IMPLEMENTASI PERADILAN KONEKSITAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No. 2478/Pid.B/Kon/2006/PN.Jak.Sel)
JURNAL ILMIAH
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
CHRISTIAN DAMERO SITOMPUL 060200083 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012
JURNAL ILMIAH
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH : CHRISTIAN DAMERO SITOMPUL 060200083 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Mengetahui: Ketua Departemen Hukum Pidana
DR. M. Hamdan, S.H, M.H NIP. 195703261986011001
Editor
DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum. NIP : 197302202002121001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012
IMPLEMENTASI PERADILAN KONEKSITAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No. 2478/Pid.B/Kon/2006/PN.Jak.Sel) Christian Damero Sitompul ABSTRAK Tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh kalangan masyarakat apapun. Tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh anggota militer (TNI) bersama-sama dengan sipil, yang secara yuridis formal harus diadili dalam peradilan koneksitas. Perkara koneksitas baik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus (korupsi). Dasar hukum peradilan koneksitas diatur dalam Pasal 89 KUHAP, Pasal 198 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ini diperlukan suatu peraturan pelaksanaan mengenai Pasal 16 tersebut, agar ada keseragaman ketentuan Pasal-Pasal mengenai peradilan koneksitas. Perkara Penyalahgunaan Dana Tabungan Wajib Perumahan Tentara Nasional Republik Indonesia Angkatan Darat sebagian telah dilaksanakan sesuai hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP) dalam rangka penegakan hukum khususnya yaitu telah diatur cara penentuan pengadilan yang mengadilinya yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui prosedur penelitian bersama antara Jaksa dan Oditur Militer Jenderal atas hasil penyidikan perkaranya (Pasal 90 KUHAP). Begitu juga pembentukan majelis hakim yang terdiri dari 3 orang yang berasal dari unsur hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 2 orang dan unsur Hakim Mahkamah Militer 1 orang (Pasal 94 KUHAP). Namun dalam hal pembentukan tim penyidik, pembentukannya tidak berdasarkan KUHAP yaitu dengan Surat Keputusan Menhankam dan Menteri Kehakiman. Dalam kasus tersebut pembentukan tim penyidik berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung. Proses penanganan perkara koneksitas dalam tindak pidana umum dengan pidana korupsi terdapat perbedaan di posisi penyidiknya. Dalam tindak pidana umum yang menjadi penyidik dalam perkara koneksitas tersebut adalah Polisi, sedangkan dalam tindak pidana korupsi yang menjadi penyidik dalam perkara koneksitas adalah Jaksa. Kata kunci : Implementasi, peradilan koneksitas, tindak pidana korupsi
A. Pendahuluan Menuju era reformasi demokratisasi dan transparansi khususnya dibidang hukum salah satu yang harus dilaksanakan adalah supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menegakkan supremasi hukum berarti menempatkan hukum sebagai otoritas tertinggi. Dewasa ini didalam masyarakat pada umumnya, konotasi supremasi hukum seringkali dipahami (popular) dengan sebutan menjadikan hukum sebagai panglima. Artinya segala permasalahan hukum wajib diselesaikan melalui prosedur hukum yang berlaku. Tegasnya orientasi penegakan hukum hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan hukum dan tujuan sosial melalui intsitusi penegak hukum yang berwenang. Para aparat penegak hukum berkewajiban dan bertanggung jawab atas pelaksanaan penegakan hukum secara tegas, konsekuen, dan konsisten dalam segala bentuk perbuatan yang melawan hukum, baik yang dilakukan oleh kalangan sipil maupun kalangan militer yang mempunyai lingkup peradilan sendiri-sendiri. Tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat sipil harus diadili oleh pengadilan negeri, sebagai pengadilan dalam lingkup peradilan umum. Sedangkan tindak pidana yang dilakukan oleh militer maka pelaku tindak pidana tersebut harus diadili oleh Mahkamah Militer sebagai pengadilan dalan lingkup peradilan militer.1
P.A.F. Lamintang, Kitab Undang –Undang Hukum Acara Pidana Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi Dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, (Bandung : SinarBaru, 1984), hlm. 249 1
Kejahatan yang terjadi dalam masyarakat tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh oknum militer atau anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama-sama dengan sipil yang secara yuridis formal harus diadili dalam satu lingkup peradilan umum (Pengadilan Negeri) atau dalam lingkup peradilan militer (Mahkamah Militer). Inilah yang disebut peradilan koneksitas. Peradilan koneksitas merupakan suatu peradilan yang bertugas untuk mengadili apabila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh sipil dan militer (TNI) baik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh oknum militer (TNI) bersamasama dengan sipil (bukan TNI) yang telah menyalahgunakan keuangan Negara mengakibatkan timbulnya kerugian Negara demi keuntungan pribadi atau kelompok atau badan hukum. Apabila terjadi tindak pidana korupsi yang demikian, maka perkara tindak pidana korupsi tersebut harus diadili dalam lingkungan peradilan koneksitas. Mengenai peradilan koneksitas ini telah diatur dalam pasal 89 sampai pasal 94 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Pasal 89
KUHAP dinyatakan : 1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkup peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkup peradilan militer”. 2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer,
atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana. 3) Tim sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman. Meskipun telah ada pengaturannya, antara das sollen dan das sein belum terdapat kesesuaian, maksudnya antara apa yang seharusnya (das sollen) secara normatif tidak sesuai dengan kenyataan atau fakta yang terjadi (das sein), karena berdasarkan pasal 89 KUHAP bahwa apabila terjadi tindak pidana yang samasama dilakukan oleh oknum militer dan sipil maka mereka diadili dalam lingkup peradilan umum, kecuali ada persetujuan Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman harus diadili dalam lingkungan peradilan militer. Kenyataannya tindak pidana yang terjadi dimasyarakat yang dilakukan oleh oknum TNI bersama-sama dengan sipil, pihak instansi Militer tersebut berusaha agar anggota TNI tersebut diadili dalam Mahkamah Militer. Ditinjau dari pasal 89 ayat (2) KUHAP bahwa penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh oknum militer dan sipil adalah penyidik POLRI dan Polisi Militer dan oditur militer atau oditur militer tinggi. Dalam tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan, maka penyidiknya adalah Jaksa dan bukan penyidik POLRI lagi. Dalam hal ini telah terjadi perubahan penyidik yang tidak sesuai lagi dengan yang diatur dalam pasal 89 ayat (2) KUHAP.2 Pelaksanaan peradilan koneksitas dalam perkara tindak pidana korupsi sering ditemui kendala yaitu ketidakmudahan dalam menentukan peradilan mana yang berwenang mengadili perkara koneksitas. Dalam menentukan peradilan mana yang berwenang dalam perkara tindak pidana korupsi, maka penyidik 2
Marwan Effendy, Peradilan in Absentia dan Koneksitas, (Jakarta:Timpani Publishing, 2010), hlm 34
POLRI atau penyidik Kejaksaan besama-sama penyidik militer yang merupakan satu tim melakukan penelitian perkara dan menyepakati peradilan mana yang harus mengadili perkara tindak pidana korupsi tersebut.3 Apabila disimak pasal 89 ayat 1 (satu) KUHAP yang mempunyai prinsip dasar yaitu dalam perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan umum, namun unsur tersebut ada pengecualiannya yaitu diadili dalam peradilan militer, dengan syarat antara lain : pertama, jika ada keputusan Menhankam yang mengharuskan perkara koneksitas tersebut diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan militer. Kedua, keputusan Menhankam yang dimaksud telah mendapat surat persetujuan dari Menteri Kehakiman bahwa perkara koneksitas tersebut diperiksa dan diadili oleh peradilan militer. Namun Dalam kehidupan
ketatanegaraan,
nampak
perubahan
yang
mendasar
tentang
penyelenggaraan kehakiman yaitu, dahulu penyelenggaraan kehakiman dilakukan oleh Menteri Kehakiman yang memegang pimpinan Departemen Kehakiman, dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi.4 Bertitik tolak dari uraian diatas, mendorong penulis untuk membuat penelitian dalam rangka penyelesaian skripsi yang mendalam mengenai “Implementasi Peradilan Koneksitas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi” 3
Ibid
4
Ibid, hlm 35
B. Permasalahan 1. Bagaimana peraturan perundang-undangan di Indonesia mengatur tentang peradilan koneksitas? 2. Bagaimana proses penegakan hukum terhadap perkara koneksitas dalam mengadili perkara tindak pidana korupsi?
C. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum yuridis normatif. Yaitu memberikan gambaran tentang pelaksaan peradilan koneksitas dalam tindak pidana korupsi berdasarkan hukum acara pidana (hukum pidana formil) yang berlaku (KUHAP dan peraturan lainnya). 2. Sumber Data : Dalam penelitian ini difokuskan pada data sekunder, terdiri atas; a) Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang relevan dengan penelitian skripsi ini, utamanya yang mengatur peradilan koneksitas dan hukum acara pidana yang berlaku. b) Bahan hukum sekunder ialah berupa literatur-literatur ilmu hukum pidana dan hukum acara pidana mengenai peradilan koneksitas dan karya ilmiah yang relevan dengan masalah penelitian. c) Bahan hukum tertier yaitu kamus hukum, kamus bahasa dan naskah tertulis lainnya yang dapat memperjelas, melengkapi, dan menopang bahan hukum primer dan sekunder mengenai peradilan koneksitas dalam perkara tindak pidana korupsi.
3. Metode Pengumpulan Data Studi kepustakaan dengan mempelajari berbagai literature dan buku-buku serta meminta data-data kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tentang perkara koneksitas tindak pidana korupsi yang diadili dalam peradilan koneksitas. 4. Analisasis Data Data yang diperoleh dari kepustakaan, yaitu pengolahan data yang menghasilkan data deksriptif dan yang dinyataakan baik secara tertulis maupun lisan dan dari keseluruhan data yang diperoleh.
D. Hasil Penelitian 1. Pengaturan tentang peradilan koneksitas menurut peraturan perundangundangan di Indonesia. Undang-Undang No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 22 mengatur perihal koneksitas sebagai berikut:5 Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Menteri Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Penjelasan dari pasal 22 di atas bahwa kewenangan pengadilan umum untuk mengadili perkara-perkara pidana yang dilakukan oleh anggota militer dan non militer pada hakekatnya merupakan suatu pengecualian atau penyimpangan dari ketentuan yang menyatakan bahwa seseorang semestinya dihadapkan di depan pengadilannya masing-masing. Justru karena hal itu merupakan suatu 5
Indonesia, Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No.14, LN N0. 74 Tahun 1970, TLN No.2951, Pasal 22
pengecualian, maka kewenangan Pengadilan Umum ini terbatas pada bentukbentuk pensertaan dalam suatu delik seperti yang dimaksudkan oleh pasal 55 dan pasal 56 KUHP. Pelaksanaan
dari
ketentuan
pasal
22 tersebut dikeluarkan
Surat
Keputusan bersama antar Menteri Kehakiman, Menteri Hankam/Pangab, Ketua Mahkamah Agung dan
Jaksa Agung RI No.Kep.B/01.XII/1971 tentang
kebijaksanaan dalam pemeriksaan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk dalam lingkungan peradilan umum dan orang yang termasuk dalam lingkungan peradilan militer.6 Setelah mengalami perubahan pengaturan masalah koneksitas di atur kembali dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 16. Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Menteri Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman untuk menetapkan Pengadiilan Militer sebagai pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas tersebut. Dimana unsur militer melebihi unsur sipil misalnya, dapat dijadikan landasan untuk menetapkan pengadilan lain daripada Pengadilan Umum ialah pengadilan Militer untuk mengadili perkara-perkara koneksitas. Jika dalam hal perkara diadili oleh Pengadilan Militer, maka susunan hakim adalah dari pengadilan Militer dan Pengadilan Umum. Dalam hal ini kepentingan dari justisiabel tetap mendapat perhatian sepenuhnya, yaitu dalam susunan hakim yang bersidang.7
6
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985 (Selanjutnya disingkat Andi Hamzah II), hlm. 296. 7 Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya, Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana, Seri 3, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 24.
Untuk memberikan dasar hukum yang mantap maka para Menteri dalam keputusan bersama dengan sedikit perubahan dituangkan dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Setelah berlakunya KUHAP, maka ternyata ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama tersebut sebagian besar diambil alih dalam KUHAP.8 Koneksitas yang diatur dalam pasal 89 KUHAP merupakan pengulangan atas ketentuan dari pasal 16 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Acara yang di pakai dalam proses pemeriksaan perkara koneksitas untuk selanjutnya diatur dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93 dan Pasal 94 KUHAP. Selain diatur di dalam KUHAP, masalah koneksitas ini pun diatur dalam Undang-Undang peradilan militer, koneksitas diatur di dalam Pasal 198 sampai dengan 203 Undang-Undang Peradilan militer. Ketentuan pasal yang digunakan dalam pasal-pasal tersebut merupakan pengulangan atas ketentuan pasal yang digunakan oleh KUHAP dalam mengatur koneksitas, sehingga dapat disimpulkan bahwa acara yang dipakai dalam dalam pemeriksaan perkara koneksitas ini tidak berbeda antara KUHAP dengan Undang-Undang peradilan militer. Tersangka-tersangka yang melakukan tindak pidana pidana bersama sama adalah merupakan tindak pidana yang berada dalam ruang lingkup Pasal 55 KUHP atau Pasal 56 KUHP. Pasal 55 KUHP menyatakan : (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.
8
Andi Hamzah II, Op.cit, hlm. 297.
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, saran atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan,
beserta
akibat-akibatnya.
Sedangkan
pasal
56
KUHP
menyatakan: Dipidana sebagai pembantu kejahatan: 1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. 2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Penyertaan diatur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau lebih mengambil kebahagiaan untuk mewujudkan suatu tindak pidana.9 Secara luas dapat di sebutkan bahwa seseorang turut serta ambil bagian dalam hubungannya dengan orang lain, untuk mewujudkan suatu tindak pidana, mungkin jauh sebelum terjadinya (misalnya: merencanakan), dekat sebelum terjadinya (misalnya: menyuruh atau menggerakan untuk melakukan, memberikan keterangan
dan
sebagainya), pada saat terjadinya
(misalnya: turut serta, bersama- sama melakukan atau seseorang itu
9
Erdianto Effendi, Op.cit, hlm. 174.
dibantu
oleh orang lain) atau setelah terjadinya suatu tindak pidana (misalnya: menyembunyikan pelaku atau hasil tindak pidana pelaku).10 Perkembangan saat ini, perkara koneksitas mendapat perhatian yang cukup
serius
berkenaan
dengan
dikeluarkannya
Ketetapan
MPR
No.
VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 3 ayat (4) huruf a menyatakan: Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Ketetapan MPR tersebut menunjukan bahwa secara tidak langsung masalah koneksitas yang berkenaan dengan tindak pidana sebagaimana telah diatur didalam hukum pidana umum dihapuskan, namun kendalanya terdapat pada peraturan perundang-undangan yang menjadi aturan pelaksanaan yang tertuang dalam bentuk perundang-undangan, ketetapan tersebut belum dapat dilaksanakan. Pasal 89 ayat (2) dan (3) KUHAP dinyatakan :11 (2) penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dalam Pasal 6 dan Polisi Militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Oditur
10 S.R Sianturi,Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta,1986 (Selanjutnya disingkat S.R. Sianturi), hlm 336. 11 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Militer atau Oditur Militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masingmasing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara. (3) Tim sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman. Berdasarkan ketentuan Pasal 89 (2) KUHAP bahwa aparat penyidik koneksitas ialah suatu “Tim Tetap” yang terdiri dari unsur : 1.
Unsur penyidik Polri;
2.
Polisi Militer;
3.
Oditur militer atau Oditur militer tinggi;
Cara “Tim Tetap” tersebut disesuaikan dengan dengan penggarisan dan batasbatas wewenang yang ada pada masing-masing unsur tim, bertitik tolak dari segi wewenang masing-masing unsur tim. Berarti cara pemeriksaan penyidikan dilakukan sesuai dengan : a. Tersangka yang pelaku sipil diperiksa oleh unsur penyidik Polri. b. Sedangkan pelaku anggota Militer diperiksa oleh unsur penyidik polisi militer dan Oditur militer. Setelah penyidikan selesai dilaksankan, maka diadakan penelitian bersama dengan anggota peneliti terdiri dari Jaksa atau Jaksa Tinggi dan Oditur Militer dalam hal kepangkatan tersangka kapten kebawah atau Oditur Militer Tinggi dalam kepangkatan tersangka Mayor keatas. Penelitian tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekeliruan yang menyebabkan suatu tindak pidana yang nyata-nyata merugikan militer, terlanjur diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan umum dan prosedur ini mengacu kepada ketentuan Pasal 90
ayat (1) KUHAP dan Pasal 199 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Militer yang sama-sama menyatakan, bahwa “untuk menetapkan Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang akan mengadili perkara tindak pidana hasil penyidikan koneksitas tersebut, diadakan penelitian bersama oleh Jaksa/Jaksa Tinggi dan Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi. Pada ayat-ayat selanjunya dari Pasal tersebut di atas, ditentukan bahwa “Pendapat dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam berita acara yang ditanda-tangani pihak-pihak dan apabila dalam penelitianbersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang Pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut, hal ini dilaporkan masing-masing kepada Jaksa Agung dan Oditur Jenderal”.12 Sebaliknya jika penelitian terdapat perbedaan, maka menurut ketentuan Pasal 93 ayat (1) KUHAP dan Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Militer masing-masing pihak melaporkan perbedaan pendapat tersebut secara tertulis dengan diserai berkas perkara yang bersangkutan kepada Jaksa Agung dan Oditur Jenderal. Penyelesaiannya menurut ayat-ayat selanjutnya dari Pasal tersebut di atas, dinyatakan bahwa Jaksa Agung dan Oditur Jenderal akan bermusyawarah untuk mengambil keputusan, tetapi apabila musyawarah tersebut tidak dapat mengakhiri perbedaan pendapat, maka pendapat Jaksa Agung yang menentukan Pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara
12
Marwan Effendy, Peradilan in Absentia dan Koneksitas, (Jakarta:Timpani Publishing, 2010), hlm 52
tersebut, apakah perkara tersebut diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum atau diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan militer.13 Untuk menentukan ke pengadilan mana Perkara koneksitas akan ditentukan, apakah dilimpahkan ke pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau ke pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, haruslah berpedoman pada hukum acara yang berlaku yaitu Pasal 90, 91, 92, dan Pasal 93 KUHAP. Mengenai susunan majelis hakim perkara koneksitas dalam peradilan koneksitas diatur dalam pasal 94 KUHAP, dinyatakan :14 1. Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum, susunan majelis hakim terdiri dari :15 a. 3 (tiga) orang hakim. b. Hakim ketua majelis diambil dari lingkungan peradilan umum / pengadilan negeri. c. 2 (dua) orang hakim diambil secara berimbang, yaitu 1 orang dari lingkungan peradilan umum dan 1 orang dari lingkungan peradilan militer. 2. Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan militer, susunan majelis hakim terdiri dari : a. 3 (tiga) orang hakim. b. Hakim ketua majelis diambil dari lingkungan peradilan militer.
13 14
Ibid Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana 15
Marwan Effendy, Peradilan in Absentia dan Koneksitas, (Jakarta:Timpani Publishing, 2010), hlm 57.
c. Hakim anggota diambil secara berimbang, yaitu 1 orang dari lingkungan peradilan militer dan 1 orang dari lingkungan peradilan umum. d. Hakim anggota dari lingkungan peradilan umum diberi pangkat militer tituler.
2. Peradilan koneksitas dalam mengadili perkara tindak pidana korupsi Untuk menjelaskan berdasarkan ketentuan yuridis bahwa kejaksaan memiliki wewenang sebagai penyidik tindak pidana korupsi dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan berikut : 1. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi : “Penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dijalankan menurut ketentuanketentuan yang berlaku, sekedar tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.” 2. Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP): “Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi” 3. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP :
“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP penyidik jaksa dan penyidik lainnya yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan.” 4. Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme : “Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk ditindaklanjuti.” 5. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi : “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.” 6. Pasal 44 ayat (4) dan aya (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi : “(4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.”
(5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepolisian atau kejaksaan wajib melakukan koordinasi
dan
melaporkan
perkembangan
penyidikan
kepada
Komisi
Pemberantasan Korupsi.” 7. Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia : (1) “Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang.” 8. Fatwa Ketua Mahkmah Agung Republik Indonesia Nomor KMA1102/1/2005: “berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.” Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa sampai dengan saat ini kejaksaan memiliki kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, diantaranya adalah tindak pidana korupsi. Dalam hal tindak pidana korupsi apabila dilakukan bersama-sama oleh mereka yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer, apabila dilakukan penyidikan antara Kejaksaan dan POM TNI atau Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi, maka berdasarkan Pasal 91 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengkoordinir dan
menendalikan penyidikan dan penuntutan adalah Jaksa Agung Republik Indonesia dan bunyi lengkap Pasal 39 tersebut adalah sebagai berikut :16 “Jaksa Agung mengkoordinir dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.” Koordinasi dan pengendalian tersebut dapat disubsitusikan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kepala Kejaksaan Negeri, jika perkara tersebut ditangani oleh daerah, begitu juga jika perkara tindak pidana korupsi tersebut ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan POM TNI, maka yang mengkoordinator dan mengendalikan penyidikan dan penuntutan Menurut Ketentuan Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK adalah KPK dan bunyi pasal 40 tersebut adalah sebagai berikut :17 “Komisi
Pemberantasan
Korupsi
berwenang
mengkoordinasikan
dan
mengendalikan penyelidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.” Jika tidak ingin melakukan mengkoordinasikan atau mengendalikan penyidikan koneksitas yang dimaksud, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menyerahkan perkara tersebut kepada kejaksaan dalam hal ini Jaksa Agung untuk mengkoordinasikan dan mengendalikannya, tetapi menurut Pasal 44 ayat (5),
16
Marwan Effendy, Peradilan in Absentia dan Koneksitas, (Jakarta:Timpani Publishing, 2010), hlm 43 17
Ibid, hlm 44
pelaksanaan penyidikan koneksitas tersebut tetap dikoordinasikan dan dilaporkan perkembangannya kepada Komisi Pemberantasa Korupsi.18 Tindak Pidana Korupsi yang disidangkan secara koneksitas di peradilan militer maka sesuai dengan ketentuan Pasal 40 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kewenangan Perwira Penyerah Perkara (PEPERA) sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 123 aya (1) huruf g yang menentukan perkara untuk diselesaikan menurut hukum disiplin prajurit dikesampingkan.19 Selain itu beberapa aturan hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas, pengertian penyidikan koneksitas adalah penyidikan yang dilakukan bersama oleh tim penyidik yang masing-masing memiliki kewenangan terhadap seseorang yang tunduk pada peradilan umum maupun peradilan militer. Dengan demikian, berkas perkara hasil penyidikan koneksitas tersebut harus merupakan satu kesatuan yang untuk dengan tersangka mereka yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer, jika berkas perkara tersangka-tersangka tersebut terpisah atau displit, maka berkas perkara hasil penyidikan koneksitas dimaksud tidak memenuhi syarat penggarisan undang-undang.20 Selanjutnya adalah tahap penuntutan, adapun tahapan penuntutan selanjutnya yang harus dilakukan oleh Jaksa sebagai Penuntut Umum adalah :21
18
Ibid, hlm 45 Ibid 20 Ibid, hlm 46 21 Andi Hamzah, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek, Rineke Cipta, Jakarta, 1994, hlm 67 19
1. Pra Penuntutan Pra Penunutan adalah tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 KUHAP tentang wewenang penuntut umum khususnya huruf b, mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (30 dan ayat (4) KUHAP, dengan memberikan petunjuk dalam rangka menyempurnakan penyidikan dari penyidik. Apabila berkas telah dinyatakan lengkap (P-21), maka penyidik akan menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum. Jaksa penuntut umum akan melengkapi berkas-berkas yang dilimpahkan ke pengadilan dengan berita acara pemeriksaan BA-10, yang dimaksudkan untuk meyakinkan apakah berkas benar-benar lengkap dan apakah sangkaan yang disangkakan kepada tersangka benar. Apabila Jaksa Penuntut Umum menemukan keraguan, akan dilakukan pemeriksaan tambahan. 2. Surat Dakwaan Salah satu peran dari surat dakwaan adalah sebagai dasar tuntutan pidana (requisitoir). Setelah dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti (penyerahan tahan II), Jaksa Penuntut Umum menyiapkan Rencana Surat Dakwaan (Rendak). Rencana Surat Dakwaan (Rendak) disusun dan dilaporkan secara berjenjang dengan bertolah ukur jumlah kerugian negara, sebagaimana tahap penyelidikan dan penyidikan. Apabila Rencana Surat Dakwaan belum mendapat persetujuan, maka Rancangan Surat Dakwaan akan diperbaiki sesuai
dengan petunjuk. Setelah Rancangan Surat Dakwaan mendapat persetujuan, maka surat dakwaan dan berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Surat Dakwaan dirumuskan oleh Jaksa Penuntut Umum setelah sebelumnya dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan, meliputi, keterangan terdakwa, keterangan saksi, alat bukti, dan keterangan ahli. Dengan berdasarkan Pasal 160 ayat (3) KUHAP maka saksi sebelum meberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing. Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya dan pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai. 3. Pelimpahan berkas ke pengadilan. Pelimpahan berkas ke pengadilan adalah merupakan kewenangan untuk melakukan tindakan penututan dalam hal menurut yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim pengadilan. Baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun Kitab Hukum Acara Militer telah diatur tentang wewenang penuntut umum dalam hal : a)
Mempersiapkan segala sesuatu untuk pelaksanaan persidangan.
b)
Melaksanakan tindakan penuntutan di sidang pengadilan.
c)
Melaksanakan penetapan hakim.
d)
Melaksanakan upaya hukum lain dan upaya hukum luar biasa.
E. Penutup 1. Kesimpulan a. Perkara koneksitas adalah suatu perkara tindak pidana yang dilakukan anggota sipil secara bersama-sama dengan anggota militer yang berbeda lingkungan peradilan nya (jurisdiksi peradilannya), diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum, kecuali menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara tersebut harus diperiksa dan diadili oleh peradilan militer. Dalam kehidupan ketatanegaraan, nampak perubahan yang mendasar tentang penyelenggaraan kehakiman yaitu, dahulu penyelenggaraan kehakiman dilakukan oleh Menteri Kehakiman yang memegang pimpinan Departemen Kehakiman, dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Perkara koneksitas dimulai dengan proses penyidikan (Pasal 89 KUHAP), penentuan pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas oleh Jaksa atau Jaksa Tinggi dan Oditur Militer atau Oditur Militer Jenderal (Pasal 90 KUHAP), lalu masuk ke tahap penuntutan, dan terakhir penentuan Majelis Hakim yang mengadili perkara koneksitas tergantung perkara koneksitas tersebut diadili dalam peradilan umum atau peradilan militer (Pasal 94 KUHAP).
b. Proses penanganan perkara koneksitas dalam tindak pidana umum dengan pidana korupsi terdapat perbedaan di posisi penyidiknya. Dalam tindak pidana umum yang menjadi penyidik dalam perkara koneksitas tersebut adalah Polisi, sedangkan dalam tindak pidana korupsi yang menjadi penyidik dalam perkara koneksitas adalah Jaksa. Dalam perkara Penyalahgunaan Dana Tabungan Wajib Perumahan
Tentara Nasional Republik Indonesia Angkatan Darat
sebagian telah dilaksanakan sesuai hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP) dalam rangka penegakan hukum khususnya yaitu telah diatur cara penentuan pengadilan yang mengadilinya yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui prosedur penelitian bersama antara Jaksa dan Oditur Militer Jenderal atas hasil penyidikan perkaranya (Pasal 90 KUHAP). Begitu juga pembentukan majelis hakim yang terdiri dari 3 orang yang berasal dari unsur hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 2 orang dan unsur Hakim Mahkamah Militer 1 orang (Pasal 94 KUHAP). Namun dalam hal pembentukan tim penyidik, pembentukannya tidak berdasarkan KUHAP yaitu dengan Surat Keputusan Menhankam dan Menteri Kehakiman. Dalam kasus tersebut pembentukan tim penyidik berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung. 2. Saran a. Beberapa ketentuan dalam KUHAP tentang koneksitas perlu ditinjau kembali khususnya dalam pembentukan tim penyidik (Pasal 89 ayat 2 KUHAP) karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan struktur pemerintahan dan perkembangan hukum seperti dalam pembentukan tim penyidik harus
didasarkan Surat Keputusan Bersama Menhankam dan Menteri Kehakiman yang sekarang sudah diganti dengan Menteri Hukum dan HAM yang mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda. b. perlu aparat penyidik, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim majelis yang profesisional, memiliki integritas kepribadian yang mantap atau moral yang baik dan disiplin yang tinggi dalam menangani perkara koneksitas tindak pidana korupsi, karena tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) dan bukan lagi ordinary crime (kejahatan biasa). c. Perlu kerjasama positif antara Kejaksaan dengan Oditur Militer dalam penanganan perkara koneksitas tindak pidana korupsi. d. Dalam penanganan perkara koneksitas dalam tindak pidana korupsi, dalam proses hukumnya harus bebas dari pengaruh politik dan kepentingankepentingan organisasi/lembaga serta dilaksanakan secara objektif.
EMAIL :
[email protected]