Makalah Seminar Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor POTENSI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) SEBAGAI JAGUNG SEMI (Baby Corn) The Potential Some of Maize Varieties as Baby Corn (Zea mays L.). Widya Rachmat Sepriliyana1, Yudiwanti2, Sri Gajatri Budiarti3 Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB 2 Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB 3 Staf Peneliti Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian 1
Abstract The experiment was aimed to get potential information about some of maize varieties which can be used to produce baby corn. The experiment conducted in Kebun Percobaan Leuwikopo IPB, Darmaga, Bogor on May until July 2009. The genetic material was consisted 17 collection genotypes of Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen). Five local genotypes (Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Oesae and Lokal Srimanganti), seven breeding genotypes (Antasena, Arjuna P18, Bayu, BC 10 MS 15, Nakula, Sadewa and Wisanggeni), five introducted genotypes (EW DMR Pool C6S2, EY Pool C4S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2 and Phil DMR 6) and one check variety, BISI-2. It was arranged in Randomized Completely Block Design with genotype as treatment. This experiment used three replications. Data measured were analyzed with ANOVA, t-Dunnett and Orthogonal Contras. The result showed that Kiran and Phil DMR Comp. 2 genotypes produced many ears in a crop than local genotypes, breeding genotypes and introduction genotypes. The marketable ears of them one more than others. Genjah Kodok genotype had a high percentage in class A ears, according to CODEX standard for baby corn than others and also control variety. Thus, Genjah Kodok, Kiran, and Phil DMR Comp.2 genotypes were potential to be used as baby corn. Keywords : Potential, Maize, Baby Corn PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung merupakan tanaman pangan yang banyak digunakan untuk bahan makanan pokok. Salah satu produk dari tanaman jagung yang mempunyai prospek cukup baik dikembangkan adalah jagung semi (baby corn), yaitu jagung yang dipanen saat masih muda dan belum membentuk biji. Tidak hanya jagung yang masih mudanya saja yang bisa dimanfaatkan, bagian dari hijauannya juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak karena teksturnya halus dan masih muda sehingga mudah dicerna oleh hewan ternak yang memakannya. Jagung semi secara pemeliharaan lebih sulit dibandingkan dengan jagung biasa, namun dibalik kesulitan ini memiliki beberapa keuntungan antara lain : permintaan pasar terhadap baby corn meningkat sehingga meningkatkan pendapatan petani dan panen hasil dari jagung semi tidak memerlukan waktu yang lama (Palungkun dan Budiarti, 1992). Menurut Soeseno (1997) jagung semi atau jagung putri, berasal dari jagung hibrida biasa, tetapi setiap bunga jantannya yang muncul langsung dibuang (emaskulasi). Akibatnya, pembentukan tongkol jagung bisa lebih cepat. Beberapa negara pengekspor baby corn antara lain Thailand, Sri Lanka, Taiwan, China, Zimbabwe, Zambia, Indonesia, Afrika Selatan, Nikaragua, Costa Rica, Guatemala, dan Honduras. Thailand merupakan salah satu negara yang mengekspor baby corn terbesar dalam statistik perdagangan resmi. Pada tahun 1993, Thailand mengekspor baby corn ke-22 negara (Graef, 1995). Sebagian besar baby corn yang dijual di Amerika diproses dan diimpor dari Asia, terutama Thailand (University of Kentucky, 2006). Kendala yang umum timbul dalam memproduksi jagung semi adalah penggunaan varietas unggul jagung yang dirakit khusus sebagai jagung semi. Sebagian besar produksi jagung semi menggunakan varietas jagung pipil yang sudah tersedia di pasar. Kendala lainnya yaitu penerapan komponen teknologi produksi yang belum dilakukan sesuai anjuran berupa ketidaksesuaian dalam teknik budidaya yang dilakukan serta proses pasca panen yang tepat. Jumlah tongkol yang biasa dihasilkan jagung umumnya sekitar 1-2 buah. Varietas jagung hibrida yang banyak digunakan sebagai baby corn antara lain Hibrida C-1 dan C-2, Pioneer-1, 2, 7, dan 8, CPI-1, Bisi-2 dan Bisi-3, IPB-4, serta Semar-1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9 (Adisarwanto dan Widyastuti, 2002). Menurut Wakhyono (2003), persentase tongkol dengan panjang lebih dari 9.5 cm dan afkir tinggi sehingga perlu dilakukan seleksi terhadap genotipe-genotipe untuk meningkatkan kualitas tongkol. Diharapkan beberapa varietas jagung yang ada dapat
menghasilkan jagung semi dengan kuantitas dan kualitas lebih baik. Kuantitas jagung semi dengan menghasilkan tongkol banyak dan kualitas jagung semi seperti rasa manis, tidak berserat, alur biji lurus, berwarna kekuningan, dan seragam. Tujuan Memperoleh informasi potensi beberapa varietas jagung yang dapat dimanfaatkan untuk memproduksi jagung semi (baby corn). Hipotesis Terdapat varietas jagung yang menghasilkan jagung semi dengan kuantitas dan kualitas lebih baik dibanding kontrol. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2009 sampai dengan Juli 2009 di Kebun Percobaan IPB Leuwikopo, Dramaga, Bogor yang terletak pada ketinggian 250 m dpl dengan jenis tanah latosol. Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan 17 genotipe jagung koleksi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen) terdiri atas 5 genotipe lokal (Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Oesae, Lokal Srimanganti), 7 genotipe hasil pemuliaan (Antasena, Arjuna P18, Bayu, BC 10 MS 15, Nakula, Sadewa, Wisanggeni), dan 5 genotipe introduksi (EW DMR Pool C6S2, EY Pool C4S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2, Phil DMR 6) serta BISI-2 sebagai pembanding. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman dilakukan pemupukan dengan Urea, SP-18, KCl dan pupuk kandang. Pengendalian hama dan penyakit tanaman menggunakan insektisida dan fungisida. Alat yang digunakan antara lain alat budidaya pertanian, jangka sorong, label, meteran, pisau, plastik, timbangan digital, dan alat tulis. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan tiga ulangan. Perlakuannya adalah 17 genotipe dan 1 varietas pembanding. Dengan demikian seluruhnya terdapat 54 satuan percobaan dan setiap satu satuan percobaan terdiri dari 50 tanaman tiap petak dengan 10 tanaman contoh. Model matematika RKLT yang digunakan (Gomez and Gomez, 1995) adalah:
Yij = μ + αi + βj + εij Keterangan : i = 1, 2, 3,.....n j = 1, 2, 3,......n Yij = Respon pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j μ = Nilai tengah umum αi = Pengaruh perlakuan ke-i βj = Pengaruh ulangan ke-j εij = Pengaruh galat percobaan perlakuan ke-i ulangan ke-j Jika F-hitung berbeda nyata pada taraf 5%, maka dilakukan uji lanjut setelah analisis ragam menggunakan uji perbedaan nilai tengah yaitu uji t-Dunnett dan uji kontras ortogonal sesuai kebutuhan. Pelaksanaan Penelitian Pengolahan tanah dilakukan dengan pemberian pupuk kandang dan dibiarkan selama satu minggu. Setelah satu minggu dilakukan pemetakan dengan ukuran petak 26.6 m x 5 m untuk tiap ulangan dan setiap genotipe ditanam dalam dua baris dengan ukuran petak 1.4 m x 5 m dengan jarak tanam 70 cm x 20 cm. Benih yang ditanam sebanyak 2 benih per lubang tanam dan diikuti dengan pemberian Furadan 3G. Pemupukan dilakukan dengan cara ditugal dengan jarak ± 7 cm dari lubang tanam. Dosis pupuk yang digunakan yaitu 200 kg/ha Urea, 400 kg/ha SP-18, 100 kg/ha KCl. Pupuk Urea diberikan setengah dosis rekomendasi pada saat tanam dan sisanya diberikan 21 HST. Untuk pupuk SP-18 dan KCl diberikan satu dosis rekomendasi pada saat tanam. Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi pengendalian gulma (penyiangan), pembumbunan, pengendalian hama dan penyakit, dan penjarangan. Kegiatan penyulaman tanaman yang mati tidak dilakukan karena dikhawatirkan tanaman jagung semi tidak seragam pertumbuhannya mengingat umurnya yang pendek. Kegiatan pemanenan dilakukan sesuai umur panen tiap genotipe. Pengamatan Pengamatan dilaksanakan terhadap 10 tanaman contoh yang diambil secara acak per genotipe. Peubah yang diamati antara lain : 1. Tinggi tanaman 2. Diameter batang 3. Jumlah buku per tanaman 4. Umur berbunga 5. Umur panen 6. Jumlah tongkol per tanaman 7. Bobot tongkol kotor 8. Bobot tongkol bersih 9. Ukuran tongkol (diameter dan panjang tongkol) 10. Jumlah tongkol layak pasar Tabel 1. Standar CODEX untuk Baby corn (Brisco, 2000) Kode Ukuran A B C
Panjang Tongkol(cm) 5.0 - 7.0 7.0 - 9.0 9.0 - 12.0
Semua ukuran, minimal harus memiliki diameter tidak kurang dari 1 cm dan maksimal tidak lebih dari 2 cm.
11. Jumlah tongkol afkir Analisis Data Jika F-hitung berbeda nyata pada taraf 5%, maka dilakukan uji lanjut setelah analisis ragam menggunakan uji tDunnett untuk membandingkan tiap perlakuan dengan kontrol dan uji kontras ortogonal untuk membandingkan antar perlakuan atau antar kelompok perlakuan. Untuk mengetahui sejauh mana suatu populasi tanaman secara fenotipik dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan sekitarnya dilakukan pendugaan nilai heritabilitas. Nilai ragam lingkungan (Ve) didapatkan dari nilai kuadrat tengah galat dibagi dengan banyaknya ulangan sedangkan nilai ragam genotipe (Vg) dari selisih kuadrat tengah genotipe dengan kuadrat tengah galat dibagi dengan banyaknya
ulangan. Hasil dari penjumlahan ragam genotipe dengan ragam lingkungan adalah ragam fenotipe. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian dilakukan mulai bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2009 di Kebun Percobaan Lewikopo IPB dimana pada bulan tersebut merupakan akhir dari musim hujan. Curah hujan yang turun selama penelitian berdasarkan data dari stasiun klimatologi Dramaga yaitu 346.57 mm/bulan, dimana pada bulan Mei curah hujan sangat tinggi (570.60 mm). Suhu udara berkisar 26o C dengan kelembaban udara 81.67 %. Tim Penebar Swadaya (1992) menyatakan bahwa kisaran curah hujan ideal bagi jagung semi adalah 100 – 125 mm/bulan. Serangan hama mulai terlihat saat tanaman berumur 3 MST berupa belalang (Melanoplus sp.), ulat tanah (Agrotis ipsilon) dan ulat grayak (Spodoptera litura). Hama ulat penggerek tongkol (Heliothis armigera) dan ulat penggerek batang (Sesamia inferens) menyerang saat panen jagung semi berlangsung (sekitar 40 – 55 HST), akibat serangan keduanya terjadi penurunan kualitas tongkol jagung semi. Penyakit bulai (Sclerospora maydis) menyerang tanaman jagung yang masih muda berumur sekitar 3 MST sehingga untuk menghindari penyebarannya dilakukan pencabutan dan pembuangan tanaman jagung yang terserang. Penyakit lain yang menyerang tanaman jagung selama penelitian adalah hawar daun (Helminthosporium maydis) dan karat (Puccinia sp.). Penyakit hawar daun awalnya berupa bercakbercak kecil selanjutnya berwarna coklat kehijauan dan lama kelamaan membesar sedangkan penyakit karat pada tingkatan yang jauh menyebabkan bagian-bagian daun mengering (Semangun, 1991). Tabel 3. Rekapitulasi Uji F Pengaruh Genotipe Beberapa Peubah Tanaman Jagung. Peubah Tinggi tanaman Diameter batang Jumlah buku per tanaman Umur berbunga Umur panen rata-rata Jumlah tongkol per tanaman Bobot tongkol kotor Bobot tongkol bersih Diameter tongkol Panjang tongkol Jumlah tongkol layak pasar Jumlah tongkol afkir
F hitung 4.39** 10.43** 71.88** 109.63** 11.90** 15.92** 10.83** 12.66** 9.02** 29.55** 2.49* 11.88**
Pr > F 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0115 0.0001
KK (%) 6.20 6.18 3.83 1.79 3.55 10.43 13.45 16.77 5.86 7.82 10.37w) 10.94
Keterangan : * = berbeda nyata pada taraf 5%, ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1%, tn = tidak berbeda nyata, w) = transformasi (√x+o.5)
Berdasarkan hasil sidik ragam peubah dari genotipegenotipe yang diuji, pengaruh genotipe untuk semua peubah adalah nyata atau sangat nyata (Tabel 3). Keragaman Genetik Keragaman Fenotipik dan Heritabilitas Nilai ragam genetik (Vg) dan ragam fenotipik (Vp) pada beberapa peubah yang diamati lebih besar daripada nilai ragam lingkungan (Ve), kecuali pada peubah jumlah tongkol layak pasar dimana nilai Ve lebih besar daripada nilai Vg dan Ve. Kisaran nilai koefisien keragaman genetik (KKG) jagung semi ini antara 0.04 % sampai dengan 24.30 %, dengan nilai KKG terendah pada peubah jumlah tongkol layak pasar dan tertinggi pada peubah bobot tongkol kotor. Nilai KKG yang tinggi menunjukkan keragaman karakter ini tinggi secara genetik sehingga akan lebih mudah dalam melakukan seleksi dan seleksi dapat dilakukan lebih awal. Warid et al. (1999) menyatakan bahwa seleksi akan efektif dilakukan pada peubah dengan variabilitas genetik luas, ditunjukkan dengan nilai KKG yang tinggi. Nilai heritabilitas yang tinggi ditunjukkan pada hampir semua peubah sehingga secara umum peubah yang diamati tidak
banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hal ini dapat dilihat pada nilai h2bs masing-masing peubah lebih dari 50 %. Menurut Jonharnas (1995) seleksi pada karakter yang memiliki heritabilitas tinggi akan berlangsung efektif karena pengaruh lingkungan kecil dan faktor genetik lebih berpengaruh pada penampilan genotipe tanaman. Tabel 4. Nilai Ragam Genetik (Vg), Ragam Fenotipik (Vp), Ragam Galat (Ve), Koefisien Keragaman Genetik (KKG), dan Heritabilitas Arti Luas (h 2bs) Beberapa Peubah pada Jagung. Peubah Tinggi tanaman Diameter batang Jumlah buku per tanaman Umur berbunga Umur panen rata-rata Jumlah tongkol per tanaman Bobot tongkol kotor Bobot tongkol bersih Diameter tongkol Panjang tongkol Jumlah tongkol layak Jumlah tongkol afkir
Vg
Vp
Ve
225.76 3.27 5.70 28.99 7.44 0.30 117.44 8.31 1.46 3.85 0.001 0.21
292.32 3.61 5.78 29.26 8.12 0.32 129.39 9.02 1.64 3.98 0.002 0.23
66.56 0.35 0.08 0.27 0.68 0.02 11.95 0.71 0.18 0.13 0.003 0.002
KKG (%) 6.60 1.10 18.60 10.80 6.80 23.20 24.30 33.10 9.60 24.20 0.04 20.80
h2bs 0.77 0.90 0.99 0.99 0.92 0.94 0.91 0.92 0.89 0.97 0.80w) 0.91
Jumlah buku per tanaman berhubungan dengan tinggi tanaman. Berdasarkan hasil uji t-Dunnett pada Tabel 6 diperoleh 14 genotipe yang memiliki jumlah buku per tanaman nyata lebih sedikit dibanding kontrol yaitu : Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Oesae, Lokal Srimanganti, Arjuna P18, Bayu, BC 10 MS 15, Nakula, Wisanggeni, EY Pool C4S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2 dan Phil DMR 6. Karakter Generatif Berdasarkan hasil uji t-Dunnett pada Tabel 7 diperoleh uji t-Dunnett bahwa 11 genotipe memiliki umur berbunga yang nyata lebih genjah dibanding kontrol yaitu : Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Srimanganti, Arjuna P18, Bayu, Wisanggeni, EW DMR Pool C6S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2 dan Phil DMR 6. Wakhyono (2003) menyimpulkan bahwa genotipe Bima, Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Oesae, Lokal Srimanganti, Arjuna P18, Nakula, Sadewa dan EW DMR Pool C6S2 memiliki umur berbunga yang lebih genjah dibanding Bisi-3. Tabel 7. Nilai Tengah Umur Berbunga,Umur Panen Rata rata, Jumlah Tongkol per Tanaman, Bobot Tongkol Kotor, dan Bobot Tongkol Bersih Beberapa Genotipe Jagung. Genotipe
Keterangan : w) = transformasi (√x+0.5)
Umur Bunga Jantan
Umur Panen Rata-rata
Jumlah Tongkol per Tanaman
Bobot Tongkol Kotor
Bobot Tongkol Bersih
42.67*(-) 38.67*(-) 51.33*(-) 58.00*(+) 51.33*(-)
35.31*(-) 33.52*(-) 42.61tn(+) 40.45*(-) 41.67tn(-)
2.77tn(-) 2.38tn(-) 2.27tn(-) 1.80* (-) 2.10* (-)
34.91tn(-) 29.90tn(-) 44.57tn(+) 38.22tn(-) 49.33tn(+)
4.73* (-) 4.19* (-) 10.19tn(+) 8.90tn(-) 11.02tn(+)
53.33tn(-) 50.67*(-) 49.00*(-) 53.33tn(-) 53.33tn(-) 53.33tn(-) 49.67*(-)
43.43tn(-) 41.62tn(-) 40.30*(-) 42.58tn(-) 39.59*(-) 38.59*(-) 39.97*(-)
2.47tn(-) 2.10* (-) 2.23* (-) 2.47tn(-) 1.70* (-) 1.70* (-) 2.00* (-)
54.74tn(+) 50.57tn(+) 42.59tn(-) 66.21* (+) 49.72tn(+) 54.39tn(+) 41.51tn(-)
12.40tn(+) 11.92tn(+) 8.20tn(-) 10.50tn(+) 10.20tn(+) 10.54tn(+) 7.53tn(-)
50.67*(-)
42.28tn(-)
2.47tn(-)
35.49tn(+)
8.03tn(-)
55.00tn(+) 38.67*(-) 44.33*(-)
40.23*(-) 36.89*(-) 41.32*(-)
1.67* (-) 3.67*(+) 3.33tn(+)
62.46* (+) 20.03* (-) 36.37tn(-)
12.32tn(+) 3.19* (-) 3.35* (-)
49.67*(-)
39.17*(-)
1.97* (-)
47.64tn(+)
10.02tn(+)
54.00
44.97
2.87
42.93
9.70
Keragaan Karakter Agronomi Karakter Vegetatif Berdasarkan hasil uji t-Dunnett pada Tabel 6 diperoleh 6 genotipe yang memiliki tinggi tanaman nyata lebih rendah dibanding kontrol yaitu : Campaloga, Genjah Kodok, Lokal Srimanganti, BC 10 MS 15, Kiran, dan Phil DMR Comp. 2. Hasil penelitian Wakhyono (2003) menunjukkan bahwa tinggi tanaman genotipe Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Arjuna P18, Nakula, Sadewa, Kiran sangat nyata lebih rendah dibanding Bisi-3. Hasil penelitian Indriati (1999) menyatakan bahwa semakin tinggi tanaman maka fase vegetatifnya akan semakin lama sehingga umur panennya semakin lama pula. Berdasarkan hasil uji t-Dunnett pada Tabel 6 diperoleh 16 genotipe yang memiliki diameter batang nyata lebih kecil dibanding kontrol yaitu : Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Oesae, Lokal Srimanganti, Arjuna P18, Bayu, BC 10 MS 15, Nakula, Sadewa, Wisanggeni, EW DMR Pool C6S2, EY Pool C4S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2 dan Phil DMR 6. Tabel 6. Nilai Tengah Tinggi Tanaman, Diameter Batang dan Jumlah Buku Beberapa Genotipe Jagung. Genotipe
Lokal Campaloga Genjah Kodok Ketip Kuning Lokal Oesae Lokal Srimanganti Hasil Pemuliaan Antasena Arjuna P18 Bayu BC 10 MS 15 Nakula Sadewa Wisanggeni Introduksi EW DMR Pool C6S2 EY Pool C4S2 Kiran Phil DMR Comp. 2 Phil DMR 6 Pembanding BISI 2 *
Tinggi Tanaman
Diameter Batang
Jumlah Buku per Tanaman
212.81*(-) 190.68*(-) 226.72tn(-) 230.75tn(-) 221.58*(-)
15.65*(-) 15.17*(-) 15.80*(-) 17.21*(-) 15.60*(-)
9.63*(-) 6.97*(-) 13.73*(-) 14.03*(-) 13.80*(-)
239.72tn(-) 225.01tn(-) 245.01tn(-) 218.16*(-) 240.06tn(-) 242.05tn(-) 238.76tn(-)
19.44tn(-) 17.21*(-) 16.27*(-) 18.60*(-) 17.13*(-) 16.71*(-) 14.75*(-)
14.70tn(-) 13.37*(-) 14.03*(-) 12.67*(-) 12.80*(-) 14.70tn(-) 13.57*(-)
228.63tn(-) 242.36tn(-) 197.27*(-) 213.24*(-) 229.31tn(-)
14.77*(-) 17.48*(-) 13.55*(-) 15.32*(-) 14.76*(-)
14.40tn(-) 13.17*(-) 7.40*(-) 12.17*(-) 14.00*(-)
258.57
21.28
15.53
tn
Keterangan : : berbeda nyata pada taraf 5 %, : tidak berbeda nyata pada taraf 5 % berdasarkan uji t-Dunnett dengan kontrol BISI-2, (-) : kurang dibandingkan dengan kontrol, (+) : lebih dibandingkan dengan kontrol, (=) : sama dengan kontrol.
Lokal Campaloga Genjah Kodok Ketip Kuning Lokal Oesae L.Srimanganti Hasil Pemuliaan Antasena Arjuna P18 Bayu BC 10 MS 15 Nakula Sadewa Wisanggeni Introduksi EW DMR Pool C6S2 EY Pool C4S2 Kiran Phil DMR Comp. 2 Phil DMR 6 Pembanding BISI 2 *
tn
Keterangan : : berbeda nyata pada taraf 5 %, : tidak berbeda nyata pada taraf 5 % berdasarkan uji t-Dunnett dengan kontrol BISI-2, (-) : kurang dibandingkan dengan kontrol, (+) : lebih dibandingkan dengan kontrol, (=) : sama dengan kontrol.
Berdasarkan hasil uji t-Dunnett pada Tabel 7 diperoleh 11 genotipe yang memiliki umur panen rata-rata nyata lebih genjah dibanding kontrol yaitu : Campaloga, Genjah Kodok, Lokal Oesae, Bayu, Nakula, Sadewa, Wisanggeni, EY Pool C4S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2 dan Phil DMR 6. Berdasarkan hasil uji t-Dunnett pada Tabel 7 diperoleh genotipe Kiran (3.67 tongkol) memiliki jumlah tongkol per tanaman yang nyata lebih banyak dibanding kontrol. Berbeda dengan genotipe Phil DMR Comp. 2 yang memiliki jumlah tongkol lebih banyak dari kontrol namun tidak nyata. Hasil penelitian Armanto (1982) menunjukkan bahwa pengambilan tongkol sekunder mengakibatkan munculnya tongkol-tongkol baru dan anak tongkol tersebut tidak menghasilkan biji.
Tabel 8. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Jumlah Tongkol per Tanaman Beberapa Genotipe Jagung Kontras (a vs b)
F-hitung 6.63*(+) 6.63*(+) 38.66** (+) 12.82** (+) 4.42*(+) 8.02** (-) 9.28** (-) 3.34tn(-) 14.61**(-) 2.24tn(=)
Lokal vs Antasena Lokal vs Kiran Pemuliaan vs Genjah Kodok Pemuliaan vs Phil DMR Comp. 2 Introduksi vs Campaloga Introduksi vs Genjah Kodok Introduksi vs Antasena Kiran vs Phil DMR Comp. 2 Campaloga vs Genjah Kodok Antasena vs BC 10 MS 15
Pr>F 0.0146 0.0146 0.0001 0.0011 0.0430 0.0077 0.0045 0.0764 0.0005 0.1440
Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5 %, ** : sangat berbeda nyata pada taraf 1 %, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a,(+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a.
Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 8) terlihat bahwa jumlah tongkol per tanaman genotipe Antasena dan Kiran sangat nyata lebih banyak dibanding kelompok genotipe lokal. Genotipe Genjah Kodok dan Phil DMR Comp. 2 memiliki jumlah tongkol per tanaman sangat nyata lebih banyak daripada kelompok genotipe hasil pemuliaan. Jumlah tongkol per tanaman yang dimiliki genotipe Campaloga sangat nyata lebih banyak dibanding kelompok genotipe introduksi. Genotipe Genjah Kodok memiliki jumlah tongkol per tanaman sangat nyata lebih sedikit dibanding Campaloga. Tabel 9. Nilai Tengah Diameter Tongkol, Panjang Tongkol, Jumlah Tongkol Layak Pasar dan Jumlah Tongkol Afkir Beberapa Genotipe Jagung Genotipe
Lokal Campaloga Genjah Kodok Ketip Kuning Lokal Oesae Lokal Srimanganti Hasil Pemuliaan Antasena Arjuna P18 Bayu BC 10 MS 15 Nakula Sadewa Wisanggeni Introduksi EW DMR Pool C6S2 EY Pool C4S2 Kiran Phil DMR Comp. 2 Phil DMR 6 Pembanding BISI 2 *
Diameter Tongkol
Panjang Tongkol
Jumlah Tongkol Layak Pasar
Jumlah Tongkol Afkir
11.29tn(+) 11.89tn(+) 12.29tn(+) 12.07tn(+) 14.63* (+)
5.55* (-) 4.50* (-) 9.02tn(-) 9.58tn(-) 8.47* (-)
0.79tn(-) 0.89tn(-) 0.79tn(-) 0.73*(-) 0.80tn(-)
2.63tn(+) 2.53tn(+) 2.13tn(-) 1.77*(-) 1.97tn(-)
15.11* (+) 12.85tn(+) 13.46tn(+) 13.60tn(+) 11.83tn(+) 13.56tn(+) 11.90tn(+)
9.97tn(-) 11.06tn(+) 7.62* (-) 9.28tn(-) 9.31tn(-) 9.03tn(-) 7.40* (-)
0.75tn(-) 0.85tn(-) 0.73*(-) 0.77tn(-) 0.71*(-) 0.79tn(-) 0.82tn(-)
2.40tn(-) 1.87tn(-) 2.20tn(-) 2.37tn(-) 1.70* (-) 1.57* (-) 1.83* (-)
12.66tn(+)
7.62* (-)
0.73*(-)
2.43tn(=)
13.65* (+) 10.18tn(-) 10.89tn(-) 13.37tn(+)
9.10tn(-) 4.46* (-) 5.30* (-) 8.42* (-)
0.71*(-) 0.91tn(-) 0.93tn(-) 0.79tn(-)
1.67* (-) 3.33*(+) 2.97tn(+) 1.83*(-)
10.52
0.96
2.43
11.79
tn
Keterangan : : berbeda nyata pada taraf 5 %, : tidak berbeda nyata pada taraf 5 % berdasarkan uji t-Dunnett dengan kontrol BISI-2, (-) : kurang dibandingkan dengan kontrol, (+) : lebih dibandingkan dengan kontrol, (=) : sama dengan kontrol.
Berdasarkan hasil uji t-Dunnett pada Tabel 9 diperoleh dua genotipe yang memiliki bobot tongkol kotor nyata lebih berat dibanding kontrol yaitu : BC 10 MS 15 dan EY Pool C4S2. Sutjahjo et al, (2005) menyatakan bahwa bobot tongkol kotor tertinggi dimiliki oleh genotipe Lokal Pena Boto, yang tidak berbeda dengan genotipe Lokal Rempek, Lokal Tumbu, Arjuna dan J. Simpang. Berdasarkan hasil uji t-Dunnett pada Tabel 9 diperoleh sembilan genotipe yang memiliki bobot tongkol bersih tidak nyata dibanding kontrol yaitu : Ketip kuning, Lokal Srimanganti, Antasena, Arjuna P18, BC 10 MS 15, Nakula, Sadewa, EY Pool C4S2 dan Phil DMR 6.
Kualitas Jagung Semi Kualitas jagung semi tidak hanya dilihat dari penampilan fisik saja namun juga dilihat dari diameter dan panjang tongkol dengan BISI-2 sebagai pembanding. Berdasarkan hasil uji t-Dunnett pada Tabel 9 diperoleh tiga genotipe yang memiliki diameter tongkol nyata lebih besar dibanding kontrol yaitu : Lokal Srimanganti, Antasena, dan EY Pool C4S2. Berdasarkan hasil uji t-Dunnett pada Tabel 9 diperoleh sembilan genotipe yang memiliki panjang tongkol nyata lebih pendek dibanding kontrol yaitu : Campaloga, Genjah Kodok, Lokal Srimanganti, Bayu, Wisanggeni, EW DMR Pool C6S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2 dan Phil DMR 6. Berdasarkan hasil uji t-Dunnett pada Tabel 9 belum ada varietas lokal yang menghasilkan tongkol sebanyak BISI-2. Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 10) terlihat bahwa jumlah tongkol layak pasar genotipe Arjuna sangat nyata lebih banyak dibanding kelompok genotipe lokal. Genotipe Genjah Kodok memiliki jumlah tongkol layak pasar nyata lebih banyak daripada kelompok genotipe hasil pemuliaan. Jumlah tongkol layak pasar yang dimiliki genotipe Arjuna nyata lebih banyak dibanding kelompok genotipe introduksi. Genotipe Phil DMR Comp. 2 juga memiliki jumlah tongkol layak pasar lebih banyak dibanding Kiran namun tidak nyata. Tabel 10. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Tongkol Layak Pasar Beberapa Genotipe Jagung Kontras (a vs b) Lokal vs Arjuna P18 Pemuliaan vs Genjah Kodok Introduksi vs Arjuna P18 Kiran vs Phil DMR Comp. 2 Genjah Kodok vs Lokal Srimanganti Arjuna vs Wisanggeni
Fhitung 8.12** (+) 5.58*(+) 7.27*(+) 2.02tn(+) 0.09tn(-) 2.95tn(-)
Pr>F 0.0074 0.0240 0.0108 0.1641 0.7704 0.0952
Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5 %, ** : sangat berbeda nyata pada taraf 1 %, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a,(+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a.
Berdasarkan hasil uji t-Dunnett pada Tabel 8 diperoleh enam genotipe yang memiliki jumlah tongkol afkir nyata lebih sedikit dibanding kontrol yaitu : Lokal Oesae, Nakula, Sadewa, Wisanggeni, EY Pool C4S2 dan Phil DMR 6. Genotipe Kiran memiliki jumlah tongkol afkir yang nyata lebih banyak dibandingkan kontrol. Hasil penelitian Sirait (1996) menyatakan bahwa genotipe hasil pemuliaan menghasilkan rata-rata dua tongkol per tanaman, tetapi tongkol yang dipetik terakhir memiliki penampilan afkir sehingga menyebabkan rata-rata jagung semi berpenampilan baik kurang dari dua tongkol. Tabel 11. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Peubah Jumlah Tongkol Afkir Beberapa Genotipe Jagung Kontras (a vs b) Lokal vs Sadewa Lokal vs Kiran Pemuliaan vs Genjah Kodok Pemuliaan vs Lokal Oesae Pemuliaan vs EY Pool C4S2 Pemuliaan vs Phil DMR Comp. 2 Introduksi vs Genjah Kodok Introduksi vs Sadewa Kiran vs Phil DMR Comp. 2 Lokal Oesae vs Lokal Srimanganti Nakula vs Sadewa EY Pool C4S2 vs Phil DMR 6
Fhitung 13.18** (-) 7.60** (+) 24.95** (+) 16.80** (-) 10.25** (-) 15.01** (+) 4.98*(+) 10.48** (-) 7.35*(-) 9.30**(+) 0.26tn(+) 1.41tn(+)
Pr>F 0.0009 0.0093 0.0001 0.0002 0.0030 0.0005 0.0324 0.0027 0.0104 0.0044 0.6145 0.2438
Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5 %, ** : sangat berbeda nyata pada taraf 1 %, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a,(+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a.
Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 11) terlihat bahwa jumlah tongkol afkir genotipe Sadewa sangat nyata lebih sedikit dibanding kelompok genotipe lokal. Genotipe Lokal Oesae dan EY Pool C4S2 memiliki jumlah tongkol afkir nyata lebih sedikit daripada kelompok genotipe hasil pemuliaan. Jumlah tongkol afkir yang dimiliki genotipe Sadewa nyata lebih sedikit dibanding kelompok genotipe introduksi. Begitu juga
dengan genotipe Phil DMR Comp. 2 yang memiliki jumlah tongkol nyata lebih sedikit dibanding Kiran. Pengkelasan Tongkol Jagung Semi Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa persentase tongkol kelas A tertinggi yaitu genotipe Genjah Kodok sebesar 10.59 %. Tongkol kelas B dan C yang tertinggi yaitu genotipe Wisanggeni (5.36 %) dan BISI-2 (15.38%). Genotipe Genjah Kodok dapat dipanen lebih awal (33.52 HST) dan menghasilkan jumlah tongkol layak pasar lebih banyak dibandingkan kelompok genotipe lokal, hasil pemuliaan, introduksi, dan kontrol. Jumlah tongkol afkir tertinggi yaitu genotipe Bayu, Nakula, dan EY Pool C4S2, sebagian besar dikarenakan genotipe ini memiliki baris bakal biji bengkok atau melingkar (tidak lurus). Tabel 12. Pengkelasan Tongkol Jagung Semi yang Dihasilkan Genotipe Lokal, Hasil Pemuliaan, dan Introduksi Beberapa Genotipe Jagung Jumlah Tongkol per Tanaman
Genotipe
Kelas A
B
C
Afkir
---------------------%----------------Lokal Campaloga Genjah Kodok Ketip Kuning Lokal Oesae Lokal Srimanganti Hasil Pemuliaan Antasena Arjuna P18 Bayu BC 10 MS 15 Nakula Sadewa Wisanggeni Introduksi EW DMR Pool C6S2 EY Pool C4S2 Kiran Phil DMR Comp. 2 Phil DMR 6 Pembanding BISI 2
28 31 25 21 24
4.76 10.59 3.13 0 1.32
0 0 0 0 2.78
0 0 3.13 1.96 1.32
95.24 89.41 93.75 98.04 94.74
28 25 24 21 20 20 22
0 1.64 0 0 0 0 1.79
0 1.64 0 3.13 0 4.17 5.36
1.49 4.92 0 1.56 0 4.17 1.79
98.51 91.80 100.00 95.31 100.00 91.67 91.07
26 18 38 34 23
0 0 9.09 4.30 1.69
1.59 0 0 1.08 3.39
0 0 0 0 1.69
98.41 100.00 90.91 94.62 93.22
33
0
1.28
15.38
83.33
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Genotipe Genjah Kodok memiliki tinggi tanaman lebih rendah dibandingkan kelompok genotipe lokal, hasil pemuliaan, dan introduksi sehingga umur berbunga dan umur panen pun lebih genjah. Berdasarkan penelitian ini diperoleh bahwa kelompok genotipe introduksi menghasilkan jumlah tongkol per tanaman lebih banyak dari pada kelompok genotipe lokal dan hasil pemuliaan, yaitu pada genotipe Kiran (3.67 tongkol) dan Phil DMR Comp. 2 (3.33 tongkol). Demikian juga dengan jumlah tongkol layak pasar kedua genotipe ini lebih banyak dibandingkan genotipe lainnya. Genotipe Genjah Kodok memiliki persentase tongkol kelas A lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya sebesar 10.59%. Jumlah tongkol afkir pada genotipe-genotipe yang diuji cukup tinggi bahkan ada yang mencapai 100% sehingga perlu dilakukan seleksi untuk meningkatkan kualitas jagung semi. Dengan demikian genotipe Genjah Kodok, Kiran, dan Phil DMR Comp. 2 berpotensi untuk digunakan ke arah pembentukan jagung semi. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kelompok genotipe lokal (Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning) dan introduksi (EW DMR Pool C6S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2) yang mungkin dapat menghasilkan tongkol dengan kuantitas dan kualitas lebih baik untuk dikembangkan sebagai jagung semi.
DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T. dan Y. E. Widyastuti. 2002. Meningkatkan Produksi Jagung. Penebar Swadaya. Jakarta. 86 hal. Armanto, T. R. 1982. Pengaruh Waktu Panen terhadap Produksi dan Kualitas Jagung Semi (baby corn) dari Jagung Manis dan Jagung Normal. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Faperta IPB. Bogor. 45 hal. (Tidak Dipublikasikan). Brisco, G. 2000. CODEX standard for baby corn. http://cxs.babycorn.com [17 November 2008]. Gomez, K. A dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Terjemahan Endang Syamsudin dan Justika Sjarifudin Baharsjah. Edisi kedua. UI Press. Jakarta. 698 hal. Jonharnas. 1995. Penampilan 13 genotipe ubi jalar di Sumanik, Sumatera Barat. Zuriat 10 (2): 66 – 72. Palungkun, R dan A. Budiarti. 1992. Sweet Corn, Baby Corn. Penebar Swadaya. Jakarta. Semangun, H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 449 hal. Sutjahjo, S. H., Hadiatmi dan Meynilivia. 2005. Evaluasi dan seleksi 24 genotipe jagung lokal dan introduksi yang ditanam sebagai jagung semi. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian 7 (1): 35-43. University of Kentucky. 2006. Baby corn. http://www.uky.edu. [2 Desember 2008]. Wakhyono. 2003. Pendugaan Parameter Genetik Karakter Kuantitatif Beberapa Genotipe Jagung untuk Dikembangkan sebagai Jagung Semi. Skripsi. . Jurusan Budi Daya Pertanian. Faperta IPB. Bogor. (Tidak dipublikasikan). Warid, M., N. Rostini dan S. Moeljopawiro. 1999. Resistensi Tanaman Jagung terhadap Penyakit Bulai. Zuriat 13 (2): 113 – 120.