Porsi Kepemilikan Saham Publik dan Kinerja Jangka Panjang Saham: Studi Empiris Initial Public Offering Perusahaan di Indonesia Periode 2000-2010 Samuel James Nahusuly Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Kampus Baru, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini menyelidiki hubungan porsi saham yang ditawarkan ke publik oleh perusahaan pada saat melakukan initial public offering (IPO) dengan kinerja jangka panjang saham perusahaan di Indonesia. Sampel penelitian meliputi 140 IPO perusahaan nonkeuangan di Indonesia pada periode 2000-2010. Metode pengukuran kinerja jangka panjang saham menggunakan market-adjusted cumulative abnormal returns dan buy-and-hold returns. Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan nonlinear antara porsi kepemilikan saham publik (free float) dengan kinerja jangka panjang saham pada periode 36 bulan setelah IPO dilakukan. Hubungan nonlinear antara free float dengan kinerja jangka panjang saham bertahan setelah dikontrol terhadap kinerja operasional perusahaan satu tahun sebelum IPO
Public Float and Long-Run Performance: Empirical Study of Indonesian Initial Public Offerings for the Period 2000-2010 Abstract This research aims to investigate the relationship between percentage of stocks offered to the public by firms (public float) at the time they went public and their long-term aftermarket performances. Research sample includes 140 IPOs of Indonesian non-financial listed companies within 2000-2010 periods. Market-adjusted cumulative abnormal returns and buy-and-hold returns methods are used to measure the long-term performance. The research finding shows the existence of a nonlinear relationship between public float percentage and long-term aftermarket performance 36-months after the IPO. This nonlinear relationship persists even after controlling pre-IPO operating performance. Keywords: Initial public offering; public float; ownership structure; long-term performance; agency theory
Pendahuluan Bursa Efek Indonesia mengeluarkan Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Nomor: Kep-00001/BEI/01-2014 perihal Perubahan Peraturan Nomor I-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat sebagai upaya untuk meningkatkan likuiditas pasar melalui peningkatan transaksi. Dengan diberlakukannya peraturan ini, diharapkan pasar modal Indonesia tidak lagi rentan terhadap pengaruh aksi jual oleh sejumlah investor karena jumlah saham yang diperdagangkan akan semakin banyak dan demikian pula halnya dengan jumlah investor yang masuk ke pasar Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
2
modal Indonesia. Ketentuan mengenai free float yang tercantum dalam peraturan yang dimaksud terdapat pada tabel 1.1. Tabel 1.1 Ketentuan baru BEI mengenai batas minimum Free Float tahun 2014 Papan Utama
Papan Pengembangan
Ketentuan free float di Papan Utama: min. 300 juta saham dan memenuhi ketentuan:
Ketentuan free float di Papan Pengembangan: min. 150 juta saham dan memenuhi ketentuan::
· ≥ 20%, bagi perusahaan dengan nilai ekuitas sebelum IPO < Rp500 miliar
· ≥ 20%, bagi perusahaan dengan nilai ekuitas sebelum IPO < Rp500 miliar
· ≥ 15%, bagi perusahaan dengan nilai ekuitas sebelum IPO: Rp500 miliar – Rp 2 triliun
· ≥ 15%, bagi perusahaan dengan nilai ekuitas sebelum IPO: Rp500 miliar – Rp 2 triliun
· ≥ 10%, bagi perusahaan dengan nilai ekuitas sebelum IPO > Rp2 triliun
· ≥ 10%, bagi perusahaan dengan nilai ekuitas sebelum IPO > Rp2 triliun
Sumber: IDX (2014)
Perubahan Peraturan Nomor I-A tersebut memuat pula beberapa ketentuan baru (continuous obligation) bagi Perusahaan Tercatat untuk tetap tercatat antara lain free float minimal 50 juta saham dan minimal 7,5% dari jumlah saham dalam modal disetor dan jumlah pemegang saham minimal 300 pemegang saham yang memiliki rekening Efek di Anggota Bursa Efek. Bagi Perusahaan Tercatat, ketentuan mengenai free float dan jumlah pemegang saham wajib dipenuhi dalam jangka waktu paling lambat 24 bulan sejak diberlakukan keputusan ini. Pelanggaran terhadap pemenuhan kewajiban batasan free float dalam kurun waktu yang telah ditentukan adalah pencabutan izin melantai di bursa secara paksa (forced delisting). Michel et al (2014) berpendapat bahwa ada dua faktor gaya yang membentuk hubungan nonlinear antara free float dan return jangka panjang tersebut: insentif dan pengawasan. Penjualan saham kepada publik membawa perusahaan yang sebelum bersifat privat kepada masalah keagenan (agency problem) karena berkurangnya insentif pihak dalam (insider). Pihak dalam atau insider didefinisikan sebagai pemegang saham pengendali pada struktur kepemilikan perusahaan sebelum IPO, dimana tingkat kepemilikan publik masih nol. Semakin tinggi free float, semakin sedikit insentif bagi insider untuk berjerih payah karena mereka tidak dapat menikmati buah hasil kerja mereka secara utuh. Selain itu, semakin tinggi free float, semakin kuat insentif bagi insider untuk melakukan aksi korporasi yang menguntungkan insider dengan biaya yang ditanggung oleh pemegang saham luar. Di lain sisi, semakin tinggi free float, semakin sedikit biaya yang harus dikeluarkan pemegang saham
Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
3
luar untuk mengawasi pengambil keputusan. Hal ini mengakibatkan pemegang saham luar memiliki power lebih untuk mencegah penghamburan resource oleh insider. Penelitian ini bertujuan menyelidiki bagaimana pola porsi saham yang dilepas ke publik pada saat perusahaan melakukan penawaran umum perdana dan apakah keputusan porsi saham beredar yang ditawarkan kepada publik tersebut mempangaruhi kinerja saham perusahaan dalam jangka panjang dengan menggunakan metode pengukuran market-adjusted cumulative abnormal returns dan buy-and-hold returns dengan indeks harga saham gabungan (IHSG) sebagai benchmark serta faktor free float yang menjadi subyek penelitian ini dan faktor operating performance sebagai kontrol.
Tinjauan Teoritis Dalam studi tentang penawaran umum atau IPO, terdapat dua fokus penelitian mengenai kinerja saham perusahaan, yakni kinerja saham pada hari pertama saham tersebut diperdagangkan (intial return), dan kinerja jangka panjang saham (long-run performance). Kinerja jangka panjang saham perusahaan didefinisikan sebagai imbal hasil yang dihasilkan saham dalam periode umumnya lebih dari 1 tahun. Kinerja jangka panjang saham perusahaan dalam studi tentang IPO umumnya dihitung berdasarkan selisih return saham tersebut relatif terhadap kinerja benchmark tertentu (abnormal return) Benchmark tersebut dapat berupa return indeks pasar, return indeks sektoral, maupun return portofolio perusahaan sejenis yang dibuat berdasarkan besar ukuran (size) dan rasio book-to-market (Brav et al, 2000). Suatu saham dikatakan outperform apabila saham tersebut memiliki abnormal return positif dan dikatakan underperform apabila saham tersebut memiliki abnormal return negatif. Ritter (1991) menemukan anomali dalam studi IPO, yakni bahwa saham perusahaan IPO ternyata mengalami overpricing dalam jangka panjang. Dengan menggunakan sampel 1.526 IPO di US periode 1975-1984, Ritter menemukan bahwa dalam jangka waktu 3 tahun setelah go-public, saham perusahaan IPO tersebut secara signifikan memiliki return di bawah return saham perusahaan sejenis (underperformance) dalam hal ukuran dan industri. Terdapat beberapa alasan mengapa kinerja jangka panjang dari perusahaan IPO menjadi hal yang menarik (Ritter, 1991). Pertama, dari sudut pandang investor, keberadaan mengenai pola harga (price patterns) akan mendatangkan peluang bagi active trading strategies yang dapat Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
4
memberikan imbal hasil yang superior. Kedua, penemuan tentang nonzero aftermarket performance akan menimbulkan pertanyaan mengenai efisiensi informasi di pasar IPO. Hal ini dikarenakan IPO cenderung menimbulkan animo investor (fads) terhadap saham IPO tersebut yang mempengaruhi harga pasar saham IPO. Ketiga, volume IPO memiliki variasi yang besar dari waktu ke waktu. Keempat, biaya yang timbul dari external equity financing (IPO) tidak hanya berupa biaya transaksi saat melakukan IPO itu sendiri, tetapi juga menyangkut return yang diterima investor sesudah IPO. Beberapa penelitian terdahulu bertujuan menjelaskan mengapa saham perusahaan IPO mengalami underperformance pada jangka panjang. Beberapa penulis menyatakan bahwa abnormal return negatif yang dihasilkan saham perusahaan IPO pada jangka panjang adalah hasil kesalahan pengukuran (Brav, 2000) dan pemilihan periode sampel (Ritter dan Welch, 2002). Selain itu, beberapa literatur membahas underperformance jangka panjang yang tidak signifikan setelah memperhitungkan benchmark berdasarkan size dan growth (Brav dan Gompers, 1997; Gompers dan Lerner, 2003). Lowry (2003) menemukan bahwa return jangka panjang berhubungan negatif dengan besarnya (size) IPO. Sedangkan Morck et al (1990) menemukan bahwa long-run return, memiliki hubungan yang kuat dengan penjualan. Hal ini konsisten dengan hasil yang ditemukan oleh Michel et al (2014).
Gambar 2.1 Fenomena Underperformance IPO di Indonesia periode 2000-2010
Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
5
Di Indonesia, fenomena long-run underperformance saham IPO terhadap indeks pasar juga terjadi selama 36 bulan setelah IPO. Terlihat pada gambar 2.1 bahwa saham IPO bergerak sejalan dengan return indeks harga saham gabungan (IHSG), akan tetapi didapati trend underperformance yang makin buruk dilihat dari bulan ke-12, ke-24, sampai dengan bulan ke-36 setelah IPO. Porsi kepemilikan saham publik (free float) diperoleh berdasarkan jumlah saham yang dimiliki oleh pemegang saham yang bukan Pemegang Saham Pengendali (minority shareholders) dan bukan Pemegang Saham Utama, dimana Pemegang Saham Pengendali didefinisikan sebagai pemegang saham yang memiliki 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih saham perusahaan, atau pemegang saham yang memiliki kemampuan dengan cara apapun mempengaruhi pengelolaan dan atau kebijakan perusahaan meskipun jumlah saham yang dimiliki kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) sedangkan Pemegang Saham Utama didefinisikan sebagai setiap pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, memiliki sekurangnya-kurangnya 25 % (dua puluh lima perseratus) hak suara dari seluruh saham yang mempunyai hak suara yang dikeluarkan oleh suatu Perseroan (IDX, 2014). Terdapat beberapa literatur yang meneliti hubungan antara struktur kepemilikan dengan IPO. Stoughton dan Zechner (1998) menunjukkan bahwa struktur kepemilikan mempengaruhi return secara positif yang dijelaskan dengan adanya pengaruh insentif dan kontrol. Menurutnya, aktivitas monitoring oleh investor besar sulit untuk dideteksi dan tidak dapat dilakukan berdasarkan kontrak sehingga masalah free-rider timbul antara investor besar dan investor kecil. Adanya masalah keagenan ini menimbulkan tensi antara risk-sharing dan information production. Namun Stoughton dan Zechner hanya melihat pengaruh struktur kepemilikan terhadap first-day return, bukan pengaruhnya terhadap return jangka panjang. Penelitian yang dilakukan oleh Habib dan Ljungqvist (2001) dan Bradley dan Jordan (2002) menghasilkan kesimpulan bahwa short-run underpricing berhubungan negatif dengan free float. Dengan kata lain, semakin tinggi free float, semakin rendah first-day return. Hal ini dikarenakan underpricing hanya terjadi pada saham yang dijual ke masyarakat (free float) sedangkan saham yang ditahan oleh pemegang saham sebelum IPO (overhang) tetap dinilai pada harga pasar sehingga kekayaan pemegang saham sebelum IPO yang belum terealisasi meningkat seiring besarnya saham yang ditahan. Dengan melakukan dekomposisi free float menjadi saham primer (saham baru yang ditawarkan perusahaan IPO) dan saham sekunder (saham yang sudah ada yang dijual oleh pemilik saham sebelum IPO), Ljungqvist dan Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
6
Wilhelm (2003) menemukan bahwa underpricing berhubungan negatif dengan porsi saham sekunder yang dijual. Ljungqvist dan Wilhelm berpendapat bahwa hal ini terjadi dikarenakan semakin sedikit saham yang sekunder yang dijual oleh insider, semakin mereka tidak peduli dengan underpricing. Namun, Brau et al (2007) menemukan bahwa tidak satupun dari baik underpricing maupun return jangka panjang yang dipengaruhi oleh penerbitan saham sekunder pada saat IPO. Selain free float, perihal pengaruh lockup expirations (akhir dari lockup period) terhadap return sesudah IPO juga menjadi topik yang berhubungan tentang struktur kepemilikan dan kinerja saham IPO. Lockup Period merupakan periode pasca-IPO, dimana insider tidak dapat menjual sahamnya kepada pihak luar sampai masa lockup berakhir (umumnya 180 hari setelah IPO). Di Indonesia, pemegang saham yang namanya tercatat sebelum IPO dilakukan pada perusahaan tercatat tidak boleh menjual sahamnya (sekunder) kepada publik minimal 8 bulan setelah perusahaan efektif tercatat di bursa. Brav dan Gompers (2003) menemukan bahwa perusahaan yang memiliki persentase saham lebih banyak pada masa lockup mengalami penurunan harga yang lebih besar ketika masa lockup berakhir. Hal ini konsisten dikarenakan baik IPO maupun lockup expirations akan menambah jumlah float. Di Indonesia, perusahaan publik memiliki struktur kepemilikan yang cenderung terkonsentrasi, dimana pendiri juga dapat duduk sebagai dewan direksi atau komisaris, sehingga masalah keagenan dapat terjadi antara manajer dan pemilik dan juga antara pemegang saham mayoritas dan minoritas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wiranata dan Nugrahanti (2013) mengenai pengaruh struktur kepemilikan terhadap profitabilitas perusahaan manufaktur di Indonesia menggunakan sampel 224 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun 2010-2011, dapat dilihat pada statistik deskriptif penelitian bahwa dari 224 perusahaan sampel, 138 perusahaan dimiliki oleh keluarga dengan rata-rata porsi kepemilikan 45%. Porsi kepemilikan keluarga diatas 45% tersebut mengindikasikan
bahwa
pihak
keluarga
dalam
perusahaan
keluarga
berupaya
mempertahankan posisinya sebagai pemegang saham pengendali untuk dapat mengendalikan perusahaan dan menentukan keputusan berdasarkan kepada manfaat pribadi yang dapat diperoleh daripada untuk memperbaiki kinerja perusahaan.
Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
7
Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak dimana salah satu pihak selaku pemilik sumber daya ekonomis (principal) menuntut pihak lainnya (agent) untuk melakukan pekerjaan dan mengurus penggunaan sumber daya tersebut, dengan mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan kepada agent. Menurut Messier et al (2006), hubungan keagenan ini mengakibatkan dua permasalahan (masalah keagenan), yaitu: a) terjadinya informasi asimetris (information asymmetry), dimana manajemen secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi keuangan yang sebenarya dan posisi operasi entitas dari pemilik; dan b) terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) akibat ketidaksamaan tujuan, dimana manajemen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik. Masalah keagenan tersebut selanjutnya akan menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang ditanggung baik oleh principal maupun agent. Jensen dan Meckling (1976) membagi biaya keagenan ini menjadi monitoring cost, bonding cost dan residual loss. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh principal untuk memonitor perilaku agent, yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku agent. Bonding cost merupakan biaya yang ditangung oleh agent untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan bertindak untuk kepentingan principal. Selanjutnya residual loss merupakan pengorbanan yang berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai akibat dari perbedaan keputusan agent dan keputusan principal. Selain itu, Jensen dan Meckling (1976) juga menjelaskan masalah keagenan yang berkaitan dengan pemisahan antara kepemilikan dan kontrol. Semakin besar kepemilikan publik, insider akan memiliki insentif lebih untuk mengambil keputusan yang menguntungkan dirinya sendiri dimana biaya atas keputusan tersebut tidak lagi sepenuhnya ditanggung oleh manajemen, tetapi oleh pemegang saham publik. Di lain pihak, semakin besar kepemilikan publik, semakin besar power yang dimiliki publik terhadap manajemen, sehingga semakin tinggi pula nilai perusahaan dan return bagi investor.
Shleifer dan Vishny (1997) menjelaskan bahwa manajer mengendalikan perusahaan dan masalah keagenan yang terjadi antara pemegang saham dan manajer. Masalah ini disebut sebagai Agency Problem I (Villalonga dan Amit, 2006) atau Type I Agency Costs (Bozec dan Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
8
Laurin, 2008). Berikutnya, pemegang saham mengelompokkan diri menjadi pemegang saham pengendali untuk mengawasi manajer agar manajer menjalankan perusahaan demi kepentingan terbaik para pemegang saham. Akan tetapi, pemegang saham pengendali meminta manajer untuk membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri seperti pembagian dividen khusus. Hal ini merugikan pemegang saham nonpengendali. Dalam hal demikian, masalah keagenan yang terjadi antara pemegang saham pengendali dan pemegang saham nonpengendali. Konflik seperti ini disebut Agency Problem II (Villalonga dan Amit, 2006) atau Type II Agency Costs (Bozec dan Laurin, 2008). Walaupun IPO termasuk salah satu topik yang paling sering diteliti dalam corporate finance, masih sedikit literatur yang membahas tentang persentase saham yang beredar di masyarakat. Padahal, dalam setiap IPO, perusahaan harus menentukan besar presentase saham yang akan dilepas ke publik dan float merupakan salah satu variabel keputusan terpenting di bawah kontrol manajemen menjelang sebuah IPO. Kerangka kerja IPO juga memberikan kemudahan dalam menyelidiki hubungan antara insider ownership dan kinerja jangka panjang saham. Hal ini dikarenakan semua perusahaan tidak memiliki kepemilikan publik sebelum IPO, dan keputusan mengenai free float yang akan menentukan tingkat kepemilikan publik setelah IPO (Michel et al, 2014). Zingales (1995) menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara hak arus kas (cash flow rights) dan hak kendali (control rights). Oleh karena free float berhubungan negatif terhadap kontrol yang diretensi oleh penerbit saham, float secara langsung mempengaruhi kemungkinan perusahaan tersebut diambil-alih (takeover), dimana hal tersebut merupakan hal yang harus diperhatikan oleh manajemen dalam keputusan IPO (Hsieh et al, 2011). Michel et al (2014) menyelidiki hubungan antara free float dan kinerja jangka panjang saham perusahaan IPO di US dengan menggunakan sampel 1.801 IPO yang terjadi pada periode Januari 1996 sampai dengan dengan Desember 2006. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara free float dengan kinerja jangka panjang saham setelah IPO bersifat nonlinear. Pada tingkat free float rendah, return jangka panjang menurun seiring dengan naiknya presentase free float. Akan tetapi pada tingkat free float tinggi, yang terjadi malah sebaliknya, dan return jangka panjang meningkat seiring dengan naiknya presentase free float. Dalam penelitiannya juga ditemukan bahwa 59% IPO terkonsentrasi pada rentang free
Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
9
float 20-40%, dimana hal tersebut berarti perusahaan pada umumnya melepas porsi sahamnya kepada publik pada rentang yang menghasilkan abnormal return yang rendah (negatif). Michel et al (2014) berpendapat bahwa ada dua faktor gaya yang membentuk hubungan nonlinear antara free float dan return jangka panjang tersebut, yakni insentif dan monitoring. Sebelum IPO, publik tidak memiliki saham perusahaan. Penjualan saham kepada publik membawa perusahaan yang sebelumnya bersifat privat kepada masalah keagenan (agency problem) karena hal tersebut mengurangi insentif manajemen (insider). Insider dapat didefinisikan sebagai pemegang saham pengendali pada struktur kepemilikan perusahaan sebelum IPO, dimana tingkat kepemilikan publik masih nol Semakin tinggi free float, semakin sedikit insentif bagi insider untuk berjerih payah karena mereka tidak dapat menikmati buah hasil kerja mereka secara utuh. Selain itu, semakin tinggi free float, semakin kuat insentif bagi insider untuk melakukan aksi korporasi yang menguntungkan dirinya sendiri karena biaya atas keputusan tersebut tidak lagi sepenuhnya ditanggung oleh manajemen, tetapi oleh pemegang saham publik. Di lain sisi, semakin tinggi free float, semakin sedikit biaya yang harus dikeluarkan pemegang saham luar untuk mengawasi pengambil keputusan. Hal ini mengakibatkan pemegang saham luar memiliki wewenang lebih untuk mencegah penghamburan resource oleh insider. Selain pemaparan di atas, terdapat beberapa skenario yang dapat menjelaskan hubungan nonlinear antara free float dan return jangka panjang tersebut. Pertama, adalah kondisi dimana free float rendah dan return jangka panjang tinggi. Pasar dapat memperoleh informasi bersifat privat tentang prospek masa depan sebuah IPO dengan mengobservasi tingkat free float. Jika tujuan IPO tersebut adalah untuk mempersiapkan perusahaan terhadap potensi akuisisi di masa depan dengan premium yang lebih tinggi, porsi saham yang dilepas ke publik pada tahap IPO akan rendah. Dengan mempertahankan tingkat kepemilikan yang tinggi, manajer memiliki real option untuk menjual sisa kepemilikan pada harga premium. Kedua, adalah kondisi dimana free float tinggi dan return jangka panjang tinggi. IPO dengan free float tinggi dapat terjadi, misalnya, pada kondisi sebuah perusahaan sedang memerlukan kas dengan jumlah besar untuk mengambil kesempatan investasi yang baik. Untuk memperoleh dana tersebut, manajemen akan cenderung melakukan IPO dengan tingkat float Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
10
tinggi. Partisipan IPO akan mendapatkan premium hanya dalam jangka panjang seiring kesempatan investasi yang baik tersebut diketahui (Michel et al, 2014).
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan sampel cross-section 140 IPO perusahaan nonkeuangan di Indonesia pada periode 2000-2010. Data laporan keuangan dan prospektus perusahaan yang melakukan IPO dapat diakses melalui situs Bursa Efek Indonesia, Indonesia Capital Market Electronic Library (ICAMEL), dan Thomson Eikon. Sedangkan untuk data market seperti monthly stock price diperoleh dari Thomson Datastream. Salah satu keterbatasan pada penelitian ini adalah bahwa sampel pada penelitian ini tidak mengecualikan perusahaan IPO yang sahamnya mengalami perubahan jumlah float akibat aksi korporasi selama periode 36 bulan setelah IPO. Kriteria-kriteria yang harus dipenuhi untuk sampel penelitian ini adalah: a. Perusahaan pernah melakukan IPO di Indonesia periode 2000-2010 b. Perusahaan tidak bergerak di sektor keuangan. Perusahaan keuangan tidak dimasukkan ke dalam sampel penelitian dikarenakan perusahaan keuangan memiliki standar akuntasi dan faktor risiko yang khusus (Viale et al, 2009) c. Perusahaan tidak mengalami de-listing dalam jangka waktu tiga tahun setelah penawaran umum perdana dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk menghitung return jangka panjang saham IPO. d. Perusahaan memiliki data laporan keuangan untuk variabel kontrol (operating performance) minimal 1 tahun sebelum tahun IPO dilakukan. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kinerja jangka panjang saham perusahaan IPO. Untuk mengevaluasi kinerja jangka panjang saham perusahaan IPO, pendekatan event-time analysis digunakan dengan dua metode pengukuran: (1) Cumulative Abnormal Return (CAR) dan (2) Buy-and-Hold Abnormal Return (BHAR). Dalam penelitian ini, benchmark pasar yang digunakan adalah IHSG atau Jakarta Composite Index (JCI), yakni indeks yang terdiri dari semua saham yang tercatat di BEI. a. Cumulative Abnormal Return (CAR) Cumulative Abnormal Return (CAR) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk kinerja jangka panjang sebuah portofolio atau efek, selama periode tertentu. Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
11
Dalam penghitungan CAR, komponen yang diperlukan adalah market adjustedabnormal return sebuah efek atau portofolio untuk setiap periode yang diperoleh dengan mengurangi raw return individu efek terhadap raw return benchmark. Raw Return sebuah saham didefinisikan sebagai berikut: (3.1) Keterangan: : harga saham i pada akhir periode t : harga saham i pada akhir periode t-1 Sedangkan raw return indeks pasar didefinisikan sebagai berikut:
(3.2)
Keterangan: : harga indeks pasar m pada akhir periode t : harga indeks pasar m pada akhir periode t-1 Raw return dihitung dengan hanya mempertimbangkan tingkat pengembalian dari perubahan harga (capital gain) tanpa memperhitungkan pendapatan yang diterima investor melalui pembagian dividen. Penggunaan raw return sebagai komponen penghitungan CAR dan BHAR ini mengikuti metode yang digunakan oleh Ritter (1991), dimana komponen dividen tidak diperhitungkan dalam perhitungan return saham IPO karena return dari indeks pasar yang digunakan sebagai pembanding (benchmark) tidak memiliki komponen dividen. Market-adjusted abnormal return sebuah saham didefinisikan sebagai berikut: (3.3) Keterangan: : raw return dari saham i pada periode t : raw return dari benchmark pada periode t
Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
12
Dalam penelitian cross sectional CAR, rebalancing portofolio tidak dilakukan, untuk saham i selama q-s periode didefinisikan sebagai
sehingga nilai berikut:
(3.4) Keterangan: q : periode IPO dilakukan s : periode akhir yang ditentukan : abnormal return saham i pada periode t. b. Buy-and-Hold Abnormal Return (BHAR) Penelitian ini juga menggunakan abnormal buy-and-hold return untuk melihat kinerja saham relatif terhadap benchmark-nya. Market-adjusted buy-and-hold abnormal return (
) untuk saham i selama periode q-s didefinisikan
sebagai berikut:
(3.5) Keterangan: q = periode IPO dilakukan s = periode akhir yang ditentukan = raw return dari saham i pada periode t = raw return dari benchmark pada periode t Dalam penghitungan kinerja jangka panjang saham baik menggunakan CAR maupun BHAR, jangka waktu yang digunakan adalah 12 bulan, 24 bulan, dan 36 bulan setelah IPO. Hal ini digunakan untuk melihat underperfomance yang terjadi pada jangka waktu yang berbeda. Dalam penelitian ini, raw return bulanan baik untuk saham dan benchmark-nya dihitung berdasarkan harga penutupan hari pertama perusahaan melakukan IPO, dimana untuk setiap bulan berikutnya didefinisikan sebagai 21-hari perdagangan relatif terhadap tanggal IPO (Ritter, 1991). Variabel independen dalam penelitian ini adalah porsi kepemilikan saham publik
.
Data float diperoleh hand-collect dari tabel komposisi kepemilikan saham sesudah IPO pada prospektus masing-masing perusahaan IPO dalam satuan perseratus. Untuk menguji apakah Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
13
hubungan porsi kepemilikan saham publik dengan kinerja jangka panjang saham bersifat linear atau nonlinear, maka variabel independen yang digunakan pada persamaan regresi meliputi
dan
yang merupakan nilai kuadrat dari variabel
.
Variabel kontrol kinerja operasional dalam penelitian ini meliputi
, yang
diperoleh dari laporan laba rugi perusahaan pada akhir tahun sebelum tahun IPO. Nilai penjualan tersebut kemudian ditransformasi menggunakan logaritma natural.
, yang
diperoleh dari laporan laba rugi perusahaan pada akhir tahun sebelum tahun IPO yang kemudian dibagi dengan total aktiva sehingga diperoleh nilai return on assets. Nilai total assets diperoleh dari data balance sheet pada akhir tahun sebelum tahun IPO. EBITDA dan net income memiliki korelasi sangat tinggi sehingga tidak dimasukkan dalam persamaan regresi cross-sectional yang sama untuk menghindari masalah multikolinearitas (Michel et al, 2014).
, yang diperoleh dari balance sheet perusahaan pada akhir tahun sebelum tahun
IPO yang kemudian dibagi dengan total aktiva.
, yang diperoleh dari balance sheet
perusahaan pada akhir tahun sebelum tahun IPO yang kemudian dibagi dengan total assets untuk mendapatkan nilai leverage perusahaan.
Hasil Penelitian Berikut merupakan data statistik mengenai persebaran persentase free float IPO di Indonesia pada tahun 2000-2010. Tabel 4.1 Persebaran % Free float lintas periode IPO pada sampel Float Range (%)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Total
2
10
6
1
2
1
4
2
3
5
6
42
20-30
5
6
4
0
1
1
3
6
6
2
6
40
30-40
5
7
2
1
4
2
1
10
4
1
6
43
40-60
2
0
2
2
1
0
0
2
2
1
2
14
60-80
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
80-100
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
14
4
8
4
8
20
15
10
20
140
0-20 20-40
Total 14 23 Sumber: olahan penulis (2014)
Berdasarkan tabel 4.1, dapat disimpulkan bahwa dari 140 perusahaan sampel, keputusan porsi saham yang dilepas ke publik pada saat perusahaan melakukan IPO paling banyak terjadi di Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
14
rentang free float 30%-40%, sebanyak 43 perusahaan sampel. Jika dihitung berdasarkan pembagian kuintil, maka IPO paling banyak terjadi di kuintil 2 (20% - 40%), sebanyak 83 perusahaan sampel. Perlu diingat bahwa hal ini terjadi pada sampel perusahaan nonkeuangan, sehingga mungkin terjadi perbedaan dengan persebaran free float pada populasi aktual IPO. Mayoritas IPO terjadi pada kuintil 2 rentang free float (20%-40%). Hal ini menarik dikarenakan pada sampel justru saham IPO yang berada pada rentang free float tersebut mengalami long-run underperformance paling buruk pada tahun ketiga setelah IPO. Berikutnya merupakan hasil regresi untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Persamaan regresi linear variabel independen kinerja jangka panjang perusahaan terhadap varibel independen porsi kepemilikan saham publik dapat dilihat pada tabel 4.2. Sedangkan, persamaan regresi nonlinear variabel independen kinerja jangka panjang perusahaan terhadap varibel independen porsi kepemilikan saham publik dan variabel kontrol kinerja operasional pra-IPO perusahaan dapat dilihat pada tabel 4.3 Tabel 4.2 hubungan linear kinerja jangka panjang denga free float Kinerja 12 bulan CAR_12 = 0.0773 + -0.2447 FLOAT 0.4455 -0.3475 BHAR_12 = -0.0980 + 0.6354 FLOAT -0.3014 0.5527 Kinerja 24 bulan CAR_24 = -0.0940 + 0.0221 FLOAT -0.4232 0.0281 BHAR_24 = -0.0825 + -0.3697 FLOAT -0.3068 -0.3891 Kinerja 36 bulan CAR_36 = -0.4156 + 0.9626 FLOAT -1.0903 0.6171 BHAR_36 = -1.8586 + 6.4653 FLOAT -1.2216 1.0005 Keterangan: CAR_T = Cumulative abnormal return saham i, untuk periode T; T = 12 bulan, 24, bulan, dan 36 bulan setelah IPO. BHAR_T = Buy-and-hold abnormal return saham i, untuk periode T; T = 12 bulan, 24, bulan, dan 36 bulan setelah IPO FLOAT = Porsi kepemilikan saham publik perusahaan i pada saat IPO *** signifikan pada α = 10% ** signifikan pada α = 5% * signifikan pada α = 1%
Untuk periode 12, 24, maupun 36 bulan setelah IPO, ternyata tidak terdapat hubungan linear yang signifikan antara variabel independen FLOAT dengan variabel dependen kinerja jangka panjang saham perusahaan IPO. Hal ini memiliki implikasi bahwa secara linear, persentase saham yang dilepas ke publik saat IPO tidak mempengaruhi pergerakan variabel dependen Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
15
kinerja jangka panjang saham IPO yang diukur baik dengan menggunakan metode marketadjusted CAR maupun BHAR. Namun, berdasarkan tabel 4.3, untuk periode 36 bulan setelah IPO, ternyata terdapat hubungan nonlinear yang signifikan antara variabel independen FLOAT dan FLOAT_SQ dengan variabel dependen kinerja jangka panjang saham perusahaan IPO, setelah dikontrol terhadap variabel kontrol kinerja operasional perusahaan pra-IPO. Hal ini memiliki implikasi bahwa secara nonlinear, persentase saham yang dilepas ke publik saat IPO mempengaruhi pergerakan variabel dependen kinerja jangka panjang saham IPO yang diukur baik dengan menggunakan metode market-adjusted CAR maupun BHAR.
Tabel 4.3 hubungan nonlinear kinerja jangka panjang denga free float dan variabel kontrol Kinerja 12 bulan CAR_12 = -1.5943 + -1.5812
-1.0908 FLOAT + -0.5187
1.5242 FLOAT_SQ + 0.065549*LOG_SALES + 0.4802 ROA_NI + -0.0478 PPE_TA + 0.4405 LEV_LTD 0.4486 1.8324* 1.0175 -0.1849 1.0222
1.3625 FLOAT + 0.3764
-1.1613 FLOAT_SQ + 0.110648*LOG_SALES + 0.3700 ROA_NI + -0.1725 PPE_TA + 0.2091 LEV_LTD -0.1986 1.7971* 0.4554 -0.3881 0.2819
Kinerja 24 bulan CAR_24 = -2.732** + -2.1910
-1.7236 FLOAT + -0.6626
3.7030 FLOAT_SQ + 0.108** LOG_SALES + 0.4921 ROA_NI + -0.1723 PPE_TA + 0.2922 LEV_LTD 0.8811 2.4467 0.8428 -0.5394 0.5480
BHAR_24 = -3.948*** + -2.6673
-3.4938 FLOAT + -1.1315
6.3481 FLOAT_SQ + 0.159*** LOG_SALES + 0.2963 ROA_NI + -0.2033 PPE_TA + 0.8355 LEV_LTD 1.2725 3.0369 0.4275 -0.5360 1.3204
BHAR_12 = -3.078* -1.7736
+
Kinerja 36 bulan CAR_36 = -1.9510 + -11.349*** FLOAT + 21.344*** FLOAT_SQ + 0.115** LOG_SALES + 0.2690 ROA_NI + -0.2801 PPE_TA + 1.014* LEV_LTD -1.4269 -3.979 4.6318 2.3729 0.4203 -0.7995 1.7343 BHAR_36 = -4.065* -1.8127
+ -46.166*** FLOAT + 91.098*** FLOAT_SQ + 0.311*** LOG_SALES + 0.6374 ROA_NI + 0.6060 PPE_TA + 2.033* LEV_LTD -4.4723 4.4472 3.7284 0.8176 1.1520 1.7273
Keterangan: CAR_T = Cumulative abnormal return saham i, untuk periode T; T = 12 bulan, 24, bulan, dan 36 bulan setelah IPO. BHAR_T = Buy-and-hold abnormal return saham i, untuk periode T; T = 12 bulan, 24, bulan, dan 36 bulan setelah IPO FLOAT = Porsi kepemilikan saham publik perusahaan i pada saat IPO FLOAT_SQ = Kuadrat dari porsi kepemilikan saham publik perusahaan i pada saat IPO * signifikan pada α = 10% ** signifikan pada α = 5% *** signifikan pada α = 1%
Selain itu, dengan memasukkan variabel kuadrat FLOAT_SQ dalam persamaan regresi, nilai R-square model yang menggambarkan kemampuan model dalam menjelaskan variabel dependen naik secara signifikan. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa model yang memasukkan variabel independen FLOAT_SQ lebih dapat menjelaskan pergerakan variabel dependen (gap antara actual dan fitted konvergen) dibandingkan dengan model yang tidak memasukkan FLOAT_SQ sebagai variabel independen. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.1, 4.2, 4.3, dan 4.4.
Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
16
Gambar 4.1 Goodness of Fit tanpa memasukkan Variabel FLOAT_SQ
25
Gambar 4.2 Goodness of Fit dengan memasukkan Variabel FLOAT_SQ 30
30
20
20
10
10
0
20 -10
15
0
12 8
-10
0
0
-4
-5
-8
APLI DNET ACAP JAKA BTON CNKO PANR RYAN META KOPI ABBA ANTA FISH PSAB BTEK SQMI MICE CPRO FREN ASRI CTRP JSMR WEHA SGRO BYAN ELSA KBRI YPAS DSSA NIKL APLN BUVA HRUM MIDI TOWR
5
Residual
Actual
APLI DNET ACAP JAKA BTON CNKO PANR RYAN META KOPI ABBA ANTA FISH PSAB BTEK SQMI MICE CPRO FREN ASRI CTRP JSMR WEHA SGRO BYAN ELSA KBRI YPAS DSSA NIKL APLN BUVA HRUM MIDI TOWR
4
10
Fitted
Gambar 4.3 Residual Regresi tanpa memasukkan Variabel FLOAT_SQ
Residual
Actual
Fitted
Gambar 4.4 Residual Regresi dengan memasukkan Variabel FLOAT_SQ
Pembahasan Berdasarkan teori yang dibangun oleh Michel et al (2014), hubungan nonlinear antara kepemilikan saham publik (float) dan kinerja jangka panjang saham perusahaan IPO ini dapat disebabkan oleh tensi antara insentif dan kontrol yang ditimbulkan oleh perubahan struktur kepemilikan pasca-IPO. Pada tingkat float rendah, dengan sedikit jumlah saham yang beredar di publik, pihak insider akan mendapatkan keuntungan dengan meningkatkan nilai perusahaan sehingga mendorong insider untuk bekerja dengan baik, dimana hal ini pada akhirnya turut memaksimalkan nilai pemegang saham.
Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
17
Seiring dengan meningkatnya float pasca-IPO, hak kepemilikan insider akan berkurang secara linear, namun kontrol yang dimilikinya hampir tidak berkurang karena mereka masih memiliki sebagian besar saham, dimana hal ini dapat mengurangi insentif para insider untuk bekerja dengan baik. Selain itu, meningkatnya kepemilikan saham publik akan mengurangi keuntungan bagi insider, tetapi kontrol mereka atas perusahaan tidak terlalu berkurang. Publik juga tidak memiliki power yang cukup untuk mendisiplinkan insider dan juga tidak memiliki kepemilikan yang cukupuntuk mengimbangi biaya monitor terhadap insider. Akibatnya, peningkatan kepemilikan publik akan mengakibatkan berkurangnya kinerja perusahaan, yang tercermin dari return yang lebih rendah. Namun, seiring bertambahnya float, keuntungan yang diterima insider juga akan terus menurun, sedangkan pemegang saham luar mendapatkan peningkatan kontrol atas manajemen. Pada tingkat float yang lebih tinggi, potensi keuntungan yang didapatkan oleh pemegang saham luar dengan melakukan monitoring terhadap manajemen akan lebih besar daripada biaya monitoring. Akibatnya, float akan meningkatkan kinerja perusahaan dan kinerja jangka panjang saham pada akhirnya. Hal inilah yang mengakibatkan hubungan nonlinear antara porsi kepemilikan saham publik dan kinerja jangka panjang saham perusahaan IPO.
Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola persebaran persentase saham yang ditawarkan ke publik pada perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana di Indonesia menggunakan sampel 140 IPO pada tahun 2000-2010 serta meneliti hubungan porsi saham yang ditawarkan ke publik oleh perusahaan saat melakukan IPO dengan kinerja jangka panjang saham perusahaan setelah IPO di Indonesia. Mayoritas IPO terjadi pada kuintil 2 rentang free float (20%-40%). Hal ini menarik dikarenakan pada sampel justru saham IPO yang berada pada rentang free float tersebut mengalami long-run underperformance paling buruk pada tahun ketiga setelah IPO. Adanya hubungan nonlinear antara variabel independen persentase saham yang ditawarkan ke publik atau free float pada saat IPO dengan variabel dependen kinerja jangka panjang saham IPO yang diukur menggunakan metode market-adjusted CAR dan BHAR pada periode 36 bulan
Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
18
setelah IPO. Hasil penemuan ini tetap signifikan setelah dikontrol terhadap karakteristik praIPO perusahaan. Hubungan nonlinear antara porsi kepemilikan saham publik dan kinerja jangka panjang saham IPO ini dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari adanya tensi antara insentif dan kontrol. Pada jangka panjang, insentif untuk manajemen untuk menghasilkan kinerja lebih rendah seiring bertambahnya free float. Hal ini dikarenakan kepemilikan mereka setelah IPO lebih sedikit, yang mengimplikasikan semakin besar free float akan menghasilkan return yang lebih rendah. Pada saat yang sama, kemampuan pihak luar (pemegang saham publik) dalam hal memonitor manajemen bertambah seiring bertambahnya free float, yang mengimplikasikan semakin besar free float akan menghasilkan return yang lebih rendah. Implikasi penting pada penelitian ini adalah untuk menghasilkan kinerja jangka panjang saham yang baik, transisi perusahaan dari bersifat privat menjadi publik melalui mekanisme IPO akan lebih baik untuk menjaga tingkat kepemilikan dan kontrol oleh pihak dalam tetap tinggi, atau dengan mentransfer mayoritas kepemilikan dan kontrol kepada masyarakat.
Saran Penelitian ini telah diusahakan dan dilaksanakan sesuai prosedur ilmiah, namun masih memiliki keterbatasan, dimana penelitian ini tidak mempertimbangkan potensi pengaruh perubahan runtut waktu pada porsi kepemilikan saham publik terhadap kinerja jangka panjang saham IPO yang mungkin terjadi dalam kurun waktu 36 bulan setelah IPO akibat adanya keterbatasan sumber data. Selain itu, penghitungan komponen abnormal return untuk mengukur kinerja saham IPO dalam penelitian ini tidak menggunakan risk-adjusted return yang umum digunakan dalam pengukuran kinerja portofolio dibandingkan terhadap benchmark-nya
melainkan
menggunakan
naive
abnormal
return
dimana
tidak
memperhitungkan perbedaan faktor risiko antara perusahaan IPO dengan benchmark-nya. (Bodie, Kane, dan Markus, 2011). Penghitungan return saham menggunakan raw return sebagai komponen penghitungan kinerja jangka panjang baik pada metode CAR maupun BHAR, dimana raw return tidak memperhitungkan pendapatan investor dari pembagian dividen seperti pada penghitungan total return.
Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
19
Penelitian dapat menggunakan metode pengukuran lain untuk membuktikan robustness dari hasil penelitian ini. Untuk event time analysis, dapat digunakan benchmark lain seperti matching firm berdasarkan ukuran dan industri. Selain itu sedikitnya penelitian IPO di Indonesia yang menggunakan calendar time analysis juga dapat memperkaya literatur IPO di Indonesia. Penggunaan calendar time analysis dan Fama 3 factor dan Carhart momentum factor risk adjusted returns akan memberikan penghitungan return yang lebih representatif, hal ini dikarenakan baik CAR dan BHAR memiliki banyak keterbatasan. (Barber dan Lyon, 1997). Variabel Independen yang digunakan dapat memakai variabel yang lebih spesifik. Untuk variabel independen struktur kepemilikan dan dapat diteliti tentang pengaruh saham primer dan saham sekunder dalam IPO, pengaruh kepemilikan institusi dan individual, pengaruh kepemilikan keluarga atau negara, pengaruh industri yang teregulasi, maupun pengaruh dari berakhirnya lockup period bagi pemegang saham sebelum IPO. Daftar Referensi Barber, B., dan Lyon, J., 1997. Detecting Long-run Abnormal Stock Returns: The Empirical Power and Specification of Test Statistiks. Journal of Financial Economics 43, pp. 341–372. Bodie, Z., Kane, A., dan Marcus, A.J., 2011. Investments. McGraw-Hill: 9th Edition. Boissin, R., 2013. Analyst Coverage of IPO Firms and Securities Laws: A Cross-Country Analysis. Social Science Research Network. Bozec, Y., dan Laurin, C., 2008. Large Shareholder Entrenchment and Performance: Empirical Evidence from Canada. Journal of Business Finance and Accounting, Vol. 35, No.1, 25-49. Bradley, D., dan Jordan, B., 2002. Partial Adjustment to Public Information and IPO Underpricing. Journal of Financial and Quantitative Analysis 37, 595–615. Brau, J., Mingsheng, L., dan Jing, S., 2007. Do Secondary Shares in the IPO Process Have a Negative Effect on Aftermarket Performance. Journal of Banking and Finance 31, pp. 2612–2631. Brav, A., 2000. Inference in Long-Horizon Event Studies. Journal of Finance 55, 1979–2016. Brav, A., Geczy, C., dan Gompers, P., 2000. Is the Abnormal Return Following Equity Issuances Anomalous? Journal of Financial Economics 56, pp. 209–249. Brav, A., dan Gompers, P., 2003. The Role of Lockups in Initial Public Offerings. The Review of Financial Studies 16, pp. 1-29. Brav, A., dan Gompers, P., 1997. Myth or Reality? The Long-Run Underperformance of Initial Public Offerings: Evidence from Venture and Nonventure Capital-Backed Companies. Journal of Finance 52, pp. 1791–1821.
Bursa Efek Indonesia, 2010. Panduan Go Public. Bursa Efek Indonesia, 2014. Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Nomor: Kep-00001/BEI/012014 perihal Perubahan Peraturan Nomor I-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat. Carhart, M., 1997. On persistence in mutual fund performance. Journal of Finance 52, pp. 57–82 Estabrook, R. 2009. Overview of Regression & ANOVA. Professional Issues Summer Workshop Series Graduate Research Council, Department of Psychology, University of Virginia. Fama, E., 1970. Efficient Capital Markets: A Review of Theory and Empirical Work. Journal of Finance, Vol. 25, No. 2 pp. 383-417. Fama, E., 1998. Market Efficiency, Long-Term Returns, and Behavioral Finance. Journal of Financial Economics 49, pp. 283–306. Fama, E., dan French, K., 1993. Common Risk Factors in the Returns on Stocks and Bonds. Journal of Financial Economics, Vol. 33, pp. 3-56. Gompers, P.A. dan Lerner, J., 2003. The Really LongRun Performance of Initial Public Offerings: The Pre-Nasdaq Evidence. The Journal of Finance, Vol. 58, No. 4, pp. 1355-1392. Gujarati, D., 2003. Basic Econometrics. McGraw Hill: 4th edition. Habib, M., dan Ljungqvist, A., 2001. Underpricing and Entrepreneurial Wealth Losses in IPOs: Theory and Evidence. Review of Financial Studies 14, 433–458. Ibbotson, 1975. Price Performance of Common Stocks New Issues. Journal of Financial Economics 3.
Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014
20 Ibbotson, R., Jaffe, J., 1975. Hot Issue Markets. Journal of Finance 20, pp. 1027-1042. Indonesia Capital Market Directory 2000-2010 Indonesia Capital Market Electronic Library, 2014. Prospektus Penawaran Umum 2000-2010 Jain, B., dan Kini, O., 1994. The Post-Issue Operating Performance of IPO Firms. Journal of Finance, vol. 49. Messier, W.F., Glover S.M., dan Douglas D.F., 2006. Auditing & Assurance Services: A Systematic Approach. McGraw-Hill, 888p. Michel A., Oded J., dan Shaked I., 2014. Ownership Structure and Performance: Evidence from the Public Float in IPOs. Journal of Banking and Finance, Vol. 40 pp. 54-63. Michel A., Oded J., dan Shaked I., 2009. The Case of IPO Stocks: Information Content of Public Float and Operating Performance. European Finance Association. Jensen, M., dan Meckling, W., 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3, pp. 305–360. Lowry, M., 2003. Why Does IPO Volume Fluctuate So Much? Journal of Financial Economics 67, pp. 3–40. Lyon, J., Barber, B., dan Tsai, C., 1999. Improved Methods for Tests of Long Run Abnormal Stock Returns. Journal of Finance 54, pp. 165-201. Mikkelson, et al., 1997. Ownership and Operating Performance of Companies that Go Public. Journal of Financial Economics, Vol. 44. Morck, R., Shleifer, A., dan Vishny, R., 1990. The Stock Market and Investment: Is the Market a Sideshow. Brookings Papers on Economic Activity 2, pp. 157–215. Otoritas Jasa Keuangan, 2014. Statistik Pasar Modal: Januari – Minggu 5 2014. Pham P., Kalev, P., dan Steen, A., 2003. Underpricing, Stock Allocation, Ownership Structure, and Post-Listing Liquidity of Newly
Listed Firms. Journal of Banking and Finance 27, pp. 919-947. Ritter, J., 1991. The Long-Run Performance of Initial Public Offerings. The Journal of Finance, Vol. 46, No. 1, pp. 3-27. Ritter, J., 1998. Initial Public Offerings. Contemporary Finance Digest, Vol.2, No. 1, pp. 530. Ritter, J., dan Welch I., 2002. A Review of IPO Activity, Pricing, and Allocations. The Journal of Finance, Vol. 53, No. 4. Schuster, J. A., 2003. The Cross-Section of European IPO Returns. Dicussion paper, 460. Financial Market Group, London School of Economics and Political Science, London, UK. Sogie, J., 2011. Pengaruh Ukuran Perusahaan, Hutang, dan Likuiditas Terhadap Pola Kinerja Jangka Panjang Perusahaan yang IPO di Indonesia Periode 2000-2008. Karya Akhir Program Sarjana. Program S1 Reguler Manajemen. Universitas Indonesia. Stoughton, N., Zechner, J., 1998. IPO-Mechanisms, Monitoring and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 49, pp. 45–77. Suherman, 2009. The Long-Run Performance of Indonesian Initial Public Offerings (IPOs). Social Science Research Network. Undang-Undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995. Viale, A. M., Kolari J.W., dan Fraser D.R., 2009. Common Risk Factors in Bank Stocks. Journal of Banking and Finance 33, pp. 464-472. Villalonga, B., dan Amit. R., 2006. How Do Family Ownership, Control and Management Affect Firm Value? Journal of Financial Economics, Vol. 80, 385-417. Wiranata, Y.A., dan Nugrahanti, Y.W., 2013. Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Profitabilitas Perusahaan Manufaktur di Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 15, No. 1, pp. 15.26.
Analisis porsi…, Samuel James Nahusuly, FE UI, 2014