Perspektif al-Qur’an Tentang Musibah “Telaah Tafsir Tematik Tentang Ayat-ayat Musibah”
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Peryaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh Ade Tis‟a Subarata NIM: 104034001154
PPROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432/2011
1
2
Perspektif al-Qur’an Tentang Musibah “Telaah Tafsir Tematik Tentang Ayat-ayat Musibah”
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Peryaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh Ade Tis‟a Subrata NIM: 104034001154
Pembimbng
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA NIP: 19711003 199903 2 001
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432/2011
3
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul Perspektif al-Qur’an Tentang Musibah “Telaah Tafsir Tematik Tentang Ayat-ayat Musibah” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada Program Studi Tafsir Hadis.
Jakarta, 23 Juni 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Dr. M. Suryadinata, MA 19600908 198903 1 005
Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A. NIP: NIP: 19711003 199903 2 001
Anggota
Dr. M. Isa HA Salam, MA NIP: 19541226 198603 2 002
4
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar starata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatulla Jakarta.
Depok, 13 Juni 2011
Ade Tis’a Subrata
ABSTRAK
Ade Tis’a Subrata Perspektif al-Qur’an Tentang Musibah “Telaah Tafsir Tematik Tentang Ayat-ayat Musibah”
Skripsi ini ditulis dengan latar belakang maraknya berita tentang musibah yang menimpa hampir seluruh belahan bumi kita ini, termasuk belahan bumi indonesia. sehingga muncul masalah-masalah bagi semua elemen masyarakat manusia khususnya umat islam yaitu pentingnya mereka memahami konsep musibah dengan benar, yakni suatu pemahaman musibah yang dimiliki dasar yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan. Adapun ruang lingkup pembahasan masalah skripsi ini meliputi : Bagaimanakah bentuk-bentuk musibah yang digambarkan dalam al-Qur‟an? Bagaimana petunjuk al-Qur‟an bagi manusia dalam menyikapi musibah? Apa sajakah sikap yang diharapkan agar manusia melakukannya untuk mengatasi musibah? pendapat-pendapat yang berkembang berkenaan dengan sangat banyaknya bencana akhir-akhir ini. Setelah dilakukan penelitian yang mendalam diperoleh sebuah kesimpulan bahwa musibah mempunyai lima kriteria, yakni : Pertama, Bentuk sesuatu tidak menyenangkan tetapi kadarnya masih dalam batas kemampuan manusia. Kedua, Hakekat sumbernya berasal dari Allah. Ketiga, Sasarannya orang-orang beriman. Keempat, Tujuannya menjadi ujian atau peringatan bagi yang ditimpa. Kelima, Kejadiannya hanya didunia. Adapun cara yang terbaik dalam merespon musibah adalah dengan kesabaran yang berucap lafadz, istirja “innalillahi wa inna ila‟hi ro‟jiun” karena dengan mengucap kalimat tersebut akan menambah keimanan bagi mereka yang tertimpanya.
i
ii
KATA PENGANTAR Rasa syukur yang tak terhingga, penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Karena dengan segala ke-Mahaan-Nya, penulis dapat merampungkan skripsi yang berjudul Perspektif al-Qur’an Tentang Musibah “Telaah Tafsir Tematik Tentang Ayat-ayat Musibah”. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. beserta keluarganya, para shahabatnya, dan siapa saja yang mengikuti sunahnya hingga akhir zaman. Dalam penulisan skripsi ini, banyak hal yang telah dilewati, baik suka maupun duka. Semuanya terangkum dalam setiap jejak langkah yang menjadi bagian sejarah hidup penulis. Hal lain yang penulis sadari, bahwa proses pembuatan skripsi ini merupakan rekaman sejarah kebaikan berbagai pihak dengan perannya masing-masing. Karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, baik dalam bentuk bahan-bahan materi skripsi maupun motivasi untuk terus bersemangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skrpsi ini. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal Fakih, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. selaku ketua jurusan Tafsir Hadis, dan Ibu Dr. Lilik Umi Kultsum selaku sekertaris Jurusan Tafsir Hadis. 2. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA sebagai dosen pembingbing skripsi. Penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan saransarannya serta dukungannya untuk terus berjuang menyelasaikan skripsi ini.
iii
3. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyalurkan ilmunya untuk penulis kembangkan sehingga menjadi ilmu yang bermanfaat. 4. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan Iman Jama‟. 5. Rasa cinta dan kasih sayang jiwaku pada Ayahanda Almarhum Ardiyanto Ankrih dan Ibunda Yami tercinta yang setia membesarkan, membimbing juga selalu mendo‟akan, member kasih sayangnya, dan dukungan kepada anaknya tercinta, serta Bpk. H. Muhammad Idris, Bpk. H. Wanhar, Bpk. H. Aqib Mustofa,Abang kita Yaman Subhhi, Ijah, Pipit, Aprianyah, bibah, imaniah, Abang Ipar Samsudin, Buluk, Dede, „Mpok Ipar Ria yang sangat membantu dan sudi direpotkan dalam penulisan skripsi ini. 6. Buat kekasih tercinta Laura Rosita yang membuat saya jadi tambah semangat dan bangkit kembali beserta calon mertua. Teman-teman senasib dan seperjuangan angkatan 2004 Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin : M. Baihaqi, Tory, Fuad, Anas, Dedi irawan. Dan juga buat temen-temen di rumah: Yusa, Wawan, Daroe, Fuad, Hadi, Lita, Astrid, Mujiyati, Eka. Serta keluarga besar “Cuhanker”, keluarga besar “Forsa” khususnya divisi sepak bola, keluarga besar Hajir Marawis Fatwa Pujangga. Terima kasih atas dukungannya dan semoga kalian juga sukses, Amin.
iv
Sekali lagi penulis sampaikan terima kasih kepada siapapun yang tidak bisa disebutkan namanya. Berkat dukungan dan doa mereka semua, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Harapan penulis, skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi dan setiap orang yang membacanya. Jakarta, 06 Juni 2011
Penulis
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
a. Padanan Aksara Huruf Huruf Arab Latin ا b ب t ت ts ث j ج h ح kh خ d د dz ذ r ر z ز s س sy ش s ص d ض t ط z ظ „ ع gh غ f ف q ق k ك l ل m م n ن w و h هـ ` ء y ي
Keterangan tidak dilambangkan be te te dan es je ha dengan garis di bawah ka dan ha de de dan zet er zet es es dan ye es dengan garis di bawah de dengan garis di bawah te dengan garis di bawah zet dengan garis di bawah koma terbalik diatas hadap kanan ge dan ha ef ki ka el em en we ha apostrof ye
b. Vokal Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
vi
َ ِ ُ
a i u
fathah kasra dammah
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ai au
a dan i a dan u
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ـَـا ــــِــي ــــُـــو
â î û
a dengan topi di atas i dengan topi di atas u dengan topi di atas
Adapun Vokal Rangkap Tanda Vokal Arab َ ي َ و c. Vokal Panjang
d. Kata Sandang Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf ()ال, dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh = الشمسيةal-syamsiyyah, = القمريةal-qamariyyah. e. Tasydîd Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti huruf-huruf samsiyyah. f. Ta Marbûtah Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut diikuti kata sifat (na„t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/. g. Huruf Kapital Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya . Contoh = البخارal-Bukhâri.
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................
i
KATA PENGANTAR .................................................................................
ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................
v
DAFTAR ISI ................................................................................................
vii
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah. .......................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah....................................
6
C. Tujuan Penelitian ..................................................................
6
D. Tinjauan Pustaka ...................................................................
7
E. Metodologi Penelitian. ..........................................................
8
F. Sistematika Penulisan ...........................................................
8
TERM “MUSIBAH” DALAM AL-QUR‟AN ............................
10
A. Etimologi ...............................................................................
10
B. Terminologi ...........................................................................
12
BAB III KLASIFIKASI MUSIBAH .........................................................
14
A. Musibah Berbentuk Keburukan ............................................
14
B. Musibah Berbentuk Keburukan juga Kebaikan ...................
23
CARA MENYIKAPI MUSIBAH ...............................................
28
A. Etika .. ...................................................................................
29
1. Ucapan ............................................................................
34
2. Sikap ...............................................................................
39
BAB II
BAB IV
viii
B. Kenikmatan Pasca Musibah ..................................................
46
PENUTUP....................................................................................
54
A. Kesimpulan. ..........................................................................
54
B. Saran-Saran. ..........................................................................
56
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
58
BAB V
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Al-Qur‟an merupakan salah satu kitab yang dalam pandangan kaum
muslimin sebagai wahyu yang secara redaksi diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al-Qur‟an bukanlah sekedar kitab agama, tetapi di dalamnya juga terdapat aturan dalam kehidupan manusia yang bersifat sosial, politik, serta moral. Lebih lanjut al-Qur‟an memperkenalkan dirinya sebagai petunjuk bagi manusia. Hal itu diterangkan dalam firman Allah SWT yang Berbunyi:
Artinya:”Sesungguhnya Al-Qur‟an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mu‟min yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (Q.S. al-Isra‟/17:9). Al-Qur‟an merupakan pegangan bagi orang-orang yang beriman dalam melakukan segala hal selama di dunia sebagai bekal di akhirat kelak. Salah satu tujuan dari diturunkannya al-Qur‟an juga agar apa yang mereka lakukan terarah dan tidak terlepas dari nilai-nilai terkandung dalam al-Qur‟an dan sunnah. Jadi, jelas bahwa al-Qur‟an memang tergolong kitab suci yang memiliki pengaruh sangat luas dan mendalam terhadap jiwa manusia. Kitab ini telah digunakan kaum muslimin untuk mengabsahkan perilaku, menjastifikasikan
1
2
tindakan peperangan pada masa Rasulullah SAW, serta memperkokoh identitas kolektif. Ia juga digunakan dalam kebaktian-kebaktian publik dan pribadi kaum muslimin, dan dilantunkan dalam acara resmi dan keluarga.1 Menurut Yusuf al-Qardawî, berbeda dengan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya al-Qur‟an mempunyai keistimewaan, diantaranya: Pertama, ia adalah kitab yang dipelihara langsung oleh Allah SWT, sementara kitab-kitab sebelumnya dijaga oleh orang yang menerimanya. Kedua, ia merupakan mukjijat tersebar bagi Muhammad SAW. Ketiga, ia mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Keempat, ia adalah kitab yang berlaku sepanjang jaman. Kelima, ia merupakan kitab yang berlaku untuk seluruh umat manusia.2 Permasalahan yang akan dibahas adalah masalah musibah, dan apa saja yang menimpa manusia dimuka bumi ini.
Artinya : ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. 42 : 30) Manusia sekarang ini mengidentifikasi “musibah” sebagai segala hal dahsyat, yang terjadi “di luar” kehendak manusia dan menyebabkan kematian dan kesengsaraan banyak manusia. Pada saat terjadinya “musibah” itu, manusia baru merasakan keprihatinan yang mendalam. Tidak tahu apa yang harus dilakukan,
1
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟an, (Jakarta, Pustaka Alvabet, 2005),cet. Ke-1. h.1-2 2 Yusuf al-Qardawî, Bagaimana Dengan al-Qur‟an. Penerjemah Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2000), h. 14
3
tetapi kepada Sang Kuasa tersebut lebih bernuansa su‟ udz-dzan atau negative thinking kepada-Nya. Akhirnya, manusia sekarang ini pun telah lebih jauh menyederhanakan makna dan “falsafah” atas pengertian “musibah”. Manusia tidak lagi berpengertian bahwa sebenarnya, musibah tidak sesederhana “segala bencana yang di luar kehendak manusia”. Akibatnya, sepertinya ada dua pilihan bagi kita: menerima
sepenuhnya
sebagai
sebuah
kecelakaan
alam
murni,
atau
mengkaitkannya dengan kehendak Sang Kuasa. Pilihan pertama sudah jelas, ia lebih banyak di-”imani” masyarakat Barat. Pilihan kedua adalah pilihan yang hingga kini masih dipegang umat Islam. Hanya saja, pilihan kedua ini masih berupa pemahaman yang global dan masih banyak umat Islam yang belum dapat memahami bagaimana menyikapi makna musibah ini. Hidup ini ujian. Ujian ini bisa berupa sesuatu yang disenangi, bisa juga berbentuk sesuatu yang tidak disenangi. Siapa yang mengira bahwa kekayaan dan kesehatan adalah tanda cinta Tuhan maka dia telah keliru. Siapa yang menduga bahwa suatu hal yang terasa negatif adalah tanda benci Tuhan, itupun dia telah keliru. Allah mengecam kepada orang-orang yang apabila diberi nikmat oleh Tuhan, lantas berkata, “Saya disenangi Tuhan,” dan kalau Tuhan menguji dia sehingga mempersempit hidupnya, dia lantas berkata, “Tuhan membenci saya, Tuhan menghina saya.” Peristiwa yang menimpa Aceh dan Sumatra Utara. Bahkan sekian banyak negara di kawasan Asia pada 26 Desember 2004 dan yang mengakibatkan korban jiwa ratusan ribu orang, sungguh merupakan peristiwa sangat luar biasa serta
4
menimbulkan dampak yang amat besar, bukan saja dari segi fisik material, bahkan juga psikis dan spiritual. Berbagai tanggapan muncul dan sekian banyak orang goncang hati imannya. Ada yang berkata bahwa Tuhan telah murka kepada penduduk sekeliling, ada juga yang melontarkan ucapan bahwa “Tuhan kejam dan tidak lagi mengasihi”. Dia telah menyerahkan urusan manusia kepada setan, setelah bosan melihat kedurhakaan manusia. Bahkan ada yang berkata: “Memang ada dua Tuhan; Tuhan baik dan Tuhan jahat. Yang baik bijaksana menciptakan kebaikan, dan yang jahat itulah yang berperan dalam peristiwa tsunami yang dahsyat itu”.3 Jangan berfikir, saudara-saudara kita yang meninggal dan ditimpa musibah itu dibenci Tuhan. Jangan berpikir yang menderita itu dimurkai Tuhan. Jangan berpikir yang berfoya-berfoya disenangi Tuhan. Kallâ! Tidak! Di sini Allah menggunakan kata balâ` yang artinya menguji, karena itu jangan cepat-cepat berkata bahwa bencana itu murka Tuhan atau Azab Allah mungkin juga itu rahmat Allah. Ibn al-Jauji mengatakan,”Seandainya dunia bukan medan musibah, di dalamnya akan tersebar penyakit dan nestapa, takkan pernah ada kepedihan yang menimpa para nabi dan orang-orang terpilih.”4 Allah SWT berfirman tentang beratnya cobaan bagi para nabi di dalam Surat al-Baqarah/2:214 sebagai berikut:
3
Biro Humas & Luar Negeri BPK, “Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Pascatsunami”, artikel diakses pada 22 Nopember 2010 dari http:www.bpk.go.id/web/p=3958 4 Muhammad al-Manjibi al-Hanbali, Menghadapi Musibah Kematian. Penerjemah Muhammad Suhadi (Jakarta: Mizan Publika,2007), h. 4.
5
Artinya : “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.” (Q.S al-Baqarah/2 : 214) Selalu muncul pertanyaan dalam benak setiap orang, apakah bencana alam dan kecelakaan-kecelakaan dalam dunia transportasi kita sudah direncanakan oleh Allah? Apakah bencana alam itu suatu musibah, rahmat ataukah suatu azab?. Allah SWT mengajarkan manusia untuk selalu berusaha mendapatkan yang terbaik untuk dirinya. Kalau menggunakan istilah Andrea Hirata dalam “Sang Pemimpi”, kita tidak pernah bisa mendahului takdir. Kita berjalan bersamanya. Apa pun kondisi kita saat ini, kita masih bisa memperbaikinya. Kita masih bisa mengusahakannya. Tidak ada yang final sebelum mati. Ada berbagai macam pilihan, namun kita dituntut untuk selalu memilih yang terbaik. Dalam menyikapi musibah juga ada baiknya direnungkan bahwa di-balik musibah yang pada umumnya terasa pahit dan menyedihkan, bukanlah sematamata azab dari Allah, namun juga ada nilai-nilai rahmat Allah bagi manusia. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulisan skripsi yang akan dilakukan berjudul Perspektif al-Qur’an Tentang Musibah “Telaah Tafsir Tematik
6
Tentang Ayat-ayat Musibah”. Alasan penulis untuk meneliti kasus ini, yaitu
karena musibah merupakan sebuah hal yang penulis anggap sangat penting harus kita bahas apalagi dengan meneliti ayat-ayat Al-Qur‟an sebagai rujukan dan penengahnya.
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah Penelitian tentang musibah dalam al-Qur‟an ini akan dibatasi dengan
meneliti ayat-ayat al-Qur‟an. Untuk menghindari penjelasan yang melebar (overlapping), maka penulis membatasi permasalahan yang dikaji hanya berkisar pada hasil penelitian, terhadap Musibah dan Azab serta Rahmat. Agar pembahasan ini bernuansa tafsir (exegesis oriented) maka penulis mengajukan 3 pertanyaan, yaitu: 1. Bagaimanakah bentuk-bentuk musibah yang digambarkan dalam alQur‟an?
C.
Tujuan Penelitian Sebagai masalah yang telah disinggung dan diidentifikasikan oleh penulis,
maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan, antara lain: 1. Menggambarkan makna kata “Musibah” dalam Islam berdasarkan penafsiran ayat al-Qur‟an. 2. Penelitian ini merupakan syarat-syarat untuk menempuh gelar Sarjana pada
Fakultas
Ushuluddin,
Hidayatullah Jakarta 2007.
Universitas
Islam
Negeri
Syarif
7
D.
Tinjauan Pustaka Sepanjang pengetahuan Penulis, ada beberapa individu yang telah
melakukan kajian dan penelitian terhadapmusibah dalam al-Qur‟an. Penulis menemukan sebuah skripsi yang berjudul “Musibah Menurut Kajian Surat AlBaqarah Ayat 155-157” karya Layli, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah tahun 2003. Skripsi tersebut lebih banyak membahas tentang bentuk-bentuk musibah sebagaimana yang disebutkan oleh ayat-ayat al-Qur‟an yang menjadi topik utama penelitian, dan janji Allah SWT bagi mereka yang sabar menghadapi musibah. Demikian juga karya-karya lain seperti karya Mutmainah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah tahun 2010 yang berjudul “Musibah Dalam Al-Qur‟an (Studi Komparatif Penafsiran Sayyid Qutb dan Ibnu Katsîr atas Surat Al-Hadîd Ayat 22 dan 23)” dan ini lebih fokus kepada Surat Al-Hadîd Ayat 22 dan 23 dan membahas tentang hakikat musibah dengan membandingkan penafsiran tokoh pergerakan Ikhwanul Muslimin, Sayyid Qutbh, dan seorang ulama tafsir klasik, Ibn Katsir. Sementara skripsi yang akan saya bahas adalah. Bagaimanakah bentukbentuk musibah yang digambarkan dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, Penulis
menulis skripsi yang berjudul Perspektif al-Qur’an Tentang Musibah “Telaah Tafsir Tematik Tentang Ayat-ayat Musibah”.
8
E.
Metodelogi Penelitian Oleh karena itu, Penulis melakukan studi kepustakan berdasarkan
beberapa karya yang terkait secara langsung atau tidak terhadap penafsir tersebut, dan ilmu tafsir pada umumnya. Pengolahan data akan dilakukan dengan metode deskriptif analitis. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan data terpilih yang relevan secara obyektif dan apa adanya. Selanjutnya metode analitis yang dipakai untuk menganalisis secara kritis data yang diperoleh dan menghubungkannya dengan realita yang ada untuk memberikan jawaban kepada permasalahan yang dibahas. Untuk teknik penulisan, Penulis merujuk kepada sistem penulisan skripsi yang terdapat di dalam buku pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007 terbitan CeQDA.
F.
SistematikaPenulisan Dalam sistematika pembahasan Skripsi ini, penulis membagi ke dalam
lima bab, dimulai dari bab pendahuluan dan diakhiri dengan bab kesimpulan dan saran. Pada Bab I, Penulis akan menguraikan Latar Belakang Masalah sebagai asumsi awal Penulis dalam melihat kebebasan beragama yang terjadi dalam dunia Islam, khususnya dalam konteks keIndonesiaan. Setelah itu, Penulis mencoba membatasi serta merumuskan masalah tentang kebebasan beragama tersebut dengan merujuk kepada tafsir sebagai sampel. Penulis merumuskan tujuan penelitian dan memberikan beberapa simpulan yang mungkin bisa menjadi
9
manfaat untuk kajian lebih lanjut. Penulis tidak lupa menyertakan tinjauan pustaka, sebagai pijakan awal dalam melihat “bagaimana keterkaitan antara kajian yang akan Penulis bahas dengan hasil penelitian terdahulu. Di dalam bab ini, Penulis juga menyertakan metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini, dan ditutup dengan “sistematika penulisan,” yang mencoba memberikan “preview” kepada pembaca, apa yang akan Penulis bahas di dalam karya ini. Untuk Bab II, Penulis mencoba mendefinisikan kembali term musibah sebagai landasan perspektif dalam penulisan skripsi ini. Bab III, Penulis
mencoba melihat klasifikasi musibah. Adapun
didalamnya melingkupi. Pertama : Musibah berbentuk keburukan, sedangkan yang Kedua : Musibah berbentuk keburukan juga kebaikan. Bab IV Penulis mencoba menemukan cara menyikapi musibah, Pertama : Etika yang didalamnya ada ucapan ketika kita terkena musibah dan sikap kita ketika tertimpa musibah. Kedua : Kenikmatan Pasca Musibah. Bab V adalah bab penutup yang berisi mengenai kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan, serta saran untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
BAB II TERM “MUSÎBAH” DALAM AL-QUR’AN
A. Etimologi Musîbah dalam bahasa indonesia diartikan sebagai bencana, atau malapetaka yaitu sesuatu yang menimpa manusia yang menimbulkan rasa sedih, seperti kematian, tertabrak, banjir, gempa, kebakaran dan lain-lainya.1 Dalam bahasa Arab kata mushibah / ّ يصٍجterambil dari akar kata yang terdiri dari huruf shad, wau , dan
ba„ (shawaba/)صٔة. Menurut Râghib Al-
Asfahâni asal makna kata tersebut adalah ( انسيٍخlemparan).2 Adapun derivasi bentuk beserta maknanya, antara lain sebagai berikut: 1. shaub, inshâb, shayyib, dan shuyûb dari perubahan kata shâba – yashûbu (
), maka berarti turun hujan, seperti dijelaskan berikut:
(kata al-shaub berarti turun hujan, keduanya berarti turun hujan, begitu juga shayyib dan shuyûb. Sebagaimana firman Allah swt.” atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit”4 2. Shawâb / صٕاةdari kata ashâbh – yushîbu, maka berarti benar atau kebenaran, seperti dijelaskan sebagai berikut: 1
Prof. Dr J.S. Badudu dan Prof. Sutan muhammad zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001) cet. Ke4 hlm.923. juga lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta BP, 1998)cet. Pertama h. 602. 2 Al-Râghib Al-Asfahâni, Mu‟jam Mufradât fi Alfâzd Al-Quran, (Bairut:Dar al-fikr, tt), h. 297 3 Ibn Manzhûr, lisan al-Arabi, fashl ةbab صJuz I, 534 4 Lihat surah Al-baqarah [2]: 19
10
11
Kata Shawâb/ صٕاةadalah lawan dari kata Katha‟/ … خطإdalam sebuah hadis Abi Wai‟l, beliau pernah ditanya tentang penjelasan (kata shawâb/)صٕاة, lalu beliau menjawab أصبة اهلل انري أزادyakni Allah swt. menghendaki yang dia kehendaki. Pada dasarnya yang dikehendaki. Oleh Allah swt. adalah kebenaran. Kebenaran itu adalah lawan dari kesalahan. 3. Mushîbah/ يصٍجخdari kata ashâb – yushîbu, maka berarti bencana besar atau sesuatu yang tidak disukai kedatangannya oleh manusia, seperti dijelaskan sebagai berikut:
(siapa yang dikehendaki oleh Allah swt. untuk mendapat kebaikan, maka dia akan ditimpa musîbah yakni diuji dengan berbagai bencana supaya Allah swt. memberikan pahala padanya. Musîbah adalah perihal yang turunnya atau kehadirannya pada manusia tidak disukai.)
6
(diceritakan oleh ibn Al-Aârâbyyî, kata يصٍجخmushîbah adalah diambil dari أصب ثتّ يصٍجخ/ ashâbathu mushîbah, mashdarnya bisa يصبة /mashâbun, انصبثخ/al-shâbah atau انًصٍجخ/mushîbah. يب أصبثك يٍ اند ْس (Engkau telah ditimpa oleh bencana). Demikian juga kata انًصٍجخ/almashâbah, dan انًصٕثخ /al-mashûbah. Sedangkan ta marbuthah ()ح yang ada di akhir kata tersebut berfaidah untuk menegaskan sebuah bencana besar نهداٍْخأٔانًجبنغخ/al-Dahiyah al-Mubalaghagh. Sementara jamaknya adalah يصبٔة ٔيصبئت/mashâwib atau mashâ‟îb.
5
Ibn Manzhûr, lisan al-Arabi, fashl ةbab صJuz I, h 536. Sementara Raghib AlAsfahani, menegaskan dengan redaksi sebagai berikut. ٔانًصٍجخ أصهٓب فً نسيٍخ ثى اختصت ثبنُب (ئجخmusibah pada salnya mempunyai makna lemparan kemudian mengalami pengkhususan makna bahaya atau bencana op. Cit. h. 296 6 Ibn Manzhûr, lisan al-Arabi, fashl ةbab صJuz I, 536
12
(Al-Akhfasy menduga bahwa kata يصبئت/mashâwib sesungguhnya hamzah terdapat dalam kata tersebut adalah ganti dari wawu karena wawu itu penyakit (tidak enak diucapkannya) dalam kata يصٍجخ/mushîbah.
8
(Ahmad bin yahya berkata, “kata يصٍجخ/ mushîbah asalnya adalah kata يصٕثخ/mashûbah, seperti halnya kata أقًٍٕا انصالح/aqûmu al-shalâta asalnya adalah ٕ أقٕي/aqûmû dirubah dengan harkat wawu dimasukan ke huruf qâf lalu dikasrahkan dan wawunya dirubah jadi ya‟ karena kasrahnya qâf) Dalam
Ensiklopedi Al-Qur‟an dijelaskan bahwa kata يصٍجخ/mushîbah
digunakan untuk pengertian bahaya, celaka, bencana atau bala.9 Sementara menurut sebagian mufassir, musîbah diartikan sebagai ujian yang berat10 atau segala sesuatu yang dapat melukai atau menyakitkan orang yang beriman.11
B. Terminologi Ahli tafsir Muhammad Husin Tabatâba‟î, dalam tafsirnya al-Mizan fi Tafsir Al-Qur‟an, Musîbah adalah kejadian apa saja yang menimpa manusia yang tidak dikehendaki.
7
Ibn Manzhûr, lisan al-Arabi, fashl ةbab صJuz I, 536 Ibn Manzhûr, lisan al-Arabi, fashl ةbab صJuz I, 536 9 Team Redaksi, Ensiklopedia Al-Qur‟an ; Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya, (Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997, cet. 1, 10 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000). Cet. 1 h. 343. Bedakan dengan penjelasan musibah oleh Wahbah al-Zuhailiy dalam Al-Tafsir Al-Munir Juz I h. 34. ( اإل َسبٌ فً َفس أ يبل أْم انًصٍجخ كم يب ٌؤ ذ ي/segala sesuatu yang menyakitkan hati manusia dalam hal jiwa, harta atau keluarga). 11 Al-Qurthûbi, Al-Jam‟ili Ahkam al-Qur‟an Juz II, (Kairo: Dar al-Nasyr, 1372 H) cet. Ke 2 h. 175. 8
13
Prof. M. Quraish Shihab Musîbah pada mulanya berarti “sesuatu yang menimpa atau mengenai”. Sebenarnya sesuatu yang menimpa itu tidak selalu buruk. Hujan bisa menimpa kita dan itu dapat merupakan sesuatu yang baik. Memang, kata musîbah konotasinya selalu buruk, tetapi boleh jadi apa yang kita anggap buruk itu, sebenarnya baik, maka Al-Qur‟an menggunakan kata ini untuk sesuatu yang baik dan buruk (QS. Al-Baqarah : 216). Dengan demikian maka musîbah dapat didefinisikan suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan terjadi di luar dugaan manusia dan kejadian tersebut dapat berupa kesusahan atau kesenangan. Tetapi pada umumnya masyarakat lebih memahami makna musîbah sebagai hal yang buruk, pada hal sesuatu yang kita anggap buruk itu sebenarnya ada nilai baik karena di balik keburukan terdapat hikmah yang dapat kita ambil sebagai pelajaran.
BAB III KLASIFIKASI MUSIBAH
Al-Qur‟an mengungkapkan musibah yang menimpa manusia dengan َ ) yang diikutkan wazan (timbangan kata) menggunakan kata shawaba ( َص َٕ ة afâla ( )أفعمyakni ashâba ( ) اصبةdan kata-kata jadia-Nya. Bentuk-bentuk kata yang dipakai adalah bentuk fi‟il mâdhi ashâba ( )اصبةyang tercatat 331 kali, dalam bentuk fi‟il mudhâri‟ yushîbu ( )ٌصٍتterulang 312 kali, bentuk isim masdâr mushîbah ( )يصٍجخterulang sampai 103 kali, dan masing-masing sekali dalam bentuk isim fa‟il mushîbu ()يصٍت4, isim masdar dari fi‟il mâdhi shâba ( ) صبة shawaba ( ) صٕاة5 dan shayyib ( )صٍّت6 Al-Qur‟an menggunakan kata musibah dan kata-kata jadiannya untuk menjelaskan berbagai hal yang menimpa kehidupan umat manusia. Hal yang menimpa tersebut
dapat
berupa keburukan
yakni
sesuatu
yang tidak
menyenangkan atau sebaliknya. dan dapat juga menunjuk makna kedua-duanya. Acuan pengelompokkannya dengan melalui kata-kata atau tema pokok yang terdapat pada setiap ayat. Kemudian jika terdapat kesulitan dengan dua acuan tersebut, maka ditempuh dengan jalan teori munasabah antara ayat sebelum, sesudah atau kedua-duanya. Selanjutnya penelusuran pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para mufassir dengan maksud untuk membantu merumuskan pengertian yang komprehensip, utuh dan universal (menyeluruh).
A.
Musibah Berbentuk Keburukan Allah swt akan selalu menguji orang-orang yang beriman kepada_Nya.
ujian tersebut dapat berupa nikmat dan kemudahan-kemudahan atau juga
1
Muhammad Fu‟ad „Abd. Al-Bâqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Al-fâzh al-Qur‟an alKarîm, (Bandung: Maktabah Dahlan, tt), h. 527. 2 Muhammad Fu‟ad „Abd. Al-Bâqi, al-Mu‟jam....h.527-528 3 Muhammad Fu‟ad „Abd. Al-Bâqi, al-Mu‟jam....h.527. 4 Muhammad Fu‟ad „Abd. Al-Bâqi, al-Mu‟jam. 5 Muhammad Fu‟ad „Abd. Al-Bâqi, al-Mu‟jam. 6 Lihat Surah al-Baqarah [2]: 19
14
15
musibah kesempitan hidup. Adapun musibah yang Allah swt. timpakan sebagai ujian seperti dijelaskan dalam surah al-Baqarah [2]: 155 sebagai berikut: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Musibah kesulitan hidup yang menjadi ujian
bagi orang-orang yang
beriman yang dimaksud dalam ayat tersebut di atas adalah: Pertama sedikit ketakutan yakni keresahan hati menyangkut sesuatu yang buruk atau hal-hal yang tidak menyenangkan terhadap orang lain yang diduga akan terjadi 7 hal itu terjadi biasanya disebabkan oleh kesewenang-wenangan penguasa8, dan bencana alam9, Kedua sedikit kelaparan karena mereka mengingkari ketetapan-ketetapan Allah. Baik ketetapan berupa sunnahtullah yang tersebar di jagat raya maupun beritaberita yang sudah diberikan kepada umat manusia melalui para rasul-Nya, Ketiga kekurangan harta yakni kekhawatiran habisnya harta yang dimilki ketika mengeluarkan zakat10, kekuarangan jiwa seperti kematian sanak saudara, sahabat dan orang-orang yang dicintai11 dan kekuarangan buah-buahan seperti musim paceklik. huruf ٍ ي/min dalam ayat di atas berfungsi sebagai bayan sekaligus tab‟idh yang dapat menunjukan bahwa ujian dalam bentuk musibah hakikatnya sedikit disbanding dengan potensi yang diberikan oleh Allah swt kepada mereka untuk 7
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan-pesan dan Keserasian al-Qur‟an jilid I, Jakarta: Lentera Hati, 2000 cet, ke-1, h. 342 8 Lihat surah Yunus(10): 83 9 Lihat surah al-Ra‟du(13): 12 10 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an ..... Juz I, h. 343 (Beirut : Al-Mâktabah al-Ăshriyah), 2000 11 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an ..... Juz I, h. 343 (Beirut : Al-Mâktabah al-Ăshriyah), 2000
16
memikulnya. Demikian karena Allah swt. Maha Mengetahui dengan segala sesuatu yang terdapat dalam diri hamba-Nya. Maka ujian yang diberikan pastilah sesuai dengan potensi kemampuan orang yang diujinya.12 Musibah dalam ujian seperti di atas, tidak dapat dihubungkan dengan perbuatan dosa. Tetapi sebaliknya sangat terkait dengan tingkat keimanan dan amal sholeh yang telah diperbuat oleh si penerima musibah tersebut. Seiring dengan meningkatnya iman dan amal sholeh seseorang akan bertambah pula tingkat kesulitan ujian yang harus diterimanya. Demikian juga dijelaskan oleh Rasulullah SAW. yang diriwayatkan dari Imam Al-Turdmudzi dalam kitab al-Sunnannya;
Dari Musnad bin Sa‟ad dari bapaknya berkata, saya bertanya, “Ya Rasulullah! Manusia yang man yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para Nabi, kemudian orang-orang yang setingkat (iman dan amalnya, lalu orang-orang yang setingkat. Seorang laki-laki akan diuji sesuai tingkat keamanannya, lalu jika agamanya itu lemah maka ujiannya akan berat. Dan jika keyakinan agamanya itu lemah maka ujiannya akan disesuaikan dengan tingkat keagamanannya. Ujian itu akan terus-menerus menimpa seorang hamba Allah swt. Sehingga ia tidak lagi berbuat kesalahan di muka bumi” (H.R. Turmudzi) Dengan demikian seseorang yang terus-menerus dirundung musibah tidak dapat diartikan sebagai orang yang banyak dosanya. Atau sebaliknya orang yang hidupnya kelihatan berbahagia dengan berkecukupan materi jarang terkena
12
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,....vol 1 h. 341
17
musibah, juga bukan berarti ia banyak amal sholehnya dan tidak punya dosa. Karena banyaknya bala bencana akan menjadikan seseorang akan menadapat ridho Allah SWT. Tentunya apabila dia ridha menerimanya.sebagai takdir. Musibah adalah kehendak Allah swt. Namun kehendak Allah Swt ini ada yang dipicu oleh upaya alam dalam menyeimbangkan diri, adapula yang dipicu oleh ulah manusia yang kurang bertanggung jawab.13 musibah yang dipicu oleh perbuatan manusia yang kurang pertanggung jawaban perlu mendapat peringatan sehingga ia mengetahui bahwa perbuatannya itu salah dan segera bertaubat atau kembali kejalan yang benar. Di zaman Rasullah Muhammad SAW umat Islam kocar-kacir dalam peperangan di gunung Uhud karena mayoritas Muslimin waktu itu tidak mengindahkan strategi perang Nabi SAW sehingga umat Islam tertimpa musibah kekalahan. Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur‟an di bawah ini; “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuh_Mu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S Ali-Imran :165) Musibah dalam Surah Ali Imran [3]: 165 di atas ditafsirkan dengan kekalahan kaum muslimin pada perang Uhud.14 menjelaskan tentang penyebab kekalahan kaum muslimin pada perang Uhud adalah kedurhakaan mereka orangorang munafik terhadap Rasulnya, yakni: pertama, sesungguhnya Rasulullah saw.
13
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=286033&kat_id=16&kat_id1=&kat_id
= 14
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an......, h. 425 (Beirut : Al-Mâktabah al-Ăshriyah), 2000
18
sebelumnya pernah mengatakan, mashlahat hanyalah tetap diam di madinah. Untuk itu janganlah kalian keluar ke Uhud akan tetapi kalian tetap membangkang dan bersikeras unuk keluar dari madinah menuju Uhud. Menurut pendapat Rasulullah saw kaum muslimin hendanya tetap diam di madinah. Apabila kaum musyrikin memasuki Madinah kaum muslimin yang baru memeranginya di jalanjalan di mulut gang, dan di sudut-sudut kota madinah. Kemudian kaum wanita dan anak-anak melempari kaum musyrikin dari atas rumah dengan batu. Kedua, sesungguhnya kalian merasa frustasi dan lemah dalam berpendapat. Ketiga, sesungguhnya kalian saling bertentangan dan telah terjadi perang mulut antar kalian sebelum perang Uhud meletus. Keempat, sesungguhnya kalian telah menentang Rasulullah saw. Dan kalian berani meninggalkan posisi yang telah diperintahkan agar kalian tetap di dalamnya, dalam kondisi bagaimanapun, untuk menjaga punggung kaum muslimin dengan anak panah15 Kekalahan yang dialami kaum muslimin dalam perang Uhud adalah dengan izin Allah SWT. Artinya kekalahan atau sebaliknya kemenangan dan musibah apapun yang menimpa kaum muslimin adalah atas sepengetahuan-Nya, seperti dijelaskan dalam ayat sesudahnya yakni surah Ăli Imran ayat 16616 karena musibah tersebut menjadi peringatan bagi kaum muslimin supaya dapat memperbaiki kesalahan–kesalahannya. Dengan kekalahan ini mereka dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga untuk kejayaan umat Islam. Kaum
15
AL-Maraghiy, Tafsir al-Qur‟an al-„Adzim Juz 5, edisi terjemah (Semarang: CV. Toha Putra, tt) h. 221 16 (166: Ali Imran ( ٔيب أصبثكى ٌٕو انتقى انجًعبٌ فإذٌ اهللDan apa yang menimpa kamu pada hari bertemunya dua pasukan, maka (kekalahan) itu adalah dengan izin (takdir) Allah swt.)
19
muslimin setelah itu menjadi solid persatuan kesatuannya serta kembali menjadi sangat taat kepada Allah swt. dan Rasul-Nya. Musibah yang menimpa orang-orang yang beriman yang disebabkan atas kesalahan-kesalahan masa lalunya di samping menjadi peringatan supaya mereka dapat segera menyadarinya juga untuk menebus kesalahan-kesalahannya itu. Sebagaimana ayat berikut ini: “Maka Bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, Kami menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian (Q.S an-Nisaa‟: 62)
munafik) ditimpa kemudian mereka sekali-kali tidak yang sempurna".
Musibah dalam surah an-Nisaa‟ [4]: 62 di atas adalah rasa ketakuatan dan keresahan hati yang mancekam yang menimpa hati orang-orang munafik.17 Ketakutan dan keresahan tersebut disebabkan oleh ulah mereka sendiri yang memilih hukum selain kitab Allah dan Rasul-Nya dan enggan untuk berhakim kepada Rasulullah saw. Seperti dijelaskan dalam ayat-ayat sebelumnya di mana pada akhirnya mereka harus melakukan sumpah mengatas namakan Allah swt. Untuk mendapat perlindungan hukum dari Rasulullah saw mereka katakan bahwasanya apa yang dilakukan adalah untuk kebaikan bersama dan perdamaian yang sempurna.
17
Al-Thabâri, Jâm‟i al-Bayân....Juz V, h. 155
20
Dan Sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat (ke medan pertempuran). Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata: "Sesungguhnya Tuhan Telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka.(QS. An-Nisa 72). Tafsiran makna musibah surah an-Nisa (4) : 62 tersebut di atas adalah sesuatu yang tidak diharapkan dalam menjalankan perang seperti kematian, kekalahan dan lain-lainnya.18 Sesuatu yang sangat ditakuti oleh orang-orang munafik, sehingga ketika mereka diperintahkan untuk berperang di jalan Allah swt. Mereka selalu berusaha berlambat-lambat dan ketika musibah itu menimpa kaum muslimin yang berperang mereka justru berbahagia dan beranggapan hal tersebut sebagai karunia dari Tuhan dan kecerdikannya memprediksi sesuatu sehingga mereka memutuskan untuk tidak ikut berperang. “jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian.” (Q.SAl-Maidah [5]: 106) Musibah dalam teks surah al-Maidah [5]: 106 di atas adalah musibah datangnya sakarat al-maut. Musibah kematian ini merupakan ujian berat baik dirinya sendiri maupun bagi orang yang ditinggalkannya. Saat-saat sakarat almaut19 bagi seseorang menjadi sangat penting artinya dalam mempertahankan
18
Al-Maraghy, Tafsir al-Qur‟ân... Juz V. h, 144., al-Thabâni, Jâm‟i al-Bâyan...Juz V, h,
165 19
Lihat Shahih Bukhari hadis no. 6029 yang menjelaskan bahwa setiap kematian ada sakaratnya. Dan bagaimana kondisi sakarat tersebut. Juga dalam saunan al-Turmuzdiy hadis no. 900, sunan Ibn Majah hadis no. 1612, Musnad Imam Ahmad hadis no. 23220. Ketiganya menjelaskan beratnya sakarat al-maut sehingga kita perlu untuk berdoa supaya dimudahkan darinya.
21
Iman dan Islam sehingga ia dapat menghembuskan nafas terakhirnya dengan khusnul Khatimah.20 Sedang bagi orang yang ditinggalkannya menjadi ujian apakah ia dapat bersabar atau sebaliknya melakukan kesalahan seperti meratapi kematian kerabatnya tersebut. “dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya. Atau (azab) dengan tangan kami.". (Q.S al-Taubah [9]: 52) Menurut sayyid Qutbh, Surah al-Taubah [9]: 52 tersebut di atas membicarakan tentang hal ihwal azab Allah swt di dunia. Persangkaan orangorang munafik yang mengira bahwa azab Allah swt akan datang kepada kaum muslimin tidaklah benar. Kaum-kaum mukmininlah yang menunggu-nunggu kaum munafik diazab oleh Allah swt atau di hukum dengan dibunuh dan dikalahkan oleh kaum muslimin dalam perang. Menurutnya suatu yang menimpa kaum muslimin dalam perang fi sabilillah, menang atau kalah, keduannya adalah kebaikan. Kemenangan dalam perang merupakan balasan awal baginya di dunia sedang mati syahid di jalan yang benar merupakan derajat tertinggi disisi Allah swt.21 “dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) Para Malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki. (Q.S al-Ra‟du [13]: 13)
20
Suatu kondisi kematian seseorang yang ketika meninggalkan dunia fana ini ditutup dengan syahadah tauhid. Maka ia dijamin masuk surga. Lihat Shahih Muslim hadis no. 127 21 Sayyid Qutbh, Fi Zhilalil....Jilid V, h. 364
22
Halilintar yang dilepaskan oleh Allah swt. dan menyambar siapa yang Dia kehendaki yang dimaksud dalam surah al-Ra‟du [13]: 13 di atas adalah azab Allah swt Menurut Ibn Jarir dengan berdasarkan beberapa riwayat penyebabnya adalah perdebatan yang dilakukan oleh orang Yahudi yang menanyakan tentang hakekat Allah swt. kepada Rasulullah saw. Dari materi apa Tuhanmu? Apa Dia permata atau intan?22 Kehendak Allah swt melepaskan petir merupakan keagungan sifatNya yang mutlak, di sisi lain keadilan-Nya juga merupakan keagungan sifat-Nya yang didasarkan pada kemahatahuan-Nya yang menyeluruh. Sehinnga menurut Sayyid Qutbh dikatakan bahwa kehendak Allah swt mengazab seseorang pastilah tepat sasaran kepada orang yang yang sepantasnya mendapatkan azab itu.23 Dalam
konteks
musibah,
jarang
sekali
redaksi
al-Qur‟an
yang
mendudukkan Allah swt. sebagai subjeknya.24 Dalam surah al-„Araf [7]: 100 tersebut di atas, Allah swt. mengandaikan kalau dia menghendaki bisa saja menimpakan hukuman kepada penduduk suatu kaum di muka bumi ini sebab perbuatan dosanya. Seperti perbuatan dosanya yang telah dilakukan oleh umatumat terdahulu bagi mereka langsung ditimpakan bencana yang dahsyat sebagai azab.25
22
Al-Thabâri, Jâm‟i al-Bayân.... Juz XIII, h.125 Sayyid Qutbh, Fi Zhilad al-Qur‟an....Jilid IV, h. 133-134 24 Berdasarkan penelitian penulis setiap konteks musibah yang memposisikan Allah swt. sebagai subjeknya, mayoritas maknanya menunjuk pada makna azab atau hukuman. Lihat surah al-Maidah [5]: 49. al-„Araf [7] : 156. 25 Lihat surah Ȃli Imran [3]: 11, al-An‟am [6]: 6, dan al-Mukmin [40]: 21 23
23
B.
Musibah Berbentuk Keburukan Juga Kebaikan
dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". (Q.S an-Nisaa‟ [4]: 78). Kata hasanah/ ُّ( حسkebaikan) dan kata sayyiah/ ( سٍْئخkeburukan) dalam surah al-Nisaa‟ [4]: 78 di atas masing-masing menjadi fa‟il (pelaku) dari kata tushibu/ تصٍتhal ini dapat menunjukkan bahwa musibah yang menimpa manusia dapat berarti kebaikan juga keburukan. Hanya saja ketika musibah itu disambungkan dengan
kebaikan maka musibah itu ditafsirkan dengan
mendapatkan bukan ditimpakan. Al-Qurthûbî menjelaskan bahwa ayat ini sangat terkait dengan sikap orang-orang munafik yang apabila mereka mendapatkan nikmat, maka mereka mengatakan ini dari Allah swt dan kalau mendapatkan keburukan dan kesulitan mereka menimpakan kesalahan kepada Nabi Muhammad saw dan kaum muslimin.26 Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi. (Q.S al-Nisa‟ [4]: 79). Surah al-Nisa‟ [4]: 79 di atas adalah bantahan terhadap anggapan orangorang munafik yang menuduh musibah keburukan yang menimpa mereka adalah sebab kesalahan Nabi dan umat Islam. Dalam ayat ini Allah swt. menegaskan 26
Al-Qurthubi, Al-Jam‟ili Ahkam.... Juz V, h.284
24
bahwa musibah kebaikan berupa kenikmatan yang semuanya bersumber dari-Nya. Sedang musibah keburukan yang menima kaum munafik adalah sebab dari kesalahan mereka sendiri.27 jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata: "Sesungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan kami (tidak pergi perang)" dan mereka berpaling dengan rasa gembira. (Q.S al-Taubah [9]: 50). Seperti yang terdapat dalam surah al-Nisa‟ [4]: 78 dan 79, surah al-Taubah [9]: 50 di atas juga menjelaskan tentang sifat orang-orang munafik ketika ditimpa musibah, mereka kaum muslimin mendapat suatu kebaikan (musibah baik) berupa kemenangan,
harta
rampasan
perang
(ghanimah)
dan
segala
sesuatu
keberuntungan28, maka menjadi tidak senang karenanya. Mereka dengki dan tidak suka dengan keberhasilan pada setiap keberadilan kaum muslimin. Sebaliknya jika kaum muslimin ditimpa oleh sesuatu musibah berupa malapetaka kekalahan dan diantara kamu banyak yang terbunuh seperti yang terjadi dalam perang Uhud29, mereka berkata: Sesungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan kami dengan memprediksikan akan kalah berperang sehingga kami berlambat-lambat dan tidak ikut berperang bersama mereka orang-orang beriman sehingga kami tidak terkena kekalahan dan segala konsekuensinya seperti
27 28
Al-Qurthubi, Al-Jam‟ili Ahkam....Juz V, h. 285 Al-Syaukani, Fath al-Qadir....Juz II. h. 368, Al-Baghawi. Juz II h. 299. Ibn Katsir, Juz
II, h. 363 29
Al-Syaukani, Fath al-Qadir..., al-Baghawi, Al-Baidhawi, Juz III. h. 150. Al-Qurthubi, Juz VIII. h. 158
25
kematian dan kehilangan harta benda30 dan mereka berpaling dengan rasa gembira sebab kamu memperoleh kekalahan itu31 Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (Q.S al-Taubah [9]: 51) Kata ma/ يبpada surah al-Taubah [9]: 51 di atas adalah ma/ يبismiyah nakirah ( sesuatu/apa) yang selalu dibarengi dengan sifatnya.32 Artinya sesuatu yang ditetapkan Allah swt yang menjadi musibah bagi kaum muslimin itu masih bersifat umum yakni berupa kebaikan juga bisa berupa keburukan. Ayat tersebut di atas ditujukan kepada orang-orang yang beriman sebagai bantahan
terhadap
prediksi
orang-orang
munafik
yang
mengatakan:
“sesungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan kami (tidak pergi berperang)” sebab menurut mereka orang Islam akan kalah. Kemudian ditegaskan oleh Allah swt supaya orang-orang Islam itu menjawab dengan jawaban: “sekali-kali tidak akan
menimpa kami melainkan apa yang telah
ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal.”
30
Baidhawi, Abu al-Khayar bin `Abd. Allah bin Umar. Arrivdr al-Tanzil wa Asrar alTa'wil, Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1968, Baghawi, A1-, Ma'alim al-Tanzil, l;airut: Dar al-Ma'rifah, 1987, Al-Syaukani, Fath al-Qadir..., Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an ..... Juz I, (Beirut : Al-Mâktabah al-Ăshriyah), 2000, h. 343dan Al-Qurthubi, Al-Jam‟ili Ahkam.... Juz V, h.284 31 Baidhawi, Abu al-Khayar bin `Abd. Allah bin Umar. Arrivdr al-Tanzil wa Asrar alTa'wil, Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1968, Baghawi, A1-, Ma'alim al-Tanzil, l;airut: Dar al-Ma'rifah, 1987, Al-Syaukani, Fath al-Qadir..., Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an ..... Juz I, (Beirut : Al-Mâktabah al-Ăshriyah), 2000, h. 343dan Al-Qurthubi, Al-Jam‟ili Ahkam.... Juz V, h.284 32 Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulum al-Qur‟an Juz IV, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1391 H), h. 398
26
Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam Keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.(Q.S al-Hajj [22]: 11) Fa‟il (pelaku) dari kata ashaba/ أصبةdalam surah al-Hajj [22]: 11 tersebut di atas pertama adalah kata khair/ ( خٍسkebaikan) kedua fitnah/ ٍفت ح. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara umum musibah dapat dimaknai kebaikan dan juga keburukan. Bagi mereka yang menyembah Allah dengan berada di tepi, yakni mereka yang berada dalam keraguan dan kemunafikan maka jika ia memperoleh kebajikan berupa kelapangan dalam urusan-urusan dunianya setelah memeluk agama Islam, tetaplah ia dalam keadaan itu yakni dalam agama Islam, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana berupa kesulitan dalam urusan dunia dan segala sesuatu yang dapat menyebabkan penderitaan dunia, berbaliklah ia ke belakang yakni keluar dari agama Islam. Mereka beranggapan bahwa setelah memeluk agama Islam hidup mereka di dunia selalu mendapatkan berbagai macam kesulitan dan penderitaan.33 Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S al-Taghabun [64]: 11).
33
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an ..... Juz I, (Beirut : Al-Mâktabah al-Ăshriyah), 2000. h. 21
27
Gaya bahasa yang menggunakan Adat al-Hashr dalam surah al-Thagabun [64] tersebut di atas menunjukkan bahwa semua musibah tanpa kecuali adalah atas sepengetahuan Allah yakni Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin (pengetahuan) Allah. Kejadian apapun yang menimpa manusia di dunia ini adalah merupakan urusan-Nya yaitu ketentuanketentuan dan kehendak-Nya semua terjadi atas pengetahuannya.34 Semua hal yang menimpa manusia berupa kebaikan juga keburukan namun kita bisa mengambil semua hikmah dari musibah tersebut.
34
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an ..... Juz I, (Beirut : Al-Mâktabah al-Ăshriyah), 2000. h. 376
BAB IV CARA MENYIKAPI MUSIBAH
Setiap manusia yang hidup di dunia akan mengalami hal yang sama, baik beriman maupun kafir terhadap Allah, yakni akan mengalami berbagai macam musibah. Perbedaannya adalah bagaimana mereka dapat memahami hakekat musibah itu sendiri kemudian bagaimana menyikapinya.
1
sebagai orang yang
beriman kepada Allah dan ketentuan-ketentuan-Nya, mereka tahu bahwa musibah apapun yang menimpanya adalah bagian dari Qhoda dan Qadar-Nya. Seperti firman-Nya dalam al-Qur‟an surah al-Hadîd (57) ; ayat 22,
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Al-Syaukâni menafsirkan musibah dalam ayat tersebut di atas, bahwa segala sesuatu menimpa hamba-hamba Allah itu sudah tercatat lebih dahulu dan sudah tetap dalam Ummu al-Kitab (Lauh al-Mahfûdz). Kemudian beliau menjelaskan lebih lanjut bahwa musibah ada dua kategori ; pertama, musibah yang terjadi di bumi seperti kemarau panjang, banjir, gempa, angin ribut, dan lain-
1
Syaikh Sa‟id bin „Ali bin Wahft al-Qahthâni, Penyejuk Hati di tengah Panasnya Musibah (terjemahan), (Jakarta : Pustaka al-Tibyan, 2008), h, 1
28
29
lain. Kedua, musibah yang ada dalam diri manusia itu sendiri seperti penyakit, pelaksanaan hukum pidana, kehidupan yang lemah dan lain-lain.2 Kedua macam musibah tersebut di atas, baik musibah yang terjadi di bumi berupa bencana alam maupun yang terjadi pada diri manusia itu sendiri pada dasarnya adalah sama, yang berakibat pada penderitaan jiwa. Kemarau panjang, banjir, gempa, angin ribut, dan sebagainya ketika menimpa jiwa juga mengakibatkan manusia mengalami kesusahan, mereka dapat kelaparan, terserang penyakit atau bahkan meninggal oleh bencana alam tersebut. Untuk dapat mensikapi macam-macam musibah tersebut di atas, supaya tidak terjadi kekeliruan, siapapum orangnya terlebih dahulu harus mengetahui secara benar tujuan dari diturunkannya musibah kepada manusia. Apakah musibah itu berbentuk ujian, peringatan atau hukuman (azab). Dari pola ini, maka dapat diformat secara sistematis bagaimana mensikapi musibah dengan benar. Di bawah ini adalah bagian dari cara kita menyikapi musibah, pertama bagaimana etika kita menyikapi musibah yang di dalamnya ada kaitanya dengan ucapan kita ketika tertimpa musibah dan bagaimana sikap kita ketika tertimpa musibah, kedua adalah Kenikmatan Pasca Musibah.
A.
Etika Etika memang menarik. Di mana-mana dalam kesempatan orang
membicarakan etika. Etika mudah untuk dibicarakan, tetapi sulit untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. 2
Al-Syaukâni, fath al-Qadîr al-Jâmi‟ baina fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min Ilm alTafsir Juz V, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), h. 176
30
Istilah “etika” berasal dari Yunani kuno. Kata yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti : tempat tinggal biasa ; padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah kebiasaan. Dan arti yang terakhir inilah menjadi bentuk etika oleh filsuf Yunani besar Aristoteles sudah dipakai untuk menunjukkan moral.3 Menurut bahasa Indonesia, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral, nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan.4 Dalam khazanah pemikiran Islam, etika dipahami sebagai akhlâq, al-adab atau al-falsafah al-adabiyah,5 bertujuan untuk mendidik moralitas manusia yang terdapat dalam materi-materi kandungan ayat-ayat alQur‟ân yang sangat luas dan dikembangkan dalam Filsafat Yunani hingga para sufi. Keberagamaan manusia yang berbeda inilah yang perlu diangkat sebagai sebuah momentum guna melihat sisi keunikan manusia sebagai ciptaan Tuhan itu sendiri. Persoalannya adalah apakah keberagamaan yang berbeda itu akan bermuara ke arah yang sama? Kalau kita melihat secara seksama bahwa pada intinya keberagamaan manusia adalah pencarian terhadap kebenaran, baik kebenaran sosial hubungan antar manusia atau kebenaran transenden, yaitu cara pandang dan sikap manusia dalam menempatkan Tuhan dan makhluk ciptaan-Nya sebagai kebenaran absolut. Maka keberagamaan itu sendiri akan mengarah pada 3
K. Bertents, Etika, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 4 J.S. Badudu, et all., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan 1996), h. 1497 5 Elias A. Elias & Ed. E. Elies, Modern Dictionary English-Arabic, (Kairo : Elias Modern Publishing House & Co, 1986), h. 254 4
31
bagaimana kebenaran itu bisa diraih dalam rangka pendekatan diri kepada Tuhan sebagai manifestasi dari “iman” Dalam hubungannya dalam pencarian kebenaran dari sudut pandang keberagamaan manusia
yang berbeda (hetrogenitas-religiusitas) tentu akan
didapat adalah berbedaan cara pandang (persfektif) dan sangat tergantung dorongan dari manusia itu sendiri yang sudah dikatakan di atas sebagai fitrah mansia yang given akan mengarakan kepada kebenaran atau sebaliknya. Dilihat dalam kontek ini adalah bagaimana manusia memposisikan diri selain pemahaman terhadap kebenaran transenden, juga memahamkan dirinya pada kebenaran hubungan antar manusia yang dalam Islam masuk dalam kategori “ihsan” yang secara harfiah berarti kebaikan dan kebaikan. Dorongan ihsan itu sendiri akan melahirkan subuah prilaku, yaitu moral atau etika. Setiap manusia yang hidup di dunia akan mengalami hal yang sama, baik beriman maupun kafir terhadap Allah, yakni akan mengalami berbagai macam musibah. Perbedaanya adalah bagaimana mereka dapat memahami hakekat musibah itu sendiri kemudian bagaimana mensikapinya.6 Sudah menjadi sunnatullah di muka bumi Allah ini adanya hukum sebab akibat, sudah barang tentu musibah yang banyak dialami pada tahun-tahun terakhir ini pasti ada sebabnya. Salah satu sebabnya dan ini merupakan sebab terbesar sebagaimana yang disebutkan Allah „Azza wa Jalla di dalam kitabNya yang Mulia,
6
Syaikh Sa‟id bin „Ali bin Wafth al-Qahthani, Penyejuk Hati di Tengah Panasnya Musibah (terjemahan). (Jakarta: Pustaka al-Tibyan, 2008), h. 1.
32
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar, taubat)”. (QS. Ar Ruum [30] : 41) Ibnu Zaid rahimahullah mengatakan yang dimaksud dengan : perbuatan tangan manusia” dalam ayat di atas adalah dosa-dosa. Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “bahwa yang menjadi sebab Allah menampakkan sebagian kerusakan di muka adalah dosa-dosa”. Maka lanjutan ayat (yang artinya) “supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka”, yang diamaksud dengan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka adalah sebahagian akibat dari dosa-dosa yang mereka kerjakan. Dengan demikian sebab kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi berupa berbagai kekurangan, bahaya, kesedihan, penyakit dan lain sebagainya yang Allah tampakkan adalah kemaksiatan yang dilakukan oleh hambahambaNya, setiap hambaNya melakukan kemaksiatan maka Allah „Azza wa Jalla akan timpakan kepada mereka bencana sebagai hukuman atas perbuatan mereka.7 Dari dua penjelasan „ulama di atas maka jelaslah bagi kita sebab bencana dan musibah yang dialami adalah karena perbuatan maksiat yang dilakukan oleh manusia. Meskipun demikian musibah yang kita rasakan saat ini hanyalah sebagian kecil dari akibat dosa-dosa yang telah kita perbuat, sekiranya ditimpakan seluruh 7
Dawa‟u, Ad Daa‟u wad, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah –rahimahullah- dengan tahqiq Syaikh „Ali bin Hasan Al Halaby –hafidzahullah-, h. 100, Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, cet. 2
33
akibat dari dosa-dosa yang telah kita perbuat niscaya tidak ada seekor binatang pun yang dibiarkan hidup di muka bumi ini.8 Ketahuilah kemaksiatan/dosa yang paling besar yang dilakukan manusia di muka bumi ini bukanlah korupsi melainkan ia adalah sebuah perbuatan yang kebanyakan dari kaum muslimin sendiri tidak mengetahui hakikatnya yaitu, perbuatan syirik kepada Penciptanya, yakni Allah „Azza wa Jalla sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala dalam kitab-Nya:
“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah benar-benar kedholiman (kemaksiatan) yang besar” (QS. Luqman [31] : 13) Bahkan syirik adalah sebuah dosa yang tidak Allah ampuni jika seseorang tidak bertaubat darinya sebelum dia mati, padahal Allah „Azza wa Jalla Dzat yang Maha Pengampun, Dzat yang rahmatNya mendahului murkaNya, bahkan hal ini sebagaimana yang dikatakan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah, karena kesyirikan adalah bentuk pelanggaran terbesar terhadap hak Allah „Azza wa Jalla.9 Sebagaimana dalam firman Allah Ta‟ala,
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu apapun) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu apapun)
8
Dawa‟u, Ad Daa‟u wad, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah –rahimahullah- dengan tahqiq Syaikh „Ali bin Hasan Al Halaby –hafidzahullah-, h. 100, Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, cet. 2 9 Mufid „ala, Al Quolul Kitabit Tauhid, h. 113, Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, cet. 2
34
dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat (dari kebanaran10) dengan kesesatan yang amat jauh”. (QS. An Nisaa‟ [4] : 116) Maka jelaslah bahwa kesyirikan adalah kemaksiatan/dosa yang paling parah yang dilakukan hamba kepada Rabbnya dan tidak akan diampuni Allah sampai seorang hamba bertaubat darinya. Lalu apakah obatnya dari penyakit kesyirikan ini ? Maka jawabnya sudah barang tentu adalah kebalikan dari kesyirikan yaitu mentauhidkan Allah „Azza wa Jalla dengan sebenar-benar tauhid. Tauhid adalah mengesakan Allah dalam halhal yang merupakan kekhususan Allah yang meliputi Rububiyah (Allah adalah Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta), Uluhiyah (Allah adalah satusatunya Dzat yang berhak disembah), dan Asma‟ wa Shifat (nama-nama dan shifat).11 Tentulah tauhid yang kita maksudkan di sini harus berdasarkan ilmu yaitu berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu „alaihi wa sallam dengan pemahaman para ulama salafush shaleh dari kalangan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Adapun tata cara ketika kita mengalami musibah, yakni : 1. Ucapan Sebagai seorang beragama yang percaya akan ke-Esaan Tuhan dan kasih sayang-Nya, yang dilukiskan-Nya sendiri mengalahkan amarah-Nya, maka semua ungkapan ataupun ucapan tidaklah terlintas dalam benak. Lebih-lebih dari seorang yang bersangka baik kepada Tuhan. Kita harus yakin bahwa Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa, adalah Rabb al-„Alamin (pemelihara 10
As Suyuthi, Tafsir Jalalain Li Imamaini Al Jalilaini Muhammad bin Ahmad Al Mahalli dan Abdurrahman bin Abi Bakr, dengan ta‟liq dari Syaikh Shofiyurrahman Al- Mubarokfuri hal. 106, Darus Salam, Riyadh, cet. 2 11 Kitabit Tauhid, Al Quolul Mufid „ala, h. 8. Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, cet 1.
35
seluruh alam). dan dalam konteks pemeliharaan-Nya itu, terjadi sekian banyak hal yang antara lain dapat terlihat–menurut kacamata manusiasebagai mala petaka atau tanpa kasih.
Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: " Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji‟ûn "[101].
Musibah dalam surat al-baqarah [2]: 156 tersebut di atas oleh Imam AlBaghâwi ditafsirkan dengan menghubungkan ayat sebelumnya yang menjelaskan ujian hidup manusia yang diberikan oleh Allah SWT. Yakni ujian berupa bencana ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, berkurangnya jiwa dan buah–buahan.12 Siapa saja yang bersabar dalam mengahadapinya, maka ia termasuk golongan orang-orang yang beruntung dan mendapatkan petunjuk yang benar, yaitu orang-orang yang ketika ditimpa musibah mereka mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‟ûn” (sesungguhnya kami milik Allah swt. Hamba yang dimiliki dan sesungguhnya kami pasti akan kembali di akhirat. Kalimat Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji‟ûn atau sering disebut dengan kalimat istirja‟ biasa digunakan jika seseorang mendapatkan suatu musibah dari Allah swt, sebagaimana firman Allah swt :
12
Al-Baghâwi, Ma „âlim al-Tanzil Juz I, ( Bairut: Dar al-Ma‟rifah, 1987), cet. Ke 2
36
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orangorang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: " Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji‟ûn ". Juga sabda Rasulullah saw, “Hendaklah kalian mengucapkan istirja‟ terhadap segala sesuatu bahkan terhadap tali sandal yang putus karena ini termasuk juga musibah.” (HR. al Bazzar) Jadi ucapan istirja‟ (Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‟ûn) ini adalah diucapkan terhadap segala musibah yang menimpa seseorang termasuk di dalamnya adalah musibah kematian baik yang meninggal itu adalah seorang muslim ataupun non muslim. Akan tetapi tidak dibolehkan bagi seorang muslim untuk memohonkan ampunan atau mendoakan orang kafir yang sudah meninggal dunia. Rasulullah bersabda: “Tidaklah seorang hamba ditimpa musibah lalu beristirja‟ niscaya Allah Ta‟ala akan memberi ganjaran pada musibahnya dan akan menggantikannya dengan yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim) Ucapan istirjaa‟ mengandung pengertian bahwa diri kita, keluarga dan harta benda adalah milik Allah. Ketika kita lahir tidak memiliki apa-apa. Demikian sampai kita meninggal nanti tidak akan membawa apa-apa. Semua
37
itu akan ditinggalkan dan tidak akan membawa sesuatu kecuali amal shalih kita. Karena itu harus ada persiapan diri. Hendaknya yakin dengan takdir Allah baik dan buruknya. Ini penting, karena keyakinan dengan rukun iman yang keenam ini akan meringankan beban kita. Iman kepada takdir memberi kita semacam „kekebalan dini‟ dengan kesadaran sedalam-dalamnya bahwa segala sesuatu yang telah, sementara dan akan terjadi itu telah tertulis di lauh al-mahfuzh. Dengan demikian, apapun yang menimpa kita tetap berada dibingkai dalam bingkai kesadaran sehingga musibah akan terasa lebih ringan. Rasulullah bersabda dalam do‟anya yang terkenal: “…anugrahkanlah pada kami keyakinan yang menjadikan musibah terasa ringan…” (HR. Tirmidzi dan Hakim). Allah Ta‟ala berfirman yang artinya: “Tiada satu bencanapun yang menimpa di muka bumi dan tidak pula pada dirimu kecuali telah tertulis pada kitab sebelum kami menciptakannya. Sunggguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu dan agar kamu tidak terlalu gembira dengan apa yang diberikan Allah padamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri” (QS. Al-Hadiid: 22-23) Ketika ada hal-hal yang luput, mengalami penderitaan, menghadapi kesulitan, seharusnya tidak terlalu bersedih hati dan menjadikan bersangka buruk kepada Allah. Hendaknya bersyukur karena musibah yang menimpa diri tidaklah lebih besar dari yang menimpa orang lain. Begitu banyak orang yang mendapatkan
38
musibah jauh lebih mengenaskan dari kita. Seberat apapun musibah dunia yang menimpa kita, yakinlah masih ada yang lebih berat dari kita. Tidak sedikit orang yang sebenarnya terkena musibah tapi dia tidak menyadarinya, ia tertimpa dalam agamanya. Yang mengherankan adalah tidak sedikit orang terjatuh pada musibah agama (musibah diniyah) dan ia sedikitpun tidak merasa sedih. Terjatuh pada perzinahan, makan riba, membunuh jiwa yang tidak halal, pergi kedukun atau tukang ramal dan membenarkannya adalah di antara musibah diniyah, bahkan yang terakhir bisa menggelincirkan pelakunya dari Islam. Itulah sebabnya Rasulullah mengajarkan kita sebuah do‟a agar kita tidak tergelincir dari musibah ini. Dalam do‟anya beliau bersabda: “ya Allah jangan engkau jadikan musibah kami dalam agama kami.” (HR. Tirmidzi dan Hakim) Hendaknya kita sedapat mungkin tidak berkeluh kesah, menggerutu atas musibah yang melanda kita. Sebab itu semua tidak akan mengembalikan apa yang telah hilang. Berkeluh kesah juga menunjukkan seseorang tidak ridha dengan takdir Allah. Bagi mereka yang menjaga shalatnya, menjaga kehormatannya, menunaikan zakat, beriman kepada Allah dan hari kemudian tidak akan berkeluh kesah. Mengeluh kepada manusia juga tidak memberi banyak manfaat karena bisa menodai kesabaran dan keridhaan. Para salafus shalih jika mereka ditimpa musibah sekecil apapun, ia langsung mengeluhkannya kepada Allah. Bahkan di antara mereka ada yang mengeluh kepada Allah karena tali sendalnya putus. Kalau musibah mereka tergolong berat, seperti kematian
39
anak, orang tua, kerabat dan lain-lain mereka berusaha menyembunyikannya dan tidak mengabarkannya kecuali untuk urusan memandikan, menshalatkan, dan menguburkannya. Manusia harus yakin bahwa apa yang menimpa jika manusia itu bersabar dan ridha, maka Allah pasti memberikan gantinya. Allah akan memberi kenikmatan, berkah, kelezatan, kebaikan yang berlipat ganda. Bahkan musibah yang melanda akan menghapuskan dosa-dosa dan akan menyucikan jiwa-jiwa kita. Allah ta‟ala berfirman: “mereka itulah yang akan mendapatkan shalawat dari Tuhannya, rahmat dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. al-Baqarah: 157). Semoga kita dapat menyikapi setiap bencana yang menimpa dengan baik dan benar. Sabar dan ridho serta selalu bersyukur kepada Allah Ta‟ala, insya Allah akan mendapatkan kelezatan iman.
2. Sikap Al-Qur‟an menjelaskan sikap manusia ketika tertimpa musibah, terbagi menjadi empat tingkatan sebagai berikut: Pertama, marah. Tingkatan manusia yang paling buruk ketika menghadapi musibah adalah sikap marah baik dengan hatinya seperti benci terhadap Rabbnya dan marah terhadap taqdir-Nya yang menimpa atasnya. Allah berfirman dalam surah al-Nisa [4]: 78 berikut:
40
dan jika mereka memperoleh kebaikan[319], mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Al-Qurthûbî menjelaskan bahwa ayat ini sangat terkait dengan sikap orangorang muanafik yang apabila mereka mendapatkan nikmat, maka mereka mengatakan ini dari Allah swt. dan kalau mendapatkan keburukan dan kesulitan mereka menimpakan kesalahan kepada Nabi Muhammad saw. dan kaum muslimin.13 Padahal semua musibah hakekatnya datang dari Allah swt. Sikap marah, kesal dan kesedihan yang berlebih-lebihan ketika ditimpa musibah, dengan menampakkan melalui lisannya seperti menyeru dengan kecelakaan, kebinasaan dan yang sejenisnya. Atau marah dengan anggota badannya seperti menampar pipi, merobek saku baju, menarik-nrik (menjambak) rambut, membenturkan kepala ke tembok dan yang sejenisnya adalah dilarang oleh Rasulullah saw. Sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh beberapa Iman Bukhâri, Iman Muslîm dan juga yang lainnya, melalui Abdullah Ibn. Mas‟ud sebagai berikut:
13
Al-Qurthubi, Al-Jami‟li Ahkam..... Juz V, h. 284. Lihat Surah al-Isra‟ [17]: 83, Fussilat
[41]: 49.
41
Dari Abdillah ra., berkata: Rasulullah sae. Bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menampar-nampar pipinya sendiri, menyobeki saku pakaiannya, dan meratap dengan ratapan jahiliyah”14 Kadang-kadang sikap marah mereka terhadap musibah yang menimpanya, juga sampai ketingkat kekufuran.15 Sebagaimana firman Allah daam surah al-Hajj [22]: 11;
dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam Keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.
Mereka jika ditimpa fitnah yakni kesulitan dalam urusan dunia dan segala sesuatu yang dapat menyebabkan penderitaan dunia, maka ia berbalik kebelakang yakni keluar dari agama Islam. Mereka beranggapan bahwa setelah memeluk agama Islam hidup mereka di dunia selalu mendapatkan berbagai macam kesulitan dan penderitaan.16 Dengan musibah menyebabkan mereka menjadi kafir. Kedua, sabar. Al-Qur‟an menegaskan mensikapi musibah dalam bentuk ujian harus disikapi dengan sabar, mengucapkan kalimat istirja‟ dan berdoa untuk mendapatkan ganti yang lebih baik sebagaimana firman Allah swt. dalam surah al-Baqarah [2]: 155-156; 14
Hadis ini diriwayatkan dalam kitab Shahi Bukhari hadis no. 1212. Shahih Muslim hadis no. 920, Sunan al-Nasai, hadis no. 1827,1829,1841, Sunan Ibn Majah hadis no. 1573 dan Musnad Imam Ahmad hadis no. 2476,2902,2997,4131,4198. 15 http:/www.ahlusunnah-jakarta.com/buletin_detil.php?id=41 16 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-Azhim I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H), h.21.
42
dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orangorang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: " Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji‟ûn " orang-orang yang sabar adalah orang-orang yang tetap konsisten dengan hukum-hukum Allah dalam menghadapi musibah. Mereka itu apabila ditimpa musibah mengucapkan kalimat, “Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji‟ûn” (sesungguhnya kami milik Allah swt. hamba yang dimiliki dan sesungguhnya kami pasti akan kembali di akhirat”).17 Kalimat istirja‟ memiliki dua prinsip keimanan yang sangat mendasar bagi seseorang yang ditimpa musibah.18 Pertama, seorang hamba memastikan bahwa dirinya, keluarganya, hartanya dan anak-anaknya sesungguhnya adalah milik Allah swt. semata. sesungguhnya semuanya dijadikan oleh Allah sebagai pinjaman kepadanya. Jika dia mengambil semua itu darinya, maka dia seperti seorang yang meminjamkan sesuatu barang dan mengambilnya kembali dari pihak yang meminjamnya. Kedua, adanya kesadaran bahwa tempat kembali seorang hamba dan persinggahan
terakhirnya hanyalah Allah swt. semata,
sebagai pelindungnya yang sejati. Kelak suatu saat-entah kapan-ia pasti akan meninggalkan dunia ini dan akan datang menghadap Tuhannya di hari kiamat secara individu, sebagaimana Tuhan menciptakannya pertama kali dalam keadaan tanpa keluarga, harta dan kerabat. Dan dia akan datang kepada Tuhannya dengan membawa segenap kebajikan dan keburukannya. Jika memang demikian halnya 17
Al-Baghawi, Ma‟alim al-Tanjil Juz I, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1987) cet. Ke 2 h. 130. Imam Ibn Muhammad al-Manbaji, Tasliyah Ahl al-Musha‟ib, Edisi Terjemah: Saifudin Zuhri, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005) cet. Ke 1, h. 23 18
43
kondisi awal dan akhir seorang hamba, maka mengapa ia harus merasa gembira dengan anaknya, hartanya, dan berbagai kesenangan duniawi lainnya, atau dia harus merasa sedih atas sesuatu yang hilang? Dengan demikian pemikiran seorang hamba tentang awal dan akhir perjalanannyabagi hamba yang tertimpa musibah. Ketiga, ridha. Apabila seseorang tertimpa musibah, lalu dinasihatkan untuk bersabar wajarlah nasehat tersebut diterima dengan mudah. Lalu bagaimana apabila dinasihatkan untuk menerima musibah tersebut dengan ikhlas dan ridha, kiranya sulit untuk diterima-apa lagi musibah tersebut terjadi bukan atas kesalahannya, tapi justru setelah ia berkornban untuk ketaatannya kepada Allah swt. kecuali bagi orang-orang yang beriman kepada qadha dan qadar Allah swt. lagi mengetahui bahwa musibah tersebut adalah berbentuk ujian untuk meningkatkan derajatnya. Senagaimana berfirman-Nya dalam surah al-Taghabun [64]: 11;
tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Menurut Alqamah dari Abdillah bahwa firman yang menyatakan “barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya” adalah orang yang apabila ditimpa musibah dia ridha dan
44
mengetahui benar bahwasanya musibah yang menimpanya itu datangnya dari Allah swt.19 Siapa yang ditimpa musibah lalu dia mengetahui bahwasanya musibah itu adalah bagian dari qadha dan qadar-Nya kemudian dia bersabar dan tetap berusaha untuk menerima dengan ikhlas dan ridha ketentuan tersebut, maka Alah akan memberikan petunjuk dalam hatinya dan juga akan menggantikan apa yang hilang dari urusan dunianya. Dia akan terang hatinya, mempunyai keyakinan yang benar dan bisa jadi apa yang dulu hilang akan digantikan dengan yang lebih baik darinya.20 Keempat, bersyukur. Ini adalah derajat yang paling tinggi, yaitu dia bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpanya dan jadilah dia termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang bersyukur ketika dia melihat bahwa di sana terdapat musibah yang lebih besar darinya, dan bahwasanya musibahmusibah dunia lebih ringan daripada musibah-musibah agama, dan bahwasanya „azab dunia lebih ringan daripada „azab akhirat, dan bahwasanya musibah ini adalah sebab agar dihapuskannya dosa-dosanya, dan kadang-kadang untuk menambah kebaikannya, maka dia bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut. Alllah berfirman dalam surah al-Syura [42]: 30
dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). 19 20
Shaih Bukhâri dalam kitab Tafsir al-Qur‟an Ibn Katsir, Tafsir ...., h. 376
45
Ayat tersebut di atas ketika diturunkan, Rasulullah saw. Bersabda, “Demi Dzat yang Menggenggam Jiwa Muhammad, tidak ada yang dapat mengkoyak kayu, menggelincirnya kaki dan mencucurkan keringat kecuali sebab dosa yang mereka perbuat dan Allah swt. memaafkan sebagian besar dosa-dosa itu”.21 Kemudian Ikrimah ra. Juga menjelaskan-terkait dengan ayat ini-bahwa bencana apapun yang menimpa seorang hamba yang disebabkan oleh perbuatan dosanya, apabila Allah swt. hendak mengampuninya atau hendak mengangkat derajatnya maka ditimpakan padanya musibah, dan dengan musibah itulah seorang hamba dapat memperoleh ampunan dari dosa-dosanya serta terangkat derajatnya.22 Musibah dipandang dari tujuan ditimpakannya kepada umat manusia terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu musibah srbagai ujian, musibah sebagai peringatan dan muisbah sebagai hukum atau azab Allah. Atas dasar klasifikasi tersebut dapat dianalisis bagaimana umat manusia dapat menaggulangi musibah yang mnimpanya. Karena dari klasifikasi itu dapat diketahui sebab-musabab dari terjadinya musibah tersebut. Manusia memang tidak boleh mendahului kehendak Allah untuk menentukan apa yang terjadi. Tetapi setidaknya pengetahuan tentang sebab-musabab terjadinya muisbah yang menimpanya dapat dijadikan sebagai data untuk memprediksi kira-kira sunnatullah yang ada di sekitarnya.
21 22
Al-Baghawi, ma‟alim .... Juz IV, h. 128 Al-Baghawi, ma‟alim .... Juz IV,
46
Secara umum hidup manusia di muka bumi ini sedang menjalani ujian23 dan akan terus diuji dengan dua materi ujian, bisa berupa kebaikan (nikmat) bisa juga keburukan (musibah). Allah berfirman,
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (al-Anbiya‟:35). Ayat di atas menunjukkan tentang kepastian yang akan dialami oleh setiap jiwa yang hidup di dunia ini bahwa mereka akan merasakan pengalaman mati. dan akan diuji dengan ujian yang menyenangkan dan memberatkanya, kedua-duanya merupakan fitnah, yakni ujian yang sangat berat. 24 Hasil ujian selama hidup di dunia itu akan disampaikan kepada Allah yang kemudian dinilai dan penilaian tersebut disertai balasan dan ganjaran sesuai dengan amalan mereka.25
B.
Kenikmatan Pasca Musibah Dari bencana dan musibah yang kerap kali menimpa manusia, sudah pasti
ada kebaikan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa datang. Sebab itu sebagai orang yang beriman dan bertakwa harus selalu bersabar dan ridha untuk menerima setiap ketentuan yang Allah kehendaki. Karena dialah yang Maha Mengetahui dan yang Maha Menguasai lagi Maha Bijaksana.segala sesuatu 23
Al-Kahfi [18]; 7 Ibn Katsîr, Tafsir .... Juz III., h. 179 25 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah .... Vol 9. h. 451. 24
47
yang ditimpakan kepada orang-orang yang beriman, sudah pasti hal yang terbaik baginya. Di puncak gunung, atau di tanah lapang, atau dimanapun juga, bukanlah tempat yang aman untuk berlindung. dan tidak ada jaminan bagi manusia untuk dapat selamat dari bencana, kecuali jika Allah swt. Menghendaki. Hanya Allahlah pelindung orang-orang yang beriman. Dialah pelindung yang paling utama.26 Untuk mengetahui kebaikan dari berbagai macam dan bentuk musibah yang telah dibahas dalam pembahasan ini, dapat dianalisa dari sudut pandang perbuatan manusia yang terkait dengan sebab musabab musibah itu ditimpakan kepada mereka. Dari sudut pandang ini dapat diambil kebaikan sebagai berikut: 1. Mendapat Petunjuk Apabila musibah menimpa seseorang yang beriman yang saleh, dimana ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan dosa atu maksiat kepada Allah swt., maka dapat diartikan bahwa musibah itu adalah ujian yang diberikan oleh Allah kepadanya. Siapa yang mengimana bahwa musibah yang menimpanya itu adalah dari Allah, kemudian dia mensikapinya dengan sabar dan ridha dalam menerimanya, mak dia akan mendapat petunjuk agama yang benar. Allah swt. berfirman;
“tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
26
Lihat Surah Ȃli Imrân [3]: 68, al-An‟âm [6]: 5
48
Kejadian apapun yang menimpa manusia di dunia ini merupakan ketentuan-ketentuan dan kehendak Allah, dan semuanya terjadi atas pengetahuannya.27 Siapa yang beriman dengan hal tersebut lalu ia bersabar dengan mengucapkan kalimat istirjâ‟ “Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji‟ûn” (sesungguhnya kami milik Allah swt. hamba yang dimiliki dan sesungguhnya kami pasti akan kembali di akhirat) kemudian menerimanya dengan ridha niscaya hatinya akan mendapat petunjuk kebenara,28 juga shalawat dan rahmat dari Tuhannya.29 Hidayah kebenaran, pemahaman yang mendalam tentang agama yang benar adalah karunia yang paling tinggi yang dapat menjadikan seseorang memiliki kedudukan yang tinggi, baik di sisi Allah maupun sesama makhluk-Nya. Karena hidayah merupakan pangkal dari semua kenikmatan, merupakan jaminan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ia pada hakekatnya adalah petunjuk fitrah manusia kepada fitrah Allah swt. yang mengatur gerak manusia dan gerak alam semesta menuju kepadaNya.30 Sebaiknya musibah tersebar bagi seorang hamba adalah apabila hidayah agamanya terancam lepas dari pegangannya, sehinnga ia berfitnah dan meninggal tidak dengan membawa kalimat tauhid. Kemudian ia menjadi lebih hina bahkan lebih hina dari binatang ternak.
27
Ibn Katsîr, Tafsir....Juz Iv, h. 376 Sahih Bukhari dalam kitab Tafsir al-Qur‟an 29 Surah al-Baqarah [2] 157 30 Sayyid Qutbh, Fi Zhilalil ....Jilid I, h. 31 28
49
Karena matanya, telinganya dan hatinya tidak dapat mengerti dengan hidayah kebenaran. Allah berfirman dalam surat al-„Arâf [7]; 179;
Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tandatanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
2. Memperoleh Pahala Seorang mukmin, apabila ditimpa musibah lalu ia tetap taat kepada Allah swt. dan Rasul-Nya, istiqamah dalam keimanannya dengan selalu bertakwa dan meningkatkan amal salehnya, maka ia akan mendapatkan pahala yang besar. Sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imrân [3]: 172
[(yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). bagi orangorang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar.]
50
Siapa yang tetap dapat bersabar dalam menjalankan perintah Allah swt. meskipun berada dalam tempaan musibah, niscaya ia akan mendapatkan pahala yang tiada batas. Firman Allah swt.
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (Q.S Az Zumar :10) Sayyid Quthb menjelaskan bahwa Allah swt adalah pencipta manusia. Dia mengetahui bahwa berhijrah dari kampung halaman sungguh sulit, melepaskan diri dari jeratan-jeratan itu yang merupakan perkara yang berat, meninggalkan sesuatu yang telah digandrungi, sarana rezeki, dan tantangan kehidupan di negri yang baru merupakan beban berat bagi seorang manusia. Karena itu dalam konteks musibah Allah swt. menyuruh bersabar yang balasannya secara mutlak berada di sisi-Nya tanpa batas.31 Pahala yang sangat besar yang digambarkan tidak sanggup lagi untuk dihitungnya dengan angka yang biasa digunakan untuk menghitung manusia.32 Tetapi menurut Ibn Timiyah, perlu diingat bahwa musibah yang mendatangkan pahala adalah musibah yang disebabkam oleh amal saleh seperti derita musibah yang muncul akibat dari jihad, amar ma‟ruf nahi munkar dan hal semacamnya. Karena manusia diberi pahala oleh Allah swt. berdasarkan perbuatannya dan apa yang lahir dari perbuatannya itu
31 32
Sayyid Quthb, Fi Zilalil...Jilid X, h. 71 Al- Syakâni, Fath al-Qadir....IV, h. 454
51
jika ia mampu menanggungnya.33 Seorang pejuang yang maju ke medan laga, tentunya sudah mengetahui semua kemungkinan yang bakal menimpanya. Bisa jadi harta bendanya dirampas, disiksa atau bahkan jiwa yang berada di dalam raganya melayang karena terbunuh. Allah swt. Berfirman,
Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. (Q.S. At Taubah: 120). Allah swt mencatat semua musibah yang diderita oleh orang yang berangkat berjihad di jalan-Nya sebagai amal saleh. Amal yang akan memberikan
mamfaat
baginya
dalam
kehidupan
dunia,
yakni
ketenangan hidup maupun akhirat yaitu surga yang dijanjikan bagi mereka yang berani mengorbankan jiwa dan raganya di jalan Allah swt., sebagaiman firman-Nya:
33
Imam Ibn Muhammad al-Manbanji, Tasliyah..., h.279
52
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar. (Q.S. At Taubah: 111). 3. Menghapus Dosa Sebagai manusia yang sering kali mengalami kelalaian dalam menjalankan tugas hidupnya sebagai seorang hamba Allah swt., musibah dapat menjadi penolong baginya untuk mengurangi dan menghapus dosa-dosanya di dunia sehingga kelak menghadap Allah swt. sudah diampuni dosa-dosanya. Firman Allah swt;
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Q.S. Asy Syuura: 30) Musibah apapun yang menimpa manusia berupa penyakit, hukuman, atau ujian di dunia ini yang disebabkan oleh perbuatan tanganaya sendiri yakni perbuatan dosa dan aniaya yang telah dilakukannya, maka Allah swt. akan memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahannya di dunia.34 Selanjutnya Ikrimah ra. Berkata, “Bencana apapun yang menimpa seorang hamba itu disebabkan oleh 34
Ibn Katsîr, Tafsir ....Juz IV, h. 117
53
perbuatan dosanya dan Allah swt hendak mengampuninya melalui musibah itu, atau dia hendak mengangkat derajatnya dengan musibah itu, dan dengan musibah itulah seorang hamba dapat memperoleh ampunan dari dosa-dosanya.35 Dengan adanya musibah, maka dosa perbuatan seseorang itu sebagian besar akan dimaafkan di dunia. Rasulullah saw. Menjelaskan dengan hadisnya sebagai beikut:
)(زٔاِ أحًد (Dari Aisyah ra.. berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “Jika seorang hamba banyak dosanya dan belum cukup amalnya untuk menutupi dosadosa tersebut, maka dia akan diuji oleh Allah swt. berupa kesedihan (musibah) supaya dosa-dosanya dapat terhapuskan).36 Sebab itu musibah harus diterima dengan ikhlas dan ridha sebagai bagian dari kehendak Allah swt. yang Maha Tahu dan Maha Pengampun. Melalui musibah yang menimpa hakekatnya justru memberikan keringanan kepedihan dan kenistaan yang tiada bandingnya kelak di akhirat. Dengan musibah yang menimpa mereka di dunia akan menghapuskan dosa-dosanya dan mereka dapat terbebaskan dari siksa api neraka yang sangat panas di akhirat.
35
Al-Baghâwi, Ma‟âlim....Juz IV, h. 128 Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal. Jil. 42, no. 25236 (T.tp: Mu`asasah al-Risalah, 1999) h. 133 36
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Hampir sepakat setiap manusia tidak menyenangi bila ditimpa musibah. Musibah berarti siap kehilangan hal-hal yang dicintai termasuk harta dan jiwa, dan raga. Sebaliknya bila diberikan kenikmatan oleh Allah SWT manusia akan bergembira dan bersenang hati. Tidak sedikit diantaranya sering membuat manuisa menjadi lupa akan dirinya bahkan ada yang sampai melupakan yang Menciptakannya. Musibah yang menimpa kehidupan dinegara dan bangsa kita dimasa krisis yang berkepanjangan ini mendorong etika manusia Indonesia yang beretika drastis berubah, dari semula yang dikenal ramah dan tamah perlahan terkikis nilainya menjadi manusia dengan kehidupan kebangsaan yang putus asa dan tak ber-etika. Bagaimana sikap dan etika kita ummat Islam Indonesia menghadapi musibah? Yang pasti musibah dan kenikmatan tidak akan pernah lepas dalam kehidupan diri manusia sebagai anugrah dan ujian dari Allah SWT, untuk melihat siapa yang paling berkualitas imannya saat ditimpa ketentuan yang membuatnya senang ataupun sedih. Apakah orang tetap mengingat-NYA atau salah satu musibah atau kenikmatan, atau keduanya bisa menjadikan lupa kepada-Nya? Islam telah mengajarkan kita dalam menghadapi musibah yang muncul di kehidupan manusia dengan pegangan:
54
55
Pertama, Sadar sepenuhnya bahwa musibah pasti akan hadir dan menjadi bagian dari setiap perjalanan hidup manusia. Tidak berarti setelah kita mengerjakan kewajiban kepada-NYA dengan sholat berarti kita akan terlepas atau tidak pantas menerima kehadiran berbagai cobaan musibah. Surah Al-Baqarah 2:155 Allah Swt menegaskan akan mencoba manusia dengan sedikit rasa takut, cemas, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Kedua, hadapilah musibah yang datang dalam kehidupan kita dengan sikap sabar dan tenang. Sabar berarti tidak panik. Sikap ini berpeluang bagi kita dapat tetap berfikir jenih dalam situasi krisis sekalipun saat misibah sudah terjadi, sehingga setiap langkah penanggulangan yang diambil dilaksanakan sewajarnya dan penuh perhitungan. Ketiga, selalu memikirkan dan mengkondisikan diri kita bahwa pada hakikatnya seluruh diri dan harta kita kepunyaan Allah SWT, dan semuanya urusan akan kembali kepada-NYA. Pengakuan semua ini sudah menjadi ketentuan dan milik Allah SWT menjadikan keikhlasan dan kesabaran dalam diri kita menghadapi musibah, dan tidak cepat panik. Tidak cepat panik mendorong peningkatan daya tahan. Dan daya tahan akan mendorong jasmasni kita menjadi sehat lebih siap dan mampu menerima dan memikul penderitaan yang timbul. Pada akhirnya akan menciptakan kondisi bagi kita secara penuh dan sadar mengambil berbagai tindakan dan ikhtiar yang wajar untuk menanganinya. Allah SWT akan memberikan kepada manusia yang sabar dan siap dalam menerima berbagai ujian musibah, dan sebagai ganjarannya Allah akan memberikan SWT akan meberikah rahmat rasa senang. Tidak sedikit orang yang beriman dan berakhlak luhur, tersenyum dan berucap sebaliknya Alhamduliiah saat menerima ujian. Keempat,
56
tidak putus asa. Dengan terhindar dari rasa putus asa, akan terhindar dari kehancuran. Karena itu, Allah Swt. tidak suka dengan orang-orang yang putus asa tatkala tertimpa musibah. Jika Allah Swt berikan nikmat kepada manusia, kemudian Allah Swt cabut nikmat tersebut, biasanya sikap manusia ituakan putus asa dan tidak berterima kasih. Jadi, musibah itu dapat menimbulkan dua hal yang berbahaya pada manusia, yaitu rasa putus asa dan kufur pada nikmat Allah Swt. Oleh karena itu, untuk menghadapi musibah kita harus bersabar. Kelima, berdo‟a. Do‟a adalah sangat penting tatkala menghadapi musibah. Rasulullah Saw mencontohkan bagaimana beliau berdo‟a tatkala terjadi paceklik di Madinah. Dan do‟anya dikabulkan oleh Allah Swt. Salah satu do‟anya dengan membaca do‟a qunut nazilah. Keenam, melakukan amal shaleh. Kalau kita ditimpa musibah, setelah bersabar, hendaklah diikuti dengan melakukan amal shaleh. Jangan langgar lagi perintah Allah Swt. Tindak lanjut dari melakukan amal shaleh, Allah Swt akan membukakan pintu berkah dan rahmat-Nya.
B. Saran-saran Supaya umat Islam jangan terpuruk dengan muisbah yang menimpanya, menurut penulis sudah semestinya mereka dapat memahami musibah secara lengkap dan menyeluruh, khususnya pemahaman musibah yang dia ambil dari sumber pokok pedoman umat islam yakni al-Qur‟an. Sehingga mereka dapat mengambil hikmah dari setiap yang menimpanya, menyikapi dengan besar sesuai dengan petunjuk Dzat yang member musibah dan berikhtiar menanggulanginya dengan benar pula. Oleh sebab itu, penulis menyarankan keapada akademisi,
57
untuk terus mengkaji kandungan makna al-Qur‟an, khususnya yang terkait dengan konsep musibah hingga umat Islam dapat memiliki sumber bacaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan para pembaca. Dengan demikian diharapkan masyarakat secara umum dapat memahami musibah dengan benar.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahid, Musthufa, Kepribadian Seorang Muslim (terjemah), Jakarta: Bintang Pelajar, t.t. Adnan Amal, Taufik. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur‟ân, Jakarta. Pustaka Alvabet, 2005. Ahmad, Syihab al-Din. al-Tibyan Gharib al-Qur‟ân, Beirut: Dar al-Fikr, tt, Juz 1. al-Asfahani, Al-Raghib. Mu‟jam Mufradat fi alfadz al-qur‟ân, Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyah,2004. al-Bukhâry, Imam. Sahîh al-Bukhâriy. Beirut: Dar al- Fikr, tt, hadis no 5321. al-Bukhâry, Sahîh al-Bukhari, bab Marad, Muslim, Sahîh Muslim, jld. 3. al-Bukhâry, Sahîh al-Bukhari, Juz 1. Daâru Al-Fikri Beirut. Muslim, Sahîh Muslim. cet. 1 1419 H Daâru Al - Salam Linnasyr wa Al - Tanzi. Al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu Al-Qur‟ân, Jakarta: Amzah, 2006, cet. Ke-2. al-Hanbali, Muhammad al-Manjibi. Menghadapi Musibah Kematian. Penerjemah Muhammad Suhadi, Jakarta: Mizan Publika, 2007. Al-Manbaji, Ibn Muhammad. Bahagia dalam Bencana, Pelipur Lara bagi mereka yang tertimpa Musibah, Bandung : Pustaka Hidayah, 2005. al-Qardhawî, Yusuf. Bagaimana Berinteraksi Dengan al-Qur‟ân. Penerjemah Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2000. Al-Qurthubi, Al-Jam‟ili Ahkam al-Qur‟ân Juz II, (Kairo: Dar al-Nasyr, 1372H) cet. Ke 2 h 175. Al-Syaukâni, fath al-Qadîr al-Jâmi‟ baina fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min Ilm al-Tafsir Juz V, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), h. 176.
58
59
As Suyuthi, Tafsir Jalalain Li Imamaini Al Jalilaini Muhammad bin Ahmad Al Mahalli dan Abdurrahman bin Abi Bakr, dengan ta‟liq dari Syaikh Shofiyurrahman Al- Mubarokfuri hal. 106, Darus Salam, Riyadh, cet. 2 Baghâwi, A1-, Ma'alim al-Tanzil, Bairut: Dar al-Ma'rifah, 1987 Baidhawi, Abu al-Khayar bin `Abd. Allah bin Umar. Arrivdr al-Tanzil wa Asrar al-Ta'wil, Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1968 Biro Humas & Luar Negeri BPK, “Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Pascatsunami”, artikel diakses pada 22 Nopember 2010 dari http:www.bpk.go.id/web/p=3958 Dawa‟u, Ad Daa‟u wad, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah –rahimahullah- dengan tahqiq Syaikh „Ali bin Hasan Al Halaby –hafidzahullah-, hal 100, Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, cet. 2 Digilib.Uin-Suka.Ac.Id, diakses: 25 November 2010 Elias A. Elias & Ed. E. Elies, Modern Dictionary English-Arabic, (Kairo : Elias Modern Publishing House & Co, 1986), h. 254 Izzuddin Abdul Majid, Lc. Menyikapi Musibah, Jumadil Awal 1429 H | Hits: 22. 392 Ibn Manzur, Lisan al-Arabi, Bairut: Dar Shadir, tth http:/www.ahlusunnah-jakarta.com/buletin_detil.php?id=41
J.S. Badudu, et all., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan 1996), h. 1497 Kitabit Tauhid, Al Quolul Mufid „ala, hal. 8. Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, cet. 2
60
K. Bertents, Etika, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 4 Manzur, Ibn. Lisan al-„Arab, Beirut: Dar Sadir, tt, fashl ص, Juz 1. Maraghiy, Ahmad Mushthafa, Tafsir Maraghi, Bairut: Dar al-Fikr, Munawwar, S.Agil Husin, dan Hakim, Maskur, (ed al- Qur‟ân dan Metodologi Tafsîr, Jakarta: Toha Putra Grup, 1994. Muhammad Ibnu Yazid al-Qozwiny Ibn Majah (207-275 H), Abi Abdillah. (Sunan Ibn Majah, Juz, 2. Bab Al-Uqubat, Daaru al-Fikri Beirut. Munawwir, A.W, Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progesif, 2002, cet. Ke-25. Mufid „ala, Al Quolul Kitabit Tauhid, hal. 113, Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, cet. 2 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000). Cet. 1 h. 343. Pusat Bahasa Depdiknas RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses tanggal 03 Januari 2011 dari http://pusatbahasa,diknas.go.id./kbbi/index.php Qutb, Sayyid. Tafsir Fi Zilal al-Qur‟an..., juz 25. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2007, cet. Ke-8, cet. Ke-5. Syaikh Sa‟id bin „Ali bin Wahft al-Qahthâni, Penyejuk Hati di Tengah Panasnya Musibah (terjemahan), (Jakarta : Pustaka al-Tibyan, 2008). Zainuddin, Nanang. Musibah Dalam Persepektip Agama Islam dan Kristen, Studi Analisa Sosiologi Agama, Created : 2010-01-21. Zarkasi, Badr al-Din Muhammad, al-Burhân fi Ulûm al-Qur‟ân, Kairo : Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1997.