Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
P ERUMAHAN T ERJANGKAU : K EMAUAN MEMBAYAR DI PERMUKIMAN TIDAK TERENCANA DI WILAYAH INTI KOTA
Desember 2006 Sub Tim 3 Indra Budiman Syamwil, PhD Dr-Ing. Himasari Hanan Andi Harapan, ST
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
Perumahan Terjangkau: Kemampuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti kota Indra Budiman Syamwil, PhD Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman Dr-Ing. Himasari Hanan Kelompok Keahlian Sejarah, Teori dan Kritik Arsitektur Andi Harapan, ST. Kelompok Keahlian Teknologi Bangunan
ABSTRAK Permintaan efektif akan rumah merupakan pertemuan antara kemampuan membayar yang menjadi kemauan untuk membayar bila semua persyaratan untuk melepas kondisi perumahan sekarang dengan dapat digantikan oleh penyediaan perumahan. Studi ini melakukan penelitian kondisi kemampaun membayar dan kemauan membayar pemukim permukiman tidak terencana di wilayah inti kota di Kota Bandung. Penelitian dilakukan dengan metoda kuesioner tertutup untuk sampel semi purposive. Analisis dilakukan melalui penjelasan sederhana yang mengkaitkan data penghasilan, pengeluaran dan estimasi kemampuan membayar berdasarkan data-data tersebut. Data tentang berbagai alasan untuk bertahan yang juga dikaitkan dengan perbaikan perumahan dan lingkungan dianalisis untuk menjelaskan kendala kemampuan membayar pemukim. Penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi bertahan di permukiman tidak terencana merupakan wujud dari terkendalanya kemampuan membayar untuk perumahan di permukiman tidak terencana disebabkan berbagai faktor historis maupun praktis. Pilihan bagi pemukim di permukiman tidak terencana di negara berkembang cukup luas untuk memperbaiki rumah dan lingkungannya secara inkremental untuk memenuhi kebutuhan dan standar yang dibutuhkan. Hal ini turut serta menjadi kendala bagi berkembangnya kemampuan membayar yang tumbuh dalam siklus kehidupan pemukim menjadi kemauan membayar untuk perumahan di permukiman terencana. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ‘kemampuan membayar pemukim tidak terencana tidak selalu segera menjadi deman efektif (kemauan membayar) bagi penyediaan perumahan di permukiman terencana. Kemauan membayar merupakan kemampuan membayar yang terkendala oleh keterikatan kepada lokasi permukiman yang disalurkan melalui perbaikan perumahan dan lingkungannya secara inkremental.’ Kata Kunci:
Perumahan Terjangkau, Kemauan dan Kemampuan Membayar, Perumahan Tidak Terencana
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
1 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
1.
LATAR BELAKANG
Keterjangkauan (affordability) dapat diartikan sebagai kemampuan membayar (ability to pay), yang tidak hanya berkaitan dengan besarnya pembayaran, melainkan juga dengan sistem pembiayaan dari objek pembayaran. Keterjangkauan juga mencerminkan hubungan antara tingkat kualitas objek dan tingkat sosio-ekonomi dari subjek yang membayar. Namun kemampuan membayar tidak berarti sama dengan keinginan untuk membayar (willingness to pay/WTP). WTP lebih mencerminkan hubungan antara tingkat kualitas objek pembayaran yang diinginkan dengan kesediaan membayar dalam jumlah dan cara cara tertentu, dengan kata lain, WTP memperlihatkan preferensi seseorang terhadap berbagai pilihan yang tersedia bagi dirinya. Dalam perumahan terdapat sejumlah objek pembayaran, yaitu bangunan rumah, pekarangan, prasarana dan sarana dasar atau lingkungan perumahan, mencakup pengadaan, pemeliharaan serta peningkatan kualitas kondisi objek. WTP merupakan isu penting dari objek objek pembayaran tersebut dari pihak konsumen atau penggunaan. Di sisi lain, yaitu dari sudut perwujudan atau pengadaannya, isu pentingnya adalah tingkat kualitas atau standard. Dalam pengadaan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah, standar kualitas minimum yang layak sering menjadi perdebatan. Salah satu pandangan menyebutkan bahwa standar perumahan bagi kelompok ini, perlu mempertimbangkan kecenderungan membangunnya yang bersifat inkremental. Artinya peningkatan kualitas perumahan, khususnya lingkungannya, diharapkan akan terjadi kemudian pada masa pengoperasian dan pemeliharaan lingkungan perumahan atau masa penggunaan, dan dilakukan oleh komunitas yang bersangkutan. Kampung kota umumnya dianggap sebagai jenis permukiman bagi masyarakat berpendapatan rendah. Namun dilihat dari kondisi bangunannya di sejumlah kampung kota, penghuninya cenderung relatif heterogen, baik dari segi sosial maupun kemampuan ekonomi. Pada umumnya kampung kota di Indonesai sudah mengalami perbaikan, baik yang dilakukan oleh masyarakat sendiri maupun yang dilakukan melalui proyek proyek pemerintah dalam rangka program perbaikan kampung. Meskipun demikian, belum terungkap jelas sekualitas apa lingkungan perumahan yang diharapkan oleh penghuni kampung kota yang memungkinkan mereka bersedia membayarnya. Dalam upaya membangun lingkungan yang lebih berkualitas tersebut, isu penting bukan hanya menyangkut bagaimana kualitas tersebut dapat diciptakan, namun juga bagaimana memeliharanya. Keinginan untuk memelihara dan memperbaiki umumnya dikaitkan dengan status penghunian. Mereka yang hanya menyewa, umumnya dinilai sebagai pihak yang tidak berkeinginan untuk memelihara serta meningkatkan kualitas lingkungan. Dari pengamatan tampak bahwa kegiatan sewa menyewa rumah di perkampungan relatif tinggi, sementara pemilik rumah belum tentu tinggal di kampung tersebut. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang keinginan membangun dan memelihara kualitas lingkungan perumahan yang lebih baik serta dengan ke-inginan untuk membiayainya di lingkungan perkampungan kota, tempat sebagian besar kelom-pok sosio-ekonomi menengah-bawah tinggal.
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
2 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
2.
PERMASALAHAN PENELITIAN
Dalam penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah isu keterjangkauan merupakan permasalahan yang kompleks. Upaya pendanaan bagi perumahan berpenghasilan rendah yang dilakukan oleh institusi formal banyak yang gagal karena adanya presepsi yang tidak pernah bertemu antara pendekatan institusi formal yang kaku berkaitan dengan konsep penyediaan perumahan (housing delivery) dan pemahaman tentang ’perilaku bermukim’ dan ’keterjangkauan’ 1 masyarakat berpenghasilan rendah. Di negara berkembang permasalahan ini menyangkut kebijakan perumahan untuk masyarakat yang tidak tepat telah mengakibatkan terjadinya fenomena ’housing abandonment’ serta masyarakat ’bertahan’ di ’enclave’ perumahan tidak terencana di wilayah inti (core) di perkotaan (Pugh, 1995; Kuswartoyo, 2004) Konsep keterjangkauan (’affordability’) berkaitan erat dengan kemauan/kesediaan membayar (’willingness to pay/WTP) yaitu biaya yang rela untuk disisihkan dari pendapatan rumah tangga untuk mengkonsumsi sejumlah barang atau jasa. Dalam kaitan dengan keterjangkauan akan layanan perumahan barang dan jasa tersebut adalah peningkatan kualitas berhuni (willingness to pay for better housing). Kebanyakan konsep keterjangkauan ditujukan untuk barang investasi atau barang modal yang harganya berkali lipat dari penghasilan perbulan. Keterjangkauan juga terkait dengan ‘prioritas’ (’housing priority’) dan sangat berkaitan dengan presepsi dan apresiasi rumahtangga tentang kualitas berhuni (‘dwelling’) itu sendiri. 2 Secara keseluruhan, pertanyaan pokok penelitian WTP ini adalah tentang ‘siapa bersedia mengeluarkan dana berapa, untuk membangun, memelihara atau memperbaiki unsur perumahan apa, dan alasan yang mendasari kesediaan membayar serta pilihan preferensinya tersebut’. Dalam tautan dengan kampung kota, WTP terkait dengan tiga hal, yaitu: a. Adanya ekspektasi atau keinginan untuk meningkatkan kualitas rumah dan lingkungan perumahannya. Peningkatan kualitas ini mungkin terkait dengan keinginan dan kebutuhan penghuni yang bersangkutan, tetapi juga mungkin merupakan keinginan kalangan eksternal, misal pemerintah, supaya secara standard ‘formal’ perumahan tersebut dapat dikategorikan sebagai perumahan yang sehat dan layak. b. Adanya ekspektasi atau keinginan untuk meningkatkan kualitas bangunan rumah tinggal, mengikuti perbaikan lingkungan kampung yang dilakukan oleh dan atau bantuan pihak lain (misal proyek KIP) c. Adanya ekspektasi bahwa kelompok yang ‘mampu’ akan mempunyai preferensi pada perumahan terencana, atau mempunyai keinginan terhadap lingkungan perumahan yang lebih baik. Kedua hal yang pertama lebih terkait dengan lapisan masyarakat yang lebih bawah, sedangkan permasalahan yang ketiga lebih menyangkut isu kelompok penghuni yang lebih mampu. Oleh karena itu, untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah, penelitian berfokus pada faktor yang mempengaruhi kesediaan untuk meningkatkan kualitas lingkungan perumahan, persepsi dan 1
2
Studi menunjukkan bahwa antara 30-70% stok perumahan perkotaan di negara berkembang merupakan komponen ’self-help’ atau ’self-build’ yang tidak terjangkau oleh berbagai skim pendanaan oleh pemerintah atau lembaga donor internasional (Pugh, 1995). Dalam pengertian ekonomi mikro dikenal peristilahan ‘potential demand’ dan ‘effective demand’. Agar konsumsi tercipta/terrealisir upaya-upaya kebijakan seringkali diarahkan kepada upaya transformasi potential demand menjadi effective demand. Dalam bahasa lain agar kebutuhan dapat menjadi terealisasikan. Upaya pengusaha biasanya dengan membuat ‘marginal propensity to consume’ menjadi layak bagi tingkat harga dan installment yang ditawarkan.
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
3 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
preferensi tentang kualitas lingkungan, serta kesediaan membayarnya. Sedangkan untuk kelompok bagian atas masyarakat berpendapatan menengah rendah yang tinggal di kampung, yang dihipotesakan mempunyai kemampuan membayar perumahan terencana, fokus penelitiannya sama, tetapi diperluas dengan persepsi dan preferensi terhadap perumahan terencana
3.
TUJUAN
DAN
MANFAAT PENELITIAN
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kemauan membayar (’willingness to pay’) dari populasi low income direpresentasikan oleh satu lokasi permukiman low income tidak terencana di kota Bandung serta melihat prospek bagi pembiayaan perumahan dengan menelaah perilaku bermukim masyarakat di wilayah tidak terencana (squatter/slum) tersebut. Penelitian dilakukan untuk perumahan di wilayah tidak terencana di beberapa bagian kota Bandung, sehingga apa yang ditangkap dalam penelitian ini adalah willingness to pay melalui penyigian ’revealed willingness to pay’ untuk mengetahui ’cost effective’ dan ’terms of payment’ dalam pemenuhan kebutuhan akan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan hubungan antara karakteristik sosio-ekonomi penduduk kampung dengan: a. Kesediaan membayar (besaran biaya dan cara pembiayaan) untuk beroleh lingkungan perumahan yang lebih baik b. Preferensi terhadap ‘gaya hidup’ kampung dan terencana c. Preferensi prioritas atas variabel perumahan dan lingkungannya Dari penelitian ini diharapkan dapat digambarkan hubungan antara karakteristik sosio-ekonomi dengan kecenderungan untuk kesediaan untuk menerima (willingness to accept) suatu lingkungan perumahan. Selanjutnya gambaran tentang hubungan tersebut, akan memberi masukan terhadap alokasi penggunaan biaya pengadaan perumahan yang tepat sasaran
4.
PENDEKATAN
DAN
KERANGKA PENELITIAN
Dalam pengertian ’willingness to pay’ dalam perumahan terdapat unsur persepsi dan appresiasi dari rumah tangga tentang kondisi rumah yang diinginkan, dan tentang kemampuan mereka menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk perumahan. Persepsi dan kemampuan ini tidak selalu dapat ditelusuri karena prioritas selalu tidak sama di antara masyarakat berpenghasilan rendah, dan dapat berubah pada setiap saat. Prioritas terhadap perumahan mungkin terjadi sebagai akibat perubahan pendapatan. gaya hidup, susunan atau jumlah keluarga. Sifat pendapatan dan mata pencaharian masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak menetap (informal) akan menjadikan prioritas terhadap perumahan sebagai suatu hal yang bersifat dinamis. Demikian pula ’willingness to pay’ perumahan tidak selalu sama dengan ’propensity to save’. Disamping itu, di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah nilai ini sangat kecil, prioritas seringkali diutamakan untuk meningkatkan mutu basic needs nya. Dalam penelitian empirik secara garis besar ’propensity to save’ seringkali dijadikan acuan sebagai representasi dari ‘willingness to pay’.
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
4 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
Diagram 1
Kerangka Pikir Penelitian
Buying/ Building New House
SocioCulture
Housing Priority/Choice
Socio Econo mic
• • • •
Incom e/Stabi lity Household size
Permanent House Sharing Transient/Temp orary Settler/Rental Tenure Security
Tenure Secu rity
Willingness to Pay Improving existing House & Environment
’Willingness to pay’ di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah sangat berkaitan dengan pilihan-pilihan mereka dalam berhuni (housing priority/choice). Dalam hal ini prioritas alokasi pendapatan untuk tabungan rumah yang layak bisa saja diletakkan paling akhir tergantung kondisi sosial budaya, ekonomi dan kondisi dan stabilitas mata-pencaharian, serta jumlah dan status anggota keluarga. Beberapa kemungkinan karakteristik masyarakat berpenghasilan rendah di wilayah studi berada dalam rentang status penghunian sebagai pemilik rumah, pemilik rumah yang sebagian disewakan, penyewa seluruh rumah, penyewa kamar, menumpang dengan sharing tertentu, dan lain sebagainya. Demikian pula penyewa bisa juga merupakan pemukim sementara (temporary settler), commuting settler yang boleh jadi mempunyai rumah di daerah asalnya. Kondisi rumahtangga tersebut dapat mempengaruhi pilihan terhadap perumahan yang diinginkannya dan bersedia untuk dibayarnya. Kemampuan membayar dan ability to pay bagi pemilik rumah berpenghasilan rendah dapat terindikasi dari kualitas perumahan mereka yang dibangun sebelumnya (ex post). Kondisi perumahan masyarakat berpenghasilan rendah saat itu juga dapat dijadikan informasi untuk mengetahui berapa biaya yang dikeluarkan dengan sukarela (untuk memenuhi kualitas perumahan yang dapat dijangkau). Kondisi ’land tenure’ akan menjadi faktor yang mempengaruhi apakah kemampuan membayar dapat berubah menjadi kemauan untuk membayar perumahan terencana (supply). Demikian pula ketidak mampuan membayar mengakibatkan seseorang bertahan pada status lahan yang tidak secure atau dalam tenure dengan status sementara (menyewa). Kondisi sanitasi dan infrastruktur wilayah juga dapat memberikan preferensi bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk memilih bertahan di perumahan sekarang dengan demikian akan mempengaruhi willingness to pay akan cost effective perumahan formal terencana yang ditawarkan. Kondisi aksesibilitas (lokasi dari tempat perkerjaan, kelengkapan prasarana dan sarana publik) di perumahan yang ditawarkan juga mempengaruhi kemauan untuk membayar terhadap supply perumahan terencana yang ada. Dalam tautan dengan lokasi, pilihan tersebut dapat berupa pindah membeli rumah baru atau menyewa di tempat lain, tapi pilihannya dapat berupa tetap tinggal dan memperbaiki rumah serta
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
5 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
lingkungannya. Penelitian ini fokus pada fenomena terakhir, yaitu pada fenomena pilihan kelompok masyarakat berpendapatan menengah-rendah yang tinggal di kampung kota. Anggapan dasar dalam penelitian kemauan untuk membayar (WTP) adalah bekerjanya asumsi ’ekonomi neo-klasik’ bahwa individu, keluarga maupun suatu usaha mempunyai kecenderungan untuk memaksimalkan tingkat kesejahteraan (utility) dalam suatu kondisi terkendala (constrained). Dalam kaitannya dengan penelitian perumahan yang dimaksimalkan adalah pilihanpilihan antara perumahan dan non-perumahan dalam pendapatan (utility maximizing model). Dengan model maksimalisasi ini dapat dicapai suatu hasil utilitas (manfaat) maksimum dalam sumberdaya yang terbatas (constrained). Alonso menggunakan hipotesis ini dalam ’bid rent’ teorinya tentang land-use dan lokasi bagi perumahan sebagai pengembangan hipotesis von Thünen tentang ekonomi lokasi berkaitan dengan hubungan harga rumah dengan lokasi permukiman. Model Alonso pada dasarnya adalah berdasarkan maksimalisasi WTP dan pengeluaran untuk perumahan terhadap pengeluaranpengeluaran lainnya. Hui (1999) untuk studi tenant di Hong Kong dan Okoko (2004) 3 di Nigeria menunjukkan bahwa untuk ’housing improvement’, dengan menggunakan pendekatan Houthakker (1951) utility maximization dapat dengan ’robust’ diestimasi dengan model hubungan linier. Dalam penelitian mereka variabel household attribute mempengaruhi besarnya WTP menurut fungís logaritmis. Variabel yang digunakan dalam hal ini meliputi: pendapatan kepala rumah tangga, jumlah yang bekerja dalam rumah tangga, umur kepala rumah tangga, jumlah anggota keluarga, sifat mata pencaharian, tingkat pendidikan kepala keluarga, lama tinggal di rumah saat ini. Dalam penelitian ini dihipotesiskan bahwa dengan pilihan yang lebih beragam pada permukiman tidak terencana (squatter settlements), ‘kemampuan membayar pemukim tidak terencana tidak selalu segera menjadi deman efektif (kemauan membayar) bagi penyediaan perumahan di permukiman terencana. Kemauan membayar merupakan kemampuan membayar yang terkendala oleh keterikatan kepada lokasi permukiman yang disalurkan melalui perbaikan perumahan dan lingkungannya secara inkremental.’
5.
METODA PENELITIAN
Penelitian dilakukan di wilayah permukiman tidak terencana (squatter) di Jalan Gagak, Kelurahan Sadang Serang di Kota Bandung. Wilayah ini merupakan wilayah permukiman spontan yang mempunyai sejarah pertumbuhan yang panjang dan berada di wilayah inti di pusat Kota Bandung berdekatan dengan wilayah Gedung Sate yang sangat strategis untuk mencapai bagian manapun di Kota Bandung. Lokasi studi sengaja dipilih untuk mengetahui fenomena perubahan yang telah terjadi sejak lama di wilayah ini dan mengetahui perilaku bermukim penduduknya serta alasan-alasan bertahan di permukiman tidak terencana. Perilaku ini ditenggarai akan berbeda pada lokasi permukiman tidak terencana lainnya. (Gambar 1)
3
Hui (1999) Okoko (2004) menurunkan ‘utility maximizing model’ menjadi model WTP for better housing.
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
6 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
Sangat sukar untuk mengetahui secara langsung berapa bagian dari pendapatan masyarakat berpenghasilan rendah dapat mereka sisihkan untuk perumahan mereka. Demikian pula penelitianpenelitian berkaitan dengan willingness to pay dari suatu barang investasi yang cenderung dibeli sekali seumur hidup ini biasanya dilakukan berdasarkan kenyataan empirik yang sudah terjadi (expost). Dengan mengetahui pendapatan sampel dan melakukan investigasi tentang berapa bagian dari pendapatan tersebut yang biasanya dihabiskan untuk keperluan konsumsi, transportasi serta berapa bagian yang dikeluarkan untuk keperluan barang investasi selain perumahan. Kelebihan dari selisih tersebut merupakan angka relatif dari ’ability to pay’ atau kemampuan membayar dari responden yang bisa saja berbeda dari ’willingness to pay’ atau kemauan untuk membayar. Gambar 1
Wilayah Studi
Sukaluyu
Wilayah Penelitian
Jalan Surapati PUSDAI
Dengan demikian beberapa pertanyaan-pertanyaan awal penelitian berkaitan (hipotesis awal) berkaitan dengan WTP dan CE dalam kasus studi dapat dikembangkan sebagai berikut: 1. Mengetahui kondisi yang melatarbelakangi WTP terhadap pengembangan perumahan terencana yaitu dengan mengetahui alasan yang melatarbelakangi suatu rumahtangga bertahan di suatu lingkungan tidak terencana. Beberapa kondisi ekstrim ditenggarai akan ditemui di lapangan: •
Keluarga dengan pendapatan rendah dengan jumlah anggota keluarga yang cukup besar dengan konfigurasi ruang tinggal yang tidak lengkap dan tidak memenuhi standar kebutuhan dan kenyamanan ruang dan pendapatan yang tidak mencukupi sehingga tetap bertahan di lingkungan yang tidak terencana.
•
Keluarga dengan pendapatan yang cukup tinggi jumlah anggota keluarga (household attribute) yang kecil dengan konfigurasi ruang yang tidak mencukupi tetapi tetap bertahan bahkan menggunakan ruang publik.
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
7 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
2. Mengetahui ’attachement’ atau keterkaitan rumah tangga terhadap lokasi perumahan (sumber matapencaharian, sarana publik seperti sekolah, pasar dan transportasi) ataupun keterkaitan dengan sejarah keluarga (turun-temurun) sebagai alasan untuk tetap bertahan di lingkungan tidak terencana •
Dengan mengetahui kondisi atribut keluarga (household attributes) dan aktifitas keluarga yang melatarbelakangi responden untuk bertahan di permukiman tidak terencana.
•
Mengetahui persepsi responden terhadap lingkungan perumahan yang ditempati
•
Mengetahui persepsi responden terhadap lingkungan perumahan yang ditawarkan di tempat lain
3. Mengetahui potensi WTP •
Mencari nilai WTP dari sample rumah tangga yang mewakili populasi di wilayah studi yang memberikan ukuran bagi alasan bertahan dengan kondisi perumahan yang ada.
•
Mengetahui faktor-faktor dominan baik dari atribut rumah tangga maupun atribut perumahan yang mempengaruhi WTP untuk kasus wilayah studi.
•
Mengetahui pola dan cara masyarakat berpenghasilan rendah di wilayah studi dalam membelanjakan dana yang tersedia untuk meningkatkan kualitas perumahannya (CE).
5.1 Langkah-langkah Pelaksanaan Penelitian Untuk mendapatkan hasil penelitian yang dapat memenuhi tujuan penelitian dilakukan langkahlangkah sistematis sebagai berikut: a.
Sampling
Sampel responden dapat dilakukan dengan 3 cara: random sampling (menggunakan daftar rumah tangga, atau menggunakan peta); stratified sampling; multi-stage cluster sampling. Untuk penelitian ini dikarenakan luasan populasi dan keterbatasan waktu akan dilakukan dengan stratified sampling dengan terlebih dahulu melakukan mixed scanning dan pengelompokan responden. b.
Survai
Melakukan penelusuran (mixed-scanning) terhadap situasi hamparan (lokasi penelitian) untuk menentukan struktur permukiman dan perumahan di hamparan amatan dan mengetahui situasi lokasi dalam struktur ruang kota. Menentukan pemilihan stratified sample (scoping) penelitian melalui pengamatan cepat (rapid assessment) dilakukan melalui mixed scanning ini. Selanjutnya survey dilakukan melalui wawancara terstruktur dan pengisian kuesioner. Data yang yang dibutuhkan (yang akan didapatkan melalui wawancara dan kuesioner adalah sebagai berikut: 1. Data-data tentang kondisi keluarga (household attributes) •
Sumber pendapatan (tetap, tidak tetap) dan Besar pendapatan kepala keluarga (bread winner) atau total pendapatan keluarga perbulan
•
Pendapatan anggota keluarga
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
8 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
•
Pola konsumsi per bulan (biaya hidup sehari-hari, pendidikan, transportasi) dan pola menabung (propensity to save/pattern)
•
Kondisi keluarga (besar anggota keluarga, hubungan keluarga)
2. Data-data tentang kondisi perumahan (housing attributes) •
Status perumahan (Owner occupations housing; Rental occupations; Menyewa sebagian rumah; Menempati tanpa menyewa (hubungan keluarga)
•
Kondisi perumahan (luasan, konstruksi, bahan)
•
Kondisi pelayanan utilitas dan sanitasi (air bersih, pembuangan sampah, dan sanitasi)
•
Proses membangun dan pengeluaran pembangunan (first owner, second owner, langkahlangkah/ kronologis membangun dan pembiayaan pembangunannya)
3. Data-data hasil survey berkaitan dengan ’attachment’ terhadap lingkungan perumahan, meliputi: 4. Data hasil survey tentang presepsi responden tentang lingkungan perumahannya saat ini dan presepsi responden tentang tentang supply perumahan yang ada Berdasarkan pengertian-pengertian tentang perilaku keterjangkauan dalam pengadaan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah, maka penelitian empiris berkaitan dengan ’cost effective’ dan kaitannya dengan konsep ’willingness to pay’ dalam hal akan sangat dangkal bila perilaku masyarakat berpenghasilan rendah dilakukan dengan pengumpulan data sekunder dan kuesioner tertutup saja, akan ditambahkan dengan wawancara terstruktur.
5.2
Analisis
Melakukan Analisis korelasi antara ‘ability to pay’ dengan ‘willingness to pay’ (kuesioner atau wawancara tentang alasan tetap tinggal di lokasi sekarang) Melakukan analisis korelasi antara status/kondisi berhuni (meliputi juga aksesibilitas) dengan kondisi fisik rumah serta sarana dan prasarana permukiman Melakukan analisis ability to pay dan cara pembiayaan pembangunan rumah saat ini 1. Mengetahui kondisi bermukim 2. Mengetahui kondisi perumahan 3. Mengetahui persepsi rumah tangga tentang lingkungan perumahannya 4. Mengetahui persepsi rumahtangga tentang keterikatannya (‘attachment’) dengan lingkungan permukimannya
6.
KONDISI BERMUKIM
Status bermukim akan mengindikasikan tingkat keamanan kepemilikan (secure tenure) yang akan mempengaruhi presepsi penghuni dan keputusannya dalam memilih pilihan-pilihan yang tersedia untuk penggunaan sumberdayanya untuk perumahan. Status bermukim ini meliputi status kepemilikan tanah atau bangunan serta status berhuni. Status tanah bervariasi dari kepemilikan pribadi, status hak guna pakai, status hak guna pakai serta status sewa. Demikian pula sejarah
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
9 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
terbentuknya permukiman dan pertumbuhan inmigrasi maupun perkembangan morfologi dan demografi pemukim merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan-keputusan tadi. Data status kepemilikan tanah dan bangunan menunjukkan bahwa permukiman tidak terencana di wilayah studi di permukiman Jalan Gagak sebagian besar adalah tanah yang dibeli dan dibangun sendiri atau tanah dan bangunan yang diwariskan kepada pewaris pemukim lama. Hanya sebagian kecil dari responden dengan status menumpang dan menyewa. Keberadaan tanah sewa dalam hal ini dikarenakan sebagian wilayah Jalan Gagak menyewa dari tanah pemerintah Kota Bandung. Diagram 2
Status Kepemilikan Lahan dan Bangunan
60
49
Jumlah
50 40
38
34
33 27
30
16
20
6 5
10
8
0
bangun
beli
numpang
sew a
w arisan
Status Bangunan
Tanah
Status pembelian tanah bisa diduga merupakan tanah milik yang di perjual belikan atau tanah milik yang telah mengalami subdivisi (dibagi) untuk dijual. Fenomena ini bisa disebabkan oleh pembagian warisan yang dijual oleh pewaris atau pemilik tanah yang membagi sebagian tanahnya untuk dijual karena tidak adanya kebutuhan perluasan rumah sendiri atau karena harga jual yang kompetitif disebabkan lokasi yang strategis. Dalam hal ini permukiman tidak terencana di wilayah studi mempunyai keamanan kepemilikan yang relatif lebih pasti, sunguhpun masih bervariasi. Demikian pula status rumah mengindikasikan status yang cukup pasti, sehingga upaya membangun dan membeli telah terjadi secara spontan. Wilayah Jalan Gagak memperlihatkan wilayah yang sudah berubah dengan banyaknya imigran dari luar daerah sungguhpun penduduk asal Bandung masih mendominasi penduduk Bandung asal dari luar Jalan Gagak sudah tumbuh lebih banyak sepanjang 30 tahun terakhir (Tabel 1). Sungguhpun informasi tentang asal pemukim tidak secara langsung mengindikasikan lokasi rumah sebelumnya, pertumbuhan kondisi kosmopolitan wilayah studi dapat mengindikasikan munculnya pemukim baru dengan kondisi keterkaitan sosial dan kultural yang berbeda dengan pemukim asli. Anggapan lain dari kondisi inmigrasi dari luar wilayah ini adalah bahwa pendatang lebih punya potensi untuk lebih pindah lokasi permukiman dari pada pemukim asli. Tabel 1 Periode < 1955
Asal Responden dan Periode Menetap Asal Penduduk Bandung 13
Jakarta
Jabar
Jateng
1
2
Jatim
Sumatera
Sulawesi
Jumlah
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
16
10 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
Asal Penduduk
Periode
Bandung
Jakarta
Jabar
Jateng
Jatim
Sumatera
Sulawesi
Jumlah
1956-1965
20
3
5
1966-1975
27
1
5
7
2
1
43
28
1976-1985
37
2
7
10
2
1
59
1986-1995
45
2
9
12
3
1
72
1996-2005
62
3
18
16
6
2
108
1
Sumber: Hasil Pengolahan Data Survey
Jumlah Responden
120
2 6
100
16 80 60 40
5 3
20
2 1 13
20
1 2 7 5 1 27
1 2 10 7 2
1 3 12
18 3
9 2
Sumatera Jatim Jateng Jabar
62 37
Sulawesi
45
Jakarta Bandung
0
< 1955
19561965
19661975
19761985
19861995
19962005
Periode Menetap
Diagram 3
Kondisi pertumbuhan inmigrasi berdasarkan data responden
Diagram diatas menunjukkan bahwa, dari 94 sampel keluarga yang diteliti, permukiman di wilayah studi telah dimasuki oleh penduduk pendatang dari luar kota Bandung secara bertahap. 42 % dari 94 keluarga yang diteliti adalah penduduk pendatang dari luar Bandung. Diawali penduduk asal Jawa Tengah lebih kurang 50 tahun yang lalu yang disetiap tahapan terus bertambah. Penduduk asal Jawa Barat dari luar Bandung, juga dimulai 50 tahun yang lalu sebagai gelombang pertama. Inmigrasi penduduk asal Jawa Barat vakum selama 20 tahun, selanjutnya mulai kembali memasuki wilayah permukiman ini terus menerus sejak 30 tahun yang lalu sampai sekarang. Penduduk asal Jakarta tidak banyak memasuki wilayah ini. Penduduk asal Jakarta secara sporadis memasuki wilayah ini 20-30 tahun yang lalu diselingi vakum. Keluarga asal Sumatera memasuki wilayah ini juga secara sporadis sejak 40 tahun yang lalu. Sungguhpun demikian data responden ini juga menunjukkan pertumbuhan pemukim asal Bandung yang lebih besar dari pertumbuhan pendatang secara nominal. Dalam hal ini hipotesis yang menyatakan bahwa permukiman tidak terencana merupakan penampung inmigrasi dari luar wilayah perkotaan tidak seluruhnya benar pada kasus Jalan Gagak. Posisi permukiman Jalan Gagak yang strategis juga menarik bagi inmigrasi pemukim lokal yang mementingkan kedekatan dengan berbagai sarana aktifitas perkotaan bagi anggota keluarganya. Menarik untuk disimak lebih lanjut pola perpindahan penduduk di dalam kota Bandung untuk mengetahui peran pemukiman tidak terencana sebagai ’penyangga’ bagi penduduk kota yang tergeser (displacement) dari lokasi strategis di dalam kota.
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
11 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
Peran pemukim asal Bandung yang besar di wilayah studi akan memberikan karakteristik hasil persepsi yang akan berbeda dalam pilihan-pilihan perumahan mereka yang pada akhirnya mempengaruhi kondisi kemauan membayar untuk perumahan baru dan perbaikan lingkungan perumahan. Bagi pemukim yang mempunyai keterikatan sejarah yang panjang (hubungan waris, lama menetap) dengan wilayah permukiman tidak terencana, kemampuan membayar akan cenderung terkendala untuk menjadi deman efektif (kemauan membayar) bagi perumahan di wilayah permukiman terencana. Pada umumnya deman yang terkendala ini akan ditransformasikan kepada perbaikan rumah dan perbaikan lingkungan secara incremental.
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
12 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
7.
KEMAMPUAN MEMBAYAR
KEMAUAN MEMBAYAR
DAN
Kemampuan membayar Grafik hasil survey diatas dibuat dengan ’trendline’ polinomial derajat 4 dibentuk berdasarkan data dari 67 sampel yang memberikan informasi lengkap pendapatan dan pengeluaran per bulannya. 4 Data pendapatan merupakan jumlah dari pendapatan total kepala keluarga, ditambah dengan median pendapatan utama dan sampingan istri. Pendapatan anggota keluarga lainnya tidak dimasukkan dalam perhitungan, karena tidak dapat dipastikan, bahwa anggota keluarga selain istri menyumbang kepada pengeluaran perbulan atau kemampuan membayar keluarga. Diagram 4
Pengeluaran vs Pendapatan Tabungan diatas Rp. 2.000.000
18,000,000
Tabungan diatas Rp. 4.000.000
16,000,000 14,000,000 12,000,000
Rp
10,000,000 8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000 0
Sampel Kepala Keluarga Tabungan Total Pendapatan Keluarga Total
Pengeluaran Pendapatan Kepala Keluarga Tabungan Total
Total 67 sampel
Pendapatan Keluarga Total Pengeluaran Total
Sumber: Hasil Survey
Grafik diatas menunjukkan kurang dari setengah jumlah sampel sebesar 67 sampel mempunyai tabungan kurang dari Rp. 2.000.000 per bulan, lebih dari setengah jumlah sampel mempunyai tabungan diatas Rp. 2.000.000 perbulan dan diantara sampel tersebut kurang lebih seperlima dari jumlah sampel mempunyai tabungan diatas Rp. 4.000.000 per bulan. Bagi sampel yang mempunyai tabungan lebih dari Rp. 12.000.000 perbulan diperkirakan kepala keluarga mempunyai usaha dimana sebagian selisih dari pendapatan dan pengeluaran pada dasarnya adalah modal kerja.
4
Dari keseluruhan 108 sampel responden hanya 67 sampel yang menjawab lengkap kuesioner berkaitan dengan pendapatan, pengeluaran untuk memperkirakan kemampuan menabungnya.
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
13 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
Kondisi tabungan sampel yang kurang lebih mewakili populasi yang mendiami wilayah permukiman tidak terencana di Jalan Gagak ini menunjukkan kemampuan (ability to pay) membayar cicilan perbulan yang cukup memadai dalam memilih untuk memiliki perumahan di permukiman terencana, bila mempunyai kemauan (willingness) untuk pindah dari permukiman saat ini ke permukiman terencana. Frekuensi distribusi kemampuan menabung dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini. Tabel 2 Frekuensi Estimasi Kemampuan Menabung Kemampuan Menabung
Responden
Frekuensi (%)
< 1 Juta
17
25.4
1 - 2 Juta
18
26.9
2 - 3 Juta
11
16.4
3 - 4 Juta
6
9.0
4 - 6 Juta
6
9.0
6 - 10 Juta
6
9.0
> 10 Juta Total
3
4.5
67
100.0
Sumber: Hasil Pengolahan Data Survey
Tabel datas menunjukkan kemampuan menabung yang sangat bervariasi diantara responden yang menjawab kuesioner. Sebesar 25 % responden mempunyai kemampuan menabung kurang dari 1 Juta rupiah per bulan. Menjadi pertanyaan dalam penelitian ini bagi responden yang mempunyai kemampuan menabung lebih dari 1 juta per bulan Diagram 5
Pendapatan vs Harga Rumah yang diinginkan
Harga Rumah ('000 Rp)
600,000
500,000
400,000
300,000
y = 13.974x + 52329 R2 = 0.1327
200,000
100,000
0 0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
Pendapatan ('000 Rp) Harga Rumah
Linear (Harga Rumah)
Keinginan untuk membeli rumah dan pendapatan sebagian besar berada dibawah trendline hubungan antara harga rumah yang diinginkan dan pendapatan pada Diagram 2. Trendline menunjukkan umumnya rumah yang diinginkan rata-rata 14 kali pendapatan ditambah Rp. 500,000. R2 yang sangat kecil menunjukkan lemahnya keterwakilan data dalam trendline memperlihatkan
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
14 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
banyaknya ouliers dalam scatterplot.’Outliers’ memberikan makna bahwa beberapa keluarga menginginkan harga rumah yang jauh lebih tinggi dari harapan rata-rata keluarga lainnya dalam kondisi perbedaan pendapatan yang normal, sedangkan sebagian lagi menunjukkan rendahnya harga rumah yang diinginkan dari kondisi harapan rata-rata keluarga sesuai pendapatan mereka. Diagram 6
Kemampuan Menabung dan Harga Rumah Diinginkan
Harga Rumah ('000 Rp)
1,600,000 1,400,000 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 y = 11.687x + 116443 R2 = 0.0078
400,000 200,000 0 0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
Kemampuan Menabung ('000 Rp) Kemampuan Menabung
Linear (Kemampuan Menabung)
Hal yang sama diperlihatkan oleh hubungan antara harga rumah yang diinginkan dengan kemampuan menabung. Dua outliers dengan harapan memiliki rumah seharga 1 milyar dan 1,5 Milyar dapat dianggap responden yang tidak serius dalam menjawab kuesioner dan dapat diabaikan. Demikian pula R2 yang sangat rendah menunjukkan tingkat keterwakilan data yang rendah dalam trendline. Dalam penelitian ini trendline hanya dibutuhkan sebagai landasan menginterpretasikan data untuk mengetahui variasi presepsi tentang penghuni pemukiman tidak terencana di Jalan Gagak bukan sebagai tujuan melakukan inferensi. Harapan harga rumah yang tinggi atau rendah diinterpretasikan bahwa rumah yang ada saat ini sudah cukup baik kondisinya sehingga harapan yang tinggi tentang rumah yang diinginkan merupakan indikasi dari ’willingness to pay’ yang tinggi untuk perumahan terencana untuk perumahan yang terencana yang terkendala dengan indikasi dalam hal ini bahwa rumah yang diinginkan sudah cukup mewah, dan hal ini bisa mengindikasikan bahwa rumah saat ini sudah cukup baik sehingga keinginan untuk mempunyai rumah di kawasan terencana juga tinggi. Besar atau kecil kemampuan menabung tidak terlihat diarahkan kepada investasi pada barang modal seperti rumah (Diagram 7). Sebagian besar responden mengutamakan menabung untuk ikut arisan, menunjukkan hanya sebagian kecil yang mempunyai alasan utama menabung untuk perumahan. Sungguhpun kecil disetiap tingkatan alasan menabung untuk rumah atau uang muka rumah ditemukan. Karir, Pendidikan dan Pendidikan Anak terlihat menempati prioritas yang terakhir. Hal ini mengindikasikan suatu pola gaya hidup sebagian besar responden yang masih disibukkan dengan perjuangan memperbaiki kebutuhan dasar yaitu menabung untuk kebutuhan jangka pendek, seperti arisan dan kebutuhan dasar perbaikan rumah dan peningkatan kualitas rumah.
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
15 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
Diagram 7
Tujuan Menabung
160 140
33
Jumlah Respon
120 100 80
21
15
12
8 12
19
21
58 11
60 40 20 0
24 9 11 3 5 4 10
15 8 4 6
1
2
15
9 11
13
16
13 6 1 11
11 2 16
3
4
Ikut serta arisan Tabungan hari Tua Uang Muka Beli Rumah Untuk Rumah Modal Usaha Sekolah Anak Pendidikan dan Karir
28 47 23 18
15
5
6
Tingkat Kepentingan
8.
ALASAN BERTAHAN
Alasan bertahan merupakan salah indikasi kemampuan membayar yang terkendala untuk pindah ke permukiman terencana. Diagram 8
Alasan Bertahan
35
Jumlah Respon
30
Keterangan
29 24
25 20 15 10
4
5
4
1
1
1
8
9
2
2
10
11
0 1
2
3
4
7
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Dekat kegiatan keluarga Perumahan baru kebanyakan jauh Uang muka tidak terjangkau Dekat pasar dan pusat kota Perumahan baru sering banjir Cicilan tidak terjangkau Penduduk asli disini Lokasi ini harga jualnya tinggi Hubungan tetangga baik Termasuk yang dituakan Bisa untuk kegiatan usaha
Alasan
Dari diagram diatas terlihat bahwa dari 70 respon, alasan utama yang sangat menonjol untuk bertahan di permukiman tidak terencana adalah lokasi yang dekat dengan kegiatan keluarga, pasar, dan pusat kota. Alasan ini mengalahkan alasan-alasan lain berkaitan dengan keterikatan dengan lingkungan permukiman berkaitan dengan hubungan sosial (hubungan tetangga, termasuk yang dituakan dan penduduk asli), alasan ekonomis (uang muka tidak terjangkau, cicilan tidak terjangkau dan lokasi yang harganya tinggi, tempat usaha). Demikian pula perhatian tentang kondisi permukiman terencana jauh dari perhatian responden (perumahan baru kebanyakan jauh, perumahan baru sering banjir).
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
16 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
Alasan Ingin Permukiman Terencana
Alasan Bertahan
16
19
20
14 Tidak Betah Rumah/Tanah Terlalu Sempit Mendapat Lingkungan Fisik Lebih Lega Mendapat Lingkungan Sosial Lebih Baik Rumah/Tanah Terlalu Luas
10 8
16
7
4
Jumlah Respon
Jumlah Respon
12
Rumah Sudah Cukup Baik Lingkungan Cukup Nyaman
12
Lingkungan Sosial Sangat Sesuai Lokasi dekat kemana-mana
7
8
Belum ada kesanggupan
4
Lainnya
2
16
3
3
3
Lainnya
1 0
0
1 1
Alasan
Alasan
Dari 85 responden yang menjawab kuesioner 34 responden mempunyai keinginan untuk mendapatkan rumah di permukiman terencana, sedangkan 51 reponden memilih untuk bertahan tinggal di permukiman tidak terencana. Sebagian besar (14 responden) dari 34 responden yang mempunyai keinginan pindah mempunyai alasan yang lain dari yang dipilihkan dalam kuesioner. Dari pilihan jawaban kuessioner alasan utama keinginan untuk pindah ke permukiman terencana adalah kebutuhan akan rumah dan tanah yang lebih luas serta lingkungan fisik yang lebih lega. Pada dasarnya responden merasa betah tinggal di permukiman terencana dan mempunyai keinginan pindah bukan karena lingkungan sosial yang kurang baik. Kembali alasan bertahan di permukiman tidak terencana ini adalah karena cukup puas dengan rumah yang ada dan lokasi dekat ke berbagai tempat. Salah satu yang alasan lainnya yang cukup mengundang perhatian adalah bertahan karena belum ada kesanggupan. Alasan yang terakhir ini memberikan ambivalensi adanya keinginan untuk pindah bila ada kesanggupan. Tabel 5
Karakteristik Responden Ingin Pindah dan Bertahan
Pendapatan
Ingin Pindah
Bertahan
Luas/Penghuni
Ingin Pindah
Bertahan
2
m /orang
< 1,000
3
10
< 2 - 10
13
20
1,000 - 2,000
12
12
10 - 20
13
19
2,000 - 3,000
8
14
20 - 30
7
7
3,000 - 4,000
4
5
30 - 40
1
5
4,000 -5,000
2
6
40 - 50
0
1
5
4
> 50
34
51
> 5,000
0
2
34
54
Sumber: Hasil Pengolahan Data Survey
Data menujukkan bahwa keinginan bertahan lebih besar pada responden dengan pendapatan relatif lebih rendah. Sungguhpun demikian masih terindikasi responden yang berpenghasilan tinggi, yang mempunyai kemampuan untuk pindah ke lokasi dan perumahan yang lebih baik, mempunyai keinginan untuk bertahan dengan berbagai alasan lainnya. Demikian pula, sungguhpun keinginan untuk bertahan didominasi penghuni dengan luas rumah per penghuni lebih kecil, masih cukup banyak responden dengan rumah lega ingin bertahan.
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
17 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
9.
KESIMPULAN
Kemampuan membayar penghuni permukiman tidak terencana di wilayah studi di Jalan Gagak menunjukkan indikasi terkendala untuk menjadi deman efektif (kemauan membayar) bagi perumahan terencana. Permintaan efektif akan rumah merupakan pertemuan antara kemampuan membayar yang menjadi kemauan untuk membayar bila semua persyaratan untuk melepas kondisi perumahan sekarang dengan dapat digantikan oleh penyediaan perumahan. Studi ini melakukan penelitian kondisi kemampaun membayar dan kemauan membayar pemukim permukiman tidak terencana di wilayah inti kota di Kota Bandung. Penelitian dilakukan dengan metoda kuesioner tertutup untuk sampel semi purposive. Analisis dilakukan melalui penjelasan sederhana yang mengkaitkan data penghasilan, pengeluaran dan estimasi kemampuan membayar berdasarkan data-data tersebut. Data tentang berbagai alasan untuk bertahan yang juga dikaitkan dengan perbaikan perumahan dan lingkungan dianalisis untuk menjelaskan kendala kemampuan membayar pemukim. Penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi bertahan di permukiman tidak terencana merupakan wujud dari terkendalanya kemampuan membayar untuk perumahan di permukiman tidak terencana disebabkan berbagai faktor historis maupun praktis. Pilihan bagi pemukim di permukiman tidak terencana di negara berkembang cukup luas untuk memperbaiki rumah dan lingkungannya secara inkremental untuk memenuhi kebutuhan dan standar yang dibutuhkan. Hal ini turut serta menjadi kendala bagi berkembangnya kemampuan membayar yang tumbuh dalam siklus kehidupan pemukim menjadi kemauan membayar untuk perumahan di permukiman terencana. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ‘kemampuan membayar pemukim tidak terencana tidak selalu segera menjadi deman efektif (kemauan membayar) bagi penyediaan perumahan di permukiman terencana. Kemauan membayar merupakan kemampuan membayar yang terkendala oleh keterikatan kepada lokasi permukiman yang disalurkan melalui perbaikan perumahan dan lingkungannya secara inkremental.’ Hasil FGD yang dilakukan diakhir survey menunjukkan bahwa pemukim di wilayah permukiman tidak terencana tidak sadar betul tentang kemampuan membayar dan nilai moneter dari lingkungan merekan. Demikian pula perilaku dalam pengelolaan lingkungan masih bersifat pembagian merata yang tidak memberikan kesetaraan yang sesuai dengan nilai yang mereka ambil dari lingkungan. Demikian pula pembeli membeli tanah dan rumah dengan harga 215 juta untuk 10 tumbak, berarti lebih kurang 1,5 juta per m2. Informasi ini berbeda dengan yang beredar dikalangan masyarakat yakni antara 4-5 juta per m2. Keengganan untuk pindah mungkin disebabkan informasi yang tidak akurat ini dan tidak membandingkan dengan harga perumahan terencana seperti di Sukaluyu yakni sekitar 300-400 juta per 6 tumbak atau 4-5 juta per m2. Terlihat adanya keraguan di peserta FGD saat diterangkan bahwa nilai lokasi tanah mereka mungkin bisa saja tinggi, tetapi dikarenakan lingkungan yang tidak tertata, jalan yang sempit dan kerentanan terhadap banjir mengakibatkan nilai kondisi lingkungan mengalahkan nilai lokasi.
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
18 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
Salah seorang peserta memperlihatkan ketertarikan kepada informasi ini dengan mengajak membicarakan kepada Lurah. Disampaikan oleh wakil RW 08 bahwa di wilayah Sadang Serang ada rencana pembangunan Rusunawa oleh Perumnas melalui konsolidasi lahan yang ditentang oleh masyarakat. Menurut wakil RW ini mungkin informasi adanya manfaat bagi aset rakyat sebagai dampak konsolidasi ini tidak secara tuntas disosialisasikan. Konsep partisipasi di kalangan masyarakat juga bisa dibicarakan lebih lanjut sebagai tidak terbangunnya strategi bersama. Seringkali dalam konsep partisipasi dalam komunitas yang belum lanjut seperti yang diperoleh dari FGD ini. Seorang yang rumahnya kebanjiran dibantu oleh warga, tetapi penyelesaian ini tidak berlanjut kepada apa yang menyebabkan banjir. Bagian lingkungan atau rumah warga mana yang menyumbang terjadinya banjir dan bagaimana warga menyelesaikannya bersama-sama. Dalam hal ini terlihat partisipasi warga sebatas wilayah rumah dan pekarangan belum sampai membicarakan hal-hal yang bersifat menyeluruh. Partisipasi diantara masyarakat masih bersifat sukarela berbasis pambagian beban yang merata. Partisipasi untuk mengetahui penyebab resiko lingkungan diantara mereka sendiri untuk kemudian dilakukan pembebanan biaya dampak kepada warga masyarakat penyebab resiko lingkungan berdasarkan besar kontribusi dampaknya terhadap lingkungan belum ada. Sistem governance didalam masyarakat untuk melakukan perhitungan yang cermat untuk menyikapi dampak secara proporsional belum ada. Penyelesaian banjir oleh pemerintah pun hanya sebatas ruang publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Kemauan membayar dapat dilihat sebagai kemampuan untuk membayar dari studi terhadap pendapatan dan pengeluaran sehari-hari. Anggapan ini tentu saja merupakan generalisasi yang sangat kasar. Kemampuan membayar dapat diperoleh dari selisih pendapatan dan pengeluaran keluarga. Kemampuan menabung tidak identik dengan adanya tabungan (tabungan adalah kenyataan stock tabungan bukan flow seperti yang diharapkan). Dilihat dari data yang belum diolah sebagian keluarga mendapatkan pemasukan tambahan dari anggota keluarga yang lain. Bagaimana cara keluarga dalam mengorganisir dana dari pendapatan keluarga merupakan hal yang tidak bisa ditelusuri. Sungguhpun tidak akurat betul yaitu didasarkan kepada anggapan-anggapan kemampuan menabung bisa diduga dari hasil penelitian kuesioner. Disamping data berdasarkan hasil kueseioner beberapa data yang unik dari jawaban langsung perlu juga didiskusikan dalam penelitian. Kaitan antara kemampuan menabung dengan pengeluaran perumahan mestinya ada. Demikian pula kaitan besar keluarga dan kemampuan menabung secara tidak langsung dapat dikaitkan. Seringkali kemampuan menabung ini sangat kecil. Dalam hal ini diharapkan dana yang digunakan untuk membangun rumah selama ini didapatkan dari meminjam atau mencicil pembangunan rumah. Hal ini tidak dilakukan bila rumah merupakan warisan, sehingga hubungan kemapuan menabung dengan keberadaan rumah (pembangunan dari awal) tidak ada (terputus) Beberapa hal yang menjadi fokus dugaan dan kerangka pikir dalam penelitian sebagai berikut: •
Populasi penghuni perumahan tidak terencana di Sadang Serang adalah penghuni yang memilih tinggal dengan alasan warisan atau lokasi yang dekat dengan tempat ber aktifitas.
•
Kemampuan untuk memiliki rumah di Perumahan terencana ada. Akan tetapi ’terkendala’ oleh lokasi yang strategis, hubungan kultural dan emosional terhadap lokasi.
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
19 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
•
Dikatakan ’terkendala’ untuk mencari lokasi permukiman yang lebih terencana, di duga dikarenakan ketidak mampuan dalam berfikir dan berhitung lebih strategis (tidak faham tentang perbedaan ’nilai aset lokasi’ dan ’nilai aset bangunan’), keputusasaan tentang kemungkinan dana pinjaman (sehingga tidak berusaha untuk mencari tahu), tidak ingin suatu perubahan yang drastis (dapat saya istilahkan sebagai ’inertia’ terhadap perubahan)
DAFTAR PUSTAKA Fasakin, J.O. (2000). Willingness to Pay for the services of Commercial Motorcycles in Akure, Nigeria (Research Note). Cities, Vol. 17, No. 6, pp. 447-452 Hui, E.C.M. (1999). Willingness to pay for better housing in Hong Kong: Theory and evidence (of dwelling space), Urban Studies Vol. 36, No. 2, 289-304 Okoko, Eno. (2004). Tenant’s willingness to pay in targeted core area neighbourhoods in Akure, Nigeria. Habitat International. Vol. 8, No. 3, 317-332 Pugh, Cedric, (2000). Squatter Settlements, their sustainability, architectural constributions and socioeconomic role. Cities. Vol. 17, No. 5, pp. 325–337 Tobin J. and Houthakker, H.S. (1951). The effect of rationing on demand elasticities. Review of Economic Studies, 18, 140-153 Wedgewood, Alison and Kevin Sansom. (2003). Willingness to pay, A Streamline Approach, Guidance for small town water service. Water Engineering and Development Center (WEDC), Loughborough University (http//:www.lboro.ac.uk/wedc/publications/wtps.htm
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
20 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
APPENDIX Tabel 1 Asal Responden dan Periode Bermukim Periode
Bandung Jakarta Jabar Jateng Jatim Sumatera Sulawesi Jumlah
< 1955 1956-1965 1966-1975 1976-1985 1986-1995 1996-2005
13 20 27 37 45 62
1 2 2 3
1 3 5 7 9 18
2 5 7 10 12 16
1
2 2 3 6
1 1 1 2
16 28 43 59 72 108
Sumber: Hasil Survey Kuesioner
Tabel 2 Estimasi Pendapatan, Pengeluaran dan Tabungan Total per Bulan Sampel
Pendapatan Kepala Keluarga (Rp.)
Pendapatan Median Istri (Rp.)
Pendapatan Keluarga Total (+ Istri) (Rp.)
Pengeluaran (Rp.)
Tabungan Total (Rp.)
67
Edi Susanto
1,000,000
1,100,000
2,100,000
2,003,000
97,000
11
Uyu Wahyu
600,000
0
600,000
448,000
152,000
18
Warouw Maringka
1,500,000
0
1,500,000
1,325,000
175,000
64
Suami Yeni Andari
1,200,000
0
1,200,000
973,000
227,000
72
Suami Ina rostiana
780,000
0
780,000
493,000
287,000
90
Hendra Hidayat
1,000,000
1,500,000
2,500,000
2,130,000
370,000
75
Bana
1,500,000
0
1,500,000
1,103,000
397,000
97
Lala Mintarsih
1,050,000
0
1,050,000
650,000
400,000
86
Ade Sodikin
1,500,000
750,000
2,250,000
1,778,000
472,000
53
Rohayati
1,000,000
0
1,000,000
385,000
615,000
25
Kasidin
1,000,000
350,000
1,350,000
658,000
692,000
48
Dedi Haryadi
1,200,000
0
1,200,000
450,000
750,000
19
H. Damin
500,000
2,000,000
3,250,000
2,493,000
757,000
93
Yeti
900,000
0
1,250,000
480,000
770,000
56
Usis
1,000,000
0
1,000,000
205,000
795,000
58
Rundidaya
1,500,000
0
2,250,000
1,335,000
915,000
41
Dewi Kurniasih
1,000,000
0
1,350,000
385,000
965,000
46
Edi
1,500,000
0
1,500,000
483,000
1,017,000
91
Kormen
1,625,000
350,000
1,975,000
955,000
1,020,000
23
Onih
1,000,000
350,000
1,350,000
328,000
1,022,000
65
Ahmad Efendi
1,000,000
1,100,000
2,100,000
933,000
1,167,000
45
Heri
2,000,000
0
2,000,000
815,000
1,185,000
83
A. Dachana
1,500,000
750,000
2,250,000
908,000
1,342,000
21
Rasendi
1,000,000
0
2,100,000
746,000
1,354,000
57
Siagian
1,000,000
1,250,000
2,250,000
820,000
1,430,000
39
Yusuf
2,000,000
0
2,750,000
1,289,000
1,461,000
74
Yayah Rusiadi
1,500,000
750,000
2,250,000
782,000
1,468,000
63
Aceng
2,000,000
350,000
2,350,000
791,000
1,559,000
745,000
1,250,000
2,745,000
1,075,000
1,670,000
5
Budiarto
24
Satirah
1,000,000
0
2,100,000
418,000
1,682,000
88
Kasnap Suryana
2,000,000
0
2,350,000
665,000
1,685,000
69
Suami Siti Rowiyah
1,000,000
2,000,000
3,000,000
1,273,000
1,727,000
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
21 dari 23
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Departemen Arsitektur
Sampel
Pendapatan Kepala Keluarga (Rp.)
Pendapatan Median Istri (Rp.)
Pendapatan Keluarga Total (+ Istri) (Rp.)
Pengeluaran (Rp.)
Tabungan Total (Rp.)
70
Suami Entin
1,150,000
1,100,000
3,000,000
1,223,000
1,777,000
60
Rahmat
2,000,000
750,000
2,750,000
895,000
1,855,000
81
Ade Rusmana
850,000
750,000
2,350,000
413,000
1,937,000
61
Ogan
1,000,000
700,000
2,400,000
396,400
2,003,600
40
Ependi
2,000,000
350,000
3,450,000
1,405,000
2,045,000
37
Suami Maria Katarina
3,000,000
1,250,000
4,250,000
2,183,000
2,067,000
Asep Koswara
2,350,000
350,000
2,700,000
590,000
2,110,000
900,000
750,000
2,900,000
762,000
2,138,000
2,000,000
750,000
3,500,000
1,165,000
2,335,000
2 79
Ani
85
Sri Mulyani
15
Nano
1,500,000
350,000
3,350,000
968,000
2,382,000
84
Asep Mulyadi
1,500,000
1,500,000
3,000,000
555,000
2,445,000
51
Ari
1,500,000
2,000,000
3,500,000
820,000
2,680,000
82
Lilik
1,900,000
750,000
3,900,000
1,053,500
2,846,500
10
Anwar
2,500,000
750,000
4,000,000
1,103,000
2,897,000
14
Kakaknya Hengki
2,000,000
0
4,750,000
1,703,000
3,047,000
26
Untung
2,000,000
350,000
4,350,000
1,183,000
3,167,000
Sardi
2,000,000
2,000,000
4,000,000
761,500
3,238,500
55
1
Suparman
2,500,000
750,000
4,000,000
680,000
3,320,000
54
Adang
3,000,000
1,250,000
4,250,000
690,000
3,560,000
42
Maslan
1,100,000
2,500,000
4,350,000
660,000
3,690,000
Edi
2,000,000
1,250,000
4,500,000
406,000
4,094,000
59
Tatang
3,000,000
350,000
6,100,000
1,775,000
4,325,000
78
Suami Titi Kurniati
3,000,000
1,600,000
6,200,000
1,753,000
4,447,000
Umar
3,700,000
1,250,000
5,700,000
1,150,000
4,550,000
16
Haris Irnawan
6,000,000
700,000
6,700,000
1,703,000
4,997,000
66
Suami Euis Lailasari
3,400,000
3,250,000
6,650,000
1,123,000
5,527,000
38
Murdiatno
5,000,000
750,000
7,750,000
1,010,000
6,740,000
62
Parman
44
Agus
49
104
4
5,000,000
750,000
7,750,000
1,010,000
6,740,000
11,000,000
0
11,000,000
3,675,000
7,325,000
Sukardi
1,200,000
1,100,000
8,800,000
705,000
8,095,000
43
H. Basarudin
1,500,000
2,750,000
9,500,000
860,000
8,640,000
47
Andi
4,500,000
0
11,350,000
2,290,000
9,060,000
22
Suhaendah
5,000,000
0
11,750,000
1,440,000
10,310,000
52
Benny
10,000,000
0
12,000,000
735,000
11,265,000
87
Edi Mulyadi
15,000,000
2,000,000
17,000,000
500,000
16,500,000
Sumber: Hasil Survey Kuesioner
Tabel 4
Alasan ingin dan tak ingin permukiman terencana
Alasan
Ingin
Alasan
Tak Ingin
Tidak Betah
1
Rumah Sudah Cukup Baik
16
Rumah/Tanah Terlalu Sempit
7
Lingkungan Cukup Nyaman
3
Mendapat Lingkungan Fisik Lebih Lega
10
Mendapat Lingkungan Sosial Lebih Baik
2
Rumah/Tanah Terlalu Luas Lainnya
14 TOTAL RESPON
Lingkungan Sosial Sangat Sesuai Lokasi dekat kemana-mana
3 19
Belum ada kesanggupan
7
Lainnya
3
34
51
Sumber: Hasil Survey Kuesioner
Paper WTP|Rev. 00 |22.12.05|
Perumahan Terjangkau: Kemamuan membayar yang terkendala di permukiman tidak terencana di wilayah inti Kota Bandung
22 dari 23