PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Telaah atas Buku Ajar PAI SMA)
TESIS Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Bidang Pendidikan dan Keguruan pada Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar Oleh SUKRI NIM: 80100211037
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR 2014
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Dengan penuh kesadaran, penyusun yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis ini benar adalah hasil karya penyusun sendiri. Jika kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat atau dibuat dibantu oleh orang lain secara keseluruhan atau sebahagian, tesis dan gelar yang diperoleh karenanya, batal demi hukum. Makassar, 25 Januari 2013 Penyusun,
SUKRI
ii
PERSETUJUAN TESIS Tesis dengan judul “Pluralisme dan Multikulturalisme dalam PAI; Telaah atas Buku Ajar PAI SMA” yang disusun oleh Saudara SUKRI, NIM: 80100211037, telah diseminarkan dalam Seminar Hasil Penelitian Tesis yang diselenggarakan pada hari Rabu, 18 Desember 2013 M. Bertepatan dengan tanggal 14 Shafar 1435 H, memandang bahwa tesis tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat disetujui untuk menempuh Ujian Munaqasyah Tesis.
PROMOTOR: 1. Dr. Mohammad Ibnu Sulaiman, M.Ag.
(
)
(
)
1. Prof. Dr. H. Qasim Matar, M.A.
(
)
2. Dr. Susdianto, M.Pd.
(
)
3. Dr. Mohammad Ibnu Sulaiman, M.Ag.
(
)
4. Dr. H. Nurman Said, M.A.
(
)
KOPROMOTOR: 1. Dr. H. Nurman Said, M.A.
PENGUJI:
Makassar, 25 Januari 2013 Diketahui oleh: Direktur Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar,
Prof. Dr. H. Moh. Natsir Mahmud, M.A.
iii
NIP. 19540816 198303 1 004 KATA PENGANTAR
َف اْﻷَﻧْﺒِﻴﺎ ِء وَاﻟْﻤ ُْﺮ َﺳﻠِ ْﻴ َﻦ َﺳﻴﱢﺪِﻧﺎ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﱠوﻋَﻠ َﻰ آﻟ ِﻪ ِ ﺴﻼَمُ ﻋَﻠﻰ اَ ْﺷﺮ ﺼﻼَةُ وَاﻟ ﱠ َب اﻟْﻌَﺎﻟَ ِﻤ ْﻴ َﻦ وَاﻟ ﱠ ﷲرﱢ ِ اَﻟْ َﺤ ْﻤ ُﺪ .ﺻﺤَﺎﺑِ ِﻪ أَ ْﺟ َﻤ ِﻌ ْﻴ َﻦ ْ ََوأ Segala puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah swt., yang telah memberikan rahmat dan inayah, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Salawat dan salam senantiasa tercurah untuk Nabi Muhammad saw. Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing HT, M.S. dan Wakil Rektor I, II, dan III. 2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Makassar (UIN) Alauddin Makassar, Prof. Dr. H. Moh. Natsir Mahmud, M.A., Tim Kerja PPs, yang telah memberikan kesempatan dengan segala fasilitas dan kemudahan kepada penulis untuk mengikuti studi pada Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar. 3. Dr. Mohammad Ibnu Sulaiman Slamet, M.Ag. dan Dr. H. Nurman Said, M.A., selaku promotor I dan II, yang secara langsung memberikan bimbingan, arahan dan saran-saran berharga kepada peneliti sehingga tulisan ini dapat terwujud. 4. Para Guru Besar dan segenap dosen Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.
iv
5. Kepala Perpustakaan Pusat UIN Alauddin Makassar beserta segenap staf yang telah menyiapkan literatur dan memberikan kemudahan untuk dapat memanfaatkan secara maksimal demi penyelesaian tesis ini. 6. Seluruh pegawai dan staf Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar yang telah membantu memberikan pelayanan administrasi maupun informasi dan kemudahan-kemudahan lainnya selama menjalani studi. 7. Ayahanda Tallo Ambo Tang dan ibunda tercinta Sakka, yang telah membesarkan dan mendidik peneliti dengan moral spiritualnya. 8. Kakak-kakak dan adik tercinta yang senantiasa memberikan dukungan baik moral maupun modal disetiap waktu. 9. Rekan-rekan mahasiswa-mahasiswi di Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, khususnya di konsentrasi Dirasah Islamiyah/Pendidikan dan Keguruan 2011 yang telah membantu dan mengiringi langkah perjuangan peneliti. Semoga Allah swt. selalu memberikan rahmat dan hidayah serta balasan yang jauh lebih baik dan lebih berkah kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini. Amin ya Rabbal ‘A>lami>n.
Makassar, 28 Januari 2013 Penulis,
SUKRI NIM: 80100211037
v
DAFTAR ISI JUDUL .................................................................................................................. i PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .................................................................. ii PERSETUJUAN PROMOTOR............................................................................ iii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv DAFTAR ISI......................................................................................................... vi DAFTAR TABEL................................................................................................. vii PEDOMAN TRANSLITERASI DAN SINGKATAN ........................................ viii ABSTRAK............................................................................................................ xiv BAB
I PENDAHULUAN....................................................... .................. .1-28 A. Latar Belakang Masalah ............................................................... B. Rumusan Masalah ......................................................................... C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian ................... D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................. E. Kajian Pustaka............................................................................... F. Kerangka Pikir ............................................................................... G. Metodologi Penelitian................................................................... H. Garis Besar Isi Tesis .....................................................................
BAB
II PLURALISME-MULTIKULTURALISME ....................................29-50 A. Pendidikan Berwawasan Pluralisme-Multikulturalisme .............. B. Perspektif Islam untuk Basis Teologi PluralisMultikulturalis............................................................................... C. PAI di Sekolah Umum .................................................................. 1. PAI dan Integritas Keilmuan .................................................. 2. Kedudukan Pendidikan Agama di Sekolah.............................
BAB
1 12 13 20 20 23 25 28
29 35 38 41 45
III Pendidikan Agama Islam pada SMA ................................................51-95 A. Buku Ajar PAI di Tingkat SMA .................................................. B. Pluralisme-Multikulturalisme dalam Buku Ajar PAI SMA ........ C. Desain Pembelajaran dalam Buku Ajar PAI SMA ...................... 1. Aspek al-Qur’a>n ..................................................................... a. Tentang Demokrasi .......................................................... b. Tentang Pluralisme-Multikulturalisme............................
vi
51 59 69 71 71 78
2. Aspek Akhlak ......................................................................... 84 a. Tentang Pluralisme-Multikulturalisme............................ 84 b. Tentang HAM .................................................................. 93 BAB IV IMPLIKASI PEMBELAJARAN PLURAL-MULTIKULTURAL TERHADAP SISWA SMA .............................................................96-119 A. Kurikulum PAI yang Plural-Multikultural .................................. 96 B. Implikasi Pembelajaran yang Plural-Multikultural ..................... 109 BAB V
PENUTUP.......................................................................................120-124 A. Kesimpulan ................................................................................. 120 B. Implikasi dan Saran...................................................................... 121
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................122-126 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
vii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel I: Materi Pluralisme-Multikulturalisme Buku Ajar PAI SMA ............ 60 Tabel II: Standar Kompetensi: Memahami ayat-ayat al-Qur’a>n tentang Demokrasi .......................................................................................................................... 72 Tabel III: Standar kompetensi: Membiasakan Perilaku Terpuji ..................... 85 Tabel IV: Standar Kompetensi: Menghindari Perilaku Tercela ..................... 94
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN SINGKATAN A. Transliterasi Arab-Latin Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat dilihat pada tabel berikut: 1. Konsonan Huruf Arab ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ﻫـ ء ى
Nama alif ba ta s\a Jim h}a kha dal z\al ra zai sin syin s}ad d}ad t}a z}a ‘ain gain fa qaf kaf lam mim nun wau ha hamzah ya
Huruf Latin tidak dilambangkan b t s\ j h} kh d z\ r z s sy s} d} t} z} ‘ g f q k l m n w h ’ y
viii
Nama tidak dilambangkan be te es (dengan titik di atas) je ha (dengan titik di bawah) ka dan ha de zet (dengan titik di atas) er zet es es dan ye es (dengan titik di bawah) de (dengan titik di bawah) te (dengan titik di bawah) zet (dengan titik di bawah) apostrof terbalik ge ef qi ka el em en we ha apostrof ye
Hamzah ( )ءyang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (’). 2. Vokal Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda
َا ِا ُا
Nama fath}ah kasrah d}ammah
Huruf Latin a i u
Nama a i u
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Tanda
Nama fath}ah dan ya>’
Huruf Latin ai
ـ َْﻰ ـ َْﻮ
Nama a dan i
fath}ah dan wau
au
a dan u
Contoh: ـﻒ َ ْﻛَـﻴ : kaifa َـﻮ َل ْﻫ : haula 3. Maddah Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harakat dan Huruf َ ى... | َ ا...
ـِــﻰ ـُـﻮ
Nama fath}ahdan alif atau ya> ’ kasrah dan ya>’ d}ammahdan wau
Huruf dan Tanda a> i> u>
ix
Nama a dan garis di atas i dan garis di atas u dan garis di atas
Contoh: َﺎت َ ﻣـ َرَﻣـﻰ ﻗِـﻴْـ َﻞ ْت ُ ﻳـَﻤـُﻮ
: ma>ta : rama> : qi>la : yamu>tu
4. Ta>’ marbu>t}ah Transliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua, yaitu: ta>’ marbu>t}ah yang hidup atau mendapat harakat fath}ah, kasrah, dan d}ammah, transliterasinya adalah [t]. Sedangkan ta>’ marbu>t}ah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah [h]. Kalau pada kata yang berakhir dengan ta>’ marbu>t}ah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta>’ marbu>t}ah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh: َﺎل ِ ﺿـﺔُ اﻷَﻃْﻔ َ رَْو : raud}ah al-at}fa>l ُاَﻟْـﻤَـ ِﺪﻳْـﻨَـﺔُ اَﻟْـﻔـَﺎ ِﺿ ـﻠَﺔ : al-madi>nah al-fa>d}ilah ُاَﻟـ ِْﺤـﻜْـ َﻤ ـﺔ : al-h}ikmah 5. Syaddah (Tasydi>d) Syaddah atau tasydi>d yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda tasydi>d ( ) ـّـ, dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah. Contoh: ََرﺑّـَﻨﺎ : rabbana> َﻧـَ ّﺠـَﻴْــﻨﺎ : najjaina> اَﻟ ـْﺤَـ ﱡﻖ : al-h}aqq ﻧـُ ّﻌ ـِ َﻢ : nu“ima َﻋـ ُﺪ ﱞو : ‘aduwwun Jika huruf ىber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf kasrah ()ــــِـ ّﻰ, maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah menjadi i>. Contoh: َﻋـﻠِـ ﱞﻰ َﻋـَﺮﺑ ـِ ﱡﻰ
: ‘Ali> (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly) : ‘Arabi> (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)
x
6. Kata Sandang Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf (الalif lam ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiyah maupun huruf qamariyah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-). Contoh: ﺲ ُ اَﻟ ﱠﺸـﻤْـ : al-syamsu (bukan asy-syamsu) ُاَﻟﱠﺰﻟ ـَْﺰﻟ ـَﺔ ُاَﻟ ـْ َﻔـﻠْ َﺴـ َﻔﺔ اَﻟ ـْﺒ ـِﻼَ ُد
: al-zalzalah (az-zalzalah) : al-falsafah : al-bila>du
7. Hamzah Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif. Contoh: ﺗـَﺄْ ُﻣـﺮُْو َن : ta’muru>na ُاَﻟ ـﻨﱠ ْـﻮع : al-nau‘ ٌَﺷـ ْﻲء : syai’un ْت ُ أُﻣِـﺮ : umirtu 8. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, atau lazim digunakan dalam dunia akademik tertentu, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya, kata al-Qur’an(dari al-Qur’a>n), alhamdulillah, dan munaqasyah. Namun, bila katakata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh: Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n Al-Sunnah qabl al-tadwi>n
xi
9. Lafz} al-Jala>lah ()اﷲ Kata “Allah”yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukan sebagai mud}a>f ilaih (frasa nominal), ditransliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh: ِ ِدﻳـْ ُﻦ اﷲdi>nulla>h ِ ﺑِﺎﷲbilla>h Adapun ta>’ marbu>t}ah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz} al-jala>lah, ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh: ِﰲ رَﺣـ ـْ َﻤ ِﺔ اﷲ ْ ِ ُﻫـ ْﻢhum fi> rah}matilla>h 10. Huruf Kapital Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh: Wa ma> Muh}ammadun illa> rasu>l Inna awwala baitin wud}i‘a linna>si lallaz\i> bi Bakkata muba>rakan Syahru Ramad}a>n al-laz\i> unzila fi>h al-Qur’a>n Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si> Abu>> Nas}r al-Fara>bi> Al-Gaza>li> Al-Munqiz\ min al-D}ala>l Jika nama resmi seseorang menggunakan kata Ibnu (anak dari) dan Abu> (bapak dari) sebagai nama kedua terakhirnya, maka kedua nama terakhir itu harus disebutkan sebagai nama akhir dalam daftar pustaka atau daftar referensi. Contoh:
xii
Abu> al-Wali>d Muh}ammad ibn Rusyd, ditulis menjadi: Ibnu Rusyd, Abu> alWali>d Muh}ammad (bukan: Rusyd, Abu> al-Wali>d Muh}ammad Ibnu) Nas}r H{a>mid Abu> Zai>d, ditulis menjadi: Abu> Zai>d, Nas}r H{a>mid (bukan: Zai>d, Nas}r H{ami>d Abu>)
B. Daftar Singkatan Beberapa singkatan yang dibakukan adalah: swt. saw. QS …/…: 4
= subh}a>nahu> wa ta‘a>la> = s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam = QS al-Baqarah/2: 4 atau QS A
n/3: 4
xiii
Nama NIM Program Studi Konsentrasi Judul Tesis
ABSTRAK : SUKRI : 80100211037 : Dirasah Islamiyah : Pendidikan dan Keguruan : Pluralisme dan Multikulturalisme dalam Pendidikan Agama Islam; ”Telaah atas Buku Ajar PAI SMA”.
Penelitian ini berusaha untuk menjawab dan menepis anggapan bahwa Buku Ajar PAI SMA telah gagal mengakomodir semangat isu maupun wacana pluralisme dan multikulturalisme dalam mewujudkan cita-cita Islam yang rahmatan lil ‘a>lami>n dan mengingat PAI dewasa ini adalah pendidikan yang mampu melahirkan peserta didik yang memiliki wawasan keagamaan dan sekaligus berjiwa plural dan multikultural, yang dapat dikaji secara sistematik, konseptual, dan rasional dari sudut pandang berbeda, serta upaya mengembangkan dialog dan sharing pemahaman dan pembelajaran iman baik pada agamanya sendiri maupun agama orang lain, bukan pendidikan yang hanya mampu menjadikan mereka sebagai orang-orang yang fanatik dan egois terhadap agama yang dianutnya bahkan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial yang semakin plural dan multikultural serta pengembangannya terhadap misi untuk menciptakan perdamaian sejati dan persaudaraan terutama antar pemeluk agama. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan teologis-normatif dengan maksud mengkaji kembali nilai-nilai plural-multikultural yang dijadikan dasar sesuai dengan al-Qur’a>an dan hadis, dan pendekatan pedagogis kaitannya dengan plural-multikultural dalam PAI. Selanjutnya penelitian ini sifatnya kepustakaan (library research) dan dikategorikan sebagai penelitian kualitatif deskriptif, pengolahan dan analisa datanya digunakan metode analisis kritis. Analisis kritis digunakan pada pengkajian terhadap data primer dan sekunder, dengan mendiskripsikan gagasan-gagasan dengan memberi penafsiran untuk mendapatkan informasi yang komprehensif. Buku Ajar PAI SMA disusun sesuai dengan aspek-aspek keilmuan yang terintegrasikan kedalam materi PAI, sedang kaitannya dengan pluralismemultikulturalisme dalam Buku Ajar PAI SMA apabila memiliki indikator-indikator, wacana, paragraf, kalimat atau kata yang memiliki kecenderungan kepada makna; keberagaman, toleransi, keadilan dan persamaan terhadap nilai pluralmultikulturalisme. Kurikulum pendidikan nasional, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa. Maka dalam pendidikan Islam harus lebih dari hal tersebut. Dalam artian manusia (peserta didik) harus diarahkan sebagai seorang pemimpin (khali>fah fi al-ard) yang menghargai pluralitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di kalangan umat Islam, urusan pendidikan mendapat perhatian khusus, karena berkembangnya Islam sendiri tidak lepas dari peran pendidikan yang begitu besar. Oleh karena itu, walaupun perkembangan politik suatu negara (Islam) sedang tidak menentu, atau singkatnya terdapatnya perkembangan yang menutup ruang partisipasi masyarakat dalam menentukan arah negaranya, tetapi bagi dunia pendidikan tetap saja terbuka. Hal ini bisa dilihat dari antusias masyarakat terhadap pentingnya pendidikan yang mendorong munculnya berbagai lembaga pendidikan yang menawarkan berbagai jenjang. Ini merupakan pandangan profetis masyarakat khususnya kaum Muslimin dalam merencanakan masa depannya menjadi lebih baik. 1 Memasuki abad ke-21, isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia mencuat ke permukaan, tidak hanya dalam jalur pendidikan umum, melainkan juga dalam semua jalur dan jenjang pendidikan, bahkan upaya advokasi untuk jalur pendidikan yang dikelola oleh beberapa Departemen teknis, dengan tuntutan terhadap hubungan sosial (social equity) sangat kuat yang tidak hanya disuarakan oleh Departemen terkait sebagai otoritas pengelola jalur pendidikan tersebut, tetapi juga oleh para praktisi dan pengambil kebijakan dalam pembangunan sektor pembinaan sumber daya manusia, karena semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur yang memberikan kontribusi terhadap rata-rata hasil pendidikan secara nasional.2 1
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Kencana 2008), h. 292.
2
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokrasi: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan (Cet. III; Jakarta: Kencana 2007), h. 1.
1
2
Pendidikan merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh pendidik dalam rangka membawa siswa (peserta didik) menjadi manusia ideal. Manusia ideal yang dicita-citakan telah dirumuskan sendiri oleh setiap bangsa atau setiap komunitas. Bagi Bangsa Indonesia, manusia ideal yang ingin dibentuk telah termuat dengan jelas dalam tujuan Pendidikan Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang RI. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 2, yakni: Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.3 Rumusan tujuan di atas memberikan gambaran tentang kriteria manusia Indonesia yang ingin dicapai mencakup: Pertama, manusia religius, manusia yang patuh dan taat menjalankan perintah agama. Kedua, manusia bermoral, berakhlak mulia, memiliki komitmen yang kuat terhadap kehidupan beretika. Ketiga, manusia pencari, penggali, pengamal ilmu pengetahuan, dan pecinta ilmu. Keempat, manusia yang memiliki kecakapan, sebagai perwujudan nyata dan aplikasi ilmu pengetahuan dalam kehidupan keseharian. Kelima, manusia yang kreatif. Keenam, manusia yang memiliki kemandirian, dengan sikap hidup dinamis penuh percaya diri serta memiliki semangat hidup yang dinamis pula. Ketujuh, kepedulian pada masyarakat, bangsa, dan negara, berjiwa demokratis dan rasa tanggung jawab yang tinggi untuk membawa Bangsa Indonesia mencapai cita-cita idealnya.4 Kriteria tersebut
3
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 2 (Cet. I; Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi Sekretariat Jenderal Pendidikan Nasional, 2003), h. 11. 4
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004), h. 198-199.
3
merupakan tipe manusia ideal yang ingin dibentuk oleh masyarakat Indonesia melalui wahana pengembangan potensi diri di dalam proses pendidikan. Pembelajaran agama di sekolah-sekolah sangat berbeda dengan cara dakwah di luar sekolah. Materi agama di sekolah dimuat dalam materi Pendidikan Agama Islam (PAI). Penyampaian materi bukan hanya dakwah. Akan tetapi, merupakan proses pembelajaran yang mempunyai tujuan dan fungsi pada pendidikan agama disekolah. Fungsi dan tujuan pendidikan agama ini termuat dalam Peraturan Pemerintah RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan Pasal 2, yakni: 1. Pendidikan Agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama. 2. Pendidikan Agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. 5 Rumusan di atas memberikan gambaran tentang fungsi dan tujuan pendidikan agama dan keagamaan yang meliputi: Pertama, membentuk manusia religius, manusia yang patuh dan taat menjalankan perintah agama serta memahami aspek pluralitas dan multikulturalitas dan menjaga kerukunan antarumat beragama sehingga tercipta kedamaian antarpemeluk agama. Kedua, berkembangannya kemampuan serta pemahaman peserta didik tidak pada pengetahuan agama saja, tetapi pada aspek ilmu pengetahuan yang lain sehingga mampu untuk menyelaraskannya.
5
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan Bab II Pasal 2 Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 oktober 2007 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI oleh Bapak Andi Mattalatta.
4
Tujuan PAI juga sebagaimana termaktub dalam Permen Diknas RI Nomor 22 Tahun 2006 Tanggal 23 Mei 2006 Tentang Standar Isi terutama pada lampiran Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran PAI, baik pada jenjang pendidikan dasar maupun pendidikan menengah adalah “mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia, yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasa>muh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah”. Fungsi PAI tersebut merupakan langkah-langkah terarah yang mampu mengantarkan peserta didik mencapai tingkat kulminasinya dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, mampu mengembangkan potensi dirinya, memiliki harga diri, penuh dedikasi terhadap tugas dan fungsinya di manapun dan kapanpun, senantiasa melahirkan hal-hal positif, menjadikan hidup ini sebagai proses untuk mendulang kebajikan, dan berbagai nilai-nilai positif lainnya. PAI merupakan proses transformasi nilai-nilai keislaman yang merupakan kandungan hikmah yang terlahir dari al-Qur’a>n dan al-Sunnah. Karena pentingnya pendidikan, Islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang penting dan tinggi dalam doktrin Islam. Hal ini bisa dilihat dalam al-Qur‘a>n dan Hadis yang banyak menjelaskan tentang arti pendidikan bagi kehidupan umat Islam sebagai hamba Allah swt.6 Melihat pada tujuan PAI, fungsi pendidikan Islam, dan keistimewaan agama Islam, maka seharusnya kehidupan di dunia ini, baik kehidupan para peserta didik ataupun masyarakat secara umum tidak akan terbawa pada kehidupan melanggar 6
h. 2.
Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999),
5
aturan dan norma. Baik norma agama, norma hukum, atau norma adat, sehingga dengan demikian akan terciptalah kedamaian dan kesejahteraan di seluruh dunia. Jika ketiga hal tersebut (tujuan PAI, fungsi pendidikan Islam, dan keistimewaan agama Islam), diakomodir dengan kurikulum yang baik, kemudian diimplementasikan dalam Buku Ajar PAI dan selanjutnya diajarkan dengan baik, dan anak didik mampu menyerap dan menghayatinya dengan baik, maka tidak akan ada kenakalan remaja, narkoba, pelecehan seksual, perkelahian, pemaksaan kehendak, pembunuhan, kebringasan, dan sifat-sifat buruk lainnya. Olehnya itu, menurut Said Hu>sin al-Munawar ketika terjadi krisis akhlak, maka yang menjadi tertuduh pertama adalah pendidikan, karena pendidikan menjadi garda terdepan dalam memajukan bangsa ini, terutama pendidikan agama. Pendidikan agama pada hakikatnya mampu mengatasi krisis akhlak, jika dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Pendidikan akhlak dapat dilakukan dengan menetapkan pelaksanaan pendidikan agama baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. 2. Mengintegrasikan antara pendidikan dengan pengajaran. 3. Pendidikan akhlak harus didukung oleh kerjasama kelompok dan usaha yang sungguh-sungguh dari orangtua, sekolah, dan masyarakat. 4. Sekolah harus berupaya menciptakan lingkungan yang bernuansa religius, seperti membiasakan shalat berjamaah, menegakkan disiplin, memelihara kebersihan, berlaku jujur, suka menolong, dan lain-lain sehingga nilai-nilai agama menjadi kebiasaan. 5. Pendidikan akhlak harus menggunakan seluruh kesempatan. 7
7
Said Agil Hu>sin al-Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai al-Qur’a>n; Dalam Sistem Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 40-41.
6
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa metode, tujuan, dan karakter dari pendidikan yang ada pada masyarakat yang beragam (multikultural), yang sangat memperhatikan nilai pluralisme dan multikulturalisme dapat diakomodir oleh Pendidikan Agama Islam. Karena kemajemukan agama dan toleransi beragama jika tidak tepat dinyatakan satu-satunya, minimal al-Qur’a>n adalah salah satu kitab suci yang secara implisit maupun eksplisit mengakui heterogenitas kelompok rasial. Ayat-ayat dibawah ini mendukung keberadaan kelompok masyarakat yang pluralisme dan multikulturalisme itu baik secara sosiologis, budaya, suku bangsa dan lain sebagainya.8 Ayat yang mengakui keberadaan dan perbedaan kelompok rasial di antaranya: al-Ma>idah/5: 48:
Terjemahnya: Dan Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’a>n) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meningalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.9
8
Muhammad ‘Amin Suma, Pluralisme Agama Menurut al-Qur’a>n; Telaah Aqidah dan Syariah (Cet. I; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 130. 9
h. 116.
Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005),
7
Menurut M. Quraish Shihab, perbedaan dan perselisihan serta perdebatan tersebut yang menyangkut kebenaran dengan keyakinan serta praktik-praktik agama masing-masing kesemuanya pada akhirnya kembali hanya kepada Allah swt.10 Kemudian dalam QS al-Ru>m/30: 42:
Terjemahnya: Katakanlah (Muhammad), “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” 11 Menurut ayat di atas, sanksi dan bencana perusakan itu tidak hanya dialami oleh masyarakat Mekkah, tetapi ia merupakan sunnatulla>h bagi siapa saja yang melanggar, baik dahulu, kini, dan akan datang. Untuk itu, wahai Muhammad saw. katakanlah kepada siapa pun yang meragukan hakikat di atas bahwa “Berjalanlah di muka bumi dan di wilayah mana pun kaki kamu membawa kamu, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu, jika kamu memerhatikan dengan mata kepala atau pikiran, pasti kamu melihat puing-puing kehancuran mereka. Itu disebabkan
karena
kebanyakan
dari
mereka
adalah
orang-orang
yang
mempersekutukan Allah sehingga kebanyakan pula melakukan kedurhakaan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan serta merajalela kedurhakaannya. 12
10
M. Qurais Shihab, Tafsir al-Mis}ba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’a>n Vol. 3 (Cet. III; Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 137. 11
Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan Terjemahnya, h. 409.
12
M. Qurais Shihab, Tafsir al-Mis}ba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’a>n Vol. 5, h. 240.
8
Dan juga dalam QS al-H{ujura>t/49:13:
Terjemahnya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.13 Pada ayat ini uraian tentang prinsip dasar hubungan antar manusia. Karena itu, ayat di atas tidak lagi menggunakan panggilan yang ditujukan kepada orangorang beriman, tetapi kepada jenis manusia. Penggalan ayat di atas sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah pengantar untuk menegaskan bahwa semua manusia derajat kemanusiannya sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dengan perempuan. Pengantar tersebut mengantar pada kesimpulan yang disebut oleh penggalan ayat ini yakni “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa”. Karena itu, berusahalah untuk meningkatkan ketakwaan agar menjadi yang termulia di sisi Allah.14 Di sini jelas Allah swt. sendiri sebenarnya secara tegas telah menyatakan bahwa ada kemajemukan di muka bumi ini. Perbedaan laki-laki dan perempuan, perbedaan suku bangsa adalah realitas pluralitas yang harus dipandang secara positif
616.
13
Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan Terjemahnya, h. 518.
14
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mis}ba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’a>n Vol. 6, h.
9
dan optimis. Perbedaan itu, harus diterima sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan itu. Bahkan kita disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut, sebagai instrumen untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah swt. dengan jalan mengadakan interaksi sosial antara individu, baik dalam konteks pribadi atau bangsa. Jadi, pada dasarnya bukanlah yang menjadi persoalan tentang pluralitas dan multikulturalisme itu sendiri, tetapi bagaimana menyikapi hal tersebut. Apakah kita menghargai, menghormati, memelihara, dan mengembangkan pluralitas dan multikulturalitas itu? Apakah masing-masing toleran terhadap yang lain dan siap untuk hidup berdampingan secara damai dan bersahabat dengan orang lain atau kelompok lain yang berbeda etnik, kultur, dan agama? Atau mestikah harus berpikir sebaliknya yang harus membenci dan bahkan memusuhi orang lain karena orang itu berbeda etnik, kultur, dan agama dengan kita? Dengan adanya hak kemerdekaan ini jugalah baru dapat dipahami kenyataan adanya berbagai kelompok manusia, berbagai macam adat istiadat, bahkan berbagai macam agama di dunia ini. Demikian berbagai ragamnya manusia di dunia ini, sehingga selalu timbul salah pengertian akibat putus atau renggangnya komunikasi yang menyebabkan manusia selalu cekcok, bahkan berperang menumpahkan darah satu dengan yang lain.15 Salah satu faktor sikap skeptisisme terhadap agama adalah kurikulum PAI pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, menyajikan mata pelajarannya
15
Muhammad ‘Imaduddi>n ‘Abdulrahi>m, Islam Sistem Nilai Terpadu (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 9.
10
terpisah-pisah (aspek al-Qur’a>n atau Hadis, keimanan, ibadah, akhlak, dan aspek sejarah). Dan atau menurut Forgarty disebut sebagai model fragmented, yakni pembelajaran dilaksanakan secara terpisah yaitu hanya terfokus pada satu sub mata pelajaran agama PAI. Pembelajaran seperti ini akan berimplikasi pada hasil pemahaman, penghayatan siswa terhadap Islam secara terpisah-pisah pula serta mengabaikan bangunan sistemik dari ajaran dan nilai-nilai agama Islam untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata.16 Pada sisi lain Buku Ajar juga menjadi faktor penyebab sikap skeptisisme terhadap Pendidikan Agama Islam yang ada selama ini, sehingga materi Pendidikan Agama Islam sebagaimana terdapat dalam sebuah kurikulum sulit untuk dipahami dan diaplikasikan kedalam kehidupan sosial sekarang. Materi Pendidikan Agama Islam yang ada saat ini hanya bertumpuh pada aspek pemahaman agama yang tidak terintegrasikan kedalam kehidupan sosial, maka yang ada akan melahirkan pemahaman dan pemaknaan terhadap pendidikan agama dan keagamaan oleh peserta didik yang hanya sebagai satuan mata pelajaran yang memuat pengetahuan agama semata, sehingga pengalaman atau bahkan pedoman hidup peserta didik dianggap tidak berguna dalam mengatasi problematika hidupnya. Sebagai konsekuensi dari skeptisme tersebut, kegagalan dan ketidakberdayaan sistem pendidikan agama, maka kerusakan akhlak dan moral peserta didik tidak dapat dihindari. Peristiwa-peristiwa kriminal dan amoral di tanah air semakin meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Pendidikan agama pun
16
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Cet. III; Bandung: Rosda Karya, 2004), h. 169.
11
sepertinya tidak lagi bertujuan untuk memanusiakan manusia (humanizing of human being), tetapi yang terjadi adalah dehumanisasi.17 Sikap seorang guru agama atau peserta didik dalam menghadapi pluralitas dan multikulturalitas masyarakat masih cenderung eksklusif (tertutup) dan tidak mau menerima perbedaan pendapat.18 Sekolah atau madrasah sebagai tempat paling strategis dan paling tepat menanamkan kebersamaan dalam perbedaan. Para peserta didik cepat atau lambat akan menuju kepada situasi dan kondisi masyarakat atau negara bangsa yang semakin kompleks dan heterogen. Mereka akan dengan pasti berada di tengahtengah keadaan lingkungan yang warna-warni latar belakang. Sebagai contoh, peserta didik yang yang berada diperkotaan telah merasakan hal itu, berbeda-beda suku, bahasa, agama, di antara teman-teman mereka. Momen inilah yang dianggap paling tepat untuk membangkitkan dan menanamkan seperti apa sebenarnya pluralisme dan multikulturalisme yang perlu untuk dikembangkan sebagai wujud nyata dari “ke-Bhineka Tunggal Ika-an”.
17
Dehumanisasi merupakan suatu keadaan yang kurang dari manusia atau tidak lagi manusia, tidak hanya menandai mereka yang telah dirampas kemanusiaannya, melainkan (dengan cara berbeda) telah menandai pula mereka yang merampas kemanusiaan itu, dan merupakan pembelokan terhadap cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih utuh. Distorsi ini tidaklah ahistoris. Namun ia bukanlah fitrah sejarah. Bila kita menganggap dehumanisasi sebagai fitrah sejarah, maka kita akan terbawa pada sinisme atau keputusasaan menyeluruh. Perjuangan untuk meraih pemanusiaan, perjuangan demi emansipasi tenaga kerja, demi menaklukkan keterasingan, demi peneguhan manusia sebagai pribadi, akan kehilangan makna bila dehumanisasi diakui sebagai fitrah sejarah. Perjuangan menjadi mungkin karena dehumanisasi meski merupakan fakta sejarah tapi ia bukanlah takdir manusia melainkan produk tatanan yang tidak adil yang melahirkan kekerasan para penindas, yang pada gilirannya mengubah manusia kurang dari kemanusiaannya. Lebih lanjut baca, Paulo Freire, Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan, dalam Omi Intan Naomi (Penyunting & Alih Bahasa), Menggugat Pendidikan; Fundamentalisme, Konservatif, Liberal, Anarkis (Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 434-435. 18
Asyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 6.
12
Oleh karena itu, penelitian ini berusaha semaksimal mungkin untuk menggali secara utuh dan komprehensif bagaimana sebenarnya Buku Ajar Pendidikan Agama Islam yang pluralisme dan multikulturalisme. Mengingat pendidikan dewasa ini adalah pendidikan yang mampu melahirkan peserta didik yang memiliki wawasan keagamaan dan sekaligus berjiwa plural dan multikultural, yang dapat dikaji secara sistematik, konseptual, dan rasional dari sudut pandang berbeda, serta upaya mengembangkan dialog dan sharing pemahaman dan pembelajaran iman baik pada agamanya sendiri maupun agama orang lain, bukan pendidikan yang hanya mampu menjadikan mereka sebagai orang-orang yang fanatik dan egois terhadap agama yang dianutnya bahkan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial yang semakin plural dan multikultural serta pengembangannya terhadap misi untuk menciptakan perdamaian sejati dan persaudaraan terutama antar pemeluk agama. Dalam hal ini, penelitian di fokuskan pada Buku Ajar PAI di SMA Berdasarkan Standar Isi 2006. B. Rumusan Masalah Dari
uraian latar belakang di atas, maka pokok permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana pendidikan plural dan multikultural di Sekolah Menengah Atas; Telaah atas Buku Ajar Pendidikan Agama Islam tahun 2006 dengan sub masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana rumusan pluralisme dan multikulturalisme dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam? 2. Bagaimana desain Buku Ajar PAI yang ada pada SMA? 3. Bagaimana implikasi pembelajaran yang plural dan multikultural terhadap Siswa SMA?
13
C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berjudul ”Pluralisme dan Multikulturalisme dalam Pendidikan Agama Islam; Telaah atas Buku Ajar
Pendidikan Agama Islam pada Sekolah
Menengah Atas.” Untuk mengarahkan dan menghindari penulis dari kekeliruan dan kesalahpahaman terhadap judul ini, maka penulis akan menguraikan secara terperinci dan mendetail akan maksud kata dan kalimat yang tertulis dalam judul ini. 1. Pluralisme Kata “isme” yang melekat pada kata “plural” sesungguhnya tidak sekedar paham, tetapi pada pluralitas itu sendiri atau kemajemukan dan keragaman. Lebih jauh Richard J. Mouw dan Sander Griffon dalam bukunya Pluralism and Horizon, a Pluralism is an About Plurality.19 Istilah pluralisme agama merupakan kata ringkas untuk menggambarkan sebuah tatanan dunia baru di mana perbedaan budaya, sistem kepercayaan, dan nilainilai membangkitkan bergairahnya pelbagai ungkapan manusia yang tidak akan kunjung habis sekaligus mengilhami konflik yang tak terdamaikan. 20 Dalam Logman Dictonary of English Contemporary kata pluralism didefinisikan sebagai “The principle that people of different races, religion and political beliefs can live together peacefully in the same society”. 21 Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “suatu prinsip bahwa orang dengan perbedaan ras,
19
Richard J. Mouw dan Sander Griffon dalam bukunya Pluralism and Horizon (William B. Eerdmans, Publishing Company, 1993), h. 13. 20
Zuly Qo>dir, Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2001 (Cet. I; Yogyakarta: LkiS Printing Cemerlang, 2012), h. 203. 21
Longman Group, Logman Dictonary of English Contemporary Longman Group Uk Limited, 1998), h. 792.
(Cet. VIII England:
14
agama, dan keyakinan politik dapat hidup bersama dalam sebuah komunitas bersama”. Esensi dari pluralisme adalah pengakuan akan kebebasan, perbedaan dan koeksistensi damai. Secara mendasar, pluralisme merupakan suatu kebenaran alamiah, suatu hukum universal, suatu pandangan hidup yang legal, dan suatu rahmat Ila>hi. Di sisi lain, pluralisme meniscayakan adanya perbedaan dan menerimanya dengan kesadaran bahwa perbedaan adalah bagian dari bangunan struktur masyarakat. Tanpa perbedaan, struktur masyarakat tidak akan terbentuk. Dengan demikian, menerima adanya perbedaan bukan karena keterpaksaan atau sekadar basa-basi belaka. Kitab suci al-Qur’a>n mengakui adanya perbedaan karena makhluk yang ada juga beragam. Manusia berbeda bisa karena faktor bahasa, etnik, suku, bangsa, agama, dan sebagainya. Namun demikian perbedaan tersebut bukanlah untuk mendorong ketidakharmonisan dan perang, melainkan tanda dari Ila>hi bahwa manusia mesti berjuang untuk saling pengertian. Beranjak dari fenomena tersebut, Fahmi Huwaydi menyebut Islam sebagai agama yang pluralistik karena Tuhan menciptakan perbedaan. 22 Pluralitas atau kebinekaan merupakan kenyataan aksiomatis (yang tidak bisa dibantah) dan merupakan keniscayaan sejarah (historical secessary) yang bersifat universal. Dalam bahasa agama pluralitas atau kebinekaan agama ini, merupakan sunnatulla>h (kepastian hukum Tuhan), yang bersifat abadi (perennial).23 Selain itu pluralisme agama juga tidak mungkin dilawan dan diingkari.
22
Fahmi Huwaydi, al-Islam wa al-Dimuqritiyah (Cairo: t.p, 1993), h. 22.
23
Nurcholish Majid, Masyarakat Religius (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1997), h. 48.
15
Melihat pengertian pluralisme di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pluralitas tidak menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah keseragaman bentuk agama. Sebab gagasan pluralisme keagamaan, berdiri di antara pluralitas yang tidak berhubungan dalam kesatuan monolitik. Selain itu adanya kemampuan bagi peserta didik untuk memahami bahwa keragaman adalah sebuah keniscayaan. Nilai-nilai dasar dari pluralisme itu sendiri adalah kesamaan dan kebersamaan, sikap terbuka dalam menerima perbedaan yang ada, saling menghargai dan menghormati antar pemeluk agama. Dan melalui konstruksi wacana-wacana tersebut dapat dikelola dengan baik dan perbaikan terhadap Buku Ajar dan Kurikulum PAI sehingga dalam interaksinya sangat diharapkan peranan tokoh agama, masyarakat, dan juga termasuk para pendidik untuk memiliki komitmen yang kokoh dalam penyampaian pesan-pesan agama dan keagamaan yang luhur. 2. Multikulturalisme Multikulturalisme berasal dari kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa, dan lain-lain.24 Dalam konteks Indonesia, multikultural dipahami sebagai kebhinekaan yang berarti perbedaan. Bhineka berasal dari bahasa Sansekerta dan terdapat dalam buku
24
‘Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme; Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2011), h. 143.
16
Sutasoma karangan Mpu Tantular.25 Sedangkan menurut Will Kymlicka politik multikulturalisme memang sangat relevan mengingat bahwa Indonesia sebagai sebuah
negeri
multikultural.
Bhineka
Tunggal
Ika
memuat
idealitas
multikulturalisme di Indonesia.26 Kesadaran multikulturalitas masyarakat kita yang terdiri dari banyak suku dan beberapa agama, maka pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkannya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah mungkin banyak diharapkan oleh banyak pihak dalam rangka untuk mengantisipasi konflik sosial-keagamaan menuju perdamaian. Model pendidikan tersebut bisa dikenal sebagai pendidikan Islam yang berbasis multikultural. Sleeter mengartikan pendidikan multikultural sebagai any set of proces by which school work with rather than against oppressed group. Banks dalam bukunya ”Multicultural Education: historical development, dimension, and practice” menyatakan bahwa meskipun tidak ada konsensus tentang itu ia berkesimpulan bahwa di antara banyak pengertian tersebut maka yang dominan adalah pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.27
25
‘Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme; Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, h. 144. 26
Will Kymlicka, Multicultural Citizenship; a Liberal Theory of Minority Right, diterjemahkan oleh Adlina Hafmini Addin dengan judul Kewargaan Multikultural (Cet. II; Jakarta: LP3ES, 2011), h. xiv. 27
‘Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme; Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, h. 203.
17
Menurut Maslikhah istilah pendidikan multikultural secara etimologis terdiri atas dua terma, yaitu pendidikan dan multikultural. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembang potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Sedangkan secara terminologi pendidikan multikultural merupakan proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). 28 Franz Magnis-Suseno yang dikutip oleh ‘Ali Maksum, mendefinisikan pendidikan multikultural adalah pendidikan yang mengandaikan untuk membuka visi tentang cakrawala yang luas, dan mampu melintasi batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama. Sehingga, mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan dan kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas. 29 Memperhatikan beberapa definisi tentang pendidikan multikulturalisme sebagaimana disebutkan di atas, maka secara sederhana definisi pendidikan multikulturalisme bisa disimpulkan sebagai pendidikan tentang keragaman keagamaan dan kebudayaan dalam merespons perubahan sosio-kultural dan lingkungan masyarakat tertentu. Dalam konteks ini, pendidikan dituntut mampu
28
Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural: Rekonstruksi Pendidikan Berbasis Kebangsaan (Cet. I; Surabaya: PT. Temprina Media Grafika, 2007), h. 5. 29
‘Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme; Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, h. 204.
18
merespons perkembangan keragaman masyarakat dan populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok sosial. 3. Pendidikan Agama Islam Banyak orang merancukan pengertian istilah “Pendidikan Agama Islam” dan “Pendidikan Islam”. Kedua istilah ini dianggap sama, sehingga ketika seseorang berbicara tentang Pendidikan Islam ternyata isinya terbatas tentang Pendidikan Agama Islam, atau sebaliknya ketika seseorang berbicara tentang Pendidikan Agama Islam justru yang dibahas didalamnya adalah tentang Pendidikan Islam. Padahal kedua istilah ini memiliki substansi yang berbeda. 30 Sebelum diterbitkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), Pendidikan Islam disamakan pengertiannya dengan Pendidikan Agama Islam. Namun setelah dikeluarkan UUSPN baru dibatasi pengertiannya antara Pendidikan Islam, Pendidikan Keagamaan (Pendidikan Keislaman), dan Pendidikan Agama Islam. Pendidikan Agama Islam berarti mata pelajaran atau bidang studi agama Islam, sebagai salah satu kurikulum wajib bagi peserta didik muslim dalam menyelesaikan pendidikannya pada tingkat tertentu. 31 Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan itu sendiri secara umum dipahami sebagai proses sepanjang hayat. Dari sini maka pendidikan multikultural memiliki karakter untuk melakukan penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap harkat dan marbat manusia dari manapun dia datangnya dan berbudaya apapun juga sepanjang hayat.
30
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, h. 4. 31
h. 4.
Chatib Thoha, Metodologi Pengajaran Agama (Cet. II; Semarang: Pustaka Pelajar, 2004),
19
4. Buku Ajar PAI SMA Adapun yang dimaksud dengan Buku Ajar PAI SMA dalam penelitian ini adalah Buku Ajar PAI Kurikulum KTSP Berdasarkan Standar Isi 2006 untuk tingkat Sekolah Menengah Atas yang diterbitkan oleh Erlangga.32 Jadi, sebagai definisi operasional dari judul “Pluralisme dan Multikulturalisme pada Pendidikan Agama Islam; Telaah atas Buku Ajar Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Menengah Atas” yang dimaksudkan di atas adalah pluralisme dan multikulturalisme yang terdapat dalam Kurikulum dan Buku Ajar PAI SMA yang mampu dipahami oleh peserta didik, agar mampu menghargai perbedaan dan latar belakang budaya melalui pendidikan dengan mengkaji Kurikulum PAI SMA yang diajarkan selama ini dengan kembali merevisi, merubah, dan menambahkan bahan-bahan atau materi ajar yang layak konsumsi bagi peserta didik menuju pemberian pemahaman pluralisme dan multikulturalisme yang benar. Ruang lingkup penelitian yang dimaksudkan adalah memberi pemahaman bahwa judul tesis ini diarahkan kepada bentuk penelitian terhadap Buku Ajar PAI SMA mengenai aspek pluralisme dan multikulturalisme.
32
Buku Ajar yang diteliti adalah Buku Ajar PAI Berdasarkan Standar Isi 2006 (KTSP) yang disusun oleh Drs. H. Syamsuri.
20
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pemahaman siswa terhadap pembelajaran yang plural-multikultural PAI dalam Buku Ajar pada SMA. Namun secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk: a. Memahami gambaran tentang Buku Ajar PAI yang ada pada tingkat SMA b. Memahami desain pluralisme-multikulturalisme dalam kurikulum PAI c. Mampu mengimplementasikan pembelajaran yang plural-multikultural terhadap siswa SMA. 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memberikan perhatian yang lebih terhadap pluralisme dan multikulturalisme yang terdapat dalam Buku Ajar PAI SMA. Agar mampu memberikan pengetahuan dan wawasan tentang aspek pluralitas dan multikulturalitas dalam PAI tersebut, sehingga diperoleh pengetahuan dan wawasan yang lebih baik terhadap peserta didik yang menjadikan mereka sebagai anak yang memiliki kesalehan, bukan hanya kesalehan individual tetapi juga kesalehan sosial. E. Kajian Pustaka Penelitian ini membahas tentang “Pluralisme dan Multikulturalisme dalam Pendidikan Agama Islam; Telaah atas Buku Ajar PAI SMA”. Buku-buku yang menjadi sumber utama adalah buku-buku yang berkaitan langsung dengan masalah multikulturalisme dan masalah Pendidikan Agama Islam. Buku-buku yang dimaksud
21
di antaranya, adalah; Pluralisme dan Multikulturalisme: Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, buku tersebut hasil karya ‘Ali Maksu>m di dalamnya dibahas Indonesia adalah negeri plural-multikultural. Wajah pluralisme dan multikulturalisme Indonesia tampak pada keragaman bahasa, agama, budaya, etnis, suku, dan tradisi. Keragaman tersebut pada satu pihak menjadi keuntungan dan kekayaan bagi negeri ini manakala dikelola dengan baik akan menghasilkan sinergisitas yang kokoh, tetapi di lain pihak akan menjadi ancaman besar yang menimbulkan malapetaka nasional yang muncul dalam wujud konflik sosial, politik, agama, dan budaya tatkala keragaman tidak dikelola dengan baik.33 Buku, Islam Dinamis Islam Harmonis; Lokalitas, Pluralisme, Terorisme, yang ditulis oleh Machasin. Dalam buku ini tampak adanya konsistensi yang tegas dalam hal keberpihakannya terhadap Islam rah}matan lil ‘a>lami>n, yang terwujud pada tradisi Islam yang teraktualisasi dalam bingkai budaya dan keunikan masyarakat setempat, ruang di mana Islam diperaktikkan tanpa terselip unsur penundukan antara satu dan lainnya, bahkan nyata-nyata bersifat komplementer. 34 Buku, Berislam secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama, yang ditulis oleh Irwan Masdu>qi. Mengenai masalah toleransi di Indonesia dimasukkan dalam lima kerangka teori yang lebih luas. Pertama, dengan pluralisme dalam kaitannya dengan kemajemukan masyarakat Indonesia, khususnya di zaman modern. Kedua, dengan gejala radikalisme yang mengusung kekerasan atas nama agama.
33
‘Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme; Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, h. ix. 34
Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralisme, Terorisme (Cet. I; Yogyakarta: LKIS Printing Cemerlang, 2012), h. vi.
22
Ketiga, dengan dampak fundamentalisme agama-agama di Indonesia. Keempat, berkaitan dengan kebebasan berpikir dan perbedaan
berpendapat. Dan kelima,
berkaitan dengan sikap ekstrim dan moderat.35 Buku yang ditulis oleh Irwan Masdu>qi adalah seorang lulusan al-Azhar, Mesir, Jurusan Ilmu Tafsir, yang berjudul “Berislam Secara Toleran”, adalah merupakan sebuah wacana progresif yang sangat menarik, karena ditulis oleh seorang yang memiliki otoritas ilmu-ilmu keagamaan serta berlatar belakang pendidikan pesantren di Indonesia. Buku ini memiliki tesis bahwa Islam adalah agama yang toleran dan menganjurkan moderasi (wasat{an), walaupun dalam sejarahnya Islam telah melahirkan pemikiran-pemikiran dan doktrin yang bervariasi dalam spektrum semacam monolitik-plural, fundamentalis-liberal, ekstrem-moderat, radikal-demokratis, dan fanatis-toleran.36 Demikian beberapa sumber referensi yang dapat penulis sebutkan. Tentu masih banyak lagi sumber lain yang berkaitan erat dengan objek penelitian ini, namun karena keterbatasan ruang sehingga penulis tidak menyebutkan satu persatu dalam sub bagian penelitian ini. Dari beberapa referensi tersebut sebagian besar hanya membahas secara umum. Begitu pula informasi lain yang diperoleh dari majalah, surat kabat, serta melalui internet semuanya masih bersifat umum belum sampai pada pengkajian secara khusus membahas multikulturalisme Pendidikan Agama Islam; Telaah atas Buku Ajar Pendidikan Agama Islam tahun 2006. Oleh
35
Irwan Masdu>qi, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama (Cet. I; Mizan Pustaka, 2011), h. xxv-xxvi. 36
Irwan Masdu>qi, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama, h. xxvii.
23
karena itu, maka peneliti merasa perlu untuk mengkaji secara konfrehensif tentang pluralisme dan multikulturalisme dalam PAI terhadap Buku Ajar PAI SMA. F. Kerangka Pikir Untuk lebih terarahnya penelitian ini, maka perlu adanya kerangka konseptual sebagai bahan pijakan dalam melakukan penelitian. Hal ini dilakukan agar tampak jelas objek yang ingin dikaji dan dapat mengantar penelitian ini ke arah yang lebih sistematis untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan dalam bentuk skema berikut ini: Al-Qur’an dan Hadis UU RI. No. 20 Tahun 2003 Permen Diknas, No. 22 Tahun 2006 PP RI. No. 55 Tahun 2007
Pendidikan Agama Islam
Buku Ajar PAI Berdasarkan Standar ISI 2006 (KTSP)
Multikulturalisme
Pluralisme
Peserta Didik yang Plural dan Multikultural
24
Melihat berbagai persoalan yang membelenggu pendidikan khususnya Pendidikan Agama Islam sampai saat ini, maka sangat penting untuk melakukan konstruksi sistem pendidikan Islam yang dibangun pada dasar pluralisme dan multikulturalisme dalam Pendidikan Agama Islam yang terdapat dalam kurikulum Buku Ajar PAI SMA yang mampu mengedepankan pada aspek tersebut sebagai paradigma Pendidikan Agama Islam di Indonesia yang mampu dipahami dan dikuasai serta menjadi bagian dalam kehidupan peserta didik sehari-hari. Kesadaran pluralisme dan multikulturalisme adalah sebuah keniscayaan yang harus disadari oleh setiap peserta didik. Tentunya, kesadaran tersebut tidak lahir begitu saja, namun mengalami proses yang panjang, sebagai realitas pemahaman yang kompleks terhadap fenomena kehidupan saat ini. Pendidikan Agama Islam harus mampu menghidupkan karakter pendidikan demokrasi dalam proses pendidikan. sistem pendidikan demokrasi tersebut akan memberikan keluasan pada peserta didik untuk mengeskpresikan pendapatnya secara bertanggungjawab sehingga dalam realitas sosialnya dapat dipahami sebagai pandangan dan pendapat yang berbeda. Olehnya itu, yang muncul adalah bagaimana pandangan Islam tentang pluralisme-multikulturalisme, seberapa banyak Bukur Ajar (text book) Pendidikan Agama Islam yang menyajikan materi tersebut, dan bagaimana implementasinya pendidikan plural dan multikultural terhadap peserta didik. Demikian halnya, masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, maka dalam penyusunan kurikulum Pendidikan Agama Islam adalah kurikulum yang mampu mengarahkan peserta didik menjadi manusia yang demokratis, pluralis, dan multikultural serta menekankan pada penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu peserta didik yang tidak hanya pandai (intelegency) tetapi juga bermoral dan etis (spritual), yang mampu hidup dalam
25
suasana demokratis dan saling menghormati hak orang lain dengan berbagai latar belakang. G. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian dalam tesis ini adalah penelitian kepustakaan (library research), dalam pengertian semua sumber datanya berasal dari bahan-bahan tertulis yang dipublikasikan dalm bentuk buku, makalah, surat kabar, dan majalah. Selain bersifat kepustakaan, penelitian ini juga dikategorikan sebagai penelitian kualitatif deskriptif,37 serta analisis dengan menggunakan analisis isi (content analysis)38 dalam arti menggambarkan data apa adanya. 39 Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatif deskriptif, karena data-data yang diteliti adalah data verbal yang tidak berbentuk angka-angka melainkan dalam bentuk kata, kalimat dan ungkapan-ungkapan yang tertuang dalam naskah (text book), maupun informasi yang dipaparkan oleh para ilmuan dan ahli pendidikan melalui karya-karya mereka. 2. Pendekatan Penelitian Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan teologis-normatif dan pendekatan pedagogis. Kedua pendekatan ini digunakan dengan pertimbangan:
37
Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Cet. VII; Bandung: Rosdakarya, 1995), h. 3. 38
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Cet. VIII; Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h. 49. 39
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 31.
26
a. Pendekatan teologis normatif digunakan dengan maksud mengkaji kembali nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme yang dijadikan dasar sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis. b. Pendekatan pedagogis digunakan oleh karena pembahasan tesis ini berkaitan dengan pluralisme dan multikulturalisme dalam PAI; Telaah atas Buku Ajar PAI SMA. 3. Sumber Data Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, sehingga data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan subjek penelitian. Penelitian ini sifatnya adalah penelitian kepustakaan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah metode library research, yaitu mengumpulkan bahan-bahan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan dan dilakukan melalui studi kepustakaan. 40 Sumber data yang dipelajari adalah yang menyangkut permasalahan yang dibahas, laporan penelitian, surat kabar, majalah ilmiah atau internet. Proses pengambilan data yang diambil dari kepustakaan (library research), peneliti menggunakan teknik pengambilan data, yakni kegiatan mencari dan menyortir dari berbagai sumber data yang berkaitan dengan permasalah yang diteliti, sumbernya, baik berupa buku (kitab), referensi, maupun abstrak hasil penelitian dan lain sebagainya.41
40
Sukardi, Metode Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Prakteknya (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 34-35. 41
Sukardi, Metode Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Prakteknya, h. 36.
27
Sumber utama (primer) yang digunakan untuk menganalisis pokok permasalahan penelitian ini adalah Buku Ajar PAI Kurikulum KTSP Berdasarkan Standar Isi 2006 pada Tingkat Menengah Atas yang diterbitkan oleh Erlangga. Sedangkan sumber data sekunder adalah data tambahan yang berupa tulisan, buku, dan bentuk dokumen lainnya yang berkaitan dengan fokus penelitian. Data dalam bentuk tulisan, buku dan dokumen lainnya digunakan oleh peneliti untuk menguatkan hasil penelitian. 4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Data yang dikumpul dan diolah dengan menggunakan metode kualitatif kemudian peneliti menganalisa dengan menggunakan analisis kritis. Analisis kritis diterapkan pada pengkajian terhadap data primer dan sekunder, dengan mendeskripsikan gagasan-gagasan dengan memberi penafsiran untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang masalah yang dibahas. H. Garis Besar Isi Tesis Upaya sistematisasi terhadap penulisan tesis ini secara deskriptif penulis uraikan dalam out line berikut ini: Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang secara umum memaparkan latar belakang masalah, yakni uraian tentang alasan persoalan ini perlu diangkat dan disajikan sebagai bahan studi kajian. Selanjutnya dijelaskan pula rumusan masalah, defenisi operasional dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustka, kerangka teori, dan garis besar isi tesis. Bab
kedua,
uraian
tentang
pluralisme-multikulturalisme;
pendidikan
berwawasan pluralisme-multikulturalisme, perspektif Islam dalam teologi pluralis-
28
multikulturalis, PAI di Indonesia (pengertian PAI di Sekolah Umum, PAI dan Integrasi Keilmuan, Kedudukan Pendidikan Agama di Sekolah). Bab ketiga, berisi tentang pluralisme-multikulturalisme dalam Buku Ajar PAI SMA, pembahasan ini merupakan content analysis yang menggungkap dan menunjukkan tentang pemahaman pluralisme-multikulturalisme dengan mengacu pada pendekatan modus analisis berupa pendekatan semiotik, dan pada bab ini pula akan
dikemukakan
tentang
Buku
Ajar
PAI
SMA,
Materi
Pluralisme-
Multikulturalisme dalam Buku Ajar PAI SMA serta Desain Pembelajaran dalam Buku Ajar PAI SMA. Bab keempat, membahas tentang implementasi dan evaluasi pembelajaran dalam kurikulum PAI yang plural-multikultural. Pembahasan ini akan dilengkapi dengan pembahasan tentang kurikulum PAI yang plural-multikultural. Dan pada bab kelima, merupakan bab terakhir yang menjadi penutup uraian panjang penelitian ini dengan beberapa kesimpulan dan implikasi serta saran-saran.
BAB II PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME A. Pendidikan Berwawasan Pluralisme dan Multikulturalisme Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdiri dari berbagai suku bangsa, dan setiap suku bangsa berbeda dalam banyak hal dengan suku bangsa lainnya. Adanya berbagai perbedaan yang tidak hanya memberikan keunikan yang menarik yang dapat dibanggakan, namun dipihak lain dapat menimbulkan berbagai konflik. Salah satu persyaratan terbentuknya Negara yang damai dan demokratis, adalah menghargai dan mengamini adanya keanekaragaman (pluralitas) masyarakat dan bangsa. Namun memang sulit untuk memahami konsep multikulturalisme dan pluralisme itu kedalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sehingga tidak jarang pemahaman tentang konsep multikulturalisme dan pluralisme akan menjadi sebuah ancaman besar bagi kehidupan umat. Hal itu berjalan seperti yang diungkapkan oleh Samuel Hantington dalam “Clash of Civilizition” yang dikutip oleh Ngainun Naim bahwa proses kontemporer modernisasi global secara aktif menyumbang pada perkembangannya masalah-masalah etnisitas yang dikaitkan dengan kemunculan kembali persoalan komunitarian secara signifikan.1 Dalam upaya menyatukan bangsa yang plural ini, memang dibutuhkan perjalanan waktu yang cukup panjang dan penuh perjuangan. Dan tentunya beberapa konflik dan konsensusnya akan mewarnai upaya mewujudkan bangsa yang damai, tenteram dan demokratis. Dan itu karena masyarakat akan terus berubah sesuai
1
Ngainun Naim, Pendidikan Mukltikultural; Konsep dan Aplikasi (Cet. I; Jogyakarta: ArRuzz Media, 2008), h. 35.
29
30
dengan kodratnya sebagai makhluk evolusioner yang sarat dengan kepentingan hidup berbeda-beda. Fenomena paling menonjol di Indonesia di Era Reformasi adalah kekerasan antar kelompok agama. Berbagai catatan akhir dan awal tahun oleh Lembagalembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menekuni bidang Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan beragama dan berkeyakinan menunjukkan keprihatinan yang mendalam dan deretan catatan tentang arus pasang kekerasan antar kelompok agama. Potensi konflik di daerah rawan konflik tersebut, dikarenakan telah terkikisnya sikap toleransi dan solidaritas antar sesama dalam menyikapi perbedaan itu. Maka untuk tidak berkembang konflik yang lebih besar, perlu kita menanamkan pentingnya memahami dan menghargai perbedaan itu. Karena keanekaragaman dan perbedaan merupakan kodrat dari sang pencipta alam. Dari berbagai macam problem yang dihadapi bangsa Indonesia tersebut, kerusuhan-kerusuhan berdarah atau konflik atas nama agama mendapatkan penanganan dengan konsep pluralisme. Konsep pluralisme telah berkembang pesat di Indonesia, dan diserukan oleh berbagai pihak, baik dari pemerintah, tokoh agama, LSM, dunia pendidikan, bahkan sampai pada kelompok-kelompok kajian kampus. Namun pemahaman tentang pluralisme cukup beragam. Dalam menjalankan alternatif religiusitas, semua komunitas mengambil pilihan metode membongkar prasangka yang diwujudkan dalam semua aktivitas yang dipikirkan, dibicarakan dan dijalankan bersama-sama tanpa otoritas superior yang mengawalnya. Satu-satunya pengawal adalah kejujuran, ketulusan, dan keyakinan kepada kebaikan-kebaikan yang mungkin dicapai.2
2
Ahmad Baso, Plesetan Lokalitas; Politik Pribumisasi Islam (Cet. I; Jakarta: Desantara, 2002), h. 134.
31
Pendidikan Islam yang berlangsung di Indonesia, kini sedang dilanda krisis, dan karena itu, meminjam istilah Kuhn pemikiran pendidikan Islam perlu direformulasi dan direkonstruksi dari “normal science” menuju ”revolutionary science”. Revolutionary science dapat terjadi apabila kita dapat melakukan rekonstruksi dan pengujian ulang secara kritis mengenai sikap pandang umat Muslim terhadap pemikiran pendidikan Islam di masa lalu yang selama ini ada merupakan sebuah hal yang niscaya. Selain itu, juga sebagai upaya pemecahan persoalan yang pelik dalam wilayah normal science, dengan tidak meninggalkan the heuristic principle, yakni prinsip untuk melakukan pengkajian dan penelitian secara terusmenerus untuk menemukan penemuan baru dan pemikiran baru, mengingat metode dan cara pandang yang digunakan dalam pemikiran dan praktik pendidikan Islam (lebih-lebih Pendidikan Agama Islam) selama ini secara mainstream masih berdiri pada wilayah “normativitas” an sich. Pengkajian dan pengujian ini meniscayakan pembaruan pemikiran pendidikan Islam secara menyeluruh. 3 Salah satu solusinya yaitu membumikan Pendidikan Agama Islam yang berwawasan pluralisme dan multikulturalisme. Dengan beroreintasi pada kesadaran akan pentingnya pluralisme dan multikulturalisme ini, Pendidikan Agama Islam di sekolah, di madrasah, dan di pesantren akan dapat melahirkan pemahaman Islam yang Inklusif dan toleran. Berdasar pada pemikiran di atas, maka para ahli pendidikan Islam perlu menguji dan mereformulasi ulang subject matter Pendidikan Agama Islam. Isi Pendidikan Agama Islam yang berkonteks sosial yang kurang relevan, atau bahkan
3
‘Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme; Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2011), h. 4.
32
sudah ketinggalan dengan kepentingan ke-Indonesiaan dan kekinian harus ditinggalkan. Oleh karena itu, sudah mendesak kurikulum Pendidikan Agama Islam dievaluasi kembali sehingga pengajaran agama Islam relevan dengan semangat keIndonesiaan yang ingin dicapai, yakni tercapainya integritas kebangsaan, cinta tanah air, nasionalisme, peduli sesama, cinta lingkungan, menjunjung tinggi kemanusiaan, dan mampu menghargai keragaman sebagai modal untuk menjadi bangsa yang besar. Pendidikan pluralisme-multikulturalisme adalah proses penyadaran yang berwawasan pluralis (secara agama) dan sekaligus berwawasan multikultural (secara budaya). Pendidikan pluralisme-multikulturalisme harus dilihat sebagai bagian dari usaha komprehensif menghindari, mencegah, dan menanggulangi konflik bernuansa etnis dan agama di masa mendatang. Tidaklah cukup membentuk wadah-wadah institusional yang melibatkan seluruh komponen umat beragama seperti sekretariat bersama, majelis-majelis agama, sementara program strategis dan kongkritnya tidak ada sama sekali. Pendidikan pluralis-multikultural ini harus menjadi proyek bersama yang berjangka panjang.4 Toleransi merupakan sikap warga negara yang aktif, bukan sikap yang spontan. La tolerance est une position civique active, at non pas une attitude spontanne, tulis Fernando Savater. Artinya, sikap toleran tidak akan tertanam dengan sendirinya, tanpa ada sadar menginternalisasikannya. Toleransi, pluralisme, dan multikulturalisme harus dididikkan, tidak berhenti pada wacana. Keputusan majelis ulama, keputusan konsili, kesepakatan sidang dewan gereja-gereja sedunia, dan kesepakatan hasil pertemuan tokoh agama yang menganjurkan toleransi dan
4
Muhammad ‘Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan (Jakarta: Buku Kompas, 2003), h. 99.
33
kerja sama tidak akan cukup efektif apabila hanya berhenti di kertas, tanpa dukungan pendidikan dalam arti yang luas.5 Keberhasilan pendidikan agama lebih sering dilihat dari seberapa banyak hapalan kitab suci dan pengetahuan tata cara ritual. Teks-teks agama yang diajarkan hanya memperkuat iman dan solidaritas seiman, apalagi pembelajarannya bersifat tekstual dan simbolik, tidak kontekstual dan subtantifistik. Padahal teks-teks agama cukup sarat dengan pluralisme dan karena itu harus dididikkan. Misalnya, “Tuhan tawarkan bagi manusia banyak jalan, andaikan Tuhan berkehendak, manusia akan menjadi satu umat, tetapi Tuhan tidak melakukan demikian; Tuhan ingin menguji di tengah pluralitas itu.” (QS al-Ma>idah/5: 48).6 Ayat tersebut menurut Wahbah Zuhaili> dalam kitabnya bahwa perbedaan antara satu umat dengan umat yang lain adalah fitrah dan merupakan tabiat manusia, dan tidaklah sulit bagi Allah untuk menyatukan seluruh manusia dalam satu agama. Tetapi Allah tidak melakukan hal tersebut sebab Ia telah mentakdirkan bahwa pikiran manusia itu tidak sama ada yang sesat dan ada yang mendapat petunjuk, perbedaan tersebut membuat mereka untuk mencari keselarasan hukum, dan pilihan untuk berbuat baik. Demikian terus menerus, sehingga dalam kehidupan itu manusia menentukan kapabilitas dalam beramal. Tetapi janganlah karena perbedaan pandangan membuat kamu saling membenci dan bermusuhan tetapi jadikanlah
5
Muhammad ‘Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, h. 100. 6
Muhammad ‘Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, h. 101.
34
perbedaan itu sebagai jalan untuk menciptakan perdamaian dan mencari solusi bersama.7 Charlene E. Westage menyebutkan kondisi seperti itu sebagai “Spiritual Wellness” yang diartikan terhadap suatu keadaan yang tercermin dalam keterbukaan terhadap dimensi spiritual yang memungkinkan keterpaduan spiritualitas dirinya dengan dimensi kehidupan lainnya, sehingga mengoptimalkan potensi untuk pertumbuhan dan perwujudan dan lain-lain. Dengan kata lain, mereka yang memiliki “Spiritual Wellness” memiliki kemampuan untuk mewujudkan dirinya secara bermakna dalam dimensi-dimensi hidup secara terpadu dan utuh. Inilah fokus utama dari makna pendidikan keagamaan menurut Qodri Azizy.8 Pendidikan agama berwawasan multikultural mengusung pendekatan dialogis untuk menanamkan kesadaran hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan. Pendidikan ini dibangun atas spirit relasi kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami, dan menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan, dan interdependensi. Ini merupakan inovasi dan reformasi yang integral dan komprehensif dalam muatan pendidikan agama; memberi konstruk pengetahuan baru tentang agama-agama yang bebas prasangka, rasisme, bias, dan streotip. Pendidikan agama multikultural memberi pengakuan akan pluralitas, sarana belajar untuk perjumpaan lintas batas, dan mentransformasikan indoktrinasi menuju dialog. 9
7
Wahbah al-Zuhaili>, Tafsir al-Munir fi> al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Mana>hij Juz XIII (Bairu>t: Da>r al-fikr, t.tp), h. 211. 8 9
Qodri Azizy, Membangun Integritas Bangsa (Cet. I; Jakarta: Rrenaisan, 2004), h. 77.
Zakiyuddin Baidha>wy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Cet. I; Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2005), h. 74.
35
Pendidikan pluralisme-multikulturalisme adalah proses penyadaran yang berwawasan plural (secara agama) dan sekaligus berwawasan multikultural (secara budaya). Pendidikan
plural\isme-multikultural bertujuan untuk menghindari,
mencegah, dan menanggulangi konflik di masa datang. Adanya lembaga-lembaga yang melibatkan tokoh agama, tanpa adanya upaya konkrit untuk menciptakan perdamaian, maka kedamaian sulit didapat.10 Tujuan dari hal tersebut di atas, bahwa pendidikan pluralis-multikultural adalah untuk menanamkan simpati, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Bahkan lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan ketidaktoleranan, seperti inkuisisi, perang agama, dan diskriminasi. Pendidikan ini jika diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, akan menciptakan kedamian, ketentraman, dan kesejahteraan, serta akan melahirkan generasi yang saleh dan toleran. Kesalehan yang dimaksud adalah kesalehan individual dan sosial, dan toleransi adalah satu sikap lapang dada terhadap perbedaan yang ada. B. Perspektif Islam untuk Basis Teologi Pluralis-Multikulturalis Barangkat dari kesadaran adanya fenomena bahwa “satu Tuhan, banyak agama” merupakan fakta dan realitas yang dihadapi oleh manusia sekarang. Maka, manusia sekarang harus didorong menuju kesadaran bahwa pluralisme dan multikulturalisme memang sungguh-sungguh fitrah kehidupan manusia. Mendorong setiap orang untuk dapat menghargai “keanekaragaman” adalah sangat penting segera dilakukan terutama di negara Indonesia yang pluralistik ini. Dampak krisis
10
Muhammad ‘Ali, Teologi Pluralis-Multikultural; Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, h. 99-100.
36
multi-dimensional yang melanda, menyebabkan bangsa Indonesia menghadapi berbagai problem sosial. Salah satu problem besar di mana peran agama menjadi sangat dipertanyakan adalah konflik etnis, kultur dan religius, atau yang lebih dikenal dengan SARA.11 Fenomena tersebut muncul bukan hanya karena kuatnya pengaruh perlintasan budaya dan paham plural saat ini, tetapi juga akibat keadaan generasi muda masyarakat kita yang melek spiritualitas dan pemahaman agamanya. Ini adalah tantangan bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama, dalam menyiapkan generasi muda. Untuk itu, yang kita butuhkan sekarang ini dalah model pendidikan agama yang mampu membentuk cara pandang terbuka, toleran, dan simpatik terhadap perbedaan, namun di sisi lain keimanan dan perwujudan syariat agama harus menjadi basis utama bagi pengembangan semua tatanan berpikir dan sikap sosial tersebut. Namun demikian, evolusi kebudayaan sering kali menjelaskan secara nyata bahwa gerakan evolusioner yang telah diniatkan dan diupayakan sebaik mungkin tidak selalu sesuai dengan cita-cita sosial umat Islam. Pada faktanya relasi agama, antar etnik dan antar budaya, bahkan antar sesama Muslim itu sendiri terus mengalami kehancuran dan kemunduran ketika perbedaan perspektif, pandangan dunia dan ideologi saling konfrontasi dan berebut kepentingan. Kehidupan kini menjadikannya semakin tidak jelas bahwa kunci utama agar kita tetap survive pada saat ini dan esok tergantung pada cara kita belajar menanggulangi kekuatankekuatan dan ledakan-ledakan besar ketika berbagai pandang dunia saling
11
‘Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme; Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, h. 200.
37
bertubrukan. Sekarang menjadi nyata bahwa prioritas paling utama menghadapi pluralitas dan multikulturalitas bangsa yang semakin canggih dan menemukan percepatannya melalui globalisasi, hanya dapat memperoleh solusi praktis secara kreatif bagi problem fundamental dari relasi manusia yang lahir ketika berbagai pandangan dunia Islam dan non-Islam saling bertemu.12 Ajaran agama dan tradisi lokal, sepanjang perjalanan sejarahnya, secara praktis saling berbaur dan tidak bisa dipisahkan. Agama besar selalu melahirkan tradisi besar, sementara tradisi budaya yang sudah mapan tidak mudah berubah dan digeser oleh agama.13 Sejumlah kajian sosiologis dan antropologis telah menunjukkan potensi pandangan dunia agama (Islam) untuk mereduksi ketegangan dan menyediakan solusi nirkekerasan terhadap konflik dalam berbagai setting kultural. Dalam situasi konflik komunal yang berkepanjangan inilah, Islam merasa perlu meredefinisi kehadirannya dalam konteks keragaman agama dan budaya, sekaligus menawarkan suatu harapan dan perspektif keagamaan baru bahwa Islam adalah seraut wajah yang tersenyum (smiling face of Islam), damai dan nirkekerasan. Islam perlu memberi nuansa paradigmatik bagi rekonstruksi dan pembangunan karakter bangsa (national character building and reconstruction) pada umumnya. Ia perlu membangkitkan kembali idealisasi sebagai agama non-sentralistik, kebalikan dari sifat indoktriner dan otoriter. Tanpa mengabaikan ajaran-ajaran teologis yang dipahami untuk memperkuat keimanan dan pencapaian nilai-nilai eskatologis, Islam mengiringinya dengan kesadaran berdialog dan kesiapan untuk berjumpa dengan 12 13
Zakiyuddin Baidha>wy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, h. 43.
Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Cet. II; Jakarta: Mizan Media Utama, 2012), h. 253.
38
siapapun, kapan dan di manapun dikehendaki. Dengan cara ini, Islam mempunyai kesempatan berharga untuk tampil sebagai agama publik sekaligus agama profetik yang menjanjikan dengan perspektif khas multikulturalis untuk membedakan dan sebagai perluasan dari dua pandangan keagamaan inklusif dan pluralis.14 Pendidikan perdamaian juga harus dilakukan dengan kerangka pendidikan multikultural yang tidak artifisial. Pendekatan multikultural terhadap pendidikan menekankan bahwa semua budaya memiliki pandangan penting tentang kebenaran. Penghargaan terhadap multikulturalisme memungkinkan terciptanya kesadaran hidup berdampingan, sementara keragaman budaya dan keyakinan membentuk paradigma dialektif, inklusif, dan pluralis. C. PAI pada Sekolah Umum Para ahli telah memberikan defenisi tentang pendidikan Islam dengan defenisi yang sangat komprehensif, diantaranya Muhammad Fa>dli al-Jama>li mendefenisikan dengan “suatu proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan
kemampuan
ajarnya”.15
‘Umar
Muhammad
at-To>umy
as-Syaiba>ny
mendefenisikan dengan “usaha untuk mengubah tingkah laku dalam kehidupan, baik individu atau bermasyarakat serta berinteraksi dengan alam sekitar melalui proses kependidikan berlandaskan nilai Islam.16 Sedangkan Muhammad Munir Mursyi mendefenisikan dengan “pendidikan fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah, maka segala perintah, larangan, dan kepatuhan dapat mengantarkan
14
Zakiyuddin Baidha>wy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, h. 44.
15
HM. Arifin , Filsafat Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 17.
16
‘Umar Muhammad at-To>umy as-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 39.
39
mengetahui fitrah ini”.17 Dan Hasan Langgulung mendefenisikan dengan “suatu proses spritual, akhlak, dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai, prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia akhirat. 18 Dari beberapa defenisi di atas, memberikan corak dan gaya pendidikan yang beroreintasi pada nilai-nilai normatif dan semangat kulturalisasi moral dalam pendidikan. Kulturalisasi moral adalah semangat untuk menjadikan moral sebagai bagian dari perangkat budaya dan adat-istiadat yang lahir sesuai dengan nilai-nilai luhur (akhla>kul kari>mah). Karenanya, konsep yang disiapkan lebih beroreintasi kepada urusan dunia dan akhirat. Pemahaman agama dan pendidikan selalu berkaitan serta adanya keharusan untuk saling mempengaruhi. Agama jika dihubungkan dengan sistem pendidikan nasional pada dasarnya menjadi bagian dari kurikulum, seperti M. Dawam Raharjo, karena agama dimaksudkan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya, dengan pertama-tama mengarahkan anak didik menjadi “manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.19 Di dalam GBPP PAI di SMA dijelaskan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam menyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan dengan memperhatikan tuntunan untuk menghormati agama lain dalam
17
Muhammad Munir Mursyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah (Cairo: Dar al-Kutub, 1977), h. 25.
18
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: al-Husna, 1993), h. 62.
19
M. Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Budaya (Cet. I; Jogyakarta: The International Institute of Islamic Thought Indoensia dan Lembaga Studi Agama & Filsafat dengan Dana Bakti Prima Yasa, 2002), h. 85.
40
hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.20 Bertolak dari makna dan tujuan Pendidikan Agama Islam tersebut, mampu mewujudkan ukhuwah islamiyah dalam arti luas. Meskipun masyarakat berbedabeda agama, ras, etnis, tradisi dan budaya, tetapi bagaimana melalui keagamaan ini dapat dibangun suatu tatanan hidup yang adil, rukun, damai dan sejahtera sebagaimana diamanatkan Islam terkait pesan-pesan kemanusiaan al-Qur’a>n. Paradigma pendidikan Islam ke depan harus didasarkan pada filsafat teosentris dan antroposentris sekaligus. Materi PAI yang ideal adalah materi yang mampu diserap untuk kemudian direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, bahwa PAI jangan hanya ditekankan pada segi kognitif atau ritus-ritus keagamaan semata, namun ia juga harus mampu menyemaikan nilai-nilai keagamaan dan membuatnya terwujud nyata dalam tingkah laku dan budi pekerti sehari-hari yang sering disebut dengan budi pekerti luhur atau akhla>k al-kari>mah. Oleh karena itu, hakekat pendidikan plural-multikultural dalam PAI perlu untuk digalakkan. Nurcholish Majid menyatakan, bahwa watak inklusif Islam adalah pikiran bahwa yang dikehendaki Islam ialah suatu sistem yang menguntungkan semua orang termasuk mereka yang non-muslim. Dan pandangan ini menurut Nurcholish Majid telah memperoleh dukungannya dalam sejarah Islam sendiri. 21 Atau mengambil legitimasi dalam al-Qur’a>n bahwa karena Islam pada hakekatnya dan sebagaimana sabda Rasulullah saw. sendiri merupakan rahmatan lil ‘a>lami>n. 20 21
GBPP, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Depag, 1994), Desember, h. 1.
Nurcholish Majid, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat; Kolom-kolom di Tabloid Tekad (Jakarta: Tabloid & Paramadina, 1999), h. 13.
41
Di samping itu, materi PAI harus mampu menjawab kebutuhan peserta didik dan masyarakat pemakai kurikulum tersebut. Materi tersebut juga diharapkan dapat merangsang peserta didik menemukan solusi kehidupan dalam kaitannya dengan pola interaksi dengan sekitar, kejiwaan, berperilaku, menghindari pengaruh buruk, menumbuhkan semangat, mengatasi permasalahan-permasalahan, dan tentu saja menumbuhkembangkan semangat keberagamaan yang inklusif-humanis yang menuhankan Tuhan dan memanusiakan manusia. 1. PAI dan Integrasi Keilmuan Berbicara tentang PAI, maka akan terkait dengan pengertian PAI, peran PAI dalam masyarakat plural, dan tujuan serta ruang lingkup PAI. Pemahaman PAI bisa dimulai dengan melihat UUSPN No. 2/1989 pasal 37 ayat 2 ditegaskan bahwa: “Isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat, antara lain pendidikan agama. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.” Adapun defenisi PAI sebagaimana tercantum dalam GBPP PAI adalah: “Usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau pelatihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain
42
dalam kerukunan umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.”22 PAI pada sekolah umum merupakan kumpulan materi keagamaan seperti alQur’a>n, akidah, akhlak, fikih, dan sejarah Islam. Materi-materi ini terangkum secara integral kedalam satu bidang studi yang disebut Pendidikan Agama Islam. Integralistik PAI itulah yang membekali anak didik ilmu-ilmu keagamaan pada sekolah umum. Materi PAI adalah materi yang membekali anak didik kemampuan untuk hidup sesuai dengan norma-norma yang berlaku, oleh karenanya muatan kurikulum PAI harus komprehensif. Muatan-muatan PAI bukan saja berisi materi-materi agama semata, ia juga harus mengintegrasikan disiplin keilmuan yang lain, seperti ilmuilmu sosial, alam dan sebagainya.23 Istilah integrasi keilmuan dalam Islam paling tidak ada empat pandangan, yaitu: pertama, aliran yang berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antar manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Tokohtokoh terkemuka dalam aliran ini antara lain H{a>san al-Banna, Sayyid Qu>tb, Syeikh Muhammad Ra>syid Ri>dho, dan al-Maudu>di; kedua, aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Tokoh aliran ini adalah ‘Ali Abdul Ra>ziq dan Tha>ha H{u>sein; ketiga, aliran yang menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang 22
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Cet. III; Bandung: Rosda Karya, 2004), h. 75-76. 23
A. Malik Fadjar, Reoreintasi Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Fajar Dunia, 1999), h. 27.
43
mengatur kehidupan manusia dengan Tuhannya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Tokoh dalam aliran ini adalah H{usein Haikal; dan keempat, pandangan yang mengatakan bahwa Islam adalah petunjuk hidup yang menghidupkan. Islam tidak memberikan petunjuk terhadap semua aspek kehidupan manusia yang bersifat baku dan operasional. Karena hal ini akan mematikan kreatifitas dan memasung kebebasan manusia yang diberikan secara resmi dan khusus. Hal-hal yang bersifat krusial, khusus dan memang tidak memerlukan kreativitas pemikiran manusia. Seperti aturan ibadah mah}dah, hal-hal yang berhubungan dengan keluarga seperti masalah perkawinan dan warisan. 24 Salah satu persoalan yang mendasar dalam pendidikan Islam di Indonesia adalah adanya dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu Islam dan ilmu-ilmu umum. Secara epistemologis, pendidikan Islam sebenarnya tidak mengenal pemisahan ini. Sebab semua ilmu itu pada dasarnya berasal dari sumber yang tunggal, yaitu Allah swt.25 Secara prinsip, pemisahan antara pengetahuan umum dengan pengetahuan agama tidak selaras dengan landasan epistemologis keilmuan Islam. Oleh karena itu, antara keduanya harus terintegrasi secara harmonis. Secara faktual, dikotomi ilmu pengetahuan ini telah terjadi dan dimulai sejak penjajahan Belanda. Pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum, sekolah agama dan sekolah umum, sampai kepada pendanaan yang bersifat diskriminatif.26 Upaya
24
Munawir Sjadza>li, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Cet. I; Jakarta UI Press, 1990), h. 1-2. 25
al-Muja>mir Qo>mar, Epistemologi Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Erlangga, 2005), h. 34.
26
Kareel Stenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 3.
44
penjajah ini merupakan bagian dari usaha Belanda untuk memecah umat Islam agar mereka tetap kokoh menduduki negara jajahannya. Berkaitan dengan kondisi di atas, maka perlu langkah untuk menghilangkan dikotomi tersebut. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah dengan mendesain dan melaksanakan pembelajaran secara integral. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan materi pelajaran yang disampaikan dengan aspek-aspek dalam ajaran Islam.27 Integralisasi materi-materi umum dan ilmu-ilmu umum kedalam materi PAI ini dapat dilakukan dengan mengkombinasikan tema yang berlaku umum di masyarakat dengan selalu memberikan penguatan (reinforcement) melalui penyertaan dalil-dalil atau alasan yang diadopsi dari agama. Sebenarnya, mengenai ilmu agama dengan ilmu umum sudah lama mengalami perdebatan yang sangat panjang. Walaupun sesungguhnya perdebatan ini tidak perlu, karena ilmu agama itu sendiri hasil ijtihad manusia yang tidak lepas dari kesalahan sebagaimana halnya dengan ilmu umum. Bedanya antara ilmu agama dengan ilmu umum adalah terletak pada dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya saja. Ilmu agama terletak dari wahyu atau berada pada kerangka wahyu yang menyebabkan pengembangan ilmu agama tidak sebebas ilmu umum. Namun siapa yang dapat memastikan bahwa ilmu agama tertentu masih sesuai dengan wahyu, karena boleh jadi sesuatu dianggap agama, tetapi sesungguhnya bukan agama.28 27
Muhammad ‘Atiyah al-Abra>syi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha (Mishr, Isa alBaby al-Halaby wa Syurakah, ttp), h. 22. 28
Ada dugaan bahwa ilmu agama yang kita anut hari ini yang telah diturunkan kepada Nabi dan Rasul, kemungkinan bukan agama yang dimaksud, agama itu merupakan hasil imajinasi, campuran dengan nilai-nilai mitos yang telah diwariskan, khayalan sosial, imajinasi para tokoh sejarah, dan sebagainya. Kita bukan memeluk agama Islam atau mereka bukan memeluk agama Kristen, Budha atau Hindu, yang kita peluk adalah agama semacam agama Islam, atau mereka
45
Dengan demikian maka, kelahiran ilmu pengetahuan tidak terlepas dari ketiga aspek tersebut. Ketiga aspek tersebut dengan sendirinya tidak bisa dipisahpisahkan, jika adanya pengetahuan itu untuk kepentingan umat manusia. Perangkat-perangkat tersebut di atas, merupakan prasyarat mutlak bagi keberhasilan pembelajaran yang beroreintasi kepada standar proses. Dalam standar proses keberhasilan suatu pembelajaran sangat ditentukan oleh bagaimana pelaksana prosedur pembelajaran itu dilakukan dan sejauhmana langkah-langkah yang ada dapat dilaksanakan melalui tahapan-tahapan yang sudah ditentukan. 2. Kedudukan Pendidikan Agama di Sekolah Orientasi dan implementasi pendidikan plural-multikultural dalam konteks agama Islam, melalui pengembangan aspek yang dipelajari dalam Buku Ajar PAI di SMA. Oreintasi dan implementasi pendidikan plural-multikultural itu sendiri adalah “memanusiakan kemanusiaan manusia” kemanusiaan manusia pada dasarnya adalah pengakuan atas pluralitas, heterogenitas, dan keragaman manusia itu sendiri, pendidikan multikultural tidak mentolelir adanya ketimpangan kurikulum. Artinya pendidikan multikultural menghargai adanya perbedaan filosofi keilmuan. Ilmu-ilmu yang berbeda bukan untuk dikonfrontasikan apalagi saling mencekal dan merasa paling benar, melainkan saling melengkapi dan menunjang. Sifat holistik ajaran Islam memiliki implikasi praktis terhadap tujuan, kurikulum, metode dan sistem evaluasi dalam pendidikan Islam. Dengan sifat holistik ini, tujuan pendidikan meliputi kepentingan hubungan dengan manusia, alam dan Tuhan sekaligus.
memeluk agama semacam agama Kristen, Budha dan Hindu. Yang kita peluk adalah semacam agama tetapi bukan dia. Oleh karena itu kita harus mencari agama yang sesungguhnya. Dengan demikian agama yang dimaksud adalah spirit pembebasan manusia dari keterbelengguan situasi dan dikte historis. Lihat Komaruddin Hidayat, “Menemukan Agama” dalam Hasan M. Noer, Agama di Tengah Kemelut (Cet. II; Jakarta: Media Cipta, 2001), h. 10-11.
46
Salah satu persoalan yang penting sekarang adalah isu mengenai pendidikan agama di dalam kelas. Pengenalan berbagai agama didalam kelas telah menjadi bagian dari kurikulum sejak lama. Sayangnya perbedaan ini disajikan hanya sebagai budaya bukan sebagai keyakinan. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi siswa untuk memahami dan menghormati keyakinan orang lain. Pendidikan Agama di Sekolah bagaimanapun akan memberikan pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh dimaksud sangat tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak didik untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab pada hakikatnya pendidikan agama merupakan pendidikan nilai.29 Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan peserta didik, antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada peserta didik yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Dalam konteks ini guru pendidikan agama harus mampu mengubah sikap peserta didik agar menerima pendidikan agama yang diberikannya. Menurut Mc Guire sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin, proses perubahan sikap dari tidak menerima kesikap menerima berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Pertama, adanya perhatian. Kedua, adanya pemahaman. Ketiga, adanya penerimaan. Dengan demikian pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada peserta didik sangat tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses tersebut. 30
29
Jalaluddin, Psikologi Agama (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grapindo, tt), h. 206.
30
Jalaluddin, Psikologi Agama, h. 207.
47
a) Pendidikan agama yang diberikan harus dapat menarik perhatian peserta didik. Untuk menopang pencapaian itu, maka guru harus dapat merencanakan materi, metode serta alat-alat bantu yang memungkinkan peserta didik memberikan perhatiannya. b) Para guru harus mampu memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang materi pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dalam kehidupan sehari-hari. c) Penerimaan peserta didik terhadap materi pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan ini sangat tergantung dalam hubungan antar materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan peserta didik. Dan sikap menerima tersebut pada garis besarnya ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri. Di sekolah-sekolah negeri dan sekolah swasta nasional atau sebagian masyarakat menyebut sekolah “netral”, pendidikan agama dilakukan sebagaimana yang telah diatur oleh pemerintah, dengan kurikulum maupun pengelolaan kelas yang masing-masing siswa dipisah sesuai dengan agama yang di anut. Sejauh ini masyarakat tidak mempersoalkan apa yang berlangsung, beda halnya apa yang terjadi pada sekolah-sekolah swasta dengan label agama tertentu. Pada sekolahsekolah yang didirikan yayasan-yayasan ini pendidikan agama menjadi salah satu ciri khas yang membedakan dengan sekolah lain. Pendidikan agama di sekolah yayasan keagamaan untuk sekian lama dianggap sebagai “urusan rumah tangga” suatu yayasan dengan ciri khas tertentu.\
48
Adapun
tujuan
pendidikan
agama,
yaitu
untuk
berkembangannya
kemampuan peserta didik dalam mengembangkan, memahami, menghormati dan mengamalkan nilai-nilai agama, penguasaan ilmu, teknologi dan seni. Perlu diingat bahwa dalam pelaksanaan pendidikan agama harus memperhatikan prinsip dasar sebagai berikut: 1) Pelaksanaan pendidikan agama harus mengacu pada kurikulum pendidikan agama yang berlaku sesuai dengan agama yang dianut peserta didik. 2) Pendidikan agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan perintah agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan mejadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara. 3) Pendidikan agama harus dapat menumbuhkan kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. 4) Pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. 5) Satuan pendidikan agama yang berciri khas agama dapat menciptakan suasana keagamaan dan menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan, seperti tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalamannya. 31 Dengan demikian, setiap satuan pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama, dengan ketentuan sebagai berikut: a) Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat penyelenggaraan pendidikan agama.
31
Abdurrahman Shaleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Manusia (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grapindo, 2005), h. 5
49
b) Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat penyelenggaraan pendidikan agama dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan yang setingkat atau penyelenggara pendidikan agama
di masyarakat untuk
menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik. c) Setiap satuan pendidikan seharusnya menyediakan tempat dan kesempatan kepada peserta didik untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan persyaratan agama yang dianut oleh peserta didik. d) Tempat pelaksanaan ibadah agama dapat berupa ruangan di dalam atau sekitar lingkungan satuan pendidikan yang dapat digunakan peserta didik menjalankan ibadahnya. e) Satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun tempat ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang bersangkutan. 32 Disini diperlukan peningkatan kesadaran semua siswa memiliki karakteristik khusus karena usia, agama, gender, kelas sosial, etnis, ras, atau karakteristik budaya tertentu yang melekat pada diri masing-masing. Pendidikan multikultural berkaitan dengan ide bahwa semua siswa tanpa memandang karakteristik budayanya itu seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah. Perbedaan yang ada itu merupakan keniscayaan atau kepastian adanya namun perbedaan itu perlu diterima secara wajar dan bukan untuk membedakan. Artinya, perbedaan itu perlu diterima sebagai suatu kewajaran dan perlu sikap toleransi agar masing-masing dapat hidup berdampingan secara damai tanpa melihat unsur perbadaan tersebut.
32
Abdurrahman Shaleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Manusia, h. 22.
50
Setiap peserta didik seyogyanya harus beradaptasi diri dengan lingkungan sekolah yang multikultural. Tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah mengubah pendekatan pelajaran dan pembelajaran kearah memberi peluang yang sama pada setiap anak. Jadi tidak ada yang dikorbankan demi persatuan. Untuk itu, kelompok-kelompok harus damai, saling memahami, mengakhiri perbedaan tetapi tetap menekankan pada tujuan umum untuk mencapai persatuan. Peserta didik ditanamkan pemikiran lateral, keanekaragaman, dan keunikan itu dihargai. Ini berarti harus ada perubahan sikap, perilaku, dan nilai-nilai khususnya civitas akademika sekolah. Ketika siswa berada di antara sesamanya yang berlatar belakang berbeda mereka harus belajar satu sama lain, berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga dapat menerima perbedaan di antara mereka sebagai sesuatu yang memperkaya sikap dan pemikiran peserta didik.
BAB III PLURALISME-MULTIKULTURALISME DALAM BUKU AJAR PAI SMA
A. Buku Ajar PAI di Tingkat SMA Gambaran Buku Ajar PAI di tingkat SMA ini penulis teliti dengan menganalisis materi-materi yang memiliki muatan-muatan isu plural-multikultural yang terdapat pada Buku Ajar dengan mengakumulasi bab-bab yang ada pada Buku Ajar PAI SMA. Akumulasi bab-bab tersebut merupakan kumpulan dari tiga Buku Ajar PAI, yaitu Buku Ajar PAI Kelas X yaitu 12 bab atau 12 pokok bahasan, Buku Ajar PAI Kelas XI yaitu 13 bab atau 13 pokok bahasan, dan Buku Ajar PAI Kelas XII yaitu 12 bab atau 12 pokok bahasan. Ketiga Buku Ajar tersebut mengandung 37 bab atau 37 pokok bahasan.1 Melalui tema-tema dalam Buku Ajar di setiap kelas tersebut, dapat diketahui bahwa buku pedoman PAI SMA ini disusun dengan pendekatan integratif, yaitu pemaduan di dalamnya semua mata pelajaran keislaman yang pokok seperti Akidah,
1
Buku ini disusun sebagai buku teks pelajaran agama Islam untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan coba dikembangkan dengan model penyajian yang didasari oleh konsep belajar agama Islam adalah bagian dari mempelajari life skill memunculkan ciri khas sebagai berikut: (1) Materi dikembangkan berdasarkan Standar Isi 2006, (2) Dilengkapi dengan suatu usulan Alokasi Waktu Program Pengajaran (AWPP) di semester satu dan semester dua yang dapat dimodifikasi sesuai dengan situasi sekolah masing-masing, (3) Memberikan penekanan pada aktivitas siswa belajar mandiri dengan adanya fitur-fitur seperti: ingat!, Kegiatan Siswa, Coba Renungkan!, Pojok Kisah, Nasihat Rasulullah Saw, Kamus Istilah, dan Internalisasi Budi Pekerti Islami, serta Kaji Kasus dan Peragaan, (4) Bahasa dan kalimat yang digunakan mengacu pada kaidah Ejaan Yang Disempurnakan, (5) Rangkuman ringkas materi yang dipaparkan di setiap akhir bab, (6) Latihan yang dapat dilakukan oleh siswa-siswi dalam mengevaluasi hasil pembelajaran mereka. Selain itu juga, buku ini dilengkapi dan dipercantik dengan gambar-gambar dan ilustrasi yang menarik. Lihat Syamsuri, Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas X, Kelas XI, dan Kelas XII Berdasarkan Standar Isi 2006 (Jakarta: Erlangga, 2007), h. v.
51
52
Akhlak, Fikih/Ibadah, Sejarah Islam, dan al-Qur’a>n kedalam satu buku atau tidak dipisah-pisahkan berdasarkan tema-tema yang berkaitan. Melalui lima tema pokok PAI ini, tim penyusun Departemen Agama berupaya mengintegrasikan ke dalam nilai budi pekerti dan HAM.2 Materi Akidah kelas X, XI, dan kelas XII terdiri dari 6 pokok bahasan; Pertama, Iman Kepada Allah swt. dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Pengertian Iman Kepada Allah swt., Sifat-sifat Allah swt. dalam asma>ul h}usna> ; dan perilaku orang beriman terhadap 10 sifat Allah dalam asma>ul h}usna>. Kedua, Iman Kepada Malaikat dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Pengertian Iman Kepada Malaikat, Tanda-tanda Beriman Kepada Malaikat, Contoh-contoh Perilaku Beriman Kepada Malaikat, dan Penerapan Beriman Kepada Malaikat dalam Sikap dan Perilaku. Ketiga, Iman Kepada Rasul-Rasul Allah dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Pengertian Beriman Kepada Rasul-Rasul Allah, Fungsi Iman Kepada Rasul-Rasul Allah, dan Meneladani Perilaku Para Rasul Allah. Keempat, Iman Kepada KitabKitab Allah dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Pengertian Iman Kepada KitabKitab Allah, Fungsi Iman Kepada Kitab-Kitab Allah, dan Mengamalkan Ajaran Kitab-Kitab Allah. Kelima, Iman Kepada Hari Akhir dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Hari Kiamat sebagai Hari Pembalasan yang Hakiki, Fungsi Iman Kepada Hari Akhir. Keenam, Iman Kepada Qada> dan Qada>r dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Hubungan Qada> dan Qada>r, Ikhtiar dan Tawakkal, dan Fungsi Iman Kepada Qada> dan Qada>r.
2
Tim Penyusun, Pendidikan Agama Islam Bermuatan Budi Pekerti dan HAM (Jakarta: Departemen Agama RI, 2002), h. v-vi.
53
Kemudian materi Akhlak3 kelas X, XI, dan kelas XII terdiri dari 9 pokok bahasan; Pertama, Berperilaku Terpuji dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Pengertian
Perilaku
H{usnuzan,
Contoh-Contoh
Perilaku
H{usnuzan,
dan
Membiasakan Diri Berperilaku Terpuji. Kedua, Berperilaku Terpuji dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Adab Berpakaian dan Berhias, Adab dalam Perjalanan, dan Adab Bertamu dan Menerima Tamu. Ketiga, Perilaku Tercela dengan sub pokok bahasan terdiri dari: H{a>sud, Riya>, Aniaya, dan Diskriminasi. Keempat, Berperilaku Sifat terpuji dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Tobat dan Raja. Kelima, Perilaku tercela dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Perilaku tercela dan Menghindari Perilaku Tercela. Keenam, Sikap Menghormati dan Menghargai Orang Lain dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Sikap Menghormati dan Menghargai dan Menunjukkan Sikap Menghormati dan Menghargai Orang Lain. Ketujuh, Perilaku Terpuji dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Wara>, Sabar, Tawakkal, Qa>na>ah, dan Adil dan Berpikir Positif dan Percaya Diri. Kedelapan, Perilaku Tercela dengan sub pokok bahasan terdiri dari: ‘Isra>f, Gi>bah, Fitnah, dan Riddah. Kesembilan, Perilaku Terpuji (Tasa>muh) dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Kehidupan Bermasyarakat dan Kehidupan Beragama. Sementara materi Fikih/Ibadah4 kelas X, XI, dan kelas XII terdiri dari 10 pokok bahasan; Pertama, Sumber Hukum Islam, Hukum Takli>fi, Hukum Wad’i 3
Materi Akhlak adalah bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai Islam. Nilai-nilai Islam yang berwujud materi akhlak ini menurut Mohammad Abdullah Darraz dapat diklasifikasikan kepada lima jenis; Pertama, nilai-nilai akhlak perorangan, Kedua, nilai-nilai akhlak dalam keluarga, Ketiga, nilai-nilai akhlak sosial, Keempat, nilai-nilai akhlak dalam Negara, Kelima, nilai-nilai akhlak dalam agama. Lihat Mohammad Abdullah Darraz dalam Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru, 2003), h. 360. 4
Yang dimaksud dengan materi Fikih disini adalah hukum Islam atau sekelompok dengan syari’at, yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang diambil dari nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Yang dimaksud dengan amal perbuatan manusia adalah segala amal perbuatan
54
dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Sumber Hukum Islam, Hukum Takli>fi, Hukum Wad’i. Kedua, Zakat, Haji, dan Wakaf dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Zakat, Haji, dan Wakaf. Ketiga, Jual-Beli dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Ketentuan Hukum Islam tentang Jual-Beli, Macam-macam Jual-Beli, dan Hikmah Jual-Beli. Keempat, Riba dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Pengertian dan Hukum Riba, Macam-macam Riba, dan Hikmah diharamkannya Riba. Kelima, Kerjasama dalam Ekonomi Islam dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Syirkah, Muda>rabah, dan Muza>ra’ah, Mukha>barah dan Musa>qah, Sistem Perbankan yang Islami, Sistem Asuransi yang Islami, dan Hikmah Kerjasama Ekonomi yang Islami. Keenam, Perawatan Jenazah dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Hal-hal yang dilakukan sebelum Meninggal Dunia, Perawatan Jenazah, dan Praktik Perawatan Jenazah. Ketujuh, Jina>yat dan Hudu>d dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Jinayat dan Hudu>d. Kedelapan, Khutbah Jum’at dan Dakwah dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Dasar Hukum Khutbah Jum’at dan Dakwah, Ketentuan Khutbah Jum’at dan Dakwah, Perbedaan Khutbah Jum’at dan Dakwah, dan Cara Menyusun Teks Khutbah Jum’at dan Dakwah. Kesembilan, Mawa>ris dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Ketentuan Mawa>ris, Harta Benda sebelum di Waris, Ahli Waris, Hijab, Perhitungan Warisan, Warisan dalam Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1989 dan Hikmah Mawa>ris. Kesepuluh, Muna>kahat dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Pengertian, Hukum Nikah, Tujuan Nikah, Peminangan, Rukun Nikah, Muhrim, Kewajiban Suami Istri, Perceraian, ‘Iddah, Rujuk, Perkawinan Menurut UndangUndang RI No. 1 Tahun 1974, dan Hikmah Perkawinan.
manusia yang mukallaf yang berhubungan dengan bidang ibadah, muamalah, kepidanaan, dan sebagainya; bukan yang berhubungan dengan akidah. Lihat Muhktar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam (Bandung: al-Ma’arif, 1986), h. 15.
55
Materi Sejarah Islam5 kelas X, kelas XI, dan kelas XII terdiri dari 6 pokok bahasan; Pertama, Keteladanan Rasulullah Periode Mekah dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Sejarah Dakwah Rasulullah saw. periode Mekah dan Strategi Dakwah Rasulullah saw. periode Mekah. Kedua, Keteladanan Rasulullah saw. periode Madinah dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Sejarah Dakwah Rasulullah saw. periode Madinah dan Strategi Dakwah Rasulullah saw. periode Madinah. Ketiga, Perkembagan Islam pada Abad Pertengahan dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Sekilas tentang Dunia Islam pada Abad Pertengahan, Perkembangan Agama Islam pada Abad Pertengahan dan Perkembangan Kebudayaan pada Abad Pertengahan. Keempat, Perkembangan Islam pada Masa Pembaharuan dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Sekilas tentang Dunia Islam pada Masa Pembaharuan, Perkembagan
Ilmu
Pengetahuan
pada
Masa
Pembaharuan,
Perkembangan
Kebudayaan pada Masa Pembaharuan, dan Hikmah Mempelajari Sejarah Perkembangan Kebudayaan pada Masa Pembaharuan. Kelima, Perkembangan Islam dan Peranan Umat Islam di Indonesia dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Masuknya Islam di Indonesia, Perkembangan Islam di Indonesia, dan Peranan Umat Islam di Indonesia. Keenam, Perkembangan Islam di Dunia dengan sub pokok bahasan terdiri dari: Islam di Benua Asia, Islam di Benua Eropa, Islam di Benua Afrika, Islam di Benua Australia dan Pasifik, dan Islam di Benua Amerika, Islam di
5
Materi Sejarah dalam pendidikan merupakan materi yang dibangun berdasarkan asas-asas sejarah. Dalam asas sejarah juga disebutkan adanya empat periode penting, yaitu: Pertama, periode pembinaan yang meliputi zaman Rasulullah saw. dan sahabat-sahabat sampai akhir kerajaan Umayyah. Kedua, periode keemasan yang meliputi kerajaan Abbasiyah sampai jatuhnya Kota Bagdad ketangan orang-orang Mongol. Ketiga, periode kehancuran dan keruntuhan yang dimulai dengan naiknya kerajaan Utsmaniyah sampai masuknya penjajahan Barat. Keempat, periode terpecah-pecahnya negara-negara Islam ke berbagai negara sampai sekarang. Lihat Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, h. 386.
56
Indonesia, Peranan Umat Islam di Indonesia, Islam di Asia, Nabi Muhammad Rasul Terakhir, Islam di Beberapa Benua, Peradaban Islam dan Ilmu Pengetahuan. Sedangkan Materi al-Qur’a>n kelas X, kelas XI, dan kelas XII terdiri dari pokok bahasan; Pertama, QS Al-Baqarah/2: 30; tentang Peranan Manusia sebagai Khalifah, QS al-Mu’minu>n/23: 12-14; tentang Kejadian Manusia, QS al-Dza>riya>t/51: 56; tentang Tugas Manusia, QS al-Nahl/16: 78; tentang Kewajiban Manusia untuk Bersyukur. Kedua, QS Al-An’a>m/6: 162-163; tentang Keikhlasan Beribadah, QS alBayyinah/98: 5; tentang Keikhlasan Beribadah. Ketiga, QS ‘Ali-Imra>n/3: 159; tentang Musyawarah, QS al-Syu>ra/42: 38; tentang Anjuran Bermusyawarah. Keempat, QS al-Baqarah/2: 38; tentang Anjuran Berlomba dalam Kebaikan, QS alMuja>dilah/58: 11; tentang Keunggulan Orang-orang yang Beriman dan Berilmu. Kelima, QS al-Isra>/17: 26-27; tentang Anjuran Membantu Kaum Dhuafah, QS alBaqarah/2: 177; tentang Menyantuni Kaum Dhuafah. Keenam, QS al-Ru>m/30: 4142; tentang Larangan Berbuat Kerusakan di Muka Bumi, QS al-‘Ara>f/7: 56-58; tentang Larangan Berbuat Kerusakan di Muka Bumi, QS Sha>d/38: 27-28; tentang Keburukan Kaum yang Berbuat Kerusakan di Muka Bumi. Ketujuh, QS Yu>nus/10: 41-42; tentang Sikap Orang yang Berbeda Pendapat, QS al-Syu>ra/42: 14; tentang Prinsip Toleransi dalam Perbedaan Pendapat. Kedelapam, QS al-Ra>dd/13: 11; tentang Dorongan Agar Rajin Bekerja, QS al-Jumu>ah/62: 9-10: tentang Dorongan Agar Rajin Bekerja dan Giat Beribadah. Kesembilan, QS al-Rahma>n/55: 33: tentang IPTEK, QS ‘Ali-Imra>n/3: 190; tentang Dorongan untuk Mengembangkan IPTEK. Uraian tersebut di atas mendiskripsikan, bahwa materi-materi terkait dengan muatan pluralisme-multikulturalisme secara eksplisit ada kedalam lima tema pokok tersebut di atas. Walaupun demikian uraian dan penjelasan secara detail di atas
57
terasa sangat kurang. Hal ini disebabkan karena dominasi tema-tema tertentu yang sebenarnya tidak mengarah langsung kepada aspek muatan nilai plural-multikultural dalam PAI. Dari komparasi data di atas menunjukkan bahwa ranah-ranah PAI seperti ranah al-Qur’a>n, Akhlak, Fikih, Akidah, dan Sejarah Islam, memiliki total pembahasan yang berbeda-beda. Adapun total pembahasan yang mendominasi terdapat pada ranah fikih, yaitu terdiri dari 27%.6 Muatan materi plural-multikultural dalam Buku Ajar PAI ini terdapat pada setiap pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang termanifestasikan kedalam babbab pada Buku Ajar tersebut. Bab-bab yang terdapat dalam Buku Ajar PAI tersebut berjumlah 37 bab, setiap bab mewakili 1 pokok bahasan. Adapun total pembahasan terbanyak terdapat pada materi Fikih. Materi Fikih terdiri dari 10 pokok bahasan atau 27%, berikutnya materi akhlak dengan total 9 pokok bahasan atau 24%, materi al-Qur’an dengan total 9 pokok bahasan atau 24%, materi Akidah dengan total 6 pokok bahasan atau 16%, dan total materi Sejarah 6 pokok bahasan atau 16%. Adapun rincian ke 37 bab atau ke 37 pokok bahasan tersebut adalah; Pertama, Kelas X terdiri dari 12 bab atau 12 pokok bahasan. Kedua, Kelas XI terdiri dari 13 bab atau 13 pokok bahasan. Ketiga, Kelas XII terdiri dari 12 bab atau 12 pokok bahasan. Adapun materi yang memiliki muatan plural-multikulturalisme yang tampak dalam bentuk pokok bahasan atau sub pokok bahasan terdapat pada 3 pokok
6
Materi Fikih yang disajikan mestinya memberikan penguatan untuk tercapainya tujuan PAI dalam pembentukan akhlak yang mulia. Materi Fikih ini juga mestinya mampu memberikan bimbingan terhadap permasalahan yang biasa dihadapi oleh anak usia SMA seperti permasalahan narkoba, dan permasalahan yang lain sesuai dengan kondisi anak usia remaja. Dalam pokok bahasan Fikih ini hanya ada satu sub bab pokok bahasan tentang narkoba. Sub pokok bahasan ini berjudul “Meminum Khamar”, Lihat Syamsuri, Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XI Berdasarkan Standar Isi (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 168-170.
58
bahasan dan 2 sub pokok bahasan. Keempat pokok bahasan tersebut terdiri dari: Pertama, pembahasan QS ‘Ali-Imra>n/3: 159 dan QS al-Syu>ra/42: 38 terdapat pada Buku Ajar PAI SMA Kelas X Bab 7 halaman 96-102, kedua ayat ini merupakan landasan normatif bagi tema Demokrasi. Kedua, pembahasan QS al-Ka>firu>n/109: 1-6 tentang Tidak Ada Toleransi dalam Hal Keimanan dan Peribadahan, QS Yu>nus/10: 40-41 tentang Sikap Orang yang Berbeda Pendapat, dan QS al-Kahfi/18: 29 tentang Kebebasan Beragama terdapat pada Buku Ajar PAI SMA Kelas XII Bab 1 halaman 1-9 dan kedua ayat ini merupakan landasan normatif bagi tema pluralismemultikulturalisme. Ketiga, pokok bahasan dengan judul ”Perilaku Terpuji (Tasa>muh)” terdapat pada Buku Ajar PAI SMA Kelas XII Bab 11 halaman 120-127, pokok bahasan ini memiliki relevansi yang kuat dengan tema pluralismemultikulturalisme. Keempat, sub pokok bahasan tentang HAM terdapat pada Buku Ajar PAI SMA Kelas X Bab 10 halaman 132-134 dengan judul ”Diskriminasi” dengan judul pokok bahasan ”Perilaku Tercela”. Selain itu isu HAM juga terdapat pada beberapa sub pokok bahasan dalam bentuk wacana-wacana atau ungkapanungkapan yang bukan merupakan tema pembahasan.
59
B. Materi Pluralisme-Multikulturalisme dalam Buku Ajar PAI SMA Materi pluralisme-multikulturalisme dalam Buku Ajar ini, peneliti lakukan dengan menganalisis seluruh pokok bahasan yang ada pada Buku Ajar PAI mulai dari Kelas X, XI, dan XII SMA. Pokok bahasan tersebut kemudian dikelompokkan kedalam lima ranah PAI, yaitu al-Qur’a>n, Akidah, Akhlak, Fikih, dan Sejarah Islam. Dari analisis yang dilakukan ternyata materi pluralism-multikulturalisme yang berupa judul pokok bahasan, hanya terdapat pada Buku Ajar PAI SMA Kelas XII sedangkan pada Buku Ajar PAI Kelas X dan XI, materi demokrasi hanya terdapat dalam pembahasan berupa materi penguat saja, baik dalam bentuk kisah, atau ungkapan-ungkapan lainnya. Materi demokrasi dalam Buku Ajar ini terintegrasi kedalam lima ranah PAI. Adapun hasil analisis tersebut peneliti deskripsikan kedalam tabel berikut: TABEL I Tabel Materi Pluralisme-Multikulturalisme pada Buku Ajar PAI SMA Kelas XII7 No 1.
Ranah alQur’a>n
Pokok
Bentuk Hubungan
Jumlah
Presentase
Bahasan
Demokrasi
halaman
Halaman
Bab 1
QS
al- Pada
Ka>firu>n/109: 1-6
Toleransi
ini 10
6,17%
terdapat hubungan
tentang dengan
Tidak
7
bab
isu
Ada pluralismmultikulturalisme,
Rangkuman tema demokrasi yang terdapat pada Buku Ajar PAI SMA yang bersumber dari Buku Ajar PAI Kelas XII dalam AWPP Semester I dan Semester II, Lihat Syamsuri, Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XII (Jakarta: Erlangga, 2006), h. v-viii.
60
dalam
Hal karena
Peribadahan, QS
Yu>nus/
10:
40-41
temanya
tentang Toleransi.
tentang Sikap terhadap Orang Berbeda Pendapat, dan QS
al-
Kahfi/18: 29 tentang Kebebasan Beragama 2.
alQur’a>n
2
QS
al- Tidak
ada 9
Muja>dilah/58: hubungan dengan 11
tentang isu
Keunggulan Orang
yang
Beriman dan Berilmu, dan QS
al-
Jumu>’ah/62: 9-10 tentang
pluralisme-
multikulturalisme
5,55%
61
Dorongan Agar
Rajin
Beribadah dan
Giat
Bekerja. 3.
4.
Akidah
Fikih
3
4
Iman Kepada Tidak
ada 11
Hari Akhir
hubungan
Mawa>ris
Potret keragaman 17
6,79%
10,49%
tidak berlaku pada aturan mawaris. 5.
Akhlak
5
Perilaku
Materi pluralisme- 11
6,79%
Terpuji; Adil, mulitukulturalisme Rida,
6..
Sejarah Islam
6
Amal dalam wacana ini
Shaleh.
terkesan eksklusif.
Perkembanga
Pada
bab
ini 20
n Islam dan terdapat hubungan Peranan Umat
dengan
isu
Islam pluralisme-
di Indonesia
multikulturalisme diantaranya; 1. Ungkapan nilai-nilai persamaan yang
12,3%
62
merupakan nilai-nilai persamaan 2. Adanya ungkapan persamaan dan rasa keadilan 3. Adanya wacana keragaman organisasi keagamaan 4. Adanya ungkapan untuk memperkuat ukhuwah islamiyah dan melaksanakan kerukunan antar
umat
beragama dalam mewujudkan
63
persatuan dan kesatuan. 7.
al-
7
Qur’a>n
QS
al- Tidak
Yu>nus/10: 101
ada 11
6,79%
ada 9
5,55%
hubungan
tentang
IPTEK,
QS
al-Baqarah/2: 164
tentang
Dorongan untuk Mengembang kan IPTEK. 8.
Akidah
8
Iman Kepada Tidak Qada>
dan hubungan
Qada>r 9.
Fikih
9
Muna>kahat
Terdapat hubungan dengan tema
pluralisme-
multikulturalisme yaitu pada wacana “sahnya perkawinan” terdapat nilai-nilai plural-
26
16%
64
multikulturalisme. 10.
11.
Akhlak
Akhlak
10
11
Perilaku
Tidak
Tercela
hubungan
Perilaku
Terdapat
Terpuji:
hubungan dengan
Persatuan dan isu
ada 11
6,79%
10
6,17%
pluralisme-
Kerukunan
multikulturalisme,
(Tasa>muh).
karena
temanya
adalah
tasa>muh
dan
merupakan
indikator. 12.
Sejarah
12
Islam
Perkembanga n
Islam
Tidak
ada 17
10,49%
di hubungan
Dunia Jumlah
12
12
bab
bahasan
pokok Adanya hubungan 162 hal dengan
100%
pokok
bahasan: Hubungan
dalam
bentuk wacana
Pada Tabel I; pokok bahasan tentang pluralisme-multikulturalisme dinyatakan dalam bentuk pokok bahasan yang menampilkan QS Yu>nus/10: 40-41, dan pokok bahasan yang berjudul “Perilaku Terpuji (Tasa>muh)”. Pokok bahasan pada Buku Ajar PAI Kelas XII berdasarkan standar isi. Terdiri dari 12 bab, 12 pokok
65
bahasan, jumlah halaman 162 (terdiri dari sub pokok bahasan, rangkuman, glosarium, soal-soal latihan). Adapun materi pluralisme-multikulturalisme dalam Buku Ajar PAI ini terdiri dari 2 bab. Pada bab 1 terdiri dari 10 halaman, dengan komposisi bahasan terdiri dari: teks ayat, ruang tajwid, terjemahan, kesimpulan dan latihan-latihan soal. Adapun presentase halaman pluralisme-multikulturalisme pada pokok bahasan ini terdiri dari 6, 17%. Pada Bab XI terdiri dari 10 halaman. Dengan komposisi bahasan terdiri dari: teks ayat, ruang tajwid, terjemahan, kesimpulan dan latihan-latihan soal. Jika dikomparasikan, maka tema pluralisme-multikulturalisme pada Buku Ajar PAI ini terdiri dari 2 pokok bahasan. Pada pokok bahasan yang pertama dengan tema “QS al-Ka>firu>n/109: 1-6, QS Yu>nus/10: 40-41, QS al-Kahfi/18: 29”, memiliki total pembahasan sebanyak 6,17% dan pokok bahasan kedua dengan tema “Perilaku Terpuji (Tasa>muh)”, memiliki total pembahasan sebanyak 6,17%. Dari data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tema pluralisme-multikulturalisme pada Buku Ajar PAI Kelas XI ini sebanyak 12,34%. Tema ini memiliki total yang sama dengan tema Sejarah Islam dan memiliki total yang lebih rendah jika dibandingkan dengan Fikih, karena tema Fikih memiliki total 26,53% (terdiri dari tema mawaris sebanyak 10, 49% dan tema muna>kahat sebanyak 16,04%). Selanjutnya didapat pula wacana pluralisme-multikulturalisme yang tersebar pada
beberapa
sub
pokok
bahasan
yang
tidak
bertemakan
pluralisme-
multikulturalisme. Wacana ini memiliki hubungan dengan tema pluralismemultikulturalisme secara sepintas berupa yang ungkapan-ungkapan yang memiliki makna pluralisme-multikulturalisme, baik makna secara tersurat maupun tersirat.
66
Beberapa pokok bahasan yang tidak bertema pluralisme-multikulturalisme, tetapi terdapat hubungan berupa munculnya wacana atau ungkapan-ungkapan yang terkait dengan pluralisme-multikulturalisme, diantaranya adalah: Pertama, pada bab 4 dengan pokok bahasan “Mawa>ris”. Pada bab ini potret keragaman tidak berlaku pada aturan mawa>ris.8 Para ulama mazhab sepakat bahwa, ada tiga hal yang menghalangi warisan, yaitu: perbedaan agama, pembunuhan, dan perbudakan. Non-Muslim tidak bisa mewarisi Muslim, tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah seorang Muslim bisa mewarisi non-Muslim? Ima>miyah berpendapat; Seorang Muslim bisa mewarisi non-Muslim dan mazhab empat mengatakan tidak boleh. Jadi, kalau salah seorang di antara anak-anak mayit ada yang non-Muslim, lalu masuk Islam sesudah orang yang diwarisi itu meninggal dan tirkah-nya sudah dibagikan kepada para ahli warisnya, maka menurut kesepakatan para ulama mazhab, orang tersebut tidak berhak atas waris. Tetapi mereka berbeda pendapat bila dia masuk Islam sesudah orang yang diwarisi tersebut meninggal tapi tirkah-nya belum dibagikan. Ima>miyah dan Hamba>li> mengatakan: Dia berhak atas waris. Syafi>‘i>, Maliki>, dan Hana>fi> mengatakan: Dia tidak berhak atas waris. Seterusnya Ima>miyah mengatakan: Apabila pewaris Muslim itu hanya satu, maka
8
Sebab-sebab ahli waris yang tidak berhak memperoleh harta warisan yang ditinggalkan keluarganya adalah: (1) Budak Belian (hamba) adalah ahli waris yang kedudukannya sebagai budak belian tidak berhak memperoleh harta warisan peninggalan keluarganya karena kalau mereka diberi bagian dari harta warisan, maka bagiannya itu akan menjadi milik tuannya, (2) Membunuh adalah ahli waris yang membunuh pewaris tidak berhak mewarisi harta peninggalan pewaris yang dibunuhnya, (3) Murtad adalah ahli waris yang murtad tidak berhak memperoleh harta warisan peninggalan keluarganya yang beragama Islam, (4) Beda Agama adalah orang yang tidak beragama Islam (kafir) tidak berhak menerima harta warisan peninggalan keluarganya yang beragama Islam. Demikian juga sebaliknya, orang Islam tidak berhak mewarisi harta pusaka peninggalan keluarganya yang tidak beragama Islam. Sehingga aspek plural-multikulturalisme dalam hal mawa>ris tidak berlaku. Lihat Syamsuri, Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XII, h. 141.
67
hanya dialah yang menerima waris. Keislaman seseorang kemudian tidak berpengaruh sama sekali bagi hak mewaris.9 Kedua, pada bab 5 dengan pokok bahasan “Perilaku Terpuji”. Dalam pokok bahasan pada bab ini, materi pluralisme-multikulturalisme dalam wacana ini masih terkesan ekslusif. Kasus ini terdapat dalam deskripsi sifat orang yang wara>’10, orang tersebut sangat hati-hati dalam memakan hewan sembelihan. Jika hewan sembelihan tidak diketahui siapa yang menyembelihnya, orang Islam atau orang Majusi, maka orang tersebut tidak akan memakannya. Karena khawatir syubhat. Ketiga, pada bab 6 dengan pokok bahasan “Perkembangan dan Peranan Umat Islam di Indonesia”. Pada bab ini terdapat hubungan dengan tema pluralismemultikulturalisme, diantaranya: 1) ungkapan nilai-nilai persamaan yang merupakan nilai-nilai toleransi; adanya ungkapan persamaan dan rasa keadilan, keduanya merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam pluralisme-multikulturalisme, Rasa persamaan dan keadilan itu terlihat dalam QS an-Nahl/16: 19 Terjemahnya: Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan.11 Dapat juga dikatakan bahwa ayat ini merupakan argumentasi tentang kewajaran Allah swt. untuk dipertuhankan, setelah dan sebelum ini ditegaskan
9
Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madza>hib al-Khamsah. Diterjemahkan oleh Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff dengan judul Fiqih Lima Mazhab; Ja’fari>, Hana>fi>, Maliki>, Syafi>‘i>, Hamba>li>> (Cet. XVII; Jakarta: Lentera, 2006), h. 541-542. 10
Wara’ berarti meninggalkan sesuatu yang di dalamnya terdapat perkara syubhat (yang diragukan), sebagaimana meninggalkan perkara-perkara haram. 11
Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005), h. 270.
68
bahwa Dia adalah Pencipta.12 Rasa persamaan dan keadilan yang diajarkan Islam mampu mengubah masyarakat Indonesia yang dulunya menganut sistem kasta dan diskriminasi menjadi masyarakat yang setiap anggotanya mempunyai kedudukan, harkat, martabat, dan hak-hak yang sama.13 Selain itu, munculnya wacana keragaman organisasi keagamaan, dalam hal ini peranan organisasi dan pondok pesantren pada masa perang kemerdekaan sehingga ungkapan tersebut mampu untuk memperkuat ukhuwah islamiyah dan melaksanakan kerukunan antar umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan. Keempat, pada bab 9 dengan pokok bahasan “Muna>kahat”. Dalam tema ini terdapat hubungan dengan isu pluralisme-multikulturalisme, yaitu pada wacana “sahnya perkawinan” terdapat nilai-nilai plural-multikultural. Dalam pasal 4 dari Kompilasi Hukum Islam14 di bidang hukum Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menegaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya, penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI Tahun 1974 mengatakan sebagai berikut:
12
M. Qurais Shihab, Tafsir al-Mis}ba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’a>n Vol. 6, h. 555.
13
Syamsuri, Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XII, h. 80-81.
14
KHI di bidang Hukum Perkawinan adalah sebagai pengembangan dan penyempurnaan dari UURI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PPRI Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UURI Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdiri dari 14 bab, yang terbagi menjadi 67 pasal. Sedangkan KHI di bidang Hukum Perkawinan terdiri dari 19 bab, yang terbagi menjadi 170 pasal.
69
1. Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD 1945. 2. Yang
dimaksud
dengan
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya itu, sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.15 C. Desain Pembelajaran dalam Buku Ajar PAI SMA Dalam konteks desain pembelajaran, ada beberapa aspek yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan. Pertama, istilah pendidikan plural-mukltikultural dapat digunakan pada tingkat deskriptif dan normatif yang menggambarkan isu-isu pendidikan berkaitan dengan masyarakat pluralis. Kedua, konsep pendidikan pluralmultikultural dapat diwujudkan dalam kurikulum namun perlu dirumuskan strategi yang harus ditempuh, mata pelajaran yang harus ditempuh, dan metode penyampaiannya. Ketiga, perlu peta persoalan dan kendala yang dapat menghambat pelaksanaan kebijakan pluralis. Keempat, perlu melakukan studi komparasi terhadap negara-negara dengan persoalan pluralitas yang kompleks. Kelima, konsep, model, dan strategi pengembangan pendidikan agama berwawasan plural-multikultural.16 Desain pembelajaran dalam Buku Ajar PAI SMA adalah desain yang disusun dengan menampilkan tema-tema atau pokok bahasan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Agama. Pembelajaran PAI, merupakan salah satu mata pelajaran yang bermuatan ajaran-ajaran Islam dan tatanan nilai hidup dan kehidupan yang islami, diupayakan melalui perencanaan pembelajaran yang baik. Adapun inti dari kegiatan desain pembelajaran PAI adalah memilih, menetapkan,
15
Lihat Syamsuri, Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XII, h. 65-66.
16
A. Malik Fajar, Visi Pembaruan Islam (Jakarta; LP3NI, 1998), h. 158-159.
70
dan mengembangkan metode pembelajaran yang cocok dengan kondisi yang ada untuk mencapai hasil pembelajaran PAI yang diharapkan. 17 Pokok bahasan pada Buku Ajar PAI disusun sesuai dengan pembagian aspekaspek keilmuan yang terintegrasi kedalam materi PAI. Pembelajaran materi PAI ini memiliki tujuan agar anak didik memiliki kompetensi yang memadai dalam pemahaman dan pengalaman dalam beragama. Adapun kompetensi yang harus dikuasai anak didik terhadap aspek-aspek keilmuan dalam PAI berdasarkan kurikulum KTSP Berdasarkan Standar Isi 2006. Dan sistematika pembahasan dalam desain pembelajaran terdiri dari; penyajian isu sosial yang terintegrasi kedalam materi PAI, relevansi dan kesinambungan antar materi, dan model evaluasi atau latihan soal. Pembahasan
mengenai
materi
PAI
dalam
lingkup
pluralisme-
multikulturalisme, sejauhmana kajian tentang pluralisme-multikulturalisme terdapat dalam pokok bahasan yang dipelajari dalam materi PAI di SMA mulai dari Kelas X sampai Kelas XII. Cerminan tentang isu sosial tersebut merupakan tema-tema yang muncul dan menjadi pembahasan dan pembelajaran PAI. Adapun cerminan pembahasan ini terlihat pada rancangan kurikulum yang terdiri dari standar kompetensi, hasil belajar, indikator, dan materi pokok.
17
Metode pembelajaran ini harus berpijak pada empat hal pokok yang disebut dengan kondisi pembelajaran, yaitu: 1). Tujuan pembelajaran agama Islam yang ingin dicapai; 2). Isi pembelajaran agama Islam yang harus dipelajari peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran PAI; 3). Sumber belajar agama Islam yang tersedia dan dapat mengantarkan pesan pembelajaran yang lebih efektif dan efisien; dan 4). Karakteristik peserta didik yang belajar, terutama yang terkait dengan kemampuan yang telah dikuasai peserta didik. Lihat Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), h. 185-186.
71
1. Aspek al-Qur’a>n a. Aspek al-Qur’a>n yang Membahas Demokrasi18 Standar Kompentensi: Memahami ayat-ayat al-Qur’a>n tentang Demokrasi Kompetensi
Materi Hasil Belajar
Indikator
Dasar 1.1
Membaca
Pokok
Dapat
QS ‘Ali Imra>n/3:
dengan
158 dan QS alSyu>ra/42: 38.
membaca Siswa mampu: fasih
QS
QS
Membaca dengan
‘Ali
‘Ali Imra>n/3: 158
fasih
‘Ali
Imra>n/
dan QS al-Syu>ra/42:
Imra>n/3: 158 dan
3: 158
38.
QS
dan
Dapat menerapkan
38.
tajwid dalam QS
Menerapkan
Syu>ra/
‘Ali Imra>n/3: 158
tajwid dalam QS
42: 38.
dan QS al-Syu>ra/42:
‘Ali Imra>n/3: 158
38.
dan
QS
al-Syu>ra/42:
QS
QS al-
Asy-
Syu>ra/42: 38. Dapat menjelaskan
Menyebutkan arti
kan arti QS ‘Ali
arti QS Ali Imran/3:
per kata,
Imra>n/3: 159 dan
159 dan QS al-
Menyebutkan arti
QS al-Syu>ra/42:
Syura/42: 38 secara
per ayat,
38.
per kata, per ayat,
Menerjemahkan
dan terjemahan
QS ‘Ali Imra>n/3:
1.2
Menyebut
18
Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator, dan Materi Pokok yang terdapat pada Buku Ajar PAI Kelas X.
72
159 dan QS alSyu>ra/42: 38. 1.3
Menampil
kan
perilaku
Mengindentifikasi,
Mampu
memperaktikkan
menunjukkan
hidup demokratis
dan
perilaku
dalam kehidupan
perilaku demokratis
demokratis seperti
sehari-hari sesuai
sesuai dengan QS
yang
dengan QS ‘Ali
‘Ali Imra>n/3: 159
dalam
Imra>n/3: 159 dan
dan QS al -Syu>ra:
Imra>n/3: 159
QS al-Syu>ra/42:
38.
38.
menunjukkan
terkandung QS
‘Ali
Mampu menunjukkan perilaku demokratis seperti yang dalam
terkandung QS
Syu>ra/42: 38.
al-
73
Adapun kedua ayat dan terjemahan yang dijadikan pembahasan dalam pembelajaran ini, adalah: 1. QS. ‘Ali Imra>n/3: 159
Terjemahan Ayat: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS ‘Ali-Imra>n/3: 159)
2. QS al-Syu>ra/42:38
Terjemahan Ayat: “Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya, dan mendirikan shalat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS al-Syu>ra/42: 38) Menurut Hamka menjelaskan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk memperaktikkan sistem syu>ra (demokrasi).19 Adapun teknik melancarkan syu>ra, menurutnya, adalah berkait dan tergantung pada keadaan tempat dan keadaan zaman. Asumsi ini didasarkan pada suatu penalaran bahwa Rasulullah tidaklah mengikat kita dengan satu cara yang sudah nyata tidak akan sesuai lagi dengan zaman yang selalu berkembang. Pandangan tersebut juga didasarkan pada bahwa 19
Buya Hamka, Tafsir al-Azhar XXV (Cet. II; Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), h. 37.
74
“kamu sekalian lebih tahu tentang berbagai urusan duniamu. “Sehingga dalam hal ini dapatlah dipakai ijtihad untuk menentukan bagaimana caranya bermusyawarah, memungut suara serta mengambil keputusan, atau yang disebut dengan prosedur sidang. Dan meskipun al-Qur’a>n dan hadis tidak mencampuri hal itu secara mendalam dan terperinci, tetapi hal yang penting ialah adanya pokok pegangan, yaitu penegakan prinsip syu>ra yang harus berada dalam masyarakat.20 Penjelasan isi kandungan QS ‘Ali-Imra>n/3: 159 di atas didesain dengan mengungkapkan sosok pribadi Nabi Muhammad saw. yang berbudi luhur dan berakhlak mulia. Beliau tidak keras dan berhati kasar. Dan selalu memberikan manfaat kepada masyarakat, selain itu Rasulullah saw. adalah seorang pemaaf.21 Sosok pribadi Nabi Muhammad saw. tercermin ketika menghadapi perang Uhud, segeralah beliau memanggil sejumlah pejuang untuk berkumpul dan diajak bermusyawarah, apakah musuh akan dinanti di dalam kota saja, atau akankah pasukan Islam keluar bersama dan bertempur di luar kota. Beliau berpendapat dinanti saja dengan mempertahankan kota. ‘Abdullah bin Uba>y sependapat dengan beliau. Akan tetapi suara yang terbanyak ialah supaya keluar dan bertempur di luar kota. Akhirnya suara terbanyak itulah yang ditetapkan, dan kemudian beliau kenakan pakaian perang beliau. Setelah itu ada yang ingin meninjau kembali usul mereka dari bertahan di dalam kota saja, sebagaimana usul Rasulullah sebelumnya, beliau marah dan keluarlah perkataan beliau yang terkenal, bahwa pantang bagi seorang Nabi untuk menanggalkan baju perangnya kembali apabila telah lekat di badan, sebelum mendapatkan ketentuan dari Allah, apakah musuh dapat 20
Ahmad Hakim, M. Thalhah, Politik Bermoral Agama Tafsir Politik Hamka (Cet. I; Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 47-48. 21
Lihat Syamsuri, Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas X, h. 97-98.
75
dihancurkan, atau beliau sendiri yang tewas. Dan setelah selesai peperangan yang merugikan itu, sekali-kali beliau tidak menyatakan penyesalannya, bahwa jika pendapatnya yang dituruti, niscaya tidak akan kalah. Akan tetapi yang beliau sesali ialah yang ditegur Allah dalam ayat pada surah ‘Ali-Imra>n tersebut (asba>bun nuzu>l), sedang sebabnya hanyalah karena ada yang tidak patuh kepada kedisiplinan.22 Kemudian surah al-Syu>ra/42: 38 ditegaskan satu hal, yakni bahwa shalat sebagai penanda pertama dan utama dari iman, yang merupakan masa berhubungan dengan Tuhan yang memang berat untuk mengerjakannya, kecuali bagi orang-orang yang hatinya khusuk. Meskipun orang itu berbuat baik dengan sesama, kalau dia tidak mendirikan shalat, terbuktilah bahwa hubungannya dengan Tuhannya tidak baik. Dan ditambah lagi oleh contoh teladan Nabi saw. dalam mengerjakan shalat secara berjama’ah dan berjum’at. Maka sejalan dengan menguatkan hubungan dengan Tuhan, manusia dapatkan pula hubungan dengan sesama, khususnya sesama manusia yang beriman, maka turunlah lanjutan ayat tersebut, yakni “wa amruhum syu>ra bai>nahum”, sebab sudah jelas bahwa urusan itu ada yang bersifat pribadi, dan ada yang mengenai kepentingan bersama, supaya ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul. Itulah sebabnya mengapa ayat ini dipatrikan dengan ujung ayat 38, sebab suatu musyawarah dalam urusan bersama tidak akan mendapatkan hasil yang diharapkan, jika tidak mau menafkahkan sebagian kepunyaan pribadinya untuk kepentingan bersama.23 Pada ayat tersebut di atas, yang di dahului pula ayat 38 surah al-Syu>ra/42, jelaslah bahwa syu>ra atau musyawarah menjadi pokok dalam pembangunan
22
Ahmad Hakim, M. Thalhah, Politik Bermoral Agama Tafsir Politik Hamka, h. 49.
23
Ahmad Hakim, M. Thalhah, Politik Bermoral Agama Tafsir Politik Hamka, h. 51.
76
masyarakat dan negara Islam. Inilah dasar politik pemerintahan dan pimpinan negara, masyarakat dalam perang dan damai, ketika aman dan ketika terancam bahaya. Dan pada konsep siy>asah syar’iyyah secara universal yang di dalamnya terdapat konsep syu>ra yang termasuk bagian dusturiyyah (tata Negara), yakni tergolong dalam prinsip dasar yang berkaitan dengan pendirian suatu pemerintahan, maka konsep syu>ra tersebut merupakan salah satu kajian ilmu politik. Oleh karena itu, konsep syu>ra merupakan bagian dari teori politik Islam. Dalam hal musyawarah, Rasulullah saw. menegaskan bahwa segala urusan yang berkenaan dengan dunia, misalnya perang dan damai, menjalankan kegiatan ekonomi, dan hubungan biasa antara manusia (human relation), hendaklah dimusyawarahkan berdasarkan pertimbangan maslahat dan mafsadat.24 Desain
pembelajaran
itu
terkesan
sangat
kognitif-theosentris
atau
pembahasan ayat ini sangat terfokus pada teks ayat, kisah seputar akhlak Rasul tanpa menerjemahkan kedalam konteks pemahaman demokrasi yang lebih menyatu dengan dunia anak sekolah. Sehingga dalam desain pembelajaran. Dasar-dasar dalam teknologi pembelajaran (instructional technology) belum tercapai, seperti teori belajar, pengetahuan tentang media pembelajaran, dan teori komunikasi. 25 Dalam desain pembelajaran ini, mestinya dimulai dengan pertanyaan mengapa materi demokrasi diberikan?, dan bagian mana yang harus dikuasai terlebih dahulu?. Desain ini melupakan aspek yang sangat vital dalam menentukan langkah-
24 25
Ahmad Hakim, M. Thalhah, Politik Bermoral Agama Tafsir Politik Hamka, h. 52.
Ngainum Naim dan Achmad Fatoni, Materi Penyusunan Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 26.
77
langkah strategis ini.26 Padahal anak usia SMA adalah anak yang berusia remaja (11 tahun-keatas) yang mempunyai karakteristik tersendiri. Menurut Jean Peaged anak usia ini berada pada tahap oprasional formal, dengan karakter dapat berpikir formal, abstrak, deduktif, induktif, dan hipotesis. Anak pada usia ini tidak saja mampu berpikir saat ini, tetapi ia juga mampu untuk memikirkan yang akan datang.27 Bagian terpenting dalam tujuan pembelajaran tidak didesain dengan baik, karena pada tujuan pembelajaran siswa diharapkan memiliki kompetensi dalam membaca dan mendeskripsikan ayat-ayat tentang demokrasi. Sementara demokrasi itu sendiri belum didesain sesuai dengan kebutuhan. 28 Dalam desain pembelajaran materi PAI dengan tema demokrasi juga dikuatkan dengan tema pendukung berupa tampilan gambar dan kisah. Demikian juga dalam buku teks gambar yang ditampilkan hanya berada dalam satu halaman dengan wacana tentang demokrasi dan tema gambar yang menceritakan tentang musyawarah. menyajikan kisah yang berjudul perang Badar, tetapi subtansi cerita tersebut berkaitan dengan tema musyawarah. Pada bagian akhir dari pembahasan kedua ayat ini adalah desain latihanlatihan soal. Latihan-latihan soal didesain dengan mengambil model pilihan ganda (multiple choice), essay, dan tugas mandiri.
26
Langkah-langkah yang harus dilalui dalam mendesain pembelajaran harus rasional, empirik, serta atas dasar teori tertentu. Langkah pertama yang harus ditentukan untuk mendesain suatu pembelajaran/objek adalah mempertanyakan mengapa pelajaran ini harus diberikan kepada siswa, dan bagian manakah yang benar-benar harus dikuasai siswanya. Lihat Ngainum Naim dan Achmad Fatoni, Materi Penyusunan Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, h. 26. 27
Anita E. Woolfolk, Educatinal Psychology (Fifth edition) (USA, Allyn and Bacon, 1997),
h. 31. 28
Dick and Carey dalam Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar (Cet. XII; Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000), h. 36.
78
b. Aspek al-Qur’a>n tentang Pluralisme-Multikulturalisme terdapat pada Kelas XII29 Standar Kompetensi: Memahami ayat-ayat al-Qur’a>n tentang anjuran bertoleransi. Kompetensi
Materi
Dasar
Pokok
Hasil Belajar
Membaca QS
QS
al-Ka>firu>n/
Ka>firu>n/
Ka>firu>n/ 109: 1-6, QS Ka>firu>n/ 109: 1-6, QS
109: 1-6, QS
109: 1-6
Yu>nus/10: 40-41, dan Yu>nus/10: 40-41, dan
QS
QS al-Kahfi/18: 29, QS al-Kahfi/18: 29,
Yu>nus/10:
siswa mampu:
40-41
Yu>nus/10: 40-41, QS
dan al-
Kahfi/18: 29
QS
al- Terhadap
al-
Menjelaskan
Kahfi/18:
arti QS al-
29.
QS
QS
dan al-
Kahfi/18: 29. Membiasakan
29
siswa mampu:
fasih, benar, dan
baik
baik
Menjelaskan
tajwid
40-41,
al-
fasih, benar, dan
1-6,
QS
Membaca dengan
penerapan
QS
al- Terhadap
Membaca dengan
Ka>firu>n/ 109:
Yu>nus/10:
Indikator
Mengartikan
ilmu
Menjelaskan penerapan
ilmu
tajwid per
Menmengartikan
kata, per ayat, dan
per kata, per ayat,
menerjemahkan
dan
Mengidentifikasi
menerjemahkan
perilaku
Mengindentifikasi
Rangkuman isu pluralisme-multikulturalisme yang terdapat pada Buku Ajar PAI SMA Kelas XII. Berupa Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Hasil Belajar, Indikator, dan Materi Pembelajaran.
79
perilaku
bertoleransi
bertoleransi
seperti
perilaku toleransi
Menunjukkan perilaku toleransi
terkandung
Memperaktikkan perilaku bertoleransi
dalam QS alKa>firu>n/ 109: 1-6,
QS
Yu>nus/10: 40-41, QS
dan al-
Kahfi/18: 29.
Aspek al-Qur’a>n tentang pluralisme-multikulturalisme terdapat pada QS Yu>nus/10: 40-41 dan QS al-Syu>ra/42: 14. Standar Kompetensi dari pembelajaran ini adalah mendeskripsikan kandungan al-Qur’a>n serta mengamalkan ajaran-ajarannya. Dalam mendeskripsikan ayat-ayat tersebut, kompetensi dasar yang harus dikuasai adalah membaca dan mendeskripsikan ajaran tentang toleransi serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman belajar yang harus ditempuh adalah membaca sesuai dengan ilmu tajwid dan mendiskusikan kandungan QS Yu>nus/10: 40-41 dan QS al-Kahfi/18: 29. Dan standar kompetensi itu bisa tercapai apabila terdapat
indikator-indikator
berupa
kemampuan
siswa
dalam
membaca,
menjelaskan, menyimpulkan dan membiasakan berperilaku toleran dalam kehidupan sehari-hari.
80
Aspek al-Qur’a>n yang mendeskripsikan tentang pluralisme-multikulturalisme terdapat pada Buku Ajar PAI SMA Kelas XII. Aspek al-Qur’a>n yang membahas tema tersebut terdiri dari tiga ayat, yaitu: QS al-Ka>firu>n/109; 1-6, Yu>nus/10: 40-41 dan QS al-Kahfi/18: 29. Ketiga ayat ini didesain dengan terlebih dahulu menampilkan teks ayat, ruang tajwid, latihan ruang tajwid, terjemahan per kata, terjemahan ayat, materi pendukung berupa kisah, rangkuman, kamus istilah, dan latihan soal. Metode pembelajaran kedua ayat ini dimulai dengan perintah membaca ayat dengan baik dan benar serta memahami isi kandungan ayat. Pembelajaran ilmu tajwid selain dikenalkan dengan teori ilmu tajwid, juga disajikan ruang latihan ilmu tajwid sebagai sarana untuk melatih pemahaman ilmu tajwid. Terjemahan per kata dan terjemahan ayat dilakukan untuk memudahkan anak didik dalam memahami isi kandungan ayat. Kesimpulan isi kandungan QS al-Ka>firu>n/109: 1-6, QS Yu>nus/10: 40-41 dan QS al-Kahfi/18: 29, merupakan penjelasan yang mengungkapkan pemahaman ayat secara tekstual. Pemahaman ayat ini masih sangat dibatasi oleh model kognitiftheosentris. Bisa jadi pemahaman ini sangat istimewa, tapi tidak menutup kemungkinan kondisi ini juga akan membatasi kemampuan kritis anak didik, karena berada
pada
sekat
tekstual,
belum
terimplementasikan
kedalam
setting
kontektualisasi kehidupan anak didik. Sehingga dalam desain pembelajaran ini dasar-dasar dalam teknologi pembelajaran (instructional technology) belum tercapai,
81
seperti teori belajar, pengetahuan tentang media pembelajaran, dan teori komunikasi.30 Tujuan pembelajaran terhadap ayat-ayat diharapkan memiliki kompetensi dalam membaca dan mendeskripsikan ayat-ayat tentang anjuran bertoleransi serta mampu mengimplementasikannya kedalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, dalam desain ini belum terlihat langkah pertama yang paling urgen, yaitu tentang pentingnya tema itu diberikan dan bagaimana tema itu bisa dikuasai. Pembelajaran materi toleransi yang didesain dalam buku ini mestinya didesain dengan format yang jelas dan lebih komprehensif. Karena materi ini diberikan kepada anak usia SMA. Anak pada usia ini adalah anak yang sudah memasuki masa atau tahap operational formal, karena berada pada usia kisaran usia 11 tahun ke atas.31 Dalam pembelajaran materi pluralisme-multikulturalisme yang terdapat dalam buku ini, penulis juga menyebut beberapa ayat lain yang tertulis sebagian dalam buku teks sebagai bahan tadarus, yaitu QS al-Baqarah/2: 24-25, QS alZumar/39: 69, QS al-Isra>/17: 15, QS al-Ma>idah/5: 14, 72, dan 73, dan QS ‘AliImra>n/3: 85. Ayat-ayat tersebut memiliki maksud dan makna yang beragam. QS alBaqarah/2: 24-25, berisi tantangan orang kafir untuk membuat al-Qur’a>n dan balasan terhadap orang-orang yang beriman. Secara eksplisit dan implisit ayat ini tidak memiliki relevansi terhadap tema pluralisme-multikulturalisme. QS al-Zumar/39: 69, berisi tentang keadaan di alam mahsyar, manusia pada alam ini akan mengalami
30
Ngainum Naim dan Achmad Fatoni, MAteri Penyusunan Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, h, 26. 31
Pandangan ini didasarkan pada teori kognitif yang dirumuskan oleh Jean Peaget. Lihat Anita E. Woolfolk, op, cit., h. 31.
82
kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan amalnya. QS al-Isra>/17: 15, berisi tentang ketentuan bahwa amal perbuatan akan diperoleh ganjarannya oleh siapa yang melakukannya, begitu pula dosa yang dilakukan oleh umat manusia akan menimpa siksanya kepada orang yang melakukannya. Ayat ini tidak relevan dengan tema pluralisme-multikulturalisme. QS. al-Ma>idah/5: 14, 72, dan 73, berisi tentang keterangan orang Yahudi dan Nasrani yang telah menyelewengkan ajaran agama tauhid yang telah diajarkan oleh rasul-rasul mereka. Ayat ini memiliki relevansi dengan tema pluralisme-multikulturalisme. Dan yang terakhir QS ‘Ali-Imra>n/3: 85, berisi tentang penangguhan azab yang diberikan kepada ahli kitab dikarenakan telah menyelewengkan ajaran tauhid. Ayat ini pun memiliki relevansi dengan tema pluralisme-multikulturalisme. Adapun
ketiga
ayat
yang
mendeskripsikan
tema
pluralisme-
multikulturalisme itu adalah: 1. QS Yu>nus/10: 40-41
Terjemahan ayat: “Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada al-Qur’a>n, dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan”. Jika mereka mendustakan kamu, Maka Katakanlah: "Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan".
83 2. QS al-Syu>ra/42: 14
Terjemahan ayat: “Dan mereka (ahli Kitab) tidak berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka[1341]. kalau tidaklah karena sesuatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulunya (untuk menangguhkan azab) sampai kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka al-Kitab (Taurat dan Injil) sesudah mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang menggoncangkan tentang kitab itu”.
Desain pembelajaran berikutnya dalam Buku Ajar ini adalah kesimpulan ayat dan penjelasannya. Kesimpulan dan penjelasan ayat ini merupakan pointer-pointer yang disarikan dan diterjemahkan ayat. Seluruh kesimpulan dan penjelasan disajikan secara bersama dan isinya tidak lain kecuali poin-poin penting yang terdapat dalam terjemahan ayat. Kesimpulan yang merupakan intisari dari pemahaman terhadap ayat dalam desain ini sebenarnya sudah sesuai, hanya tampilannya dipadukan dengan penjelasan menjadi kurang sempurna karena desain ini kemudian menjadi terkesan sangat tergesa-gesa. Karena tampilan wacana dalam dua aspek (kesimpulan dan penjelasan) sangat singkat. Narasi yang disajikan pun sangat singkat dan terpotong-potong karena ia merupakan isi kesimpulan yang berupa pointer-pointer saja. Penjelasan seyogyanya disajikan dalam wacana yang komprehensif, mampu memberikan informasi dan nilai-nilai intelektualitas yang memenuhi target akan kebutuhan tentang pemahaman pluralisme-multikulturalisme walaupun pemahaman dalam konteks anak usia remaja.
84
Desain berikutnya adalah penyajian materi pendukung. Materi pendukung dalam tema ini disajikan dalam kolom pojok kisah. Dalam kolom pojok kisah tersebut dijelaskan tentang kisah ‘Umar bin Khatta>b masuk Islam. Kisah tersebut mempunyai relevansi yang kuat dengan tema pluralisme-multikulturalisme karena menyangkut kepercayaan dan keyakinan seseorang. Terakhir dari pembahasan ini adalah desain latihan soal. Latihan soal ini merupakan bentuk latihan yang hanya menguji materi yang dilakukan dalam pembelajaran saat itu. Desain soal latihan disajikan dalam bentuk pilihan ganda (multiple choice), essay, dan penugasan. 2. Aspek Akhlak a. Aspek Akhlak tentang Pluralisme-Multikulturalisme terdapat pada Kelas XII Standar Kompetensi: Membiasakan Perilaku Terpuji Kompetensi
Materi
Dasar
Pokok
Hasil Belajar 1. Menjelaskan pengertian
Perilaku Terpuji
Siswa dapat:
Persatuan
Indikator Siswa dapat: dan
Memahami
Menjelaskan
maksud
Kerukunan
menjelaskan
pengertian
persatuan dan
kerukunan
maksud persatuan
dan
kerukunan
dalam
Memahami
persatuan
dan
2. Menampilkan
dan
maksud
kehidupan
menjelaskan
sehari-hari.
maksud kerukunan
pengertian
Menampilkan
dan
persatuan dan
contoh
kerukunan.
kesatuan
persatuan
contoh perilaku
perilaku
Menjelaskan
maksud
Menampilkan
85
3. Membiasakan
Menampilkan
contoh
perilaku
contoh
perilaku
persatuan dan
kerukunan
kerukunan
perilaku
Membiasakan
persatuan
Menunjukkan
dalam
perilaku persatuan
contoh
kehidupan
dalam
perilaku
sehari-hari.
sehari-hari
kehidupan
Membiasakan
kerukunan
perilaku
Membiasakan perilaku persatuan dalam kehidpan sehari-hari
Menujukkan perilaku rukun dalam pergaulan.
Standar kompetensi dari pembelajaran ini adalah membiasakan perilaku terpuji. Dalam menerapkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari, kompetensi dasar yang harus dikuasai adalah membiasakan bertata krama dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman belajar yang harus ditempuh adalah mengkaji dan mendiskusikan tasa>muh dan hikmahnya. Pembelajaran tersebut akan berhasil jika para siswa memiliki indikator-indikator kemampuan dalam menjelaskan pengertian
86
tasa>muh, menjelaskan tasa>muh dalam kehidupan sehari-hari, dan menunjukkan sikap toleran terhadap sesama. Aspek akhlak tentang pluralisme-multikulturalisme terdapat pada Buku Ajar PAI SMA Kelas XII. Tema tersebut dalam aspek ini merupakan subtansi dari judul pokok bahasan “Perilaku Terpuji”, tema ini didesain dengan terlebih dahulu mengenalkan istilah tasa>muh sebagai arti dari toleransi. Kata toleransi itu sendiri merupakan indikator dari adanya nilai-nilai plural-multikultural. Desain pembelajaran pada tema ini terdiri dari sistematika pembahasan yang meliputi sub pokok bahasan “Kehidupan Bermasyarakat” dan “Kehidupan Beragama”. Dalam pokok bahasan “Kehidupan Bermasyarakat”, dijelaskan tentang perbedaan yang biasa terjadi dimasyarakat. Pembahasan ini juga dilengkapi dengan dalil-dalil pendukung berupa ayat dan hadis. Dalil pendukung terhadap tema toleransi yang berasal dari al-Qur’a>n ini diantaranya adalah QS al-Nu>r/24: 22 serta terjemahnya dan hadis beserta terjemahnya. Adapun teks QS al-Nu>r/24: 22 adalah:
Terjemahan ayat: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. QS al-Nu>r/24:22.
Menurut M. Qurais Shihab ayat tersebut adalah salah satu bentuk godaan setan untuk mencarikan dalih agar seseorang enggan membantu orang lain. Dan
87
menganjurkan siapa yang pernah dilukai hatinya agar melanjutkan pemberian nafkah dan memerintahkan memberi maaf kepada yang bersalah dan telah bertaubat dalam kasus kebohongan dan penyebaran isu. 32 Dan hadis tersebut adalah: ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ ﱠﺐ َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻨْﻪُ أَ ﱠن َرﺳ ِ َﺎب َﻋ ْﻦ َﺳﻌِﻴ ِﺪ ﺑْ ِﻦ اﻟْ ُﻤ َﺴﻴ ٍ ِﻚ َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ ِﺷﻬ ٌ ُﻒ أَ ْﺧﺒَـَﺮﻧَﺎ ﻣَﺎﻟ َ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋﺒْ ُﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ُﻦ ﻳُﻮﺳ-6114 33
َﺐ ِ ِﻚ ﻧـَ ْﻔ َﺴﻪُ ِﻋﻨْ َﺪ اﻟْﻐَﻀ ُ ﺼَﺮ َﻋ ِﺔ إِﳕﱠَﺎ اﻟ ﱠﺸﺪِﻳ ُﺪ اﻟﱠﺬِي ﳝَْﻠ ﺲ اﻟ ﱠﺸﺪِﻳ ُﺪ ﺑِﺎﻟ ﱡ َ َْﺎل ﻟَﻴ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ َ Artinya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah orang yang kuat adalah orang yang pandai bergulat, tapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan nafsunya ketika ia marah."34 Desain pembelajaran di atas merupakan desain yang bertujuan memberikan reinforcement pemahaman terhadap tema pluralisme-multikulturalisme yang terintegrasi kedalam aspek akhlak. Akan tetapi, dalil-dalil yang ada masih belum mengena, terutama hadis yang dicantumkan ke dalam buku teks. Dalam sub pokok bahasan “Kehidupan Beragama”, desain sistematika pembahasan terdiri dari 1). Tasa>muh sesama umat Islam; 2). Tasa>muh antara umat Islam dan umat agama lain. Pembahasan tasa>muh sesama umat Islam dideskripsikan dalam bentuk kehidupan keberagamaan umat Islam yang memiliki perbedaan tidak prinsip (perbedaan yang bersifat furu>’iyyah). Aspirasi masing-masing umat yang berbeda ini akhirnya membentuk afiliasi organisasi sebagai saluran untuk mengaktualisasikan tujuan-tujuannya.
32
M. Qurais Shihab, Tafsir al-Mis}ba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’a>n Vol. 8, h. 508.
33
Muhammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, S{ahi>h al-Bukha>ri (Cet. I; Riyadh: Da>r al-Sala>m, 1998),
34
Lihat Syamsuri, Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XII (Jakarta: Erlangga, 2006),
h. 1297. h. 122.
88
Toleransi dalam pergaulan hidup antara umat beragama, yang didasarkan kepada setiap agama menjadi tanggung jawab pemeluk agama itu sendiri dan mempunyai bentuk ibadat (ritual) dengan sistem dan cara tersendiri yang ditaklifkan (dibebankan) serta menjadi tanggung jawab orang yang pemeluknya. Atas dasar itu, maka toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama bukanlah toleransi dalam masalah-masalah kegamaan, melainkan perwujudan hidup antara orang yang tidak seagama, dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umum. 35 Agama tidak pernah berhenti dalam mengatur tata kehidupan manusia. Karena itu, kerukunan dan toleransi antara umat beragama adalah bukan sekedar hidup berdampingan yang pasif saja. Akan tetapi, lebih dari itu untuk berbuat baik, dan berlaku adil antara satu sama lain. Bagi umat Islam dan agama lainnya seyogyanya perbedaan agama jangan sampai menghalangi untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap manusia tanpa diskriminasi agama dan kepercayaan. Toleransi positif adalah toleransi yang ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari segala macam bentuk tekanan atau pengaruh serta terhindar dari hipokrisi. Oleh karena itu, pengertian toleransi agama adalah pengakuan adanya kebebasan setiap warga untuk memeluk agama yang menjaga keyakinannya dan kebebasan untuk menjalankan ibadahnya. Toleransi beragama meminta kejujuran, kebesaran hati, kebijaksanaan dan tanggung jawab, sehingga menimbulkan perasaan solidaritas dan mengeliminir egoistis golongan. Toleransi hidup beragama itu bukan suatu campur aduk, melainkan terwujudnya ketenangan, saling menghargai bahkan
35
Said Aqil Hu>sin al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Cet. III; Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), h. 14.
89
sebenarnya lebih dari itu, antara pemeluk agama harus dibina gotong royong di dalam membangun masyarakat kita sendiri dan demi kebahagiaan bersama. 36 Sungguhpun kalangan umat beragama meyakini bahwa doktrin agama mereka dipenuhi pesan-pesan tentang persaudaraan antara sesama manusia, tidaklah dengan sendirinya bisa dikatakan bahwa agama merupakan garansi bagi terciptanya perdamaian. Bahkan, dalam perpektif tertentu, agama sering kali mewujudkan dirinya sebagai pisau bermata dua, ia mendukung perdamaian, namun ia juga menyediakan “bahan bakar” untuk membumi-hanguskan perdamaian manusia. Atas nama agama, manusia memupuk persaudaraan dan persahabatan. Tapi, atas nama agama juga, manusia saling bermusuhan, bahkan saling membunuh satu sama lain. Sejarah peradaban merepresentasikan contoh yang pertama. Sementara itu, sejarah peperangan menunjukkan contoh yang kedua. Karena itu, persoalan utama umat beragam adalah bagaimana mereka dapat hidup dalam satu payung peradaban yang dibangun bersama-sama tanpa ada lagi permusuhan dan kekerasan di antara mereka.37 Desain toleransi ini dikuatkan dengan sikap untuk saling menghargai adanya perbedaan-perbedaan. Sikap untuk tidak melakukan penghinaan dan penganiayaan terhadap sesama muslim, sikap untuk menekankan rasa persatuan dan kesatuan antara umat Islam di Indonesia, sikap untuk berlapang dada dalam hal menanggapi perbedaan yang bersifat furu>‘iyyah. Sikap-sikap ini pun disertai dengan dalil yang menguatkan agar mudah diikuti dan difahami. Dalil-dalil yang mendukung pembelajaran ini adalah: 36 37
Said Aqil Hu>sin al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, h. 16-17.
Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 196-197.
90
ﱠﱯ َﺎل أَ ْﺧﺒَـﺮَِﱐ َﺟﺪﱢي أَﺑُﻮ ﺑـ ُْﺮَدةَ َﻋ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ أَِﰊ ﻣُﻮﺳَﻰ َﻋ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ َ ُﻒ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ُﺳ ْﻔﻴَﺎ ُن َﻋ ْﻦ أَِﰊ ﺑـ ُْﺮَدةَ ﺑـَُﺮﻳْ ِﺪ ﺑْ ِﻦ أَِﰊ ﺑـ ُْﺮَدةَ ﻗ َ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﳏَُ ﱠﻤ ُﺪ ﺑْ ُﻦ ﻳُﻮﺳ-2062 .38َﲔ أَﺻَﺎﺑِﻌِ ِﻪ َ ْ ﱠﻚ ﺑـ َ ﻀﻪُ ﺑـَ ْﻌﻀًﺎ ﰒُﱠ َﺷﺒ ُ َﺎل اﻟْﻤ ُْﺆِﻣ ُﻦ ﻟِﻠْﻤ ُْﺆِﻣ ِﻦ ﻛَﺎﻟْﺒُـْﻨـﻴَﺎ ِن ﻳَ ُﺸ ﱡﺪ ﺑـَ ْﻌ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ َ Artinya: Abu Musa dari Nabi saw beliau bersabda: "Seorang mukmin dengan mukmin yang lain ibarat bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lain." Kemudian beliau menganyam jari-jemarinya.39 Bahwa rasa persaudaraan itu harus disertai dan diikuti dengan berbagai sikap perilaku terpuji serta dijauhkan dari segala sikap perilaku tercela. Sesama Muslim hendaknya saling berkasih sayang dan tolong-menolong. Rasa persaudaraan itu hendaknya dimanfaatkan untuk melakukan usaha-usaha agar terwujud kedamaian, kemajuan, dan kesejahtraan bersama.
Terjemahan ayat: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. QS ‘Ali-Imra>n/3: 103.
h. 124.
38
Muhammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>ri, S{ahi>h al-Bukha>ri, h. 1281.
39
Lihat Syamsuri, Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XII (Jakarta: Erlangga, 2006),
91
Terjemahan ayat: “Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, Padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, Maka Sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. QS ‘Ali-Imra>n/3: 101.
Dalam tasa>muh antara umat Islam dengan umat Islam lain, wacana ini didesain dengan lebih memahami makna toleransi agar mampu diaplikasikan dalam konteks keberagamaan masyarakat Indonesia yang sangat beragam (plural). Dalam desain ini dijelaskan bahwa umat yang berbeda agama harus saling menghormati pelaksanaan ibadah dari masing-masing agama. Tidak boleh ada pemaksaan terhadap orang yang berbeda keyakinan. Akan tetapi orang yang belum mempunyai kepercayaan dibolehkan untuk berdakwah dengan cara bijaksana. Adapun dalil yang ditampilkan dalam desain ini adalah: QS. al-Baqarah/2: 256.
Terjemahan ayat: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. QS. al-Baqarah/2: 256.
92
Dalam desain pembelajaran ini ditampilkan juga praktek-praktek toleransi pada masa Nabi Muhammad saw. seperti kisah sahabat Nabi, Ka’ab bin Ajzah yang dibolehkan bekerja oleh Nabi kepada orang Yahudi, kisah kerjasama Nabi dengan orang Yahudi Uraiqiz sebagai petunjuk jalan, kisah perkenan Nabi dalam menghadiri undangan orang Yahudi (undangan ini sebenarnya merupakan rencana jahat orang Yahudi untuk meracuni Nabi), kisah pemberian hadiah oleh Nabi kepada Raja Najasyi, kisah penghormatan Nabi terhadap jenazah orang Yahudi, dan kisah jalinan tali kasih Nabi dengan pamannya Abu Tha>lib walaupun belum masuk Islam sampai wafatnya. Desain pembelajaran ini diserta dengan dalil-dalil penguat sebagai landasan normatif dari tema yang sedang dibahas. Diantara dalil-dalil yang dimuat adalah: 1. Sikap Nabi ketika melihat mayat Yahudi yang tertuang dalam percakapan Beliau dengan sahabat, seperti pertanyaan seorang sahabat: “wahai Rasulullah bukankah itu mayat Yahudi?” Rasulullah menjawab: ﻟﺴﺖ ﻧﻔﺴﺎ؟ ﻧﻌﻢ artinya: “Bukankah itu nyawa juga?” ya”, jawab orang itu, selanjutnya beliau berkata: ﻧﻔﺲ ﰲ اﻻﺳﻼم ﻟﻪ ﺣﺮﻣﻪ وﻣﻜﺎنartinya “setiap nyawa menurut Islam, harus dihormati dan mempunyai tempat”. 2. Dalil yang berkaitan dengan sikap Nabi ketika diajukan usulan untuk saling beribadah serta bergantian, dalil ini adalah QS al-Ka>firu>n/109: 1-6.
93
Terjemahan ayat: 1. Katakanlah: "Wahai orang-orang kafir!” 2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4. Dan aku tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang kamu sembah, 5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku."
Pada desain yang terakhir dari pembelajaran ini adalah penyajian rangkuman yang hanya berupa defenisi tasa>muh dan keterangan bahwa tasa>muh merupakan bagian dari akhlak mulia. Juga diakhiri dengan desain latihan-latihan soal yang terdiri dari soal pilihan ganda, tes internalisasi budi pekerti, dan essay. b. Aspek Akhlak tentang HAM terdapat pada Kelas X Standar Kompetensi: Menghindari Perilaku Tercela Kompetensi Hasil Belajar
Indikator
Materi Pokok
Dasar 1. Menjelaskan
pengertian
pengertian
hasud,
riya,
hasud,
aniaya,
dan
aniaya,
diskriminasi 2. Menyebutkan
Memahami
riya, dan
diskriminasi
Dapat
Menjelaskan
Pengertian
pengertian
hasud,
riya,
hasud,
aniaya,
dan
Menjelaskan
diskriminasi
pengertian riya,
Contoh-
Menjelaskan
contoh
contoh
memberikan
pengertian
perilaku
perilaku
contoh perilaku
aniaya
hasud,
riya,
94
hasud,
riya,
hasud,
aniaya,
dan
aniaya,
diskriminasi 3. Menghindari perilaku hasud,
riya,
aniaya,
dan
diskriminasi
riya, dan
diskriminasi
aniaya,
pengertian
diskriminasi
dikriminasi
Dapat
Menjelaskan
dan
Menghindari
Menyebutkan
perilaku
memahami dan
contoh perilaku
hasud,
riya,
menjauhi
hasud
aniaya,
dan
perilaku hasud,
Menyebutkan
diskriminasi.
riya,
contoh perilaku
aniaya,
dan diskriminasi
riya
Menyebutkan contoh perilaku aniaya
Menyebutkan contoh perilaku diskriminasi
Mampu menghindari perilaku hasud, riya,
aniaya,
dan diskriminasi.
Aspek akhlak tentang HAM terdapat pada Buku Ajar PAI SMA Kelas X Bab 10. Standar Kompetensi dari materi ini adalah menghindari perilaku tercela. Dalam
95
menghindari perilaku tercela kompetensi dasar yang harus dikuasai adalah menjelaskan pengertian, menyebutkan contoh perilaku, dan menghindari perilaku hasud, riya, aniaya, dan diskriminasi. Pembelajaran tersebut bisa dikatakan berhasil apabila para siswa memahami pengertian, memberikan contoh perilaku, memahami dan menjauhi perilaku hasud, riya, aniaya, dan diskriminasi. Kemudian indikator standar kompetensi ini dalah siswa memiliki kemampuan untuk menjelaskan pengertian hasud, riya, aniaya, dan diskriminasi. Aspek akhlak tentang HAM pada sub pokok bahasan ini didesain dengan sistematika dan format yang sangat jelas. Pada tema ini diungkapkan tentang makna demokrasi yang terdapat dalam Undang-Undang RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bab I pasal I. Pada tema ini dikuatkan pula dalil yang memberikan isyarat agar setiap muslim dapat berlaku adil, tidak membedakan perlakuan walaupun terhadap kerabat (dengan perintah untuk merujuk pada QS al-An’a>m/6: 152). HAM pada bagian terakhir ini hanya membahas sekelumit tentang tema itu sendiri, yaitu hanya mengenalkan satu pasal tentang Hak Asasi Manusia. Pembahasan tentang HAM hanya dilakukan dengan sangat singkat, yaitu hanya 3 halaman dan jika wacana HAM disatukan, maka jumlah paragraf akan menjadi satu halaman. Desain pembelajaran itu terkesan sangat kognitif dan sangat terfokus pada teks bunyi pasal, tanpa menerjemahkannya kedalam kehidupan anak didik.
BAB IV IMPLIKASI PEMBELAJARAN DALAM KURIKULUM PAI YANG PLURAL-MULTIKULTURAL
A. Kurikulum PAI yang Plural-Multikultural Pengertian kurikulum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 1 ayat 19 adalah merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.1 Kurikulum merupakan salah satu elemen penting dalam sistem pendidikan khususnya Pendidikan Agama Islam.2 Berhasil atau tidaknya tujuan pendidikan tergantung kurikulum yang dipersiapkan. Tidak relevannya kurikulum yang dipersiapkan di suatu lembaga pendidikan dengan realitas kehidupan yang dialami oleh peserta didik, menyebabkan peserta didik tereleminasi dari lingkungannya atau tidak peka terhadap perkembangan yang terjadi di sekitarnya. Kurikulum ialah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh peserta didik untuk memperoleh sejumlah pengetahuan.3 Menurut pandangan modern, kurikulum adalah semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan
1
Republik Indonesia, Undang-Undang Guru dan Dosen dilengkapi Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 “Tentang Sisdiknas Pasal 1 Ayat 19” (Jakarta: Cemerlan, 2005), h. 69. 2
Mappanganro, Implementasi Pendidikan Islam (Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1996), h.
3
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran (Cet. IV; PT. Bumi Aksara, 2003), h. 16.
37.
96
97
di sekolah. Dalam artian bahwa semua pengalaman belajar itulah kurikulum. 4 Kurikulum tersebut dirancang sedemikian rupa agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kurikulum silih berganti, dan apabila terjadi suatu masalah dalam praktik pendidikan nasional, maka yang dipermasalahkan adalah kurikulum. Seakan-akan kurikulum merupakan lampu Aladin untuk membenahi pendidikan nasional. 5 Dalam memperbaiki sistem pendidikan nasional berarti juga memperbaiki kurikulum. Persoalan kurikulum tidak hanya bersifat teknis, karena dalam kurikulum pendidikan (formal) tersembunyi ide serta nilai-nilai yang sebenarnya dipaksakan oleh masyarakat dalam sistem pendidikan. Materi pendidikan merupakan bahan yang akan disajikan kepada peserta didik dalam kegiatan belajar di kelas. Materi pelajaran tersebut telah ditetapkan dalam kurikulum yang disusun bersama oleh pengambil kebijakan satuan pendidikan dan disesuaikan dengan kurikulum nasional dan kearifan lokal. Dengan demikian, materi pendidikan ialah semua bahan pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik dalam suatu sistem institusional pendidikan. 6 Materi pendidikan merupakan subtansi ilmu pengetahuan yang ditransmisikan kepada peserta didik agar diketahui, dikembangkan, dan diamalkan. Salah satu komponen dalam pendidikan adalah pembelajaran. Untuk mengkaji komponen kurikulum yang mencakup unsur metode mengajar, materi 4
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Cet. VIII; Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2008), h. 53. 5
H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012), h. 356. 6
133.
Hamdani Ihsan, dkk., Filsafat Pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2007), h.
98
pelajaran, prasarana dan media mengajar bahkan landasan falsafah serta tujuan pembelajaran. Yang terakhir ini sebenarnya yang menjadi landasan dari seluruh proses belajar mengajar, dari mana guru menentukan materi dan metode mengajar. Pertanyaan yang paling mendasar “apakah dasar dan tujuan pendidikan, khususnya pendidikan agama?”. Tujuan pendidikan bermakna kultural. Demikian pula pendidikan agama harus memampukan seseorang bukan hanya mengenal agamanya tetapi mampu pula bertumbuh dalam imannya dan memberlakukan ajaran agama dalam hidup sehari-harinya.7 Dimensi sosial dalam kurikulum terkait dengan kemampuan sekolah dalam mengembangkan program-program proses pembelajaran di sekolah yang sangat terkait dengan kondisi dan potensi peserta didik. Program-program sekolah baik yang bersifat akademik dan non-akademik antara sekolah satu dan lainnya tidak selalu sama, dan perbedaan ini pun sangat terkait dengan motivasi dan minat peserta didik.8 Di dunia pendidikan yang sifatnya pluralistik dan dialogis, meskipun kadangkadang menuai polemik, kontroversi dan pertengkaran hidup berdampingan. Banyak guru berpikir bahwa kurikulum hanyalah pokok pelajaran, metode dan teknik yang sebenarnya melekat di dalamnya suatu pemahaman epistemologi, politik dan filosofi mengenai tugas pendidikan. Jelaslah bahwa memperjuangkan kurikulum dengan sendirinya menekan kelas dominan dan posisi pendidikan. 9
7
Jedida T Posumah-Santoso, Pluralisme dan Pendidikan Agama di Indonesia dalam Interfedei, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 285. 8
Siti Irene Astuti Dwiningrum, op. cit., h. 131.
9
Paulo Freire, Sekolah Kapitalisme yang Licik (Cet. III; Yogyakarta, LkiS, 2001), h. 93.
99
Oleh karena itu, dimensi multikultural-pluralis bisa dibentuk melalui proses pembelajaran, yaitu dengan menggunakan pembelajaran yang lebih mengarah pada upaya menghargai perbedaan di antara sesama manusia, sehingga terwujud ketenangan dan ketenteraman tatanan kehidupan masyarakat. Isi kurikulum hendaknya memuat segala aspek yang berhubungan dengan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terdapat pada isi setiap mata pelajaran yang disampaikan dalam kegiatan proses pembelajaran. Selain itu, isi kurikulum dan kegiatan pembelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan dari semua aspek tersebut.10 Kurikulum pendidikan merupakan jalan terbaik untuk mendidik dan meningkatkan kapasitas generasi muda sehingga mampu mengembangkan bakat dan keterampilan yang mereka miliki untuk menjalankan hak dan kewajibannya, memikul tanggung jawab terhadap diri, keluarga, dan turut serta aktif untuk kemajuan masyarakat dan bangsa.11 Kurikulum12 Pendidikan Agama Islam yang berwawasan multikulturalpluralistik pada satu sisi terwujud dalam rangka menjawab tantangan zaman yang 10
Dadang Suhardan, dkk., Manajemen Pendidikan (Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2009), h. 195.
11
Lihat Omar Muhammad al-Taomi> al-Sya’ba>ni, Falsafah al-Tarbiyah al-Islami. Diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 476. 12
Berkaitan tentang pemahaman kurikulum, setidaknya terdapat dua dimensi yang mesti dielaborasi, yakni; pertama, kurikulum sebagai silabus (curriculum is a body of knowledge to be transmitted) dapat dipahami dalam pengertian sejumlah pernyataan atau daftar pokok-pokok bahasan, bahan ajar, atau sejumlah mata pelajaran yang akan dijadikan sebagai bahan dalam proses pembelajaran. Dalam konteks pendidikan agama (Islam) multikultural-pluralistik, guru harus mampu menelaah secara kritis materi atau bahan ajar yang akan ditransformasikan kepada terdidik untuk menghindari dari berbagai bias, baik bias yang tidak kelihatan, pemberian label yang negatif, ketidakmengacuan kepada realitas dan bias lainnya. kedua, kurikulum sebagai proses (curriculum as process) adalah interaksi antara guru, siswa dan pengetahuan. Atas dasar itu, semua yang terjadi dalam pembelajaran dan semua yang dilakukan guru-siswa adalah kurikulum. Lebih lanjut lihat Mundzier Suparta, Islamic Multicultural Educatinal (Cet. I; Jakarta: al-Gazali Center, 2007), h. 145.
100
semakin komplek dan dinamis di tengah suasana kehidupan yang semakin pluralmultikulturalistik. Pada sisi lain, kurikulum PAI berwawasan multikulturalpluralistik juga dipromosikan dalam rangka menutupi “rongga kekurangan” yang menjadi watak dalam PAI yang sudah ada (konvensional). 13 Diantara celah atau kekurangan PAI konvensional adalah; Pertama, pendidikan agama terlalu ditekankan pada aspek kognitif dan hapalan. Kedua, model pendidikan agama saat ini terlalu banyak menekankan pada indoktrinasi yang mengharuskan bertindak secara ketat pada satu pilihan. Ketiga, materi pendidikan agama cenderung menekankan pada ibadah formal dan sifat ritualistik serta kurang mengarah pada penghayatan dalam aspek sosial. Dengan kata lain, pendidikan agama cenderung bertitik tumpuh pada keselamatan didasarkan pada kebaikan hubungan antara diri seorang individu dengan Tuhan-Nya, dan kurang memberi tensi yang baik antara diri individu dengan individu-individu sesamanya. Keempat, pada evaluasi mata pelajaran, penilaian tidak jarang hanya ditekankan pada hasil pengetahuan hafalan, pada hal nilai agama perlu diambil dari keseluruhan proses pendidikan. Kelima, pelajaran agama cenderung tidak memperkuat perkembangan tingkah laku siswa kearah yang lebih baik karena pendidikan agama kurang dikaitkan dengan unsur kemanusiaan yang lain, seperti segi emosional, spiritual, sosial, budaya, serta hidup bersama yang sangat sarat dengan perbedaan. Keenam, kurang kuatnya dukungan suasana dan sistem yang kondusif bagi perkembangan perilaku siswa menuju kearah lebih baik.
13
M. Amin Abdullah mengistilahkan pendidikan agama konvensional ini dengan pendidikan agama berparadigma klasik-skolastik. Lihat M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius (Cet. I; Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), h. 138.
101
Beberapa alasan perlunya pilihan materi pendidikan yang didasarkan pada luasnya ilmu pengetahuan. Sehingga tanpa adanya pilihan materi, bisa mengaburkan dalam pelaksanaan pendidikan, karena dapat terjadi apa yang dipelajari di sekolah beraneka ragam coraknya, sehingga apa yang ditetapkan dalam tujuan pendidikan tidak tercapai sebagaimana mestinya.14 Sesuai dengan rumusan tersebut, isi kurikulum dikembangkan dan disusun berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Materi pendidikan berupa bahan pelajaran yang terdiri dari bahan kajian atau topik-topik pelajaran yang dapat dikaji oleh peserta didik dalam proses belajar dan pembelajaran. 2. Materi pendidikan mengacu pada pencapaian tujuan masing-masing satuan pendidikan. Perbedaan ruang lingkup dan urutan bahan pelajaran disebabkan oleh perbedaan tujuan satuan pendidikan tersebut. 3. Materi pendidikan diarahkan mencapai tujuan pendidikan nasional. Dalam hal ini, tujuan pendidikan nasional merupakan target tertinggi yang hendak dicapai melalui penyampaian materi pendidikan. 15 Menurut al-Syaiba>ni, kurikulum pendidikan Islam seharusnya mempunyai ciri sebagai berikut: 1. Kurikulum pendidikan Islam harus menonjolkan mata pelajaran agama dan akhlak. 2. Kurikulum
pendidikan
Islam
harus
memperhatikan
pengembangan
menyeluruh aspek pribadi peserta didik. 14
Syarifuddin Nurdin dan M. Basyiruddin Usman, Guru Profesional dan Implementasi (Cet. II; Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 54. 15
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 25.
102
3. Kurikulum pendidikan Islam harus memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, dunia, dan akhirat; jasmani, akal, dan rohani manusia. 4. Kurikulum pendidikan Islam mempertimbangkan kebudayaan yang sering terdapat di tengah manusia.16 Dalam konteks ini, konsep diversifikasi kurikulum menempatkan konteks sosial-budaya seharusnya menjadi pertimbangan. Tetapi, karena sifat ilmu yang universal menyebabkan konteks sosial-budaya tersebut terabaikan. Padahal kurikulum harus konsisten dengan tujuan utama pendidikan dan harus selalu dinamis menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Demikian gambaran pentingya kurikulum dalam Pendidikan Agama Islam. Di sini peneliti juga akan mengkaji sekilas tentang ragam kurikulum PAI (dari KBK ke KTSP), dan apakah peralihan tersebut telah memuat nilai-nilai pluralmultikultural sehingga mampu memberikan solusi bagi kehidupan peserta didik. 1. Kurikulum KBK (2004) Salah satu komponen yang seringkali menjadi faktor penyebab menurunnya mutu pendidikan adalah kurikulum. Banyak faktor kritikan terhadap kurikulum, seperti; kurikulum terlalu padat, tidak sesuai dengan kebutuhan anak, terlalu memberatkan anak, merepotkan guru, dan sebagainya. Olehnya itu, dilakukan inovasi melalui penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yaitu kurikulum sebagai rujukan pengalaman belajar yang diarahkan bagi tercapainya penguasaan kompetensi, karena kurikulum PAI tahun 1994 misalnya, dianggap terlalu menekankan materi pokok dan lebih bersifat 16
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, h. 28.
103
memaksakan target bahan ajar sehingga tingkat kemampuan peserta didik terabaikan.17 Secara umum, pada era reformasi ini prinsip implementasi Kurikulum 2004 adalah lahirnya KBK, yang meliputi antara lain Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), penilaian berbasis kelas, dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah. Dalam hubungannya dengan KBM, proses belajar tidak hanya berlangsung di lingkungan sekolah, tetapi di lingkungan keluarga dan masyarakat. Kurikulum 2004 merupakan kurikulum eksperimen yang diterapkan secara terbatas di sejumlah sekolah atau madrasah untuk eksperimen Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Ketentuan tentang kurikulum termasuk kerangka dasar kurikulumnya serta pengembangannya pada dasarnya ditetapkan oleh peraturan pemerintah, dalam hal ini PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.18 Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum menurut Depdiknas dalam bukunya Abdul Majid, PAI Berbasis Kompetensi adalah: a. Kompetensi berkenaan dengan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu dalam berbagai konteks. b. Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui peserta didik untuk kompeten. c. Kompetensi
merupakan
hasil
belajar
(learning
outcome)
yang
menjelaskan hal-hal yang dilakukan peserta didik melalui proses pembelajaran.
17
Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Cet. III; Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), h. ix. 18
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktik (Cet. I; Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 41-42.
104
d. Kehandalan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu harus didefenisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kenerja yang dapat diukur.19 2. Kurikulum KTSP (2006) Pemerintah telah menetapkan secara resmi menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, namun KTSP ini tidak dapat dipisahkan dari KBK 2004, karena KTSP sebenarnya merupakan penyempurnaan dari KBK. KBK merupakan embrio bagi KTSP. Kedua kurikulum KBK dan KTSP sama-sama berangkat dari asumsi bahwa pengajaran harus diarahkan untuk membentuk kecakapan tertentu peserta didik baik yang berkaitan dengan kompetensi kognitif, afektif, maupun psikomotorik.20 Dalam implementasi KTSP setiap sekolah memiliki kebebasan untuk menekankan dan mengedepankan kompetensi tertentu sesuai dengan visi, misi sekolah, dan daerah masing-masing, dalam konteks ini, pendidikan dapat melayani perbedaan karakteristik peserta didik sekaligus perbedaan antar sekolah dan daerah, dengan tetap mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).21 Pengembangan KTSP didasarkan pada dua landasan pokok, yakni landasan empiris dan landasan formal. Landasan empiris diantaranya adalah, pertama, adanya kenyataan rendahnya kualitas pendidikan baik dilihat dari sudut proses maupun hasil
19
Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, h. 50.
20
‘Ali Mudhofir, Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Bahan Ajar dalam PAI (Cet. I; Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2011), h. 32. 21
E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK (Cet. II; Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), h. 6.
105
belajar, maksud dari sudut proses misalnya pendidikan kita kurang mampu mengembangkan peserta didik secara utuh; kedua, Indonesia adalah negara yang sangat luas yang memiliki keragaman sosial budaya dengan potensi dan kebutuhan yang berbeda; ketiga, selama ini peran sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum bersifat pasif.22 Memahami uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa implementasi kurikulum adalah operasionalisasi konsep kurikulum yang masih bersifat potensial (tertulis) menjadi aktual dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, implementasi kurikulum merupakan hasil terjemahan pendidik terhadap kurikulum (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar) yang dijabarkan dalam silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), sebagai rencana tertulis. Pembelajaran dalam KTSP dirancang dengan mengikuti prinsip-prinsip khas yang edukatif, yaitu kegiatan yang berfokus pada kegiatan aktif peserta didik dalam membangun makna atau pemahaman.23 Dengan demikian pembelajaran dalam KTSP tidak hanya sekedar proses penyampaian materi saja, tetapi diselenggarakan untuk membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan peserta didik. Prinsip tersebut sejalan dengan prinsip pembelajaran PAI yang berbasis pluralmultikultural dan selain itu perlu memberdayakan semua potensi peserta didik. PAI SMA merupakan bidang studi yang sangat urgen bagi peserta didik Muslim karena berisikan ajaran pokok agama Islam yang teintegrasi kelima ranah, yaitu akidah, akhlak, fikih, sejarah Islam dan al-Qur’a>n sehingga memiliki kontribusi
22 23
E. Mulyasa, KTSP (Cet. IV; Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007), h. 9.
Masnur Muchid, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 1.
106
dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mempelajari dan memperaktikkan ajaran dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sehubungan dengan itu, terdapat beberapa hal yang penting dikemukakan dalam hal kurikulum Pendidikan Agama Islam yang sifatnya plural-multikultural, yaitu: 1. Model Pendidikan Agama Islam pluralistik-multikultural mencakup dimensi kurikulum yang resmi (real curriculum) dan kurikulum yang tidak tertulis (hidden
curriculum).
Model
kurikulum
multikultural
berusaha
mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan, dan keterampilan hidup dalam masyarakat yang penuh keragaman. Dalam konteks ini dikenal dengan istilah inter religion curriculum (kurikulum berbasis agama).24 Di mana dalam muatan nilai, pengetahuan, dan keterampilan dalam inter religion curriculum ini didesain
sesuai dengan tahapan perkembangan
peserta didik dan jenjang pendidikan. 2. Kurikulum Pendidikan Agama Islam multikultural-pluralistik mesti disajikan dengan menggunakan lebih dari satu perspektif mengenai peristiwa-peristiwa sejarah dan fenomena kehidupan. Dengan demikian, akan lebih memperkaya kurikulum yang sedang berlangsung. Titik berat pertama sesungguhnya 24
Kurikulum berbasis agama ini meliputi tiga aspek, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Aspek kognitif yakni daya pengetahuan dari dimensi-dimensi perennial agama-agamad dan perbedaan-perbedaannya, menjelaskan perbedaan dan persamaan dan keunikan tradisi agamaagama untuk saling berbagi dan bekerjasama dalam memecahkan masalah kemanusiaan dan lingkungan . aspek afektif, yakni saling menghormati agama orang lain, berpikir positif tentang mereka dan memandang dalam tradisi dan keyakinan mereka terdapat juga keselamatan, sehingga mewujudkan hubungan yang setara dan berkeadilan. Aspek psikomotorik, yakni kemampuan dalam merekonstruksi budaya anti kekerasan dan membangun peace building, kemampuan mengadakan rekonsiliasi dan resolisu konflik, kemampuan sosial untuk bersikap empati terhadap orang lain. Mundzier Suparta, Islamic Multicultural Education; Sebuah Refleksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta: al-Ghazali Center, 2008), h. 148.
107
terletak pada pemahaman dan upaya untuk hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya sehingga tidak terjebak pada primordialisme maupun eksklusivisme, untuk kemudian terjalin pada terwujudkan pemahaman nilainilai bersama (common values) dan upaya kolaboratif dalam mengatasi berbagai masalah kehidupan yang saling terkait, seperti masalah yang berkaitan dengan kejahatan, keterbelakangan dan kemiskinan. 25 3. Pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural-pluralistik perlu diarahkan agar peserta didik memahami doktrin-doktrin Islam secara utuh dan menyeluruh dan tidak berkutat pada masalah-masalah ritual atau mengutamakan pendekatan fiqhiyah belaka. Lebih dari itu, Pendidikan Agama Islam perlu diarahkan pada pencerahan hati dan emosional serta tidak hanya pada tataran kognitif, agar umat memiliki wawasan aqidah, ruh{iyah, dan moral yang tinggi, kemampuan empati dan peka terhadap persoalan kolektif. Dengan bahasa lain, melalui wawasan pluralistik-multikultural, peserta didik secara greduatif diharapkan tidak hanya sekadar mengetahui sesuatu dengan benar (to know), tetapi juga mengamalkannya dengan benar
25
Dalam konteks masyarakat majemuk yang sangat sarat dengan beragam kepentingan dan sangat potensial pada terwujudnya konflik sehingga kita menyaksikan semakin banyak anak di dunia ini yang menjadi korban konflik dan kekerasan, masalah-masalah sosial yang semakin meningkat dan kurangnya sikap saling menghargai antar manusia. Dalam keadaan demikian, banyak dari mereka yang percaya bahwa sebagian dari solusinya adalah penekanan pada pendidikan nilai (living values education). Living Values Education terdiri dari beberapa unit nilai yang mesti ditananamkan kepada peserta didik sejak dini. Nilai-nilai itu adalah (1) kedamaian, (2) penghargaan, (3) cinta, (4) toleransi, (5) kejujuran, (6) kerendahan hati, (7), kerjasama, (8) kebahagiaan, (9) tanggungjawab, (10) kesederhanaan, (11) kebebasan, dan (12) persatuan. Petunjuk teknik pelaksanaan secara aplikatif keduabelas nilai tersebut dapat diperiksa antara lain Diane Tillman, Living Values Activities for young Adults. Terj. Risa Praptono dan Ellen Sirait (Cet. I; Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), h. xii.
108
(to do), menjadi diri sendiri (to be) dan membangun kebersamaan hidup dengan orang lain dengan saling menghormati (to live together). 4. Kurikulum Pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural-pluralistik sangat penting untuk mengaksentuasikan dengan tanpa mengabaikan nilainilai teologis pada pembentukan nilai-nilai moral, seperti cinta kasih, tolong menolong, toleransi, tenggang rasa, menghormati perbedaan pendapat dan kepercayaan agama dan kebudayaannya.26 Sikap-sikap moral demikian akan lebih mudah ditanamkan jika para peserta didik mengenal peserta didik lainnya dari agama, etis dan budaya yang heterogen. 5. Dalam implementasinya, proses transformasi Pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural-pluralistik mesti mengacu dan
pada pola
pembelajaran yang menjamin segala kebhinekaan peserta didik dalam segala aspeknya. Dalam konteks inilah lahir pola pembelajaran interaktif (interactive learning), pembelajaran kolaboratif (collaborative learning), dan design pembelajaran lainnya yang bersifat student oriented. 6. Sejak dini mesti disadari bahwa tidak terdapatnya model pendidikan multikultural-pluralistik yang paling cocok atau paling pas untuk semua situasi dan semua komunitas. Ini sejalan dengan apa yang ditegaskan oleh H.A.R. Tilaar.27 Artinya, model pendidikan pluralis-multikultural dapat saja cocok untuk suatu komunitas pada waktu tertentu, namun menjadi tidak cocok pada situasi lainnya, atau model pendidikan pluralis-multikultural
26
Diane Tillman, Living Values Activities for young Adults. Terj. Risa Praptono dan Ellen Sirait, h. xiii 27
H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Cet. I; Jakarta: Gramedia Media Sarana Indonesia, 2004), h. 57.
109
cocok untuk komunitas tertentu, tetapi tidak cocok untuk komunitas lainnya. Karena itu, design ataupun model kurikulum Pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural bersifat dinamis, dalam arti senantiasa menuntut pembaruan, inovasi atau reoreintasi komponen-komponen kurikulum sesuai dengan dinamika komunitas serta perkembangan situasi dan kondisi. Berdasarkan bahasan di atas, dapat ditegaskan bahwa tidak terdapat model yang paten atau bentuk baku dalam perumusannya, sehingga dapat ditegaskan bahwa konstruksi dan komposisi muatan kurikulum Pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural-pluralistik bersifat kontekstual dan dinamis. Namun demikian terdapat karakteristik yang senantiasa terdapat tabiat yang sangat menonjol yaitu adanya perubahan paradigma dan pola berpikir dalam menyikapi fenomena kemajemukan dalam segala hal, yakni pilihannya yang sedemikian tegas dan pekat dalam berpihak dan membela pluralisme-multikulturalisme, inklusivisme, toleransi, egalitarianisme, dan sikap-sikap non sektarian. B. Implikasi Pembelajaran yang Plural-Multikultural Sejak lama, rakyat Indonesia selalu diingatkan agar dapat hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang beraneka suku, bangsa, agama, ras, dan antar golongan. Menyerukan untuk mengerti, menghayati, dan melaksanakan kehidupan bersama demi terciptanya persatuan dan kesatuan dalam perbedaan sebagaimana semboyan Bhineka Tunggal Ika. Artinya selalu diingatkan untuk menghargai dan menghayati perbedaan SARA sebagai unsur utama yang mempersatukan bangsa ini dan bukan dijadikan alasan terjadinya konflik. Dalam studi sosial, ajakan agar selalu hidup berdampingan secara damai ini merupakan bentuk sosialisasi nilai yang terkandung dalam multikulturalisme.
110
Penyelenggaraan pendidikan yang multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas plural. Dengan demikian, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial-budaya. Jadi, landasan sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang bercorak masyarakat majemuk (plural society) sudah saatnya dikaji kembali. Ideologi masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman suku bangsa harus digeser menjadi ideologi keanekaragaman budaya atau multikulturalisme. 28 Pendidikan
Agama
Islam
yang
plural-multikultural
adalah
proses
transformasi dan internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran Islam yang berusaha mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan dan disparitas kemanusiaan dalam konteksnya yang luas sebagai suatu grand design of God (sunnatullah) yang mesti diterima dengan penuh arif dan lapang dada ditengah kenyataan kemanusiaan yang plural-multikultural dalam segala dimensinya guna mewujudkan tatanan kehidupan yang berkeadilan. Dengan defenisi yang lebih operasional, dapat dinyatkan bahwa Pendidikan Agama Islam multikultural-pluralistik merupakan usaha komprehensif dalam mencegah terjadinya konflik antar agama, mencegah terjadinya radikalisme agama, sekaligus pada saat yang sama memupuk terwujudnya sikap yang apresiatif positif terhadap pluralitas dalam dimensi dan perspektif apapun, karena pendidikan agama berwawasan multikultural-pluralistik memiliki visi dan misi untuk
28
Asnan Muhammad Idzul,” Merayakan Multikulturalisme; Sebuah Perpaduan Tradisi Bugis dan Tionghoa di Makassar.” LAPAR dan KID, (No. 1 Juni 2010), h. 122-140.
111
mewujudkan agama pada sisi yang lebih santun, dialogis, apresiatif terhadap pluralitas dan peduli terhadap persoalan hidup yang komunal transformatif.29 Menurut Suyanto, pakar pendidikan, masyarakat justru mengetahui lebih dalam mengenai stereotip suatu suku bangsa dibandingkan mengenal apa yang sebenarnya dimiliki suku tersebut. Padahal, dalam konteks diskursus pendidikan multikultural, memahami makna di balik realitas budaya suatu suku bangsa, itu merupakan hal yang esensial.30 Sedangkan menurut Stephen Hill, Direktur Perwakilan Badan PBB Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya, UNESCO untuk kawasan Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Timor Leste, pendidikan multikultural dapat dikatakan berhasil bila prosesnya melibatkan semua elemen masyarakat. Secara konkret, pendidikan ini tidak hanya melibatkan guru atau pemerintah saja, namun seluruh elemen masyarakat. Hal itu dikarenakan adanya multidimensi aspek kehidupan yang tercakup dalam pendidikan multikultural.31 Implementasi pembelajaran yang plural-multikultural ke dalam lembaga pendidikan khususnya penerapannya pada peserta didik perlu ditindaki secepatnya sebelum munculnya radikalisasi agama oleh generasi muda bangsa. Wakil Presiden Budiono mengatakan perlunya para pelajar mewaspadai ajaran-ajaran radikalisme yang menyusup ke dalam lembaga pendidikan. Ancaman radikalisme agama di domain pendidikan menghadapi tantangan baru, yaitu suburnya nilai-nilai
29
Edi Susanto, Pendidikan Agama Berbasis Multikultural; Upaya Strategis Menghindari Radikalisme (KARSA Jurnal Keislaman, Vol. IX No. 1, April 2006), h. 785. 30
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural (Cet. VI; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h.
31
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, h. 218.
217.
112
radikalisasi melalui institusi intra sekolah yang berkedok bagian kerohanian. Organisasi di bawah OSIS di wilayah kajian keagamaan kini menjadi ruang potensial bagi suburnya penanaman nilai-nilai ajaran garis keras dengan pemahaman kaku. Pemahaman kaku dan parsial terhadap nilai keagamaan dapat mengancam fondasi nasionalisme dan kontraproduktif dengan semangat kebhinekaan. 32 Sasaran akhir dari pendidikan agama haruslah seorang pribadi yang memiliki integritas diri, mampu menggunakan imannya dalam menjawab tantangan hidup dan mampu memanusiakan sesamanya dengan berbagai kehidupan yang sejahtera yang dikaruniakan Allah kepada manusia.33 Bila tujuan akhir pendidikan adalah perubahan perilaku dan sikap serta kualitas seseorang, maka pengajaran harus berlangsung sedemi\kian rupa sehingga tidak sekadar memberi informasi atau pengetahuan melainkan keputusan untuk berubah. Dalam teori pendidikan, sebuah pendidikan disebut berhasil jika terpenuhi ketiga aspek yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Di Indonesia pendidikan masih sebatas hasil kognitif ketimbang aspek moral dan sikap peserta didik.34 Dalam konteks ini, Zakiyuddin Baidha>wy merinci karakteristik Pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural, yaitu pertama, belajar hidup dalam perbedaan, kedua, membangun saling percaya (mutual trust), ketiga, memelihara
32
Wakil Presiden Budiono, “Radikalisme dan Liberalisme Harus Diwaspadai “ (Berita Kompas, Kamis, 29 Juli 2010), h. 12. 33
Jedida T Posumah-Santoso, Pluralisme dan Pendidikan Agama di Indonesia dalam Interfedei, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 286. 34
Jedida T Posumah-Santoso, Pluralisme dan Pendidikan Agama di Indonesia dalam Interfedei, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, h. 287.
113
saling pengertian (mutual understanding), keempat, menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect), kelima, terbuka dalam berpikir, keenam, apresiasi dan interdependensi, dan ketujuh, resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.35 Sebagai sebuah konsep yang mesti dituangkan dalam sistem kurikulum, Pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural secara umum menggunakan berbagai pendekatan (approaches) dan metode yang beragam. Pendekatan yang mungkin dapat dilakukan dalam mengimplementasikan Pendidikan Agama Islam berbasis multikultural adalah pertama, pendekatan historis. Kedua, pendekatan sosiologis. Ketiga, pendekatan kultural. Keempat, pendekatan psikologis. Kelima, pendekatan estetik. Keenam, pendekatan berspektif gender.36 Keenam pendekatan ini sangat memungkinkan untuk terciptanya kesadaran pluralistik-multikultural dalam Pendidikan Agama Islam serta dalam penerapannya sangatlah mungkin diterapkan secara integratif, sehingga sangat memungkinkan pula untuk terbentuknya suatu bentuk pendekatan baru. Dari beberapa pendekatan di atas, pendidikan agama dinilai sedang berada pada posisi kritis, karena fungsi pokoknya yang berkaitan dengan pengembangan moral masih jauh dari harapan. Sementara itu pula kurikulum pendidikan agama dinilai tertinggi dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan dijadikan sebagai kerangka acuan oleh masyarakat akan terus mengalami perkembangan sejalan dengan terjadinya perubahan sosial kebudayaan. Karena itu, jika dilihat dari perspektif pendidikan dan kebudayaan, sulit ditemukan adanya tata
35
Zakiyuddin Baidha>wy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Cet. I; Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2005), h. 78. 36
Zuly Qo>dir, Pendidikan Islam Transformatif; Upaya Menyingkap Dimensi Pluralis dalam Pendidikan Akidah Akhlak (Taswirul Afkar, Edisi No. 11 Tahun 2001), h. 38.
114
nilai yang tidak disentuh sama sekali oleh perubahan. Tidak terlalu mengherankan, bila dalam masyarakat seperti masyarakat modern sekarang ini, dijumpai adanya pergeseran nilai yang begitu cepat sekali dari nilai-nilai lama (tradisional) kenilainilai baru yang dianggap kondusif, sebagai kerangka acuan dalam menghadapi kehidupan baru di masa depan.37 Harus diakui bahwa manusia sekarang ini telah sampai kepada kemajuan IPTEK. Kemajuan ini tidak saja membawa manusia pada tingkat progresivitas yang tinggi. Tetapi IPTEK juga telah berkembang menjadi suatu kosmologi baru yang menjadi tantangan agama. Berdasar keadaan objektif inilah, orang berbicara tentang krisis agama atau masa depan agama yang suram karena kedudukannya digantikan oleh IPTEK. Tetapi apakah signifikan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menggantikan kedudukan agama secara absolut. Dalam arus perubahan yang berkembang secara global ini telah mempengaruhi dimensi religiusitas, nampaknya telah menjadi kesadaran kita bersama. Namun sepenuhnya mengatakan, bahwa yang akan menjadi mainstream dalam proses perubahan secara keseluruhan adalah ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak dapat dibenarkan secara mutlak. Sebab bagaimana pun juga agama mempunyai kedudukan fundamental dan eksistensial dalam kehidupan manusia.38 Kalau dalam kurikulum pendidikan nasional, pendidikan di arahkan untuk mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa, maka dalam konteks pendidikan Islam justru harus berusaha lebih dari itu. Dalam 37
Syamsul Arifin, Merambah Jalan Baru dalam Beragama Rekonstruksi Kearifan Prenial Agama dalam Masyarakat Madani dan Pluralitas Bangsa (Cet. I; Yogyakarta: Ittaqa Press, 2000), h. 206. 38
Syamsul Arifin, Merambah Jalan Baru dalam Beragama Rekonstruksi Kearifan Prenial Agama dalam Masyarakat Madani dan Pluralitas Bangsa, h. 210.
115
arti, pendidikan Islam bukan sekedar di arahkan untuk mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa, tetapi justru berusaha mengembangkan manusia untuk menjadi pemimpin (ima>m) yang menghargai pluralitas dan menjunjung tinggi nilainilai demokrasi.39 Padahal, keragaman (plural-multikultural) itu, berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar dan dalam mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Posisi keragaman sebagai variabel bebas memang berada pada tataran sekolah dan masyarakat di mana suatu kurikulum dikembangkan dan diharapkan menjadi pengubah yang tangguh sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dapat diperkirakan (perceived needs of a society). Secara nyata, pengaruh tersebut berada pada diri guru yang bertanggung jawab terhadap pengembangan kurikulum, bukan pada siswa yang menjalani kurikulum.40 Karena itu, maka yang tampil adalah manusia (peserta didik) yang mengikuti aturan-aturan adalah mereka yang memiliki kematangan akidah, ke dalaman spiritual, dan keunggulan moral (kesalehan individu dan kesalehan sosial), serta siap berjuang dan berdedikasi dalam menegakkan ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal atau rahmatan lil ‘a>lami>n dan menghargai perbedaan (pluralisme) yang terjadi. Karena itu, merupakan sunnatulla>h dan terlebih-lebih lagi dalam dunia pendidikan karena ia menyadari bahwa lautan ilmu begitu luas sehingga wajar jika
39
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001), h. 58. 40
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, h. 227.
116
perbedaan pandangan dalam melihat atau menilai sesuatu. Tetapi janganlah karena perbedaan itu membuat kamu terpecah-pecah. Berikut ini adalah penjelasan mengenai bagaimana pembelajaran yang pluralmultikultural agar dapat diimplementasikan dalam PAI di sekolah-sekolah. Penjelasan ini sangat penting bagi para pendidik, pembuat kebijakan, dan stakeholders lain sebagai permulaan untuk melakukan pilihan atas pendidikan multikultural. 1. Oreintasi Muatan Pendidikan
multikultural
pada
hakikatnya
adalah
suatu
upaya
menerjemahkan pandangan dunia pluralistik dan multikulturalistik kedalam praktek dan teori pendidikan. Kurikulum multikultural, tidak sebagaimana kurikulum konvensional dan program tradisional, berupaya menyajikan lebih dari satu perspektif mengenai peristiwa-peristiwa sejarah atau fenomena kultural. Merespon kritik bahwa pluralisme dalam pendidikan dapat memiskinkan kurikulum yang ada, para penganjur multikulturalis berpendapat bahwa pendidikan multikultural justru sesungguhnya memperkaya kurikulum yang sudah ada. Pengayaan itu dapat dilihat pada bagaimana pendidikan multikultul dapat dikembangkan. 41 Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu diantaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama 41
Zakiyuddin Baidha>wy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, h. 108.
117
dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa
kekerasan.
Karena
itu,
pendidikan
hendaknya
juga
meningkatkan
pengembangkan kedamaian dalam diri dan pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara. 42 Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan dan peluang pendidikan bagi semua peserta didik yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu peserta didik agar memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasipluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.43 Oreintasi muatan ini secara mendasar cenderung untuk memamfaatkan metodologi pengelolaan kelas tertentu. Metodologi yang tidak lagi berpusat pada otoritas guru sebagaimana dalam kelas tradisional, dengan tempat tersentral, dan melibatkan instruktur dan pengajar tunggal. Dalam konteks pendidikan agama,
42
M. Chabib Chirzin, Pendidikan Global untuk Masa Depan Bersama dalam Jurnal Republika (Jakarta, 26 Juli 1995), h. 4. 43
Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat; Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai Problem Sosial (Cet. V; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 69-70.
118
materi dapat diajarkan dengan cara melibatkan peserta didik yang secara keagamaan beragam; materi-materi agama-agama tertentu dapat disampaikan oleh beberapa instruktur atau pengajar, tentu saja yang berasal dari kalangan penganut agama yang bersangkutan agar mereka belajar dari sumber primer; belajarnya pun dapat diperoleh tidak hanya di kelas, namun tempat-tempat peribadatan atau tempattempat yang ada di sekitar sekolah. Dengan mendesentralisir otoritas dalam kelas multikultural, guru menggarisbawahi bahwa pengetahuan itu sesungguhnya dikonstruk secara sosial-kultural. Dengan cara ini, instruktur atau pengajar pendidikan agama berwawasan multikultural memandang pendidikan sebagai sebuah “proses dialogis” untuk melakukan analisis kultural dan keagamaan daripada transmisi pengetahuan secara statis, yang melibatkan peserta didik dalam proses menciptakan pengetahuan untuk dirinya sendiri. 44 2. Oreintasi Siswa Menitikberatkan pada upaya pendidik untuk membawa peserta didik agar mengalami langsung interaksi dalam keragaman. Untuk kepentingan pendidikan agama, proses pembelajaran barangkali dapat dilaksanakan melalui pembuatan kelompok belajar yang di dalamnya terdiri peserta didik dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan Interaksi langsung lintas agama, etnis, budaya, dan gender akan memperkaya horizon keagamaan peserta didik, mengurangi bias, streotip, dan prasangka atas dasar
sentimen
keagamaan.
Mereka
memiliki
kesempatan
untuk
saling
mengklarifikasi semua distorsi dan manipulasi pengetahuan yang selama ini tumbuh
44
Zakiyuddin Baidha>wy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, h. 111.
119
dan terbangun dalam pikiran-pikiran mereka sendiri, yang boleh jadi terwarisi secara turun-temurun.45 3. Oreintasi Sosial Oreintasi program ini meliputi bukan hanya program-program yang didesain untuk merestrukturisasi dan menghilangkan segregasi sekolah-sekolah, namun juga program-program yang dirancang untuk meningkatkan semua bentuk kontak dan perjumpaan (encounters) antaragama, antaretnik, dan antarkultur. Program ini memberikan dukungan pada kelompok minoritas dalam sekolah, mengeliminir biasbias yang tumbuh di kalangan masyarakat dan berimbas pada pergaulan peserta didik, dan menekankan relasi antarmanusia dalam semua bentuknya, dan menggabungkan beberapa karakteristik dari dua oreintasi lain di atas. 46
45
Zakiyuddin Baidha>wy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, h. 114
46
Zakiyuddin Baidha>wy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, h. 116.
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan dari uraian-uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa Pluralisme-Multikulturalisme PAI dalam Buku Ajar PAI SMA sebagai berikut: 1. Rumusan Pluralisme-Multikulturalisme PAI dalam Buku Ajar PAI SMA sudah terakomodir dan terespon, kemudian dijabarkan kedalam isi materi Buku Ajar PAI yang terdiri dari lima integrasi bidang studi, seperti alQur’a>n, Akidah, Fikih, Akhlak, dan Sejarah Islam belum sepenuhnya mengapresiasi nilai-nilai pembelajaran yang plural-multikultural. 2. Desain Buku Ajar PAI masih menampilkan desain yang kurang mengembangkan aspek afektif dan aspek psikomotorik. Desain yang dibangun hanya menekankan kepada aspek kognitif saja. 3. Implikasi pembelajaran yang plural-multikultural terlihat dari aspek-aspek yang termuat dalam materi PAI SMA, belum sepenuhnya mencerminkan visi penghargaan terhadap nilai-nilai sosial bangsa Indonesia yang sudah ada sejak dulu. Ini terlihat dari isi Buku Ajar PAI yang cenderung menggiring peserta didik kepada pembentukan pribadi eksklusif dan tidak peka terhadap persoalan-persoalan sosial. Atau dengan kata lain, bahwa pembelajaran tersebut hanya membentuk pribadi peserta didik yang shaleh secara individual, namun tidak membentuk pribadi peserta didik yang shaleh secara sosial.
120
121
B. Impilikasi dan Saran PAI SMA seharusnya perlu dipisahkan menjadi dua bagian, yaitu; PAI yang masuk dalam jam pelajaran dan PAI yang dilaksanakan di luar jam sekolah yang selalu mendapatkan pantauan serta perhatian khusus terus menerus dari pihak pembina, atau pembimbing. Misalnya, PAI yang diselenggarakan dalam jam pelajaran antara lain; Akidah, Sejarah Islam, dan al-Qur’a>n. Sedangkan PAI yang dilakukan dengan model pembinaan di luar jam kelas adalah materi akhlak dalam kaitannya dengan interaksi peserta didik dan ibadah serta kemampuan membaca alQur’a>n. Cakupan materi yang terdapat dalam Buku Ajar PAI dimulai dari pembahasan tema sampai dengan latihan soal harus betul-betul terukur dari sisi alokasi waktu yang ada. Olehnya itu, materi membaca ayat al-Qur’a>n yang meliputi pembahasan ilmu tajwid dan praktik membaca dengan fasih sebaiknya dilakukan dan diberikan pada jam ekstrakurikuler siswa. Dalam pandangan peneliti bahwa jenis Buku Ajar semacam ini tidak memenuhi suatu persyaratan buku yang selalu menjaga keruntutan berpikir (sistematis). Olehnya itu, untuk mempermudah integrasi pembelajaran yang pluralmultikultural kedalam materi PAI tersebut agar mudah ditangkap dan dicerna oleh peserta didik, maka idealnya sebuah Buku Ajar harus memiliki karakteristik tersendiri terutama terkait erat dengan grand theme.
122 DAFTAR PUSTAKA ‘Abdulrahim, Muhammad ‘Imaduddi>n. Islam Sitem Nilai Terpadu. Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Abdullah, M. Amin. Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius. Cet. I; Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005. Ahmad Hakim, M. Thalhah. Politik Bermoral Agama Tafsir Politik Hamka (Cet. I; Yogyakarta: UII Press, 2005. ‘Ali, Muhammad. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Cet. I; Jakarta: Buku Kompas, 2003. ---------. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Cet. XII; Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000. Asrahah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999. Astuti, Siti Irene Dwiningrum. Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. Atiyah al-Abrasyi, Muhammad. al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha. Mishr, Isa al-Baby al-Halaby wa Syurakah, ttp. Azizy, Qodri. Membangun Integritas Bangsa. Cet. I; Jakarta: Rrenaisan, 2004. Azra, Asyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Cet. I; Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2005. Baso, Ahmad. Plesetan Lokalitas; Politik Pribumisasi Islam Cet. I; Jakarta: Desantara, 2002. Chirzin, M. Chabib. Pendidikan Global untuk Masa Depan Bersama dalam Jurnal Republika. Jakarta, 26 Juli 1995. Departemen Agama RI. Al-Qur’a>n dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005. Departemen Pendidikan Nasional RI. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal. Cet. I; Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi Sekretariat Jenderal Pendidikan Nasional, 2003. E. Mulyasa. KTSP . Cet. IV; Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007. ---------. Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK. Cet. II; Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005. Fadjar, A. Malik. Reoreintasi Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Fajar Dunia, 1999. Freire, Paulo. Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan, dalam Omi Intan Naomi (Penyunting & Alih Bahasa), Menggugat
123 Pendidikan; Fundamentalisme, Konservatif, Liberal, Anarkis. Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. ---------. Sekolah Kapitalisme yang Licik. Cet. III; Yogyakarta, LkiS, 2001. GBPP. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Depag, Desember 1994. H.A.R. Tilaar,. Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Cet. I; Jakarta: Gramedia Media Sarana Indonesia, 2004. ----------. Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012. Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Cet. IV; PT. Bumi Aksara, 2003. Hamka, Buya. Tafsir al-Azhar XXV. Cet. II; Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000. HM. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Masdu>qi, Irwan. Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama. Cet. I; Mizan Pustaka, 2011. Hidayat, Komaruddin. Agama Punya Seribu Nyawa. Cet. II; Jakarta: Mizan Media Utama, 2012. ----------. Menemukan Agama dalam Hasan M. Noer, Agama di Tengah Kemelut. Cet. II; Jakarta: Media Cipta, 2001. Idi, Abdullah. Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktik. Cet. I; Jogyakarta: ArRuzz Media, 2011. Idzul, Asnan Muhammad. ”Merayakan Multikulturalisme; Sebuah Perpaduan Tradisi Bugis dan Tionghoa di Makassar.” LAPAR dan KID. No. 1 Juni 2010. Ihsan, Hamdani, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2007. Jalaluddin. Psikologi Agama. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grapindo, tt. Jedida T Posumah-Santoso. Pluralisme dan Pendidikan Agama di Indonesia dalam Interfedei, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Jawad al-Mughniyah, Muhammad. al-Fiqh ‘ala al-Madza>hib al-Khamsah. Diterjemahkan oleh Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff dengan judul Fiqih Lima Mazhab; Ja’fari>, Hana>fi>, Maliki>, Syafi>‘i>, Hamba>li>>. Cet. XVII; Jakarta: Lentera, 2006. Kymlicka, Will. Multicultural Citizenship; a Liberal Theory of Minority Right, diterjemahkan oleh Adlina Hafmini Addin dengan judul Kewargaan Multikultural. Cet. II; Jakarta: LP3ES, 2011. Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: al-Husna, 1993. Machasin. Islam Dinamis Islam Harmonis; Lokalitas, Pluralisme, Terorisme. Cet. I; Yogyakarta: LKIS Printing Cemerlang, 2012.
124 Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Cet. VI; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. Majid, Nurcholish. Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat; Kolom-kolom di Tabloid Tekad. Jakarta: Tabloid & Paramadina, 1999. Majid, Abdul. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Cet. III; Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006. Maksum, ‘Ali. Pluralisme dan Multikulturalisme; Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Cet. I; Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2011. Mappanganro. Implementasi Pendidikan Islam. Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1996. M. Imam Aziz dan Jadul Maula. Kiri Islam; Antara Modernisme dan Postmodernisme. Cet. V; Yogyakarta, LkiS, 2001. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. VII; Bandung: Rosdakarya, 1995. Muchid, Masnur. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 1. Mudhofir, ‘Ali. Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Bahan Ajar dalam PAI. Cet. I; Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2011. Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. VIII; Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996. Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. ----------, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Cet. III; Bandung: Rosda Karya, 2004. Muhammad Idzul, Asnan. ”Merayakan Multikulturalisme; Sebuah Perpaduan Tradisi Bugis dan Tionghoa di Makassar.” LAPAR dan KID, No. 1 Juni 2010. Muhktar Yahya dan Fathurrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam. Bandung: al-Ma’arif, 1986. al-Munawar, Said Agil Hu>sin. Aktualisasi Nilai-nilai al-Qur’a>n; Dalam Sistem Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2005. Mursyi, Munir. Muhammad. al-Tarbiyah al-Islamiyah. Cairo: Dar al-Kutub, 1977. Naim, Ngainun. Pendidikan Mukltikultural; Konsep dan Aplikasi. Cet. I; Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008. Ngainum Naim dan Achmad Fatoni. Materi Penyusunan Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan Pasal. Cet. I; Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, 2009.
125 Putra Daulay, Haidar. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004. Qo>dir, Zuly. Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 19912002. Cet. I; Yogyakarta: LKIS Printing Cemerlang, 2012. Qomar, al-Mujamir. Epistemologi Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Erlangga, 2005. Raharjo, M. Dawam. Islam dan Transformasi Budaya. Cet. I; Jogyakarta: The International Institute of Islamic Thought Indoensia dan Lembaga Studi Agama & Filsafat dengan Dana Bakti Prima Yasa, 2002. Republik Indonesia. Undang-Undang Guru dan Dosen dilengkapi UURI Nomor 20 Tahun 2003 “Tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat 19”. Jakarta: Cemerlan, 2005. Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokrasi: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Cet. III; Jakarta: Kencana 2007. Sha>leh, ‘Abdurrahman. Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Manusia. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grapindo, 2005. Shihab, M. Qurais. Tafsir al-Mis}bah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’a>n Vol. 3. Cet. III; Jakarta: Lentera Hati, 2010. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Cet. I; Jakarta UI Press, 1990. Suma, Muhammad ‘Amin. Pluralisme Agama Menurut al-Qur’a>n; Telaah Aqidah dan Syariah. Cet. I; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Suhardan, Dadang, dkk. Manajemen Pendidikan. Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2009. Suparta, Mundzier. Islamic Multicultural Education; Sebuah Refleksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia . Cet. I; Jakarta: al-Ghazali Center, 2008. Susanto, Edi. Pendidikan Agama Berbasis Multikultural; Upaya Strategis Menghindari Radikalisme. KARSA Jurnal Keislaman, Vol. IX No. 1, April 2006. Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Cet. II; Jakarta: Kencana 2008. Stenbrink, Kareel. Pesantren, Madrasah dan Sekolah. Jakarta: LP3ES, 1986. Syamsuri. Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas X Berdasarkan Standar Isi. Jakarta: Erlangga, 2006. ----------. Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XI Berdasarkan Standar Isi. Jakarta: Erlangga, 2006. ----------. Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XII Berdasarkan Standar Isi. Jakarta: Erlangga, 2006. Syarifuddin Nurdin dan M. Basyiruddin Usman. Guru Profesional dan Implementasi. Cet. II; Jakarta: Ciputat Press, 2003.
126 Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Cet. VIII; Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2008. at-Toumy as-Syaiba>ny, Umar Muhammad. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Thoha, Chatib. Metodologi Pengajaran Agama. Cet. II; Semarang: Pustaka Pelajar, 2004. Tim Penyusun. Pendidikan Agama Islam Bermuatan Budi Pekerti dan HAM. Jakarta: Departemen Agama RI, 2002. Tillman, Diane. Living Values Activities for young Adults. Terj. Risa Praptono dan Ellen Sirait. Cet. I; Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004. Wakil Presiden Budiono. Radikalisme dan Liberalisme Harus Diwaspadai. (Berita Kompas, Kamis, 29 Juli 2010. Woolfolk, Anita E. Educatinal Psychology (Fifth edition). USA, Allyn and Bacon, 1997. Zuly Qo>dir. Pendidikan Islam Transformatif; Upaya Menyingkap Dimensi Pluralis dalam Pendidikan Akidah Akhlak. Taswirul Afkar, Edisi No. 11 Tahun 2001. al-Zuhaili>, Wahbah. Tafsir al-Munir fi> al-~~‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Mana>hij Juz XIII. Bairu>t: Da>r al-fikr, t.tp. Zubaedi. Pendidikan Berbasis Masyarakat; Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai Problem Sosial. Cet. V; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.