ISBN 978-602-95270-4-9 PROSIDING
EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN KEHUTANAN BPK MAKASSAR TAHUN 2012 “PERAN IPTEK DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH WALLACEA”
Makassar, 28 Juni 2012
Editor : Ir. M. Kudeng Sallata, M.Sc. Hasnawir, S.Hut, M.Sc, PhD. Ir. Suhartati, M.P. Ir. Mody Lempang, M.Si. Ir. Achmad Rizal HB, M.T.
KE MENTE RIA N KE HUTAN AN BAD AN PE NE LITIA N DAN PE NGEMB ANGAN KE HUTAN AN
BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MAKA SSAR MA KASSAR, 201 3
ISBN 978-602-95270-4-9
PROSIDING EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN KEHUTANAN BPK MAKASSAR TAHUN 2012 “PERAN IPTEK DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH WALLACEA” Makassar, 28 Juni 2012 Terbit Tahun 2013 Penanggungjawab : Ir. Muh. Abidin, M.Si (Kepala Balai Penelitian Kehutanan Makassar)
Editor : Ir. M. Kudeng Sallata, M.Sc. Hasnawir, S.Hut, M.Sc, PhD. Ir. Suhartati, M.P. Ir. Mody Lempang, M.Si. Ir. Achmad Rizal HB, M.T.
Sekretariat : Drs. Baharuddin (Kepala Seksi Data Informasi dan Kerjasama) Ir. Sahara Nompo Masrum Amrullah, S.E. Jumain, S.E. Kasmawati, S.Kom Arman Suarman
Diterbitkan dan dicetak oleh :
Balai Penelitian Kehutanan Makassar Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jl. Perintis kemerdekaan Km. 16 Makassar, 90243, Sulawesi Selatan, Indonesia Telepon : 0411-554049, Fax : 0411-554058 Email:
[email protected] Website : http://www.balithutmakassar.org
Dicetak dengan Pembiayaan DIPA BPKMKS 2013
KATA PENGANTAR Ekspose hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Makassar diselenggarakan pada tanggal 28 Juni 2012. Tema ekspose “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”. Penyelenggaraan ekspose ini dimaksudkan sebagai suatu sarana diseminasi IPTEK yang telah dihasilkan kepada segenap pengguna (stakeholders) agar pengguna dapat mengetahui, mengembangkan dan memanfaatkannya. Dalam pelaksanaan ekspose dipaparkan berbagai topik yang relevan dengan tugas dan fungsi BPK Makassar. Makalah yang dipaparkan merupakan hasil penelitian berasal dari intern BPK Makassar sebanyak 5 makalah, dari Universitas Hasanuddin Makassar 1 makalah, dari LSM (Mangrove Action Project) 1 makalah dan 1 makalah dari Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Mataram. Makalah yang tidak dipresentasikan sebagai penunjang sebanyak 24 makalah yang berasal dari BPK Makassar. Sebagai tindaklanjut hasil ekspose, dibukukan dalam bentuk prosiding dan diharapkan penerbitan buku ini bisa menjadi media komunikasi dengan berbagai kalangan baik peneliti, akademisi, praktisi kehutanan dan pengambil keputusan di bidang kehutanan. Kepada semua pihak yang berkontribusi hingga selesainya prosiding ini diucapkan terima kasih. Semoga prosiding ini bermanfaat bagi penyebaran IPTEK di bidang kehutanan dan pengelolaan sumber daya alam.
Makassar, September 2013 Kepala Balai
Ir. Muh. Abidin, M.Si. NIP. 19600611 198802 1 001
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
iii
DAFTAR ISI Kata Pengantar Kepala Balai Penelitian Kehutanan Makassar ······································ Daftar Isi ········································································································· Daftar Lampiran ······························································································· Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan ··························································· Sambutan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Makassar ············································· Rumusan Seminar ·····························································································
iii v vii ix xiii xvii
Makalah Utama 1.
2. 3.
4.
5.
6. 7.
8.
Kajian Erosi pada Empat Kelas Kemiringan Lereng dalam rangka Penetapan Klasifikasi Lereng yang Baru Usman Arsyad ··························································································· Simpori : Inovasi Teknologi Rekayasa Produksi Gaharu Sentot Adisasmuko ····················································································· Community Based Ecological Mangrove Rehabilitation and Subsequent Development of Adaptive Collaborative Mangrove Ecosystem Management Benjamin Brown ························································································· Produksi Nira Nipah dan Diversifikasi Pemanfaatannya sebagai Bahan Baku Pengolahan Produk Nata Fruticans dan Pengembang Adonan Roti Mody Lempang ·························································································· Penggunaan Keanekaragaman Mangrove dalam Rehabilitasi sebagai Upaya Pelestarian Jenis-Jenis Mangrove Halidah ···································································································· Peningkatan Modal Sosial Kelompok Tani Hutan yang Berkelanjutan Bugi Sumirat ····························································································· Optimalisisi Luas Hutan Terhadap Tata Air: Karekteristik Biofisik DAS Kelara, Sulawesi Selatan Hasnawir ·································································································· Konservasi Ex-Situ dalam rangka Pelestarian Eboni (Diospyros Celebica Bakh) Merryana Kiding Allo ···················································································
1 14
30
49
61 75
87 99
Makalah Penunjang 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Ammarae-Bangkesangkeang : Tujuan Wisata Alam Alternatif Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Indra A.S.L.P. Putri ····················································································· Implementasi Strategi Pokok Social Forestry pada Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Borisallo Abd. Kadir W. ···························································································· Keanekaragaman Jenis Burung dan Peluang Pengembangan Ekowisata di KHDTK Malili Bayu Wisnu Broto dan Tony Widianto······························································ Pengelolaan Taman Nasional dalam Konteks Perencanaan Wilayah (Studi kasus Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros) Tony Widianto ··························································································· Isolasi dan Identifikasi Cendawan Pendegradasi Lignin pada Serasah Bitti (Vitex cofassus Reinw.) Hermin Tikupadang ···················································································· Permudaan Alam Lada -Lada (Micromelum minutum Wight & Arn.) Sebagai Materi Perbanyakan untuk Pembinaan Habitat Kupu-Kupu di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Albert Donatus Mangopang dan Heri Suryanto ·················································· “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
110
126
141
155
165
173 |
v
7.
8.
9. 10.
11.
12. 13.
14. 15.
16.
17.
18. 19.
20.
21.
22. 23.
24.
Teknik Pembinaan Habitat Kupu - Kupu : Sinergitas Konservasi Eksitu dan Insitu untuk peningkatan populasi kupu-kupu di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Heri Suryanto ···························································································· Respon Masyarakat terhadap Rekayasa Sosial (Studi tentang Respon Kelompok Perempuan terhadap Pelatihan Pembuatan Pupuk Kompos di Lembang Pakala Kabupaten Tana Toraja) Evita Hapsari ····························································································· Modal Sosial dan Pengelolaan Kelompok Tani Hutan Bugi Sumirat ····························································································· Beberapa Catatan dalam Perancangan Model RLKTA Partispatif pada DAS Mikro Jeneberang dan Saddang, Sulawesi Selatan M. Kudeng Sallata ······················································································ Penanggulangan Kemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan melalui Pengembangan Potensi Hutan Lindung di Kabupaten Pangkep Indah Novita Dewi ······················································································ Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Daerah Hulu DAS Kelara Nurhaedah, Hasnawir, Nur hayati ·································································· Efek Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Kompos terhadap Pertumbuhan Semai Pulai (Alstonia scholaris (L).R.Br) pada Media Tanah Bekas Tambang Kapur Retno Prayudyaningsih dan Andi Sri Rahmah Dania ··········································· Pertumbuhan Tiga Jenis Bibit Mangrove pada Berbagai Jenis Media Semai Halidah ···································································································· Ragam Pemanfaatan Tumbuhan Obat Masyarakat Tradisional di Taman Nasional Lore Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah Merryana Kiding Allo ··················································································· Peranan Ekosistem Hutan Mangrove dalam Mencegah Intrusi Air Laut di Daerah Pesisir Rini Purwanti ····························································································· Peranan Hutan Rakyat Pola Agroforestri Terhadap Pendapatan Petani di Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan Nur Hayati ································································································ Produksi Nira Aren dan Produk Turunannya Mody Lempang ·························································································· Konflik di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK): Potensi dan Langkah Antisipasi Achmad Rizal HB ························································································ Tahapan Awal Pembangunan Sumber Benih Uji Keturunan Cempaka (Elmerillia tsiampacca) di Sulawesi Selatan C. Andriyani Prasetyawati ············································································· Kondisi Budidaya Murbei dan Ulat Sutera di Daerah Dataran Rendah Kabupaten Soppeng Nurhaedah M ····························································································· Pembentukan Gaharu pada Tanaman Muda (Aquilaria malaccencis, Lamrk) Suhartati, Eko Sutrisno ················································································ Pemanfaatan Mangrove oleh Masyarakat Pesisir dan Tingkat Partisipasinya Terhadap Pelestarian Mangrove Heru Setiawan ··························································································· Perbanyakan Pohon Penghasil Gaharu Gyrinops Vesteegii (GILG) Domke secara Vegetatif Mikro Nursyamsi ·································································································
Lampiran ·········································································································
vi
|
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
180
188 199
210
226 236
246 260
269
289
299 315
324
337
351 360
372
384 395
DAFTAR LAMPIRAN
Jadwal Acara ····································································································
395
Susunan Panitia ································································································
396
Daftar Peserta ··································································································
397
Diskusi Seminar ································································································
401
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
vii
SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN “PERAN IPTEK DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH WALLACEA” Makassar, 28 Juni 2012
Yth. Para Kepala Puslit Lingkup Badan Litbang Kehutanan Yth. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara & Sulawesi Tengah Yth. Dekan Fakultas Kehutanan UNHAS Yth. Kepala Balai Besar KSDA Sul-Sel Yth. Para Kepala Dinas Kehutanan/Instansi yang Menangani Kehutanan Kabupaten/Kota Yth. Para Kepala UPT Kementerian Kehutanan di Sulawesi Selatan Yth. Para Pakar dari Perguruan Tinggi Yth. Para Peneliti, Widyaiswara, Penyuluh, Praktisi dan Stakeholder Yth. Para Hadirin dan Peserta Ekspose yang Berbahagia
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat Pagi dan Salam Sejahtera Bagi Kita Semua. Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah Subhana Wata’ala karena atas karunia-Nyalah sehingga pada hari ini kita bisa hadir pada acara ekspose hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Makassar di tempat ini dalam keadaan sehat wal’afiat. Balai Penelitian Kehutanan Makassar adalah salah satu unit pelaksanaan teknis pada Badan Litbang Kehutanan yang mempunyai tugas melaksanakan penelitian di bidang konservasi dan rehabilitasi hutan, keteknikan kehutanan dan pengelolaan hasil hutan serta perubahan iklim dan kebijakan kehutanan sesuai perundang-undangan. Hadirin yang saya hormati, Penyelenggaraan ekspose merupakan salah satu media atau sarana diseminasi hasil-hasil penelitian dengan berbagai pihak (stakeholders) yang pada tahun ini mengusung tema “ Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”. Saya sangat menghargai atas prakarsa Balai Penelitian Kehutanan Makassar untuk melaksanakan ekspose ini dalam upaya mensosialisasikan IPTEK hasil-hasil Litbang, sehingga diharapkan dapat dimanfaatkan oleh para pengguna. Kegiatan ekspose ini sangat berarti dan strategis karena pada saat ini Kementerian Kehutanan sedang giat-giatnya mendorong terlaksananya pengelolaan kawasan hutan secara lestari melalui konservasi dan rehabilitasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu secara berkeadilan. Hadirin yang berbahagia, Permasalahan dan tantangan di bidang kehutanan saat ini dan akan datang semakin besar dengan masih tingginya laju degradasi hutan dan lahan sebagai dampak dari illegal loging, perambahan hutan, eksploitasi yang berlebihan, penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan air, kebakaran hutan dan lahan yang masih sering terjadi dan sebagainya. “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
ix
Pengendalian dan penanggulangan kendala tersebut di atas, tidaklah ringan. Bagi jajaran Badan Litbang Kehutanan telah bertekad untuk terus menerus berperan aktif memberikan dukungan terhadap kebijakan dan program pembangunan kehutanan untuk dapat meminimalisir resiko deforestasi dan degradasi lahan di Indonesia. Karena itulah Badan Litbang Kehutanan akan senantiasa meningkatkan kualitas dan kuantitas penelitian dan pengembangan guna menghasilkan IPTEK yang tepat guna di bidang konservasi dan rehabilitasi. Hadirin Peserta Ekspose yang Saya Hormati, Sebagai wujud komitmen untuk menghadapi permasalahan sektor kehutanan, Kementerian Kehutanan telah Mencanangkan 8 (delapan) kebijakan perioritas tahun 2009 – 2014 melalui permenhut No.70/Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009, meliputi : 1) Pemantapan Kawasan, 2) Rehabilitasi Hutan dan Peningkatan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS), 3) Pengamanan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan, 4) Konservasi Keanekaragaman Hayati, 5) Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan, 6) Pemberdayaan Masyarakat Hutan dan Industri Kehutanan, 7) Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan, 8) Penguatan Kelembagaan Kehutanan. Saudara-saudara yang berbahagia, Komitmen Badan Litbang Kehutanan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya adalah penghasil produk penelitian dan pengembangan yang utuh dan tepat guna untuk mendukung pemecahan masalah sektor kehutanan yang dihadapi dewasa ini serta masa mendatang. Oleh karena itu kebijakan Badan Litbang Kehutanan adalah menerapkan sistem penelitian dan pengembangan terintegrasi yang dilaksanakan secara lintas disiplin ilmu dan lintas unit organisasi dengan membangun jejaring kerja (Networking) seluas-luasnya baik dengan para pengguna (users) maupun dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Hadirin yang berbahagia, Kementerian Kehutanan baru saja memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan tahun 2011 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI). Penilaian opini tersebut bagi seluruh unsur-unsur pegawai Kementerian Kehutanan menjadi kebanggaan tetapi sekaligus juga menjadi tantangan. Menjadi kebanggaan karena apa yang telah dilakukan selama ini dengan kerja keras dan bersusah payah untuk mencapai “Clean and Good Governance” telah tercapai. Tetapi di lain pihak, penghargaan tersebut harus dipertahankan dan lebih ditingkatkan lagi agar masyarakat dapat mempercayai kinerja Kementerian Kehutanan. Saya berpesan kepada seluruh jajaran Badan Litbang Kehutanan beserta UPT, khususnya Balai Penelitian Kehutanan Makassar agar selalu dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat secara transparan dan akuntabel serta melaksanakan. Pelayanan prima kepada masyarakat melalui sosialisasi IPTEK secara tepat waktu, tepat sasaran dan berkesinambungan. Bapak, Ibu, Hadirin yang kami muliakan. Manfaat yang bisa diperoleh dalam pelaksanaan ekspose ini adalah terjadinya interaksi langsung antara para peneliti dengan para pengguna (users) sehingga memungkinkan diperoleh umpan balik sehingga dapat disempurnakan dan ditingkatkan ke depan. Selain itu acara ini juga menjadi wahana yang efektif untuk koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sebagai basis terbangunnya sinergi tiga pilar antara pemerintah – pengusaha – masyarakat/pengguna. Agar tercipta kondisi yang ideal, mulai dari sekarang marilah kita membenahi diri; peneliti, manajemen dan pengguna hasil-hasil penelitian. Para peneliti juga dituntut untuk selalu meningkatkan profesionalisme dan selalu peka terhadap kemungkinan penyediaan teknologi baru dan tepat guna, sehingga hasil-hasil
x
|
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
penelitiannya dapat diimplementasikan untuk menjawab berbagai tantangan dalam membangun kehutanan khususnya dalam pengelolaan sumber daya hutan yang potensial guna tercapainya kelestarian dan kesejahteraan masyarakat. Bapak/Ibu yang Saya hormati, BPK Makassar akan secara terus menerus mensosialisasikan hasil-hasil penelitian yang telah dihasilkan kepada para pemangku kepentingan (stakholders). Kami mengharapkan agar para pemangku kepentingan sebagai pengguna hasil-hasil penelitian perlu secara sadar dan terbuka, dapat mengimplementasikan hasil-hasil penelitian yang dihasilkan. Oleh karena itu, acara ini sangat bermakna dan perlu kita dorong untuk secara berkala dan berkesinambungan dilakukan, sehingga komunikasi di antara peneliti dengan pengguna hasil-hasil penelitian tersebut dapat berjalan dengan baik, dan pada akhirnya hasil-hasil penelitian dapat dimanfaatkan dengan baik dan optimal. Hadirin yang berbahagia, Kami sangat menyadari bahwa beberapa spesies seperti sengon, jabon, cempaka, gaharu, nyamplung, bitti, jati, eboni dan jenis-jenis lain yang endemik mendapat perhatian luas dari masyarakat. Oleh karena itu perlu terus dikembangkan riset-risetnya agar jenis-jenis tanaman yang ditanam yang mudah tumbuh dan bernilai ekonomi tinggi. Di Provinsi Sulawesi Selatan dan provinsi lainnya, tanaman gaharu sangat diminati oleh masyarakat, oleh karena itu Badan Litbang Kehutanan beserta jajarannya termasuk Balai Penelitian Kehutanan Makassar harus siap mengantisipasi untuk menghasilkan IPTEK guna peningkatan nilai ekonomi gaharu dan spesiesspesies lainnya. Hadirin yang Berbahagia, Pada kesempatan yang baik ini saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung terselenggaranya ekspose ini dan kepada seluruh peserta ekspose saya ucapkan selamat berdiskusi. Harapan kami semoga acara yang diselenggarakan hari ini dapat memberikan manfaat yang optimal bagi kita semua sehingga pembangunan kehutanan bisa terlaksana dengan lebih baik lagi. Akhirnya dgn mengucapkan Bismillahirohmanirrohim dan dengan memohon rahmat dari Allah Subhana Wata’ala, saya nyatakan “acara ekspose hasil-hasil penelitian kehutanan Balai Penelitian Kehutanan Makassar “ secara resmi dibuka. Demikian sambutan Saya, semoga Allah Subhana Wata’ala memberikan bimbingan dan petunjuk bagi kita sekalian, terima kasih. Semoga apa yang kita kerjakan mendapat ridho-Nya. Wabillahi Taufik Walhidayah, Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.
Kepala Badan Litbang Kehutanan
Dr. Ir. R. Iman Santoso, M.Sc. NIP. 19530922 198203 1 001
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
xi
LAPORAN KEPALA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MAKASSAR PADA ACARA PEMBUKAAN EKSPOSE HASIL-HASIL LITBANG “PERAN IPTEK DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH WALLACEA” Makassar, 28 Juni 2012
Yth. Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan Yth. Para Kepala Puslit Lingkup Badan Litbang Kehutanan Yth. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah Yth. Dekan Fakultas Kehutanan UNHAS Yth. Kepala Balai Besar KSDA Sul-Sel Yth. Para Kepala Dinas Kehutanan/Instansi yang Menangani Kehutanan Kabupaten/Kota Yth. Para Kepala UPT Kementerian Kehutanan di Sulawesi Selatan Yth. Para Pakar dari Perguruan Tinggi Yth. Para Peneliti, Widyaswara, Penyuluh, Praktisi dan Stakeholder Yth. Para Hadirin dan Peserta Ekspose yang Berbahagia
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam sejahtera untuk kita semua. Syukur Alhamdulillah senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah Subhana Wata’ala, karena pada hari ini kita dapat berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat walafiat untuk menghadiri kegiatan ekspose hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Bapak Kepala Badan yang kami hormati dan hadirin sekalian Perkenankan kami pada kesempatan ini untuk menyampaikan Laporan Penyelenggaraan Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan yang dilaksanakan pada hari ini, sebagai berikut: I.
Dasar Pelaksanaan 1. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan. 2. Undang-Undang RI No 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 3. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2011 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Balai Penelitian Kehutanan Makassar. 4. Surat pengesahan DIPA Balai Penelitian Kehutanan Makassar No. 0341/02907.2.01/23/2012. 5. Keputusan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Makassar Nomor SK. 37/VIII/BPKM-1/2012 tanggal 27 April 2012 tentang Pembentukan Panitia Penyelenggara Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Makassar Tahun 2012.
II.
Maksud dan Tujuan Maksud dari dilaksanakannya ekspose ini adalah sebagai salah satu sarana atau media diseminasi hasil-hasil penelitian dengan berbagai pihak terkait dan stakeholder dengan tujuan agar hasil-hasil litbang dapat diketahui, dimanfaatkan dan dikembangkan oleh para pengguna.
III.
Tema Ekspose Tema Ekspose BPK Makassar tahun ini adalah ”Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallaccea”.
xii
|
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
IV.
Materi Dalam pelaksanaan ekspose ini akan dipresentasikan 8 (delapan) makalah hasil-hasil penelitian, yaitu 5 (lima) makalah dari internal BPK Makassar dan 3 (tiga) makalah dari eksternal BPK Makassar, yaitu 1 (satu) makalah dari UNHAS yang akan disampaikan oleh Dr. Ir. Usman Arsyad, MS; 1 (satu) makalah dari LSM MAP (Mangrove Action Project) yang akan disampaikan oleh Mr. Benyamin Brown dan 1 (satu) makalah dari BPTHHBK yang akan disampaikan oleh Ir. Sentot Adisasmuko. Delapan makalah yang akan dipresentasikan adalah : 1. Peningkatan Modal Sosial Kelompok Tani Hutan yang Berkelanjutan. 2. Produksi Nira Nipah dan Diversifikasi Pemanfaatannya sebagai Bahan Baku Pengolahan Produk Nata Fruticans dan Pengembang Adonan Roti. 3. Inovasi Teknologi Rekayasa Produksi Gaharu. 4. Konservasi Ex Situ dalam rangka Pelestarian Eboni (Diospyros celebica Bakh). 5. Community Based Ecological Mangrove Rehabilitation and Subsequ Community Based Ecological Mangrove Rehabilitation and Subsequent Development of Adaptive Collaborative Mangrove Ecosystem Management. 6. Biodiversitas Mangrove; Pemanfaatan Keanekaragaman Mangrove dalam Rehabilitasi sebagai Upaya Pelestarian Jenis-Jenis Mangrove. 7. Kajian Erosi pada Empat Kelas Kemiringan Lereng dalam rangka Penetapan Klasifikasi Lereng yang Baru. 8. Optimalisasi Luas Hutan Terhadap Tata Air (Karakteristik Biofisik DAS Kelara, Sulawesi Selatan. Pada akhir seminar akan dilaksanakan perumusan hasil ekspose. Hasil pelaksanaan ekspose dilanjutkan dengan pembuatan prosiding.
V.
Waktu Kegiatan ekspose dilaksanakan pada tanggal 28 Juni 2012, bertempat di Hotel Swiss-Bel Panakukang Makassar.
VI.
Peserta Peserta ekspose adalah stakeholder kehutanan yang terdiri dari UPT Lingkup Badan Litbang Kehutanan, UPT Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, Organisasi LSM, Perguruan Tinggi, Kalangan Industri, Kelompok Tani, Media dan Kelompok Masyarakat lainnya dengan jumlah peserta ditargetkan sebanyak ± 125 orang.
VII.
Pembiayaan Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012 dilaksanakan dengan dana yang dialokasikan melalui DIPA BPK Makassar Tahun Anggaran 2012.
VIII. Hasil yang diharapkan Dengan dilaksanakannya ekspose ini diharapkan terjalinnya interaksi langsung antara produsen hasil-hasil litbang dengan para pengguna sehingga diperoleh umpan balik yang bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hasil-hasil litbang ke depan.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
xiii
Selanjutnya pada kesempatan ini kami mohon pada bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan untuk berkenan memberikan sambutan sekaligus membuka secara resmi acara ekspose ini. Demikian laporan kami, semoga Allah Subhana Wata’ala meridhoi pelaksanaan ekspose ini, atas nama Panitia kami menyampaikan terima kasih atas kehadiran Bapak/Ibu sekalian dan mohon maaf apabila dalam penyelenggaraan ekspose ini terdapat hal-hal yang tidak berkenan.
Wabillahi Taufik Walhidayah, Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Kepala Balai
Ir. Muh. Abidin, M.Si. NIP. 19600611 198802 1 001
xiv |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
RUMUSAN SEMINAR DAN EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MAKASSAR Makassar, 28 Juni 2012
Berdasarkan tema seminar dan ekspose “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” dengan memerhatikan pengarahan Kepala Badan Litbang Kehutanan, sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, pendapat dan diskusi para pemakalah dengan para peserta dalam sidang-sidang pleno, dihasilkan beberapa rumusan sebagai berikut: 1. Kegiatan penelitian di daerah selama ini lebih banyak mengakomodir program nasional Kementerian Kehutanan dan kurang menggarap permasalahan kehutanan yang sifatnya spesifik lokal, oleh karena itu keberadaan Balai Penelitian Kehutanan Makassar diharapkan dapat memberikan solusi pada permasalahan kehutanan daerah. Oleh karena itu proses konsultasi dan komunikasi dengan stakeholder di daerah perlu terus ditingkatkan berdasarkan kebutuhan penelitian (research questions) yang tepat. 2. Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan telah mangamanatkan bahwa dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, pelibatan masyarakat dalam setiap program pembangunan kehutanan merupakan salah satu strategi Kementerian Kehutanan dalam pengelolaan hutan untuk mencapai kelestariannya baik dalam bentuk koperasi maupun bentuk Kelompok Tani Hutan. Namun banyak program tidak berkelanjutan setelah proyek selesai disebabkan masih lemahnya modal sosial (social capital) yang dimiliki dan kurangnya dukungan khususnya pemerintah setempat. Oleh karena itu sangat diperlukan peningkatan modal sosial pada kelompok masyarakat yang dilibatkan agar dapat berfungsi secara berkelanjutan untuk tetap berfungsi memelihara hasil kegiatan yang telah dilaksanakan. Selain mereka diposisikan sebagai subjek juga perlu diberi bukti. Faktor modal sosial antara lain: partisipasi, rasa percaya (trust), kemitraan (Partnership), pembelajaran (learning), kepemimpinan (leadership), dan membangun usaha-usaha komersial kelompok tidak hanya terbatas di bidang kehutanan. 3. Hutan nipah (Nypa fruticans Wurmb) merupakan sub-ekosistem dari ekosistem hutan payau, tumbuh pada wilayah pasang surut termasuk di wilayah Wallaceae. Pemanfaatan hutan nipah masih kurang terhadap kesejahteraan masyarakat, karena terbatas hanya sebagai bahan minuman atau cuka. Nira nipah memiliki potensi yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk menghasilkan berbagai produk, di antaranya produk nata yang dapat dihasilkan melalui proses fermentasi dengan rendemen rata-rata 86,05%. Nira nipah juga adalah media yang subur untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti sel-sel khamir dari Genus Saccharomyces. Walaupun masih perlu kajian skala komersialisasi dan pemurnian lebih lanjut, nira nipah memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan pengembang adonan roti. 4. Jenis-jenis pohon penghasil gaharu mempunyai potensi pasar sangat luas dan masih sulit digantikan oleh jenis lain. Walaupun di wilayah Wallacea teknologi produksi gaharu masih menjadi kendala besar, di beberapa tempat di Indonesia telah dikenal beberapa teknik inokulasi pohon gaharu baik teknik tradisional maupun teknik-teknik lain yang dikembangkan oleh beberapa pembudidaya gaharu. Untuk mendapatkan hasil gaharu yang optimal, salah satu inovasi teknologi inokulasi Simpori telah diujicobakan pada pohon gaharu budidaya berdiameter 12-15 cm di Pulau Lombok. Meskipun teknologi simpori masih terus dikembangkan karena dipengaruhi variasi faktor tanaman dan iklim, hasil penelitian
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
xvii
menunjukkan indikasi pembentukan gubal gaharu relatif lebih cepat. Teknologi simpori dalam inokulasi pohon gaharu merupakan salah satu inovasi terbaik dalam 103 Inovasi Indonesia tahun 2011 Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia. 5. Jenis pohon eboni (Diospyros celebica Bakh) merupakan salah satu jenis endemik sebagai sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem di wilayah Wallacea. Tumbuh pada habitat alami yang spesifik, peka terhadap perubahan dan memiliki sebaran tempat tumbuh yang terbatas, seperti di hutan-hutan Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. Eksploitasi kayu eboni umumnya masih berasal dari habitat alaminya, karena daur eboni sangat panjang (> 100 tahun) sehingga belum ada hutan tanaman dan apabila terus dipanen akan terancam punah. Selain itu adanya perubahan sistem fenologi dan tingkat ketahanan hidup rendah menyebabkan eboni termasuk kategori terancam (vurnerable). Upaya konservasi untuk penyelamatan eboni baik kelesatarian maupun keseimbangan ekosistemnya sangat mendesak untuk dilaksanakan, antara lain konservasi ex-situ dengan membangun kebun-kebun eboni, kebun raya, kebun benih, kebun konservasi genetik, pengembangan teknik perbanyakan secara invitro, hutan kota, tanaman pekarangan, sebagai pohon peneduh jalan. 6. Ekosistem mangrove mempunyai peran yang penting baik secara fisik, ekologi maupun ekonomi terhadap masyarakat namun kondisi sekarang khususnya di wilayah Wallacea telah mengalami kerusakan dan memerlukan rehabilitasi agar berfungsi kembali. Keanekaragaman mangrove merupakan kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang kegiatan rehabilitasi kawasan mangrove. Pemanfaatan keanekaragaman jenis mangrove dalam kegiatan rehabilitasi/pemulihan hutan mangrove merupakan suatu tindakan pelestarian jenis yang semakin terancam dengan semakin rusaknya kawasan hutan mangrove. Diharapkan studi jenis-jenis mangrove perlu ditingkatkan untuk program rehabilitasi hutan mangrove. 7. Pada umumnya kegagalan pemulihan hutan mangrove yang selama ini dilakukan oleh berbagai pihak karena kurang memerhatikan faktor hidrologi dari ekosistem lokasi tempat pemulihan. Berdasarkan informasi dan pengalaman keberhasilan di beberapa tempat maka untuk memulihkan hutan mangrove diperlukan 6 prinsip yang perlu diperhatikan yaitu harus memahami otekologi jenis (outecology) maupun ekosistem lokasi mangrove itu sendiri, mengerti pola hidrologi, memahami sifat-sifat perkembangan jenis-jenis pohon mangrove, memilih situs dan tapak yang layak untuk direhabilitasi, menyusun rencana kerjasama dengan semua pihak, dan melakukan penanaman pada lokasi yang sulit mendapat sebaran alam. 8. Pengentasan masalah hutan mangrove seyogianya tidak hanya ditangani oleh instansi kehutanan tetapi melibatkan instansi terkait dan masyarakat (multistakehoders). 9. Berdasarkan nilai besaran hasil kajian erosi yang diperoleh pada setiap kelas kemiringan lereng pada wilayah DAS Jeneberang ternyata sangat dimungkinkan untuk melakukan penyempurnaan terhadap klasifikasi kemiringan lereng yang digunakan selama ini khususnya di bidang kehutanan dan pengelolaan DAS. Untuk mendapat hasil analisis data yang lebih akurat dalam merencanakan maupun melakukan pemulihan DAS diharapkan penyempurnaan kajian-kajian aspek pendukung lainnya. 10. Penelitian karakteristik biofisik DAS terkait optimalisasi luas hutan terhadap tata air di DAS Kelara, Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa karakteristik biofisik termasuk jenis tanah, geologi, elevasi, kelerengan, iklim serta sistem pengelolaan yang digunakan, memengaruhi tata air dalam DAS Kelara. Secara signifikan ditunjukkan bahwa iklim (curah hujan) mampu meningkatkan hasil air sebesar 300% dari musim kemarau ke musim hujan. Ketersediaan air saat ini pada DAS Kelara untuk kebutuhan masyarakat masih mencukupi,
xviii |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
namun mungkin akan menjadi masalah seiring perkembangan dan pertambahan penduduk pada masa yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan dukungan dari parapihak untuk meningkatkan dan melindungi daya-dukung DAS Kelara sehingga dapat berfungsi sebagai sumber air secara lestari/berkelanjutan. 11. Masih banyak permasalahan di masyarakat yang masih memerlukan hasil litbang untuk pengembangannya, contohnya: sutera alam, nyamplung, gula merah, hama penyakit mahoni. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Rencana penelitian (Roadmap) pada Badan Litbang Kehutanan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di daerah khususnya di wilayah Wallacea. Makassar, 28 November 2012 Tim Perumus : 1. Ir. M. Kudeng Sallata, M.Sc. 2. Ir. Agustinus Tampubolon, M.Sc. 3. Ir. Achmad Rizal HB, M.T. 4. Nurhaedah, S.P., M.Si 5. Retno Prayudyaningsih, S.Si, M.Sc.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
xix
KAJIAN EROSI PADA EMPAT KELAS KEMIRINGAN LERENG DALAM RANGKA PENETAPAN KLASIFIKASI LERENG YANG BARU
Usman Arsyad1 Universitas Hasanuddin Jl. P. Kemerdekaan Km. 10 Makassar 90245 Sul-Sel Telp. (0411) 586200; 584200, Fax (0411) 585188 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Penelitian erosi pada empat kelas kemiringan lereng ini bertujuan untuk mengetahui nilai besaran erosi pada empat kelas kemiringan lereng dan mengetahui tingkat signifikansi nilai besaran erosi pada empat kelas kemiringan lereng dalam rangka penetapan klasifikasi lereng yang baru. Penelitian ini dilaksanakan di DAS Jeneberang Hulu pada empat kelas kemiringan lereng, yaitu : kelas kemiringan lereng 20 – 45%, 45 – 65 %, 65 – 85 % dan >85 %, pada lahan terbuka, hutan pinus, kebun rakyat, hutan inhutani I, hutan rakyat diolah, hutan rakyat tidak diolah, padang rumput penggembalaan, padang rumput penggembalaan+semak, tampingan sawah dan tampingan jalan. Pada setiap tipe penggunaan lahan tersebut dibuat 2 petak uji erosi dengan dua kemiringan lereng berbeda sehingga terdapat 24 petak uji. Data limpasan permukaaan diamati setiap hari hujan pada setiap petak uji. selanjutnya dianalisis di laboratorium untuk mengetahui besarnya erosi. Nilai besaran erosi kemudian diuji dengan uji beda nilai tengah untuk mengetahui tingkat signifikansi erosi pada setiap kelas kemiringan lereng. Hasil penelitian memperlihatkan perbedaan yang signifikan antara kelas kemiringan lereng <65% dengan >65% bahkan masih signifikan sampai ke kelas kemiringan lereng >85%, pada taraf nyata 5%. Kata kunci : Tingkat erosi, kelas kemiringan lereng, klasifikasi lereng
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aspek lereng dalam kaitannya dengan tingkat erosi sangat erat hubungannya sehingga perlu mendapat perhatian serius. Ada tiga aspek lereng yang memengaruhi erosi, yaitu bentuk, panjang dan kemiringan lereng. Aspek kemiringan lereng adalah paling berpengaruh terhadap besarnya erosi. Semakin besar kemiringan lereng maka erosi akan semakin besar pada kondisi yang sama. Arsyad (2010) mengatakan bahwa kemiringan lereng memengaruhi erosi 2 – 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan panjang lereng. FAO (2002) untuk proyek pemanfaatan air di Afrika membagi 5 (lima) kelas kemiringan lereng yaitu; datar, berombak, bergelombang, berbukit dan bergunung. FAO (2007), membuat klasifikasi yang berbeda dari sebelumnya dan merupakan Pedoman Survei Lapangan untuk kegiatan penggunaan lahan, bentuk lahan, erosi dan tanah, ke dalam 10 (sepuluh) kelas kemiringan lereng, mulai dari rata, datar, agak datar, agak 1
Dosen Universitas Hasanuddin
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
1
berlereng, agak berombak, berombak, berlereng, sangat berlereng, agak curam, curam dan sangat curam. Di Taiwan, Chan (2000) dalam
Chsu dkk. (2007) membagi kelas
kemiringan lereng menjadi 6,yaitu <5%, 5-15%, 15-30%, 30-45%, 45-55% dan >55%. Di Indonesia khususnya di bidang kehutanan, klasifikasi kemiringan lereng mengacu kepada klasifikasi lereng yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan ke dalam lima kategori, yaitu datar, landai, agak curam, curam dan sangat curam (Departemen Kehutanan, 1998). Pada tahun 2009 Departemen Kehutanan menambahkan kelas kemiringan lereng dari 5 menjadi 6 kategori, untuk kepentingan perhitungan erosi dengan metode USLE. Apabila dicermati, semua klasifikasi kemiringan lereng yang telah dibuat dimaksudkan untuk menjaga agar lahan tetap lestari. Meskipun demikian masih perlu dikaji lebih jauh apakah klasifikasi lereng yang telah dibuat sudah tepat untuk digunakan termasuk klasifikasi lereng yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan tahun 2009. Dalam klasifikasi tersebut kemiringan lereng dimulai dari datar (0-8 %) sampai sangat curam (>65%). Ini berarti bahwa erosi yang terjadi pada kemiringan lereng lebih dari 65% dianggap sama. Apakah betul seperti itu, belum ada informasi tentang hal tersebut sehingga perlu ada jawaban. Penelitian ini merupakan penelitian awal untuk menjawab pertanyaan dimaksud dengan harapan dapat menetapkan sistem klasifikasi lereng yang baru. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Seberapa besar nilai besaran erosi yang terjadi pada empat kelas kemiringan lereng di DAS Jeneberang Hulu.
2.
Bagaimana signifikansi nilai besaran erosi pada empat kelas kemiringan di DAS Jeneberang Hulu.
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Untuk mengetahui nilai besaran erosi pada empat kelas kemiringan lereng di DAS Jeneberang Hulu.
2.
Untuk mengetahui tingkat signifikansi nilai besaran erosi pada empat kelas kemiringan lereng di DAS Jeneberang Hulu.
2
|
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai dengan bulan April 2009 (satu kali musim hujan). Lokasi petak uji menyebar di DAS Jeneberang Hulu pada penggunaan lahan berupa area lahan kritis (bekas longsoran G. Bawakaraeng) areal hutan (hutan pinus, areal hutan INHUTANI, areal hutan rakyat yang diolah dan hutan rakyat tidak diolah.), padang rumput penggembalaan dan selanjutnya disebut padang penggembalaan (padang rumput bercampur semak dan
padang rumput murni), areal
pertanian, tampingan jalan dan tampingan sawah. B. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelititan adalah : Papan berukuran 2 cm x 20 cm x 200 cm, balok kayu untuk patok petak uji dan patok batas pengaman petak uji erosi, kawat berduri untuk pengaman, Seng untuk mengalirkan limpasan permukaan ke alat penampung, paku, parang, linggis, cangkul dan skop, jas hujan, kertas dan alat-alat tulis, botol untuk sample air limpasan permukaan, plastik penutup alat penampung limpasan permukaan. Alat-alat yang digunakan dalam penelititan adalah : Penakar curah hujan tipe observatorium 12 buah, alat penampung limpasan permukaan kapasitas 40 liter, abney level, meteran 5 meter, gelas ukur 250 ml sebanyak 12 buah, beberapa peralatan laboratorium untuk analisis sedimen. C. Metode Pengumpulan Data 1. Jenis data Data primer yang dikumpulkan adalah data curah hujan harian dari hasil pengamatan lapangan, data limpasan permukaan, kondisi penutupan lahan pada petak uji dan di sekitarnya serta kemiringan lereng pada petak uji. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain data curah hujan tahunan, data jenis dan kedalaman tanah, kemiringan lereng, data luas lahan kritis, data kependudukan, data geologi, studi literatur dan lain-lain. 2. Metode pengumpulan data Data curah hujan diperoleh dari penakar curah hujan yang diletakkan pada tempat terbuka di sekitar petak uji. Data limpasan permukaan diperoleh dari alat penampung yang terpasang pada bagian bawah petak uji. Untuk mengetahui kadar “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
3
Limpasan permukaan yang tertampung kemudian diambil sebagian untuk dianalisis di laboratorium. Sebelum contoh air diambil, limpasan permukaan diaduk sampai merata dan setelah itu dilakukan pengambilan contoh air. Contoh air yang terambil adalah sebanyak 600 ml. Analisis contoh air dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Wilayah IV Makassar. Data sekunder dikumpulkan melalui instansi dan sumber-sumber lain yang terkait. Data-data dimaksud antara lain data curah hujan,
jenis dan kedalaman tanah, pola
penggunaan lahan, status dan fungsi kawasan, lahan kritis, kemiringan lereng, kependudukan dan data batas wilayah administarasi kecamatan di DAS Jeneberang Hulu. Data sekunder yang terkumpul berupa data curah hujan bersumber dari lima penakar curah hujan otomatis yang terletak di DAS Jeneberang Hulu. Data luas DAS Jeneberang Hulu, kemiringan lereng, penggunaan lahan dan lain-lain diperoleh dari analisis Citra Spot dengan bantuan Sistem Informasi Geografis (SIG). a.
Pembuatan petak uji erosi Data erosi dan limpasan permukaan diperoleh dengan membuat petak uji.
Pembuatan petak uji dimulai setelah ditemukan lokasi yang sesuai melalui survei. Pada setiap bentuk penggunaan lahan dibuat dua buah petak uji berukuran 2m x 2m atau 1m x 4m (4 m2 ). Batas petak uji berupa papan berukuran 200 cm x 20 cm x 2 cm. Petak uji berukuran 4m2 juga digunakan di Taiwan untuk mengestimasi erosi (Chan, 2007).
200 cm 15 cm
Batas atas petak uji
Jarak tegak Batas bawah petak uji 5 cm
Jarak datar
Gambar 1. Bentuk dan ukuran petak uji di DAS Jeneberang Hulu.
Alat penampung limpasan permukaan diletakkan sedemikian rupa di bagian bawah petak uji sehingga dimungkinkan seluruh limpasan permukaan akan tertampung pada alat tersebut dalam satu kejadian hujan atau satu hari hujan. Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya limpasan permukaan yang tidak tertampung maka alat penampung
4
|
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
tersebut dapat di tambah jumlahnya. Pada setiap tipe penggunaan lahan ditempatkan 2 petak uji erosi sehingga kesemuanya berjumlah 24 petak uji. Untuk pengamanan, maka di sekeliling petak uji erosi dibuat pagar. Meskipun demikian
beberapa
petak
uji
mengalami
kerusakan
akibat
hal-hal
yang
tidak
diperhitungkan sebelumnya. Penyebab kerusakan petak uji adalah rayap yang merusak batas petak uji yang terbuat dari papan, aliran air dan longsor. Petak uji-petak uji yang rusak karena longsor umumnya terjadi pada petak uji erosi dengan kemiringan lereng di atas 100%. b. Penempatan alat penakar curah hujan Data curah hujan dikumpulkan dari penakar curah hujan yang ditempatkan di lokasi penelitian. Alat tersebut ditempatkan pada tapak yang datar dan di tempat terbuka dimana jarak dari penakar minimal sama dengan tinggi penghalang terdekat. Data curah hujan yang dikumpulkan adalah data curah hujan harian dalam satuan mm. Banyaknya penakar curah hujan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 buah. D. Analisis Data 1. Pengolahan data Data yang diperoleh diolah dengan cara tabulasi, dikelompokkan untuk kemudian dianalisis dengan metode deskriptif kuantitatif. Tabulasi data hasil pengamatan dikelompokkan berdasarkan 12 tipe penggunaan lahan. Selanjutnya, 12 kelompok penggunaan lahan ini ditabulasi ulang ke dalam 6 kelompok penggunaan lahan sebagaimana diuraikan terdahulu. Analisis data dilakukan terhadap 6 kelompok penggunaan lahan, dikaitkan dengan besaran erosi yang terjadi pada masing-masing penggunaan. Data erosi yang terjadi pada berbagai kemiringan lereng, juga ditabulasi dan diolah untuk selanjutnya juga dianalisis. Koefisien limpasan permukaan pada 6 kelompok penggunaan lahan juga ditabulasi untuk dianalisis. Dari hasil analisis ini akan diketahui besaran erosi yang terjadi pada setiap tipe penggunaan lahan, pada setiap kelas kemiringan lereng dan koefisien limpasan permukaan. 2. Analisis data Data hasil penelitian yang telah ditabulasi dan dikelompokkan tersebut selanjutnya dianalisis secara deskriptif kuantitatif.
Analisis besaran erosi pada 4 kelas
kemiringan lereng dilakukan dengan metode uji beda nilai tengah.
Hasil analisis ini
dilanjutkan dengan uji T (Tukey) untuk melihat nilai signifikansi setiap variabel yang
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
5
diperbandingkan pada taraf nyata 5%. Besaran erosi yang terjadi pada setiap kelas kemiringan lereng diperbandingkan satu dengan lainnya, yaitu kelas kemiringan < 45%, 45 – 65%,
65 - 85%, >85%. Hasil uji ini akan diketahui terjadi perbedaan yang
signifikan atau tidak pada taraf 5%. Semua uji statistik tersebut dilakukan dengan bantuan Program SPSS versi 16. E.
Defenisi Operasional
1.
Hujan adalah adalah bagian atau bentuk presipitasi yang jatuh di atas permukaan bumi dengan ukuran tertentu.
2.
Curah hujan adalah hujan yang jatuh di atas permukaan horizontal, diukur dalam satuan tinggi (mm, atau cm) sebelum terjadi kehilangan akibat penguapan, pengaliran atau peresapan.
3.
Satu hari hujan adalah periode 24 jam dimana terkumpul curah hujan setinggi 0,5 mm, kurang dari ketentuan ini curah hujan dianggap nol meskipun tinggi curah hujan tetap diperhitungkan.
4.
Penakar curah hujan tipe observatorium adalah alat sederhana/manual (tidak otomatis) untuk mengukur tinggi curah hujan pada waktu tertentu (jam, hari, minggu, bulan dan tahun) dalam satuan millimeter (mm).
5.
Petak uji erosi yang untuk selanjutnya disebut petak uji adalah sebuah petak berukuran 2 m x 2 m yang dibuat di lokasi penelitian sebanyak 24 buah. Batas petak terbuat dari bahan papan berukuran 2 m x 20 cm x 2 cm, salah satu sisinya lebih tinggi dari yang lainnya sehingga dapat menerima, menampung dan mengalirkan air hujan yang diterimanya ke tempat penampungan limpasan permukaan yang terletak di bagian bawah petak uji.
6.
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
7.
Sub DAS adalah bagian dari DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam Sub DAS – Sub DAS.
8.
Pengelolaan DAS adalah pengelolaan seluruh sumberdaya alam yang ada dalam DAS (terutama yang dapat dipulihkan) untuk tujuan perlindungan, pencegahan erosi dan banjir.
6
|
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
9.
DAS Jeneberang Hulu adalah wilayah DAS Jeneberang yang terletak mulai dari Bendungan Bili-Bili ke arah hulu dengan luas 61.733 ha.
10.
Lereng/kemiringan lereng adalah penampakan permukaan yang berbentuk sudut terhadap bidang datar atau horizontal yang dinyatakan dengan satuan derajat (0) atau persentase (%).
11.
Penutupan lahan adalah tanaman atau tumbuhan yang khusus ditanam untuk melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan atau untuk memperbaiki sifat kimia dan fisika tanah.
12.
Kedalaman tanah adalah kedalaman solum tanah yang meliputi lapisan A dan B.
13.
Limpasan permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah.
14.
Koefisien limpasan permukaan selanjutnya disebut koefisien limpasan adalah rasio antara
jumlah/volume
limpasan
permukaan
yang
tertampung
dengan
jumlah/volume limpasan permukaan yang masuk ke dalam petak uji. 15.
Laju erosi adalah banyaknya erosi yang terjadi persatuan waktu.
16.
Jenis komoditas adalah jenis komoditas yang ditanam pada kemiringan lereng tertentu yang memberikan manfaat ekonomi dan ekologi.
17.
Penggunaan lahan optimal adalah adalah segala bentuk campur tangan manusia pada bidang lahan tertentu yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara optimal, hanya dapat terjadi apabila laju erosi seimbang dengan laju proses pembentukan tanah.
18.
Tipe penggunaan lahan adalah segala bentuk penggunaan lahan sebagai akibat campur tangan manusia pada bidang lahan tertentu.
19.
Lahan terbuka adalah lahan yang kondisinya hampir tidak bervegetasi, seperti lahan bekas longsoran Bawakaraeng.
20.
Areal pertanian adalah lahan kering yang pemanfaatannya ditanamami dengan tanaman pertanian.
21.
Areal hutan adalah sebidang lahan yang masih ditumbuhi oleh pohon dan tanaman berkayu lainnya.
22.
Tampingan sawah adalah bidang tanah yang terletak di antara dua petak sawah sebagai tempat bertumpuhnya pematang sawah.
23.
Tampingan jalan adalah bidang tanah yang terbentuk akibat pembuatan jalan dan terletak pada sisi bagian dalam suatu jalan.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
7
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Hasil Pengukuran Erosi Hasil pengukuran nilai besaran erosi total dan rata-ratanya pada setiap kelas kemiringan lereng ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai Besaran Erosi pada setiap Kelas Kemiringan Lereng di DAS Jeneberang Hulu
No.
Jenis Pengunaan Lahan
Besaran Erosi (ton/ha/tahun) pada setiap kelas Kemiringan Lereng (%) 20 – 45
1.
Lahan terbuka
2.
Areal Berhutan
PU 1 (50)
>45 – 65 268,88
>65 - 85
PU 2 (90) Hutan Pinus, TWA Malino Hutan INHUTANI I Hutan Rakyat tidak diolah, Mangempang Hutan Rakyat diolah, Mangempang Padang Batu lapisi dalam (TWA PenggemMalino) balaan Rappodaeng, Sapaiya Areal pertanian
3.
4. 5.
Tampingan sawah
Bontosabba, Desa Parigi Desa Buakkang
6.
Tampingan jalan
Pangngajiang - Desa Parigi Desa Buakkang Total Rata-rata
PU 1 (47) PU 2 (90) PU 1 (50) PU 2 (65) PU 1 (30) PU 2 (77) PU 1 (43) PU 2 (78) PU 1 (37) PU 2 (50) PU 1 (23) PU 2 (30) PU 1 (58) PU2 (70) PU1 (70) PU2 (100) PU1 (77) PU2 (150) PU 1 (100) PU 2 (120) PU 1 (67) PU 2 (150)
>85 494,90
11,40 37,51 52,61 143,27 25,28 96,46 87,22 201,07 68,56 125,00 5,98 55,01 103,55 223,58 242,50 290,03 99,16 265,35 118,92 146,80 208,13 242,05 48,41
704,71 117,45
1.070,90 178,48
1.353,5 225,59
Pada Tabel 1 terlihat perbedaan nilai besaran erosi pada setiap kelas kemiringan lereng. Rata-rata nilai besaran erosi terkecil ditemukan pada kelas kemiringan lereng 20 – 45 %, sebesar 48,41 ton/ha/th. Rata-rata nilai besaran erosi ini semakin meningkat dengan meningkatnya kelas kemiringan lereng dan pada kelas kemiringan lereng >85 % ditemukan rata-rata nilai besaran erosi terbesar, yaitu 225,59 ton/ha/th. Histogram dari empat kelas kemiringan lereng tersebut ditampilkan pada Gambar 2.
8
|
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Erosi (ton/ha/th) Gambar 2.
Histogram nilai besaran erosi (ton/ha/th) pada empat kelas kemiringan lereng di DAS Jeneberang Hulu.
2. Analisis Erosi
Hasil analisis dan uji statistik terhadap nilai besaran erosi pada berbagai kelas kemirngan lereng di DAS Jeneberang Hulu diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Analisis dan Uji Statistik Perbandingan Besaran Erosi Pada Berbagai Kelas Kemiringan Lereng di DAS Jeneberang Hulu (pada taraf 0,05) klasifikasi kemiringan lereng
20 – 45%
20 – 45
>45 – 65%
>65 – 85%
>85%
0,028
0,000
0,000
0,024
0,000
45 – 65
0,028
65 – 85
0,000
0,024
>85
0,000
0,000
0,001 0,001
Hasil analisis dan uji statistik pada Tabel 2 memperlihatkan perbedaan nilai besaran erosi yang signifikan antara setiap kelas kemiringan lereng. B. Pembahasan 1. Hasil pengukuran erosi Pada Tabel 1 terlihat bahwa kelas kemiringan lereng 20 – 45 % rata-rata nilai besaran erosinya paling kecil, yaitu 48,41 ton/ha/th, pada kelas kemiringan lereng >45 –
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
9
65 %, adalah sebesar 117,45 ton/ha/th (meningkat 2,4 kali), pada kelas kemiringan lereng >65 – 85 %
sebesar 178,48 ton/ha/th (meningkat 1,5 kali) dan pada kelas
kemiringan lereng >85 % nilai besaran erosinya menjadi 225,59 ton/ha/th (meningkat 1,3 kali) atau terjadi rata-rata peningkatan besaran erosi 1,7 kali. Hasil penelitian ini hampir mendekati dengan yang ditemukan Baver (1960) dalam Bermanakusumah (1978), yaitu ketika kemiringan lereng dinaikkan 2 kali maka nilai besaran erosi meningkat lebih dari 2 kali. Perbedaan ini diduga terjadi karena penelitian yang satu dilakukan di lapangan di daerah tropis dengan curah hujan tinggi, sedangkan Baver meneliti di laboratorium pada semua kondisi yang terkontrol. 2. Hasil analisis besaran erosi Tabel 2 memperlihatkan hasil uji statistik nilai besaran erosi pada 4 kelas kemiringan lereng di DAS Jeneberang Hulu. Nilai besaran erosi pada setiap kelas kemiringan lereng tersebut berbeda signifikan antara satu kelas kemiringan lereng dengan kelas kemiringan lereng lainnya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Hal ini membuktikan bahwa dalam kaitannya dengan erosi, kelas kemiringan >65% tidak boleh dianggap sama seperti yang terjadi selama ini. Dengan kata lain, hasil analisis ini menunjukkan bahwa keempat kelas kemiringan lereng ini sangat perlu dipertimbangkan di dalam membuat kelas kemiringan lereng untuk perhitungan erosi suatu DAS. Selama ini, kelas kemiringan lereng yang digunakan bervarisi. Departemen Kehutanan (2009) menggunakan dua macam kelas kemiringan lereng karena tujuan yang berbeda. Untuk kepentingan pembuatan Peta Kemiringan Lereng digunakan kelas kemiringan mulai dari 0 – 8 % (datar) sampai ke >40 % (sangat curam). Sedangkan untuk kepentingan pendugaan erosi dengan metode USLE digunakan kelas kemiringan lereng mulai 0 – 8 % (datar) sampai ke 40 – 65 % (sangat curam).
Dalam kaitannya dengan erosi dan
konservasi tanah, Arsyad (2000) membagi kelas kemiringan lereng mulai dari 0 – 3 % (datar) sampai ke >65 % (sangat curam). Untuk tujuan erosi dan penggunaan lahan, FAO (2007) membuat kelas kemiringan lereng mulai dari 0,0 – 0,2 % (datar) sampai dengan >65 %. Sehubungan dengan hasil penelitian ini tentang erosi pada berbagai kelas kemiringan lereng dan dengan merujuk ke pendapat para ahli, disimpulkan bahwa kelas kemiringan lereng perlu penyempurnaan. Penyempurnaan dilakukan terutama terhadap sistem klasifikasi lereng dari Depatemen Kehutanan (2009) dan Arsyad tujuan perhitungan erosi, sehingga berbentuk seperti pada Tabel 3.
10 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
a)
(2000) untuk
Tabel 3. Klasifikasi Kemiringan Lereng Menurut Arsyad b) (2010)
No.
Klasifikasi Lereng a)
Kriteria
Arsyad, 2000
Dephut 2009
Arsyad,b) 2010
1.
0–3
0–3
0-3
Datar
2.
3–8
3–8
3–8
Landai / berombak
3.
8 – 15
8 – 15
8 – 15
Agak miring/bergelombang
4.
15 – 30
15 – 25
Miring / berbukit
5.
30 – 45
15 – 25
25– 45
Agak curam
6.
45 – 65
25 - 40
45 – 65
Curam
7.
> 65
40 - 65
65 - 85
Sangat curam
8.
-
-
>85
Ekstrim
C. Implikasi Hasil Penelitian Hasil peneltian ini terutama berimplikasi terhadap pengembangan bidang keilmuan, bidang pembangunan serta bidang kemasyarakatan. 1.
Pengembangan bidang keilmuan Hasil penelitian ini semakin memperjelas pentingnya peranan kemiringan lereng.
Berbagai penelitian dapat dilakukan untuk memperdalam kajian tentang erosi pada berbagai kelas kemiringan lereng dengan menempatkan petak uji yang lebih beragam. Data nilai besaran erosi yang berasal dari beberapa hasil penelitian yang dilaksanakan di DAS Jeneberang Hulu, baik dengan metode yang sama maupun yang berbeda, menghasilkan besaran erosi yang tidak sama. Apabila hal ini ingin dikaitkan dengan Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Jeneberang Hulu, tentu akan sangat berhati-hati karena data dan sumber data yang berbeda. Menyeragamkan data dan sumber data perlu dilakukan, salah satunya adalah melalui penelitian intensif dengan menggunakan petak uji erosi permanen. Petak uji ini dapat dibuat secara bertahap atau sekaligus pada setiap jenis penggunaan lahan dan pada setiap variasi kemiringan dan panjang lereng khususnya pada kemiringan lereng >45%. Bendungan serbaguna Bili-Bili sebagai bangunan vital di DAS Jeneberang semakin hari semakin terancam keberadaannya karena proses sedimentasi. Sedimentasi terjadi akibat proses erosi yang sangat intensif di bagian hulu DAS. Hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu (1) berkurangnya vegetasi hutan dan (2) kemiringan lereng yang besar. Kondisi hutan sekarang ini hasil interpretasi Citra SPOT 4 tahun 2006, yang masih berhutan “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
11
meskipun hanya berupa hutan sekunder tinggal 8.259 ha atau sekitar 13,38% dari luas total DAS Jeneberang hulu. Kondisi topografi khususnya kemiringan lereng >40% menempati areal seluas 53.442 ha (86,67%). Kombinasi kedua hal ini ditambah dengan curah hujan tinggi mengakibatkan laju erosi akan semakin meningkat setiap saat. Sehubungan dengan uraian tersebut maka data-data erosi yang diperoleh dari penelitian ini akan sangat bermanfaat dalam pengembangan bidang keilmuan, khususnya bidang Pengelolaan DAS dikaitkan dengan laju erosi, fluktuasi debit dan dengan laju sedimentasi di Bendungan Bili-Bili. Untuk itu, pihak pemerintah perlu lebih mendukung kajian-kajian erosi yang lebih intensif di DAS Jeneberang Hulu. 2. Bidang pembangunan Berdasarkan data hasil pengamatan curah hujan dari 12 penakar curah hujan yang disebarkan di seluruh DAS Jeneberang Hulu dapat diketahui bahwa curah hujan di DAS ini sangat bervariasi. Wilayah kanan DAS umumnya mempunyai curah hujan lebih besar (>3000 mm selama 6 bulan) dibanding wilayah kiri DAS (<3000 mm selama 6 bulan). Untuk itu sangat penting untuk meletakkan penakar curah hujan otomatis sehingga data yang dihasilkan lebih akurat. Oleh karena data yang dihasilkan dari penakar curah hujan otomatis lebih akurat maka tahapan pengelolaan DAS mulai dari perencanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi terhadap perilku DAS akan semakin baik pula. Semua ini akan sangat bermanfaat di dalam merencanakan bangunan air khususnya bangunan pengendali banjir dan erosi serta saluran irigasi yang lebih berkualitas. 3. Bidang kemasyarakatan Implementasi kedua bidang yang telah disebutkan akan lebih mengarah kepada upaya-upaya perbaikan ekosistem DAS. Kondisi seperti ini akan mendukung terciptanya keselarasan dan keserasian antara komponen-komponen penyusun ekosistem DAS Jeneberang Hulu. Masyarakat sebagai salah satu komponen ekosistem DAS adalah yang paling merasakan manfaat ini oleh karena kesejahteraannya akan lebih baik lagi. Kesejahteraan yang semakin baik akan mendorong perilaku masyarakat yang lebih bersahabat dengan lingkungannya sehingga kelestarian ekosistem DAS Jeneberang Hulu semakin terjamin.
12 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Terdapat variasi besaran erosi pada kelas kemiringan lereng dan penutupan lahan yang berbeda. B. Saran Dalam membuat petak uji erosi disarankan tidak menggunakan papan karena cepat rapuh dimakan rayap. Perlu variasi penelitian di wilayah hulu DAS Jeneberang untuk memperkuat hasil penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. (2000). Konservasi Tanah dan Air, cetakan ke dua. Bogor: Penerbit IPB Press. Bermanakusumah, R. (1978). Erosi, Penyebab dan Pengendaliannya. Bandung: Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Chan. (2007). Slopeland Capability Classification As a Tool in Land Use Planning in Taiwan. Food & Fertilizer Technology Center5F.14 Wenchow St., Taipei 10616 Taiwan R.O.C. Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. (1998). Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Jakarta: Departeman Kehutanan, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Departemen Kehuanan, (2009). Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.32/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Airan Sungai (RTkRHL-DAS). Jakarta. __________, (2009). Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.39/Menhut-II/2009 tentang Tentang, Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Jakarta. ____________, (2009). Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Jakarta. FAO, (2002). TERRASTAT Topography A Classification of Slope in Africa. Nairobi. Hal 12. ____, (2007). Field Survey Manual, landform – soil – soil erosion - land use - land cover. Somalia Water and Land Information Management. Nairobi. Hal 35. Hsu C.L, Liao H.J., dan Wu K.C., (2007). Application of GIS in land management. Building A model for Slope-Land Capability Classification, Taiwan. Menteri Kehutanan, (2006). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.26/Menhut.II/ 2006 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penglolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Departemen Kehutanan, Jakarta. “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
13
SIMPORI : INOVASI TEKNOLOGI REKAYASA PRODUKSI GAHARU Sentot Adi Sasmuko1 Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jl. Dharma Bhakti No.7 Langko-Lingsar-Lombok Barat 83371 Telp. (0370) 6573874 Fax. (0370) 6573841 Email :
[email protected] /
[email protected]
ABSTRAK Inokulasi pohon gaharu merupakan serangkaian proses kegiatan dalam rangka rekayasa produksi gaharu dengan tujuan untuk mendapatkan hasil gubal gaharu yang lebih baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Penelitian tentang teknik inokulasi pohon gaharu terus dilakukan untuk mendapatkan hasil gaharu yang lebih optimal. Salah satu inovasi yang sedang dikembangkan adalah tekniknologi inokulasi Simpori. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas teknologi Simpori dalam pembentukan gubal gaharu. Penelitian dilakukan pada pohon gaharu budidaya berdiameter 12-15 cm di Pulau Lombok provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Jenis inokulan (Fusarium sp.) yang digunakan adalah jenis 00500 produksi Badan Litbang Kehutanan dengan perlakuan dosis 1 cc, 3 cc dan 5 cc. Sedangkan jenis paku Simpori yang digunakan berdiameter 5 mm. Parameter yang diukur adalah dimensi serangan jamur (inokulan) sebagai indikasi pembentukan gubal gaharu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikasi pembentukan gubal gaharu dengan teknologi Simpori relatif cepat dengan rata-rata panjang dan lebar pembentukan gaharu dari tiga lokasi penelitian adalah sebesar 11,57 cm dan 4,69 cm. Hasil tersebut diperoleh selama 5 bulan setelah inokulasi dilakukan. Pemberian 3 dosis inokulan yang diujicobakan memberikan pengaruh tidak nyata terhadap dimensi pembentukan gaharu selama periode pengukuran dilakukan. Teknologi Simpori dalam inokulasi pohon gaharu merupakan salah satu inovasi terbaik dalam 103 Inovasi Indonesia Tahun 2011 Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia. Kata kunci : Gaharu, rekayasa produksi, SIMPORI, efektifitas
I. PENDAHULUAN Gaharu adalah gumpalan berbentuk padat, berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis tumbuhan penghasil gaharu yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh sejenis jamur (Siran, 2011). Menurut Sitepu, et al. (2011) mengatakan bahwa gaharu (dalam Bahasa Inggris dikenal dengan nama agarwood atau eaglewood) adalah kayu resin yang bernilai komersial tinggi karena digunakan sebagai dupa, bahan aditif minyak wangi, dan minyak esensial untuk kegiatan keagamaan, budaya, bahkan kegiatan sehari-hari. Gaharu merupakan produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi dibandingkan produk HHBK lainnya, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Harga pasar gaharu bervariasi tergantung mutunya, mulai
1
Peneliti Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
14 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
dari 300 ribu rupiah hingga 25 juta rupiah (Sumarna, 2005). Bahkan saat ini harga gaharu dapat mencapai 150 juta rupiah untuk mutu super king. Pada prinsipnya pemanfaatan gaharu adalah untuk pengobatan, incense, dan parfum (Barden, et al., 2000). Incense gaharu digunakan dalam ritual kepercayaan dan upacara-upacara religious keagamaan, sebagai pengharum ruangan, sembahyang serta benda-benda rohani seperti rosario dan tasbih (Barden, et al., 2000). Sementara itu dalam bidang pengobatan gaharu digunakan sebagai analgesic dan inti imflamantory dan diketahui bermanfaat untuk mengatasi berbagai penyakit seperti sakit gigi, ginjal, rematik, asma, diare, tumor, liver, diuretic, hepatitis, kanker, cacar, malaria, obat kuat pada masa kehamilan dan bersalin, juga memiliki sifat anti racun, anti mikroba, stimulant kerja saraf dan pencernaan (Heyne, 1987). Keberadaan pohon penghasil gaharu di alam semakin menipis sebagai akibat perburuan yang agresif dan tidak bijaksana. Cara ini telah mengancam kelestarian pohon gaharu di habitat alaminya. Oleh karena itu, untuk mencegah punahnya pohon penghasil gaharu maka sejak tahun 1994 Aquilaria dan Gyrinops, dua genus pohon penghasil gaharu terpenting telah masuk ke dalam daftar CITES (the Convention on the
International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna). Appendix II TRAFFIC-CITES-CoP13 Prop.49 (2004) telah mencatat terdapat 24 jenis yang termasuk dalam genus Aquilaria dan 7 jenis dalam Gyrinops. Kedua genus ini dapat ditemukan menyebar secara alami paling tidak di 12 negara, termasuk Bangladesh, Butan, Kamboja, Indonesia, Lao PRD, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Papua New Guinea (Barden, et al., 2000). Untuk mengantisipasi kemungkinan punahnya pohon penghasil gaharu sekaligus pemanfaatannya secara lestari, maka perlu dilakukan upaya konservasi dan budidaya serta rekayasa produksi untuk mempercepat produksi gaharu dengan teknologi induksi atau inokulasi (Sasmuko, 2011). Permintaan konsumen (buyer) terhadap gaharu terus semakin meningkat karena banyaknya manfaat gaharu tersebut. Namun, tingginya permintaan gaharu belum dapat dipenuhi terutama untuk tujuan ekspor yang dikarenakan oleh kurangnya bahan baku. Hal ini banyak dikeluhkan oleh beberapa eksportir gaharu di Indonesia. Ekspor untuk pasar Timur Tengah sebagai contoh mengalami penurunan dari 67.245 kg pada tahun 2005 menjadi 39.400 kg pada tahun 2006 (Wiguna, 2006).
Penurunan kemampuan
ekspor gaharu Indonesia tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan harga gaharu, baik di pasar dunia maupun di tingkat pengumpul. Kenaikan harga gaharu terus meningkat dan makin tajam hingga mencapai Rp. 10 juta/kg pada tahun 2000 dan
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
15
meningkat lagi hingga mencapai Rp. 30 juta/kg pada tahun 2005 (Wiguna, 2006). Bahkan pada saat ini menurut keterangan beberapa pelaku pasar, harga per kilogram gaharu telah mencapai Rp. 150 juta (Sasmuko, 2011). Secara garis besar proses pembentukan gaharu dapat terjadi secara alami dan buatan, keduanya berkaitan dengan proses patologis akibat adanya luka pada batang, cabang, atau ranting pohon penghasil gaharu. Luka tersebut menyebabkan pohon terinfeksi oleh penyakit (bakteri, virus, cendawan) yang diduga dapat mengubah pentosan atau selulosa menjadi resin atau gaharu (Siran, 2011). Namun, pembentukan gaharu secara alami sulit dipantau dan dipastikan. Oleh karena itu, agar dapat mengamati secara langsung dan dipastikan terjadinya proses pembentukan gaharu dapat dilakukan rekayasa yaitu dengan cara inokulasi cendawan pada pohon penghasil gaharu. Kegiatan rekayasa pembentukan gaharu dengan cara inokulasi telah banyak dilakukan oleh banyak pihak dengan teknik yang bermacam-macam dan jenis inokulan yang bervariasi. Pembentukan gaharu biasanya ditandai dengan perubahan warna kayu di sekitar daerah yang luka. Hal tersebut didukung oleh Sumadiwangsa (1999) dalam Rahayu, et. al. (1999) menyatakan bahwa terjadinya perubahan warna kayu putih menjadi cokelat sampai kehitaman merupakan gejala awal dari pembentukan senyawa gaharu. Namun perubahan warna kayu juga dapat terjadi sebagai hasil oksidasi pada daerah yang terluka. Secara umum keberhasilan inokulasi dapat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu kondisi iklim setempat, kondisi pohon, jenis inokulan dan metode inokulasinya (Sasmuko, 2011).
II. POHON PENGHASIL GAHARU Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk dalam famili Thymelaeaceae (Heyne, 1987). Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam di antaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A.
filarial). Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah, Indonesia, Papua New Guinea, Philipina dan kepulauan Solomon serta kepulauan Nicobar. Sembilan spisies di antaranya terdapat di Indonesia yaitu: di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku dan Irian Jaya. Marga
16 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Gyrinops memiliki tujuh spesies. Enam di antaranya tersebar di Indonesia bagian timur serta satu spesies terdapat di Srilanka. Dalam perdagangan, gaharu dikenal sebagai
agarwood, aloewood, atau eaglewood. Menurut Sumarna (2002), Sidiyasa dan Suharti (1986), pohon–pohon penghasil gaharu di Indonesia antara lain adalah :
Aquilaria malaccensis : Sumatera, Kalimantan A. hirta : Sumatera, Kalimantan A. filaria : Nusa Tenggara, Maluku, Irian Jaya A. microcarpa : Sumatera, Kalimantan A. agalloccha Roxb : Sumatera, Jawa, Kalimantan A. beccariana : Sumatera, Kalimantan A. secundana : Maluku, Irian Jaya A. moszkowskii : Sumatera A. tomentosa : Irian jaya Aetoxylon sympethalum : Kalimantan, Irian jaya, Maluku Enkleia malacensis : Irian Jaya, Maluku Wikstroemia poliantha : Nusa Tenggara, Irian Jaya W. tenuriamis : Sumatera, Bangka, Kalimantan W. androsaemofilia : Kalimantan, NTT, Irian Jaya, Sulawesi Gonystylus bancanus : Bangka, Sumatera, Kalimantan G. macrophyllus : Kalimantan, Sumatera Girynops cumingiana : Nusa Tenggara, Irian Jaya G. rosbergii : Nusa Tenggara G. verstegii : NTT, NTB G. moluccana : Maluku, Halmahera G. decipiens : Sulawesi Tengah G. ledermanii : Sulawesi Tengah G. salicifolia : Irian Jaya G. audate : Irian Jaya G. podocarpus : Irian Jaya Di antara sekian banyak jenis pohon penghasil gaharu tersebut, terdapat 2 jenis
yang sedang berkembang produksinya yaitu ; a.
Aquilaria malaccensis Jenis pohon penghasil gaharu ini dikenal dengan nama daerah : Kayu karas, gaharu (Indonesia), calabac, karas, kekaras, mengkaras (Dayak), galoop (Melayu), halim (Lampung), alim (Batak), kareh (Minang). Deskripsi pohonnya adalah sebagai berikut : - Pohon setinggi 40 m dan berdiameter 60 cm.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
17
- Daun berseling, elips oblong hingga lanset oblong, ukuran 7,5-12 cm x 2-5 cm. Urat daun bagian bawah berbulu halus jelas. - Perbungaan muncul di ketiak daun berbentuk malai dan memayung. Bunga berkelopak tabung, ukuran 5-6 mm, cuping 5, membundar. - Buah bulat telur dengan bagian basal lebih lonjong, ukuran 2-3 cm, daging buah tebal, jumlah biji 1-2 buah. Pohon karas dapat tumbuh di hutan-hutan primer tropika dataran rendah hingga ketinggian 700 m dpl dengan penyebaran meliputi : India, Indocina, Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Sarawak, dan Filipina. Saat ini pembudidayaan pohon karas terdapat di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Juga di Riau (Pekanbaru), Jambi (Sorolangun Bangko), Sumatera Selatan (Palembang), Jawa Barat (Bogor), dan Banten. b.
Gyrinops versteegii Jenis pohon gaharu ini dikenal dengan nama daerah : Ketimunan (Lombok), ruhuwama (Sumba), seke (Flores). Pohon ini cukup rawan mengalami kelangkaan akibat kurangnya budidaya. Ciri-ciri pohon Gyrinops versteegii adalah Pohon tinggi hingga 25 m, diameter 40 cm. Daun elips memanjang, urat daun lateral sejajar, berukuran 10-20 cm, lebar 2-3 cm, hijau licin. Perbungaan terminal mendukung 6-8 bunga. Bunga berupa tabung, berukuran sekitar 3,5 mm, warna putih kotor kehijauan, benangsari berjumlah 5. Buah bulat telur berukuran 1 cm, biji satu buah. Penyebaran alami jenis Gyrinops versteegii adalah daerah pulau Lombok, Sumbawa, Sumba, Maluku, dan Papua dengan tempat tumbuh hutan dataran rendah di Indonesia bagian timur. Pada saat ini telah mulai dilakukan pembudidayaan oleh masyarakat terutama di Pulau Lombok, provinsi Nusa Tenggara Barat. Bahkan bibit tanaman ini telah menyebar ke daerah luar Pulau Lombok seperti Pulau Jawa, Sulawesi, Flores dan Papua. Gaharu dapat terjadi karena proses patogenisitas di mana jenis patogen fungi tertentu menginfeksi jenis pohon penghasil gaharu. Sebagai respon terhadap serangan patogen tersebut, pohon akan menghasilkan metabolik sekunder atau senyawa resin yang menyebabkan bau wangi ketika dibakar (Sitepu, et al., 2011). Keberadaan pohon penghasil gaharu di alam semakin menipis sebagai akibat perburuan yang agresif dan tidak bijaksana. Cara ini telah mengancam kelestarian pohon gaharu di habitat alaminya. Oleh karena itu, untuk mencegah punahnya pohon
18 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
penghasil gaharu maka sejak tahun 1994 Aquilaria dan Gyrinops, dua genus pohon penghasil gaharu terpenting telah masuk ke dalam daftar CITES (the Convention on
the International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna). Appendix II TRAFFIC-CITES-CoP13 Prop.49 (2004) telah mencatat terdapat 24 jenis yang termasuk dalam genus Aquilaria dan 7 jenis dalam Gyrinops. Kedua genus ini dapat ditemukan menyebar secara alami paling tidak di 12 negara, termasuk Bangladesh, Butan, Kamboja, Indonesia, Lao PRD, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Papua New Guinea (Barden, et al., 2000). Pemanfaatan tanaman gaharu oleh masyarakat di Indonesia terutama di daerah habitat alaminya seperti pulau Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara telah berlangsung ratusan tahun yang lalu. Secara tradisional tanaman gaharu tersebut dikelola sebagai salah satu sumber pendapatan masyarakat setempat. Dengan semakin langkanya tanaman penghasil gaharu di alam dan harganya yang cukup tinggi serta permintaan barang yang terus meningkat, maka masyarakat mulai menanam tanaman tersebut di luar habitat aslinya. Saat ini banyak sekali masyarakat baik dari kalangan petani maupun masyarakat kota mulai menanam tanaman penghasil gaharu dalam skala kecil dari beberapa pohon sampai dengan ribuan pohon.
III. PROSES PEMBENTUKAN GAHARU Proses pembentukan gaharu secara alami membutuhkan waktu yang lama, di mana selama proses tersebut berlangsung akan dihasilkan variasi mutu dan pada akhir proses dapat diperoleh gaharu dengan mutu paling tinggi (Sumadiwangsa dan Harbagung, 2000). Terbentuknya gaharu dari pohon penghasilnya dapat dipicu oleh faktor biotik dan faktor abiotik (Santoso, et al., 2011). Pembentukan gaharu oleh faktor abiotik seperti pelukaan mekanis pada batang, pengaruh bahan-bahan kimia dan lainnya tidak akan menyebabkan terjadinya penyebaran mekanisme pembentukan ke bagian pohon yang tidak terkena efek langsung faktor abiotik tersebut. Lain halnya jika pembentukan gaharu yang dipicu oleh faktor biotik seperti cendawan atau jasad renik lainnya, mekanisme pembentukan gaharu dapat menyebar ke bagian lain pada pohon sehingga mutu gaharu yang terbentuk akan lebih maksimal. Proses pembentukan gubal pada pohon penghasil gaharu hingga saat ini masih terus diteliti. Gubal gaharu diduga dapat terbentuk melalui proses infeksi cendawan yang masuk ke dalam jaringan pohon akibat adanya luka baik yang tidak disengaja (alami) “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
19
maupun yang disengaja (rekayasa). Beberapa spesies Fusarium seperti F. oxyporum, F.
bulbigenium, dan F. lateritium telah berhasil diisolasi (Santoso, 1996). Selain itu, Rahayu et al. (1999) menyatakan bahwa beberapa inokulan Acremonium sp. asal gubal gaharu pada jenis Gyrinops verstegii (sin. A. filaria) dan A. malaccensis mampu menginduksi gejala pembentukan gubal gaharu pada pohon penghasil gaharu jenis A. crassna, dan A.
microcarpa pada umur muda. Selanjutnya Rahayu et al. (2007) menyatakan bahwa Acremonium sp. merangsang perubahan warna kayu dan pembentukan senyawa terpenoid. Oleh sebab itu, perubahan warna kayu dan adanya senyawa terpenoid merupakan indikator efektifitas dan interaksi antara inokulan dalam pembentukan gubal gaharu. Terbentuknya gaharu yang bermutu lebih tinggi kemungkinan akan dapat dicapai seiring dengan pengembangan penelitian jenis inokulan unggul yang terus dilakukan. Secara teoritis keunggulan inokulan dalam menginduksi pembentukan gaharu berkaitan dengan jenis dan kemurnian mikroorganisme yang digunakan (Mucharromah dan Surya, 2006). Kehadiran cendawan lainnya, khususnya cendawan pelapuk kayu justru akan mendegradasi kembali resin gaharu yang telah terdeposisi bahkan dapat menghancurkan sel-sel kayu sehingga gaharu yang mulai terbentuk menjadi hancur dan lapuk. Dengan demikian maka penggunaan inokulan yang unggul dan teknik inokulasi yang baik akan dapat meningkatkan mutu gaharu yang dihasilkan dan mengefisienkan proses produksi (Mucharromah, 2011). Selain itu, aroma gaharu dapat dipengaruhi oleh jenis pohon penghasilnya. Dengan demikian bahwa teknik inokulasi dan jenis inokulan yang tepat pada jenis pohon dalam kondisi tertentu serta waktu antara inokulasi dan panen yang lebih panjang, maka mutu gubal yang tinggi akan dapat dihasilkan (Mucharromah et al., 2008). Nakanishi (1984) melaporkan bahwa ada tiga seskuiterpena yang memiliki aroma yang wangi, yaitu α-agarofuran, (-)-10-epi-gamma-eudesmol, dan okso-agarospirol. Selain seskuiterpena, gaharu dari A. malaccensis asal Indonesia mengandung komponen pokok minyak gaharu berupa kromon. Kromon inilah yang menyebabkan aroma harum dari gaharu bila dibakar (Burfield, 2005). Menurut Konishi (2002), kromon dan turunannya berperan dalam menentukan mutu suatu gaharu.
20 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
IV. TEKNOLOGI INOKULASI SIMPORI Tanaman penghasil gaharu budidaya setelah berumur 7 tahun dengan rata-rata diameter batang sebesar 15 cm, maka dapat dilakukan rekayasa produksi untuk menghasilkan gaharu dengan cara teknik induksi (inokulasi) mikroba pembentuk gaharu (Suharti, 2011). Hasil rekayasa produksi tersebut dapat dipanen satu hingga tiga tahun kemudian. Pemanenan dapat dilakukan pada kondisi pohon belum mati, tetapi idealnya dipanen setelah pohon mati dengan variasi mutu produksi akan terdiri dari kelas gubal, kemedangan dan abu (Sumarna, 2007). Saat ini sudah banyak pohon pengahasil gaharu yang telah diinokulasi seiring dengan semakin berkembangnya ilmu dan pengetahuan tentang teknik inokulasi tersebut baik berdasar hasil-hasil penelitian maupun pengalaman masyarakat pembudidaya gaharu. Jenis pohon yang banyak diinokulasi pada saat ini terutama dari Aquilaria sp. Dan Gyrinops sp. Perkembangan keberhasilan teknik inokulasi sangat prospektif untuk mendukung pengembangan produksi gaharu di Indonesia. Dengan demikian pengembangan pohon penghasil gaharu siap dilaksanakan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Teknikteknik inokulasi untuk menghasilkan gaharu saat ini juga banyak macam (metode) dengan hasil yang beragam pula. Namun diharapkan dapat ditemukan teknik inokulasi yang efisien dan murah agar teknologinya dapat dijangkau dan diaplikasikan oleh kemampuan masyarakat luas. Salah satu inovasi terbaru dalam teknik inokulasi pohon gaharu yang sedang dalam pengembangan riset di Badan Litbang Kehutanan adalah teknik Simpori. Teknik inokulasi Simpori ini merupakan hasil pengembangan dari teknikteknik inokulasi sebelumnya sehingga terdapat rekayasa alat di dalamnya untuk membantu agar penggunaannya lebih efektif dan efisien serta aplikabel dengan hasil pembentukan gaharu diharapkan lebih optimal. A. Keunggulan Teknologi Inokulasi Simpori Keunggulan teknologi inokulasi Simpori dalam rangka rekayasa produksi gaharu antara lain adalah : 1.
Biaya investasi relatif murah Pengadaan peralatan yang digunakan dalam rangka inokulasi pohon penghasil gaharu tidak memerlukan listrik atau bahan bakar. Bahan yang digunakan banyak tersedia, dapat diproduksi secara massal, dan dapat digunakan secara
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
21
berulang-ulang. Sehingga petani gaharu cukup menggunakan beberapa alat saja meskipun pohonnya cukup banyak. 2.
Operasional relatif mudah dan aman Teknologi inokulasi Simpori dioperasikan secara manual sehingga tidak memerlukan keterampilan khusus (aplikabel). Disamping itu tidak membahayakan bagi keselamatan pekerja, misalnya karena tersengat aliran listrik, karena tidak memerlukan energi listrik dalam operasionalnya. Selain itu, dapat menggunakan inokulan cair dari jenis apapun.
3.
Penggunaannya tidak terganggu oleh jarak, cuaca dan medan Teknologi inokulasi Simpori dapat digunakan di mana saja baik pada saat musim kering maupun musim hujan, dan tidak terganggu oleh kondisi medan misalnya topografi yang curam (fleksibel).
4.
Ramah lingkungan Efek negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan teknologi inokulasi Simpori terhadap lingkungan hampir tidak ada. Demikian halnya dengan efek bagi pohon relatif kecil karena penggunaannya tidak dengan cara memutuskan jaringan kayu (green technology).
5.
Proses pembentukan gubal gaharu dapat berjalan dengan baik Proses pembentukan gubal gaharu dengan penggunaan teknologi inokulasi Simpori dapat berjalan dengan baik, dapat menghindari pengaruh negatif yang dapat menurunkan mutu gaharu yang terbentuk, misalnya karena air atau rayap.
B. Hasil Uji Coba Teknologi Inokulasi Simpori 1.
Pola inokulasi simpori Pola inokulasi dengan teknologi Simpori dapat dilakukan dalam dua model yaitu pola melingkar (ring system) dan berseling (zigzag system) seperti terlihat pada Gambar 1 dan 2 di bawah ini. Titik-titik inokulasi dibuat dengan jarak vertikal 40 cm dan jarak horizontal 10 cm. Penancapan paku Simpori dilakukan dengan posisi agak miring dengan kedalaman minimal setengah diameter batang. Sedangkan ujung paku dibiarkan menonjol di permukaan batang lebih kurang 2 cm untuk menghidari air
22 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
yang mengalir pada permukaan batang. Inokulan dimasukkan dengan menggunakan pipet ukur sesuai dengan dosis yang diinginkan.
10 cm
40 cm
10 cm
Permukaan tanah
Gambar 1. Pola Inokulasi ring system.
10 cm
40 cm
10 cm
Permukaan
Gambar 2. Pola Inokulasi zigzag system. 2.
Perkembangan dimensi pembentukan gaharu Pengamatan infeksi (serangan) inokulan pada proses inokulasi dilakukan dengan mengukur panjang infeksi vertikal dan horisontal yang terjadi pada permukaan kayu (Santoso et al., 2011). Dimensi panjang hasil pembentukan gaharu diukur secara vertikal ke arah atas-bawah dari satu titik inokulasi. Sedangkan dimensi lebar diukur secara horisontal ke arah kiri-kanan dari satu titik inokulasi. “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
23
Pada kurun waktu satu bulan setelah inokulasi sudah mulai terlihat gejala pembentukan gaharu yang ditandai dengan adanya perubahan warna kecokelatan pada jaringan kayu. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa inokulasi Simpori memperlihatkan gejala pembentukan gaharu yang cukup baik. Dalam kurun waktu 2 bulan
setelah
inokulasi
gejala
penyerangan
jamur
inokulan
00500
sudah
menyambung antara titik inokulasi satu dengan lainnya (jarak vertikal 40 cm) seperti terlihat pada Gambar 3 di bawah ini. Sedangkan hasil pembentukan gaharunya pada arah vertikal dan horisontal setalah 5 bulan inokulasi seperti tercantum pada Tabel 1 berikut.
Gambar 3. Hasil Infeksi Selama 2 Bulan Inokulasi Simpori. Tabel 1. Rata-rata Dimensi Pembentukan Gaharu Selama 5 Bulan dengan Inokulasi Simpori Dosis Inokulan (cc)
Lokasi Penelitian (Kabupaten)
Dimensi Pembentukan Gaharu (cm) Vertikal
1 1
Lombok Utara Lombok Tengah
1
Lombok Timur Rata-rata
3 3 3
Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur
5 5 5
Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur
Rata-rata
Rata-rata Sumber : Sasmuko (2011)
24 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Horisontal 9,89 9,10
3,33 3,22
10,67 9,89
5,00 3,85
10,06 7,84 14,67 10,86 10,67 9,84 21,33 13,95
3,64 3,36 5,61 4,20 4,52 3,74 9,83 6,03
Pengaruh dosis isolat terhadap dimensi pembentukan gaharu setelah 5 bulan inokulasi dapat dilihat pada diagram dan grafik Gambar 4 di bawah ini. Berdasarkan Gambar 4 mengindikasikan bahwa dosis inokulan memberikan korelasi positif terhadap dimensi pembentukan gaharu baik dimensi panjang maupun lebar di ketiga lokasi penelitian. Semakin banyak inokulan yang diberikan maka dimensi pembentukan gaharu akan semakin besar seiring dengan berjalannya waktu setelah inokulasi dilakukan. Namun pertambahan dosis 1-5 cc belum memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap dimensi panjang dan lebar pembentukan gaharu.
Gambar 4. Diagram dan Grafik Dimensi Pembentukan Gaharu. Tabel 2. Rata-rata Dimensi Pembentukan Gaharu di Tiga Lokasi Penelitian Selama 5 Bulan Setelah Inokulasi No.
Lokasi Penelitian
Rata-rata Dimensi Pembentukan Gaharu (cm) Panjang
1.
Kab. Lombok Utara
10,21
2.
Kab. Lombok Tengah
8,93
Kab. Lombok Timur
15,56
3. Keterangan :
tn
=
tn tn tn
Lebar 3,83
tn
3,44
tn
6,81
tn
dosis isolate 1, 3, dan 5 cc berpengaruh tidak nyata terhadap dimensi pembentukan gaharu selama 5 bulan setelah inokulasi
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 2 di atas mengindikasikan bahwa dosis inokulan 00500 yang dicobakan di ketiga lokasi penelitian yaitu 1 cc, 3 cc dan 5 cc memberikan pengaruh tidak nyata (not significance) terhadap dimensi
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
25
pembentukan gaharu baik dimensi panjang maupun lebar. Menurut Rahayu, et. al. (2009) menyatakan bahwa reaksi pembentukan gaharu dapat dipengaruhi oleh jamur penginduksi, kondisi lingkungan tempat tumbuh dan jenis pohon yang diinduksi. Sehubungan dengan penelitian ini bahwa jenis pohon dan jenis jamur inokulan yang digunakan adalah sama yaitu (Gyrinops verstegii), demikian halnya dengan kondisi pohon yang diinokulasi. Namun masih perlu dilakukan pengamatan pada kurun waktu selanjutnya apakah masih memberikan hasil yang sama, misalnya 1 tahun atau 2 tahun setelah inokulasi. Untuk melihat perbedaan hasil pembentukan gaharu dari ketiga lokasi penelitian, dilakukan uji beda rata-rata (Uji-t) dengan hasil seperti pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Perbedaan Hasil Dimensi Pembentukan Gaharu di Tiga Lokasi Penelitian Selama 5 Bulan Setelah Inokulasi No.
Lokasi Penelitian
Rata-rata Dimensi Pembentukan Gaharu (cm) Panjang
Lebar
1.
Kab. Lombok Utara
A
A
2.
Kab. Lombok Tengah
A
A
3.
Kab. Lombok Timur
B
B
Keterangan : huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada taraf uji 95 %.
Berdasarkan Tabel 3 mengindikasikan bahwa rata-rata hasil pembentukan gaharu di lokasi Kab. Lombok Timur memberikan hasil yang paling tinggi dalam indikasi pembentukan gaharu dibandingkan Kab. Lombok Utara dan Kab. Lombok Tengah dengan hasil yang relatif sama. Diduga bahwa kondisi iklim (suhu dan kelembaban) di lokasi penelitian Kab. Lombok Timur lebih mendukung pertumbuhan jamur inokulan 00500 yang digunakan. 3.
Prospek dan Progres pengembangan Teknologi inokulasi Simpori merupakan inovasi baru dan orsinil dalam rangka rakayasa produksi gubal gaharu untuk membantu masyarakat pembudidaya gaharu agar dapat mengoptimalkan hasil panen. Teknologi ini menjadi salah satu teknologi paling prospektif yang telah masuk dalam buku 103 Inovasi Indonesai 2011 dari Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia. Teknologi inokulasi Simpori ini mempunyai potensi komersialisasi yang cukup besar, yaitu memproduksinya dalam skala besar (pabrik) dan dipasarkan untuk
26 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
memenuhi permintaan pembudidaya pohon gaharu baik di dalam negeri maupun luar negeri. Inovasi
teknologi
inokulasi
Simpori
sampai
saat
ini
masih
terus
dikembangkan dalam rangka penyempurnaan alat yang lebih fleksibel dan menghasilkan pembentukan gubal gaharu yang lebih optimal baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Kab. Lombok Utara
Kab. Lombok Tengah
Kab. Lombok Timur
Gambar 5. Hasil Inokulasi Simpori 5 Bulan Setelah Inokulasi.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
27
V. KESIMPULAN Beberapa kesimpulan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut : -
Penggunaan
teknologi
Simpori
dalam
inokulasi
pohon
penghasil
gaharu
dapat
memudahkan dalam menginduksi jamur inokulan dengan baik, berbiaya relatif murah, ramah lingkungan, dan mudah diaplikasikan. -
Pemberian dosis inokulan jenis 00500 sebesar 1-5 cc memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap dimensi pembentukan gaharu baik panjang maupun lebar pada 5 bulan setelah inokulasi dilakukan.
-
Penggunaan teknologi Simpori dalam rekayasa produksi gaharu memerlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut untuk seperti aplikasi untuk akar, cabang dan ranting pohon. Selain itu pola-pola inokulasi juga perlu dikembangkan untuk mendapatkan produksi gaharu yang lebih maksimal, misalnya untuk memproduksi gaharu berbentuk log.
-
Penggunaan jenis inokulan, jenis pohon, dan serta lokasi tempat tumbuh lainnya dalam penerapan teknologi inokulasi Simpori perlu dikembangkan untuk mendapatkan informasi dan data yang lebih lengkap.
DAFTAR PUSTAKA Barden, A., N.A. Anak, T. Mulliken, M. Song. (2000). Heart of The Matter : Agarwood Use and Trade and CITES Implementation for Aquilaria malaccensis. Burfield, T. (2005). Agarwood Chemistry. http://www.cropwach.org/Agarchem.html. (3 Mei 2012). CITES. (2004). Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora : Amendments to Appendices I and II of CITES. Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III (Terjemahan). Badan Litbang Kehutanan. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Konishi, T., T. Konoshima, Y. Shimada, S. Kiyosama. (2002). Six New 2-(2-Phenylethyl) chromones from Agarwood. Chem. Pharm. Bull. Mucharromah., & Surya, J. (2006). Teknik Inokulasi dan Produksi Gaharu. Makalah Workshop Gaharu Nasional. Kerjasama Dirjen PHKA dan ASGARIN. Surabaya 11-13 September 2006. Mucharromah., Hartal., & Surani. (2008). Tingkat Akumulasi Resin Gaharu Akibat Inokulasi Fusarium sp. Pada Berbagai Waktu Setelah Pengeboran Batang Aquilaria malaccensis. Makalah Seminar Bidang MIPA, Universitas Bengkulu 14-16 mei 2008.
28 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Mucharromah. (2011). Pengembangan Gaharu di Sumatera. Bengkulu: Fakultas Pertanian Jurusan Perlindungan Tanaman Universitas Bengkulu. Nakanishi, T. (1984). Three fragrant Sesquiterpenes of Agarwood. Phytochemistry 23 : 2066-2067. Rahayu, G., Y. Isnaini, M.I.J. Umboh. (1999). dalam Rahayu, G., Erdy S., dan Esti Wulandari. (2011). Efektifitas dan Interaksi Antara Acremonium sp. Dan Fusarium sp. Dalam Pembentukan Gubal Gaharu Pada Aquilaria microcarpa. Bogor: Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Rahayu, G., A.L. Putri dan Juliarni. (2007). dalam Rahayu, G., Erdy S., dan Esti Wulandari. (2011). Efektifitas dan Interaksi Antara Acremonium sp. Dan Fusarium sp. Dalam Pembentukan Gubal Gaharu Pada Aquilaria microcarpa. Bogor: Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Santoso, E. (1996). Pembentukan Gaharu Dengan Cara Inokulasi. Makalah Diskusi Hasil Penelitian dalam Menunjang Pemanfaatan Hutan yang Lestari. Bogor: Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Santoso, E., Ragil S., M. Turjaman, I.R. Sitepu, & S. Santosa. (2011). Teknologi Induksi Pohon Penghasil Gaharu. Bogor: Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Sasmuko, S.A. (2011). Uji Coba Teknik Inokulasi Gaharu di NTB. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi HHBK. Mataram. Sidiyasa, K., & M. Suharti. 1986. Jenis-jenis tumbuhan penghasil gaharu. (Makalah Utama Diskusi pemanfaatan kayu kurang dikenal). Bogor: Puslitbang Hutan dan KA. Sitepu, I., Aryanto, Yasuyuki, H. Maman T. (2011). Aplikasi Rhizobakteria Penghasil Fitohormon Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Aquilaria sp. Di Persemaian. Bogor: Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Siran, S.A. (2011). Perkembangan Pemanfaatan Gaharu. Bogor: Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Suharti, S. (2011). Prospek Pengusahaan Gaharu Melalui Pola Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Info Hutan, VII (2). Sumadiwangsa, E.S. dan Harbagung. (2000). Laju Pertumbuhan Tegakan Gaharu (Aquilaria malaccensis) di Riau. Info Hasil Hutan 6 (1), 1-16. Sumarna, Y. (2002). Budidaya dan rekayasa produksi gaharu pada jenis pohon penghasil gaharu. (Bahan sosialisasi gaharu di Gorontalo). Sumarna, Y. (2005). Budidaya Gaharu. Seri Agrobisnis. Jakarta: Penebar Swadaya. Sumarna, Y. (2007). Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu. Pengembangan Gaharu. Jakarta: Direktorat Jenderal RLPS.
Temu
Pakar
Wiguna, I. (2006). Tinggi Permintaan Terganjal Pasokan. http://www.trubus-online.co.id. Diakses tanggal 12 Mei 2012.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
29
COMMUNITY BASED ECOLOGICAL MANGROVE REHABILITATION AND SUBSEQUENT DEVELOPMENT OF ADAPTIVE COLLABORATIVE MANGROVE ECOSYSTEM MANAGEMENT Benjamin Brown1 Mangrove Action Project - Indonesia (
[email protected])
ABSTRACT Ecological Mangrove Restoration and other methods which prioritize hydrological amendment and human assisted natural regeneration have been trialed and promoted now for several decades around the world. These methods are now being trialed by NGO’s, governments and communities, in Indonesia, and are meeting with success of restoration and management goals. This paper discusses five such collaborative EMR projects, and their success in promoting the establishment and growth of diverse mangrove stands with healthy growth. This paper also looks at social-economic interventions (sustainable livelihood development, gender focused approaches, etc.) that along with successful mangrove rehabilitation, provide enabling conditions for community participation in development of adaptive collaborative management of both rehabilitated and existing mangrove stands. Keywords: Mangrove, rehabilitation, adaptation, hydrological restoration, sustainability
I. INTRODUCTION 1. Background Mangrove forests are ecologically important coastal ecosystems composed of one or more of the 69 species of salt tolerant trees and shrubs. These ecosystems currently cover 146,530 square kilometers of the tropical shorelines of the world, which represents a decline from 198,000 km² of mangroves in 1980 to 157,630 km² in 1990. (Lewis, 2009 (a)). Thus, loss of mangrove area has occurred at a rate of 1 to 2 percent per year during the past three decades. Achieving no net-loss of mangrove forests would therefore require a minimum of1 150,000 hectares of successful mangrove forest restoration per year at the current rate of loss. In Indonesia, mangrove planting projects are the norm, where government agencies, NGO’s and disaster relief agencies support the rearing of mangrove seedlings in nurseries followed by direct plantings. Cases of near total failure (>95% mortality over 23 years) are common including; 9separate planting projects on Simeulue Island, Aceh after the tsunami supported by Australian Red Cross (7) and District Forestry Department 1
Researcher of The Mangrove Action Project - Indonesia
30 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
(2) (Brown and Yuniati, 2007), one planting site in Maros District, South Sulawesi which experienced total mortality on three separate occasions, and is being funded by Green PNPM for a fourth planting this year (Melati, 2011), and a case where BRLKT and the village government of Tiwoho in North Sulawesi planted an area 6 times over 9 years experiencing total failure each time (Brown, Personal Observation). This failure was attributed to three assumptions regarding restoration: 1) Mangroves can only be restored by planting , 2) roots causes of the failure of natural recruitment to take place are not important to investigate and 3) fluvial mud-flats (between LGT and MSL) are suitable for planting, when in fact they likely never supported a mangrove forest in the first place. 2. Improved Practices The five images in Figure 1 illustrate the restoration of a portion of a 500 ha (1236 acres) mangrove forest restoration project in Hollywood, Florida, USA, within the Anne Kolb Nature Park.
Fig. 1. Time lapse series in Anne Kolb Nature Park. Hollywood, Florida
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
31
3. Understanding Natural Recovery Mangroves exist in a variety of intertidal situations, with the common denominator of substrate elevation.
Nearly all true mangrove are found established and growing
between Mean Sea Level, and Highest gravitational tide.
Individual species and
associations change based on environmental gradients, which may express themselves as ecotones. One pre-requisite for the re-establishment of mangroves is the availability of open substrate, at the appropriate elevation.
This will influence both the frequency and
duration of tidal inundation, which are key determinants to the natural establishment and subsequent growth of mangroves.In addition to the need to understand the existing hydrology as it relates to topography of an adjacent mangrove forest reference area, it is also important to understand the natural recovery processes in damaged mangrove forest areas, also known as “secondary succession.” The natural secondary succession process in damaged mangrove forests often begins with the appearance of a “nurse species” (Fig. 2), which is typically herbaceous plant species such as Smooth Cordgrass, Spartinaalterniflora, or Saltwort, Batismaritima. These species, which are associated with mangrove forests around the world, appear to facilitate the recolonization and eventual natural restoration of damaged mangrove areas. Although not well studied, facilitation may work by improving edaphic conditions and/or physical trapping of floating mangrove seeds. Such knowledge is important in planning and conducting mangrove restoration projects, because mimicking the natural secondary succession may lead to a more successful restoration in the long-run (Lewis, 2009 (b,c); Friess, 2011).
4. Ecological Mangrove Restoration There is enough evidence that over-simplified restoration of mangroves does not work, while Ecological Mangrove Rehabilitation trials in Florida and Indonesia have resulted in success, and led to increased community protection and development of adaptive collaborative management systems. Six Principles Successful mangrove forest restoration should be routinely successful if a few basic ecological restoration principles are applied at the early planning stages. These principles have been taught now at 3-5 day workshops around the world (India, Sri Lanka, Thailand, Malaysia, Indonesia, Cambodia, United States, Cuba, Nigeria, Brazil,
32 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Ecuador and Honduras), targeting mangrove managers, as well as community fisherfolk as active, hands-on participants. 1. Understand both the autecology (individual species ecology) and the community ecology of the mangrove species at a particular location, in particular the patterns of reproduction, propagule (seeds and seedlings) distribution, and successful seedling establishment. 2. Understand the normal hydrologic patterns that control the distribution and successful establishment and growth of targeted mangrove species. 3. Work together with local communities to assess the modifications of the previous mangrove environment that occurred and that may prevent natural secondary succession. 4. Select appropriate mangrove restoration sites through application of steps 1-3 above that are both likely to succeed in restoring a sustainable man-grove forest ecosystem and are cost effective, given the available funds and labor. 5. Design the restoration program at appropriate sites selected in Step 4 to initially restore the appropriate hydrology and utilize natural recruitment of propagules or seeds for plant establishment unless other-wise determined likely not to succeed. 6. Only utilize actual planting of propagules, collected seedlings, or cultivated seedlings after determining through steps 1-5 that natural recruitment will not provide the quantity of mangroves desired (or the desired rate of stabilization or growth of seedlings) established as quantitative goals for the project.
Ecological Mangrove Rehabilitation courses include a field component during which participants examine pre-existing mangrove restoration projects as well as newly proposed sites for restoration. Learning from past mistakes, in order to improve techniques is often a transformative process. The following section of this paper discusses five specific case studies in Indonesia where community learning around restoration failure, resulted in community based implementation of Ecological Mangrove Rehabilitation (in projects now 1 – 10 years old). In each case, EMR was augmented by additional interventions including; the development of sustainable livelihood alternatives out of existing coastal resources, and community organizing towards the development of mangrove management plans. The following findings have been notable, and indicate both acceptance of the EMR method as an appropriate tool for community based coastal resource management:
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
33
1) EMR methods were understood by communities, practiced both as part of the activity and replicated on their own, and promoted by some portion of the community as a recommended practice when subsequent government or other planting projects visited their area. 2) Growth of EMR plots always met targets of at least 1250 seedlings per hectare growing healthy after year three of the intervention 3) Even in recent interventions where success is not yet evident, the logic of the EMR approach, in conjunction with associated programs (livelihoods development, coastal field school, etc.) has been effective in catalyzing the organization of communities to protect (formally or informally) their mangrove resources and advocate for mangrove conservation and sustainable utilization to some level of government.
II. METHODS
1. Case Study Sites 1.1 Tiwoho Village, North Sulawesi (01°35’00” N; 124°50’21.06” E) This study site is located on the mainland of North Sulawesi, and is at the Easternmost boundary of Bunaken National Marine Park. EMR was undertaken in 25 hectares of cleared mangrove situated within > 100 hectares of coastal, fringing mangroves with a natural diversity of 33 species of true mangroves. EMR implemented in 2004. 1.2 Bengkalis Island, Riau Province (01°27’00” N; 102°30’20” E) This study site is located on the Western Coast of Bengkalis Island, in the Province of Riau along a pair of river estuaries, the Jangkang and the Kembung. The main cause of mangrove degradation was due to clear-felling for export-oriented charcoal making. This system has a high level of peat formation, yet also experiences mangrove degradation along the coast due to changing current patterns coupled with potential effects of sea-level rise. EMR was trialed in a 33 hectare section ceded to the community, and included planting and natural recruitment areas. EMR implemented between in 20062007. 1.3 Simeulue Island, Aceh Province (02°30’58” N; 96°21’07” E) This study site includes 7 villages in NE Simeulue Island and 7 villages in TelukDalam, a large bay in north-central Simeulue. Mangroves disturbance on this island was natural, due to tectonic uplift ranging from 75 – 150 cm in the NE coast and 25-50 cm in TelukDalam as a result of the 2004 tsunami and 2005 “Nias” earthquake along the 34 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
SundaMegathrust.
This relocated the intertidal zone, requiring an equivalent seaward
migration of the island’s diverse, fringing mangrove.
Large parts of the island are
propagule limited – due to uplift of adult trees out of the range of tidal influence. EMR not yet implemented. 1.4. JaringHalus, NE Langkat Wildlife Sanctuary, North Sumatera Province (03°56’34” N; 98°33’54” E) Jaring Halus is a 33 hectare village adjacent to a 40 hectare highly biodiverse village mangrove forest located at the mouth of the Wampu River. The system is an estuarine delta on a vast alluvial floodplain. EMR was undertaken in a 10 ha abandon shrimp pond complex in the adjacent, 9000 hectare wildlife sanctuary, and was followed up by enhancement planting by communities in bare patches in sporadic sections of the sanctuary which was largely logged over for illegal charcoal development. EMR implemented between 2007-2008. 1.5 Tanakeke Island, South Sulawesi Province (05°29’38” S; 119°18’28” E) This island lies off the SW tip of South Sulawesi province, a one hour small boat ride from the mainland. 1200 ha of mangroves were converted to aquaculture ponds in the 1990’s of an original 1776 ha of mangroves. This system is known as a mangrove over wash system, situated on an atoll with proportionately little terrestrial area compared to sub-tidal and inter-tidal systems.EMR implemented between 2010-2012 Each of the above siteshave experienced mangrove disturbance due to aquaculture development or clear-felling for industrial charcoal production. Stakeholders at each site have tried to address this disturbance initially with direct planting of only a single or narrow range of mangrove species. In each case a high degree of planting failure ensued. Subsequently, community groups were engaged in Ecological Mangrove Rehabilitation, and have succeeded in adequately restoring their forests in older projects (5-10 years old), or are confident that EMR will work where the initiative is still new (<3 years). In each case, success or the acceptance of EMR as a superior method, has led to an increased degree of protection (formal or informal), and a change in attitudes and behaviors, which are presented anecdotally.
2. Survey Design To gather information on mangrove restoration experiences, conservation and utilization of mangrove resources; key informant interviews, as well as formal and informal group discussions were conducted over time (from 1999 to 2012) with
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
35
communities, local NGO’s, academicians and government agents. In addition, resilience assessments have been perfomed in TanakekeIsland, South Sulawesi and Simeulue Island, Aceh using a method (SkemaKajianRisilian) adapted from the Resilience Alliance (Resilience Alliance, 2007 andSonjaya, 2011). The interviews and discussions focused on numerous aspects of the villages’ relationships with the mangroves, particularly the history of villages, traditional uses of the mangroves, conflicts with outside interests, history and mechanism of mangrove restoration, results of mangrove restoration, and the development of formal and informal mangrove management and protection practices, and rules governing those practices. Forest conditions have been monitored using a standard monitoring methodology, which has been adapted by the Mangrove Action Project – Indonesia from various sources including English et al. (1994) and Duke (2011). The TanakekeSimeulue and Riau sites were compared withnearby reference forests, as well as any existing chronoseresas benchmarks for success. Twelve (12) to twenty two (22), 100m2vegetation plots (10 m × 10 m or 20 m x 5 m ) were established at random locations in each forest. In each plot, the girth at breast height (GBH at 1.3 m height) of each stem with a GBH ≥4 cm (1.27 cm diameter at breast height (dbh)) was measured, and height was calculated using either aclinometer or extendable rod. Species identification was done with assistance from the “Handbook of Mangroves in Indonesia,” (JICA, 1999), with the exception of Tiwoho where previous surveys by PhD.RignoldaDjamalludin were also consulted.Complete data sets for Tiwoho, has been collected by PhD.RignoldaDjamalludin and his students from University of Sam Ratulangi but was not accessible at the time of this writing.
3. Data Analysis Analysis of recruitment and growth of natural recruits and planted material has not been consistently performed across all sites. Abundance, basal area and frequency for each species in reference forests and naturally regenerating chronoseres were computed at Tanakeke Island and Simeulue Island, following the procedure of English et al. (1994). Analysis has not yet been performed for data from Tiwoho or Bengkalis Island. Because of inconsistent methodologies and durations of monitoring, comparisons between sites, in this paper, will be made qualitatively. Social information has been compiled and analyzed by MAP Indonesia and a multidisciplinary team from the Asia Pacific Study Center of the University of GadjahMada and are available in numerous project reports.
36 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
III. RESULTS 1. Ecological Results In Tiwoho, diversity was highest of all restoration sites, with 27 species of true mangroves recruited, established and growing out of a total of 30 species noted for Bunaken National Park (Djamalludin, 1996). The highest area of diversity for the site occurs in the hinterland margin. Table 1 records all mangrove species noted during surveys in 2007 and 2011.
Table 1. Natural recruitment versus total potential species at the Tiwoho restoration site, Bunaken National Marine Park.
Family Acanthaceae: Avicenniaceae:
Bombacaceae: Combretaceae: Euphorbiaceae: Meliaceae: Myrcinaceae: Palmae: Pteridaceae: Rhizophoraceae:
Rubiaceae: Sonneratiaceae:
Sterculiaceae:
Species
Acanthus ilicifolius Avicennia alba A. rumphiana A. marina A. officinalis Camptostemonphilippensis Lumnitzeralittorea L. racemosa Excoecariaagallocha Xylocarpusgranatum X. mekongensis Aegicerascorniculatum Nypafruticans Acrosticumaureum A. speciosum Bruguieracylindrica B. gymnorrhiza B. parviflora B. sexangula Ceriopsdecandra C. tagal Kandeliacandel Rhizophoraapiculata R. mucronata R. stylosa Scyphiphorahydrophyllacea Sonneratia alba S. caseolaris S. ovata Hertieralittoralis Total Species = 30
Present in Rehab Site X X x X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X Species Present = 27
Local Name Gahana, sarimunte Api-api Api-api Api-api Api-api Kayupelompong Lolang bajo Lolang bajo putih Buta-buta Kira-kira Kira-kira Anting-anting Bobo Paku-pece Paku-pece Ting putih Makurunglaut Makurung Makurungdarat Ting papua Tingbiasa Bido-bido Lolaromerah Lolaroputih Lolaroputih Lemong pece Posi-posi Posi-posi Posi-posi Kolotkambing
The next highest site, in terms of diversity are the natural recovery sites in TelukDalam, north-central Simeulue, specifically near the lighthouse known as Mercusuar, Ujung Ranup.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
37
13 plots measuring 20m x 5m were monitored, with 39 subplots of 5m x 2m surveyed. This site has experienced natural recruitment and healthy growth of 13 species of true mangroves(see Figure 3) with an average density of 2856, or 408 seedlings being established per year since final disturbance (the 2005 Nias Earthquake).
Sites close
farther from sea in TelukDalam were regenerating at lower rates, of 125-318 seedlings per year.
In Eastern Simeulue (TelukSinabang), recruitment rates were lower, with
average recruitment in two study areas at 96 and 196 seedlings ha/yr recruiting onto the newly uplifted inter-tidal in areas adjacent to disturbed mangrove forests.
Average
densities of around 1000 seedlings per hectare were noted here, but several sub-sites had much lower densities of 200, 275, and 475 seedlings per hectare after 7 years, indicating low recruitment rates of only 29-69 plants per hectare per year. Due to the apparent high recruitment rate in TelukDalam, community leaders want to forego additional, and likely unnecessary mangrove restoration, to begin talks leading towards areal management for conservation and sustainable use. In Bengkalis Island, Riau, data for a typical group after EMR can be seen at the Belukap site. Within three years, planted Rhizophora averaged 2.6 meters tall with 80% survivorship and a density of 3208 seedlings per hectare. Average natural recruits of 8 species were 3.4 meters tall with a density of 4210 seedlings per hectare.
Anecdotal
evidence shows that6-8 years after EMR, selective logging of Rhizophopra poles has taken place twice in a pair of sites. In the NE Langkat Wildlife Sanctuary, the ten hectare shrimp pond complex experienced exceptional growth after dike wall breaching. Four planted species grew well, with R. mucronata ranging from 1.3 – 2.5 meters of growth 24 months after breaching year exhibiting 54-89 leaves per tree. More impressive was the growth of hundreds of
Avicennia marina trees which had inhabited the pond in dwarf form before breaching (<1m) and grew to between 6 and 10 meters in 24 months (Fig. 2). Similarly over 85% survivorship and good growth was reported 24 months after enhancement planting of 12 species in previously logged areas of the 500 hectare collaborative management zone. On Tanakeke Island, low natural recruitment took place in year one. This was augmented in year two by hydrological corrections as well as human assisted propagule distribution; utilizing 4 colonizing species (A. alba, A. marina, S. alba, and S.ovata) and 6 additional species (R. apiculata, R. stylosa, B. paviflora, B. sexangula, B. gymnorhizza, C. tagal, C.
decandra, X. molucennsis). Monitoring is taking place quarterly in year one, and annually
38 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
thereafter for a period of 3-5 years. General ecological results are summarized along with social and economic outcomes in Table 2 below.
Fig 2.
Fig. 3
1 - 2 year old planted R. mucronata(foreground) and natural growth of preexisting stunted A. marina (background) – JaringHalus, North Sumatra
Representation of Natural Recruitment Data from MercuSuar Reference Site TelukDalam - Simeulue.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
39
2. The Development of Formal and Informal Community Forest Governance and Adaptive Collaborative Management The communities above have similar stories.
Their mangrove forests, which
provided important goods and services to the community as a whole, were disturbed, either by privatizing interest for short-term economic use, or natural causes. Mangrove rehabilitation, at some point, was attempted, in all cases with intervention from outside groups. However, oversimplified techniques led to initial failure. Techniques were then improved, and mangroves recovery became evident in most cases, either directly (successful rehabilitation), or indirectly (community awareness of successful natural revegetation in nearby chronoseres) with resulting confidence by communities in their own abilities to restore their mangrove resources. In all cases, communities were also involved in livelihood and environmental education programs, which, regardless of the degree of economic success, have effectively developed critical thinking skills amongst a large enough population of the community to allow for the informal and formal development of effective mangrove management regulations, and the ability to engage local stakeholder, including government, in increasing access to and control over both rehabilitated mangrove resources as well as adjacent, undisturbed forests. Table 2looks at social, economic and ecological outcomes after EMR interventions in all five sites. Table 2. Summary of outcomes and status related to key components of resilience
Site Tiwoho, N.Sulawesi
Communities, Direct Participants, Total Community Members 1, 420, 1004
Social Outcomes Excellent non-formal conservation of mangrove area, small community groups for conservation, formal regulations on mangrove protection drafted but not pushed towards ratification Equitable male and female access and control over mangrove resources.
Bengkalis, Riau
5, 300, 1200
Zero timber harvest in 9 years 10 stewardship groups of 30 members with formal protection of 300 hectares of area – only 4 groups active Family clans manage
40 |
Economic Outcomes Many trial alternative livelihood ventures, 2 lasting ones – bamboo treatment and furniture making, and improved coosktove production, Very significant subsistence fishery from mangrove area – especially accessed by poorer villagers
Poles in young rehab areas already thinned for economic use, Clam fattening pens developed by community in mangroves
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Ecological Outcomes Excellent rehab of 22 out of 25 hectares of pond area – 3 hectares require hydrological adjustment High biodiversity of natural recruits - 27 of 30 original species Excellent growth Shellfish and crab population recovery according to community
Approaching normal diversity – but still anthropogenic preference for Rhizophora and Xylocarpus dominated areas.
mangroves for sustainable timber – mostly male Island wide support of mangrove protection and sustainable use – cessation of mangrove charcoal production
JaringHalus, N.Sumatra
1, 165, 3300
Strong women’s involvement in fisheries protection, enagement in conflict over fisheries Consistent long term traditional protection and sustainable utilization of pristine forest behind village (40 ha) 10 year collaborative management agreement with National government (BKSDA) for conservation and sustainable use of 500 ha of wildlife sanctuary youth groups, fishing associations and female economic groups protecting mangroves
Coconut plantation recovering behind rehabilitated mangrove Significant subsistence gathering by family clans from creeks and mangrove area
Poor community members access crabs and fisheries products regularly in mangroves Small enterprise development from mangrove non-timber forest products stagnant Fishery value from mangrove area extremely important to local livelihoods, high value
6, 300, 3000
Low incidence of community mangrove damage
Little direct economic benefit from mangroves and mangrove areas.
Awareness of mangrove value high for fisheries value and village protection Strong community push for mangrove conservation in remote areas
Indirect benefit from offshore fisheries High perceived value for protective function
Prone to mangrove conversion near main economic center (Sinabang)
Tanakeke, S.Sulawesi*
8, 800, 4000
High degree of community resilience to disaster Lack of memory of healthy, diverse mangrove forest
Planted areas too dense, require thinning. Low biomass per tree in some areas due to pruning of branches for straight timber
40 hectare village forest still in excellent condition – high biodiversity 500 ha area recovering – much less incidence of illegal logging – few bald patches left, high growth. Excellent regrowth in rehabilitated shrimp pond >5000 trees/hectare – 7 mixed species ion 10 hectares 2000 ha of reported damage to wildlife sanctuary – conversion to oil palm (unsubstantiated)
lack of continued NGO collaboration Simeulue, Aceh*
Good growth of both planted and naturally recruiting mangroves after EMR
Excellent natural regeneration in TelukDalam – full original biodiversity – normal growth – more than 4000 seedlings/ha Poor natural regeneration in Eastern Simeulue (and presumably Western) – propagule limited. Some incidence of hydrological disturbance – but natural – will self-repair.
Important and valuable crab fishery (currently being studied)
Strong understanding of protective function of mangroves
Important subsistence prawn fishery
Weak understanding of relation between frequent clear cutting, low biomass, and low overall value of mangrove system
Low-value timber products (fuel wood and charcoal) due to lack of processing – small diameter of poles at harvest
Poor and marginal community – lack of basic
High perceived protective function
Dominant ecotone on the island, along with sub-tidal seagrass beds (currently supporting large scale seaweed mariculture) Impact on seagrass and fishery uncertain Low growth due to biophysical condition (low organic content, CaCO3 substrate, lack of fresh water input) – coupled with anthropogenic pressure for young Rhizophora timber
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
41
services (water, electricity, education, health)
No non-timber forest product development yet
Strong support for EMR in disused shrimp ponds and participatory processes – willing to demand participatory processes from government during new initiatives
Extreme conversion of mangroves to aquaculture ponds (from 1776 ha mangroves to 500 ha mangroves or 72% loss) – but little permanent hydrological damage due to largely unexcavated ponds and low, non compact dike walls.
Women’s groups beginning to organize and have a voice Patriarchal private ownership of fish ponds and mangrove areas Presence of HutanPangandrian – a traditional mangrove forest conservation zone – translated as “food pantry forest”
*Note: EMR not yet implemented in Simeulue (trainings only), and still under 2 years old in Tanakeke.
IV. DISCUSSION
1. Damage and Successful Rehabilitation There’s an adage that goes “you don’t know what you had, until it is gone.” It may not be necessary for a coastal community to experience degradation of their coastal resources, in order to better appreciate them once restored, but communities who have experienced first-hand the loss of critical coastal resources, which provide them with essential goods and services, are certainly more wary of external plans to convert of degrade their resources the second time around. In all of the case studies above, communities lost their valuable mangroves. In all cases, initial replanting of Rhizophora mangroves failed to bring mangroves back. And, in all cases, once rehabilitation success became apparent, all of the communities responded with strong engagement in both informal and formal protection of both restored coastal areas, as well as those which were never disturbed. 2. Short-term Economic Benefits Mangrove systems take years to recover.
Mangrove Action Project strives to
restore 75% of a functional fisheries equivalent within 5 years of mangrove rehabilitation, but recovery can take significantly longer. In a modern era, where instant gratification is expected, it is folly to undertake a mangrove rehabilitation program with rural poor, 42 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
without linkage to some sort of sustainable livelihood development. Unfortunately, NGO’s and governments, who are the most common partners in mangrove restoration projects, have a poor track record in business development. Findings from more recent programs, including the Restoring Coastal Livelihoods program in South Sulawesi, is that communities are strongly responding to programs which offer participatory action research (through programs like Coastal Field School) around the development of one or several common commodities in their coastal region, followed by engagement with the business community to assist with marketing and business development. 3. Women’s’Participation In the above case studies, women were involved equally in mangrove rehabilitation only in North Sumatera, North Sulawesi and South Sulawesi, where their participation in planning, implementation and monitoring has been equal or greater to that of men. Women were not involved in mangrove rehabilitation in Riau, and to this day, their role in stewardship of the mangroves is minor. In Simeulue Aceh, women’s involvement is still more focused on equal percentage of participation rather than equal participation. With specific regards to women’s engagement in mangrove areas, assessments in years 1-2 of the RCL program found;
Women are involved in a large variety of activities which utilize mangrove resources. The major ones include use of timber for fuel-wood, seaweed farming and charcoal production, the collection of mollusks, shrimp, crabs, and fish, and the planting of mangroves.
Women are also involved in activities which take place in converted
mangroves such as aquaculture, and in adjacent ecosystems such as rice fields, bamboo forests, and sub-tidal seaweed farms. There are some differences between the four project districts, but in all districts women contribute labor to the different steps of mangrove resource utilization. Some activities are more often the responsibility of women (wood preparation for cooking, cooking, gleaning mollusks, seafood processing, etc); others are more often the responsibility of men (felling of timber, use in construction, capture of higher value mangrove products (crabs, shrimp)).
Women are involved in decision making on mangrove resource use at the household level. Women have a say in time spent on collecting and processing mangrove resources versus other economic activities (aquaculture, seaweed farming, rice farming). Women also decide on daily expenditures of both the household and some aspects of production (feeds, fertilizers, seeds, juvenile fish). Bigger expenditures are
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
43
normally decided both by wife and husband, for items such as boats, boat motors, pumps, etc.
Women participate much less in leadership at the community level than men on Tanakeke Island, where mangrove rehabilitation has been piloted, and their voice in community decision making is still small. That being said, women have been equally or more strongly involved in mangrove rehabilitation planning, evidenced by the seven women’s groups who areleading activities around community based mangrove management planning.
Concerns about gender issues, as expressed by the leadership at different levels of the program, may create favorable conditions for the integration of gender activities in the program, but is not sufficient to realize a higher degree of female involvement in the program. Gender issues should be integrated in general policies and specific activities at different levels in order to "translate" the expressed concerns into concrete plans of action.
4. Access, Control and Ownership It has been shown in previous research that local cooperation in community management can increase when user groups gain secure rights over the resources and have the authority to exclude outsiders. This is usually accomplished first by the establishment of clear resource and user group boundaries. Clearly defined resource and user group boundaries can reduce conflict and improve user group compliance with rules, reduce uncertainty in resource tenure, and clarify who will pay the cost of collective resource management.On Tanakeke, long-standing village mangrove ownership patterns facilitate quick decision making, and development of support for mangrove rehabilitation and management activities.In Bengkalis and Jaring Halus, formal MOU’s between government and communities, restoring access and control rights to community were needed to pique active community stewardship. Where government has a strong degree of ownership, such as Tiwoho, North Sulawesi, the process of destruction, and rehabilitation success over 20 years was needed to develop a sense of community ownership, although much of the mangrove area is still officially part of the National Park System. 5. Monitoring and Sanctions Monitoring is well known to be an important facilitator of long-term sustainable management of resources. Monitoring methodologies for EMR exist, but are not yet usable by a broad section of the community, rather by trained community members with 44 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
significant experience as well as outsiders (university students, NGO staff). More simple monitoring methodologies for EMR are being developed. With regards to community involvement in mangrove management, there is a need for clear sanctions when an encroacher is caughtand mechanisms for communities to either report to authorities or take direct action. In Tiwoho and Tanakeke Island, illegal cutting of mangroves breaks informal and formal village ordinances and is regulated by a village council. Threre may be other contributing factors to why villagers and outsiders are in obedience with mangrove sanctions, such as abundance of other resources in rural North Sulawesi, or difficulty of access by outsiders to the mangroves on isolate Tanakeke Island and Simeulue Island. In Bengkalis Island, Riau, high level government support for mangrove conservation, coupled with the active cessation of the destructive charcoal industry was afforded by enthusiastic support for mangrove conservation after involvement of community in successful rehabilitation. 6. Social Capital Collective action in Bengkalis Island, was supported by a high degree of social capital, consisting of norms of reciprocity and cooperation, and attitudes of social trust and respect (Brown and Yuniati2007). Because villagers at the Eastern edge of Bengkalis Island reside in a remote rural area where it is difficult to seek and get external support, villagers were obliged to exist with a high degree of autonomy that supported the development of strong social capital, based on trust and reciprocity that facilitated cooperation between villagers. High social capital can promote more effective cooperation in social problem solving. The best example of this was demonstrated in communities coming together over their main livelihood, kurau fishing, toexclude trawlers from operating in their area (Brown, 2007). The acts of women swimming to foreign trawlers with torches in their mouths to burn the invaders and breaking their husbands out of jail, although illegal, go a long way to building social trust within the community.
This
facilitated, in the future, the rapid government decision to make charcoal production on the island illegal, as the government saw the opportunity to appeal to popular consensus, having learned the hard way the costs of supporting a minority business working against general social good. Thus, social capital was a central feature of collective action to claim rights to the mangrove resource (Sudtongkong, C., and E. L. Webb. 2008).
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
45
7. External Assistance Researchers have underlined the important roles that NGOs play in support of community management, especially in advocating villagers to undertake activities that demonstrate their power in the form of group action, transmitting information about community rights to villagers, and encouraging them to demand their rights and coordinate
with
concerned
government
organizations
and
other
stakeholders
(Sudtongkong, C., and E. L. Webb. 2008). In the stories above, a host of national and international NGOs (Yayasan Kelola, MAP-Indonesia, OXFAM-GB, Yayasan Konservasi Laut, Yayasan Laksana Samudera), played various important roles in the empowerment of Bengkalis Island, Tanakeke Island and Tiwoho Village.
These roles include conflict
resolution, access to information and techniques for improved mangrove rehabilitation and
management,
assistance
in
stakeholder
negotiations
especially
preparing
communities to collaborate with government, and access to new markets and economic opportunities. Before assistance from these NGO’s, citizens of Bengkalis Island, Tanakeke Island and Tiwoho Village were generally unaware about the mechanisms of how to interact with the government or gain rights over their mangrove forests, because of reduced information availability to “remote and rural” villages such as theirs. This is still the case in Simeulue Island, where the process of development of adaptive collaborative management is just beginning. Strong relationships between NGO’s and the community occur due to trust, appropriateness of interventions, genuine opportunities for community participation as well as real or perceived social, economic and/or environmental improvements.
V. CONCLUSIONS
This study depicted five communities where mangrove resources were degraded, either by human-made or natural causes, after which communities along with external actors (usually governments but also NGO’s and iNGO’s attempted an oversimplified version of mangrove planting, which unequivocally failed to address root causes of mangrove demise or lack of natural regeneration, and thus failed to meet the expectations of mangrove restoration. Ecological Mangrove Rehabilitation was introduced to each of these communities, trialed, and along with attention to sustainable livelihoods development became the impetuous towards genuine development of improved mangrove management.
46 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
In all
cases, mangrove management was in collaboration with local government agencies, growing in terms of formality and participation by local communities. Where participation was highest, women were involved from the onset in not only mangrove restoration, but its planning. Where ecological success has been achieved, communities have actively and formally protected their mangroves, confident to engage government and other stakeholders to ensure the long-term functioning of a system which is important to them, but was damaged, to some extent by external forces. Where ecological success has not yet been achieved, due to the newness of the intervention, communities still feel confident that mangroves will grow back, and are engaged in continued community organizing and management planning, for the near and longer term future.
In all cases, a subset of community members has gone on to
promote the EMR method in their and other regions, a testament to their confidence in the method and importance of the activity.This can be juxtaposed with planting projects in all regions, where communities became engaged perhaps for the first time positive and altruistic intentions, however, after failure of a planting effort, became in-genuinely interested in future planting projects, engaged more or less for direct economic benefit.This study has regional implications for mangrove rehabilitation and conservation around the region, where 90% of all mangrove planting projects fail, and seldom lead to the development of improved system management.
REFERENCES Brown, Benjamin. (2007). “Resilience Thinking Applied to the Mangroves of Indonesia.”IUCN & Mangrove Action Project - Indonesia; Yogyakarta. Brown, Benjamin and Woro Yuniati. (2007). “Technical Report Summarizing And AnalyzingRestoration And Conservation Initiatives Post-Tsunami In The Indonesia to IUCN –Ecosystems and Livelihoods Group 2 Asia (ELG2)” Djamaluddin, R. (1996) “The Mangrove Flora In Bunaken National Park” Duke,
Norm. (2010). “Biomass Of Mangrove Methodology”James Cook University, Australia.
Forests
–
Long
Plot
Field
English, S., C. Wilkinson, and V. Baker. (1994). “Survey Manual for Tropical Marine Resources;Section 3.4 Transects Line Plot Method.” AIMS, Townsville. Friess, (2011).in press. Are all intertidal wetlands naturally created equal? Bottlenecks, thresholds and knowledge gaps to saltmarsh and mangrove ecosystems.Biological Reviewsdoi:10.1111/j.1469-185X
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
47
Lewis, RR. (2009 a). Ecological mangrove restoration. Intercol Bulletin 3(4):4. Lewis, RRL. (2009 b).“Mangrove Field of Dreams: If We Build It, Will They Come?” SWS Research Brief No. 2009-0005 July 2009. Lewis, RRL. (2009 c). Methods and Criteria for Successful Mangrove Forest Restoration.” In: Gerardo M. E. Perillo, Eric Wolanski, Donald R. Cahoon, Mark M. Brinson, editors,Coastal Wetlands: An Integrated Ecosystem Approach.Elsevier, 2009, p. 787. ISBN: 978-0-444-53103-2. Resilience Alliance, (2007).“Assessing and managing resilience systems:A practitioners workbook.” Version 1.0 June 2007.”
insocial-ecological
Sonjaya, Jajang A. (2011). “Kajian Risilian - Situational and Contextual Field Assessment and Analysis.” Restoring Coastal Livelihoods Project - CIDA, OXFAM GB, MAPIndonesia Sonjaya, Jajang A. (2011). “Skema Kajian Risilian” Restoring Coastal Livelihoods Project CIDA,OXFAM GB, MAP-Indonesia Sudtongkong, C., and E. L. Webb. (2008). “Outcomes Of State- Vs. Community-Based Mangrove Management In Southern Thailand.”Ecology and Society13(2): 27. [online] URL:http://www.ecologyandsociety.org/vol13/iss2/art27/
48 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
PRODUKSI NIRA NIPAH DAN DIVERSIFIKASI PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN BAKU PENGOLAHAN PRODUK NATA FRUTICANS DAN PENGEMBANG ADONAN ROTI
Mody Lempang1 & Albert D. Mangopang1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Nipah (Nypa fruticans Wurmb.) masih sering dianggap sebagai tanaman liar yang tidak bermanfaat. Pada hal dengan pohon nipah yang melimpah kita memiliki sumber bahan untuk obat, makanan dan kerajinan. Namun bagian dari pohon nipah yang sudah dimanfaatkan masyarakat di sekitar hutan nipah sampai saat ini adalah daun untuk atap dan nira untuk minuman. Nira nipah memiliki potensi dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk menghasilkan bergai produk, diantaranya produk nata yang dapat dihasilkan melalui proses fermentasi. Nira nipah juga adalah media yang subur untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti sel-sel khamir dari genus Saccharomyces, sehingga bahan tersebut diduga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pengembang adonan roti atau cake. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian produksi nira dari penyadapan nipah, pemanfaatan nira untuk pengolahan produk nata fruticans dan sebagai bahan pengembang adonan roti. Setiap tangkai tandan buah nipah dapat disadap selama rata-rata 62 hari dengan volume produksi nira rata-rata 60.171 ml/pohon. Produksi nata melalui proses fermentasi nira nipah menghasilkan nata fruticans dengan rendemen rata-rata 86,05%. Penambahan gula pada nira nipah yang masih segar dan rasa manis berpengaruh tidak nyata terhadap rendemen produksi nata fruticans. Efektivitas nira nipah sebagai bahan pengembangan adonan roti lebih rendah daripada menggunakan bahan pengembang ragi instan. Semakin panjang umur nira semakin rendah efektivitasnya terhadap pengembangan adonan dan semakin rendah kualitas roti yang dihasilkan. Kata kunci: Nipah, nira, nata fruticans, adonan roti.
I. PENDAHULUAN Indonesia memiliki berbagai jenis tumbuhan palem yang dapat menghasilkan nira, antara lain kelapa, aren, siwalan (lontar) dan nipah. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki daerah pasang surut yang cukup luas di berbagai pulau. Diperkirakan ada sekitar 7.000.000 hektar rawa pasang surut dan nipah (Nypa fruticans Wurmb.) merupakan salah satu jenis flora yang dapat diusahakan pada daerah pasang surut tersebut. Dari luas tersebut ternyata 10% atau 700.000 hektar di antaranya telah menjadi tempat tumbuh tanaman nipah dengan populasi tidak kurang dari 8.000 pohon/hektar, sehingga jumlah keseluruhannya mencapai 5,6 miliar (Lutony, 1993). Kalau pohon nipah sebanyak itu tidak dimanfaatkan secara optimal tentu merupakan langkah yang kurang bijaksana mengingat nipah termasuk flora yang dapat memberikan manfaat sangat 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
49
berarti
bagi
manusia.
Secara
keseluruhan
potensi
tanaman nipah
tidak
kalah
dibandingkan dengan komoditi lain, yakni merupakan tumbuhan serbaguna. Bagian tanaman nipah yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah daun dan nira. Daun nipah dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat atap, sementara nira nipah dimanfaatkan sebagi minuman segar (freshment bevarage) dan bahan baku pembuatan gula, serta produk-produk fermentasi seperti tuak/saguer, cuka dan alkohol (Lutony, 1993; Sutarno et al. 1995). Produk nira dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu yang tidak mengalami proses fermentasi dan yang mengalami fermentasi (Barlina dan Lay, 1994). Dalam keadaan segar nira rasa manis dan berbau khas nira. Nira nipah merupakan media yang subur untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri
Acetobacter acetic dan sel-sel khamir dari genus Saccharomyces. Khamir berperan dalam fermentasi yang bersifat alkohol dimana produk utama dari metabolismenya adalah etanol.
Saccharomyces cerevisiae adalah jenis khamir yang utama yang berperan dalam produksi minuman beralkohol seperti bir dan anggur dan juga digunakan untuk fermentasi adonan dalam perusahaan roti, sedangkan bakteri asam asetat (Acetobacter acetic) memiliki kemampuan untuk mengoksidasi alkohol dan karbohidrat lainnya menjadi asam asetat dan dipergunakan dalam pabrik cuka (Buckle et al. 1987). Produk lainnya yang dapat dibuat dari nira nipah melalui proses fermentasi adalah nata. Nata berasal dari bahasa spanyol yang bahasa Inggrisnya berarti cream (Afri, 1993). Nata merupakan jenis makanan penyegar atau pencuci mulut (food dissert) yang memegang andil yang cukup berarti untuk kelangsungan fisiologi secara normal (Barlina dan Lay, 1994). Bahan baku yang sudah umum digunakan untuk produksi nata adalah air kelapa, sedangkan penggunaan nira nipah sebagai bahan baku produksi nata belum banyak diketahui. Untuk itu perlu penelitian pemanfaatan nira nipah sebagai bahan baku produksi nata. Pada produksi nata juga secara umum digunakan gula pasir sebanyak 100-150 gram per liter bahan baku, sehingga sangat berpengaruh terhadap tingginya biaya produksi nata. Nira nipah yang masih segar memiliki rasa manis karena kandungan karbohidratnya (gula) cukup tinggi. Akan tetapi dari asalnya nira nipah sudah terkontaminasi mikroorganisme yang menyebabkan terjadinya fermentasi secara alami sehingga kadar gula nira nipah menurun dengan cepat karena berubah menjadi alkohol atau asam asetat. Nira yang telah berada dalam kondisi tersebut bila digunakan sebagai bahan baku produksi nata akan meningkatkan biaya produksi,
dan bila digunakan
sebagai bahan pengembang adonan roti akan berpengaruh terhadap pengembangan dan kualitas roti. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
50 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
volume produksi nira nipah, teknologi produksi nata melalui proses fermentasi nira nipah menggunakan starter dari kultur murni Acetobacter xylinum, dan efektivitas penggunaan nira nipah sebagai bahan pengembang adonan roti. Tulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi teknologi untuk diversifikasi pengolahan produk nira nipah sehingga kegunaan dan nilai ekonomi hasil hutan tersebut meningkat. II. KERAPATAN POHON NIPAH Data kerapatan pohon nipah dari hasil inventarisasi yang dilakukan pada hutan nipah di Kelurahan Palantikang Kecamatan Maros Baru Kabupaten Maros Sulawesi Selatan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kerapatan pohon nipah di kelurahan Palantikang Nomor petak
Jumlah pohon per 0,01 hektar
Kerapatan pohon per hektar
1. 2. 3. 4. 5. Total Rata-rata
68 55 58 65 53 299 59,8
6.800 5.500 5.800 6.500 5.300 29.900 5.980
Sumber: Lempang, dkk. (2011)
Hutan nipah yang dikelola oleh masyarakat di Kelurahan Palantikan Kecamatan Maros Baru Kabupaten Maros Sulawesi Selatan memiliki kerapatan antara 5.300- 6.800 pohon/ha atau rata-rata 5.980 pohon/ha (Tabel 1).
III. PENYADAPAN NIPAH Pembukaan tajuk melalui pemangkasan daun yang tua dilakukan pada tanaman nipah
sebelum disadap
niranya.
Pemangkasan
nipah
tersebut bertujuan
untuk
mendapatkan daun, merangsang pertumbuhan dan perkembangan bunga/buah, dan menyediakan ruang untuk memudahkan gerak dalam melaksanakan penyadapan. Pemangkasan daun nipah dapat mengurangi penutupan tajuk dan memberikan ruang yang dapat dilalui oleh cahaya dengan intensitas yang lebih tinggi di antara tegakan nipah sehingga merangsang pertumbuhan dan perkembangan bunga/buah. Bunga betina dan jantan tanaman nipah terletak pada satu tangkai/tandan sehingga penyerbukan mudah terjadi. Bunga jantan (anthera) bentuknya seperti ekor kucing, sedangkan beberapa bunga betina (pistil) menyatu dalam satu karangan berbentuk bulat dengan ujung runcing, sehingga pada satu tangkai bunga akan terbentuk satu tandan buah dengan bentuk bulat yang berkembang menjadi besar dengan ukuran sebesar bola. Setiap tandan “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
51
buah disusun oleh rata-rata 69 buah (58-80), yang terdiri dari buah bernas (mengandung biji) rata-rata 49 (33-57) dan buah tidak bernas rata-rata 20 (11-29). Setiap buah bernas hanya mengandung satu biji. Buah nipah yang telah besar, yaitu sekitar 4 bulan sejak terbentuknya bunga mulai dipersiapkan dan dikondisikan dengan cara mengoyang-goyang tandan buah tersebut ke arah kiri dan kanan dan ditarik-tarik sambil dirundukkan agar tandannya melengkung berbentuk busur. Tangkai tandan buah nipah memiliki panjang rata-rata 119 cm (78-148 cm) dengan diameter pangkal rata-rata 43 mm (37-51 mm) dan diameter ujung rata-rata 28 mm (26-33 mm). Perlakuan menggoyang-goyang dan menarik-narik tandan buah nipah yang akan disadap dilakukan sebanyak 6-7 kali secara periodik, yaitu sekali dalam tiga hari (selang waktu 2 hari) selama 18-21 hari. Setelah perlakuan tersebut, pelepah tandan buah nipah selanjutnya dibersihkan dan diuji untuk mengetahui kematangannya untuk disadap. Pengujian kematangan tandan buah yang siap disadap niranya dilakukan dengan dua cara, pertama dengan cara membuat lubang pada salah satu buah pada tandan buah untuk melihat biji, dan kedua dengan cara membuat teresan kecil pada tangkai tandan dekat buah. Jika biji dari buah nipah sudah mulai mengeras atau bila hasil teresan tangkai tandan langsung mengeluarkan nira, maka itu berarti tandan buah sudah dapat dipotong dan penyadapan nira bisa dilakukan. Pada tangkai tandan nipah yang telah dipotong tandan buahnya dibiarkan tertayang dan meneteskan nira selama 1-2 hari sebelum bumbung penampung nira dipasang. Bumbung penampung yang digunakan dalam penyadapan nira nipah terbuat dari satu ruas bambu dengan kapasitas sekitar 1,5
liter. Pada dekat ujung bumbung bambu tersebut dibuat lubang
tempat memasukkan ujung tangkai tandan yang mengeluarkan nira, dan lubang bumbung tersebut juga sekaligus menjadi bagian pengait sehingga bumbung dapat menggantung pada tangkai tandan yang disadap (Gambar 2).
Gambar 1. Tandan buah nipah yang sudah siap disadap niranya.
52 |
Gambar 2. Bumbung penampung nira yang terbuat dari bambu.
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
IV. PRODUKSI NIRA NIPAH Pengumpulan nira nipah yang tertampung di dalam bumbung dilakukan sebanyak 2 kali sehari (24 jam). Nira yang tertampung dalam bumbung pada siang hari dikumpulkan pada sore hari (pukul 16.30), sedangkan nira yang tertampung dalam bumbung pada malam hari dikumpulkan pada pagi hari (pukul 06.30). Pada setiap kali selesai pengumpulan nira, luka sadap diperbaharui dengan cara menderes/mengiris ujung tangkai tandan dengan ukuran yang tipis (tebal irisan sekitar 2 mm) sebelum bumbung penampung dipasang kembali. Volume produksi nira dari penyadapan pohon nipah yang dilaksanakan di Kelurahan Pallantikang Kecamatan Maros Baru Kabupaten Maros Sulawesi Selatan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Volume produksi nira dari pohon nipah Nomor pohon sampel
Waktu sadap (hari)
Produksi nira pada setiap penyadapan (ml/sadap) Pagi hari Sore hari
Produksi nira harian (ml/hari)
Produksi nira setiap pohon (ml/pohon)
1.
17
375
229
604
10.268
2.
62
564
336
900
55.800
3.
55
541
332
873
48.015
4.
74
523
321
844
62.456
5.
81
496
346
842
68.202
6.
37
506
281
787
29.119
7.
63
501
322
823
51.849
8.
45
502
243
745
33.525
9.
107
995
608
1.603
171.521
10. Total Rata-rata
81 622 62
535 5.538 554
341 3.359 336
876 8.897 890
70.956 601.711 60.171
Sumber: Lempang, dkk. (2011)
Pada Tabel 2 dapat dijelaskan bahwa lama penyadapan nira dari pohon nipah rata-rata 62 hari (17-107 hari) dengan volume produksi nira rata-rata 60.171 ml/pohon (10.268-171.521 ml/pohon). Hasil pengukuran volume produksi nira nipah pada Tabel 2 di atas juga menunjukkan bahwa volume produksi nira nipah pada siang hari atau nira yang dipungut pada sore hari (rata-rata 336 ml/sadap) lebih rendah jika dibandingkan dengan volume produksi nira pada malam hari atau nira dipungut pada pagi hari (ratarata 554 ml/sadap). Ini disebabkan karena penampungan nira dalam bumbung pada malam hari berlangsung selama 14 jam (dari jam 16.30 sampai 06.30) sedangkan penampungan nira pada siang hari berlangsung hanya selama 10 jam (dari jam 06.30 sampai 16.30).
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
53
V. PRODUKSI NATA FRUTICANS Penelitian pengolahan nira nipah untuk memproduksi nata siap konsumsi dilakukan dalam empat tahapan proses sebagai berikut : A. Pembuatan Biakan Murni Acetobacter xylinum Larutan induk (mother liquor) untuk pembuatan starter produksi nata nirah nipah dibuat dengan menggunakan biakan murni bakteri (Acetobacter xylinum) yang telah tumbuh dalam substrat larutan nira aren. Larutan nira nipah yang diinokulasi dengan biakan murni bakteri Acetobacter xylinum telah mulai memproduksi nata dalam bentuk lapisan tipis yang dapat dilihat pada permukaan larutan nira nipah dalam botol setelah 3 hari diinkubasi. Biakan murni bakteri Acetobacter xylinum pada larutan nira nipah dalam botol inkubasi dapat berkembang dan memperlihatkan keaktifannya mengubah gula dalam media tumbuhnya menjadi selulosa yang membentuk lapisan nata. Setelah diinkubasi selama 7 hari, lapisan nata yang terbentuk pada permukaan larutan nira nipah dalam botol telah mencapai tebal 1,0 cm dan ini mengindikasikan bahwa larutan tersebut telah siap digunakan sebagai larutan induk untuk memproduksi starter. B. Produksi Starter Larutan nira nipah dalam botol yang diinokulasi dengan bakteri (Acetobacter
xylinum) menggunakan larutan induk (mother liqour) setelah diinkubasi selama 7 hari membentuk lapisan nata dengan tebal 1,0 cm pada permukaan larutan nira nipah dalam botol. Gejala tersebut mengindikasikan bahwa larutan tersebut telah siap digunakan sebagai starter untuk memproduksi nata lembaran pada baki fermentasi. C. Produksi Nata Lembaran Nata adalah selulosa sintetik yang terbentuk dari proses fermentasi yang bersifat anabolik pada media cair, untuk menghasilkan senyawa kompleks selulosa dari pembentukan senyawa sederhana (gula). Acetobacter xylinum sangat penting dalam pembentukan nata karena bakteri ini dapat memecah komponen gula dan mampu membentuk polisakarida yang dikenal dengan ekstracelluler selulosa. Bakteri nata dapat mengubah kurang lebih 90% gula menjadi selulosa. Selulosa yang dihasilkan bersamasama dengan polysakarida berlendir membentuk suatu jalinan seperti tekstil. Mengingat bahwa nata sebetulnya merupakan pelikel dari bakteri Acetobacter
xylinum, maka ketebalan nata yang terbentuk dari proses pembuatan nata tergantung pada aktivitas bakteri tersebut. Seperti halnya bakteri lain, aktivitas Acetobacter xylinum
54 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
dipengaruhi oleh kondisi fermentasi, yakni meliputi kandungan nutrien, jumlah dan umur bakteri. Umur biakan starter pada pembuatan nata sangat memengaruhi rendemen ketebalan nata. Dalam penelitian ini starter yang digunakan yakni yang telah berumur 7 hari, dimana pada saat itu laju pembentukan pelikel di atas permukaan media cair dalam botol inkubasi sangat cepat yang menunjukkan jumlah dan aktivitas bakteri sangat tinggi. Dari hasil percobaan pengolahan nata fruticans dengan menggunakan bahan baku nira nipah segar dengan aplikasi perlakuan penambahan gula pasir sebagai sumber energi bagi bakteri Acetabacter xylinum diperoleh rendemen produksi (Lempang, dkk. 2011) seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata rendemen produksi nata fruticans dari nira nipah (%) Ulangan
Perlakuan Nira tanpa penambahan gula (P0) Setiap liter nira ditambahkan 50 gram gula (P1) Setiap liter nira ditambahkan 75 gram gula (P2) Setiap liter nira ditambahkan 100 gram gula (P3) Total Rata-rata
1
2
3
4
5
76,52 89,17 87,43 84,83
85,30 86,52 88,9 87,6
84,96 87,84 90,97 86,84
85,35 85,34 87,00 85,61
86,56 87,64 82,58 84,07
Jumlah 418,69 436,50 436,89 428,96 1.721,04
Ratarata 83,74 87,30 87,38 85,79 86,05
Sumber: Lempang, dkk. (2011)
Tabel 3 menunjukkan bahwa fermentasi nira nipah pada setiap perlakuan menghasilkan nata dengan rendemen produksi rata-rata 86,05% (83,74%-87,38%). Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh penambahan gula pada nira nipah terhadap rendemen produksi nata maka dilakukan analisis keragaman (Mattjik dan Sumertajaya, 2006) yang sidik ragamnya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Sidik ragam rendemen produksi nata fruticans dari nira nipah Sumber keragaman Perlakuan Galat Total Keterangan :
tn
Derajat bebas 3 16 19
Jumlah kuadrat 43,6899 119,9079 163,5978
Kuadrat tengah 14,5633 7,4942
F. hit. 1,94tn
= Berbeda tidak nyata
Hasil sidik ragam (Tabel 4) menunjukkan bahwa penambahan gula pada nira nipah yang masih segar dan rasa manis berpengaruh tidak nyata terhadap rendemen produksi nata. Hal ini berarti bahwa dalam proses produksi nata yang menggunakan bahan baku nira nipah yang masih segar dan rasa manis tidak diperlukan penambahan gula, sehingga biaya produksi bisa lebih efisien. D. Produksi Nata Kemasan Nata lembaran yang baru dipanen mengandung asam yang tinggi dan berwarna kekuningan, sehingga untuk memutihkan dan mengurangi keasamannya, maka nata lembaran tersebut direndam di dalam air selama tiga hari dengan cara mengganti air “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
55
rendaman setiap hari. Setelah itu nata lembaran kemudian dipotong menjadi ukuran lebih kecil (sekitar 1x1x1 cm) sehingga berbentuk daduk. Potongan-potongan nata yang berukuran kecil tersebut ditiriskan selama 3 jam dan dicuci dengan air bersih, kemudian direbus sampai mendidih dan selanjutnya ditiriskan lagi selama 3 jam. Irisan nata yang sudah direbus dan ditiriskan selanjutnya dicuci dan dibuat adonan. Pembuatan adonan nata dilakukan dengan mencampurkan bahan-bahan dengan komposisi sesuai Tabel 5. Tabel 5. Komposisi bahan untuk adonan nata fruticans Bahan Nata Air Gula Garam Asam sitrat Natrium benzoat (Sodium benzoat) Essence (Vanilla)
Satuan
Volume atau berat
kg lt kg gr gr gr gr
10 10 4 50 20 10 125
Sumber: Lempang, dkk. (2011)
Adonan nata kemudian direbus sampai mendidih dan selanjutnya dikemas. Pada pengemasan yang menggunakan wadah yang terbuat dari bahan kaca, misalnya stoples, maka adonan nata dapat dikemas dalam keadaan panas, dan untuk pengemasan yang menggunakan wadah cup plastik, adonan nata didinginkan lebih dahulu sebelum dimasukkan kedalam cup (Lempang, 2006). Cup yang sudah berisi adonan kemudian ditutup dengan seal menggunakan alat pres Sealer machine. Nata yang sudah dikemas dalam cup selanjutnya dipanaskan (pasteurisasi) dengan cara merebus di dalam dandang/panci. Perebusan dilakukan dengan menggunakan panas yang agak rendah (kurang dari 100 0C) agar seal penutup kemasan tidak terbuka. Setelah dipanaskan sekitar 15 menit, kemasan nata dalam cup plastik dikeluarkan dari panci perebus dan dianginkan hingga dingin dan bagian luar kemasan mengering.
Gambar 3. Hasil panen nata fruticans dalam bentuk lembaran.
56 |
Gambar 4. Produk nata fruticans dalam kemasan cup plastik.
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Secara fisik nata dari nira nipah tidak berbeda baik dengan nata pinnata yang diolah dari nira aren maupun nata de coco yang diolah dari air kelapa. Nata nipah bertekstur lembut, berwarna putih, kenyal serta rasa tawar. Produk nata merupakan bahan makanan yang banyak digunakan sebagai pencampur es teler, cokelat buah, sirup,
jelly dan sebagainya. Nilai gisi nata rendah, kandungan terbesarnya adalah air sehingga produk makanan ini banyak digunakan sebagai sumber makanan rendah energi untuk keperluan diet dan juga mengadung serat pendek yang bermanfaat untuk meperlancar proses pencernaan (Lempang, 2006).
VI. PENGEMBANGAN ADONAN ROTI Pengembangan adonan roti yang menggunakan bahan pengembang ragi instan dan nira nipah setelah difermentasi selama satu jam disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat dijelaskan bahwa pengembangan adonan roti yang menggunakan bahan pengembang nira nipah pada umumnya lebih rendah daripada yang menggunakan ragi instan. Tabel 6. Pengembangan adonan roti (cm) yang menggunakan bahan pengembang ragii instan dan nira nipah setelah difermentasi selama satu jam Nomor sampel
Bahan pengembang Nira segar Nira umur 5 jam 0,8 0,7 0,9 0,6 0,9 0,9 1,1 0,8 0,7 0,9 1,1 0,7 1,0 0,7 0,9 0,9 0,7 0,7 0,8 0,6 8,9 7,5 0,9 0,8
Ragi instan 1,8 1,9 1,8 2,0 1,9 1,8 2,2 2,1 1,9 2,0 19,4 1,9
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Jumlah Rata-rata
Nira umur 10 jam 0,4 0,6 0,4 0,6 0,8 0,4 0,6 0,7 0,3 0,7 5,5 0,6
Sumber: Lempang, dkk. (2011)
Sidik ragam (Tabel 7) menunjukkan bahwa bahan pengembang berpengaruh sangat nyata terhadap pengembangan adonan roti. Tabel 7. Sidik ragam pengembangan adonan roti Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F. hit.
Perlakuan
3
11,5647
3,8549
191,92**
Galat Total
36 39
0,7231 12,2878
0,0201
Keterangan : ** = Berbeda sangat nyata
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
57
Selanjutnya hasil uji duncan (Tabel 8) menunjukkan bahwa ragi instan memberikan pengembangan adonan yang paling tinggi (1,9 cm) dan berbeda nyata dengan pengembangan adonan baik yang menggunakan nira segar, nira umur 5 jam maupun nira umur 10 jam. Hal ini berarti bahwa efektivitas nira nipah sebagai bahan pengembang adonan roti lebih rendah dibandingkan dengan ragi instan. Sementara itu, umur
nira
nipah
memberikan
pengaruh
yang
berbeda
tidak
nyata
terhadap
pengembangan adonan roti. Tabel 8. Uji Duncan pengembangan adonan roti Bahan pengembang Ragi instan Nira segar Nira umur 5 jam Nira umur 10 jam
Rataan pengembangan adonan roti (cm) 1,9 0,9 0,8 0,6
Klasifikasi A B B B
Keterangan : Nilai dalam tabel yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata
Adonan roti yang sudah mengembang dan dibakar dalam oven pada suhu 200220 0C selama kurang lebih 15 menit menghasilkan roti dengan sifat-sifat seperti disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Sifat roti yang menggunakan pengembang ragi instan dan nira nipah Sifat Tekstur permukaan Kekerasan Keasaman Aroma
Ragi instant Halus Lunak Rendah Mentega
Bahan Nira segar Agak kasar Agak lunak Rendah Nira dan mentega
pengembang Nira umur 5 jam Kasar Keras Sedang Nira dan mentega
Nira umur 10 jam Sangat kasar Keras Tinggi Nira dan mentega
Sumber: Lempang, dkk. (2011)
Roti yang dihasilkan dari adonan yang menggunakan bahan pengembang nira nipah secara umum memiliki sifat-sifat lebih buruk atau kualitas lebih rendah daripada yang menggunakan ragi instan/ragi komersil (Tabel 9).
Gambar 5. Adonan roti yang menggunakan bahan pengembang ragi instan (kanan) dan nira nipah (kiri).
58 |
Gambar 6. Hasil roti yang menggunakan bahan pengembang ragi instan (kanan) dan nira nipah (kiri).
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Fermentasi merupakan proses alami yang tidak dapat dielakkan dari nira nipah segar yang manis karena pada bahan tersebut tumbuh berbagai jenis mikroorganisme seperti bakteri Acetobacter acetic dan sel-sel ragi Saccharomyces tuac (Sunanto, 1993). Jenis ragi (khamir) dari genus Saccharomyses, misalnya Saccharomyses serivisae dikenal sebagai mikroorganisme yang dapat memfermentasi gula (glukosa) dan mengubahnya menjadi alkohol dan CO2 (Budiyanto, 2004), sehingga semakin lama nira disimpan (semakin
panjang
umur
nira)
kadar
alkoholnya
semakin
bertambah.
Dengan
meningkatnya kadar alkohol dalam nira nipah akan menyebabkan bahan tersebut menjadi asam dan pada kondisi yang cukup asam bakteri Acetobacter acetic akan lebih berperan dan bakteri ini akan mensintesa nira menjadi asam cuka sehingga nira nipah semakin asam. Oleh karena itu, semakin panjang umur nira nipah yang digunakan sebagai bahan pengembang semakin rendah efektivitasnya untuk mengembangkan adonan dan semakin rendah kualitas roti yang dihasilkan.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penyadapan setiap tandan buah pohon nipah dapat dilakukan selama rata-rata 62 hari (17-107 hari) dengan volume produksi nira rata-rata 60.171 ml/pohon (10.268171.521 ml/pohon). Nira nipah dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk produksi
nata
fruticans dengan rendemen produksi rata-rata 86,05%
(76,52%-90,97%).
Penambahan gula pada nira nipah yang masih segar dan rasa manis berpengaruh tidak nyata terhadap rendemen produksi nata fruticans. Efektivitas nira nipah sebagai bahan pengembangan adonan roti lebih rendah daripada menggunakan bahan pengembang ragi instan.
Semakin
panjang
umur
nira
semakin
rendah
efektivitasnya
terhadap
pengembangan adonan dan semakin rendah kualitas roti yang dihasilkan. B. Saran Pada tegakan nipah yang akan disadap niranya, pemangkasan daun perlu dilakukan untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan bunga/buah, menyediakan ruang yang memudahkan gerak dalam melaksanakan penyadapan dan menghasilkan daun nipah. Untuk efisiensi produksi nata fruticans, maka penambahan gula pada bahan baku tidak perlu dilakukan apabila nira yang digunakan masih segar dan rasa manis. Efektivitas nira nipah sebagai bahan pengembang adonan roti rendah, sehingga bahan tersebut mungkin hanya sesuai digunakan dalam pembuatan adonan cake yang membutuhkan hanya sedikit pengembangan. “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
59
DAFTAR PUSTAKA Afri, A. S. (1993). Kelapa (Kajian Sosial-Ekonomi). Yogyakarta: Aditya Media. Barlina, R., & Lay, A. 1994. Pengolahan nira kelapa untuk produk fermentasi nata de coco, alkohol dan asam cuka. Jurnal Penelitian Kelapa, 7(2), 20-32. Buckle, K.A., Edwrds, R.A., Fleet, G.H., & Wootton M. (1987). Ilmu Pangan. Jakarta: UIPress. Budiyanto, M.A.K. (2004). Mikrobiologi Terapan (Edisi 3). Malang: UMM Pess. Lempang, M. (2006). Rendemen dan Kandungan Nutrisi Nata Pinnata Yang Diolah dari Nira Aren. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 24(2), 133-144. Lempang, M., Tikupadang, H., Aksar, M., Palalunan dan Hajar, 2011. Bioteknologi pengolahan nira aren untuk produksi nata dan sebagai pengembang adonan roti. (Laporan Hasil Penelitian Tahun 2010). Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar. (tidak dipublikasikan) Lutony, T.L. (1993). Tanaman Sumber Pemanis. Jakarta: P.T Penebar Swadaya. Mattjik, A.A., & Sumertajaya, M. (2006). Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. Sunanto, H. (1993). Aren (Budidaya dan Multigunanya). Yogyakarta: Kanisius. Sutarno, H., Nasution, R.E., & Sedidjoprapto, E.I. (1995). Pohon Kehidupan. Bogor: Badan Pengelola Gedung Manggala Wanabakti Jakarta - PROSEA INDONESIA.
60 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
PENGGUNAAN KEANEKARAGAMAN MANGROVE DALAM REHABILITASI SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN JENIS-JENIS MANGROVE
Halidah1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Ekosistem mangrove mempunyai peran penting baik dari sisi ekologis, ekonomi maupun sosial. Potensi luas hutan mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan terus berkurang, terutama tergusur oleh areal tambak dan permukiman. Dengan panjang pantai lebih kurang 1.000 kilometer dari barat ke timur, luas hutan mangrove di Sulawesi Selatan hanya tersisa sekitar 30.000 hektare. Data dari Dinas Kehutanan Sulsel menyebutkan bahwa hingga 2009 sudah merehabilitasi sekitar 5.920 ha lahan melalui program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), namun data dari Bapedalda Sulsel melansir bahwa tingkat keberhasilan rehabilitasi tersebut untuk menekan laju deforestasi hutan mangrove hanya sekitar 10 persen. Itupun hanya untuk jenis Rhizophora mucronata yang memiliki propagule yang besar dan panjang. Penggunaan jenis yang hanya satu jenis saja perlu mendapat perhatian. Hal ini disebabkan karena setiap areal mangrove yang akan direhabilitasi mempunyai kondisi habitat yang berbeda. Dikhawatirkan juga bahwa penggunaan bibit yang satu jenis saja akan mempercepat musnahnya jenis yang lain. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa di pesisir pantai Sulawesi Selatan pernah ditemukan 5 – 30 jenis mangrove. Avicennia spp, Sonneratia spp, granatum ceriops tagal dan xilocarpus granatum merupakan jenis yang dapat dipilih dalam rehabilitasi. Kata kunci : Keanekaragaman, pelestarian, jenis, Avicennia spp, Sonneratia spp.
I. PENDAHULUAN Kawasan mangrove adalah suatu ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Ekosistem mangrove mempunyai peran penting baik dari sisi ekologis, ekonomi maupun sosial. Secara biologis hutan mangrove menjadi tempat asuhan (nursery ground), tempat berlindung, tempat mencari makan (feeding ground) dan tempat berpijah (spawning ground) beberapa jenis ikan dan udang. Secara ekonomi hutan mangrove menjadi sumber bahan bakar, bahan bangunan, serat, bahan mentah kertas alkohol, obat-obatan dan produk komersil lainnya. Secara fisik hutan mangrove menjadi pelindung garis pantai dari proses abrasi yang disebabkan oleh gelombang air laut dan juga menjaga daerah pantai dari intrusi air laut (Arif, 2003). 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
61
Potensi luas hutan mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan terus berkurang, terutama tergusur oleh areal tambak dan permukiman. Dengan panjang pantai lebih kurang 1.000 kilometer dari barat ke timur, luas hutan mangrove di Sulawesi Selatan hanya tersisa sekitar 30.000 hektare. Data di Sulawesi Selatan
menunjukkan bahwa
dari hutan mangrove seluas lebih kurang 111.000 ha, 71.000 ha di antaranya dikategorikan
sudah
rusak (berdasarkan hasil interpretasi Potret Udara UNHAS 1989 dalam
BRLKT Wil. IX. 1990). Upaya rehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman jenis mangrove sudah mulai sejak tahun 1990 hingga sekarang telah mencapai areal seluas 6.789 ha, namun tingkat keberhasilannya sangat rendah, yaitu hanya sekitar 24,3 % atau sekitar 1.639 ha (BRLKT Jeneberang Wallanae, 1999). Data dari Dinas Kehutanan Sulsel menyebutkan bahwa hingga 2009 sudah merehabilitasi sekitar 5.920 ha lahan melalui program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), namun data dari Bapedalda Sulsel melansir bahwa tingkat keberhasilan rehabilitasi tersebut untuk menekan laju deforestasi
hutan
mangrove
hanya
sekitar
10
persen
(http://www.kmb-
sulsel.net/index.php?). Itupun hanya untuk jenis Rhizophora mucronata yang memiliki propagule yang besar dan panjang. Menurut Syukur (2006), untuk mencapai luas hutan mangrove yang ideal, wilayah Sulawesi Selatan memerlukan 50.000 ha hutan mangrove sehingga setiap tahun dinas kehutanan provinsi selalu melakukan penanaman mangrove. Saat ini Kegiatan rehabilitasi kawasan hutan mangrove maupun pesisir pantai dilaksanakan oleh banyak pihak di berbagai tempat. Hal ini perlu mendapat dukungan dan apresiasi dari semua pihak, mengingat pentingnya keberadaan hutan mangrove baik berupa pengamanan lahan yang perlu direhabilitasi maupun jenis-jenis yang dapat digunakan. Saat ini juga di setiap penanaman pada kegiatan rehabilitasi hutan mangrove selalu menggunakan jenis Rhizophora mucronata maupun Rhizophora apiculata. Kegiatan rehabilitasi ini patut disambut baik, akan tetapi penggunaan yang hanya satu jenis saja perlu mendapat perhatian. Hal ini disebabkan karena setiap areal mangrove yang akan direhabilitasi mempunyai kondisi habitat yang berbeda. Dihawatirkan juga bahwa penggunaan bibit yang satu jenis saja akan meminggirkan jenis yang lain. Bahkan jika melihat tingkat pengrusakan hutan mangrove alam, maka kegiatan penanaman yang satu jenis saja akan mempercepat musnahnya jenis – jenis yang lain. Di Delta Brantas telah dilaporkan hilangnya 4 jenis bakau sementara IUCN telah memasukkan Sonneratia,
Bruguiera hainesia griffithii, Ceriops tagal dan Xylocarpus moluccensi sebagai jenis-jenis yang
kritis
dengan
status
kelangkaan
terkikis
(LR)
(www.greenersmag2.com dan www.scrib.com ).
62 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
sampai
kritis
(CR)
Tulisan
ini
diharapkan
dapat
memberikan
informasi
tentang
pentingnya
penggunaan keanekaragaman mangrove dalam kegiatan rehabilitasi kawasan hutan mangrove demi kelestarian jenis dan hutan mangrove serta pelestarian manfaat hutan mangrove.
II. KONDISI HUTAN MANGROVE DI SULAWESI SELATAN Hutan mangrove di Sulawesi Selatan terdapat hampir di seluruh kabupaten kota dengan kondisi dan luas yang beragam. Hutan mangrove dapat berada di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Berikut disajikan kondisi hutan dan luas hutan mangrove baik yang terdapat di dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan. Tabel 1. Luas dan kondisi hutan mangrove di Sulawesi Selatan Tingkat kerusakan (ha) Kawasan hutan Non kawasan hutan No.
Lokasi
Tidak rusak
Rusak Berat
Rusak
1.
Makassar
57,0
2.
Maros
285,0
3.
Pangkep
352,0
4.
Barru
515,0
5.
Pare-pare
6.
Wajo
1.001,0
7.
Bone
1.670,0
8.
Sinjai
60,0
9.
Bulukumba
80,0
35,0
237,0
2,0
43,0
2,0
131,0
Tidak Rusak
Rusak
Rusak Berat
Luas Kawasan hutan (ha)
Luas Non Kawasan Hutan (ha)
Luas Total (ha)
43,0
-
-
-
231,0
-
231,0
448,0
-
-
-
733,0
-
733,0
72,0
806,0
-
-
-
1.230,0
-
1.230,0
78,0
526,0
-
-
-
1.119,0
-
1.119,-
20,0
-
-
-
22,0
-
22,0
2.991,0
-
-
-
5.933,0
-
5.933,0
-
6.697,0
-
-
-
8.367,0
-
8.367,0
-
1.075,0
-
-
1.335,0
-
1.335,0
-
-
-
352,0
-
352,0
13,0
-
-
-
58,0
-
58,0
-
1.941,0
-
10.
Bantaeng
11.
Jeneponto
129,0
-
848,0
-
-
-
977,0
-
977,0
12.
Takalar
820,0
1.316,0
3.469,,0
-
-
-
5.605,0
-
5.605,0
13.
Gowa
-
-
-
-
-
-
14.
Selayar
-
-
-
220,0
-
220,0
15.
Palopo
-
-
-
-
-
-
16.
Luwu
2.544,0
6.284,0
1.329,0
-
-
-
10.147,0
-
10.147,0
17.
L. Utara
7.834,0
6.056,0
2.684,0
-
-
-
16.538,0
-
16.538,0
18.
L. Timur
8.314,0
7.056,0
3.552,0
-
-
-
18.522,0
-
18.522,0
19.
Pinrang Jumlah
-
65,0
-
-
-
155,0
-
-
-
23.930
23.012
24.893
22,0
2.362
1.661
685,0
2.832,0
1.819
71.389,0
4.045,0
4.045,0
5.336,0
76.725,0
Sumber : Mangrove Information Center, 2007.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
63
III. HABITAT MANGROVE Mangrove tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di daerah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Kondisi pertama yang harus terdapat pada daerah bakau adalah gerakan air yang minimal. Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang nyata. Gerakan air yang lambat menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan mengumpul di dasar. Tanah hutan bakau ditandai dengan kadar oksigen yang rendah dan kadar garam yang tinggi (Nybakken, 1988).
Mangrove akan sulit
tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dan arus pasang surut yang kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya. (Dahuri, et al. 1996). Mangrove adalah tumbuhan yang tumbuh pada tempat yang khas yang sewaktu-waktu tergenang air pasang, berkembang pada lahan yang anaerob serta salinitas yang berubah-ubah. (Hogarth, 1999; Supriharyono, 2000). Meskipun mangrove dapat berkembang pada kondisi lingkungan yang buruk, akan tetapi setiap jenis mangrove mempunyai kemampuan yang terbatas dalam mempertahankan diri dari kondisi fisik – kimia lingkungan yang tidak sesuai. Dalam pertumbuhan mangrove ada empat faktor utama yang menentukan penyebaran mangrove yakni (a) frekwensi arus pasang surut, (b) salinitas tanah, (c) suhu air, (d) air tanah (Supriharyono, 2000). Selanjutnya (Dahuri, 1996; Hogarth, 1999; Mann, 1982) mengemukakan bahwa untuk pertumbuhan mangrove dibutuhkan pasang surut, gerakan gelombang yang minimal dan endapan lumpur. Secara garis besar pertumbuhan mangrove sangat di tentukan oleh beberapa faktror lingkungan tempat tumbuhnya yang bisa dibedakan sebagai berikut : A. Fisiografi Pantai Topografi
pantai
merupakan
faktor
yang
penting
yang
memengaruhi
karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas hutan mangrove. Karakteristik pantai misalnya area, panjang dan lokasi berhubungan dengan penggenangan pasang (tidal inundation), sedimentasi dan karakteristik sedimen. Semakin datar suatu pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar hutan mangrove yang bisa tumbuh. Halidah (2010 b) melaporkan bahwa 64 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
tinggi genangan berpengaruh nyata terhadap persen tumbuh Rhizophora spp. B.
Substrat Tanah tempat tumbuh mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal
dari sungai, pantai atau erosi tanah yang terbawa dari dataran tinggi sepanjang sungai atau kanal. Sebagian tanah berasal dari hasil akumulasi dan sedimentasi bahan-bahan koloid dan partikel. Sedimen yang berakumulasi di suatu daerah mangrove dengan lainnya memiliki karakteristik yang berbeda tergantung sifat dasarnya. Sedimen yang berasal dari sungai berupa tanah berlumpur, sedangkan sedimen pantai berupa pasir. Degradasi dari bahan-bahan organik yang berakumulasi sepanjang waktu juga merupakan bagian dari tanah mangrove. Halidah (2010 a) melaporkan bahwa ada perbedaan kerapatan, pertumbuhan tinggi batang, tinggi akar dan jumlah akar pada mangrove yang tumbuh pada substrat yang berbeda. Halidah (2006) juga melaporkan bahwa Rhizophora mucronata lamk di di Tongke-tongke tumbuh baik pada substrat yang di dominasi oleh partikel debu pada permukaan (0 – 20) cm dan pasir pada kedalaman (20-40) cm, Avicennia marina (Forsk) Vierh oleh partikel debu dan Sonneratia alba oleh partikel pasir. C. Cahaya Intensitas cahaya, kualitas dan lama penyinaran merupakan faktor penting bagi tumbuhan. Umumnya tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat yang ideal bagi mangrove. Pada saat masih kecil (semai tanaman mangrove membutuhkan naungan. Hasil penelitian Komar et al (1992) dalam Anonimous (2003) menyatakan bahwa Intensitas cahaya 50 % dapat meningkatkan daya tumbuh bibit R.mucronata dan R.
Apiculata. Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit Bruguiera gymnorrhiza serta tinggi bibit R. Mucronata, R. Apiculata dan B. Gymnorrhiza. Dilaporkan juga oleh
Aksornkoe (1975) dalam Anonimous (2003)
bahwa Pertumbuhan R. Mucronata, R.
Apiculata dan Bruguiera spp. dengan naungan mempunyai laju pertumbuhan 20 cm ; 38 cm dan 39 cm/tahun sedangkan jika tanpa naungan pertumbuhan tahunannya adalah sebesar 66 cm; 67 cm dan 60 cm. Selain itu cahaya juga berpengaruh terhadap pembungaan dan germinasi dari spesies mangrove.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
65
D. Curah Hujan Curah hujan berperan penting dalam mengatur perkembangan dan distribusi tumbuhan. Jumlah, lama dan distribusi curah hujan adalah unsur-unsur dari curah hujan yang akan berpengaruh terhadap suhu air, salinitas tanah dan air serta air tanah yang berpengaruh terhadap ketahanan spesies. Anonimous (2003) mengatakan bahwa berdasarkan klassifikasi iklim Schimd dan Fergusson (1951) Hutan mangrove di Indonesia berkembang pada daerah dengan iklim A,B,C dan D atau tumbuh baik pada daerah dengan jumlah curah hujan rata-rata 1.500 – 3.000 mm/tahun. E.
Salinitas Salinitas air dan tanah adalah merupakan unsur yang penting dalam pertumbuhan,
daya tahan dan zonasi mangrove. Tumbuhan mangrove, tumbuh dengan baik pada salinitas 10 – 30 ppt (Supriharyono, 2000). Jika salinitas air sangat tinggi (hypersalinity) maka mangrove tumbuh kerdil. Di Kabupaten Sinjai di desa Samatarring, Tongke-tongke, Lappa dan Panaikang mangrove tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas 10,1 – 13,3 ‰ (Halidah, 2009). Saru (2001) juga melaporkan bahwa Rhizophora sp di Malili tumbuh pada kisaran salinitas 2 – 10 ‰ sedangkan Hilmi dkk (2008) melaporkan hasil penelitiannya bahwa salinitas mangrove di kawasan sagara anakan adalah 13,74 ppt. Mangrove merupakan tanaman yang bersifat salt tolerant, oleh karena mangrove dapat tumbuh dengan baik pada air tawar. F.
Oksigen Terlarut Oksigen terlarut adalah merupakan hasil dari fotosintesis yang dilakukan oleh
tumbuhan plantonik di dalam perairan. Tanpa adanya proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan planton ini, maka tidak ada pula kehidupan di dalam ekosistem perairan mangrove. Oksigen terlarut berperan penting bagi eksistensi flora maupun fauna mangrove, karena digunakan untuk proses respirasi dan dekomposisi serasah karena bakteri dan fungi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk proses kehidupannya (Aninomous, 2003 ). Makhluk hidup yang tinggal di dalam air mempertahankan hidupnya memerlukan oksigen terlarut. Jumlah oksigen terlarut dalam perairan bakau secara umum akan lebih rendah dari laut yang terbuka (Peter,K.L. dan N. Sivasothi. 2001). Halidah (2009) melaporkan hasil penelitian oksigen terlarut di hutan mangrove Kabupaten Sinjai yang berkisar 3,4 – 7,9 mg/liter mempunyai pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan mangrove.
66 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
G. Pasang Surut Durasi pasang surut mempunyai pengaruh besar pada perubahan salinitas di wilayah mangrove. Salinitas air menjadi tinggi pada saat air pasang naik dan menjadi rendah pada saat air pasang surut. Rentang air laut pasang juga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi, khususnya sistem akar dari mangrove. Di daerah mangrove dengan rentang pasang yang lebar, akar Rhizophora sp. tumbuh lebih tinggi sedangkan di daerah yang air pasang rentangnya sempit memiliki akar yang lebih rendah. H. Gerakan Ombak Gerakan ombak mempunyai pengaruh yang terbesar terhadap kehidupan organisme dan tumbuhan di daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Gerakan gelombang memengaruhi kehidupan di pantai melalui dua cara utama yakni : (1). pengaruh mekaniknya yang menghancurkan dan menghanyutkan yang terkena dan (2). memperluas batas zona intertidal. (Nybakken, 1988). Gerakan ombak yang sebagian besar dipengaruhi oleh angin merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi. Pada pantai yang berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap terakumulasi. Keberadaan mangrove di pesisir pantai dapat melindungi kerusakan pantai akibat energi gelombang dan arus berupa abrasi dan tsunami.
IV. DAYA ADAPTASI MANGROVE Hutan mangrove dapat tumbuh di daerah pasang surut disebabkan karena daya adaptasinya terhadap kondisi lingkungannya. Daya adaptasi mangrove dapat dibedakan atas : A. Adaptasi Terhadap Kadar Garam yang Tinggi Daya adaptasi mangrove dengan kadar yang tinggi dapat dikelompokkan menjadi :
1.
Salt extrusion/salt secretion Adalah jenis mangrove yang menyerap air yang besalinitas tinggi kemudian mengsekresikan garam dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun. Salt
extrusion ini dilakukan oleh jenis Avicenna, Sonneratia, Aegiceras, Aegialitis, Acanthus, Laguncularis dan Rhizophora (Anonimous, 2003) 2.
Salt exclusion Adalah jenis-jenis mangrove yang mempunyai daya adaptasi terhadap “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
67
salinitas yang tinggi dengan cara mencegah masuknya garam, melalui saringan (ultra
filter) yang terdapat pada akar. Mangrove yang termasuk ke dalam jenis ini adalah Rhizophora, Ceriops, Sonneratia, Avicennia, Osbornia, Bruquiera, Excoecaria, Aegiceras, Aegalitis dan Acrostichum (Anonimous, 2003) 3.
Salt Accumulation Daya adaptasi mangrove ini dilakukan dengan menyimpan Na dan Cl pada kulit kayu, akar dan daun yang telah tua. Pengguguran daun ini diperkirakan merupakan mekanisme mengeluarkan kelebihan garam yang dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah. Daya adaptasi ini terdapat pada Excoecaria,
Lumnitcera, Avecennia, rhizophora, osbornia, Sonneratia dan Xylocarpus. B. Adaptasi Terhadap Substrat yang Berlumpur dan Kondisi Tergenang Untuk tumbuh pada kondisi yang berlumpur dan selalu tergenang (anaerob), maka mangrove membentuk akar-akar khusus untuk dapat tumbuh dengan kuat dan membantu mendapatkan oksigen (Anonimous, 2003). Bentuk akar-akar mangrove sebagai bentuk adaptasi dibedakan atas: 1.
Akar tunjang (Still root) Adalah akar atau cabang-cabang akar yang keluar dari batang atau cabangcabang batang bagian bawah dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini terdapat pada
Rhizophora spp. 2.
Akar pasak (Pneumatophore) Akar pasak adalah akar yang muncul dari sistem akar kabel dan memanjang keluar ke arah udara seperti pasak. Akar pasak ini terdapat pada Avicennia,
Sonneratia, Xylocarpus. 3.
Akar lutut (Knee root) Akar lutut merupakan moditifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh ke arah permukaan substrat kemudian melengkung ke arah substrat lagi. Akar lutut seperti ini terdapat pada bruguiera spp.
4.
Akar papan (Buttress root). Akar papan hampir sama dengan akar tunjang, tetapi akar ini melebar menjadi bentuk lempeng. Akar ini terdapat pada Heriteria.
68 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
5. Akar gantung. Akar gantung adalah akar yang keluar dari batang dan cabang-cabang batang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat. Akar gantung biasanya terdapat pada Rhizophora, avicennia dan acanthus.
V. KEANEKARAGAMAN MANGROVE Dari beberapa laporan diketahui bahwa di Sulawesi Selatan terdapat 20 jenis mangrove (anonimous, 2003). Chaerani (2011) melaporkan hasil penelitiannya di Kabupaten Barru menjumpai 5 jenis mangrove yaitu : Avicennia marina, Sonneratia sp,
Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora stylosa dan Xylocarpus granatum. Pramuji (2003) juga melaporkan bahwa di Teluk Mandar dijumpai 19 jenis bakau sedangkan Nurkin (1994) melaporkan bahwa di seluruh pesisir pantai Sulawesi Selatan terdapat 30 jenis mangrove. Hal ini dapat menunjukkan bahwa di Sulawasi Selatan dan Barat cukup banyak keragaman jenis mangrove khususnya di hutan alam (Pramuji, 2003). Meskipun data dari Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan yang dikutip Nahib (2005) menunjukkan bahwa dari seluruh kabupaten kota di Sulawesi Selatan dan Barat hanya terdata sekitar 6 jenis saja. Berikut disajikan beberapa jenis mangrove yang umum dijumpai dan dapat dipilih dalam kegiatan rehabilitasi kawasan hutan maupun non kawasan hutan bakau. (www. Wetland.or.id/mangrove/mangrove-species.php?id=38). Tabel 2. Keragaman mangrove di Sulawesi Sulawesi Selatan No. Jenis 1. Rhizophora apiculata *)
2. Rhizophora stylosa *)
Deskripsi Pohon dengan ketinggian mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm. Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian 5 meter, dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah. Pohon dengan satu atau banyak batang, tinggi hingga 10 m. Kulit kayu halus, bercelah, berwarna abu-abu hingga hitam. Memiliki akar tunjang dengan panjang hingga 3 m, dan akar udara yang tumbuh dari cabang bawah.
Tempat tumbuhnya Tumbuh pada tanah berlumpur halus, dalam dan tergenang pada saat pasang normal. Tidak menyukai substrat yang lebih keras yang bercampur dengan pasir. Menyukai perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen. pembungaan terjadi sepanjang tahun. Tumbuh pada habitat yang beragam di daerah pasang surut: lumpur, pasir dan batu. Menyukai pematang sungai pasang surut, tetapi juga sebagai jenis pionir di lingkungan pesisir atau pada bagian daratan dari mangrove. Satu jenis relung khas yang bisa ditempatinya adalah tepian mangrove pada pulau/substrat karang. Menghasilkan bunga dan buah sepanjang tahun. Kemungkinan diserbuki oleh angin.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
69
No. 3.
Jenis Avicennia marina *)
4.
Avicennia alba *)
5.
Avicennia lanata *)
6.
Sonneratia alba *)
7.
Sonneratia casiolaris *)
70 |
Deskripsi Belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, ketinggian pohon mencapai 30 meter. Memiliki sistem perakaran horizontal yang rumit dan berbentuk pensil (atau berbentuk asparagus), akar nafas tegak dengan sejumlah lentisel. Kulit kayu halus dengan burik-burik hijau-abu dan terkelupas dalam bagian-bagian kecil. Ranting muda dan tangkai daun berwarna kuning, tidak berbulu. Belukar atau pohon yang tumbuh menyebar dengan ketinggian mencapai 25 m. Kumpulan pohon membentuk sistem perakaran horizontal dan akar nafas yang rumit. Akar nafas biasanya tipis, berbentuk jari (atau seperti asparagus) yang ditutupi oleh lentisel. Kulit kayu luar berwarna keabu-abuan atau gelap kecokelatan, beberapa ditumbuhi tonjolan kecil, sementara yang lain kadang-kadang memiliki permukaan yang halus. Pada bagian batang yang tua, kadang kadang ditemukan serbuk tipis. Belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, dapat mencapai ketinggian hingga 8 meter. Memiliki akar nafas dan berbentuk pensil. Kulit kayu seperti kulit ikan hiu berwarna gelap, cokelat hingga hitam. Pohon selalu hijau, tumbuh tersebar, ketinggian kadangkadang hingga 15 m. Kulit kayu berwarna putih tua hingga cokelat, dengan celah longitudinal yang halus. Akar berbentuk kabel di bawah tanah dan muncul kepermukaan sebagai akar nafas yang berbentuk kerucut tumpul dan tingginya mencapai 25 cm.
Pohon, ketinggian mencapai 15 m, jarang mencapai 20 m. Memiliki akar nafas vertikal seperti kerucut (tinggi hingga 1 m) yang banyak dan sangat kuat. Ujung cabang/ranting terkulai, dan berbentuk segi empat pada saat muda.
Tempat tumbuhnya Merupakan tumbuhan pionir pada lahan pantai yang terlindung, memiliki kemampuan menempati dan tumbuh pada berbagai habitat pasang-surut, bahkan di tempat asin sekalipun. Jenis ini merupakan salah satu jenis tumbuhan yang paling umum ditemukan di habitat pasang-surut. Akarnya sering dilaporkan membantu pengikatan sedimen dan mempercepat proses pembentukan tanah timbul. Berbuah sepanjang tahun, kadangkadang bersifat vivipar. Merupakan jenis pionir pada habitat rawa mangrove di lokasi pantai yang terlindung, juga di bagian yang lebih asin di sepanjang pinggiran sungai yang dipengaruhi pasang surut, serta di sepanjang garis pantai. Mereka umumnya menyukai bagian muka teluk. Akarnya dilaporkan dapat membantu pengikatan sedimen dan mempercepat proses pembentukan daratan. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Genus ini kadang-kadang bersifat vivipar, dimana sebagian buah berbiak ketika masih menempel di pohon. Tumbuh pada dataran lumpur, tepi sungai, daerah yang kering dan toleran terhadap kadar garam yang tinggi. Diketahui (di Bali dan Lombok) berbunga pada bulan Juli - Februari dan berbuah antara bulan Nopember hingga Maret. Jenis pionir, tidak toleran terhadap air tawar dalam periode yang lama. Menyukai tanah yang bercampur lumpur dan pasir, kadang-kadang pada batuan dan karang. Sering ditemukan di lokasi pesisir yang terlindung dari hempasan gelombang, juga di muara dan sekitar pulau-pulau lepas pantai. Di lokasi dimana jenis tumbuhan lain telah ditebang, maka jenis ini dapat membentuk tegakan yang padat. Di jalur pesisir yang berkarang mereka tersebar secara vegetatif. Tumbuh di tepi muara sungai terutama pada daerah yang bersalinitas rendah dengan campuran air tawar. Tumbuh di bagian yang kurang asin di hutan mangrove, pada tanah lumpur yang dalam, seringkali sepanjang sungai kecil dengan air yang mengalir pelan dan terpengaruh oleh pasang surut. Tidak pernah tumbuh pada pematang/ daerah berkarang. Juga tumbuh di sepanjang sungai, mulai dari bagian hulu dimana pengaruh pasang surut
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
No.
Jenis
8. Bruguiera gymnorrhiza*)
9.
10.
Deskripsi
Pohon yang selalu hijau dengan ketinggian kadang-kadang mencapai 30 m. Kulit kayu memiliki lentisel, permukaannya halus hingga kasar, berwarna abu-abu tua sampai cokelat (warna berubah-ubah). Akarnya seperti papan melebar ke samping di bagian pangkal pohon, juga memiliki sejumlah akar lutut.
B. cilindrica *)
Pohon selalu hijau, berakar lutut dan akar papan yang melebar ke samping di bagian pangkal pohon, ketinggian pohon kadangkadang mencapai 23 meter. Kulit kayu abu-abu, relatif halus dan memiliki sejumlah lentisel kecil.
Ceriops tagal *)
Pohon dengan tinggi mencapai ± 20 m. Batang berkayu, permukaan pepagannya licin warna cokelat agak jingga. Bagian bawah batang terdapat banyak akar tunjang dengan panjang ± 50 cm. Percabangannya banyak dan tidak teratur. Daun majemuk
Tempat tumbuhnya masih terasa, serta di areal yang masih didominasi oleh air tawar. Tidak toleran terhadap naungan. Ketika bunga berkembang penuh (setelah jam 20.00 malam), bunga berisi banyak nektar. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Biji mengapung. Selama hujan lebat, kecenderungan pertumbuhan daun akan berubah dari horizontal menjadi vertikal. Merupakan jenis yang dominan pada hutan mangrove yang tinggi dan merupakan ciri dari perkembangan tahap akhir dari hutan pantai, serta tahap awal dalam transisi menjadi tipe vegetasi daratan. Tumbuh di areal dengan salinitas rendah dan kering, serta tanah yang memiliki aerasi yang baik. Jenis ini toleran terhadap daerah terlindung maupun yang mendapat sinar matahari langsung. Mereka juga tumbuh pada tepi daratan dari mangrove, sepanjang tambak serta sungai pasang surut dan payau. Ditemukan di tepi pantai hanya jika terjadi erosi pada lahan di hadapannya. Substratnya terdiri dari lumpur, pasir dan kadang-kadang tanah gambut hitam. Kadang-kadang juga ditemukan di pinggir sungai yang kurang terpengaruh air laut, hal tersebut dimungkinkan karena buahnya terbawa arus air atau gelombang pasang. Tumbuh mengelompok dalam jumlah besar, biasanya pada tanah liat di belakang zona Avicennia, atau di bagian tengah vegetasi mangrove ke arah laut. Jenis ini juga memiliki kemampuan untuk tumbuh pada tanah/substrat yang baru terbentuk dan tidak cocok untuk jenis lainnya. Kemampuan tumbuhnya pada tanah liat membuat pohon jenis ini sangat bergantung kepada akar nafas untuk memperoleh pasokan oksigen yang cukup, dan oleh karena itu sangat responsif terhadap penggenangan yang berkepanjangan. Memiliki buah yang ringan dan mengapung sehinggga penyebarannya dapat dibantu oleh arus air, tapi pertumbuhannya lambat. Pembungaan terjadi sepanjang tahun. Tumbuh baik di kawasan mangrove bagian dalam, daerah kering atau daerah dengan salinitis tinggi. Biasanya tumbuh pada tengah sampai pinggiran hutan bakau, dan kadang-kadang banjir baik karena pasang surut yang selalu tinggi atau hanya kadangkadang saja. Jenis ini menjadi dominan
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
71
No.
Jenis
11. Xilocarpus granatum **)
12. Lumnitzera rosemosa*)
Deskripsi menggerombol di ujung batang/cabang. Masing-masing tangkai daun mempunyai 6 - 10 pasang daun yang letaknya bersilang. Bentuk helaian daun bundar telur terbalik, ujung daun tumpul, pangkal runcing, tepi rata. Bunga majemuk terbatas, warna putih kecokelatan dalam satu karangan (2 - 7 bunga) yang terdapat di ujung batang/cabang. Buah berbentuk seperti gada kecil (sisi ± 5 mm, panjang ± 20 cm). Pohon dapat mencapai ketinggian 10-20 m. Memiliki akar papan yang melebar ke samping, meliuk-liuk dan membentuk celahan-celahan. Batang seringkali berlubang, khususnya pada pohon yang lebih tua. Kulit kayu berwarna cokelat mudakekuningan, tipis dan mengelupas, sementara pada cabang yang muda, kulit kayu berkeriput. Belukar atau pohon kecil, selalu hijau dengan ketinggian mencapai 8 m. Kulit kayu berwarna cokelatkemerahan, memiliki celah/ retakan longitudinal (khususnya pada batang yang sudah tua), dan tidak memiliki akar nafas.
Tempat tumbuhnya pada zona berdrainase bagus, dan membentuk tegakan murni berkanopi rendah yang rapat sepanjang tepian perbatasan antara beberapa rawa hutan bakau, dimana permukaan tanah mengering dan retak-retak. Akan tetapi Ceriops tagal menyukai daerah terbuka dan pohon mengerdil bila salinitasnya tinggi.
Tumbuh di sepanjang pinggiran sungai pasang surut, pinggir daratan dari mangrove, dan lingkungan payau lainnya yang tidak terlalu asin. Seringkali tumbuh mengelompok dalam jumlah besar. Individu yang telah tua seringkali ditumbuhi oleh epifit.
Tumbuh di sepanjang tepi vegetasi mangrove. Menyukai substrat berlumpur padat. Mereka juga terdapat di sepanjang jalur air yang dipengaruhi oleh air tawar. Bunga putih, agak harum dan kaya akan nektar, diserbuki oleh serangga. Buah berserat teradaptasi untuk penyebaran melalui air.
Keterangan : *) = Mangrove utama **) = Mangrove tambahan
VI. PENUTUP Keanekaragaman jenis penyusun mangrove merupakan kekayaan alam yang dapat
dimanfaatkan
untuk
menunjang
kegiatan
rehabilitasi
kawasan
mangrove.
Pemanfaatan keanekaragaman jenis mangrove juga dapat merupakan suatu tindakan pelestarian jenis yang semakin terancam dengan semakin rusaknya kawasan hutan mangrove alami yang selama ini banyak di eksploitasi untuk kepentingan ekonomi dan juga untuk pemukiman.
72 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. (2003). National Strategy For Indonesia Mangrove Ecosystem Management. (Draf Revisi). Second Book Mangrove Ecosystem In Indonesia. Departement Of Forestry, Departement Of Fishery And Marine, Ministry Of Environment, Departement Of Home affairs, Indonesia and Institute Of Sciences, Japan International Cooperation Agency acnd Institute Of Mangrove Research and Development. Arief,A. (2003). Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Yokyakarta BRLKT Wilayah IX, 1990. Rencana Pengembangan Hutan Bakau Rakyat di Sulawesi Selatan. BRLKT Wil. IX, Ujung Pandang: Kanisius. BRLKT Jeneberang Wallanae, (1999). Data Informasi Kerusakan dan Upaya-Upaya Rehabilitasi yang Dilaksanakan. BRLKT Jeneberang Wallanae, Ujung Pandang (tidak diterbitkan). Chaerani, N. (2011). Kerapatan, frekuensi dan tingkat penutupan jenis mangrove di Desa Coppo kecamatan Barru kabupaten Barru (Skripsi). Makassar: Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Hasanuddin. Deskripsi jenis-jenis mangrove. www.wetland.or.id/mangrove/mangrovespecies.php?id=38. Diunduh tgl. 6 Juni 2012. Dahuri,R. J. Rais, S. P. Ginting dan M.J. Sitepu. (1996). Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Ekosistem mangrove yang Terancam punah. www.greeners.mgr2.com/News/ekosistemmangrove-dunia-terancam/ di unduh Tgl. 11 Juni 2012. Halidah, C. Anwar dan M. Qiptiyah. (2006). Produksi dan Laju pelapukan Serasahnya, Morphoedafik dan Salinitas Air Tanah daratan pada Tiga Jenis mangrove. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 3 (4), 367- 377. _______. (2009). Pengaruh faktor habitat terhadap pertumbuhan mangrove di kawasan rehabilitasi pantai Timur Sulawesi Selatan (Tesis). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. ________. (2010a). Pertumbuhan Rhizophora mucronata Lamk pada berbagai kondisi substrat di Kawasan Rehabilitasi mangrove Sinjai Timur Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 7 (4), 399 – 412. _______.(2010b). Pengaruh Tinggi Genangan dan Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Anakan Rhizophora mucronata Lam di Pantai Barat Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 7 (1), 25 – 34. Hilmi, E. A.Sahri, E. Supriyana., Parenrengi. (2008). Analisis Zonasi Ekosistem Mangrove Di Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah. http://www.ikan Laut– Unsoed.Ac.Id/Node/240/SagaraAnakanvvvv. Hogarth, P.J. (1999). The Biodlogy Of Mangroves. London: Oxford University Press.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
73
Mann, K.H. (1982). Ecology Of Coastal Waters A systems Approach. .Oxford London Edinburgh. Boston Melbourne: Blackwell Scientific Publications. Nahib, I. (2005). Neraca Sumberdaya Hutan Mangrove Wilayah ALKI II (Sulawesi Bagian Barat dan Kalimantan Bagian Timur). Cibinong: Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut, Bakorsurtanal. Nurkin, B. (1994). Degradation of Mangrove Forest in South Sulawesi Indonesia. Hydrobiologia. Australia: Blackwell Publishing. Nybakken, J.W. (1988). Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT. Gramedia. OnFocus:Mangrove.(http://www.kmb-Sulsel.net/index.php?view=article&catid= 34%3Aarticles-Category&id=388%3Amangrove&tmpl=component&print= 1&page=&option=com_content&Itemid=1 di unduh tgl 12 Mei 2012. Peter,K.L. dan N. Sivasothi. (2001). A Guide to Mangroves of Singapore", Mangrove ecosystem. http://mangrove.nus.edu.sg/ guidebooks/teks/ 1011c.htm. Pramudji, (2003). Keanekaragaman Flora di Hutan Mangrove Kawasan Pesisisr Teluk Mandar, Polewali, Sulawesi Selatan. Kajian Pendahuluan. Biota. 8 (3). 135- 142. Saru, A. (2001). Variasi salinitas terhadap Pola Penyebaran Mangrove (Laporan Penelitian). Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. http://www.nbin.lipi.go.id/index.php?x=p Supriharyono. (2000). Pelestarian dan pengelolaan Sumber Daya Alam Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: Gramedia Pustaka. Syukur, I. (2006). Hutan Mangrove Di SulSel Makin Berkurang. Kompas, 20 Mei 2006. Makassar.
74 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
PENINGKATAN MODAL SOSIAL KELOMPOK TANI HUTAN YANG BERKELANJUTAN Bugi Kabul Sumirat1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Keberadaan kelompok tani hutan (KTH - forest farmer group) adalah bagian yang tak terpisahkan dari program besar pembangunan sektor kehutanan di Indonesia. KTH adalah salah satu pemeran utamanya. Sebagai pemeran utama, selama ini, keberadaan KTH seperti ada dan tiada. Keberadaan KTH diakui, maupun baru dibentuk, jika akan dijalankan suatu proyek kehutanan yang (akan) melibatkan KTH. Pada saat proyek usai, keberadaan KTHpun kembali kepada bentuk asalnya, tanpa disertai program-program yang ditujukan bagi KTH yang bersifat berkesinambungan. Modal sosial dianggap dapat dipercaya sebagai suatu aspek yang keberadaannya menyatu dengan keberadaan KTH, namun kurang disadari peran pentingnya. Keberadaan peran penting ini seperti disitir dari organisasi Bank Dunia yang mengatakan bahwa modal sosial penting untuk keberlangsungan pembangunan. Dalam kaitannya dengan pengembangan program kehutanan yang berkelanjutan, perlu dibarengi dengan peningkatan kapasitas KTH yang berkelanjutan pula. Kata Kunci: Modal sosial, kelompok tani hutan, kehutanan, pembangunan berkelanjutan
I. PENDAHULUAN Presiden Republik Indonesia dalam pidatonya di CIFOR, Bogor, pada tanggal 13 Juni 2012 mengatakan bahwa peningkatan perhatian terhadap pengelolaan hutan dunia yang berkelanjutan adalah sangat penting terutama untuk kepentingan kesetaraan ekonomi – yang perlu dilanjutkan dengan ‘pendefinisian dan reorganisasi masyarakat secara mendasar di seluruh dunia’ (CIFOR, 2012). Benang merah dari pernyataan Presiden di atas telah tercantum secara spesifik di dalam Rencana Strategis (renstra) Kementerian Kehutanan (Kemenhut) 2010-2014 yang menyatakan bahwa tugas dan fungsi Kemenhut dalam pembangunan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup di antaranya adalah upaya peningkatan kapasitas masyarakat kehutanan (Kementerian Kehutanan, 2010). Di samping itu, dalam renstra dimaksud, sebagai penguatan terhadap arah dan kebijakan Kemenhut, ditetapkan visi pembangunan Kehutanan, yaitu: Hutan Lestari untuk Kesejahteraan Masyarakat yang Berkeadilan. Visi Kemenhut tersebut dilanjutkan dengan misi untuk mengarahkan prioritas kebijakan
1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
75
Kehutanan, di antaranya, kepada pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Dalam pemberdayaan masyarakat ini, masyarakat di sekitar hutan, terutama mereka yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan perlu dilibatkan sebagai bentuk keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan kehutanan. Suatu hal yang memang ingin ditekankan oleh Kemenhut (Ben, 2009). Modal social (social capital), seperti dikatakan organisasi Bank Dunia, adalah faktor penting yang perlu diperhitungkan dalam pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan (Grootaert & Bastelar, 2002). Di mana dikatakan pula bahwa peran penting modal sosial berkaitan dengan peran penting institusi-institusi, jejaring yang dimiliki serta nilai-nilai dan norma-norma yang diakui masyarakat, yang saling berhubungan. Pendapat di atas sejalan dengan pendapat yang telah lama berkembang bahwa di dalam melaksanakan pembangunan, bukan hanya melihat keberhasilan berdasarkan aspek ekonomi yang ditimbulkan, tetapi perlu diperhatikan pula transformasi sosial yang terjadi (Stiglitz, 1998, dalam Narayan, 1999). Dalam kaitan dengan itu, makalah ini hendak mencoba melihat secara umum manfaat peningkatan modal sosial yang berkelanjutan pada kelompok tani hutan.
II. ARTI DAN MANFAAT MODAL SOSIAL Ada lima jenis modal yang sudah dikenal, yaitu modal alam (natural capital), modal manusia (human capital), modal fisik (physical capital), modal keuangan (financial
capital) dan yang terakhir adalah modal sosial (social capital), dan kelima modal tersebut tercantum dalam suatu rangkaian yang disebut dengan ‘the asset pentagon’ (lima aset berbentuk pentagonal) (DFID, 1999), seperti tertera pada gambar di bawah ini. Kelima aset ini saling berhubungan dan memberikan beragam manfaat. Hubungan yang saling kait-mengkait dengan baik akan memperlihatkan bentuk pentagonal yang sempurna seperti gambar tersebut. Namun, jika terdapat hubungan yang tidak sempurna, maka akan memengaruhi terhadap bentuk pentagonal yang dihasilkan, menjadi tidak sempurna seperti Gambar 1.
76 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Human Capital
Natural capital
Social capital
Physical capital
Financial capital
Modal sosial yang memiliki keterkaitan dengan keempat modal-modal yang lain, seperti yang digambarkan oleh pentagon aset, memiliki banyak pengertian maupun penafsiran di antaranya, adalah : 1.
Seperti yang digambarkan oleh DFID (1999) dan Lin (2007), modal sosial berarti sumberdaya-sumberdaya sosial yang dimiliki oleh seseorang di mana sumberdayasumberdaya tersebut digunakannya untuk pencapaian pemenuhan kebutuhankebutuhan hidupnya.
Dalam
tahapan-tahapan
yang dilaluinya,
DFID
(1999)
menambahkan, bahwa telah melalui proses pengembangan dari: a. Jejaring-jejaring kerja dan hubungan-hubungan yang dimilikinya, baik yang bersifat vertikal (struktur/hirarki) maupun horizontal (hubungan antar individu). Hubungan yang terbentuk ini kemudian dapat menimbulkan meningkatnya kepercayaan dan kemampuan untuk bekerja bersama dengan berbagai pihak. b. Keanggotaan-keanggotaan serta keikutsertaan dalam berbagai organisasi formal. Pengalaman
yang
dimilikinya
ini
dapat
meningkatkan
pemahaman
serta
kemampuannya dalam memahami aturan-aturan, norma-norma hingga sanksisanksi dalam suatu organisasi. c. Hubungan berdasarkan kepercayaan yang dimilikinya yang berimplikasi kepada timbulnya rasa saling percaya dan peningkatan hubungan saling memberi dan menerima, dimana hal-hal tersebut dapat meningkatkan kerjasama bahkan dapat mengurangi ‘biaya transaksi’ yang mungkin timbul jika hal-hal tersebut tidak dimiliki.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
77
2.
Definisi lain dari modal sosial adalah hubungan-hubungan yang dimiliki oleh seseorang, baik nyata maupun tidak nyata, yang melekat baik secara individu maupun dalam lingkup organisasi dimana hubungan-hubungan tersebut terlihat secara jelas dan dapat memberikan dampak terhadap hubungan timbal balik baik pribadi maupun institusi (Bourdieu, 1990).
3.
Sementara Coleman (1990) mengatakan bahwa modal sosial adalah alat utama untuk mencapai tujuan-tujuan. Menilik beberapa makna dari modal sosial seperti telah disebutkan di atas,
beberapa analis melihat bahwa ada hubungan yang erat antara modal sosial dengan sektor-sektor pembangunan, seperti: 1.
Modal sosial sangat erat kaitannya dengan upaya pembangunan ekonomi masyarakat serta penanggulangan kemiskinan (Narayan, 1999; Woolcock, 2002; Staveren dan Knorringa, 2007),
2.
Modal sosial memberikan kontribusi berupa pengaruh terhadap nilai-nilai dalam suatu organisasi di dalam memecahkan masalah melalui aksi kolektif (Ostrom, 2000), dan
3.
Modal sosial berperan dalam tumbuhnya dinamika dalam pembangunan ekonomi dan institusi (Putnam, 1993; Lin, 2007). Berdasarkan pemahaman-pemahaman tersebut di atas, menjadi sangat mendasar
untuk
melihat
bagaimana
modal
sosial
dapat
berperan
dalam
upaya-upaya
pemberdayaan masyarakat, terutama masyarakat di pedesaan. Pavey, et al. (2007) mencoba menganalisa hal tersebut dan mengilustrasikannya seperti beberapa poin di bawah ini: 1.
Perubahan-perubahan sosial (yang bersifat positif) dapat mempercepat proses persatuan di antara masyarakat serta penguatan kapasitas institusi masyarakat.
2.
Timbulnya ketertarikan-ketertarikan masyarakat lokal terhadap nilai-nilai yang terbangun adalah
elemen yang penting dalam
rangka
membangun proses
peningkatan kapasitas masyarakat (capacity building). 3.
Terdapatnya seseorang yang dapat berperanan sebagai penghubung atau jembatan antara pihak luar dengan masyarakat.
4.
Sikap keterbukaan serta kejujuran yang dimilikinya menjadi dasar untuk membangun kepercayaan dan ikatan sosial yang lebih baik di masa depannya.
78 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
5.
Hubungan yang bersifat efektif yang terbentuk di antara anggota masyarakat akan sangat mendukung terciptanya proses pembangunan masyarakat yang memang memerlukan interaksi sosial yang kuat.
III. PEMBANGUNAN SEKTOR KEHUTANAN DI INDONESIA Penjelasan di bagian sebelumnya menyajikan bagaimana arti dan pengertian modal sosial. Dalam penjelasan di bagian ini akan sekilas dijelaskan mengenai pembangunan sektor kehutanan di Indonesia, terutama yang terkait dengan pelibatan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Hutan di Indonesia dikenal sebagai urutan ketiga dari hutan-hutan tropis terluas di dunia, setelah Brazil dan Zaire, dan memiliki luas lebih dari 100 juta hektare serta merepresentasikan 10 persen dari jumlah areal hutan di seluruh dunia (Kemenhut, 2006; WRI, 2008). Areal hutan di Indonesia terbagi-bagi ke dalam beberapa kriteria, yaitu hutan konservasi (dengan luas sekitar 23 juta hektare, hutan lindung (sekitar 32 juta hektare), hutan produksi terbatas (sekitar 22 juta hektare), hutan produksi permanen sekitar 36 hektare dan hutan yang dapat dikonversi (seluas sekitar 14 juta hektare) (Kemenhut, 2006). Data Kemenhut (2006) pun menyebutkan bahwa terdapat sekitar 50 juta orang berada di dalam dan di sekitar hutan serta menggantungkan hidupnya dari hutan. Sementara jumlah desa yang berada dalam lingkungan hutan berjumlah 16 ribu desa (Antara, 2009). Jumlah penduduk desa yang berada di dan sekitar hutan dan menggantungkan hidupnya dari hutan itu mencirikan gambaran dari banyak situasi yang sama di seluruh dunia – di mana mereka mengandalkan pada hasil hutan kayu maupun bukan kayu serta menggunakannya sebagai sumber makanan, obat-obatan dan bahan baku untuk pembuatan rumah (Dwyer, 2010) Dari program Kehutanan di Indonesia sendiri, dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang tidak terlepas
dengan perkembangan dunia
pula. Fokus dari
pembangunan Kehutanan di Indonesia beralih dari pelaksanaan non komersial menjadi pendukung utama pembangunan ekonomi nasional serta sumber pendapatan utama dari perdagangan luar negeri yang berlangsung selama tiga dekade sejak tahun 1970an. Pada tahun 2003, Kementerian Kehutanan mengeluarkan program Perhutanan Sosial yang dilanjutkan dengan lima program prioritas yang merupakan pengejawantahan dari apa yang menjadi mandat dalam UU Kehutanan No 41/1999 yang di antaranya “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
79
menyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan-kegiatan kehutanan masyarakat adalah kebijakan untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Kebijakan ini mulai meletakkan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan menjadi suatu kesatuan dari program kehutanan. Untuk mendukung kebijakan nasional ‘triple track’ strategi ekonomi, di tahun 2008, kembali dikeluarkan kebijakan revitalisasi sektor kehutanan dengan arahnya antara lain (Kementerian Kehutanan, 2008): Pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat melalui sektor riil kehutanan dan usaha kecil menengah, di dalam dan sekitar hutan, ditempuh melalui pemberian akses kepada masyarakat setempat dalam pemanfaatan hutan produksi. Tujuan ini adalah untuk penyerapan tenaga kerja dalam kerangka pengurangan pengangguran. Yang terbaru adalah pidato Presiden Republik Indonesia di CIFOR, Bogor, 13 juni 2012, yang menyatakan tekad Indonesia dalam memelihara bumi dan mengentaskan kemiskinan dunia (terutama di Indonesia) (CIFOR, 2012). Berbicara tentang kemiskinan dalam sektor kehutanan, maka akan mengarah kepada kondisi Kelompok Tani Hutan (KTH), khususnya di Indonesia yang masih banyak tergabungkan ke dalam kelompok miskin. Terkait dengan ini, Indonesia telah termasuk salah satu dari 70 negara yang telah bertekad menempatkan pengurangan angka kemiskinan sebagai prioritas utama (Wollenberg et al., 2004)
IV. KONDISI DAN PERAN KELOMPOK TANI HUTAN Secara umum, bagaimanakah kondisi masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan? Wollenberg et al. (2004) menyebutkan beberapa kondisi secara umum serta alasan mengapa perlu diberikan perhatian khusus kepada kemiskinan dan upaya pengurangan tingkat kemiskinan di areal-areal hutan di Indonesia, yaitu antara lain: 1. Masyarakat yang mewakili masyarakat di dalam dan sekitar hutan termasuk ke dalam kelompok miskin terbesar di Indonesia. Brown (2004, dalam Wollenberg et al., 2004) menyebutkan bahwa terdapat kurang lebih 48,8 juta jiwa hidup dalam lahan hutan negara dan sekitar 10,2 juta di antaranya masuk dalam kategori miskin. 2. Masyarakat yang hidup dalam areal-areal hutan sudah dapat dipastikan masuk ke dalam kategori miskin. Hal ini disebabkan oleh kelangkaan infrastruktur, dan kesulitan akan akses terhadap pasar, kesehatan dan fasilitas pendidikan.
80 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
3. Telah disadari bahwa keberadaan hutan-hutan merupakan sumberdaya yang penting bagi kaum miskin, sebagai sumber pengadaan pakan, obat-obatan, tempat tinggal dan keperluan rumah tangga lainnya. 4. Banyak program-program pengentasan kemiskinan yang telah digulirkan sejak tahun 1960an didasarkan pada kondisi-kondisi di luar areal hutan sehingga belum mencerminkan kebutuhan sesungguhnya. Beberapa
program
Kehutanan
mensyaratkan
keharusan
untuk
melibatkan
masyarakat dalam bentuk KTH, baik dalam bentuk koperasi maupun hanya kelompok. Menjadi penting mengingat latar belakang masing-masing KTH yang beragam. Belum semua anggota KTH (termasuk pengurusnya) memiliki kesamaan pendapat akan bagaimana mengelola organisasi yang bernama KTH. Hal ini seperti tercermin pada pernyataan Suhardjo et al (1986, dalam Widyarini, 2007) yang menyatakan bahwa kondisi petani (secara keseluruhan) di Indonesia belum memiliki gambaran umum yang sama. Namun, secara umum yang bisa dilihat adalah mereka masuk dalam kategori miskin dan memiliki kemampuan kerja yang rendah. Ulasan dengan kondisi hampir serupa disampaikan oleh Race et al (2009) yang menyatakan
bahwa
dengan
pelibatan
masyarakat/KTH
dalam
program-program
Kehutanan, berarti menghadapkan KTH dalam dunia kehutanan yang bersifat komersial. Yang perlu dipertanyakan terutama adalah kesiapan KTH untuk memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya. Dalam hal ini, upaya memberikan dukungan teknis dan finansial terhadap KTH adalah suatu keharusan. Contoh-contoh di lapangan Dalam bagian ini akan disajikan contoh sederhana yang dtemui pada saat melakukan penelitian tentang Modal Sosial pada KTH di beberapa tempat (berkaitan dengan penelitian program pascasarjana penulis) yang terkait dengan makalah ini. Contoh 1 KTH dibentuk pada saat ada program penghijauan dari kabupaten akan dilaksanakan. KTH ini sebelumnya adalah suatu organisasi koperasi milik pribadi. Hanya saja, dengan adanya program penghijauan dari pemerintah tersebut, pihak koperasi dan masyarakat yang akan terlibat dalam kegiatan penghijauan bersepakat untuk mentransformasi koperasi menjadi KTH yang berbentuk koperasi. Ketua koperasi menjadi ketua KTH. Setelah program penghijauan pemerintah berakhir, yang berarti berakhir pula aktivitas “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
81
KTH terlibat dalam program pemerintah, ketua KTH beserta pengurusnya dapat terus menjalankan kegiatan KTH dengan cara mencari upaya kemitraan dengan pihak luar (proyek pembibitan). Contoh 2 Dalam contoh kedua ini, KTH dibentuk terkait dengan adanya program HTR. Dukungan penuh diterima oleh KTH yang sudah berbentuk koperasi ini, dari mulai masa persiapan pembentukan KTH hingga program diluncurkan. Yang menarik adalah bahwa tidak semua pengurus KTH tersebut memahami apa tugas dan perannya masing-masing hingga ketidakjelasan apa manfaat yang akan mereka terima dengan adanya program HTR ini, termasuk aturan main di dalamnya. Contoh 3 Proses pembentukan KTH pada KTH ketiga ini sama dengan KTH yang lain, yaitu dibentuk atas dasar usulan pemerintah yang akan menurunkan program baru, program penghijauan. KTH berjalan lancar pada saat program penghijauan berjalan. Setelah program penghijauan berakhir masanya, secara berangsur-angsur, berhenti pula aktivitas dari KTH ini. Ketua dan pengurus KTH masih bisa ditemui, papan nama masih bertengger rapi, anggota serta data keanggotaan masih tersimpan, hanya saja tanpa aktivitas sama sekali. Alasannya adalah bahwa KTH akan aktif lagi jika terdapat program baru dari pemerintah yang memerlukan partisipasi KTH. Contoh 4 Untuk KTH yang memiliki anggota yang telah melakukan pemanenan kayu, penulis menemukan alasan mereka yang tetap merasa kesulitan terhadap jumlah uang yang diterimanya. Walaupun mereka menerima uang tersebut dalam jumlah besar pada saat panen kayu. Alasan yang muncul adalah bahwa penerimaan yang diperolehnya itu tidak bersifat reguler, tidak seperti pekerja yang memiliki pendapatan rutin setiap bulannya. Contoh 5 Pada saat akan mencari data sekunder tentang keberadaan KTH di beberapa kabupaten, tidak ada satu datapun yang secara jelas dan gamblang memuat dan memaparkan jumlah dan kondisi KTH yang ada di wilayahnya masing-masing (berapa jumlah KTH aktif, berapa jumlah KTH tidak aktif dan berapa yang sudah tidak berfungsi
82 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
sama sekali serta alasan-alasan yang menyebabkannya tidak terekam dengan jelas). jumlah KTH tercatat dan terlampir dalam laporan pelaksanaan program kabupaten tersebut.
V.
PENINGKATAN MODAL SOSIAL KTH
Berdasarkan beberapa contoh di atas, untuk program yang berasal dari pemerintah, tampak bahwa tidak ada pembinaan maupun kegiatan lanjutan yang ditujukan bagi KTH selepas program tersebut selesai. KTH, jika tidak terdiri dari mereka yang ‘mengerti’ organisasi dan manfaat keberadaan KTH, membiarkan kondisi KTH mengikuti masa program pemerintah berlangsung. Program-program yang bersumber dari pemerintah tidak dilengkapi dengan program yang ditujukan selepas program pemerintah tersebut selesai. Padahal, bentukbentuk program Kehutanan serta program-program pembinaan terhadap KTH yang menyertainya adalah salah satu bentuk dari investasi modal sosial. A. Investasi Modal Sosial Investasi modal sosial merupakan hal yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas KTH. Bentuk-bentuk investasi yang diperlukan perlu melihat beberapa faktor yang dapat menunjang peningkatan modal sosial seperti dilansir Race et al. (2007), antara lain faktor partisipasi, pembelajaran, kepercayaan, kemitraan, ditambah satu faktor tambahan yaitu kepemimpinan. Investasi yang dilakukan perlu memperhatikan faktor-faktor di atas, apakah program-program yang diberikan kepada KTH dapat menghasilkan peningkatan partisipasi masyarakat yang signifikan; timbulnya akibat positif yang mereka tampakkan sebagai hasil dari proses pembelajaran yang mereka lakukan; tumbuhnya kepercayaan yang lebih baik di antara anggota KTH – anggota KTH dengan pengurus dan KTH dengan pihak luar; terbentuknya kemitraan antara KTH dengan pihak luar; serta pengelolaan KTH yang lebih baik serta dapat berkesinambungan sebagai akibat dari kepemimpinan KTH yang baik. Upaya lain yang perlu dilakukan adalah mengukur tingkat keberhasilan dari program-program yang dilaksakan tersebut. Hal ini perlu dilakukan untuk mengukur apakah program-program tersebut tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan KTH tersebut (Race et al., 2009; Wollenberg et al., 2004).
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
83
B. Peningkatan Modal Sosial Minimnya data tentang KTH yang tersedia merupakan contoh kecil bahwa keberadaan
KTH
merupakan
pelengkap
dari
program
yang
dilaksanakan
yang
memerlukan keterlibatan KTH dan bukan sebaliknya. Contoh KTH yang dapat ‘survive’ setelah berakhirnya program pemerintah tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan modal sosial dalam KTH tersebut yang menyebabkan KTH tersebut dapat bertahan. Walau belum ada jaminan, seberapa lama hal ini akan bertahan. Dalam contoh kedua, nampak bahwa walau masih terdapat ketidakmengertian di sana-sini, namun dukungan yang penuh dari pihak pemerintah menjamin kelancaran KTH tersebut dalam menjalankan aktivitasnya. Masih belum dapat dipastikan apakah selepas dukungan pemerintah tersebut berakhir, KTH ini dapat tetap bertahan. Dari contoh-contoh tersebut, untuk mengarah pada peningkatan modal sosial KTH, teridentifikasi
beberapa
input
yang
dapat
diperhatikan
untuk
keberlangsungan
peningkatan modal sosial KTH, yaitu: a. Menyerap aspirasi KTH, program-program apa yang dibutuhkan oleh KTH tersebut. Dengan dilakukannya hal ini, akan dapat diketahui apa yang mereka butuhkan. Setiap KTH dapat berbeda antara satu dengan lainnya. b. Dukungan yang berkelanjutan yang disediakan oleh pemerintah untuk menjamin keberadaan KTH yang berkelanjutan pula, terutama program-program yang disediakan selepas program pemerintah berakhir. c. Dalam rangka mempersiapkan KTH memasuki kehutanan yang bersifat komersial, perlu upaya-upaya pengenalan terhadap ‘pasar’ yang lebih luas. d. Pembukaan akses yang lebih luas untuk KTH-KTH (terutama yang terletak di daerah terpencil) terhadap akses informasi maupun sarana prasarana. e. Mengukur tingkat keberhasilan KTH hingga kepada peningkatan pendapatan (financial) untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga anggota-anggotanya.
VI. PENUTUP Jika KTH secara serius dianggap sebagai salah satu aktor di bidang kehutanan, maka perlu pula disertai dengan upaya-upaya yang serius untuk menjaga keberadaan KTH sebagai bagian dari program-program kehutanan dan sebagai salah satu bagian
84 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
dalam upaya pengentasan kemiskinan. Dalam hal ini tekad pemerintah sudah terlihat sangat kuat, hanya saja masih diperlukan langkah-langkah pendukungnya. Untuk itu, penyertaan program-program investasi modal sosial untuk peningkatan modal sosial KTH perlu dilakukan secara berkelanjutan dan tepat sasaran. DAFTAR PUSTAKA Antara. (2009). 16.000 Desa di Indonesia Berada di Hutan (16,000 villages in Indonesia are within the forests). Antara News, (27 Nopember 2009). http://id.news.yahoo.com/antr/20091126/tpl-i6-000-desa-di-indonesia-berada-di-hcc08abe.html. Diakses tanggal: 27 Nopember 2009. Ben. (2009, 15th December). Rakyat Dilibatkan dalam Pengelolaan Hutan (Community is involved in forest management). Kompas. http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10532078/rakyat.dilibatkan.dalam.p engelolaan.hutan. Diakses tanggal 16 Desember 2009. Bourdieu, P. (1990). In other words: Essays towards a reflexive sociology. Stanford, California: Stanford Press. CIFOR. (2012). Indonesian president calls for fundamental reinvention of society in creating a global green economy & protecting world’s forest. Press Release. http://www.cifor.org/mediamultimedia/newsroom/press-releases/press-releasesdetail-view/article/238/indonesian-president-calls-for-fundamental-reinvention-ofsociety-in-creating-a-global-green-economy.html. Diakses tanggal 14 Juni 2012. DFID (Department for International Development). (1999). Sustainable Livelihood Guidance Sheets (pp. 26): DFID. Dwyer, G. (2010). Community Forestry: Benefits to the Poor. ADB Review (November December 2003), 2. Grootaert, C., & Bastelar, T. V. (2002). Understanding and measuring social capital - a multidisciplilnary tool for practitioners (Publication No. 24465). Washington DC: The World Bank. Kementerian Kehutanan. (2006). Indonesia's Forestry Long Term Development Plan 20062025. Kementerian Kehutanan. (2008). Kebijakan revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan dan hasil yang dicapai (pp. 7). Jakarta: MoF (Ministry of Forestry). Kementerian Kehutanan. (2010). Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014 (Strategic Planning of Ministry of Forestry 2010 - 2014). Lin, N. (2007). Social Capital: A Theory of Social Structure and Action. New York, USA: Cambridge University Press.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
85
Narayan, D. (1999). Bonds and bridges: social capital and poverty.Unpublished manuscript, Washington, DC, USA. Ostrom, E. (2000). Social Capital: a Fad or a Fundamental Concept? In P. Dasgupta & I. Serageldin (Eds.), Social Capital: A Multifaceted Perspective (pp. 172-214). Washington, D.C.: The World Bank. Pagdee, A., Kim, Y.-s., & Daugherty, P. J. (2006). What Makes Community Forest Management Successful: A Meta-Study From Community Forests Throughout the World. Society & Natural Resources: An International Journal, 19(1), 33 - 52. Pavey, J. L., Muth, A. B., Ostermeier, D., & Steiner Davis, M. L. E. (2007). Building Capacity for Local Governance: An Application of Interactional Theory to Developing a Community of Interest. Rural Sociology, 72(1), 90-110. Putnam, R. D. (1993). The Prosperous Community: Social Capital and Public Life. The American Prospect, 13(Spring 1993). Race, D., Curtis, A., Birckhead, J., & McDonald, S. (2007). Understanding the social context of land-use in the Boorowa catchment, lessons for measuring and managing the social implications of changes in rural land-use. Albury: Institute for Land, Water and Society, Charles Sturt University. Race, D., Bisjoe, A. R., Hakim, R., Hayati, N., Julmansyah, Kadir, A., et al. (2009). Partnerships for involving small-scale growers in commercial forestry: lessons from Australia and Indonesia. International Forestry Review, 11(1), 10. Staveren, I., & Knorringa, P. (2007). Unpacking social capital in Economic Development: How social relations matter. Review of Social Economy, 65(1), 107-135. Wardojo, W., & Masripatin, N. (2003). Trends in Indonesian Forest Policy. In I. F. C. Project (Ed.), Policy Trend Report 2001/2002 (pp. 11). Kanagawa, Japan: Institute for Global Environmental Strategies (IGES). Widyarini, M. (2007). Petani Indonesia di Negara Agraris (Indonesian farmer in agrarian country). Administrasi Bisnis (Business Administration), 3(1), 67-72. Wollenberg, E., Belcher, B., Sheil, D., Dewi, S., & Moeliono, M. (2004). Why are forest areas relevant to reducing poverty in Indonesia? (Governance Brief). Bogor: Center for International forestry Research. Woolcock, M. (2002). Social Capital in Theory and Practice: Reducing Poverty by Building Partnerships between States, Markets and Civil Society. Paper presented at the Social Capital Formation in Poverty Reduction: Which Role for the Civil Society Organizations and the State? World Resource Institute (WRI) in collaboration with United Nations Development Programme, U. N. E. P., and World Bank, (2008). World Resource 2008: Roots of Resilience - Growing the Wealth of the Poor. Washington, DC: World Resource Institute.
86 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
OPTIMALISASI LUAS HUTAN TERHADAP TATA AIR : KARAKTERISTIK BIOFISIK DAS KELARA, SULAWESI SELATAN Hasnawir1, Achmad Rizal HB1, Tony Widianto1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada prinsipnya adalah pengaturan tata guna lahan atau optimalisasi penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta praktik lainnya yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indikator kunci yaitu: kuantitas, kualitas, dan kontinuitas aliran sungai pada titik pengeluaran (outlet) DAS. Karakteristik biofisik DAS diperlukan dalam upaya menetapkan perencanaan pengelolaan DAS secara tepat terkait optimalisasi luas hutan terhadap tata air. Penelitian karakteristik biofisik DAS terkait optimalisasi luas hutan teradap tata air dilaksanakan di DAS Kelara, Provinsi Sulawesi Selatan. DAS ini terletak dalam dua wilayah kabupaten, yakni kabupaten Gowa dan Kabupaten Jeneponto. Metode survei, pengukuran dan pengamatan serta analisis statistik dan analisis GIS digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas hutan pada DAS Kelara sebesar 11,86% dari total luas DAS. Hasil air pada Hulu DAS sebesar 193.155.840 m3/tahun, pada bagian tengah DAS menghasilkan air sebesar 335.925.200 m3/tahun sedangkan pada daerah hilir DAS menghasilkan air sebesar 463.760.640 m3/tahun. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan pula bahwa karakteristik biofisik termasuk jenis tanah, geologi, elevasi, kelerengan, iklim serta sistem pengelolaan yang digunakan memengaruhi tata air dalam DAS Kelara. Secara signifikan ditunjukkan bahwa iklim (curah hujan) mampu meningkatkan hasil air sebesar 300% dari musim kemarau ke musim hujan. Tantangan ataupun ancaman dalam mempertahankan fungsi DAS Kelara terkait tata air, nampak jelas dari aktivitas masyarakat yang kurang bijaksana dalam penggunaan lahan di samping aktivitas perkebunan kopi di dalam kawasan hutan. Kata kunci : DAS , optimalisasi luas hutan, biofisik, tata air
I.
PENDAHULUAN
Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah
dengan
meningkatkan
daya
dukung
Daerah
Aliran
Sungai
(DAS)
dan
mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 % dari luas DAS dengan sebaran proporsional. Sedangkan yang dimaksud dengan DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air). 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
87
Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS. Pengelolaan DAS pada prinsipnya adalah pengaturan tata guna lahan atau optimalisasi penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta praktik lainnya yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indikator kunci (ultimate indicator) kuantitas, kualitas, dan kontinuitas aliran sungai pada titik pengeluaran (outlet) DAS (Departemen Kehutanan RI, 2008). Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Tulisan dalam makalah ini memberikan beberapa tinjauan secara umum terhadap karakteristik biofisik yang memengaruhi tata air pada DAS Kelara yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Tulisan ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilaksanakan oleh tim peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar pada tahun 2011. II. KARAKTERISTIK BIOFISIK DAS KELARA DAS Kelara secara geografi terletak antara 05°32'71"- 05°70’06" Lintang Selatan dan
119°72'96"-119°89'07" Bujur Timur (Gambar 1). DAS Kelara memiliki luas sekitar
39.112 ha mencakup dua kabupaten yakni Kabupaten Gowa (Kecamatan Bontolempangan, Bongaya, Tompobulu, dan Biringbulu) dan Kabupaten Jeneponto (Kecamatan Rumbia, Kelara, Turatea, dan Binamu). Hulu DAS Kelara terletak di Kabupaten Gowa sedangkan hilir DAS Kelara terletak di Kabupaten Jeneponto (Gambar 2).
Gambar 1. Wilayah DAS Kelara yang mencakup dua kabupaten di Sulawesi Selatan.
88
|
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
b)
a)
Gambar 2. a) Salah satu daerah hulu DAS Kelara, Desa Paladingan Kabupaten Gowa, b) Daerah hilir DAS Kelara di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.
A. Jenis Tanah dan Geologi Jenis tanah yang terdapat pada DAS Kelara terdiri dari beberapa jenis, yaitu: tanah alluvial, tanah andosol, tanah grumosol, tanah latosol, tanah mediteran, dan tanah regosol. Distribusi jenis tanah pada DAS Kelara dapat dilihat pada Gambar 3. Jenis geologi pada DAS Kelara umumnya terbentuk dari konglomerat, lava, breksi, endapan lahar, dan tufa (54,49%). Rincian geologi pada DAS Kelara dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis geologi DAS Kelara Sulawesi Selatan Jenis Geologi Basal
Luas (ha) 537
Batuan sedimen laut berselingan dengan batuan gunung api
7.092
Hasil erupsi parasit
1.611
Kerikil, pasir, lempung, lumpur dan batu gamping koral
1.745
Konglomerat, lava, breksi, endapan lahar dan tufa Terutama breksi, lahar dan tufa Breksi gunung api dan lava
21.314 671 6.142
Sumber: Hasnawir et al., Laporan Hasil Penelitian BPK Makassar, 2011
B. Elevasi dan Keadaan Lereng DAS Kelara terbentang pada ketinggian antara 0 sampai 2.000 m di atas permukaan laut dengan kelerengan yang bervariasi antara 0 % sampai di atas 40%. Dengan tingkat kelerengan yang cukup tajam pada DAS Kelara menunjukkan bahwa DAS ini cukup berpotensi terjadi longsor, apalagi dengan tingkat curah hujan yang cukup tinggi pada daerah ketinggian (Gambar 3). “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
89
a)
b)
c)
Gambar 3. a) Kelerengan, b) Elevasi, c) Jenis tanah pada DAS Kelara.
C. Keadaan Iklim Variasi keragaman suhu dan besarnya curah hujan di DAS Kelara termasuk tipe iklim C pada bagian hulu dan tengah DAS, sedangkan pada bagian hilir termasuk tipe iklim E (Schmidt dan Ferguson, 1951). Suhu rata-rata adalah 26,50 oC dengan suhu maksimum rata-rata adalah 27,47 oC dan suhu minimum rata-rata adalah 25,59oC. Curah hujan yang tinggi umumnya terjadi pada Bulan Desember sampai dengan Maret. Pada daerah hilir curah hujan tahunan rata-rata 1.056 mm/tahun, pada daerah tengah curah hujan rata-rata 1.822 mm/tahun sedangkan pada daerah hulu curah hujan rata-rata 2.952 mm/tahun. Ini menunjukkan bahwa distribusi curah hujan semakin ke hulu curah hujan semakin tinggi. Ini berarti pula bahwa semakin tinggi tempat dari permukaan laut maka curah hujan semakin tinggi. Grafik distribusi curah hujan pada bagian hilir, tengah,
Intensitas Curah Hujan (mm)
dan hulu DAS Kelara ditunjukkan pada Gambar 4. 600 Paladingan (Hulu DAS) Tolo Utara (Tengah DAS) Binamu (Hilir DAS)
500 400 300 200 100 0 Jan
Feb Mar Apr May Jun
Jul Aug Sep
Oct Nov Dec
Bulan Gambar 4. Rata-Rata Curah hujan bulanan DAS Kelara (1991-2010).
90
|
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
D. Penggunaan Lahan Tata guna lahan yang didasarkan pada citra landsat tahun 2009 menunjukkan penggunaan lahan pada DAS Kelara, meliputi Kabupaten Gowa dan Jeneponto, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2 dan Gambar 5. Pertanian lahan kering campuran mendominasi penggunaan lahan dengan luas 69% dari luas DAS Kelara. Berikutnya adalah penggunaan lahan berupa persawahan dengan luas 13,80% dari luas DAS. Sedangkan penggunaan lahan berupa hutan (hutan alam dan hutan tanaman) menduduki peringkat ketiga dengan luas 11,86% dari luas total DAS. Aktivitas penggunaan lahan pertanian pada DAS Kelara yang kurang bijaksana seringkali mengakibatkan aktivitas erosi disertai tanah longsor terutama pada lahan kering campuran. Gambar 6 menunjukkan aktivitas penggunaan lahan yang kurang bijaksana dan juga aktivitas tanah longsor pada DAS Kelara. Tabel 2. Tata guna lahan berdasarkan penggunaan lahan pada DAS Kelara Penggunaan Lahan
Luas (ha)
Persentase (%)
3.707
9,48
930
2,38
54
0,14
27.224
69,61
385
0,98
Savana
10
0,03
Sawah
5.398
13,80
Semak/Belukar
1.023
2,61
Tambak
150
0,38
Tubuh Air (sungai)
232
0,59
39.112
100
Hutan Alam Hutan Tanaman Permukiman Pertanian Lahan Kering Campuran Pertanian Lahan Kering
Total Sumber: Analisis data citra landsat tahun 2009
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
91
Gambar 5. Penggunaan lahan di DAS Kelara.
a)
b)
Gambar 6. a) Aktivitas pertanian lahan kering pada DAS Kelara yang mengakibatkan aktivitas erosi yang tinggi, b) Tanah longsor pada pinggir-pinggir sungai DAS Kelara.
E. Kondisi Hutan Di dalam kawasan hutan alam DAS Kelara terutama pada bagian hulu DAS, flora yang banyak ditemui adalah jenis podocarpos (konifer asli), Arega sp., pohon mapel (Acercaesicum), rotan, paku tiang, paku besar, Lantana camara verb, tahi angin (lumut/Usnea, kerak/Lychenes), azalea (Rhododendron), arbei (Morus alba), Gaultheria
celebica, Gaultheria viridifloria, buni (diplycosi/berbau seperti gandapura), lumut
92
|
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
aerobryum, edelweis (Andaphaus javanicum), dan sebagainya. Sedangkan faunanya adalah anoa (Bulbalus depressicrnius), babi hutan, babi rusa, burung coklat paruh panjang, elang sulawesi dan semut crematosaster. Pada hutan tanaman banyak pula dijumpai jenis Pinus merkusii Jung et de Vriese, di mana jenis tanaman ini dapat pula dijumpai pada hutan alam hasil reboisasi (Hasnawir et al., 2011). Status kawasan hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman yang ada pada DAS Kelara adalah hutan lindung. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan ini (hulu DAS Kelara) memanfaatkan hutan ini untuk aktivitas perkebunan dengan menanam tanaman kopi di bawah tegakan pinus. Luas hutan pada DAS Kelara adalah seluas 4.637 ha atau 11,86% dari luas total DAS kelara (39.112 ha). Ini menunjukkan bahwa luas hutan di DAS Kelara belum memenuhi luasan 30% sebagaimana ketentuan UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Di samping itu, kondisi hutan di DAS Kelara menunjukkan suatu ancaman jika tidak dapat dikendalikan, berupa aktivitas masyarakat menanam kopi di bawah tegakan pinus, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7.
a)
b)
Gambar 7. a) Kondisi hutan pada Das Kelara Provinsi Sulawesi Selatan, b) Aktivitas masyarakat memanfaatkan kawasan hutan di DAS Kelara dengan menanam tanaman kopi di bawah tegakan pinus.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
93
III. TATA AIR Hutan dipandang sebagai pemasok air secara lestari, namun beberapa penelitian menunjukkan hasil yang beragam. Beberapa ahli hidrologi hutan menyepakati bahwa hutan dalam kaitannya dengan penggunaan lahan lainnya lebih konsumtif air sehingga mengurangi total debit air atau hasil air (Lull dan Reinhart, 1967; Hibbert, 1967; Bost dan Hewlett, 1982). Teori umum adalah bahwa hutan telah meningkatkan intersepsi air dan mengurangi air melalui transpirasi, sehingga evapotranspirasi meningkat dan debit air menjadi berkurang (Trimble, et al., 1987). Tingkat tata air pada DAS Kelara dapat dilihat dari jumlah debit air sungai atau anak sungai ataupun pada sub DAS yang ada pada DAS Kelara. Fluktuasi debit air maksimum dan minimum merupakan salah satu indikator penting atas penggunaan lahan ditinjau dari aspek tata air. Berdasarkan SK Dirjen RLPS Kementerian Kehutanan No. P.04/V-SET/2009 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai, bahwa KRS (Koefisien Regim Sungai) dari perbandingan antara debit maksimum dengan debit minumum adalah <50 menunjukkan kategori baik, 50 – 120 adalah kategori sedang dan > 120 adalah kategori buruk. Debit air sungai pada tiga sub DAS Kelara tergolong baik sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 8 menunjukkan pembagian wilayah DAS Kelara. Tabel 3. Debit air pada tiga sub DAS Kelara
No.
Sub DAS
Debit air sungai (m3/det) Maksimum
Minimum
Kategori debit air sungai
1.
Palladingan
32
0,73
Baik (KRS<50)
2.
Tompobulu
38
0,86
Baik (KRS<50)
3.
Kelara Hilir
136
3,14
Baik (KRS<50)
Sumber: Hasnawir et al., Laporan Hasil Penelitian BPK Makassar, 2011
94
|
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
(1)
(2)
Sub Das Palladingan (1)
(3)
Sub Das Tompobulu (2) Sub Das Kelara Hilir (3)
Gambar 8. DAS Kelara yang dibagi dalam 3 sub DAS.
Secara umum DAS Kelara memiliki rata-rata debit air sungai pada bagian hulu DAS adalah 2,07 m3/detik, pada bagian tengah DAS sebesar 10,80 m3/detik dan pada bagian hilir sebesar 14,91 m3/detik. Semakin ke hilir DAS Kelara semakin lebar dan dalam, sehingga menghasilkan debit air yang lebih besar di samping pada daerah hilir merupakan akumulasi dari air sungai yang mengalir dari hulu dan tengah DAS. Pada daerah hilir, pemanfaatan sumber air dari DAS Kelara umumnya digunakan untuk keperluan irigasi pertanian. Lebih dari 5.000 ha sawah memanfaatkan irigasi yang airnya bersumber dari DAS Kelara. Pemanfaatan lain dari sumber air DAS Kelara adalah untuk keperluan domestik masyarakat pada dua kabupaten, termasuk pemanfaatan untuk air minum PDAM (Gambar 9 dan Tabel 4). Tabel 4 menunjukkan bahwa air cukup tersedia untuk keperluan pertanian, rumah tangga, dan air minum bagi masyarakat yang ada dalam DAS Kelara. Namun penambahan
areal
persawahan
dan
juga
peningkatan
jumlah
penduduk,
serta
manajemen tata air yang kurang baik akan memungkinkan kekurangan air pada DAS Kelara terutama pada musim kemarau. Rata-rata pengaruh hujan mengakibatkan debit air sungai meningkat sampai 300%. Ini terlihat dari perbedaan rata-rata debit air sungai pada musim kemarau (Mei s/d Oktober) dibandingkan pada musim hujan (Nopember “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
95
sampai April) pada bagian hilir DAS Kelara. Ditunjukkan pada Gambar 10 bahwa debit air sungai mengalami peningkatan 3 kali lipat pada beberapa bulan di musim hujan setelah musim kemarau.
16
Debit Air (m3/dtk) 3000
2952
14.91
14
2500
Debit air (m3\dtk)
12
10.8
2000
10
1822
8
1500
6
1000
1056
4 500
2.07
2 0
Intensitas curah hujan (mm/thn)
Intensitas Curah Hujan (mm/tahun)
0 Hulu DAS
Tengah
Hilir DAS
Gambar 9. Debit air sungai and intensitas curah hujan di DAS Kelara.
Tabel 4. Ketersediaan air dan kebutuhan air di DAS Kelara Provinsi Sulawesi Selatan No
1
Uraian
Hulu DAS
Debit air ratarata (m3/dtk)
Ketersediaan air (m3/thn)
Kebutuhan air (m3/thn)
2,07
193.155.840 (3 anak sungai)
51.157.792
2
Tengah DAS
10,80
335.923.200
70.432.160
3
Hilir DAS
14,91
463.760.640
97.058.320
Keterangan
Penduduk 49.972 jiwa (2010) Sawah pengairan 548 ha Penduduk 60.060 jiwa (2010) Sawah pengairan 1.777 ha Penduduk 75.702 jiwa (2010) Sawah pengairan 3.164 ha PDAM 889.248 m3/tahun
Keterangan lain : Kebutuhan sawah irigasi 8.000 m3/ha/tahun (Masjudhi, 2002), kebutuhan air (domestik) per orang 2,6 m3/orang/hari (FAO, 1999).
96
|
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Debit air sungai (m3\det)
50.00 40.00 30.00 22.63 20.00
21.46
19.40 18.79 16.08
16.74
14.54
10.85
15.68
10.00
8.20
7.34
7.20
Jan
Peb Mar Apr Mei Jun
Jul
Ags Sep Okt Nop Des
Bulan Gambar 10. Debit air sungai rata-rata pada hilir DAS Kelara (Dinas PU, Bidang Pengairan, Provinsi Sulawesi Selatan, 1977 – 2010).
IV. PENUTUP Penelitian karakteristik biofisik DAS terkait optimalisasi luas hutan terhadap tata air di DAS Kelara, Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa karakteristik biofisik termasuk jenis tanah, geologi, elevasi, kelerengan, iklim serta sistem pengelolaan yang digunakan, memengaruhi tata air dalam DAS Kelara. Secara signifikan ditunjukkan bahwa iklim (curah hujan) mampu meningkatkan hasil air sebesar 300% dari musim kemarau ke musim hujan.
Hasil air pada hulu DAS sebesar 193.155.840 m3/tahun, pada bagian
tengah DAS menghasilkan air sebesar 335.925.200 m3/tahun, sedangkan pada daerah hilir DAS menghasilkan air sebesar 463.760.640 m3/tahun. Ketersediaan air saat ini untuk kebutuhan masyarakat masih mencukupi, namun mungkin akan menjadi masalah seiring perkembangan masyarakat dan pertambahan penduduk. Luas hutan pada DAS Kelara sebesar 11,86% dari total luas DAS. Dengan luasan yang kurang dari 30% ini, mengisyaratkan perlunya pengelolaan yang lebih optimal terkait tata air. Tantangan ataupun ancaman dalam mempertahankan fungsi DAS Kelara terkait tata air, nampak jelas dari aktivitas masyarakat yang kurang bijaksana dalam penggunaan lahan di samping aktivitas perkebunan kopi di dalam kawasan hutan. Sebagai rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah diperlukan sistem pengelolaan tata air yang baik agar kontinuitas air dapat terjaga, meskipun pada musim kemarau dengan tingkat kebutuhan air yang ada. Salah satunya adalah dengan pembangunan waduk air. Selain itu diperlukan upaya-upaya dari berbagai pihak termasuk pemerintah “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
97
pusat, provinsi, dan kabupaten melalui suatu kebijakan yang terpadu dan juga pembinaan pada masyakat tentang hutan, tanah, dan air dalam rangka mempertahankan fungsi DAS secara baik. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. (1999). Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Anonimous. (2004). Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Anonimous. (2009). SK Dirjen RLPS Kementerian Kehutanan No. P.04/V-SET/2009 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Bosch, J.M., and J.D. Hewlett, (1982). A review of catchmenet experiments to determine the effect of vegetation changes on water yield and evapotranspiration, Hydrology, 55, 3-23. Departemen Kehutanan Republik Indonesia, (2008). Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia, Jakarta. Dinas Pekerjaan Umum, Bidang Pengairan, Provinsi Sulawesi Selatan, (2011). Pencatatan Staff Gauge tahun 1977 – 2010. FAO, (1996). Food Production : The Critical Role of Water. Technical Background Document 6 – 11. World Food Summit. Rome. Italy. Hasnawir, Rizal A.HB., Nur Hayati, Widianto, T., Hamdan, A. Ruru, (2011). Pengelolaan DAS berbasis luas hutan optimal untuk tata air pada berbagai kondisi alam selaras dengan sistem pemerintahan otonomi (Laporan Hasil Penelitian) Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar (Tidak diublikasikan). Hibbert, A.R., (1967). Forest treatment effects on water yield, Forest Hydrology, edited by W.E. Sopper and H.W. Lull, pp. 527-543. New York: Pergamon. Lull, H.W., and N.G. Reinhart, (1967). Increasing water yield in the north-east by management of forested watersheds, Pap. NE-66, U.S. Forest Serv. Masjhudi, S.H. (2002). Pengembangan dan Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Efisiensi Penggunaan Air di Indonesia. Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia. p. 119. Jakarta: P3TPSLK BPPT – Hans Seidel Foundation (HSF) Jerman. Schmidt, F. H. and Ferguson, J. H. A. (1951). Rainfall types based on wet and dry period ratios for Indonesia with western New Guinea. p.42. Djakarta: Verhandelingen Djawatan Meteorologi dan Geofisik. Trimble, S.W., F.H. Weirich, and B. L. Hoag, (1987). Reforestation and the reduction of water yield on the Southern Piedmont sin circa 1940. Water Resources Research, 23(3), 425-437.
98
|
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
KONSERVASI EX-SITU DALAM RANGKA PELESTARIAN EBONI (Diospyros celebica Bakh) Merryana Kiding Allo1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Eboni (Diospyros celebica Bakh) merupakan salah satu jenis endemik, dan merupakan bagian dari sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem wilayah Wallacea. Kayu eboni memiliki corak kayu yang indah serta sifat kekuatan dan keawetan tergolong kelas tinggi, hal ini menyebabkan nilai jualnya tinggi. Spesies eboni berbentuk pohon, tumbuh pada habitat alami yang spesifik, peka terhadap perubahan dan memiliki wilayah sebaran yang terbatas, hanya dapat dijumpai di hutan-hutan Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah. Kayu eboni hingga saat ini masih menjadi sasaran ilegal logging karena harga jual yang sangat mahal. Hutan tanaman eboni belum banyak dikembangkan, karena daur panennya sekitar 100 tahun, hal ini menyebabkan jenis eboni akan terancam punah. Konservasi ex-situ sebagai salah satu upaya pelestarian eboni yang terus mengalami degradasi potensi populasi, dan habitat alaminya, serta keragaman genetiknya perlu dipertahankan. Kata kunci: Eboni, konservasi ex-situ, pelestarian
I. PENDAHULUAN Hutan tropika wilayah Wallacea dikenal sebagai komunitas keanekaragaman hayati dengan sifat endemitas yang sangat tinggi, kondisi ini disebabkan oleh proses pembentukan geologi yang berbeda dengan kawasan lainnya di dunia. Kehadiran jenisjenis endemik merupakan suatu ciri dari wilayah peralihan/pertemuan antara jenis flora maupun fauna dari benua Asia dan Australia. Eboni (Diospyros celebica Bakh) merupakan flora jenis endemik yang memiliki sebaran habitat yang terbatas di hutan-hutan Sulawesi, serta menjadi bagian dari salah satu sumber daya hayati yang mendukung proses-proses ekologis dalam ekosistem alam. Selanjutnya keseimbangan ekosistem alami akan menurun karena terganggunya proses ekologis akibat punahnya jenis endemik. Kayu eboni termasuk komoditi ekspor yang harga jualnya lebih mahal dari harga kayu jenis komersial di Indonesia. Kayu eboni bercorak berupa strip yang tersusun rapi dengan warna hitam cokelat muda dan cokelat tua kemerahan yang letaknya berselangseling pada kayu teras eboni. Corak seperti ini hanya diperoleh dari kayu eboni asal Sulawesi Tengah, sedangkan kayu eboni dari asal tempat tumbuh atau lokasi lain berbeda bentuk corak maupun warna kayu. Suhaendi (2009), menyebutkan bahwa keragaman 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
99
sifat-sifat morfologi dan ornamen warna kayu eboni, baik pada tempat tumbuh yang sama maupun pada provenansi yang berbeda merupakan bahan baku utama untuk menyusun strategi pemuliaan eboni. Eksploitasi kayu eboni umumnya masih diperoleh dari hutan alam, karena daur hidup eboni sangat panjang yaitu > 125 tahun, sehingga sampai saat ini belum ada hutan tanaman eboni. Pertumbuhan eboni yang sangat lambat menyebabkan ketersediaan pohon eboni di hutan alam (habitat alami) semakin berkurang, sehingga menjadi incaran pencurian dalam bentuk illegal logging dan ilegal ekspor. Oleh karena itu berdasarkan pada jumlah pohon yang berbuah dalam 3 tahun terakhir, terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa populasi pohon eboni semakin berkurang sifat reproduksinya. Steup (1935) dan Bersluis (1947) dalam Soerianegara (1967) menyatakan, bahwa taksiran riap diameter pohon eboni sebesar 0,5 cm/tahun dan riap volume pohon eboni adalah 0,5 m³/ha per tahun. Status keberadaan eboni sebagai jenis vurnareble yaitu jenis yang rawan terhadap perubahan-perubahan karena habitatnya yang spesifik, menurut beberapa data dalam 20 tahun terakhir dan hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa populasinya makin menurun di alam. Di Provinsi Sulawesi Tengah dalam kurun waktu 18 tahun dari tahun 1985 - 2001 terjadi penebangan eboni dengan estimasi volume sebanyak 223.356,07 m³ atau setara dengan kehilangan habitat eboni seluas 67.889,38 ha pada hutan primer dan seluas 95.045,14 ha pada hutan sekunder berdasarkan hasil pengamatan terakhir dalam tahun 2011 (Kiding Allo, 2012). Kayu Eboni dikenal dengan nama kayu hitam telah ditetapkan sebagai maskot
flora di Sulawesi Tengah berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah No. 18444/1067/RO/BKLH/1990, tanggal 24 Februari 1990, yang bertujuan agar masyarakat dapat berperan aktif dalam pelestarian eboni. Pelestarian eboni telah dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Pemda Provinsi Sulawesi Tengah, berupa penanaman yang berlokasi di Desa Nupaboma, Kec. Tawaeli seluas 100 ha dengan jumlah tanaman 50.000 pohon pada tahun 2001, di Desa Maleali dan Desa Sausu Piore seluas 57 ha yang ditanami 5.000 pohon pada tahun 2003 - 2006, di Kecamatan Damsol seluas 1.400 ha yang ditanami 250.000 pohon pada (2006), di desa Lende 500 batang (tahun 2008) (Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, 2005).
100 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
II. STATUS KONSERVASI EBONI Jenis-jenis endemik mempunyai peranan penting bagi kehidupan di dalam suatu ekosistem, karena dengan punahnya salah satu sumber daya akan memengaruhi prosesproses ekologi selanjutnya. Berdasarkan data IUCN (2011), jenis eboni termasuk ke dalam kategori Vulnerable A1cd+2cd ver 2.3 artinya peka/sedang menghadapi resiko yang tinggi untuk mengalami kepunahan, dan telah dievaluasi untuk dimasukkan dalam
Appendix II CITES. Jenis ini termasuk dalam daftar jenis-jenis yang terancam punah atau kemungkinan punah jika perdagangannya tidak diatur. Konservasi bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya hayati serta keseimbangan ekosistemnya. Upaya Konservasi dalam bentuk kebun konservasi genetik merupakan hal yang penting dan mendesak dilakukan sebagai upaya komprehensif guna menyelamatkan eboni dari ancaman kepunahan. Secara umum, konservasi sumber daya genetik dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu konservasi
in-situ dan ex-situ. Konservasi in-situ adalah konservasi komponen keanekaragaman hayati di habitat alamnya, yang bertujuan agar organisme berfungsi secara alami di ekosistem
yang
bersangkutan.
Konservasi
ex-situ
adalah
konservasi
komponen
keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya, yang bertujuan untuk melayani program
breeding dan bioteknologi. Konservasi ex-situ merupakan jembatan antara program pemuliaan dan bioteknologi dengan konservasi in-situ (Suseno et al., 1998).
Suhendi
(2009) menyebutkan bahwa keberhasilan pembangunan hutan tanaman eboni masih kurang memuaskan karena kurangnya informasi tentang aspek-aspek silvikultur tentang eboni yang dapat dimanfaatkan. Salah satu bentuk usaha pelestarian jenis tumbuhan adalah menetapkan dan mengelola kawasan konservasi seperti cagar alam dan taman nasional. Pembangunan kebun koleksi, kebun percobaan merupakan salah satu upaya konservasi ex-situ, sedangkan usaha pengembangan pada habitat aslinya adalah konservasi in-situ. Pengembangan eboni secara ex-situ membutuhkan areal yang memiliki kondisi lingkungan relatif sama dengan habitat alaminya. Akibat eksploitasi yang tidak terkendali, perambahan dan konversi lahan, mengakibatkan populasi eboni semakin berkurang dan menyisakan tegakan-tegakan dari sisa tebangan yang kualitas pohonnya jelek. Diharapkan upaya perlindungan pada arealareal tertentu dipertahankan sebagai sumber benih eboni. Pemerintah Indonesia telah menetapkan 356 areal konservasi di berbagai pulau yang total luasnya sekitar 17,7 juta hektare (Hardiyanto dan Na’iem, 2002). Areal “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
101
konservasi tersebut antara lain bertujuan untuk melindungi jenis flora maupun fauna yang mulai langka keberadaannya. Beberapa penyebab hilangnya keragaman genetik suatu jenis flora oleh Myer dan McNeely dalam Deshmukh (1992), antara lain : 1.
Pemanfaatan sumberdaya genetik yang berlebihan, seperti penebangan yang berlebihan di habitat alaminya.
2.
Perambahan
hutan,
perladangan
berpindah,
perluasan
lahan
pertanian
dan
perkebunan mengakibatkan berkurangnya kemampuan regenerasi alami suatu jenis. 3.
Perubahan iklim seperti meningkatnya suhu udara, perubahan curah hujan, dan kecepatan angin, secara bersama-sama dapat memengaruhi ekosistem keseluruhan.
4.
Polusi udara dan air berpengaruh nyata pada produksi dan komposisi hutan, khususnya di benua Eropa.
5.
Masuknya jenis-jenis eksotik ke dalam hutan dapat mengurangi keragaman jenis, apabila jenis eksotik tersebut mendominasi di kawasan baru.
6.
Pengembangbiakan secara buatan yang dalam prakteknya berasal dari sejumlah kecil jenis yang terseleksi. III. SEBARAN DAN POTENSI EBONI PADA BEBERAPA HABITAT Jenis-jenis tumbuhan tertentu mempunyai wilayah sebaran yang luas dan
memiliki kemampuan beradaptasi terhadap berbagai kondisi lingkungan. Sebaliknya jenis eboni wilayah sebarannya terbatas,
dan peka
terhadap perubahan lingkungan,
menyebabkan populasinya semakin berkurang atau langka. Menurut sejarah pemberian nama daerah pada eboni yaitu berdasarkan tempatnya dijumpai misalnya nama ‘maito’ di Manado, ‘ayoe maoti’ dan ‘togas’ di daerah Donggala, ‘ayu moitong’ di Parigi, ‘toe’ di Poso, ‘limara’ di Luwu dan ‘Asora’ di Malili (Bakhuizen,1936). Berdasarkan nama-nama tersebut, menunjukkan sebaran eboni hampir pada seluruh wilayah Sulawesi, kecuali Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Gorontalo. Tempat tumbuh alami eboni mengikuti alur pegunungan vulkanik tua. Nama perdagangan eboni dikenal dengan ‘macassar ebony’ (Inggris, Amerika)
ebene de macassar, coromandel (Perancis), ebano di Macassar (Italia), coromandel, gestreept ebben (Belanda). Dari berbagai sumber disebutkan bahwa eboni termasuk komoditas ekspor yang istimewa, telah diperdagangkan sejak abad ke 18 dengan negara tujuan Jepang, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (Balai Penelitian Kehutanan, Makassar
102 |
dan
Fakultas
Kehutanan,
Universitas
Hasanuddin,
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
2011).
Selanjutnya
disebutkan bahwa penyebaran eboni di Sulawesi Utara adalah Gorontalo, Bolaang Mangondouw dan Minahasa. Di Sulawesi Tengah wilayah penyebarannya di Kabupaten Poso, Donggala, Parigi, Toli-Toli, Kolonedale, dan Kabupaten Luwuk. Di Provinsi Sulawesi Barat ditemukan di Mamuju, Tasiu dan Pasangkayu. Di Provinsi Sulawesi Selatan ditemukan di Kabupaten Luwu, Maros, Sidenreng Rappang, Barru, dan Kabupaten Gowa. Habitat eboni di Bolaang Mongondow, Minahasa, Kabupaten Marisa, dan di Gorontalo habitatnya tidak dijumpai. Sedangkan di kawasan hutan wisata Popayato sebagai bagian dari kawasan TN Bogani NWB, terdapat tanaman hasil pengayaan yaitu, jenis D.
pylosanthera dan di C.A Marisa ditemukan tegakan alam D. pylosanthera dengan jumlah pohon kira-kira 25 pohon/ha, yang berdiameter antara 12 - 47 cm, sedangkan tingkat pancang sebanyak 10 pohon/ha dan tingkat semai tidak ada. Soerianegara (1967) menjelaskan bahwa potensi permudaan eboni semakin berkurang di Poso, tingkat anakan ada 20 batang/m² (kelompok hutan Tambora), 11 batang/ m² (kelompok hutan Auma), 5 batang/m² (kelompok hutan Kagila), sedangkan di kelompok hutan Gn. Maeta tidak dijumpai permudaan. Selanjutnya Pandjaitan dan Dali (1971), pada hutan Ampibabo, tingkat semai dijumpai hanya 33,33% dan tingkat sapihan 15,55%.
Selanjutnya Tibo dan Sausu (KPH Donggala), mengemukakan bahwa semai
eboni dijumpai banyak tumbuh pada tempat yang teduh bebas dari semak serta di bawah pohon induk. Dan dalam Hendromono dan Kiding Allo (2006) menyebutkan, bahwa pada kawasan hutan Padangloang dan C.A Karaenta semai alami cukup banyak ditemukan di dekat pohon induknya, namun jumlah pancang dan tiangnya jarang bahkan pada beberapa bagian tidak ditemukan. Pada kelompok eboni di Hutan Lindung Padang Loang jarang di temukan anakan. Anakan eboni di kawasan ini tersebar tidak begitu jauh dari pohon induknya. Berdasarkan data-data tersebut di atas dapat dikatakan bahwa regenerasi jenis eboni secara alamiah sangat rendah, sehingga dibutuhkan penanganan lebih intensif dalam pengelolaan tanaman eboni. Potensi eboni berdasarkan hasil penelitian terakhir (Balai Penelitian Kehutanan Makassar dan Universitas Hasanuddin, 2011) di Bellabori, Kab. Gowa ditemukan pohon eboni berdiamater rata-rata 25 cm (pada kisaran diameter batang antara 19 - 58 cm).
Adapun sebaran kelas-kelas diameter
batang eboni disajikan dalam Gambar 1.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
103
Gambar 1. Sebaran kelas-kelas diameter batang pohon-eboni di Bellabori, Kab. Gowa. Pada gambar, menunjukkan distribusi kelas-kelas diameter yang tidak merata. Kelas diameter 31 - 35 cm dan 36 - 40 cm jumlahnya lebih sedikit yaitu 10-12 pohon dibandingkan dengan kelas diameter 41 - 45 cm. Sedangkan pada kelas diameter 46 - 50 cm dan 51 - 55 cm tidak ditemukan di lapangan, untuk kelas diameter 56-60 cm cukup banyak, yaitu 10-12 pohon yang mana jumlah ini sama banyak dengan kelas-kelas diameter 31-35 cm dan 36-40 cm. Kondisinya berbeda di Lasitae, Kab. Barru yaitu pola sebaran kelas-kelas diameter pohon (Gambar 2.) menunjukkan beberapa perbedaan kisaran kelas-kelas diameter di Lasitae rentangannya lebih besar yaitu dari kelas diameter 1 - 5 cm hingga 41 - 45 cm. Kelas-kelas diameter pohon yang lebih kecil dan berada pada dua urutan terbawah (1-5 dan 6-10 cm) jumlahnya cukup banyak, yaitu 140 dan 225 pohon. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi permudaan di alam cukup baik. Apabila dihubungkan dengan data potensi permudaan, dimana permudaan tingkat tiang dan pohon jumlahnya cukup melimpah. Sedangkan permudaan tingkat semai sangat sedikit bahkan hampir tidak ditemukan (Balai Penelitian Kehutanan Makassar & Tim Peneliti Univ. Hasanuddin (2011) .
Gambar 2. Sebaran Kelas Diameter Eboni, Lokasi Lasitae Kabupaten Barru. 104 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Eboni umumnya ditemukan tumbuh secara mengelompok (clumping) dalam hutan campuran formasi dataran rendah baik pada hutan hujan tropis maupun pada hutan musim, sebagai pohon penyusun utama dalam tegakan campuran (Steup, 1935 dalam Riswan, 2002; Whitten et al., 1884)
IV. UPAYA DAN BENTUK KONSERVASI EX-SITU EBONI Konservasi pengawetan,
jenis
endemik
pemeliharaan,
secara
umum
meliputi
kegiatan
perlindungan,
rehabilitasi, introduksi, pelestarian, pemanfaatan dan
pengembangan. IUCN memberikan 3 komponen strategi konservasi, yang bertujuan : - Menjaga proses ekologis essensial dalam bentuk pencagaran sumber daya alam yang dilindungi pemerintah. - Mengamankan
keanekaragaman
genetik
dalam
bentuk
perlindungan
terhadap
kepunahan agar masing-masing unsur dapat berfungsi dalam alam dan siap dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia. - Pengawasan terhadap perdagangan dan ekspor. - Mempertahankan fungsi spesies dan ekosistemnya dalam bentuk, pemanfaatan secara non komsumtif dan budidaya pengembangan serta perbaikan selektif. Konservasi sumberdaya genetik merupakan hal penting mendesak dilakukan sebagai upaya komprehensif guna menyelamatkan eboni dari ancaman kepunahan. Jepson dan Whittaker (2002) menyatakan bahwa pembangunan kebun konservasi genetik, merupakan usaha untuk menyelamatkan komponen-komponen keanekaragaman hayati atau individu tumbuhannya sekaligus mengonservasi habitat alaminya. Selanjutnya Widyatmoko, et al. (2011) berdasarkan hasil studi keragaman genetik eboni menyebutkan bahwa keragaman genetik eboni asal tiga lokasi provenan Wasuponda, Parigi Moutong dan Karaenta masih relatif tinggi. Sehingga penurunan keragaman genetik dapat dihindari apabila individu pohon dapat dilindungi dengan baik. Pelestarian didasarkan pada kemampuan lingkungan dalam mendukung kehidupan sumber daya hayati secara berkesinambungan saling mendukung sehingga tercipta suatu kehidupan yang serasi mendekati kehidupan awal. Upaya pelestarian eboni dipengaruhi berbagai faktor, sehingga pelestariannya haruslah merupakan kegiatan terpadu dalam suatu pengelolaan, mulai dari penanaman sampai kepada pemanfaatannya yang bernilai ekonomis, sehingga dapat memberikan
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
105
nilai optimal, tidak hanya nilai ekonomi tapi juga nilai ekologis dan nilai sosial budaya, mengingat jenis ini merupakan jenis endemik Sulawesi. Untuk menghindari terjadinya kelangkaan dan kepunahan spesies eboni, maka dalam rangka pelestariannya beberapa tahapan kegiatan yang harus dilakukan, yaitu: -
Peningkatan pengelolaan kawasan konservasi secara terpadu.
-
Tersedianya luasan tertentu di dalam areal hutan produksi yang tidak dieksploitasi untuk kepentingan konservasi keanekaragaman hayati beserta keragaman genetik.
-
Pemanfaatan spesies harus disesuaikan berdasarkan kemampuan spesies dengan didukung oleh kondisi alam melakukan regenerasi.
-
Pembinaan populasi dan habitat eboni yang sudah teridentifikasi untuk tujuan meningkatkan produksi dan tujuan pendidikan, penelitian dan wisata. Adapun bentuk-bentuk upaya pelestarian eboni yang sementara dan yang akan
diupayakan kelangsungannya, yaitu : 1. Perlindungan Upaya perlindungan melalui surat keputusan atau perda sesuai aturan pelestarian eboni dan perlindungan internasional diperlukan. Pengendalian ilegal ekspor, sehingga kontrol perdagangan internasional melalui CITES sangat diperlukan. 2. Konservasi Upaya konservasi meliputi konservasi in-situ dan ex-situ, yaitu konservasi in-
situ dapat dilakukan dengan penetapan cagar alam dan taman nasional serta pembangunan pembibitan di habitat eboni. Sedangkan konservasi ex-situ belum banyak dilakukan, seperti penanaman eboni sebagai tanaman pekarangan, hutan kota dan peneduh jalan, hutan kemasyarakatan atau hutan rakyat eboni serta hutan tanaman eboni. Adapun bentuk konservasi genetik ex-situ yang dapat dilakukan adalah : -
Pengawetan tanaman di dalam kebun-kebun botani dan kebun raya.
-
Pembangunan kebun-kebun benih (seed orchard), sebagai upaya pengadaan bibit untuk pengembangan di luar habitat aslinya, hal ini perlu dukungan pengetahuan tentang teknik budidaya eboni. Pembangunan kebun konservasi genetik dalam rangka pengamanan keragaman genetik eboni dan perbanyakan secara vegetatif mikro atau secara in-vitro, untuk memertahankan sifat turunan dari tetuanya (pohon induknya).
106 |
Pembangunan bank-bank plasma.
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
3. Pemanfaatan Kayu Eboni Pemanfaatan kayu eboni di dalam negeri sebatas pada barang kerajinan dan mebel dalam skala industri kecil. Pemanfaatan limbah dari kayu eboni masih jarang, hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat penguasaan teknologi dan modal masyarakat yang sangat terbatas. Ketidakjelasan aturan tentang pemanfaatan kayu eboni, sehingga membatasi investor.
Sedangkan di luar negeri pengolahannya
sangat bervariasi sehingga permintaan sebagai bahan baku industri sangat tinggi. Hal ini mendorong maraknya ilegal logging dan ilegal ekspor. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengolahan dan pemanfaatan yang lebih optimal melalui industriindustri perkayuan yang terintegrated. 4. Penelitian Pengembangan Eboni Penelitian tentang jenis eboni dari berbagai aspek sangat diperlukan seperti penelitian aspek silvikultur, ekologi, sosial budaya masyarakat di sekitar hutan eboni, cara panen hingga pengolahannya. Jenis kayu eboni dikenal karena coraknya yang indah maupun kekuatan kayu terasnya. Pertumbuhan kayu teras dari eboni sangat lambat, sehingga dibutuhkan suatu penelitian untuk mempercepat pertumbuhan kayu terasnya agar dapat dipanen lebih cepat atau mempersingkat masa daurnya.
V. PENUTUP Eboni sebagai flora endemik Sulawesi yang terancam punah, disebabkan ketidakseimbangan antara laju pemanfaatannya atau eksploitasinya dengan riap pertumbuhannya. Degradasi habitat alaminya dan potensi populasinya semakin menurun menyebabkan ketidakseimbangan dalam ekosistem dan memengaruhi proses ekologi selanjutnya. Dalam rangka pelestarian jenis eboni, upaya-upaya konservasi ex-situ dapat dilakukan beberapa cara seperti, pengawetan tanaman di dalam kebun-kebun botani dan kebun raya, pembangunan kebun-kebun benih (seed orchard), pembangunan kebun konservasi genetik, pengembangan teknik-teknik perbanyakan secara in-vitro dan pembangunan bank-bank plasma.
Selain itu pohon eboni dapat pula ditanam sebagai
tanaman pekarangan, hutan kota dan peneduh di jalan, hutan kemasyarakatan atau hutan rakyat eboni serta hutan tanaman eboni. Dengan pemanfaatan yang optimal, tidak hanya nilai ekonomi tapi juga nilai ekologis dan nilai sosial budaya masyarakat setempat.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
107
DAFTAR PUSTAKA Bakhuizen van den Brink, RC. (1936) Revisio Ebenaceanum Malayensium. Jardin Buiternzorg. Seri III 15(1-5): p 1-151.
Bulletin du
Hardiyanto, E. dan M. Na’iem. (2002). Present Status on Conservation, Utilization and Management of Forest Genetic Resources in Indonesia. Proc. of The South East Asia Moving Workshop on Conservation, Management and Utilization of Forest Genetic Resources. J. Koskela et al. (eds). P 17-28. FORSPA, FAO Bangkok. Balai Penelitian Kehutanan Makassar dan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin (2011). Eksplorasi Habitat dan Populasi Eboni di Sulawesi Selatan (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar dan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. (Tidak dipublikasikan). Desmukh, I. (1992). Ekologi dan Biologi Tropika. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah. (2005). Laporan Akhir Penyusunan Rencana Unit Pengelolaan Pembangunan Hutan Tanaman Lokal Provinsi Sulawesi Tengah. Palu: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah. (Tidak dipublikasikan). Hendromono., & Kiding Allo, M. (2006). Kondisi Sumberdaya Genetik Eboni di Sulawesi Selatan dan Tindakan yang Diperlukan untuk Menjaga dari Kepunahan. Info Teknis, 2 (6), 7-17 Puslitbang Hutan Produksi, Bogor. IUCN. (2011). IUCN red list of threatened species. <www.iucnredlist.org.>. Downloaded on 12 January 2012.
Version
2011.2.
Kiding Allo, M. (2012). Pembangunan Plot Konservasi Genetik Eboni (Diospyros celebica Bakh) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Prosiding Lokakarya Nasional Plot konservasi Genetik Untuk pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka), hal. 45-65. Bogor: Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi Badan Litbang Kehutanan bekerjasama dengan ITTO Priject PD 539/09 Rev.1 (F). Myers, N. (1989). Deforestation Rates in Tropical Forest and Their Climate Implications. London: Friend of The Earth Report. PT. INHUTANI I. (2000). Eboni (Diospyros celebica Bakh); Sulawesi Tengah (Leaflet). Palu: PT. INHUTANI I.
Maskot flora Propinsi
Santoso, B. (2002). Status Sumber Benih di Sulawesi dan Strategi ke Depan. Eboni No. 8. Hal. 6-10. Ujung Pandang: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. Soerianegara, I. (1967). Beberapa Keterangan tentang Jenis-Jenis Pohon Eboni. (Pengumuman No.12). Bogor: Lembaga penelitian Hutan. Suhaendi, H. (2009). Kajian Aspek-Aspek Silvikultur Eboni (Diospyros celebica Bakh) di Indonesia. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian ‘Peran IPTEK dalam Mendukung pembangunan Hutan Tanaman Rakyat’. Palembang: Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan.
108 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Widyatmoko, AYPBC, ILG Nurtjahjaningsih dan Prastyono. (2011). Studi Keragaman Genetik pada Beberapa Jenis Terancam Punah (Endangered Species) menggunakan Penanda RAPD. Prosiding Lokakarya Nasional ‘StatusKonservasi dan Formulasi Strategi Konservasi Jenis-Jenis Pohon yang Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Michelia)’. Bogor: ITTO Project PD 539/09 Rev.1(F) in Coop. with Center or Conservation and Rehabilitation Reseacrh Dev.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
109
AMMARAE-BANGKESANGKEANG: TUJUAN WISATA ALAM ALTERNATIF TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG Indra A.S.L.P. Putri1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Salah satu fungsi keberadaan taman nasional adalah pemanfaatan secara positif berbagai potensi yang ada di dalamnya termasuk untuk kegiatan rekreasi dan wisata alam. Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terkenal dengan ekosistem karst, sangat potensial untuk menjadi daerah tujuan wisata utama Sulawesi Selatan. Hingga saat ini, pemanfaatan keindahan alam Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sebagai obyek dan daya tarik wisata alam hanya terbatas dilakukan pada zona pemanfaatan, padahal zona rimba taman nasional ini juga menyimpan potensi untuk dikembangkan menjadi tempat kegiatan wisata terbatas. Salah satu di antaranya adalah kawasan Ammarae-Bangkesangkeang, yang memiliki potensi atraksi alam, atraksi hayati dan atraksi budaya. Konsep pengembangan wisata yang dapat dilakukan di area ini merupakan pengembangan yang memadukan antara pengembangan kawasan alam dan masyarakat, berupa konsep pengembangan karst dan hutan, sarana prasarana ekowisata, lahan untuk sawah, lahan tegalan dan pemukiman. Kata kunci : Wisata alam, zona rimba, Ammarae-Bangkesangkeang, Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
I. PENDAHULUAN MacKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa taman nasional adalah kawasan relatif luas yang tidak terganggu, yang mempunyai nilai alam yang menonjol, dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi rekreasi yang besar, mudah dicapai oleh pengunjung dan manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, taman nasional didefenisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Selain itu di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 juga disebutkan salah satu kriteria dari taman nasional adalah memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami, juga memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam. Dengan demikian, di samping misi utama pembentukan taman nasional yaitu untuk pelestarian sumber daya alam, maka misi lain dari keberadaan taman nasional adalah dapat dimanfaatkannya berbagai potensi yang 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
110 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
ada di dalam kawasan taman nasional secara positif misalnya pemanfaatan berbagai sumberdaya alam yang khas dan unik, baik berbagai jenis tumbuhan, satwa, ekosistem maupun gejala alam yang masih utuh, asli dan alami sebagai sarana atau media pendidikan, sebagai sarana atau lokasi penelitian, sebagai sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam arti yang luas, serta bagi kegiatan rekreasi dan wisata alam.
II. WISATA ALAM Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara, sedangkan orang yang melakukan kegiatan wisata disebut sebagai wisatawan. Kawasan taman nasional merupakan kawasan yang memiliki ekosistem yang masih asli dan alami sebagai daya tarik wisata, sehingga kegiatan wisata yang dilakukan di kawasan taman nasional merupakan kegiatan wisata alam. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009, yang dimaksud dengan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan, sedangkan menurut Peraturan Ditjen PHKA No P.3/IV-SET/2011, yang dimaksud dengan wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara, untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Marpaung (2002) menyatakan bahwa obyek dan daya tarik wisata merupakan dasar bagi kepariwisataan. Tanpa adanya daya tarik dari suatu area atau daerah tertentu, kepariwisataan akan sulit untuk dikembangkan. MacKinnon et al. (1993) mengemukakan beberapa hal yang menjadi daya tarik atau membuat sebuah kawasan menarik bagi pengunjung antara lain: a.
Letak atau jarak dengan bandara internasional atau pusat wisata utama;
b. Kemudahan pencapaian obyek wisata tersebut; c.
Adanya atraksi atau daya tarik yang menonjol yang dimiliki oleh kawasan tersebut;
d. Kemudahan atau jaminan keberhasilan melihat satwa; e.
Terdapat keistimewaan yang berbeda yang menarik minat; “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
111
f.
Memiliki atraksi budaya yang menarik;
g. Keunikan dalam penampilan; h. Memiliki beberapa macam aktivitas rekreasi; i.
Jarak dengan lokasi lain yang menarik bagi wisatawan sehingga dapat menjadi bagian dari kegiatan wisata lain;
j.
Keindahan panorama alam yang terdapat di sekitar kawasan tersebut;
k.
Standar makanan dan akomodasi yang tersedia. Pada wisata alam, faktor lingkungan atau ketersediaan aktivitas wisata memiliki
nilai yang lebih penting dibandingkan penyediaan kemewahan wisata. Wisata alam bersifat lebih alami dan manajemen wisata alam diarahkan pada penekanan untuk mempertahankan faktor kealamiahan. Fasilitas yang tersedia juga terbatas, dan lebih menekankan pada faktor keamanan pengunjung dan perlindungan sumberdaya alam, daripada kenyamanan dan kesenangan pengunjung. Aksesibilitas yang tersedia juga terbatas dan umumnya memiliki jarak yang cukup jauh dari pemukiman penduduk. Jalan yang tersedia juga sangat terbatas, bahkan dapat hanya berupa jalan trail atau jalan setapak. Umumnya wisata alam dilakukan di kawasan hutan atau kawasan taman nasional, yang merupakan kawasan yang tidak secara khusus di desain untuk tujuan wisata (Hammit dan Cole, 1987). Douglass (1982) menyatakan bahwa bentuk kegiatan wiata alam adalah berenang, jalan-jalan sambil melihat obyek wisata, penjelajahan di kawasan yang masih alami, berkemah dan hiking.
III. EKOWISATA Defenisi ekowisata diperkenalkan oleh Ecotourism Society (1992) sebagai bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan untuk mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Sepanjang perjalanannya, terdapat beberapa defenisi ekowisata yang dikemukakan oleh para ahli. Pleumaron (1997) mendefenisikan ekowisata sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami untuk memahami budaya dan lingkungan alam, dengan berusaha untuk tidak menyebabkan terjadinya perubahan pada integritas ekosistem, dan sekaligus memberikan manfat ekonomi sehingga menjadikan konservasi alam dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Fandeli (2000) menyatakan bahwa ekowisata merupakan wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi
112 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
masyarakat setempat.
Australian Department of Tourism (1994) menyatakan bahwa
ekowisata sebagai wisata berbasis pada alam dengan mengikutsertakan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap aspek lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Ekowisata umumnya dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, di samping budaya dan kesejahteraan masyarakat tetap terjaga. Ekowisata merupakan bentuk wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi, dengan tujuan wisata adalah daerah yang masih alami, seperti kawasan konservasi yang berupa taman nasional, taman hutan raya, cagar alam, suaka margasatwa, taman buru, taman wisata alam, maupun ekosistem lain yang masih alami seperti ekosistem sungai, danau, rawa, gambut (Fandeli, 2000). IV. GAMBARAN SEKILAS PARIWISATA TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Kawasan taman nasional dengan luas sekitar 43.750 (empat puluh tiga ribu tujuh ratus lima puluh) hektare ini terletak di Kabupaten Maros dan Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan (BTN Babul, 2011).
Kawasan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung terkenal dengan ekosistem karstnya yang sangat unik dan merupakan bentang alam karst terluas kedua di dunia. Karst merupakan bentang alam pada batuan karbonat yang ditandai oleh fenomena yang khas berupa bukit meruncing, dolina, gua, speleoterm, aliran sungai bawah tanah dan kenampakan lainnya yang terjadi oleh proses perekahan dan pelarutan (Keputusan Menteri ESDM Nomor: 1456.K/20/MEM/2000). Kawasan bukit karst tidak dapat dijumpai di sembarang tempat, hanya pada tempat-tempat tertentu yang memiliki kondisi tertentu yang memungkinkan terbentuknya kawasan karst (White, 1988). Keberadaan bentang alam karst yang tidak dapat dijumpai di sembarang tempat menyebabkan bentang alam dalam bentuk karst menara menjadi daya tarik utama Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sehingga kawasan taman nasional ini mendapat julukan the spectacular tower karst.
Kawasan
karst Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga memiliki panorama atau fenomena alam yang sangat indah dan menarik di samping memiliki potensi sumberdaya alam hayati dengan keanekaragaman yang tinggi dengan segala kekhasannya.
Selain itu
sebagai kawasan karst, Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung kaya akan sumber air dan berperan sebagai resevoir air yang penting, yang terlihat dari banyaknya mata air “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
113
maupun sungai, baik yang mengalir di permukaan maupun yang berada di dalam bukit karst. Kawasan ini juga kaya akan berbagai jenis flora dan fauna endemik, langka dan unik. Salah satu bentuk kekayaan keanekaragaman fauna yang terdapat di kawasan ini adalah banyaknya jenis kupu-kupu, sehingga kawasan ini mendapat julukan the kingdom
of butterfly. Selain kekayaan sumberdaya alamnya, kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung terletak pada lokasi yang sangat strategis. Kawasan ini hanya berjarak sekitar 40 km dari kota Makassar, ibukota provinsi Sulawesi Selatan dan sekitar 20 km dari Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar. Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga memiliki kelebihan lain yaitu terletak di jalur jalan provinsi, sehingga telah tersedia sarana jalan yang beraspal baik. Kemudahan menjangkau kawasan taman nasional ini juga bertambah dengan telah tersedianya berbagai sarana transportasi termasuk angkutan umum. Berbagai kelebihan ini menyebabkan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sangat potensial untuk menjadi daerah tujuan wisata utama penduduk kota Makassar maupun kota lainnya. Hal ini terlihat dari telah dimanfaatkannya beberapa keindahan alam yang terdapat di dalam kawasan taman nasional ini menjadi obyek wisata alam. Salah satunya adalah kawasan wisata Bantimurung yang juga menjadi salah satu obyek wisata alam andalan Provinsi Sulawesi Selatan dan sekaligus menjadi salah satu sumber utama PAD Provinsi Sulawesi Selatan.
V. PEMANFAATAN ZONA RIMBA TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG BAGI WISATA ALAM Berdasarkan UU Nomor 5 tahun 1990, taman nasional dikelola dengan sistem zonasi, dengan tujuan untuk dapat menjaga, mempertahankan dan memanfaatkan potensi sumber daya alam hayati dan ekosistem yang terdapat dalam kawasan taman nasional secara lestari dan seimbang. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56 Tahun 2006, yang dimaksud dengan zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, sedangkan zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Di dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56 Tahun 2006 juga disebutkan berbagai macam zona yang terdapat di dalam kawasan taman nasional antara lain zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan serta zona lainnya.
Sesuai dengan kriteria dan
peruntukan setiap zona yang terdapat dalam peraturan tersebut, maka kegiatan 114 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
pariwisata alam diarahkan untuk dilakukan pada zona pemanfaatan. Meskipun demikian, di dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56 Tahun 2006 juga disebutkan bahwa peruntukan zona rimba adalah untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti. Dengan demikian kegiatan wisata juga dapat dilaksanakan di zona rimba, meskipun hanya berupa wisata terbatas. Bahkan di dalam zona rimba juga diperkenankan adanya pembangunan sarana dan prasarana untuk kegiatan wisata terbatas tersebut. Menurut Keputusan Ditjen PHKA Nomor 129/Kpts/DJ-VI/1996, yang dimaksud dengan wisata terbatas adalah wisata alam yang kegiatannya terbatas pada mengunjungi, melihat dan menikmati keindahan alam di kawasan konservasi. Hingga saat ini, pemanfaatan keindahan alam Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sebagai obyek dan daya tarik wisata alam hanya terbatas dilakukan pada zona pemanfaatan. Berbagai obyek wisata alam terkenal yang terdapat di zona pemanfaatan taman nasional ini antara lain air terjun Bantimurung, Gua Pattunuang, dan Leang-leang. Padahal taman nasional ini memiliki sangat banyak potensi keindahan alam yang tersebar di berbagai lokasi di luar zona pemanfaatan. Hal ini membuka peluang besar untuk dapat dimanfaatkannya potensi yang ada bagi kegiatan wisata alam terbatas. Kondisi ini ditunjang dengan sedang populernya keinginan untuk kembali ke alam. Saat ini di tengah masyarakat dunia, berbagai hal yang menyangkut atau berbau alami, seperti menggunakan bahan-bahan kosmetik yang berbahan dasar alami, memakan makanan organik atau menggunakan produk kesehatan yang alami, seolah menjadi iklan yang terdengar hampir setiap saat. Keadaan ini juga berimbas pada sektor pariwisata. Selera wisatawan pada saat ini juga mengalami pergeseran dari pariwisata yang bersifat massal menjadi pariwisata yang bersifat khusus yang menyangkut wisata alam yang masih alami. Selain itu, saat ini semakin banyak wisatawan yang mencari tempat rekreasi di daerah tropis.
MacKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa peningkatan wisatawan yang
berkunjung ke daerah tropika sebenarnya bertujuan untuk melihat seseuatu yang berbeda, sesuatu yang baru, sesuatu yang spektakuler, sesuatu untuk difoto, ingin bertamasya dengan nyaman dan ingin menggabungkan petualangan dengan berbagai kegiatan santai lainnya. Hal ini menyebabkan keberadaan obyek wisata alam dan wisata minat khusus yang banyak tersebar di berbagai lokasi di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, termasuk di zona rimba Taman Nasional tersebut, merupakan nilai tambah yang dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
115
VI. POTENSI WISATA ALAM DI BANGKESANGKEANG Potensi obyek wisata alam yang dimiliki oleh suatu kawasan merupakan hal yang sangat mendasar bagi pengembangan kepariwisataan di kawasan tersebut. Nasional Bantimurung Bulusaraung
Taman
memiliki banyak potensi keindahan alam sehingga
kawasan ini memiliki potensi yang sangat besar dalam bidang wisata alam dan wisata minat khusus yang terutama diarahkan dalam bentuk kegiatan ekowisata. Sayangnya potensi keindahan alam yang ada di kawasan taman nasional ini belum sepenuhnya dimanfaatkan dengan baik. Masih sangat banyak area yang indah dan sangat potensial untuk dijadikan sebagai obyek daya tarik wisata alam di kawasan taman nasional ini yang belum diekspose dan diketahui oleh masyarakat luas. Salah satu area yang terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang berpotensi bagi kegiatan ekowisata adalah kawasan AmmaraeBangkesangkeang. Kawasan ini memiliki atraksi alam yang asli, alami, memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dibandingkan dengan area lain, liar serta langka yang mampu menjadi daya tarik bagi pengunjung untuk datang menikmatinya. Atraksi wisata alam yang dimiliki oleh kawasan Ammarae-Bangkesangkeang sangat beragam dan dapat dikelompokkan menjadi atraksi alam (keindahan alam non hayati, atraksi hayati (potensi flora dan fauna) dan atraksi budaya, sehingga kawasan ini sangat potensial untuk dijadikan sebagai tempat untuk kegiatan wisata alam, wisata terbatas atau wisata minat khusus, wisata pendidikan maupun wisata budaya. A.
Atraksi Alam Unsur utama yang dapat menarik wisatawan adalah keberadaan panorama atau
pemandangan alam yang indah dan masih asli sebagai bentukan alam tanpa adanya campur tangan manusia. Pemandangan atau panorama alam yang indah tersebut dapat dijumpai di kawasan Bangkesangkeang dan juga di Ammarae. Panorama tegakan bukit karst menara dengan ketinggian yang bervariasi dapat dinikmati dari jauh dari dusun Bangkesangkeang.
Keindahan bukit karst menara tersebut semakin menarik dengan
adanya sungai yang melintasi dusun tersebut ditambah dengan hamparan sawah yang hijau serta kebun palawija masyarakat.
116 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Gambar 1. Kawasan Ammarae dengan hamparan padang rumput dan tegakan bukit karst. Ammarae dapat dicapai dengan berjalan kaki selama sekitar 30 menit dari dusun Bangkesangkeang.
Area ini dicirikan oleh keberadaan padang rumput yang luas yang
terdapat di tengah bentang alam karst menara.
Keberadaan karst menara tersebut
menyebabkan kawasan ini memiliki panorama karst yang sangat indah seperti bukit karst dan menara karst yang terlihat hijau karena tertutup oleh berbagai jenis vegetasi khas kawasan karst.
Di dalam kawasan Ammarae juga dapat dijumpai tiga mata air yang
senantiasa mengalirkan airnya sepanjang tahun. Salah satu mata air yang ada bahkan menjadi sumber air utama bagi warga yang tinggal di dusun Bangkesangkeang. Bukit-bukit karst di kawasan Ammarae-Bangkesangkeang juga menyimpan cukup banyak atraksi keindahan alam yang unik seperti keberadaan beberapa goa yang cukup luas yang memiliki telaga di dalamnya. Pada masa Kahar Muzakkar beberapa puluh tahun yang lalu, goa-goa tersebut digunakan oleh masyarakat desa sebagai tempat berlindung dan bersembunyi dari peperangan. Selain itu bukit karst di kawasan Ammarae juga memiliki aliran sungai bawah tanah dengan debit yang cukup besar yang bunyi alirannya terdengar cukup keras dari luar dinding karst. Sesuai dengan kondisi alamnya yang didominasi oleh tegakan karst menara dengan ketinggian yang bervariasi, jenis kegiatan wisata yang cocok untuk dikembangkan di kawasan ini adalah kegiatan lintas alam, penjelajahan dan panjat tebing. Selain itu, keberadaan hamparan padang rumput yang cukup luas dengan suasana yang asri, sangat mendukung pemanfaatan padang rumput Ammarae sebagai area perkemahan.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
117
B.
Atraksi Hayati Sebagai kawasan karst, kawasan Ammarae-Bangkesangkeang juga mempunyai
keanekaragaman flora dan fauna khas karst yang cukup tinggi. Keanekaragaman flora dan fauna yang cukup tinggi tersebut dapat menjadi salah satu daya tarik utama kawasan ini. 1.
Flora Kawasan karst yang bersifat karstik menyebabkan jenis-jenis tumbuhan yang tumbuh di kawasan tersebut adalah jenis yang dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada seperti tanah yang kurang subur akibat tingginya kandungan kalsium karbonat di dalam tanah dan kurangnya unsur hara seperti Nitrogen (NO3), Fosfor (PO4) dan Kalium (K). Kurangnya unsur hara juga menyebabkan tumbuhan yang ada umumnya kurus, dan pertumbuhannya tidak secepat atau tidak sebesar bila tumbuh pada tanah yang subur, sehingga tegakan hutan di kawasan Ammarae tidak terlalu rapat.
Meskipun demikian, kawasan ini memiliki potensi flora yang cukup
beragam. Hal ini terlihat dari cukup tingginya nilai indeks keanekaragaman hayati tumbuhan yang dapat dijumpai di kawasan ini, seperti yang terlihat pada tabel 1 berikut. Jenis-jenis tumbuhan yang hidup di kawasan Ammarae didominasi oleh jenis Angsana (Pterocarpus indicus Willd.), Banyoro (Pterospermum celebicum Miq.), beraberasa (Drypetes celebica Pax & K.Hoffm.), biraeng (Oroxylum indicum Vent) dan bunga-bunga (Elaeocarpus floribundus Blume). Tabel 1. Nilai Indeks Keanekaragaman hayati (H’) Tumbuhan yang Dijumpai di Kawasan Ammarae dan Bangkesangkeang Pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan No. 1.
2.
Lokasi Ammarae
Bangkesangkeang
Tingkat Pertumbuhan
Indeks H
Semai
3,00
Pancang
1,93
Tiang
2,81
Pohon
2,85
Semai
2.93
Pancang
3.19
Tiang
2.68
Pohon
2.65
Cukup tingginya nilai keanekaragaman tumbuhan di kawasan ini memberikan nilai tambah bagi potensi wisata alam di kawasan ini karena merupakan daya tarik
118 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
tersendiri bagi para wisatawan karena memberikan nilai estetik yang khas yang hanya dapat dijumpai di kawasan karst. 2.
Fauna Kawasan Ammarae juga cukup kaya akan berbagai jenis fauna, utamanya kupu-kupu dan burung. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa di Ammarae dapat dijumpai 5 jenis mamalia, 60 jenis burung, 96 jenis kupu-kupu dan 44 jenis serangga lain. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa kawasan ini memiliki nilai indeks keanekaragaman hayati satwa liar yang cukup tinggi, yang menunjukkan bahwa kawasan ini menjadi habitat bagi cukup banyak jenis satwa liar, seperti yang terlihat pada tabel 2 berikut. Tabel 2. Indeks keanekaragaman Hayati Satwa liar yang Dijumpai di Kawasan Ammarae-Bangkesangkeang No. 1.
2.
Lokasi Ammarae
Bangkesangkeang
Satwa liar
Indeks H’
Mamalia
1,36
Burung
3,93
Kupu-kupu
4,38
Serangga lain
3,54
Burung
2.84
Kupu-kupu
3.75
Serangga lain
2.59
Tingginya nilai indeks keanekaragaman hayati burung dan kupu-kupu yang dijumpai di kawasan Ammarae-Bangkesangkeang menunjukkan cukup banyak dan beragamnya jenis burung yang dapat dijumpai di kawasan ini. Banyaknya jumlah dan jenis satwa liar yang dapat dijumpai di suatu kawasan merupakan faktor sangat menunjang bagi kegiatan wisata alam, seperti pengamatan satwaliar, terutama pengamatan burung. Kondisi ini masih didukung lagi oleh kemudahan untuk melihat dan menjumpai berbagai jenis satwa liar terutama burung di habitat aslinya. Kawasan Ammarae-Bangkesangkeang merupakan habitat yang baik bagi Tarsius (Tarsius sp) yang merupakan jenis monyet terkecil di Sulawesi. Suara teriakan jenis satwa langka dan dilindungi ini dapat terdengar ramai di pagi atau sore hari. Bila sedang beruntung, satwa ini dapat terlihat sedang berlarian di pepohonan pada sore hari. Kawanan monyet sulawesi yang sedang mencari makan di atas pepohonan hutan juga menjadi pemandangan menarik yang dapat disaksikan hampir setiap hari.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
119
Pepohonan yang tidak terlalu rapat dan medan yang terbuka menyebabkan pengamatan burung sangat mudah dilakukan di tempat ini. Kita dapat dengan mudah menyaksikan kawanan burung Rangkong sedang hinggap di pohon Ficus untuk memakan buah Ficus saat pohon tersebut sedang berbuah. Kawanan burung Rangkong yang sedang terbang dengan suara riuh juga memberi panorama tersendiri. Apalagi ditambah dengan suara nyaring kokok ayam hutan yang menambah semarak suasana. Kekayaan jenis fauna di kawasan Ammarae semakin bertambah dengan banyaknya jenis kupu-kupu yang hidup disini. Banyaknya jenis tumbuhan yang menghasilkan bunga menyebabkan kawasan Ammarae sangat cocok menjadi habitat kupu-kupu. Selain itu tidak adanya masyarakat yang berprofesi sebagai penangkap atau pedagang kupu-kupu menyebabkan keberadaan kupu-kupu di kawasan ini relatif bebas dari gangguan atau eksploitasi masyarakat. Atraksi beterbangan berbagai jenis kupu-kupu, termasuk jenis yang telah tergolong langka dan dilindungi seperti Troides
halipron, T. helena, T. hypolithus dan masih banyak lagi jenis lainnya, dapat terlihat pada pagi dan sore hari di sekitar padang rumput dan area hutan. C.
Atraksi Budaya Selain memiliki kondisi alam yang indah yang sangat menunjang untuk dijadikan sebagai obyek wisata alam, kawasan Bangkesangkeang juga memiliki daya tarik lain yang dapat dijadikan sebagai pendukung bagi pengembangan wisata alam, yaitu kehidupan sosial budaya masyarakat Bangkesangkeang. Atraksi budaya yang dapat dinikmati dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Bangkesangkeang adalah kegiatan masyarakat yang masih tradisional, seperti kegiatan harian masyarakat desa dalam menjalani hidup, yang dapat dijadikan atraksi cross culture understanding atau pemahaman budaya lain, khususnya bagi wisatawan yang berasal dari daerah lain di luar Sulawesi Selatan atau dari kota besar yang berminat untuk merasakan susasana kehidupan di pedesaan. VII. KONSEP PENGEMBANGAN WISATA ALAM DI AMMAREABANGKESANGKEANG Wisata alam mencakup banyak kegiatan, dari kegiatan yang menikmati
pemandangan dan kehidupan liar yang relatif pasif, hingga kegiatan fisik seperti wisata petualang yang seringkali mengandung resiko. Namun pada kegiatan wisata alam, faktor utama yang paling berperan adalah keaslian, keindahan dan keunikan alam yang menjadi
120 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
tujuan wisata. Dengan demikian konsep pengembangan wisata alam di kawasan Ammarae-Bangkesangkeang
dapat
didekati
dengan
pola
tetap
mempertahankan
kelestarian alam yang ada atau dengan kata lain memakai prinsip-prinsip ekowisata. Pengembangan ekowisata di kawasan Ammarae-Bangkesangkeang yang dilakukan dengan berpegang pada prinsip ekowisata dan bukan wisata massal, kelestarian kawasan hutan akan dapat terjamin. Hal ini disebabkan karena ekowisata menggunakan pendekatan
pelestarian
dan
pemanfaatan,
dengan
menitikberatkan
pada
aspek
pelestarian dibandingkan dengan pemanfaatan. Ekowisata tidak melakukan ekploitasi terhadap alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan psikologis wisatawan. The Ecotourism Society (1991) dalam Lash (1997) menyatakan bahwa terdapat tujuh prinsip ekowisata yaitu: 1. Mencegah dan menanggulangi dampak negatif
yang dapat merusak atau
mengganggu integritas atau karakter lingkungan alam atau budaya lokal area yang dikunjungi; 2. Mendidik para pengunjung atau wisatawan akan pentingnya konservasi; 3. Memberi pendapatan langsung terhadap upaya konservasi alam dan pengelolaan kawasan tersebut; 4. Memberi manfaat ekonomi dan penghasilan langsung kepada masyarakat lokal yang berdiam di sekitar kawasan konservasi; 5. Menekankan pada pentingnya perencanaan dan pertumbuhan industri pariwisata yang berkelanjutan melalui upaya menjaga agar perkembangan pariwisata tidak melampaui daya dukung sosial dan lingkungan; 6. Porsi terbesar dari penghasilan diupayakan dapat diterima oleh negara tujuan wisata atau daerah setempat melalui pemanfaatan fasilitas dan jasa pelayanan lokal; 7. Infrastruktur harus dibangun secara sangat hati-hati dengan memperhatikan keharmonisan dengan alam, misalnya minimalisasi penggunaan bahan bakar fosil, mengkonservasi tumbuhan dan kehidupan liar lokal, serta menyatu dengan lingkungan alamnya. Berdasarkan hal tersebut, maka pengembangan ekowisata yang ditawarkan untuk dapat dilakukan di kawasan Ammarae-Bangkesangkeang merupakan pengembangan yang dilakukan secara terpadu antara kawasan taman nasional dan desa sekitar khususnya dusun Bangkesangkeang. Pengembangan ekowisata tersebut adalah:
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
121
1.
Konsep pengembangan karst dan hutan Pada konsep ini yang ditawarkan adalah pengelolaan kawasan hutan dan bukit karst yang ada secara baik dan benar. Penekanan konsep ini adalah mengajak para wisatawan dan masyarakat sekitar untuk terlibat langsung dalam kegiatan konservasi karst dan hutan di kawasan Ammarae-Bangkesangkeang, misalnya dengan tidak melakukan kegiatan yang dapat merusak kawasan karst saat berwisata atau dengan membiarkan hewan ternak masuk ke dalam kawasan hutan. Strategi yang dapat ditempuh agar masyarakat sekitar mau terlibat secara aktif antara lain dengan: a. Melakukan upaya penyuluhan atau pendidikan konservasi. b. Pendekatan dan penyadaran tentang manfaat ekowisata serta kelestarian karst yang dapat dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal terutama dilakukan terhadap tokoh-tokoh masyarakat.
Para tokoh masyarakat tersebut selanjutnya
dapat dimotivasi agar memberikan pengarahan dan penyuluhan pada warganya. c. Memberikan pelatihan menjadi guide. d. Memberikan penghargaan bagi yang terlibat. 2. Konsep pengembangan sarana prasarana ekowisata Keindahan kawasan Ammarae-Bangkesangkeang akan menjadi lebih menarik bila ditunjang oleh keberadaan sarana dan prasarana ekowisata meskipun dalam bentuk yang sederhana. Konsep pengembangan sarana prasarana ini dilakukan dengan cara pembangunan sarana prasarana penunjang ekowisata seperti: a. Pemasangan papan petunjuk. b. Pemasangan papan informasi dalam bentuk menarik mengenai jenis penting yang dapat dijumpai di kawasan tersebut. c. Penataan jalan setapak. d. Pembangunan shelter di tepi jalan setapak. 3. Konsep pengembangan untuk lahan sawah Keberadaan sawah dan tegalan di sekitar dusun Bangkesangkeang dapat menjadi daya tarik yang besar, sehingga jenis wisata yang ditawarkan berupa
Farming Experience. Pada wisata seperti ini, para wisatawan dilibatkan secara aktif dalam kegiatan persawahan. Wisatawan dapat diajak untuk ikut merasakan bagaimana petani dapat menghasilkan bahan pangan, sehingga wisatawan dapat memperoleh pengalaman dalam bertani menurut cara lokal setempat.
Wisatawan
yang sehari-hari hanya terbiasa hidup ala masyarakat kota besar yang belum pernah
122 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
terjun langsung melakukan kegiatan menanam padi tentu akan mendapatkan pengalaman menarik dan berkesan saat diajak melakukan penyemaian bibit, mengolah sawah, memelihara padi atau melakukan kegiatan pemanenan padi bersama masyarakat setempat. 4. Konsep pengembangan untuk lahan tegalan atau ladang Konsep
pengembangan
ekowisata
yang
dilakukan
dengan
cara
mengembangkan usaha kebun atau tegalan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan wisatawan akan buah-buahan dan sayuran segar. Umumnya masyarakat dusun Bangkesangkeang menanam kacang tanah di samping cabe (Capsicum sp), tomat (Lycopersicum esculentum) di kebun mereka.
Kebiasaan ini
dapat dikembangkan dan memberi nilai tambah bagi kehidupan masyarakat dusun Bangkesangkeang
dengan
memasukkan
kegiatan
menanam,
memanen
dan
menikmati hasil panenan sendiri langsung di kebun dalam agenda wisata. 5. Konsep pengembangan untuk pemukiman Tidak sedikit wisatawan yang ingin dapat merasakan nikmatnya tinggal di desa yang asri, dapat berinteraksi dan merasakan secara langsung kehidupan masyarakat desa. Dalam hal ini, pengembangan ekowisata dilakukan dengan cara menawarkan kepada wisatawan bentuk kehidupan dengan suasana khas pedesaan (riparian
village). Banyak hal menarik yang dapat ditawarkan pada wisatawan, seperti terlibat atau merasakan secara langsung kehidupan sehari-hari masyarakat yang masih tradisional, makan makanan khas setempat, mandi di sungai yang jernih atau di pancuran air yang bersumber langsung dari bukit karst, bahkan tidur di rumah penduduk yang suasananya sejuk karena di sekitarnya masih banyak pepohonan dapat memberikan rasa nyaman dan menyenangkan bagi wisatawan. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, masyarakat dapat diajak untuk lebih menata rumah dan pekarangan agar terlihat semakin rapi, asri dan menarik. Selain itu masyarakat juga dapat diarahkan untuk menanam pekarangan dengan pohon pelindung, pohon buah-buahan khas setempat atau jenis pohon yang dapat menjadi ciri khas dusun tersebut.
Masyarakat juga dapat diajarkan untuk dapat menjaga ternak sapinya agar
tidak dibiarkan memasuki kawasan hutan karena akan mengganggu ketenangan wisatawan yang sedang menikmati panorama alam. Masyarakat juga diajarkan untuk dapat terus menjaga keasrian yang telah tercipta di samping senantiasa menjaga keamanan serta mempertahankan budaya dan adat yang ada. “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
123
Melalui pengembangan ekowisata di kawasan Ammarae-Bangkesangkeang yang dilakukan berdasarkan kelima konsep pengembangan tersebut, diharapkan kebutuhan konservasi yang berupa aktivitas wisata yang dilakukan tidak merusak atau mengganggu kelestarian lingkungan dapat terpenuhi.
Disamping itu, kebutuhan masyarakat dalam
bentuk terpenuhinya kesejahteraan masyarakat juga dapat tercapai dan kebutuhan wisatawan yang berupa memperoleh kesegaran tubuh, suasana hati yang nyaman dan pengalaman yang menarik dari kegiatan wisata yang dilakukan juga dapat terpenuhi.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN Kawasan Ammarae Bangkesangkeang Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung merupakan kawasan yang sangat potensial untuk dijadikan sebagai tempat kegiatan wisata alam, wisata terbatas atau wisata minat khusus, wisata pendidikan maupun wisata budaya. Namun pengembangan ekowisata di kawasan Ammarae-Bangkesangkeang yang sebaiknya dilakukan dengan dengan mengadopsi lima konsep pengambangan wisata dan tetap berpegang pada prinsip ekowisata dan bukan wisata massal, agar kelestarian kawasan hutan akan dapat terjamin.
DAFTAR PUSTAKA Australia Department of Tourism. (1994). National Ecotourism Strategy. Canberra: Australia Government Publishing Service. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. (2011). Buku Informasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (Cetakan kedua). Maros: Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Departemen ESDM. (2000). Keputusan Menteri ESDM Nomor:1456.K/20/MEM/2000 tentang Pengelolaan Kawasan Kars. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi. Departemen Kehutanan. (2011). Peraturan Ditjen PHKA No P.3/IV-SET/2011 tentang Pedoman Penyusunan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Jakarta: Direktorat Jenderal PHKA. Departemen Kehutanan. (2006). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Jakarta: Biro hukum dan organisasi Departemen Kehutanan Departemen Kehutanan. (1996). Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor 129/Kpts/DJ-VI/1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru dan Hutan Lindung. Jakarta: Direktorat Jenderal PHKA. 124 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Douglass, W.R. (1982). Forest Recreation. 2nd edition. New York: Pergamon Press Inc. Ecotourism Society. (1992). Definition and Ecotourism Statistical Fact Sheet. Alexandria, VA: Ecotourism Society. Fandeli, C. (2000). Perencanaan Kepariwisataan Alam. dalam Pengusahaan Ekowisata. Fandeli, C. dan Mukhlison editor. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Hammit, W.E. dan D.N. Cole. (1987). Wildland Recreation: Ecology and Management. New York: John Wiley & Sons. Lash, G. (1997). What is Community-Based Ecotourism? In: J. Bornemeier, M. Victor. P.B. Dust editor. Proceeding on International Seminar of Ecotourism for Forest Conservation and Community Development. Bangkok: Recoftc Report No. 15. FAO/RAP Publication. MacKinnon, J., K MacKinnon, G. Child dan J. Thorsell. (1993). Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Marpaung, H. (2002). Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung: Alfabeta. Pleumaron, A. (1997). Open Questions Concerning The Concept, Policies and Practices of Ecotourism. In: J. Bornemeier, M. Victor. P.B. Dust editor. Proceeding on International Seminar of Ecotourism for Forest Conservation and Community Development. Bangkok: Recoftc Report No. 15. FAO/RAP Publication. Republik Indonesia. (1990). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta: Sekretariat Kabinet. Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata. Jakarta: Sekretariat Kabinet. White, W.B. (1988). Geomorphology and Hydrology of Karst Terrains. New York: Oxford University Press.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
125
IMPLEMENTASI STRATEGI POKOK SOCIAL FORESTRY PADA KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN KHUSUS (KHDTK) BORISALLO Abd. Kadir W.1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Makassar menggunakan pendekatan social forestry sejak tahun 2003 dalam mengelola KHDTK Borisallo untuk menjembatani kepentingan pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar dan kelestarian hutan yang ada di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK). Tulisan ini bertujuan menganalisis sejauhmana implementasi social forestry di KHDTK Borisallo dengan memfokuskan pada pelaksanaan strategi pokok social forestry (kelola kawasan, kelola kelembagaan dan kelola usaha). Hasil analisis menunjukkan bahwa pelaksanaan kegiatan social forestry di KHDTK Borisallo dibagi dalam tiga tahap yaitu tahap kajian, tahap penelitian aksi dan tahap pengembangan. Dalam pelaksanaan strategi pokok social forestry, kegiatan kelola usaha memiliki porsi yang yang terkecil jika dibandingkan dengan kegiatan dalam kelola kawasan dan kelola kelembagaan. Kata kunci : Social forestry, KHDTK Borisallo, strategi pokok social forestry
I. PENDAHULUAN Balai
Penelitian
Kehutanan
Makassar
(BPK
Makassar)
berdasarkan
Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 367/Menhut-II/2004 tanggal 5 Oktober 2004 mengelola tiga buah Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK). Salah satu KHDTK yang dikelola oleh BPK Makassar adalah KHDTK Borisallo yang terletak di Kelurahan Bontoparang, Kecamatan Parangloe, Kabupaten Gowa dengan luas areal mencapai 180 ha. Areal KHDTK Borisallo berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk sehingga sangat rentan mengalami kerusakan akibat adanya aktivitas masyarakat di dalamnya. Permasalahan-permasalahan yang muncul akibat interaksi antara masyarakat dengan KHDTK Borisallo di antaranya adalah perambahan lahan, penggembalaan liar, kerusakan tegakan, perubahan status lahan, dan illegal logging dan rendahnya produktivitas
lahan
garapan
masyarakat.
Permasalahan
tersebut
di
atas
perlu
mendapatkan perhatian karena dapat mengancam kelestarian tegakan hutan yang ada di KHDTK Borisallo. Menghadapi permasalahan tersebut di atas, Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Makassar sejak tahun 2003 menggunakan pendekatan social forestry dalam mengelola KHDTK Borisallo. Dengan pendekatan social forestry diharapkan dapat menjembatani 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
126 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
antara pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar dengan tetap menjaga kelestarian hutan yang ada. Tulisan ini bertujuan menganalisis pelaksanaan kegiatan social forestry di KHDTK Borisallo yang dilaksanakan sejak tahun 2003 dengan memfokuskan pada sejauhmana pelaksanaan strategi pokok social forestry (kelola kawasan, kelola kelembagaan dan kelola usaha). Hasil analisis diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi BPK Makassar selaku pengelola KHDTK dalam mengembangkan social forestry di masa yang akan datang. II. KEGIATAN SOCIAL FORESTRY DI KHDTK BORISALLO Kegiatan social forestry di KHDTK Borisallo dimulai sejak tahun 2003 sesuai dengan arahan Kepala BPK Makassar. Dalam rangka kegiatan social forestry di KHDTK Borisallo, sejumlah kegiatan telah dilaksanakan yang dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahap yaitu tahap kajian dan tahap penelitian aksi dan tahap pengembangan. A. Tahap Kajian Tahap kajian dari kegiatan social forestry dimaksudkan untuk mengetahui potensi sumberdaya alam dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang menggarap lahan di KHDTK Borisallo. Tahap kajian juga dimaksudkan sebagai dasar dalam merumuskan kegiatan penelitian aksi yang akan dilaksanakan. Beberapa kegiatan penelitian yang telah dilaksanakan pada tahap kajian adalah sebagai berikut : 1.
Analisis sosial ekonomi dan institusi pendapatan masyarakat sekitar daerah tangkapan air tahun 2002 Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat penggarap lahan di KHDTK Borisallo. Hasil penelitian ini juga menjadi dasar bagi Kepala BPK Makassar dalam mengambil kebijakan untuk mengarahkan pengelolaan KHDTK Borisallo dengan menggunakan pendekatan social forestry mengingat tingginya tekanan masyarakat yang dihadapi oleh areal KHDTK Borisallo berdasarkan data yang ada (Supriadi et al, 2002).
2.
Studi diagnostik pengembangan social forestry di SPUC Borisallo tahun 2003 Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji potensi sumberdaya alam yang ada dan mengkaji bentuk kegiatan yang dapat dikembangkan dalam rangka mendukung pengembangan social forestry di KHDTK Borisallo. Bentuk kegiatan social
forestry yang
dirumuskan
dalam
penelitian
ini
disesuaikan
dengan
potensi
sumberdaya alam dan karakteristik sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar. “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
127
Penelitian yang dilakukan oleh Kadir et al, (2003) menunjukkan bahwa beberapa
kegiatan
yang
mungkin
dikembangkan
dalam
rangka
mendukung
pengembangan social forestry di KHDTK Borisallo adalah: (1) pengembangan
agroforestry mengingat pengalaman masyarakat dalam mengusahakan lahan di KHDTK Borisallo, (2) pengembangan lebah madu karena adanya ketersediaan pakan lebah dan memiliki prospek pasar yang cukup baik, (3) pengembangan tanaman obat dan rempah berdasarkan hasil identifikasi tanaman yang dapat tumbuh dengan baik di bawah tegakan dan pasar yang tersedia, dan (4) pengelolaan penggembalaan ternak sapi mengingat banyaknya masyarakat yang menggembalakan ternak secara liar dalam areal KHDTK Borisallo dan dapat menyebabkan terjadinya konflik dengan penggarap lahan lainnya. 3.
Bentuk agroforestry adaptif pada berbagai komposisi tegakan di areal HKm (Hutan Kemasyarakatan) SPUC Borisallo tahun 2004 Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengkaji tingkat produktivitas tanaman sela di bawah tegakan Eucalyptus deglupta (produktivitas agroforestry) yang diusahakan masyarakat selama ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tingkat kerapatan tegakan E. deglupta 360 – 570 pohon per hektare, tanaman sela yang diusahakan masyarakat (kopi, coklat, pisang, mente, dll) masih dapat berproduksi. Produktivitas
agroforestry masyarakat di bawah tegakan E. deglupta masih dapat ditingkatkan apabila dilakukan pengaturan dalam hal jumlah maupun jenis yang akan diusahakan dalam luasan tertentu (Kadir et al, 2004). B. Tahap Penelitian Aksi Tahap penelitian aksi merupakan pengembangan dari tahap kajian dimana hasilhasil yang diperoleh pada tahap kajian dicoba untuk diaplikasikan dalam masyarakat. Hal yang sangat mendasar dari tahap ini adalah mendokumentasikan proses dan interaksi yang terjadi di samping pencapaian tujuan yang ingin dicapai pada setiap kegiatan yang dilaksanakan. Beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan pada tahap ini adalah : 1.
Model kelembagaan HKm di SPUC Borisallo tahun 2004 Kegiatan ini dilaksanakan berdasarkan hasil temuan pada tahap kajian bahwa belum terdapat kelompok tani yang dapat mewadahi masyarakat dalam menggarap lahan di KHDTK Borisallo. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menghimpun masyarakat yang menggarap lahan di KHDTK Borisallo dalam suatu Kelompok Tani Hutan (KTH). Dengan terbentuknya KTH diharapkan setiap kegiatan yang akan dilaksanakan dapat lebih efektif. Di samping itu, juga diharapkan menjadi wadah bagi masyarakat dalam
128 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dan mencari pemecahannya, serta menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengakses sumberdaya dari luar dalam memenuhi kebutuhannya (Kusumedi dan Bisjoe, 2004a). 2.
Pemetaan partisipatif di KHDTK Borisallo tahun 2004 Kegiatan pemetaan partisipatif dimaksudkan untuk memperjelas tata batas kawasan KHDTK Borisallo, tata batas antar kelompok tani, dan tata batas antar kapling lahan garapan. Di samping itu kegiatan pemetaan partisipatif juga ditujukan untuk memperoleh gambaran mengenai tata guna lahan yang ada di KHDTK Borisallo (Kusumedi dan Bisjoe, 2004b). Proses pelaksanaan kegiatan pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh BPK Makassar sudah bagus. Hal ini dapat dilihat dari keseluruhan tahapan-tahapan pelaksanaan kegiatan dan keterlibatan aktif masyarakat dan stakeholder lainnya (BPKH). Namun apabila memperhatikan sejumlah peta yang dihasilkan dari kegiatan pemetaan partisipatif, belum terdapat adanya peta penatagunaan lahan berdasarkan kondisi topografi (mana areal untuk budidaya dan mana areal untuk konservasi). Peta penatagunaan lahan ini cukup penting dan harus disepakati oleh semua pihak sehingga aspek kelestarian lingkungan dapat terjamin.
3.
Model kelembagaan kemitraan di KHDTK Borisallo tahun 2005 Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan ini adalah tercapainya Surat Perjanjian Kerjasama (SPK) pola kemitraan dalam pengelolaan KHDTK Borisallo antara BPK Makassar dengan masyarakat penggarap lahan (KTH). Dengan adanya SPK yang disepakati kedua belah pihak diharapkan masing-masing mengetahui hak dan kewajibannya dalam mengelola lahan di KHDTK Borisallo (Kusumedi dan Bisjoe, 2005). Isi pasal-pasal dalam SPK yang dibahas dalam FGD antara lain ; identitas penggarap, maksud dan tujuan, status lahan, lokasi dan luas lahan, jenis tanaman dan pengelolaan, jangka waktu pengelolaan, pengadaan bibit dan pemeliharaan, persiapan lahan dan penanaman, teknik tumpangsari/agroforestry, pemeliharaan tanaman, pemanenan tanaman pengisi/tanaman sela, konservasi tanah dan air, pemasaran dan bagi hasil, penelitian, pengamanan dan pengendalian api, pembatalan perjanjian, perselisihan, ketentuan umum dan penutup.
4.
Uji coba model agroforestry di areal KHDTK Borisallo tahun 2005 Kegiatan ini bertujuan untuk membuat demplot agroforestry yang dapat dijadikan sebagai sarana penyuluhan bagi masyarakat sekitar yang memiliki lahan garapan dalam KHDTK Borisallo. Dengan adanya demplot agroforestry ini diharapkan
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
129
masyarakat dapat mengikuti teknik-teknik pemeliharaan tanaman sela (coklat dan kopi) dengan baik sehingga produktivitas lahan mereka dapat meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar. Hasil penelitian menunjukkan terdapat peningkatan terhadap produksi tanaman coklat dan kopi, akan tetapi tidak semua teknik yang diberikan dapat diterapkan oleh masyarakat. Pemberian pupuk pada tanaman tidak lagi diberikan oleh masyarakat setelah kegiatan berakhir disebabkan karena keterbatasan biaya yang dimiliki oleh masyarakat. Teknik pemangkasan yang diberikan saat kegiatan pembuatan demplot agroforestry berlangsung masih diterapkan oleh masyarakat karena tidak memerlukan biaya yang besar (Kadir et al, 2005). 5.
Teknologi dan kelembagaan social forestry di KHDTK Borisallo tahun 2006 Kegiatan teknologi dan kelembagaan social forestry di KHDTK Borisallo dilaksanakan untuk melihat sejauh mana efektifitas dari pelaksanaan surat perjanjian kerjasama (SPK) pola kemitraan yang telah disepakati bersama (Kusumedi et al, 2006). Wujud dari kegiatan ini adalah terbentuknya demplot agroforestry pada masing-masing KTH seluas 0,25 ha. Dalam kegiatan ini nantinya akan terlihat peran dari masing-masing pengurus KTH dalam mengorganisir anggotanya untuk terlibat dalam pembuatan demplot agroforestry. Diharapkan dengan adanya demplot ini masyarakat dapat melihat secara langsung pola tanam yang paling tepat yang dapat diterapkan di lahan garapannya. Selain itu, pembangunan demplot diharapkan dapat memberikan dampak bagi pengembangan kegiatan produktif masyarakat pada lahan-lahan kosong di KHDTK Borisallo. Tujuan lainnya yang ingin dicapai dalam kegiatan teknologi dan kelembagaan
social forestry di KHDTK Borisallo adalah penguatan kelembagaan KTH. Wujud dari kegiatan ini yaitu disepakatinya aturan internal dalam bentuk AD/ART pada masingmasing KTH. Dengan disepakatinya aturan internal KTH tersebut diharapkan masingmasing anggota KTH mengetahui hak dan tanggung jawabnya sebagai anggota serta sanksi jika kesepakatan tersebut dilanggar. C. Kegiatan Pengembangan Kegiatan pengembangan adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh BPK Makassar untuk mendukung kegiatan penelitian yang dilakukan di KHDTK Borisallo dan merupakan hasil dari rekomendasi penelitian. Beberapa kegiatan pengembangan yang telah dilaksanakan untuk mendukung pengembangan social forestry di KHDTK Borisallo adalah : 130 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
1.
Gelar Teknologi Agroforestry Tahun 2004 Tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah untuk memberikan pengetahuan teknis kehutanan dan informasi terkait pengelolaan hutan, serta sebagai upaya penyadaran kepada masyarakat. Kegiatan gelar teknologi diharapkan menjadi bekal bagi masyarakat dalam mendukung pengembangan social forestry di KHDTK Borisallo (BP2KS, 2004). Kegiatan gelar teknologi dilaksanakan dalam bentuk ceramah dan diskusi. Materi yang disajikan pada kegiatan ini meliputi teknis persemaian, kebijakan social
forestry, pengembangan agroforestry, serta teknik konservasi tanah dan air. Selain dalam bentuk ceramah juga dilakukan studi banding ke Jeneponto untuk melihat lokasi HKm. Studi banding ini dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada masyarakat agar bekerja lebih giat dalam memanfaatkan lahan yang ada untuk meningkatkan kesejahteraannya. 2.
Pengembangan KTH di KHDTK Borisallo Tahun 2006 Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan petani dalam kegiatan pembibitan. Kegiatan pembibitan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan petani akan bibit tanaman yang akan dikembangkan di KHDTK Borisallo. Kegiatan pembibitan sebaiknya dilaksanakan pada setiap wilayah pengelolaan KTH. Jika hal ini dilaksanakan keterampilan anggota KTH dalam teknis pembibitan dapat lebih merata dan merupakan sarana pembelajaran bagi pengurus KTH dalam menggorganisir anggotanya. Proses perencanaan kegiatan social forestry di KHDTK Borisallo bersifat top
down dimana kegiatan yang dilaksanakan ditentukan oleh BPK Makassar. Akan tetapi dalam proses pelaksanaannya di lapangan, pihak BPK Makassar cukup akomodatif terhadap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini dapat di lihat dari beberapa kegiatan yang dilaksanakan seperti pemilihan jenis tanaman yang akan dikembangkan dalam pembuatan demplot agroforestry ditentukan oleh masyarakat, penyusunan mekanisme pelaksanaan kegiatan pemetaan partisipatif disusun bersama masyarakat, pembentukan kelompok tani, serta penyusunan aturan internal KTH ditentukan oleh masyarakat sendiri. Dalam setiap pertemuan yang dilakukan, BPK Makassar selalu melibatkan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bertanya dan mengemukakan usul terkait dengan kegiatan yang dilaksanakan. Akan tetapi ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam mendesain pertemuan dengan masyarakat di
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
131
antaranya bahwa pertemuan yang didesain selama ini disesuaikan dengan kebutuhan BPK Makassar bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Implikasinya adalah intensitas pertemuan dirasakan sangat kurang dan sangat tergantung dari inisiatif dan kebutuhan BPK Makassar. Di samping itu sistem perwakilan dari setiap KTH dalam pertemuan menjadi tidak efektif karena hasil-hasil pertemuan kurang dapat disosialisasikan kepada anggotanya. Proses
pelaksanaan
kegiatan
seperti
yang
diuraikan
di
atas
dapat
menyebabkan proses belajar masyarakat dari pengalaman, tidak akan berjalan dengan baik. Agar proses belajar dari pengalaman dapat berjalan dengan baik, maka BPK Makassar sebaiknya menyiapkan staf baik peneliti maupun teknisi yang mengerti proses pemberdayaan masyarakat yang dapat lebih intensif menfasilitasi pertemuan untuk membahas persoalan-persoalan dalam masyarakat dan proses penguatan kelembagaan masyarakat yang telah terbentuk. Apabila BPK Makassar tidak memiliki staf seperti yang dimaksud, proses pemberdayaan masyarakat dapat diserahkan kepada LSM setempat. Dengan diserahkannya proses pemberdayaan masyarakat kepada LSM setempat frekuensi pertemuan dapat lebih intensif dan BPK Makassar dapat lebih berkonsentrasi pada hal-hal yang bersifat teknis kehutanan sebagai salah satu dukungan pada proses pemberdayaan masyarakat.
III. IMPLEMENTASI STRATEGI POKOK SOCIAL FORESTRY DI KHDTK BORISALLO Berdasarkan PP. 01/Menhut-II/2004 disebutkan bahwa social forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan (Departemen Kehutanan, 2004). Untuk itu pengembangan social forestry dilaksanakan dalam rangka pengelolaan hutan lestari melalui 3 (tiga) strategi pokok yaitu : 1. Kelola kawasan merupakan rangkaian kegiatan prakondisi yang dilakukan untuk mendukung
pelaksanaan
kegiatan
social
forestry
dalam
rangka
optimalisasi
upaya
dalam
rangka
optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya hutan. 2. Kelola
kelembagaan
merupakan
rangkaian
pelaksanaan social forestry melalui penguatan organisasi, penetapan aturan, dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia.
132 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
3. Kelola usaha merupakan rangkaian kegiatan yang mendukung tumbuh dan berkembangnya usaha di areal social forestry melalui kemitraan dengan perimbangan hak dan tanggung jawab.
Dalam pedoman umum social forestry dijelaskan bahwa kelola kawasan meliputi penatagunaan lahan, perlindungan, rehabilitasi, dan pemanfaatan lahan. Proses-proses tersebut dilakukan secara partisipatif. Kelola kelembagaan dilaksanakan melalui kegiatan pengembangan kelembagaan meliputi aturan main, organisasi, dan pengembangan sumberdaya manusia. Sedangkan kelola usaha dilaksanakan dalam bentuk kemitraan dan harus didasari atas kejelasan tanggung jawab, peran dan proporsi biaya dan manfaat untuk masing-masing pihak yang bermitra (masyarakat dan mitranya) (Departemen Kehutanan, 2003). Dalam kaitannya dengan pengembangan social forestry di KHDTK Borisallo, beberapa kegiatan telah dilaksanakan oleh BPK Makassar untuk mendukung strategi pengembangan social forestry seperti yang dijelaskan dalam PP. 01/Menhut-II/2004. Akan tetapi pencapaian dari setiap kegiatan yang telah dilaksanakan dalam kerangka strategi pengembangan social forestry berada dalam taraf yang berbeda-beda. Keterkaitan antara kegiatan yang telah dilaksanakan dengan strategi pengembangan social forestry berdasarkan PP. 01/Menhut-II/2004 dapat di lihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1.
Ruang Lingkup Kegiatan yang telah Dilaksanakan dalam Pengembangan Social Forestry Berdasarkan PP. 01/Menhut-II/2004
Kegiatan dan Tahun Pelaksanaan Analisis Sosial Ekonomi dan Institusi Pendapatan Masyarakat Tahun 2002
Strategi
Ruang Lingkup dalam Strategi Pokok Social Forestry -
Kondisi sosial ekonomi masyarakat sbg dasar dalam pengembangan SF
Keterangan
Studi Diagnostik Pengembangan Social Forestry di KHDTK Borisallo Tahun 2003
Kelola Kawasan
Rekomendasi bentuk kegiatan SF
Bentuk Agroforestry Adaptif pada Berbagai Komposisi Tegakan di KHDTK Borisallo Tahun 2004
Kelola Kawasan
Informasi produktivitas lahan agroforestry
Model Kelembagaan HKm di SPUC Borisallo Tahun 2004
Kelola Kelembagaan
Organisasi (Pembentukan KTH)
Pemetaan Partisipatif di KHDTK Borisallo Tahun 2004
Kelola Kawasan Kelola Kelembagaan
Penataan batas luar dan batas KTH Pedoman KTH dalam membuat aturan main
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
133
Ruang Lingkup dalam Strategi Pokok Social Forestry Kelola Kelembagaan
Kegiatan dan Tahun Pelaksanaan Gelar Teknologi dan Studi Banding ke Kab. Jeneponto Tahun 2004
Keterangan
Upaya penyadaran Pengembangan SDM
Model Kelembagaan Kemitraan di KHDTK Borisallo Tahun 2005
Kelola Kawasan Kelola Kelembagaan Kelola usaha
Aturan Main (SPK) Kemitraan antara BPK dengan Masyarakat
Uji Coba Model Agroforestry di Areal KHDTK Borisallo Tahun 2005 Teknologi dan Kelembagaan Social forestry di KHDTK Borisallo Tahun 2006 Pengembangan Kelompok Tani Hutan di KHDTK Borisallo Tahun 2006
Kelola Kawasan
Rekomendasi peningkatan produktivitas lahan
Kelola Kawasan Kelola Kelembagaan
Pengembangan agroforestry Aturan main internal KTH
Kelola Kawasan
Penyiapan bibit untuk penanaman pada areal KHDTK
Berdasarkan informasi yang disajikan pada Tabel 1 diketahui bahwa di antara ketiga bentuk kelola (kelola kawasan, kelola usaha dan kelola kelembagaan) dalam strategi pengembangan social forestry berdasarkan PP. 01/Menhut-II/2004 (Departemen Kehutanan, 2004) kegiatan kelola usaha masih belum banyak dilakukan. Hal ini dapat diketahui dimana di antara 10 (sepuluh) kegiatan yang telah dilaksanakan 70 % memuat kegiatan kelola kawasan, 50 % memuat kegiatan kelola kelembagaan dan hanya 10 % memuat kegiatan kelola usaha. A. Kelola Kawasan Kegiatan
yang
telah
dilaksanakan
oleh
BPK
Makassar
dalam
rangka
pengembangan social forestry di KHDTK Borisallo telah mengarah pada strategi kelola kawasan. Kegiatan-kegiatan dalam kelola kawasan yang meliputi penatagunaan lahan, perlindungan, rehabilitasi, dan pemanfaatan lahan telah tercakup dalam kegiatan yang telah dilaksanakan oleh BPK Makassar. Penatagunaan lahan telah dilaksanakan dalam kegiatan pemetaan partisipatif Tahun 2004. Output yang dihasilkan dari kegiatan ini masih sebatas pada peta tata batas KHDTK, peta penggunaan lahan, peta batas antar KTH dan peta batas antar penggarap lahan. Dalam kegiatan ini belum tercakup mengenai peta penatagunaan lahan berdasarkan kondisi topografi (mana areal konservasi dan areal untuk budidaya). Kegiatan perlindungan hutan tercakup dalam kegiatan model kelembagaan kemitraan di KHDTK Borisallo tahun 2005. Kegiatan perlindungan hutan ini tercantum dalam SPK pola kemitraan pasal 14 tentang pengamanan dan pengendalian api yang disepakati bersama antara KTH dengan BPK Makassar. Hal yang masih perlu dilakukan
134 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
dalam kaitannya dengan perlindungan hutan adalah menyusun mekanisme kegiatan perlindungan hutan dan mekanisme pemberian sanksi apabila terjadi pelanggaran dalam perlindungan hutan. Rehabilitasi lahan KHDTK saat ini telah dilaksanakan khususnya dalam kegiatan teknologi dan kelembagaan social forestry di KHDTK Borisallo tahun 2006 dan Pengembangan Kelompok Tani Hutan di KHDTK Borisallo tahun 2006. Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan hanya sebatas pada demplot agroforestry yang dibuat pada setiap KTH seluas 0,25 ha dan rencana penanaman lainnya yang saat ini masih dalam tahap pembibitan. Kecilnya luas lahan yang direhabilitasi disebabkan pendanaan yang minim dari BPK Makassar. Untuk itu perlu dijalin kerjasama dengan instansi terkait dalam hal ini BP DAS Jeneberang-Walanae dan Dinas Kehutanan Kab. Gowa untuk mendapatkan bantuan bibit yang dapat ditanam di areal KHDTK Borisallo. Kegiatan pemanfaatan lahan telah dilaksanakan oleh masyarakat dalam bentuk
agroforestry. Untuk mendukung pengembangan agroforestry beberapa kegiatan telah dilaksanakan di antaranya Bentuk Agroforestry Adaptif pada berbagai komposisi tegakan di KHDTK Borisallo tahun 2004 dan 2005. Dalam kegiatan ini dilakukan pengkajian mengenai produktivitas agroforestry yang diterapkan oleh masyarakat di KHDTK selama ini serta diperkenalkan teknologi pemupukan dan teknik pemeliharaan tanaman sela (coklat dan kopi) untuk meningkatkan produksinya. Akan tetapi teknologi pemupukan dan teknik pemeliharaan tanaman coklat dan kopi belum banyak diketahui oleh petani penggarap lahan karena masih sebatas kepada masyarakat yang lokasinya terkena demplot agroforestry. Untuk itu kegiatan ini masih perlu dilakukan dengan melibatkan seluruh penggarap lahan sehingga produktivitas dari lahan garapan masyarakat dapat lebih meningkat. B. Kelola Kelembagaan Pembentukan organisasi dalam bentuk KTH di KHDTK Borisallo telah dilaksanakan melalui kegiatan Model Kelembagaan HKm di SPUC Borisallo Tahun 2004. Saat ini telah terbentuk 4 KTH (KTH Bontoparang, KTH Bonto Ala, KTH Batu Sompoa dan KTH Pu’ Rumbo). Ada hal menarik yang perlu mendapatkan perhatian dari KTH yang terbentuk yaitu terkait jumlah anggota pada setiap KTH. Keanggotaan pada setiap KTH yang ada didasarkan pada jumlah kaveling lahan garapan bukan berdasarkan orang per orang. Hal ini dapat berimplikasi kepada adanya masyarakat yang menjadi anggota pada 2 (dua) atau lebih KTH karena memiliki lahan garapan pada wilayah pengelolaan KTH. Kondisi ini akan menyulitkan dalam kegiatan pertemuan yang dilaksanakan apabila waktunya
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
135
bersamaan dan akan meyulitkan dalam pengambilan keputusan apabila terdapat keputusan atau kesepakatan yang bertolak belakang antara satu KTH dengan KTH lainnya. Upaya yang dapat dilakukan saat ini adalah menata ulang keanggotaan dari setiap KTH bukan berdasarkan lokasi lahan garapan tetapi berdasarkan orang per orang. Dalam rangka pengembangan social forestry di KHDTK Borisallo perlu ditetapkan aturan main yang jelas baik antara BPK Makassar selaku pengelola kawasan dengan masyarakat selaku penggarap lahan, maupun aturan main internal KTH sehingga setiap
stakeholder mengetahui perannya dan tanggung jawabnya masing-masing serta sanksi yang akan diterima jika aturan tersebut dilanggar. Saat ini telah terdapat kesepakatan antara pihak BPK Makassar dengan KTH yang ada dalam pengelolaan sumberdaya yang terdapat di KHDTK Borisallo. Juga telah terdapat aturan internal dari setiap KTH. Upaya yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana mengawal kesepakatan yang telah dibuat dalam bentuk suatu mekanisme operasional sehingga bisa dilaksanakan melalui kegiatan pendampingan yang lebih intensif. Pengembangan SDM salah satu hal yang harus dilakukan dalam rangka pengembangan social forestry di KHDTK Borisallo. Berdasarkan hasil penelitian pada tahap kajian diketahui bahwa pengetahuan masyarakat mengenai teknik pemeliharaan tanaman sela yang dikembangkan di KHDTK Borisallo diperoleh dari orang tua mereka. Teknik pemeliharaan tanaman yang mereka terapkan masih bersifat tradisional sehingga produktivitas tanaman yang dikembangkan tidak optimal. Dengan melihat kondisi seperti yang diuraikan di atas, maka pengembangan sumberdaya petani untuk meningkatkan produktivitasnya mutlak dilakukan. Akan tetapi kegiatan pengembangan SDM petani belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini terlihat dari kegiatan yang telah dilaksanakan yaitu berupa gelar teknologi yang dilaksanakan pada tahun 2004 dengan materi tipologi agroforestry yang pernah ditetapkan di beberapa daerah di Sulsel, teknik konservasi tanah dan air serta studi banding untuk melihat lokasi pengembangan HKm di Jeneponto yang merupakan salah satu lokasi yang dianggap berhasil dalam pengembangan HKm. Kegiatan gelar teknologi dan studi banding ini baru pada tarap usaha penyadaran masyarakat. Pemberian bimbingan teknis mengenai teknik pemeliharaan tanaman pernah diberikan pada masyarakat yang dibawakan oleh staf penyuluh pertanian Kab. Gowa. Akan tetapi kegiatan ini hanya terbatas kepada mereka yang lahannya terkena lokasi demplot agroforestry dan hanya sekali dilaksanakan.
136 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
C. Kelola Usaha Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kegiatan kelola usaha dalam rangka pengembangan social forestry di KHDTK Borisallo belum banyak dilaksanakan. Kegiatan kelola usaha baru pada taraf kesepakatan kemitraan antara BPK Makassar dengan masyarakat penggarap lahan dalam wujud Surat Perjanjian Kerjasama (SPK). Berdasarkan analisa kondisi lapangan dan wawancara yang dilaksanakan, beberapa kegiatan kelola usaha yang dapat dikembangkan di KHDTK Borisallo meliputi usaha pembibitan, pengolahan pasca panen, pemasaran hasil usahatani dan usaha permodalan petani. Usaha pembibitan ini di samping untuk memenuhi kebutuhan bibit anggota KTH juga dapat dipasarkan kepada masyarakat luas yang membutuhkan. Usaha pembibitan ini dapat dijadikan sarana bagi KTH dalam menghimpun modal untuk mengembangkan kegiatan lainnya. Usaha pengolahan pasca panen dimaksudkan untuk memberikan nilai tambah terhadap hasil usahatani masyarakat. Selama ini masyarakat memasarkan hasil usahataninya dalam bentuk mentah sehingga harga jualnya menjadi rendah. Beberapa hasil usahatani masyarakat dari KHDTK Borisallo yang dapat diolah terlebih dahulu adalah pisang, kopi, dan jagung. Hal lain yang perlu dilakukan adalah bagaimana memfasilitasi agar terbentuk usaha yang dapat membantu masyarakat dalam memasarkan hasil usaha taninya. Selama ini petani lebih memasarkan hasil usahataninya kepada para tengkulak (pedagang pengumpul) dengan harga yang lebih rendah dari harga yang berlaku di pasaran. Dengan adanya bentuk usaha pemasaran ini masyarakat dapat terhindari dari para tengkulak dan dapat memasarkan hasil usaha taninya sesuai dengan standar harga yang berlaku. Agar kelola usaha dalam rangka pengembangan social forestry di KHDTK Borisallo dapat berjalan dengan baik, diperlukan kegiatan pendampingan yang intensif kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi siap untuk mengelola usaha-usaha tersebut di atas. Kegiatan pendampingan dapat dilaksanakan oleh staf BPK Makassar yang menguasai teknik pendampingan masyarakat atau dapat diserahkan kepada LSM setempat yang selama ini menjadi miitra BPK Makassar dalam memfasilitasi setiap pertemuan dengan masyarakat penggarap. Tenaga pendamping yang ada diharapkan dapat memfasilitasi terbentuknya suatu bentuk badan usaha yang dapat mewadahi seluruh unit-unit usaha yang ada. Badan usaha ini dapat berupa KUB (Kelompok Usaha Bersama) seperti yang dibentuk pada lokasi
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
137
pengembangan social forestry di Kabupaten Jeneponto yang difasilitasi oleh sebuah LSM. KUB yang telah dibentuk dapat memiliki unit-unit usaha sesuai kebutuhan masyarakat seperti unit pembibitan, unit pemasaran, unit pengadaan saprodi, unit simpan pinjam dan lain-lain. Kegiatan pendampingan masih sangat diperlukan untuk mengembangkan potensi yang ada di KHDTK Borisallo baik potensi sumberdaya alam maupun potensi sumberdaya manusia. Kagiatan pendampingan diperlukan untuk mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki dalam masyarakat sehingga mampu mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik (Departemen Pertanian, 2004). Kegiatan ini dilaksanakan untuk memfasilitasi pada proses pengambilan keputusan berbagai kegiatan yang terkait dengan kebutuhan masyarakat, membangun kemampuan dalam meningkatkan pendapatan, melaksanakan usaha yang berskala bisnis serta mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang partisipatif. Tujuan yang ingin dicapai dengan kegiatan pendampingan tersebut adalah memperkuat kelembagaan petani yang sudah terbentuk sehingga organisasi petani dapat menjadi salah satu lembaga penggerak ekonomi pedesaan, mengembangkan dan menumbuhkan
usaha
alternatif
sebagai
sumber
pendapatan
yang handal,
dan
membangun mekanisme pengambilan keputusan secara partisipatif dalam semua aspek pengelolaan sumberdaya kelompok. Kondisi KTH yang ada saat ini sangat pasif karena sangat tergantung kepada kegiatan yang dilaksanakan oleh BPK Makassar. Jika tidak ada kegiatan yang dilaksanakan oleh BPK Makassar KTH yang ada tidak berfungsi dengan baik. Jika proses pendampingan berjalan dengan baik diharapkan tumbuhnya jiwa kewirausahaan petani sehingga kegiatan usahatani menjadi lebih kompetitif dengan usaha bidang lain, organisasi petani sudah terbentuk memiliki sistem administrasi yang baik sehingga organisasi petani memiliki akuntabilitas yang tinggi, munculnya diversifikasi usaha pertanian, dan terjadinya peningkat pendapatan petani. Dalam
pelaksanaan
kegiatan
pendampingan
ini
diperlukan
ketersediaan
sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas yang mampu berperan sebagai fasilitator, komunikator dan dinamisator selama kegiatan berlangsung dan dapat berfungsi sebagai konsultan sewaktu diperlukan oleh kelompok. Pada dasarnya pendamping memiliki tiga peran dasar yaitu sebagai penasehat kelompok, trainer participatoris, dan link person. (Departemen Pertanian, 2004). Sebagai penasehat kelompok, pendamping memberikan berbagai masukan dan pertimbangan yang diperlukan oleh kelompok dalam menghadapi masalah. Pendamping
138 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
tidak memutuskan apa yang perlu dilakukan, akan tetapi kelompoklah yang nantinya membuat keputusan. Sebagai trainer participatoris, pendamping memberikan berbagai kemampuan dasar yang diperlukan oleh kelompok seperti mengelola rapat, pembukuan administrasi, memecahkan masalah, mengambil keputusan dan sebagainya. Sedangkan jika berperan sebagai link person, pendamping menjadi penghubung masyarakat dengan berbagai lembaga yang terkait dan diperlukan bagi pengembangan kelompok. Tenaga pendamping dapat berasal dari staf BPK Makassar maupun dari LSM setempat sepanjang memenuhi persyaratan sebagai pendamping. Untuk menjadi seorang pendamping, persyaratan yang harus dimiliki adalah a) memiliki kompetensi dan pengetahuan yang dalam dan luas di bidang pendampingan, b) memiliki komitmen, profesional, motivasi, serta kematangan dalam pelaksanaan pekerjaan, c) memiliki kemauan yang sangat kuat untuk membagi apa yang dianggapnya baik bagi sesamanya (orang lain). d) memiliki kemampuan dalam mengumpulkan data, menganalisis dan identifikasi masalah, baik sendiri maupun bersama-sama masyarakat yang didampingi, e) memiliki kemampuan untuk melakukan interaksi atau membangun hubungan dengan setiap keluarga, dan f) memiliki kemampuan berorganisasi dan mengembangkan kelembagaan.
IV. PENUTUP Pelaksanaan kegiatan social forestry di KHDTK Borisallo dibagi dalam 3 tahap yaitu tahap kajian, tahap penelitian aksi dan tahap pengembangan. Kegiatan social forestry di KHDTK Borisallo telah mencakup seluruh strategi pokok social forestry sebagaimana yang tercantum dalam Permenhut No. P.01/Menhut-II/2004 tetapi dalam porsi yang berbedabeda. Kegiatan kelola usaha memiliki porsi terkecil (10%) dibanding kegiatan kelola kawasan (70%) dan kelola kelembagaan (50%). Agar kelola usaha dalam rangka pengembangan social forestry di KHDTK Borisallo dapat berjalan dengan baik, diperlukan kegiatan pendampingan yang intensif kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi siap untuk mengelola unit-unit usaha sesuai kebutuhan masyarakat seperti unit pembibitan, unit pengolahan pasca panen, unit pengadaan sarana produksi, unit pemasaran hasil, dan unit simpan pinjam untuk mengembangkan usaha masyarakat dalam mendukung pengembangan social forestry di KHDTK Borisallo.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
139
DAFTAR PUSTAKA BP2KS. (2004). Laporan Kegiatan Gelar Teknologi di Kabupaten Gowa. Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. Departemen Kehutanan. (2003). Pedoman Umum Pengembangan Social Forestry. Jakarta: Direktorat Jenderal Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial. Direktorat Bina Hutan Kemasyarakatan. Departemen Kehutanan. (2004). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.01/Menhut11/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau di Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan. Departemen Pertanian. (2004). Pedoman Umum Pendampingan dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat. http://www.deptan.go.id/ HomePageBBKP/ PKPM/pedum_pendampingan.htm. Diakses Tanggal 8 Juli 2007. Kadir W, Abd., A.R.H. Bisjoe, Saprudin. (2003). Studi Diagnostik Pengembangan Social Forestry di SPUC Borisallo (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. (Tidak Dipublikasikan). Kadir W, Abd., Nurhayati, Saprudin. (2004). Bentuk Agroforestry Adaptif pada Berbagai Komposisi Tegakan di KHDTK Borisallo (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. (Tidak Dipublikasikan). Kadir W, Abd., Nurhayati dan Saprudin. (2005). Uji Coba Model Agroforestry di Areal KHDTK Borisallo (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. (Tidak Dipublikasikan). Kusumedi, P., A.R.H. Bisjoe. (2004a). Model Kelembagaan HKm pada areal SPUC Borisallo. (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. (Tidak Dipublikasikan). Kusumedi, P., A.R.H. Bisjoe. (2004b). Pemetaan Partisipatif di KHDTK Borisallo (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. (Tidak Dipublikasikan). Kusumedi, P., A.R.H. Bisjoe. (2005). Model Kelembagaan Kemitraan di KHDTK Borisallo. (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. (Tidak Dipublikasikan). Kusumedi, P., A.R.H. Bisjoe, A. Kadir W. (2006). Teknologi dan Kelembagaan Social forestry di KHDTK Borisallo (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. (Tidak Dipublikasikan). Supriadi, R., A.R.H. Bisjoe, B.K. Sumirat, A. Kadir W., Nurhayati. (2002). Analisis Sosial Ekonomi dan Institusi Pendapatan Masyarakat Sekitar Daerah Tangkapan Air (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. (Tidak dipublikasikan).
140 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DAN PELUANG PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KHDTK MALILI Bayu Wisnu Broto1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Malili merupakan satu kawasan yang menjadi tanggung jawab pengelolaan oleh Balai Penelitian Kehutanan Makassar (BPKM). Potensi burung yang dimiliki oleh KHDTK Malili sebanyak 55 jenis burung dengan 4 jenis masuk ke dalam kriteria terancam IUCN Redlist. Indeks keanekaragaman jenis burung di KHDTK Malili termasuk tinggi dengan nilai sebesar 3,67. Potensi burung di KHDTK Malili telah mendapat acaman dari masyarakat sekitar hutan. Konsep ekowisata yang mengharuskan pelibatan semua stakeholder khususnya masyarakat lokal dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya bisa menjadi salah satu solusi dari permasalahan tersebut. Untuk mewujudkan kegiatan ekowisata di KHDTK Malili perlu disusun strategi pengembangan ekowisata dalam hal ini ekowisata berbasis potensi burung. Kata kunci: Keanekaragaman, burung, ekowisata, KHDTK Malili
I. PENDAHULUAN Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Malili merupakan satu dari 3 kawasan yang menjadi tanggung jawab pengelolaan oleh Balai Penelitian Kehutanan Makassar (BPKM). Dasar penunjukan KHDTK Malili (737,7 ha) melalui SK Menhut No. SK. 367/Menhut-II/2004.
Kawasan
ini
ditujukan
untuk
kepentingan
penelitian
dan
pengembangan, pendidikan dan pelatihan, religi dan budaya, serta wisata pendidikan seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999
tentang Kehutanan.
Untuk kepentingan pengelolaan KHDTK lebih lanjut, diterbitkan SK Kabadan Litbang Kehutanan No. SK.166/Kpts/VIII/2004, tentang Rencana Induk Pengelolaan KHDTK lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Keberadaan KHDTK Malili yang dekat dengan pusat kota Luwu Timur dan berbatasan dengan 3 Desa yaitu Desa Ussu, Desa Puncak Indah dan Desa Baruga menjadikan kawasan ini terisolasi dan menjadi habitat bagi berbagai satwa liar termasuk burung. Satwa liar dan hutan mempunyai hubungan sangat erat (Alikodra, 1990). Burung dapat dikatakan sebagai bio-indicator di dalam suatu ekosistem hutan. Hal ini dikarenakan setiap jenis burung mempunyai daerah dan daya jelajah yang tinggi. Selain itu secara ekologis burung memiliki peranan dalam ekosistem seperti membantu penyerbukan, 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
141
penyebaran, perkecambahan, komponen rantai makanan, dan juga penting untuk tanaman pertanian karena mereka memakan hama serangga. Kegiatan penelitian mengenai burung di KHDTK Malili selama ini masih sangat kurang. Hal ini dapat dilihat dari masih minimnya data mengenai potensi burung di dalam kawasan. Penelitian mengenai potensi burung terakhir kali dilakukan pada tahun 2003 (Gunawan dkk., 2005). Keberadaan data ini sangat penting sebagai dasar dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan satwa liar di dalam kawasan. Keberadaan burung di KHDTK Malili telah mendapat banyak ancaman dikarenakan lokasinya yang berdekatan dengan desa sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengakses kawasan. Salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk menjembatani permasalahan yang ada yaitu dengan konsep ekowisata (ecotoursm). Konsep ini dapat memberikan manfaat kepada pengelola dan masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya yang ada.
II. POTENSI KEANEKARAGAMAN BURUNG DI KHDTK MALILI A. Jenis Burung di KHDTK Malili Penelitian mengenai jenis burung yang dilakukan tahun 2011 di kawasan KHDTK Malili ditemukan 28 famili burung yang terdiri atas 55 jenis burung. Jenis burung famili
Columbidae merupakan famili burung dengan jumlah jenis terbanyak yaitu delapan jenis burung, kemudian famili Accipitridae dan Psittacidae dengan jumlah jenis masing masing empat jenis. Tabel 1. Jenis dan status jenis burung di KHDTK Malili No.
Nama Indonesia
Nama Latin
Accipiter sp.
IUCN
CITES
-
-
1
Alap alap
2
Elang bondol
Haliastur indus*
LC
II
3
Elang laut perut putih
Haliaeetus leucogaster*
LC
II
4
Elang-ular sulawesi
Spilornis rufipectus**
LC
II
5
Cekakak suci
Halcyon sancta
-
-
6
Cekakak sungai
Halcyon chloris
-
-
7
Belibis kembang
Dendrocygna arcuata
LC
-
8
Itik benjut
Anas gibberifrons
LC
-
9
Cangak merah
Ardea purpurea
LC
-
10
Kuntul cina
Egretta eulophotes*
Vul
-
11
Kuntul kerbau
Bubulcus ibis*
-
-
12
Kekep babi
Artamus leptorhynchus
-
-
13
Julang sulawesi
Rhyticeros cassidix**
-
-
142 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
No.
Nama Indonesia
Nama Latin
IUCN
CITES
14
Kapasan
Lalage leucopygialis+
LC
-
15
Merpati-hitam sulawesi
Turacoena manadensis+
LC
-
16
Pergam katanjar
Ducula rosacea
NT
-
LC
-
LC
-
+
17
Pergam tutu
Ducula forsteni
18
Punai penganten
Treron griseicauda
19
Tekukur biasa
Streptopelia chinensis
20
Uncal ambon
Macropygia amboinensis
21
Walik kembang
Ptilinopus melanospila
22
Walik raja
Ptilinopus superbus
LC
-
23
Gagak hutan
Corvus enca
LC
-
24
Bubut alang-alang
Centropus goliath
LC
-
LC
-
-
-
LC
-
LC
-
25 26 27
Bubut sulawesi Kadalan Sulawesi Cabai panggul-kelabu
Centropus celebensis
LC
-
+
Rhamphococcyx calyptorhynchus Dicaeum celebicum
-
+ +
+
28
Cabai panggul-kuning
Dicaeum aureolimbatum
29
Srigunting jambul rambut
Dicrurus hottentottus
LC
-
30
Tepekong jambul
Hemiprocne longipennis
LC
-
31
Layang-layang batu
Hirundo tahitica
LC
-
32
Kirik-kirik australia
Merops ornatus
LC
-
33
Kicuit batu
Motacilla cinerea
LC
-
34
Kehicap ranting
Hypothymis azurea
LC
-
35
Sikatan bakau
Cyornis rufigastra
LC
-
36
Burung-madu hitam
Nectarinia aspasia*
LC
-
37
Burung-madu kelapa
Anthreptes malacensis*
LC
-
38
Burung-madu sriganti
Nectarinia jugularis*
LC
-
39
Kepudang kuduk-hitam
Oriolus chinensis
LC
-
40
Kepudang-sungu sulawesi
Coracina morio+
LC
-
41
Puyuh
Coturnix sp.
-
-
42
Pecuk padi belang
Phalacrocorax melanoleucos
LC
-
LC
-
-
-
-
-
43
Caladi sulawesi
Dendrocopos temminckii
+
+
44
Pelatuk kelabu sulawesi
Mullericipus fulvus
45
Bondol
Lonchura sp
46
Burung-gereja erasia
Passer montanus
LC
-
47
Betet kelapa punggung biru
Tanygnathus sumatranus *
LC
II
48
Kring-kring dada-kuning
Prioniturus flavicans
NT
II
49
Perkici dora
Trichoglossus ornatus**
LC
II
50
Serindit sulawesi
Loriculus stigmatus**
LC
II
51
Cucak kutilang
Pycnonotus aurigaster
LC
-
52
Ayam hutan
Gallus gallus
LC
-
53
Trinil lumpur asia
Limnodromus semipalmatus
NT
-
54
Burung hantu
Tyto sp
-
-
55
Poce
-
-
(Sumber Data : Widianto, dkk., 2011) “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
143
Keterangan : * = status dilindungi PP no 7 tahun 1999 ** = status dilindungi PP no 7 tahun 1999 dan endemik kawasan Wallace + = endemik kawasan Wallace CITES = Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora IUCN = International Union for Conservation of Nature LC = Least Concern NT = Near Thratened Vul = Vulnarable Jumlah jenis burung sebanyak 55 jenis ini lebih banyak dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya (Gunawan dkk., 2005) yang menemukan 30 jenis burung. perbedaan ini dimungkinkan karena metode dan waktu pengamatan yang digunakan berbeda. B. Indeks Kemerataan dan Keragaman Jenis Burung di KHDTK Malili Nilai keanekaragaman (H’), kemerataan (E) dan dominasi jenis (D) merupakan parameter yang memperlihatkan kekayaan jenis serta keseimbangan jumlah setiap jenis dalam komunitas. Konsep ukuran keanekaragaman dibedakan atas tiga ukuran yang dikenal
secara
umum
yaitu
kekayaan
jenis
(spesies
richness),
heterogenitas
(heterogeneity), dan kemerataan (evenness) (Krebs 1985). Menurut Odum (1971) pengukuran keanekaragaman merupakan dugaan atas jenis-jenis penting pada suatu komunitas berdasarkan atas jumlah, biomassa, cover dan produktivitas. Keragaman jenis tidak hanya berarti kekayaan atau banyaknya jenis, tetapi juga kemerataan (evenness) dari kelimpahan tiap individu. Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis tidak selalu berbanding lurus. Nilai indeks keanekaragaman jenis yang tinggi dapat memiliki nilai indeks kemerataan yang lebih rendah. Keanekaragaman jenis burung adalah jumlah jenis burung di dalam komunitasnya atau lebih luas pada habitatnya. Keanekaragaman jenis burung sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan keragaman jenis pakan, semakin beragam jenis pakan yang ada di suatu tempat maka semakin banyak jumlah jenis satwa yang hidup di sana. Akan tetapi faktor lain yang memengaruhi kehadiran suatu jenis burung yaitu adanya pesaing atau bahkan predator. Kompetisi dapat terjadi antara dua spesies yang menggunakan jenis sumberdaya yang sama dan menempati daerah yang sama, dan antar dua jenis tidak harus berkerabat dekat untuk terlibat dalam satu kompetisi (Krebs, 1989).
144 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Kriteria indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener menyatakan bahwa nilai H’ <1 merupakan tingkat keanekaragaman rendah, 1≤ H’ ≤3 tingkat keanekaragaman sedang,
dan
>
3
merupakan
tingkat
keanekaragaman
tinggi.
Nilai
indeks
keanekaragaman jenis burung (H’) di KHDTK Malili sebesar 3,67 dengan nilai kemerataan sebesar
0,92
(Widianto
dkk.,
2012).
Nilai
ini
menunjukkan
bahwa
tingkat
keanekaragaman jenis burung di kawasan KHDTK Malili tergolong tinggi. Suatu komunitas memiliki keanekaragaman tinggi apabila semua jenis memiliki kelimpahan yang sama atau hampir sama. (Cappenberg, 2008). Tingginya nilai keanekaragaman ini mengindikasikan bahwa belum adanya tekanan dan gangguan yang dapat memengaruhi keberadaan burung di KHDTK Malili. Nilai keanekaragaman burung yang tinggi di KHDTK Malili dikarenakan tidak adanya pemusatan individu. hal ini dapat di lihat dari nilai indeks evenness sebesar 0,92. Nilai indeks kemerataan (E) antar jenis pada kisaran ini tergolong tinggi. Nilai E akan semakin mendekati 0 apabila terjadi pemusatan spesies. Besaran E < 0,3 menunjukkan kemerataan jenis tergolong rendah, E = 0,3 – 0,6 kemerataan jenis tergolong sedang dan E > 0,6 maka kemerataaan jenis tergolong tinggi (Ludwig dan Reynold, 1988).. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada jenis burung yang sangat dominan pada komunitas burung di KHDTK Malili atau dengan kata lain struktur populasi burung yang membentuk komunitas di KHDTK Malili terdiri atas jenis-jenis dengan kelimpahan yang menyebar merata. C. Status Konservasi dan Keendemikan Burung Berdasarkan keendemikannya, sebanyak 15 jenis burung atau sekitar 27,27 % dari total burung yang di temukan di KHDTK Malili merupakan jenis burung endemik Sulawesi.
Burung endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di KHDTK Malili adalah
Prioniturus flavicans, Dicaeum aureolimbatum, Ducula forsteni, Dicaeum celebicum, Rhamphococcyx calyorhynchus, Dendrocopos temminckii, Coracina morio, Centropus celebensis, Mullericipus fulvus, Turacoena manadensis, Lalage leucopygialis, Trichoglossus ornatus, Loriculus stigmatus, Rhyticeros cassidix, dan Spilornis rufipectus. Keberadaan spesies endemik di KHDTK Malili, dapat diasumsikan bahwa kawasan KHDTK Malili merupakan salah satu benteng terakhir bagi burung endemik untuk bertahan hidup. Sementara berdasarkan status konservasinya, dari 55 jenis burung KHDTK Malili, terdapat 13 (24 %) jenis burung yang dilindungi dalam PP No. 7 tahun 1999, yaitu Alap alap (Accipiter sp)., Egretta eulophotes,
Nectarinia jugularis, Nectarinia aspasia,
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
145
Anthreptes malacensis, Bubulcus ibis,
Haliaeetus leucogaster, Haliastur indus,
Tanygnathus sumatranus, Trichoglossus ornatus, Loriculus stigmatus, Rhyticeros cassidix, dan Spilornis rufipectus. Terdapat 7 jenis (12,7%) yang masuk ke dalam status apendik II CITES (CITES, 2012). Dari IUCN red list (IUCN, 2012) ditemukan 3 jenis yang mendekati terancam (Near Threatened) yaitu Pergam katanjar (Ducula rosacea), Kring-kring dadakuning (Prioniturus flavicans), Trinil lumpur asia (Limnodromus semipalmatus) dan satu jenis masuk ke kriteria rawan (Vulnerable) yaitu Kuntul cina (Egretta eulophotes).
III. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI KHDTK MALILI Keberadaan burung di KHDTK Malili telah mendapat banyak ancaman seperti berkurangnya habitat akibat dari penebangan liar, konversi hutan menjadi kebun sampai pengurangan populasi akibat perburuan. Permasalahan yang ada tersebut disebabkan karena masyarakat kurang dapat merasakan manfaat dari adanya KHDTK. Selain itu, kurangnya aktivitas seperti penelitian, pendidikan dan pemanfaatan yang dapat menunjukkan eksistensi pengelolaan KHDTK, membuat KHDTK dilihat sebagai kawasan tak bertuan ataupun dianggap sebagai lahan tidur. Selama pengamatan yang dilakukan pada tahun 2011 ditemukan beberapa ancaman terhadap kelestarian burung di dalam kawasan KHDTK Malili. Kerusakan habitat karena penebangan pohon untuk perkakas rumah maupun untuk dijadikan kayu bakar terutama pada saat menjelang pesta beberapa kali masih terjadi. Demikian pula dengan aktivitas perambahan kawasan oleh masyarakat sekitar masih terjadi khususnya di kawasan dekat perumahan masyarakat dan di sekitar pelabuhan PT. Inco. Selain itu, kegiatan perburuan satwa burung seperti ayam hutan (Gallus sp.) juga masih terlihat di dalam kawasan. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya beberapa jerat ayam hutan yang dipasang masyarakat di dalam dan sekitar KHDTK. Sehingga pengelola dalam hal ini BPKM harus segera melakukan pengelolaan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Konsep ekowisata merupakan salah satu solusi untuk menjebatani permasalahan tersebut. IV. PELUANG PENGEMBANGAN EKOWISATA BERBASIS POTENSI BURUNG DI KHDTK MALILI A. Pengertian dan Manfaat Ekowisata Salah satu bentuk pemanfaatan potensi burung yang dapat dikembangkan adalah ekowisata. Konsep ekowisata yang mengharuskan adanya keterlibatan masyarakat memungkinkan menjadi salah satu solusi untuk menyelesaikan masalah terkait 146 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
masyarakat. Ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggungjawab dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usahausaha konservasi sumberdaya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal (Permendagri 33, 2009). Terdapat beberapa
alasan mengapa
konsep ekowisata
dipilih oleh para
konservasionis dan pengelola kawasan Drumm dan Moore (2005), antara lain: 1. Semua stakholder mempunyai tanggung jawab mengontrol dampak negatif dari adanya wisatawan. 2. Kegiatan ekowisata dapat memberikan keutungan ekonomi untuk kawasan yang dilindungi, masyarakat sekitar hutan, dan stakeholder lain yang terkait. 3. Dapat meningkatkan hubungan antara pengelola, masyarakat dan pemerintah daerah. 4. Ekowisata memberikan pilihan lebih banyak untuk aktivitas ekonomi dan akan membantu mencegah ancaman dan tekanan terhadap penggunaan lahan. 5. Ekowisata menunjukan bahwa kegiatan ekowisata tidak harus besar dan merusak. Drumm dan Moore (2005) menyebutkan apabila kegiatan ekowisata direncanakan, dilakukan dan dievaluasi dengan benar akan memberikan dampak postif. Dampak positif tersebut adalah : 1. Keuntungan secara finansial Kegiatan ekowisata akan memberikan keuntungan finansial bagi pihak pengelola dan masyarakat yang pada akhirnya secara global akan memberikan keuntungan kepada negara, dengan demikian ketergantungan pihak pengelola kawasan hutan kepada pemerintah dari segi pendanaan dapat berkurang. 2. Konsesi sektor swasta Dengan adanya blok dalam konsep ekowisata dimungkinkan adanya pelibatan swasta dalam pengembangan ekowisata. Pihak swasta dapat melakukan investasi ke dalam blok yang telah ditentukan berupa restoran, penginapan, jasa wisata, dsb. Pelibatan swasta dapat membantu pihak pengelola dalam mengelola kawasan dari segi pembiayaan sarana prasarana dan pengawasan. Pelibatan swasta ini harus didasari oleh kesepakatan mengenai hak dan kewajiban yang jelas serta dilakukan monitoring. 3. Bantuan (Donations) Promosi dan kegiatan kampanye mengenai ekowisata dapat menarik sektor swasta untuk memberikan bantuan/donasi. Kegiatan promosi dan kampanye bisa
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
147
dilakukan di dalam objek wisata ataupun melalui media online seperti internet atau media sosial. 4. Membuka lapangan pekerjaan baru Banyak kegiatan ekowisata yang dapat memberikan peluang pekerjaan baru. Pemanfaatan
pengetahuan
lokal
dapat
digunakan
dalam
perencanaan
dan
pengelolaan ekowisata. Jenis lapangan kerja yang dapat dihasilkan melalui kegiatan ekowisata antara lain jasa interpreter/guide, penjual souvenir, penjual makanan dsb. 5. Pengakuan terhadap kawasan Aktivitas ekowisata akan menarik banyak wisatawan untuk berkunjung sehingga dengan sendirinya eksistensi kawasan akan diakui oleh masyarakat dan pemerintah daerah. 6. Peningkatan perekonomian nasional Keberhasilan ekowisata dengan sendiri dapat meningkatkan perekonomian nasional. Masyarakat dapat keuntungan dari keterlibatan mereka dalam aktivitas ekowisata, pihak swasta dapat keuntungan dari investasi, dan negara dapat pemasukan dari devisa dan pajak. 7. Pendidikan lingkungan Konsep ekowisata harus memasukkan unsur pendidikan dengan begitu pengetahuan masyarakat tentang pentingnya lingkungan bagi kehidupannya akan meningkat. 8. Apresiasi dan kebanggaan Pengelolaan ekowisata yang dilakukan secara partisipatif akan meningkatkan apresiasi dan kebanggaan masyarakat terhadap kawasan. 9. Meningkatnya kesadaran konservasi Peningkatan apresiasi dan kebanggaan dari masyarakat dengan sendirinya akan menyadarkan masyarakat tentang pentingnya kelestarian lingkungan. B. Prinsip-Prinsip Pengembangan Ekowisata Pengembangan ekowisata di suatu kawasan harus memenuhi prinsip-prinsip seperti yang tertuang dalam Permendagri No. 33 tahun 2009 mengenai pedoman pengembangan ekowisata di daerah, prinsip tersebut adalah : 1. Kesesuaian antara jenis dan karakteristik ekowisata; 2. Konservasi, yaitu melindungi, mengawetkan, dan memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam yang digunakan untuk ekowisata;
148 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
3. Ekonomis, yaitu memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan; 4. Edukasi, yaitu mengandung unsur pendidikan untuk mengubah persepsi seseorang agar memiliki kepedulian, tanggung jawab, dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya; 5. Memberikan kepuasan dan pengalaman kepada pengunjung; 6. Partisipasi masyarakat, yaitu peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ekowisata dengan menghormati nilai-nilai sosialbudaya dan keagamaan masyarakat di sekitar kawasan; dan 7. menampung kearifan lokal. C. Strategi Pengembangan Ekowisata Berbagai jenis kegiatan ekowisata yang bisa dikembangkan terkait potensi burung di KHDTK Malili adalah : pendidikan lingkungan dan wisata minat khusus/bird watching. Untuk mewujudkan kegiatan ekowisata burung di KHDTK Malili perlu di susun strategi pengembangan ekowisata berdasarkan prinsip-prinsip ekowisata sebagai berikut : 1. Menentukan target yang akan menjadi objek pengembangan ekowisata. Dari jenis burung yang ditemukan terdapat beberapa jenis yang menarik untuk dijadikan obyek wisata pengamatan burung (bird watching). Jenis burung yang menjadi obyek kegiatan birdwatching memiliki kriteria warna menarik, endemik dan atau mempunyai status konservasi berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek ekowisata. Beberapa jenis burung di KHDTK Malili yang sesuai dengan kriteria obyek
birdwatching antara lain : a. Memiliki warna menarik : Walik kembang (Ptilinopus melanospil), Walik raja (Ptilinopus superbus), Betet kelapa punggung biru (Tanygnathus sumatranus). b. Merupakan jenis endemik : Elang-ular Sulawesi (Spilornis rufipectus), Kring-kring dada-kuning (Prioniturus flavicans), Perkici dora (Trichoglossus ornatus) dan Serindit Sulawesi (Loriculus stigmatus). c. Memiliki status konservasi tertentu : Julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix). 2. Penentuan blok ekowisata Penentuan blok ini perlu dilakukan untuk memilih lokasi yang paling sesuai untuk kegiatan ekowisata burung tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian burung. Blok ekowisata burung di KHDTK Malili sekurang-kurangnya
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
149
memerlukan dua blok yaitu blok perlindungan dan pemanfaatan. Blok perlindungan ini merupakan blok dimana kegiatan ekowisata tidak boleh dilakukan. Blok ini dibentuk karena lokasi blok tersebut merupakan daerah yang penting bagi kelestarian burung di KHDTK Malili. Daerah yang menyediakan kebutuhan dasar burung seperti tempat berbiak dan sarang merupakan daerah yang sesuai untuk blok ini. Blok pemanfaatan merupakan lokasi yang diperbolehkan untuk dilakukan ekowisata. Dalam blok ini dapat dilakukan kegiatan-kegiatan ekowisata dan pembangunan infrastruktur seperti tempat bermain, jalur pengamatan, penginapan dan restoran. Dari hasil inventarisasi potensi flora fauna tahun 2011 di KHDTK Malili didapat lokasi terpilih berdasarkan potensi perjumpaan burung dan aksesibilitas. Contoh lokasi potensial untuk wahana pengamatan burung dapat dilihat pada gambar 1.
(Sumber Peta : Widianto dkk., 2011)
Gambar 1. Peta Lokasi Potensial Untuk Pengamatan Burung di KHDTK Malili. 3. Pelibatan stakeholder (pemerintah daerah, sektor swasta, LSM, akademisi dan masyarakat) Pelibatan semua pihak dalam perencanaan, pengembangan, implementasi dan pemantauan perlu dilakukan sehingga keberhasilan kegiatan ekowisata dapat terjamin. Pemerintah daerah dalam hal ini Luwu Timur perlu dilibatkan dalam pengembangan ekowisata. Menurut Drumm dan Moore (2005), pembangunan ekowisata yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat mengintegrasikan perencanaan nasional, daerah dengan kawasan. Dalam hal ini pemerintah daerah diharapkan dapat 150 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
memasukkan kegiatan ekowisata dalam penyusunan rencana tata ruang dan pengembangan wilayah. Pelibatan sektor swasta dapat mambantu dan mempermudah pihak pengelola (BPKM) dalam segi pendanaan kegiatan ekowisata. Konsesi sebagian kawasan untuk dikembangkan oleh swasta akan memberikan keuntungan yang dapat digunakan untuk pengelolaan dan pengembangan ekowisata. Selain itu, keuntungan yang didapat akan membantu dalam usaha pelestarian burung dalam kawasan. Pelibatan LSM atau NGO (non-Government Organitation) pecinta burung nasional ataupun internasional seperti burung indonesia (bird life), dan LSM lokal dapat membantu pihak pengelola dalam menyusun blok, dan monitoring dampak dari kegiatan ekowisata. Keterlibatan akademisi dan pakar dapat membantu dan mempermudah BPKM dalam menyediakan data dan informasi yang benar dan aktual terkait obyek ekowisata. Data dan informasi mengenai populasi, status populasi, persebaran, perilaku, pohon pakan, pohon tidur, pohon sarang, pengetahuan masyarakat terkait jenis burung yang menjadi target ekowisata perlu untuk dikumpulkan. Data yang benar dan aktual ini akan mempermudah dalam penentuan jenis wisata yang akan di tawarkan, perencanaan jalur dan blok, perencaan pembangunan infrastruktur pendukung, dan pelibatan masyarakat serta memperkecil dampak negatif dari kegiatan ekowisata burung. Pelibatan masyarakat menjadi sangat penting dalam prinsip ekowisata. Masyarakat dapat dilibatkan mulai dari perencanaan sampai monitoring ekowisata. Dalam kegiatan perencanaan, masyarakat dengan kemampuan alaminya dapat membantu pihak
pengelola
dalam
menentukan
jalur pengamatan
dan
titik
pengamatan burung. Dalam kegiatan wisata masyarakat dapat dilibatkan dalam kegiatan sebagai pendamping atau interpreter. 4. Penyiapan sumber daya manusia Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor terpenting dalam keberhasilan ekowisata. Penyiapan SDM ini bisa dilakukan dengan kegiatan pelatihan, pendidikan dan atau pendampingan. Kegiatan penyiapan SDM bisa dilakukan oleh BPKM atau berkerjasama dengan pihak terkait seperti dinas pariwisata atau lembaga-lembaga terkait. Dalam penyiapan SDM ini diprioritaskan dari masyarakat sekitar hutan. Penyiapan masyarakat tidak hanya sebatas dalam kegiatan pendukung wisata seperti
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
151
penarikan restribusi, kebersihan atau pengamanan kawasan. Masyarakat harus disiapkan dalam perannya terkait perencanaan dan pengelolaan ekowisata. Sehingga masyarakat akan berperan aktif dalam mendukung keberhasilan ekowisata. 5. Pembangunan infrastruktur pendukung Pembangunan infrastruktur seperti tower pengamatan burung, jalur trek untuk pengamatan burung, restoran, penginapan dan sebagainya perlu diperhatikan dampak baik terhadap ekosistem ataupun obyek ekowisata (burung). Keselarasan pembangunan dengan lingkungan di sekitar perlu diperhatikan sehingga kesan alami yang memang menjadi tujuan dari wisatawan dapat tercapai. 6. Promosi dari kegiatan ekowisata Keberhasilan kegiatan ekowisata ditentukan oleh keberhasilan promosi. Kegiatan promosi dapat dilakukan oleh pihak pengelola (BPKM) atau bekerjasama dengan pihak swasta. Kegiatan promosi oleh BPKM dapat melalui pameran, desiminasi hasil penelitian, dan pembuatan media-media promosi seperti poster, leaflet, booklet, buku dan website. Penyusunan buku informasi atau panduan lapangan burung di KHDTK Malili perlu untuk dilakukan. Buku panduan ini dapat dijadikan sebagai media promosi dan juga upaya penyadaran wisatawan akan pentingnya burung bagi kehidupan. Buku panduan ini memuat jenis dan deskripsi masing-masing jenis akan tetapi juga berisikan pentingnya burung secara ekologis di dalam ekosistem. Promosi ekowisata juga dapat dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan swasta seperti agen-agen wisata ataupun perjalanan. Ekowisata burung KHDTK Malili memberikan warna berbeda dari beberapa obyek wisata yang sudah terkenal di Luwu Timur seperti obyek wisata Danau Matano dan Towuti. Pengemasan kegiatan ekowisata
yang
menarik
menjadi
penting
sehingga
pihak
swasta
bersedia
memasukkan ekowisata burung KHDTK Malili dalam paket wisata yang mereka tawarkan. 7. Evaluasi dampak ekowisata Kegiatan ekowisata mewajibkan adanya monitoring dan evaluasi dari kegiatan ekowisata yang telah dilakukan. Kegiatan monitoring ini dilakukan terhadap jenis burung yang menjadi obyek wisata, infrastruktur pendukung yang dibangun, dan juga terhadap masyarakat di sekitar kawasan. Monitoring terhadap spesies obyek sangat penting karena ekowisata mengharuskan adanya kelestarian sumber daya dalam kegiatannya.
152 |
Pembangunan
infrastuktur
pendukung
seperti
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
jalur
trek,
pos
pengamatan, penginapan perlu dilakukan monitoring dan evaluasi. Monitoring ini untuk mengetahui apakah kegiatan pembangunan tersebut menganggu ekosistem dan jenis satwa yang ada di dalam kawasan khususnya spesies objek. Monitoring terhadap masyarakat perlu dilakukan untuk mengetahui dampak positif dan negatif dari kegiatan ekowisata.
V. KESIMPULAN DAN SARAN KHDTK Malili merupakan kawasan hutan yang sangat penting untuk perlindungan satwa burung terutama untuk jenis burung yang endemik dan dilindungi. Potensi burung yang ada di KHDTK mendapat ancaman dari adanya penebangan liar dan perburuan yang dilakukan oleh masyarakat. Kegiatan penelitian, pengelolaan, dan pemanfaatan potensi burung di KHDTK Malili masih sangat kurang. Ekowisata dapat menjadi salah satu solusi untuk menyelesaikan masalah yang ada di KHDTK Malili. Prinsip ekowisata yang melibatkan partisipasi masyarakat, yaitu peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengembangan dan pengendalian ekowisata. Pelibatan tersebut akan berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan. Dengan begitu maka pengakuan terhadap adanya KHDTK Malili oleh masyarakat dapat terwujud. Penelitian yang menyeluruh mengenai potensi burung di KHDTK Malili perlu segera dilakukan sehingga kegiatan ekowisata yang akan dilakukan dapat menjamin kelestarian burung.
Kegiatan
pemantauan
status
populasi
burung
perlu
dilakukan
dengan
menetapkan titik-titik pengamatan burung yang permanen. Kegiatan penelitian di KHDTK Malili diharapkan dapat diarahkan ke pengumpulan potensi khususnya potensi wisata yang ada di dalam kawasan. Potensi flora dan fauna seperti anggrek, kantung semar, tanaman obat, rotan, monyet, dsb. perlu dilakukan untuk menjadi alternatif ekowisata di KHDTK Malili. Selain itu, batas kawasan KHDTK Malili harus segera dilakukan sosialisasi sehingga keutuhan, kelestarian dan eksistensi kawasan dapat terjamin dan diakui oleh semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S. (1990), Pengelolaan Satwa Liar Jilid I, Bogor: IPB. Cappenberg, H. A. W. (2008). Moluska Bentik di Perairan Muara Sungai Cisadane, Tangerang, Banten. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di lndonesia 34, 13-23 “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
153
CITES, (2012). CITES Listed Animals: Indonesia resources/species.html. diakses 11 Juni 2012.
http://www.cites.org/eng/
Drumm, A. and A. Moore. (2005). Ecotourism Development: A Manual for Conser vation Planners and Managers. Volume 1: An Introduction to Ecotourism Planning, Second Edition. Arlington, Virginia, USA: The Nature Conservancy. Gunawan, H. I.A.S.L.P. Putri, M. Qiptiyah. (2005). Keanekaragaman Jenis Burung di Wanariset Malili Kabupaten Luwu timur, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 2 (3), 241-250. IUCN. (2012). IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org/ apps/redlist/search, diakses 11 Juni 2012. Krebs, C. J., (1989). Ecological methodology. New York: Harper and Row Publisher. Ludwig, J. A. dan J. F. Reynold. (1988). Statistical Ecology.A Primer on Methods and Computing. New York: John Wiley and Sons. Odum EP. (1971). Fundamental of Ecology. 3nd Edition. Philladelphia: Wb. Saunders CO. Departemen Dalam Negeri. (2009). Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 tahun 2009. Tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah. Jakarta: Biro hukum dan organisasi. Republik Indonesia. (1999). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999. tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta: Sekretariat Negara. Widianto T., Mursidin, F. Anshari. (2012). Laporan Inventarisasi Flora dan fauna di KHDTK Malili. Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar. (Tidak dipublikasikan)
154 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DALAM KONTEKS PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH (Studi kasus Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros) Tony Widianto1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memasukkan taman nasional (TN) sebagai salah satu dari kawasan lindung dalam kawasan pelestarian alam. Dalam perencanaan pembangunan wilayah, taman nasional berperan sebagai kawasan yang memberikan perlindungan fungsi ekologis dan memberikan manfaat ke dalam dan ke luar kawasan. Pengelolaan taman nasional seharusnya sejalan dengan orientasi pembangunan wilayah, yang salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perbedaan acuan spasial yang digunakan dalam perencanaan suatu kawasan seringkali menyebabkan konflik status lahan sehingga menghambat proses pembangunan di tingkat teknis. Dalam konteks pengelolaan taman nasional, perencanaan spasial direpresentasikan dalam bentuk sistem zonasi. Konsep zona khusus mengakomodir perkembangan masyarakat dalam kawasan TN melalui pengelolaan kolaboratif. Penerapan zona khusus di TN Bantimurung Bulusaraung (Babul) tersirat dari arahan pembangunan dan Rencana Struktur Ruang Kawasan Lindung yang tertuang dalam RTRWK Maros. Melalui pariwisata alam, TN Babul turut berperan dalam kontribusi pendapatan daerah yang cukup signifikan yang juga dijelaskan dalam strategi pengembangan wisata dalam Rencana Struktur ruang Kawasan Budidaya (RTRWK Maros, 2010). kata kunci: perencanaan wilayah, taman nasional, TN Bantimurung Bulusaraung
I. PENDAHULUAN A . Hubungan Pengelolaan Taman Nasional dan Perencanaan Wilayah Perencanaan wilayah dapat diartikan sebagai sebuah rencana pemanfaatan wilayah dan aktivitas perencanaan keruangan yang merupakan unsur pendukung sebuah rencana pembangunan wilayah (Tarigan, 2004). Di Indonesia, peraturan mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dituangkan dalam Undang Undang No. 26 tahun 2007, yang berisi kebijakan dan pedoman strategi dalam pemanfaatan ruang skala nasional. Ada dua pola ruang utama yang diatur dalam tata ruang nasional yaitu kawasan budidaya/terbangun dan kawasan lindung. Secara lebih spesifik, undang-undang memasukkan Taman Nasional (TN) sebagai salah satu dari kawasan lindung dalam kawasan pelestarian alam. Menurut Haeruman (1999), dalam pembangunan wilayah, taman nasional berperan sebagai kawasan yang memberikan perlindungan fungsi ekologis 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
| 155
dan memberikan manfaat ke dalam dan ke luar kawasan. Taman nasional juga dianggap menjadi kawasan strategis untuk melestarikan fungsi perlindungan aset daerah. Sebagai bagian dari wilayah pembangunan daerah, taman nasional memiliki peran strategis dalam menjaga kelestarian ekosistem dan memberi manfaat kepada masyarakat. Kebijakan dalam pengelolaan kawasan lindung mengarahkan pengelolaan taman nasional untuk menciptakan keseimbangan ekologi, sosial dan ekonomi, dengan merujuk pada rencana pembangunan wilayah. Ini berarti bahwa pengelolaan taman nasional seharusnya sejalan
dengan
orientasi
pembangunan
wilayah,
yang
salah
satunya
adalah
pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Riyadi, 1999). Penunjukan
sebuah
taman
nasional
masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
harus
memberikan
manfaat
kepada
Dengan kata lain, fungsi yang melekat pada
taman nasional dapat diartikan sebagai aset yang berharga dalam turur serta memajukan kehidupan masyarakat. Seperti yang dikemukakan Primack (1998) bahwa ekosistem taman nasional mengandung nilai tak terhitung (intangible value) dalam bentuk perlindungan tanah dan air, pengatur iklim, pusat pendidikan dan penelitian dan sebagai obyek wisata potensial. Hal ini ditambahkan oleh Saruan (1999) bahwa peran besar taman nasional dalam mendukung pembangunan daerah terwujud antara lain melalui meningkatnya pertumbuhan pariwisata, pendapatan daerah dan lebih jauh pertumbuhan ekonomi lokal.
B. Permasalahan Perencanaan Ruang Taman Nasional dan Perencanaan Wilayah Taman nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi di Indonesia, yang biasanya ditetapkan berdasarkan acuan status kawasan sebelumnya pada Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan(TGHK) pada level nasional. TGHK disusun pada tingkat skala 1 : 250.000 untuk memetakan status kawasan hutan di Indonesia, dan digunakan acuan spasial dalam pengelolaan hutan. Pada level di bawahnya yaitu tingkat provinsi, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dilakukan berdasarkan pada acuan keruangan/spasial yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Sinkronisasi peta TGHK dan RTRWP menghasilkan Peta Paduserasi, dimana untuk Sulawesi Selatan dilakukan pada tahun 1995 dengan skala peta 1 : 250.000. Pada tingkat kabupaten, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) yang disusun dalam bentuk peta spasial berskala 1 : 100.000. Untuk kebutuhan teknis, skala ini masih terlalu kecil karena tidak dapat
156 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
mengidentifikasi obyek dengan ukuran kecil seperti rumah tunggal. Kebun atau sawah dengan luas kecil dan sebagainya, sehingga dibutuhkan peta teknis pembangunan yang berbentuk (Rencana Detil Tata Ruang/RDTR) dengan skala 1 : 10.000 atau lebih besar. Perencanaan penetapan kawasan taman nasional hendaknya mengacu pada rencana spasial, dengan menyesuaikan tingkat unit wilayah di mana sebuah taman nasional berada. Perbedaan acuan spasial yang digunakan dalam perencanaan suatu kawasan seringkali menyebabkan konflik status lahan sehingga menghambat proses pembangunan di tingkat teknis. Penyesuaian acuan spasial lingkup sektoral (Pertanian, Kehutanan, dan Pertambangan) dengan perencanaan ruang wilayah menjadi penting untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan yang telah ditetapkan. Hal ini juga berlaku pada skala pengelolaan, di mana acuan spasial yang digunakan sebaiknya mengandung informasi yang cukup detail sesuai dengan kebutuhan mulai dari perencanaan hingga implementasi teknis di lapangan. Merujuk pada permasalahan ini, Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) dapat menjadi salah satu contoh studi kasus berkaitan dengan pengelolaan kawasannya. Secara keruangan, bagian selatan kawasan TN Babul telah tergambar dalam peta RTRW Kabupaten Maros (Gambar 1).
Gambar 1. Peta Rencana Pola Ruang RTRW Kabupaten Maros 2010-2029.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
| 157
Peta di atas menggunakan skala 1 : 250.000 untuk level kabupaten/kota. Dengan skala ini RTRWK Maros belum dapat menggambarkan secara detil beberapa bagian aktivitas masyarakat pada lokasi tertentu. Di bagian selatan TN Babul (tanda kotak merah) terdapat masyarakat yang tinggal dan melakukan aktivitas guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagaimanapun, dalam konteks pembangunan wilayah, masyarakat merupakan salah satu obyek sasaran pembangunan daerah, sehingga keberadaannya perlu dipetakan dengan jelas untuk alokasi kebutuhan pembangunan. TN Babul menjadi contoh terjadinya permasalahan sosial ketika diketahui adanya komunitas masyarakat yang ditunjukkan dengan adanya pemukiman, lahan pertanian dan beberapa fasilitas umum seperti pasar, sekolah dan masjid, setelah penetapan taman nasional dilakukan. Ekspansi masyarakat masih dimungkinkan terjadi dengan adanya potensi sumberdaya alam dan fasilitas umum yang ada di lokasi tersebut. Hal ini yang dikhawatirkan akan memengaruhi atau bahkan menjadi potensi ancaman terhadap ekosistem taman nasional. Akan tetapi, masyarakat telah tinggal di lokasi tersebut sejak lama sebelum TN Babul terbentuk, sehingga untuk keberlanjutan pengelolaan TN Babul, perkembangan masyarakat juga perlu mendapatkan perhatian dan akomodasi, sehingga kelestarian fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dapat tercapai. Permasalahan tentang aktivitas masyarakat di dalam kawasan yang tidak terdeteksi dalam penetapan taman nasional merupakan salah satu dampak dari perencanaan yang menggunakan dasar acuan peta dengan skala yang kurang detil. Acuan Peta Paduserasi dengan skala kecil (1:250.000 tingkat provinsi) tentu saja tidak dapat mengidentifikasi objek dengan ukuran kecil dan letaknya sporadis misalnya dinamika aktivitas masyarakat dalam bentuk pemukiman, sawah, kebun dsb. Oleh karena itu, pengelolaan taman nasional dalam skala teknis harus menggunakan acuan data spasial dengan skala yang lebih tinggi misalnya mulai RTRWK dengan skala 1:100.000 sampai Rencana Detil Tata Ruang Kabupaten (RDTRK) yang skalanya 1:50.000 hingga 1:10.000. Perencanaan keruangan pengelolaan taman nasional yang menjadi bagian dari wilayah administrasi kabupaten, merupakan derivasi dari rencana tata ruang daerah. Maka dari itu, untuk kasus yang lebih spesifik dalam pengelolaan TN misalnya penentuan zona khusus untuk mengatur perkembangan masyarakat yang tinggal di dalam kawasan, perlu dilakukan identifikasi lebih detil menggunakan interpretasi citra satelit resolusi sangat tinggi yang mampu menghasilkan peta dengan skala lebih besar dari 1:10.000, disertai dengan cek lapangan untuk memperoleh data/informasi yang valid dan akurat. 158 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Dengan skala ini, diharapkan akan diperoleh informasi mengenai sebaran aktivitas dalam bentuk pemukiman, sawah dan kebun dengan jelas, untuk mendukung perencanaan keruangan selanjutnya. C. Bentuk Perencanaan Spasial di Taman Nasional Perencanaan spasial atau keruangan di taman nasional diperlukan sebagai upaya untuk mendukung pengelolaan yang lebih efektif, terutama yang berbasis kesesuaian lahan untuk fungsi tertentu. Dalam konteks pengelolaan taman nasional, perencanaan spasial direpresentasikan dalam bentuk sistem zonasi, yang dibangun berdasarkan beberapa pertimbangan sesuai ketentuan IUCN (2008), yaitu : a. Kebutuhan ekologi untuk berbagai spesies dan ekosistem b. Ancaman terhadap nilai ekosistem dan spesies. c. Tujuan perlindungan kawasan, desain pengelolaan (saat ini dan yang diusulkan) serta bagaimana model pengelolaan itu dijalankan. d. Kontribusi terhadap lanskap, negara dan keanekaragaman hayati dalam rangka upaya konservasi. e. Mempertahankan nilai alamiah, fungsi ekologi dan kelangsungan hidup spesies. f. Penentuan kategori zona berdasarkan tipe lanskap darat dan air. g. Komitmen dari para pemangku kepentingan. h. Efektivitas manajemen dalam penentuan kategori area perlindungan. i. Pengelolaan yang bersifat kaku sebaiknya dihindari. j. Dalam satu kawasan lindung, dapat dibagi menjadi beberapa zona dengan berbagai tujuan untuk membantu mencapai tujuan utama pengelolaan kawasan. k. Manfaat sosial perlu dibedakan secara spesifik berdasarkan tipe pengelolaan kawasan lindung.
Faktor tersebut di atas merupakan faktor pertimbangan yang melekat sebelum sistem zonasi diterapkan pada pengelolaan taman nasional. Aspek yang disebut dalam faktor tersebut berasal dari dalam kawasan taman nasional. Sementara itu, perlu juga diperhatikan hubungan pengelolaan suatu kawasan taman nasional dengan kawasan di sekitarnya. Dalam hal ini, idealnya pengelolaan taman nasional juga merujuk pada rencana pengembangan wilayah di mana taman nasional tersebut berada.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
| 159
D. Zona Khusus dan Kaitannya dengan Perencanaan Wilayah Persoalan eksistensi masyarakat di dalam TN Babul telah menjadi bahan pembahasan untuk mencari solusi yang terbaik. Berdasarkan arahan dari Kementerian Kehutanan, beberapa opsi dapat dijadikan pertimbangan untuk menyelesaikan masalah masyarakat yang tinggal di dalam kawasan TN Babul. Yang pertama adalah relokasi masyarakat dari dalam kawasan ke luar kawasan. Cara ini dinilai terlalu beresiko dan sulit untuk dilaksanakan karena masyarakat biasanya memiliki ikatan emosional kuat terhadap kampung halamannya, sehingga akan sulit untuk dipindahkan ke tempat lain. Opsi kedua adalah melakukan proses enclaving (mengeluarkan area masyarakat keluar dari kawasan TN Babul). Pilihan ini juga dinilai tidak efektif karena setelah proses enclaving dilakukan, tidak ada jaminan bahwa keberadaan masyarakat tidak akan meluas ke kawasan TN yang lain. Potensi perluasan lahan sawah atau kebun masyarakat cukup besar, mengingat sebagian kawasan TN Babul memiliki kesuburan tanah cukup tinggi dan terbukti menghasilkan beberapa komoditas andalan masyarakat seperti kemiri, coklat dan kopi. Selain itu, fasilitas umum yang terdapat di kawasan TN dapat menarik lebih banyak pendatang untuk bermukim. Alternatif ketiga adalah dengan tetap memasukkan area masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan TN Babul. Cara ini dianggap lebih baik karena ditujukan untuk sinergisme pengelolaan TN, dimana akan membawa manfaat ekologis dan sosial. Masyarakat dapat tetap beraktivitas di dalam kawasan, tetapi arah perkembangannya diatur dan di bawah kesepakatan dengan TN Babul untuk menjaga kelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Dalam konteks peraturan, alternatif ketiga ini dikenal kemudian dengan istilah zona khusus. Terminologi zona khusus tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 56 tahun 2006. Pada dasarnya, peruntukan fungsi zona khusus ini adalah untuk mengakomodasi perkembangan masyarakat yang telah tinggal di dalam kawasan taman nasional sebelum taman nasional tersebut ditetapkan. Dalam zona khusus, masyarakat diharapkan dapat berkembang dalam kerangka aturan dan kesepakatan yang telah dibangun dengan pihak taman nasional. Beberapa bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona khusus adalah kegiatan perlindungan, rehabilitasi dan pertanian terbatas untuk mendukung kehidupan masyarakat. Jika dilihat dari substansinya, konsep zona khusus secara tersirat sesuai dengan arahan pembangunan yang tertuang dalam RTRWK Maros, yang berisi :
160 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
a. Pemanfaatan
ruang
untuk
konservasi
budaya,
biodiversitas,
tipe
ekosistem,
perlindungan keunikan/kekhasan alam untuk penelitian, rekreasi dan ekowisata untuk perlindungan lingkungan. b. Pemanfaatan ruang untuk fungsi perlindungan. c. Larangan terhadap aktivitas budidaya. Selain itu gambaran konsep zona khusus juga terakomodir dalam Rencana Struktur Ruang Kawasan Lindung (RTRWK Maros, 2010) yang turut mendorong perencanaan ruang untuk : a. Pembentukan kawasan lindung mampu mempertahankan fungsinya, keanekaragaman hayati dan ekosistem. b. Mengontrol dan membatasi kawasan budidaya/kawasan terbangun yang telah ada di dalam kawasan lindung, terutama di lahan kurang sesuai. c. Penetapan bentuk aktivitas budidaya di kawasan lindung yang tidak mengganggu fungsi perlindungan pada area tertentu.
Sistem zonasi sebagai bentuk perencanaan ruang taman nasional diharapkan selaras dengan isi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sebagai contoh, RTRW Kabupaten
Maros
menyebutkan
bahwa
sistem
zonasi
taman
nasional
harus
memerhatikan : a. Pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam. b. Pemanfaatan ruang untuk aktivitas budidaya hanya diperbolehkan untuk masyarakat asli dalam zona penyangga dengan luasan yang jelas, tanpa mengurangi fungsi perlindungan dan di bawah pengawasan yang ketat. c. Larangan untuk aktivitas budidaya di zona inti. d. Larangan aktivitas budidaya yang cenderung pada pengurangan tutupan vegetasi. Beberapa poin di atas menunjukkan prinsip perencanaan ruang yang sesuai dengan sistem zonasi yang diterapkan dalam pengelolaan TN Babul di mana salah satunya adalah pembentukan zona khusus untuk mengakomodasi perkembangan masyarakat, dengan tetap mempertahankan nilai keanekaragaman hayati dan kelestarian ekologis. Ruang lingkup perencanaan ruang yang tertuang dalam RTRW Kabupaten Maros dan sistem zonasi TN Babul yang mengakomodir kepentingan beberapa pihak terkait, menuntut sinergi dan kolaborasi yang saling menguntungkan semua pihak. Zona khusus yang diterapkan oleh TN Babul menjadi salah satu bentuk pengelolaan TN yang bersifat kolaboratif yang pasti memerlukan saling pengertian dari semua pihak “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
| 161
terkait guna mencapai tujuan bersama. Tentu saja hal ini memerlukan konsep terpadu yang jelas, proses dan waktu yang panjang. E. Peran TN Babul dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pariwisata adalah salah satu pendukung utama pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Maros. Dalam hal ini, TN Babul turut berperan dalam kontribusi pendapatan daerah yang cukup signifikan melalui potensi wisata alamnya. Kontribusi ini juga dijelaskan dalam strategi pengembangan wisata dalam Renscana Struktur Ruang Kawasan Budidaya (RTRWK Maros 2010). Air terjun dan gua mendominasi potensi wisata alam di TN Babul, yang telah dikunjungi oleh wisatawan lokal, nasional dan juga mancanegara. Dinas Pariwisata Kabupaten Maros melaporkan bahwa hingga tahun 2007, tingkat kunjungan wisatawan adalah 2.171 turis mancanegara dan 480.133 wisatawan lokal (RTRWK Maros, 2010). Beberapa lokasi wisata di TN Babul belum dikelola secara optimal tetapi menyimpan potensi strategis untuk dikembangkan. Pengelolaan pariwisata ke depan diharapkan dapat menyeimbangkan fungsi ekologi dan sosial ekonomi, yang berarti bahwa pegembangan pariwisata tidak hanya memberikan tambahan pendapatan daerah, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara langsung. Tabel 1 di bawah
menunjukkan
beberapa
obyek
wisata
di
TN
Babul
yang
berkontribusi
meningkatkan pendapatan sektor pariwisata di Kabupaten Maros (RTRWK Maros, 2010). Tabel 1. Beberapa obyek wisata di TN Babul yang berkontribusi meningkatkan pendapatan sektor pariwisata di Kabupaten Maros No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Obyek Wisata
Lokasi
Taman Wisata Alam Bantimurung Gua Alam Patunuang Cagar Alam Karaenta Sungai Pute/Rammang-Rammang Taman Purbakala Leang-Leang Penangkaran Kupu-kupu Bantimurung
Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan
Bantimurung Simbang Cenrana Bontoa Bantimurung Bantimurung
Sumber : RTRWK Maros 2010 Dari beberapa obyek wisata di atas, TWA Bantimurung dan Situs Leang-leang adalah yang paling populer, sebagai ikon pariwisata Kabupaten Maros. Pengembangan obyek potensial ini telah memberikan multiplier effect seperti penyediaan lapangan kerja di bidang jasa pemandu wisata, transportasi, hotel, restoran/rumah makan, kerajinan dan sebagainya.
Dampak
inilah
yang
secara
tidak
langsung
dapat
kesejahteraan masyarakat dan turut menggerakkan perekonomian lokal. 162 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
meningkatkan
Pada dasarnya, obyek wisata di TN Babul dapat dibedakan menjadi wisata air, wisata alam dan wisata minat khusus. Seiring perkembangan waktu, masyarakat tidak hanya menikmati lokasi wisata sebagai untuk rekreasi (leisure), akan tetapi lebih jauh untuk kepentingan pendidikan, pengembangan organisasi (outbound) dan penelitian. Beberapa kegiatan ini seringkali dikemas dalam bentuk kegiatan ekowisata. Ekowisata adalah salah satu konsep wisata minat khusus yang belakangan ini menjadi tren dalam pengembangan pariwisata di dunia. Aspek positif dari ekowisata adalah karena dalam pengelolaannya
memerhatikan
nilai
ekonomi,
kelestarian
lingkungan,
partisipasi
masyarakat, nilai pendidikan dan hiburan dalam satu arah pengembangan (TN Babul, 2008). Prioritas utama dari pengembangan ekowisata adalah untuk mengikutsertakan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan, dengan menyediakan lapangan kerja di sektor pariwisata. Lebih detil lagi, ada beberapa tujuan pengembangan ekowisata di TN Babul (RPTN TN Babul, 2008), yaitu : - Menyediakan alternatif lapangan kerja bagi masyarakat, di sektor pariwisata dan pendukungnya. - Mendorong tumbuhnya investasi sektor pariwisata untuk mendukung peningkatan pendapatan daerah. - Mempertahankan perlindungan sumberdaya alam, tradisi dan budaya lokal. - Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui partisipasi merata dalam kegiatan pariwisata.
II. PENUTUP Sebagai bagian wilayah administrasi kabupaten, pengelolaan TN Babul harus senantiasa menyelaraskan diri dengan rencana pembangunan daerah. Permasalahan sosial di TN Babul dapat terjadi karena acuan spasial yang belum dapat mengidentifikasi eksistensi masyarakat dalam kawasan saat TN dibentuk. Zona khusus dinilai sebagai win-
win solution untuk menyelesaikan masalah ini. Saat ini, pengelolaan TN Babul diarahkan untuk menyesuaikan dengan perencanaan ruang wilayah. Salah satu bentuknya adalah bahwa kawasan TN Babul telah tercantum dalam rencana struktur ruang dari RTRWK Maros dan RTRWP Sulawesi Selatan.
Secara internal pengelolaan ruang di TN babul
diwujudkan dalam sistem zonasi, termasuk zona khusus di dalamnya. Konsep pengelolaan zonasi secara umum dan zona khusus berdasarkan Permenhut No. 56/2006 tentang
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
| 163
Prinsip Zonasi Taman Nasional, juga tersirat dalam arahan pembangunan dan rencana struktur ruang kawasan lindung Kabupaten Maros. Kontribusi TN Babul dalam mendukung pembangunan diwujudkan melalui pengelolaan pariwisata alam dan pengembangan ekowisata yang memadukan tujuan aspek ekologi dan sosial ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2010). Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Maros. Dinas Permukiman Prasarana Wilayah dan Tata Ruang. Maros, Sulawesi Selatan: Anonim. (2008). Rencana Pengelolaan Taman Nasional Jangka Panjang Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung National Park 2008-2027. Maros: BBNP. Anonim,. (2007). Undang-undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Jakarta, Indonesia. Dephut. (2004). SK Menhut 398/2004 Tentang Penetapan Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Jakarta Haeruman, H. (1999). Kebijaksanaan Pembangunan Taman Nasional dalam Rangka Otonomi Daerah. Pertemuan Regional Pengelolaan Taman Nasional Kawasan Timur Indonesia Pengelolaan Taman Nasional Kawasan Timur Indonesia, Manado, Indonesia. IUCN. (2008). Guidelines for Applying Protected Area Switzerland: IUCN, Gland.
Management Categories.
Primack, R.B. (1998). Esential of conservaton biology. Sunderland: Sinauer. Riyadi, D.M.M., (1999). Pengelolaan Taman Nasional sebagai Komponen Pembangunan Daerah dalam Era Reformasi. Pertemuan Regional Pengelolaan Taman Nasional Kawasan Timur Indonesia Pengelolaan Taman Nasional Kawasan Timur Indonesia, Manado, Indonesia. 23-27 Agustus 1999. Saruan, J. (1999). Dukungan Pemda Mengintegrasikan Pembangunan Wilayah dengan Pengelolaan Taman Nasional dalam Antisipasi Pelaksanaan Otonomi Daerah. Pertemuan Regional Pengelolaan Taman Nasional Kawasan Timur Indonesia Pengelolaan Taman Nasional Kawasan Timur Indonesia, Manado, Indonesia. 23-27 Agustus 1999. Tarigan, R. (2004). Regional Development Planning (In Indonesia). Jakarta: Bumi Aksara.
164 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI CENDAWAN PENDEGRADASI LIGNIN PADA SERASAH BITTI (Vitex cofassus Reinw.) Hermin Tikupadang1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Isolasi cendawan pendegradasi lignin pada serasah bitti merupakan salah satu sumber data dan informasi untuk kajian pemamfaatan mikroba tanah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui cendawan pendegradasi lignin pada serasah bitti dengan menggunakan medium selektif yaitu medium Malt Ekstrak Agar (MEA) + asam tanat 2% dengan indikator terbentuknya zona halo atau zona coklat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah cendawan yang dapat diisolasi dari serasah bitti adalah 15 isolat dan 4 isolat di antaranya yang mampu mendegradasi lignin dengan indikasi timbulnya zona coklat di sekitar koloni cendawan yang merupakan hasil dari dekomposisi asam tanat. Berdasarkan hasil pengamatan makroskopis dan mikroskopis, keempat isolat yang mampu mendgradasi lignin merupakan genus Gelatinosporium, Microsporum, Aspergillus dan genus Oidium. Kata kunci : Isolasi, serasah bitti, cendawan, degradasi, lignin.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bitti (Vitex cofassus Reinw.) adalah salah satu jenis pohon yang komersial yaitu kayunya diperdagangkan dan diekspor, sehingga bitti berpotensi untuk dikembangkan pada berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Menurut Martawijaya (1987), jenis ini tumbuh berkelompok atau terpencar, penyebarannya di Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Jenis ini tumbuh pada tanah kering, berbatuan dengan tekstur tanah liat sampai berpasir. Tumbuh pada iklim tipe A - C (Schmidt dan Ferguson ,1951), tumbuh pada ketinggian 0 – 1.500 m dpl, namun tumbuh baik pada ketinggian di bawah 800 m dpl. Sejak tahun 2003 telah dicanangkan program pemerintah yang berskala nasional yaitu Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN). Bitti termasuk salah satu jenis yang diprogramkan dalam GERHAN di Sulawesi Selatan. Pengembangan bitti dapat berhasil dengan baik apabila dilakukan penanganan yang baik seperti pemupukan agar pertumbuhannya lebih baik. Pemupukan pada tanaman kehutanan perkerjaannya agak sulit karena
cukup luas dan siklusnya yang panjang, oleh karena itu diperlukan cara
yang praktis seperti pemanfaatan serasah yang telah terdekomposisi menjadi kompos. 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
165
Serasah adalah bagian-bagian vegetatif tanaman yang jatuh ke permukaan tanah seperti daun, ranting-ranting, bunga dan buah. Bagian-bagian ini merupakan bahan organik yang tidak homogen dan belum mengalami proses penguraian, namun akan mengalami proses perombakan, sehingga dapat menambah kandungan unsur hara tanah. Proses penghancuran serasah akan menentukan tersedianya unsur hara bagi tanaman, energi bagi mikroorganisme dan memengaruhi sifat fisik dan kimia tanah. Serasah yang sudah mengalami perombakan dapat mengikat butir tanah, sehingga membantu mempertahankan tanah dari erosi, meningkatkan jumlah pori tanah dan meningkatkan kesuburan tanah (Desmukkh, 1992; Halidah dan Sallata, 1990). Senyawa kompleks sebagai penyusun bahan organik pada tumbuhan, di antaranya adalah lignin. Menurut Beguin dan Albert (1992), lignin merupakan salah satu polimer yang kompleks, terdapat di alam dan sulit terurai oleh mikroorganisme. Lignin dan hemiselulosa merupakan bahan pelapis “encrusting” sebagai pelindung bagi matriks selulosa pada tumbuhan. Kombinasi ini menyebabkan tumbuhan mempunyai kekuatan struktur dan ketahanan yang tinggi terhadap proses dekomposisi terutama dari enzimenzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme dalam tanah terdiri atas kelompok bakteri, aktinomycetes, cendawan, alga dan protozoa. Cendawan merupakan salah satu mikroorganisme tanah yang mempunyai kemampuan efektif dalam mendegradasi lignin dengan bantuan enzimenzim spesifik yang dihasilkannya (Rao, 1994). Berdasarkan hasil penelitian, salah satu kelompok cendawan yang berperan penting dalam mendegradasi lignin adalah cendawan dari kelas Basidiomycetes yang dikenal dengan nama White Rot Fungi
(cendawan
pelapuk putih) yang mempunyai kamampuan efektif dalam memineralisasi (perubahan materi organik menjadi materi anorganik) lignin menjadi CO2 dan air oleh enzim ekstraseluler yang dimiliki oleh cendawan tersebut. Cendawan Ascomycetes dan
Deuteromycetes dikenal dengan nama Soft Rot Fungi (cendawan pelapuk lunak) juga berperan dalam mendegradasi lignin (Hatakka, 1994). Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian mengenai isolasi cendawan yang terdapat pada serasah bitti yang mempunyai kemampuan mendegradasi lignin. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cendawan pendegradasi lignin yang terdapat pada serasah bitti (Vitex cofasus Reinw.).
166 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
II.
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Desember 2008 di Laboratorium Mikrobiologi Balai Penelitian Kehutanan Makassar (BPKM), sampel serasah bitti diperoleh dari tegakan bitti di Desa Benjala, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. B. Bahan dan Alat Bahan dan peralatan yang digunakan antara lain : sampel serasah bitti, alkohol, aquades, kentang, agar-agar, dekstrosa, laktofenol, asam tanat, amoxilin, malt ekstrak,
autoclave, cawan petri, erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, higrometer, inkubator, Laminary Air Flow, lux meter, mikroskop, neraca analitik, pH indikator, pipet skala, termometer, kaliper. C. Cara Kerja 1. Pengambilan sampel Sampel serasah diambil di bawah tegakan bitti yang terindikasi ditumbuhi cendawan dan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah disterilkan dengan alkohol 70%. 2. Isolasi cendawan dari serasah bitti. serasah daun bitti yang terindikasi ditumbuhi cendawan dipotong-potong dengan ukuran kira-kira 1 x 1 cm. Potongan serasah dibilas dengan aquades steril, dicelup ke dalam alkohol 70%, dibilas lagi dengan aquades steril kemudian dikeringkan pada kertas saring atau tissu steril, lalu ditanam pada media PDA (Potato Dextrosa Agar). Cendawan yang tumbuh pada medium PDA dimurnikan. Selanjutnya isolat yang telah murni dipindahkan ke medium selektif pendegradasi lignin (Malt Ekstrak Agar) yang diperkaya dengan asam tanat (Subowo, 2003). Setelah ditumbuhkan pada medium selektif, koloni cendawan yang mampu menggunakan asam tanat sebagai sumber karbon dapat diketahui dengan indikasi timbulnya zona coklat di sekitar koloni cendawan. Zona coklat tersebut timbul sebagai hasil dari dekomposisi asam tanat. 3. Pengamatan morfologi Cendawan Untuk melihat morfologi konidia atau spora cendawan yang ditemukan digunakan perbesaran 400x (Gobel, 2004) 4. Karakterisasi dan identifikasi cendawan Isolat murni cendawan
lignolitik diidentifikasi
berdasarkan
karakteristik yang
dimilikinya meliputi :
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
167
a. Penampakan makroskopis (Gobel, 2004) yaitu perubahan warna koloni, warna koloni, warna spora, keadaan permukaan koloni b. Penampakan mikroskopis (Waluyo, 2004) yaitu jenis hifa, warna miselium, spora seksual, spora aseksual, ciri kepala pembawa spora, penampakan sporangiofora atau konidiofora. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolasi Cendawan dari Serasah Bitti Isolat cendawan yang berhasil diisolasi dari serasah bitti diperoleh sebanyak 15 isolat yang kemudian diberi nama isolat A sampai isolat O. Hasil pengamatan karakter ke 15 isolat tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakter koloni ke 15 isolat cendawan yang diisolasi dari serasah bitti No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Isolat Isolat A Isolat B Isolat C Isolat D Isolat E Isolat F Isolat G Isolat H Isolat I Isolat J Isolat K Isolat L Isolat M Isolat N Isolat O
Warna koloni Hijau muda Putih-hijau Putih Putih-hitam Putih merah jambu Hijau tua Putih kekuningan Putih kekuningan Putih hijau Putih Putih kehijauan Hijau tua Putih orange Kuning Putih kehitaman
Karakter koloni Permukaan koloni Berbutir Seperti beludru Seperti benang Seperti beludru Seperti kapas menggunung Seperti beludru Seperti kapas Seperti beludru Seperti kapas Seperti beludru Seperti beludru Seperti beludru Seperti beludru Seperti kapas Seperti kapas
Warna spora Hijau Hijau Putih Putih Putih Hijau Putih Putih Putih Putih Putih Hijau Putih Kuning Hitam
B. Kemampuan Degradasi Isolat Cendawan yang Ditumbuhkan pada Medium Lignin Isolat-isolat cendawan yang berhasil diisolasi dari serasah bitti, diuji kemampuan pertumbuhannya pada medium selektif pendegradasi lignin dengan menggunakan asam tanat sebagai sumber karbon. Dari 15 isolat yang dapat diisolasi dari serasah bitti tersebut setelah dilakukan uji pada medium lignin maka hanya diperoleh empat isolat yang mampu mendegradasi lignin dengan indikasi timbulnya zona coklat atau zona halo di sekitar koloni cendawan yang merupakan hasil dekomposisi asam tanat. Kemampuan keempat isolat cendawan dapat dilihat pada Tabel 2.
168 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Tabel 2. Diameter zona coklat dan diameter koloni isolat cendawan yang diduga mampu menggunakan asam tanat sebagai sumber karbon
No. 1. 2. 3. 4.
Isolat Isolat C Isolat E Isolat I Isolat 0
Diameter zona coklat 25,75 34,85 16,79 30,71
mm mm mm mm
Diameter koloni 10,21 mm 23,85 mm 8,90 mm 9,91 mm
Zona coklat 15,54 mm 11,00 mm 7,89 mm 20,80 mm
Rasio aktivitas lignolitik 2,52 1,46 1,88 3,09
Klasifikasi zona coklat Kelas V Kelas V Kelas IV Kelas V
Tabel 2 menunjukkan rasio aktivitas lignolitik dari isolat-isolat cendawan tersebut adalah isolat C (2,52), isolat E (1,46), isolat I (1,88) dan isolat O (3,09). Rasio aktivitas
lignolitik atau kemampuan mendegradasi lignin merupakan perbandingan antara diameter zona coklat dan diameter koloni. Dari keempat isolat yang mampu medekomposisi asam tanat, isolat O yang memiliki rasio aktivitas lignolitik yang paling tinggi dan isolat E yang memiliki rasio aktivitas lignolitik yang paling rendah. Makin tinggi rasio antara zona coklat dengan diameter koloni cendawan, maka diduga aktivitas lignolitiknya semakin tinggi . Berdasarkan zona coklat atau zona halo maka isolat cendawan C, E dan O masuk dalam kelas V dimana penyebaran zonanya sangat gelap meluas hingga ke bagian tepi koloni cendawan dan zona halonya lebih besar dari 10 mm. Sedangkan isolat cendawan I masuk kelas IV dimana penyebaran zonanya dari terang menjadi coklat kehitaman dengan zona halo 7,89 mm. Adapun zona halo dari isolat tersebut adalah isolat cendawan C 15,54 mm, isolat cendawan E 11 mm, isolat cendawan I 7,89 mm dan isolat cendawan O 20,8 mm (Tabel 2). Menurut Rao (1984), zona halo yang dihasilkan oleh cendawan lignolitik yang ditumbuhkan pada medium asam tanat, dapat diklasifikasikan menjadi 5 kelas yaitu: - Kelas 0
: Negatif, di bawah dan di sekitar koloni tidak berwarna.
- Kelas I
: Tidak ada perubahan warna di bawah atau pada koloni cendawan.
- Kelas II
: Penyebaran zona dari terang menjadi coklat kehitaman di bawah
inokulum terlihat dari permukaan bawah. - Kelas III
: Penyebaran zona dari terang menjadi coklat kehitaman di bawah koloni cendawan tapi tidak meluas sampai ke bagian tepi (zona halo 1-5 mm).
- Kelas IV
: Penyebaran zona dari terang menjadi coklat kehitaman meluas dengan jarak yang pendek dari tepi koloni cendawan (Zona halo 6 – 10 mm).
- Kelas V
: Penyebaran zona sangat gelap meluas hingga bagian tepi koloni jamur (zona halo lebih dari 10 mm).
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
169
Secara alami zat lignin dirombak oleh mikroorganisme menjadi polyphenol dan dimanfaatkan oleh mikroorganisme serta dioksidasi menjadi CO2. Selain itu polyphenol juga dihasilkan melalui perombakan selulosa dan komponen non lignin lainnya oleh bantuan mikroorganisme. Polyphenol kemudian oleh bantuan enzim phenoloxidase diubah menjadi quinon dimana hasil akhirnya adalah asam humat (Stevenson, 1982). C. Karakterisasi dan Identifikasi Isolat Cendawan Pendegradasi Lignin Keempat isolat cendawan yang mampu mendegradasi lignin tersebut diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri dari isolat-isolat cendawan dan merujuk pada buku identifikasi cendawan
“Ilustrated Genera of Imperfrect Fungi” (Barnett dan Hunter, 1998). Hasil
pengamatan mikroskopis menunjukkan keempat isolat yang mampu mendegradasi lignin masuk dalam 4 genus yaitu genus Gelatinosporium (isolat C), genus Microsporum (isolat cendawan E), genus Aspergillus (isolat cendawan I) dan genus Oidium (isolat cendawan O). Hasil pengamatan makroskopis, mikroskopis dan identifikasi disajikan pada Tabel 3. Tabel 3.
No.
Hasil pengamatan makroskopis koloni dan identifikasi isolat-isolat yang bersifat lignolitik
Isolat Warna koloni
Jenis pengamatan Perubahan Permukaan warna koloni koloni Tidak Seperti benang berubah Tidak Seperti kapas berubah menggunung
1.
Isolat C
Putih
2.
Isolat E
Putih merah jambu
3.
Isolat I
Putih hijau
Tidak berubah
4.
Isolat O
Putih kehitaman
Tidak berubah
Warna spora
Genus
Putih
Gelatinosporium
Putih
Microsporum
Seperti kapas
Putih
Aspergillus
Seperti kapas
Putih
Oidium
Genus Gelatinosporium dan Microsporum (isolat C dan isolat E) termasuk kelas
Deutromycetes, sedangkan genus Aspergillus dan Oidium (isolat I dan isolat O) masuk dalam kelas Ascomycetes. Deutromycetes sebagai cendawan tak sempurna merupakan kelompok cendawan yang tidak memiliki tahapan seksual, tetapi berproduksi secara aseksual dengan menghasilkan spora. Selanjutnya kelas Ascomycetes merupakan cendawan yang menghasilkan spora dalam bentuk askus, berproduksi secara aseksual dengan menghasilkan sopra pada ujung hifa. Spora kedua kelompok ini merupakan cendawan pelapuk lunak (Soft Rot Fungi) (Campbell, 2004). 170 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Menurut Burge (2004), cendawan yang berfungsi secara efektif dalam proses degradasi bahan organik, khususnya dalam proses pelapukan kayu, yaitu White Rot
Fungi (cendawan pelapuk putih) yang berpotensi mendegradasi lignin, Brown Rot Fungi (cendawan pelapuk coklat) yang berpotensi mendegradasi selulosa, dan Soft Rot Fungi (cendawan pelapuk lunak) yang berpotensi mendegradasi selulosa, hemiselulosa dan lignin. Ascomycetes dan Deuteromycetes (cendawan Imperfect) merupakan cendawan pelapuk coklat pada kayu. Kedua kelas ini umumnya mendegradasi karbohidrat pada tanah hutan menjadi kompos, juga mendegradasi lignin (Hatakka, 1994). IV.
KESIMPULAN Cendawan yang berhasil diisolasi dari serasah bitti ada 15 isolat dan empat di
antaranya mampu mendegradasi lignin. Keempat isolat tersebut masuk dalam genus
Gelatinosporium dan Microsporum (kelas Deuteromycetes) serta genus Aspergillus dan Oidium (kelas Ascomycetes). Berdasarkan klasifikasi zona halo, satu isolat masuk kelas IV dan tiga isolat masuk kelas V.
DAFTAR PUSTAKA
Barnett, H.L. and B.B. Hunter. (1998). Illustrated Genera of Imperfect Fungi. San Paul, Minnesota: APS Press. Bequin & J. P Albert. (1992). Cellulases, Encyclopedia of Microbiologi, Editor Joshua Ledenberg, Vol.3. San Diego, New York, United States: Academic Press Inc, . Burge. (2004). Wood Decay Fungi-An Insight on Types and Roles in Wood Decay. CREIA Greatest Sacramento Chapter. Sun Bruno: Environmental Microbiology Laboratory, Inc. Campbell. (2004). Biologi (Edisi Kelima). Jakarta: Penerbit Erlangga. Desmukh, I. (1992). Ekologi dan Biologi Tropika. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Gobel, R. (2004). Mikrobiologi Umum Dalam Praktek. Makassar: Universitas Hasanuddin. Halidah dan M.K. Sallata. (1990). Produksi dan Penghancuran Serasah di Bawah Hutan Alam Sekunder di Tabo-Tabo Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Kehutanan Vol. IV, No. 3. Hal. 19-25. Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. Hatakka, A. (1994). Biodegradation of Lignin. Helsinski, Finland: University of Helsinski.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
171
Martawijaya, A. (1987). Kayu untuk Industri Perkapalan Indonesia (Bagian I Laporan No. 109). Bogor: Lembaga Penelitian Industri Hasil Hutan. Rao, S. N. S. (1984). Biofertilizer in Agriculture. New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co. Rao, S. N. S. (1994). Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta: Universitas Indonesia. Schmidt, F.H. and J.H.A. Ferguson. (1951). Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Gauinea. Verhand. No. 42. Jakarta: Kementrian Perhubungan. Djawatan Meteorologi dan Geofisika. Stevenson, F. J. (1982). Humus Chemistry Genesis, Compotition, Reactions. Canada: John Wiley & Sons, Inc. Subowo, Y.B. (2003). Isolasi dan Seleksi Jamur Pendegradasi Senyawa Bensonitril. Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Waluyo, L. (2004). Mikrobiologi Umum. Malang: Universitas Muhammadaiyah Malang.
172 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
PERMUDAAN ALAM LADA -LADA (Micromelum minutum Wight & Arn.) SEBAGAI MATERI PERBANYAKAN UNTUK PEMBINAAN HABITAT KUPU-KUPU DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG Albert Donatus Mangopang1 dan Heri Suryanto1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected], dan
[email protected]
ABSTRAK Kehidupan kupu- kupu dipengaruhi oleh kondisi habitat yang masih alami (belum terganggu). Indikator suatu habitat yang masih alami untuk kelangsungan hidup kupu-kupu adalah tersedianya tumbuhan sebagai sumber pakan bagi larva maupun kupu-kupu dewasa (imago). Kupu-kupu kebanyakan melakukan aktifitas di sekitar sumber pakannya, mulai dari saat masih berupa ulat sampai menjadi kupu-kupu dewasa. Di kawasan Taman Nasional (TN) Bantimurung Bulusaraung, populasi tumbuhan pakan kupu-kupu penyebarannya dibatasi oleh kondisi tapak berbukit karst yang terjal. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kelimpahan populasi lada-lada (Micromelum minutum Wight & Arn) sebagai pakan kupu-kupu. Paremeter yang diamati adalah permudaan alam pada tingkat semai, tiang, pancang dan pohon. Pengembangan tanaman lada-lada sebagai pakan kupu-kupu dapat menggunakan anakan alam (wilding). Penanaman tumbuhan ini dapat dijadikan salah satu upaya untuk menjaga kelesatarian dan memperluas wilayah penyebarannya. Kata kunci : Micromelum minutum Wight & Arn, anakan alam, TN Bantimurung- Bulusaraung, kupu- kupu.
I. PENDAHULUAN Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman fauna yang cukup tinggi, karena didukung oleh kondisi iklim tropik. Salah satu jenis fauna yang terkenal adalah jenis kupu-kupu, dan menjadi salah satu potensi pariwisata setempat di daerah Sulawesi Selatan. Kupu-kupu terdiri atas beberapa spesies yang coraknya bervariasi, sehingga memiliki ciri khas dan nilai keindahan. Pemerintah telah menetapkan kawasan taman nasional pada beberapa wilayah di Indonesia sebagai kawasan konservasi, diantaranya Taman Nasional BantimurungBulusaraung (TN. Babul). Kawasan ini terletak di Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi Sulawesi-Selatan yang memiliki luas ± 43.750 ha. Taman nasional ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.398/MenhutII/2004 tanggal 18 Oktober 2004. (Departemen Kehutanan 2008a).
TN. Bantimurung
Bulusaraung menjadikan kupu-kupu sebagai simbol (icon) karena merupakan salah satu
1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
173
fauna lokal. Keanekaragaman jenis kupu-kupu di kawasan ini telah dilaporkan oleh Alfred Russel Wallace (1890) bahwa sekitar 256 spesies kupu-kupu yang ditemukan di kawasan hutan Bantimurung (Departemen Kehutanan 2008a). Selanjutnya Mattimu et al. (1987)
dalam Sumah (2012), bahwa sekitar 103 spesies kupu-kupu yang ditemukan di hutan wisata Bantimurung, sedangkan oleh Noerdjito dan Amir (1992) menemukan 64 spesies kupu-kupu di sekitar kawasan taman nasional. Departemen Kehutanan (2008b) melaporkan ditemukan sebanyak 82 spesies kupu-kupu di sekitar kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung.
Saat ini, populasi kupu-kupu semakin berkurang karena
dieksploitasi untuk komoditas perdagangan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999, perlu segera dilakukan upaya konservasi. Tumbuhan sebagai sumber pakan kupu-kupu (nectar plant) dan juga dijadikan sebagai inang (host plant) menyebabkan kupu-kupu banyak beraktifitas di sekitar tumbuhan pakan. Tumbuhan pakan kupu-kupu sebagai host plant yang hanya berada pada areal tertentu dan tidak terpantau oleh manusia dapat juga menimbulkan persepsi bahwa populasi kupu-kupu telah berkurang.
Oleh karena itu perlu diupayakan agar
keberadaan tumbuhan pakan kupu-kupu dapat lebih merata, khususnya di areal yang dapat terpantau oleh manusia. Pakan yang tersedia adalah faktor utama penunjang kelestarian kupu-kupu.
Micromelum minutum Wight & Arn adalah salah satu jenis tanaman yang menjadi host plant kupu-kupu. Tumbuhan berupa perdu atau pohon, tinggi 3 – 15 meter. Habitat dan persebaran meliputi hutan sekunder dan primer pada ketinggian 20 – 1.250 meter dpl; tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. Nama daerah : kayu sirit-sirit manuk (Tapanuli), sesi (Lampung), ki mangkok (Sunda), mentanan (Jawa) dan kasie (Papua) (Uji, 2005). Masyarakat sekitar TN Bantimurung Bulusaraung mengenal tanaman tersebut dengan nama lada-lada. kupu-kupu jenis
Papilionidae menjadikan lada-lada sebagai inang saat mengalami metamorfosis dari telur sampai menjadi imago (kupu-kupu dewasa). Daun lada-lada dikonsumsi sebagai pakan ketika memasuki fase larva (ulat). Menurut Boror dan Delong (1971) dalam Astuti (1993) kebanyakan larva kupu memakan daun dan bagian tanaman lain. Larva yang lebih besar umumnya menggigit tepi daun dan mengkonsumsi semua bagian daun, kecuali tulangtulang daun yang besar. Larva yang lebih muda memakan daun dengan cara melubanginya.
174 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Gambar 1. Ulat Papilionidae pada lada-lada Micromelum minutum Wight & Arn. Suplai pakan yang tidak mencukupi bagi kupu-kupu dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya migrasi ke tempat lain. Perburuan liar yang tidak terkendali mengakibatkan terganggunya populasi kupu-kupu. Kupu-kupu melakukan migrasi ke tempat yang aman dan tidak terjangkau dari gangguan manusia. Pengembangbiakan secara generatif dapat dijadikan sebagai upaya untuk membantu kelestarian dan penyebaran tumbuhan pakan kupu-kupu agar lebih merata. Perbanyakan (propagasi) tumbuhan pakan dapat dilakukan dengan memanfaatkan ketersediaan anakan alam (wilding).
Sebagai langkah awal dalam upaya tersebut, perlu dilakukan pengamatan
terhadap lokasi
keberadaan
tumbuhan
pakan
dan
gambaran
mengenai jumlah
populasinya.
II. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di kawasan TN. Bantimurung-Bulusaraung, pada bulan April 2011. Parameter yang diamati adalah kelimpahan (kerapatan dan frekuensi) terhadap permudaan alam pada tingkat semai, tiang, pancang dan pohon. Kriteria fase permudaan yaitu; -
Tingkat semai adalah fase berkecambah sampai dengan tinggi ≤ 1,5m.
-
Tingkat pancang adalah anakan berdiameter batang < 10 cm dan tinggi > 1,5 m.
-
Tingkat tiang adalah pohon muda dengan diameter batang 10 – 20 cm.
-
Tingkat Pohon adalalah pohon dewasa yang berdiameter batang > 20 cm. Metode pengamatan dilakukan dengan membuat jalur, yang lokasinya ditentukan
secara purposive, yaitu berdasarkan keberadaan populasi lada-lada. Petak pengamatan
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
175
untuk permudaan tingkat semai berukuran 2 m x 2 m, tingkat pancang 5 m x 5 m, tingkat tiang 10 m x 10 m dan untuk tingkat pohon 20 m x 20 m.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil survei lada-lada dapat ditemukan di lokasi tertentu, seperti di daerah Kaluku yang termasuk kawasan Resort Bantimurung dan daerah Pattunuang di kawasan Resort Pattunuang-Karaenta. Hasil pengamatan kerapatan anakan lada-lada sebagai berikut :
Gambar 2. Grafik Kerapatan Jenis Micromelum minutum Wight & Arn.
Gambar 2 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, tingkat semai memiliki nilai kerapatan yang paling tinggi, terutama yang terdapat di wilayah Resort Bantimurung. Semai lada-lada tumbuh secara berkelompok di sela-sela bukit karst. Biji lada-lada tidak dapat tumbuh menyebar karena dibatasi atau dihalangi oleh keberadaan bukit karst. Tempat tumbuh yang terbatas biasanya disebabkan oleh peluang untuk mengadakan ekspansi terbatas, karena rintangan fisiografi seperti gunung-gunung atau perbukitan (Polunin, 1990). Nilai permudaan tingkat semai yang lebih tinggi dapat menunjukkan bahwa perkecambahan dan pertumbuhan biji lada-lada dapat berlangsung cukup baik. Regenerasi kemudian terhambat pada tingkatan selanjutnya. Sangat sedikit lada-lada ditemukan pada tingkatan pancang dan pohon, bahkan di Resort Bantimurung tidak ditemukan pada tingkat tiang dan pohon. Kerapatan yang tinggi dapat menyebabkan semai saling menaungi dan berkompetisi dalam memperoleh nutrisi dari dalam tanah. 176 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Kerapatan yang tinggi juga dapat menciptakan kondisi ideal yang memudahkan penyebaran jika semai terserang penyakit. (Elliot et al., 2006).
Gambar 3. Grafik Frekuensi Jenis Micromelum minutum Wight & Arn. Frekuensi lada-lada tingkat semai di Resort Bantimurung memiliki nilai tertinggi (Gambar 3). Tumbuhan tingkat semai dapat ditemukan pada seluruh plot pengamatan yang berada di bawah tebing karst. Pohon induk tidak ditemukan dalam plot pengamatan karena berada pada tebing karst. Tingkat permudaan menyebar merata di daerah Resort Pattunuang disebabkan kondisi plot pengamatan lebih terbuka dan landai. Besaran intensitas energi cahaya yang masuk ke lantai hutan akan berperan terhadap sistem metabolisme dan proses fotosintesa serta besaran respirasi dalam menghasilkan energi perkembangan tumbuhnya pohon (Larcher, 1975 dalam Sumarna, 2008). Gambar 3 menunjukkan bahwa untuk tingkat tiang dan pohon tidak ditemukan pada plot pengamatan Resort Bantimurung. Kondisi tapak yang dikelilingi bukit karst menyebabkan intensitas cahaya dan lama penyinaran yang tidak mencukupi pada wilayah tersebut. Hal ini berpengaruh negatif terhadap kemampuan fotosintesis tumbuhan dan menyebabkan pertumbuhan lada-lada terhambat. Lama penyinaran cahaya (fotoperiode) sangat penting karena merupakan salah satu aspek yang mengontrol ketat pembentukan kuncup dan proses pengayuan semai (Daniel et al., 1992). Pertumbuhan lada-lada tidak mencapai tingkat tiang dapat disebabkan karena intensitas cahaya yang kurang sehingga menghambat proses pengayuan tanaman.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
177
Kelimpahan tingkat semai pada daerah Resort Bantimurung potensinya cukup baik untuk dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai materi anakan alam. Penggunaan anakan alam untuk penanaman kembali lebih menguntungkan dari segi efisiensi waktu dan biaya. Periode pembungaan lada-lada terjadi antara bulan Mei –Juni, sedangkan periode pembuahan antara bulan Agustus sampai Nopember. Periode pembungaan dan pembuahan kadang tidak bersamaan antar individu. Buah muncul setelah bunga mekar dan diserbuki, buah tua setelah berumur empat bulan (Suryanto, dkk. 2010). Ketersediaan anakan alam dapat terjadi antara bulan Januari sampai April. Stasiun Meteorologi Kappang dan Bantimurung yang berada di sekitar wilayah TN. Bantimurung Bulusaraung selama tiga tahun terakhir (2007-2009) menunjukkan bahwa musim hujan terjadi antara Januari hingga Mei dan bulan Oktober hingga Desember (Suryanto, dkk. 2010).
Pengambilan anakan alam dapat dilakukan pada saat musim penghujan. Anakan
alam diambil setelah hujan atau tanah dalam keadaan basah agar akar tidak mudah rusak dan tanaman tidak mudah kering. Ukuran anakan alam yang akan dicabut untuk persiapan bibit adalah anakan dengan daun berjumlah 2- 4 helai. Anakan yang lebih besar dapat juga dipilih hanya perlu dilakukan pengguntingan akar dan daun. Pencabutan anakan dilakukan dengan berhati-hati, dengan cara memegang bagian pangkal yang terdekat dengan tanah, kemudian menarik perlahan-lahan secara tegak lurus ke atas sampai tanaman tercabut sepenuhnya (Rayan, 2002). Ketersediaan anakan alam yang cukup melimpah tetapi hanya terkonsentrasi pada satu tempat saja, dapat disebar ke areal lain dengan bantuan manusia dan nantinya diharapkan dapat menarik kupu-kupu untuk beraktifitas di daerah tersebut.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Permudaan alam berpotensi sebagai materi perbanyakan tanaman lada-lada (Micromelum minutum Wight & Arn). Anakan alam tersebut dapat diperoleh di daerah Kaluku yang termasuk Resort Bantimurung, TN. Bantimurung- Bulusaraung. Ketersediaan anakan alam lada-lada yaitu pada bulan Januari sampai April, dan pengambilan anakan dapat dilakukan pada saat musim hujan. Pemilihan lokasi sebagai tempat pengembangan lada-lada sebaiknya pada areal yang memiliki karakteristik lingkungan yang relatif sama dengan lingkungan habitatnya. Pengembangannya sebaiknya secara menyebar dan merata dalam kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung. Penanaman dapat juga dilakukan di sekitar areal Taman Wisata Bantimurung, karena areal tersebut aksesnya mudah dan dekat bagi para penggemar kupu-kupu. 178 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
DAFTAR PUSTAKA Astuti, D. (1993). Pemeliharaan Beberapa Jenis Larva Kupu Papilio di Laboratorium pada Berbagai Jenis Daun Inang Jeruk. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Hayati Puslitbang Bilogi LIPI. Hal: 69-75. Diunduh tanggal 12 Maret 2013 dari http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/9168 Daniel. W.T., Helms. A.J., & Baker, S.F. (1992). Prinsip-prinsip Silvikultur. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Departemen Kehutanan. (2008a). Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung Periode 2008 – 2027, Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perlindungan Konservasi dan sumber Daya Alam. Departemen Kehutanan. (2008b). Identifikasi dan Pemetaan Kupu-kupu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perlindungan Konservasi dan sumber Daya Alam. Elliot, S., Blakesley.D, Maxwell.J.F, Doust.S, & Sunnawaratana. S. (2006). Bagaimana Menanam Hutan : Prinsip-prinsip dan Praktek Merestorasi hutan Tropis. Thailand: Biology Departement Science Faculty Chiang Mai University. Noerdjito, W.R., Amir, M. (1992). Kekayaan Kupu-kupu di Cagar Alam Bantimurung Sulawesi Selatan dan Sekitarnya. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Hayati Puslitbang Bilogi LIPI. Hal: 330-339. Diunduh tanggal 12 Maret 2013 dari http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/1598 /1599.pdf Polunin, N. (1990). Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Rayan. (2002). Teknik Persemaian dalam Rangka Pengadaan Bibit Untuk Penanaman. diunduh tanggal 26 Mei 2012. dari http://www.dephut.go.id/files/Rayan.pdf Sumah, A.S.W. (2012). Biodiversitas Kupu-Kupu Superfamili Papilionoidea (Lepidoptera) di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Suryanto, H. (2010). Teknik Pembinaan Habitat di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (Laporan Hasil Penelitian). Makassar : Balai Penelitian Kehutanan Makassar. (Tidak dipublikasikan). Uji, T.
(2005). Studi Taksonomi Micromelum Blume (Rutaceae) di Indonesia. Jurnal Biodiversitas, 6 (2), 100-102.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
179
TEKNIK PEMBINAAN HABITAT KUPU-KUPU : SINERGITAS KONSERVASI EKSITU DAN INSITU UNTUK PENINGKATAN POPULASI KUPU-KUPU DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG Heri Suryanto1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut adalah merupakan pulau-pulau berukuran kecil dengan keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi. Kupu-kupu merupakan salah satu satwa dalam komunitas serangga yang memiliki keindahan warna dan bentuk sayap. Daya tarik kupu-kupu tersebut mendatangkan nilai ekonomi bagi mayarakat namun demikian menimbulkan eksploitasi secara besar-besaran. Apabila keadaan ini terus berlanjut tanpa terkendali, maka jumlah jenis kupu-kupu yang terancam punah akan terus bertambah. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung merupakan salah satu kawasan konservasi dengan fauna khas kupu-kupu. Besarnya tekanan masyarakat terhadap kawasan berimbas terhadap populasi kupu-kupu yang ada. Upaya konservasi kemudian menjadi kebutuhan yang mendesak. Konservasi secara umum dilakukan dalam 2 metode yaitu konservasi eksitu dan konservasi insitu. Konservasi insitu dilaksanakan oleh pihak pengelola kawasan konservasi dengan pengelolaan habitat dan populasi, sedangkan konservasi eksitu dilaksanakan oleh masyarakat sebagai penangkar untuk diperdagangkan hasilnya. Konservasi kupu-kupu pada dasarnya adalah sebuah kompleksitas faktor-faktor yang saling memengaruhi. Keberadaan kedua metode tersebut tidaklah dapat berjalan sendiri-sendiri. Keduanya harus simultan dan bersinergi untuk sebuah konsep bersama yaitu konservasi kupu-kupu dengan populasi di alam dapat dijaga di satu sisi, sedangkan di sisi yang lain tekanan atas populasi oleh masyarakat sekitar kawasan dapat dikurangi. Knowledge sharing antar pelaku konservasi sangat diperlukan. Teknik pembinaan habitat dengan pemahaman tentang spesies, pakan dan faktor lingkungan sebagai jembatan penghubung sinergitas kedua metode tersebut. Kata kunci : Tanaman Nasional Bantimurung Bulusaraung, satwa liar, kupu-kupu, konservasi eksitu insitu
I. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil dengan keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi. Irwanto (2011) menyebutkan bahwa terdapat sekitar 27.000 spesies tumbuhan berbunga atau sebesar 10 % dari seluruh spesies tumbuhan berbunga di dunia, 515 jenis satwa mamalia atau 12 % dari seluruh spesies mamalia di dunia, 511 spesies satwa reptilia dan 270 spesies satwa amfibia atau 16 % dari seluruh spesies di muka bumi. Beberapa faktor penyebab tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia antara lain luas wilayah yang
1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
180 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
mencapai sekitar 8 juta km2 dengan daratan seluas 1,9 juta km2 yang terdiri atas pulaupulau terpisah berjauhan sehingga mendorong terjadinya proses pembentukan spesies baru (Spesiasi), di samping itu posisi geografis Indonesia yang terletak di antara dua wilayah biogeografi yaitu Indomalayan di sebelah barat dan Australia di sebelah timur sehingga komposisi tumbuhan dan satwa merupakan gabungan dari ciri komponen biotik dari dua wilayah. Faktor lain yang berpengaruh adalah adanya beragam ekosistem mulai dari ekosistem perairan dalam hingga pada ekosistem pegunungan tinggi. Sistem perpaduan antara sumber daya hayati memunculkan berbagai ekosistem. Beberapa menampilkan sebuah kompleksitas hutan. Ekosistem hutan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan tumbuhan dan Satwa liar (wildlife). Tumbuhan membangun sebagian besar dari badan hutan sementara satwa liar menjadi komponen pendukung kestabilan ekosistem hutan. Kupu-kupu sebagai satwa liar dalam komunitas serangga memiliki peran penting dalam ekosistem. Peran utama kupukupu secara ekologi adalah sebagai penyerbuk bunga yang turut memberi andil dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem dan memperkaya keanekaragaman hayati. Di samping itu kupu-kupu juga mempunyai nilai ekonomi dengan nilai jual tinggi dan merupakan obyek rekreasi sehingga menyebabkan kupu-kupu banyak diburu oleh wisatawan mancanegara, baik untuk dinikmati keindahannya di alam bebas maupun untuk dikoleksi sebagai kenang-kenangan, atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan (Tikupadang dan Gunawan, 1977). II. KUPU-KUPU : SIKLUS HIDUP DAN HABITAT Kupu-kupu berdasarkan siklus hidup mempunyai empat bentuk atau stadium kehidupan yaitu telur, ulat, pupa dan imago atau kupu-kupu dewasa. Stadium telur dapat ditemukan di bawah permukaan daun tanaman inang (host plant) dimana larva atau ulat memanfaatkan daun tanaman tersebut sebagai pakan. Selama periode pertumbuhan larva mengalami beberapa kali tahapan moulthing atau pengelupasan dan pergantian kulit yang disebut fase instar. Proses untuk menjadi pupa didahului oleh adanya moulthing pada instar terakhir. Kulit pupa yang baru berganti ini masih basah dan lunak. Setelah kurang lebih satu minggu kulit pupa akan mengeras. Setelah stadium pupa maka muncul imago. Sehari setelah keluar dari pupa maka imago sudah dapat melakukan kopulasi. Kupu-kupu dengan pola persebaran yang berasal dari daratan Asia dan benua Australia menyebabkan keanekaragaman jenis kupu-kupu di Indonesia sangat tinggi. Sulawesi sebagai salah satu pulau besar di Indonesia merupakan rumah bagi
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
181
beranekaragam jenis kupu-kupu tersebut. Salah satu titik keberadaan populasi kupu-kupu di Sulawesi adalah kawasan Bantimurung. Namun demikian faktor lingkungan dan manusia menjadi penyebab populasi kupu-kupu Bantimurung semakin menurun. Beberapa jenis di antaranya bahkan berada di ambang kepunahan. Kecenderungan penurunan populasi kupu-kupu tersebut disebabkan oleh degradasi habitat kupu-kupu akibat tekanan penduduk, perambahan kawasan dan aktivitas wisata di Resort Bantimurung serta karena adanya kegiatan penangkapan kupu-kupu secara liar (Anonim, 2005). Berbagai jenis kupu-kupu indah, di antaranya Chetocia myrina, Troides halipron, T.
hypolitus, Papilio blumei, P. sataspes, Hebomia glaucipe, dan lainnya mengalami tekanan buru yang sangat besar. Kupu-kupu dapat ditemukan hampir pada setiap habitat. Komponen habitat yang penting bagi kehidupan kupu-kupu adalah tersedianya tumbuhan sebagai sumber pakan, sebagai tempat berlindung dari serangan predator atau gangguan lainnya, dan tempat untuk berkembang biak. Sila (1993) dalam Hamidun (2003) menyebutkan bahwa keberadaan kupu-kupu di Bantimurung tidak terlepas dari daya dukung habitatnya. Bentang alam Bantimurung dibentuk oleh perbukitan karst dengan penutupan vegetasi perdu dan pohon yang berakar kuat, serta adanya sungai-sungai yang mengalir di alam, kupu-kupu banyak dijumpai di daerah tropika, hidup di dalam berbagai tipe habitat, mulai dari dataran rendah sampai ke dataran tinggi. III. KONSERVASI KUPU-KUPU Perburuan kupu-kupu di Indonesia untuk diperdagangkan telah menimbulkan permasalahan yang serius. Selain imago, pupa kupu-kupu juga diminati. Apabila keadaan ini terus berlanjut tanpa terkendali, maka jumlah jenis kupu-kupu yang terancam punah akan terus bertambah. Tikupadang dan Gunawan (1997), mengemukakan bahwa upaya untuk melindungi kupu-kupu yang terancam punah, antara lain dengan menetapkan habitatnya sebagai kawasan konservasi. Langkah awal untuk melindungi vegetasi habitat kupu-kupu di Bantimurung, sejak tahun 1919 pemerintah Hindia Belanda menetapkan Bantimurung sebagai cagar alam, yaitu kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya perlu dilindungi agar perkembangannya berlangsung secara alami. Selain itu, upaya untuk melindungi kupu-kupu yang terancam punah adalah dengan menetapkannya sebagai satwa yang dilindungi pada perdagangan internasional. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 576/kpts/1980 dan No. 716/kpts/1980, terdapat 20 jenis kupu-kupu yang dilindungi. 182 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Hamidun dan Susanti (2003) menyebutkan upaya konservasi kupu-kupu dapat dilaksanakan melalui dua pendekatan, yaitu : 1.
Konservasi di dalam kawasan (konservasi in-situ) dengan penekanan konservasi “ekosistem” atau habitat alami kupu-kupu. Populasi kupu-kupu sangat bergantung pada kondisi habitat terutama keberadaan pakan ulat (host plant) maupun pakan kupu-kupu (nectar plant). Kerusakan habitat merupakan hal yang amat merugikan dalam konservasi kupu-kupu. Pemeliharaan habitat kupu-kupu dengan cara memperbanyak jenis-jenis tumbuhan makanan ulat dan yang menghasilkan madu merupakan langkah bijaksana untuk melindungi kupu-kupu dari kepunahan.
2.
Konservasi di luar kawasan (konservasi ex-situ) dengan penekanan utama konservasi jenis. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan cara : 1) peternakan kupukupu, yaitu pengelolaan yang memerlukan pengawetan tanah dan tumbuhan di atasnya
untuk
menjaga
kelestarian
kupu-kupu
dan
ekosistemnya
secara
keseluruhan, serta dapat memberikan insentif ekonomi; 2) taman kupu-kupu, bertujuan untuk memanfaatkan daya tarik jenis kupu-kupu hasil penangkaran sebagai obyek wisata yang memiliki nilai estetika dengan keindahan dan keanekaragaman jenisnya, untuk tujuan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan sebagai obyek pengenalan jenis kupu-kupu di alam; dan 3) penangkaran, yang bertujuan untuk menjaga dan menyelamatkan kupu-kupu dari kepunahan, serta meningkatkan populasi dan kualitas kupu-kupu untuk menunjang kesejahteraan masyarakat. IV. STRATEGI DAN SARAN IMPLEMENTASI Berbagai upaya dilakukan oleh pihak pengelola kawasan konservasi dalam rangka konservasi kupu-kupu namun demikian berbagai macam kendala juga harus dihadapi. Hardiansyah (2001) menyebutkan bahwa kegiatan penangkapan liar di kawasan Bantimurung sangat sulit dikendalikan karena pihak konservasi melihat fakta bahwa pada sebagian besar orang, kegiatan penangkapan kupu-kupu merupakan mata pencaharian rutin yang memberikan hasil cukup besar sedangkan di sisi lain program penangkaran kupu-kupu yang dilakukan di pemukiman penduduk yang diterapkan oleh pihak konservasi tidak berhasil karena faktor waktu siklus hidup kupu-kupu untuk menghasilkan kupu-kupu cukup lama yaitu sekitar 1,5 bulan sampai 2 bulan dan jumlah individu yang dihasilkan oleh penangkaran sangat sedikit dibanding penangkapan langsung di alam. Untuk itu diperlukan sebuah strategi pengelolaan dalam rangka memberikan solusi
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
183
terhadap permasalahan yang ada. Pembinaan habitat sebagai sebuah metode diharapkan menjadi suatu bentuk upaya pemecahan permasalahan tersebut. Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 menyebutkan bahwa pembinaan habitat dapat dilaksanakan melalui penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung dan sarang satwa (Anonim, 1999a). Skema strategi konservasi kupu-kupu di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung disajikan pada Gambar 1. Konservasi Kupu-kupu
Masyarakat sekitar kawasan konservasi
Pengelola kawasan konservasi
Spesies Insitu Identifikasi Inventarisasi Pemantauan Pembinaan habitat dan populasinya Penyelamatan jenis Pengkajian, penelitian dan pengembangan.
Tumbuhan pakan/pelindung Perbanyakan vegetatif dan generatif Metode Penanaman
(PP no 7 Tahun 1999)
Habitat/ Lingkungan Suhu Kelembaban Cahaya
Wildlife area Ekologi
Eksitu Pemeliharaan Pengembangbiakan Pengkajian, penelitian dan pengembangan Rehabilitasi satwa Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa. (PP no 7 Tahun 1999)
Penangkaran/ternak Ekonomi
Gambar 1. Skema strategi konservasi Kupu-kupu di TN. Bantimurung Bulusaraung.
Kedua pola pendekatan tersebut harus berjalan secara simultan dan saling mendukung, sehingga pemanfaatan secara lestari kupu-kupu dan ekosistemnya lebih terjamin (Anonim, 1998 ; Primack dkk., 1998). Sebagaimana ditunjukkan skema di atas bahwa tujuan akhir dari kedua pola pendekatan konservasi tersebut sangat berbeda namun demikian faktor-faktor berpengaruh terhadap populasi kupu-kupu seperti spesies, tumbuhan pakan atau pelindung dan faktor lingkungan atau habitat dapat menjadi
184 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
connecting bridge bagi kedua pola konservasi tersebut. Peran pengelola kawasan konservasi dalam
memahami karakter spesies
kupu-kupu, pengetahuan
tentang
tumbuhan pakan dan faktor lingkungan diharapkan dapat mendorong perkembangan konservasi insitu di kawasan konservasi di samping membantu konservasi eksitu di masyarakat dalam bentuk penangkaran. Adanya knowledge sharing antar kedua pola konservasi sangat berperan penting dalam sinergitas keduanya. Di satu sisi pengelola kawasan konservasi diharapkan akan dapat memelihara habitat satwa dan meningkatkan populasi satwa liar dalam kawasan sedangkan di sisi lain pemilik penangkaran dapat menjaga kondisi kebutuhan pakan dalam penangkaran sehingga populasi kupu-kupu di penangkaran juga meningkat. Dengan demikian populasi kupu-kupu di alam liar dapat terjaga dengan baik sedangkan di sisi lain pendapatan masyarakat dapat terpenuhi tanpa harus mengganggu keseimbangan ekosistem. Peran besar konservasi eksitu adalah menjadi supporting sistem bagi konservasi insitu. Upaya sinergitas konservasi antara pengelola kawasan konservasi dan masyarakat melalui sharing knowledge teknik pembinaan habitat dapat berupa : 1.
Pelatihan,
penyuluhan
dan
demonstrasi
untuk
meningkatkan
kemampuan
masyarakat penangkar tentang teknologi penangkaran. 2.
Pengenalan dan pendidikan kepada anak usia sekolah tentang kupu-kupu dan pentingnya upaya konservasi.
3.
Rehabilitasi kawasan konservasi bersama masyarakat untuk pembinaan habitat kupu-kupu.
4.
Riset kupu-kupu kerjasama antara lembaga penelitian, masyarakat dan pengelola kawasan konservasi. Aspek yang menjadi perhatian dalam kegiatan tersebut adalah aspek – aspek yang
berpengaruh dan berperan penting dalam konsep membangun habitat kupu – kupu, antara lain : A. Spesies Setiap spesies memiliki karakter sendiri untuk setiap fase. Upaya perbanyakan populasi satwa baik di alam liar maupun penangkaran sangat bergantung pada pengetahuan kita tentang satwa tersebut di samping faktor-faktor lain yang berpengaruh seperti faktor tumbuhan pakan atau pelindung dan faktor lingkungan. Sihombing (1999) dalam Roulli 2001 manyatakan bahwa telur dan pupa dari spesies yang lebih kecil akan lebih cepat menetas. Panjang hidup kupu-kupu bergantung spesiesnya.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
185
B. Tumbuhan Pakan atau Pelindung Pertumbuhan dan perkembangan kupu dari larva sampai imago ditentukan oleh pakan. Guna menjaga keberadaan pakan maka dilakukan pembinaan habitat. Pembinaan habitat kupu-kupu dilakukan guna menjaga keberadaan populasi jenis tumbuhan dan satwa
kupu-kupu
dalam
keadaan
seimbang
dengan
daya
dukung
habitatnya.
Sebagaimana diketahui daun merupakan media kupu-kupu untuk meletakkan telur sampai kemudian telur tersebut menetas dan berubah menjadi larva (ulat). Daun tidak hanya menjadi tempat hidup larva, tetapi sekaligus pula menjadi pakan. Ketika larva berubah menjadi pupa (kepompong), daun maupun ranting tumbuhan merupakan media menempel sampai pupa tersebut bermetamorfosa secara sempurna menjadi imago (kupukupu). Pada fase imago, sumber pemenuhan kebutuhan pakan utamanya adalah berupa tumbuhan bunga. Selain sebagai sumber pakan dan tempat hidup, tumbuhan ini pun berfungsi sebagai tempat kupu-kupu bernaung (Anonim, 2005). Teknik pembinaan habitat memberikan informasi tentang fenologi, teknik perbanyakan vegetatif dan generatif dan metode penanaman suatu jenis tumbuhan pakan kupu-kupu. Dalam upaya konservasi kupu-kupu baik eksitu maupun insitu maka informasi tersebut sangat diperlukan. Di satu sisi kondisi habitat di kawasan konservasi menjadi lebih baik sehingga populasi kupu-kupu meningkat sedangkan di sisi lain masyarakat kiranya memerlukan informasi tersebut dalam upaya pembangunan dan keberhasilan penangkaran kupu-kupu sehingga eksploitasi dan penangkapan kupu-kupu di alam liar dapat ditekan. C. Faktor Lingkungan Faktor yang berpengaruh antara lain suhu, kelembaban dan cahaya. Kupu-kupu termasuk hewan berdarah dingin dengan suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Kupu-kupu meningkatkan suhu tubuh dengan berjemur. Pemahaman mengenai faktor lingkungan yang berpengaruh merupakan hal penting dalam rangka menjaga populasi kupu-kupu baik di alam liar maupun penangkaran. Penurunan populasi karena faktor lingkungan dimungkinkan adanya perbaikan dengan perlakukan terhadap vegetasi yang ada. V. PENUTUP Peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1999 menyebutkan bahwa pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui upaya penetapan dan penggolongan yang
186 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
dilindungi dan tidak dilindungi, pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya, pemeliharaan dan pengembangbiakan. Salah satu upaya sinergisistas kedua pola pendekatan tersebut dapat dilakukan melalui teknik pembinaan habitat dalam aspek pemeliharaan dan pengembangbiakan tumbuhan pakan dan pelindung. Teknik pembinaan habitat kupu-kupu diharapkan berperan pada dua posisi yaitu 1) tetap menjaga kondisi habitat di kawasan konservasi guna menjaga keberadaan populasi jenis tumbuhan dan satwa kupu-kupu dalam keadaan seimbang dengan daya dukung habitatnya. dan 2) mendorong masyarakat membangun konservasi eksitu dalam bentuk penangkaran sehingga eksploitasi dan penangkapan kupu-kupu di alam liar dapat ditekan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. (1998). Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian. www. dephut.go.id. tanggal akses, 18 Maret 2010 ______. (1999). Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. www. dephut.go.id. tanggal akses, 18 Maret 2010 ______. (2005). Eksplorasi Pakan Kupu-kupu di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. (Laporan Pembinaan Habitat). Makassar: Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan I. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. (Tidak dipublikasikan). Hamidun, S. (2003). Penangkaran kupu-kupu oleh masyarakat (Makalah Individu Pengantar Falsafah Sains). Bogor: Institute Pertanian Bogor. Irwanto. (2005). Hutan Indonesia. www. irwantoforester.wordpress.com. tanggal akses, 10 Juli 2012 Irwanto, (2011). Keanekaragaman Hayati. www. ekologi hutan. blogspot.com. tanggal akses, 10 juli 2012 Primack, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan, & P. Kramadibrata. (1998). Biologi konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tikupadang, H. & H. Gunawan. (1997). Teknik penangkaran kupu-kupu sayap burung (Troides hypolitus cellularis Rothschild) di Bantimurung . Prosiding Ekspose HasilHasil Litbang KSDA. Ujung Pandang: Balai Penelitian Kehutanan Ujung pandang. Rouli, H. (2001). Studi siklus hidup dan pemeliharaan kupu – kupu pada pohon jeruk (citrus sp) dalam kandang. (Skripsi). Bogor: Jurusan ilmu produksi ternak. Fakultas peternakan. Institut Pertanian Bogor. Hardiansyah, A. (2001). Kelimpahan dan penyebaran dua puluh spesies kupu -kupu pada habitat yang berbeda di taman wisata alam Gua Pattunuang dan Taman Wisata Alam Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan (Skripsi). Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman. Fakutas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
187
RESPON MASYARAKAT TERHADAP REKAYASA SOSIAL (Studi Tentang Respon Kelompok Perempuan Terhadap Pelatihan Pembuatan Pupuk Kompos di Lembang Pakala Kabupaten Tana Toraja) Evita Hapsari1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat adalah rekayasa sosial. Rekayasa sosial dipahami sebagai upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, salah satunya dengan memberikan pelatihan kelompok berbasis sumberdaya lokal. Pendekatan kelompok adalah paling efektif karena masyarakat akan mudah menerima kegiatan apabila dilakukan secara kolektif dan penggunaan sumber daya akan lebih efisien. Studi ini dilaksanakan di Lembang Pakala, Kabupaten Tana Toraja dengan tujuan untuk melihat respon masyarakat khususnya kelompok perempuan terhadap rekayasa sosial melalui pelatihan pembuatan pupuk kompos. Hasil respon kelompok perempuan menunjukkan persepsi positif, sikap kooperatif dan partisipatif. Respon terlihat dari persepsi (setuju diadakan pelatihan), sikap (mempraktikkan hasil pelatihan) dan partisipasi (menyediakan bahan dan alat pelatihan). Kata kunci : Rekayasa sosial, kelompok perempuan, respon
I. PENDAHULUAN Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah proses yang tidak dapat diukur secara matematis. Belum ada indikator yang jelas dan pasti untuk mengukurnya. Keberhasilan pemberdayaan dapat didekati dan dilihat dari community awareness (kesadaran komunitas) yang terbangun selama proses pemberdayaan yang dilakukan. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menuju kesadaran komunitas adalah meningkatkan kesadaran kritis masyarakat dalam struktur sosial, meningkatkan kemampuan masyarakat berargumentasi dan membuat keputusan, meningkatkan kapasitas masyarakat dengan berbagai upaya, serta memanfaatkan modal sosial (social capital) yang ada dalam setiap komunitas masyarakat yang berbeda-beda (Rahayu dan Wianti, 2010). Sumodiningrat
(1996)
menyatakan
pemberdayaan
adalah
suatu
upaya
meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat. Keberhasilan pemberdayaan harus didukung oleh keberdayaan masyarakat melalui peningkatan kemampuan individu untuk mengembangkan kemampuan diri dalam meniti kehidupan bermasyarakat. Fokus pemberdayaan tertuju pada bagaimana melakukan transformasi alokasi sumberdaya ekonomi secara adil, sehingga mampu meningkatkan produksi, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat miskin. Masyarakat di sekitar hutan memiliki sumberdaya alam 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
188 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
yang berlimpah, akan tetapi masih banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal dan dikelola dengan baik. Syahyuti (2006) menyatakan bahwa asumsi-asumsi dasar yang melandasi aksi pemberdayaan adalah : 1. Suatu tindakan individu harus dipandang sebagai upaya untuk memberdayakan dirinya sendiri, dengan cara mengubah struktur, atau mencari peluang dari struktur yang ada. 2. Partisipasi diposisikan sebagai tindakan sukarela, menempatkan partisipasi sebagai kunci untuk mewujudkan kemandirian dan kemampuan dalam mengambil keputusan serta bersedia menanggung risiko. 3. Partisipasi sukarela akan mengarah kepada tindakan yang rasional. 4. Program atau proyek dukungan dari luar harus dipandang sebagai sumber daya yang langka. 5. Kelompok dimaknai sebagai tindakan individu yang membentuk konsensus. Kelompok diharapkan akan menimbulkan sinergi yang lebih besar, karena ia bersifat inklusif, tanpa hirarkhi, dan menjaga keharmonisan dengan alam. Model pemberdayaan masyarakat dapat didekati melalui bentuk kelembagaan lokal masyarakat, dengan menghimpun partisipasi masyarakat untuk bersama-sama dalam satu kegiatan dan satu lembaga, contohnya kelompok tani. Kelembagaan masyarakat yang bersifat lokal dapat tumbuh sebagai bentuk pranata sosial dengan ikatan lokalitas, ikatan kekerabatan, prinsip timbal balik dan solidaritas sosial. Kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku (ways) yang hidup pada suatu kelompok orang. Ia merupakan sesuatu yang stabil, mantap dan berpola; berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern, atau bisa berbentuk tradisional dan modern dan berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial (Syahyuti, 2006). Tiap kelembagaan memiliki tujuan tertentu dan orangorang yang terlibat di dalamnya memiliki pola perilaku tertentu serta nilai-nilai dan norma yang sudah disepakati yang sifatnya khas. Kelembagaan adalah kelompok-kelompok sosial yang menjalankan masyarakat. Dalam proses penguatan kelembagaan dibutuhkan berbagai penyuluhan, pelatihan ataupun bantuan teknis dari instansi pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Masyarakat diberi stimulus (rangsangan) melalui pelatihan. Hal ini bertujuan agar masyarakat lebih mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki kesejahteraan hidupnya. Dengan harapan masyarakat secara bertahap akan memiliki kemampuan intelektual yang semakin meningkat dan memperoleh informasi yang memadai. Pola perilaku masyarakat “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 189
yang sudah terbentuk dapat berubah sehingga meninggalkan kebiasaan lama dan mengganti dengan perilaku baru. Obyek yang diubah adalah pengetahuan (aspek kognitif), sikap (aspek afektif) dan keterampilan (aspek psikomotorik). Strategi pemberdayaan masyarakat dalam penyusunan hingga implementasinya akan lebih baik jika menggunakan konsep partisipasi secara menyeluruh (Nugraha, 2005). Salah satu upaya pemberdayaan masyarakat adalah sebuah rekayasa sosial. Rekayasa sosial dipahami sebagai suatu proses perubahan sosial yang terencana. Perubahan sosial yang terencana akan lebih mudah terwujud apabila bekerjasama dengan masyarakat dalam sebuah kelompok. Adanya kelompok penting untuk sebuah rekayasa sosial. Salah satu bentuk rekayasa sosial adalah dengan mengadakan pelatihan, contohnya pelatihan pembuatan pupuk kompos.
II. PENDAMPINGAN KELEMBAGAAN A. Pembentukan Kelompok Kelompok-kelompok
masyarakat mempunyai peran
penting dalam
sebuah
kegiatan. Oleh karena itu pengenalan atau identifikasi kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat sangat penting. Apabila kelompok-kelompok di dalam masyarakat tidak memadai, perlu dilakukan pembentukan kelompok. Pembentukan kelompok harus dilakukan sesuai dengan situasi sosial dan budaya masyarakat untuk memaksimalkan fungsi dan tujuan kelompok. Tujuan pembentukan kelompok yaitu menciptakan kelompok di dalam masyarakat untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan selama : 1. Tahap pra kegiatan yaitu sosialisasi rencana kegiatan dan musyawarah-musyawarah yang berkaitan dengan kegiatan. 2. Tahap kegiatan berkaitan dengan pelibatan masyarakat dalam hal mengontrol jalannya kegiatan. 3. Tahap pasca kegiatan adalah untuk memudahkan pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu kegiatan di dalam rekayasa sosial. Target atau sasaran kegiatan adalah kelompok masyarakat di sekitar lokasi kegiatan. Lingkup pembentukan yaitu membuat kelompok-kelompok di dalam masyarakat, sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Tata cara Pembentukan kelompok yaitu: 1. Melakukan pendekatan pada masyarakat dan melihat interaksi sosial yang terjadi.
190 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
2. Mengidentifikasi warga
melalui tokoh masyarakat yang memungkinkan untuk
bekerjasama dalam suatu kelompok. 3. Melakukan
pendekatan
kepada
masyarakat
yang
diidentifikasi
dan
melihat
kemungkinannya untuk bergabung di dalam suatu kelompok. 4. Setelah terbentuk kelompok, anggota-anggota kelompok mengidentifikasi keinginankeinginan bersama. 5. Memperkuat kelompok yang telah terbentuk. B. Pengembangan Kelompok Tujuan pengembangan kelompok yaitu membuat kelompok yang telah ada di dalam masyarakat dapat berjalan sesuai fungsi dan tujuannya, meskipun tidak mendapat dukungan dari pihak luar. Pengembangan kelompok bertujuan untuk menjamin keberlangsungan organisasi dalam mengartikulasikan dan memecahkan persoalanpersoalan di dalam kelompok mereka sendiri. Lingkup pengembangan kelompok : 1. Membuat lembaga-lembaga usaha ekonomi untuk mendukung lembaga-lembaga pelaksana pengorganisasian, sebagai pendukung sumberdaya. 2. Melakukan kaderisasi untuk menjamin tersedianya sumberdaya manusia. 3. Melakukan kaderisasi masyarakat setempat yang menjadi motivator. Tata cara pengembangan kelompok : 1. Melakukan identifikasi kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat. 2. Memperkuat kelompok yang ada dengan cara : a. Mengajak anggota kelompok mengidentifikasi kembali tujuan kelompok. b. Mengajak anggota kelompok untuk menilai sumber daya yang dimiliki, ke mampuan dan kekurangan. c. Mengajak anggota kelompok untuk menilai pihak lain yang dapat membantu kelompok. d. Mengajak anggota kelompok merencanakan strategi untuk mencapai tujuan kelompok yaitu berupa tindakan-tindakan yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. e. Mengajak anggota kelompok untuk memikirkan keberlanjutan kelompok, dengan cara membangun sistem pendukung. f.
Melatih masyarakat setempat untuk menjadi kader motivator/organisator.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 191
C. Pelibatan Masyarakat Pelibatan masyarakat dilakukan karena merupakan hal yang utama dalam proses kegiatan. Di dalam perencanaan pelibatan masyarakat, pelaksana harus melihat secara rinci kegiatan-kegiatan yang ada di dalam setiap tahapan sehingga pelibatan masyarakat dapat dilakukan secara menyeluruh dan utuh. Sesuai dengan perencanaan pelibatan, maka dapat dilakukan pelaksanaan pelibatan masyarakat. Adapun tahapan pelibatan masyarakat adalah sebagai berikut: 1. Tahap gagasan
yaitu
menghimpun
aspirasi
masyarakat
guna
mempermudah
pelaksanaan kegiatan, hal ini dikarenakan masyarakat merupakan modal sosial. Mereka lebih mengetahui karakteristik lingkungan fisik, lingkungan sosial dan ekonomi di lokasi penelitian. 2. Tahap pengambilan keputusan, dimana masyarakat mempunyai komitmen dalam mendukung kegiatan. Masyarakat mempunyai hak untuk dilibatkan, karena masyarakat sebagai subyek dalam kegiatan. 3. Tahap pelaksanaan kegiatan, pelibatan masyarakat merupakan kata kunci dari rekayasa sosial. Berbagai bentuk pelibatan dapat dilakukan: a. Masyarakat merupakan bagian di dalam proses kegiatan. Dengan kata lain, pekerja atau buruh dengan keahlian yang sesuai dengan masyarakat, harus berasal dari masyarakat lokal. b. Masyarakat dapat dilibatkan untuk memantau kualitas pekerjaan, jika terdapat keahlian dalam bidang tersebut. c. Pelibatan dalam hal pemantauan terhadap kuantitas pekerjaan. Untuk hal ini yang dimaksud adalah bahwa masyarakat dapat terlibat di dalam mengawasi apakah hal-hal yang harus dikerjakan telah dikerjakan seluruhnya, tanpa ada kekurangan. 4. Pada masa pasca kegiatan, bentuk pelibatan yang dapat dilakukan adalah: a. Memonitor proses dalam setiap tahap kegiatan. b. Pemeliharaan hasil-hasil kegiatan. c. Melakukan kontrol atas pengelolaan hasil kegiatan. III. PROSES REKAYASA SOSIAL Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 03/PRT/M/2009, rekayasa sosial adalah suatu proses perubahan sosial yang terencana untuk mengatasi masalah-masalah sosial dengan menggunakan berbagai strategi, cara-cara, langkah-langkah, upaya agar perubahan tersebut sesuai dengan yang dikehendaki. 192 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Pelaksanaan pelatihan pembuatan kompos dilakukan secara partisipatif, dialogis dan memerhatikan aspirasi masyarakat dengan menempatkan masyarakat baik secara perseorangan maupun kelompok sebagai subyek, penentu dan pelaku utama. Untuk itu seluruh pengambilan keputusan dan rencana tindakan didasarkan atas kehendak dan kesepakatan kelompok. Menurut (Maulana, 2012), Pendekatan rekayasa sosial berbasis masyarakat menganut prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Dari aspirasi masyarakat; Pendekatan ini mendasarkan pada kebutuhan, gagasan dan keinginan masyarakat, dimusyawarahkan dan mengakomodasikan suara yang paling rasional serta dapat diterima oleh masyarakat. 2. Dari kepentingan masyarakat; Pendekatan ini mengutamakan pemenuhan kebutuhan bersama di atas kepentingan lainnya, sehingga memberi manfaat kepada masyarakat. 3. Dari kemampuan masyarakat; Pendekatan ini mempertimbangkan tingkat kemampuan masyarakat sebagai basis dalam merencanakan target sasaran. 4. Dari kerjasama masyarakat bersama; Pendekatan ini mempertimbangkan kebutuhan untuk dan atas nama kelompok masyarakat, sehingga mampu mewujudkan kerjasama yang kuat dan mengakar di masyarakat. Rekayasa sosial sebagai salah satu upaya pemberdayaan masyarakat didekati melalui pendekatan sebagai berikut: Pertama, kegiatan harus terarah (targetted), ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. Kedua, kegiatan harus langsung mengikutsertakan dan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat dengan tujuan, agar kegiatan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, karena masyarakat akan sulit memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya apabila sendiri. Pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, dan dilihat dari penggunaan sumberdaya juga lebih efisien. Di samping itu kemitraan usaha antara kelompok dengan kelompok yang lebih maju harus terusmenerus dibina dan dipelihara secara saling menguntungkan dan memajukan.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 193
Rekayasa sosial dipahami sebagai upaya pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, salah satunya dengan memberikan pelatihan kelompok berbasis sumberdaya lokal. Pelatihan pembuatan pupuk kompos dilaksanakan di Lembang Pakala, Kabupaten Tana Toraja. Pelatihan yang dilakukan ini dijadikan sebagai studi untuk melihat respon masyarakat terhadap rekayasa sosial. Terdapat beberapa kelompok masyarakat di Lembang Pakala di antaranya kelompok dasawisma sebanyak 7 kelompok (bunga kaca piring, bunga dahlia, bunga mawar, bunga melati, bunga terompet, bunga anggrek, bunga mangga). Sebanyak 4 kelompok di Dusun Pakala dan 3 kelompok di Dusun Tando-tando. Pelatihan pembuatan kompos dilakukan di 2 kelompok dasawisma yang terdiri dari ibu-ibu yaitu kelompok dasawisma Kaca Piring (Dusun Pakala) sebanyak 12 orang dan kelompok dasawisma Buah Mangga (Dusun Tando-tando) sebanyak 12 orang. Dalam buku PSSEKI (Pedoman Survei Sosial Ekonomi Kehutanan Indonesia), salah satu indikator partisipasi masyarakat adalah keterlibatan kelompok. Bentuk partisipasi peserta pelatihan yaitu membawa kotoran binatang (sapi, kambing, ayam) dan sekam padi, kulit kopi (bahan organik) yang digunakan sebagai bahan pembuatan kompos. Pelatihan pembuatan pupuk kompos dilakukan dengan melibatkan kelompok ibuibu dasawisma, mereka antusias mengikuti pelatihan dan beberapa ibu-ibu sudah mempraktikkannya untuk tanaman sayur dan hasil tanamannya tumbuh subur, bahkan ada yang sudah mampu menjual sayurnya ke luar daerah. Diharapkan ke depannya bisa menjadi sebuah industri rumah tangga sehingga meningkatkan pendapatan (income) keluarga.
IV. RESPON KELOMPOK PEREMPUAN TERHADAP PELATIHAN Peran gender muncul ketika ibu-ibu lebih antusias mengikuti pelatihan kompos. Ibu-ibu tidak hanya berurusan dengan kegiatan domestik (rumah tangga) akan tetapi mereka mempunyai suatu keterampilan baru. Setelah diadakan pelatihan, kemudian dilakukan pengumpulan data primer dengan melakukan wawancara kepada peserta pelatihan pembuatan kompos sebanyak 24 orang di Lembang Pakala. Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui respon mereka setelah mengikuti pelatihan. Hasil respon peserta pelatihan terdefinisi menjadi persepsi, sikap dan partisipasi. Setiap peserta mempunyai pengalaman sendiri dalam hubungan berkelompok. Pada saat
194 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
berkumpul, terjadi tukar-menukar pengalaman di antara mereka yang disebut social
experiences. (Soekanto, 2003) Semua responden sebesar 100% mempunyai persepsi bahwa proses pembuatan pupuk kompos mudah. Dengan kemudahan proses tersebut maka sebesar 92% responden mempunyai keinginan untuk mempraktikkannya sendiri dan sebesar 75% mempunyai keinginan untuk mengajarkan ilmu yang mereka kepada orang lain. Sedangkan 58% responden mengatakan kompos layak untuk dijual. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persepsi peserta pelatihan kompos No.
Deskripsi pernyataan tentang pelatihan
Jumlah Prosentase (%)
1.
Proses pembuatan pupuk kompos mudah
100
2.
Ingin mempraktikkannya
92
3.
Ingin mengajarkan kepada orang lain
75
4.
Kompos layak untuk dijual
58
Sumber : Data primer diolah, 2011
Dalam Tabel 2 terlihat bahwa semua responden mempunyai persepsi proses pembuatan pupuk kompos itu mudah akan tetapi hanya 38% responden yang mempraktikkannya dan semuanya berhasil. Hasil pembuatan pupuk digunakan sendiri oleh semua responden (100%). Apabila dalam pembuatan mengalami kendala dan tidak berhasil, mereka bersedia untuk mencoba lagi. Tabel 2. Sikap peserta pelatihan kompos No.
Deskripsi sikap responden
Jumlah Prosentase (%)
1.
Sudah mempraktikkannya
38
2.
Berhasil
38
3.
Sudah mengajarkan kepada orang lain
33
4.
Apabila gagal akan mencoba lagi
100
5.
Hasilnya digunakan sendiri
100
6.
Pemberian pupuk berpengaruh ke tanaman
38
7.
Pernah mengikuti pelatihan sebelumnya
21
Sumber : Data primer diolah, 2011
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 195
Partisipasi masyarakat terlihat dari kesediaan mereka menyediakan alat, bahan organik dan kotoran binatang, serta keikutsertaan mereka di setiap tahap proses pembuatan pupuk kompos. Mereka berpartisipasi menyiapkan bahan dan alat pelatihan karena mudah memperolehnya, berada di sekitar lingkungan tempat tinggal. Peserta pelatihan sangat kooperatif dan partisipatif. Mereka mengetahui manfaat dan tujuan adanya pelatihan maka semua responden bersedia untuk mengikuti apabila dilaksanakan pelatihan kembali. Sebesar 25% responden ikut memelihara proses pengomposan. Untuk lebih rincinya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Partisipasi peserta pelatihan kompos No.
Deskripsi partisipasi responden
Jumlah Prosentase (%)
1.
Menyediakan alat
21
2.
Menyediakan bahan
100
3.
Ikut setiap tahap proses
100
4.
Ikut memelihara pengomposan
25
5.
Bersedia ikut pelatihan lagi
100
Sumber : Data primer diolah, 2011
Wawancara juga dilakukan terhadap 24 orang yang tidak mengikuti pelatihan kompos yang merupakan representasi kelompok lain. Hasil wawancara digunakan sebagai data pembanding. Mereka mempunyai persepsi pelatihan penting untuk menambah pengetahuan mereka dan bermanfaat, serta bersedia menjadi peserta apabila diadakan pelatihan. Tabel 4. Persepsi masyarakat tentang pelatihan kompos No.
Deskripsi pernyataan tentang pelatihan
Jumlah Prosentase (%)
1.
Tahu kotoran ternak bisa dibuat pupuk
50
2.
Tahu bahan organik bisa dibuat pupuk
42
3.
Tertarik pembuatan pupuk kompos
100
4.
Ingin tahu proses pembuatan pupuk
76
5.
Setuju dilaksanakan pelatihan
100
6.
Bersedia menjadi peserta pelatihan
83
7.
Pernah membuat pupuk kompos
33
8.
Pernah ikut pelatihan sebelumnya
33
Sumber : Data primer diolah, 2011
196 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Dalam Tabel 4 terlihat bahwa responden bukan peserta pelatihan kompos sebesar 50% mengetahui bahwa kotoran ternak bisa di buat menjadi pupuk dan 42% responden mengetahui bahan organik bisa di buat menjadi pupuk. Semua responden (100%) tertarik proses pembuatan pupuk kompos dan mereka menyetujui apabila dilaksanakan pelatihan. Sebesar 33% responden sudah pernah mengikuti pelatihan kompos sebelumnya dan pernah membuat pupuk kompos. Terlihat bahwa respon masyarakat positif terhadap pelatihan pembuatan pupuk kompos walaupun sebagian dari mereka sudah pernah mengikuti pelatihan yang sama.
V. PENUTUP Rekayasa sosial dipahami sebagai upaya pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dengan memberikan pelatihan kelompok berbasis sumberdaya lokal. Pelatihan pembuatan pupuk kompos di Lembang Pakala, Kabupaten Tana Toraja sebagai studi respon masyarakat terhadap rekayasa sosial. Hasil respon kelompok perempuan menunjukkan persepsi positif, sikap kooperatif dan partisipatif. Respon terlihat dari persepsi, sikap dan partisipasi.
DAFTAR PUSTAKA _______, (2000). Pedoman Survei Sosial Ekonomi Kehutanan Indonesia (PSSEKI). Bogor: Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Anonimus, (2009). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 03/PRT/M/2009 tentang Pedoman Rekayasa Sosial Pembangunan Bendungan. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. Hapsari, E., A. Rizal, I.N. Dewi, A. Ruru. (2010). Penguatan Kelembagaan dan Pengembangan Kegiatan Produktif Kelompok (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar. (Tidak diterbitkan). Hapsari, E., A. Rizal, N. Hayati, A. Ruru, A. Hermawan. (2011). Pendampingan Kelembagaan dan Rekayasa Sosial (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar. (Tidak diterbitkan). Maulana, R.A. (2012). Rekayasa Sosial Pembangunan Bendungan, http://balitbang.pu.go.id/rekayasa-sosial-pembangunanbendungan.balitbang.pu.go.id. Diakses tanggal 7 November 2012.
dimuat
Nugraha, A. M. (2005). Antropologi Kehutanan. Banten: Wana Aksara.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 197
Rahayu, L., Wianti F. (2010). Konsep Dasar Pemberdayaan Masyarakat. Pembekalan Teknis Pejabat Fungsional PEH Lingkup Ditjen RLPS Kementerian Kehutanan RI. Yogyakarta: Ditjen RLPS Kementerian Kehutanan RI dan Fakultas Kehutanan UGM. Soekanto, S. (2003). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sumodiningrat, G. (1996). Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat; Kumpulan Esai tentang Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: PT Bina Rena Pariwara. Syahyuti. (2006). 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian; Penjelasan tentang Konsep, Istilah, Teori dan Indikator serta Variabel. Jakarta: Bina Rena Pariwara.
198 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
MODAL SOSIAL DAN PENGELOLAAN KELOMPOK TANI HUTAN Bugi Kabul Sumirat1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Di antara tafsiran pengertian modal sosial, modal sosial dipahami pula sebagai suatu wujud dari struktur relasi antar-individu dalam suatu entitas (Coleman, 1990). Entitas dalam tulisan ini adalah Kelompok Tani Hutan (KTH - farmer forest group). hubungan pengelolaan kelompok tani hutan, terutama dari sisi kepemimpinannya, memiliki hubungan yang erat dengan modal sosial. Ciri kepemimpinan dalam suatu KTH dapat menentukan bentuk modal sosial yang dimiliki kelompok tersebut. Struktur hubungan ini dapat menciptakan beragam kewajiban sosial, termasuk di dalamnya adalah terbentuknya iklim saling percaya, mengalirnya saluran informasi, penetapan norma-norma dan sanksi sosial bagi anggota KTH. Modal sosial berperanan dalam proses interaksi di dalamnya. Kata Kunci: Modal sosial, pengelolaan, kelompok tani hutan, kepemimpinan
I. PENDAHULUAN Pada pengantar buku berjudul Lead to togetherness: leaders & social capital, mantan Presiden RI, Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie mengatakan,"Setiap negara membutuhkan modal sosial untuk menjadi lebih maju dan berkembang". Pernyataan tersebut jelas menyatakan bahwa jika kita, sebagai bangsa ingin maju dan berkembang, kita memerlukan modal sosial. Modal sosial dipercaya memiliki peran yang signifikan di dalam memajukan dan mengembangkan bangsa. Modal sosial tidak berdiri sendiri. Modal sosial merupakan bagian dari satukesatuan modal-modal lain yang utuh, yaitu modal alam (natural capital), modal manusia (human capital), modal fisik (physical capital), modal keuangan (financial capital), dan modal sosial (social capital) itu sendiri (Department for International Development - DFID, 1999). Sebagai bagian dari modal-modal tersebut, setiap komponen modal akan berkontribusi
terhadap
sejumlah
keuntungan
atau
manfaat.
DFID
(1999)
pun
menggambarkan modal-modal ini dalam suatu bentuk berupa segi lima (pentagon), dan dikenal dengan sebutan the asset pentagon. Komposisi modal-modal yang seimbang akan membentuk pentagon yang seimbang pula, sebaliknya, jika terdapat ketidakseimbangan pada garis-garis yang menghubungkan setiap sisinya (sebagai representasi kondisi dari modal tersebut) akan membuat pentagon berubah bentuknya, tidak lagi menjadi segi lima yang sempurna. 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 199
Jika dikatakan bahwa modal sosial memiliki peran yang demikian besar, tentu pengertian ini dapat pula diterapkan pada sektor kehutanan, untuk membuat sektor kehutanan menjadi maju dan berkembang, terutama salah satu aktor utamanya, yaitu petani-petani hutan (forest farmers) yang tergabung ke dalam Kelompok Tani Hutan (KTH – farmer forest group). Sebagai salah satu aktor dalam pembangunan kehutanan, sudah sewajarnya para petani hutan, baik yang berada di dalam maupun sekitar hutan, baik yang tergabung dalam KTH maupun yang belum adalah yang pertama akan merasakan manfaat dari pembangunan kehutanan. Dengan adanya KTH diharapkan terjadi proses pemberdayaan pada anggotaanggota KTH sehingga terjadi peningkatan kemampuan dan kemandirian, baik aspek fisik maupun ekonomi. Dalam hal ini, peran pemimpin KTH sangat signifikan. Peran pemimpin KTH dapat berkontribusi pada kondisi modal sosial kelompoknya.
II. ARAH PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI INDONESIA Masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan kehutanan di Indonesia yang bertujuan untuk mengatasi kerusakan hutan dan lahan. Sejak tahun 2003 telah banyak program yang dilakukan oleh pemerintah bersama-sama masyarakat melalui Gerakan dan Kampanye Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Beberapa kegiatan di antaranya adalah Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM), Indonesia Menanam, Penanaman Serentak, Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon (RLPS, 2007), termasuk di dalamnya adalah Gerakan Penanaman Satu Miliar Pohon yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.61/2011 dan gerakan penanaman lainnya yang dilaksanakan secara swadaya dan swakarsa oleh masyarakat, termasuk di antaranya adalah programprogam seperti Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan program kemitraan serta Hutan Tanaman Rakyat. Di samping kebijakan lanjutan yang berskala nasional yaitu ‘triple track’ strategi ekonomi, di tahun 2008, kembali dikeluarkan kebijakan revitalisasi sektor kehutanan dengan arahnya antara lain (Kementerian Kehutanan, 2008): pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat melalui sektor riil kehutanan dan usaha kecil menengah, di dalam dan sekitar hutan, ditempuh melalui pemberian akses kepada masyarakat setempat dalam pemanfaatan hutan produksi. Tujuan program ini adalah untuk penyerapan tenaga kerja dalam kerangka pengurangan pengangguran. 200 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Pelibatan masyarakat diperlukan pula untuk menahan laju deforestasi hutan di Indonesia. Data luas tutupan hutan berdasarkan data tahun 2000 mencakup 103,33 juta hektare sementara tahun 2009, data menunjukkan pengurangan luas tutupan hutan menjadi 88,17 juta hektare. Dengan demikian terlihat bahwa telah terjadi pengurangan sekitar 15,15 juta hektare dan laju deforestasi itu sendiri adalah sebesar 1,51 juta hektare per tahun (Sumargo et al, 2011). Padahal, hutan di Indonesia dikenal sebagai urutan ketiga dari hutan-hutan tropis terluas di dunia, setelah Brazil dan Zaire, serta merepresentasikan sekitar 10 persen dari jumlah areal hutan di seluruh dunia (Kementerian Kehutanan, 2006; RLPS, 2007; WRI, 2008). Sementara data Kementerian Kehutanan (2006) pun menyebutkan bahwa terdapat sekitar 50 juta orang berada di dalam dan di sekitar hutan serta menggantungkan hidupnya dari hutan. Jumlah desa yang berada dalam lingkungan hutan berjumlah 16 ribu desa (Antara, 2009). Sedangkan jumlah penduduk desa yang berada di dan sekitar hutan dan menggantungkan hidupnya dari hutan itu mencirikan gambaran dari banyak situasi yang sama di seluruh dunia, di mana mereka mengandalkan pada hasil hutan kayu dan bukan kayu serta menggunakannya sebagai sumber makanan, obatobatan, dan bahan baku untuk pembuatan rumah (Dwyer, 2010). Tekad pemerintah terkini seperti tersirat dalam pidato Presiden Republik Indonesia di CIFOR, Bogor, 13 juni 2012, yang menyatakan tekad Indonesia dalam memelihara bumi dan mengentaskan kemiskinan dunia (terutama di Indonesia) (CIFOR, 2012). Berbicara tentang kemiskinan dalam sektor kehutanan, maka akan mengarah kepada kondisi Kelompok Tani Hutan (KTH), khususnya di Indonesia yang masih banyak tergabungkan ke dalam kelompok miskin. Terkait dengan ini, Indonesia telah termasuk salah satu dari 70 negara yang telah bertekad menempatkan pengurangan angka kemiskinan sebagai prioritas utama (Wollenberg et al., 2004), terutama dari sektor kehutanan yang bertujuan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat (dari sektor kehutanan) di dalam dan di sekitar hutan (Hindra, 2007).
III. GAMBARAN UMUM KELOMPOK TANI HUTAN (KTH) Undang-Undang Kehutanan (No 41 Tahun 1999) mensyaratkan kerja sama perusahaan yang bergerak dalam bidang kehutanan dengan masyarakat melalui koperasi masyarakat setempat seperti tercantum dalam pasal 30; pelibatan masyarakat secara partisipatif dalam hal penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan, seperti tercantum dalam pasal 42. Ketentuan lain termuat pada Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2002 di “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 201
mana pada Bab IX mengatur ketentuan tentang pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan. Demikian landasan hukum yang dapat diambil sebagai salah satu tujuan dari pengelolaan hutan di Indonesia, yaitu untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan untuk membangun upaya pemberdayaan masyarakat dalam kerangka partisipatif, berkeadilan dan menekankan pada perspektif yang berwawasan lingkungan. Dengan hal tersebut, diharapkan dapat menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi termasuk kemampuan mengantisipasi perubahan dari luar. Perhatian yang diberikan kepada masyarakat di dalam dan sekitar hutan (termasuk dalam hal ini adalah KTH) seperti disebutkan di atas, dalam skala peraturan dan undang-undang, sangatlah besar dan mendasar. Beberapa dasar pemikiran yang membuat penting untuk memusatkan perhatian terhadap masyarakat di dalam dan di sekitar hutan serta kelompok tani hutan adalah: 1.
Petani hutan (forest farmer) di Indonesia pada umumnya memiliki dasar sebagai petani pertanian (agriculture farmer) dan memiliki gambaran umum termasuk dalam kategori miskin dan memiliki kemampuan kerja (teknis) yang rendah (Suhardjo et al., 1986 dalam Widyarini, 2007). Sebagai ciri khasnya adalah bahwa dalam rumah tangga petani tersebut memiliki keterbatasan dalam hal keuangan, manajemen keuangan serta kemampuan daya belinya termasuk menentukan apa yang mereka akan beli. Wollenberg et al (2004) menyatakan bahwa masyarakat yang berada di dalam hutan di Indonesia adalah termasuk kelompok miskin terbesar, yaitu dari sekitar 50 juta jiwa, diperkirakan sekitar 10 juta jiwa masuk dalam kelompok miskin.
2.
Seperti telah disebutkan di bagian terdahulu, bahwa banyak anggota masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, mencapai sekitar 50 juta orang (Kemenhut, 2006). Mereka memiliki ketergantungan yang kuat dengan hutan, seperti sumber makanan, sumber (tanaman) obat-obatan, sumber air bersih, sumber bahan pembuatan rumah serta sumber pendapatan, sehingga keberadaan hutan-hutan tersebut sangat penting keberadaannya bagi kaum miskin (Dwyer, 2010; Wollenberg
et al., 2004). 3.
Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa terlepas dari bagaimana kondisinya saat ini, petani-petani hutan akan berhadapan dengan ‘kehutanan komersial’ (commercial
forestry). Petani-petani hutan akan terhubung dengan industri
kehutanan ataupun perusahaan-perusahaan berbasis kehutanan, skala besar maupun skala kecil. Untuk itu, sangat penting untuk melihat kesiapan petani-petani hutan ini,
202 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
terutama dalam hal kemampuan teknis dan dukungan keuangan, kemitraan yang berkeadilan, status lahan dan kepemilikan pohon yang jelas (Race et al., 2009). 4.
Ketika pembangunan dan pengelolaan Kehutanan menekankan pula kepada upayaupaya pemberdayaan masyarakat dan masyarakat pedesaan seperti tercantum dalam lima prioritas Kementerian Kehutanan, hal ini menuntut pula ‘investasi’ yang perlu dilakukan dalam proses-proses tersebut. Proses-proses yang dilakukan itu dapat membangun modal sosial yang nantinya akan dapat meningkatkan hasil dari pelibatan masyarakat dalam program-program kehutanan itu sendiri (Lockie, 2003).
IV. PENGERTIAN MODAL SOSIAL Seperti disampaikan DFID (1999), terdapat lima jenis modal yang sudah dikenal, yaitu modal alam (natural capital), modal manusia (human capital), modal fisik (physical
capital), modal keuangan (financial capital) dan yang terakhir adalah modal sosial (social capital), dan kelima modal tersebut tercantum dalam suatu rangkaian yang disebut dengan ‘the asset pentagon’ (lima aset berbentuk pentagonal). Kelima aset ini saling berhubungan dan memberikan beragam manfaat yaitu bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan yang berkelanjutan (sustainable livelihoods). Hubungan yang saling kait-mengait dengan baik akan memperlihatkan bentuk pentagonal yang sempurna. Namun, jika terdapat hubungan yang tidak sempurna, maka akan mempengaruhi terhadap bentuk pentagonal yang dihasilkan. DFID (1999) mengulas secara luas tentang modal sosial dan hubungannya dengan modal-modal lainnya. Secara singkat dapat dijabarkan hubungan di antara kelima modalmodal tersebut, yaitu sebagai berikut: kelima modal tersebut (modal alam, modal manusia, modal fisik, modal keuangan, dan modal sosial) dapat digambarkan sebagai inti dari kerangka dasar taraf dan kebutuhan kehidupan (livelihoods) seseorang. Model pentagon ini dibangun untuk mendapatkan gambaran informasi akan aset-aset yang dimiliki oleh seseorang yang menjadi faktor penting yang menjelaskan hubunganhubungan di antara modal-modal tersebut yang dimiliki oleh baik seseorang maupun komunitas masyarakat atau kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Contoh sederhana dari penggambaran tersebut di atas adalah: apabila seorang petani hutan memilliki sebidang lahan (modal alam) sebagai asetnya, kemudian lahan itu di tanami dengan tanaman kayu (sengon, jabon, dll), maka lahan yang dimilikinya itu termasuk juga sebagai modal fisik. Di antara tanaman kayu tersebut ditanami dengan sistem tumpang sari, maka lahan itupun menjadi modal keuangan bagi petani tersebut. “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 203
Karena memiliki tanaman-tanaman kayu dalam lahannya, petani hutan tersebut kemudian bergabung ke dalam KTH, dan ini menjadi suatu modal sosial baginya (faktor kebanggaan dan hubungan sosial dengan sesama anggota KTH). Gambaran ini memperlihatkan bahwa modal-modal yang dimilikinya dapat menjadi sumber utama bagi petani hutan tersebut sebagai sumber pendapatan dan peningkatan taraf/kebutuhan kehidupannya. Modal sosial yang memiliki keterkaitan dengan keempat modal-modal yang lain, seperti yang digambarkan di atas, memiliki banyak pengertian maupun penafsiran di antaranya adalah bahwa seperti yang digambarkan oleh DFID (1999) dan Lin (2007), modal sosial berarti sumberdaya-sumberdaya sosial yang dimiliki oleh seseorang di mana sumberdaya-sumberdaya
tersebut
digunakannya
untuk
pencapaian
pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Dalam tahapan-tahapan yang dilaluinya, DFID (1999) menambahkan, bahwa telah melalui proses pengembangan dari: 1.
Jejaring-jejaring kerja dan hubungan-hubungan yang dimilikinya, baik yang bersifat vertikal (struktur/hirarki) maupun horizontal (hubungan antar individu). Hubungan yang terbentuk ini kemudian dapat menimbulkan peningkatan kepercayaan dan kemampuan untuk bekerja bersama dengan berbagai pihak.
2.
Keanggotaan-keanggotaan serta keikutsertaan dalam berbagai organisasi formal. Pengalaman yang dimiliki dapat meningkatkan pemahaman serta kemampuan dalam memahami aturan-aturan, norma-norma hingga sanksi-sanksi dalam suatu organisasi.
3.
Hubungan berdasarkan kepercayaan yang dimiliki yang berimplikasi kepada timbulnya rasa saling percaya dan peningkatan hubungan saling memberi dan menerima, di mana hal-hal tersebut dapat meningkatkan kerjasama bahkan dapat mengurangi ‘biaya transaksi’ yang mungkin timbul jika hal-hal tersebut tidak dimiliki.
V. KTH DAN MODAL SOSIAL Dari
penggambaran
di
atas,
beberapa
faktor
yang
potensial
mendasari
terbentuknya modal sosial pada Kelompok Tani Hutan (KTH – Farmer Forest Group) dapat disarikan dalam beberapa aspek, di antaranya adalah: 1.
Hubungan di dalam dan antar kelompok serta jejaring kerja (networks) yang dimiliki oleh KTH.
2.
Sistem dan mekanisme keanggotaan di dalam KTH yang memiliki aturan-aturan, norma-norma termasuk sanksi-sanksi melekat bagi anggota KTH.
204 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
3.
Hubungan-hubungan rasa saling percaya yang timbul dari sistem dan mekanisme yang telah dimilikinya. Dari aspek-aspek tersebut di atas, akan muncul faktor-faktor modal sosial seperti
secara garis besarnya telah disebutkan pula oleh Race et al (2007), yaitu: 1.
Partisipasi. Faktor partisipasi KTH dapat dilihat sebagai hal-hal yang mendasari bagaimana KTH maupun anggota-anggota KTH mau (atau bahkan tidak mau) berpartisipasi dalam suatu kegiatan.
2.
Kepercayaan. Faktor ini tumbuh sebagai bagian dari proses interaksi yang terjadi, baik di antara anggota KTH, dan ketika berinteraksi sebagai kelompok.
3.
Kemitraan. Sebagai dampak dari terjadinya partisipasi, hubungan yang dimiliki dan rasa percaya yang tumbuh, proses kemitraan dapat saja dibangun dan dibentuk. Kemitraan yang dibangun dapat terjadi baik antar KTH maupun KTH dengan pihak lain.
4.
Pembelajaran.
Faktor
ini
memegang peranan
penting
pula
sebagai
proses
peningkatan pengetahuan KTH untuk meningkatkan kapasitas kemampuannya sebagai KTH berdasarkan informasi-informasi yang diterima. 5.
Kepemimpinan. Kepemimpinan menjadi faktor dari modal sosial pula. Bagaimana KTH dapat berjalan, melakukan kegiatan-kegiatannya, salah satunya adalah dengan kepemimpinan KTH yang dimilikinya. VI. KEPEMIMPINAN DALAM KTH Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengulas secara singkat tentang pola
pengelolaan KTH, termasuk pola kepemimpinan yang ada dalam KTH. Sumber dari informasi-informasi ini adalah sampel dari kegiatan penelitian yang penulis lakukan untuk melengkapi data dasar dalam penulisan tesis program pascasarjana. Kegiatan penelitian ini mengambil lokasi di dua kabupaten di Indonesia, yaitu di Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sumbawa. Kegiatan penelitian berlangsung dalam kurun waktu tahun 2008 – 2009. Informasi yang akan disampaikan di bawah ini adalah berdasarkan fenomenafenomena yang ditemui di lapangan. Kelompok Tani Hutan I (KTH I) KTH ini dibentuk pada tahun 1998. Dibentuk berdasarkan program penghijauan yang pada saat itu akan diadakan oleh pemerintah, di mana sebagai salah satu persyaratannya adalah harus melibatkan masyarakat dalam bentuk kelompok. Kemudian
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 205
dibentuklah KTH-KTH dan KTH I ini adalah salah satu ‘bentuknya’. KTH I ini belum berbadan hukum. KTH ini tetap bertahan dapat melakukan aktivitas-aktivitasnya walau program penghijauan itu sendiri telah tidak dilanjutkan lagi (yang melibatkan KTH I). Sejak dibentuk tahun 1998, KTH I belum pernah berganti kepengurusan dan belum pernah menambah keanggotaan. Kelompok Tani Hutan II (KTH II) Didirikan pada tahun 2003. KTH II ini telah berbadan hukum (berbentuk koperasi). KTH II ini dibentuk untuk mengantisipasi gerakan penghijauan pemerintah. Serupa dengan KTH I, KTH II dapat tetap bertahan dengan segala kegiatan dan keterbatasannya walau kegiatan penghijauan yang bersumber dari pemerintah tidak dilanjutkan lagi. KTH II, hingga saat ini belum terjadi pergantian kepengurusan serta penambahan jumlah anggota. Kelompok Tani Hutan III (KTH III) Kelompok ini dibentuk pada tahun 2008, telah berbadan hukum KTH III ini dibentuk sebagai bagian dari proses pengusulan areal di mana KTH III ini berada menjadi kawasan Hutan
Tanaman
Rakyat (HTR). Dalam
prosesnya KTH
ini mendapat
pendampingan dari sebuah LSM. Catatan tentang pola pengelolaan KTH
Pembentukan KTH Ketiga KTH seperti disebutkan di atas, adalah KTH-KTH yang mengalami proses pembentukan sebagai antisipasi dari program pemerintah di sektor kehutanan. Ketika program tersebut berakhir, berakhir pula keberlanjutan terhadap pembinaan KTH (kecuali untuk KTH III, karena program masih berlangsung). Hal ini menyebabkan di beberapa tempat dapat ditemukan KTH-KTH yang (dapat dikatakan) mati suri. KTH tersebut masih memiliki papan nama, pengurus, tetapi tanpa kegiatan. KTH I dan II adalah KTH-KTH yang tidak berada dalam kategori seperti disebutkan di atas. Namun, dampak dari ‘top-down’ dalam proses pembentukannya masih terasa, yaitu dalam perekrutan anggota. KTH I, pada saat program penghijauan masih berjalan, jumlah anggota yang direkrut adalah sebanyak 100 petani hutan. Hingga saat terakhir jumlah keanggotaan yang terdaftar secara resmi adalah tetap sebanyak 100 petani, walau dalam kenyataannya, jumlah petani yang menanam komoditas kehutanan bertambah. 206 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Data terakhir menunjukkan bahwa dalam kenyataannya jumlah petani hutan meningkat menjadi sebanyak 193 orang (yang juga secara otomatis menambah jumlah luasan hutan di daerah tersebut). Di luar yang 100 petani hutan itu, dianggap sebagai non anggota. Hal ini disebabkan oleh tidak beraninya KTH menerima non anggota menjadi anggota karena ketiadaan program baru dari pemerintah dan tidak ada ‘petunjuk’ dari dinas terkait. Sementara ketika dikonfirmasi kepada pihak dinas, dikatakan bahwa pihak dinas menyerahkan sepenuhnya kepada pihak KTH untuk memutuskan apa yang terbaik bagi KTH, termasuk masalah keanggotaan. Hal yang sama terjadi pula pada KTH II di mana pada awal pembentukan, jumlah anggota adalah sebanyak 29 petani hutan, dan data terakhir menunjukkan bahwa yang memiliki tanaman kehutanan tetapi tidak tercatat sebagai anggota adalah sebanyak 161 orang.
Kepemimpinan KTH Walaupun dalam prosesnya, pembentukan KTH I, II dan III, terlihat diliputi semangat ‘top-down’, dan tanpa proses kaderisasi yang berjalan sesuai aturan KTH yang ada pada KTH I dan KTH II, tetapi hasil pengamatan menunjukkan bahwa KTH ini dapat bertahan dan menjalankan aktivitas-aktivitasnya sebagai KTH. Sementara beberapa KTH lain dengan proses pembentukan yang serupa, tidak dapat bertahan. Beberapa pernyataan yang disampaikan kepada penulis menyatakan bahwa peran pemimpin KTH, tidak dapat dipungkiri dalam hal ini, sangat besar. Pemimpin-pemimpin KTH ini (dibantu pengurusnya) mencari upaya-upaya bagaimana KTH dapat menemukan mitra-mitra agar KTH dapat melakukan aktivitas-aktivitasnya. KTH III pun, walau masih termasuk KTH baru, tetapi giat mencari mitra untuk kegiatan-kegiatannya. VII. PENUTUP Terlepas dari bagaimana tujuan serta proses pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH), ketika KTH sudah terbentuk, maka KTH telah menjadi aset maupun bagian dari pengelolaan
kehutanan.
Keberadaannya
perlu
dipertahankan
dan
ditingkatkan.
Peningkatan kapasitas kepemimpinan pemimpin KTH adalah faktor yang tidak dapat diabaikan. Memerhatikan bagaimana faktor kepemimpinan, sebagai bagian dari modal sosial yang dimiliki oleh suatu KTH, dapat memainkan peranan yang penting dalam pengelolaan KTH, maka unsur kepemimpinan ini perlu terus dijaga dan ditingkatan. Pembinaan terhadap KTH-KTH (sesuai kebutuhan masing-masing KTH), perlu dijaga
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 207
keberlangsungannya, walaupun program pemerintah (baca: projek) sudah berakhir. Keberhasilan KTH akan pula secara paralel menunjang keberhasilan dan pencapaian tujuan program-program kehutanan secara umum.
DAFTAR PUSTAKA Antara. (2009). 16.000 Desa di Indonesia Berada di Hutan (16,000 villages in Indonesia are within the forests). Antara News, (27 Nopember 2009). CIFOR. (2012). Indonesian president calls for fundamental reinvention of society in creating a global green economy & protecting world’s forest. Press Release. DFID (Department for International Development). (1999). Sustainable Livelihood Guidance Sheets (pp. 26): DFID. Djohan, R. (2008). Lead to togetherness: leaders & social capital. Jakarta, Indonesia: Fund Asia Education. Dwyer, G. (2010). Community Forestry: Benefits to the Poor. ADB Review (November December 2003), 2. Hindra, B. (2007). Community Forestry in Indonesia. Paper presented at the Asia Pacific Tropical Forest Investment Forum. Kementerian Kehutanan. (2006). Indonesia's Forestry Long Term Development Plan 20062025. Kementerian Kehutanan. (2008). Kebijakan revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan dan hasil yang dicapai (pp. 7). Jakarta: Kementerian Kehutanan. Lin, N. (2007). Social Capital: A Theory of Social Structure and Action. New York, USA: Cambridge University Press. Lockie, S. (2003). Conditions for building social capital and community well-being through plantation forestry. Australian Forestry, 66(1), 24-29. Pemerintah Republik Indonesia. (1999). Undang Undang Republik Indonesia no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Peraturan Menteri Kehutanan RI no. P.61/Menhut-II/2011 tentang Penanaman Satu Milyar Pohon tahun 2011 (2011). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan (2002). Race, D., Curtis, A., Birckhead, J., & McDonald, S. (2007). Understanding the social context of land-use in the Boorowa catchment, lessons for measuring and managing the social implications of changes in rural land-use. Albury: Institute for Land, Water and Society, Charles Sturt University. 208 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Race, D., Bisjoe, A. R., Hakim, R., Hayati, N., Julmansyah, Kadir, A., et al. (2009). Partnerships for involving small-scale growers in commercial forestry: lessons from Australia and Indonesia. International Forestry Review, 11(1), 10. RLPS (Ministry of Forestry) (2007). Resume Data Informasi Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Tahun 2007. p19. Sumargo, W., Nanggara, S. G., Nainggolan, F. A., & Apriani, I. (2011). Potret keadaan hutan Indonesia Periode tahun 2000-2009 (First ed.). Bogor: Forest Watch Indonesia. Widyarini, M. (2007). Petani Indonesia di Negara Agraris (Indonesian farmer in agrarian country). Administrasi Bisnis (Business Administration), 3(1), 67-72. Wollenberg, E., Belcher, B., Sheil, D., Dewi, S., & Moeliono, M. (2004). Why are forest areas relevant to reducing poverty in Indonesia? (Governance Brief). Bogor: Center for International forestry Research. World Resource Institute (WRI) in collaboration with United Nations Development Programme, U. N. E. P., and World Bank, (2008). World Resource 2008: Roots of Resilience - Growing the Wealth of the Poor. Washington, DC: World Resource Institute.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 209
BEBERAPA CATATAN DALAM PERANCANGAN MODEL RLKTA PARTISIPATIF PADA DAS MIKRO JENEBERANG DAN SADDANG, SULAWESI SEATAN M.Kudeng Sallata1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Umumnya masyarakat tani enggan menerapkan teknik Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah dan Air (RLKTA) karena banyak membutuhkan biaya, tenaga dan waktu dibandingkan manfaat yang diperoleh. Tanpa pendekatan partisipatif, banyak pihak menyatakan bahwa kegiatan RLKTA yang selama ini diprogramkan tidak akan berhasil mencapai tujuan lestari. Oleh karena itu, penelitian penerapan teknik RLKTA dengan pendekatan partisipatif dari masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjaga penggunaan lahan tidak melebihi daya dukungnya dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sosial dan ekonomi serta budaya terutama di DAS mikro. Balai Penelitian Kehutanan Makassar telah melakukan penelitian tersebut sejak tahun 2010 dengan membangun demplot pada 2 (dua) lokasi, yaitu: di DAS Mikro Jeneberang dan DAS Mikro Saddang. Beberapa fenomena penting hasil pengamatan sampai dengan tahun 2011 yang perlu menjadi perhatian dalam membangun partisipasi masyarakat terhadap RLKTA pada lokasi penelitian, yaitu: tingkat partisipasi masyarakat di Datara (DAS Mikro Jeneberang) termasuk ”sedang sampai tinggi” dan di Mararin (DAS Mikro Saddang) termasuk ”rendah sampai sedang”, perlu faktor pendorong, perlu figur yang disegani anggota, perlu insentif baik berupa jasa maupun modal serta teknologi. Beberapa kegiatan RLKTA yang telah dilakukan memberi dampak baik positif maupun negatif, yaitu: pembuatan terasering pada musim hujan meningkatkan sedimentasi pada saluran yang diamati pada gullyplug, pembuatan teras gulud pada kemiringan lereng > 450 efektif untuk mengurangi erosi dengan penanaman rumput makanan ternak pada bibir teras. Berdasarkan fenomena dan dampak hasil penelitian yang terjadi disarankan untuk memposisikan masyarakat sasaran menjadi subjek dalam pelaksanaan kegiatan RLKTA. Masyarakat membutuhkan hasil sebagai bukti kegiatan, karena itu masyarakat masih membutuhkan pendampingan secara kontinu. Kata kunci : Pendekatan partisipatif, faktor pendukung, demplot teknik RLKTA , DAS mikro.
I. PENDAHULUAN Dalam melaksanakan penelitian perancangan model Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah serta Air (RLKTA) partisipatif pada DAS Mikro Jeneberang dan Saddang sejak tahun 2010 sampai 2011, ada beberapa fenomena yang perlu dicatat untuk menjadi standar dalam proses peningkatan partisipasi masyarakat di wilayah tersebut. Seperti yang menjadi dasar pertimbangan dan latar belakang untuk melaksanakan penelitian model RLKTA partisipatif pada DAS Mikro baik yang berlokasi di DAS Jeneberang maupun DAS Saddang adalah “rendahnya tingkat keberhasilan RLKTA yang telah beberapa tahun diprogramkan 1
pemerintah,
disebabkan
oleh
kurangnya
informasi
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
210 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
teknologi
dan
pendekatan yang kurang holistik terhadap masyarakat sasaran”. Masyarakat sasaran hanya dilibatkan sebagai pekerja upahan dan tidak diajak berperan aktif dalam analisis masalah, pembuatan rencana kegiatan dan pengambilan keputusan untuk melaksanakan RLKTA pada lahan miliknya dan lahan terdegradasi yang berada di sekitarnya. Banyak peneliti berpendapat bahwa tanpa adanya pendekatan partisipatif yang mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan, kegiatan RLKTA yang selama ini diprogramkan tidak akan berhasil mencapai tujuan utamanya yaitu kelestarian sumber daya alam (Indrawati dkk, 2009; Haryanti, 2009; Yudono, 2010). Oleh karena itu, penelitian penerapan teknik RLKTA dengan pendekatan partisipatif terhadap masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjaga penggunaan lahan tidak melebihi daya dukungnya dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sosial dan ekonomi serta budaya terutama di DAS mikro. Menurut Indrawati dkk (2009); bahwa degradasi lahan terjadi sebagai akibat dari kesalahan dalam pengelolaan lahan. Perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat berdampak pada perubahan pengelolaan lahan dan selanjutnya memengaruhi kondisi lahan. Penelitian ”Model Perancangan dan Penerapan Teknik RLKTA Partisitif” telah dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Makassar sejak 2010 melalui Rencana Penelitian
Integratif
(RPI)
pada
tingkat
Badan
Litbang
Kehutanan
dengan
judul ”Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)”. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman dalam pelaksanaan penelitian terjadi proses integrasi bersama masyarakat di kedua lokasi penelitian, yaitu di Datara yang merupakan bagian DAS mikro Jeneberang dan Mararin bagian DAS mikro Saddang (Sallata dan Yudono, 2011). Dalam proses integrasi masyarakat setempat terjadi beberapa fenomena (gejala terlihat) yang menjadi catatan penting untuk menjadi pegangan dalam membangun partisipasi masyarakat setempat.
II. METODE PENDEKATAN Untuk merumuskan teknologi dan kelembagaan RLKTA dengan pendekatan partisipatif dibutuhkan pengetahuan mengenai : 1) karakter penduduk, 2) karakter tanah, 3) karakter iklim dan altitude, 4) karakter topografi, 5) karakter fungsi lahan, 6) karakter kelembagaan, 7) karakter kebijakan, 8) karakter pasar (Yudono,2010). Dalam bentuk bagan alir, tahapan proses penetapan teknik RLKTA disampaikan pada Gambar 1.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 211
Gambar 1. Tahapan proses pengembangan RLKTA partisipatif (sumber, Yudono 2010).
Dengan mengintegrasikan data yang terkumpul berdasarkan karakter pada Gambar 1, maka strategi RLKTA dibangun berdasarkan kondisi aktual yang ada di lokasi kegiatan, baik berkaitan dengan kondisi lahan maupun kondisi sosial dan budaya masyarakat. Rasionalisasi proses implementasi RLKTA adalah dengan melaksanakan rencana yang dibuat berdasarkan data karakter-karakter yang ada dan bukan berdasarkan asumsi-asumsi yang dibangun. Untuk menguji tingkat partisipasi masyarakat sasaran, telah dibangun demplot di Datara (DAS Mikro Jeneberang) seluas 2 ha dan di Mararin (DAS Mikro Saddang) seluas 2,5 ha.
Lokasi demplot ditentukan berdasarkan
kesepakatan dan dibangun melalui partisipasi masyarakat. Untuk mengetahui dampak dari kegiatan dalam demplot terhadap erosi tanah telah dibuat V-notch wier dan Gullyplug pada alur sungainya, sebagai tempat pengamatan perkembangan sedimentasi. Dengan 212 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
mengamati proses penelitian pada masing-masing lokasi terdapat beberapa fenomena yang perlu dicatat untuk menjadi dasar pertimbangan dalam perancangan model RLKTA partisipatif pada lokasi tersebut.
III. HASIL YANG TELAH DICAPAI Berdasarkan hasil analisis karakter yang diujicobakan, penelitian ini dipadukan dengan penelitian lainnya untuk mendapatkan model rancangan teknik RLKTA partisipatif, dan perlu diujicoba dengan pengembangan yang lebih luas dan melibatkan masyarakat sasaran secara aktif untuk merancang, menganalisis, dan melaksanakan keputusankeputusan yang telah disepakati bersama. Sehubungan dengan itu, hasil pengamatan dan analisis penelitian sampai tahun 2011 disajikan sebagai berikut: A. Partisipasi Masyarakat Penelitian dilaksanakan sejak 2010 untuk menguji dan mengetahui sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat dalam model perancangan RLKTA. Untuk itu telah dilakukan pembangunan plot demonstrasi dengan melibatkan masyarakat secara langsung di Datara, Kelurahan Garassi, Kecamatan Tinggi Moncong, Kab. Gowa seluas 2 ha dan pada tahun 2011 dibangun di Mararin, Lembang Pakala, Kecamatan Mengkendek, Kab. Tana Toraja seluas 2,5 ha. Tahapan pendekatan pada kedua lokasi sebagai berikut: 1.
Datara, Kelurahan Garassi, Kecamatan Tinggi Moncong, Kab. Gowa a. Penelitian dimulai dengan konsolidasi masyarakat sasaran dan berkoordinasi dengan pemerintah setempat. Melalui pertemuan tersebut dikumpulkan informasi tentang keinginan/kemauan masyarakat dan dipadukan dengan rencana penelitian yang akan dilakukan serta menyampaikan tujuan dan sasaran serta manfaat yang diperoleh masyarakat dari kegiatan tersebut. Selanjutnya dibangun kesepakatankesepakatan, yaitu: penyusunan rencana kerja, penentuan bentuk dan jenis kegiatan-kegiatan, tahapan-tahapan pelaksanaan, dan pembagian peran dan tanggungjawab pada semua anggota masyarakat yang dilibatkan. b. Kegiatan-kegiatan yang telah dicapai pada tahun 2010, yaitu: tahapan sosialisasi kegiatan, membentuk 1 (satu) kelompok masyarakat, yaitu Kelompok tani turbin
Sipakainga’
dengan anggota 48 orang dan telah membangun Demplot RLKTA
seluas 2 ha serta sebuah turbin penghasil listrik mikrohidro rancangan BPK Makassar yang telah dipasok ke semua anggota kelompok.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 213
c. Hasil pengamatan sampai pada tahun 2011 menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat untuk melaksanakan setiap kegiatan dalam penelitian ini telah tumbuh dengan baik. Bentuk partisipasi masyarakat yang dijumpai adalah: 1) Kesediaan memberikan lahan seluas 2 ha berupa gabungan dari lahan milik 6 orang petani yang terhampar dalam bentuk sub-Das mikro, secara cuma-cuma untuk dimanfaatkan sebagai lokasi demplot rancangan model RLKTA partisipatif seperti dipersyaratkan. Nama-nama pemilik lahan tersebut adalah ’dg Sese, dg
Sampe, dg Tatte, dg Baha, dg Tamba dan dg Sinara’. Mereka telah mengerti manfaat dari penanaman pohon karena banyak dilibatkan dalam proyek rehabilitasi yang telah dilaksanakan Departemen Kehutanan kerjasama JICA pada era tahun 80-an sampai awal 90-an. Pada umumnya mereka telah mengenal baik beberapa jenis pohon yang banyak ditanam oleh JICA dan saat ini banyak yang sudah dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, antara lain: akasia (Acacia mangium ), sengon (Paraserianthes falcataria), dan ekaliptus (Eucalyptus urophylla). 2) Kontribusi tenaga kerja terkait kegiatan di dalam demplot RLKTA, pembuatan terasering, dan pembersihan lahan, penanaman pohon, pemagaran lokasi demplot dengan imbalan yang telah disepakati dalam pertemuan kelompok. Dalam melaksanakan kegiatan, mereka tidak mengikuti standar upah yang telah diberlakukan secara umum di masyarakat tetapi mereka menerima upah lebih rendah. Selain itu tidak terlalu berpatokan pada jam kerja upahan tetapi menyesuaikan penyelesaian pekerjaan yang sedang dikerjakan dan mereka pulang setelah menyelesaikan pekerjaan berdasarkan target yang disepakati secara bertanggungjawab. 3) Bersedia menanam pohon di lokasi lahan masing-masing selain 160 bibit mahoni dan 90 bibit suren, juga disediakan 2.000 bibit Gmelina, di mana sebanyak 1.400 bibit telah diterima oleh 23 anggota kelompok dan ditanam di lahan masing-masing. Keputusan untuk menanam pohon merupakan bagian dari hasil kesepakatan pertemuan kelompok yang meminta menyediakan bibit pohon lebih banyak dari jumlah bibit yang dibutuhkan untuk ditanam dalam demplot. Oleh karena tidak semua anggota kelompok yang memiliki lahan masuk areal demplot maka anggota lain meminta bibit pohon untuk ditanam pada lahannya.
214 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
d. Berdasarkan pengamatan karakteristik tipologi partisipasi menurut Syahyuti; yang dicapai oleh ‘kelompok turbin sipakainga’ di “Datara” pada saat ini adalah telah berada pada tingkat partisipasi fungsional yaitu masyarakat telah membentuk kelompok sebagai bagian dari proyek, setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap kemudian menunjukkan kemandiriannya (Syahyuti, 2006). e. Apabila lebih jauh mencermati dalam bentuk partisipasi masyarakat lokal maka termasuk bentuk partisipasi co-operation yaitu terdapat insentif, namun proyek telah didesain oleh pihak luar yang menentukan seluruh agenda dan proses secara langsung (Syahyuti, 2006). f. Faktor-faktor yang mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat adalah: 1) Adanya pemanfaatan pohon hasil tanaman projek kerjasaman JICA dengan Indonesia 25 tahun yang lalu. Hasil rehabilitasi tersebut telah membawa dampak yang positif terhadap penduduk sekitarnya karena selain kondisi lingkungan menjadi segar oleh sumbangan oksigen dari pepohonan juga telah banyak memanfaatkan pohon untuk bahan bangunan rumah mereka. 2) Adanya bantuan pembangkit listrik tenaga mikrohidro oleh BPK Makassar yang dimanfaatkan 48 orang anggota kelompok tani Turbin “Sipakainga”. Sekalipun wilayah ini telah dimasuki listrik PLN, namun mereka lebih cenderung menikmati listrik dari mikrohidro yang telah dibangun bersama. Hal ini disebabkan terjaminnya pasokan listrik dari Mikrohidro yang mereka kelola sendiri daripada listrik PLN yang sering padam. Di samping itu, mereka lebih bebas memanfaatkan tenaga listrik dari Mikrohidro untuk keperluan lain daripada listrik PLN misalnya untuk mengetam, menggergaji dalam rangka membangun rumah. 3) Adanya dorongan dari pemerintah untuk mendukung progam nasional go green. Pemerintah dan perangkatnya sampai di pelosok desa tetap mengkampanyekan penanaman pohon untuk mendorong masyarakat berperan dalam rangka penanggulangan masalah global warming yang berdampak banyak kepada perubahan iklim. g. Sampai pada tahun 2011 partisipasi para anggota kelompok tani turbin ‘sipakainga’ masih tetap tinggi, yaitu memelihara tanaman pohon hasil tanam 2010 dengan pendangiran dan pemupukan, memelihara tanaman rumput dan menyabitnya untuk pakan ternak, memperbaiki teras, memperbaiki pagar kebun secara bersama,
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 215
memperbaiki turbin listrik mikrohidro yang sempat rusak karena terkena longsor secara bersama-sama, mengelola pamanfaatan turbin sesuai kesepakatan kelompok. Selain pemanfaatan penerangan di masing-masing rumah anggota kelompok, tenaga listrik juga digunakan pada siang hari untuk bengkel las bantuan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sulawesi Selatan untuk kelompok. h. Apabila partisipasi petani dikuantitatifkan dengan menggunakan nilai standar upah harian setempat (Rp. 75.000/hari kerja) dan nilai upah kesepakatan (Rp.50.000/hari kerja) dalam kelompok didapatkan nilai partisipasi masyarakat dalam pembuatan demonstrasi plot seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Penilaian partisipasi petani demplot Datara dalam rupiah tahun 2011 No
Jenis Pekerjaan
1.
Pemeliharaan teras Pemeliharaan tanaman penguat teras Pemagaran demplot Perbaikan saluran turbin Pemeliharaan tanaman pohon Jumlah
2.
3. 4. 5.
Nilai upah standar harian (Rp) 8,100,000
Nilai Upah diterima (Rp) 5,400,000
Lama kerja (hari) 18
Jumlah orang
Nilai Partisipasi (Rp) (3-4)
6
Keterangan Selama 2011
5,400,000
3,600,000
12
6
2,700,000 1,800,000
4,800,000
swadaya
4
16
4,800,000
Selama 2011
7,200,000
swadaya
4
24
7,200,000
Selama 2011
5,400,000
3,600,000
12
6
1,800,000
Selama 2011
30,900,000
12,600,000
Selama 2011
18,300,000
i. Untuk mengurangi tekanan pada hutan, telah dilakukan rekayasa sosial untuk menambah pengetahuan kelompok tani, yaitu pelatihan pembuatan nata pinnata oleh tim peneliti sosek BPK Makassar. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengajak masyarakat memanfaatkan “nira aren” selain untuk gula merah juga dapat digunakan untuk nata pinnata. Respon mereka cukup positif ditandai dari beberapa informasi yang didapatkan bahwa beberapa anggota kelompok yang telah mengikuti pelatihan telah praktik sendiri di rumahnya masing-masing dengan keberhasilan yang bervariasi, namun perlu dievaluasi lebih lanjut. j. Tanaman pakan ternak berupa jenis rumput gajah yang digunakan sebagai penguat teras telah banyak dimanfaatkan pemilik lahan untuk makanan kambing dan sapi. Ada yang memangkas setiap minggu secara bergilir dengan hasil pangkasan berupa 1 pikul (diperkirakan 20 kg) untuk makanan ternaknya. k. Selain itu, adanya figur yang dapat menggerakkan kelompok karena mempunyai wibawa dan kebijakan yang dapat diterima oleh semua anggota kelompok.
216 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
2.
Mararin, Lembang Pakala, Kecamatan Mengkendek, Kab. Tana Toraja a. Tahap sosialisasi kegiatan dengan menggunakan metode PRA, berkoordinasi dengan pejabat pemerintah setempat dan tokoh masyarakat, merupakan langkah kunci keberlanjutan kegiatan, karena hasil koordinasi tersebut dapat diketahui apakah penelitian diterima atau tidak oleh penduduk setempat. Di wilayah ini penting membangun kesepakatan untuk melindungi DAS mikro dari kerusakan (yudono. 2011). b. Hasil kesepakatan masyarakat dalam beberapa kali pertemuan yang dipimpin oleh kepala lembang (desa) ditentukan 2 (dua) lokasi yang menjadi demplot yaitu 1 ha milik “Mamak Joko” dan 1,5 ha milik “Nenek rudi” di Dusun Tando-Tando. Selain itu, semua peserta sepakat mengganti turbin listrik mikrohidro seri lama menjadi turbin model seri terbaru dan berkapasitas lebih besar. Jenis tanaman pohon penghasil kayu yang dikembangkan disepakati, yaitu: mahoni (Switenia mahagoni), cempaka (Elmerillia spp) sesuai dengan tempat tumbuh, namun dalam pelaksanaannya jenis cempaka diganti sengon buto (Enterolobium cyclocarpum) dan melina (Gmelina
arborea) oleh penelitinya karena kesulitan mendapatkan bibit yang sesuai. Juga pakan ternak berupa rumput dan gamal serta tanaman pertanian lainnya yang dikembangkan oleh pemilik lahan. c. Berdasarkan pengamatan sampai tahun 2011 dapat diketahui bahwa tingkat partisipasi masyarakat di Mararin melalui kelompok tani yang sebelum penelitian telah terbentuk adalah “rendah sampai sedang”. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: terjadinya perubahan figur kepengurusan dalam kelompok karena ada yang terangkat sebagai PNS dan ditempatkan di Lembang lain, terjadinya subtitusi pasokan listrik dari turbin mikrohidro bangunan BPK Makassar (seri lama) ke listrik PLN pada sebagian besar anggota kelompok akibat adanya kerusakan turbin yang berlangsung lama dan mereka merasa tidak mampu memperbaiki. d. Namun, dengan pelibatan kelompok Dasawisma dalam penanaman pakan ternak dan pemeliharaannya termasuk dalam tingkat partisipasi “tinggi” dalam membangun demplot RLKTA. Pembayaran imbalan berupa upah untuk Kelompok Dasawisma tidak dibayar melalui perorangan tetapi melalui kelompok. Upah dibayarkan lebih rendah dari standar upah yang berlaku secara umum sesuai dengan kesepakatan pertemuan sebelumnya.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 217
e. Pembentukan kelompok pengelola demplot mengalami proses yang berbeda dengan di Datara disebabkan belum adanya figur atau belum munculnya figur yang dapat mengayomi semua anggota. f. Selain itu, anggota kelompok dasawisma telah dilatih membuat kompos untuk memberi pengetahuan membuat pupuk sendiri oleh tim peneliti sosek, namun belum berjalan dengan baik karena kekurangan modal. g. Ada kesan kurang adanya kerjasama di antara kelompok masyarakat yang dipisahkan secara geografis, yaitu Dusun Pakala dan Dusun Tando-Tando yang berbatasan Sungai Mararin. Kurangnya kerjasama ini menyebabkan rumitnya pembentukan
kelompok
yang
akan
diarahkan
untuk
menangani
dan
bertanggungjawab terhadap pelaksanaan RLKTA. h. Namun, partisipasi perorangan khususnya pemilik lahan pada Demplot yang telah dibangun bersama dapat dikategorikan tinggi. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kegiatan yang dilakukan secara sukarela memperbaiki pagar rusak untuk tidak dimasuki ternak liar, memelihara dan menyulami tanaman rumput penguat teras sehingga dapat tumbuh baik, memelihara tanaman gamal (Glirisedae sp.) sebagai penguat pagar dan teras. i. Para pemilik lahan telah memanfaatkan tanaman rumput penguat teras sebagai pakan ternak mereka dan merasa tertolong dengan adanya rumput tersebut terutama pada musim kemarau. B. Kegiatan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah dan Air (RLKTA) 1.
Datara, Kelurahan Garassi, Kecamatan Tinggi Moncong, Kab. Gowa a. Kegiatan Konservasi Tanah secara vegetatif 1) Perkembangan pertumbuhan jenis tanam pohon penghasil kayu, yaitu mahoni (Switenia mahagoni) sebanyak 197 bibit dan 300 bibit suren (Taona sinensis) dalam demplot pada umur 16 bulan di lapangan, rata-rata pertambahan tinggi dan diameter tanaman suren yang terbesar diperoleh pada jarak tanam (3x3)m yaitu 42,45 cm dengan rata-rata pertambahan diameter batang 11,21 mm. Untuk tanaman mahoni, rata-rata pertambahan tinggi yang terbesar diperoleh pada jarak tanam (2x3) m yaitu 31,39 cm dengan rata-rata pertambahan diameter batang 14,18 mm. 2) Tanaman rumput sebagai penguat teras telah memenuhi kebutuhan makanan ternak pemilik dengan produksi masing-masing pemilik 1 (20 kg) setiap minggu
218 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
sejak oktober 2011. Demikian juga tanaman gamal sebagian daunnya digunakan untuk pakan ternak terutama pada musim kemarau. b. Untuk memenuhi kebutuhan pangan para pemilik lahan, mereka telah menanam dan memelihara kopi, kakao, jenis ubi-ubian dan juga tanaman lain menurut keperluannya. c. Kegiatan Konservasi Tanah secara fisik 1) Pembuatan dan pemeliharaan bangunan terasering sederhana yang biasa disebut teras gulud (contour terrace) berparit pada lahan kemiringan di atas 45% dalam demplot. Dibuat sejajar garis kontur, berjajar dari atas ke bawah dengan kemiringan sekitar 0,1% untuk mengalirkan air limpasan ke arah saluran pembuangan air (water way) yang berada di bagian tengah demplot. Sepanjang pematang
teras ditanami jenis-jenis rumput pakan
ternak.
Pembuatan teras gulud ini lebih sederhana dan murah dibanding pembuatan teras bangku (bench terrace) yang biasanya disarankan untuk dibangun pada lahan kemiringan lereng di atas 45 % seperti pada demplot penelitian (Dariah dkk. 2004). 2) Sebagian selokan terasering dibuat rorak-rorak yang diisi hasil pembersihan gulma tanaman dari lahan di sekitarnya dan berdampak pada pengurangan erosi tanah dan dapat meningkatkan kesuburan lahan. 3) Penggunaan mulsa sisa-sisa hasil pembersihan rumput yang dikumpulkan secara berbaris mengikuti kontur untuk menghalangi aliran permukaan secara deras. 4) Hasil pengamatan ketebalan sedimentasi pada gullyplug sebagai berikut: a)
Laju sedimentasi berdasarkan pengamatan pada tongkat pengukur (measuring stick) dari Agustus sampai Nopember 2011 bervariasi dan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengamatan sedimentasi pada Gullyplug (Cm) Ketebalan lapisan sedimen pada Gullyplug (Cm) Waktu Pengamatan
1
2
3
4
5
Agt 2010
3.8
6.4
6.6
0.4
0.0
Spt 2010
3.8
6.8
6.8
0.4
0.0
Okt 2010
5.8
7.2
6.8
1.4
1.0
Nov 2010
6.0
8.0
6.8
2.0
2.0
Des 2010
6.0
8.0
6.8
2.0
1.0
Jan 2011
6.0
8.0
6.8
2.0
1.0
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 219
Ketebalan lapisan sedimen pada Gullyplug (Cm) Waktu Pengamatan
b)
1
2
3
4
5
Peb 2011
6.0
8.0
6.8
2.0
1.0
Mrt 2011
21.9
19.9
8.9
25.8
1.1
Apr 2011
37.1
32.8
11.4
45.2
1.1
Mei 2011
44.4
44.6
27.9
53.8
18.6
Jun 2011
46.8
51.4
30.1
60.2
18.6
Jul 2011
50.0
58.6
32.1
68.2
18.6
Ags 2011
55.1
66.1
34.1
75.6
18.6
Spt 2011
60.3
73.5
35.9
83.1
18.6
Okt 2011
65.6
81.2
37.7
90.1
18.6
Nov 2011
71.2
89.4
39.5
97.5
18.6
Tinggi rata-rata lapisan sedimen yang diamati pada gullyplug 1 sampai 5 yaitu 2,9 cm sampai 1,4 cm tidak banyak perubahan karena mulai dari Agustus 2010 sampai Pebruari 2011 musim kemarau. Mulai Maret sampai Nopember 2011 terjadi peningkatan sedimen akibat musim hujan.
c)
Laju runoff berdasarkan hasil pengamatan pada V-note wier dari curah hujan (10 mm – 36 mm) dengan TMA (22 cm-28 cm) dan debit bervariasi 4,5 liter/detik sampai 44,8 liter/detik.
d)
Jumlah curah hujan yang jatuh dalam demplot dari 2 Agustus 2010 sampai dengan Nopember 2011 tercatat 756 mm dari 48 kejadian hujan dan yang terbanyak pada bulan September sebanyak 15 kejadian hujan.
2.
Mararin, Lembang Pakala, Kecamatan Mengkendek, Kab. Tana Toraja a. Kegiatan Konservasi Tanah secara vegetatif 1) Untuk memenuhi kebutuhan kayu, masyarakat telah menanam jenis tanaman mahoni (Switenia mahagoni) dengan rata-rata pertambahan tinggi tanaman 4,33 Cm sedangkan diameter batang rata-rata 3,7 mm, tanaman sengon buto pengamatan pertambahan tinggi pada umur 4 bulan yaitu 15,5 cm dengan diameter 5,2 mm dan gmelina dengan pertambahan tinggi pada umur 4 bulan 14,5 Cm dengan rata-rata diameter batang sebesar 3,3 mm. 2) Pada demplot telah dibangun terasering tipe mini/sederhana pada kemiringan lereng pada masing-masing demplot 3) Tanaman rumput dan gamal serta bambu sebagai penguat terasering. 4) Pemanfaatan bambu dan batang gamal untuk penguat badan teras agar jangan mudah terbongkar (pemanfaatan bahan tersedia di sekitar untuk teknik
220 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
konservasi tanah). Hal ini akan memberi pengetahuan kepada petani untuk pemanfaatan bahan sekitarnya. Tanaman gamal akan bertunas dan dapat berfungsi selain untuk pakan ternak, juga dapat digunakan sebagai pupuk hijau apabila ranting-ranting yang sudah tinggi dipangkas dan diletakkan menyebar pada lahan olah. 5) Sebagian parit teras dibuat rorak-rorak yang diisi hasil pembersihan gulma tanaman dari lahan olah dengan maksud memperbesar resapan air ke dalam tanah dan mengurangi air limpasan. 6) Penggunaan mulsa sisa-sisa hasil pembersihan rumput yang dikumpul secara berbaris mengikuti kontur untuk menghalangi aliran permukaan secara deras. 7) Pengamatan sedimen dan runoff telah berjalan, namun karena musim kemarau hasil belum dapat diketahui.
IV. BEBERAPA FENOMENA PENTING Menurut Syahyuti (2006) yang dimaksud “partisipasi” adalah proses tumbuhnya kesadaran terhadap kesalinghubungan di antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat yaitu antara kelompok-kelompok sosial dan komunitas dengan pengambil kebijakan dan lembaga-lembaga jasa lain (the act of taking part or sharing in something). Sehubungan dengan itu, maka yang dimaksud penelitian “Perancangan Model RLKTA Partisipatif” adalah proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenaan dengan kehidupan mereka. Jadi, dalam partisipasi, siapapun yang terlibat di dalam kegiatan dapat memainkan peranan secara aktif, memiliki kontrol terhadap kehidupannya sendiri, mengambil peran dalam kegiatan yang disepakati, serta menjadi lebih terlibat dalam kegiatan model RLKTA partisipatif yang sedang dilaksanakan. Tujuan akhir dari seluruh rangkaian penelitian “Perancangan Model RLKTA Partisipatif” adalah adanya perubahan perilaku dari masyarakat yang dilibatkan terutama pada tiga aspek, yaitu pengetahuan (aspek kognitif), sikap (aspek afektif) dan keterampilan (aspek psikomotorik). Dengan kata lain, bertambahnya perbendaharaan informasi, tumbuhnya keterampilan serta timbulnya sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai dengan yang dikehendaki (Yustina dan Sudrajat, 2003). Berdasarkan pengamatan berjalannya proses penelitian pada kedua lokasi, yaitu “Datara” dan “Mararin” terdapat hal-hal penting yang merupakan faktor penentu munculnya partisipasi
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 221
pada masyarakat yang dilibatkan, yaitu: 1. Perlu faktor pendorong; partisipasi masyarakat akan tumbuh cepat apabila terdapat faktor/unsur yang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka. Misalnya listrik bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), bibit tanaman yang mereka harapkan memberi manfaat yang besar. Hal ini berdasarkan pengamatan pada kedua lokasi demplot. Keaktifan kelompok sangat dipengaruhi oleh adanya pasokan listrik mikro hidro, apabila turbin berjalan baik maka keaktifan kelompok juga berjalan baik dan sebaliknya turbin rusak akan memengaruhi keaktifan kelompok. Demikan juga jenis tanaman yang ditanam baik di demplot maupun yang dibagikan kepada anggota kelompok, ternyata dapat mendorong semangat mereka apabila diberi jenis tanaman sesuai yang diharapkan. 2. Perlu figur yang disegani anggota; partisipasi masyarakat akan tumbuh dan berkelanjutan apabila terdapat figur dalam kelompok yang mempunyai karisma, disegani dan dihormati serta berperan mendorong terjadinya kerjasama misalnya bekerja dengan bergotongroyong, menghadiri pertemuan kelompok. Adanya figur ketua kelompok (Dg Jarung) di Datara yang dapat mendorong keaktifan anggota kelompok, sebaliknya tidak adanya figur di Mararin yang menjadi panutan sehingga anggota kelompok menjadi malas bertemu karena figur yang pernah menjadi pendorong, pindah tugas karena menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Lembang lain dan yang menggantikan ternyata tidak mempunyai kapasitas seperti figur sebelumnya. 3. Perlu insentif baik berupa jasa maupun modal; partisipasi masyarakat akan tumbuh baik apabila mereka mendapat jasa dan modal kerja yang cukup misalnya jasa listrik dari turbin PLTMH, modal bibit tanaman yang dibutuhkan, dan teknologi pembuatan pupuk kompos. Mereka tetap berharap adanya dukungan dari pemerintah berupa jasa maupun modal dalam menggerakkan segala aktivitasnya. 4. Membuat terasering pada musim hujan meningkatkan sedimentasi; berdasarkan hasil pengamatan pada gullyplug dan V-notche wier yang dipasang pada bagian bawah daerah tangkapan (Catchment area) dapat diketahui peningkatan ketebalan sedimentasi dalam sungai akibat erosi yang terjadi pada bagian hulu yang sementara dibangun terasering. Dapat dimengerti karena partikel tanah terlepas mudah dibawa oleh aliran permukaan seperti yang terjadi di Datara awal pembentukan demplot 2010 karena kegiatan dipacu meskipun saat itu musim hujan untuk memenuhi target.
222 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
5. Pembuatan teras gulud (contour terrace) pada kemiringan lereng > 450 efektif mengurangi erosi apabila ditanami rumput pakan ternak pada bibir teras. Dari pengamatan dapat diketahui bahwa teras pematang yang sederhana yang ditanami pakan ternak berupa rumput gajah pada bibir teras dapat mengurangi erosi tanah pada kemiringan lereng > 45 %. Hasil pengamatan pada kedua demplot dapat memberikan gambaran bahwa sedimen yang terjadi pada gullyplug menjadi menurun karena adanya pertumbuhan rumput yang cepat menutup teras. 6. Masyarakat
sasaran
harus
menjadi
subjek
dalam
pelaksanaan
kegiatan
pembangunan. Partisipasi masyarakat mempunyai semangat kerja yang tinggi apabila dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan mereka dilibatkan dan mengakomodir
semua
kepentingannya,
namun
sesuai
dengan
kondisi
lingkungannya. Mereka dapat menjawab bahwa kebutuhannya diperhatikan dalam kegiatan demplot. 7. Masyarakat membutuhkan hasil sebagai bukti kegiatan. Terbangunnya teras pematang yang sederhana, efisien, efektif, hemat tenaga dan ditumbuhi rumput pakan ternak dengan biaya yang murah terbukti dapat mengurangi erosi dan runoff dibandingkan teras bangku yang selama ini diwajibkan dibangun pada kemiringan lereng > 30 % yang membutuhkan biaya tinggi. Mereka dapat menjawab berapa hasil yang telah didapatkan, walaupun mereka tidak merasakan berapa modal yang dimasukkan. 8. Masyarakat masih membutuhkan pendampingan secara kontinu. Masyarakat sangat mudah terombang-ambing dengan kegiatan yang datang ke desanya sehingga sangat mudah berubah pola pikirnya. Oleh karena itu, diperlukan pendamping yang dapat
memberi
pengertian
untuk
tidak
mudah
berubah
terutama
dalam
melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan oleh kelompok. Masyarakat kita menunggu dukungan dan bimbingan terutama untuk teknologi dan informasi baru.
V. KESIMPULAN DAN SARAN Rancangan
model RLKTA yang diujicobakan terdiri atas komponen partisipasi
masyarakat, tanaman pohon-pohonan, tanaman kebutuhan pakan ternak, dan kebutuhan pangan sehari-hari. Tingkat partisipasi masyarakat yang muncul bervariasi dari rendah sampai tinggi pada kedua lokasi. Partisipasi nampaknya banyak dipengaruhi oleh besarnya manfaat yang akan diperoleh dari hasil kegiatan. Teknik konservasi tanah berupa bangunan teras dan tanaman rumput serta tanaman pohon-pohonan secara “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 223
bertahap memengaruhi runoff dan erosi ditunjukkan oleh ketebalan sedimentasi pada
gullyplug semakin berkurang dan debit aliran fluktuasinya semakin stabil. Sampai saat ini beberapa hal penting untuk menjadi perhatian dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat pada kedua lokasi penelitian adalah diperlukan faktor pendorong, figur yang disegani anggota kelompok, dan insentif baik modal maupun jasa. Untuk meningkatkan partisipasi yang lebih tinggi diperlukan pemicu yang lebih tinggi manfaatnya bagi masyarakat, misalnya pembangkit listrik tenaga mikrohidro dan jenis yang disenangi masyarakat sasaran. Disarankan demplot yang terbangun seluas 2 ha di Datara tahun 2010 dan 2,5 ha di Mararin tahun 2011 diamati lebih lanjut sampai 2014 untuk mengetahui pengaruh kegiatan terhadap rancangan model RLKTA pada tingkat mikro. DAFTAR PUSTAKA Dariah, A., Umi Haryati, dan Torry Budhyastoro. (2004). Teknologi konservasi tanah mekanik. Teknologi konservasi tanah pada lahan kering berlereng. Bogor: Pusat Litang Tanah dan Agroklimat. Haryanti, N. (2009). Implikasi Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Dalam Era Desentralisasi dalam Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan, Teknologi Pengelolaan DAS Dalam Upaya Pengendalian Banjir dan Erosi-Sedimentasi. Surakarta, 15 Oktober 2009. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi Rahibilitasi. Indrawati, D.R., Purwanto dan Paimin, (2009). Formulasi Kerentanan Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Sebagai Diagnosis Degradasi lahan dalam Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan, Teknologi Pengelolaan DAS Dalam Upaya Pengendalian Banjir dan Erosi-Sedimentasi. Surakarta, 15 Oktober 2009. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi Rahibilitasi. Sallata, M.K., dan Yodono S H N, H. (2010). Model Perancangan Teknik RLKTA Partisipatif Pada DAS Mikro Jeneberang (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar. (Tidak dipublikasikan). Sallata, M.K dan Yudono.H.S.H.N. (2011). Pendekatan Partisipatif dalam Pengembangan Model RLKTA DAS Mikro Jeneberang dan Saddang (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar. (Tidak dipublikasikan). Syahyuti. (2006). Tiga puluh (30) konsep penting dalam pembangunan pedesaan dan pertanian; Konsep, istilah, dan indicator serta variabel. Jakarta: PT.Bina Rena Pariwara. Utomo, W. H. (1989). Konservasi Tanah di Indonesia. Suatu Rekaman dan Analisa. Jakarta: CV Rajawali Pers.
224 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Yudono, H. (2010). Perancangan Model RLKT Dengan Pendekatan Social Forestry di Gowa (Sulawesi Selatan) dan Mamasa (Sulawesi Barat). Prosiding Hasil-Hasil Litbang Mendukung Rehabilitasi dan Konservasi Hutan untuk Kesejahteraan Masyarakat, 22 Juni 2010. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Yudono, H. (2011). Rancangan Pemanfaatan Air Pada DAS Mikro; Studi Kasus di DAS Saddang, Tana Toraja,dan DAS Mamasa di Mamasa. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Litbang Mendukung Kelestarian dan Kemanfaatan Hutan; Balai Penelitian Kehutanan Makassar, 27 Oktober 2011. Bogor: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Yustina, I. dan A. Sudrajat. (2003). Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Didedikasikan kepada Prof. Dr.H.R. Margono Slamet. Hal 20-21. Bogor: IPB Press.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 225
PENANGGULANGAN KEMISKINAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN MELALUI PENGEMBANGAN POTENSI HUTAN LINDUNG DI KABUPATEN PANGKEP Indah Novita Dewi1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Kemiskinan masih menjadi masalah utama yang harus dipecahkan di Indonesia, terutama dalam kaitan mencapai target MDGs 2015. Salah satu daerah miskin di Provinsi Sulawesi Selatan adalah Kabupaten Pangkep. Dalam menanggulangi kemiskinan di Kabupaten Pangkep, terutama kemiskinan masyarakat sekitar hutan, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan potensi hutan lindung tanpa mengubah fungsi lindungnya, untuk kesejahteraan masyarakat. Potensi hutan lindung di Kabupaten Pangkep cukup tinggi, namun harus dilakukan kegiatan inventarisasi untuk mengetahui dengan pasti kuantitas dan kualitasnya. Potensi tersebut dapat dikembangkan dalam suatu skema hutan kemasyarakatan yang bermanfaat tidak hanya dalam hal peningkatan pendapatan, namun juga kemandirian masyarakat. Dibutuhkan komitmen parapihak sebagai pendamping masyarakat dalam merintis kegiatan hutan kemasyarakatan. kata kunci: Kemiskinan, Kabupaten Pangkep, hutan lindung, hutan kemasyarakatan
I. PENDAHULUAN Kemiskinan merupakan permasalahan yang mendunia. Tidak hanya di negaranegara berkembang saja, namun di negara maju pun, masalah kemiskinan merupakan masalah krusial yang perlu dipecahkan. Sebanyak 189 negara-negara anggota PBB termasuk Indonesia, pada tahun 2000 telah menyepakati delapan tujuan dalam suatu deklarasi milenium (Millenium Development Goals/MDGs) dengan tujuan pertama, yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Secara umum, deklarasi ini bertujuan untuk menempatkan manusia sebagai fokus utama pembangunan yang mencakup semua komponen kegiatan yang tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat (Bappenas, 2010). Pada tahun 2015, target MDGs ini harus tercapai. Kemiskinan secara asal penyebabnya terbagi menjadi dua macam, yaitu kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural (BPS, 2010). Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor adat atau budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang atau kelompok masyarakat tertentu sehingga membuatnya tetap melekat dengan kemiskinan. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi sebagai akibat ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu terhadap sistem atau tatanan sosial yang tidak adil. Karenanya mereka berada 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
226 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
pada posisi tawar yang sangat lemah dan tidak memiliki akses untuk mengembangkan dan membebaskan diri mereka sendiri dari perangkap kemiskinan. Secara konseptual, kemiskinan dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut, yang perbedaannya terletak pada standar penilaiannya. Standar penilaian kemiskinan relatif merupakan standar kehidupan yang ditentukan dan ditetapkan secara subjektif oleh masyarakat setempat dan bersifat lokal. Mereka yang berada di bawah standar penilaian tersebut dikategorikan miskin secara relatif. Adapun standar penilaian kemiskinan secara absolut merupakan standar kehidupan minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan, baik makanan maupun non-makanan. Standar kehidupan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar ini disebut sebagai garis kemiskinan. BPS mendefinisikan garis kemiskinan sebagai nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan dasar asupan kalori sebesar 2.100 kkal/hari per kapita (garis kemiskinan makanan) ditambah
kebutuhan minimum non-makanan
yang merupakan
kebutuhan
dasar
seseorang, yaitu papan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan lainnya (garis kemiskinan non-makanan).
Bank
Dunia
menggunakan
garis
kemiskinan
absolut
untuk
membandingkan angka kemiskinan antar negara. Perbandingan ini berguna untuk menentukan penyaluran dana bantuan dan menganalisis kemajuan suatu negara dalam memerangi kemiskinan. Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu: 1) USD 1 per kapita per hari, di mana diperkirakan sekitar 1,2 miliar penduduk dunia hidup di bawah ukuran tersebut; 2) USD 2 per kapita per hari, di mana sekitar 2 miliar penduduk hidup kurang dari batas tersebut. USD yang digunakan adalah USD PPP (purchasing power parity), bukan nilai tukar resmi. Angka konversi PPP menunjukkan banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah kebutuhan barang dan jasa di mana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli seharga USD 1 atau USD 2 di Amerika (tergantung garis kemiskinan absolut yang mana yang dipakai). Angka konversi ini dihitung berdasarkan harga dan kuantitas di masing-masing negara yang dikumpulkan dalam suatu survei yang biasanya dilakukan setiap lima tahun sekali. Tingkat kemiskinan nasional negara Indonesia pada tahun 2010 adalah 13,33%, menurun dari tahun sebelumnya, yaitu 14,15%. Tingkat kemiskinan ini dihitung berdasarkan garis kemiskinan nasional (BPS) yang setara dengan USD 1,50 PPP. Adapun Provinsi Sulawesi Selatan termasuk dalam 17 provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan di bawah rata-rata nasional, yaitu 11,6% (Bappenas, 2010). Proyeksi Bappenas untuk tahun
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 227
2012 diharapkan tingkat kemiskinan di Sulawesi Selatan dapat turun lagi menjadi 9,95% (Bappenas, 2011). Walaupun secara rata-rata tingkat kemiskinan lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata nasional, masih terdapat daerah-daerah yang menjadi konsentrasi penduduk miskin di Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Pangkep, Jeneponto, Bone, Toraja Utara, Luwu Utara, Luwu dan Maros (Agussalim, 2012). Dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, Kabupaten Pangkep mencatat persentase penduduk miskin paling tinggi (19,26%), sedangkan kota Makassar paling rendah. Dari segi jumlah penduduk miskin, Kabupaten Bone mencatat angka paling besar, sedangkan Kota Pare-Pare paling kecil. Jika diamati dalam perspektif wilayah (kota-desa), penduduk miskin lebih terkonsentrasi di desa (84,01%). Artinya, setiap 10 orang penduduk miskin di Sulawesi Selatan, lebih dari 8 orang bermukim di pedesaan. Tulisan ini bermaksud untuk menuangkan gagasan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Pangkep (sebagai daerah dengan persentase penduduk miskin terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan), khususnya kemiskinan pada masyarakat sekitar hutan, melalui pengembangan potensi hutan lindung.
II. PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG Wollenberg,
dkk.
(2004)
menyebutkan
bahwa
masyarakat
sekitar
hutan
merupakan salah satu kelompok miskin terbesar di Indonesia. Kurang lebih 48,8 juta orang tinggal di pedesaan sekitar kawasan hutan (Kementerian Kehutanan, 2010) dan kehidupannya
tergantung
pada
produksi
dan
jasa
hasil
hutan.
ODI
(2005)
mengintegrasikan data dari BPS dan BKKBN tentang masyarakat miskin dan mendapatkan hasil bahwa persentase rumah tangga miskin pada desa-desa yang ada di dalam dan di sekitar hutan, lebih besar daripada desa-desa yang jauh dari hutan (data meliputi 50.152.320 rumah tangga seluruh Indonesia). Hutan dimaksud pada uraian ini adalah juga termasuk hutan lindung. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (UU No.41 tentang Kehutanan), sehingga keberadaannya sangat perlu untuk dipertahankan demi kelangsungan hidup generasi mendatang. Pemanfaatan hutan lindung diperbolehkan
228 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
oleh peraturan perundangan, namun dengan berbagai persyaratan yang intinya tidak merubah bentang lahan dan tidak merubah fungsi lindungnya. Kondisi hutan lindung di Indonesia telah mengalami kerusakan yang begitu parah sejak bertahun-tahun yang lalu. Data dari Badan Planologi menyebutkan bahwa kenyataan di lapang menunjukkan kerusakan hutan lindung lebih tinggi dibanding kerusakan hutan produksi. Laju kerusakan hutan lindung dari 1997 – 2002 adalah sebesar 10 persen per tahun, sedangkan hutan produksi sebesar 5 persen per tahun. Penyebab utama kerusakan di hutan lindung adalah penebangan liar dan konversi lahan. Yuwono (2008) menganalisis bahwa kerusakan hutan lindung disebabkan paradigma timber extraction dan timber management dalam pengelolaan hutan di Indonesia, yaitu paradigma yang menganggap hasil kayu sebagai hal yang paling penting. Pengklasifikasian kawasan hutan menjadi peruntukan hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi berdasarkan fungsi pokok yang paling dominan, mengakibatkan misalnya suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi, maka kawasan hutan itu seolah-olah hanya diperuntukkan untuk tujuan produksi saja. Hutan produksi dengan hasil kayunya yang merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah, dikelola dengan rencana kerja yang rinci dengan organisasi terstruktur dan biaya besar, sementara hutan lindung dan hutan konservasi sebaliknya. Akibatnya, dengan adanya tekanan sosial ekonomi masyarakat yang tinggi karena peningkatan jumlah penduduk, hutan lindung dan hutan konservasilah yang mengalami kerusakan lebih dahulu dibanding hutan produksi yang terjaga lebih baik oleh perencanaan yang jelas dan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus. Perbedaan perencanaan dan pengelolaan tiga macam bentuk tata guna hutan dijelaskan secara ringkas oleh Simon (2008) pada Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan perencanaan dan pengelolaan untuk hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi dalam paradigma konvensional forestry Tata Guna Hutan 1.Hutan Produksi
2.Hutan Lindung
3.Hutan Konservasi
Tujuan Utama Memenuhi fungsi ekonomi sebagai penghasil kayu perkakas, untuk memperoleh keuntungan finansial bagi pengelola Memenuhi fungsi perlindungan
Perencanaan Disusun rencana kerja yang rinci dengan organisasi terstruktur rapi dan biaya besar Tidak diperlukan rencana khusus
Mempertahankan keaslian flora dan atau fauna tertentu
Dibuat rencana sekedarnya
Pengelolaan Ditujukan untuk menghasilkan kayu jenis tertentu, berlandaskan asas kelestarian hutan Tidak ada perlakuan, tidak boleh tersentuh oleh manusia, dibiarkan hidup dan berkembang dengan sendirinya Tidak boleh tersentuh oleh aktivitas manusia, dibiarkan berkembang secara alami
Sumber: Simon, 2008.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 229
Landasan pemikiran baru dalam pengelolaan hutan, yaitu paradigma kehutanan sosial, memandang hutan sebagai satu kesatuan ekosistem yang hendaknya tidak diperlakukan secara terpisah-pisah antara satu aspek dengan aspek lainnya. Simon (2004) mengemukakan bahwa hutan memiliki 3 fungsi utama yaitu: 1.
Fungsi ekonomi, hutan berfungsi untuk membentuk tanah subur dan menghasilkan produk-produk hasil hutan, baik yang berupa kayu maupun non-kayu , seperti rotan, bambu, getah, obat-obatan, air, satwa, dll.
2.
Fungsi perlindungan, yaitu fungsi hutan sebagai penghasil oksigen, sumber plasma nutfah, pencegah banjir, pengatur tata air.
3.
Fungsi estetika atau keindahan, yaitu fungsi hutan sebagai tempat rekreasi yang nyaman. Pada kenyataannya, fungsi ekonomi sering lebih diutamakan dibanding fungsi-
fungsi lainnya, sehingga mendorong terjadinya eksploitasi sumber daya hutan secara besar-besaran yang pada akhirnya mengancam kelestarian alam. Dalam Undang-Undang No.41/1999 tentang Kehutanan, pemanfaatan hutan lindung diperbolehkan baik berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Namun pada praktiknya jarang dilakukan karena pemerintah daerah lebih mengutamakan pengelolaan hutan produksi. Pada PP 6/2007 jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, dijelaskan lebih rinci lagi mengenai pemanfaatan hutan lindung. Tiga kegiatan utama dapat dilaksanakan pada hutan lindung, yaitu pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu di mana masingmasing kegiatan dilakukan tanpa harus mengubah fungsi lindungnya, dilakukan dengan mengajukan ijin terlebih dahulu pada yang berwenang sesuai peraturan perundangan, mempunyai jangka waktu tertentu, luas dan jumlah tertentu serta ijin dapat diperpanjang sesuai ketentuan yang ada. Dengan paradigma kehutanan sosial, pemanfaatan hutan lindung dapat dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan melalui kerangka perijinan HKm (Hutan Kemasyarakatan). Kehutanan sosial dapat diartikan sebagai nama kolektif dari ragam strategi pengelolaan hutan yang memberikan perhatian khusus pada pemerataan distribusi manfaat hasil-hasil hutan dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan aktual sektor kehidupan masyarakat pedesaan dan penduduk miskin, memberi masyarakat desa peluang agar berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumber daya hutan, baik dalam kawasan hutan negara maupun lahan milik masyarakat (Awang, 2004). Adapun hutan kemasyarakatan
230 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Wilayah yang dapat ditetapkan sebagai areal HKm meliputi kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi, sepanjang tidak dibebani hak atau ijin dalam pemanfaatan hasil hutan dan atau menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat.
III. POTENSI HUTAN LINDUNG DI KABUPATEN PANGKEP Tak jauh berbeda dengan uraian mengenai kerusakan hutan lindung di atas, kerusakan hutan juga terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan. Hanya 60,27% dari total luasan hutan yang bervegetasi, sementara sisanya berupa lahan kritis (Anonim, 2009). Informasi dari Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan (Jarrakonline.com, 2012), sekitar 20.000 ha kawasan hutan lindung di 19 kabupaten berpotensi menimbulkan konflik karena adanya usaha pengembangan komoditi pertanian dan perkebunan tanpa ijin, bahkan pembangunan pemukiman di dalam hutan. Solusi dari permasalahan ini masih dipikirkan dan salah satu alternatif pemecahannya adalah dengan skema kegiatan hutan kemasyarakatan. Kabupaten Pangkep mempunyai luas kawasan hutan 32.503 ha yang terdiri dari hutan lindung seluas 12.019 ha, hutan produksi biasa seluas 2.747 ha, hutan produksi terbatas seluas 3.485 ha dan hutan wisata/suaka alam seluas 14.252 ha (yang kemudian beralih fungsi menjadi Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung). Dewi dkk. (2009) menggambarkan bahwa secara umum, tanah Kabupaten Pangkep mengandung banyak bahan tambang, termasuk di areal hutan lindung. Adanya potensi tambang menyebabkan adanya upaya permohonan alih fungsi kawasan (yang didukung oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat), dengan alasan kawasan dimaksud sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai kawasan lindung. Sebaliknya, ada beberapa kawasan hutan yang dianggap keramat oleh masyarakat di sekitarnya yang masuk dalam kriteria kawasan lindung, namun bukan merupakan areal hutan lindung. Dalam konteks ini, ada wacana alih fungsi hutan lindung menjadi tambang, ditukar oleh wilayah APL (Areal Penggunaan Lain) menjadi hutan lindung. Selain tambang, areal hutan lindung di Kabupaten Pangkep terancam oleh perubahan fungsi menjadi pemukiman, karena sampai 2008 masih terjadi konversi hutan lindung untuk pemukiman. Pemanfaatan lain yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan adalah pemanfaatan kawasan hutan lindung menjadi kebun dan sawah.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 231
Gambaran ini mengandung makna bahwa pengamanan dan pengawasan terhadap kegiatan pemanfaatan hutan lindung masih kurang. Makna yang lain bahwa masyarakat sekitar hutan mempunyai pemilikan yang terbatas akan lahan garapan (miskin), sehingga mereka merambah ke kawasan hutan negara, sesuai dengan Awang (2003) yang menyebutkan bahwa masyarakat sekitar hutan berada pada kondisi miskin struktural karena terbatasnya akses mereka terhadap lahan. Potensi HHBK di kawasan hutan lindung menurut informasi masyarakat sebenarnya cukup melimpah, walaupun belum ada kegiatan inventarisasi untuk mengetahui dengan pasti kualitas dan kuantitas potensinya. Berikut data dari kegiatan FGD (Focus Group Discussions) yang dilakukan bersama masyarakat sekitar hutan mengenai potensi pemanfaatan hutan lindung yang sesuai dengan PP 6/2007 jo PP3/2008 di Kabupaten Pangkep, tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Potensi pemanfaatan hutan lindung di Kabupaten Pangkep No. 1.
2.
3.
Pemanfaatan Menurut Peraturan Perundang-undangan
Potensi Tidak Ada Ada
Pemanfaatan Kawasan -budidaya tanaman obat
√
-budidaya tanaman hias -budidaya jamur -budidaya lebah
√ √
-penangkaran satwa liar
√
-rehabilitasi satwa -budidaya hijauan makanan ternak
√
Pemanfaatan Jasa Lingkungan -pemanfaatan aliran air -pemanfaatan air -wisata alam -perlindungan keanekaragaman hayati -penyelamatan dan perlindungan lingkungan -penyerapan dan/atau penyimpanan karbon Pemungutan HHBK -rotan -madu -getah -buah -jamur -sarang burung wallet
√
√
√ √ √ √
Untuk mensuplai kebutuhan obat masyarakat Tidak diijinkan Untuk konsumsi masyarakat Untuk meningkatkan pendapatan masyarakat Ada satwa yang tidak dikenali masyarakat (diduga langka), namun belum dipahami cara penangkarannya Perlu didatangkan aneka satwa Sebenarnya ada namun tidak disarankan karena dikuatirkan akan membuka lahan
PLTA Pengairan sawah Mendatangkan turis dari luar Potensi: Tabo-tabo, Tondong Tallasa, Misten, Balocci, Segeri Ada namun belum dipahami betul oleh masyarakat Ada namun mekanismenya belum dipahami masyarakat
√ √
√ √ √ √ √ √
Penjelasan
Ada potensi Ada potensi Getah tidak mungkin karena masyarakat belum tahu pemanfaatannya Ada potensi Ada potensi Ada potensi di gua-gua karst
Sumber: Dewi, dkk., 2009
232 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Tabel 2 menyiratkan semangat masyarakat sekitar hutan di Kabupaten Pangkep dalam mengungkapkan potensi hutan lindung di daerahnya. Beberapa keterangan menunjukkan bahwa masyarakat kurang memahami bagaimana menggarap potensi yang ada sehingga dapat memberikan manfaat secara ekonomi untuk mereka. Walaupun hampir semua jenis pemanfaatan yang diperbolehkan oleh peraturan perundangan dikatakan ada potensinya di Kabupaten Pangkep, namun tetap harus ada prioritas disesuaikan dengan besarnya potensi, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang dapat melaksanakannya dan sarana prasarana yang dibutuhkan. Untuk kategori pemanfaatan kawasan, berdasarkan potensi, maka prioritas jenis pemanfaatan yang dapat dilakukan adalah: budidaya lebah, tanaman obat, jamur, pakan ternak, tanaman hias, rehabilitasi satwa, dan penangkaran satwa liar. Budidaya lebah madu dijadikan prioritas utama, karena kegiatannya memang sudah berjalan, bahkan Kabupaten Pangkep menjadi salah satu daerah kluster budidaya lebah madu jenis Trigona dan Cerana yang cukup pesat perkembangannya (Mahmud, 2008). Untuk kategori pemanfaatan jasa lingkungan, prioritasnya adalah:
wisata alam, pemanfaatan air,
pemanfaatan aliran air, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, perlindungan keanekaragaman hayati, dan penyerapan karbon. Wisata alam dipilih sebagai prioritas utama karena potensi wisata alam di Kabupaten Pangkep sangat besar, mulai dari wisata pegunungan di Bulusaraung, hingga wisata menjelajah gua-gua alam di kawasan karst. Selain panorama alam eksotis dalam gua, didapatkan pula jejak manusia prasejarah berupa lukisan-lukisan pada dinding-dinding gua (Potret Wisata, 2008). Untuk kategori pemungutan HHBK, prioritasnya adalah: madu, buah, rotan, jamur, sarang burung wallet, dan getah.
IV. PENUTUP Potensi hutan lindung di Kabupaten Pangkep cukup besar untuk dikembangkan dan dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat sekitar hutan. Mekanisme pemanfaatan yang paling tepat adalah dengan melalui program Hutan Kemasyarakatan (HKm). Keuntungan yang akan didapatkan masyarakat melalui program HKm, selain peningkatan pendapatan dari usaha yang dikembangkan adalah meningkatnya pengetahuan dan keterampilan serta kemandirian masyarakat, sebab program HKm mensyaratkan pengelolaan hutan secara kelompok yang terorganisir membentuk satu koperasi yang nantinya berperan dalam proses-proses perijinan. Yang perlu diperhatikan adalah
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 233
keikutsertaan dalam program HKm membutuhkan komitmen dari para pihak terkait seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pangkep, Perguruan Tinggi dan LSM yang nantinya berperan sebagai fasilitator dan pendamping masyarakat. Selain komitmen, dibutuhkan juga kesabaran dari semua pihak, karena proses perijinan HKm tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat (Sepsiaji dan Fuadi, 2004), terutama apabila dilakukan pembinaan kelompok mulai dari nol. Yang perlu dilakukan adalah tindak lanjut dari hasil FGD masyarakat sekitar hutan lindung di atas, misalnya dalam bentuk kegiatan inventarisasi oleh Dinas Kehutanan setempat. Melalui inventarisasi akan diketahui potensi yang sesungguhnya sehingga dapat ditentukan strategi pengelolaan yang bagaimana yang harus diterapkan. Pengembangan potensi hutan lindung, dengan tetap memperhatikan fungsi lindungnya, akan dapat membantu masyarakat sekitar hutan dalam upaya peningkatan pendapatan. Bahkan dapat mengentaskan kemiskinan dan membantu mengurangi jumlah penduduk miskin di Kabupaten Pangkep. Sudah waktunya sektor kehutanan menunjukkan peranannya dalam penanggulangan kemiskinan masyarakat sekitar hutan dan membantu mensukseskan target MDG’s (Millenium Development Goals) di tahun 2015.
DAFTAR PUSTAKA Agussalim. (2012). Penanganan Kemiskinan di Sulawesi Selatan: Pendekatan dan Agenda Kebijakan. Policy Paper. Batukar.info. Anonim. (2009). Profil Wilayah. www.bulletin.penataanruang.net diakses 11 Juni 2012. Anonim. 2012. 20.000 Ha Hutan Lindung Sulsel Berpotensi Konflik www.jarrakonline.com/detail-847-20000-ha-hutan-lindung-sulsel-berpotensikonflik.html diakses 11Juni 2012. Awang, S.A. (2003). Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Center for Critical Social Studies dan Kreasi Wacana. Awang, S.A. (2004). Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Yogyakarta: BIGRAF Publishing. Bappenas. (2010). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Bappenas. (2011). RKP 2012. www.bappenas.go.id diakses 11 Juni 2012. BPS. (2010). Perhitungan dan Indikator Kemiskinan Makro 2010 (Profil dan Penghitungan Kemiskinan Tahun 2010). Jakarta: Badan Pusat Statistik. 234 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Dewi, I.N., A. Rizal H B., N. Hayati., Zainuddin., & Supardi. (2009). Kajian Konflik Pemanfaatan Hutan Lindung di Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Maros (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar. (Tidak dipublikasikan). Kementerian Kehutanan. (2010). Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.08/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014. Mahmud, A. (2008). Pengembangan Lebah Madu Dalam Rangka Gerakan Pembangunan Masyarakat di Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Hutan dan Masyarakat, 3 (1), 89100. www.fahutan-unhas.web.id Diakses tanggal 11 Januari 2010. ODI. (2005). Links Between Forests and Poverty in Indonesia. What Evidence? How Can Targeting of Poverty in and Near Forests be Improved? CESS-ODI Briefing Paper II, March 2005. Potret Wisata. (2008). Kawasan Gunung Karst Pangkep Saksi Kehidupan Purba. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. Sepsiaji, D., dan F. Fuadi. (2004). HKm Meretas Jalan. Yogyakarta: KPHKm-Pustaka Pelajar. Simon, H. (2004). Aspek Sosio-Teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Simon, H. (2008). Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management), Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan. Wollenberg, E., B. Belcher, D. Sheil, S. Dewi dan M. Moeliono. (2004). Mengapa Kawasan Hutan Penting Bagi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia? Governance Brief, Desember 2004 Nomor 4. Bogor: CIFOR. Yuwono, T. (2008). Kehutanan Sosial (Buku Ajar). Yogyakarta: Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 235
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI DAERAH HULU DAS KELARA Nurhaedah1, Hasnawir1, Nur hayati1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antara sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS. Berbagai permasalahan dan tantangan pengelolaan DAS, membutuhkan dukungan pemikiran dan kebijakan yang rasional yang didukung data dan informasi yang diperoleh melalui suatu kegiatan penelitian termasuk penelitian sosial ekonomi masyarakat. Penelitian sosial ekonomi masyarakat di daerah hulu terkait dengan optimalisasi luas hutan dan fungsi DAS sebagai pengatur tata air dilaksanakan di DAS Kelara Provinsi Sulawesi Selatan. Kondisi sosial ekonomi masyakat di daerah hulu DAS Kelara dikaji melalui beberapa variabel, antara lain: tingkat pendidikan, luas kepemilikan lahan, jumlah tanggungan keluarga, jumlah pendapatan dan mata pencaharian. Kondisi sosial ekonomi masyarakat ini berpengaruh pada tingkat interaksi masyarakat terhadap hutan dan DAS sebagai pengatur tata air. Kata kunci: Sosial ekonomi masyarakat, hulu DAS Kelara, hutan
I. PENDAHULUAN DAS merupakan suatu kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan curah hujan di atasnya ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan. Pemisah topografi adalah punggung bukit, di bawah tanah juga terdapat pemisah bawah tanah berupa batuan (Manan, 1978). Sedangkan menurut Asdak (1995) Daerah Aliran Sungai adalah daerah yang dibatasi punggungpunggung gunung di mana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama. Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antara sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS. Tingkat 1
kekritisan DAS sangat berkaitan dengan
tingkat sosial ekonomi
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
236 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
masyarakat petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas seperti DAS-DAS di pulau Jawa dan Bali. Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan sehingga sering terjadi perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar, dan praktik-praktik pertanian lahan kering di perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan DAS. Di sisi lain adalah otonomi pemerintahan daerah bisa membuat masalah pengelolaan DAS semakin kompleks karena tidak semua pemerintah daerah memahami konsep pengelolaan DAS yang berbasis ekosistem dan lintas batas administrasi (Sanudin dan Antoko, 2007). Berbagai permasalahan dan tantangan pengelolaan DAS membutuhkan dukungan pemikiran dan kebijakan yang rasional yang didukung data dan informasi yang diperoleh melalui suatu kegiatan penelitian termasuk kajian sosial ekonomi masyarakat. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah hulu terkait dengan optimalisasi luas hutan dan fungsi DAS sebagai pengatur tata air dilaksanakan DAS Kelara Provinsi Sulawesi Selatan disajikan dalam makalah ini. II. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Umum Kabupaten Gowa Menurut Badan Pusat Statistik (2010) Kabupaten Gowa berada pada 119.3773 Bujur Barat dan 120.0317 Bujur Timur, 5.0829342862 Lintang Utara dan 5.577305437 Lintang Selatan. Kabupaten yang berada di daerah selatan dari Selawesi Selatan ini, merupakan daerah otonom, di sebelah utara berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Maros. Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sinjai, Bulukumba dan Bantaeng. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Takalar dan Jeneponto sedangkan di bagian baratnya dengan Kota Makassar dan Takalar. Wilayah administrasi Kabupaten Gowa terdiri dari 18 kecamatan dan 167 desa/kelurahan dengan luas sekitar 1.883,33 kilometer persegi atau sama dengan 3,01 persen dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Wilayah Kabupaten Gowa sebagian besar merupakan dataran tinggi, yaitu sekitar 72,26 persen. Ada 9 wilayah kecamatan yang merupakan dataran tinggi, yaitu Parangloe, Manuju, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya, Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu. Dari total luas Kabupaten Gowa 35,30 persen mempunyai kemiringan tanah di atas 40 derajat, yaitu pada wilayah kecamatan Parangloe, Tinggimoncong, “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 237
Bungaya dan Tompobulu. Kabupaten Gowa dilalui oleh banyak sungai yang cukup besar yaitu 15 sungai. Sungai dengan luas daerah aliran yang terbesar adalah Sungai Jeneberang yaitu 881 km² dengan panjang 90 km. Seperti halnya dengan daerah lain di Indonesia, di Kabupaten Gowa hanya dikenal dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Biasanya musim kemarau dimulai pada bulan Juni hingga September, sedangkan musim hujan dimulai pada bulan Desember hingga Maret. Keadaan seperti itu berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan, yaitu bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Curah hujan di suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan geografi dan perputaran/pertemuan arus udara. Oleh karena itu, jumlah curah hujan beragam menurut bulan dan letak suatu wilayah. Curah hujan tertinggi yang dipantau oleh beberapa stasiun/pos pengamatan terjadi pada bulan Januari yang mencapai ratarata 1.182 mm, sedangkan curah hujan terendah pada bulan Agustus-September yang bisa dikatakan hampir tidak ada hujan. Penggunaan lahan kering di Kabupaten Gowa dibedakan menjadi lahan untuk bangunan dan pekarangan, tegalan/kebun, ladang/huma, hutan dan lainnya. Sedangkan tanah sawah meliputi sawah yang berpengairan baik secara teknis maupun sederhana, sawah tadah hujan dan sawah pasang surut. Berdasarkan laporan statistik pertanian lahan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Gowa pada tahun 2009, luas penggunaan lahan kering seluruhnya mencapai 158.479 ha dan hanya sekitar 28.525 ha yang merupakan tanah sawah. Dari keseluruhan luas lahan kering, 39.09 persen merupakan kawasan hutan, tegalan 33,80 persen, ladang 13,52 persen, kolam/empang 8,22 persen sedangkan sisanya yang digunakan untuk bangunan dan pekarangan serta lainnya adalah 5,37 persen. Luas sawah di Kabupaten Gowa mencapai 32.542 ha dimana 40,47 persen dari luas keseluruhan merupakan sawah non irigasi dan 59,53 persen merupakan tanah sawah berpengairan. Menurut fungsinya, hutan dapat dibagi menjadi hutan lindung, hutan suaka dan wisata, hutan produksi dan hutan konversi. Luas hutan di Kabupaten Gowa pada tahun 2008/2009 sekitar 63.099 ha yang terdiri dari 24.226 ha hutan lindung, dan 3.309 ha hutan suaka. B. Kondisi Umum Desa Paladingan Desa Paladingan Kecamatan Bontolempangan berada pada ketinggian 750 m s/d 1.300 m di atas permukaan laut dengan topografi sedang. Desa Paladingan secara administrasi terbagi atas 4 dusun, yaitu: Paladingan, Likunoang, Makabori dan Lurayya. 238 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Desa Paladingan termasuk desa terbesar ke tiga di Kecamatan Bontolempangan. Pada tahun 2010 tercatat jumlah penduduk mencapai 2.357 jiwa. Penyebaran penduduk di Desa Paladingan pada 4 dusun dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Luas wilayah, jumlah rumah tangga, penduduk dan kepadatan penduduk di Desa Paladingan tahun 2010 No
Dusun
Luas Wilayah (Km2)
Jumlah Rumah Tangga
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk Per Km2
Rata-rata anggota Rumah Tangga
1.
Paladingan
6,00
219
735
122
3,3
2.
Likunoang
4,00
129
523
130
4,2
3.
Lurayya
4,16
105
492
123
4,6
4.
Makabori
5,00
161
607
121
3,7
Sumber: Laporan Hasil Penelitian BPK Makassar, 2011
Penggunaan lahan di Desa Paladingan dibagi atas lahan sawah dan lahan kering. Lahan sawah meliputi sawah yang berpengairan baik secara teknis maupun sederhana dan sawah tadah hujan. Sedangkan lahan kering meliputi lahan untuk bangunan, pekarangan, tegalan/kebun, ladang/huma, hutan dan lain-lain. Penggunaan lahan di Desa Paladingan Kecamatan Bontolempangan Kabupaten Gowa dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Penggunaan lahan di Desa Paladingan No.
Kategori lahan
Luas (Ha)
1.
Sawah pengairan semi teknis
334,73
2.
Sawah pengairan sederhana
148,16
3.
Sawah tadah hujan
48,51
4.
Pekarangan
27,77
5.
Kebun
211,40
6.
Ladang
303,11
7.
Hutan
981,00
Sumber: Laporan Hasil Penelitian BPK Makassar, 2011
Struktur ekonomi kabupaten di DAS Kelara yang mencakup Kabupaten Gowa dan Kabupaten Jeneponto ditunjukkan pada Tabel 3. Struktur ekonomi merupakan kontribusi sektor terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), data yang digunakan adalah PDRB berdasarkan harga berlaku tahun 2009 (berdasarkan ketersediaan data). “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 239
Tabel 3. PDRB menurut lapangan usaha di DAS Kelara Tahun 2009
Pertanian Persentase Industri Persentase Pertambangan Persentase Jasa Persentase (juta) (%) (juta) (%) (juta) (%) (juta) (%) 1 Gowa 832.234.66 45.00 858.756.70 5.00 10.880.86 1.00 853.167.43 49.00 2 Jeneponto 434.833.70 49.67 242.489,60 2.27 17.178.75 1.14 358.518.55 46.92
No Kabupaten
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010
Sektor usaha yang ada di Kabupaten Gowa dan Kabupaten Jeneponto hampir sama, yaitu pertanian, pertambangan, industri (industri pengolahan dan listrik, gas dan air minum) dan jasa (bangunan, perdagangan hotel dan restoran, angkutan dan komunikasi, lembaga keuangan, jasa-jasa). III. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI DAERAH HULU DAS KELARA A. Tingkat Umur Umur masyarakat di wilayah DAS Kelara dibagi dua kategori, yaitu produktif (1555 tahun) dan non produktif (>55 tahun). Untuk lebih jelasnya distribusi umur masyarakat di wilayah hulu, tengah dan hilir DAS Kelara dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Distribusi umur masyarakat di wilayah DAS Kelara No.
Umur (tahun)
Persentase (%)
1.
15-55
78.72
2.
> 55 tahun
21.28
Sumber: Laporan Hasil Penelitian BPK Makassar, 2011
Pada Tabel 4 terlihat bahwa rata-rata 78.72% masyarakat di wilayah DAS kelara termasuk usia produktif dengan kisaran umur 15-55 tahun, sedang rata-rata 21.28% termasuk usia non-produktif. Ini menunjukkan bahwa di daerah ini memiliki sumberdaya manusia yang cukup potensial untuk melakukan aktivitas dalam pengelolaan sumberdaya alam. B. Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat dapat memengaruhi kemampuan dalam cara berpikir, menerima informasi dan menerapkan teknologi. Selain itu tingkat pendidikan juga dapat memengaruhi produktivitas kerja (Adhanari, 2005). Distribusi tingkat
240 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
pendidikan masyarakat pada DAS Kelara disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Tingkat pendidikan masyarakat di wilayah DAS Kelara No.
Pendidikan
Persentase(%)
1.
Rendah (≤ SD)
85.11
2.
Menengah (SLTP-SLTA/ sederajat
12.77
3.
Tinggi (Diploma-S1)
2.13
Sumber: Laporan Hasil Penelitian BPK Makassar, 2011
Data Tabel 5 menunjukkan bahwa umumnya tingkat pendidikan masyarakat di DAS Kelara tergolong rendah dengan tingkat pendidikan lebih rendah atau sama dengan sekolah dasar, yaitu rata-rata 85.11%. Tingkat pendidikan lainnya adalah rata-rata 12.77% untuk tingkat pendidikan menengah dan rata-rata 2.13% untuk tingkat pendidikan tinggi. Hal ini memberikan gambaran bahwa tingkat pengetahuan masyarakat sangat minim. Rendahnya pendidikan akan berpengaruh pada rendahnya kemampuan menyerap
teknologi
dan
informasi
termasuk
pengetahuan
tentang
pengelolaan
sumberdaya alam termasuk air, tanah dan hutan. C. Luas Lahan Garapan Luas lahan garapan masyarakat di DAS Kelara berkisar antara 0,5 -2 Ha. Distribusi luas lahan garapan masyarakat di DAS Kelara lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata luas lahan garapan masyarakat di wilayah DAS Kelara No.
Luas Lahan garapan
Persentase (%)
1.
> 1 ha
51.06
2.
0.5-1 ha
21.28
3.
< 0.5 ha
27.66
Sumber: Laporan Hasil Penelitian BPK Makassar, 2011
Data Tabel 6 menunjukkan bahwa luas lahan garapan masyarakat yang merupakan lahan milik meliputi sawah, kebun dan pekarangan di DAS Kelara adalah ratarata 51.06% yang lebih dari 1 ha, 21.28% memiliki lahan garapan antara 0,5 - 1 ha dan 27.66% lahan garapan yang kurang dari 0,5 ha. Dengan melihat rata-rata luas luas lahan garapan masyarakat di DAS Kelara, hal ini menunjukkan tingkat luas lahan garapan yang cukup baik karena di atas rata-rata kepemilikan lahan di Indonesia yaitu 0,25 ha (Gerbang pertanian, 2011). “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 241
D. Jumlah Tanggungan Keluarga Besarnya jumlah tanggungan keluarga dapat mengindikasikan besarnya potensi tenaga kerja keluarga yang dapat membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Distribusi jumlah tanggungan keluarga masyarakat di wilayah DAS Kelara dapat dilihat pada Tabel 7 berikut. Tabel 7. Rata-rata jumlah tanggungan keluarga masyarakat di wilayah DAS Kelara No
Jumlah Tanggungan (orang)
Persentase (%)
1.
≤2
4.26
2.
3-5
59.57
3.
≥6
36.17
Sumber: Laporan Hasil Penelitian BPK Makassar, 2011
Pada Tabel 7 terlihat bahwa rata-rata responden di DAS Kelara memiliki jumlah tanggungan keluarga terbesar antara 3-5 orang (59.57%). Sedangkan 36.17% memiliki jumlah tanggungan sama atau lebih 6 orang dan sebanyak 4.26% memiliki jumlah keluarga kurang atau sama 2 orang. E. Pendapatan Masyarakat Pendapatan masyarakat bersumber dari usahatani dan juga kegiatan non-usaha tani yaitu: pegawai, pensiunan, pedagang, swasta dan jasa. Distribusi pendapatan masyarakat di wilayah DAS Kelara dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Tingkat pendapatan masyarakat di wilayah DAS Kelara No.
Pendapatan
Persentase (%)
1.
Tinggi (>UMP)
78.72
2.
Rendah (
21.28
Sumber: Laporan Hasil Penelitian BPK Makassar, 2011
Pada Tabel 8 terlihat bahwa pendapatan masyarakat di DAS Kelara cukup bervariasi. Variasi sumber pendapatan petani bisa disebabkan oleh perbedaan potensi wilayah, pemilikan aset, produksi, aksesibilitas ke daerah perkotaan serta keterampilan dan kemampuan yang dimiliki oleh petani sendiri (Sugiarto, 1997 dalam Kusumaningtyas, 2003). Persentase rata-rata (78.72%) masyarakat di DAS Kelara memiliki tingkat pendapatan tinggi, yaitu di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Selatan tahun 242 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
2011, yaitu sebesar Rp1.100.000/bulan (Hermanto, 2011) sedangkan 21.28% di bawah UMP. Terlihat pula bahwa semakin ke hulu semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat. Ini mengindikasikan bahwa aktivitas pertanian pada daerah hulu lebih produktif daripada daerah hilir. F. Mata Pencaharian Mata pencaharian masyarakat di wilayah DAS Kelara dibagi atas dua kategori yaitu petani dan non-petani. Distribusi mata pencaharian masyarakat disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Distribusi mata pencaharian masyarakat di wilayah DAS Kelara No.
Mata pencaharian
Persentase (%)
1.
Petani
85.11
2.
Non Petani (pedagang, pegawai, buruh )
14.89
Sumber: Laporan Hasil Penelitian BPK Makassar, 2011
Data Tabel 9 menunjukkan bahwa mata pencaharian masyarakat di DAS Kelara yang tersebar dari hulu hingga hilir umumnya adalah petani dengan rata-rata 85.11% adalah petani dan 14.89% adalah bukan petani (pedagang, pegawai dan buruh). Hal ini mengindikasikan
bahwa
aktivitas
masyarakat
secara
umumnya
terkait
dengan
pengelolaan sumber daya alam. Aktivitas petani ini tentu menggunakan sumber daya air untuk pertanian. Aktivitas lainnya terutama di hulu DAS Kelara adalah pemanfaatan kawasan hutan sebagai kebun kopi yang diusahakan di bawah tegakan pinus seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman kopi milik masyarakat di bawah tegakan hutan pinus pada hulu DAS Kelara Desa Paladingan Kabupaten Gowa.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 243
IV. PEMANFAATAN AIR DAS KELARA BAGI MASYARAKAT Pemanfaatan air DAS Kelara meliputi rumah tangga, usaha tani dan non usaha tani. Pada wilayah Hulu DAS Kelara total kebutuhan air dipenuhi dan bersumber dari DAS Kelara. Umumnya masyarakat memanfaatkan air melalui selang yang dialirkan dari sumber air ke rumah tangga. Khusus di Dusun Paladingan sudah ada pemasangan pipa yang dialirkan dari sumber air ke rumah tangga. Proyek pipanisasi ini merupakan bantuan pemda Kabupaten Gowa yang dilaksanakan sejak tahun 1993 dan dikelola oleh pemerintah desa. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih khusus di Desa Paladingan Dusun Makabori pernah ada proyek PAMSIMAS (Proyek Air Minum dan Sanitasi Masyarakat) berupa bak penampungan air untuk menampung air bersih. V. PENUTUP Kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah hulu DAS Kelara menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat di DAS Kelara tergolong rendah dengan tingkat pendidikan sekolah dasar sebanyak 85.11%. Luas kepemilikan lahan baik sawah ataupun kebun rata-rata di atas luas kepemilikan lahan di Indonesia yaitu 0,25 ha. Masyarakat di hulu DAS Kelara umumnya memiliki jumlah keluarga antara 4 – 6 orang dengan jumlah tanggungan keluarga terbesar antara 3-5 orang. Sebanyak 78.72% masyarakat di Hulu DAS Kelara memiliki tingkat pendapatan tinggi yaitu di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Selatan tahun 2011, sebesar Rp. 1.100.000/bulan dengan mata pencaharian 85.11% adalah petani. Kondisi sosial masyarakat ini, yang terdiri dari tingkat pendidikan, luas kepemilikan lahan, jumlah tanggungan keluarga, jumlah pendapatan dan jenis mata pencaharian berpengaruh pada tingkat interaksi masyarakat terhadap hutan dan DAS sebagai pengatur tata air. DAFTAR PUSTAKA Adhanari, M.A., (2005). Pengaruh tingkat pendidikan terhadap produktivitas kerja karyawan bagian produksi pada maharani handycraft di Kabupaten Bantul (Skripsi). Semarang: Jurusan Ekonomi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. Asdak, C. (2002). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Nurhaedah, Hasnawir, Nurhayati, Achmad Rizal, H.B. dan Tony Widianto (2011). Kajian Sosial Ekonomi Masyarakat dalam Penentuan Luas Hutan Optimal untuk Tata Air pada Berbagai Kondisi Alam Selaras dengan Sistem Pemerintahan Otonomi (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar. (Tidak dipublikasikan). 244 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Badan Pusat Statistik. (2010). Kabupaten Gowa Dalam Angka. Sungguminasa: Badan Pusat Statistik Kabupaten Gowa. Badan Pusat Statistik. (2010). Kabupaten Jeneponto Dalam Angka. Jeneponto: Badan Pusat Statistik Kabupaten Jeneponto. Gerbang Pertanian. (2011). Petani Indonesia http://www.gerbangpertanian.com. Diakses 9 januari 2011.
Masih
Miskin.
Hermanto, H. (2011). Upah Minimum Provinsi Tahun 2011 Seluruh Provinsi di Indonesia. Manado To Day Word News. Diakses tanggal 10 Pebruari 2011. Manan. (1978). Kaidah dan Pengertian Dasar Managemen DAS. Hutan Rimbawan dan Masyarakat. Bogor: IPB Press. Sanudin., dan Bambang S. Antoko. (2007). Kajian Sosial Ekonomi Masyarakat di DAS Asahan, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 4 (4), 355 – 367. Kusumaningtyas, H. (2003). Partisipasi Masyarakat dalam Proyek Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) (Skripsi). Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 245
EFEK FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) DAN KOMPOS TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI PULAI (Alstonia scholaris (L).R.Br) PADA MEDIA SEMAI TANAH BEKAS TAMBANG KAPUR Retno Prayudyaningsih1 dan Andi Sri Rahmah Dania2 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Efektivitas Fungi mikoriza dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah marginal (tanah bekas tambang) telah banyak dibuktikan berhasil. Peran FMA tersebut diduga dapat lebih ditingkatkan dengan penambahan bahan organik (kompos). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas kompos dan inokulum FMA terhadap pertumbuhan semai pulai. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan pola faktorial. Terdiri dari 2 faktor perlakuan (Inokulasi FMA dan Persentase Kompos) dengan masing-masing taraf perlakuan Inokulasi FMA (Tanpa mikoriza (K), Acaulospora sp. (A), Gigaspora sp. (G), dan Campuran Acaulospora sp. dan Gigaspora sp.) (M); dan taraf perlakuan persentase kompos (Tanpa kompos (K), Kompos 5% (K5), Kompos 10% (K10), dan Kompos 15% (K15)) sehingga terdapat 16 kombinasi perlakuan. Variabel pertumbuhan yang diamati adalah tinggi semai, diameter batang, biomassa, rasio pucuk akar, indeks mutu bibit, dan persentase kolonisasi FMA. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa perlakuan MK10 (campuran Acaulospora sp. dan Gigaspora sp.) dan Kompos 10%) memberikan pengaruh paling efektif pada pertumbuhan semai pulai, khususnya pada variabel tinggi semai (14,56 cm), diameter batang (3,64 mm), biomassa (1,17 g), dan indeks mutu bibit (0,22). Kata kunci : Fungi mikoriza arbuskula, pulai, kompos, dan tambang kapur.
I. LATAR BELAKANG Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Pangkep memiliki kawasan karst yang berpotensi sebagai tambang kapur untuk bahan baku semen. Penambangan batu kapur di kawasan tersebut akan meninggalkan lahan bekas tambang berupa hamparan terbuka yang diikuti dengan hilangnya bahan organik dan pemadatan tanah, sehingga kapasitas infiltrasi tanah menurun. Hal ini berdampak pada terganggunya berbagai habitat satwa, penurunan kualitas kesuburan tanah, maupun terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas tata air sungai-sungai yang berada di sekitar lokasi penambangan. Rehabilitasi lahan bekas tambang tersebut, dapat diupayakan dengan kegiatan konservasi tanah dan air. Bentuk konservasi yang dapat dilakukan yaitu secara fisik, kimia dan biologi. Aplikasi teknologi mikroba tanah dengan pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) yang bertujuan peningkatan pertumbuhan tanaman merupakan bentuk konservasi secara biologi. (Setiadi, 1999). FMA merupakan fungi yang memiliki sifat 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
2
Mahasiswa S1 Unhas
246 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
simbiosis mutualisme dengan tanaman. Peranan fungi ini dalam pertumbuhan tanaman adalah kemampuannya untuk menyerap unsur hara baik makro maupun mikro. Selain itu akar tanaman yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman. Hifa eksternal pada mikoriza dapat menyerap unsur fosfat (P) dari dalam tanah, dan segera diubah menjadi senyawa polifosfat. Senyawa polifosfat kemudian dipindahkan ke dalam hifa dan dipecah menjadi fosfat organik yang dapat diserap oleh sel tanaman. Efisiensi penggunaan pupuk P juga lebih meningkat apabila menggunakan mikoriza. Noraini and Jaafar (2007) menunjukkan adanya peningkatan serapan hara pada jagung (Zea mays) dengan perlakuan inokulasi FMA dan kompos. Selanjutnya Perner, et
al. (2007) menyatakan bahwa peningkatan serapan hara dan perkembangan bunga pelargonium (Pelargonium peltatum L. Her.) karena diaplikasi dengan kombinasi antara FMA dan kompos. Tanah lahan bekas tambang kapur mempunyai sifat basa yang tinggi, pH 8,14 (Prayudyaningsih,2008), sebaliknya tanah yang kaya bahan organik besifat asami, kalau kondisi tanah ini dipadukan maka pH tanah menjadi netral. Tanah yang mengandung bahan mineral dan memilik pH netral, dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman (Ayatullah, 2010). Kompos merupakan bahan organik yang berguna untuk memperbaiki struktur tanah dan mengandung unsur hara yang diperlukan tumbuhan. Selain manipulasi lingkungan pertumbuhan dengan pemberian FMA dan kompos, pemilihan jenis tanaman yang tepat juga penting. Untuk tujuan rehabiltasi lahan maka sebaiknya dipilih jenis tanaman yang cepat tumbuh dan mempunyai adaptasi luas. Pulai termasuk jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing). Pratiwi (2000) dalam Mashudi (2008) mengemukakan, bahwa pulai dapat tumbuh normal pada tanah dengan tekstur kasar, bersolum dalam, pH > 5, kandungan C-organik, N-total, P-tersedia, K dan Kejenuhan Basa (KB) tinggi serta kandungan unsur Al rendah. Menurut Joker (2001), tanaman ini toleran terhadap berbagai macam tanah sehingga mempunyai daya adaptasi yang luas. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai pengaruh kompos dan inokulum FMA terhadap pertumbuhan semai pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) pada lahan bekas tambang kapur.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
247
II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan September - Desember 2010, dilaksanakan di rumah kaca (Green House) dan Laboratorium Mikrobiologi Balai Penelitian Kehutanan Makassar. B. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain gelas plastik, bak plastik, mikroskop, objeck glass dan deck glass, otoklaf, cawan petri, gelas ukur, beaker, ayakan tanah, oven listrik, mistar, kaliper dan timbangan digital. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah inokulum FMA indigen dari tanah bekas tambang kapur PT. Semen Tonasa, kompos Bokaplus (bahan-bahan organik ditambah aktifator: Lactobacillus, yeast, bakteri fotosintetik, jamur pengurai selulosa, serta actinomycetes), pasir, tanah dari lahan bekas tambang kapur PT. Semen Tonasa, benih pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) bahan kimia berupa alkohol 50%, KOH 10%, aquades, larutan HCL 2%, asam laktat dan acid fuchsin . C. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial 4 x 4 dengan 10 ulangan, sehingga jumlah unit pengamatan sebanyak 160 unit. Perlakuan adalah jenis inokulum FMA indigen dan persentase kompos. Tingkatan masing-masing faktor perlakuan adalah: a.
Faktor 1 (Inokulasi dengan FMA indigen) terdiri dari : K = Tanpa inokulasi FMA A = Inokulasi dengan FMA indigen jenis Acaulospora sp. G = Inokulasi dengan FMA indigen jenis Gigaspora sp. M = Inokulasi dengan FMA indigen campuran Acaulospora sp. & Gigaspora sp. (Mix).
b.
Faktor 2 (Persentase kompos) K0
= Tanpa Kompos
K5
= Diberi Kompos 5 %
K10 = Diberi Kompos 10 % K15 = Diberi kompos 15 %
248 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Inokulum FMA Acaulospora sp. dan Gigaspora sp. merupakan FMA indigen hasil isolasi dari tanah bekas tambang kapur PT. Semen Tonasa. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah tinggi semai, diameter batang, biomassa, Rasio Pucuk Akar (RPA), Indeks Mutu Bibit (IMB), dan persentase kolonisasi FMA. D. Tahapan Kegiatan 1. Persiapan media kecambah, media sapih dan benih Media kecambah yang digunakan adalah pasir steril yang diayak dengan ayakan berukuran pori 425 mm. Media sapih yang digunakan adalah tanah dari lahan bekas tambang kapur PT. Semen Tonasa. Tanah tersebut merupakan limbah bahan galian yang tersebar pada areal bekas tambang. Bahan galian ini, berupa hancuran dan bongkahan batu kapur yang bercampur dengan tanah liat. Tanah untuk media sapih dikeringanginkan dan kemudian diayak dengan saringan berukuran pori 2 mm. Sterilisasi media sapih menggunakan fumigan dengan bahan aktif Dazomet 98% (Misto, 2001). Kompos yang akan ditambahkan pada media sapih, sebelumnya disterilkan dengan menggunakan
otoklaf selama 60 menit pada tekanan 0,1 atm. Setelah tanah dan kompos disterilkan, selanjutnya dibuat komposisi media sapih sesuai dengan perlakuan yang diterapkan. Selanjutnya media dimasukkan dalam gelas plastik dengan volume 400 gram. Buah pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) terlebih dahulu dikeringkan selama 3 hari sampai buah merekah, kemudian benih ditabur pada media pasir yang telah disterilkan. 2. Penyapihan dan inokulasi FMA Penyapihan dilakukan pada saat kecambah telah siap disapih, yaitu kecambah telah mempunyai dua helai daun. Inokulasi dilakukan pada saat penyapihan dengan cara memberikan inokulum FMA sebanyak 5 gram/tanaman ke dalam lubang tanam di polybag. Selanjutnya semai ditanam dengan posisi akar mengenai inokulum FMA. 3. Pemeliharaan semai Penyiraman bibit dilakukan setiap hari, dengan menyiram air sebanyak 50 ml/tanaman. Setiap dua minggu dilakukan pemberian larutan hara yaitu unsur P dengan dosis 1 g/l air sebanyak 10 ml /tanaman. 4. Pengamatan dan pengukuran a)
Pengukuran tinggi semai. Pengukuran tinggi semai dilakukan dengan menggunakan mistar mulai dari
pangkal batang sampai titik tumbuh pucuk semai. Pengukuran awal dimulai setelah semai
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
249
berumur 2 minggu dan pengukuran selanjutnya dilakukan setiap dua minggu selama 3 bulan. b)
Pengukuran diameter batang. Pengukuran diameter batang menggunakan kaliper dan diukur pada ketinggian
sekitar satu cm di atas pangkal batang. Pengukuran dilakukan sekali saat semai berumur 3 bulan terhadap semua unit percobaan. c)
Biomassa semai. Biomassa semai dihitung berdasarkan berat kering semai. Semai dioven pada suhu
800C dan dilakukan penimbangan sampai mencapai berat konstan. Pengamatan dilakukan terhadap semua unit percobaan. d)
Rasio pucuk akar Penilaian rasio pucuk akar berdasarkan berat kering pucuk dan berat kering akar
untuk mengetahui kualitas fisik bibit, menurut cara yang dikemukakan oleh Dickson et al. (1960) dalam Junaedi dkk., (2007) adalah sebagai berikut:
Rasio Pucuk
Akar (RPA)
BKP BKA
Keterangan : BKP : Berat kering bagian atas (pucuk) BKA : Berat kering akar e)
Indeks mutu bibit Penilaian angka indeks mutu bibit untuk mengetahui tinggi rendahnya mutu fisik
bibit pulai, menurut cara yang dikemukakan oleh Dickson et al. (1960) dalam Junaedi, dkk (2007) adalah sebagai berikut : IMB
BKT ( g ) RPA Kekokohan
Keterangan : IMB
= Indeks mutu bibit
BKT
= Berat kering total (BKP (g) + BKA (g)
Kekokohan f)
Tinggi (cm ) Diameter ( mm )
Persentase kolonisasi FMA Pengamatan kolonisasi FMA dilakukan dengan metode pewarnaan akar (Kormanik
dan McGraw, 1982) dalam Setiadi, dkk., (1992). Penghitungan persentase kolonisasi akar
250 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
menggunakan metode panjang akar terkolonisasi (slide) menurut Giovannetti dan Mosse (1980) dalam Setiadi, dkk., (1992). Pengamatan tidak dilakukan pada semua unit percobaan tapi hanya pada 48 unit percobaan (tiap perlakuan 3 ulangan) yang dipilih secara acak. E.
Analisis Data Respon pertumbuhan bibit pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) terhadap perlakuan
yang diuji dapat diketahui dengan melakukan analisis variabel yang diamati. Apabila hasil analisis varian menunjukkan berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjutan Uji Beda Nyata Jarak Duncan (BNJD) (Gaspersz, 1991). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program SPSS 14.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Tinggi Semai Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) Inokulasi FMA dan pemberian kompos memengaruhi pertumbuhan tinggi semai pulai. Inokulasi FMA campuran antara Acaulospora sp. dengan Gigaspora sp. (M) dan kompos dengan dosis 10% (MK10) menghasilkan tinggi semai terbaik (14,56 cm) (Tabel 1). Hal ini menunjukkan, bahwa dengan kombinasi perlakuan tersebut dapat memberikan pertumbuhan tinggi tanaman yang terbaik. Jaringan meristem menghasilkan sel-sel baru di ujung akar atau batang, mengakibatkan tumbuhan bertambah tinggi atau panjang. Tinggi tanaman merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan karena sifatnya sensitif terhadap faktor lingkungan (Gardner dkk., (1991) dalam Suherman dkk., (2009). Tabel 1. Rata-Rata Tinggi Semai Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) Setiap Kombinasi Perlakuan pada Umur 3 (Tiga) Bulan Perlakuan KK0 KK5 GK0 KK10 MK0 AK0 AK15 GK15 MK5
Rata-rata tinggi (cm) 6,92 8,06 9,72 9,83 10,14 10,66 11,67 11,71 12,23
Notasi a ab bc bc bcd cde cdef cdef defg
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
251
Perlakuan AK5 GK5 GK10 KK15 AK10 MK15 MK10
Rata-rata tinggi (cm) 12,34 12,51 12,67 13,23 13,38 14,36 14,56
Notasi efgh efgh efgh fgh fgh gh h
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
Pertumbuhan tinggi tanaman yang terbaik ditunjukkan oleh semai dengan perlakuan (MK10). Unsur-unsur yang berfungsi meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman yaitu unsur P, Cu dan Zn. Unsur tersebut terkandung dalam kompos, yang dapat diserap dengan baik oleh tanaman dengan bantuan FMA. Hal ini didukung dengan kondisi media yang digunakan saling melengkapi, yaitu tanah dari lahan bekas tambang kapur yang memiliki tanah bersifat basa (Subowo, dkk., 1996) dalam Setiadi dan Erdy (2006), sedangkan kompos bersifat asam. Apabila keduanya dipadukan, maka tanah media pertumbuhan akan memiliki pH netral dan kaya unsur hara, yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman. FMA dapat menginfeksi akar tanaman kemudian memproduksi jalinan hifa secara intensif, sehingga tanaman yang bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam penyerapan unsur hara. Unsur-unsur hara yang diserap tanaman yang terinfeksi FMA adalah P dan unsur mikro seperti Cu, Zn, dan B dapat ditingkatkan penyerapannya pada tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza (Marschner, 1992; Orcutt dan Nilsen, 2000). B. Diameter Batang Semai Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) Inokulasi FMA dan pemberian kompos berpengaruh terhadap diameter batang. Interaksi dari kedua faktor perlakuan juga berbeda nyata terhadap diameter batang semai pulai. Inokulasi FMA campuran antara Acaulospora sp. dengan Gigaspora sp. dan Kompos dengan dosis 10% (MK10) memiliki rata-rata diameter batang terbesar, yaitu 3,64 mm. Hal ini menunjukkan, bahwa interaksi antara inokulasi FMA campuran dengan persentase kompos 10% memberikan hasil lebih baik dibanding dengan perlakuan lain (Tabel 2). Tabel 2. Rata-Rata Diameter Semai Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) Setiap Kombinasi Perlakuan Pada Umur 3 (Tiga) Bulan Perlakuan KK0 KK5 GK0 252 |
Rata-rata diameter (mm) 1,96 2,08 2,32
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Notasi a ab abc
Perlakuan MK0 AK0 MK5 KK10 GK15 GK10 AK15 AK5 GK5 KK15 AK10 MK15 MK10
Rata-rata diameter (mm) 2,59 2,59 2,81 2,81 3,0 3,07 3,08 3,09 3,18 3,27 3,5 3,56 3,64
Notasi bcd bcd cde cde def defg defg defg dfgh dfgh fgh gh h
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
Kompos dapat memperbaiki struktur tanah yang memiliki kepadatan tinggi dan menyediakan unsur-unsur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Unsur-unsur yang terkandung dalam kompos, antara lain N, P, K, Mg, Ca, Zn, dan Cu (Setyorini, dkk., 2006). Namun, unsur-unsur tersebut bersifat tidak mobil, sehingga dibutuhkan FMA dalam penyerapannya. Setiap perlakuan dapat meningkatkan pertumbuhan semai pulai, khususnya untuk variabel diameter batang, namun perlakuan inokulasi FMA campuran Acaulospora sp. dengan Gigaspora sp. dan Kompos 10% (MK10) merupakan perlakuan yang paling tepat untuk pertumbuhan diameter batang . Hasil ini menunjukkan tanaman mampu menyerap unsur-unsur hara terutama unsur Mg dan Ca dengan baik, sehingga batang menjadi lebih besar dan kuat, (Ayatullah, 2010). Unsur yang sangat berperan dalam pertumbuhan diameter batang adalah unsur Ca. Inokulasi FMA dapat meningkatkan penyerapan kadar Ca di dalam tanah yang digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Unsur Ca berperan sebagai elemen struktural dinding sel, khususnya sebagai Ca pektat di dalam penyusun lamella tengah. FMA juga meningkatkan penyerapan berbagai unsur hara lain yang digunakan sebagai penyusun karbohidrat dalam proses fotosintesis. Karbohidrat yang dihasilkan dalam fotosintesis dalam jumlah yang cukup juga menyebabkan aktivitas pembelahan dan penebalan sel-sel jaringan tanaman dalam proses diferensiasi menjadi lebih cepat. Hal ini menyebabkan pertumbuhan kambium berjalan lebih cepat, yang tampak dalam pertambahan diameter batang tanaman (Agustina (1990) dalam Nirwana, 2006).
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
253
C. Biomassa Semai Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) Hasil penelitian menujukkan biomassa semai pulai dipengaruhi oleh adanya inokulasi FMA dan pemberian kompos. Inokulasi FMA campuran antara Acaulospora sp. dengan Gigaspora sp. dan Kompos dengan dosis 10% (MK10) memiliki nilai rata-rata biomassa yaitu 1,17 g, yang merupakan nilai tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini berarti perlakuan MK10 memiliki kemampuan tertinggi untuk meningkatkan biomassa semai pulai (Tabel 4). Tabel 4. Rata-Rata Biomassa Semai Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) Setiap Kombinasi Perlakuan pada Umur 3 (Tiga) Bulan Perlakuan
Rata-rata biomassa (g)
Notasi
KK0 KK5 MK0 GK0 KK10 MK5 AK0 GK15 GK10 AK15 AK5 GK5 KK15 AK10 MK15 MK10
0,24 0,29 0,46 0,5 0,54 0,58 0,67 0,77 0,79 0,83 0,85 0,85 0,89 0,98 1,08 1,17
a ab abc abcd abcde bcdef cdefg cdefgh cdefgh defgh efghi efghi fghi ghi hi i
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
Peningkatan berat kering tanaman (biomassa) menunjukkan bahwa, produksi
fotosintat berjalan sangat baik, sehingga meningkatkan pertumbuhan tanaman yang ditunjukkan dengan meningkatnya berat kering tanaman. Hal ini diduga, karena perbaikan kondisi media pembibitan akibat pemberian kompos, yaitu meningkatnya kandungan unsur hara tanah dan meningkatnya penyerapan unsur hara akibat kolonisasi FMA. Peningkatan kandungan unsur hara makro (C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro (Fe, Mn, B, Mo, Cu, Zn, Cl, dan Co) di dalam tanah berhubungan erat dengan peningkatan pertumbuhan tanaman karena terjadi penyerapan unsur-unsur hara secara maksimal, sehingga menstimulasi pertumbuhan tanaman (Fitriatin, 2009). Berdasarkan hasil penelitian Dominguez, dkk., (2010) menyatakan adanya peningkatan biomassa tanaman akibat inokulasi dengan FMA. 254 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
D. Rasio Pucuk Akar (RPA) Semai Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) Inokulasi FMA mempengaruhi RPA semai pulai, tetapi pemberian kompos tidak berpengaruh. Nilai RPA tertinggi ditunjukkan oleh semai pulai yang diinokulasi FMA campuran Acaulospora sp. dan Gigaspora sp. (2,06) (Tabel 5). Nilai tersebut menunjukkan pertumbuhan pucuk dominan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Suherman dkk., (2009), bahwa RPA yang bernilai lebih dari satu menunjukkan pertumbuhan tanaman lebih ke arah pucuk, sedangkan RPA yang bernilai kurang dari satu menunjukkan pertumbuhan tanaman lebih ke akar. Berdasarkan Tabel 5, RPA semai pulai pada semua perlakuan lebih dari satu. Dengan demikian pertumbuhan semai pulai pada semua perlakuan lebih ke arah pucuk. Pertumbuhan pucuk yang lebih dominan menunjukkan pemanfaatan hasil fotosintesis lebih banyak ditranspor untuk pertumbuhan pucuk dan tunas daripada untuk akar. Tabel 5. Rata-Rata Nilai RPA Semai Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) Berumur 3 (Tiga) Bulan Setelah Tanam pada Faktor Perlakuan Inokulasi FMA Taraf Perlakuan (Inokulasi FMA)
Acaulospora sp. Gigaspora sp. Tanpa mikoriza Campuran Acaulospora sp . dan Gigaspora sp.
Rata-Rata RPA
Notasi
1,44 1,51 1,81
a ab bc
2,06
c
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
Kisaran nilai RPA antara 2 - 5 menandakan bibit siap dipindahkan ke lapangan (Alrasyid (1972) dalam Junaedi dkk., (2007). Apabila angka tersebut digunakan sebagai standar, maka semai pulai yang diberikan inokulum FMA campuran sudah memenuhi standar, sedangkan perlakuan lain mempunyai nilai RPA yang belum sesuai standar. Namun demikian, inokulasi FMA pada semai pulai mampu meningkatkan nilai RPA. E.
Indeks Mutu Bibit (IMB) Semai Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) Semai pulai yang diinokulasi FMA dan diberi kompos memiliki IMB lebih tinggi
dibanding semai yang hanya diberi kompos. Semai pulai yang diinokulasi dengan FMA campuran (Acaulospora dan Gigaspora) dan diberi kompos 10% (MK10) memiliki nilai IMB yaitu 0,22, nilai ini lebih tinggi daripada perlakuan yang lain (Tabel 6). Roller (1972) dalam Junaedi, dkk., (2007) menyatakan, bahwa bibit yang memiliki nilai IMB lebih besar dari 0,09, akan berdaya hidup tinggi di lapangan, dan siap ditanam di lapangan. Berdasarkan rata-rata IMB tanaman pulai dari setiap perlakuan menunjukkan nilai IMB “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
255
lebih besar dari 0,09, kecuali perlakuan KK0 (Tanpa mikoriza dan tanpa kompos) 0,04 dan KK5 (Tanpa mikoriza dan Kompos 5%) 0,05. Kedua perlakuan tersebut dapat dikatakan belum memiliki daya hidup tinggi apabila ditanam di lapangan. Tabel 6. Rata-Rata IMB Semai Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) Setiap Kombinasi Perlakuan pada Umur 3 (Tiga) Bulan Setelah Tanam Perlakuan KK0 KK5 MK0 GK0 MK5 KK10 AK0 KK15 GK15 GK10 AK5 AK15 GK5 AK10 MK15 MK10
Rata-rata IMB 0,04 0,05 0,08 0,09 0,09 0,11 0,13 0,14 0,14 0,14 0,16 0,16 0,16 0,17 0,18 0,22
Notasi a ab abc abc abc bcd cde cde cde cde def def def def ef f
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
F.
Persentase Kolonisasi FMA Semai Pulai (Alstonia scholaris (L.)R. Br.) Persentase kolonisasi FMA pada akar semai pulai hanya dipengaruhi oleh inokulasi
FMA tetapi tidak dipengaruhi oleh pemberian kompos. Inokulasi FMA jenis Acaulospora sp. memiliki persentase tertinggi (42,91%) dibandingkan dengan Gigaspora sp. (12,80%), Campuran (31,10%) dan tanpa mikoriza (14,17%) (Tabel 7). Tabel 7. Rata-Rata Nilai Persen Kolonisasi FMA Semai Pulai Berumur 3 (Tiga) Bulan Setelah Tanam pada Faktor Perlakuan Inokulasi FMA Taraf Perlakuan (jenis mikoriza) Gigaspora sp. Tanpa mikoriza Campuran Acaulospora sp. dan Gigaspora sp. Acaulospora sp.
Rata-Rata % IM
Notasi
12,80 14,17
a ab
31,10
bc
42,91
c
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
Fungi Mikoriza Arbuskula dapat menginfeksi akar tanaman kemudian memproduksi jalinan hifa secara intensif. Hasil pengamatan mikroskopis terhadap akar pulai ditemukan 256 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
adanya hifa, spora, dan vesikula sebagai indikasi akar terinfeksi mikoriza. Pada penelitian ini ternyata kontrol juga terinfeksi FMA. Adanya infeksi pada tanaman kontrol (tanpa pemberian mikoriza) menurut Aditama (2010) dapat disebabkan karena terjadinya kontaminasi dari perlakuan lain, yang dapat dibawa oleh serangga, seperti semut, dari tanaman yang bermikoriza ke tanaman kontrol. Kolonisasi FMA pada akar semai pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) dapat dilihat pada Gambar 1.
Spora
Hifa A
B
Vesikula
C
D
Gambar 1. Kolonisasi infeksi mikoriza pada akar tanaman pulai. A. B. C. D.
Akar yang terinfeksi hifa (perbesaran 10x40) Akar yang terinfeksi spora (perbesaran 10x40) Akar yang terinfeksi vesikula (perbesaran 10x20) Akar yang tidak terinfeksi mikoriza (perbesaran 10x20)
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Inokulasi FMA dan pemberian kompos meningkatkan pertumbuhan semai pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) sebesar 30 – 150%. Interaksi antara FMA campuran
Acaulospora sp. dan Gigaspora sp. dengan Kompos 10% menghasilkan respon
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
257
pertumbuhan semai pulai terbaik dengan rata-rata tinggi semai (14,56 cm), diameter batang (3,64 mm), biomassa (1,17 g), dan indeks mutu bibit (0,22) pada umur 3 bulan di persemaian. B. Saran Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan di lapangan untuk mengetahui respon pertumbuhan tanaman pulai yang diberikan perlakuan MK10 (Inokulasi dengan FMA campuran Acaulospora sp. dan Gigaspora sp. dengan Kompos 10%), yang merupakan hasil paling efektif dalam penelitian ini untuk meningkatkan pertumbuhan semai pulai. DAFTAR PUSTAKA Aditama, S., T., A., (2010). Pertumbuhan Semai Jati (Tectona grandis Linn. F.) Dengan Aplikasi Fungi Mikoriza Arbuskular Indigen dari Lahan Bekas Tambang Kapur PT. Semen Tonasa (Skripsi). Makassar: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Hasanuddin. Ayatullah, M. S. (2010). Kapur dalam Tanah. ayatullah.blogspot.com/2009/04/kapur-dalam-tanah.html. Diakses Februari 2010.
http://septatanggal 18
Baon, J.B., 1999. Pemanfaatan Jamur Mikoriza Arbuskular Sebagai Pupuk Hayati Di Bidang Perkebunan. Makalah pada Workshop Mikoriza. 27 September – 2 Oktober 1999. Bogor: PAU Bioteknologi. Dewi, I. R. (2007). Makalah Peran, Prospek, dan Kendala dalam Pemanfaatan Endomikoriza. Jatinangor: Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran. Dickson, A., A.L. Leaf dan J. F. Hosner, 1960. Quality Appraisal of White Spruce and White Pine Seedling Stocks in Nurseries. Forestry Chronicle, 36 (1), 10-13. Dominguez, S., V. Vargas, Chorover. (2010). Effect of Arbuscular Mycorrhizal Fungi on Plant Biomass and The Rhizosphere Microbial Community Structure of Mesquite Grown in Acidic Lead/Zinc Mine Tailings. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21211826. Diakses tanggal 8 April 2011. Fitriatin, B., N. (2009). Efek Pemberian Kompos Limbah Tebu dan Mikoriza terhadap Serapan P, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Tomat pada Inceptisols.http://soilbetty.multiply.com/journal/item/6/Efek_Pemberian_Kompos_Li mbah_Tebu_dan_Mikoriza_terhadap_Serapan_P_Pertumbuhan_dan_Hasil_Tanaman _Tomat_pada_Inceptisols. Diakses tanggal 9 Januari 2011. Gaspersz, V. (1991). Metode Perancangan Percobaan. Bandung: CV. Armico. Joker, D. (2001). Informasi Singkat Benih Alstonia scholaris (L.)R. Br. Bandung: Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Junaedi, A., A. Hidayat, dan D. Frianto. (2007). Pertumbuhan dan Kualitas Fisik Bibit Meranti Tembaga Asal Stek Pucuk pada Beberapa Tingkat Umur. Riau: Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat (BPHPS).
258 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Mashudi. (2008). Jenis Pohon Pulai. Bogor: Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Misto. (2001). Efektivitas Inokulasi Mikorisa Arbuskular (MVA), Penambahan Serbuk Arang dan Batuan Fosfat Pada Pertumbuhan Semai Vitex cofassus Reinw. (Tesis). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. (tidak dipublikasikan). Nirwana. (2006). Aplikasi Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) terhadap Pertumbuhan Semai Bitti Vitex cofassus Reinw. Makassar: Universitas Hasanuddin. Noraini, Md. Jaafar, (2007). Effects Of Empty Fruit Bunch Compost And Arbuscular Mycorrhiza On Nutrient Uptake And Growth Of Grain Maize. http://psasir.upm.edu.my/5511/Diakses tanggal 8 April 2011. Perner, Schwarz, Bruns, et al., (2007). Effect of Arbuscular Mycorrhizal Colonization and Two Level of Compost Supply on Nutrient Uptake and Flowering of Pelargonium Plants. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17318595. Diakses tanggal 8 Apri 2011. Prayudyaningsih, R. (2008) Keragaman Mikoriza Arbuskula di Lahan Bekas Tambang Kapur PT. Semen Tonasa dan Efektivitasnya Terhadap Pertumbuhan Semai Kersen (Muntingia calabura L.). (Tesis). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. (tidak dipublikasikan). Peterson, R. L., H. B. Massicotte, and L. H. Melvill. (2004). Mycorrhiza: Anatomy and Cell Biology. http://www.cplbookshop.com/contents/C2230.htm. Diakses tanggal 7 April 2011. Orcutt, D.M dan E.T. Nielsen. (2000). Physiology of Plants Under Stress: Biotic Factor. Canada: John wiley & Sons, Inc. Setiadi, Y. (1999). Pengembangan Cendawan Mikoriza Arbuskula Sebagai Pupuk Biologis Dalam Bidang Kehutanan, Makalah pada Workshop Mikoriza. 27 September – 2 Oktober 1999. Bogor: PAU Bioteknologi. Setiadi, Y., dan E. Santoso, (2006). Aplikasi Endomikoriza, Pupuk Kompos, dan Asam Humat dalam Meningkatkan Pertumbuhan Khaya anthoteca Dx. pada Lahan Pasca Penambangan Batu Gamping di Cileungsi-Bogor. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Setiadi, Y., I. Mansur, S. W. Budi, & Achmad. (1992). Mikrobiologi Tanah Hutan. Bogor: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi bekerjasama Institut Pertanian Bogor. Suherman, C., A. Nuraini,dan S. Rosniawati. (2009). Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) Serta Media Campuran Subsoil dan Kompos pada Pembibitan Kelapa Sawit (Elaeis guieensis) Kultivar Sungai Pancur 2 (SP 2). http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/pemanfaatan_cendawan_ mikroriza_arbuskular_serta_media_campuran_subsoil.pdf.Diakses tgl 9 Januari 2011. Suryohadikusumo, D. (2006). Mari Membuat Kompos Skala Rumah Tangga. http://hasanpoerbo.blogspot.com/2006/05/mari-membuat-kompos-skala-rumahtangga.html. Diakses tanggal 22 Oktober 2009.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
259
PERTUMBUHAN TIGA JENIS BIBIT MANGROVE PADA BERBAGAI JENIS MEDIA SEMAI Halidah1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan bibit mangrove adalah media tumbuh. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh media semai dan waktu semai yang optimal untuk pertumbuhan bibit di persemaian. Penelitian dilakukan berdasarkan rancangan acak lengkap. Sebagai perlakuan adalah media semai yang terdiri atas 7 jenis . Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jenis R. apiculata umur 3 bulan menunjukkan persen hidup yang paling tinggi pada media lumpur sebesar 97,5%. Umur 10 bulan media yang paling baik adalah lumpur : pasir (2:1 ) sebesar 34,34 %. Pertumbuhan tinggi paling tinggi dan jumlah daun paling banyak pada media campuran pasir dan lumpur dengan kandungan pasir 1 atau 2 bagian dari bagian lumpur. Jenis B. cylindrica umur 3 bulan menunjukkan persen hidup yang paling tinggi adalah lumpur : pasir ( 2:1) sebesar 100 % dan lumpur sebesar 95,5%. Umur 10 bulan media yang paling baik adalah lumpur : pasir ( 2:1) sebesar 46,44% dan pasir: lumpur (2:1) sebesar 41,90 %. Jenis C. tagal umur 3 bulan menunjukkan persen hidup yang tinggi adalah lumpur sebesar 92,5 %. Umur 10 bulan media yang paling baik adalah lumpur : pasir (2:1) sebesar 64,33 % dan campuran pasir : lumpur (3:1) yakni 60,64 %. Pertumbuhan tinggi dan jumlah daun cenderung baik pada media yang kandungan pasirnya lebih besar atau sama dengan lumpur. Kata kunci : Pertumbuhan, umur bibit, media, tumbuh, jenis bibit.
I. PENDAHULUAN Kegiatan
rehabilitasi
lahan
mangrove
yang
telah
terdegradasi
umumnya
menggunakan jenis Rhizophora mucronata yang sudah sangat dikenal. Penggunaan jenis ini dimaksudkan untuk memudahkan penanaman karena buahnya yang besar sehingga mudah dilakukan penanaman. Jenis ini juga dianggap sebagai jenis yang mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi dengan tinggi dan lamanya genangan pasang surut (Supriharyono, 2000). Kurang berhasilnya kegiatan rehabilitasi yang selama ini dilakukan disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah bibit yang terlambat dipindah dari persemaian. Bibit yang terlambat dipindah dari persemaian akan mengalami penurunan pertumbuhan karena tanaman yang tumbuh semakin besar membutuhkan media tumbuh yang berbeda dan berubah seiring dengan pertumbuhannya.
Rhizophora apiculata, Bruguiera cylindrica dan Ceriops tagal adalah tiga jenis mangrove yang belum banyak digunakan dalam upaya rehabilitasi kawasan hutan mangrove. Ketiga jenis mangrove ini masuk dalam famili Rhizoporaceae dan tipe biji vivipari. 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
260 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Ketiga jenis mangrove ini mempunyai morfologi pohon yang berbeda, mulai dari tinggi, besar buah serta tempat tumbuh (Taniguchi, et al,. 1999). Perbedaan morfologis dan tempat tumbuh dapat dijadikan dasar untuk memilih dan menggunakan ketiga jenis ini dalam upaya rehabilitasi kawasan mangrove yang kondisinya berbeda. Kondisi morfologis yang berbeda akan menyebabkan pula perbedaan pada kondisi media semai dan tingkat pertumbuhan semai di persemaian. Adanya tingkat pertumbuhan yang berbeda akan berpengaruh terhadap waktu yang dibutuhkan semai untuk dipelihara di persemaian. Hal ini akan berpengaruh terhadap kebutuhan semai dengan media tumbuh yang sesuai perkembangan perakaran dan kebutuhan haranya. Hal ini disebabkan setiap jenis mangrove membutuhkan media tumbuh yang berbeda dan berubah seiring dengan pertumbuhannya. Di alam, kebutuhan media tumbuh akan terbentuk seiring dengan perkembangan perakaran tanaman. Pengaruh sifat tanah jelas terlihat pada penyebaran jenis-jenis
Rhyzophora mucronata yang tumbuh pada lumpur yang dalam dan lembek, sedangkan jenis Rhyzophora stylosa pada pantai yang berpasir atau terumbu karang serta Rhyzophora
apiculata pada peralihan kedua kondisi tersebut (Tomlinson, 1986). Sifat tanah tersebut meliputi konsistensi yaitu keras atau lembek dan tekstur tanah yaitu liat, pasir atau debu dan sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan terbentuknya zonasi di alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh media semai terhadap pertumbuhan 3 jenis semai mangrove dan waktu semai yang optimal untuk pertumbuhan bibit di persemaian. Diharapkan bahwa tulisan ini dapat memberikan informasi dalam pemilihan jenis untuk kegiatan rehabilitasi kawasan mangrove. II. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Maccini Baji Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkep. Bibit diletakkan di bibir pantai yang diberi penahan hempasan ombak berupa anyaman bambu. Penelitian dilaksanakan selama 10 bulan, yakni dari bulan April 2007 – Januari 2008. B. Bahan dan Alat Penelitian Sebagai bahan penelitian adalah : -
50 batang buah vivipari dari masing masing jenis Rhizophora apiculata ;
Bruguiera cylindrica ; Ceriop tagal. -
Kantong plastik ukuran 25 x 50 cm
-
Pasir dan lumpur “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 261
-
mistar , ATK dsb.
-
Tali plastik
-
Caliper, meteran, salinometer
-
Bambu dan kulit bambu
C. Metode Penelitian Penelitian ini dirancang dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Sebagai perlakuan adalah media semai yang terdiri atas 7 jenis media yaitu : a. Pasir saja 100 % = ( 01 ) b. Pasir : Lumpur = 1 : 1
(02)
c. Pasir : Lumpur = 2 : 1
(03)
d. Pasir : Lumpur = 3 : 1 (04) e. Lumpur : pasir = 3 : 1 (05) f. Lumpur : pasir
= 2 : 1 (06)
g. Lumpur 100 % = (07) Setiap perlakuan media terdiri dari 50 tanaman. Variable yang diamati dari parameter pertumbuhan adalah persen hidup, pertumbuhan tinggi dan pertambahan jumlah daun. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan maka dilakukan analisis varians dan selanjutnya
jika
terdapat
perbedaan
akan
dilakukan
uji
Beda
Nyata
Terkecil
(Yitnosumarto,1993). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persen Hidup Hasil uji rata-rata persen hidup selama 3 bulan dan 10 bulan disajikan pada Tabel 1 dan 2 berikut. Tabel 1. Rata-rata persen hidup 3 jenis mangrove umur 3 bulan pada berbagai media semai. Perlakuan (treatmen) (01) (02) (03) (04) (05) (06) (07)
262 |
R. apiculata 60,0 a 92,5 bc 92,5 bc 82,5 b 92,5 bc 95,0 bc 97,5 c
Jenis, rata-rata dan BNT ( Species,Average,LSD) C. tagal 75,0 ab 70,0 a 85,0 bc 87,0 bc 70,0 a 90,0c 92,5 c
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
B. cilyndrica 77,5 a 100,0 c 92,5 bc 87,5 b 90,0 b 100,0 c 95,5 bc
Tabel 2.
Rata-rata persen hidup 3 jenis mangrove umur 10 bulan pada berbagai media semai
Perlakuan (treatmen)
R. apiculata 18,44 a 20,47 ab 29,89 abc 22,50 ab 32,90 bc 34,34 c 20,47 ab
(01) (02) (03) (04) (05) (06) (07)
Jenis, rata-rata dan BNT ( Species,Average,LSD) C. tagal 41,83 ab 40,39 a 58,61 abc 60,64 bc 53,84 abc 64,33 c 56,95 abc
B. cilyndrica 37,66 de 29,36 abcd 41,90 de 18,44 a 34,56 cde 46,44 e 26,56 abc
Dari Tabel 1 tersebut di atas untuk jenis R. apiculata umur 3 bulan media yang menunjukkan persen hidup yang paling tinggi adalah media (07) yaitu sebesar 97,5 % dan tidak berbeda nyata dengan media (06) , (05), (03) dan (02) masing-masing sebesar 92,5 % tetapi
berbeda
dengan
media (01) yaitu sebesar 60
%. Akan tetapi
dalam
perkembangannya selama 10 bulan nampak bahwa media yang menunjukkan persen hidup yang paling tinggi adalah media (06) yakni sebesar 34,34 %. Media (07) yang pada awal pertumbuhannya menunjukkan persen hidup yang paling tinggi mengalami penurunan setelah 7 bulan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa ada kecenderungan bahwa tanaman dalam perkembangannya membutuhkan media dengan tingkat aerasi yang lebih baik dan itu terdapat pada media pasir + lumpur dengan kandungan pasir lebih kecil atau sama dengan lumpur. Tanah bertekstur liat (lumpur) mempunyai aerasi yang lebih kecil dibandingkan tanah bertekstur liat berpasir (Brady, 1985).
Rhizophora apiculata adalah jenis bakau yang sangat umum. Tumbuh berkelompok di rawa-rawa yang terendam air pasang normal, pada lumpur dalam yang halus di muara.
Rhizophora apiculata tidak menyukai tanah yang keras dan tumbuh baik pada daerah-daerah lembab (htt://www.proseanet.org./florakita) /broser.php?). Demikian juga dengan lama pemeliharaan di persemaian, nampak bahwa umur 3 bulan di persemaian adalah waktu yang ideal untuk lamanya waktu pemeliharaan di persemaian, karena setelah tiga bulan persen hidup akan menurun dan cenderung menginginkan media yang lain. Salah satu faktor yang diduga berhubungan dengan menurunnya persen hidup di persemaian adalah kebutuhan hara dan tanah yang kadar oksigennya rendah. Nybakken (1988) mengungkapkan bahwa tanah hutan bakau ditandai dengan kadar oksigen yang rendah. Hal ini disebabkan karena tanah dengan substrat lumpur mempunyai aersi yang kecil ( Brady, 1985). Untuk jenis C. tagal persen hidup umur 3 bulan juga diperlihatkan oleh media (07) yang menunjukkan persen hidup sebesar 92,5% dan tidak berbeda nyata dengan media “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 263
(06); (04) dan (03) dengan persen hidup masing-masing sebesar 90%, 87,0% dan 85%. Sedangkan media (01) menunjukkan persen hidup 75% dan tidak berbeda dengan media (02) dan (05) yang menunjukkan persen hidup masing-masing sebesar 70%. Dalam perkembangannya sampai dengan umur 10 bulan nampak bahwa media yang menunjukkan persen hidup paling besar adalah media (06) yakni sebesar 64,33 % dan tidak berbeda nyata dengan media (07), (05), (04) dan (03). Nampak bahwa media yang paling tinggi persen hidupnya adalah media yang kandungan lumpurnya lebih besar dibanding kandungan pasir. Seperti nampak pada Tabel 2 bahwa persen hidup cenderung semakin menurun dengan semakin berkurangnya kandungan lumpur pada media tersebut. Dengan waktu semai sampai 10 bulan nampak bahwa media (06) masih memperlihatkan persen hidup 64,33%. Hal ini diduga karena benih Ceriops tagal yang lebih kecil sehingga dalam pertumbuhannnya tidak membutuhkan ruang tumbuh yang lebih besar seperti jenis R.
Apiculata sehingga dapat lebih lama di persemaian. Ceriops tagal adalah Pohon kecil atau perdu, dengan tinggi 10 – 15 m atau kurang. C. tagal dapat juga mencapai tinggi 25 m dengan batang menggembung di bagian pangkal, sering dengan akar tunjang yang kecil (Tomlinson, 1986). C. tagal menyukai substrat pasir atau lumpur tanah liat yang memiliki drainase yang baik. Hal ini dapat menunjukkan bahwa tetap tingginya persen hidup C. tagal di persemaian hingga umur 10 bulan disebabkan karena adanya kesesuaian dengan media semai yang mengandung lumpur dan pasir. Untuk jenis B. cylindrica media yang menunjukkan persen hidup paling tinggi adalah media (06) dan (02) yaitu 100% dan tidak berbeda nyata dengan media (07) dan (03) masing-masing sebesar 95,5% dan 92,5%. Persen hidup yang paling kecil diperlihatkan oleh media (01) yakni sebesar 77%. Pada jenis B. cilindrica semua media menunjukkan persen hidup yang umumnya tinggi yakni di atas 75%. Dalam perkembangannya selama 7 bulan nampak bahwa media (06) persen hidupnya menurun hingga 46,44% dan tidak berbeda dengan media (05), (03) dan (01) masing-masing sebesar 34,56%; 41,90% dan 37,66%. Dalam perkembangannya B. cylindrica umur 3 bulan hingga 10 bulan belum terlihat kecenderungan media dengan persen hidup yang menonjol meskipun terlihat bahwa media itu harus mengandung pasir. B.cylindrica tumbuh pada daerah sedikit tanah liat, dan kadangkala pada daerah yang sedikit berbatuan (Ashton, 1988). B. Pertumbuhan Tinggi Tanaman Hasil uji rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman selama 10 bulan disajikan pada Tabel 3.
264 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Tabel 3.
Uji rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman 3 jenis mangrove umur 10 bulan pada berbagai media semai
Perlakuan (treatmen) (01) (02) (03) (04) (05) (06) (07)
R. apiculata 71,5 ab 80,0 bc 115,9 e 89,6 c 107,5 de 73,3 ab 70,0 a
Jenis, rata-rata dan BNT (species, average dan LSD) C. tagal 4,75 a 5,25 a 5,30 a 5,58 a 4,63 a 4,85 a 4.83 a
B. cilyndrica 12,63c 12,03bc 9,43abc 6,63a 8,65 abc 9,08 abc 9,90 abc
Untuk jenis R. apiculata media yang menunjukkan tingkat pertumbuhan tinggi yang paling tinggi adalah media (03) dan (05) masing-masing sebesar 115,9 Cm dan 107,5 cm dan kedua media ini tidak berbeda nyata. Perlakuan media lain yang cukup tinggi yaitu media (04) yakni sebesar 89,6 cm dan tidak berbeda dengan media (02) yaitu sebesar 80,0 cm. Pertumbuhan yang paling rendah diperlihatkan oleh media (07) yaitu sebesar 70 cm. Jika melihat pertumbuhan (03); (05) dan (04), maka nampak bahwa media tumbuh untuk jenis R. apiculata yang baik adalah media campuran pasir + lumpur, sedangkan media tumbuh pasir saja maupun lumpur saja memperlihatkan pertumbuhan yang tidak seoptimal media campuran pasir + lumpur. Hal ini mungkin disebabkan karena R. apiculata menyukai tanah berlumpur halus dan dalam, yang tergenang jika pasang serta terkena pengaruh masukan air tawar yang tetap dan kuat. (http://id.wikipedia.org/wiki/bakau). Untuk jenis C. tagal terlihat tidak ada pengaruh yang nyata dari media tumbuh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman. Pada semua jenis media terlihat pertumbuhan yang relatif sama berkisar antara 4,75 cm hingga 5,58 cm baik pada media pasir saja maupun maupun pada media lumpur saja. Tidak adanya perbedaan pertumbuhan tinggi tanaman pada semua media diduga disebabkan karena ruang tumbuh yang relatif sama pada semua media. Untuk jenis B. cylindrica media yang menunjukkan pertumbuhan tinggi yang paling tinggi adalah media (01) yakni sebesar 12,63 cm. Media ini juga secara statistik tidak menunjukkan perbedaan dengan media (02), (03), (05), (06) dan (07). Tidak adanya perbedaan pertumbuhan tinggi pada setiap media sama dengan yang terlihat pada persen hidup dimana tidak ada media yang memperlihatkan persen hidup yang berbeda. Hal tersebut di atas memberi gambar Bruguiera cilindrica dapat hidup pada substrat yang berpasir ataupun berlumpur. Bruguiera cylindrica tumbuh mengelompok dalam jumlah besar, biasanya pada tanah liat di belakang zona Avicennia, atau di bagian tengah vegetasi
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 265
mangrove ke arah laut. Jenis ini juga memiliki kemampuan untuk tumbuh pada tanah/substrat yang baru terbentuk dan tidak cocok untuk jenis lainnya. Bruguiera sp. hidup pada tanah lumpur berpasir, wilayah mangrove bagian dalam, pada substrat yang baru terbentuk (Mic, 2009; wetland). C. Pertumbuhan Jumlah Daun Tanaman Hasil uji rata-rata pertumbuhan jumlah daun tanaman selama 10 bulan disajikan pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Uji rata-rata pertumbuhan jumlah daun 3 jenis mangrove Perlakuan (treatmen) (01) (02) (03) (04) (05) (06) (07)
R. apiculata 4,00 4,75 4,50 4,75 5.50 4,25 4,75
Jenis, rata-rata dan BNT ( species, average dan LSD) C. tagal 5,25 5,00 5,50 5,25 5,00 4,50 5,00
B. cilyndrica 6 abc 7c 6,5 bc 5a 6 abc 6 abc 6,25 abc
Pada jenis R. apiculata tidak nampak adanya perbedaan pertumbuhan jumlah daun pada semua media. Meskipun demikian pada media (05) menunjukkan tingkat pertumbuhan jumlah daun yang paling besar yakni 5,5 lembar, sedangkan media (07), (04) dan (02) menunjukkan pertumbuhan jumlah daun yang sama yaitu 4,75 lembar. Tidak ada kecenderungan banyaknya pertumbuhan jumlah daun dengan kondisi media. Demikian juga hubungannya dengan pertumbuhan tinggi, tidak memperlihatkan kecenderungan bahwa pertumbuhan tinggi yang baik akan menaikkan pula pertumbuhan jumlah daun. Hal yang sama terlihat pada jenis C. tagal, media tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan jumlah daun. Untuk jenis B. cylyndrica, nampak bahwa media menunjukkan pengaruh yang nyata. Media yang menujukkan pertumbuhan jumlah daun yang tinggi adalah media (01), (03), (05), (06 dan (07) dan berbeda nyata dengan media (04) yakni sebesar 5 lembar.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Jenis R. apiculata sampai dengan umur 3 bulan, media yang menunjukkan persen hidup yang paling tinggi adalah lumpur dengan persen hidup sebesar 97,5 %. Dalam perkembangannya hingga umur 10 bulan media yang paling tinggi persen hidupnya
266 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
adalah media campuran lumpur : pasir (2: 1) dengan persen hidup sebesar 34,34 %. Untuk pertumbuhan tinggi dan jumlah daun cenderung lebih baik pada media dengan campuran pasir dan lumpur dengan kandungan pasir 1 atau 2 bagian dari bagian lumpur. 2.
Jenis B. cylindrica sampai dengan umur 3 bulan media yang menunjukkan persen hidup yang paling tinggi adalah media lumpur : pasir ( (2: 1) dengan persen hidup sebesar 100% dan tidak berbeda dengan media lumpur yakni sebesar 95,5 %. Dalam perkembangan hingga umur 10 bulan media yang paling baik adalah media campuran lumpur : pasir (2: 1) dengan persen hidup sebesar 46,44 % dan tidak berbeda dengan media pasir : lumpur (2:1) sebesar 41,90 %. Pertumbuhan tinggi dan jumlah daun cenderung tidak menunjukkan media yang khusus baik pasir, lumpur ataupun campuran keduanya.
3.
Jenis C. tagal sampai dengan umur 3 bulan media yang menunjukkan persen hidup yang paling tinggi adalah media lumpur dengan persen hidup sebesar 92,5 %. Dalam perkembangan hingga umur 10 bulan media yang paling tinggi persen hidupnya adalah media lumpur : pasir (2:1) yakni sebesar 64,33 % dan tidak berbeda dengan media campuran pasir : lumpur (3:1) yakni 60,64 %. Untuk pertumbuhan tinggi dan jumlah daun cenderung baik pada media yang kandungan pasirnya lebih besar atau sama dengan lumpur.
4.
Untuk menghindari tingkat kematian bibit yang tinggi di persemaian disarankan agar memerhatikan umur bibit yang optimal di persemaian dan media yang sesuai dengan waktu simpan bibit di persemaian.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2011). Bruguiera cylindrica. http://www.wetlands.or.id/mangrove/ mangrove_species.php?id=16 Diunduh tanggal 28 januari 2011. Anonim. ( 2010 ). Ceriops tagal . http://www.proseanet.org./florakita) /broser.php?) . Diunduh tgl. 21 juli 2010. Anonim. (2010). Tengar. Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia http://id.wikipedia.org/wiki/tengar . Diunduh tgl 21 juli 2010.
bebas
Anonim. (2012). Bakau. Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia http://id.wikipedia.org/wiki/bakau. Diunduh tanggal 24 Juli 2010.
bebas
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 267
Ashton, P.S. (1988). Manual of the Non-Dipterocarp Trees of Sarawak Volume II. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Sarawak Branch For Forest Department Sarawak. Brady, N.C. (1985). The Nature And Properties Of Soils (Ninth edition). New York, NY, U.S.A.: Macmillan Publishing. Mangrove information centre, (2009). Informasi Umum Mangrove. http:// www.mangrovecentre.or.id/Informasi_umum.htm.salinan. Diunduh tanggal 20 Mei 2010. Nybakken, J.W. (1988). Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT. Gramedia. Supriharyono. (2000). Pelestarian dan pengelolaan Sumber Daya Alam Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: Gramedia Pustaka. Taniguchi, K., S.Takashima, O.Suko. (1999). Manual Silvikultur Mangrove untuk Bali dan Lombok (The Development of Sustainble Mangrove Management Project). Bali : Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan Japan International Cooperation Agency. Tomlinson. (1986). The Botany of Mangrove. New York: Cambridge University Press. Yitnosumarto, S. (1993). Percobaan perancangan, Analisis, dan Interpretasinya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
268 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
RAGAM PEMANFAATAN TUMBUHAN OBAT MASYARAKAT TRADISIONAL DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU, PROVINSI SULAWESI TENGAH Merryana Kiding Allo1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Pemanfaatan keanekaragaman jenis tumbuhan merupakan gambaran dari perkembangan budaya masyarakat yang tidak terpisahkan dari kehidupannya. Berbagai pengetahuan leluhur yang merupakan warisan dalam pemanfaatan tumbuhan untuk fungsi pengobatan masih dapat dijumpai pada masyarakat tradisional di sekitar Taman Nasional Lore Lindu. Hasil penelitian menunjukkan masyarakat tradisional yang bermukim di sekitar taman nasional yang terdiri dari suku Kaili, suku Badaa, suku Kulawi, dan suku Lore (Pekarehua, Behoa Kakau, Behoa Ngamba dan Tawaeli) berbeda penggunaannya baik jenis, jumlah, bagian tumbuhan dan caranya dalam memanfaatkan tumbuhan obat dari hutan. Pengamatan secara purposive ditemukan bahwa tumbuhan hutan yang dimanfaatkan sebagai obat terdapat 143 jenis tumbuhan obat yang meliputi 80 marga yang berasal dari 46 famili dimanfaatkan oleh 4 suku masyarakat tradisional, yang bermukim di sekitar taman nasional. Suku Kaili menggunakan 75 jenis tumbuhan hutan, lebih cenderung menggunakan bagian daun, suku Badaa menggunakan 19 jenis tumbuhan hutan lebih banyak menggunakan bagian daun dan pucuk daun, suku Kulawi menggunakan 26 jenis tumbuhan hutan juga menggunakan bagian daun dan pucuk daun sedangkan suku Lore menggunakan 55 jenis dengan menggunakan hampir seluruh bagian tumbuhan. Kata kunci : Tumbuhan obat, masyarakat tradisional, TN Lore Lindu
I. PENDAHULUAN Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah merupakan salah satu kawasan konservasi yang memiliki keragaman hayati yang sangat tinggi, menempati areal kawasan hutan seluas 217.991,18 hektare (Departemen Kehutanan, 2010). Dikukuhkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999 setelah beberapa kali mengalami perubahan sejak tahun 1982. Tiga misi yang diemban oleh taman nasional, yakni : (1) Perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta masyarakat pemukim di sekitar kawasan yang masih memertahankan nilai-nilai budaya lokal/kearifan lokal dan (3) Pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari. Taman Nasional Lore Lindu dengan potensi dan keunikannya, pada tahun 1977 ditetapkan sebagai salah satu cagar biosfer (Biosphere Reserve) oleh MAB-UNESCO, karena selain keindahan alamnya yang spesifik. Diperkirakan terdapat 266 jenis flora (beberapa di antaranya tergolong endemik dan record baru). 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
269
Keanekaragaman hayati dari hutan telah dimanfaatkan secara tradisional maupun komersial. Masyarakat tradisional sejak zaman dahulu secara turun temurun telah memanfaatkan sumberdaya hutan selain sebagai sumber bahan pangan dan papan juga sebagai obat-obatan. Dibatasi oleh kondisi kehidupan yang jauh terpencil sehingga sulit terjangkau, menyebabkan ketergantungan masyarakat tradisional terhadap hutan sangat tinggi dan mereka memanfaatkan apa yang tersedia di alam sekitarnya. Salah satu bentuknya adalah pemanfaatan obat-obatan asal hutan sebagai alternatif pemecahan masalah kesehatan, khususnya masyarakat terpencil yang seringkali bermasalah dengan gizi buruk. Akibat dari kondisi tersebut tingkat penyebaran penyakit endemi tropis menjadi rawan, sehingga suatu saat nanti dapat menjadi hambatan bagi pemerintah dalam meningkatkan pembangunan stabilitas negara khususnya dalam bidang kesehatan dan pengembangan sumberdaya manusia. Dalam Waluyo (1991) disebutkan bahwa dasar pemahaman terhadap lingkungan alam sekitar tempat bermukim masyarakat tradisional, merupakan suatu upaya untuk dapat mempertahankan hidup serta mengembangkan keturunannya. Pemanfaatan tumbuhan obat untuk setiap suku memiliki banyak perbedaan, baik ditinjau dari jenis, jumlah, bagian tumbuhan, cara penggunaannya maupun komposisi ramuannya, sehingga berdasarkan hal-hal tersebut penting untuk mengetahui tempat bermukim kelompok-kelompok etnis sebagai pengguna tumbuhan obat serta lokasi sebaran dan status populasi jenis-jenis tumbuhan yang digunakan tersebut di kawasan taman nasional. Beberapa kelompok masyarakat etnis sebagai pemukim tetap di sekitar TN Lore Lindu, yaitu antara lain adalah suku Pekarehua menempati lembah Napu yang mencakup wilayah Wuasa, Tamadue, Wanga, Kaduaha dan Alitupu di bagian barat, kelompok etnis Bada menempati wilayah taman nasional bagian selatan, suku To Behoa Kakau di bagian Besoa hutan, Katu, To Behoa Ngamba di Besoa Lembah, Kaili Uma, Kaili Ledo, Kaili Muma, Kaili Da’a dan Kaili Ija menempati bagian utara dan barat wilayah taman nasional. Sedangkan kelompok etnis imigran adalah Bugis, Mandar, Makassar, Toraja, Jawa, Bali, Sangir Minahasa (BB TN Lore Lindu, 2009). Minimnya kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat di sekitar kawasan kerap menjadi alasan utama terjadinya eksploitasi sumberdaya hutan. Akselerasinya kemudian diperkuat oleh meningkatnya jumlah penduduk sehingga mendorong perluasan lahan garapan. Di lain pihak, perkembangan industri obat-obat tradisional di Indonesia dalam 30 tahun terakhir cukup pesat sehingga dikhawatirkan ketersediaan sumber daya
270 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
dan keragaman tumbuhan obat akan menurun yang berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem di alam. Dalam Arif dan Roemantyo (1994), bahwa ada dua faktor penyebab terhambatnya perkembangan pemanfaatan obat tradisional, yaitu : - Kurangnya penelitian terhadap jenis-jenis tumbuhan berkhasiat obat dan dari berbagai penelitian yang telah dilakukan ternyata aspek manfaat/khasiat yang terbanyak diteliti, sedangkan aspek etnobotani dan etnofarmakologi (kandungan kimia bahan bioaktif berfungsi obat). - Banyaknya obat-obatan luar negeri yang masuk ke Indonesia, umumnya merupakan obat paten yang lebih praktis dan sudah teruji secara ilmiah. Sedangkan obat tradisional hanya digunakan oleh masyarakat kecil yang relatif cepat puas dengan kondisi yang ada.
II. BAHAN DAN PELAKSANAAN KEGIATAN Bahan penelitian meliputi jenis-jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat tradisional di kawasan TN Lore Lindu. Pelaksanaan kegiatan penelitian dilakukan berdasarkan pada dua aspek kegiatan, yaitu aspek budaya, yakni penelusuran tentang
jenis-jenis
tumbuhan
dengan
manfaat
pengobatan
serta
cara-cara
penggunaannya dalam pengobatan. Selanjutnya dilakukan wawancara langsung dengan tokoh-tokoh adat/budaya dan masyarakat pengguna setempat. Sedangkan aspek botanis, yaitu koleksi jenis-jenis tumbuhan obat dengan metode herbarium, serta penelusuran simplisia masing-masing jenis tumbuhan obat. Berdasarkan tipe hutan di lokasi penelitian secara umum merupakan hutan pegunungan (sekitar 90%) dari luas total wilayah taman nasional berada pada ketinggian di atas 1.000 m dpl sedangkan untuk wilayah dataran rendah pada ketinggian > 400 m dpl dengan kondisi topografi berbukit, bergunung hingga curam. Menurut TNC (2000), bahwa tercatat ± 9 tipe vegetasi di kawasan TN Lore Lindu dan hutan pegunungan berperan sangat penting dalam sistem ekologi karena menjadi daerah tangkapan air (catchment area) dalam siklus hidrologi, pengatur iklim dan konservasi biodiversitas. III. KERAGAMAN MASYARAKAT ETNIS DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU Keanekaragaman suku dan budaya merupakan hal yang menarik dan unik untuk dikaji. Berdasarkan lokasi tempat tinggal/bermukim di sekitar kawasan TN Lore Lindu,
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
271
beberapa kelompok masyarakat etnis/suku antara lain suku Pekarehua yang merupakan turunan dari suku Lore. Sejak dahulu menempati pedalaman lembah Napu yang mencakup wilayah Wuasa, Tamadue, Wanga, Kaduaha dan Alitupu. Di bagian barat dari pemukiman suku Lore ada kelompok etnis Badaa menempati wilayah perbatasan TN Lore Lindu bagian selatan, kemudian suku to’ Behoa Kakau di bagian Besoa hutan, Katu, to Behoa Ngamba bermukim di Besoa Lembah, Kaili Uma, Kaili Ledo, Kaili Muma, Kaili Da’a dan Kaili Ija menempati bagian utara dan barat TN Lore Lindu. Selain suku-suku asli, terdapat pula kelompok masyarakat imigran seperti suku Bugis, Mandar, Makassar, Toraja, Jawa, Bali dan Sangir Minahasa. Hingga saat ini terdapat 5 masyarakat etnis, yaitu suku Kaili, suku Kulawi, suku Badaa, suku Lore (Pekarehua, Behoa, Kakau, Behoa, Ngamba, dan Tawaeli) dan suku Daa’ yang tercatat bermukim berbatasan dengan kawasan taman nasional secara tradisional. Berdasarkan tipe hutan di lokasi penelitian secara umum merupakan hutan pegunungan (sekitar 90%) dari luas total wilayah taman nasional berada pada ketinggian di atas 1.000 m dpl sedangkan untuk wilayah dataran rendah pada ketinggian > 400 m dpl dengan kondisi topografi berbukit, bergunung hingga curam. Menurut TNC, 2000 (unpublished), bahwa tercatat 9 tipe vegetasi di kawasan TN Lore Lindu dan hutan pegunungan berperan sangat penting dalam sistem ekologi karena menjadi daerah tangkapan air (catchment area) dalam siklus hidrologi, pengatur iklim dan konservasi biodiversitas.
IV. KERAGAMAN DAN PEMANFAATAN JENIS-JENIS TUMBUHAN OBAT DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU Umumnya masyarakat tradisional menganggap bahwa sistem pengetahuan tentang alam tumbuh-tumbuhan merupakan pengetahuan dasar yang amat penting demi kelangsungan hidupnya, berdasarkan pengalaman yang telah teruji secara turun temurun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 143 jenis tumbuhan obat yang meliputi 80 marga yang berasal dari 46 famili dimanfaatkan oleh 5 masyarakat tradisional, yaitu suku Kaili, suku Kulawi, suku Badaa, suku Lore (Pekarehua, Behoa Kakau, Behoa Ngamba dan Tawaeli) dan suku Daa’ secara tradisional, sebagaimana dapat dilihat dalam lampiran pada Tabel 1. Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional telah berakar kuat di Indonesia, merupakan salah satu aset budaya dan pengetahuan yang menjadi kekayaan bangsa
272 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
yang wajib dijaga kelestariannya. Penggunaan tumbuhan obat oleh masyarakat pedalaman yang hidup di pelosok umumnya masih terikat pada tradisi, yaitu etnis, budaya, lokasi bermukim dan sebaran tumbuhan. Beberapa contoh penggunaan resep kesehatan tradisional yang kini mulai memasyarakat khususnya di perkotaan adalah konsumsi jamu, aroma terapi, kapsul herbal dengan asal bahan alami baik dari tumbuhan maupun hewan untuk menjaga kesehatan dan penyembuhan berbagai macam penyakit. Di antara jenisjenis yang ada terdapat beberapa jenis yang sama, dengan nama lokal berbeda, sesuai bahasa masyarakat etnis yang memanfaatkannya. A. Masyarakat Tradisional Kaili di Kelompok Hutan Pakuli Sejak dahulu desa Pakuli telah dikenal sebagai pusat pengobatan tradisional, sehingga nama ‘desa Pakuli’
yang berarti ‘desa obat’ menjadi salah satu desa lokasi
tempat studi mahasiswa beberapa perguruan tinggi di bidang kesehatan maupun fakultas farmasi di Palu, para anggota-anggota PKK dengan program binaan masyarakat pedesaan membuat kebun-kebun TOGA (Tanaman Obat Keluarga) dan tujuan kunjungan anggota DPR baik pusat maupun daerah. Di Kecamatan Gumbasa sebagai salah satu desa yang berbatasan dengan TN Lore Lindu merupakan kecamatan pemekaran dari Kecamatan Sigi Biromaru, merupakan ibukota kecamatan yang terdekat dari ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Masyarakat suku Kaili merupakan kelompok masyarakat asli yang diketahui sebagai penduduk asli desa Pakuli. Di samping itu setelah terjadi pemekaran kabupaten masuklah suku-suku pendatang seperti suku Bugis, Toraja, Sangir bahkan sempat pula terjadi perpindahan antar desa sehingga terdapat pula suku Badaa yang berasal dari pegunungan. Kelompok masyarakat ini bermukim di desa Tuva. Dengan demikian di wilayah Kecamatan Gumbasa ini bermukim beberapa kelompok masyarakat etnik yang menjalin kehidupan kekerabatan yang erat. Secara geografis kondisi topografi wilayah dataran rendah umumnya adalah daratan, berada pada kisaran ketinggian dari permukaan laut 82 – 229 m. Hampir seluruh desa dapat dijangkau oleh kendaraan roda dua dan roda empat. Jarak antara ibu kota kecamatan dengan desa-desa terjauh 8 – 10 km.
Bentuk wilayah 50% merupakan
dataran, 25% berbukit dan 25% bergunung, menyebabkan aktivitas perekonomian masyarakat umumnya bertani. Dari luas wilayah 176,49 km² ditempati oleh 13.058 jiwa penduduk, jadi tingkat kepadatan penduduk rata-rata 73 jiwa/km². Lahan sawah seluas ± 1.740 hektare
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
273
menggunakan pengairan dari irigasi teknis, ½ teknis dan sederhana. Sedangkan luas lahan perkebunan 3.497,2 hektare diusahakan dalam bentuk kebun kelapa, cengkeh, kopi dan kakao. Usaha lainnya adalah peternakan dan kolam ikan. Dari gambaran kondisi sosial budaya masyarakat tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendapatan masyarakat tidak semata-mata berasal dari hutan karena sumber pendapatan sudah cukup bervariasi. Jika dihubungkan dengan tingkat keragaman jenis tumbuhan obat yang cukup tinggi, yaitu sekitar 81 jenis (hasil identifikasi langsung dan beberapa hasil penelitian sebelumnya), yang secara tradisional sejak dahulu telah dimanfaatkan sebagai obat oleh kelompok masyarakat etnis Kaili, Bugis, Sangir dan Toraja. Nampaknya pengaruh budaya masyarakat setempat masih sangat berpengaruh terhadap sistem pengobatan yang dianut, sebagian besar masih tergantung pada obatobatan tradisional. Daftar nama jenis-jenis tumbuhan obat yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat suku Kaili dapat dilihat pada lampiran Tabel 2. Dari data hasil rekapitulasi jenis tumbuhan obat pada Tabel 2 menunjukkan bahwa 97,07 % bahan utama obat yang dimanfaatkan oleh suku Kaili adalah bagian daun dengan cara dikeringkan hingga bebas kadar air dan penyajiannya dengan cara direbus lalu air bekas rebusan diminum dengan interval waktu yang telah ditentukan sesuai dengan berat/ringan sakit penderita. B. Masyarakat Etnis Badaa di Kelompok Hutan Simoro Kelompok masyarakat suku Badaa yang bermukim di desa Tuva merupakan kelompok imigran dari wilayah pegunungan Behoa yang turun ke wilayah dataran rendah/pantai sewaktu terbuka akses melewati wilayah Gimpu (wilayah TN Lore Lindu bagian selatan). Nampak dari penggunaan jenis tumbuhan obat dan cara penggunaan ramuan, mendapat pengaruh dari budaya suku Kaili dan beberapa suku imigran lainnya seperti suku Bugis, Toraja, Sangir dan Minangkabau. Di antara 19 jenis tumbuhan obat yang digunakan dapat dilihat pada lampiran Tabel 3. Dari data yang tertera dalam Tabel 3, menunjukkan bahwa bagian tumbuhan dan cara penggunaan obat mirip dengan yang dilakukan oleh suku Kaili. Penggunaan bagian daun/pucuk sekitar 68%, bagian kulit 15,78% dan lainnya adalah bagian umbi pemanfataannya sekitar 16,22%. Cara penggunaan dengan direbus masih merupakan cara yang umum selain cara dipanaskan di atas api hingga hangat lalu ditempelkan pada bagian yang sakit.
274 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
C. Masyarakat Etnis Kulawi di Kelompok Hutan Lindu Kelompok masyarakat etnis Kulawi pada awalnya berdiam di wilayah pegunungan Kulawi yang terbagi ke dalam Kulawi Tengah dan Kulawi Selatan. Bermukim pada wilayah pegunungan pada ketinggian tempat 1.200 m dpl, dengan topografi berat 12-40%, suhu rendah 16–22ºC dan kelembaban tinggi mencapai 78% ikut memengaruhi mata pencaharian
masyarakat
setempat.
Sama
halnya
dengan
penduduk
di
wilayah
pegunungan Napuh pekerjaan umum yang menetap adalah pertanian sawah dan kebun. Pemanfaatan tumbuhan obat asal hutan terdiri dari 26 jenis yang dikenal dengan nama lokal, sebagaimana dapat dilihat pada lampiran Tabel 4. Tabel 4, menunjukkan bahwa variasi bagian yang digunakan dan cara penggunaan tumbuhan obat terbanyak adalah bagian daun sekitar 76%, kemudian yang lain dalam bentuk kulit batang, akar, umbi dan yang terkecil adalah penggunaan getah yaitu 3,85%. Sedangkan cara umum penggunaaan bahan obat secara langsung yaitu diremas, dikerok lalu ditempelkan pada bagian yang sakit atau air perasan langsung diminum (7,68 %). Cara penggunaan obat-obatan asal tumbuhan yang terbanyak dilakukan oleh suku Kulawi adalah dengan cara direbus dan diminum hangat-hangat atau dicampurkan dengan minyak yang panas lalu dioleskan menggunakan jari manis. Cara memetik bunga atau daun, secara umum jumlah daun yang dipetik harus dalam bilangan ganjil dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk. D. Masyarakat Etnis Lore (Pekarehua, Kelompok Hutan Lembah Napu) Kelompok masyarakat etnis yang bermukim di dataran lembah Napu terdiri dari beberapa suku, yaitu suku Pekarehua menempati lembah Napu mencakup Wuasa, Tamadue, Wanga dan Alitupu, suku Tawelia menempati pegunungan bagian utara, To Behoa Kakau menempati bagian Besoa berhutan dan To Behoa Ngamba menempati bagian Besoa lembah. Pemanfaatan tumbuhan obat di antara suku-suku tersebut, hampir sama khususnya fungsi pengobatan dari satu jenis tumbuhan obat. Kemungkinan hal tersebut berdasarkan pada pemahaman bahwa mereka berasal dari nenek moyang suku Lore yang menempati lembah Napu. Mata pencaharian masyarakat di wilayah pegunungan Napu umumnya bertani sawah, kebun sayur-sayuran, coklat, kopi, perikanan darat dan sebagai tukang bangunan. Sebagian hasil kebun khususnya sayuran dan kopi asal Napu cukup dikenal di ibukota provinsi, karena rasanya yang khas dan nikmat. Berdasarkan hasil wawancara terdapat 55 jenis tumbuhan obat asal dalam dan luar kawasan hutan yang telah dimanfaatkan secara turun temurun. Jenis-jenis tersebut dapat dilihat pada lampiran Tabel 5. “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
275
Dari hasil rekapitulasi data penggunaan jenis tumbuhan obat ditemukan 55 jenis yang dimanfaatkan sebagai obat. Dari jenis-jenis tersebut penggunaan bagian daun mencapai 54,55 %. Terdapat penggunaan bagian umbi dan akar dari jenis tumbuhan tertentu, memiliki persyaratan yaitu apabila akar harus pangkal akar yang mengarah ke timur dan umbi perhatikan umbi pada waktu dicabut dari tanah akar dan umbi tidak putus, apabila putus fungsi obat tidak berkhasiat lagi. Penggunaan bagian kulit batang hanya sekitar 3,6% dari tumbuhan yang ada.
Cara penggunaan secara tunggal, yaitu tidak
dicampur dengan bahan mentah bagian tumbuhan direbus dan diminum air bekas rebusan. V. PENUTUP Pemanfaatan tumbuhan obat asal hutan telah berlangsung sejak dahulu dan terus berlanjut hingga kini. Berdasarkan tinjauan aspek budaya ditemukan bahwa pemanfaatan tumbuhan obat dapat dibedakan atas tujuan pengobatan dan cara menggunakannya. Berdasarkan aspek botanis, ditemukan 143 jenis tumbuhan hutan yang dimanfaatkan sebagai obat, yaitu 80 marga yang berasal dari 46 famili yang dimanfaatkan oleh 4 suku masyarakat tradisional yang bermukim di sekitar Taman Nasional Lore Lindu. Suku Kaili menggunakan 75 jenis tumbuhan hutan menggunakan lebih banyak bagian daun, suku Badaa menggunakan 19 jenis tumbuhan hutan dengan menggunakan lebih banyak bagian daun dan pucuk daun, suku Kulawi menggunakan 26 jenis tumbuhan hutan juga menggunakan lebih banyak bagian daun dan pucuk daun sedangkan suku Lore menggunakan 55 jenis dengan menggunakan hampir seluruh bagian tumbuhan. Beberapa jenis tumbuhan obat yang berbeda nama lokal, namun jenisnya sama dimanfaatkan untuk pengobatan penyakit yang berbeda. Nampaknya bentuk penggunaan, cara maupun tujuan pengobatan dipengaruhi oleh kondisi fisiografi tempat bermukim masing-masing masyarakat tradisional/suku. Dalam rangka pelestarian jenis-jenis tumbuhan obat yang berasal dari kawasan Taman Nasional Lore Lindu, maka budidaya jenis-jenis tumbuhan obat dalam bentuk kebun konservasi perlu dikembangkan di luar kawasan taman nasional.
276 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. (2009). Tinjauan Pustaka. www.ymp.or.id, diakses tanggal 10 Maret 2009. Anonimous. (1997). Informasi Kawasan Konservasi provinsi Sulawesi Tenggara, Departemen Kehutanan, Laporan Tahunan Kanwil Kehutanan Prop. Sulawesi Tenggara. Kendari: Kanwil Kehutanan. Arif, A. dan H.S. Roemantyo. (1994). ‘Kajian Pengobatan Tradisional dengan Pelestarian Pemanfaatan Tumbuhan Obat’. Pelestarian Pemanfaatan Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. Bogor: Kerjasama Jur. Konservasi SDH, Fak. Kehutanan IPB dan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN). BB TN Lore Lindu dan Herbarium Celebense (CEB) Univ Tadulako. (2009). Inventarisasi Tumbuhan di TN Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Palu: Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu dan Herbarium Celebense Waluyo, E.B. (1991). Perkembangan Pemanfaatan Tumbuhan Obat di Luar P. Jawa. (Seminar Nasional Pelestarian dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat, 19-20 Pebruari 1991). Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Whitmore, T.C, I.G.M. Tantra. (1989). Tree Flora of Indonesia, Checklist for Sulawesi. Bogor: Published by Agency for Research and Development Forest Research and Development Center Bogor, Indonesia. TNC, 2000. Laporan Hasil Inventarisasi Jenis-Jenis Vegetasi Pegunungan TN Lore Lindu. Palu. Sulawesi Tengah. (Tidak dipublikasikan)
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
277
LAMPIRAN Tabel 1. Jenis - jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat etnis di desa Pakuli, Tuva, Kulawi, Lore Utara dan Kaili No.
Nama Lokal
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Andolia Alang-alang Alpukat Akar nangka Ambelira/ Belimbing Ati-Ati Bafaro Bakanganga Balamtanga Balaraja Bealu/Kemiri Bekava/Jabon Bihongge Bila Bonsai Buah Tengah Tujuh
17. 18. 19. 20. 21.
Cuminta bobe Dadap Daun papaya Kada manuk Kalete bebe/Kondogi awu/k. manis Kapas Kariango Katilalo/Betadin Katoko Kayu java/gamal Kadondo hutan Kejebling Kelor Kolek Kumis kucing Lasoagi Lemo Lero Mahkota dewa Manaru Manggarada Manta Manunduk tumangi Melinjo Mengkudu Nilam Pajatida/Benalu merah Panggare manuk Palanda Pasile/Ginseng Patunju Putri malu Ronto tabuni Sambung nyawa Sambiloto
22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51.
278 |
Family
Suku
Cananga odorata Hookdf & Than Chyperus sp. Persea gratissima Gaertnr Artocarpus heterophyllus Lamnk Averrhoa carambola L. Plecranthus scutellarioides (L) Vernonia cinerea (L.) Less Ficus fistulosa Reinw ex Blume Physalis angulata L. Kleinhovia hospital L. Aleurites moluccana (L) Willd Anthocephalus chinensis Solanum erianthum Swartz Crecentia cujete L. Duranta erecta L. Micromelum minutum (J.G.Forster) Wight & Arn (?) Erythrina subumbrans (Hassk) Merrill Carica papaya L. Eleusine indica (L.) Gaertner Cinnamomum sp.
Nama Latin
Annonaceae (?) Lauraceae Moraceae Oxalidaceae Lamiaceae Asteracea Moraceae Solanaceae Sterculiaceae Euphorbiaceae Rubiaceae Solanaceae Bignoniaceae Verbenaceae Rutaceae
Kaili sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda
Papilionaceae Caricaceae Poaceae Lauraceae
sda sda sda sda sda
Gossypium barbadense L Acorus calamus L. Jatropha curcas L Stachytarpheta jamaicensis (L) Vahl Gliricidia sepium (Jacq) Kunth.ex Walp Spondias sp. Strobilanthes crispa (L) Blume Moringa oleifera Lamk Breynia racemosa (Blume) Muell.Arg Orthosiphon aristatus (Blume) Miq Amaranthus spinosus L. Citrus sp. Pterospermum diversifolium Bl Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl Senna alata (L) Roxb Spilanthes paniculata Wall. Ex DC Cyperus brevifolius (Rottb) Hassk Heliotropium indicum L. Gnetum gnemon Morinda citrifolia L. Pogostemon cablin (Blanco) Benth Lonrantha sp. Selaginella plana (Desv.) Hieron Agalonema simplex Blume (?) Asystasia nemorum Nees Mimosa pudica L. Centella asiatica (L) Urb. Gynura procumbens (Lour.) Merr Andrographics paniculata (Burm. f.)
Malvaceae Acoraceae Euphorbiaceae Verbenaceae Fabaceae Acanthaceae Moringaceae Euphorbiaceae Lamiaceae Amranthaceae Rutaceae Sterculiaceae Thymelaeaceae Caesalpiniaceae Asteraceae Cyperaceae Borraginaceae Gnetacea Rubiaceae Lamiaceae Lorantahcaeae Selaginellaceae Aracaceae
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Acanthaceae Mimosaceae Apiaceae Asteraceae Acanthaceae
sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda
No.
Nama Lokal
52. 53. 54. 55. 56. 57. 58.
Selafegie Sibaka Sivala boa/Tembakau Sifanindi Silala Siumpu uva Soridi
59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78.
92. 93. 94. 95. 96. 97.
S u k a/Kencur Tabo Taboke Taijonso Tambajara Tambumbua Tampu Tamu inja Tandova Timbovana Turu-turu daya Turi Valangguni/Akar kuning Todojonjo Salebangu Pancihi nona Hadibango Tintiahe Talingauru Bunga lipa/kembang plastik Bube Sarang semut Kukuwa Panuntu/ Meniran Montolalu/Dadi-dadi Gali/Brotowali Bala roa Saga/Katimunda Vihongge Gampiasu Pepedi Batedala Kavoka jalovu/Pecut kuda Roviga Walambanga/ Ceplukan Tabah/Andong Kunyit hitam Pinang hutan Dongata
98. 99. 100. 101. 102. 102. 103.
Lilim banua Lehoka Tobobule Pakuli malei Pakuli teko H i h a/Pulai Ngilu
79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91.
Nama Latin Wallich ex Ness Fotoua pilosa Capparis micrantha DC Blume balsamifera (L) DC Bryophyllum pinnatum (Lamk) Oken Ficus Montana Burm. f (?) Chromolaena odorata (L) R.M.King & H. Robinson Kaempferia galangan L. Costus speciosus (Koenig) J.E. Smith Peperomia pellucid (L) Kunth (?) Hyptis brevipes Poit. Solanum torvum Swartz Eryngium foetidum L. Abelmoschus moschatus Medikus Emilia sanchifolia (L) DC ex Wight Cymbopogon citrates (DC) Stapf Biophytum sensitivum (L) DC Sesbania sericea (Willd) Link Arthangelisia flava
Phyllanthus niruri L.
Family
Suku sda sda sda sda sda sda sda
Capparaceae Asteraceae Crassulaceae Moraceae Asteraceae Zingiberaceae Zingiberaceae Piperaceae Lamiaceae Solanaceae Apiaceae Malvaceae Asteraceae Poaceae Oxalidaceae Papilionaceae
sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda Kulawi sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda
Euphorbiaceae
Abrus pecaforius
Curcuma aeruginosa Areca catechu L
Imperata cylindrical Raeusch
Alstonia scholaris (L) R.Br.
Arecaceae
Poaceae
Apocynaceae
sda sda sda sda sda Lore/ Pekarehua sda sda sda sda sda sda sda
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
279
No. 104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138. 139. 140. 141. 142. 143.
Nama Lokal Katumbar Lepa Walama paili/Tali akar kuning Hehitobehoa Pepolo Wula-Wale Kakubi Kakubure/Taku bure Palola topeule Tambore Baranohe Pogo-pogo Hehitobehoa Boa-boa Leboni Bowanu Wioa/Mayana Boulu kakao/sirih hutan Palan tangaa Hongka Bititambu Berenahe Singkodo Bentuno Lehoka Pahubu Nompi-nompi Lomo Paja/Benalu merah Kanuna Katitilu/Batata Bunga rahasia (pucuk kuning) Silaguri Daun kemiri (pucuk) L e m o besar Kayu manis Durian Kelapa merah Langsat Arang tempurung
Nama Latin
Family
Arthangelisia flava (*)
Lorantha sp.
Aleurites moluccana Citrus sp Cinnamomum sp. Durio zebethinus Cocos sp. Lansium spp. Cocos nucifera
Loranthaceae
Lauraceae Bombacaceae
Sumber data : Data primer hasil identifikasi (2010) Keterangan ? : Sementara diidentifikasi, sebagian spec. rusak.
280 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Meliaceae
Suku sda sda Lore/ Behoa sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda Kaili Ija sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda
Tabel 2. Daftar nama jenis-jenis tumbuhan hutan yang dimanfaatkan sebagai obat oleh suku Kaili di desa Pakuli No.
Nama Lokal
Bagian yang digunakan Bunga
1.
Abelira
2.
Akar alang
Akar
3.
Akar Nangka
Akar
4.
Akar pinang
Akar
5.
Alicopa
6.
Alpukat
7.
Cara Menggunakan
Kegunaan
Direbus, diminum
Darah tinggi, kolesterol
Dicuci, dicacah,dikeringkan, direbus
Sakit kuning, kurang darah
Sakit kanker buah dada
Daun
Dicuci, dicacah,dikeringkan, direbus Ditumbuk, diminum
Daun
Direbus, diminum
Diabetes
Ambelira/Belimbing
Daun, Buah
Direbus, diminum
8.
Anga
9.
Ati-ati
Daun/daun kering Daun
dikeringkan/dibakar, taburkan ke luka Direbus, diminum
Tekanan darah tinggi, kolesterol Obat gatal, obat luka bakar
10.
Baleroa
Daun
Direbus, diminum
Daun
Ditumbuk, digosok
Obat cacing
Asma Obat sakit kuning, diabetes, obat kudis Obat epilepsy
11.
Bangabila
Daun
Direbus, diminum
12.
Bealu
Daun
13.
Bekawa
Daun
Direndam, air untuk mandi Direbus, diminum
14.
Benalu
Daun
Direbus, diminum
Obat penyakit dalam
15.
Benalu batu
Daun
Direbus, diminum
Obat penyakit dalam
16.
Betadin/baka
Daun/Getah
dibalur
Luka
17.
Bihongge
Daun
Direbus
Pasca melahirkan
18.
Bila
Daun
Direbus, diminum
Tekanan darah tinggi
19.
Botedala
Daun
+ tembakau hutan
Asma, sesak napas
20.
Botedala (jurnal)
Daun
Diremas-remas, digosok
Obat sariawan, tenggorokan
Daun
Diminum
Obat TBC
Ditapelkan pada bagian sakit Ditumbuk, campur dengan beras, balurkan Diremas-remas, tapel
Obat memar
Ditumbuk, tapel ke kepala Direbus, campur dengan lainnya, diminum Direndam, air untuk cuci mata Dihaluskan, perasan diteteskan ke luka Diremas lalu diminum
Obat sakit kepala, Obat sakit kuning
Diremas-remas, diminum Diremas-remas, tapel
Obat batuk
21.
Bulu koto
Daun
22.
Bunga malaya
Daun
23.
Delumpa 2
Daun
24.
Dodoko
Daun
25.
Donggala
Daun
26.
Gamal
Daun
27.
Gampiaso
Daun
28.
Gampiasu
Daun muda Daun
Obat sakit lumpuh, asam urat Obat gatal-gatal Obat penyakit dalam
Obat demam Obat luka
Obat mata merah Luka Obat batuk
Obat bisul
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
281
No.
Nama Lokal
Bagian yang digunakan Daun
29.
Gedi
30.
Gelumpa
31.
Jambu biji
32.
Kada mbulu
33.
Kadudu/kadundu
Daun
34.
Kanuna/kanunak
Daun
35.
Kapas
36.
Katimunda 2
37.
Cara Menggunakan
Kegunaan
Direbus, diminum
Penurun panas
Diremas-remas, balur ke badan Direbus, diminum
Obat demam
Ditumbuk, campur dengan lainnya, digosok-gosok ke badan/kaki Direbus, diminum
Obat lumpuh
Obat kanker payudara
Daun
Direbus, campur dengan lainnya, diminum bedak
Daun
Ditumbuk, diminum
Obat tipes
Kayu lana
Daun
Obat maag
38.
Kayu lei 1
Daun
Dilayukan, tapel ke perut Ditumbuk, diminum
39.
Kayu manuru
Daun
Obat lepra
40.
Kelor
Daun
Ditumbuk, diminum/digosok Diremas, diminum
41.
Kolei
Daun
Ditumbuk, air diminum
Obat batuk anak-anak
42.
Kondorano
Daun
Obat muntah-muntah, diare
43.
Kudambuku
Daun
Dikeringkan, tumbuk, campur dengan lainnya, balur/diminum Direbus, diminum
44.
Lana
Daun
Direbus, diminum
Asam urat dan Obat sakit pinggang Stroke
45.
Lobe
Daun
Ditumbuk, diminum
obat nyeri saat haid
46.
Lonpiyo
Daun
Ditumbuk, dibalur
Obat demam anak-anak
47.
Maku'
Daun
Direbus, diminum
Sakit perut, perlancar seni
48.
Taipa/Mangga
Daun
Direbus, diminum
Diare, hipertensi
49.
Manuru/ Manaru
Daun
Panu
50.
Melati
Daun
Diremas-remas airnya diteteskan Direndam untuk mandi
51.
Patonju
Daun
Obat luka
52.
Pepaya
Daun
Diremas-remas, air diteteskan Direbus, diminum
53.
Pepedi
Daun
panu
54.
Rica
Daun
55.
Ronto taurino
Daun
56.
Roviga (rowiga)
Daun
Dihaluskan, ditempelkan pd bgn yg sakit Diremas, campur dengan sirih, dibalurkan Ditumbuk, Campur dengan "kuni", diminum Dikeringkan, direbus
57.
Sambungnyawa/ Siumpunosa
Daun
Direbus, diminum
Penyakit dalam
Tumbuk, campur dengan tepung beras, balur ke badan Diremas-remas, gosok ke bgn kening Diremas-remas, digosok ke payudara
Obat demam
Daun Daun Daun dan batang
Daun dan buah
58.
Sanggulera/sangulera
Daun
59.
Sibka
Daun
282 |
Obat diare
Obat sakit kulit/kudis
Obat batuk berdahak
Sembelit
Cacar
Malaria
Obat lepra Obat keputihan, paska melahirkan Stroke, Patah tulang
Obat sakit kepala, obat asma Benjolan payudara
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
60.
Silala
Bagian yang digunakan Daun
61.
Silohi
Daun
62.
Sirangidi
Daun
63.
Sirsak
Daun
64.
Soridi
Daun
65.
Sunju
Daun
66.
Taboube
daun
67.
Tambajara
68.
No.
Nama Lokal
Cara Menggunakan
Kegunaan
Diremas-remas, digosok
Kutu air
Diremas-remas, digosok ke skortum Diremas, tapel ke bgn kening Diremas-remas, gosok ke akar rambut Air daun
Obat hernia
Ditumbuk, diperas, diteteskan ke luka Ditetes
Obat mengeringkan luka lama Katarak
Daun,Bunga
Direbus dan diminum
Sinus/polip
Tammueuju
Daun
Direbus dan diminum
Maag
69.
Tandowo
Daun
Obat batuk balita
70.
Tarangga kayu
Daun
Ditumbuk, diperas, diminum Ditumbuk, ditapel
71.
Taua lemo
Daun
Diremas, digosok-gosok
Masuk angin
72.
Tavumbua/Tawumbua
Daun
Diremas, digosok-gosok
Setelah melahirkan
73.
Tawa baulu
Daun
Diremas, digosok-gosok
74.
Tawate
Daun
Direndam, diminum
Obat gatal-gatal, pasca persalinan Obat pilek
75.
Tea
Daun
Direbus, diminum
76.
Tembakau Hutan
Daun
Direbus, diminum
Tekanan darah tinggi, diabetes Asma
77.
Timbo fanepongi
Daun
Tambahkan minyak
Asam urat
78.
Tungga tumangi
Daun
Batuk
79.
Tungga tumangi
Daun
80.
Turi
Daun
81.
Walesu
Daun
Diremas dan airnya langsung diminum Ditumbuk, diperas, diminum Air perasan + air kelapa muda, kompres Diremasremas,diteteskan
Obat sakit kepala Kutu rambut Bau badan
Obat memar
Obat batuk 40 hari Sakit kepala Obat luka
Sumber Data : Data primer (2010), Balai TN Lore Lindu (2004) dan LIPI (2009)
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
283
Tabel 3. Daftar nama jenis-jenis tumbuhan hutan yang bermanfaat obat oleh suku Badaa di desa Tuva
1.
Tambaho/Tigi
Herba
Bagian yang digunakan Daun
2.
Hiha/Kayu telur
Pohon
Kulit
3.
Bingkalo/ Tambajawa
Herba
Pucuk
4.
Tambane
Pohon
5.
Alpukat
Pohon
Pucuk daun muda Daun tua
6.
Balimbonga
Rumput
Ujung daun
7.
Tesimata
Rumput
Ujung Daun
8.
Pukiundui/Putri benalu Kavakahit
Rumput Rumput
Akar, batang, daun Pucuk
10.
Himpodo
Menjalar
Pucuk
11.
Towina tomini/Tomat
Herba
Pucuk
12.
Konlokali/Patikala
Herba
Umbi
13.
Goraka/Jahe
Herba
14.
Baluee/tatanga
Herba
15.
Pembaka/Jongi
Pohon
Batang
Dikeruk dan ditempel di dahi
16.
Tebu hutan
Herba
Dikeruk dan diperas, diminum
17.
Jambu biji hutan
Pohon
Isi dalam batang Pucuk
18.
Lita/Mita
Herba
Kulit
19.
Talagae
Herba
Daun
No.
9.
Nama lokal
Habitus
Cara menggunakan
Sakit perut
Umbi
Minyak tanah dicampur daun yang kering, dikucek, tempel pada bagian perut Kulit dikupas, kulita ari dikerok,campur air, diperas sampai ½ gelas,minum (3 x 1/hr) Petik tujuh pucuk,rebus dengan air satu gelas, saring dan diminum 1 genggam daun muda, siram air panas, dinginkan, diminum 7 lembar daun tua, direbus sampai 1 gelas, 1 x minum Direbus dengan 1 gelas air, setiap hari Direbus dengan 1 gelas air, minum 3 x sehari Campur ketiganya rebus dan diminum Siram air panas satu gelas, dinginkan, diminum Siram air panas satu gelas, dinginkan, diminum Diremas, sapukan sekitar kelopak mata, 3 x sehari (sekali pakai) Dihaluskan, direbus 1 gelas (3 x sehari) + kunyit, direbus atau dimakan
Daun
Daun 7 lbr, tempelkan ke dahi
Sakit kepala, demam Sakit kepala, demam Sakit dalam
Dikunyah atau direndam air panas dan diminum Direbus hingga mendidih.diminum hangat Dipanaskan di atas api, ditempelkan pada mata bisul
Sumber data : Data primer hasil identifikasi langsung, BB TN Lore Lindu (2009) dan LIPI (2010)
284 |
Kegunaan
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Sakit dalam
Sakit dalam
Sakit dalam Sakit dalam Sakit dalam Sakit dalam Kanker Bisul Sakit dalam Mata buram
Sakit mag Masuk angin
Diare Sakit dalam Bisul
Tabel 4. Daftar nama jenis-jenis tumbuhan hutan yang bermanfaat obat oleh suku Kulawi, Kec. Sigi Biromaru No. 1.
2.
Nama Lokal Hatimbangu
Bube
Habitus Semak
Rumput
Bagian yang digunakan Daun
Daun Daun
Cara menggunakan Daun ditumbuk halus,diperas,air perasan diminum Dikucek sampai halus, dipepes, tempel pada luka Dikucek sampai halus, dipepes, tempel pada pipi Dicampur kunyit, ditumbuk, diperas, air perasan diminum Dikucek, diperas, diminum
Sakit perut, masuk angin Obat Luka
Pucuk daun ditempelkan di dada
Sesak napas
3.
Levono
Pohon
Pucuk daun
4.
Malacai
Pohon
Daun
5.
Lengaru
Pohon
Kulit batang
6.
Walimua
Pohon
Daun
7.
Sereh
Rumput
Tulang daun
8.
Kula'
Rumput
Biji
9.
Haliguri
Rumput
Daun
10.
Walangguni
Pohon
11.
Bubbe
Rumput
Daun muda
Diremas,Diperas/Disaring, diminum
12.
Gunato
Pancang
Daun muda
Diremas. Airnya diteteskan pada luka, ampas dibalutkan pada luka Dimasak sayur
Batang
Daun muda 13.
Pohon
Daun
14.
Hilikaya/ Srikaya Buluccai
Pohon
Daun
15.
Momata
Rumput
Daun
16.
Tinti ahe
Rumput
Batang muda
17.
Tabe malimmoa
18.
Daun dipanaskan di api kemudian ditempel ke bagian yang sakit Kulit dikerok kemudian ditempelkan pada bagian yang luka Daun dikucek,diperas, air perasan diminum Dikepret, campurkan air secukupnya kemudian untuk kompres Dihaluskan,dicampur garam,diminum dengan air Dihaluskan,Disiram air panas,digosok di badan (3 x pakai) Batang direbus, air rebusan diminum
+ Kapur sirih + sirih hutan, dihaluskan, dioles Dipanaskan pada bara api, dibalut/diikat di kepala, ½ - 1 malam Diremas sampai halus, air disaring dan diminum, ampas dibalut pada ubun ubun Dihaluskan, air diminum
Daun
Direbus, diminum 3 x sehari (1 gelas)
Buah
Dimakan
Pohon
20.
Gambu/Jambu Hutan Momata/Cakar ayam Gambas
21.
Kayu kuning
Pohon
Akar
Dicacah, direbus, diminum
22.
Pancihi nanga
Terna
Daun
Dicuci,dikucek,air perasan diminum
23.
Kunyit
24.
Talinga uru
19.
Herba Menjalar
Rumput
Pucuk daun muda Daun Biji
Kegunaan
Obat Demam Lever
Obat Memar Obat Luka
Obat masuk Angin Obat Kesegaran Tubuh Obat Penghilang Rasa Lelah
Obat Luka Luar Obat Sakit Dalam Diabetes dan Kolesterol Obat Pusing dan Penurun Panas Obat penurun panas
Dicuci,dikunyah, telan air
Obat Diare
Dikucek halus, kompres
Obat penurun panas
Digoreng, dihaluskan, diminum
Akar/Umbi
+ asam + gula merah, direbus, diminum
Daun dan batang
Direbus dan diminum
Obat Sakit Dalam Obat Luka Dalam
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
285
No. 25. 26.
Nama Lokal Bunga plastik/lipah Bipa balula
Herba
Bagian yang digunakan Batang
Herba
Daun
Habitus
Cara menggunakan Ambil getah dan dioles pada luka
Obat Luka
Dikucek, digosok pada dahi atau punggung
Masuk Angin
Sumber data : data primer hasil identifikasi (2010)
286 |
Kegunaan
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Tabel 5. Daftar nama jenis-jenis tumbuhan hutan yang bermanfaat obat oleh suku Lore Pekarehua dan Behoa di dataran Napu.
Lumut
2.
Lomo/Akar angin Lolo bambu
Pohon
Bagian yang Digunakan Semua bagian Pucuk
3.
Tatanga
Pohon
Daun/ getah
4.
Herba
umbi
Getah dioleskan pada bisul
5.
Lehune pekurehua Lambangahu
Liana berkayu
Pucuk
Dimakan
6.
Bada ntomate
Herba
Umbi
Di rebus
7.
Hetti nipo
Rumput
Daun
Dikunyah
8.
Leli Mbanua
Herba
Daun
Direbus
9.
Kariongo
herba
umbi
Direbus
10.
Boa-boa
Rumput
Pucuk
Direbus
11.
Tali pai
Liana berkayu
Batang
Direbus
12.
Sangkada
Rumput
Daun
Direbus
13.
Bangali
Liana berkayu
Umbi
Batang dibersihkan, makan
14.
Tuwu-tuwu
Herba
15.
Alang-alang
Rumput
16.
Pujuk labu
Liana tidak berkayu
17.
Hahali
18.
Dui naru
19.
Ari loka
20.
Paria
21.
Bingkaroma
Liana berkayu
22.
Biti Tombu
Liana berkayu
Pucuk daun, Air Daun
23.
Kandupa dara
Liana berkayu
Akar, daun
24.
Ilengke uwai
Rumput
Daun
Dapat dicampur dengan makanana Diremas lalu teteskan ke mata
25.
Kulapare/Jahe
Herba
Umbi
Direbus
Obat Mabuk
26.
Bada/kunyit
herba
umbi
Direbus
27.
Herba
Daun
Direbus
28.
Humpi meo/ kumis kucing Lepa
Obat Penyakit Dalam Obat Kencing Batu
Rumput
Daun
Dikunyah
29.
Palolakau
Herba
Buah
Direbus
30.
Pepolo
Pohon
Tunas muda
31.
Nompi-nompi
Rumput
32.
Wule-wule
Perdu/ semak
semua bagian Batang muda/Buah
No. 1.
Nama lokal
Habitus
Rumput
Cara menggunakan
Kegunaan
Di kunyah, ditempel pada bagian yang luka Langsung dimakan
Obat Luka luar
Direbus, ditetes pada sariawan
Obat Sariawan Obat Bisul
Diabetes Diabetes dan Asam Urat
Cukur peras airnya Akar
Dibersihkan masak
Pucuk
Direbus
Daun Hatinya
Rebus saring dan airnya diminum Ditumbuh halus direkatkan pada kulit Dihancurkan, ditemel pada luka
Akar, Biji
Ditempelkan
Obat sakit kuning
Malaria
Airnya diambil dan diminum Dimasak
Tunas dikupas kemudian dimakan Direbus, Air rebusan, diminum 3 kali sehari Batang dipanaskan, digosokan pada bagian yang terbakar/
Obat Luka kena Tanduk
Obat Luka terbakar/Obat
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
287
No.
Nama lokal
Habitus
Bagian yang Digunakan
Cara menggunakan Digosokkan pada bagian gondok
gondok
Ditusukan pada gigi sehat
Obat sakit gigi
33.
Bovanu
Merambat
Akar
34.
Viowa
Merambat
Batang+daun
35.
Palangtangaa
Merambat
Daun
36.
Bintanu
Pohon
Kulit
37.
Palio
Pohon
38.
Lole mpohuda
Rumput
39.
Lelim banua
Perdu
Kulit + Batang semua bagian akar + daun
40.
Hehi nipo
Rumput
Daun
41.
Hehi ngkaluku
Rumput
42.
Lepa
Rumput
semua bagian Daun
43.
Hehi ntubehua
Rumput
Daun
Air remasan diteteskan pada bagian yang luka Direbus lalu diminum airnya
44.
Hehi tuana
Rumput
Daun
Direbus lalu diminum airnya
45.
Palola topeula
Perdu
Buah
Direbus lalu diminum airnya
46.
Hiha
Pohon
Kulit
Direbus lalu diminum airnya
47.
Andolia
Pohon
Daun muda
48.
Baranahe
Pohon
49.
Hingkodo
Perdu
Daun muda/Pucuk Akar
50.
Hangka
Pohon
Daun
51.
Pamauta
Perdu
Daun + buah
52.
Tatangga
Pohon
53.
Hoho ntobesoa
Rumput
Diremus/dimasak diminum airnya Dipanaskan di api, ditempel pada bagian yang sakit Dikupas, Kulit dalam diambil, dicuci campur ASI Digosok pada bagian yang luka atau gatal Dicampur minyak kelapa dan digosok pada bagian yang sakit Direbus diminum air/ diperaskan ditempel Direbus, digosok
55.
Honontu /Kumis kucing Napal
Rumput
Ditumbuk lalu dicampur kunyit dan minyak kelapa kemudian ditempelkan pada bagian pelipis Direbus diminum
Pengawet ASI Obat Luka
Obat luka luar Obat Diabetes dan Asam Urat Obat cacing dan malaria Obat Pusing/ Mual-Mual Obat Maag Obat Kencing batu
Akar
Dikupas 7 kali di campur air dan diminum Diambil pucuk, direbus dicampur bubur dan dimakan Daun dibakar (abu) dicampur minyak kelapa dioleskan pada luka yang membusuk Direbus
daun
Direbus
Obat Luka Dalam
Daun
Diperas, diminum
akar, batang, daun, buah akar
Direbus dengan air dan diminum Direbus dengan air dan diminum
Sumber data : Data primer hasil identifikasi (2010)
288 |
Obat Reumatik
Direbus diminum airnya
diremas dan ditempelkan 54.
Kegunaan
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Obat Luka Borok Diabetes
Obat Luka memar Obat Kencing Batu Obat Luka Dalam
PERANAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DALAM MENCEGAH INTRUSI AIR LAUT DI DAERAH PESISIR Rini Purwanti1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Penyebab terjadinya intrusi air laut di antaranya adalah karena adanya pengambilan air tanah yang melebihi kapasitas, perubahan fungsi lahan dan penebangan hutan mangrove. Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang memiliki kekhasan, baik dari bentuk batang, tajuk maupun sistem perakarannya yang dapat berfungsi sebagai penghalang (barrier) masuknya air laut ke daratan atau sebagai pencegah terjadinya intrusi air laut. Hutan mangrove memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam, berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam sehingga hutan mangrove dapat mencegah terjadinya intrusi air laut. Jika hutan mangrove rusak, maka akan ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk memperoleh air tawar. Hasil penelitian di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) menunjukkan bahwa masyarakat harus mengeluarkan biaya sebesar Rp.5,475,000,-/KK/tahun, untuk memperoleh air tawar kebutuhan sehari-hari karena hutan mangrove rusak menyebabkan terjadinya intrusi air laut. Kata kunci: Intrusi air laut, ekosistem hutan mangrove, TN Rawa Aopa Watumohai
I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati (Bengen, 2001). Dengan potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang cukup melimpah, sebagian besar masyarakat memanfaatkan potensi pesisir dan laut untuk pemenuhan kebutuhan, sebagai mata pencaharian utama, misalnya sumber pangan, mineral, energi dan berbagai pemanfaatan lainnya. Jumlah penduduk yang hidup di wilayah pesisir mencapai 50-70% dari jumlah penduduk dunia. Di Indonesia, 60% penduduknya hidup di wilayah pesisir (Desniarti dalam Setiawan, 2008). Undang-Undang No. 27
tahun 2007 menyatakan bahwa wilayah pesisir
didefenisikan sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove (bakau) merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 289
(feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit tanaman mangrove. Hutan mangrove mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam pengelolaannya. Jumlah penduduk yang semakin bertambah mengakibatkan tekanan terhadap hutan mangrove semakin besar. Pembukaan lahan menjadi pemukiman, industri, dan tambak merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan mangrove. Banyak hal yang bisa terjadi akibat kerusakan hutan mangrove ini, di antaranya adalah terjadinya intrusi air laut. Intrusi air laut adalah proses masuknya air laut ke daratan. Proses intrusi makin panjang bila dilakukan pengambilan air tanah dalam jumlah berlebihan. Bila intrusi sudah masuk pada sumur, maka sumur akan menjadi asin sehingga tidak dapat lagi dipakai untuk keperluan sehari-hari. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui peranan ekosistem mangrove dalam mencegah terjadinya intrusi air laut di daerah pesisir dan mengetahui nilai ekonominya.
II. EKOSISTEM MANGROVE Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai), tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove (Kusmana et al., 2003). Hutan mangrove merupakan sumber daya alam yang dapat dipulihkan (renewable
resources atau flow resources) yang mempunyai beberapa fungsi yaitu fungsi fisik, biologi dan sosial ekonomi. Fungsi fisik, yaitu sebagai penahan abrasi pantai, penahan intrusi (peresapan) air laut, penahan angin, menurunkan kandungan gas karbon dioksida (CO2) di udara, dan bahan-bahan pencemar di perairan rawa pantai. Fungsi biologi adalah sebagai tempat hidup (berlindung, mencari makan, pemijahan dan asuhan) biota laut seperti ikan dan udang, sumber bahan organik sebagai sumber pakan konsumen pertama (pakan cacing, kepiting dan golongan kerang/keong), yang selanjutnya menjadi sumber 290 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
makanan bagi konsumen di atasnya dalam siklus rantai makanan suatu ekosistem, tempat hidup berbagai satwa liar, seperti monyet, buaya muara, biawak dan burung. Sementara fungsi sosial dan ekonomi mangrove adalah sebagai tempat kegiatan wisata alam (rekreasi, pendidikan dan penelitian), penghasil kayu untuk kayu bangunan, kayu bakar, arang dan bahan baku kertas, serta daun nipah untuk atap rumah, penghasil tanin untuk tinta, plastik, lem, pengawet net dan penyamakan kulit, penghasil bahan pangan (ikan/udang/kepiting, dan gula nira nipah), dan obat-obatan (daun Bruguiera sexangula untuk obat penghambat tumor, Ceriops tagal dan Xylocarpus mollucensis untuk obat sakit gigi, dan lain-lain), tempat sumber mata pencaharian masyarakat nelayan tangkap dan petambak, dan pengrajin atap dan gula nipah (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis. Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahwa dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26 joule (Pratikto, 2002). A. Dampak Kegiatan Manusia terhadap Ekosistem Mangrove Dalam mengejar target ekonomi terkadang sisi lingkungan terabaikan. Pada tataran masyarakat maupun birokrat yang berhubungan dengan bidang kesehatan khususnya, masih berkembang pandangan yang keliru tentang mangrove. Mangrove dianggap sebagai tempat yang kotor untuk tempat bersarang dan berkembangbiaknya nyamuk malaria, lalat, dan berbagai jenis serangga lainnya. Hal tersebut telah mendorong terjadinya pembabatan mangrove yang berlebihan untuk mengatasi timbulnya wabah penyakit tersebut. Sebaliknya, apabila kondisi ekosistem mangrove masih terjaga dengan baik maka akan mampu menjaga habitat malaria dalam kondisi seimbang yang tidak memungkinkan malaria berubah menjadi wabah penyakit bagi manusia. Persepsi lain, bahwa mangrove tidak dipandang sebagai sumberdaya yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi bila dibandingkan dengan usaha budidaya perikanan. Hal tersebut diperburuk dengan hasil-hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 291
mangrove secara alami tidak menguntungkan apabila dibandingkan dengan mengkonversi untuk tujuan pengembangan budidaya perikanan. Fakta menunjukkan bahwa pada wilayah-wilayah dimana mangrove dikonversi secara total untuk budidaya tambak, kebanyakan tingkat kesejahteraan petani masih pada tingkat pra-sejahtera. Hal tersebut antara lain diakibatkan oleh besarnya biaya yang harus ditanggung petani untuk pengedalian hama dan penyakit sebagai dampak menurunnya kualitas lingkungan (Ditjen RLPS, 2002). Beberapa dampak dari kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove dapat kita lihat pada Tabel 1 di bawah ini: Tabel 1. Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove KEGIATAN Tebang habis
-
DAMPAK POTENSIAL Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai komersialnya rendah dan hutan mangrove yang ditebang habis ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang komersial penting.
Pengalihan aliran
-
Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari
air tawar, misalnya
spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan
pada pembangunan
udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tidak dapat mentoleransi
irigasi
peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif
terhadap perubahan
lingkungan -
Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zat-zat hara melalui aliran air tawar berkurang.
Konversi menjadi
-
Mengancam permudaan stok-stok ikan dan udang di perairan pertanian,
lahan pertanian,
perikanan, lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai
perikanan
nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang -
Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove
-
Pendangkalan perairan pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove
-
Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut.
Pembuangan sampah cair
-
Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi karang.
-
Penurunan kandungan oksigen terlarut dalam air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan amonia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air.
Aroma H2S seperti telur busuk yang dapat
dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik.
292 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
KEGIATAN Pembuangan
-
sampah padat
Kemungkinan
DAMPAK POTENSIAL terlapisnya pneumatofora dengan
sampah
yang
akan
mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. -
Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah.
Pencemaran
-
minyak akibat terjadinya
Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak.
-
Kerusakan total ekosistem hutan mangrove di lokasi penambangan dan ekstraksi
tumpahan minyak
mineral yang dapat mengakibatkan musnahnya daerah asuhan (nursery ground)
dalam jumlah
bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang komersial penting di
besar,
lepas pantai, dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut.
Penambangan dan ekstraksi mineral Di daratan sekitar
-
hutan mangrove
Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove.
Sumber: Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996.
B. Intrusi Air Laut Intrusi diartikan sebagai perembesan air laut ke daratan. Suatu kawasan yang awalnya air tanahnya tawar kemudian berubah menjadi payau dan asin seperti air laut. Penyebabnya adalah berkurangnya air di daratan, sehingga konsentrasi air menurun. Air tawar yang semakin menurun menyebabkan ruang pori di dalam tanah kosong, akhirnya pori-pori atau lubang tersebut terisi oleh air laut. Proses masuknya air laut ini melalui dua cara yaitu yang pertama adalah dengan merembes ke dalam pori-pori tanah dan yang kedua adalah dengan naiknya permukaan air laut, sehingga air tersebut mengalir ke daratan (Admin, 2008). Intrusi dapat berakibat rusaknya air tanah yang tawar dan berganti menjadi asin. Penyebabnya, antara lain penebangan pohon bakau, penggalian karang laut untuk dijadikan bahan bangunan dan kerikil jalan. Pembuatan tambak udang dan ikan yang memberikan peluang besar masuknya air laut jauh ke daratan. Proses intrusi makin panjang apabila dilakukan pengambilan air tanah dalam jumlah berlebihan. Apabila intrusi sudah masuk pada sumur, maka sumur akan menjadi asin sehingga tidak dapat lagi dipakai untuk keperluan sehari-hari. Menurut Ahira, (2010) terdapat beberapa hal yang bisa mengakibatkan terjadinya intrusi air laut, di antaranya adalah disebabkan oleh:
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 293
1. Pengambilan air tanah yang melebihi kapasitas. Kota-kota besar di pesisir laut seperti Jakarta dan Surabaya, berpotensi sangat besar untuk pengambilan air tanah secara besar-besaran. Keberadaan gedung-gedung bertingkat dan plaza mempercepat proses terjadinya intrusi air laut. 2. Pemangkasan vegetasi pesisir pantai. Vegetasi pesisir pantai seperti hutan mangrove berfungsi sebagai barrier (penghalang) masuknya air laut ke daratan. Tetapi sayangnya saat ini, vegetasi pesisir ini sudah jarang ditemukan lagi dan tergantikan oleh obyek wisata, resort tepi pantai dan penahan gelombang yang terbuat dari beton. 3. Pemanasan Global (Global warming). Secara tidak langsung pemanasan global mempercepat terjadinya intrusi air laut, mengapa demikian? Karena pemanasan global mencairkan bongkahan-bongkahan es yang ada di daerah kutub bumi. Semakin banyak es yang mencair, akan meningkatkan naiknya permukaan air laut, sehingga terjadi perbedaan konsentrasi antara air laut dan air daratan. Akibatnya air laut yang konsentrasinya lebih besar, masuk ke dataran. Beberapa dampak yang bisa terjadi akibat intrusi air laut adalah air tawar semakin berkurang dan makin sulit diperoleh, khususnya sebagai pendukung kegiatan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, minum dan memasak. Selain itu juga bisa mengakibatkan gangguan kesehatan seperti diare dan gangguan kulit, terutama jika dikonsumsi dalam waktu yang lama. Selain itu jika intrusi air laut terjadi, maka akan ada biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk pengadaan air bersih karena air yang selama ini mereka gunakan sehari-hari sudah tidak bisa lagi untuk dikonsumsi.
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh Purwanti, dkk (2011) di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), diperoleh data jumlah penduduk yang berada di daerah penyangga hutan mangrove TNRAW adalah ± 2.612 KK. Kebutuhan air tawar sehari-hari masyarakat untuk rumah tangga (MCK, masak dan minum) sekitar 100 liter/hari/KK atau setara dengan 5 galon/hari/KK dengan rata-rata jumlah tanggungan per KK adalah 4 orang. Dengan demikian kebutuhan rata-rata pertahun untuk setiap Kepala Keluarga (KK) sebesar 1.825 galon/KK/tahun.
Jika harga air galon adalah Rp. 3.000,-/galon maka, besarnya biaya
yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan air tawar sebesar Rp. 5,475,000,-/KK/tahun, sehingga jumlah kebutuhan untuk semua penduduk adalah Rp. 14,300,700,000,-/tahun. Jadi nilai ekonomi hutan mangrove sebagai penahan intrusi air laut adalah sebesar Rp. 14,300,700,000,-/tahun. Maksud dari nilai ini adalah bahwa masyarakat yang ada di
294 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
daerah penyangga TNRAW harus mengeluarkan sejumlah uang senilai tersebut untuk mendapatkan air tawar jika hutan mangrove rusak. Harahap, (2010) juga pernah melakukan penelitian yang sama terhadap masyarakat pesisir di Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo. Jumlah keseluruhan penduduk Kecamatan Gending adalah 33.401 jiwa dan terdiri dari 9.097 kepala keluarga. Kebutuhan air tawar untuk minum dan masak masing-masing keluarga rata-rata 1 galon/hari, dengan harga Rp. 3000,-/galon. Dengan begitu kebutuhan rata-rata per tahun untuk setiap kepala keluarga sebesar 365 galon/tahun, sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan air tawar sebesar Rp. 1,095,00,-/KK/tahun, atau jumlah kebutuhan semua penduduk Rp. 9,961,215,000,-/tahun. Ahira, (2010) menyatakan bahwa terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi terjadinya intrusi air laut ke dalam daratan, yaitu dengan cara melakukan pembatasan terhadap pengambilan air tanah terutama terhadap para pengelola gedung-gedung bertingkat tersebut, melakukan penanaman kembali vegetasi pesisir (hutan mangrove) yang telah rusak, desalinisasi air laut untuk mengurangi kekurangan air tawar dan mengurangi pencemaran air daratan dengan mewajibkan pengelolaan limbah bagi pengelola industri. C. Hutan Mangrove sebagai Penahan Intrusi Air Laut Mungkin kita semua masih ingat akan peristiwa amblesnya Jalan RE Martadinata dua tahun silam (Alikodra, 2010).
Menurut pakar meteorologi dan geofisika ITB Armi
Susandi menyatakan bahwa penyebab utama rapuhnya tanah di Jakarta adalah tingginya kadar garam pada air tanah akibat intrusi (perembesan air laut ke daratan). Intrusi ini terjadi akibat adanya penyedotan air tanah yang berlebihan. Ubaidillah dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) melaporkan bahwa setiap tahunnya Jakarta devisit air tanah sebanyak 66,6 juta meter kubik. Perembesan air laut ke daratan (intrusi) akan menyebabkan tanah dan bebatuan yang menyusun lapisan tanah menjadi keropos. Secara kimiawi, air berkadar garam tinggi mempunyai sifat yang merusak tanah dan bebatuan, sehingga tanah dan bebatuan tidak sanggup lagi menahan beban berat di atasnya. Menurut Armi, wilayah-wilayah yang keropos itu meliputi pelabuhan, bandar udara, permukiman padat, dan gedung-gedung bertingkat. Penyedotan air tanah yang berlebihan itu, akan berdampak masuknya air laut yang bersalinitas tinggi masuk menggantikan fungi air tanah yang bersalinitas rendah di dalam tanah. Tersedotnya air tanah dengan intensitas yang tinggi akan berbanding lurus dengan masuknya air laut ke dalam tanah. Akibat penyedotan air tanah yang berlebihan ini, permukaan tanah turun “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 295
dan intrusi makin besar. Menurut Direktur Keadilan Perkotaan Institut Hijau Indonesia, Selamet Daroyni, laju penurunan tanah Jakarta meningkat drastis dari 0,8 cm per tahun pada kurun 1982 – 1992 menjadi 18-26 cm per tahun pada 2008, terutama di daerah Jakarta Utara. Dengan melihat tingkat penurunan tanah tersebut, ada pakar yang memprediksi, Jakarta akan tertelan bumi pada tahun 2050 (Alikodra, 2010). Selanjutnya Alikodra (2010) menyatakan bahwa banyak cara untuk mengatasi amblesnya tanah dan intrusi di Jakarta tersebut. Di antaranya membuat dinding di tepi pantai (sea wall), reklamasi pantai, dan membuat penghalang (barrier) untuk memecah serta meredam ombak. Namun, semua itu, sifatnya hanya sementara. Lagipula, solusi tersebut tidak berlangsung selamanya karena ”produk rekayasa teknologi” itu akan rusak termakan usia. Karena itu perlu dicari solusi lain yang tahan lama (sustainable) dan bersahabat (ecofriendly) sehingga tahan terhadap usia dan dinamika lautan yang acap tidak bersahabat dengan manusia. Salah satu solusi terbaik yang memenuhi asas sustainabilitas dan ecofirendly adalah mangrovisasi di lahan-lahan pantai Jakarta tersebut. Solusi ini kelihatannya sederhana, tapi bila dilakukan dampaknya akan luar biasa. Kenapa? Karena mangrove (bakau) adalah tumbuhan yang ”tercipta” di alam untuk mengatasi problem intrusi dan gelombang air laut. Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang memiliki kekhasan, baik dari bentuk batang, tajuk maupun sistem perakarannya. Hutan mangrove ini tumbuh dengan baik pada pantai berlumpur yang terpengaruh pasang surut air laut dan kadar garam. Vegetasi ini sangat berperan sebagai pelindung alami wilayah pesisir. Ini terjadi karena sistem perakaran mangrove yang mampu menstabilkan lumpur pantai, menyerap berbagai polutan dan menahan penyusupan air laut (intrusi) ke arah daratan. Kerapatan batang dan tajuknya juga mampu menahan dan mematahkan kekuatan angin laut. Hutan mangrove juga memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kadar garam karena memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam, berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam dan daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan (Bengen, 2001). Pantai berterumbu karang/mangrove akan sulit mengalami intrusi air laut sebab mangrove dapat menahannya. Kawasan pantai memiliki fungsi sebagai sistem penyangga kehidupan. Kawasan pantai sebagai daerah pengontrol siklus air dan proses intrusi air laut, memiliki vegetasi yang keberadaannya akan menjaga ketersediaan cadangan air
296 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
permukaan yang mampu menghambat terjadinya intrusi air laut ke arah daratan. Kerapatan jenis vegetasi di sempadan pantai dapat mengontrol pergerakan material pasir akibat pergerakan arus setiap musimnya. Kerapatan jenis vegetasi dapat menghambat kecepatan dan memecah tekanan terpaan angin yang menuju ke pemukiman penduduk (Vienastra, 2010).
III. PENUTUP A.
Kesimpulan Intrusi diartikan sebagai perembesan air laut ke daratan, bahkan ke sungai-sungai.
Penyebabnya, antara lain penebangan pohon bakau, penggalian karang laut untuk dijadikan bahan bangunan dan kerikil jalan, pengambilan air tanah yang melebihi kapasitas dan adanya pemanasan global. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi terjadinya intrusi air laut, salah satunya yaitu dengan cara melakukan penanaman kembali vegetasi pesisir (hutan mangrove) yang telah rusak. Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang memiliki kekhasan, baik dari bentuk batang, tajuk maupun sistem perakarannya. Hutan mangrove juga memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kadar garam karena memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam, berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam dan daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan sehingga hutan mangrove dapat mencegah terjadinya intrusi air laut. Jika hutan mangrove rusak, maka akan ada biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh air tawar karena air tawar yang selama ini digunakan sudah tidak bisa digunakan lagi. Hasil penelitian di TNRAW menunjukkan bahwa masyarakat harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 5,475,000,/KK/tahun, untuk memperoleh air tawar dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari jika hutan mangrove rusak dan sudah terjadi intrusi air laut. B.
Saran Hutan mangrove mempunyai fungsi yang sangat banyak baik secara ekonomi dan
ekologi namun sangat rentan terhadap kerusakan apabila tidak dikelola secara bijaksana. Banyak hal yang bisa ditimbulkan apabila hutan mangrove ini rusak, di antaranya adalah intrusi air laut. Oleh sebab itu sangat dibutuhkan kegiatan sosialisasi, penyuluhan serta pelatihan terutama bagi masyarakat yang berada di sekitar hutan mangrove untuk menjaga kelestariannya sehingga dampak akibat kerusakan hutan mangrove tidak terjadi. “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 297
DAFTAR PUSTAKA Admin. (2008). Waspadai Abrasi dan Intrusi Air Laut. http://blog.harianaceh.com/waspadai-abrasi-dan-intrusi-air-laut.jsp. Diakses Tanggal 10 Januari 2011. Ahira, A. (2010). Mewaspadai Intrusi Air Laut. Diakses tanggal 12 Juni 2012.
www.anneahira.com/intrusi-air-laut.
Alikodra, (2010). Mangrove untuk Mencegah “Silent Killer”. http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/content/view/352697/. Diakses tanggal 20 Desember 2010. Bengen, D. G. (2001). Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M. J. Sitepu, (1996). Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Ditjen RLPS, (2002). Kebijakan Departemen Kehutanan dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: Ditjen, Departemen Kehutanan. Harahap, N., (2010). Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Jogjakarta: Graha Ilmu. Kusmana C. 2002. Pengelolaan Ekosistem Mangrove secara Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Jakarta. Kusmana, C., Wilarso, S., Iwan Hilwan, P. Pamungkas, Wibowo, C.,Tiryana, T., Triswanto, A., Yunasfi, dan Hamzah, (2003). Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pratikto, W.., 2002. Perencanaan Perlindungan Pantai Alami untuk Mengurangi Resiko Terhadap Bahaya Tsunami. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002. Purwanti, R., Nurhaedah., Kadir, A., Hermawan, A., & Zainuddin. (2011). Kajian Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar. (Tidak diterbitkan). Setiawan, H. (2008). Peranan Ekosistem Mangrove dalam Meningkatkan Kualitas Perairan Pesisir. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Litbang Kehutanan mendukung Indonesia Menanam. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Vienastra, S. (2010). Intrusi Air Laut. http://vienastra.wordpress.com/ 2010/07/06/intrusi-air-laut/ diakses tggl 12 juni 2012.
298 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
PERANAN HUTAN RAKYAT POLA AGROFORESTRI TERHADAP PENDAPATAN PETANI DI KABUPATEN SIDRAP SULAWESI SELATAN Nur Hayati1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan hutan rakyat pola agroforestri dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan petani hutan rakyat pola agroforestri. Penelitian ini dilakukan terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar hutan rakyat pola agroforestri di Kabupaten Sidrap. Metode pengambilan data dilakukan dengan wawancara langsung berdasarkan kuisioner. Pengambilan sampel responden dilakukan secara acak dengan jumlah responden 30 orang petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 91,22% pendapatan petani diperoleh dari sektor kehutanan dan 8,78% dari sumber penghasilan lain seperti hasil dari tanaman non kehutanan (jambu mete, coklat, jeruk, nangka, mangga), peternakan, perikanan dan usaha lain. Tingkat kesejahteraan petani hutan rakyat pola agroforestri berada di atas garis kemiskinan. Pendapatan petani dari hutan rakyat pola agroforestri sangat berhubungan erat dengan jumlah tanaman yang ditanam, penghasilan lain, luas lahan, dan lama tinggal di daerah tersebut. Kata kunci : Hutan rakyat, agroforestri, pendapatan, petani
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agroforestri berasal dari dua kata, yaitu agros dan forestry. Agros berasal dari bahasa yunani yang berarti bentuk kombinasi kegiatan pertanian dengan kegiatan lainnya pada sebuah lahan. Sedangkan forestry berasal dari bahasa inggris yang berarti segala sesuatu yang berkenaan dengan hutan (kehutanan). Forestry meliputi segala usaha, ilmu, proses, dan semua pola tingkah dalam mengelola hutan dan penggunaan sumberdaya alam untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia (Mahendra 2009). Agroforestri atau wanatani merupakan istilah kolektif untuk beberapa praktek penggunaan lahan, di mana tumbuhan parenial berkayu ditanam secara sengaja pada sebidang lahan bersama-sama dengan tanaman semusim dan atau ternak, baik dalam bentuk tatanan spesial dalam waktu yang bersamaan ataupun secara sekuensial (Arief, 2001). Sedangkan menurut King dan Chandler (1978) dalam Arief (2001), agroforestri sebagai suatu sistem pengelolaan lahan berasaskan kelestarian yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman pertanian dan tanaman hutan dan atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama dan 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
299
menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat. Definisi ini mencakup masalah struktur ekosistem (produktivitas, kelestarian, dan perbaikan habitat/lingkungan hidup) dan kelembagaan (tenaga kerja, pengelola dan masalah sosial ekonomi). Agroforestri
merupakan
sebuah
nama
bagi
sistem-sistem
dan
teknologi
penggunaan lahan dimana pohon berumur panjang (termasuk semak, palem, bambu, kayu, dan lain-lain) dan tanaman pangan dan atau pakan ternak berumur pendek diusahakan pada petak lahan yang sama dalam suatu pengaturan ruang dan waktu. Dalam sistem-sistem agroforestri terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsurunsurnya (De Foresta, 2000). Agroforestri adalah suatu sistem penggunaan lahan yang merupakan perpaduan kegiatan kehutanan, perkebunan/tanaman industri, tanaman pangan, peternakan, dan perikanan ke arah usaha tani terpadu sehingga tercapai optimalisasi penggunaan lahan. Pengembangan sistem agroforestri diharapkan dapat memecahkan masalah penggunaan lahan sehingga kebutuhan manusia yang beraneka macam seperti pangan, sandang, obat-obatan, kayu, dan lingkungan hidup yang sehat dapat terpenuhi (Satjapradja 1982). Sedangkan menurut Notohadiprawiro (1981), agroforestri merupakan sistem tersendiri dan bukan sekedar campuran pertanian, perhutanan, dan peternakan. Keberhasilan pemapanan agroforestri tergantung pada ketepatan memilih bentuk dan menentukan sasaran menurut kebutuhan setempat. Ini berarti bahwa agroforesti merupakan suatu penyelesaian masalah, baik menurut tempat maupun waktu. Usaha pengembangan agroforestri dilakukan dengan mempertimbangkan faktor sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Hal ini penting dilakukan mengingat sistem agroforestri merupakan hasil dari budidaya manusia sehingga strukturnya tidak saja dipengaruhi oleh masalah teknis bercocok tanam tetapi juga mempunyai keterkaitan dengan faktor sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Sistem
agroforestri
sebetulnya
mempunyai
potensi
yang
besar
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Namun agroforestri yang selama ini dilaksanakan, dipandang dari segi ekonomi masih jauh dari harapan karena adanya kendala penentuan lahan, jumlah dan jenis tanaman. Sistem agroforestri ini seringkali mengalami kegagalan panen akibat terjadinya erosi lahan dan hasil panen yang tidak sebanding pembiayaan. Mengingat hal tersebut maka sangat diperlukan adanya perbaikan dan pengembangan sistem agroforestri untuk meningkatkan pendapatan petani di sekitar hutan.
300 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan hutan rakyat pola agroforestri dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan petani hutan rakyat dengan pola agroforestri.
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tahun 2006 di Desa Bulo Wattang, Kecamatan Panca Rijang, Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan. Lokasi ini merupakan hutan rakyat yang dikelola dengan pola agroforestri.
B. Pengumpulan Data Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan cara disengaja (purposive). Kriteria lokasi yang dipilih adalah kecamatan/desa yang menerapkan pola agroforestri dalam pengelolaan hutan rakyat. Pengambilan sampel responden dilakukan secara acak dengan jumlah responden 30 orang petani. Pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi dan wawancara langsung dengan masyarakat, tokoh masyarakat, aparat desa dan lain-lain. Sedangkan data sekunder diperoleh dari kantor BPS Sidrap, Kecamatan Panca Rijang dan Desa Bulo Wattang, dan beberapa literatur yang relevan dengan penelitian ini. C. Pengolahan Data Data yang telah dikumpulkan kemudian ditabulasi, dianalisis dan dibahas dengan metode analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh pengaruh masing-masing faktor terhadap pendapatan yang diterima petani pola agroforestri digunakan analisis statistik dengan metode regresi berganda, beberapa tahapan analisis yaitu : 1. Nilai korelasi Untuk mengetahui besarnya pengaruh faktor-faktor terhadap pendapatan petani hutan rakyat pola agroforestri. 2. Nilai koefisien determinasi (R2) Untuk mengetahui seberapa besar pendapatan petani hutan rakyat pola agroforestri dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
301
3. Uji Anova Untuk mengetahui bisa tidaknya model regresi digunakan untuk memprediksi pendapatan petani hutan rakyat pola agroforestri. 4. Persamaan regresi Y = b0 + b1x1 + b2x2 + b3x3+ ………..+ b8x8 Keterangan: Y = pendapatan total petani dari hutan rakyat pola agroforestri (Rp) X1 = luas lahan (ha) X2 = penghasilan lain (Rp/th) X3 = jumlah anggota keluarga (orang) X4 = jumlah tanaman yang ditanam (pohon) X5 = jumlah jenis tanaman (jenis) X6 = lama tinggal di daerah tersebut (tahun) X7 = umur petani (tahun) X8 = pendidikan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Bulo Wattang merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Panca Rijang, Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan. Terletak kira-kira 12 km dari ibukota kabupaten dengan luas 4,33 km2. Kondisi topografi kecamatan Panca Rijang 98,75% keadaan tanahnya datar dan 1,25% berbukit sedangkan 100% kondisi topografi desa datar dengan ketinggian 36 meter dpl.
Jenis tanah di kecamatan ini adalah Alluvial
Kelabu, Padsolik Coklat dan Komp. Padsolik Coklat dan Regosol. Lokasi desa ini bertipe iklim E (agak kering), dengan bulan basah terjadi antara Nopember – Januari, sedang bulan kering terjadi antara Maret – Agustus. Rata-rata curah hujan 1.652 mm/th. Luas kawasan hutan di Kecamatan Panca Rijang 1.481,8 ha yang terdiri atas 981,8 ha hutan lindung dan 500 ha hutan wisata.
B. Kondisi Sosial Ekonomi Petani Responden Desa Bulo Wattang termasuk dalam klasifikasi desa swakarya yang dihuni sebanyak 1.247 orang, dengan kepadatan 287 per km2. Kondisi sosial ekonomi petani responden di Kabupaten Sidrap diuraikan pada Tabel 1. 302 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Tabel 1. Kondisi Sosial Ekonomi Petani Responden di Kabupaten Sidrap No. Variabel 1. Luas lahan (ha/KK) 2. Penghasilan lain (Rp/th) 3. Jumlah anggota keluarga (orang) 4. Jumlah tanaman yang ditanam (pohon) 5. Jumlah jenis tanaman (jenis) 6. Lama tinggal (tahun) 7. Umur petani (tahun) 8. Tingkat pendidikan
Minimal 0,50 600.000 2
Maksimal 13 35.500.000 11
Rata-rata 2,49 4.365.396,67 5,43
Standar deviasi 2.30 6.524.039,96 2,09
550
12.500
3.609,50
2.982,80
1
7
3,37
1,27
10 33 0 (Tidak sekolah)
25 70 3 (SMA)
18,87 52 1,06 (SD)
5,31 10,8 0,94 (SD)
Sumber : Analisis data primer, 2006 Tabel 1 menunjukkan umur rata-rata petani responden 52 tahun. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar petani responden bukan generasi muda. Prosentase usia produktif responden (15 - 54 tahun) sebesar 56,67%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa anak-anak mereka memilih untuk tinggal di kota dan bekerja di luar sektor kehutanan atau pertanian seperti menjadi pedagang, buruh, dan jasa.
C. Pola Agroforestri yang Diterapkan Pengelolaan hutan rakyat di Desa Bulo Wattang dilakukan dalam bentuk agroforestri dimana tanaman utamanya adalah Gmelina. Dengan adanya pola tanam agroforestri ini diharapkan dapat menopang sumber pendapatan selain dari sektor kehutanan karena tanaman kehutanan memiliki daur produksi yang cukup lama yaitu berkisar antara 8 – 15 tahun. Untuk mendapatkan penghasilan tambahan selama menunggu hasil dari tanaman kehutanan, ditanam tanaman semusim dan tanaman tahunan pada tahun pertama sehingga pada tahun pertama dan kedua hasil yang mereka peroleh dari tanaman semusim sedangkan untuk tahun ketiga selain hasil yang diperoleh dari tanaman semusim, tanaman tahunan juga sudah mulai berbuah. Hasil dari tanaman semusim umumnya untuk dikonsumsi sendiri sedangkan hasil tanaman tahunan umumnya dijual ke pasar (komersial) kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sistem penanaman Gmelina sebagai tanaman pokok dilakukan dengan menanam ulang semua tanaman dengan tanaman baru. Metode penanaman beraturan dengan jarak tanam 1 x 2 m, 3 x 2 m dan 1x 6 m. Sedangkan tanaman pendampingnya adalah coklat, “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
303
jambu mete dan jeruk. Umur pengelolaan lahan hutan hampir 25 tahun sedangkan umur pengelolaan Gmelina sendiri baru berumur tiga tahun. Umur produktif daur dari hutan
Gmelina sekitar 10 – 15 tahun sudah masak tebang dan bisa dipakai untuk bahan baku kayu pertukangan maupun bangunan, sedangkan pada umur kurang lebih 8 tahun sangat baik digunakan sebagai bahan baku industri kertas dan pulp.
D. Kontribusi Hutan Rakyat Pola Agroforestri Sistem agroforestri secara ekologis agronomis ternyata dapat menunjukkan banyak manfaat yang tidak dijumpai pada sistem pertanaman lainnya. Kontribusi agroforestri dalam bidang sosial ekonomi lebih bervariasi dibandingkan dengan pertanian murni atau kehutanan murni, karena komponen usahanya lebih beragam, kombinasi hasil produksi yang lebih stabil dan mampu meningkatkan pendapatan petani di sekitar hutan. Pengadopsian sistem agroforestri sebagai suatu tipe penggunaan lahan umumnya diputuskan oleh individu pemilik lahan berdasarkan perkiraan manfaat ekonomis. Dengan demikian, sistem agroforestri harus dirancang khusus berdasarkan kondisi daerah setempat dengan memerhatikan praktek penggunaan lahan yang berlaku secara lokal, kebutuhan masyarakat akan pangan, kayu bakar, timber, dan produk lainnya. Pendapatan bersih keluarga petani agroforestri di Kabupaten Sidrap diuraikan pada Tabel 2 di bawah ini : Tabel 2. Pendapatan Bersih Keluarga Petani Agroforestri di Kabupaten Sidrap No. 1. 2. 3. 4.
Sumber Pendapatan Kehutanan Non Kehutanan Peternakan dan Perikanan Usaha lain Total
Pendapatan Bersih Keluarga Petani (Rp) 45.343.000 3.353.000 700.000 310.000 49.706.000
Prosentase (%) 91,22 6,75 1,41 0,62 100
Sumber : Analisis data primer, 2006 Agroforestri mempunyai fungsi ekonomi yang penting bagi masyarakat setempat misal untuk bahan pangan, kayu bakar dan aneka buah-buahan. Bahkan agroforestri mampu menyumbang 50-80% pemasukan pertanian di pedesaan melalui produksi langsung ataupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan pemasaran hasil (Sawitri, 2009). Tabel 2 menyatakan bahwa 91,22% pendapatan petani responden diperoleh dari sektor kehutanan. Angka ini diperoleh dengan asumsi tegakan Gmelina yang baru berumur 3 tahun dengan rata-rata diameter 14 cm dijual
304 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
semua untuk keperluan pembuatan kertas dan kayu lapis. Sementara itu 8,78% petani responden mempunyai sumber pendapatan lain seperti hasil dari tanaman non kehutanan (jambu mete, coklat, jeruk, nangka, dan mangga), peternakan, perikanan dan usaha lain. Hal ini disebabkan semakin tingginya ketergantungan masyarakat terhadap lahan sehingga mereka juga mengembangkan usaha di bidang perikanan. Beberapa jenis ikan yang dibudidayakan antara lain jenis ikan mas, nila dan sepat. Pengolahan lahan yang mereka lakukan berdampak positif terhadap tata air misalnya kebutuhan air bersih untuk rumah tangga terpenuhi, demikian juga air kolam ikan yang mereka miliki. Selain itu juga terjadi perbaikan iklim mikro yang menyebabkan areal sekitar menjadi lebih sejuk. Menurut Hairiah dan Santosa (2003), agroforestri juga merupakan salah satu sistem pengelolaan lahan yang dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih fungsi lahan dan sekaligus untuk mengatasi masalah ketersediaan pangan bagi masyarakat sekitar hutan. Hasil hutan rakyat pola agroforestri di Kabupaten Sidrap di uraikan pada Tabel 3 dibawah ini: Tabel 3. Hasil Hutan Rakyat Pola Agroforestri di Kabupaten Sidrap
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis tanaman Jati putih Jambu mete Coklat Jeruk Mangga Nangka
Jumlah tanaman 1.723 170 1.534 147 7 6
Kontribusi terhadap pendapatan (Rp) 45.343.000 678.000 1.023.000 1.100.000 466.000 86.000
Prosentase (%) 91,22 1,37 2,06 2,21 0,94 0,17
Sumber : Analisis data primer, 2006
Tabel 3 menunjukkan tanaman non kehutanan memberikan kontribusi 6,75% dari total pendapatan yang diterima petani. Pendapatan yang diperoleh dari hasil tanaman non kehutanan ini biasanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan menunaikan ibadah haji sedangkan tanaman kehutanan untuk tabungan (saving) jangka panjang yang diharapkan (expected value) diperoleh oleh petani. Adanya pola agroforestri di hutan rakyat ini dapat dikelompokkan menjadi tiga segmen pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat, yaitu : 1. Kebutuhan jangka pendek, merupakan kebutuhan yang bersifat harian berupa pangan dan sandang. Komoditas yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan ini adalah pertanian tanaman pangan dan peternakan kecil (unggas).
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
305
2.
Kebutuhan jangka menengah, merupakan kebutuhan yang bersifat bulanan sampai satu tahun, misalnya kebutuhan pendidikan anak sampai tingkat pendidikan atas, peribadatan besar dan hajatan pernikahan. Komoditas yang diagendakan untuk memenuhi kebutuhan ini adalah perkebunan dan ternak besar (kambing dan lembu).
3.
Kebutuhan jangka panjang, merupakan kebutuhan yang memerlukan biaya besar, misalnya pembangunan rumah dan pendidikan kuliah. Komoditas yang dicadangkan untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang ini adalah tanaman kehutanan.
E. Analisis Tingkat Kesejahteraan Jumlah keluarga yang terlibat dalam kegiatan hutan rakyat Gmelina sebanyak 10,7% (30 KK dari 281 jumlah KK). Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan petani yang terlibat di hutan rakyat pola agroforestri, mengacu pada metode yang dipergunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic need approach). Menurut pendekatan ini seseorang dikatakan miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum yang nilainya setara dengan kebutuhan 2.100 kalori per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan berupa biaya perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi dan kebutuhan minimum lainnya. Menurut BPS (2002), garis kemiskinan berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita per bulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan adalah Rp. 130.499; (untuk daerah perkotaan) dan Rp. 96.512; (untuk daerah pedesaan). Berdasarkan garis kemiskinan di atas, tingkat kesejahteraan petani hutan rakyat pola agroforestri di desa Bulo Wattang berada di atas garis kemiskinan seperti terlihat Tabel 4. Tabel 4. Analisis Tingkat Kesejahteraan Petani Hutan Rakyat Pola Agroforestri di Desa Bulo Wattang, Kabupaten Sidrap Jumlah anggota keluarga (orang)
Pendapatan bersih keluarga petani/KK/ th (Rp)
Pendapatan per kapita per tahun (Rp)
Pendapatan per kapita per bulan (Rp)
Kriteria kemiskinan BPS (2002)
5,43
49.706.000
9.153.959
762.830
di atas garis kemiskinan
Sumber : Analisis data primer, 2006 F. Hubungan antara Pendapatan Petani dari Hutan Rakyat Pola Agroforestri dengan Faktor-Faktor yang Berpengaruh 1. Nilai Korelasi a. Jumlah tanaman yang ditanam Faktor jumlah tanaman yang ditanam memiliki hubungan yang kuat (korelasi 0,5) dan memberikan pengaruh yang nyata (signifikasi 0,05) terhadap pendapatan, artinya 306 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
semakin banyak jumlah tanaman yang ditanam di hutan rakyat maka semakin meningkatkan pendapatan petani hutan rakyat pola agroforestri. Rata-rata kerapatan tanaman pokok 1.067 pohon/ha. Sedangkan jumlah tanaman yang ditanam meliputi 51.700 jati, 5.035 jambu mete, 4.400 jeruk, 46.020 coklat, 201 mangga, dan 160 nangka. b. Penghasilan lain Faktor pengahasilan lain memiliki hubungan yang kuat (korelasi 0,5) dan memberikan pengaruh yang nyata (signifikasi 0,05) terhadap pendapatan, artinya semakin
banyak
penghasilan
lain
yang diperoleh
maka
semakin
meningkatkan
pendapatan petani. Penghasilan lain ini berasal dari tanaman non kehutanan dan usaha lain di luar sektor kehutanan. Seperti hasil tanaman perkebunan dan buah-buahan, ternak, buruh tani, serta pensiunan. c. Luas lahan Faktor luas lahan memiliki hubungan yang kuat (korelasi 0,5) dan memberikan pengaruh yang nyata (signifikasi 0,05) terhadap pendapatan, artinya semakin luas lahan yang diolah maka semakin meningkatkan pendapatan petani. Petani dapat mengelola kawasan hutan untuk pemanfaatan hasil hutan secara langsung dan mudah karena lahan milik sendiri. Rata-rata pemilikan lahannya berkisar antara 0,5 – 13 ha, dengan luas ratarata penguasaan lahan hutan rakyat sebesar 2,49 ha. d. Lama tinggal di daerah tersebut Faktor lama tinggal di daerah tersebut memiliki hubungan yang kuat (korelasi 0,5) walaupun pengaruhnya tidak nyata (signifikasi 0,05) terhadap pendapatan, artinya semakin lama tinggal petani di daerah tersebut maka hanya akan meningkatkan sedikit pendapatan petani. Petani yang lama tinggal di daerah tersebut mempunyai pengetahuan yang lebih terhadap kondisi geografis dan tanaman yang ditanam sudah besar sehingga bisa menghasilkan. e. Jumlah jenis tanaman Faktor jumlah jenis tanaman tersebut memiliki hubungan yang lemah (korelasi 0,5) dan berpengaruh tidak nyata (signifikasi 0,05) terhadap pendapatan, artinya semakin banyak jenis tanaman yang ditanam maka tidak akan meningkatkan pendapatan petani. Jumlah jenis yang diusahakan petani berkisar antara 1 – 7 jenis meliputi tanaman kehutanan maupun non kehutanan.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
307
f. Umur petani Faktor umur petani tersebut memiliki hubungan yang lemah (korelasi 0,5) dan berpengaruh tidak nyata (signifikasi 0,05) terhadap pendapatan, artinya semakin tua umur petani maka tidak mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatkan pendapatan petani. g. Jumlah anggota keluarga Faktor jumlah anggota keluarga petani tersebut memiliki hubungan yang lemah (korelasi 0,5) dan berpengaruh tidak nyata (signifikasi 0,05) terhadap pendapatan, artinya adanya peningkatan jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh terhadap pendapatan petani secara nyata. Rata-rata jumlah anggota keluarga sebanyak lima orang. h. Pendidikan Faktor pendidikan tersebut memiliki hubungan yang lemah dan berlawanan (korelasi 0,5 dan nilai koefisien korelasi negatif) serta berpengaruh tidak nyata (signifikasi 0,05) terhadap pendapatan, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan maka justru akan menurunkan pendapatan petani. Hal ini disebabkan keterampilan petani dalam mengelola hutan bukan hanya disebabkan oleh tingkat pendidikan formal yang diperoleh di bangku sekolah tapi lebih dipengaruhi oleh pendidikan informal seperti keikutsertaan petani dalam penyuluhan dan pelatihan-pelatihan yang mendukung. 2. Nilai Koefisien Determinasi (R2) Berdasarkan analisis lanjutan regresi berganda diperoleh nilai R square sebesar 0,843. Hal ini berarti 84,3% pendapatan petani hutan rakyat pola agroforestri dapat dijelaskan oleh faktor jumlah tanaman yang ditanam dan penghasilan lain, sedangkan sisanya 15,7% dijelaskan oleh sebab lain. 3. Uji Anova Dari uji anova diperoleh nilai F hitung 79,042 dengan tingkat signifikasi 0,000. Oleh karena probabilitas 0,00 lebih kecil dari 0,05 (taraf uji 5%), maka model regresi dapat digunakan untuk memprediksi pendapatan total yang diterima petani hutan rakyat pola agroforestri atau dapat dikatakan jumlah tanaman yang ditanam dan penghasilan lain secara bersama-sama berpengaruh terhadap pendapatan petani. 4. Persamaan Regresi Dari semua faktor-faktor tersebut ternyata hanya dua faktor yang layak dimasukkan ke dalam model regresi yaitu jumlah tanaman yang ditanam dan penghasilan lain. 308 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Bentuk persamaan regresi yang diperoleh adalah : Y = 2697639,3 + 2,051X2+ 10454,733X4 Persamaan ini memiliki konstanta sebesar 2697639,3 menyatakan bahwa bila tidak ada tanaman yang ditanam di hutan rakyat maka pendapatan responden akan bertambah Rp. 2.697.639,3; Koefisien regresi masing-masing :
X2 sebesar 2,051 berarti setiap penambahan 1 (satu) penghasilan lain
akan
meningkatkan total pendapatan sebesar Rp. 2,051;
X4
sebesar
10454,733 berarti
setiap penambahan
1
(satu)
tanaman
akan
meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 10.454,733;
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang peranan hutan rakyat pola agroforestri dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pendapatan petani 91,22% diperoleh dari sektor kehutanan dan 8,78% berasal dari sumber pendapatan lain seperti hasil dari tanaman non kehutanan (jambu mete, coklat, jeruk, nangka, dan mangga), peternakan, perikanan dan usaha lain. Sedangkan tanaman non kehutanan memberikan kontribusi 6,75% dari total pendapatan yang diterima petani. 2. Pendapatan per kapita per bulan di desa Bulo Wattang sebesar Rp. 762.830 dan menurut kriteria BPS tingkat kesejahteraan petani hutan rakyat pola agroforestri berada di atas garis kemiskinan. 3. Pendapatan petani dari hutan rakyat pola agroforestri sangat berhubungan erat dengan jumlah tanaman yang ditanam, pendapatan lain, luas lahan, dan lama tinggal di daerah tersebut. 4. Faktor yang layak digunakan untuk memprediksi pendapatan total petani adalah jumlah tanaman yang ditanam dan penghasilan lain. B. Saran Peningkatan peranan hutan rakyat pola agroforestri terhadap pendapatan petani dapat
dilakukan
dengan
peningkatan
jumlah tanaman
yang
menghasilkan
dan
pendapatan lain yang menunjang kelestarian hutan dengan tetap memerhatikan jarak tanam
dan
kesesuaian kondisi daerah
setempat,
peningkatan
kapasitas aparat
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
309
pemerintahan di daerah dan pihak-pihak yang terlibat sehingga lebih memahami peran dan tanggungjawabnya khususnya bidang kehutanan dan peningkatan frekuensi penyuluhan secara intensif mengenai teknologi tepat guna yang dapat diadopsi langsung oleh petani sehingga dapat meningkatkan keterampilan dan menambah pendapatan petani.
DAFTAR PUSTAKA Arief, A. (2001). Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius. Badan Pusat Statistik. (2002). Panca Rijang Dalam Angka. Sidrap: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. (2003). Statistik Indonesia 2002. Jakarta - Indonesia: BPS. De Foresta, H., Kusworo, A., Minchon, G., & Djatmiko, W.A. (2000). Agroforest Khas Indonesia. Bogor: ICRAF. Hairiah, K., Sardjono, A. M., & Sabarnurdin, S. (2003). Pengantar Agroforestri. Bogor: ICRAF. Harun, M. K., & Santosa, P. B. (2003). Pengembangan Agroforestri Sebagai Wahana Aplikasi Program Sosial Forestry untuk Meningkatkan Kesejahtraan masyarakat Sekitar Hutan. Galam, 6 (1). 15-27. Mahendra, F. (2009). Sistem Agroforestri dan Aplikasinya. Yogyakarta : Penerbit Graha Ilmu. Notohadiprawiro, T. (1981). Pemapanan Agroforestri Selaku Bentuk Pemanfaatan Lahan Menurut Kriteria Pengawetan Tanah dan Air. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. Satjapradja, O. (1982). Suatu usaha terpadu antara kehutanan dan budidaya pertanian lainnya untuk meningkatkan kemakmuran petani di sekitar hutan. Jurnal Litbang pertanian, 1(2), 45-48. Sawitri. (2009). Agroforestri Sebagai Bentuk Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Berkelanjutan Dan Salah Satu Pengendali Lingkungan. http://arkanuddinmrum.blogspot.com/2009/11/agroforestri-sebagai-bentukpengelolaan.html. Diakses Tanggal 2 April 2013.
310 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Korelasi
Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)
N
Y
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
Y
1.000
.813
.829
.158
.907
.497
.534
.239
-.046
X1
.813
1.000
.922
.099
.802
.524
.567
.171
.027
X2
.829
.922
1.000
.163
.797
.501
.429
.262
-.088
X3
.158
.099
.163
1.000
.272
.119
.176
.277
-.189
X4
.907
.802
.797
.272
1.000
.618
.622
.218
.015
X5
.497
.524
.501
.119
.618
1.000
.503
.182
.008
X6
.534
.567
.429
.176
.622
.503
1.000
.256
-.081
X7
.239
.171
.262
.277
.218
.182
.256
1.000
-.877
X8
-.046
.027
-.088
-.189
.015
.008
-.081
-.877
1.000
Y
.
.000
.000
.202
.000
.003
.001
.102
.404
X1
.000
.
.000
.301
.000
.001
.001
.183
.444
X2
.000
.000
.
.195
.000
.002
.009
.081
.321
X3
.202
.301
.195
.
.073
.265
.176
.069
.158
X4
.000
.000
.000
.073
.
.000
.000
.124
.469
X5
.003
.001
.002
.265
.000
.
.002
.168
.484
X6
.001
.001
.009
.176
.000
.002
.
.086
.336
X7
.102
.183
.081
.069
.124
.168
.086
.
.000
X8
.404
.444
.321
.158
.469
.484
.336
.000
.
Y
30
30
30
30
30
30
30
30
30
X1
30
30
30
30
30
30
30
30
30
X2
30
30
30
30
30
30
30
30
30
X3
30
30
30
30
30
30
30
30
30
X4
30
30
30
30
30
30
30
30
30
X5
30
30
30
30
30
30
30
30
30
X6
30
30
30
30
30
30
30
30
30
X7
30
30
30
30
30
30
30
30
30
X8
30
30
30
30
30
30
30
30
30
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
311
Lampiran 2. Ringkasan Model Change Statistics
Model
R
R2
Adjusted R2
Std. Error of the Estimate
1
.933
.871
.821
19503981.48
.871
17.646
2
.933
.870
.829
19056485.89
.000
3
.933
.870
.837
18645303.96
4
.933
.870
.843
5
.932
.868
6
.928
7
.924
312 |
2
R F Change df1 Change
df2
Sig. F Change
8
21
.000
.002
1
23
.964
.000
.018
1
24
.894
18257414.29
.000
.012
1
25
.914
.847
18064336.37
-.003
.474
1
26
.498
.861
.845
18149676.95
-.007
1.246
1
27
.275
.854
.843
18256804.24
-.007
1.320
1
28
.261
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Lampiran 3. Anova Model 1
2
3
4
5
6
7
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
53702158369467900
8
6712769796183490
Residual
7988511167255040
21
380405293678811.5
Total
61690669536723000
29
Regression
53701377142374600
7
7671625306053520
Residual
7989292394348330
22
363149654288560.7
Total
61690669536723000
29
Regression
53694780260659700
6
8949130043443280
Residual
7995889276063300
23
347647359828839.1
Total
61690669536723000
29
Regression
53690673291035000
5
10738134658207010
Residual
7999996245687930
24
333333176903663.8
Total
61690669536723000
29
Regression
53532663327306000
4
13383165831826510
Residual
8158006209416930
25
326320248376677.5
Total
61690669536723000
29
Regression
53125989430981400
3
17708663143660500
Residual
8564680105741500
26
329410773297750.4
Total
61690669536723000
29
Regression
52691275210935500
2
26345637605467760
Residual
8999394325787480
27
333310900955092
Total
61690669536723000
29
F
Sig.
17.646 .000
21.125 .000
25.742 .000
32.214 .000
41.012 .000
53.759 .000
79.042 .000
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
313
Lampiran 4. Koefisien Model 1
2
3
4
5
6
7
(Constant) X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 (Constant) X1 X2 X3 X4 X5 X6 X8 (Constant) X1 X2 X3 X4 X5 X8 (Constant) X2 X3 X4 X5 X8 (Constant) X2 X3 X4 X5 (Constant) X2 X4 X5 (Constant) X2 X4
Unstandardized Coefficients B 28397270.425 784384.063 1.624 -2072672.575 12369.068 -4051972.192 -131961.746 -36917.380 -3179832.604 26366297.072 776319.940 1.625 -2084503.992 12353.288 -4073473.183 -135555.668 -2813418.198 24781312.095 462790.682 1.737 -2099583.334 12228.348 -4164423.991 -2662409.331 25144902.447 1.865 -2131901.962 12289.587 -4138712.449 -2570115.972 21341759.837 1.980 -1868323.408 12018.572 -4106981.743 12076383.449 2.068 11447.432 -3871168.865 2697639.263 2.051 10454.733
Std. Error
Standardized Coefficients Beta
48915868.751 5053508.303 1.773 1900114.508 2599.562 3732496.708 1032420.676 814639.563 9131369.803 19152172.321 4934499.513 1.732 1838910.364 2517.028 3617276.080 1005752.568 4146048.822 14790495.411 4257879.131 1.487 1795899.068 2289.618 3477095.731 3905661.692 14107513.275 .880 1734266.830 2173.045 3396870.976 3732929.214 12843834.800 .855 1673597.114 2114.495 3360638.643 9848307.987 .856 2061.360 3369838.534 5540286.797 .861 1882.535
.039 .230 -.094 .800 -.112 -.015 -.009 -.065 .039 .230 -.095 .799 -.112 -.016 -.058 .023 .246 -.095 .791 -.115 -.055 .264 -.097 .795 -.114 -.053 .280 -.085 .777 -.113 .292 .740 -.107 .290 .676
a Dependent Variable: pendapatan petani dari hutan rakyat pola agroforestri
314 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
t .581 .155 .916 -1.091 4.758 -1.086 -.128 -.045 -.348 1.377 .157 .938 -1.134 4.908 -1.126 -.135 -.679 1.675 .109 1.168 -1.169 5.341 -1.198 -.682 1.782 2.119 -1.229 5.655 -1.218 -.688 1.662 2.315 -1.116 5.684 -1.222 1.226 2.416 5.553 -1.149 .487 2.383 5.554
Sig. .568 .878 .370 .288 .000 .290 .900 .964 .731 .182 .876 .359 .269 .000 .272 .894 .504 .107 .914 .255 .254 .000 .243 .502 .087 .045 .231 .000 .235 .498 .109 .029 .275 .000 .233 .231 .023 .000 .261 .630 .024 .000
PRODUKSI NIRA AREN DAN PRODUK TURUNANNYA Mody Lempang1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Aren (Arenga pinnata Merr.) adalah salah satu jenis tumbuhan palma yang memproduksi buah, nira dan pati (tepung) di dalam batangnya. Hasil produksi aren ini semuanya dapat dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomi. Dari ketiga hasil produksi aren tersebut, penyadapan nira aren dan pengolahannya untuk menghasilkan produk gula merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan melibatkan banyak masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Aren mulai berbunga pada umur 12 sampai 16 tahun dan sejak itu dapat disadap niranya dari tandan bunga jantan selama 3-5 tahun. Produksi nira dari setiap tandan bunga jantan pohon aren rata-rata 4,5 liter/hari dengan kisaran antara 2,8 sampai 7,0 liter/hari dengan waktu penyadapan 1,5-5 bulan. Pohon aren yang sehat dapat menghasilkan nira sebanyak 900-1.800 liter, sedangkan yang pertumbuhannya kurang baik hanya rata-rata 300-400 liter. Nira aren yang masih segar rasa manis, akan tetapi bahan tersebut secara alami sangat cepat mengalami fermentasi dan berubah menjadi asam. Oleh karena itu dari nira aren dapat dihasilkan produk turunan melalui proses baik tanpa fermentasi, yaitu gula maupun fermentasi antara lain nata pinnata, alkohol dan cuka. Kata kunci: Aren, produksi nira, produk turunan
I. PENDAHULUAN Salah satu tanaman yang paling penting dan umumnya tumbuh jauh di daerah pedalaman adalah aren (Arenga pinnata Merr.). Jenis tanaman ini tumbuh menyebar secara alami di negara-negara kepulauan bagian tenggara, antara lain Malaysia, India, Myanmar, Laos, Vietnam Kepulauan Ryukyu, Taiwan dan Philipina (Hadi, 1991). Di Indonesia tanaman aren banyak terdapat dan tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara, khususnya di daerah-daerah perbukitan yang lembab (Sunanto,1993), dan tumbuh secara individu maupun berkelompok (Alam dan Suhartati, 2000). Aren sering tumbuh mulai dari permukaan laut sampai ketinggian 1.300 m dari permukaan laut (Heyne, 1950). Tetapi tanaman ini lebih menyukai tempat dengan ketinggian 500-1.200 m (Lutony, 1993) dan bila dibudidayakan pada tempat-tempat dengan ketinggian 500700m dpl. akan memberikan hasil yang memuaskan (Soeseno, 1992). Kondisi tanah yang cukup sarang atau bisa meneruskan kelebihan air, seperti tanah yang gembur, tanah vulkanis di lereng gunung, dan tanah yang berpasir di sekitar tepian sungai merupakan 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
315
lahan yang ideal untuk pertumbuhan aren. Suhu lingkungan yang terbaik rata-rata 250C dengan curah hujan setiap tahun rata-rata 1.200 mm. Pohon aren atau enau merupakan tumbuhan yang menghasilkan bahan-bahan industri sejak lama kita kenal. Namun sayang tumbuhan ini kurang mendapat perhatian untuk dikembangkan atau dibudidayakan secara sungguh-sungguh oleh berbagai pihak. Padahal begitu banyak ragam produk yang dipasarkan setiap hari yang bahan bakunya berasal dari pohon aren dan permintaan produk-produk tersebut baik untuk kebutuhan ekspor maupun kebutuhan dalam negeri semakin meningkat. Hampir Semua bagian pohon aren bermanfaat dan dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan, mulai dari bagian fisik (akar, batang, daun, ijuk dll) maupun hasil produksinya (nira, pati/tepung dan buah). Data pasti tentang jumlah populasi tanaman aren di Indonesia hingga tahun 2011 memang belum ada. Yang jelas tanaman ini tumbuh tersebar diberbagai pulau dan sebagian besar populasinya masih merupakan tanaman liar yang tumbuh subur dan menyebar secara alami pada berbagai tipe hutan. Areal hutan aren umumnya berada dalam kawasan hutan negara yang dikelola masyarakat secara turun temurun dan hanya sebagian kecil yang berada pada tanah milik. Pohon aren adalah salah satu jenis tumbuhan palma yang memproduksi buah, nira dan pati (tepung) di dalam batang. Hasil produksi aren ini semuanya dapat dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomi. Akan tetapi penyadapan nira aren dan pengolahannya menjadi gula merupakan kegiatan yang paling banyak melibatkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
II. PRODUKSI NIRA AREN Aren mulai berbunga pada umur 12 sampai 16 tahun, bergantung pada ketinggian tempat tumbuh dan sejak itu aren dapat disadap niranya dari tandan bunga jantan selama 3 sampai 5 tahun (Heyne, 1950). Sesudah itu pohon tidak produktif lagi dan lama kelamaan mati. Dari hasil survai di Sulawesi Utara dilaporkan bahwa rata-rata hasil nira setiap pohon aren adalah 6,7 liter per hari (Mahmud, et al. 1991). Sedangkan soeseno (1992) mengemukakan bahwa dari setiap tandan bunga aren yang disadap seharinya hanya dapat dikumpulkan 2 sampai 4 liter/tandan. Sementara sunanto (1993) menyatakan bahwa satu tandan bunga dapat menghasilkan 4 sampai 5 liter nira per hari. Hasil penelitian Lempang dan Soenarno (1999) di kabupaten Maros propinsi Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa volume produksi nira aren dari setiap tandan bunga jantan
316 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
pohon aren rata-rata 4,5 liter/hari dengan kisaran antara 2,8 sampai 7,0 liter/hari dengan waktu penyadapan setiap tandan 1,5 sampai 3 bulan (rata-rata 2,5 bulan). Pada tanaman aren yang sehat setiap tandan bunga jantan bisa menghasilkan nira sebanyak 900-1.800 liter/tandan, sedangkan pada tanaman aren yang pertumbuhannya kurang baik hanya rata-rata 300-400 liter/tandan (Lutony, 1993). Di beberapa daerah dalam setahun dapat disadap sampai 4 tandan bunga per pohon, dan setiap tandan bunga dapat disadap 3-5 bulan. Dalam keadaan segar nira berasa manis, berbau khas nira dan tidak berwarna. Nira aren mengandung beberapa zat gizi antara lain karbohidrat, protein, lemak dan mineral. Rasa manis pada nira disebabkan kandungan karbohidratnya mencapai 11,28%. Nira yang baru menetes dari tandan bunga mempunyai pH sekitar 7 (pH netral), akan tetapi pengaruh keadaan sekitarnya menyebabkan nira aren mudah terkontaminasi dan mengalami fermentasi sehingga rasa manis pada nira aren cepat berubah menjadi asam (pH menurun).
Gambar 1. Persiapan penyadapan nira dari tandan bunga jantan pohon aren.
Gambar 2. Pengangkutan nira aren dalam wadah bumbung bambu.
III. PRODUK TURUNAN NIRA AREN Produk nira dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu produk yang dihasilkan melalui proses tanpa fermentasi dan fermentasi (Barlina dan Lay, 1994). A. Produk Tanpa Fermentasi Nira aren yang masih segar dan rasanya manis dapat langsung diminum, atau dapat dibiarkan terlebih dahulu mengalami fermentasi sebelum diminum. Nira yang masih segar digunakan untuk obat sariawan, TBC, disentri, wasir dan untuk memperlancar buang air besar (Ismanto, et al. 1995). Nira aren yang telah mengalami fermentasi (peragian) berubah menjadi tuak. Tuak dari hasil fermentasi nira aren
juga berguna
sebagai perangsang haid dan cukup ampuh untuk melawan radang paru-paru dan mejan (Lutony, 1993). “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
317
Nira aren yang segar dan rasa manis dapat langsung diminum atau diolah untuk menghasilkan produk turunannya, yaitu gula. Pengolahan langsung nira aren yang baru disadap dari pohonnya menghasilkan gula 104,8 gram per liter nira atau rendemen produksi 10,48% (Lempang, 2000). Pengolahan langsung nira aren menghasilkan gula yang berwarna cokelat kemerahan, sifat lebih solid dan memiliki rasa lebih manis. Sedangkan nira yang terlambat diolah akan menghasilkan gula yang berwarna kekuningan, lunak atau tidak mengeras sehingga tidak dapat dicetak. Sampai saat ini produk utama pohon aren adalah gula aren dan produk ini sudah dikenal masyarakat secara luas. Dari segi fisiknya gula aren mempunyai kekhasan tersendiri apabila dibandingkan dengan gula dari sumber yang lain (gula tebu, gula bit). Kekhasan gula aren antara lain lebih muda larut, keadaannya kering dan bersih serta mempunyai aroma khas (Rumokoi, 1990). Oleh sebab itu gula aren banyak digunakan dalam pembuatan kue, kecap dan produk pangan lainnya. Gula aren sering juga digunakan dalam ramuan obat tradisional dan diyakini memiliki khasiat sebagai obat demam dan sakit perut (Lutony, 1993). Gula aren mengandung glukosa cukup banyak yang dapat membersihkan ginjal sehingga dapat menghindarkan kita dari penyakit ginjal (Sapari, 1994). Kekhasan gula aren dari segi kimia yaitu mengandung sukrosa kurang lebih 84% dibandingkan dengan gula tebu dan gula bit yang masing-masing hanya 20% dan 17% sehingga gula aren mampu menyediakan energi yang lebih tinggi dari gula tebu dan gula bit
(Rumokoi,
1990). Selain itu, kandungan gizi gula aren (protein, lemak, kalium dan posfor) lebih tinggi dari gula tebu dan gula bit.
Gambar 3. Perebusan nira aren untuk menghasilkan produk gula.
Gambar 5. Pencetakan gula aren dalam cetakan batok (tempurung) kelapa.
Gambar 4. Larutan gula aren yang sudah mengental dan siap dicetak.
318 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Gula aren ada tiga jenis yaitu gula cetak (kerekan atau batok), gula pasir dan gula semut (Sapari, 1994). Gula cetak pada umumnya memiliki bentuk sesuai bentuk cetakan yang digunakan. Gula pasir adalah gula aren yang dikristalkan kecil-kecil seperti pasir dan berwarna merah. Gula semut bukanlah gula yang bentuknya seperti semut dan bukan pula gula yang dikerumuni semut. Gula semut merupakan jenis gula yang dibuat dari nira dengan bentuk serbuk atau kristal dan berwarna kuning kecokelatan sampai cokelat (Lutony, 1993). Gula semut mirip dengan gula pasir (aren), akan tetapi ukurannya lebih besar sedikit dari pada gula pasir. Gula semut ini telah dipasarkan secara luas dengan berbagai merek. Umumnya gula aren diproduksi dalam bentuk gula cetak yang disebut juga sebagai gula padat, akan tetapi ada juga yang diproduksi dalam bentuk gula cair (Lutony, 1993). Gula aren cair atau sirop aren ini di daerah Palembang disebut tengguli (gula mangkok) yang diproduksi dan diberikan antara lain kepada perusahan-perusahan pembakaran roti (Lahiya, 1983). Pada waktu musim hujan nira aren di daerah tersebut hanya khusus dibuat tengguli, karena gula aren balok (cetak) sangat hygroskopis sehingga cepat menjadi lunak dan meleleh. Sedangkan pada musim kering apabila nira tidak banyak mengalir, tetapi dalam pada itu didapatkan nira yang berkadar gula tinggi, maka lebih disukai untuk membuat balok-balok gula. Negara-negara yang membutuhkan gula aren dari Indonesia adalah Arab Saudi, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Jepang dan Kanada (Sapari, 1994).
Gambar 6. Gula semut, produk turunan nira aren tanpa proses fermentasi.
B. Produk Fermentasi Produk-produk turunan dari nira aren yang dihasilkan melalui proses fermentasi antara lain nata pinnata, cuka dan alkohol. Nata berasal dari bahasa spanyol yang bahasa Inggrisnya berarti cream (Afri, 1993), sedangkan pinnata merupakan kata yang diambil “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
319
dari nama botanis pohon aren, yaitu Arenga pinnata (Lempang,2006). Nata merupakan jenis makanan penyegar atau pencuci mulut (food dissert) yang memegang andil yang cukup berarti untuk kelangsungan fisiologi secara normal (Barlina dan Lay, 1994). Pengolahan nira aren dengan penambahan pupuk ZA sebanyak 2,5 gram per liter nira menghasilkan rendemen nata pinnata rata-rata 94,22% (Lempang, 2006). Jika dilihat dengan kasat mata, secara fisik nata pinnata adalah produk berbentuk padat, bertekstur lembut, kenyal dan berwarna putih. Akan tetapi produk ini mengandung kadar air yang sangat tinggi yaitu rata-rata 97,4%, sedangkan sisanya adalah bahan padat. Selain mengandung air yang tinggi, nata pinnata juga mengandung serat 0,82% ; protein 0,15%; sementara kandungan vitamin C ; lemak ; kalsium dan posfor sangat rendah.
Gambar 7. Nata pinnata, produk turunan nira aren melalui proses fermentasi.
Proses fermentasi nira aren juga dapat dihasilkan minuman beralkohol. Fermentasi yang terjadi dalam pembuatan minuman beralkohol biasanya berlangsung secara spontan oleh adanya aktifitas organisme yang terdapat di dalam nira itu sendiri. Mikroorganisme yang dominan dalam fermentasi nira adalah Saccharomyces cerevisae di samping jenis khamir yang lain seperti Schizosaccharomyces sp dan Candida sp serta beberapa jenis bakteri (Rumokoi 1990). Salah satu produk yang dihasilkan petani aren di daerah Sulawesi Utara adalah arak atau cap tikus yang mengandung alkohol antara 30-50% dan untuk mendapatkan 1 liter cap tikus dibutuhkan bahan baku nira antara 7-8 liter (Torar dan Kindangen, 1990). Usaha pembuatan arak (minuman beralkohol) ini sudah semakin terbatas oleh berbagai ketentuan yang ada. Di samping itu harga arak yang dipasarkan
320 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
juga rendah, sehingga lebih baik jika produksinya diarahkan sebagai bahan baku industri selain minuman, juga kosmetika dan farmasi (Torar dan Kindangen, 1990). Cuka dapat juga diperoleh melalui proses fermentasi berlanjut dari nira aren, dimana lama kelamaan alkohol dalam nira aren akan terurai dan terbentuk menjadi cuka (asam asetat). Jika pebuatan alkohol dari nira dilakukan dalam wadah tertutup, sebaliknya pembuatan cuka justru dilakukan di dalam wadah terbuka dan setelah 8 hari seluruh nira sudah berubah menjadi cuka. Di Ambon, untuk mempercepat pembentukan asam cuka ini nira dibubuhi tumbukan biji galoba kusi (Horstedtia rumphii) dan prosesnya dilakukan dalam wadah tertutup yang dijemur di matahari atau dipanasi di dapur (Soeseno, 1992). Setelah disaring dan dibersihkan dari kotoran yang mengendap di dasar wadah, cuka aren boleh dipakai sebagai bumbu masak. Karena kadar asam asetatnya hanya 3%, cuka aren tidak tahan lama disimpan.
IV. PENUTUP Aren adalah pohon serbaguna dimana hampir semua bagian fisik dan produksinya dapat dimanfaatkan. Pohon aren dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat di dalam dan di sekitar hutan melalui penggunaan secara tradisional. Namun sayang tumbuhan ini kurang mendapat perhatian untuk dikembangkan, sehingga pohon aren yang dimanfaatkan pada umumnya masih merupakan tumbuhan yang tumbuh liar di alam dan berkembang secara alami.
Pemanfaatan aren dengan cara menebang
pohonnya, kerusakan dan konversi kawasan hutan telah menyebabkan populasi tumbuhan ini berkurang dengan cepat karena tidak diimbangi dengan kegiatan budidaya yang memadai. Inventarisasi aren juga belum banyak dilakukan sehingga populasi jenis pohon ini kurang diketahui. Penyadapan nira
untuk dikonsumsi langsung dan
pengolahannya untuk menghasilkan produk turunan terutama gula, merupakan dua macam aktivitas dalam pengusahaan pohon aren yang banyak melibatkan masyarakat. Selain gula yang dihasilkan dari nira aren melalui proses tanpa fermentasi, dapat juga dihasikan produk turunan lainnya melalui proses fermentasi, antara lain, cuka, alkohol dan nata pinnata.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
321
DAFTAR PUSTAKA Alam, S., & Suhartati. (2000). Pengusahaan hutan aren rakyat di desa Umpunge kecamatan Lalabata kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan. Buletin Penelitian Kehutanan, 6 (2), 59-70. Afri, A. S. (1993). Kelapa (Kajian Sosial-Ekonomi). Yogyakarta: Aditya Media. Barlina, R. dan A.Lay, (1994). Pengolahan nira kelapa untuk produk fermentasi nata de coco, alkohol dan asam cuka. Jurnal Penelitian Kelapa, 7(2), 20-32. Hadi, S. 1991. Distribution and potential of arenga palm in the outer islands of Indonesia. Pengumuman (Edisi khusus) No.15 Thn.1991: 3-8. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Heyne, K., (1950). Tumbuhan Berguna Indonesia (Jilid I). Jakarta: Terjemahan oleh Badan Litbang Kehutanan, 615 p. Ismanto, A. et al. (1995). Pohon Kehidupan : Aren (Arenga pinnata Merr.). Hal. 7-13. Jakarta: Badan Pengelola Gedung Manggala Wanabakti dan Prosea Indonesia. Lahiya, A.A., (1983). Beberapa Tanaman yang Berguna untuk Tanah-Tanah yang Kesuburannya Terbatas (Jilid II Bagian Pertama : Tanaman Aren dan Proses Menghasilkan Gula Aren di Daerah Palembang. Terjemahan dari buku asli dengan judul : Onderzoekingen Betreffende Het Winnen Van Arensuiker In De Residensi Palembang En Ranau oleh A.E. Zeilinga). Bandung: Seri Himpunan Peninggalan Penulisan yang Berserakan. Lempang, M., dan Soenarno, (1999). Teknik penyadapan aren untuk meningkatkan produksi nira. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian (Tgl.8 Februari 1999, Ujung Pandang) hal.25-35. Ujung Pandang: Balai Penelitian Kehutanan. Lempang, M. (2000). Rendemen produksi gula aren (Arenga pinnata Merr.). Buletin Penelitian Kehutanan, 6(1), 17-28. Lempang, M. (2006). Rendemen dan Kandungan Nutrisi Nata Pinnata yang Diolah dari Nira Aren. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 24(2), 133-144. Lutony, T.L., 1993. Tanaman Sumber Pemanis. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Mahmud, Z., D. Allorerung dan Amrizal. (1991). Prospek tanaman kelapa, aren, lontar dan gewang untuk menghasilkan gula. Buletin Balitka, 14, 90-105. Rumokoi, M.M.M. (1990). Manfaat tanaman aren (Arenga pinnata Merr). Buletin Balitka, 10 , 21-28.
322 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Sapari, A. (1994). Teknik Pembuatan Gula Aren. Surabaya: Karya Anda. Soeseno, A. (1992). Bertanam Aren. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Sunanto, H. (1993). Aren (Budidaya dan Multigunanya). Yogyakarta: Kanisius. Torar, D.J., dan J.G. Kindangen, 1990. Pendapatan petani arak aren (kasus Desa Rumoong Atas, Sulawesi Utara). Buletin Balitka, 10 , 29-33.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
323
KONFLIK DI KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN KHUSUS (KHDTK): POTENSI DAN LANGKAH ANTISIPASI Achmad Rizal HB1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang open access dan letaknya yang berbatasan dengan pemukiman dan kebun masyarakat, serta kehadiran masyarakat sekitar sebagai penggarap lahan, menyebabkan KHDTK rawan konflik. Potensi konflik dapat bersifat internal dalam masyarakat dan eksternal yang melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, potensi konflik tersebut perlu sedini mungkin diidentifikasi dan disiapkan langkah-langkah antisipasi. Satu di antara pendekatan yang dapat dilakukan adalah pendekatan kegiatan, baik penelitian maupun nonpenelitian. Kedua bentuk kegiatan tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi. Hasil-hasil kegiatan penelitian perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan non-penelitian. Sebaliknya, dari kegiatan non-penelitian dapat dirumuskan beberapa kegiatan penelitian. Adanya keberlanjutan kegiatan tersebut di KHDTK menunjukkan bahwa KHDTK bukanlah lahan terlantar dan manfaatnya tetap dapat dirasakan oleh banyak pihak sesuai dengan tujuan peruntukannya. Kondisi dinamis demikian dapat dijumpai pada berbagai KHDTK, termasuk KHDTK Borisallo, Gowa, Sulawesi Selatan. Sejumlah kegiatan penelitian dan non-penelitian yang telah berlangsung, dapat dievaluasi untuk selanjutnya menjadi bahan masukan dalam mengidentifikasi potensi konflik dan merumuskan langkah antisipasi. Kata kunci :
KHDTK, potensi konflik, langkah antisipasi, kegiatan penelitian, kegiatan nonpenelitian
I.
PENDAHULUAN
Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) merupakan bagian dari hutan negara yang memiliki fungsi khusus, antara lain untuk keperluan penelitian. Untuk itu, langkah-langkah nyata telah dilakukan agar KHDTK lebih diminati sebagai pilihan lokasi penelitian. Sebagai landasan hukum, penetapan KHDTK sebagai suatu kebijakan untuk mewadahi kepentingan umum dalam bidang kelitbangan telah diatur dalam Undangundang No 41/Tahun 1999 tentang Kehutanan dan aturan tindak lanjutnya. Rapat kerja teknis (Rakernis) Badan Litbang Kehutanan pada 24 – 25 Oktober 2003 telah menyatakan KHDTK sebagai satu alternatif bagi peningkatan kapasitas kelembagaan Badan Litbang Kehutanan. Sampai dengan saat ini terdapat 33 KHDTK ke-litbang-an yang dikelola Badan Litbang Kehutanan dengan luasan berkisar 8,40 ha – 5.000 ha; luas total 26.132 ha 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
324 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
(Badan Litbang Kehutanan, 2012). Sistem pengelolaan KHDTK yang baru, didasarkan kepada empat kelompok luasan, yaitu: (i) kurang dari 1.000 hektare; (ii) lebih dari 1.000 hektare; (iii) 1.000 – 3.000 hektare; dan (iv) lebih dari 3.000 hektare (Departemen Kehutanan,
2008).
Diharapkan
sistem
pengelolaan
ini
dapat
mengoptimalkan
pemanfaatan KHDTK sebagai lokus penelitian yang dirasakan masih sangat kurang. Hal ini dapat ditunjukkan dengan rendahnya persentase luas areal penelitian dan frekuensi penelitian per periode di KHDTK. Misalnya: KHDTK Labanan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur hanya 1,5% (Suryanto et al., 2010). Begitu pula halnya pada KHDTK Borisallo hanya 0,8% pada periode penelitian social forestry (Bisjoe, 2005). Pada tahun 2010 telah diselenggarakan Workshop Nasional KHDTK di Makassar, yang dilanjutkan dengan fieldtrip ke KHDTK Borisallo. Satu di antara hasil diskusi lapang adalah diakomodirnya kehadiran masyarakat sekitar hutan sebagai penggarap lahan secara legal formal. Selanjutnya pada tahun yang sama Badan Litbang Kehutanan telah merumuskan pedoman kriteria dan indikator pengelolaan KHDTK bagi keperluan manajemen, sebagai objek yang dapat dimonitor dan dievaluasi. Pedoman dimaksud menyebutkan terdapat tiga kriteria pengelolaan KHDTK, yaitu: (i) kelestarian sumber daya; (ii) keberlanjutan penelitian; dan (iii) manfaat non-penelitian, dengan total 28 indikator. Satu di antara indikator tersebut adalah ketersediaan protokol penanganan konflik, yang berkaitan dengan lingkup tulisan ini. Pada kurun waktu 2003 – 2008 berdasarkan kerangka Usulan Kegiatan Penelitian (UKP) berlangsung kegiatan penelitian intensif di KHDTK, khususnya KHDTK Borisallo dengan judul Teknologi dan Kelembagaan Social Forestry. interaksi
dan
komunikasi pengelola
KHDTK
dengan
Pada kurun waktu itu,
masyarakat sekitar
KHDTK
berlangsung intensif, antara lain karena pendekatan penelitian yang digunakan adalah
Participative
Action
Research
(PAR).
Pendekatan
tersebut
selain
memposisikan
masyarakat sebagai objek yang diteliti, juga memposisikannya sebagai bagian dari tim peneliti. Rangkaian penelitian ini dapat dijadikan entry point bagi kegiatan penelitian selanjutnya dalam upaya mewujudkan KHDTK sebagai sajian hidup (live) atau show
window dari suatu proses litbang kehutanan. Namun, setelah periode UKP berakhir yang diikuti oleh selesainya penelitian social
forestry,
ditambah
lagi
adanya
perubahan
kebijakan
yang
meniadakan
peran
‘pengembangan’ pada unit daerah setingkat eselon tiga, maka praktis tidak ada lagi kegiatan penelitian yang intensif di KHDTK Borisallo. Hal ini membawa KHDTK dimaksud kembali pada kondisi status quo, terbatas pada kegiatan rutin administatif. Dampak yang
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
325
dirasakan adalah semakin berkurangnya interaksi dan komunikasi antara pengelola dan masyarakat sekitar KHDTK, sehingga bilamana ada kegiatan penelitian yang akan dilaksanakan di KHDTK, tahapan kembali dimulai dari nol. Kekosongan kegiatan di KHDTK lambat-laun akan mengesankan bahwa lahan tersebut terlantar. Keadaan ini dapat berkembang semakin kompleks mengingat KHDTK sebagai potensi sumber penyedia lahan akan mendapat tekanan permintaan kebutuhan lahan dari berbagai pihak termasuk masyarakat, bahkan sampai mengarah kepada okupasi lahan. Hal ini dapat dipahami karena luasan dan letak KHDTK yang open access
area berbatasan dengan prasarana umum, lahan garapan, dan pemukiman masyarakat. Di sisi peneliti dan teknisi yang banyak beraktivitas di KHDTK, kondisi ini meyebabkan ketidaknyamanan dan sekaligus ketidakamanan data objek amatan. Pertanyaan:” Mengapa kita merasa tidak aman dan tidak nyaman melakukan kegiatan penelitian di KHDTK? Apakah ada potensi konflik?” Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengulas definisi, teori, dan kategorisasi konflik. Pendapat pakar dipilih secara sengaja sebagai titik tolak dalam mengidentifikasi konflik, khususnya terkait hutan dalam lingkup kecil, yaitu KHDTK (Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus).
II. SEKILAS TENTANG KONFLIK Konflik menurut Deutsch (1998), seorang pakar psikologi sosial adalah sesuatu yang alami dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sebagai individu dan bagian dari masyarakat. Berbagai faktor dapat mengarahkan apakah konflik menjadi sesuatu yang menguntungkan atau merugikan. Sejumlah pakar telah mengajukan beragam definisi dan kategorisasi konflik, antara lain: Taquiri, Newstorm, dan Davis (1977), Minnery (1985), Gibson, et al. (1997), Robbin (1996), Muchlas (1999), Pace dan Faules (1994), Folger dan Poole (1984), Myers (1982), Kreps (1986), dan Stewart (1993). Sejumlah teori telah dirumuskan. Dalam ilmu sosial ada tiga teori yang menonjol, yaitu teori konflik C. Gertz tentang primodialisme, teori konflik Karl Marx tentang pertentangan kelas, dan teori konflik James Scott tentang patron klien. Menurut Myers (1993) dalam Anonymous (2012) konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer. Pertama, dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap 326 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik harus dihindari. Kedua, dalam pandangan kontemporer, konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat, sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun. Konflik bertentangan dengan integrasi. Keduanya berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Sejalan dengan pernyataan Deutsch (1998) sebelumnya, maka permasalahannya adalah bukan menghilangkan atau mencegah konflik, melainkan
menjadikan konflik
sebagai sesuatu yang produktif dengan mengenalinya sedini mungkin. Hal ini dapat dijumpai pada istilah yang dikenal sebagai manajemen konflik yang bertujuan mencegah dan menyelesaikan konflik agar tidak menimbulkan kerugian terhadap kehidupan individu maupun masyarakat. Secara implisit berarti ada kesediaan untuk menerapkan prinsip give
and take, yaitu prinsip untuk tidak hanya menuntut, melainkan juga kesediaan memberi kepada pihak lain. Selanjutnya, Deutsch (1998) mengemukakan empat proposisi yang menentukan apakah suatu konflik akan menguntungkan atau merugikan. Pertama, motif pihak yang berkonflik untuk bersikap koperatif dan kompetitif; kedua, sifat konflik yang positif dan produktif atau negatif dan destruktif; ketiga, kemauan para pihak yang menentukan proses resolusi konflik; dan keempat, kekuatan relatif sikap koperatif dan kompetitif para pihak selama konflik. Secara alamiah hutan merupakan sumber konflik, karena di dalamnya terdapat berbagai kepentingan yang seringkali bertentangan. Secara umum ada tiga bentuk kepentingan yang menarik seseorang atau organisasi untuk terlibat dalam pengelolaan hutan, antara lain: (1) motif subsisten, yaitu keinginan untuk memanfaatkan hasil hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Motif ini lazim dimiliki oleh masyarakat setempat; (2) motif sosial, yaitu keinginan menciptakan keasrian, kelestarian dan keberlanjutan keberadaan hutan. Motif ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah; (3) motif untuk memperoleh keuntungan komersial, yaitu memanfaatkan hasil hutan yang sebesar-besarnya untuk kepentingan ekonomi tanpa memerhatikan dampak ekologi. Motif ini biasanya dimiliki oleh pengusaha (Tadjuddin, 2000 dalam Dewi, 2010). Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang beragam
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
327
kondisi dan luasannya, dapat saja memuat satu di antara motif atau bahkan gabungan motif kepentingan tersebut.
III. KONDISI KHDTK BORISALLO Kawasan hutan penelitian yang dikelola Badan Litbang Kehutanan diseragamkan namanya menjadi KHDTK (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus) dan secara berangsur mulai tahun 2003 sampai dengan tahun 2005, semua KHDTK tersebut telah memiliki SK Menteri Kehutanan sebagai dasar hukum pengelolaan (Badan Litbang Kehutanan, 2008). Sejarah KHDTK Borisallo sendiri dimulai pada tahun 1994 dengan penunjukan kawasan hutan Borisallo di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan sebagai SPUC (Stasiun Penelitian dan Uji Coba) berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 275/Kpts-I/1994 tanggal 28 Juni 1994. Pada tahun itu pula disusun data dasar biofisik SPUC oleh Badan Litbang Kehutanan bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM). Status kawasan Borisallo sebagai KHDTK ditetapkan pada tahun 2004 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. SK.367/Menhut-II/2004 tanggal 5 Oktober 2004. Selanjutnya, berdasarkan Rencana Induk Pengelolaan (RIP) KHDTK yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan pada tahun 2004, maka disusunlah Master Plan KHDTK lingkup balai, termasuk KHDTK Borisallo pada tahun 2005 oleh BP2KS (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi, sekarang: Balai Penelitian Kehutanan Makassar) bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin. Untuk keperluan operasional, pada tahun yang sama disusunlah Rencana Pengelolaan KHDTK oleh BP2KS. Selain dasar hukum, pada umumnya KHDTK sudah memiliki data dasar dan dokumen perencanaan pengelolaan (Badan Litbang Kehutanan, 1997; Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi dan Yayasan IKA Kehutanan Unhas, 2005; Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi, 2005). Sejumlah penelitian telah dilaksanakan di KHDTK Borisallo, antara lain: Studi Diagnostik
Pengembangan
Social
Forestry,
Kajian
Model
Kelembagaan
Hutan
Kemasyarakatan, Pemetaan Partisipatif, Bentuk Agroforestry Adaptif, dan Kelembagaan Pola Kemitraan.
Selain untuk keperluan penelitian litbang kehutanan, KHDTK Borisallo
juga telah dimanfaatkan sebagai objek penelitian mahasiswa sarjana dan pascasarjana. Hasil-hasil penelitian tersebut menjadi bagian dari data dasar KHDTK dalam pengelolaan lebih lanjut.
Pengakuan masyarakat sekitar atas KHDTK Borisallo sebagai
lahan negara adalah satu di antara rumusan hasil penelitian dimaksud. Namun, Bisjoe (2005) menyatakan bahwa terdapat kontradiksi antara pengakuan masyarakat terhadap 328 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
kepemilikan lahan oleh negara dengan tindakan masyarakat berkaitan dengan lahan. Di satu sisi, masyarakat pengguna lahan mengakui lahan hutan yang digarap sebagai lahan negara, tetapi di sisi lain, masyarakat pengguna lahan tersebut memperlakukan lahan garapannya sebagai ’hak milik’. Beberapa fenomena yang ditemui di lapang berkaitan dengan perlakuan sebagai hak milik adalah: pewarisan, sertifikasi, jual-beli, dan tuntutan ganti rugi. Fenomena di KHDTK Borisallo yang dijumpai adalah: penggembalaan liar, jual-beli lahan, penebangan liar, konflik status lahan, tata batas kawasan, perambahan, kebakaran, rendahnya kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan. Diduga fenomena tersebut dapat dijumpai pada KHDTK lain. Partisipasi masyarakat melalui interaksi dan komunikasi yang intensif dengan pengelola KHDTK, dirasakan dapat mengurangi tekanan terhadap KHDTK secara bertahap. Bisjoe (2005) mengelompokkan penggunaan lahan oleh masyarakat di KHDTK Borisallo dalam dua bentuk, yaitu: (i) pemagaran lahan yang diikuti dengan kegiatan penggarapan lahan, ditandai dengan hadirnya tanaman budidaya di bawah pohon-pohon hutan, (ii) pemagaran lahan tanpa diikuti kegiatan penggarapan lahan, ditandai dengan semak-semak tanpa tanaman budidaya di bawah pohon-pohon hutan. Selanjutnya, dikelompokkan pula penggunaan lahannya atas dua pola, yaitu: (i) pola agroforestry, yaitu menanami lahan dengan tanaman perkebunan di sela-sela tanaman kehutanan; dan (ii) pola monokultur, yaitu menanami lahan kosong/terbuka dengan tanaman perkebunan. Bagi masyarakat setempat, lahan adalah anugerah Tuhan yang merupakan tempat atau sumber mencari penghidupan. Lahan hutan yang digarap saat ini tetap diakui sebagai milik pemerintah, yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Selain itu, masyarakat setempat memandang lahan sebagai bagian dari eksistensi seseorang dalam bermasyarakat, yang menunjukkan motif sosial dalam penggunaan lahan. Sebagian masyarakat menggantungkan hidup pada pengusahaan lahan hutan, yang menunjukkan adanya motif ekonomi yang dapat berkembang menjadi penguasaan atas lahan. Pembagian
dan
penunjukan lahan garapan
dilakukan oleh
masyarakat
dengan
pertimbangan kekerabatan (bija), baik kekerabatan darah (bija pammanakang) maupun perkawinan (bija pa’renrengang) dalam musyawarah (abbulo sibatang). Terdapat hubungan saling menguntungkan antara penggunaan lahan pada KHDTK Borisallo dengan kehadiran masyarakat sekitar sebagai pengguna lahan. Di satu sisi, keberadaan lahan hutan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat setempat untuk memenuhi sebagian
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
329
kebutuhan hidupnya. Di sisi lain, kehadiran masyarakat setempat dalam menggunakan lahan hutan telah ikut mempertahankan keberadaan tanaman hutan (Bisjoe 2005).
IV. POTENSI KONFLIK DI KHDTK Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang open access dan letaknya yang berbatasan dengan pemukiman dan kebun masyarakat, serta kehadiran masyarakat sebagai penggarap lahan yang bersifat (legal-formal), menyebabkan KHDTK memiliki potensi konflik. Potensi konflik tersebut dapat bersumber dari internal masyarakat dan eksternal yang melibatkan banyak pihak. Konflik di KHDTK dapat bersifat laten, sehingga perlu diidentifikasi dan dicermati guna menyiapkan langkah antisipasi agar tidak berkembang menjadi konflik terbuka. Konflik internal masyarakat dipahami sebagai konflik yang bersumber dan terjadi di antara sesama masyarakat penggarap lahan di KHDTK. Adapun konflik eksternal masyarakat dipahami sebagai konflik yang bersumber dan terjadi antara masyarakat penggarap lahan di KHDTK dengan pihak di luar mereka. Salah satu faktor yang berpotensi konflik, sebagaimana dinyatakan oleh Bisjoe (2005), adalah kontradiksi antara pengakuan masyarakat terhadap kepemilikan lahan KHDTK oleh negara di satu sisi, dengan tindakan masyarakat berkaitan dengan lahan di sisi lain. Masyarakat pengguna lahan KHDTK tersebut memperlakukan lahan garapannya sebagai ’hak milik’, berdasarkan beberapa indikasi di lapang, yaitu adanya pewarisan lahan, upaya sertifikasi, praktik jualbeli lahan garapan, dan upaya ganti rugi. Pewarisan lahan menyebabkan terjadinya fragmentasi lahan garapan yang berdampak kepada menurunnya produktivitas lahan. Satu kasus yang dijumpai adalah seorang warga masyarakat yang pada awalnya menggarap lahan di KHDTK seluas 2 (dua) hektare, pada akhirnya hanya menggarap 0,5 hektare, karena lahan garapannya sudah dibagi empat untuk dia sendiri dan tiga anaknya. Dari luasan lahan garapan yang beragam, rata-rata luas lahan garapan masyarakat di KHDTK Borisallo adalah 0,66 hektare (Kusumedi, 2004). Luasan lahan garapan tersebut cenderung makin berkurang akibat fragmentasi lahan, yang pada akhirnya tidak layak garap untuk usaha tani. Pemandangan umum dijumpai di KHDTK adalah adanya petak-petak lahan berukuran kecil, kurang dari 0,5 hektare yang diberi pagar tanpa digarap. Hal ini berpotensi konflik internal karena menutup peluang warga masyarakat lainnya yang membutuhkan lahan garapan, di samping berpotensi konflik eksternal karena akan menghambat program pengelola KHDTK. 330 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Upaya sertifikasi lahan garapan juga dijumpai di KHDTK Borisallo. Ada dua hal yang melatarbelakangi upaya tersebut, yaitu: sosial dan ekonomi. Dari segi sosial, masyarakat mendapatkan pengakuan dari lingkungannya karena memiliki sebidang lahan garapan. Sedangkan dari segi ekonomi, masyarakat mempunyai tabungan yang pada waktu diperlukan dapat dimanfaatkan dengan menjual lahan dengan harga yang lebih mahal karena lahannya bersertifikat hak milik. Potensi konflik dari kondisi tersebut adalah lahan garapan masyarakat dikukuhkan dengan sertifikat, padahal berada di atas lahan negara. Bisjoe (2005) menyatakan bahwa kepemilikan sertifikat atas lahan garapan oleh masyarakat dimaksudkan untuk mendapatkan kemudahan dan kelayakan dalam proses jual-beli lahan. Namun, faktanya tidak demikian karena pemerintah kelurahan setempat tidak melayani proses administrasinya, bahkan tidak menerbitkan SPPT sebagai dasar pembayaran PBB. Pada akhirnya, masyarakat yang menjadi korban, karena telah mengeluarkan biaya penerbitan sertifikat oleh oknum, tetapi sertifikatnya tidak berlaku. Praktik jual-beli lahan garapan yang umum dijumpai di KHDTK adalah yang terjadi di antara masyarakat penggarap lahan berupa alih garap, yaitu dengan menghitung harga tanaman hasil budidayanya saja. Jual-beli dimaksud tidak membutuhkan proses administrasi dan cukup disaksikan oleh warga masyarakat yang berbatasan lahan. Sesungguhnya, yang terjadi bukanlah proses jual-beli lahan, tetapi proses ganti rugi atas tanaman yang tumbuh di atas lahan bersangkutan. Potensi konflik yang dapat muncul adalah ketika masyarakat penggarap lahan memperlakukan hal yang sama terhadap pengelola KHDTK dengan meminta ganti rugi atas tanaman yang telah diusahakan, bila ada rencana pemanfaatan lahan untuk lokasi penelitian. Sumanto dan Sujatmoko (2008) menyatakan bahwa eksistensi KHDTK di beberapa daerah mengalami tekanan dan konflik yang cukup serius. Sebagai contoh, hasil penelitian di KHDTK Hambala-Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur menunjukkan adanya konflik dengan konteks konflik utama adalah konflik kebijakan (policy conflict) antara pengelola KHDTK (Balai Penelitian Kehutanan Kupang) dengan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur, di samping konflik pemanfaatan sumber daya hutan antara masyarakat dengan pengelola, dengan aktor-aktor: Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur, dan masyarakat sekitar KHDTK. Banyak kawasan hutan Indonesia berada dalam kondisi tidak terkelola dan terabaikan, sehingga dianggap sebagai kawasan konflik. Hal tersebut terjadi karena ketidaktegasan pemerintah berkaitan dengan keinginan pemangku kepentingan terhadap penggunaan sumber daya. Hasil penelitian pada KHDTK Benakat, Sumatera Selatan
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
331
menunjukkan bahwa tahap intervensi dari Soft System Method (SSM) yang dikendalikan dengan fasilitas reflektif/umpan balik, dapat meningkatkan pembelajaran sosial di antara pelaku-pelaku yang bertentangan, sehingga mampu mengubah suasana konflik yang disebabkan oleh perbedaan perspektif dan kepentingan menjadi media pembelajaran sosial saling memahami dan menghasilkan langkah penata-kelolaan bagi areal KHDTK Benakat yang semula “tidak terkelola” (Martin et al., 2008). Suryanto et al. (2010) menyatakan bahwa beberapa KHDTK penelitian dan pengembangan belum di zonasi dengan sistem zonasi yang spesifik untuk tujuan penelitian dan pengembangan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena sampai saat ini, model dalam penataan KHDTK belum tersedia. Untuk mendapatkan suatu sistem kelola KHDTK yang optimal, lokasi-lokasi untuk pelaksanaan penelitian perlu ditata berdasarkan kondisi biogeofisik dan prasyarat kesesuaian kawasan. Hasil penelitian Suryanto et al. (2010) di KHDTK Labanan, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan bahwa KHDTK Labanan memiliki keragaman kondisi dan karakteristik biogeofisik yang tinggi yang dapat dibagi menjadi 13 zonasi kawasan penelitian, dengan tidak kurang dari 40 jenis penelitian yang terangkum dalam 10 tema dapat dilakukan di dalamnya. Berdasarkan pemaparan ringkas penelitian di KHDTK tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa KHDTK litbang kehutanan menyimpan potensi konflik dengan skala yang beragam tergantung, antara lain kepada: luasannya, intensitas interaksi dan komunikasi antara pihak terkait, dan frekuesi kegiatan penelitian dan non-penelitian.
V.
LANGKAH-LANGKAH ANTISIPASI
Deutsch (1998) mengemukakan empat keahlian dasar dalam mengatasi konflik, yang bermanfaat, baik bagi kedua belah pihak yang berkonflik maupun pihak penengah, yaitu: (i) keahlian membangun hubungan kerjasama yang efektif, terbuka, dan saling percaya antara dua belah pihak; (ii) keahlian membangun pendekatan problem-solving yang kooperatif; (iii) keahlian mengembangkan proses kelompok dan proses pengambilan keputusan yang efektif; dan (iv) pengetahuan substantif tentang isu-isu yang relevan. Potensi konflik di KHDTK perlu sedini mungkin diidentifikasi guna menyiapkan langkah-langkah antisipasi. Satu di antara pendekatan yang dapat dilakukan adalah pendekatan kegiatan, baik penelitian maupun non-penelitian. Kedua bentuk kegiatan tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi. Pada kedua bentuk kegiatan tersebut, pengelola KHDTK bersama masyarakat sekitar KHDTK berproses membangun keempat keahlian dasar mengatasi konflik yang dikemukakan 332 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Deutsch (1998). Adanya keberlanjutan kegiatan di KHDTK menunjukkan bahwa KHDTK bukanlah lahan terlantar dan manfaatnya tetap dapat dirasakan oleh banyak pihak sesuai tujuan peruntukannya. Interaksi dan komunikasi yang sering dilakukan antara pihak di KHDTK dapat secara dini mengantisipasi timbulnya konflik. Hal tersebut sejalan dengan Wijono (1993), yang mengemukakan tujuh strategi dalam mengantisipasi konflik, yaitu: 1) menciptakan kontak dan membina hubungan; 2) menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan; 3) menumbuhkan kemampuan/ kekuatan diri sendiri; 4) menentukan tujuan; 5) mencari beberapa alternatif; 6) memilih alternatif; dan 7) merencanakan pelaksanaan jalan keluar. Semangat social forestry yang menjadi payung kegiatan penelitian di KHDTK Borisallo telah menghasilkan dua butir penting, yaitu: (1) legalisasi pengelolaan lahan KHDTK oleh masyarakat, dan (2) pengakuan masyarakat atas hak negara pada lahan garapan masyarakat di KHDTK. Penelitian dengan melibatkan masyarakat sekitar KHDTK, sebagaimana yang telah dipraktikkan di KHDTK Borisallo, telah pula merumuskan beberapa hasil penelitian yang dapat disarankan untuk digunakan sebagai instrumen dalam mengidentifikasi dan mengantisipasi konflik. Hasil penelitian dimaksud antara lain adalah peta partisipatif lahan garapan masyarakat, lembaga Kelompok Tani Hutan (KTH), Surat Perjanjian Kerjasama (SPK), dan AD/ART kelompok. Dengan instrumen tersebut beberapa langkah antisipasi konflik telah diambil, seperti: penegakan proses hukum formal (law enforcement) terhadap pelaku pelanggaran terhadap KHDTK, pendekatan persuasif kepada masyarakat dan pemerintah setempat, dan pertemuan berkala antara pihak terkait. Penegakan proses hukum formal (law enforcement) dilakukan untuk mencegah pembiaran pelanggaran dan memberikan efek jera kepada pelaku. Hal ini dapat dilaksanakan, bila ada dukungan masyarakat dan pemerintah setempat. Sebagai contoh: atas laporan masyarakat dan koordinasi dengan pemerintah setempat, telah dilakukan penangkapan terhadap oknum aparat pelaku illegal logging pada tahun 2004 yang berakhir dengan vonis hakim berupa kurungan badan bagi oknum aparat pelaku. Demikan pula halnya dengan kasus illegal logging pada tahun 2008 yang dilakukan oleh suatu institusi karena adanya perbedaan persepsi tentang hak atas tegakan di KHDTK, yang diselesaikan secara administratif pada tingkat pimpinan. Sedangkan kegiatan penebangan oleh pengelola KHDTK atau tim peneliti untuk keperluan penelitian, tetap perlu dikomunikaskan
dengan
masyarakat
setempat
guna
mencegah
kesalahpahaman
masyarakat, seperti penebangan pohon untuk studi tabel volume.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
333
Selain penegakan hukum, pendekatan persuasif telah dilakukan pula oleh pengelola KHDTK kepada kelompok masyarakat dan pemerintah setempat dengan melibatkan tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama, dengan beberapa bentuk kegiatan, seperti: acara pembinaan, silaturahim, buka puasa bersama, sosialisasi protokol KHDTK, dan rencana kegiatan penelitian dan non penelitian. Hal lain yang telah dilakukan untuk mengantisipasi konflik di KHDTK adalah pertemuan berkala para pemangku kepentingan untuk membangun persepsi yang sama terkait peran dan tanggung jawab multipihak dalam proses manajemen KHDTK mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, sampai dengan pengawasan dan pengendalian. Untuk potensi konflik yang telah dipaparkan sebelumnya pada KHDTK litbang kehutanan lainnya, telah pula diupayakan antisipasinya melalui pendekatan kegiatan penelitian. Pada kasus KHDTK Hambala-Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, model resolusi konflik yang disarankan adalah pembentukan pertemuan formal antara pemerintah daerah dengan pihak pengelola, kompromi kebijakan pengelolaan kawasan dan tata batas ulang kawasan yang bersifat permanen (Sumanto dan Sujatmoko, 2008). Adapun untuk kasus KHDTK Benakat, sekalipun potensi konflik pada masa mendatang tetap ada, namun areal KHDTK berpeluang untuk dikelola, setelah terbukanya jalur komunikasi antar pihak melalui beragam aktivitas pengelolaan bersama. Resolusi konflik dapat berwujud perbaikan kembali model konseptual yang ada sebagai refleksi sistem aktivitas yang lebih diinginkan (Martin et al., 2008).
VI. PENUTUP Semangat social forestry yang menjadi payung kegiatan penelitian di KHDTK, khususnya di KHDTK Borisallo telah menghasilkan dua butir penting, yaitu: (1) legalisasi pengelolaan lahan KHDTK oleh masyarakat, dan (2) pengakuan masyarakat atas hak negara pada lahan garapan masyarakat di KHDTK. Hal ini dapat menjiwai upaya identifikasi dan antisipasi potensi konflik di KHDTK yang pada dasarnya dapat bersumber, baik dari sisi masyarakat sekitar sebagai penggarap lahan maupun dari sisi pengelola. Upaya pelibatan masyarakat secara berkelanjutan dalam pengelolaan KHDTK, baik penelitian maupun non penelitian, sejauh ini telah mampu meningkatkan interaksi dan komunikasi antara pengelola dengan masyarakat sekitar. Dalam pelibatan masyarakat tersebut juga berlangsung proses identifikasi dan sekaligus penyiapan langkah-langkah antisipasi potensi konflik yang dirumuskan bersama masyarakat. Hasil-hasil penelitian dimaksud dapat menjadi instrumen bagi pengelola dalam membangun KHDTK. Melalui 334 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
interaksi dan komunikasi yang intensif antara pihak terkait, diharapkan potensi konflik dapat secara dini diidentifikasi dan disiapkan langkah-langkah antisipasinya, sehingga peran KHDTK sebagai ‘taman bermain’ para peneliti, teknisi, pengajar, penyuluh, dan peminat kehutanan lainnya dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. (2012). Konflik. Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia http://www.id.wikipedia.org/wiki/Konflik Diakses tanggal 5 Juni 2012.
bebas.
Badan Litbang Kehutanan. (1997). Laporan Akhir Studi Kesesuaian Lahan Stasiun Penelitian dan Uji Coba (SPUC) Ujung Pandang Provinsi Sulawesi Selatan; Buku I (Laporan Utama). Yogyakarta: Kerjasama BPK Ujung Pandang dengan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Badan Litbang Kehutanan. (2012). Rencana Strategis Tahun 2010 – 2014 (revisi). Jakarta: Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi dan Yayasan IKA Kehutanan UNHAS. (2005). Laporan Akhir Pembuatan Master Plan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Lokasi Malili, Borisallo, dan Mengkendek. Makassar: BP2KS dan Yayasan IKA Kehutanan Unhas. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. (2005). Rencana Pengelolaan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK). Makassar: BP2KS Bisjoe, A.R.H. (2005). Penggunaan Lahan Hutan oleh Masyarakat; Studi Kasus pada Kawasan Hutan Penelitian Borisallo Kabupaten Gowa (Tesis Magister Perencanaan Kota dan Daerah). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. (Tidak diterbitkan). Departemen Kehutanan. (2008). Dephut Perbaharui Sistem Pengelolaan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK). Siaran Pers Nomor: S.100/II/PIK-1/2008. Deutsch, M. (1998). “Constructive Conflict Resolution: Principles, Training, and Research," in The Handbook of Interethnic Coexistence, ed. Eugene Weiner, (New York: Continuum Publishing, 1998), pp. 199-216. http://www.colorado.edu/conflict/full_text_search/AllCRCDocs/deutsch_dup.htm Diakses tanggal 7 Juni 2012. Dewi, I.N. (2010). Potensi Konflik pada Pembangunan Taman Nasional BantimurungBulusaraung. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Makassar, tanggal 22 Juni 2010. Bogor: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Kusumedi, P. (2004). Kajian Model Kelembagaan Hutan Kemasyarakatan di SPUC Borisallo (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. (Tidak diterbitkan). Martin, E., Winarno, B., Purnomo, H., Wijayanto, N. (2008). Penatakelolaan Kawasan Hutan Rawan Konflik Melalui Pendekatan Metodologi Sistem Lunak: Kasus Hutan
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
335
Penelitian Benakat, Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 5 (3) , 179 – 202. Sumanto, S.E. dan Sujatmoko, S. (2008). Kajian Konflik Pengelolaan KHDTK Hutan Penelitian Hambala-Sumba Timur. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 5 (3), 165 – 178. Suryanto, Lestari, N.S., Andriansyah, M. (2010). Arahan Zonasi pada Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Labanan, Kabupaten Berau (Laporan Akhir Penelitian Program Insentif Riset Terapan KNRT). Samarinda: Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Wijono, S. (1993). Konflik dalam Organisasi dengan Pendekatan Psikologis. Semarang: Satya Wacana.
336 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
TAHAPAN AWAL PEMBANGUNAN SUMBER BENIH UJI KETURUNAN CEMPAKA (Elmerillia tsiampacca (L.) Dandy) DI SULAWESI SELATAN
C. Andriyani Prasetyawati1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Cempaka (Elmerrillia tsiampacca (L) Dandy) merupakan salah satu jenis tanaman lokal yang potensial untuk wilayah Sulawesi. Jenis ini belum banyak diteliti dan dikembangkan secara luas. Nilai jual dan produktivitas yang tinggi, akan membuat masyarakat berminat untuk menanam dan mengembangkan tanaman cempaka. Pada saat ini, masyarakat belum menggunakan bibit berkualitas untuk penanaman tanaman cempaka. Sedangkan untuk mendapatkan hasil kayu yang berkualitas, diperlukan benih dan bibit yang berkualitas pula. Pembangunan kebun benih tanaman cempaka diharapkan mampu memberikan benih berkualitas sehingga diharapkan bisa meningkatkan produktivitas kayu cempaka. Kata kunci : Cempaka, Elmerillia tsiampacca, kebun benih semai, benih berkualitas
I. PENDAHULUAN Indonesia memiliki sumberdaya alam, berupa hutan tropika humida yang sangat luas dan keragaman hayati sangat tinggi. Hutan sebagai sumber plasma nutfah merupakan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan bangsa dan negara. Keanekaeragaman sumberdaya hutan tersebut, kini mengalami kemunduran dan kerusakan akibat kegiatan deforestasi seperti illegal logging, alih fungsi lahan, kebakaran dan penjarahan hutan. Menurut studi FAO (1990) dan Departemen RI (1991) dalam Yunasfi (2008) berkurangnya luas dan kualitas hutan dengan kecepatan yang cukup mencengangkan, yaitu sebesar ± 1,3 juta ha per tahun, setara dengan hilangnya atau rusaknya 10 unit HPH tiap tahun. Kenyataan tersebut menyebabkan potensi hutan alam dalam menyediakan bahan baku kayu secara lestari terus menurun karena mengalami degradasi secara terus menerus. Peningkatan produktivitas hutan perlu diupayakan dengan membangun hutan tanaman yang prospektif, sehat dan lestari. Pembangunan hutan tanaman industri oleh perusahaan swasta dan hutan rakyat merupakan suatu tindakan untuk mencukupi kebutuhan kayu, sekaligus menjaga kelestarian hutan agar jenis-jenis potensial tidak mengalami kepunahan dan fungsi hutan tepat terjaga. Pembangunan hutan tanaman 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
337
atau hutan rakyat memerlukan benih yang bermutu tinggi dan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Permasalahan yang dihadapi adalah kurangnya ketersediaan benih berkualitas, dan tersedia hanya pada saat panen raya. Hal ini menyebabkan benih yang bermutu kurang tersedia, serta tingkat kemasakan bervariasi dan terbatasnya daya simpan benih. Produksi benih bervariasi antar spesies dan wilayah, tetapi penyebabnya belum dapat ditentukan secara pasti. Pada beberapa sumber benih terjadi hambatan dalam produksi benih dan tingkat kemasakan tidak bersamaan (Wilaida, 2011). Benih bermutu secara fisiologis adalah benih yang memiliki viabilitas potensial dan vigor yang tinggi, berkadar air yang tepat untuk mempertahankan daya simpan serta tidak terkontaminasi sumber hama dan penyakit, baik selama disimpan maupun sesudah ditanam (Balai Teknologi Perbenihan, 1998 dalam Zanzibar, 2010). Benih bermutu dapat diperoleh dari tegakan hutan alam atau hutan tanaman yang dibangun secara khusus. Bibit yang berasal dari sumber benih yang bermutu diharapkan menghasilkan tanaman dan mampu memproduksi benih-benih bermutu/berkualitas. Selama ini penanaman yang dilakukan masyarakat belum menggunakan benih berkualitas hasil pemuliaan, karena sumber benih yang berkualitas belum tersedia secara luas dan kuantitasnya belum memadai (Trihartono, et.al., 2011). Kualitas genetik benih akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dalam jangka panjang (Na’iem, 2008). Untuk itu diperlukan upaya pembangunan sumber benih di seluruh Indonesia. Penggunaan benih berkualitas dalam pembangunan hutan tanaman maupun hutan rakyat dapat mempercepat masa panen, meningkatkan kualitas hasil baik berupa kayu maupun non kayu, tergantung dari tujuan pembangunan sumber benih. Kebun Benih adalah sumber benih, yang mempunyai tingkatan lebih tinggi bila dibanding dengan sumber benih Tegakan Benih Terseleksi, Tegakan Benih Teridentifikasi dan Areal Produksi Benih. Untuk membangun kebun benih semai, sebelumnya dilakukan pembangunan uji keturunan dari benih-benih hasil eksplorasi yang selanjutnya setelah dilakukan penjarangan seleksi dapat ditunjuk sebagai kebun benih semai. Penggunaan benih berkualitas, diharapkan akan memberikan hasil yang lebih baik, karena benih berkualitas mampu beradaptasi terhadap lingkungan dan tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Dengan demikian kelestarian hutan dapat terjaga dan dapat menjalankan fungsinya secara ekologis, sosial dan ekonomis.
338 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
II. CEMPAKA (Elmerillia tsiampacca (L.) Dandy) Sulawesi Selatan mempunyai jenis-jenis kayu unggulan setempat yang potensial untuk dikembangkan, salah satu di antaranya adalah cempaka. Cempaka termasuk dalam suku Magnoliaceae, wilayah sebarannya di Sulawesi, khususnya Sulawesi Utara dan Selatan. Di Sulawesi Selatan, cempaka dikenal dengan nama daerah Uru. Cempaka termasuk tanaman yang mudah tumbuh, tidak menuntut persyaratan tumbuh yang spesifik, tumbuh pada tanah yang lembab dan banyak tumbuh di dataran rendah hingga pegunungan pada ketinggian 1.000 - 2.600 m dpl, dengan tipe iklim B menurut Schmidt dan Ferguson. Cempaka merupakan tumbuhan pohon dengan tinggi mencapai
± 45 m dan
batang bebas cabang 12 - 16 m dan diameter batang dapat mencapai ± 200 cm. Batang berbentuk silindris, kulit luar mengelupas dan pecah-pecah warna putih kecokelatan. Ranting, stipula dan tangkai daun muda tanpa bulu atau dengan bulu-bulu panjang yang rapuh berwarna kekuningan, akan hilang pada waktu tua. Daun berbentuk elips, bunga tumbuh di ketiak daun dan berwarna putih kekuningan, tangkai bunga berbulu halus. Tanaman cempaka mempunyai banyak kegunaan terutama kayu dan bunganya. Kayu cempaka bermanfaat untuk bangunan, kayu lapis, mebel, alat olah raga, alat gambar, pensil, dan moulding. Masyarakat Tana Toraja sering mengunakan kayu cempaka sebagai bahan bangunan rumah adat dan kayu ukiran. Kayu dari pohon cempaka mempunyai kelas awet II dan kelas kuat III, IV.
III. KOLEKSI MATERI GENETIK Kebun benih semai dibangun menggunakan benih-benih dari pohon induk yang terpilih, dan mempunyai fenotipe (penampilan pohon) yang bagus di lapangan. Pohon induk yang dipilih mempunyai batang relatif lurus, bebas cabang tinggi dan bebas dari hama dan penyakit. Benih cempaka dapat diperoleh di Sulawesi Selatan yaitu di Kab. Tana Toraja, sebagai daerah sebaran alami cempaka, sedang di Sulawesi Utara benih cempaka diperoleh di Kab. Minahasa Selatan, yaitu Desa Rumoong Atas Dua, Kecamatan Tareran, Desa Tumalantung Kec. Suluun Tareran, Desa Talaitad Kec. Suluun Tareran. Pengumpulan benih harus dilakukan tepat waktu, agar tidak kehilangan materi untuk pembangunan kebun benih, karena bila musim panen telah lewat dan benih jatuh ke tanah, maka identitas benih tidak diketahui. Koleksi materi benih dilakukan pada saat musim panen cempaka, yaitu pada bulan Juli – Agustus untuk di Sulawesi Selatan, “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
339
sedangkan di Sulawesi Utara koleksi benih pada bulan Nopember. Periode koleksi benih cempaka disesuaikan dengan musim panen. Benih cempaka bersifat rekalsitran, sehingga tidak bisa disimpan dalam waktu yang lama dan viabilitasnya hilang jika dikeringkan. Penyimpanan sangat memengaruhi persen kecambah cempaka, semakin lama disimpan persen kecambah akan menurun, sehingga koleksi benih, sebaiknya langsung dilakukan skarifikasi dan penaburan benih di persemaian. Kegiatan koleksi benih harus dilaksanakan secara teliti dan tidak tercampur antara benih dari pohon induk satu dengan pohon induk yang lain. Pengambilan benih dari masing-masing pohon induk dipisahkan, disimpan dalam kantong plastik dan diberi lebel identitas yang jelas agar tidak tertukar dengan benih dari pohon yang lain. Identitas pohon induk terpilih perlu dicatat dan menjadi dokumen serta sebagai syarat untuk sertifikasi dari kebun benih yang dibangun. Data identitas koleksi benih cempaka di Sulawesi tersaji pada Tabel 1. Pengambilan materi benih harus memerhatikan jarak antara pohon induk, jarak minimal antara pohon induk adalah 100 m atau tergantung dari pollinator spesies/jenis pohon tersebut. Penentuan jarak 100 m ini untuk menghindari adanya perkawinan kerabat pada benih yang diambil. Benih hasil perkawinan kerabat akan menghasilkan tanaman yang kurang bagus. Untuk jenis yang mempunyai pollinator serangga, jarak 100 m ini sudah cukup aman dari perkawinan kerabat, untuk jenis dengan pollinator angin akan lebih aman jika pengambilan jarak antar pohon induk 100 – 200 m. Pembangunan kebun benih diawali dengan progeny test (uji keturunan), kemudian dilakukan seleksi pohon induk yang mempunyai kualitas bagus. Koleksi materi untuk kebun benih diharapkan diperoleh dari pohon induk yang sebanyak-banyaknya, atau minimal 25 pohon induk, agar variasi genetik yang ada di dalamnya mempunyai tingkat keragaman yang tinggi. Benih yang dihasilkan dari suatu tegakan yang mempunyai keragaman genetik yang tinggi akan memberikan hasil yang lebih baik dari pada benih yang berasal dari tegakan yang mempunyai keragaman genetik rendah. Kegiatan koleksi dilakukan pada bulan Juni 2011 di Kab. Tana Toraja dan bulan Nopember 2011 di Kab. Minahasa Selatan. Hasil eksplorasi di Kab. Tana Toraja, Sulsel diperoleh 25 pohon induk dan di Kab. Minahasa Selatan diperoleh 24 pohon induk. Data identitas pohon induk cempaka yang terpilih sebagai sumber benih untuk pembangunan kebun benih cempaka di Sulawesi Selatan dapat dilihat pada lampiran Tabel 1.
340 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
a)
b)
c)
d)
Gambar 1. a) Tegakan cempaka di Kab. Tana Toraja, b) Pengambilan buah cempaka, c) Pengambilan data pohon induk, d) buah cempaka yang dipanen, kulit buah belum merekah.
Kab. Minahasa Selatan
Kab. Tana Toraja
Gambar 2. Peta lokasi koleksi materi kebun benih. Sumber peta : upload.wikipedia.org, 2012
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
341
IV. PENYIAPAN BIBIT CEMPAKA
A. Ekstraksi Buah cempaka mempunyai kulit buah yang keras. Kulit buah akan merekah pada saat buah telah masak. Buah cempaka yang terkumpul diangin-anginkan untuk mempercepat proses merekahnya buah. Buah yang telah merekah mudah diekstraksi untuk mengeluarkan biji dari buah. Biji yang baru dikeluarkan dari buah masih tertutup dengan daging buah. Cara memisahkan biji dari daging buah dengan merendam biji dalam air antara 2 - 3 hari, tiap hari air diganti agar biji tidak terkena jamur. B. Perkecambahan Perkecambahan benih cempaka menggunakan media tanah top soil dan ditutup dengan serbuk gergaji. Serbuk gergaji disaring terlebih dahulu, seperti tersaji pada Gambar 4a, untuk memisahkannya dari potongan-potongan kayu yang yang tercampur dengan serbuk gergaji. Penyemaian dilakukan dengan cara menabur pada media yang telah disterilkan dengan fungisida dan disemprot dengan insektisida agar terhindar dari serangan semut yang bisa merusak benih. Biji yang telah ditabur kemudian ditutup dengan serbuk gergaji dengan lapisan setebal sekitar 1 cm, agar kotiledon mudah terangkat dari media. Media tabur ini dipilih dari serbuk gergaji yang berasal dari kayu yang tidak mempunyai getah atau mengeluarkan zat tertentu
yang
dapat
menghambat
perkecambahan
benih.
Ekstraksi
dan
perkecambahan benih, tetap memerhatikan identitas benih, sehingga tetap sesuai dengan nomor yang ada, seperti yang tersaji pada Gambar 4b. Bak kecambah terlebih dahulu diberi nomor pohon induk untuk memudahkan penaburan benih dan menghindari kesalahan penomoran. Tiap nomor pohon induk mempunyai dua bak kecambah, untuk menghindari kegagalan atau kerusakan pada satu bak kecambah.
342 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
a)
b)
c)
d)
Gambar 3. a) Proses penyaringan serbuk gergaji, b) Benih yang telah ditabur dan diberi nomor pada tiap bak kecambah, c) Cempaka mulai berkecambah, d) Semai cempaka yang baru saja disapih.
Benih cempaka yang telah ditabur dalam bak kecambah diletakkan di tempat yang ternaung, karena memerlukan lingkungan yang lembab untuk mendukung proses perkecambahannya. Benih akan berkecambah setelah dua minggu setelah penaburan. C. Penyapihan Penyapihan bibit dapat dilakukan setelah 1 - 2 minggu setelah berkecambah, atau tergantung dari kondisi bibit. Bibit mulai disapih saat sudah muncul empat daun. Media sapih yang digunakan adalah tanah top soil, arang sekam dan kompos dengan perbandingan 4 : 1 : 1. Arang sekam dan kompos ini berperan untuk memberikan unsur hara bagi tanaman dan membuat tanah lebih porous, sehingga memudahkan perkembangan perakaran. Selama proses berlangsung, identitas nomor pohon induk harus tetap dijaga, sehingga pada saat penyapihan juga diberi label dan nomor sesuai dengan nomor pohon induknya. D. Pertumbuhan Bibit Cempaka di Persemaian Hasil eksplorasi diperoleh 25 pohon induk dari Kab. Tana Toraja dan 24 pohon induk dari Kab. Minahasa Selatan. Namun yang dapat dikecambahkan dan disapih, hanya diperoleh dari 16 pohon induk dari Kab. Tana Toraja dan 22 pohon induk dari Kab. Minahasa Selatan, yang jumlahnya di atas 20 tanaman per-pohon induk. Batasan jumlah tanaman per-pohon induk minimal 20 tanaman karena “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
343
pembangunan uji keturunan direncanakan 4 blok dengan 4 tanaman per-pohon induk sebagai ulangan, sisa tanaman yang lain digunakan pada saat penyulaman. Pengambilan buah cempaka tidak dilakukan secara bersamaan karena musim berbuah yang berbeda. Hal ini menyebabkan bibit mempunyai pertumbuhan yang berbeda pula antara cempaka asal Kab. Tana Toraja dengan cempaka asal Kab. Minahasa Selatan, karena secara umur memang berbeda. Pertumbuhan semai cempaka asal Kab. Tana Toraja dan Kab. Minahasa Selatan tersaji pada lampiran Tabel 2 dan Tabel 3.
V. PEMBANGUNAN UJI KETURUNAN CEMPAKA Pembangunan uji keturunan (progeny test) dilakukan untuk menguji pertumbuhan tiap-tiap individu pohon induk (seedlot/famili) yang akan menjadi materi kebun benih. Keturunan yang akan diuji merupakan keturunan atau anakan hasil dari eksplorasi pohonpohon terpilih yang mempunyai kualitas fenotipe yang bagus. Lokasi pembangunan uji keturunan sebagai calon areal kebun benih semai mempunyai beberapa persyaratan. Uji keturunan (progeny test) adalah suatu percobaan yang biasanya berulangan untuk menduga susunan genetik suatu individu tetua dengan meneliti sifat-sifat keturunannya yang berasal dari pembiakan generatif (Soerianegara, 1976). Menurut Weir (1974) dalam Soeseno, dkk (1979) uji keturunan merupakan kunci untuk perkembangan suatu pemuliaan jangka panjang dan juga merupakan suatu perbaikan genetik pohon hutan.
Hardiyanto (1991) mengatakan bahwa uji keturunan merupakan satu-satunya
cara untuk mengetahui keunggulan suatu genotipe apakah disebabkan oleh susunan genetik atau oleh faktor lingkungan. Na’iem et al. (2005) menyebutkan bahwa tujuan jangka pendek suatu uji keturunan adalah untuk mengetahui kemampuan adaptasi dan pertumbuhan beberapa populasi dan juga menaksir parameter genetik untuk sifat tinggi dan diameter. Persyaratan lokasi untuk pembangunan kebun benih yaitu sesuai dengan persyaratan tumbuhnya, kepemilikan dan hak atas lahan jelas, keamanan terjamin, dari gangguan manusia, hewan, hama dan penyakit, mudah dalam pengelolaan (pengawasan dan pengumpulan benih). Kebun benih diusahakan dekat dengan pengelola atau pemilik, aksesibilitas mudah, areal cukup datar sehingga memudahkan dalam design kebun benih dan terisolasi dari pohon-pohon lain yang akan mengganggu pertumbuhan tanaman maupun proses penyerbukan (Departemen Kehutanan, 2009).
344 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Pembangunan uji keturunan memerlukan design yang tepat agar keberhasilan kebun benih dapat tercapai. Hal yang utama adalah memberi ruang yang tepat bagi tiap pohon agar dapat melakukan penyerbukan dengan pohon yang lain tanpa terhalang.
Design yang tepat akan menentukan keberhasilan pembuahan dan produksi buah. Hal yang perlu dijaga adalah kebun benih terhindar dari kontaminasi dari pohon/spesies di luar kebun benih yang dapat melakukan penyerbukan dengan pohon-pohon dalam kebun benih. Ukuran jarak tanam akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan jumlah tanaman. Penentuan ukuran jarak tanam tergantung dari karakteristik jenis tanaman yang akan ditanam. Cempaka termasuk tanaman yang mempunyai pertumbuhan yang cepat (fast growing) dengan tajuk yang lebar, sehingga diperlukan jarak tanam yang lebar untuk memberikan ruang tumbuh yang optimal. Jarak tanam yang digunakan dalam membangun uji keturunan cempaka ini adalah 5 m x 5 m, jarak tanam dibuat square untuk mendapatkan jarak yang lebih ideal setelah dilakukan penjarangan. Jumlah
treeplot
(ulangan
tiap
nomor
pohon
induk)
digunakan
dalam
pembangunan uji keturunan cempaka ini, ada 4 treeplot (pohon) per-bloknya dengan jumlah blok 4 blok sebagai ulangan. Semakin banyak blok akan semakin bagus karena resiko kehilangan seedlot akan semakin kecil. Pembangunan uji keturunan kemungkinan mengalami beberapa kendala yang menyebabkan tanaman mati dalam treeplot, sehingga dapat menyebabkan kehilangan seedlot apabila semua treeplot dalam 1 blok mati. Apabila jumlah seedlot kurang dari 3 blok, ada kemungkinan seedlot tersebut akan dikeluarkan dari analisis uji keturunan. Hal ini akan menyebabkan jumlah seedlot dalam uji keturunan berkurang dan berpengaruh terhadap pembangunan kebun benih. Tujuan utama uji keturunan ini adalah untuk mendapatkan genetik yang baik dari tanaman yang diuji yang selanjutnya dapat digunakan sebagai materi pada program pemuliaan berikutnya.
VI. PENUTUP Penggunaan bibit bermutu dan berkualitas sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil kayu yang bernilai jual tinggi. Penggunaan bibit berkualitas akan memberikan tingkat keberhasilan yang tinggi, sehingga hutan tetap lestari. Pembangunan uji keturunan sebagai calon kebun benih semai, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan benih bermutu bagi masyarakat dan meningkatkan kualitas produksi kayu.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
345
DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2012). Peta Pulau Sulawesi. Diakses di upload.wikipedia.org. Pada tanggal 4 Maret 2012 Balai Penelitian Kehutanan Manado. (2010). Data eksplorasi benih cempaka. Manado: Balai Penelitian Kehutanan Manado. (Tidak dipublikasikan). Departemen Kehutanan. (2009). Petunjuk Pelaksanaan Standard Sumber Benih. Jakarta: Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan. Hardiyanto, E.B. (1991). Beberapa Aspek Genetik Silvikultur Intensif (Makalah Kursus Singkat Pemuliaan Pohon-Kerjasama UNIB-UGM 7 Januari – 5 Februari 1991) Palembang: Balai Produksi dan Pengujian Benih Sumatera Selatan, Departemen Kehutanan Propinsi Sumatera Selatan. Na’iem, M. (2008). Teknologi Benih Hutan (Bahan Kuliah; Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Kehutanan). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. (Tidak dipublikasikan) Na’iem, M., P. Raharjo, dan E.K. Wardana. (2005). Evaluasi Awal Uji Keturunan Shorea leprosula MIQ. Di PT. ITCI KU, Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan; Peran Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan dan Silvikultur dalam Mendukung Rehabilitasi Hutan. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM dan Internationational Tropical Timber Organization. Prasetyawati, A. (2009). Evaluasi Uji Keturunan Half-Sib Shorea parvifolia Dyer. Umur 2 Tahun di PT. Sarmiento Parakantja Timber Kalimantan Tengah (Tesis). Yogyakarta: Program Studi Ilmu Kehutanan, Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada. (Tidak dipublikasikan) Soerianegara, I. (1976). Pemuliaan Hutan (Laporan No. 104). Bogor : Lembaga Penelitian Hutan. Soeseno, O.H., Sastrosumarto dan M. Na’iem. (1979). Pemikiran Penyusunan Program Pemuliaan Pohon Hutan Secara Nasional. Lokakarya Pemuliaan Pohon Hutan, 15-17 November 1979. Yogyakarta: Direktorat Rehabilitasi dan Rehabilitasi Serta Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Trihartono, B., Arif N., Lukman H. (2011). Pedoman Teknis Pembangunan Sumber Benih. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Wilaida, T. (2011). Rencana Pemanfaatan Sumber Benih; Potensi Produksi, Penanganan dan Pemanfaatan Serta Distribusi Sumber Benih. Workshop Pembangunan Sumber Benih UPT Lingkup Badan Litbang Kehutanan, 25 Agustus 2011. Yogyakarta: Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Zanzibar, M. (2010). Peningkatan Mutu Fisiologis Benih Suren Dengan Cara Priming. Jurnal Standarisasi, 12 (1) : 1-6.
346 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
LAMPIRAN Tabel 1. Data identitas pohon induk cempaka yang terpilih sebagai sumber benih untuk pembangunan kebun benih cempaka di Sulawesi Selatan
LOKASI
KETINGGIAN TEMPAT (mdpl)
KELILING (cm)
TINGGI (cm)
TINGGI BEBAS CABANG (m)
R02
Desa Rumoong Atas 2, Sulut
592
135
26
13
2
R08
Desa Rumoong Atas 2, Sulut
651
120
25
13
3
R09
Desa Rumoong Atas 2, Sulut
661
126
28
16
4
R10
Desa Rumoong Atas 2, Sulut
671
114
29
10
5
R11
Desa Rumoong Atas 2, Sulut
600
155
25
14
6
R12
Desa Rumoong Atas 2, Sulut
600
172
27
19
7
R14
Desa Rumoong Atas 2, Sulut
584
137
22
13
8
R15
Desa Rumoong Atas 2, Sulut
580
106
21
11
9
R17
Desa Rumoong Atas 2, Sulut
613
105
25
17
10
R18
Desa Rumoong Atas 2, Sulut
561
158
31
18
11
R26
Desa Rumoong Atas 2, Sulut
643
120
24
24
12
T01
Tumaluntung, Sulut
640
125
31
12
13
T02
Tumaluntung, Sulut
649
102
31
12
14
S01
Suluun 2, Sulut
433
112
29
16
15
S02
Suluun 2, Sulut
421
133
32
15
16
S03
Suluun 2, Sulut
428
131
32
20
17
S06
Suluun 2, Sulut
412
155
28
15
18
S13
Suluun 2, Sulut
421
114
21
13
19
S18
Suluun 2, Sulut
400
118
23
15
20
S20
Suluun 2, Sulut
484
93
21
13
21
TL01
Talaitad, Sulut
605
118
26
14
22
TL02
Talaitad, Sulut
554
124
26
17
23
TL03
Talaitad, Sulut
533
128
43
22
24
TL04
Talaitad, Sulut
575
129
25
16
25
TL05
Talaitad, Sulut
571
108
19
12
26
CT04
Tondok, Sulsel
1117
158
25
12
27
CT05
Tondok, Sulsel
1123
142
15
7
28
CT06
Tondok, Sulsel
1151
144
20
11
29
CT07
Lo" Nangka, Sulsel
1194
160
30
20
30
CT08
Lo" Nangka, Sulsel
1194
127
20
12
31
CT09
Lo" Nangka, Sulsel
1205
229
30
20
32
CT10
Pune, Sulsel
1188
190
25
12
33
CT11
Pa" Rarangan, Sulsel
1099
130
15
9
34
CT12
Pa" Rarangan, Sulsel
1177
144
16
11
35
CT13
Pa" Rarangan, Sulsel
1184
139
24
13
36
CT14
To" Pao, Sulsel
1173
130
18
11
37
CT15
To" Pao, Sulsel
1183
201
17
12
NO.
POHON INDUK
1
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
347
NO.
38
CT16
Ne" Pangka, Sulsel
1213
146
16
9
39
CT17
Ne" Pangka, Sulsel
1200
183
19
10
40
CT18
Bontong, Sulsel
1232
168
15
12
41
CT19
Sudu, Sulsel
1121
194
21
8
42
CT20
Sudu, Sulsel
1110
182
17
13
43
CT21
Sudu, Sulsel
1135
160
15
10,5
44
CT22
Bale anging, Sulsel
1133
112
15
11
45
CT23
Kade, Sulsel
1170
128
16
10
46
CT24
Tanete, Sulsel
1118
156
20
12,5
47
CT25
Tanete, Sulsel
1172
133
15
7
LOKASI
KETINGGIAN TEMPAT (mdpl)
KELILING (cm)
TINGGI (cm)
TINGGI BEBAS CABANG (m)
POHON INDUK
Sumber : Data eksplorasi dari BPK Manado, tahun 2010
348 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Tabel 2. Data pertumbuhan bibit cempaka asal Kab. Tana Toraja umur 11 bulan di persemaian.
NO.
POHON INDUK
RERATA DIAMETER (mm)
RERATA TINGGI (cm)
1
CT 07
6.31
51.30
2
CT 11
5.26
45.32
3
CT 10
5.48
45.74
4
CT 15
6.58
59.09
5
CT 25
7.08
67.43
6
CT 18
5.36
50.20
7
CT 19
5.97
52.08
8
CT 08
6.66
55.72
9
CT 01
5.95
57.58
10
CT 02
6.04
54.53
11
CT 03
5.48
47.88
12
CT 04
6.71
58.54
13
CT 05
6.42
59.34
14
CT 06
6.80
61.16
15
CT 17
5.11
43.77
16
CT 09
5.94
51.97
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
349
Tabel 3. Data pertumbuhan bibit cempaka asal Kab. Minahasa Selatan umur 6 bulan di persemaian. NO.
POHON INDUK
RERATA DIAMETER (mm)
RERATA TINGGI (cm)
1
T.01
4.21
31.05
2
T.02
3.63
32.17
3
TL.05
4.17
37.76
4
TL.03
3.65
33.41
5
S.06
3.60
36.96
6
S.13
3.48
37.51
7
S.20
3.80
34.09
8
S.03
3.79
40.01
9
TL.01
3.48
38.89
10
R.12
3.80
32.44
11
S.01
3.50
30.21
12
T.03
3.12
28.12
13
R.10
2.91
22.25
14
R.15
4.03
38.96
15
R.8
4.16
32.32
16
R.02
4.05
35.08
17
R.18
4.30
37.05
18
R.9
4.68
42.50
19
R.17
3.96
35.92
20
T.04
4.50
39.56
21
TL.02
4.94
44.95
22
R.14
4.29
36.71
350 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
KONDISI BUDIDAYA MURBEI DAN ULAT SUTERA DI DAERAH DATARAN RENDAH KABUPATEN SOPPENG Nurhaedah M1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Kabupaten Soppeng merupakan salah satu sentra budidaya ulat sutera di Sulawesi Selatan. Kabupaten Soppeng merupakan dataran rendah dengan ketinggian tempat berkisar 120 m di atas permukaan laut, sedangkan ketinggian tempat dapat memengaruhi kondisi iklim dan pertumbuhan ulat sutera, sehingga memerlukan penanganan yang berbeda. Studi ini bertujuan untuk mengetahui kondisi budidaya ulat sutera di daerah dataran rendah, khususnya Kabupaten Soppeng. Studi menggunakan metode survei dan wawancara. Hasil studi menunjukkan bahwa kondisi budidaya murbei dan ulat sutera di Kabupaten Soppeng kebanyakan mengacu kepada teknik pemeliharaan yang umum seperti jarak tanam berukuran 1 x 1 m dan 1 x 1,5 m, teknik pemangkasan tinggi, frekuensi pemberian pakan ulat sebanyak 3 kali per hari, desinfeksi sebanyak 3 kali per periode pemeliharaan dan teknik pemberian pakan (daun pucuk diiris untuk ulat kecil, daun + tangkai untuk ulat besar). Tempat pemeliharaan ulat sutera umumnya menggunakan kolong rumah. Waktu pemeliharaan cenderung lebih pendek dan pemasaran produk dalam bentuk kokon. Kata kunci : Budidaya, murbei, ulat sutera, Kabupaten Soppeng
I. PENDAHULUAN Persuteraan alam merupakan salah satu kegiatan perhutanan sosial yang ditujukan untuk peningkatan ekonomi kerakyatan, perluasan kesempatan usaha dan kerja, pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat utamanya di sektor hulu melalui usaha pembudidayaan murbei dan ulat sutera (Balai Persuteraan Alam, 2010 ). Dukungan teknologi dalam usaha persuteraan alam sangat diperlukan untuk pengembangan, baik sektor hulu berupa budidaya ulat sutera dan pengusahaan kokon maupun sektor hilir yang berupa pemintalan dan pertenunan. Hal tersebut tidak terlepas dari bagaimana teknologi pengelolaan sutera alam, sejak dari budidaya murbei dan ulat sutera. Kegiatannya budidaya ulat sutera meliputi tahapan pengelolaan bibit atau telur, ulat kecil dan ulat besar serta tahap pengokonan. Dilihat dari teknologi budidaya yang dilakukan petani, di Kabupaten Soppeng sebagai lokasi yang mewakili daerah dataran rendah, sebagian besar masyarakatnya memperoleh pengetahuan budidaya murbei dan sutera dengan belajar sendiri baik dalam lingkungan keluarga maupun di luar lingkungan 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
351
keluarga. Hal ini berakibat pada umumnya petani lebih mengandalkan pengalaman dan sulit untuk mengadopsi teknologi maupun informasi yang terkait. Ketinggian tempat dalam melakukan aktivitas budidaya ulat sutera memiliki pengaruh baik teknis maupun non teknis pada kegiatan budidaya ulat sutera termasuk berpengaruh pada jumlah kokon yang dihasilkan. Mengingat lokasi pemeliharaan ulat sutera di Sulawesi Selatan berada di daerah dataran rendah, sedang dan dataran tinggi, dengan kondisi iklim yang berbeda maka perbedaan ketinggian tersebut dapat memengaruhi pertumbuhan ulat sutera sehingga akan ada perbedaan teknik budidaya ulat sutera yang dilakukan oleh masyarakat untuk meningkatkan produktivitas persuteraan alam di daerah tersebut. Di samping itu umumnya daerah pengembangan persuteraan alam di Sulawesi Selatan di lahan marginal dan iklim kering, sehingga kurang optimal untuk mendukung pertumbuhan tanaman murbei (Santoso et al., 2006). Untuk itu diperlukan informasi mengenai pelaksanaan budidaya ulat sutera pada wilayah dengan ketinggian yang berbeda. Studi dilaksanakan di Desa Solie, Kecamatan Donri-Donri, Kabupaten Soppeng yang merupakan salah satu sentra produksi sutera di Sulawesi Selatan dengan ketinggian wilayah ± 120 m di atas permukaan laut. Studi ini untuk melihat kondisi budidaya murbei dan ulat sutera pada daerah dataran rendah. Studi ini dilaksanakan dengan metode survei dan wawancara.
II. BUDIDAYA TANAMAN MURBEI PAKAN ULAT Budidaya tanaman murbei sangat erat kaitannya dengan budidaya ulat sutera, karena keberhasilan budidaya ulat sutera sangat tergantung pada kualitas murbei sebagai satu-satunya jenis tanaman pakan ulat sutera. Budidaya tanaman murbei ini memerlukan penanganan khusus mulai dari pengadaan bibit, penanaman pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit serta pemungutan dan penyimpanan daun (Sunanto, 1997). Beberapa kondisi budidaya tanaman murbei di Desa Solie, Kecamatan Donri-Donri, Kabupaten Soppeng adalah sebagai berikut: A. Luas lahan Hasil wawancara menunjukkan bahwa rata-rata luas lahan yang dikelola petani untuk budidaya murbei dan ulat sutera di daerah dataran rendah adalah 1,03 ha. Jika dibandingkan luas lahan di dataran rendah dengan daerah dataran tinggi yang memiliki ketinggian berkisar 500 m di atas permukaan laut seperti di Kabupaten Enrekang dengan luas lahan murbei di bawah 1 ha maka dataran rendah lebih luas. Hal ini dapat terjadi
352 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
karena daerah dataran sedang dan tinggi mendukung budidaya sayur-sayuran seperti kol, kentang dan kubis sehingga sebagian lahan digunakan untuk kegiatan tersebut. B. Status Lahan Di Kabupaten Soppeng 87,1% kepemilikan lahan merupakan milik sendiri dan hanya 12,9% adalah menyewa lahan. Hal ini menunjukkan bahwa secara kuantitas dan kelembagaan penguasaan tanah, kondisi Kabupaten Soppeng mendukung dalam budidaya murbei dan ulat sutera. C. Jenis Murbei Di daerah dataran rendah kebanyakan petani mengusahakan jenis tanaman murbei Morus alba, Morus nigra, Morus multicaulis dan Morus indica sebagai pakan ulat sutera. Morus alba, Morus nigra sudah lama dikenal oleh masyarakat sehingga dikenal sebagai murbei lokal. Biasanya daunnya banyak tetapi ukurannya kecil. Selain itu Morus
alba memiliki kelebihan dalam hal sifat pertumbuhan yang lebih baik dibanding Morus nigra ( Balai Persuteraan Alam, 2010). D. Jarak Tanam Jarak tanam yang umum diterapkan masyarakat di daerah ini 1 X 1 m dan 1 X 1,5 m. Di Kabupaten Soppeng sebagai daerah dataran rendah masyarakatnya pernah
mencoba menerapkan jarak tanam rapat (30 x 30 cm) seperti halnya di Kabupaten Enrekang sebagai daerah dataran tinggi, tetapi hal tersebut mengakibatkan tingginya prosentase daun yang kuning dan gugur karena terjadi kompetisi yang tinggi antar tanaman dalam memperebutkan unsur hara, sehingga mereka kembali menerapkan jarak tanam yang tidak rapat. E.
Umur Tanaman Murbei Dilihat dari umur tanaman yang dimiliki masyarakat, di Kabupaten Soppeng umur
tanaman murbei milik masyarakat rata-rata berkisar 15 tahun. Hal ini secara langsung juga berhubungan dengan produktivitas tanaman dan produksi kokon. Informasi yang diperoleh dari petani di wilayah tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya petani belum pernah melakukan peremajaan tanaman, mereka hanya melakukan pemangkasan saja. Kebanyakan pemangkasan dilakukan dengan pangkas tinggi pada umur tanaman 9 bulan, dan pangkasan berikutnya dilakukan setelah 3 bulan. Untuk pemupukan selain menggunakan pupuk kimia, juga dilakukan pemberian pupuk kandang. Kondisi yang baik adalah pemberian pupuk kandang dicampur dengan pupuk kimia. Hal ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Soppeng pengelolaan tanaman murbei lebih memerhatikan anjuran yang direkomendasikan. Hasil penelitian Santoso et al. (2006) menunjukkan bahwa
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
353
penggunaan pupuk urea pada tanaman murbei dapat meningkatkan produksi daun dan kandungan protein. Selain aspek-aspek di atas pembersihan dan pengendalian hama penyakit merupakan hal penting dalam pemeliharaan tanaman. Untuk pengendalian hama dan penyakit berdasarkan kajian yang dilakukan terlihat bahwa frekuensi pengendalian hama dan penyakit di Kabupaten Soppeng 1 kali setahun disesuaikan dengan tingkat dan frekwensi serangan hama penyakit yang terjadi. Meskipun ada serangan, namun bila belum melewati ambang ekonomi, pengendalian belum dilakukan dalam rangka efisiensi biaya. III. BUDIDAYA ULAT SUTERA Berdasarkan pedoman budidaya ulat sutera oleh Balai Persuteraan Alam (1997) secara umum teknik budidaya ulat sutera yang direkomendasikan terbagi dalam 3 tahap yaitu: A. Penanganan Telur Ulat Sutera Setelah terlihat titik biru pada telur, maka diadakan perlakuan penggelapan dan penerangan terhadap telur tersebut. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan penetasan telur yang merata (seragam). Setelah telur menetas dilakukan desinfeksi kaporit dengan konsentrasi 5% dicampur kapur 95%, waktu pelaksanaan sekitar jam 9.00 pagi. Pemberian pakan dilakukan dengan daun murbei muda yang dipotong sekitar 5 mm X 5 mm sebanyak 100 gr setiap box telur. B. Pemeliharaan Ulat Kecil Kondisi lingkungan yang baik untuk ulat kecil adalah suhu 26 – 28 °C dengan kelembaban 80 – 90 %. Pemberian pakan dilakukan dengan daun murbei yang dipotongpotong atau dirajang dengan ukuran antara 0,5 – 3 cm sebanyak 3 – 4 kali sehari pada pagi, siang, sore dan malam hari. Pemberian desinfeksi berupa kaporit dengan konsentrasi 5% dicampur kapur 95%, dilakukan apabila sebagian besar (90%) ulat telah berganti kulit. Perluasan tempat ulat dilakukan sesuai dengan perkembangan ulat. C. Pemeliharaan Ulat Besar Kondisi lingkungan yang baik untuk ulat besar adalah suhu antara 24 – 26 °C dengan kelembaban berkisar 70 - 75 %. Selama masa larva, ulat sutera berganti kulit sebanyak 4 kali, maka terdapat 3 periode makan atau instar. Untuk ulat besar diperlukan daun murbei yang berumur pangkas kurang lebih 2,5 – 3 bulan. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 3-4 kali sehari, pemberian daun dengan cabangnya diletakkan secara
354 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
bolak balik agar distribusi daun merata. Tempat ulat dan rak pemeliharaan perlu sering dibersihkan dan diperluas sesuai dengan perkembangan ulat. Desinfeksi ulat dilakukan setelah ulat berganti kulit dengan campuran kaporit dan kapur sebanyak 1 : 9 (10 gr kaporit : 90 gr kapur). Di samping desinfeksi ulat juga perlu dilakukan desinfeksi alat dan ruang pemeliharaan dengan menggunakan larutan desinfeksi dengan dosis 200 kali atau 5 gr kaporit perliter air. Pada akhir instar V, sekitar 21 hari sejak ulat mulai dipelihara, ulat akan mulai membuat kokon. Panen dilakukan pada hari 5 atau ke 6 sejak ulat mulai membuat kokon. Keberhasilan sebuah pemeliharaan ulat dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya
kualitas dan kuantitas daun murbei, jenis bibit dan teknik pemeliharaan
(Samsijah dan Andadari, 1992). Faktor-faktor tersebut saling terkait dan sangat diperlukan agar pemeliharaan ulat sutera dapat menghasilkan kokon jumlah banyak dengan mutu yang baik. Beberapa kondisi teknik budidaya ulat sutera yang dilakukan petani di Kabupaten Soppeng adalah sebagai berikut: 1. Jumlah bibit ulat sutera yang dipelihara Jumlah bibit ulat sutera yang dipelihara disesuaikan dengan luasan tanaman murbei yang dikelola, kapasitas rumah ulat dan jumlah tenaga kerja yang digunakan. Hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah kokon yang dihasilkan, semakin banyak jumlah bibit yang dipelihara semakin besar jumlah kokon yang dihasilkan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pada daerah dataran rendah di Kabupaten Soppeng meskipun ratarata jumlah luasan tanaman murbei tinggi (1,03 Ha) rata-rata jumlah bibit yang dipelihara hanya 1,09 box/periode. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Soppeng dari segi pengelolaan masih rendah. 2. Asal/sumber bibit ulat sutera yang digunakan Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat 96,77% memilih bibit Perum Perhutani dalam budidaya ulat sutera dan 3,23% memilih jenis lain. Di Kabupaten Soppeng sebagian petani sutera memiliki keterampilan dalam memproduksi bibit ulat sutera sehingga memungkinkan masyarakat untuk memilih jenis lain selain Perhutani yang direkomendasikan oleh pemerintah. 3. Pengetahuan budidaya Pengetahuan budidaya ulat sutera umumnya (97,67%) diperoleh dengan belajar sendiri selebihnya ( 3,33%) merupakan pengetahuan yang dimiliki secara turun temurun. Di Kabupaten Soppeng terdapat dua lembaga pembina usaha persuteraan alam yaitu Sub
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
355
BPA dan Perum Perhutani. Keduanya dapat memberikan dampak pada peningkatan pengetahuan masyarakat melalui sosialisasi dan penyuluhan. 4. Tempat pemeliharaan ulat sutera Di Kabupaten Soppeng sangat jarang petani membudidayakan ulat sutera menggunakan rumah ulat khusus. Padahal menurut Rasyid (1996), pemeliharaan ulat seharusnya terpisah dari aktivitas manusia sehari-hari dan dibuatkan bangunan secara khusus tetapi karena sudah merupakan budaya masyarakat yang berakar maka keadaan tersebut sulit dirubah. Kondisi yang menonjol di daerah dataran rendah adalah tempat pemeliharaan yang kebanyakan menggunakan kolong rumah yang ditunjang oleh budaya kepemilikan rumah panggung. 5. Permodalan Informasi dari beberapa petani responden menggambarkan bahwa aspek permodalan yang dimiliki petani di Kabupaten Soppeng sudah kuat, dimana 100% petani budidaya ulat sutera dengan menggunakan modal sendiri. Permodalan ini dari pekerjaan pokok yaitu sebagai petani sawah atau masyarakat pedagang. 6. Tenaga kerja Sumber tenaga kerja yang digunakan dalam budidaya ulat sutera rata-rata berasal dari anggota keluarga walaupun tidak sepenuhnya mereka mengerjakan sendiri. Kegiatan budidaya ulat sutera terutama saat pengokonan, terkadang dibantu oleh tetangga rumah atau saudara mereka dengan sistem gotong royong. 7. Frekuensi Pemeliharaan Frekuensi pemeliharaan adalah jumlah kegiatan pemeliharaan ulat sutera yang dilakukan dalam waktu setahun. Frekuensi pemeliharaan yang dilakukan di Kabupaten Soppeng adalah rata-rata 10 kali/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pola pengelolaan baik tanaman murbei maupun ulat sutera di daerah dataran rendah sudah intensif, dimana dalam setahun hanya 2 bulan saja petani tidak mengadakan tindakan pemeliharaan. Biasanya waktu tersebut digunakan untuk merawat kebun murbei. 8. Peralatan pemeliharaan Peralatan pemeliharaan ulat yang digunakan di Kabupaten Soppeng sudah memenuhi standar.
Informasi yang diperoleh menunjukkan tidak ada perbedaan yang
menonjol untuk pemeliharaan ulat kecil maupun ulat besar. Alat pemeliharaan yang mereka gunakan kebanyakan standar atau sesuai dengan yang direkomendasikan (Balai Persuteraan Alam, 1997) yaitu rak kayu/bambu, pisau, jaring, bulu ayam, kertas alas dan
356 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
kertas minyak, gunting stek, baskom dan ember plastik, kain pembungkus daun, ayakan, kapur dan kaporit, sapu, lap tangan dan alat semprot untuk desinfeksi ruangan dan alat. 9. Frekuensi pemberian pakan Frekuensi pemberian pakan adalah jumlah pemberian pakan yang dilakukan dalam jangka waktu sehari. Frekuensi pemberian pakan yang dilakukan oleh masyarakat di Kab. Soppeng sebagai daerah dataran rendah umumnya adalah 3 kali sehari yaitu pagi, siang dan sore hari. 10. Desinfeksi Desinfeksi adalah sebuah kegiatan yang dilakukan untuk membersihkan dan mencegah serangan hama penyakit baik sebelum, selama maupun setelah pemeliharaan. Desinfeksi tidak hanya bagi ulat sutera, tetapi juga peralatan pemeliharaan dan rumah ulat. Khusus untuk desinfeksi tubuh ulat sutera biasanya dilakukan dengan menggunakan bahan kapur dan kaporit. Pemberian desinfeksi bagi tubuh ulat biasanya dilakukan pada saat hakitate, ulat tidur dan setelah ulat berganti kulit. Di daerah dataran rendah jumlah pemberian desinfeksi nampaknya sudah memenuhi standar yaitu 3 kali.
Pemberian
desinfeksi di daerah dataran rendah lebih kurang dibanding daerah dataran sedang dan tinggi karna desinfeksi biasanya lebih intensif pada kondisi yang lembab karena dapat memacu terjadinya serangan penyakit pada ulat sutera (Sunanto, 1997). 11. Teknik pemberian pakan Teknik pemberian pakan yang dilakukan di daerah dataran rendah dilakukan sesuai anjuran. Untuk pemberian pakan ulat kecil dilakukan dengan metode rajang menggunakan daun pucuk atau daun yang muda, sedang untuk ulat besar pemberian dilakukan dengan tangkai yang diberikan secara berselang–seling agar ulat mendapatkan pakan yang merata antara pucuk dan yang bukan pucuk. Selain itu juga tidak menerapkan pemisahan jenis murbei maupun kebun untuk pakan ulat kecil dan ulat besar. Menurut Atmosoedarjo, et al. (2000) kesehatan ulat sutera tergantung pada pemberian pakan ulat waktu kecil, karena itu perlu membuat kebun murbei khusus untuk ulat kecil yang diberi perlakuan khusus untuk menghasilkan tunas-tunas baru dalam jumlah besar dan mudah dipungut. 12. Pengokonan Tahap pengokonan adalah tahap dimana terjadi perubahan dari ulat menjadi pupa yang dibungkus oleh kokon. Tahap ini merupakan tahap akhir dalam budidaya ulat sutera, sehingga penanganannya harus hati-hati dan bila tahap ini tidak dilaksanakan dengan baik, maka akan berpengaruh pada kualitas filamen kokon dan apa yang telah dilakukan
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
357
sebelumnya akan menjadi sia-sia (Atmosoedarjo, et al., 2000). Alat pengokonan yang digunakan masyarakat pada daerah dataran rendah rata-rata adalah bambu hanya bentuknya yang berbeda-beda. Di samping bambu ada pula sebagian kecil masyarakat yang menggunakan alat pengokonan lain seperti rotary tetapi alat tersebut merupakan bantuan ataupun pinjaman dari kantor Balai Persuteraan Alam setempat. 13. Jumlah produksi Dilihat dari aspek produksi, ternyata untuk daerah dataran rendah hanya berkisar antara 20-30 kg kokon/box atau 4-5 kg benang. Bila dibandingkan produksi kokon di dataran rendah dengan daerah dataran tinggi sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan karena di daerah dataran rendah jumlah produksi kurang tetapi frekuensi pemeliharaan tinggi. Sedangkan untuk dataran tinggi produksi tinggi tetapi frekuensi pemeliharaan kurang (Nurhaedah, et al., 2006). Sesuai dengan anjuran BPA (1997) pemeliharaan ulat sutera perlu diatur, sehingga ada kesempatan untuk merawat kebun, peralatan dan persiapan tenaga. 14. Waktu pemeliharaan Waktu pemeliharaan adalah jangka waktu yang dibutuhkan untuk memelihara ulat sutera mulai dari hakitate sampai mengokon. Lama atau singkatnya jangka waktu pemeliharaan ini biasanya sangat dipengaruhi oleh kondisi biofisik terutama cuaca, bila cuaca panas terutama musim kemarau biasanya umur ulat lebih pendek dibanding musim hujan. Di daerah dataran rendah cuaca rata-rata panas kecuali musim penghujan sehingga umur ulat biasanya lebih pendek yaitu berkisar 22-25 hari. Jangka waktu pemeliharaan biasanya akan berpengaruh pada jumlah pakan yang dibutuhkan dan juga tenaga kerja yang digunakan. Dari sisi produksi jangka waktu pemeliharaan yang pendek berdampak pada ukuran dan berat kokon yang lebih rendah di banding waktu pemeliharaan yang panjang. IV. PENUTUP Kondisi budidaya tanaman murbei di daerah dataran rendah kebanyakan mengacu kepada teknik budidaya tanaman murbei yang umum antara lain jarak tanam berukuran 1 x 1 m dan 1 x 1,5 m, teknik pemangkasan tinggi. Jenis tanaman murbei yang diusahakan lebih banyak jenis lokal dan umumnya tidak melakukan peremajaan. Oleh karena itu perlu peremajaan tanaman murbei dan penanaman jenis persilangan. Kondisi budidaya ulat sutera di daerah dataran rendah kebanyakan mengacu kepada teknik pemeliharaan yang umum antara lain: frekuensi pemberian pakan ulat sebanyak 3 kali perhari, desinfeksi
358 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
sebanyak 3 kali/periode pemeliharaan dan teknik pemberian pakan menggunakan daun pucuk diiris untuk ulat kecil dan daun beserta tangkai untuk ulat besar dengan tempat pemeliharaan umumnya menggunakan kolong rumah. Dapat disarankan kepada petani agar pemeliharaan ulat dilakukan di tempat khusus, sehingga terpisah dari aktivitas rumah tangga untuk mengurangi timbulnya serangan penyakit ulat sutera. Waktu pemeliharaan berkisar antara 22-25 hari dan pemasaran hasil dalam bentuk kokon. Oleh karena itu perlu dianjurkan kepada petani agar pemeliharaan ulat dilakukan di tempat khusus, sehingga terpisah dari aktivitas rumah tangga untuk mengurangi timbulnya serangan penyakit. Selain itu pemasaran hasil sebaiknya dalam bentuk benang sehingga memiliki waktu simpan yang lebih lama. DAFTAR PUSTAKA Atmosoedarjo, S., J. Kartasubrata, M.Kaomini, W. Saleh dan W. Murdoko. (2000). Sutera Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Balai Persuteraan Alam. (1997). Pedoman Budidaya Sutera. Bili-Bili Kabupaten Gowa: BPA. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Departemen Kehutanan. Balai Persuteraan Alam. (2010). Statistik Pengembangan Persuteraan Alam. Bili-Bili Kabupaten Gowa: BPA. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Balai Persuteraan Alam. (2010). Petunjuk Teknis Budidaya Tanaman Murbei (Morus spp.). Bili-Bili Kabupaten Gowa: BPA. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Nurhaedah, Rizal, A., Wahyudi I., dan A. Hermawan. (2006). Kajian Pengelolaan Sutera Alam di Sulawesi Selatan (Laporan Hasil Penelitian). Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar. (Tidak Dipublikasikan) Santoso, B., Bintarto dan Retno P. (2006). Efektivitas pemupukan urea terhadap pertumbuhan, produksi daun, dan kandungan protein daun murbei. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 3(1), 1-8. Santoso, B. Retno P., dan Rismawati. (2006). Multiplikasi Tanaman Murbei (Morus sp.) Varietas KI 14 Secara Invitro. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 3 (2), 157-164. Rasyid. (1996). Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah/Dinas Kehutanan TK.II hubungannya dengan Dinas Persuteraan Alam TK.I. Paper Lokakarya Pengembangan Persuteraan Alam di Ujung Pandang. Samsijah dan Andadari L. (1992). Petunjuk Teknis Budidaya Ulat sutera (Bombyx mori L.) Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Sunanto, H. (1997). Budidaya murbei dan usaha persuteraan alam. Yogyakarta: Kanisius. “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
359
PEMBENTUKAN GAHARU PADA TANAMAN MUDA Aquilaria malaccencis, Lamrk Suhartati1 dan Eko Sutrisno2 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Khusus Pulau Sumatera ditemukan sekitar 10 spesies tumbuhan penghasil gaharu, dan spesies yang tergolong komersial di antaranya A. malaccensis. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk memahami mekanisme pembentukan gaharu alami yang dijadikan dasar dalam pengembangan gaharu secara buatan (artificial). Rekayasa inokulasi merupakan pembentukan gaharu buatan dengan menggunakan isolat jamur Fusarium sp., untuk mempercepat tertularnya jamur pada pohon gaharu. Pada Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan dosis isolat yang menghasilkan produk gaharu pada tanaman muda. Penelitian berlokasi di Arboretum Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan ( BPTSTH), di Desa Kuok, Kecamatan Bangkinang Barat, Kabupaten Kampar, Riau. Pelaksanaan inokulasi mulai bulan Agustus 2011, pengambilan data yang terkahir bulan Januari 2012. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan perlakuan inokulasi isolat padat menggunakan dosis 2 g dan 4 g, serta isolat cair menggunakan dosis 2 cc dan 4 cc. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan isolat cair dan padat pada pohon gaharu spesies Aquilaria malaccensis Lamrk., dalam waktu 6 bulan setelah inokulsi dapat membentuk gaharu dengan klasifikasi kelas mutu kemedangan. Inokulan yang terbaik untuk infeksi pembentukan gaharu adalah 4 cc isolat cair, menghasilkan rendemen yang masih rendah, berwarna cokelat, dan kategori kurang wangi. Kata Kunci : Gaharu (Aquilaria malaccencis Lamrk), inokulasi, isolat, kemendangan
I. PENDAHULUAN Produk Gaharu merupakan komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang bernilai ekonomi tinggi. Gaharu merupakan bagian jaringan kayu pada pohon penghasil gaharu, yang mengandung resin sesquiterpenoid volatile beraroma harum. Permintaan pasar dari produk gaharu sampai saat ini, belum terpenuhi karena masih tergantung dari hasil pengumpulan gaharu alami. Hai ini menyebabkan perburuan dan eksploitasi pohon gaharu di alam tidak terkendali, sehingga tumbuhan ini semakin langka. Berdasarkan konfrensi CITES spesies Aquilaria malaccencis, dikategorikan sebagai jenis yang dilindungi dan terdaftar dalam Appendix II (Anonim, 2003). Khusus pulau Sumatera ditemukan sekitar 10 spesies tumbuhan penghasil gaharu, dan spesies yang tergolong komersial adalah Aquilaria spp. (A. malaccensis, A.
1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
2
Teknisi Litkayasa Balai Penelitian Teknologi Serat, Kuok
360 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
microcarpa, A. filarial, dan A. beccariana). Spesies yang memiliki kualitas gaharu yang terbaik di antaranya A. malaccensis (Afifi, 1995). Spesies ini dikenal dengan nama lokal yaitu pohon gaharu, karas, alim. Pemanenan produk gaharu umumnya masih dilakukan secara tradisional dengan menebang pohonnya yang diperkirakan mengandung gubal gaharu (Suhartono dan Neewton, 2001 dalam Suharti, 2009). Secara alami tidak semua pohon gaharu menghasilkan gubal gaharu, dan proses pembentukan gaharu secara alami biasanya rendemennya ± 30 %, dan waktu terbentuknya relatif lebih lama yaitu ± 15 tahun. Pembentukan gubal gaharu secara alami dapat mencapai 0,3 - 14 kg/pohon, lazimnya semakin besar diameter batang pohon produk gaharunya semakin banyak (Mahon, 1998 dalam Mucharromah, 2009). Beberapa
penelitian
yang
telah
dilakukan
untuk
memahami
mekanisme
pembentukan gaharu alami yang dijadikan dasar dalam pengembangan gaharu secara buatan (artificial). Rekayasa inokulasi merupakan pembentukan gaharu buatan dengan menggunakan isolat jamur Fusarium sp., untuk mempercepat tertularnya jamur pada pohon gaharu. Jamur ini berfungsi sebagai inokulan yang menularkan penyakit yang menyebabkan infeksi pada jaringan kayu pohon gaharu. Jumlah produk gaharu yang dihasilkan melalui rekayasa ini ditentukan oleh jumlah luka atau lubang yang diinokulasi, sedangkan kualitasnya tergantung jangka waktu panen. Indikasi pembentukan gubal gaharu telah berhasil, apabila pohon tertular oleh jamur yang mengakibatkan pohon terserang penyakit ditandai daun merangas dan menguning selanjutnya secara perlahan pohon mati. Budidaya pohon penghasil gaharu sedang dikembangkan oleh banyak pihak, baik perusahaan maupun oleh masyarakat sehingga penelitian-penelitian tentang rekayasa inokulasi gaharu perlu ditinjau dari berbagai aspek. Tulisan ini memuat hasil penelitian tentang jenis dan dosis isolat yang menghasilkan produk gaharu pada tanaman muda (A. malaccencis Lamrk).
II. METODE PENELITIAN Penelitian berlokasi di Arboretum Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan (BPTSTH), di Desa Kuok, Kecamatan Bangkinang Barat, Kabupaten Kampar, Riau. Data yang dilaporkan pada penelitian ini adalah pengamatan ke enam (6 bulan setelah inokulasi). Pelaksanaan inokulasi mulai bulan Agustus 2011, pengambilan data yang terakhir bulan Januari 2012. “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
361
Bahan yang digunakan adalah pohon Aquilaria malaccensis umur 4 tahun diameter batang 10 -12 cm, tinggi pohon ± 5 m, malam (lilin), alkohol 70%, isolat jamur
Fusarium sp., (propagul 250 - 1000 klamidospora/g) berbentuk cair dan padat yang diperoleh dari BIOTROP di Bogor. Peralatan yang digunakan adalah genset, bor kayu (ukuran mata bor 0,2 dan 0,5 cm), kapas, alat injeksi, kaliper, meteran, kapur tulis, phylox, sarung tangan plastik, cutter, millimeter blok dan alat tulis. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan perlakuan; • P0 = Kontrol (tanpa perlakuan) • P1 = Isolat padat dengan dosis 2 g/lubang • P3 = Isolat padat dengan dosis 4 g/lubang • P4 = Isolat cair dengan dosis 2 cc/lubang • P5 = Isolat cair dengan dosis 4 cc/lubang Masing-masing perlakuan terdiri atas 3 ulangan atau 3 pohon sampel yang diamati. Parameter yang diamati adalah luas infeksi atau pembentukan gaharu, warna dan tingkat wangi. Apabila perlakuan berpengaruh nyata pada uji F, dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). Data perubahan warna dan tingkat wangi disajikan dalam bentuk gambar. A. Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini diawali dengan memilih pohon sebagai sampel yang akan diinokulasi. Pohon yang dipilih berdiameter batang 10 - 12 cm dan seragam secara morfologi. Masingmasing pohon sampel dilakukan pengeboran sebanyak 5 lubang bor. Pengeboran dimulai dari pangkal batang hingga ketinggian ± 50 cm, titik pengeboran pertama 5 cm dari permukaan tanah. Lubang pengeboran dibuat hingga kedalaman 1/3 dari diameter batang, pengeboran dilakukan melingkar di sekeliling batang pohon (bentuk spiral), jarak antar lubang bor yaitu 10 cm. Ukuran lubang bor untuk isolat cair 0,2 cm dan untuk isolat padat 0,5 cm. Selanjutnya dilakukan inokulasi sesuai jenis inokulum yang ditentukan. Pengamatan tahap pertama yaitu 6 bulan setelah inokulasi, pengamatan berikutnya direncanakan 4 tahap (24 bulan setelah inokulasi) karena diperkirakan pada periode ini pohon mengalami sakit dengan gejala daun merangas dan menguning. Perkiraan 24 bulan sudah terbentuk gubal gaharu secara maksimal, karena pohon yang diinokulasi masih berdiameter standar minimal untuk persyaratan inokulasi dan pohon masih berumur muda yaitu 4 tahun.
362 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Gambar 1. Bagian batang yang dibor. B. Cara Pengamatan 1. Luas infeksi (cm2) Pengukuran luas infeksi dilakukan setiap bulan di sekitar titik pengeboran. Kulit batang di sekitar titik bor dikupas lalu diukur luas jaringan yang terinfeksi dengan menggunakan kertas kalkir. Pengukuran luas infeksi tersebut dikonversi ke dalam millimeter blok untuk mengetahui luas dengan nilai satuan centimeter persegi (cm2). 2. Rendemen gaharu (%) Perhitungan rendemen dimaksudkan untuk mengetahui hasil gaharu yang diperoleh pada tanaman yang diinokulasi. Pengamatan rendemen dilakukan pada pengamatan ke VI (6 bulan setelah inokulasi), untuk mengetahui tingkat keberhasilan masing-masing inokulasi. Rendemen dihitung dengan menebang pohon sampel, lalu dilakukan sortasi bagian yang terjadi pembentukan gaharu. Perhitungan rendemen menggunakan rumus sebagai berikut : berat bagian yang terbentuk Rendemen =
x 100 % berat batang
3. Warna (skoring) Kulit batang di sekitar lubang bor dikupas, kemudian digerus untuk melihat warnanya. Pengamatan perubahan warna dilakukan setiap bulan pada semua lubang bor. Bagian jaringan kayu yang membentuk gaharu mengalami perubahan warna, dan diamati berdasarkan tingkat perubahan warnanya yang ditetapkan berdasarkan nilai skor.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
363
Nilainya yaitu angka 0 = putih, 1 = putih kecokelatan, 2 = cokelat, dan 3 = cokelat kehitaman. 4. Tingkat wangi (skoring) Pengamatan tingkat wangi dilakukan setiap bulan bersamaan dengan pengamatan perubahan warna kayu. Bagian jaringan kayu yang terinfeksi digerus kemudian dibakar. Pengamatan tingkat wangi dilakukan pada setiap lubang bor dan ditetapkan melalui uji
organoleptik yang dinyatakan dengan rataan skor. Skala skor wangi adalah 0 = tidak wangi, 1 = kurang wangi, 2 = wangi, dan 3 = sangat wangi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian Penelitian berlokasi di Arboretum Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan (BPTSTH) Kuok, Kec. Bangkinang Barat, Kab. Kampar, Riau seluas ± 10 hektare. Secara geografis terletak pada koordinat 00º 19’ 06” LU dan 100º 57’ 53” BT, di ketinggian 80 di atas permukaan laut (dpl) dan topografi datar. Jenis tanah termasuk asosiasi kandiudults,
dystropepts, hapludox dengan bahan induk batuan halus dan kasar. Suhu udara rata-rata harian 30,7° C dengan suhu maksimum dan minimum masing-masing 31° C dan 21° C, tergolong tipe iklim A berdasarkan kriteria Schmidt dan Ferguson. B. Perkembangan Gejala Infeksi (Browning) Hasil analisis menunjukkan perlakuan inokulasi berpengaruh nyata terhadap luas infeksi pembentukan gaharu. Tabel 1. Rerata Luas Infeksi (cm2). Perlakuan P1 = kontrol 0 g P2 = padat 2 g P3 = padat 4 g P4 = cair 2 cc P5 = cair 4 cc
I (pertama) 0,380 a 2,863 b 2,986 b 2,823 b 2,960 b
II (kedua) 1,100 a 3,590 b 4,940 b 3,410 b 3,950 b
Periode Pengamatan III IV (ketiga) (keempat) 1,790 a 1,900 a 3,770 b 5,500 b 5,090 b 6,140 b 4,940 b 6,150 b 5,000 b 6,290 b
V (kelima) 2,190 a 6,120 b 6,690 b 6,790 b 6,830 b
VI (keenam) 3,180 a 6,160 b 6,750 b 6,868 b 7,240 b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada uji lanjut DMRT
Tabel 1, menunjukan bahwa perlakuan inokulasi berbeda nyata dengan kontrol, namun perlakuan jenis dan dosis isolat berbeda tidak nyata terhadap luas infeksi
364 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
pembentukan gaharu. Setiap periode pengamatan terlihat peningkatan luas infeksi, dan pada pengamatan ke VI
(6
bulan setelah inokulasi) yang terbaik adalah isolat cair
sebanyak 4 cc dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan lainnya. Pada pengamatan I (Pertama) hingga ke III (Ketiga) terlihat luas infeksi dari isolat padat lebih besar dibanding isolat cair, namum pengamatan ke IV (Keempat) isolat cair yang lebih luas infeksinya. Isolat cair mengandung lebih banyak populasi jamur dibanding isolat padat, namun isolat padat reaksinya lebih cepat. Agustini dkk., (2006) melaporkan bahwa dosis 1 cc isolat cair dihuni oleh 106 propagul jamur Fusarium sp. Ditinjau dari segi efisiensi penggunaan inokulan, maka penggunaan 2 cc isolat cair lebih efektif diaplikasikan untuk rekayasa inokulasi pembentukan gaharu (6 bulan setelah inokulasi). Sebagaimana telah direkomendasikan
oleh
Sumarna
(2002)
bahwa
penggunaan
2
cc
isolat
cair
keberhasilannya mencapai 80 %. Selanjutnya hasil penelitian oleh Siregar (2009), menunjukkan bahwa inokulasi isolat cair pada pohon A. malaccensis Lamrk berumur 2, 3 dan 4 tahun seluruhnya terinfeksi dan menunjukkan gejala pembentukan gaharu. Populasi jamur yang efektif menimbulkan infeksi berbeda setiap jenis dan bentuk propagulnya. Pada jamur Fusarium sp. propagul yang efektif 250 - 1000 klamidospora/g (Landa et. al dalam Rahayu, 2004). Pembentukan gaharu diindikasikan dengan terjadinya perubahan warna pada jaringan kayu yang terinfeksi. Infeksi terjadi sebagai gejala yang timbul akibat serangan agen biotik dan abiotik. Gejala ini meluas seiring dengan pertambahan waktu dan proses invasi jamur semakin kuat. Selanjutnya jaringan tumbuhan berusaha memberikan respon pertahanan dengan cara membentuk metabolit sekunder berupa sesquiterpenoid yang mengeluarkan aroma khas wangi. Sejak pengamatan I (Sebulan setelah inokulasi) sudah terjadi infeksi yang perkembangannya relatif sama pada semua perlakuan. Fluktuasi perkembangan infeksi mulai terlihat pada pengamatan ke II, karena diperkirakan inokulan telah mampu beradabtasi sehingga dosis yang lebih tinggi terlihat infeksinya lebih luas. Hal ini, menunjukkan bahwa semakin lama waktu infeksi, pembentukan gaharunya semakin baik. Infeksi dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan sel jaringan tumbuhan dalam melaksanakan
fungsi
fisiologisnya,
sehingga
mengganggu
pertumbuhan
bahkan
menimbulkan kematian pohon. Keberhasilan pembentukan gaharu ditandai dengan munculnya warna cokelatkehitaman dan beraroma wangi. Apabila patogen jamur (isolat) tidak dapat mengalahkan sistem pertahanan maka tidak terjadi infeksi pada jaringan pohon, sehingga gubal gaharu tidak terbentuk dan bagian yang luka dapat membusuk.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
365
C. Rendemen Hasil analisis menunjukkan perlakuan inokulasi berpengaruh nyata terhadap rendemen gaharu. Data rendemen selanjutnya diuji dengan DNMRT sebagaimana disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Rendemen (%) Gaharu No. 1. 2. 3. 4. 5.
Perlakuan P1 = kontrol 0 g P2 = padat 2 g P3 = padat 4 g P4 = cair 2 cc P5 = cair 4 cc
Rendemen (%) 0,33 a 0,68 ab 0,79 b 2,14 c 2,21 c
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada uji lanjut DMRT
Perlakuan inokulasi berbeda nyata terhadap kontrol kecuali pemberian 2 g isolat padat. Pemberian 4 cc isolat cair memberikan hasil yang terbaik, namun berbeda tidak nyata dengan dosis 2 cc. Isolat cair menghasilkan rendemen lebih tinggi yaitu > 2 %, sedangkan isolat padat hanya memiliki rendemen < 1 %. Isolat padat lebih sulit mengalami
proses
pemisahan
propagul
infektifnya,
sehingga
luas
infeksi
dan
rendemennya lebih rendah dibanding isolat cair. Patogenitas isolat cair lebih efektif dikarenakan mobilisasinya lebih mudah dalam jaringan xylem atau floem. Selain itu, inokulasi isolat cair lebih mudah diaplikasikan dibandingkan dengan isolat padat termasuk resiko kontaminasi (Rahayu, 2004). Faktor yang sangat memengaruhi keberhasilan inokulasi adalah sifat genetis pohon dan lingkungan tempat tumbuh (Suharti, 2009). Sifat genetis merupakan kemampuan pohon untuk membentuk struktur-struktur yang tidak menguntungkan perkembangan patogen pada pohon. Apabila suatu pohon memiliki sifat (gen) pertahanan yang kuat, maka patogen akan mati sebelum berkembang dan gagal menyebabkan penyakit pada pohon, sehingga gagal pula pembentukan gaharu. Pembentukan gaharu terjadi sebagai respon pertahanan pohon terhadap pelukaan/infeksi yang berasosiasi dengan adanya perubahan sitologi pada sel parenkima hidup pada kayu setelah dilukai. Gaharu yang terbentuk pada penelitian ini termasuk kelas mutu kemendangan berdasarkan standar mutu yang berlaku di Indonesia (lampiran). Kemedangan adalah produk gaharu yang terbentuk dari jaringan pohon penghasil gaharu, yang memiliki kandungan damar wangi (oleoresin) dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih keabu-abuan sampai kecokelat-cokelatan, berserat kasar, dan sifat kayunya yang lunak. 366 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
D. Perubahan Warna Hasil pengamatan menunjukkan terjadinya perubahan warna kayu setelah inokulasi seperti pada gambar berikut :
Gambar 2 terlihat perubahan warna kayu dapat terjadi pada setiap periode pengamatan, pada pengamatan I dan ke II terlihat jenis dan dosis isolat belum memengaruhi perubahan warna. Pada pengamatan ke III dan ke IV inokulasi isolat cair dan padat nilai skoring warnanya relatif sama, namun semakin tinggi dosis isolatnya, nilai skornya juga semakin tinggi. Pengamatan ke V dan ke VI inokulan isolat cair memberikan nilai skor perubahahan warna lebih tinggi dibanding isolat padat. Pemberian 4 cc isolat cair memiliki nilai skor 3 (paling tinggi) dan warnanya kecokelatan. Terbentuknya warna pada jaringan kayu merupakan salah satu syarat pengklasifikasian untuk menentukan nilai jual produk gaharu. Parameter perubahan warna lebih mudah diamati dibanding dengan parameter lainnya. Menurut Walker et al. dalam Rahayu (2009), bahwa perubahan warna kayu menjadi cokelat (browning) dapat disebabkan oleh serangan patogen (jamur) dan kerusakan fisik. Perubahan warna kayu mengindikasikan terbentuknya senyawa gaharu. Hal ini didukung oleh pernyataan Novriyanti (2009), bahwa perubahan warna dari putih menjadi cokelat - kehitaman merupakan gejala awal terbentuknya senyawa gaharu. Indikasi keberhasilan inokulasi pembentukan gaharu ditandai dengan terjadinya perubahan proses fisiologis yang disebabkan oleh faktor-faktor penyebab penyakit.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
367
Gejala ini ditunjukkan dengan berubahnya warna batang dari putih kekuningan menjadi cokelat kehitaman dan perubahan warna atau bentuk pada daun yang menguning atau kerdil (Yunasfi, 2008). Keberhasilan rekayasa pembentukan gaharu erat kaitannya antara kinerja inokulan dengan kondisi ekologis, edafis dan iklim mikro, yang merupakan respon fisiologis terhadap adanya serangan mikroorganisme. E.
Tingkat Wangi Perubahaan tingkat wangi untuk masing-masing perlakuan inokulasi menunjukkan
skoring yang berbeda seperti terlihat pada gambar 3 sebagai berikut;
Berdasarkan nilai skoring semua perlakuan beraroma wangi, sejak pengamatan I hinggga ke VI dan nilai skornya relatif sama, hanya laju perubahan tingkat wanginya yang berbeda. Pada pengamatan ke V dan ke VI terlihat bahwa isolat cair lebih wangi dibanding isolat padat, semakin lama waktu setelah inokulasi laju perubahan tingkat wanginya semakin tinggi. Pemberian 4 cc isolat cair menunjukkan tingkat wangi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya, berarti semakin tinggi dosis inokulan aromanya semakin wangi. Peningkatan aroma wangi tidak selalu berkaitan dengan terjadinya perubahan warna kayu (Rahayu, 2009). Aroma wangi disebabkan oleh bertambahnya senyawa sesquiterpen, jika tingkat wangi menurun dapat diakibatkan oleh kurangnya senyawa tersebut, karena senyawa ini mudah menguap. 368 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
VI. KESIMPULAN DAN SARAN Penggunaan isolat cair dan padat pada pohon gaharu spesies Aquilaria malaccensis Lamrk., dapat membentuk gaharu dengan klasifikasi kelas mutu kemedangan. Inokulan yang terbaik untuk infeksi pembentukan gaharu pada tanaman muda adalah dosis 4 cc isolat cair dan menghasilkan rendemen yang masih rendah (2,21 %), serta tingkat warna dan wangi masing-masing termasuk skoring 2 yaitu berwarna cokelat dan beraroma wangi. Penelitian ini berlanjut hingga umur 2 tahun setelah inokulasi, saran sementara bahwa inokulan yang terbaik digunakan adalah isolat cair dengan dosis 4 cc.
DAFTAR PUSTAKA Afifi. (1995). Proses pengelolaan pohon gaharu sampai siap diperdagangkan dan tata cara pembudidayaannya, serta proses pembentukan gubal. Lokakarya Pengusahaan Hasil Hutan Non Kayu (Rotan, Gaharu dan Tanaman Obat). Surabaya: Indonesia Tropical Forest Management Progamme Surabaya. Agustini L., Dono W., Erdy S.. (2006). Keanekaragaman jenis jamur yang potensial dalam pembentukan gaharu (Aquilaria spp.) Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 3, No. 5. Anonim. (2003). Review of significant trade Aquilaria malaccensis. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) Http://www.cites.org/eng/com/PC/14/E-PC14-09-02-02-A2. pdf. Diakses tanggal 16 Februari 2009. Mucharromah. (2009). Pengembangan gaharu di Sumatera. Workshop Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan Masyarakat di sekitar Hutan. Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Novriyanti, E. (2009). Kajian kimia gaharu hasil inokulasi Fusarium sp pada Aquilaria microcarpa. Workshop Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu. Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Rahayu, G. (2004). Menuju Produksi Senyawa Gaharu Secara Lestari (Laporan akhir penelitian hibah bersaing XI). Bogor: Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan). Rahayu, G. (2009). Status penelitian dan pengembangan gaharu di Indonesia. Seminar Nasional Menuju Produksi Gaharu Secara Lestari di Indonesia. Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Siregar, E. (2009). Potensi dan induksi pembentukan gubal gaharu (A. malaccensis) di Kab. Langkat, Sumut. Seminar Nasional Menuju Produksi Gaharu Secara Lestari di Indonesia. Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
369
Suharti, S. (2009). Prospek pengusahaan gaharu melalui pola pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). Workshop Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan Masyarakat di sekitar Hutan. Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Sumarna, Y. (2002). Budidaya gaharu, Seri agibisnis. Jakarta: Penebar Swadaya. Yunasfi. (2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit dan penyakit yang disebabkan oleh Jamur. Http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-yunasfi.pdf. Diakses tanggal 10 Juni 2009.
370 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Lampiran : Standar Mutu Produk Gaharu di Indonesia Mutu I.
Kelompok Gubal
No. 1
Klasifikasi Super
Sub Kelas Tripel Super Double Super Super Tanggung
2
AB
-
3
BC
-
4
TA
Kacang A Kacang B
5
Teri
Teri Tenggelam Teri A Teri B Teri C
II.
Kemendangan
1
Sa’bah
Sa’bah Tenggelam Sa’bah Biasa
2
TGC
-
3
Kemendangan
Madang A Madang B
4
Abuk
Abuk Super Abuk Madang Abuk Kerokan
III.
Produk
1
Minyak
1 Tola = 2 cc
2
Gaharu, BMW
1 Kotak
3
dll
-
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” |
371
PEMANFAATAN MANGROVE OLEH MASYARAKAT PESISIR DAN TINGKAT PARTISIPASINYA TERHADAP PELESTARIAN MANGROVE Heru Setiawan1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan mangrove oleh masyarakat pesisir dan tingkat partisipasi masyarakat pesisir terhadap upaya pelestarian mangrove. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan penyebaran kuisioner dengan jumlah responden masing-masing desa sebanyak 25 orang (total 50 responden). Bentuk pemanfaatan mangrove oleh masyarakat di antaranya adalah sebagai penghasil kayu bakar, pelindung pantai dari hempasan ombak dan abrasi dan penghasil nener dan kepiting. Pemanfaatan mangrove untuk kayu bakar dilakukan oleh semua responden dengan jumlah kebutuhan bervariasi. Tingkat pengetahuan masyarakat tentang manfaat mangrove umumnya dalam kategori sedang dan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove termasuk dalam kategori sedang (78%), 14% termasuk dalam kategori sering dan 8% tidak pernah melakukan rehabilitasi mangrove. Sebagian besar masyarakat melakukan rehabilitasi mangrove dengan cara membentuk kelompok (54%), sedangkan yang lainnya dilakukan secara swadaya atas kesadaran masing-masing individu (40%) dan sisanya melakukan rehabilitasi dengan mengikuti program rehabilitasi yang dilakukan oleh pemerintah (6%). Kata kunci : Pemanfaatan mangrove, tingkat partisipasi, masyarakat pesisir
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir memiliki keragaman potensi sumberdaya alam yang tinggi dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan sehingga perlu dikelola secara berkelanjutan dengan memerhatikan partisipasi masyarakat. Menurut UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang dimaksud dengan wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Masyarakat pesisir diartikan sebagai masyarakat yang terdiri atas masyarakat adat dan masyarakat lokal yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sedangkan ekosistem mangrove sendiri diartikan sebagai suatu kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non
organisme
lain
serta
proses
yang
menghubungkannya
dalam
membentuk
keseimbangan, stabilitas dan produktifitas di dalam suatu habitat mangrove. Hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
372 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusmana et al., 2003). Keberadaan mangrove bagi masyarakat pesisir sangat penting dalam menunjang kehidupanya. Selain berfungsi secara ekologis sebagai penyedia makanan bagi biota laut, sebagai tempat memijah dan mengasuh (nursery ground) berbagai macam biota, mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang air laut. Di samping itu sebagai peredam gelombang dan angin badai, penahan lumpur, perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran permukaan (Bengen, 1999). Mangrove juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai penghasil kayu, obatobatan, arang dan manfaat lain yang membantu dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat pesisir. Pada saat ini hampir di seluruh dunia terjadi degradasi kawasan hutan mangrove. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia berdasarkan data Departemen Kehutanan menunjukkan 4,5 juta ha, yang mengalami kerusakan dalam kategori sedang dan 2,2 juta ha masuk kategori rusak berat. Beberapa penyebab semakin luasnya kerusakan hutan mangrove di antaranya adalah pembangunan yang dilakukan di areal kawasan mangrove dengan mengkonversinya menjadi areal penggunaan lain misalnya pemukiman, jalan tol, pelabuhan, tambak, dan juga penebangan mangrove untuk pembuatan arang yang melampaui batas kelestariannya. Kerusakan terus bertambah karena eksploitasi yang dilakukan tidak seimbang dengan tingkat keberhasilan rehabilitasi. Upaya rehabilitasi oleh pemerintah pada tahun 2004 dan 2005 hanya berhasil seluas 34.601 ha, sementara tahun 2006 sekitar 2.790 ha (Anonim, 2008). Untuk meningkatkan keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove diperlukan peningkatan pemberdayaan masyarakat berupa pemberian fasilitas, dorongan atau bantuan kepada masyarakat pesisir agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Berdasarkan hasil-hasil studi di beberapa daerah pantai menunjukkan bahwa keberadaan hutan mangrove sangat memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir, baik secara ekologi maupun ekonomi. Disisi lain kerusakan hutan mangrove semakin tinggi sehingga akan berdampak pada terganggunya keseimbangan ekositem lainnya yang pada akhirnya akan kembali merugikan manusia itu sendiri. Berdasarkan kondisi tersebut, maka tulisan ini akan menggambarkan mengenai pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat pesisir dan mengukur tingkat partisipasinya dalam kegiatan rehabilitasi mangrove.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 373
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat pesisir dan tingkat partisipasi masyarakat pesisir terhadap upaya pelestarian mangrove di Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai Desember 2008 di dua desa yang semuanya merupakan desa pantai yaitu Desa Tongke-Tongke dan Desa Panaikang, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai. Objek dalam penelitian ini adalah hutan mangrove dan masyarakat pesisir yang bertempat tinggal dan memiliki interaksi dengan mangrove. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning
System), kamera, altimeter, kuesioner dan alat tulis menulis. B. Pengumpulan Data Metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah dengan wawancara, penyebaran kuesioner, observasi lapangan dan studi literatur. Responden yang dijadikan objek penelitian adalah masyarakat (kepala rumah tangga). Penentuan jumlah unit contoh/responden pada setiap desa contoh menggunakan pendekatan metode purposive
random sampling sebanyak 25 responden/desa, jadi jumlah total responden di dua desa sebanyak 50 responden. Penetapan responden dilakukan dengan membaginya menjadi tiga kelompok besar (Heriyanto, et al., 2007) yaitu : 1. Informan kunci (key informants), yaitu para tokoh masyarakat yang diangkat secara formal atau informal (orang yang dituakan dan dihormati masyarakat) yang dianggap memahami segala informasi terkait dengan sejarah dan kegiatan masyarakat desa. 2. Informan kasus (case informants), yaitu masyarakat desa yang mempunyai pengalaman tertentu dengan mangrove, misalnya masyarakat yang pernah melakukan kegiatan rehabilitasi mangrove secara swadaya. 3. Informan lainya, yaitu masyarakat desa pesisir yang sehari-hari berinteraksi dengan mangrove dan dijumpai secara spontan (opportunity informants) selama pelaksanaan kegiatan. Data sekunder yang diperlukan berupa kondisi umum lokasi penelitian yang meliputi kondisi geografis, kependudukan serta data lain yang menunjang penelitian.
374 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Untuk melengkapi data dilakukan pula observasi lapangan terhadap kondisi masyarakat dan kondisi hutan mangrove secara umum sebagai cross check terhadap isian kuisioner. Data yang dicatat di antaranya kondisi umum hutan mangrove, tingkat interaksi masyarakat terhadap hutan mangrove dan ketergantungan masyarakat terhadap mangrove. C. Analisis Data Data hasil penelitian selanjutnya dianalisis secara kuantitatif menggunakan tabel frekuensi, kemudian dideskripsikan dan diinterpretasikan menggunakan analisis deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Situasi Umum Lokasi Penelitian Desa Tongke-Tongke merupakan desa yang diklasifikasikan termasuk dalam desa pantai karena lokasinya berada di pinggir pantai dengan total luasan mencapai 4,75 km2. Secara geografis lokasi penelitian berada pada titik 01° 97’ 68,9” LS dan 94° 30’ 19,2” BT. Secara keseluruhan Desa Tongke-Tongke berada pada dataran rendah dengan ketinggian 0 – 500 meter dari permukaan laut. Jarak dengan ibukota kecamatan 3 km, sedangkan jarak dengan ibukota kabupaten 5 km. Secara umum penduduk Desa Tongke-Tongke bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Rata-rata penduduk merupakan petani penggarap tambak. Luasan tambak di Desa Tongke-Tongke mencapai 534 ha dan merupakan desa dengan luasan tambak terluas di Kecamatan Sinjai Timur. Potensi panen dari perikanan tambak mencapai 61,15 ton/th dan dari ikan tangkapan laut mencapai 135 ton/th. Berdasarkan data dari BPS Kecamatan Sinjai Timur, penduduk Desa TongkeTongke pada tahun 2006 tercatat sebanyak 3.520 jiwa dengan perincian 1.736 laki-laki dan 1.784 perempuan dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 741 jiwa/km2. Kondisi mangrove di Desa Tongke-Tongke sangat bagus dan terpelihara dengan baik (BPS, Sinjai Timur, 2007). Desa Panaikang merupakan salah satu desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Sinjai Timur dengan total luasan mencapai 4,72 km2. Secara geografis lokasi penelitian berada pada titik 01° 98’ 01,6” LS dan 94° 25’ 59,0” BT. Secara umum topografi Desa Panaikang merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0 – 500 meter dari permukaan laut. Jarak dengan ibukota kecamatan 3 km, sedangkan jarak dengan ibokota kabupaten 6 km. Secara umum penduduk Desa Panaikang bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Rata-rata penduduk merupakan petani penggarap tambak. “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 375
Luasan tambak di Desa Panaikang mencapai 20,55 ha. Potensi panen dari perikanan tambak mencapai 3,85 ton/th dan dari ikan laut mencapai 130 ton/th. Berdasarkan data dari BPS Kecamatan Sinjai Timur, penduduk Desa Panaikang pada tahun 2006 tercatat sebanyak 1.804 jiwa dengan perincian 877 laki-laki dan 927 perempuan dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 382 jiwa/km2. Kondisi mangrove di desa Panaikang sangat baik dan merata. Tingkat keberhasilan rehabilitasi mangrove yang dilakukan dengan cara swadaya terbukti berhasil dengan baik walaupun kondisi tanahnya didominasi oleh pasir. Untuk lebih jelasnya kondisi umum Desa Tongke-Tongke dan Desa Panaikang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kondisi umum Desa Tongke-Tongke dan Desa Panaikang No.
Parameter 2
1. 2.
Luas Wilayah (km ) Letak Geografis
3. 4. 5. 6.
Jumlah Penduduk (jiwa) Mata Pencaharian Luasan Tambak (Ha) Potensi Perikanan Tambak (ton/th)
7.
Potensi Perikanan Laut (ton/th)
Desa Tongke-Tongke 4,75 01° 97’ 68,9” LS 94° 30’ 19,2” BT 3.520 Petani dan nelayan 534
4,72 01° 98’ 01,6” LS 94° 25’ 59,0” BT 1.804 Petani dan nelayan 20,55
61,15 135
3,85 130
Desa Panaikang
B. Komposisi Umur Kepala Rumah Tangga Berdasarkan Angkatan Kerja Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi umur sebagian besar kepala rumah tangga responden di Desa Tongke-Tongke dan Desa Panaikang, berdasarkan kelas umur angkatan kerja tergolong ke dalam umur produktif (15-64 tahun). Persentase kepala rumah tangga yang tergolong ke dalam umur produktif di dua desa tersebut mencapai 80% dan 20% termasuk dalam non produktif (tua) sedangkan kepala rumah tangga yang termasuk ke dalam umur non produktif (muda) tidak ada. Ini menunjukkan bahwa kepala rumah tangga di kedua desa tersebut merupakan angkatan kerja yang dapat bekerja dengan tenaga optimal. Distribusi umur responden berdasarkan kelas umur angkatan kerja tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Distribusi umur responden berdasarkan kelas umur angkatan kerja
No. 1. 2.
Desa Tongke-Tongke Panaikang Jumlah
Kelas Non produktif muda (<15 th) ∑ % -
umur angkatan kerja Produktif Non prduktif tua (15-64 th) (>64 th) ∑ % ∑ % 18 72 7 28 22 88 3 12 40 80 10 20
Keterangan : ∑ = Jumlah responden 376 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Jumlah ∑ 25 25 50
% 100 100 100
C. Jumlah Anggota Keluarga Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga di dua desa tersebut sebagian besar tergolong dalam kelas sedang (jumlah anggota keluarga 5-7 orang) dengan persentase mencapai 56%, rumah tangga kecil (2-4 orang) sebesar 32% dan rumah tangga besar (lebih dari 7 orang) sebesar 12%. Dengan komposisi jumlah anggota keluarga yang mencapai 5-7 orang berarti masing-masing keluarga mempunyai anak berjumlah 3-5 orang. hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat desa belum menerapkan program pemerintah dalam rangka mewujudkan keluarga berencana. Distribusi responden berdasarkan jumlah anggota rumah tangga tercantum pada Tabel 3. Tabel 3. Distribusi reponden berdasarkan jumlah anggota keluarga Jumlah anggota rumah tangga (orang) Jumlah No.
Desa
Kecil (2-4)
Sedang (5-7)
Besar (>7)
∑
%
∑
%
∑
%
∑
%
1.
Tongke-Tongke
7
28
14
56
4
16
25
100
2.
Panaikang
9
36
14
56
2
8
25
100
Jumlah
16
32
28
56
6
12
50
100
bahwa
tingkat pendapatan
Keterangan : ∑ = Jumlah responden D. Tingkat Pendapatan Hasil
penelitian
menunjukkan
sebagian
besar
masyarakat di dua desa tergolong rendah yaitu di bawah Rp 625.287,-/bulan dengan persentase sebesar 76%, 8% tergolong dalam pendapatan sedang yaitu antara Rp.625.287,- sampai Rp.798.201,-/bulan, dan 16% termasuk dalam keluarga dengan pendapatan
tinggi
yaitu di
atas
Rp.798.201,-/bulan.
Jika
dibandingkan
dengan
pendapatan perkapita bruto masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2006 sebesar Rp 665.196,-/bulan (BPS Provinsi Sulawesi Selatan, 2009), pendapatan rata-rata masyarakat di dua desa tersebut masih di bawahnya. Dengan kondisi demikian perlu lebih ditingkatkan lagi program-program pengentasan kemiskinan oleh pemerintah maupun pihak terkait agar tingkat kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai
nelayan
semakin
meningkat.
Distribusi
responden
berdasarkan
tingkat
pendapatan disajikan pada Tabel 4.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 377
Tabel 4. Distribusi reponden berdasarkan tingkat pendapatan
No.
1. 2.
Desa
Tongke-Tongke Panaikang Jumlah
Keterangan : E.
Rendah (
Tingkat pendapatan Sedang ( Rp625.287,- s/d Rp798.201,-)/bulan ∑ % 2 8 2 8 4 8
Tinggi (> Rp798.201,-) /bulan ∑ % 4 16 4 16 8 16
Jumlah ∑ 25 25 50
% 100 100 100
∑ = Jumlah responden
Jarak Tempat Tinggal dari Kawasan Mangrove Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak tempat tinggal sebagian besar
masyarakat Desa Panaikang dan Desa Tongke-Tongke ke kawasan mangrove tergolong dekat (< 100 m) yaitu sebesar 70%, yang tergolong sedang (100-200 m) sebesar 26% dan yang tergolong jauh (>200 m) sebesar 4%. Untuk responden di Desa Tongke-Tongke tidak ada satupun yang tergolong dalam jarak jauh. Jarak terdekat antara rumah dengan mangrove adalah 10 m, sedang jarak terjauhnya adalah 500 m. Interaksi masyarakat terhadap mangrove cukup kuat dengan semakin dekatnya jarak rumah dengan mangrove, oleh karena itu perlu adanya aturan yang mengatur interaksi masyarakat dengan mangrove agar tidak terjadi kerusakan terhadap mangrove. Distribusi responden berdasarkan jarak dari tempat tinggal (rumah) ke kawasan mangrove disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. Distribusi reponden berdasarkan jarak tempat tinggal ke lokasi mangrove
No. 1. 2.
Desa Tongke-Tongke Panaikang Jumlah
Keterangan : F.
Jarak tempat tinggal dari mangrove Dekat Sedang Jauh (< 100 m) (100-200 m) (>200 m) ∑ % ∑ % ∑ % 18 72 7 28 17 68 6 24 2 8 35 70 13 26 2 4
Jumlah ∑ 25 25 50
% 100 100 100
∑ = Jumlah responden
Pemanfaatan Mangrove untuk Kayu Bakar Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di kedua desa menggunakan
kayu mangrove untuk mencukupi kebutuhan akan energi untuk memasak. Pemanfaatan kayu mangrove sebagai bahan bakar untuk memasak terutama Rhizophora sp memiliki kualitas yang baik, karena memiliki nilai kalor yang cukup tinggi yaitu 4.000–4.300 Kkal/kg (Hilal dan Syaffriadi, 1997). Kayu yang diambil untuk kayu bakar merupakan
378 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
cabang/ranting dari pohon mangrove yang sebagian besar dari jenis Rhizopora mucronata. Selain untuk mencukupi kebutuhan sendiri, mayarakat mengambil kayu bakar dari hutan mangrove untuk dijual. Harga kayu bakar di pasar lokal mencapai Rp 3.000,-/ikat, dengan bobot per ikat sekitar 3 kg atau volumenya sekitar 0,2 m3. Dari data yang tercantum pada tabel 6 menunjukkan bahwa tingkat kebutuhan kayu bakar per hari tergolong rendah (1-2 ikat) dengan persentase 66%, sedangkan pada tingkat sedang (3-4 ikat/hari) persentasenya 26%, dan kebutuhan kayu bakar tinggi (>4 ikat/hari) sebesar 8%. Frekuensi pengambilan kayu bakar yang dilakukan oleh penduduk menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat sering mengambil kayu bakar di hutan mangrove dengan persentase mencapai 80%. Rata-rata masyarakat mengambil kayu bakar sekali/minggu. Sedangkan yang termasuk dalam kategori jarang (dua kali/minggu) sebesar 18% dan yang tidak pernah mengambil kayu bakar 2%. Jumlah pengambilan kayu bakar untuk sekali pengambilan, sebanyak 64% responden termasuk dalam kelompok sedikit (< 7 ikat), 20% responden termasuk dalam kategori sedang (7-10 ikat), 14% responden termasuk dalam kategori banyak (> 10 ikat). Hasil penelitian mengenai bentuk pemanfaatan mangrove sebagai kayu bakar oleh masyarakat Desa Tongke-Tongke dan Desa Panaikang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Distribusi reponden terhadap pemanfaatan mangrove untuk kayu bakar Desa No.
1.
2.
3.
Pemanfaatan mangrove untuk kayu bakar
Kebutuhan rata-rata kayu bakar per hari a) Tinggi (>4) ikat b) Sedang (3-4) ikat c) Rendah (1-2) ikat Frekuensi pengambilan kayu bakar a) Sering (often) b) Kadang-kadang (rare) c) Tidak pernah (none) Jumlah pengambilan kayu dari mangrove a) Banyak (>10) ikat b) Sedang (7-10) ikat c) Sedikit (< 7) ikat d) Tidak ada (none)
Keterangan :
Tongke-Tongke
Panaikang
Jumlah
∑
%
∑
%
∑
%
3 7 15
12 28 60
1 6 18
4 24 72
4 13 33
8 26 66
19 6 -
76 24 0
21 3 1
84 12 4
40 9 1
80 18 2
5 5 15 0
20 20 60 0
2 5 17 1
8 20 68 4
7 10 32 1
14 20 64 2
∑ = Jumlah responden
G. Tingkat Keterlibatan Masyarakat Terhadap Upaya Pelestarian Mangrove Hasil penelitian terhadap tingkat pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang manfaat mangrove menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat pemahaman berada pada tingkat sedang (62%). Pada pemahaman tingkat sedang ini, masyarakat
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 379
mampu menguraikan dua manfaat mangrove di antaranya adalah sebagai pelindung pantai dan penghasil kayu bakar. Sebanyak 26% responden termasuk dalam kategori tingkat pemahaman rendah yang hanya mampu menjelaskan satu manfaat mangrove yaitu sebagai penghasil kayu bakar, sedangkan 12% responden mempunyai tingkat pemahaman yang tinggi terhadap manfaat mangrove. Hasil penelitian terhadap frekuensi keterlibatan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat (78%) termasuk dalam golongan sedang ( terlibat sebanyak 1 sampai 4 kali), 14% termasuk dalam golongan sering (lebih dari 4 kali) dan 8% tidak pernah terlibat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove baik secara infividu maupun dengan bersama dengan lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Menurut Djamali (2004) untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove diperlukan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang mengandung arti, masyarakat langsung terlibat dalam mengelola hutan mangrove yaitu ikut memikirkan, memformulasikan, merencanakan, mengimplementasikan, mengevaluasi maupun memonitor pengelolaan hutan mangrove. Hasil penelitian terhadap bentuk-bentuk keterlibatan masyarakat dalam kegiatan rehabiltasi mangrove menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat (54%) melakukan kegiatan rehabilitasi mangrove dengan cara membentuk kelompok dan melakukan kegiatan rehabilitasi mangrove secara bersama-sama. Misalnya; Kelompok Pelestarian Sumberdaya Alam (KPSDA), kelompok pelestari mangrove ACI (Aku Cinta Indonesia) yang dibentuk di Desa Tongke-Tongke dengan jumlah anggota 117 kepala keluarga dan luas areal rehabilitasi 511,81 Ha. Menurut Kusumedi (2005) kelembagaan yang terbentuk di Desa Tongke-Tongke bersifat swadaya dan dibentuk dengan inisiatif masyarakat sendiri, dengan format organisasi yang modern, struktur kepengurusan dan elemen organisasi yang kompleks, lengkap dan tertata rapi, serta didukung pranata hukum formal, baik legislasinya maupun legimitasinya. Sebanyak 40% responden ikut terlibat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove secara swadaya dengan cara menanam mangrove di lahan-lahan sekitar rumah secara individu dan sebesar 6% masyarakat terlibat dalam kegiatan rehabilitasi dengan mengikuti program rehabilitasi yang dilakukan oleh pemerintah baik sebagai penyedia bibit maupun sebagai tenaga kerja kerja lapangan. Hasil penelitian mengenai sanksi yang berlaku di masyarakat jika dilakukan perusakan terhadap mangrove menunjukkan bahwa 48% responden menerapkan denda jika kedapatan secara sengaja merusak hutan mangrove. Bentuk denda yang berlaku berupa membayar uang sebesar Rp 50.000,- sampai Rp 100.000,- per batang tanaman
380 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
yang ditebang. Sebanyak 16% responden memilih untuk melaporkan pada pihak terkait dan sebesar 36% hanya mendiamkan saja jika melihat ada orang yang melakukan penebangan pohon mangrove. Melihat data hasil survei ini, pemerintah dan pihak terkait perlu lebih meningkatkan kegiatan penyuluhan terhadap masyarakat terutama pada masyarakat di Desa Panaikang berkaitan dengan sanksi yang berlaku menurut undangundang jika kedapatan dengan sengaja merusak mangrove. Hasil penelitian terhadap bentuk hambatan yang dihadapi masyarakat dalam upaya
merehabilitasi
mangrove
menunjukkan
bahwa
semua
responden
(100%)
menjawab bahwa hama merupakan hambatan utama dalam rehabilitasi mangrove. Hama yang paling dominan adalah hama tritip yang menempel pada batang mangrove. Hama ini akan membuat batang pohon mangrove lama-kelamaan akan menjadi rapuh dan tumbang. Distribusi responden terhadap upaya pelestarian mangrove di Desa TongkeTongke dan Desa Panaikang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Distribusi reponden terhadap pelestarian mangrove
No. 1.
2.
3.
4.
5.
Pelestarian mangrove
Desa Tongke-Tongke Panaikang ∑ % ∑ %
∑
%
12 44 44
6 31 13
12 62 26
2 21 2
8 84 8
7 39 4
14 78 8
32 12 56
19 0 6
76 0 24
27 3 20
54 6 40
5 18 2
20 72 8
3 6 16
12 24 64
8 24 18
16 48 36
25 0 0
100 0 0
25 0 0
100 0 0
50 0 0
100 0 0
Tingkat pemahaman masyarakat akan manfaat mangrove a) Tinggi (≥4 macam) b) Sedang (2-3 macam) c) Rendah (1 macam)
3 20 2
12 80 8
3 11 11
Frekuensi keterlibatan dalam kegiatan rehabilitasi mangrove a) Sering b) Sedang c) Tidak pernah
5 18 2
20 72 8
Bentuk keterlibatan masyarakat dalam pelestarian mangrove a) Membentuk kelompok b) Ikut dalam program rehabilitasi pemerintah c) Swadaya
8 3 14
Sanksi yang berlaku jika dilakukan perusakan terhadap mangrove a) Dilaporkan pihak terkait b) Didenda c) Tidak ada Bentuk hambatan dalam pelestarian mangrove a) Hama b) Ombak c) Hambatan lainnya
Keterangan :
Jumlah
∑ = Jumlah responden
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 381
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Bentuk-bentuk pemanfaatan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat pesisir di antaranya adalah sebagai penghasil kayu bakar, pelindung pantai dari hempasan ombak dan abrasi serta sebagai penghasil nener dan kepiting. Sebagian besar masyarakat memanfaatkan mangrove untuk kayu bakar dengan jumlah pengambilan rata-rata kurang dari 7 ikat (1,4 m3) per minggu. Tingkat pengetahuan masyarakat tentang manfaat mangrove umumnya dalam kategori sedang dan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove termasuk dalam kategori sedang. Sebagian besar masyarakat terlibat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove dengan cara membentuk kelompok (54%), sedangkan yang lainnya dilakukan secara individu (40%) dan 6% responden mengikuti program rehabilitasi yang dilakukan oleh pemerintah.
B. Saran Perlu adanya sosialisasi dan penyuluhan oleh pihak terkait baik dari pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tentang manfaat mangrove bagi masyarakat dan sosialisasi penggunaan sistem hukum formal maupun penegakan aturan yang ada dalam masyarakat berkaitan dengan sanksi yang berlaku jika kedapatan dengan sengaja merusak mangrove. Perlunya pendampingan kelembagaan secara berkelanjutan dari pihak pemerintah, dan pembentukan kelompok-kelompok pelestarian mangrove di desa-desa pesisir lainnya. Hambatan utama yang dihadapi masyarakat dalam pelestarian mangrove berupa hama tritip, oleh karena itu perlu adanya sosialisasi pengetahuan tentang pencegahan dan pemberantasan hama tritip. DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2008) 70 Persen Hutan Mangrove di Indonesia Rusak. www.beritasore.com diakses tanggal 18 Juni 2008. BPS Sinjai Timur. (2007). Sinjai Timur dalam Angka Tahun 2007. Sinjai: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan. BPS Provinsi Sulawesi Selatan. (2009). Tabel PDRB Perkapita Provinsi Sulawesi Selatan (Rupiah) 2000-2006. BPS Provinsi Sulawesi Selatan. www.sulsel.bps.go.id diakses tanggal 20 Juni 2009. Bengen, D. (1999). Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosiistem Mangrove. Bogor: PKSPL, Institut Pertanian Bogor. 382 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Djamali, A.R. (2004). Persepsi Masyarakat Desa Pantai Terhadap Kelestarian Hutan Mangrove (Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hilal, H., dan Syaffriadi. (1997). Pemanfaatan Sumber Energi untuk Mendukung Pembangunan berkelanjutan. Jurnal Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung, 1(2), 11-16. Heriyanto, N. M., I. Samsoedin., & E.M. Anggi. (2007). Kajian Pola Pemanfaatan, Pengembangan dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Info Hutan, 4 (1), 151-162. Kusmana, C., Sri, W., Iwan, H., Prijanto, P., Cahyo, W., Tatang, T., Adi, T., Yunasfi., & Hamzah. (2003). Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kusumedi, P. (2005). Kajian Kelembagaan Mangrove dengan Pendekatan Sosial Budaya Setempat. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 2 (1), 89-101. Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea” | 383
PERBANYAKAN POHON PENGHASIL GAHARU Gyrinops vestegii (GILG) DOMKE SECARA VEGETATIF MIKRO Nursyamsi1 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16 Makassar. Telp. (0411) 554049, Fax (0411) 554058 Email :
[email protected]
ABSTRAK Gyrinops vesteegii (Gilg) Domke adalah salah satu jenis pohon penghasil gaharu yang dieksploitasi oleh pemburu gaharu tanpa memerhatikan kelestariannya. Populasi pohon penghasil gaharu semakin berkurang di hutan alam, sehingga dalam Appendix II CITES di masukkan sebagai pohon langkah. Untuk menjaga kelestariannya perlu upaya konservasi dan budidaya di hutan rakyat atau hutan tanaman. Jenis pohon ini dapat diperbanyak secara generatif maupun vegetatif. Perbanyakan secara vegetatif dengan teknik vegetatif mikro atau kultur jaringan, dapat dilakukan karena memilki kelebihan, di antaranya turunannya sama dengan sifat pohon induknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara peletakan inokulum dan konsentrasi Benzyl Amino Purin (BAP) yang tepat dalam pembentukan tunas pohon penghasil gaharu. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap yang dianalisis secara faktorial. Faktor I adalah cara peletakan inokulum (vertikal, horizontal dengan inokulum tidak dibelah, horizontal dengan inokulum dibelah). Faktor II adalah konsentrasi BAP yaitu 1 mg/l, 2 mg/l dan 3 mg/l. Parameter yang diamati adalah kecepatan pembentukan tunas, jumlah tunas dan tinggi tunas. Hasil yang diperoleh adalah perlakuan inokulum yang diletakkan horizontal tidak dibelah pada media BAP 3 mg/l menghasilkan rata-rata jumlah tunas yang terbanyak yaitu 6,85 tunas dengan rata-rata tinggi tunas 5,70 cm.
Kata Kunci : Gyrinops vesteegii (Gilg) Domke, vegetatif mikro, kultur jaringan
I. PENDAHULUAN Gaharu merupakan salah satu produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang berpotensi dan bernilai komersial tinggi. Gaharu dalam perdagangan internasional dikenal dengan nama agarwood, aloewood, atau eaglewood. Jenis pohon penghasil gaharu antara lain adalah Aquilaria spp., Aetoxylon sympetallum, Gyrinops, dan Gonystylus. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, maka produk gaharu dapat dimanfaatkan sebagai bahan parfum, kosmetik, dan aroma terapi, bahan obat-obatan herbal, untuk pengobatan penyakit, stress, rematik, radang ginjal dan lambung, antibiotik TBC, kanker, tumor serta malaria (Sumarna, 2008). Permintaan produk gaharu semakin tinggi menyebabkan harganya menjadi mahal. Menurut Siran (2010), harga produk gaharu kualitas Super di pasaran lokal Samarinda, Tarakan, dan Nunukan, Kalimantan Timur mencapai Rp. 40.000.000,- s/d Rp. 50.000.000,-/kg. Kualitas Tanggung seharga Rp. 20.000.000/kg-, kualitas Kacangan 1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
384 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
dengan harga Rp.15.000.000/kg, kualitas Teri seharga Rp.10.000.000- Rp.14.000.000,/kg, kualitas Kemedangan seharga Rp.1.000.000- Rp.4.000.000/kg), dan kelas Suloan seharga Rp.75.000/kg. Akibat permintaan produk gaharu semakin tinggi dan harga mahal, menyebabkan eksploitasi dan perburuan gaharu di hutan alam tidak terkendali, sehingga jenis ini akan ternacam punah. Hal ini menyebabkan jenis gaharu dimasukkan dalam
Appendix II CITES (Santoso et al., 2007). Untuk melestarian jenis pohon penghasil gaharu, perlu upaya konservasi dan dibudidayakan dalam bentuk perkebunan atau hutan tanaman rakyat. Budidaya pohon penghasil gaharu perlu input teknologi agar pertumbuhan dan produksi gaharu dapat berhasil. Teknologi yang dapat diaplikasikan adalah teknik perbanyakan tanaman dan rekayasa atau inokulasi gaharu. Perbanyakan bibit tanaman gaharu dapat dilakukan secara generatif atau vegetatif. Perbanyakan tanaman secara generatif melalui biji, cara ini memiliki kelemahan karena kadang ketersediaan biji yang kurang memadai dan termasuk biji rekalsitran (Hou, 1960). Biji rekalsitran sifatnya cepat berkecambah dan tidak dapat disimpan dalam jangka panjang (Roberts and King, 1980). Perbanyakan tanaman gaharu dapat dilakukan secara vegetatif melalui stek batang, stek pucuk, cangkok dan kultur jaringan (Taringan 2004). Menurut Jayusman (2005), perbanyakan gaharu melalui stek pucuk, persen tumbuhnya mencapai
63,9%
sedangkan melalui stek batang keberhasilannya hanya 27,8%. Perbanyakan vegetatif mikro atau kultur jaringan dapat dipilih untuk perbanyakan tanaman gaharu. Keuntungan perbanyakan secara kultur jaringan adalah menghasilkan bibit dalam skala besar dalam jangka waktu yang relatif cepat, mempunyai sifat yang sama dengan induknya, homogen, juga dapat mempertahankan materi genetik dari suatu spesies tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara peletakan inokulum dan konsentrasi BAP yang tepat untuk pembentukan tunas gaharu.
II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Peralatan Penelitian Bahan yang digunakan adalah inokulum, alkohol, spiritus, aquades, agar-agar, BAP (Benzyl Amino Purin), unsur hara makro dan mikro, sukrosa, Dithane M 45, NaOH 0,1 N dan HCl 0,1 N. Peralatan yang dipakai adalah botol kultur, autoklaf, pH meter dan peralatan laboratorium lainnya. “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
385
B. Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan pada percobaan ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang dianalisis secara faktorial, faktor I adalah cara peletakan Inokulum sebagai berikut : C1 = Vertikal C2 = Horisontal (inokulum tidak dibelah) C3 = Horisontal (batang inokulum dibelah) Faktor II adalah konsentrasi BAP, sebagai berikut : B1 = 1 mg/l B2 = 2 mg/l B3 = 3 mg/l Terdapat 9 kombinasi perlakuan dan setiap perlakuan diulang 20 kali sehingga ada 180 botol yang digunakan. Parameter yang diamati adalah kecepatan pembentukan tunas, jumlah tunas dan tinggi tunas. C. Analisa Data Data hasil pengamatan ditabulasi, kemudian dilakukan analisis sidik ragam dari Rancangan Acak Lengkap secara faktorial. Dari hasil analisis apabila berbeda nyata pada uji F akan dilanjutkan dengan uji Duncan. D. Pelaksanaan Kegiatan Alat-alat seperti, pinset, skalpel, petridish, botol kultur dan gunting sebelum digunakan terlebih dulu disterilisasi. Alat–alat tersebut dicuci bersih dengan detergen, dikeringanginkan dan dibungkus dengan kertas (kecuali botol kultur) kemudian di masukkan ke dalam autoklaf pada suhu 121 ºC dengan tekanan 17,5 Psi selama 1 jam. Apabila alat-alat tidak langsung digunakan dapat disimpan di oven 70ºC. Laminar air flow
cabinet terlebih dulu dibersihkan dengan alkohol 70% dan dinyalakan lampu ultra violetnya 1 jam sebelum dipakai. Persiapan media meliputi pembuatan stock Murashige dan Skoog (MS) sebagai media dasar. Media dasar tersebut diramu dengan menambahkan 8 gram agar-agar perliter media, sukrosa 30 g/l dan zat pengatur tumbuh BAP sesuai konsentrasi yang telah ditentukan sebagai perlakuan. Bahan media tersebut dimasak lalu dimasukkan ke dalam botol pengamatan kemudian disterilkan dalam autoklaf pada tekanan 15 Psi selama 20 menit. Setelah dikeluarkan dari autoklaf, botol yang berisi media perlakuan disimpan di 386 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
ruang inkubasi dan dibiarkan hingga dingin sampai media mengeras. Inokulum dipotongpotong dalam Laminar Air Flow Cabinet sesuai dengan perlakuan yaitu : - Vertikal
= Inokulum dipotong-potong permata tunas ditanam ke media perlakuan secara vertikal.
- Horisontal (tidak dibelah)
= Inokulum dipotong-potong permata tunas, batangnya. tidak dibelah dan ditanam pada media perlakuan secara horisontal.
- Horisontal (dibelah)
= Inokulum dipotong-potong permata tunas, batangnya dibelah
dua
kemudian
setiap
potongan
yang
mempunyai mata tunas ditanam pada media perlakuan secara horisontal.
Semua botol yang telah ditanami inokulum disimpan dalam ruang inkubasi untuk diamati pertumbuhannya. Pengamatan dilakukan selama 3 bulan.
C2
C3
C1 C
Gambar 1. Sumber inokulum (C), inokulum ditanam secara vertikal (C1), inokulum ditanam secara horisontal tidak dibelah (C2), inokulum ditanam secara horisontal dengan batang dibelah (C3).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kecepatan Pembentukan Tunas Hasil analisis sidik ragam yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa interaksi perlakuan antara konsentrasi BAP (B) dan Cara Peletakan Inokulum (C) berpengaruh
sangat
nyata
terhadap
kecepatan
pembentukan
tunas.
Untuk
membandingkan antara perlakuan dilakukan uji Duncan yang disajikan pada Tabel 2. “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
387
Tabel 1. Analisis Sidik Ragam Kecepatan Pembentukan Tunas (Hari) Sumber Variasi Perlakuan Konsentrasi BAP (B) Cara Peletakan Inokulum (C) BxC Error Jumlah Total
db 8 2 2 4 171 179
JK 562.800 65.433
KT 70.350 32.717
F Hit 46.736 ** 21.735 **
440.033 57.333 257.400 820.200
220.017 14.333 1.505
146.165 ** 9.522 **
F. Tabel 0,686
Keterangan : ** Berbeda sangat nyata pada taraf uji 0,01
Tabel 2. Hasil Uji Duncan Interaksi Perlakuan antara Konsentrasi BAP (B) dan Cara Peletakan Inokulum (C) terhadap Kecepatan Pembentukan Tunas (hari) No.
Perlakuan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
B3C3 B2C3 B1C3 B2C2 B3C2 B3C1 B1C2 B1C1 B2C1
Rata-rata Kecepatan pembentukan tunas 3,90 5,00 5,80 5,95 6,95 7,85 8,35 8,90 9,45
Keterangan a b c c d e ef fg g
Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%
Hasil uji Duncan yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan BAP dengan konsentrasi 3,0 mg/l dan inokulum yang diletakkan secara horizontal batangnya dibelah (B3C3) membentuk tunas paling cepat yaitu rata-rata 3,90 hari, dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan konsentrasi BAP mempengaruhi kecepatan pembentukan tunas. Selain itu, cara peletakan inokulum juga memengaruhi kecepatan pembentukan tunas. Cara peletakan inokulum yang terbaik adalah secara horizontal dengan batang dibelah. Inokulum yang dibelah mempunyai luas bidang sentuhan dengan media lebih luas sehingga semakin cepat dan banyak unsurunsur hara yang terdapat dalam media yang terserap. Hal ini menyebabkan pembentukan tunas lebih cepat dibandingkan perlakuan yang lain. Tunas gyrinops vestegii yang terbentuk pada penelitian ini lebih cepat dibanding hasil penelitian yang dilakukan oleh Kosmiatin dkk (2005), bahwa penggunaan media yang ditambahkan 3,0 mg/l BA pada eksplan kotiledon gaharu dapat membentuk tunas rata-rata 8,07 hari. Selanjutnya pada kultur jaringan bitti dengan menggunakan media yang ditambahkan 3,0 ppm BAP dapat membentuk tunas pada hari ke 8 (Suhartati, 2006). Perlakuan yang paling lambat membentuk tunas yaitu inokulum yang diletakkan secara vertikal. Tunas baru terbentuk pada hari ke 9,45 setelah tanam. Hal ini disebabkan luas bidang sentuh antara inokulum dengan medium lebih kecil sehingga unsur-unsur 388 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
hara yang terserap sedikit. Penyerapan unsur hara yang sedikit menyebabkan lambatnya pembentukan tunas yang terjadi. B. Jumlah Tunas Hasil analisis sidik ragam yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan interaksi perlakuan antara konsentrasi BAP (B) dan cara peletakan inokulum (C) berbeda sangat nyata terhadap jumlah tunas yang terbentuk. Hasil uji Duncan interaksi perlakuan antara konsentrasi BAP (B) dan cara peletakan inokulum (C) disajikan pada Tabel 4. Tabel 3. Analisis Sidik Ragam Jumlah Tunas Gaharu Sumber Variasi Perlakuan Konsentrasi BAP (B) Cara Peletakan Inokulum (C) BxC Error Jumlah Total
Db 8 2
JK 314.478 38.211
KT 39.310 19.106
F Hit 19.145** 9.305**
2 4 171 179
205.078 71.189 351.100 665.578
102.539 17.797 2.053
49.941** 8.668**
F. Tabel 0,472
Keterangan : ** berbeda sangat nyata pada taraf uji 0,01
Tabel 4. Hasil Uji Duncan Interaksi Perlakuan antara Konsentrasi BAP (B) dan Cara Peletakan Inokulum (C) Terhadap Jumlah Tunas yang Terbentuk No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Perlakuan B1C1 B2C1 B3C3 B3C1 B1C3 B1C2 B2C2 B2C2 B3C2
Rata-rata Jumlah tunas 2,15 2,65 2,90 2,95 2,95 3,50 3,90 4,45 6,85
Keterangan a ab ab abc abc bc cd d e
Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%
Pada Tabel 4 di atas menunjukkan perlakuan konsentrasi 3,0 mg/l BAP dan inokulum yang diletakkan secara horisontal batang tidak dibelah (B3C2) menghasilkan jumlah tunas yang terbanyak dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada Tabel 4 ini juga nampak semakin tinggi konsentrasi BAP yang digunakan dalam media pada inokulum yang diletakkan secara horisontal tidak dibelah, maka akan menghasilkan jumlah tunas yang terbentuk semakin banyak. Inokulum yang diletakkan secara horisontal tidak dibelah (C2) dapat membentuk tunas yang lebih banyak, hal ini karena pada inokulum tersebut tidak dilakukan pembelahan atau pelukaan sehingga pembentukan tunas tidak terganggu karena adanya pelukaan tersebut. Meskipun pada awalnya perlakuan B3C3 lebih cepat bertunas tetapi jumlah tunas yang terbentuk sedikit daripada inokulum yang ditanam secara horisontal batang tidak dibelah (C2).
Menurut
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
389
Kumanek et al, 1997 dalam Yelnititis et. al. (2005), banyaknya sel dan jaringan tanaman tergantung pada sitokinin bila dikulturkan secara in vitro. Jumlah tunas yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu rata-rata 6,85 tunas, lebih tinggi dibandingkan jumlah tunas yang dihasilkan pada penelitian kultur jaringan gaharu dengan jenis yang sama tetapi ditanam pada media dengan konsentrasi BAP 0,25 mg/l yaitu 4,70 tunas (Nursyamsi dan Suhartati, 2007). Hasil penelitian pada pohon penghasil gaharu dengan jenis yang lain yaitu Aquilaria malaccensis Lank telah dilakukan oleh Kosmiatin dkk (2005), gaharu jenis ini mempunyai rata-rata jumlah tunas yaitu 3,0. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Azwin dkk (2006) pada pohon penghasil gaharu dengan jenis yang sama menggunakan tunas aksilar yang ditanam pada media MS yang mengandung hormon BAP 0,25 mg/l yaitu 5,67 tunas. C. Tinggi Tunas Tinggi tunas merupakan parameter yang sering digunakan untuk mengukur pertumbuhan karena mudah diamati. Pertumbuhan tinggi tunas adalah pertumbuhan akibat pembelahan sel terutama pada bagian pucuk sebagai salah satu titik tumbuh primer. Hasil sidik ragam parameter tinggi tunas (cm) disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Analisis Sidik Ragam Tinggi Tunas (cm) Inokulum Gaharu Sumber variasi Perlakuan B C BxC Error Jumlah Total
Db 8 2 2 4 171 179
Jk 351.398 164.373 90.286 96.739 247.140 598.784
Kt 43.925 82.187 45.143 24.185 1.447
F Hit 30.362** 56.810** 31.204** 16.717**
F Tabel 0,587
Keterangan : ** berbeda sangat nyata pada taraf uji 0,01
Dari hasil sidik ragam pada Tabel 5 nampak interaksi perlakuan konsentrasi BAP (B) dan Cara Peletakan Inokulum (C) berbeda sangat nyata. Begitu pula faktor tunggal konsentrasi BAP (B) dan Cara Peletakan Inokulum (C) berbeda sangat nyata. Untuk membandingkan antara perlakuan maka dilakukan uji Duncan yang disajikan pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Hasil Uji Duncan Interaksi Perlakuan antara Konsentrasi BAP (B) dan Cara Peletakan Inokulum (C) terhadap Tinggi Tunas (cm). No.
Perlakuan
Rata-rata Tinggi tunas (cm)
Keterangan
1.
B1C3
1,66
a
2.
B1C2
1,85
ab
3.
B3C1
2,02
ab
390 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
No.
Perlakuan
Rata-rata Tinggi tunas (cm)
Keterangan
4.
B2C2
2,39
abc
5.
B3C3
2,42
abc
6.
B2C3
2,53
bc
7.
B2C1
2,78
c
8.
B1C1
5,21
d
9.
B3C2
5,7
d
Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%
Hasil Uji Duncan yang disajikan dalam Tabel 6 menunjukkan interaksi antara konsentrasi BAP 3,0 mg/l dan inokulum yang diletakkan secara horizontal batang tidak dibelah (B3C2) menghasilkan tinggi tunas yang paling tinggi dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan B1C1 (konsentrasi 1,0 mg/l BAP dan inokulum diletakan secara vertikal). Pada perlakuan B1C1 ini jumlah tunas yang terbentuk paling sedikit sehingga unsur hara dan zat pengatur tumbuh BAP lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan tinggi tanaman. Sedangkan pada perlakuan B3C2 selain jumlah tunasnya lebih banyak juga menghasilkan tinggi tanaman yang tertinggi. Menurut Pastur dan Arena (1999), konsentrasi BAP mempunyai pengaruh yang nyata terhadap jumlah dan tinggi tunas aksilar, jumlah daun dan tingkat multiplikasi tunas. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan tinggi tunas lebih tinggi dibandingkan penelitian kultur jaringan gaharu (Aquilaria malaccensis Lank) yaitu tinggi tunas rata-rata 1,59 cm pada media 3,0 mg/l BA (Kosmiatin dkk, 2005). Selanjutnya pada panelitian kultur jaringan bitti (Vitex sp), dihasilkan tinggi tunas rata-rata 4,54 cm, pada media yang ditambahkan 3,0 mg/l BAP (Suhartati, 2006).
IV. KESIMPULAN Inokulum gaharu yang ditanam pada komposisi media B3C3 (konsentrasi 3,0mg/l BAP dan
inokulum
yang diletakkan secara
horizontal
dengan
batang
dibelah)
menunjukkan waktu bertunas paling cepat yaitu rata-rata 3,90 hari. Jumlah tunas yang terbanyak diperoleh pada perlakuan komposisi media B3C2 (konsentrasi 3,0 mg/l BAP dan inokulum diletakkan secara horisontal tidak dibelah) menghasilkan jumlah tunas yang terbanyak yaitu 6,85 tunas dengan tinggi 5,70 cm.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
391
DAFTAR PUSTAKA
Azwin, I., Z.Siregar dan Supriyanto. (2006). Penggunaan BAP dan TDZ untuk perbanyakan tanaman gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hou, D. (1960). Thymelaceae. In : Flora Malesiana (Van Steenis, C.G.G.J., ed). Series I, Vol. 6. p. 1-15. Walter-Noodhoff, Groningen. The Netherland. Jayusman. (2005). Perbanyakan Gaharu Melalui Stek. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 2 (3), 117-124. Kosmiatin, M. Ali Husni dan Ika Mariska. (2005). Perkecambahan dan Perbanyakan Gaharu secara In Vitro. Jurnal Agro Biogen, 1 (2), 62-67. Nursyamsi dan Suhartati. (2007). Pengaruh Konsentrasi hormon BAP terhadap perbanyakan tanaman gaharu Gyrinops vesteegii Domke) secara kultur jaringan. Jurnal penelitian Hutan Tanaman, 4 (1), 199-204. Pastur, G.J.M and M.E. Arena. (1999). In vitro Propagation of Juvenil Nothofagus Leoni Espinosa (Fagaceae). Jurnal Forestry Research. No.4, 295-298. Santoso, E., A. W. Gunawan, dan M. Turjaman. (2007). Kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Bibit Tanaman Penghasil Gaharu Aquilaria microcarpa. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 4 (5), 499-509. Siran, A.S. (2010). Perkembangan pemanfaatan Gaharu. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Suhartati. (2006). Teknik Pembibitan Bitti (Viti cofassus Reinw) Secara Kultur Jaringan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 3 (2), 165-176. Sumarna, Y. (2008). Teknik Perbanyakan Tumbuhan Karas (Aquilaria malaccensis Lamk) dengan Teknik Stek Pucuk. Info Hutan, 5 (1), 79-87. Tarigan, K. (2004). Profil Pengusahaan (Budidaya) Gaharu. Jakarta: Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan, Departemen Kehutanan.
392 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
LAMPIRAN Lampiran 1.
Gambar 2. Sumber inokulum.
C1
C2
C3
Gambar 3. Pertumbuhan tanaman pada berbagai cara peletakan : Inokulum diletakkan vertikal (C1), Inokulum diletakkan secara horisontal, batang tidak dibelah (C2), Inokulum diletakkan secara horisontal, batang dibelah (C3).
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
393
Lampiran 2. STOCK MEDIA MS ( ¼ LITER ) STOCK A
GRAM
NH4NO4
8,25
KNO3
9,5
MgSO4
1,85
KH2BO4
0,85
H3BO3
0,031
MnSO4
0,1115
ZnSO4
0,043
KI
0,00425
Na2MoO2
0,00125
CuSO4
0,000125
CoCl
0,000125
50
ml
/L
/
L
STOCK B CaCl
2,2
50
ml
STOCK C Na2EDTA
0,187
FeSO4
0,139
50
ml
/
L
50
ml
/L
25
ml
/L
STOCK D Myo Inositol
0,5
STOCK E Pyridoxine
0,005
Thiamine
0,001
Nicotinic acid
0,005
394 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
SUSUNAN ACARA EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN 2012
WAKTU
ACARA
PETUGAS
07.30-08.30
Registrasi
Panitia/MC
08.30-08.40
Pembukaan Acara
MC
08.40-08.50
Laporan Kepala Balai
Kepala BPK Makassar
08.50-09.05
Sambutan Selamat Datang
Kepala Dishut Prov. Sulsel
09.05-09.35
Arahan Kepala Badan Litbanghut / Pembukaan
Dr. Ir. R. Iman Santoso, M.Sc
09.35-09.45
Pembacaan Doa
Muh. Saad, S.Hut.
09.45-10.00
Rehat Kopi
MC
10.00-10.15
Makalah 1 : Peningkatan Modal Sosial Kelompok Tani Hutan yang Berkelanjutan
Drs. Bugi Kabul Sumirat
10.15-10.30
Makalah 2 : Produksi Nira Nipah dan Diversifikasi Pemanfaatannya sebagai Bahan Baku Pengolahan Produk Nata Fruticans dan Pengembang Adonan Roti
Ir. Mody Lempang, M.Si.
10.30-10.45
Makalah 3 : Inovasi Teknologi Rekayasa Produksi Gaharu
Ir. Sentot Adisasmuko
10.45-11.00
Makalah 4 : Konservasi Ex Situ dalam rangka Pelestarian Eboni (Diospyros celebica Bakh)
Ir. Merryana Kiding Allo
11.00-12.30
Diskusi
Moderator (Kapuslitbang Konservasi & Rehabilitasi)
12.30-13.30
Ishoma
MC/Panitia
13.30-13.45
Makalah 5 : Perencanaan dan Rehabilitasi Mangrove di Takalar
Mr. Benyamin Brown
13.45-14.00
Makalah 6 : Biodiversitas Mangrove : Pemanfaatan Keanekaragaman Mangrove dalam Rehabilitasi sebagai Upaya Pelestarian JenisJenis Mangrove
Ir. Halidah, M.Sc.
14.00-14.15
Makalah 7 : Pengelolaan DAS
Dr. Ir. Usman Arsyad, MS
14.15-14.30
Makalah 8 : Optimalisasi Luas Hutan Terhadap Tata Air : Karakteristik Biofisik DAS Kelara, Sulawesi Selatan
Hasnawir, S.Hut., M.Sc., Ph.D.
14.30-16.00
Diskusi
Moderator (Dekan Fakultas Kehutanan Unhas)
16.00-16.15
Rehat Kopi
MC/Panitia
16.15-16.25
Pembacaan Rumusan
Ir. M. Kudeng S., M.Sc.
16.25-16.30
Penutupan
Kabadan/Kapus
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
395
SUSUNAN PANITIA EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN 2012 Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Makassar Nomor SK.37/VIII/BPKM-1/2012, susunan kepanitiaan Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2012, adalah sebagai berikut : JABATAN DALAM KEPANITIAAN
NAMA
Pengarah
Kepala Balai Penelitian Kehutanan Makassar
Penanggungjawab
Kepala Seksi Data, Informasi dan Kerjasama
Ketua
Drs. Baharuddin
Sekretaris I
Zainuddin, S.Hut
Sekretaris II
Arman Suarman
Bendahara I
Asmariani K, S.E
Bendahara II
Jumain
Seksi – seksi : Materi dan Persidangan
Ir. Achmad Rizal HB, M.T Ir. Suhartati, M.P Ir. Hermin Tikupadang, M.P Masrum Haris Said
Konsumsi
Ir. Sahara Nompo Kasmawati, S.Kom Armiati, S.E I Nyoman Armaya
Akomodasi dan Transportasi
Drs. Ansar Sumadi, S.E Rachman Syarifuddin Sumang
Umum, Perlengkapan dan
Ir. Turbani Munda
Dokumentasi
Mardiansyah, S.E Tony Widianto, S.Hut., M.T., M.Sc Amrullah H, S.E Syamsiah
396 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
DAFTAR HADIR PESERTA EKSPOSE BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MAKASSAR TANGGAL 28 JUNI 2012
NO.
NAMA
INSTANSI
1.
A. Birana
Dishutbun Gowa
2.
A. Gusti Ronting
Bakorluh Sul-Sel
3.
A. M. Said
Kelompok Tani Gaharu Soppeng
4.
Abd. Azis K.
BP DAS Jeneberang Walanae
5.
Abd. Kadir
Dishutbun Pangkep
6.
Abd. Kadir W
BPK Makassar
7.
Abd. Rahim
Dishutbun Bulukumba
8.
Abdul Kadir Zailani
PT. SUCOFINDO
9.
Abdul Qudus
BPK Makassar
10.
Achmad Rizal HB.
BPK Makassar
11.
Adam
Dishutbun Jeneponto
12.
Ade Suryaman
BPK Makassar
13.
Adhitya Suryaprana
Dishut Barru
14.
Adi Riyanto S.
BDK Makassar
15.
Adi Susmianto
Puskonser
16.
Agus Tampubolon
Puskonser
17.
Agus Widoyoko
BDK Makassar
18.
Ahmad Gadang P.
BPTSTH Kuok
19.
Albert D. Mangopang
BPK Makassar
20.
Amirullah
BPTP Sul-Sel
21.
Amrullah
BPK Makassar
22.
Andarias Ruru
BPK Makassar
23.
Anto
TVRI
24.
Arifiudin A.
Dishut Takalar
25.
Arman Hermawan
BPK Makassar
26.
Arman Suarman
BPK Makassar
27.
Armiati
BPK Makassar
28.
Asmariani
BPK Makassar
29.
Baharuddin
BPK Makassar
30.
Baharuddin Nurkin
UNHAS
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
397
NO.
NAMA
INSTANSI
31.
Bayu Wisnu Broto
BPK Makassar
32.
Benyamin Brown
MAP Indonesia
33.
Bugi Kabul Sumirat
BPK Makassar
34.
C. Andriyani P.
BPK Makassar
35.
Darwin A. Tjukke
Kadishut Wajo
36.
Dewi Marwati Nuryanti
Dishutbun Kab. Luwu Utara
37.
Djumadi
BPK Makassar
38.
Dwi Joko Irianto
PT. Semen Tonasa
39.
Edi Kurniawan
BPK Makassar
40.
Erna Halid
Politani Kab. Pangkep
41.
Erwin
BPK Makassar
42.
Eva B. Sinaga
BPk Manado
43.
Evita Hapsari
BPK Makassar
44.
Faisal
Dishut Sinjai
45.
Fajri Ansari
BPK Makassar
46.
H. Zainuddin
Dishut Luwu Timur
47.
Hajar
BPK Makassar
48.
Halidah
BPK Makassar
49.
Hamdan
BPK Makassar
50.
Haris Said
BPK Makassar
51.
Harun M.Nur
Balitbangda
52.
Hasanul Iman
Kelompok Tani Gaharu Bulukumba
53.
Hasnawir
BPK Makassar
54.
Hermin Tikupadang
BPK Makassar
55.
Hikmah Basalamah
Unismuh Makassar
56.
I Gusti Ngurah Oka Suparta
Balitek KSDA Samboja
57.
I Made Widnyana
BPTHHBK Mataram
58.
I Nyoman Armaya
BPK Makassar
59.
Ikhsan
TVRI
60.
Indra Ardie SLPP
BPK Makassar
61.
Iqbal Abadi Rasyid
Balai TN Bantimurung Bulusaraung
62.
Ira Ekawaty Hafid
SMK Kehutanan Makassar
63.
Jumain
BPK Makassar
398 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
NO.
NAMA
INSTANSI
64.
Kasmawati
BPK Makassar
65.
M. Azis Rakhman
BPK Makassar
66.
M. Kudeng Sallata
BPK Makassar
67.
M. Mustari
BPA Bili-Bili
68.
Mahfud
BPK Manado
69.
Mardiansyah
BPK Makassar
70.
Masrum
BPK Makassar
71.
Merryana Kiding Allo
BPK Makassar
72.
Misrawati Yusuf
BPKH Wil VII Makassar
73.
Misto
BPK Kupang
74.
Mody Lempang
BPK Makassar
75.
Muchlis
Kantor Penyuluh Kehutanan Enrekang
76.
Muh. Abidin
BPK Makassar
77.
Muh. Ikram
PT. Maruki
78.
Muh. Restu
UNHAS
79.
Muh. Saad
BPK Makassar
80.
Muh. Syarif
BPK Makassar
81.
Mursidin
BPK Makassar
82.
Muslih Rusli Abdullah
Balitbangda
83.
Mustafa
Dishutbun Bantaeng
84.
Najamuddin S
BDK Makassar
85.
Nasaruddin
Dishut Sulawesi Barat
86.
Nawawi
BP2HP - XV Makassar
87.
Nur Alam
PT. Semen Bosowa Maros
88.
Nur Sumedi
Balitek KSDA Samboja
89.
Nurhaedah
BPK Makassar
90.
Nursyamsi
BPK Makassar
91.
Palalunan
BPK Makassar
92.
Parh Chan Hong
KOICA
93.
Rahman
BPK Makassar
94.
Retno Prayudyaningsih
BPK Makassar
95.
Rini Purwanti
BPK Makassar
96.
Riskan Effendi
Pusprohut Bogor
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
399
NO.
NAMA
INSTANSI
97.
Rustanto S.
SCF
98.
Sahara Nompo
BPK Makassar
99.
Saul B. Matasik
BP DAS Jeneberang Walanae
100.
Sentot Adi Sasmuko
BPTHHBK
101.
Sitti hasriati Lasikada
Balai TN Kepulauan Togean
102.
Sri Darmayani
Balai Besar KSDA Sul-Sel
103.
Sri Widodo
PT. INHUTANI I
104.
Sri Yuliana Rusli
Balai Besar KSDA Sul-Sel
105.
Suhartati
BPK Makassar
106.
Sumadi
BPK Makassar
107.
Supardi
BPK Makassar
108.
Supriatna
BP2HP - XV Makassar
109.
Surya Darma Anis
Dishutbun Pangkep
110.
Susilowati
Dishut Sulawesi Tengah
111.
Syahidan
BP DAS Jeneberang Walanae
112.
Syahrul
BPK Makassar
113.
Syamsiah
BPK Makassar
114.
Syarifuddin Sumang
BPK Makassar
115.
Syukri Mattinetta
Dishut Prop. Sul – Sel
116.
Tony Widianto
BPK Makassar
117.
Turbani Munda
BPK Makassar
118.
Umar Sappe
Dishut Enrekang
119.
Usman Arsyad
UNHAS
120.
Wahyudi Isnan
BPK Makassar
121.
Wilda
UNHAS
122.
Yayat Sigit HT.
Sekretaris Badan Litbang
123.
Yudho S. Mustiko
BP DAS Saddang
124.
Yusriadi
Harian Fajar
125.
Zainuddin
BPK Makassar
400 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
DISKUSI Sesi I Moderator : Ir. Adi Susmianto, M.Sc Notulis
: Evita Hapsari, S.Sos; Bayu Wisnubroto, S.Hut
Materi : 1. Peningkatan Modal Sosial Kelompok Tani Hutan yang Berkelanjutan
Bugi Kabul Sumirat 2. Produksi Nira Nipah dan Diversifikasi Pemanfaatannya sebagai Bahan Baku Pengolahan Produk Nata Fruticans dan Pengembang Adonan Roti
Mody Lempang & Albert D. Mangopang 3. Simpori : Inovasi Teknologi Rekayasa Produksi Gaharu
Sentot Adi Sasmuko 4. Konservasi Ex-situ dalam Rangka Pelestarian Eboni (Diospyros celebica Bakh)
Merryana Kiding Allo Pertanyaan dan Saran: 1. A. M. Said (Kelompok Tani Gaharu Kab.Soppeng)
Kelompok petani di Soppeng mengalami kesulitan dalam proses inokulasi cendawan, padahal kelompok tani hutan di Soppeng yang beranggotakan kurang lebih 355 orang telah memiliki semai gaharu sebanyak 7.730 semai.
Apakah sudah ada pengembangan eboni menggunakan teknik kultur jaringan?
2. Darwin A. Tjukke (Dinas Kehutanan Wajo)
Apakah pernah dilakukan penanaman eboni di luar habitat/di daerah yang tidak ada eboni?
Mengenai penelitian nira yang dilakukan pak Mody, ada informasi dari masyarakat tentang penggunaan sejenis liana sehingga hasil sadapan nira dapat dijadikan gula merah.
Apakah nipah yang diberi perlakuan pemupukan (treatment budidaya dengan pemupukan) dapat meningkatkan produksi dari nira yang dihasilkan?
Apakah nipah yang hidup di komunitas yang sama (monocultur) dan berbeda (heterocultur) dapat mempengaruhi hasil dari nira yang diproduksi?
3. Rustanto S. (Sulawesi Community Foundation (SCF))
KPH kurang maksimal fungsinya, selama ini KPH akan muncul ketika ada kegiatan. Setelah kegiatan selesai maka KPH akan menghilang lagi. Faktanya KPH berangkat dari prasarat kebutuhan program dan proyek.
Seharusnya KPH bukan menjadi domain/eksklusif dari kementerian kehutanan saja karena ada banyak kegiatan di luar kehutanan yang melibatkan KPH.
Apakah gaharu dapat dikembangkan di hutan lindung?
Apakah eboni direkomendasikan di HKM/hutan desa?
Apakah produk dari nipah bisa menggantikan (substitusi) gula yang notabene merupakan kebutuhan paling tinggi dalam sektor home industri sehingga bisa menekan biaya produksi?
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
401
4. Abdul Azis (BPDAS Jeneberang Wallanae)
Pembangunan kehutanan membutuhkan partisipasi dari masyarakat, salah satunya dengan adanya Hutan Kemasyarakatan (HKm), namun keberadaan HKm kurang mendapat dukungan/perhatian dari pemerintah kabupaten. Dukungan berupa modal, pembinaan dan pelatihan sangat dibutuhkan oleh kelompok tani dalam HKm.
Masyarakat atau kelompok tani di kabupaten Bulukumba (Bukit Harapan) memiliki banyak benih gaharu akan tetapi mereka belum mengetahui cara pembuatan, pengembangan, budidaya dan mengalami kendala dalam pemasaran produk.
Apakah ada rekayasa dari litbang untuk eboni sehingga dapat mempercepat pertumbuhan dan memperpendek usia dari eboni?
5. Hikmah Basalamah (Universitas Muhamadiyah Makassar)
Apakah gaharu yang ditanam tanpa ada perlakuan, tetap bisa dipanen hasilnya?
Apakah ciri kalau gaharu sudah terinfeksi?
Apakah diameter pohon mempengaruhi hasil dari gaharu?
6. Abdul Rahim (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba)
Kelompok tani muncul apabila ada program yang melibatkan mereka, program yang selama ini ada selalu berubah trennya. Ketika tren jati putih (Gmelina arborea) masyarakat kemudian banyak yang menanam jenis itu begitu juga ketika tren karet, vanili, cengkeh, sengon dll. Di sisi lain, ketika hutan sudah berhasil dibangun muncul hama seperti babi yang mengganggu tanaman musiman yang dimiliki. Bahkan masyarakat dihadapkan dengan birokrasi yang sulit dan tidak adanya harga standar. Bagaimana kelompok tani atau masyarakat bisa berdaya sehingga komoditi yang dikembangkan masyarakat tidak berganti-ganti dan bagaimana peran masyarakat dapat seimbang dengan produsen sehingga perekonomian petani dapat meningkat?
7. Umar Sappe (Dinas Kehutanan Enrekang)
Banyak program kehutanan yang telah dicanangkan akan tetapi program tersebut belum bisa meningkatkan perekonomian masyarakat. Bagaimana program kehutanan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Apa saja langkah-langkahnya?
Apa jenis gaharu yang tepat untuk dikembangkan di Sulawesi Selatan?
Pada umur berapa idealnya gaharu siap untuk diinokulasi? Dan dimana mendapatkan inokulannya? karena berdasarkan fakta di lapangan, banyak gaharu yang sudah besarbesar.
Apakah eboni bisa dikembangkan di hutan kota dan di kebun raya (ex-situ)?
Litbang perlu melakukan penelitian mengenai hama penggerek batang di Enrekang, karena hama tersebut telah menyerang ratusan pohon mahoni di Enrekang.
Jawaban dan Tanggapan: 1. Bugi Kabul Sumirat (BPK Makassar)
Dalam pengelolaan Kelompok Tani Hutan (KTH) perlu ada peran serta dari semua stakeholder/para pihak/eksekutor.
Pihak pemerintah daerah dalam hal ini dinas kehutanan berperan sangat penting karena langsung bersentuhan dengan masyarakat. Dinas kehutanan seharusnya bisa memberikan pemahaman sosiologis kepada masyarakat (KTH) sehingga bisa lebih berperan sebagai subjek bukan objek dari program yang dilaksanakan. Pembinaan KTH perlu dilakukan.
402 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
Dinas kehutanan seharusnya bisa membuat program pendampingan yang terus menerus sehingga kegiatan yang akan dilaksanakan berdasarkan kebutuhan KTH bukan kebutuhan Dinas.
2. Mody Lempang (BPK Makassar)
Penambahan liana untuk proses pengelolaan nira dilakukan untuk menghambat fermentasi.
Produksi nira berbeda-beda dari setiap lokasi, akan ada variasi hasil produksi. Mekanisme pemupukan nipah belum pernah dilakukan dikarenakan nipah pada umumnya ditemukan di daerah pasang surut sehingga pemupukan yang dilakukan akan tidak bermafaat.
Nira nipah bisa digunakan untuk pengganti (substitusi) gula tebu akan tetapi biaya produksi dari gula nipah lebih tinggi dari pada gula tebu.
3. Sentot Adi Sasmuko (BPHHBK Mataram)
Informasi mengenai gaharu di tingkat masyarakat masih sangat kurang, hal ini menyebabkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai gaharu masih sangat rendah. Dinas kehutanan diharapkan dapat berperan lebih aktif lagi dalam memberikan informasi gaharu ke masyarakat.
Harga gaharu yang mencapai harga di atas 100 juta merupakan harga gaharu superking yaitu gaharu yang di dapat dari proses alami. Selain itu ada faktor subyektif dalam menentukan harga. Harga gaharu hasil budidaya berkisar 3 jutaan. Terdapat dua tahap budidaya gaharu yaitu membesarkan pohon sebesar-besarnya dan apabila sudah besar tetap menghasilkan.
Penelitian dan pengembangan gaharu sangat perlu untuk ditingkatkan sehingga hasil atau produk penelitian bisa lebih aplikatif dan dapat dengan mudah di adopsi oleh masyarakat.
Penelitian yang sedang dilakukan Balai Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu (BPHHBK) Mataram selain penyempurnaan metode injeksi, juga sedang melakukan penelitian mengenai standart mutu gaharu (keseragaman kualitas mutu, analisis kandungan kimia, aroma) sehingga standar kualitas gaharu bisa lebih objektif.
Gaharu bisa dikembangkan di kawasan konservasi seperti hutan lindung yaitu dengan melakukan inokulasi cabang (bukan batang) sehingga tidak harus menebang pohon.
Pendampingan dari pihak terkait (dinas kehutanan dan LSM) ke masyarakat perlu untuk segera dilakukan sehingga penipuan terkait gaharu dapat dihindari.
Diameter batang yang ideal yaitu 15 cm, pohon dengan diameter tersebut dapat menghasilkan gaharu sebanyak 5 kg/pohon.
Tidak ada infeksi bibit.
Selain batang, daun dari gaharu juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan pembuat teh yaitu dengan proses penyulingan.
4. Merryana Kiding Allo (BPK Makassar)
Eboni dikenal dengan pola strip, pola ini akan terbentuk dalam proses yang lama dan diameter pohon berkisar 78 cm. Selain itu, belum ada teknologi yang bisa mempercepat pertumbuhan dengan mempersingkat umur eboni.
Eboni pada dasarnya bisa ditanam di mana saja. Masyarakat di Jambi dan Banyuwangi telah menanam eboni di kebun-kebun mereka.
Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Makassar sedang melakukan penelitian terhadap 3 jenis eboni di TN. Bantimurung Bulusaraung, hasil eksplorasi terdapat jenis Diospyros.
Masalah keamanan masih menjadi kendala dalam melakukan konservasi In-situ. “Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
403
DISKUSI Sesi II Moderator
: Prof. Dr. Ir. Muhammad Restu, MP
Notulis
: Erwin, S.Hut; Albert Mangopang, S.Hut.
Materi : 1. Perencanaan dan Rehabilitasi Mangrove di Takalar
Benyamin Brown 2. Biodiversitas Mengrove : Pemanfaatan Keanekaragaman Mangrove dalam Rehabilitasi sebagai Upaya Pelestarian Jenis-Jenis Mangrove
Halidah 3. Pengelolaan DAS
Usman Arsyad 4. Optimalisasi Luas Hutan terhadap Tata Air : Karakteristik Biofisik DAS Kelara, Sulawesi Selatan
Hasnawir Pertanyaan dan Saran : 1. Agus Tampubolon (PUSKONSER) a. Bagaimana konsep ecological mangrove dalam mendukung konservasi dan rehabilitasi mangrove? b. Konsepsi ecological dalam masyarakat adalah restorasi. Apa perbedaan secara mendasar antara restorasi dan rehabilitasi? c. Bagaimana proses singkat adaptasi perencanaan dalam berkaloborasi dengan masyarakat? dan tingkat keberhasilannya bagaimana? Mengingat budaya dan sifat masyarakat di Sulawesi Selatan umumnya berbeda-beda. 2. Darwin (Dishutbun Kabupaten Wajo) a. Saran, Kenapa Kementerian Kehutanan tidak mengadaptasi Perencanaan dan Rehabilitasi Mangrove yang telah dilakukan. b. Keberhasilan rehabilitasi mangrove dalam lokasi cekungan dianggap berhasil. Bagaimana merehabilitasi pantai laut pasang surut dengan bentangan kurang lebih 10 km? c. Saran, mohon dipikirkan pengamanan untuk alat pendeteksi longsor mengingat masyarakat awam keinginan tahunya tinggi terlebih jika alat itu masih terasa asing di masyarakat. 3. Adam (Dishutbun Kabupaten Jeneponto) a. Adanya persepsi masyarakat di Kabupaten Jeneponto bahwa apabila mangrove berhasil maka garam petani tidak jadi. Saran, perlu adanya pendekatan ke masyarakat tentang perlunya keberadaan mangove. b. Saran, daerah Jeneponto terutama di Balangbaru tanaman mangrove dianggap berhasil karena berada di daerah cekungan akan tetapi di huni oleh kelelawar. Perlu ada regulasi untuk menangani hal tersebut. c. Saran, perlu semacam pembanding atau persamaan Kab. Gowa dan Kab. Jenoponto untuk menjaga DAS Kelara seperti DAM Bili-Bili, mengingat DAS Kelara berada di 2 kabupaten tersebut.
404 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
4. Dendy (Dishutbun Kab. Luwu Timur) a. Saran, akan menjadikan penelitian mangrove sebagai referensi. b. Saran, UPT kementerian bersama-sama pemerintah daerah khususnya Dinas Kehutanan agar segera mengusulkan tata batas hutan agar status kepastian hukum areal mangrove jelas bagi masyarakat. c. Saran, KHDTK Malili merupakan tanggungjawab BPK Makassar sebagai pengelola, dimohon agar bersama-sama pemerintah daerah untuk memikirkan cara dalam membendung pertambahan penduduk yang datang dari luar kab. Malili. Dikarenakan lahan garap terbatas. Seperti contoh; keberadaan salah satu desa dalam kawasan hutan di Malili. Jawaban dan Tanggapan : 1. Mr. Benyamin Brown a. Restorasi adalah kegiatan mengembalikan sistem yang telah mengalami perubahan ke sistem semula, rehabilitasi adalah menciptakan sistem metode yang baru. b. Pengelolaan kolaboratif merupakan pekerjaan awal dengan melihat kondisi ekonomi, sosial dan ekologi dengan melibatkan masyarakat baik yang laki-laki maupun perempuan seperti mengembangkan hutan dengan melibatkan masyarakat dalam hak pengelolaannya. Kita jangan kaku dengan hukum yang ada tetapi memberikan toleransi ke masyarakat dalam pembangunan hutan. c. Kerusakan hutan mangrove banyak diakibatkan oleh pembukaan tambak. d. Kondisi lahan harus diketahui dan untuk rehabilitasi mangrove harus dikoordinasikan dengan dinas kehutanan, masyarakat dan dinas tata ruang. e. Untuk mengadaptasi perencanaan rehabilitasi mangrove mengalami kendala dimana karakteristik tiap lokasi di Indonesia berbeda-beda. Perlu adanya guidance atau petunjuk khusus untuk tiap-tiap lokasi. f.
Banyaknya tambak yang terbengkalai dan sudah tidak produktif sehingga masyarakat mencari lahan yang lebih produktif.
g. Perlu mengusahakan agar lahan terdegradasi bisa menguntungkan bagi masyarakat agar tidak terjadi perpindahan masyarakat ke areal mangrove yang masih baik. Perlu adanya kolaborasi antara pihak Kehutanan, perikanan dan pertanian untuk menciptakan metode dalam usaha menangani masalah dan perlu perbaikan dari segi tata ruang yang masih lemah. 2. Ir. Halidah, M.Sc – BPK Makassar a. Rehabilitasi mangrove pada daerah tambak lebih mudah dibandingkan dengan daerah terbuka. Telah dilakukan penelitian tetapi belum berhasil. Salah satu usaha lain adalah mencari muara-muara dan cekungan sebagai tempat untuk memulai rehabilitasi mangove. b. Tidak semua jenis bakau dapat meredam ombak apalagi tanaman bakau tersebut masih kecil-kecil. Jenis Rhizophora yang memiliki akar tunjang setelah dewasa dapat bermanfaat sebagai peredam ombak. 3. Dr. Ir. Usman Arsyad, MS. – UNHAS a. Penelitian ini merupakan penelitian awal, mari bersama-sama untuk mendukung kelanjutan penelitian ini. Terima kasih saran dari pak Adam. b. Sementara dilakukan proses kerjasama antara pemerintah Kab. Gowa dan pemerintah Kab. Jeneponto dalam menjaga keberlangsungan DAS Kelara. 4. Hasnawir, S.Hut, M.Sc., Ph.D – BPK Makassar a. Pengamanan alat sensor dilakukan melalui proses sosialisasi dan pembelajaran kepada masyarakat tentang metode yang tepat untuk menghindari bahaya. Security dilakukan sendiri oleh masyarakat mengingat alat ini sangat penting kegunaannya dengan tetap mempertimbangkan untuk melakukan pemagaran pada tempat pemasangan alat.
“Peran IPTEK dalam Pembangunan Kehutanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Wallacea”
|
405
b. Sudah ada penandatanganan MOU proyek DAM Kelara yang telah ditandatangani oleh Bupati Jeneponto, Bupati Gowa dan Gubernur Sulawesi Selatan. Tambahan Tanggapan/Jawaban/Saran 1. Prof. Nurkin – UNHAS Areal mangrove terbaik Sulawesi ada di Luwu Timur. Harus ada pertimbangan geografis sungai yang terbentang panjang yang dulunya ditumbuhi tanaman mangrove di Kab. Luwu Timur. Tanaman Mangrove di kab. Luwu Timur dulunya + 8.000 ha sekarang sudah hampir habis, oleh masyarakat dijadikan tambak. Perlu adanya revegetasi yang melibatkan masyarakat dengan pihak terkait setempat. 2. Prof. Dr. Ir. Muhammad Restu, M.P. a. Perlu menyesuaikan karakteristik mangrove yang beragam dengan formulasi yang diterapkan Mr. Benyamin Brown dan bisa dilakukan secara kolaboaratif dengan Ibu Halidah mengenai karakteristik tiap jenis-jenis mangrove. b. Riset mangrove perlu diteruskan. c. Alat yang di buat oleh Pak Hasnawir merupakan langkah awal untuk pencegahan bahaya longsor. d. Penelitian mengenai DAS Kelara sebagai informasi awal bagi kabupaten yang berada di sekitarnya. Masalah pendekatan kepentingan hulu dan hilir lintas kabupaten dari segi sosial ekonomi perlu perhatian khusus, perlu diakomodasi dan dibahas bersama. Arahan Kapala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Badan Ltbang Kehutanan a. Bekerjasama dengan pihak BPKH untuk segera mentata batas kawasan hutan. b. Peneliti jangan cepat merasa puas dengan hasil yang telah dicapai tetapi teruslah berkarya. c. Strategi diseminasi harus menciptakan IPTEK yang dapat digunakan oleh pengguna atau stakeholder. d. IPTEK perlu ada data dan informasi yang benar dan akurat, dan di uji kelayakannya serta kaji resikonya. e. Merupakan tanggungjawab bersama dalam hal ini pihak yang berkompeten pengembangan kehutanan ke depan dengan melibatkan IPTEK dan fakta yang terjadi.
406 |
Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneitian Kehutanan Makassar 2012
dalam