Politik Perseteruan: Interaksi Stakeholders dalam Tata Kelola Hutan Lindung Pulau Tarakan Era Otonomi Daerah1 Wieka Oviany2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai permasalahan dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan yang timbul karena adanya otonomi daerah yang menciptakan tarik menarik kepentingan antar lembaga pemerintahan dan semakin kompleks ketika hadirnya stakeholders lain yang berasal dari kelompok pengusaha dan kelompok masyarakat Kota Tarakan. Kasus yang berhubungan dengan penguasaan tanah di Kota Tarakan merupakan hal yang sensitif. Adanya perbedaan kepentingan yang dibawa oleh para stakeholders pada akhirnya menimbulkan sebuah gesekan kepentingan yang menghasilkan permasalahan di dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Perseteruan politik yang terjadi menciptakan ketidakselarasan antar stakeholders sehingga memicu permasalahan dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Kata Kunci: teori politik perseteruan, stakeholders, pengelolaan hutan lindung Pendahuluan Adanya tuntutan politik lokal desentralisasi dan otonomi daerah yang dapat memicu terjadinya tarik menarik kepentingan antara Pemerintah Daerah dan juga Pemerintah Kota. Konflik ini akan semakin kompleks ketika hadirnya stakeholders lain yang berasal dari kelompok ekonomi dan kelompok masyarakat. Adanya distribusi kewenangan dan kekuasaan yang dinilai tidak merata serta perbedaan persepsi dalam menafsirkan peraturan yang ada sudah jelas akan menimbulkan konflik serta permasalahan baru di dalam pihak-pihak yang terlibat di dalam pengelolaan hutan ini. Peningkatan jumlah penduduk dan permintaan untuk mencukupi kebutuhan akan kayu yang tinggi dengan permintaan harga yang murah cukup menimbulkan sebuah ironi. . Lahan Hutan Lindung Pulau Tarakan terkadang mengalami kebakaran yang secara disengaja dengan tujuan untuk membuka hutan sebagai lahan baru yang dapat digunakan untuk kepentingan lain, seperti untuk bercocok tanam atau dijadikan sebagai tempat tinggal atau bermukim dengan mendirikan gubuk hingga rumah yang tak jarang bersifat permanen di area Hutan Lindung Pulau Tarakan. Tak jarang, terjadi perambahan atau pembalakan liar, atau yang saat ini dikenal sebagai illegal logging di wilayah Hutan Lindung Pulau Tarakan, yang mengakibatkan wilayah hutan lindung tersebut semakin kritis keadaannya. Akibat dari perambahan liar ini, maka sekitar 400 hektar kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan yang berada di wilayah Gunung Selatan RT 18 Kelurahan Kampung 1/Skip 1
Judul penelitian ini merupakan hasil dari penelitian skripsi penulis. Penulis merupakan mahasiswa S1 Ilmu Politik, FISIP Universitas Airlangga angkatan 2010. Email :
[email protected] 2
0
semakin kritis keadaannya. Perambahan liar ini dilakukan oleh sekitar 50 orang warga setempat dengan cara merintis. Di kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan terdapat infrastruktur jalan yang dibangun oleh Pemerintah Kota Tarakan seperti yang terjadi di daerah Kampung Satu Skip. Pada kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan juga ditemukan penggunaan sumber mata air untuk kepentingan beberapa perusahaan, seperti untuk bangunan embung dan instalasi air minum milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Di Kota Tarakan, penguasaan atas tanah menjadi sebuah hal yang sangat sensitif. Tanah yang dapat digunakan oleh masyarakat Kota Tarakan jumlahnya terbatas. Adanya keterbatasan masyarakat dalam akses penguasaan tanah dikarenakan sebagian besar tanah di Kota Tarakan telah dikuasai oleh tentara yaitu Angkatan Laut, pejabat yang memiliki pengaruh dan kuasa di Kota Tarakan dan juga Pertamina. Maka dari itu, baik masyarakat hingga pemerintah akhirnya mencari cara untuk dapat memanfaatkan tanah yang ada di Kota Tarakan semaksimal mungkin. Jika melihat dan meninjau fakta yang ada di Hutan Lindung Pulau Tarakan, maka kita akan melihat munculnya permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan, seperti konflik-konflik kepentingan baik yang secara tertutup maupun secara terbuka yang dilakukan oleh para stakeholders yang terlibat di dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan, mulai dari Pemerintah Daerah dan juga masyarakat di sekitar wilayah Hutan Lindung Pulau Tarakan. Berdasarkan permasalahan di atas, maka Rumusan masalah yang peneliti angkat dalam penelitian ini ada dua yakni apa saja kepentingan stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan dan bagaimana interaksi stakeholders dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan di era otonomi daerah. Dalam melakukan sebuah penelitian, seorang peneliti harus menyadari keterbatasannya ketika melakukan sebuah penelitian sehingga dapat memberikan sebuah target pencapaian dan batasan agar penelitian tersebut mencapai hasil yang maksimal, sehingga tujuan dari penelitian tentang stakeholders dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan ini sebagai penelitian tambahan untuk melengkapi penelitian-penelitian besar yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah peneliti mengidentifikasi peta kepentingan pada stakeholders serta interaksi yang terjadi dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan, maka manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah masukan bagi Pemerintah Kota Tarakan, kelompok ekonomi serta kelompok masyarakat agar mempertahankan status serta fungsi dari Hutan Lindung Pulau Tarakan. Landasan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori politik perseteruan yang dikemukakan oleh McAdam, Tarrow, dan Tilly. Mereka mendefinisikan politik perseteruan sebagai episodic, public, collective interaction among makers of claims and their objects when (a) at least one government is a claimant, an object of claims, or a party
1
to the claims and (b) the claims would, if realized, affect the interests of at least one of the claimants (McAdam et al, 2001: 5). Di dalam buku Dynamics of Contetion turut mengemukakan lima proses kunci dalam contentious politics. Kelima proses itu adalah Identity formation (pembentukan identitas) yaitu tentang bagaimana sesuatu identitas bersama berkembang dalam sebuah kelompok, scale shift (atau eskalasi) yaitu tentang bagaimana sebuah konflik yang muncul kecil mengalami eskalasi sehingga melibatkan aktor-aktor yang jauh lebih banyak, polarization (polarisasi) yaitu tentang bagaimana ruang politis antara pihak-pihak yang saling berseteru meluas ketika para peserta itu saling menjauh dan bergeser ke arah titik-titik ekstrim, mobilization (mobilisasi) yaitu tentang bagaimana orang yang biasanya bersikap acuh-tak acuh dapat digerakkan untuk terjun ke jalan dan actor constitution (pembentukan aktor) yaitu tentang bagaimana sebuah kelompok yang sebelumnya tidak terorganisir atau apolitis berubah menjadi sebuah aktor politik tunggal. (Klinken, 2007: 17-18). Dinamika konflik dalam penelitian ini terjadi karena adanya perubahan sosial ketika diaplikasikannya otonomi daerah sehingga kemudian menimbulkan restrukturisasi kelembagaan politik formal ataupun informal dalam pemerintahan yang memberikan pengaruh perubahan yang terjadi di berbagai bidang, khususnya di dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Ketika struktur kekuasaan berubah, maka akan mempengaruhi struktur hubungan politis, ekonomi dan struktur lain yang ada dalam pemerintahan di era otonomi daerah. Adanya otonomi daerah menciptakan sebuah peluang kesempatan atau akses untuk memperoleh keuntungan dari sumber alam yang berasal dari Hutan Lindung Pulau Tarakan dengan memanfaatkan kekuasaan institusional, akses ke Negara, otoritas yang dimiliki, mekanisme sosial yang ada dan faktor-faktor lainnya yang pada akhirnya akan memunculkan sebuah konflik yang terjadi di antara para pemangku kepentingan atau stakeholders pengelola Hutan Lindung Pulau Tarakan. Metodologi Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, data-data berupa informasi akan didapatkan secara langsung dari informan yang terkait. Selanjutnya dari informan tersebut, data-data yang didapat kemudian akan diolah lebih lanjut oleh peneliti untuk memperoleh jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Penelitian ini dilakukan di Kota Tarakan yang terletak di Provinsi Kalimantan Utara. Waktu penelitian yang digunakan mulai dari persiapan, pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, hingga penyusunan skripsi adalah pertengahan Bulan September hingga akhir Bulan Desember tahun 2013. Untuk pemilihan narasumber dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode purposive, dimana dalam memilih diambil secara sengaja dan disertai dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sedangkan untuk informan kunci (key informan) ditentukan dengan menggunakan teknik snowball. Pengumpulan data dibagi menjadi dua yakni data primer dan data skunder. Data sekunder didapatkan melalui studi pustaka, melakukan penelusuran data yang berasal dari sumber-sumber resmi seperti dari penelitian terdahulu, buku-buku terapan, surat kabar, situs internet, dan lain-lain.
2
Obyek yang menjadi informan dalam penelitian ini antara lain : Kepala Dinas Kehutanan, Pertambangan dan Energi, Kepala UPT KPHL, perwakilan penduduk di perumahan PEPABRI, perwakilan pengusaha ayam, perwakilan pengusaha walet, salah satu tokoh masyarakat Adat Tidung, dan perwakilan akademisi yang pernah meneliti mengenai Hutan Lindung Pulau Tarakan. Peta Kepentingan Stakeholders Di dalam penelitian ini, peneliti mengkategorikan stakeholders menjadi tiga, yaitu state atau Negara yang diwakilkan oleh Pemerintah Kota Tarakan, kemudian economic society yaitu kelompok pengusaha dan civil society yaitu Masyarakat Kota Tarakan utnuk memudahkan memetakan kepentingannya di dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan serta ketika mengidentifikasi interaksi yang terjadi diantara kelompok stakeholder. Kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan berada di Kelurahan Kampung Satu/Skip Kecamatan Tarakan Tengah, Kelurahan Kampung Enam di Kecamatan Tarakan Timur, Kelurahan Karang Anyar di Kecamatan Tarakan Barat, Kelurahan Juat Laut, Kelurahan Juata Kerikil di Kecamatan Tarakan Utara dengan luas ± 6.997 Ha. Bagi kelompok Pemerintah Kota Tarakan, kita akan melihat jika tujuan serta kepentingan yang ada pada masing-masing lembaga pemerintahan ini akan berbeda antara satu sama lain. Ketika banyak lembaga dengan berbagai kepentingan masing-masing tertuju pada satu objek yang sama, maka Perbedaan inilah yang dapat menjadi salah satu sumber permasalahan dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Seperti terjadi pemborosan dan tumpang tindih program kerja yang dibawa masing-masing lembaga, kurangnya koordinasi antar lembaga, hingga permasalahan yang ada di dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan menjadi tidak terselesaikan dengan baik. Seperti Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi memiliki kepentingan untuk menjalankan kewenangannya dalam merumuskan kebijakan dan petunjuk teknis yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian bidang kehutanan dan perkebunan serta melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan bidang kehutanan bagi UPT KPHL dan UPT KPHL memiliki kepentingan pemanfaatan hutan dan penggunaan hutan dalam hal pemantauan dan pengendalian terhadap pemegang ijin. Kelompok pengusaha memiliki kepentingan dalam pemanfaatan areal hutan lindung sebagai tempat untuk beternak yang harus jauh dari kawasan perumahan penduduk. Karena ternak membutuhkan tempat yang sejuk di bawah pepohonan yang rimbun dan tenang. Peternak disini juga berkepentingan menggunakan area hutan lindung ini sebagai peluang kerja untuk mendapatkan penghasilan atau pendapatan. Selain peternak, ada pula petani yang menggunakan kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan untuk menanam tanaman seperti buah-buahan dan sayuran. Para pengembang juga memiliki kepentingan di sekitar kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Seperti untuk pembangunan perumahan, seperti perumahan PEPABRI dibangun di daerah Kampung Satu dengan sebagian perumahannya berdiri di kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Perumahan ini adalah milik dari organisasi Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
3
Di dalam Hutan Lindung Pulau Tarakan terdapat kelompok-kelompok masyarakat, salah satunya kelompok masyarakat adat Tidung yang juga merupakan suku asli di Pulau Tarakan. Kepentingan masyarakat adat Tidung terhadap Hutan Lindung Pulau Tarakan adalah kepentingan atas klaim hutan adat yang mereka miliki. Setelah dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 554 tahun 2013, yang menetapkan Hutan Lindung Pulau Tarakan dengan luas 6.927 hektar, maka berdampak pada hutan adat yang mereka miliki. Karena, hutan adat yang dimiliki oleh masyarakat adat Tidung ini termasuk di dalam kawasan perluasan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Dalam penyelesaian klaim yang berkaitan dengan tanah adat harus sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang telah ditetapkan dalam Undang – Undang Nomor 41/1999 Tentang Kehutanan. Dari sini, masyarakat adat tidak bisa menguasai hutan adat mereka yang sudah masuk dalam kawasan hutan lindung secara mudah jika tidak memiliki buktibukti yang bisa dipertanggung jawabkan secara kuat dan kekuatan hukum yang menjadi landasan tuntutan mereka. Di area Hutan Lindung Pulau Tarakan, juga banyak masyarakat biasa yang tinggal dan membangun pemukiman. Masyarakat yang memiliki tanah dalam kawasan lindung sesuai peraturan daerah RTRW Kota Tarakan ini bersikeras untuk tidak pindah dan tidak menjual lahan yang mereka miliki. Masyarakat yang tinggal di Hutan Lindung Pulau Tarakan ini memiliki sertifikat kepemilikan tanah sebagai dasar legalitas mereka di area tersebut. Sertifikat tanah yang mereka miliki jika ditelusuri dikeluarkan atas izin lurah atau camat yang tidak lagi menjabat pada saat ini, dan bahkan pejabat berwenang yang mengeluarkan izin tersebut ada pula yang telah meninggal. Ada pula lahan yang dimiliki warga tersebut yang dilandasi dengan alas hak yang legal secara hukum, yaitu dengan adanya Surat Izin Menggunakan Tanah Negara (SIMTN). Surat Izin Menggunakan Tanah Negara (SIMTN) alas hak/alat bukti penguasaan tanah yang sah dapat dipakai sebagai dasar untuk meningkatkan statusnya menjadi hak atas tanah setelah 2 tahun diterbitkan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang , yaitu Kepala Kantor Pertanahan (BPN). Dasar Pemerintah Daerah Kota Tarakan dalam menerbitkan SIMTN adalah Perda Nomor 19 Tahun 2001 dan Perda Nomor 10 Tahun 2004. Selain bermasalah dengan surat izin atau sertifikat tanah yang mereka miliki, masyarakat yang tinggal di kawasan hutan lindung ini kebanyakan tidak membayar PBB. Jelas ini memberikan dampak kerugian bagi pemerintah, terutama dalam hal pemasukan bagi pendapatan asli daerah. Interaksi antar Stakeholders Setelah mengidentifikasikan dan memetakan kepentingan stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan, kita dapat melihat jika terjadi interaksi diantara stakeholders yang saling berbeda kepentingan, dan kemudian menyebabkan adanya gesekan diantara kepentingan-kepentingan yang berbeda itu. Di dalam penelitian ini, peneliti melakukan elaborasi berdasarkan kasus-kasus yang terjadi sebagai hasil dari interaksi antar stakeholders di dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan berdasar pada tahapan-tahapannya yaitu pembentukan identitas, eskalasi, polarisasi, pemicu, dan seterusnya.
4
Kasus pertama adalah kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintahan dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Adanya otonomi daerah, membuka kesempatan bagi setiap lembaga pemerintahan untuk membuat program kerjanya masingmasing. Dari interaksi ini, sebenarnya kita bisa melihat jika ada perbedaan kepentingan serta tujuan yang ada di dalamnya. Seringkali terjadi kurang koordinasi dalam programprogram yang berjalan di dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan, sehingga terjadi duplikasi program kerja yang bersifat pemborosan dalam pengeluaran anggaran dan serta perbedaan tujuan akhir dalam program kerja yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan tersebut. Kasus kedua yaitu masalah pembangunan embung milik PDAM di kawasan hutan lindung. Hutan Lindung Pulau Tarakan terletak pada sebuah pulau kecil. Berdasarkan pada batasan dan karakteristik dari pulau kecil yang berpacu pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 mengenai Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil, maka Hutan Lindung Pulau Tarakan memiliki peran penting dalam fungsi hidrolisis, yaitu untuk menjaga keteraturan air yang ada di dalam tanah, fungsi klimatologis, yaitu untuk menjaga agar tidak terjadi erosi pada tanah dan juga untuk mengatur iklim dan yang tidak kalah pentingnya yaitu fungsi hutan lindung sebagai jalan keluar dari masalah pencemaran udara, seperti solusi dari kelebihan gas CO2 (karbon dioksida) dan CO (karbon monoksida). Menurut Bappeda Kota Tarakan (2004) berdasarkan penelusuran (tracing) pada peta topografi, terdapat sekitar 73 buah sungai di wilayah Pulau Tarakan. Sungai-sungai tersebut membentang dari wilayah perbukitan di tengah-tengah Pulau Tarakan dan kemudian bermuara di pantai. Dan Hutan Lindung Pulau Tarakan terletak di hulu dari 73 buah sungai yang ada di Pulau Tarakan. Pembangunan embung atau penampung air yang ada di Kampung Satu, yang masih termasuk dalam kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan turut menuai konflik. Hal ini karena pembangunan embung tidak disertai dengan adanya surat izin pembangunan secara sah. Menurut hasil wawancara dengan informan dari UPT KPHL, pembangunan embung ini hanya didasarkan dengan surat perintah dari walikota yang menjabat pada saat itu. Hingga saat ini, embung ini masih menuai banyak masalah terutama dalam interaksi antara UPT KPHL selaku pengelola Hutan Lindung Pulau Tarakan dengan pihak PDAM sebagai pemanfaat sumber daya air yang berasal dari Hutan Lindung Pulau Tarakan. Apalagi, pejabat yang memberi surat perintah pembangunan embung tersebut pada saat ini tidak lagi menjabat sehingga kekuatan hukum dari pembangunan embung bisa dikatakan kurang kuat dan dapat memicu permasalahanpermasalahan baru. Dan lagi-lagi, pembangunan embung ini dilakukan tanpa berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan maupun UPT KPHL selaku pengelola Hutan Lindung Pulau Tarakan. Kasus ketiga adalah masalah surat atau akte tanah atas lahan yang berada di kawasan hutan lindung. Seringkali, program yang dibuat oleh lembaga pemerintah menyebabkan terjadinya egosektoral program dan tidak selaras dengan tujuan pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Contohnya SIMTN yang merupakan program dari Badan Pertanahan Nasional. Ini adalah program untuk memberikan surat izin bagi masyarakat untuk menggunakan tanah, dan ditemukan fakta jika masyarakat yang ada di hutan lindung sebagian besar memiliki surat izin ini. Menurut Badan Pertanahan Nasional, adanya SIMTN ini mengutungkan buat pemerintah karena ada pemasukan buat kas daerah dalam
5
bentuk PAD. Sedangkan bagi masyarakat,dengan adanya SIMTN maka mereka dapat memanfaatkan tanah untuk keperluan mereka. Masyarakat maupun para pengusaha ternak yang membangun pemukiman maupun kandang permanen kebanyakan telah mengantongi surat izin untuk menggunakan tanah tersebut. Dan ini merupakan sebuah kesalahan yang sebenarnya fatal dan dapat berdampak besar bagi kelangsungan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Dari interaksi ini, kita dapat melihat jika program SIMTN maupun pemberian fasilitas kepada masyarakat melalui semenisasi maupun pembangunan jalan ini tidak selaras dengan tujuan dari pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Kasus keempat adalah masalah antara masyarakat adat dengan pengelola hutan lindung. Adanya otonomi daerah membuka peluang bagi masyarakat adat untuk mengelola dan memanfaatkan hutannya. Hutan adat milik masyarakat Adat Tidung ini memiliki luas 410 hektar. Hutan adat menurut kerangka hukum yang berlaku pada saat itu merupakan hutan Negara yang hak pengelolaannya diberikan oleh Negara kepada masyarakat adat. Otonomi daerah yang berlaku di dalam Pemerintahan Kota Tarakan bagai sebuah gerbang pembuka bagi persaingan lahan dan konflik atas hutan adat untuk berbagai kepentingan pembangunan, pertambangan, eksploitasi hutan, penebangan kayu, perkebunan intensif. Berawal dari pemerintah yang berencana untuk memperluas Hutan Lindung Pulau Tarakan. Area hutan adat milik masyarakat adat Tidung ini termasuk di dalam perencanaan wilayah perluasan hutan lindung. Setelah terjadi proses perumusan kebijakan yang cukup panjang, kemudian ditetapkanlah keputusan yang menyatakan jika hutan adat ini dikembalikan kepada pemerintah kota dengan kompensasi pembayaran sejumlah uang kepada masyarakat adat ini. Pembayaran yang diberikan kepada masyarakat adat merupakan penggantian biaya atas membuka lahan di area hutan atau mereka menyebutnya biaya rintis hutan. Sehingga kemudian area hutan adat seluas 410 Ha ini akhirnya dikembalikan kepada pemerintah. Setelah itu, terjadi sebuah perubahan dalam Undang-Undang Kehutanan. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan perkara No. 35/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Putusan perkara ini berkaitan dengan hutan adat dan pengakuan bersyarat terhadap keberadaan masyarakat adat. Adanya putusan ini mengharuskan pemerintah untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat yang selama ini telah diambil. Pada awalnya hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Setelah adanya putusan ini, maka kemudian hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hutan adat dikeluarkan posisinya dari hutan negara kemudian dimasukan ke dalam kategori hutan hak. Adanya perubahan ini kemudian membuat masyarakat adat Tidung mengajukan permohonan kepada pemerintah Kota Tarakan untuk diberikan izin mengelola dan memanfaatkan hutan adat mereka yang telah dikembalikan dan saat ini telah menjadi kawasan hutan lindung secara legal dan berdasar hukum.
6
Kesimpulan Dalam kasus kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintahan dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan, adanya otonomi daerah, membuka kesempatan bagi setiap lembaga pemerintahan untuk membuat program kerjanya masing-masing. Identity formation atau pembentukan identitas di dalam kasus ini merupakan suatu proses berkembangnya sebuah identitas bersama disebuah kelompok. Kelompok Negara merupakan kelompok yang menguasai segala kekayaan alam yang ada di dalamnya sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Dengan adanya dasar penguasaan atas kekayaan alam yang ada di sebuah daerah, Hutan Lindung Pulau Tarakan pada khususnya, akan menjadi sebuah objek sasaran dari kepentingan lembaga-lembaga pemerintahan yang ada di dalam Pemerintah Kota Tarakan. Lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki masing-masing kepentingan ini akan mengalami proses scale shift atau escalation eskalasi dimana sebuah konflik kecil yang muncul akan mengalami eskalasi sehingga melibatkan aktor-aktor yang jauh lebih banyak. Hal ini disebabkan karena adanya gesekan dari masing-masing kepentingan yang dibawa oleh masing-masing lembaga pemerintahan dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan. Misalnya dengan kurang koordinasi dalam program-program yang berjalan di dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan, maka menyebabkan seringkali terjadi duplikasi program kerja yang bersifat pemborosan dalam pengeluaran anggaran dan serta perbedaan tujuan akhir dalam program kerja yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan tersebut. Perseteruan yang terjadi diantara lembaga-lembaga pemerintahan ini akan mengalami polarisasi sehingga ruang politis antara pihak-pihak yang saling berseteru semakin meluas sehingga kemudian terciptanya kasus-kasus perseteruan politik diantara lembaga pemerintahan dalam pengelolaan Hutan Lindung Pulau Tarakan yang disebabkan karena kurangnya koordinasi antar lembaga. Pada kasus pembangunan embung milik PDAM di kawasan hutan lindung, identity formation atau pembentukan identitas berkembang di dalam masing-masing kelompok. Antara PDAM selaku pemanfaat air yang ada di kawasan Hutan Lindung Pulau Tarakan dengan UPT KPHL selaku pengelola Hutan Lindung Pulau Tarakan. Proses scale shift atau escalation eskalasi terjadi ketika konflik yang muncul mengalami eskalasi sehingga melibatkan aktor-aktor yang jauh lebih banyak. Dalam hal ini, konflik yang terjadi merupakan konflik yang disebabkan dari adanya pembangunan embung milik PDAM di dalam kawasan hutan lindung. Polarisasi terjadi ketika ruang politis diantara pihak-pihak yang saling berseteru makin meluas, hal ini terjadi ketika semakin dipertanyakannya status kekuatan hukum dari pembangunan embung yang hanya berlandaskan memo surat penunjukan lokasi pembangunan yang dibuat oleh pejabat yang pada saat ini tidak lagi berkuasa di Kota Tarakan. Dengan semakin meluasnya ruang politis diantara pihak yang berseteru maka terjadi mobilisasi dan pembentukan dinamika pada aktor-aktor kunci di dalam kasus ini, yang masing-masing memiliki latar belakang, maksud dan tujuan tertentu pada Hutan Lindung Pulau Tarakan. Pada kasus surat atau akte tanah atas lahan yang berada di kawasan hutan lindung, melibatkan BPN, UPT KPHL, pengusaha dan masyarakat di dalam perseteruan ini. Proses identity formation atau pembentukan identitas berkembang didalam masing-masing kelompok. Baik di dalam kelompok Negara atau lembaga pemerintah maupun di dalam kelompok masyarakat yang berkepentingan pada Hutan Lindung Pulau Tarakan. Sebuah
7
konflik kecil yang muncul dan mengalami eskalasi atau memasuki tahapan scale shift akan melibatkan aktor-aktor yang jauh lebih banyak lagi. Misalnya di dalam kasus diterbitkannya SIMTN oleh BPN kepada masyarakat maupun pengusaha yang berkepentingan di dalam Hutan Lindung Pulau Tarakan. Dalam perseteruan ini, melibatkan actor baru, yaitu UPT KPHL selaku pengelola Hutan Lindung Pulau Tarakan, dimana ketika SIMTN ini dikeluarkan oleh BPN kepada masyarakat atau pengusaha, maka terjadi tahapan polarisasi meluasnya ruang politis di antara pihak yang saling berseteru. Aktoraktor baru akan bermunculan, seperti UPT Planologi Kehutanan yang melakukan pengukuran batas-batas wilayah atau tanah yang ada di Hutan Lindung. Namun, adanya actor baru inipun belum mampu menyelesaikan permasalahan yang ada. Dalam perseteruan politik diantara para stakeholders ini akan menciptakan dinamika yang melibatkan actor-aktor kunci tertentu yang masing-masing memiliki latar belakang, maksud dan tujuan tertentu pula. Sedangkan pada masalah antara masyarakat adat dengan pengelola hutan lindung, proses identity formation atau pembentukan identitas berkembang di dalam kelompok masing-masing. Baik dari kelompok Negara, selaku penguasa atas segala kekayaan alam yang ada dengan masyarakat adat yang mengklaim memiliki hak atas kepemilikan hutan adat yang ada di dalam wilayah Hutan Lindung Pulau Tarakan. Konflik ini pada awalnya sempat mereda dengan dikembalikannya hutan adat kepada Pemerintah Kota Tarakan oleh masyarakat Adat Tidung. Tetapi, ketika keluar Putusan MK 35 secara tegas disebutkan jika hutan adat bukan lagi menjadi bagian dari hutan negara, kategori hutan hak di dalamnya haruslah dimasukkan hutan adat, maka perseteruan yang terjadi akan mengalami tahapan polarisasi, dimana ruang politis antara pihak-pihak yang saling berseteru semakin meluas dan menciptakan sebuah mobilisasi pada orang-orang yang berasal dari kelompok Masyarakat Adat Tidung yang biasanya bersikap acuh-tak acuh dapat digerakkan untuk turut mengambil bagian dalam permasalahan ini sehingga kemudian Masyarakat Adat Tidung ini yang sebelumnya merupakan kelompok yang tidak terorganisir atau apolitis berubah menjadi sebuah aktor politik tunggal. Daftar Pustaka Awang, San Afri. (2004) Dekonstruksi Sosial Forestri : Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Yogyakarta: Bigraf Publisher. Awang, San Afri. (2003) Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta : Kreasi Wacana Yogyakarta. Haris, Syamsudin. (2007) Desentralisasi & Otonomi Daerah. Jakarta : LIPI Press. Horrison, Lisa. (2007) Metodologi Penelitian Politik. Jakarta : Kencana Pernada Group. Klinken, Gerry van. (2007) Perang kota kecil : Kekerasan komunal dan demokratisasi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta. McAdam, Doug, Tarrow, Sidney and Tilly, Charles. (2001) Dynamics of Contetion. Cambridge: Cambridge University Press.
8
Moniaga S. (2010) ‘Dari Bumiputera ke Masyarakat Adat : Sebuah Perjalanan Panjang dan Membingungkan’, di dalam Adat Dalam Politik Indonesia, Davidson JS (editor). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Ritzer, George & Goodman, Douglas J. (2008) Teori Sosiologi. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
9