PROSIDING PERTEMUAN NASIONAL MASYARAKAT SIPIL MEMPERKUAT JARINGAN KERJASAMA MASYARAKAT SIPIL YANG EFEKTIF DAN KREDIBEL UNTUK PELAKSANAAN OGP DI INDONESIA HOTEL ROYAL KUNINGAN, 19-20 NOVEMBER 2014
DAFTAR ISI
I II II.1 II.2 II.3
II.4 III. III.1. III.1.1. III.1.2. III.1.3. III.1.4. III.1.5. III.1.6. III.2. IV.
Kata pengantar Daftar Isi Pendahuluan Pembukaan dan Diskusi Pleno Ahmad Faisol - Media Link Diskusi Pleno I: Visi dan Agenda Presiden Baru Tentang Pemerintahan Terbuka Diskusi Pleno II: Peninjauan Secara Luas Konteks dan Agenda Nasional dan Sub Nasional Laporan Hasil Kerja dan Perkembangan Masyarakat Sipil Pemerintahan Terbuka Diskusi Pleno III: Tata Kelola dan Jaringan Antar Aktor Organisasi Masyarakat Sipil Diskusi Kelompok Kerja Masyarakat Sipil untuk Pemerintahan Terbuka Pengelompokan Isu dan Pembangunan Agenda Kelompok Kerja Pelayanan Publik Kelompok Kerja Anggaran dan Pajak Kelompok Kerja Transparansi Parlemen dan Partai Politik Kelompok Kerja Penegakan Hukum Kelompok Kerja Lingkungan dan Sumber Daya Alam Kelompok Kerja Desa Diskusi Membangun Model Jaringan dan Koordinasi Pokok-Pokok Hasil Pertemuan
10 10 12 13 14 15 16 17 18
Lampiran Foto Lampiran Daftar Peserta
21 22
1 2 2 2 5
8 10
I. Pendahuluan Open Government Partnership (OGP) merupakan sebuah gerakan untuk mewujudkan sebuah pemerintahan yang lebih terbuka, lebih partisipatif dan lebih inovatif. Dalam perwujudannya diperlukan kerjasama dari berbagai macam pihak, tidak hanya Pemerintah namun masyarakat sipil juga memiliki peran yang penting. Peran masyarakat sipil dan Civil Society Organization (CSO), bukan lagi hanya sebagai pengamat dan pengawas, namun juga sebagai pengambil keputusan, baik di level nasional dimana masyarakat sipil bergerak sebagai tim inti dalam membangun Open Government, maupun di level internasional dimana CSO berperan sebagai steering committee. Semenjak Konferensi Regional OGP se-Asia Pasifik yang dilangsungkan di Nusa Dua–Bali semakin banyak organisasi masyarakat sipil (CSO) di Indonesia yang menyadari peran penting OGP dalam meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Sejalan dengan meningkatnya rasa kepemilikan dan partisipasi, aktor masyarakat sipil perlu bersinergi dan menata strategi agar dapat mengartikulasikan prioritas mereka. Perhatian yang lebih luas diperlukan untuk mengikutsertakan lebih banyak sektor CSO ke dalam tim inti, di mana pada saat yang bersamaan dapat memperkuat tata kelola di dalam tim inti dan relasi seluruh actor masyarakat sipil Ada 3 tantangan utama yang harus direspons oleh masyarakat sipil di Indonesia yaitu pertama adalah memastikan bahwa agenda Pemerintahan Terbuka tetap dilaksanakan dan tetap menjadi prioritas dalam pemerintahan yang baru. Kedua, memastikan bahwa Pemerintahan Terbuka tidak hanya menjadi suatu inisiatif internasional, namun juga inisiatif nasional dan lokal yang berakar pada kebutuhan untuk memecahkan masalahmasalah di dalam negeri dan ketiga, masyarakat sipil di Indonesia memerlukan pola koordinasi yang efektif sekaligus representatif. Untuk merespon ketiga tantangan tersebut, Panitia Bersama CSO-OGP Indonesia1 berinisiatif menyelenggarakan Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil dengan tema “Memperkuat Jaringan Kerjasama Masyarakat Sipil Yang Efektif dan Kredibel Untuk Pelaksanaan OGP di Indonesia”. Pertemuan ini dihadiri oleh 72 peserta yang mewakili kelompok masyarakat sipil dari regional barat, timur, tengah maupun masyarakat sipil nasional. Harapannya pertemuan ini dapat menghasilkan pertama, sebuah agenda prioritas dan rencana aksi jangka pendek dan menengah untuk pelibatan masyarakat sipil ke dalam pemerintahan terbuka, kedua, dokumen yang mengatur tata kelola, khususnya tentang mekanisme internal dari masyarakat sipil, dan ketiga sebuah bentuk struktur kerjasama dan tata kelola masyarakat sipil dalam Pemerintahan Terbuka
1
Panitia Bersama CSO-OGP Indonesia terdiri dari INFID, Transparansi Internasional Indonesia, Media Link, Pattiro, ICEL, Seknas Fitra, Indonesia Corruption Watch dan lain-lain
1|Page
II. Pembukaan dan Diskusi Pleno Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Indonesia dibuka oleh Ahmad Faisol dari MediaLink sebagai perwakilan dari panitia Pertemuan Nasional. Setelah pembukaan kemudian dilanjutkan dengan diskusi pleno yang menghadirkan tiga pembicara, yaitu Tara Hidayat dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Luthfi A. Mutty yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Nasional Demokrat, dan Sugeng Bahagijo Direktur Eksekutif INFID yang juga merupakan Steering Committee dari Open Government Partnership di tingkat Global. Diskusi pleno ini dipandu oleh Yenni Sucipto dari Seknas Fitra.
II.1. Ahmad Faisol - Media Link Pertemuan nasional ini bukanlah pertemuan pertama namun merupakan rangkaian kegiatan yang telah diadakan oleh organisasi masyarakat sipil semenjak bulan Mei saat pelaksanaan Open Government Partnership (OGP) Asia Pasifik di Bali, hingga pelaksanaan pertemuan Regional yang berlang di beberapa wilayah Indonesia. Salah satu kesepakatan yang dihasilkan adalah adanya kebutuhan masyarakat sipil Indonesia untuk mengkonsolidasikan diri, sebuah inisiatif diri agar OGP bisa lebih bermanfaat dan dirasakan langsung oleh masyarakat Indonesia. Dari hasil pertemuan masing – masing regional di Indonesia, pertemuan nasional ini memiliki dua tujuan yang harus dicapai , pertama, memetakan usulan agenda prioritas apa yang akan diajukan kepada pemerintah untuk melengkapi agenda yang sedang disusun, kedua¸ memetakan bentuk kelembagaan, bentuk yang seperti apa sehingga pemerintahan terbuka menjadi sebuah gerakan bersama advokasi kelompok masyarakat sipil di Indonesia. Pertemuan nasional kali ini merupakan sebuah momentum yang strategis karena pemerintahan baru yang mendukung adanya pemerintahan terbuka, kita telah mengirimkan usulan naskah kebijakan tentang tata pengelolaan OGP di Indonesia kepada Kepala Bappenas, Bapak Andrinof Chaniago. Sesuai dengan salah satu capaian dari pertemuan di Bali, CSO juga sepakat untuk mendorong masuknya isu tata kelola pemerintahan yang terbuka dan transparan dalam agenda Pembangunan Pasca-2015, dan saat ini Indonesia bersama Negara anggota Perserikatan Bangsa – Bangsa sedang membahas hal tersebut. Kita sebagai masyarakat sipil diharapkan dapat memberikan pengalaman agar pemerintah Indonesia tetap melaksanakan komitmennya untuk mendukung masuknya isu pemerintahan dan tata kelola ke dalam Agenda Pembangunan Pasca 2015.
II.2. Diskusi Pleno I: Visi dan Agenda Presiden Baru Tentang Pemerintahan Terbuka Tara Hidayat, mengatakan bahwa Indonesia memiliki komitmen sangat tinggi terhadap OGP dikarenakan nilai budaya dan nilai luhur dari Indonesia sendiri, seperti gotong royong, dialog warga, musyawarah unutk mufakat yang juga merupakan cerminan dari 2|Page
pemerintahan terbuka, sehingga seharusnya OGP bukanlah hal yang sulit dan tidak menjadi masalah bagi Indonesia. Karenanya kita juga optimis bahwa OGP dan OGI (Open Government Indonesia) akan terus berjalan bahkan berjalan lebih kencang. Semenjak pertengahan 2010, Indonesia telah menjalankan komitmen nya dan mau menjadi Negara perintis dalam membentuk dan mendesain bentuk OGP bersama 7 negara yaitu Amerika, Brazil, Mexico, Inggris, Norwegia, Filipina dan Afrika Selatan. Sekarang OGP sendiri memiliki keanggotan sebanyak 65 negara. Lebih lanjut Tara Hidayat menyatakan bahwa Pemerintahan Terbuka ini memiliki 3 keunggulan, (i) kegiatan ini merupakan gerakan bersama oleh pemerintahan dan masyarakat sipil, kegiatan sepertin ini tidak ada di forum lain dan menjadikannya sebuah ciri khas dari OGP, (ii) gerakan ini mengutamakan pada knowledge , ide maupun pengalaman dari reformisnya, OGP bertujuan unutk membagi ilmu dan bermanfaat kesesama tidak hanya kepada pemerintah tetapi juga kepada masyarakat sipil, (iii) OGP tidak menganut indeks – indeks tertentu sehingga ada keharusan untuk berlomba menuju kebaikan dan kemajuan unutk Negara masing – masing. Pada tahun 2011, Indonesia telah mendirikan secretariat OGI yang sekarang diwakili oleh 7 (tujuhh) ombudsman, 4 (empat) di pusat dan 3 (tiga) di daerah. Tiga tahun pertama OGP merupakan tahap pembangunan fondasi, dan sekarang merupakan tahap dimana Indonesia harus memperkuat gerakan, Indonesia harus mulai untuk memasukkan OGP ini kedalam agenda daerah. Kebanyakan Negara lain belum melihat OGP pada tingkatan sub nasional, merupakan sebuah keberhasilan tersendiri bagi Indonesia untuk menjadi sebuah role model untuk Negara lain. Saat ini Indonesia juga sedang memperkuat partisipasi public dan co-government ke Masyarakat Sipil untuk Pemerintahan Terbuka. Ada sebuah strategi tingkat nasional 2013-2015 yang terbuka untuk dikritik oleh teman – teman masyarakat sipil khususnya pada bagian penyusunan rencana aksi secara kolaborasi yang melibatkan public, masyarakat sipil dan pemerintah. Dalam solusi inovatif juga Indonesia telah memiliki LAPOR yang merupakan suatu layanan dan kompetensi dari OGI. Saat ini juga sudah ada portal yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu data.id. Sedangkan pada level regional, saat ini sedang dalam proses pembentukan PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) di 354 badan di pusat maupun di daerah. Untuk pemerintahan baru, Tara Hidayat mengatakan bahwa dapat dilihat Presiden yang sekarang merupakan sosok yang ramah dan dalam kampanyenya banyak melibatkan relawan. Sedangkan dalam visi dan misi beliau yang tertuang dalam sebuah Nawacita bisa dijadikan sebuah indicator karena dapat dilihat pada Nawacita poin 2 (dua), OGP merupakan poin yang kental, yaitu mengenai pemerintahan yang lebih bersih, efektif, demokratis dan terpercaya. Namun tidak hanya ada pada Nawacita poin 2 (dua) , Nawacita ke 4 (empat) juga kental dengan prinsip OGP dimana pemerintah menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi system dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Begitu pula dengan Nawacita ke 9 dimana ditulis tentang memperkuat restorasi social Indonesia melalu kebijakan yang memperkuat pendidikan kebhinneka tunggal ika-an dan 3|Page
menciptakan ruang dialog antar warga. Jika dilihat dari kabinet kerja, budaya blusukan merupakan sarana komunikasi dengan public yang dirasa cukup efektif. Namun, apakah ada kesinambungan? Kita memerlukan masa dan kendaraan untuk pengelolaan yang efektif dan efisien yang dapat dirasakan masyarakat dimana gerakan OGP ini harus saling mengisi. Ibu Tara juga menambahkan contoh – contoh crosscutting isu, antara lain; keterlibatan pemuda, keterbukaan legislative, Agenda Pembangunan Pasca 2015, dan elaborasi kegiatan. Sementara itu, Luthfi A. Mutty yang sekarang merupakan anggota DPR dari Fraksi Nasional Demokrat, dan kebetulan sebelumnya menjabat sebagai staf khusus Wakil Presiden Boediono di pemerintahan sebelumnya mengawali paparanya dengan menceritakan pengalamannya dimana terdapat beberapa pejabat daerah yang datang ke kantornya atau pada saat beliau berkeliling, tidak memiliki banyak pengetahuan tentang apa itu OGP, sehingga menurut hemat beliau optimistis yang telah digambarkan oleh Ibu Tara belum terasa getarnya. Sederhananya, Luthfi menyatakan bahwa OGP merupakan sebuah gerakan untuk mengembalikan pemerintah menjadi milik rakyat dengan cara membawa rakyat kedalam pemerintahan. Diharuskan dengan cara seperti ini menurut beliau karena bahwa selama Indonesia merdeka masyarakat belum merakasakan kehadiran pemerintahan, tapi beliau berharap dengan OGP ini akan hadir pemerintahan yang baik, yang merupakan pemerintahan yang memberikan pelayanan, pemberdayaan, dan melakukan kegiatan pembangunan kepada masyarakat. Menurut Bapak Luthfi, OGP dapat berjalan dengan membuka ruang public seluas-luasnya, tidak hanya dengan cara dialog, tetapi dengan cara ‘ngobrol’ sehingga tidak ada sekat ruang dan waktu, tempat dan juga menggunakan semua media yang ada termasuk teknologi dan informasi. Pemerintah diharapkan dapat ‘ngobrol’ dengan masyarakat melalu media seperti website, email, twitter, dan media social lainnya. Namun, muncul sebuah pertanyaan apakah semua bagian dari pemerintah terutama para top-leader mau dan dapat memanfaatkan, jika tidak, ruang public untuk ‘ngobrol’ tersebut tidak akan terbentuk. Apabila ruang public tersebut tidak terbentuk maka gerakan pengembalian pemerintahan kepada masyarakat tidak akan tercapai. Beliau mengusulkan untuk mendorong pemanfaatan teknologi dan informasi ini sekencang mungkin khususnya pada pemerintahan di level lokal. Terkait komitmen pemerintah, Bapak Luthfi sepakat bahwa pemerintah baru mendukung OGP karena dilihat dari nawacita tersebut. Pembicara berikutnya Sugeng Bahagijo menyatakan bahwa, rencana aksi OGP ini bisa menjadi sesuai harapan, karena sejauh berbicara dengan CSO, cita – cita CSO adalah adanya satu rencana aksi yang benar–benar mengandung potensi yang mengarah pada perubahan yang nyata dan konkrit. Perubahan yang dibutuhkan adalah perubahan yang dapat memecahkan masalah, karena CSO yang bekerja sehari–hari menangani masalah korupsi, lingkungan, pelayanan public, dan lain sebagainya. 4|Page
Selain itu perubahan yang dikehendaki CSO adala large scale change. Di Indonesia sendiri perubahan yang hendak dilakukan OGP adalah jenis perubahan sistemik dan berskala besar dari tata kelolaan pemerintah. Sayangnya, ini bisa terjadi hanya saja memerlukan waktu yang panjang. Namun perubahan social memang tidak bisa terjadi dalam waktu pendek dikarenakan ada 3 dimensi penting yaitu perubahan operasional, institusi dan paradigma. Belum ada sebuah tulisan yang komprehensif mengenai OGP yang secara konseptual berisi tentang apa yang ingin dicapai dengan perubahan institusi, operasional dan metode kerja tersebut yang sesungguhnya berkaitan dengan komitmen pemerintah baru. Dalam contoh perubahan skala luas seperti hak memilih dan dipilih untuk semua , dalam sejarah dapat dilihat bahwa perubahan ini dapat terjadi melalu waktu yang lama dan datangnya tidak tiba – tiba. Untuk dapat mencapai perubahan yang seperti itu harus ada konseptualisasi, bagaimana institusinya dan operasionalnya dapat dilaksanakan. Tantangan OGP di Indonesia adalah bagaimana kita dapat menunjukkan bahwa OGP baik secara norma dan secara institusional penting dan dapat dilakukan. Solusinya adalah dengan memperluas basis social, dengan contoh seperti popularitas dan elektabilitas agar dapat melihat bagaimana dukungan masyarakat. Perlu dipertanyakan juga kepada masyarakat apakah dukungan tersebut bersyarat atau tidak. Ada sebuah argumen yang menjelaskan mengapa demokrasi perlu diperdalam atau diperluas , pertama karena ada nya deficit demokrasi, masyarakat menjadi tidak puas dengan kerja demokrasi, walaupun masyarakat setuju dan mendukung sistim demokrasi tersebut, kedua, output demokrasi yang ada, dimana masyarakat lebih mementingkan output demokrasi daripada inputnya. Ketiga adalah mengenai strategi pemberantasan korupsi. Sehingga agar renaksi benar – benar dapat tersambung dengan basis social yang luas, keterbukaan dapat dimulai dari parlemen hingga ke level pemerintah daerah dimana keterbukaan dan akuntabilitas dapat dimulai melalu keterbukaan informasi dengan menyediakan cara dan metode membuka ruang partisipasi dalam penyusunan undang– undang, membuka anggaran dan notulensi. Namun yang lebih penting adalah bagaimana dapat menjamin agar kebijakan–kebijakan tersebut benar-benar bukan karena tanggung jawab ke atas, tetapi pertanggungjawaban kepada masyarakat. Selain itu kiranya perlu ada Kantor Presiden dan atau Mentri yang bekerja dalam bidang partisipasi, membuat kebijakan yang mengakui masyarakat sipil, dan yang terakhir dapat merancang bentuk – bentuk partisipasi.
II.3. Diskusi Pleno II: Peninjauan Secara Luas Konteks dan Agenda Nasional dan Sub Nasional Laporan Hasil Kerja dan Perkembangan Masyarakat Sipil Pemerintahan Terbuka Diskusi yang dimoderatori oleh Agus Sunaryanto dari Indonesia Corruption Watch (ICW) ini menekankan pada sharing knowledge dari praktik, tantangan, dan masalah yang dihadapi oleh masing – masing regional di Indonesia khususnya pada isu Pemerintahan Terbuka. Regional Barat diwakili oleh Askalani dari GeRAK Aceh, regional Timur diwakili oleh Muhammad Akil dari Kopel, regional Tengah oleh Mariaty A. Noen dari JARI Kalimantan Tengah, sedangkan dari Nasional diwakili oleh Danardono Sirajudin dari Pattiro. 5|Page
Dalam paparannya Askalanimenyampaikan bahwa semenjak konsorsium nasional wilayah barat telah melaksanakan beberapa inisiatif – inisiatif yang antara lain (i) telah berhasil menemui pemerintah Sumatera Utara dan melahirkan sebuah komitmen dari pemerintah provinsi untuk mengimplementasikan OGP (ii) melakukan kerja – kerja OGP seperti focus pada isu anggaran, anti korupsi dan mendorong replikasi di berbagai kelembagaan, (iii) terbentuknya PPID di Sumatera Barat, (iv) adanya impelementasi isu keterbukaan pelayanan public yang didorong oleh rekan – rekan Jawa Timur dan Jogjakarta, (v) dalam isu Lingkungan dan SDA teman teman yang bergerak dalam bidang ini berhasil mendorong adanya Daftar Informasi Publik terkait SDA, (vi) Gerak Aceh sendiri dibantu Web Foundation telah mendorong keterbukaan pada sektor pendidikan dan didorong ke level nasional, keterbukaan tersebut terkait dengan dinas pendidikan. Namun , regional barat memiliki tantangan sendiri ketika mendorong kerja OGP dalam instansi kepolisian dan juga isu keterbukaan parlemen di regional barat yang tidak terlalu update dikarenakan penggeraknya yang masih sedikit. Selain itu hal lain yang juga cukup penting adalah keterbukaan pada industri ekstraktif dan perlu didorong bersama karena permasalahannya yang cukup kompleks. M. Akil dari Kopel Makassar mengatakan bahwa isu OGP ini menjadi tidak menarik di sub nasional karna apa yang menjadi focus dari OGP sudah dilakukan oleh teman–teman di daerah hanya bahasanya saja yang berbeda. Oleh sebab itu perlu kiranya agar bahasa yang digunakan dapat diganti sehingga fakta – fakta yang ada di daerah dapat dihadirkan. Isu lain yang berkembang diregional timur adalah sinergi gerakan dimana harus adanya integrasi dengan baik, sehingga ada sinergi hingga ke tingkat nasional. Ada beberapa pertimbangan mengenai dua isu tersebut dimana ada kekhawatiran bahwa OGP akan bernasib sama seperti MDGs sehingga perlu dicari istilah yang lebih “Indonesia”. Mengenai isu OGP di parlemen, dari perkembangannya parlemen memiliki kemunduran mengenai tata tertib, semisal di Sulawesi Selatan ada aturan dimana rapat dilakukan secara tertutup dimana kita tengah mendorong OGP. Pemerintahan juga sebenarnya masih sangat membutuhkan UKP-PPP dan di beberapa lembaga pemerintahan keberhasilan kita adalah isu OGP sudah menjadi arus utama dan masih perlu dicari titik temunya. Mariyati A Noen, pada isu tata kelola dan anggaran ada beberapa lembaga yang berkonsentrasi untuk analisa anggaran dan memfasilitasi musrembang dan adapula lembaga yang mendorong peraturan gubernur untuk mencegah korupsi. Di Kalimantan khususnya, isu lingkungan dan sumber daya alam merupakan isu yang sangat kuat dengan konflik tenurial yang sangat tinggi di daerah Kalimantan Tengah sehingga banyak muncul permasalahan mengenai perijinan. Maka dari itu, perlu didorongnya transparansi. Sedangkan pada isu pelayanan public, LPI Banjar baru saja melakukan pemantauan pengadaan barang, membentuk komisi informasi, pendampingan PPID, dan open school budgeting. Beberapa hal yang telah dilakukan CSO di regional timur lakukan untuk mendorong OGP adalah dengan memfokuskan pada gap yang besar antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat cukup berkomitmen dengan beberapa kementerian 6|Page
tetapi dalam implementasinya kita banyak menemui kendala di tingkat sub-nasional. Terdapatnya beda komitmen dan orientasi ini menjadikan sebuah tantangan tersendiri bagi para CSO di tingkat regional untuk mensinergikan gerakan. Diharapkan akan ada wacana untuk menyamakan persepsi sehingga sinergi dapat terjadi. Selain itu, sistim koordinasi pusat dan daerah juga terkendala dengan adanya persoalan infrastruktur, termasuk listrik yang sering mati, dan akses internet yang sulit. Untuk kebijakan diperlukan payung hukum, regional timur telah mendorong PPID tetapi pemerintah sering beralasan tidak punya dana. Partisipasi masyarakat lemah, dikarenakan orientasi masyarakat di regional hanyalah untuk mencukupi kebutuhan hidup saja, sehingga sulit untuk meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab Negara dalam penyelenggaraan pemerintahan. Untuk agenda kedepan, akan ada implementasi penguatan anggaran di badan public, asistensi proses penyusunan perencanaan pembangunan yang akan difasilitasi oleh Musrenbang, peningkatan pelayanan public khususnya terkait informasi, audit dan analisis perizinan termasuk advokasi konflik SDA serta pemetaan wilayah kelola rakyat dan/atau masyarakat adat, mendorong partisipasi warga untuk akses informasi dengan memperkuat kapasitas implementasi UU KIP, mendorong kinerja PPID, dan melakukan pendampingan dan penguatan masyarakat di wilayah perbatasan. Danardono Sirajudin dalam paparannya menyatakan bahwa, dalam konteks nasional OGP sudah diperbincangkan mulai tahun 2011, dimana pada tahun yang sama Bappenas memfasilitasi forum multi-stakeholders untuk diusulkan dalam isu ren-aksi. Di tahun 2012 diadakan pertemuan internasional OGP pertama di Rio de Janeiro Brazil yang menghasilkan tim inti dan non-tim inti. Namun ada sebuah kendala dalam koordinasi mekanisme feedback dan bentuk renaksi. Dari situ, laporan bayangan mulai dilakukan, dan di tahun 2013 diadakan Pertemuan tahunan OGP kedua, tim inti berkoordinasi dengan pihak pemerintah Indonesia yaitu UKP-PPP dan membentuk laporan bayangan kedua, dan kerangka kerja mulai di diskusikan oleh masyarakat sipil. Regional workshop dilaksanakan pada tahun 2014 dan disinilah mulai disadari adanya kebutuhan outreach dalam implementasi OGP kedalam level sub-nasional. Dengan adanya pemerintahan yang baru maka muncullah peluang – peluang baru pula dalam implementasi OGP. Antara lain adalah dengan melihat dari nawacita 9 agenda prioritas dari pemerintahan baru dimana pada nawacita kedua menyebutkan bahwa “kami akan membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya”. Nawacita tersebut berisi tentang bagaimana pemerintahan akan (i) memulihkan kepercayaan public melalui reformasi sistim kepartaian, pemilu dan lembaga perwakilan, (ii) meningkatkan peranan dan keterwakilan perempuan dalam pollitik dan pembangunan, (iii) memperkuat kantor kepresidenan untuk menjalankan tugas – tugas kepresidenan secara lebih efektif, (iv) membangun transparansi tata kelola pemerintahan, (v) menjalankan reformasi birokrasi, dan (vi) membuka partisipasi public.
7|Page
Namun, kita juga memiliki tantangan, dimana ada 70 kasus korban UU ITE pasal 27 ayat 3 dimana ditahun 2014 sendiri terdapat 40 kasus. Ada pula beberapa organisasi masyarakat sipil yang terancam dibekukan , dan tidak sering dituduh illegal. Tuduhan ini muncul di Lombok Utara, Lombok Tengah, Bandung Barat, dan Sumatera Utara. Sedangkan dalam isu infratstruktur keterbukaan juga masih menjadi kendala. Dalam hal ini, OGP bisa dijadikan titik ungkit dari kerja – kerja panjang dengan cara memastikan adanya transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.
II.4. Diskusi Pleno III: Tata Kelola dan Jaringan Antar Aktor Organisasi Masyarakat Sipil Diskusi yang di moderator oleh Nur Hidayati ini menekankan pada presentasi agenda organisasi ke depan , mekanisme kerja dan hubungan dengan pemerintah. Panelis dalam diskusi ini merupakan wakil dari masyarakat sipil antara lain adalah Ilham Saenong dari Tranparansi Internasional Indonesia, Ahmad Faisol dari Media Link, dan Astrid Debora dari ICEL. Ilham Saenong menyampaikan bahwa kondisi ideal pengelolaan OGP adalah memegang prinsip – prinsip transparansi, akuntabilitas partisipasi dan teknologi inovasi. OGP dikelola Indonesia merupakan refeksi dari struktur kabinet, yang pertama adalah Presiden, dibawahnya kementrian, kementrian dan lembaga lainnya seperti UKP-PPP berdiri sejajar, dimana OGP berada di 5 kementerian dan UKP-PPP sebagai coordinator, didalam OGP sendiri juga masih ada 7 organisasi masyarakat sipil. Persoalan yang terjadi berada di tim inti di UKP-PPP dimana mereka tidak meiliki otoritas untuk memberikan perintah, hanya sebatas evaluasi sehinga apabila kementerian tidak serius UKP-PPP tidak dapat melakukan tindakan apapun, hanya sebatas melaporkan kepada presiden. UKP-PPP juga tidak bisa memaksa masyarakat sipil, yang mengakibatkan masyarakat sipil hanya sebatas ditarik untuk terlibat dalam kegiatan. Tantangan masyarakat dalam pemerintahan terbuka Indonesia adalah lemahnya kepemimpinan dan kordinasi dalam tim inti , kedua terputusnya hubungan tim inti dengan kementerian dan lembaga implementor. Ketiga, terputusnya hubungan masyarakat sipil dengan presiden, dimana hanya sebatas formalitas dan seremonial saja, keempat, terputusnya kelompok masyarkat sipil dengan kelompok masyarakt sipil yang lain. Yang kelima, pengaturan urusan pemerintahan terbuka global dan domestic belum jelas, perlu ada sumber daya yang lebih kuat dan lebih mudah itu di atur. Keenam, dialog – dialog substantive yang sudah ada belum intensif, dan terakhir adalah resiko ko-optasi masyarakat sipil dalam tim inti, diman harus diakhiri. Astrid Debora menyampaikan bahwa dalam pemerintahan terbuka, dilihat dari luar Indonesia merupakan co-chair, tapi ketika bicara pemerintahan terbuka kita diminta untuk melihat kehadiran pemerintahan terbuka di Indonesia, sistem dan kebijakan apa saja yang telah dibangun. Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik adalah partisipasi, penegakan hukum, transparansi, dan kesetaraan. Kriterianya adalah perencanaan, penetapan, 8|Page
penerapan, bagaimana pembuat kebijakan dapat mempertanggungjawabkannyanya dimana aktornya adalah Negara dan forum kepada masyarakat. Yang sudah dilakukan oleh pemerintah adalah adanya motede akuntabilitas, kontrol legislasi, akuntablitas legal, adanya kebijakan, ada payung hukum. Adanya lembaga pelayanan public, ombudsman. Adanya desentralisasi dan partisipasi. Adanya kontorol administratif internal, adanya inspektoral. Adanya media massa dan opini public yang menjamin kebebasan berekspresi dan informasi. Peran masyarakat sipil adalah pertama sebagai mitra, menjadi penghubung akan kebutuhan masyarakat, apa yang disediakan pemerintah dan kedua masyarakat sipil sebagai pengawas. Tidak semua organisasi masyarakat sipil bisa bertindak sebagai mitra kerja pemerintah, harus ada dua peran yang saling melengkapi, ada yang sebagai mitra dan juga sebagai pengawal kebijakan pemerintah. Astrid menambahkan bahwa bentuk mekanisme akuntabilitas oleh masyarakat sipil adalah pertama membuat laporan pengungkapan, melakukan penilaian kinerja dan evaluasi, partisipasi, menyediakan proses dengar pendapat, konsultasi publik pada tahap perencanaan. Kontribusi sumber daya manusia dan dana untuk pelaksanaan kebijakan, juga adanya ruang untuk negosiasi. Selanjutnya membuat usulan kebijakan. Terakhir melakukan audit sosial. Ahmad Faisol menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat sipil dalam gerakan pemerintahan terbuka sehingga menjadi sebuah gerakan bersama. Masalah pemerintahan terbuka mungkin hanya dikenal oleh tim inti dan lembaga terkait. Muncul kekhawatiran apabila yang mengenal pemerintahan terbuka dengan baik hanya sekadar 12 lembaga, sehingga munculah gagasan untk memperluas jaringan. Gerakan ini penting karena banyak lembaga yang mulai merasakan manfaat dengan adanya pelaksanaan pemerintahan terbuka. Kelembagaan jaringan masyarakat sipil pemerintahan terbuka harus dapat menjawab tantangan untuk membumikan OGP itu sendiri dan dapat menampung seluruh inisiatif masyarakat sipil yang memanfaatkan platform OGP untuk kepentingan advokasi. Faisol juga menambahkan bahwa diskusi tentang organisasi dan partisipasi sudah 5 tahun sebelum adanya OGP, yang perlu kapitalisasi sekarang bukan hanya bicara OGP tapi organiassi CSO. Di dalam team SC yang dirasakan sepertinya cakar-cakaran, sehingga menyita energi dan permasalahan tidak pernah dituntaskan. Momentum dan rencana aksi belum diselesaikan. Sudah tidak relevan lagi antara core team dan non core team, ini diskusi tidak produktif tapi juga tidak disudahi. Momentum ketika penyelengaraan di Bali, saat itu pertarungan keras juga di dalam pengangkatan tema, didalam SC Meeting pun juga kami mempertanyakan hasil di London yang tidak difollow up, salah satunya mengenai kasus undang-undang ITE, ormas dsb. Kita semua menyadari ketika pertemuan di Bali, kita csod, bahwa OGP bukan milik core team tapi milik semua, dan pada hari ini juga dikonfirmasikan kembali.
9|Page
III. Diskusi Kelompok Kerja Masyarakat Sipil untuk Pemerintahan Terbuka Fasilitator dalam diskusi in adalah Wandy Tuturoong yang mengingatkan bahwa kita harus dapat menempatkan OGP sebagai gerakan atau tujuan, pemerintahan terbuka bukan hanya menuntut pemerintah untuk terbuka tetapi masyarakat sipil untuk juga turut serta memberikan agenda pada pemerintah. Maka dari itu masyarakat sipil perlu memberikan daya tawar yang kuat, yaitu ada nya organisasi dan agenda yang jelas.
III.1. Pengelompokan Isu dan Pembangunan Agenda Dalam diskusi kelompok kerja ini telah dibagi menjadi 6 (enam) kelompok kerja, yaitu pelayanan public, anggaran dan reformasi pajak, lingkungan dan sumber daya alam, keterbukaan parlemen dan partai politik, penegakan hukum dan peradilan dan pembangunan desa. Ahmad Faisol menambakan bahwa 6 sektor tersebut dipilih berdasarkan keterlibatan masyarakat sipil pada sektor – sektor tersebut, pada contohnya pada pelayanan public semua sektor akan dibicarakan disini, soal isu anggaran ada gagasan bahwa ada satu hal yang menguatkan anggaran yaitu pajak, sedangkan pada isu lingkungan telah banyak muncul di regional tengah dan timur, isu parlemen merupakan isu yang masih jarang diangkat dalam pembahasan OGI , dan di isu penegakan hukum masyarakat sipil yang mewakili adalah masyarakat sipil yang memiliki pengaruh dalam pengimplementasian bidang ini. Dan di isu pembangunan desa merupakan sektor yang seringkali muncul dan menjadi prioritas. Fasilitator Wandy Tuturoong juga mengingatkan bahwa kita harus dapat menempatkan OGP sebagai gerakan atau tujuan, pemerintahan terbuka bukan hanya menuntut pemrinah untuk terbuka tetapi masyarakat sipil untuk juga turut serta memberikan agenda pada pemerintah. Maka dari itu masyarakat sipil perlu memberikan daya tawar yang kuat, yaitu ada nya organisasi dan agenda yang jelas. Para peserta diminta untuk memetakan SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, and Threat) dalam diskusi kelompok kerja, fasilitator juga mengarahkan para peserta juga sudah dapat memikirkan agenda prioritas strategis untuk 5 tahun kedepan. III.1.1. Kelompok Kerja Pelayanan Publik Di klaster transparansi, ada beberapa praktik baik yang telah dilaksanakan, antara lain adanya inisiatif open school untuk membuka anggaran sekolah dengan memanfaatkan teknologi dan informasi, adanya pertemuan warga untuk menginformasikan program pemerintah, APBS online dan offline dalam bentuk papan informasi, open budget anggaran dibidang pendidikan di APBD, dan lain – lain.
10 | P a g e
Namun, masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, seperti rendahnya literasi penggunaan teknologi dan informasi untuk pelayanan public bahkan adanya rasa ketakutan akan penyalahgunaan teknologi dan informasi, belum lagi tidak meratanya ketersediaan infrastruktur keterbukaan informasi public dan paradigma penyelenggara layanan yang belum terbuka. Walaupun begitu, masyarakat sipil melihat banyak peluang seperti komitmen pemerintahan baru untuk pendidikan, meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melakukan pengawasan, maraknya penggunaan social media dan jurnalisme dari warga, meningkatnya anggaran untuk pendidikan, peluan CSR dan donor yang meningkat, dan masih banyak lagi. Sedangkan di klaster partisipasi publik masyarakat sipil dapat melihat bahwa sekarang telah ada pelibatan warga sekolah untuk tata kelola sekolah, pertanggung jawaban, advokasi kebutuhan sekolah dan juga dalam proses pengambilan kebijakan, munculnya inisiatif penyusunan Standar Pelayanan Publik secara partisipatif, dan adanya keterlibatan media massa untuk menyediakan ruang – ruang pengaduan dan pemeritaan tentang pelayanan pendidikan. Dilain sisi, masyarakat juga melihat bahwa ada beberapa tantangan yang harus di selesaikan seperti dalam isu partisipasi pengetahuan warga tentang hak – hak masih dianggap rendah, kapasitas warga dalam berpartisipasi juga belum merata, hanya actor – actor saja yang terlibat. Sedangkan dalam pelayanan public di bidang pendidikan ada tantangan berupa berkurangna partisipasi orang tua murid di komite sekolah, dan tidak sinkronnya dana alokasi khusus (DAK) dengan kebutuhan di sekolah. Dalam klaster akuntabilitas tantangan yang dihadapi juga bervariasi, dimana dalam isu pendidikan dapat dilihat bahwa tingkat korupsi dana masih tinggi, dimana kapasitas organisasi masyarakat sipil untuk melakukan pengawasan belum merata, dan juga belum ada mekanisme yang baik untuk sistem pengaduan. Disisi lain sudah banyak praktik baik yang terlaksana, antara lain, terdapat banyak inisiatif dari masyarakat sipil untuk melakukan pengawasan dan pelayanan pendidikan, banyak pula praktik keterlibatan masyarakat sipil dalam melakukan rekam jejak terhadap calon kandidat kepala dinas yang dicontohkan di Kayong Utara, Kalimantan Barat, dan terdapat berbagai macam inisiatif dari kelompok warga untuk membuka posko pengaduan pelayanan publik. Praktik baik juga terlaksana pada klaster lingkungan pendukung, seperti dengan terus meningkatnya alokasi anggaran pendidikan dan terus berkembangnya kapasitas sekolah dalam pemanfaatan teknolodi dengan pembangunan laboratorium computer yang dilengkapi dengan internet, juga tersedianya standar pelayanan informasi public di sektor pendidikan di beberapa daerah. Namun dengan adanya praktik baik tersebut tidak tertutup pula tantangan pada klaster ini, dimana terdapat disparitas infrastruktur pendidikan antar wilayah, masih maraknya 11 | P a g e
labelisasi sekolah seperti sekolah favorit dan tidak, pola piker pendidikan yang belum memaknai pendidikan sebagai pelayanan public, sistem insentif untuk tenaga pengajar di daerah terpencil masih belum berjalan dengan baik dan nilai – nilai integritas belum tertransformasi dalam praktik penyelenggaraan pendidikan. Namun terdapat juga peluang bagi masyarakat sipil seperti tersedianya bantuan pengembangan sistem transparansi sekolah dan program donor atau masyarakat sipil, dan adanya komitmen dari kepala daerah untuk mengembangkan pelayanan public secara online. Dengan melihat pemetaan tersebut kelompok kerja pelayanan public telah memprioritaskan beberapa agenda dalam 5 tahun kedepan seperti sistim informasi pelayanan pendidikan dasar terintegrasi, dan pengembangan sistem penanganan pengaduan pelayanan pendidikan yang terintegrasi. ( Lihat Lampiran Diskusi Kelompok Kerja Pelayanan Publik ) III.1.2. Kelompok Kerja Anggaran dan Pajak Dalam diskusi kelompok Anggaran dan Perpajakan, masyarakat sipil membagi isu ini dalam 3 kelompok, Anggaran – Penganggaran, Pelaksanaan – Pengawasan, dan Perpajakan. Di kelompok Anggaran-Penganggaran isu yang diangkat antara lain adalah pertama kurang transparannya tahapan penganggaran, dimana diperlukan adanya publikasi dokumen KUA/PPAS secara regular, audit keterbukaan perencanaan anggaran menggunakan metode follow the money. Kedua, adalah isu partisipasi masyarakat dalam anggaran masih dianggap rendah dimana partisipasi masyarakat terbatas pada ‘belanja ide’ , dan diperlukan adanya publikasi penjadwalan APBD, isu ini diminta untuk mewajibkan hadirnya forum SKBD didalam masyarakat. Ketiga, adanya problem legitimasi dan representasi masyarakat sipil dalam proses penganggaran, dimana masyarakat seharusnya diberikan wewenang bersuara dalam perumusan APBD. Keempat , tidak adanya aturan supervise proses penganggaran dan ketidak jelasan definisi administrasi anggaran dan pelanggaran pidana anggaran. Dalam klaster Pelaksanaan – Pengawasan, isu yang diangkat pertama adalah isu ketidak jelasan proses pengendalian penggunaan anggaran yang membutuhkan perbaikan manajemen proyek, kedua, terjadi keterlambatan spending akibat proses pengadaan lambat dimana dibutuhkan pengadaan secara serentak. Yang ketiga, kriminalisasi oleh aparat hukum atas nama pelanggaran administrasi anggaran dimana diperlukan sanksi yang jelas. Keempat, ada ketidak jelasaan proses tindak lanjut hasil analisis BPK, kelima , transfer dari pusat ke daerah yang terhitung lambat dimana system dan data pengelolaan anggaran pusat-daerah seharusnya terkonsolidasi. Dan yang keenam, transparansi pengelolaan Bantuan Sosial, BOK, BOS yang dibutuhkan pengelolaaan Kriteria Data Penerima, dimana terdiri dari tim independen untuk memverifikasi data pnerimam, selain itu dibutuhkan pula transparansi data penerima, transparansi disbursement, dan penegakan hukum. 12 | P a g e
Sedangkan pada isu Perpajakan, ada arus ide utama yaitu transparansi sektor perpajakan, dimana ditemukan beberapa permasalahan yang antara lain sumber pendapatan yang tidak transparan, korupsi perpajakan yang masih tinggi, kepemilikan property dimana perusahaan tidak transparan, dan permasalahan keterbukaan pengadilan pajak. Dari berbagai klaster tersebut, sesuai dengan arah diskusi, dapat disimpulkan bahwa dari segi kekuatan masyarakat sipil telah banyak yang melakukan anggaran public, dimana dirasa bahwa kesadaran masyarakat dalam isu anggaran dan perpajakan dapat dianggap tinggi, dan muncullah forum – forum masyarakat sipil mengenai anggaran dan perpajakan. Namun kita juga dapat melihat bahwa penyeberan pengetahuan dan kapasitas masyarakat sipil mengenai isu anggaran dan perpajakan kurang merata, belum lagi masyarakat sipil yang memang focus kepada isu perpajakan masih sangat kecil jika dibandingkan dengan isu anggaran, yang kemungkinan dikarenakan kapasitas masyarakat sipil mengenai perpajakan masih lemah. Namun, masyarakat sipil juga memiliki peluang dimana adanya komitmen dari pemerintahan terkini mengenai pemberantasan mafia pajak, dan KPK dianggap responsive terhadap laporan korupsi perpajakan yang merupakan sektor prioritas, adanya RUU pengadilan pajak dan prolegnas 2015-2019, dan potensi donor untuk mendorong transparansi pajak. Namun kita juga perlu mengingat bahwa adanya kriminalisasi tinggi dimana UU perpajakan sangat tertutup, dan adapun dualisme pidana perpajakan dan pidana korupsi yang merupakan sebuah ancaman tersendiri, dan yang terakhir adalah parlemen yang transaksional. Dalam hal ini, masyarakat sipil memberikan saran bahwa diperlukan update analisis secara berkala dan evaluasi multi-pihak, memperluas penggunaan instrument pengendalian prsose bisnis dalam penggunaan APBD/N, menginfestasikan dan memperluas basis gerakan membayar pajakberkeadilan dan perlu dibentuknya sebuah task force untuk isu penggelapan pajak. III.1.3. Kelompok Kerja Transparansi Parlemen dan Partai Politik Kelompok transparansi dan partisipasi parlemen pada awal diskusi menekankan bahwa prinsip pemerintahan terbuka adalah dimana adanya tata kelola, pemerintahan yang partisipatif, dan posisi masyarakat yang setara. Untuk itu diperlukan 6 prinsip tata kelola yaitu, transparansi, akuntabilitas, partisipasi, efektifitas, tanggung jawab, efisiensi, dan aturan hukum yang jelas. Dalam klaster partai politik, kondisi sekarang adalah dimana partai politik memiliki sistim kaderisasi yang mengkhawatirkan, sistim keuangan yang tidak transparan, proses rekruitmen dan oligharki elit yang bergantung pada pemodal. Di lain sisi, partai politik yang ideal merupakan partai politik yang mandiri secara finansial , melengkapi standar kewajiban audit, memliki PPID yang telah diatur dalam UU KIP, dan adanya intervensi Negara yang mewajibkan parpol untuk meng update AD/ART partai.
13 | P a g e
Namun ada pula berbagai macam ancaman dalam bentuk UU seperti UUOrmas, MD3, UU parpol yang minimalis, pemborosan dan korupsi anggaran Negara, tidak ada badan yang mengawasi partai politik, dan partisipasi public yang menurun. Masyarakat sipil melihat adanya peluang dalam intervensi yang dilihat dari rencana reformasi bidang politik yang tertulis pada nawacita pemerintahan baru khususnya poin 2. Intervensi ini antara lain adalah perubahan UU partai politik, rekomendasi mekanisme subsidi Negara kepada partai politik, uji akses dana partai politik oleh public, dibentuknya rekening resmi partai politik dan diawasi oleh PPATK dan Bank, mendorong gerakan politik khususnya untuk para pemuda, dan lain lain. Pada klaster parlemen, masalah yang ada antara lain adalah tidak jelasnya persayaratan mengapa rapat parlemen tertutup, akses informasi anggaran parlemen, akses terhadap pembahasan APBD/N dan akses terhadap dokumen terkait proses yang terjadi di parlemen masih sangat terbatas,hubungan dengan sekwan/sekjen yang tidak terkoneksi, mekanisme fraksi menjadi sarana intervensi elit partai politik, tidak ada mekanisme pertanggungjawaban public, ada dominasi kekuatan partai mayoritas seperti yang terjadi pada kasus aceh, tidak ada pertanggung jawaban anggota parlemen secara keuangan maupun politik, dan lain – lain. Masyarakat sipill melihat adanya sebuah agenda dimana dapat dilakukan intervensi untuk membuat parlemen dalam kondisi ideal, antara lain adalah revisi UU MD3, sinkronisasi UU MD3 dan RUU keuangan Negara, perubahan PP no.24/25 tenteng tata tertib DPRD, mendorong perubahan lewat peraturan DPR dan tata tertip DPR, uji akses masyarakat terhadap DPR, dan lain – lain. Dalam mewujudkan agenda tersebut ada peluang dalam komitmen pemerintah dalam mendorong reformasi parlemen dan peningkatan partisipasi parlemen, ada kebutuhan mengubah blue print DPR dan revisi UU MD3 pasca rujuk. III.1.4. Kelompok Kerja Penegakan Hukum Diskusi pada kelompok keterbukaan penegakan hukum langsung diawali dengan pemetaan kekuatan dimana masyarakat sipil dapat merasakan kuantitas dan kualitas sumber daya masyarakat sipil yang memadai, namun masyarakat sipil memlilki kelemahan dalam keberlanjutan gerakan dari sumber daya tersebut dan penyediaan informasi , infrasturktur, fasilitas, dan sumber daya manusia yang tidak merata. Dalam hal ini, kelompok kerja ini melihat adanya peluang dalam nawacita pemerintah baru mengenai keterbukaan penegakan hukum, adanya UU KIP dan peraturan internal, dan adanya Case Tracking System di Pengadilan Negri. Dilain pihak masyarakat sipil juga terancam dengan hadirnya politik anggaran, UU ITE dan UU organisasi masyarakat. Untuk menanggapi hal ini, kelompok kerja penegakan hukum telah memetakan actor – actor potensial yang dapat di dekati dengan mekanisme reward antara lain pimpinan pusat dan loka, public figure, dan instansi pendidikan. 14 | P a g e
Dengan adanya peluang – peluang tersebut, dibentuklah agenda – agenda strategis yang antara lain adalam replikasi CTS di tingkat kejaksaan dalam jangka pendek untuk perkara tipilor, yang nantinya akan terintegrasi . Adanya pembagunan kapasitas terkait dengan keterbukaan untuk instansi penegak hukum, masyarakat sipil, media, pengacara, insitansi pendidikan, KIP/KID dengan memasukkan kedalam kurikulum instansi – instansi tersebut, adanya uji akses di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan LP, pemetaan factor penghambat keterbukaan informasi penegakan hukum, merumuskan peraturan baru terkait keterbukaan informasi di instansi penegak hukum, merekam APH terbuka yang menangani tindak pidana korupsi dan Judisial Review UU ITE dan UU lain yang dirasa menghambat . III.1.5. Kelompok Kerja Lingkungan dan Sumber Daya Alam Kelompok kerja lingkungan dan sumber daya alam memetakan diskusi nya berdasarkan praktik yang ada, pada contohnya dari Riau mengatakan bahwa sejak proses advokasi September lalu, pemerintah Kabupaten Inragili Hulu sudah memiliki DIP khusus sektor ekstraktif yang dikelola oleh PPID Pembantu di Dinas Pertambangan dan Dinas Pendapatan. Di situasi ini dapat dilihat bahwa Pemerintah Kabupaten Indragili Hulu adalah salah satu pilot project pemerintahan terbuka, dan memiliki komitmen yang kuat dari kepala daerah dan jajarannya. Namun kelemahannya adalah dari bentuk koordinasi antara PPID dan PPID pembantu yang selevel sehingga butuh campur tangan sekretaris daerah selaku atasan PPID untuk setiap kebijakan pelayanan public yang semestinya cukup dilakukan oleh PPID Utama. Dalam isu penguatan masyarakat adat, sejak awal November pemerintah Kabupaten Lebak sedang diorong untuk menetapkan Raperda Pengakuan Masyarakat Adat Kasepuhan, isu ini merupakan isu elitis yang hanya dipahami oleh tokoh adat dan belum banyak diminati oleh kaum muda dan perempuan, dikhawatirkan juga adanya konflik kepentingan dengan partai pengusung. Namun ada perkumpulan masyarakat adat sabaki dan Wakil bupati dan 5 anggota DPRD yang merupakan masyarakat adat dimana anggota DPRD yang merupakan wakil masyarakat adat berasal dari partai pemenang pemilu, masyarakat juga memiliki jaringan organisasi masyarakat sipil untuk mengusung terbitnya perda ini, dimana raperda akan masuk program legislasi daerah di tahun 2015. Sedangkan di isu perizinan sektor pertambangan, praktik di kabupaten kutai, kartanegara dan kota samarinda sedang mendorong pembuatan SOP. Kelemahanna belum adanya rumusan target jangka panjang advokasi dalam hal ini dan sumber daya manusia yang focus pada substansi masih sangat sedikit, juga pemerintah masih sangat tertutup dalam hal ini. Namun masyarakat memberikan dukungan yang besar dan dapat dimanfaatkan untuk mendorong kebijakan. Isu – isu tersebut, dan masih banyak isu lainnya telah memetakan agenda prioritas strategis untuk rencana 5 tahun ke depan. Dalam subsector ekstraktif dibutuhkan agenda untuk mendorong implementasi keterbukaan dan replikasi keterbukaan di isu lain khususnya di kabupaten Indragiri Hulu dan mendorong pembuatan SOP layanan Informasi dan DIP di kutai kartanegara dan samarinda. Dalam subsector masyarakat adat dibutuhkan agenda untuk mendorong perda pengakuan masyarakat adat dimana indicator keberhasilan 15 | P a g e
tercapai apabila perda pengakuan masyarakat adat sudah terbit. Dalam isu lingkungan dibutuhkan untuk mendorong lahirnya kebijakan pemberian informasi lingkungan secara proaktid dan dalam isu kehutanan dibutuhkan perbaikan tata kelola hutan melalu keterbukaan informasi di sektor kehutanan. III.1.6. Kelompok Kerja Desa Dalam diskusi, kelompok desa segera memetakan kelemahan dari masyarakat sipil dalam menangani isu – isu di desa, dimana antara lain adalah belum adanya koordinasi yang baik antara wilayah kerja yang ada dan adanya keterbatasan sumber daya manusia yang ada. Selain itu masyarakat sipil diancam dengan ketidak siapan dan ketidaktahuan yang berasal dari baik pemerintah daerah mengenai lambatnya reulasi daerah, aparat desa untuk regulasi tata kelola dan dari masyarakat sipil sendiri dalam segi partisipasi aktif. Rendahnya tingkat kepercayaan diri aparat dan warga desa atas kemampuan masing – masing merupakan sebuah ancaman yang berakibat pada model partisipasi warga yang ada, dimana sekarang masih berorientasi pada tokoh, khususnya pada partisipasi perempuan masih belum inklusif dimana bermodalkan partisipasi kuantitatif saja dan juga isu masih minimnya keseimbangan gender di elit pemerintahan desa. Selain isu – isu tersebut sebagai ancaman, ada pula isu kerentanan korupsi dan politik uang, dalam sistim manajemen ancaman yang dikhawatirkan adalah regulasi dan peraturan tingkat daerah yang belum selesai dan manajemen tata kelola desa. Ancaman – ancaman lain hadir dalam bentuk fenomena pemekaran desa dan fenomena kelurahan yang ingin menjadi desa, perubahan kelembagaan di tingkat nasional, belum jelasnya status tapal batas desa dalam kawasan hutan dan banyaknya teknologi informasi yang tidak terbuka karna hanya bisa dioperasikan dengan vendor tertentu. Dari berbagai macam kelemahan dan ancaman yang ada, masyarakat sipil desa juga memiliki kekuatan dengan adanya keterlibatan dalam pengawalan regulasi desa semenjak RUU Desa dan pendampingan aparat desa, begitu pula dengan model penguatan masyarakat desa yang telah berkembang. Masyarakat sipil juga sudah memiliki jaringan yang luas di berbagai wilayah kerja. Sedangkan masyarakat sipil memiliki peluang yang besar diakarenakan makin kuatnya wewenang desa dalam regulasi baru, sumber daya manusia desa yang potensial dan dapat dikembangkan. Dalam hal pembangunan adanya website desa dan drone desa merupakan sebuah peluang yang besar, dan perubahan kelembagaan di tingkat nasional. Dalam hal partisipasi, ada peluan lewat BPD Dalam menanggapi pemetaan tersebut, kelompok desa menyimpulkan bahwa ada hal – hal yang harus diprioritaskan dalam mengatasi tantangan di 4- 5 tahun mendatang, antara lain, pertama penguatan kapasitas aparat desa dan masyarakat termasuk perempuan dan kelompok marjinal, kedua advokasi regulasi baik ditingkat nasional, daerah dan desa, ketiga mendorong penyelesaian kejelasan tata ruang/tapal batas kawasan desa dan kawasan lain , keempat, mendorong kejelasan desa administratif dan desa adat. ruang – ruang belajar, 16 | P a g e
yang dapat didorong dengan membuat model jaringan informasi agar desa bisa belajar dari desa lain. Selain desa pintar, diperlukan alat belajar bersama dimana alat ini digunakan sebagai alat panduan bersama, contohnya dalam mengelola BUMDesa secara transparan dan partisipatif. Diperlukan pula konsolidasi dan penguatan jejaring, politik yang bersih, partisipasi inklusif dan akses informasi inklusif dimana ada prinsip kesetaran gender, anak dan kebutuhan khusus harus masuk ke dalam agenda pembangunan dan politik desa, mengatasi kesenjangan pengetahuan khususnya pada isu pemerintahan terbuka, dan yang terpenting menjalin kerjasama dengan working group lain.
III.2. Diskusi Membangun Model Jaringan dan Koordinasi Dalam sesi ini Wandy Tuturoong selaku fasilitator memberikan paparan mengenai perlu nya sebuah struktur untuk mengatur antara organis masyarakat sipil berjejaring dimana dapat dilanjutkan dengan membuat skema berdasarkan pembelajaran model keorganisasian yang selama ini sudah dijalankan. Kementrian dan kelompok kerja akan disesuaikan dengan bidang yang sama, pada contohnya kementerian kesehatan akan bersanding dengan kelompok kerja isu kesehatan, sedangkan forum deliberative merupakan forum bersama organisasi masyarakat sipil dan pemerintah yang dapat merancang aksi bersama. Pada level yang lebih tinggi, ada Panitia Pelaksana atau Steering Committee yang merupakan perwakilan dari kelompok kerja, harap diingat bahwa kelompok kerja harus inklusif. Sugeng Bahagijo menambahkan bahwa tidak keberatan dengan konsep sederhana tersebut karna kriteria beliau adalah bahwa jaringan ini harus cair dan efektif. Untuk teori perubahan ada di anggota dan dikepengurusannya, jika dibentuk sebuah jaringan maka yang akan bergerak haruslah anggota kelompok kerja tersebut tidak hanya menumpukan pada pengurus atau Panitia Pelaksana, dimana Panitia Pelaksana adalah wadah untuk koordinasi. Pada akhir diskusi, disimpulkan bahwa perlu ada kelompok kerja yang akan memfinalisasi agenda, yaitu pada tahap evaluasi, sistim komunikasi, SOP dan indentifikasi yang akan menjadi bagian dari kelompok kerja. Maka dari itu pembuatan kelompok kerja berdasarkan 6 klaster yang telah dibuat sebelumnya yaitu pelayanan public, anggaran dan pajak, penegakan hukum, parlemen dan partai politik, lingkungan dan sumber daya alam, dan desa.
17 | P a g e
IV. Pokok-Pokok Hasil Pertemuan Pada tanggal 19 hingga 20 November 2014, telah diselenggarakan Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil “Memperkuat Jaringan Kerjasama Masyarakat Sipil Yang Efektif dan Kredibel Untuk Pelaksanaan OGP di Indonesia”. Pertemuan ini dihadiri oleh 72 peserta yang merupakan perwakilan Kelompok Masyarakat Sipil di Jakarta serta wilayah Timur, Barat dan Tengah Indonesia ditambah dengan perwakilan dari lembaga donor. Pertemuan ini diawali dengan Diskusi Pelno dari Tara Hidayat (Deputi UKP4), Sugeng Bahagijo (INFID/Steering Committee OGP) dan Lutfi A. Mutty (Anggota DPR Fraksi Nasional Demokrat). Tara Hidayat menyampaikan bahwa OGP harus terus berlanjut dan bahkan harus semakin kencang. Pemerintah Indonesia sangat serius dan berkomitmen tinggi dalam pelaksanaan OGP karena sangat yakin akan manfaat OGP baik untuk pemerintah maupun masyarakat. Terdapat tiga keunggulan dari gerakan OGP yaitu pertama OGP merupakan gerakan bersama antara pemerintah dan kelompok masyarakat sipil, kedua gerakan ini mengutamakan pada pengetahuan, ide dan pengalaman dari para pelakunya, dan ketiga mempercepat kebaikan dan kemajuan untuk negara kita. Ke depan, arah OGP perlu muara dan kendaraan yang mampu mengelola secara efektif, sehingga dampaknya bisa dirasakan masyarakat. Sugeng Bahagijo menyatakan bahwa OGP akan memberikan manfaat lebih jika memiliki sebuah rencana aksi yang mengarah pada perubahan yang nyata dan konkrit serta mampu menghasilkan perubahan yang akan memecahkan masalah. Perubahan yang terjadi haruslah perubahan yang bersifat besar, sebagai contoh kasus yang terjadi di Swedia yang pernah selama 130 tahun menjadi negara yang penuh korupsi dan penyimpangan. Saat ini Swedia telah menjadi negara yang bebas atau setidaknya minim korupsi, dan bahkan Swedia merupakan negara pertama di jaman modern yang memberlakukan Undang-Undang Kebebasan Informasi. Sugeng juga menekankan bahwa OGP tidak boleh terisolasi, karenanya OGP harus memperluas basis sosial. Lutfi A. Mutty berpendapat bahwa OGP merupakan gerakan untuk mendorong agar pemerintah lebih terbuka, efektif, dan akuntabel. OGP merupakan sebuah gerakan yang ingin mengembalikan pemerintah menjadi milik rakyat dengan cara membawa rakyat ke dalam pemerintahan. Oleh karenanya pemerintah baru harus mendukung gerakan OGP ini karena juga sesuai dengan Nawacita Presiden Joko Widodo. Tantangannya adalah bagaimana getaran dari gerakan OGP bisa mencapai tingkat daerah, karena selama ini getaran tersebut masih belum terasa di daerah. Selain hal tersebut di atas, juga dilakukan diskusi kelompok untuk melihat isu-isu penting yang relevan dan bagaimana membangun tata kelola berjaringan diantara kelompok masyarakat sipil. Beberapa usulan dari diskusi kelompok berdasarkan isu antara lain adalah: 18 | P a g e
Kelompok Lingkungan dan Sumberdaya Alam: 1) mendorong implementasi keterbukaan industri ekstraktif 2) mendorong Perda Pengakuan Masyarakat Adat 3) mendorong perbaikan tata kelola hutan melalui keterbukaan informasi di sektor kehutanan. Kelompok Pembangunan Desa: 1) mendorong adanya akses informasi yang inklusif, termasuk memanfaatkan sarana budaya dalam memberikan akses informasi 2) penyusunan alat belajar bersama 3) pembentukan jaringan lumbung informasi desa (linda) Kelompok Transparansi dan Partisipasi Parlemen: 1) mendorong adanya audit pendanaan partai politik (parpol) oleh sistem audit parpol 2) perubahan UU Parpol 3) Advokasi UU MD3 Kelompok Keterbukaan Penegakan Hukum: 1) replikasi case tracking system di Kejaksaan Agung untuk perkara tindak pidana korupsi 2) Uji akses di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Kelompok Pelayanan Publik: 1) mendorong adanya sistem informasi pelayanan pendidikan dasar yang terintegrasi 2) pengembangan sistem penanganan pengaduan pelayanan pendidikan yang terintegrasi Kelompok Anggaran dan Perpajakan: 1) Mengintensifkan dan memperluas basis gerakan pembayar pajak berkeadilan 2) Membentuk gugus tugas untuk mengatasi penggelapan pajak Berdasarkan diskusi kelompok yang dilakukan, pertemuan ini menghasilkan kesepakatan-kesepakatan baru yang akan memandu proses berjaringan dari kelompok masyarakat sipil terkait dengan pelaksanaan OGP di Indonesia. Kesepakatankesepakatan baru tersebut adalah: Dibentuknya Forum dan Jaringan CSO dalam memajukan Open Government. Forum dan Jaringan tersebut menganut prinsip inklusif dengan model pengelompokan sektoral dan lintas sektor, serta berlaku di sub-nasional dan nasional. Dibentuknya Kelompok Kerja masyarakat sipil yang didasarkan pada isu yaitu 1) Kelompok Kerja Desa 2) Kelompok Kerja Pelayanan Publik 3) Kelompok Kerja Anggaran dan Pajak 4) Kelompok Kerja Hukum 5) Kelompok Kerja Parlemen 6) Kelompok Kerja Lingkungan dan Sumberdaya Alam. Disepakatinya pembentukan Steering Committee yang anggotanya merupakan perwakilan dari Kelompok Kerja Setiap Kelompok Kerja tersebut, menunjuk perwakilannya untuk duduk menjadi anggota Steering Committee (SC) ditambah SC OGP Global . Tugas utama SC ini adalah 1) Melakukan evaluasi 2) Mempersiapkan sistem komunikasi 3) Mempersiapkan prosedur standar operasional (SOP) 4) Mengidentifikasi kelompok masyarakat sipil untuk menjadi anggota dari Kelompok Kerja yang sudah dibentuk. 19 | P a g e
Anggota Steering Committee tersebut adalah 1) Ahmad Faisol (Media Link), 2) Sugeng Bahagijo (INFID), 3) Burhan A.S (Laskar Batang), 4) Nanda Sihombing (Pattiro), 5) Lukman Hakim (FITRA), 6) Tenti Kurniawati(IDEA), 7) Choky Ramadhan (MaPPI FH-UI), 8) Sulastio (IPC), 9) Muhammad Akil (Kopel), 10) Triono Hadi (Fitra Riau), 11) Astrid Debora (ICEL). Rencana tindak lanjut yang akan dilakukan segera oleh SC adalah membuat mailing list, menyelenggarakan pertemuan jarak jauh setiap bulan dan melakukan pertemuan secara per tiga bulan.
20 | P a g e
LAMPIRAN 1. FOTO KEGIATAN
Pembicara : Tara Hidayat (UKP4), Sugeng Bahagijo (Direktur INFID), Yenny Sucipto, (Pattiro),
Tara Hidayat (UKP4 )
Diskusi Kelompok
Ahmad Faisol (Media Link)
21 | P a g e
LAMPIRAN 2. DAFTAR PESERTA 1. A. Marthen, Kiara 2. A. Muh Hidayat, Yasmib Sulawesi 3. Acmad Fikri, Mappi FHUI 4. Agus Sumberdana, Sloka Institute 5. Agus, ICW 6. Ahmad Faisol, Media Link 7. Amel, Mata 8. Aryanto, PWYP 9. Askhalani, Gerak Aceh 10. Astrid, ICEL 11. Burhan AS, Laskar Batang 12. Choky R, Mappi FHUI 13. Danar, Pattiro 14. Darwanto, IBC 15. Desiana, IPC 16. Dody Priambodo, Hivos 17. Dwi Arie Santo, Somasi 18. Ega Rosalina, Pattiro 19. Ervyn Kaffah, Fitra NTB 20. Feri, Pattiro 21. Fikri Kurniawan, Sindo Weekly 22. Fithya Findie, UKP4 23. Fuad, Formasi Kebumen 24. Gemini Van Royan, Akar Foundation 25. Hamong Santono, INFID 26. Handayani, notulen 27. Hanifah, British Embassy 28. Hasmida Karim, Alpen Sultra 29. Hendrik, Yappika 30. Hermawnsyah, Gemawan 31. Hilman Handoni, INFID 32. Ilham Saenong, TII 33. Irsyadul Ibad, infest Yogya 34. Ismail husen, Swara Parangpuan Sulut 35. Jeckson, INFID 36. Jensi Sartin, PWYP 37. Justus Pattipae, institute Tifa Damai Maluku 38. Linda Rosalina, Forest Watch Indonesia 39. Linggarjati, KH2 Institute 40. Liza Farihah, Leip 41. Lukman Hakim, Seknas Fitra 42. Luluk U. Epistima
43. Luthfi 44. M. Akil Rahman, Kopel 45. M. Khayat, INFEST 46. M. Tanziel Aziezi, LESP 47. Maniaty, Jari Kalteng 48. Mujtaba, Media Link 49. Mukhilisin, kebebasan informasi 50. Mutmainah Korona, KPPA 51. Nanang Syaifudin, Ilab 52. Nanda Sihombing, Pattiro 53. Neneng, Pattiro 54. Nike varikha, notulen 55. Okky Syarifudin, pokja 30 56. Paul Sinlaeloe, Piar NTT 57. Puthut, kemitraan 58. Reza Syahwani, TII 59. Ria, Hivos 60. Rurita Ningrum, fitra Sumut 61. Rusman Anno, Jari CSR 62. Sabarno, INFID 63. Sed Dian, Pattiro 64. Shita, Hivos 65. Sugeng Bahagijo, INFID 66. Sulistio,IPC 67. Suwarno, INFID 68. Tara Hidayat, UKP4 69. Tenti, Idea Yogya 70. Triono Hadi, Fitra Riau 71. Wahyudi, TII 72. Wandy, TII 73. Wasiton, INFID 74. Yenny Sucipto, Pattiro 75. Yose Hendra, AJI Padang 76. Yusuf Talama, YPSHK
22 | P a g e