PERT TANGGUN NGJAWAB BAN PIDAN NA KORPO ORASI DA ALAM HAL L TERJAD DINYA KEBA AKARAN LAHAN L (Studi Pu utusan Nom mor:228/Pid d.Sus/2013//PN.PLW)
Jurnal
Disusun dan Diaju ukan untukk Melengkap api Persyara atan Mempperoleh Gelaar Sarjana Hukum pada Fakkultas Huku um Universsitas Sumattera Utara
Oleh: NATALIIA TAMPU UBOLON 120200068 8
DE EPARTEM MEN HUKU UM PIDAN NA
FAKU ULTAS HU UKUM UN NIVERSITA AS SUMAT TERA UTA ARA MEDAN 2016
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM HAL TERJADINYA KEBAKARAN LAHAN (Studi Putusan Nomor.228/Pid.Sus/2013/PN.PLW) JURNAL Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : NATALIA TAMPUBOLON 120200068 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Mengetahui, Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan, S.H., M.H. NIP.195703261986011001
Dosen Pembimbing I
Prof. Dr. Alvi Syahrin S.H., M.S. NIP.196303311987031001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016
ABSTRAKSI *) Natalia Tampubolon **) Alvi Syahrin ***) Edi Yunara Korporasi pada awalnya kurang diperhatikan sebagai subjek hukum. Hal ini karena korporasi sulit untuk dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terjadi perbuatan pidana yang dilakukan atas nama sebuah korporasi. Beberapa peraturan perundang-undangan memang sudah mengatur keberadaan korporasi sebagai subjek hukum pidana. namun kenyataanya, hakim masih enggan untuk bersikap tegas dalam memberikan putusa pidana terhadap sebuah korporasi. Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur sanksi bagi korporasi yang melakukan tindak pidana terhadap lingkugan hidup. Kendala yang dihadapi dalam pemberian sanksi terhadap korporasi adalah muncul pro kontra bagaimana sebuh korporasi dikenai pertanggungjawaban pidana. hal ini terkait dengan wujud korporasi yang abstrak yang secara kasat mata tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana layaknya manusia. Maka bergerak dari dasar pemikiran diatas , ada beberapa masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini yakni bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hal terjadinya kebakaran lahan serta bagaimana pertimbangan hakim tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus yang melibatkan PT.Adei Plantation & Industry (Studi Putusan No. 228/Pid.Sus/2013/PN.PLW). Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan normatif (yuridis normative) dengan teknik pengumpulan data berupa penelitian kepustakaan (library reseach) yang menitik beratkan pada data sekunder yaitu memaparkan beberapa peraturan hukum yang berkaitan dengan topik skripsi kemudian buku, artikel, majalah maupun jurnal yang membahas topik yang sama serta peraturan perundang-undangan yang terkait. Hal ini kemudian dianalisis sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada. Adapun doktrin yang digunakan dalam menuntut korporasi dalam pembahasan skripsi ini ialah doktrin Identifikasi, Doktrin pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability) dan Doktrin Pertanggungjawaban yang ketat menurut Undang-Undang (Strict Liability). Adapun beberapa peraturan yang menjadi rujukan dalam penulisan skripsi ini adalah Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Kata Kunci : Pertanggungjawaban, Korporasi, Lahan _____________ *) Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Pendamping I ***) Dosen Pendamping II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang berhak atas hidup yang layak termasuk memperoleh udara yang bersih dan sehat. Negara Indonesia sebagai Negara hukum telah menjamin hal tersebut. UndangUndang Dasar 1945 adalah landasan konstitusional bagi penyelenggaraan pemerintah Negara yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (sumberdaya alam) digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat1. Pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia2. Kebakaran lahan dan hutan yang terjadi pun tidak terelakkan. Tidak tanggungtanggung, luas lahan yang dibakar maupun yang terbakar cukup luas. Tercatat bahwa luas lahan yang terbakar sepanjang tahun 2014 adalah sekitar 23625,6 hektar3. Sebagian besar lahan sengaja dibakar untuk kegiatan pembukaan lahan industry. Hal ini disebut dengan Land Clearling (Pembersihan lahan). Hal ini secara mendasar tentu menimbulkan “sakit” pada tanah tersebut. Dimana tanah atau pun lahan itu tersebut diibaratkan sengaja dirusak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Akhirnya kebakaran lahan pun terjadu. Akibat lainnya ialah, musnahnya habitat asli margasatwa yang ada di dalam hutan. Tentu tidak sedikit hewan yang berada dalam hutan dan menjadikan hutan sebagai rumahnya. Lahan yang juga seharusnya diolah dengan baik menjadi rusak. Bisa kita bayangkan bahwa, binatang-binatang tersebut kehilangan tempat tinggal dan malah bisa masuk ke areal lingkungan masyarakat sekitar. Dinas Kesehatan Provinsi Riau mencatat bahwa ada sekitar 43.386 korban ISPA yang ada di Riau4 Ini masih data korban yang mendaftarkan diri ke rumah sakit maupun puskesmas. Menteri kesehatan sendiri memaparkan bahwa terdapat 425.377 korban penyakit ISPA yang ada di tujuh provinsi di Indonesia5. Dalam hal ini telah terjadi peningkatan korban dari yang sebelumnya. Korbannya mayoritas adalah anak-anak serta orang dewasa. Kemungkinan terparahnya dapat menyebabkan kanker paru-paru dalam waktu lima belas sampai dua puluh tahun kedepan. 1
Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta:PT.Sofmedia,2012),Hal.39 2 Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 3 http://pesisirnews.com/viewp/Meranti/LINGKUNGAN/3608/Luas-Kebakaran-Lahan-di-MerantiSepanjang-2015-Capai-616-4-Hektar.html 4 http://nasional.kompas.com/read/2015/09/19/06495861/Kenaikan.Jumlah.Korban.ISPA.karena.Asap.d i.Riau.Mencapai.100.Persen.Tahun.Ini diakses pada tanggal 22 Februari 2016 pada pukul 15.30 wib. 5 https://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/17/206710325/dampak-kabut-asap-ispa-jangkiti-425ribu-jiwa-di-7-provinsi diakses pada tanggal 22 Februari 2016 pada Pukul 15.00 wib.
Korporasi merupakan subjek yang disorot tajam dalam bencana kebakaran lahan maupun hutan. Hal ini karena pelaku yang menyebabkan kebakaran merupakan suruhan pihak korporasi. Hal ini yang dipandang perlu diteliti ulang tentang produk hukum Indonesia yang mengatur keberadaan korporasi dalam sistem hukum Indonesia. Memang korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara badan, namun yang menjadi masalah adalah sejauh mana korporasi dapat diminta pertanggungjawaban secara pidana bila melakukan pembakaran lahan. Ketentuan pertanggungjawaban pidana yang diminta karena pada konteknya sebenarnya korporasi telah menimbulkan akibat yang tidak merugakan individu atau hanya korporasi, namun merugikan banyak orang baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis tertarik membahas tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, terkhususnya dalam hal terjadinya kebakaran lahan. Penulis melihat efek kebakaran lahan yang ditimbulkan sangat merugikan semua pihak. Maka perlu ditinjau dan dibahas bagaimana korporasi dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya. Bab–Bab selanjutnya akan membahas bagimana kedudukan sebuah korporasi di mata hukum Indonesia, bagaimana pertanggungjawaban pidana sebuah korporasi dalam hal terjadinya kebakaran lahan. Selanjutnya akan diuraikan bagaimana pertanggungjawaban secara teori yang berlaku serta akan mengimplemetasikan teori tersebut dalam sebuah analisa putusan. Dimana putusan yang akan dianalisa merupakan Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan terhadap PT. Adei Plantation & Industry yang diduga sengaja melakukan pembakaran lahan di lahan perkebunan mereka sendiri.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah pada penulisan skripsi ini adalah 1. Bagaimana Bentuk Pertanggungjawaban Pidana pada Korporasi dalam hal terjadinya kebakaran lahan? 2. Bagaimana Pertimbangan Hakim tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam menjatuhkan Putusan terhadap PT. Adei Plantation & Industry? (Studi Putusan No. 228/Pid.Sus/2013/PN.PLW) C. Metode Penulisan Dalam penulisan skripsi digunakan metode pendekatan analisis (Analytics approach) yang menganalisis bahan hukum untuk mendapatkan makna yang terkandung dalam suatu
peraturan perundang-undangan sekaligus mengetahui penerapannya pada praktik hukum yang ada. Skripsi ini juga menggunakan metode pendekatan kasus. Walaupun tidak murni kasus tapi tepatnya suatu putusan namun, tujuannya sama yakni untuk memperoleh gambaran dimensi penggunaan peraturan perundang-undangan pada suatu perkara atau kasus di kehidupan nyata. Adapun data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder, dimana data sekunder terdiri atas; a. Bahan Hukum Primer, yakni bahan hukum yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak berwenang seperti KUHP, Undang-Undang, Peraturan Menteri dan lainnya b. Bahan
Hukum
Sekunder,
yakni
semua
dokumen
yang
berkaitan
dengan
pertanggungjawaban korporasi, hutan , korporasi dan kebakaran hutan seperti majalah,karya tulis ilmiah atau dari situs internet yang berkaitan. c. Bahan Hukum Tersier, yakni dokumen yang berisi konsep yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti KBBI, Ensiklopedia dan lain-lain. Terkait dengan metode pengumpulan data, maka metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah Metode Library Research (Penelitian Kepustakaan) ialah menggunakan berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku, majalah, pendapat sarjana dan bahan lainnya. Kemudian data yang telah ada akan diorganisir kemudian akan dianalisa terkait dengan putusan yang ada dalam skripsi disini sehingga hasil analisis dari kedua hal ini akan menunjukkan sejauh mana penggunaan produk peraturan terhadap permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA OLEH KORPORASI A. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana 1. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana Subjek Hukum adalah pihak yang melakukan suatu perbuatan hukum dan mengakibatkan adanya akibat hukum dari perbuatan tersebut. Dalam hal ini subjek hukum dapat dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan hukum yang dilakukan. Subjek hukum adalah setiap pembawa hak (recht, right) dan kewajiban (verplicht, obligation) dalam hukum6. Asal mula korporasi sendiri masih jadi persoalan hingga sekarang, walau masyarakat sendiri sudah hidup dalam suatu kelompok (group), persoalan itu masih ada walau sudah 6
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Perdata: Hukum Orang & Keluarga, (Medan:USU Press,2011),Hal. 20.
dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu kelompok dan telah dikenal kedudukan seorang individu dalam sebuah kelompok. Pada zaman dahulu perkembangan korporasi berupa pembentukan kelompok yang terjadi seperti dalam masyarakat Asia Kecil, Yunani dan masyarakat Romawi7. Pada abad pertengahan ditandai dengan mulai menurunnya kekuasaan Romawi, perdagangan pun mulai suram karena pada masa itu orang tidak mungkin melakukan suatu perdagangan tanpa didukung oleh perlindungan militer dan tertib social. 2. Perkembangan Dan Perubahan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana Subjek hukum badan hukum sendiri merupakan suatu lembaga yang dibuat oleh hukum serta mempunyai tujuan tertentu. Badan hukum tersebut memiliki kekayaan yang terpisah dengan kekayaan anggotanya. Badan hukum hukum tersebut juga memiliki hak dan kewajiban yang terpisah pulak dengan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anggotanya. Subjek Hukum Pidana Korporasi di Indonesia dikenal sejak tahun 1951, yakni ada pada Undang-Undang Penimbunan Barang-Barang. Mulai dikenal secara luas sejak muncul Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Pasal 15 ayat (1)), Pasal 49 Undang-Undang No. 9 Tahun 1976. Sehingga demikian korporasi sebagai subyek hukum pidana hanya ditemukan dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP yang merupakan pelengkap KUHP, sebab untuk Hukum Pidana atau KUHP itu sendiri masih menganut subyek hukum pidana secara umum yaitu manusia (Pasal 59 KUHP). B. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 1. Teori Fiksi Teori ini dikemukakan oleh Friedrich Carl Von Savigny yang mengatakan bahwa badan hukum itu adalah fiksi. Badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. a. Teori Harta Kekayaan Bertujuan A.Brinz mengatakan bahwa pemisahan harta kekayaan badan hukum dengan harta kekayaan anggota memiliki suatu tujuan tertentu. Dengan adanya pemisahan harta kekayaan ini, menjadikan badan hukum merupakan subjek hukum. b. Teori Organ Tokoh dari teori ini Otto Von Gierka yang menyatakan bahwa badan hukum sama saja dengan manusia sebagai subjek hukum. Hal ini dikarenakan badan hukum memiliki alat perlengkapan dan memiliki perantara untuk melakukan suatu
7
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,(Bandung:Sekolah Tinggi Hukum Bandung,1991),Hal 22
perbuatan hukum. Dimana perantaranya berupa pengurus, komisaris, dan rapat anggota. c. Teori Kepemilikan bersama Bahwa badan hukum tidak lain merupakan perkumpulan manusia yang ada hak dan kewajiban anggota. Ada beberapa teori pertanggungjawaban pidana oleh korporasi yakni; 1. Doktrin Identifikasi Suatu tindak pidana menurut “common law” atau “penal statute” yang tidak dapat diterapkan terhadap sebuah perusahaan. Contohnya tindak pidana yang memerlukan “mens rea”. Maka dikembangkan suatu sarana bagaimana mengaitkan pikiran ini sehingga perusahaan secara pidana bertanggungjawab dalam masalah tersebut. Perusahaan merupakan kesatuan buatan maka hanya dapat bertindak melalui agennya. Agen ini menurut Doktrin Identifikasi dianggap sebagai “directing mind” atau “alter ego”. Bila individu diberi wewenang untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis perusahaan atau korporasi tersebut, maka “mens rea” para individu merupakan “mens rea” perusahaan tersebut8. 2. Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability) Vicarious Liability menurut Barda Nawawi Arief, diartikan “pertanggungjawaban hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain” (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another)9. Maka dari pendapat diatas dapat
disimpulkan
bahwa
menurut
doktrin
vicarious
liability,
seseorang
dapat
mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan oleh orang lain dan dasarnya adalah delik dapat dilakukan baik secara vicarious maupun langsung. Namun, yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana seseorang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan oleh orang lain? Ajaran Vicarious Liability menyiratkan bahwa seseorang dimungkinkan
untuk
bertanggungjawab tehadap perbuatan orang lain. Jika ajaran ini diterapkan pada sebuah korporasi, maka korporasi tersebut dimungkinkan harus bertanggungjawab atas perbuatanperbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, mandatarisnya atau siapapun yang bertanggungjawab terhadap korporasi tersebut. Apapun yang dilakukan seorang manager atau majikan melalui agennya, maka hal ini sama saja dengan dia melakukan sendiri 8
Dwidja Priyatno, Op.Cit. Hal 89 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia,(Bandung:CV.Utomo,2004), Hal. 100 9
perbuatan itu. Dengan kata lain, hukum memandang bahwa tindakan agen atapun karyawan merupakan tindakan yang dilakukan oleh kepala atau majikan dan pengetahuan agen atau karyawan merupakan pengetahuan dari kepala atau majikan10 3. Doktrin Pertanggungjawaban Yang Ketat Menurut Undang-Undang (Strict Liability) Teori ini disebut juga teori pertanggungjawaban mutlak (absolute liability). Strict Liability merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja pada korporasi tersebut. Suatu pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana tertentu, tanpa perlu dibuktikan ada tidaknya unsure kesalahan. C. Pertanggungjawaban Pidana Oleh Korporasi Pertanggungjawaban pidana memiliki dua pandangan yang berbeda yakni pandangan yang monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan yang monistis dikemukakan oleh Simons yang merumuskan “strafbaar feit” sebagai “eene strafbaar gestelde,
onrechtmatige,
met
schuld
in
verband
staande
handeling
van
een
torekeningvatbaar person” (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab
atas
perbuatannya)11.
Tidak
semua
manusia
dapat
dimintai
pertanggungjawaban terhadap sebuah perbuatan hukum. Orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban ialah orang yang mana telah dianggap cakap menurut hukum. Cakap bertindak dalam hukum dikenal dengan istilah rechtsbekwaamheid. Istilah kecakapan ini ada dimuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata angka 2. Namun tidak diuraikan secara jelas maksud dari kecakapan ini. Pada dasarnya setiap orang cakap dalam melakukan perbuatan hukum kecuali jika undang-undang yang menyatakan tidak cakap12. Korporasi
sebagai
pembuat
dan
yang
bertanggungjawab
adalah
dengan
memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, yaitu bahwa ternyata untuk beberapa delik-delik tertentu, dipidananya pengurus saja tidak memberi jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak sama sekali melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh Undang-Undang tersebut. Tapi setidaknya ketika korporasi dikenakan pertanggungjawaban, dapat berefek sekaligus pada orang-orang yang menjalankan kegiatan korporasi tersebut. D. Pertanggungjawaban Pidana Oleh Korporasi Menurut Sistem Hukum Indonesia 1. Menurut KUHP 10
Asep Supriadi, Op.cit Hal. 92 Muladi dan Dwidja Priyatno Op.cit Hal 50 12 Tan Kamello, Op.cit, Hal 22. 11
Pasal 103 KUHP menganut adagium “lex specialis derogate lex generali” artinya undang-undang khusus dapat mengesampingkan ketentuan umum13. Apabila dikaitkan dengan kedudukan korporasi sebagai subyek hukum maka hal ini tidak ada diatur dalam KUHP. KUHP itu sendiri merupakan hukum pidana umum. Berdasarkan ketentuan pasal 103 KUHP tersebut, jika KUHP tidak mengatur kedudukan korporasi sebagai subyek hukum, maka yang berlaku adalah ketentuan perundang-undangan khusus di luar KUHP. Pasal 44 Rancangan KUHP 1999-2000 menyatakan: “Korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana”14. Ketentuan-ketentuan dalam KUHP jelas menganut subyek dalam hukum pidana adalah orang. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 59 KUHP. Bila dihubungkan dengan tahap perkembangan korporasi maka ini merupakan tahap pertama. Hal ini karena pertanggungjawaban pidana korporasi belum dikenal luas. Ditambah lagi kuatnya asas “societas non potest” yakni badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana atau asas “universitas delinquere non potest” yakni badan hukum (korporasi) tidak dapat dipidana. 2. Menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup Terkait dengan tindak pidana yang marak dilakukan oleh korporasi dalam bidang lingkungan hidup, maka akan kita bahas juga bagaimana UUPPLH ini mengatur pertanggungjawaban pidana sebuah korporasi. Dalam UUPPLH pertanggungjawaban badan usaha dirumuskan dalam Pasal 116 hingga Pasal 119. Pasal 116 UUPPLH memuat krireria bagi lahirnya pertanggungjawaban badan usaha dan siapa saja yang bertanggungjawab. Jika ditilik rumusan pasal 116 UUPPLH, pertanggungjawaban badan usaha timbul dalam suatu kondisi yakni: (1) Tindak pidana lingkungan hidup dilakukian oleh badan usaha, atau atas nama badan usaha atau (2) Oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha. Karena badan usaha tidak dapat bekierja tanpa digerakkan oleh manusia, maka pelaku fisik tetaplah manusia, yaitu orang atas nama badan usaha atau orang yang berdasarkan perjanjian kerja, misalkan seorang karyawan atau hubungan lain, misalkan perjanjian pemborongan kerja.
13 14
Moeljatno,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,(Jakarta:Bumi Aksara, 1999),Hal 40 Rancangan KUHP 1999-2000
Konsep pertanggungjawaban juga harus dipedomani ketentuan Pasal 118 UUPPLH. Dengan demikian, dari rumusan Pasal 116 dan Pasal 118 UUPPLH dapat diketahui bahwa ada tiga pihak yang dapat dikenai tuntutan dan hukuman ada tiga pihak yaitu: 1. Badan Usaha itu sendiri 2. Orang yang memberi perintah atau byang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana 3. Pengurus atau pimpinan badan usaha. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN
TERHADAP PT. ADEI
PLANTATION & INDUSTRY PADA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NO : 228/PID.SUS/2013/PN.PLW A. Tingkat Pengadilan Negeri Pelalawan–Putusan No. 228/Pid.Sus/2013/PN.PLW 1. Kronologis PT. Adei Plantation adalah sebuah korporasi di bidang perkebunan,perdagangan dan industry. Perusahaan ini menerima lahan seluas 540 ha yang ada di Desa Batang Nilo Kecil, Kecamatan Pelalawan dari Koperasi Petani Sejahtera untuk dikelola secara kemitraan Pola KKPA (Kredit Koperasi Primer Anggota) dengan Koperasi Petani Sejahtera. Atas dasar persetujuan Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan, maka PT. Adei Plantation mengolah lahan perkebunan KKPA tersebut dengan mengikat perjanjian pemborongan dengan PT.LOGOH MITRA sebagai pelaksana pekerjaan. Setelah melalui proses pembukaan lahan, persiapan tanam, dan pembuatan jalan serta parit, lahan seluas 540 ha dibentuk kedalam 24 blok. PT. Adei Plantation sendiri dipimpin oleh Tan Kei Yoong selaku Regional Direktur. Kebun Kelapa Sawit Pola KKPA dipimpin oleh Danusevaran K. R. Singam sebagai General Manager / Pimpinan Kebun KKPA. Tidak semua lahan yang diolah tersebut, ditanami kelapa sawit. Hal ini dikarenakan, dari 24 blok yang dibuat masih ada 3 blok yang masih bersengketa dengan masyarakat, kemudian untuk blok 19, sebagian blok 20 dan blok 21 yang sejajar dengan anak sungai Jiat ditumbuhi semak belukar dan masih ada beberapa pohon alam. Berdasarkan isi dakwaan Penuntut umum, blok 19 , sebagian blok 20 dan 21 tersebut masih masuk dalam lahan areal KKPA yang dikelola oleh PT. Adei Plantation. Anak sungai Jiat yang berada dalam wilayah KKPA itu membelah antara sejajar blok 19, 20 dan 21 disatu sisi yang memisahkan sebagian blok 19, 20 dan 21 di sisi lain, pada bagian hulunya telah dipotong dan PT. Adei membuat kanal parit, sehingga anak Sungai Jiat mendangkal menyisakan kolam-kolam air. Pada Lampiran Dokumen AMDAL, diantaranya memuat Peta Batas Wilatah Studi, Peta Lokasi Sampling, dan Peta Lokasi Kegiatan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Adei,
dinyatakan bahwa blok 19, 20 dan 21 yang posisinya sejajar dengan anak Sungai Jiat dan blok 19, 20, 21 di seberangnya di sisi lain adalah masuk wilayah areal KKPA PT. Adei. Berdasarkan studi AMDAL yang dilakukan PT. Lingkitang Konsultan, telah diatur ketentuan tentang pengelolaan dampak untuk mengurangi potensi kebakaran lahan dan gangguan kabut asap yang tertuang dalam Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL). Adapun beberapa ketentuannya ialah membangun menara pemantau api setinggi 20 meter, membuat papan peringatan agar menghindari kegiatan yang dapat menyebabkan kebakaran hutan, membuat embung, membuat tim penanggulangan bahaya kebakaran, membuat tanda larangan agar tidak membuang puntung rokok. Begitu juga dalam Dokumen Pemantauan Lingkuangan, telah diuraikan alat dan metode pemantauan dampak meningkatnya kebakaran lahan gambut dan gangguan kabut asap, diantaranya melakukan pengamatan langsung kondisi tingkat kekeringan yang berpotensi kebakaran, mengamati langsung lahan yang diolah dan memiliki potensi terhadap kebakaran dan gangguan asap, melakukan upaya-upaya preventif untuk mencegah kebakaran hutan, memeriksa eksistensi embung, membuat data dokumentasi (peta daerah rawan kebakaran). Dalam dokumen studi AMDAL tersebut dinyatakan bahwa PT. Adei Plantation bersedia melaksanakan program pengelolaan lingkungan termasuk didaerah areal pola KKPA Desa Batang Nilo Kecil. Penuntut umum dalam dakwaannya menyatakan bahwa pihak PT. Adei Plantation seharusnya memenuhi ketentuan yang ada dalam RPL dan RKL yang ada dalam dokumen AMDAL. Namun, PT. Adei tidak melaksanakan ketentuan dalam dokumen tersebut dengan sepenuh hati. Hingga akhirnya pada tanggal 17 Juni 2013 terjadilah kebakaran hutan di areal sejajar blok 19 dan 20, tepatnnya di sekitar Sungai Jiat. Kebakaran juga terjadi di areal sejajar blok 21 pada tanggal 18 juni 2013. PT. Adei Plantation dipandang tidak melakukan upaya pemadaman kebakaran hutan yang terjadi ataupun mencegah kebakaran tersebut karena PT. Adei sendiri tidak memenuhi standart RKL dan RPL yang berlaku. PT. Adei seperti melakukan pembiaran karena asal mula kebakaran hutan berasal dari sekitar Daerah Aliran Sungai. PT. Adei menganggap daerah itu bukan lahan mereka jadi merasa bukan tanggung jawab PT. Adei Plantation. Kebakaran yang terjadi menghanguskan seluruh areal blok 19 hingga menjadi debu yang tak bersisa. Dalam dakwaan dinyatakan bahwa sebenarnya ada pihak dari PT. Adei yang mengetahui ada kebakaran hutan namun tidak langsung melakukan upaya pemadaman api yang pada akhirnya mengakibatkan api menyebar sehingga kebakaran menjadi luas dan terjadi hingga 2 hari lamanya. PT. Adei juga tidak menyediakan sarana dan prasarana untuk kegiatan pemadaman kebakaran seperti yang telah diisyartkan dalam dokumen RPL dan RKL Pada tanggal 19 juni 2013 , api mulai merambat ke blok 20 dan 21 dan mulai membakar kelapa sawit yang produktif. Adapun lokasinya bersebrangan dengan kanal parit
dan sejajar dengan anak Sungai Jiat. Saat setelah api mulai membakar kelapa sawit produktif, saksi dari PT. Adei melapor kepada beberapa mandor PT. Adei untuk, bersamasama memadamkan api dari kebakaran tersebut. Mereka pun berusaha memadamkan api dengan menggunakan ember seadanya. Tentu hal tersebut kurang efektif mengingat kebakarannya tidaklah kecil. Salah satu usaha yang dilakukan adalah meminjam mesin air pemadam milik PT. Adei. Para mandor pun bergantian menggunakan 1 mesin air untuk memadamkan api. Penggunaan 1 mesin air ternyata tidak cukup, maka Senior Manager Kebun Nilo Barat I membeli 1 unit lagi mesin air untuk memadamkan api. Pihak PT. Adei pun berusaha membuat isolasi agar kebakaran yang terjadi di blok 21 tidak meluas ke kelapa sawit produktif lainnya. Disini tampak bahwa PT. Adei secara nyata tidak melakukan tindakan pemadaman api pada awal mula terjadinya kebakaran hutan. PT. Adei baru melakukan upaya pemadaman ketika kebakaran mulai merambah ke areal kebun inti PT. Adei.. Pemadaman kebakaran hutan tersebut dilakukan hingga tanggal 30 Juni 2013. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan yang dilakukan sangat lamban dan mengakibatkan lahan yang terbakar menjadi sangat luas. Efeknya menimbulkan pencemaran udaraa yang cukup parah. Ahli kebakaran hutan dari IPB pada tanggal 16 Juli 2013 datang ke areal yang terbakar untuk mengambil sampel dari areal tersebut dan selanjutnya akan diteliti untuk menghitung gas emisi rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran hutan. Untuk mengetahui hal itu dibutuhkan beberapa parameter seperti luas daerah yang terbakar, kedalaman gambut serta bahan bakar yang terbakar. Dari hasil penelitian, diperolah data yakni luas areal kosong yang terbakar didalam kebun kelapa sawit Pola KKPA seluas ±304.702 m², areal yang terbakar berupa tanaman kelapa sawit pola KKPA seluas ±7.925 m², dan Daerah Aliran Sungai Jiat yang terbakar jika jarak sisi kiri dan kanannya adalah 50 meter ialah seluas ±211.115 m². Penuntut umum pun mendakwa bahwa PT. Adei telah membuka lahan untuk dikelola namun tidak menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk mencegah atau melakukan pemadaman api apabila terjadi kebakaran lahan. Hal ini juga mengingat bahwa penyediaan fasilitas pencegahan kebakaran ini menjadi tanggung jawab dari PT. Adei Plantation. Padahal ketentuan tersebut telah dimuat dalam dokumen RPL dan RKL dalam studi AMDAL PT. Adei Plantation. PT. Adei Plantation dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya pencemaran lingkungan karena kebakaran hutan dari lahan milik PT. Adei itu sendiri. 2. Dakwaan
Berdasarkan peristiwa kebakaran lahan yang terjadi, PT.Adei Plantation yang mengelola lahan itu dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab dikenai dakwaan alternatif subsideritas yaitu: -
Dakwaan Pertama Primair : PT.Adei Plantation & Industry melanggar ketentuan yang ada pada pasal 48 ayat (1) Jo pasal 26 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Dakwaan Pertama Subsudair : PT.Adei Plantation melanggar ketentuan pasal 49 ayat (1) Jo pasal 26 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
-
Dakwaan Kedua : PT.Adei Plantation & Industry melanggar pasal 108 Jo pasal 69 ayat (1) huruf (h) Jo Pasal 116 ayat (1) huruf (a) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
-
Dakwaan Ketiga Primair : PT.Adei Plantation & Industry melanggar pasal 98 ayat (1) Jo pasal 116 ayat (1) huruf (a) UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
-
Dakwaan Ketiga Subsidair : Pasal 99 ayat (1) Jo Pasal 116 ayat (1) huruf (a) UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3. Tuntutan Berdasarkan fakta yang ada dalam pemeriksaan persidangan, Jaksa Penuntut Umum menuntut perbuatan PT.Adei Plantation & Industry dengan tuntutan sebagai berikut : 1.
Menyatakan terdakwa PT.Adei Plantation & Industry bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan perbuatan mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku mutu air laut atau criteria baku kerusakan lingkungan”
2.
Menjatuhkan pidana denda terhadap terdakwa PT.Adei Plantation & Industry, sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)
3.
Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa PT.Adei Plantation & Industry berupa perbaikan akibat tindak pidana untuk memulihkan lahan yang rusak akibat kebakaran lahan seluas 40 ha melalui pemberian kompos, dengan biaya sebesar Rp. 15.794.238.630,- (lima belas milyar tujuh ratus sembilan puluh empat juta dua ratus tiga puluh delapan ribu enam ratus tiga puluh rupiah).
4.
Menyatakan barang bukti berupa : 1. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar salinan akta No:82 Tanggal 31 Agustus 2013 perihal pernyataan keputusan rapat yang dikeluarkan oleh kantor Notaris Fransiskus Djoenardi S.H.
2. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar struktur
organisasi pemadam
kebakaran kebun nilo complex. 3. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar PT.Adei Plantatio & Industry Memorandum 08 Oktober 2012 Private & Confidental Promotion & Salary Increment To: Mr. K.R. Danesuvaran From: Regional Director 4. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar PT.KLK Agriservindo (A Subsidairy Of Kuala Lumpur Kepong Berhad) 1st Juli 2010. 5. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar salinan akta No. 116 tanggal 30 Juli 2012 perihal pernyataan keputusan rapat yang dikeluarkan
oleh Notaris
Fransiskus Djoenardi S.H. 6. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar keputusan Bupati Pelalawan No 400/BPD/2005/012 tanggal 23 Mei 2013 tentang Pemberian izin lokasi untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. 7. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar Perjanjian Kerja Sama pola kemitraan modal KKPA PT.Adei Plantation & Industry dengan koperasi petani sejahtera desa Batang Nilo Kecil Kec. Pelalawan, Kab. Pelalawan tanggal 17 Desember 2012. 8. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar Keputusan Bupati Pelalawan No: KPTS.25/DISHUTBUN-PPP/2013/427 Tanggal 8 Agustus 2005 tentang Penetapan nama-nama petani peserta pola kemitraan melalui kredit koperasi primer untuk anggota (KKPA) PT.Adei Plantation & Industry. 9. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 peta kebun KKPA Batang Nilo Kecil 250 Ha. 10. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar tanda terima transfer uang No. 001/KPS-TTTU tanggal 30 Juli 2013 dan fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar KKPA-Plantation Development Expenditure asset 31 Desember 2012. 11. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar Progress Report On KKPA Batang Nilo Kecil for month of mey,juni,juli 2013. 12. otocopy tang dilegalisir berupa 1 exemplar salinan Akta No: 85 tanggal 29 Juni 2010 perihal Pernyataan Keputusan Rapat PT.Adei Plantation & Industry yang dikeluarkan oleh Kantor Notaris Miryany Usaman, S.H. 13. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar salinan Akta No: 32 tanggal 9 Juli 2012 perihal Pernyataan Keputusan Rapat yang dikeluarkan oleh Kantor Notaris Fransiskus Djoenardi, S.H. 14. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar salinan Akta No: 24 tanggal 18 Februari 2012 perihal Pernyataan Keputusan Pemegang Saham yang dikeluarkan oleh Kantor Notaris Fransiskus Djoenardi S.H. Terlampir dalam berkas perkara
15. 2 potong kayu bekas tebangan yang dibakar didaerah aliran sungai tepatnya di tepi kanal sejajar tanaman kelapa sawit blok 20b mengarah ke blok 21 16. 2 potong kayu bekas tebangan yang dibakar didaerah aliran sungai tepatnya ditepi kanal sejajar tanaman kelapa sawit blok 20b mengarah ke blok 19. 17. 1 pohon kelapa sawit yang terbakar di blok 20a. 18. 1 pelapah kelapa sawit yang terbakar di blok 20b. 19. 1 potong ranting kayu bekas terbakar diarea hutan pada ujung blok 22 tanaman kelapa sawit. 20. 1 buah plang terbuat dari besi berwarna cat merah. Dirampas untuk imusnahkan 5.
Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebsar Rp. 5000 (lima ribu rupiah). 4. Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan Adapun yang menjadi putusan dari perkara ini adalah: 1. Menyatakan terdakwa PT. Adei Plantation & Industry tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternatif ketiga primair jaksa penuntut umum 2. Membebaskan terdakwa PT. Adei Plantation & Industry dari dakwaan alternative ketiga primair tersebut 3. Menyatakan terdakwa PT.Adei Plantation & Industry telah terbukti secara sah meyakinkan
bersalah
melakukan
tindak
pidana
“Karena
kelalaiannya
mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup” 4. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan perkara denda sebesar Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan yang diwakili oleh Sdr. Tan Kei Yoong selama 5 (lima) bulan. 5. Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa PT. Adei Plantation & Industry berupa perbaikan akibat tindak pidana untuk memulihkan lahan yang rusak akibat kebakaran lahan seluas 40 ha melalui pemberian kompos dengan biaya sebesar Rp. 15.141.826.779,325,- (lima belas milyar seratus empat puluh satu juta delapan ratus dua puluh enam ribu tujuh ratus tujuh puluh Sembilan rupiah tiga ratus dua puluh lima sen). 6. Memerintahkan barang bukti berupa :
1. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar salinan akta No:82 Tanggal 31 Agustus 2013 perihal pernyataan keputusan rapat yang dikeluarkan oleh kantor Notaris Fransiskus Djoenardi S.H. 2. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar struktur organisasi pemadam kebakaran kebun nilo complex. 3. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar PT.Adei Plantatio & Industry Memorandum 08 Oktober 2012 Private & Confidental Promotion & Salary Increment To: Mr. K.R. Danesuvaran From: Regional Director 4. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar PT.KLK Agriservindo (A Subsidairy Of Kuala Lumpur Kepong Berhad) 1st Juli 2010. 5. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar salinan akta No. 116 tanggal 30 Juli 2012 perihal pernyataan keputusan rapat yang dikeluarkan oleh Notaris Fransiskus Djoenardi S.H. 6. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar keputusan Bupati Pelalawan No 400/BPD/2005/012 tanggal 23 Mei 2013 tentang Pemberian izin lokasi untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. 7. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar Perjanjian Kerja Sama pola kemitraan modal KKPA PT.Adei Plantation & Industry dengan koperasi petani sejahtera desa Batang Nilo Kecil Kec. Pelalawan, Kab. Pelalawan tanggal 17 Desember 2012. 8. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar Keputusan Bupati Pelalawan No: KPTS.25/DISHUTBUN-PPP/2013/427 Tanggal 8 Agustus 2005 tentang Penetapan nama-nama petani peserta pola kemitraan melalui kredit koperasi primer untuk anggota (KKPA) PT.Adei Plantation & Industry. 9. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 peta kebun KKPA Batang Nilo Kecil 250 Ha. 10. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar tanda terima transfer uang No. 001/KPS-TTTU tanggal 30 Juli 2013 dan fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar KKPA-Plantation Development Expenditure asset 31 Desember 2012. 11. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar Progress Report On KKPA Batang Nilo Kecil for month of mey,juni,juli 2013. 12. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) kegiatan perkebunan dan pabrik kelapa sawit di Kec. Pelalawan
Kab.
Pelalawan
sesuai
surat
Bupati
Pelalawan
Nomor
:660/Bapedalda/2006/1328 tanggal 17 Oktober 2006 perihal persetujuan dokumen AMDAL (ANDAL,RKL,RPL) PT.Adei Plantation & Industry.
13. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) kegiatan perkebunan dan pabrik kelapa sawit di Kec. Pelalawan Kab.Pelalawan tahun 2006. 14. Fotocopy yang dilegalisir berupa 1 exemplar Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) kegiatan perkebunan dan pabrik kelapa sawit di Kec. Pelalawan Kab.Pelalawan tahun 2006. 15. 2 potong kayu bekas tebangan yang dibakar didaerah aliran sungai tepatnya ditepi kanal sejajar tanaman kelapa sawit blok 20b mengarah ke blok 19. 16. 1 pohon kelapa sawit yang terbakar di blok 20a. 17. 1 pelapah kelapa sawit yang terbakar di blok 20b. 18. 1 potong ranting kayu bekas terbakar diarea hutan pada ujung blok 22 tanaman kelapa sawit. Dirampas untuk dimusnahkan: 19. 1 buah plang terbuat dari besi berwarna cat merah. Dikembalikan kepada saksi Labora Bancin 7. Membebani terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) 5. Fakta Yuridis Persidangan Adapun yang menjadi fakta persidangan perkara ini adalah15: 1. Bahwa Jaksa Penuntut Umum meenggunakan bentuk surat dakwaan alternatif subsideritas, kemudian berdasarkan fakta di persidangan, Majelis Hakim mempertimbangkan dakwaan yang lebih mendekati fakta persidangan yakni dakwaan alternatif ketiga yang tersusun secara subsideritas. 2. Bahwa dalam dakwaan alternatif ketiga primair terdapat unsur kesengajaan dimana dalam fakta persidangan unsur tersebut tidak terbukti maka hakim menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah melakukan dakwaan tersebut sehingga secara otomatis dakwaan alternatif ketiga primair menjadi gugur. 3. Bahwa hakim selanjutnya mempertimbangkan unsur-unsur yang ada dalam dakwaan ketiga subsidair yakni pasal 99 ayat (1) Jo Pasal 116 ayat (1) huruf a UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 4. Bahwa pada tanggal 17 Juni 2013 terjadi kebakaran hutan pada areal Daerah Aliran Sungai (DAS) Jiat kebun KKPA Batang Nilo Kecil yang dikelola PT.
15
Merupakan Fakta-fakta yuridis yang didapat dalam persidangan perkara No.228/Pid.Sus/2013/PN.PLW
Adei Plantation, dimana kebakaran terus berlangsung hingga tanggal 30 Juni 2013 api benar-benar padam ketika hujan turun. 5. Bahwa tindakan petugas PT. Adei Plantation (Saksi Sutrisno) justru tidak sejalan dengan SOP tentang kecelakaan dan Keadaan Darurat Kebakaran yang dikeluarkan PT. Adei yang mana dimuat dalam bagan : “Bila terjadi kebakaran, baik kebakaran yang bersifat serius maupun tidak serius, harus segera memadamkan api tersebut dengan menggunakan alat pemadaman yang sesuai. Selanjutnya dilaporkan kepada pihak perusahaan”. 6. Bahwa faktanya pada areal DAS yang terbakar pada tanggal 17 Juni 2013, petugas patrol ataupun petugas pemantau api tidak melakukan upaya pemadaman seperti yang diwajibkan dalam SOP yang diterbitkan PT. Adei. dimana terjadi pembiaran selama 2 (dua) hari yakni tanggal 17 hingga 18 Juni 2013. 7. Bahwa meskipun PT. Adei benar memiliki petugas kebakaran dan seandainya pun benar memilki perlengkapan penanggulangan kebakaran, namun faktanya unit kerja khusunya PT. Adei Plantation tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Upaya pemadaman berlangsung lama hingga 2 (dua) minggu lamanya dan terkesan kurang professional. 8. Bahwa jika benar petugas telah mendapatkan pelatihan, seharusnya petugas pemadam kebakaran dapat memahami karakter api sehingga bisa cepat mengambil langkah pemadaman yang tepat dan segala hal yang diperlukan secara cepat sehingga pemadaman dapat berlangsung lebih cepat. 9. Bahwa SOP yang diterbitkan oleh PT. Adei Plantation tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. 10. Bahwa Penasehat Hukum Terdakwa menyatakan pembelaan terhadap keterangan saksi (Saksi Sutrisno) yang dengan sengaja tidak langsung memadamkan api, dimana penasehat hukum terdakwa menyatakan hal yang dilakukan saksi dapat dibenarkan karena langkah itu dimambil mengingat wilayah kebakaran telah dimiliki orang lain dan apabila diambil langkah tersebut, dikhawatirkan akan menimbulkan benturan konflik/kepentingan. 11. Bahwa jika memang kekhawatiran itu menjadi alasan tidak memadamkan api, justru kekhawatiran ini bertentangan dengan SOP atau prinsip dalam syarat RSPO yang dikemukakan terdakwa. 12. Bahwa kekhawatiran tersebut terkesan berlebihan, dikarenakan jika nantinya pun terjadi konflik, maka PT. Adei cukup melaporkan masyarakat kepada pihak yang berwajib karena telah melakukan pengerusakan penguasaan lahan di areal konservasi yang harus dijaga bersama.
13. Bahwa meskipun pada akhirnya PT. Adei Plantation melakukan pemadaman, tidak pernah terjadi konflik seperti yang pernah dikhawatirkan oleh PT. Adei Plantation. 14. Bahwa dalam pembelaannya, saksi (Danesuvaran) menyatakan sudah melakukan prinsip kehati-hatian yang dimuat dalam dokumen AMDAL PT. Adei, namun ada hal-hal yang tidak dilaksanakan teerkait dengan ketentuan AMDAL yakni pemeliharaan atas lahan konservasi Sungai Jiat. 15. Bahwa sebagai pimpinan di PT. Adei Kebun Nilo Complex dan pimpinan pelaksana kebun KKPA Desa Batang Nilo Kecil, saksi (Danesuvaran) harus memastikan bahwa lahan KKPA harus steril dari pihak ketiga yang hendak melakukan pengelolaan dalam areal KKPA. 16. Bahwa fakta yang ada ialah saksi (Danesuvaran)
mengetahui ada pihak
masyarakat yang menguasai areal DAS Jiat serta melakukan pengelolaan di blok 19 dan 20 areal KKPA, namun malah mendiamkannnya. 17. Bahwa terkait dengan kebakaran yang telah terjadi, saksi (Danesuvaran) lalai terhadap potensi kebakaran yang biasanya terjadi di musim kemarau akibat pembukaan lahan oleh masyarakat dengan cara bakar. 18. Bahwa dalam pembelaannya, terdakwa menyatakan bahwa DAS Jiat adalah lahan konservasi yang tidak masuk dalam kegiatan Kebun KKPA Desa Batang Nilo Kecil dan berdasarkan pengelolaannya merupakan kewajiban pemerintah. 19. Bahwa dikarenakan seluruh unsur yang tercantum dalam Dakwaan alternative ketiga subsidair Pasal 99 ayat (1) Jo Pasal 116 ayat (1) huruf (a) UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah terpenuhin maka PT. Adei Plantation & Industry harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinmya kriteria baku kerusakan lingkungn hidup. 20. Bahwa Majelis Hakim tidak menemui alasan pembenar ataupun alasan pemaaf terhadap perbuatan yang dilakukan PT. Adei Plantation & Industry. 21. Bahwa melihat ancaman pada pasal 99 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 adalah denda antara 1 (satu) sampai 3 (tiga) milyar maka akan dijatuhkan pidana denda dengan memperhatikan tingkat kesalahannya. 22. Bahwa dalam peraturan yang digunakan (UU No. 32 Tahun 2009) tidak ada mengatur pidana pengganti seperti pidana penjara atau kurungan, namun merujuk pada pasal 30 ayat (2) KUHP maka apabila terdakwa tidak membayar pidana denda maka diganti dengan pidana kurungan.
23. Bahwa karena terdakwa adalah korporasi yang tidak mungkin dikenai pidana badan/fisik maka sebagai penanggung jawab tertinggi PT. Adei Plantation & Industry dengan memperhatikan Pasal 118 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka saudara Tan Kei Yoong adalah pihak yang tepat untuk menjalani pidana pengganti tersebut. 24. Bahwa penuntut umum menuntut terdakwa dijatuhi pidana tambahan pemulihan lahan dengan biaya sebesar Rp 15.141.826.779,325. 25. Bahwa karena terakwa dijatuhi pidana maka berdasarkan Pasal 222 ayat (1) KUHAP maka terdakwa dibebankan membayar biaya yang timbul dalam perkara ini. 26. Bahwa sebelum menjatuhkan putusan , Majelis Hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkian maupun hal-hal yang meringankan terdakwa. 27. Bahwa hal yang memberatkan terdakwa adalah terdakwa tidak sungguhsungguh melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditetapkan dalam AMDAL. 28. Bahwa hal yang meringankan adalah terdakwa proaktif dalam memadamkan api serta keberadaan terdakwa memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar. 6. Analisis Pertimbangan Hukum Majelis Hakim PN Pelalawan PT.Adei lalai dan melakukan pembiaran adanya lahan yang dikuasai oleh pihak masyarakat. PT.Adei lalai terhadap potensi kebakaran yang terjadi. Hal ini karena ada pihak masyarakat yang kapan saja bisa seenaknya melakukan pembukaan lahan dengan cara yang tidak benar. Tentu kendala di bagian pengawasan dan pertanggungjawaban pidananya. PT.Adei harus mampu meminimalisir masuknya pihak-pihak luar yang tidak berkepentingan. Hal ini untuk menghindari terjadinya kebakaran lahan. Ada kelalaian dalam diri Sutrisno selaku Asisten Lapangan yang membawahi lahan pada areal DAS Jiat yang harusnya dipadamkan. Saksi tidak sungguh-sungguh menjalankan perintah dalam SOP Perusahaan dengan alasan yang belum terjadi. Maka unsur kelalaian pun terpenuhi berdasarkan pemeriksaan di persidangan. Selanjutnya membahas mengenai dasar hukum penjatuhan putusan terhadap PT.Adei Plantation. Majelis Hakim memiliki dasar hukum dalam memutus suatu perkara. Dimana dalam menentukan dasar hukum harus menurut peraturan perundang-undangan yang ada. Ada beberapa dasar hukum yang menjadi pertimbangan hakim. Ancam hukuman yang digunakan ialah Pasal 99 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2009. Dalam pertimbangannya hakim hanya menyebutkan bahwa ancaman pidananya adalah denda 1 (satu) sampai 3 (tiga)
milyar. Hakim tidak cermat member pertimbangan karena bila dilihat isi dari Pasal 99 tersebut jelas dinyatakan bahwa: “Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku mutu air laut atau criteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000 (tiga milyar rupiah)” Pertimbangan selanjutnya, hakim memperhatikan ancaman Pasal 99 ayat 1 (satu) Jo Pasal 116 ayat (1) huruf (a) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana dalam pertimbangannya dimuat bahwa pasal itu hanya menerapkan pidana denda tanpa ada dibuat pidana pengganti sehingga hakim menggunakan pasal 30 ayat 2 KUHP sebagai dasar untuk menerapkan pidana pengganti apabila denda tidak membayar pidana denda. Jika dianalisa, tentu ada hal yang mengganjal karena pasal 30 ayat 2 sendiri itu dikenakan apabila subjek hukum yang melakukan perbuatan tersebut adalah orang (manusia) sedangkan dalam kasus PT.Adei Plantation , subjek hukumnya adalah korporasi yang berbentuk badan hukum (bukan manusia). Sedangkan sebenarnya dalam Pasal 99 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perngelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup sebenarrnya sudah dimuat bahwa ada 2 bentuk pidana yang akan diterapkan apabila perbuatan hukum yang dilakukan memenuhi unsur-unsur yang ada dalam pasal tersebut. Sehingga hakim tidak perlu membuat adanya pidana pengganti karena jelas PT.Adei terbukti melakukan perbuatan yang diatur pasal 99 sehingga dikenakan Pidana denda dan penjara. Hakim kemudian memuat pertimbangan bahwa karena dalam kasus ini terdakwa adalah korporasi atau badan usaha yang tidak mungkin dikenai pidana badan/fisik maka memperhatikan Pasal 118 ayat (1) UU No 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, dinyatakan bahwa sanksi pidana dijatuhkan pada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang didalam dan diluar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional. Berdasarkan pasal ini, maka pidana yang ada dalam Pasal 99 ayat (1) dapat dikenakan pada korporasi dimana pidana penjara akan dijatuhkan pada korporasi namun diwakili oleh pengurus dalam eksekusinya. Frasa “yang diwakili” ada pada pasal 118 UU No. 32 Tahun 2009. Terkait dengan pasal 116 juga, dalam pasal itu telah dimuat bahwa tuntutan pidana dan sanksinya dapat diberikan pada badan usaha dan/atau orang yang member perintah untuk melakukan tindak pidana atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana tersebut. Jadi sanksi dapat dikenakan pada badan usaha dan pengurus atau salah satu dari keduanya.hal ini karena isi pasal 116 ayat (1) butir (b) menunjuk pada pertanggungjawaban pidana pengurus badan usaha secara individual. Dalam kasus PT.Adei Plantation ini, pengurus dalam hal ini direksi memiliki tanggungjawab untuk mengetahui semua kejadian yang ada di lapangan karena hal itu adalah tanggungjawab yang melekat dalam diri pengurus. Sekalipun pengurus tidak berada langsung dalam lapangan, namun punya tanggungjawab yang selalu melekat selama jabatan sebagai pengurus badan usaha tersebut melekat. Maka dalam hal ini saudara Tan Kei Yoong yang mewakili korporasi PT.Adei di dalam pengadilan dikenai pertanggungjawaban berupa pelaksanaan pidana penjara yang dikenai terhadap badan usaha. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Korporasi merupakan subjek hukum yang pada dasarnya memiliki prinsip dasar yakni mengejar keuntungan (provit) sebesar-besarnya. Namun, sistem kerja korporasi harus tetap menaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada awalnya korporasi tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana karena terbentur dengan wujud korporasi yang abstrak, artinya tidak seperti manusia yang dapat dikenai pidana badan. Namun seiring berjalannya wktu, semakin banyak perkembangan tindak pidana yang terjadi, tindak pidana tidak melulu dilakukan oleh manusia saja tapi dilakukan juga oleh korporasi. Bila dipandang dari sudut lingkungan hidup, maka pertanggungjawaban pidana sebuah korporasi dituntut karena korporasi punya tanggungjawab moril terhadap kelangsungan lingkungan hidup. Korporasi harus menjamin bahwa lingkungan sekitar korporasi tidak rusak dan memberikan kenyamanan bagi masyarakat sekitar. 2. Dalam putusannnya, hakim memberikan putusan denda, kemudian putusan pidana penjara yang bersifat pengganti apabila putusan denda tidak dibayar. Menurut Pasal 99 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pidana yang dapat dikenakan itu adalah pidana penjara dan pidana denda. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa mengenai pertanggungjawaban pidana PT.Adei Plantation tidak perlu membuat adanya istilah pidana pengganti karena pada pasal tersebut sudah memuat adanya pidana badan bagi korporasi. Korporasi tentu tidak dapat dikenakan pidana penjara/badan maka pengurus lah yang mewakili. Hal ini merujuk pada pasal 116 dan pasal 118 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaa Lingkungan Hidup. Korporasi dalam kasus ini tepat untuk dimintai pertanggungjawaban pidana terkait kelalaian dari korporasi
dalam menjaga wilayah kerjanya yang mengakibatkan masalah bagi masyarakat sekitar. Pengurus dalam hal ini mengemban tanggungjawab yang melekat pada dirinya karena hal tersebut telah diatur dan ditetapkan sejak Korporasi memberikan tanggungjawab sebagai pengurus korporasi. B. Saran 1.
Kita semua sama-sama tahu bahwa lingkungn hidup menjadi hal yang sangat penting untuk dijaga karena menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat banyak.
Hal
ini
penting
agar
keberadaan
korporasi
menjadi
lebih
jelas
pertanggungjawabannya. Sehingga dilain waktu, tidak ada alasan lagi korporasi tidak dapaat dihukum karena korporasi sifatnya fiktif dan tidak dapat melakukan tindak pidana layaknya manusia. Pertanggungjawaban pidana korporasi harus tegas dan tidak boleh kompromi. Hakim juga tidak boleh pandang bulu meskipun kasus tersebut melibatkan korporasi yang bisa jadi punya nama besar. 2.
Dalam kasus ini korporasi yang menjadi terdakwa, artinya tidak boleh asal-asalan dalam menentukan dasar hukum untuk memutus. PT.Adei Plantation & Industry dalam
hal
ini
diputus
bersalah
karena
kelalaiannya.
PT.Adei
dikenai
pertanggungjawaban pidana karena peristiwa yang terjadi mengakibatkan kerugian yang dialami masyarakat. Seperti yang kita tahu bahwa dalam perbuatan pidana ada pelaku dan ada korban. Dimana masyarakat yang merasakan asap dari hasil kebakaran lahan menjadi korban. PT.Adei didakwakan menjadi terdakwa atau pelaku dari terjadinya kebakaran lahan. Namun pada putusannya PT.Adei tidak terbukti sengaja namun pada dasarnya setiap korporasi terbeban tanggungjawab untuk menjaga kelestarian lingkungan sekitar.
DAFTAR PUSTAKA SUMBER BUKU Syahrin Alvi, Beberapa Isi Hukum Lingkungan Kepidanaan,Jakarta:PT.Sofmedia,2009 Supriadi Asep, Kecelakaan Lalu Lintas Dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia,Bandung:PT.Alumni,2014 Kansi dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia,Jakarta:Penerbit Rineka Cipta, 2011 Cornelis Simanjuntak dan Natalie Mulia,Organ Perseroan Terbatas,Jakarta:Sinar Grafika, 2009
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,Bandung:Cv. Utomo,2014 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2005 H. Setiyono, Kejahatan Korporasi,Malang:Bayumedia,2005 H. Syamsul Arifin, Mohammad Siddik dan Fajar Khaify Rizki, Pengantar Falsafah Hukum, Medan:Ciptapusaka Media, 2014 Indriyanto, Pengantar Budi Daya Hutan,Jakarta: Bumi Aksara, 2008, Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana,Jakarta:Penerbit Rineka Cipta, 2015 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,Jakarta:Kencana,2010 _______________________,Pertanggungjawaban
Korporasi
Dalam
Hukum
Pidana,Bandung:Sekolah Tinggi Hukum Bandung,1991 Rudhi Prasetya, Teori & Praktik Perseroan Terbatas,Jakarta:Sinar Grafika, 2011 Sudarto,Hukum
Pidana
I,Semarang:Badan
Penyediaan
Bahan-Bahan
Kuliah,FH
UNDIPurus,1987 Syamsul
Arifin,
Hukum
Perlindungan
Dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup,
Jakarta:PT.Sofmedia,20 T.Suhaimi, Pertanggungjawaban Pidana Direksi,Bandung:Books Terrace & Library, 2010 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia,Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2015 Tan
Kamello
dan
Syarifah
Lisa
Andriati,
Hukum
Perdata:
Hukum
Orang
Keluarga,Medan:USU Press,2011 SUMBER THESIS Alboin, Analisis Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perkebunan Dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup di Lahan Perkebunan,Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;2008 SUMBER PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar 1945 KUH Perdata Rancangan KUHP 1999-2000 beserta Penjelasannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
&
SUMBER INTERNET www.Alvisyahrin.blog.usu.ac.id www.bbc.com www.cnnindonesia.com www.nasional.tempo.com www.beritasatu.com