PROSES PEMBELAJARAN DALAM AL-QURAN (TELAAH KISAH NABI MUSA DAN NABI KHIDIR DALAM QS AL-KAHFI [18];60-82) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (SPd.I)
oleh : Ahmad Syaikhu NIM : 106011000062
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H / 2010M
ABSTRAKSI Ahmad Syaikhu 106011000062 PROSES PEMBEAJARAN DALAM AL-QURAN (TELAAH KISAH NABI MUSA DAN NABI KHIDIR DALAM QS AL-KAHFI [18]; 60-82). Pendidikan adalah sebuah usaha untuk memosisikan manusia pada posisi kemanusiaannya, yaitu manusia yang tumbuh dan berkembang menuju kematangan, kedewasan, dan kemapananan yang beradab. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, bab 2 pasal 3 menyebutkan, bahwa tujuan pendidikan adalah, “…mengembangkan potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”1 Sementara itu, pendidikan Islam sebagaimana yang diungkap Athiyah alAbrasyi adalah usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban amanah dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di bumi.2 Namun demikian, arus zaman menuntut pendidikan untuk terus dipompa dan dikembangkan agar semakin menemukan ruhnya. Lantaran permasalahanpermasalahan pendidikan bukanlah masalah yang simple, melainkan memunculkan masalah-masalah yang promlematis bahkan kompleks. Hingga saat ini, definisi-definisi tentang pendidikan terus bertambah dan saling menyempurnakan. Dalam hal itu, penulis melihat permasalahan pendidikan yang paling mendasar masih berkisar pada area pembelajaran dan prosesnya atau proses pembelajaran. Kita masih belum dapat menemukan pandangan-pandangan yang utuh tentang pendidik, pengajar, peserta didik, dan pembelajar. Konsekuensinya semua berjalan mengalir begitu saja. Di sisi lain, pembahasan pendidikan yang direlasikan dengan al-Quran masih sangat minim. Padahal, al-Quran sejak awal mula telah menghembuskan spirit-spirit terkait pendidikan. Misalnya, ayat pertama yang menyerukan kita untuk mebaca secara umum dan luas ayat-ayat Allah baik yang bersifat tanziliyah maupun kauniyah (lihat QS al-‘Alaq [96]; 1). Sebagai jawaban atas permasalahan-permasalahan tersebut, penulis berupaya untuk menemukan pandangan-pandangan pendidikan dalam al-Quran, dalam hal ini Proses Pembeajaran dalam al-Quran (Telaah Kisah Musa dan Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82). Semoga pembahasan ini dapat memberi angin segar dan membangkitkan kembali penelitian pendidikan berbasis al-Quran.
1
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional, (Tanpa Penerbit: 2003), hal 6. 2 Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (PT Gemawindu Pancaperkasa, 2000) cet 1 h 2.
i
KATA PENGANTAR
Bismillah, Alhamdulillah ‘Amma Ba’du. Tiada kata yang dapat penulis katakan untuk menunjuk kebesaran dan keagungan-Nya. Segala puja dan puji syukur kehadirat-Nya, Tuhan semesta alam yang telah menebarkan rahmat-Nya ke seluruh alam. Salawat beriring salam semoga selalu tercurahkan kepada hibibina, maulana, wa qurratu a’yunina, Nabi Muhammad Saw. Tidak mudah menyususn sebuah karya ilmiah, Penulis menyadari itu sepenuhnya. Karena dalam penulisan ini diperlukan kejernihan hati, ketajaman pikiran, dan kedalaman pengetahuan. Namun berkat bantuan, dorongan, motivasi dari berbagai pihak, syukur alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, guna memenuhi persyaratan akademik yang harus ditempuh dalam mencapai gelar sarjana program strata satu (S1), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu baik secara moril atau materil, khususnya kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Ketua dan Sekretaris jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bpk. Abdul Ghafur MA, dosen pembimbing skripsi Penulis, yang telah mencurahkan segenap perhatian sampai penulisan skripsi ini rampung. 4. Segenap bapak dan ibuk dosen jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri
ii
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah dengan sabar mencurahkan tenaga dan pikiran demi keberhasilan kami di kampus peradaban ini. 5. Dosen-dosen penuh inspiratif, pemberi motivasi, yang tak pernah lelah memberi wejangan terbaik. 6. Guru Besar tercinta, Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub MA, Orang tua kami (para mahasantri Darus-Sunnah) di Ciputat. 7. Orang tua tercinta H. Mashuri dan Hj. Juriah, yang dengan kelembutan dan kesabaran telah membuat penulis tegar dalam menghadapi tantangan hidup (Allahummaghfirli wa li walidayya warhahum kama Rabbayanii shagiraa). 8. Kakakku, Widia Nuraini S.Pd yang telah membantu secara moril dan materil, yang selalu memberi nasehat terbaik kepada penulis. 9. Saudara-saudara Penulis yang terbaik Mita Ulfa Yanti Nur Islami, Abdul Aziz Khlaifi, yang masih tafaqquh fi al-din. Maka kebersamaan kita adalah saat-saat terindah. Keindahan yang dibalut dengan kasih sayang dan cinta. Seperti kebersamaan yang kita rajut bersama, moga kelak kita dimasukkan ke surganya bersama juga. Amien 10. My spesial guidence, Miratul Hayati S.Pd.I, semoga cepat lulus S2nya. 11. The Best Friend, teman-teman di pondok tercinta Darus-Sunnah High Institute for Hadis Sciancies, khususnya ‘angkatan ta’aruf’ (Kang Sule, Lutfi Tajir, dll) (teman-teman kamar, TB S.Pd.I, Didut, dll). Teman-teman kelas B ‘06, yang penuh dengan riuh rendah canda-tawa, teman-teman seperjuangan di FLP, wa bil khusus angkatan inti (K’ Dodo, teh Lina, Ali R, Aji P, Gufran H, Desi A, Anah, Anna, dll), teman-teman di Buletin Nabawi, teman-teman Majalah Mimbar al-Azhar, teman-teman di ITE, Institute for Training and Educatioan. Ciputat, 2 Desember 2010 Penulis
Ahmad Syaikhu iii
ABSTRAK .............................................................................................................. i KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................ 1 A. Latar belakang Masalah ................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah.......................................................................... 8 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 8 D. Tujuan Penelitian ............................................................................. 8 E. Metodelogi Penelitian ...................................................................... 9 F. Review Studi Terdahulu.................................................................. 10
BAB II
KONSEP PEMBELAJARAN IDEAL .............................................. 11 A. ..................................................................................................... D efinisi Pembelajaran ....................................................................... 11 B. ..................................................................................................... T ujuan Pembelajaran ........................................................................ 16 C. ..................................................................................................... P rinsip-prinsip Pembelajaran dalam Islam ........................................ 18 D. ..................................................................................................... M etode dan Tehnik Pembelajaran ...................................................... 21 E....................................................................................................... K edudukan Guru dalam Pembelajaran .............................................. 22 F....................................................................................................... T eori-teori Pembelajaran dalam Psikologi ...................................................24
G. ..................................................................................................... K arakteristik Pengajar ...................................................................... 26 H. ..................................................................................................... P eserta Didik dalam Pandangan Islam............................................... 29 BAB III
SEPUTAR PENAFSIRAN KISAH MUSA DAN KHIDIR
QS AL-KAHFI 60-82 .......................................................................................... 35 A. QS al-Kahfi ayat 60-61 .................................................................. 35 B. QS Al-Kahfi ayat 62-64 ................................................................. 38 iv
C. QS Al-Kahfi ayat 65 ...................................................................... 40 D. QS Al-Kahfi ayat 66-68 ................................................................. 42 E. QS Al-Kahfi ayat 69-70 ................................................................. 44 F. QS Al-Kahfi ayat 71-73 ................................................................. 45 G. QS Al-Kahfi ayat 74-75 ................................................................. 47 H. QS Al-Kahfi ayat 76-77 ................................................................. 48 I. QS Al-Kahfi ayat 78 ...................................................................... 50 J. QS Al-Kahfi ayat 79-82 ................................................................. 50 BAB IV
PROSES PEMBELAJARAN MUSA DAN KHIDIR ....................... 55 A. Sumber Ilmu dan Motivasi Mencari Ilmu ....................................... 55 B. Mencari Guru yang Berkualitas ...................................................... 60 C. Strategi Pembelajaran Musa dan Khidir ......................................... 63 D. Proses Pembelajaran Musa dan Khidir ........................................... 65 E. Evaluasi Pembelajaran Khidir kepada Musa ....................................72
BAB V
PENUTUP .......................................................................................... 78 A. Kesimpulan .................................................................................... 78 B. Saran-saran .................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 81
v
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Pendidikan Islam sebagaimana diketahui adalah pendidikan yang dalam
pelaksanaannya berdasar pada ajaran Islam. Karena ajaran Islam berdasar alQuran, al-Sunnah, pendapat ulama serta warisan sejarah, maka pendidikan Islam pun berdasarkan pada al-Quran, al-Sunnah, pendapat ulama serta warisan sejarah tersebut1 Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang menentukan terhadap eksistensi dan perkembangan masyarakatnya, hal ini karena pendidikan
merupakan
proses
melestarikan,
mengalihkan,
serta
mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus. Dimikian pula dengan pendidikan Islam. Keberadaannya merupakan salah satu bentuk dari manifestasi cita-cita hidup Islam yang bisa melestarikan, mengalihkan, menanamkan (internalisasi), dan mentransformasi nilai-nilai Islam kepada generasi penerusnya sehingga nilai-nilai kultural-religius yang dicitacitakan dapat tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu-ke waktu.2 1 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Pespektif al-Quran, (Jakarta: UIN Jakarta Press, cet 1, 2005) h. 15. 2 H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, cet 3, 2008), h. 8.
Pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu merupakan konsepsi pendidikan yang mengandung berbagai teori yang dikembangkaan dari hipotesis-hipotesis atau wawasan yang bersumber dari kitab suci al-Quran atau hadis, baik dilihat dari segi sistem, proses dan produk yang diharapkan maupun dari segi tugas pokoknya untuk membudayakan manusia agar bahagia dan sejahtera. 3 Athiyah al-Abrasyi memberikan defenisi Pendidikan Islam adalah usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban amanah dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di bumi.4 Fadhil berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Arifin, Pendidikan Agama Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik dan mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan dasar kemampuan (fitrah) dan kemampuan ajaran dari luar.5 Selanjutnya, pendidikan dari sudut pandang kultural manusia, merupakan suatu alat pembudayaan (enkulturasi) masyarakat manusia itu sendiri. Dalam hal itu, proses pembudayaan sangat bergantung pada pemegang alat tersebut, yaitu para pendidik. Para pendidik memegang posisi kunci dalam menentukan keberhasilan proses belajar sehingga mereka dituntut persyaratan tertentu, baik toritis maupun praktis, dalam pelaksanaan tugasnya.6 Pendidikin Islam yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam harus bisa menanamkan atau membentuk sikap hidup yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam, juga mengembangkan kemampuan berilmu pengetahuan sejalan dengan nilai-nilai Islam yang melandasi, merupakan sebuah proses secara pedagogis mampu
3 H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam,……... h. 4. 4 Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (PT Gemawindu Pancaperkasa, 2000) cet 1 h 2. 5 H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, ……h. 17. 6 H. M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,…… h 8.
mengembangkan hidup anak ke arah kedewasaan atau kematangan yang menguntungkan dirinya. Oleh karena itu usaha tersebut tidak boleh dilakukan secara coba-coba (trial and error) atau atas dasar keinginan dan kemauan pendidik tanpa
dilandasi
dengan
teori-teori
kependidikan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam konteks itu, proses belajar mengajar dapat diartikan bukan hanya mentransformasikan ilmu pengetahuan, wawasan, pengalaman, dan keterampilan kepada peserta didik, melainkan juga menggali, mengarahkan, dan membina seluruh potensi yang ada dalam diri peserta didik, sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Proses belajar mengajar tersebut harus berjalan dengan baik dan efektif. Yaitu, proses belajar mengajar yang menyenangkan, menggembirakan, penuh motivasi, tidak membosankan, serta menciptakan kesan yang baik pada diri peserta didik. Untuk mewujudkan keadaan yang demikian, maka proses belajar mengajar harus disertai dengan memelihara motivasi, kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, tujuan-tujuan, dan perbedaan-perbedaan perseorangan di antara peserta didik, menjadi tauladan bagi mereka dalam segala hal yang disampaikan.7 Namun demikian, dalam realitas, paradigma pembelajaran tradisional pada umumnya masih terkesan mengenyampingkan peran pengembangan potensi kemampuan nalar dan berkreasi. Hal ini dapat dilihat dari fenomena begitu banyaknya orang yang menimba ilmu pengetahuan, namun mereka ibarat alat perekam bagi ilmu-ilmu yang mereka pelajari, tidak lebih kurang. Kadang kala mereka mempelajari sebuah kitab dari guru mereka dengan tekun dan konsentrasi, mereka berusaha memahami bacaan bahkan menghafalnya dan mencatatnya. Pada masa yang akan datang mereka menjadi para guru. Lalu mereka ajarkan dengan menerapkan metode pengajaran persis apa yang mereka dahulu dapatkan.8 7 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Pespektif al-Quran, h. 225. 8 Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, (Depok: Iqra Kurnia Gemilang, cet 1 2005), h 20-21.
Keberhasilan pembelajaran dalam arti tercapainya standar kompetensi sangat tergantung pada kemampuan guru mengolah pembelajaran yang dapat menciptakan situasi yang memungkinkan siswa belajar sehingga merupakan titik awal berhasilnya pembelajaran. Rendahnya mutu pendidikan pembelajaran dapat diartikan kurang efektifnya proses pembelajaran. Penyebabnya dapat berasal dari siswa, guru maupun sarana dan prasarana yang kurang memadai, minat dan motivasi yang rendah, kinerja guru yang rendah akan menyebabkan pembelajaran kurang efektif. Selain itu, terjadinya ketimpangan di sekolah-sekolah salah satunya dapat dilihat dari aspek peserta didik, bagi seorang guru, peserta didik di sebagian besar sekolah dianggap sebagai seseorang yang masih kosong dan siap untuk dijadikan sesuai kebutuhan pasar. Peserta didik yang dianggap demikian, berdampak pada proses pendidikan di berbagai sekolah. 9 Sekolah tugasnya adalah menyiapkan peserta didik untuk mencapai nilai terbaik dalam bidang tertentu untuk dijadikan sebagai manusia yang ahli sesuai dengan jurusannya. Sementara latar belakang perilaku, akhlak, sikapnya terhadap siswa.10 Akibatnya, kritik atau keluhan yang sering dilontarkan masyarakat dan pihak orang tua murid selama ini, pendidikan agama di sekolah dan perguruan tinggi, belum mampu mengantar peserta didik untuk dapat memahami dan mengamalkan ajaran agamanya dengan baik dan benar. Demikian pula kemampuan dalam praktek ibadah tidak seperti yang diharapkan. Selain kelemahan dalam peguasaan materi (aspek kognitif ) juga dalam hal pembentukan prilaku (aspek afektif) dampak nilai-nilai luhur agama dari proses pendidikan agama di sekolah-sekolah oleh sebagian masyarakat dinilai kurang nampak dalam pribadi anak dalam kehidupan sehari-hari.11
9 Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta, Penerbit INSPEAL, 2006), h.1. 10Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural,... h.1. 11Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural,... h. 2
Tingginya frekuensi perkelahian sesama pelajar di kota-kota besar, kurangnya rasa hormat sang anak atau murid kepada guru, bahkan ada yang memukul guru kalau ia tidak naik kelas, akrabnya sebagian anak muda dengan obat-obat terlarang seperti narkotika, adanya pergaulan bebas, sering diangkat oleh
sebagian
anggota
masyarakat
dan
orang
tua
sebagai
indikasi
ketidakberhasilan pendidikan agama di sekolah dan perguruan tinggi. Setiap terjadi dekadensi (kerusakan) moral masyarakat, maka semua pihak akan menoleh kepada lembaga pendidikan dan seakan menuduhnya tidak becus mendidik anak bangsa. Tuduhan berikutnya terfokus pada pendidik yang dianggap alpa dan tidak profesional dalam menjaga gawang moralitas anak bangsa. Para pendidik tiba-tiba menjadi perhatian saat
musibah kebobrokan moral,
ketertinggalan ilmu pengetahuan dan peradaban terjadi.12 Sekolah khususnya guru hanya bertugas menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan kognitif intelektual belaka, sama sekali terlepas dari kemampuan afeksi sosial, afeksi kelembutan, afeksi menghargai orang lain, afeksi menjunjung harkat dan martabat semua manusia 13 Sekolah hanya bertugas untuk mempersiapkan peserta didik untuk mencapai nilai baik dalam bidang tertentu untuk dijadikan sebagai manusia yang ahli sesuai dengan jurusannya. Sementara latar belakang perilaku, akhlak, sikapnya terhadap sesama manusia bukan menjadi pertimbangan utama dalam perekrutan peserta didik. 14 Belum lagi keadaan guru di Indonesia yang memprihatinkan. Fakta menyebutkan bahwa, kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. 12 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta:LKIS, cet I, 2009), h. 35. 13 Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural,….h. 29-30 14 Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural,…h 30.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).15 Dalam pada itu, tidak sedikit masalah-masalah dalam kelas muncul. Mulai dari pembelajaran yang membosankan, pembelajaran yang hanya berkisar pada ceramah dimana guru belum mampu berdialog dengan baik kepada peserta didik, hingga guru yang keluar ruangan sebelum waktunya karena kehabisan materi dalam mengajar. Metode pembelajaran yang kurang efektif dan efisien, menyebabkan tidak seimbangnya
kemampuan
kognitif,
afektif
dan
psikomotorik,
misalnya
pembelajaran yang monoton dari waktu kewaktu, guru yang bersifat otoriter dan kurang bersahabat dengan siswa sehingga siswa merasa bosan dan kurang minat belajar.16 Di mana letak kesalahannya? Pada isi kurikulum yang kurang tepat, sistem atau metodologi, alokasi waktu atau ketidakmampuan pihak guru agama untuk menjawab hal-hal seperti itu. Dalam hal ini, penulis ingin melihat bagaimana alQuran menjelaskan tentang proses pembeajaran. Sebagaimana mafhum al-Quran adalah kalamullah (firman Allah) yang mutlak benar, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat nanti17
15http://zaifbio.wordpress.com/2010/01/14/ciri-ciri-dan-masalah-pendidikan-diindonesia. 1/11/10 16Risjayanti, Peningkatan Motivasi dan Minat Belajar Siswa, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta), h. 3. 17 Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarata: PT Raja Grafindo Persada, 2002) h. 1.
Al-Qur'an merupakan firman Allah yang selanjutnya dijadikan pedoman hidup (way of life) kaum muslim yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Di dalamnya terkandung ajaran-ajaran pokok (prisip dasar) menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa dan kapanpun masanya dan hadir secara fungsional memecahkan problem kemanusiaan. Salah satu permasalah yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah masalah pendidikan.18 Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasul Saw untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu, “Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir.” (QS an-Nahl [16]; 44). Sebagai referensi utama umat Islam, al-Quran telah hadir untuk menjawab berbagai persoalan manusia. Meski terbatas pada 114 surat dan 6666 ayat, namun manusia kerap kali menemukan penemuan-penemuan baru. Dalam konteks keilmuan, al-Quran telah melahirkan berbagai macam ilmu. Mulai dari fisika, biologi, astronomi, kimia, geologi, psikologi dan seterusnya hingga ilmu pendidikan. 19 Kehadiran al-Quran senantiasa eksis untuk setiap zaman dan kondisi. Ia hadir untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia. Hal ini tersurat jelas dalam firman-Nya, “Kitab suci diturunkan untuk memberi putusan (jalan keluar) terbaik bagi problem-problem kehidupan manusia” (QS al-Baqarah [2]; 213). Terkait dengan pendidikan, al-Quran sejak dari awal mula diturunkan telah memberikan sinyalmen yang begitu terasa. Ditemukan langsung ayat pertama yang diturunkan; 18 Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, ..........h. 1. 19Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, ............h. 2
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,” (QS al‘Alaq [96]; 1) Ayat-ayat ini dan yang semacamnya memberikan ruh progresivitas kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan wawasannya. Dalam hal ini, manusia dituntut untuk mengembangkan ayat-ayat Allah, baik yang bersifat tanziliyah maupun yang bersifat kauniyah. Berdasarkan wacana di atas, penulis berkesimpulan bahwa wawasan tentang pendidikan, khususnya pengajaran benar-benar perlu diangkat dan dipaparkan kembali. Semua itu, lantaran al-Quran dan Ilmu pengetahuan termasuk pendidikan merupakan satu kesatuan yang begitu erat. Dimana al-Quran mencakup pelbagai macam masalah terkait pendidikan. Bahkan, al-Quran sendiri hadir ke tengah-tengah manusia sebagai kitab yang mendidik, membimbing, dan mengajarkan. Sementara itu, penulis sendiri memiliki beberapa asumsi sendiri yang menjadi beberapa pertimbangan dalam penulisan skripsi ini, di antaranya: Pertama, al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang berwawasan global bersifat universal. Sebagaimana maklum bahwa Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan lil alamin.20 Kedua, penulis menginginkan pandangan yang utuh yang diberikan oleh al-Quran. Tujuannya, agar pandangan ini dapat menjadi pijakan yang otentik terkait pembelajaran berdasakan prinsip-prinsip Islam oleh para guru, khususnya guru-guru yang beragama Islam. Ketiga, membangkitkan semangat cinta Islam. Karena tidak sedikit, kaum terpelajar muslim lebih bangga manakala merujuk pada referensi tokoh-tokoh barat. Alih-alih merujuk kepada tokoh-tokoh muslim dianggap ortodok, rigid, dan tidak keren. Pada dasarnya, al-Qur'an sendiri telah memberi isyarat bahwa 20 QS Al-Baqarah [2]; 30.
permasalahan pendidikan sangat penting, jika al-Qur'an dikaji lebih mendalam maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pengajaran, dan nilai-nilai pengajaran yang lebih manusiawi, yang selanjutnya bisa dijadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu. Bersandar pada beberapa pernyataan di atas, penulis dengan ini memberi judul untuk karya tulis ini dengan, Proses Pembelajaran dalam al-Quran (Telaah Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82). Semoga karya ini dapat menjadi acuan sebagai model pembelajaran yang benarbenar memiliki ruh.
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah Tentu pembahasan terkait pengajaran dalam al-Quran tidaklah sedikit.
Maka itu, penulis membatasi pembahasan hanya pada upaya menemukan Proses Pembelajaran dalam al-Quran melalui pendekatan Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82 pada upaya meningkatkan kinerja dan semangat guru dalam mengajar. Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, perumusan masalahnya adalah bagaimana proses pembelajaran Musa dan Khidir dalam al-Quran?
C.
Tujuan Penelitian Sementara itu, yang menjadi tujuan peneliti pada wacana Proses
Pembelajran dalam al-Quran adalah memberikan sebuah ide dan gagasan guna mewujudkan pengajaran yang berkulitas dan bertanggung jawab. Hal ini dikarenakan banyak guru yang mengajar tapi minim dalam hal teori meskipun tidak memungkiri bahwa teori tidak selalu dapat menjawab praktik yang terjadi di lapangan. Selanjutnya, diharapkan para guru tidak hanya asal berani mengajar, melainkan pula memiliki bekal dan landasan yang kuat. Begitu hanya dengan siswa agar mengerti dan memahami arti pembeajaran yang sebenarnya. Adapun yang lebih ditekankan adalah penulis berusaha dengan sebijak mungkin untuk memunculkan sebuah contoh proses pembeajaran dalam al-Quran sekaligus menjadi respon atas banyaknya wacana seputar proses beajar-mengajar.
Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis kepada berbagai pihak. 1.
Bagi penulis, untuk menambah wawasan serta pengalaman penulis mengenai
penelitian ini,
baik dalam merencanakan ataupun
melaksanakan penelitian. 2.
Bagi universitas, menambah khazanah ilmiah di kalangan akademis khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan diharapkan menjadi sumbangsih gagasan dan sebuah tawaran solusi terhadap tantangan globalisasi serta dapat dipraktikkan dalam membangun guru-guru yang berkualitas, penuh integritas, dan memiliki semangat pengabdian.
3.
Bagi guru, untuk mengetahui bagaimana penerepan proses pembelajaran yang lebih baik berdasarkan al-Qur’an.
D.
Metodologi Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian ini, jenis penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan (Libarary Research), yaitu berusaha mengungkap dan menemukan secara sistematis berbagai data mengenai proses pembelajaran dengan merujuk kepada QS. Al-Kahfi {18}, 60-82. Secara rinci penelitian ini berusaha menemukan jawaban. “Bagaimanakah nilai-nilai pengajaran yang terdapat dalam ayat tersebut? Dilihat dari objek penelitian ini, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tafsir kependidikan (tafsir tarbawy) Penelitian ini bersifat kepustakaan karena sumber datanya adalah terdiri dari buku-buku yang ada hubungannya
dengan pokok pembahasan. Dimana
sumber pokoknya (primer) adalah: 1.
Al-Qur'an dan terjemahannya.
2.
Tiga buku tafsir al-Qur'an: Pertama, Tafsir al-Maragi, karya Ahmad Mustafa al-Maraghi. Kedua, Tafsir fi Zilalil Quran karya Sayyid Qutb. Ketiga, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran karya M Quraish Shihab.
3.
Hadits-hadits Nabi Saw.
4.
Dan buku-buku pendukung (sekunder) baik yang ada hubungan langsung maupun tidak langsung.
Sumber-sumber pendukung ini antara lain adalah: 1.
Buku-buku Tafsir yang dianggap memadai dan mewakili,
2.
Buku-buku yang berisikan pengetahuan tentang al-Qur’an, atau yang dikenal dengan ‘Ulum al-Qur’an Kamus-kamus yang memuat daftar kata-kata al-Qur’an, yang mana isinya
3.
merupakan petunjuk praktis untuk menemukan ayat-ayat. Dan dipakai pula kamus-kamus lain yang relevan dengan pembahasan, Buku-buku tentang pendidikan, dikhususkan tentang nilai-nilai pengajaran
4.
yang akan dibatasi pada buku-buku yang dianggap memadai, Sumber-sumber lain yang relevan dengan pembahasan.
5.
E. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I
: Merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
: Pandangan Umum Tentang Pembeajaran, di dalam bab ini
akan
dibahas
mengenai
konsep
pembelajaran,
pengertian pembelajaran, tujuan pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran, kedudukan guru dalam pengajaran, teori-teori pengajaran dengan menggunakan referensi psikolog Barat, terakhir mengenai anak didik dalam pandangan Islam.
BAB III
: Seputar Penafsiran QS al-Kahfi [18]; 60-82, dengan merujuk kepada penafsiran ahi tafsir dalam ayat ini.
BAB IV
: Proses Pembelajaran Musa dan Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82
BAB V
: Kesimpulan dan saran.
BAB II KONSEP PEMBELAJARAN IDEAL
A.
Definisi Pembelajaran
1. Mengajar Di dalam dunia pendidikan, pihak-pihak yang melakukan kegiatan mendidik dikenal dengan dua predikat yaitu: pendidik dan guru. Pendidik (murabby) adalah orang yang berperan mendidik subjek didik atau melakukan tugas pendidikan (tarbiyah). Sedangkan guru adalah orang yang melaksanakan tugas mengajar (ta’lim).1 Meski demikian term guru juga dimaknai dengan pendidik. Dalam bahasa Indonesia guru adalah orang yang digugu (diindahkan) oleh peserta didik serta ditiru dalam arti perilaku guru akan selalu diikuti oleh peserta didiknya, karena guru sebagaimana ulama adalah pewaris para nabi, yaitu sebagai uswah hasanah (contoh teladan yang baik).2 Pendidik mengandung makna pembinaan kepribadian, memimpin dan memelihara sedangkan pengajaran bermakna sekedar memberi informasi kepada peserta didik yang dalam prosesnya dilakukan oleh pendidik atau guru.3
1 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta:LKIS, cet I, 2009), h. 36. 2 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan ………h. 35. 3 Zakiah Dardjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Departemen Agama), h. 26.
Meskipun istilah mendidik dan mengajar dapat dibedakan, pada hakikatnya kedua istilah tersebut tidak dapat dipisahkan secara dikotomis. Sebab pada kenyatannya antara pendidikan dan pengajaran adala suatu proses yang tidak dapat dipisahkan. Seorang pendidik dalam proses belajar mengajar selalu terlibat dalam kegiatan pengajaran (mengajar), demikian juga pengajar pada saat melakukan kegiatan mengajar ia juga harus menjaga moral dan keteladan terhadap anak didiknya.4 Ada beberapa pengertian yang digunakan untuk mendefinisikan kegiatan mengajar antara lain: Definisi klasik menyatakan bahwa mengajar diartikan sebagai penyampaian sejumlah pengetahuan karena pandangan yang seperti ini, maka guru dipandang sebagai sumber pengetahuan dan siswa dianggap tidak mengerti apa-apa. Pengertian ini sejalan dengan pandangan Jerome S. Brunner yang berpendapat bahwa mengajar adalah menyajikan ide, problem atau pengetahuan dalam bentuk yang sederhana sehingga dapat dipahami oleh siswa. 5 Sebagian para ahli mengatakan bahwa mengajar adalah menanamkan pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam diri anak didik. Dalam hal ini guru memegang peranan utama, sedangkan siswa tinggal menerima, bersifat pasif. Pengajaran yang berpusat kepada guru bersifat teacher centered. Ilmu pengetahuan yang diberikan kepada siswa kebanyakan hanya diambil dari bukubuku pelajaran, tanpa dikaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari siswa. Pelajaran serupa ini disebut intelektualistis. 6 Mengajar pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi atau
sistem
lingkungan
yang
mendukung
dan
memungkinkan
untuk
4 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta:LKIS, cet I, 2009), h. 37. 5 Dawna Markova, The Smart Parenting Revolution, Psikologi Pendidikan 6 http://raflengerungan.wordpress.com/korupsi-dan-pendidikan/pengertian-mengajardidaktik. diakses tanggal 20 November 2010.
berlangsungnya proses belajar mengajar.7 Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan kepada siswa didik atau murid di sekolah. Implikasi dari pengertian ini adalah: b. Pengajaran dipandang sebagai persiapan hidup, c. Pengajaran adalah suatu proses penyampaian, d. Penguasaan Pengetahuan adalah tujuan utama, e. Guru dianggap yang paling berkuasa, f. Murid selalu bertindak sebagai penerima. Mengajar adalah mewariskan kebudayaan pada generasi muda melalui lembaga pendidikan di sekolah. Perumusan ini bersifat lebih umum dan berimplikasi sebagai berikut:8 a. Pendidikan bertujuan membentuk manusia berbudaya. b. Pengajaran berarti suatu proses pewarisan. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa aktivitas yang sangat menonjol dalam pengajaran ada pada siswa. Namun, bukan berarti peran guru tersisihkan, tetapi diubah, kalau guru dianggap sebagai sumber pengetahuan, sehingga guru selalu aktif dan siswa selalu pasif dalam kegiatan belajar mengajar. Guru adalah seorang pemandu dan pendorong agar siswa belajar secara aktif dan kreatif. Tiap
usaha
mengajar
sebenarnya
ingin
menumbuhkan
atau
menyempurnakan pola laku tertentu dalam diri peserta didik. Maksud pola laku tersebut adalah kerangka dasar dari sejumlah kegiatan yang lazim dilaksanakan manusia untuk bertahan hidup dan untuk memperbaiki mutu hidupnya dalam situasi nyata. Kegiatan itu bisa berupa kegiatan rohani, misalnya mengamati, menganalisis, dan menilai keadaan dengan daya nalar. Bisa juga berupa kegiatan jasmani. yang dilakukan dengan tenaga dan keterampilan fisik. Umumnya
7 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo, cet ke-9), h. 45 8 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar,... h. 45.
rnanusia bertindak secara manusiawi apabila kedua jenis kegiatan tersebut dibuat secara terjalin dan terpadu.9 Di samping menumbuhkan dan menyempumakan pola laku, pengajaran juga menumbuhkan kebiasaan. Kebiasaan dapat dirumuskan sebagai keterarahan, kesiapsiagaan di dalam diri manusia untuk melakukan kegiatan yang sama atau serupa atas cara yang lebih mudah, tanpa memeras atau memboroskan tenaga. Kebiasaan akan timbul justru apabila kegiatan manusia, baik rohani maupun jasmani dilakukan berulang kali dengan sadar dan penuh perhitungan. Guru dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas belajar peserta didik dalam bentuk kegiatan belajar mengajar yang sedemikian rupa, dapat menghasilkan pribadi yang mandiri, dalam hubungan ini, guru memegang peran penting dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang sebaik-baiknya. Tugas guru tidak hanya sebagai pengajar dalam arti penyampaian pengetahuan, tetapi lebih meningkat sebagai perancang pengajaran.10 2. Belajar Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara etimologis belajar memiliki arti berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Belajar menurut Cronbach adalah belajar melalui pengalaman, dengan pengalaman tersebut pelajar menggunakan seluruh panca inderanya.11 Anthony Robbins mendefinisikan belajar sebagai proses menciptakan hubungan antara sesuatu pengetahuan yang sudah dipahami dengan pengetahuan yang baru. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Jerome Brunner bahwa belajar adalah suatu proses aktif dimana siswa membangun (mengkonstuk)
9 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Hadis, (Jakarta: UIN Jakarta Press, cet-I), h. 207. 10 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, edisi revisi), h. 77 11 Baharudin dan Nurwahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Arruzz Media, Cet III 2008) h. 13
pengetahuan baru berdasarkan pada pengalaman/pengertahuan yang sudah dimilikinya.12 Belajar dapat diartikan suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan prilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. (Moh. Surya: 1997). Belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan. (Whitheringston: 1952). Belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, dan sikap baru. (Crow and Crow: 1958). Belajar adalah proses dimana suatu prilaku muncul prilaku atau berubah karena adanya respons terhadap suatu situasi (Hilgard: 1962). Belajar secara umum diartikan sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman dan bukan karena perubahan atau pertumbuhan tubuhnya atau karakteristik seorang sejak lahir. Dari beberpa definisi di atas, sangat jelas, bahwa belajar merupakan sebuah proses perubahan menuju ke arah yang lebih baik, positif, dan futuristik hal itu meliputi berbagai aspek seperti keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan. 3. Pembelajaran Pembelajaran yang diidentikkan dengan kata “mengajar” berasal dari kata dasar “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut) ditambah dengan awalan “pe” dan akhiran “an menjadi “pembelajaran”, yang berarti proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan sehingga anak didik mau belajar. (KBBI) Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan
12 Trianto, Mendisain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta: Prenada Media Group, Cet II 2010) h. 15.
pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.13 Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik. Instruction atau pembelajaran adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal. (Gagne dan Briggs: 1979: 3) Pembelajaran adalah Proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. (UU No. 20/2003, Bab I Pasal Ayat 20) Pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang komplek, yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan. Secara sederhana pembelajaran adalah produk interaksi berkelanjutan anatra pengembangan dan pengalaman hidup. Dalam bahasa yang lebih kompleks, pembelajaran hakikatnya adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan sumber belajar siswa dengan sumber lainnya) dalam rangka tujuan yang diharapkan. 14 Istilah “pembelajaran”
sama
dengan “instruction atau
“pengajaran”.
Pengajaran mempunyai arti cara mengajar atau mengajarkan. Dengan demikian
13 www.wikipedia.com 14 Trianto, Mendisain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif,... h. 17.
pengajaran diartikan sama dengan perbuatan belajar (oleh siswa) dan Mengajar (oleh guru). Kegiatan belajar mengajar adalah satu kesatuan dari dua kegiatan yang searah. Kegiatan belajar adalah kegiatan primer, sedangkan mengajar adalah kegiatan sekunder yang dimaksudkan agar terjadi kegiatan secara optimal. Dan dapat ditarik kesimpulan bahwa Pembelajaran adalah usaha sadar dari guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama dan karena adanya usaha.
B.
Tujuan Pengajaran Tujuan artinya suatu yang dituju, yaitu yang akan dicapai dengan suatu
kegiatan atau usaha. Sesuatu kegiatan akan berakhir, bila suatu tujuan telah dicapai. Kalau tujuan itu bukan tujuan akhir, kegiatan berikutnya akan langsung dimulai untuk mencapai tujuan tujuan selanjutnya dan terus begitu sampai tujuan akhir. Kegiatan pengajaran harus mempunyai tujuan, karena setiap kegiatan yang tidak mempunyai tujuan akan berjalan meraba-raba, tak tahu arah tujuan. Tujuan yang jelas dan berguna akan membuat orang lebih giat, terarah dan sungguhsungguh. Semua kegiatan harus berorientasi pada tujuannya. Segala daya dan upaya pengajaran harus dipusatkan pada pencapaian tujuan itu. Karena itu tujuan pengajaran harus berfungsi sebagai:15 1. Titik pusat perhatian dan pedoman dalam melaksanakan kegiatan pengajaran, 2. Penentu arah kegiatan pengajaran, 3. Titik pusat latihan dan pedoman dalam menyusun rencana kegiatan pengajaran, 4. Bahan pokok yang akan dikembangkan dalam memperdalam dan memperluas ruang lingkup pengajaran, 5. Pedoman untuk mencegah atau menghindari penyimpangan kegiatan.
15 W. Gulo, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 28.
Tujuan pendidikan Islam adalah kepribadian muslim, yaitu suatu kepribadian yang seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam. Orang yang berkepribadian Islam dalam Al-Qur’an disebut juga “muttaqin”. Karena itu Pendidikana Islam berarti juga pembentukan manusia yang bertaqwa. Ini sesuai benar dengar pendidikan nasional kita yang dituangkan dalam tujuan pendidikan nasional yang akan membentuk manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.16 Tujuan pengajaran agama Islam harus berisi hal-hal yang dapat menumbuhkan dan memperkuat iman serta mendorong pada kesenangan mengamalkan ajaran agama Islam. Proses pencapaian itu hendaknya sekaligus membina keterampilan mengamalkan ajaran Islam itu. Untuk itu diperlukan usaha pembentukan
materi
yang
akan
memperkaya
murid
dengan
sejumlah
pengetahuan, membuat mereka dapat menghayati dan mengembangkan ilmu itu, juga membuat ilmu yang mereka pelajari itu berguna bagi mereka. Tujuan ini hendaknya mengandung sifat pemberian dan penanaman ilmu agama (kognitif) dan keterampilan mengamalkan ajaran agama (psikomotor). Untuk itu tujuan pengajaran agama Islam itu harus mengandung bahan pelajaran yang bersifat;17 1. Menumbuh dan memperkuat iman, 2. Membekali dan memperkaya ilmu agama, 3. Membina keterampilan beramal, 4. Menuntun dan mengembangkan potensi yang dibawa sejak lahir sebagai manusia secara utuh (individual), 5. Menumbuhkan dan memupuk rasa sosial dan sifat-sifat terpuji, 6. Pemberian pengetahuan dan keterampilan yang dapat diamalkan dan dikembangkan dalam berbagai lapangan pekerjaan untuk mencari nafkah (tenaga profesional). Secara umum dan ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan pengajaran agama
16 Baqir Sharif al-Qarashi, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul, Seni Mendidik Islami, (Jakarta: Pustaka Zahra, cet I, 2003), h. 124. 17 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan,... h. 27
Islam itu harus mengandung berbagai aspek pembinaan manusia seutuhnya, sehingga nantinya ia dapat hidup dengan baik sebagai manusia Pancasilais yang bertaqwa kepada Allah dalam ajaran Islam.
C.
Prinsip-Prinsip Pembelajaran dalam Islam Ide mengenai prinsip-prinsip dasar pendidikan dan pembelajaran banyak
tertuang dalam ayat-ayat Al-Quran dan Hadits. Dalam hal ini akan dikemukakan ayat-ayat atau hadits-hadits yang dapat mewakili dan mengandung ide tentang prinsip-prinsip dasar pendidikan tersebut, dengan asumsi dasar, bahwa pendidikan sejati atau Maha Pendidik itu adalah Allah yang telah menciptakan fitrah manusia dengan segala potensi dan kelebihan serta
menetapkan
hukum-hukum
pertumbuhan, perkembangan, dan interaksinya, sekaligus jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuannya. Prinsip prinsip tersebut adalah sebagai berikut18 Pertama, Prinsip Integrasi. Suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Karena itu, mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak dapat dielakkan agar masa kehidupan di dunia ini benar benar bermanfaat untuk bekal yang akan dibawa ke akhirat. Perilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang didapat dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan kelayakan itu terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan.19 Allah Swt Berfirman,
“Dan
carilah
pada
apa
yang
telah dianugerahkan Allah
kepadamu
(kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kanu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi...” (QS. Al Qashash [28]: 77).
18 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infinite Press, 2004), h. 25-30. 19 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, ....h. 25
Ayat ini menunjukkan kepada prinsip integritas di mana diri dan segala yang ada padanya dikembangkan pada satu arah, yakni kebajikan dalam rangka pengabdian kepada Tuhan. Kedua, Prinsip Keseimbangan. Karena ada prinsip integrasi, prinsip keseimbangan merupakan kemestian, sehingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak ada kesenjangan. Keseimbangan antara material dan spiritual, unsur jasmani dan rohani. Banyak ayat Al-Quran Allah menyebutkan iman dan amal secara bersamaan.,20 secara implisit hal ini menggambarkan kesatuan yang tidak terpisahkan. Diantaranya adalah QS. Al ‘Ashr [103]: 1-3
“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh.” (Al-‘Ashr [103]:1-3)
Ketiga, Prinsip Persamaan. Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang manusia yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan derajat, baik antara jenis kelamin, kedudukan sosial, bangsa, maupun suku, ras, atau warna kulit. Sehingga budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan.21 Keempat, Prinsip Pendidikan Seumur Hidup. Prinsip ini bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan keterbatasan manusia, di mana manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan pada berbagai
20 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam... h. 26-27.
21 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, ...h.28.
tantangan dan godaan yang dapat menjerumuskan dirinya sendiri ke jurang kehinaan. Dalam hal ini dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan untuk mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan, di samping selalu memperbaiki kualitas dirinya. 22 Sebagaimana firman Allah.
“Maka siapa yang bertaubat sesudah kedzaliman dan memperbaiki (dirinya) maka Allah menerima taubatnya, dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Maidah [5]: 39)
Dalam Islam pendidikan tidak hanya dilaksanakan dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (long life education). Islam memotivasi pemeluknya untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan. Tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi sama dalam pandangan Islam dalam kewajiban untuk menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan duniawi juga. Karena tidak mungkin manusia mencapai kebahagiaan hari kelak tanpa melalui jalan kehidupan dunia ini. 23 Kelima, Prinsip Keutamaan. Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa pendidikan bukanlah hanya proses mekanik melainkan merupakan proses yang mempunyai ruh yang segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut terdiri dari nilai nilai
22 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam,...h. 29 23http://hasanrizal.wordpress.com tafsir-tarbawi-pendidikan-dalam-perspektif-alquran. diakses tanggal 20 November 2010.
moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan nilai moral yang paling buruk dan rendah adalah syirik. Dengan prinsip keutamaan ini, pendidik bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi subjek didik, tetapi lebih dari itu turut membentuk kepribadiannya dengan perlakuan dan keteladanan yang ditunjukkan oleh pendidik tersebut.24 D.
Metode dan Teknik Pembelajaran Metode secara bahasa berarti suatu cara yang teratur untuk mencapai suatu
tujuan.25 Metode juga dapat diartikan dengan cara yang digunakan pendidik dalam menyampaikan materi bahan ajar kepada anak didik, berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam sebuah pengajaran, seperti, ceramah, diskusi (halaqah), tanya jawab. Dalam tradisi Islam banyak teknik pengajaran. Namun yang paling awal adalah teknik hafalan26 yang sudah ada sejak zaman nabi, karena saat itu belum muncul tradisi menulis sehingga dibutuhkan teknik meghafal yang kuat untuk menghafal ayat-ayat Al-Quran.27 Metode pembelajaran yang kurang efektif dan efisien, menyebabkan tidak seimbangnya
kemampuan
kognitif,
afektif
dan
psikomotorik,
misalnya
pembelajaran yang monoton dari waktu ke waktu, guru yang bersifat otoriter dan kurang bersahabat dengan siswa sehingga siswa merasa bosan dan kurang minat belajar. Untuk mengatasi hal tersebut maka guru sebagai tenaga pengajar dan pendidik harus selalu meningkatkan kualitas profesionalismenya yaitu dengan cara memberikan kesempatan belajar kepada siswa dengan melibatkan siswa secara efektif dalam proses belajar mengajar
24 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam,....h.30. 25 WJS, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1999), h. 649 26Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), h. 121. 27Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan…………h. 124.
Metode pembelajaran bertujuan untuk menjadikan proses dan hasil belajar mengajar ajaran Islam lebih berdaya guna dan berhasil guna dan menimbulkan kesadaran anak didik untuk mengamalkan ketentuan ajaran Agama Islam melalui teknik motivasi yang menimbulkan gairah belajar anak didik secara mantap di samping bermanfaat untuk mengantarkan tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan. 28 Penggunaan metode mengandung implikasi bersifat konsisiten, sistematis, dan makna menurut kondisi sasarannya, mengingat sasaran metodenya adalah manusia, sehingga pendidik dituntut untuk berhati-hati dalam penerapannya. Ada banyak metode yang dikemukakan oleh para ahli dengan berbagai sebutan, diataranya: 1. Maw`izhah (ceramah) 2. Kitabah (tulisan) 3. Hiwar (dialog) 4. Alas`ilah wa al-ajwibah (Tanya jawab) 5. Al-niqashy (diskusi) 6. Al-mujadalah (debat) 7. Brain strorming 8. Al-qishash (bercerita) 9. Al-amstal (metafora) 10. Karya wisata 11. Al-qudwah (imitasi) 12. Uswatun hasanah 13. Al-tathbiq (demontrasi dan dramatisasi) 14. Game and simulation (permainan dan simulasi) 15. Al-mumarasat al-amal (drill) 16. Inquiry 17. Discovery 18. Micro teaching 19. Modul belajar 20. Independent study (belajar mandiri) 21. Eksprimen 22. Kerja lapangan 23. Case study 24. Targhib wa tarhib (janji dan ancaman) 25. Al-tsawab wa al-`iqab (anugrah dan hukuman) 26. Musabaqah (kompetisi).29
D.
Kedudukan Guru dalam Pembelajaran Islam memberikan perhatian terhadap guru, sebab keberadaan guru seperti
batu pertama dalam struktur perkembangan dan kesempurnaan sosial serta jalan bimbingan dan perubahan tingkah laku dan mentalitas individu serta individu.30 Pendidik (pengajar) memiliki kedudukan yang sangat mulia karena
28 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam , Pengembangan Pendidikan,... h. 91. 29Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam , Pengembangan Pendidikan,...h. 92. 30 Baqir Sharif al-Qarashi, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul, Seni Mendidik Islami, (Jakarta: Pustaka Zahra, cet I, 2003), h. 136.
tanggung jawabnya yang berat. Guru merupakan spiritual father bagi siswanya. Hal ini disebabkan guru memberikan bimbingan jiwa siswanya dengan ilmu, mendidik dan meluruskan akhlaknya. Menghormati guru berarti penghormatan terhadap anak-anak kita, menghargai guru berarti penghargaan terhadap anakanak kita. Dengan guru itulah mereka hidup dan berkembang. Bahkan Abu Dardaa melukiskan hubungan guru dan murid itu sebagai pertemanan dalam kebaikan dan tanpa keduanya maka tidak ada kebaikan. 31 Guru adalah teladan para murid, Murid memperoleh sifat yang baik, serta kecenderungan yang benar, juga perilaku yang utama adalah dari guru mereka yang memperlihatkan keutaman dan perilaku yang benar tesebut. Karena itu para guru harus mendisiplinkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapati prilaku anak-anak yang meniru prilaku orang lain yang menjadi pujaannya, seperti meniru gaya pakaian, meniru gaya rambut, meniru gaya bicara. Hal serupa juga terjadi di sekitar lembagalembaga pendidikan, seorang siswa yang meniru guru yang ia senangi, seperti meniru cara menulis, cara duduk, cara berjalan, cara membaca dan lain sebagainya. Semua ini membuktikan bahwa pada hakekatnya sifat meniru prilaku orang lain merupakan fitrah manusia, terutama anak-anak. Sifat ini akan sangat berbahaya jika peniruan dilakukan juga terhadap prilaku yang tidak baik. 32 Ada dua bentuk strategi keteladanan; pertama, yang disengaja dan dipolakan sehingga sasaran dan perubahan prilaku dan pemikiran anak sudah direncanakan dan ditargetkan, yaitu seorang guru sengaja memberikan contoh yang baik kepada muridnya supaya dapat menirunya. Kedua, yang tidak disengaja, dalam hal ini guru tampil sebagai seorang figur yang dapat memberikan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari.33
31 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan,…h. 51 32 Baqir Sharif al-Qarashi, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul,…h. 137 33 Baqir Sharif al-Qarashi, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul,…h. 137
Untuk dapat menjadikan “teladan” sebagai salah satu strategi, seorang guru dituntut untuk mahir dibidangnya sekaligus harus mampu tampil sebagai figur yang baik. Bagaimana mungkin seorang guru menggambar bisa mengajarkan cara menggambar yang baik jika ia tidak mengusai tehnik-tehnik menggambar, seorang guru ngaji tidak akan dapat menyuruh siswanya fasih membaca al-Quran jika dirinya tidak menguasai ilmu membaca al-Qur’an dengan baik, guru matematika akan dapat memberi contoh cara menghitung yang baik jika iapun menguasai cara menghitung dengan baik, jangan harap seorang guru bahasa Indonesia akan dapat mengajar membaca puisi dengan baik jika dirinya saja tidak mahir dalam bidang ini, demikianlah seterusnya dengan disiplin ilmu yang lain. Dalam hal ini guru sebagai teladan, keteladanan memberikan pengaruh yang lebih besar daripada cacian atau nasehat.Jika perilaku seorang guru bertolak belakang dengan apa yang diajarkannya maka bias dikatakan bahwa proses belajar dan mengajar gagal. 34
E.
Teori-teori Pembelajaran menurut Psikologi Belajar dan Pembelajaran merupakan proses penting bagi perubahan
perilaku manusia dari segala sesuatu yang diperkirakan dan dikerjakan. Belajar memegang peranan penting di dalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan, kepribadian, dan bahkan persepsi manusia. Oleh karena itu dengan menguasai prinsip-prinsip dasar tentang pengajaran seseorang mampu memahami bahwa aktivitas belajar itu memegang peranan penting dalam proses psikologis.
1.
Teori Pembelajaran Behavioristik Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan
perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan
34 Jaudah Muhammad Awwad, Mendidik Anak Secara Islam (Terj), (Jakarta: Gema Insani Pers, 2003), h. 3.
perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat, dan kecenderungan perilaku S-R (Stimulus-Respon).35 Contohnya, dalam percobaan apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.36 Berdasarkan eksperimen di atas, semakin jelas bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respon
2.
Teori Pembelajaran Sosial Teori pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar
perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku, tetapi memberi lebih banyak penekanan pada efek-efek dari isyarat-isyarat pada perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi, dalam teori pembelajaran sosial
35 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,...62. 36 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,… h. 63.
kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana kita belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial “manusia” itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak “dipukul” oleh stimulus-stimulus lingkungan.37 Teori belajar sosial menekankan, bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang tidak random, lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana yang dikutip oleh Tohirin bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari teori pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan permodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.38
3.
Teori Pembelajaran Kognitif Teori kognitif tertuju kepada hal-hal yang terjadi di dalam kepala
kita ketika belajar. Teori kognitif juga mengambil perspektif bahwa siswa secara aktif memproses informasi dan pembelajaran berlangsung melalui usaha-usaha siswa ketika siswa mengaturnya, menyimpannya dan kemudian menemukan hubungan-hubungan antara informasi, hubungan baru dengan pengetahuan lama, skema, dan teks, pendekatan kognitif menekankan bagaimana informasi di proses39
4.
Teori Pembelajaran Konstruktif
37http://anwarholil.blogspot.com/2009/01/teori-pembelajaran-sosial.html . 9-1110. 38 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,… h. 67 39 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,… h. 63.
Piaget
yang
dikenal
sebagai
konstruktivis
pertama
Dahar,
menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat.40 Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan.
F.
Karakteristik Pengajar Al-Mawardi,
sebagaimana
yang
dikutip
Abuddin
Nata,
memandang seorang guru yang baik adalah guru yang tawadhu (rendah hati), menjauhi sikap ujub (besar kepala) dan memiliki rasa ikhlas. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya seorang guru harus dilandasi dengan kecintaan terhadap tugasnya sebagai guru, kecintaan ini akan benar-benar tumbuh dan berkembang apabila keagungan, keindahan dan kemuliaan tugas guru itu sendiri benar-benar dapat dihayati.41 Selanjutnya Al-Mawardi melarang seseorang mengajar dan mendidik atas
40 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,… h. 65. 41 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 50.
dasar motif ekonomi. Dalam pandangannya bahwa mengajar dan mendidik merupakan aktivitas keilmuan, sementara ilmu itu sendiri mempunyai nilai dan kedudukan yang tinggi, yang tidak dapat disejajarakan dengan materi. Tugas mendidik dan mengajar dalam pandangan Al-mawardi adalah tugas luhur dan mulia, itulah sebabnya dalam mendidik dan mengajar seseorang harus sematamata mengharap keridhaan Allah SWT. Apabila dalam yang dituju dari tugas mengajar nya itu adalah materi, maka ia akan mengalami kegoncangan ketika ia merasa bahwa kerja yang dipikulnya tidak seimbang dengan hasil yang diterimanya.42 Menurut Tohirin sebagaimana yang dikutip dari Surya, untuk mewujudkan prilaku mengajar yang tepat, guru diharapkan memiliki karakteristik mengajar antara lain:43 1. Memiliki minat yang besar terhadap pelajaran dan mata pelajaran yang diajarkan, 2. Memiliki kecakapan untuk memerhatikan kepribadian dan suasana hati secara tepat serta membuat konak secara tepat pula, 3. Memiliki
kesabaran,
keakraban,
sensitivitas
yang
diperlukan
untuk
menumbuhkan semangat belajar, 4. Memiliki pemikiran yang imajinatif dan praktis dalam usaha memberikan penjelasan kepada peserta didik, 5. Memiliki kualifikasi yang memadai dalam bidangnya baik ini maupun metode, 6. Memiliki sifat yang terbuka, luwes, dan eksperimental dalam metode dan teknik. Sementara itu, dalam pendidikan Islam, seorang pendidik pula hendaknya
42 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 51. 43 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,… h. 79.
memiliki karakteristik yang dapat membedakannya dari yang lain. Dengan hal itu, maka diharapkan seorang pendidik mampu bersikap totalitas berpadu antara karakter dan kepribadiaannya. An-Nahlawi membagi karakter pendidik Muslim kepada beberapa bentuk, di antaranya:44 1. Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud dengan tujuan, tingkah laku, dan pola fikirnya, 2. Bersifat ikhlas, melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata mencari keridhaan Allah dan menegakkan kebenaran, 3. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didik, 4. Jujur dalam menyampaikan yang diketahuinya. 5. Senantiasa membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus mendalami dan mengkaji lebih lanjut. 6. Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi. 7. Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan proporsional, 8. Mengetahui kehidupan psikis peserta didik. 9. Tanggap terhadap berbagai kondisidan perkembangan dunia yang dapat memengaruhi jiwa, keyakinan, dan pola berpikir peserta didik. 10. Berlaku adil terhadap peserta didik. Dalam pandangan yang tidak jauh berbeda al-Abrasyi memberikan batasan tentang karakteristik pendidik. Di antara kriteria dan karakteristik pendidik itu adalah:45 1. Seorang pendidik hendaknya memiliki sifat zuhud. Yaitu, melaksanakan tugasnya bukan semata-mata karena materi akan tetapi lebih dari itu mencari keridhaan Allah. 2. Seorang pendidik hendaknya bersih fisiknya dari kotoran dan jiwanya dari
44 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat: Ciputat Press, 2005) , h. 45-46. 45 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 46
sifat tercela. 3. Seorang pendidik hendaknya ikhlas dan tidak ria dalam menjalankan tugasnya. 4. Seorang pendidik hendaknya bersifat pemaaf dan memaafkan orang lain, sabar dan sanggup menahan amarah, senantiasa membuka diri dan menjaga kehormatannya. 5. Seorang pendidik hendaknya mampu mampu mencintai peserta didiknya sebagaimana ia mencintai anaknya sendiri. 6. Seorang pendidik hendaknya mengetahui karakter peserta didiknya, seperti; pembawaan, kebiasaan, perasaan, dan berbagai potensi yang dimilikinya, 7. Seorang pendidik hendaknya menguasai pelajaran dengan baik dan professional. Dari batasan kriteria karakteristik di atas, terlihat jelas bahwa menjadi seorang pengajar atau pendidik tidaklah mudah. Seorang pengajar hendaknya memiliki persyaratan tertentu sebelum profesi itu ditekuninya.
G.
Anak Didik (Manusia) dalam Pandangan Islam Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat
pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun fikiran. ciri–ciri peserta didik :46 1. Kelemahan dan ketak berdayaannya 2. Berkemauan keras untuk berkembang
46 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta:PT Rineka Cipta, cet -II, 2006), h, 40.
3. Ingin menjadi diri sendiri (memperoleh kemampuan) Syamsul
Nizar
sebagaimana
yang
dikutip
oleh
Ramayulis,
mendeskripsikan enam kriteria peserta didik, yaitu :47 1. peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri 2. peserta didik memiliki periodasi perkembangan dan pertumbuhan 3. peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada. 4. peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki daya fisik, dan unsur rohani memiliki daya akal hati nurani dan nafsu 5. peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis Widodo Supriyono, secara garis besar membagi dimensi menjadi dua, yaitu dimensi fisik dan rohani. Dalam bukunya ia menyatakan bahwa secara rohani manusia mempunyai potensi kerohanian yang tak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut nampak dalam bentuk memahami sesuatu (Ulil Albab), dapat berfikir atau merenung, memepergunakan akal, dapat beriman, bertaqwa, mengingat, atau mengambil pelajaran, mendengar firman tuhan, dapat berilmu, berkesenian, dapat menguasai tekhnologi tepat guna dan terakhir manusia lahir keduania dengan membawa fitrah.48 Manusia dalam pandangan Islam mempunyai aspek jasmani yang tidak dapat dipisahkan dari aspek rohani tatkala manusia masih hidup di dunia. Manusia mempunyai aspek akal. Kata yang digunakan al Qur’an untuk menunjukkan
47 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006). h. 77. 48 Widodo Supriono, Filsafat Manusia dalam Islam, Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1996, h. 171.
kepada akal menerangkan ada tujuh kata yang digunakan :49 1. Kata Nazara, dalam surat al-Ghasiyyah ayat 17 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan” 2. Kata Tadabbara, dalam surat Muhammad ayat 24 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” 3. Kata Tafakkara, dalam surat an-Nahl ayat 68 :
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “buatlah sarang-sarang dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu, dan ditempattempat yang dibuat manusia”. 4. Kata Faqiha, dalam surat at-Taubah 122 :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya
49 Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan Dalam Pandangan Al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2006), h. 72.
(kemedan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” 5. Kata Tadzakkara, dalam surat an-Nahl ayat 17 :
“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan apa-apa? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”. 6. Kata Fahima, dalam surat al-Anbiya ayat 78 :
“Dan ingatlah kisah Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu”. 7. Kata ‘Aqala, dalam surat al-Anfaal ayat 22 :
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa-pun. Manusia memiliki potensi untuk mengetahui, memahami apa yang ada di alam semesta ini. Serta mampu mengkorelasikan antara fenomena yang satu dan fenomena yang lainnya. Karena hanya manusia yang disamping diberi kelebihan indera, manusia juga diberi kelebihan akal. 50 Yang dengan inderanya dia mampu memahami apa yang tampak dan dengan hatinya dia mampu memahami apa yang tidak nampak. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan:
50 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001), h. 436.
“Allah
mengajarkan
kepada
Adam
nama-nama
(benda-benda)
seluruhnya”. Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya. Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam raya membangkang terhadap perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh kepastian mengenai hukumhukum alam. Karenanya, semua itu mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Tuhan.51 Namun, di sisi lain manusia juga memiliki nafsu yang cenderung mendorong manusia untuk menuruti keinginannya. Nafsu jika tidak terkontrol maka yang terjadi adalah keinginan yang tiada akhirnya. Nafsu juga tidak jarang menjerumuskan manusia dalam lembah kenistaan. Dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 53 disebutkan:
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku”. Al-Qur’an menandaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik, yang mampu menciptakan lingkungan yang baik, kondusif, yang bermanfaat bagi seluruh alam. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Ilmu pengetahuan adalah sebuah hubungan antara pancaindera, akal dan wahyu. Dengan pancaindera dan akal (hati), manusia bisa menilai sebuah
51 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an,………. h. 436.
kebenaran (etika) dan keindahan (estetika). Karena dua hal ini adalah piranti utama bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Namun, disamping memiliki kelebihan, kedua piranti ini memiliki kekurangan. Sehingga keduanya masih membutuhkan penolong untuk menunjukkan tentang hakikat suatu kebenaran, yaitu wahyu. Dan dengan wahyu manusia dapat memahami posisinya sebagai khalifah fil ardh.52 Etika peserta didik adalah seuatu yang harus dipenuhi dalam proses pendidikan. Dalam etika peserta didik, peserta didik memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan oleh peserta didik. Dalam buku yang ditulis oleh Rama yulis, menurut Al-Ghozali ada sebelas kewajiban peserta didik, yaitu :53 1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqoruh kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela. 2. Bersikap tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya. 3. Menjaga pikiran dan pertantangan yang timbul dari berbagai aliran 4. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrowi maupun untuk duniawi. 5. Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar. 6. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. 7. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari. 8. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi. 9. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu
52 Lihat Yusuf al-Qardawi, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad Badruzzaman, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 117-121. 53 Abd. Mujid dalam Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), h. 98
yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dinia akherat. 10. Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik.
Agar peserta didik mendapatkan keridhoan dari Allah SWT dalam menuntut ilmu, maka peserta didik harus mampu memahami etika yang harus dimilkinya, yaitu :54 1. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu. 2. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai sifat keutamaan. 3. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat. 4. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya. 5. Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah. Namun etika peserta didik tersebut perlu disempurnakan dengan empat akhlak peserta didik dalam menuntut ilmu, yaitu :55 1. Peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia menuntut ilmu, sebab belajar merupakan ibadah yang harus dikerjakan dengan hati yang bersih. 2. Peserta didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah. 3. Seorang peserta didik harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan sabar dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang datang. 4. Harus ikhlas dalam menuntut ilmu dengan menghormati guru atau pendidik,
berusaha
memperoleh
kerelaan
mempergunakan beberapa cara yang baik.
54 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ………., ..h. 110 55 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,…………..h. 110.
dari
guru
dengan
Bab III Seputar Penafsiran Kisah Khidir dan Musa QS al-Kahfi 60-82
QS al-Kahfi ayat 60-61
Artinya, “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun" (60). “Maka tatkala mereka sampai ke Pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.” (61).
Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang perjalanan Nabi Musa AS yang ingin menimba Ilmu dari Nabi Khidir AS. Pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir memang tidak dijelaskan secara detail kapan dan dimana tempatnya, akan tetapi kumpulan ayat-ayat yang membincangkan kisah mereka banyak mengandung pelajaran. Kisah tentang Musa dalam rangkaian ayat-ayat ini tidak disebutkan asal-muasalnya, namun dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dijelaskan sabab-musababnya. Ibnu Abbas mendengar Ubai bin Kaab berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda, Musa
berdiri khutbah di hadapan Bani Israil, kemudian ia ditanya, “Siapa Manusia yang paling pintar?” Musa menjawab, “Saya”. (Atas jawaban itu) Allah SWT mencela Musa yang tidak mengembalikan ilmu kepada Allah. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa bahwasannya seorang hamba-Ku berada di tempat bertemunya dua laut dia lebih pintar daripadamu. Kemudian Musa bertanya, “Bagaimana aku dapat bertemu dengannya?” Allah berfirman, “Ambillah seekor ikan lalu tempatkan ia di wadah. Maka, dimana engkau kehilangan ikan itu, di sanalah dia. (HR Bukhori)1 Manakala Nabi Musa menyimak hal itu, dia bertekad ingin menemui hamba shalih tersebut untuk menimba ilmu darinya. Quraish Shihab menyebutkan, kata huquban ( )ﺣﻘﺒﺄyang menunjukkan waktu yang lama ada yang berpendapat setahun, tujuh puluh tahun, atau delapan puluh tahun, bahkan sepanjang masa. Al-Maraghi menjelaskan, Musa tertantang untuk menemui hamba shalih itu, meski menguras tenaga, bersusah payah dan menempuh perjalanan yang panjang. 2 Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, ”Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun." (QS al-Kahfi [18]; 60). Berdasar hadis Bukhari di atas, Nabi Musa memohon kepada Allah agar ditunjukkan tempat keberadaan hamba shalih. Allah tidak memberitahu kepada Musa secara langsung. Akan tetapi, memberitahu dengan isyarat bahwa dia berada di tempat bertemunya dua laut. Allah memerintahkan Musa supaya membawa serta ikan yang telah mati. Karena Musa akan menemukan hamba shalih di tempat di mana Allah menghidupkan ikan itu. Dalam pengembaraan mencari hamba shalih, Musa berjalan dengan seorang yang disebut dalam al-Quran dengan istilah fata, pemuda (—)اﻟﻔﺘﻲal-Maraghi menyebutkan pemuda itu bernama Yusa’dalam riwayat hadis riwayat imam Bukhori disebutkan pemuda itu adalah Yusa’ bin Nun—menuju tempat bertemunya dua laut.3 Pakar tafsir Indonesia Quraish Shihab, menjelaskan makna fata tersebut, bahwa pada 1
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Jami’ Shahih al-Mukhtashor min Umuri Rasulillah wa Sunaninhi wa Ayyamih, (Beirut: Daar Ibnu Katsir, Cet 3 1987) j. 4 h. 1757. Hadis no. 4450. 2
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladih, 1946) J. 15 h. 175 3
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Jami’ Shahih al-Mukhtashor min Umuri Rasulillah wa Sunaninhi wa Ayyamih, j. 4 h. 1757.
mulanya fata digunakan untuk menyebutkan anak muda, lalu kata ini digunakan untuk menyebut pembantu. Orang jahiliah menyebut pembantu dengan ’abd ()ﻋﺒﺪ. Rasulullah melarang hal itu dan mengganti dengan fata, menurut Quraish agaknya hal itu dilakukan karena seorang dalam keadaan apa pun tak wajar diperbudak, sebaliknya tetap manusia tetap harus diperlakukan dengan baik selayaknya manusia. Tau rasul menyebut hal itu lantaran ayat menyebutkan dengan kata fata. Dengan demikian seorang yang menemani musa adalah orang yang selalu membantunya dan barangkali dalam pandangan masyarakat ia adalah seorang hamba sahaya. 4 Musa meminta kepada si pemuda agar memberitahu jika ikan itu hidup. Ketika keduanya telah sampai di sebuah di tempat bertemunya dua laut. Nabi Musa berbaring di balik batu untuk beristirahat karena perjalanan panjang yang membuatnya letih. Di tempat tersebut ikan itu bergerak-gerak di dalam keranjang. Dengan kodrat Allah SWT ia hidup, melompat ke laut, membuat jalan yang terlihat jelas. Maka airnya berbentuk seperti pusaran, dan Allah menahan laju air dari ikan tersebut. Al-Maragi menyebutkan, bagi Musa hidupnya ikan tersebut merupakan mukjizat. Ikan mendapati jalannya. Sedangkan kisah yang menyebutkan bahwa air berbentuk jembatan tidaklah wajib bagi kita untuk meyakininya kecuali ada nash qat’i yang menyebutkannya.5 Pendapat Ibnu Asyur yang disebutkan dalam Tafsir al-Misbah juga menyebutkan bahwa ikan itu menghilang menuju terowongan (saraban) dan Musa kemudian mengikuti jalan itu. Namun, pendapat ini ditolak banyak ulama yang cenderung memahami pertemuan kedua tokoh itu di tempat bertemunya dua pantai. 6
QS Al-Kahfi ayat 62-64
4
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, cet II 2004) v. 8 h. 90. 5
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 175-176.
6
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 91.
Artinya, “Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini" (62). “Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu tadi, Maka Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali" (63). “Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.” (64).
Pada hari setelah berjalan siang dan malam Musa merasa letih dan meminta makanannya kepada pemuda. ”...Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini" (QS al-Kahfi [18]; 62) Permintaan Musa untuk diambilkan makanannya, mengingatkan pemuda kepada ikan, maka dia pun menyampaikan perkara ikan tersebut kepada Nabi Musa. Menurut al-Maraghi makanan menjadi hikmah yang mengingatkan pemuda pada ikan. 7 ”Muridnya berkata, "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali." (QS alKahfi [18]; 63) Pada penuturan pemuda tentang perkara ikan, ia menyalahkan setan yang telah melupakannya. Hal tersebut dikarenakan peristiwa yang dialaminya benar-benar ajaib. Kata ‘ajaban ( )ﻋﺠﺒﺎsendiri ada yang memahaminya dengan keadaan tempat itu mengherankan manakala ikan berjalan ke laut. Ada pula yang berpendapat keheranan pembantu Musa, bagaimana ia bisa lupa untuk menyampaikan kisah ikan itu.8 Menimpali penjelasan pemuda itu, “Musa berkata, "Itulah (tempat) yang kita cari." Lalu 7
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 176.
8
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 93.
keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.” (QS al-Kahfi : 64) Al-Biqa’i sebagaimana dikutip oleh al-Maraghi, menyebutkan, bahwa jalan yang dilalui oleh Musa adalah pasir, yang tidak bertanda. Jelasnya, Allah lebih mengatahui apakah tempat itu pertemuan antara nail dan garam atau petunjuk dari kota misr (mesir). Dengan penegasan tambahan, yaitu bertenggernya burung di perahunya.9
QS Al-Kahfi ayat 65
Artinya, “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”
Keduanya melewati tempat yang ditentukan, hingga kelelahan. Musa dan pemuda berjalan berbalik menyusuri jejak semula yang telah mereka lalui, demi menuju ke batu tempat mereka beristirahat. ”Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS al-Kahfi : 65) Banyak ulama yang berpendapat bahwa kata ’abdan ()ﻋﺒﺪا, hamba dalam ayat ini adalah Nabi Khidir. Quraish Shihab menjelaskan, penafsiran kata ’abdan beragam dan bersifat irrasional. Khidir sendiri bermakna hijau. Nabi Saw bersabda, bahwa penamaan tersebut karena suatu ketika ia duduk di bulu yang berwarna putih, tiba-tiba warnanya beerubah menjadi hijau (HR. Bukhari melalui Abu Hurairah). Quraish menambahkan, agaknya penaman serta warna itu sebagi simbol keberkatan yang menyertai hamba Allah yang istimewa itu.10 Tentang khidir al-Maragi telah menyebutkan dengan pendapat yang kuat. Khidir adalah laqab untuk teman Musa yang bernama Balwan bin Mulkan. Sementara itu, kebanyakan ulama berpendapat ia adalah seorang nabi. Pendapat itu didukung oleh beberapa dalil. Pertama, firman Allah SWT, ” Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami” rahmat dalam potongan ayat ini 9
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 177.
10
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 94.
adalah nubuwwah berdasarkan firman Allah yang berbunyi, “Apakah mereka membagikan rahmat dari Tuhan-mu” Kedua, firman Allah SWT, ” telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami” potongan ayat ini menunjukkan bahwa khidir telah diberi ilmu tanpa perantara dan petunjuk tanpa seorang mursyil. Hal ini hanya didapati oleh para nabi. Ketiga, Musa berbicara kepada Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu” ayat ini menunjukkan bahwa Musa ingin belajar pada Khidir. Dan nabi tidak belajar kecuali kepada nabi. Keempat, firman Allah, “dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri” maksudnya, aku mengerjakannya berdasarkan wahyu dari Allah. Dan ini menunjukkan dalil nubuwwah.11 Dalam ayat ini pula, keterangan tentang Khidir bertambah. Yaitu, Khidir diberikan rahmat dan ilmu. Terkait dua bekal yang diberikan kepada Khidir ini, para ulama kemudian memberi tafsir tentang rahmat dan ilmu yang diberikan kepada Khidir. Istilah 'indi dan ladun dinilai oleh Ibnu Asyur hanya sebagai penganekaragaman dan tidak terulang dua kata yang sama dalam satu redaksi. Sementara itu, al-Biqai dan Thabathabai tidak berpendapat demikian. Mengutip Abu Hasan al-Harrari pemakaian kata 'indi pada 'rahmat' menunjukkan bahwa rahmat yang diberikan kepada Khidir adalah sesuatu yang jelas, nampak. Dengan demikian, rahmat itu nampak dan jelas pada diri Khidir. Sedangkan ilmu yang digandeng sebelumnya dengan kata ladun, menurut Abu Hasan menunjukkan sesuatu yang tidak nampak. Yaitu, berupa ilmu bathin yang tersembunyi, yang pasti hal tersebut adalah milik dan berada di sisi Allah semata-mata. Thabathabai berpendapat serupa, namun tak sama. Thabathabai lebih jelas lagi, bahwa nikmat Allah yang zahir dapat diperoleh dari beraneka ragam sebab. Sedang nikmat Allah yang bathin tidak melalui satu sebab pun. hal ini seperti kenabian, kewalian. Dan dalam ayat ini dengan kata 'indi, maka rahmat yang diberikan lebih khusus lagi, tanpa pihak lain dan bersifat bathiniyyah dan pada hal ini kenabian. Namun tambahnya, penggunaan kata jamak 'indina, menunjukkan ada kerja malaikat dalam penyampaian wahyu itu. Sedangkan pemberian ilmu yang menggunakan kata ladun, menurut Thabathabai juga bukan merupakan pemberian ilmu dengan cara biasa. Ini menunjukkan ilmu yang diberikan
11
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 172-173.
bukan ilmu kasby, namun ia adalah anugrah khusus bagi para auliya. 12
QS Al-Kahfi ayat 66-68
Artinya, "Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (66) "Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku." (67) "Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (68).
Setelah pertemuan itu, komunikasi di antara Musa dan Khidir dilanjutkan. Diawali dengan pertanyaan Nabi Musa dilontarkan kepada Nabi Khidir. Pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan degan nada yang mewajibkan atau memaksa. Dan, contoh inilah yang menurut Ibnu Katsir hendaknya pula diikuti oleh para pembelajar (murid) kepada pengajar (guru).13 Musa menanyakan kebolehan atau izin untuk mengikuti Khidir (atau menemaninya), kemudian agar diperkenankan untuk diberikan suatu pelajaran yang telah Allah ajarkan. “Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (QS al-Kahfi : 67) Menurut Ibnu Katsir, maksudnya, sudikah kiranya Engkau (khidir) menunjukiku dalam urusanku dari ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.14 Quraish Shihab menambahkan, kata attabi’uka ( )أﺗﺒﻌﻚyang di dalamnya terdapat 12
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 95-96.
13
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, (Riyad: Daaru Thaibah, Cet 2 1999), j. 5 h. 181.
14
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 178.
penambahan huruf ta menunjukkan kesungguhan. Memang demikianlah seharusnya seorang pelajar harus bertekad untuk bersungguh-sungguh mencurahkan perhatian bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya. Lanjut Quraish, bahwa permintaan Musa kepada Khidir untuk diajarkan dengan bahasa yang sangat halus. Hal ini dapat dilihat dari pertanyaan Musa. “Bolehkah aku mengikutimu,” selanjutnya beliau menamai pengajaran yang diharapkannya itu sebagai ikutan, yaitu beliau menjadikan dirinya sebagai pengikut dan pelajar. Beliau juga menggarisbawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya pribadi yakni “untuk menjadi petunjuk” baginya. Pada sisi lain, Nabi Musa juga menyebutkan bahwa Khidir adalah hamba saleh dengan keluasan ilmu. Dengan begitu, Musa pula hanya meminta sebagian ilmu, “sebagian dari apa yang telah diajarkan kepadanya”. Dan Nabi Musa juga tidak mengatakan, “apa yang engkau ketahui”. Karena, Nabi Musa benar-benar menyadari bahwa segala ilmu bersumber dan pasti akan kembali kepada Allah SWT.15 Pada sisi lain, Nabi Khidir juga memberi jawaban yang tidak kalah halusnya. Ia tidak serta-merta menolak secara langsung permintaan Musa, melainkan memberinya jawaban dengan penilaian bahwa Musa tidak akan sabar mengikutinya sambil menyertakan alasan yang logis dan tidak menyinggung perasaan atas ketidaksabaranya itu. Terkait jawaban Khidir, Ibnu Katsir menjelaskan, bahwasannya Maksud Khidir adalah, engkau tidak akan tahan melihat apa yang akan aku perbuat, karena sangat kontra dengan syariat yang engkau miliki. Dan lantaran aku berdasarkan ilmu yang Allah ajarkan kepadaku namun tidak Allah ajakan kepadamu. Begitu sebaliknya, engkau telah Allah ajari ilmu yang tidak dijarkan kepadaku. Oleh karena itu, kita memiliki perkara masing-masing. Maka sebab itu, engkau tidak mampu untuk mengikutiku.16 Khidir pula mengetahui, bahwa Musa akan mengingkari atas apa yang dia dalihkan. Dan dikarenakan pula Musa tidak mampu menelaah hikmah dan kemaslahatan bathiniah yang Khidir dapat telaah. 17 Dalam konteks ini, Quraish menambahkan, bahwa ucapan hamba Allah, memberi isyarat 15
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 98
16
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181.
17
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181.
bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan memberitahu kesulitankesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang pendidik tahu bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajari. 18
QS Al-Kahfi ayat 69-70
Artinya, “Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun". (69) “Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". (70)
Musa menjawab Khidir dengan janji untuk bersabar dan tidak mengingkari dalam satu urusan pun. Quraish Shihab menyebutkan, penyertaan janji dengan kata insya Allah ()إﻧﺸﺎء اﷲ, memberikan kesan bahwa kesabaran Nabi Musa dikaitkan dengan kehendak Allah. Dengan begitu, Nabi Musa tidak dapat dinilai berbohong dengan ketidaksabarannya itu, karena ia telah berusaha. Namun itulah kehendak Allah yang bermaksud membuktikan adanya seorang yang memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa AS.19 Lebih lanjut, Qurash menambahkan, apalagi dalam belajar, khususnya dalam mempelajari hal-hal yang bersifat bathiniah/tasawuf. Ini lebih penting lagi bagi seorang yang telah memiliki pengetahuan, karena boleh jadi pengetahuan dimilikinya tidak sejalan dengan sikap atau apa yang diajarkan oleh sang guru. Pada sisi lain, jawaban Khidir menurut al-Maraghi maksudnya adalah jangan engkau meminta jawaban atas sesuatu yang engkau ingkari sampai aku menyebutkan kebenarannya. 18
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 99
19
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 100-101.
Karena sesungguhnya aku tidak melakukan sesuatu kecuali itu adalah hal yang benar dalam urusanku meskipun secara jahir bertolak belakang. Sebagai adab pelajar kepada guru maka Musa menerima syarat yang diberikan oleh Khidir.20
QS Al-Kahfi ayat 71-73
Artinya, “Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melubangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.” (71) “Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". (72) “Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".(73)
Maka keduanya berjalan di pantai menuju perahu, Khidir mengenalkan orang-orang yang menaiki perahu kemudian membawa mereka tanpa imbalan. Sampai ketika keduanya—Musa dan Khidir—telah menaiki perahu Khidir melubanginya ketika telah sampai di tengah-tengah laut yang deras jelas al-Maraghi. 21 Quraish meninjau dari sisi bahasa, bahwa kata idza ( )إذاdalam menunjukkan ketika dia naik perahu terjadi juga pelubangannya. Dan itu mengisyaratkan bahwa sejak dini—sebelum menaiki perahu—mereka telah mengetahui apa yang terjadi jika tidak
20
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 178.
21
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 178.
melubanginya, serta pelubangan itu merupakan tekadnya sejak semula.22 Kata inthalaqa ( )إﻧﻄﻠﻖdipahami dalam arti ‘berjalan dan berangkat dengan penuh semangat’. Lalu, penggunaan bentuk dual dalam kata ini menunjukkan bahwa dalam perjalanan hanya terdapat dua orang, yaitu hamba saleh dan Nabi Musa. Menurut Quraish Shihab ini agaknya disebabkan karena maqam yakni derajat keilmuan dan ma’rifat pembantunya itu belum sampai pada tingkat yang memungkinkannya ikut dalam pengembaraan ma’rifat itu.23 Atas pelubangan itu, Musa dengan kelengahannya menanyakan dan mengingkari apa yang dilakukan oleh Khidir—Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Khidir kemudian mengulangi pernyataan sebelumnya, Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". Lebih lanjut Musa meminta keringanan atas kelupaan dan kesulitannya dalam menjalani perkaranya itu. Al-Maragi menjelaskan, bahwa Musa meminta agar Khidir tidak menyulitkannya dalam perkara dan keikutsertaannya. Tetapi mudahkanlah dan menjauhkan perdebatan. 24 Rupanya pemakaian kata imran ( )إﻣﺮاdan ‘usra ( )ﻋﺴﺮاmenurut Quraish Shihab mengindikasikan betapa beratnya beban yang dipikul oleh Nabi Musa jika ternyata hamba Allah itu tidak memaafkannya atau dengan kata lain tidak mengijinkannya untuk belajar dan mengikutinya.
QS Al-Kahfi ayat 74-75
Artinya, “Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa 22
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 102-103.
23
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 102.
24
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar". (74) “Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" (75).
Hamba saleh itu memberikan maaf dan keduanya meneruskan perjalanan. Kali ini, setelah selamat dari tenggelam mereka turun dari perahu, berjalan di pantai kemudian Khidir melihat seorang anak remaja belum dewasa yang bermain maka serta merta ia membunuhnya. Al-Quran tidak menyebutkan bagaimana Khidir membunuh anak itu, jelas al-Maraghi. 25 Melihat hal itu, Musa dengan penuh kesadaran, sebagaimana yang dikutip Quraish dari Sayyid Qutub, musa tidak lupa lagi tapi dia benar-benar sadar lantaran besarnya peristiwa itu.26 Musa berkata kepada Khidir, Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar. al-Maraghi menjelaskan, bantahan Musa karena remaja yang dimaksud adalah remaja yang bersih dari dosa tanpa membunuh yang diharamkan? Dalam hal ini pembunuhan dikhususkan bukan karena kekafiran setelah iman, zina setelah menikah karena itulah yang nampak pada peristiwa tersebut.27 Penentangan Musa kepada Khidir pada hal ini ditunjukkan dengan lebih tegas. Kata yang dipakai untuk menunjukkan hal itu adalah nukran ()ﻧﻜﺮا, kemungkaran yang besar. Jika dalam hal menenggelamkan perahu masih mengindikasikan kemungkinan antara tenggelam dan tidak. Namun pembunuhan seorang anak benar-benar jelas dan pasti. Pembunahan inilah yang menurut Musa irasional dan telah mengahilangkan jiwa. Di sisi lain, peneguran kedua kalinya hamba saleh juga disertai penekanan. Ini nampak pada penggunaan kata laka()ﻟﻚ, kepadamu. Adapun jika kita perhatikan peneguran hamba saleh yang pertama tidak disertai kata laka. Hal ini menegaskan banwa kata itu memiliki daya tekan tersendiri. Demikian jelas para al-Maraghi dan Quraish Shihab.
25
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
26
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 104.
27
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
QS Al-Kahfi ayat 76-77
Artinya, “Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". (76) “Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu". (77)
Pada ayat 76 Musa menyadari akan perbuatannya yang telah melakukan dua kesalahan. Namun tekadnya yang kuat untuk meraih ma’rifat mendorongnya memohon untuk diberi kesempatan terakhir. Musa AS berkata, jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maksudnya, jika aku menanyakan kepadamu tentang perbuatan-perbuatan asing yang aku saksikan serta aku meminta penjelasan hikmahnya darimu, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku. Pernyataan Musa kali ini benar-benar menunjukkan penyesalan yang amat karena terdesak oleh keadaan. Diriwayatkan dalam hadis yang shahih, Nabi Saw bersabda, Rahmat Allah menyertai kita dan Musa, jika ia bersabar atas temannya untuk melihat kejadian yang aneh. Namun ia memberikan celaan kepada temannya. Permintaan Musa untuk kali masih dikabulkan oleh hamba saleh itu. Maka setelah peristiwa pembunuhan itu, keduanya berjalan sampai bertemu dengan sebuah kampung, mereka meminta
makanan, namun penduduk kampung itu enggan untuk menjamu mereka. Dalam sebuah hadis disebutkan, “mereka, penduduk negeri itu adalah orang-orang tercela lagi pelit”. Adapun penjelasan, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, dengan tidak menyebutkan ‘tidak mau memberi makan’ menambahkan kehinaan mereka dan mensifati mereka dengan kerendahan serta kebahilan. Sebab, seorang yang mulia tentu hanya menolak seorang yang meminta diberi makanan, bukan menghinanya. Sebaliknya orang yang mulia tidak akan mengusir tamu asing. Tandas al-Maraghi. 28 Diriwayatkan dari Qatadah, “seburuk-buruknya kampung adalah kampung yang tidak disinggahi dan tidak memberikan ibnu sabil haknya.” Pada posisi yang senada, Qurais Shihab menyebutkan, penyebutan penduduk negeri pada ayat 77 menunjukkan betapa buruknya penduduk negeri itu lantaran pada ayat-ayat lain al-Quran hanya menyebutkan negeri untuk menunjuk penduduknya. Lebih-lebih, permintaan Musa dan Khidir bukanlah permintaan sekunder melainkan makanan untuk dimakan. 29 Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Dan hal inilah yang merupakan mukjizatnya. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu. Sebenarnya, perkataan Musa ini hanyalah masukan dan saran kepada Khidir karena dia mengetahui keperluan yang mereka butuhkan seprti makan, minum, dan lainnya untuk hidup.
QS Al-Kahfi ayat 78
Artinya, “Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (78)
Pada bagian ini, Musa telah melakukan pelanggaran untuk yang ketiga kalinya. Khidir berkata pada Musa inilah pengingkaran berturut yang ketiga kalinya darimu yang menjadi sebab 28
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 5.
29
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 106.
perpisahan antara aku denganmu sebagaimana yang telah aku syaratkan. Adapun dua pengingkaranmu yang pertama terdapat udzur di dalamnya, namun tidak untuk hal ini. Kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Maksudnya, Khidir nanti akan memberitahukan akibat dari perbuatanperbuatannya. Takwil sendiri bermakna kembali yang berasal dari kata aala-yauulu-aulan (اوﻻ-ﯾﺄول-)ال. Al-Quran menggunakan istilah ini dalam arti makna dan penjelasan, atau substansi sesuatu yang merupakan hakikatnya atau tiba masa sesuatu. Dalam konteks ini, makna yang kedua dapat menjadi makna yang benar untuk kata tersebut di sini, jelas Quraish Shihab.30
QS Al-Kahfi ayat 79-82
Artinya, “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (79) “Dan Adapun anak muda itu, Maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan Kami khawatir bahwa Dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. (80) 30
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 107.
“Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (81) “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".(82)
Keempat ayat ini adalah penjelasan dari perbuatan-perbuatan Khidir yang aneh dalam pandangan Musa. Ayat 79 menjelaskan tentang mengapa ia melubangi perahu. Khidir menjelaskan, Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, mereka orang-orang miskin yang tak mampu untuk membela diri dari kezaliman. Padahal mereka telah bekerja sekuat tenaga. dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Hal ini dilakukan oleh Khidir karena merupakan kebiasaan raja itu, untuk merebut secara paksa setiap perahu yang masih baik dan layak tegas al-Maraghi. 31 Pada kejadian ini, Quraish menyimpulkan, seakan-akan Hamba Saleh itu berkata, “dengan demikian apa yang kubocorkan itu bukanlah tujuan menenggelamkan penumpangnya, tetapi justru menjadi sebab terpeliharanya hak-hak orang miskin.” Memang melakukan kemudharatan yang kecil dibenarkan untuk menghilangkan kemudharatan yang lebih besar.32 Kemudian, ayat ke 80-81 menjelaskan tentang mengapa Khidir membunuh anak yang menurut pandangan Musa adalah seorang anak yang suci dari dosa. Namun berbeda dengan apa yang diketahui oleh Khidir dan penyikapannya, Khidir mengetahui bahwa anak itu adalah anak yang kafir sedang kedua orang tuanya adalah orang mukmin. Kekhawatiran Khidir jika kelak anak itu menjadi penyebab kekafiran kedua orang tuanya lantaran kecintaan mereka terhadap anak itu, membuat Khidir membunuh anak itu. 31
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 8.
32
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 107.
Kata khasyah ()ﺧﺸﯿﺔ, pada mulanya bermakna takut. Tapi, kata kami yang menjadi pelaku ayat ini menunjuk kepada hamba Allah bersama Allah SWT. Tentu tidak tepat, karena Allah tidak mungkin takut. Oleh karenanya, Quraish menambahkan kami takut ‘bahkan tahu’ dalam mengartikan kata ini. Sementara itu ada juga yang memaknainya secara majazi, yaitu ‘kami iba dan penuh rahmat kepadanya’. Di sisi ini, sang anak adalah anak yang kedurhakaannya luar biasa. Hal ini terlihat dari penggunaan kata thugyanan ()ﻃﻐﯿﺎﻧﺎ. Banyak ulama yang memahami pelaku kedurhakaan dan kekufuran yang dikhawatirkan adalah kedua orang tua anak ini. Dan ada juga yang memahami pelakunya adalah anak itu, papar Quraish Shihab.33 Al-Maraghi mengutip pendapat Qatadah bahwa, “kala melahirkan anak itu kedua orang tuanya bahagia dan bersedih ketika mendapati anaknya dibunuh, padahal jika anak itu tetap hidup kelak akan mencelakakan keduanya. Maka itu, seorang hendaknya menerima ketentuan Allah SWT. Ketentuan Allah yang tidak disukai sejatinya lebih baik daripada sesuatu yang disukai. 34 Dalam sebuah hadis disebutkan, “Allah jika mengehndaki suatu ketentuan kepada seorang mukmin, kecuali itulah yang terbaik untuknya.” dalam al-Quran Allah berfirman, “Sekali-kali engkau akan membenci sesuatu padahal itu lebih baik bagimu (QS al-Baqarah [2]; 216).” Sementara itu, maksud Khidir lainnya adalah supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya. Ayat ke 82 ini adalah ayat penutup prihal kisah Musa dan Khidir. Ayat ini menjelaskan tentang perbuatan Khidir pada sebuah negeri yang dihuni oleh penduduk tercela lagi bakhil, namun ia menegakkan dinding pada sebuah bangunan tanpa imbalan. Tujuan Khidir tak lain adalah karena ia mengetahui bahwa dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Kata madinah pada keterangan ayat yang menjelaskan penegakan dinding agaknya 33
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 108.
34
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 8.
disebabkan karena di celah kata qaryah ( )ﻗﺮﯾﺔterdapat kecaman terhadap penduduknya yang enggan menjamu itu, sementara pada ayat itu ada pujian terhadap orang tua kedua anak yatim itu. Pernyataan Khidir ini kemudian ditutup dengan penjelasan yang lugas dan tepat. Yaitu bahwa apa yang dilakukannya mulai dari menenggelamkan perahu hingga menegakkan sebuah dinding adalah bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
BAB IV PROSES PEMBELAJARAN MUSA DAN KHIDIR
A.
Sumber Ilmu dan Motivasi Mencari Ilmu
1.
Sumber Ilmu Perjalanan Nabi Musa AS. Mencari guru sebagaimana yang diriwayatkan
dalam sebuah hadis tentang kisah Musa “Ibnu Abbas mendengar Ubai bin Kaab berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda, Musa berdiri khutbah di hadapan Bani Israil, kemudian ia ditanya, “Siapa Manusia yang paling pintar?” Musa menjawab, “Saya”. (Atas jawaban itu) Allah SWT mencela Musa yang tidak mengembalikan ilmu kepada Allah. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa bahwasannya seorang hamba-Ku berada di tempat bertemunya dua laut dia lebih pintar daripadamu. Kemudian Musa bertanya, “Bagaimana aku dapat bertemu dengannya?” Allah berfirman, “Ambillah seekor ikan lalu tempatkan ia di wadah. Maka, dimana engkau kehilangan ikan itu, di sanalah dia. (HR Bukhori)1 Pada hadis di atas, terang bahwa Musa tidak mengembalikan ilmu kepada Allah, merasa diri paling pintar. Hal ini yang menjadi sebab ia diperintahkan untuk belajar kembai kepada hamba shaleh. Berdasar hal itu, seorang peserta didik harus menyadari bahwa sumber ilmu adalah Allah SWT. Syed Naquib al-Attas menyebutkan, bahwa semua tindakan dalam Islam harus diniati dengan niat yang disadari. Ini sebagaimana hadis yang berbunyi, 1
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Jami’ Shahih al-Mukhtashor min Umuri Rasulillah wa Sunaninhi wa Ayyamih, (Beirut: Daar Ibnu Katsir, Cet 3 1987) j. 4 h. 1757. Hadis no. 4450.
“perbuatan seorang itu berdasar niatnya” “dan Allah akan memberi pahala sesuai niatnya. Di samping itu prinsip dasar perbuatan tersebut diiringi pula dengan sifat keikhasan, kejujuran, dan kesabaran. Abu Sa’id al-Kharaz, seorang sufi kenamaaan abad 9 M, sebagaimana dinukil oleh Syed Nuquib memaparkan, bahwa salah satu prinsip etika adalah keikhlasan di samping kebenaran dan kesabaran. Pada hal ini, menurut Syed Naquib al-Attas, peserta didik harus mengenal prinsip ini sejak dini dan harus mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga kualitas keimanannya akan menjadi lebih kuat dan lebih kukuh, di samping amal perbuatannya yang lurus dan ikhlas.2 Senada dengan itu, Nashir Al-Din Al-Thusi dalam tesisnya mengenai adab peserta didik, sebagaimana dinukil pula oleh Syed Nuquib, bahwa penting bagi peserta didik untuk mencari ridha Allah SWT.3 2.
Motivasi Mencari Ilmu Perintah menuntut ilmu dalam Islam diwajibkan. Perintah ini sebagaimana
termaktub dalam al-Quran dan hadis. Dalam al-Quran seperti ayat yang berbunyi, “qul hal yastawilladzina ya’amuuna walladzina laa ya’lamuun” (katakanlah: tidaklah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui).4 Dalam hadis disebutkan, “thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin” (menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat). Bahkan dalam syiir yang populer “Uthubul ilma minal mahdi ila lahdi” (tuntutlah ilmu sejak buaian hingga liang lahad). Atau “Uthlubul ilma wa lau bishshin” (tuntutah ilmu sampai negeri Cina”. ‘ Spirit menuntut ilmu inilah yang juga diperlihatkan dalam proses pembelajaran Musa dan Khidir. Dalam hal ini Musa setelah mendapat wahyu untuk menemui hamba shaleh. Ia bertekad untuk menimba ilmu darinya. Quraish 2
M. Nuquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib Al-Attas, (Bandung: Mizan, cet I 2003) h. 256. 3 M. Nuquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib AlAttas,...h. 258. 4
QS Az-Zumar [39]; 9.
Shihab menyebutkan, kata huquban ( )ﺣﻘﺒﺄyang menunjukkan waktu yang lama ada yang berpendapat setahun, tujuh puluh tahun, atau delapan puluh tahun, bahkan sepanjang masa. Motivasi Musa begitu jelas, menurut al-Maraghi, Musa tertantang untuk menemui hamba shalih itu, meski menguras tenaga, bersusah payah dan menempuh perjalanan yang panjang. 5 Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, ”Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun." (QS al-Kahfi [18]; 60). Pada usaha mencari sumber pembelajaran dan guru yang profesional, seorang siswa dituntut untuk memiliki semangat dan motivasi yang kuat untuk menuntut ilmu, karena motivasi berperan sebagai daya gerak seseorang untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki subjek belajar dapat tercapai.6 Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.7
Dengan motivasi yang kuat dalam diri Nabi Musa AS, untuk mencari guru 5
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Maktabah Mustafa al-Babi alHalabi wa Awladih, 1946) J. 15 h. 175. 6 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo, cet-IX, 2001), h. 73. 7
Thursan Hakim, Balajar Secara Efektif, (Jakarta: Niaga Swadaya, 2009). h. 6
yang lebih ahli mendorongnya untuk melakukan perjalanan dalam mencari ilmu dari sumbernya langsung. Yang dalam dunia pendidikan hal ini dikenal dengan rihlah ilmiah, perjalanan intelektual. Imam Syafi’i menyebutkan dalam kitab Diwan Imam Syafi’i, dalam bab qafiyah nuun (syi’ir yang berakhiran huruf nun) enam syarat yang harus dipenuhi agar bisa mendapatkan ilmu, yaitu kecerdasan, semangat, sabar dan harta (dalam hal ini biaya), petunjuk (bimbingan) guru dan dalam tempo waktu yang lama. Motivasi yang tinggi telah mendorong Imam Ibn Mandah untuk mengelilingi timur dan barat sebanyak dua kali. Beliau melakukan perjalanan menuntut ilmu dalam jangka waktu yang lama. Imam Ibn Mandah pergi menuntut ilmu ketika berumur 20 tahun dan kembali ketika berumur 65 tahun. Lama perjalanan menuntut ilmu beliau selama 45 tahun. Imam Ibn Mandah kembali ke negerinya setelah tua dan dia baru menikah ketika berumur 65 tahun. Kecintaan para ulama pada ilmu syar’I meyebabkan mereka rela untuk lelah berjalan, menahan lapar dan dahaga.8
Mempelajari perjuangan para ulama dalam menuntut ilmu akan menyalakan semangat yang padam kembali membara. Perjuangan mereka yang tak kenal lelah dan segala keterbatasan mereka baik moril maupun materil dalam menuntut ilmu telah menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mulia dari kalangan kaum Muslimin hingga saat ini. Para ulama salaf telah memberikan contoh yang baik dan teladan yang agung tentang bagaimana bersemangat dalam menuntut ilmu, meraihnya serta merindukannya. Mereka mengembara keluar dari negerinya dengan membawa bekal seadanya dan meninggalkan kenikmatan berkumpul bersama keluarga untuk berburu ilmu pada para ulama tanpa mengenal batas dimensi ruang dan waktu.9 Selain itu, kata-kata nabi Musa As: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” Memiliki pelajaran. Keteguhan Nabi Musa untuk menambah
8 Syaikh Muhammad Ibn Shaleh Al-Utsaimin, Panduan Lengkap menuntut ilmu (Pustaka Ibn Katsir), h.102 . 9 Abul Qa’qa Muhammad bin Shalih alu Abdillah, Kiat Agar Semangat Belajar Membara (Terj), (Beirut: Daar An-Naba), 52.
ilmu demi keselamatan dunia akhirat. Oleh karena itu, beliau mencari orang yang dapat mengobati kehausannya akan ilmu. Hal ini mengajarkan kepada kita, bahwa orang yang ingin mendapatkan ilmu haruslah keluar dari tempatnya dan mencari dimana sang guru berada dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, Nabi Musa rela melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk menuntut ilmu dan merasakan keletihan. Beliau lebih suka meninggalkan Bani Israil agar nantinya dapat mengajar dan membimbing mereka, dan memilih berangkat mencari tambahan ilmu.10 Sampai di sini motivasi yang dimiliki Musa masing amat tinggi, hingga ia tak kenal menyerah untuk mencari sumber ilmu yang Allah wahyukan. Dalam bahasan motivasi, maka Musa telah merasuk padanya motivasi intrinsik maupun ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu diransang dari luar, karena dalam diri individu telah ada dorongan mencari sesuatu. Sedang motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar.11 Dan semestinya setiap siswa memiliki kedua macam motivasi ini. B.
Bertemu Guru yang Tepat Dalam dunia pendidikan guru memiliki peranan yang sangat penting pada
kegiatan pembelajaran. Guru sebagai fasilitator, koordinator, transformator, bahkan agent of change dan pengelola lalu lintas jalannya pembelajaran yang aktif, kreatif, serta produktif, merupakan faktor penting yang tidak dapat di pandang sebelah mata. Pembelajaran akan baik jika disampaikan oleh guru yang baik, guru yang memiliki standar kompetensi. Adapun sebagaimana maklum Kompetensi guru tersebut mencakup empat jenis, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Pada proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai pen-transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga berfungsi untuk
10
Soraya Haque, Jejak-Jejak Perjalanan Jiwa, (Bandung: Mizan Publika, 2009), h. 74
11
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar,... h. 87-88.
menanamkan nilai (value), serta berfungsi untuk menanamkan karakter (character building) secara berkelanjutan. Dalam terminologi Islam, guru diistilahkan dengan murabby, satu akar dengan rabb yang berarti Tuhan. Jadi, fungsi dan peran guru dalam sistem pendidikan merupakan salah satu manifestasi dari sifat ketuhanan. 12 Jika demikian, benarlah bahwa tugas guru merupakan tugas yang amat mulia, bukan hanya mulia di sisi manusia lainnya namun juga mulia di sisi Allah Swt. Pada konteks itu, pembelajaran Musa kepada Khidir merupakan pembelajaran yang tepat. Pertama, karena Khidir adalah guru yang Allah pilih dan rekomendasikan secara langsung sebagaimana yang disebutkan pada hadis di atas. Menurut kebanyakan ulama berpendapat ia adalah seorang nabi.13 Kedua, lantaran Khidir adalah nabi yang Allah berikan padanya rahmat yang tampak pada dirinya dan ilmu yang istimewa. Yaitu ilmu yang diberikan bukan ilmu kasby, namun ia adalah anugrah khusus bagi para auliya.14 Sepadan dengan hal tersebut, peserta didik disarankan untuk tidak tergesagesa belajar pada sembarang guru. Sebaliknya peserta didik harus meluangkan waktu untuk mencari siapakah guru terbaik, demikian papar Syed Nuquib. AlGazali mengingatkan, meski demikian peserta didik untuk tidak bersikap sombong. Tetapi harus memperhatikan mereka yang mampu membantunya dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan, dan kebahagiaan serta tidak hanya berdasarkan mereka yang masyhur dan terkenal.15 Prof. Dr. Imam Suprayogo, rektor UIN Malang, dalam catatannya menuliskan, tidak saja calon murid yang seharusnya dipilih, tetapi mestinya guru juga perlu diseksi. Setiap tahun, lembaga pendidikan menyeleksi para calon murid. Lembaga pendidikan memilih calon murid di antara sekian banyak yang 12
Asrarun Ni’am Shaleh, Membangun Profesionalitas Guru, (Jakarta: Elsas, 2006), hal 3.
13
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 172-173.
14
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
h. 95-96. 15
M. Nuquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib AlAttas,...h. 260-261.
kemampuanannya lebih baik. Tentu hal ini dilakukan oleh lembaga pendidikan yang peminatnya berlebih. Jika peminatnya kurang, tentu seleksi yang dilakukan tidak serius, sebatas bersifat formal. Sama dengan yang dilakukan oleh guru atau lembaga pendidikan, mestinya calon murid juga melakukan pemilihan terhadap orang yang akan dijadikan guru. Sebab kualitas guru ternyata juga bermacam-macam. Ada guru yang hebat, artinya berkualitas tinggi, tetapi ada pula guru yang kemampuannya terbatas. Calon murid mestinya juga memilih lembaga pendidikan yang memiliki tenaga guru yang hebat-hebat.16 Adapun guru yang baik menurut Al-Mawardi, sebagaimana yang dikutip Abuddin Nata, adalah guru yang tawadhu (rendah hati), menjauhi sikap ujub (besar kepala) dan memiliki rasa ikhlas. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya seorang guru harus dilandasi dengan kecintaan terhadap tugasnya sebagai guru, kecintaan ini akan benar-benar tumbuh dan berkembang apabila keagungan, keindahan dan kemuliaan tugas guru itu sendiri benar-benar dapat dihayati.17 Khidir sendiri telah menunjukkan sikap itu pada pengajarannya kepada Musa. Salah satu gambaran itu dapat dilihat dari tutur katanya kepada Musa.
(68) ﺍﺮﺒﺤِﻂﹾ ﺑِﻪِ ﺧ ﺗﺎ ﻟﹶﻢﻠﹶﻰ ﻣ ﻋﺒِﺮﺼ ﺗﻒﻛﹶﻴ( ﻭ67) ﺍﺮﺒ ﺻﻌِﻲ ﻣﻄِﻴﻊﺘﺴ ﺗ ﻟﹶﻦﻚﻗﹶﺎﻝﹶ ﺇِﻧ "Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku." (67) "Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (68). Menurut Quraish Shihab, jawaban Nabi Khidir ini adalah jawaban yang tidak kalah halusnya dengan pertanyaan Musa. Ia tidak serta-merta menolak secara langsung permintaan Musa, melainkan memberinya jawaban dengan penilaian bahwa Musa tidak akan sabar mengikutinya sambil menyertakan alasan 16
http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel. memilih-guru-.html diakses tanggal 30 November 2010. 17
50.
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h.
yang logis dan tidak menyinggung perasaan atas ketidaksabaranya itu.18 Guru adalah orang yang mengajarkan kita dengan berbagai-bagai ilmu pengetahuan dan mendidik kita menjadi orang yang berguna pada masa akan datang. Walau bagaimana tingginya pangkat atau kedudukan seseorang itu mereka adalah bekas seorang pelajar yang tetap terhutang budi kepada gurunya yang pernah mendidiknya pada masa dahulu.19 Karena pendidik adalah orang yang telah berjasa, maka sebagai siswa, seharusnya selalu mendoakan kebaikan sang pendidik. Nabi Saw. bersabda: ”Siapa yang telah berbuat baik kepada kalian, maka balaslah kebaikannya. Apabila kalian tidak mendapatkan sesuatu untuk membalas budi kepadanya, maka doakanlah (memohon kebaikan) untuknya sehingga kalian berpendapat telah membalas budinya”20
Oleh karena itu Islam mengajar kita supaya menghormati guru dan memuliakannya sebagaimana kita memuliakan ibu bapa kita.kerana merekalah menyampaikan ilmu kepada kita untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dalam kisah ini diterangkan kepada kita agar mempunyai adab sopan santun dan bersikap lemah lembut terhadap guru atau pendidik sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Musa. Firman Allah: ھَﻞْ أَﺗﱠﺒِﻌُﻚَ ﻋَﻠَﻰ أَنْ ﺗُﻌَﻠﱢﻤَﻦِ ﻣِﻤﱠﺎ ﻋُﻠﱢﻤْﺖَ رُﺷْﺪًا “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmuilmu yg telah diajarkan kepadamu?” Ayat itu disebutkan cara Nabi Musa mengeluarkan tutur kata yang sangat santun dan seakan-akan sedang meminta pendapat. Seakan-akan beliau menyebutkan: “Apakah engkau bersedia memberi ijin kepada saya atau tidak?” Di
18
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
h. 98. 19
http://mgcmpi.wordpress.com/bahan-kerohanian/adab-menghormati-guru/ didownload, Jumat, 3 Desember 2010. 20 HR.Ahmad 2/68,Abu Daud1672,Nasa`i 5/82,Bukhari dalam buku Al-Adab Al-Mufrad 216, Ibnu Hibban 3408, AlHakim 1/412 dan 2/13, At-Thayalisi 1895 dan selain mereka dari hadist Abdullahbin Umar bin Khattab radhiallohu `anhuma).
sini beliau tampakkan sangat butuh untuk berguru. Beliau belajar dari Khidir dan mempunyai keinginan besar untuk mendapatkan ilmu yg ada pada gurunya.
C.
Strategi Pembelajaran Musa dan Khidir Guna menciptakan pembelajaran yang efektif, maka guru hendaknya
menentukan terlebih dahulu strategi pembelajaran yang akan di terapkan di lapangan. Strategi pembelajaran sendiri adalah suatu garis-garis besar halauan untuk bertindak untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Jika dihubungkan dengan belajar mengajar adalah pola-pola umum kegiatan guru anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.21 Ada empat strategi dasar dalam belajar mengajar yang meliputi hal-hal berikut:22 1.
Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan.
2.
Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat.
3.
Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan tehnik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya.
4.
Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi. Di sisi yang sama, strategi pembelajaran pada Musa dan Khidir dapat
dilihat pada dua sisi.
21 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar mengajar, (Jakarta: Rieneka Cipta, Cet 3 2006. h. 5. 22
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar mengajar,... h. 5-6
Pertama, pengajuan Musa untuk menimba ilmu kepada Khidir. Pengajuan ini merupakan bentuk etika seorang murid, yaitu sebelum belajar hendaknya meminta izin kepada sang guru terlebih dahulu. (66) ﻗَﺎلَ ﻟَﮫُ ﻣُﻮﺳَﻰ ھَﻞْ أَﺗﱠﺒِﻌُﻚَ ﻋَﻠَﻰ أَنْ ﺗُﻌَﻠﱢﻤَﻦِ ﻣِﻤﱠﺎ ﻋُﻠﱢﻤْﺖَ رُﺷْﺪًا "Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (66) Ibnu Katsir menjelaskan, pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan degan nada yang mewajibkan atau memaksa. Dan, contoh inilah yang menurut Ibnu Katsir hendaknya pula diikuti oleh para pembelajar (murid) kepada pengajar (guru).23 Selain itu, Quraish Shihab menambahkan, kata attabi’uka ( )أﺗﺒﻌﻚyang di dalamnya terdapat penambahan huruf ta menunjukkan kesungguhan. Memang demikianlah seharusnya seorang pelajar harus bertekad untuk bersungguhsungguh mencurahkan perhatian bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya. Kedua, Khidir memberikan syarat pembelajaran kepada Musa. Khidir sebagai guru Musa menetapkan strategi pembelajaran. Sebagai guru yang mengetahui maka terlebih dahulu memberikan penilaian kepada muridnya. Khidir pula mengetahui, bahwa Musa akan mengingkari atas apa yang dia dalihkan. Dan dikarenakan pula Musa tidak mampu menelaah hikmah dan kemaslahatan bathiniah yang Khidir dapat telaah.24 Sementara itu, pertimbangan yang dilakukan Khidir dalam memilih strategi pembelajaran untuk mencapai pembelajaran yang efektif dan efisien adalah pertimbangan yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai, pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran, dan pertimbangan dari sudut siswa. 25 23
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, (Riyad: Daaru Thaibah, Cet 2 1999), j. 5 h. 181.
24
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181.
25
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Beroroentasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media Group, Cet 6 2009). h. 130.
Guru harus menjelaskan kepada murid persyaratan atau tata-tertib sebelum memulai proses pembelajarn. Ini ditunjukan oleh ayat ke 70 . Khidir memberikan syarat kepada Musa, yaitu jangan bertanya hingga khidir sendiri yang menjelaskannya. Dalam konteks ini, sebagaimana yang diungkapkan Quraish Shihab, bahwa ucapan hamba Allah, memberi isyarat bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan memberitahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang pendidik tahu bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajari. 26 Dalam berinteraksi dengan sesama manusia seorang guru tidak boleh membebani mereka siswa dengan
sesuatu yg mereka tidak
melakukanuntuk dilakukan karena akan
mampu
sangat memberatkan atau bahkan
menghancurkan mereka. Kalau ini terjadi tentu akan menjadi pemicu bagi mereka untuk malas belajar. Bahkan hendaknya seorang guru mempunyai sikap suka memudahkan.
D.
Proses Pembelajaran Musa dan Khidir Proses berasal dari bahasa latin, processus yang berarti berjalan ke depan.
Kata ini memiliki makna konotasi urutan langkah atau kemajuan yang mengarah pada suatu sasaran atau tujuan. Dalam psikologi belajar, proses berarti cara-cara atau langkah-langkah khusus yang dengannya beberapa perubahan ditimbulkan hingga tercapainya hasil-hasil tertentu (Reber, 1988). Dalam kisah ini diterangkan bahwa ilmu yang diajarkan kepada para hamba-Nya ada dua jenis: Pertama, Ilmu yg diusahakan yg dapat difahami oleh seseorang dgn mempelajari dan bersungguh-sungguh mendapatkannya. Kedua, Ilmu yg berupa ilham laduni sebagai hadiah yg dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya dengan dalil: 26
h. 99
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
وَﻋَﻠﱠﻤْﻨَﺎهُ ﻣِﻦْ ﻟَﺪُﻧﱠﺎ ﻋِﻠْﻤًﺎ “Dan telah Kami ajarkan kepada ilmu dari sisi Kami.” Dijelaskan dalam kisah ini bahwa ilmu yg bermanfaat adalah ilmu yg membimbing pemilik kepada kebaikan. Demikian pula hal ilmu-ilmu yg mengandung bimbingan dan hidayah atau petunjuk menuju jalan kebaikan dan mengingatkan agar menjauhi jalan yang buruk. Boleh jadi hanya akan menimbulkan madharat atau tidak berguna sama sekali. Inilah yg diisyaratkan dalam ayat أَنْ ﺗُﻌَﻠﱢﻤَﻦِ ﻣِﻤﱠﺎ ﻋُﻠﱢﻤْﺖَ رُﺷْﺪًا
Adapun proses belajar sendiri adalah tahapan perubahan prilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terjadi dalam diri siswa. Tentunya, perubahan yang terjadi adalah perubahan ke arah posistif dalam arti berorientasi ke arah yang lebih maju daripada keadaan sebelumnya. 27 Menurut Jerome S. Burner, salah seorang penentang teori S-R Bond (Barlow, 1985), dalam proses pembelajaran siswa menempuh tiga episode atau fase:28 1. Fase informasi (tahap penerimaan materi) 2. Fase transformasi (tahap pengubahan materi) 3. Fase evaluasi (tahap penerimaan materi) Peroses pembelajaran Musa dan Khidir dapat dilihat dari tiga bagian penting perbuatan-perbuatan Khidir yang aneh dipandangan manusia biasa, bahkan Musa sekalipun. Pertama, pembelajaran khusus Musa dan Khidir—karena hanya mereka berdua yang melakukan perjalanan ilmiah itu, Menurut Quraish Shihab ini agaknya disebabkan karena maqam yakni derajat keilmuan dan ma’rifat pembantunya itu belum sampai pada tingkat yang memungkinkannya ikut dalam 27
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Edisi Revisi, cet 14 2008) h. 113. 28
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,... h.113-114.
pengembaraan ma’rifat itu 29--merupakan perjalanan yang dengan penuh semangat. Pembelajaran pertama Khidir adalah berbentuk demonstrasi. Metode demonstrasi sendiri adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan.30 Metode demonstrasi adalah salah satu tehnik mengajar yang dilakukan oleh seorang guru atau orang lain yang dengan sengaja diminta atau siswa sendiri ditunjuk untuk memperlihatkan kepada kelas tentang suatu proses atau cara melakukan sesuatu.31 Dalam hal ini Khidir melubangi perahu yang dinaikinya bersama Khidir, yang di dalamnya juga terdapat banyak orang yang merupakan pekerja di laut. Di sini manfaat psikologis pedagogis dari metode demonstrasi terlihat jelas yang di antaranya adalah a. Perhatian siswa dapat lebih dipusatkan . b. Proses belajar siswa lebih terarah pada materi yang sedang dipelajari. c. Pengalaman dan kesan sebagai hasil pembelajaran lebih melekat dalam diri siswa Selain itu, kelebihan metode demonstrasi sebagai berikut: a. Membantu anak didik memahami dengan jelas jalannya suatu proses atu kerja suatu benda. b. Memudahkan berbagai jenis penjelasan. c. Kesalahan-kesalahan yeng terjadi dari hasil ceramah dapat diperbaiki melaui pengamatan dan contoh konkret, drngan menghadirkan obyek sebenarnya Di lain sisi, Kelemahan metode demonstrasi sebagai berikut: 29
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 102. 30
31
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,... h. 208.
M. Basyirudin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakata: Ciputat Pers, 2002) h. 45.
a. Anak didik terkadang sukar melihat dengan jelas benda yang akan dipertunjukkan. b. Tidak semua benda dapat didemonstrasikan. c. Sukar dimengerti bila didemonstrasikan oleh guru yang kurang menguasai apa yang didemonstrasikan Pada bagian ini, metode pembelajaran antara Musa dan Khidir berkembang menjadi metode tanya jawab. Dalam hal ini Musa dengan kelengahannya menanyakan dan mengingkari apa yang dilakukan oleh Khidir— Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Khidir kemudian mengulangi pernyataan sebelumnya, Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". Lebih lanjut Musa meminta keringanan atas kelupaan dan kesulitannya dalam menjalani perkaranya itu. Al-Maragi menjelaskan, bahwa Musa meminta agar Khidir tidak menyulitkannya dalam perkara dan keikutsertaannya. Tetapi mudahkanlah dan menjauhkan perdebatan.32
Rupanya pemakaian kata imran
( )إﻣﺮاdan ‘usra ( )ﻋﺴﺮاmenurut Quraish Shihab mengindikasikan betapa beratnya beban yang dipikul oleh Nabi Musa jika ternyata hamba Allah itu tidak memaafkannya atau dengan kata lain tidak mengijinkannya untuk belajar dan mengikutinya. Kedua, setelah Musa meminta keringanan kepada Khidir atas kelalaian dengan syarat yang telah diberikan pada awal kontrak pembelajaran. Hamba saleh itu masih memberi toleransi dengan memberikan maaf dan keduanya meneruskan perjalanan. Kali ini metode yang digunakan masih menggunakan metode demonstrasi. Khidir melihat seorang anak remaja belum dewasa yang bermain maka serta merta ia membunuhnya. Al-Quran tidak menyebutkan bagaimana Khidir membunuh
32
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
anak itu, jelas al-Maraghi.33 Melihat hal itu, Musa dengan penuh kesadaran, sebagaimana yang dikutip Quraish dari Sayyid Qutub, musa tidak lupa lagi tapi dia benar-benar sadar lantaran besarnya peristiwa itu. 34 Musa berkata kepada Khidir, Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar. Dalam psikologi pendidikan dikenal dengan istilah berfikir rasional dan kritis, yang merupakan perwujudan prilaku belajar terutama yang bertalian dengan pemecahan masalah. Pada umumnya siswa yang berfikir rasional akan menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan bagaimana (how) dan mengapa (why). Dalam berfikir rasional siswa dituntut mengggunakan logika (akal-sehat) untuk menentukan sebab-akibat, menganalisis, menarik kesimpulan-kesimpulan dan hukum-hukum (kaidah teoritis) dan ramalan-ramalan.35 Sikap kritis Musa pada pembelajaran kedua ini, sebagaimana yang dijelaskan al-Maraghi dikarenakan remaja yang dimaksud adalah remaja yang bersih dari dosa tanpa membunuh yang diharamkan? Dalam hal ini pembunuhan dikhususkan bukan karena kekafiran setelah iman, zina setelah menikah karena itulah yang nampak pada peristiwa tersebut.36 Di sisi lain, jawaban Khidir atas Musa merupakan peneguran kedua kalinya hamba saleh juga disertai penekanan. Ini nampak pada penggunaan kata laka()ﻟﻚ, kepadamu. Adapun jika kita perhatikan peneguran hamba saleh yang pertama tidak disertai kata laka. Hal ini menegaskan banwa kata itu memiliki daya tekan tersendiri. Demikian jelas para al-Maraghi dan Quraish Shihab. Jawaban guru kepada seorang siswa tentu harus memiliki nilai yang 33
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
34
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
35
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,... h. 120.
36
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
h. 104.
berarti. Karena, posisi guru di hadapan siswa harus benar-benar berpengaruh. Kpribadian guru mempunyai pengaruh langsung dan komulatif terhadap hidup dan kebiasaan belajar para siswa. Di sini Khidir berpegang teguh pada kesepakatan awal, yang menunjukkan sikapnya sebagai guru yang efektif. 37 Ketiga, pada bagian ketiga pembelajaran Musa dan Khidir bertempat di sebuah negeri yang “mereka, penduduk negeri itu adalah orang-orang tercela lagi pelit”. Adapun penjelasan, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, dengan tidak menyebutkan ‘tidak mau memberi makan’ menambahkan kehinaan dan mensifati mereka dengan kerendahan serta kebahilan. Sebab, seorang yang mulia tentu hanya menolak seorang yang meminta diberi makanan, bukan menghinanya. Sebaliknya orang yang mulia tidak akan mengusir tamu asing. Tandas al-Maraghi.38 Qurais Shihab menyebutkan, penyebutan penduduk negeri pada ayat 77 menunjukkan betapa buruknya penduduk negeri itu lantaran pada ayat-ayat lain al-Quran hanya menyebutkan negeri ssuntuk menunjuk penduduknya. Lebihlebih, permintaan Musa dan Khidir bukanlah permintaan sekunder melainkan makanan untuk dimakan. 39 Pembelajaran ini adalah kesempatan ketiga setelah dua kali Musa melanggar kesepakatan belajar yang telah ditetapkan di awal. Tekad Musa yang kuat untuk meraih ma’rifat mendorongnya memohon untuk diberi kesempatan terakhir. Musa AS berkata, jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maksudnya, jika aku menanyakan kepadamu tentang perbuatanperbuatan asing yang aku saksikan serta aku meminta penjelasan hikmahnya darimu, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku. Pernyataan Musa kali ini benarbenar menunjukkan penyesalan yang amat karena terdesak oleh keadaan. 37
Oemar Hmalik, Psikologi Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, Cet 6. 2009) h. 34-35.
h. 106.
38
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 5.
39
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8
Permintaan Musa untuk kali masih dikabulkan oleh hamba saleh itu. Maka setelah peristiwa pembunuhan itu, keduanya berjalan sampai bertemu dengan sebuah kampung, mereka meminta makanan, namun penduduk kampung itu enggan untuk menjamu mereka. Fase ketiga pembelajaran Khidir kepada Musa kali ini juga berjalan dengan metode demonstrasi. Khidir dan Musa mendapati dinding rumah yang hampir roboh. Khidir dengan inisiatifnya menegakkan dinding rumah tersebut. Melihat hal itu, Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu. Sebenarnya, perkataan Musa ini hanyalah masukan dan saran kepada Khidir karena dia mengetahui keperluan yang mereka butuhkan seprti makan, minum, dan lainnya untuk hidup. Namun, pernyataan inilah batas toleransi pembelajaran Musa dengan Khidir berakhir. Pada bagian ini, Musa telah melakukan pelanggaran untuk yang ketiga kalinya. Khidir berkata pada Musa inilah pengingkaran berturut yang ketiga kalinya darimu yang menjadi sebab perpisahan antara aku denganmu sebagaimana yang telah aku syaratkan. Adapun dua pengingkaranmu yang pertama terdapat udzur di dalamnya, namun tidak untuk hal ini. Kelak akan kuberitahukan kepadamu
tujuan
perbuatan-perbuatan
yang
kamu
tidak dapat
sabar
terhadapnya. Maksudnya, Khidir nanti akan memberitahukan akibat dari perbuatan-perbuatannya. Selain itu, dalam pembelajaran Musa dan Khidir terkandung pesan bahwa guru hendaknya membawa siswa belajar ke alam nyata di luar, untuk dapat mengalami pristiwa yang langsung. Ini ditunjukan oleh ayat ke 71 , 74 dan 77 yang semuanya di awali dengan kata-kata Yang menunjukan bahwa Guru / Khidir dan murid / Musa keduanya pergi ke luar. (Contextual Teaching Learning). Dari ketiga fase pembelajaran dia atas, selain metode demontrasi, Khidir juga menerapkan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Yaitu, suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. 40 Dari konsep tersebut, minimal tiga hal yang terkandung di dalamnya. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.41
E.
Evaluasi Pembelajaran Khidir kepada Musa Evaluasi adalah proses sederhana memberikan atau menetapkan nilai pada
sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang, objek, dan lainlain. Atau dapat diartikan sebagai proses sistematis untuk menentukan niai sesuatu berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian.42 Dari pengertian evaluasi diketahui bahwa tujuan utamanya adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan oleh siswa setelah mengikuti suatu kegiatan pembelajaran.
40
http://dahli-ahmad.blogspot.com/2009/01/peran-pembelajaran-ctl-dalam.html, didownload, Jumat, 3 Desember 2010. 41 http://dahli-ahmad.blogspot.com/2009/01/peran-pembelajaran-ctl-dalam.html, didownload, Jumat, 3 Desember 2010. 42
Dimyati dan Mujiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, cet 3 2006), h. 160-161.
Hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar pada akhirnya dipungsikan untuk keperluan sebagai berikut:43 a. Untuk diagnostik dan pengembangan. Maksudnya, bahwa penggunaan hasil dari keatan evaluasi hasil belajar sebagai dasar pendiagnosisan kelemahan dan keungunggulan siswa dengan berdasarkan diagnosis ini guru
mengadakan pengembangan
kegiatan pembelajaran untuk
meningkatkan hasil belajar siswa. b. Untuk seleksi. Hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar digunakan sebagai dasar untuk menentukan siswa yang paling cocok untuk jenis pendidikan tertentu. c. Untuk kenaikan kelas. Menentukan apakah seorang siswa dapat dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi atau tidak, memerlukan informasi yang dapat mendukung keputusan yang dibuat guru. d. Untuk penempatan. Agar siswa dapat berkembang sesuai dengan tingkat kemampuan dan potensi yang mereka miliki, maka perlu dipikirkan ketepatan penempatan siswa pada kelompok yang sesuai. Seperti halnya setiap kegiatan dan tindakan pendidikan selalu diawali dengan perencanaan, maka kegiatan evaluasi hasil belajar juga diawali dengan persiapan. Pada tahapan persiapan ini terdapat beberapa persiapan yang harus dilakukan evaluator. Dalam konteks pembelajaran, antara Nabi Khidir AS dengan Nabi Musa AS, Nabi Khidir bertindak sebagai evaluator dan Musa objek evaluasi. Adapun proses evaluasi itu, Nabi Khidir menetapkan pertimbangan dan keputusan yang akan dibuat, suatu keputusan yang akan dilakukan oleh seorang evaluator untuk mendeskripsikan pertimbangan dan keputusan yang sekiranya akan dibuat dari hasil evaluasi. Dalam istilah pendidikan kegiatan seperti ini disebut dengan langkah merumuskan tujuan. Tujuan dari sebuah kegiatan pembelajaran adalah setiap usaha mengajar sebenarnya ingin menumbuhkan atau menyempurnakan pola laku tertentu dalam diri peserta didik. Maksud pola laku tersebut adalah kerangka dasar 43
Dimyati dan Mujiono, Belajar dan Pembelajaran,... h. 200
dari sejumlah kegiatan yang lazim dilaksanakan manusia untuk bertahan hidup dan untuk memperbaiki mutu hidupnya dalam situasi nyata. Kegiatan itu bisa berupa kegiatan rohani, misalnya mengamati, menganalisis, dan menilai keadaan dengan daya nalar. Bisa juga berupa kegiatan jasmani. yang dilakukan dengan tenaga dan keterampilan fisik. Adapun yang menjadi tinjauan evaluasi daam konteks ayat ini adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh sang guru. Proses menakwilkan apa yang didemontrasikan oleh Khidir pada tiga tindakan Khidir dalam proses pembelajaran. Adapun dalam proses evaluasi Khidir kepada Musa. Khidir menjelaskan ketiga fase pembelajaran yang dilakukannya. Pertama, penjelasan tentang mengapa Khidir melubangi perahu. Khidir menjelaskan, Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, mereka orang-orang miskin yang tak mampu untuk membela diri dari kezaliman. Padahal mereka telah bekerja sekuat tenaga. dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Hal ini dilakukan oleh Khidir karena merupakan kebiasaan raja itu, untuk merebut secara paksa setiap perahu yang masih baik dan layak tegas al-Maraghi.44 Pada kejadian ini, Quraish menyimpulkan, seakan-akan Hamba Saleh itu berkata, “dengan demikian apa yang kubocorkan itu bukanlah tujuan menenggelamkan penumpangnya, tetapi justru menjadi sebab terpeliharanya hakhak orang miskin.” Memang melakukan kemudharatan yang kecil dibenarkan untuk menghilangkan kemudharatan yang lebih besar.45 Kedua, penjelasan tentang pembunuhan anak yang menurut pandangan Musa adalah seorang anak yang suci dari dosa. Khidir mengetahui bahwa anak itu adalah anak yang kafir sedang kedua orang tuanya adalah orang mukmin. Kekhawatiran Khidir jika kelak anak itu menjadi penyebab kekafiran kedua orang tuanya lantaran kecintaan mereka terhadap anak itu, membuat Khidir membunuh 44
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 8.
45
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 107.
anak itu. Ketiga, penjelasan tentang perbuatan Khidir pada sebuah negeri yang dihuni oleh penduduk tercela lagi bakhil, namun ia menegakkan dinding pada sebuah bangunan tanpa imbalan. Tujuan Khidir tak lain adalah karena ia mengetahui bahwa dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Berdasarkan ketiga evalusi pembelajaran yang Khidir berikan kepada Khidir ada point penting yang harus digarisbawahi. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menjelaskan QS al-Kahfi ayat 68,
“dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" Terkait ayat ini, Ibnu Katsir menjelaskan, bahwasannya Maksud Khidir adalah, engkau tidak akan tahan melihat apa yang akan aku perbuat, karena sangat kontra dengan syariat yang engkau miliki. Dan lantaran aku berdasarkan ilmu yang Allah ajarkan kepadaku namun tidak Allah ajakan kepadamu. Begitu sebaliknya, engkau telah Allah ajari ilmu yang tidak dijarkan kepadaku. Oleh karena itu, kita memiliki perkara masing-masing. Maka sebab itu, engkau tidak mampu untuk mengikutiku.46 Khidir pula mengetahui, bahwa Musa akan mengingkari atas apa yang dia dalihkan. Dan dikarenakan pula Musa tidak mampu menelaah hikmah dan kemaslahatan bathiniah yang Khidir dapat telaah.47 Bertalian dengan itu, Al-Ghazali membagi kriteria ilmu menjadi dua 46
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181.
47
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181.
bagian. Pertama, ilmu-ilmu yang fardhu a’in yang wajib dipelajarisemua orang Islam meliputi ilmu-ilmu agama, yakni ilmu-ilmu yang bersumber dari Al-Quran. Kedua, ilmu-ilmu yang merupakan fardhu kifayah, terdiri dari ilmu-ilmu yang dapat dimanfaatkan untuk memudahkan urusan hidup duniawi, seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan industri.48 Pernyataan Khidir ini kemudian ditutup dengan penjelasan yang lugas dan tepat. Yaitu bahwa apa yang dilakukannya mulai dari menenggelamkan perahu hingga menegakkan sebuah dinding adalah bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Pesan ini menunjukkan guru dalam menyampaikan materi pelajaran harus bersumber dan berdasar kebenaran. Ini ditunjukan oleh ayat ke 82, ini menunjukan bahwa Khidir dalam melakukan pekerjaan yang dilihat oleh Musa as. tidak atas kehendak dirinya tapi bersumber dari Allah. Guru harus menyampaikan materi pelajaran yang baru buat murid sehingga ada nilai tambah bagi. murid Ini ditunjukan oleh ayat ke 68 yang bermakna, bahwa Musa as. belum mempunyai pengetahuan yang cukup terhadap apa yang akan diajarkan Khidir . Terakhir, guru hendaknya memberi pesan akhir kepada murid yang akan meninggalkan tempat belajar dan berpisah dengannya,.untuk bekal di masa kelak nanti Ini ditunjukan oleh pesan akhir dari Khidir kepada Musa, saat Musa dan Khidir akan berpisah., seperti telah disebutkan di atas.
48
Khoiron Rosady, Pendidikan Profetik, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, Cet 1 2004), h. 281
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan tentang “Proses Pembelajaran dalam al-Quran (Telaah Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82)”, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Proses pembelajaran merupakan kegiatan yang meliputi di dalamnya kegiatan mengajar, belajar, dan pembelajaran itu sendiri. Tujuannya adalah menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik, positif, progresif, bahkan futuristik. Di sini, elemen guru dan murid terlibat aktif mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. 2. Sumber Ilmu yang paling utama adalah Allah SWT. Dialah Maha Pendidik, yang darinya semua ilmu bermuara. Dalam hal ini, Al-Quran merupakan salah satu sumber ilmu yang tak akan pernah habis untuk digali nilai-nilai pembelajaran dari dalamnya. 3. Motivasi dalam mencari ilmu merupakan hal esensial bagi peserta didik untuk mendapatkan ilmu. Motivasi yang paling baik adalah motivasi intrinsik yang memunculkan spirit untuk terus menggali ilmu. Sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan motivasi pendukung, tambahan untuk terus memacu diri dalam menimba ilmu.
77
78
4. Guru yang baik adalah guru yang dapat memberikan pembelajaran yang dibutuhkan oleh peserta didik. Guru yang baik dapat dilihat dari kredibelitas yang diakui. Dalam dunia pendidikan disebut guru yang memiliki standar kompetensi atau guru profesional. Khidir merupakan guru yang kredibel karena telah mendapat rekomendasi langsung dari Allah SWT untuk mengajarkan Musa. 5. Strategi pembelajaran merupakan langkah yang penting guna mendapatkan pembelajaran
yang
efektif
dan
efisien.
Dalam
hal
ini,
guru
mengidentifikasi ke depan bentuk pembelajaran yang sesuai dengan kondisi peserta didik. 6. Proses pembelajaran merupakan serangkain kegiatan yang mengantarkan peserta didik menuju sasaran pembelajaran yang diinginkan. Proses pembelajaran Musa menunjukkan betapa Musa adalah seorang peserta didik yang masih awam tentang ilmu yang diberikan gurunya. Hal ini mengisyaratkan kepada Musa untuk mengakui bahwa di atas bumi ini masih ada yang lebih pintar darinya. Di ats langit masih ada langit. 7. Setelah mengalami serangkaian pembelajaran hendaknya guru melakukan evaluasi kepada pesrta didik. Hal ini untuk menunjukkan kepada peserta didik terkait pembelajaran yang telah dilakukan guna memberi wawasan baru dan menyempurnakan pembelajaran selanjutnya.
B. Saran Dari hasil penelitian ini, ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan khususnya bagi diri pribadi penulis sendiri dan umumnya para pembaca sebagai masukan atau pengingat: 1. Bagi guru, teruslah berjuang dan berusaha untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan keahlian. Dengan hal itu, diharapkan pemebelajaran dapat dilakukan degan efektif dan efisien. Lebih dari itu, guru yang baik adalah guru yang memiliki kompetensi dan profesionalitas.
79
2. Bagi siswa, teruslah belajar dan meningkatkan motivasi dalam belajar. Karena tiada kata berhenti dalam belajar. Seorang yang belajar akan terus merasa kurang karena ia semakin mengetahui bahwa ilmu yang didapat barulah sepercik dari ilmu Allah. Bagaikan padi semakin tumbuh semakin merunduk, begitulah seharusnya seorang pembalajar. Karena setinggi apa pun pengetahuan yang didapat, tetap di atas langit masih ada langit. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA A, Pius, Partanto, dan Dahlan al Barry, M,. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1998. Asnawi, Sahlan, Teori Motivasi dalam Pendekatan Psikologi Industri dan Organisasi, Jakarta: Studia Press, 2002.
80
B, Hamzah, Uno, Profesi Kependidikan Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT.Bumi Aksara, Cet. III, 2008. Direktorat Pendidikan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Mata Pelajaran al-Qur’an Hadis, Jakarta: t.p. 1997. Djalal, Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, Cet. II , 2000. Fathurrohman, Pupuh dan Sutikno, Sobri, Strategi Belajar Mengajar-Strategi Mewujudkan Pembelajaran Bermakna Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami, Bandung: PT. Refika Aditama, Cet. I, 2007. Hamalik, Oemar, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Bumi Aksara, Cet. II, 2003. _______, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, PT. Bumi Aksara, Cet. IV, 2005.
Jakarta:
_______, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, Jakarta: PT. Bumi Aksara, Cet. IV, 2006. Hamid, Dedi, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003, Jakarta: t.p. 2008. Ibn, Muhammad, Ismail, al-Bukhari, Terjemah Kitab Shahih Bukhari, Terj. dari Shahih Bukhari oleh Zainuddin Hamidy, dkk., Jakarta: PT. Bumirestu, Cet. XIII, 1992. Khalil, Manna, al-Qathan, Buku Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Terj. dari Mabahis Fi Ulumil Qur’an oleh Mudzakir As, Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. VIII,, 2004. Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cet. I, 2007. Mulyasa, E, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan 79 Menyenangkan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. III, 2005. Munadi, Yudhi, dan Hamid, Farida, Modul Pembelajaran, Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, Jakarta: t.p. 2009. Nurdin, Syafrudin, dan Basyiruddin, M., Usman, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Jakarta: Ciputat Pers, Cet. I, 2002.
81
Nurdin, Syafruddin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Ciputat: PT. Ciputat Press, Cet. III, 2005. Purwanto, Ngalim, Psikologi Pendidikan, Bandung : Remaja Karya, Cet. XX, 2000. Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana, Cet. V, 2008. _______, Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Kencana, Cet. III, 2008. Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Rajawali Pers, Cet. IX, 2001. Saudagar, Fachruddin dan Idrus, Ali, Pengembangan Profesionalitas Guru, Jakarta: Gaung Persada Press, Cet. I, 2009. Soetari, Endang, Ilmu Hadis, Bandung: Amal Bakti Press, Cet. II, 1997. Sudjana, Nana, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, Bandung: Sinar Baru, 1989. Suparto, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Cet. III, 2002. Tim Penyusun: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. I, 2002. Trianto dan Triwulan, Titik, Tutik, Tinjauan Yuridis Hak serta Kewajiban Pendidik Menurut UU Guru dan Dosen, Jakarta: Prestasi Pustaka, Cet. I, 2006. Winkel, W.S, Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar, Jakarta: Gramedia, 1986. Yamin, Martinis, Sertifikasi Profesi Keguruan di Indonesia, Ciputat: Gaung Persada Press Jakarta, Cet. I, 2006. Yamin, Martinis, Profesionalisasi Guru dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Gaung Persada Press, Cet. I , 2006. ______, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, Ciputat: Gaung Persada Press, Cet. III,2005. Zakaria, Al-Imam, Abu, Yahya, bin Syaraf An-Nawawi, Kitab Riyadhus Shalihin, Terj. dari Riyadhus Shalihin oleh Achmad Sunarto, jilid 2, Jakarta: Pustaka Amani, Cet. IV, 1999.
82
INTERNET Bafadal, Ibrahim, “Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Efektit, dan menyenangkan (PAIKEM)” http://gora.edublogs.org. com, diakses 20 Januari 2010.
83
1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Pendidikan Islam sebagaimana diketahui adalah pendidikan yang dalam
pelaksanaannya berdasar pada ajaran Islam. Nabi SAW telah menyerukan bahwa ada dua sumber utama ajaran Islam,
ﻤﺎ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﷲ ﻭﺳﻨﺔ ﺗﺮﻛﺖ ﻓﻴﻜﻢ ﺃﻣﺮﻳﻦ ﻟﻦ ﺗﻀﻠﻮﺍ ﻣﺎ ﲤﺴﻜﺘﻢ: ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ 1 ﻧﺒﻴﻪ
Artinya, Rasulullah SAW bersabda, Aku telah meninggalkan kalian dua perkara kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya kitbullah (al-Quran) dan Sunnah Nabi-Nya (al-Hadis).
Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang menentukan terhadap eksistensi dan perkembangan masyarakatnya, hal ini karena pendidikan
merupakan
proses
melestarikan,
mengalihkan,
serta
mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus. Dimikian pula dengan pendidikan Islam. Keberadaannya merupakan salah satu bentuk dari manifestasi cita-cita hidup Islam yang bisa melestarikan, mengalihkan, menanamkan (internalisasi), dan mentransformasi nilai-nilai Islam 1Malik bin Anas, Muwattha Malik, (Mesir: Darul Ihya at-Turast al-‘Araby, t th), j. 2 h. 899.
2
kepada generasi penerusnya sehingga nilai-nilai kultural-religius yang dicitacitakan dapat berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu ke waktu.2 Pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu merupakan konsepsi pendidikan yang mengandung berbagai teori yang dikembangkan dari hipotesis-hipotesis atau wawasan yang bersumber dari kitab suci al-Quran atau hadis, baik dilihat dari segi sistem, proses dan produk yang diharapkan maupun dari segi tugas pokoknya untuk membudayakan manusia agar bahagia dan sejahtera. 3 Athiyah al-Abrasyi memberikan defenisi Pendidikan Islam adalah usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban amanah dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di bumi.4 Fadhil berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Arifin, Pendidikan Agama Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik dan mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan dasar kemampuan (fitrah) dan kemampuan ajaran dari luar.5 Selanjutnya, pendidikan dari sudut pandang kultural manusia, merupakan suatu alat pembudayaan (enkulturasi) masyarakat manusia itu sendiri. Dalam hal itu, proses pembudayaan sangat bergantung pada pemegang alat tersebut, yaitu para pendidik. Para pendidik memegang posisi kunci dalam menentukan keberhasilan proses belajar sehingga mereka dituntut persyaratan tertentu, baik teoritis maupun praktis, dalam pelaksanaan tugasnya. 6 Pendidikin Islam yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam harus bisa menanamkan atau membentuk sikap hidup yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam, 2 H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, cet 3, 2008), h. 8. 3H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam,……... h. 4. 4 Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (PT Gemawindu Pancaperkasa, 2000) cet 1 h 2. 5 H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, ……h. 17. 6 H. M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,…… h 8.
3
juga mengembangkan kemampuan berilmu pengetahuan sejalan dengan nilai-nilai Islam yang melandasi, merupakan sebuah proses secara pedagogis mampu mengembangkan hidup anak ke arah kedewasaan atau kematangan yang menguntungkan dirinya. Oleh karena itu usaha tersebut tidak boleh dilakukan secara coba-coba (trial and error) atau atas dasar keinginan dan kemauan pendidik
tanpa
dilandasi
dengan
teori-teori
kependidikan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam konteks itu, proses belajar mengajar dapat diartikan bukan hanya mentransformasikan ilmu pengetahuan, wawasan, pengalaman, dan keterampilan kepada peserta didik, melainkan juga menggali, mengarahkan, dan membina seluruh potensi yang ada dalam diri peserta didik, sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Proses belajar mengajar tersebut harus berjalan dengan baik dan efektif. Yaitu, proses belajar mengajar yang menyenangkan, menggembirakan, penuh motivasi, tidak membosankan, serta menciptakan kesan yang baik pada diri peserta didik. Untuk mewujudkan keadaan yang demikian, maka proses belajar mengajar harus disertai dengan memelihara motivasi, kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, tujuan-tujuan, dan perbedaan-perbedaan perseorangan di antara peserta didik, menjadi teladan bagi mereka dalam segala hal yang disampaikan.7 Namun demikian, dalam realitas, paradigma pembelajaran tradisional pada umumnya masih terkesan mengenyampingkan peran pengembangan potensi kemampuan nalar dan berkreasi. Hal ini dapat dilihat dari fenomena begitu banyaknya orang yang menimba ilmu pengetahuan, namun mereka ibarat alat perekam bagi ilmu-ilmu yang mereka pelajari, tidak lebih kurang. Kadang kala mereka mempelajari sebuah kitab dari guru mereka dengan tekun dan konsentrasi, mereka berusaha memahami bacaan bahkan menghafalnya dan mencatatnya. Pada masa yang akan datang mereka menjadi para guru. Lalu mereka ajarkan dengan
7 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Pespektif al-Quran,... h. 225.
4
menerapkan metode pengajaran persis apa yang mereka dahulu dapatkan.8 Keberhasilan pembelajaran dalam arti tercapainya standar kompetensi sangat tergantung pada kemampuan guru mengolah pembelajaran yang dapat menciptakan situasi yang memungkinkan siswa belajar sehingga merupakan titik awal berhasilnya pembelajaran. Rendahnya mutu pendidikan-pembelajaran dapat diartikan kurang efektifnya proses pembelajaran. Penyebabnya dapat berasal dari siswa, guru maupun sarana dan prasarana yang kurang memadai, minat dan motivasi yang rendah, kinerja guru yang rendah akan menyebabkan pembelajaran kurang efektif. Selain itu, terjadinya ketimpangan di sekolah-sekolah salah satunya dapat dilihat dari aspek peserta didik, bagi seorang guru, peserta didik di sebagian besar sekolah dianggap sebagai seseorang yang masih kosong dan siap untuk dijadikan sesuai kebutuhan pasar. Peserta didik yang dianggap demikian, berdampak pada proses pendidikan di berbagai sekolah. 9 Sekolah tugasnya adalah menyiapkan peserta didik untuk mencapai nilai terbaik dalam bidang tertentu untuk dijadikan sebagai manusia yang ahli sesuai dengan jurusannya.10 Akibatnya, kritik atau keluhan yang sering dilontarkan masyarakat dan pihak orang tua murid selama ini, pendidikan agama di sekolah dan perguruan tinggi, belum mampu mengantar peserta didik untuk dapat memahami dan mengamalkan ajaran agamanya dengan baik dan benar. Demikian pula kemampuan dalam praktek ibadah tidak seperti yang diharapkan. Selain kelemahan dalam penguasaan materi (aspek kognitif) juga dalam hal pembentukan prilaku (aspek afektif) dampak nilai-nilai luhur agama dari proses pendidikan agama di sekolah-sekolah oleh sebagian masyarakat dinilai
8 Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, (Depok: Iqra Kurnia Gemilang, cet 1 2005), h 20-21. 9 Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta, Penerbit INSPEAL, 2006), h.1. 10Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural,... h.1.
5
kurang nampak dalam pribadi anak dalam kehidupan sehari-hari.11 Tingginya frekuensi perkelahian sesama pelajar di kota-kota besar, kurangnya rasa hormat sang anak atau murid kepada guru, bahkan ada yang memukul guru kalau ia tidak naik kelas, akrabnya sebagian anak muda dengan obat-obat terlarang seperti narkotika, adanya pergaulan bebas, sering diangkat oleh
sebagian
anggota
masyarakat
dan
orang
tua
sebagai
indikasi
ketidakberhasilan pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi. Setiap terjadi dekadensi (kerusakan) moral masyarakat, maka semua pihak akan menoleh kepada lembaga pendidikan dan seakan menuduhnya tidak becus mendidik anak bangsa. Tuduhan berikutnya terfokus pada pendidik yang dianggap alpa dan tidak profesional dalam menjaga gawang moralitas anak bangsa. Para pendidik tiba-tiba menjadi perhatian saat
musibah kebobrokan moral,
ketertinggalan ilmu pengetahuan dan peradaban terjadi.12 Sekolah khususnya guru hanya bertugas menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan kognitif intelektual belaka, sama sekali terlepas dari kemampuan afeksi sosial, afeksi kelembutan, afeksi menghargai orang lain, afeksi menjunjung harkat dan martabat semua manusia 13 Sekolah hanya bertugas untuk mempersiapkan peserta didik untuk mencapai nilai baik dalam bidang tertentu untuk dijadikan sebagai manusia yang ahli sesuai dengan jurusannya. Sementara latar belakang perilaku, akhlak, sikapnya terhadap sesama manusia bukan menjadi pertimbangan utama dalam perekrutan peserta didik.14 Belum lagi keadaan guru di Indonesia yang memprihatinkan. Fakta menyebutkan bahwa, kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU
11Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural,... h. 2 12 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta:LKIS, cet I, 2009), h. 35. 13 Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural,….h. 29-30 14 Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural,…h 30.
6
No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).15 Dalam pada itu, tidak sedikit masalah-masalah dalam kelas muncul. Mulai dari pembelajaran yang membosankan, pembelajaran yang hanya berkisar pada ceramah dimana guru belum mampu berdialog dengan baik kepada peserta didik, hingga guru yang keluar ruangan sebelum waktunya karena kehabisan materi dalam mengajar. Metode pembelajaran yang kurang efektif dan efisien, menyebabkan tidak seimbangnya
kemampuan
kognitif,
afektif
dan
psikomotorik,
misalnya
pembelajaran yang monoton dari waktu ke waktu, guru yang bersifat otoriter dan kurang bersahabat dengan siswa sehingga siswa merasa bosan dan kurang minat belajar.16 Di mana letak kesalahannya? Pada isi kurikulum yang kurang tepat, sistem atau metodologi, alokasi waktu atau ketidakmampuan pihak guru agama untuk menjawab hal-hal seperti itu. Dalam hal ini, penulis ingin melihat bagaimana alQuran menjelaskan tentang proses pembelajaran. Sebagaimana mafhum al-Quran adalah kalamullah (firman Allah) yang mutlak benar, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan di
15http://zaifbio.wordpress.com/2010/01/14/ciri-ciri-dan-masalah-pendidikan-diindonesia. 1/11/10 16Risjayanti, Peningkatan Motivasi dan Minat Belajar Siswa, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta), h. 3.
7
akhirat nanti.17 Al-Qur'an merupakan firman Allah yang selanjutnya dijadikan pedoman hidup (way of life) kaum muslim yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Di dalamnya terkandung ajaran-ajaran pokok (prisip dasar) menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa dan kapanpun masanya dan hadir secara fungsional memecahkan problem kemanusiaan. Salah satu permasalahan yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah masalah pendidikan.18 Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut dan Allah SWT menugaskan Rasul SAW untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu, “Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir.” (QS an-Nahl [16]; 44). Sebagai referensi utama umat Islam, al-Quran telah hadir untuk menjawab berbagai persoalan manusia. Meski terbatas pada 114 surat dan 6666 ayat, namun manusia kerap kali menemukan penemuan-penemuan baru. Dalam konteks keilmuan, al-Quran telah melahirkan berbagai macam ilmu. Mulai dari fisika, biologi, astronomi, kimia, geologi, psikologi dan seterusnya hingga ilmu pendidikan. 19 Kehadiran al-Quran senantiasa eksis untuk setiap zaman dan kondisi. Ia hadir untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia. Hal ini tersurat jelas dalam firman-Nya, “Kitab suci diturunkan untuk memberi putusan (jalan keluar) terbaik bagi problem-problem kehidupan manusia” (QS al-Baqarah [2]; 213).
17 Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarata: PT Raja Grafindo Persada, 2002) h. 1. 18 Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan,...h. 1. 19Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan,...h. 2
8
Terkait dengan pendidikan, al-Quran sejak dari awal mula diturunkan telah memberikan sinyalmen yang begitu terasa. Ditemukan langsung ayat pertama yang diturunkan;
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,” (QS al‘Alaq [96]; 1) Ayat-ayat ini dan yang semacamnya memberikan ruh progresivitas kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan wawasannya. Dalam hal ini, manusia dituntut untuk mengembangkan ayat-ayat Allah, baik yang bersifat tanziliyah maupun yang bersifat kauniyah. Berdasarkan wacana di atas, penulis berkesimpulan bahwa wawasan tentang pendidikan, khususnya pembelajaran benar-benar perlu diangkat dan dipaparkan kembali. Semua itu, lantaran al-Quran dan ilmu pengetahuan termasuk pendidikan merupakan satu kesatuan yang begitu erat. Dimana al-Quran mencakup pelbagai macam masalah terkait pendidikan. Bahkan, al-Quran sendiri hadir ke tengah-tengah manusia sebagai kitab yang mendidik, membimbing, dan mengajarkan. Sementara itu, penulis memiliki beberapa asumsi sendiri yang menjadi beberapa pertimbangan dalam penulisan skripsi ini, di antaranya: Pertama, al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang berwawasan global bersifat universal. Sebagaimana maklum bahwa Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan lil alamin.20 Kedua, penulis menginginkan pandangan yang utuh yang diberikan oleh al-Quran. Tujuannya, agar pandangan ini dapat menjadi pijakan yang otentik terkait pembelajaran berdasakan prinsip-prinsip Islam oleh para guru, khususnya guru-guru yang beragama Islam. Ketiga, membangkitkan semangat cinta Islam. Karena tidak sedikit, kaum terpelajar muslim lebih bangga manakala merujuk pada referensi tokoh-tokoh barat. Alih-alih merujuk kepada tokoh-tokoh muslim dianggap ortodok, rigid, dan 20 QS Al-Baqarah [2]; 30.
9
tidak keren. Pada dasarnya, al-Qur'an sendiri telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan sangat penting, jika al-Qur'an dikaji lebih mendalam maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pembelajaran, dan nilai-nilai pembelajaran yang lebih manusiawi, yang selanjutnya bisa dijadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu. Bersandar pada beberapa pernyataan di atas, penulis dengan ini memberi judul untuk karya tulis ini dengan, Proses Pembelajaran dalam al-Quran (Telaah Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82). Semoga karya ini dapat menjadi acuan sebagai model pembelajaran yang benarbenar memiliki ruh. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian di atas dapat diungkapkan beberapa masalah sebagai berikut: a. Perlunya pedagogisitas guru al-Qur’an Hadis dalam meningkatkan motivasi siswa untuk membaca al-Qur’an b. Perlunya keterampilan mengajar guru al-Qur’an Hadis dalam meningkatkan motivasi siswa untuk membaca al-Qur’an c. Kesulitan
yang
dihadapi oleh
guru
al-Qur’an
Hadis
dalam
meningkatkan motivasi siswa untuk membaca al-Qur’an d. Upaya yang dilakukan guru al-Qur’an Hadis dalam meningkatkan motivasi siswa untuk membaca al-Qur’an e. Perlunya motivasi siswa untuk membaca al-Qur’an
C.
Pembatasan dan Perumusan Masalah Tentu pembahasan terkait pengajaran dalam al-Quran tidaklah sedikit.
Maka itu, penulis membatasi pembahasan hanya pada upaya menemukan Proses Pembelajaran dalam al-Quran melalui pendekatan Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82 pada upaya meningkatkan kinerja dan
10
semangat guru dalam mengajar dan siswa dalam belajar. Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, perumusan masalahnya adalah bagaimana proses pembelajaran Musa dan Khidir dalam al-Quran?
D.
Tujuan Penelitian Sementara itu, yang menjadi tujuan peneliti pada wacana Proses
Pembelajran dalam al-Quran adalah memberikan sebuah ide dan gagasan guna mewujudkan pembelajaran yang berkulitas dan bertanggung jawab. Hal ini dikarenakan banyak guru yang mengajar tapi minim dalam hal teori meskipun tidak memungkiri bahwa teori tidak selalu dapat menjawab praktik yang terjadi di lapangan. Selanjutnya, diharapkan para guru tidak hanya asal berani mengajar, melainkan pula memiliki bekal dan landasan yang kuat. Begitu halnya dengan siswa agar mengerti dan memahami arti pembelajaran yang sebenarnya. Adapun yang lebih ditekankan adalah penulis berusaha dengan sebijak mungkin untuk memunculkan sebuah contoh proses pembeajaran dalam al-Quran sekaligus menjadi respon atas banyaknya wacana seputar proses beajar-mengajar. Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis kepada berbagai pihak. 1.
Bagi penulis, untuk menambah wawasan serta pengalaman penulis mengenai penelitian ini, baik dalam merencanakan ataupun melaksanakan penelitian.
2.
Bagi universitas, menambah khazanah ilmiah di kalangan akademis khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan diharapkan menjadi sumbangsih gagasan dan sebuah tawaran solusi terhadap tantangan globalisasi serta dapat dipraktikkan dalam membangun guru-guru yang berkualitas, penuh integritas, dan memiliki semangat pengabdian.
3.
Bagi guru, untuk mengetahui bagaimana penerepan proses pembelajaran yang lebih baik berdasarkan al-Qur’an.
E.
Metodologi Penelitian
11
Berdasarkan tujuan penelitian ini, jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Libarary Research), yaitu berusaha mengungkap dan menemukan secara sistematis berbagai data mengenai proses pembelajaran dengan merujuk kepada QS. Al-Kahfi {18}, 60-82. Secara rinci penelitian ini berusaha menemukan jawaban. “Bagaimanakah proses pembelajaran yang terdapat dalam ayat tersebut? Dilihat dari objek penelitian ini, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tafsir metode tahlili. Yaitu, menjelaskan ayat-ayat al-Quran dengan cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mencakup kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan sampai pada riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi SAW, sahabat dan tabi’in.21 Penelitian ini bersifat kepustakaan karena sumber datanya adalah terdiri dari buku-buku yang ada hubungannya
dengan pokok pembahasan. Dimana
sumber pokoknya (primer) adalah: 1.
Al-Qur'an dan terjemahannya.
2.
Tiga buku tafsir al-Qur'an: Pertama, Tafsir al-Maragi, karya Ahmad Mustafa al-Maraghi. Kedua, Tafsir fi Zilalil Quran karya Sayyid Qutb. Ketiga, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran karya M Quraish Shihab.
3.
Hadits-hadits Nabi Saw.
4.
Dan buku-buku pendukung (sekunder) baik yang ada hubungan langsung maupun tidak langsung.
Sumber-sumber pendukung ini antara lain adalah: 1.
Buku-buku Tafsir yang dianggap memadai dan mewakili,
2.
Buku-buku yang berisikan pengetahuan tentang al-Qur’an, atau yang dikenal dengan ‘Ulum al-Qur’an,
3.
Kamus-kamus yang memuat daftar kata-kata al-Qur’an, yang mana isinya merupakan petunjuk praktis untuk menemukan ayat-ayat. Dan dipakai pula kamus-kamus lain yang relevan dengan pembahasan,
4.
Buku-buku tentang pendidikan, dikhususkan tentang nilai-nilai pengajaran
21 Abdul hayy al-farmawi, Metode Tafsir Maudhu’idan Cara Penerapannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2002) h. 23-24.
12
yang akan dibatasi pada buku-buku yang dianggap memadai, Sumber-sumber lain yang relevan dengan pembahasan.
5.
F. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I :
Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II :
Pandangan Umum Tentang Pembelajaran, di dalam bab ini akan dibahas mengenai konsep pembelajaran, pengertian pembelajaran, tujuan pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran, kedudukan guru dalam pengajaran, teori-teori pembelajaran dengan menggunakan referensi psikologi Barat, terakhir mengenai anak didik dalam pandangan Islam.
BAB III : Seputar Penafsiran QS al-Kahfi [18]; 60-82, dengan merujuk kepada penafsiran ahi tafsir dalam ayat ini.
BAB IV : Proses Pembelajaran Musa dan Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82.
BAB V : Kesimpulan dan saran.
13
BAB II KONSEP PEMBELAJARAN IDEAL
A.
Definisi Pembelajaran
1.
Mengajar Di dalam dunia pendidikan, pihak-pihak yang melakukan kegiatan mendidik
dikenal dengan dua predikat yaitu: pendidik dan guru. Pendidik (murabby) adalah
14
orang yang berperan mendidik subjek didik atau melakukan tugas pendidikan (tarbiyah). Sedangkan guru adalah orang yang melaksanakan tugas mengajar (ta’lim).22 Meski demikian term guru juga dimaknai dengan pendidik. Dalam bahasa Indonesia guru adalah orang yang digugu (diindahkan) oleh peserta didik serta ditiru dalam arti perilaku guru akan selalu diikuti oleh peserta didiknya, karena guru sebagaimana ulama adalah pewaris para nabi, yaitu sebagai uswah hasanah (contoh teladan yang baik).23 Pendidik mengandung makna pembinaan kepribadian, memimpin dan memelihara sedangkan pengajaran bermakna sekadar memberi informasi kepada peserta didik yang dalam prosesnya dilakukan oleh pendidik atau guru.24 Meskipun istilah mendidik dan mengajar dapat dibedakan, pada hakikatnya kedua istilah tersebut tidak dapat dipisahkan secara dikotomis. Sebab pada kenyatannya antara pendidikan dan pengajaran adalah suatu proses yang tidak dapat dipisahkan. Seorang pendidik dalam proses belajar mengajar selalu terlibat dalam kegiatan pengajaran (mengajar), demikian juga pengajar pada saat melakukan kegiatan mengajar ia juga harus menjaga moral dan keteladan terhadap anak didiknya.25 Ada beberapa pengertian yang digunakan untuk mendefinisikan kegiatan mengajar antara lain: Definisi klasik menyatakan bahwa mengajar diartikan sebagai penyampaian sejumlah pengetahuan karena pandangan yang seperti ini, maka guru dipandang sebagai sumber pengetahuan dan siswa dianggap tidak mengerti apa-apa. Pengertian ini sejalan dengan pandangan Jerome S. Brunner yang berpendapat bahwa mengajar adalah menyajikan ide, problem atau pengetahuan dalam bentuk 22 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat,...h. 36. 23 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan,...h. 35. 24 Zakiah Dradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1993), h. 26. 25 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat,...h. 37.
15
yang sederhana sehingga dapat dipahami oleh siswa. 26 Sebagian para ahli mengatakan bahwa mengajar adalah menanamkan pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam diri anak didik. Dalam hal ini guru memegang peranan utama, sedangkan siswa tinggal menerima, bersifat pasif. Pengajaran yang berpusat kepada guru bersifat teacher centered. Ilmu pengetahuan yang diberikan kepada siswa kebanyakan hanya diambil dari bukubuku pelajaran, tanpa dikaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari siswa. Pelajaran serupa ini disebut intelektualistis. 27 Mengajar pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi atau
sistem
lingkungan
yang
mendukung
dan
memungkinkan
untuk
berlangsungnya proses belajar mengajar.28 Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan kepada siswa didik atau murid di sekolah. Implikasi dari pengertian ini adalah: b. Pengajaran dipandang sebagai persiapan hidup, c. Pengajaran adalah suatu proses penyampaian, d. Penguasaan pengetahuan adalah tujuan utama, e. Guru dianggap yang paling berkuasa, f. Murid selalu bertindak sebagai penerima. 29 Mengajar adalah mewariskan kebudayaan pada generasi muda melalui lembaga pendidikan di sekolah. Perumusan ini bersifat lebih umum dan berimplikasi sebagai berikut: a. Pendidikan bertujuan membentuk manusia berbudaya. b. Pengajaran berarti suatu proses pewarisan. 30
26 Dawna Markova, The Smart Parenting Revolution, Psikologi Pendidikan 27 http://raflengerungan.wordpress.com/korupsi-dan-pendidikan/pengertian-mengajardidaktik. diakses tanggal 20 November 2010.
29 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo, cet ke-9), h. 45 30 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar,... h. 45.
16
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa aktivitas yang sangat menonjol dalam pengajaran ada pada siswa. Namun, bukan berarti peran guru tersisihkan, tetapi diubah, kalau guru dianggap sebagai sumber pengetahuan, sehingga guru selalu aktif dan siswa selalu pasif dalam kegiatan belajar mengajar. Guru adalah seorang pemandu dan pendorong agar siswa belajar secara aktif dan kreatif. Tiap
usaha
mengajar
sebenarnya
ingin
menumbuhkan
atau
menyempurnakan pola laku tertentu dalam diri peserta didik. Maksud pola laku tersebut adalah kerangka dasar dari sejumlah kegiatan yang lazim dilaksanakan manusia untuk bertahan hidup dan untuk memperbaiki mutu hidupnya dalam situasi nyata. Kegiatan itu bisa berupa kegiatan rohani, misalnya mengamati, menganalisis, dan menilai keadaan dengan daya nalar. Bisa juga berupa kegiatan jasmani yang dilakukan dengan tenaga dan keterampilan fisik. Umumnya manusia bertindak secara manusiawi apabila kedua jenis kegiatan tersebut dibuat secara terjalin dan terpadu.31 Di samping menumbuhkan dan menyempurnakan pola laku, pengajaran juga menumbuhkan kebiasaan. Kebiasaan dapat dirumuskan sebagai keterarahan, kesiapsiagaan di dalam diri manusia untuk melakukan kegiatan yang sama atau serupa atas cara yang lebih mudah, tanpa memeras atau memboroskan tenaga. Kebiasaan akan timbul justru apabila kegiatan manusia, baik rohani maupun jasmani dilakukan berulang kali dengan sadar dan penuh perhitungan. Guru dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas belajar peserta didik dalam bentuk kegiatan belajar mengajar yang sedemikian rupa, dapat menghasilkan pribadi yang mandiri, dalam hubungan ini, guru memegang peran penting dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang sebaik-baiknya. Tugas guru tidak hanya sebagai pengajar dalam arti penyampaian pengetahuan, tetapi lebih meningkat sebagai perancang pengajaran.32 31 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Hadis, (Jakarta: UIN Jakarta Press, cet-I), h. 207. 32 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, edisi revisi), h. 77
17
2.
Belajar Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara etimologis belajar memiliki
arti berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu.33 Belajar menurut Cronbach adalah belajar melalui pengalaman, dengan pengalaman tersebut pelajar menggunakan seluruh panca inderanya.34 Anthony Robbins mendefinisikan belajar sebagai proses menciptakan hubungan antara sesuatu pengetahuan yang sudah dipahami dengan pengetahuan yang baru. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Jerome Brunner bahwa belajar adalah suatu proses aktif dimana siswa membangun (mengkonstuk) pengetahuan baru berdasarkan pada pengalaman atau pengetahuan yang sudah dimilikinya.35 Belajar dapat diartikan suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan prilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. (Moh. Surya: 1997). Belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan. (Whitheringston: 1952). Belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, dan sikap baru. (Crow and Crow: 1958). Belajar adalah proses dimana suatu prilaku muncul prilaku atau berubah karena adanya respons terhadap suatu situasi (Hilgard: 1962). Belajar secara umum diartikan sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman dan bukan karena perubahan atau pertumbuhan tubuhnya atau karakteristik seorang sejak lahir. Dari beberapa definisi di atas, 33 Tim Penyusun dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007). H 17 34 Baharudin dan Nurwahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Arruzz Media, Cet III 2008) h. 13 35 Trianto, Mendisain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta: Prenada Media Group, Cet II 2010) h. 15.
18
sangat jelas, bahwa belajar merupakan sebuah proses perubahan menuju ke arah yang lebih baik, positif, dan futuristik hal itu meliputi berbagai aspek seperti keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan. 3. Pembelajaran Pembelajaran yang diidentikkan dengan kata “mengajar” berasal dari kata dasar “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut) ditambah dengan awalan “pe” dan akhiran “an menjadi “pembelajaran”, yang berarti proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan sehingga anak didik mau belajar.
19
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.36 Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik. Instruction atau pembelajaran adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal. (Gagne dan Briggs: 1979: 3) Pembelajaran adalah Proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. (UU No. 20/2003, Bab I Pasal Ayat 20) Pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang komplek, yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan. Secara sederhana pembelajaran adalah produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup. Dalam bahasa yang lebih kompleks, pembelajaran hakikatnya adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan sumber belajar siswa dengan sumber lainnya) dalam rangka tujuan yang diharapkan. 37
36 www.wikipedia.com 37 Trianto, Mendisain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif,... h. 17.
20
Istilah “pembelajaran” sama dengan “instruction” atau “pengajaran”. Pengajaran mempunyai
arti
cara
mengajar
atau
mengajarkan.
Sedang
pembelajaran adalah proses atau cara perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar.38 Dengan demikian pengajaran diartikan sama dengan perbuatan belajar (oleh siswa) dan mengajar (oleh guru). Kegiatan belajar mengajar adalah satu kesatuan dari dua kegiatan yang searah. Kegiatan belajar adalah kegiatan primer, sedangkan mengajar adalah kegiatan sekunder yang dimaksudkan agar terjadi kegiatan secara optimal. Dan dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar dari guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama dan karena adanya usaha.
B.
Tujuan Pembelajaran Tujuan artinya suatu yang dituju, yaitu yang akan dicapai dengan suatu
kegiatan atau usaha. Sesuatu kegiatan akan berakhir, bila suatu tujuan telah dicapai. Kalau tujuan itu bukan tujuan akhir, kegiatan berikutnya akan langsung dimulai untuk mencapai tujuan-tujuan selanjutnya dan terus begitu sampai tujuan akhir. Kegiatan pembelajaran harus mempunyai tujuan, karena setiap kegiatan yang tidak mempunyai tujuan akan berjalan meraba-raba, tak tahu arah tujuan. Tujuan yang jelas dan berguna akan membuat orang lebih giat, terarah dan sungguh-sungguh. Semua kegiatan harus berorientasi pada tujuannya. Segala daya dan upaya pembelajaran harus dipusatkan pada pencapaian tujuan itu. Karena itu tujuan pembelajaran harus berfungsi sebagai:39 1. Titik
pusat
perhatian
dan
pedoman dalam
melaksanakan
kegiatan
pembelajaran, 2. Penentu arah kegiatan pembelajaran, 38 Tim Penyusun dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007). H 17 39 W. Gulo, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 28.
21
3. Titik pusat latihan dan pedoman dalam menyusun rencana kegiatan pembelajaran, 4. Bahan pokok yang akan dikembangkan dalam memperdalam dan memperluas ruang lingkup pembelajaran, 5. Pedoman untuk mencegah atau menghindari penyimpangan kegiatan. Sementara itu, tujuan pendidikan Islam adalah kepribadian muslim, yaitu suatu kepribadian yang seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam. Orang yang berkepribadian Islam dalam Al-Qur’an disebut juga “muttaqin”. Karena itu Pendidikana Islam berarti juga pembentukan manusia yang bertaqwa. Ini sesuai benar dengar pendidikan nasional kita yang dituangkan dalam tujuan pendidikan nasional yang akan membentuk manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.40 Tujuan pembelajaran agama Islam harus berisi hal-hal yang dapat menumbuhkan dan memperkuat iman serta mendorong pada kesenangan mengamalkan ajaran agama Islam. Proses pencapaian itu hendaknya sekaligus membina keterampilan mengamalkan ajaran Islam itu. Untuk itu diperlukan usaha pembentukan
materi
yang
akan
memperkaya
murid
dengan
sejumlah
pengetahuan, membuat mereka dapat menghayati dan mengembangkan ilmu itu, juga membuat ilmu yang mereka pelajari itu berguna bagi mereka. Tujuan ini hendaknya mengandung sifat pemberian dan penanaman ilmu agama (kognitif) dan keterampilan mengamalkan ajaran agama (psikomotor). Untuk itu tujuan pembelajaran agama Islam itu harus mengandung bahan pelajaran yang bersifat:41 1. Menumbuh dan memperkuat iman, 2. Membekali dan memperkaya ilmu agama, 3. Membina keterampilan beramal, 4. Menuntun dan mengembangkan potensi yang dibawa sejak lahir sebagai manusia secara utuh (individual),
40 Baqir Sharif al-Qarashi, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul, Seni Mendidik Islami, (Jakarta: Pustaka Zahra, cet I, 2003), h. 124. 41 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan,... h. 27
22
5. Menumbuhkan dan memupuk rasa sosial dan sifat-sifat terpuji, 6. Pemberian pengetahuan dan keterampilan yang dapat diamalkan dan dikembangkan dalam berbagai lapangan pekerjaan untuk mencari nafkah (tenaga profesional). Secara umum dan ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan pembelajaran agama Islam itu harus mengandung berbagai aspek pembinaan manusia seutuhnya, sehingga nantinya ia dapat hidup dengan baik sebagai manusia pancasilais yang bertaqwa kepada Allah dalam ajaran Islam.
C.
Prinsip-Prinsip Pembelajaran dalam Islam Ide mengenai prinsip-prinsip dasar pendidikan dan pembelajaran banyak
tertuang dalam ayat-ayat Al-Quran dan Hadits. Dalam hal ini akan dikemukakan ayat-ayat atau hadits-hadits yang dapat mewakili dan mengandung ide tentang prinsip-prinsip dasar pendidikan tersebut, dengan asumsi dasar, bahwa pendidikan sejati atau Maha Pendidik itu adalah Allah yang telah menciptakan fitrah manusia dengan segala potensi dan kelebihan serta
menetapkan hukum-hukum
pertumbuhan, perkembangan, dan interaksinya, sekaligus jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuannya. Prinsip prinsip tersebut adalah sebagai berikut:42 Pertama, Prinsip Integrasi. Suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Karena itu, mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak dapat dielakkan agar masa kehidupan di dunia ini benar-benar bermanfaat untuk bekal yang akan dibawa ke akhirat. Perilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang didapat dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan-kelayakan itu terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan.43 Allah Swt Berfirman,
42 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infinite Press, 2004), h. 25-30. 43 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, ....h. 25
23
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi....” (QS. Al Qashash [28]: 77). Ayat ini menunjukkan kepada prinsip integritas di mana diri dan segala yang ada padanya dikembangkan pada satu arah, yakni kebajikan dalam rangka pengabdian kepada Tuhan. Kedua, Prinsip Keseimbangan. Karena ada prinsip integrasi, prinsip keseimbangan merupakan kemestian, sehingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak ada kesenjangan. Keseimbangan antara material dan spiritual, unsur jasmani dan rohani. Banyak ayat Al-Quran menyebutkan iman dan amal secara bersamaan.,44 secara implisit hal ini menggambarkan kesatuan yang tidak terpisahkan. Diantaranya adalah QS. Al ‘Ashr [103]: 1-3
“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al-‘Ashr [103]:1-3) Ketiga, Prinsip Persamaan. Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang manusia yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan derajat, baik antara jenis kelamin, kedudukan sosial, bangsa, maupun suku, ras, atau warna kulit. Sehingga budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan.45 Keempat, Prinsip Pendidikan Seumur Hidup. Prinsip ini bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan keterbatasan manusia, di mana manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan yang dapat menjerumuskan dirinya sendiri ke jurang kehinaan. Dalam hal ini dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan untuk
44 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam... h. 26-27. 45 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, ...h.28.
24
mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan, di samping selalu memperbaiki kualitas dirinya.46 Sebagaimana firman Allah,
“Maka siapa yang bertaubat sesudah kedzaliman dan memperbaiki (dirinya) maka Allah menerima taubatnya, dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Maidah [5]: 39) Dalam Islam, pendidikan tidak hanya dilaksanakan dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (long life education). Islam memotivasi pemeluknya untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan. Tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi sama dalam pandangan Islam dalam kewajiban untuk menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan duniawi juga. Karena tidak mungkin manusia mencapai kebahagiaan hari kelak tanpa melalui jalan kehidupan dunia ini. 47 Kelima, Prinsip Keutamaan. Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa pendidikan bukanlah hanya proses mekanik melainkan merupakan proses yang mempunyai ruh yang segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut terdiri dari nilai-nilai moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan nilai moral yang paling buruk dan rendah adalah syirik. Dengan prinsip keutamaan ini, pendidik bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi subjek didik, tetapi lebih dari itu turut membentuk kepribadiannya dengan perlakuan dan keteladanan yang
46 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam,...h. 29 47http://hasanrizal.wordpress.com diakses tanggal 20 November 2010.
tafsir-tarbawi-pendidikan-dalam-perspektif-al-quran.
25
ditunjukkan oleh pendidik tersebut.48
D.
Metode dan Teknik Pembelajaran Metode secara bahasa berarti suatu cara yang teratur untuk mencapai suatu
tujuan.49 Metode juga dapat diartikan dengan cara yang digunakan pendidik dalam menyampaikan materi bahan ajar kepada anak didik, berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam sebuah pengajaran, seperti, ceramah, diskusi (halaqah), tanya jawab. Dalam tradisi Islam banyak teknik pengajaran. Namun yang paling awal adalah teknik hafalan50 yang sudah ada sejak zaman nabi, karena saat itu belum muncul tradisi menulis sehingga dibutuhkan teknik meghafal yang kuat untuk menghafal ayat-ayat Al-Quran.51 Metode pembelajaran yang kurang efektif dan efisien, menyebabkan tidak seimbangnya
kemampuan
kognitif,
afektif
dan
psikomotorik,
misalnya
pembelajaran yang monoton dari waktu ke waktu, guru yang bersifat otoriter dan kurang bersahabat dengan siswa sehingga siswa merasa bosan dan kurang minat belajar. Untuk mengatasi hal tersebut maka guru sebagai tenaga pengajar dan pendidik harus selalu meningkatkan kualitas profesionalismenya yaitu dengan cara memberikan kesempatan belajar kepada siswa dengan melibatkan siswa secara efektif dalam proses belajar mengajar Metode pembelajaran bertujuan untuk menjadikan proses dan hasil belajar mengajar ajaran Islam lebih berdaya guna dan berhasil guna serta menimbulkan kesadaran anak didik untuk mengamalkan ketentuan ajaran Agama Islam melalui
48 Munzir Haitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam,....h.30. 49 WJS, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1999), h. 649 50Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), h. 121. 51Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan…………h. 124.
26
teknik motivasi yang menimbulkan gairah belajar anak didik secara mantap di samping bermanfaat untuk mengantarkan tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan. 52 Penggunaan metode mengandung implikasi bersifat konsisiten, sistematis, dan makna menurut kondisi sasarannya, mengingat sasaran metodenya adalah manusia, sehingga pendidik dituntut untuk berhati-hati dalam penerapannya. Ada banyak metode yang dikemukakan oleh para ahli dengan berbagai sebutan, diataranya: 1. Maw`izhah (ceramah) 2. Kitabah (tulisan) 3. Hiwar (dialog) 4. Alas`ilah wa al-ajwibah (tanya jawab) 5. Al-Niqashy (diskusi) 6. Al-mujadalah (debat) 7. Brain strorming 8. Al-qishash (bercerita) 9. Al-amstal (metafora) 10. Karya wisata 11. Al-qudwah (imitasi) 12. Uswatun hasanah 13. Al-tathbiq (demontrasi dan dramatisasi) 14. Game and simulation (permainan dan simulasi) 15. Al-mumarasat al-amal (drill) 16. Inquiry 17. Discovery 18. Micro teaching 19. Modul belajar 20. Independent study (belajar mandiri) 21. Eksprimen 22. Kerja lapangan 23. Case study 24. Targhib wa tarhib (janji dan ancaman) 25. Al-tsawab wa al-`iqab (anugrah dan hukuman) 26. Musabaqah (kompetisi).53
E.
Kedudukan Guru dalam Pembelajaran Islam memberikan perhatian terhadap guru, sebab keberadaan guru seperti
batu pertama dalam struktur perkembangan dan kesempurnaan sosial serta jalan bimbingan dan perubahan tingkah laku dan mentalitas individu serta individu.54 Pendidik (pengajar) memiliki kedudukan yang sangat mulia karena tanggung jawabnya yang berat. Guru merupakan spiritual father bagi siswanya. Hal ini disebabkan guru memberikan bimbingan jiwa siswanya dengan ilmu, mendidik dan meluruskan akhlaknya. Menghormati guru berarti penghormatan terhadap anak-anak kita, menghargai guru berarti penghargaan terhadap anak52 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam , Pengembangan Pendidikan,... h. 91. 53Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam , Pengembangan Pendidikan,...h. 92. 54 Baqir Sharif al-Qarashi, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul, Seni Mendidik Islami,...h. 136.
27
anak kita. Dengan guru itulah mereka hidup dan berkembang. Bahkan Abu Dardaa melukiskan hubungan guru dan murid itu sebagai pertemanan dalam kebaikan dan tanpa keduanya maka tidak ada kebaikan. 55 Guru adalah teladan para murid, murid memperoleh sifat yang baik, serta kecenderungan yang benar, juga perilaku yang utama adalah dari guru mereka yang memperlihatkan keutaman dan perilaku yang benar tesebut. Karena itu para guru harus mendisiplinkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapati prilaku anak-anak yang meniru prilaku orang lain yang menjadi pujaannya, seperti meniru gaya pakaian, meniru gaya rambut, meniru gaya bicara. Hal serupa juga terjadi di sekitar lembagalembaga pendidikan, seorang siswa yang meniru guru yang ia senangi, seperti meniru cara menulis, cara duduk, cara berjalan, cara membaca dan lain sebagainya. Semua ini membuktikan bahwa pada hakekatnya sifat meniru prilaku orang lain merupakan fitrah manusia, terutama anak-anak. Sifat ini akan sangat berbahaya jika peniruan dilakukan juga terhadap prilaku yang tidak baik.56 Ada dua bentuk strategi keteladanan; pertama, yang disengaja dan dipolakan sehingga sasaran dan perubahan prilaku dan pemikiran anak sudah direncanakan dan ditargetkan, yaitu seorang guru sengaja memberikan contoh yang baik kepada muridnya supaya dapat menirunya. Kedua, yang tidak disengaja, dalam hal ini guru tampil sebagai seorang figur yang dapat memberikan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari.57 Untuk dapat menjadikan “teladan” sebagai salah satu strategi, seorang guru dituntut untuk mahir dibidangnya sekaligus harus mampu tampil sebagai figur yang baik. Bagaimana mungkin seorang guru menggambar bisa mengajarkan cara menggambar yang baik jika ia tidak mengusai tehnik-tehnik menggambar, seorang guru ngaji tidak akan dapat menyuruh siswanya fasih
55 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan,…h. 51 56 Baqir Sharif al-Qarashi, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul,…h. 137 57 Baqir Sharif al-Qarashi, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul,…h. 137
28
membaca al-Quran jika dirinya tidak menguasai ilmu membaca al-Qur’an dengan baik, guru matematika akan dapat memberi contoh cara menghitung yang baik jika iapun menguasai cara menghitung dengan baik, jangan harap seorang guru bahasa Indonesia akan dapat mengajar membaca puisi dengan baik jika dirinya saja tidak mahir dalam bidang ini, demikianlah seterusnya dengan disiplin ilmu yang lain. Dalam hal ini guru sebagai teladan, keteladanan memberikan pengaruh yang lebih besar daripada cacian atau nasehat. Jika perilaku seorang guru bertolak belakang dengan apa yang diajarkannya maka bisa dikatakan bahwa proses belajar dan mengajar gagal. 58
G.
Teori-teori Pembelajaran dalam Psikologi Belajar dan pembelajaran merupakan proses penting bagi perubahan
perilaku manusia dari segala sesuatu yang diperkirakan dan dikerjakan. Belajar memegang peranan penting di dalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan, kepribadian, dan bahkan persepsi manusia. Oleh karena itu dengan menguasai prinsip-prinsip dasar tentang pengajaran seseorang mampu memahami bahwa aktivitas belajar itu memegang peranan penting dalam proses psikologis.
1.
Teori Pembelajaran Behavioristik Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan
perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat, dan kecenderungan perilaku S-R
58 Jaudah Muhammad Awwad, Mendidik Anak Secara Islam (Terj), (Jakarta: Gema Insani Pers, 2003), h. 3.
29
(Stimulus-Respon).59 Contohnya, dalam percobaan apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.60 Berdasarkan eksperimen di atas, semakin jelas bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respon.
2.
Teori Pembelajaran Sosial Teori pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar
perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku, tetapi memberi lebih banyak penekanan pada efek-efek dari isyarat-isyarat pada perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi, dalam teori pembelajaran sosial kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana kita belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial “manusia” itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak “dipukul” oleh stimulus-stimulus lingkungan.61 Teori belajar sosial menekankan, bahwa lingkungan-lingkungan 59 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,...62. 60 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,… h. 63. 61http://anwarholil.blogspot.com/2009/01/teori-pembelajaran-sosial.html . 9-11-10.
30
yang dihadapkan pada seseorang tidak random, lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana yang dikutip oleh Tohirin bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari teori pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan permodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.62
3.
Teori Pembelajaran Kognitif Teori kognitif tertuju kepada hal-hal yang terjadi di dalam kepala
kita ketika belajar. Teori kognitif juga mengambil perspektif bahwa siswa secara aktif memproses informasi dan pembelajaran berlangsung melalui usaha-usaha siswa ketika siswa mengaturnya, menyimpannya dan kemudian menemukan hubungan-hubungan antara informasi, hubungan baru dengan pengetahuan lama, skema, dan teks, pendekatan kognitif menekankan bagaimana informasi di proses.63
4.
Teori Pembelajaran Konstruktif Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan,
bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat.64 Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru
62 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,… h. 67 63 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,… h. 63. 64 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,… h. 65.
31
atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan.
H.
Karakteristik Pengajar Al-Mawardi,
sebagaimana
yang
dikutip
Abuddin
Nata,
memandang seorang guru yang baik adalah guru yang tawadhu (rendah hati), menjauhi sikap ujub (besar kepala) dan memiliki rasa ikhlas. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya seorang guru harus dilandasi dengan kecintaan terhadap tugasnya sebagai guru, kecintaan ini akan benar-benar tumbuh dan berkembang apabila keagungan, keindahan dan kemuliaan tugas guru itu sendiri benar-benar dapat dihayati.65 Selanjutnya Al-Mawardi melarang seseorang mengajar dan mendidik atas dasar motif ekonomi. Dalam pandangannya bahwa mengajar dan mendidik merupakan aktivitas keilmuan, sementara ilmu itu sendiri mempunyai nilai dan kedudukan yang tinggi, yang tidak dapat disejajarakan dengan materi. Tugas mendidik dan mengajar dalam pandangan Al-mawardi adalah tugas luhur dan mulia, itulah sebabnya dalam mendidik dan mengajar seseorang harus sematamata mengharap keridhaan Allah SWT. Apabila yang dituju dari tugas mengajar adalah materi, maka pengajar akan mengalami kegoncangan ketika ia merasa bahwa kerja yang dipikulnya tidak seimbang dengan hasil yang diterimanya.66 Menurut Tohirin sebagaimana yang dikutip dari Surya, untuk mewujudkan prilaku mengajar yang tepat, guru diharapkan memiliki karakteristik mengajar 65 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 50. 66 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 51.
32
antara lain:67 1. Memiliki minat yang besar terhadap pelajaran dan mata pelajaran yang diajarkan, 2. Memiliki kecakapan untuk memerhatikan kepribadian dan suasana hati secara tepat serta membuat konak secara tepat pula, 3. Memiliki
kesabaran,
keakraban,
sensitivitas
yang
diperlukan
untuk
menumbuhkan semangat belajar, 4. Memiliki pemikiran yang imajinatif dan praktis dalam usaha memberikan penjelasan kepada peserta didik, 5. Memiliki kualifikasi yang memadai dalam bidangnya baik ini maupun metode, 6. Memiliki sifat yang terbuka, luwes, dan eksperimental dalam metode dan teknik. Sementara itu, dalam pendidikan Islam, seorang pendidik pula hendaknya memiliki karakteristik yang dapat membedakannya dari yang lain. Dengan hal itu, maka diharapkan seorang pendidik mampu bersikap totalitas berpadu antara karakter dan kepribadiaannya. An-Nahlawi membagi karakter pendidik Muslim kepada beberapa bentuk, di antaranya:68 1. Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud dengan tujuan, tingkah laku, dan pola fikirnya, 2. Bersifat ikhlas, melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata mencari keridhaan Allah dan menegakkan kebenaran, 3. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didik, 4. Jujur dalam menyampaikan yang diketahuinya. 5. Senantiasa membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus mendalami dan mengkaji lebih lanjut. 67 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,… h. 79. 68 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat: Ciputat Press, 2005) , h. 45-46.
33
6. Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi. 7. Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan proporsional, 8. Mengetahui kehidupan psikis peserta didik. 9. Tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat memengaruhi jiwa, keyakinan, dan pola berpikir peserta didik. 10. Berlaku adil terhadap peserta didik. Dalam pandangan yang tidak jauh berbeda al-Abrasyi memberikan batasan tentang karakteristik pendidik. Di antara kriteria dan karakteristik pendidik itu adalah:69 1. Seorang pendidik hendaknya memiliki sifat zuhud. Yaitu, melaksanakan tugasnya bukan semata-mata karena materi akan tetapi lebih dari itu mencari keridhaan Allah. 2. Seorang pendidik hendaknya bersih fisiknya dari kotoran dan jiwanya dari sifat tercela. 3. Seorang pendidik hendaknya ikhlas dan tidak ria dalam menjalankan tugasnya. 4. Seorang pendidik hendaknya bersifat pemaaf dan memaafkan orang lain, sabar dan sanggup menahan amarah, senantiasa membuka diri dan menjaga kehormatannya. 5. Seorang pendidik hendaknya mampu mampu mencintai peserta didiknya sebagaimana ia mencintai anaknya sendiri. 6. Seorang pendidik hendaknya mengetahui karakter peserta didiknya, seperti; pembawaan, kebiasaan, perasaan, dan berbagai potensi yang dimilikinya, 7. Seorang pendidik hendaknya menguasai pelajaran dengan baik dan professional. Dari batasan kriteria karakteristik di atas, terlihat jelas bahwa menjadi seorang pengajar atau pendidik tidaklah mudah. Seorang pengajar hendaknya memiliki persyaratan tertentu sebelum profesi itu ditekuninya.
69 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,... h. 46
34
I.
Peserta Didik (Manusia) dalam Pandangan Islam Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat
pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun fikiran. Sementara itu ciri–ciri peserta didik adalah sebagai berikut :70 1. Kelemahan dan ketakberdayaannya 2. Berkemauan keras untuk berkembang 3. Ingin menjadi diri sendiri (memperoleh kemampuan) Syamsul
Nizar
sebagaimana
yang
dikutip
oleh
Ramayulis,
mendeskripsikan enam kriteria peserta didik, yaitu :71 1. Peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri 2. Peserta didik memiliki periodasi perkembangan dan pertumbuhan 3. Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada. 4. Peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki daya fisik, dan unsur rohani memiliki daya akal hati nurani dan nafsu 5. Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis 70 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta:PT Rineka Cipta, cet -II, 2006), h, 40. 71 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006). h. 77.
35
Widodo Supriyono, secara garis besar membagi dimensi menjadi dua, yaitu dimensi fisik dan rohani. Dalam bukunya ia menyatakan bahwa secara rohani manusia mempunyai potensi kerohanian yang tak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut nampak dalam bentuk memahami sesuatu (Ulil Albab), dapat berfikir atau merenung, memepergunakan akal, dapat beriman, bertaqwa, mengingat, atau mengambil pelajaran, mendengar firman tuhan, dapat berilmu, berkesenian, dapat menguasai tekhnologi tepat guna dan terakhir manusia lahir keduania dengan membawa fitrah.72 Manusia dalam pandangan Islam mempunyai aspek jasmani yang tidak dapat dipisahkan dari aspek rohani tatkala manusia masih hidup di dunia. Manusia mempunyai aspek akal. Kata yang digunakan al Qur’an untuk menunjukkan kepada akal menerangkan ada tujuh kata yang digunakan :73 1. Kata Nazara, dalam surat al-Ghasiyyah ayat 17 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan” 2. Kata Tadabbara, dalam surat Muhammad ayat 24 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” 3. Kata Tafakkara, dalam surat an-Nahl ayat 68 :
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “buatlah sarang-sarang
72 Widodo Supriono, Filsafat Manusia dalam Islam, Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1996, h. 171. 73 Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan Dalam Pandangan Al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2006), h. 72.
36
dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu, dan ditempattempat yang dibuat manusia”. 4. Kata Faqiha, dalam surat at-Taubah 122 :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (kemedan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” 5. Kata Tadzakkara, dalam surat an-Nahl ayat 17 :
“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan apa-apa? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”. 6. Kata Fahima, dalam surat al-Anbiya ayat 78 : “Dan ingatlah kisah Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu”. 7. Kata ‘Aqala, dalam surat al-Anfaal ayat 22 :
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa-pun. Manusia memiliki potensi untuk mengetahui, memahami apa yang ada di alam semesta ini. Serta mampu mengkorelasikan antara fenomena yang satu dan fenomena yang lainnya. Karena hanya manusia yang disamping diberi kelebihan
37
indera, manusia juga diberi kelebihan akal. 74 Yang dengan inderanya dia mampu memahami apa yang tampak dan dengan hatinya dia mampu memahami apa yang tidak nampak. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan:
“Allah
mengajarkan
kepada
Adam
nama-nama
(benda-benda)
seluruhnya”. Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya. Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam raya membangkang terhadap perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh kepastian mengenai hukumhukum alam. Karenanya, semua itu mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Tuhan.75 Namun, di sisi lain manusia juga memiliki nafsu yang cenderung mendorong manusia untuk menuruti keinginannya. Nafsu jika tidak terkontrol maka yang terjadi adalah keinginan yang tiada akhirnya. Nafsu juga tidak jarang menjerumuskan manusia dalam lembah kenistaan. Dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 53 disebutkan:
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku”. Al-Qur’an menandaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik, yang mampu menciptakan lingkungan yang baik, kondusif, yang bermanfaat bagi seluruh alam. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Ilmu pengetahuan adalah sebuah hubungan antara pancaindera, akal dan wahyu. Dengan pancaindera dan akal (hati), manusia bisa menilai sebuah 74 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001), h. 436. 75 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an,... h. 436.
38
kebenaran (etika) dan keindahan (estetika). Karena dua hal ini adalah piranti utama bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Namun, disamping memiliki kelebihan, kedua piranti ini memiliki kekurangan. Sehingga keduanya masih membutuhkan penolong untuk menunjukkan tentang hakikat suatu kebenaran, yaitu wahyu. Dan dengan wahyu manusia dapat memahami posisinya sebagai khalifah fil ardh.76 Etika peserta didik adalah seuatu yang harus dipenuhi dalam proses pendidikan. Dalam etika peserta didik, peserta didik memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan oleh peserta didik. Dalam buku yang ditulis oleh Rama yulis, menurut Al-Ghozali ada sebelas kewajiban peserta didik, yaitu :77 1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqoruh kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela. 2. Bersikap tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya. 3. Menjaga pikiran dan pertantangan yang timbul dari berbagai aliran 4. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrowi maupun untuk duniawi. 5. Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar. 6. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. 7. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari. 8. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi. 9. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dinia akherat. 10. Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik. 76 Yusuf al-Qardawi, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad Badruzzaman, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 117-121. 77 Abd. Mujid dalam Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), h. 98
39
Agar peserta didik mendapatkan keridhoan dari Allah SWT dalam menuntut ilmu, maka peserta didik harus mampu memahami etika yang harus dimilkinya, yaitu :78 1. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu. 2. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai sifat keutamaan. 3. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat. 4. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya. 5. Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah. Namun etika peserta didik tersebut perlu disempurnakan dengan empat akhlak peserta didik dalam menuntut ilmu, yaitu :79 1. Peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia menuntut ilmu, sebab belajar merupakan ibadah yang harus dikerjakan dengan hati yang bersih. 2. Peserta didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah. 3. Seorang peserta didik harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan sabar dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang datang. 4. Harus ikhlas dalam menuntut ilmu dengan menghormati guru atau pendidik,
berusaha
memperoleh
kerelaan
mempergunakan beberapa cara yang baik.
78 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ………., ..h. 110 79 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,…………..h. 110.
dari
guru
dengan
40
BAB III SEPUTAR PENAFSIRAN KISAH KHIDIR DAN MUSA QS AL-KAHFI 60-82
A. QS al-Kahfi ayat 60-61 Artinya, “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun" (60). “Maka tatkala mereka sampai ke Pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.” (61).
Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang perjalanan Nabi Musa AS yang ingin menimba Ilmu dari Nabi Khidir AS. Pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir memang tidak dijelaskan secara detail kapan dan dimana tempatnya, akan tetapi kumpulan ayat-ayat yang membincangkan kisah mereka banyak mengandung pelajaran. Kisah tentang Musa dalam rangkaian ayat-ayat ini tidak menyebutkan asal-muasalnya. Adapun penjelasan itu dapat dilihat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori. Ibnu Abbas mendengar Ubai bin Kaab berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Musa berdiri khutbah di hadapan Bani Israil, kemudian ia ditanya, “Siapa Manusia yang paling pintar?” Musa menjawab, “Saya”. (Atas jawaban itu) Allah SWT mencela Musa yang
41
tidak mengembalikan ilmu kepada Allah. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa bahwasannya seorang hamba-Ku berada di tempat bertemunya dua laut dia lebih pintar daripadamu. Kemudian Musa bertanya, “Bagaimana aku dapat bertemu dengannya?” Allah berfirman, “Ambillah seekor ikan lalu tempatkan ia di wadah. Maka, dimana engkau kehilangan ikan itu, di sanalah dia. (HR Bukhori).80 Manakala Nabi Musa menyimak hal itu, dia bertekad ingin menemui hamba shalih tersebut untuk menimba ilmu darinya. Prof. Dr. Quraish Shihab menyebutkan, kata huquban ( )ﺣﻘﺒﺎyang menunjukkan waktu yang lama ada yang berpendapat setahun, tujuh puluh tahun, atau delapan puluh tahun, bahkan sepanjang masa. Al-Maraghi menjelaskan, Musa tertantang untuk menemui hamba shalih itu, meski menguras tenaga, bersusah payah dan menempuh perjalanan yang panjang.81 Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, ”Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun." (QS al-Kahfi [18]; 60). Berdasar hadis al-Bukhari di atas, Nabi Musa memohon kepada Allah agar ditunjukkan tempat keberadaan hamba shalih. Allah tidak memberitahu kepada Musa secara langsung. Akan tetapi, memberitahu dengan isyarat bahwa dia berada di tempat bertemunya dua laut. Terkait tempat bertemunya dua laut menurut Sayyid Qutub adalah antara, Laut Rum dan Qalzum atau laut putih dan laut merah.82 Allah memerintahkan Musa supaya membawa serta ikan yang telah mati. Karena Musa akan menemukan hamba shalih di tempat di mana Allah menghidupkan ikan itu. Dalam pengembaraan mencari hamba shalih, Musa berjalan dengan 80 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Jami’ Shahih al-Mukhtashor min Umuri Rasulillah wa Sunaninhi wa Ayyamih, (Beirut: Daar Ibnu Katsir, Cet 3 1987) j. 4 h. 1757. Hadis no. 4450. 81 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Maktabah Mustafa al-Babi alHalabi wa Awladih, 1946) J. 15 h. 175 82 Sayyid Qutub, Tafsir fi Zilalil Quran, (t.tp, Mauqiu Tafasir, t.th) j. 5 h. 71.
42
seorang yang disebut dalam al-Quran dengan istilah fata, pemuda (—)اﻟﻔﺘﻲalMaraghi menyebutkan pemuda itu bernama Yusa’ dalam hadis riwayat imam alBukhori disebutkan pemuda itu adalah Yusa’ bin Nun—menuju tempat bertemunya dua laut.83 Pakar tafsir Indonesia Quraish Shihab, menjelaskan makna fata tersebut, bahwa pada mulanya fata digunakan untuk menyebutkan anak muda, lalu kata ini digunakan untuk menyebut pembantu. Orang jahiliah menyebut pembantu dengan ’abd ()ﻋﺒﺪ. Rasulullah melarang hal itu dan mengganti dengan fata, menurut Quraish agaknya hal itu dilakukan karena seorang dalam keadaan apa pun tak wajar diperbudak, sebaliknya manusia tetap harus diperlakukan dengan baik selayaknya manusia. Atau rasul menyebut hal itu lantaran al-Quran menyebutkan dengan kata fata. Dengan demikian, seorang yang menemani Nabi Musa adalah orang yang selalu membantunya dan barangkali dalam pandangan masyarakat ia adalah seorang hamba sahaya. 84 Musa meminta kepada si pemuda agar memberitahu jika ikan itu hidup. Ketika keduanya telah sampai di sebuah tempat bertemunya dua laut. Nabi Musa berbaring di balik batu untuk beristirahat karena perjalanan panjang yang membuatnya letih. Di tempat tersebut ikan itu bergerak-gerak di dalam keranjang. Dengan kodrat Allah SWT ia hidup, melompat ke laut, membuat jalan yang terlihat jelas. Maka airnya berbentuk seperti pusaran, dan Allah menahan laju air dari ikan tersebut. Kata saraban ( )ﺳﺮﺑﺎsendiri dalam penjelasan ma’na mufradat, al-Maraghi mengartikan
dengan
terowongan,
maka
air
itu
berbentuk
seperti
jembatan/pusaran.85 Al-Maragi menyebutkan, bagi Musa hidupnya ikan tersebut merupakan mukjizat. Ikan mendapati jalannya. Sedangkan kisah yang menyebutkan bahwa air 83 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Jami’ Shahih al-Mukhtashor min Umuri Rasulillah wa Sunaninhi wa Ayyamih, j. 4 h. 1757. 84 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, cet II 2004) v. 8 h. 90. 85 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 174.
43
berbentuk jembatan/pusaran tidaklah wajib bagi kita untuk meyakininya kecuali ada nash qat’i yang menyebutkannya. 86 Pendapat Ibnu Asyur yang disebutkan dalam Tafsir al-Misbah juga menyebutkan bahwa ikan itu menghilang menuju terowongan (saraban) dan Musa kemudian mengikuti jalan itu. Namun, pendapat ini ditolak banyak ulama yang cenderung memahami pertemuan kedua tokoh itu di tempat bertemunya dua pantai. 87
B. QS Al-Kahfi ayat 62-64
Artinya, “Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini" (62). “Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu tadi, Maka Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali" (63). “Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.” (64).
Pada hari setelah berjalan siang dan malam Musa merasa letih dan meminta makanannya kepada pemuda. ”...Bawalah kemari makanan kita;
86 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 175-176. 87 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 91.
44
sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini" (QS al-Kahfi [18]; 62) Permintaan Musa untuk diambilkan makanannya, mengingatkan pemuda kepada ikan, maka dia pun menyampaikan perkara ikan tersebut kepada Musa. Menurut al-Maraghi makanan menjadi hikmah yang mengingatkan pemuda pada ikan.88 ”Muridnya berkata, "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali." (QS al-Kahfi [18]; 63) Pada penuturan pemuda tentang perkara ikan, ia menyalahkan setan yang telah melupakannya. Hal tersebut dikarenakan peristiwa yang dialaminya benarbenar ajaib. Kata ‘ajaban ( )ﻋﺠﺒﺎsendiri ada yang memahaminya dengan keadaan tempat itu mengherankan manakala ikan berjalan ke laut. Ada pula yang berpendapat keheranan pembantu Musa, bagaimana ia bisa lupa untuk menyampaikan kisah ikan itu.89 Menimpali penjelasan pemuda itu, “Musa berkata, "Itulah (tempat) yang kita cari." Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.” (QS al-Kahfi : 64) Al-Biqa’i sebagaimana dikutip oleh al-Maraghi, menyebutkan, bahwa jalan yang dilalui oleh Musa adalah pasir, yang tidak bertanda. Jelasnya, Allah lebih mengatahui apakah tempat itu pertemuan antara nail dan garam atau petunjuk dari
kota Misr (mesir).
Dengan penegasan tambahan,
yaitu
bertenggernya burung di perahunya. 90
88 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 176. 89 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 93. 90 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 177.
45
C. QS Al-Kahfi ayat 65
Artinya, “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hambahamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”
Keduanya melewati tempat yang ditentukan, hingga kelelahan. Musa dan pemuda berjalan berbalik menyusuri jejak semula yang telah mereka lalui, demi menuju ke batu tempat mereka beristirahat. ”Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS al-Kahfi : 65) Banyak ulama yang berpendapat bahwa kata ’abdan ()ﻋﺒﺪا, hamba dalam ayat ini adalah Nabi Khidir. Quraish Shihab menjelaskan, penafsiran kata ’abdan beragam dan bersifat irrasional. Khidir sendiri bermakna hijau. Nabi Saw bersabda, bahwa penamaan tersebut karena suatu ketika ia duduk di bulu yang berwarna putih, tiba-tiba warnanya beerubah menjadi hijau (HR. Bukhari melalui Abu Hurairah). Quraish menambahkan, agaknya penamaan serta warna itu sebagai simbol keberkatan yang menyertai hamba Allah yang istimewa itu. 91 Tentang Khidir, al-Maragi telah menyebutkan dengan pendapat yang kuat. Khidir adalah laqab untuk teman Musa yang bernama Balwan bin Mulkan. Sementara itu, kebanyakan ulama berpendapat ia adalah seorang nabi. Pendapat itu didukung oleh beberapa dalil. Pertama, firman Allah SWT, ” Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami” rahmat dalam potongan ayat ini adalah nubuwwah berdasarkan firman Allah yang berbunyi, “Apakah mereka membagikan rahmat dari Tuhan-mu” Kedua, firman Allah SWT, ” telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami,” potongan ayat ini menunjukkan bahwa Khidir telah diberi ilmu tanpa 91 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 94.
46
perantara dan petunjuk seorang mursyid. Hal ini hanya didapati oleh para nabi. Ketiga, Musa berbicara kepada Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu,” ayat ini menunjukkan bahwa Musa ingin belajar pada Khidir. Dan nabi tidak belajar kecuali kepada nabi. Keempat, firman Allah, “dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” maksudnya, aku mengerjakannya berdasarkan wahyu dari Allah. Dan ini menunjukkan dalil nubuwwah.92 Dalam ayat ini pula, keterangan tentang Khidir bertambah. Yaitu, Khidir diberikan rahmat dan ilmu. Terkait dua bekal yang diberikan kepada Khidir ini, para ulama kemudian memberi tafsir tentang rahmat dan ilmu yang diberikan kepada Khidir. Istilah 'indi ( )ﻋﻨﺪdan ladun ( )ﻟﺪنdinilai oleh Ibnu Asyur hanya sebagai penganekaragaman agar tidak terulang dua kata yang sama dalam satu redaksi. Sementara itu, al-Biqai dan Thabathabai tidak berpendapat demikian. Mengutip Abu Hasan al-Harrari, pemakaian kata 'indi pada 'rahmat' menunjukkan bahwa rahmat yang diberikan kepada Khidir adalah sesuatu yang jelas, nampak. Dengan demikian, rahmat itu nampak dan jelas pada diri Khidir. Sedangkan ilmu yang digandeng sebelumnya dengan kata ladun, menurut Abu Hasan menunjukkan sesuatu yang tidak nampak. Yaitu, berupa ilmu bathin yang tersembunyi, yang pasti hal tersebut adalah milik dan berada di sisi Allah semata-mata. Thabathabai berpendapat serupa, namun tak sama. Thabathabai lebih jelas lagi, bahwa nikmat Allah yang zahir dapat diperoleh dari beraneka ragam sebab. Sedang nikmat Allah yang bathin tidak melalui satu sebab pun. hal ini seperti kenabian dan kewalian. Dan dalam ayat ini dengan kata 'indi, menunjukkan rahmat yang diberikan lebih khusus lagi, tanpa pihak lain dan bersifat bathiniyyah yang pada hal ini adalah kenabian. Namun tambahnya, penggunaan kata jamak 'indina, menunjukkan ada kerja malaikat dalam penyampaian wahyu itu. Sedangkan pemberian ilmu yang menggunakan kata ladun, menurut
92 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 172-173.
47
Thabathabai juga bukan merupakan pemberian ilmu dengan cara biasa. Ini menunjukkan ilmu yang diberikan bukan ilmu kasby, namun ia adalah anugrah khusus bagi para auliya. 93
D. QS Al-Kahfi ayat 66-68
Artinya, "Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (66) "Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku." (67) "Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (68).
Setelah pertemuan itu, komunikasi di antara Nabi Musa dan Nabi Khidir dilanjutkan. Diawali dengan pertanyaan Musa dilontarkan kepada Khidir. Pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan dengan nada yang mewajibkan atau memaksa. Dan, contoh inilah yang menurut Ibnu Katsir hendaknya pula diikuti oleh para pembelajar (murid) kepada pengajar (guru).94 Musa menanyakan kebolehan atau izin untuk mengikuti Khidir (atau menemaninya), kemudian agar diperkenankan untuk diberikan suatu pelajaran yang telah Allah ajarkan. “Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (QS al-Kahfi [18]; 67) Menurut Ibnu
93 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 95-96. 94 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, (Riyad: Daaru Thaibah, Cet 2 1999), j. 5 h. 181.
48
Katsir, maksudnya, sudikah kiranya Engkau (Khidir) menunjukiku dalam urusanku dari ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.95 Quraish Shihab menambahkan, kata attabi’uka ( )أﺗﺒﻌﻚyang di dalamnya terdapat penambahan huruf ta menunjukkan kesungguhan. Memang demikianlah seharusnya
seorang
pelajar
harus
bertekad
untuk
bersungguh-sungguh
mencurahkan perhatian bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya. Lanjut Quraish, bahwa permintaan Musa kepada Khidir untuk diajarkan dengan bahasa yang sangat halus. Hal ini dapat dilihat dari pertanyaan Musa. “Bolehkah aku mengikutimu,” selanjutnya beliau menamai pengajaran yang diharapkannya itu sebagai ikutan, yaitu beliau menjadikan dirinya sebagai pengikut dan pelajar. Beliau juga menggarisbawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya pribadi yakni “untuk menjadi petunjuk” baginya. Pada sisi lain, Nabi Musa juga menyebutkan bahwa Khidir adalah hamba saleh dengan keluasan ilmu. Dengan begitu, Musa hanya meminta sebagian ilmu, “sebagian dari apa yang telah diajarkan kepadanya”. Dan Nabi Musa juga tidak mengatakan, “apa yang engkau ketahui”. Karena, Nabi Musa benar-benar menyadari bahwa segala ilmu bersumber dan pasti akan kembali kepada Allah SWT.96 Pada sisi lain, Nabi Khidir juga memberi jawaban yang tidak kalah halusnya. Ia tidak serta-merta menolak secara langsung permintaan Musa, melainkan memberinya jawaban dengan penilaian bahwa Musa tidak akan sabar mengikutinya sambil menyertakan alasan yang logis dan tidak menyinggung perasaan atas ketidaksabaranya itu. Terkait jawaban Khidir, Ibnu Katsir menjelaskan, bahwasannya Maksud Khidir adalah, engkau tidak akan tahan melihat apa yang akan aku perbuat, karena sangat kontra dengan syariat yang engkau miliki. Dan lantaran aku berdasarkan ilmu yang Allah ajarkan kepadaku namun tidak Allah ajakan kepadamu. Begitu sebaliknya, engkau telah Allah ajari ilmu yang tidak dijarkan kepadaku. Oleh
95 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 178. 96 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 98
49
karena itu, kita memiliki perkara masing-masing. Maka sebab itu, engkau tidak mampu untuk mengikutiku.97 Khidir pula mengetahui, bahwa Musa akan mengingkari atas apa yang dia dalihkan. Dan dikarenakan pula Musa tidak mampu menelaah hikmah dan kemaslahatan bathiniyyah yang Khidir dapat telaah.98 Dalam konteks ini, Quraish menambahkan, bahwa ucapan hamba Allah, memberi isyarat bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan memberitahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang pendidik tahu bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajari.99
E. QS Al-Kahfi ayat 69-70
Artinya, “Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun". (69) “Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan
kepadaku
tentang
sesuatu
apapun,
sampai
aku
sendiri
menerangkannya kepadamu". (70)
Musa menjawab Khidir dengan janji untuk bersabar dan tidak mengingkari dalam satu urusan pun. Quraish Shihab menyebutkan, penyertaan janji dengan kata insya Allah ()إﻧﺸﺎء اﷲ, memberikan kesan bahwa kesabaran Nabi Musa
97 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181. 98 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181. 99 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 99
50
dikaitkan dengan kehendak Allah. Dengan begitu, Nabi Musa tidak dapat dinilai berbohong dengan ketidaksabarannya itu, karena ia telah berusaha. Namun itulah kehendak Allah yang bermaksud membuktikan adanya seorang yang memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa AS.100 Lebih lanjut, Quraish menambahkan, apalagi dalam belajar, khususnya dalam mempelajari hal-hal yang bersifat bathiniah/tasawuf. Ini lebih penting lagi bagi seorang yang telah memiliki pengetahuan, karena boleh jadi pengetahuan dimilikinya tidak sejalan dengan sikap atau apa yang diajarkan oleh sang guru. Pada sisi lain, jawaban Khidir menurut al-Maraghi maksudnya adalah jangan engkau meminta jawaban atas sesuatu yang engkau ingkari sampai aku menyebutkan kebenarannya. Karena sesungguhnya aku tidak melakukan sesuatu kecuali itu adalah hal yang benar dalam urusanku meskipun secara jahir bertolak belakang. Sebagai adab pelajar kepada guru maka Musa menerima syarat yang diberikan oleh Khidir.101
F. QS Al-Kahfi ayat 71-73
Artinya, “Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melubangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.” (71) “Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". (72)
100 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 100-101. 101 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 178.
51
“Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".(73)
Maka keduanya berjalan di pantai menuju perahu, Khidir mengenalkan orang-orang yang menaiki perahu kemudian membawa mereka tanpa imbalan. Sampai ketika keduanya—Musa dan Khidir—telah menaiki perahu Khidir melubanginya ketika telah sampai di tengah-tengah laut yang deras jelas alMaraghi.102 Quraish meninjau dari sisi bahasa, bahwa kata idza ( )إذاdalam ayat 71 menunjukkan ketika dia naik perahu terjadi juga pelubangannya. Dan itu mengisyaratkan bahwa sejak dini—sebelum menaiki perahu—mereka telah mengetahui apa yang terjadi jika tidak melubanginya, serta pelubangan itu merupakan tekadnya sejak semula. 103 Kata inthalaqa ( )إﻧﻄﻠﻖdipahami dalam arti ‘berjalan dan berangkat dengan penuh semangat’. Lalu, penggunaan bentuk dual dalam kata ini menunjukkan bahwa dalam perjalanan hanya terdapat dua orang, yaitu hamba saleh dan Nabi Musa. Menurut Quraish Shihab ini agaknya disebabkan karena maqam yakni derajat keilmuan dan ma’rifat pembantunya itu belum sampai pada tingkat yang memungkinkannya ikut dalam pengembaraan ma’rifat itu.104 Atas pelubangan itu, Musa dengan kelengahannya menanyakan dan mengingkari apa yang dilakukan oleh Khidir—Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Khidir kemudian mengulangi pernyataan sebelumnya, Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku".
102 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 178. 103 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 102103. 104 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 102.
52
Lebih lanjut Musa meminta keringanan atas kelupaan dan kesulitannya dalam menjalani perkaranya itu. Al-Maragi menjelaskan, bahwa Musa meminta agar Khidir tidak menyulitkannya dalam perkara dan keikutsertaannya. Tetapi meminta untuk dimudahkan dan dijauhkan dari perdebatan.105 Rupanya pemakaian kata imran ( )إﻣﺮاdan ‘usra ( )ﻋﺴﺮاmenurut Quraish Shihab mengindikasikan betapa beratnya beban yang dipikul oleh Nabi Musa jika ternyata hamba Allah itu tidak memaafkannya atau dengan kata lain tidak mengijinkannya untuk belajar dan mengikutinya.
G. QS Al-Kahfi ayat 74-75
Artinya, “Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar". (74) “Khidhir berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" (75).
Hamba saleh itu memberikan maaf dan keduanya meneruskan perjalanan. Kali ini, setelah selamat dari tenggelam mereka turun dari perahu, berjalan di pantai kemudian Khidir melihat seorang anak remaja belum dewasa yang bermain maka serta merta ia membunuhnya. Al-Quran tidak menyebutkan bagaimana Khidir membunuh anak itu, jelas al-Maraghi.106 Melihat hal itu, Musa dengan penuh kesadaran, sebagaimana yang dikutip Quraish dari Sayyid Qutub, dia tidak lupa lagi tapi dia benar-benar sadar lantaran
105 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179. 106 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
53
besarnya peristiwa itu.107 Musa berkata kepada Khidir, Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar. al-Maraghi menjelaskan, bantahan Musa karena remaja yang dimaksud adalah remaja yang bersih dari dosa tanpa membunuh yang diharamkan? Dalam hal ini pembunuhan dikhususkan bukan karena kekafiran setelah iman atau zina setelah menikah karena itulah yang nampak pada peristiwa tersebut.108 Penentangan Musa kepada Khidir pada hal ini ditunjukkan dengan lebih tegas. Kata yang dipakai untuk menunjukkan hal itu adalah nukran ()ﻧﻜﺮا, kemungkaran yang besar. Jika dalam hal menenggelamkan perahu masih mengindikasikan kemungkinan antara tenggelam dan tidak. Namun pembunuhan seorang anak benar-benar jelas dan pasti. Pembunahan inilah yang menurut Musa irasional dan telah mengahilangkan jiwa. Di sisi lain, peneguran kedua kalinya hamba saleh juga disertai penekanan. Ini nampak pada penggunaan kata laka()ﻟﻚ, kepadamu. Adapun jika kita perhatikan peneguran hamba saleh yang pertama tidak disertai kata laka. Hal ini menegaskan banwa kata itu memiliki daya tekan tersendiri. Demikian jelas alMaraghi dan Quraish Shihab.
H. QS Al-Kahfi ayat 76-77
Artinya, “Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu,
107 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 104. 108 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179.
54
sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". (76) “Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu". (77)
Pada ayat 76 Musa menyadari akan perbuatannya yang telah melakukan dua kesalahan. Namun tekadnya yang kuat untuk meraih ma’rifat mendorongnya memohon untuk diberi kesempatan terakhir. Musa AS berkata, jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maksudnya, jika aku menanyakan kepadamu tentang perbuatan-perbuatan asing yang aku saksikan serta aku meminta penjelasan hikmahnya darimu, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku. Pernyataan Musa kali ini benar-benar menunjukkan penyesalan yang amat karena terdesak oleh keadaan. Diriwayatkan dalam hadis yang shahih, Nabi Saw bersabda, Rahmat Allah menyertai kita dan Musa, jika ia bersabar atas temannya untuk melihat kejadian yang aneh. Namun ia memberikan celaan kepada temannya. Permintaan Musa untuk kali ini masih dikabulkan oleh hamba saleh itu. Maka setelah peristiwa pembunuhan itu, keduanya berjalan sampai bertemu dengan sebuah kampung, mereka meminta makanan, namun penduduk kampung itu enggan untuk menjamu mereka. Dalam sebuah hadis disebutkan, “mereka, penduduk negeri itu adalah orang-orang tercela lagi pelit”. Adapun penjelasan, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, dengan tidak menyebutkan ‘tidak mau memberi makan’ menambahkan kehinaan mereka dan mensifati mereka dengan kerendahan serta kebahilan. Sebab, seorang yang mulia tentu hanya menolak seorang yang meminta diberi makanan, bukan menghinanya. Sebaliknya orang yang mulia tidak
55
akan mengusir tamu asing. Tandas al-Maraghi.109 Diriwayatkan dari Qatadah, “seburuk-buruknya kampung adalah kampung yang tidak disinggahi dan tidak memberikan ibnu sabil haknya.” Pada posisi yang senada, Quraish Shihab menyebutkan, penyebutan penduduk negeri pada ayat 77 menunjukkan betapa buruknya penduduk negeri itu lantaran pada ayat-ayat lain al-Quran hanya menyebutkan negeri untuk menunjuk penduduknya. Lebih-lebih, permintaan Musa dan Khidir bukanlah permintaan sekunder melainkan makanan untuk dimakan. 110 Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Dan hal inilah yang merupakan mukjizatnya. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu. Sebenarnya, perkataan Musa ini hanyalah masukan dan saran kepada Khidir karena dia mengetahui keperluan yang mereka butuhkan seprti makan, minum, dan lainnya untuk hidup.
I. QS Al-Kahfi ayat 78
Artinya, “Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (78)
Pada bagian ini, Musa telah melakukan pelanggaran untuk yang ketiga kalinya. Khidir berkata pada Musa inilah pengingkaran berturut yang ketiga kalinya darimu yang menjadi sebab perpisahan antara aku denganmu sebagaimana yang telah aku syaratkan. Adapun dua pengingkaranmu yang pertama terdapat udzur di dalamnya, namun tidak untuk hal ini. Kelak akan kuberitahukan 109 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 5. 110 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 106.
56
kepadamu
tujuan
perbuatan-perbuatan
yang
kamu
tidak dapat
sabar
terhadapnya. Maksudnya, Khidir nanti akan memberitahukan akibat dari perbuatan-perbuatannya. Takwil sendiri bermakna kembali yang berasal dari kata aala-yauuluaulan (اوﻻ-ﯾﺄول-)ال. Al-Quran menggunakan istilah ini dalam arti makna dan penjelasan, atau substansi sesuatu yang merupakan hakikatnya atau tiba masa sesuatu. Dalam konteks ini, makna yang kedua dapat menjadi makna yang benar untuk kata tersebut di sini, jelas Quraish Shihab.111
J. QS Al-Kahfi ayat 79-82
Artinya, “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (79) “Dan adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orangorang mukmin, dan Kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. (80) “Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (81) 111 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 107.
57
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".(82)
Keempat ayat ini adalah penjelasan dari perbuatan-perbuatan Khidir yang aneh dalam pandangan Musa. Ayat 79 menjelaskan tentang mengapa ia melubangi perahu. Khidir menjelaskan, Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, mereka orang-orang miskin yang tak mampu untuk membela diri dari kezaliman. Padahal mereka telah bekerja sekuat tenaga, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Hal ini dilakukan oleh Khidir karena merupakan kebiasaan raja itu, untuk merebut secara paksa setiap perahu yang masih baik dan layak. Tegas al-Maraghi.112 Pada kejadian ini, Quraish Shihab menyimpulkan, seakan-akan hamba saleh itu berkata, “dengan demikian apa yang kubocorkan itu bukanlah tujuan menenggelamkan penumpangnya, tetapi justru menjadi sebab terpeliharanya hakhak orang miskin.” Memang melakukan kemudharatan yang kecil dibenarkan untuk menghilangkan kemudharatan yang lebih besar.113 Kemudian, ayat ke 80-81 menjelaskan tentang mengapa Khidir membunuh anak yang menurut pandangan Musa adalah seorang anak yang suci dari dosa. Namun berbeda dengan apa yang diketahui oleh Khidir dan penyikapannya, Khidir mengetahui bahwa anak itu adalah anak yang kafir sedang kedua orang tuanya adalah orang mukmin. Kekhawatiran Khidir jika kelak anak itu menjadi penyebab kekafiran kedua orang tuanya lantaran kecintaan mereka terhadap anak 112 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 8. 113 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 107.
58
itu, membuat Khidir membunuh anak itu. Kata khasyah ()ﺧﺸﯿﺔ, pada mulanya bermakna takut. Tapi, kata kami yang menjadi pelaku ayat ini menunjuk kepada hamba Allah bersama Allah SWT. Tentu tidak tepat, karena Allah tidak mungkin takut. Oleh karenanya, Quraish menambahkan kami takut dengan ‘bahkan tahu’ dalam mengartikan kata ini. Sementara itu ada juga yang memaknainya secara majazi, yaitu ‘kami iba dan penuh rahmat kepadanya’. Di sisi ini, sang anak adalah anak yang kedurhakaannya luar biasa. Hal ini terlihat dari penggunaan kata thugyanan ()ﻃﻐﯿﺎﻧﺎ. Banyak ulama yang memahami pelaku kedurhakaan dan kekufuran yang dikhawatirkan adalah kedua orang tua anak ini. Dan ada juga yang memahami pelakunya adalah anak itu, papar Quraish Shihab.114 Al-Maraghi mengutip pendapat Qatadah bahwa, “kala melahirkan anak itu kedua orang tuanya bahagia dan bersedih ketika mendapati anaknya dibunuh, padahal jika anak itu tetap hidup kelak akan mencelakakan keduanya. Maka itu, setiap orang hendaknya menerima ketentuan Allah SWT. Ketentuan Allah yang tidak disukai sejatinya lebih baik daripada sesuatu yang disukai.115 Dalam sebuah hadis disebutkan, “Allah jika menghendaki suatu ketentuan kepada seorang mukmin, kecuali itulah yang terbaik untuknya.” dalam al-Quran Allah berfirman, “Sekali-kali engkau akan membenci sesuatu padahal itu lebih baik bagimu (QS alBaqarah [2]; 216).” Sementara itu, maksud Khidir lainnya adalah supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya. Kemudian, ayat ke 82 ini adalah ayat penutup prihal kisah Musa dan Khidir. Ayat ini menjelaskan tentang perbuatan Khidir pada sebuah negeri yang dihuni oleh penduduk tercela lagi bakhil, namun ia menegakkan dinding pada
114 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 108. 115 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 8.
59
sebuah bangunan tanpa imbalan. Tujuan Khidir tak lain adalah karena ia mengetahui bahwa dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Kata madinah pada keterangan ayat yang menjelaskan penegakan dinding agaknya disebabkan karena di celah kata qaryah ( )ﻗﺮﯾﺔterdapat kecaman terhadap penduduknya yang enggan menjamu itu, sementara pada ayat itu ada pujian terhadap orang tua kedua anak yatim itu. Pernyataan Khidir ini kemudian ditutup dengan penjelasan yang lugas dan tepat. Yaitu bahwa apa yang dilakukannya mulai dari menenggelamkan perahu hingga menegakkan sebuah dinding adalah bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Maksudnya, aku mengerjakannya berdasarkan wahyu dari Allah. Dan ini menunjukkan dalil nubuwwah.
60
BAB IV PROSES PEMBELAJARAN NABI MUSA DAN NABI KHIDIR A.
Sumber Ilmu dan Motivasi Mencari Ilmu
1.
Sumber Ilmu Perjalanan Nabi Musa AS Mencari guru sebagaimana yang diriwayatkan
dalam sebuah hadis. Ibnu Abbas mendengar Ubai bin Kaab berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Musa berdiri khutbah di hadapan Bani Israil, kemudian ia ditanya, “Siapa Manusia yang paling pintar?” Musa menjawab, “Saya”. (Atas jawaban itu) Allah SWT mencela Musa yang tidak mengembalikan ilmu kepada Allah. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa bahwasannya seorang hamba-Ku berada di tempat bertemunya dua laut dia lebih pintar daripadamu. Kemudian Musa bertanya, “Bagaimana aku dapat bertemu dengannya?” Allah berfirman, “Ambillah seekor ikan lalu tempatkan ia di wadah. Maka, dimana engkau kehilangan ikan itu, di sanalah dia. (HR Bukhori)116 Pada hadis di atas, terang bahwa Musa tidak mengembalikan ilmu kepada Allah, merasa diri paling pintar. Hal ini yang menjadi sebab ia diperintahkan untuk belajar kembali kepada hamba saleh. Berdasar hal itu, seorang peserta didik harus menyadari bahwa sumber ilmu adalah Allah SWT. Kenyataan bahwa seluruh ilmu bersal dan bersumber dari Allah SWT, mengrahkan kita untuk menyandarkan niat sejak awal dalam belajar untuk menggapai ridha Allah SWT. Syed Naquib al-Attas menyebutkan, bahwa semua
116 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Jami’ Shahih al-Mukhtashor min Umuri Rasulillah wa Sunaninhi wa Ayyamih, (Beirut: Daar Ibnu Katsir, Cet 3 1987) j. 4 h. 1757. Hadis no. 4450.
61
tindakan dalam Islam harus diniati dengan niat yang disadari. Ini sebagaimana hadis yang berbunyi, “perbuatan seorang itu berdasar niatnya” “dan Allah akan memberi pahala sesuai niatnya. Di samping itu, prinsip dasar perbuatan tersebut diiringi pula dengan sifat keikhlasan, kejujuran, dan kesabaran. Abu Sa’id al-Kharaz, seorang sufi kenamaaan abad 9 M, sebagaimana dinukil oleh Syed Nuquib memaparkan, bahwa salah satu prinsip etika adalah keikhlasan di samping kebenaran dan kesabaran. Pada hal ini, menurut Syed Naquib al-Attas, peserta didik harus mengenal prinsip ini sejak dini dan harus mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga kualitas keimanannya akan menjadi lebih kuat dan lebih kukuh, di samping amal perbuatannya yang lurus dan ikhlas.117 Senada dengan itu, Nashir Al-Din Al-Thusi dalam tesisnya mengenai adab peserta didik, sebagaimana dinukil pula oleh Syed Nuquib, bahwa penting bagi peserta didik untuk mencari ridha Allah SWT.118 2.
Motivasi Mencari Ilmu Islam sejak awal mula telah menyerukan kewajiban menuntut ilmu.
Perintah ini sebagaimana termaktub dalam al-Quran dan hadis. Dalam al-Quran seperti ayat yang berbunyi, “qul hal yastawilladzina ya’amuuna walladzina laa ya’lamuun” (katakanlah: tidaklah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui).119 Dalam hadis disebutkan, “thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin” (menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat). Bahkan dalam syiir yang populer “Uthubul ilma minal mahdi ila lahdi” (tuntutlah ilmu sejak buaian hingga liang lahad). Atau “Uthlubul ilma wa lau bishshin” (tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”.
117 M. Nuquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib Al-Attas, (Bandung: Mizan, cet I 2003) h. 256. 118 M. Nuquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib Al-Attas,...h. 258. 119 QS Az-Zumar [39]; 9.
62
Spirit menuntut ilmu inilah yang juga diperlihatkan dalam proses pembelajaran Musa dan Khidir. Dalam hal ini Musa setelah mendapat wahyu untuk menemui hamba saleh. Ia bertekad untuk menimba ilmu darinya. Quraish Shihab menyebutkan, kata huquban ( )ﺣﻘﺒﺎyang menunjukkan waktu yang lama ada yang berpendapat setahun, tujuh puluh tahun, atau delapan puluh tahun, bahkan sepanjang masa. Pada hal ini, teori pembelajaran behavioristik menyebutkan, bahwa perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat, dan kecenderungan perilaku S-R (Stimulus-Respon).120 Motivasi Musa yang telah mendapat rangsangan berupa wahyu menjadi begitu kuat. Menurut al-Maraghi, Musa tertantang untuk menemui hamba shalih itu, meski dengan menguras tenaga, bersusah payah dan menempuh perjalanan yang panjang. 121 Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, ”Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahuntahun." (QS al-Kahfi [18]; 60). Oleh karena itu, pada usaha mencari sumber pembelajaran dan guru yang profesional, seorang siswa dituntut untuk memiliki semangat dan motivasi yang kuat untuk menuntut ilmu, karena motivasi berperan sebagai daya gerak seseorang untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Selanjutnya, dalam kegiatan pembelajaran, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang 120 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi,...62. 121 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Maktabah Mustafa al-Babi alHalabi wa Awladih, 1946) J. 15 h. 175.
63
memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki subjek belajar dapat tercapai.122 Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.123 Dengan motivasi yang kuat dalam diri, Nabi Musa terdorong untuk mencari guru yang lebih ahli selanjutnya mendorongnya pula untuk melakukan perjalanan dalam mencari ilmu dari sumbernya langsung. Yang dalam dunia pendidikan hal ini dikenal dengan rihlah ilmiah, perjalanan intelektual. Imam Syafi’i menyebutkan dalam kitab Diwan Imam Syafi’i, dalam bab qafiyah nuun (syi’ir yang berakhiran huruf nun) enam syarat yang harus dipenuhi agar bisa mendapatkan ilmu, yaitu kecerdasan, semangat, sabar dan harta (dalam hal ini biaya), petunjuk (bimbingan) guru dan dalam tempo waktu yang lama. Melalui semangat serta motivasi yang tinggi pula Imam Ibn Mandah terdorong untuk mengelilingi timur dan barat sebanyak dua kali. Beliau melakukan perjalanan menuntut ilmu dalam jangka waktu yang lama. Imam Ibn Mandah pergi menuntut ilmu ketika berumur 20 tahun dan kembali ketika berumur 65 tahun. Lama perjalanan menuntut ilmu beliau selama 45 tahun. Imam Ibn Mandah kembali ke negerinya setelah tua dan dia baru menikah ketika berumur 65 tahun. Kecintaan para ulama pada ilmu syar’i meyebabkan mereka rela untuk lelah berjalan, menahan lapar dan dahaga.124
122 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo, cetIX, 2001), h. 73. 123 Thursan Hakim, Balajar Secara Efektif, (Jakarta: Niaga Swadaya, 2009). h. 6 124 Syaikh Muhammad Ibn Shaleh Al-Utsaimin, Panduan Lengkap menuntut ilmu (Pustaka Ibn Katsir), h.102 .
64
Sementara itu, mempelajari perjuangan para ulama dalam menuntut ilmu akan menyalakan semangat yang padam kembali membara. Perjuangan mereka yang tak kenal lelah dan segala keterbatasan mereka baik moril maupun materil dalam menuntut ilmu telah menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mulia dari kalangan kaum Muslimin hingga saat ini. Para ulama salaf telah memberikan contoh yang baik dan teladan yang agung tentang bagaimana bersemangat dalam menuntut ilmu, meraihnya serta merindukannya. Mereka mengembara keluar dari negerinya dengan membawa bekal seadanya dan meninggalkan kenikmatan berkumpul bersama keluarga untuk berburu ilmu pada para ulama tanpa mengenal batas dimensi ruang dan waktu.125 Selain itu, kata-kata Nabi Musa, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” Memiliki pelajaran tentang keteguhan Nabi Musa untuk menambah ilmu demi keselamatan dunia akhirat. Oleh karena itu, beliau mencari orang yang dapat mengobati kehausannya akan ilmu. Hal ini mengajarkan kepada kita, bahwa orang yang ingin mendapatkan ilmu haruslah keluar dari tempatnya dan mencari dimana sang guru berada dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, Nabi Musa rela melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk menuntut ilmu dan merasakan keletihan. Beliau lebih suka meninggalkan Bani Israil agar nantinya dapat mengajar dan membimbing mereka, dan memilih berangkat mencari tambahan ilmu.126 Sampai di sini motivasi yang dimiliki Musa masing amat tinggi, hingga ia tak kenal menyerah untuk mencari sumber ilmu yang Allah wahyukan. Dalam bahasan motivasi, maka Musa telah merasuk padanya motivasi intrinsik maupun ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri individu telah ada dorongan mencari sesuatu. Sedang motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang
125 Abul Qa’qa Muhammad bin Shalih alu Abdillah, Kiat Agar Semangat Belajar Membara (Terj), (Beirut: Daar An-Naba), 52. 126 Soraya Haque, Jejak-Jejak Perjalanan Jiwa, (Bandung: Mizan Publika, 2009), h. 74
65
aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar.127 Dan semestinya setiap siswa memiliki kedua macam motivasi ini.
B.
Mencari Guru yang Berkualitas Dalam dunia pendidikan guru memiliki peranan yang sangat penting pada
kegiatan pembelajaran. Guru sebagai fasilitator, koordinator, transformator, bahkan agent of change dan pengelola lalu lintas jalannya pembelajaran yang aktif, kreatif, serta produktif, merupakan faktor penting yang tidak dapat di pandang sebelah mata. Pembelajaran akan baik jika disampaikan oleh guru yang baik, guru yang memiliki standar kompetensi. Adapun sebagaimana maklum kompetensi guru tersebut mencakup empat jenis, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Pada proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai pen-transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga berfungsi untuk menanamkan nilai (value), serta berfungsi untuk menanamkan karakter (character building) secara berkelanjutan. Dalam terminologi Islam, guru diistilahkan dengan murabby, satu akar dengan rabb yang berarti Tuhan. Jadi, fungsi dan peran guru dalam sistem pendidikan merupakan salah satu manifestasi dari sifat ketuhanan.128 Jika demikian, benarlah bahwa tugas guru merupakan tugas yang amat mulia, bukan hanya mulia di sisi manusia lainnya namun juga mulia di sisi Allah SWT. Pada konteks itu, pembelajaran Nabi Musa AS kepada Nabi Khidir AS merupakan pembelajaran yang tepat. Pertama, karena Khidir adalah guru yang Allah pilih dan rekomendasikan secara langsung sebagaimana yang disebutkan pada hadis di atas. Menurut kebanyakan ulama berpendapat ia adalah seorang nabi.129 Kedua, lantaran Khidir adalah nabi yang Allah berikan padanya rahmat
127 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar,... h. 87-88. 128 Asrarun Ni’am Shaleh, Membangun Profesionalitas Guru, (Jakarta: Elsas, 2006), hal 3. 129 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 172-173.
66
yang tampak pada dirinya dan ilmu yang istimewa. Yaitu ilmu yang diberikan bukan ilmu kasby, namun ia adalah anugrah khusus bagi para auliya.130 Sepadan dengan hal tersebut, peserta didik disarankan untuk tidak tergesagesa belajar pada sembarang guru. Sebaliknya peserta didik harus meluangkan waktu untuk mencari siapakah guru terbaik, demikian papar Syed Nuquib alAttas. Al-Gazali mengingatkan, meski demikian peserta didik untuk tidak bersikap
sombong.
Tetapi harus memperhatikan mereka
yang mampu
membantunya dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan, dan kebahagiaan serta tidak hanya berdasarkan mereka yang masyhur dan terkenal. 131
”Prof. Dr. Imam Suprayogo, rektor UIN Malang, dalam catatannya menuliskan, tidak saja calon murid yang seharusnya dipilih, tetapi mestinya guru juga perlu diseleksi. Setiap tahun, lembaga pendidikan menyeleksi para calon murid. Lembaga pendidikan memilih calon murid di antara sekian banyak yang kemampuanannya lebih baik. Tentu hal ini dilakukan oleh lembaga pendidikan yang peminatnya berlebih. Jika peminatnya kurang, tentu seleksi yang dilakukan tidak serius, sebatas bersifat formal. Sama dengan yang dilakukan oleh guru atau lembaga pendidikan, mestinya calon murid juga melakukan pemilihan terhadap orang yang akan dijadikan guru. Sebab kualitas guru ternyata juga bermacam-macam. Ada guru yang hebat, artinya berkualitas tinggi, tetapi ada pula guru yang kemampuannya terbatas. Calon murid mestinya juga memilih lembaga pendidikan yang memiliki tenaga guru yang hebat-hebat.”132 Adapun guru yang baik menurut Al-Mawardi, sebagaimana yang dikutip Abuddin Nata, adalah guru yang tawadhu (rendah hati), menjauhi sikap ujub (besar kepala) dan memiliki rasa ikhlas. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya seorang guru harus dilandasi dengan kecintaan terhadap tugasnya sebagai guru,
130 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 95-96. 131 M. Nuquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib Al-Attas,...h. 260-261. 132 http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel. memilih-guru-.html diakses tanggal 30 November 2010.
67
kecintaan ini akan benar-benar tumbuh dan berkembang apabila keagungan, keindahan, dan kemuliaan tugas guru itu sendiri benar-benar dapat dihayati. 133 Nabi Khidir sendiri telah menunjukkan sikap itu pada pengajarannya kepada Nabi Musa. Salah satu gambaran itu dapat dilihat dari tutur katanya kepada Nabi Musa,
"Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku." (67) "Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (68). Menurut Quraish Shihab, jawaban Nabi Khidir ini adalah jawaban yang tidak kalah halusnya dengan pertanyaan Nabi Musa. Ia tidak serta-merta menolak secara langsung permintaan Musa, melainkan memberinya jawaban dengan penilaian bahwa Musa tidak akan sabar mengikutinya sambil menyertakan alasan yang logis dan tidak menyinggung perasaan atas ketidaksabaranya itu.134 Lebih lanjut, guru adalah orang yang mengajarkan kita dengan berbagai ilmu pengetahuan dan mendidik kita menjadi orang yang berguna pada masa akan datang. Walau bagaimana tingginya pangkat atau kedudukan seseorang itu mereka adalah bekas seorang pelajar yang tetap terhutang budi kepada gurunya yang pernah mendidiknya pada masa dahulu.135 Karena pendidik adalah orang yang telah berjasa, maka sebagai siswa, seharusnya selalu mendoakan kebaikan sang pendidik. Nabi Muhammad Saw bersabda, ”Siapa yang telah berbuat baik kepada kalian, maka balaslah kebaikannya. Apabila kalian tidak mendapatkan sesuatu untuk membalas budi kepadanya, maka doakanlah (memohon kebaikan) untuknya sehingga kalian 133 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 50. 134 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 98. 135http://mgcmpi.wordpress.com/bahan-kerohanian/adab-menghormati-guru/ Jumat, 3 Desember 2010.
didownload,
68
berpendapat telah membalas budinya” 136 Oleh karena itu, Islam mengajarkan kita supaya menghormati guru dan memuliakannya sebagaimana kita memuliakan ibu bapak. Karana merekalah yang menyampaikan ilmu kepada kita untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dalam hal ini, diterangkan pula kepada kita agar mempunyai adab sopan santun dan bersikap lemah lembut terhadap guru atau pendidik sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Musa. Firman Allah:
“Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmuilmu yg telah diajarkan kepadamu?” (al-Kahfi [18]; 66). Ayat ini menyebutkan cara Nabi Musa mengeluarkan tutur kata yang sangat santun dan seakan-akan sedang meminta pendapat. Seakan-akan beliau menyebutkan: “Apakah engkau bersedia memberi ijin kepada saya atau tidak?” Di sini beliau tampaknya sangat butuh untuk berguru. Beliau belajar dari Nabi Khidir dan mempunyai keinginan besar untuk mendapatkan ilmu yang ada pada gurunya.
C.
Strategi Pembelajaran Musa dan Khidir Guna menciptakan pembelajaran yang efektif, maka guru hendaknya
menentukan terlebih dahulu strategi pembelajaran yang akan diterapkan di lapangan. Strategi pembelajaran sendiri adalah suatu garis-garis besar halauan untuk bertindak guna mencapai sasaran yang telah ditentukan. Jika dihubungkan dengan belajar mengajar adalah pola-pola umum kegiatan guru anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.137 Ada empat strategi dasar dalam belajar mengajar yang meliputi hal-hal
136 HR.Ahmad 2/68, Abu Daud1672, al-Nasa`i 5/82, al-Bukhari dalam buku Al-Adab AlMufrad 216, Ibnu Hibban 3408, al-Hakim 1/412 dan 2/13, at-Thayalisi 1895 dan selain mereka dari hadist Abdullahbin Umar bin Khattab radhiallohu `anhuma). 137 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar mengajar, (Jakarta: Rieneka Cipta, Cet 3 2006. h. 5.
69
berikut:138 1.
Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian peserta didik sebagaimana yang diharapkan.
2.
Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat.
3.
Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan tehnik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya.
4.
Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi. Di sisi yang sama, strategi pembelajaran pada Musa dan Khidir dapat
dilihat pada dua sisi. Pertama, pengajuan Musa untuk menimba ilmu kepada Khidir. Pengajuan ini merupakan bentuk etika seorang murid, yaitu sebelum belajar hendaknya meminta izin kepada sang guru terlebih dahulu.
"Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (al-Kahfi [18]; 66). Ibnu Katsir menjelaskan, pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan degan nada yang mewajibkan atau memaksa. Dan, contoh inilah yang menurut Ibnu Katsir hendaknya pula diikuti oleh para pembelajar (murid) kepada pengajar (guru).139 Selain itu, Quraish Shihab menambahkan, kata attabi’uka ( )أﺗﺒﻌﻚyang di dalamnya terdapat penambahan huruf ta menunjukkan kesungguhan. Memang demikianlah seharusnya seorang pelajar harus bertekad untuk bersungguh138 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar mengajar,... h. 5-6 139 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, (Riyad: Daaru Thaibah, Cet 2 1999), j. 5 h. 181.
70
sungguh mencurahkan perhatian bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya. Kedua, Khidir memberikan syarat pembelajaran kepada Musa. Khidir sebagai guru Musa menetapkan strategi pembelajaran. Sebagai guru yang mengetahui maka terlebih dahulu memberikan penilaian kepada muridnya. Khidir pula mengetahui, bahwa Musa akan mengingkari atas apa yang dia dalihkan. Dan dikarenakan pula Musa tidak mampu menelaah hikmah dan kemaslahatan bathiniah yang Khidir dapat telaah.140 Sementara itu, pertimbangan yang dilakukan Khidir dalam memilih strategi pembelajaran untuk mencapai pembelajaran yang efektif dan efisien adalah pertimbangan yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai, pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran, dan pertimbangan dari sudut siswa. 141 Untuk itu guru harus menjelaskan kepada murid persyaratan atau tatatertib sebelum memulai proses pembelajaran. Ini ditunjukan oleh ayat ke 70 . Khidir memberikan syarat kepada Musa, yaitu jangan bertanya hingga khidir sendiri yang menjelaskannya. Dalam konteks ini, sebagaimana yang diungkapkan Quraish Shihab, bahwa ucapan hamba Allah, memberi isyarat bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan memberitahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang pendidik tahu bahwa potensi peserta didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajari.142 Dalam berinteraksi dengan peserta didik seorang guru tidak boleh membebani siswa dengan sesuatu yang mereka tidak mampu melakukan untuk
140 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181. 141 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Beroroentasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media Group, Cet 6 2009). h. 130. 142 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 99
71
dilakukan. Karena akan sangat memberatkan atau bahkan menghancurkan mereka. Kalau ini terjadi tentu akan menjadi pemicu bagi mereka untuk malas belajar. Bahkan hendaknya seorang guru mempunyai sikap memudahkan.
D.
Proses Pembelajaran Musa dan Khidir Proses berasal dari bahasa latin, processus yang berarti berjalan ke depan.
Kata ini memiliki makna konotasi urutan langkah atau kemajuan yang mengarah pada suatu sasaran atau tujuan. Dalam psikologi belajar, proses berarti cara-cara atau langkah-langkah khusus yang dengannya beberapa perubahan ditimbulkan hingga tercapainya hasil-hasil tertentu (Reber, 1988). Dalam kisah ini diterangkan bahwa ilmu yang diajarkan kepada para hamba Allah. ‘Khidir’ ada dua jenis: Pertama, ilmu yang diusahakan yang dapat difahami oleh seseorang dengan mempelajari dan bersungguh-sungguh mendapatkannya. Kedua, ilmu yang berupa ilham laduni sebagai hadiah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya dengan dalil:
“Dan telah Kami ajarkan kepada ilmu dari sisi Kami.” Dijelaskan dalam kisah ini bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membimbing pemilik kepada kebaikan. Demikian pula hal ilmu-ilmu yang mengandung bimbingan dan hidayah atau petunjuk menuju jalan kebaikan dan mengingatkan agar menjauhi jalan yang buruk. Boleh jadi hanya akan menimbulkan madharat atau tidak berguna sama sekali. Inilah yang diisyaratkan dalam ayat,
“Supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmuilmu yang telah diajarkan kepadamu?" Adapun proses belajar sendiri adalah tahapan perubahan prilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terjadi dalam diri siswa. Tentunya, perubahan yang
72
terjadi adalah perubahan ke arah posistif dalam arti berorientasi ke arah yang lebih maju daripada keadaan sebelumnya. 143 Menurut Jerome S. Burner, salah seorang penentang teori S-R Bond (Barlow, 1985), dalam proses pembelajaran siswa menempuh tiga episode atau fase:144 1. Fase informasi (tahap penerimaan materi) 2. Fase transformasi (tahap pengubahan materi) 3. Fase evaluasi (tahap penerimaan materi) Sementara itu, peroses pembelajaran Musa dan Khidir dapat dilihat dari tiga bagian penting perbuatan-perbuatan Khidir yang aneh dipandangan manusia biasa, bahkan Musa sekalipun. Pertama, pembelajaran khusus Musa dan Khidir—karena hanya mereka berdua yang melakukan perjalanan ilmiah itu, Menurut Quraish Shihab ini agaknya disebabkan karena maqam yakni derajat keilmuan dan ma’rifat pembantunya itu belum sampai pada tingkat yang memungkinkannya ikut dalam pengembaraan ma’rifat itu 145 Pembelajaran pertama Khidir adalah berbentuk demonstrasi. Metode demonstrasi sendiri adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan.146 Metode demonstrasi adalah salah satu tehnik mengajar yang dilakukan oleh seorang guru atau orang lain yang dengan sengaja diminta atau siswa sendiri ditunjuk untuk memperlihatkan kepada
143 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Edisi Revisi, cet 14 2008) h. 113. 144 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,... h.113-114. 145 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 102. 146 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,... h. 208.
73
kelas tentang suatu proses atau cara melakukan sesuatu.147 Dalam hal ini Khidir melubangi perahu yang dinaikinya bersama Musa, yang di dalamnya juga terdapat banyak orang yang merupakan pekerja di laut. Di sini manfaat psikologis pedagogis dari metode demonstrasi terlihat jelas yang di antaranya adalah a. Perhatian siswa dapat lebih dipusatkan . b. Proses belajar siswa lebih terarah pada materi yang sedang dipelajari. c. Pengalaman dan kesan sebagai hasil pembelajaran lebih melekat dalam diri siswa Selain itu, kelebihan metode demonstrasi sebagai berikut: a. Membantu anak didik memahami dengan jelas jalannya suatu proses atau kerja suatu benda. b. Memudahkan berbagai jenis penjelasan. c. Kesalahan-kesalahan yeng terjadi dari hasil ceramah dapat diperbaiki melaui pengamatan dan contoh konkret, dengan menghadirkan obyek sebenarnya Di lain sisi, kelemahan metode demonstrasi sebagai berikut: a. Anak didik terkadang sukar melihat dengan jelas benda yang akan dipertunjukkan. b. Tidak semua benda dapat didemonstrasikan. c. Sukar dimengerti bila didemonstrasikan oleh guru yang kurang menguasai apa yang didemonstrasikan. Pada bagian ini, metode pembelajaran antara Musa dan Khidir berkembang menjadi metode tanya jawab. Dalam hal ini Musa dengan kelengahannya menanyakan dan mengingkari apa yang dilakukan oleh Khidir— Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Khidir kemudian mengulangi pernyataan sebelumnya, Bukankah aku telah 147 M. Basyirudin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakata: Ciputat Pers, 2002) h. 45.
74
berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". Lebih lanjut Musa meminta keringanan atas kelupaan dan kesulitannya dalam menjalani perkaranya itu. Al-Maragi menjelaskan, bahwa Musa meminta agar Khidir tidak menyulitkannya dalam perkara dan keikutsertaannya. Tetapi mudahkanlah dan menjauhkan perdebatan.148 Rupanya pemakaian kata imran ( )إﻣﺮاdan ‘usra ( )ﻋﺴﺮاmenurut Quraish Shihab mengindikasikan betapa beratnya beban yang dipikul oleh Nabi Musa jika ternyata hamba Allah itu tidak memaafkannya atau dengan kata lain tidak mengijinkannya untuk belajar dan mengikutinya. Kedua, setelah Musa meminta keringanan kepada Khidir atas kelalaian dengan syarat yang telah diberikan pada awal kontrak pembelajaran. Hamba saleh itu masih memberi toleransi dengan memberikan maaf dan keduanya meneruskan perjalanan. Kali ini metode yang digunakan masih menggunakan metode demonstrasi. Khidir melihat seorang anak remaja belum dewasa yang bermain maka serta merta ia membunuhnya. Al-Quran tidak menyebutkan bagaimana Khidir membunuh anak itu, jelas al-Maraghi.149 Melihat hal itu, Musa dengan penuh kesadaran, sebagaimana yang dikutip Quraish dari Sayyid Qutub, musa tidak lupa lagi tapi dia benar-benar sadar lantaran besarnya peristiwa itu.150 Musa berkata kepada Khidir, Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar. Dalam psikologi pendidikan, dikenal dengan istilah berfikir rasional dan kritis, yang merupakan perwujudan prilaku belajar terutama yang bertalian dengan pemecahan masalah. Pada umumnya siswa yang berfikir rasional akan menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab
148 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179. 149 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179. 150 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 104.
75
pertanyaan bagaimana (how) dan mengapa (why). Dalam berfikir rasional siswa dituntut mengggunakan logika (akal-sehat) untuk menentukan sebab-akibat, menganalisis, menarik kesimpulan-kesimpulan dan hukum-hukum (kaidah teoritis) dan ramalan-ramalan.151 Sikap kritis Musa pada pembelajaran kedua ini, sebagaimana yang dijelaskan al-Maraghi dikarenakan remaja yang dimaksud adalah remaja yang bersih dari dosa tanpa membunuh yang diharamkan? Dalam hal ini pembunuhan dikhususkan bukan karena kekafiran setelah iman, zina setelah menikah karena itulah yang nampak pada peristiwa tersebut.152 Lebih lanjut, teori konstruktif menegaskan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan. Di sisi lain, jawaban Khidir atas Musa merupakan peneguran kedua kalinya hamba saleh juga disertai penekanan. Ini nampak pada penggunaan kata laka()ﻟﻚ, kepadamu. Adapun jika kita perhatikan peneguran hamba saleh yang pertama tidak disertai kata laka. Hal ini menegaskan banwa kata itu memiliki daya tekan tersendiri. Demikian jelas al-Maraghi dan Quraish Shihab. Sikap Khidir tersebut mengindikasikan bahwa, jawaban guru kepada seorang siswa tentu harus memiliki nilai yang berarti. Karena, posisi guru di hadapan siswa harus benar-benar berpengaruh. Kepribadian guru mempunyai pengaruh langsung dan komulatif terhadap hidup dan kebiasaan belajar para siswa. Di sini Khidir berpegang teguh pada kesepakatan awal, yang menunjukkan sikapnya sebagai guru yang efektif.153 Ketiga, pada bagian ini pembelajaran Musa dan Khidir bertempat di 151 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,... h. 120. 152 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 179. 153 Oemar Hmalik, Psikologi Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, Cet 6. 2009) h. 34-35.
76
sebuah negeri yang “mereka, penduduk negeri itu adalah orang-orang tercela lagi pelit”. Adapun penjelasan, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, dengan tidak menyebutkan ‘tidak mau memberi makan’ menambahkan kehinaan dan mensifati mereka dengan kerendahan serta kebahilan. Sebab, seorang yang mulia tentu hanya menolak seorang yang meminta diberi makanan, bukan menghinanya. Sebaliknya orang yang mulia tidak akan mengusir tamu asing. Tandas al-Maraghi.154 Pembelajaran ini adalah kesempatan ketiga setelah dua kali Musa melanggar kesepakatan belajar yang telah ditetapkan di awal. Tekad Musa yang kuat untuk meraih ma’rifat mendorongnya memohon untuk diberi kesempatan terakhir. Musa berkata, jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maksudnya, jika aku menanyakan kepadamu tentang perbuatanperbuatan asing yang aku saksikan serta aku meminta penjelasan hikmahnya darimu, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku. Pernyataan Musa kali ini benarbenar menunjukkan penyesalan yang amat karena terdesak oleh keadaan. Permintaan Musa untuk kali ini masih dikabulkan oleh hamba saleh itu. Maka setelah peristiwa pembunuhan itu, keduanya berjalan sampai bertemu dengan sebuah kampung, mereka meminta makanan, namun penduduk kampung itu enggan untuk menjamu mereka. Fase ketiga pembelajaran Khidir kepada Musa kali ini juga berjalan dengan metode demonstrasi. Khidir dan Musa mendapati dinding rumah yang hampir roboh. Khidir dengan inisiatifnya menegakkan dinding rumah tersebut. Melihat hal itu, Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu. Sebenarnya, perkataan Musa ini hanyalah masukan dan saran kepada Khidir karena dia mengetahui keperluan yang mereka butuhkan seprti makan, minum, dan lainnya untuk hidup. Namun, pernyataan inilah batas toleransi pembelajaran Musa dengan Khidir berakhir. Pada bagian ini, Musa telah melakukan pelanggaran untuk yang ketiga 154 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 5.
77
kalinya. Khidir berkata pada Musa inilah pengingkaran berturut yang ketiga kalinya darimu yang menjadi sebab perpisahan antara aku denganmu sebagaimana yang telah aku syaratkan. Adapun dua pengingkaranmu yang pertama terdapat udzur di dalamnya, namun tidak untuk hal ini. Kelak akan kuberitahukan kepadamu
tujuan
perbuatan-perbuatan
yang
kamu
tidak dapat
sabar
terhadapnya. Maksudnya, Khidir nanti akan memberitahukan akibat dari perbuatan-perbuatannya. Dari ketiga fase pembelajaran Musa dan Khidir terkandung pesan bahwa guru hendaknya membawa siswa belajar ke alam nyata di luar kelas, untuk dapat mengalami pristiwa yang langsung. Ini ditunjukan oleh ayat ke 71 , 74 dan 77 yang semuanya di awali dengan kata-kata Yang menunjukan bahwa Guru, Khidir dan murid, Musa keduanya pergi ke luar (Contextual Teaching Learning). Selain metode demontrasi, Khidir juga menerapkan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Yaitu, suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.155 Dari konsep tersebut, minimal tiga hal yang terkandung di dalamnya. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu 155http://dahli-ahmad.blogspot.com/2009/01/peran-pembelajaran-ctl-dalam.html, didownload, Jumat, 3 Desember 2010.
78
akan bermakna secara fungsional akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.156
E.
Evaluasi Pembelajaran Khidir kepada Musa Evaluasi adalah proses sederhana memberikan atau menetapkan nilai pada
sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang, objek, dan lainlain. Atau dapat diartikan sebagai proses sistematis untuk menentukan niai sesuatu berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian.157 Dari pengertian evaluasi diketahui bahwa tujuan utamanya adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan oleh siswa setelah mengikuti suatu kegiatan pembelajaran.Hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar pada akhirnya difungsikan untuk keperluan sebagai berikut:158 a. Untuk diagnostik dan pengembangan. Maksudnya, bahwa penggunaan hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar sebagai dasar pendiagnosisan kelemahan dan keungunggulan siswa dengan berdasarkan diagnosis ini guru
mengadakan pengembangan
kegiatan pembelajaran untuk
meningkatkan hasil belajar siswa. b. Untuk seleksi. Hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar digunakan sebagai dasar untuk menentukan siswa yang paling cocok untuk jenis pendidikan tertentu. c. Untuk kenaikan kelas. Menentukan apakah seorang siswa dapat dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi atau tidak, memerlukan informasi yang dapat mendukung keputusan yang dibuat guru.
156http://dahli-ahmad.blogspot.com/2009/01/peran-pembelajaran-ctl-dalam.html, didownload, Jumat, 3 Desember 2010. 157 Dimyati dan Mujiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, cet 3 2006), h. 160-161. 158 Dimyati dan Mujiono, Belajar dan Pembelajaran,... h. 200
79
d. Untuk penempatan. Agar siswa dapat berkembang sesuai dengan tingkat kemampuan dan potensi yang mereka miliki, maka perlu dipikirkan ketepatan penempatan siswa pada kelompok yang sesuai. Seperti halnya setiap kegiatan dan tindakan pendidikan selalu diawali dengan perencanaan, maka kegiatan evaluasi hasil belajar juga diawali dengan persiapan. Pada tahapan persiapan ini terdapat beberapa persiapan yang harus dilakukan evaluator. Dalam konteks pembelajaran, antara Nabi Khidir AS dengan Nabi Musa AS, Nabi Khidir bertindak sebagai evaluator dan Musa objek evaluasi. Adapun proses evaluasi itu, Nabi Khidir menetapkan pertimbangan dan keputusan yang akan dibuat, suatu keputusan yang akan dilakukan oleh seorang evaluator untuk mendeskripsikan pertimbangan dan keputusan yang sekiranya akan dibuat dari hasil evaluasi. Dalam istilah pendidikan kegiatan seperti ini disebut dengan langkah merumuskan tujuan. Tujuan dari sebuah kegiatan pembelajaran adalah setiap usaha mengajar sebenarnya ingin menumbuhkan atau menyempurnakan pola laku tertentu dalam diri peserta didik. Maksud pola laku tersebut adalah kerangka dasar dari sejumlah kegiatan yang lazim dilaksanakan manusia untuk bertahan hidup dan untuk memperbaiki mutu hidupnya dalam situasi nyata. Kegiatan itu bisa berupa kegiatan rohani, misalnya mengamati, menganalisis, dan menilai keadaan dengan daya nalar. Bisa juga berupa kegiatan jasmani yang dilakukan dengan tenaga dan keterampilan fisik. Adapun yang menjadi tinjauan evaluasi daam konteks ayat ini adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh sang guru. Proses menakwilkan apa yang didemontrasikan oleh Khidir pada tiga tindakan Khidir dalam proses pembelajaran. Pada proses evaluasi Khidir kepada Musa. Khidir menjelaskan ketiga fase pembelajaran yang dilakukannya. Pertama, penjelasan tentang mengapa Khidir melubangi perahu. Khidir menjelaskan, Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, mereka orang-orang miskin yang tak mampu untuk membela diri
80
dari kezaliman. Padahal mereka telah bekerja sekuat tenaga. dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Hal ini dilakukan oleh Khidir karena merupakan kebiasaan raja itu, untuk merebut secara paksa setiap perahu yang masih baik dan layak tegas al-Maraghi.159 Pada kejadian ini, Quraish menyimpulkan, seakan-akan Hamba Saleh itu berkata, “dengan demikian apa yang kubocorkan itu bukanlah tujuan menenggelamkan penumpangnya, tetapi justru menjadi sebab terpeliharanya hakhak orang miskin.” Memang melakukan kemudharatan yang kecil dibenarkan untuk menghilangkan kemudharatan yang lebih besar.160 Kedua, penjelasan tentang pembunuhan anak yang menurut pandangan Musa adalah seorang anak yang suci dari dosa. Khidir mengetahui bahwa anak itu adalah anak yang kafir sedang kedua orang tuanya adalah orang mukmin. Kekhawatiran Khidir jika kelak anak itu menjadi penyebab kekafiran kedua orang tuanya lantaran kecintaan mereka terhadap anak itu, membuat Khidir membunuh anak itu. Ketiga, penjelasan tentang perbuatan Khidir pada sebuah negeri yang dihuni oleh penduduk tercela lagi bakhil, namun ia menegakkan dinding pada sebuah bangunan tanpa imbalan. Tujuan Khidir tak lain adalah karena ia mengetahui bahwa dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Berdasarkan ketiga evalusi pembelajaran yang Khidir berikan kepada Khidir ada point penting yang harus digarisbawahi. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menjelaskan QS al-Kahfi ayat 68,
159 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 8. 160 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 107.
81
“dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" Terkait ayat ini, Ibnu Katsir menjelaskan, bahwasannya Maksud Khidir adalah, engkau tidak akan tahan melihat apa yang akan aku perbuat, karena sangat kontra dengan syariat yang engkau miliki. Dan lantaran aku berdasarkan ilmu yang Allah ajarkan kepadaku namun tidak Allah ajakan kepadamu. Begitu sebaliknya, engkau telah Allah ajari ilmu yang tidak dijarkan kepadaku. Oleh karena itu, kita memiliki perkara masing-masing. Maka sebab itu, engkau tidak mampu untuk mengikutiku.161 Khidir pula mengetahui, bahwa Musa akan mengingkari atas apa yang dia dalihkan. Dan dikarenakan pula Musa tidak mampu menelaah hikmah dan kemaslahatan bathiniah yang Khidir dapat telaah.162 Bertalian dengan itu, Al-Ghazali membagi kriteria ilmu menjadi dua bagian. Pertama, ilmu-ilmu yang fardhu a’in yang wajib dipelajari semua orang Islam meliputi ilmu-ilmu agama, yakni ilmu-ilmu yang bersumber dari Al-Quran. Kedua, ilmu-ilmu yang merupakan fardhu kifayah, terdiri dari ilmu-ilmu yang dapat dimanfaatkan untuk memudahkan urusan hidup duniawi, seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan industri.163 Al-Maraghi lebih lanjut menambahkan, bahwa Khidir telah Allah berikan kemampuan menelaah sesuatu dari sisi batiniah atau hakikat sesuatu itu. Dan hal tersebut tidak mampu dilakuakan oleh seorang kecuali kejernihan bathin, melatih diri, dan melepaskan diri dari hal-hal fisik. Sedang ilmu yang dimiliki Musa adalah ilmu syariah, yang dalam hal ini menegaskan bahwa kesempurnaan pengetahuan adalah manakala berpindahnya pengetahuan syariah yang bersifat zahir kepada ilmu bathin yang terbangun atas kemuliaan dan pengetahuan hakikat 161 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181. 162 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181. 163 Khoiron Rosady, Pendidikan Profetik, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, Cet 1 2004), h. 281
82
dari sebuah kejadian.164 Di atas itu semua, pernyataan Khidir ini kemudian ditutup dengan penjelasan yang lugas dan tepat. Yaitu bahwa apa yang dilakukannya mulai dari menenggelamkan perahu hingga menegakkan sebuah dinding adalah bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Maksudnya, aku mengerjakannya berdasarkan wahyu dari Allah. Dan ini menunjukkan dalil nubuwwah. Pesan ini menunjukkan guru dalam menyampaikan materi pelajaran harus bersumber dan berdasar kebenaran. Ini ditunjukan oleh ayat ke 82, ini menunjukan bahwa Khidir dalam melakukan pekerjaan yang dilihat oleh Musa tidak atas kehendak dirinya tapi bersumber dari Allah SWT. Guru harus menyampaikan materi pelajaran yang baru buat murid sehingga ada nilai tambah bagi murid. Ini ditunjukan oleh ayat ke 68 yang bermakna, bahwa Musa belum mempunyai pengetahuan yang cukup terhadap apa yang akan diajarkan Khidir . Terakhir, guru hendaknya memberi pesan akhir kepada murid yang akan meninggalkan tempat belajar dan berpisah dengannya, untuk bekal di masa kelak nanti. Ini ditunjukan oleh pesan akhir dari Khidir kepada Musa, saat Musa dan Khidir akan berpisah, seperti telah disebutkan di atas.
164 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 16 h. 7-8.
83
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan tentang “Proses Pembelajaran dalam al-Quran
(Telaah Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82)”, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Proses pembelajaran merupakan kegiatan yang meliputi di dalamnya kegiatan mengajar, belajar, dan pembelajaran itu sendiri. Tujuannya adalah menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik, positif, progresif, bahkan futuristik. Di sini, elemen guru dan murid terlibat aktif guna mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. 2. Sumber ilmu yang paling utama adalah Allah SWT. Dialah Maha Pendidik, yang darinya semua ilmu berasal. Dalam hal ini, Al-Quran merupakan salah satu sumber ilmu yang tak akan pernah habis untuk digali nilai-nilai pembelajaran dari dalamnya. 3. Motivasi dalam mencari ilmu merupakan hal esensial bagi peserta didik untuk mendapatkan ilmu. Motivasi yang paling baik adalah motivasi intrinsik yang memunculkan spirit untuk terus menggali ilmu. Sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan motivasi pendukung, tambahan untuk terus memacu diri dalam menimba ilmu. 4. Guru yang baik adalah guru yang dapat memberikan pembelajaran yang dibutuhkan oleh peserta didik. Guru yang baik dapat dilihat dari kredibelitas yang diakui. Dalam dunia pendidikan disebut guru yang memiliki standar kompetensi atau guru profesional. Khidir merupakan
84
guru yang kredibel karena telah mendapat rekomendasi langsung dari Allah SWT untuk mengajarkan Musa. 5. Strategi pembelajaran merupakan langkah yang penting guna mendapatkan pembelajaran
yang
efektif
dan
efisien.
Dalam
hal
ini,
guru
mengidentifikasi ke depan bentuk pembelajaran yang sesuai dengan kondisi peserta didik. 6. Proses pembelajaran merupakan serangkain kegiatan yang mengantarkan peserta didik menuju sasaran pembelajaran yang diinginkan. Proses pembelajaran Musa menunjukkan betapa Musa adalah seorang peserta didik yang masih awam tentang ilmu yang diberikan gurunya. Hal ini mengisyaratkan kepada Musa untuk mengakui bahwa di atas bumi ini masih ada yang lebih pintar darinya. Selain itu, proses pembelajaran yang baik adalah ketika guru dan murid sama-sama aktif dalam proses pembelajaran itu. 7. Setelah mengalami serangkaian pembelajaran hendaknya guru melakukan evaluasi kepada pesrta didik. Hal ini untuk menunjukkan kepada peserta didik terkait pembelajaran yang telah dilakukan guna memberi wawasan baru dan menyempurnakan pembelajaran selanjutnya.
B.
Saran Dari hasil penelitian ini, ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan
khususnya bagi diri pribadi penulis sendiri dan umumnya para pembaca sebagai masukan atau pengingat: 1. Bagi guru, teruslah berjuang dan berusaha untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan keahlian. Dengan hal itu, diharapkan pemebelajaran dapat dilakukan degan efektif dan efisien. Lebih dari itu, guru yang baik adalah guru yang memiliki kompetensi dan profesionalitas. 2. Bagi siswa, teruslah belajar dan meningkatkan motivasi dalam belajar. Karena tiada kata berhenti dalam belajar. Seorang yang belajar akan terus merasa kurang karena ia semakin mengetahui bahwa ilmu yang didapat barulah sepercik dari ilmu Allah. Bagaikan padi semakin tumbuh semakin
85
merunduk, begitulah seharusnya seorang pembelajar. Karena setinggi apa pun pengetahuan yang didapat, tetap semua itu adalah anugrah Allah SWT. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
86
Al-Quran dan Terjemahnya Abu, Abdillah Muhammad bin Shalih, Kiat Agar Semangat Belajar Membara (Terj), (Beirut: Daar An-Naba) Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan, (Jakarta:PT Rineka Cipta, cet -II, 2006) Al-Attas, M. Nuquib, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib AlAttas, (Bandung: Mizan, cet I 2003) Al-Bukhori Muhammad bin Ismail Abu Abdillah, Jami’ Shahih al-Mukhtashor min Umuri Rasulillah wa Sunaninhi wa Ayyamih, (Beirut: Daar Ibnu Katsir, Cet 3 1987) Al-farmawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu’idan Cara Penerapannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2002) Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Maktabah Mustafa alBabi al-Halabi wa Awladih, 1946) Al-Qarashi, Baqir Sharif, Kiat-Kiat Menciptakan Generasi Unggul, Seni Mendidik Islami, (Jakarta: Pustaka Zahra, cet I, 2003) Al-Qardawi, Yusuf, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad Badruzzaman, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001) Al-Rasyidin dan Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat: Ciputat Press, 2005) Al-Utsaimin, Muhammad Ibn Shaleh, Panduan Lengkap menuntut ilmu (Pustaka Ibn Katsir) Arifin, H. M., Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, cet 3, 2008) Awwad, Jaudah Muhammad, Mendidik Anak Secara Islam (Terj), (Jakarta: Gema Insani Pers, 2003) Baharudin dan Nurwahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Arruzz Media, Cet III 2008) Dawam, Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta, Penerbit INSPEAL, 2006)
87
Dawna, Markova, The Smart Parenting Revolution, Psikologi Pendidikan Dimyati dan Mujiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, cet 3 2006) Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain, Aswan, Strategi Belajar mengajar, (Jakarta: Rieneka Cipta, Cet 3 2006) Dradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Departemen Agama, t.th) Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang) Gulo, W., Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Gramedia, 2005) Haitami, Munzir, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infinite Press, 2004) Hakim, Thursan, Balajar Secara Efektif, (Jakarta: Niaga Swadaya, 2009) Hamalik, Oemar, Psikologi Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, Cet 6. 2009) Haque, Soraya, Jejak-Jejak Perjalanan Jiwa, (Bandung: Mizan Publika, 2009) Katsir, Ibnu, Tafsir al-Quran al-Adzim, (Riyad: Daaru Thaibah, Cet 2 1999) Mujid, Abd. dan Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004) Muthahhari, Murtadha, Konsep Pendidikan Islam, (Depok: Iqra Kurnia Gemilang, cet 1 2005) Nata, Abuddin, Pendidikan dalam Perspektif Hadis, (Jakarta: UIN Jakarta Press, cet-I) -------, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001) -------, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001) -------, Pendidikan dalam Pespektif al-Quran, (Jakarta: UIN Jakarta Press, cet 1, 2005) -------, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarata: PT Raja Grafindo Persada, 2002) Poerwadarminta, WJS, , Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1999) Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006) Risjayanti, Peningkatan Motivasi dan Minat Belajar Siswa, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta)
88
Roqib, Moh., Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta:LKIS, cet I, 2009) Samiun, Jazuli Ahzami, Kehidupan Dalam Pandangan Al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2006) Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Beroroentasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media Group, Cet 6 2009) Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo, cet ke-9) -------, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo, cetIX, 2001) Shaleh, Abdul Rachman, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (PT Gemawindu Pancaperkasa, 2000) Shaleh, Asrarun Ni’am, Membangun Profesionalitas Guru, (Jakarta: Elsas, 2006) Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, cet II 2004) -------, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001) Supriono, Widodo, Filsafat Manusia dalam Islam, Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1996. Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Edisi Revisi, cet 14 2008) Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Integrasi dan Kompetensi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, edisi revisi) Qutub, Sayyid, Tafsir fi Zilalil Quran, (t.tp, Mauqiu Tafasir, t.th) Usman, M. Basyirudin, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakata: Ciputat Pers, 2002)
http://mgcmpi.wordpress.com/bahan-kerohanian/adab-menghormati-guru/ didownload, Jumat, 3 Desember 2010. http://raflengerungan.wordpress.com/korupsi-dan-pendidikan/pengertianmengajar-didaktik. diakses tanggal 20 November 2010. http://hasanrizal.wordpress.com
tafsir-tarbawi-pendidikan-dalam-perspektif-al-
89
quran. diakses tanggal 20 November 2010. http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel.
memilih-guru-.html
diakses
tanggal 30 November 2010. http://dahli-ahmad.blogspot.com/2009/01/peran-pembelajaran-ctl-dalam.html, didownload, Jumat, 3 Desember 2010 http://anwarholil.blogspot.com/2009/01/teori-pembelajaran-sosial.html . 9-11-10. http://zaifbio.wordpress.com/2010/01/14/ciri-ciri-dan-masalah-pendidikan-diindonesia 1/11/10