalui komunikasi tatap muka, komunikasi kelompok, komunikasi massa, berubah total dengan perkembangan teknologi komunikasi dewasa, khususnya internet. Perubahan tersebut akan membawa konsekuensi-konsekuensi proses komunikasi (Simanullang, 2015) Meme Comic Indonesia atau disingkat MCI salah satu comik media sosial terbesar yang muncul pada beberapa media sosial seperti Website (akun pusat), instagram, facebook dan lainnya, akun ini mengolah data berupa gambar, foto dan video yang diedit sedemikian rupa hingga menghasilkan gambar dan tayangan yang sesuai meski itu menghina, merendahkan mencarci dan merendahkan pihak lain, namun aku ini memiliki tujuan hanya hiburan semata, menjadi pertanyaan besar tentunya, apakah dengan mencela hiburan untuk pemuda di negara kita dan apakah kepintaran dalam bentuk mengkreasi gambar sebagai tujuan menghibur menjadi salah satu output lembaga pendidikan yang sudah mengajarkan siswanya dalam bidang IT, bukankah ada banyak hal yang lainnya jika untuk menciptakan hiburan semata dengan memotivasi gambar, foto atau video sejenisnya tanpa merendahkan pihak tertentu. maka yang akan dianalisis adalah menganalisis dan mengklasifikasikan variabel makna kata yang dihasilkan MCI dalam waktu 2 bulan ini, yakni bulan Juni dan Juli. Tujuan dan manfaat mengapa harus menganalisis mengenai Meme Comic Indonesia (MCI) Produk Revolusi Mental Anak Bangsa untuk mengetahui sampai sejauh mana respon masyarakat khususnya kalangan akademik yang banyak berkecipung didunia pendidikan seperti Guru dan Dosen mampu menyikapi fenomena tersebut, karena revolusi mental seakan pengiring daalam memberikan pengajaran di lembaga pendidikan, PEMBAHASAN Hubungan Kesehatan dan Revolusi Mental Kesehatan fisik seseorang berhubungan erat dengan mental seseorang, menurut Goldberg dalam Moeldjno mengungkapkan terdapat tiga kemungkinan hubungan antara sakit fisik dan mental, pertama orang mengalami sakit mental disebabkan sakit fisiknya, karena kondisi kesehatan mntal bergantung kesehatan fisiknya, karena kesehatan fisik menjadi peribadi yang tertekan sehingga menimbulkan akibat sekunder berupa gangguan secara mental. Kedua sakit fisik yang diderita itu sebenarnya gejala adanya gangguan mental, ketiga antara gangguan mental dan sakit secara fisik adanya saling menopang, bahwa artinya orang sakit fisik mempengaruhi mentalnya, dan gangguan mental turut memperparah sakitnya. (2014;10) Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa memperbaiki mental seseorang dimulai dari memperbaiki fisiknya, Revolusi mental sendiri menurut Istilah revolusi memiliki arti (1) perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata); (2) perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang (Tim Penyusun Kamus, 1997:840). Mental bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga (Tim Penyusun Kamus, 1997:646) Pembahasan mengenai revolusi mental juga disampaikan dalam tulisan Putut Setyadi oleh Sudaryanto (Kompas.com 23 November 2014), salah satu pakar bahasa atau linguistik, yang mengatakan bahwa revolusi mental dimungkinkan kalau orang kembali menyadari fungsi hakiki bahasa, yaitu untuk mengembangkan akal budi dan 164 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
memelihara kerja sama. Selanjutnya dikatakan bahwa manakala akal budi tidak dikembangkan dan kerja sama tidak dipelihara dengan bahasa akibatnya akan terjadi hiruk-pikuk di pentas politik dan peristiwa-peristiwa lain yang membuat meja bergelimpangan, batu-batu beterbangan, dan sebagainya.Pendidikan mental melalui pembelajaran bahasa dapat dilakukan melalui pemilihan materi-materi yang menyangkut pemilihan kosakata, frasa, maupun kalimat yang mengandung kesantunan baik melalui media bahasa lisan maupun tulis. Selain itu, juga pengetahuan tentang komponen tutur yang menyangkut siapa yang berbicara, dengan siapa, kapan, dalam situasi yang bagaimana, bagaimana norma bicara, dan sebagainya dapat juga memperjelas bagaimana ragam atau pilihan bahasa yang digunakan, (Setya,2015) Revolusi mental dan bahasa sebagai identitas Dalam kehidupan sehari hari, praktek revolusi mental adalah menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong. Revolusi mental adalah suatu gerakan untuk mengembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala nyala, itu adalah gagasan Ir. Soekarno (Kominfo. 2015) Membangun jiwa bangsa saat ini menjadi prioritas bukan hanya membangun fisik yang bersifat material saja. Gerakan revolusi mental telah digaungkan kembali presiden Jokowi karena semakin relevan bagi bangsa indonesia yang sedang menghadapi beberapa faktor masalah, antara lain merosotnya wibawa bangsa, merebaknya intoleransi ,dan berakhir melemahnya sendi sendi perekonomian. Nampaknya masalah ini perlu segera diselesaikan. Lalu akan timbul pertanyaan bagaimana masalah ini selesai? Apakah memang benar dengan revolusi mental mampu mewujudkan solusi dari permasalah bangsa kita? Maka perlu ada persamaan persepsi terlebih dahulu mengenai solusi yang digagas Presidin Jokowi, revolusi mental memiliki arti kata Revolusi yang menurut KBBI perubahan ketatanegaraan (pemerintah atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan atau perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang namun ada pula yang mengartikan suatu gerakan radikal maupun masif yang berkaitan dengan mental. Setelah memahami secara arti tentunya kita harus meluruskan sikap apa saja yang dikatakan sebagai revolusi mental, maka Kemndikbud angkat bicara menyoal hal tersebut yang dikutip lisan oleh Natsir Zubaidi dalam Mi’raj Islamic News Agency (MINA) bahwa salah satu kegiatan revolusi mental dalam dunia pendidikan yakni Full Day School dan penerapan materi Bahaya Merokok dalam keadaan proses belajar mulai anak usia dini hingga sekolah menengah. Namun tak pula dituangkan secara eksplisit dalam mata pelajaran karena tidak saja seolah olah semua permasalahan masuk kurukulum.paling tidak lebih ditekankan pada pendidikan karakter. Maka jika tujuan Revolusi mental adalah menggemblengan bangsa kita agar berpola pikir yang baik, berdikari, mandiri sehingga terbentuk manusia yang bermental karakter. Remaja bangsa Indonesia rupanya menjadi sorotan tersendiri jika berhubungan dengan mental yang berkarakter, karena sebagaian besar permasalahan sosial negara ini adalah persoalan remaja, permasalahan yang berhubungan dengan fisik sampai jiwa remaja, tentunya beragam. Persoalan MCI sebagai produk revolusi mental Kamus Merriam-Webster mendefinisikannya sebagai “sebuah ide, kebiasaan atau gaya yang menyebar dari orang ke orang dalam suatu budaya”. Istilah meme Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 165
sendiri pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli biologi asal Britania Raya, Richard Dawkins. Akar katanya berasal dari bahasa Yunani, yakni mimesis, yang berarti tiruan. Dawkins memaknai meme sebagai suatu unit informasi budaya (berupa pemikiran, ide, gagasan, kebiasaan, lagu) yang membentuk pola-pola kebudayaan tertentu.Ia menganalogikan meme dengan gen, gen seperti yang ada di tubuh manusia. Oleh karena meme dianalogikan sebagai gen, maka dapat kita ketahui bahwa meme memiliki ciri serupa dengan gen. Meme comic awalnyadiprakarsai oleh Whynne (seorang user DeviantART). Yang sebenarnya, dalam post-nya, Whynne ingin menggambarkan karakter yang bernama 'Rape Rodent'. Kini, Ekspresi tersebut sering digunakan untuk post-post dalam rage comics untuk mengekspresikan kejahilan. Tapi lama kelamaan Rage comic ini semakin populer sehingga si contributor menambahkan ekspresi ekspresi baru, dengan tujuan belajar bahasa inggris, sebab ekspresi wajah di meme gampang dikenali, Beberapa terlihat ekspresi wajah wajah di rage comic, Menurut wikipedia, Meme Comic adalah The term Internet meme (pronounced /ˈmiːm/; meem)[1] is used to describe a concept that spreads via the Internet.[2] The term is a reference to the concept of memes, although te latter concept refers to a much broader category of cultural information. Atau jika diterjemahkan menjadi : Meme (dibaca mim) digunakan untuk mendeskripsikan sebuah konsep yang menyebar lewat internet. Istilah ini menjurus pada istilah meme sendiri, walaupun arti sebenarnya dari kata meme menjurus pada konsep atau kategori tentang informasi sebuah kultur secara luas. Dalam pengertian tersebut, terdapat kalimat sebuah konsep yang menyebar lewat internet. Berdasarkan hal tersebut Meme Comic tersebut menjadi konsumen para pengguna internet. Baik berupa gambar, video, tulisan hingga komik karena topik yang dibahas dalam meme comic berbagai macam, ada yang mengenai suatu hal terbaru/ berita baru, atau kejadian masa lalu yang telah hilang dan bahkan tentang kesalahan seseorang. Intinya menyoroti tentang apa yang orang tersebut lakukan dan kesalahannya sampai terkesan menjadi bahan tertawaan. MCI nampaknya lebih diketahui para remaja karena penggunaan media sosial yang sebagian besar penggunanya juga remaja, bagi masyarakat lain seperti anak anak maupun orang tua bahkan tidak memahami fenomena tersebut. Ini akan menimbulkan masalah baru dari beragam persoalan yang terjadi dengan remaja kita, lagi lagi karena penggunaan media sosial yang kurang tepat, Revolusi Mental nampaknya harus mulai berperan dalam menyelesaikan persoalan tersebut, mengacu pada pendapat sebelumnya, perlunya ditentukan indikator pendidikan berbentuk revolusi mental, komunitas creator meme yang paling dikenal adalah Meme Comic Indonesia (MCI) di facebook. Setiap harinya ada ratusan meme yang dibuat dan dipublikasikan oleh Meme Comic Indonesia tersebut. Karena tampilannya yang berupa gambar, maka ide yang disampaikan creator akan lebih mudah ditangkap oleh para pembaca. Dan Meme Comic juga memberikan humor segar yang membuat para penggunanya merasa saling terhubung. Karena mudahnya akses untuk melihat meme tersebut, tanpa kita sadari ternyata itu berefek kepada psikologi dan bahasa para remaja dimasa kini., ruang gerak pembuatan meme di Indonesia dibatasi undang-undang yang berkaitan dengan ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) dan pencemaran nama baik. Jadi, jika meme yang dibuat bertujuan untuk menjelek-jelekkan seseorang atau sekelompok orang, maka sudah tentu akan terkena hukuman.
166 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Inilah beberapa dampak yang ditimbulkan dengan adanya meme comic terhadap para remaja : a. Menganggap Segala Sesuatu Dapat Dibuat Candaan Hal ini menjadi salah satu yang berbahaya dari adanya meme. Karena topik yang dibahas dalam meme comic adalah yang paling up to date, maka terkadang sebuah masalah dan musibah pun dijadikan meme tersebut. Mungkin niat nya untuk mencairkan suasana, namun hal itu menjadi sangat menyakitkan apabila keluarga korban membacanya. Salah satunya ketika tragedi AirAsia. Penulis pernah mendapatkan ada komentar yaitu “mungkin pesawatnya diculik Maddog” atau “pesawatnya dihancurkan Chuck Norris” dsb. Sungguh sangat tidak etis membacanya. b. Membuat Ketagihan dan Lupa Waktu Para Pembaca Hal ini adalah sebuah fakta yang dialami oleh salah satu saudara penulis. Ia membuka Meme Comic Indonesia dan situs 1cak hingga lupa waktu, seakan hidupnya hanya untuk kedua situs tersebut. Selain itu psikologis nya akan terganggu karena terus-terusan melihat humor dan membuatnya sulit untuk berkonsentrasi dan serius terhadap sesuatu. Situs tersebut bagaikan memberikan zat adiktif bagi para pembacanya untuk terus mengikuti update meme terbaru dari situs tersebut dan tentunya cukup berpengaruh pada kondisi psikologis seseorang. c. Mudah Men-Cap Buruk Sesuatu Di point yang ketiga ini, penulis yakin semua akan setuju, karena banyak dari creator meme yang bertujuan menyudutkan salah satu pihak ketika membuat kesalahan. Salah satunya dalam kasus PKS, FPI bahkan Haji Lulung yang telah dibahas. Banyak meme yang berkeliaran ketika ada suatu masalah tentang organisasi tersebut. Tujuannya tentu adalah menyudutkan, bahkan mereka yang mungkin belum tahu akan kejelasan suatu masalah akan langsung mencap bahwa organisasi tersebut adalah organisasi yang buruk karena membaca meme yang telah tersebar luas. Beberapa dampak yang ditimbulkan dari Meme Comic yang sering dibaca oleh para remaja. Memang creator itu sangat kreatif dengan menciptakan meme comic yang bertujuan untuk menghibur ini. Namun, bercanda dan membuat humor harus memperhatikan situasi dan kondisi dimana candaan itu tidak menyakiti atau menjatuhkan banyak pihak. Jangan sampai karena suatu candaan bangsa kita menjadi mudah terpecah belah. Meme Tentang PKS
Apabila kita analisis contoh tersebut jelas sekali bahwa gambar komik tersebut bisa berdampak masyarakat terutama pihak yang terkait, dari segi pemaknaan kalimat yang dimunculkan bisa membuat asumsi berbeda terutama tanggapan negatif.
Dimensi ideologi dalam gambar meme dapat saja berasal dari kepentingan individu, golongan, maupun kelompok. Salah satu contoh yang paling jelas adalah ketika pemilu presiden tahun kemarin, dimana praktik seni meme menjadi senjata dalam propaganda masing-masing kelompok politik yang bersaing. Baik propaganda yang mengarah positif untuk citra masing-masing pihak, maupun propaganda negatif Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 167
atau black campaign untuk menjatuhkan lawan politik. Pada akhirnya beginilah realitas seni meme hari ini yang begitu sederhana namun amat menggoda mata. Ia telah menjadi karya fenomenal yang menyedot secara massif perhatian masyarakat dari berbagai kelas sosial. Berdasarkan hal tersebut jika dianalisis terdapat beberapa hal yang terkait dengan wujud permasalahan remaja antara lain: 1. Dilihat dari komentar tentang gambar komik yang telah diunggah, setidaknya sebagian besar menyatakan like atau menyukai komik tersebut, baik jumlah yang mengeklik tanda suka maupun yang mengomentari gambar, tak terlepas dari komentar baik atau tidak. 2. Dari sekian komik selama 2 bulan didapatkan pengklasifikasian sederhana yang mencakup 2 hal gambar komik yang termasuk memotivasi pembaca dan hanya gurauan semata dengan bentuk sindiran, cacian, dan mengkamninghitamkan gambar/ foto orang lain. Jika analisis ini kita kaitkan dengan revolusi mental, jelas inilah salah satu produk remaja yang memiliki mental yang kurang baik, sejauh mana kita membiarkan persoalan sosial yang mendasar ini terus berlanjut, jika revolusi mental yang harus mulai ditanamkan sebagai bentuk perubahan yang cukup mendasar dalam persoalan remaja belum diimplementasikan dalam lembaga pendidikan khususnya. SIMPULAN Tujuan Revolusi mental adalah menggemblengan bangsa kita agar berpola pikir yang baik, berdikari, mandiri sehingga terbentuk manusia yang bermental karakter. Remaja bangsa Indonesia rupanya menjadi sorotan tersendiri jika berhubungan dengan mental yang berkarakter, karena sebagaian besar permasalahan sosial negara ini adalah persoalan remaja, permasalahan yang berhubungan dengan fisik sampai jiwa remaja, tentunya beragam. Cara berkomunikasi melalui ilustrasi meme memiliki manfaat (khususnya dalam dunia maya) seperti sebagai hiburan bagi banyak orang, mengembangkan imajinasi dengan membuat cerita lucu, mengetahui informasi baru secara tidak langsung mengenai fenomena sosial yang ada, dan lain sebagainya. Meme sebagai hiburan memiliki fungsi untuk menghilangkan kejenuhan maupun mengurangi beban pikiran. Karena melalui cerita-cerita lucu, orang akan terhibur dan suasana hatinya akan menjadi lebih baik, namun kehadirannya bisa dikatakan wujud mental remaja yang ada, sikap ketatanegaraan yang menjadi tujuan revolusi mental hendaknya bukan saja mencuri perhatian kita saja, namun perlunya tindakan yang tegas. DAFTAR PUSTAKA Chandra Jayaatmaja, Surya. 2015. Meme Karya Seni Yang Postmodern. Artikel harian Selasar Budaya, 03 Maret 2015. https://www.selasar.com/budaya/meme-karyaseni-yang-postmodern. Di akses 02 September2016 pukul 19.30 WIB Jagita. 2014. ―Revolusi Mental Melalui Pendidikanǁ http:// www.jagita.com/ news/ 2014 Oktober 15 pukul 13.20 WIB Kemendikbud. 2013. Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
168 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Kominfo. 2015.- Revolusi mental: membangun jiwa merdeka menuju bangsa besar / http;/ pukul 09.42 WIB Sartono, Frans. 2014. ―Revolusi Mental Berawal dari Bahasaǁ. Kompas.com, 23 November 2014. Sudaryanto. 1990. Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Supelly, Karlina. 2014. ―Mengartikan Revolusi Mentalǁ dalam Business-center. hapsastudia.com/opini/politik-di-indnesia Meme. 2015.—II https://id-id.facebook.com/notes/troll-meme-indonesia-tmi/sejarahdan-asal-usul-memerage-comic/135375559964828 / diterbitkan kembali pada 15 Agustus 2016 pukul 13.30 WIB Mina News. 2016. Gagasan Mendikbud pelaksanaan revolusi mental-nya Presiden. Jakarta: Mina. www.minanews.com diterbitkan kembali 1 september 2016 Nauhafhlf. 2015. Dampak meme bagi psikologis remaja. Bandung: https:// naufalhf.wordpress.com/2015/03/12/meme-comic-dampaknya-bagi-psikologisremaja/ diterbitkan kembali 5 September 2016 Simanullang , 2015. Fenomena meme: Riau. http://erpandsima. blogspot. co.id/2015/04/fenomena-meme-di-media-sosial-dan.html. Diterbitkan kembali tanggal 6 September 2016
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 169
170 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DALAM PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA INDONESIA
Warsiman Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Jl. Veteran, Malang 65145, Telp. 0341-575875, pos-el:
[email protected]/
[email protected]
ABSTRAK Dewasa ini bahasa Indonesia semakin ditinggalkan. Upaya pemerintah untuk mewujudkan peran dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara mulai dipertanyakan. Banyak kebijaksanaan paradoksal pemerintah yang terasa tidak berpihak pada pengembangan Bahasa Indonesia.Yang terbaru pemerintah mencabut kewajiban orang asing yang hendak berinvestasi ke Indonesia tidak perlu menguasai Bahasa Indonesia. Badan Bahasa yang menjadi garda depan pengembangan bahasa di Indonesia tampaknya tidak berdaya menentang kebijaksanaan tersebut. Kenyataan itu tidak sejalan dengan upaya kita selama ini. Betapa gigih para pengelola negeri ini pada masa awal kemerdekaan menetapkan kebijaksanaan dengan mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Demikian pula kedudukannya sebagai bahasa negara, pemerintah menetapkan kebijaksanaan mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Melalui beberapa kali kongres bahasa, pemerintah berupaya pula memantapkan kebijaksanaan pembakuan bahasa, pedoman peristilahan, pedoman penyerapan dan sebagainya. Semua upaya tersebut diharapkan agar bahasa Indonesia mencapai kesempurnaan dan dapat menunjukkan jati diri. Namun, upaya itu tidaklah cukup tanpa suatu komitmen kebijaksanaan yang berkesinambungan. Pemerintah harus terus mendorong tercapainya perkembangan optimal dan efektif baik dari segi kualitas maupun kuantitas para pemakai bahasa Indonesia. Lebih-lebih pemerintah harus membuat kebijaksanaan yang berpihak pada pengembangan Bahasa Indonesia ke depan. Tanpa hal tersebut, maka upaya kita selama ini akan seperti panggang yang jauh dari api. Kata kunci: kebijaksanaan pemerintah, pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia.
PENDAHULUAN Sejak ditetapkan sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 September 1928, bahasa Indonesia terus mengalami perkembangan. Lebih-lebih setelah pemerintah secara resmi mengangkatnya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, pemakaian bahasa Indonesia menjadi lebih luas. Bahkan, hampir semua bidang kehidupan di negeri ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar perhubungan. Sebagai alat komunikasi dan interaksi, bahasa Indonesia tidak mungkin menghindari kontak dengan bahasa-bahasa lain, termasuk dengan bahasa daerah. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa bahasa daerah yang ada di negeri kita ribuan jumlahnya. Demikian pula masuknya bahasa asing sebagai konsekuensi perkembangan global, tidak mungkin kita hindari. Justru bahasa daerah dan bahasa asing tersebut dapat memperkaya bahasa Indonesia terutama dari segi perbendaharaan kata (Badudu, 1979:7). Sungguhpun bahasa Indonesia diperkaya oleh bahasa lain, tetapi tidak sampai
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 171
pada segi struktur bahasa. Oleh karena itu, bahasa Indonesia tetap dapat menunjukkan jati dirinya (Warsiman, 2007:1-2). Dalam upaya pembinanaan dan pengembangan bahasa Indonesia, sejak tahun 1938 hingga dewasa ini setidaknya telah delapan kali kongres bahasa diselenggarakan. Kebijaksanaan pembakuan bahasa, pedoman peristilahan, pedoman penyerapan dan sebagainya, terus dilakukan agar bahasa Indonesia mencapai kesempurnaan dan dapat menunjukkan jati diri mengambil suatu kebijaksanaan dengan menetapkan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa nasional, pada tanggal 18 Agustus 1945, dua hari setelah kemerdekaan, pemerintah menetapkan bahasa nasional kita adalah bahasa Indonesia. Demikian pula kedudukannya sebagai bahasa negara, pemerintah menetapkan kebijaksanaan mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. inya. Kebijaksanaan Bahasa Kata kebijaksanaan yang sering dipertukarkan dengan kata kebijakan sesungguhnya memiliki arti yang sangat berbeda. Kata Kebijaksanaan dalam istilah Inggris adalah policy, berbeda dengan kata kebijakan yang dimaknai sebagai wisdom. Kata kebijaksanaan bila diartikan secara harfiah dapat bermakna menentukan sikap atau mengambil keputusan. Biasanya kebijaksanaan dipakai dalam keadaan yang mendesak atau penting. Menurut Syamsuddin (1985:81) kebijaksanaan bertalian erat dengan masalah-masalah penting dan kadang-kadang mendesak untuk diambil suatu keputusan. Kebijaksanaan biasanya diambil apabila ketentuan teknis yang jelas belum ada bagi penyelesaian masalah. Berdasarkan penjelasan tersebut tersirat bahwa kebijaksanaan harus diambil oleh seseorang yang berwenang dan berkompeten dengan permasalahan yang dimaksud, sekalipun hasil kebijaksanaan yang diambil tersebut terkadang bisa jadi sangat subjektif. Untuk menghindari subjektivitas, seorang pengambil kebijaksanaan perlu berkaca pada aturan yang lebih tinggi statusnya, misalnya undang-undang atau peraturan-peraturan formal yang berlaku di atasnya. Sampai dengan dewasa ini kata kebijaksanaan sering terdengar, terutama berkaitan dengan layanan publik. Sungguhpun kemajuan zaman telah merambah kehidupan di sekitar kita, dan segala sesuatu telah dibuatkan regulasi atau dengan kata lain telah diatur secara teknis, tetapi karena kompleksitas kehidupan, kebijaksanaan tetap saja muncul untuk menengahi suatu persoalan kehidupan. Dalam suatu dimensi kehidupan masyarakat yang demikian luas, tidaklah cukup diatur dengan suatu peraturan atau undang-undang, karena ciri masyarakat bukanlah homogen, melainkan hitrogen yang masing-masing mempunyai perasaan, kemauan, dan kebutuhan yang tidak sama. Berbeda halnya dengan kehidupan yang bersifat pasti atau eksak, kehidupan sosial amatlah rumit, karena memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks. Tidak terkecuali permasalahan yang berkaitan dengan bahasa, karena bahasa bagian dari kehidupan sosial. Sebagai bagian dari kehidupan sosial, bahasa memegang peranan yang amat penting. Kepentingan bahasa itu hampir mencakupi segala bidang kehidupan, karena segala sesuatu yang dihayati, dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh seseorang hanya dapat diketahui orang lain jika telah diungkapkan dengan bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kata kebijaksanaan bila dikaitkan dengan bahasa, terutama bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, dapat memunculkan persepsi terhadap kebutuhan akan 172 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
pembakuan pada semua level kebahasaan, kebutuhan akan pedoman-pedoman berbahasa, pedoman peristilahan, pedoman akan penyerapan unsur asing, penentuan ide-ide pengembangan dan pembinaan, penentuan bahasa nasional, bahasa persatuan, bahasa pengantar dan lain-lain. Termasuk juga kebijaksanaan terhadap pembinaan dan pelestarian bahasa daerah, karena bahasa daerah merupakan khasanah pemerkaya kebudayaan bangsa. Keputusan Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1938 di Solo Hasil kongres bahasa Indonesia I tahun 1938 di Solo Jawa Tengah, memberikan penegasan tentang kedudukan bahasa Indonesia serta pengembangan dan pembinaannya untuk semakin dimantapkan. Dalam amanat tersebut dijelaskan bahwa kedudukan bahasa Indonesia diusulkan agar dijadikan sebagai bahasa resmi dan bahasa pengantar di dalam perwakilan dan perundangan. Untuk mewujudkan amanat kongres bahasa Indonesia I tersebut, pemerintah mengambil suatu kebijaksanaan dengan menetapkan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa nasional, pada tanggal 18 Agustus 1945, dua hari setelah kemerdekaan, pemerintah menetapkan bahasa nasional kita adalah bahasa Indonesia. Demikian pula kedudukannya sebagai bahasa negara, pemerintah menetapkan kebijaksanaan mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Kebijaksanaan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada Bab XV, Pasal 36, yang selengkapnya berbunyi ”Bahasa negara adalah bahasa Indonesia”. Landasan konstitusional ini memberikan kedudukan yang kuat bagi bahasa Indonesia untuk digunakan dalam berbagai urusan kenegaraan dan dalam menjalankan tatapemerintahan. Berdasarkan kedudukan itu, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara, usaha pelestarian, pembinaan dan pengembangannya diwajibkan bagi setiap warga negara yang merasa dirinya sebagai bangsa Indonesia. Imbauan tentang kewajiban itu telah ditetapkan oleh pemerintah, baik melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) maupun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam ketetapan MPRS tahun 1966 misalnya, ditegaskan agar kita terus meningkatkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu yang ampuh. Di samping itu, dalam ketetapan MPR 1978 dan 1983, juga dirumuskan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dilaksanakan dengan mewajibkan penggunaannya secara baik dan benar. Rumusan itu juga ditujukan terhadap penggunaan bahasa Indonesia di dalam pendidikan dan pengajaran agar perlu semakin ditingkatkan dan diperluas hingga mencakup semua lembaga pendidikan dan menjangkau masyarakat luas (Mustakim, 1994:13). Sebagai tindak lanjut dari ketetapan MPR tersebut, dalam GBHN tahun 1988 ditegaskan kembali bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia akan ditingkatkan melalui jalur pendidikan baik formal maupun nonformal. Dengan penegasan itu, semua jenjang dan jalur pendidikan di Indonesia mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi wajib menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Landasan konstitusional tersebut memberikan gambaran bahwa masalah bahasa Indonesia adalah masalah kita bersama, sehingga upaya pembinaan dan pengembangannya pun menjadi tanggung jawab kita sebagai bangsa Indonesia. Jadi, bukan hanya menjadi tanggung jawab para pakar dan para pembina bahasa Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 173
Tambahan lagi, dalam upaya pengembangan dan pembinaan bahasa, amanat kongres bahasa Indonesia I menegaskan perlunya penyempurnaan atau pembaharuan ejaan bahasa Indonesia. Hal yang amat penting dan menjadi perhatian dalam kongres bahasa Indonesia I tersebut adalah perlunya menyusun tatabahasa baku, pengembangan leksikon dan penertiban atau perbaikan bahasa surat kabar, karena implementasi dari kebijaksanaan tersebut akan diemban oleh surat kabar. Hal lain yang juga menjadi perhatian kongres adalah perlunya mendirikan Institut Bahasa Indonesia, atau Fakultas Sastra dan Filsafat. Lembaga semacam itu dianggap penting sebagai sarana pengembangan, penyebarluasan dan pembinaan bahasa Indonesia. Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan Hasil kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan yang menyangkut kedudukan bahasa memutuskan bahwa: (1) politik bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan bahasa daerah dan bahasa asing supaya digariskan dengan jelas; (2) perlu dibangkitkan rasa cinta bahasa Indonesia dan peningkatan harga diri dengan menggunakan bahasa Indonesia; dan (3) perlu ditegaskan bahwa, bahasa Indonesia memang dari bahasa Melayu tetapi disesuaikan dengan pertumbuhannya. Berkaitan dengan poin pertama yakni, hubungan antara bahasa Indonesia dengan bahasa daerah dan bahasa asing dapat dijelaskan bahwa kedua bahasa itu memiliki sumbangsih yang amat penting terhadap perkembangan bahasa dan bangsa Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam konstitusi kita bahwa ”bahasa-bahasa daerah yang dipakai di wilayah negara Republik Indonesia perlu dipelihara dan di kembangkan”. Bahasa daerah adalah salah satu unsur kebudayaan daerah, dan kebudayaan daerah adalah unsur kebudayaan nasional yang tengah kita bina dan kembangkan. Bahkan, keberadaan bahasa daerah justru diperlukan untuk pembinaan bahasa Indonesia sendiri. Hal ini dapat kita lihat pada proses pengajaran di jenjang pendidikan tingkat rendah di negara kita ini yang masih menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerah sebagai bahasa pengantar, mengingat tidak semua anak negeri ini terlahir dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Kedudukannya sebagai bahasa daerah, ia memiliki fungsi: (1) sebagai lambang kebanggan daerah; (2) lambang identitas daerah; dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat (Depdikbud, 1981:149). Selanjutnya, dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai: (1) pendukung bahasa nasional; (2) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah-daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia serta matapelajaran lain; dan (3) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah (Depdikbud, 1981:149). Demikian pula keberadaan bahasa asing di Indonesia bahwa fungsi bahasa asing secara umum harus didasarkan kepada tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu mencetak manusia Pancasila yang trampil dalam pembangunan. Dengan demikian, bahasa asing harus dikuasai sedemikian rupa sehingga dapat dipakai sebagai alat untuk membantu mempercepat proses pembangunan negara dan bangsa. Penggunaan bahasa asing harus pula dapat membantu mewujudkan politik luar negeri yang bebas dan aktif termasuk mengadakan persahabatan dengan semua negara di dunia. Di samping dasar tujuan tersebut, kita tidak boleh melupakan faktor-faktor lain yang akan menentukan urutan bahasa asing yang harus diprioritaskan dan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Faktor-foktor yang
174 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
menentukan di dalam pemilihan bahasa asing antara lain ialah faktor politik, keagamaan, kebudayaan, dan ekonomi (Kartono dalam Depdikbud, 1981:125). Di Indonesia bahasa asing yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan adalah bahasa Inggris. Bahasa Inggris sebagai bahasa asing pertama di Indonesia didasarkan atas posisinya sebagai bahasa internasional, bahasa ilmu pengetahuan, teknologi modern, perdagangan, politik dan sebagainya. Pendek kata, hampir semua bidang kehidupan, bahasa Inggris dipakai sebagai sarana penyampaian. Dasar tersebut selaras dengan faktor penentuan dan pemilihan bahasa asing yang akan kita prioritaskan. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 096/1967 secara tegas telah menggariskan bahwa pengajaran bahasa asing tak lain fungsinya ialah: sebagai alat untuk mempercepat proses pembangunan negara dan bangsa; membentuk persahabatan dengan bangsa-bangsa lain; dan menjalankan kebijaksanaan luar negeri (foreign policy) kita, sedangkan tujuan nasional dalam pengembangan ketrampilan berbahasa asing (dalam hal ini adalah bahasa Inggris) sesuai dengan keputusan pemerintah dan sesuai dengan kegunaanya ialah agar kita memiliki kompetensi: (1) kemampuan membaca secara efektif; (2) kemampuan mengerti bahasa lisan; dan (3) kemampuan berbicara (Depdikbud, 1981:139). Berdasarkan uraian tersebut, kekhawatiran terhadap terdesaknya kedudukan bahasa Indonesia tidak perlu terjadi. Baik bahasa daerah maupun bahasa asing posisinya akan tetap menjadi bahasa pendukung bahasa Indonesia. Selanjutnya, berkaitan dengan poin dua tentang perlunya dibangkitkan rasa cinta bahasa Indonesia dan peningkatan harga diri dengan menggunakan bahasa Indonesia, tampaknya sejak kongres bahasa Indonesia II mengalami perkembangan yang sangat menggembirakan. Kebijaksanaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di semua jenjang pendidikan berpengaruh luas terhadap persepsi status sosial di tengah masyarakat. Bahkan, menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari dianggap sebagai kaum terpelajar atau kaum intelek. Amanat kongres bahasa Indonesia II berikutnya adalah berkaitan dengan perlunya ditegaskan kembali bahwa bahasa Indonesia adalah berasal dari bahasa Melayu tetapi disesuaikan dengan pertumbuhannya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bakry (1981:165) bahwa bahasa Indonesia yang kita angkat sebagai bahasa nasional dan bahasa negara ini berasal dari bahasa Melayu Riau. Sungguhpun berasal dari bahasa Melayu Riau, tetapi dalam perkembangannya ia telah mengalami perubahan yang signifikan. Ciri sebagai bahasa Melayu Riau hampir sudah tidak terlihat lagi. Bahkan, bahasa Melayu sendiri pada saat ini sudah dianggap sebagai bahasa asing bila di sandingkan dengan bahasa Indonesia (Depdikbud, 1981:136). Keputusan Kongres Bahasa Indonesia III tahun 1978 di Jakarta Untuk mengukuhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, serta untuk meningkatkan pengguna dan penggunaanya dalam wilayah negara Indonesia, kongres bahasa Indonesia III di Jakarta merekomendasikan agar kemahiran berbahasa Indonesia dijadikan sebagai persyaratan penerimaan pegawai negeri. Rekomendasi yang kedua, agar pemerintah menggariskan suatu kebijaksanaan di dalam kebudayaan. Rekomendasi tentang kemahiran berbahasa Indonesia agar dijadikan sebagai persyaratan penerimaan pegawai negeri telah diimplementasikan oleh pemerintah. Bahkan, hingga dewasa ini pemerintah masih menjadikan uji tes kemahiran berbahasa Indonesia tetap dipertahankan sekalipun pada kenyataannya materi tes bahasa Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 175
Indonesia (akhir-akhir ini) tidak menekankan pada kemahiran secara praktis, melainkan hanya bersifat teoretis. Berkenaan dengan pengembangan, kongres bahasa Indonesia III menyerukan terhadap perlunya penyusunan pedoman lafal baru, kamus baku, tatabahasa baku, dan perlu pula ada usaha pemodernan bahasa Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Muliono (Depdikbud, 1981:33-34) bahwa kebakuan bahasa Indonesia akan dapat mengemban empat fungsi, yaitu (1) fungsi pemersatu; (2) fungsi penanda kepribadian; (3) fungsi penambah wibawa; dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan. Fungsi sebagai pemersatu telah terbukti selama ini bahwa bahasa Indonesia mampu mengikat kebinekaan rumpun dan bahasa yang ada dengan mengatasi batasbatas kedaerahan dan fungsi ini dapat ditingkatkan lagi dengan lebih mengintensifkan usaha berlakunya suatu bahasa baku yang adab dan yang menjadi salah satu ciri manusia Indonesia yang modern. Fungsi sebagai penanda kepribadian yang dijalankan oleh bahasa baku dapat terlihat dalam pergaulan dengan bangsa lain jika orang Indonesia tetap menggunakan bahasa Indonesia untuk membedakan dirinya dengan bangsa lain. Dengan berbahasa Indonesia kita dapat menunjukkan identitas kita, dan jika fungsi ini dapat dipraktekkan secara luas, maka bahasa Indonesia dapat dianggap melaksanakan peranannya sebagai bahasa nasional yang baku. Fungsi ketiga bahasa Indonesia sebagai penambah wibawa merupakan unsur yang menduduki tempat tertinggi pada skala tatanilai dalam masyarakat bahasa. Bahasa baku yang dipakai oleh kalangan masyarakat yang berpengaruh dapat menambah wibawa pada setiap orang yang menguasai bahasa itu dengan mahir. Selain itu, penggunaan bahasa baku yang dipautkan dengan hasil teknologi dan kebudayaan yang baru juga dapat menambah kewibawaan yang tinggi. Misalnya, nama-nama Inggris yang masih asing itu kita ganti dengan bahasa Indonesia yang baku akan mengesankan (mengidentikkan) bahasa Indonesia dengan masyarakat dan kehidupan yang modern. Berkaitan dengan Pembinaan, kongres bahasa Indonesia III menggariskan perlunya dibentuk Dewan Nasional Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, perlu dilaksanakan penataran guru-guru bahasa, perlu pembinaan ketrampilan mengarang, dan perlu pembinaan bahasa daerah. Pemerintah telah berupaya mewujudkan hasil kongres tersebut dengan melakukan berbagai langkah kebijaksanaan pembinaan dan pengembangan bahasa. Upaya yang paling nyata adalah sosialisasi penggunanan bahasa Indonesia di berbagai tempat dengan mengganti nama-nama asing ke dalam bahasa Indonesia, serta mencarikan padanan kata bahasa asing dalam bahasa Indonesia, dan sosialisasi tersebut terus dilakukan. Berkaitan dengan pembinaan guru-guru bahasa, pemerintah telah berupaya melakukan lakah kebijakan dengan memberikan bekal pemahaman yang cukup terhadap guru-guru bahasa Indonesia melalui penataran-penataran kebahasaan. Upaya tersebut ditempuh karena pemerintah menganggap guru merupakan ujung tombak pembinaan bahasa melalui anak didik secara langsung tentang kebahasaan. Selain itu, pembinaan bahasa daerah juga terus dilakukan oleh pemerintah. Hal itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang berhubungan dengan Bab XV, pasal 36, yang menyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya dihargai
176 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
dan dipelihara oleh negara karena bahasa-bahasa itu adalah bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup (Halim, dalam Depdikbud, 1984:21). Keputusan Kongres Bahasa Indonesia IV tahun 1983 di Jakarta Kongres bahasa Indonesia IV tahun 1983 di Jakarta menetapkan beberapa hal penting. Keputusan penting tersebut adalah berupa simpulan dan usul tindak lanjut dalam hubungannya dengan masalah-masalah lingkup bidang: (1) bahasa, (2) pengajaran bahasa; dan (3) pembinanan bahasa dalam kaitannya dengan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai sarana pembangunan nasional. Bidang Bahasa Jika ditilik kembali sejak kelahiranya, bahasa Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi sosial, sebagai penyampai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagai sarana pranata pemerintahan telah mencapai kemajuan yang cukup mantap. Demikian pula banyaknya buku ilmu pengetahuan yang ditulis dalam bahasa Indonesia atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menunjukkan bahwa bahasa Indonesia dapat memerankan fungsinya dengan baik sebagai alat penyebar ilmu pengetahuan. Dalam perannya yang demikian strategis tersebut perkembangan bahasa Indonesia tidak mustahil akan bersentuhan dengan pengaruh masyarakat yang memahaminya, terutama nilai budaya maupun tingkah laku sosialnya. Sentuhan yang terjadi di satu sisi dapat memperkaya linguistik bahasa Indonesia yang merupakan milik kita bersama, di sisi yang lain dapat menimbulkan keanekaragaman. Tanpa pembinaan yang berhati-hati dan dilakukan dengan seksama, tidak mustahil ragamragam tersebut akan semakin menyimpang jauh dari poros inti bahasa kita (Syamsuddin 1985: 87). Sampai sejauh ini penyimpangan ragam baku tersebut telah menjalar di tengahtengah masyarakat kita. Hal ini dapat kita lihat betapa banyaknya pemakaian bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa yang baik dan benar. Yang sangat memprihatinkan bukan hanya masyarakat awam saja yang mengalami penyimpangan tersebut, melainkan masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat terpelajar atau intelek juga telah melakukan penyimpangan. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan itu berkisar pada: (1) pemakaian kalimat, pemakaian tanda baca, pengelompokkan wacana yang tidak mengungkapkan jalan pikiran yang jernih, logis dan sistematis; (2) pemakaian istilah asing yang sebenarnya ada padanan kata dalam bahasa Indonesia, atau yang memiliki ciri-ciri semantik sama dan telah umum dipakai; (3) pemakaian istilah teknis yang tidak seragam dalam pengetahuan; (4) pengucapan kata yang menyimpang dari kaidah yang dianggap baku; dan (5) pengejaan kata atau frase yang tidak taat asas. Kebijaksanaan pemerintah yang memungkinkan untuk diambil sebagai jawaban dari permasalahan yang muncul tersebut adalah sebagai berikut: (1) perlunya disusun tatabahasa baku bahasa Indonesia sebagai tatabahasa acuan yang lengkap; (2) perlunya disusun kamus besar bahasa Indonesia yang memuat tidak hanya bentuk-bentuk leksikon, tetapi juga lafal yang dianggap baku kategori sintaktik setiap kata, dan batasan serta contoh pemakaian yang lengkap; (3) perlunya peyusunan kamus bahasa daerah yang merupakan sumber untuk memperkaya bahasa nasional; (4) perlunya dipergiat penulisan dan penerjemahan huku-buku yang bermanfaat bagi pelbagai bidang; (5) perlunya pusat bahasa mengkoordinasikan kerja sama dengan lembagaProsiding Seminar Nasional 24 September 2016| 177
lembaga pemerintah yang lain yang berkecimpung dalam bidang ilmu pengetahuan untuk menyeragamkan istilah-istilah ilmu pengetahuan; (6) perlunya sikap berhati-hati dalam memilih unsur bahasa asing; (7) perlunya mahasiswa mendapat latihan ketrampilan menulis karya ilmiah bahasa Indonesia yang benar; dan (8) perlunya ditetapkan pedoman transliterasi yang benar (Syamsuddin, 1985:88).
Bidang Pengajaran Bahasa Secara umum tujuan pengajaran bahasa Indonesia di lembaga lembaga pendidikan adalah untuk memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia. Tujuan tersebut jika ditinjau dari sudut pemakai dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) tercapainya pemakaian bahasa Indonesia baku yang cermat, tepat, dan efesien dalam berkomunikasi; (2) tercapainya pemilikan ketrampilan berbahasa Indonesia baik dalam penggunaannya sebagai alat komunikasi maupun dalam ilmu pengetahuan yang sahih; (3) tercapainya sikap positif terhadap bahasa Indonesia, yaitu sikap yang erat kaitannya dengan rasa tanggung jawab yang tampak dari perilaku sehari-hari (Syamsuddin, 1985:89). Kaitan antara fungsi bahasa dengan pendidikan nasional setidaknya terurai dalam empat hal pokok. Keempat hal itu ialah: (1) sebagai matapelajaran pokok, artinya bahasa Indonesia yang diajarkan hendaknya adalah bahasa Indonesia dengan ciri serta syarat ragam bahasa baku, baik lisan maupun tulis, dan sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang berfungsi sebagai bahasa modern; (2) sebagai bahasa pengantar di semua jenis dan jenjang lembaga pendidikan, artinya bahasa Indonesia yang diajarkan hendaknya memiliki ciri dapat menjalankan tugas sebagai alat komunikasi; (3) sebagai bahasa penalaran; dan (4) sebagai bahasa pengungkap pengembangan diri dari hasil pendidikan. Sebagai bahasa penalaran dan pengungkap pengembangan diri hanya dapat diwujudkan jika bahasa Indonesia tersebut memiliki bentuk yang estetis (fleksibel), luwes sehingga dapat dipergunakan untuk mengekspresikan makna-makna baru, dan mempunyai ragam yang sesuai dengan jenjang lembaga pendidikan tersebut (Syamsuddin, 1985:89). Pengajaran bahasa Indonesia yang mengarah pada model pengajaran komunikatif masih belum secara intens dilakukan. Model pengajaran yang dilakukan selama ini masih model terstruktur yang hanya mengajarkan bahasa dari segi teoretis. Kepraktisan bahasa sebagai komponen komunikasi belum begitu diperhatikan. Demikian pula pengajaran sastra bahwa pengajaran sastra selama ini hanya memberi beban kepada siswa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayuti (1994:1) bahwa pengajaran bidang sastra sejak tahun 1950-an sampai dengan tahun-tahun terakhir ini masih saja mengarah kepada hal-hal yang bersifat hapalan sejarah. Bahkan, sejak tahun 1955 telah muncul beberapa kritik dari para sastrawan atas ketidakpuasanya terhadap hasil pembelajaran sastra terutama terkait dengan apresiasi sastra (Sayuti, 1994:1). Menurutnya pengajaran sastra selama ini telah menyimpang dari amanat kurikulum. Memang kenyataan yang terjadi selama ini pengajaran sastra telah jauh membawa anak kepada berbagai kegiatan yang menjenuhkan, membosankan. Bahkan, menimbulkan kebencian terhadap sastra. Dalam kegiatan tersebut anak dituntut untuk menghafal, mencatat, mencari dan sebagainya berbagai hal tentang sastra, dan kemampuan untuk itu dijadikan sebagai dasar penetapan nilai oleh guru. Pendeknya, pengajaran sastra benar-benar dirancang untuk mencapai tujuan kurikuler, dan anak harus menanggung beban kewajiban sebagai kompensasi nilai untuk menentukan 178 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
statusnya di dalam kelas (Sumarjo, 1995:42). Kegiatan yang demikian itu secara mental psikologik membebani anak, baik anak yang mampu, lebih-lebih anak yang tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut. Selain itu, para guru masih banyak tampil sebagai tokoh pemberi beban, bukan sebagai tokoh pemberi teladan (Gani, 1988:125169). Pola pengajaran yang demikian itu tidak saja membosankan, tetapi lebih jauh lagi dapat menciptakan pemahaman yang keliru tentang sastra. Anak terpaku pada pemahaman bahwa membaca puisi misalnya, berarti membaca latar belakang kehidupan penyairnya, latar belakang zamannya dan bentuk-bentuk puisi yang ditulisnya (Gani, 1988:169-170). Untuk mengembangkan tindakan yang mendasar dalam memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa sebagai sarana pendidikan dan pengajaran, perlu tindak lanjut yang efesien dari pemerintah. Tindak lanjut yang memungkinkan untuk diambil demi memenuhi harapan tersebut adalah sebagai berikut: (1) mutu pengajaran bahasa Indonesia di semua jenis dan jenjang pendidikan perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dimulai dengan meningkatkan kemampuan guru Bahasa Indonesia, pengembangan bahan pelajaran yang sesuai dengan fungsi komunikatif dan integratif bahasa, dan kebudayaan serta penalaran, pemberian pengalaman belajar kepada siswa; (2) memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai sarana pendidikan dan pengajaran dan pola kebijaksanaan nasional kebahasaan harus disusun. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan strategi pengajaran, pengembangan tatabahasa anutan, penggunnaan tatabahasa yang baik dan benar, kemantapan kemampuan berbahasa Indonesia sebagai persyaratan untuk berbagai macam kenaikan pangkat dan tingkat, pemanfaatan media massa sebagai model penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar; (3) pengajaran sastra perlu ditekankan pada aspek apresiasi; (4) bahan pelajaran bahasa Indonesia perlu mencakup latihan menyimak, berbicara, membaca dan menulis serta perlu pula dikembangkan ketrampilan membaca (membaca cepat); (5) pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia hendaknya memanfaatkan organisasi profesi dan lembaga kemasyarakatan; (6) pembinanan apresiasi sastra perlu dilaksanakan sedini mungkin; (7) perlu dikembangkan bahan pengajaran bahasa Indonesia yang dibutuhkan bagi bidang-bidang khusus, selain ditujukan kepada berbahasa secara umum di sekolah; (8) pendidikan dalam suasana kedwibahasaan yang strateginya bertujuan menjamin hak hidup bahasa dan kebudayaan daerah hendaknya mempunyai nilai positif; (9) kurikulum lembaga pendidikan tinggi hendaknya memasukkan program pendidikan bahasa Indonesia; (10) hasil penelitian kebahasaan dan pengajaran bahasa hendaknya disebarluaskan dan dimanfaatkan; dan (11) pelaksanaan wajib belajar perlu dimanfaatkan untuk menyukseskan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia (Syamsuddin, 1985:90). Bidang Pembinaan Bahasa Fungsinya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki peranan yang amat penting terhadap pembangunan nasional. Segala kebijaksaan pemerintah akan diteruskan ke masyarakat melalui sarana komunikasi bahasa Indonesia. Namun, pada kenyataannya banyak masyarakat yang belum menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Para pembina bahasa mensiyalemen bahwa banyak lembaga-lembaga, badanbadan dan organisasi-organisasi masyarakat juga pemerintah belum menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Yang lebih memprihatinkan lagi, bahasa Indonesia yang digunakan dalam ilmu hukum, ilmu administrasi dan lain-lain, banyak Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 179
yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Tak kurang dari media massa yang merupakan salah satu sarana penting untuk pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, pada kenyataannya juga masih memiliki banyak kelemahan. Pendek kata, pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia masih perlu terus ditingkatkan. Banyak hal yang harus kita lakukan untuk pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia agar berjalan dengan efektif. Beberapa langkah tindak lanjut berikut ini perlu diambil guna menjawab permasalahan tersebut. Tindak lanjut yang dimaksud ialah: (1) perlu usaha sungguh-sungguh penggunaan bahasa Indonesia di segala bidang, terutama bidang hukum dan perundang-undangan; (2) semua aparatur pemerintah terutama yang terlibat langsung dalam pelaksanaan, perencanaan, penyusunan, pengesahan dan pelaksanaan hukum, harus memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang memadai, sehingga produk hukum/ undang-undang tidak taksa (ambigu); (3) semua petugas pemerintahan khususnya yang berhubungan langsung dengan masyarakat, seperti lurah (kepala desa), guru, juru penerangan, penyiar TV/ radio dan staf redaksi media cetak, harus memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang memadai; (4) perlu diambil kebijaksanaan yang memungkinkan terciptanya iklim kebahasaan yang kondusif dengan menertibkan istilah-istilah asing yang tidak perlu untuk diganti dengan kata/ istilah Indonesia; (5) pembekalan generasi muda untuk berdisiplin berbahasa Indonesia; (6) perlu penugasan para ahli bahasa di berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta; (7) perlu pembinaan intensif pemahaman bahasa Indonesia di daerah yang masih rendah kualitas penduduknya; (8) fungsi bahasa Indonesia perlu dimantapkan, penggunaan istilah-istilah asing dihindari; (9) kampanye penggunanan bahasa Indonesia yang baik dan benar perlu ditingkatkan; (10) perlu meningkatkan kemampuan guru-guru bahasa Indonesia, selain meningkatkan mutu pengajarannya; (11) buku-buku yang diterbitkan, baik yang asli maupun terjemahan, surat kabar dan majalah yang diedarkan, hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar; (12) perlu perencanaan yang matang dalam pembinaan bahasa Indonesia di segala bidang; (13) pemanfaatan unsurunsur bahasa daerah dilakukan dengan cermat, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif; (14) hasil-hasil pembakuan bahasa Indonesia perlu ditunjang dengan intruksi pelaksanaan pada setiap departemen, lembaga dan organisasi; (15) mengusulkan pusat bahasa kedudukanya menjadi lembaga nondepartemen supaya wibawa dan ruang geraknya lebih berdaya guna; (16) perlunya dimasukkan bahasa Indonesia ke dalam konsep wawasan nusantara; (17) sensus penduduk dapat memperoleh data kebahasaan yang sahih dan lengkap; (18) setiap kongres bahasa hendaknya menugasi pusat bahasa untuk memonitor pelaksanaan keputusan kongres bahasa Indonesia sebelumnya dan melaporkan hasilnya pada kongres bahasa Indonesia berikutnya dan demikian seterusnya; dan (19) ketentuan mengenai lalulintas (sirkulasi) buku dan barang cetakan yang tertulis dalam bahasa Indonesia, terutama di kawasan ASEAN perlu ditinjau kembali. Kendala dalam Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Kegiatan rutin kebahasaan telah banyak dilakukan termasuk diselenggarakannya kongres bahasa Indonesia secara periodik. Demikian pula banyak upaya yang telah dilakukan oleh para pakar bahasa, serta tindakan nyata dengan menyerukan dan melakukan kegiatan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia secara intensif. Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Bahkan, dewasa ini gejala merendahkan bahasa sendiri semakin menjadi-jadi. Pendek kata, 180 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
bahasa Indonesia semakin terpuruk. Hal ini dapat kita lihat di kalangan anak muda masa kini yang sudah tidak lagi mau menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka lebih percaya diri atau lebih bermartabat jika menggunakan bahasa ”gaul” dalam pergaulan di tengah-tengah komunitasnya. Lebih terpuruk lagi menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar menurut anggapan mereka sudah dianggap ketinggalan zaman (Warsiman, 2006:2). Ada beberapa hal yang membuat kedudukan bahasa Indonesia dewasa ini mengalami penurunan wibawa. Penulis menyimpulkan setidaknya ada tiga hal yang membuat bahasa Indonesia terpuruk dewasa ini. Ketiga hal itu ialah: (1) tidak adanya keseriusan pemerintah; (2) tidak memadainya alokasi dana sosialisasi; dan (3) kesadaran masyarakat. Keseriusan Pemerintah Mengembangkan Bahasa Indonesia Jika berkaca kembali pada masa orde baru saat presiden Soeharto masih berkuasa, setiap pidato yang bersifat kenegaraan atau antarnegara, lebih-lebih ketika menjamu tamu-tamu kenegaraan, presiden hampir tidak pernah menggunakan bahasa Inggris, kendati bahasa Inggris menjadi bahasa wajib internasional. Hal tersebut diceritakan oleh Widodo (Bakry, 1981:166) seorang penerjemah presiden. Bahkan, ia sangat yakin kalau Bapak presiden bisa berbahasa Inggris, tetapi beliau lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia. Demikian pula pada masa orde lama saat Presiden Soekarno berkuasa, beliau tidak segan-segan dalam pidatonya menggunakan bahasa Indonesia, kendati beliau menguasai beberapa bahasa asing lainya. Bahkan, beliau adalah seorang kepala negara pertama yang berani dan tanpa beban mengutip ayat-ayat Alquran dalam pidatonya di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) New York. Selanjutnya, menurut cerita Amran Halim (mantan kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa sekarang Pusat Bahasa), upaya untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan di Asia Tenggara pernah dimunculkan (Bakry, 1981:166). Yang mengherankan usulan tersebut bukan datang dari bangsa kita sendiri, melainkan dari negara Pilipina. Selain itu, kenyataan bahwa beberapa negara di dunia ini banyak yang mempelajari bahasa Indonesia. Sebut saja misalnya, Amerika, Australia, Jerman Barat, Rusia, Korea Selatan, Jepang, Prancis, Inggris, Cina, Italia, dan Belanda (Bakry, 1981:166; dan Hardini, 2007:1-6). Bahkan, menurut Tri Indri Hardini, Amerika Serikat merupakan negara penutur bahasa Inggris pertama yang mengajarkan bahasa Indonesia, sedangkan di prancis pengajaran bahasa Indonesia dilakukan sejak tahun 1841 (waktu itu bahasa Indonesia masih berupa bahasa Melayu), dan di Jepang sejak tahun 1908 masyarakatnya telah mempelajari bahasa Indonesia (Hardini, 2007:1-5). Dewasa ini bahasa Indonesia semakin tidak berdaya. Para pejabat di negeri ini lebih banyak beretorika dengan campur kode dalam berbahasa. Bahkan, alih kode untuk dalih menjaga wibawa. Mereka merasa status sosialnya akan naik jika menggunakan bahasa asing (Inggris) dalam setiap pembicaraannya. Lebih-lebih bahasa asing itu telah dianggap sebagai lambang keterpelajaran dan keintelektualan seseorang. Jika demikian yang terjadi, kita akan kehilangan salah satu identitas bangsa. Upaya pemurnian bahasa Indonesia dewasa ini juga sudah tidak terdengar lagi. Bulan bahasa yang diperingati setiap bulan Oktober menjadi kegiatan seremonial belaka. Upaya lebih konkrit tidak lagi menjadi agenda pemerintah. Jika demikian yang
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 181
terjadi, tidak mustahil bahasa Indonesia terancam masuk musium, dan bangsa Indonesia akan kehilangan identitas diri. Alokasi Dana Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Penulis terkesima dengan cerita sahabat penulis1. Beliau seorang dosen Bahasa Prancis di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Beliau berkata bahwa, ketika orang-orang Prancis ditanya ”apakah saudara bisa berbahasa Inggris?”, ia menjawab dengan agak marah ”untuk apa saya belajar bahasa Inggris, biarlah orang-orang Inggris yang belajar bahasa Prancis”. Sepenggal pernyataan itu tersirat rasa patriotisme yang amat tinggi dari orang Prancis tersebut. Ia menunjukkan demikian besar cintanya terhadap tanah air, dan demikian bangga dengan bahasanya sendiri. Sungguhpun penggalan pernyataan itu tidak seluruhnya menguntungkan, terutama dalam pergaulan global, tetapi setidaknya terlihat dalam jiwa orang Prancis tersebut rasa patriotisme yang tinggi terhadap bahasa yang dimiliki. Lebih lanjut penulis mendapatkan cerita yang sama terhadap upaya pemerintah Prancis untuk memurnikan bahasa nasionalnya. Semua buku ilmu pengetahuan dan teknologi, sebelum beredar luas di masyarakat, negara melakukan penerjemahan terlebih dahulu ke dalam bahasa Prancis. Demikian ketatnya sensor negara terhadap hal-hal yang berbau asing sebelum benar-benar dikonsumsi oleh masyarakatnya. Upaya yang sama juga telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Namun, tidak banyak yang dapat diperbuat. Lagi-lagi kendala dana menjadi faktor utama terhadap program tersebut. Sejak tahun 1973 keinginan untuk melakukan upaya menerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan sudah didengungkan oleh Prof. Dr. Sutan Takdir Alisyahbana, tetapi hasilnya pada tahun anggaran 1979/ 1980 pemerintah hanya mampu mendanai penerjemahan 31 judul buku dengan biaya Rp. 34.837.250 (Bakry, 1981:173), dan tahun-tahun berikutnya hanya mampu menerjemahkan rata-rata 20 judul buku. Memang diakui banyak kendala yang dihadapi dalam upaya penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan tersebut. Selain faktor biaya, juga karena faktor sulitnya menemukan buku-buku yang cocok, serta tenaga penerjemah yang tersedia. Dua alasan yang terakhir tersebut dewasa ini tampaknya sudah tidak berlaku lagi. Hal utama yang menjadi harapan masyarakat Indonesia adalah alokasi dana pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia yang perlu mendapatkan komitmen pemerintah. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian menggelobal ini tidak ada jalan lain kecuali kita mengikuti arus tersebut dengan tetap memegang teguh jiwa nasionalisme kita, sehingga kita tetap dapat mengikuti perkembangan zaman tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kebangsaan. Kesadaran Masyarakat Betapapun usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia gencar dilakukan, tanpa kesadaran masyarakatnya adalah pekerjaan yang sia-sia belaka. Bahkan, akhir-akhir ini rasa nasionalisme kita lambat laun hilang oleh nafsu egois yang tumbuh tanpa terkontrol. Jiwa kesukuan dewasa ini lebih mendominasi jiwa bangsa kita. Hal ini dapat kita saksikan pemberitaan di berbagai media massa. Misalnya, bentrokan antara suku Dayak (di sampit) dengan suku Madura, di Maluku antara etnis Kristen dengan Islam dan masih banyak lagi yang tidak mungkin disebut semuanya dalam makalah ini. 1
Percakapan penulis dengan sumber informasi pada tanggal, 24 Nopember 2005
182 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Untuk merajut kembali benang-benang merah yang terkoyak tersebut, setiap jiwa perlu merenung, berpikir, dan berbuat untuk kesatuan dan persatuan negeri ini. Bukankah telah banyak jiwa yang kita korbankan demi negeri ini. Kesadaran berbahasa Indonesia yang baik dan benar akan menumbuhkan kembali jiwa persatuan kita. Karena salah satu dari fungsi bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa nasional dan sebagai alat integrasi bangsa. PENUTUP Upaya pemerintah untuk mewujudkan peran dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara terus dilakukan. Demikian pula para pakar bahasa telah menunjukkan kepedulian yang luar biasa terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Kegiatan secara periodik berupa kongres bahasa Indonesia dilakukan untuk selalu mengevaluasi dan mendorong terciptanya pemurnian dan pelestarian bahasa Indonesia secara konstan. Namun, upaya itu tidaklah cukup tanpa suatu komitmen kebijaksanaan yang berkesinambungan dari pemerintah untuk mendorong tercapainya perkembangan optimal dan efektif baik dari segi kualitas maupun kuantitas para pemakai bahasa Indonesia. Kebutuhan akan pembakuan pada semua level kebahasaan, kebutuhan akan pedoman-pedoman berbahasa, pedoman peristilahan, pedoman akan penyerapan unsur asing, penentuan ide-ide pengembangan dan pembinaan, penentuan bahasa nasional, bahasa persatuan, bahasa pengantar dan lain-lain, termasuk juga kebijaksanaan terhadap pembinaan dan pelestarian bahasa daerah, perlu dibuatkan regulasi secara mantap agar upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia tidak hanya berkutat pada sisi pemakai dan pemakaian, tetapi diharapkan dapat pula menunjukkan jati diri bangsa. Ketetapan MPR maupun GBHN menegaskan bahwa usaha pelestarian, pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia diwajibkan bagi setiap warga negara yang merasa dirinya sebagai bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk mempertahankan bahasa Indonesia agar tetap menjadi bahasa kebanggaan, baik pemerintah, para pakar bahasa dan semua masyarakat dituntut kepeduliannya untuk berbuat secara nyata.
DAFTAR PUSTAKA Bakry, Oemar. 1981. Bunga Rampai Sumpah Pemuda Satu Bahasa Bahasa Indonesia. Jakarta: Mutiara. Depdikbud. 1981. Politik Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Depdikbud. 1984. Politik Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Gani, R. 1988. Pengajaran Sastra: Respon dan Analisis. Jakarta: Dirjen. Dikti. Depdikbud. Hardini, Tri Indri. 2007. ”Pengajaran BIPA” (Makalah). Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitan Pendidikan Indonesia Bandung. Sayuti, S.A. 1985. Puisi dan Pengajarannya. Semarang: IKIP Semarang Press Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 183
Sumarjo, J. 1995. Sastra dan Masa. Bandung: Penerbit ITB Bandung. Syamsuddin. 1985. Sanggar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Warsiman. 2007. Kaidah Bahasa Indonesia yang Benar: untuk Penulisan Karya Ilmiah (Laporan-Skripsi-Tesis-Desertasi). Bandung: Dewa Ruchi.
184 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
PENGUATAN BAHASA DAN BUDAYA INDONESIA MENGHADAPI MEA Yarno FKIP Universitas Muhammadiyah Surabaya Pos-el.
[email protected]
ABSTRAK Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah salah satu pilar dari Komunitas ASEAN. Dua pilar lain adalah Masyarakat Politik Keamanan ASEAN dan Masyarakat Sosial Budaya ASEAN. Ketiga pilar itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ketiganya saling berkaitan dan saling memperkuat demi tercapainya perdamaian yang berkelanjutan, stabilitas, dan pemerataan kesejahteraan di kawasan ASEAN. Namun, saat ini yang menjadi tema pembahasan baru ranah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Bidang politik keamanan sedikit terabaikan. Begitu pula masalah sosial budaya. Ketidakseimbangan penanganan ketiga pilar itu tentu dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Keributan politik di suatu negara ASEAN turut memengaruhi keberlangsungan MEA. Faktor kerawanan sosial budaya juga perlu mendapat perhatian secara intens. Dalam menunjang keberhasilan MEA, faktor yang tidak bisa diabaikan adalah bahasa dan budaya. Namun, yang selama ini digaungkan adalah keharusan masyarakat menguasai bahasa Inggris. Bagaimana dengan bahasa kita? Bagaimana pula penanganan masalah budaya? Cukupkah kita menguasai bahasa Inggris tanpa harus tahu bahasa dan budaya negara-negara ASEAN? Atau mungkinkah kita menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN? Berawal dari beberapa pertanyaan itulah, tulisan ini mencoba mengusulkan perlunya penguatan bahasa dan budaya Indonesia di kancah ASEAN. Kata kunci: bahasa dan budaya Indonesia, MEA, komunitas ASEAN.
PENDAHULUAN Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah berlangsung sejak Januari 2016. Ini berarti tercipta peluang pasar interanasional di ASEAN. Untuk memperlancar proses negosiasi antarnegara tersebut jelas diperlukan alat komunikasi. Kesamaan komunikasi itu akan memudahkan dalam pembauran dan pergaulan mereka. Dalam hal ini peran bahasa menjadi sangat penting. Selain sebagai alat komunikasi antarpersonal, bahasa juga sebagai alat pembersatu bangsa dan negara. Belumlah disebut negara jika belum memiliki bahasa kebangsaan. Indonesia yang memiliki ratusan suku bangsa dan bahasa daerah bisa menjadi negara kesatuan karena ada bahasa kebangsaan yang mempersatukannya. Seandainya tidak ada bahasa Melayu yang bisa diterima semua etnis dan menjadi bahasa kebangsaan Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia belum tentu terwujud. Seperti diketahui bahwa MEA merupakan sebuah kesepakatan dan kehendak bersama negara-negara ASEAN untuk bersatu membentuk masyarakat ekonomi. Tujuannya adalah agar terjadi sinergitas, kekuatan daya saing, pemberdayaan sumber daya dan penerapan sistem ekonomi yang berkelanjutan, melalui pasar secara bersama. Tetapi, meski latar belakangnya adalah ekonomi, bahasa tetap menjadi hal yang harus diperhatikan sebagai sarana pembersatu masyarakat ekonomi ini. Bahasa merupakan
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 185
kekuatan perekat semua gagasan, kesepakatan, dan tindakan bersama. Bahasa juga bisa dijadikan penetral terhadap semua perbedaan, konflik, dan dampak kehadiran MEA. Bisa dibayangkan kalau tidak ada sarana bahasa bersama yang menjadi media komunikasi antarnegara-negara ASEAN yang sudah ratusan tahun membangun identitas dan kultur ini. Kalau tidak disatukan oleh bahasa dipahami bersama oleh komunitas sejak yang hidup di Mindano (Filipina) sampai ke Bengkulu (Indonesia) atau dari Ende (NTT/Indonesia) sampai ke Pataya (Thailand), hubungan antarnegara ASEAN dapat terganggu. Bahasa yang paling tepat menjadi bahasa pembersatu MEA adalah bahasa Indonesia atau Melayu. Ada sejumlah kelebihan yang dimiliki bahasa Indonesia. Pertama, bahasa Indonesia dipakai oleh lebih separo penduduk ASEAN. Kedua, bahasa Melayu mempunyai jejak dan hubungan linguistik dengan bahasa-bahasa di Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, sebagian dari Filipina, Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Laos. Sebab, di sana sebagian penduduknya adalah rumpun bangsa Melayu. Di dunia saat ini terdapat 400 juta penutur bahasa Melayu. Bila negara-negara ASEAN berkehendak, bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa komunikasi antarnegara dan wilayah bangsa yang serumpun dan pemersatu di masa depan. Karena itu, bahasa Melayu sudah seharusnya menjadi bahasa PBB. Penggunaan bahasa Inggris saja sebagai bahasa MEA bisa memberikan dampak negatif yang luar biasa, baik secara sosial maupun budaya. Sehubungan dengan itu, paper ini akan memaparkan beberapa hal tentang pentingnya penguatan bahasa dan budaya Melayu sebagai sarana menunjang keberhasilan MEA. PEMBAHASAN Bahasa pengantar resmi dalam MEA adalah bahasa Inggris, bukan bahasa bahasa Indonesia. Artinya, bahasa Inggris sangat mungkin akan sangat dominan dalam MEA. Keputusan tersebut tentu bisa menjadi sesuatu yang ironi. Mengapa demikian? Lambat laun, keberadaan bahasa-bahasa milik warga negara ASEAN akan tersisih. Akibatnya, tidak tertutup kemungkinan bahasa Indonesia/Melayu akan hilang. Hilangnya bahasa tersebut jelas akan membahayakan eksistensi suatu negara. Memang hasil survei Paul Lewis (2009) menunjukkan bahwa bahasa Inggris menempati peringkat ke-3 sebagai bahasa yang paling banyak digunakan di negara-negara di dunia dari total 172 bahasa yang tercatat. Bahasa Inggris diketahui telah digunakan oleh kurang lebih 112 negara di dunia, termasuk di dalamnya negara-negara kawasan ASEAN dan 328 juta pengguna bahasa. Dari hasil survei tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang paling banyak digunakan oleh negara-negara di dunia. Meskipun jumlah pengguna bahasa Inggris lebih sedikit dari jumlah pengguna bahasa Spanyol dan Mandarin yang menduduki peringkat pertama dan kedua, bahasa Inggris mempunyai jumlah negara pengguna bahasa paling banyak dari 172 bahasa dunia. Meski demikian, keberadaan bahasa Indonesia dan Melayu juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab, pengguna bahasa Melayu mencapai sekitar 400 juta orang. Mereka berada di negara-negara anggota ASEAN. Bahkan, bahasa Melayu tercatat menjadi bahasa nasional di empat negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura. Sementara itu, di beberapa negara lain, seperti Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Filipina, bahasa Melayu menjadi bahasa kedua dan ketiga. Mengingat pentingnya keberadaan bahasa tersebut, negara-negara lain, seperti 186 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Australia, juga memasukkan pembelajaran bahasa di ASEAN dalam kurikulum pendidikannya. Oleh karena itu, beberapa pakar telah menyerukan adanya ajakan untuk menggunakan bahasa Melayu dalam komunikasi ASEAN. Pada 2015 jumlah penduduk di ASEAN sekitar 688 juta orang. Dari jumlah itu yang menjadi penutur bahasa Indonesia/Melayu mencapai 400 juta orang. Jumlah ini berarti sama dengan 58 persen dari total jumlah penduduk warga ASEAN.
Grafik 1: Persebaran jumlah penduduk di Asia Tenggara yang menggunakan bahasa Melayu Akademisi Universitas Malaya, Malaysia, Zainal Abidin Burhan, menyerukan agar semua transaksi dalam pelaksanaan MEA menggunakan bahasa Melayu. Ini sekaligus untuk memperkuat jati diri ASEAN karena mayoritas warganya menggunakan bahasa Melayu. Pernyataan tersebut disampaikan dalam Kongres Bahasa Melayu di Batam pada 14 Juni 2015 lalu. Dia khawatir jika transaksi menggunakan bahasa Inggris, ada warga negara selain ASEAN yang menyusup dan memanfaatkan pelaksanaan MEA untuk kepentingan pribadi. (Suara bisnis, 15/6/2015) Pemerintah Indonesia juga membuat undang-undang yang mewajibkan warga negara lain yang akan bekerja di Indonesia harus bisa berbahasa Indonesia. Hal itu tertuang dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Tujuannya adalah meminimalkan dampak negatif sosial dan budaya apabila tenaga asing tersebut berkomunikasi dengan masyarakat Indonesia. Indonesia dan Malaysia juga berkomitmen untuk meningkatkan peranan bahasa Melayu sebagai instrumen untuk memperkuat struktur sosial kedua negara serumpun dan berperan dalam ilmu pengetahuan. Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla mengatakan bahwa bahasa merupakan ilmu pengetahuan yang sangat berperan dalam interaksi antarmanusia di dunia. Karena memiliki akar bahasa yang sama, akan lebih baik apabila kedua negara membangun kerja sama untuk meningkatkan peran bahasanya. Jadi, bahasa MEA identik dengan budaya Indonesia dan Melayu. Dalam pertemuan dengan Penasehat Sosial Budaya Kerajaan Malaysia Tan Dato Seri Utama Rais Yatim itu kedua negara juga sepakat untuk meningkatkan peranan baProsiding Seminar Nasional 24 September 2016| 187
hasa Indonesia dan Melayu. Dikatakan bahwa bahasa Indonesia dan Malaysia sama sebenarnya. Yang perlu dikaji adalah bagaimana mempersatukan strukturnya kembali. Bukan tata bahasanya, tetapi penggunaan bahasanya (Kabar24, 27/1/2015). Jauh sebelumnya, Forum Roundtable Conference Indonesia-Malaysia yang berlangsung pada 25-26 Juli 2011 di Kuala Lumpur merekomendasikan penggunaan Bahasa Indonesia-Malaysia sebagai bahasa resmi di lingkungan ASEAN. Acara itu diprakarsai Foreign Policy Study Group (FPSG)-Malaysia bersama dengan Eminent Persons Group (EPG)-Indonesia, the Indonesian Council on World Affairs (ICWA) dan Institut Kajian Internasional/FISIP UIN Syarif Hidayatullah. Perjuangan itu memang tidak mudah. Diperlukan komitmen dari Indonesia-Malaysia agar bahasa Melayu dapat menjadi bahasa MEA. Bahkan, ASEAN Inter Parliamentary Association (AIPA) baru-baru ini juga telah menerima bahasa Malaysia-Indonesia, selain bahasa Inggris, sebagai bahasa resmi organisasi tersebut. Sebaiknya Indonesia dan Malaysia mengesampingkan perbedaan-perbedaan antara kedua negara, dan lebih mengedepankan persamaan di dalam menghadapi masalah-masalah bilateral, regional, dan internasional. Tidak sebaiknya Indonesia dan Malaysia mengajukan bahasa nasional masing-masing untuk menjadi bahasa ASEAN. Dominannya penggunaan kedua bahasa ini di kawasan ASEAN menjadikan kedua bahasa ini mempunyai peluang yang sama untuk menjadi bahasa ASEAN. Tinggal sekarang para pihak yang berkompeten dan memiliki kewenangan konsisten dalam meneguhkan bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa ASEAN. Penguatan bahasa Indonesia dan Melayu sebagai bahasa ASEAN juga akan membendung intervensi pengaruh negara maju. Jepang adalah negara yang dapat dijadikan contoh. Negara Jepang mampu menahan westernisasi dengan mempertahankan kebudayaan, termasuk bahasa mereka. Negara tersebut maju pesat tanpa meninggalkan peran bahasa sendiri dalam membangun kebudayaan. Beberapa agenda yang sudah dilakukan untuk meneguhkan bahasa Indonesia/Melayu sebagai bahasa MEA terangkum seperti di bawah ini. September 2011, mantan Menteri Penerangan, Komunikasi dan Budaya Malaysia Tan Sri Dr. Rais Yatim dan pemimpin Partai Golkar Indonesia Priyo Budi Santoso mengusulkan bahasa Malaysia dan Indonesia menjadi bahasa resmi ASEAN Pada 25-26 Oktober 2014 diadakan Seminar Memartabatkan Bahasa Melayu ASEAN di Pattani, Thailand. Pesertanya adalah Pusat Bahasa Indonesia, DBP Malaysia, DBP Brunei Darussalam, DBP Thailand, dan Majlis Bahasa Melayu Singapura. Seminar tersebut mengagendakan pemikiran langkah untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa ASEAN. Pada 14 Juni 2015 Akademisi Universitas Malaya, Malaysia, Zainal Abidin Burhan, menyerukan agar semua transaksi dalam pelaksanaan MEA menggunakan bahasa Melayu. Ini sekaligus untuk memperkuat jati diri ASEAN karena mayoritas warganya menggunakan bahasa Melayu Pada 3 November 2015 Menteri Komunikasi dan Multimedia Datuk Seri Dr Salleh Said Keruak mengatakan bahwa bahasa Melayu perlu dipromosikan sebagai ciri utama pembentukan komunitas ASEAN. Sifat kebangsaan ASEAN harus dibentuk melalui penggunaan bahasa yang seragam. Kegiatan lainnya diadakan di Universiti Putra Malaysia pada 3-4 November 2015. Disimpulkan bahwa bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi di Brunei, Indonesia, dan Malaysia. Bahasa Melayu juga dijadikan bahasa nasional Singapura.
188 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Selain itu, bahasa Melayu menjadi bahasa kerja di Timor Leste. Oleh karena itu, pengukuhan bahasa Indonesia/Melayu sebagai bahasa MEA adalah suatu keniscayaan.
Bahasa dan Ekonomi Terdapat hubungan yang erat antara bahasa dan faktor ekonomi. Artinya, bahasa merupakan salah satu media untuk menarik perhatian para pembeli. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini. Para pedagang di Madinah dan Makkah sering menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu ketika melayani pembeli dari Indonesia atau Malaysia. Mengapa para pedagang itu menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu? Tampaknya, motivasi utama mereka adalah ekonomi yang bersifat komersial. Harus diakui bahwa Indonesia dan Malaysia merupakan negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia. Dalam pelaksanaan ibadah haji dan umrah, kuantitasnya lebih banyak. Keberadaan jamaah haji dan umrah dari Indonesia dan Malaysia itu dimanfaatkan sebaikbaiknya oleh para pelaku bisnis di Saudi Arabia. Salah satu cara yang paling efektif adalah menggunakan pendekatan bahasa. Secara psikologis, pendekatan bahasa itu terasa lebih efektif, praktis, dan menimbulkan suasana akrab antara dua warga negara yang berbeda. Apalagi, sebagian besar jamaah haji dan umrah Indonesia tidak menguasai bahasa Arab. Karena itu, semakin fasih dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, pedagang Arab Saudi akan semakin banyak menyedot perhatian calon pembeli. Atas dasar itulah, hal yang sangat wajar apabila fenomena penggunaan bahasa Indonesia sering ditemukan di lokasi-lokasi pembelanjaan di Madinah dan Makkah. Belum lagi fakta bahwa orang-orang Indonesia memang terkenal sangat konsumtif dan suka berbelanja. Fakta lain terjadi di Kuala Lumpur. Salah satu perusahaan terbesar di bidang pariwisata di Malaysia sangat memanfaatkan musim libur orang-orang Arab. Ketika musim libur tiba, banyak orang Arab yang berlibur ke Malaysia, Indonesia, dan Thailand. Pada musim itulah para pengusaha Malaysia paling berhasil menangguk untung. Sebelum tiba musim ini, para karyawan dan pengambil kebijakan perusahaan A-Famousa sudah turun ke Universitas Antarbangsa Malaysia (UIA) untuk mencari calon pekerja part time dari mahasiswa yang menguasai bahasa Arab dengan baik. Sesungguhnya pemilik perusahaan ini adalah etnis China. Para karyawannya juga banyak didominasi oleh mereka. Sedikit sekali karyawan yang bersuku Melayu dan beragama Islam. Namun, karena hal ini murni kepentingan ekonomi, mereka sangat antusias dalam menyeleksi orang-orang yang mampu berbahasa Arab. Pada musim itu terjadi fenomena Arabisasi yang luar biasa di kota Kuala Lumpur. Iklan-iklan ditulis dalam bahasa Arab. Para sopir taksi juga antusias menyapa dengan bahasa Arab kepada calon penumpang yang berasal dari negara Arab. Selain itu, seluruh hotel berbintang mempekerjakan penerjemah bahasa Arab. Mereka ditempatkan di salah satu pojok lobi hotel. Tujuannya, mempermudah komunikasi para tamu Arab yang umumnya tidak menguasai bahasa Inggris atau Melayu dalam menikmati layanan penginapan, pelesiran, dan sebagainya. Rumah makan yang menyediakan menu dan nuansa Arab juga banyak ditemui di Kuala Lumpur. Hal ini bertujuan untuk memenuhi selera makan para tamu Arab. Karena mereka dilayani bagaikan raja dan permaisuri, akhirnya kota Kuala Lumpur pada musim panen duit ini berubah menjadi lautan orang-orang Arab yang sengaja datang untuk bersenangsenang dan menghambur-hamburkan uangnya.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 189
Hal itu berbeda dengan para turis dari Barat. Mereka pada umumnya tidak bersikap boros. Mreeka menikmati wisata dengan metode hemat dan irit. Buktinya, mereka sangat jarang menggunakan taksi, melainkan transportasi umum, seperti bis, monorail, atau kereta api. Selain itu, mereka membawa peta kota Kuala Lumpur dan buku saku sebagai pedoman dalam melakukan traveling di negara Malaysia. Hotel yang disewa pun bukan hotel yang mewah dan berkelas, sebagaimana para turis Arab. Ketika makan, mereka tidak memilih di tempat yang eksekutif, melainkan di tempattempat sederhana. Begitu pula yang terjadi di Shenzhen, China. Pasar Louhu memang disiapkan Shenzhen untuk menarik wisatawan. Luohu memang dijadikan tempat yang sangat menarik. Wisawatan yang berada Hongkong akan beranggapan daerah tersebut juga semaju Hongkong dengan gedung bertingkat dan tempat yang bersih dan tertib. Para pelancong dari Indonesia suka menghabiskan uangnya untuk berbelanja di pasar tersebut. Melihat fenomena banyaknya pelancong dari Indonesia, para pedagang berusaha menyapa menggunakan bahasa Indonesia. Walaupun ujarannya tidak begitu fasih, mendengar sapaan mereka membuat wisatawan Indonesia senang. Karena itu, transaksi ekonomi bisa lancar. Hal ini tentu juga merupakan cara untuk menjaring pembeli. Bila dicermati, fenomena-fenomena tersebut semata-mata murni demi kepentingan ekonomi. Artinya, jika ditinjau dari sudut kebahasaan, bahasa Arab mengalami kerugian. Tetapi, dari sudut perekonomian, negara Arab Saudi untung besar. Begitu pula Malaysia. Proses Arabisasi di iklan-iklan untuk menjaring wisatawan jelas merugikan secara bahasa. Namun, para pengusaha sangat untuk secara ekonomi. Bahasa juga harus mengandung etika karena dengan bahasa juga bisa mengakibatkan hubungan sosial masyarakat bahkan antar negara dapat terganggu. Dengan bermodalkan persamaan bahasa, warga masyarakat ASEAN akan lebih mudah membangun jejaring dan menjalankan perdangannya. Dan, mereka sudah memiliki modal bahasa Indonesia/Melayu. Keuntungan mempelajari bahasa Indonesia/Melayu adalah sebagai berikut. 1. Sangat mudah dikuasai, terutama tingkat dasar. Turis yang berwisata ke Indonesia dapat berkomunikasi dengan kalimat-kalimat sederhana seperti ”Saya lapar” atau ”Di mana saya bisa beli ini?” dalam tiga hari. Kemampuan yang sama dalam bahasa China butuh waktu satu bulan atau lebih. 2. Tidak mengenal kala, konjugasi, maupun jenis kelamin kata benda. Lafal bahasa Indonesia juga tidak sulit karena lebih tipis atau ringan. Hanya ada sedikit bunyi yang sulit, misalnya [ny] dan [ng]. Kalaupun orang asing sulit mengucapkannya, orang Indonesia masih memahami maksudnya. Bagaimana dengan bahasa-bahasa lain? Bahasa Korea dan Jepang, misalnya, mempunyai berbagai macam akhiran yang melekat pada kata kerja, bergantung pada situasi percakapan dan lawan bicaranya. Bahasa Arab mempunyai 10 tingkat intensitas kata kerja. Semua itu tidak ada di dalam bahasa Indonesia. 3. Bahasa Indonesia tingkat menengah dan lanjut memang lebih susah. Penggunaan imbuhan di dalam bahasa Indonesia bukanlah sesuatu yang sederhana. Namun, kehadiran seorang guru yang ahli dan sistematis dapat menanggulangi masalah ini. Kecenderungan bahasa Indonesia menyerap kosakata bahasa Inggris juga memudahkan orang asing menambah kosakatanya. Kecenderungan seperti ini bukanlah sesuatu yang perlu dianggap sebagai kelemahan bahasa Indonesia, tetapi justru memperkaya perbendaraan kata.
190 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Penguatan Budaya Kehadiran MEA juga memberikan dampak di bidang budaya. Keberadaannya akan mengakibatkan perubahan di segala aspek kehidupan individu, keluarga, masyarakat, negara dan bangsa. Sebagian masyarakat menerima kehadirannya sebagai sesuatu yang wajar. Mereka pun bersiap diri sebaik-baiknya. Namun, sebagian lagi masih belum siap terhadap perubahan itu. Budaya lokal akan dipertaruhkan di tengah kancah kebudayaan global. Akibatnya, timbul kontroversi dalam memandang budaya global. Sebagian tidak menginginkan perubahan budaya lokalnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu pemikiran agar budaya lokal tidak terlindas oleh budaya global. Masalah utama yang perlu dipikirkan adalah penyesuaian budaya. Hal ini disebabkan tidak semua budaya, kebiasaan, adat istiadat di suatu negara diterima di negara lain. Ketidakmampuan memadupadankan budaya global dengan budaya lokal dapat menimbulkan gegar budaya. Bila memasuki suatu budaya asing, seseorang harus membangun komunikasi baru, kesepakatan baru, dan dunia baru. Bila tidak mampu menyesuaikan diri, akan timbul rasa frustrasi. Biasanya orang-orang menghadapi frustrasi dengan cara yang hampir sama. Mereka menolak lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan. (Mulyana & Rahmat, 2001;174). Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di bawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma-norma, adat istiadat, dan kebiasaan. Dalam menjalani proses komunikasi antarbudaya pasti akan mengalami suatu keterkejutan budaya yang berbeda dengan budaya kita. Nah, berkenaan dengan pelaksanaan MEA jelas terlihat akan timbulnya berbagai gegar budaya. Nah, Indonesia dan Malaysia dapat memaksimalkan peran dalam MEA terkait dengan masalah budaya. Apalagi, kedua negara notabene memiliki bahasa dan budaya yang hampir sama. Musni Umar (2012) menjelaskan lima hal yang berkaitan dengan kesamaan Indonesia-Malaysia. Pertama, kesamaan budaya. Mayoritas penduduk Indonesia dan Malaysia adalah rumpun Melayu. Oleh karena itu, kedua bangsa ini memiliki kesamaan budaya. Mereka sama-sama tetap memelihara budaya nenek moyang. Hal ini bisa menjadi modal untuk memperkuat posisi di MEA. Kedua, tidak saling klaim budaya. Tidak bisa dinafikan bahwa budaya Melayu menjadi milik kedua negara. Oleh karena itu, tentu tidak perlu terjadi saling klaim bahwa budaya tersebut adalah milik negara masing-masing. Justru perlu dicarikan upaya agar budaya kedua bangsa ini dilestarikan dan dikembangkan untuk kemajuan bersama. Kalau selama ini terjadi perselisihan tentang siapa pemilik budaya tersebut, hal itu hanya masalah sudut pandang. Kalau kedua negara bersatu dan dapat menemukan solusi yang saling menguntungkan, keberadaan ASEAN akan sangat diperhitungkan. Ketiga, konflik budaya peninggalan penjajah. Konflik antara Indonesia dan Malaysia dalam masalah budaya merupakan konsekuensi dari Traktat (Perjanjian) London antara Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda pada 17 Maret 1824. Perjanjian itu membagi wilayah kekuasaan ekonomi antara Inggris dan Belanda sehingga memberikan dampak yang luas terhadap Nusantara (alam Melayu). Nusantara terpecah secara politik, sehingga kedua bangsa ini mudah tersulut konflik. Ini terutama setelah Indonesia merdeka dari Belanda pada 1945, dan Malaysia merdeka dari Inggris 1957. Kesamaan budaya Indonesia dengan Malaysia itu telah menjadi penyebab seringnya terjadi konflik kedua bangsa serumpun. Persoalan budaya antara kedua negara akan terus terjadi jika tidak dilakukan pemecahan yang bersifat ”win-win solution“. Untuk
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 191
memecahkan masalah tersebut amat penting didiskusikan oleh para pakar budaya, sejarah, dan sosiologi dan lain-lain untuk mendapatkan solusi. Keempat, hubungan sangat sensitif. Sebagai negara yang bertetangga dekat dan di masa lalu bagaikan suami isteri yang tinggal satu rumah sebelum penjajah memisahkan dan menguasai kawasan Nusantara, hubungan keduanya harmonis. Karena itu, Indonesia dan Malaysia walaupun harus berkompetisi untuk merebut kemajuan dan kejayaan, hendaknya masing-masing menurunkan egoisme dan mau duduk sama rendah dan berdiri sama tegak. Berbagai kesamaan, hendaknya mewujudkan keakraban dan mau duduk bersanding sebagai sparring partner, bukan sebagai lawan yang harus saling menghabisi. Diplomasi timbal balik harus semakin ditingkatkan melalui pendekatan ”jemput bola” yang proaktif dan progresif terhadap kalangan atas, kelas menengah (dunia kampus, usahawan, kaum profesional), dan kalangan bawah (masyarakat umum). Perlu perubahan mendasar dan pendekatan baru dalam menjalankan diplomasi kedua negara. Kelima, kesamaan budaya selayaknya jadi perekat. Dalam realitas, kesamaan budaya kedua bangsa telah menjadi kutukan karena selalu menjadi ajang perpecahan. Untuk itu, diplomasi budaya dan kerjasama budaya harus dikembangkan. Kesamaan budaya Indonesia dan Malaysia, selayaknya bukan menjadi pemicu perperpecahan kedua masyarakat, bangsa dan negara, tetapi menjadi pemacu untuk lebih akrab dan bersatu untuk membangun kedua negara yang maju dan sejahtera. https://musniumar. wordpress.com/2012/06/19/indonesia-malaysia-kesamaan-budaya-seharusnya-perekatbukan-sumber-konflik/ 1. Globalisasi dan Hibridisasi Budaya Barker (2004: 405) menjelaskan bahwa di era globalisasi ini orang-orang atau masyarakat sedunia bergabung menjadi satu masyarakat dunia, yaitu masyarakat global. Kondisi tersebut akan menggabungkan unsur-unsur budaya dari berbagai negara dan menyebabkan terjadinya pencairan budaya. Globalisasi adalah koneksi global ekonomi, sosial, budaya, dan politik ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan merasuk ke dalam kesadaran kita. Kebanyakan proses globalisasi memiliki karakter ekonomi seperti dapat dilihat pada produk-produk global yang disebarkan melalui sistem franchise. Globalisasi bukan hanya persoalan ekonomi, melainkan juga terkait dengan isu makna budaya. Nilainilai dan makna yang melekat pada suatu tempat masih tetap berarti. Masyarakat semakin terjerat ke dalam jaringan yang meluas jauh ke luar lokasi fisik. Proses globalisasi ditandai dengan integrasi budaya lokal ke dalam suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar menjadi basis dalam pembentukan subkebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan ekspreasi. (Abdullah, 2010: 192) Globalisasi adalah proses yang kompleks karena melibatkan perubahan sosial yang cepat yang terjadi secara bersamaan di sejumlah dimensi -dalam perekonomian dunia, politik, komunikasi, dalam lingkungan fisik dan budaya- dan masing-masing transformasi ini berinteraksi dengan lainnya. Globalisasi budaya telah menciptakan suatu ruang kebudayaan, yang di dalamnya berlangsung, di satu pihak, penyeragaman, homogenisasi dan imperialisme budaya; di pihak lain, persilangan, pertukaran dan pengayaan budaya yang sangat kompleks. (Piliang, 2009: 75-91) Bakhtin (1981: 358) menyatakan bahwa hibridisasi adalah percampuran dari dua bahasa, pertemuan antara dua kesadaran linguistik yang berbeda. Hibriditas ketidaksadaran organik adalah ciri evolusi historis dari semua bahasa. Penerapannya dalam 192 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
budaya pada umumnya dapat dikatakan bahwa meskipun terdapat keterbatasan ilusi, budaya berkembang secara historis melalui peminjaman, peniruan, pertukaran, dan penemuan tanpa pikir. Pariwisata merupakan sektor yang sangat penting bagi negara-negara berkembang, dan Asia Tenggara adalah salah satu yang terdaftar di antara tujuan utama pariwisata dunia. Diperlukan pariwisata kreatif untuk memfasilitasi wisatawan mendapatkan pengalaman otentik melalui keterlibatan dalam pembelajaran partisipatif dalam seni, budaya, warisan atau tempat dengan karakter khusus (Chairatana, 2012: 1). Pendapat ini sejalan dengan cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN yang telah membentuk Komunitas ASEAN yang terdiri atas tiga pilar ASEAN Community yang meliputi ASEAN Economic Community, ASEAN Security Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community (Yani, 2008). Beberapa kota di Indonesia, misalnya, telah membuat berbagai terobosan untuk memikat para wisatawan. Mereka mengandalkan tradisi upacara ritual yang berciri agraris maupun maritim dengan interpretasi dan kemasan baru. Misalnya Festival Merapi, Festival Lima Gunung di Jawa Tengah. Pada dua festival itu berkembang kesenian Topeng Ireng di beberapa kota sekitarnya. Di Lembang dekat Bandung para petani tomat mengadakan Festival Perang Tomat. Masyarakat kota Kutai Kartanegara menyelenggarakan Festival Lampion. Kota wisata Batu menyelenggarakan Festival Bantengan, Banyuwangi dan Jember di Jawa Timur mengadakan ajang Tour de Ijen dan Festival Busana. Setiap kota memiliki sentra industri kreatif, seperti Kampung Batik Laweyan, Keramik Kasongan, Kampung Lampion Malang, dan sebagainya. Bahkan, kampungkampung kumuh di Jakarta akhir-akhir ini menarik minat wisatawan. Mereka yang berkunjung tidak sekadar memahami, tetapi mencoba mempelajari budaya setempat lebih dalam yang kemudian mengembangkannya. Kemudian wisatawan menjadi bagian dari manusia kreatif yang dapat berkolaborasi dengan budaya setempat.(Suara Merdeka, 29 Des 2011). Bahkan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mengandalkan adat istiadat warga Ngadas masih bertahan turun-temurun sejak zaman Majapahit. Desa di ketinggian 2.000 m dpl itu adalah desa tertinggi di Indonesia. Dari desa tersebut wisatawan dapat langsung menuju Gunung Bromo. Peran Pemerintah dan DPR Ketua MPR RI Zulkifli Hasan dalam Konvensyen Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) ke XVI, di Hotel Borobudur Jakarta (27/10) memprediksi kekuatan ekonomi Melayu mampu menjadi pendorong ekonomi dunia. Kebangkitan umat Islam akan dimulai dari etnis Melayu, terutama yang bermukim di wilayah Asia Tenggara memasuki era MEA ini. Kekuatan ekonomi Melayu ini bisa menjadi kekuatan ketiga setelah Uni Eropa dan Amerika. Hal ini bisa diwujudkan melalui MEA. Meski begitu, untuk mencapai kekuatan ekonomi dunia tersebut diperlukan pendidikan yang baik selain persatuan dan kesatuan di antara etnis Melayu. Untuk itu, persatuan Melayu antara Malaysia dan Indonesia dapat semakin ditingkatkan. DMDI merupakan organisasi yang berusaha menghimpun kembali kelompokkelompok Melayu yang bertebaran di berbagai belahan dunia. Anggota DMDI tersebar di 18 negara. Organisasi ini berdiri pada 2000, dengan tujuan mengembalikan kejayaan dunia Islam pada umumnya dan masyarakat Melayu pada khususnya.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 193
Zulkifli menambahkan bahwa perdamaian yang dimiliki umat Islam Indonesia harus ditiru oleh semua negara anggota DMDI. “Karena tanpa persatuan dan perdamaian, mustahil umat Islam bisa mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain,” katanya. Artinya, dewan perwakilan rakyat harus juga mampu berperan aktif untuk meneguhkan bahasa dan budaya Indonesia menjadi unsur utama dalam MEA. Mereka dapat mengagendakannya dalam siding dan merumuskannya hasilnya untuk diberikan kepada pemerintah. Berdasarkan hasil sidang tersebut, pemerintah dapat membuat langkah-langkah strategis agar bahasa dan budaya Indonesia menjadi ciri khas MEA. Bisa pula pemerintah membuat keputusan sebagai dasar hukum bagi bangsa Indonesia untuk memperjuangkan bahasanya menjadi bahasa pengantar di MEA. Pusat Bahasa pun bisa banyak berperan dengan lebih giat menyosialisasikan keputusan pemerintah. Di berbagai daerah dibentuk kelompok-kelompok cinta negara melalui komitmen terhadap bahasanya. Selain itu, kampus-kampus di Indonesia terus berupaya meningkatkan potensi civitas akademika. Misalnya menerima mahasiswa dari negara ASEAN untuk berkuliah di sana. Melalui mereka kita kenalkan budaya dan bahasa Indonesia. Saat mereka pulang ke Negara masing-masing mereka dapat mengabarkan budaya dan bahasa Indonesia. Langkah lain yang dapat diupayakan adalah penguatan kerja sama antarperguruan tinggi di bidang penguatan bahasa dan budaya ASEAN, pembentukan pusat bahasa dan budaya ASEAN, pembukaan magang, dan pengenalan dan penyebarluasan bahasa dan budaya di bidang pariwisata. SIMPULAN Berdasarkan beberapa fakta dan pemikiran yang diuraikan di atas dapat dikemukakan beberapa simpulan dan saran sebagai berikut. 1. Penggunaan bahasa Inggris dalam MEA penting, tetapi pemberdayaan bahasa Melayu juga tidak bisa diabaikan. 2. Penguatan bahasa dan budaya Melayu untuk segera menjadi bahasa ASEAN. 3. Mendorong pakar bahasa dari seluruh ASEAN umtuk memformulasikan dan merumuskan struktur bahasa Melayu agar dapat menjadi rujukan bagi pembuatan kebijakan para petinggi ASEAN. 4. Mendorong badan bahasa negara untuk secepatnya mengambil peran untuk merealisasikan pembahasan lebih lanjut terkait bahasa ASEAN. 5. Peningkatan peran serta masyarakat kampus untuk mempromosikan bahasa dan budaya masing-masing anggota ASEAN di bidang pariwisata. DAFTAR PUSTAKA Bakhtin, Mikhai, 1981. The Dialogic Imagination, terjemahan Caryl Emerson dan Michael Hosquist, Austin, TX. University of Texas Press. Chairatana, Pun-Arj, 2012. “Creative Tourism 2.0” online, http://www.trendsoutheast.org/opinion/2012/6/7/creative-tourism-20 Piliang, Yasraf Amir, 2009. “Retakan-retakan Kebudayaan: Antara Keterbatasan dan Ketakberhinggaan”, Melintas vol. 25 no. 01(April.2009) Suara Merdeka, 29 Des 2011
194 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Yani, Yanyan Mochamad, 2008. Piagam ASEAN, ASEAN Socio-Cultural Community (Ascc) Blueprint dan Indonesia http://kastaranews.com/kekuatan-melayu-diprediksi-menjadi-kekuatan-ketiga-dunia/ (http://www.suara.com/bisnis/2015/06/15/014100/mea-diminta-gunakan-bahasamelayu) http://kabar24.bisnis.com/read/20150127/19/395871/diplomasi-bahasa-indonesia-danmalaysia-kerjasama-tingkatkan-peran-bahasa
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 195
196 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
MEMBANGUN BUDAYA LITERASI DI PERGURUAN TINGGI MELALUI MATA KULIAH BAHASA INDONESIA
Syamsul Ghufron Universitas Islam Darul Ulum Lamongan
[email protected]
ABSTRAK Budaya literasi di perguruan tinggi yang ditopangkan pada mata kuliah bahasa Indonesia sudah diatur oleh pemerintah dengan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor 43/Dikti/Kep/2006 dan Undang-Undang No 12 Tahun 2012. Namun, pelaksanaannya kurang mendapat perhatian yang serius dari berbagai pihak. Akibatnya, mata kuliah bahasa Indonesia yang diharapkan dapat membangun budaya literasi di perguruan tinggi belum dapat memenuhi harapan. Berdasarkan kenyataan itu, mari kita berdayakan mata kuliah bahasa Indonesia di perguruan tinggi, mari kita bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kebijakan pemerintah dalam membangun budaya literasi di perguruan tinggi. Kata kunci: membangun, budaya literasi, perguruan tinggi, mata kuliah bahasa Indonesia
PENDAHULUAN Budaya literasi sedang digelorakan di mana-mana dan kapan saja, di masyarakat, sekolah-sekolah, termasuk di kampus. Di kampus budaya literasi ditopangkan pada mata kuliah bahasa Indonesia. Hal ini didasrkan pada Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Depdiknas RI) Nomor 43/Dikti/Kep/2006 tentang rambu-rambu pelaksanaan kelompok matakuliah pengembangan kepribadian (MPK) di perguruan tinggi menyebutkan bahwa visi kelompok MPK di perguruan tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Visi kelompok MPK di perguruan tinggi tersebut dikembangkan ke dalam misi kelompok MPK yakni membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang diilikinya dengan rasa tanggung jawab. Sesuai dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012, bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi dalam penyusunan kurikulum, namun pada pelaksanaannya diperlukan rambu-rambu yang sama agar dapat mencapai hasil yang optimal. Di samping itu, mahasiswa merupakan insan dewasa sehingga dianggap sudah memiliki kesadaran dalam mengembangkan potensi diri untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau professional. Sehubungan dengan itu, perubahan pada proses pembelajaran menjadi penting dan akan menciptakan iklim akademik yang akan meningkatkan kompetensi mahasiswa baik hardskills maupun softskills. Hal ini sesuai dengan tujuan Pendidikan Tinggi dalam UU No 12 tahun 12 yaitu menjadi manusia Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 197
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, seluruh mahasiswa harus mengikuti pembelajaran mata kuliah dasar umum (MKDU). Sebagaimana telah dinyatakan dalam UU No 12 tahun 2012, MKDU sebagai mata kuliah wajib terdiri atas Agama, Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia. Mata Kuliah Bahasa Indonesia merupakan pelajaran yang mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, karena penguasaan atas bahasa Indonesia dapat dijadikan ukuran nasionalisme seseorang sebagai bangsa Indonesia. Selain itu, mata kuliah ini juga bertujuan untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam mengorganisisasi ide-ide atau konsepkonsep untuk dikomunikasikan kepada pihak lain sehingga terjalin interaksi antaride yang berkesinambungan dan menghasilkan proses transfer ilmu dan pengelolaan yang berjalan efektif. BUDAYA LITERASI Dalam perspektif tradisional, literasi dikaitkan (hanya) dengan baca-tulis dan diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis (Musfiroh, 2005:151). O’Donohoe dan Tynan (1998:2) menyatakan bahwa literasi dapat diartikan sebagai ‘melek’ dalam arti yang ketat mengacu pada kemampuan membaca dan memahami teks. Malmelin (2010) merumuskan literasi secara tradisional, yakni sebagai kemampuan untuk membaca dan memahami makna kata-kata tertulis. Literasi juga dapat dipahami sebagai kemampuan untuk menghasilkan, memahami, dan menggunakan teks dalam cara yang sesuai dengan kebudayaan (membudaya). Pengertian lain diajukan oleh Ritson (1995) dalam perdebatan intelektual di kalangan peneliti yang banyak menyetujui bahwa literasi adalah satu gugus keterampilan yang diperoleh seorang indidvidu untuk menjadi ‘literate’ (melek). Ritson menyatakan bahwa literasi tidak hanya kemampuan untuk membaca teks, tetapi juga untuk memulai dan berpartisipasi dalam setiap interaksi sosial tertentu. Kusmana (2009) mengutip pendapat Stripling yang menyatakan bahwa “literacy means being able to understand new ideas well enaugh to use them when needed. Literacy means knowing how to learn”. Pengertian ini didasarkan pada konsep dasar literasi sebagai kemelekwacanaan sehingga ruang lingkup literasi itu berkisar pada segala upaya yang dilakukan dalam memahami dan menguasai informasi. Robinson menyatakan bahwa literasi adalah kemampuan membaca dan menulis secara baik untuk berkompetisi ekonomis secara lengkap. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa literasi merupakan kemampuan membaca dan menulis yang berhubungan dengan keberhasilan seseorang dalam lingkungan masyarakat akademis, sehingga literasi merupakan piranti yang dimiliki untuk dapat meraup kesuksesan dalam lingkungan sosial. National Assesment of Educational Progress mengartikan literasi sebagai kemampuan performansi membaca dan menulis yang diperlukan sepanjang hayat (Winterowd, 1989:5). Seorang ahli hukum memandang bahwa literasi merupakan kompetensi dalam memahami wacana, baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis sehingga menampakan pribadi sebagai profesional berpendidikan yang tidak hanya menerapkan untuk selama kegiatan belajar melainkan menerapkannya secara baik untuk selamanya (White, 1985: 46). Literasi dikaitkan dengan semua perilaku dan strategi yang dibutuhkan untuk memahami dan memproduksi teks tertulis (NBPTS, 2002). Kini, bidang literasi meluas 198 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
hingga ke wilayah komunikasi melalui teknologi bahkan multibidang sehingga dikenal istilah computer literasi, akuntansi literasi, bahkan internet literasi. Literasi sendiri kini dimaknai sebagai kecakapan berkomunikasi dalam dunia nyata yang meliputi membaca, menulis, berbicara, menyimak, dan berpikir (Cooper, 1997). Berdasarkan beberapa konsep literasi tersebut, dapat dinyatakan bahwa literasi adalah (1) kemampuan baca-tulis atau kemelekwacanaan; (2) kemampuan mengintegrasikan antara menyimak, berbicara, membaca, menulis dan berpikir; (3) kemampuan siap untuk digunakan dalam menguasai gagasan baru atau cara mempelajarinya; (4) peranti kemampuan sebagai penunjang keberhasilannya dalam lingkungan akademik atau sosial; (5) kemampuan performansi membaca dan menulis yang selalu diperlukan; (6) kompetensi seorang akademisi dalam memahami wacana secara profesional. Budaya literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berpikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca dan menulis yang pada akhirnya apa yang dilakukan dalam sebuah proses kegiatan tersebut akan menciptakan karya. Membudayakan atau membiasakan untuk membaca dan menulis itu perlu proses jika memang dalam suatu kelompok masyarakat kebiasaan tersebut memang belum ada atau belum terbentuk. Telah banyak tulisan dan penelitian yang menyatakan keprihatinan terhadap budaya menulis di Indonesia terutama terlihat dari kemampuan menulis kaum terpelajar. Rendahnya kemampuan menulis terjadi pada semua jenjang pendidikan: SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi. Jenjang pendidikan yang lebih tinggi umumnya melimpahkan kesalahan pembelajaran menulis pada jenjang pendidikan di bawahnya sehingga kesalahan ditumpahkan di SD (Sutama, 1997:3). Fuad (2005) memaparkan hasil survey dan evaluasi diri mahasiswa Universitas Lampung bahwa penggunaan bahasa Indonesia laras ilmiah para mahasiswa ini masih sangat memprihatinkan. Rendahnya kemampuan menulis tersebut dapat dimaklumi karena di antara keempat keterampilan bahasa, keterampilan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang paling sulit (Suwandi, 2008:161) karena merupakan kemampuan paling luas dan kompleks (Dixon & Nessel, 1983:83, Heaton, 1988:135) serta paling sulit diajarkan (Farris, 1993:180). Padahal kemampuan menulis merupakan kemampuan dasar yang diutamakan dalam pendidikan formal. Kemampuan menulis penting dimiliki siswa pada semua jenjang sebab sebagian besar tugas belajar diberikan dalam bentuk tulisan. Kemampuan menulis juga memiliki peran penting dalam kehidupan. Dengan menyadari pentingnya tulisan dan kemampuan menulis dalam kehidupan individual dan sosial, sudah selayaknya pembinaan kemampuan menulis diupayakan untuk ditingkatkan. Memang untuk mewujudkan budaya literasi diperlukan berbagai upaya. Budiyanto (2005:149) menyatakan bahwa untuk mampu menulis pada usia dini, anak perlu diberi pajanan berupa teks-teks bacaan yang diharapkan akan menjadi inspirasi bagi anak untuk mengembangkan kemampuan menulisnya pada tahap awal. Sudartomo (2005) berpandangan bahwa komunitas tulis di masyarakat perlu dibangun dan pembelajaran dimulai dari hal-hal yang dekat dengan kehidupan anak, misalnya anak dimotivasi untuk berdialog imajiner dengan Tuhan dalam doa mereka masingmasing. Pranowo (2005) berpendapat bahwa materi pembelajaran menulis yang berorientasi pada interaksi sosial dalam warna budaya masyarakat setempat perlu diberikan sebagai titik awal berkomunikasi tulis berdasarkan kebutuhan sehari-hari. Sugihastuti (2005) berpandangan bahwa membiasakan menulis siswa SMA dalam Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 199
bentuk artikel ilmiah popular dengan struktur yang fleksibel memungkinkan penulisnya berimprovisasi. Improvisasi ini memungkinkan siswa termotivasi untuk menulis secara aktif. Di perguruan tinggi terdapat kendala besar yang dihadapi oleh dosen dan mahasiswa sebagai cerdik pandai. Kendala yang dimaksud adalah masih rendahnya budaya menulis artikel ilmiah dan naskah publikasi ilmiah hasil penelitian. Meskipun dari aspek kuantitas dikatakan meningkat, kualitasnya masih belum memuaskan. Fenomena ini dapat dilihat pada sejumlah hasil akhir penelitian yang belum dioptimalkan kontribusinya dalam bentuk naskah ilmiah hasil penelitian untuk publikasi. Persoalan lain yang juga cukup memprihatinkan adalah masih rendahnya minat dosen dan mahasiswa dalam penulisan ilmiah secara umum (Prayitno dkk. (ed.), 2000:v). Upaya peningkatan kemampuan dan kemauan menulis karya ilmiah hasil penelitian maupun pengabdian kepada masyarakat yang siap dipublikasikan dalam terbitan berkala ilmiah nasional terakreditasi maupun terbitan berkala ilmiah internasional masih sangat rendah. Pengembangan budaya dan kemampuan menulis menjadi suatu tantangan yang harus segera diatasi. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, salah satunya adalah kebijakan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 152/E/T/2012 Tanggal 27 Januari 2012 tentang luaran publikasi ilmiah lulusan jenjang S1, S2 dan S3 pada terbitan berkala ilmiah, terbitan berkala ilmiah nasional terakreditasi, maupun terbitan berkala ilmiah internasional, dengan harapan dapat memotivasi dan menumbuhkan budaya menulis artikel ilmiah bagi para mahasiswa/dosen/peneliti. MATA KULIAH BAHASA INDONESIA SEBAGAI PENOPANG BUDAYA LITERASI DI PERGURUAN TINGGI Matakuliah bahasa Indonesia sebagai MPK menekankan keterampilan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa nasional secara baik dan benar untuk menguasai, menerapkan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni sebagai perwujudan kecintaan dan kebangsaan terhadap bahasa Indonesia. Substansi kajian hendaknya dipadukan ke dalam kegiatan penggunaan Bahasa Indonesia melalui keterampilan berbahasa menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dengan keterampilan menulis akademik secara fokus. Substansi kajian matakuliah Bahasa Indonesia difokuskan pada menulis akademik. Secara umum, struktur kajian terdiri atas: (a) sejarah bahasa Indonesia; (b) bahasa negara; (c) bahasa persatuan, (d) bahasa ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (e) fungsi dan peran bahasa Indonesia dalam pembangunan bangsa. Menulis: (a) makalah, (b) rangkuman/ringkasan buku atau bab; dan (c) resensi buku. Membaca untuk menulis: (a) membaca tulisan/artikel ilmiah; (b) membaca tulisan populer, dan (c) mengakses informasi melalui internet. Berbicara untuk keperluan akademik: (a) presentasi; (b) berseminar; (dan (c) berpidato dalam situasi formal. Mata kuliah Bahasa Indonesia sebagai MPK meliputi 3 pokok bahasan, yaitu: (1) keterampilan menggunakan bahasa Indonesia, (2) kegiatan penggunaan bahasa Indonesia, dan (3) menulis akademik. Struktur kajian terdiri atas (a) kedudukan bahasa Indonesia, (b) menulis, (c) membaca untuk menulis, dan (d) berbicara untuk keperluan akademik. Dengan demikian, MPK Bahasa Indonesia ditekankan pada keterampilan menulis yakni menulis akademik. Penekanan menulis akademik ini didasarkan pada 200 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa hasil pembelajaran menulis menunjukkan tanda-tanda yang kurang menggembirakan sehingga sering mendapat sorotan. Joni (1990:23) mengatakan bahwa pembenahan kebahasaan bagi kebanyakan mahasiswa jenjang S2/S3 yang tengah menyusun tesis/disertasi dipandang masih diperlukan. Rata-rata mahasiswa apabila menyusun skripsi atau karya ilmiah, bahasa Indonesianya jelek, rangkaian kalimatnya sulit dipahami, jalan pikiran yang diungkapkannya tidak runtut (Purwo, 1990:127). Selain itu, Badudu (1988:100) menyatakan bahwa kelas yang besar biasanya membuat guru enggan memberikan pelajaran mengarang. Pelajaran mengarang dianggap akan menambah pekerjaan guru selepas jam sekolah karena ia harus memeriksa tulisan para siswanya. Akhirnya pelajaran mengarang dianaktirikan. Berdasarkan hasil studinya, Alwasilah (2000:679—680) berkesimpulan sebagai berikut. Pertama, menulis merupakan mata pelajaran yang paling diabaikan baik di sekolah maupun di PT. Kedua, menulis merupakan keterampilan berbahasa yang paling sulit dikuasai para siswa dan yang paling sulit diajarkan oleh guru. Ketiga, siswa SMU dan mahasiswa di PT selama ini diajari menulis oleh guru atau dosen yang tidak berpengalaman. Keempat, pelajaran menulis lebih merupakan pelajaran tata bahasa dan teori-teori menulis dengan sedikit latihan menulis. Kelima, pada umumnya karangan siswa dan mahasiswa tidak dikembalikan kepada mereka. Keenam, satusatunya cara mengajar menulis adalah lewat latihan menulis. Pada sisi lain, kalau dosen memberikan tugas kepada mahasiswanya menulis atau menyusun makalah, pada umumnya tulisan atau makalah mahasiswanya tidak pernah dikoreksi dengan sungguh-sungguh sehingga kesalahan-kesalahan yang diperbuat para mahasiswanya tidak pernah diperbaiki. Jika hal ini terjadi, tidak akan pernah terjadi perubahan atau perkembangan budaya literasi pada diri mahasiswa sampai mereka menjadi pegawai. Padahal kemampuan menulis merupakan kemampuan dasar yang diutamakan dalam pendidikan formal. Kemampuan menulis penting dimiliki mahasiswa sebab sebagian besar tugas belajar diberikan dalam bentuk tulisan. Kemampuan menulis juga memiliki peran penting dalam kehidupan. Dengan menyadari pentingnya tulisan dan kemampuan menulis dalam kehidupan individual dan sosial, sudah selayaknya pembinaan kemampuan menulis diupayakan untuk ditingkatkan. Upaya peningkatan itu melibatkan berbagai pihak dalam masyarakat: pendidikan informal, nonformal, dan formal. Lembaga pendidikan formal merupakan lembaga pendidikan yang secara intensif membina dan mengembangkan kemampuan menulis mahasiswa. Di kampus, misi pembinaan dan peningkatan kegemaran menulis para mahasiswa dipercayakan pada pembelajaran menulis yang merupakan bagian integral dari pembelajaran bahasa Indonesia (Sunardji, 1983:235). Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat O’Hare (dalam Budiyono, 2001:4) yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan pengalaman belajar sehingga diperoleh kemampuan yang dapat diaktualisasikan sebagai keterampilan menulis yang benar-benar dapat diandalkan di kalangan masyarakat, masyarakat mempercayakan pembelajarannya kepada dosen bahasa. Rendahnya kemampuan menulis tersebut dapat dimaklumi karena di antara keempat keterampilan bahasa, keterampilan menulis sering dipandang orang sebagai keterampilan berbahasa yang paling sulit (Suwandi, 2008:161). Kemampuan menulis merupakan kemampuan paling luas dan kompleks (Dixon & Nessel, 1983:83, Heaton, 1988:135) dan paling sulit diajarkan (Farris, 1993:180). Kemampuan menulis disebut kemampuan paling luas dan kompleks karena dalam kemampuan menulis terdapat Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 201
beberapa kemampuan prasyarat, yakni kemampuan menulis huruf, kata, kalimat, menyusun kata-kata menjadi kalimat, menggunakan ejaan, mewujudkan ide/gagasan dalam bentuk kalimat yang tepat, memilih kata yang mampu mewakili gagasan, mengatur keruntutan pikiran sehingga mudah dimengerti oleh orang lain, mengatur hubungan antara satu gagasan dengan gagasan lain, satu paragraf dengan paragraf lain sehingga terlihat sebagai tulisan yang padu, serta kemampuan mengidentifikasi pembaca. Kemampuan menulis juga disebut kemampuan paling sulit diajarkan karena dalam mengajarkan kemampuan menulis, pengajar harus pula mengajarkan kemampuan prasyaratnya (Suparti, 2003:2). Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil pembelajaran menulis termasuk pembelajaran menulis di perguruan tinggi sampai saat ini masih memprihatinkan karena kemampuan menulis merupakan kemampuan yang kompleks dan sulit diajarkan. Namun, tidak berarti bahwa mahasiswa tidak memiliki kemampuan menulis dan kemampuan menulis mahasiswa tidak dapat dioptimalkan. Peneliti yakin bahwa dalam diri setiap mahasiswa terdapat kemampuan berbahasa termasuk kemampuan dalam menulis dan kemampuan itu dapat dioptimalkan. Untuk mengoptimalkan kemampuan menulis tersebut, perlu dilakukan optimalisasi perkuliahan bahasa Indonesia di perguruan tinggi. SIMPULAN Literasi adalah kemampuan baca-tulis atau kemelekwacanaan; kemampuan mengintegrasikan antara menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berpikir; kemampuan untuk digunakan dalam menguasai gagasan baru atau cara mempelajarinya; peranti kemampuan sebagai penunjang keberhasilannya dalam lingkungan akademik atau sosial; kemampuan performansi membaca dan menulis yang selalu diperlukan; kompetensi seorang akademisi dalam memahami wacana secara profesional. Budaya literasi harus dibangun untuk melakukan kebiasaan berpikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca dan menulis yang pada akhirnya apa yang dilakukan dalam sebuah proses kegiatan tersebut akan menciptakan karya. Membudayakan atau membiasakan untuk membaca dan menulis itu perlu proses. Budaya literasi di perguruan tinggi yang ditopangkan pada mata kuliah bahasa Indonesia sudah diatur oleh pemerintah dengan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor 43/Dikti/Kep/2006 dan Undang-Undang No 12 Tahun 2012. Namun, pelaksanaannya kurang mendapat perhatian yang serius dari berbagai pihak. Mata kuliah bahasa Indonesia di perguruan tinggi masih dipandang sebelah mata baik oleh dosen maupun oleh mahasiswa. Mata kuliah bahasa Indonesia belum ditaangani secara serius. Akibatnya, mata kuliah bahasa Indonesia yang diharapkan dapat membangun budaya literasi di perguruan tinggi belum dapat memenuhi harapan. Berdasarkan kenyataan itu, mari kita berdayakan mata kuliah bahasa Indonesia di perguruan tinggi, mari kita bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kebijakan pemerintah dalam membangun budaya literasi di perguruan tinggi.
202 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
DAFTAR PUSTAKA Budiyanto, Dwi. 2005. “Mengoptimalkan Kemampuan Menulis Anak Melalui Rangsangan Membaca Sejak Dini” dalam Wiedarti, Pangesti. Menuju Budaya Menulis: Suatu Bunga Rampai. Yogyakarta: Tiara Wacana. Cooper, J.D. 1997. Literacy: helping Children Construct Meaning. Boston: Houghton Mifflin Company. Fuad, Muhamad. 2005. “Setelah MKU Bahasa Indonesia Digugat: Seputar Program Peningkatan Penggunaan Bahasa Ilmiah di Universitas Lampung” dalam Wiedarti, Pangesti. Menuju Budaya Menulis: Suatu Bunga Rampai. Yogyakarta: Tiara Wacana. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Depdiknas RI) Nomor 43/Dikti/Kep/2006. Kusmana, Suherli. 2009. Membangun Budaya Literasi. http://suherlicentre.blogspot.com/2009/11/membangun-budaya-literasi.html Malmelin, Nando. 2010. “What is advertising literacy: Exploring the dimensions of advertising literacy,” Journal of Visual Literacy 29(2), 129--‐142. Musfiroh, Tadkiroatun. 2005. “Menulis Awal dan Perkembangannya: Tinjauan Psikolinguistik” dalam Wiedarti, Pangesti. Menuju Budaya Menulis: Suatu Bunga Rampai. Yogyakarta: Tiara Wacana. O’Donohoe, Stephanie, Tynan, Caroline. (1998). “Beyond sophistication: Dimensions of Advertising Literacy,” International Journal of Advertising 17 (4), 467--‐482. Pranowo. 2005. “Materi Pembelajaran Menulis yang Berkadar Pragmatik” dalam Wiedarti, Pangesti. Menuju Budaya Menulis: Suatu Bunga Rampai. Yogyakarta: Tiara Wacana. Ritson, Mark, Elliott, Richard. (1995), "Advertising literacy and the social signification of cultural meaning” in European Advances in Consumer Research Volume 2, Flemming Hansen (eds.), Provo, UT : Association for Consumer Research, Pages: 113--‐117. Sudartomo. 2005. “Membangun Komunitas Tulis” dalam Wiedarti, Pangesti. Menuju Budaya Menulis: Suatu Bunga Rampai. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sugihastuti. 2005. “Pembelajaran Menulis Artikel Ilmiah Populer di SMA” dalam Wiedarti, Pangesti. Menuju Budaya Menulis: Suatu Bunga Rampai. Yogyakarta: Tiara Wacana. Undang-Undang No 12 Tahun 2012. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 203
204 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
MAKALAH PENDAMPING BIDANG KESASTRAAN
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 205
LASKAR PELANGI: TELADAN PEMBIASAAN BERPERILAKU BAIK Anggie Lestantiya Febriyanti Universitas Negeri Malang Jalan Semarang 5 Malang 65145 Email :
[email protected]
ABSTRACT The literary work is the result of the author's imagination in expressing ideas through the creative process. The authors’ idea can be delivered in a form of novel. When novel reading, depth reading is a must in novel reading for the readers to understand and grasp the overall content of the novel, including the values within. The novel can be utilized as a source of literary reading at school, such as Laskar Pelangi novel. Laskar Pelangi novel contained educational values which serve an example of good behavior derived from Muhammadiyah elementary school teachers and the struggle of its ten students to attend the school in the midst of their poverty experiences. The limitation of textbooks and facilities at SD Muhammadiyah do not waver their determination to continue school and enhance their achievement in terms of academic and non-academic. Laskar Pelangi novel not only serves a role model for the students, but also it serves the role model of a teacher as an educator in the school Key Words: literature work, novel, educational value, role model
PENDAHULUAN Sastra adalah karya seni yang menonjolkan kekuatan bahasa. Sebagai karya seni, sastra merupakan produk dari suatu kegiatan kreatif yang diciptakan oleh pengarang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wellek dan Warren (1993:3) yang mengemukakan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sebuah karya sastra dapat tercipta karena proses kreatif pengarang, sehingga karya sastra adalah media pengarang untuk mengungkapkan ide melalui proses kreatif yang dilakukan. Karya sastra merupakan produk dari proses kreatif yang imajinatif dan reflektif. Karya sastra tidak hanya menggambarkan imajinasi seorang pengarang melainkanjuga merupakan hasil refleksi kehidupan yang pernah dialami pengarang atau yang berada di sekitar pengarang yang telah diolah pengarang sesuai ide dan pemikirannya. Karya sastra berisi tentang makna dan nilai-nilai bahkan pendapatpendapat yang dikemukakan oleh pengarang, dan berisi suatu misi tertentu dari pengarang. Misi ini menjadi sebuah nyawa dalam karya sastra yang membuat karya sastra terasa hidup setelah dibaca dan dinikmati ceritanya. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan memberi pencerahan kepada pembaca dan suatu pemahaman baru tentang konflik yang ada dalam karya sastra, dan pembaca akan menentukan sikap sesuai dengan pemahamannya setelah memahami nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. Karya sastra tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial budaya bangsa dan tidak hanya mencerminkan kondisi sosial budaya bangsa yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga perkembangan pemikiran masyarakat. Grebstein dalam Damono (2002:6) menjelaskan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkaplengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan, atau peradaban yang Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 207
menghasilkan. Karya sastra yang mudah dipahami dan digemari adalah prosa yang biasa disebut fiksi. Fiksi dikenal dengan kisah khayalan, imajinatif, bersifat rekaan yang bertujuan memberikan hiburan. Nurgiyantoro (2010:5) mengemukakan bahwa dunia fiksi menyajikan keyakinan dan pandangan pengarang terhadap masalah hidup dan kehidupan secara nyata dan sebenar-benarnya. Salah satu bentuk tanggapan pengarang terhadap kondisi sosial masyarakat yang diwujudkan dalam karya sastra, yaitu dituangkan dalam bentuk novel. Novel merupakan gambaran dari kreasi imajinatif pengarang dan juga wujud dari perkembangan sastra yang berupa sastra tulis. Antara seorang pengarang dengan pengarang yang lain dalam menampilkan karyanya pastilah berbeda karena mereka mempunyai ciri khas yang berbeda. Meskipun mempunyai ciri khas dan perbedaan tersebut, permasalahan yang dibahas hampir sama yaitu berbicara tentang kehidupan. Ketika membaca novel, pembaca pasti sudah dapat mengimajinasikan kronologis cerita di dalamnya sehingga dapat memperoleh gambaran tentang suatu hal yang ingin disampaikan penulis (komunikator) kepada pembaca (komunikan). Penulis tentunya sudah mempunyai ide atau gagasan apa saja yang ingin disampaikan, sehingga membentuk sebuah komunikasi persuasif yang positif bagi pembaca. Membaca novel lebih sering dipandang sebagai hiburan semata. Tidak banyak pembaca yang benarbenar membacanya secara lebih mendalam. Novel laskar Pelangi merupakan novel yang menceritakan tentang keadaan pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan yang berada di daerah. Apabila pembaca benar-benar memahami isinya, maka akan memberikan pujian kepada pengarangnya dan membuat semua orang terinspirasi ketika membacanya. Novel ini ditulis oleh Andrea Hirata yang tidak berasal dari lingkungan sastra, tetapi langsung menempatkan dirinya sebagai salah satu penulis muda Indonesia yang amat menjajikan dan menjadikan karya berupa novel-novelnya best seller. Novel laskar pelangi merupakan salah satu novel yang dianggap cukup berani karena tidak sejalan dengan trend pasar. Novel ini terinspirasi dari dua guru teladan yang tidak pernah mengenal lelah dalam memberikan ilmu dan pembelajaran moral kepada kesepuluh muridnya. Seorang guru yang tidak pernah memikirkan seberapa besar gaji yang diterimanya tiap bulan, tetapi lebih kepada pengabdian dan dedikasinya untuk dunia pendidikan. Novel ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah memberikan hati kita kepada anak-anak, bukan hanya sekadar memberikan instruksi dan komando, dan setiap anak memiliki potensi unggul yang akan tumbuh menjadi prestasi cemerlang pada masa depan apabila diberikan kesempatan dan keteladanan oleh orang-orang yang mengerti akan makna pendidikan yang sesungguhnya. Novel Laskar Pelangi ini banyak mendapatkan tanggapan yang baik dan rasa kagum dari pembacanya. Dari mulai sastrawan, guru, penulis di media, sampai ibu rumah tangga dan penikmat novel banyak yang memberikan pujian. Dua guru dan sepuluh siswanya dapat dijadikan sebagai teladan dalam berperilaku untuk lebih baik lagi. Peranan guru sangatlah penting dalam pembelajaran dan mencetak generasi yang cerdas dan bermoral. Guru tidak hanya membelajarkan materi pelajaran saja, tetapi juga membelajarkan nilai moral kepada siswa. anak yang cerdas belum berarti banyak jika memiliki moral dan perilaku yang tidak baik. Menurut… guru…secara tidak langsung, guru merupakan teladan berperilaku siswanya. Artikel sebelumnya yang berjudul “Majas Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari: Kajian Stilistika dan Implementasi sebagai Bahan Ajar Bahasa 208 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Indonesia di SMA” oleh Nuryati (2013:24) memaparkan mengenai pemanfaatan Sembilan majas di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Implementasi majas dalam novel tersebut sebagai bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia di SMA. Artikel selanjutnya yaitu berjudul “Representasi Tokoh Lisa dalam Novel Bunda Lisa Karya Jombang Santani Khairen: Kajian Psikologi Wanita” (2015:34) membahas representasi seorang perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Representasi seorang perempuan menarik dibahas sebab pada kenyataannya perempuan memiliki peranan yang besar dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Novel Laskar Pelangi menarik untuk dikaji dalam aspek keteladanan dua tokoh guru yang diceritakan dalam novel tersebut, yaitu Pak Harfan dan Bu Muslimah. Banyak keteladanan yang bisa diambil dari cara beliau dalam mengajarkan banyak hal kepada siswanya. Hal tersebut dapat dijadikan teladan bagi para pembaca dan para guru dalam mendidik siswa atau anak-anaknya. Fokus pembahasan pemanfaatan novel Laskar Pelangi pada artikel ini adalah Novel Laskar Pelangi Sebagai Teladan Pembiasaan Berperilaku Baik yang dilihat dari segi guru SD Muhamadiyah (Pak Harfan dan Bu Muslimah) sebagai seorang pengajar dan dari segi sepuluh siswa SD Muhamadiyah. Novel Laskar Pelangi akan dikaji dengan unsur ekstrinsik tetapi langsung fokus pada nilai-nilai yang terkandung dalam novel khususnya nilai edukatif, sehingga akan didapatkan sikap-sikap yang dapat dijadikan teladan berperilaku baik. PEMBAHASAN Novel laskar pelangi mengisahkan tentang pendidikan dan kehidupan masyarakat yang berbanding terbalik dengan kekayaan dan kesuburan yang dimiliki oleh daerahnya. Novel yang berkisah tentang perjuangan dua orang guru yang mempunyai dedikasi tinggi dalam dunia pendidikan. Novel ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah memberikan hati kita kepada anak-anak, bukan hanya sekadar memberikan instruksi dan komando, dan setiap anak memiliki potensi unggul yang akan tumbuh menjadi prestasi cemerlang pada masa depan apabila diberikan kesempatan dan keteladanan oleh orang-orang yang mengerti akan makna pendidikan yang sesungguhnya. Nilai Edukatif (Pendidikan) Nilai edukatif merupakan nilai menuju kebaikan dan keluhuran manusia. Tillman (2004:6) mengemukakan bahwa nilai edukatif, yaitu nilai untuk mengekspresikan gagasan-gagasan, menggali apa yang dapat kita lakukan untuk membuat dunia lebih baik. Dari pendapat tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa nilai edukatif adalah batasan segala sesuatu yang mendidik ke arah kedewasaan, bersifat baik maupun buruk sehingga berguna bagi kehidupannya yang diperoleh melalui proses pendidikan. Dalam novel Laskar Pelangi ini banyak disajikan tentang nilai pendidikan, antara lain adanya kesederhanaan dalam diri guru dan murid, yang tidak iri akan majunya sekolah di sekitar mereka dengan fasilitas-fasilitas yang membanggakan. Selain itu juga tercermin kejujuran, ketulusan dan kegigihan pada diri mereka. Di dalam novel ini juga diciptakan sosok seorang guru teladan,dengan segala keterbatasannya ia tetap sabar, ikhlas dan tulus untuk mengajar anak-anak yang sangat bersemangat dalam belajar. Adanya dedikasi yang tinggi pada diri Pak Harfan dan Bu Muslimah ternyata membawa sekolah SD Muhammadiyah menjadi lebih diakui keberadaannya setelah sekian lama dipandang sebelah mata oleh masyarakat Belitong. Walau dalam situasi yang tidak memungkinkan mereka tetap mempunyai semangat belajar yang tinggi, Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 209
ulet, sabar, ikhlas, gigih, tulus, jujur, sederhana, taqwa, tawakal dan disiplin. Rasa disiplin yang ada itu sudah tertanam pada diri anak-anak, seperti sosok Lintang yang selalu menimba ilmu walau dengan jarak yang sangat jauh dan menggunakan sepeda ia tetap berusaha sampai di sekolah tepat waktu. Teladan Berperilaku baik dari Guru SD Muhamadiyah (Pak Harfan dan Bu Muslimah) Bu Mus merupakan seorang sosok guru yang ramah, sabar dan telaten dan bisa menjalankan peran guru dengan sempurna. Bu Mus rela menolak tawaran mengajar di SD yang lengkap dengan segala fasilitas dan upah yang menggiurkan dan tetap memilih SD Muhamadiyah dengan segala keterbatasannya. Sungguh sikap ini punya nilai keluhuran yang tinggi dan jarang dijumpai dalam kehidupan nyata sekarang ini. Pak Harfan, beliau adalah gambaran yang mewakili para orang bijak. Idealisme yang begitu menawan dengan keyakinan yang luar biasa membuat SD Muhamadiyah tetap berdiri walau hanya mempunyai 10 murid. Sekolah itu seperti yang dikatakan Pak Harfan adalah orang arif dan bijaksana, tidak mengukur kemampuan dari nilainilai lahiriah seperti kebanyakan sekolah lain. Nilai rapor, ujian dan materi tidak menjadi standar di sana tetapi yang menjadi standar adalah hati, nilai-nilai luhur akhlakul karimah. “Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar, dan guru spiritual. Mereka yang pertama menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi mungkar sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat.”(Hal 32) Pak Harfan dan Bu Muslimah tidak hanya mengajarkan mata pelajaran kepada muridnya tetapi lebih dari sekedar itu, beliau berdua juga mengajarkan nilai kehidupan dan menanamkan nilai moral pada muridnya. Pak Harfan dan Bu Mus dapat dijadikan sebagai teladan tentang arti keiklasan dalam mengabdi untuk pendidikan. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhamadiyah nyaris tanpa imbalan apapun demi motif syiar islam. Begitu pula dengan Bu Mus yang rela diupah 15 kg beras setiap bulannya dan mengajar semua mata pelajaran karena terbatasnya guru yang ada di sekolah Muhamadiyah. Tetapi beliau berdua tidak pernah mengeluh dan selalu bersemangat untuk memberikan ilmu kepada muridnya. Beliau berdua tetap memperjuangkan SD Muhamadiyah agar tidak ditutup dengan minimnya murid yang dimiliki. Bu Muslimah merupakan sosok yang penyabar. Beliau selalu bersemangat untuk memberikan ilmunya dengan senyuman dan penuh keiklasan. Pada kutipan berikut ini menggambarkan cara Bu Mus menyampaikan pesan dan menasehati muridnya dengan cara lain sehingga pesan tersebut akan selalu diingat dan membekas dalam ingatan ketimbang cara yang biasa dilakukan, yaitu berceramah panjang lebar. “Beliau tak menanggapi keluhan itu tapi mengeluarkan sebuah buku berbahasa Belanda dan memperlihatkan sebuah gambar. Gambar itu adalah sebuah ruangan yang sempit, dikelilingi tembok tebal yang suram, tinggi, gelap, dan berjeruji. Kesan di dalamnya begitu pengap, angker, penuh kekerasan dan kesedihan. “Inilah sel Pak Karno di sebuah penjara di Bandung, di sini beliau menjalani hukuman dan setiap hari belajar, setiap waktu membaca buku. Beliau salah satu orang tercedas yang dimiliki bangsa ini.” (Hal 31) 210 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Cara yang digunakan Bu Mus untuk menasehati atau menyampaikan pesan kepada muridnya patut dicontoh. Untuk menanggapi keluhan muridnya, beliau tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut, tetapi dengan cara lain yang akan ditangkap secara langsung dan selalu diingat oleh muridnya. Cara tersebut akan lebih efektif digunakan daripada memberikan ceramah kepada murid. Ketika murid-muridnya mengeluhkan tentang keadaan sekolah terutama atap sekolah yang bocor dan sangat menyusahkan saat musim hujan, Bu Mus tidak langsung menjawab keluhan tersebut tetapi menjawab dengan cara lain. Dengan cara mengeluarkan sebuah buku dan memperlihatan sebuah gambar. Gambar tersebut merupakan sel tahanan Pak Karno pada zaman penjajahan dulu. Ruangan yang sempit, gelap, dan berjeruji. Pada gambar tersebut tersirat bahwa Pak Karno yang tinggal diruangan dengan keadaan seperti itu tidak pernah mengeluh sedikitpun demi memperjuangkan bangsa ini dan dengan keadaan ruangan yang seperti itu juga tidak menyurutkan Pak Karno untuk tetap belajar atau membaca buku. Dari gambar tersebut akan membuka pintu hati siapapun yang melihatnya, termasuk kesepuluh murid di SD Muhamadiyah. Setelah melihat gambar tersebut mereka tidak lagi mengeluhkan kondisi sekolahnya. Kita harus tetap bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang. Dengan kondisi yang terbatas dan dibagaimanapun keadaannya kita masih tetap bisa belajar dan menuntut ilmu asalkan didasari dengan niat iklas untuk menuntut ilmu. Belajar dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun. Pak Harfan juga merupakan salah satu guru yang mempunyai cara tersendiri untuk menyampaikan materi pelajaran kepada muridnya. Beliau biasanya menyampaikan materi pelajaran dan pesan moral dengan cara menceritakan kisahkisah nabi. Semua yang diajarkan Pak Harfan selalu membekas di hati muridnya. “Pak Harfan memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang keinginan kuat mencapai cita-cita. Beliau menyakinkan kami bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keiklasan berkorban untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang tiba-tiba menyelinap jauh ke dalam dadaku memberi arah hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.” (Hal 24) Pak Harfan tidak hanya menyampaikan materi pelajaran saja kepada muridnya, tetapi juga pesan moral dan bekal hidup di masa depan. Beliau juga menanamkan keyakinan untuk menjadi orang yang lebih baik dan menggantungkan cita-cita setinggi mungkin. Apapun bisa dilakukan apabila kita mau berusaha dan ditengah segala keterbatasan kita masih bisa mencapai yang kita inginkan. Beliau juga memberikan pelajaran hidup kepada muridnya bahwa kehidupan ini tidak hanya sebatas kekayaan dan tahta, tetapi lebih kepada bagaimana diri kita bisa bermanfaat untuk orang lain. Orang tidak akan bisa hidup bahagia hanya dengan berbekal ilmu dan kekayaan yang dimiliki. Teladan Berperilaku baik dari kesepuluh siswa SD Muhamadiyah Sepuluh siswa SD Muahamdiyah memiliki karakter yang berbeda-beda. Kesamaan dari mereka semua, yaitu sama-sama memiliki keinginan tinggi untuk belajar. Dengan segala keterbatasan fasilitas yang dimiliki sekolahnya, tidak Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 211
menyurutkan mereka untuk tetap semangat belajar. Semangat mereka untuk mengenyam pendidikan sangat tinggi. Salah satunya diceritakan dalam kutipan berikut ini. “Lintang akan duduk di samping pria kecil berambut ikal yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang pergi setiap hari naik sepeda. Jika panggilan nasibnya memang harus menjadi nelayan maka biarkan jalan kerikil batu merah empat puluh kilometer mematahkan semangatnya.” (hal 11) Lintang adalah salah satu murid dari sepuluh murid SD Muhamadiyah. Lintang merupakan satu-satunya murid yang tempat tinggalnya paling jauh dari sekolah. Setiap harinya dia harus berangkat subuh untuk dapat datang tepat waktu di sekolah. Jarak rumah dan sekolahnya sekitar 40 kilometer dengan melewati hutan dan rawa-rawa. Dia satu-satunya dari generasi keluarganya yang sekolah. Tetapi itu semua tidak menyurutkan niat lintang sama sekali untuk menuntut ilmu. Motivasi belajar dari diri Lintang sangat luar biasa dan patut untuk dicontoh. Keinginan kuat untuk menuntut ilmu membuat dia rela melakukan apapun agar bisa sekolah.Dalam novel ini Lintang digambarkan sebagai sosok yang jenius dengan segala keterbatasan fasilitas sekolah dan tersedianya buku materi pelajaran. Keterbatasan tersebut tidak menjadi halangan untuk menjadi sosok siswa yang jenius. Selain lintang yang jenius juga ada sosok Mahar yang memiliki bakat seni yang tinggi. “Jika Lintang memiliki level intelektualitas yang deikian tinggi amka Mahar memperlihatkan bakat seni selevel dengan tingginya inteligensia Lintang. Mahar memiliki hamper setiap aspek kecerdasan seni yang tersimpan seperti persediaan amunisi kreativitas dalam lokus-lokus di kepalanya. Estetika yang tinggi melahirkannya sebagai seniman serba bisa, ia seorang pelantun gurindam, sutradara teater, penulis yang berbakat, pelukis natural, koreografer, penyanyi, pendongeng yang ulung, dan pemain sitar yang fenomenal.” (Hal 139) Lintang merupakan sosok yang digambarkan memiliki tingkat seni yang tinggi. Ditengah segala keterbatasan buku materi pelajaran dan fasilitas penunjang yang dimiliki sekolah tersebut masih bisa mencetak murid yang jenius dan murid yang memiliki bakat dibidang seni. Hal tersebut dibuktikan dengan Lintang yang pintar dalam bidang mata pelajaran dan Mahar dibidang Seni. Mahar belajar itu semua hanya bermodalkan tape radio. Di waktu senggangnya dia mendengarkan radio dan pada akhirnya membuatnya memiliki integritas tinggi pada seni. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa untuk dapat mempelajari sesuatu tidak dibutuhkan barang yang mahal. Semua itu dapat dipelajari dengan adanya niat dari dalam diri kita sendiri. Pada akhirnya Mahar dengan bakat seni yang dimiliki dan dengan keterbatasan yang dimiliki sekolah Muhamadiyah dapat mengalahkan sekolah yang mempunyai fasilitas yang jauh lebih baik dan mempunyai dana yang banyak. Mahar mengajarkan bahwa suatu karya yang bagus dapat dihasilkan dengan cara-cara yang sederhana tanpa harus menguras biaya yang banyak dan untuk menghasilkan karya tersebut hanya diperlukan suatu kreativitas yang tinggi. SIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan hasil kreatif dan imajinatif pengarang. Seseorang dapat memahami maksud pengarang 212 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
harus membacanya secara mendalam termasuk ketika membaca novel Laskar Pelangi.Novel Laskar Pelangi dapat dijadikan teladan untuk berperilaku baik. Banyak hal-hal dan nilai-nilai yang dapat diteladani dalam novel tersebut, salah satunya yaitu nilai-nilai edukatif yang terkandung di dalamnya. Sosok dua orang guru yang mempunyai dedikasi tinggi untuk dunia pendidikan dan sepuluh murid SD Muhamadiyah yang memiliki semangat tinggi untuk memperoleh pendidikan. Ditengah segala keterbatasan yang dimiliki Sekolah tersebut berhasil mencetak murid yang yang memiliki intelektual tinggi dan murid yang memiliki integritas tinggi dalam dunia seni. SARAN Saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan di atas, yaitu ketika kita membaca novel sebaikanya membacanya secara mendalam sehingga kita mengetahui isi keseluruhan novel. Dengan mengetahui isi keseluruhan novel dan maksud yang ingin disampaikan pengarang, kita dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Salah satunya yaitu dapat menjadikannya sebagai teladan dalam bersikap untuk menjadi lebih baik. DAFTAR RUJUKAN Armis, Metha. 2015. Representasi Tokoh Lisa dalam Novel Bunda Lisa Karya Jombang Santani Khairen: Kajian Psikologi Wanita. Volume 1 (3) Maret 2015. Publika Budaya. Hal 34-45. Damono, Sapardi Djoko. 2002. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta: Gramedia. Hirata, Andrea. 2011. Laskar Pelangi. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka. Nurgiyantoro, B. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press. Nuryati, Endah Sri. 2013. Majas Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari. Kajian Stilistika dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Bahasa Indonesia Di SMA. Artikel tidak diterbitkan. Program Pascasarjana: Universitas Muhamadiyah Surakarta. Semi, A. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. Tillman. Diane. 2004. Pendidikan Nilai Untuk Kaum Muda Dewasa. Jakarta: Grasindo. Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1993.Teori Kesusastraan, Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 213
214 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
PENDIDIKAN SASTRA SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL GENERASI MASA DEPAN Eko Hardinanto Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Revolusi mental diperlukan dalam membangun karakter generasi masa depan. Hal ini juga dapat dijadikan landasan dalam pendidikan di sekolah, untuk memberikan moralitas bagi peserta didik sehingga tidak memiliki mental yang buruk. Revolusi mental berarti bahwa warga negara indonesia harus mengenal karakter keaslian bangsa. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berkarakter ramah, santun, berbudi pekerti luhur, dan bergotong royong yang dapat membuat masyarakat hidup sejahtera. Namun, saat ini karakter tersebut telah mengalami perubahan. Inilah yang merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, buruknya kepemimpinan, etos kerja yang tidak baik, rusaknya birokrasi, kekerasan, ketidakdisiplinan, dan ketidakadilan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahun tahun dan pada akhirnya membudaya dalam masyarakat. Oleh karena itu, langkah yang perlu dilakukan untuk revolusi di atas adalah pendidikan yang berkualitas dan merata, pendidikan mental yang baik serta penegakan hukum yang menjunjung tinggi keadilan. Karakter warga negara Indonesia harus dikembalikan keasliannya, yang merupakan identitas bangsa Indonesia. Karya sastra dapat dianggap memberikan ikatan emosional yang baik bagi pertumbuhan mental dan karakter anak bangsa. Cara inilah yang harus digali dan dimunculkan kembali dalam mewujudkan revolusi mental. Revolusi tidak selalu berarti perang melawan penjajah atau dengan kekerasan. Tetapi revolusi yang mengharuskan bahwa karakter bangsa harus dikembalikan pada keasliannya. Pelaksanaan revolusi mental melalui pendidikan sastra dapat diintegrasikan di dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dan digabungkan dengan pengintegrasian pendidikan karakter. Pendidikan sastra hendaknya diberikan dalam porsi yang lebih banyak. Pendidikan mental melalui pendidikan sastra dapat dilakukan melalui pemilihan materi-materi yang menyangkut adanya kandungan pendidikan mental didalamnya. Teks sastra yang mencakup bentuk-bentuk prosa, puisi, dan drama banyak mengandung nilai-nilai pendidikan mental. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa hal yang harus dilakukan peserta didik; (1) membaca dan menyimak karya sastra secara cermat dan teliti, (2) menulis pesan moral yang ada dalam teks sastra, (3) mengidentifikasi pesan-pesan tersebut, (4) mencari kesesuaian antara pesan moral yang ada dalam teks sastra dengan phenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian proses revolusi mental generasi masa depan akan terwujud dengan baik. Kata kunci: pendidikan sastra, revolusi mental, generasi masa depan
PENDAHULUAN Revolusi mental sangat diperlukan untuk membangun karakter anak bangsa. hal ini juga dapat dijadikan sebagai landasan dalam pendidikan di sekolah dan memberikan moralitas bagi pererta didik sehingga tidak memiliki mental buruk. Saat ini masih banyak terjadi perkelahian antar pelajar yang tidak hanya di tingkat SMA tapi juga merambah sampai tingkat SD. Dunia pendidikan kita semakin sangat Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 215
memprihatinkan jika hal seperti ini dibiarkan tanpa adanya pemikiran dan usaha untuk merubahnya. Karya sastra dapat memberikan kontribusi dalam revolusi mental bangsa. Ketika negara kita masih berbentuk kerajaan banyak sekali cerita rakyat yang beredar, banyak pula karya sastra yang dihasilkan. Budaya mendongeng, bercerita yang dilakukan masyarakat kita jaman dahulu sangat bermanfaat bagi perkembangan karakter dan mental bagi anak anak. Hal seperti ini jarang kita jumpai pada masyarakat kita saat ini. Padahal karya sastra semacam ini memberikan ikatan emosional yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan karakter dan mental anak. Hal ini perlu digali dan dikembangkan dalam usaha revolusi mental generasi masa depan. PEMBAHASAN Globalisasi sangat berpengaruh terhadap keberadaan karakter dan mental generasi bangsa. Untuk menghadapi era globalisasi yang serba kompetitif dan berdaya saing tinggi, institusi pendidikan diharapkan benar-benar mampu mengoptimalkan fungsinya sebagai pusat pendidikan nilai yang tidak hanya berbasiskan ranah kognitifpsikomotorik, tetapi juga ranah afektif yang berorientasipada pembentukan watak dan kepribadian peserta didik. Dengan demikian, keluaran pendidikan tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial, sehinggakelak mampu bersaing di tengah-tengah arus global secara arif, matang, dan dewasa. Ranah afektif mengarah ke pendidikan karakter. Duncan (1997: 119-131) menyebutkan bahwa pendidikan karakter dapat dilaksanakan secara langsung dan tidak langsung dengan penekanan utama pada asimilasi budaya dan pentingnya interaksi sosial. Pendapat lain, Benninga (1991: 13) menyebutkan bahwa siswa perlu mengetahui tingkat moral tertentu untuk dapat menjadi pemikir tentang moral dan perlu didorong untuk sering menggunakan cerita, puisi klasik dan tradisional, serta mengerjakan tugas-tugas yang berisi gagasan mengenai moralitas dan hal- hal baik sehingga mereka akan memahami apa yang mereka lakukan, atau mereka hafalkan untuk kemudian akan mereka lihat sebagai sebuah kenyataan dalam kehidupan. Pritchard (1988) menegaskan bahwa pendidikan karakter menawarkan prospek untuk menciptakan berbagai konsekuensi sosial yang sangat bermanfaat. Berbagai kajian menunjukkan bahwa peserta didik yang disiplin, dan masih memegang nilai-nilai seperti, religius, kerja keras, dan memiliki pemahaman tentang hakikat belajar menunjukkan prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik lain yang tidak memiliki nilai nilai karakter tersebut. hal ini mengindikasikan bahwa pembentukan karakter juga sekaligus memberi makna pada peningkatan kualitas keterampilan akademik peserta didik. Era globalisasi bukannya untuk dihindari, kita justru dituntut dan ditantang untuk berani/menyambutnya tanpa harus kehilangan jati diri. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus dikuasai dan ditundukkan, sehingga kita tetap memiliki integritas yang bersumber dari akar budaya bangsa. Jati diri bangsa seperti ini harus dibina sejak dini dan berlanjut sepanjang hayat melalui proses pendidikan nasional, baik secara formal, nonformal, maupun informal, yang berorientasi pada dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi yang diintegrasikan dengan budaya lokal, budaya bangsa yang relevan. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 yang pada Pasal 3 disebutkan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka 216 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab”. Menyimak apa yang diamanatkan oleh UU No. 20 tahun 2003 tersebut, jelas terkandung makna bahwa pendidikan di negara kita tidak saja menghasilkan insan bangsa yang cerdas dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kreativitas yang tinggi; namun juga beriman, berakhlak mulia yang dilandasi nilai-nilai luhur budaya dan kepribadian bangsa, yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari, yang bersumber dari nilai-nilai luhur kearifan lokal dan kepribadian bangsa. selain itu, perlu adanya terobosan visioner yang bisa mengajak dan menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan psiko-sosial peserta didik. Karya sastra bisa menjadi medium yang strategis untuk mewujudkan tujuan mulia itu. Melalui karya sastra, anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi secara intensif sehingga secara tidak langsung mereka memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi melalui karya sastra. Dalam konteks demikian, baik sebagai media maupun sebagai bahan ajar, sastra memiliki kontribusi penting dalam upaya melahirkan generasi yang cerdas dan bermoral seperti yang diharapkan. Ini artinya, mau atau tidak, institusi pendidikan harus memosisikan diri sebagai “benteng” utama apresiasi sastra melalui pengajaran yang dikelola secara tepat, serius, dan optimal. B.P. Situmorang (dalam sarjono, 2001), mengatakan bahwa sastra perlu diajarkan kepada para siswa agar mereka mampu menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Hal ini dapat memupuk jiwa estetis, jiwa keindahan, jiwa yang mengandung unsur-unsur moral (etika), untuk mengalihkan kenakalan remaja serta menyalurkannya ke arah yang lebih positif melalui apresiasi sastra. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra dapat memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Peserta didik adalah remaja. Dalam mengikuti perkembangan usia remaja, perlu disadari bahwa usia remaja adalah masa-masa sulit bagi mereka dalam mengendalikan emosinya. Masa-masa seperti itu sebagai masa peralihan, yang mengubah seseorang dari usia anak-anak menjadi usia dewasa. Sebagai peserta didik yang masih berada pada masa peralihan, para siswa perlu mendapat asupan “vitamin” bagi pertumbuhan jiwanya. Salah satu pengajaran yang dapat disisipi vitamin itu adalah pengajaran sastra. Untuk menyaring dampak negatif kekuatan global yang telah merasuki gaya hidup masyarakat Indonesia, termasuk remaja, yang sedang berada pada masa transisi, Kurikulum Pendidikan mengisyaratkan agar pembelajaran dikaitkan dengan lingkungan sosial dan budaya di sekitar peserta didik. Pada fase ini sangatlah strategis apabila pembelajaran sastra yang berbasis kearifan lokal pada peserta didik dilakukan secara fokus dan intensif. Melalui teknik ini secara langsung dapat ditanamkan nilainilai kearifan lokal sebagai pengaruh positif. Integrasi budaya dan potensi lokal menciptakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas. Terkait dengan pengintegrasian nilai-nlai kearifan lokal ke dalam perencanaan pembelajaran juga disampaikan oleh Isdisusilo (2012:146) yang menyatakan bahwa: pada tahap perencanaan, silabus dan RPP dirancang agar muatan maupun kegiatan pembelajarannya memfasilitasi untuk mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal. Caranya dengan mengadaptasi silabus yang telah ada dengan menambahkan satu Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 217
kolom dalam silabus untuk mewadahi nilai-nilai kearifan yang akan diintegrasikan. Sedangkan cara menyusun RPP yang terintegrasi dengan nilai-nilai kearifan adalah dengan mengadoptasi RPP yang sudah ada dengan menambahkan nilai-nilai kearifan pada materi, mengembangkan langkah-langkah pembelajaran yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan integrasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku, atau mengembangkannya melalui penilaian. Pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal dalam RPP sangat berfungsi dalam peningkatan moral peserta didik. Secara operasional pada bagian materi pembelajaran sudah disebutkan nilai-nila kearifan lokal yang dimaksudkan seperti: nilai moral atau keagamaan, nilai kemanusiaan atau sosial, nilai etika atau susila, nilai estetika atau keindahan. Pengintegrasian ini dilakukan sesuai dengan pendapat Ahmadi (2012:51) yang mengatakan bahwa proses integrasi nilai-nilai kearifan lokal ke dalam pembelajaran tentunya guru harus menyesuaikan dengan lingkungan, tingkat perkembangan anak, materi atau mata pelajaran yang disampaikan, dan metode pembelajaran yang digunakan. Pendapat di atas dipertegas lagi oleh B.P. Situmorang (dalam Agus R.Sarjono, 2001), yang mengatakan bahwa pengajaran sastra perlu diajarkan kepada para siswa agar mereka mampu menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Hal ini dapat memupuk jiwa estetis, jiwa keindahan, jiwa yang mengandung unsur-unsur kearifan moral (etika), untuk mengalihkan kenakalan remaja serta menyalurkannya ke arah yang lebih positif melalui apresiasi sastra. Pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal (terutama sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter) hendaknya diaplikasikan pada semua tahapan pembelajaran, tidak hanya melalui materi pelajaran, tetapi mewarnai hampir keseluruhan aktivitas dan kehidupan sekolah. Hal ini dilakukanmulai dari awal guru masuk kelas, tahap awal pembelajaran sampai tahap akhir pembelajaran. Nilai kearifan ini tidak harus diajarkan secara khusus, tetapi diintegrasikan atau dikembangkan melalui materi pembelajaran apresiasi sastra. Nilainilai kearifan lokal ini seutuhnya digali dari konteks pembelajaran berdasarkan pengalaman nyata peserta didik. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi bernilai kearifan dengan kehidupan nyata, bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional. Nilai-nilai kearifan (sastra) itu akan tertanam erat dalam memori siswa sehingga menjadi pembentuk karakter. Semua hal tersebut sesuai dengan pendapat Isdisusilo (2012:145) yang menyatakan bahwa, proses pengembangan nilai-nilai merupakan sebuah proses yang panjang dan berkelanjutan dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Materi tentang nilai-nilai bukanlah bahan ajar biasa. Artinya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, atau pun fakta dalam mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, dan sebagainya. Dengan demikian, nilai-nilai kearifan lokal diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran. Pengintegrasian ke dalam pembelajaran bisa melalui materi, metode, maupun penilaian. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai kearifan. Demikian pula guru tidak harus mengembangkan proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai. Nilai-nilai kearifan yang tampak diintegrasikan dalam keseluruhan proses pembelajaran apresiasi sastra lebih banyak nilai sosial. Nilai-nilai sosial dipedomani agar siswa manjadi manusia yang arif dan bijaksana. Sebagai contoh; kedisiplinan, 218 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
kesantunan, kepedulian, spiritual, religius, tanggung jawab, dan kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat. Di sam-ping itu, dikembangkan pula nilai-nilai budaya dan pendidikan.Nilai kearifan lokal (terutama sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter) dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari melalui pembelajaran apresiasi sastra. Dengan demikian pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengalaman nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.Terbukti bahwa dengan pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal (terutama sastra) membuat pembelajaran menjadi lebih menarik dan bermakna secara fungsional bagi peserta didik. Pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal ke dalam pembelajaran akan meningkatkan gairah peserta didik untuk berpikir dan menghayati pesan atau nilai-nilai kearifan yang disampaikan karena mereka langsung terlibat, baik secara fisik maupun psikis. Pengalaman peserta didik menjadi lebih konkret, pesan yang ingin disampaikan benar-benar dapat mencapai sasaran dan tujuan yang ingin dicapai. Pengembangan nilai-nilai kearifan ini memerlukan upaya pengondisian sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai-nilai tersebut. misalnya salah satu metode pembelajaran yang digunakan adalah metode bermain peran. Melalui metode ini guru dapat mendekatkan pereta didik dengan kondisi yang sebenarnya. Secara tidak langsung permainan peran ini sekaligus juga dapat digunakan guru sebagai media. Penampilan kelompok peserta didik di depan kelas dengan bermain peran dapat menghasilkan keseragaman pengamatan dan dapat menanamkan konsep dasar yang benar, nyata, dan tepat. Hal tersebut dapat memberikan pengalaman yang menyeluruh dari hal-hal yang konkret sampai abstrak. Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan menggunakan variasi metode seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, inkuiri, bermain peran, penugasan, dan unjuk keja dapat dilakukan dengan baik dan tepat untuk memberdayakan potensi peserta didik. Metode pembelajaran aktif dapat digunakan oleh guru dalam pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal terkait pembelajaran apresiasi sastra. Proses pembelajaran dapat dilakukan dengan mengutamakan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student-centered) dalam bingkai model dan strategi pembelajaran aktif (active learning), ditopang oleh peran guru sebagai fasilitator belajar. Peserta didik tidak hanya terpaku di tempat duduk, bisa berpindah-pindah untuk membangun kerja kelompok dan dalam waktu yang singkat membuat mereka berpikir tentang materi pelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Isdisusilo (2012:145) yang menyatakan bahwa penggunaan metode pembelajaran aktif dan menyenangkan digunakan dalam proses pendidikan nilai-nilai. Hal ini dikarenakan pada prinsipnya proses pendidikan nilai-nilai dilakukan oleh peserta didik, bukan oleh guru. Proses pembelajaran dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa menyenangkan. Guru hendaknya melakukan seluruh rangkaian kegiatan pembelajaran sesuai dengan ketentuan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang meliputi kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup. Kegiatan pendahuluan dilakukan guru dengan melaksanakan apersepsi, yaitu dengan menghubungkan materi pelajaran yang telah dimiliki peserta didik (pengalaman) dengan materi yang akan dipelajari dan tidak mengesampingkan motivasi belajar peserta didik. Kegiatan ini dilanjutkan dengan penyampaian tujuan pembelajaran. Kegiatan inti pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam keseluruhan
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 219
proses pembelajaran. Kegiatan ini dapat dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Aktivitas guru dan peserta didik selama kegiatan belajar-mengajar apresiasi sastra, hendaknya guru dan peserta didik menunjukkan pembelajaran yang berorientasi pendekatan keterampilan proses dalam seting pembelajaran kooperatif yang berpusat pada peserta didik. Peserta didik belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil, sehingga melatih mereka untuk mampu menginternalisasi nilai-nilai kearifan lokal seperti menerima perbedaan pendapat, menghargai pendapat orang lain, dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya. Kegiatan penutup dilakukan guru bersama peserta didik dengan merangkum pembelajaran, guru memberikan evaluasi kepada peserta didik, bersama-sama melakukan refleksi, guru melakukan tindak lanjut dalam bentuk pemberian tugas kelompok, dan penyampaian rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. Jadi pendidikan mental melalui pendidikan sastra dapat dilakukan melalui pemilihan materi-materi yang menyangkut adanya kandungan pendidikan mental didalamnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa hal yang harus dilakukan peserta didik; (1) membaca dan menyimak karya sastra secara cermat dan teliti, (2) menulis pesan moral yang ada dalam teks sastra, (3) mengidentifikasi pesan-pesan tersebut, (4) mencari kesesuaian antara pesan moral yang ada dalam teks sastra dengan phenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. SIMPULAN Revolusi mental dapat dilakukan dengan beberapa cara. Salah satunya adalah mengintegrasikan materi materi moral/mental dalam pembelajaran di sekolah. Pelaksanaannya dapat dilakukan melalui pengintegrasian materi mental dengan beberapa mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, khususnya bahasa dan sastra Indonesia. Jadi, apabila revolusi mental itu dilakukan melalui pembelajaran bahasa dan sastra sangat memungkinkan. Pendidikan sastra memberikan kontribusi yang besar bagi revolusi mental generasi masa depan. Semua itu dapat dilakukan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang berbasis teks seperti yang ada dalam kurikulum 2013. Dengan demikian revolusi mental generasi masa depan akan terwujud dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, dkk. 2012. Mengembangkan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dalamKTSP. Jakarta: Prestasi Pustaka. Benninga, J. 1991. Moral, Character, Civic Education in the Elementary School. New York:Teachers College Press. Duncan, Barbara, J. 1997. ―Character Education: Reclaiming The Social‖ Educational Theory. Vol. 47.1.119- 130. Isdisusilo. 2012. Panduan Lengkap Menyu-sun Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Kata Pena.
220 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Pritchard, Ivor. 1988. ―Character Education: Research Prospects and Problemsǁ. American Journal of Education.Vol. 96.No. 4 (Aug., 1988). Pp. 469-495. Sarjono, Agus R. 2001. Parade Budaya dalam Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasi-onal(Sisdiknas). Jakarta: Fokus Media.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 221
222 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
”GADIS PANTAI” PRAMOEDYA ANANTA TOUR: SEBUAH KAJIAN SEMIOTIK ATAS DESAIN SAMPUL DITINJAU DARI SISI KEBUDAYAAN MATERIAL MASYARAKAT JAWA DI MASA FEODALISME Hiqma Nur Agustina Universitas Islam Syekh-Yusuf (UNIS) Tangerang Pos-el.
[email protected]
ABSTRAK Inti pembahasan dari tulisan ini membahas desain sampul novel Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Gadis Pantai”, ditinjau dari sisi kebudayaan material. Kajian utama ditekankan pada pembahasan desain sampul novel bukan dari isi cerita novel. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaparkan bagaimana budaya dikonstruksi melalui desain sampul (cover) novel dengan melakukan interpretasi terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam sampul tersebut dengan pendekatan semiotik Roland Barthes. Desain cover sedikit banyak memberikan gambaran kepada pembaca tentang jalinan cerita yang ditulis oleh pengarang dan juga mengetengahkan aspek kebudayaan material yang hadir dalam cerita. Hasil dari penelitian ini didapat sebuah pemahaman tentang tampilan desain sampul novel “Gadis Pantai’ yang mengentalkan makna gadis desa lugu dengan bendabenda material berupa perhiasan emas sebagai simbol perubahan nilai dari perempuan kebanyakan sebagai perempuan yang juga ingin dianggap sebagai kelas atas, yakni golongan priyayi. Kata kunci: desain sampul, kebudayaan material, masyarakat Jawa, semiotik
PENDAHULUAN Salah satu cara untuk menyingkap sistem sosial dan budaya dalam masyarakat ialah peneliti dapat memulai dari analisis kebudayaan material.Kebudayaan material salah satunya berwujud bahasa lisan, teks, artifak, dan lingkungan alam. Hal utama yang harus diperhatikan dalam analisis kebudayaan material adalah hubungan antara orang dengan obyek kebudayaan material tersebut. Tulisan ini akan membahas desain sampul novel Pramoedya Ananta Toer 1 yang berjudul “Gadis Pantai”. Secara spesifik ditinjau dari sisi kebudayaan material dan bisa diuraikan melalui desain sampul novel bukan dari isi cerita novel."Gadis Pantai"2 adalah sebuah novel karya Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia dan seorang kandidat peraih nobel sastra berkali-kali yang sudah mendunia dan sudah menelurkan 1
Pramoedya Ananta Toer atau yang lebih akrab disapa Pram adalah salah satu sastrawan besar yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Putra sulung dari seorang kepala sekolah Institut Budi Oetomo ini telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam 41 bahasa asing.Pram yang pernah bekerja sebagai juru ketik dan korektor di kantor berita Domei (LKBN ANTARA semasa pendudukan Jepang) memantapkan pilihannya untuk menjadi seorang penulis. Ia telah menghasilkan artikel, puisi, cerpen, dan novel sehingga melambungkan namanya sejajar dengan para sastrawan dunia. 2 Novel ini termasuk roman yang tidak selesai karena ada dua buku (novel) lanjutan yang hilang dalam keganasan Angkatan Darat bersama dengan hancurnya pemberontakan G 30 S/PKI. Universitas Nasional Australia berhasil menyelamatkan novel ini dalam bentuk mikro film. Atas jasa Savitri P. Scherer, salinan naskah itu dikembalikan kepada pengarangnya.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 223
puluhan karya fenomenal. Dalam Bahasa Inggris, novel ini dikenal dengan nama "The Girl from the Coast". Novel ini juga memiliki ciri khas dari Pramoedya Ananta Toer 3, yakni menceritakan kisah pernikahan dini dan kritik terhadap situasi sosial. Cerita ini dibuat berdasarkan kisah pernikahan neneknya sendiri. 4 Novel ini berlatarkankehidupan priyayi di daerah pantai utara, tepatnya di Kabupaten Rembang dan sekitarnya pada awal abad ke-20. Ide novel ini tampaknya banyak dipengaruhi oleh gagasan-gagasan dan kehidupan R.A. Kartini meskipun pengembangan selanjutnya jauh berbeda. Di dalam novel Gadis Pantai, Pram juga secara langsung menyebut nama Kartini. Tulisan ini dimaksudkan untuk memperlihatkan bagaimana budaya dikonstruksi melalui desain sampul (cover) novel dengan melakukan interpretasi terhadap tandatanda yang terdapat dalam sampul tersebut dengan pendekatan semiotik Roland Barthes. Desain cover tak jarang mewakili isi cerita dan juga mengetengahkan aspek kebudayaan material yang hadir dalam cerita sehingga dapat dikatakan juga sebagai sebuah iklan untuk mengulik keingintahuan pembaca. Dalam sampul novel tersebut juga turut menampilkan pesan-pesan yang terstruktur yang mencakup pengetahuan tentang makna, nilai-nilai, ideologi, kebudayaan dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan nilai-nilai budaya material, desain sampul novel sebagai salah satu bentuk komunikasi sebagai agen penyebar nilai-nilai budaya dalam masyarakat. Dalam banyak hal, nilai-nilai budaya yang terekspresikan dalam sampul novel sering memiliki keterkaitan dengan peristiwa yang terjadi di masyarakat. Dalam konteks inilah, nilai-nilai budaya dalam desain sampul sebuah novel dipandang memiliki suatu bentuk atas perilaku masyarakat yang dikonstruksikan dan ditransformasikan kepada masyarakat sebagai sebuah usaha untuk memberikan informasi atas sebuah peristiwa atau tindakan yang berkaitan erat dengan kebudayaan material baik yang terjadi di masa lalu, masa sekarang, maupun di masa yang akan datang. Pentingnya kajian kebudayaan material ini berdasar pendapat Hodder (1997: 546), yang menyatakan bahwa jejak material perilaku memberikan arti yang penting dan berbeda dengan jejak perilaku yang dihasilkan melalui kuesioner. “Apa yang dikatakan manusia” seringkali sangat berbeda dengan “apa yang dilakukan oleh manusia.” Lebih jauh dia menyatakan bahwa nilai penting analisis kebudayaan material lahir karena kesadaran bahwa kebudayaan material tidak hanya sebagai sebuah produk-pasif kisah kehidupan, namun sebaliknya, justru sebagai sebuah produk-aktif dari kisah kehidupan. Maksudnya, berbagai artefak budaya dicipta sebagai perangkat transformasi masyarakat. Proses ini kemudian mengubah fungsi diri artefak yang membentuk hubungan sosial. Dengan demikian, kebudayaan material 3
Beberapa karya Pram dilarang untuk dipublikasikan karena dianggap mengganggu keananan negara pada masa pemerintahan Presiden Soekarno maupun Soeharto. Misalnya pada tahun 1960-an, ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-komunis Tiongkoknya. Bukunya yang berjudul Hoakiau di Indonesia dicabut dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa,dan akhirnya dipulau Buru di kawasan timur Indonesia. Meskipun demikian, Pram mendapatkan banyak penghargaan dari lembaga-lembaga di luar negeri. Potret kehidupan Pram yang dibenci di negeri sendiri tetapi dihargai dunia membuatnya tetap optimis dan tidak pernah berhenti berkarya. Dipunggah dari profil.merdeka.com/indonesia/p/pramoedya-ananta-toer. 4 Kepengarangan Pram tidak perlu diragukan lagi. Ia telah menulis puluhan novel besar dalam ukuran kesusasteraan Indonesia sejak 1950-an sampai awal abad ke-21 ini. Pada umumnya novel-novelnya didasarkan pada kehidupan yang empiris, yaitu didasarkan pada peristiwa-peristiwa baik secara historis maupun kehidupannya sendiri.
224 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
bersifat esensial bagi semua bangunan-sosial kemasyarakatan. Kajian tentang interaksi sosial baru akan memadai apabila juga melibatkan kajian tentang bukti-bukti material kebudayaan bisu. Pentingnya mengkaji kebudayaan material itu juga dikemukakan oleh Woodard (2007: 4). Menurut dia, dengan mengkaji kebudayaan sebagai sesuatu yang diciptakan, kita dapat memahami dengan lebih baik, baik struktur sosial maupun dimensi sistemik yang lebih besar, seperti ketidakseimbangan dan perbedaan sosial, dan juga tindakan manusia, emosi, dan maknanya. Objek kebudayaan material memiliki kemampuan untuk menunjukkan sesuatu atau membangun makna sosial. Objek material dapat menunjukan afinitas subkebudayaan, pekerjaan, partisipasi anggota kelompok dalam waktu tertentu, atau status sosial. Selanjutnya, objek material bergabung ke dalam dan merepresentasikan wacana sosial yang lebih luas yang berkaitan dengan norma dan nilai yang dipegang oleh kelompok dengan berbagai institusi sosialnya. Ditinjau dari aspek kebahasaan, kebudayaan material diungkapkan dengan unsur leksikal bahasa berkategori nomina. Nomina (kata benda) dapat dilihat dari segi semantik, sintaktis, dan segi bentuk. Menurut penggolongan semantik, unsur leksikal kebudayaan material termasuk ke dalam kategori semantik tidak bernyawa dan mengacu pada benda-benda sebagai hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, atau karya manusia, yang dibutuhkan dan diberi nama oleh manusia pemilik kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan material diungkapkan dalam unsur leksikal atau kata yang dapat menyampaikan informasi secara faktual melalui rujukan ke benda tak bernyawa. Kebudayaan material tertentu diciptakan secara khusus bersifat komunikatif dan representatif. Layaknya kata dalam bahasa yang bersifat arbitrer, simbol-simbol dalam kebudayaan material seringkali juga bersifat arbitrer (sewenang-wenang dalam penyampaian makna). Sistem makna dalam kajian kebudayaan material pun dapat dianalogikan dengan kajian sistem makna dalam bahasa yang disusun secara sintagmatis dan paradigmatik. Bahkan, menurut Hodder (1997: 548), kini berbagai penelitian kebudayaan material menaruh perhatian pada batasan analogis antara kebudayaan material dengan bahasa, yang membuat pemaknaan kebudayaan material akan menjadi lebih jelas. Namun, harus diingat bahwa mayoritas simbol-simbol material memiliki dimensi “pemaknaan” yang berbeda dengan bahasa. Simbol-simbol material memiliki dimensi pemaknaan abstrak berdasar pola hubungan dan pola penerapan. Berkaitan dengan aspek bahasa, menurut Tilley (2002: 23), selama tiga puluh tahun yang lalu beberapa kajian etnografis kebudayaan material yang menarik dan inovatif adalah para pakar mengeksploitasi analogis kebudayaan material dengan bahasa untuk membuka ruang pemaknaan terhadap benda-benda (things) dan mengungkap alasan di balik pentingnya benda-benda tersebut pada suatu masyarakat. Ancangan strukturalis menggiring kita untuk memikirkan benda-benda sebagai penyampai makna seperti halnya bahasa, pola yang diam dari bentuk artifak seperti halnya urutan desain pada rumah dan pakaian mengomunikasikan makna. Hal itu juga tampak pada pola yang tertata dalam perkampungan, tata cara pemakaman, yang keduanya diproduksi dan kemudian dikaitkan dengan struktur sosial dan hubungan politis melalui berbagai cara. Benda-benda kemudian dianggap sebagai teks, sistem tanda yang terstruktur yang memiliki hubungan satu sama lain dan dunia sosial menjadi dikodekan. Dalam berbagai ancangan post-strukturalis terhadap bentuk material, metafor bahasa atau wacana dan teks tetap dominan dalam pemahaman benda-benda. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 225
Penekanan baru disini diberikan pada polisemi, biografis, dan pergeseran historis dan kebudayaan dalam makna, peran aktif atau “agensi” dari benda-benda daripada perefleksian realitas sosial, hubungan pengetahuan/kekuasaan dan puitik serta politik dari proses interpretasi itu sendiri. Benda-benda tidak kita baca maknanya secara pasif, terbebas dari lokasi politis dan sosial, nilai dan maksud. Secara jelas, analogi kebahasaan dapat membantu menyingkap hakikat makna benda sebagai bentuk material. Setidak-tidaknya kita menuliskan dan membicarakan benda-benda, mentransformasikannya kedalam ujaran, dan mendomestikan perbedaannya dari bahasa yang digunakan untuk merepresentasikannya. Masalah bahasa tidak akan pergi begitu saja dalam kajian objek material. Hanya melalui penggunaan kata-kata kita dapat mengklaim, menegaskan, menginvestigasi, dan memahami mengapa bendabenda bisa menjadi masalah, dan mengapa kajian tentang benda-benda itu penting, serta mengapa benda-benda membuat perbedaan untuk memahami diri dan dunia sosial mereka. PEMBAHASAN Roland Barthes menjadi pengikut Saussure dan mengembangkan idenya mengenai hubungan antara penanda dan petanda, yakni arbitrer, ikonik, motivasi dan ketidakleluasaan, serta hubungan di antara hal-hal di atas sangat dekat. a. Arbitrer (kesemena-menaan) sebuah tanda merupakan inti-dari bahasa manusia. Artinya, tidak perlu ada hubungan antara penanda dan petanda. Hubungan ditentukan oleh konvensi serta aturan atau kesepakatan di antara penggunanya. Dengan kata lain, tanda yang disebut korespenden arbitrer atau oleh pengikut teori Pierce disebut simbol merupakan kategori yang sangat penting. b. Ikonik atau tanda ikon adalah bentuk penanda yang ditentukan dalam beberapa tingkat oleh petanda. c. Motivasi dan ketidakleluasaan digunakan untuk menggambarkan tingkatan tempat penanda menentukan petanda dan dapat dipertukarkan. Tanda yang termotivasi sangat tinggi adalah ikonik. Istilah ketidakleluasaan digunakan untuk menunjuk pengaruh tempat petanda mendesak penanda. Ketika tanda semakin termotivasi, penanda semakin tidak leluasa oleh petandanya. Artinya, ketika pesan disampaikan dengan sangat motivatif, harus ada aturan dan konvensi yang sangat jelas dan tidak leluasa dalam penanda dan petanda. Konvensi berperan penting dalam komunikasi dan signifikasi karena dibutuhkan untuk memahami tanda. Konvensi adalah dimensi sosial sebuah tanda. d. Roland Barthes mengembangkan semiotik dengan idenya tentang mitos. Mitos diartikan sebagai tipe tuturan (type of speech). Mitos merupakan kegunaan sosial dari bahasa (Barthes, 1983:109). Keberadaan mitos dikendalikan secara kultural dan merupakan "cerminan" yang terbalik. Ia membalik sesuatu yang sebetulnya bersifat kultural atau historis menjadi sesuatu yang seolah-olah alamiah. Mitos ditandai oleh hadirnya sebuah tataran kewacanaan yang disebut sistem semiologis tingkat kedua. Pada tataran bahasa yang merupakan sistem semiologis tingkat pertama, penanda berhubungan dengan petanda sedemikian rupa sehingga menghasilkan tanda (sign). Hubungan ini disebut signifikasi. Tanda pada tataran pertama pada gilirannya hanya akan menjadi penanda yang berhubungan pula dengan petanda pada tataran kedua. Di sinilah mitos berfungsi. Aspek material mitos adalah penanda-penanda pada tingkat kedua, yang dapat disebut sebagai retorika atau konotator yang tersusun dari tanda-tanda pada sistem pertama, 226 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
sedangkan petandanya disebut sebagai fragmen ideologi. Petanda-petanda ini menjalin komunikasi yang erat dengan kebudayaan, pengetahuan, dan sejarah karena melewatinyalah dunia sekitar memasuki sistem Mitos adalah wacana berkonotasi, wacana yang memasuki lapisan konotasi dalam proses signifikasinya. Proses signifikasi berlapis dapat dijelaskan melalui perangkat konseptual yang lebih familiar, yakni denotasi dan konotasi. Barthes mencoba mengklasifikasikannya dalam menganalisis citra sebuah gambar, fotografi, film, dan sebagainya. Semua wacana yang ada di dalamnya dianggap sebagai mitos. e. Berkaitan dengan citra atau image, Barthes mengungkapkan bahwa citra sendiri sebagai pesan ikonik yang dapat dilihat, balk berupa adegan (scene), lanskap, maupun realitas harafiah yang terekam. Citra tidak perlu dirancukan dengan realitas itu sendiri meskipun ia merupakan analogon yang sempurna. Citra sebagai pesan dibedakan lagi menjadi dua: (1) Pesan harafiah atau ikonik tak berkode. Ini merupakan tataran denotasi dari citra yang berfungsi untuk menaturalkan pesan simbolik. (2) Pesan simbolik atau pesan ikonik berkode merupakan tataran konotasi yang keberadaannya didasarkan kode budaya tertentu atau familiaritas terhadap stereotipe tertentu. Sebagai suplemen dari isi analogis, makna ditentukan pada tataran kedua yang petandanya mengacu pada budaya tertentu. Kode dari tataran konotasi ini bisa tersusun dari suatu tataran simbolik universal atau retorika dari suatu periode. Petanda dari citra yang terkonotasi dapat disebut sebagai ideologi, sedangkan penanda-penandanya disebut retorika atau konotator (Barthes,1981:17, 33-36). Prosedur-prosedur konotasi itu meliputi: (1) trick effect,yakni memadukan dua gambar secara artifisial, (2) pose, misalnya dengan mengatur arah pandangan mata atau cara duduk dari seorang obyek, (3) objek, yakni dengan menyeleksi dan menata objek-objek tertentu, (4) fotogenia, ialah mengatur eksposure, lighting, manipulasi teknik cetak, (5) estetisme piktorealisme atau dengan teknik posterisasi sehingga sebuah foto menyerupai lukisan, (6) sintaksis, dengan merangkaikan beberapa foto dalam sebuah sekuen sehingga penanda dan petanda konotasinya tidak ditemukan pada fragmen-fragmen, tetapi pada seluruh rangkaian tersebut (Budiman, 2000:11). Citra bukan struktur terisolasi karena ia berkomunikasi dengan struktur lain, yakni teks. Teks merupakan pesan parasitik yang dirancang untuk mengkonotasikan citra. Ini yang disebut pesan kebahasaan, yang hadir dalam setiap citra, balk judul, dialog antar-tokoh, dan sebagainya. Pesan kebahasaan juga tersusun dari dua tataran, yaitu denotasi dan konotasi. Pesan kebahasaan ini berfungsi sebagai penambat bagi segenap kemungkinan makna objek. Teks atau pesan kebahasaan yang hadir bersama citra berfungsi untuk memandu interpretasi, yakni mengarahkan pembaca pada petanda-petanda tertentu kepada makna-makna tertentu. Fungsi penambat ini dirancang untuk mengkonotasikan citra, mengikatnya pada petanda-petanda pada tataran kedua, serta membebaninya dengan suatu kultur, moral, maupun imajinasi. Kehadiran teks untuk menegaskan seperangkat konotasi yang telah ada dalam citra. Instrumen yang digunakan dalam esai ini adalah:
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 227
Unit Terteliti Verbal Visual/Non-Verbal
Unsur Teks a. Warna b. Setting c. Ilustrasi
Sub-unsur Tulisan judul novel Jenis warna Luar ruangan Waktu Situasi Gambar
Dalam tulisan ini, ada dua hal yang bisa dianalisis dari kacamata kebudayaan material yang ingin diperlihatkan, yakni dari aspek verbal dan aspek visual dari sampul novel. Secara eksplisit, aspek verbal tercermin dari penulisan judul novel dan nama penulis yang ingin memvisualisasikan kebesaran nama pengarang, Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan besar Indonesia yang mendunia dengan salah satu judul karyanya “Gadis Pantai” yang menampilkan tokoh sentral novel, seorang gadis belia berumur 14 tahun. Tulisan nama pengarang ditulis dengan menggunakan huruf kapital secara keseluruhan yang makin mengokohkan kebesaran nama Pramoedya, begawan sastra di tanah air. Hal ini sangat menarik, karena nama Pramoedya sering menjadi acuan bagi para penikmat dan pecinta sastra. Bagi yang merasa dirinya “penggila” sastra, tak akan lengkap kalau belum membaca karya-karya besar Pramoedya. Dengan kata lain, nama Pramoedya yang ditulis dalam huruf kapital dimaksudkan untuk memberikan penekanan akan mutu karya, jaminan isi cerita dan nilai-nilai yang dibagikan kepada para pembaca. Secara visual, tampilan gambar sebagai ilustrasi cerita menampilkan gambar seorang perempuan muda Jawa nan lugu dengan pakaian khas Jawa, yaitu kebaya berwarna hijau, jarik bermotif Udhan Liris (Udhan Riris) atau Hujan Gerimis5 dan ikat pinggang khas Jawa (=udet) berwarna oranye. Tampilan sang gadis pantai di sini digambarkan sebagai seorang gadis desa lugu, berasal dari golongan marjinal, tanpa riasan yang mencolok dan terlihat sangat sederhana. Motif Jarik yang dipakai si Gadis Santai memiliki makna pengharapan agar pemakainya dapat selamat sejahtera, tabah dan berprakarsa dalam menunaikan kewajiban dalam kehidupannya sehari-hari. Sebuah sosok yang diharapkan ada pada selir seorang bendoro atau bupati. Motif Udhan Liris ini yang memiliki kesamaan arti dengan hujan gerimis bagi dunia perbatikan secara ringkas bermakna menyejukkan udara/ suasana dan juga melambangkan kesuburan. Dengan memiliki seorang selir sebelum menikah dengan perempuan yang sederajat atau yang berasal dari kalangan priyayi, seorang bendoro berharap selir yang dinikahinya bisa memberikan penghiburan dan berlaku sebagai perempuan yang bisa jadi pelampiasan nafsu sebelum dia menikahi seorang perempuan yang sederajat dengan dirinya. Pakaian yang menempel di badan si gadis pantai yang kemudian diberi nama julukan Mas Nganten (selir) sangat kontras dengan tokoh bawahan lainnya yang juga berperan dalam cerita dan digambarkan di bagian sampul ini, yakni sosok Bendoro yang terlihat sangat “priyayi” dalam balutan beskap dan jarit motif Parang. Motif Parang6, motif berbentuk mata parang, melambangan kekuasaan dan kekuatan. Hanya 5
Diunggah dari http://baltyra.com/2011/04/13/arti-dan-cerita-di-balik-motif-batik-klasik-jawa, 25 Oktober 2014 6 Motif parang sendiri mengalami perkembangan dan memunculkan motif-motif lain seperti Parang Rusak Barong, Parang Kusuma, Parang Pamo, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah. Karena penciptanya pendiri Keraton Mataram, maka oleh kerajaan. Motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan
228 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
boleh dikenakan oleh penguasa dan ksatria. Batik jenis ini harus dibuat dengan ketenangan dan kesabaran yang tinggi. Kesalahan dalam proses pembatikan dipercaya akan menghilangkan kekuatan gaib batik tersebut. Dua jenis kain jarik ini saja sudah menggambarkan kelas dan identitas yang berbeda, sebagai perwujudan kebudayaan material menampakkan kelas atas yakni priyayi dan kelas bawah/marjinal yang dilekatkan pada gadis pantai kebanyakan. Sangat kontras penggambaran budaya material pada pakaian dua tokoh pada desain sampul novel ini. Sosok kepriyayian sang Bendoro juga diperkuat dengan pemakaian blangkon khas kalangan atas sehingga menampilkan kesan pria yang gagah, agung, dan berkelas atas. Blangkon adalah tutup kepala yang terbuat dari batik sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Blangkon ini memiliki filosofi masyarakat jawa yang pandai menyimpan rahasia, tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri karena ia akan serapat mungkin dan dalam bertutur kata dan bertingkah laku penuh dengan kiasan dan bahasa halus, sehingga menjadikan mereka selalu berhati-hati tetapi bukan berarti berbasa-basi, akan tetapi sebagai bukti keluhuran budi pekerti orang Jawa. Dia pandai menyimpan rahasia dan menutupi aib, dia akan berusaha tersenyum dan tertawa walaupun hatinya menangis, yang ada dalam pikirannya hanyalah bagai mana bisa berbuat yang terbaik demi sesama walaupun mengorbankan dirinya sendiri.7 Pemaknaan ini sedikit berbeda dengan karakter Bendoro yang digambarkan bergontaganti selir sebelum menemukan calon isteri yang berasal dari golongan yang sama. Ada kontradiksi dari pemahaman atas filosofi Jawa bagi pria yang memakai penutup kepala ini. Sosok priyayi pada Bendoro juga makin kental terlihat pada abdi dalem yang berdiri di belakang Bendoro sambil membawa payung untuk melindunginya dari panas sinar matahari. Pakaian yang dikenakan sosok abdi dalem pria ini juga sangat kentara memperlihatkan pakaian kelas marjinal, yaitu berupa jarik yang kurang begitu jelas motifnya dan pakaian ala abdi dalem yang terbuka tanpa kancing, serta ikat kepala seadanya. Pemilihan warna sampul novel yang didominasi warna hijau ingin mengesankan keteduhan dan warna hijau adalah warna yang identik dengan alam dan mampu memberi suasana tenang dan santai. Berdasarkan cara pandang ilmu psikologi, warna hijau sangat membantu seseorang yang berada dalam situasi tertekan untuk menjadi lebih mampu dalam menyeimbangkan emosi dan memudahkan keterbukaan dalam berkomunikasi. Hal ini diyakini sebagai efek rileksasi dan menenangkan yang terkandung dalam warna ini. Di dalam bidang design, warna hijau memiliki nilai tersendiri karena dapat memberi kesan segar dan membumi terlebih jika dikombinasikan dengan warna coklat gelap. Penggambaran karakter tokoh dengan pemilihan warna pada desain sampul ini sangat pas dan sesuai dengan karakter orangorang Jawa yang menjadi tokoh sentral dalam novel. Setting sampul menampakkan situasi di luar ruangan, yakni di tepi pantai dan sekilas terlihat suasana sedang mendung terlihat dari awan putih. Kemudian posisi gadis pantai yang digambarkan sedang duduk menunggu dengan pandangan yang datar tanpa senyuman mereflesikan citra perempuan desa yang tak memiliki daya upaya selain menunggu kepulangan suami. Dia tidak memiliki hak bertanya kemana suami pergi, berapa lama, bahkan untuk urusan apa dan dengan siapa. derajat kebangsawanan seseorang. Dipunggah dari fitinline.com/artikel/read/keunikan-makna-filosofibatik-klasik-parang, 25 Oktober 2014 7 Diunggah dari https://rumahtami.wordpress.com/2011/02/15/filosofi-blangkon/ 25 Oktober 2014
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 229
Kebudayaan material yang diperlihatkan juga pada sosok si gadis pantai ini adalah berupa kalung emas yang melingkar di lehernya, dan juga beberapa gelang emas pada kedua tangannya. Perempuan diidentikkan dengan perhiasan emas, sisi gemerlapnya kebendaan ini yang juga ingin ditonjolkan dalam sampul novel. Menunjukkan nilai-nilai yang ingin dikonstruksikan bahwa perempuan tanpa memandang kelas sangat memuja perhiasan, bahkan untuk ukuran gadis pantai yang berstrata sosial rendah ini juga bisa dibeli oleh uang dan perhiasan walaupun di awal adalah semata-mata atas keinginan kedua orang tuanya yang tergiur dengan harta kekayaan dan status sosial sang bendoro. SIMPULAN Tampilan desain sampul novel “Gadis Pantai’ mengentalkan makna gadis desa lugu dengan benda-benda material berupa perhiasan emas sebagai simbol perubahan nilai dari perempuan kebanyakan sebagai perempuan yang juga ingin dianggap sebagai kelas atas, yakni golongan priyayi. Demikian halnya dengan tampilan dua karakter lain dalam sampul novel, yakni Bendoro dan abdi dalem ingin memperlihatkan stratifikasi kelas sebagai bagian dari kebudayaan material, yang mengetengahkan benda-benda dan pakaian yang dipakai merupakan perwujudan kebudayaan material orang Jawa di masa feodal. Namun sejatinya, benda-benda yang dianggap sebagai simbol kelas atas tersebut tetap tidak mampu meningkatkan status dan kelas. Karena yang tetap dipandang sebagai pembeda adalah garis keturunan yang sudah diwariskan secara turun-temurun. DAFTAR PUSTAKA Barthes, Roland. 1981. Elements of Semiology. New York: Hill and Wong. _____________. 1983. Mythologies. London: Granada. Buchli (Ed), Victor, Tilley, Christopher. 2002. The Material Culture Reader. Oxford Budiman, Kris. 2000. “Pelatihan Analisis Wacana”. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Perubahan Sosial, Universitas Gadjah Mada. Hodder, Ian. 1997. “The Interpretation of Documents and Material Culture,” dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln. Handbook of Qualitative Research. California: Sabe Publication. Woodard, Ian. 2007. Understanding Material Culture. London: Sage Publication.
230 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
KARYA SASTRA BERBASIS KARAKTER, SEBAGAI MEDIA PEMBANGUN ”MENTAL BERBANGSA” TANTANGANNYA KINI DAN NANTI Ida Sukowati Pos-el.
[email protected] ABSTRACT The problems raised nowadays is our generation in in global era that the society interaction and building are hedonism, individualist and fragmented. Those situations require citizen characteristics strengthening in order to protect the young generation nationalism character within the global cultural clash. One of media to facilitate is literary work, which is loaded by adiluhung or local wisdom. The moral values brought by local wisdom loaded literary work are necessary to be tools to soften spirit feeling, sharpen vision, mission and imaginary space, improve human to have more polite soul, noble character and broad soul. To make a literary work as nation character building, a role of an appreciator is highly required.Such the integration of the value should touch all. But it is not an easy task because there are many challenges to be faced for literary able to function as a means builders of the nation's character. The challenge involves: 1) the contemporary literature of instructional media; 2) Kekontekstualan material and literary theme; 3) the ability of teachers in presenting the material; 4 of Indonesian literature, as well as capable of being a media forming the character of a nation (character building) and the estuary to be a means of national mental revolution. And literature that can perform such a function is a work that has a charge values of local wisdom (local wisdom). But of course, the integration of the values of local wisdom is not only on the cognitive level, but touched on the internalization and real experience in the lives of young people in the community daily. Key Words:Character Building, Literary,Local Wisdom
PENDAHULUAN Undang-Undang No.20/2003 a Pasal 3 menyebutkan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi: (1) mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; (2) bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri; (3) dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab”. Mencermati isi UU No. 20 tahun 2003 tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara subtansional pendidikan di Indonesia tidak hanya bertujuan agar peserta didik mempunya kemampuan untuk “olah rasio” semata, tetapi juga memiliki kemampuan untuk” ulah rasa “, atau pembangunan karakter. Pembangunan dalam konteks tersebut tentunya tidak semata pembangunan dalam domain pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan dan pengembangan intuisi (kejiwaan). Persoalan yang terjadi saat ini, generasi kita adalah generasi yang hidup di era global.Generasi yang bentuk interaksi dan bangun masyarakatnya, bersifat hedonistic,
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 231
individualistic dan terfragmentasi8. Pada era ini konsep Postmodernisme mencoba untuk untuk menanamkan konsep bahwa, seni, moralitas, dan ilmu (keindahan, kebaikan dan kebenaran) adalah suatu yang terpisah dan otonom. Pengembangan intuisi dipisahkan dari pengembangan pemikiran, sehingga tidak mengherankan jika saat ini kita banyak menjumpai perosalan-persoalan sosial yang berpangkal pada discharacter, seperti tawuran antarpelajar, pemerkosaan, minuman keras, atau seks pra-nikah, menjadi pengguna bahkan pengedar narkoba, ataupun zat-zat adiktif lainnya. Hal itu menjadi semakin rumit, ketika layar kaca kita justru menjadikan perilaku tidak layak para tokoh mayarakat kita sebagai tontonan massif. Layar kaca yang tadinya diharapkan sebagai media yang tidak hanya sekedar menjadi tontonan tetapi juga mampu menjalankan fungsinya sebagai media yang memberi tuntunan dan pengayaan sikap humanism, tidak lagi dapat diharapkan. Persoalan jadi semakin kompleksmengingat orientasi pendidikan saat ini lebih mengedepankan kebutuhan untuk melayani persaingan global ketimbang memelihara harmoni lokal. Membuat kita menjadi maklum kalau “character building” menjadi sebuah barang yang langkah. Akibatnya disharmoni terjadi dalam segala aspek kehidupan, ciri penanda yang paling kasat mata adalah maraknya pemberitaan yang terkait dengan dekadensi moral. Setiap hari media secara intens meyuarakan hal tersebut. Berbagai bentuk kekerasan diruang publik maupun di ruang domestik menjadi hal yang tidak asing lagi, sebagai ekses dari cara berpikir yang terfragmentasi, sebuah cara berpikir yang mencoba membuat skat antara Olah-rasio dengan Ulah-rasa. Akibat pola itu disadari atau tidak, mindset anak-anak cenderung berubah. Anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang egois, baik terhadap dirinya sendiri maupun sesamanya. Mereka tidak lagi memiliki kepekaan terhadap sesamanya, kehilangan pemahaman terhadap nilai-nilai budaya yang menjadi cirri penanda Indonesia (buyers culture). Situasi di atas tentu memerlukan langka korektif sesegera mungkin, Langkah untuk membawa kembali pendidikan pada konsep filosofis bahwa, pendidikan adalah pengembangan diri yang seimbang antar aspek fisik dan psikis, dalam situasi tersebut karya sastra dapat mengambil peran, menjadi media penanaman karakter yang memadai dan menyenangkan. Sejalan dengan itu Herfanda (2008:11) menyatakan bahwa, sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan karakter. Karena selain mengandung keindahan, sastra juga memiliki nilai manfaat bagi pembaca.Semua terkait dengan proses kreatif penciptaan sastra yang lahir dari kenyataan kehidupan, dengan paradigma bahwa sastra yang baik akan menciptakan kembali rasa kehidupan. PEMBAHASAN Beberapa hal yang perlu dikemukakan dalam pembahasan, terkait fungsi, peran, dan tantangan yang harus dihadapi oleh karya sastra (sastra berbasis karakter) agar dapat menjalankan fungsinya sebagai “media pembangun mental berbangsa”, meliputi empat hal berikut. Pertama: Apa itu karakter; Kedua: Apa itu Sastra Berbasis Karakter; Ketiga: Ciri Sastra Berbasis Karakter; Keempat: Peran dan Tantangan Sastra sebagai Sarana Pembangunan Karakter. 8
Lyotard (Sarub, 2008:225-226) menyatakan bahwa, salah satu ciri yang menonjol di era ini adalah upaya untuk menanamkan konsep bahwa, seni, moralitas, dan ilmu (keindahan, kebaikan dan kebenaran) adalah suatu yang terpisah dan otonom.
232 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Apa itu karakter Karakter atau watak menurut Sharon Wisniewski & Keneth Miller (Suryo 2005:2) merupakan suatu hubungan timbal balik antara diri (self) dengan tiga hal yang pasti ada yaitu lingkungan internal (diri), lingkungan eksternal (orang lain dan lingkungan fisik), dan lingkungan spiritual (sesuatu yang lebih besar dan abadi dari diri). Bertumpu pada pendapat tersebut, ada empat tingkatan watak yaitu tingkatan nol, tingkatan satu, tingkatan dua, dan tingkatan tiga. Pertama, watak tingkatan nol. disebut reactive personality atau kepribadian reaktif9; Kedua, watak tingkatan satu, disebut proavtive personality atau kepribadian proaktif10; Ketiga, watak tingkatan dua (moral intelligence), disebut interdependent personality atau kepribadian yang mampu melakukan hubungan timbal balik dengan pihak- pihak di luar dirinya11; Keempat, watak tingkatan tiga. disebut sebagai watak spiritual intelligence atau kecerdasan spiritual12. Apa itu Sastra Berbasis Karakter Pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada pembentukan karakter bangsa itu dapat diwujudkan melalui pengoptimalan pengajaran sastra. Sastra perlu dikenalkan pada anak sedini mungkin, utamanya karya sastra yang memuat kearifan local (local wisdom) yang santun, ramah, religius, arif dan saling menghormati, dalam hal ini adalah sastra yang berbasis karakter. Lalu apa yang dimaksud dengan sastra berbasis karakter Sastra berbasis karakter adalah karya sastra yang kontennya mengandung nilainilai etika dan moral yang secara praktis mampu memberi pencerahan kepada pembacanya untuk hidup secara humanis, sehingga mampu menjadi manusia yang beradab sesuai dengan norma kita masyarakat Indonesia, yaitu norma masyarakat yang adil dan beradab sesuai dengan dasar Negara kita Pancasila. Pada akhirnya bermuara pada tujuan akhir pembelajaran sastra, yaitu menghasilkan manusia yang berprikemanusiaan dan sekaligus mampu memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia yang beragam suku budaya, bahasa dan agamanya. Singkatnya karya sastra yang memiliki muatan-muatan nilai yang berkontribusi mampu memberi sentuhan 9
merupakan kepribadian yang terwujud dari perilaku-perilaku yang sifatnya reaktif. Kepribadian ini bersifat spontan tanpa timbangan-timbangan nilai moral. Misalnya kalau tersinggung sedikit saja lalu bereaksi dengan memukul atau mengeluarkan kata-kata kotor tanpa timbangan apakah perbuatan itu sopan atau tidak, baik atau jelek. Perilakunya lebih banyak dikendalikan oleh gejolak emosional menurut kepuasannya sendiri tanpa mempertimbangkan berbagai timbangan nilai 10 Yaitu kepribadian yang mempunyai kualitas keberdayaan sedemikian rupa sehingga mampu mewujudkan perilaku yang aktif dan terarah sesuai dengan tuntutan dirinya sendiri dan lingkungan. Tingkatan ini disebut juga sebagai watak yang dilandasi oleh emotional intelligence atau kecerdasan emosional,yaitu kualitas kemampuan menampilkan kepribadian dengan kekuatan emosional yang mantap sehingga mampu mewujudkan perilaku yang sesuai dengan timbangan moral. 11 yaitu tingkatan watak tingkatan ini yang memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan timbal balik secara sehat antara dirinya dengan orang lain dan lingkungan yang lebih luas. Watak tingkatan dua ini merupakan tingkatan watak yang lebih baik karena seluruh perilaku kepribadiannya lebih banyak berdasarkan pertimbangan moral. Oleh sebab itu, tingkatan watak ini disebut juga sebagai watak moral intelligence atau kecerdasan moral. 12 merupakan tingkatan watak yang ditandai dengan kemampuan melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan yang paling besar diluar dirinya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu, watak tingkatan tiga disebut sebagai watak spiritual intelligence atau kecerdasan spiritual, yaitu watak yang muncul dari keseluruhan perilaku yang terwujud berdasarkan timbangan-timbangan spiritual yang berakar pada nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang mahaEsa.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 233
psikologis kepada pembacanya. Secara khusus karya sastra yang isinya mampu menyentuh seluruhdimensi psikologis manusia13, juga mampu mengembangkan peserta didik untuk mencapai tingkat perkembangan karakter sampai level keempat (spiritualintelligence). Ciri Sastra Berbasis Karakter. Aqib (2011: 19) mengemukakan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, meliputi aspek rasa dan rasio, dan kemauan untuk malaksanakan nilai-nilai tersebut. Di Indonseia, pendidikan karakter sebenarnya telah lama (1922) dikenalkan oleh tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, yaitu melalui tujuh (7) Asas Taman Siswa14. Pendidikan karakter dalam sistem pendidikan di Indonesia selayaknya dilakukan melalui nilai-nilai yang berakar dari local wisdom, nilai-nilai yang tidak jauh dari keseharian peserta didik itu sendiri, agar nilai-nilai itu tetap menjadi nilai yang kontekstual dan selaras ketika dijalankan sebagai sikap dan prilaku para peserta didik. Nilai-nilai pendidikan karakter di Indonesia menurut Andi Marta (2014: 109) berdasarkan sumber perolehannya dapat diidentifikasikan menjadi empat bagian, yaitu: (1) agama; (2) Pancasila; (3) Budaya; (4) Tujuan pendidikan nasional. Terkait dengan pendapat di atas maka karya sastra dapat dijadikan sebagai sumber pendidikan karakter karena merupakan tata nilai yang berasal atau bersumber dari sistem budaya15. Sebagai sumber yang dapat menjai media pembelajaran mental atau pembangunan karakter berbangsa (Character Building) perlu dipahami, karya sastra bagaimanakah yang mampu menjalankan nilai fungsional tersebut. Dengan kata lain bagaimanakah ciri karya sastra yang berbasis karakter itu? Untuk memahami dan meredefinikan karya sastra berbasis karakter terlebih dahulu kita harus melihat genre sastra yang dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter berbangsa. Terkait dengan hal tersebut Saryono (2009: 52) mengatakan bahwa genre sastra yang dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter berbangsa, adalah genre sastra yang mengandung nilai atau aspek berikut. Pertama genre literer estetis ; genre sastra yang mengandung nilai literer-estetis adalah genre sastra yang mengandung nilai keindahan, keelokan, kebagusan, kenikmatan, dan keterpanaan yang dimungkinkan oleh segala unsur yang terdapat di dalam karya sastra. Dalam idiom estetis Jawa Kuno, genre sastra yang mengandung nilai literer-estetis disebut kalangwan (Zoetmulder, 1985). Kedua genre humanistis; genre sastra yang mengandung nilai humanistis adalah genre sastra yang mengandung nilai kemanusiaan, menjunjung harkat dan martabat manusia, serta menggambarkan situasi dan kondisi manusia dalam menghadapi berbagai masalah, contohnya adalah kisah-kisah klasik seperti; 1.Ramayana, 2. Mahabarata, 3. Arjuna Vivaha. Kisah tersebut sarat memuat sistem nilai budaya Indonesia yang berbasis local-wisdom melalui konsep humanism yang ada dalam 13
Muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi : 1) moral reasoning, 2) moral feeling, dan moral behavior (Mulyasa, 2011: 32) 14 Asas Taman Siswa meliputi: 1) Hak seseorang untuk mengatur diri sendiri dengan tujuan tertibnya persatuan dalam kehidupan umum; 2) pengajaran berarti mendidik anak agar merdeka batinnya, pikirannya, dan tenaganya; 3) pendidikan harus selaras dengan kehidupan; 4) kultur selaras dengan kehidupan; 5) kultur sendiri yang selaras dengan kodrat harus dapat memberi kedamaian hidup, 6) harus bekerja menurut kekuatan sendiri; perlu hidup dengan berdiri sendiri dan dengan tidak terikat, lahir batin dipersiapkan unuk memberi pelayanan kepada peserta didik (Andi Marta, 2014: 107) 15 Sumber perolehan nilai-nilai karakter yang ke-3 yaitu budaya (Andi Marta (2014: 109)
234 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
berbagai pengalaman hidup tokoh-tokohnya. Pengalaman-pengalaman yang berupa tragedi, maut, cinta, harapan, loyalitas, kekuasaan, makna dan tujuan hidup, serta hal-hal yang transendental. yang dapat menyentuh bagian terdalam diri anak-anak, sehingga mampua menjadi wahana untuk menghaluskan budi anakanak peserta didik. Ketiga genre etis dan moral;genre sastra yang mengandung nilai etis dan moral dalam karya sastra mengacu pada pengalaman manusia dalam bersikap dan bertindak, melaksanakan yang benar dan yang salah, serta bagaimana seharusnya kewajiban dan tanggung jawab manusia dilakukan. Sudah sejak dahulu karya sastra diperlakukan sebagai wahana penyimpan dan perawat nilai etis dan moral, misalnya Wulangreh (Pakubuana IV), Wedhatama (Mangkunegara IV), dan Kalatidha (R.Ng. Ranggawarsito), Keempat genre religious-sufistis-profetis; sastra religius-sufistis-profetis adalah genre sastra yang menyajikan pengalaman spiritual dan transendental. Genre sastra yang demikian itu telah lama ada sehingga Mangunwijaya (1992:7) menyatakan bahwa pada awalnya semua karya sastra adalah religius. Semua sastra pada awalnya digunakan sebagai sarana berpikir dan berzikir manusia akan kekuasaan, keagungan, kebijaksanaan, dan keadilan Tuhan yang Maha Esa. Kerinduan manusia kepada Tuhan, bahkan hubungan kedekatan manusia dengan Tuhan, telah lama ditulis dalam karya sastra para sufi, seperti karya Hamzah Fansuri (Gurindam 12), Nuruddin Ar Raniri, Al Halaj, Amir Hamzah, Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, dan Danarto. Taufiq Ismail. Menurut Saryono (2009:53) keempat nilai tersebut mampu mengoptimalkan peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa. Berdasarkan uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa karya sastra yang berbasis karakter adalah karya sastra yang tidak hanya mengandung unsur keindahan (literer estetis) namum juga membumi dan sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia (humanistis), namun di dalamnya juga terkandung nilai-nilai moral etik sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana transfer moral (moral reasoning), serta fungsi behavior. Peran dan Tantangan Sastra sebagai Sarana Pembangunan Karakter. Indonesia sebagai Negara yang kaya akan budaya harus dapat membentengi diri terhadap gempuran dalam kancah percaturan budaya. Budaya bangsa harus diserap dan dijadikan sebagai karakter individu, masyarakat, dan bangsa. Akan tetapi jika melihat realitas, tampaknya Indonesia masih belum dapat memahami akar budaya bangsa sendiri sebagai identitas bangsa. Hal ini tampak begitu mudahnya para generasi muda mengadopsi budaya bangsa lain yang boleh jadi sangat bertentangan dengan tata nilai bangsa. Oleh sebab itu, sangat penting di era globalisasi sangat perlu penggalian kembali budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hal ini sangat krusial dilakukan dalam rangka membentengi arus pertukaran di eraglobal. Basis-basis kearifan lokal yang ada dalam masyarakat perlu diangkat kembali. Sastra dalam hal ini, memiliki potensi dalam upaya menawarkan dan menanamkan kearifan lokal bangsa pada generasi muda. Lewat karya sastra karakter berbangsa diharapkan dapat ditanamkan dengan kuat kepada para peserta didik nilai-nilai budaya bangsa. Nilai-nilai budaya menurut Koentjaraningrat (1984:8-25) adalah lapisan abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 235
yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Suatu sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai kebudayaan biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem kelakuan manusia lain yang tingkatannya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum, dan norma-norma, semuanya juga berpedoman padanilai budaya itu. Nilai budaya yang dapat mendorong pembangunan, di antaranya sifat tahan penderitaan, berusaha keras, toleran terhadap pendirian atau kepercayaan oranglain, dan gotong-royong. Sastra yang merupakan bentuk ekspresi dan komunikasi yang bersifat fiksionalitas dituntut mengandung nilai-nilai kehidupan yang adiluhung sebagai bagianpendidikan karakter. Berkaitan dengan sastra mengandung nilai adiluhung, Wibowo(2013:104) memberi batasan, bahwa sastra adiluhung adalah dunia yang bersifat dinamis, relatif, dan bukan ekslusif. Nilai sastranya pasti terkait dengan kepribadian manusia. Karena ketinggian tingkat apresiasinya, sastra adiluhung sangat bermutu lantaran mampu menghaluskan rohaniah; mempertajam visi, misi dan ruang imajinasi, membuat manusia santun jiwanya, bertambah pengetahuannya, berkepribadian mulia, dan luas jiwanya. Karena itu sastra dianggap mempunya kemampuan untuk menjadi sarana penyampaian moral. Karya sastra yang adiluhung dapat menyampaikan pesan-pesan moral baik secara implisit maupun eksplisit untuk membangun karakter positif siswa. Hal tersebut dapat dilakukan melalui aktivitas apresiasi sastra, baik dengan cara mengapresiasi cerpen, novel, cerita rakyat, dan puisi. Dengan kata lain agar karya sastra mampu memainkan perannya sebagai media penanaman nilai-nilai terhadap peserta didik, karya sastra perlu diapresiasi terlebih dahulu. Secara konkret agar karya sastra dapat menjalankan perannya sebagai sarana pembangunan karakter, yang pada muaranya akhirnya mampu menjadi sarana revolusi mental berbangsa, ada beberapa langkah/upaya apresiasi yang perlu dilakukan. Upaya-upaya tersebut tentunya sejalan dengan ranah apa yang ingin dikembangkan oleh guru terhadap peserta didiknya. Berdasarkan hal tersebut kita mengenal ada 3 domain yang perlu dikembangkan dalam diri seorang peserta didik, yaitu: 1) ranah kognitif, 2) ranah afektif, 3) ranah psikomotor. Pertama: pada ranah kognitif, siswa ditanamkan pengetahuan tentang sastra,apa itu sastra, bagimana cara menikmati karya sastra, dan bagaimana memilih karya sastra agar karya sastra yang dibaca mengandung nilai-nilai morl yang mampu menjadi sastra yang mengedukasi dan mampu menjadi sarana transfer nilai. Kedua, pada ranah afektif, seorang guru perlu menananamkan atau menumbuhkan rasa cinta kepada karya sastra, dan Ketiga dilatih ketrampilan untuk menghasilkan(ranah psikomotor) karya sastra, sehingga peserta didik memiliki kebanggan terhadap cipta sastra dan skalgus menimbulkan rasa cinta kepada karya sastra. Keempat langkah dokumentatif (ranah psikomotor). Kegiatan apresiasi sastra dapat dilakukan melalui kekegiatan reseptif (membaca) maupun produktif (menulis). Pada kegiatan apresiasi sastra pikiran, perasaan, dan kemampuan motorik dilatih dan dikembangkan. Melalui kegiatan semacam itu pikiran menjadi kritis, perasaan menjadi peka dan halus, memampuan motorik terlatih. Semua itu merupakan modal dasar yang sangat berarti dalam pengembangan pendidikan karakter. Ketika seseorang membaca, mendengarkan, atau menonton pikiran dan perasaan diasah. Mereka harus memahami karya karya sastra secara kritis dan komprehensif, menangkap tema dan amanat yang terdapat di dalamnya dan 236 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
memanfaatkannya. Bersamaan dengan kerja pikiran itu, kepekaan perasaan diasah sehingga condong pada tokoh protogonis dengan karakternya yang baik dan menolak tokoh antagonis yang berkarakter jahat. Ketika seseorang menciptakan karya sastra, pikiran kritisnya dikembangkan, imajinasinya dituntun ke arah yang positif sebab ia sadar karya sastra harus indah dan bermanfaat. Penulis akan menuangkan imajinasinya sesuai dengan kaidah genre sastra yang dipilihnya. Ia akan memilih diksi, menyusun dalam bentuk kalimat, menggunakan gaya bahasa yang tepat, dan sebagainya. Sementara itu, pada benak pengarang terbersit keinginan untuk menyampaikan amanat, menanamkan nilai-nilai moral, baik melalui karakter tokoh, perilaku tokoh, ataupun dialog. Dalam penulisan karya sastra orisinalitas sangat diutamakan. Pengarang berusaha akan berusaha menghindari penjiplakan apalagi plagiarisme. Dengan demikian, nilai-nilai kejujuran sangat dihargai dalam karang- mengarang. Dokumentasi sebagai bagian dari kegiatan apresiasi sastra sangat besar sumbangannya terhadap pendidikan karakter. Tidak semua siswa ternyata mampu dan mau mendokumentasikan karyanya dan mengkliping karya orang lain. Pembuatan dokumentasi dan kliping memerlukan ketekuman dan kecermatan. Mereka harus banyak membaca, kemudian memilih bacaan yang pantas didokumentaikan dan dikliping. Pembuat dokumentasi dan kliping pada umumnya adalah manusia-manusia yang berpikir masa depan. SIMPULAN Kondisi bangsa dewasa ini memerlukan peran sastra sebagai sarana penguatan karakter berbangsa., khusunya sastra yang berbasis karakter (Local Wisdom). Hal terpenting dalam upaya penggalian karakter bangsa adalah penggalian dan penguatan terhadap khazanah kebudayaan nasional. Sastra pada konteks ini akan mampu menjadipaduanyangcocokuntukpenguatan akarkarakterbangsa.Pengajaran sastra dapat menjadi pintu pembuka bagi penanaman nilai-nilai moral, khususnya sastra yang bernilai adiluhung. Muatan nilai-nilai yang moral yang terkandung dalam sastra adiluhung sangat dibutuhkan sebagai alat untuk menghaluskan rohaniah; mempertajam visi, misi dan ruang imajinasi, membuat manusia santun jiwanya, bertambah pengetahuannya, berkepribadian mulia, dan luas jiwanya. Sehingga anak mampu mencapai tahapan perkembangan karakter sampai pada level yang tertinggi atau level keempat, yaitu tahap perkembangan atau kecerdasan spiritual (spiritualintelligence). Dan ada 3 domain yang perlu dikembangkan dalam diri seorang peserta didik, yaitu: 1) ranah kognitif, 2) ranah afektif, 3) ranah psikomotor. Untuk menjadikan sastra sebagai pembentukan karakter bangsa, tidak serta-merta hal itu dapat terwujud. Untuk mengoptimalkan peran sastra tersebut, kemauan apresiator sangat menentukan keberhasilan karya sastra sebagai sarana membentuk karakter bangsa. Namun semua itu bukan sebuah pekerjaan yang mudah sebab ada banyak tantangan yang harus dihadapi agar karya sastra mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pembangun karakter bangsa. Tantangan tersebut menyangkut: 1) kekinian media pembelajaran sastra; 2) Kekontekstualan materi dan tema sastra; 3) kemampuan guru dalam menyampaikan materi; 4) penguasan guru terhadap konteks sosio-psychologis anak. Semoga sastra Indonesia mapu menjadi karya sastra yang membumi dan berterima di dalam pembelajaran sastra Indonesia, serta mampu menjadi media pembentuk karakter berbangsa (character building), dan pada muaranya mampu Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 237
menjadi sarana revolusi mental berbangsa. Dan karya sastra yang mampu menjalankan fungsi demikian adalah karya yang memiliki muatan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Namun tentunya pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal tersebut tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengalaman nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Andi Marta, Redo. 2014. Peran Sastra dalam Pembentukan Pendidikan Karakter Anak Bangsa. Wahana Didaktika, Vol.12, 3 September 2014: 103-113). Page 104. Aqib, zainal dan Sujak. 2011. Panduna dan Aplikasi Pendidikan Karakter untuk Siswa Sekolah. Bandung: Yrama Widya. Page 19 Herfanda, A.Y. 2008. Sastra Sebagai Agen Perubahan Budaya dalam Bahasa dan Budaya dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: FBS UNY dan Tiara Wacana. Page 11 Koentjaraningrat,1984.Kebudayaan, mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia. Page 8-25 Mangunwijaya, Y.B. (1992). Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius. Page7 Mulyasa, E. 2011. Manajemen Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multi dimensional. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Page 32 Saryono, Djoko. 2009. Dasar apresiasi Sastra. Yogjakarta: Elmathera Publishing. Page 11 Suryo,Mohammad.(2005). Pendidikan Holisttik Berbasis Nilai dan Etika dalam Pembentukan Citra Manusia. Makalah disajikan dalam Rembug Nasional Pembentukan Citra Manusia Indonesia, DEPARI JawaTengah, Semarang, 13 September. Page 2 Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Page104 Zuchdi, Darmiyati. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press. Page 26 Zuhlan, Najib. 2011. Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: JePe Press Media Utama. Page 87
238 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
KONSTRUKSI LEGENSKAP MASYARAKAT MADURA BARAT Iqbal Nurul Azhar Universitas Trunojoyo Madura
[email protected]
ABSTRACT The purpose of this study is to explain the legendscape of West Madura Society. The method used to collect the data was the guided interview method. The data analysis method was the Interactive Data analysis model which was proposed by Miles and Huberman. The data of this study are 63 spoken legends which have been recorded from the informants living in the West Madura (Bangkalan and Sampang). The results of data analysis show ten kinds of legends in West Madura Society, namely (1) the origins oflandmarks, (2) the sainthood figures who are still alive, (3) the magical-prominent-influential figures who already died and called as bhuju’, (4) some mystical places, (5) the spread of Islam, (6) the emergence of a culture, (7) the disputes between two parties that led the parties to unite or to divide, (8) the struggle against the Dutch and the Dutch supporters, (9) the tragic incidents, and (10) the curse of prominent figures who caused a disaster occurs in an area. The legendscape can be distributed vertically into five layers namely; (1) classic age, (2) neoclassic age, (3) middle age, (4) new age, and (5) contemporary age layer. The legendscape can also be classified horizontally into three contours namely the southern coast contour, the middle part contour and the northern coast contour. In addition to the above findings, this study also reveals some other interesting facts, namely (1) the emergence of strong female characterizations such as Bendoro Gung, Potre Koneng, Dewi Retnadi, Syarifah Ambami and Dewi Nawang Wulan, while the West Madurese society is very well knownfor its patriarchy system that puts females in inferior positions, (2) the emergence of imaginary wild animals and supernatural creatures such as talking tigers, dragons, flying horses, Lang Deur (giant), angels, fairies etc, (3) the emergence of magical mating that produces pregnancy without getting married, (4) the nonexistence of Madurese prominent figure because of a political reason called Pangeran Trunojoyo in West Madura Society, etc. Keywords: legendscape, West Madura Society, layers, countours
PENDAHULUAN Kata Legenskap yang ada pada judul kertas kerja ini adalah terminologi hasil coinage dari penulis untuk merujuk pada apa yang sedang penulis presentasikan dalam kertas kerja ini yaitu penggambaran lanskap melalui legenda sebagai pembentuknya. Kata Legenskap terdiri dari dua morfem yaitu legenda (legend) dan skap (bahasa Inggrisnya scape). Dalam KBBI 2005, legenda didefinisikan sebagai cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah, sedangkan menurut Emeis (dalam Danandjaja, 1997), legenda adalah cerita kuno yang setengah berdasarkan sejarah dan yang setengah lagi berdasarkan angan-angan.Dari dua definisi tersebut, kita dapat menarik intisari dari legenda bahwa legenda pada dasarnya merupakan sebuah cerita rakyat, dituturkan oleh orang-orang terdahulu/kuno, serta isinya merupakan campuran antara sejarah dan fiksi. Sedangkan Skap dalam Cambridge Anvanced Learner’s Dictionary dimaknai sebagai sebuah affiks yang Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 239
digunakan untuk membentuk kata benda yang mengacu pada gambaran luas dari sebuah tempat yang seringkali diwujudkan dalam bentuk gambar. Berdasarkan paparan definisi di atas, makna kata blending dari legen dan skap yang diinginkan penulis adalah “bentang lanskap yang tersusun dari beberapa layer (lapis) kejadian pembangun lanskap, dan tiap layer tersusun dari beberapa kontur legenda yang memiliki hubungan”. Beberapa pemerhati budaya telah melakukan kegiatan untuk mengembalikan pengetahuan generasi Madura terkait dengan kebudayaan mereka, seperti penulisan buku sejarah Madura yang dilakukan De Jonge (2011), pembuatan kamus bahasa Madura (tim penyusun kamus Indonesia-Madura Badan Bahasa Jawa Timur 2013), dan masih banyak lainnya. Beberapa penelitian tentang legenda Madura seperti yang dilakukan oleh Ahmadi (2011), Bustami (2004), Soedjidjono (2002), dan Kosim (2007), banyak menitikberatkan pada satu legenda dengan pendekatan analisis sastra, baik itu aspek intrinsik, ekstrinsik maupun kritiknya. Hingga kertas kerja ini dibentangkan, masih belum ada pemerhati sastra dan budaya yang tenaganya terfokus untuk melakukan penelitian kompilasi terhadap legenda Madura yang tersebar di banyak desa serta melakukan penyelidikan secara mendalam untuk menemukan polapola relasi antarlegenda seperti yang dipaparkan oleh kertas kerja ini. Balai Bahasa Jawa Timur selaku pioner dalam proses pemertahanan bahasa dan budaya Madurapun masih belum maksimal “menggarap” lahan kosong ini karena masih baru menyelesaikan pembuatan buku “Antologi Cerita Rakyat Jawa Timur”. Dalam meneliti suatu fenomena sastra dan budaya, seorang peneliti dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, ia dapat menganut salah satu teori dan secara deduktif menjabarkan beberapa aspek teoretis pada data yang diselidiki. Yang kedua, ia memanfaatkan berbagai wawasan dari beberapa teori dan memakainya sebagai “teropong” untuk mendekati data yang diselidiki. Pilihan pertama tidak diambil penulis karena sastra dan budaya dewasa ini berkembang dengan pesat sehingga apabila penulis menggunakan satu aliran sastra dan budaya saja, maka dikhawatirkan banyak fakta akan luput dari pengamatan peneliti. Pengambilan pilihan kedua memiliki resiko yaitu akan adanya ketidakkonsistenan penulis dalam memandang sebuah fenomena, namun resikoini haruslah diambil supaya penulis dapat memusatkan diri pada data sebagai akibat keleluasaan pandangan untuk tidak menganut hanya pada satu aliran sastra dan budaya saja. Untuk memulai pengenalan akan keluwesan kajian ini, tidak ada salahnya apabila pada bagian ini diulas pandangan beberapa sarjana yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kajian ini. Pandangan pertama ada di kertas kerja yang pertama berjudul“Cerita Rakyat Pulau Raas dalam Konteks Psikoanalisis Carl G. Jung” oleh Ahmadi (2011).Berdasarkan hasil penelitiannya, diketahui bahwa (1) figur arketipal Cerita Rakyat Pulau Raas meliputi figur: Tuhan, wali, raja, orang miskin, orang tua, makhluk dan halus, adapun (2) imaji arketipal meliputi: makhluk gaib air, makhluk kayangan yang menikah dengan makhluk bumi, orang tua yang tahu segalanya, kuda terbang, dan istri yang payudaranya diiris sang suami. Pandangan kedua ada di kertas kerja berjudul “Folklor Kangean: Suatu Kajian Cerita Bajak Laut (Lanun) Sebagai Sumber Sejarah Kawasan” oleh Bustami (2003). Masyarakat Kangean memiliki strategi kebudayaan untuk mengurangi bajak laut dengan memproduksi kerajinan kue (Jejen lanun). Kue ini memiliki dua makna yaitu realistis dan simbolis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cerita rakyat dapat diambil sebagai sumber historis untuk historiografi daerah. Cerita Lanun menjelaskan tentang sejarah pemukiman penduduk, 240 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
dan relasi kekuasaan dengan kekuatan politik, ekonomi, dan kebudayaan orang Kangean dengan masyarakat dari berbagai kawasan dan tergabung dalam sistem dunia. Di sisi lain, berbagai kekuatan itu menjelaskan terjadinya proses integrasi di kawasan Kangean. Pandangan ketiga ada di kertas kerja berjudul “Legenda dari Pulau Bawean: Kajian dengan Pendekatan Arketipal” oleh Soedjidjono (2002). Data dalam kajian ini dikumpulkandari 13 legenda, dengan mereduksi ke dalam elemen-elemen: tokoh,situasi, dan imagi arketipal. Analisis elemen tokoh arketipalmenghasilkan data: [1] raja jahiliah, [2] tokoh kebudayaan, [3] tokohpembantu, [4] putri raja yang cantik. Analisis elemen situasi arketipalmenghasilkan data: [1] pengusiran, [2] pengembaraan, [3] adukesaktian. Analisis elemen imagi arketipal menghasilkan data: [1] burung gagak, [2] buah-buahan, [3] danau dan karang, [4] benda keramat. Ketiga kajian pendahulu secara umum memberikan informasi tentang kondisi legenda-legenda yang ada di masyarakat Madura. Yang membedakan tiga kajian tersebut dengan kajian ini adalah subjek kajian dan pendekatannya. Tiga kajian tersebut menggunakan subjek legenda-legenda yang ada di masyarakat Madura di kepulauan (di luar Pulau Madura), sedangkan kajian ini berfokus pada yang ada di pulau Madura. Yang kedua, ketiga kajian pendahulu tersebut menggunakan pendekatan deduktif untuk menganalisis datanya, dalam artian, hasil analisis merupakan produk operasional dari teori yang telah lebih dahulu secara ajeg dipilih peneliti. Adapun kajian ini, menggunakan pendekatan sebaliknya yaitu pendekatan yang bersifatinduktif, sebuah pendekatan yang lebih mengutamakan data dan secara intuitif data-data tersebut disusun secara konstruktif membentuk legenskap meskipun dalam operasional kajian ini, penulis tidak menafikan teori-teori yang telah ada. Secara umum, tujuan kajian ini adalah untuk menjelaskan legenda-legenda yang ada di masyarakat Madura Barat (Bangkalan dan Sampang), bagaimana legendalegenda yang ada itu berpola dan mengisi kehidupan masyarakat, serta bagaimana beberapa legenda itu memiliki hubungan baik itu disebabkan oleh adanya kesamaan karakter, waktu, maupun keterkaitan cerita untuk membentuk apa yang disebut sebagai legenskap Masyarakat Madura Barat. METODOLOGI Metode yang digunakan dalam penelitian legenda ini dibagi ke dalam empat tahap, yaitu tahap prapenelitian, tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Pada tahap prapenelitian, langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan informan yang akan diambil dari desa yang akan diteliti legendaanya. Setelah informan ditentukan, maka langkah selanjutnya dilakukan survey awal di lapangan yaitu mencari informasi tentang karakteristik informan, menyediakan dan mengecek kesiapan perangkat perekam data. Pada tahappenyediaan data, data diperoleh dengan menggunakan metode interview (Sudaryanto(1990) menyebutnya sebagai metode cakap) dengan teknik dasar yaitu teknik stimulasi dan teknik lanjutan yaitu teknik rekam. Setelah tahap penyediaan data selesai, dilakukan tahap ketiga yaitu tahap analisis data. Sebelum memasuki proses analisis data, dilakukan proses yang disebut dengan tabulasi data. Setelah tabulasi data selesai, metode proses selanjutnya adalah analisis data dengan menggunakan metode Analisis data Interaktif yang diusulkan oleh Miles dan Huberman (1994). Tahap terakhir adalah tahap penyajian hasil analisis data. Pada tahap ini, metode yang digunakan untuk menyajikan hasil analisis data adalah metode informal naratif. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 241
Dalam metode ini, data disajikan dalam bentuk naratif dengan menggunakan bahasa, dan bukan lambang-lambang.
PEMBAHASAN Sejauh ini, peneliti telah mengumpulkan 63 judul legenda (49 di Bangkalan, 14 di Sampang) yang direkam dari beberapa daerah yang tersebar di Madura Barat. Ke-63 legenda diambil karena dianggap merepresentasikan legenda rakyat yang ada di Madura Barat. Legenda tersebut didapat melalui interview terhadap masyarakat yang ada di daerah tempat legenda diceritakan. Adapun klasifikasi data berdasarkan isi narasinya dapat dilihat pada tabel berikut berikut: Tabel. Data Temuan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Isi Narasi Asal muasal berdirinya sebuah lanmark seperti masjid, hutan, sumber air, maupun tempat seperti pemandian Kesaktian/kewaliantokoh masyarakat yang masih hidup Kesaktian/kewaliantokoh masyarakat yang sudah meninggal dan dikeramatkan dengan cara disebut sebagai bhuju’ Tempat-tempat mistik yang ada didaerah Penyebaran agama Islam di Madura Barat Asal-usul munculnya sebuah budaya di Madura Barat Masalah yang terjadi antar dua pihak yang menyebabkan satu pihak/daerah bersatu atau terpecah Perjuangan melawan Belanda atau Pihak yang Mendukung Belanda Insiden yang Bersifat Tragedi Kutukan seorang tokoh yang menyebabkan bencana/perubahan pada suatu daerah yang akhirnya menjadi nama daerah tersebut
Asal Cerita Bangkalan Sampang 18
4
1
-
14
4
4 3 2
1 -
2
1
2 3
-
-
4
49 TOTAL
14 63
Dari tabel di atas, terlihat bahwa jumlah legenda di Sampang tidak sebanyak yang ada di Bangkalan. Sedikitnya jumlah layer yang dibentuk oleh legenda-legenda di Sampang selain disebabkan karena keterbatasan tenaga dan waktu penulis dalam mengumpulkan data di Sampang, juga karena disebabkan secara historis, Sampang dalam berapa waktu yang lama berada dalam zona ketidakpastian secara politik, dalam artian, bahwa Sampang pada jaman dahulu tidaklah muncul sebagai sebuah daerah yang kuat sehingga dapat memiliki otoritas yang tinggi seperti Sumenep Pamekasan dan Bangkalan. Sampang beberapa kali diposisikan sebagai daerah kewedanan, baik itu kewedanan yang bergabung dengan Kadipaten Madura Barat dengan kota raja Bangkalan, maupun kewedanan yang bergabung dengan Kadipaten Pamekasan. Padahal kebanyakan legenda yang ada di Masyarakat Madura Barat muncul karena adanya otorisasi ini (tokoh-tokoh yang melegenda kebanyakan adalah anggota kerajaan). Setiap legenda di Masyarakat Madura Barat yaitu Bangkalan dan Sampang memiliki kekhasan isi narasinya. Di Bangkalan, legenda yang menceritakan kesaktian/kewaliantokoh masyarakat yang masih hidup, tempat-tempat mistik yang ada didaerah, asal-usul munculnya sebuah budaya di Madura Barat, serta perjuangan melawan Belanda atau pihak yang mendukung Belanda dapat dijumpai, sedang di Sampang, legenda dengan isi narasi seperti ini tidak dijumpai. Adapun di Sampang, daerah ini juga memiliki kekhasan yang berkaitan dengan isi narasinya. Masyarakat 242 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Sampang mengenal legenda yang berhubungan dengan kutukan seorang tokoh yang menyebabkan bencana/perubahan pada suatu daerah yang akhirnya menjadi nama daerah tersebut, sedang di Bangkalan tidak. Beberapa temuan menarik dapat dijumpai dalam data. Pertama dalam legendalegenda masyarakat Madura Barat, dijumpai fakta bahwa terdapat beberapa legenda yang melibatkan karakter perempuan Madura yang kuat. Adapun karakter ini adalah Bendoro Gung, Potre Koneng, Dewi Retnadi, Syarifah Ambami dan Dewi Nawang Wulan. Bendoro Gung, Potre Koneng digambarkan sebagai seorang putri yang cantik dan bersifat baik, dan uniknya, keduanya juga mengalami masalah yang sama yaitu hamil secara gaib. Dari dua perempuan ini, kemudian lahirlah pemuda-pemuda pemimpin daerah Madura yang memiliki kecakapan yang tinggi (Pangeran Segoro dari Bendoro Gung, dan Jokotole dari Dewi Retnadi). Dua figur perempuan ini sangat dihormati oleh orang Madura dan dianggap sebagai pemimpin, sehingga sebagai bentuk penghormatan, orang Madura selalu menyebut siapapun pemimpin satu daerah di Madura, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai Ratu. Dewi Retnadi dipandang sebagai seorang istri yang cakap dari seorang Pemuda yang memiliki banyak kelebihan yang bernama Jokotole. Dewi inilah yang membuat Jokotole mampu melakukan banyak hal yang mustahil dilakukan manusia biasa. Syarifah Ambami dikenal sebagai permaisuri Tjakraningrat I yang merupakan putra Angkat Sultan Agung Mataram. Ia adalah figur istri yang setia dan cakap memimpin kerajaan ketika suaminya tidak ada. Ia juga sanggup melakukan apa saja untuk menyenangkan hati suaminya termasuk bertapa hingga meninggal untuk memenuhi keinginan suaminya agar keturunan mereka menguasai Madura selamanya. Adapun Dewi Nawang Wulan, digambarkan sebagai seorang bidadari yang kecantikannya luar biasa dan mampu melakukan banyak hal yang sukar dinalar seperti menanak nasi hanya dengan beberapa bulir padi. Dewi ini juga mampu membuat seorang yang hebat seperti Aryo Menak, Sang Pengendara Bulus, patah hati dan bersumpah untuk tidak memakan nasi selamanya. Temuan yang kedua adalah tentang jejak legenda Pangeran Trunojoyo. Meskipun Pangeran Trunojoyo dianggap sebagai pahlawan Madura yang berani melawan Belanda tidak hanya di Madura tetapi juga di Jawa (Jonge, 2011), jejak langkahnya tidak begitu terlihat di Madura Barat. Ini dapat dilihat dari 63 legenda yang menjadi subjek kajian kertas kerja ini, tidak ada satupun yang menceritakan kejadian yang berhubungan dengan Pangeran Trunojoyo. Ini tidaklah mengherankan, karena pada saat Pangeran Trunojoyo melakukan kampanyenya melawan Mataram yang dibantu Belanda, Madura Barat adalah daerah yang dianggap setia pada Mataram dan karenanya tidak ikut membantu Trunojoyo melawan Belanda. Layer Legenskap Madura Barat Berdasarkan hasil analisis data, dapat digambarkan bahwa pembentukan legenskap masyarakat Madura Barat,tidak dilakukan sekaligus tetapi secara bertahap dalam beberapa lapis kronologis (selanjutnya akan kita sebut sebagai layer). Seperti contoh layer a menjadi dasar dari pemberian/pengenalan nama dari beberapa daerah yang terbatas yang sebelumnya tidak bernama sama sekali. Layer b melanjutkan pemberian/pengenalan nama daerah-daerah tak bernama, demikian juga layer c, layer d dan layer e. Layer legenskap Madura Barat terbagi menjadi lima. Layer pertama adalah layer legenda dari jaman klasik. Layer kedua adalah layer legenda-legenda dari jamanneoklasik. Layer ketiga adalah layer legenda-legenda pada zaman tengah. Layer Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 243
keempat adalah layer legenda-legenda pada zaman baru, dan terakhir adalah legendalegenda masa kini. Legenda klasik adalah legenda pendahulu yang membangun layer awal dari legenskap Bangkalan. Legenda yang berada di layer ini memberi pondasi pada penamaan penamaan mula-mula daerah yang ada di Madura Barat. Legenda-legenda yang mengisi layer ini meliputi legenda asal muasal Madura yang melibatkan tokoh Bendoro Gung, Pangeran Segara, dan Ki Poleng, yang mula-mula bermukim di Gunung Geger Bangkalan dan hijrah ke Hutan Nepa Sampang. Legenda neoklasik adalah legenda yang mengisi legenskap yang kosong serta daerah-daerah tak bernama selepas era layer yang diisi oleh Bendoro Gung, Pangeran Segara, dan Ki Poleng. Di Bangkalan, Layer kedua ini berisi keseluruhan legenda Jokotole yang melibatkan tokoh Jokotole sendiri, Potre Koneng, Dewi Retnadi, Adipoday, Adirasa, Joko Wedi dan Empu Kelleng,Lang Deur, legenda Aryo Menak, serta legenda pertempuran Jokotole dengan Dempo Abang. Sedangkan di Sampang, layer ini juga diisi oleh Legenda yang berhubungan dengan Jokotole dan Dewi Retnadi, meskipun ceritanya tidak sepanjang cerita yang ada di Bangkalan. Legenskap selanjutnya dibangun oleh layer yang berisikan legenda pada zaman tengah, yang kebanyakan informan menyebutnya latarbelakang pada zaman sebelum hingga penjajahan Belanda lama (ketika masuk ke Nusantara dalam bentuk kamar dagang VOC). Di Bangkalan, Legenda ini melibatkan tokoh-tokoh seperti Tong Sari, Kiai Sulaiman, H. Hadhori, Raja Arosbaya, R. Abdul Wahid Trunokusumo, Pangeran Macan Putih, Pangeran Pragalba serta Raden Adipati Pratanu dan Syarifah Ambami. Di Sampang, Layer Jaman Tengah diisi oleh legenda-legenda yang tokoh ceritanya sangat variatif seperti Syekh Abdul Jabbar Al Yamani,Raden Sasongko, Sagatra, Sagatro, Sraba, Astra, Raden Kabul, Bhuju’ Buddih,Bhuju’ Taneh, Raja Harimau, Juju’ So’on,Kyai Raden Mas Utawi, dan Pangeran Aji Wongso. Layer keempat adalah Layer yang berisi legenda-legenda Zaman Madura Baru. Informan kebanyakan menunjuk setting legenda ini adalah pada masa Pemerintahan kolonial Belanda di Nusantara dan berakhir pada zaman kemerdekaan. Legenda ini biasanya berwujud cerita-cerita luar biasa, kekaromahan atau kesaktian dari seorang tokoh. Adapun tokoh-tokohBangkalanyang mengisi layer ini adalah: Ke’ Lesap, Sakera, Brudin, Marlena, Mbah Kiai Minah, Mohammad Yasin, Kiai serembang dan Kiai Rembah, Raden Aji Noto kusumo, Bhuju’ Hara, Pak petok dan Buju’ Galis, Buju’ Rambesi, Ke’ Lesap, Kiai Abdul Adim/Kiai Shohib, Abdul Basyir, Mbah Saronen, Buju Achmad, Buju’ Tarhes Buju Markun dan Buju Achmad, Buju’ Tarhes Buju Markun. Di Sampang,Layer Jaman Baru diisi oleh tokoh Raden Ronggo, Gubernur dan Wedana sebagai bahannya. Jenis Layer Legenda Madura Barat terakhir adalah Layer Masa Kini. Dikatakan masa kini karena terjadinya legenda berkisar antara tahun 1980an hingga sekarang. Pelaku legenda adalah orang-orang yang hidup pada masa tersebut (bahkan ada beberapa tokoh yang hingga kini masih hidup), namun cerita yang berkembang di masyarakat banyak diisi distorsi kronologis sehingga tidak layak disebut sebagai biografi atau sejarah. Contoh tokoh dari legenda ini adalahMaria, dan Ra Lilur.Di Sampang, legenda yang berasal dari Layer Masa Kini belum dijumpai keberadaannya. Kontur Legenskap Madura Barat Selain menunjukkan layer, tabel 2 juga menggambarkan kontur dari legenda. Kontur dalam kertas kerja ini didefinisikan sebagai posisi dari sebaran sebuah legenda 244 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
berada, serta kemungkinan relasinya dengan legenda yang ada di tempat lain. Kontur berbeda dengan layer. Jika layer mengelompokkan legenda berdasarkana waktu eksistingnya, atau dengan kata lain tersusun secara vertikal, maka kontur mengelompokkan legenda berdasarkan sebarannya di peta/lanskap, atau dengan kata lain tersusun secara horizontal. Berdasarkan hubungan ceritanya, Kontur legenskap Masyarakat Madura Barat dibagi menjadi tiga, yaitu kontur utara, kontur tengah dan kontur selatan. Setiap kontur, diisi oleh legenda-legenda yang terkadang memiliki hubungan yang terkadang juga berasal dari layer yang berbeda. Di Kontur Utara Bangkalan, tepatnya di sepanjang pantai utara Bangkalan, jumlah legenda yang mengisinya adalah delapan belas buah. Adapun judul legenda yang mengisinya adalah:(1) legenda dari Gunung Geger Arosbaya, (2) legenda Bhujuk Santri, (3) Bhupanjheng Arosbaya, (4) legenda Bhuju’ Tong Sari,(5) Bilapoh dari Klampis, (6) Lerpak Lantong Geger, (7) asal muasal Banda Soleh, (8) asal muasal Kampung Beruk, (9) asal muasal Klampis, (10) legenda Masjid Arosbaya, (11) legenda Arosbaya, (12) Dusun Banyuajuh Lajing, (13) kisah Pisang Agung, (14) Makam Agung Arosbaya, (15) asal muasal Kampak, (16) legenda Rato Ebhu (17) legenda Pak Petok (18) legenda Sumber Tattatan Tlokoh Kokop. Sedangkan Di Kontur Utara Sampang, tepatnya di sepanjang pantai utara Sampang, jumlah legenda yang mengisinya ada Sembilan buah. Adapun judul legenda yang mengisinya adalah (1) asal muasal Desa Nepa, dan kera-kera penghuni Hutan Nepa, (2) legenda sang penjaga PantaiTaralam, (3) asal usul Desa Banyuates, (4) asal usul Sokobanah, (5) asal usul Desa Nagasareh, (6) asal usul Desa Tragih dan Torjunan, (7) asal usul Desa Bapelle, (8) asal usul Dusun Kajuabuh, dan (9) asal usul Desa Banyusokah dan Dusun Sadah. Di Kontur Tengah Bangkalan, legenda yang mengisinya ada duapuluh buah. Adapun judul legenda ayang mengisinya adalah: (1) asal muasal Socah, Telang, (2) asal muasal Bancaran, (3) Bhermanten Bancaran, (4) legenda PangeranMacan Putih(5) Sakera, (6) Desa Kramat Bangkalan, (7) Bhuju’ Lomot Jaddih (8) Kampung Sumur Kembang, (9) Langgher Sabe Burneh, (10) asal usul Bangkalan, (11) Kampung Kepang, (12) asal usul Kramatikus, (13) Peterongan Galis, (14) Legenda Bhujuk Haji Ponteh, (15) asal muasal Kampung Bang Temuran, (16) legenda Bhujuk Saronen (17) asal usul Banyu Bunih, (18) si cantik dari Pedeng, (19) rumah batik yang legendaris, dan (20) Ra Lilur Sang Waliyullah. Di Kontur Tengah Sampang, legenda yang mengisinya adalah: (1) asal muasal Desa Omben, Banyubanger dan Sampang, dan (2) asal usul Desa Napo. Di Kontur Selatan Bangkalan, legenda yang mengisinya ada sebelas buah. Adapun judul legendanya adalah: (1) asal muasal Paseraman, (2) Batu Cenning, (3)asal usul kenapa Orang Madura makan jagung, (4) asal muasal Karang Anyar, (5) Banyuajuh Kamal, (6) Legenda Bhuju’ Hara, (7) Dusun Tambak Agung Baengas, (8) asal muasal Sekarbungoh, (9) asal muasal Pancoran, (10) asal usul Mancingan, dan (11) Berkoneng Gili Kamal. Sedangkan di Kontur Selatan Sampang, jumlah legenda yang mengisinya adalah tiga. Adapun judul legenda nya adalah: (1) legenda Panji Laras Madegan, (2) asal usul Desa Kalangan Prao, dan (3) asal usul Desa Polagan. Relasi Antar Legenda dalam Legenskap Madura Barat Legenda-legenda yang ada dalam cakupan Legenskap Madura Barat yang ada dalam data dapat dilihat relasinya melalui persamaan-persamaan yang muncul baik itu kesamaan unsur instrinsik legenda maupun kesamaan elemen-elemen lainnya. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 245
Disebabkan karena terbatasnya lembar halaman untuk menulis kertas kerja ini, maka dalam kertas kerja ini hanya akan dipaparkan lima elemen yang dianggap memiliki hubungan antara satu legenda dengan legenda lainnya. Elemen pertama adalah penokohan. Tokoh-tokoh utama legenda dengan jati diri terkenal seperti Bendoro Gung, Raden Segara, Ki Poleng, Jokotole, Dewi Retnadi, Adipoday, Adirasa, Nawang Mulan, dan Aryo Menak merupakan tokoh-tokoh yang sering muncul dalam beberapa legenda lintas desa bahkan juga lintas Kabupaten. Tokoh Jokotole dan Dewi Retnadi misalnya, Tokoh ini muncul di beberapa asal usul desa di Bangkalan kontur Tengah, kemudian bersambung ke selatan dan bergerak ke timur menuju Sampang. Tiap desa yang dilewati tokoh ini lantas memunculkan legenda yang berbeda namun tetap berhubungan dengan tokoh ini. Selain tokoh-tokoh dengan jati diri yang jelas di atas, tokoh-tokoh yang jatidirinya kurang terkenal dan sedikit kabur juga dijumpai muncul di data. Adapun tokoh-tokoh ini seperti seorang penyiar agama Islam (dengan nama yang bervariatif), pertapa, raja, putri raja atau bangsawan, pemuda, serta orang yang sakti. Elemen kedua adalah genre. Meskipun seluruh legenda yang ada di Legenskap Madura Barat bergenre naratif, namun legenda-legenda itu memiliki tipe-tipe yang berbeda. Kebanyakan naratif yang ada di Madura Barat adalah naratif klasik, bahkan beberapa diantaranya adalah tragedi atau epik. Beberapa legenda juga ditemukan memiliki ending bahagia dan karenanya masuk kekategori komedi meskipun tidak juga bersifat anekdot. Naratif yang bersifat seperti fabel tidak dijumpai dalam data. Elemen ketiga adalah setting terjadinya legenda. Kebanyakan setting legenda adalah setting jaman kerajaan atau jaman penjajahan atau jaman perlawanan melawan Belanda. Beberapa bahkan dengan jelas menunjukkan pertempuran besar antara kerajaan-kerajaan, atau tentara pemberontak dengan Belanda. Setting-setting yang lain berupa penyebaran agama juga banyak dijumpai. Elemen keempat adalah imajinari. Imajinari ini didefinisikan sebagai sebuah konsep yang hanya muncul dalam imajinasi dan sulit diterima oleh akal. Beberapa peristiwa imajinari banyak dijumpai, seperti hamil secara gaib karena amenelan bintang atau kawin tanpa proses berjumpa secara fisik, lidi yang ditancapkan mengeluarkan air, naga yang berubah jadi tombak, golok yang terbang, tubuh yang menghilang, bertapa dalam waktu beberapa bulan atau bahkan tahun tanpa makan, kapal dan kuda yang bisa terbang, kutukan yang terjadi dan masih banyak lainnya. Selain peristiwa imajinari, tokoh-tokoh imajinari juga banyak dijumpai, seperti Lang Deur (raksasa), Naga, Bidadari atau Peri, Harimau dan Ular yang bisa bicara, dan tokoh-tokoh imajinari lainnya. Elemen kelima adalah komplikasi yang mengantarkan pada klimaks. Komplikasi-komplikasi yang banyak muncul dalam legenda-legenda yang ada di Madura Barat yaitu seputar kesulitan-kesulitan dalam berdakwah, kesulitan dalam mencari air, serangan Bangsa Asing seperti Cina, keinginan untuk menjadi sesuatu yang yang paling baik atau sakti, kedurhakaan pada orangtua atau pembangkangan pada atasan, dan lainnya. SIMPULAN Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat sepuluh jenis legenda yang ada di masyarakat Madura Barat, yaitu (1) asal muasal berdirinya sebuah lanmark, (2) kesaktian/kewaliantokoh yang masih hidup, (3) kesaktian/kewalian tokoh yang sudah meninggal dan kuburannya dikeramatkan, (4) tempat-tempat mistik, (5) penyebaran 246 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
agama Islam, (6) asal-usul munculnya sebuah budaya, (7) masalah antar dua pihak yang menyebabkan satu pihak/daerah bersatu atau terpecah, (8) perjuangan melawan Belanda atau pihak yang mendukung Belanda, (9) insiden yang bersifat tragedi, dan (10) kutukan seorang tokoh yang menyebabkan bencana/perubahan pada suatu daerah yang akhirnya menjadi nama daerah tersebut. Sebaran layer berdasarkan waktu terbagi menjadi lima, yaitu layer klasik, neoklasik, zaman tengah, zaman baru, dan masa kini. Adapun kontur legenda di masyarakat Madura Barat ada tiga, yaitu kontur pesisir selatan, kontur tengah dan kontur pesisir utara. Di Kontur Utara Bangkalan, jumlah legenda yang mengisinya adalah delapan belas buah, sedangkan di Kontur Utara Sampang, tepatnya di sepanjang pantai utara Sampang, jumlah legenda yang mengisinya adalah Sembilan buah. Di Kontur Tengah Bangkalan, jumlah legenda yang mengisinya adalah duapuluh buah legenda sedangkan Di Kontur Tengah Sampang, jumlah legenda yang mengisinya adalah dua buah legenda. Di Kontur Selatan Bangkalan, jumlah legenda yang mengisinya adalah sebelas buah legenda, sedangkan di Kontur Selatan Sampang, jumlah legenda yang mengisinya adalah tiga buah legenda. Selain temuan di atas, dijumpai beberapa fakta menarik lainnya, yaitu (1) dijumpainya beberapa legenda yang melibatkan karakter perempuan Madura yang kuat bernama Bendoro Gung, Dewi Retnadi, Syarifah Ambami dan Dewi Nawang Wulan,Keempat wanita ini sangat dihormati orang Madura padahal budaya Madura terkenal dengan patriarkinya, (2) munculnya hewan-hewan buas yang menjadi komplikator dari legenda seperti harimau, naga, kuda terbang, dsb, (3) munculnya makhluk-makhluk gaib (mitos) seperti lang deur, bidadari, dll, (4) adanya kesamaan peristiwa yang melahirkan tokoh besar seperti kemasukan bulan dan kawin gaib yang menghasilkan hamil tanpa menikah, (5) jejakpangeran Trunojoyo yang begitu terkenal di Madura namun tidak nampak menghiasi skap legenda masyarakat Bangkalan. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, A. 2011. Cerita Rakyat Pulau Raas dalam Konteks Psikoanalisis Carl G. Jung dalam Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Volume 24 No 2. 109116. Arti Legenda. --. 2015. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bustami, L. 2004. Folklor Kangean: Suatu Kajian Cerita Bajak Laut (Lanun) Sebagai Sumber Sejarah Kawasan dalam Bahasa dan Seni, Tahun 32, Nomor 2 hlm 267285 Definisi Scape. Cambridge Anvanced Learner’s Dictionary (CALD), Cambridge University press 2003 version 1.0 Danandjaja, J. 1997.Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti. Jonge, d.H. 2011. Garam Kekerasan dan Aduan Sapi. LKiS Kosim, M. 2007. Kerapan sapi; “pesta” rakyat Madura(perspektif historis-normatif) dalam Jurnal Karsa, Vol. XI No. 1 April 2007 hlm 68-76
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 247
Miles, M.B dan A.M Huberman. 1994. Qualitative Data Analysis. California: SAGE Publications Inc Soedjidjono. 2002.Legenda dari Pulau Bawean: Kajian dengan Pendekatan Arketipal. Makalah diterbitkan di Prosiding Seminar Akademik , Volume 2, 2002 Sudaryanto.1990. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
248 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
MENUMBUHKAN BUDAYA LITERASI PADA ANAK-ANAK MELALUI SASTRA ANAK Lestari Setyowati1, Ninik Suryatiningsih2 1
STKIP PGRI Pasuruan,
[email protected], STKIP PGRI Pasuruan,
[email protected]
2
ABSTRAK Di era komunikasi yang sangat maju seperti sekarang ini, peran ponsel pintar dan tablet canggih banyak menggantikan peran buku. Sering kali, anak lebih tertarik menghabiskan waktu dengan gadget daripada membaca buku cerita cetak yang dijual di toko buku. Untuk menumbuhkan budaya membaca, orang tua dan pendidik harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai jenis sastra yang sesuai untuk anak dengan usia tertentu, dan memiliki keterampilan untuk membuat anak-anak mencintai buku. Makalah ini bertujuan untuk memaparkan jenis sastra anak yang dapat digunakan untuk menumbuhkan budaya cinta membaca buku, jenis cerita yang sesuai dengan perkembangan kognitif anak, cara yang dapat diterapkan untuk menumbuhkan budaya cinta membaca, dan manfaat yang dapat diperoleh melalui budaya literasi tersebut. Makalah ini hanya berfokus pada buku cerita bergambar untuk anak-anak yang dapat dipakai untuk belajar membaca baik di rumah maupun di sekolah. Kata Kunci: budaya literasi, sastra anak, membaca, cerita bergambar
PENDAHULUAN Di era global saat ini, dimana jarak antara ruang dan waktu tidak lagi menjadi masalah dalam berkomunikasi, penggunaan ponsel pintar dan gadget sudah bukan menjadi barang asing lagi. Menariknya, penggunaan alat komunikasi canggih ini tidak hanya orang tua dan remaja, namun juga anak-anak. Saat ini, banyak dijumpai anakanak usia SD sudah memegang gadget pribadinya sendiri yang dibelikan oleh orang tuanya dengan berbagai alasan. Terlepas dari fungsi utamanya untuk berkomunikasi melalui fitur media sosial yang ada, anak-anak memanfaatkan gadget tersebut untuk bermain game, menonton film, mencari informasi di dunia maya, dan mendapatkan pengetahuan tambahan untuk berbagai kepentingan.Dengan semakin canggihnya dunia informasi saat ini, maka peran buku untuk mendapatkan pengetahuan menjadi tidak lagi banyak diperhitungkan. Anak-anak dapat mendengarkan dari You Tube atau situs lainnya untuk memecahkan permasalahan pelajaran yang dihadapi di sekolah. Hanya dengan mendengarkan dan menonton dari situs-situs tertenu di internet melalui gadget mereka, anak-anak telah mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Kemudahan menggunakan alat komunikasi canggih seperti ini biasanya membuat anak menjadi enggan untuk membaca. Terlebih lagi, sebagian besar masyarakat pada umumnya masih sangat terikat dengan budaya lisan, oleh karenanya tidak mudah menumbuhkan kebiasaan membaca diantara para siswa (Laksmi, 2007). Hal ini dapat dilihat dalam keseharian masyarakat kita bahwa sebagian besar diantaranya lebih menyukai mendengarkan dan berbicara daripada membaca dan menulis. Tradisi lisan ini tidak harus dihilangkan, namun
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 249
alangkah baiknya bila diimbangi dengan tradisi literasi, yaitu kebiasaan untuk membaca dan menulis. Sebagian orang tua mungkin memiliki kekhawatiran saat melihat anak berinteraksi dengan gadget tersebut terlalu lama saat mereka berselancar di internet. Banyak pertanyaan yang muncul dibenak orang tua mengenai apakah anak memang membaca apa yang seharusnya dibaca sesuai dengan umur dan kebutuhannya, atau apakah mereka memang mendapatkan informasi yang sesuai dengan porsinya. Membaca di internet pada dasarnya tidak dapat menggantikan membaca daari buku. Menurut Kusumah (2012) terdapat beberapa alasan mengapa buku masih tidak bisa tergantikan. Beberapa diantaranya adalah buku dapat dibaca dimana saja dan kapan saja, dan tidak memerlukan baterai atau akses internet untuk melakukannya. Selanjutnya dia berpendapat bahwa karya yang telah tertuang dalam bentuk buku adalah karya yang runtut dan utuh yang telah melalui proses penyuntingan. Membaca melalui buku secara konvensional juga lebih mengasyikan dan nyaman, dan tidak akan sama dengan membaca melalui gadget yang tidak dapat dilakukan dengan berlamalama, dengan alasan kesehatan. Dikarenakan tantangan global melalui media komunikasi canggih ini, membentuk budaya literasi di masyarakat menjadi suatu tantangan yang tidak mudah untuk ditaklukkan. Kata ‘literasi’, berasal dari bahasa Inggris ‘literate’ yang dalam terjemahan bebasnya bermakna terpelajar. Dalam perkembangannya, kata ‘literasi’ telah memiliki banyak makna. Literasi dapat diartikan melek teknologi, melek politik, melek budaya, kritis dan peka terhadap terhadap lingkungan disekitarnya. Alwasilah (2005) memberi makna yang lebih sederhana pada kata literasi. Menurut pendapatnya literasi adalah budaya baca-tulis, yang merupakan kebalikan dari budaya orasi (lisan) yaitu budaya dengar-ucap. Seseorang yang terpelajar tentulah mereka yang membaca dan menulis untuk menuangkan ide dan pikirannya. Senada dengan pengertian diatas, Haryanti (2014) mendefinisikan ‘literasi’ sebagai keberaksaraan dimana seseorang memiliki kemampuan membaca dan menulis. Budaya literasi dalam pengertian Haryanti (2014) merupakan suatu kebiasaan berfikir yang diikuti oleh proses membaca dan menulis dimana hasil akhirnya adalah terciptanya sebuah karya. Pada intinya yang dimaksud budaya literasi adalah budaya membaca dan menulis. Budaya literasi ini dapat dimulai di rumah, terutama dalam lingkungan keluarga, dan dalam usia anak-anak sedini mungkin. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan sastra anak. Secara luas, buku yang khusus ditulis dan diterbitkan untuk konsumsi anak-anak sangat banyak dan dapat ditemukan di berbagai toko buku. Sebagai contohnya buku fiksi seri Dora the Explorer, Diego, komik seri Winx, Naruto, Frozen, seri Barbie, sampai dengan novel, seperti seri Harry Potter dan seri non fiksi yang berisi pengetahuan untuk anak-anak. Agar anak-anak dapat memiliki kebiasaan menulis, mereka harus membaca terlebih dahulu. Dengan pengetahuan yang didapatkan dari membaca, mereka akan dapat mengungkapkan idenya yang kaya dalam bentuk tulisan. Tujuan dari makalah ini adalah untuk memaparkan jenis sastra anak yang dapat digunakan untuk menumbukan budaya cinta membaca buku, jenis cerita yang sesuai dengan perkembangan kognitif anak, cara yang dapat diterapkan untuk menumbuhkan budaya cinta membaca, dan manfaat yang dapat diperoleh melalui budaya literasi tersebut. PEMBAHASAN Sastra Anak 250 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Pada dasarnya pengertian sastra anak adalah buku yang ditulis, dibaca, dan peruntukkan untuk anak-anak dimana buku tersebut di buat bukan untuk tujuan pengajaran, melainkan untuk hiburan dan informasi pengetahuan. Hal ini senada dengan apa yang disebutkan oleh Lynch-Brown. & Tomlinson (2005 dalam Chen, 2016) dimana mereka mengatakan bahwa sastra anak adalah buku berkualitas yang diperdagangkan untuk anak-anak dari sejak mereka lahir sampai remaja yang mencakup topik-topik yang relevan dan berkepentingan dengan dunia anak-anak, melalui prosa dan puisi baik fiksi maupun non fiksi. Terdapat beberapa ciri-ciri sastra anak. Menurut Mitchell (2003), bila sebuah karya sastra memiliki tujuh ciri berikut, maka karya tersebut dapat dikategorikan sebagai sastra anak. Yang pertama adalah buku bergambar. Buku bergambar yang dimaksud disini adalah buku yang memiliki kualitas artistik baik dalam bentuk teks nya dan seni gambarnya. Buku yang bisa masuk dalam kategori ini adalah buku belajar membaca abjad (ABC books), buku menghitung, buku tanpa kata (hanya berisi gambar), dan buku untuk para pembaca awal. Jenis buku yang kedua adalah buku kumpulan puisi untuk anak. Dalam buku ini, teks dan gambar sangat bertautan. Tema puisinya biasanya berkisar tentang persahabatan, keluarga, isi hati, pengalaman pribadi, dan alam. Yang ketiga adalah buku yang berisi sastra tradisional, seperti cerita rakyat, dongeng, mitos, dan cerita binatang. Kemudian yang keempat adalah ceritacerita diksi realita dan fiksi sejarah. Selanjutnya yang kelima adalah cerita-cerita fantasi dan fiksi ilmiah, seperti serial Harry Potter yang ditulis oleh J.K Rowling’s. Ciri yang berikutnya adalah buku yang memuat informasi dan buku-buku non fiksi yang memang diperuntukkan untuk anak-anak. Dan yang terakhir adalah biografi mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dikemas untuk anak-anak. Bila mengacu pada definisi dan ciri-ciri diatas, maka yang dimaksud sastra anak bukan hanya buku cerita saja, namun buku pengetahuan yang ditulis khusus anak-anak juga dapat dikategorikan sebagai karya sastra (non fiksi), misalnya seri buku Why yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo. Buku ini dapat ditemukan dengan bebas di banyak toko buku di Indonesia, seperti Gramedia, Toga Mas dan beberapa toko buku lainnya. Tahap Perkembangan Kognitif Anak Piaget mengidentifikasi empat tahap perkembangan kognitif yang terdapat pada anak-anak yaitu, tahap sensorimotor,preoperational,operational konkret, and operational formal(Cherry, 2015; Ojose, 2008). Setiap tahapan ini memiliki ciri-ciri yang berbeda, yang apabila ciri-ciri ini diperhatikan, dapat dijadikan panduan untuk memilih jenis sastra anak yang sesuai dengan perkembangan mereka. Mitchel (2003) mengaplikasikan setiap tahapan ini untuk memilih sastra anak yang tepat. Seperti yang dirangkum dari Mitchell (2003:11-12), untuk tahap sensorimotor dalam usia sekitar 0 sampai 2 tahun, buku yang cocok adalah buku bergambar yang berwarna, terkadang yang bisa mengeluarkan bunyi, dan buku yang mendeskripsikan gerakan dimana mereka dapat menirukannya, dan biasanya berisi rima, puisi dan lagu. Buku jenis ini dianggap sesuai karena anak pada tahap kognitif ini memliki sifat yang ingin mengeksplorasi dunia disekitarnya dengan menggunakan semua sistem sensornya, misalnya mata, hidung, telinga, dan indera perasa lainnya. Untuk tahap pra-operasional (usia sekitar 2-7 tahun), Mitchell (2003) menyarankan buku yang memiliki karakter yang dapat ditemui anak-anak dalam kehidupan sehari-hari, misalnya keluarga, pertemanan, dan masyarakat disekitarnya. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 251
Cerita yang diangkat biasanya kaya akan penggunaan bahasa yang otentik dan alami. Anak pada tahap pra-operasional memiliki ciri yang berupa orientasi terhadap dirinya sendiri (egocentricity), dan melihat dunia hanya melalui sudut pandangnya sendiri. Pada tahap ini mereka mampu memahami dirinya, orang-orang disekitarnya, dan dunia di sekililingnya. Mereka juga telah mampu mengembangkan kemampuan berpikir logisnya, dan memiliki kemampuan mengembangkan kosakatanya dengan cepat. Pada tahap operasional konkret (sekitar 7-11 tahun), anak telah memiliki kemampuan untuk berpikir lebih logis dengan daya ingat yang lebih baik. Buku yang sesuai dengan usia ini adalah buku yang berisi fakta dan informasi, buku yang menantang mereka untuk berpikir dan memecahkan masalah, seperti misalnya cerita detektif, cerita yang kaya akan konflik, dengan akhir cerita yang tidak harus berakhir bahagia. Dan pada tahap perkembangan operasional formal (sekitar 11 tahun keatas), anak-anak telah mampu berpikir kompleks mengenai dirinya dan dunia di sekitarnya. Mitchel (2003) menyarankan untuk memberikan buku dengan isi yang menantang, kompleks, dan kritis, seperti buku dengan tema budaya, rasisme, dan beberapa jenis buku lainnya yang di dalamnya memuat perbedaan dan stereotipe. Sebagai orang tua, tentunya aplikasi perkembangan kognitif Piaget dalam pembagian jenis buku seperti yang di lakukan Mitchel diatas tentulah sangat bermanfaat untuk memilih bacaan yang sesuai untuk anak-anak. Menumbuhkan Budaya Literasi Di masyarakat kita, budaya literasi masih belum terbentuk. Untuk anak-anak, budaya literasi pada dasarnya dapat dilakukan dimana saja, di sekolah, dan di rumah. Namun mengingat anak-anak banyak menghabiskan waktunya di rumah, maka alangkah baiknya bila budaya literasi ini dimulai dari rumah.Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh orang tua, yaitu: Bercerita Sebelum Tidur Sebelum anak memiliki kegemaran membaca, anak harus dibiasakan dengan buku. Untuk hal ini, orang tua dapat membeli buku yang sesuai dengan perkembangan kognitif mereka seperti yang telah dijelaskan dai atas, dan membacakannya untuk mereka bila anak belum bisa membaca. Saat yang tepat adalah saat mereka menjelang tidur. Orang tua dapat membacakan buku cerita bergambar dimana anak dapat pula memperhatikan teks dan gambarnya yang menarik. Selama atau sesudah bercerita, sekali waktu orang tua dapat menanyakan beberapa pertanyaan sederhana mengenai karakter dalam cerita,setting cerita, dan alur cerita tersebut. Tentu saja orang tua tidak perlu mengharapkan jawaban sempurna dari pertanyaan yang diajukannya. Tujuan pemberian pertanyaan ini adalah untuk pemahaman dan untuk melatih anak agar berpikir kritis. Meskipun terlihat sederhana, mungkin tidak banyak orang tua yang membacakan cerita untuk anaknya sebelum tidur. Salah satu cerita anak yang sesuai untuk anak usia 2-7 tahun adalah karya terjemahan dari Adams dan Morozumi (2005) dengan judul Rumah Baru si Zebra dan cerita-cerita lain. Di dalam buku ini, terdapat cerita sederhana tentang si Zebra yang ingin membuat rumah. Di beberapa lokasi yang dipilih si Zebra selalu saja terdapat gangguan pada rumahnya sampai akhirnya si Zebra membuat rumah yang bisa dibawa kemana saja agar dia bisa mengunjungi tempattempat yang diinginkannya. Jenis buku yang sesuai untuk usia ini adalah buku yang di
252 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
dalam satu halaman terdapat satu ilustrasi, dan satu kalimat sederhana yang menceritakan isi gambar tersebut. Mengajak Anak ke Toko Buku Disaat banyak orang tua berlibur ke tempat-tempat rekreasi, mungkin ada baiknya bila orang tua mengajak anak berlibur ke toko buku. Di toko buku, anak diberi kebebasan untuk memilih sendiri buku cerita yang diinginkan dengan jumlah eksemplar yang telah disetujui dan ditentukan sebelumnya. Tidak menjadi masalah apakah mereka nanti akan membeli buku cerita bergambar, buku kreatifitas, buku nonfiksi, komik, atau novel. Disaat mereka memilih sendiri buku yang diinginkan, mereka akan lebih bersemangat untuk mengetahui isinya dan membacanya (atau dibacakan) dirumah. Memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan buku yang diinginkan merupakan suatu bentuk penghargaan orangtua terhadap anak. Membiasakan Membuka Buku Pada dasarnya tidak terlalu sulit untuk meminta anak untuk memiliki kebiasaan membaca. Sebelum meminta anak untuk membaca, orang tua harus memberikan contoh yang baik dengan memiliki kebiasaan membaca pula. Membiasakan membuka buku sebenarnya tidak hanya berlaku untuk anak saja, namun juga untuk orang tuanya. Saat orang tua membuka buku, anak akan cenderung meniru. Membuka buku tidak harus membaca buku. Saat anak membuka buku, orang tua dapat bertanya mengapa anak memilih buku tersebut, mengenai apa, siapa dan dimana. Bila anak belum bisa membaca, orang tua dapat meminta mereka untuk mencermati gambarnya yang berwarna dan menarik, dan bersama menebak isi cerita berdasar gambar yang ada. Buku seri pengetahuan untuk anak juga dapat dipakai untuk menumbuhkan kecintaan terhadap membaca. Seperti contohnya buku non fiksi seri pengetahuan Transportasi, darat, angkutan udara, dan laut. Dalam buku seri transportasi ini, tidak banyak kalimat yang ada di dalam buku ini, karena tiap lembarnya berisi gambar/foto berwarna dari seri alat transportasi tertentu. Buku ini secara khusus memang hanya untuk dinikmati gambarnya saja, oleh karenanya jenis wordless book seperti ini cocok untuk usia 2-7 tahun. Membaca dan Menulis Bersama Bila anak telah mulai belajar membaca dan menulis di sekolah, orang tua dapat membacakan suatu cerita bergambar sederhana dan mulai menunjukkan bentuk abjad kepada anak, dan mempraktekkan cara menulisnya. Misal menulis kata ‘a’ untuk ‘ayam’ karena di dalam cerita terdapat kata ‘ayam’. Bila anak tidak mau menulis, hal itu tidak menjadi masalah, karena masih ada hari esok untuk belajar. Kegiatan membaca dan menulis bersama ini dapat dilakukan bersama teman sebaya anak. Menulis bersama teman biasanya lebih menyenangkan daripada menulis bersama orangtua. Mereka bisa saling bercerita, bertukar buku, dan saling mengagumi gambar dan tulisan masing-masing. Bahkan mungkin mereka bisa saling memberikan masukan mengenai isi bacaan dan tulisan masing-masing. Menulis Karakter cerita Bila anak sudah mampu membaca dan menulis, orang tua dapat meminta anak untuk menulis siapa saja yang ada di dalam cerita tersebut. Anak dapat mencontoh nama karakter nya dari buku yang dibaca, atau bila sudah mahir mengeja, anak dapat Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 253
dilatih untuk mengingat dan menulis karakternya dengan buku ditutup. Sebagai contohnya, buku cerita seri Frozen, dimana anak dapat diminta untuk menulis siapa saja karakter yang paling diingat di dalam cerita, misal Olaf, Ana, Elsa, Hans. Seri buku yang lain yang bisa dipakai adalah seri Spongebob Squarepants dalam edisi bahasa Indonesia, begitu juga seri Upin dan Ipin, dan masih banyak lagi. Karakter-karakter cerita ini sudah sangat dikenal anak-anak. Setidaknya mereka telah memiliki latar belakang pengetahuan yang baik akan cerita yang dibaca, dan sudah akrab dengan tokoh-tokohnya. Disaat mereka baru belajar menulis, menulis nama karakter dengan ejaan yang salah harus dimaklumi . Membuat catatan buku yang telah dibaca Bila anak telah memilikisedikit minat membaca, orang tua dapat meminta mereka untuk menuliskan judul buku apa saja yang telah dibaca. Dengan menulis judul buku tersebut, anak akan mempunyai daftar buku apa saja yang telah dibaca, dan buku apa yang mereka inginkan untuk dibaca. Sebagai contoh, salah satu sekolah Islam swasta di Kabupaten Malang, memberi tugas pada siswa kelas 5 untuk menulis daftar buku yang disukai dan telah dibaca. Di dalam daftar terdapat dua kolom, kolom pertama berisi nomor dan kolom kedua berisi judul buku. Dalam satu semester, setidaknya siswa diminta membaca 25 buku selain buku pelajaran, fiksi dan non fiksi. Selanjutnya mereka juga diminta untuk menulis buku lain yang ingin dibaca. Dengan aktifitas ini, sekolah memiliki inisiatif untuk memperkenalkan siswa akan budaya membaca, dan menulis, meski hanya judulnya saja. Membuat resensi Meski hal ini terdengar susah untuk anak-anak, namun tidak demikian halnya.Hanya anak yang telah membaca lancar dan menulis lancar yang dapat melakukan hal ini. Untuk membuat resensi alangkah baiknya bila sekolah turut partisipasi di dalamnya, bisa dalam bentuk penugasan kepada anak-anak untuk membuat rangkuman dari buku yang telah dibaca, dan memberikan pendapatnya mengenai buku tersebut. Tentu yang dimaksud resensi disini adalah resensi sederhana, bisa dalam 50-100 kata saja. Dengan membuat resensi sederhana dari setiap buku yang dibaca, anak akan belajar untuk berpikir kritis dan menuliskan ide dan pendapatnya dalam bentuk tulisan. Beberapa hal diatas adalah langkah-langkah sederhana yang dapat dilakukan oleh orang tua dan guru untuk menumbuhkan budaya membaca dan menulis. Budaya literasi ini hanya dapat dibentuk melalui kebiasaan dan proses, dan bukan merupakan suatu hal instan yang dapat diperoleh dengan cepat. SIMPULAN Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk menumbuhkan budaya literasi pada anak-anak, peran orang tua sangatlah besar. Menumbuhkan budaya literasi tidak dapat dilakukan dengan serta merta. Terdapat beberapa proses yang harus dilalui sebelum anak kita benar-benar memiliki budaya literasi. Yang pertama adalah, orang tua harus memiliki cukup pengetahuan mengenai tahap perkembangan kognitif anak-anak. Yang selanjutnya adalah mereka juga harus mengetahui dalam setiap tahap perkembangan tersebut buku bacaan yang sesuai untuk anak-anak tersebut adalah jenis buku yang seperti apa. Berikutnya, agar anak memiliki minat baca, awal mula yang 254 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
dilakukan adalah membacakan untuk mereka, dan mendiskusikan isinya bila perlu, dalam suasana yang menyenangkan.Orangtua harus memberi teladan pada anak-anak dengan cara melakukan kegiatan membaca dan menulis. Tanpa peran serta orang tua, anak-anak tidak akan memiliki minat untuk membaca dan menulis, dan tanpa peran orang tua, budaya literasi hanyak menjadi cita-cita belaka.
DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, Chaedar A. 2005. Kurikulum Berbasis Literasi, (Online), http://www.educ.utas.edu.au/users/tle/cda/cdaabstracts.pdf.%20%20diakses%2029%20Maret%202006. Adams, Gorgie and Morozumi, Atsuko. 2005 .Rumah Baru si Zebra dan cerita-cerita lain. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Chen, Chi-Fen Emily. 2016. Children’s Literature. (Online) (http://www2.nkfust.edu.tw/ ~emchen/CLit/Intro_def.htm) Cherry, K. (2015). Piaget’s Stages of Cognitive Development: The 4 Stages. About Education. Retrieved from http://psychology.about.com/od/piagetstheory/a/keyconcepts.htm Haryanti, Trini. 2014. Membangun Budaya Literasi dengan Pendekatan Kultural Adat. (Online) http://www.triniharyanti.id/2014/02/membangun-budaya-literasidengan.html Kusumah, Wijaya. 2012. Perbandingan Membaca di Internet dan Membaca di Buku. Kompasiana. (Onine), http://www.kompasiana.com/wijayalabs/perbandinganmembaca-di-internet-dan-membaca-di-buku_551021ee813311cf36bc60a6 Laksmi. 2007. The Effectiveness of Reading Habit Promotion in Public Libraries of DKI Jakarta Province. In Abrizah Abdullah, et al. (Eds.): ICOLIS 2007, KualaLumpur: LISU, FCSIT (pp 155-162) Mitchell, Diana. 2003. Children’s Literature: An Invitation to the World. Boston: Pearson Education Inc. Ojose, B. (2008). Applying Piaget’s theory of cognitive development to mathematics instruction. The Mathematics Educator, 18(1), 26–30. Retrieved from http://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ841568.pdf
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 255
256 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
“SUSAHKAH MENULIS CERITA FABEL?” Lia Noviana Qostantia Program Pascasarjana, Program Studi Keguruan Bahasa, Universitas Negeri Malang Pos-el.
[email protected]
ABSTRAK Makalah ini bertujuan untuk mengembangkan keterampilan anak menulis cerita fabel. Ditinjau dari kegiatan menulis anak yang tidak terlalu menonjol dan sering dikesampingkan oleh guru, ide kreatif menulis cerita fabel diupyakan dapat menjadikan anak mahir dalam menulis, terutama untuk anak yang baru belajar menulis. Hal tersebut dikembangkan dari kemiskinan dan kurangnya cerita anak yang mengakibatkan pelarian anak pada tayangan yang tidak mendidik serta lebih banyak penulis dewasa yang menulis cerita fabel. Tahap ini mengangkat agar anak dapat menuangkan ide kreatifnya dengan melakukan hal yang positif yaitu melalui menulis cerita fabel. Diharapkan kegiatan menulis cerita fabel, dapat meluapkan emosi, olah rasa dengan cara memberikan karakter pada tokoh binatang yang diharapkan dapat menjadi kontribusi untuk mengembangkan kegiatan menulis cerita di setiap sekolah. Kata Kunci: Keterampilan menulis, menulis cerita fabel.
PENDAHULUAN Menulis adalah proses penuangan ide, imajinasi, dan gagasan atau pemikiran seseorang pada sebuah media. Menulis juga mampu menuangkan emosi, dan olah rasa pada anak, sehingga emosi anak dapat terkontrol dan terkendali. Menulis tersebut berkaitan dengan tradisi yang berakar kuat di masyarakat pada masa lampau. Tradisi menulis sudah ada dari zaman nenek moyang yang menjadikan cerminan peradapan manusia di masa lampau. Tradisi tulis di Indonesia, dengan sejarah hampir 2.000 tahun, diawali oleh prasasti beraksara palawa India, kemudian diikuti oleh aksara baru yang telah dikembangkan untuk menulis pada lembaran daun tal yang dipersiapkan (Ensiklopedia Bahasa dan Sastra, 2002: 14). Melalui sebuah tulisan kita dapat mengetahui berbagai kejadian bahkan keadaan yang telah dialami di masa lampau. Di sisi lain tradisi tulis menulis dapat menyampaikan berbagai informasi dengan mudah kepada pembaca. Pembaca akan lebih mudah memahami ide dan gagasan yang tertuang pada tulisan. Sehingga, kegiatan tulis menulis akan semakin berkembang seiring zaman dan perkembangan teknologi. Berbagai media juga dapat digunakan untuk penyaluran ide, imajinasi, dan gagasan penulis. Sehingga, kumpulan hasil pemikiran yang tertulis dapat dijadikan warisan untuk generasi yang akan datang sebagai budaya. Pada masa sekarang kegiatan menulis kurang mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Padahal kegiatan menulis mampu menjadi senter utama sebagai pembentuk emosional anak. Penerapan untuk mengontrol emosional anak dapat dilakukan dengan mengajak anak berkarya melalui tulisan karena, pada dasarnya setiap anak mampu untuk menghasilkan suatu karya dari ide, imajinasi, dan pemikiran yang dapat dinikmati oleh pembaca. Namun, keterampilan menulis tersebut tidak terealisasikan dengan baik bahkan kurang menjadikan pokok utama dalam kegiatan
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 257
formal maupun informal. Padahal keterampilan menulis berperan penting untuk perkembangan bahasa anak. Menulis cerita berarti mengembangkan imajinasi dan ide dengan balutan kata dan kalimat yang tersusun menjadi sebeuah paragraf. Beberapa hal yang perlu diketahui bahwa menulis bukanlah kemampuan yang tidak ada dalam diri. Dilihat dari beberapa hal secara menyeluruh sebenarnya bukan cara menulis yang harus diperhatikan tetapi bagaimana proses yang dilakukan dalam menulis cerita. Proses tersebut tidaklah begitu saja muncul melainkan beberapa tahapan untuk memancing daya imajinasi dan ide kreatif bermunculan. Sama halnya dengan pendapat Morley (2007: 3), “Tentu saja, proses menulis lebih berharga daripada hasilnya, ada kesenangan sendiri dalam menulis seakan-akan ingin memecahkan dan menyelesaikan teka-teki dalam kalimat.” Namun, sementara itu menulis kreatif adalah obat mujarab, karena beberapa penulis menemukan pratik terapi dan beberapa guru percaya bahwa menulis salah satu alternatif yang paling manjur untuk berbagai jenis terapi, mulai dari pengobatan depresi untuk rehabilitas sosial serta menulis dapat berkontribusi terhadap pengembangan diri dan kesadaran diri (Hunt dan Sampson dalam Morley, 2007: 3-4). KETERAMPILAN MENULIS Keterampilan menulis adalah kemampuan mengungkapkan gagasan,pendapat, dan perasaan kepada pihak lain dengan melalui bahasa tulis. Menulismerupakan kegiatan penuangan ide/gagasan dengan kemampuan yang kompleks melalui aktivitas yang aktif produktif dalam bentuk simbol huruf dan angka secara sistematis sehingga dapat dipahami oleh orang lain(lihat Tarigan: 1986, Burhan: 1988,Atar: 2007, Sumarno: 2009). Melalui keterampilan menulis anak dapat mengembangkan kemampuan berbahasanya serta pemahaman tatabahasanya. Kemampuan menulis bukanlah kemampuan yang diperoleh secara otomatis. kemampuan menulis seseorang bukan dibawa sejak lahir, melainkan diperoleh melalui tindak pembelajaran. Berhubungan dengan cara pemerolehan kemampuan menulis, seseorang yang telah mendapatkan pembelajaran menulis belum tentu memiliki kompetensi menulis dengan andal tanpa banyak latihan menulis. Sedangkan menurut Slamet (2008:72) kemampuan menulis yaitu kemampuan berbahasa yang bersifat produktif berupa kemampuan menulis yang dapat menghasilkan tulisan atau karya. Kegiatan menulis dapat dimulai darimana saja, dari kapan datangnya ide dan kemauan. Menurut Siswanto (2013: 2) untuk menulis harus memiliki empat tahap yaitu kemamuan, kepekaan, pengetahuan, kreativitas, kerja keras, cerdas, tuntas, dan ikhlas. Dari semua tahapan tersebut harus dapat ditanamkan dalam diri sendiri karena pada tahapan tersebut akan menumbuhkan dan menghasilkan sebuah karya. Kegiatan inilah yang nantinya akan dilakukan untuk menumbuhkan jiwa menulis pada anakanak. Anak-anak akan dajak untuk menulis cerita fabel agar anak dapat menumbuhkan berbagai karakter pada tokoh binatang. CERITA FABEL Cerita fabel merupakan kisah tradisional, cerita tersebut sejenis dengan dongeng yang diperankan oleh tokoh binatang menyerupai karakteristik manusia. Pada cerita fabel terdapat pesan moral yang tersurat. Cerita fabel lebih mengutamakan pada kisah dan kehidupan binatang yang memang berkarakter seperti manusia. Secara etimologi 258 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
fabel berasal dari bahasa Latin fabulat. Fabel termasuk jenis cerita fiksi, bukan kisah tentang kehidupan nyata. Cerita fabel sering disebut cerita moral karena pesan yang ada di dalam cerita fabel berkaitan erat dengan moral (Zabadi dan Sutejo, 2014: 2). Cerita fabel dapat menjadi salah satu sarana pensnaman nilai moral pada siswa untuk membentuk karakter siswa. Siswa dapat mempelajari karakter dari binatang yang baik serta siswa dapat mengetahui perbedaan karakter mana yag tidak baik. Kegiatan menulis cerita fabel juga terkait dengan pendidikan karakter, cerita fabel mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai sudut pandang bagi pendidikan karakter siswa. Terbentuknya karakter siswa terpengaruh pula oleh apa yang akan dijadikan materi ajar pada siswa. Cerita fabel memiliki kekhasan sendiri, cerita yang mengangkat peran binatang sebagai tokohnya. Segala permasalahan dan alur yang terjadi tergambar sangat konkret. Sehingga, cerita fabel memiliki sejarah yang perlu diketahui. Sejarah cerita fabel bermula pada jaman Yunani sekitar abad ke-6 sebelum Masehi. Di Indonesia orang pertama yang memperkenalakn cerita fabel tersebut adalah Aesop. Kemudian muncul pada abad ke-1 sebelum Masehi bernama Pharus. Pharus merupakan seorang pengarang fabel nan terkenal di zamannya. Di Eropa, tepatnya di Jerman itu sendiri, cerita fabel digemari dan ditulis ke dalam bentuk buku pada abad pertengahan. Tidak lama kemudian berkembang pesat pada abad reformasi. Pada zamannya ada seorang tokoh yang terkenal sebagai kritikus yang menggunakan media cerita fabel sebagai media penyampaiannya mengenai politik dan kehidupan beragama. Tokoh tersebut ialah Martin Luther. Cerita tentang fabel kemudian meredup pada zaman peperangan. Akan tetapi, tak lama kemudian cerita fabel mengalami kemajuan yang sangat pesat pada zaman pencerahan. Penulis fabel pada zaman ini yang terkenal ialah Lessing di Jerman. Cerita fabel mengandung pesan moral yang tersirat di dalam cerita. Pada cerita fabel pesan-pesan tersebut dapat dipahami secara keseluruhan. Memudahkan pengarang dalam menuangkan pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Cerita fabel sering dianggap sebagai cerita tertua, karena binatang dapat dianggap sebagai makhluk yang sejak awal mula banyak dihadapi dan bergaul dengan manusia sehingga dapat menjadi penolongnya, menjadi makanan, atau menjadi musuh yang menakutkan (Sarumpaet, 2010: 20). Itulah sebabnya banyak mengenal cerita fantasi tentang binatang yang piawai berbicara, yang bersikap bagaikan manusia, yang bahkan banyak digunakan sebagai perlambang dan teladan tentang hidup manusia (lihat Sarumpaet: 2010, Priyatni: 2014). Cerita fabel tergolong pada sastra tradisional, pada dasarnya cerita fabel berupa cerita binatang yang dimaksud sebagai personifikasi karakter manusia. Binatang-binatang yang dijadikan tokoh yang cerita dapat berbicara, bersikap, dan berprilaku sebagaimana halnya manusia (Nurgiyantoro, 2013: 22). Pemilihan tokoh binatang dimaksudkan untuk mengkonkretkan ajaran dalam bentuk tingkah laku, jadi bukan hanya disampaikan secara verbal dan abstrak. Kisah dalam fabel dapat dijadikan analogi atau perumpamaan kehidupan manusia dalam kehidupan di masyarakat (lihat Nurgiyantoro: 2013, Rohimah: 2014). PENTINGNYA KETERAMPILAN MENULIS CERITA UNTUK ANAK Keterampilan menulis penting untuk meningkatkan kemampuan berbahasa anak. Masing-masing anak memiliki keterampilan untuk menulis. Nmun, mereka masih kurang mampu untuk mengeksplor kemampuan menulisnya. Para ahli berpendapat, menulis bukan sekadar merangkai huruf atau kata-kata, tetapi berupa kunci untuk Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 259
meningkatkan kemampuan pengolahan ide, imajinasi, dan gagasan sehingga secara langsung dapat meningkatkan kemampuan membaca dan berkomunikasi. Ketrampilan menulis dapat dilakukan dengan cara menulis cerita fabel. Belajar menuliskan huruf juga melatih kemampuan anak memahami suatu konsep. Tidak hanya itu dengan memberikan stimulus berupa video atau gambar dapat menguatkan daya imajinasi anak. Pembiasaan seperti itu yang harus selalu dilakukan agar anak semakin mahir dalam menulis. Membiasakan menulis untuk anak sejak dini, perlu dilakukan dengan adanya pengawasan dari orangtua. Dengan demikian, dapat diketahui sejauh mana anak-anak memahami hal yang ditulis dan bagaimana mereka menuangkan pemikiran mereka kembali, dengan gaya bahasa masing-masing. Tentu menjadi suatu kebanggaan jika anak-anak memiiki kemampuan lebih dalam menulis karena menulis membutuhkan banyak latihan. Kesabaran dan dukungan orang tua akan sangat berarti bagi perkembangan kemampuan mereka. Apalagi, dalam ilmu psikologi, menulis sangat penting karena memungkinkan seseorang untuk dapat dipahami kepribadian dan kecerdasannya. PERMASALAHAN MENULIS CERITA PADA ANAK Di masa sekarang, menulis masih menjadi persoalan bagi sebagian anak. Masih banyak yang belum mampu mengolah Kata-kata dengan baik untuk dijadikan sebuah tulisan. Bahkan beberapa anak hanya sekadar menyalin (copy paste) kemudian, menggabungkan tulisan dari berbagai sumber untuk dimasukkan dalam tugas sekolah, tanpa mengerti maksud dari tulisan itu sendiri. Hal tersebut terjadi karena minimnya pembiasaan menulis oleh orang tua dan guru. padahal pembiasaan membaca dan menulis oleh orangtua terhadap anak-anaknya adalah alasan paling mendasar. Kemampuan menulis sangat dibutuhkan oleh semua orang. Ada proses yang harus dilakukan agar anak dapat membuat tulisan yang baik. Salah satu cara untuk mengenalkan anak-anak pada dunia menulis dengan membiasakan mereka menyempatkan waktunya untuk membaca sejenak. Kebiasaan membaca akan membawa anak lebih mengenal berbagai kosakata. Mereka dapat memberikan stimulus untuk mengembangkan daya imajinsi, menambah wawasan, dan memperkaya kosakata. Jadi, dengan menulis anak dapat mengetahui seberapa jauh pemahamannya terhadap buku yang ia baca. Selain itu, menulis juga akan menjadi simpanan jangka panjang bagi anak-anak. Keterampilan menulis dapat meredamkan tingkat emosional anak serta dapat menambah kemampuan anak dalam menulis, terlebih menulis cerita febel. SIMPULAN Keterampilan menulis sangat penting diterapkan untuk anak usia dini bahkan untuk tingkat SMP. Karena anak memiliki potansi untuk merangkai tulisan menjadi sebuah karya sendiri. Sehingga tidak lagi orang dewasa yang berkarya melainkan anak-anak juga dapat berkarya dengan menggunakan gaya bahasa sendiri. Namun, perlu dilakukan latihan secara berkala untuk anak serta memberikan stimulus pada anak dari video atau gambar yang berkaitan dengan binatang. Menulis cerita fabel dapat dilakukan oleh siapapun bahkan oleh anak yang masih tahap awal belajar menulis cerita. Menulis cerita tersebut dapat dilakukan secara formal maupun informal. 260 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Sutejo, dan Zabadi Fairul. 2014. Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan SMP/ MTS Kelas VIII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. http://media.kompasiana.com/new-media/2012/01/07/enam-jurus-terampil-menulis-piawaimerangkai-kata/ http://www.muhammadnoer.com/2011/11/gemar-membaca-terampil-menulis/ http://www.parenting.co.id/usia-sekolah/pentingnya+belajar+menulis+bagi+anak http://www.superkidsindonesia.com/superenrichment-3561-belajar-menulis-bersama-sama http://www.muhammadnoer.com/2011/11/gemar-membaca-terampil-menulis/
Morley. David. 2007. Creativ Writing. Cambrige: Cambrige University Press. M. Atar Semi. 2007. Dasar-Dasar Keterampilan Menulis. Bandung: Angkasa Nurgiyantoro. 2013. Sastra anak. Jogja: Anggota Ikapi Priyatni, Endah Tri, dkk.2014. Bahasa dan Sastra Indonesia SMP/ MTS Kelas VIII. Jakarta: PT Bumi Aksara Rohimah, Ima. 2014. Bupena Buku Penilaian Autentik Bahasa Indonesia SMP/MTS Kelas VIII. Jakarta: Erlangga Sarumpaet, Toha. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia Siswanto, Wahyudi. 2014. Cara Menulis Cerita. Yogyakarta: Adutya Media Publishing Sumarno. 2009. Pembelajaran Menulis. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional St. Y. Slamet.2008. Dasar-dasar Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar. Surakarta:UNS Press Tarigan. 1986. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa Nurgiantoro. 1988. Penilaian Dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta : BPF.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 261
262 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
URGENSI SASTRA EKOLOGIS SEBAGAI UPAYA UNTUK MENANAMKAN PEMAHAMAN TENTANG ARTI PENTING PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP PADA PENGAJARAN SASTRA DI KELAS VII SMP Mujihadi SMP Negeri 2 Jatirogo Kabupaten Tuban pos-el:
[email protected]
ABSTRACT This writing work is the writer’s idea which appears because of the thoughtfulness about the destruction of natural phenomena which is caused by the exploitation of natural resources that is overload to be taken. The writer has assumption if the destruction of natural is caused by the lack of understanding and awareness the society to manage the natural resources. The exploitation of natural resources that is overload will cause the destruction of nature. The school has the main role to give the understanding for preserving the nature. The implementation in understanding about the importance of nature conservation in the school can be done through the teaching and learning activity in Indonesia lesson. The appearance of ecology literature has the important role to implant the understanding about the importance of Nature conservation through literature teaching. By using this working paper the reader will be invited to understand the urgency of existence of ecology literature as the way to implant the understanding of importance the nature conservation and how to apply this method in teaching literature for the seventh grade of junior high school students. Key Word: ecology literature, nature conservation, teaching literature in theschool
PENDAHULUAN Sebagai makhluk hidup, manusia selalu berkembang biak untuk melestarikan keturunannya. Ketika manusia berkembang biak, maka semakin lama kehadiran manusia di muka bumi juga semakin banyak. Kehadiran manusia di muka bumi yang semakin banyak ini tentu menimbulkan berbagai permasalahan sosial. Permasalahan sosial itu timbul sebagai akibat interaksi antara manusia dengan manusia lainnya, maupun manusia dengan alam. Permasalahan sosial menurut Gillin dan Gillin (dalamSoekanto, 2002:358) dapat diartikan sebagai suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaanataumasyarakatyangmembahayakankehidupankelompoksosial atau menghambatterpenuhinya keinginan pokok warga kelompok sosialtersebut, sehingga menyebabkan kepincangansosial. Selanjutnya, Soekanto menyatakan bahwa paling sedikit terdapat sembilan bentuk permasalahan sosial. Salah satu di antara sembilan permasalahan sosial itu adalah permasalahan lingkunganhidup (2002:365 394) Permasalahan sosial khususnya lingkungan hidup/ekologi, terjadi karena perkembangan manusia yang semakin cepat sementara di sisi lain bumi yang ditempati oleh manusia tidak berkembang. Sudah menjadi kodrat manusia bahwa di dalam menjalani kehidupannya manusia selalu berusaha untuk memenuhi seluruh kebutuhan Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 263
hidupnya. Di dalam usaha untuk memenuhi seluruh kebutuhannya itu, manusia akan mendayagunakan/mengeksploitasi sumber daya alam. Ketika manusia berkembang dengan cepat, maka pemenuhan atas kebutuhan yang diperlukan oleh manusia juga akan meningkat cepat. Sikap penguasaan terhadap alam yang serakah pada gilirannya akan mengakibatkan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Ketika terjadi eksplotasi alam yang berlebihan maka akan mengakibatkanpermasalahan lingkungan hidup. Agar alam tetap terjaga maka diperlukan usaha-usaha untuk mengonservasi sumber daya alam agar tidak cepat habis. Pemanfaatan sumber daya alam dengan cara mengeksploitasi secara berlebihan akan mempercepat kerusakan lingkungan. Dengan demikian, maka usaha untuk memberi pemahaman dan kesadaran akan pentingnya usaha pelestarian lingkungan hidup menjadi sangat penting. Usaha pelestarian lingkungan hidup ini adalah suatu keharusan agar hidup manusia juga bisa lestari. Manusia tidak mungkin bisa lestari jika lingkungan alam tidak lestari. Hal ini terjadi karena manusia dalam menjalani kehidupannya selalu bergantung pada lingkungan hidup. Jalan yang dapat diusahakan agar manusia memahamidan memunyai kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup adalah melalui jalur pendidikan. Manusia harus disadarkan melalui jalur pendidikan. Jalur pendidikan yang ditempuh dapat melalui pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Sekolah formal (PAUD, SD/MI, SMP/MTs., SMA/MA, SMK/MAK, dan PT) dengan demikian memungkinkan untuk memasukkan pendidikan yang berbasis penanaman pemahaman dan kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup. Usaha penanaman kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup ini perlu disampaikan agar manusia memunyai sikap yang arif dalam memanfaatkan sumber daya alam. Ketika manusia telah memunyai sikap arif dalam mengelola sumber daya alam untuk kelangsungan hidupnya, maka sumber daya alam/lingkungan hidup akan abadi. Di dalam pendidikan formal khususnya di tingkat SMP, salah satu mata pelajaran yang diajarkan adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia. Mata pelajaran Bahasa Indonesia sesungguhnya telah memuat dua jenis pendidikan sekaligus. Kedua jenis pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan kebahasaan dan kesastraan. Sebagai mata pelajaran yang mengajarkan kesastraan, maka penanaman pemahaman dan kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup juga dapat ditempuh melalui jalan pengajaran sastra. Sastra memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan pengajaran akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup. Hal ini sejalan dengan pendapat Horace yang menyatakan bahwa selain berfungsi sebagai sarana hiburan, sastra juga harus berfungsi sebagai sarana pendidikan (dulce et utile). Untuk kepentingan usaha penanaman pemahaman dan kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup ini maka kehadiran sastra ekologis sangat penting keberadaannya. Dalam makalah ini penulis membahas permasalahan tentang urgensi sastra ekologis dalam upaya ikut andil dalam menanamkan pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya pelestarian hidup kepada para siswa serta bagaimana kemungkinan pengimplementasian sastra ekologis dalam pengajaran sastra di kelas VII SMP. Dengan demikian, maka tujuan dari penulisan makalah ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, mendeskripsikan tentang peran penting sastra ekologis sebagai media pengajaran sastra dalam kaitannya dengan penanaman pemahaman dan kesadaran tentang arti penting pelestarian lingkungan hidup kepada para siswa. Kedua, mendeskripsikan tentang kemungkinan pengimplementasian sastra ekologis dalam 264 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
pengajaran sastra di kelas VII sebagai upaya untuk menanamkan pemahaman dan kesadaran tentang arti penting pelestarian lingkungan hidup.
PEMBAHASAN Urgensi Sastra Ekologis dalam Upaya Menanamkan Pemahaman dan Kesadaran tentang Arti Penting Pelestarian Lingkungan hidup dalam Pengajaran Sastra di Sekolah Sastra Ekologis Secara umum dapat dikatakan bahwa sastra ekologis adalah karya sastra yang berbicara mengenai lingkungan hidup. Melalui sastra ekologis inilah sastrawan berteriak tentang pentingnya usaha pelestarian lingkungan hidup. Mengingatkan umat manusia agar tidak serakah ketika mengeksploitasi lingkungan hidup dan menyadarkan agar manusia senantiasa menjaga lingkungan hidup disuarakan sastrawan melalui sastra ekologis ini. Kehadiran sastra ekologis ini sesungguhnya tidak terlepas dari keprihatinan para sastrawan terhadap kerusakan lingkungan hidup (lingkungan alam, budaya, sosial). Sudikan (2016:20) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah sastra ekologis adalah karya sastra yang di dalamnya terkandung tema-tema mengenai lingkungan (lingkungan alam, khususunya). Sastra ekologis atau sering disebut ‘sastra hijau’ memunyai genre atau jenis-jenis tertentu. Genre dapat dikatakan sebagai jenis , tipe, atau kelompok sastra, ragam sastra (Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995:310). Genre sastra adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Perancis, yang secara umum dapat dipahami sebagai jenis atau bentuk sastra (Sudikan, 2016:16). Dengan kalimat dan ragam bahasa yang lain Cuddon (1979) dan Branginsky (1993) menyatakan kind a literary type or class; a type category (dalam Sudikan, 2016:13) Ada beberapa jenis, tipe, atau kelompok sastra ekologis. Berkaitan dengan genre sastra ekologis Sudikan menawarkan empat genre dalam sastra ekologis. Keempat genre sastra ekologis itu adalah; pertama, genre puisi ekologis; kedua, genre cerita pendek ekologis; ketiga, genre novel ekologis; dan keempat, genre drama ekologis. (2016:20). Penjelasan mengenai empat genre sastra ekologis tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, genre puisi ekologis. Genre puisi ekologis menurut Sudikan (2016:26) adalah puisi yang di dalamnya ada pesan moral pelestarian lingkunan alam (bumi, tumbuh-tumbuhan, satwa, air, dan udara). Penyair memperjuangkan dan mempertahankan terjaganya ekosistem. Kritik terhadap kerusakan lingkungan (ekosistem) dihadirkan oleh penyair untuk penyadaran diri (pencerahan) kepada pembaca. Kedua , genre cerita pendek (cerpen) ekologis. Genre cerita pendek ekologis menurut Sudikan (2016:52) adalah cerita pendek yang mengandung pesan moral pelestarian lingkunganatau ekosistemdengan berbagai coraknya. Ada kritik terhadap kerusakan lingkungan akibat pembalakan liar (illegal logging), ada kerusakan lingkungan akibat penambangan batu bara, emas, gas bumi, dan lain-lain. Ketiga, genre novel ekologis. Genre novel ekologis menurut Sudikan (2016:76) adalah novel yang mengandung pesan moral pelestarian lingkungan hidup. Pesan moral tersebut dapat dipahami dari sikap pengarang yang mengkritik keras terhadap perusakan alam (tumbuh-tumbuhan, satwa , tanah, air, dan udara). Keempat, genre drama ekologis. Genre drama ekologis adalah drama yang mengandung pesan moral mengenai pelestarian lingkunganatau ekosistem. Di dalam drama ekologis ini terdapat kritik Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 265
terhadap kerusakan lingkungan sebagai akibat ulah manusia yang serakah dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Pesan moral tersebut tampak pada dialog antartokoh, latar panggung dan properti yang digunakan untuk pementasan, maupun pada tema umum dalam drama tersebut. Dari uraian tersebut di atas akhirnya dapat dikatakan bahwa sastra ekologis adalah sastra yang membincangkan tentang lingkungan hidup. Sastra ekologis muncul sebagai akibat dari keprihatinan para sastrawan akan kerusakan lingkunan hidup yang terjadi saat ini. Melalui sastra ekologis para sastrawan berusaha untuk memberi pencerahan dan mengingatkan umat manusia akan pentingnya usaha menjaga kelestarian lingkungan hidup. Usaha penyadaran terhadap urgensi pelestarian lingkungan hidup dianggap penting oleh para sastrawan agar bumi tetap hijau lestari. Para sastrawan memunyai kesadaran untuk memberi pencerahan lewat karya sastra karena dilandasi pemikiran bahwa selain berfungsi menghibur, sastra juga harus mampu berfungsi untuk mendidik. Permasalahan Lingkungan Hidup Seperti yang sudah dibicarakan di bagian awal tulisan ini bahwa permasalahan sosial yang dialami oleh manusia salah satunya adalah permasalahan lingkungan hidup. Juga sudah dijelaskan bahwa penyebab utama dari permasalahan lingkungan hidup itu adalah akibat keserakahan manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Dalam Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dijelaskan bahwalingkungan hidup dapat didefinisikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi keberlangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Saat ini ada beberapa permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia. Daryanto dan Suprihatin (2013:32) mengemukakan bahwa permasalahan lingkungan hidup di Indonesia saat ini adalah: penebangan hutan secara liar; polusi air dari limbah industri dan pertambangan; polusi udara di daerah perkotaan; asap dan kabut dari kebakaran hutan; kebakaran hutan secara permanen; perambahan suaka alam/suaka margasatwa; perburuan liar; perdagangan dan pembasmian hewan liar yang dilindungi; penghancuran terumbu karang; pembuangan sampah B3/radioaktif dari negara maju; pembuangan sampah tanpa pemisahan/pengolahan; semburan lumpur liar di Sidoarjo, Jawa Timur; dan hujan asam akibat dari polusi udara. Lebih lanjut dikatakan oleh Daryanto dan Suprihatin bahwa ada beberapa faktor yang secara mendalam bisa mengakibatkan kerusakan terhadap lingkungan hidup. Penyebab dari kerusakan terhadap lingkungan hidup itu adalah sebagai berikut. Pertama, karena faktor alami seperti banyaknya bencana alam dan cuaca yang tidak menentu. Bencana alam tersebut dapat berupa banjir, tanah longsor, tsunami, gunung meletus, maupun gempa bumi. Kedua, karena faktor buatan (tangan jail/nakal manusia). Penyebab kerusakan lingkungan dari faktor tangan jail manusia ini terjadi karena kebutuhan manusia yang terus berkembang sehingga mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan (2013:33). Mengacu pada pendapat Daryanto dan Suprihatin di atas, maka jelas sekali bahwa kerusakan lingkungan hidup dapat terjadi karena faktor tangan jail/nakal manusia. Pemanfaatan alam dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam yang berlebihan merupakan penyebab kerusakan alam. Eksploitasi sumber daya alam memang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Namun, jika hal itu 266 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
dilakukan secara berlebihan, maka jelas akan mengakibatkan kerusakan alam. Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia sekarang ini sudah amat mencemaskan. Dari berbagai media pemberitaan kita ketahui bersama tentang ulah tangan jail/nakal manusia yang merusak alam. Kegiatan pembalakan liar, pengalihfungsian hutan menjadi sawah, sawah menjadi kawasan industri, pembuangan/pengolahan limbah industri yang tidak ramah lingkungan, dan seterusnya adalah potret perusakan terhadap alam. Permasalahan semacam ini perlu segera untuk dipikirkan, ditangani, dan dicarikan solusi supaya bumi tetap lestari. Perlu upaya untuk menanamkan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup. Usaha pelestarian lingkungan hidup perlu dilakukan agar bumi hijau tetap abadi. Pelestarian lingkungan hidup ini sangat perlu dilakukan jika manusia menginginkan hidupnya tetap lestari. Peran Sastra Ekologis dalam Pengajaran Sastra di Sekolah Pengajaran sastra (khususnya sastra ekologis) sangat penting untuk diajarkan di sekolah. Ada beberapa hal yang mendasari pentingnya pengajaran sastra di sekolah. Beberapa ahli pendidikan seperti: Norton, Huck, Wray, Medwell, dan Alwasilah, telah menyatakan pendapat tentang pentingnya memasukkan sastra sebagai bahan pengajaran di sekolah. Mereka menyatakan pendapat tentang pentingnya sastra dimasukkan ke dalam pengajaran di sekolah dengan alasan sebagai berikut. Pertama, karya sastra menjembatani hubungan realitas dan fiksi, hal ini mendukung kecenderungan manusia yang menyukai realitas dan fiksi. Kedua, melalui karya sastra, pembaca akan belajar dari pengalaman orang lain dalam menghadapi masalah dalam kehidupan. Di dalam sastra terdapat nilai kehidupan yang tidak diberikan secara preskriptif (harus begini, harus begitu), tetapi dengan membebaskan pembaca mengambil manfaatnya dari sudut pandang pembaca itu sendiri melalui interpretasi. Ketiga, melalui karya sastra, peserta didik ditempatkan sebagai pusat dalam latar pendidikan bahasa. Dengan demikian, maka peserta didik akan mampu memperkaya perbendaharaan kata dan menguasai ragam-ragam bahasa yang akan mendukung kemampuannya dalam memaknai sesuatu secara kritis serta akan mampu memproduksi narasi (dalam Sariasih, 2016:781 – 782). Jika di bagian atas tadi telah dibahas mengenai pentingnya sastra diajarkan di sekolah, sekarang kita membahas fungsi pengajaran sastra di sekolah. Fungsi pengajaran di sekolah menurut ahli ada tiga macam. Jabrohim (dalam Sariasih, 2016:789) menyatakan bahwa fungsi pengajaran sastra di sekolah adalah: pertama, berfungsi ideologis, yaitu untuk membentuk manusia yang Pancasilais, serta menghargai berbagai sifat demokratis, bertanggung jawab, cinta tanah air dan bangsa dalam rangka menjaga keutuhan NKRI; kedua, berfungsi kultural, yaitu untuk memindahkan nilai budaya lokal dan nasional dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Oleh sebab itu, pengajaran sastra dimaksudkan agar para siswa sebagai peserta didik senantiasa terbiasa dengan pola-pola perubahan yang bersifat dinamis; dan ketiga, berfungsi praktis, yaitu untuk mengajarkan pengetahuan kepada anak, baik yang terkait dengan ragam sastra, teori sastra, maupun berbagai pengetahuan lain yang terkandung dalam karya sastra. Berkaitan dengan fungsi praktis pengajaran sastra di atas, maka di sini tampak sekali jika peran sastra juga sangat penting dalam mengajarkan tentang arti penting pelestarian lingkungan hidup. Dengan kalimat lain dapat dinyatakan bahwa untuk menanamkan pemahaman tentang kesadaran akan arti penting pelestarian lingkungan Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 267
hidup maka dapat ditempuh melalui jalan pengajaran sastra (khususnya sastra ekologis). Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pengajaran sastra ekologis adalah sebagai berikut. Pertama, agar siswa mampu mengetahui tentang arti penting pelestarian lingkungan hidup. Kedua, setelah siswa mengetahui tentang arti penting pelestarian lingkungan hidup, maka siswa tersebut juga akan memiliki pemahaman yang baik tentang pengelolaan lingkungan hidup. Ketiga, setelah siswa memiliki pemahaman yang baik tentang pengelolaan lingkungan hidup, maka dalam diri siswa tersebut akan muncul sikap bijaksana dalam memanfaatkan sumber daya alam ketika kelak mereka dewasa. Keempat, dengan memiliki sikap bijaksana dalam mengelola sumber daya alam ketika mereka kelak sudah dewasa, maka pada akhirnya akan mengakibatkan terjaganya sumber daya alam. Kemungkinan Pengimplementasian Sastra Ekologis dalam Pengajaran Sastra di kelas VII SMP Dalam Permendikbud RI Nomor 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pelajaran pada Kurukulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah disebutkan bahwa tujuan kurikulum menyangkut empat kompetensi, yaitu: pertama, kompetensi sikap spiritual; kedua, sikap sosial; ketiga, pengetahuan; dan keempat, keterampilan. Kompetensi sikap spiritual, dengan jelas dinyatakan bahwa tujuan pengajaran Bahasa Indonesia adalah agar siswa mampu menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya. Adapun rumusan kompetensi sikap sosial, adalah agar siswa mampu menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotongroyong),santun,dan percaya diri dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya. Dalam pelaksanaannya, kedua kompetensi tersebut (sikap spiritual dan sosial) dicapai melalui pembelajaran tidak langsung (indirect teaching), yaitu keteladanan, pembiasaan, dan budaya sekolah dengan memerhatikan karakteristik mata pelajaran serta kebutuhan dan kondisi peserta didik. Penumbuhan dan pengembangan kompetensi sikap dilakukan sepanjang proses pembelajaran berlangsung dan dapat digunakan sebagai pertimbangan guru dalam mengembangkan karakter peserta didik lebih lanjut. Adapun mengenai kompetensi pengetahuan dan kompetensi keterampilan selanjutnya dijabarkan secara terperinci dalam rumusan kompetensi dasar (KD). Kompetensi dasar adalah kemampuan dan materi pembelajaran minimal yang harus dicapai peserta didik untuk suatu mata pelajaran pada masing-masing satuan pendidikan yang mengacupada kompetensi inti. Dalam mata pelajaran Bahasa Indoesia kelas VII SMP, ada beberapa kompetensi dasar (KD) yang memungkinkan untuk mengajarkan sastra. Dari enam belas KD yang tersedia, menurut analisis penulis, ada delapan KD yang memungkinkan untuk diimplementasikannya pengajaran sastra. Dengan demikian maka dimungkinkan juga untuk diimplementasikannya pengajaran sastra ekologis dalam pengajaran tersebut. Kompetensi dasar tersebut tertuang dalam aspek pengetahuan dan aspek keterampilan. Untuk memberi gambaran yang jelas tentang KD apa saja yang memungkinkan untuk pengimplementasian pengajaran sastra dan genre sastra ekologis apa saja yang memungkingkan untuk diimplementasikan dalam setiap KD tersebut, penulis akan menyajikannya dalam tabel berikut ini. Tabel Peta Kompetensi Dasar (KD) dan Kemungkinan Pengimplementasian Genre Sastra Ekologis dalam Pengajaran Sastra di Kelas VII SMP 268 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
No. 1
2
Pengetahuan/K 3 3.3 Mengidentifikasiunsurunsur teks narasi (cerita imajinasi) yang dibaca dan didengar 3.4 Menelaah struktur dan kebahasaan teks narasi (cerita imajinasi) yang dibaca dan didengar
3
3.9 Menemukan unsur-unsur dari buku fiksi dan nonfiksi yang dibaca
4
3.10 Menelaah hubungan unsur-unsur dalam buku fiksi dan nonfiksi
5
3.13 Mengidentifikasi informasi (pesan, rima, dan pilihan kata) dari puisi rakyat (pantun, syair, dan bentuk puisi rakyat setempat) yang dibaca dan didengar 3.14 Menelaah struktur dan kebahasaan puisirakyat (pantun, syair, dan bentuk puisi rakyat setempat) yang dibaca dan didengar 3.15 Mengidentifikasi informasi tentang fabel/legenda daerah setempat yang dibaca dan didengar 3.16 Menelaahstruktur dan kebahasaan fabel/legenda daerah setempat yang dibaca dan didengar
6
7
8
Keterampilan/K 4
Penerapan
4.3 Menceritakan kembali isi teks narasi (cerita imajinasi) yang didengar dan dibaca secara lisan, tulis, dan visual 4.4 Menyajikan gagasan kreatif dalam bentuk cerita imajinasi secara lisan dan tulis dengan memerhatikan struktur, penggunaan bahasa, atau aspek lisan 4.9 Membuat peta pikiran/sinopsis tentang isi buku nonfiksi/buku fiksi yang dibaca 4.10 Menyajikan tanggapan secara lisan, tulis, dan visual terhadap isi buku fiksi/nonfiksi yang dibaca
Novel Ekologis, Cerpen Ekologis Novel Ekologis, Cerpen Ekologis
4.13 Menyimpulkan isi puisirakyat (pantun, syair, dan bentuk puisi rakyat setempat) yang disajikan dalam bentuk tulis dan lisan
Puisi Ekologis
4.14 Menelaah struktur dan kebahasaan puisirakyat (pantun, syair, dan bentuk puisi rakyat setempat) yang dibaca dan didengar 4.15 Menceritakan kembali isi cerita fabel/legenda daerah setempat yang dibaca dan didengar 4.16 Memerankan isi fabel/legenda daerah setempat yang dibaca dan didengar
Puisi Ekologis
Novel Ekologis, Cerpen Ekologis Novel Ekologis, Cerpen Ekologis
Dongeng Ekologis
Dongeng Ekologis
Dari informasi tabel di atas penulis dapat mengatakan bahwa dalam pengajaran sastra pada siswa kelas VII SMP, maka genre novel ekologis, cerpen ekologis, puisi ekologis dan dongeng ekologis sangat dimungkinkan untuk diimplementasikan dalam pengajaran sastra tersebut. Novel ekologis dan cerpen ekologis dimungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan ajar untuk mencapai KD: 3.3, 3.4, 3.9, 3.10, 4.3, 4.4, 4.9, dan 4.10. Puisi ekologis dimungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan ajar untuk mencapai KD: 3.13, 3.14, 4.13, dan 4.14. Selanjutnya, KD: 3.15, 3.16, 4.15, dan 4.16, Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 269
memungkinkan untuk memanfaatkan dongeng ekologis sebagai bahan ajar untuk mencapai KD tersebut.
PENUTUP Simpulan Dari pembahasan tentang urgensi sastra ekologis dalam upaya menanamkan pemahaman dan kesadaran tentang arti penting pelestarian lingkungan hidup dalam pengajaran sastra di kelas VII SMP dan kemungkinan pengimplementasian sastra ekologis dalam pengajaran tersebut, maka dapat penulis simpulkan hal-hal sebagai berikut. Sudah menjadi kodrat bahwa manusia akan terus berkembang biak untuk melanjutkan keturunannya. Kehidupan manusia di atas bumi akan selalu memerlukan sumber daya alam untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Eksploitasi terhadap sumber daya alam yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan alam. Agar sumber daya alam tetap abadi diperlukan sikap yang bijaksana dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Manusia perlu dibekali penyadaran, pengetahuan, dan pemahaman akan arti penting pelestarian lingkungan hidup. Usaha tersebut dapat dilakukan khususnya melalui pengajaran formal di semua tingkat pendidikan/sekolah. Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, penanaman pemahaman tentang arti penting pelestarian lingkungan hidup dapat dilakukan melalui pengajaran sastra. Kehadiran sastra ekologis sebagai sastra yang bertema lingkungan hidup sangat penting untuk mendukung kegiatan ini. Dalam pengajaran Bahasa Indonesia di kelas VII SMP terdapat delapan KD yang memungkinkan untuk diimplementasikannya pengajaran sastra ekologis. Adapun genre sastra ekologis yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai bahan ajar untuk pengajaran sastra di kelas VII SMP adalah genre: novel ekologis, cerpen ekologis, puisi ekologis, dan dongeng ekologis. Saran Mengingat pentingnya usaha penanaman pemahaman tentang pelestarian lingkungan hidup terhadap siswa khususnya di kelas VII SMP, maka penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut. Pertama, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia diharapkan selalu mengimplementasikan pendidikan pelestarian lingkungan hidup kepada para siswa. Kedua, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia diharapkan dapat memanfaatkan sastra ekologis sebagai bahan ajar untuk mendukung upaya pemahaman siswa tentang arti penting pelestarian lingkungan hidup dalam setiap pengajaran sastra. Ketiga, para sastrawan diharapkan selalu menyuarakan tentang pentingnya isu pelestarian lingkungan hidup dalam setiap karya sastranya sehingga akan tersedia banyak referensi karya sastra ekologis. DAFTAR PUSTAKA Daryanto dan Suprihatin. 2013. Pengantar Pendidikan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Gava Media Kemendikbud. 2016. Lampiran 02 Permendikbud RI Nomor 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pelajaran pada Kurukulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Jakarta.
270 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Sariasih, Yanti. 2016. “Kegalauan Pembelajaran Sastra pada Sekolah Menengah”. Rokib Mohammad (Eds). Prosiding Seminar Nasional Paramasastra 4. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Soekanto, Soejono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:PT. Raja Grafindo. Sudikan, Setya Yuwana. 2016. Ekologi Sastra. Lamongan: Pustaka Ilalang. Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 271
272 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SEJARAH KERAJAAN TALAGA MANGGUNG SEBAGAI MEDIA REVOLUSI MENTAL GENERASI MASA DEPAN DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDIDIKAN SASTRA Pipik Asteka dan Sri Sumartini Prodi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Majalengka Pos-el:
[email protected]
ABSTRACT This study aims to give contribution in giving solution about mental revolution for future generation and giving alternative in settling the problem faced by teachers language and literature in universities and schools. The massive growth of science and technology has forced the educationers the adopt the teaching method based on the needs and standart that has been made. The increase of mental issue problem which affect the down ward of moral value on young generation at this time has become our main concern. Many solution and suggestion has been offered, one of them is by introducing the students about local costum. The writer choose Kerajaan Talaga Manggung as a media based on local costum in Majalengka regency which according to the writers research could give positive contribution to mental revolution for future generation. Keywords:value, character education, mental revolution, literature, local costum.
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan tolak ukur kemajuan suatu bangsa dan kebutuhan mendasar untuk pembangunan bangsa. Maju tidaknya suatu bangsa tergantung pada kualitas pendidikan yang ada pada bangsa tersebut. Jika pendidikan berkualitas baik, maka sangat besar kemungkinan bahwa negara tersebut akan mengalami kemajuan. Begitu pula sebaliknya, jika pendidikan berkualitas buruk, bisa dipastikan bahwa negara tersebut tidak akan mampu bersaing dengan negara lainnya. Untuk bisa memajukan bangsa ini diperlukan para generasi penerus bangsa yang mempunyai karakter dan mentalyang tangguh untuk dapat bersaing dengan negara lainnya dalam era globalisasi ini. Meskipun sudah bukan hal yang baru lagi, namun harus diakui bahwa fenomena globalisasi adalah dinamika yang paling strategis dan membawa pengaruh dalam tata nilai dari berbagai bangsa termasuk bangsa Indonesia. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai ancaman yang berpotensi untuk menggulung tata nilai dan tradisi bangsa kita dan menggantinya dengan tata nilai yang popular di negara asing. Pendidikan dan generasi muda tidak dapat dipisahkan, karena generasi muda merupakan masa depan suatu bangsa yang akan dihadapkan pada persoalan yang harus melandasi sikap hidupnya dalam kehidupan bermasyarakat dan melalui pendidikan pula generasi muda dapat menyiapkan diri sebagai insan yg berkarakter. Generasi muda akan menentukan nasib bangsa di kemudian hari. Karakter generasi muda yang terbentuk sejak dini akan sangat menentukan karakter bangsa di kemudian hari. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 273
Karakter generasi muda akan terbentuk dengan baik, jika dalam proses tumbuh kembang mereka mendapatkan cukup ruang untuk mengekspresikan diri secara leluasa. Tata nilai pendidikan karakter dapat diambil dari berbagai bentuk pengajaran dengan berbagai macam media yang dapat diberikan kepada generasi muda kita, salah satunya melalui media sejarah yang berasal dari tanah Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang heterogen yang memiliki banyak sejarah cerita rakyat. Setiap daerah di Indonesia memiliki sejarah cerita rakyat yang menyebar dari mulut ke mulut dan diwariskan secara turun-temurun.Setiap daerah memiliki sejarahnya masing-masing dan merupakan kekayaan budaya yang tak ternilai harganya. Sejarah suatu daerah atau cerita rakyat yang berkembang di daerahnya masing-masing memiliki berbagai keunikan dengan nilai moral yang terkandung didalamnya, sehingga dapat dijadikan suri tauladan untuk membentuk mental generasi muda yang berkarakter. Sejarah suatu daerah dapat dijadikan sebagai salah satu media pendidikan dalam upaya revolusi mental generasi masa depan yang berkarakter. Karakter yang dapat diambil diantaranya adalah karakter yang menjunjung tinggi nilai kearifan lokal dan budaya bangsa, yakni karakter silih asih, silih asah dan silih asuh, serta karakter yang bangga akan budaya bangsanya sendiri. Kajian ini membahas mengenai nilai pendidikan karakter dalam sejarah kerajaan Talaga manggung sebagai media revolusi mental generasi masa depan dan kontribusinya terhadap pendidikan sastra. Kontribusi sejarah kearifan lokal suatu daerah terhadap pendidikan sastra dengan mengangkat nilai pendidikan karakter merupakan salah satu upaya yang dapat kita lakukan dalam membentuk generasi masa depan yang mampu merevolusikan dirinya menjadi insan yang berkarakter. PEMBAHASAN Pengertian Pendidikan Karakter Aqib dan Sujak (2011: 3) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan bagaimana hal terkait lainnya. Menurut Widihastuti (2013:40), “karakter seseorang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu karakter yang baik (positif atau goodcharacter) dan karakter yang tidak baik (negative) di mana keduanya bisa melekat pada diri seseorang, tergantung lingkungan yang mempengaruhinya”. Namun, adakalanya istilah karakter sering dihubungkan atau mengacu pada karakter positif. Hal ini misalnya terdapat dalam istilah pendidikan karakter. Dalam istilah tersebut jelas karakter positiflah yang diinginkan, bukan karakter negatif. Ratna Megawangi (2004) sebagai pencetus pendidikan Karakter di Indonesia telah menyusun karakter mulia yang selayaknya diajarkan kepada anak, yang disebut dengan 9 pilar, yaitu: 1) cinta Tuhan dan Kebenaran, 2) Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, 3) amanah, 4) hormat dan santun, kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama, 6) percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, 8)baik dan rendah hati, 9) toleransi dan cinta damai. Sejarah Singkat Kerajaan Talaga Manggung Kerajaan Hindu di Talaga berdiri pada abad XIII Masehi. Rajanya bernama Batara Gunung Picung. Raja tersebut masih keturunan Ratu Galuh yang bertahta di 274 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Ciamis. Beliau adalah putera V, yang masih ada hubungan darah dengan raja-raja di Pajajaran, di antaranya yang dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi. Daerah kekuasan Kerajaan Talaga meliputi wilayah-wilayah yang sekarang disebut dengan Talaga (dan Banjaran), Cikijing (termasuk Cingambul), Bantarujeg, Lemahsugih, Maja (termasuk Argapura) dan bagian selatan Majalengka (Cigasong dan Girilawungan). Pemerintahan Batara Gunung Picung sangat baik. Agama yang dipeluk rakyat kerajaan ini adalah agama Hindu. Pada masa pemerintahaannya pembangunan prasarana jalan perekonomian telah dibuat sepanjang lebih 25 Km, tepatnya jalur jalan Talaga – Salawangi di daerah Cakrabuana. Pembangunan lainnya berupa perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi semua saluran pengairan di daerah Cikijing. Masa pemerintahan Batara Gunung Picung berlangsung 2 windu (16 tahun). Raja Batara Gunung Picung mempunyai6 anak, yaitu : 1. Sunan Cungkilak, 2. Sunan Benda, 3. Sunan Gombang, 4. Ratu Panggongsong Ramahiyang (ada yang menulis Pagongsong Romahiyang), 5. Prabu Darma Suci I, dan 6. Ratu Mayang Karuna. Setelah meletakkan jabatan,pemerintahan Kerajaan Talaga selanjutnya dilanjutkan oleh Prabu Drama Suci I. Berikut ini sejarah singkat masa pemerintahan Kerajaan Talaga Manggung: Pemerintahan Prabu Darma Suci I Prabu Darmasuci I disebut juga Pandita Perabu Darma Suci. Dalam masa pemerintahannya (abad XIII) agama Hindu berkembang dengan pesat. Nama beliau dikenal di Kerajaan Pajajaran, Jawa Tengah, Jayakarta sampai daerah Sumatera. Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu tersebut dari kerajaan tetangga ke Talaga. Apakah kunjungan tamu-tamu tersebut merupakan hubungan kekeluargaan saja, ataukah ada hubungan perdagangan atau politik, tidak banyak diketahui. Peninggalan yang masih ada dari Kerajaan Talaga masa pemerintahan Prabu Darmasuci I ini antara lain benda-benda perunggu, gong, dan harnas atau baju besi. Pada abad XIV Masehi beliau wafat dengan meninggalkan 2 orang putera yakni Bagawan Garasiang dan Sunan Talaga Manggung. Pemerintahan Bagawan Garasiang Sepeninggal Prabu Darmasuci I, tahta kerajaan dipangku oleh Begawan Garasiang, tetapi hanya sebentar saja. Beliau sangat mementingkan kehidupan keagamaan sehingga akhirnya tahta Kerajaan Talaga diserahkan kepada adiknya yang beranama Sunan Talaga Manggung. Tak banyak yang diketahui dari masa pemerintahan Bagawan Garasiang selain kepindahan beliau dari Talagake daerah Cihaur Maja. Menurut sumber lain Raja ini dimakamkan di Pasir bukit Garasiang di atas “situ” Sangiang Talaga. Pemerintahan Sunan Talaga Manggung Sunan Talaga Manggung merupakan raja yang terkenal sampai sekarang karena sikap beliau yang adil dan bijaksana serta perhatian beliau terhadap agama Hindu, pertanian, pengairan, kerajinan, serta kesenian rakyat. Hubungan baik terjalin dengan kerajaan-kerajaan tetangga maupun kerajaan yang jauh, seperti misalnya dengan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Cirebon maupun Kerajaan Sriwijaya. Beliau mempunyai dua anak, yaitu Raden Pangrurah dan Ratu Simbarkancana.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 275
Raja wafat akibat penikaman yang dilakukan oleh suruhan Patih Palembang Gunung (menantunya) yang bernama Centangbarang, tanpa diketahui oleh Ratu Simbarkancana dan masyarakat luas. Kemudian, karena Palembang Gunung merupakan menantuTalaga Manggung (memperisteri Ratu Simbar Kancana), maka Palembang Gunung menggantikan Sunan Talaga Manggung sebagai raja. Tidak beberapa lama kemudian Ratu Simbarkencana yang sudah tahu akan pengkhianatan Plembang Gunung dari hulubalang Citrasinga (atas dorongan Raden Kusumalaya Ajar Kutamanggu), membunuh Palembang Gunung dengan tusuk konde sewaktu ia tidur. Dengan meninggalnya Palembang Gunung, kemudian Ratu Simbarkancana menikah dengan Raden Kusumalaya Ajar Kutamanggu, keturuan Galuh (Kawali-Panjalu) dan dianugrahi 8 orang putera, diantaranya yang terkenal sekali adalah putera pertamanya yang bergelar Sunan Parung. Pemerintahan Ratu Simbarkencana Sekitar awal abad XIV Masehi, dalam masa pemerintahan Ratu Simbarkancana agama Islam sudah mulai menyebar ke daerah-daerah kekuasaannya dibawa oleh para santri dari Cirebon. Pusat pemerintahan waktu itu oleh Ratu Simbarkancana dipindahkan dari “Sangiang Talaga” ke suatu daerah disebelah utaranya yang bernama Walangsuji dekat kampung Buniasih (dusun Kagok, Kecamatan Banjaran). Setelah wafat, Ratu Simbarkancana digantikan oleh puteranya yang bergelar Sunan Parung. Pemerintahan Sunan Parung Masa pemerintahan Sunan Parung tidak lama, hanya beberapa tahun saja. Hal yang penting pada masa pemerintahannya adalah sudah adanya perwakilan pemerintahan yang disebut “kadaleman,” masing-masing “kadaleman” dikepalai oleh seorang Dalem (putra-putranya sendiri).Kadaleman dimaksud antara lain Kadaleman Kulur, Sindangkasih (dalam ceritera lain Girilawungan; tidak ada Sindangkasih–hal ini menjadi kontroversi dengan sejarah Kerajaan Sindangkasih Nyi Rambut kasih), dan Jerokaso Maja. Sunan Parung mempunyai puteri tunggal bernama Ratu Sunyalarang atau Ratu Parung. Pemerintahan Ratu Sunyalarang Sebagai puteri tunggal beliau naik tahta menggantikan ayahandanya Sunan Parung dan menikah dengan turunan putera Prabu Siliwangi bernama Raden Rangga Mantri yang kemudian bergelar Prabu Pucuk Umum Talaga. Pada masa pemerintahannya Agama Islam sudah berkembang dengan pesat. Banyak rakyatnya yang memeluk agama tersebut hingga akhirnya baik Ratu Sunyalarang maupun Prabu Pucuk Umum pun memeluk agama Islam. Oleh karena itulahRaden Rangga Mantri oleh Sunan Gunung Jati diberi gelar Prabu Pucuk Umum Talaga. Agama Islam berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan Majalengka. Prabu Pucuk Umum adalah Raja Talaga ke-2 yang memeluk Agama Islam. Hubungan pemerintahan Talaga dengan Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran baik sekali. Sebagaimana diketahui Prabu Pucuk Umum adalah keturunan dari prabu Siliwangi karena dalam hal ini ayah beliau yang bernama Raden Munding Sari Ageng merupakan putera dari Prabu Siliwangi. Jadi pernikahan Prabu Pucuk Umum dengan Ratu Sunyalarang merupakan perkawinan keluarga dalam
276 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
derajat ke-IV. Hal terpenting pada masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Kerajaan Talaga menjadi pusat perdagangan di sebelah Selatan. Pemerintahan Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum Dari pernikahan Ratu Parung (Ratu Sunyalarang) denganRaden Ranggalahir 6 orang anak yaitu : 1.Prabu Haurkuning, 2. Sunan Wanaperih, 3. Dalem Lumaju Agung, 4.Dalem Panuntun, 5. Dalem Panaekan, 6. Sunan Umbuluar Santoan Singandaru. Akhir abad XV Masehi, penduduk Majalengka telah beragama Islam. Beliau sebelum wafat telah menunjuk putera-puteranya untuk memerintah di beberapa daerah wilyah Kerajaan Talaga, yaitu: 1. Sunan Wanaperih memegang tampuk pemerintahan di Walangsuji; 2. Dalem Lumaju Agung di kawasan Maja; 3.Dalem Panuntun di Majalengka (Girilawungan), 4. Prabu Haurkuning di Talaga kemudian di Ciamis dan kelak keturunan beliau banyak yang menjabat sebagai Bupati di Ciamis, 5. Dalem Dalem Panaekan dulunya dari Walangsuji kemudian berpindah-pindah menuju Riung Gunung, Sukamenak, Nunuk, Cibodas dan Kulur. Prabu Pucuk Umum dimakamkan di dekat Situ Sangiang Kecamatan Talaga. Pemerintahan Sunan Wanaperih Sunan Wanaperih seperti orang tuanya sudah memeluk agama Islam. Hampir seluruh rakyat di kerajaan ini juga telah memeluk agama Islam. Beliau mempunyai enam orang anak, yaitu : 1. Dalem Cageur, 2. Dalem Kulanata, 3.Apun Surawijaya atau Sunan Kidul, 4. Ratu Radeya, 5. Ratu Putri, 6. Dalem Wangsa Goparana. Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Arya Saringsingan, sedangkan Ratu Putri menikah dengan putra Syech Abu Muchyi dari Pamijahan bernama Sayid Ibrahim Cipager. Dalem Wangsa Goparana pindah ke Sagalaherang Cianjur, dan kelak keturunan beliau ada yang menjabat sebagai bupati seperti Bupati Wiratanudatar I di Cikundul. Sunan Wanaperih memerintah di Walangsuji. Ketika beliau digantikan oleh puteranya Apun Surawijaya, pusat pemerintahan kembali ke Talaga. Pemerintahan Apun Surawijaya Apun Surawijaya (pangeran Surawijaya)bergelar Pangeran Ciburuy atauSunan Ciburuy. Beliau menikah dengan putri Cirebon yang bernama Ratu Raja Kertadiningrat, saudara dari Panembahan Sultan Sepuh III Cirebon. Pangeran Surawijaya dianungrahi 6 orang anak, yaitu: 1. Dipati Suwarga, 2. Mangunjaya, 3.Jaya Wirya, 4. Dipati Kusumayuda, 5. Mangun Nagara , 6. Ratu Tilarnagara. Ratu Tilarnagara menikah dengan Bupati Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) yang bernama Pangeran Arya Sacanata yang masih keturunan Prabu Haur Kuning. Pemerintahan Dipati Suwarga Pengganti Pangeran Surawijaya ialah Dipati Suwarga yang menikah dengan Putri Nunuk dan berputera 2 orang, yaitu Pangeran Dipati Wiranata dan Pangeran Secadilaga atau pangeran Raji. Pangeran Surawijaya wafat dan digantikan oleh Pangeran Dipati Wiranata dan setelah itu diteruskan oleh puteranya Pangeran Secanata Eyang Raga Sari yang menikah dengan Ratu Cirebon mengantikan Pangeran Secanata. Arya Secanata memerintah ± tahun 1962. Pengaruh V.O.C. sudah terasa sekali, hingga pada tahun-tahun tersebut pemerintahan di Talaga diharuskan pindah oleh V.O.C. ke Majalengka. Karena hal inilah terjadi penolakan sehingga terjadi
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 277
perlawanan dari rakyat Talaga.Peninggalan masa tersebut masih terdapat di museum Talaga berupa pistol dan meriam. Nilai Pendidikan Karakter dalam Sejarah Kerajaan Talaga Manggung Nilai Religius Nilai religi adalah nilai keagamaan yaitu kepercayaan kepada Tuhan. Termasuk sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut masingmasing. Saling memberi toleransi terhadap pelaksanaan ibadah agama lain dan saling hidup rukun antar umat beragama. Agama mengajarkan untuk beribadah, mengajarkan kebaikan, kepatuhan, akhlak, dan lain-lain. Jika nilai religius seseorang baik maka akhlak seseorang itu akan baik pula. Sejarah kerajaan Talaga manggung mengandung pesan moral berupa nilai religius karena mengajarkan untuk selalu berdo’a kepada yang maha kuasa dan bertoleransi kepada agama lain karena kerajaan talaga manggung walaupun satu keturunan tapi berbeda keyakinan yakni hindu dan islam. Nilai Etika dan Moral Nilai etika dan moral yang dapat diambil dari sejarah kerajaan Talaga Manggung adalah setiap keturunan dari raja yang berkuasa pada kerajaan Talaga Manggung mempunyai etika yang menghormati dan menyayangi orangtuanya serta mentaati setiap perintah orang tua. Nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita sejarahtersebut adalah jadilah anak yang berbakti kepada orangtua karena orang tua yang melahirkan dan merawat kita dengan sepunuh hati. Orangtua telah melahirkan kita dengan penuh perjuangan dan membesarkan kita dengan penuh kasih sayang. Maka jangan sampai menyakiti hati orangtua dan jangan durhaka kepada orangtua kita karena akan celaka kalau kita durhaka kepada orangtua kita. Nilai Budi Pekerti Sejarah kerajaan Talaga Manggung mengandung pesan moral yaitu ketika menjadi pemimpin harus bersikap baik, rendah hati, adil, dan bijaksana. Jadi orang jangan pernah sombong dan rakus. Untuk mendapatkan hasil yang baik kita harus bekerja keras. Nilai Keteladanan dan Kepahlawanan Nilai keteladanan yang terdapat dalam sejarah kerajaan Talaga Manggung adalah kejujuran Sunan Talaga Manggung. Selain itu, meski Sunan Talaga manggung memiliki kemampuan yang lebih dari orang lain, ia tidak pernah sombong ataupun bersifat angkuh. Oleh karena itu, sikap Sunan Talaga Manggung perlu dicontoh. Dari cerita sejarah kerajaan Talaga Manggung guru dapat mengajarkan nilai keteladanan sebagai pendidikan karakter yaitu harus bersikap jujur dalam segala hal, tidak boleh memiliki sikap sombong dan angkuh. Pemberian contoh cerita sejarah kepada siswa sebagai penerapan pendidikan karakter dalam bentuk kajian sastra sangat perlu dilakukan karena siswa akan lebih dapat menangkap nilai-nilai kepahlawanan yang terkandung dalam cerita tersebut. Misalnya siswa dapat mengerti perjuangan para pahlawan zaman dahulu yang sikap, semangat dan pantang menyerah untuk memperjuangkan bangsa, sikap rela berkorban demi bangsa dan negara, dengan begitu siswa akan memiliki rasa kepahlawanan baik untuk diri sendiri, orang lain, bangsa maupun negara.
278 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Nilai Silih asah, Silih asih dan Silih asuh Agama Islam di wilayah Talaga berkembang pesat berkat kerja keras dan suri tauladan yang indah dan cinta damai dari para da’i Islam dan didukung oleh toleransi penuh dari para penguasa Hindu Kahiyangan baik yang menguasai Talaga, Galuh dan Pakuan Pajajaran. Bayangkan jika tidak ada toleransi dari para penguasa Hindu yang ada di tanah Pasundan umumnya akan dipenuhi dengan pertumpahan darah. Kemakmuran dan kedamaian Talaga senantiasa tercipta manakala segenap penduduknya mensyukuri nikmat-nikmat Allah, saling mengasihi dan menyayangi, mengembangkan budaya toleransi dan menjauhi budaya kekerasan. Maka dari itu nilai silih asah, silih asih dan silih asuh dalam sejarah kerajaan Talaga Manggung maupun pada kehidupan sehari-hari masyarakat Talaga sekarang ini dapat dijadikan contoh pendidikan karakter generasi masa depan. SIMPULAN Berdasarkan pemaparan diatas mengenai relevansi materi sastra indonesia dengan media sejarah kerajaan Talaga Manggung dalam membangun mental generasi masa depan yang mempunyai karakter yang kuat maka masalah utama yang paling menonjol adalah kesadaran guru atau pengajar terhadap keterbatasan materi bahan ajar yang perlu di analisis, di revisi apabila terjadi kesalahan, dan mampu mengembangkan materi ajar berdasarkan aspek-aspek yang menjadi pedoman seperti menanamkan nilainilai sesuai dengan kebiasaan dalam masyarakat, menjadikan bahan ajar dan media sastra menjadi lebih menarik sehingga meningkatkanminat peserta didik, dapat menghargai perbedaan, menstimulasi atau merangsang peserta didik dalam mengembangkan kemampuannya, kesesuaian atau relevansi isi materi dengan perkembangan psikologi peserta didik. Karya sastra dan apresiasi memperkuat keyakinan akan pentingnya pembelajaran apresiasi sastra di sekolah. Hal ini diutarakan Endraswara, (2005:53) “Pengajaran sastra melibatkan pendidikan kejiwaan sekaligus kemanusiaan. Melalui pengajaran sastra, sesungguhnya kita telah dibawa ke tingkat manusia terdidik, yaitu manusia yang mampu berpikir tentang hidup, pandai memahami rahasia hidup, menghayati kehidupan dengan arif, dan mempertajam pengalaman-pengalaman baru. Melalui pengajaran sastra pula, peserta didik akan mampu memahami diri secara idividu dan kelompok, hingga akan menjadi manusia utuh, bermental baik, dan humanis”. Materi ajar sastra dengan menggunakan media cerita sejarah yang bermuatan karakter merupakan materi ajar yang berisi pesan atau amanat positif didalamnya. Materi ajar dengan media seperti tersebut diatas merupakan bentuk stimulus atau rangsangan sistematis dalam membentuk karakter bangsa dimulai dari hal yang sederhana sampai yang kompleks melalui pemanfaatan bahan ajar yang relevan baik agar media seperti ini dapat memberikan konstribusi positif terhadap perkembangan peserta didik dalam membangun bangsa yang mandiri, relegius, berbudi luhur, tanggung jawab, disiplin dan mampu bersaing dengan bangsa lain. Tentunya berbagai upaya akan terus dilakukan para pelaku pendidik dalam mewujudkan bangsa yang unggul dan berkarakter sebagai ciri dari bangsa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Aqib, Zainal dan Sujak. (2011). Panduan & Aplikasi Pendidikan Karakter. Bandung: Yama Widya.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 279
Endraswara, Suwardi. 2005. Metode & Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta : Buana Pustaka. Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter. Jakarta : IHF. Widihastuti, dalam Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 1, Februari 2013. Yogyakarya: Lembaga Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (LPPMP) Universitas Negeri Yogyakarta.
280 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
GAMBARAN PENDIDIKAN KARAKTER DI TRANSKRIPSI NASKAH FILM ADA APA DENGAN CINTA MELALUI NILAI MORAL
Rasyidah Nur Aisyah STKIP PGRI Pasuruan, Pos-el.
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuanuntuk menganalisis nilai moral dalam naskah film Ada Apa dengan Cinta dan untuk menganalisis nilai moral yang membangun karakter seseorang. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa skenario naskah film Ada Apa dengan Cinta yang ditulis oleh Jujur Prananto dan Prisma Rusdi. Untuk mencapai dua tujuan diatas, data dianalisa dengan cara mengumpulkan dan meninjau dokumen. Setelah nilai moral telah dikumpulkan, data dianalisa dan dikelompokkan nilai moral apa saja yang bisa diterapkan untuk membangun karakter siswa. Hasil dari penelitian ini menunjukkan ada beberapa nilai moral dalam naskah film Ada Apa dengan Cinta yang dapat diterapkan untuk membangun karakter siswa, yaitu (1) Religius, (2) Jujur, (3) Peduli sosial, (4) Bersahabat/komunikatif, (5) Bekerja keras, (6) Gemar membaca, (7) kreatif, (8) Bertanggung jawab, (9) Cinta Tanah Air, (10) Menghargai Prestasi, (11) Rasa Ingin Tahu, (12) Mandiri dan (13) Semangat Kebangsaan. Ada tiga belas karakter yang baik yang dapat diimplementasikan untuk membangun karakter siswa. Kata kunci: Pendidikan Karakter, Nilai Moral, Naskah Film Ada Apa dengan Cinta
PENDAHULUAN Pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri pesera didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang religus, nasionalis, produktif dan kreatif. Pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode pembelajaran yang efektif. Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah. Terdapat 18 pendidikan karakter atau nilai-nilai karakter berdasarkan budaya bangsa menurut Panduan Pendidikan Karakter yang diterbitkan oleh Kemendiknas 2010 yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Yang pertama adalah religus, artinya patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 281
dengan pemeluk agama lain. Yang kedua yaitu jujur, orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, sikap, dan pekerjaan. Ketiga, toleransi adalah menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Keempat, disiplin adalah perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketetuan dan peraturan. Kelima, kerja keras adalah usaha maksimal untuk memenuhi keperluan hidup di dunia dan di akhirat disertai sikap optimis. Keenam, kreatif adalah berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Ketujuh, mandiri yaitu tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Kedelapan, demokratis adalah cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Kesembilan, rasa ingin tahu adalah selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Kesepuluh, semangat kebangsaan yaitu semangat nasionalisme dan patriotisme. Kesebelas, cinta tanah air, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Keduabelas, menghargai prestasi adalah menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Keempat belas, cinta damai dalam sikap, perkataan dan perbuatan. Kelimabelas, geamr membaca adalah menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Keenambelas, peduli lingkungan yaitu sikap mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitanya, dan mengembangkan upayaupaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Ketujuhbelas, peduli sosial yaitu sikap memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Kedelapanbelas, tanggungjawab adalah melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosisal dan budaya), negara dan Tuhan YME. Film Ada Apa dengan Cinta adalah salah satu film yang sangat digemari oleh para remaja terutama pelajar SMA. Skenario film ini ditulis oleh Jujur Prananto dan Prisma Rusdi. Selain difilmkan cerita cinta gadis remaja ini juga dijadikan novel dan termasuk salah satu novel yang bestseller. Dan penulis yakin bahwa banyak sekali pendidikan karakter maupun nilai moralyang tertuang dalam transkripsi film ini yang bisa diaplikasikan untuk para peserta didik terutama siswa SMA. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa nilai moral dalam naskah film Ada Apa dengan Cinta dan untuk menganalisa nilai moral yang membangun karakter seseorang. Warren (dalam Mustofa 2005: 39) mengatakan bahwa nilai adalah hal terdalam dalam perasaan manusia yang paling berarti. Nilai-nilai itu diwujudkan dalam perilaku. Jika perasaan tidak didukung dalam tindakan, itu bukan nilai. Ada lima nilai dalam sastra, yaitu: (1) Nilai Keagamaan, (2) Nilai estetika, (3) Nilai Filosofis, (4) Nilai Etis, dan (5) nilai moral. Dalam penelitian ini hanya dibatasi pada nilai moral saja. METODE Dalam melakukan penelitian untuk memperoleh fakta yang dipercayakebenarannya, maka metode penelitian itu penting artinya karena penelitiandapat dinilai valid tidaknya itu berdasarkan ketetapan penggunaan metodepenelitiannya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metodekualitatif, menurut Lexi (2006:76) pendekatan kualitatif adalah prosedurpenelitian yang menghasilkan data diskriptif (data yang dikumpulkan berupakata-kata, gambar, dan 282 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
bukan angka-angka). Sedangkan jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah Analisis Isi(Content Analysis) yangartinya suatu model yang dipakai untuk menelitidokumentasi data yang berupa teks, gambar, simbol, dan sebagainya. Menurut Imam (2001:71) Analisis Isi bukan sekedar menjadikanisi pesan sebagai obyeknya, melainkan lebih dari itu terkait dengan konsepsi-konsepsi yang lebih baru tentang gejala-gejala simbolik dalam duniakomunikasi. Instrumen adalah peneliti sendiri yang memperoleh dan mengumpulkan data secara langsung dengan membaca naskah film. Arikunto (2006 :136) mengatakan bahwa instrumen adalah sebuah alat yang digunakan untuk mendapatkan data dan mengumpulkan data. Sumber data dalam penelitian ini adalah transkripsi naskah film Ada Apa dengan Cinta. Transkripsi versi yang digunakan oleh peneliti yang diambil dari https://lubisgrafura.wordpress.com/2007/06/21/transkripsi-naskah-film%E2%80%9Cada-apa-dengan-cinta%E2%80%9D/ diambil pada 20 Juli 2016. Peneliti tertarik sumber ini karena film ini adalah salah satu dari film populer. Peneliti yakin setiap remaja tahu film ini, karena penelitian ini dimaksudkan untuk siswa. Dalam pengumpulan data dalam penelitian ini, pertama peneliti mencari naskah film Ada Apa dengan Cinta. Kedua, peneliti mengetahui data yang relevan yang sesuai dengan pernyataan penelitian. Kemudian peneliti menganalisis data yang dikumpulkan dan membuat kesimpulan. Akhirnya mengetik ulang semua data yang telah dipilih dan dipilih berdasarkan kutipan asli yang ada di naskah film Ada Apa dengan Cinta. Dalam penelitian ini, pertama peneliti membaca dan memahami transkripsi, setelah membaca transkripsi data dikumpulkan oleh peneliti kemudian dianalisa. Peneliti menerapkan prosedur yang diusulkan oleh Miles dan Hubberman (1994) yaitu pengumpulan data, reduksi data, display data dan penarikan kesimpulan.Menurut Bogdan & Biklen (1998 : 157) analisis data adalah proses sistematis mencari dan mengatur transkrip wawancara, catatan lapangan dan bahan lain yang diteliti dan terakumulasi untuk meningkatkan pemahaman sendiri dan memungkinkan untuk menyajikan apa yang telah ditemukan. PEMBAHASAN Dalam bagian ini peneliti menyajikan temuan dari studi yang berhubungan dengan masalah penelitian, yaitu nilai-nilai moral dalam naskah film Ada Apa dengan Cinta dan nilai-nilai moral untuk membangun karakter seseorang. Peneliti menemukan data dari transkripsi naskah film‘Ada Apa dengan Cinta’ yang isinya nilai-nilai moral. Analisis Nilai Moral di Transkripsi naskah film Ada Apa dengan Cinta Ketika kita berbicara tentang moral, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita, karena apa yang kita lakukan adalah termasuk moral, setiap orang memiliki arti yang berbeda tentang moral. Mustofa (2014: 57) mengatakan kata "moral" tidak hanya membahas tentang sesuatu yang kita lakukan tetapi juga tentang pendapat kita dan hati nurani kita dari apa yang benar dan apa yang salah tentang apa yang harus kita lakukan dan apa yang seharusnya tidak kita lakukan, dari yang sudut pandang moral kita tahu apakah kita telah melakukan yang benar atau salah, dan apakah mempengaruhi hal baik atau buruk. Dalam studi ini peneliti menemukan beberapa data yang berhubungan dengan nilai moral itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari data di bawah ini. 1. PERSAHABATAN Di Rumah Cinta Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 283
Cerita dibuka dengan adegan sedih, dilatari musik sendu. Suatu hari, di kamar Cinta, sepulang sekolah, Alya memutuskan untuk mau membeberkan masalah keluarganya. Orang tuanya hampir setiap hari berantam, dan Alya serta ibunya sering menjadi korban kekerasan fisik oleh ayahnya. Alya memperlihatkan luka di punggungnya. CINTA : Ya Tuhan, Alya! ALYA : Udah deh, nggak usah dibahas. MAURA : Kok nggak usah dibahas, sih? Cinta mengambil buku catatan dan mulai membaca : CINTA
: ‘Lo inget nggak kita pernah nulis apa di buku ini? Masalah salah-satu di antara kita adalah masalah kita semua. Musuh salah satu di antara kita adalah musuh kita semua.
Peneliti menemukan nilai moral dalam cuplikan dialog di atas. Cinta menunjukkan rasa simpatinya pada Alya yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh ayahnya. Cinta juga menunjukkan rasa pedulinya meski Alya menolak untuk membahasnya. Cinta sangat perhatian pada sahabatnya yang kondisi keluarganya tidak kondusif. Rasa peduli sesama yang ditunjukkan Cinta kepada Alya merupakan salah satu contoh dari pendidikan karakter. ALYA CINTA ALYA ALYA
: Tapi bokap berantem sama nyokap, Cinta bukan sama gue. : Tapi kan elo sudah sering banget jadi korban kayak gini, Al? : Gimana sih gue mesti ngejelasin ke elo semua…? : Terserah aja ‘lo mau percaya apa nggak. Bokap gue kalau udah…kalau udah ngamuk kayak gitu kayak orang nggak sadar, tahu nggak. Habis ngamuk, dia bisa nangis kayak anak kecil, nyesel abis, nyiumin kaki nyokap, melukin gue.
dari data diatas menunjukkan kejujuran Alya kepada sahabatnya mengenai emosi ayahnya yang selalu melakukan kekerasan fisik ketika bertengkar dengan ibunya. Tetapi Alya sebagai anak yang menjadi korban kekerasan fisik memiliki sifat toleransi yang tinggi terhadap perlakuan ayahnya. Dia tidak berontak dan tidak membalas perlakuan kasar dari sang ayah meski tubuhnya harus menerima banyak luka. Hal ini termasuk dalam nilai moral anak kepada kedua orang tuanya. Bagaimana seharusnya sikap anak yang mendapatkan perlakuan kasar dari ayah kandung ditunjukkan oleh Alya. Alya tidak membalas dengan perlakuan kasar kepada sang ayah juga tidak melaporkan ke pihak yang berwajib, bahkan Alya pun tidak ingin teman-temannya melakukan tindakan apapun terkait kekerasan fisik yang dia dapatkan. Alya hanya menceritakan kepada sahabatnya karena semua sahabatnya perhatian dan kasihan dengan kondisi Alya. Dialog diatas juga mencerminkan contoh bentuk pendidikan karakter yaitu sikap jujur dan toleransi.
CINTA
: Ya udah, tapi asal ‘lo tau, persahabatan kita juga nggak main-main. Ni buku jadi saksi kok. ‘Lo tu kalo ada masalah tu di-share, jangan disimpen sendiri. ‘Lo telepon ke rumah gue jam berapa aja gue temenin gue angkat ngobrol ma ge. ‘Lo dateng ke rumah sini jam berapa aja gue bukain pintu, Al. Ya, Al ya. Gue kan sahabat elo.
284 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
ALYA
: Udah ya jangan bahas yang ini terus, ngomongin yang lain, plis.
Data diatas menunjukkan rasa peduli cinta kepada Alya mengenai permasalahan keluarga yang dialami Alya. Dari dialog diatas juga memperlihatkan eratnya persahabatan Cinta dan kawan-kawannya. Saling membantu dan saling melengkapi antar sesama adalah betuk nilai moral yang ditunjukkan Cinta kepada sahabatnya. Kepedulian dan eratnya persahabatan antara Cinta dan Alya ini merupakan bentuk pendidikan karakter yaitu peduli sosial dan bersahabat. CINTA : Eh iya, udah denger puisi yang gue kirim ke lomba. SEMUA : Mana…mana…manaa…? CINTA : Coba… Gitar…gitar…gitar… KARMEN : Puisi ‘lo yang baru? CINTA : Iya. : Mudah-mudah sih elo semua suka, soalnya ini sebenarnya tentang kita CINTA berlima. Data diatas yang digarisbawahi merupakan sikap rasa ingin tahu yang disampaikan para sahabat Cinta mengenai puisi baru hasil karya Cinta yang akan diikutsertakan dalam lomba menulis puisi di sekolah Cinta. Rasa ingin tahu adalah salah satu bentuk pendidikan karakter. Cinta memetik gitar CINTA : Judulnya, Aku ingin bersama selamanya. Ketika tunas ini tumbuh, serupa tubuh yang mengakar.Setiap nafas yang terhembus adalah kata.Angan, debur dan emosi bersatu dalam jubah berpautan. Tangan kita terikat… Lidah kita menyatu… Maka setiap apa yang terucap adalah sabda pendita ratu. Hahhh… Di luar itu pasir… Di luar itu debu… Hanya angin meniup saja lalu terbang hilang tak ada. Tapi kita tetap menari, menari cuma kita yang tahu. Jiwa ini adalah tandu… Maka duduk saja… Maka akan kita bawa … Semua… Karena kita adalah satu. ALYA : Bagus banget! MAURA : Semoga menang lagi, Ta. CINTA : Makasih. CINTA : Suka tapi ya. MAURA : Bagus banget! Ketika Cinta menciptakan puisi hasil karyanya sendiri menunjukkan sikap kreatif seorang siswa SMA, selain itu hal ini juga menunjukkan sikap gemar membaca dan pekerja keras guna mengikuti lomba puisi di sekolahnya. Sikap siswa yang seperti ini sangat patut dicontoh oleh siswa-siswa di Indonesia. Alya, Maura, dan Milly menunjukkan sikap menghargai prestasi kepada temannya yang telah mampu Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 285
menyelesaikan puisinya. Nilai-nilai karakter yang disebutkan diatas yakni kreatif, gemar membaca, pekerja keras dan menghargai prestasi merupakan nilai moral yang patut untuk dicontoh dan hal ini juga merupakan poin dari pendidikan karakter. RATUSAN SISWA, sebagian duduk di lantai dan sebagian berdiri di sekeliling lapangan bertepuk-tangan meriah setelah selesai mendengarkan sambutan Kepala Sekolah yang saat itu meninggalkan mimbar : Anak-anak… Tujuan lomba penulisan puisi yang setiap tahun selalu kita adakan adalah agar kita tetap sadar, bahwa kita PAK TAUFIK memiliki satu kekayaan yang tidak ternilai harganya yaitu bahasa Indonesia. MAURA : Ta, ‘lo pasti menang deh, yakin.
Data diatas memperlihatkan bentuk rasa cinta tanah air dengan cara mengadakan lomba penulisan puisi setiap tahun guna meningkatkan kecintaan kita pada bahasa Indonesia. Sekolah Cinta, Lorong Sekolah CINTA berjalan sendirian menuju tempat yang jauh dari keramaian. Setelah melihat sekeliling dan merasa bahwa tidak ada orang di sekitarnya yang memperhatikan, Cinta mengambil selembar kertas (berisi puisi Rangga yang menang) dan membacanya. : Kulari ke hutan kemudian menyanyiku. Kulari ke pantai kemudian CINTA teriak ‘ku. Sepi… sepi… dan sendiri aku benci. Kamar Cinta Cinta berbaring sambil membaca (kelanjutan) puisi Rangga : Aku mau bingar… Aku mau di pasar… Bosan aku dengan penat, dan enyah saja kau pekat. Seperti berjelaga jika ‘ku sendiri…Pecahkan saja gelasnya biar ramai. Biar mengaduh sampai gaduh. Ada malaikat CINTA menyulam jaring laba-laba belang di tembok keraton putih. Goyangkan saja loncengnya biar terdera. Atau aku harus lari ke hutan, belok ke pantai? Dari data diatas menunjukkan sikap gemar membaca. Buku bacaan yang digemari Cinta adalah kumpulan puisi dengan judul AKU karya Chairil Anwar. Selain menunjukkan sikap gemar membaca, Cinta juga menunjukkan rasa ingin tahu. Ingin tahu isi buku yang dimiliki Rangga. Membaca puisi sangat menyenangkan bagi Cinta. Sikap seperti ini sangat perlu dicontoh oleh peserta didik. Guna menumbuhkembangkan sikap gemar membaca. Gemar membaca dan rasa ingin tahu adalah bentuk dari pendidikan karakter. Cinta mendekati Rangga, namun Rangga terus serius membaca. Cinta terus mendekati Rangga dan berhenti kurang-lebih dua meter dari Rangga. Akhirnya Rangga merasa risih dan menoleh. Lagi-lagi keduanya berpandangan beberapa saat. RANGGA : Ada apa? CINTA : Rangga ya? Gue mau ngucapin selamat ya buat elo. RANGGA : Selamat kenapa? 286 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
CINTA
: Sebagai pemenang lomba puisi tahun ini.
Dari data yang digarisbawahi diatas merupakan sikap menghargai prestasi orang lain yang dilakukan Cinta kepada Rangga atas kemenangan Rangga dalam lomba penulisan puisi tahun ini. Sikap Cinta ini menunjukkan perasaan berbesar hati karena bukan puisi cinta yang menang tetapi dia sanggup mengucapkan selamat kepada pesaingnya di lomba penulisan puisi. Cinta tidak menunjukkan sikap acuh tak acuh ataupun marah kepada Rangga walau dia sedikit kecewa karena dia kalah dari Rangga. Sikap yang ditunjukkan Cinta seperti ini sangat bagus dicontoh untuk peserta didik. Karena dalam setiap perlombaan selalu ada yang menang dan kalah. Bagaimana sikap yang harus ditunjukkan ketika kecewa tidak bisa memenangkan suatu perlombaan. Nilai moral seperti menghargai prestasi orang lain dan bersikap lapang dada termasuk dalam pendidikan karakter. Di Rumah Cinta Alya datang ke rumah Cinta dengan wajah murung. ALYA : Ta, gue tidur di sini ya? CINTA : Kenapa Al? ALYA : Biasalah, kabur sebelum dapat jatah. : Elu nggak bisa nganggep biasa gitu dong, Al. Lo harus ngomong CINTA sama nyokap lo. : Percuma Ta, gue udah sering banget ngomongin ini sama nyokap gue. Kalo kita tuh bisa hidup tanpa bokap gue. Tapi yang udah udah, malah gue yang dimarahin. Nyokap gue bilang gue nggak ALYA pengertian. Nyokap gue bilang gue egois. Gue nggak ngerti, Ta. Kok nyokap gue…masih bisa CINTA sama bokap gue yang jelasjelas…tiap hari…mukulin nyokap gue, mukilin gue, rumah berantakan, ancur Ta. Harusnya elo ada di situ. : Elo kenapa nggak bilang ama gue dari tadi. Elo kalo ada apa-apa CINTA tu ngomong ma gue. : Selama ini elo udah banyak bantu gue, Ta. Gue nggak mau ALYA ngebebanin elo. CINTA :Tapi elo tuh nggak ngebebanin gue apa pun. Dari data diatas, Cinta menunjukkan perhatiannya kepada sahabatnya, Alya yang berkali-kali mengalami kekerasan fisik dari sang ayah. Bentuk perhatian Cinta ini adalah sikap yang perlu diteladani karena mengandung nilai moral yang sangat tinggi. Rasa peduli kepada teman adalah contoh dari peduli sosial yang dijabarkan dalam pendidikan karakter. Begitu juga dengan sikap mandiri yang ditunjukkan Alya kepada ibunya, bahwasanya mereka bisa hidup sendiri tanpa harus hidup serumah dengan ayahnya yang sikapnya tempramental. Alya sudah berusaha meyakinkan ibunya untuk pergi meninggalkan sang ayah agar tidak ada lagi kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini mereka alami. Meskipada akhirnya sang ibu menolak dan menganggap Alya adalah anak egois dan tidak pengertian. Dari dialog diatas memunculkan dua nilai karakter bangsa yakni peduli sosial dan mandiri.
7. MEMASAK Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 287
Rumah Rangga, Dapur Potongan sayur dimasukan ke dalam kuali panas berminyak goreng. Asap putih mengepul tebal. CINTA ( O.S.) Waoow! CINTA tersenyum lebar menyasikan aksi Rangga menumis sayuran. RANGGA Kamu pasti nggak bisa masak. CINTA Hehehe…bisa! RANGGA Masak apa? Masak air? CINTA Masak mie instan. Rangga ikut tertawa dan beralih ke tempat lain untuk meracik ini-itu. Cinta merasa risih bengong sendiri. Lalu. . . CINTA Nggak ada yang bisa saya bantu ya? RANGGA Apa ya? Yang ini deh dipotong-potong. CINTA Ini? Kalau motong-motong doang sih bisa. Cinta mengambil-alih pisau dari Rangga dan mulai memotong daun bawang, dan Rangga mengerjakan yang lain lagi. CINTA Emangnya lagi nggak ada pembantu? Ada sih. Cuma lagi pulang kampung, ada sodaranya yang mau RANGGA melahirkan apa.
Dari data diatas mampu mendeskripsikan sikap mandiri yang dimiliki Rangga. Rangga, seorang remaja dan merupakan siswa SMA mampu memasak sendiri untuk kebutuhan makan dirinya dan ayahnya. Tidak ada sikap ketergantungan kepada pembantu rumah tangganya. Sikap seperti ini sudah jarang dimiliki siswa atau remaja laki-laki di era sekarang. Dari data diatas, kita juga bisa melihar Cinta yang memiliki kepekaan ketika melihat Rangga memasak di dapur. Cinta ingin membantunya memasak meski sebenarnya dia tidak bisa memasak. Sikap seperti ini disebut sikap peduli sosial CINTA
: Bandel gimana? : Tahun sembilan enam bikin tesis tentang kebusukan orang-orang di RANGGA pemerintahan ya sama juga cari mati. Ya mending kalo cuma dipecat. Dituduh komunislah. Terlibat gerakan makarlah. Cinta bengong karena terkejut mendengar cerita ini. : Lho, tapi bukannya sekarang udah Reformasi, Om? Jadi udah bukan CINTA masalah lagi kan? YUSRIZAL : Apanya yang reformasi, Cinta? Dari data diatas, Rangga sebenarnya menunjukkan sikap semangat kebangsaan yang dimiliki oleh ayahnya (yusrizal). Di Rumah Sakit, Kamar Alya Cinta menjenguk Alya : Maafin gue ya, Al, ya… Gue tuh mestinya nggak usah pergi. Gue tuh udah bilang lagi kalo gue tuh harus ada buat elo semua. Sekarang gue CINTA bohong. Gue berkhianat ama elo semua. Mereka semua jadi berantem nggak karuan, dan yang paling parah tuh, elo Al! Jadi kayak gini. 288 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
ALYA CINTA ALYA
: Nggak, Ta. Elo nggak salah apa-apa. Cuma gue aja yang bertindak bodoh. : Nggak, kan, tapi seenggak-enggaknya gue kan… : Udahlah, Ta. Kalo ngomongin soal hikmah, tindakan bodoh gue ini malah nyadarin nyokap gue.
Cinta menyadari kesalahannya. Ini adalah nilai moral yang bisa dipetik dari transkirpsi naskah film Ada Apa dengan Cinta. Nilai Moral di naskah film Ada Apa dengan Cinta yang dapat diterapkan untuk membangun Karakter peserta didik. Karakter adalah orang dalam sebuah karya naratif seni (seperti novel, drama, serial televisi atau pendidikan karakter Film. Merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan cara mengajar anak-anak dengan cara membantu mereka mengembangkan berbagai nilai seperti moral, sipil, baik, santun, berperilaku, nonbullying, sehat, kritis, sukses, tradisional, sesuai atau diterima secara sosial makhluk. Tujuan dari pembangunan karakter adalah untuk membangun kepribadian anakanak untuk menjadi orang baik, masyarakat yang baik dan warga negara yang baik. Menurut pendidikan karakter, Battistich memiliki manfaat tambahan yang penting untuk membantu kaum muda untuk mengembangkan sikap pribadi dan sosial yang positif dan keterampilan yang akan membantu mereka untuk menjalani kehidupan produktif, dan menjadi warga negara yang aktif dan efektif dalam masyarakat demokratis. Tujuan pendidikan karakter dengan demikian pada dasarnya adalah membesarkan anak-anak yang baik: pemuda, yang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti (seperti ketekunan, kasih sayang, integritas, dan keadilan) yang menjadikannya untuk produktif, dan masyarakat yang demokratis. Analisis nilai-nilai moral yang ditemukan dalam naskah film Ada Apa dengan Cinta oleh peneliti yang dapat diterapkan untuk membangun karakter siswa adalah sebagai berikut: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Peduli sosial, (4) Bersahabat/komunikatif, (5) Bekerja keras, (6) Gemar membaca, (7) kreatif, (8) Bertanggung jawab, (9) Cinta Tanah Air, (10) Menghargai Prestasi, (11) Rasa Ingin Tahu, (12) Mandiri dan (13) Semangat Kebangsaan.
Dari delapan belas pendidikan karakter ada sembilan pendidikan karakter yang ditemukan oleh peneliti dari naskah film Ada Apa dengan Cinta yang dapat diimplementasikan untuk membangun karakter siswa. Penjelasan dari setiap pembentukan karakter telah diuraikan oleh peneliti pada poin sebelumnya. SIMPULAN Dari analisis yang telah dibahas di atas, nilai-nilai moral yang dapat diimplementasikan untuk membangun karakter peserta didik adalah: jujur yang seseorang sikap yang didasarkan pada upaya untuk membuat dia / dia-diri dapat dipercaya / terpercaya di ujaran. Independen adalah perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain untuk menyelesaikan nya / tugasnya. Penasaran adalah tindakan dan sikap yang selalu mencoba untuk mencari tahu sesuatu yang dipelajari, melihat dan mendengar secara mendalam dan luas seseorang. Patriotik adalah cara berpikir dan bertindak yang menunjukkan kehormatan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan, sosial budaya, ekonomi dan politik dari negara sendiri. Inklusif dan Komunikatif adalah tindakan yang menunjukkan kebahagiaan ketika dia berbicara, berinteraksi, dan bekerja sama dengan orang lain. Cinta damai adalah tindakan, ucapan dan sikap yang menyebabkan orang lain merasa senang dan menyimpan menuju Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 289
kehadirannya. Empati adalah tindakan dan sikap seseorang yang selalu ingin memberikan kontribusi dan membayar perhatian ke arah orang lain dan orang-orang di masyarakat yang membutuhkan bantuan. Bertanggung jawab adalah bertindak dan sikap seseorang untuk melakukan nya tugas yang dia harus lakukan untuk dia / dirinya, orang, lingkungan, bangsa dan Tuhan. Karakter-karakter diatas adalah karakter yang baik yang dapat diimplementasikan untuk membangun karakter peserta didik. DAFTAR PUSTAKA Bogdan, Robert c and Bikken, sari knop. 1998. Qualitative Research for Education: An introduction to Theory and Method 3rd Edition. USA:A Viacom Company. https://lubisgrafura.wordpress.com/2007/06/21/transkripsi-naskah-film%E2%80%9Cada-apa-dengan-cinta%E2%80%9D/diambil pada 20 Juli2016 Imam Subrayogo. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Penerbit Remaja RosdaKarya. Lexi J. Moleong.2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Penerbit Remaja Rosda Karya. Miles B., Mathew. 1994. Qualitative Data Analysis. London: Sage Publication. Mustofa, Mutmainnah. 2005. Introduction to Literature: Students’ Book for Introduction to Literature Class. Malang: FKIP UNISMA Mustofa, Mutmainnah. 2014. Literary Works-Life and Love, Students Book English Literature and its Teaching. Malang: UNISMA. Pusat kurikulum dan perbukuan. 2010. Bahan Pelatihan: Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional.
290 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
CERPEN SEBAGAI PENYULUT IMAJINASI INDIVIDUAL SISWA Muhamad Rullyfudin Universitas Negeri Malang Pos-el.
[email protected]
ABSTRAK Short story is the impact of the grievances of a literary work, a lot of choice but of short stories literature conveys an inappropriate choice of various other literary works. Born from various thoughts and emerged as a tale of literary works. Short Story able to make the reader tergolak the shuttle when the reader is actually entered into the imagination of the short story, the more deeply and while imagining things that happened, from that was able to hone in the reader's imagination, so it is not sedikitlah inspired reader and then write and launch cerpen- cerpenya. Short Story able to change the paradigm of negative into positive productive by simply reading the right stories, readers mentally evolved positively productive writing. Short Story selection of literary works representing the entire story without lengthy recount, with comprising topics, themes, plots, characters and ending conflict and a very simple but can improve the style of the reader's imagination, without a protracted time for reading it, the short story is a prose that contains stories short. The form of a short story inspired the literary learning, in order to ignition imagination will produce a short story writing from the students Key Words: Short Story, Literature, Imagination.
PENDAHULUAN Cerpen merupakan karya sastra, sedangkan keterampilan menulis adalah keterampilan yang paling kompleks dan sulit dukuasai. Hal ini senada dengan pendapat Flower (dalam ahmadi, 1990: 28) bahwa dalam proses pengajaran, menulis merupakan suatu proses yang kompleks dan merupakan keterampilan berbahasa yang meminta perhatian paling akhir di sekolah. Keterampilan menulis dikatakan kompleks karena menulis tidak bisa langsung jadi. Menulis memerlukan tahapan-tahapan seperti mengumpulkan ide, merangkai ide, baru kemudian menjadikan sebuah tulisan. Bahkan, setelah menjadi tulisan, masih ada tahap revisi. Perlu adanya latihan secara terusmenerus untuk menguasai keterampilan menulis. Beberapa pilihan materi menulis yang perlu diajarkan kepada siswa adalah menulis cerpen. Cerpen merupakan salah saturagam karya sastra berjenis prosa yang isinya berupa kisah pendek dengan sebuah pesan yang ingin disampaikan. Cerpen sebagai sebuah karya sastra yang terikat oleh aturan-aturan tertentu sebenarnya diharapkanagar dapat mengasah daya imajinasi dan kreatifitas siswa. Selain itu cerpen juga diharapkan menjadi suatu hiburan yang menyenangkan dalam pembelajaran menulis. Menulis cerpen memiliki keasyikan tersendiri. Tema yang diangkat bisa dari kehidupan sehari-hari, tidak membutuhkan banyak tokoh dengan cerita yang panjang. Dengan pembelajaran menulis siswa diharapkan mampu mengembangkan pikiran dan perasaannya melalui cerpen yang ia tulis. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 291
PEMBAHASAN Sastra Potensi Penyampai Ide, Konsep, dan Imajinasi Mempelajari sastra membuat kehidupan menjadi lebih baik. Memang, teks-teks ilmiah dan nonfiksi dapat membantu manusia menjadi tahu. Akan tetapi, literaturliteratur imajinatif—prosa fiksi, puisi, dan drama—dapat membuat manusia memahami serta memaknai dunia melampaui batas-batas diri. Teks-teks sastra memiliki daya untuk mengajarkan (Schwarz, 2008:39). Teksteks sastra naratif mengorganisasikan pengalaman ke dalam sebuah plot yang bermakna mengenai tindakan-tindakan manusia. Dari situ, pembaca dapat merespon plot yang disajikan sebagai sebuah proses, sebagai sebuah struktur yang setiap komponennya saling memengaruhi, yang secara berkelanjutan membuat pembaca memahami maksud, memberikan penilaian, mempertanyakan, dan memformulasikan pola-pola makna dari karya tersebut. Teks-teks sastra yang membutuhkan penafsiran lebih, misal puisi, meletakkan pengalaman-pengalaman manusia ke dalam bentukbentuk yang figuratif dan prismatis. Hal tersebut menuntut pembaca untuk membuka diri pada segala kemungkinan makna untuk melihat pesan apa yang sesungguhnya terkandung di dalam puisi tersebut. Teks sastra memiliki daya untuk mengajarkan, maka teks sastra dapat dimaknai sebagai teks yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan ide dan konsep. Potensi tersebut telah melekat pada eksistensi sastra sejak kelahirannya. Jika dirunut secara historis, pada awal masa peradaban, manusia telah mengenal sastra yang disampaikan secara lisan berupa cerita-cerita atau dongeng (Thompson, 2011:35). Orang yang memiliki kewenangan untuk menyampaikan cerita atau dongeng tersebut adalah anggota kelompok yang memiliki kedudukan sosial tinggi di masyarakatnya. Cerita dan dongeng yang disampaikan pun bukanlah kisah-kisah yang digunakan untuk hiburan serta pelipur lara saja, cerita dan dongeng tersebut disampaikan sebagai sarana penerangan serta pembelajaran nilai-nilai bagi kelompok masyarakat tersebut. Menyadari begitu besarnya sastra untuk melatih penuangan ide, melatih pengembangan imajinasi, agar siswa mampu berpemikiran lebih maju, lebih kreatif, begitu besarnya pengaruh sastra terhadap pemikiran dan ide manusia, hanya melalui mebaca dari cerpen pemikiran pembaca dapat terpaancing dan berimajinasi untuk melakuakan pekerjaan menulis, yakni menuangkan ide dari sebuah gagasan pemikiran dari terpacunya hasil bacaan yang telaah. Dengan demikian, siswa akan lebih mudah mengasosiasikan pengetahuan yang dibacanya dari sastra dengan pengalaman pribadinya, sehingga apa yang siswa pelajari menjadi lebih bermakna. Cerpen, Pilihan Karya Sastra Pembangun Imajinasi Salah satu materi menulis yang perlu diajarkan kepada siswa adalah menulis cerpen. Cerpen merupakan salah saturagam karya sastra berjenis prosa yang isinya berupa kisah pendek dengan sebuah pesan yang ingin disampaikan. Cerpen sebagai sebuah karya sastra yang terikat oleh aturan-aturan tertentu sebenarnya diharapkanagar dapat mengasah daya imajinasi dan kreatifitas siswa. Selain itu cerpen juga diharapkan menjadi suatu hiburan yang menyenangkan dalam pembelajaran menulis. Menulis cerpen memiliki keasyikan tersendiri. Tema yang diangkat bisa dari kehidupan sehari292 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
hari, tidak membutuhkan banyak tokoh dengan cerita yang panjang. Dengan pembelajaran menulis siswa diharapkan mampu mengembangkan pikiran dan perasaannya melalui cerpen yang ia tulis. Sastra dapat memperhalus jiwa dan memberikan motivasi kepada masyarakat untuk berpikir dan berbuat demi pengembangan dirinya dan masyarakat serta mendorong munculnya kepedulian, keterbukaan, dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Sastra mendorong orang untuk menerapkan moral yang baik dan luhur dalam kehidupan dan menyadarkan manusia akan tugas dan kewajibannya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial dan memiliki kepribadian yang luhur. Selain melestarikan nilai-nilai peradaban bangsa, sastra juga mendorong penciptaan masyaraka yang beradab dan dapat memperkenalkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, melatih kecerdasan emosional, dan mempertajam penalaran seseorang. Sastra tidak hanya berbicara tentang diri sendiri (psikologis), tetapi juga berkaitan dengan Tuhan (religiusitas), alam semesta (romantik), dan juga masyarakat (sosiologis). Sastra mampu mengungkap banyak hal dari berbagai segi. Banyak pilihan genre sastra yang dapat dijadikan sarana atau sumber pembentukan karakter bangsa. Salah satunya adalah cerpen. Menurut Susanto (dalam Tarigan, 1984:176), cerita pendek adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri. Sementara itu, Sumardjo dan Saini (1997:37) mengatakan bahwa cerita pendek adalah cerita atau parasi (bukan analisis argumentatif) yang fiktif (tidak benar-benar terjadi tetapi dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, serta relatif pendek). Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan cerita pendek adalah karangan nasihat yang bersifat fiktif yang menceritakan suatu peristiwa dalam kehidupan pelakunya relatif singkat tetapi padat. Ciri-ciri cerita pendek menurut pendapat Sumarjo dan Saini (1997:36), yaitu ceritanya pendek, bersifat rekaan (fiction), bersifat naratif, dan memiliki kesan tunggal. Sejalan dengan Sumarjo dan Saini, Menurut Morris (dalam Tarigan, 1985:177), ciriciri cerita pendek, yaitu singkat, padu, dan intensif (brevity, unity, and intensity). Unsur-unsur cerita pendek adalah adegan, tokoh, dan gerak (scena, character, and action). Bahasa cerita pendek harus tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incicive, suggestive, and alert). Sastra dan Cerpen Penyulut Imajinasi Sastra Sastra tentu saja tidak memusatkan perhatian pada suatu bidang khusus pengetahuan, seperti ilmu kimia atau sejarah. Tetapi dapat dikatakan dengan beberapa alasan irasional bahwa sastra berkaitan dengan semua segi tentang manusia dan dunia di dalam keseluruhannya. Tentu saja setiap karya sastra adalah mengenai sesuatu (berbicara tentang sesuatu), bahkan sering mengenai banyak hal, dan semakin banyak orang membacanya, maka semakin baiklah isi pengetahuan dan moral orang yang bersangkutan. Tidak mungkin rasanya orang yang berkecimpung dan menggemari sastra lalu menjadi orang yang tidak tertib dan bejat moralnya. Sastra justru mengarahkan untuk menjadi semakin tertib dalam hidup, cerdas, lembut hati, dan tajam perasaan. Selain sebagai pembelajaran moral, sastra juga merupakan mediator tepat dalam konservasi budaya. Sastra adalah bukti nyata warisan budaya. Karena dengan sastra, taman kebudayaan Indonesia dapat terangkum dan nampak tapak tilasnya. Berkaitan Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 293
dengan pendidikan, kebudayaan dan pendidikan pada hakikatnya mempunyai hubungan yang saling menguntungkan. Bahkan berkembang pemikiran bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan disamping pemerdekaan dan pemanusiaan. Perilaku manusia terkait erat dengan kodrat dan eksistensinya sebagai makhluk mono-pluralis, bahwa manusia selain merupakan makluk individual juga makhluk sosial yang menyadari kodratnya sebagai makhluk Tuhan (Supadjar, 1995:16). Dengan kata lain, kodrat manusia adalah menyadari hakikat kemanusiaanya. Pembelajaran sebaik apapun tanpa memasukkan nilai kemanusiaan dengan sendirinya akan mengalami degradasi makna yang luar biasa sebab bagaimanapun lembaga pendidikan adalah tempat penanaman bibit bagi kekuatan moral, budaya, dan kehidupan generasi muda di masa mendatang. Pembelajaran sastra merupakan media yang paling memungkinkan dan paling akomodatif untuk penanaman dan pengembangan nilai-nilai moral karena di dalam karya sastra mengandung etika, norma, budaya, dan sistem tata nilai sebuah masyarakat. Mengingat bahwa karya sastra adalah sebuah paradigma sosial, yang di dalamnya setidaknya bisa dipelajari tiga paradigma yang menjadi dasar kehidupan, yaitu (1) paradigma fakta-fakta sosial, (2) paradigma definisi sosial, dan (3) paradigma perilaku sosial (Ritzer, 1975:56). Di dalam paradigma pertama, yang menjadi pokok persoalan adalah fakta-fakta sosial yang berupa lembaga-lembaga dan struktur sosial. Paradigma kedua mengarahkan perhatiannya terhadap cara individu-individu mendefinisikan situasi sosial mereka dan efek dari definisi serta nilai dari tindakan yang mengikutinya. Sedangkan paradigma yang ketiga berisi perilaku manusia sebagai subjek yang nyata, yang didalamnya banyak termuat sistem tata nilai yang berlaku dalam komunitas budaya. Konsep Imajinasi Sebagaimana diketahui, bahwa imajinasi ialah “penggunaan secara konstruktif (walaupun tidak harus kreatif) pengalaman persepsi di waktu lalu, yang dihidupkan kembali dalam pengalaman sekarang pada tingkat pembentukan ide, yang dalam totalitasnya bukanlah merupakan reproduksi pengalaman kemaren, tetapi justru pengorganisasian baru terhadap bahan yang diperoleh dari pengalaman kemarin”. Imajinasi mempunyai bentuk yang beragam, yang terdiri dari dua kelompok, pertama yaitu kelompok imajinasi yang tanpa kendali, kadang melantur dan tidak terarah, seperti perasaan rendah diri yang berlebihan, halusinasi, ilusi, lamunan dan mimpi. Sedangkan kelompok ke dua yaitu kelompok imajinasi yang dapat dikendalikan, yang dapat disetir sesuai dengan kemauan. Bentuk-bentuk imajinasi yang tidak sehat biasanya terjadi pada anak-anak yang bermasalah, mereka tidak mampu mengendalikan fantasinya, bahkan menyalahgunakan imajinasi sebagai jalan untuk melarikan diri dari kenyataan, yang jika dibiarkan sampai dewasa akan menjadi suatu imajinasi yang membahayakan. Bagaimanapun imajinasi mempunyai manfaat yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Secara terperinci Sumadi Suryabrata (2005) mengungkapkan manfaat imajinasi dalam kehidupan manusia yang sangat besar, diantaranya. : (1) Fantasi memungkinkan orang menempatkan diri dalam hidup kepribadian orang lain, dengan demikian maka ia dapat memahami sesama manusia. Hal yang demikian itu adalah bekal yang harus ada untuk lancarnya hubungan antar manusia untuk pergaulan. (2) Fantasi memungkinkan orang untuk menyelami sifat-sifat kemanusiaan pada 294 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
umumnya, dengan demikian maka dia dapat memahami kebudayaan asing, memahami nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya. (3) Fantasi memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari ruang dan waktu, dengan demikian ia dapat : a. Memahami apa yang terjadi di tempat lain; hal inilah antara lain yang memungkinkan orang belajar geografi; b. Memahami apa yang terjadi di waktu lain; hal inilah antara lain yang memungkinkan orang belajar sejarah. (4) Fantasi memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari kesukaran yang dihadapi, melupakan kegagalan-kegagalannya di masa lampau. (5) Fantasi memungkinkan orang untuk menyelesaikan konflik riil secara imajinair, sehingga dapat mengurangi tegangan psikis, dan menjaga keseimbangan batin. (6) Fantasi memungkinkan manusia untuk menciptakan sesuatu yang dikejar, membentuk masa depan yang ideal dan berusaha merealisasikannya. Mengingat manfaat imajinasi yang demikian besar ini, adalah perlu jika imajinasi seorang anak dikembangkan sejak dini, mengingat pengembangan imajinasi anak ini pada hakekatnya bertujuan untuk membangun motivasi anak belajar, semangat meneliti dan berkreasi serta mampu menyusun cita-cita dan rencana guna membangun kehidupan yang lebih baik. Kemudian mengenai pengembangan imajinasi ini, ada perbedaan pendapat antara beberapa psikolog dalam hal apakah perkembangan tersebut perlu dibatasi atau tidak. Montesori berpendapat bahwa fantasi anak dalam perkembangannya haruslah dibatasi, karena apabila tidak dibatasi dapat menghambat kemandirina anak, di mana ia dapat terlena dengan dunia khayalnya. Fantasi anak haruslah diberikan kesempatan yang sebebas-bebasnya, karena dengan keleluasaan berfantasi seorang anak akan memperoleh kepuasan tersendiri. Dengan adanya kepuasan jiwa anak itu, maka ia akan tumbuh dan berkembang secara sehat. Terlepas dari pendapat tersebut, sebaiknya anak diberi kesempatan untuk mengembangkan fantasinya, namun agar anak tidak terlalu terlena dalam dunia khayal yang berlebih-lebihan ada baiknya dalam latihan pengembangan fantasinya juga dibatasi, sehingga perkembangan fantasinya akan tetap bebas tetapi terkendali atau terarah. Pembelajaran Menulis Cerpen Salah satu materi menulis yang perlu diajarkan kepada siswa adalah menulis cerpen. Cerpen merupakan salah saturagam karya sastra berjenis prosa yang isinya berupa kisah pendek dengan sebuah pesan yang ingin disampaikan. Cerpen sebagai sebuah karya sastra yang terikat oleh aturan-aturan tertentu sebenarnya diharapkanagar dapat mengasah daya imajinasi dan kreatifitas siswa. Selain itu cerpen juga diharapkan menjadi suatu hiburan yang menyenangkan dalam pembelajaran menulis. Menulis cerpen memiliki keasyikan tersendiri. Tema yang diangkat bisa dari kehidupan seharihari, tidak membutuhkan banyak tokoh dengan cerita yang panjang. Dengan pembelajaran menulis siswa diharapkan mampu mengembangkan pikiran dan perasaannya melalui cerpen yang ia tulis. `Penerapantransformasi pada pembelajaran menulis cerpen pernah dipakai dalam beberapa penelitian sebelumnya diantaranyaoleh Yogas Novia Alamsyah “Upaya Meningkatkan Keterampilan Menulis Cerpen malalui Teknik Transformasi Film (Penelitian Tindakan Kelas X SMAN 6 tahun 2009/2010), penelitian untuk meningkatkan keterampilan menulis cerpen melalui teknik transformasi tersebut dilakukan dengan metode penelitian tindakan kelas. Penelitian dilakukan dalam tiga Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 295
siklus. Nilai rata-rata pada siklus I 63,34, pada siklus II 71,22 sehingga ada peningkatan nilai rata-rata antara siklus I dan II sekitar 7,98%, dan pada siklus III 76 sehingga ada peningkatan nilai rata-rata antara siklus II dan III sekitar 4,78%. Selainitu ada juga Luci Yolanda dengan judul penelitian “ Penerapan Teknik Transformasi Lirik Lagu pada Pembelajaran Menulis Cerpen Siswa Sekolah Menengah Atas. Luci menyimpulkan pembelajaran menulis cerpen dengan menggunakan teknik transformasi lirik lagu menunjukkan hasil yang lebih baik. Hal tersebut terlihat dari skor reliabilitas antarpenimbang data tes awal sebesar 0,96 dan skor reliabilitas antarpenimbang dan tes akhir sebesar 0,55. `Media film animasi dan teknik transformasi ini merupakan perpaduan yang akan sangat mempermudah siswa dalam pembelajaran menulis cerpen sehingga hasil yang diharapkan yaitu meningkatnya kemampuan menulis cerita pendek siswa dapat tercapai dengan maksimal. Masalah pembelajaran menulis cerpen yang membosankan karena penggunaan teknik dan media pembelajaran yang kurang variatif bisa diatasi dengan menggunakan teknik transformasi dengan didukung oleh media film animasi. Penerapan teknik dengan bantuan media film animasi itu diharapkan bisa memudahkan siswa mendapat inspirasi atau ide untuk menulis cerpen dengan rangsangan dari cerita yang disajikan dalam film animasi kemudian siswa mengalihwahanakannya dalam versi lain yang sesuai dengan keinginannya dalam bentuk tulisan. Cerpen Penyulut Imajinasi Siswa Cerpen merupakan pilihan karya sastra yang patut dipertimbangkan dalam sebuah karya sastra sebagai sebuah pilihan. Karya sastra cerpen di dalamnya terdapat alur cerita, namun di dalam cerpen pula memberikan suasana yang terjadi dalam situasi komunikasi obrolan dalam cerita pendek tersebut. Disitulah pembaca siapapun akan bertaburan imajinasinya ketika membaca cerpen. Hasilnya adalah pembaca dapat mengimajinasikan kejadian di dalam cerpen, bagaimanapun kondisinya, entah itu pertikaian, percintaan, kekerasan, bahagia, senang, suka pembaca akan di bawa kesituasi tersebut. Dengan seringnya mebaca cerpen, maka pembaca akan sangat terlatih dan terpicu pola pikir imajinasniya, pembaca akan dibawa naik dan turun emosionalnya dalam membaca cerpen tersebut. Telah terbukti bahwa cerpen sebagai penyulut imajinasi pembaca, maka cerpen merupakan pilihan dari sekian karya sastra sebagai toalk ukur pilihan penyulut imajinasi siswa. Banyak pembaca beralih menjadi penulis cerpen, hal tersebut berangkat dari hal yang kecil, yakni membaca sebuah karya sastra cerpen ini. Dari hasil membaca tersebutlah, pola pikir imajinasi seoarnag pembaca teorlah, dan tertantang dari sekilas bacaan cerpen, dengan lebih mendalami dan fokus dalam bacaan cerpen, pola pikir imajinasi mampu lari dan membentuk sebuah imajinasi baru. Siswa diberi suguhan cerpen, barang tentu bertemakan dengan umur siswa tersebut. Siswa di ajak membaca dengan lebih mendalami dan lebih terjerumus guna melatih lebih mendalam membaca, dengan tujuan terbangun imajinasi siswa tersebut. Langkah akhirnya nanti siswa mampu menuliskan sebuah cerpen dengan tema yang bebas, namun tidak keluar dari batasan umur siswa. Dengan demikian manfaat cerpen sangatlah penting, guan pelatihan imajinasi dan manfaat lainya siswa mampu menghasilkan sebuah tulisan yakni menulis. Cerpen merupakan dampak dari sebuah ketidakpuasan sebuah karya. Terlahir dari berbagai pemikiran dan muncul sebagai kisah karya sastra. Cerpen mampu membuat pembaca tergolak-alik saat pembaca benar-benar masuk ke dalam imajinasi 296 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
cerpen tersebut, dengan lebih mendalami dan sambil mengimajinasikan hal yang terjadi, dari hal tersebut mampu mengasah imajinasi dalam diri pembaca, sehingga tidak sedikitlah pembaca terinspirasi kemudian menulis dan meluncurkan cerpencerpenya. Terbukti sekali bahwa karya sastra cerpen mampu menyulut imajinasi pembaca dengan hasil bermunculan cerpen baru terlahir, semua itu berangkat dari pernah membaca cerpen pastinya. Wujud sebuah cerpen menginspirasi dalam pembelajaran sastra, guna penyulut imajinasi yang nantinya akan menghasilkan sebuah tulisan cerpen dari siswa. SIMPULAN Karya sastra cerpen adalah pilihan terbaik meskipun ada pilihan lain guna membangunkan imajinasi siswa. Namuncerpen merupakan bacaan yang tak begitu banyak, siswa cenderung malas ketika melihat bacaan yang tebal, berngakat dari tugas itu melihat secarik 3 lembar kertas siswa menganggap mampu mebacanya. Pilihan cerpen dianggap mampu terselesaikan oleh siswa untuk membacanya, namun banyak imajinasi yang terbangun dari bacaan yang tak begitu banyak. Dengan banyaknya imajinasi yang terbangun maka siswa mampu menulis dengan leluasa karena imajinasinya telah liar, dengan menuliskan cerpen kembali disitulah letak kontrol imajinasi yang terbangun liar tadi. Cerpen merupakan pilihan karya sastra yang patut dipertimbangkan dalam sebuah karya sastra sebagai sebuah pilihan. Karya sastra cerpen di dalamnya terdapat alur cerita, namun di dalam cerpen pula memberikan suasana yang terjadi dalam situasi komunikasi obrolan dalam cerita pendek tersebut. Disitulah pembaca siapapun akan bertaburan imajinasinya ketika membaca cerpen. Hasilnya adalah pembaca dapat mengimajinasikan kejadian di dalam cerpen, bagaimanapun kondisinya, entah itu pertikaian, percintaan, kekerasan, bahagia, senang, suka pembaca akan di bawa kesituasi tersebut. Dengan seringnya mebaca cerpen, maka pembaca akan sangat terlatih dan terpicu pola pikir imajinasniya, pembaca akan dibawa naik dan turun emosionalnya dalam membaca cerpen tersebut. Cerpen merupakan dampak dari sebuah ketidakpuasan sebuah karya. Terlahir dari berbagai pemikiran dan muncul sebagai kisah karya sastra. Cerpen mampu membuat pembaca tergolak-alik saat pembaca benar-benar masuk ke dalam imajinasi cerpen tersebut, dengan lebih mendalami dan sambil mengimajinasikan hal yang terjadi, dari hal tersebut mampu mengasah imajinasi dalam diri pembaca, sehingga tidak sedikitlah pembaca terinspirasi kemudian menulis dan meluncurkan cerpencerpenya. Terbukti sekali bahwa karya sastra cerpen mampu menyulut imajinasi pembaca dengan hasil bermunculan cerpen baru terlahir, semua itu berangkat dari pernah membaca cerpen pastinya. Wujud sebuah cerpen menginspirasi dalam pembelajaran sastra, guna penyulut imajinasi yang nantinya akan menghasilkan sebuah tulisan cerpen dari siswa.
DAFTAR PUSTAKA Cantor, P. A. 2004. The Scientist and The Poet. The New Atlantis: The Journal of Technology and Society, Number 4, Winter 2004, hlm 75—85 (Jurnal Online), (http://thenewatlatis.com/publications/the-scientist-and-the-poet), diakses 18 April 2015.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 297
Landys, G. A. 1996. Science, Fiction, and Poetry (PDF File), (http://www.geoffreylandys.com/SF_poetry.html), diakses 18 April 2015. Lisle, D. 2006. The Global Politics of Contemporary Travel Writing. Cambridge: Cambridge University Press. Suryabrata, Sumadi. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Supadjar, Damardjati. 1995. Filsafat Manusia. Yogyakarta: Bentang. Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing. Schwarz, D. R. 2008. In Defense of Reading: Teaching Literature in The Twenty-First Century. Oxford: Wiley-Blackwell. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Prinsip-prinsip dasar sastra. Bandung: Angkasa. Thompson, C. 2011. Travel Writing: The New Critical Idiom. Abingdon:Routledge. Yakob Sumardjo dan Saini K.M. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
298 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
KEKUATAN BANGSA INDONESIA: STUDI NOVEL-NOVEL PRAMOEDYA ANANTA TOER Sariban Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Darul Ulum Lamongan Jawa Timur
ABSTRAK Kajian terhadap bangsa Indonesia menarik dilakukan dalam upaya membangun kebangkitan bangsa Indonesia sebagaimana visi pemerintahan saat ini dengan slogan revolusi mental. Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus penelitian ini adalah mendeskripsikan kekuatan orang-orang Indonesia dalam cerita novelnovel Pramoedya Ananta Toer atau Pram. Untuk dapat mendeskripsikan prototipe kekuatan bangsa Indonesia melalui cerita novel-novel Pram, digunakan teoripostkolonial. Sebagaiteori, postkolonialmenghasilkan pernyataan yang berkaitan dialektika penjajah-terjajah. Teori postkolonial merujuk sekumpulan strategi teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan termasuk kesusastraan dari koloni-koloni bekas jajahan Eropa. Sebagai teori, postkolonial mengembangkan teori berdasarkan pendekatan sejarah. Pendekatan historis memertimbangkan relevansi karya sastra sebagai dokumen sosial. Hakikatkarya sastra adalah imajinasi dan imajinasi memiliki konteks sosial dan sejarah. Pendekatan historis dipilih peneliti karena novel-novel karya Pram sebagai sumber data penelitian berisi gambaran perisiwa sejarah yang dialami bangsa Indonesia dalam kurun penjajahan. Sumber data penelitian ini adalah empat novel karya Pram: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Keempat novel tersebut ditulis Pram sebagai bangsa terjajah yang merupakan representasi bangsa Indonesia. Operasionalisasi teori postkolonial dalam penelian teks sastra digambarkan dengan upaya menelitidata teks sastra yang berkait dengan kesadaran terjajah atas penjajah. Pendekatan penelitian postkolonial dilakukan dengan pendekatan penelitian kualitatifdengan metode interpretatif.Penggunaan pendekatan kualitatif interpretatifdalam penelitian postkolonialmerupakan bagian studi budaya. Kunci studi budaya adalah praktik pemaknaan yang dibangun melalui tanda bahasa sebagai medium karya sastra. Studi budaya berpusat pada representasi bagaimana dunia ini dikonstruksi kepada dan oleh kita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan bangsa Indonesia adalah rasa gigih membela nasibnya atas tindihan kuasa pihak lain. Bangsa Indonesia memiliki kesanggupan melakukan perlawanan kolektif terhadap pihak lain yang mengancamnya. Pada era semua negara merdeka seperti saat ini, sikap serupa adalah kesanggupan membangun bangsanya untuk setara bangsa yang lebih maju. Kekuatan kedua adalah kesadaran kolektif untuk menempatkan ilmu pengetahuan sebagai cara pandang pertama dalam membangun peradaban. Temuan penelitian ini adalah kemajuan bangsa Indonesia dapat diwujudkan melalui kepercayaan diri dan keyakinan diri bahwa bangsa Indonsia sepadan dengan bangsa lain. Kata-kata:kekuatan bangsa Indonesia, nove-novel Pramoedya Ananta Toer
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 299
PENDAHULUAN
Kekuatan bangsa Indonesia banyak ditemukan pada novel-novel Pram. Karyakarya Pram mendorong kebangkitan bangsa Timur. Oleh sebab itu, Pram dianggap sebagai pengarang yang berpengaruhdi Asia. Reputasi Pram secara internasional dapat dilihat dari penghargaan yang diperolehnya sejak tahun 1988: Freedom to Write Awarddari PEN American Center, Amerika Serikat; 1989: Anugerah dari The Fund for Free Expression, New York, Amerika Serikat; 1995: Wertheim Award dari Wertheim Foundation, Leiden, Belanda; 1995: Ramon Magsaysay Award dari Ramon MagsaysayAward Foundation, Manila, Filiphina; 1996: UNESCO Madanjeet Singh Prize dari UNESCO, Paris, Perancis; 1999 Doctor of Humane Letters dari University of Michigan, Madison, Amerika Serikat; 1999: Chanceller’s Distinguished Honor Award dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat; 1999: Chevalier de l’Ordre des Arts et des Letters dari Paris, Perancis; 2000: New York Foundaion, Amerika Serikat; 2000: Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang; 2004: Centenario Pablo Naruda, Republica de Chile (Toer, 2006:537—538). Kehidupan Pram memang penuh kontroversi. Bertahun-tahun, Pram sebagai tahanan politik. Dia dipenjara oleh pemerintah zaman penjajahan, Pemerintah Orde Lama, dan Pemerintah Orde Baru. Beberapa penjara yang pernah dihuni adalah Penjara Salemba (1965—1969), Pulau Nusakambangan (1969), Pulau Buru (1969— 1979); Banyumanik Magelang (1979), dan dinyatakan bebas pada tanggal 21 Desember 1979, meski harus wajib lapor kepada Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama dua tahun (Toer, 1997:vii). Karya-karya Pram yang banyak mengungkap hubungan Indonesia dengan penjajahan adalah empat novelnya yang sering disebut sebagai tetralogi novel Buru. Keempat novel tersebut adalah Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Bumi Manusia melingkupi gambaran Indonesia pada tahun 1898 sampai dengan1918, yang pada saat itu merupakan tonggak kebangkitan nasional. Anak Semua Bangsa bercerita pengenalan tokoh padalingkungan bangsanya. Jejak Langkah bercerita tentang kelahiran organisasi-organisasi modern pribumi. Rumah Kaca menceritakan usaha pemerintah Kolonial Hindia Belandadalam menciptakan manusia Hindia, sebagai negara jajahannya, sesuai dengan keinginan negara penjajah. Penelitian terhadap karya-karya Pram relevan menggunakan teori postkolonial.Teoripostkolonial memiliki kaitan erat dengan kolonialisme, imperalisme, orientalisme, dan berbagai studi yang berkaitan dengan kekuasaan. Teori ini merupakan perkembangan mutakhir dalam penelitian teks sastra.Terdapat hubungan antara kolonialisme dan nasionalisme (Ratna, 2008:50). Analisis postkolonial diharapkan dapat membantu penemuan kesadaran nasionalisme dalam rangka menopang kesatuan bangsa. Relevan penggunaan teori postkolonialisme dalam upaya membangun kesadaran nasionalisme bangsa-bangsa terjajah. Hubungan penjajah dan terjajah serta dampak pasca penjajahan terangkum dalam studi postkolonial. Studi kolonialisme adalah sebuah studi yang dianggap baru yang mempelajari bagaimana kolonialisme diterapkan pada suatu bangsa.Studi ini mempunyaitokoh penting, seperti: Edward W. Said, Homi K. Bhaba, dan Gayatri Chakravorty Spivak. Ketiganyamelakukan perlawan akademis terhadap pandangan Barat yang selama ini menguasai masyarakat Timur. Kajian-kajian budaya tentang kolonialisme menarik peneliti untuk menganalisis strategi yang diterapkan oleh pemerintah kolonial dan fenomena kolonialisme. Karena itu, penelitian dengan
300 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
mempergunakan teori postkolonial menjadi hal penting dalam mengungkap fenome kolonialisme Kehadiran penjajah Baratke bumi Timur dapat ditelusuri melalui sebabsebabkelemahan bangsa Indonesia sehingga mudah dikuasai penjajah. Penjajahan disebabkan oleh faktor instrinsik terjajah sehingga penjajah melakukan kekuasaan atas terjajah. Di sisi lain, Pram melalui novel-novelnya menunjukkan kekuatan bangsa Indonesia yang ketika itu disebut Nusantara. Fakta-fakta tersebut dapat dipelajari pada dokumen novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca Tetralogi Buru. Pram memberikan sumbangan kajian ilmiah dalam usaha pemahami bangsa Indonesiaatas dokmatisasi yang dikembangkan Barat. Dalam makalah ilmiah ini, dideskripsikan kekuatan bangsa Indonesia dalam cerita novel-novel Pram. TEORI
Postkolonial Teori yang relevan untuk dipakai dalam menganalisis berbagai gejala kultural termasuk kesusastraan yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern adalah metode postkolonial (Ratna, 2007:206). Ashcroft dkk. dalam Ratna (2007:207) menegaskan bahwa teori postkolonial lahir setelah negara-negara terjajah mengalami kemerdekaan yang mencakup seluruh khazanah sastra pada negara yang pernah mengalami kekuasaan penjajah sejak awal kolonialisasi hingga sekarang. Walia dalamRatna (2007:206) menyatakan bahwa penelitian postkolonial kali pertama dikemukakan oleh Frantz Fanontz dengan bukunya yang berjudul Black Skin, White Masks, and the Wretched of the Earth (1967). Fanontzmengembangkan analisis yang sangat cermat mengenai dampak psikologis dan sosiologis yang ditimbulkan oleh penjajahan. Fanontz menyimpulkanbahwa melalui dikotomi penjajah-terjajah, wacana oriental melahirkan marginalisasi psikologis yang dahsyat terhadp bangsa terjajah. Studi Fanontz ini dilanjutkan studi Edward W. Said melalui Orientalisme-nya, Gayatri C. Spivak, dan Homi K. Bhabha. Teori postkolonialdianggap relevan dalam penelitian mutakhir. Kajian-kajian budaya tentang kolonialisme menarik perhatian peneliti dalammenganalisis strategi yang diterapkan oleh pemerintah kolonial,fenomena kolonial, dan perlawanan pribumi terhadap kolonial. Penelitian dengan mempergunakan teori postkolonial menjadi hal penting dalam mengungkap fenomena kolonialisme di Indonesia, karena Indonesia merupakan negara bekas jajahan. Dengan memanfaatkan teori postkolonial, penelitidapat menjelaskan: strategi kolonial dalam mendominasi bangsa terjajah,fenomena perilaku bangsa terjajah akibat kolonial, dan perlawanan terjajah terhadap kolonial dalam bentuk kesadaran nasionalisme. Postkolonial sebagai teori dibangun dari paradigma cultural studies yangmerupakan cabang posmodernisme. Paradigma teori postkolonial menyatakan bahwa penjajah dan terjajah memiliki budaya yang berbeda. Karena itu, cara pandang bangsa penjajahberbeda dengan cara pandang bangsa terjajah. Lahirnya teori postkolonial dipicu studi Edward Said dalam Orientalisme, yakni bagaimana bangsa Barat melihat bangsa Timur menurut pespektif orang Barat. Dalam teori postkolonial, terdapat konsep-konsep bagaimana penjajah atau bangsa Barat melihat bangsa terjajah atau bangsa Timur. Inti paradigma postkolonial adalah kekuatan harus dilawan. Agar memiliki eksistensi, lemah harus memberikan perlawanan terhadap yang kuat. Agar Timur menjadi Timur, maka Timur harus memberikan perlawanan terhadap Barat. Agar tidak Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 301
terus dijajah, terjajah harus memberikan perlawanan terhadap penjajah. Bentuk-bentuk konflik penjajah dan terjajah ini banyak direpresentasikan dalam karya sastra yang ditulis pada masa dan setelah periode penjajahan. Pertentangan antara Barat dan Timur direpresentasikan dalam konflik-konflikyang tergambarkan dalam sastra. Konflik dalam sastra memang selalu ada. Budiman (dalam Herfanda, dkk [ed.], 2003:114) melihat bahwasastra selalu mempunyai ruang untukmengekspresikan konflik-konflik dengan penggarapan yang khusus sehingga menimbulkan pemaknaan bagi pembacanya. Faruk (2007:14-18) memilah studi postkolonial menjadi tiga hal. Ketiga hal tersebut adalah postkolonial sebagaiteori atau teori postkolonial, hubungan teori dengan realitas yang menghasilkan pernyataan yang berkaitan dialektika penjajahterjajah, dan metode atau operasionalisasi teori postkolonial. Orientalisme Orientalisme dan postkolonialismebermuara pada kekuasaan. Orientalisme melihat bagaimana penjajah menguasai terjajah. Postkolonialisme melihat bagaimana terjajah melakukan perlawanan atas kekuasaan penjajah. Jika orientalisme lebih pada dominasi kekuasaan penjajah, postkolonialisme lebih pada bagaimana terjajah mengatasi dominasipenjajah atau kekuasaan penjajah. Jika orientalisme merupakan alat penjajah menguasai terjajah, postkolonialisme merupkan alat terjajahuntuk membebaskan diri dari penjajah. Ratna (2008:110) melihat bahwa studi orientalisme berparadigma Gramscian dan Foucaultian mengenai strategi kekuasaan. Gramsci yang terkenal dengan teori hegemoninya berkeyakinan bahwa dominasi kuat atas lemah dapat dilakukan melalu ideologi sedangkan Foucault berkeyakinan bahwa pengetahuan merupakan alat kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan terbangun oleh variabel ideologi dan ilmu pengetahuan. Paradigma yang dianut oleh postkolonial adalah bahwa terdapat oposisi biner antara kuat dan lemah. Pihak kuat menguasai pihak lemah. Karena secara geografis negara-negara Barat adalah kuat sedangkan negara-negara Timur adalah lemah, maka terjadilah bahwa Barat menjadi bangsapenjajah dan Timur menjadi bangsaterjajah. Kesadaran keterjajahan mengakibatkanmasyarakat terjajah atau bangsa Timur (orient)memberikan perlawanan terhadapkolonial atau bangsa Barat (occident). Orientalisme dan postkolonialisme merupakan dua sisi mata uang yang berlawanan. Dilihat dari fungsi dan tujuannya, wacana orientalis seolah-olah bertentangan secara paradoksal dengan wacana postkolonial. Wacana orientalis adalah wacana yang mewakili sistem ideologi Barat dalam kaitannya dengan fungsinya untuk menanamkan hegemoninya terhadap bangsa Timur. Sebaliknya, wacana postkolonial adalah wacana yang mewakili sistem ideologi timur untuk menanamkan pemahaman ulang sekaligus memberikan citra diri baru terhadap bangsa timur atas hegemoni barat. Orientalisme adalah pengetahauan mengenai dunia timur yang menempatkan segala sesuatu yang bersifat timur dalam mata pelajaran sekolah, mahkamah, penjara, atau buku-buku pegangan untuk tujuan penelitian, pengkajian, pengadilan, pendisiplinan, atau pemerintahan atasnya (Said, 2001:52). Karena itu, orientalisme merupakan cara penulisan, pewawasan, dan kajian yang dibuat teratur dan diorientalisasikan dalam upaya dominasi oleh imperatif-imperatif, perspektifperspektif serta bias-bias ideologis, yang dianggap cocok bagi timur. Timur diajarkan, diriset, diatur, dan dinilai dengan cara-cara khas tertentu atau cara-cara barat (Said, 2001:263). 302 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Pengkajian barat terhadap timur dengan perspektif barat tersebut disebabkan ketidakberdayaan timur terhadap barat. Kekuatan memegang peranan penting dalam hal ini. Orientalisme dengan demikian merupakan bentuk penguasaan barat terhadap timur. Karena itu, Said (2001:265) menyatakan bahwa orientalismemerupakan satu doktrin politis yang ditetapkan terhadap timur, karena Timurlebih lemah daripada barat. Orientalisme karena itu menunjukkan betapa timur adalah lemah di mata barat. Analisis Said (2001:267—268) atas tulisan-tulisan penulis barat menunjukkan bahwa persepsi barat terhadap timur yang dinilai sebagai masyarakat yang harus ditolong barat tumbuh sejak tahun 1870 sampai awal abad XX. Penulis-penulis barat yang menulis tentang timur seperti Renan danMarx dalam bidang ideologi; Lane danSacy dalam bidang kecendiakawanan; dan Flaubert dan Nerval dalam bidang fiksi, melihat timur sebagaikawasan yang membutuhkan perhatian rekonstruksi bahkan penebusan barat. Timur diciptakan sebagai kawasanyang terisolasi dari arus kemajuan Eropa dalam bidang sains, seni, dan perdagangan. Semua nilai baik ataupun buruk yang dikenakan kepada timur tampak merupakan fungsi kepentingan barat untuk menguasai timur. Said dalam Ratna(2007:216) membagi studi orientalmenjadi tiga kategori. Ketiga kategori studi oriental tersebut adalah(1) sebagai semata-mata kajianakademis, (2) sebagai usaha meraih kekuasaan, (3) sebagai upaya menciptakancitra diri, sebagai pusat, dengan cara menciptakan dikotomi secara laten. Studi ini merupakan tradisi klasik barat yang memelajari suatu kawasan dengan menggunakan cara-cara yang ada di kawasan timur. Barat mendasarkan pemikirannyaatas perbedaan ontologis dan epistemologis antara timur (the orient) dan barat (the occident), selalu mengesampingkan timur, korporasi yang berhubungan dengan timur, dan mendominasi timur (Ratna, 2005:247). Karena itu, bangsa kolonial memiliki pandangan yang berbeda dengan dengan bangsa terjajah. Bangsa kolonial berpandangan bahwa bangsa terjajah harus dikuasai agar mereka dapat diatur. Pengaturan tersebut bertujuan mendatangkan keuntungngan bagi bangsa kolonial. Orang timur sebagai terjajah diwadahi (contained) dan ditampilkan dalam kerangka-kerangka yang menguasainya (Said, 2001:52). Barat dengan demikian berprespektif menurut cara pandangnya. Timur yang sesungguhnya karena itu bukanlah yang digambarakan oleh barat. Pandangan barat menyatakan bahwauntuk memeroleh kekuasaan haruslah memiliki pengetahuan untuk berkuasa. Foucault (dalam Sarup, 2008:110—113) membahas hubungan pengetahuan dengan kekuasaan. Bagi Foucault, pelaksanaan kekuasaan menciptakan dan melahirkan pengetahuan yang baru. Sebaliknya, pengetahuan menciptakanpengaruh-pengaruh kekuasaan. Tanpa pengetahuan, kekuasaan tidak mungkin dijalankan. Pengetahuan karena itu merupakan salah satu instrumen kekuasaan. Barat mengandaikan bahwa kekuasaan bisa diperoleh baik secara sah maupun secara tidak sah. Kekuasaan juga dapat digunakan secara baik atau tidak baik. Sementara itu, orangtimur dalam hal iniorang Jawa menganggap bahwadi mana pun terdapat kekuasaan. Penggunaan kekuasaan dimaknai sebagai sesuatu yangsyah. Kekuasaan sebenarnya tidak ‘dipakai’ (berkuasa), melainkan ‘terdapat’, hadir, dan ada. Penguasa tidak menggunakan kekuasaannya tetapi membiarkan kekuasaanitu ‘mengalir’berada pada diri sang penguasa. Bagi orang Jawa, tindakan yang menunjukkan kekuasaannya adalah ’ada dengan sendirinya’ (Suseno, 2001:111). Sebaliknya, bagi barat, kekuasaan harus diperoleh atau diraih. Sementara itu, bagi Timur orang Jawa, kekuasaan harus diterima. Kekuasaan bagi barat bersifat aktif Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 303
sementara bagi timur bersifat pasif. Perbedaan paradigma kekuasaan ini menjadikan bangsa kolonial bersifat agresifterhadap bangsa yang dijajahnya. Dalam kasus penjajahan bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia, studi yang dilakukan Hefner [ed.] (2007:49--50) menunjukkan bahwa kebijakan Belanda di Jawa dalam dekade setelah tahun 1830-an telah begitu banyak menggerus otoritas bangsawan. Kemerosotan dominasi kerajaan yang secara sengaja diciptakan kolonial ini berdampak pada pergeseran kekuasaan baru. Kenyataan ini dipertegas dengan analisis Kartodirdjo (1972) yang dikutip Hefner [ed.] (2007) bahwa para pemimpin pesantren pedesaan maupun pemimpin mistis berbasis rakyat adalah penerima keuntungan terbesar dari legitimasi bangsawan yang tengah menyusut pada abad XX. METODE
Metode penelitian pada kertas kerja ilmiah berparadigma teori postkolonial. Operasionalisasi teori postkolonialisme dalam penelian teks sastra digambarkan dengan upaya menelitidata teks sastra yang berkait dengan kesadaran terjajah atas penjajah. Pendekatan penelitian postkolonial dilakukan dengan pendekatan penelitian kualitatif (Miles: 2007) dengan metode interpretatif (Saragih:2004). Terdapat alasan yang kuat penggunaaan pendekatan kualitatif interpretatifdalam penelitian postkolonial yang merupakan bagian studi budaya. Barker (2004:8); Denzim dan Lincoln (1994:2-3); danRatna (2005:9597) menyatakan bahwa kunci studi kultural adalah praktik pemaknaan yang dibangun melalui tanda bahasa. Sumber data penelitian ini adalah teks produk pribumi sebagai akibat kolonial. Teks yang dimaksud adalah empat novel karya Pramoedya Ananta Toer. Empat novel tersebut adalah: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Data danalisis dengan berpedoman pada teknik tipologi (Patton,1987:150;Setiyadi,2006:256). Data yang sudah terkumpul dianalisis dengan sistem pengelompokan data yang didasarkan pada kategori tujuan penelitianyang sebelumnya telah ditentukan oleh peneliti. Berdasarkan kategorikategori tersebut, peneliti melakukan analisis data secara induktif dengan teknik kualitatif interpretatifatau tafsir postkolonial sebagai alat analisisnya.Metode tafsir Postkolonial termasuk dalam pendekatan interpretatif. Menurut Saragih (2004:22), pendekatan interpretatif mengandalkan pluralisme dan berbagai kenyataan sosial yang harus diterima dalam maknanya. Di dalam proses interpretasi, cara kerja hermeneutik atau penafsiran dipakai. Hermeneutik merupakan cara kerja atau metodeinterpretasi (Palmer, 2005:149). Teknik lingkaran hermeneutik dibangun untuk memasuki makna teks: meloncat bolak-balik antara totalitas yang dipahami melalui bagian-bagian yang mengonkretkannya dan bagian-bagian yang dipahamimelalui totalitas pemberian maknasesuai dengan tujuan penelitian. PEMBAHASAN
Kekuatan bangsa Indonesia sebagai identitas kebangsaan dalam novel-novel Pram dapat dikelompokkan menjadi dua identitas. Secara konstruktif, bangsa Indonesia memiliki kegigihan hidup dan memiliki kesadaran untuk memeroleh pengetahuan.Kedua kekuatan tersebut dideskripsikan di bawah ini. Kegigihan Cerita-cerita orang timur versi orang barat memiliki sumbangan pengembangan budaya bagi orang timur. Ada dua hal yang dapat dicatat dalam koteks ini. Karakter
304 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
tida mudah menyerah dan kesadaran terhadap perubahan yang lebih baik menandai revolusi orang-orang timur untuk menuju bangsa berperadaban tinggi. Mitos kegigihan dan tidak mudah menyerah bangsa timur terkuak dalam peperangan masa kolonial. Orang-orang barat sebagai representasipenjajah merasakan perlawanan yang diberikan rakyat lokal di Hindia tidak mengenal menyerah dan putus asa. Orang Aceh, misalnya, dikenal sebagai bangsa yang ulet dan tidak mudah menyerah. Mereka tidak mengenal kalah dalam peperangan. Mereka tidak pernah menyerah meski kalah. Orang Aceh memiliki cara khusus dalam berperang. Meski kalah, mereka tetap melawan dengan segala kemampuanyang mereka miliki. Orang Aceh tidak pernah mengenal kata menyerah, sehingga lawan yang tidak memiliki semangat baja akan tumpas di hadapan rakyat Aceh. Kehebatan rakyat Aceh terlihat pada novel Bumi Manusia Pramberikut. ”Orang-orang berangasan dari daerah kapur akan tumpas di Aceh”(Toer, 1980:52). Selain tidak mudah menyerah, rakyat Aceh memiliki keberanian yang luar biasa dalam menghadapi penjajah. Segala cara ditempuh untuk melumpuhkan lawan. Tindakan-tindakan nekad dan sporadis yang tidak diperhitungkan lawan dilakukan. Semangat berkobar untuk berperang melumpuhkan penjajah tidak hanya dimiliki kaum laki-laki. Merekaberperang tidak mengenal usia, jenis kelamin, dan keadaan. Perempuan, anak-anak, dan orang sakit justru bersemangat berperang karena mereka berkeyakinan mati dibunuh musuh merupakan hal yang berguna bagi bangsanya. “Memutus sarana kompeni: jembatan, jalanan, kawat tilgrap, kereta dan relnya, peracunan air minum, serangan dadakan, ranjau bambu, penyergapan, penikaman tak terduga, pengamanan dalam tangsi. Korban rakyat Aceh dalam perang: anak-anak, kakek-nenek, orang sakit, wanita bunting, dan orang yang tak berdayaitu justru beruntung jika dibunuh kompeni” (Toer, 1980: 52-53). Karena kegigihan rakyat Aceh, Jean Marais menilai rakyat Aceh sebagai orangpenggertak, ulet, keras seperti baja,dan bangsa perbuatan. Kegigihan rakyat Aceh ini juga dimiliki oleh rakyat Bali dan daerah lain dalam melawan penjajah. Rakyat masing-masing daerah dengan gigih melawan penjajah Belanda. Daerah satu kalah, daerah lain membangun kekuatan. Kekalahan daerah lain tidak menyurutkan perjuangan rakyat daerah lain. Mereka justru membangun semangat untuk menang. Perlawanan demikian inilah yang melahirkan semboyan perjuangan nasionalisme keindonesiaan: Hilang satu tumbuh seribu. Kegigihan orang-orang timur terlihat pula dalam perang tidak mengenal lelah di Bali, Lombok, dan daerah-daerah lain. Perang rakyat Bali menunjukkan keheroikan mereka. Meski rakyat habis oleh bedil dan meriam Belanda, mereka tidak pernah menyerah. ”Pertempuran untuk menjatuhkan kerajaan Klungkung, kerajaan Bali berakhir, berjalan selama lebih dari empat puluh hari. Klungkung jatuh, tapi Lombok bangkit melawan” (Toer, 1985: 245). Cerita kegigihan rakyat Lombok dari mulut ke mulut sampai hari ini masih kita dengarkan manakala bertemu pemandu wisata di sana. Tempat perang habis-hasisan itu diyakini di jalan raya sepanjang depan Hotel Lombok Raya yang bersebelahan dengan makam Belanda yang diyakini seorang jenderal yang mati terbunuh oleh senjata pasukan Lombok yang pemberani. Dalam konteks Bali, tokohTer Haar menulis surat kepada Minke tentang perlawanan orang-orang Bali. Meski mereka telah dikalahkan Belanda dengan korban ribuan mayat laki-laki, perempuan, dan bayi, mereka mundur membentuk perlawanan dengan membentuk bentengToh Pati dan melakukan serangan gerilya yang tak Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 305
mengenal pasrah demi mempertahankan daerah wilayah Klungkung, setelah Denpasar dikuasai kompeni. Hanya dengan persenjataan sederhana tombak dan keris, mereka menumpas Belanda yang bersenjata modern sehingga Belanda harusmenurunkan banyak pasukan. Menundukkan Klungkung harus melalui Toh Pati. Entah berapa tahun lagi Toh Pati akan dapat dilalui. Satu bangsa yang hebat menghadapi bala tentara modern tanpa gentar. Satu bangsa yang patut jadi kebanggaan Tuan. Demikiantulis Ter Haar sebagai representasi pandangan bangsa barat kepada bangsa. “Raja Klungkung telah memerintahkan semua orang, laki, perempuan, dan anak-anak untuk nyikep, senjata di tangan, sampai orang penghabisan. Gong Ki Sekar Sandat telah ditabuh bertalu-talu dan Keris Andal-Andal kerajaan I Pecalang dan I Tan Kadang telah dihunus, sebagai pertanda kerajaan siap tempur.” (Toer, 1985: 209). Itulah gambaran kegigihan dan tidak mudah menyerah rakyat terjajah dalam melawan penjajah. Karakter heroisme, berani mati, tidak mudah menyerah, dan tidak pernah takut kepada siapa pun, kecuali kepada Tuhan, merupakan karakter bangsa ini. Bangsa ini dalam sejarah memiliki mental tidak mudah menyerah. Mental kerja keras dan tak mudah menyerah ini merupakan modal dasar sebuah bangsa yang ingin maju. Keuletan orang Aceh danBali dalam sejarah peperangan melawan kolonial mengajarkan kepada kita bahwa bangsa ini bangsa besar yang memertaruhkan segala apa yang dimiliki demi kehormatan bangsanya. Karakter yang demikian perlu memperoleh tempat di saat keadaan kolektif bangsa yang terkesan pemalas dan tak memiliki jiwa kompetitif seperti padasaat ini. Keterbatasan menjadikan jiwa ’petarung’ muncul dan ingin menjadi pemenang. Sejarah menunjukkan betapa alat-alat perang kita sangat minim dibandingkan penjajah yang sudah mengenal teknologi bedil dan mesiu. Petani desa yang tak pernah mengenal teknologi perang pun berani melawan penjajah yang bersenjata lengkap. Jika rakyat tak terpelajar mewujudkan kgigihannya melalui pengorbanan fisik, para terpelajar memiliki gagasan-gasan besar kesadaran akan pentingnya memperoleh pendidikan. Ini terlihat pada propaganda Boedi Oetomo(BO) bahwa pendidikan diyakini oleh bangsa terjajah mampu meningkatkan peradaban, kebudayaan, derajat, dan kehormatan bangsa terjajah atas dominasi barat. Pameo Jawa bahwa orang pandai menguasai orang bodohmerupakan jargon yang diyakini kebenarannya. Agar tak dikuasai dan memiliki kehormatan hidup sebagaimana derajat penjajah, jawabannya adalah ’pendidikan’.”Dengan BO kita orang Jawa akan memerbaiki nasib bersama-sama. Kita akan tingkatkan peradaban dan kebudayan kita, kita akan naikkan derajat dan kehormatan bangsa kita. Tidak semua anak-anak Tuan dapat memperolehtempat di sekolah Angka Satu, apalagi di ELS. Kita akan bangun sendiri dengan kekuatan sendiri sekolahan untuk anak-anak Tuan.” (Toer, 1985: 249).Temuan kegigihan orang-orang Timur sebagai representasi terjajah berupa perjuangan fisik dan idealisme sebagai bangsa. Kegigihan bangsa Timur melahirkan semboyan “hilang satu tumbuh seribu”. Kesadaran Ilmu Pengetahuan Cerita tentang kebangkitan orang-orang timur diteliti secara detail oleh Kahin (1952) pada buku Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia.. Dalam disertasinya, Kahinmencatat bahwa kebangkitan orang timur yang direpresentasikan Indonesia disebabkan pilar bahasa dan agama. Orang-orang Timur terdorong mengalahkan Barat
306 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
juga dipicu oleh motivasi kemenangan Jepang melawan Rusia pada awal abad 19. Jepang sebagai bangsa Asia berilmu pengetahuan tinggi. Pram melalui tetraloginya mengajak bangsanya maupun bangsa terjajah untuk bangkit menuju modernitas melalui kesadaran terhadap ilmu pengetahuan. Bentuk modernitas adalah kesadaran dan kesanggupan keluar dari kebodohan menuju penguasaan ilmu pengetahuan. Hal disadari bahwa Eropa mampu menguasai bangsabangsa terjajah karena Eropa telah mampu menguasai ilmu pengetahuan sedangkan terjajah masih jauh tertinggal dalam peradaban keilmuan.Ketertinggalan bangsa terjajah terhadap dunia ilmu pengetahuan digambarkan Pram padanovel Anak Semua Bangsa. “Manusia Pribumi masih manusia zaman tengah, mungkin juga zaman purba, bisa jadi zaman batu. Tapi kalau pribumi Hindia, satu prosen saja, telah menguasai ilmu pegetahuan Eropa—tidak perlu satu prosen, sepersepuluh prosenlah—manusia yang sudah berubah itu akan bisa mengadakan perubahan atas keadaan, dan berubah pula bangsanya” (Toer, 2009: 406). Modernitas ditandai oleh penguasaan ilmu pengetahuan. Pram sebagai representasi terjajah merasakan Eropa telah mengalami kemajuan pesat dalam modernisasi. Rasa ingin seperti Eropa dirasakannya dan perasaan itu hendak dibagi kepada bangsanya yang dianggapnya masih belum menyadari pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan. Kerinduan modernitas Pram sebagai bangsa terjajah untuk seperti Eropa.“Modern! Dengan cepatnya kata itu mengelembung dan membiak diri seperti bakteri di Eropa sana. (Setidak-tidaknya menurut kata orang). Maka izinkanlah aku ikut pula menggunakan kata itu, sekalipun aku belum sepenuhnya dapat menyelami maknanya” (Toer, 1980: 4). Keinginan Pram untuk seperti Eropa merupakan jalan pembebasan bangsa terjajah agar tidak terus-menerus dikuasai Eropa. Tetralogi novel Pram mengajak pembacanya untuk memiliki semangat membangun ilmu pengetahuan bangsa terjajah sehingga memiliki kedudukan yang sama dengan penjajah. Kepandaian bangsa terjajah mengantarkan bangsa ini keluar dari kekuasaan kolonial. Karena itu, Pram menggunakan bahasa yang profokatif ‘rebut ilmu pengetahuan’. “Rebut ilmu pengetahuan dari mereka (kolonial) sampai kau sama pandai dengan mereka. Pergunakan ilmumu itu kemudian untuk menuntun bangsamu ke luar dari kegelapan yang tiada habis-habisnya ini” (Toer, 2006: 252). Tradisi untuk berilmu pengetahuan di kalangan bangsa terjajah telah ditanamkan dalam tetralogi novel Pram. Pram mengajak bangsanya untuk menyambut abad XX sebagai abad ilmu pengetahuan dalam usaha pembebasan bangsa-bangsa terjajah atas penjajahan.Meski demikian, Pram terasa asing di tengah-tengah bangsanya yang masih memegang teguh tradisi penghambat modernitas. Optimisme modern yang hendak diraih dan pesimisme keadaan bangsa terjajah yang terbelit tradisi penghambat modernitas. Minke digambarkan Pram dalam kesepian. Minke meninggalkan Surabaya menuju Batavia untuk menuntut ilmu di STOVIA. Dia merasa sendiri dalam menyongsong abad modern, abad ilmu pengetahuan.Rasa sepi dan pesimis Minke dalam menghadapi bangsanya ini disebabkan bangsa terjajah masih dalam belenggu adat. Terjajah masih memberikan penghormatan kepada seseorang karena darah kebangsawanan, bukan karena ilmu pengetahuan.Timur menyadari pengetahuan merupakan langkah yang harus dilakukan dalam usaha membebaskan diri dari penjajahan. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Foucault yang menyatakan pengetahuan adalah kekuasaan.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 307
PENUTUP Pembacaan akademis cerita novel-novel Pram menghasilkan representasi kekuatan bangsa Indonesia. Orang-orang Indonesia memiliki kekuatan internal pada diri mereka yang dapat menjadikan Bangsa-bangsa Timur memiliki prototipe kekuatan menjadi bangsa besar. Kekuatan internal orang-orang timur adalah rasa gigih membela nasibnya atas tindihan kuasa pihak lain. Timur memiliki kesanggupan melakukan perlawanan kolektif terhadap pihak lain yang mengancam orang-orang timur. Pada era pascakolonial seperti saat ini, sikap serupa adalah kesanggupan membangun kawasan bangsa-bangsa Timur untuk setara Barat. Dikotomi negara berkembang dan maju pada konteks ini bergeser menjadi cita-cita perwujudan kesepadanan sebagai negara yang maju, beradab, dan memiliki peran dalam kemanfaatan global. Dalam konteks kawasan, negara-negaraAsia haruslah berperan dalam masalah global. Kekuatan konstruktif kedua adalah kesadaran kolektif orang-orang Timur untuk menempatkan ilmu pengetahuan sebagai cara pandang pertama dalam membangun peradaban. Pembangunan manusia menjadi pilar penting dalam mewujudkan budaya berilmu pengetahuan seiring semakin berkurangnya cadangan sumber daya alam. Karena itu, pendekatan literasi, pendidikan, penelitian, dan rekayasamenjadi kewajiban dasar kekuatan bangsa-bangsa Asia dalam membangun ilmu pengetahuan menuju bangsa kawasan maju.*
DAFTAR PUSTAKA Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Denzim, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (ed.) 1994. Handbook of Qualitative Research. London: Sage. Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hefner, Robert W. (ed.). 2007. Politik Multukultarisme: Menggugat Realitas Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius. Herfanda, Ahamdun Yosi, dkk [ed.]. 2003. Sastra Kota: Bunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta. Yogyakarta: Bentang. Kahin, George McTurnan. 1952. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Miles,Matthew B dan A. Michel Huberman. 2007. Analisis data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru (diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi dari judul Quatitative Data Analysis). Jakarta: UI Press. Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. (Diterjemahkan oleh Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed dari dudul asli Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Northwestern University Press, Evanston, 1969). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
308 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Patton, Michael Quinn. 1988. Qualitative Evaluation Methods. London: SAGE Publications. Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialiesme Indonesia Relevansi Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. ______. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ______. 2005. Sastra dan Kultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Said, Edward W. 2010. Orientalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _________. 2001. Orientalisme. Bandung:Penerbit Pustaka Sarup, Madan. 2008. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan Posmodernisme. Yogyakarta: Jalasutra. Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama. Toer, Pramoedya Ananta. 1980. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra. __________. 1985. Jejak Langkah. Jakarta: Hasta Mitra. __________. 1997. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2. Jakarta: Lentera __________. 2009. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Lentera Dipantara. __________. 2006. Rumah Kaca. Jakarta: Lentera Dipantara.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 309
310 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
SASTRA BUDAYA JAWA SEBAGAI MEDIA PUSTAKA TATA KRAMA SISWA Siwi Tri Purnani Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang 65145 Pos.el-
[email protected]
ABSTRAK Globalisasi memberikan dampak perkembangan teknologi makin merajai dunia sehingga membawa masyarakat pada kebiasaan nyaris tidak bertata krama. Salah satu hal mendasar pada sastra adalah nilai tentang pandangan dunia yang mengungkapkan sistem nilai kehidupan, nilai bersifat personal dan sosial, makna yang baik dan buruk, indah dan jelek, juga benar dan salah. Akhir-akhir ini banyak fenomena yang menunjukkan bahwa apresiasi generasi muda terhadap tata-krama Jawa mengalami kemerosotan. Ada dua hal yang menjadi penyebab utama, yaitu: pertama, kurangnya pendidikan tentang tata-krama yang mengupas nilai dan maksud-tujuannya; kedua, adanya pergeseran nilai-nilai yang menjadi acuan hidup masyarakat Jawa akibat pengaruh kemajuan globalisasi. Keadaan seperti ini harusnya mendorong para pemerhati budaya untuk membentuk pendidikan nilai tata-krama yang lebih relevan bagi generasi muda di tengah situasi jaman yang semakin diwarnai budaya global seperti saat ini. Artikel ini bertujuan agar pembaca memahami bahwa sastra bermuatan budaya, seperti budaya Jawa dapat menjadi media pustaka siswa agar memahami bagaimana seharusnya bertata-krama. Salah satu novel yang terselip nilai-nilai tata krama adalah novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Pada novel tersebut tersisip beberapa bentuk budaya yang menyimpan nilai tata krama yang seharusnya diaplikasikan oleh masyarakat Jawa, di antaranya adalah wujud kerukunan masyarakat dan sikap santun berbahasa tanda hormat kepada yang lebih tua. Kata Kunci: sastra budaya Jawa, media pustaka, tata krama
PENDAHULUAN
Pada masyarakat Jawa jaman dahulu, sejak kecil seorang anak Jawa dididik oleh orang tuanya untuk menjadi manusia Jawa otentik yang selalu berperilaku santun terhadap orang lain. Kesantunan adalah tatacara atau kebiasaan, norma atau adat yang berlaku dalam suatu masyarakat yang menjadi kesepakatan bersama oleh suatu masyarakat tertentu. Bagi masyarakat Jawa kesantunan kerap disebut sopan santun, unggah-unnguh, atau tata krama atau etika. Etika atau kesantunan tersebut merupakan ukuran peradaban sebuah bangsa (Purwadi, 2008). Tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa dapat dilihat seberapa jauh setiap warganya bertindak sesuai dengan norma yang disepakati bersama. Bila setiap anggota masyarakat mentaati norma dan etika, tidak akan ada konflik di dalam masyarakat, dan hubungan antar anggota masyarakat menjadi harmonis, dan selaras terwujudlah keadaan ideal ’toto tentrem’. Kerukunan dan saling menghormati merupakan dua kaidah penting yang menjadi dasar tata kehidupan bermasyarakat atau etika manusia Jawa (Magnis-Suseno, 1984:38). Prinsip kerukunan itu mengatakan bahwa dalam setiap situasi, manusia Jawa hendaknya bersikap sedemikian rupa untuk tidak menimbulkan konflik. Bila antar warga masyarakat rukun hubungan antar mereka menjadi harmonis. Rukun berarti harmonis atau selaras, tanpa perselisihan dan pertentangan. Masyarakat dalam keadaan Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 311
seperti ini disebut toto tentrem. Keadaan toto tentrem inilah yang diidamkan manusia Jawa. Kaidah kedua menuntut agar dalam berbicara dan membawakan diri manusia Jawa selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Terhadap orang yang lebih tinggi statusnya seseorang Jawa hendaknya menunjukkan rasa hormat dan sungkan. Perasaan sungkan seperti ini disebut rasa pekewoh atau rikoh. Perasaan pekewoh dan sungkan ini menuntut seorang Jawa untuk selalu berhati-hati dalam bertindak dan berbicara, dan oleh karenanya manusia Jawa tidak akan sembrono dalam membawakan diri maupun dalam berbicara. Bagi manusia Jawa kekeliruan, ketidak hati-hatian atau kesembronoan dalam berperilaku dan berbicara akan dianggap tidak sopan atau tidak punya unggah-ungguh. Pada zaman ini, teknologi menjadi salah satu hal yang sangat diagung-agungkan oleh masyarakat. Keefektifan dan kemudahan berteknologi menjadi daya tarik tersendiri bagi penggunanya. Hal ini terjadi karena pola hidup masyarakat yang cenderung menyukai dan mengagumi semua hal yang berbau instan dan cepat. Penggunaan teknologi akan membuat hidup manusia terasa lebih efisien dan waktu yang digunakan pun tidak terbuang sia-sia. Namun, penggunaan teknologi yang berlebihan akan membuat manusia menjadi manusia yang hedonis, sehingga karena ketergantungannya pada teknologi, tata krama pun akan semakin ditinggalkan. Seperti yang tertulis dalam artikel berita online Kompasiana pada tanggal 24 Juni 2015 yang berjudul “Tata Krama di Manakah Dirimu Kini?”. Pada artikel tersebut diungkapkan bahwa letak tata krama kini telah disangsikan. Keberadaannya makin lama makin tergeser dengan canggihnya perkembangan teknologi. Hal ini terlihat sangat miris, ketika sekolah sebagai lembaga pendidikan formal tak lagi dapat mengajarkan nilainilai budi pekerti, namun hanya mengejar target penguasaan materi semata. Seperti yang diungkapkan oleh Poerwadarminta (1939:51) bahwa budi pekerti terdiri dari dua kata, yakni budi berarti nalar, pikiran, dan watak. Sedangkan pekerti adalah perilaku. Kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan karena budi seseorang baru tampak apabila seseorang telah melakukan sesuatu ke dalam bentuk pekerti. Sastra sebagai salah satu bagian dalam pendidikan dan kehidupan manusia, diharapkan dapat menjadi mediator atau stimulus menyadarkan siswa tentang pentingnya dan perlunya pelestarian tata krama dalam kehidupan bermasyarakat. Khususnya pada sastra Jawa yang di dalamnya mengandung banyak filosofis hidup bertata krama bagi masyarakat Jawa yang kini mulai dilupakan kebiasaannya. Akhir-akhir ini banyak fenomena yang menunjukkan bahwa apresiasi masyarakat Jawa, khususnya generasi muda Jawa terhadap tata-krama Jawa mengalami kemerosotan. Ada dua hal yang tampaknya menjadi penyebab utama, yaitu: pertama, kurangnya pendidikan tentang tata-krama yang mengupas nilai dan maksud-tujuannya; kedua, adanya pergeseran nilai-nilai yang menjadi acuan dalam hidup masyarakat Jawa akibat pengaruh kemajuan jaman dan globalisasi. Keadaan yang seperti ini mesti mendorong para pemerhati budaya Jawa untuk secara kritis meninjau kembali nilai dan bentuk tata-krama Jawa, sekaligus memikirkan pendidikan nilai tata-krama Jawa yang lebih relevan bagi generasi nuda Jawa di tengah situasi jaman yang semakin diwarnai budaya nasional dan budaya global ini. Artikel ini bertujuan agar pembaca memahami bahwa sastra khususnya sastra budaya Jawa dapat menjadi media pustaka untuk siswa agar mereka memahami bagaimana seharusnya bertata krama.
312 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
PEMBAHASAN Teori Kesusastraan Pengertian tentang sastra sangat beragam. Berbagai kalangan mendefinisikan pengertian tersebut menurut versi pemahaman mereka masing-masing. Menurut Teeuw (1984:22-23), sastra dideskripsikan sebagai segala sesuatu yang tertulis; pemakaian bahasa dalam bentuk tulis. Sementara itu, Rene Wellek dan Austin Warren adalah kritikus sastra yang juga turut andil dalam perkembangan teori kesusastraan dunia, teori yang mereka kemukakan dalam buku Theory of Literature kemudian menjadi salah satu bacaan wajib para peneliti sastra. Pada penelitian kesusastraann Indonesia sendiri, kita juga masih mengacu pada pandangan kedua kritikus sastra dunia ini. Memang merupakan suatu tuntutan bagi para peneliti sastra untuk memahami teori kesusastraan yang diajukan oleh Rene Wellek dan Austin Warren guna mendapatkan pemahaman yang komplit mengenai apa saja yang terkandung dalam teori kesusastraan. Ilmu sastra merupakan ilmu yang cukup tua usianya. Ilmu ini berawal pada abad ke-3 SM, yaitu pada saat Aristoteles menulis bukunya yang berjudul Poetica yang memuat teori tentang drama tragedi. Teori sastra merupakan studi mengenai prinsip, kategori, dan kriteria sastra. Teori dalam penelitian sastra berfungsi sebagai alat untuk menganalisis karya sastra yang akan diteliti, apakah dengan menggunakan teori psikologi sastrastrukturalisme atau teori kesusastraan lainnya. Teori sastra menjadi patokan kita dalam melakukan penelitian, karrena teori sastralah yang menjadi aspek pembuktian dan pendukung mengenai argumen-argumen yang kita berikan dalam penelitian sastra yang akan dilakukan. Jika ditarik garis besar, teori kesusastraan lahir setelah adanya konsep, sedangkan metode atau pendekatan kesusastraan lahir setelah adanya teori sastra. Sumardjo & Saini (1997:3-4) menyatakan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Untuk mempelajari sastra lebih dalam lagi, setidaknya terdapat 5 karakteristik sastra yang harus dipahami. Pertama, pemahaman bahwa sastra memiliki tafsiran mimesis. Artinya, sastra yang diciptakan harus mencerminkan kenyataan. Kalau pun belum, karya sastra yang diciptakan dituntut untuk mendekati kenyataan. Kedua, manfaat sastra. Mempelajari sastra mau tidak mau harus mengetahui apa manfaat sastra bagi para penikmatnya. Dengan mengetahui manfaat yang ada, paling tidak kita mampu memberikan kesan bahwa sastra yang diciptakan berguna untuk kemaslahatan manusia. Ketiga, dalam sastra harus disepakati adanya unsur fiksionalitas. Unsur fiksionalitas sendiri merupakan cerminan kenyataan, merupakan unsur realitas yang tidak ‘terkesan’ dibuat-buat. Keempat, pemahaman bahwa karya sastra merupakan sebuah karya seni. Dengan adanya karakteristik sebagai karya seni ini, pada akhirnya kita dapat membedakan mana karya yang termasuk sastra dan bukan sastra. Kelima, setelah empat karakteristik ini kita pahami, pada akhirnya harus bermuara pada kenyataan bahwa sastra merupakan bagian dari masyrakat. Hal ini mengindikasikan bahwa sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu memiliki tanda-tanda, yang kurang lebih sama dengan norma, adat atau kebiasaan yang muncul bersamaan dengan hadirnya sebuah karya sastra. Teori Kebudayaan
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 313
Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “buddayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata “budhi” yang berarti budi atau akal. Jadi, kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adatistiadat dan kemampuan lain serta kebiasan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan teori kebudayaan itu merupakan usaha untuk mengonsepkan makna data untuk memahami hubungan antara data yang didapat dengan manusia dan kelompok manusia yang mewujudkan data tersebut. Menurut Koentjaraningrat (1990:180) dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Kebudayaan merupakan wujud ideal yang bersifat abstrak dan tak dapat diraba yang ada di dalam pikiran manusia yang dapat berupa gagasan, ide, norma, keyakinan dan lain sebagainya. Pada setiap kebudayaan terdapat unsur-unsur kebudayaan yang universal yang meliputi: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Tiap unsur kebudayaan universal tersebut menjelma ke dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu pertama wujud kebudayaan sebagai sebuah kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia di dalam suatu masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Menurut Kroeber dan Kluckholm (dalam Alisjahbana, 1986:207-208), definisi kebudayaan dapat digolongkan menjadi tujuh hal. Pertama, kebudayaan sebagai keseluruhan hidup manusia yang kompleks, meliputi hukum, seni, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kedua, menekankan sejarah kebudayaan yang memandang kebudayaan sebagai warisan tradisi. Ketiga, menekankan kebudayaan yang bersifat normatif, yaitu kebudayaan dianggap sebagai cara dan aturan hidup manusia, seperti cita-cita, nilai dan tingkah laku. Keempat, pendekatan kebudayaan dari aspek psikologis, kebudayaan sebagai langkah penyesuaian diri manusia pada lingkungan sekitarnya. Kelima, kebudayaan dipandang sebagai struktur yang membicarakan pola-pola dan organisasi kebudayaan serta fungsinya. Keenam, kebudayaan sebagai hasil perbuatan atau kecerdasan. Ketujuh, definisi kebudayaan yang tidak lengkap dan kurang bersistem. Seperti yang termuat dalam artikel online http://bnetpwj.blogspot.co.id/2015/10/teori-kebudayaan-dan-implikasinya-pada.html, Kebudayaan sebagai pola pikir manusia memiliki beberapa ciri, yakni 1) Kebudayaan adalah produk manusia, artinya kebudayaan adalah ciptaan manusia sebagai pelaku sejarah, bukan ciptaan Tuhan atau dewa. 2) Kebudayaan selalu bersifat sosial, artinya kebudayaan tidak pernah dihasilkan secara individual melainkan oleh manusia secara bersama. 3) Kebudayaan diteruskan lewat proses belajar, artinya kebudayaan diwariskan dari generasi ke generasi lainnya melalui suatu proses belajar yang bersifat historis atau proses yang selalu berkembang. 4) Kebudayaan bersifat simbolik, sebab kebudayaan bersifat ekspresi, ungkapan kehadiran manusia dan segala upayanya untuk mewujudkan dirinya. 5) Kebudayaan adalah sistem pemenuhan berbagai kebutuhan manusia, artinya manusia memenuhi segala kebutuhannya dengan cara-cara yang beradab atau dengan cara manusiawi.
314 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Budaya dan Tata Krama Salah satu wujud budaya menurut Koentjaraningrat (1990:180), yakni sebagai sebuah kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Jika sebuah budaya memiliki tata krama maka budaya tersebut termasuk dalam wujud budaya berupa nilai yang diyakini sebagai norma atau tata krama bagi masyarakat budaya Jawa. Budaya yang dipegang oleh kelompok pemiliknya diyakini sebagai piranti hidup dalam bermasyarakat, sehingga piranti tersebut diyakini menjadi komponen penting dalam kehidupan berbudaya. Kata Jawa sendiri memiliki arti multi, bisa diartikan "Njawa" yang sinonim dengan "Mbeneh" yang artinya "telah dewasa" atau "Telah mengerti atau faham.” Jadi orang jawa memiliki arti filosofi sendiri, tidak hanya sebuah suku atau keturunan namun adalah sebuah perjalanan pemikiran manusia yang telah mencapai tingkat kedewasaan. Faham itu mengerti, maka itu lebih dari sekedar bijaksana. Dalam budaya Jawa memperhatikan sebuah tata yang disebutnya sebagai "Tata Krama". Tata krama adalah sebuah ilmu bahasa yang menekankan sebuah seni komunikasi dengan memperhatikan beberapa aspek penting seperti penghormatan, rasa penghargaan, strata sosial, dan sebagainya, dimana penekanan dalam tata krama adalah untuk memelihara rasa saling menghormati, menghargai dan memuliakan diantara manusia. Tata krama adalah tata cara atau aturan turun-temurun yang berkembang dalam suatu budaya masyarakat yang mengatur pergaulan antar individu maupun kelompok untuk saling pengertian, hormat-menghormati menurut adat yang berlaku. Budaya pun merupakan tata kebiasaan dalam masyarakat yang membentuk pola sosial suatu masyarakat. Budaya yang berkembang di dalam masyarakat memiliki nilai kode etik bagi penggunanya. Nilai yang terkandung tersebut menjadi tata krama bagi masyarakat pemilik budaya tersebut. budaya Jawa yang sarat dengan nilai filosofis memiliki banyak nilai tata karma yang karena perkembangan globalisasi kini mulai ditinggalkan pemiliknya. Tata krama dalam budaya Jawa digunakan sebagai tameng atau pelindung dalam kehidupan bermasyarakat. Tameng ini digunakan untuk mengendalikan masyarakat pemilik budaya pada arah kebaikan, entah dalam ranah agama atau pun dalam ranah moral. Nilai dalam Karya Sastra Jawa sebagai Media Pustaka Tata Krama Siswa Karya sastra khususnya yang berkaitan dengan budaya memiliki nilai didaktis yang difungsikan sebagai media pustaka tentang tata krama. Salah satu contoh karya sastra tersebut adalah novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Novel ini bercerita tentang batik canting yang mewakili budaya yang terkalahkan. Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan. Adalah Ni---sarjana farmasi, calon pengantin, putri Ngabean---yang mencoba menekuni, walau harus berhadapan dengan Pak Bei, bangsawan berhidung mancung yang perkasa; Bu Bei, bekas buruh batik yang menjadi ibunya; serta kakak-kakaknya yang sukses. Canting, yang menjadi cap batik Ngabean, tak bisa bertahan lagi. "Menyadari budaya yang sakit adalah tidak dengan menjerit, tidak dengan mengibarkan bendera." Ni menjadi tidak Jawa, menjadi aeng---aneh, untuk bisa bertahan. Ni yang lahir ketika Ki Ageng Suryamentaram meninggal dunia, adalah generasi kedua, setelah ayahnya, yang berani tidak Jawa. Pada novel tersebut tersisip beberapa bentuk budaya yang menyimpan nilai tata krama yang harus dipegang dan dibiasakan oleh masyarakat Jawa. Berikut merupakan sinopsis dari novel Canting.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 315
Tugenem merupakan istri dari Raden Ngabehi Sestrokumoro, atau yang biasa dipanggil Pak Bei. Semenjak menjadi istri Pak Bei, Tuginem tidak lagi menjadi buruh batik. Pak bei sendiri merupakan priayi. Dengan menjadi istri priayi berarti Tuginem tidak lagi menjadi wong cilik. Nama Tuginem pun pupus menjadi Bu Bei. Bagi tradisi keraton, tindakan Pak Bei mengawini Tuginem merupakan sebuah penyimpangan tradisi. Pak Bei sadar bahwa hal yang dilakukannya tentu akan mendatangkan masalah di kemudian hari. Meskipun begitu, Pak Bei tetap merasa bahagia. Dari perkawinanya dengan Tuginem, Pak Bei dikaruniai banyak anak. Anak pertama bernama Wahyu Dewabrata; anak kedua, Lintang Dewanti; anak ketiga, Bayu Dewasunu, kemudian Ismaya Dewakusuma, Wening Dewamurti dan yang terakhir Subandini Dewaputri Sestrokusuma. Bagi Bu Bei, Pak Bei adalah sosok pelindung. Dalam perlindungannya akan mendatangkan kebaikan. Untuk membantu sang suami, Bu Bei merasa perlu menghidupkan lagi usaha batik keluarga Sestrokusumo. Sebagai seorang istri yang berasal dari wong cilik, Bu Bei termasuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sebagai istri, ia berbakti sepenuhnya untuk kepentingan keluarga, sebagai pengusaha, ia gesit, tegas, dan berani. Dengan cara didiknya, Bu Bei berhasil mewujudkan cita-cita anaknya. Semua anaknya mendapat pendidikan hingga sarjana. Mereka semua juga telah berkeluarga dan hidup bahagia. Hanya satu yang belum berkeluarga yaitu si bungsu. Sebenarnya si bungsu telah memiliki calon dan tinggal menetukan hari perkawinannya. Namun, melihat keadaan Bu Bei yang sudah renta, dan melihat usaha batik yang makin mundur. Ni si bungsu, memutuskan untuk mengurusi usaha batik ibunya. Timbulah perselisihan di dalam keluarga itu. Tak berapa lama Bu Bei meninggal, namun perselisihan tidak berhenti. Ni dicurigai sebagai anak hasil hubungan gelap. Di antara anak-anak pun terjadi persaingan yang tidak sehat. Mereka kurang setuju Ni melanjutkan usaha batik keluarga Sestrokusumo. Meskipun begitu, Ni tetap teguh hati. Ia merasa yakin mampu menghidupkan usaha batik canting yang dulu dirilis ibunya. Ia tidak takut bersaing dengan perusahaan perusahan besar. Sayang, kenyataan berkata lain. Usaha batik canting tetap saja tenggelam. Akhirnya Ni sakit dan hampir meninggal. Dalam sakitnya, ia sadar akan suatu hal. Tentang bagaimana seharusnya ia mengembangkan batik canting. Bagaimana canting harus melebur dirinya dengan masyarakat. Ni akhirnya berangsur sembuh. Ia menikah dengan Himawan tepat setahun meninggalnya Bu bei. Kakak-kakanya sudah tidak lagi bermusuhan. Mereka membantu mempromosikan batik pada turis hingga anak Ni lahir. Anak itu diberi nama Canting Daryono sebagai rasa sukur sukacita terhadap batik canting. Nilai tata krama dalam novel canting di antaranya adalah wujud kerukunan masyarakat dan sikap santun berbahasa tanda hormat kepada yang lebih tua. Hal tersebut tampak dalam gambaran situasi dan kutipan-kutipan berikut. Gotong Royong: Wujud Kerukunan Masyarakat Kerukunan terjadi memiliki tujuan agar di dalam masyarakat tercipta lingkungan masyarakat yang harmonis. Pada novel Canting kerukunan ditemukan pada saat mengalami banjir melanda kota Solo. Para buruh mengagumi sikap Pak Bei yang beusaha keras menggerakan bekerja keras gotong royong dalam mengatasi bahaya banjir.
316 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Sopan Santun Berbahasa: Sikap Hormat Kepada yang Lebih Tua Sikap seseorang dapat dilihat dari cara berbicara. Dalam hal ini bahasa memainkan peran yang sangat penting karena menandakan kesadaran akan kedudukan sosial dan menunjukan sikap tata krama. “ Urutan kastanya masih si atasnya. Sehingga Darmasto yang Ngabean ini berbahasa Jawa halus, karma inggil pada istrinya sendiri. Mereka berdua adalah pasangan yang dibanggakan orang tua... (hlm.117). Etika kesopanan orang Jawa terwujud dalam istilah unggah-ungguh, tata krama, tata susila, basa krama, suba sita, etika, dan sopan santun. Orang Jawa cenderung berbahasa secara halus bila berhadapan dengan orang yang dihormati. Anak-anak memberikan ucapan ulang tahun kepada Pak Bei dengan cara laku Dhodhok melakukan sembah di lutut ayahnya. Semakin tinggi derajat seseorang akan semakin dihormati dan orang yang ada di bawahnya mengambil sikap tunduk dan berlutut. SIMPULAN
Akhir-akhir ini banyak fenomena yang menunjukkan bahwa apresiasi masyarakat Jawa, khususnya generasi muda Jawa terhadap tata-krama Jawa mengalami kemerosotan. Ada dua hal yang tampaknya menjadi penyebab utama, yaitu: pertama, kurangnya pendidikan tentang tata-krama yang mengupas nilai dan maksud-tujuannya; kedua, adanya pergeseran nilai-nilai yang menjadi acuan dalam hidup masyarakat Jawa akibat pengaruh kemajuan jaman dan globalisasi. Keadaan yang seperti ini mesti mendorong para pemerhati budaya Jawa untuk secara kritis meninjau kembali nilai dan bentuk tata-krama Jawa, sekaligus memikirkan pendidikan nilai tata-krama Jawa yang lebih relevan bagi generasi nuda Jawa di tengah situasi jaman yang semakin diwarnai budaya nasional dan budaya global ini. Artikel ini bertujuan agar pembaca memahami bahwa sastra khususnya sastra budaya Jawa dapat menjadi media pustaka untuk siswa agar mereka memahami bagaimana seharusnya bertata krama. Karya sastra khususnya yang berkaitan dengan budaya memiliki nilai didaktis yang difungsikan sebagai media pustaka tentang tata krama. Salah satu contoh karya sastra tersebut adalah novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Pada novel tersebut tersisip beberapa bentuk budaya yang menyimpan nilai tata krama yang harus dipegang dan dibiasakan oleh masyarakat Jawa. Nilai tata krama dalam novel canting di antaranya adalah wujud kerukunan masyarakat dan sikap santun berbahasa tanda hormat kepada yang lebih tua. Hal tersebut tampak dalam gambaran situasi dan kutipan-kutipan berikut. Nilai tersebut diharapkan dapat menjadi media pustaka bagi siswa sehingga seiring dengan perkembangan teknologi yang makin marak, mereka tidak melupakan tata krama yang seharusnya mereka lakoni dalam kehidupan bermasyarakat. DAFTAR PUSTAKA Alisjahbana, S. Takdir. 1986. Antropologi Baru. Jakarta: PT. Dian Rakyat. Atmowiloto, Arswendo. Canting. 2007. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 317
BNET Purwoharjo. Teori Kebudayaan dan Implikasinya Pada Pendidikan. 14 Mei 2016. 11 Oktober 2015.
318 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
SEKAR PANGKUR: LESSONS LEARNED Slamet Wiyono The National Land Institute, Yogyakarta (retired) Sekolah Tinggi Bahasa Asing, LIA, Yogyakarta (part timer)
[email protected]
ABSTRACT The moral teaching of the above tembang is that when everything, including knowledge, is only to be estimated, it will come into danger, and when the danger comes usually the estimated knowledge cannot be used to solve the problems.The copy-pasted statement, with no original source mentioned, or popularly called plagiarism is one of the many examples.This would mean that the doer has no academic honestyas he or she steals other’s opinion claimed as his or her own. This is the reflection of estimated knowledge (ilmukarang)which results in stealing one’s statement, idea, concept and so forth.There is a lot to learn in the above tembang.The verse wants the readers to be honest and to be serious in doing anything so that when danger comes (kapengkok panca baya) the seriousness will do. Keywords: knowledge, seriousness, honesty.
INTRODUCTION Many believe that Weddatama was written by KGPAA Mangkunegara IV. Yet, some experts argue that the author of Weddatama was RM Ng. Wiryakusuma, a noble man and astaff at Mangkunegaran kingdom. There was another expert stating that Weddhatama was witten by Ronggowarsita as commanded by Paku Buwono X. As a matter of fact, whothe authorof weddatamawasisstill vague (Tanoyo: 2)However, in this regards let us justconsider that the writerwas KGPAA MangkunegaraIV as many suppose. Mangkunegara IV was born in March 3, 1811 and since then, he was adopted by Mangunegara II and was brought up by MbokAjeng Dayanigsih, one of his mistresses, and was givena new name. His new name was Raden Mas Sudira. The adoption was intended for him to get pattern of education system from Mangkunegaran Kingdom (Daryono,2007: 37) Kuntowidjojo cited in(Daryono,2007: ibid)states that Mangkunegaran educational system was different fromthose ofthe two Kingdoms of both Kasunanan, Surakarta and Kasultanan, Yogyakarta asthe noble family were allowed to have a hair style as the Dutch didat that time. Furthermore, Mangkunegaran Kingdom had already developed the Intelligent Quotient whereas the other two big kingdom mentioned above, Kasunanan and Kasultanan,put the greater emphasis on the development of Emotional Quotient. From 7 to 9 September 2007, there was an anniversary for commemorating the 14th Rekso Pustoko’sEstablishment. Rekso Pustoko was founded by Mangkunegara IV. Using the theme of “The image of Old-Time Java” the celebration was held in the Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 319
form of a three-day archives exhibition at the Grand Hall (Pendopo Agung) Puro Mangkunegaran Solo. The mission of the anniversary was to again maintain the tradition of“budaya membaca sejak dini” as oneof thedreams of Mangkunegera IV.(250 years ofPura Mangkunegaranestablishment, 2007) DISCUSSION kekerane‘ilmu karang, kekarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning daging kulup, yen kapengkok pancabaya,ubayane mbalenjani *) The above verse (pupuh) is oneof the verses in Wedhatama written by Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV or popularly called Sri Mangkunegara IV. There are 14 verses of Pangkur in Weddhatama and the pupuh mentioned above is number nine in the list. This verse can be interpreted as follows when the knowledge is only estimated (dikarang), the estimation must only be imaginary, it well just be like powder, the powder is only below the skin, when faced to a danger, it usually runs away. The above tembang is a piece of wise advice and is meant to remind us of working or doing anything seriously as when carelessly done the danger will follow. The moral teaching of the above tembang is that when everything, including knowledge, is only to be estimated, it will come into danger, and when the danger comes usually the estimated knowledge cannot be used tosolve the problems.The copy-pasted statement, with no original source mentioned, or popularly called plagiarism is one of the many examples. Plagiarism as Armada Riyanto states in Soelistyo (2011: 47) is a theft of intellectualcreativity (pencurian kreativitas intelektual). Thiswould mean that the doer has no academic honesty. This is the reflection of estimated knowledge (ilmukarang)which results in stealing one’s statement, idea, concept and so forth. From the above verse, there is a lot to learn.The verse wants the readers to be honest and to be serious in doing anything so that when danger comes (kapengkok panca baya)the seriousness will do but not to be avoided. In the world of academic field, like a research, for example, when the data are only estimated inevitably they will not be able to reveal the reality of researchfindings In the case of moral foundation (Ariely:2012)“…suggests that it is not necessarily that one cheats and steal as long as he is rational anddid merelyinhis self interest.” From the above quotation a conclusion can be drawn that good morality and logical work may be able to avoid doing unpleasant things. Apart for the above verse, there will be several more lyrics that will be presented taken randomly form fourteen verses. They are as follows. Jinejer ing wedddatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi, yekti sepi asepa ing sepah samun, samasane pasamuan, gonyak ganyukngelingsemi, The above verse is number 2 in a list of weddhatama.The word weddatama is difeerently interpreted by two experts. Tanoyo interprets weddatama as Paugeran Putra; -- rules for son/daughter/child because one of themeanings of tama is putera, while the other experts **)interprets as it is written in weddhatama,while the rest is about the same. It reminds us not to be in the state of lacking knowledge so that when getting older we willnot be disgraceful in the gatherings.
320 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
The eastern culture, including Javanese, teaches us to respect others by bowing our heads when speaking to the hearers, especially to the older people, though westerners may regard that the act of bowing means inferior (Mulyana and Rakhmat: 1996).Socially,people having lower status should also respect others though the hearers might be younger.For instance, the village farmer uses krama variant when talking to a younger village bureaucrat (perangkat desa). The farmer addresses the bureaucrat uses kramavariant is due to thestatus, while the bureaucratalso uses the same variant because ofthe difference of age. Nggungu karsane priyangga, nora nganggo peparah lamun angling, lumuh ingaran balilu, uger guru aleman, nanging janma ingkang wus waspadeng semu, sesadoning adu manis. The next verse is number three in the list. The verse illustratestwo types of attitudes.Type oneis thatthose who like to behave such as talking as they like without considering the rules, but alwaysexpect admiration. The other is that those who understand implicit codes and always have pleasant intention. In other words, those belonging to type are those who forgot and disobey the Javanese proverb which says: “Ajining dhiri soko lathi…” (Haq, 2011:23). They will lose their reputation in society as they neglectthe society’s good conducts. Sooner or later they will be disreputable since they are disrespectful to others.Those that include in type two are the ones having pleasant prejudice on one’s intention. Therefore, they do some of the main attitudes as written in Serat Darmo Wasito (cited in Haq, ibid. p.83)such as Trapsila;-- polite, Tepa Slira;-- self correction and considerate, and so forth. Mangkono ‘ilmu yang nyata, sanyatane mung weh reseping ati, bungah ingaran cubluk, sukeng tyas yen den ina, nora kaya si punggung anggung gumunggung, ugungan sadina- dina, aja mangkono wong urip. In the list, the above lyric bears number five in the Weddhatama.The verse reflects the real knowledge;--the knowledge that causes happiness. The holder is glad to be regarded asstupid, and is happy when being insulted. However, the stupidity makes the holders like to be praised, yet the last line reminds us for not leading the life that way. Criticism is a part of learning, so it is not necessary to be embarrassed when being criticized. The wonderfullessons that should be obtained from the aboveverse is the Javanese sloganaja dumeh with its variationslike aja dumeh kuwasa, aja dumehpinter, aja dumeh kuwat, aja dumeh sugih***) and so on. Aja dumeh Kuwasasignals the power holder and the advice is that just do not be arrogant with the power or authority that you hold now as some day the power willvanish. Aja dumeh pinter has the sense of not having deviated the wisdom so that the holder will break the regulation, the law and the like. Aja dumeh kuwat bears the implication that the person must not do anythingas he likes whereas aja dumehsugih implies that one shall not neglect those who economically are poor. One thing that should be remembered is that once one is at the top, some other day he or she will be at the bottom. This kind of situation is usually called Cakramanggilingan (Herusatoto, ibid.p.75) CONCLUSION From the above discussion, some conclusions may be drawn. They are as follows:
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 321
a) The first verse in this paper reminds oneto be honest, both in one’s daily life and in the academic life as plagiarism is certainly forbidden b) The second verse wants one to be polite to others. Being polite to everyone is the Javanese teaching that should be transferredfrom generation to generation. c) The third lyric teaches one to imitate the good attitude holdersand to be able to distinguish between the good conduct against the bad one d) The last gives us lessons of leading better life in a society andteaches us to alwaysremember of being wise as sometime in the future the situation will change. REFERENCES Daryono. 2007.Etos Dagang Orang Jawa: Pengalaman Raja Mangkunegara IV.Yogyakarta:Pustaka Pelajar Haq, Muhammad Zaairul. 2011. Mutiara Hidup Manusia Jawa: Menggali Butir-butir Ajaran Lokal Jawa untuk Menuju Kearifan Hidup Dunia dan Akhirat.Malang: Aditya Media Publishing Herusatoto, Budiono. 2001Simbolisme dalam Budaya Jawa.Yogyakarta.: PT. Hanindita Graha Widia Mulyana, Deddy and Rahmat, Jalaluddin (Eds)1996. Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya Pura Mangkunegaran, Surakarta. 2007. A collosal Dance Performance: Adeging Praja Mangkunegaran. (Unpublished) Tanoyo. R (tanpa angka tahun).Weddatama Jinarwa: wewulang pangagemane para sinatriya luhur ing tanah Jawa angagem ilmu kang luhur. Sala: Pelajar Soelistyo, Henry. 2011. Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika. Yogyakarta:Penerbit Kanisius. https://asmaraambanguncipta.wordpress.com/2012/03/28/serat-wedhatama-ajaranajaran-serta-makna-antar-pupuh/
322 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER PADA TRADISI GALUNGAN DUSUN WONOMULYO KELURAHAN GENILANGIT KECAMATAN PONCOL MAGETAN Sriyono, Dewi Tryanasari Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FIP, IKIP PGRI Madiun Pos.el-
[email protected]
ABSTRACT Tradition Wonomulyo Galungan in the hamlet,Genilangit vilage Poncol Subdistrict, Magetan, 1t’s a commemoration of the Birth and dead Ki Hajar Wonokoso. Ki Hajar Wonokoso a Wonomulyo elder who is believed to be the forerunner hamlet Wonomulyo. Galungan in Wonomulyo contrast with Galungan in Bali, which is specially celebrated by Hindus, Galungan in this village followed by all elements of society, regardless of religion and beliefs held. There are plenty of character values that are relevant to today's life contained in that tradition. Unfortunately the character values contained within that tradition is often not properly internalized by the younger generation in the hamlet Wonomulyo own. This led to the tradition of Galungan that there was only meant as a necessity legacy passed down by some people, and some even identify with idolatrus. For the analysis of the content of the character and intentions hidden behind tradition Galungan in Hamlet Wonomulyo needs to be done. Thus, the value of the character in the tradition of Galungan is not only known by certain people (village elders) but can be passed on to subsequent generations. To achieve these objectives in addition need to analyze the content of the character on this tradition, also to be seen that tradition relevance to the curriculum especially applicable in primary school, it is because primarry scholl is a level of education which plays an important role in the development of the character of the students. This study aims to determine the implementation of the tradition procession in Hamlet Wonomulyo Galungan Village Genilangit, Poncol, Magetan and content of the character values in it and its relevance to KD low grade in the curriculum of 2013. The results showed the first implementation Galungan tradition that is divided into two stages, namely the preparatory stage (preparing and setting up equipment Galungan) as well as the implementation phase of the procession Send prayers for Ki Hajar Wonokoso and procession eat together and share a meal. Both of the execution of Galungan tradition shows 8-character value which are religious, mutual aid, cooperation, religious tolerance, sharing, harmony, simplicity, and love of cleanliness. The third character value that emerges from the tradition of the Galungan or could be associated with Sub competency in elementary K-13 in the lower classes. In Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKn)Religious is related material in class 3, tolerance regarding the material in class 2. Respecting and Mutual cooperation regarding material class 2, Harmony-related material in the class 1. Keywords: Galungan Traditions, Values Character, character values in SK and KD grade low in K-13
PENDAHULUAN Ki Hajar Wonokerto atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Wonokoso (Ki artinya sesepuh, Hajar artinya Guru, Wonokoso/Wonokuoso artinya penakluk Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 323
hutan) yang merupakan pendiri dusun Wonomulyo tersebut, akhirnya wafat. Hari wafatnya bertepatan dengan hari kelahiranya yaitu pada hari Selasa pasaran (perhitungan hari jawa) Wage wuku (perhitungan setiap minggu) Galungan. Penduduk dusun yang kala itu merupakan pengikut atau muridnya yang juga beragama hindu, sehingga mereka merayakan upacara Galungan sekaligus memperingati hari kelahiran dan wafatnya guru dan pemimpin dusun mereka. Mereka merayakan setiap hari Selasa pasaran Wage wuku Galungan setiap tujuh bulan sekali.Galungan yang diadakan di Wonomulyo berdebda denganupacara Galungan umat hindu dibali dalam segi tujuan, waktu pelksanaan, perlengkapan, dan prosesi pelaksanaanya. Masyarakat yang berbeda keyakinan saat ini masih bersama-sama menjalankan dan menjaga tradisi leluhurnya. Walaupun tidak ada kaitanya dengan keyakinan mereka saat ini, dengan suka rela dan penuh khitmat, tanpa memandang agama, latar belakang keturunan, asal-usul, semua yang bertempat tinggal di dusun Wonomulyo mengikuti tradisi tersebut, sebagai sarana ucapan terimakasih kepada leluhur yang menyediakan tempat tingal dan lahan pencaharian. Galungan diartikan sebagai sarana kirim doa penerus dusunkepada leluhur. Galungan yang dilakukan saat ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan ajaran Hindu, tetapi sebagai wujud kirim doa kepada leluhur, dan penghormatan terhadap tradisi warisan leluhur. Hal tersebut menunjukan sikap toleransi, balas budi, kebersamaan dan kerukunan di antara penduduk dusun Wonomulyo, yang menunjukan karakter warga dusun. Melalui tradisi dapat dikembangkan karakter pada diri warga dan anak-anak. Tradisi mengandung nilai-nilai kebaikan. Seperti halnya tradisi Galungan yang telah membudaya di dusun Wonomulyo mengajarkan sikap toleransi, menghormati orang lain, balas budi, kerukunan, kebersamaan, dan penghormatan terhadap jasa leluhur bagi warga. Tradisi Galungan di dusun Wonomulyo dapat dijadaikan sarana yang efektif untuk membangun karakter anak dan masyarakat, dengan mengadaptasikan nilai-nilai karakter ke dalam diri kehidupan mereka sehari-hari. Dengan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam prosesi dan makna filosofis tradisi Galungan secara mendalam, masyarakat dapat mengenalkan tradisi Galungan tersebut beserta nilai-nilai kearifan yang ada didalamnya kepada anak-anak dusun Wonomulyo. Sehingga anak-anak dusun sebagai penerus dusun dan bangsa dapat tumbuh menjadi manusia-manusia yang berkarakter di kehidupan mereka mendatang. Seiring berjalanya waktu tradisi Galungan di Wonomulyo selain menjadi sarana upacara tradisi setempat, dapat menjadi sebuah media pengembangan karakter warga dan anak-anak yang nantinya dapat membangun dusun dan negara menjadi lebih berkarakter dan bermartabat lagi. PEMBAHASAN Hakikat Tradisi Galungan Dusun Wnomulyo. Pengertian Tradisi Galungan adalah kearifan lokal di dusun Wonomulyo menurut Sutjipto (2007:7) Upacara ini merupakan warisan peninggalan dari nenek moyang dusun Wonomulyo pada masa silam yang berciri khas Hindu. Namun masih dilestarikan hingga sekarang ini oleh masyarakat sekitar baik yang beragama Islam maupun Budha. Pelaksanaan upacara ini biasanya dipimpin oleh seorang yang diangap pinisepuh (sesepuh dusun). Sedangkan penduduk dusun yang masih menjadi keturunan langsung
324 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Ki Hajar Wonokoso berperan sangat penting, untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk upacara Galungan. Soekarjono (2015:17) Tradisi yang diperingati setiap 7 bulan tepat hari Selasa Wage, tepat wuku Galungan adalah bentuk menghormati kepada orang yang berjasa dan terbukti mengangkat derajar dan kesejahteraan warga Jeblok sepanjang masa. Membaca merupakan aktivitas kompleks yang mencakup fisik dan mental. Aktivitas fisik yang terkait dengan membaca adalah gerakan mata dan ketajaman penglihatan. Aktivitas mental mencakup ingatan dan pemahaman (Abdurrahman 2012: 158). Dari pengertian membaca diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa membaca merupakan suatu proses pengolahan simbol-simbol tertulis dengan tujuan memperoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh tentang isi bacaan dan merupakan kegiatan komunikasi tidak langsung antara penulis dan pembaca yang melibatkan berbagai faktor. Menurut wawancara dengan Djono sesepuh dusun Wonomulyo. Galungan kang ono ing Wonomulyo iku sejatine beda karo Galungan umat Hindu ing Balli, senajan biyen Ki Hajar Wonokoso agamane Hindu, nanging Galungan iku tegese pengetan dino sedane Ki Hajar Wonokoso kang wis mbabat dusun Wonomulyo, yoiku saben dino Selasa Wage wuku Galungan , yoiku pitung wulan pisan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi Galungan yang ada di Dusun Wonomulyo tidak sama dengan upacara agama Hindu. Tradisi Galungan di Wonomulyo adalah bentuk penghormatan kepada pendiri desa yang telah berjasa mensejahterakan warga, upacara tersebut dilakukan bertepatan dengan hari kelahiran dan meningalnya Ki Hajar Wonokoso, yaitu pada hari Selasa pasaran Wage wuju Galungan setiap tujuh bulan, yang bermakna bahwa penduduk dusun berziarah kemakam leluhur untuk berkirim doa. Fungsi Fungsi dari tradisi Galungan yang ada di Dusun Wonomulyo adalah untuk memperingati hari lahir dan meningalnya Ki Hajar Wonokoso, sebagaimana yang diterangkan Soekarjono (2015: 17) yaitu “Wiyosan/ pengetan/ peringatan” hari lahir Ki Hajar Wonokoso diselengarakan setiap 7 bulan, tepat hari Selasa Wage wuku Galungan”. Berdasarkan wawancara dengan Djono. Galungan iku ora ono kaitane karo ajaran agomo Hindu ora mergo meringati riyoyone agama Hindu, Galungan yoiku nyekar marang leluhur. Dapat disimpulkan bahwa fungsi dari upacara tradisi Galungan adalah sarana untuk kirim doa warga Wonomulyo kepada Ki Hajar Wonokoso, yaitu tokoh pendiri dusun Wonomulyo. Upacara Galungan tidak ada kaitanya dengan ajaran agama hindu upacara Galungan merupakan kearifan lokan dusun Wonomulyo sebagai implementasi wujud trimakasih kepada leluhur pendiri dusun yang telah wafat, dan oleh penduduk Wonomulyo diperigati berdasarkan perhitungan jawa yang mana bertepatan pada wuku Galungan. Sehingga dinamakan upacara Galungan, yaitu upacara peringatan meningalnya leluhur Dusun yang bertepatan pada wuku Galungan.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 325
Waktu Pelaksanaan Tradisi Galungan Menurut wawancara dengan Darsono. Galungan dipringati saben wuku Galungan pitung wulan pisan dino Sloso Wage, yaoku pas Sedane Ki Hajar Wonokoso. Menurut soekarjono (2015:17) peringatan hari lahir Ki Hajar Wonokoso, diselengarakan setiap 7 (tujuh) bulan. Tepat hari SelasaWage (pasaran) Galungan (mingguan). Beliau (Kihajar Winikoso) termasuk suku Jawa Asli yang menggunakan perhitungan jawa ciptaan Kanjeng Sultan Agung (Raja Mataram). Pelaksanaan tradisi Galungan tidak ditentukan tepat jamnya tetapi biasanya Galungan dilakukan di waktu sore hari menjelang malam, hal tersebut dikarenakan ketika sianghari penduduk dusun masih berkerja mengarap ladang sehingga tradisi Galungan dilakukan sore hari ketika penduduk sudah pulang dari mengarap ladang. Pendidikan Karakter. Pengertian Karakter menurut Muchlas Samani (2012:41) dimaknai sebagai cara berpikir dan berprilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan berkerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Menurut Abdul Majid dan Dian Andayani (2012:12) juga menjelaskan karakter adalah watak, sifat, atau hal-hal yang memang sangat mendasar, yang ada pada diri seseorang. Menurut Jamal Ma’mur Asmani (2013:35), pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai prilaku manusia yang berhubungan denganTuhan Yang maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah upaya memberikan sebuah pendidikan kepada murid-murid untuk dapat membangun dan mengembangkan kualitas dirinya baik dalam segi emosi, pikiran dan perbuatan. Agar murid dapat membangun karakter dalam dirinya secara baik, sehingga dapat mengarahkan murid ke arah pemahaman yang mendalam tentang karakter yang bermartabat. Dimensi-Dimensi Karakter Dimensi-dimensi karakter menurut Agus Wibowo (2012:71) terdapat 28 nilai pendidikan karakter bagi anak yaitu, 1 religius, 2 jujur, 3 toleransi, 4 disiplin, 5 kerja keras, 6 kreatif, 7 mandiri, 8 demokratis, 9 rasa ingin tahu, 10 semangat kebangsaan, 11 cinta tanah air, 12 menghargai prestasi, 13 bersahabat/komunikatif, 14 cinta damai, 15 gemar membaca, 16 peduli lingkungan, 17 peduli sosial, 18 tanggung jawab, 19 berani mengambil resiko, 20 berorienttasi pada tindakan, 21 kepemimpinan, 22 disiplin, 23 inovatif, 24 kerja sama, 25 pentang menyerah (ulet),26komitmen, 27 realistis, 28 motivasi kuat untuk sukses. Menurut Syamsul kurniawan (2013:127,205) penanaman nilai-nilai karekter di lingkungan masyarakat dan sekolah mengacu pada delapan belas nilai karakter diantaranya yauitu:1.Religius, 2. Jujur, 3. Teleransi, 4. Disiplin, 5. Kerja keras, 6. Kreatif, 7. Mandiri, 8. Demokratis, 9. Rasa ingin tahu, 10. Semangat kebangsaan 11. Cinta tanah air, 12. Menghargai prestasi, 13. Bersahabat/komunikatif, 14. Cinta damai,15. Gemar membaca, 16. Peduli linngkungan, 17. Penduli sosial, 18. Tanggung jawab. Dapat digolongkan bahwa dimensi-dimensi karakter mencakup nilai-nilai luhur yang terbangun dalam kepribadian seseorang, yang menentukan arak tindakan 326 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
seseorang terhadap menyikapi sesuatu seperi diantaranya yaitu: sikap jujur, toleransi, disiplin, peduli, tanggung jawab, gotong royong dan rasa hormat, nilai-nilai karakter berikut merupakan indikator bagi manusia dapam mengembangkan hidup yang lebih berkarakter dan bermartabat. Proses Pembentukan Karakter Karakter dalam diri anak terbentuk melalui proses pembentukan karakter itu sendiri. Menurut Munir dalam Abdul Majid dan Diyan Andayani (2012:21) faktor utama yang mempengaruhi pembentukan karakter pada anak disamping gen, ada faktor lain yaitu makanan, teman, orangtua, dan tujuan yang merupakan faktor terkuat dalam mewarnai karakter seseorang.Adapun tahapan pembentukan karakter diterangkan sebagai berikut: a. Merupakan suatu proses yang terus menerus untuk membangun tabiat, watak dan sifat-sifat kejiwaan yang berlandas pada semangat pengabdian dan kebersamaan. b. Menyempurnakan karakter yang ada untuk mewujudkan karakter yang diharapkan. c. Membina nilai/karakter sehingga menampilkan karakter yang kondusif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dilandasi dengan nilainilai dan falsafah hidup. Dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pembentukan karakter dalam domain pendidikan pada anak, tidak terbatas pada proses pendidikan di sekolah saja, melainkan peran orangtua dan lingkungan sekitar juga sangatlah penting dalam proses pembentukan dan pengembangan karakter pada anak, melibatkan peran orang tua dan lingkungan sosial. Proses pembentukan karakter dapat dimulai dari pengenalan tentang nilai-nilai kebaikan, penguatan karakter yang sudah dimiliki anak agar menjadi lebih terarah, dan pengendalian anak agar terus berjalan pada aturan dan norma yang benar. Nilai-Nilai Karakter Dalam Kurikulum di SD Berdasarkan Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan direktorat jendral pendidikan dasar dan menegah pembinaan sekolah dasar (2015: 9,10). Penilaian sikap dimaksudkan sebagai penilaian terhadap perilaku peserta didik dalam proses pembelajaran kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler, yang meliputi sikap spiritual dan sosial. Penilaian sikap memiliki karakteristik yang berbeda dari penilaian pengetahuan dan keterampilan, sehingga teknik penilaian yang digunakan juga berbeda. Dalam hal ini, penilaian sikap lebih ditujukan untuk membina perilaku sesuai budipekerti dalam rangka pembentukan karakter peserta didik sesuai dengan proses pembelajaran. Sikap spiritual Penilaian sikap spiritual (KI-1), antara lain: (1) ketaatan beribadah; (2) berperilaku syukur; (3) berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan; dan (4) toleransi dalam beribadah. Sikap spiritual tersebut dapat ditambah sesuai karakteristik satuan pendidikan. a. Sikap Sosial. Penilaian sikap sosial (KI-2) meliputi: (1) jujur yaitu perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan; (2) disiplin yaitu tindakan yang menunjukkan Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 327
perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan; (3) tanggung jawab yaitu sikap dan perilaku peserta didik untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, negara, dan Tuhan Yang Maha Esa; (4) santunyaitu perilaku hormat pada orang lain dengan bahasa yang baik; (5) peduli yaitu sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan kepada orang lain atau masyarakat yang membutuhkan; dan (6) percaya diri yaitu suatu keyakinan atas kemampuannya sendiri untuk melakukan kegiatan atau tindakan. Sikap sosial tersebut dapat ditambah oleh satuan pendidikan sesuai kebutuhan. METODE PENELITIAN Tempat penelitiannya adalah dusun Wonomulyo kelurahan Genilangit kecamatan Poncol kabupaten Magetan. Alasan pemilihan lokasi ini adalah : 1. Di Dusun Wonomulyo terdapat sebuah tradisi Galungan yang dijalankan oleh umat Islam dan Budha. 2. Adanya nilai-nila karakter yang dapat dipelajari dari prosesi tradisi Galungan di dusun Wonomulo. 3. Sebelumnya belum pernah ada penelitian tentang nilai-nilai karakter yang dapat diambil dari tradisi galungan yang dapat dikembangkan di pembelajaran SD. Waktu penelitian berlangsung selama bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2016. Kegiatan penelitian mencakup persiapan penelitian, pengumpulan, pengolahan data serta penyususnan laporan penelitian. Jadwal selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode studi fenomologi. Dalam penelitian ini, agar pelaksanaannya terarah dan sistemastis maka disusun tahapan-tahapan penelitian. Ada empat tahapan dalam pelaksanaan penelitian yaitu sebagai berikut. Tahap pra lapangan, tahap pekerjaan lapangan, tahap analisis data, tahap evaluasi dan pelaporan. Dalam setiap penelitian, untuk meperoleh data yang di inginkan peneliti harus menentukann sumber data sesuai dengan tujuan dari penelitian yang dilakukan, agar data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diteliti sehingga dapatmenghasilkan data yang relevan dengan penelitian. Sesuai rumusan masalah, sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Data 1 Prosesi pelaksanaantradisi Galungan di Dusun Wonomulyo Kelurahan Genilangit Kecamatan Poncol Magetan. Oleh karena itu untuk memperoleh sumber yang relevan dengan tradisi Galungan di dusun Wonomulyo, peneliti mendapatkan sumber data dari peristiwa Galungan sebagai data primer dan data dari tokoh masyarakat sebagai data skunder. b) Data 2 Karakter yang terkandung dalam tradisi Galungan Dusun Wonomulyo Kelurahan Genilangit Kecamatan Poncol Magetan.Maka dari itu untuk memperoleh data karakter dalam tradisi Galungan yang relevan peneliti mendapatkan sumber data dari tokoh masyarakat sebagai data skunder dan analisis jurnal sebagai data primer. c) Data 3 Adalah data tentang, hubungan karakter dalam tradisi galungan dengan karakter dalam KD di SD kelas rendah. Maka dari itu untuk memperoleh data hubungan karakter dalam tradisi Galungan dengan karakter dalam KD di SD kelas rendahyang 328 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
relevan peneliti mendapatkan sumber data dari kurikulum 2013 SD kelas rendah sebagai data skunder dan tokoh ahli sebagai data primer. Teknik pengumpulan data mengunakan tehnik, observasi, dokumentasi dan wawancara.Sedangkan tehnik keabsahan data mengunakan tehnik triangulasi data.Analisis data penelitian ini menggunakan model interaktif dimana komponenkomponen analisis data (yang mencakup reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan) secara interaktif saling berhubungan selama dan sesudah pengumpulan data, yang langkah-langkahnya ditunjukkan pada gambar berikut. PAPARAN DAN TEMUAN HASIL PENELITIAN. Secara geografis dusun Wonomulyo terpisah dari kelurahan Genilanit, dusun tersebut berada empat kilo meter di sebelah barat kelurahan Genilangit yang dipisahkan oleh lahan persawahan dan pegunungan. Seluruh masyarakat Wonomulyo menjaga tradisi warisan leluhur mereka, tradisi utama yang ada di dusun Wonomulyo adalah tradisi Galungan yang diperingati oleh seluruh warga masyarakat Wonomulyo setiap hari Selasa Wage wuku Galungan , tanpa memandang agama, jenis kelamin, status sosial seluruh warga dusun Wonomulyo mengikut tradisi tersebut. Makam Ki Hajar Wonokoso yang merupakan tempat berlangsungnya upacara tradisi Galungan berada di ujung barat dusun yang merupakan tempat tertinggi dari dusun Wonomulyo. Makam tersebut sebelumnya merupakan padepokan tempat Ki Hajar Wonokoso hidup bersama istri dan murid-muridnya, makam tersebut kini dijadikan situs atau tempat tersakral di dusun tersebut. 1. Data tentang pelaksanaan tradisi Galungan. Prosesi tradisi Galungan dibagi menjadi 2 yaitu persiapan dan pelaksanaan, persiapan sebelum menyiapkan perlengkapan Galungan penduduk haruslah mandi keramas, selanjutnya penduduk berkumpul di rumah kamituwo dan berangkat ke makam Ki Hajar Wonokoso, setelah sampai melakukan acara kirim doa, bunga dan kemenyan, dan acara diakhiri dengan menyantap hidangan bersama-sama, dan saling berbagi makanan yaitu pisang kelapa dan guka aren dengan penduduk lain. Adapun makna dari tradis Galungan adalah sebagai sarana ucapan terimakasih penduduk dusun kepada Ki Hajar Wonokoso sang pendiri dusun, melalui jalan melestarikan tradisi leluhur untuk mengingat Ki Hajar Wonokoso yang dituangkan dengan acara kirim doa di dalam prosesi upacara Galungan. Tradisi Galungan dilakukan oleh seluruh penduduk Wonomulyo kecuali beberapa penduduk yang mengangap bahwa Galungan adalah wujud dari kemusrikan yang jumlahnya sekitar 1% dari jumlah keseluruhan penduduk. 2. Data Nilai-nilai karakter yang terkandung dalam tradisi Galungan. Tedapat nilai-nilai Karakter Di dalam tradisi Galungan yang dapat dijadikan pembelajaran selama prosesi Galungan berlangsung, diantara nilai-nilai karakter tersebut adalah, religius, rukun, toleransi beragama, kesederhanaan, menghargai orang lain, saling berbagi, dan mencintai kebersihan. 3. Data tentang keterkaitan nilai-nilai karakter dalam tradisi Galungann dengan Sk dan KD k-13 SD kelas rendah. Dalam SK dan KD k-13 SD kelas rendah terdapat beberapa keterampilan karakter siswayang di kembangkan, yang mana keterampilan tersebut sesuai dengan nilainilai karakter yang ada di dalam tradisi Galungann, sehingga nilai-nilai tersebut dapat dikembangkan dengan mengaitkan nilai-nilai karakter dalam tradisi Galungann dengan SK da KD di SD sesui tema. Seperti, nilai saling berbagi Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 329
diajarkan pada tema kegiatan sehari-hari, gotong royong, kerjamasa, kerukunan itu diajarkan di tema pristiwa atau juga kegiatan sehari-hari. toleransi bisa diajarkan di tema tempat umum, jadi nilai-nilai pesan yang terkandung di dalam Galungann diajarkan di SD. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari bab sebelumnya tentang analisis pendidikan karakter dalam tradisi galungan dusun Wonomulyo kelurahan Genilangit kecamatan Poncol Magetan: Pelaksanaan tradisi Galungan di dusun Wonomulyo kelurahan Genilangit kecamatan Poncol Magetan. Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan tradisi Galungan di dusun Wonomulyo berbeda dengan upacara Galungan umat Hindu di Balii dalam segi waktu, perlengkapan, tujuan dan prosesinya. Di mana pelaksanaan tradisi Galungan di dusun Wonomulyo dibagi menjadi 2 tahapan yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan, tahap persiapan metiputi persiapan diri sebelum menyiapkan perlengkapan Galungan dan menyiapkan segala perlengkapan untuk Galungan, dan tahap kedua adalah tahap pelaksanaan Galungan yang meliputi kegiatan kirim doa untuk Ki Hajar Wonokoso dan dilanjutkan acara makan bersama dan berbagi makanan. Nilai-nilai karakter dalam tradisi Galunga di dusun Wonomulyo kelurahan Genilangit kecamatan Poncol Magetan.. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai karakter yang muncul dalam tradisi galunganmeliputi nilai yang tersurat dan nlai yang tersurat, nilai yang tersurat diantaranya adalah nilai kerukunan, toleransi beragama, toleransi, saling berbagi, gotong royong dan kerukunan. Sedangkan nilai yang tersurat meliputi nilai religius, cinta kebersihan dan kesederhanaan. Nilai-nilai yang muncul tersut dapat dijadikan pembelajaran dalam kehidupan manusia terutama dalam kehidupan-anakanak. Keterkaitan Nilai-Nilai Karakter Dalam Tradisi Galungan Dengan SK Dan KDK13 SD Kelas Rendah. Dari hasil penelitian yang diperoleh peneliti. Peneliti menyimpulkan bahwa nilai-nilai karakter yang muncul dalam tradisi Galungan dapat dikaitkan dengan pengembangan karakter pada anak didik SD kelas rendah dengan menggunakan kurikulum 2013. Hal tersebut ditunjukan dengan temuan bahwa nilai-nilai karakter yang muncul dalam tradisi Galungan sesuai dengan nilai-nilai karakter yang dikembangkan di SD seperti nilai-nilai karakter berikut ini, religius seusi dengan tema pendidikan di kelas 3, toleransi beragama sesuai dengan tema budi pekerti di kelsa 1, saling berbag sesuai dengan tema tempat umum di kelas 2, gotong royong sesuai dengan tema lingkungan di kelas 2, dan kerukunan sesuai dengan tema diri sendiri kelas 1, kerjasama sesuai dengan tema pengalaman di kelas 3 , cinta kebersihan dan kesederhanaan sesuai dengan tema kesehatan di kelas 2.
330 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
DAFTAR PUSTAKA Afrizal. 2014. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers. Anonimous. 2015. Dusun Wonomulyo: melalui http:/dusunwonomulyo.blogspot.co.id/?m=1. Asmani, Jamal Ma’mur. 2013. Buku panduan internalisasi pendidikan karakter di sekolah. Jogjakarta: Diva Pers. Bungin, Burhan. 2003. Analisis data penelitian kualitatif. Jakarta : PT Raja Grafindo. Ghoni ,Junaidi dan Fauzan Almanshur Fauzan. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Jogjakarta:Ar’rzz Media. Kementrian pendidikan dan kebudayaan direktorat jendral pendidikan dasar dan menengah pembinaan sekolah dasar. 2015. Panduan penilaian untuk sekolah dasar. Kurniawan, Syamsul. 2013. Pendidikan Karakter. Jogjakarta. Ar’ruzz Media. Majid,
Abdul dan Dian andayani. 2012. islam.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pendidikan
karakter
perspektif
Moleoang, Lexi J. 2007.Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT Remaja Rosdakarya Mumfangati, Titi. 2007. Tradisi ziarah makam leluhur pada masyarakat jawa. Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta: Perdana Media Group. Samani, Muchlas, Hariyanto. 2012. Pendidikan karkter. Bandung: PT Rosdakarya. Soekarjono.2015. Meneladani Perjaungan, Kesederhanaan, Tanggung Jawab Kihajar Wonokoso (orang jaman dulu sebelum jeblok/Wonomulyo ada.) Sucipto 2007. Buku sejarah dukuh Wonomulyo. Sugiono. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. Alfabeta. Sugiono. 2015. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Suharsaputra, Uhar. 2012. Metode Penelitian kualitatif, kuantitatif, dan tindakan. Bandung: PT Refika Aditama. Sulhan, Najib. 2010. Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: PT Jape Pers Media Utama Jawa Pos.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 331
Wibowo, Agus,.2012. Pendidikan Karakter Usia Dini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wiyani, Novan Ardi. 2013. Membumikan Jogjakarta:Arr’ruzz Media.
Pendidikan
Karakter
di
SD.
Zubaedi.2011. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
332 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
KEARIFAN LOKAL DALAM CERITA PEWALIAN SUNAN BEJAGUNG KABUPATEN TUBAN SEBAGAI LANDASAN ALTERNATIF PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA Suantoko Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP-Universitas PGRI Ronggolawe Tuban Pos-el:
[email protected]
ABSTRACT This article aims to provide an alternative national character building through local wisdom contained in pewalian story Sunan Bejagung Tuban. Development of a national character is supposed to switch and raise the issue and wealth locally rather than having to enter the traditions of other nations outside the archipelago, sometimes it is not appropriate to be applied in Indonesia. Series pewalian story of Sunan Bejagung comprising: siti garet, watu gajah, dodok fish from spades leaf, coconut tree to be felt down, and maja agung, it is understood that Sunan Bejagung is an exemplary figure. Through discussion in this article, can be found one contribution of alternative development foundation national character reflected through local figures Sunan Bejagung. This also strengthens the argument that the moral values present in the oral tradition does not conflict with moral values and universal character. Likewise, character and exemplary pewalian figures in Tuban not least when seen from moral values, religion, and intellect, as compared with the exemplary figures of modern from other nations outside the archipelago are somewhat forced to be applied in Indonesia. Keywords: local wisdom, national character, pewalian story, and Sunan
Bejagung
PENDAHULUAN Cerita pewalian saat ini menjadi cerita yang populer di kalangan masyarakat di Kabupaten Tuban. Hal itu dapat diketahui, ketika Pemerintah Kabupaten Tuban melakukan inventarisasi para wali yang ada di Kabupaten Tuban. Berdasarkan buku Tuban Bumi Wali: The Spirit of Harmony yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban (2013:283-315), Tim Sembilan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban dan mengacu kitab TarikhulAuliya:Tarikh Wali di Tuban karangan Nawawi, berhasil menghimpun 518 wali yang tersebar di 19 kecamatan. Hal itu, sebagai upaya untuk menggelorakan Kabupaten Tuban sebagai Bumi Wali. Nama tokoh pewalian di Kabupaten Tuban sudah populer di lingkungan masyarakat Tuban sejak pertama kali agama Islam masuk ke Tuban. Berdasarkan Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban karangan Soeparmo (1972:54) bahwa sebelum orang-orang Cina ke Majapahit, lebih dulu singgah di Tuban. Hal ini mengakibatkan Tuban menjadi wilayah yang ramai hingga Islam masuk ke Tuban. Penyebaran agama Islam pun kian pesat, setelah masuknya mubaligh ternama seperti: Sunan Bejagung, Sunan Assamarqandi, Sunan Bonang, dan lain-lain. Tokoh-tokoh pewalian yang disebutkan tadi, kini menjadi ikon tokoh pewalian yang ada di Kabupaten Tuban. Dapat dikatakan juga, tiga tokoh pewalian: Sunan Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 333
Bejagung, Sunan Assamarqandi, dan Sunan Bonang menjadi spirit masyarakat dalam rangka melestarikan kearifan budaya lokal setempat. Setiap tokoh pewalian membawa minimal satu cerita yang menarik untuk dipahami sebagai dasar pembangunan karakter masyarakat lokal Tuban. Salah satu tokoh pewalian di Tuban yang memiliki cerita yang patut diteladani baik dari sisi pendidikan moral, agama, kecerdasan, dan budi pekerti luhur adalah Abdullah Asyari atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung. Sebagai salah satu tokoh pewalian prawali sanga, Sunan Bejagung dikenal sebagai wali yang memiliki karomah. Semasa hidupnya dikenal sebagai penyulut pelita (lampu) dan muazin di Masjidil Haram. Setiap sore menjelang Adzan Magrib, Sunan Bejagung pergi ke Masjidil Haram, Makkah. Konon, hanya Sunan Bejagung yang mampu melaksanakan tugas itu. Manakala memasuki waktu salat Isya, Sunan Bejagung sudah kembaliberada di tengah ratusan santrinya dan menjadi imam salat Isya di Masjid Agung Sunan Bejagung (Suantoko, 2012:16). Karomah yang dimiliki oleh Sunan Bejagung tumbuh dan berkembang menjadi cerita lisan di kalangan masyarakat Tuban. Karomah tersebut menjadi berita lisan yang dituturkan secara turun-temurun. Tumbuh dan berkembang cerita yang berupa karomah Sunan Bejagung tersebut, dapat dipandang sebagai kearifan lokal yang khas menjadi pemilik masyarakat setempat. Kearifan lokal semacam ini tumbuh tanpa teknologi dan tidak ada pelatihan untuk meneruskannya. Menurut Idrus (dalam Sudikan, 2014:44), fenomena seperti yang diungkapkan tersebut, pada gilirannya kelompok atau masyarakat tersebut tidak menyadari darimana asal kebijaksanaan tersebut. Generasi berikutnya terkondisikan untuk menerima kebenaran yang di dalamnya terdapat nilai, pantangan, kebiasaan, dan standar perilaku. Di samping itu, karomah yang dimiliki Sunan Bejagung menjadi kearifan budaya lokal masyarakat Tuban. Dengan demikian, kearifan budaya lokal yang ada dalam cerita pewalian Sunan Bejagung akan menjadi menarik apabila dilakukan penelaahan dan pembahasan lebih mendalam. Di satu sisi yang lain, tradisi lisan baik lisan maupun bukan lisan yang di dalamnya termasuk cerita pewalian, dapat digunakan sebagai media pendidikan dan di satu sisi yang lain lagi, dapat digunakan sebagai sumber pendidikan dalam rangka membangun karakter bangsa (Sibarani, 2013:3). Alan Dundes sebagaimana dikutip oleh Sudikan (2014:152) ada beberapa fungsi folklor yang bersifat umum, yaitu (1) membantu pendidikan anak muda, (2) meningkatakan perasaan solidaritas suatu kelompok, (3) memberikan sangsi agar masyarakat berperilaku baik atau member hukuman, (4) sebagai sarana kritik sosial, (5) memberikan suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan, (6) mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi permainan. Folklor, dalam hal ini cerita pewalian yang umumnya memiliki fungsi pada etnik pendukung, kini dapat dijadikan alternatif secara praktis dan pragmatis untuk membangun generasi masa depan yang berkarakter. Keseluruhan fungsi folklor pada umumnya dapat mengubah karakter bangsa atau generasi muda ke arah yang positif apabila dimanfaatkan dengan baik. Sebagaimana diungkapkan Razak, dkk. (2013:209) berbagai unsur folklor yang melingkari kehidupan manusia mampu memberikan impak yang besar dalam pembentukan karakter seseorang. Lickona sebagaimana dikutip Sudikan (2013:59-60), karakter terbentuk dari tiga aspek yaitu pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Sedangkan untuk membentuk karakter yang baik terdapat 10 esensi yaitu (1) kebijaksanaan, (2) keadilan,
334 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
(3) keberanian, (4) pengendalian diri, (5) cinta, (6) sikap positif, (7) bekerja keras, (8) integritas, (9)syukur, dan (10) kerendahan hati. Karakter-karakter yang dimaksud Lickona tersebut, juga terdapat dalam kearifan lokal Nusantara yang secara turun-temurun dijadikan sistem pengetahuan masyarakat. Sebagaimana Ridwan (2007:2-3) kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul
dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama.Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Dengan demikian, kearifan lokal memiliki fungsi sebagai ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut seting. Seting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah seting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkahlaku mereka termasuk di dalamnya pembangunan karakter (Ridwan, 2007:2-3).
Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa disebutkan bahwa (1) karakter merupakan hal yang sangat esensial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa; (2) karakter berperan sebagai “kemudi” dan kekuatan, sehingga bangsa ini tidak teromban-gambing; (3) karakter tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Dalam proses pembangunan karakter bangsa ini harus difokuskan pada tiga tataran besar: (1) untuk menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa, (2) untuk menjaga keutuhan NKRI, dan (3) untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa yang bermartabat (Setiawan dan Nurmansyah, 2014:134). Berdasarkan beberapa pemaparan tersebut, salah satu alternatif pembangunan karakter bangsa dapat dilakukan melalui kearifan budaya lokal yang dimiliki oleh sekelompok etnik. Pembangunan karakter bangsa yang dimaksudkan adalah pembangunan karakter yang berpijak pada kekayaan lokal, baik dari dimensi nilai lokal, sumber daya lokal, solidaritas kelompok, dan mekanisme pengambilan keputusan lokal. PEMBAHASAN Sebagai tokoh lokal, Sunan Bejagung sampai saat ini masih dikenal sebagai tokoh yang dihormati. Hal ini dapat dibuktikan, bahwa makam Sunan Bejagung sampai saat ini masih diziarahi oleh masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan pada hari-hari tertentu masih ada ritual untuk mengenang jasa Sunan Bejagung. Salah satunya adalah ritual mengambil air dan mandi di sumur giling yang dibuat Sunan Bejagung pada hari Jumat Wage. Di samping itu, tradisi bersedekah yang dilakukan Sunan Bejagung, masih diteruskan masyarakat sampai saat ini dalam bentuk sedekah nazar yang dilakukan di cungkup penazaran. Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 335
Budi Pekerti Luhur: Sunan Bejagung Sebagai Tokoh Teladan Salah satu karomah Sunan Bejagung adalah menjadi penyulut pelita (lampu) dan muazin di Masjidil Haram. Dibalik karomah tersebut ada pantangan yang yang harus dilakukan oleh masyarakat Bejagung. Pantangan tersebut bermula ketika sebagai seorang wali, sekaligus juga sebagai penyulut pelita di Masjidil Haram, Sunan Bejagung juga pernah digoda oleh Jin. Ketika Sunan Bejagung hendak melakukan perjalanan haji menuju Masjidil Haram, beliau ditipu oleh Jin yang menjelma menjadi santrinya. Jin yang berwujud santrinya tersebut sanggup mengantarkan dan menggendong Sunan Bejagung dari Bejagung sampai Masjidil Haram. Sunan Bejagung menyetujui penawaran santrinya yang berwujud Jin tersebut. Sunan Bejagung dijatuhkan ke dalam samudra. Kemudian beliau ditolong oleh ikan Meladang. Ikan tersebut kemudian membawa Sunan Bejagung sampai ke pesisir pantai Hadrah Maut. Dari peristiwa dijatuhkannya Sunan Bejagungke samudra oleh santrinya yang berwujud Jin, terdapat pantangan bagi masyarakat Bejagung dan sekitarnya. Terutama keturunan lansung dari Sunan Bejagung. Setelah kembali dari Makkah,Saudi Arabia, Sunan Bejagung berpesan kepada anak cucu, masyarakat Bejagung dan sekitarnya, tidak boleh memakan ikan Meladang (ikan yang berbentuk pipih, kulitnya halus seperti kulit manusia).Hal itu dikarenakan, ikan tersebut telah menyelamatkan Sunan Bejagung ketika dijatuhkan santrinya yang berwujud Jin ke samudra. Barang siapa yang melanggar pantangan tersebut, orang yang memakan ikan Meladang dengan sengaja, akan menderita penyakit buras (sejenis penyakit gatal-gatal dan timbul bisul di seluruh tubuh). Penyakit buras tersebut tidak ada obatnya secara medis. Jika menginginkan kesembuhan, harus mandi air sumur Wali yang berada di sebelah selatan komplek makam Sunan Bejagung Lor. Sampai sekarang, baik keturunan, masyarakat Bejagung, dan sekitarnya tidak ada yang berani melanggar pantangan tersebut. Sebagaimana fungsi kearifan lokal yang dikemukakan oleh Sartini (2004:113), kearifan lokal berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan. Hal ini serupa dengan kearifan lokal cerita pewalian Sunan Bejagung. Masyarakat Bejagung memiliki pantangan yaitu tidak boleh memakan ikan Meladang. Pantangan tersebut menjadi petuah yang harus diakui kebenarnnya secara kolektif oleh masyarakat Bejagung. Sunan Bejagung merupakan tokoh sentral penyebaran agama Islam di Kabupaten Tuban. Sebagai ulama yang besar, Sunan Bejagung menunjukkan nilai-nilai luhur seorang mubaligh sekaligus pejuang agama tanpa kekerasan. Ketika Pangeran Sudimoro, putra mahkota kerajaan Majapahit yang tidak ingin menjadi putra mahkota kerajaan, meninggalkan kerajaan Majapahit dan berguru mencari ilmu. Ia pergi ke Tuban mencari guru ilmu syariat, tarekat, hakikat, dan marifat. Sesuai dengan petunjuk Syekh Jumadil Kubra, beliau disuruh menemui Syekh Abdullah Asyari (Sunan Bejagung). Ketika Pangeran Sudimoro masih mengaji di Kasunanan Bejagung, Prabu Hayam Wuruk berusaha mencarinya. Setelah mengetahui bahwa putranya mengaji di Padepokan Sunan Bejagung Tuban, Prabu Hayam Wuruk memerintahkan patihnya yang bernama Gajah Mada dan bala tentaranya untuk mengajak Putra Mahkota (Pangeran Sudimoro)pulang ke Majapahit. Berita tersebut didengar oleh Pangeran Sudimoro. Beliau menghadap kepada Sunan Bejagung. Meminta perlindungan dan bantuan Sunan Bejagunguntuk menolak 336 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
keinginan Sang Prabu. Hal itu dikarenakan Pangeran Sudimoro ingin tetap menekuni ilmu agama Islam. Sunan Bejagung menggaris tanah sekitar Padepokan Kasunanan Bejagung. Berbentuk segi empat mengitari kasunanan Bejagung. Agar tentara Majapahit tidak bisa masuk Kasunanan Bejagung. Ketika mahapatih Gajah Mada yangtersohor dengan ilmu BaratKetiga dan bala tentara Majapahit hendak menjemput pangeran Sudimoro di Kasunanan Bejagung. Ternyata tentara Majapahit tidak bisa masuk ke kasunanan Bejagung. Begitu juga dengan Patih Gajah mada yang terkenal dengan ilmunya Barat Ketiga (ilmu kecepatan angin kemarau). Garisan tanah yang dibuat oleh Sunan Bejagung tersebut dikenal dengan nama Siti Garet. Siti Garet merupakan fenomena gaib. Tidak semua orang yang dapat melihatnya. Selain itu, SitiGaret merupakan tempat untuk bersembunyi para pejuang ketika dikejar-kejar tentara Belanda. Kalaupejuang masuk kasunanan tersebut, para tentara Belanda tidak bisa ikut masuk. Karena pandangannya terhalang oleh kabut(Wawancara Mbah Darmawan, Kuncen Makam Sunan Bejagung, laki-laki, 56 tahun, tanggal 12 Januari 2012, Pewawancara Suantoko, 25 tahun). Selain itu, adanya Siti Garet juga memunculkan mitos dan mempengaruhi pandangan para pejabat negara dan kerajaan. Apabila pejabat negara telah lancang masuk ke Kasunanan Bejagung–memiliki niat yang tidak baik, maka pejabat negara tersebut dalam waktu dekat akan lengser dari jabatannya. Sampai sekarang pandangan tersebut masih ada dalam pandangan sebagian masyarakat dan para pejabat negara di Indonesia. Semua itu dilandasi dengan adanya pasukan dan pejabat kerajaan Majapahit yang tidak dapat masuk Kasunanan ketika akan menjemput pangeran Sudimoro/pangeran Pengulu (Wawancara Mbah Darmawan, Kuncen Makam Sunan Bejagung, laki-laki, 56 tahun, tanggal 12 Januari 2012, Pewawancara Suantoko, 25 tahun). Kelembutan, ketenangan menghadapi masalah, dan kebersahajaan juga ditunjukkan oleh Sunan Bejagung ketika Kasunanan Bejagung hendak diserang pasukan gajah dari Kerajaan Majapahit. Meskipun akan diserang, Sunan Bejagung tidak pernah menyiapkan santrinya untuk melawan pasukan gajah di bawah pimpinan Barat Ketiga. Pasukan-pasukan Majapahit dan bala tentara gajah akhirnya terhenti di sebelah selatan Kasunanan. Salah seorang santri melapor kepada Sunan bahwa di sebelah selatan Kasunanan Bejagungbanyak pasukan Gajah dari Majapahit. Sunan mengatakan,tidak gajah tetapi batu. Seketika itu semua gajah menjadi batu. Sampai sekarang, tempat berhentinya pasukan gajah tersebut dikenal dengan sebutan Watu Gajah (Wawancara Mbah Mudri, Kuncen Makam Sunan Bejagung, laki-laki, 52 tahun, tanggal 13 Mei 2012, Pewawancara Suantoko, 25 tahun). Kelembutan yang dimiliki Sunan Bejagung menunjukkan keluhuran budi. Kekerasan tidak mesti harus dilawan dengan kekerasan. Bersikap rendah hati lebih mulia daripada harus berperang. Apalagi yang dilawan adalah penguasa. Kepada penguasa harus tetap patuh dan tunduk, tidak melawan, dan senantiasa mengimbangi agar tidak terjadi kekerasan. Kelembutan dalam menghadapi orang lain ditunjukkan ketika terjadi peristiwa ikan dodok dari daun waru. Cerita ini muncul ketika Patih Gajah Mada berangkat tanpa bala tentara menuju pesisir utara Kadipaten Tuban. Ia mengaduk air laut Tuban sampai keruh dan berpura-pura mencari ikan dodok. Setelah diketahui oleh Sunan Bejagung, jawabannya bahwa Barat Ketiga sedang mencari ikan dodok, karena Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 337
adiknya hamil dan ngidam ingin makan ikan dodok. Sunan Bejagung mengambil lontar dan membuat timba. Barat Ketiga diperintahkan untuk mengambil daun waru. Setelah timba/tempayan lontar tersebut diisi dengan air dan daun waru dimasukkan kedalam timba. Seketika itu daun waru menjadi ikan dodok. Kejadian ini diingat oleh masyarakat Bejagung bahwa sampai sekarang apabila mengadakan kenduri atau sedang bersih desa selalu menggunakan lauk ikan Dodok (Wawancara Mbah Mudri, Kuncen Makam Sunan Bejagung, lakilaki, 52 tahun, tanggal 13 Mei 2012, Pewawancara Suantoko, 25 tahun). Barat Ketiga ingin menguji lagi kesaktian Sunan Bejagung. Iapergi ke perdikan Bejagung. Setelah berada di ladang Sunan Bejagung, ia menggoyang pohon kelapa. Sunan Bejagung bertanya, “Untuk apa menggoyangkan pohon Kelapa?” Barat Ketiga menjawab bahwa ia haus. Sunan Bejagung berkata, “Kalau digoyang keras yang muda ikut jatuh dan tidak bisa dimanfaatkan buahnya.”Akhirnya Sunan Bejagung Lor mengambil buah kelapa dengan cara merebahkanpohon kelapa dengan cangkul. Barat Ketiga dengan mudah mengambil buah kelapa yang sudah tua, tanpa merusak kelapa yang masih muda. Kemudian pohon kelapa dikembalikan tegak berdiri seperti semula. Peristiwa tersebut menambah kagum Barat Ketiga. Setalah meminum air kelapa, ia pura-pura masih haus. Ingin minum air yang banyak. Setelah kepura-puraannya itu disampaikan kepada Sunan Bejagung, kemudian Sang Sunan berkata,“Kalau demikian, tunggu di sini, saya ambilkan air.” Tidak lama kemudia Sunan Bejagung Lor mengambil air, dimasukkan ke dalam buah Maja kecil (disebut Mojo berduri),” (Wawancara Mbah Mudri, Kuncen Makam Sunan Bejagung, laki-laki, 52 tahun, tanggal 13 Mei 2012, Pewawancara Suantoko, 25 tahun). Melihat ulah Sunan Bejagung yang aneh tersebut, Barat Ketiga tertawa karena air sedikit dimasukkan ke dalam buah Maja yang dibelah menjadi dua bagian. Ia menganggap mana mungkin air dalam buah Maja dapat menghilangkan rasa haus. Ternyata setelah air itu diminum,air yang ada di dalam Maja tersebut masih utuh dan tidak habis-habis. Sehingga buah Maja tersebut disebut Mojo Agung. Kemudian dari peristiwa tutur mulut ke mulut berubah menjadi BejaAgung, kemudian menjadi Bejagung dan dijadikan nama desa Bejagung. Selain itu juga dipakai sebagai sebutan nama lain syekh Abdullah Asy’ari (Wawancara Mbah Mudri, Kuncen Makam Sunan Bejagung, laki-laki, 52 tahun, tanggal 13 Mei 2012, Pewawancara Suantoko, 25 tahun). Berdasarkan beberapa cerita yang berkaitan dengan Sunan Bejagung, seperti: peristiwa siti garet, watu gajah, ikan dodok dari daun waru, pohon kelapa yang digalah, dan maja agung dapat dipahami bahwa Sunan Bejagung adalah sosok yang patut diteladani. Kecintaan terhadap orang yang ingin menguji kesaktiannya merupakan hal yang mulia. Meskipun berkali-kali ditantang secara simbolik, Sang Sunan tetap menunjukkan perilaku yang lembut dan tidak menggunakan kekerasan. Sebagai seorang wali, tampak sikap hormatnya terhadap penguasa. Tidak memosisikan kekuasaan yang dimiliki kerajaan sebagai lawan. Tokoh Sunan Bejagung Sebagai Figur Guru yang Ideal Di dalam rangkaian cerita pewalian Sunan Bejagung, terdapat dua santri yang berasal dari kerajaan Mahapahit yaitu Pangeran Sudimara, putra Prabu Hayam Wuruk dan Barat Ketiga, Patih Kerajaan Majapahit. Dari rangkaian cerita-cerita tersebut, dapat dipahami bahwa Sunan Bejagung adalah figur guru yang ideal. Seorang guru 338 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
sejati, sudah seharusnya melindungi dan memberikan rasa aman kepada muridnya. Membuat murid merasa nyaman belajar, kerasan belajar, dan selalu membuatmurid mengembangkan potensinya. Hal ini, tampak pada perlakuan Sunan Bejagung terhadap Pangeran Sudimara semasa berguru kepada Sunan Bejagung. Ketekunan Pangeran Sudimara dalam belajar agama dan kematangan dalam megamalkan ilmu agama, hingga diberikan gelar Pangeran Pengulu/Syekh Hasyim Alamuddin (sekarang dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung Kidul) oleh Sunan Bejagung. Pangeran Penghulu kemudian diambil menantu oleh Sunan Bejagung dan ditetapkan menjadi penerus di Kasunanan Bejagung. Semenatara Sunan Bejagung uzlah di sebelah utara Kasunanan (Wawancara Mbah Mudri, Kuncen Makam Sunan Bejagung, laki-laki, 52 tahun, tanggal 13 Mei 2012, Pewawancara Suantoko, 25 tahun). Perlakuan terhadap Barat Ketiga pun demikian. Sunan Bejagung tidak pernah menerima tantangan dari Barat Ketiga secara terbuka. Sunan Bejagung hanya mengimbangi keinginan yang dimiliki oleh Barat Ketiga hingga akhirnya Barat Ketiga merasa kalah dan tunduk kepada Sunan Bejagung. Mengajar tidak harus menggunakan kekerasan. Tidak pula harus memaksakan kehendak agar mereka belajar. Akan tetapi, strategi pengajaran yang diberlakukan adalah membuat peserta didik untuk mengenali dirinya sendiri, agar keinginan belajar tumbuh dari sanubarinya. Atau dengan kalimat lain, Sunan Bejagung cerdas dalam meredam konflik terbuka. Di samping itu, sikap positif tokoh Sunan Bejagung sebagai mahaguru ditunjukkan dalam rangkaian cerita pewalian Sunan Bejagung. Sikap humor dan tidak masuk akal pun ditunjukkan oleh Sunan Bejagung. Hal itu terdapat dalam cerita maja agung dan ikan dodok dari daun waru. Sunan Bejagung juga menunjukkan keluwesan untuk mengimbangi kehendak yang dimiliki oleh Barat Ketiga. Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksud Lickona (dalam Sudikan, 2013:60) bahwa salah satu bentuk karakter manusia yang baik adalah selalu bersifat positif. Berdasarkan hal tersebut, ketokohan Sunan Bejagung dapat dijadikan alternatif pembangunan karakter bangsa. Di samping itu, juga sumber dan media pendidikan dalam rangka membangun pendidikan karakter di Indonesia. Kebijakan guru dalam memilih sumber dan media pembelajaran yang berbasis pendidikan karakter sangat diutamakan. Para guru dapat memanfaatkan tokoh lokal, kecerdasan lokal, budaya lokal, ekonomi local. dan lain-lain, sebagai bahan pembelajaran di kelas. Hal ini, dikarenakan kelokalan seperti yang ada dalam cerita pewalian memiliki nilai-nilai pendidikan karakter yang erat dengan kurikulum yang berlaku saat ini. Dari beberapa pembahasan tersebut dapat diketahui bahwa kearifan budaya lokal yang digambarkan melalui tokoh lokal dapat dijadikan alternatif landasan pembangunan karakter bangsa. Kearifan budaya lokal yang dimiliki oleh etnik tertentu dapat diangkat sebagai media dan sumber pembangunan karakter bangsa secara holistik. Di samping itu, keberhasilan dalam menggali kearifan budaya lokal dapat menempatkan kearifal budaya lokal dalam situasi yang lain. Kearifan budaya lokal tidak berada dalam keranjang masa lalu. Akan tetapi, kearifan budaya lokal dapat dijadikan landasan kekinian dalam rangka pengembangan karakter bangsa. Pengembangan karakter bangsa tidak selalu berpijak pada teori-teori barat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Pudentia MPSS (2013:5) dan Sudikan (2013:15) bahwa tradisi lisan yang di dalamnya terdapat kearifan budaya lokal, bukanlah dilihat sebagai barang antik yang harus diawetkan.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 339
Kearifan budaya lokal sudah seharusnya menjadi kekuatan dalam rangka pembangunan bangsa, baik dari karakter perorangannya, ekonomi, sosial, dan budaya. Hal ini akan tercipta apabila kegigihan dalam menggali kekayaan lokal Nusantara terus dilakukan. sejalan dengan Faisal (dalam Sudikan, 2013:159), penggalian kekayaan lokal secara berkelanjutan dapat diperoleh fungsi dan maknanya untuk kepentingan pembangunan di masa sekarang dan mendatang. SIMPULAN Penggalian kearifan budaya lokal dalam tradisi lisan Nusantara baik murni lisan atau bukan lisan perlu dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan sebagai landasan pembangunan karakter bangsa. Kearifan budaya lokal dari berbagai masyarakat tradisional yang ada di Nusantara terutam di Tuban tidak ada yang bertentangan dengan nilai-nilai moral universal, malah turut memperkaya nilai moral tersebut. Pembangunan karakter bangsa sudah seharusnya beralih dan mengangkat isu dan kekayaan lokal daripada harus memasukkan tradisi dari bangsa lain di luar Nusantara, terkadang tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia. Melalui pembahasan dalam artikel ini, dapat ditemukan salah satu alternatif landasan pembangunankarakter bangsa melalui tradisi lisan yaitu cerita pewalian dari Kabupaten Tuban. Budi pekerti dan keteladanan tokoh pewalian di Tuban tidak kalah, dilihat dari nilai moral, agama, dan sosial, dibandingkan dengan keteladanan tokohtokoh modern dari bangsa lain di luar Nusantara yang terkesan dipaksakan diterapkan di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban. Tuban Bumi Wali: The Spirit of Harmony. 2013. Yogyakarta: Aura Pustaka. Pudentia, MPSS. 2013. Pendidikan Kajian Tradisi Lisan di Indonesia, Makalah Seminar Nasional Tradisi Lisan dalam Pendidikan. Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Saraswati Tabanan Bali kerja sama dengan Asosiasi Tradisi Lisan Bali, 26-27 April 2013. Razak, Che Rahimah Che. 2013. Cerita Rakyat Sebagai Wadah Pembinaan Karakter Bangsa. Dalam Suwardi Endraswara, dkk. (Ed). 2013. Folklore dan Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern Kesatuan dan Keberagaman. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Ridwan, Nurma Ali. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal Ibda, Volume 5, nomor 1, bulan Januari-Juni 2007: P3M STAIN Purwokerto. Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati.Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2. Setiawan, Wing dan Nurmansyah, M. Andy. 2014. Pasemon dalam Kesenian Kentrung Sebagai Pendidikan Karakter: Nilai Luhur dalam Kesenian Tradisi Lisan Jawa. Jurnal Studi Sosial, tahuh. 6, no. 2, November 2014, 133-139.
340 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
Sibarani, Robert. 2013. Folkore Sebagai Media Dan Sumber Pendidikan: Sebuah Ancangan Kurikulum dalam Pembentukan Karakter Siswa Berbasis Nilai Budaya Batak Toba. DalamSuwardi Endraswara, dkk. (Ed). 2013. Folkore Nusantara: Hakikat, Bentuk, dan Fungsi. Yogyakarta: Ombak. Soeparmo. R.1972. Tjatatan Sedjarah 700 Tahun Tuban. Tuban: Sruni. Suantoko. 2012. Dibalik Karomah Sunan Bejagung Lor, Kolom Selingan Majalah Akbar. nomor 168 tahun XVI edisi April 2012. Sudikan, Setya Yuwana. 2013. Kearifan Budaya Lokal. Sidoarjo: Damar Ilmu Sudikan, Setya Yuwana. 2014. Metode Penelitian Sastra Lisan. Lamongan: Pustaka Ilalang Group.
Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 341
342 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
KARYA SASTRA SEBAGAI KESADARAN LOGIKA DAN PERMAINAN BAHASA Tsalits Abdul Aziz Al farisi Universitas Islam Darul Ulum Lamongan
ABSTRAK Penelitian ini berangkat dari kegelisahan terhadap karya sastra yang kerap memainkan peran pembaca sebagai penikmat yang pasif. Posisi tersebut seolaholah menjauhkan peran pembaca sebagai apresiator sastra sekaligus kritik sastra yang independen. Sehingga diharapkan memunculkan kritik sastra yang orisinil dari sudut pandang apresiator (pembaca). Seorang apresiator tentu punya pengalaman puitik sekaligus estetik dalam memahami karya sastra. Pengalaman tersebut dibangkitkan melalui pemahaman subyektif. Namun hal tersebut tidak semena-mena subyektif. Apresiator diupayakan untuk memahami beberapa konsep tentang logika dan permainan bahasa yang akrab disebut sebagai diksi.peneliti berusaha untuk memaparkan secara praktis bagaimana memahami karya sastra dari sudut pandang subyektif namun tidak melepaskan diri dari kesadaran logika dan permainan bahasa. Salah satu alat teori yang diperkenalkan dalam pembahasan ini adalah teori postrukturalisme. Hal tersebut sangat beralasan mengingat postrukturalisme melepaskan diri dari unsur-unsur yang kaku dalam memperlakukan apresiasi maupun kritik dalam karya sastra. Unsur-unsur mengenai struktur karya sastra tanpa mempertimbangkan penulis maupun wawasan pembaca adalah salah satu ciri strukturalisme. Sedangkan postrukturalisme lebih berfikir segar dan bebas dalam memodifikasi pesan, kesan dan makna yang diserap oleh pembaca.
Kata kunci : postrukturalisme, logika, diksi PENDAHULUAN Karya sastra pada dasarnya adalah memperjuangkan nilai-nilai sastra dibanding dengan nilai-nilai lain yang diperjuangkan melalui sastra. Karya sastra dapat dikatakan sebagai senjata bagi para pengarang untuk menyampaikan apresiasi dan nilai-nilai (slogan) demi mencapai apa yang diinginkan oleh pengarang, tanpa mengalami proses penghayatan yang mendalam. Karya sastra semacam ini tidak akan dapat bertahan lebih lama dan tentunya sulit untuk dikenang. Seniman (pengarang) yang baik adalah intelektual yang baik. Mereka selalu mencari, belajar dan berkembang. Daya serap mereka tinggi, dalam menyusun dan menyeleksi kalimat yang akan ia sampaikan (Budi Darma, 2007: 108) Sedangkan posisi seorang apresiator ataupun kritikus sastra harus mempunyai pengalaman empirik agar dapat menyerap karya sastra yang akan di apresiasinya atau kritik. Pada hakekatnya seorang kritikus sastra ataupun apresiator juga seorang seniman. Pengalaman ini akan semakin bermanfaat jika karya sastra tersebut mampu memberikan inspiratif bagi kritikus. Karya sastra yang baik mampu membius kritikus untuk menulis kritik sastra terhadap karya tersebut. Tentunya seorang kritikus maaupun apresiator memunyai pengalaman teoretis tertentu untuk membedah karya sastra agar lebih mudah dipahami dari beragam aspek. Seorang apresiator tidak hanya menerima nilai-nilai sastra suatu obyek sebagai sesuatu yang benar, tetapi apresiator juga mempunyai tujuan untuk mencari kebenaran nilai-nilai sastra. Itulah yang disebut Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 343
sebagai seorang kritikus sastra. Apresiasi dan kritikus merupakan dua hal yang saling melengkapi guna menemukan nilai-nilai dalam karya sastra. Salah satu perangkat teori yang akan digunakan dalam membedah karya sastra adalah postrukturalisme. Postrukturalisme lahir dari ketidak puasaan atas teori sebelumnya yaitu struktural. Struktural dalam pendekatannya terhadapa karya lebih mengutamakan unsur-unsur komponen dari karya sastra. Sehingga struktural lebih mengabaikan posisi pengarang sebagai pencipta. Dalam hal ini, postrukturalisme tidak semata-mata mengapresiasi, kritik maupun memaknai karya sastra tanpa suatu perangkat pemahaman terhadap logika dan diksi. Logika memusatkan diri pada hukum-hukum susunan pikiran manusia dalam mencapai kebenaran. Sedangkan bahasa merupakan simbol bunyi yang diucapkan oleh manusia. Simbol-simbol bunyi ini dapat dipahami dan dimaknai dengan perangkat logika. Sementara posisi Postruktural melapisi sikap seorang apresiator maupun kritikus untuk memaknai karya sastra. Tentu saja ini bukanlah pekerjaan yang mudah, karena pengaplikasiannya diperuntukkan seperangkat pengalaman memahami karya sastra dari berbagai sudut. Salah satunya latar belakang pengarang. PEMBAHASAN Dalam pembahasan ini, peneliti akan coba menganalisis salah satu puisi dengan pendekatan ekspresif. Pendekatan ekspresif meneropong karya sastra lebih luas. Pengarang sebagai subyek kreator ikut terlibat dalam sudut pandang pemaknaan. Pendekatan ekspresif bukan hanya memandang pengarang sebagai perhatian terhadap bagaimana karya sastra tersebut diciptakan, tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadi dalam karya sastra yang dihasilkan (Ratna, 2012: 69) Sedangkan postrukturalisme lebih mengutamakan kemerdekaan berfikir seorang apresiator. Kemerdekaan ini bukan tanpa alasan, kemerdekaan ini tetap dinaungi oleh konsep-konsep landasan wawasan apresiator maupun seorang kritikus bahwa dia menganalisis tetap memiliki acuan logika bahasa. Berikut peneliti sajikan salah satu sajak dari Mustofa Bisri yang berjudul Doa Kemerdekaan: Ya Allah ya Tuhan kami Di hari kemerdekaan negeri kami Kami memohon kepadaMu, ya Allah Ilhamilah kami untuk dapat menyadari dan mensyukuri Dengan benar rahmat agung anugerahMu Nikmat kemerdekaan kami (Bisri, 2002: 72) Dari sudut pandang diksi, puisi tersebut tidak ada pola diksi yang secara metafor sulit dicerna oleh logika. Rangkaian puisi tersebut tidaklah sulit untuk dimaknai, karena logika kata dan metafor kalimat mudah diserap pesannya, yaitu nilai rasa syukur kepada Allah SWT. Menurut penulis, nilai-nilai tersebut dibuktikan dengan diksi-diksi yang dominan hadir pada petikan puisi tersebut yaitu diksi “Allah”.diksi ini tidak semata-mata di maknai sebagai unsur religi tetapi perlu kita cermati kombinasi diksi yang mengarah ke esensi ketuhanan. Pola berfikir postrukturalis lebih merdeka dalam hal menelusuri makna dalam puisi. Postrukuralis bisa membedah dari berbagai sisi. Namun yang sering digunakan adalah model dekonstruksi. Pada puisi Gus Mus, makna dapat diidentifikasi sebagai bentuk sindiran. Sindiran tersebut cukup beralasan karena pada baris ketiga, penulis dihadapkan pada pernyataan bahwa kemerdekaan merupakan ilham yang patut 344 | Appi-Bastra (Asosiasi Pendidik dan Peneliti Bahasa dan Sastra)
disadari. Kata ilham ini dapat diorientasikan kepada suatu pencerahan yang datang secara spiritual. Kata ilham merupakan pembangkitan dari struktur makna lain yang sudah diasumsikan sebagai bagian dari instrumen diksi religi. Postrukturalisme tidak dapat berhenti di sisi logika saja, tapi logika dapat dibangkitkan kembali melalui sudut pandang logika eksternal, yaitu logika yang berkaitan dengan pemahaman apresiator maupun kritikus. Postrukturalisme juga dapat membangkitkan suatu makna karya sastra (puisi) yang berlatar puisi naratif. Unsur pembangkitan dapat dilihat dari berbagai sisi, salah satunya pengarang. Dalam postrukturalisme, pengarang punya peran cukup penting dalam menemukan pesan dalam karya sastra. Pengarang memiliki kebiasaan dalam menggunakan diksi di tiap karya sastra yang ia ciptakan seperti yang tersaji pada puisi Joko Pinurbo berikut ini: Doa Sebelum mandi Tuhan, saya takut mandi Saya takut dilucuti, Saya takut pada tubuh saya sendiri, Kalau saya buka tubuh saya nanti, Mayat yang saya sembunyikan Akan bangun dan berkeliaran. Saya ini orang miskin yang celaka. Hidup saya sehari-hari sudah telanjang. Kerja saya mencari pekerjaan. Tubuh saya sering dipinjam orang Untuk menculik dan membinasakan korban. Mereka bisa dengan mudah dihilangkan Tapi di tubuh saya mereka tak dapat dilenyapkan. Tuhan, mandikanlah saya Agar saudara kembar saya Bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya. (2000) Puisi tersebut memiliki rima campuran namun tetap memiliki metrum bunyi yang indah. Keindahan tersebut bagi penyair memiliki pertimbangan sendiri dalam menentukan metrum yang pas. Rima tersebut diimbangi dengan nuansa bunyi konsonan dan vokal yang pas seolah-olah menjadi semacam permohonan doa. Dalam hal menilai makna yang ada dalam puisi tersebut ada satire dalam pesan yang disampaikan. Tubuh diimprovisasi sebagai perilaku jasmani tanpa dikontrol oleh nurani manusia. Uniknya, penyair memberi tokoh saya sebagai perilaku subjek kelak jika diamati puisi tersebut membangkitkan tokoh saya sebagai subjek yang bisa membicarakan situasi yang dialaminya. Situasi yang mengangkat beragam peristiwa sosial. Postrukturalisme dapat membidik makna melalui kebiasaan penyair dalam mengungkapkan ekspresi keupuitisannya. Joko Pinurbo dalam kumpulan puisinya lebih dominan menggunakan diksi saya ketimbang aku. Bisa jadi ini pertimbangan estetik pengucapan dan tentu saja dapat dilacak sebagai ciri khas kepenyairan Joko Prosiding Seminar Nasional 24 September 2016| 345
Pinurbo. Ciri khas yang selalu menggunakan tokoh anonim yang diimprovisasi dalam berbagai watak dan sikap. Masih dalam hal puisi, Mardi Luhung adalah penyair yang sering membangun metafor baru. Puisi-puisi Mardi Luhung menggunakan metafor yang masing-masing permasalahan ia improvisasi sehingga muncullah wawasan baru dalam puisi. Pada puisi Mardi Luhung, tidak lagi menggunakan bentuk struktur puisi yang menganut konsep-konsep perpuisian yang sudah ada. Dia menciptakan bentuk pada struktur tipografinya mirip dengan cerpen. Bukan lagi pada pembentukan yang lazim pada puisi-puisi Indonesia. Puisi-puisi yang disajikan panjang-panjang. Penulis boleh menyebutnya sebagai puisi naratif. Karena satu puisi bisa menceritakan bermacammacam benda, peristiwa. Saya akan memberikan contoh salah satu dari kumpulan puisi tersebut yang berjudul Cacing Tanah yang memiliki bentuk dan pengucapan yang mirip sekali dengan cerita pendek. Cacing Tanah kau menjaga tongkatnya. Bersila di pinggir sungai. Sambil melihat si jagal menggali lahat. Dan wanita keramas dari darah si penjudi. Si wanita yang telah dijadikan taruhan dimeja dadu. Lalu tongkatnya pun bergerak. Adakah di dalamnya nyawa jailangkung yang merasukinya? Tongkatnya pun menulis sebaris gertak: “siapa yang berani menggebuk mulus punggung si mucikari yang telah menggembok tiap mulut itu?” lalu sungai yang semula tenang berteriak: “awas, ada rahasia kesetiaan yang mulai tak waras!” rahasia Yang pernah dihafal si jagal. Saat si penjudi, si wanita dan si Mucikari menggoyah goyang. Lalu, akh, tongkatnya pun lepas Dan melayang. Dan setiap yang melihatnya pun bersumpah: “demi hari kesepuluh. Dan demi hari yang ganjil yang Berikutnya. Tak ada yang sampai kecuali yang dipinta!” Lalu si cacing tanah yang lain, yang telah dimanusiakan Lewat gelap malam itu pun segera membuka rahasia-kulitCokelatnya. Dan segera juga mendebarkan amalannya seperti Selalu tak aku dapat?” dan inilah yang kelak akan membuat Kita bersibaku. Tanpa sengaja atau tidak. Tanpa takwil atau Sebaliknya. Dan tanpa bisik-bisik, atau malah dengan nyaring Genta yang jatuh dari menara. (Gresik, 2008) Jika diperhatikan, puisi tersebut sepe