Ardianto
PERSPEKTIF SOSIOLINGUISTIK TERHADAP KODIFIKASI BAHASA INDONESIA Ardianto Pendahuluan Bahasa adalah sesuatu yang hidup. Sebagai sesuatu yang hidup, ia tentu mengalami perkembangan. Dan, perkembangan berarti perubahan. Perubahan itu terjadi, oleh karena bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Keterikatan dan keterkaitan bahasa dengan manusia 1 itulah yang mengakibatkan bahasa itu menjadi tidak statis, atau meminjam istilah Chaer (1994:53) bahwa bahasa itu dinamis. Bahasa Indonesia yang telah ditetapkan sebagai bahasa standar dan sebagai bahasa resmi kenegaraan tak lepas dari arus perubahan, sebagai konsekuensi logis dari perkembangan dan perubahan konstruksi sosial masyarakat. Sehingga dapat disebutkan bahwa bahasa Indonesia itu berkembang bahkan berubah seiring dengan perkembangan masyarakat bahasa di Indonesia. Sebagai respon dari perkembangan dan perubahan tersebut, maka dalam perkembangannya bahasa Indonesia terus mengalami standardisasi (pembakuan) 2 . Salah satu contoh kasus pembakuan atau kodifikasi bahasa Indonesia yang dapat disebut sebagai kodifikasi yang berangkat dari fakta deskriptif bahasa Indonesia oleh masyarakat adalah pemakaian akhiran “nisasi” pada bentuk kata seperti “pipanisasi”, “swastanisasi”, dan “lantainisasi”. Walaupun ada beberapa ahli bahasa 3 yang tampaknya keberatan atas kodifikasi pemakaian akhiran “nisasi” tersebut, menjadi perdebatan para ahli bahasa di Indonesia, namun dalam kenyataannya banyak sekali dijumpai dan kerap kali digunakan, baik dalam bahasa tulis maupun dalam bahasa lisan. Tentang, apakah pemakaian akhiran “nisasi” pada bentuk kata bahasa Indonesia benar atau salah, sesungguhnya bukan hal yang utama dan tidak penting diperdebatkan 1
Manusia dalam kehidupan masyarakat, kegiatannya tidak tetap dan selalu berubah, maka bahasa itu juga menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap. 2 Standardisasi (pembakuan) yang dimaksudkan di sini tidak dalam pengertian sempit sebagaimana telah dipahami keliru selama ini yang menganggap bahwa standardisasi adalah “uniformisasi” -- jadi kalau disebut bahasa standar (baku) Indonesia maka yang dimaksudkan adalah keseragaman berbahasa Indonesia mulai dari segi tata bahasa, sistem ejaan, dan sistem semantik, serta pengucapannya --, melainkan standardisasi yang lebih terbuka, lebih luas lagi berdasarkan fakta deskriptif perilaku berbahasa Indonesia oleh masyarakat Indonesia. 3 Lie Charlie misalnya, seorang sarjana tata bahasa Indonesia lulusan Universitas Padjajaran, Bandung yang menyebutkan bahwa pemakaian akhiran “-nisasi” (baca: kata pipanisasi, swastanisasi, lantainisasi, dll) menjadi aneh karena dalam bahasa Indonesia tidak dikenal adanya akhiran “-nisasi” (Harian Kompas, 07 April 2001).
Ardianto sebab bukankah bahasa yang hidup adalah bahasa yang memiliki sistem terbuka dan berubah-ubah menurut perubahan yang dialami pemakainya. Kata Wilhelm von Humboldt: “… Sie selbst ist kein Werk, Ergon; sonder eine Tatigkeit, Energia” (Bahasa itu bukan hasil pekerjaan yang telah selesai, melainkan suatu aktivitas yang terus menerus berlangsung). Dengan demikian, kodifikasi yang dilakukan terhadap akhiran “nisasi” pada bentuk kata bahasa Indonesia mestilah diterima dengan pemahaman bahwa bahasa itu dinamis dan demokratis. Artinya, biarkanlah masyarakat berbahasa Indonesia sesuai dengan “selera” dan “kemengertian” bahasanya. Sebab hanya bahasa yang mati, yakni bahasa yang tidak lagi didukung oleh masyarakat bahasa, seragam sifatnya (Kridalaksana, 1985:29). Dalam perkembangannya, studi-studi yang dilakukan terhadap bahasa tidak lagi terbatas hanya pada aspek kaidah-kaidahnya (sistem linguistiknya) saja, namun telah berkembang pada kajian bahasa dengan melihat aspek sosialnya. Demikian pula prinsip kodifikasi bahasa semakin terbuka berdasarkan pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat. Dalam pandangan sosiolinguistik, bahasa itu dinamis --dan bahkan demokratis--, sehingga tidak bisa tidak, menyikapi bahasa itu mestilah terbuka terhadap perkembangan atau perubahan bahasa. Termasuk, tentu saja, kaidah-kaidah tata bahasa. Pada konteks itulah kemudian, masalah penggunaan akhiran “-nisasi” dan banyak lagi akhiran yang berbau “isasi” termasuk “-disasi” (baca: standardisasi) terhadap beberapa kata dalam bahasa Indonesia menarik untuk diamati. Akhiran “-nisasi”, memang kasus yang unik, karena bentuk ini tidak dapat disejajarkan dengan akhiran –“isasi” pada bentuk kata “filterisasi” atau “-disasi” pada bentuk kata standardisasi”.
Perspektif Sosiolinguistik dalam Studi Bahasa
Ardianto
Mengkaji bahasa dengan mengabaikan konteks sosialnya sama seperti mempelajari dua orang yang sedang berpacaran tanpa menghiraukan dan memperhitungkan apa yang dilakukan oleh yang satu kepada yang lain, demikian Hudson (1995:4-5). Pendapat ini dikemukakan Hudson dalam rangka menanggapi para ahli bahasa yang membatasi diri pada penelitian bahasa lepas dari konteks masyarakat pemakainya. Pernyataan Hudson di atas secara eksplisit ditujukan pada kecenderungan studi bahasa yang didominasi oleh prinsip-prinsip Ferdinand de Saussure 5 (1916) dan terutama sekali ditujukan pada prinsip-prinsip Noam Chomsky. Saussure misalnya, menyimpulkan bahwa objek studi bahasa haruslah sistem bahasa. Ia membagi bahasa menjadi langue, langage, dan parole. Langue merupakan sistem bahasa yang ada dalam batin setiap penutur bahasa. Ia merupakan keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif dan diajarkan oleh masyarakat bahasa yang memungkinkan para penutur saling memahami. Dengan demikian, langue adalah keseluruhan kesan yang tersimpan dalam otak setiap orang serta merupakan perangkat konvensi yang kita terima dan siap pakai dari penutur terdahulu, sehingga disadari atau tidak parole adalah keseluruhan apa yang diujarkan orang, termasuk konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur. Sementara parole adalah manifestasi individual dari bahasa. Gabungan parole dan kaidah bahasa adalah langage. Sementara, Chomsky dengan berpegang pada batasan parole dan langue memunculkan istilah performansi (performance) dan kompetensi (compotence). Bagi Chomsky, penelitian bahasa bisa dilakukan pada seorang penutur asli. Bahkan penutur itu bisa si peneliti sendiri dan dari sana kemudian dilakukan pensisteman untuk merumuskan sistem atau semestaan-semestaan bahasa. Kecenderungan studi bahasa yang memisahkan bahasa dengan dimensi pemakai dan pemakaiannya (konteks sosialnya) inilah yang kemudian mengilhami lahirnya pendekatan baru dalam studi bahasa yaitu sosiolinguistik. Dalam hal ini, objek studi bahasa dalam pandangan sosiolingustik bukan hanya semata dilihat dari sistem atau kaidah-kaidah bahasa itu, melainkan juga pada konteks dan komunikatifnya. Sejalan dengan ini Tallei (1997) menyatakan bahwa bahasa tidaklah digunakan dalam bentuk kalimat yang terisolasi, melainkan dalam situasi nyata yang dilatarbelakangi oleh konteks dan digunakan untuk tujuan berkomunikasi. Sehingga dengan demikian objek studi bahasa dalam perspektif sosioliguistik adalah parole (dalam konsep Saussure,1916), atau performansi (dalam konsep Chomsky). Konsep-konsep parole dan performansi itu diabstraksi dari bahasa yang benar-benar digunakan secara aktual. Setiap orang akan menghasilkan parole dan performance secara berbeda. Dari perbedaan itulah kemudian dikenal variasi bahasa. Unsur-unsur bahasa yang dianalisis dalam kajian sosilingusitik adalah diambil dari parole atau performance yang dihasilkan atau yang digunakan oleh penutur secara aktual. 5
) Menurut Saussure, langue-lah yang pertama-tama harus dijadikan objek bahasa. Itulah sebabnya, Saussure merekomendasikan pentingnya studi bahasa secara sinkronis. Karena menurutnya, studi bahasa harus lepas dari sejarah dan konteks sosialnya, untuk menemukan sistem bahasa.
Ardianto Tallei (1997), menyatakan bahwa bahasa dalam perspektif sosiolinguistik adalah kajian cara orang-orang menggunakan bahasa itu sendiri karena bahasa yang digunakan itu dapat menimbulkan berbagi makna oleh pengaruh konteks, situasi, dan bahkan oleh penutur itu sendiri. Pendapat ini sejalan dengan definisi sosioliguistik yang diberikan Hudson (1995:4) bahwa sosioliguistik sebagai kajian bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat. Namun, perlu dicatat bahwa, kajian bahasa dalam definisi yang diberikan oleh Hudson tersebut bukanlah langue (Saussure) atau compotence (Chomsky), melainkan sama seperti yang dirumuskan oleh Nababan (1993:2) bahwa sosiolinguistik ialah kajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. Dari definisi yang disebutkan oleh Nababan terkandung makna peran-peran anggota masyarakat. Oleh karena berkait dengan peran-peran kemasarakatan, maka bahasa yang digunakan oleh seseorang dalam masyarakat akan bervariasi sesuai dengan peran yang dilakoninya pada konteks tertentu. Setiap peran yang dilakoni menghasilkan bahasa yang berbeda pula sebagai misal pada pemilihan kosakata, pemilihan jenis tindak tutur, dan sebagainya. Lebih jauh (Nababan, 1993:9) menyatakan, sosiolinguistik sebagai suatu aktivitas yang secara khusus diarahkan untuk penelitian tentang interaksi struktur bahasa dengan struktur sosial, serta saling pengaruh antara tingkah laku kebahasaan dengan tingkah laku kemasyarakatan barulah dikembangkan pada tahun enam puluhan. Tallei (1997), juga memberi penjelasan bahwa pembahasan aspek sosiolinguistik dalam studi bahasa dikembangkan sejak dimunculkannya istilah “konteks” dan “komunikatif” dalam pembelajaran bahasa. Dari uraian di atas jelaslah bahwa sosiolinguistik memberikan penekanan pada aspek pemakaian bahasa yang aktual di masyarakat. Artinya, bahasa dalam pandangan sosiolingiustik adalah keaktifan kemasyaratakan yang berkembang dari ke hari. Bahasa dapat berkembang dengan menerima unsur-unsur pinjaman dari luar ataupun secara kreatif mengembangkan unsur-unsur yang telah lama ada dalam dirinya; memperkaya dirinya, untuk memperoleh perkenalan yang lebih luas. Oleh karena bahasa adalah suatu lembaga kemasyarakatan (Nababan, 1993:1), sehingga cukup alasan kiranya untuk menerima studi bahasa yang mementingkan masyarakat, sebab pengertian suatu bahasa itu sendiri tidak dapat digunakan begitu saja karena pengertian tersebut merupakan pengertian yang dibuat oleh masyarakat pemakianya. Dan, oleh karena itu, dalam studi bahasa dengan perspektif sosiolingustik satuan analisisnya seringkali – kalau tidak senantiasa – adalah masyarakat bahasa dan bukan suatu bahasa tertentu. Labov dan Fanshel (dalam Sarjono, 2001:19) mengemukakan bahwa “dalam situasi sosial yang sebenarnya kita tidak dapat semau kita sendiri membentuk kalimat”. Sebab, pada kenyataannya kita sering diharuskan memberikan suatu respon dengan cara yang telah ditentukan oleh situasi sosial tertentu. Dengan demikian, konstruksi sosialbudaya “memengaruhi” (meminjam hipotesis Sapir-Whorf 6 ) konstruksi bahasa.
6 ) Hipotesis Sapir-Whorf yang juga disebut Hipotesis Relativitas Bahasa ini mendapat sorotan dari pakar linguistik, kebudayaan, dan psikologi, namun masih tetap bertahan. Kritik dari berbagai pihak menyebabkan terpecahnya penganut teori ini menjadi apa yang disebut versi kuat dan versi
Ardianto Pada waktu anggota masyarakat bahasa berinteraksi, mereka menggunakan aturanaturan yang mereka mengerti bersama tentang bagaimana menyampaikan pesan dan memberikan respon, bagaimana bertanya-jawab, bagaimana memberikan pengahargaan dan sanjungan, bagaimana tanggapan tentang hal itu disampaikan, dan banyak hal lain yang secara rutin dihadapi setiap hari. Alhasil, dalam prilaku berbahasa, di kepala penutur tidak hanya terdapat kaidahkaidah berbahasa sebagaimana terdapat dalam tata bahasa baku, melainkan pula kaidahkaidah sosial budaya, yang apabila tidak diindahkan bisa membuat seseorang penutur mengalami kenyataan yang mungkin tidak terduga. Dan, inilah yang terjadi terhadap pemakaian akhiran “nisasi” pada kata-kata seperti “lantainisasi”, “pipanisasi”, “swastanisasi”, dan bentuk-bentuk kata lainnya yang berbau akhiran “-sasi” dalam bahasa Indonesia. Kodifikasi Bahasa Indonesia Seperti telah dikemukakan bahwa bahasa dalam pandangan sosiolinguistik adalah keaktifan kemasyaratakan yang berkembang dari ke hari. Bahasa dapat berkembang dengan menerima unsur-unsur pinjaman dari luar ataupun secara kreatif mengembangkan unsur-unsur yang telah lama ada dalam dirinya; memperkaya dirinya, untuk memperoleh perkenalan yang lebih luas. Semua ini ditentukan oleh tingkah laku pemakai terhadap bahasa itu sendiri. Dan, di antara tingkah laku kemsayarakatan terhadap bahasa yang paling dikenal adalah kodifikasi atau sering juga disebut standardisasi. Kodifikasi atau standardisasi dan atau pembakuan bahasa adalah salah satu syarat bahasa itu disebut sebagai bahasa baku (standar) 7 . Kodifikasi bahasa adalah pembakuan dan penerimaan yang dilakukan oleh masyarakat pemakainya terhadap norma-norma yang dianggap benar dalam bahasa itu. Norma-norma yang dianggap benar dalam sebuah bahasa diformulasikan kemudian disebarkan kepada seluruh masyarakat pemakai dalam bentuk tata bahasa, kamus pedomaan ejaan, pegangangan tentang gaya bahasa teks contoh secara tertulis. Lembaga-lembaga seperti pemerintah, pendidikan formal, media massa, kemudian mendukung dan mengembangkan ragam yang telah dikodifikasi 8 . Mulyono, peny. (1999:11) mengemukakan bahwa signifikansi masalah pembakuan bahasa khususnya bahasa Indonesia berangkat dari latar situasi kediglosiaan. Lebih jauh dijelaskan pula perlunya penegasan tentang norma bahasa mana yang berlaku untuk bahasa Indonesia baku dan golongan penutur mana yang dapat dijadikan patokan bagi norma itu serta bagaimana bahasa Indonesia baku itu menjalankan fungsi kemasyarakatan. Artinya, untuk menghindari adanya tumpang tindih terhadap perangkat norma bahasa, maka dibutuhkan kodifikasi bahasa.
lemah. Penganut versi kuat menyatakan bahwa bahasa mengatur perilaku seseorang, sedangkan penganut versi lemah menyatakan bahasa memengaruhi perilaku seseorang. 7 Hudson (1995 : 44-46) menyebutkan empat aspek yang menjadi syarat bahasa baku yakni: 1) aspek pemilihan, 2) aspek kodifikasi, 3) aspek perluasan fungsi, dan 4) aspek penerimaan. 8 Lebih jauh lihat Hudson, R.A. Sosiolinguistik (1994:45).
Ardianto Konsep dan proses standardisasi bahasa yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh pertama, perlunya komunikasi yang efisien dalam sektor-sektor tertentu, misalnya tiadanya peristilahan yang standar akan mengacaukan komunikasi di antara para ahli dalam bidang-bidangilmu tertentua; kedua, alasan-alasan pedagogis, misalnya dalam pengajaran dasar diperlukan satu jenis variasi bahasa yang dapat dijadikan landasan dalam pengajaran yang lebih tinggi; dan ketiga, alasan-alasan kultural, misalnya dalam masyarakat-masyarakat tertentu tingkah-laku yang sopan biasanya dikorelasikan dengan variasi bahasa tertentu (Kridalaksana, 1985:95-96). Akan tetapi, kodifikasi yang dilakukan terhadap bahasa harus tetap mempertimbangkan aspek keberterimaan bahasa tersebut dalam masyarakat penutur. Pada konteks inilah, pembahasan sosiolinguistik dapat dilanjutkan untuk memperoleh data-data bahasa yang aktual digunakan oleh penutur (masyarakat bahasa) dalam masyarakat. Kontribusi Sosiolinguistik terhadap Kodifikasi Bahasa Indonesia: Kasus Akhiran “nisasi” Dalam studi bahasa dewasa ini terdapat banyak aliran yang memerikan sistem bahasa Indonesia secara keseluruhan maupun morfologi. Aliran-aliran itu semua telah banyak menyumbangkan kekayaan akan wawasan tentang bahasa yang beraneka ragam di dalam upayanya untuk menjelaskan secara mendalam dan bagi penyusunan kaidah-kaidah bahasa Indonesia secara generatif termasuk terhadap prinsip kodifikasi bahasa Indonesia. Pada suatu kesempatan kuliah Sosiolingustik, Prof. Dr. Tallei, MPd mengungkapkan, bahwa ada dua pendekatan yang dapat dilakukan dalam melihat bahasa sebagai sebuah fenomena kemasyarakatan. Yakni, pendekatan deskriptif dan pendekatan preskriptif. Pendekatan deskriptif menggambarkan bahasa sebagaimana apa adanya, sedangkan pendekatan preskriptif bersifat memberi petunjuk atau ketentuan. Dalam rangka membuka pandangan atas kekayaan khasana bahasa Indonesia, maka preskriptivisme 9 sedapat mungkin dihindari, sehingga dapat dilihat berbagai gejala bahasa Indonesia dengan segala kerumitannya secara terbuka dan tidak membatasi diri pada masalah “betulsalah” dari penggunaan bahasa Indonesia. Linguistik atau ilmu bahasa tercipta karena “kontribusi” pendekatan deskriptif yang melihat bahasa seperti apa adanya atau dengan kata lain bahasa diabstraksi berdasarkan pemakaiannya, dan ini adalah wilayah sosiolinguistik. Dari hal-hal yang deskriptif itu, dibuatlah kaidah-kaidah yang preskriptif. Namun dalam perkembanganya, linguistik pun harus menyesuaikan diri dengan keadaan bahasa yang bersifat deskriptif. Demikian pula, sosiolinguistik memanfaatkan data-data linguistik dalam kajiannya. Demikianlah kehidupan linguistik. Bagaimana proses pembentukan dan pembakuan kata yang berakhiran “-nisasi” pada kata sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya seperti “lantainisasi”, “pipanisasi”, dan “swatanisasi”?. “Lantainisasi” terbentuk dari bentuk dasar “lantai” kemudian mendapat akhiran “-nisasi”, demikian pula pada kata “pipanisasi” dan “swastanisasi” terbentuk dari bentuk kata dasar mendapat akhiran “-nisasi”. 9 Preskriptisme dalam bahasa Indonesia menurut pandangan penulis bukanlah persolan bahasa Indonesia, sebab bukankah masih banyak persolan-persolan lain yang lebih penting yang harus diperhatikan, misalnya pertimbangan efisiensi bahasa sebagai alat komunikasi.
Ardianto Dalam bahasa Indonesia dan dalam literatur tata bahasa memang tidak ditemukan pola akhiran “-nisasi”, namun dalam kenyataannya sering dijumpai pemakaian kata-kata dengan akhiran “–nisasi”, sebagai missal, pada kata “lantainisasi”, “pipanisasi”, dan “swastanisasi”. Kalau harus konsisten dengan kaidah pembentukan kata dalam bahasa Indonesia, maka bentuk kata “pipanisasi” mestinya menggunakan awalan “per-” dan imbuhan “per-an” sebagai proses pembentukan kata yang resmi dalam bahasa Indonesia, sehingga dapat dikenakan dan dikawinkan dengan semua kata Indonesia atau kata yang telah diindonesiakan (dibakukakan) ejaannya tanpa kecuali. Jadi, bentuk kata “pipanisasi” yang bentuk kata dasarnya “pipa” diberi imbuhan “per-an” menjadi “perpipaan”. Dari data-data deskriptif bahasa, bisa diambil kaidah preskriptif sebagai berikut : dalam bahasa Indonesia ada akhiran “-isasi” yang memiliki dua variasi, yaitu “-isasi” dan “nisasi”. Akhiran “-isasi” digunakan jika ia didahului oleh bentuk yang berakhir dengan konsonan (bunyi mati), sedangkan “-nisasi” jika didahului oleh bentuk yang berakhir dengan vokal (bunyi hidup : a, i, u, e, o). Muncul pertanyaan, bagaimana dengan bentuk “desoekarno-isasi”?. Sebab bukankah “Soekarno” berakhir dengan vokal? Dalam hal ini, kata itu telah mengalami proses disimilasi, yaitu, proses yang mengakibatkan dua hal yang sama menjadi tidak sama; misalnya, pasangan bunyi “r” dan “r” dihindarkan, dan menjadi “l” dan “r”, seperti kata “belajar” (dari “berajar”). Pada kata “desoekarnoisasi”, pasangan “n” dihindarkan, “nisasi” berubah menjadi “isasi”. Memang, mungkin dapat saja bersikeras menolak mengakui keberadaan akhiran “nisasi”, dengan mengatakan bahwa pembentukan kata bahasa Indonesia telah memiliki kaidah-kaidah sendiri, misalnya bentuk “Per-an” (lihat Kridalaksana, 1996:69-71) untuk mewadahi makna akhiran “-nisasi” tersebut. Jadi, kata “lantainisasi”, misalnya bisa saja diganti dengan “perlantaian”. Namun, perlu dipertimbangkan aspek popularitas dan citra kata. “Lantainisasi” misalnya, sudah menjadi kosakata yang sangat populer dalam wacana pembangunan Indonesia. Demikian juga, citra, atau bahkan substansi, yang terkandung dalam kata itu mungkin akan berubah jika diganti dengan “perlantaian”. Bahasa itu berkembang, berubah. Dan, kalau tata bahasa Indonesia sampai memasukkan akhiran “nisasi” dalam kaidah-kaidahnya, maka harus dipahami sebagai konsekuensi sifat bahasa yang dinamis. Biarkanlah masyarakat mengembangkan bahasanya, sebab dengan membatasinya berarti bertentangan dengan hakikat dan fungsi bahasa itu sendiri yaitu sebagai alat komunikasi. Jadi, masyarakatlah yang akan memilih dan menentukan bentuk-bentuk bahasa yang menurut mereka pas dan dimengerti. Di sinilah sosiolinguistik sebagai studi bahasa akan memosisikan dirinya dalam memberikan data-data deskriptif bahasa. Selanjutnya tugas para linguis, adalah menerangkan fenomena-fenomena bahasa yang berkembang di masyarakat, dan bukan ‘menghukumnya” sebagai hal yang aneh. Kemudian adalah tugas Pusat Bahasa untuk membakukan fenomena bahasa yang berkembang di masyarakat.
Ardianto Penutup Kodifikasi bahasa Indonesia ditentukan oleh tingkah laku pemakai terhadap bahasa itu sendiri. Hasil-hasil studi sosiolinguistik berupa data-data deskriptif bahasa yang diabstraksi berdasarkan pemakaiannya secara aktual di masyarakat dapat dimanfaatkan oleh para linguis untuk merumuskan kaidah-kaidah preskriptif bahasa.
Daftar Pustaka Kridalaksana, Harimurti.1996. Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka. Hudson, R.A. Sosiolinguistik. Diterjemahkan oleh Rochayah & Misbach Djamil. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Dardjowidjojo, Soenjono. 1999. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Tallei.1997. “Sumbangan Pembelajaran
Sosiolinguistik Dalam Mencari Pemecahan Bahasa Kedua”. Makalah Seminar Ilmiah.
Masalah
Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolingistik : Suatu Pengantar. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Charlie, Lie. 2001. “Pipanisasi” dalam Edisi Kompas 07 April 2001 Sarjono, Agus R. 2001. Bahasa dan Bonafiditas Hantu. Magelang : Yayasan IndonesiaTera. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik : Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta. Saussure, Ferdinand de. 1993. Pengantar Linguistik Umum. Penerjemah Hidayat Yokyakarta : Gadjah Mada University Press.
Rahayu S.