PRODUKTIVITAS LEBAH MADU (Apis cerana) PADA PENERAPAN SISTEM INTEGRASI DENGAN KEBUN KOPI
RUSTAMA SAEPUDIN
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Produktivitas Lebah Madu (Apis cerana) Pada Penerapan Sistem Integrasi Dengan Kebun Kopi” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, Oktober 2011
Rustama Saepudin NRP : D161080011
ABSTRACT RUSTAMA SAEPUDIN. The Effect of Honeybee-Coffee Plantation Integration on Improving Honey Productivity of Apis cerana. Under supervision of Asnath Maria Fuah, Cece Sumantri, Luki Abdullah and Soesilowati Hadisoesilo. A study of integrated farming system of honey bee–coffee plantation was conducted in Kepahiang, the Province of Bengkulu. The objective of the study was to evaluate the implementation of Apis cerana being managed in coffee plantation following integrated farming process to increase honeybee and coffee productivity. Location representing two different systems consisted of integrated and non integrated honeybee-coffee plantation were purposively chosen for the study using Apis cerana as major material in this study. Ten stups of honeybee were located in each system. In the integrated system, the stups set to be placed in different position, five stups were placed concerntratedly in the middle of coffee plantation and other five stups were placed spreadly around the platation with the distance between stup was approximately 100-200 meter. The number of honeybees of each stup were approximately 13000 bees. Data collected were analized to measure the production of nectar and honey in the two systems, and then used to formulate a sustainable model of integrated honeybee-coffee plantation. The results of the study indicated that the honey production of A. cerana at coffee plantation were significantly higher (P<0,01) by 114% than those which were off the plantation. Similarly, the coffee production honeybee-coffee plantation was significantly higher by 10.55 % (P<0,01) than those off the plantation. The honeybee colonies which were spreadly placed in coffee plantation significantly produced honey higher (P<0,01) than those in the center. Based on SWOT and sustainability analyses, the integrated honeybee-coffee plantation system was recommended to improve both honeybee and coffee production with a significantly high sustainability index. Key words: honeybee, coffee, integration, production, sustainability
RINGKASAN RUSTAMA SAEPUDIN, Produktivitas Lebah Madu (Apis cerana) Pada Penerapan Sistem Integrasi dengan Kebun Kopi. Dibawah bimbingan Asnath Maria Fuah, Cece Sumantri, Luki Abdullah dan Soesilowati Hadisoesilo. Peternakan lebah di Indonesia masih dihadapkan pada masalah utama yaitu rendahnya produksi madu, sekitar 1-3 kg per koloni per tahun, jauh lebih rendah dari produksi optimal sekitar 5-10 kg/koloni/tahun. Penyebab utama rendahnya produksi madu adalah kurang memadainya ketersediaan pakan dan rendahnya tingkat penguasaan teknologi budidaya lebah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi madu secara efisien adalah dengan mengintegrasikan lebah madu dengan tanaman kopi penghasil nektar. Selain diharapkan dapat meningkatkan produksi madu, sistem integrasi juga mampu meningkatkan produktivitas kopi melebihi produksi saat ini 0.970 ton/ha. Hubungan timbal balik dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus melestarikan lebah madu asli Indonesia. Informasi tentang sistem integrasi kebun kopi dan lebah madu (sinkolema) masih terbatas sehingga diperlukan suatu kajian mengenai budidaya lebah madu termasuk, daya dukung, produktivitas lebah dan kebun kopi, karakteristik morfometri dan tingkat keberlanjutannya. Data yang diperoleh digunakan untuk menerapkan sinkolema berbasis kawasan yang berorientasi pada peningkatan pendapatan petani. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan pola integrasi lebah madu dengan kebun kopi (Sinkolema) dengan memanfaatkan potensi dan sumberdaya lokal yang tersedia untuk peningkatan produktivitas koloni lebah madu dan ekonomi peternak lebah. Diharapkan pola ini memiliki tingkat keberlanjutan yang mampu memberdayakan petani kopi/peternak lebah dalam membudidayakan lebah madu yang efisien dalam suatu kawasan. Kawasan peternakan sinkolema diartikan sebagai kawasan kebun kopi yang dimanfaatkan untuk budidaya lebah madu dengan tujuan meningkatkan produktivitas lebah dan kopi yang dibudidayakan secara optimal. Konsep agribisnis, pada kawasan peternakan lebah berorientasi pada peningkatan ekonomi petani kopi/peternak lebah dan memiliki sistem berkelanjutan untuk mendukung kegiatan industri baik hulu maupun industri hilir. Berdasarkan konsep tersebut, komponen sinkolema meliputi pembentukan, penataan dan pengembangan kelembagaan. Pendekatan ini dirapkan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak sekaligus membantu pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan yang merupakan salah satu aspek penting dari delapan aspek yang tercantum dalam Millenium Development Goals. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata produksi nektar kebun kopi sebesar 36286.08 ml/ha/hari mampu menyediakan pakan untuk 250 koloni lebah. Kenyataannya, keberadaan serangga lain pengisap nektar, cuaca buruk
menyebabkan bunga kopi menurun, oleh karena itu penentuan jumlah koloni didasarkan pada produksi nektar terendah yaitu sekitar 9.49 liter/ha/hari. Hasil ini mengindikasikan bahwa untuk tetap menghasilkan madu kopi pada saat produksi nektar kopi menurun, koloni lebah yang dibudidayakan per satu hektar kebun kopi adalah 66 stup. Jadi sejumlah 30 pohon kopi dapat ditempatkan satu koloni lebah. Produksi nektar kopi berpengaruh terhadap populasi ditandai dengan meningkatnya jumlah lebah di areal sinkolema mencapai 18000 ekor/koloni dibandingkan dengan populasi lebah di areal non sinkolema yang mengalami penurunan menjadi sekitar 9000 ekor per koloni. Hal ini berpengaruh terhadap peroduksi madu di masing-masing pola, produksi madu sinkolema mencapai 3.34 kg/koloni, sedangkan non sinkolema hanya 1.56 kg/koloni/tahun. Hasil ini membuktikan bahwa melalui penerapan sistem integrasi, produktivitas lebah madu meningkat sekitar 114%. Berdasarkan tata letak, cara penempatan koloni lebah (terpusat atau tersebar) mempengaruhi produksi madu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi madu yang ditempatkan secara menyebar (4.08 kg/koloni/tahun) lebih tinggi dari koloni lebah yang ditempatkan terpusat (2.60 kg/koloni/tahun). Hal ini terjadi akibat terjadinya kompetisi (intraspesific competition) terhadap pakan yang tersedia di dekat sarang. Berdasarkan tingkah, laku lebah akan mencari pakan yang paling dekat dengan stupnya. Ternak lebah yang dikembangkan dengan sinkolema adalah lebah yang sudah beradaptasi dengan baik dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia pada kawasan sehingga mampu menghasilkan produk yang tinggi. Oleh karena itu, sinkolema dapat dijadikan usaha utama bagi anggota kelompok tani tergambar dari peningkatan pendapat petani sekitar 30%. Komponen kawasan sinkolema meliputi perkebunan kopi sebagai basis ekologi dan lingkungan pendukung pakan lebah dengan rata-rata produksi nektar paling rendah 9.49 ml/hari/ha dapat dioptimalkan pemanfaatannya untuk mendukung pengembangan industri perlebahan dan kebun kopi. Pada penerapan dan pengelolaan sinkolema, aspek yang perlu diperhatikan adalah pembungaan kopi yang tidak terjadi sepanjang tahun terutama bulan Meret, April, September dan Oktober pada saat kopi tidak menghasilkan nektar. Kondisi ini berhubungan langsung dengan ketersediaan nektar pakan lebah. Sumber tanaman lain yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan nektar adalah tanaman pelindung seperti kaliandra yang mampu berbunga sepanjang tahun. Disamping itu sumber nektar dapat diperoleh dari tanaman lain seperti sayuran yang waktu tanamnya diatur sehingga berbunga tepat pada saat kopi berhenti berbunga. Hal ini dilakukan untuk menjaga ketersediaan pakan lebah secara kontinyu, sehingga tidak terjadi penurunan populasi lebah. Sistem integrasi lebah dan kebun kopi meningkatkan efisiensi teknis dan ekonomi. Ditinjau dari aspek
keberlanjutan, sinkolema merupakan model yang mampu meningkatkan pendapatan petani secara berkelanjutan (nilai indeks 76.00). Berdasarkan hasil analisis SWOT yang berada pada kuadran agresif dan indek keberlanjutan yang sangat tinggi, sinkolema dapat diimplementasikan oleh petani kopi/peternak lebah. Beberapa komponen penentu model sinkolema adalah: (a) lebah yang dikembangkan adalah lebah lokal Indonesia A. cerana; (b) sistem pemeliharaan lebah secara tidak digembalakan (non-migratory) dengan pakan disediakan secara alami oleh kopi dan tanaman lain pada saat kopi tidak berbunga; (c) teknologi yang diterapkan pada tahap budidaya adalah teknologi terapan yang sederhana sehingga mudah diadopsi petani peternak dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang tersedia; (d) kelembagaan Kelompok Usaha Produktif (KUP) perlu diaktifkan sebagai sarana pembinaan dan peningkatan keterampilan peternak lebah; dan (e) pengembangan pasar madu dan kopi. Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa sistem integrasi kebun kopi dan lebah madu (sinkolema) di Kabupaten Kepahiang, Propinsi Bengkulu secara nyata dapat meningkatkan produktivitas lebah madu dan tanaman kopi dengan mempertimbangkan faktor-faktor teknologi dan manajemen sumberdaya yang tersedia secara efektif. Peningkatan efisiensi usaha yang terjadi mampu meningkatkan pendapatan petani peternak sebesar 30%, dan mendukung pengembangan ekonomi regional. Kata-kata Kunci: madu, kopi, integrasi, produksi, keberlanjutan
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, Penelitian, Penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritikan atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
PRODUKTIVITAS LEBAH MADU (Apis cerana) PADA PENERAPAN SISTEM INTEGRASI DENGAN KEBUN KOPI
RUSTAMA SAEPUDIN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi/Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi Pembimbing Penguji Luar Komisi Pembimbing Ujian Tertutup (16 Juni 2011) 1. Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA, 2. Dr. Rika Raffiudin
Penguji Luar Komisi Pembimbing Ujian Terbuka (26 September 2011) 1. Dr. Drs. Sih Kahono, BSc. MSc. 2. Dr. Ir. Asep Saefuddin, MSc.
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Disertasi
: Produktivitas Lebah Madu (Apis cerana) pada Penerapan Sistem Integrasi dengan Kebun Kopi
Nama
: Rustama Saepudin
NRP
: D161080011
Program Studi/Mayor
: Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc Anggota
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr Anggota
Dr. Ir. Soesilowati Hadisoesilo, MSc Anggota Diketahui
Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
Tanggal Ujian : 16 Juni 2011
Lulus Tanggal
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga disertasi dengan judul “Produktivitas Lebah Madu (Apis cerana) Pada Penerapan Sistem Integrasi Dengan Kebun Kopi” dapat disusun dan diselesaikan pada waktunya. memperoleh gelar
Penyusunan disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk doktor pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor ini. Dalam proses penelitian dan penyusunan disertasi ini
banyak para pihak yang memberi
kontribusi dan bantuan baik moril maupun spiritual, oleh karena pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan pada : 1. Komisi pembimbing Ibu Dr.Ir. Asnath Maria Fuah, MSc, Bapak Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc. Bapak Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Agr.Sc Ibu Dr. Ir. Soesilowati Hadisoesilo, MSc. yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran dan perhatian dalam menyelesaikan penelitian ini 2. Bapak. Dr. Ir. Dahrul Syah MSc.Agr, Dekan Pasca Sarjana IPB, Ibu Dr. Ir. Rarah Ratih Adji Maheswari DEA,
selaku Koordinator Mayor
Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, serta para dosen beserta staf di lingkungan Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan dan sekolah Pasca Sarjana IPB atas ilmu, arahan, bantuan dan semua masukan yang diberikan guna menyusun disertasi ini 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA, Ibu Dr. Rika Raffiudin, Bapak Dr. Drs. Sih Kahono, BSc. MSc. Bapak Dr. Ir. Asep Saefuddin, MSc. sebagai penguji pada Ujian tertutup dan terbuka atas perbaikan dan sarannya. 4. Pimpinan Fakultas Pertanian, Rektor Universitas Negeri Bengkulu (UNIB) dan Direktorat Jenderal Pendidikan Nasional yang telah memberi kesempatan dan bantuan beasiswa melalui Program BPPS. 5. Pemda Kabupaten Kepahiang beserta jajarannya,
Kepala Desa Sido
Makmur dan Ketua beserta Angota KUP Cahaya Madu atas izin yang diberikan dan bantuannya sehingga penelitian dilaksanakan tanpa hambatan.
6. Tidak lupa ucapan terma kasih kepada Asian Development Bank (ADB), yang telah membantu penilisan melalui Proyek Sustainability Capacity Building For Development (SCBD). 7. Ucapan terima kasih disampaikan kepada kedua orang tua Bapak M. Encang (Alm) dan Ibunda Enok Rokayah, serta Bapak Patria Misradrajaya beserta Ibu Nuraini atas doa, dorongan dan bantuannya sehingga tulisan ini bisa diselesaikan dengan baik. 8. Ucapan terima kasih disampaikan kepada istriku tercinta Helen Rosalina dan kepada anak-anaku Nabilah Ghinanti Suci dan Sophina Syafa Salsabila atas kesabaran, dorongan, do’a dan kasih sayang yang mereka curahkan. 9. Rekan rekan seperjuangan, terutama mahasiswa pasca angkatan 2008, terima kasih atas bantuan kekompakan dan kerjasamanya. Dalam penyusunan disertasi ini, pasti ada kekurangan dan kehilafan yang dibuat secara sengaja maupun tidak sengaja terhadap semua pihak, permohonan maaf yang bisa saya haturkan.
Segala kritik dan saran yang sifatnya
membangunan demi penyempurnaan tulisan ini sangat dihargai.
Diharapkan
karya ini dapat memberi sumbangan ke berbagai pihak dalam rangka pengembangan teknologi perlebahan di Indonesia.
Bogor, November 2011
Rustama Saepudin
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bandung pada tanggal 04 Me1 1960 anak kelima dari pasangan Bapak M. Encang Sobandi (Alm) dan Ibu Enok Rokayah, telah dikaruniai dua orang putri, Nabilah Ghinanti Suci dan Sophina Safa Salsabila dari hasil pernikahan dengan istri tercinta Helen Rosalina. Pada saat ini, penulis bertugas sebagai pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Negeri Bengkulu di Bengkulu. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri Padasuka II Bandung pada tahun 1973, melanjutkan ke SMP Negeri XII Bandung dan lulus pada tahun 1976. Pada Tahun 1980 penulis lulus dari SMA Negri II Bandung, selanjutnya melalui Program Perintis II diterima di Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1984 dari Fakultas Peternakan.
Penulis menyelesaikan diploma di The Economic
Institute, Boulder Collorado 1992, USA dan melanjutkan studi Strata II di Texas Tech University Texas USA jurusan Natural Resources Management berhasil memperoleh Master of Science (MSc) pada tahun 1995. Kesempatan untuk melanjutkan program doktor pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan IPB Bogor diperoleh pada tahun 2008 melalui program beasiswa BPS Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi,
Departemen
Pendidikan Nasional. Pelatihan tambahan yang diikuti penulis adalah Pendidikan Orang
Dewasa yang diselenggarakan Lembaga Administrasi Negara (LAN)
Jakarta dan lulus pada tahun 2010. Jabatan struktural yang diemban penulis adalah sebagai Dekan Fakultas Pertanian dan Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat di Universitas Ratu Samban Bengkulu. Selain itu penulis pernah menjadi staf ahli Bappeda Kabupaten Mentawai, Sumatra Barat dan aktif membantu pembangunan di wilayah Provinsi Bengkulu.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xxiii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... xxv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................... xxvii 1 PENDAHULUAN ......................................................................................... Latar Belakang ............................................................................................................ 1 Tujuan dan Kegunaan Penelitian................................................................................. 4 Kerangka Pemikiran .................................................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................... 9 Asal usul dan Klasifikasi Lebah Madu ....................................................................... 9 Karakteristik Biologi dan Morfometrik Lebah Madu ................................................. 12 Budidaya Lebah Madu ................................................................................................ 15 Pakan Lebah Madu ........................................................................................... 15 Produk Lebah Madu ......................................................................................... 21 Potensi Ekonomi ......................................................................................................... 26 Pola Integras dan Daya Dukung Tanaman Perkebunan............................................... 28 Pembangunan Berkelanjutan ...................................................................................... 30 METODE PENELITIAN ................................................................................................ 33 Waktu dan Tempat ..................................................................................................... 33 Tahapan Penelitian ...................................................................................................... 34 Identifikasi Daya Dukung........................................................................................... 34 Bahan dan Alat ................................................................................................... 34 Parameter yang Didata dan Metode Pengukuran .............................................. 35 Implementasi dan Perumusan Model Sinkolema........................................................ 37 Metode .............................................................................................................. 38 Prosedur ............................................................................................................ 38 Parameter yang Diukur...................................................................................... 39 Analisis Data ..................................................................................................... 39 Rumusan Sinkolema ......................................................................................... 39 Analisis Keberlanjutan Sinkolema .............................................................................. 40 Metode .............................................................................................................. 41 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................................ 43 Profil Wilayah Kabupaten Kepahiang Untuk Peternakan Lebah Madu 43 Potensi Wilayah dan Sumberdaya Pakan Lebah ............................................... 43 Karakteristik Petani ........................................................................................... 46 Potensi Peternakan dan Karakteristik Morfometrik Lebah ............................... 46 Daya Dukung Kebun Kopi, Produktsi Madu dan Kopi .............................................. 48 Karakteristik Pembungaan (flowering characteristic) Kopi ............................. 48 Produksi Nektar, Daya Dukung Kebun Kopi dan Populasi Lebah 50 Hasil Implementasi Sinkolema .................................................................................. 54 Daya dukung Kebun Kopi ................................................................................ 54 Produksi Madu dan Kopi ................................................................................... 54 Pengaruh Tata Letak Kotak Lebah Terhadap Produksi Madu .......................... 58 xxi
xxii
Produksi Nektar, Populasi dan Produksi Madu................................................. 60 Penyusunan Strategi Penerapan Sinkolema ....................................................... 62 Analisis Keberlanjutan ............................................................................................. 72 Dimensi Budidaya/Teknologi............................................................................. 77 Dimensi Lingkungan ........................................................................................ 79 Dimensi Ekonomi .............................................................................................. 81 Dimensi Hukum dan Kelembagaan dan Dimensi Sosial Budaya...................... 83 Pembahasan Umum ................................................................................................... 87 KESIMPULAN ................................................................................................................ 93 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 95 LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Halaman 1. Daftar tanaman sumber pakan lebah ............................................................. 17 2. Komposisi nutrisi madu ............................................................................... 23 3. Komposisi nutrisi dalam royal jelly .............................................................. 24 4. Luas wilayah berdasarkan kedalaman efektif tanah ..................................... 44 5. Sistem penggunaan lahan pertanian Kabupaten Kepahiang ........................ 45 6. Produksi nektar kopi di Kabupaten Kepahiang ............................................ 51 7. Produksi madu yang dibudidayakan dengan dan tanpa sinkolema
55
8. Produksi kopi pada sistem sinkolema dan non sinkolema ............................ 58 9. Produksi madu berdasarkan tata letak stup.................................................... 59 10. Produksi nektar, populasi, produksi madu dan konversi nektar-madu pada61saat kopi berbunga per hektar........................................................................ 11. Kadar air, pH dan orgonoleptik madu kopi, karet, randu dan rambutan.....62 12. Matrik Evaluasi ............................................................................................ 67 13. Indek keberlanjutan budidaya lebah sebelum dan sesudah sinkolema. ... 73 14. Nilai stress dan nilai determinan (R2) awal kegiatan .................................... 75 15. Nilai stress dan nilai determinan (R2) akhir kegiatan .................................. 75 16. Faktor pengungkit (key factors) sebelum penerapan sinkolema ................... 76 17. Faktor pengungkit (key factors) setelah penerapan sinkolema ..................... 76 83 18. Tambahan penghasilan petani bila menerapkan sinkolema ..........................
xxiii
xxiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Model pendekatan sinkolema ........................................................................
6
2. Diagram alir penelitian .............. .....................................................................
6
3. Sketsa penempatan kotak lebah dan kondisi lokasi penelitian Sinkolema.........................................................................................................
33
4. Diagram layang-layang keberlanjutan sinkolema ...........................................
42
5. Garafik karakteristik pembungaan kopi (Coffee xxvrabica linn) .......................... 49 6. Proses pembungaan dan produksi bunga kopi di kepahiang tahun 2010 .......
49
7. Grafik rata-rata produksi nektar kopi pada tahun 2010 ...............................
52
8. Grafik perkembangan populasi lebah ...........................................................
53
9. Grafik produksi madu yang di pelihara dengan sinkolema dan non sinkolema ........................................................................................................
57
10. Contoh produksi kopi di lokasi penelitian ......................................................
57
11. Grafik perkembangan produksi madu berdasarkan tata letak.........................
60
12. Kuadran analisa swot sinkolema ....................................................................
69
13. Diagram layang layang (a) sebelum dan (b) setelah diterapkan sinkolema ..
74
14. Analisis laverage dimensi teknologi sebelum sinkolema ..............................
78
15. Analisis laverage dimensi teknologi setelah sinkolema .................................
78
16. Analisis laverage dimensi ekologi sebelum sinkolema ..................................
80
17. Analisis laverage dimensi ekologi setelah sinkolema ....................................
80
18. Analisis laverage dimensi ekonomi sebelum sinkolema ................................
82
19. Analisis laverage dimensi ekonomi setelah sinkolema .................................
82
20. Analisis laverage dimensi hukum dan kelembagaan sebelum sinkolema .....
85
21. Analisis laverage dimensi hukum dan kelembagaan setelah sinkolema .......
85
22. Analisis laverage dimensi sosial budaya sebelum sinkolema .......................
86
23. Analisis laverage dimensi sosial budaya setelah sinkolema ..........................
87
24. Sketsa model integrsi lebah madu dan kebun kopi .........................................
92
xxv
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Diagram tahapan penelitian .................................................................................. 103 2. Peta penggunaan lahan Kabupaten Kepahiang ..................................................... 104 3. Tabel luas wilayah berdasarkan kedalaman efektif tanah. ................................... 105 4. Tabel penggunaan lahan di Kabupaten Kepahiang .............................................. 105 5. Tabel penggunaan lahan pertanian Kabupaten Kepahiang .................................. 106 6. Tabel karakteristik pembungaan kopi (Coffee arabica LINN) .............................. 106 7. Tabel jumlah tangkai dan kuntum bunga per pohon ........................................... 107 8. Tabel jumlah bunga per pohon .............................................................................. 107 9. Tabel produksi nektar kopi per pohon dalam satu tahun saat berbunga .... 108 10. Tabel koefisien korelasi antara fungsi diskriminan dan masing-masing
108
variabel ...................................................................................................... 11. Tabel produksi madu yang di pelihara dengan dan tanpa integrasi ...................... 109 12. Tabel pengaruh tata letak koloni terhadap produksi madu ................................... 110 13. Anova populasi lebah di daerah dan diluar sinkolema ........................................ 111 14. Anova populasi lebah berdasarkan tata letak di dalam sinkolema .................... 112 15. Anova produksi madu di daerah dan diluar sinkolema ....................................... 113 16. Anova produksi madu berdasarkan tata letak di dalam sinkolema ................... 114 17. Tabel nilai skore atribut sinkolema hasil akuisisi pendapat dan FGD
115
(Focus Group Discussion) ............................................................................. 18. Indeks status sebelum sinkolema ...................................................... ................ 120 19. Faktor pengungkit sebelum sinkolema ........................................ ........................ 120 20. Indeks status setelah sinkolema ........................................................................... 121 21. Faktor pengungkit setelah sinkolema ................................................................... 121 22. Pembobotan faktor SWOT faktor internal ........................................................... 122 23. Pembobotan faktor eksternal ........................... .................................................... 124 24. Nilai Bobot Faktor Eksternal dan Internal (lanjutan) ........................................... 126 25. Rumusan strategi Sinkolema ............................................................................... 127 26. Analisis Keberlanjutan Teknologi Sebelum Sinkolema ....................................... 129 27. Analisis Keberlanjutan Teknologi Setelah Sinkolema ...... ................................... 129 28. Analisis Keberlanjutan Ekologi Sebelum Sinkolema .... ...................................... 130
xxvii
xxviii
29. Analisis Keberlanjutan Ekologi Setelah Sinkolema ..... ....................................... 130 30. Analisis Keberlanjutan Ekonomi Sebelum Sinkolema ......................................... 131 31. Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Sesudah Sinkolema .......................... 131 32. Analisis Keberlanjutan Hukum dan Kelembagaan Sebelum Sinkolema .............. 132 33. Analisis Keberlanjutan Hukum dan Kelembagaan Setelah Sinkolema ............... 132 34. Analisis Keberlanjutan Sosial Budaya sebelum Sinkolema ................................. 133 35. Analisis Keberlanjutan Sosial Budaya Setelah Sinkolema .................................. 133 36. Cara pengukuran panjang (FL) dan lebar (Fb) sayap depan (Ruttner,
134
1978)............................................................................................................... 37. Cara pengukuran panjang dan lebar (B) abdomen pada Tergite 4 (A)................. 135 38. Cara pengukuran panjang proboscis (Ruttner, 1978)........................................... 136
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Budidaya lebah madu merupakan salah satu alternatif usaha peternakan yang dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen terhadap produk madu secara nasional. Beberapa keuntungan beternak lebah madu adalah tidak memerlukan lahan yang luas, dapat membantu program kelestarian lingkungan dan dapat meningkatkan perekonomian petani melalui penambahan penghasilan dari penjualan madu.
Hal ini sejalan dengan keunggulan ternak lebah madu
mudah dibudidayakan oleh masyarakat, memiliki nilai (value) sosial yang tinggi, adaptif terhadap lingkungan di Indonesia dan memiliki peluang ekonomi yang tinggi. Disamping itu, peternakan lebah madu tidak memerlukan biaya yang mahal dalam penyediaan pakannya (zero feed cost), penghasil karbohidrat berkualitas tinggi, dan bertindak sebagai polinator yang baik. Perannya dalam kelestarian lingkungan, Porrini et al. (2003) yang melakukan penelitian selama dua puluh tahun menyimpulkan bahwa lebah madu berfungsi sebagai bioindicator terhadap tingkat pencemaran lingkungan terutama pada kawasan pertanian intensif.
Selaras dengan keunggulan-keunggulannya,
informasi khasiat dan
peranan madu sebagai sumber nutrisi yang berkualitas ditemukan pada hampir semua kitab suci. Permintaan terhadap madu di Indonesia masih belum terpenuhi dari produk lokal, terbukti dengan beredarnya di pasaran madu yang berasal Thailand dan Cina. Faktor utama penyebab belum terpenuhinya kebutuhan madu dalam negeri adalah produktivitas lebah masih rendah sebagai akibat dari belum ada upaya dan teknologi untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara efisien dan belum banyak campur tangan pemerintah terutama pemda dalam mengeluarkan kebijakan atau aturan mengenai pengembangan perlebahan. Walaupun sudah ada program dan upaya budidaya lebah madu sudah dilakukan oleh peternak dalam binaan Dinas Kehutanan, namun masih kurang efektif. Salah
satu
upaya
mengatasi
rendahnya
produksi
madu
adalah
memanfaatkan sumberdaya vegetasi sebagai sumber pakan lebah yang berlimpah melalui suatu sistem/pola budidaya yang dilakukan secara terintegrasi dengan memanfaatkan potensi yang ada. Berdasarkan potensi sumberdaya alam seperti
2
keanekaragaman vegetasi yang tinggi maupun sumberdaya manusianya, Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman tumbuhan tinggi yang merupakan potensi sangat besar untuk pengembangan lebah madu. Salah satu contoh potensi yang tersedia adalah areal perkebunan kopi yang mencapai 1.73 juta ha (Departemen Pertanian 2005). Tanaman kopi dan tanaman pelindungnya seperti kaliandra mampu mengasilkan nektar dan tepungsari (pollen) yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan sepanjang tahun (Macqueen 1992). Peningkatan efisiensi usaha dan produktivitas lebah madu dapat dilakukan melalui implementasi sistem integrasi antara dua atau lebih sumber komoditas yang berpotensi dikembangkan. Efisiensi mengembangan semua karakter produksi baik dari aspek teknologi, biologi maupun ekonomi berkontribusi secara terpadu dalam suatu sistem dan memberikan nilai tambah bagi peternak lebah. Secara definisi, sistem adalah sekelompok komponen dalam satu wilayah yang saling mendukung, berinteraksi satu sama lainnya untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Dillon et al. 1978).
Sistem integrasi kebun kopi dan lebah madu (sinkolema) didasarkan
pada hubungan saling menguntungkan antara vegetasi penghasil nektar dengan lebah sebagai polinator tanaman kopi. Disamping untuk meningkatkan produktivitas lebah dalam menghasikan madu juga dapat meningkatkan produksi biji kopi. Produksi madu kopi yang beraroma khas diharapkan dapat menjadi salah satu produk khas dan produk andalan Indonesia. Pada umumnya perkebunan kopi tersebar secara merata di Indonesia dengan kepemilikan secara perorangan oleh masyarakat petani. Besarnya potensi perkebunan kopi, sehingga pada tahun 2009 Indonesia termasuk negara ke empat terbesar dunia penghasil kopi dengan produksi sebesar 700000 ton setelah Brazil yang mampu menghasilkan kopi 2249060 ton, Viet Nam 1251000 ton dan Columbia 887661 ton (FAO 2011). Sebagian besar wilayah Sumatera termasuk Propinsi Bengkulu, berkebun kopi menjadi mata pencaharian utama masyarakat. Tingginya minat masyarakat dalam mengelola perkebunan kopi didukung oleh harga kopi yang semakin tinggi berkaitan dengan permintaan dunia terhadap kopi terus meningkat, terutama setelah produksi kopi di negara-negara Amerika Latin mengalami penurunan.
3
Sinkolema didesain dengan tujuan untuk menghasilkan madu kopi murni yang diharapkan menjadi penghasilan utama petani kopi/peternak lebah di Indonesia. Oleh karena sinkolema memiliki karakterstik sebagai berikut: (a) Lebah yang dibudidayakan adalah lebah lokal (Apis cerana) dengan sistem tanpa digembalakan (non-migratory), (b) koloni lebah ditempatkan di areal kebun kopi, (c) pakan utama lebah adalah nektar bunga kopi dan pada saat kopi sedang tidak berbunga kebutuhan pakan lebah dipenuhi oleh tanaman lain seperti kaliandra, kacang-kacangan dan tanaman lain yang menghasilkan nektar, (d) dikembangkan dalam kelompok sehingga diperlukan kelembagaan yang kuat, dan (e) produk utama adalah madu dan kopi organik. Konsep integrasi merupakan salah satu pola usaha tani yang efisien, produktif dan memiliki tingkat keberlanjutan yang menguntungkan petani peternak. Blesmeijer dan Slaa (2006) dan Byrne dan Fitzpatrick (2009) melaporkan bahwa penerapan integrasi dapat meningkakan produktivitas pertanian. Kepahiang sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Bengkulu yang terletak di Pulau Sumatra, memiliki luas kebun kopi mencapai 29 ribu ha (sekitar 83 % dari 35 ribu ha areal perkebunan) (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kepahiang 2009).
Namun, petani kopi dihadapkan pada beberapa kendala-
kendala, antara lain pendapatan yang tidak kontinyu karena produksi kopi bersifat musiman, produktivitas kopi relatif rendah (0.97 ton/ha) dibandingkan dengan produksi optimal sebesar 1.54 ton/ha dan faktor teknis yang berhubungan dengan kapasitas SDM. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahiang telah melaksanakan kegiatan-kegiatan pembinaan, pelatihan, pemberian bantuan bibit dan saprodi lainnya untuk peningkatan produksi kopi, tetapi hasil yang diperoleh masih belum memadai karena belum ada upaya dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas tanaman kopi. Demikian pula dengan peternakan lebah, di Kabupaten Kepahiang masih dihadapkan pada permasalahan produksi dan kualitas madu yang rendah terkait dengan teknik budidaya dan pemanenan yang kurang tepat. Produktivitas lebah madu di daerah Kepahiang berkisar antara 1-3 kg madu per koloni per tahun lebih rendah dari produksi optimal sekitar 5-10 kg/koloni/tahun (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahiang 2009)
4
Ketersedian pakan yang belum memadai, penguasaan teknologi budidaya dan panen yang rendah, dan kelembagaan yang belum berfungsi dengan baik merupakan faktor penentu dalam usaha peningkatan produksi madu masyarakat. Integrasi usaha peternakan lebah dengan tanaman kopi merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah yang dihadapi peternak lebah dan petani kopi dalam meningkatkan produksi madu dan kopi. Banyak keuntungan yang dapat diperoleh petani kopi dari sistem integrasi kopi lebah madu (sinkolema), namun ada beberapa
pertanyaan yang perlu
dijawab meliputi: (1) Jumlah koloni lebah yang dapat dibudidayakan pada areal kebun kopi, (2) Cara mengatasi kekurangan pakan pada saat kopi sedang tidak berbunga, (3) Besarnya perubahan produktivitas lebah yang dibudidayakan pada kebun kopi, (4) Model yang tepat dalam penerapan integrasi dan lebah yang berkelanjutan. Kajian dan analisis komprehensif terhadap sistem yang ada perlu dilakukan, sehingga dapat dirumuskan sistem/pola integrasi lebah madu dengan kebun kopi yang dapat diaplikasikan pada perkebunan dengan petani yang memiliki lahan yang sempit (smalholder farmers) dan kemampuan mengadopsi teknologi yang sangat terbatas.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan sistem integrasi lebah madu dengan kebun kopi (sinkolema) berbasis potensi sumberdaya lokal di Kabupaten Kepahiang untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan peternak lebah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternalif usaha bagi petani kopi untuk meningkatkan efisiensi usaha dan pendapatan melalui pengembangan budidaya lebah madu di areal kebun kopi.
Bagi pemerintah
daerah, dapat digunakan sebagai dasar penentuan kebijakan dalam penyusunan program pembangunan pertanian/peternakan. Kerangka Pemikiran Petani kopi dan peternak lebah di Bengkulu menghadapi kendala rendahnya produksi kopi dan madu yang diusahakan selama ini.
Data
5
menunjukan bahwa produktivitas kopi pada tahun 2008 sebesar 0.97 ton/ha (hanya 60% dari produksi optimal). Demikian pula dengan produktivitas lebah madu, hasil identifikasi awal menunjukkan bahwa produksi madu hanya berkisar antara 1-3 kg/koloni/tahun, lebih rendah dari produksi ideal 5-10 kg/koloni/tahun). Ketersediaan pakan merupakan penyebab utama rendahnya produksi madu dan hijrahnya koloni lebah, sementara keterampilan peternak dalam hal pemanenan menjadi penyebab rendahnya kualitas madu yang dihasilkan. Sebagian besar peternak belum pernah dibekali ketrampilan budidaya lebah madu melalui kegiatan pelatihan yang relevan.
Selama ini budidaya
lebah dilakukan di
halaman rumah dengan sumber pakan yang sangat terbatas dan pengetahuan yang kurang memadai. Lebah yang dibudidayakan adalah spesies A. cerana yang kurang ekonomis bila dibudidayakan secara digembalakan (non-migratory) karena karakter A. cerana agresif dan mudah hijrah. Alasan utama mengembangkan A. cerana karena jenis ini termasuk lebah asli Indonesia yang dapat menghasilkan madu organik dan tergolong jenis lebah yang sangat produktif menghasilkan madu walaupun produksinya tidak seproduktif A. mellifera. Pengembangan kawasan memerlukan suatu konsep dan perencanaan yang tepat terutama berkaitan dengan potensi produksi, rencana pengembangan, teknologi budidaya dan prosesing yang digunakan termasuk SDM pengelola dan analisis positif terhadap berbagai kendala dalam upaya implementasi dan pemasaran hasil. Faktor-faktor penentu keberhasilan usaha lebah madu dan kebun kopi di Kabupaten Kepahiang meliputi keterampilan petani, manajemen pengelolaan dan teknologi yang diperlukan dalam budidaya lebah, pemanenan serta penanganan hasil sehingga madu yang dihasilkan mendapat pasar yang luas. Integrasi lebah madu dan kebun kopi merupakan salah satu konsep yang mampu meningkatkan kapasitas yang ada, melalui suatu proses biologi yang mutualistis antara kopi dan lebah melalui penyerbukan kopi oleh lebah untuk meningkatkan produksi kopi dan kopi sebagai penyedia nektar dan polen untuk meningkatkan produksi madu. Budidaya lebah madu dan kebun kopi secara terpadu akan meningkatkan efisiensi usaha dan nilai tambah produk disamping menjaga kelestarian lingkungan. Pemanfaatan sumberdaya yang tersedia pada
6
kawasan perkebunan secara optimum, akan mampu menurunkan biaya produksi dan pada gilirannya meningkatkan pendapatkan petani (Gambar 1).
Tanaman kopi
1. Nektar 2. Polen
Tanaman Kaliandra SIKLUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL
TERNAK LEBAH
PENYERBUKAN
EFISIENSI USAHATANI DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI
Gambar 1. Model pendekatan sinkolema. Metode dan pendekatan yang dilakukan adalah melalui beberapa tahapan berbasis input, proses dan luaran sebagaimana yang disajikan pada Gambar 2.
Komponen sistem
Pengelolaan Budidaya
SDM Kelembagaan Lebah
Produksi Nektar
Analisis Keberlanjutan
Teknologi
Kalender bunga Exixsting Condition
Daya Dukung
Kapasitas Tampung
Sinkolema
Produksi madu
Produk
Produksi kopi
Kopi Perekonomian Peternak/petani
Gambar 2. Diagram alir penelitian.
7
Penelitian dilakukan untuk memperoleh data dan informasi tentang pola yang dilaksanakan saat ini, dan penerapan pola integrasi yang efektif bertujuan untuk meningkatkan produksi kopi dan madu. Data yang diperoleh dianalisis untuk menentukan suatu pola yang efisien, aplikatif dan menguntungkan. Disamping itu, komponen-komponen dari model/pola sinkolema yang ditentukan harus memiliki kapasitas penentu keberlanjutan usaha pada kawasan dimaksud, sehingga berdampak terhadap ekonomi wilayah.
8
9
TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Klasifikasi Lebah Madu Lebah madu adalah salah satu jenis serangga dari sekitar 20000 spesies lebah (Winston 1991). Genus lebah yang sudah umum dibudidayakan dan menghasilkan madu adalah genus Apis (Winston 1991). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Ruttner (1988) bahwa pada umumnya yang termasuk lebah madu (honeybee) adalah A. mellifera, A. cerana, A. dorsata dan A. florea. Pada saat ini lebah madu yang digolongkan stingless bee (Meliponinae) tidak termasuk genus Apis sudah dibudidayakan dengan tujuan utamanya adalah diambil jasanya sebagai polinator karena kemampuannya dalam melakukan penyerbukan. Sihombing (2005); Tingek et al. (1996); Winston (1991); Crane (1990); Gojmerac (1983) mengklasifikasikan lebah madu sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Class
: Insecta
Order
: Hymenoptera
Suborder
: Apocrita
Superfamily
: Apoidea
Family
: Apidae
Subfamily
: Apinae
Tribe
: Apini
Genus
: Apis
Species
: Apis cerana A. mellifera A. florea A. dorsata A. koschevnikovi A. andreniformis A. laboriosa A. nuluensis A. nigrocincta
10
Apis nigrocincta terdapat pada laporan penelitian Hadisoesilo dan Otis (1996), sedangkan A. nuluensis dilaporkan Tingek et al. (1996). Sama halnya dengan Ruttner (1988), Winston (1991) mengidentifikasi lima spesies lebah yang sudah dikenal sebagai penghasil madu, yaitu A. mellifera. A. cerana (Indian honey bee) A. dorsata, A. laboriosa (giant honey bees) dan A. florea (dwarf honey bee). Lebah di Indonesia dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu (1) spesies lebah yang sudah dibudidayakan dan (2) spesies lebah belum dibudidayakan. Spesies yang telah dibudidayakan adalah A. cerana dan A. mellifera (Sihombing 2005), A. nigrocincta (Hadisoesilo & Otis 1996), A. nuluensis (Tingek et al. 1996) dan A. koschevnikovi (Hadisoesilo et al. 2008) serta Trigona spp. (Slaa et al. 2006).
Lebah madu A. cerana dikatagorikan
sebagai lebah lokal yang komersial, sedangkan A. mellifera yang berasal dari Afrika (Winston 1991), dikatagorikan sebagai penghasil madu tertinggi lebah yang dibudidayakan. Secara umum A. cerana mempunyai ukuran kecil sekitar 1.10 cm untuk pekerja (worker), 1.30 cm untuk pejantan (drone) dan 1.50 cm untuk ratu (queen), memiliki sifat mudah hijrah dari sarang (absconding) bila terusik, dan lebih tahan terhadap hama atau predator. Selain itu, lebah ini mampu beradaptasi dengan daerah tropis serta lebih efisien dalam mengumpulkan nektar dari ribuan bunga tanaman yang bertebaran (Crane 1990). Sihombing (2005) menyatakan bahwa berdasarkan analisis morfometrik, lebah A. cerana dikelompokkan ke dalam empat subspesies, yaitu A. cerana cerana, A. cerana indica, A. cerana japonica, dan A. cerana himalaya. Subspesies A. cerana cerana tersebar di Cina, Afganistan, Pakistan, India bagian utara, dan Vietnam bagian utara.
Lebah A. cerana indica terdapat di India
Selatan, Indonesia, Filipina, Malaysia, Sri lanka, Banglades, Myanmar, dan Thailand. A. cerana japonica berkembang biak di Jepang, sedangkan A. cerana himalaya berkembangbiak di sekitar pegunungan Himalaya, Nepal. A. cerana indica yang dipelihara di dalam stup baik secara alami maupun buatan manusia digolongkan sebagai lebah lokal Indonesia. Di alam lebah ini membuat sarang dalam rongga-rongga pohon dan celah batu. Lebah madu species A. mellifera mempunyai ukuran tubuh sekitar 1.25 kali lebih panjang daripada A. cerana, yaitu sekitar 1.35, 1.65 dan 1.90 cm
11
masing-masing untuk pekerja, jantan dan ratu (Pusbahnas 2008). Ciri-ciri fisik lain adalah warna badan bervariasi dari coklat gelap sampai kuning kehitaman. Lebah ini memiliki sifat sabar dan selalu menjaga sarangnya agar tetap bersih (Pusbahnas 2008). Apis mellifera dibudidayakan di seluruh dunia termasuk Indonesia yang sudah dikenal sejak 1972, didatangkan dari Australia oleh Pusat Apiari Pramuka sebagai lebah unggul yang dapat beradaptasi dengan kondisi iklim tropis Indonesia dan mampu berprodukai tinggi yaitu sekitar 30–60 kg per koloni per tahun (Sihombing 2005). Spesies-spesies lebah madu yang belum dapat dibudidayakan diantaranya A. dorsata, A. laboriosa, A. andreniformis dan A. florea. Apis dorsata hanya berkembang di Asia seperti; India, Filipina, China dan Indonesia. Madu dari spesies ini dikenal sebagai madu alam atau madu hutan. Di Indonesia, spesies lebah madu tersebut hanya terdapat di pulau Jawa, Sumatera, gugusan Kepulauan Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Sihombing 2005).
Apis dorsata membangun sarang dengan sisiran
tunggal atau selembar bergantung dicabang pohon dan tebing batuan (Winston 1991). Produksi madu per tahun per koloni mencapai 15 - 25 kg (Sihombing 2005). Apis laboriosa paling mirip dengan A. dorsata yakni merupakan spesies lebah madu berukuran tubuh paling besar dibanding spesies lebah lainnya, sehingga sering disebut lebah paling besar dengan ukuran 17-19 mm dengan karakteristik warna gelap, bulu panjang, sangat agresif dan membuat sarang tunggal.
Rambut panjang A. laboriosa merupakan bentuk adaptasi dengan
habitatnya di pegunungan Himalaya (Winston 1991) Apis florea merupakan lebah paling tua (kuno), fosilnya ditemukan berumur sekitar 40 juta tahun, berukuran kecil yaitu sekitar tujuh milimeter bersarang tunggal dan jumlah koloni mencapai 5000 ekor pekerja (Winston 1991). Sihombing (2005) menyatakan bahwa A. florea atau sering disebut juga lebah kerdil (dwarf bee) berkembang dengan baik pada daerah dengan ketinggian 5001500 m dpl dan tersebar mulai dari Pesisir Teluk Persia, Pakistan, India, Sri Langka, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Di beberapa tempat lebah madu A. florea dapat hidup bersama-sama dengan A. mellifera, A. cerana dan A. dorsata dan menghasilkan madu hanya sekitar satu kilogram madu per koloni per tahun.
12
Karakteristik Biologi Lebah Madu Sebagaimana tubuh insekta pada umumnya tediri dari ruas-ruas dan ditumbuhi rambut. Gojmerac (1983) dan Sihombing (2005) menyatakan bahwa tubuh lebah madu terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu kepala (caput), dada (thorax) dan perut (abdomen). Bagian kepala berbentuk segitiga dan terdapat mata majemuk (compound eyes) dilengkapi dengan tiga mata tunggal (ocelli) yang berfungsi untuk menbedakan gelap dan terang, antenna yang merupakan alat sensor, otak, “mulut” dan kelenjar. Bagian dada lebah madu terdiri dari tiga ruas, dilengkapi tiga pasang kaki (tungkai) beruas dan berbulu halus serta dua pasang sayap. Pada tungkai belakang lebah pekerja terdapat bagian cekung yang disebut corbicula, berfungsi untuk mengikat dan mengumpulkan tepungsari dan propolis yang selanjutnya dibawa ke sarang (Ruttner 1988 dan Winston 1991). Pada stadium larva, lebah memiliki 10 segmen abdomen, namun pada stadium pupa segmen pertama pindah menjadi bagian thorax segmen ke empat yang dinamai propodeum. Pada lebah ratu dan pekerja enam segmen abdomen terlihat jelas sedang tiga segmen lagi tidak jelas batasnya sehingga kelihatan hanya satu segmen (Sihombing 2005). Lebah madu adalah insekta sosial yang hidup dalam suatu keluarga besar disebut koloni lebah. Koloni lebah yang terdiri dari satu ekor ratu (queen), 2400 ekor jantan (drones) (Gojmerac 1983) dan 12000 ekor pekerja (worker bees) (Winston 1991). Kecuali ratu, jumlah anggota dalam satu koloni lebah madu tergantung dari spesies, lingkungan terutama ketersediaan pakan dan temperatur. Pada umumnya koloni lebah madu memiliki pekerja dewasa 6000-7000 ekor Winston (1991).
Dalam kondisi populasi yang cukup padat, lebah mampu
melakukan pekerjaannya secara terencana dan teratur rapi, lebah pekerja mengerjakan seluruh tugas dalam sarang yaitu membuat sarang, membersihkan sarang, menjaga sarang, memberi makan larva juga lebah ratu, dan mengumpulkan nektar serta polen sebagai sumber pakannya (Pusbahnas 2008). Lebah ratu mempunyai tubuh yang lebih besar dengan berat 2.8 kali berat lebah pekerja. Setiap koloni lebah hanya ada satu lebah ratu, jika di dalam satu koloni ada dua lebah ratu maka akan terjadi pecah koloni atau kedua lebah ratu akan berkelahi sampai salah satu dari mereka terbunuh dan yang hidup
13
mendapatkan kedudukan sebagai lebah ratu. Lebah ratu bertugas memimpin dan menjaga keharmonisan lebah dalam satu koloni. Semua lebah dalam satu koloni sangat mentaati lebah ratu, kemanapun lebah ratu pergi, satu koloni lebah akan mengikutinya. Selain memimpin koloni lebah,
lebah ratu mempunyai
tanggungjawab untuk meneruskan kelangsungan hidup koloni lebah yaitu dengan cara bertelur sepanjang hidupnya. Lebah ratu sanggup bertelur 175000-200000 butir setiap tahunnya dan mampu melakukan perkawinan pada hari ke tiga sampai ke sebelas (paling sering hari ke enam sampai dengan ke sepuluh setelah menetas (emerge) (Winston 1992). Umur lebah ratu lebih panjang dibandingkan dengan lebah pekerja yakni mampu hidup hingga 3-5 tahun sedangkan lebah pekerja hanya hidup sekitar 40 hari (Gojmerac 1983; Winston 1991 dan Pusbahnas 2008). Menurut Sihombing (2005) rahasia
lebah
ratu
berumur lebih
karena
mengkonsumsi royal jelly sepanjang hidupnya, sedangkan lebah pekerja mengkonsumsi royal jelly hanya selama tiga sampai empat hari pada saat menjadi larva. Gojmerac (1983) melaporkan bahwa lebah jantan (drone) berukuran lebih besar daripada lebah pekerja dan bersifat tidak agresif. Ciri yang menonjol adalah matanya lebih besar dan memiliki jumlah faset yang lebih banyak dibandingkan mata lebah pekerja dan lebah ratu. Lebah jantan tidak mempunyai pipa penghisap madu dan kantong polen dikakinya karena tidak bertugas mengumpulkan polen atau nektar, tidak memiliki alat penyengat, tugas utamanya adalah hanya mengawini lebah ratu (Gojmerac 1983 dan Sihombing 2005).
Lebah jantan
mampu mengawini ratu sejak berumur 4-14 hari (tergantung cuaca) dengan terbang pertama dilakukan pada umumnya sore hari dan terbang untuk kawin pertama kali dilakukan pada hari ke 12 selama 30-60 menit (Gojmerac 1983). Selama hidupnya lebah jantan melakukan terbang mencapai 25 kali selama 21 hari dan bila terjadi perkawinan maka lebah jantan akan segera mati (Gojmerac 1983). Winston (1991) menyatakan bahwa dalam satu koloni lebah A. cerana terdapat 660 – 3960 lebah jantan dengan jumlah rata-rata 2400 ekor.
Lebah
pekerja (worker) memiliki ukuran yang sangat kecil dan pendek dibanding dua anggota koloni lainnya, berkelamin betina namun memiliki ovary sangat kecil dan tidak mampu menghasilkan telur. Pada kondisi tidak ada ratu lebah pekerja
14
mampu berperan sebagai pengganti ratu untuk menghasilkan telur, namun telur yang dihasilkan haploid sebagai calon lebah jantan (Gojmerac 1983).
Bentuk
tubuhnya ramping warnanya hitam kecoklatan dan ekornya mempunyai sengat yang lurus dan berduri untuk melindungi sarangnya dan menyerang siapapun yang mengganggu (Pusbahnas 2008).
Lebah pekerja mempunyai tanggung jawab
pekerjaan yang berbeda-beda sesuai dengan umur lebah pekerja tersebut. Sesaat setelah
keluar
dari
kepompong
lebah
pekerja
langsung
mempunyai
tanggungjawab untuk membersihkan sarang lebah dari kotoran-kotoran, ketika berumur 3-10 hari lebah pekerja menghasilkan royal jelly yang sangat dibutuhkan larva lebah dan lebah ratu (Pusbahnas 2008). Royal jelly merupakan hasil sekresi mandibular gland
dan hypopharyngeal gland yang masing-masing berwarna
putih dan bening.
Royal jelly dihasilkan lebah muda setelah lebah tersebut
mengkomsumsi madu dan bee pollen (Winston 1991). Lebah muda ini kemudian bertugas memberi makan larva dan lebah ratu. Setelah lebah pekerja berusia sekitar tiga minggu, tugas baru di luar sarangnya yaitu mencari nektar yang diolah menjadi madu dan tepungsari bunga yang diolah menjadi bee pollen (Pusbahnas 2008). Morfometrik diartikan sebagai data ukuran tubuh suatu spesies yang dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan pertumbuhan spesies tersebut walaupun tidak berlaku bagi serangga yang mengalami metamorfosa sempurna (Tilde et al. 2000). Pada ternak ruminansia dan monogastrik termasuk unggas, data ukuran tubuh digunakan untuk menentukan pertumbuhan dalam kegiatan tilik ternak. Oleh karena itu mengukur morfometrik sering dilakukan hanya pada ukuranukuran tubuh yang berkorelasi erat dengan produk ternak. Lain halnya dengan serangga lebah, morfometrik digunakan juga untuk menentukan subspesies. Kondisi morfometrik A. cerana tidak dipengaruhi sistem pemeliharaan. Tilde et al. (2000) yang meneliti kenanekaragaman A. cerana di Filipina dengan menggunakan 101 sampel, melibatkan 39 karateristik lebah.
Hasilnya
menunjukkan bahwa lebah A. cerana dari daerah Palawan tidak berbeda dengan yang ada di daerah bagian Filipina lainnya. Morfometrik A. cerana yang berasal dari pulau berbeda ada kemungkinan terdapat perbedaan, demikian pula perbedaan ketinggian tempat dapat menyebabkan terjadinya variasi ukuran tubuh
15
lebah. Secara morfometrrik A. cerana yang dipelihara pada satu pulau tidak menunjukan adanya perbedaan yang nyata ( Tilde et al. 2000 dan Hepburn et al. 2001).
Penelitian serupa dilakukan oleh Radloff et al. (2005), Damus dan Otis
(1970) menunjukkan hasil yang sama.
Budidaya Lebah Madu Pada sistem pemeliharaan ternak, umumnya budidaya menjadi aspek penting yang perlu mendapat perhatian. Salah satu faktor penentu adalah pakan yang harus tersedia secara berkesinambungan. Perkembangan koloni lebah dan produksi madu serta kelangsungan hidup anggota koloninya, sangat ditentukan oleh jenis dan ketersediaan pakan yang cukup dan terus menerus. Aspek ini akan menentukan produksi madu, produktivitas lebah dan kualitas produknya.
Pakan Lebah Madu Pakan lebah adalah nektar dan polen. Nektar berbentuk cairan manis yang dihasilkan oleh bunga tanaman pangan, tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, tanaman hortikultura (buah dan sayuran), tanaman hias, rumput dan semak belukar (Pusbahnas 2008). Gojmerac (1983) menyatakan bahwa nektar merupakan senyawa kompleks yang dihasilkan kelenjar nektar yang disebut nectaries. Produksi nektar pada satu hektar tanaman sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman, kandungan gula dan lamanya berbunga. Nektar terdapat pada bagian petal, sepal, stamen dan stigma.
Nektar mengandung 15-50% larutan gula
dengan konsentrasi bervariasi antara satu bunga tanaman dengan bunga tanaman lain (Crane 1990). Secara umum ada dua macam nektar, yaitu floral nectar dan extrafloral nectar. Floral nectar adalah nektar yang dihasilkan dari bunga tanaman sedangkan extrafloral nectar dihasilkan oleh bagian tanaman selain bunga. Lebah memiliki organ khusus untuk mengambil nektar, yang disebut proboscis berbentuk seperti belalai gajah dan memiliki kemampuan mengisap cairan nektar baik floral maupun extrafloral. Aktivitas terbang lebah mengumpulkan nektar dan polen berlangsung dari pagi sampai sore hari, dengan cara menghinggapi
16
beribu-ribu bunga yang sedang mekar. Lebah menghisap setetes nektar dengan alat hisapnya dan menyimpannya ke dalam kantong madu yang ada di dalam tubuhnya. Di beberapa wilayah beberapa koloni A. mellifera mampu menghasilkan 5 kg madu per koloni per panen, untuk mendapatkan hasil madu sebanyak itu lebah pekerja perlu melakukan pengambilan nektar berpuluh ribu kali terbang (Winston 1991).
Seekor lebah harus mondar-mandir mengambil
nektar sebanyak 75000 kali, untuk memperoleh sekitar 375 g madu (Pusbahnas 2008).
Kemampuan lebah pekerja untuk mengumpulkan nektar tanaman
bervariasi dari 25-70 mg per ekor per hari dan ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain kapasitas kantong madu (honey sac) lebah pekerja, jumlah dan konsentrasi gula nektar, keadaan cuaca serta pengalaman lebah pekerja dalam pengumpulan nektar (Gojmerac 1983). Menurut Crane (1990) lebah madu memiliki konstruksi tumbuh yang unik dalam mengumpulkan dan membawa polen, menggunakan hampir semua bagian permukaan tubuh, utamanya thorax. Ribuan sampai jutaan butiran polen akan menempel pada permukaan tubuh, selanjutnya dibersihkan dengan sikat khusus dan masuk ke dalam keranjang khusus yang disebut keranjang polen yang terdapat pada kaki belakang lebah. Keranjang polen dapat menampung 20 mg polen. Pada umumnya semua bunga merupakan sumber pakan lebah, karena ia menghasilkan nektar, polen atau nektar dan polen. Pusbahnas (2008) berhasil mengidentifikasi dan melaporkan 90 spesies tumbuhan yang memproduksi nektar dan polen sebagai pakan lebah (Tabel 1). Setiap tumbuhan memiliki karakteristik, jadwal dan jenis bunga yang berbeda. Karakteristik dan jadwal pembungaan dipengaruhi oleh spesies dan iklim/lingkungan, sedangkan pakan yang dihasilkan, nektar, polen atau keduanya tergantung jenis tumbuhannya.
Berdasarkan hal
tersebut, tumbuhan dalam menghasilkan sumber pakan lebah dapat dikelompokan menjadi dua yakni yang dapat diatur tergantung musim tanam (TMT) seperti sayuran dan tumbuhan yang tidak dapat diatur jadwal pembungannya seperti buah-buahan dan tumbuhan hutan.
17
Tabel 1. Daftar tanaman sumber pakan lebah. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47.
Nama Jenis Tanaman Aren Lamtoro Puspa Api-api Padi Kelapa Sawit Widara (bidara) Tembakau Jambu Mete Delima Lobi-Lobi Alpukat Nam-Nam Jambu Bol Salak Jagung Jengkol Turi Kacang Panjang Kentang Ketumbar Wortel Krokot Rumput Blambangan Rumput Kembangan Rumput Jampang Pait Rumput Kerbau Incuran Rumput King Putri Malu Lemuran Wedusan Ketapang Akasia Sengon Sonokeling Sonobrit Asam Jawa Mahoni Kaliandra Pelawan Cendana Karet Kapas Mangga Mancang Langsat
Masa Bunga Jan – Des Jan – Des Jun – Jul TMT TMT Jan – Des Jan – Des TMT Mar – Jul Jan – Des Feb dan Jul Hujan Jun dan Sep Apr dan Jun Jan – Des TMT Mei – Jun Jun – Agst TMT TMT TMT TMT Jan – Des Jan – Des Jan – Des Jan – Des Jan – Des Jan – Des Jan – Des Jan – Des Apr – Okt Setelah 2 Bln Apr – Mei Jan – Des Jun dan Sept Sept dan Nov Agst dan Okt Apr – Agst TMT TMT Kemarau Feb – Mar Sep – Okt TMT Jun dan Agst Jun dan Agst Jun – Jul
Nektar
Polen
* * * * * * * * * * * * * * *
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * -
18
Tabel 1. Lanjutan No. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90.
Nama Jenis Tanaman Belimbing Rambutan Jambu Air Kacang Gude Petai Cabai Nanas Domba Nanas Sebrang Ubi Jalar Labu Air Oyong Paria Labu Siem Bawang Merah Kumis Kucing Eucalyptus Stoenklaver Randu Tebu Vanili Kelapa Wijen Kopi Kedondong Durian Pepaya Waluh Semangka Kesemek Pisang Belimbing Apel Jeruk Manis Jeruk Besar Lengkeng Leci Anggur Kubis Ketimun Kacang Tanah Kedelai Bunga Matahari Flamboyan
Sumber :Perum Perhutani dalam Pusbahnas (2008) TMT : tergantung musim tanam
Masa Bunga Kemarau Okt – Nov Mei dan Okt TMT TMT 3 – 4 kali Mar – Apr Mei – Jun Okt – Nov TMT Kemarau TMT TMT TMT Jan – Nov 3 Thn Bunga TMT Mei – Agst TMT TMT Mar – Des TMT Mei dan Agst Jun dan Agst Jun dan Sept Jan – Des TMT TMT Agst - Sept TMT Jan – Des Mar – Apr Agst & Nov– Des Sept dan Nov Jun dan Agst Agst – Sept Jul – Agst TMT TMT TMT TMT Kemarau Feb dan Agst
Nektar * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Polen * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
19
Kemampuan jelajah lebah dalam mencari pakan sangat dipengaruhi oleh spesies (misalnya A. mellifera mampu menjelajah dalam radius sekitar 1.50 km sedangkan A. cerana kurang dari radius 1 km), ketersediaan sumber pakan, kecepatan dan arah angin serta hambatan (misalnya pohon yang terlalu rapat). Lebah pekerja, dalam satu hari mengunjungi dan menghisap nektar 8 – 100 kuntum bunga yang sedang mekar dengan pulang membawa nekar, polen atau campuran nektar dan polen (Gojmerac 1983). Jenis tanaman penghasil nektar yang dikumpulkan lebah sangat mempengaruhi bau, rasa dan warna madu.
Oleh karena itu, di pasaran kita
mengenal madu randu, madu rambutan, madu apel, madu kelapa dan sebagainya. Penamaan itu biasanya tergantung sumber nektar yang dominan dikumpulkan lebah. Koloni lebah yang diletakkan di lokasi pertanaman rambutan akan menghasilkan madu beraroma nektar rambutan, sedangkan koloni lebah di lokasi pertanaman kelapa akan mengasilkan madu beraroma nektar kelapa (Pusbahnas 2008). Dilihat dari segi kandungan karbohidratnya, komponen utama nektar terdiri dari sukrosa, fruktosa, glukosa, maltosa, melibiosa, rafinosa, dan turunan karbohidrat lainnya (USDA 2007). Zat-zat lain yang juga terdapat namun jumlahnya sangat sedikit yaitu; asam-asam organik, resin, protein, garam dan mineral. Konsentrasi gula nektar bervariasi tergantung dari keadaan iklimnya, jenis tanaman serta faktor lainnya. Polen atau tepung sari diperoleh dari bunga sebagai sel kelamin jantan tumbuhan. Polen dimakan oleh lebah madu terutama sebagai sumber protein, lemak, karbohidrat dan sedikit mineral. Satu koloni lebah madu membutuhkan sekitar 50 kg polen per tahun dan sekitar separuh dari polen tersebut digunakan untuk makanan larva (Pusbahnas 2008).
Kopi dan Kaliandra sebagai Pengasil Nektar.
Kopi adalah tanaman
perdu tahunan, dengan tinggi mencapai ± 5 m, berkayu keras, tegak, dan putih keabu-abuan. Kopi berdaun tunggal yang berbentuk oval, mengkilat, ujung runcing, tepi rata, pangkal tumpul, panjang 5-15 cm, lebar 4-6.5 cm, pertulangan menyirip, tangkai panjang 0.5-1 cm, dan berwarna hijau. Daun kopi termasuk bunga majemuk berbentuk payung menempel di ketiak daun, kelopak bunga
20
berbagi lima, berwarna hijau, mahkota bentuk bintang, putih, benang sari lima, tangkai sari putih, kepala sari hitam panjang putik ± 3 cm, kepala putik coklat, dan putih (Herdiawan et al. 2007). Department of Agriculture and Food Western Australia (2009) melaporkan bahwa kopi adalah penghasil polen dan nektar yang tinggi kadar sukrosanya (28%) sehingga menghasilkan madu yang memiliki kejernihan, bau dan rasa yang khas. Kaliandra (Calliandra spp.) merupakan tanaman keluarga kacang-kacangan yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap berbagai kondisi lingkungan. Menurut Herdiawan et al. (2007), terdapat 140 jenis kaliandra yang tersebar di daerah tropis hingga sub-tropis benua Amerika. Tanaman kaliandra masuk ke pulau Jawa berasal dari Guatemala selatan yaitu spesies C. calothyrsus berbunga merah dan C. tetragona berbunga putih, dengan tujuan utama adalah sebagai pohon pelindung perkebunan kopi dan digunakan untuk mereklamasi lahan kritis serta melindungi komoditas hasil utama kehutanan seperti pohon jati, pinus, dan damar dari penjarahan pencari kayu bakar.
Kaliandra berpohon kecil dan
bercabang, tumbuh mencapai tinggi maksimum 12 m dengan diameter batang sekitar 20 cm. Kulit batang berwarna merah keabu-abuan yang ditutupi lenticel kecil, berwarna pucat berbentuk oval. Sistem perakaran terdiri atas beberapa akar tunjang dan akar yang lebih halus dengan jumlah cukup banyak memanjang sampai keluar permukaan tanah. Apabila dalam tanah terdapat banyak rizobium dan mikoriza, akan terbentuk simbiosa antara jamur dan bintil-bintil akar yang berfungsi mengikat N dalam udara sehingga kesuburan tanah akan dipertahankan (Lesueur et al. 1996).
Kaliandra ini memiliki bentuk daun yang kecil seperti
umumnya keluarga fabaceae, bertekstur lunak dan berwarna hijau tua.
Panjang
daun bisa mencapai 20 cm, lebarnya mencapai 15 cm dan pada malam hari daundaun tersebut melipat kearah batang. Tandan bunga berkembang dalam posisi terpusat, dan bunganya bergerombol disekitar ujung batang. Bunga mekar satu malam dengan benang-benang umumnya berwarna putih di pangkalnya dan merah mencolok di bagian ujungnya. Sehari kemudian benang-benang ini akan layu dan bunga yang tidak mengalami pembuahan akan gugur (Kartasubrata 1996). Husaeni (1986), melakukan penelitian tentang kaliandra dan menyimpulkan bahwa kaliandra adalah salah satu jenis pohon multiguna, sebagai tanaman
21
konservasi, kayu bakar, pakan ternak dan penghasil nektar yang tinggi. Secara alami kaliandra berbunga sepanjang tahun. Karena kemampuan berbunga sepanjang tahun, maka kaliandra cocok untuk dijadikan sebagai penghasil pakan lebah.
Kaliandra ditanam untuk dimanfaatkan sebagai sumber nektar yang
dihasilkan dari bungannya (Macqueen 1992).
Sebagai contoh adalah daerah
Sukabumi Jawa Barat yang telah ditanam kaliandra seluas 601 ha mampu menyediakan nektar yang cukup untuk memelihara lebah sebanyak 1800 koloni lebah. Setiap koloni per tahun dihasilkan rata-rata sebanyak 15 kg madu, dan total produksi sebanyak 27000 kg/tahun (Herdiawan et al. 2007).
Produk Lebah Madu Madu.
Gojmerac
(1983) menyatakan bahwa madu
sudah
mulai
dimanfaatkan manusia sejak 7000 tahun sebelum masehi. Sejak itu di Mesir madu sudah berperan penting dalam kegiatan spiritual, sosial dan ekonomi masyarakatnya. Bahkan, madu sudah dipercaya sebagai obat yang ampuh untuk mencegah dan mengobati berbagai macam penyakit. Kebiasaan minum madu yang dilakukan para atlit Mesir sebelum bertanding, menambah keyakinan bahwa madu selain memiliki khasiat untuk pengobatan juga mampu mejaga kebugaran. Mollan (2006) melaporkan bahwa madu juga dimanfaatkan dalam kegiatan bedah dan pengobatan luka bakar berkaitan dengan kandungan air yang rendah, tekanan osmosis yang tinggi dan pH yang rendah sehingga mampu menghambat perkembangan bakteri atau microorganism lainnya yang dapat menimbulkan infeksi. Wahdan (1998) melaporkan bahwa madu dapat menyembuhkan lukaluka pada usus dua belas jari, memperlancar peredaran darah dan dapat menormalkan komposisi darah. Madu yang dioleskan pada luka bakar atau infeksi, menurut hasil penelitian dapat mengeringkan luka tersebut dalam waktu 10 hari, karena madu dapat mengeluarkan glutathion dari luka sehingga mempercepat sembuhnya luka atau infeksi. Selain itu madu memberikan efek yang baik pada tubuh manusia, diantaranya berfungsi sebagai antimikroba karena disamping sifat osmotiknya yang menyebabkan bakteri mati, madu mengandung antioksidan seperti chyrisin, pinobanksin, vitamin, catalase dan pinocembrin. Di Indonesia madu sudah banyak dimanfaatkan sebagai obat alternatif yang
22
dipercaya lebih berkhasat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, meningkatkan daya tahan tubuh, memperlancar kerja otak, obat tidur, dan memperlancar pencernaan tergantung jenis madu yang dikonsumsi. Ditinjau dari kandungan nutrisinya, madu mengandung berbagai jenis komponen yang sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia. Komponen utama madu terdiri dari karbohidrat, mineral, enzim, vitamin dan air yang secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2 (USDA 2007). Karbohidrat adalah komponen yang sangat penting dalam menyediakan enerji yang berkualitas terkait dengan sukrosa yang rendah dan fruktosa serta maltosa yang tinggi. Madu secara perlahan di dalam sel, dievaporasikan dan sukrosa diubah menjadi glukosa dan fruktosa oleh kerja enzim invertase dan enzim lainnya yang disekresikan lebah. Disamping itu dalam sel, madu mengalami proses transformasi menjadi lebih stabil, rapat, kental, asam dan mengandung enerji lebih tinggi. Madu juga mengandung protein seperti asam asetat, butirat, eitriat, formiat, glukonat, laktat, malat, piroglutamat, fosfat dan suksinat, sedangkan kandungan abunya berkisar antara 0.02 s/d 1%. Warna madu dipengaruhi oleh kandungan mineralnya terutama potasium, semakin tinggi kandungan potasiumnya maka madu semakin berwarna gelap (Gojmerac 1983). Produksi madu sangat dipengaruhi oleh produksi nektar dan musim. Sekitar 15-25% produksi madu dipengaruhi oleh keadaan cuaca, seperti kelembaban akan berpengaruh pada proses fermentasi, viskositas dan berat jenis madu.
Peternak lebah pada umumnya (50%) menjual madu kepada tetangga,
kerabat, teman atau langsung dijual di pasar lokal. Sistem pemasaran ini dipandang lebih efisien mengingat kebiasaan minum madu didasari keyakinan pada khasiatnya yang dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan konsumen terhadap keaslian madu yang didapatkan. Pada industri perlebahan yang sudah modern seperti di Amerika Serikat, madu dibagi menjadi kelas A, B, C dan D berdasarkan materi yang terlarut (soluble solids), aroma, rasa, sumber nektar, kebersihan, dan kejernihan. Berdasarkan metode skoring secara objektif dan subjektif maka madu yang masuk kelas “A” bila memiliki skor 90, grade B dengan skor 80, kelas C dengan skor 70 dan kelas C di bawah 70 (Gojmerac 1983).
23
Tabel 2. Komposisi nutrisi madu. Nutrisi
Jumlah
Enerji
1272 kJ (304 kcal)
Karbihodrat
82.4 g
- gula
82.12 g
- serat kasar
0.2 g
Lemak
0g
Protein
0.3 g
Air
17.10 g
Riboflavin (Vit. B2)
0.038 mg (3%)
Niacin (Vit. B3)
0.121 mg (1%)
Pantothenic acid (B5)
0.068 mg (1%)
Vitamin B6
0.024 mg (2%)
Folate (Vit. B9)
2 μg (1%)
Vitamin C
0.5 mg (1%)
Kalsium
6 mg (1%)
Besi
0.42 mg (3%)
Magnesium
2 mg (1%)
Fosfor
4 mg (1%)
Potassium
52 mg (1%)
Sodium
4 mg (0%)
Zinc
0.22 mg (2%)
Sumber: USDA (2007)
Royal Jelly. Royal jelly adalah salah satu jenis makanan yang baik dengan kandungan nutrisi yang sangat kompleks, bahkan lebih kompleks dibandingkan dengan makanan hewani lainnya.
Royal jelly dihasilkan oleh lebah pekerja
sebagai pakan semua larva baik calon jantan, pekerja maupun ratu. Larva calon lebah jantan hanya mengkonsumsi royal jelly selama tiga hari, lebah pekerja 4-5 hari sedangkan calon ratu terus mengkonsumsinya selama masa perkembangan. Royal jelly dipanen dari sel larva calon ratu pada umur empat hari dan selama 5-6 bulan dapat dihasilkan sebanyak 500 gram royal jelly per koloni, mengandung protein royalactin yang bertanggungjawab pembentukan larva calon ratu.
24
Royalactin sama dengan senyawa yang dibutuhkan untuk perkembangan tubuh dan ovary lalat buah (Drosophila melanogaster) (Kamakura 2010). Seringkali royal jelly menjadi topik perbincangan hangat dikalangan kaum pria, terutama tentang manfaat dan khasiatnya dalam memelihara dan menjaga kebugaran, serta meningkatkan vitalitas tubuh. Hattori et al. (2007) melaporkan bahwa royal jelly dapat dimanfaatkan sebagai immunomodulatory agent in Graves disease, stimulator pertumbuhan glial cells dan sel syaraf pada otak. Baru-baru ini royal jelly terbukti dapat menurunkan kandungan kolesterol, menyembuhkan luka dan sebagai antibiotik, bahkan mengandung 10-hydroxy-2-decanoic acid (10HDA) untuk menghambat penyakit tumor. Royal jelly juga menjadi komponen penting dalam berbagai produk kecantikan. Komposisi nutrisi dalam royal jelly tertera pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi nutrisi dalam royal jelly. Nutrisi Air Protein
Jumlah 67% 12.5%
Gula (monosaccharides),
11%
Asam lemak.
5%
Enzim
4.5%
Sumber: USDA (2007)
Bee Pollen. Bee pollen seringkali disebut sebagai intisari kehidupan karena kandungan nutrisinya sangat bermanfaat untuk kesehatan tubuh, terutama untuk membangun dan memperbaiki sel-sel tubuh. bahwa
Sihombing (2005) menyatakan
bee pollen mengandung 10 jenis asam amino esensial, asam lemak
esensial, 10 jenis mineral, vitamin A, B, C, D, dan E, hormon pertumbuhan, hormon reproduksi dan berbagai jenis alkaloid yang mempunyai khasiat dalam melakukan stabilitasi metabolisme sel dan pertumbuhan sel (regenerasi– rehabilitasi) pada umumnya. Selain itu bee pollen juga mempunyai khasiat antara lain; meningkatkan daya tahan tubuh, memperlambat proses penuaan, menurunkan kolesterol, memperlancar fungsi pencernaan dan mengobati asma (Sihombing 2005).
25
Produk-produk Lain Lebah. Disamping madu, royal jelly dan bee pollen, lebah juga menghasilkan propolis (Trigona spp. dan A. mellifera), lilin dan racun yang memiliki nilai tinggi. Propolis adalah bahan perekat bersifat resin yang dikumpulkan lebah pekerja dari kuncup, kulit atau bagian lain dari tumbuhan (Crane 1990).
Propolis dalam sarang digunakan oleh lebah pekerja untuk
menutup celah-celah, mendempul retakan-retakan, memperkecil dan menutup lubang. Susunan kimia propolis sangat kompleks antara lain mengandung zat aromatik, zat wangi dan mineral. Propolis sudah digunakan dalam berbagai obat jadi dari pabrik farmasi antara lain untuk luka dan tambal gigi (Crane 1990). Park et al. (2005) menyatakan bahwa propolis telah banyak dipasarkan sebagai obat tradisional yang berkhasiat bagi kesehatan manusia termasuk pembengkakan usus, luka bakar, katarak (cataracts), jantung, radang tenggorokan, alergi dan dapat meningkatkan imunitas. Menurut Walker (2009) melaporkan bahwa propolis berfungsi sebagai antibiotik, anti jamur, antibakteri dan obat luka bakar.
Bahkan di Brazil propolis telah digunakan untuk mengatasi penyakit
kanker (daSilva et al. 2004) Lilin lebah atau malam (beeswax), dalam proses pembentukannya disekresikan oleh kelenjar lilin (wax glands) yang terdapat pada bagian bawah dari perut lebah pekerja. Penggunaan malam tidak hanya terbatas pada bidang industri lilin saja, tetapi telah meluas pada industri-industri lainnya seperti industri kosmetika dan industri farmasi. Selain itu malam lebah yang sudah diproses juga dibutuhkan sebagai bahan untuk batik baik tradisional maupun batik modern (Crane 1990). Racun lebah (bee venom) disebut apitoxin dihasilkan dari lebah pekerja yakni hasil sekresi kelenjar racun dalam bentuk cairan bening dengan bau tajam, rasanya pahit dan pedas, aromanya spesifik dan cepat kering. Apitoxin mengandung senyawa-senyawa kimia antara lain: triptofan, kolin, gliserin, asam fosfat, asam falmitat, asam lemak, asam vitelin, apromin, peptida, enzim, histamin, dan mellitin. Perkembangan penelitian modern membuktikan bahwa racun lebah dapat digunakan untuk pengobatan. Ada beberapa jenis penyakit yang dapat disembuhkan melalui sengatan lebah antara lain; penyakit neuritis, penyakit reumatik otot, penyakit asthma bronchial, penyakit pembuluh darah
26
kapiler dan penyakit impoten (Crane 1990). Banyak praktek-praktek pengobatan di Indonesia menggunakan sengatan lebah yang dilakukukan praktisi apiteraphy yang khasiatnya telah dirasakan pasien terutama penderita rematik, sakit kepala, tekanan darah tinggi atau rendah, dan impotensi (Pusbahnas 2008).
Potensi Ekonomi Menurut Erwan (2006) usaha budidaya lebah madu A. cerana yang menjadi salah satu alternalif mata pencaharian dan berkontribusi tinggi pada pendapatan petani, telah lama dikenal dan dilakukan oleh masyarakat pedesaan yang berdomisili di sekitar kawasan hutan dan kawasan pertanian lainnya. Oleh karena itu upaya pengembangan budidaya lebah madu dapat dilaksanakan guna meningkatkan perekonomian masyarakat. Selain madu, usaha perlebahan juga mampu menghasilkan produk-produk lain seperti polen, propolis, sengat lebah dan bibit lebah. Kebijakan pemerintah terhadap peningkatan usaha perlebahan ini terlihat dari berbagai kegiatan seperti dilaporkan (Erwan 2006) antara lain (1) penyusunan rencana umum pembinaan dan pengembangan perlebahan nasional (2) penguatan kelembagaan peternak lebah melalui pembangunan unit percontohan, bantuan sarana produksi perlebahan, temu usaha, penyelenggaraan pelatihan, penyuluhan dan penelitian dan (3) monitoring dan evaluasi. Laporan Departemen Kehutanan (2003) menjelaskan bahwa menggerakkan
usaha
upaya
medorong dan
swadaya masyarakat dalam peningkatan pendapatan,
pemenuhan gizi dan kesehatan telah dilakukan kegiatan paket bantuan koloni dan peralatan lebah, sedangkan untuk penguatan kelembagaan telah dibentuk Asosiasi Perlebahan Indonesia (API) yang merupakan himpunan masyarakat perlebahan sebagai
mitra
sejajar
pemerintah
untuk
bersama-sama
mengembangkan
perlebahan di Indonesia. Permintaan terhadap madu dari dalam negeri cukup tinggi sebesar 3150 ton per tahun masih belum terpenuhi sehingga untuk memenuhi kekurangan madu, Indonesia mengimpornya dari Vietnam, RRC dan Australia sebesar 250580 ton per tahun (Departemen Kehutanan 2003). Semua produk lebah mempunyai nilai ekonomi yang dapat membantu upaya perbaikan gizi masyarakat
27
dan untuk meningkatkan pendapatan peternak lebah. Manfaat tidak langsung berkaitan dengan proses pelestarian sumber daya hutan, peningkatan produktivitas tanaman, dan adanya hubungan simbiosis yang saling menguntungkan. Tanaman akan menghasilkan nektar/tepungsari sebagai pakan lebah, sementara lebah madu akan membantu proses penyerbukan tanaman (Blesmeijer & Slaa 2006; Byrne & Fitzpatrick, 2009). Modal investasi merupakan modal tetap yang diperlukan dalam kegiatan budidaya lebah madu selama beberapa periode pemanenan termasuk penyusutan alat-alat produksi. Di dalam usaha perlebahan A. mellifera, modal investasi terdiri dari : (1) perlengkapan koloni yang terdiri dari koloni lebah, kotak lebah, bingkai sarang (frame), pondasi sarang, pollen trap, dan standar/tiang besi, dan (2) peralatan kerja yang terdiri dari pengungkit, pisau madu, ekstraktor, tong/drum plastik, alat pertukangan, pakaian kerja, dan sarung tangan. Di dalam perhitungan modal investasi tidak dilakukan penyusutan karena peralatan berupa kotak lebah dan bingkai sarang dapat dipergunakan sampai tiga tahun. Dengan demikian pada tahun keempat perlu dilaksanakan pengadaan baru, sedangkan peralatan lain berupa ekstraktor dan peralatan petugas dapat dipakai sampai dengan 10 tahun. Modal kerja adalah biaya variabel yang digunakan dalam budidaya lebah madu untuk setiap periode pemanenan.
Modal kerja terdiri atas seluruh biaya
operasional yang habis dipergunakan selama satu tahun seperti pakan, stimulan, obat-obatan, sewa lahan dan transportasi. Berdasarkan analisis ekonomi pendapatan dapat diperoleh dari lebah A. mellifera dihitung produktivitas madu sebesar 24 kg per koloni per tahun, dan A. cerana sebesar 3 kg per koloni per tahun. Sesuai analisis financial yang dilakukan terhadap 100 koloni lebah, terlihat bahwa A. mellifera pada tahun pertama mengalami kerugian sebesar Rp 23000.00 yang disebabkan biaya investasi pengadaan koloni cukup tinggi yaitu sebesar Rp 25000000.00 Keuntungan baru dapat diperoleh pada tahun kedua, sebesar Rp. 21482500.00 dan bisa dilakukan penambahan jumlah koloni lebah menjadi 175 stup. Pada tahun ketiga diperoleh keuntungan sebesar Rp. 40381000.00 dan penambahan jumlah koloni menjadi 306 koloni.
Keuntungan tersebut dihitung atas dasar hasil madu yang diperoleh
dengan harga jual Rp. 10000.00 per kilogram, dan harga jual polen Rp. 50000.00
28
per kilogram serta royal jelly Rp. 500000.00. Sama halnya dengan budidaya lebah
A.
cerana,
tahun
pertama
masih
mengalami
kerugian
sebesar
Rp. 1700000.00. Pada tahun kedua diperoleh keuntungan sebesar Rp. 5050000.00 dan dapat dilakukan penambahan lebah sejumlah 150 koloni. Keuntungan pada tahun ketiga diperoleh sebesar Rp. 7865000.00 dan lebah dapat ditingkatkan menjadi 225 koloni. Nilai tambah usaha budidaya lebah madu dapat ditingkatkan lagi bila peternak dapat memasarkan produknya yang sudah dikemas dalam botol atau sachet, bukan sebagai madu curah (Puhbanas 2008). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (2005) melaporkan bahwa budidaya lebah madu lokal A. cerana telah dilakukan di Indonesia sejak lama. Saat ini kegiatan perlebahan dibina oleh Departemen Kehutanan dan menjadi salah satu program pokok dalam pengembangan hasil hutan bukan kayu. Beberapa kendala dalam pengembangan budidaya lebah A. cerana adalah produksi madunya tergolong rendah, lebah ini juga memiliki kecenderungan hijrah (kabur) dan pecah koloni yang tinggi. Perilaku tersebut menghambat pengembangan budidaya lebah madu A. cerana di Indonesia. Peluang untuk usaha budidaya lebah madu di Kabupaten Kepahiang Bengkulu masih sangat besar. Hal ini didasari bahwa Kabupaten Kepahiang mempunyai areal hutan alam yang sangat luas, sekitar 400 hektar hutan dengan beraneka jenis tanaman yang berbunga secara bergantian sepanjang tahun. Tanaman tersebut merupakan habitat ideal untuk usaha budidaya lebah madu. Disamping itu terdapat lahan perkebunan seluas 35000 hektar seperti kebun sawit, karet, kopi dan puluhan ribu lahan pertanian hortikultura telah berkembang dengan pesat yang tentunya menjadi pengasil nektar dan polen yang berkualitas sebagai pakan lebah (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahiang 2009).
Pola Integrasi dan Daya Dukung Tanaman Perkebunan Dalam penerapan sistem integrasi
lebah madu dengan tanaman perlu
diperhatikan konsep-konsep kompetisi baik interspesific competition (kompetisi antar spesies) maupun intraspesific competition (kompetisi dalam satu spesies), sehingga tidak berdampak pada kerusakan sumberdaya dan habitatnya.
29
Perbedaan tingkahlaku, pola penganbilan pakan dan respon terhadap kompetisi mempengaruhi keberadaan lebah. Berbeda dengan serangga lain (misalnya kupukupu dan semut), lebah menjalankan penyerbukan bunga dengan tidak menimbulkan akibat samping yang merugikan tanaman. Oleh karena itu lebah bukan hama tanaman, tapi malah membantu menaikkan produksi. Lebah merupakan serangga yang berperan penting baik secara ekologi (penyerbuk) maupun ekonomis (penghargaan secara financial terhadap jasanya sebagai penyerbuk) (Byrne & Fitzpatrick 2009). Lebah berhasil meningkatkan produksi pertanian dua kali lipat (Slaa et al. 2006). Hampir semua tanaman pertanian atau perkebunan yang tidak melakukan penyerbukan sendiri memerlukan bantuan serangga agar menghasilkan biji/buah.
Polinasi adalah proses kompleks dan
sangat vital dalam siklus hidup tanaman, terutama bagi terjadinya fertilisasi, pembentukan buah dan biji. Lebah berperan sebagai polinator yang lebih baik bagi tanaman termasuk perkebunan (Krement et al. 2002; Richards 2001; Heard 1999; Frietas & Paxton 1998) Polinasi merupakan mekanisme transfer polen dari sel kelamin jantan (anther) menuju sel kelamin betina (stigma) pada bunga. Aktivitas lebah sebagai polinator dilakukan secara tidak sengaja pada saat pencarian nektar dan tepung sari sebagai pakan untuk koloninya, dengan bantuan bagian corbicula kaki lebah madu yang penuh rambut tersebut disebut pollen basket (Winston 1991 dan Gojmerac 1983). Lebah memiliki organ khusus yang disebut proboscis yang bentuknya seperti belalai gajah dan berfungsi untuk mengisap cairan nektar pada bunga. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memanfaatkan lebah madu dalam proses penyerbukan tanaman, antara lain jumlah lebah per stup (strength of colony), jumlah stup lebah (number of bee hives), ketersediaan stup yang bisa dimanfaatkan (availability of bee hives) dan saat penempatan stup (timing of the introduction of hives). Department of Agriculture and Food Western Australia (2009) melaporkan bahwa penyebaran koloni lebah di areal pertanian tanaman pangan di Australia dan di Brazil dapat meningkatkan produksi pertanian. Jumlah lebah yang disebarkan bervariasi tergantung pada jenis tanaman, tempat (lokasi), dan jenis lebah. Oleh karena itu Department of Agriculture and Food Western
30
Australia (2009) merekomendasikan untuk meningkatkan proses polinasi tanaman kopi (Coffea arabica, C. canephora, C. liberica ) dapat ditempatkan 100 juta lebah pekerja pada saat musim berbunga.
Cara ini mampu meningkatkan
produksi kopi hingga 22%. Lebah merupakan serangga penyerbuk bagi tanaman yang paling penting di alam dibandingkan angin, air, dan serangga lainnya, dimana lebah dapat meningkatkan produksi apel sebesar 30-60%, jeruk 300400%, dan anggur 60-100%. Madu yang dihasilkan oleh lebah yang mendapat pakan nektar kopi (madu kopi) memiliki sukrosa (2.8%), berwarna amber muda (light amber) dan aroma yang khas (Department of Agriculture and Food Western Australia 2009),
dan berkhasiat meningkatkan daya tahan tubuh, membuat
nyenyak tidur, memperlancar fungsi otak dan dapat menyembuhkan luka bakar (Pusbahnas 2008). Ada beberapa pendapat tentang pengertian daya dukung, menurut Enger (1983), daya dukung lingkungan adalah jumlah optimum individu suatu spesies yang dapat didukung kebutuhan hidupnya oleh satu kawasan tertentu pada periode perkembangan spesies tersebut secara maksimum. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan daya dukung adalah kemampuan lingkungan hidup untuk dapat mendukung peri kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya di dalam suatu ekosistem. Miller (2002) mendefinisikan daya dukung sebagai kemampuan atau daya memberi dukungan terhadap kebutuhan hidup populasi maksimum suatu spesies tertentu pada periode waktu tertentu.
Pembangunan Berkelanjutan Penerapan pembangunan berkelanjutan merupakan wujud nyata upaya pencapaian The Millennium Development Goals (MDGs) yang dideklarasikan pada bulan Mei 2000 sebagai United Nations Millennium Declaration dengan tujuan pengentasan kemiskinan,
perbaikan pendidikan,
persamaan gender,
penurunan angka kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, penanggulangan penyakit seperti HIV/Aids dan malaria, memperkuat pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dan pengembangan kerjasama untuk pembangunan (Wikipedia
31
2011). Oleh karena itu pembangunan berkelanjutan menjadi komitmen bersama negara-negara anggota Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) termasuk Indonesia, yang ditargetkan tercapai pada tahun 2015. Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan hidup bahwa
penerapan
pembangunan
berkelanjutan
mengandung
arti
agar
pembangunan yang dilaksanakan pemerintah atau swasta tetap berupaya agar apa yang dinikmanti generasi sekarang masih dapat dinikmati oleh generasi-generasi mendatang. Ridwan (2006) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan Our Common Future yang disiapkan oleh World Commision on Environment and Development atau sering disebut dengan Komisi Brutland yang mempunyai tugas pokok yaitu: 1) mengusulkan strategi lingkungan jangka panjang untuk mencapai pembangunan berkelanjutan mulai tahun 2000 dan 2) mengindentifikasi bagaimana hubungan antar manusia, sumberdaya, lingkungan dan pembangunan dapat diintegrasikan dalam kebijakan nasional dan internasional.
Menurut Umaly (2003),
definisi pembangunan berkelanjutan
adalah suatu proses yang dinamis dari pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya, pemanfaatan teknologi untuk pembangunan, kelembagaan dan perubahan sosial budaya termasuk populasi, dan penggunaan investasi (ekonomi) untuk keharmonisan dan keseimbangan saat ini dan potensi masa depan dari kesejahteraan
umat
manusia.
Ada
empat
prinsip
utama
pembangunan
berkelanjutan yaitu (1) prinsip efisiensi yang berarti bijak dalam memanfaatkan sumberdaya alam tidak berlebihan, (2) prinsip pemenuhan, yaitu pemanfaatan sumberdaya dibatasi dengan memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang, (3) prinsip konsistensi, yaitu subsistem harus dapat bersatu dengan subsistem lainnya tanpa ada yang merasa lebih ataupun kurang dalam ekosistem dunia, dan (4) prinsip berhati-hati, yaitu adanya ancaman yang serius atau kerusakan yang tidak dapat diperbaiki jika pemanfaatan sumberdaya alam tidak hati-hati. Soenarno (2003) menjelaskan paradigma pembangunan berkelanjutan yang dilihat dari tiga pilar yang saling berkaitan yaitu tujuan ekonomi yang berkaitan dengan efisiensi dan pertumbuhan, tujuan ekologis yang berkaitan dengan pemeliharaan sumberdaya alam dan tujuan sosial yang berlaitan dengan hak kepemilikan dan keadilan.
32
Mersyah (2005); Fauzy dan Suzy (2002) mencantumkan lima dimensi keberlanjutan dalam usaha sapi potong yang meliputi (1) ekologi/lingkungan, (2) ekonomi, (3) teknologi, (4) sosial budaya dan (5) hukum dan kelembagaan. Ridwan (2006) memisahkan dimensi hukum dan kelembagaan secara tersendiri dengan alasan bahwa hukum dan kelembagaan merupakan dimensi yang memiliki karakter yang sangat berbeda. Laporan FAO (1989), menunjukkan bahwa ada empat dimensi keberlanjutan untuk perikanan tangkap yaitu ekonomi, sosial, ekologis dan kelembagaan atau pemerintahan.
Diagram keterpaduan antar
dimensi yang dibangun oleh Mersyah (2005); Fauzy dan Suzy (2002) disebut sebagai diagram layang layang sama seperti yang diungkapkan oleh FAO, hanya berbeda nama dan jumlah dimensinya (Ridwan, 2006). Pembangunan pertanian berkelanjutan di Indonesia dapat menjadi solusi alternatif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat tanpa mengabaikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Kesejahteraan dapat dicapai tidak semata-mata karena meningkatnya produksi namun perlu disinergikan dengan komitmen
untuk
membangun
kemitraan
di
antara
pelaku
agribisnis.
Pembangunan pertanian konvensional pada pertanian tanaman pangan, perikanan, dan kehutanan telah yang telah menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian sumber daya alam dapat melalui kemitraan usaha dapat menjamin terciptanya efisiensi dan pertumbuhan, keadilan dan pemerataan, serta berwawasan lingkungan. Konsolidasi kelembagaan yang mantap, baik di tingkat petani, pihak swasta maupun pemerintah perlu untuk mendukung upaya ini (Saptana & Ashari 2007).
33
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada selama 12 bulan yaitu dari bulan Januari s/d Desember 2010 berlokasi di Kabupaten Kepahiang Propinsi Bengkulu. Jarak antara lokasi sinkolema dan non sikolema sekitar 5 km yang dibatasi oleh perkebunan teh.
Pada kawasan kebun kopi yang digunakan untuk penelitian
terdapat tanaman lain seperti gamal, pisang, petai cina, pada bagian pinggir terdapat pohon akasia serta dikelilingi kebun teh dan semak belukar (Gambar 3). Kotak lebah ditempatkan secara terpusat di depan rumah tunggu dan tersebar di perkebunan kopi. Kebun kopi yang dijadikan lokasi penelitian sejumlah empat lokasi yaitu dua lokasi sinkolema dan dua lokasi non-sinkolema.
Jumlah koloni madu
sebanyak 30 stup yang ditempatkan pada lokasi sinkolema masing-masing 10 stup dan di luar kebun kopi (non-sinkolema) sebanyak 10 stup.
Gambar 3. Sketsa penempatan kotak lebah dan kondisi lokasi penelitian sinkolema.
34
Tahapan Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yang diawali dengan tahap persiapan. Pada tahap ini, dilakukan penelitian pendahuluan untuk memperoleh informasi tentang kondisi awal lokasi penelitian, sosialisasi dengan masyarakat peternak lebah, pemilihan petani dan penanaman kaliandra sebagai pelindung kopi dan mengukur morfometri. Morfometri diukur untuk mengetahui karakteristik ukuran tubuh lebah yang digunakan dalam penelitian terdiri dari panjang dan lebar sayap, panjang dan lebar abdomen serta panjang proboscis.
Dua puluh ekor lebah
pekerja dari masing-masing koloni diukur morfometrik mengacu pada metode Ruttner (1978) dan Tilde et al. (2000). Panjang sayap diukur dari pangkal sayap sampai titik terjauh ujung sayap. Lebar sayap diukur pada bagian sayap terlebar tegak lurus dengan garis panjang sayap. Lebar abdomen diukur jarak antara sisi kiri dan kanan abdomen terpanjang pada tergite 4. Panjang proboscis diukur mulai pangkal proboscis sampai dengan ujung jarum. Penelitian selanjutnya adalah tahap pelaksanaan yang terdiri atas tiga tahapan pelaksanaan penelitian, yaitu (1) identifikasi daya dukung dan morfometrik lebah, (2) implementasi dan perumusan model sinkolema, dan (3) analisis keberlanjutan sinkolema. Metode dan prosedur pada setiap tahapan penelitian dijelaskan sebagai berikut: Identifikasi Daya Dukung Penelitian daya dukung dilaksanakan untuk menganalisis kemampuan wilayah dalam menyokong pengembangan budidaya lebah. Hasil yang diperoleh pada tahap ini : 1. Karakteristik pembungaan (flowering characteristic) kopi. 2. Produksi nektar, daya dukung kebun kopi dan populasi lebah.
Bahan dan Alat Bahan dan materi yang digunakan dalam penelitian tahap I adalah tiga puluh koloni lebah A. cerana yang dibudidayakan dengan sistem integrasi dan tanpa sistem integrasi. Kebun kopi terdiri atas dua lokasi masing-masing seluas satu hektar. Alat yang digunakan untuk pengukuran adalah (1) spuit ukuran
35
kecil/micropipet, (2) alat ukur (meteran gulung), (3) alat timbang analitik, (4), Tabung reaksi mini, dan peralatan tulis.
Parameter yang Didata dan Metode Pengukuran Karakteristik Pembungaan (Flowering Characteristic). Data karakteristik pembungaan kopi diperoleh melalui pengamatan setiap bulan selama satu tahun. Parameter yang diamati adalah adalah jumlah bunga per pohon pada setiap bulan. Data terkumpul dianalisis untuk penentuan waktu kopi mulai berbunga, puncak produksi, dan mulai terjadi penurunan, sehingga dapat diketahui siklus pembungaan kopi. Produksi Nektar. Nektar yang dihasilkan tanaman kopi ditentukan melalui metode konversi yaitu mengukur produksi nektar 25 kuntum bunga dari 10 pohon kopi yang dipilih secara acak.
Data yang diperoleh dikonversi untuk
penghitungan rata-rata produksi nektar per tegakan, sehingga produksi nektar per hektar dapat diprediksi. Nektar dikumpulkan dengan cara pengambilan secara hati hati mahkota bunga sehingga nampak cairan bening dan disedot pakai microspuit atau micropipet. Pengamatan dilakukan tiga kali, pagi (jam 05.00 s/d 07.00), siang (jam 11.00-13.00) dan sore (jam 16.00-18.00) untuk memperoleh rata-rata produksi nektar. Penutupan tangkai bunga yang dipilih dengan kain kasa dilakukan untuk menghindari terjadinya kehilangan nektar oleh serangga (predator) lain, (Husaeni, 1986). Data yang diperoleh dihitung dengan rumus: ………………………………………………………………….(1) Keterangan, Nh = Rata-rata volume nektar dari setiap kuntum bunga (ml/kuntum/hari) Ns = Total volume nektar dari 25 kuntum bunga yang diamati (ml/hari) t = Banyaknya kuntum bunga yang diamati (25)
36
Jumlah kuntum bunga per satu tangkai dan jumlah tangkai per pohon bunga dihitung untuk memprediksi jumlah kuntum bunga per pohon kopi (B) dan produksi nektar per tegakan. Rumus yang digunakan adalah: …………………………………………………………… (2) Keterangan, Nt = Volume nektar yang diproduksi setiap pohon (ml/pohon/hari). B = Banyaknya kuntum bunga per pohon. Berdasarkan data volume nektar per tegakan, total produksi nektar dapat diprediksi dengan rumus: ………………………………………………………………(3) Keterangan, Nk = Volume nektar yang diproduksi per hektar (ml/ha/hari). P = Banyaknya pohon per hektar (pohon/ha). Daya dukung atau daya tampung adalah hasil perhitungan dari jumlah nektar yang dihasilkan untuk mendukung jumlah koloni atau stup lebah yang bisa dibudidayakan. Jadi daya tampung adalah produksi nektar per hektar kebun kopi dibagi dengan rata-rata kebutuhan koloni lebah terhadap nektar setiap hari. Kebutuhan nektar per hari diperoleh berdasarkan hasil penelitian Husaeni (1986) yang telah melakukan pengamatan dengan menangkap dan menimbang 25 ekor lebah pekerja sebelum dan sesudah menghisap nektar. diperoleh merupakan bobot nektar yang dipanen.
Selisih bobot yang
Berdasarkan pengamatan
Husaeni (1986) dapat diasumsikan bahwa setiap hari, koloni lebah memanen nektar bunga dengan rerata sebanyak 145 ml (Np). Angka ini dapat digunakan sebagai rerata jumlah nektar yang dipanen setiap koloni lebah madu untuk mempertahankan hidupnya. Hasil ini digunakan sebagai acuan untuk penghitungan daya dukung kebun kopi dengan rumus: .………………………….…………...…………………………..(6) Keterangan : S = Jumlah stup (koloni) per nektar (stup/ha).
37
Populasi Lebah. Koloni lebah sebelum dibudidayakan baik di dalam maupun di luar lokasi sinkolema diupayakan agar populasinya sama, sehinga populasi awal seragam sekitar tiga belas ribuan ekor/koloni. Populasi lebah dalam kawasan ditentukan berdasarkan data bobot koloni dibagi bobot lebah pekerja. Bobot koloni lebah (Bs) didapatkan dengan cara menimbang stup berisi lebah. Setelah itu lebah dipindahkan ke kotak lain, stup ditimbang tanpa lebah untuk memperoleh bobot stup kosong (Bk). Selisih antara Bs dan Bk adalah bobot total lebah (Bt). Bt = Bs – Bk ..............................................................................................(7) Rata-rata bobot badan lebah secara individu didapatkan dengan cara penimbangan 200 ekor lebah dan total bobot dibagi 200. Populasi lebah diukur dengan rumus: . ………………………….……………………………………..(8) Keterangan, P = Populasi lebah per koloni (ekor/koloni). Bt = Total bobot lebah (g/stup). Bl = Bobot lebah per ekor (g/ekor).
Implementasi dan Perumusan Model Sinkolema Hasil penelitian tahap I digunakan untuk merumuskan pola/model budidaya lebah yang diintegrasikan dengan tanaman kopi (sinkolema). Komponen komponen utama produktivitas dianalisis berdasarkan koefisien teknis produksi peternakan lebah. Komponen-komponen yang diukur atau dianalisis terdiri atas: 1. Jumlah stup yang dipelihara sesuai dengan daya dukung wilayah. 2. Produksi madu per stup per tahun. 3. Produksi madu berdasarkan tata letak stup. 4. Produksi kopi/ ha/ tahun. 5. Data yang diperoleh dianalisis SWOT untuk merumuskan strategi dan pola pengembangan sinkolema.
38
Metode Pada tahap implementasi pengamatan dilakukan pada lokasi yang sudah ditetapkan terlebih dahulu.
Pemilihan lokasi dilakukan secara purporsif
berdasarkan pola budidaya lebah madu dengan sinkolema dan non sinkolema: (1) Dua lokasi penerapan sinkolema dengan masing-masing seluas satu hektar kebun kopi yang sudah berproduksi dan menghasilkan nektar pakan lebah. Sejumlah 10 stup lebah madu ditempatkan pada masing-masing areal kebun kopi secara tersebar 5 stup dan terpusat 5 stup. Satu lokasi tidak diukur diukur produksi madunya melainkan hanya produksi kopinya. (2) Lokasi ternak lebah non-sinkolema yaitu lokasi yang sudah biasa dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat budidaya lebah. Pada lokasi ini ditempatkan 10 stup lebah di pekarangan rumah peternak, pakan lebah bersumber dari tanaman di sekitarnya seperti labu siam, pohon buah beliming, jambu air, bunga-bungaan dan rerumputan. (3) Kebun kopi non-sinkolema ditentukan berdasarkan jarak dengan lokasi sinkolema, Produksi kopi dari dua lokasi kebun kopi non-sinkolema masingmasing 1 ha berjarak antara 2-5 km dari lokasi sinkolema dicatat sebagai produksi kopi non-sinkolema digunakan sebagai pembanding dengan produksi kopi sinkolema.
Prosedur 1. Sejumlah sepuluh koloni lebah ditempatkan di perkebunan kopi dan sepuluh koloni di luar perkebunan kopi.
Menentukan tata letak stup
didasarkan pada faktor lokasi, pengelolaan, keamanan dan pemanenan. Pada areal perkebunan kopi, penempatan lima kotak lebah secara terpusat di halaman pondok jaga dengan jarak antar kotak 10 s/d 20 m, dan penempatan secara tersebar sejumlah lima kotak di tengah kebun kopi dengan jarak antar kotak sekitar 150 - 200 m. 2. Produksi madu dan produksi kopi pada masing-masing lokasi dicatat sebagai produksi madu sinkolema, produksi madu sinkolema terpusat,
39
produksi madu sinkolema tersebar, produksi madu non sinkolema, produksi kopi sinkolema dan produksi kopi non sinkolema. 3. Data yang diperoleh dianalisis untuk mengetahui produksi madu dan kopi pada masisng-masing sistem sinkolema dan non sinkolema, dan produksi madu sinkolema terpusat dan tersebar. 4. Produksi kopi dihitung berdasarkan hasil bobot kering per tahun per ha dan dibandingkan produksi kopi dengan sinkolema non sinkolema.
Parameter yang Diukur 1. Produksi
madu
dihitung
berdasarkan
jumlah
panen,
hasilnya
dikonversikan ke produksi per stup per tahun, dan dibandingkan antara produksi madu pada sistem integrasi dan di luar integrasi. 2. Produksi madu tiap koloni diukur menggunakan ukuran botol, selanjutnya dikonversi ke ukuran volume dan ukuran bobot. 3. Produksi kopi dihitung berdasarkan hasil bobot kopi kering per ha per tahun dan dibandingkan produksi kopi madu dengan sistem integrasi dan tanpa integrasi. Untuk medeskripsikan produksi kopi diamati dua lokasi dengan sistem integrasi dan dua lokasi kebun kopi tanpa integrasi.
Analisis Data Data primer yang diperoleh dari penelitian dianalisis menggunakan rata-rata dan standar deviasi ditabulasi dan disajikan dalam grafik dan gambar.
Rumusan Sinkolema Strategi pengembangan disusun berdasarkan hasil analisis SWOT terhadap komponen utama dan pendukung antara lain: teknologi yang dibutuhkan, kelembagaan yang membantu pengembangan siskolema dan payung hukum yang melindungi peternak lebah. Sebagai langkah awal dalam melakukan analisis SWOT adalah dengan melakukan wawancara dan pengisian quesioner terhadap 30 responden terpilih yang selanjutnya dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan para stakeholders.
40
Model sinkolema yang dibangun adalah model budidaya lebah madu yang mengoptimalkan pemanfaatan komponen sumberdaya yang tersedia sacara lokal. Berdasarkan data yang diperoleh, sinkolema didesain agar mampu meningkatkan produksi madu dan kopi yang berkualitas dengan memperhatikan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu sinkolema memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Lebah yang dibudidayakan adalah lebah lokal sejumlah daya tampung lokasi. b. Pakan utama lebah adalah nektar dan polen tanaman kopi, dan bila tanaman kopi sedang tidak berbunga, tanaman pelindung dan tanaman lainnya yang ada di lokasi kebun kopi diupayakan mampu memenuhi kebutuhan pakan lebah. c. Untuk memelihara kopi tidak menggunakan pupuk kimiawi dan pestisida agar madu dan kopi yang dihasilkan adalah madu dan kopi organik. d. Teknologi yang diterapkan baik budidaya maupun pasca panen adalah teknologi sederhana yang mudah diserap petani/peternak. e. Dibutuhkan kelembagaan yang kuat mengingat petani kopi/peternak lebah tidak memiliki lahan yang luas dan memiliki kendala pemasaran produk. f. Dibutuhkan komitmen pemerintah dalam melakukan pembinaan dan perlindungan terhadap petani kopi/peternak madu. g. Mengacu pada Millennium Development Goals (MDGs) terutama penghentasan kemiskinan, peningkatan kesehatan dan penerapan pembangunan yang berkelanjutan.
Analisis Keberlanjutan Sinkolema Metode yang digunakan adalah survey, observasi lapangan dan Focus Group Discussion (FGD), untuk memperoleh data sekunder dan primer yang diperlukan. Berbagai informasi dari dinas terkait, laporan dan statistik wilayah digunakan untuk menganalisis potensi yang ada. Pada tahapan ini, berdasarkan
41
data yang diperoleh diidentifikasi atribut-atribut keberlanjutan dan dianalisis indek keberlanjutannya.
Metode Penghitungan indek keberlanjutan menggunakan RAPBEE model pendekatan modifikasi RAPFISH yang berbasis MDS (Multidimentional Scalling) dengan menekankan pada lima atribut keberlanjutan (Gambar 4) yaitu atribut teknologi (budidaya), lingkungan, ekonomi, sosial budaya dan hukum atau kelembagaan. Data berasal dari hasil analisis data skunder dan primer. Data primer akan diperoleh dari survei dengan wawancara dengan semua stakeholder yang mewakili unit-unit terkait. Responden sebanyak 30 orang dipilih secara purposive yang mewakili pengambil kebijakan, peternak lebah madu, masyarakat sekitar dan dari Perguruan Tinggi. Data yang dikumpulkan ditabulasi dan dibuat skala (skoring) kemudian dihitung indek keberlanjutannya (IkRapBee). Pengujian derajat kesalahan metode ini diuji dengan menggunakan metode Monte Carlo. Data yang dianalisis disajikan dalam bentuk tabel dan grafik layang-layang.
Skala ordinal yang
digunakan adalah 0 untuk kondisi terburuk dan 4 untuk kondisi terbaik. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut mana yang paling berperan dalam menentukan keberlanjutan, sehingga semakin kecil nilainya semakin besar peranannya. Untuk menentukan status keberlanjutan dari model sinkolema yang efektif digunakan nilai indek untuk masing-masing katagori sangat buruk (0-25), buruk (26-50), baik (51-75) dan sangat baik (76-100).
42
Gambar 4. Diagram layang-layang keberlanjutan sinkolema.
43
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Wilayah Kabupaten Kepahiang Kabupaten Kepahiang pasca pemekaran memiliki luas 66500 ha terletak antara 101055‟19” sampai dengan 103001‟29” Bujur Timur (BT) dan 02043‟07” sampai dengan 03046‟48” Lintang Selatan (LS). Secara administratif Kabupaten Kepahang terdiri atas 8 Kecamatan: Bermani Ilir, Seberang Musi, Muara Kemumu, Tebat Karai, Kepahiang, Kabawetan, Ujan Mas dan Merigi. Dari luasan yang ada, sekitar 29000 ha (43.61%) merupakan lahan perkebunan kopi rakyat. Topografi Kabupaten Kepahiang merupakan dataran tinggi yang berada pada ketinggian 400-3000 m di atas permukaan laut, yaitu dari bergelombang sampai berbukit. Lapisan tanah bagian atas sebagian besar adalah merupakan pelapukan dari sisa-sisa aktifitas vulkanik di masa lalu sehingga jenis tanahnya didominasi oleh jenis tanah dengan tekstur sedang, struktur tanah debu berpasir yang sangat subur, porous dan pada beberapa tempat memiliki solum yang dalam (lebih dari 60 cm). Beberapa jenis tanah yang dijumpai adalah jenis tanah podsolik coklat, podsolik merah kuning, andosol, latosol regosol dan aluvial.
Berdasarkan
kerentanan lahan terhadap erosi yang dipengaruhi anatara oleh lain tingkat kepekaan jenis tanah, kelerengan dan curah hujan sebagian besar wilayah merupakan lahan yang rentan terhadap erosi, terutama lahan yang merupakan kawasan hutan dimana sebagian besar kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap adalah kawasan yang memiliki kemiringan/topografi lahan yang curam (40%).
Wilayah Kepahiang memiliki iklim tropis dengan sinar
matahari sepanjang tahun dengan curah hujan >2.000 mm/tahun, temperatur ratarata harian 240C dan kelembaban nisbi > 80% (BPS 2007) merupakan wilayah yang sangat sesuai (very suitable area) untuk pengembangan berbagai komoditi perkebunan seperti kopi, kakao, teh padi dan lain-lain. Oleh karena itu upaya pembangunan perkebunan terus dilakukan dengan sebagian besar diarahkan untuk pengembangan komoditi unggulan yang dikelola dan dimiliki oleh perkebunan rakyat. Selain perkebunan, langkah optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam terus dilakukan dengan pengembangan produk-produk berbasis kehutanan yang lebih diarahkan kepada upaya pengelolaan jasa lingkungan seperti Hutan Kemasyarakatan, Pemanfaatan Hutan sebagai sarana rekreasi (ekowisata) dan
44
lain-lain. Upaya memanfaatkan potensi kawasan perkebunan di Kepahiang dapat digunakan sebagai penyedia nektar dan polen pakan lebah.
Memperhatikan
pemanfaatan dan kondisi lahan di Kabupaten Kepahiang terutama perkebunan mencerminkan bahwa terdapat kelimpahan nektar pakan lebah yang tinggi. Upaya pemanfaatan sumberdaya alam sebagai salah satu pendorong dalam pertumbuhan ekonomi daerah pelalui perkembangan perlebahan perlu terus ditingkatkan dengan memberikan kemudahan bagi petani/peternak lebah untuk melaksanakan kegiatan produksinya, dengan tetap memperhatikan mutu dan daya dukung lingkungan itu sendiri. Kabupaten Kepahiang memiliki potensi yang tinggi untuk pengembangan peternakan lebah madu. Secara agro-ekologi Kabupaten Kepahiang dibatasi oleh bentuk wilayah dengan fisiografi berbukit sampai bergunung dan curah hujan yang tinggi. Pada umumnya
yang menjadikan Kepahiang tidak sulit
mengembangkan hortikultura karena tanah yang terkategori bersolum dalam seluas 61920 ha atau sekitar 93.14 % dari luas wilayah. Luas lahan berdasarkan sebaran ketebalan solum tanah disajikan pada Tabel 4.
Tekstur tanah yang
mendominasi wilayah di Kepahiang termasuk sedang dengan luasan 35597 ha atau 53.54% yang merupakan jenis tanah yang secara fisik sangat potensial untuk pengembangan tanaman perkebunan tanama kopi.
Tabel 4. Luas wilayah berdasarkan kedalaman efektif tanah. Kedalaman Efektif (cm)
Luas (Ha)
(%)
0 - 30
0
0
30 - 60
4.560
6.86
60 - 90
35.792
53.84
> 90
26.128
39.30
Jumlah
66.480
100.00
Sumber : BPS (2007)
45
Kepahiang memiliki kontour bergelombang dan merupakan wilayah lahan kering yang tidak pernah mengalami penggenangan (BPS 2007). Sistem penggunaan lahan di Kabupaten Kepahiang terdiri dari lahan sawah seluas 5273 ha, lahan kering 60681 ha, dan lain-lain seluas 546 ha yang dikategorikansebagai lahan produktif dengan beragam pola penggunaan. Dengan luas wilayah 66480 ha, luas hutan negara yang sebagian besar adalah wilayah konservasi seluas 15806 ha, dan wilayah pemukiman seluas 2958 ha. Pola penggunaan lahan dan potensi luas wilayah untuk pengembangan tanaman pertanian dapat diidentifikasi pada Tabel 5.
Tabel 5. Sistem penggunaan lahan pertanian Kabupaten Kepahiang .
Penggunaan Lahan Tanaman Pangan
Luas Penggunaan (ha) (%) 5.909 9.74
Tanaman Sayuran
4.233
6.98
4.233
6.98
105
0.17
105
0.17
Tanaman Biofarmaka
1.771
2.92
1.771
2.92
Tanaman Hias
1.057
1.74
1.057
1.74
Tanaman Perkebunan
29.214
48.14
29.214
48.14
Hutan
16.416
27.05
1.976
3.26 36.380
54.95
Tanaman Buah-buahan
Lain-lain Jumlah
Potensi (Ha)
(%)
Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Kepahiang (2008)
Sebagian besar (75%) luasan lahan di Kabupaten Kepahiang terletak pada ketinggian 500 – 1000 m dpl dan 12% terletak pada wilayah > 1000 m dpl. Curah hujan rata-rata bulanan untuk sepuluh tahunan di wilayah Kepahiang yaitu > 200 mm. Suhu udara rata-rata 24.00C, dengan suhu udara maksimum sebesar 29.90C dan suhu udara minimum sebesar 19.90C. Kelembaban nisbi rata-rata bulanan > 80%.
Disamping itu potensi pengembangan tanaman perkebunan
didukung juga oleh kedalaman dan jenis tanah yang mendominasi wilayah ini
46
(tanah andosol, aluvial, latosol, asosiasi andosol-latosol-podsolik coklat-podsolik merah kuning) yang sangat baik untuk pengembangan tanaman kopi (BPS 2007).
Karakteristik Petani Jumlah penduduk Kabupaten Kepahiang sampai dengan bulan Desember tahun 2009 adalah 133847 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1.70 % pertahun dan tingkat kepadatan penduduk masih relatif sangat rendah dibanding dengan daerah lainnya, yaitu rata-rata 196 jiwa per km.
Namun
demikian penyebarannya tidak merata dan masih terkonsentrasi pada daerah perkotaan atau daerah pusat kegiatan ekonomi. Berdasarkan struktur mata pencarian di Kabupaten Kepahiang, terdapat lebih dari 80 % penduduk bergerak di bidang usaha pertanian terutama perkebunan kopi. Sektor ekonomi lainnya yang yang menjadi usaha utama penduduk adalah perdagangan dan jasa angkutan. Hal ini menunjukkan bahwa sektor ekonomi di luar pertanian masih belum banyak menyerap tenaga kerja. Berdasarkan komposisi penyerapan tenaga kerja dan konstribusi sector ekonomi terhadap produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kepahiang dapat dipastikan bahwa yang menjadi tulang punggung perekonomian berada pada sector pertanian yang meliputi perkebunan, tanaman pangan, kehutanan, peternakan dan perikanan air tawar. Masyarakat petani Kabupaten Kepahiang masih bercirikan pola pertanian konvensional yang mengikuti trend harga komoditi,
dimana fluktuasi harga
sangat berpengaruh terhadap gairah petani (terutama petani perkebunan kopi) untuk mengurus kebunnya yang berimbas kepada fluktuasi produksi dan kualitas yang dihasilkan. Untuk meningkatkan peran pertanian perlu dilakukan upaya inovasi dalam mengembangkan pertanian (dalam arti luas) yang berbasis pada sumberdaya lokal yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat setempat serta kesesuain lahan terhadap komoditi tertentu dengan dibarengi tersedianya akses pemasaran yang jelas.
Potensi Peternakan dan Karakteristik Morfometrik Lebah Berdasarkan potensi fisik dan lingkungannya, Kabupaten Kepahiang merupakan daerah yang potensial untuk ternak lebah madu yang mampu
47
menghasilkan madu pada saat hasil pertanian belum dipanen dan membantu penyerbukan
tanaman
kopi
untuk
meningkatkan
produksi.
Disisi
lain
tumbuhan/tanaman seperti sayuran, kemiri, coklat, tanaman hias, kebun kopi dan tanaman hutan mampu menyediakan nektar dan polen sebagai pakan lebah madu A. cerana yang menjadi salah satu dari lebah komersil lokal.
Apis cerana
merupakan lebah asli tropis Asia (termasuk Indonesia) yang sudah beradaptasi baik dengan lingkungan Indonesia termasuk Kabupaten Kepahiang Propinsi Bengkulu. Apis cerana memiliki keunggulan yaitu tahan terhadap hama utama lebah (Varroa spp. dan Vespa spp.), walaupun produksinya tidak setinggi A. mellifera (Sihombing 2005). Oleh karena itu, A. cerana sangat memungkinkan untuk dibudidayakan sebagai penghasil madu kopi secara organik. Pemanfaatan perkebunan kopi untuk budidaya madu A. cerana sangat diperlukan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan lahan untuk peningkatan efisiensi dan produktivitas lebah. Peternakan lebah madu merupakan salah satu komoditi penting dalam pembangunan pertanian. Produksi kopi bersifat musiman dan kadang-kadang hasil panennya rendah sebagai akibat pengaruh lingkungan.
Pada saat krisis
ekonomi dan moneter, peranan peternak menjadi penyangga keberhasilan pembangunan suatu daerah. Hal yang menjadi fokus bagaimana peternakan lebah madu menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dengan tetap menjaga agar sumberdaya alam tersebut tetap tejaga kelestariannya. Hasil pengamatan ukuran tubuh lebah menunjukkan bahwa lebah A. cerana yang digunakan dalam penelitian memiliki ukuran panjang sayap 7.62±16 mm, lebar sayap 2.51±0.07 mm, lebar abdomen 3.42±0.15 mm dan panjang proboscis 4.70±0.15 mm. Data morfometrik A. cerana ini mirip dengan hasil penelitian Tilde et al. (2000) yang meneliti kenanekaragaman A. cerana di Filipina dengan menggunakan 101 sampel, melibatkan
39 karateristik
lebah.
Hasilnya
menunjukkan bahwa lebah A. cerana dari daerah Palawan tidak berbeda dengan yang ada di daerah bagian Filipina lainnya. Morfometrik A. cerana yang berasal dari pulau berbeda ada kemungkinan terdapat perbedaan, demikian pula perbedaan ketinggian tempat dapat menyebabkan terjadinya variasi ukuran tubuh lebah. Secara morfometrrik A. cerana yang dipelihara pada satu pulau tidak
48
menunjukan adanya perbedaan yang nyata ( Tilde et al. 2000 dan Hepburn et al. 2001), hasil penelitian ini sesuai dengan Radloff et al. (2005) dan Damus dan Otis (1970). Panjang sayap tidak berpengaruh terhadap frekuensi mengunjungi bunga tetapi berpengaruh terhadap daya jelajahnya (home range).
Kajobe (2007)
melaporkan bahwa frekuensi mengunjungi bunga dipengaruhi oleh produksi nektar, jarak, konsentrasi dan komposisi gula nektar, kandungan asam amino dan lipid. Semakin tinggi produksi nektar, polen, konsentrasi gula dan semakin dekat jarak tanam pakan lebah semakin sering lebah mengunjungi bunga tersebut. Konsentrasi gula dapat dipengaruhi oleh iklim dimana pada musim hujan konsentrasi gula lebih rendah akibat naiknya kadar air. Konsentrasi gula yang terkandung pada nektar kaliandra, berbeda antar waktu.
Adanya hubungan
kemampuan menjelajah dengan ukuran sayap dapat dibuktikan dengan adanya kemampuan menjelajah lebih jauh pada lebah yang memiliki sayap lebih panjang. Contohnya A. mellifera yang memiliki sayap lebih panjang memiliki home range sekitar radius 2 km sedangkan A. cerana yang memiliki ukuran sayap lebih pendek memiliki home range sekitar radius 1 km.
Daya Dukung Kebun Kopi, Produksi Madu dan Kopi Karakteristik Pembungaan (flowering characteristic) Kopi Hasil penelitian selama satu tahun menunjukkan bahwa tanaman kopi di Kaupaten Kepahiang berbunga selama kurang lebih 8 bulan per tahun kecuali bulan Maret, April, pertengahan September, Oktober dan pertengahan Nopember (Gambar 5). Karakteristik pembungaan saat penelitian berbeda dengan laporan Pusbahnas (2008), bahwa tanaman kopi berbunga pada bulan Mei sampai dengan Agustus, dan juga berbeda dengan laporan Kajobe (2007) bahwa kopi di Afrika hanya berbunga selama dua bulan. Kopi yang dibudidayakan di lokasi penelitian adalah Coffee arabica yang diremajakan dengan jalan menempelkan tunas pada batang pohon kopi yang sudah lama dipelihara. Kemungkinan cara peremajaan ini yang menyebabkan waktu pembungaan kopi menjadi lebih panjang sehingga kopi di Kepahiang mampu menyediakan nektar kopi dalam waktu yang lebih
49
panjang. Gambar 6 memperlihatkan bahwa secara fisik terlihat komposisi buah dan bunga pada satu pohon tanaman kopi, ada yang sudah siap dipanen bersamaan dengan bunga yang masih kuncup.
Selama waktu pembungaan,
produksi nektar yang paling sedikit terjadi pada bulan Januari dan Februari dan puncaknya terjadi pada bulan Juli. Hasil ini diduga berkaitan dengan juah hujan dan masa transisi musim hujan ke musim kemarau yang merangsang fsiologi reproduksi kopi untuk menghasilkan media generatifnya yaitu biji kopi. bunga/pohon 1600 1400 1200 1000 800
Rataan produksi bunga/pohon
600 400 200 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
Gambar 5 Grafik karakteristik pembungaan kopi (Coffee arabica) Tahun 2010
Gambar 6 Proses pembungaan dan produksi bunga kopi di Kepahiang Tahun 2010
50
Produksi Nektar, Daya Dukung Kebun Kopi dan Populasi Lebah Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah tangkai kuntum bunga per pohon adalah 1506 kuntum/pohon/tahun Rata-rata produksi nektar kopi adalah 064 ml per 25 kuntum per hari Gambar 7 menunjukan rata-rata produksi nektar kopi harian dalam kurun waktu satu tahun masa berbunga, yang memperlihatkan fluktuasi produksi nektar kopi dengan rata-rata produksi tertinggi terjadi pada bulan Juli
Produksi nektar kebun kopi rata-rata per hari adalah 1814±915
ml/pohon/hari (Tabel 6), berarti rata-rata produksi nektar adalah 36,28608 ml/ha/hari Bila kebutuhan nektar 145 ml/stup/hari (Husaini, 1986) maka daya dukung kebun kopi adalah 250 koloni lebah/ha Diasumsikan tidak ada predator lainnya (grazers) yang mengkonsumsi nektar kopi, maka kebun kopi okulasi robusta di Kabupaten Kepahiang Propinsi Bengkulu mampu mendukung usaha peternakan lebah dengan skala usaha 250 koloni/ha lahan perkebunan kopi Hasil perhitungan ini diperoleh pada kondisi ideal tanpa pengaruh lain yang mengganggu Namun, salah satu ancaman yang perlu diperhatikan adalah predator/serangga pengisap nektar kopi, atau ancaman cuaca/lingkungan yang mengganggu produksi nektar Oleh karena itu, dengan asumsi 50% nektar dikonsumsi serangga lain dan produksi nektar terendah 949±285 ml/pohon/hari (Tabel 6), maka agar tetap menghasilkan madu kopi, jumlah stup lebah yang bisa dikelola sebanyak 66 stup per hektar kebun kopi yang terdapat 2000 pohon/ha Jumlah tersebut didapatkan dari hasil perhitungan produksi nektar kopi terendah dibagi kebutuhan koloni terhadap nektar (145 ml/koloni/hari) dikalikan tujuh puluh lima persen (nektar yang diasumsikan dapat dimanfaatkan untuk pakan lebah)
51
Tabel 6 Produksi nektar kopi di Kabupaten Kepahiang Bulan No Pohon
Januari
Februari
Mei
Juni
Juli
Agustus
Nopember
Desember
346 1935 1413 1132 218 983 1792 655 492 645
648 845 645 922 1183 1577 845 1265 799 760
737 1290 1295 768 896 1597 1452 1132 960 1037
1848 2796 2437 1101 1690 2995 3095 2196 1935 1971
3308 3994 3727 3302 3379 4262 2496 2703 4623 3674
1556 2179 2130 2309 4032 2150 1265 1884 3133 2396
1037 2150 1362 1336 957 1856 768 922 922 914
1265 3594 2703 1344 1638 2903 2949 1659 1882 2089
Jumlah
9610
9487
11164
22065
35469
23035
12224
22026
Rata-rata
961
949
1116
2206
3547
2303
1222
2203
sd
567
285
274
597
623
746
434
747
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Rata-rata produksi nektar per pohon (ml) = 18,14 ± 9,15
51
52
ml/pohon/hari
Gambar 7. Grafik rata-rata produksi nektar kopi pada tahun 2010.
Produksi nektar kaliandra di lokasi penelitian belum bisa dihitung karena selama penelitian kaliandra belum seluruhnya berbunga, walaupun terdapat beberapa pohon kaliandra yang sudah berbunga di sekitar lokasi Berdasarkan hasil observasi diperkirakan bahwa pada saat kopi tidak berbunga kebutuhan pakan lebah dapat dipenuhi oleh nektar kaliandra
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Husaini
(1986), rata-rata produksi nektar kaliandra adalah 119 liter/ha/hari atau 42 ml/pohon/hari
Bila lebah yang dibudidayakan 66 kotak/ha kopi, maka untuk
memenuhi kebutuhan lebah terhadap nektar pada saat kopi tidak berbunga perlu ditanam kaliandra merah sebanyak kurang lebih 230 batang Namun demikian adanya perbedaan produksi nektar pada masing-masing daerah, jumlah kaliandra yang ditanam perlu dihitung ulang disesuaikan dengan poduksi nektar kaliandra setempat Pada kurun waktu enam bulan diperoleh hasil yang menunjukkan peningkatan populasi yakni sekitar 20% populasi lebah di kebun kopi, sementara populasi lebah yang ditempatkan di luar sinkolema menurun sekitar 27% (Gambar 8) Peningkatan dan penurunan populasi berada pada kondisi relatif konstan pada
53
bulan Juli sampai dengan Desember pada masing-masing lokasi sebesar 18000 ekor pada area sinkolema dan 9000 ekor untuk lebah cerana di luar sinkolema
Ekor 18650±5567 17499±4388
18044±8731
13158±554 13158±554
Sinkolema 8621±4720
9313±5196
Non sinkolema
7518±4643
Sep-09
Mei
Jul
Des
Gambar 8 Grafik perkembangan rata-rata populasi lebah
Perkembangan populasi lebah berkaitan erat dengan produksi nektar, dengan kata lain keberadaan populasi lebah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan nektar sebagai pakannya Data menunjukkan bahwa populasi lebah dari 10 koloni pada bulan Mei sebesar 17499±4388 individu/koloni naik menjadi 18650±5567 individu/koloni oada bulan Juli dan turun lagi menjadi 18044±8731 individu/ha (dari 8 koloni) pada bulan Desember Fluktuasi perkembangan populasi lebah ini seiring dengan flutuasi produksi nektar kopi, yaitu produksi nektar naik dari 22320 ml/ha pada bulan Mei menjadi 70940 mm/ha pada bulan Juli turun menjadi 44060 ml/ha pada bulan Desember Kuntadi (2006) melaporkan bahwa masa pembungaan sebagian besar tanaman adalah musiman yang pada periode tertentu menyebabkan lebah kekurangan pakan Kuntadi (2006) mengemukakan bahwa lebah tropis termasuk A cerana lebih rentan terhadap kekurangan pakan, dapat mengakibatkan penurunan dan hijrahnya lebah ke tempat lain Pakan lebah yang dibudidayakan di luar sinkolema adalah nektar rumput-rumputan, bunga hias yang ada di pekarangan, beberapa pohon buah-buahan dan tanaman lainnya dalam jumlah yang terbatas sehingga produksi nektarnya sulit diprediksi Populasi lebah
54
non sinkolema jauh lebih rendah dari populasi lebah yang dibudidayakan di kawasan sinkolema
Hasil Implementasi Sinkolema Daya Dukung Kebun Kopi Koloni lebah yang dapat dipelihara pada setiap hektar lahan kebun kopi di Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu adalah 250 koloni/ha, pada kondisi tidak ada predator atau serangga lainnya sebagai kompetitor Rekomendasi untuk mengantisipasi adanya serangga lain pengisap nektar kopi dan cuaca buruk yang menyebabkan kopi tidak berbunga sebagaimana mestinya, dengan menggunakan data produksi nektar terendah yaitu pada bulan Februari sebesar 949 ml/pohon/hari, adalah menempatkan lebah madu tidak lebih dari 66 koloni setiap hektar kebun kopi Hal ini bertujuan agar lebah madu A cerana dapat selalu menghasilkan madu kopi maka setiap satu stup lebah perlu didukung oleh 30 pohon tanaman kopi
Produksi Madu dan Kopi Hasil yang diperoleh dari tahapan implementasi sinkolema adalah madu dan kopi yang disajikan pada Tabel 7 dan 8 Produksi madu dari ternak lebah yang dipelihara dengan sistem integrasi mencapai 3335 ± 1433 g/koloni/tahun, 114% lebih tinggi dari produksi madu lebah yang dipelihara di luar kawasan integrasi (1560 ± 815 g/koloni/tahun) Perolehan ini ada hubungannya dengan tingkat perkembangan populasi lebah dan ketersediaan nektar pada masing-masing sistem Produksi madu sangat erat kaitannya dengan ketersediaan nektar, yang berarti nektar memegang peranan penting dalam usaha budidaya lebah madu
Hasil
penelitian ini sejalan dengan Soesilohadi (2008) yang melaporkan bahwa terdapat hubungan antara kegiatan mencari makan lebah madu (A cerana) dengan volume nektar dan perkembangan jumlah bunga kaliandra (Calliandra calothyrsus ) di desa Pager Wangi, Bandung Kegiatan lebah sangat erat hubungannya dengan ketersediaan nektar di sekitar koloni
55
Tabel 7 Produksi madu yang dipelihara sinkolema dan nonsinkolema Koloni
Panen ke (kg) Maret
Mei
Juli
Jumlah
September
Desember
Integrasi A1
750
850
1000
750
1000
4350
A2
500
1000
1500
1000
750
4750
A3
750
1250
1500
1000
1000
5500
A4
850
500
500
500
500
2850
A5
450
500
750
750
500
2950
A6
400
250
250
0
0
900
A7
500
500
500
500
850
2850
A8
500
500
500
0
0
1500
A9
450
1000
1000
500
500
3450
A10
500
1000
1000
750
1000
4250
Rata-rata
565
735
850
575
610
3335
Sd
156
324
428
355
382
1433
B1
750
0
500
0
500
1750
B2
500
0
1000
0
750
2250
B3
750
0
0
0
0
750
B4
1000
0
750
0
500
2250
B5
750
0
0
0
0
750
B6
1000
0
1000
0
500
2500
B7
750
0
0
0
0
750
B8
400
0
750
0
850
2000
B9
350
0
0
0
0
350
B10
750
0
500
0
1000
2250
Rata-rata
700
0
450
0
410
1560
Sd
222
0
422
0
388
815
Tidak Integrasi
Produksi madu berkaitan dengan karakteristik pembungaan dan jumlah nektar yang dihasilkan dengan
produksi tertinggi terjadi pada bulan Juli,
sedangkan peroduksi terendah pada bulan Maret dan September pada produksi
56
nektar kopi menurun (Gambar 9) Dilihat dari frekuensi panen, lebah madu di kebun kopi dapat dipanen 5 kali dalam setahun, dua kali lebih banyak dibandingkan dengan madu yang berasal dari koloni lebah yang dipelihara di luar kebun kopi, dengan jumlah panen 3 kali setahun Madu yang diproduksi koloni lebah di luar kebun kopi dikonsumsi kembali oleh lebah untuk mempertahankan hidupnya karena kekurangan nektar Menurut Soesilohadi (2008) kegiatan lebah madu pada kaliandra berkaitan erat dengan perkembangan jumlah bunga yang mekar selama pangamatan Jumlah bunga kaliandra yang mekar meningkat, maka jumlah lebah madu yang datang mencari makan pada bunga kaliandra juga meningkat Hal menarik yang diamati di daerah sinkolema adalah pada saat kopi sedang tidak berbunga pada bulan Maret, madu masih dapat dipanen dengan ratarata 735±324
gram/koloni
Kemungkinan madu yang dipanen dari wilayah
sinkolema pada awal Maret di wilayah sinkolema bersumber dari nektar kopi bulan Februari atau lebah madu memanfaatkan tanaman sumber nektar selain kopi Rendahnya produksi madu lebah yang ditempatkan di luar kebun kopi juga disebabkan hijrahnya 4 koloni (40%) dari lokasi, sementara data koloni yang hijrah dari areal kebun kopi hanya 2 koloni (20%)
Beberapa alasan yang
menyebabkan hijrahnya koloni lebah yaitu, 1) kurang pakan yang diindikasikan dengan tidak tersedianya madu pada sarangnya, 2) kondisi kotak/stup kotor tidak pernah dibersihkan oleh peternak,
3) terjadinya kompetisi antara koloni lebah
terhadap pakan, dan 4) lebah merasa terganggu karena penanganan yang kurang baik atau karena diganggu hewan (hama) Hasil penelitian memperlihatkan adanya kaitan antara karakteristik pembungaan, jumlah nektar yang dihasilkan dan produksi madu Produksi madu tertinggi terjadi pada panen bulan Juli ini berkaitan dengan produksi nektar yang tertinggi terjadi pada bulan Juli, sedangkan produksi terendah terjadi pada panen bulan Maret dan September dimana produksi nektar kopi sudah mulai mau berhenti Kondisi pohon kopi yang sedang berbuah dapat dilihat pada Gambar 10 yang diambil pada bulan September 2010 yang memberi gambaran bahwa tanaman kopi di kawasan sistem integrasi kebun kopi lebah madu (sinkolema) di Kabupaten Kepahiang Bengkulu bebuah lebih lebat dan berbuah lebih bernas Hal
57
ini menunjukkan bahwa kopi yang dihasilkan lebih baik ditinjau dari kuntitas maupun kualitas.
gram/koloni
Gambar 9 Grafik produksi madu yang di pelihara sinkolema dan nonsinkolema Hasil pada Tabel 8 memperlihatkan bahwa rataan produksi kopi di perkebunan yang diintegrasikan dengan lebah sebesar 131 ton/ha relatif lebih tinggi dari rataan produksi kopi di luar wilayah integrasi (118 ton/ha) Hasil ini menunjukan bahwa sinkolema mampu meningkatkan produksi kopi di Kabupaten Kepahiang sebesar 1055%
Kopi sinkolema
Kopi non-sinkolema
Gambar 10 Contoh pohon kopi yang sedang berbuah di lokasi penelitian bulan September 2010
58
Tabel 8 Produksi kopi pada sinkolema dan non sinkolema Produksi pada Sistem No
Panen ke
1 2 Rataan
Selisih
Non-sinkolema (ton/ha) 1,16
Ton
%
I
Sinkolema (ton/ha) 1,35
0,19
16,38
II
1,27
1,21
0,06
4,96
1,31
1,18
0,12
10,17
Pengaruh Tata Letak Kotak Lebah Terhadap Produksi Madu Hasil penelitian menunjukkan bahwa penempatan koloni lebah secara terpusat atau tersebar mempengaruhi produksi madu (Tabel 12) Produksi madu dari koloni lebah yang ditempatkan secara menyebar di dalam kebun kopi sebesar 408 kg/koloni/tahun nyata lebih tinggi dari produksi madu koloni lebah yang ditempatkan terpusat di tengah-tengah kebun kopi sebesar 260 kg/koloni/tahun Kompetisi terhadap pakan antar koloni lebah (intraspesific competition) yang ditempatkan secara terpusat menyebabkan 2 koloni hijrah pada bulan September Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kekurangan pakan karena pada bulan September kopi sudah berhenti berbunga Soesilohadi (2008) menyatakan bahwa lebah memanfaatkan nektar yang berada paling dekat dengan koloninya, artinya semakin padat populasi lebah pada suatu tempat yang memiliki keterbatasan pakan akan menyebabkan terjadinya persaingan antar koloni lebah, keadaan ini menyebabkan penurunan produksi madu atau terganggunya keseimbangan populasi lebah dan akibat yang paling buruk adalah terjadinya hijrah (absconding) Perkembangan produksi lebah dari bulan Maret sampai Desember
2010,
berdasarkan tata letak stup dapat dilihat pada Gambar 11 Penempatan koloni secara terpusat mengakibatkan terjadi overlaping baik tempat hidup maupun pakan Kajobe (2007) mengemukakan bahwa overlaping tempat mengambil pakan akan menimbulkan tingkat kompetisi tinggi (high competition) yang seringkali mengakibatkan tekanan terhadap keberadaan lebah dan terjadi penurunan populasi.
59
Tabel 9 Produksi madu berdasarkan tata letak stup Produksi madu pada bulan (Kg) No Stup
Jumlah Maret
Mei
Juli
September
Desember
Penyebar 1 2 3 4 5
750 500 750 850 450
850 1000 1250 500 500
1000 1500 1500 500 750
750 1000 1000 500 750
1000 750 1000 500 500
4350 4750 5500 2850 2950
Jumlah
3300
4100
5250
4000
3750
20400
Rata-rata
660
820
1050
800
750
4080
Sd
175
325
447
209
250
1154
Terpusat 1 2 3 4 5
400 500 500 450 500
250 500 500 1000 1000
350 800 750 950 1050
0 500 0 500 750
0 850 0 500 1000
1000 3150 1750 3400 4300
Jumlah
2350
3250
3900
1750
2350
13600
Rata-rata
470
650
780
350
470
2720
Sd
45
335
268
144
257
1327
Letak koloni (stup) yang t erl al u rapat dalam satu luasan lahan dapat menyebabkan terjadinya kompetisi terhadap pakan sehingga menyebabkan turunnya produksi madu Jarak dan daya jelajah lebah ada kaitannya tata letak berpengaruh terhadap produksi madu Hasil ini sejalan dengan penelitian Wolf and Moritz (2008) yang
melaporkan bahwa intensitas pengambilan nektar oleh
Bombus terrestris dipengaruhi daya jelajah lebah pekerja dan jarak dengan sumber bunga Sekitar 40% lebah pekerja mengambil nektar dengan jarak kurang dari 100 m dari letak stup dan bila nektar/polennya yang ada lebih disukai, lebah dapat mengambil nektar pada jarak lebih dari 100 m Penempatan stup secara menyebar dapat mengurangi tingkat kompetisi antar lebah dan meningkatkan populasi yang menghasilkan produksi madu lebih tinggi dari lebah yang ditempatkan secara terpusat
Wolf and Moritz (2008) melaporkan bahwa 80%
frekuensi kunjungan lebah ke bunga ditentukan oleh jarak dan kualitas nektar
60
gram/koloni 1200 1050±447 1000 800±209 820±325
780±268
800 660±175
750±250 Tersebar
650±325
Terpusat
600 470±257
470±45 400
350±144
200
0 Maret
Mei
Juli
September
Desember
Gambar 11 Grafik perkembangan produksi madu berdasarkan tata letak
Produksi Nektar, Populasi dan Produksi Madu Berdasarkan data populasi lebah dan produksi madu ada, data yang diperoleh pada bulan Mei,
Juli dan Desember merupakan data yang cukup
lengkap digunakan untuk proses analisis Pada setiap bulan, jumlah lebah per stup relatif seragam dengan rata-rata 18 ribu ekor per stup, walaupun ada kecenderungan dengan meningkatnya produksi nektar kopi terjadi peningkatan populasi lebah dalam satu koloni Hasil analisis mengindikasikan bahwa semakin tinggi nektar yang dihasilkan kopi di areal sinkolema, semakin tinggi madu yang diproduksi lebah (Tabel 10) Dengan demikian produksi madu yang tinggi terjadi pada bulan Juli, ada hubungan dengan produksi nektar tinggi Hasil penelitian ini
61
menunjukkan bahwa pakan utama lebah A. cerana di kawasan sinkolema adalah nektar kopi Hal menarik dari Tabel 10 adalah produksi nektar dan produksi madu pada bulan Mei dan Desember Pada ukuran populasi yang relatif sama, produksi madu pada bulan Mei lebih tinggi dari pada pada bulan Desember padahal produksi nektar kopi pada bulan Desember dua kali lipat lebih tinggi dari pada pada bulan Mei Performa populasi dan produksi madu besar kemungkinan dipengaruhi oleh Jumlah koloni yang ditempatkan di kawasan sinkolema, kondisi vegetasi lain di kawasan sinkolema dan curah hujan setempat Walaupun pada bulan Mei produksi nektar jauh lebih rendah dari produksi nektar bulan Desember, populasi lebah relatif sama sehingga produksi madu pada bulan Mei dan Desember relatif sama Disamping itu, vegetasi di kawasan sinkolema mulai berbunganya sehingga ketersediaan pakan lebah dapat dipenuhi oleh nektar yang berasal dari bungan selain tanaman kopi Kemungkinan lain, pada saat curah hujan tetinggi produksi madu lebih tinggi walaupun kondisinya lebih encer karena memiliki kadar air yang lebih tinggi Oleh karena itu produksi madu bulan Mei yang memiliki curah hujan 572 mm lebih tinggi dibandingkan dengan produksi lebah pada bulan Desember yang memiliki curah hujan 572 mm dan 345 mm
Tabel 10 Produksi nektar, populasi lebah, produksi madu dan curah hujan No
Komponen
1
Jumlah kopi (pohon/ha)
2
Produksi nektar (ml/pohon/hr)
3
Populasi (individu/koloni)
4
Produksi madu (g/panen/koloni)
5
Curah hujan (mm)*
Keterangan: * BPS (2010)
Mei
Juli
Des
2000
2000
2000
1116±2,74
3547±623
2203±747
17499±4388 18650±5567 18044±8731 735±324
850±428
610±382
572
246
345
62
Hasil uji organoleptik madu kopi, karet, randu dan madu rambutan disajikan pada Tabel 11 Hasil penilaian 50 orang panelis menunjukkan bahwa warna madu kopi menarik bahkan lebih menarik dari pada madu karet, randu maupun rambutan,
sama halnya dengan aroma dan rasa Panelis menyatakan
bahwa madu kopi sangat manis (lebih manis dari madu pembanding) Hal ini diduga ada kaitannya dengan kadar air dimana kadar air madu kopi adalah terendah (2228%) dibandingkan dengan ketiga jenis madu lainnya yang memiliki kandungan air sekitar 25-28 Ditinjau dari aspek tingkat kesukaan, madu kopi menempati urutan kedua setelah madu karet, karena madu kopi memiliki rasa yang relatif sangat manis, sehingga dirasa terlalu manis untuk dikonsumsi langsung
Tabel 11 Kadar Air, pH dan orgonoleptik madu kopi, karet, randu dan rambutan Aspek Kadar Air (%)
Kopi
Karet
Randu
Rambutan
2280
24
25
26
28
39
37
37
Warna (Score 1-5)
408
366
37
336
Rasa manis (Score 1-5)
454
416
368
366
Aroma (Score 1-5)
368
356
332
326
39
408
314
306
pH
Kesukaan (Score 1-5)
Keterangan: Warna dari 1( sangat tidak menarik) s/d 5 (sangat menarik) Rasa dari 1 (sangat tidak masis) s/d 5 sangat manis) Aroma dari 1 (sangat tidak suka) s/d 5 (sangat suka) Kesukaan dari 1 (sangat tidak suka) s/d 5 (sangat suka)
Penyusunan Strategi Penerapan Sinkolema Analisis SWOT Analisa SWOT yang dilakukan adalah untuk identifikasi berbagai faktor penentu keberhasilan secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi pengembangan integrasi peternakan lebah dan kebun kopi Analisa ini didasarkan prinsip dasar memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), serta secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
63
(Weaknesses) dan ancaman (Threats) Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan potensi sumberdaya alam lokal, sumberdaya manusia dan kebijakan pemerintah daerah/pusat Dengan demikian perencana strategis (strategic planner) harus menganalisa faktor-faktor (lingkungan) strategis sinkolema (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) berdasarkan kondisi saat ini Identitifikasi Faktor-Faktor SWOT Hasil analisis lingkungan strategik (Identifikasi faktor-faktor SWOT) pada perencanaan strategis pengembangan peternakan lebah madu yang diintegrasikan dengan kebun kopi disajikan sebagai berikut:
Kekuatan: a. Ketersediaan lahan dan kebun kopi dan tanaman perkebunan lainnya yang luas (35000 ha) b. Budaya masyarakat yang sudah biasa bertani berbagai macam tanaman (perkebunan dan hortikultura) c. Penyederhanaan penguasaan dan penerapan inovasi dan teknologi untuk pengembangan kopi dan beternak lebah d. Visi Pemda untuk menjadikan Kabupaten Kepahiang sebagai tujuan agrowisata e. Letak geografis yang cocok untuk untuk pengembangan perkebunan kopi dan ternak lebah madu (ketinggian tempat) f. Aroklimat yang mendukung baik terhadap budidaya tanaman perkebunan kopi maupun beternak lebah g. Tersedianya sarana dan prasarana pendukung seperti air bersih, pasar, jalan yang layak dll h. Terdapatnya kelompok masyarakat pengelola lebah madu (KUP) i. Lokasi mudah dijangkau
64
Kelemahan: a. Produksi lebah madu yang masih rendah akibat kurangnya nektar yang dikonsumsi lebah b. Masyarakat belum menguasai budidaya lebah madu terutama pemanfaatan potensi lokal untuk meningkatkan produksi lebah c. Terbatasnya dukungan finansial d. Sarana budidaya lebah yang masih minim e. Kelembagaan di tingkat petani yang masih tidak/kurang berfungsi f. Belum ada program yang disusun pemda mengenai pengembangan ternak lebah madu g. Beternak lebah yang masih kurang menguntungkan dibandingkan dengan usaha lainnya h. Belum ada peraturan daerah mengenai usaha peternakan lebah madu
Peluang: a. Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap madu terus meningkat tergambar dari tingginya permitaan terhada madu dan produk lebah lainnya b. Madu merupakan produk yang dikonsumsi semua lapisan masyarakat baik dalam maupun luar negeri c. Khasiat madu sebagai produk alternatif untuk meningkatkan kebugaran dan stamina d. Peran dan kopetensi lembaga perguruan tinggi dalam pengembangan sinkolema e. Tersedianya
SDM
yang
yang
punya
potensi
untuk
mengembangkan peternakan lebah f. Meningkatnya daya beli terhadap madu yang berkualitas
Ancaman: a. Kompetisi madu lokal dan madu impor yang lebih berkualitas b. Konsumen madu sering mendapatkan madu yang palsu c. Lembaga keuangan yang belum memperhatikan petani kecil
terampil
65
d. Beberapa infrastruktur jalan dan transportasi umum menuju lokasi yang belum memadai
Pembobotan Faktor-faktor dalam Analisis SWOT Pembobotan masingmasing faktor internal dan ekternal untuk dianalisis SWOT dilakukan dengan cara mendiskusikan sekaligus mengurutkan mulai dari yang kurang penting sampai yang paling penting Selanjutnya disusun secara matrik dan dihitung bobotnya Nilai Bobot Faktor Eksternal dan Internal Serta Matrik Evaluasi Setelah dilakukan pembobotan , faktor kekuatan yang memiliki bobot tertinggi berturut-turut adalah
(1) ketersediaan lahan dan kebun kopi dan tanaman
perkebunan lainnya yang luas, (2) budaya masyarakat yang sudah biasa bertani berbagai macam tanaman dan (5) agroklimat yang mendukung baik terhadap budidaya tanaman perkebunan kopi maupun beternak lebah, sedangkan yang paling kecil nilainya adalah lokasi mudah dijangkau
Kondisi tersebut
mengisyaratkan bahwa sumberdaya di Kabupaten Kepahiang sangat potensial untuk dikembangkan budidaya lebah madu yang diintegrasikan dengan perkebunan Kelemahan utama yang diidentifikasi adalah produksi lebah madu yang perlu ditanggulangi, mengingat tujuan berternak lebah adalah pemproduksi madu Masalah rendahnya produksi madu akibat dari kurangnya nektar yang dikonsumsi lebah, masyarakat belum menguasai budidaya lebah madu terutama pemanfaatan potensi lokal untuk meningkatkan produksi lebah dan terbatasnya dukungan finansial merupakan kelemahan yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah Peluang yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya adalah terdapatnya lembaga perguruan tinggi yang memiliki kopetensi penerapan sinkolema, terdapatnya kepercayaan masyarakat terhadap madu terus meningkat tergambar dari permitaan madu dan kebiasaan minum madu terus meningkat serta madu merupakan komoditi yang dikonsumsi semua lapisan masyarakat baik dalam maupun luar negeri Ketiga faktor-faktor peluang tersebut memiliki bobot yang lebih tinggi dari yang lainnya Hal yang perlu diantisipasi lebih serius dalam menerapkan sinkolema adalah meningkatnya kebutuhan pendidikan yang berwawasan aplikatif seperti
66
kebutuhan SMK Pertanian, tersebarnya produk madu yang diproduksi dan diolah di daerah lain dan lembaga keuangan yang belum memperhatikan petani kecil Ketiga faktor ini memiliki bobot yang tertinggi Setelah dilakukan pembobotan, data dianalisis untuk mendapatkan faktor faktor yang menjadi skala prioritas dan hasilnya disajikan pada Tabel 15 Faktor prioritas dari masing-masing kelompok SWOT adalah sbb: 1. KEKUATAN : Ketersediaan lahan dan kebun kopi dan tanaman perkebunan lainnya yang luas (35000 ha) 2. KELEMAHAN : Produksi lebah madu yang maih rendah akibat dari kurangnya nektar yang dikonsumsi lebah 3. PELUANG : Terdapatnya lembaga perguruan tinggi yang memiliki kopetensi penerapan sinkolema 4. ANCAMAN : Tersebarnya produk madu yang diproduksi dan diolah di daerah lain
67
Tabel 12 Matrik evaluasi Faktor Internal 1 a
b
c
d
e
f g h i
Bobot
Rating
Nilai (Skor)
Prioritas
011
4
044
1
010
2
021
4
007
3
020
5
006
2
012
6
007
4
029
2
009
3
027
3
KEKUATAN
Ketersediaan lahan dan kebun kopi dan tanaman perkebunan lainnya yang luas (35000 ha) Budaya masyarakat yang sudah biasa bertani berbagai macam tanaman Penyederhanaan penguasaan dan penerapan inovasi dan teknologi untuk pengembangan kopi dan beternak lebah Visi Pemda untuk menjadikan Kabupaten Kepahiang sebagai tujuan agrowisata Letak geografis yang cocok untuk untuk pengembangan perkrbuan kopi dan ternak lebah madu (ktinggian tempat) Agroklimat yang mendukung baik terhadap budidaya tanaman perkebunan kopi maupun beternak lebah Tersedianya sarana dan prasarana pendukung seperti air bersih, pasar, jalan yang layak dll Terdapatnya kelompok masyarakat pengelola lebah madu (KUP) Lokasi mudah dijangkau
005 003 001
2 2 2
Sub Total 2
010 005 001
7 8 9
170
KELEMAHAN
Produksi lebah madu yang maih rendah akibat dari kurangnya nektar yang dikonsumsi lebah Masyarakat belum menguasai budidaya lebah madu terutama pemanfaatan potensi local untuk meningkatkan produksi lebah Terbatasnya dukungan finansial Sarana budidaya lebah yang masih ninim Kelembagaan di tingkat petani yang masih tidak/kurang berfungsi
010
3
029
1
008
3
024
2
008 005
2 3
017 014
3 4
004
2
008
6
f
Belum ada program yang disusun pemda mengenai pengembangan ternak lebah madu
003
3
010
5
g
Beternak lebah masih kurang menguntungkan dibandingkan dengan usaha lainnya
002
2
004
7
h
Belum ada peraturan daerah mengenai lebah madu
001
2
003
8
a b c d e
Sub Total
108
68
Tabel 15 Lanjutan Faktor Eksternal 1
Bobot
Rating
Nilai (Skor)
Prioritas
PELUANG
a
Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap madu terus meningkat tergambar dari tingginya permitaan terhada madu dan produk lebah lainnya
015
3
045
2
b
Madu merupakan produk yang dikonsumsi semua lapisan masyarakat baik dalam maupun luar negeri
009
3
027
3
c
Khasiat madu sebagai produk alternatif untuk meningkatkan kebugaran dan stamina
008
3
023
4
d
Peran dan kopetensi lembaga perguruan tinggi dalam pengembangan sinkolema
017
3
050
1
Tersedianya SDM yang yang punya potensi untuk terampil mengembangkan peternakan lebah
003
2
006
5
Meningkatnya daya beli terhadap madu yang berkualitas
002
2
003
6
e
Sub Total 2 a b c
d
155
ANCAMAN
Kompetisi madu lokal dan madu impor yang lebih berkualitas Konsumen madu sering mendapatkan madu yang palsu Lembaga keuangan yang belum memperhatikan petani kecil Beberapa infrastruktur jalan dan transportasi umum menuju lokasi yang belum memadai
014
3
006
3
011
2
012
2
Sub Total Keterangan : Penilaian rating menggunakan
041 018 021
024
105 skala 1 - 4
1 4 3
2
69
Posisi Strategi
Berdasarkan data faktor-faktor internal dan eksternal
didapatkan skor pembobotan untuk faktor kekuatan = 193; faktor kelemahan = 0,86; faktor peluang = 213 dan faktor ancaman = 058 Dari skor pembobotan di atas selanjutnya diplotkan pada gambar analisa diagram SWOT yang terdiri dari 4 kuadran yaitu : kuadran I (Agresif), kuadran II (Investasi), kuadran III (defensif) dan kuadran IV (Diversifikasi) Adapun perhitungannya sebagai berikut: Skor pembobotan -
-
Faktor KEKUATAN Faktor KELEMAHAN P
: 170 : 108 ---------: 062 (sumbu x)
Q
: 155 : 105 ---------: 050 (sumbu Y)
Faktor PELUANG Faktor ANCAMAN
Dari perpotongan keempat garis faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, maka didapatkan koordinat ( 06 ; 050 ) yang mana koordinat ini masuk pada kuadran I, yakni Strategi AGRESIF (Gambar 12) Peluang
I. AGRESIF
II. INVESTASI INVESTASI Kelemahan
Kekuatan
III. DEFENSIF
IV. DIVERSIFIKASI
Ancaman
Gambar12 Kuadran analisa SWOT Sinkolema
70
Penyusunan Strategi.
Analisa SWOT ditujukan untuk mengidentifikasi
berbagai faktor perumusan strategi Dari berbagai faktor internal dan eksternal terpilih dan disusun strategi untuk pengembangan sinkolema Memanfaatkan peluang mengoptimalkan Kekuatan a. Optimalisasi pemanfaatan SDA bekerjasama dengan Perguruan Tinggi b. Merealisasikan Visi dan Misi dengan member bekal pengetahan murid SMK c. Peningkatan mutu dan produksi madu untuk memenuhi kebutuhan konsumen
Menanggulangi kelemahan dengan memanfaatkan peluang) a.
Mendapat bimbingan PTN dalam mendapatkan modal dari sumber keuangan dan membentuk kelembagaan yang kuat
b.
Optimalisasi transfer teknologi dari PT/PTN
c.
Mengurangi mpenggunaan pestisida untuk menghasilkan madu yang aman dikinsumsi
d.
Dibuat program pengembangan ternal lebah bekerjasama engan SMK Pembenahan sarana dan prasarana produksi untuk memberikan layanan
kebutuhan madu dengan cepat dan bermutu
Memakai kekuatan untuk mengantisipasi tantangan/ancaman) a. Memanfaatkan fasilitas dan akses yang yang dimiliki PEMDA untuk ajang promosi b. Pembenahan infrastruktur (jalan) dan akselerasi pelaksanaan terwujudnya Kabupaten Kepahiang sebagai Kota tujuan Arowisata
Memperkecil kelemahan dan mengatasi tantangan/ancaman) : a. Menggalang kerjasama dengan berbagai pihak untuk kegiatan promosi b. Pemanfaatan secara optimal sumberdaya Pemda yang dimiliki Kerjasama dengan berbagai pihak (yang satu Misi)
71
Rekomendasi Rencana Aksi (Action Plan) Sinkolema.
Rencana aksi
yang disusun dalam tataran operasional perlu didasarkan pada hasil analisisn SWOT di atas Dilihat dari kekuatan dan peluang yang mendominasi maka rencana aksi ini disusun agresif dan dibagi berdasarkan jangka pendek, menengah dan panjang Aksi jangka pendek terdiri dari; 1. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan wawasan petani kopi melalui penyuluhan, pelatihan dan magang 2. Pembentukan dan penataan kelompok-kelompok tani dan lembaga lain yang tekait peningkatan ketermpilan dalam memfungsikan lembaga, dan menciptakan jaringan dengan instansi/lembaga terkait 3. Pengadaan lebah madu yang berkualitas melalui pengembangan kolonikoloni lebah terutama dari peternakan yang sudah berhasil di Bengkulu atau di luar Bengkulu 4. Perbaikan sarana dan prasarana produksi untuk memberikan layanan kebutuhan produksi madu dengan cepat dan bermutu 5. Meningkatkan skala pemeliharaan budidaya kopi dan lebah madu untuk memenuhi kebutuhan konsumen 6. Menjalin kerjasama terstruktur dengan instansi terkait 7. Melengkapi sarana edukasi (brosur, juknis, poster, dll) untuk diterapkan di SMK 8. Membentuk lembaga tingkat nasional yang menangani satwa harapan Aksi jangka menengah terdiri dari; 1. Melakukan ajang promosi pada tingkat regional, nasional bahkan Internasional 2. Didirikan beberapa rumah madu sinkolema yang berfungsi memasarkan dan sekaligus tempat pusat informasi permaduan dan perkopian di Kepahiang 3. Mendidik kader-kader yang memenuhi syarat untuk dididik menjadi ahli madu
72
4. Melengkapi sarana edukasi dari aspek budidaya satwa secara keseluruhan dan aspek prosesingnya (media elektronik, tulisan dan perlengkapan praktek) Aksi jangka panjang terdiri dari; 1. Menjadikan Kepahiang bahkan Propinsi Bengkulu sebagai kota/Propinsi madu 2. Menjalin kerjasama dengan pihak swasta yang tertarik di untuk menanamkan investasi di bidang kopi dan madu 3. Terciptanya beberapa kawasan sinkolema di Kabupaten Kepahiang yang memproduksi madu kopi 4. Membentuk lembaga tingkat nasional yang menangani satwa harapan
Analisis Keberlanjutan Analisis keberlanjutan dilakukan untuk menilai
tingkat keberlanjutan
peternakan madu yang di integrasikan dengan kebun kopi di wilayah Kabupaten Kepahiang, Bengkulu
Penilaian tingkat keberlanjuan ini dilakukan dengan
menggunakan metode multidimensional scaling (MDS) yang disebut Rafbee hasil adopsi metode Rapfish Indikator yang digunakan dalam analisis keberlanjutan menggunakan indikator yang disusun berdasarkan hasil akuisisi para stakeholders dalam bentuk Fokus Group Discussion (FGD) dan wawancara (pengisian questioner) Analisis dilakukan dua kali yaitu awal kegiatan sebagai database dan pada akhir kegiatan sebagai dampak dari penerapan sinkolema untuk melihat adanya pengaruh dari sinkolema terhadap indek keberlanjutan, Keberlanjutan usaha lebah madu dikelompokkan kedalam 5 dimensi, yakni teknologi (budidaya), lingkungan, ekonomi, hukum/kelembagaan dan sosial budaya, masing-masing sebanyak 10, 10, 9, 10 dan 9 atribut atau keseluruhan ada 48 atribut Hasil analisis disajikan pada Tabel 13 yang menunjukkan bahwa Indeks keberlanjutan budidaya lebah madu sebelum dan setelah diterapkannya sistem integrasi lebah madu dan kebun kopi di Kabupaten Kapahiang Bengkulu untuk masing-masing komponen berkisar antara 49 dan 86 pada skala sustainability 0-100
73
Tabel 13 Indek keberlanjutan budidaya lebah sebelum dan sesudah sinkolema No
Dimensi
1 Budidaya/Teknologi
IkRafbee Sebelum Sesudah 4911 7619
Status Sebelum Sesudah Kurang Sangat Baik
2 Ekologi/Lingkungan
6953
8420
Baik
Sangat Baik
3 Ekonomi
5706
7924
baik
Sangat Baik
4 Hukum dan Kebudayaan
4962
5490
Kurang
Baik
5 Sosial Budaya
7318
8528
baik
Sangat Baik
6 Sinkolema
5950
7600
Baik
Sangat Baik
Indeks keberlanjutan budidaya lebah madu (IkRafBee)
sebelum dan
sesudah implemtasi sinkolema sebesar 5950 dan 7600 ini berarti keberlanjutan sebelum sinkolema berstatus baik meningkat menjadi berstatus sangat baik setelah dilaksanakan sinkolema
Peningkatan status keberlanjutan sinkolema tercapai
karena semua atribut keberlanjutan mengalami peningkatan status Peningkatan status keberlanjutan yang paling tinggi adalah dimensi budidaya/teknologi yaitu dari kurang menjadi sangat baik
Penelingkatan status dimensi budidaya terjadi
karena pada saat pelaksanaan penelitian, peternak ditingkatkan keterampilannya melalui pelatihan budidaya lebah Nilai keberlanjutan yang masih rendah adalah dimensi hukum dan kelembagaan, hal ini agak sulit ditingkatkan masyarakat karena erat kaitannya dengan peran pemerintah Jadi untuk dapat menaikan status menjadi sangat baik, peranan pemerintah dalam melakukan pengawasan dan pembinaan sangat diperlukan Perubahan nilai keberlanjutan antara sebelum dan setelah sinkolema dapat dilihat pada diagram layang-layang Gambar 13 2
Nilai stress dan nilai determinasi (R ) baik sebelum maupun sesudah penerapan sinkolema menunjukan bahwa
hasil analisis sudah baik dan
penggunaan peubah sudah tepat Hal tersebut ditunjukan dengan nilai koefisien determinasi >80% ( Tabel 14) dan nilai stress <0,25 (Tabel 15)
74
Budaya – Tekonologi 80 60 40 Sosial - Budaya
Ekologi – Lingkungan
20 0
Hukum – Kelembagaan
Ekonomi (A)
Budidaya – Tekonologi 100
80 60 Sosial - Budaya
40
Ekologi – Lingkungan
20 0
Hukum – Kelembagaan
Ekonomi
(B)
Gambar 13 Diagram layang layang (A) sebelum dan (B) setelah diterapkan sinkolema
75
Tabel 14 Nilai stress dan nilai determinan (R2) awal kegiatan No
DIMENSI PEL
NILAI INDEKS
STATUS PEL
NILAI STRESS
R2 (%)
1
Budidaya – Tekonologi
4911
Kurang baik
01428
949
2
Ekologi – Lingkungan
6953
Baik
01362
9525
3
Ekonomi
5706
Baik
01368
934
4
Hukum – Kebudayaan
4862
Kurang baik
01456
9493
5
Sosial - Budaya
7318
Baik
01339
9506
Tabel 15 Nilai stress dan nilai determinan (R2) akhir kegiatan No
DIMENSI PEL
NILAI INDEKS
STATUS PEL
NILAI STRESS
R2 (%)
1
Budidaya – Tekonologi
7619
Sangat Baik
01375
9530
2
Ekologi – Lingkungan
8420
Sangat Baik
01315
9522
3
Ekonomi
7924
Sangat Baik
01340
9426
4
Hukum – Kelembagaan
5490
Baik
01381
9481
5
Sosial - Budaya
8528
Sangat Baik
01339
9419
Hasil analisis Leverage menunjukkan bahwa faktor-faktor sensitif yang diintervensi dalam menganalisis atribut-atribut pada masing-masing dimensi keberlanjutan ada kaitannya dengan peran pemerintah seperti atribut sumber modal, kelompok tani dan tingkat pendidikan menjadi atribut pengungkit utama pada dimensi ekonomi, hukum kelembagaan dan Sosial budaya (Tabel 16 dan Tabel 17) Ketiga atribut ini menjadi tanggungjawab pemerintah
Atribut
pengungkit utama lain adalah teknologi pakan dan kesuburan lahan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, petani dan para stakeholders lainnya
76
Tabel 16 Faktor pengungkit (key factors) sebelum Penerapan sinkolema FAKTOR PENGUNGKIT (faktor-faktor sensitif yang diintervensi) No
DIMENSI PEL
Utama Teknologi pakan
kedua Ketersediaan pakan dari nectar kopi dan kaliandra Agroklimat, suhu, curah hujan Keadaan pasar
1
Budidaya – Tekonologi
2
Ekologi – Lingkungan Ekonomi
Kesuburan lahan
4
Hukum – Kelembagaan
Kelompok tani peternak
5
Sosial - Budaya
Tingkat pendidikan
3
Sumber modal
Intensitas pelanggaran hukum oleh peternak Pengetahuan terhadap lingkungan
ketiga Frekuensi panen/tahun Penutupan vegetasi Prospek permintaan madu Lembaga Keuangan
Jumlah keluarga peternak lebah
Tabel 17 Faktor pengungkit (key factors) setelah Penerapan sinkolema FAKTOR PENGUNGKIT (faktor-faktor sensitif yang diintervensi) No
DIMENSI PEL
1
Budidaya – Tekonologi
2
Ekologi – Lingkungan Ekonomi
3 4
Hukum – Kebudayaan
5
Sosial - Budaya
Utama
kedua
ketiga
Teknologi transportasi & informasi Kesuburan lahan
Pemanfaatan Lebah sebagai pollinator kopi Luas lahan pertanian Cara menjual madu
Peralatan panen / Frekuensi panen per tahun Agroklimat, suhu, curah hujan Keadaan pasar
Keberadaan tokoh panutan
Kelompok tani peternak
Jumlah keluarga peternak lebah
Regulasi pemerintah setempat mengenai lebah madu
Sistem penjualan produk Intensitas pelanggaran hukum oleh peternak Tingkat pendidikan
Kelima dimensi keberlanjutan dibagi menjadi dua kelompok guna membedakan
keeratan
hubungan
dengan
budidaya
lebah
madu
Budidaya/teknologi, ekologi/lingkungan dan dimensi ekonomi adalah merupakan kelompok utama,
sedangkan dimensi hukum/kelembagaan dan sosial budaya
adalah kelompok penunjang dalam budidaya ternak lebah dengan sistem sinkolema
77
Dimensi Budidaya/Teknologi Indek keberlanjutan dari dimensi teknologi pada awal penelitian adalah 49,11 naik menjadi 76,19 pada akhir penelitian, berarti bahwa penerapan budidaya madu yang diintegrasikan dengan kebun kopi mampu menaikan setatus kerberlanjutan dari posisi kurang menjadi sangat baik
Kenaikan indek
keberlanjutan dimensi buidaya ini tidak terlepas dari peningkatan skor pada atribut „prospek perubahan‟ dimana petani punya keyakinan pertumbahan budidaya lebah akan sangat cepat, „pemenfaatan lebah sebagai polinator kopi‟ yang selalu dimanfaatkan dan atribut atribut „frekuensi panen‟ yang mana petani sudah mampu memanen lebah 5 kali/tahun Berdasarkan analisis leverage yang bertujuan untuk menganalisis atribut yang mana yang paling sensitif terhadap keberlanjutan adalah atribut transportsi dan informasi, pemanfaatan lebah sebagai polinator dan peralatan panen
Jika
dilihat dari pencapaian nilai indek maka dimensi teknologi dibandingkan dengan dimensi lain, merupakan dimensi paling tinggi perubahnnya keberlanjutan sinkolema
Artinya
berdasarkan dimensi teknologi sudah mendukung
terlaksananya budidaya yang berkelanjutan Dilihat dari kontribusi masing masing atribut, terdapat atribut yang paling tinggi peranannya dalam mendorong terlaksananya sinkolema madu yang berkelanjutan yaitu penggunaan jasa lebah sebagai polinator yang telah terbukti dapat meningkatkan produksi kopi 10 % tanpa penyemprotan perangsang biji berupa kimia yang mungkin merusak lingkungan Analisis keberlanjutan dan analisis leverage dari dimensi teknologi dan budidaya dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15
78
Leverage of Attributes
Frekuensi panen/tahun
Attribute
Pemanfaatan tanaman kopi dan…
Pemanfaatan lebah sebagai polinator…
Ketersediaan sarana produksi
Produktivitas lebah madu 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
Gambar 14 analisis leverage dimensi teknologi sebelum sinkolema
Leverage of Attributes
Frekuensi panen/tahun
Attribute
Pemanfaatan tanaman kopi dan kaliandra sebagai penghasil…
teknologi Pakan
Prospek Pertumbuhan
Produktivitas lebah madu 0
1
2
3
4
Gambar 15 Analisis Leverage Dimensi Teknologi Setelah Sinkolema
5
4.5
79
Dimensi Lingkungan Indek keberlanjutan dari dimensi lingkungan/ekologi pada saat sebelum dilaksanakan sinkolema adalah sebesar 6953, yang mengandung arti bhwa posisi dimensi ekologis berada pada
kategori baik
Dari analisis leverage
yang
bertujuan untuk menganalisis atribut yang mana yang paling sensitive terhadap keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 19 Dari gambar tersebut , terlihat bahwa atribut yang menjadi pengungkit (key factor) adalah kesuburan tanah, luas lahan dan agroklimat Jadi upaya peningkatan keberlanjutan sinkolema secara ekologi dititik beratkan pada ketiga faktor tersebut Faktor lain yang dapat diperbaiki segera adalah cara pemeliharaan dan kasus penutupan lahan
Perbaikan dari kedua faktor ini mampu meningkatkan status
indek kebarlanjutan atribut ekologi dari baik menjadi sangat baik (8420) di akhir kegiatan seperti yang terlihat pada Gambar25 Sebagai faktor pengungkit keberlanjutan sinkolema adalah atribut kesuburan lahan, iklim dan penutupan lahan
Memperhatikan indeks keberlanjutan sebelum dan sesudah penerapan
sinkolema maka kesuburan tanah tetap menjadi faktor pengungkit, sehingga untuk implementasi sinkolema ke depan perlu ada upaya agar kesuburan lahan dapat ditingkatkan dengan tetap berbasis pada pengembangan usaha yang berkelanjutan Ketinggian lokasi merupakan atribut yang sudah tetap dan tidak bisa diubah lagi (Ridwan 2006), oleh karena itu ketinggian tempat di Kabupaten Kepahiang merupakan faktor yang perlu dipertimbangankan dalam upaya pengembangan lebah madu berkelanjutan, karena faktor ini sangat erat hubungannya dengan suhu dan kelembaban yang secara teknis sangat mempengaruhi ketersediaan pakan lebah dan kualitas madu yang dihasilkan Komponen daya dukung wilayah secara umum berkaitan dengan skala usaha, sumber pakan, sumber air, pasar dan sarana transportasi Analisis
keberlanjutan
dan
analisis
leverage
ekologi/lingkungan dapat dilihat pada Gambar 16 dan Gambar 17
dari
dimensi
80
Leverage of Attributes Keanekaragaman vegetasi Penutupan vegetasi Indeks Pertanaman (IP)
Attribute
Luas lahan pertanian
Kesuburan lahan
Agroklimat Suhu, curah hujan Ketinggian tempat dpl Sistem pemeliharaan Daya dukung wilayah Pemanfaatan Lebah sebagai polinator 0
1
2
3
4
5
6
5
6
Gambar 16 Analisis Leverage Dimensi Ekologi Sebelum Sinkolema
Leverage of Attributes Keanekaragaman vegetasi Penutupan vegetasi Indeks Pertanaman (IP)
Attribute
Luas lahan pertanian Kesuburan lahan
Agroklimat Suhu, curah… Ketinggian tempat dpl Sistem pemeliharaan Daya dukung wilayah Pemanfaatan Lebah… 0
1
2
3
4
Gambar 17 Analisis Leverage Dimensi Ekologi Setelah Sinkolema
81
Dimensi Ekonomi Indek keberlanjutan dari dimensi ekonomi pada saat sebelum dilaksanakan sinkolema adalah sebesar 5706, yang mengandung arti bahwa posisi ekonomi berada pada kategori baik Dari analisis analisis leverage, posisi masing-masing atribut dimensi ekonomi dalam indek keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 26 Dari Gambar 18 tersebut, terlihat bahwa atribut yang menjadi pengungkit (key factor) adalah sistem penjualan produk, cara menjual produk dan keadaan pasar Fakor pengungkit dimensi ekonomi sangat berkaitan dengan atribut pemasaran Jadi upaya peningkatan keberlanjutan sinkolema secara ekonomi dititik beratkan pada pemasaran Pertumbuhan ekonomi dalam bidang lebah madu berkaitan dengan berapa besar peluang untuk menambah dan memperbesar usaha lebah madu tersebut baik secara individu maupun kelompok Untuk itu agar usaha lebah madu berhasil dengan tetap meningkatkan ststus keberlanjutannya, maka perlu dilakukan optimalisasi pemanfaatan potensi yang ada Bila potensi wilayah sangat potensial, dengan diberikan insentif akan mendorong terjadinya pertumbuhan yang secara dimensi ekonomi berarti adanya keberlanjutan (Ridwan 2006) Pada akhir penelitian, terjadi pergeseran yaitu munculnya atribut kebutuhan modal, yang menunjukkan bahwa peternak lebah madu di lokasi penelitian sudah berkembang sehingga dibutuhkan modal tambahan yang tidak dapat dipenuhi dari modal keluarga Pengungkit urutan kedua dan dimensi ekonomi pada sinkolema adalah cara menjual madu dan keadaan pasar Untuk meningkatkan keberlanjutan sinkolema secara ekonomi adalah dengan memberi perhatian pada faktor penyediaan modal yang dapat diperoleh baik melalui bantuan pemerintah maupun swadana dalam bentuk iuran anggota kelompok Menurut Ogaba (2010) budidaya lebah memiliki potensi untuk mengatasi kemiskinan di Uganda dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya alam yang berlimpah, mudah diintegrasikan dengan tanaman pertanian, tidak memerlukan teknologi canggih dan modal besar, dan dapat dilakukan oleh petani dengan tingkat pengetahuan yang memadai Beberapa kendala yang perlu diantisipasi adalah kebijakan hukum yang mendukung dan peraturan yang mengatur budidaya lebah,
kesulitan peternak mengikuti training dan akses informasi, rendahnya
82
kualitas produk lebah, terbatasnya pasar dan terbatasnya akses ke sumber dana yang juga ditemukan dalam penelitian ini Analisis keberlanjutan dan analisis leverage dari dimensi ekonomi dapat dilihat pada Gambar 18 dan Gambar 19 Leverage of Attributes Besarnya subsidi Sistem penjualan produk Prospek permintaan kopi
Attribute
Prospek permintaan madu Sumber modal Cara menjual madu Keadaan pasar Pembeli Konstribusi kopi dan madu terhadap… Keuntungan peternak lebah 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Gambar 18 Analisis Leverage Dimensi Ekonomi Sebelum Sinkolema
Leverage of Attributes Besarnya subsidi Sistem penjualan produk Prospek permintaan kopi
Attribute
Prospek permintaan madu Sumber modal Cara menjual madu Keadaan pasar Pembeli Konstribusi kopi dan madu terhadap… Keuntungan peternak lebah 0
5
10
Gambar 19 Analisis Leverage Dimensi Ekonomi Setelah Sinkolema
15
83
Analisis ekonomi sederhana dengan menghitung kenaikan produk kopi dan peroduksi madu menunjukkan bahwa petani kopi di lokasi penelitian mendapat tambahan pendapatan sebesar Rp 3201600 (Tabel 18) yang didasarkan pada harga jual yang petani terima yaitu madu Rp 60000/kg dan kopi Rp 10000000/ton
Penerimaan petani sebelum penerapan sinkolema sekitar Rp
10540000 bersumber dari produksi madu 1560 kg/10 koloni/tahun dan produksi kopi 118 ton/ha/tahun, sehingga penerapan senkolema dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar 30% Pendapatan tambahan petani akan lebih tinggi bila jumlah kotak lebah yang dibudiyakan opimal sesuai dengan daya tampung kebun kopi
Kondisi ini memberikan indikasi bahwa penerapan sinkolema
menjadi salah satu upaya yang dapat meningkatkan status ekonomi peternak lebah secara berkesinambungan
Tabel 18 Peningkatan penghasilan petani melalui sinkolema Jenis Produksi madu (kg/10 koloni/tahun) Produksi kopi ton/ha Jumlah
Peningkatan produk
Harga/unit (Rp/unit)
Peningkatan pendapatan (Rp)
3336
60000
2001600
012
10000000
1200000 3201600 (30%)
Dimensi Hukum dan Kelembagaan dan Dimensi Sosial Budaya Indek keberlanjutan dari dimensi hukum dan kelembagaan pada saat sebelum dilaksanakan sinkolema adalah sebesar 4862, yang mengandung arti bhwa posisi hukum dan kelembagaan berada pada kategori buruk Hal ini terjai karena belum adanya peraturan pemerintah yang diterapkan di lokasi penelitian, disamping itu lembaga yang ada (Kelompok Usaha Produktif) belum berjalan dengan baik Berdasarkan analisis analisis leverage, posisi masing-masing atribut dimensi hukum dan kelembagaan dalam indek keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 23 yang menunjukkan bahwa atribut yang menjadi pengungkit (key factor) adalah
84
intensitas pelanggaran hukum, kurangnya tokoh panutan masyarakat dan kelompok tani yang kurang berfungsi Oleh karena itu, untuk meningkatkan nilai indek keberlanjutan, perbaikan faktor kunci menjadi perhatian utama Hal ini perlu didukung oleh kebijakan pemerintah setempat dengan cara menerapkan aturan yang jelas dan penyadaran masyarakat secara informal Hasil pengamatan pada sinkolema menunjukkan adanya perubahan ditandai dengan meningkatnya nilai indek keberlanjutan hukum dan kelembagaan dari 4862 menjadi 5490 katagori baik Peningkatan kapasitas dan posisi tawar petani dalam usaha lebah madu perlu didukung pula oleh aspek kelembagaan seperti kelompok usaha dan lembaga keuangan Beberapa hal yang terkait dengan sanksi hukum terhadap pelanggaran mengacu pada peraturan yang berlaku perlu disepakati oleh masyarakat setempat Kelembagaan secara keseluruhan mempunyai posisi yang penting dan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan adalah unit/lembaga keuangan yang dapat menyediakan kredit murah dengan akses yang mudah kepada petani lebah untuk melaksanakan kegiatan agribisnis Dengan demikian peran kelompok dan anggotanya menjadi penting dan dinamis Hasil analisis keberlanjutan dan analisis leverage dari dimensi hukum dan kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 20 dan Gambar 21
85
Leverage of Attributes Manfaat kelompok tani yang dirasakan anggota Kelembagaan output Kelembagaan input
Attribute
Kelompok tani peternak Lembaga keuangan
Intensitas peternak yang melanggar hukum Ada tokoh panutan yang disegani Ketersediaan peraturan tentang adat (local wisdom) Keterasediaan peraturan tentang beternak lebah dan perkebunan kopi 0
1
2
3
4
5
Gambar 20 Analisis Leverage Dimensi Hukum dan Kelembagaan sebelum Sinkolema
Leverage of Attributes Manfaat kelompok tani yang… Kelembagaan output Kelembagaan input
Attribute
Kelompok tani peternak
Lembaga keuangan
Intensitas peternak yang melanggar… Ada tokoh panutan yang disegani Ketersediaan peraturan tentang…
0
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 21 Analisis Leverage Dimensi Hukum dan Kelembagaan Setelah Sinkolema
86
Nilai indek keberlanjutan dimensi sosial budaya (7318) sebelum dilaksanakan sinkolema sudah cukup tinggi namun tingkat pendidikan yang masih rendah (50% petani adalah lulusan SD) sehingga perlu mendapat perhatian yang serius njutan Tingat Pertama Peran serta masyarakat dan keluarga dalam kegiatan yang mendukung keberlanjutan budidaya/usaha lebah madu menunjukan angka yang tinggi
Oleh karena itu dengan penerapan sinkolema nilai indek
keberlanjutan
meningkat
menjadi
85,28
yang
mengindikasikan
tingkat
keberlanjutan sangat baik Beberapa aspek sosial budaya yang berhasil diperbaiki adalah kesadaran tentang lingkungan dan peran serta masyarakat dalam melestarikan lingkungan Berdasarkan analisis leverage dimensi sosial budaya, atribut yang paling sensitive terhadap keberlanjutan baik sebelum maupun sesudah penerapan sinkolema adalah tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam budidaya lebah dan regulasi pemerintah setempat mengenai lebah madu (Gambar 23)
Jadi upaya peningkatan keberlanjutan sinkolema dimensi sosial budaya
dititik beratkan pada ketiga atribut tersebut
Leverage of Attributes Alternatif usaha lain selain lebah madu dan kebun kopi Peran masyarakat dalam usaha ternak lebah madu dan kebun kopi Partisipasi keluarga dalam usaha ternak madu dan kebun kopi Attribute
Frekuensi konflik Tingkat pendidikan
Pengetahuan terhadap lingkungan Jumlah keluarga peternak lebah
Jumlah keluarga petani kopi Regulasi pemerintah setempat mengenai lebah madu 0
2
4
6
8
Gambar 22 Analisis Leverage Dimensi Sosial Budaya sebelum Sinkolema
10
87
Leverage of Attributes Alternatif usaha lain selain lebah madu… Peran masyarakat dalam usaha ternak… Partisipasi keluarga dalam usaha ternak…
Attribute
Frekuensi konflik Tingkat pendidikan Pengetahuan terhadap lingkungan Jumlah keluarga peternak lebah
Jumlah keluarga petani kopi Regulasi pemerintah setempat… 0
2
4
6
8
10
12
14
Gambar 23 Analisis Leverage Dimensi Sosial Budaya Setelah Sinkolema
Pembahasan Umum Pengembangan
kawasan
sinkolema
di
Kepahiang
Bengkulu
diindikasikan oleh ketersediaan lahan kopi yang sudah establish, lingkungan yang mendukung untuk ternak lebah madu dan SDM yang tersedia, walaupun mereka masih
perlu ditingkatkan kemampuan (skills) dan pengetahuan (knowledge)
tentang budidaya lebah
Kabupaten Kephiang telah memiliki jaringan (network)
dengan sektor hulu dan hilir dan memiliki kesiapan pranata (institusi) sehingga ini menjadikan suatu keuntungan kompetitif (competitive advantage) bila dibandingkan dengan daerah lain Mengingat pengembangan kawasan sinkolema menggunakan potensi lokal, maka konsep ini sangat mendukung pengembangan budaya sosial local (local social culture)
Secara lebih luas, pengembangan
kawasan sinkolema dapat mendukung pembangunan pertanian dalam arti luas dengan penerapan sistem yang terintegrasi Dengan demikian, pembangunan pertnian dapat dilakukan secara serasi, seimbang, dan efisien Efisiensi dalam produksi merupakan ukuran perbandingan antara output dan input (Warsana 2007) Konsep efisiensi diperkenalkan oleh Michael Farrell
88
dengan
mendefinisikan
sebagai
kemampuan
organisasi
produksi
untuk
menghasilkan produksi tertentu pada tingkat biaya minimum (Kusumawardani 2001)
Susantun (2000); Nicholson (1995); Soekartawi (1990) membedakan
efisiensi menjadi tiga yaitu efisiensi teknik, efesiensi alokatif (harga) dan efisiensi ekonomis Efisiensi teknik mengenai hubungan antara input dan output Efisiensi alokatif tercapai jika penambahan tersebut mampu memaksimumkan keuntungan yaitu menyamakan produk marjinal setiap faktor produksi dengan harganya Sedangkan efisiensi ekonomi dapat dicapai jika kedua efisiensi yaitu efisiensi tehnik dan efisiensi harga dapat tercapai (Kusumawardani 2002) Perbedaan efisiensi antara sekelompok usahatani dapat disebabkan oleh perbedaan dalam tingkat efisiensi teknis atau efisiensi harga atau oleh keduanya (Kusumawardani 2002)
Seorang petani secara teknis dikatakan lebih efisien (efisiensi teknis)
dibandingkan dengan yang lain bila petani itu dapat berproduksi lebih tinggi secara fisik dengan rnenggunakan faktor produksi yang sama
Efisiensi harga
dapat dicapai oleh seorang petani bila ia mampu memaksimumkan keuntungan (mampu menyamakan nilai marginal produk setiap faktor produksi variabel dengan harganya) Kawasan peternakan lebah madu dengan sinkolema diartikan sebagai kawasan kebun kopi yang dimanfaatkan untuk budidaya lebah madu dengan tujuan meningkatkan produksi madu dan kopi melalui optimalisasi hubungan yang saling menguntungkan antara komponen-komponennya Konsep agribisnis, kawasan peternakan lebah berorientasi pada peningkatan ekonomi petani kopi/peternak lebah dan memiliki sistem berkelanjutan untuk mendukung kegiatan industri baik hulu maupun industri hilir Berdasarkan konsep tersebut, sinkolema diimplementasikan dengan melakukan pembentukan, penataan, dan pengembangan, sehingga pengembangan kawasan agribisnis berbasis peternakan lebah mampu menjawab tuntutan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak sekaligus upaya pencapaian salah satu dari delapan Millenium Development Goals yakni penghentasan kemiskinan Pembangunan peternakan lebah dengan konsep kawasan memenuhi kriteria agribisnis yang memiliki ciri-ciri; (1) lokasi harus sesuai dengan agroekosistem dan alokasi tata ruang wilayah, agar pembangunan peternakan saling mendukung
89
dan tidak menimbulkan konflik dengan sektor-sektor lainnya, (2) dibangun dan dikembangkan sesuai
dengan biofisik dan sosial ekonominya,
komoditas, dan (4) memeliliki prospek pasar yang jelas
(3) berbasis
Ternak lebah yang
dikembangkan dengan sinkolema adalah lebah yang sudah beradaptasi dengan baik dan memanfaatkan sumberdaya lokal untuk menghasilkan produk unggulan yang strategis
Disamping itu, sinkolema dapat dijadikan usaha utama bagi
anggota kelompok tani tergambar dengan kenaikan pendapat petani sekitar 30% Prospek pasar, didukung oleh ketersediaan teknologi, peluang pengembangan produk yang tinggi, serta kelembagaan dan jaringan yang mudah diakses Komponen kawasan sinkolema meliputi perkebunan kopi sebagai basis ekologi pendukung pakan dengan rata-rata produksi nektar paling rendah 9,49 ml/hari/ha dan lingkungan budidaya yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya dengan melihat kesesuaian lahan, agroklimat, sehingga daya tampung kawasan (66 koloni/ha) mendukung keunggulan lokasi kebun kopi
Berkaitan dengan
upaya mengproduksi madu organik maka penetapan lokasi kawasan perlu disinkronkan dengan tata ruang Kabupaten Kepahiang untuk memberikan kepastian hukum melalui SK bupati, misalnya tentang larangan menggunakan pestisida pada kegiatan pertanian dalam radius tertentu Peternak sebagai subjek pembangunan
perlu
dilindungi
sekaligus
ditingkatkan
pendapatan
dan
kesejahteraannya Oleh karena itu peternak diarahkan untuk berkelompok dan berkembang membentuk suatu wadah/koperasi usaha mandiri/Kelomok Usaha Produktif (KUP) Pada tingkat pengelolaan sinkolema yang perlu diperhatikan adalah jadual pembungaan kopi terutama pada bulan Maret, April, September dan Oktober pada saat kopi tidak menghasilkan nektar Untuk menjaga agar lebah tetap berkembang dan berproduksi maka perlu diupayakan sumber nektar tanaman lain pengganti nektar kopi Tanaman yang direkomendasikan adalah tanaman pelindung seperti kaliandra yang mampu berbunga sepanjang tahun, tanaman sayuran yang waktu tanamnya disesuaikan sehingga berbunga tepat pada saat kopi berhenti berbunga, atau tanaman lain yang dapat diatur waktu pembungaannya Penerapan sinkolema tidak berpengaruh terhadap sumberdaya genetika lebah madu, karena berdasarkan analisis morfometrik, implementasi sinkolema
90
tidak merubah ukuran tubuh lebah Peningkatan produksi lebah terkait dengan peningkatan populasi yang ada hubungannya dengan kelimpahan pakan Penerapan sinkolema dapat meningkatkan produk kopi 10% dan peningkatan produk lebah madu 114% yang berarti mampu meningkatkan penerimaan yang sekaligus menaikan efisiensi penggunaan lahan baik ditinjau dari ekonomis maupun secara teknis sejalan dengan pendapat Nicholson (1995) Sistem integrasi lebah dan kebun kopi meningkatkan efisiensi baik teknis, alokatif maupun ekonomis
Meningkatnya efisiensi dapat ditinjau dari
aspek keberlanjutan, yang mana peningkatan produksi lebah madu yang diintregasikan dengan kebun kopi (sinkolema) merupakan pengembangan peternakan lebah yang berkelenjutan dengan nilai indeks 7600 bersatatus sangat baik Peningkatkan efisiensi penggunaan lahan melalui penerapan sinkolema juga didukung oleh penelitian Jollan (2006) yang menyimpulkan bahwa untuk mengukur efisiensi suatu usaha sangat ditentukan oleh tingkat keberlanjutan usaha tersebut Semakin tinggi tingkat keberlanjutannya maka semakin efisien usaha tersebut Jadi selama sinkolema memiliki indek keberlanjutan yang tinggi yaitu pada status sangat baik maka penerapan sinkolema menunjukan semakin efisien Pada Gambar 24 diperlihatkan bagan alur integrasi lebah madu dan kebun kopi yang beorientasi pasar Pada penerapannya melibatkan unsur-unsur produksi dan koefisien teknis terdiri dari: jumlah koloni yang dibudidayakan sebanyak 66 stup/ha kebun kopi, lebah yang dibudidayakan adalah A cerana dan stup ditempatkan secara tersebar sehingga dihasilkan madu kopi yang berkualitas prima yang meningkatkan minat konsumen dan berdampak pada pada peningkatan pendapatan petani Secara ekonomi, madu yang tinggi permintaannya memiliki pasar yang mampu memperlancar pemasaran produk dan meningkatkan pendapatan Berdasarkan hasil analisis SWOT yang berada pada kuadran agresif dan indek
keberlanjutan
yang
sangat
tinggi,
sehingga
sinkolema
dapat
diimplementasikan untuk meningkatkan produksi madu dan biji kopi
Model
integrasi kebun kopi dan lebah madu memiliki ciri: (a) lebah yang dikembangkan adalah lebah lokal Indonesia A cerana yang ditempatkan secara tersebar dengan kepadatan 66 koloni/ha yang berarti 30 pohon kopi dapat memenuhi kebutuhan
91
satu koloni lebah, (b) sistem pemeliharaan lebah secara tidak digembalakan (nonmigratory) dengan pakan disediakan secara alami oleh kopi dan tanaman lain pada saat kopi tidak berbunga, (c) teknologi yang diterapkan pada tahap budidaya adalah teknologi terapan yang sederhana sehingga mudah diserap petani peternak dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang tersedia, (d) agar mendapatkan madu kopi maka pada saat kopi sedang berbunga tanaman selain kopi yang sedang berbunga dipangkas, (e) kelembagaan seperti Kelompok Usaha Produktif (KUP) perlu diaktifkan untuk mempermudah melakukan pembinaan dan peningkatan keterampilan peternak lebah dan (f) membangun jaringan sehingga peternak selalu mendapat informasi mengenai perlebahan
92
92
Tanaman kopi
TEKNOLOGI (terapan dan sederhana)
KELEMBAGAAN (KUP yang terbina)
Tanaman pelindung Tumbuhan lain
Madu kopi
Kebun kopi Kawasan Sinkolema Koloni lebah
Pasar Biji kopi
Regiional Nasional
Apis cerana
INPUT
Lokal
PROSES
Gambar 24. Sketsa model integrasi lebah madu dan kebun kopi
OUTPUT
KONSUMEN
93
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa sistem integrasi kebun kopi dan lebah madu (sinkolema) di Kabupaten Kepahiang Propinsi Bengkulu secara nyata dapat meningkatkan produktivitas lebah madu dan tanaman kopi dengan mempertimbangkan faktor-faktor teknologi dan manajemen sumberdaya yang tersedia secara efektif Efisiensi usaha yang terjadi mampu meningkatkan pendapatan petani/peternak sebesar 30% Tahapan analisis mendapatkan bahwa: 1. Perkebunan kopi di Kepahiang mampu mendukung sekitar 66 koloni A cerana per hektar dengan tata letak tersebar atau dengan kata lain kebutuhan pakan satu koloni lebah dapat dipenuhi oleh 30 pohon tanaman kopi Integrasi lebah madu perkebunan kopi meningkatkan produktivitas madu sampai dengan 114% dan kopi mencapai 1055% Populasi dan produksi lebah madu di perkebunan kopi lebih tinggi daripada di luar kebun kopi karena ketersediaan pakan yang memdai sepanjang tahun 2. Produktivitas lebah sangat tergantung pada perkembangan populasi lebah yang berkaitan erat dengan ketersediaan nektar di kawasan dan polen secara alami maka pengelolaan lebah perlu didesain dalam kawasan secara keberlanjutan sesuai dengan karakteristik pembungaan 3. Sinkolema memiliki tingkat keberlanjutan yang tinggi dengan status indek keberlanjutan sangat baik (7600) 4. Sinkolema memiliki karakteristik: (a) lebah yang dikembangkan adalah lebah lokal; (b) sistem pemeliharaan tidak digembalakan (non-migratory) dengan menerapkan teknologi sederhana termasuk pengaturan waktu pembungaan tanaman; dan (c) didukung oleh sistem kelembagaan dan jaringan pemasaran yang kuat dan dinamis baik di tingkat lokal maupun nasional
Rencana Penelitian Lanjutan Upaya melakukan standarisasi pengembangan industri perlebahan melalui sistem integrasi maka penelitian ini perlu ditindak lanjuti dengan suatu penelitian lanjutan dalam rangka memperoleh perumusan dan pengembangan sistem kelembagaan yang mendukung, sistem penyuluhan yang efektif, teknologi tepat
94
guna yang mudah diadopsi peternak, model penanganan pasca panen dan sistem pemasaran yang efisien Sinkolema merupakan sebuah model yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam pengembangan sistem pertanian terpadu antara lebah madu dengan perkebunan atau pertanian tanaman pangan lainnya Sistem ini diupayakan agar dapat diterapkan pada daerah penyangga kawasan hutan lindung atau wilayah konservasi, sehingga masyarakat secara sukarela akan menjaga hutannya karena berfungsi sebagai sumber pakan lebah
95
DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2005 Aspek teknis dalam strategi pemuliaan bibit lebah madu A cerana Bogor Departemen Kehutanan Blesmeijer JC, Slaa EJ 2006 The structure of eusocial bee assemblages in Brazil Apidologie 37:240-258 BPS 2007 Kepahiang dalam Angka Kepahiang, Biro Pusat Statistik Kabupaten Kepahiang BPS 2010 Bengkulu dalam Angka Bengkulu Bengkulu
Biro Pusat Statistik Provinsi
Byrne A, Fitzpatrick Ú 2009 Bee conservation policy at the global, regional & national levels Apidologie 40 :194-210 Crane E 1990 Bees & Beekeping Science, Practice & World Resources Ithaca, New York Comstock Publishing Associates a division of Cornell University Press daSilva FB, Almeida JM, Sousa SM 2004 Natural medicaments in endodontics a comparative study of the anti-inflammatory action Braz Oral Res 18 (2): 174–9 PMID 15311323 http://wwwscielobr/pdf/pob/ v18n2/a15v18n2pdf Damus MS, Otis GW 1970 A morphometric analysis of Apis cerana F and Apis nigrocincta Smith populations from Southeast Asia Apidologie 28 : 309– 323 Departemen Pertanian 2005 Statisik Perkebunan Indonesia Jakarta Departemen Pertanian Department of Agriculture and Food Western Australia 2009 Bee pollination benefits for other crops http://wwwtestagricwagovau/PC_91812 html?s=0 [20 April 2010] Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Kepahiang 2008 Roadmap Pengembangan Agribisnis Hortikultura Bengkulu Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Kepahiang Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahiang 2009 Laporan hasil monitoring dan evaluasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahiang Bengkulu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahiang Enger ED 1998 Environmental Science, A Study of Interrelationships 6th Edition Boston, McGraw-Hill Erwan 2006 Pemanfaatan nira aren dan nira kelapa serta polen aren sebagai pakan lebah madu untuk meningkatkan produksi madu A cerana di Kabupaten Lombok Barat [disertasi] Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor FAO 1989 Forestry & Food Security FAO Forestry Paper 90 Rome FAO
96
FAO 2011 The world statistic coffee green production quantity Retrieved August 08, 2011 http://faostatfaoorg/site/567/DesktopDefaultaspx? PageID=567#ancor Fauzy A, Suzy A 2002 Evaluasi status keberlanjutan pembangunan prikanan: aplikasi pendekatan rapfish (Studi kasus perairan pesisir DKI Jakarta) Jurnal Pesisir dan Lautan 4:2-10 Frietas BM, Paxton RJ 1998 A comparison of two pollinators: the introduced honey bee (Apis mellifera) and an indigenous bee (Centris tarsata) on cashew (Anacardium occidentale) in its native range of NE Brazil J Appl Ecol 35:109–121 Gojmerac WL 1983 Bees, Beekeeping, Honey and Pollination WestPort, Connecticut AVI Publishing Company, Inc Hadisoesilo S, Otis GW 1996 Drone flight times confirm the species status of Apis nigrocincta Smith, 1861 to be a species distinct from Apis cerana F 1793, in Sulawesi Apidologie 27:361-369 Hadisoesilo S et al 2008 Morphometric analysis & biogeography of Apis koschevnikovi Enderlein Apidologie 39 : 495–503 Hattori N, Nomoto H, Fukumitsu H, Mishima S, Furukawa S 2007 Royal jelly and its unique fatty acid, 10-hydroxy-trans-2-decenoic acid, promote neurogenesis by neural stem/progenitor cells in vitro Biomed Res 28:261266 Heard TA 1999 The role of stingless bees in crop pollination Ann Re Entomol 44:183–206 Hepburn HR, Smith DR, Radloff SE, Otis GW 2001 Infraspecific categories of Apis cerana: morphometric, allozymal and mtDNA diversity Apidologie 32 : 3–23 Herdiawan I, Fanindi A, Semali A 2007 Karakteristik dan pemanfaatan kaliandra (Calliandra calothyrsus) Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 Proceeding 1 : 141148 Husaeni EA 1986 Potensi produksi nektar dari tegakan kaliandra bunga merah (Calliandra calothyrsus Meissn) Di dalam Prosiding Lokakarya Pembudidayaan Lebah Madu untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Jakarta Perum Perhutani Jollan N 2006 Analysis concepts of efficiency in ecological economics: System and the decision maker Ecolog Econom 56: 359– 372 Kajobe R 2007 Botanical sources and sugar concentration of the nectar collected by two stingless bee species in a tropical African rain forest Apidologie 38:110–121 110 Kamakura M 2010 Royalactin induces queen differentiation in honeybees Nature 10:1083-1093
97
Krement C, Williams NM, Thorp RW 2002 Crop pollination from native bees at risk from agricultural intensification Natl Acad Sci 99: 16812–16816 Kuntadi 2006 Pakan buatan untuk lebah maduProsiding Gelar dan Dialog Teknologi Bogor Puslitbang Kehutanan dan Konservasi Departemen Kehutanan Kusumawardhani 2002 Efisiensi ekonomi usahatani kubis Di Kecamatan Bumaji, Kabupaten Malang) Agro Ekonomi 9:53-61 Lesueur D Tassin J, Enilorac MP, Sarrailh JM, Peltier R 1996 Study Of The Calliandra calothyrsus-Rhizobium nitrogen fixing symbiosis In : Evans DO (ed) Proceedings of International Workshop in the Genus Calliandra Forest, Farm & Community Tree Research Reports (Special Issue) Winrock International, Morrilton Arkansas USApp 62-76 Macqueen DJ 1992 Calliandra calothyrsus: Complication of plant taxonomy, colony, biology for seed collection Commonwealth Forest Rev 71: 20-34 Mersyah R 2005 Desain sistem budidaya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan [disertasi] Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Miller G T 2002 Sustaining the Earth, An Integrated Approach 5th Edition Brooks/Cole, Australia Thomson Learning Mollan PC 2006 The Evidence Supporting the Use of Honey as a Wound Dressing Seminar Review Department of Biological Sciences, University of Waikato, Hamilton, New Zealand Nicholson W 1995 Teori Makro Ekonomi : Prinsip Dasar dan Perluasan, Edisi Kelima Penerjemah Wijaya D Jakarta Bina Rupa Aksara, Ogaba
M 2010 Household proverty reduction trought beekeeping amongst Uganda rural women Apiacta 38:71-79
Park YK, Alencar SM, Aguiar CL 2005 Botanical origin and chemical composition of Brazilian propolis J Agric Food Chem 50:2502–2506 Porrini C et al 2003 Honey bee and bee products as monitor of environmental contamination Apiacta 38:63-70 Pusbahnas 2008 Lebah Madu Cara Beternak dan Pemenfaatannya Jakarta Penebar Swadaya Radloff S E et al 2005 Multivariate morphometric analysis of the Apis cerana populations of oceanic Asia Apidologie 36: 475–492 Richards AJ 2001 Does low biodiversity resulting from modern agricultural practice affect crop pollination and yield? Ann Botan 88:165–172 Ridwan WA 2006 Model agribisnis peternakan sapi perah berkelanjutan pada kawasan pariwisata di Kabupaten Bogor (Studi kasus Kec Cisarua dan KecMegamendung) [desertasi] Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
98
Ruttner F 1988 Biogeography and Taxonomy of Honey Bee Berlin SpringerVerlag Ruttner F, Tassencourt L, Louveaux J 1978 Biometrical-statistical analysis of the geographical variability of Apis mellifera L Apidologie 9: 363–381 Saptana, Ashari 2007 Pembangunan pertanian berkelanjutan melalui kemitraan usaha J Litbang Pertani 26: 123-130 Sihombing DTH 2005 Ilmu Ternak Lebah Madu Cetakan ke 2 Jogjakarta Gajah Maja University Press Slaa EJ, Shansezchaves LA, Malagodibaraga KS & Hofstede FE 2006 Stingless bees in applied pollination: practice & perspectives Apidologie 37: 293– 315 293 Soekartawi 1990 Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas Jakarta Rajawali Press Soenarno 2003 Pengembangan kawasan agropolitan dalam rangka pengembangan wilayah [desertasi] Bogor Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Soesilohadi RCH 2008 Hubungan kegiatan mencari makan lebah madu (Apis cerana dengan volume nektar dan perkembangan jumlah bunga kaliandra (Calliandra calothyrsus ) JBPTITBPP 19:37:40 Susantun I, 2000 Fungsi keuntungan cobb douglas dalam perdagangan efisiensi ekonomi relatif J Ekon Pembangun 5: 149 – 161 Tilde AC, Fuchs S, Koeniger N, Cervancia CR 2000 Morphometric diversity of A carana Fabr Within the Philippines Apidologie 31: 249-263 Tingek S, Koeniger G, Koeniger N 1996 Description of a new cavity nesting species of Apis (Apis nuluensis nsp) from Sabah, Borneo, with notes on its occurrence and reproductive biology (Insect: Hymenoptera: Apoidea: Apini) Senckenbergiana Biol 76:115-119 Umaly RC 2003 Sustainable development, concept, paradigms & strategies Training of Trainers Community Leadership & Entrepreneurship for Young Agri-Graduates of Asean Bogor Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Yogyakarta Pustaka Yusticia Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Yogyakarta Pustaka Yusticia USDA
2007 Nutrient Data Laboratury Honey http://wwwnatusdagov/ fnic/foodcomp/search (accessed, August 24, 2009)
Wahdan H 1998 Causes of the antimicrobial activity of honey" Infection 26: 26– 31 Walker M 2009 Honeybees sterilise their hives http://newsbbccouk/earth/hi/ earth_news/newsid_8152000/8152574stm (accessed, October 09, 2010)
99
Warsana 2007 Analisis efisiensi dan keuntungan usaha tani jagung (Studi di Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora) [tesis] Fakultas Pascasarjana, Universitas Sudirman Wikipedia 2011 Millennium Development Goals http://enwikipediaorg/wiki/ Millennium_ Development_Goals#Ideas_Behind_the_MDG (accessed, September 06, 2011) Winston ML 1991 The Biology of the Honey Bee 3rd Ed Cambridge Harvard University Press Winston ML 1992 The honey bee collony: Life history Graham J, editor The Hive and Honey Bee Revice Ed Hamilton Illinois Dadant & Son Wolf S, Moritz RFA 2008 Foraging distance in Bombus terrestris L (Hymenoptera: Apidae) Apidologie 39: 419–427
100
101
LAMPIRAN
103
Lampiran 1: Diagram tahapan penelitian
SINKOLEMA TAHAPAN
METODE DAN ALAT ANALISIS/
Data daya dukung dan Informasi Mengenai perubahan morfometrik
Identifikasi daya dukung dan Morfometrik
Deskriptif dan Uji t (t-student)
Paket Teknologi peningkatan produktivitas lebah madu dan kebun kopi
Anailisis Model dan Implementasi Sinkolema
SWOT Rancangan Statistik RAL
Indek Keberlanjutan (IkRapBee) dan Rekomendasi
Analisis Keberlanjutan
RafBee Montecarlo
PRODUK
Produk akhir PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN PETANI 103
104
Lampiran 2: Peta penggunaan lahan Kabupaten Kepahiang
105
Lampiran 3: Tabel luas wilayah berdasarkan kedalaman efektif tanah Kedalaman Efektif (cm)
Luas (Ha)
(%)
0 - 30
0
0
30 - 60
4560
686
60 - 90
35792
5384
> 90
26128
3930
Jumlah
66480
10000
Sumber : Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kepahiang 2008
Lampiran 4: Tabel penggunaan lahan di Kabupaten Kepahiang Penggunaan Lahan
Luas Penggunaan Potensi (Ha) (%) Ha (%) Sawah irigasi 3227 485 Sawah tadah hujan 407 061 Sawah rawa lebak 351 052 Tegalan/Kebun 4993 751 4993 751 Ladang/Huma 2789 419 2789 419 Lahan terlantar 683 102 683 102 Perkebunan 30591 4600 30591 4600 Hutan Rakyat 1683 253 1683 253 Hutan Negara 15806 2376 Rawa 257 038 Kolam/Tebat 232 035 Pemukiman/Pekarangan 2958 444 Lain-lain 2533 381 Jumlah 66500 100 46886 6125 Sumber : Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kepahiang, 2008
106
Lampiran 5: Tabel penggunaan lahan pertanian Kabupaten Kepahiang Penggunaan Lahan
Luas Penggunaan (Ha)
Potensi
(%)
(Ha)
(%)
Tanaman Pangan
5909
974
Tanaman Sayuran
4233
698
4233
698
105
017
105
017
Tanaman Biofarmaka
1771
292
1771
292
Tanaman Hias
1057
174
1057
174
Tanaman Perkebunan
29214
4814
29214
4814
Hutan
16416
2705
1976
326 36380
5495
Tanaman Buahbuahan
Lain-lain Jumlah
Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Kepahiang 2008
Lampiran 6: Tabel karakteristik pembungaan kopi (Coffee arabica LINN) Jan
Tumbuhan Kopi
1
Juni 1
2
3
Feb
2
3
4
1
Juli 4
1
2
3
Maret
2
3
4
1
Agust 4
1
2
3
2
April 3
4
1
Sept 4
1
2
3
2
Mei 3
4
Okt 4
1
2
3
1
2
Nop 4
1
2
3
3
4
Des 4
1
2
3
4
107
Lampiran 7: Tabel jumlah tangkai dan kuntum bunga per pohon Jan Feb Mrt Apr Mei 1 9 11 16 2 28 15 21 3 24 12 23 4 17 15 12 5 5 14 14 6 16 22 24 7 28 11 21 8 16 26 26 9 8 12 15 10 12 9 15 Jumlah kuntum Bunga per Tangkai 15 23 1 18 27 22 2 24 23 21 3 22 26 24 4 25 17 33 5 25 24 28 6 26 25 30 7 27 16 19 8 17 24 26 9 25 21 33 10 27
Juni Juli 19 34 28 40 34 52 10 30 15 30 26 37 31 25 26 32 18 43 22 41 28 34 31 34 35 40 33 25 33 31
38 39 28 43 44 45 39 33 42 35
Agust Sept 19 23 26 22 35 28 13 23 36 26
Okto Nop 15 20 19 18 11 25 12 18 12 17
Des 19 36 33 15 16 27 36 27 21 24
27 42 28 29 34 29 25 20 30 21
26 39 32 35 40 42 32 24 35 34
Sept Okt
Nop
32 37 32 41 45 30 38 32 34 36
Lampiran 8: Tabel jumlah bunga per pohon Jan
Feb
Mrt
Apr
Mei
Juni
Juli
1
13500
25300
-
2
75600
33000
3
55200
4
Agust
Des
-
28800
72200
129200
60800
-
-
40500
49400
-
-
50400
109200
156000
85100
-
-
84000
140400
25200
-
-
50600
95200
145600
83200
-
-
53200
105600
44200
36000
-
-
30000
43000
129000
90200
-
-
53650
52500
5
8500
46200
-
-
35000
66000
132000
157500
-
-
37400
64000
6
38400
61600
-
-
62400
117000
166500
84000
-
-
72500
113400
7
70000
33000
-
-
56700
120900
97500
49400
-
-
30000
115200
8
25600
49400
-
-
44200
85800
105600
73600
-
-
36000
64800
9
19200
31200
-
-
37500
75600
180600
122400
-
-
36000
73500
10
25200
29700
-
-
40500
77000
143500
93600
-
-
36750
81600
108
Lampiran 9: Tabel produksi nektar kopi per pohon dalam satu tahun saat berbunga Jumlah
Produksi Nektar pada Bulan (ml)
No I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
1
346
648
-
-
2
1935
845
-
3
1413
645
4
1132
5
XI
XII
737
1848
3308
1556
-
-
1037
1265
10844
-
1290
2796
3994
2179
-
-
2150
3594
18983
-
-
1295
2437
3727
2130
-
-
1362
2703
16013
922
-
-
768
1101
3302
2309
-
-
1373
1344
12651
218
1183
-
-
896
1690
3379
4032
-
-
957
1638
14493
6
983
1577
-
-
1597
2995
4262
2150
-
-
1856
2903
18924
7
1792
845
-
-
1452
3095
2496
1265
-
-
768
2949
15361
8
655
1265
-
-
1132
2196
2703
1884
-
-
922
1659
13216
9
492
799
-
-
960
1935
4623
3133
-
-
922
1882
15646
10
645
760
-
-
1037
1971
3674
2396
-
-
941
2089
14513
Jumlah
9610
9487
-
-
11164
22065
35469
23035
-
-
12288
22026
1,50644
Rataan
961
949
-
-
1116
2206
3547
2303
-
-
1229
2203
145
Lampiran 10: Tabel koefisien korelasi antara fungsi diskriminan dan masing-masing variabel Selang Kepercayaan 95% Variabel Pembeda Koefisien Korelasi (α = 0,05) Panjang Sayap (X1)
-04952)
*
Lebar Sayap (X2)
-02071)
tn
Lebar Metatarsus Tungkai
00821)
tn
Lebar Abdomen (X7)
02751)
tn
Panjang Proboscis (X8)
05832)
*
Belakang (X6)
Keterangan : * = nyata (P<0,05); tn = tidak nyata; 1) adalah hasil pengujian pertama penentuan variabel pembeda; 2) adalah hasil pengujian kedua penentuan variabel pembeda
109
Lampiran 11: Tabel produksi madu yang di pelihara dengan dan tanpa integrasi Koloni I Integrasi A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 Rata-rata non Integrasi B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9 B10 Rata-rata
Panen ke (g) III IV
II
Jumlah V
750 500 750 850 450 400 500 500 450 500 565
850 1000 1250 500 500 250 500 500 1000 1000 735
1000 1500 1500 500 750 250 500 500 1000 1000 850
750 1000 1000 500 750 0 500 0 500 750 575
1000 750 1000 500 500 0 850 0 500 1000 610
4350 4750 5500 2850 2950 900 2850 1500 3450 4250 3335
750 500 750 1000 750 1000 750 400 350 750 700
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
500 1000 0 750 0 1000 0 750 0 500 450
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
500 750 0 500 0 500 0 850 0 1000 410
1750 2250 750 2250 750 2500 750 2000 350 2250 1560
110
Lampiran 12: Tabel pengaruh tata letak koloni terhadap produksi madu Koloni I Menyebar A1 A2 A3 A4 A5 Ratarata Terpusat A6 A7 A8 A9 A10 Ratarata
Panen ke (g) III IV
II
Jumlah V
750 500 750 850 450
850 1000 1250 500 500
1000 1500 1500 500 750
750 1000 1000 500 750
1000 750 1000 500 500
4350 4750 5500 2850 2950
660
820
1050
800
750
4080
400 500 500 450 500
250 500 500 1000 1000
250 500 500 1000 1000
0 500 0 500 750
0 850 0 500 1000
900 2850 1500 3450 4250
470
650
650
350
470
2590
111
Lampiran 13: Anova populasi lebah di daerah dan diluar sinkolema
1 Grand Total
22004940
2 Sigma Y kuadrat
341791209060
3 grand total/n
2945864508
4 grand totak kuadrat dibagi sampel (CT)
2421086922
5 SS Total
99682516858
6 SS group
5247775862
7 Sswithin
47204758234
Tabel Anova Sumber ragam
df
SS
MS
F-hitung
F-tabel
Antar group
1
5247775862
5247775862
948
443
Dalam group Total
18
99682516858 1521602755
5537917603
19
**)
112
Lampiran 14: Anova populasi lebah berdasarkan tata letak di dalam sinkolema 1 Grand Total
16124860
2 Sigma Y kuadrat 3 grand total/n 4 grand totak kuadrat dibagi sampel (CT)
289505647548 2700814506 2600111100
5 SS Total 6 SS group
29494537528 1007034062
7 Sswithin
19424196904
Tabel Anova Sumber ragam
df
SS
MS
Antar group
1
1007034062
1007034062
Dalam group Total
8 9
29494537528 3956487815
3686817191
F-hitung F-tabel 273
346
*)
113
Lampiran 15: Anova produksi madu di daerah dan diluar sinkolema 1 Grand Total
4895000
2 Sigma Y kuadrat 3 grand total/n 4 grand totak kuadrat dibagi sampel (CT)
16001750000 135558250 119805125
5 SS Total 6 SS group
4021237500 15753125
7 Sswithin
2445925000
Tabel Anova Sumber ragam
df
SS
MS
F-hitung
F-tabel
Antar group
1
15753125
15753125
705
443
Dalam group Total
18 19
4021237500 55965500
223402083
**)
114
Lampiran 16: Anova produksi madu berdasarkan tata letak di dalam sinkolema 1 Grand Total 2 Sigma Y kuadrat 3 grand total/n 4 grand totak kuadrat dibagi sampel (CT)
3205000 12034750000 110376500 102720250
5 SS Total 6 SS group
1762725000 7656250
7 Sswithin
997100000
Tabel Anova Sumber ragam
df
SS
MS
F-hitung
F-tabel
Antar group Dalam group Total
1 8 9
7656250 17627250,00 25283500
7656250 220340625
347
346
*)
115
Lampiran 17: Tabel nilai skore atribut sinkolema hasil akuisisi pendapat dan FGD (Focus Group Discussion) Atribut Dimensi Ekologi/Lingkungan Pemanfaatan lebah sebagai polinator
Skor 0,1,2
Daya dukung wilayah
0,1,2,3
Sistem pemeliharaan
1,2,3
Ketinggian tempat dpl
1,2,3
Agroklimat Suhu, curah hujan
0,1
Kesuburan lahan
0,1,2
Luas lahan 0,1,2,3 perkebunan/pertanian/kehutanan
Indeks Pertanaman (IP)
0,1,2
Penutupan vegetasi
0,1,2
Keanekaragaman Vegetasi
0,1,2,3,4
Keterangan 0= tidak dimanfaatkan, 1= kadang kadang dimanfaatkan 2= dapat dimanfaatkan 0= tidak mendukung, 1= kurang mendukung, 2= mendukung, 3= sangat mendukung 1= tidak dipelihara, 2= dibudidaya dalam stup dan dibiarkan, 3= dibudidayakan dalam stup dan dikontrol pakannya, penyakitnya dll 1= dpl>i 1000m, 2= dpl<500n dpl, 3= 500m
80% 0= IP1, 1= IP2,dan 2= IP3 0= luasan<20%, 1= luasan antara 25% s/d 75%, 2= luasan>75% 0= kurang dari 5 jenis 1= 5 s/d 10 2= 10 sd 15 3= 15 s/d 20 4= lebih dari 20
Data Before After 2 2
3
3
2
3
3
3
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
3
4
116
Dimensi Ekonomi Keuntungan peternak lebah
0,1,2
Konstribusi kopi dan madu terhadap PDRB sector pertanian
0,1,2
Pembeli
0,1,2
Keadaan pasar
0,1,2,3
Cara menjual madu
0,1,2,3
Sumber modal
0,1,2,3,4
Prospek permintaan madu
0,1,2
Prospek permintaan kopi
0,1,2
Siatem penjualan produk
0,1 ,2
Besarnya subsidi
0,1,2,3,4
0= lebih rendah dari usaha lain, 1= Sama dengan rata-rata usaha lain, 2= lebih besar dengan usaha lain 0= lebih rendah dari usaha lain, 1= Sama dengan rata-rata usaha lain, 2= lebih besar dengan usaha lain 0= mencari pembeli 1= pembeli di pasar 2= pembeli datang sendiri 0= pasar local, 1= pasar regional, 2= pasar nasional, 3= pasar internasional 0= curah, 1= dibotolkan tanpa identitas, 2= dibotolkan dengan striker identitas, 3=sudah dapat sertifikat Depkes RI 0=modal sendiri, 1=pinjam sudara, 2=dana bergulir pemerintah, 3=dana koperasi/klp 4=dana bank 0=penurun, 1=tetap 2=meningkat 0=penurun, 1=tetap 2=meningkat 0=lewat perantara 1=lewat pengusaha 2=pasar 3=langsung pembeli 0=tidak ada 1=sedikit 2=besar 3=sangat tergantung 4=mutlak
2 0
2 2
2
2
0
1
1
1
0
2
2
2
1
2
3
3
2
2
117
Dimensi Hukum dan Kelembagaan Keterasediaan peraturan tentang beternak lebah dan perkebunan kopi Ketersediaan peraturan tentang adat (local wisdom) Ada tokoh panutan yang disegani
0,1,2
0,1,2
0,1,2
Intensitas peternak yang melanggar 0,1,2 hukum Lembaga keuangan
0,1,2,3
Kelompok tani peternak
0,1,2,3
Kelembagaan input
0,1,2,3
Kelembagaan output
0,1,2,3
Manfaat kelompok tani yang dirasakan anggota
0,1,2,3
0= tidak ada 1= sedikit 2= banyak 0= tidak ada 1= sedikit 2= banyak 0= tidak ada 1= sedikit 2= banyak 0= tidak ada 1= sedikit 2= banyak 0= tidak ada 1= ada tapi kurang memepehatikan petani kecil 2= sedikit tersedia 3= cukup tersedia 0= 0% - 25% 1= 25%-50% 2= 50%-74% 3= >75% 0= tidak ada 1= ada tapi susah diakses 2= ada tapi hanya sebagian mudah diakses 3= cukup banyak dan mudah diakses 0= tidak ada 1= ada tapi susah diakses 2= ada tapi hanya sebagian mudah diakses 3= cukup banyak dan mudah diakses 0= tidak ada manfaatnya 1= sedikit ada manfaatnya 2= bermanfaat 3= sangat bermanfaat
0
0
1
1
1
2
2
2
1
1
0
1
1
1
1
1
2 3
118
Dimensi Budidaya/Teknologi Produktivitas lebah madu
0,1,2,3
Ketersediaan pakan dari nectar kopi dan kaliandra
0,1,2
Prospek pertumbuhan
0,1,2,3
Ketersediaan sarana produksi
0,1,2,3
Teknologi pakan
0,1,2
Pemanfaatan lebah sebagai polinator kopi
0,1,2
Pemanfaatan tanaman kopi dan kaliandra sebagai penghasil nektar dan polen pakan lebah Teknologi transportasi dan informasi
0,1,2
Frekuensi panen/tahun
0,1,2,3,
Peralatan panen
0,1,2
0,1,2
0=kurang dari 25%, 1=antara 26% s/d 50% 2=antara 51 % s/d 75% 3=di atas 76% 0=kurang, 1=cukup, 2=berlebih 0=tidak ada, 1=lambat, 2= sedang dan 3 cepat 0=sangat kurang, 1=kurang lengkap, 2=cukup, 3=cukup dan baik 0=tidak ada, 1=disediakan pakan tambahan 2=diangon 0=tidak, 1=kadang-kadang, 2=selalu 0=tidak, 1=kadang-kadang, 2=selalu 0=minim, 1=cukup, 2=baik 0=tidak teratur, 1=1-3 kali, 2=4-6 kali, 3= lebih 6 kali 0=tidak ada, 1= tidak lenggkap 2= lengkap
2 2
2
2
1
3
2 1
0
2
1
2
1
2
1
1
1
2
1
1
119
Dimensi Sosial Budaya 1 Keterasediaan peraturan tentang beternak lebah dan perkebunan kopi Jumlah keluarga petani kopi
0,1,2
0,1,2,3
2
3 Jumlah keluarga peternak lebah
0,1,
4 Pengetahuan terhadap lingkungan
0,1,2
Tingkat pendidikan
0,1,2
5
6 Frekuensi komplik
0,1,2,3
7 Partisipasi keluarga dalam usaha ternak madu dan kebun kopi
0,1,2,3
Peran masyarakat dalam usaha ternak 8 lebah madu dan kebun kopi
0,1,2,3,4
9 Alternatif usaha lain selain lebah madu dan kebun kopi
0,1,2
0= tidak ada 1= sedikit 2= banyak 0= Jumlah keluarga <25% dari total keluarga 1= Jumlah keluarga 25%-49% dari total keluarga 2= Jumlah keluarga 50%-74% dari total keluarga 3= Jumlah keluarga 75%-100% dari total keluarga 0= < 50% 1= >50% 0= minim 1= cukup 2= luas 0= di bawah propinsi 1= setara propinsi 2= di atas propinsi 0= sering 1= kadang-kadang 2= jarang 3= tidak pernah 0= tidak ada 1= 1-2 orang anggota 2= 3-4 anggota 3= >4 anggota 0= sangat negatif (menolak) 1= kadang-kadang menolak 2= netral 3= mendukung 4= sangat mendukung 0= tidak ada 1= ada terbatas 2= ada banyak
0
0
3
3
1
1
1
2
0
0
3
3
3
3
3
4
2
2
120
Lampiran 18: Indeks status sebelum sinkolema No
1
DIMENSI PEL Budidaya –
2
NILAI
STATUS
NILAI
R (%)
INDEKS
PEL
STRESS
4911
Buruk
01428
949
Tekonologi 2
Ekologi – Lingkungan
6953
Baik
01362
9525
3
Ekonomi
5706
Baik
01368
934
4
Hukum – Kebudayaan
4862
Buruk
01456
9493
5
Sosial - Budaya
7318
Baik
01339
9506
Nilai strees < 0,25 = hasil analisis baik ; Nilai stress > 0,25 = hasil analisis kurang baik R2 > 80 % = penggunaan peubah sudah sangat baik R2 < 80 % = penggunaan peubah kurang baik
Lampiran 19: Faktor pengungkit sebelum sinkolema No
DIMENSI PEL
1
Budidaya – Tekonologi
2
Ekologi – Lingkungan Ekonomi
3
4
Hukum – Kebudayaan
5
Sosial - Budaya
FAKTOR PENGUNGKIT (faktor-faktor sensitif yang diintervensi) Utama kedua ketiga Teknologi pakan Ketersediaan Frekuensi pakan dari nectar panen/tahun kopi dan kaliandra Kesuburan lahan Agroklimat, suhu, Penutupan curah hujan vegetasi Sumber modal Keadaan pasar Prospek permintaan madu Kelompok tani Intensitas Lembaga peternak pelanggaran hukum Keuangan oleh peternak Tingkat Pengetahuan Jumlah keluarga pendidikan terhadap peternak lebah lingkungan
121
Lampiran 20: Indeks status setelah sinkolema No 1
DIMENSI PEL Budidaya –
2
NILAI INDEKS 7619
STATUS PEL Sangat Baik
NILAI STRESS 01375
R (%) 953
Tekonologi 2
Ekologi – Lingkungan
842
Sangat Baik
01315
9522
3
Ekonomi
7924
Sangat Baik
0134
9426
4
Hukum – Kebudayaan
549
Baik
01381
9481
5
Sosial - Budaya
8528
Sangat Baik
01339
9419
Nilai strees < 0,25 = hasil analisis baik ; Nilai stress > 0,25 = hasil analisis kurang baik R2 > 80 % = penggunaan peubah sudah sangat baik R2 < 80 % = penggunaan peubah kurang baik
Lampiran 21: Faktor pengungkit setelah sinkolema No
DIMENSI PEL
1
Budidaya – Tekonologi
2
Ekologi – Lingkungan Ekonomi
3 4
Hukum – Kebudayaan
5
Sosial Budaya
FAKTOR PENGUNGKIT (faktor-faktor sensitif yang diintervensi) Utama kedua ketiga Teknologi Pemanfaatan Lebah Peralatan panen / transportasi & sebagai pollinator Frekuensi panen informasi kopi per tahun Kesuburan lahan Luas lahan pertanian Agroklimat, suhu, curah hujan Sistem penjualan Cara menjual madu Keadaan pasar produk Intensitas Keberadaan tokoh Kelompok tani pelanggaran panutan peternak hukum oleh peternak Tingkat Jumlah keluarga Regulasi pendidikan peternak lebah pemerintah setempat mengenai lebah madu
122
122
Lampiran 22 Pembobotan faktor SWOT faktor internal Faktor
1a
1b
1c
1d
1e
1f
1g
1h
1i
2a
2b
2c
2d
2e
2f
2g
2h
Total
100
106
170
189
155
121
213
425
1700
113
142
131
243
283
340
567
850
5847
094
100
160
178
145
114
200
400
1600
107
133
123
229
267
320
533
800
5503
059
063
100
111
091
071
125
250
1000
067
083
077
143
167
200
333
500
3440
053
056
090
100
082
064
113
225
900
060
075
069
129
150
180
300
450
3096
065
069
110
122
100
079
138
275
1100
073
092
085
157
183
220
367
550
3784
082
088
140
156
127
100
175
350
1400
093
117
108
200
233
280
467
700
4815
047
050
080
089
073
057
100
200
800
053
067
062
114
133
160
267
400
2752
024
025
040
044
036
029
050
100
400
027
033
031
057
067
080
133
200
1376
006
006
010
011
009
007
013
025
100
007
008
008
014
017
020
033
050
344
Kekuatan: 1a 1b 1c 1d 1e 1f 1g 1h 1i
17 16 10 9 11 14 8 4 1
123
Lapiran 22 Pembobotan faktor SWOT faktor internal (lanjutan) Kelemahan 2a 2b 2c 2d 2e 2f 2g 2h
15 12 13 7 6 5 3 2
088
094
150
167
136
107
188
375
1500
100
125
115
214
250
300
500
750
5159
071
075
120
133
109
086
150
300
1200
080
100
092
171
200
240
400
600
4127
076
081
130
144
118
093
163
325
1300
087
108
100
186
217
260
433
650
4471
041
044
070
078
064
050
088
175
700
047
058
054
100
117
140
233
350
2408
035
038
060
067
055
043
075
150
600
040
050
046
086
100
120
200
300
2064
029
031
050
056
045
036
063
125
500
033
042
038
071
083
100
167
250
1720
018
019
030
033
027
021
038
075
300
020
025
023
043
050
060
100
150
1032
012
013
020
022
018
014
025
094
200
013
017
015
029
033
040
067
100
732
TOTAL
52669
123
124
Lampiran 23 Pembobotan faktor eksternal Faktor
1a
1b
1c
1d
1e
1f
2a
2b
2c
2d
2e
Total
Peluang: 1a
10
100
167
200
091
500
1000 111
250
143
333
125
3020
1b
6
060
100
120
055
300
600
067
150
086
200
075
1812
1c
5
050
083
100
045
250
500
056
125
071
167
063
1510
1d
11
110
183
220
100
550
1100 122
275
157
367
138
3322
1e
2
020
033
040
018
100
200
022
050
029
067
025
604
1f
1
010
017
020
009
050
100
011
025
014
033
013
302
2a
9
090
150
180
082
450
900
100
225
129
300
113
2718
2b
4
040
067
080
036
200
400
044
100
057
133
050
1208
2c
7
070
117
140
064
350
700
078
175
100
233
088
2114
2d
3
030
050
060
027
150
300
033
075
043
100
038
906
2e
8
080
133
160
073
400
800
089
200
114
267
100
2416
Ancaman
TOTAL
19931
125
Lampiran 24 Nilai Bobot Faktor Eksternal dan Internal Faktor Kekuatanan 1a 1b 1c 1d 1e 1f 1g 1h 1i Kelemahan 2a 2b 2c 2d 2e 2f 2g 2h
Nilai
Bobot
5847 5503 3440 3096 3784 4815 2752 1376 344
011 010 007 006 007 009 005 003 001
5159 4127 4471 2408 2064 1720 1032 732
010 008 008 005 004 003 002 001
125
126
Lampiran 24
Nilai Bobot Faktor Eksternal dan Internal (lanjutan) Faktor
Nilai
Bobot
1a
3020
015
1b
1812
009
1c
1510
008
1d
3322
017
1e
604
003
1f
302
002
2a
2718
014
2b
1208
006
2c
2114
011
2d
906
005
2e
2416
012
Peluang:
Ancaman:
127
Lampiran 25 Rumusan strategi Sinkolema KEKUATAN (S) FAKTOR INTERNAL
a. b.
Ketersediaan lahan dan kebun kopi yang luas Budaya masyarakat yang sudah biasa bertani berbagai macam tanaman Visi Pemda untuk menjadikan Kabupaten Kepahiang sebagai tujuan agrowisata Letak geografis yang cocok untuk pengembangan perkrbuan kopi dan ternak lebah madu Tersedianya sarana dan prasarana pendukung seperti air bersih, pasar, jalan yang layak dll
c. FAKTOR EKSTERNAL PELUANG (O) a.
b.
c. d.
e.
Terdapatnya lembaga perguruan tinggi yang memiliki kopetensi penerapan Sinkolema Meningkatnya kebutuhan pendidikan yang berwawasan aplikatif seperti kebutuhan SMK pertanian Tendensi masyarakat Indonesia minum madu yang meningkat Madu adalah komoditi yang dikonsumsi semua lapisan masyarakat baik dalam maupun luar negeri Adanya kepercayaan bahwa minum madu secara rutin dapat meningkatkan kebugaran dan memperpanjang umur
d. e.
Memanfaatkan peluang mengoptimalkan Kekuatan d. e. f. g.
Optimalisasi pemanfaatan SDA bekerjasama dengan Perguruan Tinggi Merealisasikan Visi dan Misi dengan member bekal pengetahan murid SMK Peningkatan mutu dan produksi madu untuk memenuhi kebutuhan konsumen Pembenahan sarana dan prasarana produksi untuk memberikan layanan kebutuhan madu dengan cepat dan bermutu
KELEMAHAN (W) a. b.
Terbatasnya dukungan finansial Kelembagaan di tingkat petani yang masih tidak/kurang berfungsi Masyarakat belum menguasai budidaya lebah madu Penggunaan pestisida yang masih tinggi Belum ada program yang disusun pemda mengenai pengembangan ternak lebah madu
c. d. e.
Menanggulangi kelemahan dengan memanfaatkan peluang) e.
f. g. h. i.
Mendapat bimbingan PTN dalam mendapatkan modal dari sumber keuangan dan membentuk kelembagaan yang kuat Optimalisasi transfer teknologi dari PT/PTN Mengurangi mpenggunaan pestisida untuk menghasilkan madu yang aman dikinsumsi Dibuat program pengembangan ternal lebah bekerjasama engan SMK Pembentukan lembaga Setingkat atau dibawahnya yang khusus menangani satwa harapan termasuk lebah madu
127
128
128
KEKUATAN (S) FAKTOR INTERNAL
f. g. h.
FAKTOR EKSTERNAL ANCAMAN (T) a. b. c.
d.
Tersebarnya produk madu yang diproduksi dan diolah di daerah lain Belum adanya peraturan yang dapat melindungi peterrnak madu Beberapa infrastruktur jalan dan transportasi umum menuju lokasi perlu ditingkatkan Adanya alternatif tempat lokasi lain di Kepahiang
i. j.
Ketersediaan lahan dan kebun kopi yang luas Budaya masyarakat yang sudah biasa bertani berbagai macam tanaman Visi Pemda untuk menjadikan Kabupaten Kepahiang sebagai tujuan agrowisata Letak geografis yang cocok untuk pengembangan perkrbuan kopi dan ternak lebah madu Tersedianya sarana dan prasarana pendukung seperti air bersih, pasar, jalan yang layak dll
Memakai kekuatan untuk mengantisipasi tantangan/ancaman)
KELEMAHAN (W) f. g.
Terbatasnya dukungan finansial Kelembagaan di tingkat petani yang masih tidak/kurang berfungsi Masyarakat belum menguasai budidaya lebah madu Penggunaan pestisida yang masih tinggi Belum ada program yang disusun pemda mengenai pengembangan ternak lebah madu
h. i. j.
Memperkecil kelemahan dan mengatasi tantangan/ancaman) : c.
c.
Memanfaatkan fasilitas dan akses yang yang dimiliki PEMDA untuk ajang promosi
d. e.
d.
Pembenahan infrastruktur (jalan) dan akselerasi pelaksanaan terwujudnya Kabupaten Kepahiang sebagai Kota tujuan Arowisata
Menggalang kerjasama dengan berbagai pihak untuk kegiatan promosi Pemanfaatan secara optimal sumberdaya Pemda yang dimiliki Kerjasama dengan berbagai pihak (yang satu Misi) untuk perbaikan dan penyediaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan Sinkolema
129
Lampiran 26 Analisis Keberlanjutan Teknologi Sebelum Sinkolema RAPBEE Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
0
BAD 0
20
40
60
80
100
GOOD 120
-20
-40 DOWN Sinkolema Sustainability
-60
Lampiran 27 Analisis Keberlanjutan Teknologi Setelah Sinkolema RAPBEE Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40 20 0
BAD 0
20
40
60
80
-20 -40 DOWN
-60 Sinkolema Sustainability
100
GOOD 120
130
Lampiran 28, Analisis Keberlanjutan Ekologi Sebelum Sinkolema RAPBEE Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40 20 0 -20
0
BAD
20
40
60
80
100
GOOD 120
-20 -40 DOWN -60 -80 Sinkolema Sustainability
Lampiran 29 Analisis Keberlanjutan Ekologi Setelah Sinkolema RAPBEE Ordination 60 UP 40
Other Distingishing Features
20 0 -20
0
BAD
20
40
60
80
-20 -40 DOWN -60 -80 Sinkolema Sustainability
100
GOOD 120
131
Lampiran 30 Analisis Keberlanjutan Ekonomi Sebelum Sinkolema RAPBEE Ordination 60
Other Distingishing Features
40
20
0 0
20
40
60
80
100
120
-20
-40
-60 Sinkolema Sustainability
Lampiran 31 Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Sesudah Sinkolema RAPBEE Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
0
BAD 0
GOOD 20
40
60
80
-20
-40 DOWN
-60 Sinkolema Sustainability
100
120
132
Lampiran 32 Analisis Keberlanjutan Hukum dan Kelembagaan Sebelum Sinkolem RAPBEE Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
0
GOOD
BAD 0
20
40
60
80
100
120
-20
-40 DOWN
-60 Sinkolema Sustainability
Lampiran 33 Analisis Keberlanjutan Hukum dan Kelembagaan Setelah Sinkolem
RAPBEE Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
0
GOOD
BAD 0
20
40
60
80
-20
-40 DOWN -60 Sinkolema Sustainability
100
120
133
Lampiran 34 Analisis Keberlanjutan Sosial Budaya sebelum Sinkolema RAPBEE Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
0
GOOD
BAD 0
20
40
60
80
100
120
-20
-40 DOWN -60 SinkolemaSustainability
Lampiran 35 Analisis Keberlanjutan Sosial Budaya Setelah Sinkolema RAPBEE Ordination
60
UP 40
Other Distingishing Features
20
0
GOOD
BAD 0
20
40
60
80
-20
-40 DOWN
-60 SinkolemaSustainability
100
120
134
Lampiran 36 Cara pengukuran panjang (FL) dan lebar (Fb) sayap depan (Ruttner, 1978)
135
Lampiran 37 Cara pengukuran panjang dan lebar (B) abdomen pada Tergite 4 (A)
Tergite no 4
(A)
Lebar abdomen
(B)
136
Lampiran 38 Cara pengukuran panjang proboscis (Ruttner, 1978)
Panjang Proboscis